49
Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Tutorial Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman MORBUS HANSEN Presentasi oleh : Dorothy Karya Yogi Lubis Giena Tiara Werdhianti Siti Desy Astari

Tutorial morbus hansen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tutorial morbus hansen

Citation preview

Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Tutorial KlinikFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman

MORBUS HANSEN

Presentasi oleh :Dorothy Karya Yogi LubisGiena Tiara WerdhiantiSiti Desy Astari

Pembimbingdr. Agnes Kartini, Sp.KK

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan KlinikLab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan KelaminRSUD A.W SjahranieFakultas KedokteranUniversitas Mulawarman2012BAB IKASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di Poli Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada hari Senin tanggal 19 November 2012.1.1 Identitas Pasien Nama: M. Amirudin Umur: 20 tahun Pekerjaan: Mahasiswa Alamat: Jl. M. Yamin

1.2 Anamnesis Keluhan utama : Bercak putih di perut bagian depan dan belakang Riwayat penyakit sekarang: Bercak putih pertama kali muncul sekitar 8 tahun yang lalu. Awalnya bercak putih tersebut hanya muncul di perut sebelah kanan saja, namun kemudian menyebar kebagian belakang. Bercak yang muncul tersebut tidak gatal maupun nyeri. Tetapi pasien mengatakan bahwa dibagian munculnya bercak putih tersebut menjadi agak mati rasa. Pasien juga ada mengeluhkan kelemahan pada kaki sebelah kanannya. Riwayat penyakit dahulu : Pasien pernah mengalami operasi bedah otak pada tahun 2006 akibat kecelakaan. Riwayat penyakit keluarga : Saudara perempuan pasien ada yang mengalami keluhan serupa, meskipun tidak tinggal satu rumah dengan pasien namun pasien mengaku dulu sebelum kuliah sering kontak dengan saudaranya tersebut.

1.3 Pemeriksaan FisikStatus Generalisata Keadaan umum: Tampak sakit ringan Kesadaran: Composmentis Tanda vital: Tekanan darah: 120/70 mmHg Nadi: 88 x/menit Pernafasan: 22 x/menit Suhu: 36,6oC Kepala dan leher: anemis (-/-), ikterik (-/-), pembesaran KGB (-), facies leonina (-) Thorax Paru : Inspeksi: Pergerakan dada simetris, D=S Palpasi: Fremitus raba simetiris, D=S Perkusi: Sonor diseluruh lapang paru Auskultasi: Suara nafas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-) Jantung Inspeksi: Ictus cordis tidak terlihat Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS V MCL (S) Perkusi: Batas jantung kanan : ICS III PSL (D) Batas jantung kiri: ICS V MCL (S) Auskultasi: S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-) Abdomen Inspeksi: Flat, terlihat adanya bercak putih di regio abdomen sinistra Palpasi: Soefl, nyeri tekan (-) Perkusi: Timpani diseluruh lapang perut Auskultasi: Bising usus (+) normal Ekstremitas: akral hangat, edema (-), kelemahan pada tungkai kanan (+), atrofi otot (-), mutilasi (-)

Status Lokalis Dermatologis Lokalisasi : sebagian abdomen anterior dan posterior dextra

Eflorosensi: tampak plak hipopigmentasi ukuran 30 cm x 8 cm dan 10 cm x 6 cm, berbatas tegas dengan tepi meninggi.

1.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Saraf Tepi N. Aurikularis Magnus: pembesaran (-), nyeri (-) N. Fasialis: pembesaran (-), nyeri (-) N. Ulnaris: pembesaran (-), nyeri (-) N. Radialis: pembesaran (-), nyeri (-) N. Medianus: pembesaran (-), nyeri (-) N. Paroneus Lateralis: pembesaran (-), nyeri (-) N. Tibialis Posterior: pembesaran (-), nyeri (-) Tes Fungsi Saraf Tes sensoris: rasa raba dan nyeri menurun pada daerah lesi

