137
UNIVERSITAS INDONESIA PERGERAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK NON SUBSIDI RON 92: TEORI ASYMMETRIC PRICE TRANSMISSION MENGGUNAKAN METODE ERROR CORRECTION MODEL TESIS FEBBY KRISTANTRI 1006741225 FAKULTAS EKONOMI PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA NOVEMBER 2012 Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA PERGERAKAN HARGA BAHAN …lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20317193-T31551-Pergerakan harga.pdf · of crude oil input and explain the factors that influence

Embed Size (px)

Citation preview

UNIVERSITAS INDONESIA

PERGERAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK

NON SUBSIDI RON 92: TEORI ASYMMETRIC PRICE

TRANSMISSION MENGGUNAKAN METODE ERROR

CORRECTION MODEL

TESIS

FEBBY KRISTANTRI

1006741225

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

JAKARTA

NOVEMBER 2012

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

UNIVERSITAS INDONESIA

PERGERAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK

NON SUBSIDI RON 92: TEORI ASYMMETRIC PRICE

TRANSMISSION MENGGUNAKAN METODE ERROR

CORRECTION MODEL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Ekonomi

FEBBY KRISTANTRI

1006741225

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK

KEKHUSUSAN EKONOMI PERSAINGAN USAHA

JAKARTA

NOVEMBER 2012

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

ii

Universitas Indonesia

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa

tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang

berlaku di Universitas Indonesia.

Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan

bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh

Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, November 2012

( Febby Kristantri )

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

iii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Febby Kristantri

NPM : 1006741225

Tanda Tangan :

Tanggal : November 2012

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

iv

Universitas Indonesia

HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :

Nama : Febby Kristantri

NPM : 1006741255

Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Judul Tesis : Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non

Subsidi RON 92: Teori Asymmetric Price

Transmission menggunakan Metode Error

Correction Model

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : DR. Andi Fahmi Lubis, SE., ME. ( )

Penguji : Sri Mulyono, SE., M.Sc. ( )

Penguji : Titissari, MT., M.Sc. ( )

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : November 2012

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

v

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Febby Kristantri

NPM : 1006741255

Kekhususan : Ekonomi Persaingan Usaha

Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Fakultas : Ekonomi

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non Subsidi RON 92: Teori

Asymmetric Price Transmission menggunakan Metode Error Correction

Model

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : November 2012

Yang menyatakan

( Febby Kristantri )

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

vi

Universitas Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini

dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar

Magister Ekonomi di Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak,

dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya

untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

(1) Bapak DR. Andi Fahmi Lubis, SE. ME., selaku dosen pembimbing yang

telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya

dalam penyusunan tesis ini;

(2) Bapak Nurkholis, SE. M.Se, selaku dosen Ekonometrika yang dengan

sabar membantu saya dalam pengolahan data untuk penyusunan tesis ini;

(3) Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU), yang

telah memberikan beasiswa bagi saya untuk menempuh studi S-2 di

Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia;

(4) Orang tua dan keluarga saya yang senantiasa memberikan dukungan

material dan moral serta menjadi penyemangat dalam penulisan tesis ini;

(5) Esti Wulandari dan Ulfah Purba Agung N, sahabat yang telah memberikan

ide dan banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini;

(6) Diana Yoseva, Ita Damayanti, Firdaussy Yustiningsih, Liasari, dan Wiwit

Widodo, rekan-rekan KPPU yang telah berjuang bersama selama masa

perkuliahan dan penyelesaian tesis;

(7) Te Chan yang telah banyak membantu dalam perolehan data;

(8) Rekan-rekan Angkatan XXIII Sore MPKP FEUI yang tidak dapat saya

sebutkan satu per satu yang telah menjadi teman dan sahabat selama ini.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

vii

Universitas Indonesia

Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas

segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa

manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, November 2012

Penulis

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

viii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Febby Kristantri

Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Judul : Pergerakan Harga Bahan Bakar Minyak Non Subsidi RON

92: Teori Asymmetric Price Transmission menggunakan

Metode Error Correction Model

Sejak diberlakukannya liberalisasi di sektor hilir Industri Bahan Bakar

Minyak (BBM), jumlah operator atau pelaku usaha yang aktif melaksanakan

bisnis hanya 4 (empat) yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total. Terlihat

bahwa harga jual bahan bakar minyak non subsidi khususnya RON 92 dari SPBU

pelaku usaha tersebut di atas ketika harga input crude oil mengalami kenaikan

segera direspon namun ketika terjadi kondisi sebaliknya dimana harga input crude

oil mengalami penurunan direspon lambat.

Tujuan tesis ini adalah untuk melakukan analisis pergerakan harga jual

BBM non subsidi RON 92 di SPBU berdasarkan teori asymmetric price

transmission dengan cara membandingkan harga jual di SPBU terhadap harga

input crude oil serta menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap harga

jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU.

Berdasarkan pengujian dan analisis data, didapatkan bahwa terdapat

fenomena asymmetric price transmission pada industri BBM RON 92. Harga jual

eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU lebih terkorelasi dalam jangka panjang

dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil

MOPS.

Faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena asymmetic price

transmission-selain harga input crude oil ICP yang berpengaruh sekitar 68.79%

terhadap harga Pertamax-adalah komponen lain dalam harga impor yang

membentuk total biaya aktual (landed cost) yaitu iuran-iuran pasar, ongkos

pengangkutan, asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai, serta biaya

surveyor. Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi seperti

pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya (kontrak harga,

nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta struktur pasar

industri bahan bakar minyak RON 92.

Kata Kunci:

Asymmetric Price Transmission, Crude Oil, Harga Jual BBM RON 92

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

ix

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Febby Kristantri

Studi Program : Master of Planning and Public Policy

Title : Movement of Non-Subsidies RON 92 Fuel Price: Theory of

Asymmetric Price Transmission with Error Correction Model

Method

Since liberalization takes place in downstream fuel industries, the number

of operators or business actors that actively conduct business are only 4 (four).

There are Pertamina, Petronas, Shell, and Total. It appears that the selling price of

non-subsidized fuel prices of RON 92 at petrol stations business actors mentioned

above is when the crude oil input prices rose, the business actors quickly

responded, but when it happens the opposite where the price of crude oil inputs

decreased the business actors response are slow.

The purpose of this thesis is to analyze the movement of non-subsidized

price of RON 92 fuel at the petrol stations based on the theory of asymmetric

price transmission by comparing the sales price at the petrol stations to the price

of crude oil input and explain the factors that influence the retail price of non-

subsidized fuel RON 92 at the petrol stations.

Based on the testing and analysis of the data, it was found that there is a

phenomenon of asymmetric price transmission on RON 92 fuel industry. Retail

price of non-subsidized RON 92 fuel at the petrol stations over the long term

correlated with the price of crude oil inputs ICP compared to the price of crude oil

inputs MOPS.

Factors that led to the phenomenon of asymmetric price transmission-other

than the price of crude oil inputs ICP that affect approximately 68.79% to the

price of Pertamax-are another component in the price of imports that make up the

total actual cost (landed cost). There are the market dues, freight, insurance,

additive, lost at sea, customs and excise, and surveyors fees. This condition can at

least be explained by a number of conditions such as purchasing fuel RON 92 in

the previous period (the contract price, exchange rate, and distribution costs),

competitor pricing, and industry market structure of fuel RON 92.

Key words:

Asymmetric Price Transmission, Crude Oil, Selling Price of fuel RON 92

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

x

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………. i

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME………………………… ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………………….. iii

HALAMAN PENGESAHAN……………………………………...………… iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS……………………………

v

KATA PENGANTAR………...……………………………………………… vi

ABSTRAK………………………………………………………………….... viii

ABSTRACT………………………………………………………………...... ix

DAFTAR ISI…………………………………………………………...…….. x

DAFTAR DIAGRAM……………………………………………………...… xii

DAFTAR GRAFIK...………………………………………………………… xiii

DAFTAR TABEL……………………………………………………………. xiv

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………. xv

1. PENDAHULUAN……………………………………………………... 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah………………………………………………... 8

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………… 8

1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 9

1.5 Hipotesis Penelitian……………………………………………… 9

1.6 Metodologi Penelitian……………………………………………. 9

1.6.1 Metode Penelitian………………………………………… 9

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data……………………………….. 12

1.6.3 Tahapan Penelitian……………………………………….. 12

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian ……………………………….. 13

1.6.5 Kerangka Pemikiran ……………………………………... 13

1.7 Sistematika Penulisan……………………………………………. 14

2. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………. 16

2.1 Pengertian………………………………………………………... 16

2.2 Tipe Asymmetric Price Transmission……………………………….. 21

2.3 Penyebab Asymmetric Price Transmission…………………………. 25

2.4 Lag dalam Proses Produksi dan Manajemen Persediaan………… 31

2.5 Market Power dan Local Price……………………………………….. 32

2.6 Kondisi Industri Bahan Bakar Minyak…………………………... 33

2.6.1 Pelaku Usaha……………………………………………... 34

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

xi

Universitas Indonesia

2.6.2 Distribusi Bahan Bakar Minyak………………………….. 39

2.6.3 Regulasi…………………………………………………… 40

3. METODE PENELITIAN…………………………………………….. 48

3.1 Cakupan Penelitian………………………………………………. 48

3.2 Metode Analisis………………………………………………….. 50

3.3 Tahapan Pengujian……………………………………………….. 51

3.3.1 Tes Stasioner……………………………………………... 52

3.3.2 Tes Kointegrasi…………………………………………... 54

3.3.3 Metode Error Correction Model……………………………. 55

3.3.4 Tes Simetrik…………………………………………...…. 56

3.3.5 Tes Asimetrik…………………………………………….. 57

3.4 Data Setting……………………………………………………………... 59

4. ANALISA DAN PEMBAHASAN……………………………………. 60

4.1 Analisa Data Deskriptif…………………………………………... 60

4.2 Analisa Time Series……………………………………………………. 62

4.2.1 Tes Stasioner……………………………………………... 63

4.2.2 Tes Kointegrasi…………………………………………... 65

4.3 Pengolahan Data Model Error Correction Model (ECM)……….. 67

4.3.1 Tes Simetrik……………………………………………… 67

4.3.2 Tes Asimetrik…………………………………………….. 73

4.3.3 Wald Test………………………………………………… 75

4.4 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga

Input Crude Oil MOPS dengan Harga Jual Eceran Pertamax di

SPBU ……………………………..………………………………

76

4.5 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga

Input Crude Oil ICP dengan Harga Jual Eceran Pertamax di

SPBU…………………………………………………………………

77

4.5.1 Persediaan………………………………………………… 77

4.5.2 Penetapan Harga………………………………………….. 81

4.5.3 Kekuatan Pasar (Market Power)...……………………….. 85

5. KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………….. 89

5.1 Kesimpulan………………………………………………………. 89

5.2 Saran……………………………………………………………... 90

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 92

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

xii

Universitas Indonesia

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1.a Asymmetric Price Transmission (magnitude) 22

Diagram 1.b Asymmetric Price Transmission (speed) 22

Diagram 1.c Asymmetric Price Transmission (speed and magnitude) 22

Diagram 2.a Positive Asymmetric Price Transmission 24

Diagram 2.b Negative Asymmetric Price Transmission 24

Diagram 3 Types of Error Correction 25

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

xiii

Universitas Indonesia

DAFTAR GRAFIK

Grafik 1.1 Perbandingan Jumlah Impor RON 95 dan RON 92 3

Grafik 1.2 Perbandingan Harga Tahun 2011 7

Grafik 2.1 Pola Distribusi Bahan Bakar Minyak 39

Grafik 3.1 Tahapan Analisis Data 58

Grafik 4.1 Pergerakan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 60

Grafik 4.2 Pergerakan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP) 62

Grafik 4.3 Hasil Tes Granger Causality Data Harga Jual BBM Non

Subsidi RON 92 dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan

ICP)

67

Grafik 4.4 Hasil Tes Granger Causality Data Keseluruhan Harga Jual

BBM Non Subsidi RON 92 dengan Harga Input Crude Oil

(MOPS dan ICP)

68

Grafik 4.5 Impor Crude Petroleum Oil Indonesia Tahun 2005-2011 78

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

xiv

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Kerangka Pemikiran 14

Tabel 4.1 Jumlah Produksi, Impor, dan Konsumsi 61

Tabel 4.2 Besar Pengaruh Biaya 81

Tabel 4.3 Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92

Pertamina

82

Tabel 4.4 Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92

Petronas

84

Tabel 4.5 Perubahan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 85

Tabel 4.6 Jumlah SPBU di Indonesia 87

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

xv

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Program E-Views 92

Lampiran 2 Hasil ANOVA 118

Lampiran 3 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun

2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak

Dalam Negeri

120

Lampiran 4 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun

2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak

Dalam Negeri

124

Lampiran 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi

135

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan bakar minyak (BBM) merupakan komoditas utama yang memiliki

dampak pengganda strategis bagi perekonomian nasional (Noor: 2011). BBM

juga merupakan komoditas strategis yang digunakan di hampir seluruh proses

produksi dan bukanlah variabel tunggal yang bersifat steril yang tidak

mempengaruhi harga barang lain. Jika harga BBM naik, terjadi pula kenaikan

harga bahan baku dan barang antara, dan end user-lah yang akan menanggungnya

(Lestari: 2012). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang

minyak dan gas bumi, minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam

strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas

vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting

dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara

maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah wajib

menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan

komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2001, Indonesia memberlakukan liberalisasi bisnis di sektor hilir. Pemahaman

mendasar mengenai hal ini adalah dibukanya industri hilir migas dimana PT

Pertamina (Persero) bukan lagi menjadi pemain tunggal. Hingga saat ini, jumlah

badan usaha atau operator yang secara aktif melaksanakan bisnis dalam BBM

hanya ada 4 (empat) pelaku usaha yaitu PT Pertamina (Persero) selanjutnya akan

dipersingkat dengan Pertamina, Petronas Indonesia (Petronas), PT. Shell

Indonesia (Shell), dan Total Indonesie (Total).

Dalam rangka menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian

BBM, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang

Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Pasal 44 butir c mengatur bahwa

dalam melaksanakan kegiatan usaha niaga, Badan Usaha wajib menjamin harga

jual BBM, bahan bakar gas, bahan bakar lain dan/atau hasil olahan pada tingkat

yang wajar. Sejak liberalisasi, Pemerintah memberlakukan 2 (dua) penetapan

harga pada BBM yaitu berdasarkan harga yang di regulasi dan yang tidak di

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

2

Universitas Indonesia

regulasi atau berdasarkan mekanisme pasar. Penetapan harga yang diregulasi

dilakukan agar harga jual eceran BBM dalam negeri dapat dijangkau oleh

masyarakat kurang mampu sebagai bentuk program peningkatan kesejahteraan

melalui subsidi. Penetapan harga BBM bersubsidi diregulasi sejak lama di bawah

harga pasar dengan gap (kesenjangan) dijembatani melalui subsidi oleh

pemerintah dan ditetapkan melalui Peraturan Presiden. Peraturan Presiden Nomor

55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri

mengatur harga jual eceran Bensin Premium dan Minyak Solar (Gas Oil) untuk

Usaha Kecil, Transportasi, dan Pelayanan Umum di titik serah termasuk Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) untuk setiap liter. Akses terhadap capped prices (harga

tertinggi) dibuat sama rata untuk masyarakat berpenghasilan tinggi dan rendah.

BBM yang disubsidi oleh Pemerintah adalah hanya untuk jenis BBM bensin

premium dengan Randon Otcane Number (RON) 88 sedangkan untuk BBM jenis

lain yang ada di pasaran tidak di subsidi.

Jenis BBM Bensin merupakan nama umum bagi beberapa jenis BBM yang

diperuntukkan untuk mesin dengan pembakaran dengan pengapian. Di Indonesia

terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu

pembakaran berbeda. Nilai mutu jenis BBM bensin ini dihitung berdasarkan nilai

RON. Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi 3 jenis

yaitu (www.bpmigas.com):

a. Premium (RON 88): Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat

berwarna kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat

pewarna tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk

bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin, seperti: mobil, sepeda

motor, motor tempel, dan lain-lain. Bahan bakar ini sering juga disebut motor

gasoline atau petrol.

b. Pertamax (RON 92): ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan

penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded).

Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan yang diproduksi di atas

tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi setara dengan

electronic fuel injection dan catalytic converters.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

3

Universitas Indonesia

c. Pertamax Plus (RON 95): Jenis BBM ini telah memenuhi standar

performance International World Wide Fuel Charter (WWFC). Ditujukan

untuk kendaraan yang berteknologi mutakhir yang mempersyaratkan

penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan ramah lingkungan. Pertamax

Plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang memiliki kompresi ratio

> 10,5 dan juga yang menggunakan teknologi Electronic Fuel Injection (EFI),

Variable Valve Timing Intelligent (VVTI), Valve Timing Intelligent (VTI),

Turbochargers dan Catalytic Converters.

Penelitian ini dikhususkan pada RON 92 dikarenakan penetapan harga

BBM bensin RON 88 merupakan harga yang disubsidi dan ditetapkan oleh

pemerintah sehingga tidak terdapat persaingan yang berarti. Bila dibandingkan

dengan RON 95, pengguna RON 92 lebih besar yang dibuktikan dengan jumlah

impor yang memiliki kecenderungan makin meningkat sebagaimana terlihat pada

grafik di bawah ini.

Per Ribu Kilo Liter

Sumber: Ditjen Migas, PT. Pertamina (Persero), diolah Pusdatin KESDM

Grafik 1.1 Perbandingan Jumlah Impor RON 95 dan RON 92

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

IMPOR RON 95

IMPOR RON 92

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

4

Universitas Indonesia

Penetapan harga BBM non subsidi pada kegiatan usaha minyak dan gas

bumi terutama hilir diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang

wajar, sehat, dan transparan. Dalam pasal 28 Undang-Undang Nomor 22 tahun

2001 menyatakan bahwa harga dan bahan bakar minyak diserahkan pada

mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Sebelum adanya kebijakan

liberalisasi migas di Indonesia, masyarakat hanya mengenal produk dari

Pertamina, tetapi sekarang telah banyak produk-produk dari perusahaan minyak

dunia masuk ke Indonesia seperti Petronas, Shell, dan Total yang turut mendorong

makin ketatnya persaingan penjualan BBM non subsidi.

Harga jual eceran Pertamina, Petronas, Shell, dan Total yang ditetapkan

memiliki trend atau pola yang hampir sama. Hal ini mengindikasikan bahwa

industri BBM non subsidi semakin ketat. Karakter konsumen Indonesia yang

sensitif pada harga, membuat para operator atau pelaku usaha BBM non subsidi

bersaing dalam pricing strategy. Akibatnya, perang harga BBM non subsidi pun

makin sengit. Menurut Vice President Komunikasi Pertamina, Mochamad Harun,

mengatakan pricing strategy merupakan salah satu cara Pertamina untuk bersaing

di pasar BBM non subsidi. Bahkan, Pertamina akan menempuh cara yang cukup

ekstrem, yakni mempercepat frekuensi penyesuaian harga1. Persaingan makin

diperuncing dengan akan diberlakukannya kebijakan Pemerintah mengenai

pembatasan BBM bersubsidi (premium). Dengan pembatasan BBM bersubsidi,

yang dirancang berlaku di seluruh Indonesia, operator asing memiliki peluang

cukup besar dan merata. Hal ini dikarenakan ketika BBM bersubsidi dibatasi,

otomatis konsumsi BBM non subsidi akan meningkat. Pada saat itulah,

konsumen bebas memilih BBM non subsidi yang dijual di Stasiun Pengisian

Bahan Bakar Umum (SPBU) mana saja yang lebih menguntungkan, termasuk

SPBU asing. Karenanya, sangat wajar jika kebijakan pembatasan BBM bersubsidi

akan banyak menguntungkan SPBU asing2. Hal ini didukung pernyataan Bayu

Wicaksono, Regional Sales Manajer Total, Total saat ini baru menguasai 1% dari

market share penjualan BBM di Indonesia. Setelah ada rencana pencabutan BBM

bersubsidi, diperkirakan market share Total dapat naik hingga 5-6%. Sehingga

1 JPNN. (3 Juni 2011). BBM Non Subsidi Perang Harga. http://fajar.co.id.

2 Bersaing Ketat Karena Minyak.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

5

Universitas Indonesia

pembatasan BBM bersubsidi membuat perusahaan asing kian berhasrat merebut

pangsa pasar3. Selama ini penjualan non-Premium (BBN non subsidi) dari Shell,

Total, dan Petronas hanya sekitar 3% persen dari seluruh pangsa pasar.

Sedangkan Pertamina bisa menjual Pertamax sekitar 2.500 kiloliter per hari. Jika

penghematan Premium di Jakarta sekitar 5.000 kiloliter, terjadi lonjakan konsumsi

bahan bakar non-Premium sekitar 2.500 kiloliter per hari. Hal inilah yang

diperebutkan Pertamina dan kompetitor4.

Rujukan penetapan harga BBM non subsidi keempat operator SPBU

tersebut ditetapkan bukan berdasarkan transaksi jual beli minyak di bursa ICE

Futures London ataupun bursa New York Mercantile Exchange (Nymex).

Rujukan operator tersebut adalah MOPS yaitu standar harga minyak (crude oil) di

bursa Singapura. MOPS adalah acuan harga untuk transaksi minyak di kawasan

Asia sedangkan bursa ICE hanya sebagai patokan transaksi minyak dunia untuk

jenis brent sementara bursa Nymex adalah acuan transaksi minyak jenis ringan

atau light sweet. MOPS merupakan singkatan dari Mean of Platts Singapore yang

merupakan penilaian produk untuk trading minyak di kawasan Asia yang dibuat

oleh Platts yaitu anak perusahaan McGraw Hill. Istilah MOPS selama ini lebih

dikenal di Indonesia dengan Mid Oil Platts Singapore yang dijadikan patokan

harga BBM di Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia

Nomor 45 Tahun 2001 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam

Negeri pasal 5 yang menyatakan bahwa harga pasar adalah harga yang ditetapkan

setiap bulan berdasarkan Mid Oil Platts Singapore (MOPS) rata-rata dari bulan

sebelumnya ditambah 5% (lima persen) dan diperjelas dalam Peraturan Presiden

Nomor 55 Tahun 20055 .

Harga MOPS juga digunakan untuk perhitungan subsidi BBM sebagai

pengeluaran negara. Perhitungan didasarkan pada selisih harga patokan per liter

jenis BBM tertentu yang didasarkan pada MOPS ditambah alpha (margin dan fee

distribusi) yang nilainya sebesar 14,1% dikurangi dengan harga jual eceran per

3 Reyno. (11 Februari 2011). BBM Subsidi Dipangkas, SPBU Asing Siap Rebut Pasar.

http://www.medantalk.com. 4 Bensin Bersubsidi di Batasi, Siapa Diuntungkan?. (15 Desember 2010).

http://tempointeraktif.com. 5 Bersaing Ketat Karena Minyak. (12 Maret 2011). http://bungapadangilalang.com.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

6

Universitas Indonesia

liter jenis BBM tertentu di Indonesia yang akan menjadi besar patokan subsidi

untuk tiap liter jenis BBM tertentu. Dengan telah ditetapkan ketentuan mengenai

MOPS sebagai dasar harga patokan, harga patokan BBM Indonesia sangat

tergantung pada harga yang muncul pada transaksi jual beli minyak di Singapura6.

Melonjaknya harga MOPS secara faktual akan mempengaruhi harga BBM

non subsidi di Indonesia. Melambungnya harga MOPS pada bulan April tahun

2011 dari US$ 119 per barel menjadi US$ 256 per barel menjadi penyebab harga

BBM non subsidi untuk Pertamina naik dari Rp 7.675,- per liter menjadi Rp

8.000,- per liter. Harga di Petronas meningkat dari Rp 7.650,- per liter menjadi

Rp 7.950,- per liter, harga Shell berubah dari Rp 7.775,- per liter menjadi Rp

7.975,- per liter dan harga Performance berubah dari Rp 7.700,- per liter menjadi

Rp 7.950,- per liter. Hal ini dapat dijelaskan karena sebesar 67.57% dari harga

jual eceran operator berasal dari harga MOPS sebagai biaya input menurut

Kurtubi. Akan tetapi, berdasarkan data yang didapat dari Pertamina, Kurtubi juga

mempertanyakan margin Pertamax yang cukup besar yaitu sekitar 37.8% (dengan

harga eceran Pertamax sebesar Rp 6.000,00 per liter dan harga MOPS sebesar

US$ 54/bbls)7.

Mengingat harga MOPS mempengaruhi harga jual eceran sebesar 67.57%

maka ketika terjadi penurunan harga MOPS seharusnya harga BBM non subsidi

juga mengalami penurunan. Akan tetapi, hal ini tidak terjadi. Ketika terjadi

penurunan harga di pasar input (MOPS) harga BBM non subsidi pada pasar

domestik diindikasikan tidak meresponnya secara proporsional. Sebagai contoh

adalah menurunnya harga MOPS pada bulan Juni ke bulan Juli tahun 2011 dari

US$ 569 per barel menjadi US$ 247 per barel yang seharusnya menyebabkan

harga jual eceran BBM non subsidi mengalami penurunan. Akan tetapi pada

kenyataanya, harga jual eceran BBM non subsidi tidak mengalami penurunan.

Harga jual eceran BBM non subsidi Pertamina justru meningkat dari Rp 8.650,-

per liter menjadi Rp 9.150,- per liter. Harga pada Petronas naik dari harga Rp

8.600,- per liter menjadi Rp 8.875,- per liter, harga Shell mengalami kenaikan dari

6 Analisis Hukum atas Harga Patokan yang Berpengaruh pada Subsidi Bahan Bakar Minyak Jenis

Tertentu. http://www.jdih.bpk.go.id. 7 Kurtubi. (2009). Harga MOPS dan Struktur Harga Keekonomian dan Margin BBM Non Subsidi.

Jakarta.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

7

Universitas Indonesia

Rp 8.550.- per liter menjadi Rp 9.050,- per liter. Sedangkan harga Total naik dari

Rp 8.600,- per liter menjadi Rp 9.025,- per liter.

Pelaku usaha dalam industri BBM non subsidi dengan RON 92 selalu

merevisi harga BBM non subsidi setiap 2 (dua) minggu sekali dalam sebulan

mengikuti harga input (MOPS). Akan tetapi berdasarkan data tersebut di atas,

dapat dilihat bahwa harga jual eceran BBM non subsidi tetap meningkat walaupun

terjadi penurunan harga yang signifikan pada harga input crude oil yang menjadi

rujukan yaitu MOPS. Akan tetapi apabila harga MOPS meningkat, harga jual

eceran akan mengikuti peningkatan tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

perbandingan harga pada grafik di bawah ini.

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Grafik 1.2 Perbandingan Harga Tahun 2011

Selain hal tersebut di atas, penetapan harga yang cenderung sama akibat

pricing strategy mengindikasikan adanya price leadership dan price taker dalam

industri. Hal ini perlu ditinjau untuk melihat apakah strategi harga yang

ditetapkan setiap operator tersebut menguntungkan semua pihak dalam jangka

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

PERTAMAX

SUPER

PRIMAX

PERFORM

MOPS

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

8

Universitas Indonesia

pendek dan jangka panjang. Apakah akibat penetapan harga tersebut

mengakibatkan industri dapat bersaing secara sehat dan ketat.

Berdasarkan uraian dan fenomena di atas, maka penulis tertarik untuk

mengetahui mekanisme pergerakan harga pada industri BBM non subsidi

terutama pengaruh harga input crude oil (MOPS) terhadap harga output di tingkat

konsumen (harga jual eceran di SPBU) untuk kandungan oktan (RON) 92. Dan

apakah ada faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual eceran RON 92

di SPBU dari 4 (empat) pelaku usaha di industri BBM.

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan peninjauan terhadap mekanisme

dan mengeksplorasi price transmisssion yang terjadi dalam industri BBM non

subsidi RON 92 yaitu untuk membuktikan apakah pergerakan harga output di

tingkat konsumen (harga jual eceran di SPBU) tidak mengikuti pergerakan harga

input (crude oil MOPS). Penelitian akan didukung dengan perhitungan

asymmetric price transmission secara empirik melalui metode error correction

model (ECM). Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kemungkinan

terjadinya respon asymmetric harga hulu (harga input) dan hilir (harga jual di

SPBU) serta alasan utama yang dapat menjelaskan fenomena asymmetric price

transmission.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk

meninjau mekanisme dan melakukan ekspolasi perhitungan asymmetric price

transmission secara empirik melalui metode error correction model (ECM).

