Upload
trandiep
View
223
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA
PERGERAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK
NON SUBSIDI RON 92: TEORI ASYMMETRIC PRICE
TRANSMISSION MENGGUNAKAN METODE ERROR
CORRECTION MODEL
TESIS
FEBBY KRISTANTRI
1006741225
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
JAKARTA
NOVEMBER 2012
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PERGERAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK
NON SUBSIDI RON 92: TEORI ASYMMETRIC PRICE
TRANSMISSION MENGGUNAKAN METODE ERROR
CORRECTION MODEL
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Ekonomi
FEBBY KRISTANTRI
1006741225
FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
KEKHUSUSAN EKONOMI PERSAINGAN USAHA
JAKARTA
NOVEMBER 2012
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
ii
Universitas Indonesia
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang
berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, November 2012
( Febby Kristantri )
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
iii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Febby Kristantri
NPM : 1006741225
Tanda Tangan :
Tanggal : November 2012
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
iv
Universitas Indonesia
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama : Febby Kristantri
NPM : 1006741255
Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul Tesis : Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non
Subsidi RON 92: Teori Asymmetric Price
Transmission menggunakan Metode Error
Correction Model
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan dan
Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : DR. Andi Fahmi Lubis, SE., ME. ( )
Penguji : Sri Mulyono, SE., M.Sc. ( )
Penguji : Titissari, MT., M.Sc. ( )
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : November 2012
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
v
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Febby Kristantri
NPM : 1006741255
Kekhususan : Ekonomi Persaingan Usaha
Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Fakultas : Ekonomi
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non Subsidi RON 92: Teori
Asymmetric Price Transmission menggunakan Metode Error Correction
Model
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : November 2012
Yang menyatakan
( Febby Kristantri )
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
vi
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Magister Ekonomi di Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,
dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya
untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
(1) Bapak DR. Andi Fahmi Lubis, SE. ME., selaku dosen pembimbing yang
telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan tesis ini;
(2) Bapak Nurkholis, SE. M.Se, selaku dosen Ekonometrika yang dengan
sabar membantu saya dalam pengolahan data untuk penyusunan tesis ini;
(3) Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU), yang
telah memberikan beasiswa bagi saya untuk menempuh studi S-2 di
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia;
(4) Orang tua dan keluarga saya yang senantiasa memberikan dukungan
material dan moral serta menjadi penyemangat dalam penulisan tesis ini;
(5) Esti Wulandari dan Ulfah Purba Agung N, sahabat yang telah memberikan
ide dan banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini;
(6) Diana Yoseva, Ita Damayanti, Firdaussy Yustiningsih, Liasari, dan Wiwit
Widodo, rekan-rekan KPPU yang telah berjuang bersama selama masa
perkuliahan dan penyelesaian tesis;
(7) Te Chan yang telah banyak membantu dalam perolehan data;
(8) Rekan-rekan Angkatan XXIII Sore MPKP FEUI yang tidak dapat saya
sebutkan satu per satu yang telah menjadi teman dan sahabat selama ini.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
vii
Universitas Indonesia
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas
segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa
manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, November 2012
Penulis
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Febby Kristantri
Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik
Judul : Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non Subsidi RON
92: Teori Asymmetric Price Transmission menggunakan
Metode Error Correction Model
Sejak diberlakukannya liberalisasi di sektor hilir Industri Bahan Bakar
Minyak (BBM), jumlah operator atau pelaku usaha yang aktif melaksanakan
bisnis hanya 4 (empat) yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total. Terlihat
bahwa harga jual bahan bakar minyak non subsidi khususnya RON 92 dari SPBU
pelaku usaha tersebut di atas ketika harga input crude oil mengalami kenaikan
segera direspon namun ketika terjadi kondisi sebaliknya dimana harga input crude
oil mengalami penurunan direspon lambat.
Tujuan tesis ini adalah untuk melakukan analisis pergerakan harga jual
BBM non subsidi RON 92 di SPBU berdasarkan teori asymmetric price
transmission dengan cara membandingkan harga jual di SPBU terhadap harga
input crude oil serta menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga
jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU.
Berdasarkan pengujian dan analisis data, didapatkan bahwa terdapat
fenomena asymmetric price transmission pada industri BBM RON 92. Harga jual
eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU lebih terkorelasi dalam jangka panjang
dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil
MOPS.
Faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena asymmetic price
transmission-selain harga input crude oil ICP yang berpengaruh sekitar 68.79%
terhadap harga Pertamax-adalah komponen lain dalam harga impor yang
membentuk total biaya aktual (landed cost) yaitu iuran-iuran pasar, ongkos
pengangkutan, asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai, serta biaya
surveyor. Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi seperti
pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya (kontrak harga,
nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta struktur pasar
industri bahan bakar minyak RON 92.
Kata Kunci:
Asymmetric Price Transmission, Crude Oil, Harga Jual BBM RON 92
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Febby Kristantri
Studi Program : Master of Planning and Public Policy
Title : Movement of Non-Subsidies RON 92 Fuel Price: Theory of
Asymmetric Price Transmission with Error Correction Model
Method
Since liberalization takes place in downstream fuel industries, the number
of operators or business actors that actively conduct business are only 4 (four).
There are Pertamina, Petronas, Shell, and Total. It appears that the selling price of
non-subsidized fuel prices of RON 92 at petrol stations business actors mentioned
above is when the crude oil input prices rose, the business actors quickly
responded, but when it happens the opposite where the price of crude oil inputs
decreased the business actors response are slow.
The purpose of this thesis is to analyze the movement of non-subsidized
price of RON 92 fuel at the petrol stations based on the theory of asymmetric
price transmission by comparing the sales price at the petrol stations to the price
of crude oil input and explain the factors that influence the retail price of non-
subsidized fuel RON 92 at the petrol stations.
Based on the testing and analysis of the data, it was found that there is a
phenomenon of asymmetric price transmission on RON 92 fuel industry. Retail
price of non-subsidized RON 92 fuel at the petrol stations over the long term
correlated with the price of crude oil inputs ICP compared to the price of crude oil
inputs MOPS.
Factors that led to the phenomenon of asymmetric price transmission-other
than the price of crude oil inputs ICP that affect approximately 68.79% to the
price of Pertamax-are another component in the price of imports that make up the
total actual cost (landed cost). There are the market dues, freight, insurance,
additive, lost at sea, customs and excise, and surveyors fees. This condition can at
least be explained by a number of conditions such as purchasing fuel RON 92 in
the previous period (the contract price, exchange rate, and distribution costs),
competitor pricing, and industry market structure of fuel RON 92.
Key words:
Asymmetric Price Transmission, Crude Oil, Selling Price of fuel RON 92
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME………………………… ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………….. iii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………...………… iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……………………………
v
KATA PENGANTAR………...……………………………………………… vi
ABSTRAK………………………………………………………………….... viii
ABSTRACT………………………………………………………………...... ix
DAFTAR ISI…………………………………………………………...…….. x
DAFTAR DIAGRAM……………………………………………………...… xii
DAFTAR GRAFIK...………………………………………………………… xiii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xiv
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xv
1. PENDAHULUAN……………………………………………………... 1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………... 8
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………… 8
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 9
1.5 Hipotesis Penelitian……………………………………………… 9
1.6 Metodologi Penelitian……………………………………………. 9
1.6.1 Metode Penelitian………………………………………… 9
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data……………………………….. 12
1.6.3 Tahapan Penelitian……………………………………….. 12
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian ……………………………….. 13
1.6.5 Kerangka Pemikiran ……………………………………... 13
1.7 Sistematika Penulisan……………………………………………. 14
2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 16
2.1 Pengertian………………………………………………………... 16
2.2 Tipe Asymmetric Price Transmission……………………………….. 21
2.3 Penyebab Asymmetric Price Transmission…………………………. 25
2.4 Lag dalam Proses Produksi dan Manajemen Persediaan………… 31
2.5 Market Power dan Local Price……………………………………….. 32
2.6 Kondisi Industri Bahan Bakar Minyak…………………………... 33
2.6.1 Pelaku Usaha……………………………………………... 34
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
xi
Universitas Indonesia
2.6.2 Distribusi Bahan Bakar Minyak………………………….. 39
2.6.3 Regulasi…………………………………………………… 40
3. METODE PENELITIAN…………………………………………….. 48
3.1 Cakupan Penelitian………………………………………………. 48
3.2 Metode Analisis………………………………………………….. 50
3.3 Tahapan Pengujian……………………………………………….. 51
3.3.1 Tes Stasioner……………………………………………... 52
3.3.2 Tes Kointegrasi…………………………………………... 54
3.3.3 Metode Error Correction Model……………………………. 55
3.3.4 Tes Simetrik…………………………………………...…. 56
3.3.5 Tes Asimetrik…………………………………………….. 57
3.4 Data Setting……………………………………………………………... 59
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN……………………………………. 60
4.1 Analisa Data Deskriptif…………………………………………... 60
4.2 Analisa Time Series……………………………………………………. 62
4.2.1 Tes Stasioner……………………………………………... 63
4.2.2 Tes Kointegrasi…………………………………………... 65
4.3 Pengolahan Data Model Error Correction Model (ECM)……….. 67
4.3.1 Tes Simetrik……………………………………………… 67
4.3.2 Tes Asimetrik…………………………………………….. 73
4.3.3 Wald Test………………………………………………… 75
4.4 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga
Input Crude Oil MOPS dengan Harga Jual Eceran Pertamax di
SPBU ……………………………..………………………………
76
4.5 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga
Input Crude Oil ICP dengan Harga Jual Eceran Pertamax di
SPBU…………………………………………………………………
77
4.5.1 Persediaan………………………………………………… 77
4.5.2 Penetapan Harga………………………………………….. 81
4.5.3 Kekuatan Pasar (Market Power)...……………………….. 85
5. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….. 89
5.1 Kesimpulan………………………………………………………. 89
5.2 Saran……………………………………………………………... 90
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 92
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1.a Asymmetric Price Transmission (magnitude) 22
Diagram 1.b Asymmetric Price Transmission (speed) 22
Diagram 1.c Asymmetric Price Transmission (speed and magnitude) 22
Diagram 2.a Positive Asymmetric Price Transmission 24
Diagram 2.b Negative Asymmetric Price Transmission 24
Diagram 3 Types of Error Correction 25
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 Perbandingan Jumlah Impor RON 95 dan RON 92 3
Grafik 1.2 Perbandingan Harga Tahun 2011 7
Grafik 2.1 Pola Distribusi Bahan Bakar Minyak 39
Grafik 3.1 Tahapan Analisis Data 58
Grafik 4.1 Pergerakan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 60
Grafik 4.2 Pergerakan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP) 62
Grafik 4.3 Hasil Tes Granger Causality Data Harga Jual BBM Non
Subsidi RON 92 dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan
ICP)
67
Grafik 4.4 Hasil Tes Granger Causality Data Keseluruhan Harga Jual
BBM Non Subsidi RON 92 dengan Harga Input Crude Oil
(MOPS dan ICP)
68
Grafik 4.5 Impor Crude Petroleum Oil Indonesia Tahun 2005-2011 78
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kerangka Pemikiran 14
Tabel 4.1 Jumlah Produksi, Impor, dan Konsumsi 61
Tabel 4.2 Besar Pengaruh Biaya 81
Tabel 4.3 Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
Pertamina
82
Tabel 4.4 Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
Petronas
84
Tabel 4.5 Perubahan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 85
Tabel 4.6 Jumlah SPBU di Indonesia 87
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Program E-Views 92
Lampiran 2 Hasil ANOVA 118
Lampiran 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun
2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Dalam Negeri
120
Lampiran 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak
Dalam Negeri
124
Lampiran 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi
135
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahan bakar minyak (BBM) merupakan komoditas utama yang memiliki
dampak pengganda strategis bagi perekonomian nasional (Noor: 2011). BBM
juga merupakan komoditas strategis yang digunakan di hampir seluruh proses
produksi dan bukanlah variabel tunggal yang bersifat steril yang tidak
mempengaruhi harga barang lain. Jika harga BBM naik, terjadi pula kenaikan
harga bahan baku dan barang antara, dan end user-lah yang akan menanggungnya
(Lestari: 2012). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang
minyak dan gas bumi, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam
strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas
vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting
dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara
maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah wajib
menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan
komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001, Indonesia memberlakukan liberalisasi bisnis di sektor hilir. Pemahaman
mendasar mengenai hal ini adalah dibukanya industri hilir migas dimana PT
Pertamina (Persero) bukan lagi menjadi pemain tunggal. Hingga saat ini, jumlah
badan usaha atau operator yang secara aktif melaksanakan bisnis dalam BBM
hanya ada 4 (empat) pelaku usaha yaitu PT Pertamina (Persero) selanjutnya akan
dipersingkat dengan Pertamina, Petronas Indonesia (Petronas), PT. Shell
Indonesia (Shell), dan Total Indonesie (Total).
Dalam rangka menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian
BBM, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Pasal 44 butir c mengatur bahwa
dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga, Badan Usaha wajib menjamin harga
jual BBM, bahan bakar gas, bahan bakar lain dan/atau hasil olahan pada tingkat
yang wajar. Sejak liberalisasi, Pemerintah memberlakukan 2 (dua) penetapan
harga pada BBM yaitu berdasarkan harga yang di regulasi dan yang tidak di
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
2
Universitas Indonesia
regulasi atau berdasarkan mekanisme pasar. Penetapan harga yang diregulasi
dilakukan agar harga jual eceran BBM dalam negeri dapat dijangkau oleh
masyarakat kurang mampu sebagai bentuk program peningkatan kesejahteraan
melalui subsidi. Penetapan harga BBM bersubsidi diregulasi sejak lama di bawah
harga pasar dengan gap (kesenjangan) dijembatani melalui subsidi oleh
pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Peraturan Presiden Nomor
55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri
mengatur harga jual eceran Bensin Premium dan Minyak Solar (Gas Oil) untuk
Usaha Kecil, Transportasi, dan Pelayanan Umum di titik serah termasuk Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) untuk setiap liter. Akses terhadap capped prices (harga
tertinggi) dibuat sama rata untuk masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah.
BBM yang disubsidi oleh Pemerintah adalah hanya untuk jenis BBM bensin
premium dengan Randon Otcane Number (RON) 88 sedangkan untuk BBM jenis
lain yang ada di pasaran tidak di subsidi.
Jenis BBM Bensin merupakan nama umum bagi beberapa jenis BBM yang
diperuntukkan untuk mesin dengan pembakaran dengan pengapian. Di Indonesia
terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu
pembakaran berbeda. Nilai mutu jenis BBM bensin ini dihitung berdasarkan nilai
RON. Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi 3 jenis
yaitu (www.bpmigas.com):
a. Premium (RON 88): Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat
berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat
pewarna tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk
bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin, seperti: mobil, sepeda
motor, motor tempel, dan lain-lain. Bahan bakar ini sering juga disebut motor
gasoline atau petrol.
b. Pertamax (RON 92): ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan
penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded).
Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi di atas
tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara dengan
electronic fuel injection dan catalytic converters.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
3
Universitas Indonesia
c. Pertamax Plus (RON 95): Jenis BBM ini telah memenuhi standar
performance International World Wide Fuel Charter (WWFC). Ditujukan
untuk kendaraan yang berteknologi mutakhir yang mempersyaratkan
penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan ramah lingkungan. Pertamax
Plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi ratio
> 10,5 dan juga yang menggunakan teknologi Electronic Fuel Injection (EFI),
Variable Valve Timing Intelligent (VVTI), Valve Timing Intelligent (VTI),
Turbochargers dan Catalytic Converters.
Penelitian ini dikhususkan pada RON 92 dikarenakan penetapan harga
BBM bensin RON 88 merupakan harga yang disubsidi dan ditetapkan oleh
pemerintah sehingga tidak terdapat persaingan yang berarti. Bila dibandingkan
dengan RON 95, pengguna RON 92 lebih besar yang dibuktikan dengan jumlah
impor yang memiliki kecenderungan makin meningkat sebagaimana terlihat pada
grafik di bawah ini.
Per Ribu Kilo Liter
Sumber: Ditjen Migas, PT. Pertamina (Persero), diolah Pusdatin KESDM
Grafik 1.1 Perbandingan Jumlah Impor RON 95 dan RON 92
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
IMPOR RON 95
IMPOR RON 92
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
4
Universitas Indonesia
Penetapan harga BBM non subsidi pada kegiatan usaha minyak dan gas
bumi terutama hilir diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat, dan transparan. Dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 tahun
2001 menyatakan bahwa harga dan bahan bakar minyak diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Sebelum adanya kebijakan
liberalisasi migas di Indonesia, masyarakat hanya mengenal produk dari
Pertamina, tetapi sekarang telah banyak produk-produk dari perusahaan minyak
dunia masuk ke Indonesia seperti Petronas, Shell, dan Total yang turut mendorong
makin ketatnya persaingan penjualan BBM non subsidi.
Harga jual eceran Pertamina, Petronas, Shell, dan Total yang ditetapkan
memiliki trend atau pola yang hampir sama. Hal ini mengindikasikan bahwa
industri BBM non subsidi semakin ketat. Karakter konsumen Indonesia yang
sensitif pada harga, membuat para operator atau pelaku usaha BBM non subsidi
bersaing dalam pricing strategy. Akibatnya, perang harga BBM non subsidi pun
makin sengit. Menurut Vice President Komunikasi Pertamina, Mochamad Harun,
mengatakan pricing strategy merupakan salah satu cara Pertamina untuk bersaing
di pasar BBM non subsidi. Bahkan, Pertamina akan menempuh cara yang cukup
ekstrem, yakni mempercepat frekuensi penyesuaian harga1. Persaingan makin
diperuncing dengan akan diberlakukannya kebijakan Pemerintah mengenai
pembatasan BBM bersubsidi (premium). Dengan pembatasan BBM bersubsidi,
yang dirancang berlaku di seluruh Indonesia, operator asing memiliki peluang
cukup besar dan merata. Hal ini dikarenakan ketika BBM bersubsidi dibatasi,
otomatis konsumsi BBM non subsidi akan meningkat. Pada saat itulah,
konsumen bebas memilih BBM non subsidi yang dijual di Stasiun Pengisian
Bahan Bakar Umum (SPBU) mana saja yang lebih menguntungkan, termasuk
SPBU asing. Karenanya, sangat wajar jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi
akan banyak menguntungkan SPBU asing2. Hal ini didukung pernyataan Bayu
Wicaksono, Regional Sales Manajer Total, Total saat ini baru menguasai 1% dari
market share penjualan BBM di Indonesia. Setelah ada rencana pencabutan BBM
bersubsidi, diperkirakan market share Total dapat naik hingga 5-6%. Sehingga
1 JPNN. (3 Juni 2011). BBM Non Subsidi Perang Harga. http://fajar.co.id.
2 Bersaing Ketat Karena Minyak.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
5
Universitas Indonesia
pembatasan BBM bersubsidi membuat perusahaan asing kian berhasrat merebut
pangsa pasar3. Selama ini penjualan non-Premium (BBN non subsidi) dari Shell,
Total, dan Petronas hanya sekitar 3% persen dari seluruh pangsa pasar.
Sedangkan Pertamina bisa menjual Pertamax sekitar 2.500 kiloliter per hari. Jika
penghematan Premium di Jakarta sekitar 5.000 kiloliter, terjadi lonjakan konsumsi
bahan bakar non-Premium sekitar 2.500 kiloliter per hari. Hal inilah yang
diperebutkan Pertamina dan kompetitor4.
Rujukan penetapan harga BBM non subsidi keempat operator SPBU
tersebut ditetapkan bukan berdasarkan transaksi jual beli minyak di bursa ICE
Futures London ataupun bursa New York Mercantile Exchange (Nymex).
Rujukan operator tersebut adalah MOPS yaitu standar harga minyak (crude oil) di
bursa Singapura. MOPS adalah acuan harga untuk transaksi minyak di kawasan
Asia sedangkan bursa ICE hanya sebagai patokan transaksi minyak dunia untuk
jenis brent sementara bursa Nymex adalah acuan transaksi minyak jenis ringan
atau light sweet. MOPS merupakan singkatan dari Mean of Platts Singapore yang
merupakan penilaian produk untuk trading minyak di kawasan Asia yang dibuat
oleh Platts yaitu anak perusahaan McGraw Hill. Istilah MOPS selama ini lebih
dikenal di Indonesia dengan Mid Oil Platts Singapore yang dijadikan patokan
harga BBM di Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam
Negeri pasal 5 yang menyatakan bahwa harga pasar adalah harga yang ditetapkan
setiap bulan berdasarkan Mid Oil Platts Singapore (MOPS) rata-rata dari bulan
sebelumnya ditambah 5% (lima persen) dan diperjelas dalam Peraturan Presiden
Nomor 55 Tahun 20055 .
Harga MOPS juga digunakan untuk perhitungan subsidi BBM sebagai
pengeluaran negara. Perhitungan didasarkan pada selisih harga patokan per liter
jenis BBM tertentu yang didasarkan pada MOPS ditambah alpha (margin dan fee
distribusi) yang nilainya sebesar 14,1% dikurangi dengan harga jual eceran per
3 Reyno. (11 Februari 2011). BBM Subsidi Dipangkas, SPBU Asing Siap Rebut Pasar.
http://www.medantalk.com. 4 Bensin Bersubsidi di Batasi, Siapa Diuntungkan?. (15 Desember 2010).
http://tempointeraktif.com. 5 Bersaing Ketat Karena Minyak. (12 Maret 2011). http://bungapadangilalang.com.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
6
Universitas Indonesia
liter jenis BBM tertentu di Indonesia yang akan menjadi besar patokan subsidi
untuk tiap liter jenis BBM tertentu. Dengan telah ditetapkan ketentuan mengenai
MOPS sebagai dasar harga patokan, harga patokan BBM Indonesia sangat
tergantung pada harga yang muncul pada transaksi jual beli minyak di Singapura6.
Melonjaknya harga MOPS secara faktual akan mempengaruhi harga BBM
non subsidi di Indonesia. Melambungnya harga MOPS pada bulan April tahun
2011 dari US$ 119 per barel menjadi US$ 256 per barel menjadi penyebab harga
BBM non subsidi untuk Pertamina naik dari Rp 7.675,- per liter menjadi Rp
8.000,- per liter. Harga di Petronas meningkat dari Rp 7.650,- per liter menjadi
Rp 7.950,- per liter, harga Shell berubah dari Rp 7.775,- per liter menjadi Rp
7.975,- per liter dan harga Performance berubah dari Rp 7.700,- per liter menjadi
Rp 7.950,- per liter. Hal ini dapat dijelaskan karena sebesar 67.57% dari harga
jual eceran operator berasal dari harga MOPS sebagai biaya input menurut
Kurtubi. Akan tetapi, berdasarkan data yang didapat dari Pertamina, Kurtubi juga
mempertanyakan margin Pertamax yang cukup besar yaitu sekitar 37.8% (dengan
harga eceran Pertamax sebesar Rp 6.000,00 per liter dan harga MOPS sebesar
US$ 54/bbls)7.
Mengingat harga MOPS mempengaruhi harga jual eceran sebesar 67.57%
maka ketika terjadi penurunan harga MOPS seharusnya harga BBM non subsidi
juga mengalami penurunan. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi. Ketika terjadi
penurunan harga di pasar input (MOPS) harga BBM non subsidi pada pasar
domestik diindikasikan tidak meresponnya secara proporsional. Sebagai contoh
adalah menurunnya harga MOPS pada bulan Juni ke bulan Juli tahun 2011 dari
US$ 569 per barel menjadi US$ 247 per barel yang seharusnya menyebabkan
harga jual eceran BBM non subsidi mengalami penurunan. Akan tetapi pada
kenyataanya, harga jual eceran BBM non subsidi tidak mengalami penurunan.
Harga jual eceran BBM non subsidi Pertamina justru meningkat dari Rp 8.650,-
per liter menjadi Rp 9.150,- per liter. Harga pada Petronas naik dari harga Rp
8.600,- per liter menjadi Rp 8.875,- per liter, harga Shell mengalami kenaikan dari
6 Analisis Hukum atas Harga Patokan yang Berpengaruh pada Subsidi Bahan Bakar Minyak Jenis
Tertentu. http://www.jdih.bpk.go.id. 7 Kurtubi. (2009). Harga MOPS dan Struktur Harga Keekonomian dan Margin BBM Non Subsidi.
Jakarta.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
7
Universitas Indonesia
Rp 8.550.- per liter menjadi Rp 9.050,- per liter. Sedangkan harga Total naik dari
Rp 8.600,- per liter menjadi Rp 9.025,- per liter.
Pelaku usaha dalam industri BBM non subsidi dengan RON 92 selalu
merevisi harga BBM non subsidi setiap 2 (dua) minggu sekali dalam sebulan
mengikuti harga input (MOPS). Akan tetapi berdasarkan data tersebut di atas,
dapat dilihat bahwa harga jual eceran BBM non subsidi tetap meningkat walaupun
terjadi penurunan harga yang signifikan pada harga input crude oil yang menjadi
rujukan yaitu MOPS. Akan tetapi apabila harga MOPS meningkat, harga jual
eceran akan mengikuti peningkatan tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
perbandingan harga pada grafik di bawah ini.
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 1.2 Perbandingan Harga Tahun 2011
Selain hal tersebut di atas, penetapan harga yang cenderung sama akibat
pricing strategy mengindikasikan adanya price leadership dan price taker dalam
industri. Hal ini perlu ditinjau untuk melihat apakah strategi harga yang
ditetapkan setiap operator tersebut menguntungkan semua pihak dalam jangka
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
PERTAMAX
SUPER
PRIMAX
PERFORM
MOPS
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
8
Universitas Indonesia
pendek dan jangka panjang. Apakah akibat penetapan harga tersebut
mengakibatkan industri dapat bersaing secara sehat dan ketat.
Berdasarkan uraian dan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk
mengetahui mekanisme pergerakan harga pada industri BBM non subsidi
terutama pengaruh harga input crude oil (MOPS) terhadap harga output di tingkat
konsumen (harga jual eceran di SPBU) untuk kandungan oktan (RON) 92. Dan
apakah ada faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual eceran RON 92
di SPBU dari 4 (empat) pelaku usaha di industri BBM.
1.2 Rumusan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan peninjauan terhadap mekanisme
dan mengeksplorasi price transmisssion yang terjadi dalam industri BBM non
subsidi RON 92 yaitu untuk membuktikan apakah pergerakan harga output di
tingkat konsumen (harga jual eceran di SPBU) tidak mengikuti pergerakan harga
input (crude oil MOPS). Penelitian akan didukung dengan perhitungan
asymmetric price transmission secara empirik melalui metode error correction
model (ECM). Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kemungkinan
terjadinya respon asymmetric harga hulu (harga input) dan hilir (harga jual di
SPBU) serta alasan utama yang dapat menjelaskan fenomena asymmetric price
transmission.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk
meninjau mekanisme dan melakukan ekspolasi perhitungan asymmetric price
transmission secara empirik melalui metode error correction model (ECM).