1.5 Diagnosis Banding Morbus hansen tipe pausibasiler Pitiriasis versikolor Vitiligo Psoriasis

1.5 Diagnosis Kerja Morbus hansen tipe pausibasiler

1.6 Usulan Pemeriksaan Pewarnaan gram BTA (Ziehl-Neelsen) hasil negatif Pemeriksaan KOH Kultur Pemeriksaan lampu wood

1.7 Usulan Penatalaksanaan Medikamentosa Multi Drug Treatment (MDT) Selama 6-9 bulan: Hari 1 : Rifampicin 600 mg (2 cap x 300mg) Dapson/ DDS (Diamino diphenyl sulfore) 100 mg Hari 2-18 : Dapson 100 mg/ hari Non Medikamentosa Menjelaskan mengenai penyakit kusta meliputi pengobatan yang lama dan jangan sampai berhenti berobat sebelum pengobatan selesai, komplikasi serta reaksi yang dapat terjadi akibat pengobatan. Menyarankan agar pasien memberitahu serta mengajak saudara perempuannya untuk melanjutkan pengobatan MDT-nya yang sempat putus.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 PengertianPenyakit kusta (Penyakit Hansen) adalah infeksi granulomatuosa kronik pada manusia yang menyerang jaringan superfisial, terutama kulit dan saraf perifer. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.1Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Penyakit kusta pada umumnya sering dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara dalam pemberian pelayanan kesehatan yang baik dan memadai kepada masyarakat. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya.1,2

2.2 Epidemiologi1,3,42.2.1. Distribusi menurut geografiBerdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia merupakan negara dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175.

2.2.2 Distribusi menurut factor manusiaa) Etnik dan SukuKejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama: kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu

b)Faktor Sosial EkonomiSudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi

c) Distribusi Menurut UmurKebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, karena pada saat timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif

d)Distribusi Menurut Jenis KelaminKusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya.

2.2.3 faktor-faktor yang menentukan terjadinya penyakit kustaa)Sumber PenularanHanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus

b) Cara Keluar dari Pejamu (Host)Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10. Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan

c) Cara PenularanKuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain.

d)Cara Masuk ke PejamuTempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.

e)PejamuHanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kumanobligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah system kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe penyakit yang berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang dapat menjadi sakit.

2.3 Etiologi Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra. Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya.Bentuk bentuk kusta yang dapat dilihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah pecah (fragmented), bentuk granular (granulated), bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan seperti titik titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompokkelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA.1,2,4

2.4 PatogenesisMasuknya M. Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1. 1,2APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy.1,2,42.4.1 Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien KustaM.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus-menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional. 1,2,42.4.2 Patogenesis reaksi KustaReaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (Delayed Type Hipersensitivity Reaction). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan system imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid (peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi. Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples , imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel. 1,2,4

