27
Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kronis 2.1.1 Definisi Penyakit Kronis Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama , yakni lebih dari 6 bulan (Sarafino, 2006). Penyakit kronis merupakan suatu kondisi yang memiliki durasi penyakit yang lama dan umumnya perkembangannya lambat (WHO, 2012). Anderson (2010, dalam Goodman 2013) menambahkan bahwa kondisi kronis mungkin membutuhkan perawatan medis dalam menangani masalah kesehatannya sehingga membatasi apa yang dapat ia lakukan (Anderson 2010, dalam Goodman 2013). 2.1.2 Karakteristik Penyakit Kronis Menurut McKenna dan Collins (2010 dalam Goodman et. al. 2013) penyakit kronis pada umumnya memiliki karakteristik seperti berikut ini : a. Penyebabnya belum pasti; b. Multiple faktor resiko; c. Periode laten yang panjang; d. Nyeri berkepanjangan; e. Ketidakmampuan atau gangguan fisiologis 2.1.3 Tipe-tipe Penyakit Kronis Berdasarkan pada faktor keberbahayaan dan tingkat ketidaknyamanan yang dirasakan, Dennis Turk, Donald Meichenbaum, dan Myles Genest (dalam Sarafino, 2006) menggambarkan tiga tipe penyakit kronis, yakni:

Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Embed Size (px)

Citation preview

Universitas Sumatera Utara

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Kronis

2.1.1 Definisi Penyakit Kronis

Penyakit kronis merupakan jenis penyakit degeneratif yang berkembang

atau bertahan dalam jangka waktu yang sangat lama , yakni lebih dari 6 bulan

(Sarafino, 2006). Penyakit kronis merupakan suatu kondisi yang memiliki

durasi penyakit yang lama dan umumnya perkembangannya lambat (WHO,

2012). Anderson (2010, dalam Goodman 2013) menambahkan bahwa kondisi

kronis mungkin membutuhkan perawatan medis dalam menangani masalah

kesehatannya sehingga membatasi apa yang dapat ia lakukan (Anderson

2010, dalam Goodman 2013).

2.1.2 Karakteristik Penyakit Kronis

Menurut McKenna dan Collins (2010 dalam Goodman et. al. 2013)

penyakit kronis pada umumnya memiliki karakteristik seperti berikut ini : a.

Penyebabnya belum pasti; b. Multiple faktor resiko; c. Periode laten yang

panjang; d. Nyeri berkepanjangan; e. Ketidakmampuan atau gangguan

fisiologis

2.1.3 Tipe-tipe Penyakit Kronis

Berdasarkan pada faktor keberbahayaan dan tingkat ketidaknyamanan

yang dirasakan, Dennis Turk, Donald Meichenbaum, dan Myles Genest

(dalam Sarafino, 2006) menggambarkan tiga tipe penyakit kronis, yakni:

36 Universitas Sumatera Utara

a. chronic recurrent pain yang ditandai oleh adanya pengulangan dan episode

rasa sakit yang dipisahkan dengan periode tanpa rasa sakit (seperti migrain

dan tension type headache); b. chonic intracable beningn pain yang ditandai

oleh ketidaknyamanan yang dirasakan sepanjang waktu dengan tingkat

bervariasi, namun bukan merupakan kondisi yang berbahaya (seperti nyeri

pinggang kronis); c. chronic progressive pain yang ditandai oleh

ketidaknyamanan berkelanjutan yang merupakan kondisi berbahaya, dimana

rasa sakit akan semakin meningkat saat kondisi semakin memburuk seperti

rheumatoid arthritis dan kanker (Sarafino, 2006).

2.1.4 Fase-fase Penyakit Kronis

Menurut Brunner & Suddarth (2010) ada sembilan fase dalam penyakit

kronis, yaitu :

a. Fase pra-trajectory, yaitu individu berisiko terhadap penyakit kronis

karena faktor -faktor genetik atau gaya hidup.

b. Fase trajectory, yaitu adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit

kronis. Fase ini sering tidak jelas karena pada fase ini individu sedang

dievaluasi dan dilakukan pemeriksaan diagnostik.

c. Fase stabil, yaitu terjadi ketika gejala -gejala dan perjalanan penyakit

terkontrol. Aktifitas dalam kehidupan sehari-hari dapat tertangani oleh

penderita dalam keterbatasan penyakit.

d. Fase tidak stabil, yaitu periode ketidakmampuan untuk mengontrol

gejala penyakit atau reaktivasi penyakit serta terdapat gangguan dalam

melakukan aktifitas sehari - hari.