Masalah yang ingin digali dalam penelitian ini adalah sejauh mana pergerakan
harga BBM Non Subsidi di Indonesia dalam pasar oligopoli. Secara khusus,
penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh harga input (crude oil MOPS)
terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Tujuan analisis
pergerakan harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92 di SPBU dilakukan dengan cara:
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
9
Universitas Indonesia
a. Membandingkan pergerakan harga input (crude oil MOPS) terhadap harga
jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU;
b. Mengidentifikasi faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual
eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dan dikaitkan dengan kondisi
pasar dalam industri BBM di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-
pihak terkait, yaitu:
1. Sebagai masukan dalam perumusan regulasi dan kebijakan pemerintah dalam
industri BBM non subsidi RON 92 sehingga memberikan jaminan kepastian
persaingan yang sehat dalam industri;
2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia akademis untuk melanjutkan
penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai persoalan-persoalan dalam
industri BBM non subsidi RON 92;
3. Memberikan masukan bagi dunia usaha dalam mengambil kebijakan yang
berhubungan dengan industri BBM non subsidi RON 92.
1.5 Hipotesis Penelitian
Yaitu hipotesis yang relevan untuk diuji dalam penelitian ini dan terkait
dengan tujuan penelitian. Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan
yang bersifat sementara tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang
digunakan, yang akan dibuktikan kebenarannya melalui suatu uji statistik.
Berkenaan dengan data tersebut maka hipotesis awal yang dirumuskan untuk
penelitian ini adalah:
a. Diduga pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU
bersifat asimetrik dengan pergerakan harga input (crude oil MOPS);
b. Diduga ada faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual eceran
BBM non subsidi RON 92 di SPBU dan dikaitkan dengan kondisi pasar
dalam industri BBM di Indonesia.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
10
Universitas Indonesia
1.6 Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.6.1 Metode Penelitian
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini akan menggunakan
analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif adalah alat analisis
atau pengujian untuk membuktikan bahwa terjadi pergerakan harga yang
asimetrik (assymetric price transmission). Pengujian mengenai assymetric price
transmission merupakan metode yang sangat penting dalam ilmu ekonomi
terapan. Penelitian ini hanya akan menggunakan model koreksi kesalahan (Error
Correction Model (ECM)) untuk mewakili backward looking approach. Adapun
alasan dalam memilih model adalah model koreksi kesalahan memiliki
keunggulan baik dari segi nilainya dalam menghasilkan persamaan yang
diestimasi dengan properti statistik yang diinginkan maupun dari segi kemudahan
persamaan tersebut untuk diinterpretasikan. Pendekatan asimetrik ECM
menyatakan bahwa ada elemen kointegrasi dalam persamaan ECM.
Pada pendekatan model koreksi kesalahan, pelaku ekonomi cenderung
menunggu kejadian-kejadian di pasar terlebih dahulu sebelum mengambil
keputusan. Model empriris di atas akan dianalisis dengan metode estimasi OLS
(ordinary least squares). Metode ECM dipakai untuk menghindari terjadinya
spurious regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa
(OLS). Hal ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat non-stasioner.
Secara umum pendekatan ECM ini diperpanjang dengan menambahkan
komponen asymmetric adjustment term. Prosedurnya adalah dengan
mengestimasi hubungan antar harga dengan metode OLS dan menguji keberadaan
spurious regression. Jika kedua harga yang diestimasi tersebut ternyata
terkointegrasi maka koefisien persamaan OLS tersebut adalah koefisien
persamaan kointegrasi. Langkah berikutnya adalah mengestimasi model ECM8.
Dalam model tersebut terdapat komponen yang dikenal dengan Error Correction
8 Insukindro. (1991). Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi Suatu Tinjauan dengan
Satu Studi Kasus di Indonesia. JEBI No. 1 Thn VI.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
11
Universitas Indonesia
Term (ECT) yang dapat mengukur deviasi dari keseimbangan jangka panjang
antara dua harga tersebut. Dimasukkannya ECT ini memungkinkan harga yang
telah diestimasi merespon perubahan harga dan juga dapat memperbaiki deviasi
dari keseimbangan jangka panjang tersebut. Dengan memisahkan komponen ECT
positif dan negatif maka assymetric price transmission dapat diestimasi. Model
dasar yang akan digunakan dalam penelitian dengan mengasumsikan symmetric
dan linear price transmission menggunakan persamaan sebagai berikut adalah:
Harga Hilir (Harga Jual Eceran) = f (Harga Hulu (Harga MOPS))
Dengan berdasar pada model dasar di atas, alat analisis yang dipakai dalam
penelitian ini dengan mempergunakan Error Correction Model (ECM) atau
Model Koreksi Kesalahan dapat dinyatakan dalam bentuk:
(1.1)
Dimana Pin
dan Pout
merupakan dua harga yang secara vertikal berkaitan
misalnya level hulu dan level hilir (ritel). Δ merupakan indikator difference atau
pengurang Pt – Pt-1. βj dan γ adalah koefisien estimasi dan dan
merupakan deviasi positif dan negatif dari keseimbangan jangka panjang.
Analisis kuantitatif mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga
output bereaksi terhadap perubahan harga input tergantung pada karakteristik dari
harga input atau perubahan dalam harga tersebut. Ketika harga input meningkat
maka harga output juga meningkat akan tetapi ketika harga input turun diperlukan
waktu yang cukup lama bagi harga output untuk mengikuti perubahan harga
tersebut. Harga input (upstream) didefinisikan sebagai pasar wholesale dan harga
output atau harga produk akhir (downstream) sebagai pasar ritel. Kondisi
assymetric price transmission terjadi ketika kenaikan harga input segera direspon
dengan melakukan penyesuaian oleh harga output namun ketika harga input turun
tidak segera direspon oleh harga output. Kondisi ini dapat mengidentifikasikan
bahwa pasar downstream menjadi tidak efisien sehingga sangat penting untuk
mengetahui faktor penyebab hal tersebut.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
12
Universitas Indonesia
Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan terhadap hasil
wawancara dengan operator atau pelaku usaha, BPH Migas, dan pihak-pihak lain
yang terkait untuk mengetahui gambaran luas dalam industri BBM non subsidi
RON 92.
1.6.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan
data-data resmi dari Biro Pusat Statistik, pelaku usaha (Pertamina, Petronas, Shell,
dan Total), BPH Migas, instansi lain yang terkait, dan publikasi di media cetak
dan elektronik. Data yang diproses dalam penelitian ini dikumpulkan dengan
melakukan studi pustaka dan studi deskriptif. Dimana Studi Kepustakaan
dimaksudkan untuk mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan tujuan
penelitian. Substansinya menyangkut teori, alat analisa, maupun data terkait
lainnya dalam industri BBM non subsidi RON 92. Sedangkan studi deskriptif
dilakukan dengan tujuan untuk menyajikan deskripsi data. Bentuknya berupa
tabulasi data atau penyajian data dalam bentuk grafik. Data yang akan digunakan
adalah data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dari operator
atau pelaku usaha aktif dan data harga input (crude oil MOPS). Penelitian ini
memanfaatkan semaksimal mungkin data-data sekunder yang sudah ada, baik
yang sudah terpublikasikan melalui instansi resmi ataupun data-data hasil
publikasi cetakan maupun data pada situs-situs lembaga serta berbagai instansi
yang berhubungan dengan industri BBM non subsidi RON 92, serta media terkait
lainnya seperti pengunduhan (downloading) dari situs internet.
1.6.3 Tahapan Penelitian
Untuk menjamin terciptanya kerangka pemikiran yang logis dalam
penelitian ini, maka penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
i. Identifikasi fakta-fakta yang relevan sebagai latar belakang dalam
menentukan topik penelitian dan masalah penelitian yang penting dan
menarik untuk dikaji;
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
13
Universitas Indonesia
ii. Pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan data-
data pendukung lainnya;
iii. Pengolahan data dengan menggunakan pendekatan error correction model.
Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya respon
asymmetric price transmission dan alasan utama atau faktor input lain yang
dapat menjelaskan imperfect price transmission dan asymmetries;
iv. Analisa dan interpretasi terhadap hasil pengolahan data yang dapat
menunjukkan pengaruh harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual
eceran BBM non Subsidi RON 92 di SPBU;
v. Penarikan kesimpulan dari analisa dan interpretasi hasil pengolahan data;
vi. Penyusunan saran mengenai regulasi yang berkaitan dengan kegiatan
industri BBM non subsidi RON 92.
1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dibatasi hanya terhadap asymmetric price transmission untuk
mengukur kinerja industri BBM non subsidi RON 92 dengan metode Error
Correction Model (ECM) dengan data pergerakan harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92 terhadap harga input (crude oil MOPS) dari tahun 2005 hingga
tahun 2011, dimana variabel lainnya dianggap konstan. Data di mulai dari runtun
waktu tahun 2005 disebabkan industri BBM Indonesia baru diliberalisasi
(menggunakan mekanisme pasar) pada tahun tersebut sehingga dianggap
mewakili kondisi fluktuasi harga input yang direspon oleh harga output. Data
harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 yang digunakan adalah data nasional
yang tercantum di situs resmi pelaku aktif dalam industri yaitu Pertamina,
Petronas, Shell, dan Total. Data di tingkat daerah tidak dijadikan sebagai acuan
sehingga analisa tidak mencerminkan perbedaan harga di berbagai daerah di
Indonesia.
1.6.5 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan uraian dari Metodologi Penelitian, maka untuk
mempermudah pemahaman perlu disampaikan ilustrasi kerangka pemikiran yang
akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
14
Universitas Indonesia
Tabel 1.1 Kerangka Pemikiran
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan menggunakan sistematika penulisan yang dirumuskan
sebagai berikut:
BAB 1 : Pendahuluan
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis
penelitian, metodologi penelitian (metode penelitian, teknik
pengumpulan data, tahapan penelitian, ruang lingkup penelitian,
Analisa Pergerakan Harga dengan menggunakan Error Correction Model
Dengan data:
1. Data Harga Input (crude oil MOPS)
2. Data Harga Jual Eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU
Karakteristik Industri BBM non subsidi RON 92 di Indonesia
Hipotesa Awal:
Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU bersifat asymmetric
dengan pergerakan harga input (crude oil MOPS)
Ya,
Terjadi Asymmetric Price
Transmission
Tidak,
Tidak terjadi Asymmetric Price
Transmission
Analisa Penyebab Asimetrik/Simetrik Industri BBM non subsidi RON 92 dan
keterkaitannya dengan struktur serta perilaku pelaku usaha
Kesimpulan dan Saran
Tujuan Penelitian:
Pengujian Kondisi Asymmetric Price Transmission harga input (crude oil MOPS)
terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU
Harga BBM Non Subsidi Ron 92
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
15
Universitas Indonesia
dan kerangka pemikiran), serta sistematika penulisan dari hasil
penelitian.
BAB 2 : Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang menjadi dasar analisa
yang diterapkan dalam penelitian yaitu teori asymmetric price
transmission dan analisa faktor input lain yang mungkin
mempengaruhi penetapan harga jual eceran BBM non subsidi RON
92 di SPBU.
BAB 3 : Metode Penelitian
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metodologi yang
digunakan dalam pendekatan asymmetric price transmission
dengan menggunakan model error correction model dalam
penelitian, cakupan data yang digunakan, dan tahapan pengolahan
data tersebut.
BAB 4 : Analisa dan Pembahasan
Bab ini akan mencoba menguraikan hasil pengolahan data
berdasarkan teori-teori yang menjadi dasar analisa pergerakan
harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan faktor input lain
yang mempengaruhi dalam penelitian. Dalam bab ini juga akan
dianalisa kinerja industri BBM non subsidi RON 92.
BAB 5 : Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan dari penelitian akan disajikan dalam bab ini yaitu
berupa hasil analisa dan pembahasan terhadap data-data dan
informasi serta memperhatikan hipotesa yang disampaikan pada
bab sebelumnya. Kemudian dari kesimpulan tersebut disampaikan
saran-saran yang dapat dijadikan acuan untuk perbaikan ataupun
sebagai referensi akademis dalam industri BBM non subsidi RON
92 maupun bagi para pengambil kebijakan.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
16 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Teori harga memainkan peran penting dalam ekonomi neo-klasik. Dalam
paradigma ini, harga yang fleksibel menjadi faktor penyebab alokasi sumber daya
secara efisien dan transimisi harga dalam pasar yang terintegrasi secara vertikal
dan horizontal (Meyer dan Von Cramon-Taubadel, 2004). Salah satu indikator
dampak persaingan dari adanya suatu tindakan persaingan usaha tidak sehat
adalah dari harga dan marjin keuntungan. Agar persaingan dapat berlangsung,
maka kebijakan ekonomi nasional di negara-negara berkembang harus
menyediakan sejumlah prasyarat: yang pertama-tama diperlukan adalah
mewujudkan pasar yang berfungsi dan mekanisme harga. Dalam konteks
tersebut, tujuan utama adalah penyediaan akses pasar sebebas mungkin dan pada
saat yang sama menyediakan insentif untuk meningkatkan jumlah dari pengusaha
nasional. Tingkat integritas sejumlah pasar setempat dan regional juga harus
ditingkatkan melalui peningkatan infrastruktur negara (misalnya jaringan
komunikasi dan transportasi). Akhirnya, suatu kebijakan moneter yang
berorientasi stabilitas merupakan prasyarat bagi berfungsinya ekonomi
persaingan. Hanya dengan cara ini distorsi-distorsi persaingan yang berpotensi
melumpuhkan mekanisme harga dapat dihindari9.
Penetapan harga merupakan variabel pemasaran campuran yang
mempunyai dampak langsung terhadap pendapatan. Penetapan harga di tingkat
hilir termasuk ke dalam pengembangan pricing policy yaitu mengarahkan
penetapan harga yang akan diambil oleh perusahaan hilir (ritel). Setiap keputusan
mengenai harga harus diintegrasikan dan disinergikan dengan seluruh rencana dan
variabel perusahaan hilir (ritel). Perusahaan hilir (ritel) harus mengembangkan
strategi harga dalam perilaku sistematik dimulai dari mengidentifikasikan tujuan
keseluruhan penetapan harga. Tujuan dibutuhkan untuk mencapai price points
atau price levels yang efektif. Price points adalah perbedaan level serangkaian
harga untuk barang dan jasa. Dalam harga, tujuan harus mengikuti peraturan yang
9 Andi Fahmi Lubis. (Oktober 2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.
Jakarta. Halaman 3.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
17
Universitas Indonesia
sama dengan bagian lain yaitu harus dapat dihitung dan realistik. Kategori dari
tujuan penentuan harga adalah sebagai berikut10
:
a. Product quality objectives
Tujuan penetapan harga adalah untuk mengganti biaya yang berhubungan
dengan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan. Sebagai
tambahan, tujuan ini bersama dengan taktik yang lain menciptakan persepsi
kualitas tinggi dan kualitas perusahaan ritel yang tinggi dalam benak
konsumen. Tujuan ini biasanya digunakan bersama dengan skimming
objective pada perusahaan ritel akhir.
b. Skimming objectives (strategies)
Perusahaan ritel menetapkan harga yang relatif tinggi untuk sebuah produk
baru dan kemudian setelah pesaing masuk ke dalam pasar, harga disesuaikan
untuk turun. Tujuan ini biasanya digunakan untuk mengganti biaya yang
terjadi ketika menjual produk baru atau biaya yang berhubungan dengan
penelitian, pengembangan, dan pemasaran.
c. Market penetration objectives
Merupakan kebalikan dari skimming objectives. Harga ditetapkan pada
tingkat yang rendah untuk menarik konsumen dalam jumlah besar. Sangat
efektif dilakukan apabila konsumen sangat sensitif terhadap harga. Kunci
utama dari strategi ini adalah meningkatkan volume penjualan untuk
menutupi harga produk yang rendah. Pada titik tertentu, biaya ritel tidak akan
meningkat cukup banyak ketika volume penjualan meningkat. Tujuan ini
memiliki manfaat tambahan dari mengijinkan perusahaan ritel untuk
mengecilkan (discourage) persaingan dari pasar bersangkutan karena harga
rendah yang telah dibangun. Tujuan ini juga membantu membangun produk
baru sebagai alternatif pilihan bagi konsumen dan menciptakan tekanan sosial
terhadap produk sebagai keuntungan ekonomi.
d. Market share objectives
Tujuan ini membuat perusahaan ritel untuk menyesuaikan tingkat harga
berdasarkan perubahan harga pesaing sehingga dapat mengambil atau
10
James R. Ogden dan Denise T. Ogden. (2005). Retailing: Integrated Retail Management.
Amerika Serikat: Houghton Mifflin Company. Halaman 339.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
18
Universitas Indonesia
mengurangi market share pesaing. Hal ini dapat dilakukan untuk seluruh
kegiatan perusahaan ritel.
e. Survival objectives
Tujuan ini memungkinkan perusahaan ritel mencapai biaya penjualan.
Tujuan ini biasanya digunakan untuk menyamai volume penjualan untuk
seluruh biaya perusahaan.
f. Return on investment (ROI) objectives
Tipe penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk mencapai atau
melampui angka investasi. Harga ditetapkan untuk mencapai target tingkat
pengembalian investasi.
g. Profit objectives
Tujuan penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk mencapai
atau melampaui tingkat keuntungan tertentu.
h. Status quo objectives
Tipe penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk
mempertahankan situasi pasar saat ini. Perusahaan ritel yang ingin
menstabilkan tingkat penjualan biasanya akan menggunakan tujuan ini.
i. Cash flow objectives
Tujuan ini memungkinkan perusahaan ritel untuk menghasilkan uang secara
cepat. Tujuan ini didesign untuk meningkatkan tambahan volume penjualan.
Biasanya merupakan tujuan jangka pendek.
Market share dan kualitas produk memiliki dampak besar pada
keuntungan perusahaan ritel dan seringkali digunakan sebagai alat bantu dalam
menetapkan harga. Tambahan faktor lain yang menjadi pertimbangan ketika
membentuk atau menetapkan harga adalah customer traffic (online dan toko),
pergerakan penjualan produk yang lambat, mencoba untuk mengurangi tingkat
sensitifitas harga konsumen, menciptakan atau meningkatkan kesan perusahaan
ritel, menghindari permasalahan hukum dan etik yang berhubungan dengan harga,
dan mencoba membuat pesaing menjadi pasif dalam mengurangi harga.
Perubahan dalam lingkungan perusahaan ritel terikat pada perubahan nilai produk
di mata konsumen. Perubahan nilai produk dapat meningkatkan atau menurunkan
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
19
Universitas Indonesia
nilai dari produk perusahaan. Untuk merespon perubahan ini, perusahaan ritel
membuat 2 (dua) tipe penyesuaian produk yaitu dengan tambahan markups dan
markdowns. Tambahan ini disebabkan adanya perubahan biaya, perubahan
musim, penambahan permintaan, dan lain-lain. Sebagai contoh adalah ketika
terjadi kenaikan harga bensin dari supplier, perusahaan ritel tidak mampu lagi
menghasilkan persentasi markup sehingga harus menambahkan tambahan markup
untuk menutupi tambahan biaya yang berhubungan dengan produk11
.
Penyesuaian shock harga sepanjang rantai dari produser ke wholesale dan tingkat
retail atau sebaliknya, merupakan karakteristik penting dalam melihat mekanisme
atau kerja pasar12
.
Dalam industri yang multi-tahap akan selalu ada marjin harga yang timbul
dari aktivitas ekonomi pada tiap-tiap tahap. Penelitian Aguilar dan Santana
(2002) menyampaikan bahwa sebagian besar penelitian memperkirakan elastisitas
price transmission mempertahankan asumsi symmetric price transmission yang
berarti harga ritel akan merespon perilaku yang sama untuk penurunan dan
kenaikan harga hulu. Padahal, ada literatur lain yang memberikan bukti indikasi
asymmetric price transmission adalah hal yang umum13
. Sebagai ilustrasi,
Peltzman (2000) menemukan bukti bahwa asymmetric price transmission diantara
dua per tiga ratusan barang produsen dan konsumen di Amerika Serikat.
Kinnucan dan Forker (1987), Hahn (1990) dan Bernard dan Willett (1996)
menemukan bahwa harga ritel lebih sensitif terhadap kenaikan harga daripada
terhadap penurunan harga. Ward (1982) dan Punyawadee, Boyd, dan Faminow
(1991) dilain pihak, menemukan bahwa harga ritel lebih sensitif terhadap
penurunan harga dibandingkan terhadap kenaikan harga. Di luar pertanian,
Borenstein, Cameron, dan Gilbert (1997) menemukan bahwa harga bahan bakar
minyak lebih sensitif terhadap kenaikan harga minyak daripada penurunan harga
minyak. Kehadiran asymmetric price transmission seringkali dipertimbangkan
11 Halaman 346. 12 Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD
Publishing. Halaman 3. 13 Capps dan Sherwell. (Mei 2005). Spatial Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission
Associated with Fluid Milk Products. Texas: College Station.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
20
Universitas Indonesia
sebagai bukti adanya kegagalan pasar atau penyalahgunaan kekuatan pasar (von
Cramon-Taubadel dan Meyer, 2000).
Perubahan harga pada industri hulu meskipun tidak secara serta merta,
akan direfleksikan pada perubahan harga di sektor hilir. Pada sektor pertanian
misalnya, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Vavra dan Goodwin
(2005) ditemukan adanya pergerakan data yang asimetris dari harga di tingkat
grosir dan di tingkat pengecer. Hubungan antara tingkat hulu dan hilir
memberikan pengetahuan mendalam mengenai efisiensi dan kesejahteraan
konsumen dan produsen. Pergerakan harga yang tidak simetris ini telah
menimbulkan adanya dugaan penyalahgunaan market power dan perilaku
oligopolistik. Ketika terjadi kenaikan harga pada tingkat hulu secara serta merta
direfleksikan dengan terjadinya kenaikan harga pada tingkat hilir, namun tidak
diikuti dengan pola yang sama ketika terjadi penurunan harga. Semakin
terintegrasinya lini-lini produksi menjadi hal yang semakin banyak dilakukan.
Secara langsung maupun tidak, terbaginya proses supply chain menjadi beberapa
lini produksi akan berpengaruh terhadap pembentukan harga output di satu lini
tertentu yang kemudian menjadi input bagi lini selanjutnya. Pengaruh lebih
lanjutnya adalah terhadap pembentukan harga di tingkat konsumen akhir (end-
user).
Fenomena pergerakan harga di pasar input terkadang tidak diikuti secara
simetris terhadap pembentukan harga di tingkat output. Fenomena ini kemudian
dikenal dengan istilah asymmetric price transmission atau sering juga disebut
sebagai fenomena rocket and feathers. Secara umum pengertian dari asymmetric
price transmission merupakan pembentukan harga di lini upstream tidak
direfleksikan secara simetris terhadap pergerakan harga di tingkat downstream.
Akibat dari adanya asymmetric price transmission ini penurunan harga pada
tingkat hulu yang seharusnya direfleksikan pada penurunan harga di tingkat hilir
atau ritel tidak terjadi. Fenomena ini yang menyebabkan harga yang seharusnya
lebih murah menjadi lebih tinggi.
Asymmetric price transmission dianggap penting karena
1. Menunjukkan kesenjangan dalam teori ekonomi.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
21
Universitas Indonesia
2. Dikarenakan asymmetric price transmission dapat memiliki kesejahteraan
yang penting dan implikasi kebijakan. Asymmetric price transmission
menyatakan secara tidak langsung bahwa beberapa kelompok tidak
mendapatkan keuntungan dari pengurangan harga (pembeli) atau kenaikan
harga (penjual) yang mungkin, di bawah kondisi tertentu dari symmetry,
mengambil tempat lebih cepat atau magnitude yang lebih besar daripada data
yang di observasi. Asymmetric price transmission dapat memperlihatkan
perbedaan distribusi kesejahteraan yang mungkin terjadi di bawah symmetry
karena ukuran kesejahteraan berubah sesuai dengan perubahan harga.
3. Asymmetric price transmission seringkali dihipotesiskan sebagai manifestasi
dari kegagalan pasar (market failure) dan sebagai signal tambahan
redistribusi yang berhubungan dengan pengurangan kesejahteraan. Baik
redistribusi maupun pengurangan kesejahteraan merupakan faktor utama
intervensi kebijakan.
Asymmetric price transmission penting bukan hanya karena menunjukkan
kesenjangan dalam ilmu ekonomi tetapi juga menjadi pertimbangan tujuan
kebijakan sebagai bukti adanya kekuatan pasar.
2.2 Tipe Asymmetric Price Transmission
Asymmetry dalam konteks price transmission dapat diklasifikasikan
berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu
1. Kriteria pertama merujuk kepada kecepatan (speed) atau derajat (magnitude)
dari transmisi harga yang asimetrik. Perbedaan dari keduanya dapat
dijelaskan pada gambar di bawah ini dimana sebuah harga produk (Pout
)
diasumsikan bergantung pada harga lain (Pin
) yang dapat naik atau turun
dalam periode waktu tertentu. Pada diagram 1.a, derajat respon atas
perubahan pada Pin
tergantung arah dari perubahannya. Sedangkan pada
diagram 1.b menggambarkan kecepatan perubahannya. Kombinasi dari
keduanya kemudian akan dapat digambarkan pada diagram 1.c dimana
pergerakan transmisi harga akan dapat diukur dari derajatnya dan
kecepatannya sekaligus karena peningkatan pada Pin
membutuhkan waktu
dua periode (t1 dan t2) untuk dapat ditransmisikan secara penuh sebagai Pout
,
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
22
Universitas Indonesia
sementara penurunan dalam Pin
membutuhkan waktu tiga periode (t1, t2, dan
t3) dan tidak ditransmisikan secara sepenuhnya sebagai Pout
.
Diagram 1.a Asymmetric Price Transmission (magnitude)
Diagram 1.b Asymmetric Price Transmission (speed)
Diagram 1.c Asymmetric Price Transmission (Speed and Magnitude)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
23
Universitas Indonesia
Dampak kesejahteraan (welfare effect) dari 2 (dua) tipe asymmetric price
transmission tersebut juga dapat digambarkan secara skematik dalam area
berarsir (shaded) pada gambar di atas. Interpretasi gambar di atas akan
dipermudah dengan menerapkan asumsi volume transaksi yang tidak berubah
(konstan) sepanjang waktu (over time). Keadaan asimetri jika dilihat dari
kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) dapat membawa pada transfer
secara temporer atas kesejahteraan (temporary transfer of welfare) pada
tingkat penjual kepada pembeli. Ukurannya bergantung kepada panjangnya
interval waktu (time interval) antara t1 dan t1+n sebagaimana perubahan harga
dan volume transaksi. Sedangkan asimetri jika dilihat dari sudut pandang
magnitude dapat disimpulkan terjadi transfer permanen atas kesejahteraan
(permanent transfer of welfare). Ukurannya bergantung kepada harga dan
jumlah transaksi yang terjadi. Pada diagram 1.c ditunjukkan kombinasi
keadaan asimetri baik dilihat dari kecepatan penyesuaiannya dan derajatnya
yang mengindikasikan transfer temporer dan permanen dari kesejahteraan.
