30
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi Nomor: 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 POTENSI PENERAPAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN GARIS BATAS LANDAS KONTINEN DALAM PROSES DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DI SELAT MALAKA BAGIAN UTARA OLEH: Ratri Kristina Arum NPM: 2014200088 PEMBIMBING: I Wayan Parthiana, S.H., M.H. Penulisan Hukum Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Program Studi Ilmu Hukum 2018

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

  • Upload
    others

  • View
    18

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN

FAKULTAS HUKUM

Terakreditasi Berdasarkan Keputusan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi

Nomor: 429/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

POTENSI PENERAPAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF YANG

TIDAK BERIMPITAN DENGAN GARIS BATAS LANDAS KONTINEN DALAM

PROSES DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DI SELAT

MALAKA BAGIAN UTARA

OLEH:

Ratri Kristina Arum

NPM: 2014200088

PEMBIMBING:

I Wayan Parthiana, S.H., M.H.

Penulisan Hukum

Disusun Sebagai Salah Satu Kelengkapan

Untuk Menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana

Program Studi Ilmu Hukum

2018

Page 2: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

Disetujui Untuk Diajukan Dalam Sidang

Ujian Penulisan Hukum Fakultas Hukum

Universitas Katolik Parahyangan

Pembimbing

I Wayan Parthiana, S.H., M.H.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan

Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M.

Page 3: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …
Page 4: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

PERNYATAAN INTEGRITAS AKADEMIK

Dalam rangka mewujudkan nilai-nilai ideal dan standar mutu akademik yang

setinggi-tingginya, maka Saya, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Katolik

Parahyangan yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Ratri Kristina Arum

No. Pokok : 2014200088

Dengan ini menyatakan dengan penuh kejujuran dan dengan kesungguhan hati dan

pikiran, bahwa karya ilmiah / karya penulisan hukum yang berjudul:

POTENSI PENERAPAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN GARIS BATAS LANDAS

KONTINEN DALAM PROSES DELIMITASI ZONA EKONOMI

EKSKLUSIF INDONESIA DI SELAT MALAKA BAGIAN UTARA

adalah sungguh-sungguh merupakan karya ilmiah / karya penulisan hukum yang

telah Saya susun dan selesaikan atas dasar upaya, kemampuan dan pengetahuan

akademik Saya pribadi, dan sekurang-kurangnya tidak dibuat melalui dan atau

mengandung hasil dari tindakan-tindakan yang:

a. Secara tidak jujur dan secara langsung atau tidak langsung melanggar hak-hak

atas kekayaan intelektual orang lain, dan atau

b. Dari segi akademik dapat dianggap tidak jujur dan melanggar nilai-nilai

integritas akademik dan itikad baik;

Seandainya di kemudian hari ternyata bahwa Saya telah menyalahi dan atau

melanggar pernyataan Saya di atas, maka Saya sanggup untuk menerima akibat-

akibat dan atau sanksi-sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku di lingkungan

Universitas Katolik Parahyangan dan atau peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Pernyataan ini Saya buat dengan penuh kesadaran dan kesukarelaan, tanpa paksaan

dalam bentuk apapun juga.

Bandung, 22 Mei 2018

Mahasiswa Penyusun Karya Ilmiah / Karya Penulisan Hukum

Ratri Kristina Arum

2014200088

Page 5: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

Karya ini saya persembahkan untuk:

Keluarga, Almamater, dan Indonesia

Page 6: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

i

ABSTRAK

Penentuan garis batas dalam proses delimitasi zona maritim merupakan masalah

yang acap kali dialami negara pantai, seperti Indonesia. Sebagai negara yang

berbatasan langsung dengan sepuluh negara, Indonesia belum menyelesaikan

garis-garis batas zona maritimnya. Salah satu garis batas zona maritim yang

belum ditentukan ialah garis batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) antara

Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara. Akibatnya,kedua negara

melakukan klaim-klaim sepihak atas ZEE di Selat Malaka tersebut. Klaim-klaim

ini menciptakan sebuah area yang disebut “grey area”. Hal tersebut berpotensi

menciptakan problematika baru seperti penangkapan nelayan yang melaut di

dalam “grey area” atas tuduhan praktik illegal fishing. KHL PBB 1982 sebagai

pranata hukum yang paling komprehensif dalam bidang hukum laut tidak secara

rinci mengatur proses delimitasi zona maritim. Dengan demikian, timbul

persoalan apakah garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas

landas kontinen dapat diterapkan dalam proses penentuan garis batas Indonesia-

Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara? Apabila garis tersebut dapat

diterapkan, maka apa implikasi dari penerapan garis batas ZEE yang tidak

berimpitan dengan garis batas landas kontinen tersebut.

Page 7: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

karunia yang telah dilimpahkan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan

penulisan hukum yang berjudul POTENSI PENERAPAN GARIS BATAS

ZONA EKONOMI EKSKLUSIF YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN

GARIS BATAS LANDAS KONTINEN DALAM PROSES DELIMITASI

ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA DI SELAT MALAKA

BAGIAN UTARA ini tepat pada waktunya.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan

karena keterbatasan waktu, sumber, pengetahuan, dan pengalaman saya dalam

menyusun karya ilmiah. Namun berkat dorongan, semangat, bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan hukum ini dapat diselesaikan.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih dari lubuk

hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak I WAYAN PARTHIANA, S.H., M.H., selaku dosen pembimbing

yang telah meluangkan waktu dan telah memberikan pemikiran,

bimbingan, nasihat dan ilmu yang sangat berguna sehingga penulisan

hukum ini dapat diselesaikan dengan baik. Special thanks to Bapak

ADRIANUS ADITYO VITO RAMON, S.H., LL.M (adv). sebagai

pembimbing saya sejak pembuatan proposal hingga tahap penyelesaian

penulisan hukum ini. Terima kasih telah membimbing materi penulisan

hukum ini, memberikan pemikiran, nasihat, serta pengetahuan baru dalam

bidang hukum laut.

