TUGASKU stase THT

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

EPISTAKSIS

A. DEFINISI Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung, merupakan suatu tanda atau keluhan bukan penyakit.

B. ETIOLOGIPerdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum atau kelainan sistemik. Secara Umum penyebab epistaksis dibagi dua yaitu:1) Lokal a) Trauma Epistaksis yang berhubungan dengan truma biasanya mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti terpukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis. b) Infeksi Infeksi hidung dan sinus paranasal, rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik, seperti lupus, sifilis dan lepra dapat menyebabkan epistaksis. c) Neoplasma Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemongioma, karsinoma, serta angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat.

d) Kelainan kongenital Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). e) Sebab-sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi atau abnormalitas septum dapat menjadi predisposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. f) Pengaruh lingkungan Misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering.

2) Sistemik a) Kelainan darah Misalnya trombositopenia, hemofilia dan leukemia. b) Penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis, sifilis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.c) Infeksi sistemik akutDemam berdarah, demam typhoid, influenza, morbili.. d)Gangguan hormonalPada wanita hamil, menarche dan menopause sering terjadi epistaksis, kadang-kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.C. PATOFISIOLOGISecara anatomi, perdarahan hidung berasal dari arteri karotis interna yang mempercabangkan arteri etmoidalis anterior dan posterior, keduanya menyuplai bagian superior hidung. Suplai vaskular hidung lainnya berasal dari arteri karotis eksterna dan cabang-cabang utamanya. Arteri sfenopalatina membawa darah untuk separuh bawah dinding hidung lateral dan bagian posterior septum. Semua pembuluh darah hidung ini saling berhubungan melalui beberapa anastomosis. Suatu pleksus vaskular di sepanjang bagian anterior septum kartilaginosa menggabungkan sebagian anastomosis ini dan dikenal sebagai little area atau pleksus Kiesselbach. Karena ciri vaskularnya dan kenyataan bahwa daerah ini merupakan objek trauma fisik dan lingkungan berulang maka merupakan lokasi epistaksis yang tersering.

Semua pendarahan hidung disebabkan lepasnya lapisan mukosa hidung yang mengandung banyak pembuluh darah kecil. Lepasnya mukosa akan disertai luka pada pembuluh darah yang mengakibatkan pendarahan.

D. ANAMNESA DAN PEMERIKSAAN FISIKPada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta kebiasaan merokok dan minum-minuman keras. Pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adre-nalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10-15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa:a) Rinoskopi anterior Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat. b) Rinoskopi posterior Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung

E. PENANGANAN EPISTAKSISTujuan pengobatan epistaksis adalah: Menghentikan perdarahan. Mencegah komplikasi Mencegah berulangnya epistaksis

Hal-hal yang penting adalah : 1. Riwayat perdarahan sebelumnya. 2. Lokasi perdarahan. 3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak. 4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya 5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 6. Hipertensi 7. Diabetes melitus 8. Penyakit hati 9. Gangguan koagulasi 10. Trauma hidung yang belum lama 11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon

Pengobatan disesuaikan dengan keadaan penderita, apakah dalam keadaan akut atau tidak. 1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok. 2. Menghentikan perdarahan a. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit.b. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. c. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu. 3. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan lebar kurang cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari.

Kauterisasi sumber perdarahan

Tampon anterior

4. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior) Untuk memasang tampon Bellocq: Dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior, kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.

Tampon Bellocq5. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. Teknik sama dengan pemasangan tampon Bellocq. Balon intranasal untuk mengontrol epistaksis6.Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya. 7.Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.

F. KOMPLIKASIKomplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat dari epistaksis yang hebaT dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat menimbulkan iskemi cerebri, insufisiensi koroner dan infarkmiocard, hal-hal inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti ini maka penatalaksaan terhadap syok harus segera dilakukan.Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.

SINUSITIS

A. Definisi dan KlasifikasiSinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Sinusitis bisa terjadi pada salah satu dari keempat sinus yang ada (maksilaris, etmoidalis, frontalis atau sfenoidalis). Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Dari semua jenis sinusitis, yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksilaris dan sinusitis ethmoidalis. Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas :1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenza, Steptococcusviridans, Staphylococcus aureus, Branchamella catarhatis

B. EtiologiBerbagai faktor infeksius dan nonifeksius dapat memberikan kontribusi dalam terjadinya obstruksi akut ostia sinus atau gangguan pengeluaran cairan oleh silia, yang akhirnya menyebabkan sinusitis. Penyebab nonifeksius antara lain adalah rinitis alergika, barotrauma, atau iritan kimia. Penyakit seperti tumor nasal atau tumor sinus (squamous cell carcinoma), dan juga penyakit granulomatus (Wegeners granulomatosis atau rhinoskleroma) juga dapat menyebabkan obstruksi ostia sinus, sedangkan konsisi yang menyebabkan perubahan kandungan sekret mukus (fibrosis kistik) dapat menyebabkan sinusitis dengan mengganggu pengeluaran mukus. Di rumah sakit, penggunaan pipa nasotrakeal adalah faktor resiko mayor untuk infeksi nosokomial di unit perawatan intensif. Infeksi sinusitis akut dapat disebabkan berbagai organisme, termasuk virus, bakteri, dan jamur. Virus yang sering ditemukan adalah rhinovirus, virus parainfluenza, dan virus influenza. Bakteri yang sering menyebabkan sinusitis adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, dan moraxella catarralis. Bakteri anaerob juga terkadang ditemukan sebagai penyebab sinusitis maksilaris, terkait dengan infeksi pada gigi premolar. Sedangkan jamur juga ditemukan sebagai penyebab sinusitis pada pasien dengan gangguan sistem imun, yang menunjukkan infeksi invasif yang mengancam jiwa. Jamur yang menyebabkan infeksi antara lain adalah dari spesies Rhizopus, rhizomucor,Mucor, Absidia, Cunninghamella, Aspergillus, dan Fusarium.