2. Kriteria kedua adalah klasifikasi asymmetric price transmission dapat dilihat
dari positif dan negatif. Jika Pout
lebih cepat atau lebih penuh bereaksi
terhadap Pin
ketika harga naik dibandingkan dengan ketika harga turun maka
asymmetric price transmission dapat dikatakan sebagai positif. Namun jika
sebaliknya yang bereaksi lebih cepat adalah ketika harga turun dibandingkan
dengan harga naik maka asymmetric price transmission disebut negatif.
Namun demikian penggunaan terminologi positif dan negatif perlu
diperlakukan secara hati-hati mengingat ketika yang dimaksud dengan Pin
adalah pada tingkat hulu dan Pout
adalah pada tingkat ritel (hilir), keberadaan
asimetrik negatif akan memberikan dampak positif pada konsumen.
Sedangkan terminologi positif, “buruk” dalam artian berasosiasi dengan
berkurangnya kesejahteraan. Oleh karena itu terminologi positif dan negatif
yang dimaksud adalah arah pergerakan harga. Terminologi ini menjadi
sangat penting sebagai pembeda antara asimetri positif dan negatif
dikarenakan berguna sebagai penentu arah transfer kesejahteraan yang
diakibatkan oleh asymmetric price transmission.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
24
Universitas Indonesia
Diagram 2.a Positive Asymmetric Price Transmission
Diagram 2.b Negative Asymmetric Price Transmission
Perlu diperhatikan bahwa arus asymmetric price transmission tidak selalu
harus berasal dari harga hulu ke hilir. Dapat dimungkinkan perubahan pada
harga output seperti pergeseran permintaan dapat menyebabkan perubahan
pada harga input. Oleh karena itu klasifikasi ini juga masih dapat
dikombinasikan dengan klasifikasi sebelumnya.
3. Kriteria ketiga adalah klasifikasi asymmetric price transmission apakah
berdampak secara vertikal atau spasial. Sebagai contoh, asymmetric price
transmission vertikal petani dan konsumen lebih sering mengeluh atau
melakukan komplain bahwa peningkatan harga di ladang (farm level/hulu)
lebih cepat dan penuh ditransmisikan kepada harga tingkat ritel (retail
level/hilir) daripada penurunan di tingkat lading (hulu). Definisi ini sudah
banyak dibahas di tema asymmetric price transmission pada umumnya.
Sedangkan definisi spasial dapat dicontohkan kenaikan harga ekspor CPO
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
25
Universitas Indonesia
Indonesia lebih cepat ditransmisikan menjadi kenaikan harga CPO Malaysia
dibandingkan dengan penurunannya. Asymmetric price transmission spasial
ini seperti halnya vertikal juga dapat diklasifikasikan lagi menurut kecepatan
dan besarannya, juga menurut positif atau negatifnya14
.
Diagram 3 Types of Error Correction
Gambar di atas membandingkan asymmetric thresholds Error Correction
Model dengan asymmetric linear Error Correction Model. Gambar tersebut
mengilustrasikan thresholds negatif dan positif ( dan ), perubahan harga dari
waktu ke waktu ( ), dan dua bentuk error correction term ( dan
) sebagai variabel yang menggambarkan deviasi positif dan negatif dalam
ekuilibrium jangka panjang. Apabila error correction term (ECT) berada pada
garis interval ( dan ) maka tidak diperlukan perbaikan pada error.
2.3 Penyebab Asymmetric Price Transmission
Penjelasan mengapa asymmetric price transmission terjadi telah dilakukan
dalam beberapa literatur. Dalam jurnalnya, Meyer dan Von Cramon-Taubadel
(2004) menjelaskan penyebab terjadinya asymmetric price transmission yang
14 Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD
Publishing. Halaman 3-4.
Asymmetric /
thresholds
Asymmetric /
linear
quadratic
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
26
Universitas Indonesia
telah disebutkan dalam beberapa literatur. Fokusnya adalah pada asymmetric
price transmission vertikal antar lini yang berbeda pada rantai pemasaran. Dua
penyebab utama dari adanya asymmetric price transmission adalah pasar yang
tidak kompetitif dan biaya penyesuaian. Penyebab lain seperti intervensi politik,
informasi yang asimetrik (asymmetric information) dan manajemen persediaan
juga disebutkan dalam literatur yang termasuk pada penyebab lain-lain. Penyebab
asymmetric price transmission tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan pasar (market power)
Banyak publikasi yang menyebutkan asymmetric price transmission merujuk
kepada perilaku struktur pasar yang tidak kompetitif sebagai alasan terjadinya
asimetri, terutama terjadi pada produk pertanian dimana petani pada tingkat
hulu dan konsumen akhir pada tingkat hilir sering menjumpai persaingan
tidak sempurna dalam processing dan retailing yang menyebabkan lini
(pihak) perantara memiliki kekuatan pasar untuk disalahgunakan (abuse).
Dapat diperkirakan ketika market power pelaku usaha tinggi maka akan
menyebabkan asymmetric price transmission. Margin-squeezing akan
meningkatkan harga input (hulu) atau menurunkan harga output (hilir) akan
direspon lebih cepat dan atau lebih lengkap daripada perubahan harga
margin-stretching. Meyer & Von Cramon-Taubadel juga mengutip beberapa
penelitian seperti Ward (1982) dan Bailey dan Bronsen (1989). Keduanya
berargumen bahwa terdapat perilaku oligopolis dimana pelaku usaha tidak
ingin kehilangan pangsa pasarnya dengan cara meningkatkan harga output
atau akhir. Hal ini terjadi karena dalam kinked demand curve yang dihadapi
oleh oligopolis apabila pelaku usaha beranggapan bahwa jika tidak ada
kompetitor akan menyesuaikan harga naik namun justru menyesuaikan harga
turun sehingga akan terjadi asimetri negatif. Oleh karena itu pelaku usaha
cenderung melakukan tindakan penyalahgunaan (abuse) atas struktur pasar
oligopolistik.
Borenstein (1997) mempelajari transmisi harga secara vertikal dari harga
minyak mentah hingga bahan bakar minyak dan menyimpulkan bahwa
downward stickiness dari harga ritel (hilir) untuk bahan bakar minyak dalam
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
27
Universitas Indonesia
oligopoli akan mengarah pada asimetrik positif. Dalam kondisi informasi
kurang sempurna, harga output lama menawarkan titik atau point alami yang
diikuti oleh perubahan dalam harga input. Sementara kenaikan harga minyak
mentah mengarah pada perubahan kenaikan harga bahan bakar minyak secara
langsung, karena margin squeezing. Penurunan biaya tidak mengarah pada
penurunan biaya output secara langsung karena perusahaan akan
mempertahankan harga di atas level kompetitif selama tingkat penjualan
tinggi. Beberapa penelitian yang menganalisa dampak market power
mempertimbangkan asymmetric price transmission di dorong bukan oleh
perubahan harga tetapi berdasarkan perubahan pada permintaan output.
Beberapa penelitian lain tentang asymmetric price transmission
menyimpulkan bahwa market power dapat menyebabkan asymmetric price
transmission lebih khusus lagi penelitian tersebut memprediksi terjadi
asymmetric price transmission positif. Dalam struktur monopoli sempurna
hal ini bisa diterima, namun dalam struktur pasar oligopolis asymmetric price
transmission positif maupun negatif dapat terjadi tergantung struktur pasar
dan perilakunya (conduct).
2. Biaya Penyesuaian dan Menu (Adjustment and Menu Cost)
Penjelasan lain dari terjadinya asymmetric price transmission adalah adanya
biaya penyesuaian yang timbul akibat pelaku usaha merubah kuantitas
dan/atau harga input dan/atau output. Jika biaya ini asimetrik terhadap
kuantitas atau harga, maka asymmetric price transmission dapat terjadi.
Bailey dan Brorsen, Peltzman (2000) dalam kasus asymmetric price
transmission positif berargumen bahwa akan lebih mudah bagi perusahaan
untuk mengurangi input dalam kasus pengurangan output daripada mencari
input baru untuk meningkatkan output. Hal ini dikarenakan input baru akan
mengarah pada pencarian biaya dan harga pada tahap kenaikan. Menu cost
dalam terminologi ekonomi merupakan biaya yang diperlukan untuk
memperbaharui menu, daftar harga, brosur, atau material lain ketika terjadi
perubahan harga. Hein (1980) mengatakan bahwa ada kemungkinan harga
nominal menyebabkan biaya (sebagai contoh mencetak kembali daftar harga
atau katalog dan biaya untuk mencari informasi). Ball dan Mankiw (1994)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
28
Universitas Indonesia
mengembangkan model berdasarkan menu cost yang dikombinasikan dengan
inflasi mengarah pada asimetri. Harga input nominal yang positif mengarah
pada penyesuaian harga output dibandingkan dengan shock harga negatif.
Hal ini dikarenakan dengan adanya inflasi, beberapa penyesuaian dibutuhkan
akibat pengurangan harga input secara otomatis tertutup oleh inflasi. Hal ini
mengakibatkan pengurangan nilai asli dari margin.
Market power dan biaya penyesuaian dapat mengakibatkan asimetrik
dalam kecepatan transmisi harga akan tetapi perbedaan mendasar antara keduanya
adalah bahwa market power dapat lebih mampu mengarah pada asimetrik
magnitude dalam jangka panjang. Perbedaan penting lainnya adalah adalah pada
apabila biaya penyesuaian nyata terjadi, apapun jenis asymmetric price
transmission yang ditimbulkan tidak akan mengarah pada transfer kesejahteraan
yang mungkin akan mengakibatkan pembenaran adanya campur tangan kebijakan
oleh regulator atau pengambil keputusan.
Penyebab asymmetric price transmission selain hal tersebut di atas
menurut McCorriston (2001) adalah harga berubah menjadi lebih besar atau lebih
kecil daripada perbandingan harga di tingkat kompetitif tergantung pada interaksi
antara market power dan returns to scale. Jika fungsi biaya dikateristikkan
sebagai increasing return to scale, maka pengaruh market power dapat
tergantikan oleh efek biaya dari peningkatan skala dan tingkat transmisi harga
justru dapat lebih mendekati tingkat kompetitif. Weldegebriel (2004) juga
berpendapat bahwa kehadiran kekuatan oligopoli dan oligopsoni tidak selalu
berarti akan terjadi transmisi harga yang tidak sempurna. Bentuk fungsi dari
permintaan ritel dan persediaan input hulu merupakan faktor penting dalam
menentukan tingkat transmisi harga. Azzam (1999) dengan menggunakan model
2 (dua) periode dari spatial kompetitif ritel menunjukkan bahwa asimetrik dapat
terjadi bahkan pada lingkungan kompetitif akibat tingkah laku pemaksimalan atau
maksimalisasi antar waktu sehingga harga ritel akan merespon secara relatif lebih
cepat apabila dibandingkan dengan ketika terjadi penurunan harga input.
Hubungan harga secara vertikal biasanya dikarakteristikkan oleh
magnitude, speed, and nature dari perubahan melalui rantai supply kepada market
shocks yang disebabkan perbedaan level dari proses pemasaran. Kecepatan pasar
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
29
Universitas Indonesia
dalam menyesuaikan shock tergantung atau ditentukan oleh aksi yang dilakukan
agen yang terlibat dalam transaksi seperti wholesalers, distributor, processors,
perusahaan ritel, dan lain-lain. Jika penyesuaian membutuhkan biaya atau
memiliki kendala maka signal harga yang diturunkan dari agen ke agen akan
memakan waktu sehingga lags mungkin signifikan. Yaitu kenaikan atau
penurunan dalam salah satu rantai tidak dihasilkan secara instan akan tetapi
didistribusikan dalam waktu. Beberapa penelitian mengenali aspek yang lebih
kompleks dalam hubungan price transmission dan memperluas kemungkinan
bahwa price adjustment mungkin asymmetric. Biasanya penelitian ini dibedakan
antara positif dan negatif shock harga. Harus menjadi perhatian bahwa
asymmetric dapat terjadi dalam aspek manapun dalam proses penyesuaian15
.
Manajemen persediaan merupakan salah satu elemen penting bagi
penyesuaian perusahaan pada shock exogenous dan kadang kala merupakan salah
satu penyebab asymmetric price transmission. Sebagai contoh, Balke (1998)
membuktikan dengan metode akunting seperti FIFO (first in first out) dapat
mengarah pada asymmetric price transmission. Blinder (1982) mengembangkan
model dimana persediaan non-negatif secara terus menerus (konstan)
menimbulkan asimetrik positif. Reagan dan Weitzman (1982) berpendapat bahwa
dalam periode permintaan rendah, perusahaan akan melakukan penyesuaian
jumlah output dan meningkatkan persediaan daripada melakukan pengurangan
harga output. Di lain pihak, ketika terjadi kenaikan permintaan, perusahaan akan
meningkatkan harga output. Kombinasi antara asimetrik yang diterima akibat
biaya rendah dan tingginya stok persediaan mengakibatkan asymmetric price
transmission positif.
Terutama dalam pertanian, bantuan dalam harga yang seringkali dalam
bentuk floor price, dapat pula mengarah pada asymmetric price transmission.
Kinnucan dan Forker (1987) berpendapat bahwa campur tangan politik dapat
mengarah pada asymmetric price transmission jika kebijakan mengakibatkan
wholesalers atau retailers percaya bahwa pengurangan harga hulu hanya akan
sementara dan kenaikan harga hulu bersifat tetap atau permanen. Penetapan harga
15 Halaman 5.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
30
Universitas Indonesia
psikologi menurut Blinder (1998) juga dapat mengakibatkan pengaruh analog
terhadap asymmetric price transmission.
Beberapa penelitian mencoba untuk menjelaskan mengenai asymmetries
dan imperfect pass-through of prices. Banyak pendapat yang berhubungan
dengan masalah penyesuaian pada tingkat ritel yang disebut sticky prices.
Sebagai contoh adalah harga pada tingkat ritel mungkin tidak sesuai dengan menu
costs dimana harga diasosiasikan dengan perubahan dalam iklan dan labelling
begitu juga terhadap reputasi ritel apabila harga berubah secara rutin.
Ketidakpastian shock harga apakah permanen atau sementara membuat
perusahaan enggan merespon signal harga. Menurut Goodwin dan Vavra (2005)
merupakan hal biasa yang menyangkut pengambilan keputusan bahwa
dikarenakan transmisi harga yang tidak sempurna (diperkirakan diakibatkan oleh
market power dan perilaku oligopolistik) bahwa pengurangan harga pada tingkat
hulu, lambat atau tidak ditransmisi sama sekali melalui rantai persediaan.
Kebalikannya, harga yang meningkat pada tingkat hulu akan direspon dengan
cepat pada tingkat konsumer akhir.
Penelitian Ball dan Mankiw (1994) mencatat bahwa kehadiran inflasi dan
input harga nominal mengarah pada hambatan dalam menurunkan harga. Bailey
dan Brorsen (1989) menunjukkan bahwa asymmetries dalam perubahan harga
dapat disebabkan oleh asymmetries dalam biaya untuk melakukan perubahan16
.
Gardner (1975) menekankan pada kebijakan Pemerintah untuk mendukung harga
produsen yang menyebabkan asymmetries price. Serra dan Goodwin (2003)
mempelajari price transmission dalam sektor susu di Spanyol, berpendapat bahwa
kelangkaan susu pada tingkat tertentu yang disebabkan oleh sistem kuota
mengarah pada situasi dimana persaingan processor meningkatkan akses pada
kuota susu dan market share ritel, akan tetapi mungkin tidak menyebabkan
kenaikan harga pada tingkat ritel.
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa secara teori dan empirik,
kehadiran tingkah laku non kompetitif dalam pasar yang diidentifikasi sebagai
pelaku asymmetric price transmission. Akan tetapi, terdapat dugaan bahwa agen
dalam industri yang terkonsentrasi menetapkan harga dengan tujuan untuk
16
Halaman 7.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
31
Universitas Indonesia
mengambil kesejahteraan dan keuntungan untuk diri sendiri dibandingkan dengan
tingkah laku yang kompetitif dan memberikan peluang signal harga naik dan
turun dalam siklus rantai. Asymmetric price transmission merupakan hasil dari
eksploitasi konsentrasi agen yang memiliki market power. Dalam penelitian
Zachariasse dan Bunte (2003) mencatat bahwa market power dapat menjelaskan
mengapa harga tidak dapat seluruhnya di transfer sementara ketergantungan
oligopoli dan oligopsoni dapat meningkatkan lags dalam penyesuaian harga17
.
Hubungan antara pergerakan harga pada tingkat hulu dan pada tingkat hilir (ritel)
dapat menggambarkan kondisi efisien atau tidak efisien sehingga akan
berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan, baik dari sisi produsen ataupun sisi
konsumen.
Dalam hal spatial asymmetric price transmission yang terjadi ketika
dan mengacu pada harga bukan berdasarkan perbedaan tingkat dalam rantai
pemasaran (marketing chain) akan tetapi mengarah pada harga barang output
yang sama di beberapa tempat. Bailey dan Brorsen (1989) mengatakan bahwa
spatial price transmission dapat menjadi asymmetric diakibatkan oleh 4 (empat)
alasan yaitu asymmetric adjustment cost, asymmetric information, market power,
dan asymmetric price reporting. Dalam konteks spatial, biaya penyesuaian
termasuk dalam transportasi barang. Spatial asymmetric price transmission dapat
timbul apabila biaya transportasi bervariasi dalam hal perdagangan. Sebagai
contoh, infrastruktur transportasi dan fasilitas handling dapat mengakibatkan
perdagangan mengarah pada satu tempat tertentu berdasarkan alasan sejarah
menurut Goodwin dan Piggott (2001). Kecepatan dan biaya transportasi dapat
mengarah pada asimetrik akibat kondisi alam (sebagai contoh, biaya transportasi
akan lebih tinggi apabila memindahkan barang ke atas gunung atau sungai
daripada ke tempat lain.
Pada negara berkembang, penyebab spatial asymmetric price transmission
seringkali ditimbulkan akibat arus informasi yang asimetrik antara pasar pusat
(hub) dan daerah sekeliling atau sekitarnya (spoke) menurut Abdulai (2000).
Harga pada pasar pusat, sebagai akibat ukuran dan pusat informasi mengakibatkan
17
Halaman 8.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
32
Universitas Indonesia
cepatnya respon terhadap perubahan harga dibandingkan dengan daerah
sekitarnya.
2.4 Lag dalam Proses Produksi dan Manajemen Persediaan
Keterbatasan persediaan dalam industri bahan bakar minyak adalah salah
satu faktor penyebab respon harga asimetrik terhadap pasar bahan bakar minyak.
Ketika harga input (crude oil) pada jangka panjang naik (misalkan karena
berkurangnya sumber, atau pembatasan persediaan maupun shock kenaikan harga
yang tiba-tiba), maka refinery dapat naik dengan menyesuaikan nilai persediaan.
Kondisi ini menyebabkan efek negatif terhadap permintaan dan positif terhadap
nilai persediaan. Ketika harga input (crude oil) turun pada jangka panjang, maka
perusahaan yang memiliki persediaan tidak akan menurunkan harga dengan cepat
dikarenakan keterbatasan persediaan. Apabila perusahaan memiliki persediaan
yang tidak terbatas, maka penjualan akan dengan cepat naik pada harga yang
rendah (Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997).
Biaya untuk menurunkan persediaan pada jangka pendek akan berbeda
dengan biaya menaikkan persediaan. Pendapat ini berdasarkan pada fakta bahwa
pengurangan persediaan dapat menjadi lebih mahal apabila tidak cukup tersedia
persediaan untuk refinery. Refinery dapat mengakibatkan terjadinya penyesuaian
biaya produksi yang tinggi akibat perubahan keberadaan input (crude oil). Hal ini
berdasarkan beberapa faktor seperti ketika persediaan crude oil menjadi langka,
maka refinery dipaksa menurunkan kuota produksinya yang akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan harga ex-refinery. Akan tetapi ketika persediaan crude oil
kembali normal, refinery melakukan penyesuaian kenaikan kuota produksi secara
perlahan dengan maksud untuk menutup kerugian akibat terjadinya perubahan
harga input. Dengan cara ini, refinery margin tercapai yang mengakibatkan
penurunan perlahan dari harga bahan bakar.
2.5 Market Power dan Local Price
Market power sebagai salah satu sumber asymmetric price transmission
memberikan dimensi berbeda dalam konteks spatial. Perusahaan yang memiliki
market power lokal dalam artian tidak ada pesaing berarti dalam beberapa radius
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
33
Universitas Indonesia
sebagai akibat dari biaya pencarian, akan membuat pesaing tidak bereaksi pada
perubahan harga sampai tingkat tertentu. Perusahaan yang memiliki market
power lokal tersebut dapat menjamin bahwa perubahan harga lebih cepat pada
margin squeeze daripada margin stretch.
Berdasarkan penelitian Green (1983), Green dan Porter (1984), dan
disempurnakan oleh Tirole (2000) dijelaskan bahwa terdapat perilaku grup
perusahaan dominan yang menjaga perjanjian dan kolusi antar perusahaan dan
melaksanakan tacit collusion agar memperoleh profit margin yang tinggi.
Apabila perusahaan mempertimbangkan tacit agreement dan mempunyai
pengetahuan yang tidak sempurna mengenai harga input pesaing maka masing-
masing perusahaan akan mempunyai loss function dengan kemungkinan rendah
untuk menurunkan marginnya. Ketika harga input naik, refinery akan segera
menaikkan harga untuk menjaga marginnya. Ketika harga input turun,
perusahaan akan menurunkan harganya hanya apabila dipaksa melakukannya
dengan adanya penurunan permintaan atau terdapat bukti bahwa pesaingnya
menurunkan harga. Atau dapat pula terjadi koordinasi yang bersifat oligopolistik
(Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997). Walaupun demikian, penelitian lain
Peltzman (2000) menyatakan bahwa kecil kemungkinan adanya bukti yang
mendukung hubungan antara struktur pasar dengan respon asimetrik antar harga.
Keberadaan searching cost yang dilakukan oleh konsumen untuk
menemukan harga yang lebih murah dapat memberi monopolistic power pada
perusahaan yang memiliki pengaruh di pasar lokal. Hal ini menyebabkan adanya
respon asimetrik terhadap penyesuaian margin ritel terhadap perubahan dalam
harga wholesale (Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997). Secara umum, ketika
terjadi kenaikan harga di pasar wholesale, SPBU akan segera menaikkan harga
namun ketika terjadi penurunan harga, SPBU lokal yang mempunyai market
power akan menjaga penurunan harga untuk memperoleh keuntungan dengan cara
tidak merespon secara otomatis penurunan harga. Ketika searching cost oleh
konsumen lebih rendah daripada keuntungan menurunkan harga, SPBU akan
dipaksa untuk menurunkan harga pada tingkat kompetitif.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
34
Universitas Indonesia
2.6 Kondisi Industri Bahan Bakar Minyak
Industri bahan bakar minyak merupakan industri yang membutuhkan
investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, tidak terdapat banyak operator atau
pelaku usaha dalam industri bahan bakar minyak. Otoritas bisnis industri ini
berada di tangan ESDM dan Dirjen Migas. Sampai saat ini sejak diliberalisasi,
baru terdapat 4 (empat) pelaku usaha yang aktif dalam industri yaitu Pertamina,
Petronas, Shell, dan Total.
2.6.1 Pelaku Usaha
Industri hilir migas telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, dimana telah terjadi restrukturisasi di
industri migas Indonesia dengan unbundling sektor hulu dan hilir. Hal ini
membuka peluang adanya investasi asing masuk dalam industri hilir migas
termasuk dalam lini distribusi BBM non subsidi, baik BBM industri maupun
BBM non subsidi untuk transportasi umum. Pasar BBM non subsidi hanya
mencakup 2,5% atau paling tinggi 5% dari total keseluruhan pasar penggunaan
BBM. Sedangkan sisanya lebih dari 95% merupakan pasar BBM subsidi (Public
Service Obligation) yang hingga hari ini masih dipegang oleh Pertamina. PT
Pertamina, menguasai 68,4% pasar BBM non subsidi di Indonesia pada kuartal II
2012, menurut data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Pertamina menjual sekitar 5,24 juta kiloliter BBM non-subsidi, dari total
penjualan secara nasional 7,66 juta kiloliter sepanjang kuartal kedua 2012.
Angka penjualan BBM non-subsidi Pertamina pada kuartal II 2012
tersebut meningkat 21,3% dari 4,32 juta kiloliter pada kuartal II 2011. Kenaikan
penjualan BBM non-subsidi Pertamina itu disebabkan meningkatnya jumlah
kendaraan mewah dan adanya program pembatasan BBM bersubsidi oleh
pemerintah18
. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melansir
pangsa pasar (market share) PT Petronas Niaga Indonesia selaku operator SPBU
Petronas dalam penjualan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi pada triwulan
II-2012 hanya 0,54 persen. Data BPH Migas menunjukkan total penjualan BBM
18
http://www.indonesiafinancetoday.com /read/35643/Pertamina-Kuasai-684-Pasar-BBM-Non-
Subsidi.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
35
Universitas Indonesia
non subsidi seluruh badan usaha pada Kuartal II sebesar 7,66 juta liter.Di
peringkat kedua terdapat PT AKR Corporindo Tbk dengan market share sebesar
6,9 persen atau 528 ribu liter. Sedangkan di peringkat ketiga terdapat PT Shell
Indonesia selaku operator SPBU Shell dengan market share 5,4 persen atau 413
ribu liter. PT Petronas Niaga Indonesia selaku operator SPBU Petronas berada di
peringkat 10 dengan market share 0,5 persen atau berhasil menjual 38.300 liter.
Kesemua data di atas termasuk penjualan untuk BBM non subsidi ke industri dan
transportasi.
Pada saat pengumuman dibukanya industri retail BBM, sekitar lima
perusahaan migas raksasa langsung menyatakan kesiapannya membangun sistem
pengisian BBM untuk Umum (SPBU) yakni Petronas, Shell, British Petroleum,
ExxonMobil, dan Chevron. Namun yang baru beroperasi adalah Pertamina,
Petronas, Shell Indonesia dan Total. Bentuk kerjasama yang dilakukan pelaku
usaha tersebut adalah berupa pembangunan stasiun bahan bakar minyak dengan
BBM non subsidi sebagai produk yang dijual. Adapun skema yang dilakukan
adalah Company Own Dealer Operated (CODO), dimana perusahaan-perusahaan
tersebut akan bekerjasama dengan pihak individu swasta dengan pemanfaatan
lahan milik perusahaan ataupun individu untuk di bangun SPBU berdasarkan hasil
verifikasi. Selain itu, standar dan spesifikasi alat-alat serta penjualan produk yang
terkait dengan bensin seperti oli, diatur oleh perusahaan investor. Sarana dan
Prasarana Standar yang Wajib dimiliki Oleh Setiap SPBU diatur oleh investor,
baik sarana pemadam kebakaran, sarana perlindungan lingkungan, keamanan,
pencahayaan, peralatan dan kelengkapan filling BBM, generator dan lainnya.