2. Bapak SORA LOKITA, S.H., MIL. selaku narasumber yang sangat ramah

dan informatif. Terima kasih telah meluangkan waktunya untuk

memberikan pengetahuan-pengetahuan baru kepada saya dalam proses

wawancara.

3. Kedua orang tua saya, Bapak DOMINIKUS YATINO dan Ibu ENDAH

PURWANINGSIH, yang selalu mendoakan, memberi perhatian,

Page 8: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

iii

dukungan, dan kepercayaan sepenuhnya kepada saya. Terima kasih telah

membesarkan, menafkahi, serta mendidik saya dengan sabar dan penuh

kasih sayang.

4. Mas BAYU AJI KRIS SAPUTRO, S.H., yang selalu mendukung dan

menyemangati, serta memberikan bantuan kepada saya sejak awal

perkuliahan hingga dalam proses penulisan hukum ini. Terima kasih telah

menjadi saudara dan panutan yang luar biasa.

5. Ibu PROF. Dr. BERNADETTE M. WALUYO, S.H., M.H., CN., selaku

dosen wali yang telah banyak membantu kelancaran perkuliahan saya

dengan memberikan arahan dan saran dalam penyusunan rencana studi.

6. Jajaran Dekanat serta seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik

Parahyangan yang telah memberikan ilmu dan dedikasinya.

7. Para pegawai tata usaha dan para pekarya yang telah membantu dan

mewujudkan proses belajar mengajar yang nyaman selama perkuliahan.

8. BERIL DANIEL SAHALA SINAMBELA, partner in everything. Terima

kasih atas segala doa, dukungan, semangat, bantuan dan khususnya waktu

yang telah diberikan kepada saya.

9. Sahabat-sahabat saya selama berkuliah di Fakultas Hukum, INDAH

PERMATASARI, S.H. (MEME), I DEWA AYU PRAHARVIATA J.,

GRISELDA STACEY GIRSANG, YOSEPHINE FRESCA HARTONO,

RAYMOND KOESWONDO, DHEANDY DWISAPTONO. Terima kasih

atas segala bantuan serta canda tawa yang mewarnai kehidupan

perkuliahan saya selama ini.

10. THERESIA CINDY KURNIAWAN, “my unbiological sister”.

11. VALENCIA SURYAATMAJA, GARRY RYAN HANDELSON,

GAVRIEL GEOVANTHIO, NADYA PURNAMA (BAPEW). Saya

bersyukur telah dipertemukan dengan kalian semua. Terima kasih telah

menjadi teman dan adik-adik yang sangat baik selama ini.

12. Kak ANTON, kak NIXON, kak CLARISSA, NIKO, DOM, dan seluruh

anggota PASKIBRA UNPAR yang telah memberikan bantuan, dorongan,

motivasi dan ‘rumah kedua’ bagi saya.

Page 9: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

iv

13. PETRA, IRENE, NADHIRA, teman-teman seperjuangan hukum laut.

14. MARGARETHA (ACI), JOYFULL dan teman-teman angkatan 2014 yang

selama ini telah berjuang bersama.

15. HANA NOVIANA SANJAYA, sahabat sedari SMA.

16. Terakhir kepada seluruh teman-teman di kampus UNPAR dan kepada

pihak-pihak lain yang telah mendukung saya selama ini yang tidak dapat

saya sebutkan satu per satu.

Semoga Tuhan selalu melimpahkan kasih dan berkat-Nya kepada semua

pihak atas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan. Saya menyadari

bahwa dalam penulisan hukum ini masih terdapat banyak kekurangan dan

kesalahan. Oleh karena itu, saya mengharapkan adanya masukan baik berupa

kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata, saya berharap semoga

penulisan hukum ini dapat berguna dan memberikan nilai tambah serta wawasan

baru bagi semua pihak yang membacanya. Tuhan memberkati.

Bandung, 22 Mei 2018

Ratri Kristina Arum

Page 10: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK .............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

I.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

I.2 Identifikasi Masalah ..................................................................... 12

I.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ..................................................... 12

I.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 13

I.5 Metode Penelitian......................................................................... 13

I.6 Sistematika Penulisan .................................................................. 14

BAB II METODE DELIMITASI ZONA MARITIM ................................. 17

II.1 Delimitasi Zona Maritim .............................................................. 17

II.2 Pengumpulan Data Hidrografi ..................................................... 20

II.3 Metode Delimitasi Zona Maritim ................................................ 20

II.3.1 Metode Sama Jarak (Equidistance Line) .......................... 20

II.3.2 Metode Enclaving ............................................................ 25

II.3.3 Metode Tegak Lurus (Perpendicular) .............................. 26

II.3.4 Metode Paralel dan Meridian ........................................... 27

II.3.5 Metode Garis Paralel ........................................................ 28

Page 11: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

vi

II.3.6 Metode Batas Alami (Natural Boundary) ........................ 28

II.3.7 Pendekatan Dua Tahap (Two-stage Approach) ................ 29

II.3.8 Pendekatan Tiga Tahap (Three-stage Approach) ............. 29

II.4 Single Maritime Boundary ........................................................... 30