Masalah yang ingin digali dalam penelitian ini adalah sejauh mana pergerakan

harga BBM Non Subsidi di Indonesia dalam pasar oligopoli. Secara khusus,

penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh harga input (crude oil MOPS)

terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Tujuan analisis

pergerakan harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92 di SPBU dilakukan dengan cara:

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

9

Universitas Indonesia

a. Membandingkan pergerakan harga input (crude oil MOPS) terhadap harga

jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU;

b. Mengidentifikasi faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual

eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dan dikaitkan dengan kondisi

pasar dalam industri BBM di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada pihak-

pihak terkait, yaitu:

1. Sebagai masukan dalam perumusan regulasi dan kebijakan pemerintah dalam

industri BBM non subsidi RON 92 sehingga memberikan jaminan kepastian

persaingan yang sehat dalam industri;

2. Memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia akademis untuk melanjutkan

penelitian lebih lanjut dan mendalam mengenai persoalan-persoalan dalam

industri BBM non subsidi RON 92;

3. Memberikan masukan bagi dunia usaha dalam mengambil kebijakan yang

berhubungan dengan industri BBM non subsidi RON 92.

1.5 Hipotesis Penelitian

Yaitu hipotesis yang relevan untuk diuji dalam penelitian ini dan terkait

dengan tujuan penelitian. Hipotesis pada dasarnya merupakan suatu kesimpulan

yang bersifat sementara tentang perilaku variabel-variabel dalam model yang

digunakan, yang akan dibuktikan kebenarannya melalui suatu uji statistik.

Berkenaan dengan data tersebut maka hipotesis awal yang dirumuskan untuk

penelitian ini adalah:

a. Diduga pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU

bersifat asimetrik dengan pergerakan harga input (crude oil MOPS);

b. Diduga ada faktor input lain yang berpengaruh terhadap harga jual eceran

BBM non subsidi RON 92 di SPBU dan dikaitkan dengan kondisi pasar

dalam industri BBM di Indonesia.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

10

Universitas Indonesia

1.6 Metodologi Penelitian

Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1.6.1 Metode Penelitian

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini akan menggunakan

analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif adalah alat analisis

atau pengujian untuk membuktikan bahwa terjadi pergerakan harga yang

asimetrik (assymetric price transmission). Pengujian mengenai assymetric price

transmission merupakan metode yang sangat penting dalam ilmu ekonomi

terapan. Penelitian ini hanya akan menggunakan model koreksi kesalahan (Error

Correction Model (ECM)) untuk mewakili backward looking approach. Adapun

alasan dalam memilih model adalah model koreksi kesalahan memiliki

keunggulan baik dari segi nilainya dalam menghasilkan persamaan yang

diestimasi dengan properti statistik yang diinginkan maupun dari segi kemudahan

persamaan tersebut untuk diinterpretasikan. Pendekatan asimetrik ECM

menyatakan bahwa ada elemen kointegrasi dalam persamaan ECM.

Pada pendekatan model koreksi kesalahan, pelaku ekonomi cenderung

menunggu kejadian-kejadian di pasar terlebih dahulu sebelum mengambil

keputusan. Model empriris di atas akan dianalisis dengan metode estimasi OLS

(ordinary least squares). Metode ECM dipakai untuk menghindari terjadinya

spurious regression terutama saat diestimasi menggunakan metode linier biasa

(OLS). Hal ini terjadi karena data-data yang dipakai bersifat non-stasioner.

Secara umum pendekatan ECM ini diperpanjang dengan menambahkan

komponen asymmetric adjustment term. Prosedurnya adalah dengan

mengestimasi hubungan antar harga dengan metode OLS dan menguji keberadaan

spurious regression. Jika kedua harga yang diestimasi tersebut ternyata

terkointegrasi maka koefisien persamaan OLS tersebut adalah koefisien

persamaan kointegrasi. Langkah berikutnya adalah mengestimasi model ECM8.

Dalam model tersebut terdapat komponen yang dikenal dengan Error Correction

8 Insukindro. (1991). Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi Suatu Tinjauan dengan

Satu Studi Kasus di Indonesia. JEBI No. 1 Thn VI.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

11

Universitas Indonesia

Term (ECT) yang dapat mengukur deviasi dari keseimbangan jangka panjang

antara dua harga tersebut. Dimasukkannya ECT ini memungkinkan harga yang

telah diestimasi merespon perubahan harga dan juga dapat memperbaiki deviasi

dari keseimbangan jangka panjang tersebut. Dengan memisahkan komponen ECT

positif dan negatif maka assymetric price transmission dapat diestimasi. Model

dasar yang akan digunakan dalam penelitian dengan mengasumsikan symmetric

dan linear price transmission menggunakan persamaan sebagai berikut adalah:

Harga Hilir (Harga Jual Eceran) = f (Harga Hulu (Harga MOPS))

Dengan berdasar pada model dasar di atas, alat analisis yang dipakai dalam

penelitian ini dengan mempergunakan Error Correction Model (ECM) atau

Model Koreksi Kesalahan dapat dinyatakan dalam bentuk:

(1.1)

Dimana Pin

dan Pout

merupakan dua harga yang secara vertikal berkaitan

misalnya level hulu dan level hilir (ritel). Δ merupakan indikator difference atau

pengurang Pt – Pt-1. βj dan γ adalah koefisien estimasi dan dan

merupakan deviasi positif dan negatif dari keseimbangan jangka panjang.

Analisis kuantitatif mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga

output bereaksi terhadap perubahan harga input tergantung pada karakteristik dari

harga input atau perubahan dalam harga tersebut. Ketika harga input meningkat

maka harga output juga meningkat akan tetapi ketika harga input turun diperlukan

waktu yang cukup lama bagi harga output untuk mengikuti perubahan harga

tersebut. Harga input (upstream) didefinisikan sebagai pasar wholesale dan harga

output atau harga produk akhir (downstream) sebagai pasar ritel. Kondisi

assymetric price transmission terjadi ketika kenaikan harga input segera direspon

dengan melakukan penyesuaian oleh harga output namun ketika harga input turun

tidak segera direspon oleh harga output. Kondisi ini dapat mengidentifikasikan

bahwa pasar downstream menjadi tidak efisien sehingga sangat penting untuk

mengetahui faktor penyebab hal tersebut.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

12

Universitas Indonesia

Analisis kualitatif dalam penelitian ini dilakukan terhadap hasil

wawancara dengan operator atau pelaku usaha, BPH Migas, dan pihak-pihak lain

yang terkait untuk mengetahui gambaran luas dalam industri BBM non subsidi

RON 92.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam tulisan ini adalah dengan menggunakan

data-data resmi dari Biro Pusat Statistik, pelaku usaha (Pertamina, Petronas, Shell,

dan Total), BPH Migas, instansi lain yang terkait, dan publikasi di media cetak

dan elektronik. Data yang diproses dalam penelitian ini dikumpulkan dengan

melakukan studi pustaka dan studi deskriptif. Dimana Studi Kepustakaan

dimaksudkan untuk mengkaji berbagai literatur yang berhubungan dengan tujuan

penelitian. Substansinya menyangkut teori, alat analisa, maupun data terkait

lainnya dalam industri BBM non subsidi RON 92. Sedangkan studi deskriptif

dilakukan dengan tujuan untuk menyajikan deskripsi data. Bentuknya berupa

tabulasi data atau penyajian data dalam bentuk grafik. Data yang akan digunakan

adalah data primer dan sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian

ini adalah data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dari operator

atau pelaku usaha aktif dan data harga input (crude oil MOPS). Penelitian ini

memanfaatkan semaksimal mungkin data-data sekunder yang sudah ada, baik

yang sudah terpublikasikan melalui instansi resmi ataupun data-data hasil

publikasi cetakan maupun data pada situs-situs lembaga serta berbagai instansi

yang berhubungan dengan industri BBM non subsidi RON 92, serta media terkait

lainnya seperti pengunduhan (downloading) dari situs internet.

1.6.3 Tahapan Penelitian

Untuk menjamin terciptanya kerangka pemikiran yang logis dalam

penelitian ini, maka penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

i. Identifikasi fakta-fakta yang relevan sebagai latar belakang dalam

menentukan topik penelitian dan masalah penelitian yang penting dan

menarik untuk dikaji;

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

13

Universitas Indonesia

ii. Pengumpulan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait dan data-

data pendukung lainnya;

iii. Pengolahan data dengan menggunakan pendekatan error correction model.

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi kemungkinan terjadinya respon

asymmetric price transmission dan alasan utama atau faktor input lain yang

dapat menjelaskan imperfect price transmission dan asymmetries;

iv. Analisa dan interpretasi terhadap hasil pengolahan data yang dapat

menunjukkan pengaruh harga input (crude oil MOPS) terhadap harga jual

eceran BBM non Subsidi RON 92 di SPBU;

v. Penarikan kesimpulan dari analisa dan interpretasi hasil pengolahan data;

vi. Penyusunan saran mengenai regulasi yang berkaitan dengan kegiatan

industri BBM non subsidi RON 92.

1.6.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dibatasi hanya terhadap asymmetric price transmission untuk

mengukur kinerja industri BBM non subsidi RON 92 dengan metode Error

Correction Model (ECM) dengan data pergerakan harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92 terhadap harga input (crude oil MOPS) dari tahun 2005 hingga

tahun 2011, dimana variabel lainnya dianggap konstan. Data di mulai dari runtun

waktu tahun 2005 disebabkan industri BBM Indonesia baru diliberalisasi

(menggunakan mekanisme pasar) pada tahun tersebut sehingga dianggap

mewakili kondisi fluktuasi harga input yang direspon oleh harga output. Data

harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 yang digunakan adalah data nasional

yang tercantum di situs resmi pelaku aktif dalam industri yaitu Pertamina,

Petronas, Shell, dan Total. Data di tingkat daerah tidak dijadikan sebagai acuan

sehingga analisa tidak mencerminkan perbedaan harga di berbagai daerah di

Indonesia.

1.6.5 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan uraian dari Metodologi Penelitian, maka untuk

mempermudah pemahaman perlu disampaikan ilustrasi kerangka pemikiran yang

akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

14

Universitas Indonesia

Tabel 1.1 Kerangka Pemikiran

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan menggunakan sistematika penulisan yang dirumuskan

sebagai berikut:

BAB 1 : Pendahuluan

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis

penelitian, metodologi penelitian (metode penelitian, teknik

pengumpulan data, tahapan penelitian, ruang lingkup penelitian,

Analisa Pergerakan Harga dengan menggunakan Error Correction Model

Dengan data:

1. Data Harga Input (crude oil MOPS)

2. Data Harga Jual Eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU

Karakteristik Industri BBM non subsidi RON 92 di Indonesia

Hipotesa Awal:

Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU bersifat asymmetric

dengan pergerakan harga input (crude oil MOPS)

Ya,

Terjadi Asymmetric Price

Transmission

Tidak,

Tidak terjadi Asymmetric Price

Transmission

Analisa Penyebab Asimetrik/Simetrik Industri BBM non subsidi RON 92 dan

keterkaitannya dengan struktur serta perilaku pelaku usaha

Kesimpulan dan Saran

Tujuan Penelitian:

Pengujian Kondisi Asymmetric Price Transmission harga input (crude oil MOPS)

terhadap harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU

Harga BBM Non Subsidi Ron 92

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

15

Universitas Indonesia

dan kerangka pemikiran), serta sistematika penulisan dari hasil

penelitian.

BAB 2 : Tinjauan Pustaka

Dalam bab ini akan diuraikan teori-teori yang menjadi dasar analisa

yang diterapkan dalam penelitian yaitu teori asymmetric price

transmission dan analisa faktor input lain yang mungkin

mempengaruhi penetapan harga jual eceran BBM non subsidi RON

92 di SPBU.

BAB 3 : Metode Penelitian

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai metodologi yang

digunakan dalam pendekatan asymmetric price transmission

dengan menggunakan model error correction model dalam

penelitian, cakupan data yang digunakan, dan tahapan pengolahan

data tersebut.

BAB 4 : Analisa dan Pembahasan

Bab ini akan mencoba menguraikan hasil pengolahan data

berdasarkan teori-teori yang menjadi dasar analisa pergerakan

harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan faktor input lain

yang mempengaruhi dalam penelitian. Dalam bab ini juga akan

dianalisa kinerja industri BBM non subsidi RON 92.

BAB 5 : Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan dari penelitian akan disajikan dalam bab ini yaitu

berupa hasil analisa dan pembahasan terhadap data-data dan

informasi serta memperhatikan hipotesa yang disampaikan pada

bab sebelumnya. Kemudian dari kesimpulan tersebut disampaikan

saran-saran yang dapat dijadikan acuan untuk perbaikan ataupun

sebagai referensi akademis dalam industri BBM non subsidi RON

92 maupun bagi para pengambil kebijakan.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

16 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Teori harga memainkan peran penting dalam ekonomi neo-klasik. Dalam

paradigma ini, harga yang fleksibel menjadi faktor penyebab alokasi sumber daya

secara efisien dan transimisi harga dalam pasar yang terintegrasi secara vertikal

dan horizontal (Meyer dan Von Cramon-Taubadel, 2004). Salah satu indikator

dampak persaingan dari adanya suatu tindakan persaingan usaha tidak sehat

adalah dari harga dan marjin keuntungan. Agar persaingan dapat berlangsung,

maka kebijakan ekonomi nasional di negara-negara berkembang harus

menyediakan sejumlah prasyarat: yang pertama-tama diperlukan adalah

mewujudkan pasar yang berfungsi dan mekanisme harga. Dalam konteks

tersebut, tujuan utama adalah penyediaan akses pasar sebebas mungkin dan pada

saat yang sama menyediakan insentif untuk meningkatkan jumlah dari pengusaha

nasional. Tingkat integritas sejumlah pasar setempat dan regional juga harus

ditingkatkan melalui peningkatan infrastruktur negara (misalnya jaringan

komunikasi dan transportasi). Akhirnya, suatu kebijakan moneter yang

berorientasi stabilitas merupakan prasyarat bagi berfungsinya ekonomi

persaingan. Hanya dengan cara ini distorsi-distorsi persaingan yang berpotensi

melumpuhkan mekanisme harga dapat dihindari9.

Penetapan harga merupakan variabel pemasaran campuran yang

mempunyai dampak langsung terhadap pendapatan. Penetapan harga di tingkat

hilir termasuk ke dalam pengembangan pricing policy yaitu mengarahkan

penetapan harga yang akan diambil oleh perusahaan hilir (ritel). Setiap keputusan

mengenai harga harus diintegrasikan dan disinergikan dengan seluruh rencana dan

variabel perusahaan hilir (ritel). Perusahaan hilir (ritel) harus mengembangkan

strategi harga dalam perilaku sistematik dimulai dari mengidentifikasikan tujuan

keseluruhan penetapan harga. Tujuan dibutuhkan untuk mencapai price points

atau price levels yang efektif. Price points adalah perbedaan level serangkaian

harga untuk barang dan jasa. Dalam harga, tujuan harus mengikuti peraturan yang

9 Andi Fahmi Lubis. (Oktober 2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks.

Jakarta. Halaman 3.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

17

Universitas Indonesia

sama dengan bagian lain yaitu harus dapat dihitung dan realistik. Kategori dari

tujuan penentuan harga adalah sebagai berikut10

:

a. Product quality objectives

Tujuan penetapan harga adalah untuk mengganti biaya yang berhubungan

dengan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan. Sebagai

tambahan, tujuan ini bersama dengan taktik yang lain menciptakan persepsi

kualitas tinggi dan kualitas perusahaan ritel yang tinggi dalam benak

konsumen. Tujuan ini biasanya digunakan bersama dengan skimming

objective pada perusahaan ritel akhir.

b. Skimming objectives (strategies)

Perusahaan ritel menetapkan harga yang relatif tinggi untuk sebuah produk

baru dan kemudian setelah pesaing masuk ke dalam pasar, harga disesuaikan

untuk turun. Tujuan ini biasanya digunakan untuk mengganti biaya yang

terjadi ketika menjual produk baru atau biaya yang berhubungan dengan

penelitian, pengembangan, dan pemasaran.

c. Market penetration objectives

Merupakan kebalikan dari skimming objectives. Harga ditetapkan pada

tingkat yang rendah untuk menarik konsumen dalam jumlah besar. Sangat

efektif dilakukan apabila konsumen sangat sensitif terhadap harga. Kunci

utama dari strategi ini adalah meningkatkan volume penjualan untuk

menutupi harga produk yang rendah. Pada titik tertentu, biaya ritel tidak akan

meningkat cukup banyak ketika volume penjualan meningkat. Tujuan ini

memiliki manfaat tambahan dari mengijinkan perusahaan ritel untuk

mengecilkan (discourage) persaingan dari pasar bersangkutan karena harga

rendah yang telah dibangun. Tujuan ini juga membantu membangun produk

baru sebagai alternatif pilihan bagi konsumen dan menciptakan tekanan sosial

terhadap produk sebagai keuntungan ekonomi.

d. Market share objectives

Tujuan ini membuat perusahaan ritel untuk menyesuaikan tingkat harga

berdasarkan perubahan harga pesaing sehingga dapat mengambil atau

10

James R. Ogden dan Denise T. Ogden. (2005). Retailing: Integrated Retail Management.

Amerika Serikat: Houghton Mifflin Company. Halaman 339.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

18

Universitas Indonesia

mengurangi market share pesaing. Hal ini dapat dilakukan untuk seluruh

kegiatan perusahaan ritel.

e. Survival objectives

Tujuan ini memungkinkan perusahaan ritel mencapai biaya penjualan.

Tujuan ini biasanya digunakan untuk menyamai volume penjualan untuk

seluruh biaya perusahaan.

f. Return on investment (ROI) objectives

Tipe penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk mencapai atau

melampui angka investasi. Harga ditetapkan untuk mencapai target tingkat

pengembalian investasi.

g. Profit objectives

Tujuan penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk mencapai

atau melampaui tingkat keuntungan tertentu.

h. Status quo objectives

Tipe penetapan harga dimana perusahaan ritel mencoba untuk

mempertahankan situasi pasar saat ini. Perusahaan ritel yang ingin

menstabilkan tingkat penjualan biasanya akan menggunakan tujuan ini.

i. Cash flow objectives

Tujuan ini memungkinkan perusahaan ritel untuk menghasilkan uang secara

cepat. Tujuan ini didesign untuk meningkatkan tambahan volume penjualan.

Biasanya merupakan tujuan jangka pendek.

Market share dan kualitas produk memiliki dampak besar pada

keuntungan perusahaan ritel dan seringkali digunakan sebagai alat bantu dalam

menetapkan harga. Tambahan faktor lain yang menjadi pertimbangan ketika

membentuk atau menetapkan harga adalah customer traffic (online dan toko),

pergerakan penjualan produk yang lambat, mencoba untuk mengurangi tingkat

sensitifitas harga konsumen, menciptakan atau meningkatkan kesan perusahaan

ritel, menghindari permasalahan hukum dan etik yang berhubungan dengan harga,

dan mencoba membuat pesaing menjadi pasif dalam mengurangi harga.

Perubahan dalam lingkungan perusahaan ritel terikat pada perubahan nilai produk

di mata konsumen. Perubahan nilai produk dapat meningkatkan atau menurunkan

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

19

Universitas Indonesia

nilai dari produk perusahaan. Untuk merespon perubahan ini, perusahaan ritel

membuat 2 (dua) tipe penyesuaian produk yaitu dengan tambahan markups dan

markdowns. Tambahan ini disebabkan adanya perubahan biaya, perubahan

musim, penambahan permintaan, dan lain-lain. Sebagai contoh adalah ketika

terjadi kenaikan harga bensin dari supplier, perusahaan ritel tidak mampu lagi

menghasilkan persentasi markup sehingga harus menambahkan tambahan markup

untuk menutupi tambahan biaya yang berhubungan dengan produk11

.

Penyesuaian shock harga sepanjang rantai dari produser ke wholesale dan tingkat

retail atau sebaliknya, merupakan karakteristik penting dalam melihat mekanisme

atau kerja pasar12

.

Dalam industri yang multi-tahap akan selalu ada marjin harga yang timbul

dari aktivitas ekonomi pada tiap-tiap tahap. Penelitian Aguilar dan Santana

(2002) menyampaikan bahwa sebagian besar penelitian memperkirakan elastisitas

price transmission mempertahankan asumsi symmetric price transmission yang

berarti harga ritel akan merespon perilaku yang sama untuk penurunan dan

kenaikan harga hulu. Padahal, ada literatur lain yang memberikan bukti indikasi

asymmetric price transmission adalah hal yang umum13

. Sebagai ilustrasi,

Peltzman (2000) menemukan bukti bahwa asymmetric price transmission diantara

dua per tiga ratusan barang produsen dan konsumen di Amerika Serikat.

Kinnucan dan Forker (1987), Hahn (1990) dan Bernard dan Willett (1996)

menemukan bahwa harga ritel lebih sensitif terhadap kenaikan harga daripada

terhadap penurunan harga. Ward (1982) dan Punyawadee, Boyd, dan Faminow

(1991) dilain pihak, menemukan bahwa harga ritel lebih sensitif terhadap

penurunan harga dibandingkan terhadap kenaikan harga. Di luar pertanian,

Borenstein, Cameron, dan Gilbert (1997) menemukan bahwa harga bahan bakar

minyak lebih sensitif terhadap kenaikan harga minyak daripada penurunan harga

minyak. Kehadiran asymmetric price transmission seringkali dipertimbangkan

11 Halaman 346. 12 Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD

Publishing. Halaman 3. 13 Capps dan Sherwell. (Mei 2005). Spatial Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission

Associated with Fluid Milk Products. Texas: College Station.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

20

Universitas Indonesia

sebagai bukti adanya kegagalan pasar atau penyalahgunaan kekuatan pasar (von

Cramon-Taubadel dan Meyer, 2000).

Perubahan harga pada industri hulu meskipun tidak secara serta merta,

akan direfleksikan pada perubahan harga di sektor hilir. Pada sektor pertanian

misalnya, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Vavra dan Goodwin

(2005) ditemukan adanya pergerakan data yang asimetris dari harga di tingkat

grosir dan di tingkat pengecer. Hubungan antara tingkat hulu dan hilir

memberikan pengetahuan mendalam mengenai efisiensi dan kesejahteraan

konsumen dan produsen. Pergerakan harga yang tidak simetris ini telah

menimbulkan adanya dugaan penyalahgunaan market power dan perilaku

oligopolistik. Ketika terjadi kenaikan harga pada tingkat hulu secara serta merta

direfleksikan dengan terjadinya kenaikan harga pada tingkat hilir, namun tidak

diikuti dengan pola yang sama ketika terjadi penurunan harga. Semakin

terintegrasinya lini-lini produksi menjadi hal yang semakin banyak dilakukan.

Secara langsung maupun tidak, terbaginya proses supply chain menjadi beberapa

lini produksi akan berpengaruh terhadap pembentukan harga output di satu lini

tertentu yang kemudian menjadi input bagi lini selanjutnya. Pengaruh lebih

lanjutnya adalah terhadap pembentukan harga di tingkat konsumen akhir (end-

user).

Fenomena pergerakan harga di pasar input terkadang tidak diikuti secara

simetris terhadap pembentukan harga di tingkat output. Fenomena ini kemudian

dikenal dengan istilah asymmetric price transmission atau sering juga disebut

sebagai fenomena rocket and feathers. Secara umum pengertian dari asymmetric

price transmission merupakan pembentukan harga di lini upstream tidak

direfleksikan secara simetris terhadap pergerakan harga di tingkat downstream.

Akibat dari adanya asymmetric price transmission ini penurunan harga pada

tingkat hulu yang seharusnya direfleksikan pada penurunan harga di tingkat hilir

atau ritel tidak terjadi. Fenomena ini yang menyebabkan harga yang seharusnya

lebih murah menjadi lebih tinggi.

Asymmetric price transmission dianggap penting karena

1. Menunjukkan kesenjangan dalam teori ekonomi.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

21

Universitas Indonesia

2. Dikarenakan asymmetric price transmission dapat memiliki kesejahteraan

yang penting dan implikasi kebijakan. Asymmetric price transmission

menyatakan secara tidak langsung bahwa beberapa kelompok tidak

mendapatkan keuntungan dari pengurangan harga (pembeli) atau kenaikan

harga (penjual) yang mungkin, di bawah kondisi tertentu dari symmetry,

mengambil tempat lebih cepat atau magnitude yang lebih besar daripada data

yang di observasi. Asymmetric price transmission dapat memperlihatkan

perbedaan distribusi kesejahteraan yang mungkin terjadi di bawah symmetry

karena ukuran kesejahteraan berubah sesuai dengan perubahan harga.

3. Asymmetric price transmission seringkali dihipotesiskan sebagai manifestasi

dari kegagalan pasar (market failure) dan sebagai signal tambahan

redistribusi yang berhubungan dengan pengurangan kesejahteraan. Baik

redistribusi maupun pengurangan kesejahteraan merupakan faktor utama

intervensi kebijakan.

Asymmetric price transmission penting bukan hanya karena menunjukkan

kesenjangan dalam ilmu ekonomi tetapi juga menjadi pertimbangan tujuan

kebijakan sebagai bukti adanya kekuatan pasar.

2.2 Tipe Asymmetric Price Transmission

Asymmetry dalam konteks price transmission dapat diklasifikasikan

berdasarkan 3 (tiga) kriteria, yaitu

1. Kriteria pertama merujuk kepada kecepatan (speed) atau derajat (magnitude)

dari transmisi harga yang asimetrik. Perbedaan dari keduanya dapat

dijelaskan pada gambar di bawah ini dimana sebuah harga produk (Pout

)

diasumsikan bergantung pada harga lain (Pin

) yang dapat naik atau turun

dalam periode waktu tertentu. Pada diagram 1.a, derajat respon atas

perubahan pada Pin

tergantung arah dari perubahannya. Sedangkan pada

diagram 1.b menggambarkan kecepatan perubahannya. Kombinasi dari

keduanya kemudian akan dapat digambarkan pada diagram 1.c dimana

pergerakan transmisi harga akan dapat diukur dari derajatnya dan

kecepatannya sekaligus karena peningkatan pada Pin

membutuhkan waktu

dua periode (t1 dan t2) untuk dapat ditransmisikan secara penuh sebagai Pout

,

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

22

Universitas Indonesia

sementara penurunan dalam Pin

membutuhkan waktu tiga periode (t1, t2, dan

t3) dan tidak ditransmisikan secara sepenuhnya sebagai Pout

.

Diagram 1.a Asymmetric Price Transmission (magnitude)

Diagram 1.b Asymmetric Price Transmission (speed)

Diagram 1.c Asymmetric Price Transmission (Speed and Magnitude)

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

23

Universitas Indonesia

Dampak kesejahteraan (welfare effect) dari 2 (dua) tipe asymmetric price

transmission tersebut juga dapat digambarkan secara skematik dalam area

berarsir (shaded) pada gambar di atas. Interpretasi gambar di atas akan

dipermudah dengan menerapkan asumsi volume transaksi yang tidak berubah

(konstan) sepanjang waktu (over time). Keadaan asimetri jika dilihat dari

kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) dapat membawa pada transfer

secara temporer atas kesejahteraan (temporary transfer of welfare) pada

tingkat penjual kepada pembeli. Ukurannya bergantung kepada panjangnya

interval waktu (time interval) antara t1 dan t1+n sebagaimana perubahan harga

dan volume transaksi. Sedangkan asimetri jika dilihat dari sudut pandang

magnitude dapat disimpulkan terjadi transfer permanen atas kesejahteraan

(permanent transfer of welfare). Ukurannya bergantung kepada harga dan

jumlah transaksi yang terjadi. Pada diagram 1.c ditunjukkan kombinasi

keadaan asimetri baik dilihat dari kecepatan penyesuaiannya dan derajatnya

yang mengindikasikan transfer temporer dan permanen dari kesejahteraan.