Pelaksanaan operasional SPBU harus sesuai dengan SOP (Standard Operating
Procedure) investor. Perekrutan dan pengadaan karyawan adalah tanggung jawab
individu swasta, dan para pekerja diwajibkan bekerja sesuai dengan etika kerja
standar investor. Calon mitra/individu swasta akan dikenakan biaya verifikasi dan
joining fee. Besaran marjin penjualan premium subsidi berkisar Rp 180 hingga
Rp 200 per liter dan Rp 325 untuk setiap liter Pertamax.
Kebijakan penetapan harga dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha
dan bukan oleh pemilik SPBU. Adapun profil pelaku usaha penyedia BBM Non
Subsidi (khusus transportasi umum) adalah sebagai berikut:
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
36
Universitas Indonesia
1. PT. Pertamina
Pertamina berdiri pada 10 Desember 1957 sebagai Badan Usaha Milik
Negara, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Kegiatan usaha
Pertamina meliputi eksplorasi dan produksi (hulu), pemrosesan, pengiriman atau
pengapalan serta pemasaran dan penjualan (hilir). Hingga saat ini saham
Pertamina 100% dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Dengan diterbitkannya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada 23
November 2001, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dibatalkan. Terkait dengan penerapan UU
No. 22 Tahun 2001 tersebut, Pertamina berubah menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero) dengan nama PT. Pertamina (Persero) melalui Peraturan Pemerintah No.
31 Tahun 2003. Seluruh peraturan Pertamina yang berlaku termasuk struktur
organisasi, pedoman, prosedur kerja dan aspek lain terkait pelaksanaan tugas dan
kewajiban Pertamina selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang di atas
tetap berlaku hingga terbitnya peraturan baru.
Total SPBU Pertamina yang ada di seluruh wilayah Indonesia adalah 4680
SPBU, dimana 3664 diantaranya adalah SPBU Pertamina Pasti Pas dan 74 adalah
SPBU COCO (company owns company operates) yang pengelolaannya langsung
oleh Pertamina melalui anak perusahaannya Pertamina Retail yang beroperasi
sejak Maret 2006.
Latar Belakang PT. Pertamina Retail adalah:
Sebelumnya bernama PT.Pertajaya Lubrindo dengan bidang usaha
Pelumas,berdiri sejak 17 Juni 1997.
Sejak 1 September 2005 berganti nama menjadi PT. Pertamina Retail dengan
bidang usaha SPBU.
PT.Pertamina Retail mengelola atau mengoperasikan SPBU terhitung mulai
bulan 1 Maret 2006.
2. PT. Shell Indonesia
Shell Companies di Indonesia saat ini bergerak di bidang industri hilir
minyak. PT. Kridapetra Graha (KPG), perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
37
Universitas Indonesia
Shell company, menangani kegiatan usaha di sektor hilir migas termasuk
pemasaran dan niaga pelumas baik secara langsung maupun melalui agennya.
Shell Indonesia telah menorehkan sejarah dengan membuka SPBU non Pertamina
pertama di Karawaci, Tangerang, dalam waktu 40 tahun ini. Dalam bisnis
transportasi Shell memproduksi pelumas termasuk merk Rimula. Shell juga
menawarkan jasa konsultasi dan teknologi untuk industri petrokimia dan
pemrosesan minyak melalui Shell Global Solutions.
Dalam bidang usaha niaga, Shell secara teratur membeli produk dari
kilang Pertamina seperti LSWR, Naptha dan Baseoils atas dasar SPA (Shell
Purchase Agreement) De-bottlenecking Project, dan seringkali menjual produk
kepada Pertamina melalui proses tender. Pada tahun 2004, Shell mendapat lisensi
niaga umum dan pada tahun 2005 mendapat izin permanen. Izin tersebut
diperoleh setelah Shell melengkapi persyaratan yang diminta seperti: mempunyai
sumber pasokan, mempunyai storage, mempunyai pengangkutan dan mempunyai
SPBU. Selain BBM, Shell juga memproduksi pelumas dengan merk sendiri dan
tidak lagi menggunakan merk Pertamina. SPBU Shell saat ini diusahakan dengan
mekanisme Company Own Distributor Operate.
Shell mulai mengoperasikan SPBU di Indonesia sejak 1 November 2005.
SPBU pertamanya terletak di Lippo Karawaci, Tangerang. Pada 1 Maret 2006,
Shell membuka SPBU di Jakarta yang terletak di Jalan S. Parman.Saat initotal
jumlah SPBU Shell mencapai 57 gerai dengan rincian 50 di Jakarta dan tujuh di
Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur.
Produk
Produk yang ditawarkan oleh Shell SPBU adalah:
Shell Super Extra , Bahan bakar dengan octane 95
Shell Super , Bahan bakar dengan octane 92
Shell Diesel , Shell Diesel direkomendasikan untuk semua jenis kendaraan
diesel.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
38
Universitas Indonesia
3. Petronas
Petronas kependekan dari Petroliam Nasional Berhad, adalah perusahaan
minyak dan gas milik negara Malaysia, didirikan pada tanggal 17 Agustus1974
sebagai perusahaan minyak nasional Malaysia, yang berhak atas seluruh
kepemilikan dan control sumber daya minyak bumi di dalam negeri Malaysia.
Sejak itu berkembang dari yang hanya sebagai manajemen dan regulator sektor
hulu Malaysia, menjadi bentuk integrasi dari perusahaan minyak dan perusahaan
gas. Petronas memiliki 103 anak perusahaan, dan memiliki sebagian 19
perusahaan dan berhubungan dengan 55 perusahaan.
Kegiatan usaha Petronas meliputi (i) eksplorasi, pengembangan dan
produksi minyak mentah dan as alam di Malaysia dan luar negeri; (ii) likuifaksi,
penjualan dan transportasi LNG, (iii) pengolahan dan transmisi gas alam dan
penjualan produk gas alam, (iv) penyulingan dan pemasaran produk-produk
minyak bumi, (v) pembuatan dan penjualan produk petrokimia, (vi) perdagangan
minyak mentah dan produk minyak bumi, dan (vii) pengiriman dan logistic yang
berkaitan dengan LNG, minyak mentah dan produk minyak bumi.
Petronas mengolah minyak mentah yang diproduksi dengan eksplorasi dan
operasi produksi melalui bisnis minyak terintegrasi yang mencakup operasi
penyulingan, pemasaran, perdagangan dan ritel. Minyak mentah diperdagangkan
dan dipasarkan secara internasional serta diolah menjadi produk minyak di kilang
Petronas untuk pasar domestik dan ekspor. Petronas memiliki dan
mengoperasikan empat kilang dengan kapasitas penyulingan total lebih dari
448.000 barel per hari. Produk minyak bumi dari kilang tersebut dipasarkan
melalui jaringan stasiun Petronas layanan di beberapa negara yaitu Malaysia,
Afrika Selatan, Sudan, Thailand, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, Petronas memiliki 19 SPBU, kebanyakan di kawasan
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu SPBU
Petronas juga terdapat di kota Bandung dan kota Medan. Namun, beberapa SPBU
milik Petronas terpaksa tutup karena kalah bersaing dan terus merugi sehingga
jumlah SPBU hanya tinggal 4 buah.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
39
Universitas Indonesia
4. PT. Total
Total adalah perusahaan distribusi BBM milik Prancis. Total
memanfaatkan aturan internasional tentang liberalisasi perdagangan energi
sebagai pintu masuk ke Indonesia. Total E&P Indonesia didirikan di Jakarta, 14
Agustus 1968, dengan lapangan awal saat itu di seputar delta mahakam. Selain
TOTAL E&P Indonesie, TOTAL SA sebagai perusahaan induk dari TEPI,
TOTAL, SA juga memiliki affiliasi downstream di Indonesia, yaitu PT TOTAL
Oil Indonesia (TOI).
Total mengoperasikan jaringan global dari 16,425 SPBU di seluruh dunia,
yang 11.134 stasiun di Eropa dimana Grup juga memiliki jaringan 500 AS24
stasiun khusus dalam pemasaran bahan bakar untuk transporter profesional. Sejak
tahun 2005, total telah diluncurkan di beberapa negara Eropa dan Turki
EXCELLIUM TOTAL. Jumlah ini juga mendistribusikan BBM dalam negeri
untuk pemanas, produksi air panas dan motorisasi profesionnal, serta bahan bakar
berat untuk pelanggan industri. Di Indonesia, SPBU total beroperasi sejak 2007.
2.6.2 Distribusi Bahan Bakar Minyak
Distribusi bahan bakar minyak dilakukan mulai dari perolehan bahan
bakar melalui kilang dalam negeri atau impor yang direfineri oleh pelaku usaha di
depot masing-masing untuk kemudian disalurkan kepada konsumen melalui
instalasi penyimpanan.
Grafik 2.1 Pola Distribusi Bahan Bakar Minyak
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
40
Universitas Indonesia
Keterangan:
1. Terminal transit/instalasi/depot adalah tempat penimbunan BBM yang
dimiliki atau dikuasai oleh pelaku usaha;
2. Stasiun pengisian BBM untuk umum adalah setiap tempat untuk melayani
pembelian BBM yang terdiri dari stasiun pengisian bahan bakar untuk umum
(SPBU), Premium Solar Packed Dealer (PSPD), Agen Premium dan Minyak
Solar (APMS), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB), Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Industri (SPBI), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk
TNI dan Kepolisian Negara RI (SPBT/P), dan bunker service PT Pertamina
(Persero) 19
.
2.6.3 Regulasi
Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Cabang-
cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
Penyelenggaraan minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis
tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang
menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam
perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha minyak dan
gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara
nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan
kegiatan usaha minyak dan gas diselenggarakan melalui peraturan perundang-
undangan sebagai berikut:
A. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001Tentang Minyak dan Gas
Bumi
Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi memiliki tujuan
untuk menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan,
pengangkutan penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan
19
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2005 tanggal 28 Februari 2005 tentang
Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
41
Universitas Indonesia
melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan untuk
menjamin tersediaan minyak bumi dan gas bumi. Kegiatan usaha Minyak dan
Gas Bumi terdiri atas:
1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup :
a. Eksplorasi;
b. Eksploitasi.
2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup :
a. Pengolahan;
b. Pengangkutan;
c. Penyimpanan;
d. Niaga.
Mengingat vital dan pentingnya bahan bakar minyak yang merupakan
komoditas yang memiliki nilai strategis serta menguasai hajat hidup orang banyak
di Indonesia, Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin ketersediaan serta
kelancaraan pendistribusian bahan bakar minyak. Pelaksanaan kegiatan distribusi
bahan bakar minyak dilaksanakan oleh badan usaha yang melaksanakan kegiatan
usaha hilir. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau
bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau
Niaga. Mekanisme pelaksanaan kegiatan usaha hilir dilaksanakan melalui izin
usaha yang penyelenggaraannya dilakukan melalui persaingan usaha yang wajar,
sehat dan transparan. Berdasarkan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 200 Tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU No. 22/2001)
Kegiatan Usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh:
a. Badan usaha milik Negara;
b. Badan usaha milik daerah;
c. Koperasi, usaha kecil;
d. Badan usaha swasta;
Bentuk usaha tetap dibatasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas, dimana
bentuk usaha tetap hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu20
. UU No.
20
Pasal 1 angka 18 UU No.22/2001 Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan
berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
42
Universitas Indonesia
22/2001 mengatur mengenai larangan bagi badan usaha tetap yang melakukan
kegiatan usaha hulu untuk melakukan kegiatan usaha hilir. Hal sebaliknya
berlaku bagi badan usaha yang melakukan kegiatan hilir tidak dapat melakukan
kegiatan usaha hulu21
. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh badan usaha atau
bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerjasama yang hanya diberikan 1 (satu)
wilayah kerja dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah
mendapatkan izin usaha dari pemerintah. Izin Usaha adalah izin yang diberikan
kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan,
Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau
laba22
. Izin usaha dalam kegiatan usaha hilir terdiri atas:
a. Izin usaha pengolahan
b. Izin usaha pengangkutan
c. Izin usaha penyimpanan
d. Izin usaha niaga.
Izin usaha kegiatan usaha hilir kepada setiap badan usaha dapat diberikan
lebih dari 1 (satu) izin usaha sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Terhadap bahan bakar minyak serta olahan
tertentu dari minyak bumi yang dipasarkan didalam negeri dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standard dan mutu yang telah
ditetapkan oleh pemerintah.
B. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 tentang kegiatan Usaha
Hilir Minyak dan Gas Bumi
Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah memiliki
Izin Usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui
mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Pemerintah
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Republik Indonesia 21
Pasal 10 UU No.22/2001 22
Pasal 1 angka 20 UU No. 22/2001
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
43
Universitas Indonesia
melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan atas penyelenggaraan
Kegiatan Usaha Hilir. Pengaturan dan pembinaan dilakukan oleh Menteri yang
meliputi:
a. Izin Usaha yang diberikan kepada Badan Usaha;
b. Jenis, standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Gas Bumi, Bahan Bakar Gas,
dan Bahan Bakar Lain serta Hasil Olahan;
c. Jaminan ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak
di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. Pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;
e. Cadangan Strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan
Bakar Minyak dalam negeri;
f. Kebijakan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional;
g. Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasiona
h. Teknis keselamatan dan kesehatan kerja, dan pengelolaan lingkungan hidup
serta pengembangan masyarakat setempat;
i. Mekanisme dan/atau formulasi harga Bahan Bakar Gas dan jenis Bahan
Bakar Minyak tertentu pada masa sebelum harga dapat diserahkan pada
mekanisme persaingan usaha yang wajar dan sehat;
j. Ketersediaan dan distribusi jenis Bahan Bakar Minyak tertentu;
k. Peningkatan potensi kemampuan nasional;
l. Pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang
bangun dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 12 PP No. 36 Tahun2004, kegiatan usaha hilir meliputi:
a. Kegiatan usaha Pengolahan yang meliputi kegiatan memurnikan,
memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai
tambah Minyak dan Gas Bumi yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak,
Bahan Bakar Gas, Hasil Olahan, LPG dan/atau LNG tetapi tidak termasuk
Pengolahan Lapangan;
b. Kegiatan usaha Pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan Minyak
Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
44
Universitas Indonesia
Olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk Pengangkutan Gas
Bumi Melalui Pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial;
c. Kegiatan usaha Penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan,
pengumpulan, penampungan dan pengeluaran Minyak Bumi, Bahan Bakar
Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil Olahan pada lokasi di atas
dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan
komersial;
d. Kegiatan usaha Niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor,
impor Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau
Hasil Olahan, termasuk Gas Bumi melalui pipa.
Dalam hal Pengajuan dan pemberian Izin Usaha untuk kegiatan usaha hilir
ditetapkan sebagai berikut:
a. Kegiatan usaha Pengolahan yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak,
Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh
Menteri;
b. Kegiatan usaha Pengangkutan Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan
Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui
pipa diajukan kepada dan diberikan oleh Menteri;
c. Kegiatan usaha Penyimpanan Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan
Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh
Menteri;
d. Kegiatan usaha Niaga Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak,
Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh
Menteri.
Bagi Badan Usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha Niaga Minyak
Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain
dan/atau Hasil Olahan wajib memiliki Izin Usaha Niaga dari Menteri. Dalam
melaksanakan kegiatan usaha Niaga, Badan Usaha wajib:
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
45
Universitas Indonesia
a. Menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan
Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan secara berkesinambungan pada jaringan
distribusi Niaganya;
b. Menjamin ketersediaan Gas Bumi melalui pipa secara berkesinambungan
pada jaringan distribusi Niaganya;
c. Menjamin harga jual Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar,
Lain dan/atau Hasil Olahan pada tingkat yang wajar;
d. Menjamin penyediaan fasilitas Niaga yang memadai;
e. Menjamin standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan
Bakar Lain dan/atau HasilOlahan yang ditetapkan oleh Menteri;
f. Menjamin dan bertanggung jawab atas keakuratan dan sistem alat ukur yang
digunakan;
g. Menjamin penggunaan peralatan yang memenuhi standar yang berlaku.
Terhadap Badan Usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga Bahan
Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan /atau Hasil Olahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dapat diberikan Izin Usaha Niaga Umum
(Wholesale) atau Izin Usaha Niaga Terbatas (Trading). Badan Usaha pemegang
Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) dapat melakukan kegiatan niaga untuk
melayani konsumen tertentu (besar). Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga
Umum (Wholesale) wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana
penyimpanan serta jaminan suplai dari sumber di dalam negeri dan/atau luar
negeri. Menteri menetapkan kapasitas fasilitas penyimpanan minimum yang
harus direalisasikan Badan Usaha. Badan Pengatur memberikan pertimbangan
kepada Menteri berkaitan dengan penetapan kapasitas fasilitas penyimpanan
minimum. Badan Usaha dapat memulai kegiatan usaha Niaganya selelah
memenuhi kewajiban kapasitas fasilitas penyimpanan minimum. Badan Usaha
pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) Bahan Bakar Minyak dapat
melakukan kegiatan penyaluran secara langsung kepada pengguna transportasi
melalui fasilitas dan sarana yang dikelola dan/atau dimilikinya.
Kegiatan penyaluran secara langsung pada fasilitas dan sarana milik Badan
Usaha sebagaimana hanya dapat dilaksanakan paling banyak 20% (dua puluh
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
46
Universitas Indonesia
persen) dari jumlah seluruh sarana dan fasilitas kegiatan penyaluran yang dikelola
dan/atau dimiliki oleh Badan Usaha. Kegiatan penyaluran pada sarana dan
fasilitas yang dikelola dan/atau dimiliki Badan Usaha yang tidak dilakukan secara
langsung, pengoperasiannya hanya dapat dilaksanakan oleh koperasi, usaha kecil
dan/atau badan usaha nasional. Koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha
nasional dapat memiliki dan mengoperasikan fasilitas dan sarana milik sendiri
melalui kerjasama dengan Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum
(Wholesale).
Menteri ESDM menetapkan jenis, standar dan mutu Bahan Bakar Minyak,
Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan yang berupa produk
akhir (finished product) yang akan dipasarkan di dalam negeri. Standar dan mutu
Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil Olahan yang dipasarkan
di dalam negeri wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan Menteri.
Menteri dalam menetapkan standar dan mutu standar dan mutu Bahan Bakar
Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan yang berupa
produk akhir (finished product) yang akan dipasarkan di dalam negeri.wajib
memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan
kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan
lingkungan hidup.
C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun
2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi
Berdasarkan ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara
002/PUU-1/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap Pasal 28
ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga
perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan
Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Perubahan peraturan pemerintah
no. 36 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi adalah
ketentuan pasal 72 yang semula mengatur Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
47
Universitas Indonesia
bumi, kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan
pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan diubah
menjadi harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan
oleh Pemerintah.
D. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran
Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri
Seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, menyebabkan kenaikan
harga bahan bakar minyak khususnya bahan bakar minyak bersubsidi yang
membebankan keuangan Negara dalam penyediaan dan pengadaan bahan bakar
minyak dalam negeri, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan untuk
pengurangan subsidi terhadap bahan bakar minyak dalam negeri. Dalam
pengaturan Perpres ini, Pemerintah menetapkan kebijakan terhadap harga bahan
bakar subsidi sebagai berikut:
Pasal 2 ayat (2) Harga jual eceran Bensin Premium dan minyak solar (gas
oil) untuk usaha kecil, transportasi dan pelayanan umum di titik serah termasuk
pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap liter ditetapkan sebagai berikut:
a. Bensin premium : Rp. 4500 (empat ribu lima ratus rupiah);
b. Minyak solar (gas oil) : Rp. 4300 (empat ribu tiga ratus rupiah).
E. Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan gas Bumi Nomor 3674
K/DJM/2006 tentang standar mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak
jenis bensin yang dipasarkan di dalam negeri.
Dalam peraturan ini standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak
(BBM) jenis bensin terdiri dari bensin 88, bensin 91 dan bensin 95. Bensin 88
adalah jenis bensin dengan riset octane (RON) 88 tanpa timbale atau bensin
dengan RON 88 bertimbal.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
48 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini, akan diuraikan mengenai metode analisis yang akan
digunakan dalam penelitian serta data-data yang diperlukan dalam penelitian.
3.1 Cakupan Penelitian
Dalam penelitian ini, akan dianalisa struktur, perilaku, dan kinerja industri
BBM non subsidi RON 92. Untuk pengukuran kinerja, digunakan analisa
pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU terhadap
pergerakan harga input crude oil. Adapun metode analisis yang digunakan adalah
asymmetric price transmission dengan model error correction model. Model ini
mengacu pada jurnal Bachmeier dan Griffin (2003) dengan judul New Evidence
on Asymmetric Gasoline Price Response yang menganalisa asimetrik pergerakan
harga bensin dengan harga crude oil. Error correction model merupakan model
yang digunakan untuk mengoreksi persamaan regresi di antara variabel-variabel
yang secara individual tidak stasioner agar kembali ke nilai equilibriumnya di
jangka panjang, dengan syarat utama berupa keberadaan hubungan kointegrasi di
antara variabel-variabel penyusunnya. Hubungan kointegrasi dapat diartikan
sebagai suatu hubungan jangka panjang (long term relationship/equilibrium)
antara variabel-variabel yang tidak stasioner23
.
Dasar dari pengujian Bachmeier dan Griffin (2003), mengacu pada jurnal
sebelumnya yaitu: Borenstein, Cameron, dan Gilbert (1997) yang menyatakan
bahwa kenaikan harga bahan bakar mengikuti kenaikan harga crude oil, namun
turun secara perlahan ketika terjadi penurunan harga crude oil dengan
menggunakan pergerakan harga mingguan dari harga crude oil dan harga bahan
bakar. Secara spesifik, Bachmeier dan Griffin (2003), menguji sensitifitas model
Borenstein, Cameron, dan Gilbert dengan frekwensi data dan spesifikasi model
yang berbeda.
Pengujian oleh Borenstein, Cameron, dan Gilbert dilakukan secara
bertahap, dimana dalam pengujian tersebut ingin diketahui transmisi harga dalam
beberapa tahapan distribusi. Dalam penelitiannya, Borenstein, Cameron, dan
23
Ajija dan Setianto. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Halaman 133.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
49
Universitas Indonesia
Gilbert menggunakan model two stage least square. Dalam penelitiannya
digunakan jenis data mingguan dari harga crude oil maupun harga di wholesale,
dan ritel bahan bakar dalam periode Maret 1986-1992. Dalam penelitian tersebut
ditemukan bahwa terdapat pergerakan harga asimetrik dari harga spot untuk bahan
bakar terhadap perubahan crude oil akibat adanya penyesuaian dari sisi inventori
atau persediaan dan pergerakan yang asimetrik dari harga ritel terhadap harga
wholesale yang diduga akibat adanya market power antar ritel dalam jangka
pendek. Sedangkan penelitian oleh Bachmeier dan Griffin, lebih difokuskan pada
pengujian transmisi harga input (crude oil) pada harga output (ritel) dengan
frekwensi data yang lebih pendek yaitu data harian harga crude oil dan eceran
bahan bakar dari periode tahun 1985-1998. Untuk pengujian ini digunakan model
Engle-Granger error correction model yang menawarkan pendekatan model yang
lebih cocok untuk membedakan harga yang asimetris.
Pada hasil pengujian oleh Bachmeier dan Griffin, ditemukan bahwa
dengan menggunakan data harian serta metodologi Engle-Granger error
correction model justru tidak ditemukan bukti adanya asymmetric price
transmission dari harga crude oil pada harga ritel bahan bakar. Berdasarkan
penjelasan yang ada, faktor penyesuaian harga harian berpengaruh terhadap
perilaku harga ritel bahan bakar. Dengan kata lain, karena pergerakan harga
harian yang diamati, maka penyesuaikan harga ritel semakin bersifat simetrik.
Penelitian ini difokuskan pada pengujian transmisi harga antara harga input (crude
oil) terhadap pergerakan harga output (ritel) dengan menggunakan Engle-Granger
error correction model sebagaimana digunakan Bachmeier dan Griffin dalam
menguji asimetrik harga.
Pemilihan sampel data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92
didasarkan pada data harga dua mingguan dari empat pelaku usaha aktif di
Indonesia dari bulan Januari tahun 2005 sampai dengan bulan Desember tahun
2011. Data time series crude oil tersebut didasarkan pada data Plats dengan
jangka waktu yang sama yaitu dari bulan Januari tahun 2005 sampai dengan bulan
Desember tahun 2011. Data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 yang
digunakan adalah data nasional yang tercantum di situs resmi pelaku aktif dalam
industri yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total. Data di tingkat daerah tidak
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
50
Universitas Indonesia
dijadikan sebagai acuan sehingga analisa tidak mencerminkan perbedaan harga di
berbagai daerah di Indonesia.
Kedua jenis data tersebut dikonversi dalam bentuk Rupiah. Lebih lanjut,
data kualitatif dalam penelitian ini meliputi data mengenai struktur industri BBM
non subsidi RON 92 yang diperoleh dari empat pelaku usaha aktif.
3.2 Metode Analisis
Pendekatan statistik yang biasa digunakan pada asymmetric price
transmission mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga
downstream bereaksi terhadap perubahan harga upstream tergantung pada
karakteristik dari harga upstream atau perubahan dalam harga tersebut. Dalam
bentuk harga upstream dan downstream yang terkait (pasar internasional dan
domestik), terdapat keberadaan external shocks yang menimbulkan penyesuaian
jangka pendek dan jangka panjang melalui ekuilibrium jangka panjang. Apabila
terjadi kondisi asymmetric price transmission, kenaikan pada harga input segera
disesuaikan oleh pasar output, namun ketika harga input turun tidak segera
direspon oleh pasar output. Model pengujian menggunakan error correction
model. Error correction model merupakan teknik untuk mengoreksi
ketidakseimbangan jangka pendek menuju pada keseimbangan jangka panjang24
.
Dalam spesifikasinya, terdapat tiga jenis spesifikasi tes atau Augmented
Dickey-Fuller (ADF), yaitu spesifikasi tanpa intersep (drift) dan trend, spesifikasi
dengan intersep dan spesifikasi dengan intersep dan trend. Hal ini dikarenakan
proses stokastik yang terjadi pada sebuah seri waktu dapat mempunyai bentuk
yang berbeda-beda. Secara umum, spesifiksi yang paling banyak digunakan
adalah dengan spesifikasi memasukkan intersep dan trend. Tes ini akan
menggunakan prosedur Dickey-Fuller (DF) atau Augmented Dickey-Fuller (ADF)
dengan asumsi bahwa terdapat korelasi dari error. Tes tersebut menggunakan
estimasi persamaan sebagai berikut:
(3.1)
24
Nachrowi dan Usman. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis
Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Halaman 371.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
51
Universitas Indonesia
Dimana penggunaan sebagai error murni. Dilakukan first difference dari yt dan
diintegrasikan terhadap yt-1 untuk melihat apakah estimasi slope coefficient ( )
adalah nol. Apabila = 0 maka yt adalah non stasioner (terdapat unit root). Jika
menolak hipotesis nol maka dapat disimpulkan bahwa seri waktu tersebut adalah
stasioner.
