165
Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev Redaksi – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB CATATAN PENULIS***) Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira. Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur. Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… [] Dengan penuh hormat dan kebanggaan, kupersembahkan kepada anak keturunan dan keluarga besar Pangeran Diponegoro, semoga kemuliaan perjuangan Beliau menginspirasi hidup kita semua… PROLOG Plered, Jawa Tengah, 1647 APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani

Untold History of Pangeran Diponegoro

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Untold History of Pangeran Diponegoro

Untold History of Pangeran Diponegoro (1) – Edisi Rev

Redaksi – Minggu, 9 Desember 2012 13:17 WIB

CATATAN PENULIS***)Tahun 1647, Amangkurat I memancung kepala 6.000 ulama Jawa beserta keluarganya di alun-alun Kraton Plered, Yogyakarta. Syiar Islam di Tanah Jawa, paska era Wali Songo, pun mandeg. VOC, sekutu utama Raja Mataram itu, bergembira.

Lebih satu abad kemudian, Diponegoro mengobarkan jihad fi sabilillah untuk mengusir kaum kafir Belanda dan menegakkan panji syahadat di Tanah Jawa, dalam bentuk sebuah negara merdeka berasaskan Islam. Jihad fi sabilillah ini oleh sejarawan Belanda direduksi hanya sebagai perang sakit hati, yang hanya disebabkan perebutan tahta dan persoalan tanah makam leluhur.

Sejarah selalu berulang. Dan hari ini, episode Amangkurat I, Pangeran Diponegoro, Sentot Alibasyah, Kiai Modjo, dan Patih Danuredjo pun kembali terjadi. Dalam bentuk yang lebih canggih, tapi lakonnya tetaplah sama. Persis sama… []

 

Dengan penuh hormat dan kebanggaan,

kupersembahkan kepada anak keturunan

dan keluarga besar Pangeran Diponegoro,

semoga kemuliaan perjuangan Beliau

menginspirasi hidup kita semua…PROLOGPlered, Jawa Tengah, 1647

APA YANG SEKARANG DILIHAT DENGAN mata dan kepalanya sendiri sungguh-sungguh membuat Dyah Jayengsari ingin muntah. Dua jam lalu, kepala juru masak kraton menyuruhnya membakar panci besi tebal. Bentuknya seperti topi. Dyah Jayengsari tidak berani bertanya untuk apa panci besi itu dibakar. Sebagai orang baru di kraton, dia harus tahu diri. Walau diliputi tanda tanya besar, namun gadis dari Krapyak ini tidak berani bertanya macam-macam.

Page 2: Untold History of Pangeran Diponegoro

Setelah panci itu membara, berubah jadi pijar panas yang mengerikan, dua prajurit Mataram menggotongnya dengan sebuah gerobak kayu ke bagian selatan alun-alun yang tidak jauh dari tempat Dyah Jayengsari berdiri. Di sana berkerumun banyak orang. Para prajurit juga berjaga-jaga Menurut kabar burung, seorang pemberontak pengikut Pangeran Alit tertangkap. Dia akan segera dihukum. Gadis itu tidak tahu apa hubungannya dengan panci panas itu.

Didorong penasaran, dia berjalan mendekati kerumunan. Dengan susah payah Dyah Jayengsari menyibak kerumunan orang, hingga akhirnya dia berdiri dekat dengan seorang lelaki paruh baya, bertelanjang dada, yang sedang duduk bersimpuh dengan tangan terikat. Kedua matanya ditutup secarik kain hitam. Satu tombak di depan lelaki itu, terdapat sebuah lubang seukuran badan orang dewasa. Lima prajurit kraton berjaga di sampingnya.

Tanda tanya besar masih memenuhi kepala gadis itu.

Tiba-tiba seorang prajurit Mataram yang bertindak selaku algojo memerintahkan agar sang pesakitan dipendam di lubang yang ada di depannya. Lima orang prajurit bertubuh besar yang berjaga di sekeliling lelaki itu bergegas mengangkatnya. Dengan kasar mereka mengubur tubuh lelaki itu dari leher ke bawah.