C. PatofisiologiSinus paranasal ditemukan normal steril dalam keadaan fisiologis. Sekresi yang dihasilkan oleh sinus dialirkan melalui silia melalui ostia dan keluar melalui rongga hidung.1 Mukus yang dihasilkan juga mengandung substansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi untuk mekanisme pertahanan tubuh. Pada orang normal, laju sekresi selalu menuju ke ostia yang mencegah adanya kontaminasi pada ruang sinus. Ostium sinus maksilaris hanya berdiameter 2,5mm, apabila ada edema mukosa sebesar 1-3mm, akan menyebabkan kongesti (dapat disebabkan oleh alergi, virus iritasi bahan kimia) dan obstruksi dari sekresi sinus. Keadaan ini menimbulkan tekanan negatif di dalam sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi serosa.Mukus yang terhambat ini, apabila terinfeksi akan menyebabkan sinusitis. Ada hipotesa mekanis yang mengatakan bahwa karena rongga sinus ini berhubungan dengan rongga hidung, maka koloni bakteri dari nasofaring dapat menginfeksi rongga sinus.

Patofisiologi sinusitis

D. Gejala KlinisPada sinusitis akut, penting untuk membandingkan antara rinitis alergi, rinitis vasomotor, dan infeksi saluran napas atas sebelum menyimpulkan diagnosa. Tidak ada gejala atau tanda spesifik pada rhinosinositis akut, sehingga pengobatannya pun merujuk pada pengobatan simptomatik. Gejala klinisnya adalah sebagai berikut : Nyeri pada pipi dan menyebar ke bagian frontal atau gigi, nyeri bertambah saat menunduk atau mengejan (sinusitis maksila) Pipi, hidung, atau kelopak mata kemerahan. Perabaan pada sinus frontal dirasakan kenyal, persis diatas canthus bagian dalam. (sinusitis frontal) Nyeri di verteks, temple, atau occiput (sinusitis sfenoid), belakang bola mata (sinusitis etmoid). Post-nasal drip Hidung tersumbat Batuk persisten dan iritasi faring Nyeri tekan wajah Gangguan penciuman. Durasi dari gejala-gejala ini harus diperhatikan. Suspek sinusitis akut pada semua pasien dengan infeksi saluran napas atas yang tidak sembuh lebih dari 7-10 hari, umumnya infeksinya cukup parah dan disertai demam tinggi, lendir purulent, atau edema periorbital (sinusitis etmoid). Sinusitis bakterialis akut ditegakan apabila mempunyai gejala yaitu biasanya didahului oleh infeksi saluran napas atas yang tidak sembuh >10 hari tetapi < 30 hari , awal muncul sudah dengan gejala yang berat dan terus memburuk meskipun sudah mendapat terapi inisial.Gejala pada sinusitis bakterial akut : Nyeri tekan wajah Hyposmia/anosmia Kongesti hidung Nasal discharge Demam, batuk, lemah Nyeri gigi di rahang atas Telinga terasa penuh/tertekan.Gejala pada sinusitis akut seperti demam dan nyeri wajah biasanya tidak ditemukan pada sinusitis kronis. Demam jika muncul, biasanya ringan. Gejala sinusitis kronik : Hidung terasa penuh Nasal discharge ( tebal/tipis, bening sampai purulent) Postbasal drip Wajah terasa penuh, tidak nyaman, sakit kepala Batuk kering kronis Hyposmia Nyeri tenggorokan Mudah lelah, nyeri otot, anoreksia Bersin Gangguan penglihatan Gangguan pengecap.

E. DiagnosisPada Inspeksi yang diperhatikan adalah ada tidaknya pembengkakan pada muka, pipi sampai kelopak mata atas/bawah yang berwarna kemerahan. Pada palpasi dapat sinus paranasal ditemukan nyeri tekan dan tenderness.Rhinoskopi anterior dengan atau tanpa dekongestan. Untuk menilai status dari mukosa hidung dan ada tidaknya,warna cairan yang keluar. Kelainan anatomis juga dapat dinilai dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan transiluminasi pada sinus maksila dan frontal dapat menunjukkan adanya gambaran gelap total, apabila hanya sebagian dinyatakan tidak spesifik.Pemeriksaan endoskopi dapat melihat asal cairan (nasal discharge) yang keluar, biasa dari meatus media dan dapat menunjukkan informasi adanya obstuksi dari kompleks ostiomeatal. Endoskopi ini juga dapat digunakan untuk mengambil sampel untuk kultur.1 Pemeriksaan rongga mulut dan orofaring untuk melihat kondisi dari gigi, dan ada tidaknya post nasal drip, eritema, sekresi purulent.Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis sinusitis antara lain :1. Pemeriksaan IgE total serumSecara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rinitis alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (0-1 KU/L) sampai pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60% penderita rinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta multipel mielom. Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan diagnostik2. Transiluminasi Transiluminasi menggunakan angka sebagai parameternya. Transiluminasi akan menunjukkan angka 0 atau 1 apabila terjadi sinusitis (sinus penuh dengan cairan).3. Rontgen sinus paranasalisA. Foto polosPemeriksaan foto polos adalah pemeriksaan paling baik dan paling utama untuk mengevaluasi sinus paranasal. Pemeriksaan foto kepala untuk mengevaluasi sinus paranasalis terdiri atas berbagai macam posisi, namun yang paling sering dipakai adalah foto kepala posisi waters.Posisi standar yang biasanya digunakan dalam pemeriksaan radiologi dengan tujuan mengevaluasi sinus paranasalis antara lain sebagai berikut :1) Foto kepala posisi Occipito-Mental atau posisi WatersFoto waters dilakukan dengan posisi dimana kepala menghadap film, garis orbitomeatus membentuk sudut 45o dengan film. Arah sinar cahaya horizontal dengan sentrasi pada tulang occipital, 3 cmn diatas tonjolan occipital eksterna. Pada foto waters, secara ideal piramid tulang petrosum diproyeksikan pada dasar sinus maksilaris, sehingga kedua sinus maksilaris dapat dievaluasi seluruhnya. Apabila foto dilakukan pada keadaan mulut terbuka, akan dapat menilai dinding posterior sinus sfenoid dan nasofaring dengan baik.

Gambar. Posisi Waters

2) Foto kepala posisi Occipito-frontal atau posisi CaldwellFoto ini dilakukan dengan kepala menghadap ke film dimana garis orbitomeatal tegak lurus dengan film. Arah datangnya sinar horizontal dengan sentrasi pada nasion. Posisi ini sangat baik untuk menilai sinus frontal dan sinus ethmoid.(1)

Gambar. Posisi Caldwell

3) Foto kepala posisi lateralFoto ini dilakukan dengan posisi kepala terletak sebelah lateral atau dalam hal ini bidang sagital kepala terletak paralel dengan film dengan sentrasi pada daerah kantus mata, sehingga dinding posterior dan dasar sinus maksila berhimpit satu sama lain. Posisi ini sangat baik dalam menilai sinus sphenoid dan frontal serta ruang nasofaring.