Universitas Sumatera Utara

e. Fase akut, yaitu pada fase ini ditandai dengan adanya gejala -gejala

yang berat dan tidak dapat pulih atau penyakit sudah mencapai

komplikasi sehingga membutuhkan perawatan di rumah sakit.

f. Fase krisis, yaitu fase yang ditandai dengan situasi kritis atau

mengancam jiwa penderitanya yang membutuhkan pengobatan atau

perawatan kedaruratan.

g. Fase pulih yaitu pulih kembali namun gaya hidup yang diterima

berada dalam keterbatasan karena dibebani oleh penyakit kronis.

h. Fase penurunan, yaitu terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang

disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam

mengatasi gejala – gejala yang datang kembali.

i. Fase kematian, yaitu hari-hari terakhir atau 1 minggu sebelum

kematian. Pada fase ini ditandai dengan penurunan bertahap atau cepat

fungsi tubuh dan berakhirnya hubungan individual.

2.1.5 Dampak Psikososial Penderita Penyakit Kronis

Menurut George (2005) mengatakan bahwa psikososial merupakan keadaan

pikiran serta perilaku individu atau kelompok. Karabulutlu, Bilici, Cayir, Tekin

dan Kantarci (2010) sebelumnya menjelaskan bahwa penderita penyakit kronis

bukan hanya memberikan gangguan fisik pada penderitanya namun juga

memberikan efek psikososial yang negatif. Hurlock (1996) membagi kelompok

umur masa dewasa kedalam 3 periode sesuai dengan perkembangan psikologisnya

sehingga diketahui akan respon individu terhadap suatu penyakit, yaitu dewasa

awal (20 - 40 tahun), usia pertengahan (40 - 60 tahun), dan usia lanjut (60 –

Universitas Sumatera Utara

meninggal). Pada masa dewasa awal, individu mengalami perubahan fisik dan

psikologis namun masih dalam kondisi stabil, bersamaan dengan masalah-

masalah penyesuaian diri dan harapan-harapan terhadap perubahan tersebut.

Dewasa madya (usia pertengahan) 40-60 tahun terjadi penurunan fungsi fisik dan

psikologis sehingga pada fase ini mulai muncul gejala-gejala penurunan fungsi

tubuh, sedangkan pada usia lanjut 60- meninggal kemampuan fisik dan psikologis

cepat menurun. Dampak psikososial akan penyakit kronis dipandang dari

kelompok umur akan selalu bervariasi, hal tersebut diakibatkan adanya penurunan

fungsi dan psikologis sehingga mempengaruhi penerimaan individu terhadap

suatu penyakit yang dideritanya. Berbagai kondisi psikososial pada penderita

penyakit kronis dari berbagai penelitian adalah sebagai berikut:

a. Pasien Kanker

Kanker menyerang siapa saja dan membahayakan kesehatan seseorang

dimana sel-sel membelah secara abnormal tanpa terkontrol dan menyerang

jaringan disekitarnya dan menyebabkan kematian. Salah satu penanganan

kanker adalah dengan menjalani pengobatan kemoterapi dimana pasien

tersebut akan mengalami masalah psikologis sebagai efek dari perjalanan

kanker atau efek dari kemoterapi yang dapat memperkecil peluang

kesembuhan sehingga memunculkan keinginan penderitanya untuk

menghentikan kemoterapi (Bintang, Ibrahim, Emaliyawati, 2012)

Penelitian Oetami, F., Thaha I. L., dan Wahiduddin (2014) pada 25

pasien penderita kanker payudara menjelaskan bahwa pasien kanker

Universitas Sumatera Utara

payudara mengalami dampak psikologis berupa ketidakberdayaan (68%)

dan kecemasan (84%).

b. Pasien Diabetes Mellitus

Perubahan yang besar terjadi pada seseorang yang mengidap penyakit

diabetes mellitus. Seseorang yang mengalami diabetes mellitus harus

melakukan banyak sekali penyesuaian diri dalam kehidupannya, seperti

tidak boleh mengkonsumsi makanan dengan sembarangan, cek gula darah

yang rutin, serta treatmen dan pemakaian obat secara rutin (Sholihah,

2009).

Saat seseorang didiagnosis menderita diabetes melitus maka respon

emosional yang biasanya muncul yaitu penolakan, kecemasan dan depresi,

tidak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain. Penderita diabetes melitus

memiliki tingkat depresi dan kecemasan yang tinggi, yang berkaitan

dengan treatmen yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi serius.

Depresi yang dialami penderita berkaitan dengan treatmen yang harus

dijalani seperti diet atau pengaturan makan, pemeriksaan kadar gula darah,

konsumsi obat dan juga olahraga. Selain itu, risiko komplikasi penyakit

yang dapat dialami penderita juga menyebabkan terjadinya depresi

(Taylor, 1995).

c. Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Penyakit ginjal kronik memiliki dampak yang signifikan pada aspek

psikologis. Beberapa penyebab kondisi tersebut adalah akibat efek

samping pengobatan, yaitu imobilitas dan kelelahan terkait

Universitas Sumatera Utara

ketidakmampuan untuk bekerja, disfungsi seksual, takut mati dan

ketergantungan pada mesin untuk hidup. Hal tersebut sangat

mempengaruhi kualitas hidup pasien yang menjalani hemodialisis

sehingga berujung terjadinya depresi.