2. Kriteria kedua adalah klasifikasi asymmetric price transmission dapat dilihat

dari positif dan negatif. Jika Pout

lebih cepat atau lebih penuh bereaksi

terhadap Pin

ketika harga naik dibandingkan dengan ketika harga turun maka

asymmetric price transmission dapat dikatakan sebagai positif. Namun jika

sebaliknya yang bereaksi lebih cepat adalah ketika harga turun dibandingkan

dengan harga naik maka asymmetric price transmission disebut negatif.

Namun demikian penggunaan terminologi positif dan negatif perlu

diperlakukan secara hati-hati mengingat ketika yang dimaksud dengan Pin

adalah pada tingkat hulu dan Pout

adalah pada tingkat ritel (hilir), keberadaan

asimetrik negatif akan memberikan dampak positif pada konsumen.

Sedangkan terminologi positif, “buruk” dalam artian berasosiasi dengan

berkurangnya kesejahteraan. Oleh karena itu terminologi positif dan negatif

yang dimaksud adalah arah pergerakan harga. Terminologi ini menjadi

sangat penting sebagai pembeda antara asimetri positif dan negatif

dikarenakan berguna sebagai penentu arah transfer kesejahteraan yang

diakibatkan oleh asymmetric price transmission.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

24

Universitas Indonesia

Diagram 2.a Positive Asymmetric Price Transmission

Diagram 2.b Negative Asymmetric Price Transmission

Perlu diperhatikan bahwa arus asymmetric price transmission tidak selalu

harus berasal dari harga hulu ke hilir. Dapat dimungkinkan perubahan pada

harga output seperti pergeseran permintaan dapat menyebabkan perubahan

pada harga input. Oleh karena itu klasifikasi ini juga masih dapat

dikombinasikan dengan klasifikasi sebelumnya.

3. Kriteria ketiga adalah klasifikasi asymmetric price transmission apakah

berdampak secara vertikal atau spasial. Sebagai contoh, asymmetric price

transmission vertikal petani dan konsumen lebih sering mengeluh atau

melakukan komplain bahwa peningkatan harga di ladang (farm level/hulu)

lebih cepat dan penuh ditransmisikan kepada harga tingkat ritel (retail

level/hilir) daripada penurunan di tingkat lading (hulu). Definisi ini sudah

banyak dibahas di tema asymmetric price transmission pada umumnya.

Sedangkan definisi spasial dapat dicontohkan kenaikan harga ekspor CPO

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

25

Universitas Indonesia

Indonesia lebih cepat ditransmisikan menjadi kenaikan harga CPO Malaysia

dibandingkan dengan penurunannya. Asymmetric price transmission spasial

ini seperti halnya vertikal juga dapat diklasifikasikan lagi menurut kecepatan

dan besarannya, juga menurut positif atau negatifnya14

.

Diagram 3 Types of Error Correction

Gambar di atas membandingkan asymmetric thresholds Error Correction

Model dengan asymmetric linear Error Correction Model. Gambar tersebut

mengilustrasikan thresholds negatif dan positif ( dan ), perubahan harga dari

waktu ke waktu ( ), dan dua bentuk error correction term ( dan

) sebagai variabel yang menggambarkan deviasi positif dan negatif dalam

ekuilibrium jangka panjang. Apabila error correction term (ECT) berada pada

garis interval ( dan ) maka tidak diperlukan perbaikan pada error.

2.3 Penyebab Asymmetric Price Transmission

Penjelasan mengapa asymmetric price transmission terjadi telah dilakukan

dalam beberapa literatur. Dalam jurnalnya, Meyer dan Von Cramon-Taubadel

(2004) menjelaskan penyebab terjadinya asymmetric price transmission yang

14 Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain. OECD

Publishing. Halaman 3-4.

Asymmetric /

thresholds

Asymmetric /

linear

quadratic

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

26

Universitas Indonesia

telah disebutkan dalam beberapa literatur. Fokusnya adalah pada asymmetric

price transmission vertikal antar lini yang berbeda pada rantai pemasaran. Dua

penyebab utama dari adanya asymmetric price transmission adalah pasar yang

tidak kompetitif dan biaya penyesuaian. Penyebab lain seperti intervensi politik,

informasi yang asimetrik (asymmetric information) dan manajemen persediaan

juga disebutkan dalam literatur yang termasuk pada penyebab lain-lain. Penyebab

asymmetric price transmission tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan pasar (market power)

Banyak publikasi yang menyebutkan asymmetric price transmission merujuk

kepada perilaku struktur pasar yang tidak kompetitif sebagai alasan terjadinya

asimetri, terutama terjadi pada produk pertanian dimana petani pada tingkat

hulu dan konsumen akhir pada tingkat hilir sering menjumpai persaingan

tidak sempurna dalam processing dan retailing yang menyebabkan lini

(pihak) perantara memiliki kekuatan pasar untuk disalahgunakan (abuse).

Dapat diperkirakan ketika market power pelaku usaha tinggi maka akan

menyebabkan asymmetric price transmission. Margin-squeezing akan

meningkatkan harga input (hulu) atau menurunkan harga output (hilir) akan

direspon lebih cepat dan atau lebih lengkap daripada perubahan harga

margin-stretching. Meyer & Von Cramon-Taubadel juga mengutip beberapa

penelitian seperti Ward (1982) dan Bailey dan Bronsen (1989). Keduanya

berargumen bahwa terdapat perilaku oligopolis dimana pelaku usaha tidak

ingin kehilangan pangsa pasarnya dengan cara meningkatkan harga output

atau akhir. Hal ini terjadi karena dalam kinked demand curve yang dihadapi

oleh oligopolis apabila pelaku usaha beranggapan bahwa jika tidak ada

kompetitor akan menyesuaikan harga naik namun justru menyesuaikan harga

turun sehingga akan terjadi asimetri negatif. Oleh karena itu pelaku usaha

cenderung melakukan tindakan penyalahgunaan (abuse) atas struktur pasar

oligopolistik.

Borenstein (1997) mempelajari transmisi harga secara vertikal dari harga

minyak mentah hingga bahan bakar minyak dan menyimpulkan bahwa

downward stickiness dari harga ritel (hilir) untuk bahan bakar minyak dalam

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

27

Universitas Indonesia

oligopoli akan mengarah pada asimetrik positif. Dalam kondisi informasi

kurang sempurna, harga output lama menawarkan titik atau point alami yang

diikuti oleh perubahan dalam harga input. Sementara kenaikan harga minyak

mentah mengarah pada perubahan kenaikan harga bahan bakar minyak secara

langsung, karena margin squeezing. Penurunan biaya tidak mengarah pada

penurunan biaya output secara langsung karena perusahaan akan

mempertahankan harga di atas level kompetitif selama tingkat penjualan

tinggi. Beberapa penelitian yang menganalisa dampak market power

mempertimbangkan asymmetric price transmission di dorong bukan oleh

perubahan harga tetapi berdasarkan perubahan pada permintaan output.

Beberapa penelitian lain tentang asymmetric price transmission

menyimpulkan bahwa market power dapat menyebabkan asymmetric price

transmission lebih khusus lagi penelitian tersebut memprediksi terjadi

asymmetric price transmission positif. Dalam struktur monopoli sempurna

hal ini bisa diterima, namun dalam struktur pasar oligopolis asymmetric price

transmission positif maupun negatif dapat terjadi tergantung struktur pasar

dan perilakunya (conduct).

2. Biaya Penyesuaian dan Menu (Adjustment and Menu Cost)

Penjelasan lain dari terjadinya asymmetric price transmission adalah adanya

biaya penyesuaian yang timbul akibat pelaku usaha merubah kuantitas

dan/atau harga input dan/atau output. Jika biaya ini asimetrik terhadap

kuantitas atau harga, maka asymmetric price transmission dapat terjadi.

Bailey dan Brorsen, Peltzman (2000) dalam kasus asymmetric price

transmission positif berargumen bahwa akan lebih mudah bagi perusahaan

untuk mengurangi input dalam kasus pengurangan output daripada mencari

input baru untuk meningkatkan output. Hal ini dikarenakan input baru akan

mengarah pada pencarian biaya dan harga pada tahap kenaikan. Menu cost

dalam terminologi ekonomi merupakan biaya yang diperlukan untuk

memperbaharui menu, daftar harga, brosur, atau material lain ketika terjadi

perubahan harga. Hein (1980) mengatakan bahwa ada kemungkinan harga

nominal menyebabkan biaya (sebagai contoh mencetak kembali daftar harga

atau katalog dan biaya untuk mencari informasi). Ball dan Mankiw (1994)

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

28

Universitas Indonesia

mengembangkan model berdasarkan menu cost yang dikombinasikan dengan

inflasi mengarah pada asimetri. Harga input nominal yang positif mengarah

pada penyesuaian harga output dibandingkan dengan shock harga negatif.

Hal ini dikarenakan dengan adanya inflasi, beberapa penyesuaian dibutuhkan

akibat pengurangan harga input secara otomatis tertutup oleh inflasi. Hal ini

mengakibatkan pengurangan nilai asli dari margin.

Market power dan biaya penyesuaian dapat mengakibatkan asimetrik

dalam kecepatan transmisi harga akan tetapi perbedaan mendasar antara keduanya

adalah bahwa market power dapat lebih mampu mengarah pada asimetrik

magnitude dalam jangka panjang. Perbedaan penting lainnya adalah adalah pada

apabila biaya penyesuaian nyata terjadi, apapun jenis asymmetric price

transmission yang ditimbulkan tidak akan mengarah pada transfer kesejahteraan

yang mungkin akan mengakibatkan pembenaran adanya campur tangan kebijakan

oleh regulator atau pengambil keputusan.

Penyebab asymmetric price transmission selain hal tersebut di atas

menurut McCorriston (2001) adalah harga berubah menjadi lebih besar atau lebih

kecil daripada perbandingan harga di tingkat kompetitif tergantung pada interaksi

antara market power dan returns to scale. Jika fungsi biaya dikateristikkan

sebagai increasing return to scale, maka pengaruh market power dapat

tergantikan oleh efek biaya dari peningkatan skala dan tingkat transmisi harga

justru dapat lebih mendekati tingkat kompetitif. Weldegebriel (2004) juga

berpendapat bahwa kehadiran kekuatan oligopoli dan oligopsoni tidak selalu

berarti akan terjadi transmisi harga yang tidak sempurna. Bentuk fungsi dari

permintaan ritel dan persediaan input hulu merupakan faktor penting dalam

menentukan tingkat transmisi harga. Azzam (1999) dengan menggunakan model

2 (dua) periode dari spatial kompetitif ritel menunjukkan bahwa asimetrik dapat

terjadi bahkan pada lingkungan kompetitif akibat tingkah laku pemaksimalan atau

maksimalisasi antar waktu sehingga harga ritel akan merespon secara relatif lebih

cepat apabila dibandingkan dengan ketika terjadi penurunan harga input.

Hubungan harga secara vertikal biasanya dikarakteristikkan oleh

magnitude, speed, and nature dari perubahan melalui rantai supply kepada market

shocks yang disebabkan perbedaan level dari proses pemasaran. Kecepatan pasar

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

29

Universitas Indonesia

dalam menyesuaikan shock tergantung atau ditentukan oleh aksi yang dilakukan

agen yang terlibat dalam transaksi seperti wholesalers, distributor, processors,

perusahaan ritel, dan lain-lain. Jika penyesuaian membutuhkan biaya atau

memiliki kendala maka signal harga yang diturunkan dari agen ke agen akan

memakan waktu sehingga lags mungkin signifikan. Yaitu kenaikan atau

penurunan dalam salah satu rantai tidak dihasilkan secara instan akan tetapi

didistribusikan dalam waktu. Beberapa penelitian mengenali aspek yang lebih

kompleks dalam hubungan price transmission dan memperluas kemungkinan

bahwa price adjustment mungkin asymmetric. Biasanya penelitian ini dibedakan

antara positif dan negatif shock harga. Harus menjadi perhatian bahwa

asymmetric dapat terjadi dalam aspek manapun dalam proses penyesuaian15

.

Manajemen persediaan merupakan salah satu elemen penting bagi

penyesuaian perusahaan pada shock exogenous dan kadang kala merupakan salah

satu penyebab asymmetric price transmission. Sebagai contoh, Balke (1998)

membuktikan dengan metode akunting seperti FIFO (first in first out) dapat

mengarah pada asymmetric price transmission. Blinder (1982) mengembangkan

model dimana persediaan non-negatif secara terus menerus (konstan)

menimbulkan asimetrik positif. Reagan dan Weitzman (1982) berpendapat bahwa

dalam periode permintaan rendah, perusahaan akan melakukan penyesuaian

jumlah output dan meningkatkan persediaan daripada melakukan pengurangan

harga output. Di lain pihak, ketika terjadi kenaikan permintaan, perusahaan akan

meningkatkan harga output. Kombinasi antara asimetrik yang diterima akibat

biaya rendah dan tingginya stok persediaan mengakibatkan asymmetric price

transmission positif.

Terutama dalam pertanian, bantuan dalam harga yang seringkali dalam

bentuk floor price, dapat pula mengarah pada asymmetric price transmission.

Kinnucan dan Forker (1987) berpendapat bahwa campur tangan politik dapat

mengarah pada asymmetric price transmission jika kebijakan mengakibatkan

wholesalers atau retailers percaya bahwa pengurangan harga hulu hanya akan

sementara dan kenaikan harga hulu bersifat tetap atau permanen. Penetapan harga

15 Halaman 5.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

30

Universitas Indonesia

psikologi menurut Blinder (1998) juga dapat mengakibatkan pengaruh analog

terhadap asymmetric price transmission.

Beberapa penelitian mencoba untuk menjelaskan mengenai asymmetries

dan imperfect pass-through of prices. Banyak pendapat yang berhubungan

dengan masalah penyesuaian pada tingkat ritel yang disebut sticky prices.

Sebagai contoh adalah harga pada tingkat ritel mungkin tidak sesuai dengan menu

costs dimana harga diasosiasikan dengan perubahan dalam iklan dan labelling

begitu juga terhadap reputasi ritel apabila harga berubah secara rutin.

Ketidakpastian shock harga apakah permanen atau sementara membuat

perusahaan enggan merespon signal harga. Menurut Goodwin dan Vavra (2005)

merupakan hal biasa yang menyangkut pengambilan keputusan bahwa

dikarenakan transmisi harga yang tidak sempurna (diperkirakan diakibatkan oleh

market power dan perilaku oligopolistik) bahwa pengurangan harga pada tingkat

hulu, lambat atau tidak ditransmisi sama sekali melalui rantai persediaan.

Kebalikannya, harga yang meningkat pada tingkat hulu akan direspon dengan

cepat pada tingkat konsumer akhir.

Penelitian Ball dan Mankiw (1994) mencatat bahwa kehadiran inflasi dan

input harga nominal mengarah pada hambatan dalam menurunkan harga. Bailey

dan Brorsen (1989) menunjukkan bahwa asymmetries dalam perubahan harga

dapat disebabkan oleh asymmetries dalam biaya untuk melakukan perubahan16

.

Gardner (1975) menekankan pada kebijakan Pemerintah untuk mendukung harga

produsen yang menyebabkan asymmetries price. Serra dan Goodwin (2003)

mempelajari price transmission dalam sektor susu di Spanyol, berpendapat bahwa

kelangkaan susu pada tingkat tertentu yang disebabkan oleh sistem kuota

mengarah pada situasi dimana persaingan processor meningkatkan akses pada

kuota susu dan market share ritel, akan tetapi mungkin tidak menyebabkan

kenaikan harga pada tingkat ritel.

Beberapa penelitian menjelaskan bahwa secara teori dan empirik,

kehadiran tingkah laku non kompetitif dalam pasar yang diidentifikasi sebagai

pelaku asymmetric price transmission. Akan tetapi, terdapat dugaan bahwa agen

dalam industri yang terkonsentrasi menetapkan harga dengan tujuan untuk

16

Halaman 7.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

31

Universitas Indonesia

mengambil kesejahteraan dan keuntungan untuk diri sendiri dibandingkan dengan

tingkah laku yang kompetitif dan memberikan peluang signal harga naik dan

turun dalam siklus rantai. Asymmetric price transmission merupakan hasil dari

eksploitasi konsentrasi agen yang memiliki market power. Dalam penelitian

Zachariasse dan Bunte (2003) mencatat bahwa market power dapat menjelaskan

mengapa harga tidak dapat seluruhnya di transfer sementara ketergantungan

oligopoli dan oligopsoni dapat meningkatkan lags dalam penyesuaian harga17

.

Hubungan antara pergerakan harga pada tingkat hulu dan pada tingkat hilir (ritel)

dapat menggambarkan kondisi efisien atau tidak efisien sehingga akan

berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan, baik dari sisi produsen ataupun sisi

konsumen.

Dalam hal spatial asymmetric price transmission yang terjadi ketika

dan mengacu pada harga bukan berdasarkan perbedaan tingkat dalam rantai

pemasaran (marketing chain) akan tetapi mengarah pada harga barang output

yang sama di beberapa tempat. Bailey dan Brorsen (1989) mengatakan bahwa

spatial price transmission dapat menjadi asymmetric diakibatkan oleh 4 (empat)

alasan yaitu asymmetric adjustment cost, asymmetric information, market power,

dan asymmetric price reporting. Dalam konteks spatial, biaya penyesuaian

termasuk dalam transportasi barang. Spatial asymmetric price transmission dapat

timbul apabila biaya transportasi bervariasi dalam hal perdagangan. Sebagai

contoh, infrastruktur transportasi dan fasilitas handling dapat mengakibatkan

perdagangan mengarah pada satu tempat tertentu berdasarkan alasan sejarah

menurut Goodwin dan Piggott (2001). Kecepatan dan biaya transportasi dapat

mengarah pada asimetrik akibat kondisi alam (sebagai contoh, biaya transportasi

akan lebih tinggi apabila memindahkan barang ke atas gunung atau sungai

daripada ke tempat lain.

Pada negara berkembang, penyebab spatial asymmetric price transmission

seringkali ditimbulkan akibat arus informasi yang asimetrik antara pasar pusat

(hub) dan daerah sekeliling atau sekitarnya (spoke) menurut Abdulai (2000).

Harga pada pasar pusat, sebagai akibat ukuran dan pusat informasi mengakibatkan

17

Halaman 8.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

32

Universitas Indonesia

cepatnya respon terhadap perubahan harga dibandingkan dengan daerah

sekitarnya.

2.4 Lag dalam Proses Produksi dan Manajemen Persediaan

Keterbatasan persediaan dalam industri bahan bakar minyak adalah salah

satu faktor penyebab respon harga asimetrik terhadap pasar bahan bakar minyak.

Ketika harga input (crude oil) pada jangka panjang naik (misalkan karena

berkurangnya sumber, atau pembatasan persediaan maupun shock kenaikan harga

yang tiba-tiba), maka refinery dapat naik dengan menyesuaikan nilai persediaan.

Kondisi ini menyebabkan efek negatif terhadap permintaan dan positif terhadap

nilai persediaan. Ketika harga input (crude oil) turun pada jangka panjang, maka

perusahaan yang memiliki persediaan tidak akan menurunkan harga dengan cepat

dikarenakan keterbatasan persediaan. Apabila perusahaan memiliki persediaan

yang tidak terbatas, maka penjualan akan dengan cepat naik pada harga yang

rendah (Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997).

Biaya untuk menurunkan persediaan pada jangka pendek akan berbeda

dengan biaya menaikkan persediaan. Pendapat ini berdasarkan pada fakta bahwa

pengurangan persediaan dapat menjadi lebih mahal apabila tidak cukup tersedia

persediaan untuk refinery. Refinery dapat mengakibatkan terjadinya penyesuaian

biaya produksi yang tinggi akibat perubahan keberadaan input (crude oil). Hal ini

berdasarkan beberapa faktor seperti ketika persediaan crude oil menjadi langka,

maka refinery dipaksa menurunkan kuota produksinya yang akan mengakibatkan

terjadinya peningkatan harga ex-refinery. Akan tetapi ketika persediaan crude oil

kembali normal, refinery melakukan penyesuaian kenaikan kuota produksi secara

perlahan dengan maksud untuk menutup kerugian akibat terjadinya perubahan

harga input. Dengan cara ini, refinery margin tercapai yang mengakibatkan

penurunan perlahan dari harga bahan bakar.

2.5 Market Power dan Local Price

Market power sebagai salah satu sumber asymmetric price transmission

memberikan dimensi berbeda dalam konteks spatial. Perusahaan yang memiliki

market power lokal dalam artian tidak ada pesaing berarti dalam beberapa radius

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

33

Universitas Indonesia

sebagai akibat dari biaya pencarian, akan membuat pesaing tidak bereaksi pada

perubahan harga sampai tingkat tertentu. Perusahaan yang memiliki market

power lokal tersebut dapat menjamin bahwa perubahan harga lebih cepat pada

margin squeeze daripada margin stretch.

Berdasarkan penelitian Green (1983), Green dan Porter (1984), dan

disempurnakan oleh Tirole (2000) dijelaskan bahwa terdapat perilaku grup

perusahaan dominan yang menjaga perjanjian dan kolusi antar perusahaan dan

melaksanakan tacit collusion agar memperoleh profit margin yang tinggi.

Apabila perusahaan mempertimbangkan tacit agreement dan mempunyai

pengetahuan yang tidak sempurna mengenai harga input pesaing maka masing-

masing perusahaan akan mempunyai loss function dengan kemungkinan rendah

untuk menurunkan marginnya. Ketika harga input naik, refinery akan segera

menaikkan harga untuk menjaga marginnya. Ketika harga input turun,

perusahaan akan menurunkan harganya hanya apabila dipaksa melakukannya

dengan adanya penurunan permintaan atau terdapat bukti bahwa pesaingnya

menurunkan harga. Atau dapat pula terjadi koordinasi yang bersifat oligopolistik

(Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997). Walaupun demikian, penelitian lain

Peltzman (2000) menyatakan bahwa kecil kemungkinan adanya bukti yang

mendukung hubungan antara struktur pasar dengan respon asimetrik antar harga.

Keberadaan searching cost yang dilakukan oleh konsumen untuk

menemukan harga yang lebih murah dapat memberi monopolistic power pada

perusahaan yang memiliki pengaruh di pasar lokal. Hal ini menyebabkan adanya

respon asimetrik terhadap penyesuaian margin ritel terhadap perubahan dalam

harga wholesale (Borenstein, Cameron, dan Gilbert: 1997). Secara umum, ketika

terjadi kenaikan harga di pasar wholesale, SPBU akan segera menaikkan harga

namun ketika terjadi penurunan harga, SPBU lokal yang mempunyai market

power akan menjaga penurunan harga untuk memperoleh keuntungan dengan cara

tidak merespon secara otomatis penurunan harga. Ketika searching cost oleh

konsumen lebih rendah daripada keuntungan menurunkan harga, SPBU akan

dipaksa untuk menurunkan harga pada tingkat kompetitif.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

34

Universitas Indonesia

2.6 Kondisi Industri Bahan Bakar Minyak

Industri bahan bakar minyak merupakan industri yang membutuhkan

investasi yang sangat besar. Oleh karena itu, tidak terdapat banyak operator atau

pelaku usaha dalam industri bahan bakar minyak. Otoritas bisnis industri ini

berada di tangan ESDM dan Dirjen Migas. Sampai saat ini sejak diliberalisasi,

baru terdapat 4 (empat) pelaku usaha yang aktif dalam industri yaitu Pertamina,

Petronas, Shell, dan Total.

2.6.1 Pelaku Usaha

Industri hilir migas telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, dimana telah terjadi restrukturisasi di

industri migas Indonesia dengan unbundling sektor hulu dan hilir. Hal ini

membuka peluang adanya investasi asing masuk dalam industri hilir migas

termasuk dalam lini distribusi BBM non subsidi, baik BBM industri maupun

BBM non subsidi untuk transportasi umum. Pasar BBM non subsidi hanya

mencakup 2,5% atau paling tinggi 5% dari total keseluruhan pasar penggunaan

BBM. Sedangkan sisanya lebih dari 95% merupakan pasar BBM subsidi (Public

Service Obligation) yang hingga hari ini masih dipegang oleh Pertamina. PT

Pertamina, menguasai 68,4% pasar BBM non subsidi di Indonesia pada kuartal II

2012, menurut data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).

Pertamina menjual sekitar 5,24 juta kiloliter BBM non-subsidi, dari total

penjualan secara nasional 7,66 juta kiloliter sepanjang kuartal kedua 2012.

Angka penjualan BBM non-subsidi Pertamina pada kuartal II 2012

tersebut meningkat 21,3% dari 4,32 juta kiloliter pada kuartal II 2011. Kenaikan

penjualan BBM non-subsidi Pertamina itu disebabkan meningkatnya jumlah

kendaraan mewah dan adanya program pembatasan BBM bersubsidi oleh

pemerintah18

. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) melansir

pangsa pasar (market share) PT Petronas Niaga Indonesia selaku operator SPBU

Petronas dalam penjualan bahan bakar minyak (BBM) non subsidi pada triwulan

II-2012 hanya 0,54 persen. Data BPH Migas menunjukkan total penjualan BBM

18

http://www.indonesiafinancetoday.com /read/35643/Pertamina-Kuasai-684-Pasar-BBM-Non-

Subsidi.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

35

Universitas Indonesia

non subsidi seluruh badan usaha pada Kuartal II sebesar 7,66 juta liter.Di

peringkat kedua terdapat PT AKR Corporindo Tbk dengan market share sebesar

6,9 persen atau 528 ribu liter. Sedangkan di peringkat ketiga terdapat PT Shell

Indonesia selaku operator SPBU Shell dengan market share 5,4 persen atau 413

ribu liter. PT Petronas Niaga Indonesia selaku operator SPBU Petronas berada di

peringkat 10 dengan market share 0,5 persen atau berhasil menjual 38.300 liter.

Kesemua data di atas termasuk penjualan untuk BBM non subsidi ke industri dan

transportasi.

Pada saat pengumuman dibukanya industri retail BBM, sekitar lima

perusahaan migas raksasa langsung menyatakan kesiapannya membangun sistem

pengisian BBM untuk Umum (SPBU) yakni Petronas, Shell, British Petroleum,

ExxonMobil, dan Chevron. Namun yang baru beroperasi adalah Pertamina,

Petronas, Shell Indonesia dan Total. Bentuk kerjasama yang dilakukan pelaku

usaha tersebut adalah berupa pembangunan stasiun bahan bakar minyak dengan

BBM non subsidi sebagai produk yang dijual. Adapun skema yang dilakukan

adalah Company Own Dealer Operated (CODO), dimana perusahaan-perusahaan

tersebut akan bekerjasama dengan pihak individu swasta dengan pemanfaatan

lahan milik perusahaan ataupun individu untuk di bangun SPBU berdasarkan hasil

verifikasi. Selain itu, standar dan spesifikasi alat-alat serta penjualan produk yang

terkait dengan bensin seperti oli, diatur oleh perusahaan investor. Sarana dan

Prasarana Standar yang Wajib dimiliki Oleh Setiap SPBU diatur oleh investor,

baik sarana pemadam kebakaran, sarana perlindungan lingkungan, keamanan,

pencahayaan, peralatan dan kelengkapan filling BBM, generator dan lainnya.

Pelaksanaan operasional SPBU harus sesuai dengan SOP (Standard Operating

Procedure) investor. Perekrutan dan pengadaan karyawan adalah tanggung jawab

individu swasta, dan para pekerja diwajibkan bekerja sesuai dengan etika kerja

standar investor. Calon mitra/individu swasta akan dikenakan biaya verifikasi dan

joining fee. Besaran marjin penjualan premium subsidi berkisar Rp 180 hingga

Rp 200 per liter dan Rp 325 untuk setiap liter Pertamax.

Kebijakan penetapan harga dilakukan oleh masing-masing pelaku usaha

dan bukan oleh pemilik SPBU. Adapun profil pelaku usaha penyedia BBM Non

Subsidi (khusus transportasi umum) adalah sebagai berikut:

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

36

Universitas Indonesia

1. PT. Pertamina

Pertamina berdiri pada 10 Desember 1957 sebagai Badan Usaha Milik

Negara, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971. Kegiatan usaha

Pertamina meliputi eksplorasi dan produksi (hulu), pemrosesan, pengiriman atau

pengapalan serta pemasaran dan penjualan (hilir). Hingga saat ini saham

Pertamina 100% dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Dengan diterbitkannya

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada 23

November 2001, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dibatalkan. Terkait dengan penerapan UU

No. 22 Tahun 2001 tersebut, Pertamina berubah menjadi Perusahaan Perseroan

(Persero) dengan nama PT. Pertamina (Persero) melalui Peraturan Pemerintah No.