II.5 Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif yang Tidak

Berimpitan Dengan Garis Batas Landas Kontinen ...................... 31

BAB III ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA-MALAYSIA

DI SELAT MALAKA ....................................................................... 35

III.1 Zona Ekonomi Eksklusif dalam Hukum Laut

Internasional ................................................................................. 35

III.1.1 Hak-Hak Berdaulat dan Yurisdiksi Negara Pantai ........... 38

III.1.2 Hak, Kebebasan, dan Kewajiban Negara Lain ................. 42

III.1.3 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif ................................ 43

III.2 Zona Maritim di Selat Malaka .............................................. 47

III.2.1 Zona Maritim Negara-Negara di Selat Malaka ................ 47

III.2.2 Pengaturan Landas Kontinen tahun 1969 ......................... 49

III.3 Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Malaysia di Selat

Malaka .......................................................................................... 52

III.3.1 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan

Klaim Malaysia ................................................................ 52

III.3.2 Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif Berdasarkan

Klaim Indonesia ............................................................... 53

III.3.3 Klaim Indonesia-Malaysia yang Saling Bertumpang

Tindih ............................................................................... 55

Page 12: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

vii

BAB IV PENENTUAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI

EKSKLUSIF YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN

GARIS BATAS LANDAS KONTINEN PADA PROSES

DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

INDONESIA-MALAYSIA DI SELAT MALAKA BAGIAN

UTARA ............................................................................................... 58

IV.1 Potensi Penerapan Metode Delimitasi dalam Penentuan

Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia-Malaysia di

Selat Malaka Bagian Utara .......................................................... 58

IV.1.1 Pengaruh Perjanjian Garis Batas Landas Kontinen

tahun 1969 ........................................................................ 58

IV.1.2 Problematik Garis Pangkal ............................................... 60

IV.1.3 Opsi Penentuan Garis Batas ZEE antara Indonesia-

Malaysia di Selat Malaka ................................................. 66

IV.1.4 Single Maritime Boundary: Customary International

Law? .......................................................................................... 68

IV.2 Analisis Penentuan Garis Batas Zona Ekonomi Eksklusif

yang Tidak Berimpitan Dengan Garis Batas Landas

Kontinen pada Proses Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia-Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara ...................... 72

IV.3 Konsekuensi Penentuan Garis Batas Zona Ekonomi

Eksklusif yang Tidak Berimpitan dengan Garis Batas

Landas Kontinen .......................................................................... 77

IV.3.1 Konsekuensi Pembagian Zona Maritim ........................... 77

IV.3.2 Konsekuensi Dalam Bidang Eksplorasi dan

Eksploitasi Sumber Daya Alam ....................................... 78

IV.3.3 Pengawasan dan Penegakan Hukum Terhadap

Praktik Illegal Fishing di Selat Malaka ............................ 80

Page 13: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

viii

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 84

V.1 Kesimpulan .................................................................................. 84

V.2 Saran ............................................................................................. 87

Page 14: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Garis ekuidistan untuk negara-negara yang berhadapan ..................... 21

Gambar 2. Garis ekuidistan untuk negara-negara yang berdampingan ................ 22

Gambar 3. Garis ekuidistan yang disederhanakan dalam kasus Meksiko v.

Amerika Serikat.................................................................................. 24

Gambar 4. Garis Semi-Enclaved dalam kasus Italia v. Tunisia ............................ 26

Gambar 5. Garis Perpendicular ............................................................................ 27

Gambar 6. Landas Kontinen Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka dan Laut

Cina Selatan........................................................................................ 50

Gambar 7. Garis Batas Landas Kontinen Indonesia-Malaysia di Selat Malaka ... 51

Gambar 8. Area Overlapping di Selat Malaka Bagian Utara................................ 56

Gambar 9. Garis Pangkal Malaysia dan Garis Batas Landas Kontinen di Selat

Malaka Bagian Utara .......................................................................... 65

Gambar 10. Ilustrasi Luas Zona Maritim Malaysia .............................................. 66

Gambar 11. the Bay of Bengal Case - Overlapping Area ..................................... 73

Gambar 12. Overlapping Area dalam Penentuan Garis Batas ZEE Indonesia-

Malaysia di Selat Malaka Bagian Utara ............................................. 74

Page 15: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (KHL PBB 1982) merupakan satu

Konvensi yang mengatur masalah kelautan secara utuh dan terpadu sebagai satu

kesatuan.1 KHL PBB 1982 dibentuk untuk menggantikan Konvensi Hukum Laut

Jenewa 1958 (KHL Jenewa 1958). Sebagai pranata hukum laut yang baru, KHL

PBB 1982 tetap mengatur pranata-pranata hukum laut yang sebelumnya telah

diatur di dalam KHL Jenewa 1958. Pranata hukum laut tersebut antara lain

Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan, Konvensi tentang Laut

Lepas, serta Konvensi tentang Landas Kontinen. Walaupun ketiga pranata hukum

laut tersebut masih tetap diatur dalam KHL PBB 1982, tetapi substansinya telah

banyak mengalami perubahan. Sedangkan Konvensi tentang Perikanan dan

Pengonservasian Sumber Daya Hayati Laut Lepas tidak secara eksplisit diatur

dalam KHL PBB 1982, namun isi pranata tersebut telah melebur menjadi satu di

dalamnya.