Depresi merupakan permasalahan psikiatri terbanyak pada pasien yang

menjalani hemodialisis. Gejala depresi terdapat pada 30% pada pasien

yang menjalani hemodialisis. Gejala depresi ini berhubungan dengan

peningkatan mortalitas dan penurunan kualitas hidup dari pasien yang

menjalani hemodialisis (Amalia, Nadzmir, Azmi, 2015).

d. Pasien Penyakit Jantung

Pada kebanyakan pasien dengan penyakit jantung, depresi merupakan

keadaan yang umum terjadi, persisten dan kurang disadari. Gangguan

nafsu makan, konsentrasi, tidur, dan energi, depresi yang nyata (dengan

mood depresi yang persisten atau anhedonia) merupakan konsekuensi

yang tidak normal dari penyakit jantung.

Cemas juga umum terjadi pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler

akut. Peningkatan level cemas yang dilaporkan sendiri mencapai 20%-

50% pada pasien dengan infark miokard akut, dengan seperempatnya

mengalami gejala cemas yang sama dengan yang dialami pasien di unit

psikiatri (Widiyanti, 2010)

Universitas Sumatera Utara

2.2 Resiliensi

2.2.1 Definisi Resiliensi

Secara harfiah resiliensi berasal dari kata resile yang berarti bangkit atau

bangkit kembali. Definisi mengenai resiliensi kian berkembang dan

bervariasi. Pada awalnya, resiliensi dianggap sebagai sifat kepribadian yang

bekerja setelah mereka mengalami peristiwa traumatis dalam hidup (Klohnen,

1996 dalam Herrmann et al., 2011).

Salah satu ahli yang melihat resiliensi sebagai sifat adalah Newman

(2005), yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan seseorang

untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, serta stressor

dalam hidup yang bersifat signifikan. Resiliensi merupakan konsep yang

bersifat multidimensional dimana tidak ada sifat kepribadian atau

karakteristik yang disebut sebagai resiliensi. Resiliensi lebih diasosiasikan

dengan kemampuan menjaga hubungan dengan orang lain, menjaga

pandangan yang optimis terhadap kehidupan, memiliki tujuan, dan

mengambil langkah untuk mencapainya hingga mencapai individu yang

percaya diri (Luthar & Cichetti, 2000 dalam Newman, 2005).

Henderson & Milstein (2003 dalam Nasution, 2011) juga mendefinisikan

resiliensi sebagai suatu kemampuan individu untuk bangkit dari pengalaman

negatif, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani proses

penanggulangannya. Menurut penilitian Masten (2001 dalam Newman,

2005), tingkah laku yang banyak dikaitkan dengan resiliensi bukanlah tingkah

laku yang luar biasa melainkan yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Universitas Sumatera Utara

Bahkan menurutnya, anak-anak yang mengalami kesulitan hidup selama

tahap perkembangannya pun masih mampu untuk mengatasi hal tersebut

seperti layaknya orang dewasa. Maka pada dasarnya resiliensi dimiliki semua

orang bahkan anak-anak.

Kemudian sejalan dengan pandangan diatas, Herrmann et al. (2011),

mengatakan bahwa meskipun definisi resiliensi berkembang seiring waktu,

namun secara fundamental resiliensi dapat dipahami sebagai adaptasi positif,

atau kemampuan untuk menjaga atau mengembalikan kesehatan mental

setelah menghadapi hambatan. Menurutnya resiliensi bukanlah suatu hal yang

menetap, melainkan suatu hal yang dinamis dan berkembang sepanjang

kehidupan manusia, serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Wagnild dan Young (1993) sebelumnya juga menemukan bahwa

resiliensi merupakan suatu hal yang dinamis, tepat suatu kekuatan dalam diri

individu sehingga mampu beradaptasi dalam menghadapi kondisi sulit dan

kemalangan yang menimpanya.

Hampir semua manusia mengalami kesulitan dan jatuh dalam perjalanan

hidup, namun mereka memiliki ketahanan untuk bangkit dan melanjutkan

hidupnya. Kemampuan untuk bangkit dan terus melanjutkan hidup ini disebut

resiliensi. Penelitian Wagnild dan Young (1993) menemukan bahwa resiliensi

dapat menjadi faktor protektif dari munculnya depresi, kecemasan, ketakutan,

perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif lainnya sehingga

memiliki potensi untuk mengurangi efek fisiologis yang mungkin muncul.

Selanjutnya, individu yang resilien disebut sebagai individu yang berorientasi

Universitas Sumatera Utara

pada tujuan dimana hal tersebut akan mendorongnya untuk selalu bangkit dan

terus maju ketika menghadapi kesulitan. Ia juga mengetahui kekuatan yang

dimiliki dirinya, serta bahwa ia dapat bergantung pada dirinya sendiri untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan, meskipun harus menyelesaikannya sendiri.