Anehnya, lelaki itu tidak meronta-ronta. Ketika kain hitam dibuka, kedua matanya tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Sorot matanya begitu tenang, menyiratkan kepasrahan yang total pada kehendak Yang Maha Kuasa. Mulutnya terlihat komat-kamit membaca doa-doa dalam bahasa Arab.

Dari belakang, dua prajurit yang tadi ikut mengubur lelaki itu menggotong panci yang masih membara dan kemudian segera menangkupkan panci itu ke kepala sang pesakitan.

“Allahu Akbar!!!”

Lelaki itu melolong kesakitan. Begitu keras dan memilukan. Tak kuat menahan sengatan sakit yang luar biasa, lelaki itu langsung pingsan. ‘Topi besi panas’ itu melumerkan batok kepalanya. Suara gemerisik terdengar, seiring desis daging terbakar. Semua yang menonton menjerit ketakutan. Termasuk Dyah Jayengsari. Badan gadis itu menggigil hebat. Perutnya mual. Pandangan matanya berkunang-kunang. Kesadarannya mulai hilang. Dyah Jayengsari akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Page 3: Untold History of Pangeran Diponegoro

Gadis itu tiba-tiba tersadar. Dia menengok ke sekeliling ruangan. Tidak ada kerumunan orang. Dia ternyata sendirian di bilik tidurnya. Mimpi itu ternyata terulang kembali. Mimpi nyata yang pernah dilihatnya beberapa pekan lalu.

Dari atap rumbia yang bolong di sana-sini hingga menyisakan ruang bagi sorot matahari yang menerobos ke dalam, Dyah Jayengsari tahu bahwa hari masih siang. Arah sinarnya ke timur menandakan Sang Surya telah mulai tergelincir ke barat.

Entah mengapa, perasaan gadis itu tidak enak. Keringatnya mengucur deras membasahi bajunya. Jantungnya berdegup keras menggedor-gedor relung dadanya. Baru saja dia hendak berdiri, sebuah teriakan keras mengagetkan dirinya.

“Keluar! Atas nama Paduka Yang Mulia, semua yang ada di dalam rumah ini keluar!”

Dyah Jayengsari menggigil ketakutan. Gadis itu tahu, teriakan itu berasal dari prajurit kraton.

Gerangan apa yang membuat mereka ke sini?

“Cepat keluar! Atau kami dobrak!”

Sambil berjalan, Dyah Jayengsari merenggut kerudung yang tersampir di bilik bambu dinding kamar dan menutupi kepala sekadarnya. Gadis itu bergegas keluar. Rumah sepi. Hanya ada dirinya. Benar saja, di depan pintu telah berdiri tiga orang prajurit kraton lengkap dengan pedang dan tombak. Yang membuatnya kaget, ayahnya dan Wulung Ludhira-adik satu-satunya yang masih berusia sepuluh tahun-sudah berada di antara pasukan itu dengan pengawalan ketat.

“Siapa lagi yang ada di dalam!” hardik salah seorang prajurit. Tangan kanannya menggenggam tombak dengan ujung besi mirip trisula.

“Tidak ada lagi, Tuan. Saya sendirian…,” jawab Dyah pelan. Ketakutan segera menyergap dirinya. Tapi prajurit-prajurit kraton itu tidak percaya. Mereka mendobrak gubuk itu lalu menerabas ke dalam. Sesaat kemudian mereka keluar tanpa membawa siapa pun. Nihil.

“Dia benar. Tak ada lagi orang…”

Seorang prajurit yang sepertinya bertindak sebagai kepala regu memerintahkan semuanya pergi ke alun-alun. Dyah Jayengsari, ayah, serta adiknya hanya bisa mengikuti pasukan penjemputnya dengan menaiki seekor

Page 4: Untold History of Pangeran Diponegoro

kuda yang telah diikat tali. Untunglah gubuk mereka tidak begitu jauh dengan alun-alun, sehingga dalam waktu singkat mereka sudah tiba di lapangan yang luas, di mana di sebelah selatannya berdiri bangunan Kraton Plered yang belum rampung dibangun. Walau demikian, Raja Amangkurat I sudah menempatinya.