Selain mengatur pranata hukum laut yang telah diatur dalam KHL Jenewa

1958, KHL PBB 1982 juga mengatur pranata-pranata hukum laut yang baru

sesuai dengan perkembangan yang ada. Salah satu pranata hukum tersebut ialah

zona ekonomi eksklusif (ZEE). ZEE juga dikenal sebagai fishing zone2 atau zona

perikanan. Konsep ZEE ini sebenarnya sudah mulai tercermin dalam Proklamasi

Presiden Harry S. Truman pada tanggal 28 September 1945 khususnya proklamasi

yang pertama yakni tentang Perikanan.3 ZEE merupakan sebuah konsep yang

1 I Wayan Parthiana, Hukum Laut Internasional dan Hukum Laut Indonesia, (Bandung: Yrama

Widya, 2014) , hal 22. 2 Mohd Hazmi Bin Mohd Rusli,at al. Erecting Malaysia’s Maritime Fence Over the Straits of

Malacca and Singapore, (Wollongong: Research Online University of Wollongong,2014). hal 3. 3 I Wayan Parthiana, Op.cit. hal 143.

Page 16: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

2

telah mendapatkan dukungan secara internasional mulai sejak proses perundingan

pembentukan KHL PBB 1982. Dalam KHL PBB 1982, ZEE diatur pada Bab V.4

Secara umum ZEE dapat didefinisikan sebagai berikut:5

“Bagian perairan (laut) yang terletak di luar dari dan berbatasan dengan

laut teritorial selebar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal

darimana lebar laut teritorial diukur.”

Berdasarkan pengertian tersebut, ZEE bukan merupakan wilayah negara sehingga

negara tidak memiliki kedaulatan atasnya. Negara hanya memiliki hak berdaulat

yang terbatas pada perairannya saja. Dasar laut dan tanah dibawah perairan

tersebut bukan merupakan bagian dari ZEE.

Negara pantai memiliki hak-hak berdaulat atas perairan ZEE untuk

mengeksplorasi dan mengeksploitasi, mengonservasi dan mengelola sumber daya

alam baik hayati maupun non-hayati. Negara pantai juga dapat melakukan

kegiatan lain yang mendukung kegiatan pengeksplorasian dan pengeksploitasian,

pengonservasian dan pengelolaan sumber daya alam. Hak-hak tersebut secara

khusus atau eksklusif diberikan kepada negara pantai.6 Selain hak eksklusif,

negara pantai juga memiliki yurisdiksi di ZEE. Yurisdiksi ini antara lain

berkenaan dengan:

- pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi, dan bangunan;

- penelitian ilmiah kelautan;

- perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

Negara pantai yang berhadapan dengan perairan laut lepas di luar laut

teritorialnya dapat mengajukan klaim atas ZEE, salah satunya ialah Negara

Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak

di kawasan Asia Tenggara. Klaim atas negara kepulauan telah dilakukan

Indonesia melalui Pengumuman Pemerintah mengenai Wilayah Perairan Negara

Republik Indonesia tanggal 13 Desember 1957 yang dikenal dengan nama

4 Victor Prescott & Clive Schofield, The Maritime Political Boundaries of the World, (Leiden:

Martinus Nijhoff Publishers, 2005), hal 19. 5 I Wayan Parthiana, Op.cit. hal 144.

6 Ibid. hal 147.

Page 17: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

3

Deklarasi Djuanda.7 Deklarasi Djuanda menjadi dasar konsepi Wawasan

Nusantara. Konsepi Wawasan Nusantara tersebut telah diakui secara internasional

melalui KHL PBB 1982 dalam Bab IV tentang Negara Kepulauan (Archipelagic

States).

Indonesia memiliki zona maritim seluas 5,8 juta km² yang meliputi antara

lain laut teritorial seluas 0,3 juta km², perairan kepulauan seluas 2,8 juta km², serta

ZEE seluas 2,7 juta km².8 Berada di lokasi yang strategis, secara geografis

wilayah Indonesia terletak pada 6° LU (Lintang Utara) – 11° LS (Lintang Selatan)

dan 95° BT (Bujur Timur) – 141° BT (Bujur Timur), diapit oleh dua benua yakni

Benua Asia dan Benua Australia, serta diapit juga oleh dua samudera yakni

Samudera Pasifik dan Samudera Hindia.9 Sebagai negara yang diapit oleh dua

benua dan dua samudera, Indonesia memiliki zona maritim yang secara langsung

berbatasan dengan sepuluh negara. Negara-negara tersebut antara lain India,

Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia

dan Timor Leste.10

Dengan demikian, Indonesia dan negara-negara tetangganya

harus menetapkan garis-garis batas zona maritimnya masing-masing. Indonesia

telah membuat perjanjian garis batas zona maritimnya dengan seluruh negara

tetangga, kecuali negara Timor Leste dan Palau.11

Perjanjian garis batas zona

maritim tersebut antara lain:

1. Indonesia dan Malaysia

Persetujuan garis batas zona maritim antara Indonesia dan Malaysia

dituangkan ke dalam tiga buah perjanjian yakni dua perjanjian bilateral

antara Indonesia dan Malaysia, serta satu perjanjian trilateral antara

Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Perjanjian yang pertama adalah

perjanjian garis batas landas kontinen di kawasan Selat Malaka dan

7 Ibid. hal 277.

8 Arif Havas Oegroseno, “Indonesia’s Maritime Boundaries” dalam Indonesia Beyond the Water’s

Edge: Managing an Archipelagic State, (Singapore: ISEAS, 2009), hal 49. 9 Ruangguru, Letak Geografis dan Letak Astronomis Indonesia, https://blog.ruangguru.com/letak-

geografis-dan-letak-astronomis-indonesia, diakses pada 1 Desember 2017. 10

Arif Havas Oegroseno, Op.cit. hal 54. 11

Ibid.

Page 18: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

4

kawasan Laut Cina Selatan yang ditandatangani padal tanggal 27 Oktober

1969 (Agreement between the Government of Malaysia and the

Government of Indonesia on the Delimitation of the Continental Shelves

between the Two Countries).