Untuk itu, Wagnild dan Young menekankan bahwa semua individu sangat

membutuhkan kemampuan yang dapat dikembangkan melalui lima

komponen resiliensi yaitu kebermaknaan, ketenangan hati, ketekunan,

kemandirian dan eksistensi kesendirian.

Definisi yang dikemukakan oleh Wagnild dan Young (1993) seperti yang

dipaparkan diatas tidak hanya melihat resiliensi sebagai suatu hal yang

dinamis dan dapat dikembangkan sepanjang kehidupan manusia, melainkan

juga memberikan pemahaman yang menyeluruh mengenai lima komponen

yang mendasari resiliensi itu sendiri.

2.2.2 Bangunan resiliensi

Menurut Nasution (2011) resiliensi memiliki konstruk yang bi-

dimensional, yaitu:

a. Mengalami kesengsaraan berkepanjangan, seseorang telah mencapai

resiliensi apabila ia pernah mengalami suatu kejadian yang

menyebabkan penderitaan hidup yang berkepanjangan.

b. Perwujudan dari keberhasilan beradaptasi bila berhadapan dengan

resiko seseorang dapat dikatakan telah mencapai resiliensi apabila ia

telah berhasil bangkit dari penderitaan hidup yang ia alami.

Universitas Sumatera Utara

Dimensi tersebut menjelaskan bahwa penjelasan tentang resiliensi selalu

melibatkan adanya kesulitan sebagai faktor resiko dan adanya adaptasi positif

sebagai reaksi dalam menghadapi resiko.

2.2.3 Komponen Resiliensi

Adapun komponen resiliensi menurut Wagnild dan Young (1993) adalah

sebagai berikut :

a. Kebermaknaan (Meaningfulness)

Kebermaknaan merupakan suatu kesadaran hidup memiliki tujuan,

dimana diperlukan suatu usaha untuk mencapai tujuan tersebut. Komponen

ini adalah yang menjadi dasar dari keempat komponen lainnya sekaligus

menjadikan komponen-komponen terpenting dari resiliensi itu sendiri. Hal

ini dikarenakan tanpa tujuan akan menjadi sia-sia dan tidak bermakna.

Menurutnya, akan sangat sulit untuk menjalani hidup tanpa tujuan yang

baik, karena tujuan tersebut yang akan membantu setiap individu yang

mengalami kesulitan ataupun mendorong untuk maju.

b. Ketenangan hati (Equanimity)

Ketenangan hati merupakan suatu perspektif mengenai keseimbangan

dan harmoni yang dimiliki individu yang berkaitan tentang hidup

berdasarkan pengalaman yang terjadi masa hidupnya. Para individu yang

resilien telah memahami bahwa hidup bukanlah sebatas hal yang baik dan

buruk. Mereka mampu untuk memperluas perspektifnya sehingga dapat

lebih fokus pada aspek positif daripada negatif dari setiap kejadian dalam

hidupnya. Selain itu mereka pun telah belajar untuk tidak menunjukkan

Universitas Sumatera Utara

respon yang ekstreem dan sikap tenang. Hal tersebut menjadikan individu

yang resilien sebagai individu yang optimis, karena bahkan pada situasi

yang sulit mereka mampu melihat kesempatan untuk tidak menyerah dan

menemukan jalan keluar. Baik pengalaman diri sendiri maupun orang lain

pun dapat dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi mereka. Dalam

komponen ini juga termasuk adanya humor pada individu yang resilien.

Mereka mampu menertawai diri sendiri maupun lingkungannya ketika

berada pada situasi yang relevan.

c. Ketekunan (Perseverance)

Ketekunan yaitu suatu tindakan untuk bertahan meskipun harus

menghadapi tantangan dan kesulitan. Selain itu, memiliki komponen

ketekunan juga berarti bahwa seseorang bersedia untuk berjuang untuk

menyusun kembali hidupnya dan disiplin terhadap dirinya sendiri. Secara

umum, resiliensi melibatkan komponen ketekunan karena pada dasarnya

konsep ini merupakan sebuah kemampuan untuk bangkit ketika seseorang

telah jatuh. Dalam mencapai tujuan hidup, sering kali kita bertemu dengan

hambatan, kesulitan bahkan kegagalan. Kondisi ini sangat mendorong

seseorang untuk menyerah. Namun demikian, individu yang resilien akan

terus bertahan untuk terus berjuang sampai akhir. Salah satu cara untuk

membangun ketahanan ini adalah dengan menekuni rutinitas yang positif

dan membuat tujuan realistis dalam hidup.