3.3 Tahapan Pengujian
Dalam tahapan pengujian dibutuhkan beberapa faktor agar dapat
menghasilkan model persamaan yang dapat diandalkan. Faktor tersebut adalah
stasioneritas, tes kointegrasi, dan tes error correction model asimetrik. Sebelum
melakukan tes di atas, dilakukan pula tes Granger Causality yang berguna untuk
memperlihatkan seberapa pengaruh dari variabel-variabel yang diamati yaitu
harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual eceran BBM non subsidi
RON 92 di SPBU. Selain tes Granger Causality, dilakukan pula tes ANOVA
untuk menguji penerimaan (acceptability) model dari perspektif statistik dalam
bentuk analisis sumber keragaman dengan tabel ANOVA (Analysis of Variance)
atau disebut juga dengan analisis ragam. Tujuan ANOVA adalah untuk menguji
lebih dari dua rata-rata populasi, apakah mempunyai rata-rata yang sama atau
berbeda. Dalam menentukan signifikan atau tidak signifikan, dengan
membandingkan antara F hitung dan F tabel serta probalitias (significance)
dengan alpha25
.
Hipotesis yang digunakan adalah:
H0: µ1 = µ2 … = µk (mean dari semua kelompok sama)
Ha: µi <> µj (terdapat mean dari dua atau lebih kelompok tidak sama)
Dari tabel ANOVA tersebut diungkapkan bahwa keragaman data aktual
variabel terikat (dependent) bersumber dari model regresi dan dari residual.
Dalam pengertian sederhana adalah variasi (turun-naiknya atau besar kecilnya)
25 Danang Sunyoto. (2012). Prosedur Uji Hipotesis untuk Riset Ekonomi. Bandung: Penerbit
Alfabeta. Halaman 91.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
52
Universitas Indonesia
harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU disebabkan oleh variasi
dari harga input MOPS dan ICP (model regresi) serta dari faktor-faktor lainnya
yang mempengaruhi harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU yang
tidak dimasukkan dalam model regresi (residual). Degree of Freedom (df) atau
derajat bebas dari total adalah n-1, dimana n adalah banyaknya observasi. Nilai F
ini yang dikenal dengan F hitung dalam pengujian hipotesa dibandingkan dengan
nilai F tabel. Jika F hitung > F tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara
simultan (bersama-sama) harga input MOPS dan ICP berpengaruh signifikan
terhadap harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU. Selain itu, dapat
pula membandingkan antara taraf nyata dengan p-value. Jika taraf nyata > dari p-
value maka kesimpulannya sama dengan di atas.
3.3.1 Tes Stasioner
Penelitian ini melakukan analisis berdasarkan pengujian data time series,
maka perlu dilakukan pengujian karakteristik data yang digunakan yaitu tes
stasioneritas. Proses stokastik atau random merupakan kumpulan variabel-
variabel yang random (acak) pada waktu tertentu. Suatu proses stokastik dapat
dikatakan stasioner jika nilai rataan (mean) dan variansnya konstan sepanjang
waktu dan nilai kovarians antara dua periode hanya bergantung pada jarak atau
celah (gap) atau lampau (lag) antara dua periode waktu dan tidak pada periode
actual, dimana kovarian dihitung. Stasioneritas terkait erat dengan konsistensi
pergerakan data time series. Sebaliknya suatu proses stokastik dikatakan tidak
stasioner jika memiliki nilai rataan atau varians yang bervariasi sepanjang waktu
atau memiliki nilai rataan dan varians yang beragam. Suatu data disebut stasioner
apabila nilai rata-rata dan variansnya konstan sepanjang waktu, yang diikuti
dengan nilai covarians antar dua periode waktu yang hanya bergantung kepada
jarak atau selang di antara keduanya. Data yang tidak stasioner memiliki rata-rata
dan varian yang tidak konstan sepanjang waktu. Dengan kata lain, secara ekstrim
data stasioner adalah data yang tidak mengalami kenaikan dan penurunan.
Selanjutnya regresi yang menggunakan data tidak stasioner biasanya mengarah
kepada regresi lancung atau spurious regression. Permasalahan ini muncul
diakibatkan oleh variabel dependen dan independen runtun waktu terdapat tren
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
53
Universitas Indonesia
yang kuat dengan pergerakan menurun ataupun meningkat. Adanya tren yang
menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi akan tetapi keterkaitan antar
variabel rendah. Koefisien determinasi (R2)
merupakan ukuran ringkas yang
menginformasikan seberapa baik sebuah garis regresi sampel sesuai dengan
datanya. Keseluruhan koefisien determinasi memberitahukan bahwa proporsi
variasi dari variabel dependen atau regresan dijelaskan oleh variabel penjelasnya
atau regresor. Koefisien R2
berada antara angka 0 dan 1. Semakin mendekati 1,
semakin baik ketepatannya26
.
Tes stasioner atau non-stasioneritas yang sangat popular digunakan adalah
uji akar-akar unit (unit root test). Stasioneritas dapat diperiksa dengan mencari
apakah data runtun waktu mengandung akar unit (unit root). Pengujian yang
dihasilkan dari persamaan yang mengandung unsur unit root adalah bias. Uji
akar unit digunakan untuk menguji adanya anggapan bahwa sebuah data time
series tidak stasioner. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah
data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman
yang konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Beberapa metode yang
dapat dilakukan untuk menguji akar unit diantaranya adalah Dickey-Fuller,
Augmented Dicky-Fuller, Dickey-Fuller DLS (ERS), Philips-Peron, Kwiakowski-
Philips-Schmidt-Shin, Elliot-Rothenberg-Stock Point-Optimal, dan Ng-perron.
Penelitian ini akan menggunakan uji Augmented Dicky-Fuller untuk menentukan
apakah suatu data runtun waktu mengandung akar unit atau bersifat non-stasioner.
Jika variabel Yt sebagai variabel dependen, maka akan diubah menjadi
Yt = ρ Yt-1 + Ut (3.2)
Jika koefisien Yt-1 (ρ) adalah = 1 dalam arti hipotesis diterima, maka variabel
mengandung unit root dan bersifat non-stasioner. Untuk mengubah trend yang
bersifat non-stasioner menjadi stasioner dilakukan uji orde pertama (first
difference).
ΔYt = (ρ-1) (Yt – Yt-1) (3.3)
26
Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Salemba Empat. Halaman
94.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
54
Universitas Indonesia
Koefisien ρ akan bernilai 0, dan hipotesis akan ditolak sehingga model menjadi
stasioner.
Hipotesis yang digunakan pada pengujian augmented dickey fuller adalah:
H0 : ρ = 0 (Terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner)
H1 : ρ ≠ 0 (Tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)
Kesimpulan hasil root test diperoleh dengan membandingkan nilai t-hitung
dengan t-tabel pada tabel Dickey-Fuller27
. Yaitu sebagai berikut:
a. Jika nilai probabilitas lebih kecil daripada α = 1%, α = 5%, atau α = 10%,
maka tidak terjadi unit root. Sebaliknya, jika nilai probabilitas lebih besar
dari α = 1%, α = 5%, atau α = 10%, maka terjadi unit root.
b. Jika terjadi unit root, maka dilakukan tes yang kedua (tes derajat integrasi):
1st Difference – Trend and Intercept.
3.3.2 Tes Kointegrasi
Selanjutnya, dilakukan pengujian kecenderungan pergerakan data yang
sama antara dua variabel atau lebih yang bergerak secara bersama-sama dalam
jangka panjang dengan menggunakan uji kointegrasi. Secara ekonomi, dua
variabel akan terkointegrasi jika memiliki hubungan jangka panjang (ekuilibrium)
hubungan di antara keduanya. Uji ini terkait dengan model yang dilakukan
dimana dengan menggunakan model VECM (vector error correction model)
maka dapat digunakan data series yang non-stasioner asalkan data tersebut
terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang sehingga terjadi
ekuilibrium. Prasyarat uji kointegrasi adalah melakukan verifikasi bahwa suatu
serial harga bersifat non-stasioner dan menetapkan urutan atau order integrasi
peubah. Tes data kointegrasi melakukan tes data stasioner pada nilai residual
yang dihasilkan dari persamaan yang menggunakan data tidak stasioner.
Pengujian kointegrasi pada penelitian ini menunjukkan adanya kombinasi linier
dari variabel-variabel yang non-stasioner.
Pada penelitian ini akan digunakan model pengujian kointegrasi bivariat
berbasis pada 2 (dua) model utama yaitu Johansen (1988) dan Johansen dan
27
http://ariyoso.wordpress.com/2009/12/10/uji-akar-unit-2/
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
55
Universitas Indonesia
Juselius (1990) atau JJ maximum likelihood. Pada model JJ maximum likelihood
akan diketahui apakah antara variabel-variabel yang diteliti mempunyai hubungan
jangka panjang atau tidak. Yaitu dilakukan dengan membandingkan antara trace
statistic (TS) dengan maximal eigenvalue (ME) pada suatu nilai kritis tertentu.
Jika TS dan ME melebihi nilai t statistik berarti menolak hipotesis nol. Penolakan
hipotesis nol yang menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara
variabel-variabel yang diteliti. Atau dengan kata lain, jika nilai t statistik lebih
kecil daripada nilai critical Dickey-Fuller maka H0 diterima, tidak ada kointegrasi.
Jika terjadi kebalikannya nilai t statistic lebih besar dari nilai critical Dickey-
Fuller maka H0 ditolak atau ada kointegrasi.
3.3.3 Metode Error Correction Model
Error correction model (ECM) adalah model dinamis pergerakan variabel
dalam beberapa periode yang terkait dengan jangka periode sebelumnya terhadap
keseimbangan jangka panjang. Apabila data terkointegrasi, artinya, terdapat
hubungan jangka panjang atau ekuilibrium di antara keduanya. Tentunya hal ini
berarti bahwa dalam jangka pendek kedua variabel tersebut mungkin tidak
ekuilibrium. Teori representatif Granger menyebutkan bahwa jika dua variabel Y
dan X terkointegrasi, maka hubungan di antara keduanya dapat diekspresikan
dalam ECM. Model ECM pertama kali diperkenalkan oleh Sargan dan
dikembangkan oleh Hendry dan akhirnya dipopulerkan oleh Engle-Granger.
Menurut Engle-Granger (1987), jika diantara sejumlah peubah terdapat
kointegrasi maka diperoleh kondisi yang disebut sebagai error correction
representation yang mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi terhadap
peubah bebas (dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah tidak
bebas (explanatory variables) tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan
dari hubungan kointegrasi. Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini
ditunjukkan oleh nilai error correction term. Menurut McKay (1998) dan Angelo
dan Zapata (2000) dalam error correction model, ketidakseimbangan jangka
pendek diwakili oleh error correction term yang merupakan bentuk lag dari nilai
residual pada regresi awal. Regresi awal adalah regresi dengan menggunakan
data yang tidak stasioner dimana nilai galat ini sudah stasioner seperti yang
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
56
Universitas Indonesia
disyaratkan oleh metode Engle dan Granger (1987). Dengan demikian, model
error correction model akan memperoleh peubah bebas yang memberikan
pengaruh jangka panjang dan jangka pendek.
Dalam penelitian ini, basis hubungan antara harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92 dan harga input crude oil dapat berupa persamaan sebagai
berikut:
(3.4)
Dimana harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (PG) adalah autoregressive
yang tergantung pada lag distribusi atau (β(L)), dari harga input crude oil (PC)
sebelumnya dan saat ini.
3.3.4 Tes Simetrik
Prinsip dasar tes simetris ini adalah memperlihatkan seberapa pengaruh
dari variabel-variabel yang diamati terhadap harga jual eceran BBM non subsidi
RON 92 pada periode yang diamati. Jika series harga PG dan PC terkointegrasi,
dan tidak terdapat trend waktu dalam harga jual eceran BBM non subsidi RON 92
maka basic error correction model (simetris) yang dipakai dalam penelitian ini
adalah:
(3.5)
Dimana βci merupakan ukuran dampak jangka pendek dari harga input
crude oil. Βqt merupakan dampak jangka pendek dari lag harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92. merupakan parameter penyesuaian keseimbangan jangka
panjang dan (zt-1 = PGt-1 = 0 – t . PCt-1) adalah hubungan kesimbangan jangka
panjang antara harga input crude oil dan harga jual eceran BBM non subsidi RON
92. Parameter 0 dan t dapat diestimasi dari regresi OLS harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92 pada harga input crude oil sebelumnya.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
57
Universitas Indonesia
3.3.5 Tes Asimetrik
Secara umum, error correction model menggambarkan kondisi
keseimbangan dimana terdapat efek jangka panjang dari perubahan permanen
harga input crude oil. Meskipun demikian, hubungan kointegrasi jangka panjang
antara harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input crude oil
harus diidentifikasi ketika harga naik atau turun. Pada penelitian ini, dengan
mengacu pada jurnal Bachmeier Griffin (2003), model error correction model
yang dipakai untuk melihat kondisi yang diidentifikasi ketika harga naik maupun
turun (asimetrik) adalah:
(3.6)
Dimana:
PG = Harga Jual Eceran BBM non subsidi RON 92
PC = Harga input crude oil
βct = Mengukur efek jangka pendek dari lag harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92
βgi = Mengukur efek jangka pendek dari harga input crude oil
θ = Paremeter penyesuai dari keseimbangan jangka panjang
Zt-1 = PGt-1 - mempresentasikan keseimbangan jangka panjang
antara harga input crude oil dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92
Dalam keadaan terjadi ketika > 0 dan
terjadi ketika
> 0 dan sama untuk dan
. Koefisien terkait dengan situasi
dimana > 0 dan terkait dengan situasi dimana < 0. Persamaan ini
lebih menggambarkan fleksibilitas respon harga jual eceran BBM non subsidi
RON 92 terhadap kenaikan dan penurunan harga input crude oil. Selanjutnya
digunakan wald test untuk menguji signifikasi secara statistik dari masing-masing
koefisien (explanatory variable) dalam model. Analisa yang dilakukan dalam
penelitian ini terbagi atas dua hal yaitu analisa data dan analisa faktor penyebab
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
58
Universitas Indonesia
dari kondisi yang ada dikaitkan dengan struktur dan perilaku pelaku usaha dalam
industri. Tahapan analisis yang dilakukan akan dijelaskan pada gambar di bawah
ini:
Grafik 3.1 Tahapan Analisis Data
Data dengan Growth Negatif
Data time series dari
harga input crude oil
dan harga jual eceran
BBM non subsidi
RON 92
Konversi dalam Rupiah
Tes Kointegrasi dengan Model
Johansen
Tes Stasioner dengan
Augmented Dickey-Fuller
Intepretasi Hasil Tolak/Terima
Simetrik
Uji Model Simetrik
Data dengan Growth Positif
Wald Test
Uji Error Correction Model
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
59
Universitas Indonesia
3.4 Data Setting
Terdapat beberapa tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian.
Tahapan tersebut antara lain meliputi klasifikasi data, pengujian asimetris, dan
wald test. Tahapan detil atas analisa tersebut dinyatakan sebagai berikut:
1. Terdapat dua jenis data yaitu harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan
harga input crude oil dimana data tersebut akan dibagi ke dalam dua growth.
Yaitu growth negatif (penurunan) dan data dengan growth yang positif
(kenaikan).
2. Pada data dengan growth positif maka titik seri waktu yang ber-growth negatif
dianggap nol dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dilakukan untuk melihat
keasimetrisan dari harga jual eceran BBM non subsidi RON 92.
3. Kemudian dibuat model simetris dan asimetris dari harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92 dan harga input crude oil.
4. Tahap terakhir adalah melakukan wald test pada model asimetris untuk
memeriksa keberadaan kesimetrisan.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
60 Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisa Data Deskriptif
Penelitian menggunakan data harga jual eceran bahan bakar minyak
(BBM) non subsidi RON 92 di SPBU berdasarkan harga yang dipublikasikan oleh
ESDM dan operator atau pelaku usaha (Pertamina, Petronas, Shell, dan Total) dari
tahun 2005 hingga tahun 2011. Selain harga input MOPS, Indonesia juga
mengenal Indonesian Crude Price (ICP) yang dikeluarkan setiap bulan oleh
Kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia. ICP merupakan harga minyak
rata-rata tertimbang dari 50 jenis minyak yang dihasilkan di seluruh Indonesia.
Rata-rata ini juga mengacu pada MOPS dan harga di Jepang (RIM Intelligence
Co.). Data crude oil berdasarkan pada data harga input MOPS dan ICP dalam
jangka waktu yang sama yaitu dari tahun 2005 hingga tahun 2011.
Pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dapat
dilihat pada grafik di bawah ini seperti terlihat pada grafik di bawah ini:
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
11,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
PERTAMAX SUPERPRIMAX PERFORM
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.1 Pergerakan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
61
Universitas Indonesia
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa harga Pertamax mengalami
kecenderungan naik. Kenaikan paling tinggi untuk harga Pertamax terjadi di
tahun 2007 pada bulan April sebesar 13% atau naik dari Rp 4.900,00 per liter
menjadi Rp 5.600,00 per liter dan bulan September sebesar 17% atau naik dari
Rp 6.250,00 menjadi Rp 7.500,00. Harga Pertamax mulai turun sejak bulan
Agustus tahun 2008 dari Rp 10.450,00 menjadi Rp 9.375,00 mengikuti turunnya
harga crude oil. Harga Super mengalami kenaikan paling tinggi di tahun 2007
pada bulan April sebesar 14% atau naik dari Rp 4.900,00 per liter menjadi
Rp 5.700,00 per liter dan bulan November sebesar 10% atau naik dari Rp
6.250,00 menjadi Rp 6.950,00 per liter.
Harga Super mengalami penurunan tertinggi pada bulan September tahun
2008 sebesar 19% atau turun dari harga Rp 10.550,00 menjadi Rp 8.850,00 per
liter. Harga Primax mengalami kenaikan paling tinggi pada bulan Juli tahun 2007
sebesar 14% yaitu dari harga Rp 5.500,00 menjadi Rp 6.400,00 per liter dan
bulan Desember sebesar 17% dengan perubahan harga dari Rp 6.250,00 menjadi
Rp 7.500,00 per liter. Harga Primax turun sebesar 20% pada bulan September
tahun 2008 dengan perubahan harga dari Rp 10.450,00 menjadi harga
Rp 8.675,00 per liter. Harga Performance tidak mengalami kenaikan atau
penurunan drastis akibat krisis moneter dikarenakan baru mulai beroperasi di
Indonesia pada tahun 2009.
Pergerakan harga input crude oil (MOPS dan ICP) tidaklah jauh berbeda,
akan tetapi harga MOPS cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga ICP.
Berdasarkan grafik di bawah, terlihat bahwa pergerakan harga input MOPS juga
memiliki kecenderungan naik, pada saat krisis moneter harga mulai mengalami
kenaikan terhitung sejak bulan Mei tahun 2008 sebesar Rp 8.012,00 menjadi
Rp 9.269,00 per liter dan turun pada bulan Oktober di tahun yang sama sebesar
32% yaitu dari harga Rp 6.987,00 menjadi Rp 5.308,00 per liter. Kenaikan paling
drastis justru terjadi pada tahun 2011 dengan prosentase sebesar 46% pada bulan
April dari harga Rp 7.175,00 menjadi Rp 13.272,00 per liter dan bulan Juni
dengan kenaikan sebesar 57% dari harga Rp 12.522,00 menjadi Rp 29.164,00 per
liter. Penurunan harga input MOPS terjadi pada bulan Juli tahun 2011 sebesar
120% dengan perubahan harga dari Rp 29.164,00 menjadi Rp 13.251,00 per liter.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
62
Universitas Indonesia
Pergerakan harga input ICP juga memiliki kecenderungan naik, pada saat
krisis moneter harga mulai mengalami kenaikan terhitung sejak bulan November
tahun 2007 sebesar 12% yaitu dari harga Rp 4.729,00 menjadi Rp 5.367,00 per
liter dan mulai turun pada bulan Agustus di tahun 2008 sebesar 17% yaitu dari
harga Rp 7.779,00 menjadi Rp 6.650,00 per liter. Kenaikan paling tinggi terjadi
pada bulan Mei tahun 2008 dengan prosentase sebesar 13% yaitu dari harga
Rp 6.331,00 menjadi Rp 7.285,00 per liter. Penurunan harga terjadi pada bulan
Desember tahun 2008 sebesar 33% dengan perubahan harga dari Rp 3.633,00
menjadi Rp 2.739,00 per liter.
Pergerakan harga input crude oil (MOPS dan ICP) mulai tahun 2005
hingga tahun 2011 adalah sebagai berikut:
0
5,000
10,000
15,000
20,000
25,000
30,000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
MOPS ICP
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.2 Pergerakan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
4.2 Analisa Time Series
Tahapan analisa time series yang dilakukan dalam penelitian adalah
sebagaimana berikut:
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
63
Universitas Indonesia
4.2.1. Tes Stasioner
Untuk menganalisa pergerakan data time series dan melihat hubungan
antar variabel, perlu dilakukan pengujian stasioner pada data series. Hal ini
dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya spurious regression yaitu
suatu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel dan variabel lainnya
menghasilkan nilai R2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang
berarti secara teori ekonomi. Hal ini sering terjadi karena kedua seri waktu
tersebut menunjukkan karakteristik tren yang kuat. Untuk mengetahui pada
kondisi manakah data dapat menjadi stasioner, maka dilakukan pengujian
terhadap dalam beberapa kondisi. Apabila data series bersifat stasioner tanpa
melakukan differencing, maka dikatakan sebagai kondisi I(0)/level. Apabila data
series bersifat stasioner pada turunan pertama I(1), maka dikatakan sebagai
kondisi (first differences) atau integrasi pada order 1. Pengujian ini dilakukan
melalui tes Augmented Dickey Fuller (ADF) pada kondisi level, dengan
spesifikasi trend dan intercept.
Hipotesis persamaan untuk unit root adalah sebagai berikut:
H0: Terdapat unit root atau data tidak stasioner
H1: Data stasioner
Tolak H0 jika ADF > dari test critical value.
Tes tersebut dilakukan dengan program E-Views terhadap harga jual
eceran BBM non subsidi RON 92 dari seluruh operator atau pelaku usaha yang
aktif dalam industri. Hasil tes menunjukkan:
a. Hasil persamaan Pertamax menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat
unit root), maka hasil persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan
adanya unit root. Ini menunjukkan pada tingkat level, variabel Pertamax
adalah tidak stasioner. Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan
level first difference spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented
Dickey Fuller, dengan hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol
adanya unit root. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data
series waktu harga Pertamax bersifat stasioner.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
64
Universitas Indonesia
b. Hasil tes terhadap data series Primax adalah bahwa hasil persamaan
menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil
persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini
menunjukkan pada tingkat level, variabel Primax adalah tidak stasioner.
Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan level first difference
spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan
hasil sebagai berikut menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit
root. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu
harga Primax bersifat stasioner.
c. Hasil tes terhadap data series Super adalah hasil persamaan menunjukkan
bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil persamaan
menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini menunjukkan
pada tingkat level, variabel Super adalah tidak stasioner. Lebih lanjut
kemudian diuji dengan menggunakan level first difference spesifikasi trend
dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan hasil menunjukkan
bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root. Ini menunjukkan bahwa pada
tingkat first difference, data series waktu harga Super bersifat stasioner.
d. Hasil tes terhadap data series Performance adalah hasil persamaan
menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil
persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini
menunjukkan pada tingkat level, variabel Performance adalah tidak stasioner.
Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan level first difference
spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan
hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root. Ini
menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu harga
Performance bersifat stasioner.
e. Hasil tes terhadap data series harga input crude oil MOPS dan ICP adalah
sebagai berikut: Hasilnya adalah tidak menolak akan adanya unit root yang
menunjukkan bahwa pada tingkat level, variabel crude oil MOPS adalah
tidak stasioner. Pada tingkat first difference data series crude oil MOPS
bersifat stasioner yang menunjukkan tidak menolak hipotesis nol adanya unit
root. Untuk harga input ICP, hasilnya adalah tidak menolak akan adanya unit
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
65
Universitas Indonesia
root yang menunjukkan bahwa pada tingkat level, variabel crude oil ICP
adalah tidak stasioner. Pada tingkat first difference data series crude oil ICP
bersifat stasioner, hasil menunjukkan bahwa tidak menolak hipotesis nol
adanya unit root.
Dengan melakukan tes tersebut, stasionaritas ditemukan pada saat kondisi
first difference I (I) untuk variabel harga jual eceran BBM non subsidi RON
92 (Pertamax, Primax, Super, dan Performance) serta harga input crude oil
(MOPS dan ICP).
4.2.2. Tes Kointegrasi
Setelah mengetahui bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian
stasioner pada kondisi first difference, maka pada analisa berikutnya dilakukan
uji kointegrasi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan jangka panjang antara
kedua variabel yang diteliti. Uji kointegrasi perlu dilakukan antara variabel harga
jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil
(MOPS dan ICP).
Berikut hasil tes kointegrasi dari data harga jual eceran BBM non subsidi
RON 92 seluruh SPBU operator (pelaku usaha) aktif dengan data harga input
crude oil MOPS adalah sebagai berikut:
a. Hasil Pertamax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki
hasil yang sama dimana tidak terdapat kointegrasi pada data Pertamax dan
crude oil MOPS.
b. Hasil tes kointegrasi untuk data series Primax memperlihatkan trace test dan
max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana tidak terdapat
kointegrasi pada data Primax dan crude oil MOPS.
c. Hasil tes kointegrasi untuk data series Super memperlihatkan trace test dan
max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi
pada data Super dan crude oil MOPS.
d. Hasil tes kointegrasi untuk data series Performance memperlihatkan trace test
dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana tidak terdapat
kointegrasi pada data Performance dan crude oil MOPS.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
66
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil tes kointegrasi dapat diketahui bahwa dalam jangka
panjang, hanya harga Super yang terkointegrasi dengan harga input crude oil
MOPS.
Hasil tes kointegrasi untuk data series harga jual eceran BBM non subsidi
RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil ICP adalah sebagai berikut
a. Hasil Pertamax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki
hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Pertamax dan crude
oil ICP.
b. Hasil Primax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki
hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Primax dan crude oil
ICP.
c. Hasil Super memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki
hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Super dan crude oil
ICP.
d. Hasil Performance memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test
memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Performance
dan crude oil ICP.
Berdasarkan hasil tes kointegrasi dapat diketahui bahwa dalam jangka
panjang, harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dari Pertamax,
Primax, Super, dan Performance terkointegrasi dengan harga input crude oil
ICP. Pengujian persamaan tes kointegrasi antara harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92 dan harga input MOPS memberikan hasil bahwa tidak terdapat
hubungan jangka panjang antara pergerakan harga harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92 dan harga input MOPS sehingga untuk pergerakan harga jual
eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input MOPS tidak dapat dilakukan
uji asymmetric price transmission dengan pendekatan error correction model.