31 Tahun 2003. Seluruh peraturan Pertamina yang berlaku termasuk struktur

organisasi, pedoman, prosedur kerja dan aspek lain terkait pelaksanaan tugas dan

kewajiban Pertamina selama tidak bertentangan dengan Undang-Undang di atas

tetap berlaku hingga terbitnya peraturan baru.

Total SPBU Pertamina yang ada di seluruh wilayah Indonesia adalah 4680

SPBU, dimana 3664 diantaranya adalah SPBU Pertamina Pasti Pas dan 74 adalah

SPBU COCO (company owns company operates) yang pengelolaannya langsung

oleh Pertamina melalui anak perusahaannya Pertamina Retail yang beroperasi

sejak Maret 2006.

Latar Belakang PT. Pertamina Retail adalah:

Sebelumnya bernama PT.Pertajaya Lubrindo dengan bidang usaha

Pelumas,berdiri sejak 17 Juni 1997.

Sejak 1 September 2005 berganti nama menjadi PT. Pertamina Retail dengan

bidang usaha SPBU.

PT.Pertamina Retail mengelola atau mengoperasikan SPBU terhitung mulai

bulan 1 Maret 2006.

2. PT. Shell Indonesia

Shell Companies di Indonesia saat ini bergerak di bidang industri hilir

minyak. PT. Kridapetra Graha (KPG), perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

37

Universitas Indonesia

Shell company, menangani kegiatan usaha di sektor hilir migas termasuk

pemasaran dan niaga pelumas baik secara langsung maupun melalui agennya.

Shell Indonesia telah menorehkan sejarah dengan membuka SPBU non Pertamina

pertama di Karawaci, Tangerang, dalam waktu 40 tahun ini. Dalam bisnis

transportasi Shell memproduksi pelumas termasuk merk Rimula. Shell juga

menawarkan jasa konsultasi dan teknologi untuk industri petrokimia dan

pemrosesan minyak melalui Shell Global Solutions.

Dalam bidang usaha niaga, Shell secara teratur membeli produk dari

kilang Pertamina seperti LSWR, Naptha dan Baseoils atas dasar SPA (Shell

Purchase Agreement) De-bottlenecking Project, dan seringkali menjual produk

kepada Pertamina melalui proses tender. Pada tahun 2004, Shell mendapat lisensi

niaga umum dan pada tahun 2005 mendapat izin permanen. Izin tersebut

diperoleh setelah Shell melengkapi persyaratan yang diminta seperti: mempunyai

sumber pasokan, mempunyai storage, mempunyai pengangkutan dan mempunyai

SPBU. Selain BBM, Shell juga memproduksi pelumas dengan merk sendiri dan

tidak lagi menggunakan merk Pertamina. SPBU Shell saat ini diusahakan dengan

mekanisme Company Own Distributor Operate.

Shell mulai mengoperasikan SPBU di Indonesia sejak 1 November 2005.

SPBU pertamanya terletak di Lippo Karawaci, Tangerang. Pada 1 Maret 2006,

Shell membuka SPBU di Jakarta yang terletak di Jalan S. Parman.Saat initotal

jumlah SPBU Shell mencapai 57 gerai dengan rincian 50 di Jakarta dan tujuh di

Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur.

Produk

Produk yang ditawarkan oleh Shell SPBU adalah:

Shell Super Extra , Bahan bakar dengan octane 95

Shell Super , Bahan bakar dengan octane 92

Shell Diesel , Shell Diesel direkomendasikan untuk semua jenis kendaraan

diesel.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

38

Universitas Indonesia

3. Petronas

Petronas kependekan dari Petroliam Nasional Berhad, adalah perusahaan

minyak dan gas milik negara Malaysia, didirikan pada tanggal 17 Agustus1974

sebagai perusahaan minyak nasional Malaysia, yang berhak atas seluruh

kepemilikan dan control sumber daya minyak bumi di dalam negeri Malaysia.

Sejak itu berkembang dari yang hanya sebagai manajemen dan regulator sektor

hulu Malaysia, menjadi bentuk integrasi dari perusahaan minyak dan perusahaan

gas. Petronas memiliki 103 anak perusahaan, dan memiliki sebagian 19

perusahaan dan berhubungan dengan 55 perusahaan.

Kegiatan usaha Petronas meliputi (i) eksplorasi, pengembangan dan

produksi minyak mentah dan as alam di Malaysia dan luar negeri; (ii) likuifaksi,

penjualan dan transportasi LNG, (iii) pengolahan dan transmisi gas alam dan

penjualan produk gas alam, (iv) penyulingan dan pemasaran produk-produk

minyak bumi, (v) pembuatan dan penjualan produk petrokimia, (vi) perdagangan

minyak mentah dan produk minyak bumi, dan (vii) pengiriman dan logistic yang

berkaitan dengan LNG, minyak mentah dan produk minyak bumi.

Petronas mengolah minyak mentah yang diproduksi dengan eksplorasi dan

operasi produksi melalui bisnis minyak terintegrasi yang mencakup operasi

penyulingan, pemasaran, perdagangan dan ritel. Minyak mentah diperdagangkan

dan dipasarkan secara internasional serta diolah menjadi produk minyak di kilang

Petronas untuk pasar domestik dan ekspor. Petronas memiliki dan

mengoperasikan empat kilang dengan kapasitas penyulingan total lebih dari

448.000 barel per hari. Produk minyak bumi dari kilang tersebut dipasarkan

melalui jaringan stasiun Petronas layanan di beberapa negara yaitu Malaysia,

Afrika Selatan, Sudan, Thailand, termasuk Indonesia.

Di Indonesia, Petronas memiliki 19 SPBU, kebanyakan di kawasan

Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Selain itu SPBU

Petronas juga terdapat di kota Bandung dan kota Medan. Namun, beberapa SPBU

milik Petronas terpaksa tutup karena kalah bersaing dan terus merugi sehingga

jumlah SPBU hanya tinggal 4 buah.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

39

Universitas Indonesia

4. PT. Total

Total adalah perusahaan distribusi BBM milik Prancis. Total

memanfaatkan aturan internasional tentang liberalisasi perdagangan energi

sebagai pintu masuk ke Indonesia. Total E&P Indonesia didirikan di Jakarta, 14

Agustus 1968, dengan lapangan awal saat itu di seputar delta mahakam. Selain

TOTAL E&P Indonesie, TOTAL SA sebagai perusahaan induk dari TEPI,

TOTAL, SA juga memiliki affiliasi downstream di Indonesia, yaitu PT TOTAL

Oil Indonesia (TOI).

Total mengoperasikan jaringan global dari 16,425 SPBU di seluruh dunia,

yang 11.134 stasiun di Eropa dimana Grup juga memiliki jaringan 500 AS24

stasiun khusus dalam pemasaran bahan bakar untuk transporter profesional. Sejak

tahun 2005, total telah diluncurkan di beberapa negara Eropa dan Turki

EXCELLIUM TOTAL. Jumlah ini juga mendistribusikan BBM dalam negeri

untuk pemanas, produksi air panas dan motorisasi profesionnal, serta bahan bakar

berat untuk pelanggan industri. Di Indonesia, SPBU total beroperasi sejak 2007.

2.6.2 Distribusi Bahan Bakar Minyak

Distribusi bahan bakar minyak dilakukan mulai dari perolehan bahan

bakar melalui kilang dalam negeri atau impor yang direfineri oleh pelaku usaha di

depot masing-masing untuk kemudian disalurkan kepada konsumen melalui

instalasi penyimpanan.

Grafik 2.1 Pola Distribusi Bahan Bakar Minyak

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

40

Universitas Indonesia

Keterangan:

1. Terminal transit/instalasi/depot adalah tempat penimbunan BBM yang

dimiliki atau dikuasai oleh pelaku usaha;

2. Stasiun pengisian BBM untuk umum adalah setiap tempat untuk melayani

pembelian BBM yang terdiri dari stasiun pengisian bahan bakar untuk umum

(SPBU), Premium Solar Packed Dealer (PSPD), Agen Premium dan Minyak

Solar (APMS), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker (SPBB), Stasiun

Pengisian Bahan Bakar Industri (SPBI), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk

TNI dan Kepolisian Negara RI (SPBT/P), dan bunker service PT Pertamina

(Persero) 19

.

2.6.3 Regulasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Cabang-

cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak dikuasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

Penyelenggaraan minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis

tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang

menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam

perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal

memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha minyak dan

gas bumi mempunyai peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara

nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional yang meningkat dan berkelanjutan

kegiatan usaha minyak dan gas diselenggarakan melalui peraturan perundang-

undangan sebagai berikut:

A. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001Tentang Minyak dan Gas

Bumi

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi memiliki tujuan

untuk menjamin efektifitas pelaksanaan dan pengendalian usaha pengolahan,

pengangkutan penyimpanan, dan niaga secara akuntabel yang diselenggarakan

19

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2005 tanggal 28 Februari 2005 tentang

Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

41

Universitas Indonesia

melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan untuk

menjamin tersediaan minyak bumi dan gas bumi. Kegiatan usaha Minyak dan

Gas Bumi terdiri atas:

1. Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup :

a. Eksplorasi;

b. Eksploitasi.

2. Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup :

a. Pengolahan;

b. Pengangkutan;

c. Penyimpanan;

d. Niaga.

Mengingat vital dan pentingnya bahan bakar minyak yang merupakan

komoditas yang memiliki nilai strategis serta menguasai hajat hidup orang banyak

di Indonesia, Pemerintah memiliki kewajiban untuk menjamin ketersediaan serta

kelancaraan pendistribusian bahan bakar minyak. Pelaksanaan kegiatan distribusi

bahan bakar minyak dilaksanakan oleh badan usaha yang melaksanakan kegiatan

usaha hilir. Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau

bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau

Niaga. Mekanisme pelaksanaan kegiatan usaha hilir dilaksanakan melalui izin

usaha yang penyelenggaraannya dilakukan melalui persaingan usaha yang wajar,

sehat dan transparan. Berdasarkan pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22

Tahun 200 Tentang Minyak dan Gas Bumi (selanjutnya disebut UU No. 22/2001)

Kegiatan Usaha hulu dan kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh:

a. Badan usaha milik Negara;

b. Badan usaha milik daerah;

c. Koperasi, usaha kecil;

d. Badan usaha swasta;

Bentuk usaha tetap dibatasi dalam kegiatan usaha minyak dan gas, dimana

bentuk usaha tetap hanya dapat melaksanakan kegiatan usaha hulu20

. UU No.

20

Pasal 1 angka 18 UU No.22/2001 Bentuk Usaha Tetap adalah badan usaha yang didirikan dan

berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

42

Universitas Indonesia

22/2001 mengatur mengenai larangan bagi badan usaha tetap yang melakukan

kegiatan usaha hulu untuk melakukan kegiatan usaha hilir. Hal sebaliknya

berlaku bagi badan usaha yang melakukan kegiatan hilir tidak dapat melakukan

kegiatan usaha hulu21

. Kegiatan usaha hulu dilaksanakan oleh badan usaha atau

bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerjasama yang hanya diberikan 1 (satu)

wilayah kerja dengan jangka waktu paling lama 30 tahun yang dapat diperpanjang

paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Kegiatan usaha hilir dapat dilaksanakan oleh badan usaha setelah

mendapatkan izin usaha dari pemerintah. Izin Usaha adalah izin yang diberikan

kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan,

Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau

laba22

. Izin usaha dalam kegiatan usaha hilir terdiri atas:

a. Izin usaha pengolahan

b. Izin usaha pengangkutan

c. Izin usaha penyimpanan

d. Izin usaha niaga.

Izin usaha kegiatan usaha hilir kepada setiap badan usaha dapat diberikan

lebih dari 1 (satu) izin usaha sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Terhadap bahan bakar minyak serta olahan

tertentu dari minyak bumi yang dipasarkan didalam negeri dalam rangka

memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standard dan mutu yang telah

ditetapkan oleh pemerintah.

B. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 tentang kegiatan Usaha

Hilir Minyak dan Gas Bumi

Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh Badan Usaha yang telah memiliki

Izin Usaha yang dikeluarkan oleh Menteri dan diselenggarakan melalui

mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. Pemerintah

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Republik Indonesia 21

Pasal 10 UU No.22/2001 22

Pasal 1 angka 20 UU No. 22/2001

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

43

Universitas Indonesia

melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan atas penyelenggaraan

Kegiatan Usaha Hilir. Pengaturan dan pembinaan dilakukan oleh Menteri yang

meliputi:

a. Izin Usaha yang diberikan kepada Badan Usaha;

b. Jenis, standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Gas Bumi, Bahan Bakar Gas,

dan Bahan Bakar Lain serta Hasil Olahan;

c. Jaminan ketersediaan dan kelancaran pendistribusian Bahan Bakar Minyak

di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. Pemanfaatan Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri;

e. Cadangan Strategis Minyak Bumi guna mendukung penyediaan Bahan

Bakar Minyak dalam negeri;

f. Kebijakan Cadangan Bahan Bakar Minyak Nasional;

g. Rencana Induk Jaringan Transmisi dan Distribusi Gas Bumi Nasiona

h. Teknis keselamatan dan kesehatan kerja, dan pengelolaan lingkungan hidup

serta pengembangan masyarakat setempat;

i. Mekanisme dan/atau formulasi harga Bahan Bakar Gas dan jenis Bahan

Bakar Minyak tertentu pada masa sebelum harga dapat diserahkan pada

mekanisme persaingan usaha yang wajar dan sehat;

j. Ketersediaan dan distribusi jenis Bahan Bakar Minyak tertentu;

k. Peningkatan potensi kemampuan nasional;

l. Pemanfaatan barang, jasa, teknologi, dan kemampuan rekayasa dan rancang

bangun dalam negeri.

Berdasarkan Pasal 12 PP No. 36 Tahun2004, kegiatan usaha hilir meliputi:

a. Kegiatan usaha Pengolahan yang meliputi kegiatan memurnikan,

memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai

tambah Minyak dan Gas Bumi yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak,

Bahan Bakar Gas, Hasil Olahan, LPG dan/atau LNG tetapi tidak termasuk

Pengolahan Lapangan;

b. Kegiatan usaha Pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan Minyak

Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

44

Universitas Indonesia

Olahan baik melalui darat, air, dan/atau udara termasuk Pengangkutan Gas

Bumi Melalui Pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial;

c. Kegiatan usaha Penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan,

pengumpulan, penampungan dan pengeluaran Minyak Bumi, Bahan Bakar

Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil Olahan pada lokasi di atas

dan/atau di bawah permukaan tanah dan/atau permukaan air untuk tujuan

komersial;

d. Kegiatan usaha Niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor,

impor Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas dan/atau

Hasil Olahan, termasuk Gas Bumi melalui pipa.

Dalam hal Pengajuan dan pemberian Izin Usaha untuk kegiatan usaha hilir

ditetapkan sebagai berikut:

a. Kegiatan usaha Pengolahan yang menghasilkan Bahan Bakar Minyak,

Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh

Menteri;

b. Kegiatan usaha Pengangkutan Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan

Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui

pipa diajukan kepada dan diberikan oleh Menteri;

c. Kegiatan usaha Penyimpanan Minyak Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan

Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh

Menteri;

d. Kegiatan usaha Niaga Minyak Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak,

Bahan Bakar Gas dan/atau Hasil Olahan diajukan kepada dan diberikan oleh

Menteri.

Bagi Badan Usaha yang akan melaksanakan kegiatan usaha Niaga Minyak

Bumi, Gas Bumi, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain

dan/atau Hasil Olahan wajib memiliki Izin Usaha Niaga dari Menteri. Dalam

melaksanakan kegiatan usaha Niaga, Badan Usaha wajib:

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

45

Universitas Indonesia

a. Menjamin ketersediaan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan

Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan secara berkesinambungan pada jaringan

distribusi Niaganya;

b. Menjamin ketersediaan Gas Bumi melalui pipa secara berkesinambungan

pada jaringan distribusi Niaganya;

c. Menjamin harga jual Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar,

Lain dan/atau Hasil Olahan pada tingkat yang wajar;

d. Menjamin penyediaan fasilitas Niaga yang memadai;

e. Menjamin standar dan mutu Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan

Bakar Lain dan/atau HasilOlahan yang ditetapkan oleh Menteri;

f. Menjamin dan bertanggung jawab atas keakuratan dan sistem alat ukur yang

digunakan;

g. Menjamin penggunaan peralatan yang memenuhi standar yang berlaku.

Terhadap Badan Usaha yang melaksanakan Kegiatan Usaha Niaga Bahan

Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan /atau Hasil Olahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dapat diberikan Izin Usaha Niaga Umum

(Wholesale) atau Izin Usaha Niaga Terbatas (Trading). Badan Usaha pemegang

Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) dapat melakukan kegiatan niaga untuk

melayani konsumen tertentu (besar). Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga

Umum (Wholesale) wajib memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana

penyimpanan serta jaminan suplai dari sumber di dalam negeri dan/atau luar

negeri. Menteri menetapkan kapasitas fasilitas penyimpanan minimum yang

harus direalisasikan Badan Usaha. Badan Pengatur memberikan pertimbangan

kepada Menteri berkaitan dengan penetapan kapasitas fasilitas penyimpanan

minimum. Badan Usaha dapat memulai kegiatan usaha Niaganya selelah

memenuhi kewajiban kapasitas fasilitas penyimpanan minimum. Badan Usaha

pemegang Izin Usaha Niaga Umum (Wholesale) Bahan Bakar Minyak dapat

melakukan kegiatan penyaluran secara langsung kepada pengguna transportasi

melalui fasilitas dan sarana yang dikelola dan/atau dimilikinya.

Kegiatan penyaluran secara langsung pada fasilitas dan sarana milik Badan

Usaha sebagaimana hanya dapat dilaksanakan paling banyak 20% (dua puluh

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

46

Universitas Indonesia

persen) dari jumlah seluruh sarana dan fasilitas kegiatan penyaluran yang dikelola

dan/atau dimiliki oleh Badan Usaha. Kegiatan penyaluran pada sarana dan

fasilitas yang dikelola dan/atau dimiliki Badan Usaha yang tidak dilakukan secara

langsung, pengoperasiannya hanya dapat dilaksanakan oleh koperasi, usaha kecil

dan/atau badan usaha nasional. Koperasi, usaha kecil dan/atau badan usaha

nasional dapat memiliki dan mengoperasikan fasilitas dan sarana milik sendiri

melalui kerjasama dengan Badan Usaha pemegang Izin Usaha Niaga Umum

(Wholesale).

Menteri ESDM menetapkan jenis, standar dan mutu Bahan Bakar Minyak,

Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan yang berupa produk

akhir (finished product) yang akan dipasarkan di dalam negeri. Standar dan mutu

Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan/atau Hasil Olahan yang dipasarkan

di dalam negeri wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan Menteri.

Menteri dalam menetapkan standar dan mutu standar dan mutu Bahan Bakar

Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain dan/atau Hasil Olahan yang berupa

produk akhir (finished product) yang akan dipasarkan di dalam negeri.wajib

memperhatikan perkembangan teknologi, kemampuan produsen, kemampuan dan

kebutuhan konsumen, keselamatan dan kesehatan kerja serta pengelolaan

lingkungan hidup.

C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2009

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun

2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi

Berdasarkan ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara

002/PUU-1/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap Pasal 28

ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan

Gas Bumi dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga

perlu mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan

Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Perubahan peraturan pemerintah

no. 36 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi adalah

ketentuan pasal 72 yang semula mengatur Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

47

Universitas Indonesia

bumi, kecuali Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil, diserahkan

pada mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan diubah

menjadi harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan

oleh Pemerintah.

D. Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran

Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri

Seiring dengan kenaikan harga minyak dunia, menyebabkan kenaikan

harga bahan bakar minyak khususnya bahan bakar minyak bersubsidi yang

membebankan keuangan Negara dalam penyediaan dan pengadaan bahan bakar

minyak dalam negeri, sehingga pemerintah menetapkan kebijakan untuk

pengurangan subsidi terhadap bahan bakar minyak dalam negeri. Dalam

pengaturan Perpres ini, Pemerintah menetapkan kebijakan terhadap harga bahan

bakar subsidi sebagai berikut:

Pasal 2 ayat (2) Harga jual eceran Bensin Premium dan minyak solar (gas

oil) untuk usaha kecil, transportasi dan pelayanan umum di titik serah termasuk

pajak pertambahan nilai (PPN) untuk setiap liter ditetapkan sebagai berikut:

a. Bensin premium : Rp. 4500 (empat ribu lima ratus rupiah);

b. Minyak solar (gas oil) : Rp. 4300 (empat ribu tiga ratus rupiah).

E. Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan gas Bumi Nomor 3674

K/DJM/2006 tentang standar mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak

jenis bensin yang dipasarkan di dalam negeri.

Dalam peraturan ini standar dan mutu (spesifikasi) bahan bakar minyak

(BBM) jenis bensin terdiri dari bensin 88, bensin 91 dan bensin 95. Bensin 88

adalah jenis bensin dengan riset octane (RON) 88 tanpa timbale atau bensin

dengan RON 88 bertimbal.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

48 Universitas Indonesia

BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini, akan diuraikan mengenai metode analisis yang akan

digunakan dalam penelitian serta data-data yang diperlukan dalam penelitian.

3.1 Cakupan Penelitian

Dalam penelitian ini, akan dianalisa struktur, perilaku, dan kinerja industri

BBM non subsidi RON 92. Untuk pengukuran kinerja, digunakan analisa

pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU terhadap

pergerakan harga input crude oil. Adapun metode analisis yang digunakan adalah

asymmetric price transmission dengan model error correction model. Model ini

mengacu pada jurnal Bachmeier dan Griffin (2003) dengan judul New Evidence

on Asymmetric Gasoline Price Response yang menganalisa asimetrik pergerakan

harga bensin dengan harga crude oil. Error correction model merupakan model

yang digunakan untuk mengoreksi persamaan regresi di antara variabel-variabel

yang secara individual tidak stasioner agar kembali ke nilai equilibriumnya di

jangka panjang, dengan syarat utama berupa keberadaan hubungan kointegrasi di

antara variabel-variabel penyusunnya. Hubungan kointegrasi dapat diartikan

sebagai suatu hubungan jangka panjang (long term relationship/equilibrium)

antara variabel-variabel yang tidak stasioner23

.

Dasar dari pengujian Bachmeier dan Griffin (2003), mengacu pada jurnal

sebelumnya yaitu: Borenstein, Cameron, dan Gilbert (1997) yang menyatakan

bahwa kenaikan harga bahan bakar mengikuti kenaikan harga crude oil, namun

turun secara perlahan ketika terjadi penurunan harga crude oil dengan

menggunakan pergerakan harga mingguan dari harga crude oil dan harga bahan

bakar. Secara spesifik, Bachmeier dan Griffin (2003), menguji sensitifitas model

Borenstein, Cameron, dan Gilbert dengan frekwensi data dan spesifikasi model

yang berbeda.

Pengujian oleh Borenstein, Cameron, dan Gilbert dilakukan secara

bertahap, dimana dalam pengujian tersebut ingin diketahui transmisi harga dalam

beberapa tahapan distribusi. Dalam penelitiannya, Borenstein, Cameron, dan

23

Ajija dan Setianto. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Halaman 133.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

49

Universitas Indonesia

Gilbert menggunakan model two stage least square. Dalam penelitiannya

digunakan jenis data mingguan dari harga crude oil maupun harga di wholesale,

dan ritel bahan bakar dalam periode Maret 1986-1992. Dalam penelitian tersebut

ditemukan bahwa terdapat pergerakan harga asimetrik dari harga spot untuk bahan

bakar terhadap perubahan crude oil akibat adanya penyesuaian dari sisi inventori

atau persediaan dan pergerakan yang asimetrik dari harga ritel terhadap harga

wholesale yang diduga akibat adanya market power antar ritel dalam jangka

pendek. Sedangkan penelitian oleh Bachmeier dan Griffin, lebih difokuskan pada

pengujian transmisi harga input (crude oil) pada harga output (ritel) dengan

frekwensi data yang lebih pendek yaitu data harian harga crude oil dan eceran

bahan bakar dari periode tahun 1985-1998. Untuk pengujian ini digunakan model

Engle-Granger error correction model yang menawarkan pendekatan model yang

lebih cocok untuk membedakan harga yang asimetris.

Pada hasil pengujian oleh Bachmeier dan Griffin, ditemukan bahwa

dengan menggunakan data harian serta metodologi Engle-Granger error

correction model justru tidak ditemukan bukti adanya asymmetric price

transmission dari harga crude oil pada harga ritel bahan bakar. Berdasarkan

penjelasan yang ada, faktor penyesuaian harga harian berpengaruh terhadap

perilaku harga ritel bahan bakar. Dengan kata lain, karena pergerakan harga

harian yang diamati, maka penyesuaikan harga ritel semakin bersifat simetrik.

Penelitian ini difokuskan pada pengujian transmisi harga antara harga input (crude

oil) terhadap pergerakan harga output (ritel) dengan menggunakan Engle-Granger

error correction model sebagaimana digunakan Bachmeier dan Griffin dalam

menguji asimetrik harga.

Pemilihan sampel data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92

didasarkan pada data harga dua mingguan dari empat pelaku usaha aktif di

Indonesia dari bulan Januari tahun 2005 sampai dengan bulan Desember tahun

2011. Data time series crude oil tersebut didasarkan pada data Plats dengan

jangka waktu yang sama yaitu dari bulan Januari tahun 2005 sampai dengan bulan

Desember tahun 2011. Data harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 yang

digunakan adalah data nasional yang tercantum di situs resmi pelaku aktif dalam

industri yaitu Pertamina, Petronas, Shell, dan Total. Data di tingkat daerah tidak

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

50

Universitas Indonesia

dijadikan sebagai acuan sehingga analisa tidak mencerminkan perbedaan harga di

berbagai daerah di Indonesia.

Kedua jenis data tersebut dikonversi dalam bentuk Rupiah. Lebih lanjut,

data kualitatif dalam penelitian ini meliputi data mengenai struktur industri BBM

non subsidi RON 92 yang diperoleh dari empat pelaku usaha aktif.

3.2 Metode Analisis

Pendekatan statistik yang biasa digunakan pada asymmetric price

transmission mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga

downstream bereaksi terhadap perubahan harga upstream tergantung pada

karakteristik dari harga upstream atau perubahan dalam harga tersebut. Dalam

bentuk harga upstream dan downstream yang terkait (pasar internasional dan

domestik), terdapat keberadaan external shocks yang menimbulkan penyesuaian

jangka pendek dan jangka panjang melalui ekuilibrium jangka panjang. Apabila

terjadi kondisi asymmetric price transmission, kenaikan pada harga input segera

disesuaikan oleh pasar output, namun ketika harga input turun tidak segera

direspon oleh pasar output. Model pengujian menggunakan error correction

model. Error correction model merupakan teknik untuk mengoreksi

ketidakseimbangan jangka pendek menuju pada keseimbangan jangka panjang24

.

Dalam spesifikasinya, terdapat tiga jenis spesifikasi tes atau Augmented

Dickey-Fuller (ADF), yaitu spesifikasi tanpa intersep (drift) dan trend, spesifikasi

dengan intersep dan spesifikasi dengan intersep dan trend. Hal ini dikarenakan

proses stokastik yang terjadi pada sebuah seri waktu dapat mempunyai bentuk

yang berbeda-beda. Secara umum, spesifiksi yang paling banyak digunakan

adalah dengan spesifikasi memasukkan intersep dan trend. Tes ini akan

menggunakan prosedur Dickey-Fuller (DF) atau Augmented Dickey-Fuller (ADF)

dengan asumsi bahwa terdapat korelasi dari error. Tes tersebut menggunakan

estimasi persamaan sebagai berikut:

(3.1)

24

Nachrowi dan Usman. (2006). Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika Untuk Analisis

Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi. Halaman 371.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

51

Universitas Indonesia

Dimana penggunaan sebagai error murni. Dilakukan first difference dari yt dan

diintegrasikan terhadap yt-1 untuk melihat apakah estimasi slope coefficient ( )

adalah nol. Apabila = 0 maka yt adalah non stasioner (terdapat unit root). Jika

menolak hipotesis nol maka dapat disimpulkan bahwa seri waktu tersebut adalah

stasioner.