2.5 Gejala klinikKeluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, semutan, kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata dan testis. 1. Kelainan pada saraf tepi Kelainan yang terjadi dapat berupa penebalan yang nyeri tekan akibat proseskeradangan atau reaksi fibrosis. Terjadinya terutama pada saraf tepi yang dalam perjalanannya mendekati permukaan kulit antara lain.: N.Ulnaris Magnus, N. Perouneus Lateralis dan N. Medianus. 2. Kelainan pada kulit Kelainan yang terjadi dapat berupa bercak mati rasa atau makula anastetika, nodula, ulkus, ichtiosis, penebalan cuping telinga serta facies leonina. 3. Kelainan pada rambut Kerontokan rambut yang terjadi biasanya terbatas pada mukula atau pada alis mata (madarosis)4. Kelainan pada otot Kelainan dapat berupa disuse atrophy dari otot-otot yang dienervasi oleh saraf tepi yang rusak antara lain: atrofi tenar, hipotenar, M.interosei, M.lumbricalis. Kelumpuhan otot-otot diikuti kekakuan sendi sehingga terjadi claw hand, drop foot dan drop hand. 5. Kelainan pada tulang Dapat berupa osteomyelitis sehingga terjadi mutilasi. Dapat terjadi resorbsi pada tulang terutama pada jari-jari sehingga memendek dan ujungnya bengkok disebut sebagai telescopic finger. 6. Kelainan pada mata. Kelainan pada mata sering diakibatkan oleh kelumpuhan dari m. orbiculris oculi sehingga terjadi lagopthalmus atau mata tidak dapat dipejamkan sehingga mata menjadi kering dengan akibat terjadi keratitis yang dapat berlanjut menjadi ulkus kronea, iritis, iridosi klitis dan berakhir kebutaan. 7. Kelainan pada testis Dapat terjadi orkitis atau keradangan pada testis dan berakhir menjaadi atrofi. Atrofi testis ini yang mengakibatkan ginekomasti.Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling :1. Tipe Tuberkuloid (TT)Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.3. Tipe Mid Borderline (BB)Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang dijumpai. Lesi sangatbervariasi,dapatberbentukmakulainfiltrative, permukaan lesi dapat mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.5. Tipe Lepromatous LeprosyJumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga; sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang- kadang dapat ditemukan makula hipostesia atau sedikit penebalan saraf.1,2,4Multibasiler dan pausibasiler sendiri merupakan klasifikasi kusta yang dibuat oleh WHO yang menyederhanakan klasifikasi menurut Ridley-Jopling. Multibasiler berarti mengandung banyak basil, yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT, dan I. Berdasarkan modifikasi WHO pada tahun 1981, yang termasuk dalam multibasiler ialah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT, dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai dengan BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasinya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB1.Tabel 2.5. Perbedaan Tipe PB dan MB menurut Klasifikasi WHOPBMB

1. Lesi kulit (makula yang datar, papul yang meninggi, infiltrate, plak eritem, nodus) 1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi yang jelas 5 lesi Distribusi lebih simetris Hilangnya sensai kurang jelas

2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

2.6 Pemeriksaan Penunjang2.6.1 Pemeriksaan Saraf TepiUntuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N. fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan,adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak. Pada tipe lepromatous biasanya kelainansarafnyabillateraldanmenyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Berikut cara pemeriksaan saraf yang dilakukan pada penderita kusta:1. N. Aurikularis magnusPasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri dan yang kanan.2. N. UlnarisTangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkandi atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak3. N. Paroneus lateralisPasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior.1,4

2.6.2 Tes Fungsi Saraf1. Tes Sensorisa. Rasa RabaSepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnyab. Rasa NyeriDiperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.c. Rasa SuhuDilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.2. Tes Motorisa. Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnyab. Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat ibu jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus. Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.c. Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebutd. Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi pada pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.1,4

2.6.3 Pemeriksaan bakteriologisPemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertamaharus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP2+Bila 1 10 BTA dalam 10 LP3+Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP4+Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP5+Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP6+Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LPIndeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.IM=

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.1,4

2.6.4 Pemeriksaan HistopatologisPemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.1,4

2.6.5 Pemeriksaan SerologisKegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA (Mycobacterium leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.1,4

2.6.6 Pemeriksaan LeprominTes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. Leprae 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3-4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada tuberkolosis.Reaksi Mitsuda bernilai :0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang+ 1 Papul berdiameter 4 6 mm+ 2 Papul berdiameter 7 10 mm+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi1,4

2.7 DiagnosisPenyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:1. Bercak kulit yang mati rasaPemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa nyeri.

2. Penebalan saraf tepiDapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu.3. Ditemukan kuman tahan asamBahan pemeriksaan adalah hapusan cuping kulit telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan. 1,2,4,5

2.8 Diagnosis BandingPada lesi makula differential diagnosisnya vitiligo, Pitiriasis Versikolor, Ptiriasis alba, Tinea korporis. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak, Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol. Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan diubah menjadi dopaquinon. Produk-produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin. Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan fenol pada detergen.Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total.Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malassezia furfur. Patogenesisnya adalah terdapat flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diproduksi oleh Malassezia furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).Tinea korporis, dermatifitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin). Gejala klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir, daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak- bercak terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul papul yang mempunyai warna dan konfigurasi yang khas. Papul papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku-siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat gatal, umumnya membaik 1 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi virus.Psoriasis penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya bercak bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaru terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak bercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikuler dan dapat konfluen.Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebasea yang umumnya pada remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari jari tangan, maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual, muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin ( vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly neuropathy dan demensia.1,2,4