Persamaan kointegrasi dalam kerangka asymmetric price transmission hanya
dapat dilakukan pada variabel yang memiliki kointegrasi, dengan demikian
selanjutnya akan lebih dikhususkan kepada perbandingan harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil ICP. Hal ini mungkin
terjadi dikarenakan harga input crude oil ICP lebih mudah untuk dikontrol dan
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
67
Universitas Indonesia
jumlah volume-nya langsung dapat diketahui mengingat berasal dari sumur
domestik Indonesia. Harga input crude oil ICP digunakan Pemerintah sebagai
asumsi makro APBN. Asumsi makro APBN ini digunakan untuk menghindari
hedging perusahaan minyak negara (Pertamina) dalam rangka memutuskan kapan
waktu memperbesar kapasitas storage kilang minyak.
4.3 Pengolahan Data Model Error Correction Model (ECM)
Pengolahan data model ECM Simetris dan Asimetris pada Industri BBM non
subsidi RON 92 yaitu membandingkan harga Pertamax, Primax, Super, dan
Performance dengan harga input crude oil ICP akan dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
4.3.1. Tes Simetrik
Tes ini berguna untuk memperlihatkan seberapa pengaruh dari variabel-
variabel yang diamati yaitu harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual
eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Berdasarkan tes Granger Causality
dari harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92 (Pertamax, Primax, Super, dan Performance) maka diketahui
bahwa sifat hubungan atau pola pengaruh antar harga sebagai berikut:
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.3 Hasil Tes Granger Causality Data Harga Jual BBM Non Subsidi
RON 92 dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
Pertamax
Super
MOPS Performance
e
Primax
ICP
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
68
Universitas Indonesia
Berdasarkan tes Granger Causality dari harga input crude oil (MOPS dan
ICP) dan keseluruhan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (Pertamax,
Primax, Super, dan Performance) maka diketahui bahwa sifat hubungan atau pola
pengaruh antar harga sebagai berikut:
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.4 Hasil Tes Granger Causality Data Keseluruhan Harga Jual BBM Non
Subsidi RON 92 Pelaku Usaha dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)
Berdasarkan hasil tes Granger Causality atau grafik di atas terlihat bahwa
harga Pertamax mempengaruhi harga Super dan Primax serta harga Performance
mempengaruhi penetapan harga Primax. Terdapat hubungan saling
mempengaruhi antara MOPS dan ICP, dan bersama-sama (MOPS dan ICP)
mempengaruhi harga jual eceran Pertamax di SPBU. Akan tetapi berdasarkan
hasil tes kointegrasi jangka panjang didapat bahwa harga jual eceran BBM non
subsidi RON 92 tidak terkointegrasi terhadap harga input MOPS melainkan
dengan harga input ICP. Hasil intepretasi grafik tersebut adalah
1. Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU pelaku usaha asing
(Petronas, Shell, dan Total) selain dipengaruhi oleh harga input crude oil ICP
dan MOPS juga dipengaruhi oleh harga jual eceran BBM non subsidi RON
92 di SPBU Pertamina. Hal ini dapat dilihat dari penetapan harga pelaku
usaha asing tersebut yang dilakukan sehari atau dua hari setelah Pertamina
menetapkan harganya;
2. Harga input crude oil MOPS dan ICP memiliki hubungan saling
mempengaruhi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Harga Jual Eceran SPBU
MOPS ICP
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
69
Universitas Indonesia
a. Harga input crude oil MOPS yang ditetapkan oleh Singapura
mempertimbangkan harga input crude oil ICP dikarenakan berdasarkan
fakta yang ada, impor minyak baik yang dibeli dari pasar SPOT atau
kontrak jangka panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh
Pertamina melainkan melalui para broker. Para broker ini dalam
menentukan harga mengacu pada harga input crude oil ICP.
b. Harga input crude oil ICP mempertimbangkan harga input crude oil
MOPS dikarenakan MOPS merupakan pembentuk harga untuk impor
persediaan BBM sedangkan ICP lebih digunakan sebagai pembentuk
harga domestik untuk BBM non subsidi RON 92. Dikarenakan impor
tergantung pada banyaknya hasil produksi domestik, maka harga input
crude oil MOPS dan ICP ini terdapat hubungan saling mempengaruhi.
c. Harga input crude oil ICP yang dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan
Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mempertimbangkan penentuan
harga atau harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU
dikarenakan setiap bulan, ESDM membuat siaran pers mengenai harga
jual eceran BBM tertentu. Harga jual tersebut merupakan hasil
monitoring dan evaluasi perkembangan harga minyak mentah dan harga
produk BBM di pasar dunia. Pemerintah juga memperhatikan kondisi
sektor riil dan perekonomian global maupun nasional28
. Selain
memperhatikan hal tersebut, Pemerintah juga mempertimbangkan
kebijakan energi nasional dan kondisi keuangan negara yang selanjutnya
dapat disesuaikan berupa kenaikan atau penurunan harga29
. Perhatian
Pemerintah juga terkait pada volume penjualan BBM subsidi Premium
dikarenakan subtitusi terdekat (close substitute) dari Premium RON 88
adalah BBM non subsidi RON 92. Kenaikan harga dari RON 92 akan
mempengaruhi volume penjualan RON 88 yang pada akhirnya akan
mempengaruhi APBN. Perpindahan pengguna ini akan menambah
jumlah pengguna BBM yang disubsidi pemerintah. Naiknya harga
Pertamax ini membuat jarak harga antara Pertamax dan Premium yang
28 www.esdm.go.id 29
www.bisnis.com. Harga BBM: BPH Migas Mengingatkan Peluang Aksi Penimbunan.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
70
Universitas Indonesia
tidak jadi naik dan tetap Rp 4.500 per liter semakin jauh. Pengamat
perminyakan Kurtubi menilai kondisi ini tentu saja akan memicu
peralihan pengguna Pertamax ke Premium. Pemilik kendaraan bermotor
akan berpikir rasional dan hal ini pun dinilai wajar karena memang tidak
ada larangan tegas bagi pemilik kendaraan bermotor mewah untuk
menggunakan Premium. Hanya saja, kata dia, hal ini akan semakin
menambah jumlah konsumsi BBM bersubsidi karena pengguna Pertamax
yang tidak disubsidi beralih ke Premiun yang disubsidi30
. Anggota
Komite BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi),
Ibrahim Hasyim, mengakui kenaikan harga Pertamax akan berpengaruh
besar terhadap perbandingan konsumsi BBM subsidi dan non subsidi31
.
Hal ini dipertegas oleh Gubernur BI, Darmin Nasution, yang
mengumumkan bahwa rencana pemerintah untuk membatasi penggunaan
BBM bersubsidi pada April 2012 akan menyumbang inflasi sekitar 0,72-
0,94 persen karena adanya perpindahan penggunaan BBM dari Premium
ke Pertamax32
.
Untuk menguji penerimaan (acceptability) model dari perspektif statistik
dalam bentuk analisis sumber keragaman dengan tabel ANOVA (Analysis of
Variance) atau disebut juga dengan analisis ragam. Hipotesis yang digunakan
adalah:
H0: µ1 = µ2 … = µk (mean dari semua kelompok sama)
Ha: µi <> µj (terdapat mean dari dua atau lebih kelompok tidak sama)
Hasil tes ANOVA sebagaimana tercantum dalam lampiran 2, dapat
diintepretasikan bahwa antara MOPS dan ICP, terima H0, bahwa mean dari semua
kelompok sama sehingga terdapat pergerakan yang sama antara harga input
30
http://dennyja-world.com/Pertamax Kian Mahal. (2 April 2012). Pengguna Premium Bakal
Bertambah. 31
http://www.tempo.co/read/news/2012/09/03/090427057/Harga-Pertamax-Naik-BPH-Migas-
Waspada. (03 September 2012). Harga Pertamax Naik, BPH Migas Waspada. 32
http://kaltim.tribunnews.com/2012/01/14/waspadai-inflasi-putaran-akibat-pembatasan-premium.
(14 Januari 2012). Waspadai Inflasi Putaran Akibat Pembatasan Premium. Tribun Kaltim.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
71
Universitas Indonesia
MOPS dan ICP. Hubungan antara harga input MOPS dan harga jual eceran
Pertamax adalah tolak H0 yang berarti terdapat mean dari dua atau lebih kelompok
tidak sama sehingga terdapat perbedaan pergerakan antara harga input MOPS dan
harga jual eceran Pertamax di SPBU. Sedangkan hubungan antara harga input
ICP dan harga jual eceran Pertamax adalah terima H0 yang berarti mean dari
semua kelompok sama sehingga pergerakan yang sama antara harga input ICP
dan harga jual eceran Pertamax di SPBU. Dalam menentukan signifikan atau
tidak signifikan, dengan membandingkan antara F hitung dan F tabel maka nilai F
dari harga input ICP (96,41) lebih besar bila dibandingkan dengan harga input
MOPS (2,24) terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU.
Untuk melihat kesimetrisan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92
dengan harga input crude oil ICP, perlu degenerate antara pergerakan harga
positif dan negative terhadap variabel independen pada persamaan simetrik error
correction model. Hasil permodelan persamaan error correction model simetrik
adalah sebagai berikut
DPertamax c DICP DPertamax(-1) DICP(-1) RESCOINT (4.1)
Dikarenakan harga Pertamax mempengaruhi penetapan harga dari pesaing
lain dan harga input crude oil MOPS tidak terkointegrasi maka uji simetrik hanya
akan dilakukan terhadap pergerakan harga Pertamax dan crude oil ICP. Hasil
pengujian uji simetrik pada periode yang diamati dengan menggunakan program
E-Views adalah bahwa
1. Harga crude oil ICP pada periode observasi dan sebelumnya (t-1) secara
signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Pertamax pada periode
observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode observasi berpengaruh
positif terhadap harga Pertamax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan
1 satuan harga crude oil ICP pada periode observasi (t) akan mengakibatkan
kenaikan 447.57 satuan dari harga Pertamax periode observasi (t). Harga
crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap
harga Pertamax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga
crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
72
Universitas Indonesia
615.87 satuan dari harga Pertamax periode observasi (t). Harga Pertamax
pada periode sebelumnya (t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap
fluktuasi harga Pertamax pada periode observasi (t). Berdasarkan nilai
adjusted R-squared, maka model ini dapat menjelaskan 41,41% variasi dari
variabel dependen.
2. Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) secara signifikan
berpengaruh terhadap fluktuasi harga Super pada periode observasi (t).
Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif
terhadap harga Super periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan
harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan
kenaikan 0.463 satuan dari harga Super periode observasi (t). Harga crude oil
ICP pada periode observasi (t) dan harga Super pada periode sebelumnya
(t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Super pada
periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini
dapat menjelaskan 4,33% variasi dari variabel dependen.
3. Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) secara signifikan
berpengaruh terhadap fluktuasi harga Primax pada periode observasi (t).
Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif
terhadap harga Primax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan
harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan
kenaikan 0.490 satuan dari harga Primax periode observasi (t). Harga crude
oil ICP pada periode observasi (t) dan harga Primax pada periode sebelumnya
(t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Primax pada
periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini
dapat menjelaskan 6,87% variasi dari variabel dependen.
4. Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) dan harga Performance
sebelumnya (t-1) secara signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga
Performance pada periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode
sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap harga Performance periode
observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga crude oil ICP pada
periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.115 satuan dari
harga Performance periode observasi (t). Harga Performance pada periode
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
73
Universitas Indonesia
sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap harga Performance periode
observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga Performance pada
periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.275 satuan dari
harga Performance periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode
observasi (t) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga
Performance pada periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-
squared, maka model ini dapat menjelaskan 17,69% variasi dari variabel
dependen.
Berdasarkan hasil regresi simetrik antara harga input crude oil ICP dan
harga jual eceran Pertamax di SPBU, dapat disimpulkan bahwa perubahan harga
Pertamax dikoreksi positif sebesar 0.24 dan sisanya sebesar 99.76 berasal dari
variabel-variabel lain yang tidak dapat dijelaskan.
4.3.2. Tes Asimetrik
Tes asimetik hanya dapat dilakukan terhadap harga jual eceran Pertamax
di SPBU dan harga crude oil ICP dikarenakan tidak dapat dilakukan proses tes
asimetrik terhadap harga jual eceran Super, Primax, dan Performance karena
insufficient number of observations. Tes selanjutnya pun juga hanya akan
dilakukan terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU dan harga crude oil ICP.
Tes asimetrik digunakan untuk mengetahui pengaruh perubahan kenaikan (P)
terhadap penurunan harga (M) crude oil ICP di periode observasi (t) terhadap
harga Pertamax di periode observasi (t), serta perubahan kenaikan (P) terhadap
penurunan harga (M) crude oil ICP di periode sebelumnya (t-1) terhadap harga
Pertamax pada periode observasi (t). Pada saat yang bersamaan, pengujian juga
dilakukan terhadap pengaruh kenaikan nilai error terhadap penurunan nilai error
tersebut pada harga Pertamax periode observasi (t). Apabila pengaruh kenaikan
berbeda dengan pengaruh ketika terjadi penurunan, maka dikatakan terjadi
asimetrik harga. Pembentukan variabel positif dan negatif untuk seluruh variabel
independen termasuk RESCOINTP dan RESCOINTM adalah dengan
menghilangkan pergerakan harga negatif untuk memperoleh variabel pergerakan
harga positif dan sebaliknya menghilangkan harga positif untuk memperoleh
variabel pergerakan harga negatif. Spesifikasi model error correction model baik
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
74
Universitas Indonesia
yang simetrik maupun asimetrik merupakan model yang valid dilihat dari nilai
error correction term yaitu variabel RESCOINT pada persamaan simetrik dan
RESCOINTP dan RESCOINTM pada persamaan asimetrik.
Hasil permodelan dengan menggunakan persamaan asimetrik yang
diturunkan dari persamaan simetrik di atas adalah
DPertamax DICPP DICPN DICPP(-1) DICPN(-1) DPertamaxP(-1)
DPertamaxN(-1) RESCOINTP RESCOINTM (4.2)
Dengan menggunakan program E-Views, maka didapatkan hasil bahwa
dampak kenaikan harga crude oil ICP tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap harga Pertamax akan tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap harga
Pertamax ketika terjadi penurunan harga. Kenaikan harga crude oil ICP pada
periode sebelumnya (t-1) tidak berpengaruh signifikan terhadap harga Pertamax
akan tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax ketika terjadi
penurunan harga. Kenaikan dan penurunan harga Pertamax periode sebelumnya
(t-1) berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax periode observasi (t).
Penurunan harga crude oil ICP berpengaruh positif terhadap kenaikan
harga Pertamax saat ini, dimana setiap terjadi penurunan 1 (satu) satuan harga
crude oil ICP periode observasi (t) akan mengakibatkan penurunan 0.337 satuan
dari harga Pertamax pada saat observasi (t). Selain itu, setiap penurunan 1 satuan
harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1), mengakibatkan kenaikan
0.402 satuan harga Pertamax saat observasi berlangsung (t). Kenaikan harga
Pertamax periode sebelumnya (t-1) berpengaruh negatif terhadap kenaikan harga
Pertamax saat ini, dimana setiap terjadi kenaikan 1 satuan harga Pertamax periode
sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.533 satuan dari harga Pertamax
pada saat observasi (t). Penurunan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1)
berpengaruh negative terhadap kenaikan harga Pertamax saat ini, dimana setiap
penurunan 1 satuan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) akan
mengakibatkan penurunan 0.664 satuan harga dari harga Pertamax pada saat
observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini dapat
menjelaskan 54.87% variasi dari variabel dependen.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
75
Universitas Indonesia
4.3.3. Wald Test
Adalah pengujian signifikasi secara statistik untuk melihat perbedaan
pengaruh ketika harga naik dan turun pada variabel crude oil ICP periode
sebelumnya (t-1) dan observasi (t), serta harga Pertamax periode sebelumnya (t-1)
dan observasi (t). Hipotesa nol (H0) yang digunakan adalah simetrik atau
perbedaan pengaruh kenaikan harga dengan penurunan harga dari variabel yang
diuji adalah sama dengan permodelan sebagai berikut
C(1)=C(2), C(3)=C(4), C(5)=C(6), C(7)=C(8) (4.3)
Berdasarkan hasil tes program E-Views dapat diketahui bahwa dengan
tingkat significance level sebesar 5% maka Ho tidak dapat diterima atau asimetrik.
Hal tersebut berarti bahwa pengaruh ketika terjadi kenaikan maupun penurunan
harga crude oil ICP pada periode observasi (t) adalah tidak sama sehingga bersifat
asimetrik terhadap harga Pertamax.
Hasil pengujian menjelaskan bahwa harga jual eceran BBM non subsidi
RON 92 lebih terkorelasi dalam jangka panjang dengan harga input crude
oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil MOPS. Dapat dijelaskan
bahwa fenomena asymmetic price transmission di Indonesia adalah pengaruh
harga input crude oil ICP terhadap harga Pertamax signifikan hanya apabila
terjadi penurunan harga di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t).
Kenaikan harga crude oil ICP tidak signifikan terhadap harga Pertamax di
periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Dengan kata lain, tidak terjadi
transmisi harga input (crude oil ICP) terhadap harga Pertamax apabila terjadi
kenaikan harga. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa, pengaruh
asimetrik lebih dipengaruhi dari harga Pertamax periode sebelumnya (t-1)
dan periode observasi (t).
Oleh sebab itu, analisa membuktikan bahwa pergerakan harga jual eceran
BBM non subsidi Ron 92 di SPBU bersifat asimetrik dengan pergerakan harga
input (crude oil MOPS) dan terdapat faktor input lain yang mempengaruhi
pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi Ron 92 di SPBU yaitu harga input
ICP. Hasil penelitian mengintepretasikan bahwa pelaku usaha dalam menetapkan
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
76
Universitas Indonesia
harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU, tidak berdasarkan
sepenuhnya kepada harga input crude oil ICP sebagai input dalam memproduksi
bahan bakar minyak. Penetapan harga juga lebih didasarkan kepada harga jual
eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU pada periode sebelumnya dan
observasi (saat ini).
4.4 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input
Crude Oil MOPS dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU
Penyebab asymmetric price transmission antara harga input crude oil
MOPS dan harga jual eceran Pertamax di SPBU adalah dikarenakan harga input
crude oil MOPS digunakan sebagai acuan harga untuk impor sedangkan
komposisi impor bahan bakar minyak Indonesia masih dalam kisaran angka yang
jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah produksi dalam negeri. Dapat
dilihat pada tabel tersebut di bawah, bahwa komposisi jumlah produksi lokal
sebesar 64.63% masih lebih besar dibandingkan dengan impor yang berjumlah
hanya sebesar 39.96%. Dengan perbandingan jumlah impor yang jauh lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah produksi lokal maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
dalam penetapan harga, harga input crude oil MOPS tidak signifikan terhadap
harga jual eceran Pertamax di SPBU.
Di bawah ini adalah tabel jumlah produksi, impor, dan konsumsi dari
bahan bakar minyak Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 berdasarkan
data dari ESDM.
Tabel 4.1 Jumlah Produksi, Impor dan Konsumsi
Dalam ribu barel
Tahun Produksi Impor Konsumsi
2005 268.529 166.690 397.802
2006 257.821 133.241 374.691
2007 244.396 151.154 383.453
2008 251.531 154.821 388.107
2009 246.289 139.361 379.142
2010 241.156 163.639 388.241
2011 238.957 172.124 394.052
JUMLAH 1.748.679 1.081.030 2.705.488
Sumber: www.esdm.go.id
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
77
Universitas Indonesia
Hal ini dipertegas dengan pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia
Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, yang mengatakan bahwa untuk
minyak mentah, komposisi pasokan ke Pertamina sekitar 900.000 barel per hari
adalah berasal dari domestik sebesar 67%, kemudian 13% melalui pembelian
langsung ke produsen dan 20% impor melalui anak perusahaan Pertamina Energy
Trading Limited (Petral)33
.
4.5 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input
Crude Oil ICP dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU
Respon asimetrik terjadi ketika penurunan harga input crude oil ICP di
periode sebelumnya (t-1) dan observasi secara cepat di respon harga jual eceran
BBM non subsidi RON 92 di SPBU saat ini. Namun ketika terjadi kenaikan
harga input crude oil ICP di periode sebelumnya (t-1) dan observasi hal tersebut
tidak direspon secepat penurunan harga. Selain harga input crude oil ICP yang
berpengaruh sekitar 68.79% terhadap harga Pertamax, komponen lain dalam
harga impor yang membentuk total biaya aktual (landed cost) adalah iuran-iuran
pasar, ongkos pengangkutan, asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai,
serta biaya surveyor. Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa
kondisi seperti pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya
(kontrak harga, nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta
struktur pasar industri bahan bakar minyak RON 92.
4.5.1 Persediaan
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam fenomena asimetrik ini
adalah kondisi pembelian bahan bakar minyak yang sangat tergantung pada
persediaan atau inventori dari kilang Pertamina. Apabila terjadi short of supply
karena terjadi kenaikan jumlah demand di luar perkiraan atau perlunya stok
cadangan, maka Pertamina akan mengimpor bahan bakar minyak. Kondisi
persediaan menjadi sangat tergantung pada sisi impor mengingat kilang Pertamina
33
Annisa Humaira. (18 Mei 2012). Impor Minyak Langsung Menghapus Peran Mafia.
Hyesoossong.blogspot.com/2012/05/impor-minyak-langsung-menghapus-peran.html.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
78
Universitas Indonesia
tidak mampu menyediakan pasokan. Pada grafik di bawah ini dapat dilihat
realisasi impor bahan bakar minyak:
Sumber: Hasil Pengolahan Data
Grafik 4.5 Impor Crude Petroleum Oil Indonesia Tahun 2005-2011
Berdasarkan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa impor dilakukan karena
untuk produksi dan kapasitas kilang dalam negeri sebagian besar hasil minyak
mentah produksi Indonesia lebih ekonomis apabila dijual di pasar internasional
(kebijakan pemerintah) dan sebagian desain kilang Indonesia hanya dapat
mengolah minyak mentah tertentu (impor) contohnya adalah Cilacap. Selain itu,
produksi dan kapasitas kilang tidak mencukupi kebutuhan konsumsi BBM dalam
negeri. Menurut Dirut Pertamina, Ari Hernanto Soemarto, pembelian minyak
mentah Indonesia dilakukan langsung dengan perusahaan minyak internasional
karena hanya sedikit negara yang melayani pembelian minyak mentah langsung
pada umumnya. Negara-negara menjual minyak mentahnya melalui perusahaan
nasionalnya atau perusahaan-perusahaan independen yang ada di negara tersebut.
Pembelian minyak mentah selalu dilakukan pemerintah untuk mempertahankan
cadangan strategis minyak mentah dalam negeri34
. Transaksi Kontrak di pasar
minyak memiliki peran pada sebagian besar perpindahtanganan minyak. Minyak
34 Alexander Susanto. (22 Juli 2008). Tidak Ada Mafia Minyak. Harian Investor Daily.
www.tekmira.esdm.go.id
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
79
Universitas Indonesia
dijual dengan transaksi spot, artinya dilakukan pembelian "on the spot" untuk
pengiriman tunggal segera pada harga pasar saat ini. Minyak juga
diperdagangkan di pasar berjangka. Kontrak berjangka adalah kontrak standar
untuk membeli atau menjual komoditi tertentu dengan kualitas standar pada
tanggal tertentu di masa yang akan datang. Jika produsen minyak ingin menjual
minyak di masa yang akan datang, produsen dapat memastikan kemampuan untuk
melakukannya, dan memastikan harga yang akan didapatkan, dengan menjual
kontrak berjangka hari ini. Atau, jika konsumen minyak perlu membeli minyak di
masa yang akan datang, konsumen dapat memastikan untuk dapat
melaksanakannya, dan akan yakin mengenai harga yang akan dibayar, dengan
membeli kontrak berjangka hari ini. Selain produsen dan konsumen, kontrak
berjangka juga dibeli dan dijual oleh pelaku pasar yang tidak memproduksi
minyak atau mengkonsumsi minyak. Spekulan membeli dan menjual kontrak
berjangka untuk mengantisipasi perubahan harga, berharap untuk mendapatkan
keuntungan dari perubahan harga tersebut35
.
Berdasarkan bahan tertulis Pertamina saat rapat dengar pendapat dengan
Komisi VII DPR tertanggal 25 Juni 2008, tercatat bahwa pembelian melalaui
impor hanya tercatat 35% yang terdiri dari kontrak jangka panjang (hedge)
sebesar 68% dan SPOT sebesar 32%36
. Apabila pembelian bahan bakar minyak
melalui spot market dimana harga yang berlaku adalah harga yang ada di tangan
pedagang wholesale, maka harga pembelian menjadi lebih mahal dari cara
pembelian yang berupa kontrak jangka panjang. Hal ini turut mempengaruhi
harga bahan bakar minyak RON 92 yang diperoleh Pertamina dan diteruskan
dalam bentuk harga yang diberlakukan oleh pelaku usaha lain. Padahal menurut
Tempo, Pertamina cenderung membeli minyak mentah dan hasil minyak di pasar
SPOT ketimbang kontrak jangka panjang37
. Tren impor minyak mentah SPOT
juga tidak berkurang karena posisi tahun 2008 memperlihatkan kecenderungan
yang kembali meningkat dalam proporsi impor minyak mentah SPOT tersebut
35
(Juli 2012). Harga Minyak dan Faktor Yang Mempengaruhinya.
http://www.indoenergi.com/2012/07/harga-minyak-dan-faktor-yang.html. 36
AA Ari Wibowo. (22 Juli 2008). Soal Hak Angket BBM, Saudi Aramco Akan Dipanggil.
www.antaranews.com. 37
Budi Riza. (23 April 2007). Rp 279 Triliun Untuk Minyak Pasar SPOT. www.tempo.com
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
80
Universitas Indonesia
dibandingkan dengan posisi tahun 2007. Mekanisme impor melalui SPOT ini
juga sangat rawan akan praktek-praktek yang berpotensi merugikan negara, sebab
dalam mekanisme ini selain harganya yang secara umum lebih mahal dari harga
term kntrak, proses pemilihannya pun sangat bersifat penunjukkan langsung.
Selain dengan penunjukkan langsung, pada mekanisme SPOT juga dapat
dilakukan dengan tender namun harga rata-rata yang terjadi juga tetap lebih mahal
ketimbang harga dengan mekanisme impor term kontrak secara rata-rata38
. Fakta
yang ada, impor minyak baik yang dibeli dari pasar SPOT atau kontrak jangka
panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh Pertamina. Pertamina
membelinya melalui para broker. Pertamina menenderkan pembelian minyak
pada pasar SPOT kepada para broker jual beli minyak tersebut. Sedangkan untuk
kontrak jangka panjang, dilakukan oleh Petral, anak perusahaan Pertamina yang
berada di Singapura, dan Pacific Petroleum Trading (PPT), trader minyak yang
50% sahamnya dikuasai oleh Pertamina. Pengadaan impor minyak
mentah Pertamina sejak Juni 2009 dilakukan oleh Pertamina Energy Service Ltd
(Petral) sebagai anak perusahaan Pertamina. Penunjukan ini sesuai dengan
keputusan direksi Pertamina, mengacu pada Peraturan Menteri BUMN No. 5
tahun 2009 yang isinya BUMN dapat melakukan penunjukan langsung untuk
pengadaan barang dan jasa kepada anak perusahaan yang sahamnya dimiliki lebih
dari 90%39
. Pelibatan broker berarti memungkinkan terjadinya mark-up harga.