Universitas Sumatera Utara

d. Kemandirian (Self-Reliance)

Kemandirian yaitu keyakinan individu terhadap diri serta kemampuan

yang ia miliki. Melalui berbagai pengalaman, baik itu kesuksesan maupun

kegagalan, individu yang resilien belajar untuk mengatasi masalahnya

sendiri. Keterampilan tersebut yang kemudian memunculkan rasa percaya

akan kemampuan dirinya sendiri. Mereka secara berkesinambungan

menggunakan, mengadaptasi, memperkuat, serta memperbaiki

keterampilan tersebut sepanjang hidupnya. Selain itu, kemandirian juga

merupakan kemampuan individu untuk bergantung pada dirinya serta

mengenali kekuatan dan keterbatasan yang ia miliki.

e. Eksistensial kesendirian (Existential aloneness)

Eksistensial kesendirian merupakan suatu kesadaran bahwa jalan hidup

setiap orang bersifat unik serta mampu menghargai keberadaan dirinya

sendiri. Individu yang resilien mampu berteman dengan dirinya sendiri

dalam artian merasa puas, nyaman, dan menghargai keunikan yang ada

pada dirinya. Komponen eksistensial kesendirian menunjukkan bahwa

individu yang resilien mampu untuk merasa nyaman atas kondisi dirinya

sendiri. Mereka menghargai dirinya dan sadar penuh bahwa ia memiliki

banyak hal yang dapat dikontribusikan untuk lingkungan sekitarnya.

Mereka pun tidak merasakan tekanan untuk melakukan konformitas

dengan lingkungannya. Karakteristik eksistensial kesendirian bukan berarti

tidak menghiraukan pentingnya berbagi pengalaman dan merendahkan

orang lain, melainkan menerima diri sendiri apa adanya.

Universitas Sumatera Utara

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Resiliensi

Faktor-faktor yang memengaruhi resiliensi terbagi menjadi faktor risiko

dan faktor protektif. Adapun faktor-faktor tersebut menurut Nasution (2011)

adalah sebagai berikut :

a. Faktor resiko

Faktor resiko dalam kehidupan dapat berasal dari berbagai sumber,

yaitu sumber internal dan eksternal dalam keluarga dan dari dalam diri

sendiri. Berbagai faktor resiko yang dapat disandangkan pada individu

antara lain sebagai berikut: a. anggota dari kelompok berisiko tinggi,

misalnya anak-anak dari keluarga yang serba kekurangan dalam kebutuhan

materialnya serta hidup dalam kemelaratan; b. tumbuh dilingkungan yang

penuh kekerasan atau tercerabut; c. terlahir memiliki cacat fisik,

mengalami trauma fisik atau penyakit; d. mengalami kondisi penuh

tekanan dalam jangka waktu yang lama, misalnya mengalami disfungsi

dalam keluarga atau anak-anak dari orang tua yang memiliki gangguan

mental; e. menderita trauma, misalnya kekerasan fisik atau seksual, atau

berada dalam situasi perang.

Pada dasarnya manusia menerjemahkan berbagai pengalaman hidup

tersebut secara berbeda. Hasil penelitian Reivich & Shatte (2002)

menunjukkan bahwa kebanyakan orang menganggap dirinya cukup

memiliki resiliensi, padahal sebenarnya kebanyakan orang tidak siap

secara emosional ataupun psikologis untuk menghadapi penderitaan.

Setiap orang berisiko putus asa dan merasa tidak berdaya, jadi tidak ada

Universitas Sumatera Utara

orang yang tidak membutuhkan resiliensi karena pada dasarnya setiap

manusia pernah, sedang, atau akan mengalami kesulitan dalam satu atau

beberapa area kehidupannya.

b. Faktor Protektif

Faktor protektif memainkan peran penting dalam memodifikasi efek

negatif lingkungan yang merugikan hidup dan membantu menguatkan

resiliensi. Penelitian terdahulu menunjukkan tiga perangkat variabel yang

berlaku sebagai faktor protektif yang mungkin menghalangi atau

menghentikan pengaruh kuat dari pengalaman yang merugikan. Faktor-

faktor ini meliputi karakteristik individu, lingkungan keluarga, dan konteks

sosial yang lebih luas.

Seperangkat faktor triarkik ini dapat dipahami sebagai sumber daya

psikososial yang mendukung atau meningkatkan perkembangan adaptif.

Individu yang dapat mendatangkan sumberdaya pribadi dan sosial dalam

jumlah banyak atau level yang tinggi akan lebih efektif dalam melakukan

koping terhadap kesulitan dibanding individu yang memiliki sumberdaya

yang sedikit. Faktor protektif ini dilaksanakan dalam tiga tingkat yaitu

pengaruh individu, keluarga, komunitas yang lebih luas dan dinamakan

kerangka triarkik dari resiliensi.

2.2.5 Manfaat Resiliensi

Hampir 15 tahun para ahli di Universitas Pensylvania melakukan penelitian

mengenai peran resiliensi terhadap kehidupan manusia. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa resiliensi sangat penting bagi kesuksesan dan kebahagiaan

Universitas Sumatera Utara

manusia. Sebagai tindak lanjut dari penelitian tersebut, para ahli kemudian

mengembangkan seperangkat keterampilan untuk membantu individu

mencapai tujuan hidupnya dengan cara meningkatkan kemampuan dengan

resiliensi. Kemampuan yang membuat mereka bangkit dari kesulitan dimana

biasanya kesulitan tersebut justru menyebabkan depresi maupun kecemasan

(Reivich dan Shatte, 2002).