Gambar. Posisi lateralAdapun gambaran radiologi sinusitis yang dapat dinilai dari ketiga posisi foto polos di atas antara lain :a. Penebalan mukosab. Air fluid level (kadang-kadang)c. Perselubungan homogen atau tidak homogend. Penebalan dinding sinus dengan sklerotik (pada kasus-kasus kronik)4) Foto Kepala Posisi SubmentoverteksPosisi ini diambil dengan meletakkan film pada vertex, kepala pasien menengadah sehingga garis infraorbitomeatal sejajar dengan film. Sentrasi tegak lurus film dalam bidang midsagital melalui sella tursika kearah verteks. Posisi ini biasa untuk melihat sinus frontalis dan dinding posterior sinus maksilaris.5) Foto Kepala Posisi RhesePosisi rhese atau oblique dapat mengevaluasi bagian posterior sinus ethmoidalis, kanalis optikus, dan lantai dasar orbita sisi lain.6) Foto Kepala Posisi TownePosisi ini diambil dengan berbagai variasi sudut angulasi antara 30o-60o ke arah garis orbitomeatal. Sentrasi dari depan kira-kira 8 cm diatas glabela dari foto polos kepala dalam bidang midsagital. Proyeksi ini paling baik untuk menganalisis dinding posterior sinus maksilaris, fisura orbitalis inferior, kondilus mandibularis dan arkus zigomatikus posterior.Pada sinusitis, mula-mula tampak penebalan dinding sinus, dan yang paling sering adalah sinus maksilaris, tetapi pada sinusitis kronik tampak juga gambaran penebalan dinding sinus yang disebabkan karena timbulnya fibrosis dan jaringan parut yang menebal.

Gambar. (1) Foto kepala sinusitis maksillaris posisi waters , 2) Tampak adanya perselubungan disertai gambaran air fluid level pada daerah sinus maksillaris kanan

B. CT-ScanPemeriksaan CT Scan sekarang merupakan gold standard pemeriksaan yang sangat unggul untuk mempelajari sinus paranasal, karena dapat menganalisis dengan baik masing-masing sinus, tulang-tulang secara rinci dan bentuk-bentuk jaringan lunak. Potongan aksial merupakan standar pemeriksaan paling baik yang dilakukan untuk mengevaluasi sinus paranasalis.CT Scan merupakan pemeriksaan yang sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan foto polos kepala, khususnya pada sinus sphenoidalis dan ethmoidalis. Kira-kira 50 % pada kasus sinusitis sphenoidalis pada foto polos tidak tampak kelainan atau normal, tetapi apabila diperiksa dengan CT Scan tampak kelainan pada mukosa sinus berupa penebalan mukosa.C. Sinoscopy Sinoscopy merupakan satu satunya cara yang memberikan informasi akurat tentang perubahan mukosa sinus, jumlah sekret yang ada di dalam sinus, dan letak dan keadaan dari ostium sinus. Yang menjadi masalah adalah pemeriksaan sinoscopy memberikan suatu keadaan yang tidak menyenangkan buat pasien.D. Pemeriksaan mikrobiologiBiakan yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofaring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan yang berasal dari hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan menagspirasi pus dari inus yang terkena. Seringkali diberikan suatu antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme yang lebih umum untuk penyakit ini.Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri. Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya penyebab sinusitisnya. Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus maksila mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp 8 kasus (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%) dari 40 sampel penelitian pada tahun 2007. Pada penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada satu sediaan.F. PenatalaksanaanKebanyakan kasus ini dapat ditangani dengan obat-obatan saja. Tetapi pada keadaan dimana obat-obatan tidak efektif lagi, terapi pembedahan mungkin diperlukan khususnya pada sinusitis maksilaris kronik.

1. Terapi KonservatifSinusitis akut umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti amoksisilin, ampisilin, atau eritromisin ditambah sulfonamide, dengan alternatif lain berupa amoksisilin/kluvalamat, sefaklor, sefuroksim, dan trimetoprim plus sulfonamide. Dekongestan seperti pseudoefedrin juga bermanfaat, dan tetes hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin dapat digunakan selama beberapa hari pertama infeksi namun kemudian harus dihentikan. Kompres air hangat pada wajah, dan analgetika seperti aspirin, dan asetaminofen berguna untuk meringankan gejala.Pasien biasanya menunjukkan tanda-tanda perbaikan dalam waktu dua hari, dan proses penyakit biasanya menyembuh dalam 10 hari. Kegagalan penyembuhan dengan suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organisme tidak peka lagi terhadap antibiotik atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokasi infeksi. Pada kasus demikian ostium sinus sedemikian edematous sehingga drainase sinus terhambat dan terbentuk suatu abses sejati. Bila demikian, terdapat suatu indikasi irigasi antrum segera. 2. Terapi Pembedahan1) Pembedahan RadikalBila pengobatan konservatif gagal, dilakukan terapi radikal, yaitu mengangkat mukosa yang patologik dan membuat drainase dari sinus yang terkena.2) Pembedahan Non RadikalAkhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskop Fungsional (BSEF). Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks ostiomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami. Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal. G. Komplikasi Sinusitis merupakan suatu penyakit yang tatalaksananya berupa rawat jalan. Pengobatan rawat inap di rumah sakit merupakan hal yang jarang kecuali jika ada komplikasi dari sinusitis itu sendiri. Walaupun tidak diketahui secara pasti, insiden dari komplikasi sinusitis diperkirakan sangat rendah. Salah satu studi menemukan bahwa insiden komplikasi yang ditemukan adalah 3%. Sebagai tambahan, studi lain menemukan bahwa hanya beberapa pasien yang mengalami komplikasi dari sinusitis setiap tahunnya. Komplikasi dari sinusitis ini disebabkan oleh penyebaran bakteri yang berasal dari sinus ke struktur di sekitarnya. Penyebaraan yang tersering adalah penyebaran secara langsung terhadap area yang mengalami kontaminasi.Komplikasi dari sinusitis tersebut antara lain :1. Komplikasi lokala) Mukokelb) Osteomielitis (Potts puffy tumor)2. Komplikasi orbitala) Inflamatori edemab) Abses orbitalc) Abses subperiosteald) Trombosis sinus cavernosus.3. Komplikasi intrakraniala) Meningitisb) Abses Subperiosteal

CA. NASOFARING

A. DEFINISICarcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis. Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring).

B. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGIAngka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif lebih banyak dari suku bangsa lainya.Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda. Pada daerah dengan insiden rendah insiden KNF meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun setelahnya.

C. ETIOLOGIDijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa menimbulkan manifestasi penyakit.Ada peneliti yang mencoba menghubungkannya dengan merokok, secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan perokok. Ditemukan juga bahwa menurunnya angka kematian KNF di Amerika utara dan Hongkong merupakan hasil dari mengurangi frekuensi merokok. Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier dari pasien KNF dengan keganasan pada organ tubuh lain. Suatu contoh terkenal di Cina selatan, satu keluarga dengan 49 anggota dari dua generasi didapatkan 9 pasien KNF dan 1 menderita tumor ganas payudara. Secara umum didapatkan 10% dari pasien karsinoma nasofaring menderita keganasan organ lain.Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid, debu kayu serta asap kayu bakar. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal medicine = CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB. Beberapa tanaman dan bahan CHB dapat menginduksi aktivasi dari virus EBV yang laten. Seperti pada TPA (Tetradecanoylyphorbol Acetate) yaitu substansi yang ada di alam dan tumbuhan jika dikombinasi dengan N-Butyrate yang merupkan produk dari bakteri anaerob yang ditemukan di nasofaring dapat menginduksi sintesis antigen EBV di tikus, meningkatnya transformasi cell-mediated immunity dari EBV dan mempromosikan pembentukan KNF (genesis).

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu : 1. Bentuk ulseratifBentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa dengan diferensiasi baik.2. Bentuk noduler/lubuler/proliferatifBentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid jarang dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.3. Bentuk eksofitikBentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan permukaannya licin. Tumor jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring. Tumor ini dapat mendorong palatum molle ke bawah dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa limfasarkoma.

D. VIRUS EBSTEIN BARRVirus Epstein-Barr, juga disebut Virus herpes human 4 adalah virus dari famili herpes (yang juga terdapat virus herpes simplex dan Sitomegalovirus), dan merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia. Banyak orang terinfeksi dengan Virus Epstein-Barr yang sering asimtomatik tetapi umumnya menyebabkan mononukleosis. Virus Epstein-Barr berasal dari nama Michael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama dengan Bert Achong, menemukan virus ini tahun 1964.

Sel leukemia berisi virus Epstein Barr (berwarna hijau).

E. PATOLOGIVirus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T, mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan KNF, yaitu :1) Virus Epstein-BarrVirus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus Epstein-Barr dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus Epstein-Barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus Epstein- Barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambat respon imun lokal.

2) GenetikWalaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen.

3) Faktor lingkunganSejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di Asia dan Amerika Utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yang terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

F. GEJALA DAN TANDAGEJALA STADIUM DINI a. Nasal sign : Pilek lama yang tidak sembuh. Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah jambu. Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.b. Ear sign : Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa Rosenmulleri. Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus. Gangguan pendengaran hantaran Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).

GEJALA STADIUM LANJUTa. Eye sign : Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan.b. Tumor sign : Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.c. Cranial sign Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada penderita. Gejala ini berupa : Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang. Kesukaran pada waktu menelan Afoni akibat paralisis dari pita suara Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N. IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada: Lidah Palatum Faring atau laring M. sternocleidomastoideus M. trapezeus

G. DIAGNOSISJika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium tumor:1. Anamnesis/pemeriksaan fisikAnamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF).2. Pemeriksaan nasofaringDengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop.3. Biopsi nasofaringDiagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas.Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.4. Pemeriksaan Patologi AnatomiKlasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu: Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup jelas. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.5. Pemeriksaan RadiologiPemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah: Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah nasofaring Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.a. Foto polosAda beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu: Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique) Posisi Basis Kranii atau Submentoverteksb. CT ScanPada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bila kecil mungkin tidak akan terdeteksi. Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan CT Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahan-perubahan pada tulang, dengan kriteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai apakah sudah ada perluasan tumor ke jaringan sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intrakranial.6. Pemeriksaan Neuro-OftalmologiKarena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.7. Pemeriksaan SerologiPemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis pengobatan, titer yang didapat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak 160.

H. DIAGNOSIS BANDINGa. Hiperplasia adenoidBiasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-anak hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringna lunak pada atap nasofaring umunya berbatas tegas dan umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda-tanda infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.b. Angiofibroma juvenilisBaisanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak infiltratf. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperrti pada penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebagai antral sign. Karena tumor ini kaya akan vaskular maka arteriografi carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan angiofibroma juvenilis dengan polip hidung pada foto polos.c. Tumor sinus sphenooidalisTumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan pertama.d. NeurofibromaKelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga menyerupai keganasan di dinding lateral nasofaring. Secara CT Scan, pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu membedakan kelompok tumor ini dengan KNF.e. Tumor kelenjar parotisTumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring. pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan CT Scan.

f. ChordomaWalaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering bermetastasis ke kelenjar getah bening.g. Menigioma basis kraniiWalaupun tumor ini agak jarang tetapi gambaranya kadang-kadang meyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii. Ganbaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan arteriografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini.

I. STADIUMPenentuan stadium yang terbaru berdasarkan atas kesepakatan antara UICC (Union Internationale Contre Cancer) pada tahun 1992 adalah sebagai berikut :T = Tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.T0 : Tidak tampak tumorT1 : Tumor terbatas pada 1 lokasi di nasofaringT2 : Tumor meluas lebih dari 1 lokasi, tetapi masih di dalam rongga nasofaringT3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan/atau orofaringT4 : Tumor meluas ke tengkorak dan/sudah mengenai saraf otak

N = Nodul, menggambarkan keadaan kelenjar limfe regionalN0 : Tidak ada pembesaran kelenjarN1 : Terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkanN2 : Terdapat pembesaran kelenjar kontralateral/bilateral yang masih dapat digerakkanN3 :Terdapat pembesaran kelenjar baik homolateral, kontralateral atau bilateral, yang sudah melekat pada jaringan sekitar.