2.9 PenatalaksanaanObat antikusta yang paling banyak dipakai saat ini adalah DDS (diaminofedil sulfon), kemudian klofazimin, dan rifampicin. DDS mulai digunakan di Indonesia pada tahun 1952, klofazimin pada tahun 1962, dan rifampicin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998, WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternatif, yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomicin. Pada tahun 1971, digunakan multi drug treatment (MDT) untuk kusta. 4,6Obat dalam rejimen MDT-WHO:a. Dapson (DDS 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson biasanya diberikan sebagai dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2mg/kgbb untuk anak-anak. Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi nol setelah 5-6 bulan. Obat ini sangat murah, efektif dan relatif aman. Efek samping yang mungkin timbul antara lain: erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.b. Rifampicin. Rifampicin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta dan bersifat bakterisidal kuat seperti pada dosis lazim. Dosis tunggal 600mg/hari atau 5-15 mg/kgbb mampu membunuh kuman kira-kira 99,9% dalam waktu beberapa hari. Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi 900-1200 mg dapat menimbulkan gejala yang flu like syndrome. Pemberian 600 mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek samping yang harus diperhatikan adalah: hepatotoksik, nefrotoksis, gejala gastrointestinal, dan erupsi kulit. c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek bakteriostatik setara dengan dapson. Disamping itu, obat ini juga memiliki efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, khususnya ENL. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1 mg/kgbb/hari. Selain itu, dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk mengurangi reaksi tipe 1 dan tipe 2. Kekurangan obat ini adalah harganya sangat mahal, disamping itu menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah pada ketaatan berobat penderita. Efek sampingnya hanya terjadi pada dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia, dan vomitus).d. Etionamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosa dan hanya sedikit dipakai pada pengobatan kusta. Obat ini bekerja bakteriostatik, tetapi cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen pengobatan kusta.Pengobatan MH, diberikan secara kombinasi (MDT) menurut regimen dari WHO1. PB : Hari 1 : Rifampicin 600 mg (2 cap x 300mg) Dapson/ DDS (Diamino diphenyl sulfore) 100 mg Hari 2-18 : Dapson 100 mg/ hari Pengobatan selama 6-9 bulan.

2. MB : Hari 1 : Rifampicin 600 mg (2 cap x 300mg) Dapson 100 mg Clofazimine 300 mg (3 tab x 100mg) Hari 2-28 : Dapson 100 mg/ hari Clofazimine 50 mg (1 tab) Pengobatan 12-18 bulan.

Pengobatan diberikan selama 2 tahun secara teratur dan paling lama selesai dalam 36 bulan. Disamping obat-obat diatas, perlu diberikan vitamin-vitamin yang bersifat neurotropik dan penambah darah. Untuk tipe Paucibasiler setelah selesai pengobatan kita nyatakan penderita dalam status RFT (Release From Tretment) yang dalam hal ini tetapi tetap kita observasi Selama 2 tahun. Apabila selama jangka waktu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda aktif, penderita dinyatakan RFC (Release From Control). Untuk tipe Multibasiler jangka waktu observasi ini lama yaitu 5 tahun sebelum dinyatakan RFC.4,6

2.10 KomplikasiDi dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidosis sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.1