3.3 Tahapan Pengujian

Dalam tahapan pengujian dibutuhkan beberapa faktor agar dapat

menghasilkan model persamaan yang dapat diandalkan. Faktor tersebut adalah

stasioneritas, tes kointegrasi, dan tes error correction model asimetrik. Sebelum

melakukan tes di atas, dilakukan pula tes Granger Causality yang berguna untuk

memperlihatkan seberapa pengaruh dari variabel-variabel yang diamati yaitu

harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual eceran BBM non subsidi

RON 92 di SPBU. Selain tes Granger Causality, dilakukan pula tes ANOVA

untuk menguji penerimaan (acceptability) model dari perspektif statistik dalam

bentuk analisis sumber keragaman dengan tabel ANOVA (Analysis of Variance)

atau disebut juga dengan analisis ragam. Tujuan ANOVA adalah untuk menguji

lebih dari dua rata-rata populasi, apakah mempunyai rata-rata yang sama atau

berbeda. Dalam menentukan signifikan atau tidak signifikan, dengan

membandingkan antara F hitung dan F tabel serta probalitias (significance)

dengan alpha25

.

Hipotesis yang digunakan adalah:

H0: µ1 = µ2 … = µk (mean dari semua kelompok sama)

Ha: µi <> µj (terdapat mean dari dua atau lebih kelompok tidak sama)

Dari tabel ANOVA tersebut diungkapkan bahwa keragaman data aktual

variabel terikat (dependent) bersumber dari model regresi dan dari residual.

Dalam pengertian sederhana adalah variasi (turun-naiknya atau besar kecilnya)

25 Danang Sunyoto. (2012). Prosedur Uji Hipotesis untuk Riset Ekonomi. Bandung: Penerbit

Alfabeta. Halaman 91.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

52

Universitas Indonesia

harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU disebabkan oleh variasi

dari harga input MOPS dan ICP (model regresi) serta dari faktor-faktor lainnya

yang mempengaruhi harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU yang

tidak dimasukkan dalam model regresi (residual). Degree of Freedom (df) atau

derajat bebas dari total adalah n-1, dimana n adalah banyaknya observasi. Nilai F

ini yang dikenal dengan F hitung dalam pengujian hipotesa dibandingkan dengan

nilai F tabel. Jika F hitung > F tabel, maka dapat dinyatakan bahwa secara

simultan (bersama-sama) harga input MOPS dan ICP berpengaruh signifikan

terhadap harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92 di SPBU. Selain itu, dapat

pula membandingkan antara taraf nyata dengan p-value. Jika taraf nyata > dari p-

value maka kesimpulannya sama dengan di atas.

3.3.1 Tes Stasioner

Penelitian ini melakukan analisis berdasarkan pengujian data time series,

maka perlu dilakukan pengujian karakteristik data yang digunakan yaitu tes

stasioneritas. Proses stokastik atau random merupakan kumpulan variabel-

variabel yang random (acak) pada waktu tertentu. Suatu proses stokastik dapat

dikatakan stasioner jika nilai rataan (mean) dan variansnya konstan sepanjang

waktu dan nilai kovarians antara dua periode hanya bergantung pada jarak atau

celah (gap) atau lampau (lag) antara dua periode waktu dan tidak pada periode

actual, dimana kovarian dihitung. Stasioneritas terkait erat dengan konsistensi

pergerakan data time series. Sebaliknya suatu proses stokastik dikatakan tidak

stasioner jika memiliki nilai rataan atau varians yang bervariasi sepanjang waktu

atau memiliki nilai rataan dan varians yang beragam. Suatu data disebut stasioner

apabila nilai rata-rata dan variansnya konstan sepanjang waktu, yang diikuti

dengan nilai covarians antar dua periode waktu yang hanya bergantung kepada

jarak atau selang di antara keduanya. Data yang tidak stasioner memiliki rata-rata

dan varian yang tidak konstan sepanjang waktu. Dengan kata lain, secara ekstrim

data stasioner adalah data yang tidak mengalami kenaikan dan penurunan.

Selanjutnya regresi yang menggunakan data tidak stasioner biasanya mengarah

kepada regresi lancung atau spurious regression. Permasalahan ini muncul

diakibatkan oleh variabel dependen dan independen runtun waktu terdapat tren

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

53

Universitas Indonesia

yang kuat dengan pergerakan menurun ataupun meningkat. Adanya tren yang

menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang tinggi akan tetapi keterkaitan antar

variabel rendah. Koefisien determinasi (R2)

merupakan ukuran ringkas yang

menginformasikan seberapa baik sebuah garis regresi sampel sesuai dengan

datanya. Keseluruhan koefisien determinasi memberitahukan bahwa proporsi

variasi dari variabel dependen atau regresan dijelaskan oleh variabel penjelasnya

atau regresor. Koefisien R2

berada antara angka 0 dan 1. Semakin mendekati 1,

semakin baik ketepatannya26

.

Tes stasioner atau non-stasioneritas yang sangat popular digunakan adalah

uji akar-akar unit (unit root test). Stasioneritas dapat diperiksa dengan mencari

apakah data runtun waktu mengandung akar unit (unit root). Pengujian yang

dihasilkan dari persamaan yang mengandung unsur unit root adalah bias. Uji

akar unit digunakan untuk menguji adanya anggapan bahwa sebuah data time

series tidak stasioner. Perlu diketahui bahwa data yang dikatakan stasioner adalah

data yang bersifat flat, tidak mengandung komponen trend, dengan keragaman

yang konstan, serta tidak terdapat fluktuasi periodik. Beberapa metode yang

dapat dilakukan untuk menguji akar unit diantaranya adalah Dickey-Fuller,

Augmented Dicky-Fuller, Dickey-Fuller DLS (ERS), Philips-Peron, Kwiakowski-

Philips-Schmidt-Shin, Elliot-Rothenberg-Stock Point-Optimal, dan Ng-perron.

Penelitian ini akan menggunakan uji Augmented Dicky-Fuller untuk menentukan

apakah suatu data runtun waktu mengandung akar unit atau bersifat non-stasioner.

Jika variabel Yt sebagai variabel dependen, maka akan diubah menjadi

Yt = ρ Yt-1 + Ut (3.2)

Jika koefisien Yt-1 (ρ) adalah = 1 dalam arti hipotesis diterima, maka variabel

mengandung unit root dan bersifat non-stasioner. Untuk mengubah trend yang

bersifat non-stasioner menjadi stasioner dilakukan uji orde pertama (first

difference).

ΔYt = (ρ-1) (Yt – Yt-1) (3.3)

26

Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Salemba Empat. Halaman

94.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

54

Universitas Indonesia

Koefisien ρ akan bernilai 0, dan hipotesis akan ditolak sehingga model menjadi

stasioner.

Hipotesis yang digunakan pada pengujian augmented dickey fuller adalah:

H0 : ρ = 0 (Terdapat unit roots, variabel Y tidak stasioner)

H1 : ρ ≠ 0 (Tidak terdapat unit roots, variabel Y stasioner)

Kesimpulan hasil root test diperoleh dengan membandingkan nilai t-hitung

dengan t-tabel pada tabel Dickey-Fuller27

. Yaitu sebagai berikut:

a. Jika nilai probabilitas lebih kecil daripada α = 1%, α = 5%, atau α = 10%,

maka tidak terjadi unit root. Sebaliknya, jika nilai probabilitas lebih besar

dari α = 1%, α = 5%, atau α = 10%, maka terjadi unit root.

b. Jika terjadi unit root, maka dilakukan tes yang kedua (tes derajat integrasi):

1st Difference – Trend and Intercept.

3.3.2 Tes Kointegrasi

Selanjutnya, dilakukan pengujian kecenderungan pergerakan data yang

sama antara dua variabel atau lebih yang bergerak secara bersama-sama dalam

jangka panjang dengan menggunakan uji kointegrasi. Secara ekonomi, dua

variabel akan terkointegrasi jika memiliki hubungan jangka panjang (ekuilibrium)

hubungan di antara keduanya. Uji ini terkait dengan model yang dilakukan

dimana dengan menggunakan model VECM (vector error correction model)

maka dapat digunakan data series yang non-stasioner asalkan data tersebut

terkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang sehingga terjadi

ekuilibrium. Prasyarat uji kointegrasi adalah melakukan verifikasi bahwa suatu

serial harga bersifat non-stasioner dan menetapkan urutan atau order integrasi

peubah. Tes data kointegrasi melakukan tes data stasioner pada nilai residual

yang dihasilkan dari persamaan yang menggunakan data tidak stasioner.

Pengujian kointegrasi pada penelitian ini menunjukkan adanya kombinasi linier

dari variabel-variabel yang non-stasioner.

Pada penelitian ini akan digunakan model pengujian kointegrasi bivariat

berbasis pada 2 (dua) model utama yaitu Johansen (1988) dan Johansen dan

27

http://ariyoso.wordpress.com/2009/12/10/uji-akar-unit-2/

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

55

Universitas Indonesia

Juselius (1990) atau JJ maximum likelihood. Pada model JJ maximum likelihood

akan diketahui apakah antara variabel-variabel yang diteliti mempunyai hubungan

jangka panjang atau tidak. Yaitu dilakukan dengan membandingkan antara trace

statistic (TS) dengan maximal eigenvalue (ME) pada suatu nilai kritis tertentu.

Jika TS dan ME melebihi nilai t statistik berarti menolak hipotesis nol. Penolakan

hipotesis nol yang menunjukkan adanya hubungan jangka panjang antara

variabel-variabel yang diteliti. Atau dengan kata lain, jika nilai t statistik lebih

kecil daripada nilai critical Dickey-Fuller maka H0 diterima, tidak ada kointegrasi.

Jika terjadi kebalikannya nilai t statistic lebih besar dari nilai critical Dickey-

Fuller maka H0 ditolak atau ada kointegrasi.

3.3.3 Metode Error Correction Model

Error correction model (ECM) adalah model dinamis pergerakan variabel

dalam beberapa periode yang terkait dengan jangka periode sebelumnya terhadap

keseimbangan jangka panjang. Apabila data terkointegrasi, artinya, terdapat

hubungan jangka panjang atau ekuilibrium di antara keduanya. Tentunya hal ini

berarti bahwa dalam jangka pendek kedua variabel tersebut mungkin tidak

ekuilibrium. Teori representatif Granger menyebutkan bahwa jika dua variabel Y

dan X terkointegrasi, maka hubungan di antara keduanya dapat diekspresikan

dalam ECM. Model ECM pertama kali diperkenalkan oleh Sargan dan

dikembangkan oleh Hendry dan akhirnya dipopulerkan oleh Engle-Granger.

Menurut Engle-Granger (1987), jika diantara sejumlah peubah terdapat

kointegrasi maka diperoleh kondisi yang disebut sebagai error correction

representation yang mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi terhadap

peubah bebas (dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah tidak

bebas (explanatory variables) tetapi juga dipengaruhi oleh ketidakseimbangan

dari hubungan kointegrasi. Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini

ditunjukkan oleh nilai error correction term. Menurut McKay (1998) dan Angelo

dan Zapata (2000) dalam error correction model, ketidakseimbangan jangka

pendek diwakili oleh error correction term yang merupakan bentuk lag dari nilai

residual pada regresi awal. Regresi awal adalah regresi dengan menggunakan

data yang tidak stasioner dimana nilai galat ini sudah stasioner seperti yang

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

56

Universitas Indonesia

disyaratkan oleh metode Engle dan Granger (1987). Dengan demikian, model

error correction model akan memperoleh peubah bebas yang memberikan

pengaruh jangka panjang dan jangka pendek.

Dalam penelitian ini, basis hubungan antara harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92 dan harga input crude oil dapat berupa persamaan sebagai

berikut:

(3.4)

Dimana harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (PG) adalah autoregressive

yang tergantung pada lag distribusi atau (β(L)), dari harga input crude oil (PC)

sebelumnya dan saat ini.

3.3.4 Tes Simetrik

Prinsip dasar tes simetris ini adalah memperlihatkan seberapa pengaruh

dari variabel-variabel yang diamati terhadap harga jual eceran BBM non subsidi

RON 92 pada periode yang diamati. Jika series harga PG dan PC terkointegrasi,

dan tidak terdapat trend waktu dalam harga jual eceran BBM non subsidi RON 92

maka basic error correction model (simetris) yang dipakai dalam penelitian ini

adalah:

(3.5)

Dimana βci merupakan ukuran dampak jangka pendek dari harga input

crude oil. Βqt merupakan dampak jangka pendek dari lag harga jual eceran BBM

non subsidi RON 92. merupakan parameter penyesuaian keseimbangan jangka

panjang dan (zt-1 = PGt-1 = 0 – t . PCt-1) adalah hubungan kesimbangan jangka

panjang antara harga input crude oil dan harga jual eceran BBM non subsidi RON

92. Parameter 0 dan t dapat diestimasi dari regresi OLS harga jual eceran BBM

non subsidi RON 92 pada harga input crude oil sebelumnya.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

57

Universitas Indonesia

3.3.5 Tes Asimetrik

Secara umum, error correction model menggambarkan kondisi

keseimbangan dimana terdapat efek jangka panjang dari perubahan permanen

harga input crude oil. Meskipun demikian, hubungan kointegrasi jangka panjang

antara harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input crude oil

harus diidentifikasi ketika harga naik atau turun. Pada penelitian ini, dengan

mengacu pada jurnal Bachmeier Griffin (2003), model error correction model

yang dipakai untuk melihat kondisi yang diidentifikasi ketika harga naik maupun

turun (asimetrik) adalah:

(3.6)

Dimana:

PG = Harga Jual Eceran BBM non subsidi RON 92

PC = Harga input crude oil

βct = Mengukur efek jangka pendek dari lag harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92

βgi = Mengukur efek jangka pendek dari harga input crude oil

θ = Paremeter penyesuai dari keseimbangan jangka panjang

Zt-1 = PGt-1 - mempresentasikan keseimbangan jangka panjang

antara harga input crude oil dan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92

Dalam keadaan terjadi ketika > 0 dan

terjadi ketika

> 0 dan sama untuk dan

. Koefisien terkait dengan situasi

dimana > 0 dan terkait dengan situasi dimana < 0. Persamaan ini

lebih menggambarkan fleksibilitas respon harga jual eceran BBM non subsidi

RON 92 terhadap kenaikan dan penurunan harga input crude oil. Selanjutnya

digunakan wald test untuk menguji signifikasi secara statistik dari masing-masing

koefisien (explanatory variable) dalam model. Analisa yang dilakukan dalam

penelitian ini terbagi atas dua hal yaitu analisa data dan analisa faktor penyebab

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

58

Universitas Indonesia

dari kondisi yang ada dikaitkan dengan struktur dan perilaku pelaku usaha dalam

industri. Tahapan analisis yang dilakukan akan dijelaskan pada gambar di bawah

ini:

Grafik 3.1 Tahapan Analisis Data

Data dengan Growth Negatif

Data time series dari

harga input crude oil

dan harga jual eceran

BBM non subsidi

RON 92

Konversi dalam Rupiah

Tes Kointegrasi dengan Model

Johansen

Tes Stasioner dengan

Augmented Dickey-Fuller

Intepretasi Hasil Tolak/Terima

Simetrik

Uji Model Simetrik

Data dengan Growth Positif

Wald Test

Uji Error Correction Model

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

59

Universitas Indonesia

3.4 Data Setting

Terdapat beberapa tahapan analisis yang dilakukan dalam penelitian.

Tahapan tersebut antara lain meliputi klasifikasi data, pengujian asimetris, dan

wald test. Tahapan detil atas analisa tersebut dinyatakan sebagai berikut:

1. Terdapat dua jenis data yaitu harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dan

harga input crude oil dimana data tersebut akan dibagi ke dalam dua growth.

Yaitu growth negatif (penurunan) dan data dengan growth yang positif

(kenaikan).

2. Pada data dengan growth positif maka titik seri waktu yang ber-growth negatif

dianggap nol dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dilakukan untuk melihat

keasimetrisan dari harga jual eceran BBM non subsidi RON 92.

3. Kemudian dibuat model simetris dan asimetris dari harga jual eceran BBM

non subsidi RON 92 dan harga input crude oil.

4. Tahap terakhir adalah melakukan wald test pada model asimetris untuk

memeriksa keberadaan kesimetrisan.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

60 Universitas Indonesia

BAB 4

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisa Data Deskriptif

Penelitian menggunakan data harga jual eceran bahan bakar minyak

(BBM) non subsidi RON 92 di SPBU berdasarkan harga yang dipublikasikan oleh

ESDM dan operator atau pelaku usaha (Pertamina, Petronas, Shell, dan Total) dari

tahun 2005 hingga tahun 2011. Selain harga input MOPS, Indonesia juga

mengenal Indonesian Crude Price (ICP) yang dikeluarkan setiap bulan oleh

Kementrian Energi dan Sumber Daya Manusia. ICP merupakan harga minyak

rata-rata tertimbang dari 50 jenis minyak yang dihasilkan di seluruh Indonesia.

Rata-rata ini juga mengacu pada MOPS dan harga di Jepang (RIM Intelligence

Co.). Data crude oil berdasarkan pada data harga input MOPS dan ICP dalam

jangka waktu yang sama yaitu dari tahun 2005 hingga tahun 2011.

Pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dapat

dilihat pada grafik di bawah ini seperti terlihat pada grafik di bawah ini:

3,000

4,000

5,000

6,000

7,000

8,000

9,000

10,000

11,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

PERTAMAX SUPERPRIMAX PERFORM

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Grafik 4.1 Pergerakan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

61

Universitas Indonesia

Berdasarkan data di atas terlihat bahwa harga Pertamax mengalami

kecenderungan naik. Kenaikan paling tinggi untuk harga Pertamax terjadi di

tahun 2007 pada bulan April sebesar 13% atau naik dari Rp 4.900,00 per liter

menjadi Rp 5.600,00 per liter dan bulan September sebesar 17% atau naik dari

Rp 6.250,00 menjadi Rp 7.500,00. Harga Pertamax mulai turun sejak bulan

Agustus tahun 2008 dari Rp 10.450,00 menjadi Rp 9.375,00 mengikuti turunnya

harga crude oil. Harga Super mengalami kenaikan paling tinggi di tahun 2007

pada bulan April sebesar 14% atau naik dari Rp 4.900,00 per liter menjadi

Rp 5.700,00 per liter dan bulan November sebesar 10% atau naik dari Rp

6.250,00 menjadi Rp 6.950,00 per liter.

Harga Super mengalami penurunan tertinggi pada bulan September tahun

2008 sebesar 19% atau turun dari harga Rp 10.550,00 menjadi Rp 8.850,00 per

liter. Harga Primax mengalami kenaikan paling tinggi pada bulan Juli tahun 2007

sebesar 14% yaitu dari harga Rp 5.500,00 menjadi Rp 6.400,00 per liter dan

bulan Desember sebesar 17% dengan perubahan harga dari Rp 6.250,00 menjadi

Rp 7.500,00 per liter. Harga Primax turun sebesar 20% pada bulan September

tahun 2008 dengan perubahan harga dari Rp 10.450,00 menjadi harga

Rp 8.675,00 per liter. Harga Performance tidak mengalami kenaikan atau

penurunan drastis akibat krisis moneter dikarenakan baru mulai beroperasi di

Indonesia pada tahun 2009.

Pergerakan harga input crude oil (MOPS dan ICP) tidaklah jauh berbeda,

akan tetapi harga MOPS cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan harga ICP.

Berdasarkan grafik di bawah, terlihat bahwa pergerakan harga input MOPS juga

memiliki kecenderungan naik, pada saat krisis moneter harga mulai mengalami

kenaikan terhitung sejak bulan Mei tahun 2008 sebesar Rp 8.012,00 menjadi

Rp 9.269,00 per liter dan turun pada bulan Oktober di tahun yang sama sebesar

32% yaitu dari harga Rp 6.987,00 menjadi Rp 5.308,00 per liter. Kenaikan paling

drastis justru terjadi pada tahun 2011 dengan prosentase sebesar 46% pada bulan

April dari harga Rp 7.175,00 menjadi Rp 13.272,00 per liter dan bulan Juni

dengan kenaikan sebesar 57% dari harga Rp 12.522,00 menjadi Rp 29.164,00 per

liter. Penurunan harga input MOPS terjadi pada bulan Juli tahun 2011 sebesar

120% dengan perubahan harga dari Rp 29.164,00 menjadi Rp 13.251,00 per liter.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

62

Universitas Indonesia

Pergerakan harga input ICP juga memiliki kecenderungan naik, pada saat

krisis moneter harga mulai mengalami kenaikan terhitung sejak bulan November

tahun 2007 sebesar 12% yaitu dari harga Rp 4.729,00 menjadi Rp 5.367,00 per

liter dan mulai turun pada bulan Agustus di tahun 2008 sebesar 17% yaitu dari

harga Rp 7.779,00 menjadi Rp 6.650,00 per liter. Kenaikan paling tinggi terjadi

pada bulan Mei tahun 2008 dengan prosentase sebesar 13% yaitu dari harga

Rp 6.331,00 menjadi Rp 7.285,00 per liter. Penurunan harga terjadi pada bulan

Desember tahun 2008 sebesar 33% dengan perubahan harga dari Rp 3.633,00

menjadi Rp 2.739,00 per liter.

Pergerakan harga input crude oil (MOPS dan ICP) mulai tahun 2005

hingga tahun 2011 adalah sebagai berikut:

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

MOPS ICP

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Grafik 4.2 Pergerakan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)

4.2 Analisa Time Series

Tahapan analisa time series yang dilakukan dalam penelitian adalah

sebagaimana berikut:

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

63

Universitas Indonesia

4.2.1. Tes Stasioner

Untuk menganalisa pergerakan data time series dan melihat hubungan

antar variabel, perlu dilakukan pengujian stasioner pada data series. Hal ini

dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya spurious regression yaitu

suatu kondisi dimana sebuah regresi terhadap satu variabel dan variabel lainnya

menghasilkan nilai R2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang

berarti secara teori ekonomi. Hal ini sering terjadi karena kedua seri waktu

tersebut menunjukkan karakteristik tren yang kuat. Untuk mengetahui pada

kondisi manakah data dapat menjadi stasioner, maka dilakukan pengujian

terhadap dalam beberapa kondisi. Apabila data series bersifat stasioner tanpa

melakukan differencing, maka dikatakan sebagai kondisi I(0)/level. Apabila data

series bersifat stasioner pada turunan pertama I(1), maka dikatakan sebagai

kondisi (first differences) atau integrasi pada order 1. Pengujian ini dilakukan

melalui tes Augmented Dickey Fuller (ADF) pada kondisi level, dengan

spesifikasi trend dan intercept.

Hipotesis persamaan untuk unit root adalah sebagai berikut:

H0: Terdapat unit root atau data tidak stasioner

H1: Data stasioner

Tolak H0 jika ADF > dari test critical value.

Tes tersebut dilakukan dengan program E-Views terhadap harga jual

eceran BBM non subsidi RON 92 dari seluruh operator atau pelaku usaha yang

aktif dalam industri. Hasil tes menunjukkan:

a. Hasil persamaan Pertamax menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat

unit root), maka hasil persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan

adanya unit root. Ini menunjukkan pada tingkat level, variabel Pertamax

adalah tidak stasioner. Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan

level first difference spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented

Dickey Fuller, dengan hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol

adanya unit root. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data

series waktu harga Pertamax bersifat stasioner.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

64

Universitas Indonesia

b. Hasil tes terhadap data series Primax adalah bahwa hasil persamaan

menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil

persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini

menunjukkan pada tingkat level, variabel Primax adalah tidak stasioner.

Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan level first difference

spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan

hasil sebagai berikut menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit

root. Ini menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu

harga Primax bersifat stasioner.

c. Hasil tes terhadap data series Super adalah hasil persamaan menunjukkan

bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil persamaan

menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini menunjukkan

pada tingkat level, variabel Super adalah tidak stasioner. Lebih lanjut

kemudian diuji dengan menggunakan level first difference spesifikasi trend

dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan hasil menunjukkan

bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root. Ini menunjukkan bahwa pada

tingkat first difference, data series waktu harga Super bersifat stasioner.

d. Hasil tes terhadap data series Performance adalah hasil persamaan

menunjukkan bahwa data tidak stasioner (terdapat unit root), maka hasil

persamaan menunjukkan fakta tidak menolak akan adanya unit root. Ini

menunjukkan pada tingkat level, variabel Performance adalah tidak stasioner.

Lebih lanjut kemudian diuji dengan menggunakan level first difference

spesifikasi trend dan intercept pada test Augmented Dickey Fuller, dengan

hasil menunjukkan bahwa menolak hipotesis nol adanya unit root. Ini

menunjukkan bahwa pada tingkat first difference, data series waktu harga

Performance bersifat stasioner.

e. Hasil tes terhadap data series harga input crude oil MOPS dan ICP adalah

sebagai berikut: Hasilnya adalah tidak menolak akan adanya unit root yang

menunjukkan bahwa pada tingkat level, variabel crude oil MOPS adalah

tidak stasioner. Pada tingkat first difference data series crude oil MOPS

bersifat stasioner yang menunjukkan tidak menolak hipotesis nol adanya unit

root. Untuk harga input ICP, hasilnya adalah tidak menolak akan adanya unit

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

65

Universitas Indonesia

root yang menunjukkan bahwa pada tingkat level, variabel crude oil ICP

adalah tidak stasioner. Pada tingkat first difference data series crude oil ICP

bersifat stasioner, hasil menunjukkan bahwa tidak menolak hipotesis nol

adanya unit root.

Dengan melakukan tes tersebut, stasionaritas ditemukan pada saat kondisi

first difference I (I) untuk variabel harga jual eceran BBM non subsidi RON

92 (Pertamax, Primax, Super, dan Performance) serta harga input crude oil

(MOPS dan ICP).

4.2.2. Tes Kointegrasi

Setelah mengetahui bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian

stasioner pada kondisi first difference, maka pada analisa berikutnya dilakukan

uji kointegrasi untuk mengetahui apakah terdapat hubungan jangka panjang antara

kedua variabel yang diteliti. Uji kointegrasi perlu dilakukan antara variabel harga

jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil

(MOPS dan ICP).

Berikut hasil tes kointegrasi dari data harga jual eceran BBM non subsidi

RON 92 seluruh SPBU operator (pelaku usaha) aktif dengan data harga input

crude oil MOPS adalah sebagai berikut:

a. Hasil Pertamax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki

hasil yang sama dimana tidak terdapat kointegrasi pada data Pertamax dan

crude oil MOPS.

b. Hasil tes kointegrasi untuk data series Primax memperlihatkan trace test dan

max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana tidak terdapat

kointegrasi pada data Primax dan crude oil MOPS.

c. Hasil tes kointegrasi untuk data series Super memperlihatkan trace test dan

max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi

pada data Super dan crude oil MOPS.

d. Hasil tes kointegrasi untuk data series Performance memperlihatkan trace test

dan max-eigenvalue test memiliki hasil yang sama dimana tidak terdapat

kointegrasi pada data Performance dan crude oil MOPS.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

66

Universitas Indonesia

Berdasarkan hasil tes kointegrasi dapat diketahui bahwa dalam jangka

panjang, hanya harga Super yang terkointegrasi dengan harga input crude oil

MOPS.

Hasil tes kointegrasi untuk data series harga jual eceran BBM non subsidi

RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil ICP adalah sebagai berikut

a. Hasil Pertamax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki

hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Pertamax dan crude

oil ICP.

b. Hasil Primax memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki

hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Primax dan crude oil

ICP.

c. Hasil Super memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test memiliki

hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Super dan crude oil

ICP.

d. Hasil Performance memperlihatkan trace test dan max-eigenvalue test

memiliki hasil yang sama dimana terdapat kointegrasi pada data Performance

dan crude oil ICP.