M = Metastase, menggambarkan metastase jauhM0 : Tidak ada metastase jauhM1 : Terdapat metastase jauh

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :Stadium I: T1 N0 M0Stadium II: T2 N0 M0Stadium III: T3 N0 M0 T1,T2,T3 N1 M0Stadium IV: T4 N0,N1 M0 Tiap T N2,N3 M0 Tiap T Tiap N M12

J. PENATALAKSANAANa. RadioterapiSampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.Radiasi ini ditujukan pada kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT (Intersified Modulated Radiotion Therapy) telah digunakan dibeberapa negara maju. Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis 4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah didaerah leher tengah.Dosis radiasiDosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 7000 rad, dalam waktu 6 7 minggu dengan periode istirahat 2 3 minggu (split dose). Alat yang biasanya dipakai ialah cobalt 60, megavoltage, orthovoltage

Respon radiasiSetelah diberikan radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi berdasarkan kriteria WHO :- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang besar.- Partial Response : pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau lebih.- No Change : ukuran kelenjar getah bening yang menetap.- Progressive Disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau lebih.

b. KemoterapiKemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan kambuh.Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :1. kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif.1. kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara makroskopis.1. pada tumor dengan derajat keganasan tinggi (oleh karena tingginya resiko kekambuhan dan metastasis jauh).

Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada tumor ganas kepala leher dibagi menjadi : neoadjuvant atau induction chemotherapy (yaitu pemberian kemoterapi mendahului pembedahan dan radiasi) concurrent, simultaneous atau concomitant chemoradiotherapy (diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi) post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan dan atau radiasi )Manfaat Kemoradioterapi adalah Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser). c. OperasiTindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.d. ImunoterapiDengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.

K. PROGNOSISSecara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh beberapa faktor, seperti : Stadium yang lebih lanjut. Usia lebih dari 40 tahun Laki-laki dari pada perempuan Ras Cina dari pada ras kulit putih Adanya pembesaran kelenjar leher Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak Adanya metastasis jauh

TINNITUSA. DEFINISITinnitus adalah salah satu bentuk gangguan pendengaran berupa sensasi suara tanpa adanya rangsangan dari luar, dapat berupa sinyal mekanoakustik maupun listrik. Keluhan suara yang di dengar sangat bervariasi, dapat berupa bunyi mendenging, menderu, mendesis, mengaum, atau berbagai macam bunyi lainnya. Suara yang didengar dapat bersifat stabil atau berpulsasi. Keluhan tinnitus dapat dirasakan unilateral dan bilateral. Serangan tinnitus dapat bersifat periodik ataupun menetap. Kita sebut periodik jika serangan yang datang hilang timbul. Episode periodik lebih berbahaya dan mengganggu dibandingkan dengan yang bersifat menetap. Hal ini disebabkan karena otak tidak terbiasa atau tidak dapat mensupresi bising ini. Tinnitus pada beberapa orang dapat sangat mengganggu kegiatan sehari-harinya. Terkadang dapat menyebabkan timbulnya keinginan untuk bunuh diri.Tinnitus dapat dibagi atas tinnitus objektif dan tinnitus subjektif. Dikatakan tinnitus objektif jika suaranya juga dapat di dengar oleh pemeriksa dan dikatakan tinnitus subjektif jika tinnitus hanya dapat didengar oleh penderita.

B. ETIOLOGITinnitus paling banyak disebabkan karena adanya kerusakan dari telinga dalam. Terutama kerusakan dari koklea. Secara garis besar, penyebab tinnitus dapat berupa kelainan yang bersifat somatik, kerusakan N. Vestibulokoklearis, kelainan vaskular, tinnitus karena obat-obatan, dan tinnitus yang disebabkan oleh hal lainnya.Tinnitus karena kelainan somatik daerah leher dan rahang1. Trauma kepala dan LeherPasien dengan cedera yang keras pada kepala atau leher mungkin akan mengalami tinnitus yang sangat mengganggu. Tinnitus karena cedera leher adalah tinnitus somatik yang paling umum terjadi. Trauma itu dapat berupa fraktur tengkorak, Whisplash injury.2. Artritis pada sendi temporomandibular (TMJ)Berdasarkan hasil penelitian, 25% dari penderita tinnitus di Amerika berasal dari artritis sendi temporomandibular. Biasanya orang dengan artritis TMJ akan mengalami tinnitus yang berat. Hampir semua pasien artritis TMJ mengakui bunyi yang di dengar adalah bunyi menciut. Tidak diketahui secara pasti hubungan antara artritis TMJ dengan terjadinya tinnitus.

Tinnitus akibat kerusakan n. Vestibulokoklearis (VIII)Tinnitus juga dapat muncul dari kerusakan yang terjadi di saraf yang menghubungkan antara telinga dalam dan kortex serebri bagian pusat pendengaran. Terdapat beberapa kondisi yang dapat menyebabkan kerusakan dari n. Vestibulokoklearis, diantaranya infeksi virus pada n.VIII, tumor yang mengenai n.VIII, dan Microvascular compression syndrome (MCV). MCV dikenal juga dengan vestibular paroxysmal. MCV menyebabkan kerusakan n.VIII karena adanya kompresi dari pembuluh darah. Tapi hal ini sangat jarang terjadi.5,6

Tinnitus karena kelainan vaskularTinnitus yang di dengar biasanya bersifat tinnitus yang pulsatil. Akan didengar bunyi yang simetris dengan denyut nadi dan detak jantung. Kelainan vaskular yang dapat menyebabkan tinnitus diantaranya :1) AtherosklerosisDengan bertambahnya usia, penumpukan kolesterol dan bentuk-bentuk deposit lemak lainnya, pembuluh darah mayor ke telinga tengah kehilangan sebagian elastisitasnya. Hal ini mengakibatkan aliran darah menjadi semakin sulit dan kadang-kadang mengalami turbulensi sehingga memudahkan telinga untuk mendeteksi iramanya.

2) HipertensiTekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan gangguan vaskular pada pembuluh darah koklea terminal.3) Malformasi kapilerSebuah kondisi yang disebut AV malformation yang terjadi antara koneksi arteri dan vena dapat menimbulkan tinnitus.4) Tumor pembuluh darahTumor pembuluh darah yang berada di daerah leher dan kepala juga dapat menyebabkan tinnitus. Misalnya adalah tumor karotis dan tumor glomus jugulare dengan ciri khasnya yaitu tinnitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa adanya gangguan pendengaran. Ini merupakan gejala yang penting pada tumor glomus jugulare.

Tinnitus karena kelainan metabolikKelainan metabolik juga dapat menyebabkan tinnitus. Seperti keadaan hipertiroid dan anemia (keadaan di mana viskositas darah sangat rendah) dapat meningkatkan aliran darah dan terjadi turbulensi. Sehingga memudahkan telinga untuk mendeteksi irama, atau yang kita kenal dengan tinnitus pulsatil.Kelainan metabolik lainnya yang bisa menyebabkan tinnitus adalah defisiensi vitamin B12, begitu juga dengan kehamilan dan keadaan hiperlipidemia.