Individu yang memiliki resiliensi yang baik mampu bangkit dari trauma

yang mereka alami. Mereka mencari pengalaman baru yang menantang bagi

diri mereka karena mereka telah belajar bahwa hanya melalui perjuangan yang

berat mereka akan mampu memperluas wawasan mereka. Mereka memahami

bahwa kegagalan bukanlah titik akhir. Mereka tidak malu saat tidak berhasil,

tapi justru dapat mengambil makna dari kegagalan dan mereka menggunakan

pengetahuan tersebut untuk mencoba lebih baik dari yang pernah dilakukan

(Reivich dan Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte (2002) telah merintis dan menyelesaikan berbagai

penelitian dalam menolong anak-anak, pelajar dan karyawan agar mampu

mengembangkan resiliensi mereka. Hasilnya sangat mengesankan, salah satu

penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi partisipan

menggunakan keterampilan yang diajarkan dan tingkat depresi yang lebih

rendah dibandingkan kelompok kontrol.

Manusia membutuhkan resiliensi agar mampu bangkit dari kesulitan. Bila

biasanya kesulitan dapat menyebabkan depresi atau kecemasan, dengan

kemampuan resiliensi seseorang akan dapat mengambil makna dari kegagalan

Universitas Sumatera Utara

dan mencoba lebih baik dari yang pernah ia lakukan, sehingga menurunkan

resiko depresi atau kecemasan.

2.2.6 Tujuh Faktor Resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang

membentuk resiliensi, yaitu regulasi emosi, pengendalian impuls, optimisme,

empati, analisis penyebab masalah, efikasi diri, dan reaching out. Hampir tidak

ada satupun individu yang secara keseluruhan memiliki tujuh kemampuan

tersebut dengan baik.

a. Regulasi Emosi

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi

yang menekan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang yang kurang

memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami kesulitan dalam

membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini bisa

disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana

adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang

marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang

dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain.

Semakin kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin

menjadi seorang yang pemarah. Individu yang memiliki kemampuan untuk

mengatur emosinya dengan baik dan memahami emosi orang lain akan

memiliki harga diri dan hubungan yang lebih baik dengan orang lain

(Reivich & Shatte, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Emosi yang dirasakan oleh individu tidak semua harus dikontrol, dan

tidak semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus

diminimalisir. Hal ini dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita

rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruksif

dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat

merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang

akan membantu individu untuk dapat mengontrol emosi yang tidak

terkendali, menjaga fokus pikiran individu ketika banyak hal-hal yang

mengganggu, serta mengurangi stres yang dialami oleh individu, yaitu

tenang dan fokus

a) Tenang

Individu dapat mengurangi stres yang mereka alami dengan cara

merubah cara berpikir ketika berhadapan dengan stressor. Meskipun

begitu seorang individu tidak akan mampu untuk menghindar dari

keseluruhan stres yang dialami, diperlukan cara untuk membuat diri

mereka berada dalam kondisi tenang ketika stres menghadang.

Keterampilan ini adalah sebuah kemampuan untuk meningkatkan kontrol

individu terhadap respon tubuh dan pikiran ketika berhadapan dengan

stres dengan cara relaksasi. Dengan relaksasi individu dapat mengontrol

jumlah stres yang dialami. Ada beberapa cara yang dapat digunakan

untuk relaksasi dan membuat diri kita berada dalam keadaan tenang,

yaitu dengan mengontrol pernapasan, relaksasi otot serta dengan

Universitas Sumatera Utara

menggunakan teknik positive imagery, yaitu membayangkan suatu

tempat yang tenang dan menyenangkan.

b) Fokus

Keterampilan untuk fokus pada permasalahan yang ada memudahkan

individu untuk menemukan solusi dari permasalahan yang ada (Reivich

& Shatte, 2002). Setiap permasalahn yang ada akan berdampak pada

timbulnya permasalahan-permasalahan baru. Individu yang fokus mampu

untuk menganalisa dan membedakan antara sumber permalasahan yang

sebenarnya dengan masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari

sumber permasalahan. Pada akhirnya individu juga dapat mencari solusi

yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang ada. Hal ini tentunya

akan mengurangi stres yang dialami oleh individu.

b. Pengendalian Impuls

Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich & Shatte, 2002), penulis dari

Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu

dalam pengendalian impuls. Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak

kecil yang berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak

tersebut masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada

masing-masing ruangan tersebut telah terdapat peneliti yang menemani

anak-anak tersebut. Masing- masing peneliti telah diatur untuk

meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa selang waktu. Sebelum

peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah marshmallow untuk

dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan apabila mereka

Universitas Sumatera Utara

dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow tersebut sampai peneliti

kembali ke ruangan tersebut, maka mereka akan mendapatkan satu buah

marshmallow lagi.

Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak

tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak

memakan marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi

yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam

Reivich & Shatte, 2002).

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan

keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri

(Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan

pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang

pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka

menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan

berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat

orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada

buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain.

Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya

kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada

permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002), pencegahan

dapat dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan

mengevaluasi kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah.

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan

Universitas Sumatera Utara

kemampuan regulasi emosi yang dimiliki. Seorang individu yang memiliki

skor resiliensi yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki

skor resiliensi pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte, 2002)

c. Optimisme

Individu yang resilien adalah individu yang optimis (Reivich & Shatte,

2002). Optimisme adalah ketika kita melihat bahwa masa depan kita

cemerlang (Reivich & Shatte, 2002). Mereka memiliki harapan terhadap

masa depan mereka dan mereka percaya bahwa merekalah pemegang

kendali atas arah hidup mereka. Individu yang optimis memiliki kesehatan

yang lebih baik, jarang mengalami depresi, serta memiliki produktivitas

kerja yang tinggi, apabila dibandingkan dengan individu yang cenderung

pesimis.

Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa

individu tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk

mengatasi kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga

merefleksikan efikasi diri yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan

individu bahwa ia mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan

mengendalikan hidupnya. Optimisme akan menjadi hal yang sangat

bermanfaat untuk individu bila diiringi dengan efikasi diri, hal ini

dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang inividu terus didorong

untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja keras demi kondisi

yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

Universitas Sumatera Utara

Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis,

yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan yang lebih baik

dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut. Berbeda

dengan optimisme yang tidak realistis dimana kepercayaan akan masa depan

yang cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk

mewujudkannya. Perpaduan antara optimisme yang realistis dan efikasi diri

adalah kunci resiliensi dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Efikasi diri

Efikasi diri adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil. Efikasi

diri merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan

masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan (Reivich & Shatte,

2002). Dalam keseharian, individu yang memiliki keyakinan pada

kemampuan mereka untuk memecahkan masalah akan tampil sebagai

pemimpin, sebaliknya individu yang tidak memiliki keyakinan terhadap

efikasi diri mereka akan selalu tertinggal dari yang lain.

e. Analisis penyebab masalah

Analisis penyebab masalah merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka

hadapi. Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari

permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat

kesalahan yang sama.

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibilitas

kognitif. Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang

Universitas Sumatera Utara

menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah

satu gaya berpikir explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen

maupun pervasif. Individu yag resilien tidak akan menyalahkan orang lain

atas kesalahan yang mereka perbuat demi menjaga harga diri mereka atau

membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada

faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka

memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah,

perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan

hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

f. Empati

Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki

hubungan sosial yang positif (Reivich & Shatte, 2002). Ketidakmampuan

berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan sosial

individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk peka terhadap

tanda-tanda nonverbal tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi

orang lain, merasakan apa yang dirasakan orang lain dan memperkirakan

maksud dari orang lain. Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-

tanda nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks

hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan

dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang

rendah cenderung mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak

resilien, yaitu menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain

(Reivich & Shatte, 2002).

Universitas Sumatera Utara

g. Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari

sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi

kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi

juga merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan

setelah kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).

Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini

dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin

menghindari kegagalan dan situasi yang memalukan. Mereka adalah

individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar

dibandingkan harus meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan

resiko kegagalan hidup dan hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan

kecenderungan individu untuk berlebih-lebihan dalam memandang

kemungkinan hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-

individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan kemampuan

mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini memberikan batasan bagi diri

mereka sendiri, atau dikenal dengan istilah halangan diri.

2.2.7 Sumber Pembentukan Resiliensi

Grotberg (1995) menyebutkan upaya mengatasi kondisi-kondisi sulit dan

mengembangkan resiliensi sangat tergantung pada pemberdayaan tiga faktor

dalam diri, disebut sebagai tiga sumber dari resiliensi, yaitu I have, I am, dan I

can.

Universitas Sumatera Utara

I have (aku punya) merupakan sumber resiliensi yang berhubungan dengan

pemaknaan remaja terhadap besarnya dukungan yang diberikan oleh

lingkungan sosial terhadap dirinya.Sumber I have ini memiliki beberapa

kualitas yang memberikan sumbangan bagi pembentukan resiliensi, yaitu : a.

hubungan yang dilandasi oleh kepercayaan penuh; b. struktur dan peraturan di

rumah; c. model-model peran; d. dorongan untuk mandiri; e. akses terhadap

layanan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan.

I am (aku ini) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan dengan

kekuatan pribadi yang dimiliki oleh remaja, yang terdiri dari perasaan, sikap

dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi yang mempengaruhi I am

adalah : a. disayang dan disukai banyak orang; b. mencinta, empati, dan

kepedulian pada orang lain; c. bangga dengan dirinya sendiri; d. bertanggung

jawab terhadap perilaku sendiri dan menerima konsekuensinya; e. percaya diri,

optimistik, dan penuh harap.