Kraton Mataram Plered merupakan kraton baru. Yang lama berada di Kerto, lima kilometer selatan Kotagede. Adalah Susuhunan Amangkurat I yang memindahkan pusat kerajaannya itu dari Kerto setelah dua tahun berkuasa.

Berbeda dengan kraton lama yang hanya berpagar kayu, maka kraton baru ini lebih mirip sebuah benteng. Bangunannya dikelilingi dinding batubata dan semen, dengan tinggi lima sampai enam meter. Tebalnya mencapai satu setengah meter. Sebuah parit buatan yang terhubung dengan Kali Opak dibuat mengelilingi kraton-benteng berbentuk belah ketupat ini, sehingga pusat kekuasaan Mataram di bawah Amangkurat I tampak seperti sebuah pulau di kelilingi daratan luas.

Alun-alun kraton ada dua, di utara dan selatan. Antara alun-alun dengan istana dihubungkan dengan sebuah jembatan yang selalu dijaga ketat prajurit kraton. Model keraton-benteng ini mengingatkan kita pada model istana-benteng raja-raja Eropa.

Hanya saja, bangunan Keraton Mataram di Plered tidak dibuat tinggi bertingkat-tingkat.

Dari atas kudanya yang berjalan lambat, Dyah Jayengsari, Wulung Ludhira, dan Ki Ageng Ludhira baru memasuki jalan utama menuju alun-alun kraton. Di sisi kanan dan kiri jalan utama yang lurus terbuat dari tanah yang dipadatkan, berjejer beringin putih setinggi empat sampai lima meteran. Di tiap pohon beringin, dua pasukan kraton bersenjatakan tombak berdiri dalam sikap siaga seolah tengah bersiap berperang.

“Ada apa gerangan, Nduk?” bisik Ki Ageng Ludhira kepada anaknya yang duduk di belakangnya mengapit Wulung.

Gadis itu menggelengkan kepalanya, “Aku ndak tahu, Pak. Tapi perasaanku ndak enak.”

“Berdoa saja ya, Nduk. Perasaanku juga tidak enak. Mudah-mudahan tidak terjadi suatu apa.”

Walau berkata begitu, tetapi kedua mata Ki Ageng Ludhira tidak bisa membohongi anaknya. Dyah Jayengsari tahu jika sesuatu yang buruk pasti

Page 5: Untold History of Pangeran Diponegoro

akan terjadi. Apa yang dilakukan prajurit-prajurit ini pasti atas perintah Susuhunan Amangkurat I. Dan semua yang dilakukan raja lalim ini semuanya pasti berakhir tragis. Karakter raja ini sangat buruk. Dia amat berbeda dengan ayahnya, Sultan Agung Hanyokrokusumah, dan juga dengan adik-adiknya. (bersambung/rz)

 

***) Para netters tercinta…Dengan sengaja redaksi tampilkan kembali seri novel Untold History of Pangeran Diponegoro, karena pada tampilan yang lalu kami masih gunakan frame work temporary yang kurang optimal dan baik. Dengan sistem IT kami yang hampir stabil, mohon maaf kami masukkan kembali serial tersebut agar kisah novel ini dapat dinikmati oleh lebih banyak netters..semoga saja kisah ini banyak diambil ibrah untuk tingkatkan keimanan, terimakasih…Redaksi

Di awal kekuasaannya, Amangkurat I melakukan pembersihan terhadap loyalis ayahnya

sendiri yang berada di dalam lingkungan kraton maupun di luar. Mereka dibunuh dengan

cara yang sangat keji. Jumlahnya mencapai tiga ribuan.