Tinnitus akibat kelainan neurologisYang paling umum terjadi adalah akibat multiple sclerosis. Multiple sclerosis adalah proses inflamasi kronik dan demyelinisasi yang mempengaruhi sistem saraf pusat. Multiple sclerosis dapat menimbulkan berbagai macam gejala, di antaranya kelemahan otot, indra penglihatan yang terganggu, perubahan pada sensasi, kesulitan koordinasi dan bicara, depresi, gangguan kognitif, gangguan keseimbangan dan nyeri, dan pada telinga akan timbul gejala tinnitus.

Tinnitus akibat kelainan psikogenikKeadaan gangguan psikogenik dapat menimbulkan tinnitus yang bersifat sementara. Tinnitus akan hilang bila kelainan psikogeniknya hilang. Depresi, anxietas dan stress adalah keadaan psikogenik yang memungkinkan tinnitus untuk muncul.

Tinnitus akibat obat-obatanObat-obatan yang dapat menyebabkan tinnitus umumnya adalah obat-obatan yang bersifat ototoksik. Diantaranya : Analgetik : aspirin dan AINS lainnya Antibiotik : golongan aminoglikosid (mycin), kloramfenikol, tetrasiklin, minosiklin Obat-obatan kemoterapi : Belomisin, Cisplatin, Mechlorethamine, Methotrexate, Vinkristin Diuretik : Bumatenide, Ethacrynic acid, Furosemide lain-lain : kloroquin, quinine, merkuri, timah

Tinnitus akibat gangguan mekanikGangguan mekanik juga dapat menyebabkan tinnitus objektif, misalnya pada tuba eustachius yang terbuka sehingga ketika kita bernafas akan menggerakkan membran timpani dan menjadi tinnitus. Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius serta otot-otot palatum juga akan menimbulkan tinnitus.

Tinnitus akibat gangguan konduksi Gangguan konduksi suara seperti infeksi telinga luar (sekret dan oedem), serumen impaksi, efusi telinga tengah dan otosklerosis juga dapat menyebabkan tinnitus. Biasanya suara tinnitusnya bersifat suara dengan nada rendah.Tinnitus akibat sebab lainnyaI. Tuli akibat bisingDisebabkan terpajan oleh bising yang cukup keras dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Biasanya diakibatkan oleh bising lingkungan kerja. Umumnya terjadi pada kedua telinga. Terutama bila intensitas bising melebihi 85db, dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran korti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000Hz sampai dengan 6000Hz. Yang terberat kerusakan alat korti untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 4000Hz.II. PresbikusisTuli saraf sensorineural tinggi, umumnya terjadi mulai usia 65 tahun, simetris kanan dan kiri, presbikusis dapat mulai pada frekuensi 1000Hz atau lebih. Umumnya merupakan akibat dari proses degenerasi. Diduga berhubungan dengan faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, aterosklerosis, infeksi, bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran berangsur dan kumulatif. Progresivitas penurunan pendengaran lebih cepat pada laki-laki dibanding perempuan.III. Sindrom MenierePenyakit ini gejalanya terdiri dari tinnitus, vertigo dan tuli sensorineural. Etiologi dari penyakit ini adalah karena adanya hidrops endolimf, yaitu penambahan volume endolimfa, karena gangguan biokimia cairan endolimfa dan gangguan klinik pada membran labirin.

C. KLASIFIKASITinnitus terjadi akibat adanya kerusakan ataupun perubahan pada telinga luar, telinga tengah, telinga dalam ataupun dari luar telinga. Berdasarkan letak dari sumber masalah, tinnitus dapat dibagi menjadi tinnitus otik dan tinnitus somatik. Jika kelainan terjadi pada telinga atau saraf auditoris disebut tinnitus otik, sedangkan tinnitus somatik jika kelainan terjadi di luar telinga dan saraf tetapi masih di dalam area kepala atau leher.Berdasarkan objek yang mendengar, tinnitus dapat dibagi menjadi tinnitus objektif dan tinnitus subjektif. Tinitus ObjektifTinnitus objektif adalah tinnitus yang suaranya juga dapat di dengar oleh pemeriksa dengan auskultasi di sekitar telinga. Tinnitus objektif biasanya bersifat vibratorik, berasal dari transmisi vibrasi sistem muskuler atau kardiovaskuler di sekitar telinga.Umumnya tinnitus objektif disebabkan karena kelainan vaskular, sehingga tinnitusnya berdenyut mengikuti denyut jantung. Tinnitus berdenyut ini dapat dijumpai pada pasien dengan malformasi arteriovena, tumor glomus jugular dan aneurisma. Tinnitus objektif juga dapat dijumpai sebagai suara klik yang berhubungan dengan penyakit sendi temporomandibular dan karena kontraksi spontan dari otot telinga tengah atau mioklonus palatal. Tuba Eustachius paten juga dapat menyebabkan timbulnya tinnitus akibat hantaran suara dari nasofaring ke rongga tengah. Tinitus SubjektifTinnitus subjektif adalah tinnitus yang suaranya hanya dapat di dengar oleh penderita saja. Jenis ini sering sekali terjadi tinnitus subjektif bersifat nonvibratorik, disebabkan oleh proses iritatif dan perubahan degeneratif traktus auditoris mulai sel-sel rambut getar sampai pusat pendengaran.Tinnitus subjektif bervariasi dalam intensitas dan frekuensi kejadiannya. Beberapa pasien dapat mengeluh mengenai sensasi pendengaran dengan intensitas yang rendah, sementara pada orang yang lain intensitas suaranya mungkin lebih tinggi.Berdasarkan kualitas suara yang di dengar pasien ataupun pemeriksa, tinnitus dapat di bagi menjadi tinnitus pulsatil dan tinnitus nonpulsatil. Tinitus PulsatilTinnitus pulsatil adalah tinnitus yang suaranya bersamaan dengan suara denyut jantung. Tinnitus pulsatil jarang ditemukan dalam praktek sehari-hari. Tinnitus pulsatil dapat terjadi akibat adanya kelainan dari vaskular ataupun di luar vaskular. Kelainan vaskular digambarkan dengan sebagai bising mendesis yang sinkron dengan denyut nadi atau denyut jantung. Sedangkan tinnitus nonvaskular digambarkan sebagai bising klik, bising goresan atau suara pernapasan dalam telinga. Pada kedua tipe tinnitus ini dapat diketahui dengan mendengarkannya menggunakan stetoskop. Tinnitus NonpulsatilTinnitus jenis ini bersifat menetap dan tidak terputuskan. Suara yang dapat di dengar oleh pasien bervariasi, mulai dari suara yang berdering, berdenging, berdengung, berdesis, suara jangkrik, dan terkadang pasien mendengarkan bising bergemuruh di dalam telinganya.Biasanya tinnitus ini lebih di dengar pada ruangan yang sunyi dan biasanya paling menganggu di malam hari sewaktu pasien tidur, selama siang hari efek penutup kebisingan lingkungan dan aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan pasien tidak menyadari suara tersebut.