2.11 PrognosisSetelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.4,5

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 AnamnesaPada kasus ini, dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan utama dari pasien adalah timbulnya bercak putih pada perut sebelah kanan bagian depan dan belakang, dimana bercak tersebut baru muncul sekitar 8 tahun yang lalu (sekitar tahun 2004). Setelah dilakukan anamnesis lebih mendalam, ternyata pasien mengatakan bahwa bercak putih tersebut mengakibatkan kurangnya sensasi nyeri pada bagian tersebut jika ditekan ataupun dicubit. Menurut teori, becak putih yang mati rasa merupakan salah satu tanda patognomonis dari penyakit kusta atau morbus hansen. Kelainan pada kulit yang terjadi pada morbus hansen dapat berupa bercak mati rasa atau makula hipo/anestesi, nodula, ulkus, ichtiosis, penebalan cuping telinga serta facies leonina1. Dari informasi yang diperoleh dari pasien, ternyata saudara perempuan pasien memiliki keluhan yang sama dengan pasien, yaitu adanya bercak putih pada tubuhnya dengan jumlah yang cukup banyak. Saudara pasien tersebut sudah pernah berobat ke dokter dan di diagnosis menderita penyakit kusta. Namun ia tidak rutin minum obat. Pasien mengaku sering kontak dengan saudaranya tersebut, karena sebelum ia kuliah dan pindah ke Samarinda, pasien tinggal bersama-sama dengan saudara perempuannya tersebut di Bulungan. Hal ini bisa menjadi faktor etiologi dari penularan penyakit kusta (morbus hansen pada pasien ini). Menurut teori, penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta3. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak menjadi sumber penularan bagi orang lain. Karena saudara perempuan pasien tidak rutin minum obat yang sudah diberikan, hal ini memungkinkan ia untuk menjadi sumber penularan bagi orang lain yang sering kontak dengan dia.Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif. Dan pada kasus ini pasien berada pada usia muda dan produktif, yaitu 20 tahun3.3.2 Pemeriksaan FisikPasien juga ada mengeluhkan kelemahan pada tungkai kanannya. Hal ini bisa disebabkan akibat komplikasi penyakit kusta yang dapat menyebabkan kerusakan saraf-saraf, termasuk saraf-saraf ekstremitas bawah seperti nervus poplitea lateralis dan tibialis posterior1,4. Kelemahan pada tungkai kanan pasien bisa terjadi akibat kerusakan saraf karena penyakit kusta. Tetapi pada pasien ini, ia baru merasakan kelemahan pada tungkai kanannya setelah ia menjalani operasi bedah otak pada tahun 2006 akibat kecelakaan. Sedangkan ia mengatakan bahwa bercak putih mati rasa tersebut sudah muncul 2 tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2004. Dan selama dari tahun 2004 ke 2006 tersebut, pasien tidak pernah merasakan adanya kelemahan pada anggota gerak, baik tangan maupun kaki. Jadi kemungkinan besar parese tungkai kanannya diakibatkan karena adanya trauma pada otak pasien. Pasien mengatakan bagian yang dioperasi ialah otak bagian kiri. Hal ini sesuai dengan teori bahwa apabila ada kelainan pada satu sisi hemisfer otak, akan memberikan manifestasi terhadap bagian kontralateral yang dipersarafinya, termasuk ekstremitas.