Berdasarkan hasil tes kointegrasi dapat diketahui bahwa dalam jangka

panjang, harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 dari Pertamax,

Primax, Super, dan Performance terkointegrasi dengan harga input crude oil

ICP. Pengujian persamaan tes kointegrasi antara harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92 dan harga input MOPS memberikan hasil bahwa tidak terdapat

hubungan jangka panjang antara pergerakan harga harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92 dan harga input MOPS sehingga untuk pergerakan harga jual

eceran BBM non subsidi RON 92 dan harga input MOPS tidak dapat dilakukan

uji asymmetric price transmission dengan pendekatan error correction model.

Persamaan kointegrasi dalam kerangka asymmetric price transmission hanya

dapat dilakukan pada variabel yang memiliki kointegrasi, dengan demikian

selanjutnya akan lebih dikhususkan kepada perbandingan harga jual eceran BBM

non subsidi RON 92 di SPBU dengan harga input crude oil ICP. Hal ini mungkin

terjadi dikarenakan harga input crude oil ICP lebih mudah untuk dikontrol dan

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

67

Universitas Indonesia

jumlah volume-nya langsung dapat diketahui mengingat berasal dari sumur

domestik Indonesia. Harga input crude oil ICP digunakan Pemerintah sebagai

asumsi makro APBN. Asumsi makro APBN ini digunakan untuk menghindari

hedging perusahaan minyak negara (Pertamina) dalam rangka memutuskan kapan

waktu memperbesar kapasitas storage kilang minyak.

4.3 Pengolahan Data Model Error Correction Model (ECM)

Pengolahan data model ECM Simetris dan Asimetris pada Industri BBM non

subsidi RON 92 yaitu membandingkan harga Pertamax, Primax, Super, dan

Performance dengan harga input crude oil ICP akan dilakukan dengan cara

sebagai berikut:

4.3.1. Tes Simetrik

Tes ini berguna untuk memperlihatkan seberapa pengaruh dari variabel-

variabel yang diamati yaitu harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual

eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU. Berdasarkan tes Granger Causality

dari harga input crude oil (MOPS dan ICP) dan harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92 (Pertamax, Primax, Super, dan Performance) maka diketahui

bahwa sifat hubungan atau pola pengaruh antar harga sebagai berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Grafik 4.3 Hasil Tes Granger Causality Data Harga Jual BBM Non Subsidi

RON 92 dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)

Pertamax

Super

MOPS Performance

e

Primax

ICP

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

68

Universitas Indonesia

Berdasarkan tes Granger Causality dari harga input crude oil (MOPS dan

ICP) dan keseluruhan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 (Pertamax,

Primax, Super, dan Performance) maka diketahui bahwa sifat hubungan atau pola

pengaruh antar harga sebagai berikut:

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Grafik 4.4 Hasil Tes Granger Causality Data Keseluruhan Harga Jual BBM Non

Subsidi RON 92 Pelaku Usaha dengan Harga Input Crude Oil (MOPS dan ICP)

Berdasarkan hasil tes Granger Causality atau grafik di atas terlihat bahwa

harga Pertamax mempengaruhi harga Super dan Primax serta harga Performance

mempengaruhi penetapan harga Primax. Terdapat hubungan saling

mempengaruhi antara MOPS dan ICP, dan bersama-sama (MOPS dan ICP)

mempengaruhi harga jual eceran Pertamax di SPBU. Akan tetapi berdasarkan

hasil tes kointegrasi jangka panjang didapat bahwa harga jual eceran BBM non

subsidi RON 92 tidak terkointegrasi terhadap harga input MOPS melainkan

dengan harga input ICP. Hasil intepretasi grafik tersebut adalah

1. Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU pelaku usaha asing

(Petronas, Shell, dan Total) selain dipengaruhi oleh harga input crude oil ICP

dan MOPS juga dipengaruhi oleh harga jual eceran BBM non subsidi RON

92 di SPBU Pertamina. Hal ini dapat dilihat dari penetapan harga pelaku

usaha asing tersebut yang dilakukan sehari atau dua hari setelah Pertamina

menetapkan harganya;

2. Harga input crude oil MOPS dan ICP memiliki hubungan saling

mempengaruhi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

Harga Jual Eceran SPBU

MOPS ICP

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

69

Universitas Indonesia

a. Harga input crude oil MOPS yang ditetapkan oleh Singapura

mempertimbangkan harga input crude oil ICP dikarenakan berdasarkan

fakta yang ada, impor minyak baik yang dibeli dari pasar SPOT atau

kontrak jangka panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh

Pertamina melainkan melalui para broker. Para broker ini dalam

menentukan harga mengacu pada harga input crude oil ICP.

b. Harga input crude oil ICP mempertimbangkan harga input crude oil

MOPS dikarenakan MOPS merupakan pembentuk harga untuk impor

persediaan BBM sedangkan ICP lebih digunakan sebagai pembentuk

harga domestik untuk BBM non subsidi RON 92. Dikarenakan impor

tergantung pada banyaknya hasil produksi domestik, maka harga input

crude oil MOPS dan ICP ini terdapat hubungan saling mempengaruhi.

c. Harga input crude oil ICP yang dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan

Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mempertimbangkan penentuan

harga atau harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU

dikarenakan setiap bulan, ESDM membuat siaran pers mengenai harga

jual eceran BBM tertentu. Harga jual tersebut merupakan hasil

monitoring dan evaluasi perkembangan harga minyak mentah dan harga

produk BBM di pasar dunia. Pemerintah juga memperhatikan kondisi

sektor riil dan perekonomian global maupun nasional28

. Selain

memperhatikan hal tersebut, Pemerintah juga mempertimbangkan

kebijakan energi nasional dan kondisi keuangan negara yang selanjutnya

dapat disesuaikan berupa kenaikan atau penurunan harga29

. Perhatian

Pemerintah juga terkait pada volume penjualan BBM subsidi Premium

dikarenakan subtitusi terdekat (close substitute) dari Premium RON 88

adalah BBM non subsidi RON 92. Kenaikan harga dari RON 92 akan

mempengaruhi volume penjualan RON 88 yang pada akhirnya akan

mempengaruhi APBN. Perpindahan pengguna ini akan menambah

jumlah pengguna BBM yang disubsidi pemerintah. Naiknya harga

Pertamax ini membuat jarak harga antara Pertamax dan Premium yang

28 www.esdm.go.id 29

www.bisnis.com. Harga BBM: BPH Migas Mengingatkan Peluang Aksi Penimbunan.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

70

Universitas Indonesia

tidak jadi naik dan tetap Rp 4.500 per liter semakin jauh. Pengamat

perminyakan Kurtubi menilai kondisi ini tentu saja akan memicu

peralihan pengguna Pertamax ke Premium. Pemilik kendaraan bermotor

akan berpikir rasional dan hal ini pun dinilai wajar karena memang tidak

ada larangan tegas bagi pemilik kendaraan bermotor mewah untuk

menggunakan Premium. Hanya saja, kata dia, hal ini akan semakin

menambah jumlah konsumsi BBM bersubsidi karena pengguna Pertamax

yang tidak disubsidi beralih ke Premiun yang disubsidi30

. Anggota

Komite BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi),

Ibrahim Hasyim, mengakui kenaikan harga Pertamax akan berpengaruh

besar terhadap perbandingan konsumsi BBM subsidi dan non subsidi31

.

Hal ini dipertegas oleh Gubernur BI, Darmin Nasution, yang

mengumumkan bahwa rencana pemerintah untuk membatasi penggunaan

BBM bersubsidi pada April 2012 akan menyumbang inflasi sekitar 0,72-

0,94 persen karena adanya perpindahan penggunaan BBM dari Premium

ke Pertamax32

.

Untuk menguji penerimaan (acceptability) model dari perspektif statistik

dalam bentuk analisis sumber keragaman dengan tabel ANOVA (Analysis of

Variance) atau disebut juga dengan analisis ragam. Hipotesis yang digunakan

adalah:

H0: µ1 = µ2 … = µk (mean dari semua kelompok sama)

Ha: µi <> µj (terdapat mean dari dua atau lebih kelompok tidak sama)

Hasil tes ANOVA sebagaimana tercantum dalam lampiran 2, dapat

diintepretasikan bahwa antara MOPS dan ICP, terima H0, bahwa mean dari semua

kelompok sama sehingga terdapat pergerakan yang sama antara harga input

30

http://dennyja-world.com/Pertamax Kian Mahal. (2 April 2012). Pengguna Premium Bakal

Bertambah. 31

http://www.tempo.co/read/news/2012/09/03/090427057/Harga-Pertamax-Naik-BPH-Migas-

Waspada. (03 September 2012). Harga Pertamax Naik, BPH Migas Waspada. 32

http://kaltim.tribunnews.com/2012/01/14/waspadai-inflasi-putaran-akibat-pembatasan-premium.

(14 Januari 2012). Waspadai Inflasi Putaran Akibat Pembatasan Premium. Tribun Kaltim.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

71

Universitas Indonesia

MOPS dan ICP. Hubungan antara harga input MOPS dan harga jual eceran

Pertamax adalah tolak H0 yang berarti terdapat mean dari dua atau lebih kelompok

tidak sama sehingga terdapat perbedaan pergerakan antara harga input MOPS dan

harga jual eceran Pertamax di SPBU. Sedangkan hubungan antara harga input

ICP dan harga jual eceran Pertamax adalah terima H0 yang berarti mean dari

semua kelompok sama sehingga pergerakan yang sama antara harga input ICP

dan harga jual eceran Pertamax di SPBU. Dalam menentukan signifikan atau

tidak signifikan, dengan membandingkan antara F hitung dan F tabel maka nilai F

dari harga input ICP (96,41) lebih besar bila dibandingkan dengan harga input

MOPS (2,24) terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU.

Untuk melihat kesimetrisan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92

dengan harga input crude oil ICP, perlu degenerate antara pergerakan harga

positif dan negative terhadap variabel independen pada persamaan simetrik error

correction model. Hasil permodelan persamaan error correction model simetrik

adalah sebagai berikut

DPertamax c DICP DPertamax(-1) DICP(-1) RESCOINT (4.1)

Dikarenakan harga Pertamax mempengaruhi penetapan harga dari pesaing

lain dan harga input crude oil MOPS tidak terkointegrasi maka uji simetrik hanya

akan dilakukan terhadap pergerakan harga Pertamax dan crude oil ICP. Hasil

pengujian uji simetrik pada periode yang diamati dengan menggunakan program

E-Views adalah bahwa

1. Harga crude oil ICP pada periode observasi dan sebelumnya (t-1) secara

signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Pertamax pada periode

observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode observasi berpengaruh

positif terhadap harga Pertamax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan

1 satuan harga crude oil ICP pada periode observasi (t) akan mengakibatkan

kenaikan 447.57 satuan dari harga Pertamax periode observasi (t). Harga

crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap

harga Pertamax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga

crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

72

Universitas Indonesia

615.87 satuan dari harga Pertamax periode observasi (t). Harga Pertamax

pada periode sebelumnya (t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap

fluktuasi harga Pertamax pada periode observasi (t). Berdasarkan nilai

adjusted R-squared, maka model ini dapat menjelaskan 41,41% variasi dari

variabel dependen.

2. Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) secara signifikan

berpengaruh terhadap fluktuasi harga Super pada periode observasi (t).

Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif

terhadap harga Super periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan

harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan

kenaikan 0.463 satuan dari harga Super periode observasi (t). Harga crude oil

ICP pada periode observasi (t) dan harga Super pada periode sebelumnya

(t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Super pada

periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini

dapat menjelaskan 4,33% variasi dari variabel dependen.

3. Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) secara signifikan

berpengaruh terhadap fluktuasi harga Primax pada periode observasi (t).

Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) berpengaruh positif

terhadap harga Primax periode observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan

harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan

kenaikan 0.490 satuan dari harga Primax periode observasi (t). Harga crude

oil ICP pada periode observasi (t) dan harga Primax pada periode sebelumnya

(t-1) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga Primax pada

periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini

dapat menjelaskan 6,87% variasi dari variabel dependen.

4. Harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1) dan harga Performance

sebelumnya (t-1) secara signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga

Performance pada periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode

sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap harga Performance periode

observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga crude oil ICP pada

periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.115 satuan dari

harga Performance periode observasi (t). Harga Performance pada periode

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

73

Universitas Indonesia

sebelumnya (t-1) berpengaruh positif terhadap harga Performance periode

observasi (t), dimana setiap kenaikan 1 satuan harga Performance pada

periode sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.275 satuan dari

harga Performance periode observasi (t). Harga crude oil ICP pada periode

observasi (t) tidak signifikan berpengaruh terhadap fluktuasi harga

Performance pada periode observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-

squared, maka model ini dapat menjelaskan 17,69% variasi dari variabel

dependen.

Berdasarkan hasil regresi simetrik antara harga input crude oil ICP dan

harga jual eceran Pertamax di SPBU, dapat disimpulkan bahwa perubahan harga

Pertamax dikoreksi positif sebesar 0.24 dan sisanya sebesar 99.76 berasal dari

variabel-variabel lain yang tidak dapat dijelaskan.

4.3.2. Tes Asimetrik

Tes asimetik hanya dapat dilakukan terhadap harga jual eceran Pertamax

di SPBU dan harga crude oil ICP dikarenakan tidak dapat dilakukan proses tes

asimetrik terhadap harga jual eceran Super, Primax, dan Performance karena

insufficient number of observations. Tes selanjutnya pun juga hanya akan

dilakukan terhadap harga jual eceran Pertamax di SPBU dan harga crude oil ICP.

Tes asimetrik digunakan untuk mengetahui pengaruh perubahan kenaikan (P)

terhadap penurunan harga (M) crude oil ICP di periode observasi (t) terhadap

harga Pertamax di periode observasi (t), serta perubahan kenaikan (P) terhadap

penurunan harga (M) crude oil ICP di periode sebelumnya (t-1) terhadap harga

Pertamax pada periode observasi (t). Pada saat yang bersamaan, pengujian juga

dilakukan terhadap pengaruh kenaikan nilai error terhadap penurunan nilai error

tersebut pada harga Pertamax periode observasi (t). Apabila pengaruh kenaikan

berbeda dengan pengaruh ketika terjadi penurunan, maka dikatakan terjadi

asimetrik harga. Pembentukan variabel positif dan negatif untuk seluruh variabel

independen termasuk RESCOINTP dan RESCOINTM adalah dengan

menghilangkan pergerakan harga negatif untuk memperoleh variabel pergerakan

harga positif dan sebaliknya menghilangkan harga positif untuk memperoleh

variabel pergerakan harga negatif. Spesifikasi model error correction model baik

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

74

Universitas Indonesia

yang simetrik maupun asimetrik merupakan model yang valid dilihat dari nilai

error correction term yaitu variabel RESCOINT pada persamaan simetrik dan

RESCOINTP dan RESCOINTM pada persamaan asimetrik.

Hasil permodelan dengan menggunakan persamaan asimetrik yang

diturunkan dari persamaan simetrik di atas adalah

DPertamax DICPP DICPN DICPP(-1) DICPN(-1) DPertamaxP(-1)

DPertamaxN(-1) RESCOINTP RESCOINTM (4.2)

Dengan menggunakan program E-Views, maka didapatkan hasil bahwa

dampak kenaikan harga crude oil ICP tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap harga Pertamax akan tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap harga

Pertamax ketika terjadi penurunan harga. Kenaikan harga crude oil ICP pada

periode sebelumnya (t-1) tidak berpengaruh signifikan terhadap harga Pertamax

akan tetapi berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax ketika terjadi

penurunan harga. Kenaikan dan penurunan harga Pertamax periode sebelumnya

(t-1) berpengaruh secara signifikan terhadap harga Pertamax periode observasi (t).

Penurunan harga crude oil ICP berpengaruh positif terhadap kenaikan

harga Pertamax saat ini, dimana setiap terjadi penurunan 1 (satu) satuan harga

crude oil ICP periode observasi (t) akan mengakibatkan penurunan 0.337 satuan

dari harga Pertamax pada saat observasi (t). Selain itu, setiap penurunan 1 satuan

harga crude oil ICP pada periode sebelumnya (t-1), mengakibatkan kenaikan

0.402 satuan harga Pertamax saat observasi berlangsung (t). Kenaikan harga

Pertamax periode sebelumnya (t-1) berpengaruh negatif terhadap kenaikan harga

Pertamax saat ini, dimana setiap terjadi kenaikan 1 satuan harga Pertamax periode

sebelumnya (t-1) akan mengakibatkan kenaikan 0.533 satuan dari harga Pertamax

pada saat observasi (t). Penurunan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1)

berpengaruh negative terhadap kenaikan harga Pertamax saat ini, dimana setiap

penurunan 1 satuan harga Pertamax periode sebelumnya (t-1) akan

mengakibatkan penurunan 0.664 satuan harga dari harga Pertamax pada saat

observasi (t). Berdasarkan nilai adjusted R-squared, maka model ini dapat

menjelaskan 54.87% variasi dari variabel dependen.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

75

Universitas Indonesia

4.3.3. Wald Test

Adalah pengujian signifikasi secara statistik untuk melihat perbedaan

pengaruh ketika harga naik dan turun pada variabel crude oil ICP periode

sebelumnya (t-1) dan observasi (t), serta harga Pertamax periode sebelumnya (t-1)

dan observasi (t). Hipotesa nol (H0) yang digunakan adalah simetrik atau

perbedaan pengaruh kenaikan harga dengan penurunan harga dari variabel yang

diuji adalah sama dengan permodelan sebagai berikut

C(1)=C(2), C(3)=C(4), C(5)=C(6), C(7)=C(8) (4.3)

Berdasarkan hasil tes program E-Views dapat diketahui bahwa dengan

tingkat significance level sebesar 5% maka Ho tidak dapat diterima atau asimetrik.

Hal tersebut berarti bahwa pengaruh ketika terjadi kenaikan maupun penurunan

harga crude oil ICP pada periode observasi (t) adalah tidak sama sehingga bersifat

asimetrik terhadap harga Pertamax.

Hasil pengujian menjelaskan bahwa harga jual eceran BBM non subsidi

RON 92 lebih terkorelasi dalam jangka panjang dengan harga input crude

oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil MOPS. Dapat dijelaskan

bahwa fenomena asymmetic price transmission di Indonesia adalah pengaruh

harga input crude oil ICP terhadap harga Pertamax signifikan hanya apabila

terjadi penurunan harga di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t).

Kenaikan harga crude oil ICP tidak signifikan terhadap harga Pertamax di

periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Dengan kata lain, tidak terjadi

transmisi harga input (crude oil ICP) terhadap harga Pertamax apabila terjadi

kenaikan harga. Hasil pengolahan data menunjukkan bahwa, pengaruh

asimetrik lebih dipengaruhi dari harga Pertamax periode sebelumnya (t-1)

dan periode observasi (t).

Oleh sebab itu, analisa membuktikan bahwa pergerakan harga jual eceran

BBM non subsidi Ron 92 di SPBU bersifat asimetrik dengan pergerakan harga

input (crude oil MOPS) dan terdapat faktor input lain yang mempengaruhi

pergerakan harga jual eceran BBM non subsidi Ron 92 di SPBU yaitu harga input

ICP. Hasil penelitian mengintepretasikan bahwa pelaku usaha dalam menetapkan

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

76

Universitas Indonesia

harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU, tidak berdasarkan

sepenuhnya kepada harga input crude oil ICP sebagai input dalam memproduksi

bahan bakar minyak. Penetapan harga juga lebih didasarkan kepada harga jual

eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU pada periode sebelumnya dan

observasi (saat ini).

4.4 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input

Crude Oil MOPS dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU

Penyebab asymmetric price transmission antara harga input crude oil

MOPS dan harga jual eceran Pertamax di SPBU adalah dikarenakan harga input

crude oil MOPS digunakan sebagai acuan harga untuk impor sedangkan

komposisi impor bahan bakar minyak Indonesia masih dalam kisaran angka yang

jauh lebih rendah dibandingkan dengan jumlah produksi dalam negeri. Dapat

dilihat pada tabel tersebut di bawah, bahwa komposisi jumlah produksi lokal

sebesar 64.63% masih lebih besar dibandingkan dengan impor yang berjumlah

hanya sebesar 39.96%. Dengan perbandingan jumlah impor yang jauh lebih kecil

dibandingkan dengan jumlah produksi lokal maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

dalam penetapan harga, harga input crude oil MOPS tidak signifikan terhadap

harga jual eceran Pertamax di SPBU.

Di bawah ini adalah tabel jumlah produksi, impor, dan konsumsi dari

bahan bakar minyak Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 berdasarkan

data dari ESDM.

Tabel 4.1 Jumlah Produksi, Impor dan Konsumsi

Dalam ribu barel

Tahun Produksi Impor Konsumsi

2005 268.529 166.690 397.802

2006 257.821 133.241 374.691

2007 244.396 151.154 383.453

2008 251.531 154.821 388.107

2009 246.289 139.361 379.142

2010 241.156 163.639 388.241

2011 238.957 172.124 394.052

JUMLAH 1.748.679 1.081.030 2.705.488

Sumber: www.esdm.go.id

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

77

Universitas Indonesia

Hal ini dipertegas dengan pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia

Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara, yang mengatakan bahwa untuk

minyak mentah, komposisi pasokan ke Pertamina sekitar 900.000 barel per hari

adalah berasal dari domestik sebesar 67%, kemudian 13% melalui pembelian

langsung ke produsen dan 20% impor melalui anak perusahaan Pertamina Energy

Trading Limited (Petral)33

.

4.5 Analisa Penyebab Asymmetric Price Transmission antara Harga Input

Crude Oil ICP dengan Harga Jual Eceran Pertamax di SPBU

Respon asimetrik terjadi ketika penurunan harga input crude oil ICP di

periode sebelumnya (t-1) dan observasi secara cepat di respon harga jual eceran

BBM non subsidi RON 92 di SPBU saat ini. Namun ketika terjadi kenaikan

harga input crude oil ICP di periode sebelumnya (t-1) dan observasi hal tersebut

tidak direspon secepat penurunan harga. Selain harga input crude oil ICP yang

berpengaruh sekitar 68.79% terhadap harga Pertamax, komponen lain dalam

harga impor yang membentuk total biaya aktual (landed cost) adalah iuran-iuran

pasar, ongkos pengangkutan, asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai,

serta biaya surveyor. Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa

kondisi seperti pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya

(kontrak harga, nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta

struktur pasar industri bahan bakar minyak RON 92.

4.5.1 Persediaan

Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam fenomena asimetrik ini

adalah kondisi pembelian bahan bakar minyak yang sangat tergantung pada

persediaan atau inventori dari kilang Pertamina. Apabila terjadi short of supply

karena terjadi kenaikan jumlah demand di luar perkiraan atau perlunya stok

cadangan, maka Pertamina akan mengimpor bahan bakar minyak. Kondisi

persediaan menjadi sangat tergantung pada sisi impor mengingat kilang Pertamina

33

Annisa Humaira. (18 Mei 2012). Impor Minyak Langsung Menghapus Peran Mafia.

Hyesoossong.blogspot.com/2012/05/impor-minyak-langsung-menghapus-peran.html.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

78

Universitas Indonesia

tidak mampu menyediakan pasokan. Pada grafik di bawah ini dapat dilihat

realisasi impor bahan bakar minyak:

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Grafik 4.5 Impor Crude Petroleum Oil Indonesia Tahun 2005-2011

Berdasarkan grafik tersebut, dapat dilihat bahwa impor dilakukan karena

untuk produksi dan kapasitas kilang dalam negeri sebagian besar hasil minyak

mentah produksi Indonesia lebih ekonomis apabila dijual di pasar internasional

(kebijakan pemerintah) dan sebagian desain kilang Indonesia hanya dapat

mengolah minyak mentah tertentu (impor) contohnya adalah Cilacap. Selain itu,

produksi dan kapasitas kilang tidak mencukupi kebutuhan konsumsi BBM dalam

negeri. Menurut Dirut Pertamina, Ari Hernanto Soemarto, pembelian minyak

mentah Indonesia dilakukan langsung dengan perusahaan minyak internasional

karena hanya sedikit negara yang melayani pembelian minyak mentah langsung

pada umumnya. Negara-negara menjual minyak mentahnya melalui perusahaan

nasionalnya atau perusahaan-perusahaan independen yang ada di negara tersebut.

Pembelian minyak mentah selalu dilakukan pemerintah untuk mempertahankan

cadangan strategis minyak mentah dalam negeri34

. Transaksi Kontrak di pasar

minyak memiliki peran pada sebagian besar perpindahtanganan minyak. Minyak

34 Alexander Susanto. (22 Juli 2008). Tidak Ada Mafia Minyak. Harian Investor Daily.

www.tekmira.esdm.go.id

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

79

Universitas Indonesia

dijual dengan transaksi spot, artinya dilakukan pembelian "on the spot" untuk

pengiriman tunggal segera pada harga pasar saat ini. Minyak juga

diperdagangkan di pasar berjangka. Kontrak berjangka adalah kontrak standar

untuk membeli atau menjual komoditi tertentu dengan kualitas standar pada

tanggal tertentu di masa yang akan datang. Jika produsen minyak ingin menjual

minyak di masa yang akan datang, produsen dapat memastikan kemampuan untuk

melakukannya, dan memastikan harga yang akan didapatkan, dengan menjual

kontrak berjangka hari ini. Atau, jika konsumen minyak perlu membeli minyak di

masa yang akan datang, konsumen dapat memastikan untuk dapat

melaksanakannya, dan akan yakin mengenai harga yang akan dibayar, dengan

membeli kontrak berjangka hari ini. Selain produsen dan konsumen, kontrak

berjangka juga dibeli dan dijual oleh pelaku pasar yang tidak memproduksi

minyak atau mengkonsumsi minyak. Spekulan membeli dan menjual kontrak

berjangka untuk mengantisipasi perubahan harga, berharap untuk mendapatkan

keuntungan dari perubahan harga tersebut35

.

Berdasarkan bahan tertulis Pertamina saat rapat dengar pendapat dengan

Komisi VII DPR tertanggal 25 Juni 2008, tercatat bahwa pembelian melalaui

impor hanya tercatat 35% yang terdiri dari kontrak jangka panjang (hedge)

sebesar 68% dan SPOT sebesar 32%36

. Apabila pembelian bahan bakar minyak

melalui spot market dimana harga yang berlaku adalah harga yang ada di tangan

pedagang wholesale, maka harga pembelian menjadi lebih mahal dari cara

pembelian yang berupa kontrak jangka panjang. Hal ini turut mempengaruhi

harga bahan bakar minyak RON 92 yang diperoleh Pertamina dan diteruskan

dalam bentuk harga yang diberlakukan oleh pelaku usaha lain. Padahal menurut

Tempo, Pertamina cenderung membeli minyak mentah dan hasil minyak di pasar

SPOT ketimbang kontrak jangka panjang37

. Tren impor minyak mentah SPOT

juga tidak berkurang karena posisi tahun 2008 memperlihatkan kecenderungan

yang kembali meningkat dalam proporsi impor minyak mentah SPOT tersebut

35

(Juli 2012). Harga Minyak dan Faktor Yang Mempengaruhinya.

http://www.indoenergi.com/2012/07/harga-minyak-dan-faktor-yang.html. 36

AA Ari Wibowo. (22 Juli 2008). Soal Hak Angket BBM, Saudi Aramco Akan Dipanggil.

www.antaranews.com. 37

Budi Riza. (23 April 2007). Rp 279 Triliun Untuk Minyak Pasar SPOT. www.tempo.com

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

80

Universitas Indonesia

dibandingkan dengan posisi tahun 2007. Mekanisme impor melalui SPOT ini

juga sangat rawan akan praktek-praktek yang berpotensi merugikan negara, sebab

dalam mekanisme ini selain harganya yang secara umum lebih mahal dari harga

term kntrak, proses pemilihannya pun sangat bersifat penunjukkan langsung.