Perjanjian kedua mengenai garis batas laut teritorial di Selat Malaka

dituangkan ke dalam Treaty between the Republic of Indonesia and

Malaysia Relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the Two

Countries in the Strait of Malacca, ditandatangani pada 17 Maret 1970.

Perjanjian ketiga merupakan perjanjian trilateral antara Indonesia,

Malaysia dan Thailand mengenai landas kontinen di bagian utara Selat

Malaka.12

Perjanjian tersebut ditandatangani di Kuala Lumpur pada

tanggal 21 Desember 1971 dengan nama Agreement between the

Government of the Republic of Indonesia, the Government of Malaysia,

and the Government of the Kingdom of Thailand Relating to the

Delimitation of the Continental Shelf Boundaries in the Northern Part of

the Straits of Malacca.

2. Indonesia dan Australia

Indonesia dan Australia telah membuat perjanjian garis batas landas

kontinen yang dituangkan ke dalam dua persetujuan. Kedua persetujuan

tersebut menggunakan istilah “daerah dasar laut tertentu” yang sebenarnya

berisi kesepakatan mengenai landas kontinen, kecuali untuk kawasan di

pantai utara antara Indonesia dan Papua Nugini yang sebagian mengatur

garis batas dasar laut teritorial masing-masing pihak.13

Perjanjian yang pertama yakni Persetujuan antara Pemerintah Republik

Indonesia dan Pemerintah Commonwealth Australia tentang Penetapan

Batas-batas Dasar Laut Tertentu (Agreement between the Government of

the Republic of Indonesia and the Government of the Commonwealth of 12

Ibid. hal 55. 13

I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam Hukum Laut Internasional, (Bandung: Mandar

Maju, 2005). hal 112.

Page 19: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

5

Australia Establishing Certain Seabed Boundaries) yang ditandatangani

pada 18 Mei 1971.

Perjanjian kedua yakni Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia

dan Pemerinatah Commonwealth of Australia tentang Penetapan Garis

Batas Dasar Laut Tertentu di Laut Arafuru dan Laut Timor (Agreement

between the Government of the Republic of Indonesia and the Government

of the Commonwealth of Australia Establishing Certain Seabed

Boundaries in the Area of the Timor and Arafura Sea) ditandatangani pada

9 Oktober 1972.14

Selain itu, Indonesia dan Australia telah membuat perjanjian garis batas

ZEE di Laut Arafuru menuju Samudera Hindia yang berada di bagian

selatan Pulau Jawa melalui perjanjian dengan nama Treaty between the

Government of Australia and the Government of the Republic of Indonesia

Establishing an Exclusive Economic Zone Boundary and Certain Seabed

Boundaries, yang ditandatangani pada 14 Maret 1997.15

3. Indonesia dan Thailand

Zona maritim Indonesia dan Thailand terletak di bagian utara Selat Malaka

dan di Laut Andaman. Perjanjian garis batas landas kontinen antara

Indonesia dan Thailand dituangkan ke dalam perjanjian bilateral yakni

Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah

Kerajaan Thailand tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara

Kedua Negara di Bagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman

(Agreement between the Republic of Indonesia and the Government of the

Kingdom Thailand relating to the Delimitation of a Continental Shelf

Boundary between the Two Countries in the Northern Part of the Straits of

14

Arif Havas Oegroseno, Op.cit. hal 56. 15

Maritime Boundary Delimitation Agreement and Other Material with Australia, www.un.org/

depts/los/LEGISLATIONANDTREATIES/STATEFILES/IDN.htm, diakses pada 9 Maret 2018,

pukul 04.44.

Page 20: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

6

Malacca and in the Andaman Sea) yang ditandatangani pada tanggal 17

Oktober 1971.16

4. Indonesia dan Papua Nugini

Indonesia dan Papua Nugini telah membuat dua buah perjanjian garis

batas zona maritim. Perjanjian pertama yakni perjanjian garis batas

tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini yang ditandatangani oleh

Indonesia dan Australia pada tanggal 12 Februari 1973.

Perjanjian kedua antara Indonesia dan Papua Nugini tentang garis batas

maritim (yang mencakup garis batas laut teritorial, garis batas dasar laut

dan tanah di bawahnya di bawah laut teritorial, garis batas ZEE, dan garis

batas landas kontinen) di Samudera Pasifik yang ditandatangani pada 13

Desember 1980.

5. Indonesia dan Singapura

Indonesia dan Singapura telah membuat dua buah perjanjian yang

berkaitan dengan laut teritorial di Selat Singapura. Perjanjian yang

pertama yakni Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic

of Singapore Relating to the Delimitation of the Territorial Seas of the

Two Countries in the Strait of Singapore yang ditandatangani pada tanggal

25 Mei 1973.

Perjanjian kedua yakni Treaty between the Republic of Indonesia and the

Republic of Singapore Relating to the Delimitation of the Territorial Seas

of the Two Countries in the Western Part of the Strait of Singapore yang

ditandatangani pada 10 Maret 2009.

6. Indonesia dan India

Zona maritim Indonesia dan India terletak di antara Pulau Sumatera dan

Pulau Nikobar (Laut Andaman).17

Dalam zona maritim tersebut, Indonesia

16

I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam ..., Op.cit. hal 110. 17

Arif Havas Oegroseno, Op.cit. hal 54.