D. PATOFISIOLOGIPada tinnitus terjadi aktivitas elektrik pada area auditoris yang menimbulkan perasaan adanya bunyi, namun impuls yang ada bukan berasal dari bunyi eksternal yang ditransformasikan, melainkan berasal dari sumber impuls abnormal di dalam tubuh pasien sendiri. Impuls abnormal itu dapat ditimbulkan oleh berbagai kelainan telinga. Tinnitus dapat terjadi dalam berbagai intensitas. Tinnitus dengan nada rendah seperti bergemuruh atau nada tinggi seperti berdenging. Tinnitus dapat terus menerus atau hilang timbul. Tinnitus biasanya dihubungkan dengan tuli sensorineural dan dapat juga terjadi karena gangguan konduksi. Tinnitus yang disebabkan oleh gangguan konduksi, biasanya berupa bunyi dengan nada rendah. Jika disertai dengan inflamasi, bunyi dengung ini terasa berdenyut (tinnitus pulsatil). Tinnitus dengan nada rendah dan terdapat gangguan konduksi, biasanya terjadi pada sumbatan liang telinga karena serumen atau tumor, tuba katar, otitis media, otosklerosis dan lain-lainnya. Tinnitus dengan nada rendah yang berpulsasi tanpa gangguan pendengaran merupakan gejala dini yang penting pada tumor glomus jugulare. Tinnitus objektif sering ditimbulkan oleh gangguan vaskular. Bunyinya seirama dengan denyut nadi, misalnya pada aneurisma dan aterosklerosis. Gangguan mekanis dapat juga mengakibatkan tinnitus objektif, seperti tuba eustachius terbuka, sehingga ketika bernapas membran timpani bergerak dan terjadi tinnitus. Kejang klonus muskulus tensor timpani dan muskulus stapedius, serta otot-otot palatum dapat menimbulkan tinnitus objektif. Bila ada gangguan vaskular di telinga tengah, seperti tumor karotis (carotid body tumor), maka suara aliran darah akan mengakibatkan tinnitus juga. Pada intoksikasi obat seperti salisilat, kina, streptomisin, dehidro-streptomisin, garamisin, digitalis, kanamisin, dapat terjadi tinnitus nada tinggi, terus menerus atupun hilang timbul. Pada hipertensi endolimfatik, seperti penyakit meniere dapat terjadi tinnitus pada nada rendah atau tinggi, sehingga terdengar bergemuruh atau berdengung. Gangguan ini disertai dengan vertigo dan tuli sensorineural. Gangguan vaskular koklea terminal yang terjadi pada pasien yang stress akibat gangguan keseimbangan endokrin, seperti menjelang menstruasi, hipometabolisme atau saat hamil dapat juga timbul tinnitus dan gangguan tersebut akan hilang bila keadaannya sudah normal kembali.

E. DIAGNOSISUntuk mendiagnosis pasien dengan tinnitus, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang baik.AnamnesisAnamnesis adalah hal yang sangat membantu dalam penegakan diagnosis tinnitus. Dalam anamnesis banyak sekali hal yang perlu ditanyakan, diantaranya : Kualitas dan kuantitas tinnitus Lokasi, apakah terjadi di satu telinga ataupun di kedua telinga Sifat bunyi yang di dengar, apakah mendenging, mendengung, menderu, ataupun mendesis dan bunyi lainnya Apakah bunyi yang di dengar semakin mengganggu di siang atau malam hari Gejala-gejala lain yang menyertai seperti vertigo dan gangguan pendengaran serta gangguan neurologik lainnya Lama serangan tinnitus berlangsung, bila berlangsung hanya dalam satu menit dan setelah itu hilang, maka ini bukan suatu keadaan yang patologik, tetapi jika tinnitus berlangsung selama 5 menit, serangan ini bisa dianggap patologik Riwayat medikasi sebelumnya yang berhubungan dengan obat-obatan dengan sifat ototoksik Kebiasaan sehari-hari terutama merokok dan meminum kopi Riwayat cedera kepala, pajanan bising, trauma akustik Riwayat infeksi telinga dan operasi telingaUmur dan jenis kelamin juga dapat memberikan kejelasan dalam mendiagnosis pasien dengan tinnitus. Tinnitus karena kelainan vaskular sering terjadi pada wanita muda, sedangkan pasien dengan myoklonus palatal sering terjadi pada usia muda yang dihubungkan dengan kelainan neurologi.Pada tinnitus subjektif unilateral perlu dicurigai adanya kemungkinan neuroma akustik atau trauma kepala, sedangkan bilateral kemungkinan intoksikasi obat, presbikusis, trauma bising dan penyakit sistemik. Jika pasien susah untuk mendeskripsikan apakah tinnitus berasal dari telinga kanan atau telinga kiri, hanya mengatakan di tengah kepala, kemungkinan besar terjadi kelainan patologis di saraf pusat, misalnya serebrovaskuler, siringomelia dan sklerosis multipel.Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik pada pasien dengan tinnitus dimulai dari pemeriksaan auskultasi dengan menggunakan stetoskop pada kedua telinga pasien. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan apakah tinnitus yang didengar pasien bersifat subjektif atau objektif. Jika suara tinnitus juga dapat di dengar oleh pemeriksa, artinya bersifat subjektif, maka harus ditentukan sifat dari suara tersebut. Jika suara yang di dengar serasi dengan pernapasan, maka kemungkinan besar tinnitus terjadi karena tuba eustachius yang paten. Jika suara yang di dengar sesuai dengan denyut nadi dan detak jantung, maka kemungkinan besar tinnitus timbul karena aneurisma, tumor vaskular, vascular malformation, dan venous hum. Jika suara yang di dengar bersifat kontinu, maka kemungkinan tinnitus terjadi karena venous hum atau emisi akustik yang terganggu.Pada tinnitus subjektif, yang mana suara tinnitus tidak dapat di dengar oleh pemeriksa saat auskultasi, maka pemeriksa harus melakukan pemeriksaan audiometri. Hasilnya dapat beragam, diantaranya : Normal, tinnitus bersifat idiopatik atau tidak diketahui penyebabnya Tuli konduktif, tinnitus disebabkan karena serumen impak, otosklerosis ataupun otitis kronik Tuli sensorineural, pemeriksaan harus dilanjutkan dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometri). Hasil tes BERA, bisa normal ataupun abnormal. Jika normal, maka tinnitus mungkin disebabkan karena terpajan bising, intoksikasi obat ototoksik, labirinitis, meniere, fistula perilimfe atau presbikusis. Jika hasil tes BERA abnormal, maka tinitus disebabkan karena neuroma akustik, tumor atau kompresi vaskular.Pemeriksaan PenunjangJika tidak ada kesimpulan dari rentetan pemeriksaan fisik dan penunjang di atas, maka perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa CT scan ataupun MRI. Dengan pemeriksaan tersebut, pemeriksa dapat menilai ada tidaknya kelainan pada saraf pusat. Kelainannya dapat berupa multipel sklerosis, infark dan tumor.