I can (aku dapat) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa saja

yang dapat dilakukan oleh remaja sehubungan dengan keterampilan-

keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan ini meliputi : a.

Berkomunikasi; b. memecahkan masalah; c. mengelola perasaan-perasaan dan

impuls; d. mengukur temperamen sendiri dan orang lain; e. menjalin hubungan

yang saling mempercayai. Grotberg (1995) menyimpulkan bahwa sumber

resiliensi ada dari dukungan eksternal (I have), mengembangkan kekuatan

batin (I am), dan interpersonal dan keterampilan pemecahan masalah (I can),

Universitas Sumatera Utara

Susanto (2013) menjelaskan mekanisme koping yang digunakan oleh

individu dapat mempengaruhi resiliensi. Individu yang lebih aktif dalam

menggunakan strategi koping secara fleksibel ketika stres kemungkinan besar

akan berhasil dalam menghadapi stres, dan hal tersebut menunjukkan bahwa

individu tersebut mempunyai resilien yang baik. Semakin tinggi kemampuan

koping maka semakin tinggi resiliensi, demikian juga sebaliknya semakin

rendah tingkat kemampuan koping maka semakin rendah resiliensi. Remaja

yang mempunyai kemampuan koping yang baik, mereka akan berusaha

menyelesaikan masalahnya dengan baik, tidak mudah menyerah dan mampu

menghadapi keadaan yang sangat sulit sekalipun. Allen dan Leary tahun 2010

(dalam Susanto, 2013) mengungkapkan bahwa Individu memiliki kematangan

dalam koping yang tinggi maka akan cenderung pada problem-focused coping

(PFC) saat ia bermasalah, sebaliknya seseorang yang memiliki kematangan

dalam koping yang relatif rendah maka akan lebih cenderung menggunakan

emotional-focused coping (EFC) dalam penyelesaian masalahnya.

2.2.8 Pengukuran Resiliensi

Berikut beberapa alat ukur atau skala yang dikembangkan oleh peneliti

untuk menilai kemampuan seseorang dalam menghadapi bentuk-bentuk situasi

yang menekan.

a. The Brief Resilience Scale

Brief Resilience Scale (BRS) didesain oleh Smith dan rekan-rekannya

sebagai pengukuran hasil untuk menilai kemampuan untuk bangkit kembali

atau pulih dari stres (Windle dalam Wardani, 2014). BRS yang terdiri dari

Universitas Sumatera Utara

enam item ini dikembangkan untuk menentukan apakah resiliensi dapat

dinilai sebagai kemampuan bangkit kembali dari stres, berkaitan dengan

sumber-sumber resiliensi, dan apakah berkaitan dengan dampak kesehatan

(Smith dalam Wardani, 2014).

b. Resiliency Quotient (RQ)

Reivich dan Shatte (2002) mengembangkan tes Resiliency Quotient

(RQ) untuk mengukur dimana individu berada pada tujuh faktor

kemampuan resiliensi. Menurutnya resiliensi bukanlah sifat. Resiliensi

berada pada garis kontinum, tidak peduli dimana individu terjatuh pada

garis kontinum tersebut, maka ia dapat menaikkan resiliensinya dengan

meningkatkan kemampuan dalam menghadapi tantangan hidup dengan

tabah dan bersemangat.

c. The Connor-Davidson resilience Scale

Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) dikembangkan sebagai

penilaian singkat mengenai diri untuk membantu mengukur resiliensi

sebagai ukuran klinis untuk menilai respon terhadap treatment (Connor &

Davison, 2003). CD-RISC terdiri dari 25 item yang masing-masing itemnya

dikelompokkan ke dalam lima faktor, yaitu kompetensi personal,

kepercayaan penguatan stres, penerimaan terhadap perubahan dan hubungan

yang aman, kontrol serta pengaruh spiritual (Windle, dalam Wardani 2014).

d. Resilience Scale

Resilience Scale (RS) dikembangkan oleh Wagnild dan Young (1993).

Tujuan pengembangan yang dirancang untuk mengidentifikasi individu

Universitas Sumatera Utara

tangguh atau mereka yang memiliki kapasitas untuk ketahanan dalam

merawat, terdiri dari 25 item.

Berdasarkan hubungan antara pengertian dan jenis-jenis alat ukur yang

telah dipaparkan sebelumnya, peneliti dalam kesempatan ini memilih

Resilience Scale (RS). Alasan menggunakan RS dikarenakan skala ini mampu

mewakili tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian, yaitu menilai resiliensi

dari faktor protektif yang dianggap memfasilitasi dari munculnya depresi,

kecemasan, ketakutan, perasaan tidak berdaya, dan berbagai emosi negatif

lainnya (Wardani, 2014).