3.3 Diagnosis Banding Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor. Mukosa jarang terkena, kadang kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan ginggiva.Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan vitiligo total1.Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malassezia furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora normal yang berhubungan dengan Ptiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau Pitysporum oval. Malassezia furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat. Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek sitotoksik terhadap melanin.Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna-warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang, dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball)1,2.Psoriasis penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya bercakbercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapislapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaruh terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercakbercak eritema yang meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikuler dan dapat konfluen1.Pasien ini didiagnosis sebagai kusta atau morbus hansen berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan. Dari anamnesis, gejala klinis yang dimiliki oleh pasien lebih mengarah ke ciri-ciri penyakit kusta, serta gambaran pada kelainan kulit pasien juga mirip dengan gambaran kusta. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata dan testis. Namun pada pasien ini kelainan yang menonjol hanya berasal dari kulit dan saraf tepinya saja. Untuk membedakan tipe kusta pada pasien ini termasuk tipe pausibasiler atau multibasiler didasari oleh gambaran klinis dari lesi kulit dan kerusakan saraf yang terdapat pada pasien. Multibasiler dan pausibasiler sendiri merupakan klasifikasi kusta yang dibuat oleh WHO yang menyederhanakan klasifikasi menurut Ridley-Jopling. Untuk pausibasiler, lesi kulit (dapat berupa makula datar, papul yang meninggi, nodus) jumlahnya sekitar 1-5 lesi, dapat hipopigmentasi atu eritema, distribusinya tidak simetris, hilangnya sensasi yang jelas, serta kerusakan saraf yang terjadi hanya pada satu cabang saraf saja. Sedangkan dikatakan multibasiler jika lesi kulitnya berjumlah lebih dari 5, distribusinya simetris, hilangnya sensasi kurang jelas, dan kerusakan saraf mengenai banyak cabang saraf1. Pada pasien ini, lesi yang ditemukan hanya berjumlah 2, berupa bercak hipopigmentasi, distribusinya tidak simetris yaitu hanya terdapat pada perut kanan bagian depan dan belakang saja dan dari uji sensitivitas didapatkan hilangnya sensasi rasa raba, nyeri, dan tekan yang jelas pada bercak hipopigmentasi tersebut, serta tidak ada tanda-tanda kerusakan saraf pada pasien ini. Dari tanda-tanda yang ditemukan tersebut maka morbus hansen pada pasien ini lebih mengarah ke tipe pausibasiler. Hal itu dipertegas dengan adanya hasil pemeriksaan BTA yang negatif.Multibasiler berarti mengandung banyak basil, yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yakni tipe TT, BT, dan I. Menurt WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang termasuk dalam multibasiler ialah tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT, dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai dengan BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasinya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB1.

3.5 PenatalaksanaanUntuk penatalaksaan pada pasien ini, disesuaikan dengan tipe kustanya. Karena pada pasien ini tipe kustanya ialah pausibasiler, maka terapi disesuaikan dengan regimen terapi kusta untuk tipe pausibasiler. Adapun regimen terapi kusta tipe pausibasiler berdasarkan WHO ialah:Hari 1 : Rifampicin 600 mg (2 cap x 300mg) Dapson/ DDS (Diamino diphenyl sulfore) 100 mgHari 2-18 : Dapson 100 mg/ hariPengobatan dilakukan selama 6-9 bulan. Disamping obat-obat diatas, perlu diberikan vitamin-vitamin yang bersifat neurotropik dan penambah darah. Untuk tipe pausibasiler setelah selesai pengobatan kita nyatakan penderita dalam status RFT (Release From Tretment) yang dalam hal ini tetapi tetap kita observasi Selama 2 tahun. Apabila selama jangka waktu tersebut tidak menunjukkan tanda-tanda aktif, penderita dinyatakan RFC (Release From Control)4,6.

DAFTAR PUSTAKA

1. Daili, E. S. (2005). Kusta. Dalam: A. Djuanda (Ed), Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FK-UI. Hal.73-78.2. Wolff, K. and Johnson, R.A: Fitzpatricks Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. Sixth Edition. Mc Graw Hill Medical. USA: 2009. Page 665-71.3. Depkes RI. (2003). Diagnosis, Klasifikasi dan Pengobatan Penyakit Kusta. Jakarta.4. Amirudin, D.M., Hakim, Zainal dan Emil Darwis. Diagnosis Penyakit Kusta. Dalam: Daily, E.S., Menaldi, S.L., Ismiarto, S.P., dan Nilasari, H (Ed), Kusta. Jakarta: Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. 2003. Hal: 12-31.5. Listiawan M., Yulianto, Indropo, Agusni., Sunarko, M., Morbus Hansen. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III. Surabaya: RS dr. Soetomo. 2005: 41-45.6. Soebono, Hardiyanto., dan Bambang Suhariyanto. Pengobatan Penyakit Kusta. Dalam: Daily, E.S., Menaldi, S.L., Ismiarto, S.P., dan Nilasari, H (Ed), Kusta. Jakarta: Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia. 2003. Hal: 66-74.