F. PENATALAKSANAANPengobatan tinnitus merupakan masalah yang kompleks dan merupakan fenomena psikoakustik murni, sehingga tidak dapat di ukur. Perlu diketahui penyebab tinnitus agar dapat diobati sesuai dengan penyebabnya. Misalnya serumen impaksi cukup hanya dengan ekstraksi serumen. Tetapi masalah yang sering di hadapi pemeriksa adalah penyebab tinnitus yang terkadang sukar diketahui. Ada banyak pengobatan tinnitus objektif tetapi tidak ada pengobatan yang efektif untuk tinnitus subjektif. Pada umumnya pengobatan gejala tinnitus dapat dibagi dalam 4 cara yaitu :i. Elektrofisiologik yaitu dengan membuat stimulus elektro akustik dengan intensitas suara yang lebih keras dari tinnitusnya, dapat dengan alat bantu dengar atau tinnitus maskerii. Psikologik yaitu dengan memberikan konsultasi psikologik untuk meyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak membahayakan dan dengan mengajarkan relaksasi setiap hariiii. Terapi medikamentosa yaitu sampai saat ini belum ada kesepakatan yang jelas diantaranya untuk meningkatkan aliran darah koklea, tranquilizer, antidepresan, sedatif, neurotonik, vitamin, dan mineraliv. Tindakan bedah dilakukan pada tinnitus yang telah terbukti disebabkan oleh akustik neuroma.Pada keadaan yang berat, di mana tinnitus sangat keras terdengar dapat dilakukan Cochlear nerve section. Menurut literatur, dikatakan bahwa tindakan ini dapat menghilangkan keluhan pada pasien. Keberhasilan tindakan ini sekitar 50%. Cochlear nerve section merupakan tindakan yang paling terakhir yang dapat dilakukan.Pasien tinnitus sering sekali tidak diketahui penyebabnya, jika tidak tahu penyebabnya, pemberian antidepresan dan antiansietas sangat membantu mengurangi tinnitus. Obat-obatan yang biasa dipakai diantaranya Lorazepam atau Klonazepam yang di pakai dalam dosis rendah, obat ini merupakan obat golongan benzodiazepine yang biasanya digunakan sebagai pengobatan gangguan kecemasan. Obat lainnya adalah Amitriptyline atau Nortriptyline yang digunakan dalam dosis rendah juga, obat ini adalah golongan antidepresan trisiklik.Pasien yang menderita gangguan ini perlu diberikan penjelasan yang baik, sehingga rasa takut tidak memperberat keluhan tersebut. Obat penenang atau obat tidur dapat diberikan saat menjelang tidur pada pasien yang tidurnya sangat terganggu oleh tinnitus itu. Kepada pasien harus dijelaskan bahwa gangguan itu sukar diobati dan dianjurkan agar beradaptasi dengan gangguan tersebut. Terapi edukasi juga dapat kita berikan ke pasien. Diantaranya Hindari suara keras yang dapat memperberat tinnitus Kurangi makanan bergaram dan berlemak karena dapat meningkatkan tekanan darah yang merupakan salah satu penyebab tinnitus Hindari faktor-faktor yang dapat merangsang tinnitus seperti kafein dan nikotin Hindari obat-obatan yang bersifat ototoksik Tetap biasakan berolah raga, istarahat yang cukup dan hindari kelelahan.G. PENCEGAHANPencegahan tinnitus adalah dengan membatasi atau menghindari paparan terhadap suara yang keras. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melindungi diri sendiri dari bunyi yang berlebihan menurut American Tinnitus Association adalah : Lindungi pendengaran anda di tempat kerja. Gunakan sumbat-sumbat telinga atau alat-alat penutup telinga. Ketika berada di sekitar segala bunyi yang mengganggu telinga-telinga anda (concert, acara olahraga, berburu) pakailah pelindung pendengaran atau mengurangi tingkat-tingkat bunyi. Bahkan bunyi-bunyi setiap hari, seperti blow untuk mengeringkan rambut anda atau menggunakan pemotong rumput, dapat memerlukan perlindungan. Siapkan sumbat-sumbat telinga atau penutup-penutup telinga untuk aktivitas-aktivitas ini.H. PROGNOSISPrognosis dari tinnitus tergantung dari penyebabnya. Terkadang penyebab tinnitus tidak dapat diketahui. Meskipun demikian prognosis tinnitus secara umum baik. Tinnitus dapat menghilang secara perlahan dan dapat menghilang secara tiba-tiba.

OTHEMATOMAHematoma daun telinga biasanya sering terjadi pad anak anak disebabkan oleh trauma. Lokasinya di permukaan luar daun telinga. Terdapat kumpulan darah diantara perikondrium dan tulang kondrium. Kumpulan darah ini harus dikeluarkan secara steril guna mencegah terjadinya infeksi yang nantinya dapat menyebabkan terjadinya perikondritis. Perikondritis ini adalah radang pada tulang rawan yang menjadi kerangka daun telinga. Bila pengobatan dengan antibiotic gagal dapat timbul komplikasi berupa mengkerutnya daun telinga akibat hancurnya tulang rawan yang menjadi kerangka daun telinga (cauliflower ear).

Selvi Sulistia Ningsih/H1A010041/Stase THT periode 8 170