Selain dengan penunjukkan langsung, pada mekanisme SPOT juga dapat

dilakukan dengan tender namun harga rata-rata yang terjadi juga tetap lebih mahal

ketimbang harga dengan mekanisme impor term kontrak secara rata-rata38

. Fakta

yang ada, impor minyak baik yang dibeli dari pasar SPOT atau kontrak jangka

panjang, sebenarnya tidak dibeli langsung oleh Pertamina. Pertamina

membelinya melalui para broker. Pertamina menenderkan pembelian minyak

pada pasar SPOT kepada para broker jual beli minyak tersebut. Sedangkan untuk

kontrak jangka panjang, dilakukan oleh Petral, anak perusahaan Pertamina yang

berada di Singapura, dan Pacific Petroleum Trading (PPT), trader minyak yang

50% sahamnya dikuasai oleh Pertamina. Pengadaan impor minyak

mentah Pertamina sejak Juni 2009 dilakukan oleh Pertamina Energy Service Ltd

(Petral) sebagai anak perusahaan Pertamina. Penunjukan ini sesuai dengan

keputusan direksi Pertamina, mengacu pada Peraturan Menteri BUMN No. 5

tahun 2009 yang isinya BUMN dapat melakukan penunjukan langsung untuk

pengadaan barang dan jasa kepada anak perusahaan yang sahamnya dimiliki lebih

dari 90%39

. Pelibatan broker berarti memungkinkan terjadinya mark-up harga.

Karena itu, pengamat pertambangan dan Energi, Pri Agung Rakhmanto

memperhitungkan, harga minyak mentah yang dibeli Pertamina 0,68 sampai 4

dollar AS per barel lebih mahal dari harga riil. Selain itu, nilai alfa (yaitu margin

pengangkutan dan fee) yang diambil Pertamina menjadi sangat besar karena harus

dibagi dengan trader atau broker40

.

Pembelian impor ini juga dipengaruhi oleh faktor nilai tukar uang. Apalagi

hal ini terkait dengan biaya operasional ketika melakukan impor bahan bakar

minyak. Ketika terjadi kenaikan nilai tukar uang saat membeli bahan bakar

38

Achmad Deni Danuri. (2 November 2010). Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat Impor Minyak

SPOT. http://denidaruriekonom.blogspot.com/2010/11/negara-rugi-ratusan-triliun-akibat.html. 39

(30 Maret 2010). Pertamina Beli Crude dengan Term Contract.

http://www.bumn.go.id/pertamina/publikasi/berita/pertamina-beli-crude-dengan-term-contract/ 40

http://respository.unhas.ac.id.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

81

Universitas Indonesia

minyak, maka hal tersebut juga berpengaruh terhadap biaya angkut bahan bakar

minyak impor (shipping cost). Biaya distribusi dalam harga bahan bakar minyak

RON 92 merupakan biaya-biaya yang terkait dengan pemindahan bahan bakar

minyak dari kilang ke tempat tujuan, yang meliputi antara lain shipping cost,

storage cost, dan overhead cost. Besar pengaruh shipping cost, storage cost, dan

overhead cost adalah sebagai berikut

Tabel 4.2 Besar Pengaruh Biaya

Jenis Biaya Prosentase (%)

Shipping Cost 4.37

Biaya Tanker, Cost Insurance and Freight 2.67

Angkutan Darat Rp 75/Liter/Radius 40 km 1.7

Storage and Handling 1.25

Overhead Cost

PPN 10% dan PPBBM 5% 15

Apabila di lihat dari komposisi penetapan harga bahan bakar minyak RON

92 yang didasarkan pada MOPS + α (margin dan fee distribusi), maka faktor

distribusi yang mempengaruhi nilai α menjadi sangat penting. Semakin jauh

tempat tujuan, maka biaya distribusi akan semakin tinggi. Kondisi Indonesia

yang tersebar luas dan terdiri dari banyak pulau serta keterbatasan transportasi

turut mempengaruhi ketersediaan bahan bakar minyak RON 92 yang pada

akhirnya mempengaruhi penetapan harga jual bahan bakar minyak RON 92 di

SPBU di wilayah tertentu.

4.5.2 Penetapan Harga

Penetapan harga pasar bahan bakar minyak setiap bulan ditentukan

berdasarkan Mid Oil Platts Singapore (MOPS) rata-rata setiap bulan sebelumnya

ditambah lima persen. Dikarenakan harga minyak sangat bergejolak karena

diperdagangkan secara harian di dunia maka pengkajian harga crude oil MOPS

dilakukan setiap 2 (dua) minggu sekali pada pertengahan bulan dan akhir bulan.

ICP (Indonesian Crude Price) atau harga minyak mentah Indonesia merupakan

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

82

Universitas Indonesia

basis harga minyak mentah yang digunakan dalam APBN ditetapkan setiap bulan

dan dievaluasi setiap semester. Hal ini mengakibatkan harga jual eceran BBM

non subsidi RON 92 lebih terkointegrasi dengan harga input ICP dibandingkan

harga input MOPS yang memiliki lag sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan

dikarenakan harga input ICP merupakan harga agregat dari 50 harga minyak

Indonesia setiap bulan yang menyebabkan harganya lebih rendah daripada harga

input MOPS.

Penetapan harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 juga dipengaruhi

oleh harga pesaing. Dalam hal penetapan harga, Pertamina mengatakan bahwa

harga pasar bahan bakar minyak dalam negeri saat ini sekitar 50% di bawah harga

MOPS sementara di negara tetangga, harga yang berlaku sekitar 130% di atas

harga MOPS. Selain harga input crude oil MOPS dan ICP, agar tetap dapat

berkompetisi dan memastikan volume penjualan dipertahankan pada tingkat yang

ditargetkan, pelaku usaha perlu mempertimbangkan tingkat persaingan produk

serupa di pasar.

Pada tahap tertentu, pelaku usaha akan rutin melakukan pemeriksaan harga

pompa dari BBM subsidi RON 88 yang disubsidi dan juga harga BBM non

subsidi RON 92. Pemeriksaan harga ini dapat dilakukan secara umum di pasar

secara teratur dan melalui media digital (situs internet). Tabel di bawah ini

memperlihatkan struktur harga bahan bakar minyak atau mekanisme pembentukan

harga bahan bakar minyak RON 92 Pertamina sebagai berikut:

Tabel 4.3 Struktur Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Pertamina

Struktur Harga Pertamina Prosentase (%)

Harga MOPS 74.74

Biaya Tanker, Cost Insurance and Freight 2.67

Storage and Handling 1.25

Angkutan Darat Rp 75/Liter/Radius 40 km 1.7

Margin SPBU 4.14

Cost of Money Pertamina 0.5

PPN 10% dan PPBBM 5% 15

Bagi Pertamina, penetapan harga juga dipengaruhi oleh ada tidaknya

pesaing dalam jarak tertentu yang berdekatan dengan SPBU. Perhitungan

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

83

Universitas Indonesia

pendirian SPBU itu sendiri mempertimbangkan jumlah kendaraan lokal, tren lalu

lintas, pembangunan infrastruktur, kegiatan ekonomi di daerah perdagangan,

lokasi pesaing yang ada, kebutuhan dan perilaku serta kemudahan untuk dilihat

dan dicapai. Faktor-faktor tersebut digunakan untuk membantu membuat

perkiraan volume penjualan dan arus kas sepanjang waktu investasi yang biasanya

antara 15-25 tahun. Pertamina memiliki kecenderungan untuk menetapkan harga

yang bersaing apabila terdapat pesaing dalam jarak yang berdekatan. Akan tetapi

apabila tidak ada pesaing dalam jarak yang berdekatan, maka biasanya

menggunakan harga yang dikeluarkan oleh Pertamina melalui internet (press

release). Hal ini dikarenakan adanya sistem kepemilikan SPBU Pertamina yaitu

sebagai berikut:

1. COCO (Corporate Owner Corporate Operate) yaitu kepemilikan dan

pengoperasiannya dimiliki oleh PT Pertamina Retail.

2. CODO (Corporate Owner Dealer Operate) yaitu kepemilikan dan

pengoperasiannya atas kerjasama Pertamina dan Swasta.

3. DODO (Dealer Owner Dealer Operate) yaitu kepemilikan dan

pengoperasiannya dimiliki oleh Swasta.

Selain kepemilikan, perbedaan harga sesama SPBU Pertamina juga

disebabkan karena perbedaan pelayanan antara SPBU Biasa atau Ways dan Pasti

Pas. Dimana margin SPBU Biasa atau Ways antara Rp 180,00-190,00 per liter

dan Pasti Pas sebesar Rp 205,00.

Berdasarkan data harga dari keempat operator atau pelaku usaha, terlihat

bahwa pola harga mempunyai kemiripan dengan disparitas harga yang tidak

terlalu signifikan. Hal ini dapat menunjukkan terdapatnya persaingan yang ketat

sehingga pelaku usaha tidak mampu menetapkan harga jauh di atas biayanya.

Tabel di bawah, menunjukkan struktur harga atau biaya dari harga jual

eceran BBM non subsidi RON 92 milik Petronas. Pada tabel tersebut terlihat

bahwa Petronas mengalami net profit loss karena ketatnya persaingan tersebut.

Menurut Petronas kondisi tersebut dapat ditolerir dalam jangka pendek sebagai

suatu strategi bisnis dalam menarik konsumen. Bagi pelaku usaha asing lainnya,

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

84

Universitas Indonesia

struktur harga atau biaya ini tidaklah jauh berbeda. Mekanisme pembentukan

harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 Petronas adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4 Struktur Harga Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92 Petronas

Struktur Harga Petronas IDR/Ltr

Pump Price 8.450,00

Dealer SPBU Price (Harga Tebus) 8.117,07

Dealer Margin:

Dealer Margin (%) 3,3% 278,9

Proposed Subsidi Margin (%) 0,64%

Proposed Subsidi Margin (IDR) 54,08

Total Shared Margin 332.93

Taxes:

VAT (10%) 704,52

PBBKT (5%) 367,39

Total Taxes 1.071,91

Sales Revenue 7.045,16

Current MAP 5.993,42

BPH Migas Fee (%) 0,3% 25,35

Gross Margin 1.026,39

S & D Cost

Storage Cost Dover (Fixed & Variable) IDR 203,43 203,43

Other Cost of Sales IDR 44,61 44,61

Transportation Charges 150,00

Advertising & Promotion IDR 3,33 3,33

Gross Operating Profit (Loss) 625,01

Direct Cost (GOE) IDR 121,05 121,05

EBITDA (Not Included Allocated Cost) 503,96

Allocated Cost IDR 214,98 214,98

EBITDA 288,98

Depreciation Expenses IDR 485,00 485,00

Net Operating Profit (Loss) (196,02)

Dalam hal penetapan harga, operator atau pelaku usaha asing (Total,

Petronas, dan Shell) memiliki kecenderungan untuk mengikuti harga Pertamina.

Kebijakan harga Pertamina sebagai pemimpin pasar selalu dijadikan patokan bagi

pesaingnya untuk menaikkan harga atau tidak (price leadership). Hal ini dapat

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

85

Universitas Indonesia

dilihat melalui perubahan harga yang baru ditetapkan berselang 1 (satu) hingga 2

(dua) hari setelah Pertamina menetapkan harganya seperti terlihat pada tabel di

bawah ini:

Tabel 4.5 Perubahan Harga Jual Eceran BBM Non Subsidi RON 92

Perusahaan/Produk

Perkembangan Harga Awal 2011

1-14

Jan

15-31

Jan

1-14

Feb

15-31

Feb Keterangan

Pertamina/Pertamax 7.450 7.850 7.950 7.950 Perubahan harga

pada tanggal 1 dan

15 setiap bulan

Shell/Super 7.450 7.850 7.950 7.950 Perubahan harga

pada tanggal 2 dan

16 setiap bulan Total/Performance 7.450 7.850 7.950 7.950

Petronas/Primax 7.450 7.850 7.950 7.950

Tabel di atas, menunjukkan perubahan harga bahan bakar minyak RON 92

pada SPBU Pertamina terjadi secara periodik pada tanggal 1 dan 15 setiap

bulannya. Pada satu hari setelahnya yaitu di tanggal 2 dan 16 setiap bulannya,

SPBU dari Total, Shell, dan Petronas ikut merubah harganya. Contohnya adalah

ketika harga minyak dunia melambung akibat krisis politik di Mesir sepanjang

bulan Januari 2011 lalu. Pertamina, Shell, Petronas, dan Total bereaksi dengan

menaikkan beberapa jenis produk bahan bakar minyaknya di awal bulan Februari

2011. Harga Pertamax di Jakarta dan sekitarnya naik Rp 200,00 pada tanggal 1

Februari 2011 dari sebelumnya Rp 7.850,00 per liter menjadi Rp 8.050,00. Satu

hari setelahnya, pada tanggal 2 Februari 2011, harga Shell Super ikut naik.

4.5.3 Kekuatan Pasar (Market Power)

Struktur pasar industri BBM non subsidi RON 92 adalah oligopoli.

Pertamina bukanlah satu-satunya pelaku usaha dalam jasa pelayanan bahan bakar

minyak RON 92. Masih terdapat 3 (tiga) pelaku usaha lain seperti Petronas,

Total, dan Shell sehingga konsumen masih memiliki pilihan dan informasi

mengenai penyesuaian harga. Seharusnya mulai tahun 2012 ini, sudah

dilaksanakan kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi (premium

dengan oktan number 88) sehingga volume BBM bersubsidi akan berkurang

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

86

Universitas Indonesia

banyak. Salah satu penyebab pembatasan tersebut dikarenakan program subsidi

BBM akan semakin memberatkan keuangan negara karena menggunakan 8,7

persen dari APBN. Upaya pengendalian BBM bersubsidi akan diterapkan tahun

2012 secara bertahap mulai dari wilayah Jawa-Bali dikarenakan wilayah ini

menguasai 59% konsumsi premium nasional. Vice President Corporate

Communication Pertamina, M. Harun, mengatakan jika rencana kebijakan

pembatasan konsumsi BBM bersubsidi jadi direalisasikan, untuk wilayah

Jabodetabek saja akan ada potensi permintaan tambahan BBM non subsidi sebesar

2.500 kiloliter per hari.

Melonjaknya harga minyak dunia dan rencana pembatasan konsumsi BBM

bersubsidi akan turut mendorong makin ketatnya persaingan penjualan BBM non

subsidi. Operator atau pelaku usaha berlomba menambah SPBU untuk

memperluas jaringan distribusi. Era persaingan sempurna di bisnis penjualan

BBM memasuki babak baru. Operator atau pelaku usaha SPBU asing bakal

mendulang untung setelah ada pembatasan BBM subsidi. Pertamina, Shell,

Petronas, dan Total terus melakukan peningkatan produk dan layanannya,

terutama untuk bahan bakar non-subsidi. Pelaku usaha tersebut sama-sama

berusaha mengedepankan kenyamanan dan kepuasan pengguna kendaraan

bermotor. Hal ini antara lain dilakukan dengan memperbanyak jaringan SPBU,

memperluas areal SPBU, meningkatkan fasilitas pendukung SPBU,

mengedepankan kebersihan, kerapian, serta keramahan personelnya di SPBU.

Dalam hal penetapan harga, salah satu keistimewaan Pertamina

dibandingkan dengan pelaku usaha lain adalah dapat melakukan subsidi silang

dari keuntungan BBM RON 88 yang di subsidi terhadap harga jual eceran BBM

non subsidi RON 92. Pertamina dapat menetapkan harga bahan bakar minyak

RON 92 dengan margin keuntungan yang relatif kecil dibandingkan dengan

pelaku usaha lain. Pelaku usaha lain memiliki kecenderungan untuk mengikuti

harga Pertamina sehingga margin menjadi semakin kecil. Sebagian besar SPBU

asing yang ada di Indonesia merugi atau hanya impas jika hanya mengandalkan

penjualan bahan bakar minyak. Hal ini ditambah pula dengan disparitas harga

bahan bakar minyak non subsidi dengan subsidi yang semakin melebar sehingga

persaingan menjadi ketat sementara pasarnya terus berkurang. Kondisi ini

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

87

Universitas Indonesia

menyebabkan pelaku usaha asing sulit untuk bersaing. Pada tahun 2011-2012

saja, sebanyak 4 (empat) SPBU milik Petronas yang ditutup dengan alasan

renovasi yaitu SPBU Pondok Cabe, Ciputat, Bintaro, dan Lenteng Agung dan 5

(lima) SPBU milik Shell dengan alasan karena permasalahan izin. Terhitung

sejak bulan Agustus 2012, SPBU Petronas yang berada di Medan dan Bandung

ditutup. Dari jumlah 19 (Sembilan belas) SPBU Petronas di Indonesia yang

tersebar di Jabodetabek dan Medan, sudah 78,94 persen tutup, yaitu sebanyak 15

SPBU41

.

Dari keempat pelaku usaha tersebut, Pertamina menguasai sekitar 70%

pangsa industri bahan bakar minyak. Hal ini wajar apabila melihat jumlah SPBU

yang dimiliki oleh Pertamina. Di Indonesia, Pertamina memiliki Jumlah dan

sebaran SPBU paling banyak dibandingkan dengan operator atau pelaku usaha

asing lainnya. Pada tabel di bawah ini, dapat terlihat jumlah dan sebaran SPBU

milik operator atau pelaku usaha aktif di industri BBM.

Tabel 4.6 Jumlah SPBU di Indonesia

Merk Produsen Sebaran SPBU

Pertamax Pertamina 4.680 di seluruh Indonesia

Primax Petronas 4 di Jabodetabek

Super Shell 57 (50 di Jakarta dan 7 di Jawa

Timur)

Performance Total 13 di Jakarta, Tangerang Selatan,

Kota Tangerang, Bekasi, dan Bogor

Secara umum, elastisitas permintaan BBM non subsidi dengan RON 92

sangat elastic. Hal ini bermakna bahwa jika harga dinaikkan akan menyebabkan

berkurangnya permintaan. Atau dengan kata lain, konsumen akan mencari

alternatif pengganti atau subtitusi jika harga BBM non subsidi naik. Produk yang

dipilih menjadi subtitusi tersebut adalah produk dengan harga yang lebih murah.

Jika BBM bersubsidi masih dapat diperoleh konsumen secara mudah maka

41 Bernadette Christina. (23 Oktober 2012). ESDM akui SPBU Petronas Tak Mampu Bersaing.

http://id.berita.yahoo.com/esdm-akui-spbu-petronas-tak-mampu-bersaing-043017743-finance.html

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

88

Universitas Indonesia

kenaikan harga BBM non subsidi bisa jadi akan menyebabkan beralihnya

konsumsi dari BBM non subsidi ke BBM bersubsidi. Karena di pasar konsumen

masih dapat dengan relatif mudah memperoleh BBM bersubsidi yang dapat

dianggap sebagai subtitusi dekat (close substitute) pada kondisi-kondisi tertentu,

upaya pembentukan market power melalui kolusi atau kerjasama sulit untuk

dilakukan. Harga pelaku usaha asing yang lebih rendah (predatory pricing) lebih

ditujukan kepada promosi untuk menarik konsumen dan akan memberikan

keuntungan bagi konsumen. Predatory pricing semacam ini tidak dianggap

sebagai sesuatu yang membahayakan persaingan.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

89 Universitas Indonesia

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisa yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil pengujian, harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di

SPBU lebih terkorelasi dalam jangka panjang dengan harga input crude oil

ICP dibandingkan dengan harga input crude oil MOPS. Hasil tesis

memperlihatkan bahwa harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 tidak

mengikuti Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2001 Pasal 5 mengenai

penetapan harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan harga input Mid Oil

Platts Singapore (MOPS).

2. Dapat dijelaskan bahwa fenomena asymmetic price transmission di Indonesia

adalah pengaruh harga input crude oil ICP terhadap harga Pertamax

signifikan hanya apabila terjadi penurunan harga di periode sebelumnya (t-1)

dan observasi (t). Kenaikan harga crude oil ICP tidak signifikan terhadap

harga Pertamax di periode sebelumnya (t-1) dan observasi (t). Dengan kata

lain, tidak terjadi transmisi harga input (crude oil ICP) terhadap harga

Pertamax apabila terjadi kenaikan harga. Hasil pengolahan data

menunjukkan bahwa, pengaruh asimetrik lebih dipengaruhi dari harga

Pertamax periode sebelumnya (t-1) dan periode observasi (t).

3. Faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena asymmetic price transmission

selain harga input crude oil ICP yang berpengaruh sekitar 68.79% terhadap

harga Pertamax, adalah komponen lain dalam harga impor yang membentuk

total biaya aktual (landed cost) yaitu iuran-iuran pasar, ongkos pengangkutan,

asuransi, aditif, kehilangan di laut, bea dan cukai, serta biaya surveyor.

Kondisi ini setidaknya dapat dijelaskan oleh beberapa kondisi seperti

pembelian bahan bakar minyak RON 92 pada periode sebelumnya (kontrak

harga, nilai tukar, dan biaya distribusi), penetapan harga pesaing, serta

struktur pasar industri bahan bakar minyak RON 92.

4. Harga jual eceran BBM non subsidi RON 92 di SPBU lebih terkointegrasi

dengan harga input crude oil ICP dibandingkan dengan harga input crude oil

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

90

Universitas Indonesia

MOPS yang memiliki lag sebanyak 1 (satu) hingga 2 (dua) bulan dikarenakan

harga input ICP merupakan harga agregat dari 50 harga minyak Indonesia

setiap bulan yang menyebabkan harganya lebih rendah daripada harga

MOPS.

5. Dalam hal penetapan harga, operator atau pelaku usaha asing (Total,

Petronas, dan Shell) memiliki kecenderungan untuk mengikuti harga

Pertamina yang menguasai sekitar 70% dari pangsa pasar industri bahan

bakar minyak. Kebijakan harga Pertamina sebagai pemimpin pasar selalu

dijadikan patokan atau acuan bagi pesaingnya untuk menaikkan harga atau

tidak (price leadership). Hal ini dapat dilihat melalui perubahan harga yang

baru ditetapkan berselang 1 (satu) hingga 2 (dua) hari setelah Pertamina

menetapkan harganya.

6. Penetapan harga Pertamina selain dipengaruhi oleh harga input juga

dipengaruhi oleh ada tidaknya pesaing dalam jarak tertentu yang berdekatan

dengan SPBU. Pertamina memiliki kecenderungan untuk menetapkan harga

yang bersaing apabila terdapat pesaing dalam jarak yang berdekatan. Akan

tetapi apabila tidak ada pesaing dalam jarak yang berdekatan, maka biasanya

menggunakan harga yang dikeluarkan oleh Pertamina melalui internet (press

release). Selain itu, Pertamina dapat melakukan subsidi silang dari

keuntungan BBM RON 88 yang di subsidi terhadap harga jual eceran BBM

non subsidi RON 92 di SPBU.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan kesimpulan tersebut di atas adalah

sebagai berikut:

1. Berdasarkan hasil analisis data, harga jual eceran BBM Non Subsidi RON 92

di SPBU lebih dipengaruhi oleh harga input crude oil ICP sehingga dalam

menentukan harga, Pertamina disarankan untuk mengacu pada harga input

ICP daripada harga input MOPS yang selama ini menjadi acuan. Hal ini

dikarenakan harga input ICP lebih stabil dan lebih mudah dikontrol oleh

Pemerintah dibandingkan dengan harga input MOPS.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

91

Universitas Indonesia

2. Patokan harga dan penetapan biaya alpha harus diperjelas dalam menentukan

harga jual eceran BBM non subsidi di SPBU perlu diperjelas sehingga

operator atau pelaku usaha dapat bersaing secara sehat dan kesejahteraan

masyarakat meningkat.

3. Pertamina sebagai price leader harus melakukan transparansi publik

mengenai akses terhadap data harga input crude oil dan mempublikasikan

metode perhitungan sehingga pengawasan dapat dilakukan oleh masyarakat

dan para pengambil keputusan.

4. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan bukan hanya sekedar mencari ada

tidaknya asymmetric price transmission akan tetapi juga mencoba

mengintepretasikan hasil yang secara signifikan berpengaruh pada ekonomi

seperti estimasi kepemilikan saham (thresholds, kemungkinan penyebab,

hubungan antara struktur dan institusional pada pasar, dll).

5. Agar dapat melihat pergerakan data yang lebih baik maka data yang

digunakan dalam analisa juga harus diperbanyak dari segi tahun.

Keterbatasan data harga input crude oil MOPS yang dirahasiakan oleh

operator atau pelaku usaha menyebabkan analisa tidak dapat dilakukan

hingga tahun 2012. Hal ini sangat penting mengingat analisa dapat lebih

menggambarkan kondisi industri BBM non subsidi.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

92 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Ajija dan Setianto. Cara Cerdas Menguasai Eviews. Jakarta: Penerbit Salemba

Empat.

Capps dan Sherwell. (Mei 2005). Spatial Asymmetry in Farm-Retail Price

Transmission Associated with Fluid Milk Products. Texas: College Station.

Gujarati dan Porter. (2012). Dasar-Dasar Ekonometrika. Jakarta: Penerbit

Salemba Empat.

Insukindro. (1991). Regresi Linier Lancung dalam Analisis Ekonomi Suatu

Tinjauan dengan Satu Studi Kasus di Indonesia. JEBI No. 1 Thn VI.

Lubis, Andi Fahmi. (Oktober 2009). Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan

Konteks. Jakarta.

Meyer dan Von Cramon-Taubadel. (2004). Asymmetric Price Transmission: A

Survey. Jerman: Departemen Ekonomi Agrikultural.

Nachrowi dan Usman. (2006) Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika

Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi

Ogden, James R. dan Ogden, Denise T. (2005). Retailing: Integrated Retail

Management. Amerika Serikat: Houghton Mifflin Company.

Sunyoto, Danang. (2012). Prosedur Uji Hipotesis untuk Riset Ekonomi.

Bandung: Penerbit Alfabeta.

Vavra dan Goodwin. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food

Chain. OECD Publishing.

-------------. (2005). Analysis of Price Transmission Along the Food Chain.

OECD Publishing.

MAKALAH, KONFERENSI, DAN SEJENISNYA

Kurtubi. (2009). Harga MOPS dan Struktur Harga Keekonomian dan Margin

BBM Non Subsidi. Jakarta.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

93

Universitas Indonesia

PERATURAN

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.

Keputusan Presiden Nomor 45 Tahun 2001.

Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2005.

Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005.

PUBLIKASI ELEKTRONIK

Analisis Hukum atas Harga Patokan yang Berpengaruh pada Subsidi Bahan Bakar

Minyak Jenis Tertentu. <http://www.jdih.bpk.go.id>.

Bensin Bersubsidi di Batasi, Siapa Diuntungkan?. 15 Desember 2010.

<http://tempointeraktif.com>.

Bersaing Ketat Karena Minyak. 12 Maret 2011.

<http://bungapadangilalang.com>.

Christina, Bernadette. ESDM akui SPBU Petronas Tak Mampu Bersaing. 23

Oktober 2012. <http://id.berita.yahoo.com/esdm-akui-spbu-petronas-tak-

mampu-bersaing-043017743-finance.html>.

Danuri, Achmad Deni. Negara Rugi Ratusan Triliun Akibat Impor Minyak

SPOT. <http://denidaruriekonom.blogspot.com/2010/11/negara-rugi-ratusan-

triliun-akibat.html>.

Harga Minyak dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Juli 2012.

<http://www.indoenergi.com/2012/07/harga-minyak-dan-faktor-yang.html>.

Harga Pertamax Naik, BPH Migas Waspada. 3 September 2012.

<http://www.tempo.co/read/news/2012/09/03/090427057>.

Humaira, Annisa. Impor Minyak Langsung Menghapus Peran Mafia. 18 Mei

2012. <Hyesoossong.blogspot.com/2012/05/impor-minyak-langsung-

menghapus-peran.html.>

JPNN. BBM Non Subsidi Perang Harga. 3 Juni 2011. <http://fajar.co.id>.

Reyno. BBM Subsidi Dipangkas, SPBU Asing Siap Rebut Pasar. 11 Februari

2011. <http://www.medantalk.com>.

Riza, Budi. Rp 279 Triliun Untuk Minyak Pasar SPOT. 23 April 2007.

<www.tempo.com>.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

94

Universitas Indonesia

Susanto, Alexander. Tidak Ada Mafia Minyak. 22 Juli 2008. Harian Investor

Daily. <www.tekmira.esdm.go.id>

Lestari, Esta. Dampak Pengurangan Subsidi BBM Terhadap Perekonomian

Makro. <http://perpustakaan.ekonomi.lipi.go.id/lib>

Noor, Ryan Alfian. Prognosa BBM Indonesia di Tahun 2011.

<http://www.slideshare.net/ryan_alfian_noor/prognasi-bbm-2011>.