Page 21: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

7

dan India membuat perjanjian garis batas landas kontinen, yaitu

Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah

Republik India tentang Penetapan Garis Batas Landas Kontinen antara

Kedua Negara (Agreement between the Government of the Republic of

Indonesia and the Government of the Republic of India relating to the

Delimitation of the Continental Shelf between the Two Countries) yang

ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 Agustus 1974.18

Kemudian pada

tanggal 14 Januari 1977 kedua negara menandatangani persetujuan tentang

perpanjangan garis batas landas kontinen 1974 antara kedua negara di Laut

Andaman dan Samudera Hindia.19

7. Indonesia dan Vietnam

Indonesia dan Vietnam telah membuat perjanjian garis batas landas

kontinen, yaitu Agreement between the Government of the Socialist

Republic of Vietnam and the Government of the Republic of Indonesia

Concerning the Delimitation of the Continental Shelf Boundary yang

ditandatangani pada 26 Juni 2003.

8. Indonesia dan Filipina

Indonesia dan Filipina pun telah membuat perjanjian garis batas ZEE di

Laut Sulawesi dengan nama Agreement between the Government of the

Republic of Indonesia and the Government of the Republic of the

Philippines concerning the Delimitation of the Exclusive Economic Zone

Boundary tahun 2014.

Dari sekian banyak perjanjian garis batas maritim yang telah dibuat, hanya

perjanjian antara Indonesia-Australia dan Indonesia-Papua Nugini saja yang

pengaturannya telah mencakup seluruh zona maritim yang dimiliki Indonesia-

Australia-Papua Nugini secara bersama-sama. Dengan demikian, masih terdapat

beberapa zona maritim Indonesia yang bersinggungan dengan zona maritim

18

I Wayan Parthiana, Landas Kontinen dalam ..., Op.cit. hal 116. 19

Ibid. hal 117.

Page 22: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

8

negara tetangga yang masih harus dibatasi, salah satunya ialah ZEE antara

Indonesia dan Malaysia.

Salah satu permasalahan delimitasi ZEE antara Indonesia dan Malaysia

terletak di Selat Malaka bagian utara. Sebagai negara pantai yang saling berbagi

Selat Malaka, Indonesia dan Malaysia telah memiliki perjanjian garis batas landas

kontinen yang dibuat pada tahun 1969, salah satunya ialah garis batas landas

kontinen di Selat Malaka.20

Pembuatan perjanjian landas kontinen tahun 1969

Indonesia dan Malaysia mengacu pada Konvensi tentang Landas Kontinen 1958.

Dalam perjanjian tersebut, terdapat titik-titik serta koordinat yang gunakan

sebagai titik penentu untuk menciptakan sebuah garis batas. Titik-titik dan

koordinat tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) poin A dan terdiri dari 10 titik.

Titik-titik serta koordinat tersebut membentuk sebuah garis lurus yang

membatasi landas kontinen Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka. Garis batas

landas kontinen yang dimulai dari titik 1 hingga titik 10 tersebut berjarak 399 mil

laut.21

Penetapan garis batas landas kontinen tersebut menggunakan metode

equidistance principle yang bertujuan membagi Selat Malaka secara adil dan

seimbang. Penarikan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di

Selat Malaka diukur dengan menggunakan garis pangkal lurus. Hal tersebut

disetujui oleh Indonesia agar Malaysia memberikan dukungannya terhadap klaim

Indonesia atas negara kepulauan.22

Penarikan garis batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di

Selat Malaka yang diukur berdasarkan garis pangkal lurus menimbulkan masalah

dalam hal penentuan ZEE diatasnya. Terlebih karena Indonesia dan Malaysia

telah setuju untuk terikat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Permasalahan

tersebut timbul akibat adanya perbedaan klaim yang diajukan masing-masing

20

Mohd Hazmi Bin Mohd Rusli,at al. Op. cit. hal 6. 21

Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of

Malaysia relating to the Delimitation of the Continental Shelves between the Two Countries

(Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan

Garis Batas Landas Kontinen antara Kedua Negara), mulai berlaku tanggal 7 November 1969. 22

Vivian Louis Forbes, Indonesia’s Delimited Maritime Boundaries, (Berlin: Springer, 2014), hal

41.

Page 23: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

9

negara atas ZEE. Hingga kini, Indonesia dan Malaysia masih melakukan

perundingan untuk menentukan garis batas ZEE tersebut.

Dalam sengketa garis batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat

Malaka bagian utara, para pihak mengajukan klaim yang berbeda. Malaysia

menginginkan garis batas ZEE ditentukan dengan satu garis pembatas saja yakni

garis yang sama yang digunakan dalam kesepakatan yang tertera pada perjanjian

garis batas landas kontinen yang dibuat oleh Indonesia dan Malaysia pada tahun

1969. Malaysia mengklaim penggunaan satu garis batas tersebut merupakan

bagian dari kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi. Di sisi lain, pihak

Indonesia menyatakan bahwa landas kontinen dan ZEE merupakan dua hal yang

berbeda dan diatur oleh pranata hukum laut masing-masing. Oleh karena itu,

Indonesia menginginkan pengaturan terhadap garis batas ZEE ditentukan secara

lain, yakni berbeda dari penetapan garis batas landas kontinen dengan menerapkan

garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen.

Pengaturan delimitasi ZEE diatur dalam Pasal 74 Konvensi Hukum Laut

PBB 1982. Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut PBB 1982 menyatakan:23

“The delimitation of the exclusive economic zone between States with

opposite or adjacent coasts shal be effected by agreement on the basis of

international law, as referred to in Article 38 of the Statute of the

International Court of Justice, in order to achieve an equitable solution”.