Karena itu, pengamat pertambangan dan Energi, Pri Agung Rakhmanto
memperhitungkan, harga minyak mentah yang dibeli Pertamina 0,68 sampai 4
dollar AS per barel lebih mahal dari harga riil. Selain itu, nilai alfa (yaitu margin
pengangkutan dan fee) yang diambil Pertamina menjadi sangat besar karena harus
dibagi dengan trader atau broker40
.
Pembelian impor ini juga dipengaruhi oleh faktor nilai tukar uang. Apalagi
hal ini terkait dengan biaya operasional ketika melakukan impor bahan bakar
minyak. Ketika terjadi kenaikan nilai tukar uang saat membeli bahan bakar
38
Achmad Deni Danuri. (2 November 2010). Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat Impor Minyak
SPOT. http://denidaruriekonom.blogspot.com/2010/11/negara-rugi-ratusan-triliun-akibat.html. 39
(30 Maret 2010). Pertamina Beli Crude dengan Term Contract.
http://www.bumn.go.id/pertamina/publikasi/berita/pertamina-beli-crude-dengan-term-contract/ 40
http://respository.unhas.ac.id.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
81
Universitas Indonesia
minyak, maka hal tersebut juga berpengaruh terhadap biaya angkut bahan bakar
minyak impor (shipping cost). Biaya distribusi dalam harga bahan bakar minyak
RON 92 merupakan biaya-biaya yang terkait dengan pemindahan bahan bakar
minyak dari kilang ke tempat tujuan, yang meliputi antara lain shipping cost,
storage cost, dan overhead cost. Besar pengaruh shipping cost, storage cost, dan
overhead cost adalah sebagai berikut
Tabel 4.2 Besar Pengaruh Biaya
Jenis Biaya Prosentase (%)
Shipping Cost 4.37
Biaya Tanker, Cost Insurance and Freight 2.67
Angkutan Darat Rp 75/Liter/Radius 40 km 1.7
Storage and Handling 1.25
Overhead Cost
PPN 10% dan PPBBM 5% 15
Apabila di lihat dari komposisi penetapan harga bahan bakar minyak RON
92 yang didasarkan pada MOPS + α (margin dan fee distribusi), maka faktor
distribusi yang mempengaruhi nilai α menjadi sangat penting. Semakin jauh
tempat tujuan, maka biaya distribusi akan semakin tinggi. Kondisi Indonesia
yang tersebar luas dan terdiri dari banyak pulau serta keterbatasan transportasi
turut mempengaruhi ketersediaan bahan bakar minyak RON 92 yang pada
akhirnya mempengaruhi penetapan harga jual bahan bakar minyak RON 92 di
SPBU di wilayah tertentu.
4.5.2 Penetapan Harga
Penetapan harga pasar bahan bakar minyak setiap bulan ditentukan
berdasarkan Mid Oil Platts Singapore (MOPS) rata-rata setiap bulan sebelumnya
ditambah lima persen. Dikarenakan harga minyak sangat bergejolak karena
diperdagangkan secara harian di dunia maka pengkajian harga crude oil MOPS
dilakukan setiap 2 (dua) minggu sekali pada pertengahan bulan dan akhir bulan.
ICP (Indonesian Crude Price) atau harga minyak mentah Indonesia merupakan
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
82
Universitas Indonesia
basis harga minyak mentah yang digunakan dalam APBN ditetapkan setiap bulan
dan dievaluasi setiap semester. Hal ini mengakibatkan harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92 lebih terkointegrasi dengan harga input ICP dibandingkan
harga input MOPS yang memiliki lag sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan
dikarenakan harga input ICP merupakan harga agregat dari 50 harga minyak
Indonesia setiap bulan yang menyebabkan harganya lebih rendah daripada harga
input MOPS.
Penetapan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 juga dipengaruhi
oleh harga pesaing. Dalam hal penetapan harga, Pertamina mengatakan bahwa
harga pasar bahan bakar minyak dalam negeri saat ini sekitar 50% di bawah harga
MOPS sementara di negara tetangga, harga yang berlaku sekitar 130% di atas
harga MOPS. Selain harga input crude oil MOPS dan ICP, agar tetap dapat
berkompetisi dan memastikan volume penjualan dipertahankan pada tingkat yang
ditargetkan, pelaku usaha perlu mempertimbangkan tingkat persaingan produk
serupa di pasar.
Pada tahap tertentu, pelaku usaha akan rutin melakukan pemeriksaan harga
pompa dari BBM subsidi RON 88 yang disubsidi dan juga harga BBM non
subsidi RON 92. Pemeriksaan harga ini dapat dilakukan secara umum di pasar
secara teratur dan melalui media digital (situs internet). Tabel di bawah ini
memperlihatkan struktur harga bahan bakar minyak atau mekanisme pembentukan
harga bahan bakar minyak RON 92 Pertamina sebagai berikut:
Tabel 4.3 Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Pertamina
Struktur Harga Pertamina Prosentase (%)
Harga MOPS 74.74
Biaya Tanker, Cost Insurance and Freight 2.67
Storage and Handling 1.25
Angkutan Darat Rp 75/Liter/Radius 40 km 1.7
Margin SPBU 4.14
Cost of Money Pertamina 0.5
PPN 10% dan PPBBM 5% 15
Bagi Pertamina, penetapan harga juga dipengaruhi oleh ada tidaknya
pesaing dalam jarak tertentu yang berdekatan dengan SPBU. Perhitungan
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
83
Universitas Indonesia
pendirian SPBU itu sendiri mempertimbangkan jumlah kendaraan lokal, tren lalu
lintas, pembangunan infrastruktur, kegiatan ekonomi di daerah perdagangan,
lokasi pesaing yang ada, kebutuhan dan perilaku serta kemudahan untuk dilihat
dan dicapai. Faktor-faktor tersebut digunakan untuk membantu membuat
perkiraan volume penjualan dan arus kas sepanjang waktu investasi yang biasanya
antara 15-25 tahun. Pertamina memiliki kecenderungan untuk menetapkan harga
yang bersaing apabila terdapat pesaing dalam jarak yang berdekatan. Akan tetapi
apabila tidak ada pesaing dalam jarak yang berdekatan, maka biasanya
menggunakan harga yang dikeluarkan oleh Pertamina melalui internet (press
release). Hal ini dikarenakan adanya sistem kepemilikan SPBU Pertamina yaitu
sebagai berikut:
1. COCO (Corporate Owner Corporate Operate) yaitu kepemilikan dan
pengoperasiannya dimiliki oleh PT Pertamina Retail.
2. CODO (Corporate Owner Dealer Operate) yaitu kepemilikan dan
pengoperasiannya atas kerjasama Pertamina dan Swasta.
3. DODO (Dealer Owner Dealer Operate) yaitu kepemilikan dan
pengoperasiannya dimiliki oleh Swasta.
Selain kepemilikan, perbedaan harga sesama SPBU Pertamina juga
disebabkan karena perbedaan pelayanan antara SPBU Biasa atau Ways dan Pasti
Pas. Dimana margin SPBU Biasa atau Ways antara Rp 180,00-190,00 per liter
dan Pasti Pas sebesar Rp 205,00.
Berdasarkan data harga dari keempat operator atau pelaku usaha, terlihat
bahwa pola harga mempunyai kemiripan dengan disparitas harga yang tidak
terlalu signifikan. Hal ini dapat menunjukkan terdapatnya persaingan yang ketat
sehingga pelaku usaha tidak mampu menetapkan harga jauh di atas biayanya.
Tabel di bawah, menunjukkan struktur harga atau biaya dari harga jual
eceran BBM non subsidi RON 92 milik Petronas. Pada tabel tersebut terlihat
bahwa Petronas mengalami net profit loss karena ketatnya persaingan tersebut.
Menurut Petronas kondisi tersebut dapat ditolerir dalam jangka pendek sebagai
suatu strategi bisnis dalam menarik konsumen. Bagi pelaku usaha asing lainnya,
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
84
Universitas Indonesia
struktur harga atau biaya ini tidaklah jauh berbeda. Mekanisme pembentukan
harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 Petronas adalah sebagai berikut:
Tabel 4.4 Struktur Harga Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Petronas
Struktur Harga Petronas IDR/Ltr
Pump Price 8.450,00
Dealer SPBU Price (Harga Tebus) 8.117,07
Dealer Margin:
Dealer Margin (%) 3,3% 278,9
Proposed Subsidi Margin (%) 0,64%
Proposed Subsidi Margin (IDR) 54,08
Total Shared Margin 332.93
Taxes:
VAT (10%) 704,52
PBBKT (5%) 367,39
Total Taxes 1.071,91
Sales Revenue 7.045,16
Current MAP 5.993,42
BPH Migas Fee (%) 0,3% 25,35
Gross Margin 1.026,39
S & D Cost
Storage Cost Dover (Fixed & Variable) IDR 203,43 203,43
Other Cost of Sales IDR 44,61 44,61
Transportation Charges 150,00
Advertising & Promotion IDR 3,33 3,33
Gross Operating Profit (Loss) 625,01
Direct Cost (GOE) IDR 121,05 121,05
EBITDA (Not Included Allocated Cost) 503,96
Allocated Cost IDR 214,98 214,98
EBITDA 288,98
Depreciation Expenses IDR 485,00 485,00
Net Operating Profit (Loss) (196,02)
Dalam hal penetapan harga, operator atau pelaku usaha asing (Total,
Petronas, dan Shell) memiliki kecenderungan untuk mengikuti harga Pertamina.
Kebijakan harga Pertamina sebagai pemimpin pasar selalu dijadikan patokan bagi
pesaingnya untuk menaikkan harga atau tidak (price leadership). Hal ini dapat
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
85
Universitas Indonesia
dilihat melalui perubahan harga yang baru ditetapkan berselang 1 (satu) hingga 2
(dua) hari setelah Pertamina menetapkan harganya seperti terlihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 4.5 Perubahan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92
Perusahaan/Produk
Perkembangan Harga Awal 2011
1-14
Jan
15-31
Jan
1-14
Feb
15-31
Feb Keterangan
Pertamina/Pertamax 7.450 7.850 7.950 7.950 Perubahan harga
pada tanggal 1 dan
15 setiap bulan
Shell/Super 7.450 7.850 7.950 7.950 Perubahan harga
pada tanggal 2 dan
16 setiap bulan Total/Performance 7.450 7.850 7.950 7.950
Petronas/Primax 7.450 7.850 7.950 7.950
Tabel di atas, menunjukkan perubahan harga bahan bakar minyak RON 92
pada SPBU Pertamina terjadi secara periodik pada tanggal 1 dan 15 setiap
bulannya. Pada satu hari setelahnya yaitu di tanggal 2 dan 16 setiap bulannya,
SPBU dari Total, Shell, dan Petronas ikut merubah harganya. Contohnya adalah
ketika harga minyak dunia melambung akibat krisis politik di Mesir sepanjang
bulan Januari 2011 lalu. Pertamina, Shell, Petronas, dan Total bereaksi dengan
menaikkan beberapa jenis produk bahan bakar minyaknya di awal bulan Februari
2011. Harga Pertamax di Jakarta dan sekitarnya naik Rp 200,00 pada tanggal 1
Februari 2011 dari sebelumnya Rp 7.850,00 per liter menjadi Rp 8.050,00. Satu
hari setelahnya, pada tanggal 2 Februari 2011, harga Shell Super ikut naik.
4.5.3 Kekuatan Pasar (Market Power)
Struktur pasar industri BBM non subsidi RON 92 adalah oligopoli.
Pertamina bukanlah satu-satunya pelaku usaha dalam jasa pelayanan bahan bakar
minyak RON 92. Masih terdapat 3 (tiga) pelaku usaha lain seperti Petronas,
Total, dan Shell sehingga konsumen masih memiliki pilihan dan informasi
mengenai penyesuaian harga. Seharusnya mulai tahun 2012 ini, sudah
dilaksanakan kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi (premium
dengan oktan number 88) sehingga volume BBM bersubsidi akan berkurang
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
86
Universitas Indonesia
banyak. Salah satu penyebab pembatasan tersebut dikarenakan program subsidi
BBM akan semakin memberatkan keuangan negara karena menggunakan 8,7
persen dari APBN. Upaya pengendalian BBM bersubsidi akan diterapkan tahun
2012 secara bertahap mulai dari wilayah Jawa-Bali dikarenakan wilayah ini
menguasai 59% konsumsi premium nasional. Vice President Corporate
Communication Pertamina, M. Harun, mengatakan jika rencana kebijakan
pembatasan konsumsi BBM bersubsidi jadi direalisasikan, untuk wilayah
Jabodetabek saja akan ada potensi permintaan tambahan BBM non subsidi sebesar
2.500 kiloliter per hari.
Melonjaknya harga minyak dunia dan rencana pembatasan konsumsi BBM
bersubsidi akan turut mendorong makin ketatnya persaingan penjualan BBM non
subsidi. Operator atau pelaku usaha berlomba menambah SPBU untuk
memperluas jaringan distribusi. Era persaingan sempurna di bisnis penjualan
BBM memasuki babak baru. Operator atau pelaku usaha SPBU asing bakal
mendulang untung setelah ada pembatasan BBM subsidi. Pertamina, Shell,
Petronas, dan Total terus melakukan peningkatan produk dan layanannya,
terutama untuk bahan bakar non-subsidi. Pelaku usaha tersebut sama-sama
berusaha mengedepankan kenyamanan dan kepuasan pengguna kendaraan
bermotor. Hal ini antara lain dilakukan dengan memperbanyak jaringan SPBU,
memperluas areal SPBU, meningkatkan fasilitas pendukung SPBU,
mengedepankan kebersihan, kerapian, serta keramahan personelnya di SPBU.
Dalam hal penetapan harga, salah satu keistimewaan Pertamina
dibandingkan dengan pelaku usaha lain adalah dapat melakukan subsidi silang
dari keuntungan BBM RON 88 yang di subsidi terhadap harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92. Pertamina dapat menetapkan harga bahan bakar minyak
RON 92 dengan margin keuntungan yang relatif kecil dibandingkan dengan
pelaku usaha lain. Pelaku usaha lain memiliki kecenderungan untuk mengikuti
harga Pertamina sehingga margin menjadi semakin kecil. Sebagian besar SPBU
asing yang ada di Indonesia merugi atau hanya impas jika hanya mengandalkan
penjualan bahan bakar minyak. Hal ini ditambah pula dengan disparitas harga
bahan bakar minyak non subsidi dengan subsidi yang semakin melebar sehingga
persaingan menjadi ketat sementara pasarnya terus berkurang. Kondisi ini
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
87
Universitas Indonesia
menyebabkan pelaku usaha asing sulit untuk bersaing. Pada tahun 2011-2012
saja, sebanyak 4 (empat) SPBU milik Petronas yang ditutup dengan alasan
renovasi yaitu SPBU Pondok Cabe, Ciputat, Bintaro, dan Lenteng Agung dan 5
(lima) SPBU milik Shell dengan alasan karena permasalahan izin. Terhitung
sejak bulan Agustus 2012, SPBU Petronas yang berada di Medan dan Bandung
ditutup. Dari jumlah 19 (Sembilan belas) SPBU Petronas di Indonesia yang
tersebar di Jabodetabek dan Medan, sudah 78,94 persen tutup, yaitu sebanyak 15
SPBU41
.
Dari keempat pelaku usaha tersebut, Pertamina menguasai sekitar 70%
pangsa industri bahan bakar minyak. Hal ini wajar apabila melihat jumlah SPBU
yang dimiliki oleh Pertamina. Di Indonesia, Pertamina memiliki Jumlah dan
sebaran SPBU paling banyak dibandingkan dengan operator atau pelaku usaha
asing lainnya. Pada tabel di bawah ini, dapat terlihat jumlah dan sebaran SPBU
milik operator atau pelaku usaha aktif di industri BBM.
Tabel 4.6 Jumlah SPBU di Indonesia
Merk Produsen Sebaran SPBU
Pertamax Pertamina 4.680 di seluruh Indonesia
Primax Petronas 4 di Jabodetabek
Super Shell 57 (50 di Jakarta dan 7 di Jawa
Timur)
Performance Total 13 di Jakarta, Tangerang Selatan,
Kota Tangerang, Bekasi, dan Bogor
Secara umum, elastisitas permintaan BBM non subsidi dengan RON 92
sangat elastic. Hal ini bermakna bahwa jika harga dinaikkan akan menyebabkan
berkurangnya permintaan. Atau dengan kata lain, konsumen akan mencari
alternatif pengganti atau subtitusi jika harga BBM non subsidi naik. Produk yang
dipilih menjadi subtitusi tersebut adalah produk dengan harga yang lebih murah.
Jika BBM bersubsidi masih dapat diperoleh konsumen secara mudah maka
41 Bernadette Christina. (23 Oktober 2012). ESDM akui SPBU Petronas Tak Mampu Bersaing.
http://id.berita.yahoo.com/esdm-akui-spbu-petronas-tak-mampu-bersaing-043017743-finance.html
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
88
Universitas Indonesia
kenaikan harga BBM non subsidi bisa jadi akan menyebabkan beralihnya
konsumsi dari BBM non subsidi ke BBM bersubsidi. Karena di pasar konsumen
masih dapat dengan relatif mudah memperoleh BBM bersubsidi yang dapat
dianggap sebagai subtitusi dekat (close substitute) pada kondisi-kondisi tertentu,
upaya pembentukan market power melalui kolusi atau kerjasama sulit untuk
dilakukan. Harga pelaku usaha asing yang lebih rendah (predatory pricing) lebih
ditujukan kepada promosi untuk menarik konsumen dan akan memberikan
keuntungan bagi konsumen. Predatory pricing semacam ini tidak dianggap
sebagai sesuatu yang membahayakan persaingan.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
89 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil pengujian, harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di
SPBU lebih terkorelasi dalam jangka panjang dengan harga input crude oil
ICP dibandingkan dengan harga input crude oil MOPS. Hasil tesis
memperlihatkan bahwa harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 tidak
mengikuti Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2001 Pasal 5 mengenai
penetapan harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan harga input Mid Oil
Platts Singapore (MOPS).
2. Dapat dijelaskan bahwa fenomena asymmetic price transmission di Indonesia
adalah pengaruh harga input crude oil ICP terhadap harga Pertamax
signifikan hanya apabila terjadi penurunan harga di periode sebelumnya (t-1)
dan observasi (t). Kenaikan harga crude oil ICP tidak signifikan terhadap
harga Pertamax di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Dengan kata
lain, tidak terjadi transmisi harga input (crude oil ICP) terhadap harga
Pertamax apabila terjadi kenaikan harga. Hasil pengolahan data
menunjukkan bahwa, pengaruh asimetrik lebih dipengaruhi dari harga
Pertamax periode sebelumnya (t-1) dan periode observasi (t).
3. Faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena asymmetic price transmission
selain harga input crude oil ICP yang berpengaruh sekitar 68.79% terhadap
harga Pertamax, adalah komponen lain dalam harga impor yang membentuk
total biaya aktual (landed cost) yaitu iuran-iuran pasar, ongkos pengangkutan,
asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai, serta biaya surveyor.
Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi seperti
pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya (kontrak
harga, nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta
struktur pasar industri bahan bakar minyak RON 92.
4. Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU lebih terkointegrasi
dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
90
Universitas Indonesia
MOPS yang memiliki lag sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan dikarenakan
harga input ICP merupakan harga agregat dari 50 harga minyak Indonesia
setiap bulan yang menyebabkan harganya lebih rendah daripada harga
MOPS.
5. Dalam hal penetapan harga, operator atau pelaku usaha asing (Total,
Petronas, dan Shell) memiliki kecenderungan untuk mengikuti harga
Pertamina yang menguasai sekitar 70% dari pangsa pasar industri bahan
bakar minyak. Kebijakan harga Pertamina sebagai pemimpin pasar selalu
dijadikan patokan atau acuan bagi pesaingnya untuk menaikkan harga atau
tidak (price leadership). Hal ini dapat dilihat melalui perubahan harga yang
baru ditetapkan berselang 1 (satu) hingga 2 (dua) hari setelah Pertamina
menetapkan harganya.
6. Penetapan harga Pertamina selain dipengaruhi oleh harga input juga
dipengaruhi oleh ada tidaknya pesaing dalam jarak tertentu yang berdekatan
dengan SPBU. Pertamina memiliki kecenderungan untuk menetapkan harga
yang bersaing apabila terdapat pesaing dalam jarak yang berdekatan. Akan
tetapi apabila tidak ada pesaing dalam jarak yang berdekatan, maka biasanya
menggunakan harga yang dikeluarkan oleh Pertamina melalui internet (press
release). Selain itu, Pertamina dapat melakukan subsidi silang dari
keuntungan BBM RON 88 yang di subsidi terhadap harga jual eceran BBM
non subsidi RON 92 di SPBU.
5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan tersebut di atas adalah
sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis data, harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92
di SPBU lebih dipengaruhi oleh harga input crude oil ICP sehingga dalam
menentukan harga, Pertamina disarankan untuk mengacu pada harga input
ICP daripada harga input MOPS yang selama ini menjadi acuan. Hal ini
dikarenakan harga input ICP lebih stabil dan lebih mudah dikontrol oleh
Pemerintah dibandingkan dengan harga input MOPS.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
91
Universitas Indonesia
2. Patokan harga dan penetapan biaya alpha harus diperjelas dalam menentukan
harga jual eceran BBM non subsidi di SPBU perlu diperjelas sehingga
operator atau pelaku usaha dapat bersaing secara sehat dan kesejahteraan
masyarakat meningkat.
3. Pertamina sebagai price leader harus melakukan transparansi publik
mengenai akses terhadap data harga input crude oil dan mempublikasikan
metode perhitungan sehingga pengawasan dapat dilakukan oleh masyarakat
dan para pengambil keputusan.
4. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan bukan hanya sekedar mencari ada
tidaknya asymmetric price transmission akan tetapi juga mencoba
mengintepretasikan hasil yang secara signifikan berpengaruh pada ekonomi
seperti estimasi kepemilikan saham (thresholds, kemungkinan penyebab,
hubungan antara struktur dan institusional pada pasar, dll).
5. Agar dapat melihat pergerakan data yang lebih baik maka data yang
digunakan dalam analisa juga harus diperbanyak dari segi tahun.
Keterbatasan data harga input crude oil MOPS yang dirahasiakan oleh
operator atau pelaku usaha menyebabkan analisa tidak dapat dilakukan
hingga tahun 2012. Hal ini sangat penting mengingat analisa dapat lebih
menggambarkan kondisi industri BBM non subsidi.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
92 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ajija dan Setianto. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.
Capps dan Sherwell. (Mei 2005). Spatial Asymmetry in Farm-Retail Price
Transmission Associated with Fluid Milk Products. Texas: College Station.
Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Insukindro. (1991). Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi Suatu
Tinjauan dengan Satu Studi Kasus di Indonesia. JEBI No. 1 Thn VI.
Lubis, Andi Fahmi. (Oktober 2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks. Jakarta.
Meyer dan Von Cramon-Taubadel. (2004). Asymmetric Price Transmission: A
Survey. Jerman: Departemen Ekonomi Agrikultural.
Nachrowi dan Usman. (2006) Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika
Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi
Ogden, James R. dan Ogden, Denise T. (2005). Retailing: Integrated Retail
Management. Amerika Serikat: Houghton Mifflin Company.
Sunyoto, Danang. (2012). Prosedur Uji Hipotesis untuk Riset Ekonomi.
Bandung: Penerbit Alfabeta.
Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food
Chain. OECD Publishing.
-------------. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain.
OECD Publishing.
MAKALAH, KONFERENSI, DAN SEJENISNYA
Kurtubi. (2009). Harga MOPS dan Struktur Harga Keekonomian dan Margin
BBM Non Subsidi. Jakarta.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
93
Universitas Indonesia
PERATURAN
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.
Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2001.
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2005.
Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005.
PUBLIKASI ELEKTRONIK
Analisis Hukum atas Harga Patokan yang Berpengaruh pada Subsidi Bahan Bakar
Minyak Jenis Tertentu. <http://www.jdih.bpk.go.id>.
Bensin Bersubsidi di Batasi, Siapa Diuntungkan?. 15 Desember 2010.
<http://tempointeraktif.com>.
Bersaing Ketat Karena Minyak. 12 Maret 2011.
<http://bungapadangilalang.com>.
Christina, Bernadette. ESDM akui SPBU Petronas Tak Mampu Bersaing. 23
Oktober 2012. <http://id.berita.yahoo.com/esdm-akui-spbu-petronas-tak-
mampu-bersaing-043017743-finance.html>.
Danuri, Achmad Deni. Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat Impor Minyak
SPOT. <http://denidaruriekonom.blogspot.com/2010/11/negara-rugi-ratusan-
triliun-akibat.html>.
Harga Minyak dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Juli 2012.
<http://www.indoenergi.com/2012/07/harga-minyak-dan-faktor-yang.html>.
Harga Pertamax Naik, BPH Migas Waspada. 3 September 2012.
<http://www.tempo.co/read/news/2012/09/03/090427057>.
Humaira, Annisa. Impor Minyak Langsung Menghapus Peran Mafia. 18 Mei
2012. <Hyesoossong.blogspot.com/2012/05/impor-minyak-langsung-
menghapus-peran.html.>
JPNN. BBM Non Subsidi Perang Harga. 3 Juni 2011. <http://fajar.co.id>.
Reyno. BBM Subsidi Dipangkas, SPBU Asing Siap Rebut Pasar. 11 Februari
2011. <http://www.medantalk.com>.
Riza, Budi. Rp 279 Triliun Untuk Minyak Pasar SPOT. 23 April 2007.
<www.tempo.com>.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
94
Universitas Indonesia
Susanto, Alexander. Tidak Ada Mafia Minyak. 22 Juli 2008. Harian Investor
Daily. <www.tekmira.esdm.go.id>
Lestari, Esta. Dampak Pengurangan Subsidi BBM Terhadap Perekonomian
Makro. <http://perpustakaan.ekonomi.lipi.go.id/lib>
Noor, Ryan Alfian. Prognosa BBM Indonesia di Tahun 2011.
<http://www.slideshare.net/ryan_alfian_noor/prognasi-bbm-2011>.
Pengguna Premium Bakal Bertambah. 2 April 2012. <http://dennyja-
world.com/Pertamax Kian Mahal>.
Pertamina Beli Crude dengan Term Contract. 30 Maret 2010.
<http://www.bumn.go.id/pertamina/publikasi/berita/pertamina-beli-crude-
dengan-term-contract/>.
Wibowo, AA Ari. Soal Hak Angket BBM, Saudi Aramco Akan Dipanggil. 22
Juli 2008. <www.antaranews.com>.