Pengguna Premium Bakal Bertambah. 2 April 2012. <http://dennyja-

world.com/Pertamax Kian Mahal>.

Pertamina Beli Crude dengan Term Contract. 30 Maret 2010.

<http://www.bumn.go.id/pertamina/publikasi/berita/pertamina-beli-crude-

dengan-term-contract/>.

Wibowo, AA Ari. Soal Hak Angket BBM, Saudi Aramco Akan Dipanggil. 22

Juli 2008. <www.antaranews.com>.

<http://ariyoso.wordpress.com/2009/12/10/uji-akar-unit-2/>.

<www.esdm.go.id>.

<www.bisnis.com>.

<www.bpmigas.com>.

<www.indonesiafinancetoday.com>.

<http://respository.unhas.ac.id>.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Lampiran 1

HASIL PROGRAM E-VIEWS

Uji Stasioner Data Harga Pertamax pada Kondisi Level

Null Hypothesis: PERTAMAX has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.070085 0.2572

Test critical values: 1% level -3.512290

5% level -2.897223

10% level -2.585861

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(PERTAMAX)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:41

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PERTAMAX(-1) -0.070057 0.033843 -2.070085 0.0417

D(PERTAMAX(-1)) 0.246544 0.108901 2.263936 0.0263

C 498.1524 226.4959 2.199389 0.0308

R-squared 0.094442 Mean dependent var 53.04878

Adjusted R-squared 0.071517 S.D. dependent var 460.3619

S.E. of regression 443.5947 Akaike info criterion 15.06360

Sum squared resid 15545326 Schwarz criterion 15.15165

Log likelihood -614.6076 Hannan-Quinn criter. 15.09895

F-statistic 4.119526 Durbin-Watson stat 2.064528

Prob(F-statistic) 0.019870

.

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

(Lanjutan)

Uji Stasioner Data Harga Pertamax pada First Difference

Null Hypothesis: D(PERTAMAX) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.144339 0.0000

Test critical values: 1% level -3.512290

5% level -2.897223

10% level -2.585861

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(PERTAMAX,2)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:47

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(PERTAMAX(-1)) -0.785684 0.109973 -7.144339 0.0000

C 40.56880 50.39113 0.805078 0.4232

R-squared 0.389507 Mean dependent var -5.182927

Adjusted R-squared 0.381876 S.D. dependent var 575.6884

S.E. of regression 452.6113 Akaike info criterion 15.09203

Sum squared resid 16388561 Schwarz criterion 15.15073

Log likelihood -616.7733 Hannan-Quinn criter. 15.11560

F-statistic 51.04158 Durbin-Watson stat 2.024263

Prob(F-statistic) 0.000000

Uji Stasioner Data Harga Primax pada Kondisi Level

Null Hypothesis: PRIMAX has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.941441 0.3115

Test critical values: 1% level -3.548208

5% level -2.912631

10% level -2.594027

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(PRIMAX)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:44

Sample (adjusted): 2007M03 2011M12

Included observations: 58 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PRIMAX(-1) -0.088416 0.045541 -1.941441 0.0573

D(PRIMAX(-1)) 0.342528 0.127381 2.689002 0.0095

C 664.0094 330.0499 2.011845 0.0491

R-squared 0.145251 Mean dependent var 48.70690

Adjusted R-squared 0.114169 S.D. dependent var 465.6024

S.E. of regression 438.2184 Akaike info criterion 15.05365

Sum squared resid 10561947 Schwarz criterion 15.16023

Log likelihood -433.5559 Hannan-Quinn criter. 15.09516

F-statistic 4.673177 Durbin-Watson stat 2.147172

Prob(F-statistic) 0.013353

Uji Stasioner Data Harga Primax pada First Difference

Null Hypothesis: D(PRIMAX) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=10)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.501762 0.0000

Test critical values: 1% level -3.548208

5% level -2.912631

10% level -2.594027

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Dependent Variable: D(PRIMAX,2)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:50

Sample (adjusted): 2007M03 2011M12

Included observations: 58 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(PRIMAX(-1)) -0.704717 0.128089 -5.501762 0.0000

C 33.17908 59.33002 0.559229 0.5782

R-squared 0.350871 Mean dependent var -3.879310

Adjusted R-squared 0.339279 S.D. dependent var 552.2840

S.E. of regression 448.9226 Akaike info criterion 15.08545

Sum squared resid 11285766 Schwarz criterion 15.15650

Log likelihood -435.4781 Hannan-Quinn criter. 15.11313

F-statistic 30.26939 Durbin-Watson stat 2.073118

Prob(F-statistic) 0.000001

Uji Stasioner Data Harga Super pada Kondisi Level

Null Hypothesis: SUPER has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.777334 0.0667

Test critical values: 1% level -3.525618

5% level -2.902953

10% level -2.588902

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(SUPER)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:45

Sample (adjusted): 2006M02 2011M12

Included observations: 71 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

SUPER(-1) -0.095051 0.034224 -2.777334 0.0071

D(SUPER(-1)) 0.336175 0.113480 2.962427 0.0042

D(SUPER(-2)) 0.258405 0.117666 2.196082 0.0316

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

C 665.5606 234.8425 2.834072 0.0061

R-squared 0.258040 Mean dependent var 46.47887

Adjusted R-squared 0.224818 S.D. dependent var 424.7540

S.E. of regression 373.9722 Akaike info criterion 14.74093

Sum squared resid 9370300. Schwarz criterion 14.86840

Log likelihood -519.3030 Hannan-Quinn criter. 14.79162

F-statistic 7.767125 Durbin-Watson stat 1.890331

Prob(F-statistic) 0.000159

Uji Stasioner Data Harga Super pada First Difference

Null Hypothesis: D(SUPER) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.526789 0.0000

Test critical values: 1% level -3.524233

5% level -2.902358

10% level -2.588587

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(SUPER,2)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:52

Sample (adjusted): 2006M01 2011M12

Included observations: 72 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(SUPER(-1)) -0.609837 0.110342 -5.526789 0.0000

C 23.17398 46.85474 0.494592 0.6224

R-squared 0.303797 Mean dependent var -1.388889

Adjusted R-squared 0.293851 S.D. dependent var 470.9873

S.E. of regression 395.7831 Akaike info criterion 14.82699

Sum squared resid 10965100 Schwarz criterion 14.89024

Log likelihood -531.7718 Hannan-Quinn criter. 14.85217

F-statistic 30.54540 Durbin-Watson stat 2.124688

Prob(F-statistic) 0.000001

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Uji Stasioner Data Harga Performance pada Kondisi Level

Null Hypothesis: PERFORM has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.171523 0.9324

Test critical values: 1% level -3.653730

5% level -2.957110

10% level -2.617434

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(PERFORM)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:45

Sample (adjusted): 2009M05 2011M12

Included observations: 32 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

PERFORM(-1) -0.007890 0.046001 -0.171523 0.8650

C 145.9951 326.3663 0.447335 0.6578

R-squared 0.000980 Mean dependent var 90.62500

Adjusted R-squared -0.032321 S.D. dependent var 267.3210

S.E. of regression 271.6067 Akaike info criterion 14.10705

Sum squared resid 2213105. Schwarz criterion 14.19866

Log likelihood -223.7128 Hannan-Quinn criter. 14.13741

F-statistic 0.029420 Durbin-Watson stat 1.483293

Prob(F-statistic) 0.864965

Uji Stasioner Data Harga Performance pada First Difference

Null Hypothesis: D(PERFORM) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=8)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -4.228501 0.0024

Test critical values: 1% level -3.661661

5% level -2.960411

10% level -2.619160

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(PERFORM,2)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:52

Sample (adjusted): 2009M06 2011M12

Included observations: 31 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(PERFORM(-1)) -0.756169 0.178827 -4.228501 0.0002

C 73.96419 50.56032 1.462890 0.1543

R-squared 0.381402 Mean dependent var 3.225806

Adjusted R-squared 0.360071 S.D. dependent var 332.0839

S.E. of regression 265.6523 Akaike info criterion 14.06459

Sum squared resid 2046563. Schwarz criterion 14.15711

Log likelihood -216.0012 Hannan-Quinn criter. 14.09475

F-statistic 17.88022 Durbin-Watson stat 1.965317

Prob(F-statistic) 0.000214

Uji Stasioner Data Crude Oil MOPS pada kondisi level

Null Hypothesis: MOPS has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.958742 0.3044

Test critical values: 1% level -3.512290

5% level -2.897223

10% level -2.585861

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(MOPS)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:46

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

MOPS(-1) -0.155494 0.079385 -1.958742 0.0537

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

D(MOPS(-1)) -0.326047 0.109003 -2.991180 0.0037

C 1071.735 531.7917 2.015328 0.0473

R-squared 0.206412 Mean dependent var 121.4268

Adjusted R-squared 0.186321 S.D. dependent var 2703.886

S.E. of regression 2439.018 Akaike info criterion 18.47248

Sum squared resid 4.70E+08 Schwarz criterion 18.56053

Log likelihood -754.3716 Hannan-Quinn criter. 18.50783

F-statistic 10.27392 Durbin-Watson stat 2.002105

Prob(F-statistic) 0.000108

Uji Stasioner Data Harga Crude Oil MOPS pada First Difference

Null Hypothesis: D(MOPS) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -13.81943 0.0001

Test critical values: 1% level -3.512290

5% level -2.897223

10% level -2.585861

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(MOPS,2)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:53

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(MOPS(-1)) -1.409843 0.102019 -13.81943 0.0000

C 173.9317 274.3896 0.633886 0.5280

R-squared 0.704772 Mean dependent var -6.682927

Adjusted R-squared 0.701081 S.D. dependent var 4539.467

S.E. of regression 2481.883 Akaike info criterion 18.49551

Sum squared resid 4.93E+08 Schwarz criterion 18.55421

Log likelihood -756.3159 Hannan-Quinn criter. 18.51908

F-statistic 190.9768 Durbin-Watson stat 2.055493

Prob(F-statistic) 0.000000

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Uji Stasioner Data Crude Oil ICP pada kondisi level

Null Hypothesis: ICP has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -1.836316 0.3607

Test critical values: 1% level -3.511262

5% level -2.896779

10% level -2.585626

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(ICP)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:46

Sample (adjusted): 2005M02 2011M12

Included observations: 83 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

ICP(-1) -0.076503 0.041661 -1.836316 0.0700

C 388.4728 192.6541 2.016427 0.0471

R-squared 0.039967 Mean dependent var 46.67470

Adjusted R-squared 0.028114 S.D. dependent var 459.3083

S.E. of regression 452.8057 Akaike info criterion 15.09260

Sum squared resid 16607675 Schwarz criterion 15.15089

Log likelihood -624.3431 Hannan-Quinn criter. 15.11602

F-statistic 3.372057 Durbin-Watson stat 1.631126

Prob(F-statistic) 0.069980

Uji Stasioner Data Harga Crude Oil ICP pada First Difference

Null Hypothesis: D(ICP) has a unit root

Exogenous: Constant

Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=11)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -7.636374 0.0000

Test critical values: 1% level -3.512290

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

5% level -2.897223

10% level -2.585861

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation

Dependent Variable: D(ICP,2)

Method: Least Squares

Date: 07/05/12 Time: 10:54

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(ICP(-1)) -0.848288 0.111085 -7.636374 0.0000

C 37.56667 51.07492 0.735521 0.4642

R-squared 0.421607 Mean dependent var -6.451220

Adjusted R-squared 0.414377 S.D. dependent var 600.5124

S.E. of regression 459.5482 Akaike info criterion 15.12245

Sum squared resid 16894765 Schwarz criterion 15.18115

Log likelihood -618.0206 Hannan-Quinn criter. 15.14602

F-statistic 58.31421 Durbin-Watson stat 2.024058

Prob(F-statistic) 0.000000

Hasil Tes Kointegrasi Data Pertamax dengan Crude Oil MOPS

Date: 07/05/12 Time: 11:00

Sample (adjusted): 2005M04 2011M12

Included observations: 81 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: PERTAMAX MOPS

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.124297 14.65367 15.49471 0.0667

At most 1 * 0.047039 3.902649 3.841466 0.0482

Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.124297 10.75102 14.26460 0.1671

At most 1 * 0.047039 3.902649 3.841466 0.0482

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

PERTAMAX MOPS

-0.001001 0.000392

0.000258 0.000220

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(PERTAM

AX) 106.6139 -71.23844

D(MOPS) -626.8110 -332.4918

1 Cointegrating

Equation(s):

Log

likelihood -1347.313

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

PERTAMAX MOPS

1.000000 -0.391567

(0.09508)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(PERTAM

AX) -0.106726

(0.05011)

D(MOPS) 0.627468

(0.26151)

Hasil Tes Kointegrasi Data Primax dengan Crude Oil MOPS

Date: 07/05/12 Time: 11:05

Sample (adjusted): 2007M04 2011M12

Included observations: 57 after adjustments

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: PRIMAX MOPS

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.149634 12.93970 15.49471 0.1170

At most 1 0.062861 3.700676 3.841466 0.0544

Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.149634 9.239026 14.26460 0.2668

At most 1 0.062861 3.700676 3.841466 0.0544

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

PRIMAX MOPS

-0.001190 0.000337

0.000142 0.000250

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(PRIMAX) 118.2346 -72.99175

D(MOPS) -561.1117 -620.6069

1 Cointegrating

Equation(s):

Log

likelihood -954.0035

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

PRIMAX MOPS

1.000000 -0.283524

(0.08090)

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(PRIMAX) -0.140744

(0.06754)

D(MOPS) 0.667934

(0.46899)

Hasil Tes Kointegrasi Data Super dengan Crude Oil MOPS

Date: 07/05/12 Time: 11:07

Sample (adjusted): 2006M02 2011M12

Included observations: 71 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: SUPER MOPS

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.155795 16.87932 15.49471 0.0308

At most 1 * 0.066092 4.854759 3.841466 0.0276

Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.155795 12.02456 14.26460 0.1097

At most 1 * 0.066092 4.854759 3.841466 0.0276

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

SUPER MOPS

-0.001113 0.000329

5.47E-05 0.000287

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

D(SUPER) 128.5098 -52.14592

D(MOPS) -573.5918 -513.5593

1 Cointegrating

Equation(s):

Log

likelihood -1172.374

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

SUPER MOPS

1.000000 -0.295543

(0.07847)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(SUPER) -0.143015

(0.04989)

D(MOPS) 0.638335

(0.33167)

Hasil Tes Kointegrasi Data Performance dengan Crude Oil MOPS

Date: 07/05/12 Time: 11:09

Sample (adjusted): 2009M07 2011M12

Included observations: 30 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: PERFORM MOPS

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.282094 10.38660 15.49471 0.2522

At most 1 0.014694 0.444087 3.841466 0.5052

Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.282094 9.942509 14.26460 0.2157

At most 1 0.014694 0.444087 3.841466 0.5052

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

PERFORM MOPS

-0.002541 0.000618

0.001113 -1.77E-05

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(PERFORM

) -7.038020 -30.79629

D(MOPS) -1552.292 160.4069

1 Cointegrating

Equation(s):

Log

likelihood -486.3993

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

PERFORM MOPS

1.000000 -0.243042

(0.02968)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(PERFORM

) 0.017887

(0.13192)

D(MOPS) 3.945047

(1.45656)

Hasil Tes Kointegrasi Data Pertamax dengan Crude Oil ICP

Date: 07/05/12 Time: 11:04

Sample (adjusted): 2005M04 2011M12

Included observations: 81 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: PERTAMAX ICP

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

None * 0.180853 21.25159 15.49471 0.0061

At most 1 * 0.060938 5.092809 3.841466 0.0240

Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.180853 16.15878 14.26460 0.0248

At most 1 * 0.060938 5.092809 3.841466 0.0240

Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05

level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

PERTAMAX ICP

-0.002061 0.002899

0.000991 -0.000364

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(PERTAM

AX) 80.38227 -75.82913

D(ICP) -125.2042 -82.68821

1 Cointegrating Equation(s):

Log

likelihood -1189.179

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

PERTAMAX ICP

1.000000 -1.406572

(0.11068)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(PERTAM

AX) -0.165676

(0.08368)

D(ICP) 0.258059

(0.10187)

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Hasil Tes Kointegrasi Data Primax dengan Crude Oil ICP

Date: 07/05/12 Time: 11:06

Sample (adjusted): 2007M04 2011M12

Included observations: 57 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: PRIMAX ICP

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.288752 26.06924 15.49471 0.0009

At most 1 * 0.110078 6.647393 3.841466 0.0099

Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.288752 19.42184 14.26460 0.0070

At most 1 * 0.110078 6.647393 3.841466 0.0099

Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05

level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

PRIMAX ICP

-0.001649 0.002505

0.001524 -0.000888

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(PRIMAX) 108.4254 -111.0447

D(ICP) -138.8934 -139.5876

1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood -838.9988

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

PRIMAX ICP

1.000000 -1.519330

(0.13968)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(PRIMAX) -0.178757

(0.08668)

D(ICP) 0.228988

(0.10939)

Hasil Tes Kointegrasi Data Super dengan Crude Oil ICP

Date: 07/05/12 Time: 11:08

Sample (adjusted): 2006M02 2011M12

Included observations: 71 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: ICP SUPER

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.243196 26.43896 15.49471 0.0008

At most 1 * 0.089471 6.654776 3.841466 0.0099

Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.243196 19.78419 14.26460 0.0061

At most 1 * 0.089471 6.654776 3.841466 0.0099

Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05

level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

ICP SUPER

-0.003526 0.002436

-0.001407 0.001828

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(ICP) 183.2087 -76.81078

D(SUPER) -37.26843 -84.88543

1 Cointegrating

Equation(s):

Log

likelihood -1024.765

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

ICP SUPER

1.000000 -0.690704

(0.04936)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(ICP) -0.646026

(0.18054)

D(SUPER) 0.131415

(0.12741)

Hasil Tes Kointegrasi Data Performance dengan Crude Oil ICP

Date: 07/05/12 Time: 11:10

Sample (adjusted): 2009M07 2011M12

Included observations: 30 after adjustments

Trend assumption: Linear deterministic trend

Series: PERFORM ICP

Lags interval (in first differences): 1 to 2

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.502546 21.82684 15.49471 0.0049

At most 1 0.028883 0.879250 3.841466 0.3484

Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Hypothesized Max-Eigen 0.05

No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.502546 20.94759 14.26460 0.0038

At most 1 0.028883 0.879250 3.841466 0.3484

Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05

level

* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level

**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by

b'*S11*b=I):

PERFORM ICP

-0.006885 0.009344

0.000963 9.08E-05

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(PERFORM

) 29.60375 -33.99008

D(ICP) -239.9086 -35.62815

1 Cointegrating

Equation(s):

Log

likelihood -411.9899

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)

PERFORM ICP

1.000000 -1.357162

(0.04084)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)

D(PERFORM

) -0.203821

(0.28411)

D(ICP) 1.651767

(0.44647)

Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Pertamax (Simetrik)

Dependent Variable: D(PERTAMAX)

Method: Least Squares

Date: 07/06/12 Time: 13:13

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

D(ICP) 447.5729 108.8300 4.112589 0.0001

D(PERTAMAX(-1)) -0.018156 0.091429 -0.198578 0.8431

D(ICP(-1)) 615.8709 95.05321 6.479222 0.0000

RESCOINT 0.245063 0.081956 2.990185 0.0037

R-squared 0.435834 Mean dependent var 53.04878

Adjusted R-squared 0.414135 S.D. dependent var 460.3619

S.E. of regression 352.3692 Akaike info criterion 14.61479

Sum squared resid 9684796. Schwarz criterion 14.73219

Log likelihood -595.2062 Hannan-Quinn criter. 14.66192

Durbin-Watson stat 1.997829

Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Super (Simetrik)

Dependent Variable: DSUPER

Method: Least Squares

Date: 11/01/12 Time: 09:12

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 62.13959 82.11802 0.756711 0.4515

DICP 0.184195 0.189571 0.971644 0.3343

DSUPER(-1) 0.026036 0.110733 0.235122 0.8147

DICP(-1) 0.463132 0.186352 2.485250 0.0151

RESCOINT 0.056126 0.054629 1.027401 0.3074

R-squared 0.090575 Mean dependent var 101.2195

Adjusted R-squared 0.043332 S.D. dependent var 743.0532

S.E. of regression 726.7760 Akaike info criterion 16.07415

Sum squared resid 40671653 Schwarz criterion 16.22090

Log likelihood -654.0402 Hannan-Quinn criter. 16.13307

F-statistic 1.917219 Durbin-Watson stat 2.006396

Prob(F-statistic) 0.116010

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Primax (Simetrik)

Dependent Variable: DPRIMAX

Method: Least Squares

Date: 11/01/12 Time: 09:21

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 68.64080 80.54554 0.852199 0.3967

DICP 0.206179 0.181137 1.138254 0.2585

DPRIMAX(-1) -0.000805 0.110139 -0.007310 0.9942

DICP(-1) 0.490146 0.179381 2.732430 0.0078

RESCOINT 0.046434 0.035158 1.320727 0.1905

R-squared 0.114732 Mean dependent var 104.5732

Adjusted R-squared 0.068745 S.D. dependent var 742.5362

S.E. of regression 716.5592 Akaike info criterion 16.04584

Sum squared resid 39536190 Schwarz criterion 16.19259

Log likelihood -652.8793 Hannan-Quinn criter. 16.10475

F-statistic 2.494839 Durbin-Watson stat 1.953114

Prob(F-statistic) 0.049676

Tes Pengaruh Harga crude oil ICP atas Harga Perform (Simetrik)

Dependent Variable: DPERFORM

Method: Least Squares

Date: 11/01/12 Time: 09:22

Sample (adjusted): 2005M03 2011M12

Included observations: 82 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 21.22261 17.70619 1.198599 0.2344

DICP -0.036276 0.037918 -0.956700 0.3417

DPERFORM(-1) 0.275406 0.104553 2.634128 0.0102

DICP(-1) 0.114791 0.038044 3.017353 0.0035

RESCOINT 0.009254 0.005452 1.697462 0.0936

R-squared 0.217631 Mean dependent var 35.37805

Adjusted R-squared 0.176988 S.D. dependent var 171.2511

S.E. of regression 155.3589 Akaike info criterion 12.98839

Sum squared resid 1858503. Schwarz criterion 13.13514

Log likelihood -527.5240 Hannan-Quinn criter. 13.04731

F-statistic 5.354756 Durbin-Watson stat 1.984311

Prob(F-statistic) 0.000739

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Tes Pengaruh Harga Crude Oil dalam Kondisi Harga Naik Maupun Turun

Terhadap Pertamax (Asimetrik)

Dependent Variable: DPERTAMAX

Method: Least Squares

Date: 07/06/12 Time: 13:30

Sample (adjusted): 2006M01 2011M12

Included observations: 72 after adjustments

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

DICPP 0.264874 0.141886 1.866809 0.0665

DICPM 0.337290 0.148824 2.266360 0.0268

DICPP(-1) 0.289496 0.156586 1.848797 0.0691

DICPM(-1) 0.402741 0.191257 2.105756 0.0392

DPERTAMAXP(-1) -0.533588 0.085549 -6.237247 0.0000

DPERTAMAXM(-

1) -0.664379 0.100762 -6.593527 0.0000

RESCOINTP 0.037080 0.047301 0.783911 0.4360

RESCOINTM -0.022494 0.018948 -1.187175 0.2395

R-squared 0.593255 Mean dependent var 40.97222

Adjusted R-squared 0.548768 S.D. dependent var 448.7301

S.E. of regression 301.4292 Akaike info criterion 14.35939

Sum squared resid 5815011. Schwarz criterion 14.61235

Log likelihood -508.9379 Hannan-Quinn criter. 14.46009

Durbin-Watson stat 1.773477

Tes Asimetri Harga Crude Oil ICP Terhadap Harga Pertamax

Wald Test:

Equation: EQASIMETRIK

Test Statistic Value df Probability

F-statistic 3.380592 (4, 64) 0.0143

Chi-square 13.52237 4 0.0090

Null Hypothesis Summary:

Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err.

C(1) - C(2) -0.072416 0.244694

C(3) - C(4) -0.113246 0.269233

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

C(5) - C(6) 0.130791 0.098953

C(7) - C(8) 0.059574 0.063447

Restrictions are linear in coefficients.

Granger Causality Tests

Pairwise Granger Causality Tests

Date: 07/05/12 Time: 11:16

Sample: 2005M01 2011M12

Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

SUPER does not Granger Cause PERTAMAX 72 2.71679 0.0734

PERTAMAX does not Granger Cause SUPER 4.04191 0.0220

PRIMAX does not Granger Cause PERTAMAX 58 0.65785 0.5221

PERTAMAX does not Granger Cause PRIMAX 5.43029 0.0072

PERFORM does not Granger Cause PERTAMAX 31 1.09956 0.3480

PERTAMAX does not Granger Cause PERFORM 0.47708 0.6259

MOPS does not Granger Cause PERTAMAX 82 1.10533 0.3363

PERTAMAX does not Granger Cause MOPS 5.96020 0.0039

ICP does not Granger Cause PERTAMAX 82 21.6668 3.E-08

PERTAMAX does not Granger Cause ICP 2.29099 0.1080

PRIMAX does not Granger Cause SUPER 58 0.88128 0.4202

SUPER does not Granger Cause PRIMAX 6.14622 0.0040

PERFORM does not Granger Cause SUPER 31 0.57130 0.5717

SUPER does not Granger Cause PERFORM 1.12454 0.3401

MOPS does not Granger Cause SUPER 72 0.88314 0.4182

SUPER does not Granger Cause MOPS 6.43769 0.0028

ICP does not Granger Cause SUPER 72 24.2162 1.E-08

SUPER does not Granger Cause ICP 6.66271 0.0023

PERFORM does not Granger Cause PRIMAX 31 8.38869 0.0015

PRIMAX does not Granger Cause PERFORM 1.61257 0.2187

MOPS does not Granger Cause PRIMAX 58 2.19137 0.1218

PRIMAX does not Granger Cause MOPS 1.94159 0.1535

ICP does not Granger Cause PRIMAX 58 11.6443 6.E-05

PRIMAX does not Granger Cause ICP 3.70242 0.0313

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

MOPS does not Granger Cause PERFORM 31 0.54139 0.5884

PERFORM does not Granger Cause MOPS 9.70830 0.0007

ICP does not Granger Cause PERFORM 31 7.94960 0.0020

PERFORM does not Granger Cause ICP 8.36556 0.0016

ICP does not Granger Cause MOPS 82 3.36128 0.0399

MOPS does not Granger Cause ICP 2.24531 0.1128

Pairwise Granger Causality Tests

Date: 12/03/12 Time: 11:31

Sample: 2005M01 2011M12

Lags: 2

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob.

MOPS does not Granger Cause ICP 82 2.24531 0.1128

ICP does not Granger Cause MOPS 3.36128 0.0399

SPBU does not Granger Cause ICP 82 4.33962 0.0164

ICP does not Granger Cause SPBU 10.5351 9.E-05

SPBU does not Granger Cause MOPS 82 5.46911 0.0060

MOPS does not Granger Cause SPBU 0.35521 0.7022

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

Lampiran 2

HASIL ANOVA

HASIL ANOVA MOPS DAN ICP

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

MOPS 84 494585,6249 5887,924106 14134319,95

ICP 84 377153,5052 4489,922681 1464434,384

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 82085135,38 1 82085135,38 10,52457569 0,001424448 3,89808843

Within Groups 1294696610 166 7799377,168

Total 1376781745 167

HASIL ANOVA MOPS DAN PERTAMAX

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

MOPS 84 494585,6249 5887,924106 14134319,95

PERTAMAX 84 550137,5 6549,255952 2230641,382

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 18369112,05 1 18369112,05 2,244931922 0,135952016 3,89808843

Within Groups 1358291791 166 8182480,667

Total 1376660903 167

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012

(Lanjutan)

HASIL ANOVA ICP DAN PERTAMAX

SUMMARY

Groups Count Sum Average Variance

ICP 84 377153,5052 4489,922681 1464434,384

PERTAMAX 84 550137,5 6549,255952 2230641,382

ANOVA

Source of Variation SS df MS F P-value F crit

Between Groups 178115848 1 178115848 96,4071425 3,15002E-18 3,89808843

Within Groups 306691288,6 166 1847537,883

Total 484807136,6 167

Pergerakan harga..., Febby Kristantri, Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, 2012