Dari penjabaran tersebut, prosedur delimitasi ZEE bagi negara pantai yang saling

berhadapan atau berdampingan harus dilaksanakan melalui perjanjian. Perjanjian

mengenai ZEE tersebut didasarkan pada kaidah hukum internasional sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional dengan tujuan untuk

mencapai solusi yang adil. Sedangkan Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional

23

Article 74 (1) United Nations Convention on the Law of the Sea, opened for signature 10

December 1982, 1833 UNTS 3 (entered into force 16 November 1994).

Page 24: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

10

hanya menjabarkan sumber-sumber hukum yang dapat digunakan apabila terjadi

sengketa, antara lain:24

a. konvensi-konvensi internasional, baik umum maupun khusus yang secara

jelas diakui oleh negara-negara peserta;

b. Kebiasaan internasional;

c. Prinsip-prinsip hukum umum yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab.

d. Putusan pengadilan sebagaimana tunduk pada Pasal 59 Statuta Mahkamah

Internasional.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah dijabarkan diatas, pengaturan

mengenai delimitasi ZEE tidak dijelaskan secara lebih lanjut. Pengaturan

delimitasi ZEE yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 tersebut

terbatas pada bentuk yakni harus dibuat dalam bentuk perjanjian antarnegara yang

didasarkan pada kaidah hukum internasional dengan tujuan untuk mencapai solusi

yang adil. Konvensi tidak mengatur secara rinci prosedur, metode serta proses

delimitasi ZEE yang dapat dilakukan. Namun demikian, pada kenyataannya

terdapat sengketa delimitasi ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka

bagian utara dimana kedua negara tersebut belum memiliki perjanjian garis batas

ZEE. Sengketa tersebut juga menimbulkan pertentangan di antara kedua negara

dalam menerapkan garis batas yang akan digunakan.

Pertentangan tersebut dapat menimbulkan permasalahan khususnya

menyangkut kepastian hukum dan penegakan hukum. Kedua negara yang

bersengketa tidak memiliki kepastian terhadap batas-batas wilayah ZEE-nya. Hal

24

Article 38 (1) Statute of International Court of Justice:

The Court, whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are

submitted to it, shall apply:

a. International conventions, whether general or particular, establishing rules expressly

recognized by the contesting states;

b. International custom, as evidence of a general practice accepted as law;

c. The general principles of law recognized by civilized nations;

d. Subject to the provisions of Article 59, judicial decisions and the teachings of the most

highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination

of rule of law.

Page 25: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

11

ini akan berimplikasi pada pelaksanaan hak-hak berdaulat kedua negara tersebut.

Penerapan satu garis batas yang sama antara landas kontinen dan ZEE

sebagaimana diusulkan oleh Malaysia dan penggunaan dua garis batas yang

berbeda antara kedua pranata hukum laut sebagaimana diusulkan oleh Indonesia

tentu saja akan menimbulkan akibat hukumnya masing-masing.

Permasalahan mengenai delimitasi zona maritim khususnya mengenai

ZEE antara Indonesia dan Malaysia bukan merupakan kasus pertama yang terjadi

di dunia. Permasalahan yang serupa pernah dialami oleh Bangladesh dan

Myanmar yang kemudian diputus berdasarkan putusan International Tribunal for

the Law of the Sea (ITLOS) nomor 16, pada tanggal 14 Maret 2012.25

Sengketa

tersebut berawal dari tidak adanya perjanjian garis batas khususnya berkenaan

dengan garis batas ZEE antara Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala.

Sedangkan pengaturan mengenai garis batas ZEE menurut Konvensi Hukum Laut

PBB tahun 1982 harus dituangkan ke dalam perjanjian antarnegara. Adanya

kepentingan yang dimiliki kedua negara dalam ZEE tersebut mendorong kedua

belah pihak untuk berunding dalam menentukan garis batas ZEE di Teluk

Benggala.

Dalam proses negosiasi, kedua negara mengajukan sistem penerapan garis

batas yang berbeda. Myanmar mengajukan penerapan equidistance line,

sedangkan Bangladesh mengajukan penggunaan equitable principle. Baik

penerapan equidistance line maupun equitable principle sama-sama akan

menimbulkan akibat hukum tertentu bagi kedua belah pihak. Pada akhirnya

sengketa tersebut dapat terselesaikan dengan dikeluarkannya putusan yang

memperbolehkan pemisahan dua pranata hukum yakni landas kontinen dan ZEE

di area sengketa tersebut.26

Sehingga pada wilayah landas kontinen Bangladesh

yang berimpitan dengan ZEE Myanmar tersebut, Myanmar dapat menikmati

25

Dispute Concerning Delimitation of the Maritime Boundary between Bangladesh and Myanmar

in the Bay of Bengal, Bangladesh v. Myanmar, 2012, ITLOS case number 16. 26

Khurshed Alam, Delimitation of Maritime Boundary between Bangladesh and Myanmar by the

ITLOS. The Northern University Journal of Law. Vol. 3. 2012. hal 14.

Page 26: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

12

haknya terhadap kolom air di Teluk Benggala, sedangkan Bangladesh memiliki

hak terhadap dasar laut dan tanah dibawahnya.27

Berdasarkan paparan di atas, terdapat kemungkinan adanya kemiripan

antara sengketa garis batas ZEE Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian

utara dengan kasus Bangladesh v. Myanmar di Teluk Benggala. Berangkat dari

permasalahan tersebut, maka potensi penerapan garis batas ZEE Indonesia dan

Malaysia di Selat Malaka bagian utara akan dibahas dengan merujuk pada kasus

Bangladesh v. Myanmar sebagai acuan maupun merujuk ke dalam ketentuan-

ketentuan KHL PBB 1982. Dengan demikian, maka perlu dilakukan analisis lebih

lanjut yang dituangkan ke dalam sebuah penelitian hukum.