<http://ariyoso.wordpress.com/2009/12/10/uji-akar-unit-2/>.
<www.esdm.go.id>.
<www.bisnis.com>.
<www.bpmigas.com>.
<www.indonesiafinancetoday.com>.
<http://respository.unhas.ac.id>.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Lampiran 1
HASIL PROGRAM E-VIEWS
Uji Stasioner Data Harga Pertamax pada Kondisi Level
Null Hypothesis: PERTAMAX has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.070085 0.2572
Test critical values: 1% level -3.512290
5% level -2.897223
10% level -2.585861
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(PERTAMAX)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:41
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PERTAMAX(-1) -0.070057 0.033843 -2.070085 0.0417
D(PERTAMAX(-1)) 0.246544 0.108901 2.263936 0.0263
C 498.1524 226.4959 2.199389 0.0308
R-squared 0.094442 Mean dependent var 53.04878
Adjusted R-squared 0.071517 S.D. dependent var 460.3619
S.E. of regression 443.5947 Akaike info criterion 15.06360
Sum squared resid 15545326 Schwarz criterion 15.15165
Log likelihood -614.6076 Hannan-Quinn criter. 15.09895
F-statistic 4.119526 Durbin-Watson stat 2.064528
Prob(F-statistic) 0.019870
.
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
(Lanjutan)
Uji Stasioner Data Harga Pertamax pada First Difference
Null Hypothesis: D(PERTAMAX) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.144339 0.0000
Test critical values: 1% level -3.512290
5% level -2.897223
10% level -2.585861
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(PERTAMAX,2)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:47
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(PERTAMAX(-1)) -0.785684 0.109973 -7.144339 0.0000
C 40.56880 50.39113 0.805078 0.4232
R-squared 0.389507 Mean dependent var -5.182927
Adjusted R-squared 0.381876 S.D. dependent var 575.6884
S.E. of regression 452.6113 Akaike info criterion 15.09203
Sum squared resid 16388561 Schwarz criterion 15.15073
Log likelihood -616.7733 Hannan-Quinn criter. 15.11560
F-statistic 51.04158 Durbin-Watson stat 2.024263
Prob(F-statistic) 0.000000
Uji Stasioner Data Harga Primax pada Kondisi Level
Null Hypothesis: PRIMAX has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.941441 0.3115
Test critical values: 1% level -3.548208
5% level -2.912631
10% level -2.594027
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(PRIMAX)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:44
Sample (adjusted): 2007M03 2011M12
Included observations: 58 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PRIMAX(-1) -0.088416 0.045541 -1.941441 0.0573
D(PRIMAX(-1)) 0.342528 0.127381 2.689002 0.0095
C 664.0094 330.0499 2.011845 0.0491
R-squared 0.145251 Mean dependent var 48.70690
Adjusted R-squared 0.114169 S.D. dependent var 465.6024
S.E. of regression 438.2184 Akaike info criterion 15.05365
Sum squared resid 10561947 Schwarz criterion 15.16023
Log likelihood -433.5559 Hannan-Quinn criter. 15.09516
F-statistic 4.673177 Durbin-Watson stat 2.147172
Prob(F-statistic) 0.013353
Uji Stasioner Data Harga Primax pada First Difference
Null Hypothesis: D(PRIMAX) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.501762 0.0000
Test critical values: 1% level -3.548208
5% level -2.912631
10% level -2.594027
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Dependent Variable: D(PRIMAX,2)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:50
Sample (adjusted): 2007M03 2011M12
Included observations: 58 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(PRIMAX(-1)) -0.704717 0.128089 -5.501762 0.0000
C 33.17908 59.33002 0.559229 0.5782
R-squared 0.350871 Mean dependent var -3.879310
Adjusted R-squared 0.339279 S.D. dependent var 552.2840
S.E. of regression 448.9226 Akaike info criterion 15.08545
Sum squared resid 11285766 Schwarz criterion 15.15650
Log likelihood -435.4781 Hannan-Quinn criter. 15.11313
F-statistic 30.26939 Durbin-Watson stat 2.073118
Prob(F-statistic) 0.000001
Uji Stasioner Data Harga Super pada Kondisi Level
Null Hypothesis: SUPER has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.777334 0.0667
Test critical values: 1% level -3.525618
5% level -2.902953
10% level -2.588902
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(SUPER)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:45
Sample (adjusted): 2006M02 2011M12
Included observations: 71 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
SUPER(-1) -0.095051 0.034224 -2.777334 0.0071
D(SUPER(-1)) 0.336175 0.113480 2.962427 0.0042
D(SUPER(-2)) 0.258405 0.117666 2.196082 0.0316
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
C 665.5606 234.8425 2.834072 0.0061
R-squared 0.258040 Mean dependent var 46.47887
Adjusted R-squared 0.224818 S.D. dependent var 424.7540
S.E. of regression 373.9722 Akaike info criterion 14.74093
Sum squared resid 9370300. Schwarz criterion 14.86840
Log likelihood -519.3030 Hannan-Quinn criter. 14.79162
F-statistic 7.767125 Durbin-Watson stat 1.890331
Prob(F-statistic) 0.000159
Uji Stasioner Data Harga Super pada First Difference
Null Hypothesis: D(SUPER) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.526789 0.0000
Test critical values: 1% level -3.524233
5% level -2.902358
10% level -2.588587
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(SUPER,2)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:52
Sample (adjusted): 2006M01 2011M12
Included observations: 72 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(SUPER(-1)) -0.609837 0.110342 -5.526789 0.0000
C 23.17398 46.85474 0.494592 0.6224
R-squared 0.303797 Mean dependent var -1.388889
Adjusted R-squared 0.293851 S.D. dependent var 470.9873
S.E. of regression 395.7831 Akaike info criterion 14.82699
Sum squared resid 10965100 Schwarz criterion 14.89024
Log likelihood -531.7718 Hannan-Quinn criter. 14.85217
F-statistic 30.54540 Durbin-Watson stat 2.124688
Prob(F-statistic) 0.000001
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Uji Stasioner Data Harga Performance pada Kondisi Level
Null Hypothesis: PERFORM has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.171523 0.9324
Test critical values: 1% level -3.653730
5% level -2.957110
10% level -2.617434
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(PERFORM)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:45
Sample (adjusted): 2009M05 2011M12
Included observations: 32 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
PERFORM(-1) -0.007890 0.046001 -0.171523 0.8650
C 145.9951 326.3663 0.447335 0.6578
R-squared 0.000980 Mean dependent var 90.62500
Adjusted R-squared -0.032321 S.D. dependent var 267.3210
S.E. of regression 271.6067 Akaike info criterion 14.10705
Sum squared resid 2213105. Schwarz criterion 14.19866
Log likelihood -223.7128 Hannan-Quinn criter. 14.13741
F-statistic 0.029420 Durbin-Watson stat 1.483293
Prob(F-statistic) 0.864965
Uji Stasioner Data Harga Performance pada First Difference
Null Hypothesis: D(PERFORM) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.228501 0.0024
Test critical values: 1% level -3.661661
5% level -2.960411
10% level -2.619160
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(PERFORM,2)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:52
Sample (adjusted): 2009M06 2011M12
Included observations: 31 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(PERFORM(-1)) -0.756169 0.178827 -4.228501 0.0002
C 73.96419 50.56032 1.462890 0.1543
R-squared 0.381402 Mean dependent var 3.225806
Adjusted R-squared 0.360071 S.D. dependent var 332.0839
S.E. of regression 265.6523 Akaike info criterion 14.06459
Sum squared resid 2046563. Schwarz criterion 14.15711
Log likelihood -216.0012 Hannan-Quinn criter. 14.09475
F-statistic 17.88022 Durbin-Watson stat 1.965317
Prob(F-statistic) 0.000214
Uji Stasioner Data Crude Oil MOPS pada kondisi level
Null Hypothesis: MOPS has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.958742 0.3044
Test critical values: 1% level -3.512290
5% level -2.897223
10% level -2.585861
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(MOPS)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:46
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
MOPS(-1) -0.155494 0.079385 -1.958742 0.0537
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
D(MOPS(-1)) -0.326047 0.109003 -2.991180 0.0037
C 1071.735 531.7917 2.015328 0.0473
R-squared 0.206412 Mean dependent var 121.4268
Adjusted R-squared 0.186321 S.D. dependent var 2703.886
S.E. of regression 2439.018 Akaike info criterion 18.47248
Sum squared resid 4.70E+08 Schwarz criterion 18.56053
Log likelihood -754.3716 Hannan-Quinn criter. 18.50783
F-statistic 10.27392 Durbin-Watson stat 2.002105
Prob(F-statistic) 0.000108
Uji Stasioner Data Harga Crude Oil MOPS pada First Difference
Null Hypothesis: D(MOPS) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.81943 0.0001
Test critical values: 1% level -3.512290
5% level -2.897223
10% level -2.585861
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(MOPS,2)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:53
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(MOPS(-1)) -1.409843 0.102019 -13.81943 0.0000
C 173.9317 274.3896 0.633886 0.5280
R-squared 0.704772 Mean dependent var -6.682927
Adjusted R-squared 0.701081 S.D. dependent var 4539.467
S.E. of regression 2481.883 Akaike info criterion 18.49551
Sum squared resid 4.93E+08 Schwarz criterion 18.55421
Log likelihood -756.3159 Hannan-Quinn criter. 18.51908
F-statistic 190.9768 Durbin-Watson stat 2.055493
Prob(F-statistic) 0.000000
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Uji Stasioner Data Crude Oil ICP pada kondisi level
Null Hypothesis: ICP has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.836316 0.3607
Test critical values: 1% level -3.511262
5% level -2.896779
10% level -2.585626
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(ICP)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:46
Sample (adjusted): 2005M02 2011M12
Included observations: 83 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
ICP(-1) -0.076503 0.041661 -1.836316 0.0700
C 388.4728 192.6541 2.016427 0.0471
R-squared 0.039967 Mean dependent var 46.67470
Adjusted R-squared 0.028114 S.D. dependent var 459.3083
S.E. of regression 452.8057 Akaike info criterion 15.09260
Sum squared resid 16607675 Schwarz criterion 15.15089
Log likelihood -624.3431 Hannan-Quinn criter. 15.11602
F-statistic 3.372057 Durbin-Watson stat 1.631126
Prob(F-statistic) 0.069980
Uji Stasioner Data Harga Crude Oil ICP pada First Difference
Null Hypothesis: D(ICP) has a unit root
Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)
t-Statistic Prob.*
Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.636374 0.0000
Test critical values: 1% level -3.512290
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
5% level -2.897223
10% level -2.585861
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
Dependent Variable: D(ICP,2)
Method: Least Squares
Date: 07/05/12 Time: 10:54
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ICP(-1)) -0.848288 0.111085 -7.636374 0.0000
C 37.56667 51.07492 0.735521 0.4642
R-squared 0.421607 Mean dependent var -6.451220
Adjusted R-squared 0.414377 S.D. dependent var 600.5124
S.E. of regression 459.5482 Akaike info criterion 15.12245
Sum squared resid 16894765 Schwarz criterion 15.18115
Log likelihood -618.0206 Hannan-Quinn criter. 15.14602
F-statistic 58.31421 Durbin-Watson stat 2.024058
Prob(F-statistic) 0.000000
Hasil Tes Kointegrasi Data Pertamax dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:00
Sample (adjusted): 2005M04 2011M12
Included observations: 81 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: PERTAMAX MOPS
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.124297 14.65367 15.49471 0.0667
At most 1 * 0.047039 3.902649 3.841466 0.0482
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.124297 10.75102 14.26460 0.1671
At most 1 * 0.047039 3.902649 3.841466 0.0482
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
PERTAMAX MOPS
-0.001001 0.000392
0.000258 0.000220
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(PERTAM
AX) 106.6139 -71.23844
D(MOPS) -626.8110 -332.4918
1 Cointegrating
Equation(s):
Log
likelihood -1347.313
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
PERTAMAX MOPS
1.000000 -0.391567
(0.09508)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(PERTAM
AX) -0.106726
(0.05011)
D(MOPS) 0.627468
(0.26151)
Hasil Tes Kointegrasi Data Primax dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:05
Sample (adjusted): 2007M04 2011M12
Included observations: 57 after adjustments
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: PRIMAX MOPS
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.149634 12.93970 15.49471 0.1170
At most 1 0.062861 3.700676 3.841466 0.0544
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.149634 9.239026 14.26460 0.2668
At most 1 0.062861 3.700676 3.841466 0.0544
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
PRIMAX MOPS
-0.001190 0.000337
0.000142 0.000250
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(PRIMAX) 118.2346 -72.99175
D(MOPS) -561.1117 -620.6069
1 Cointegrating
Equation(s):
Log
likelihood -954.0035
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
PRIMAX MOPS
1.000000 -0.283524
(0.08090)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(PRIMAX) -0.140744
(0.06754)
D(MOPS) 0.667934
(0.46899)
Hasil Tes Kointegrasi Data Super dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:07
Sample (adjusted): 2006M02 2011M12
Included observations: 71 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: SUPER MOPS
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.155795 16.87932 15.49471 0.0308
At most 1 * 0.066092 4.854759 3.841466 0.0276
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.155795 12.02456 14.26460 0.1097
At most 1 * 0.066092 4.854759 3.841466 0.0276
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
SUPER MOPS
-0.001113 0.000329
5.47E-05 0.000287
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
D(SUPER) 128.5098 -52.14592
D(MOPS) -573.5918 -513.5593
1 Cointegrating
Equation(s):
Log
likelihood -1172.374
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
SUPER MOPS
1.000000 -0.295543
(0.07847)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(SUPER) -0.143015
(0.04989)
D(MOPS) 0.638335
(0.33167)
Hasil Tes Kointegrasi Data Performance dengan Crude Oil MOPS
Date: 07/05/12 Time: 11:09
Sample (adjusted): 2009M07 2011M12
Included observations: 30 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: PERFORM MOPS
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.282094 10.38660 15.49471 0.2522
At most 1 0.014694 0.444087 3.841466 0.5052
Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None 0.282094 9.942509 14.26460 0.2157
At most 1 0.014694 0.444087 3.841466 0.5052
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
PERFORM MOPS
-0.002541 0.000618
0.001113 -1.77E-05
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(PERFORM
) -7.038020 -30.79629
D(MOPS) -1552.292 160.4069
1 Cointegrating
Equation(s):
Log
likelihood -486.3993
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
PERFORM MOPS
1.000000 -0.243042
(0.02968)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(PERFORM
) 0.017887
(0.13192)
D(MOPS) 3.945047
(1.45656)
Hasil Tes Kointegrasi Data Pertamax dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:04
Sample (adjusted): 2005M04 2011M12
Included observations: 81 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: PERTAMAX ICP
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
None * 0.180853 21.25159 15.49471 0.0061
At most 1 * 0.060938 5.092809 3.841466 0.0240
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.180853 16.15878 14.26460 0.0248
At most 1 * 0.060938 5.092809 3.841466 0.0240
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05
level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
PERTAMAX ICP
-0.002061 0.002899
0.000991 -0.000364
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(PERTAM
AX) 80.38227 -75.82913
D(ICP) -125.2042 -82.68821
1 Cointegrating Equation(s):
Log
likelihood -1189.179
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
PERTAMAX ICP
1.000000 -1.406572
(0.11068)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(PERTAM
AX) -0.165676
(0.08368)
D(ICP) 0.258059
(0.10187)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Hasil Tes Kointegrasi Data Primax dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:06
Sample (adjusted): 2007M04 2011M12
Included observations: 57 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: PRIMAX ICP
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.288752 26.06924 15.49471 0.0009
At most 1 * 0.110078 6.647393 3.841466 0.0099
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.288752 19.42184 14.26460 0.0070
At most 1 * 0.110078 6.647393 3.841466 0.0099
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05
level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
PRIMAX ICP
-0.001649 0.002505
0.001524 -0.000888
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(PRIMAX) 108.4254 -111.0447
D(ICP) -138.8934 -139.5876
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -838.9988
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
PRIMAX ICP
1.000000 -1.519330
(0.13968)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(PRIMAX) -0.178757
(0.08668)
D(ICP) 0.228988
(0.10939)
Hasil Tes Kointegrasi Data Super dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:08
Sample (adjusted): 2006M02 2011M12
Included observations: 71 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: ICP SUPER
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.243196 26.43896 15.49471 0.0008
At most 1 * 0.089471 6.654776 3.841466 0.0099
Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.243196 19.78419 14.26460 0.0061
At most 1 * 0.089471 6.654776 3.841466 0.0099
Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05
level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
ICP SUPER
-0.003526 0.002436
-0.001407 0.001828
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(ICP) 183.2087 -76.81078
D(SUPER) -37.26843 -84.88543
1 Cointegrating
Equation(s):
Log
likelihood -1024.765
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
ICP SUPER
1.000000 -0.690704
(0.04936)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(ICP) -0.646026
(0.18054)
D(SUPER) 0.131415
(0.12741)
Hasil Tes Kointegrasi Data Performance dengan Crude Oil ICP
Date: 07/05/12 Time: 11:10
Sample (adjusted): 2009M07 2011M12
Included observations: 30 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: PERFORM ICP
Lags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.502546 21.82684 15.49471 0.0049
At most 1 0.028883 0.879250 3.841466 0.3484
Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**
None * 0.502546 20.94759 14.26460 0.0038
At most 1 0.028883 0.879250 3.841466 0.3484
Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05
level
* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by
b'*S11*b=I):
PERFORM ICP
-0.006885 0.009344
0.000963 9.08E-05
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
D(PERFORM
) 29.60375 -33.99008
D(ICP) -239.9086 -35.62815
1 Cointegrating
Equation(s):
Log
likelihood -411.9899
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
PERFORM ICP
1.000000 -1.357162
(0.04084)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(PERFORM
) -0.203821
(0.28411)
D(ICP) 1.651767
(0.44647)
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Pertamax (Simetrik)
Dependent Variable: D(PERTAMAX)
Method: Least Squares
Date: 07/06/12 Time: 13:13
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
D(ICP) 447.5729 108.8300 4.112589 0.0001
D(PERTAMAX(-1)) -0.018156 0.091429 -0.198578 0.8431
D(ICP(-1)) 615.8709 95.05321 6.479222 0.0000
RESCOINT 0.245063 0.081956 2.990185 0.0037
R-squared 0.435834 Mean dependent var 53.04878
Adjusted R-squared 0.414135 S.D. dependent var 460.3619
S.E. of regression 352.3692 Akaike info criterion 14.61479
Sum squared resid 9684796. Schwarz criterion 14.73219
Log likelihood -595.2062 Hannan-Quinn criter. 14.66192
Durbin-Watson stat 1.997829
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Super (Simetrik)
Dependent Variable: DSUPER
Method: Least Squares
Date: 11/01/12 Time: 09:12
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 62.13959 82.11802 0.756711 0.4515
DICP 0.184195 0.189571 0.971644 0.3343
DSUPER(-1) 0.026036 0.110733 0.235122 0.8147
DICP(-1) 0.463132 0.186352 2.485250 0.0151
RESCOINT 0.056126 0.054629 1.027401 0.3074
R-squared 0.090575 Mean dependent var 101.2195
Adjusted R-squared 0.043332 S.D. dependent var 743.0532
S.E. of regression 726.7760 Akaike info criterion 16.07415
Sum squared resid 40671653 Schwarz criterion 16.22090
Log likelihood -654.0402 Hannan-Quinn criter. 16.13307
F-statistic 1.917219 Durbin-Watson stat 2.006396
Prob(F-statistic) 0.116010
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Primax (Simetrik)
Dependent Variable: DPRIMAX
Method: Least Squares
Date: 11/01/12 Time: 09:21
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 68.64080 80.54554 0.852199 0.3967
DICP 0.206179 0.181137 1.138254 0.2585
DPRIMAX(-1) -0.000805 0.110139 -0.007310 0.9942
DICP(-1) 0.490146 0.179381 2.732430 0.0078
RESCOINT 0.046434 0.035158 1.320727 0.1905
R-squared 0.114732 Mean dependent var 104.5732
Adjusted R-squared 0.068745 S.D. dependent var 742.5362
S.E. of regression 716.5592 Akaike info criterion 16.04584
Sum squared resid 39536190 Schwarz criterion 16.19259
Log likelihood -652.8793 Hannan-Quinn criter. 16.10475
F-statistic 2.494839 Durbin-Watson stat 1.953114
Prob(F-statistic) 0.049676
Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Perform (Simetrik)
Dependent Variable: DPERFORM
Method: Least Squares
Date: 11/01/12 Time: 09:22
Sample (adjusted): 2005M03 2011M12
Included observations: 82 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 21.22261 17.70619 1.198599 0.2344
DICP -0.036276 0.037918 -0.956700 0.3417
DPERFORM(-1) 0.275406 0.104553 2.634128 0.0102
DICP(-1) 0.114791 0.038044 3.017353 0.0035
RESCOINT 0.009254 0.005452 1.697462 0.0936
R-squared 0.217631 Mean dependent var 35.37805
Adjusted R-squared 0.176988 S.D. dependent var 171.2511
S.E. of regression 155.3589 Akaike info criterion 12.98839
Sum squared resid 1858503. Schwarz criterion 13.13514
Log likelihood -527.5240 Hannan-Quinn criter. 13.04731
F-statistic 5.354756 Durbin-Watson stat 1.984311
Prob(F-statistic) 0.000739
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Tes Pengaruh Harga Crude Oil dalam Kondisi Harga Naik Maupun Turun
Terhadap Pertamax (Asimetrik)
Dependent Variable: DPERTAMAX
Method: Least Squares
Date: 07/06/12 Time: 13:30
Sample (adjusted): 2006M01 2011M12
Included observations: 72 after adjustments
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
DICPP 0.264874 0.141886 1.866809 0.0665
DICPM 0.337290 0.148824 2.266360 0.0268
DICPP(-1) 0.289496 0.156586 1.848797 0.0691
DICPM(-1) 0.402741 0.191257 2.105756 0.0392
DPERTAMAXP(-1) -0.533588 0.085549 -6.237247 0.0000
DPERTAMAXM(-
1) -0.664379 0.100762 -6.593527 0.0000
RESCOINTP 0.037080 0.047301 0.783911 0.4360
RESCOINTM -0.022494 0.018948 -1.187175 0.2395
R-squared 0.593255 Mean dependent var 40.97222
Adjusted R-squared 0.548768 S.D. dependent var 448.7301
S.E. of regression 301.4292 Akaike info criterion 14.35939
Sum squared resid 5815011. Schwarz criterion 14.61235
Log likelihood -508.9379 Hannan-Quinn criter. 14.46009
Durbin-Watson stat 1.773477
Tes Asimetri Harga Crude Oil ICP Terhadap Harga Pertamax
Wald Test:
Equation: EQASIMETRIK
Test Statistic Value df Probability
F-statistic 3.380592 (4, 64) 0.0143
Chi-square 13.52237 4 0.0090
Null Hypothesis Summary:
Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.
C(1) - C(2) -0.072416 0.244694
C(3) - C(4) -0.113246 0.269233
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
C(5) - C(6) 0.130791 0.098953
C(7) - C(8) 0.059574 0.063447
Restrictions are linear in coefficients.
Granger Causality Tests
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 07/05/12 Time: 11:16
Sample: 2005M01 2011M12
Lags: 2
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.
SUPER does not Granger Cause PERTAMAX 72 2.71679 0.0734
PERTAMAX does not Granger Cause SUPER 4.04191 0.0220
PRIMAX does not Granger Cause PERTAMAX 58 0.65785 0.5221
PERTAMAX does not Granger Cause PRIMAX 5.43029 0.0072
PERFORM does not Granger Cause PERTAMAX 31 1.09956 0.3480
PERTAMAX does not Granger Cause PERFORM 0.47708 0.6259
MOPS does not Granger Cause PERTAMAX 82 1.10533 0.3363
PERTAMAX does not Granger Cause MOPS 5.96020 0.0039
ICP does not Granger Cause PERTAMAX 82 21.6668 3.E-08
PERTAMAX does not Granger Cause ICP 2.29099 0.1080
PRIMAX does not Granger Cause SUPER 58 0.88128 0.4202
SUPER does not Granger Cause PRIMAX 6.14622 0.0040
PERFORM does not Granger Cause SUPER 31 0.57130 0.5717
SUPER does not Granger Cause PERFORM 1.12454 0.3401
MOPS does not Granger Cause SUPER 72 0.88314 0.4182
SUPER does not Granger Cause MOPS 6.43769 0.0028
ICP does not Granger Cause SUPER 72 24.2162 1.E-08
SUPER does not Granger Cause ICP 6.66271 0.0023
PERFORM does not Granger Cause PRIMAX 31 8.38869 0.0015
PRIMAX does not Granger Cause PERFORM 1.61257 0.2187
MOPS does not Granger Cause PRIMAX 58 2.19137 0.1218
PRIMAX does not Granger Cause MOPS 1.94159 0.1535
ICP does not Granger Cause PRIMAX 58 11.6443 6.E-05
PRIMAX does not Granger Cause ICP 3.70242 0.0313
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
MOPS does not Granger Cause PERFORM 31 0.54139 0.5884
PERFORM does not Granger Cause MOPS 9.70830 0.0007
ICP does not Granger Cause PERFORM 31 7.94960 0.0020
PERFORM does not Granger Cause ICP 8.36556 0.0016
ICP does not Granger Cause MOPS 82 3.36128 0.0399
MOPS does not Granger Cause ICP 2.24531 0.1128
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 12/03/12 Time: 11:31
Sample: 2005M01 2011M12
Lags: 2
Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.
MOPS does not Granger Cause ICP 82 2.24531 0.1128
ICP does not Granger Cause MOPS 3.36128 0.0399
SPBU does not Granger Cause ICP 82 4.33962 0.0164
ICP does not Granger Cause SPBU 10.5351 9.E-05
SPBU does not Granger Cause MOPS 82 5.46911 0.0060
MOPS does not Granger Cause SPBU 0.35521 0.7022
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
Lampiran 2
HASIL ANOVA
HASIL ANOVA MOPS DAN ICP
SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
MOPS 84 494585,6249 5887,924106 14134319,95
ICP 84 377153,5052 4489,922681 1464434,384
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 82085135,38 1 82085135,38 10,52457569 0,001424448 3,89808843
Within Groups 1294696610 166 7799377,168
Total 1376781745 167
HASIL ANOVA MOPS DAN PERTAMAX
SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
MOPS 84 494585,6249 5887,924106 14134319,95
PERTAMAX 84 550137,5 6549,255952 2230641,382
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 18369112,05 1 18369112,05 2,244931922 0,135952016 3,89808843
Within Groups 1358291791 166 8182480,667
Total 1376660903 167
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012
(Lanjutan)
HASIL ANOVA ICP DAN PERTAMAX
SUMMARY
Groups Count Sum Average Variance
ICP 84 377153,5052 4489,922681 1464434,384
PERTAMAX 84 550137,5 6549,255952 2230641,382
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Between Groups 178115848 1 178115848 96,4071425 3,15002E-18 3,89808843
Within Groups 306691288,6 166 1847537,883
Total 484807136,6 167
Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012