I.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, adapun rumusan masalah yang akan diteliti

adalah sebagai berikut:

1. Apakah garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas landas

kontinen dalam proses delimitasi ZEE dapat diterapkan dalam sengketa garis

batas ZEE antara Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian utara?

2. Bagaimana implikasi dari penentuan garis batas ZEE yang tidak berimpitan

dengan garis batas landas kontinen dalam proses delimitasi ZEE Indonesia dan

Malaysia di Selat Malaka bagian utara?

I.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun maksud dan tujuan penelitian yang hendak dicapai penulis antara lain:

1. Untuk mengetahui dan memahami secara jelas apakah garis batas ZEE yang

tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen dalam proses delimitasi

27

Ibid.

Page 27: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

13

ZEE dapat diterapkan dalam sengketa garis batas ZEE antara Indonesia dan

Malaysia di Selat Malaka bagian utara.

2. Untuk memahami secara lebih mendalam bagaimana implikasi dari penentuan

garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen

dalam proses delimitasi ZEE Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian

utara.

I.4 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian dapat menghasilkan manfaat, baik dari segi teoritis

maupun praktis. Manfaat teoritis yang dapat diperoleh yakni membantu

pemahaman terhadap ilmu hukum pada umumnya dan hukum laut pada

khususnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam pengetahuan mengenai hukum laut. Dalam segi praktis,

penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa pemikiran bagi

pengajar hukum laut maupun praktisi. Serta memberikan pandangan dan masukan

kepada pemerintah dalam upaya menetapkan garis batas ZEE di Selat Malaka

bagian utara.

I.5 Metode Penelitian

Metode penelitian penting digunakan dalam melaksanakan suatu

penelitian agar penelitian tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Penelitian ini

akan dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode

ini menunjuk pada metode penelitian dengan menganalisis data dan

menghubungkannya dengan aturan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian

hukum kepustakaan.28

Dalam penelitian tersebut, teknik pengumpulan data yang

akan digunakan adalah studi kepustakaan, yakni menelaah sumber-sumber data

28

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, “Bahan Dasar yang Diteliti”, dalam buku Penelitian

Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hal 23.

Page 28: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

14

yang diperoleh yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data sekunder

diperoleh dari studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan dan mempelajari

sumber-sumber kepustakaan. Data sekunder yang akan digunakan terdiri dari:

Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berisi kaidah hukum yang

mengikat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan

meliputi Konvensi dan pelbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, sserta sumber-sumber hukum lain

yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisa dalam penelitian.

Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berisi kaidah hukum yang

tidak mengikat. Pada dasarnya bahan hukum sekunder digunakan untuk

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Bahan hukum

sekunder umumnya berupa doktrin, buku, dan jurnal hukum yang relevan dan

terkait dengan penelitian yang dilakukan.

Selain mempergunakan data sekunder yang telah disebutkan di atas, penulisan

hukum ini akan dilengkapi pula dengan data tambahan yang diperoleh dari

wawancara dengan narasumber Bapak Sora Lokita, selaku Kepala Bidang

Perundingan Batas Maritim dan Penyelesaian Sengketa, Kementerian Koordinator

Bidang Kemaritiman Republik Indonesia.

I.6 Sistematika Penulisan

Bagian ini menjelaskan sistematika penulisan laporan secara utuh ke

dalam 5 (lima) bab, antara lain:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab I merupakan bab yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,

maksud dan tujuan penelitian, metode penelitian yang akan digunakan, serta

sistematika penulisan.

Page 29: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

15

BAB II: METODE DELIMITASI ZONA MARITIM

Bab II akan berisi penjelasan secara rinci mengenai macam-macam metode

delimitasi secara umum termasuk penerapan garis batas ZEE yang tidak

berimpitan dengan garis batas landas kontinen mengacu pada putusan ITLOS

dalam kasus delimitasi ZEE Bangladesh v. Myanmar di Teluk Benggala.

BAB III: ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA-MALAYSIA DI

SELAT MALAKA

Bab III akan menjelaskan secara detail mengenai ZEE secara umum beserta

pengaturannya dan ZEE Indonesia-Malaysia di Selat Malaka bagian utara

meliputi posisi dan letak zona maritim kedua negara, pengaturan-pengaturan yang

telah dibuat oleh kedua negara tersebut, serta potensi-potensi yang timbul dalam

penggunaan metode delimitasi pada proses delimitasi ZEE antara Indonesia dan

Malaysia di Selat Malaka bagian Utara.

BAB IV: PENENTUAN GARIS BATAS ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

YANG TIDAK BERIMPITAN DENGAN GARIS BATAS LANDAS

KONTINEN PADA PROSES DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

INDONESIA-MALAYSIA DI SELAT MALAKA BAGIAN UTARA

Bab IV akan menjelaskan analisis mengenai potensi penentuan garis batas ZEE

yang tidak berimpitan dengan garis batas landas kontinen untuk menetapkan garis

batas ZEE Indonesia dan Malaysia di Selat Malaka bagian utara serta membahas

konsekuensi dari penerapan garis batas ZEE yang tidak berimpitan dengan garis

batas landas kontinen tersebut.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Page 30: UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN FAKULTAS HUKUM …

16

Bab ini merupakan bagian terakhir yang akan berisi suatu kesimpulan atas hasil

penelitian bersamaan dengan jawaban atas permasalahan yang akan diteliti. Selain

itu, penulis juga akan memberikan beberapa saran untuk menyelesaikan persoalan

hukum yang dibahas dalam penelitian.