Menurut bisik-bisik orang kraton sendiri, Amangkurat I memiliki kegemaran yang tidak

lazim. Selain memiliki nafsu yang tak pernah terpuaskan terhadap perempuan-

perempuan muda, raja ini juga gemar menyiksa rakyatnya. Bahkan sang raja

menciptakan sendiri cara-cara penyiksaan yang teramat sadis, terlebih kepada orang-

orang yang dicurigai hendak melawan kekuasaannya. Cara-cara penyiksaan ala

Amangkurat I di antaranya adalah:

 

Pertama, dari bagian atas telinga, kepala pesakitan dikuliti sampai batok kepalanya terlihat. Orang-orang yang mendapat hukuman ini kebanyakan meninggal dunia. Namun ada pula yang masih bisa bertahan hidup walau kemudian akhirnya juga menemui ajal dengan amat menyakitkan.Kedua, kaki pesakitan diikat, lalu digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah kepala, ditaruh panci panas berukuran besar berisi minyak yang mendidih. Kemudian, kepala orang itu dicelupkan ke dalam minyak yang bergolak sampai sebatas telinga hingga rambut dan kulit kepalanya mengelupas. Semua yang mengalami siksaan jenis ini menemui ajal karena sakit yang tak terperikan.Ketiga, siksaan yang tak kalah menakutkan adalah si terhukum diperintahkan untuk mengenakan topi besi yang tebal yang telah dipanaskan hingga menjadi merah membara. Rambut akan hangus, kulit kepala terkelupas dan

Page 6: Untold History of Pangeran Diponegoro

gosong, dan otaknya akan terbakar. Tak ada yang selamat dari jenis siksaan seperti ini.

 

Dan sore ini, sesuatu yang mengerikan sepertinya akan terjadi. Dyah Jayengsari

mendapati dirinya tidak sendirian. Dari berbagai arah, juga berdatangan—mengalir

bagai air bah—ribuan ulama, guru ngaji, anak-anak santri dan santriwati, beserta

seluruh keluarganya, yang seluruhnya digiring dan dijaga ketat pasukan Mataram ke

alun-alun. Semuanya dikumpulkan di lapangan yang luas hingga tercipta lautan jubah

putih.

Di tanah lapang itu mereka semua dikumpulkan menjadi satu. Semuanya, tanpa kecuali,

disuruh duduk bersila di atas tanah menghadap ke arah timur di mana sebuah bukit

yang tidak begitu tinggi tampak memanjang searah dengan aliran Kali Opak. Ribuan

orang itu, besar dan kecil, tua dan muda, duduk di atas tanah dalam barisan yang diatur

paksa oleh para prajurit.

Di sekeliling lapangan, tiga lapis pasukan Mataram bersenjata pedang dan tombak

mengepung orang-orang itu dalam formasi siaga. Agaknya Amangkurat I

memerintahkan semua pasukannya mengepung alun-alun dengan rapat, hingga tak ada

celah untuk meloloskan diri.

Ketika hari sudah mulai gelap, ribuan ulama, santri, dan keluarganya dilarang untuk

menunaikan sholat maghrib. Para prajurit mengancam, siapa pun yang ketahuan

mengerjakan sholat, akan langsung ditebas lehenya. Beberapa ulama tidak

mengindahkan ancaman itu dan tetap mengerjakan sholat, walau sambil duduk.

Celakanya, hal itu diketahui para prajurit. Tanpa ampun lagi, mereka memenggal leher

beberapa ulama tersebut dengan pedangnya. Jerit dan tangis segera pecah di tengah

kerumunan massa. Namun suasana dengan cepat jadi senyap kembali karena para

prajurit itu lagi-lagi mengeluarkan ancamannya akan melakukan hal yang sama jika ada

yang berani berteriak atau membuat ribut.

Dalam kesenyapan yang mencekam itu tiba-tiba semua mata melihat ke arah pintu

gerbang kraton yang menuju ke bukit di sebelah timur alun-alun yang tanpak bercahaya.

Dari gapura batu kali setinggi enam meteran, serombongan orang dengan membawa

tiang obor keluar dari dalam kraton. Di belakang pasukan obor terlihat sepuluh orang

anggota Trisat Kenya, pasukan khusus pengawal raja yang semuanya terdiri dari

perawan cantik dengan pakaian lelaki bersulam emas, terlihat menyandang pedang dan

tombak. Di bawah cahaya ratusan obor, pasukan itu terlihat begitu anggun dan gagah.

“Trisat Kenya…,” ujar Dyah Jayengsari lirih. Ayahnya hanya mengangguk-anggukan

kepalanya. Bibirnya yang sudah kering karena tidak diberi air minum sejak berada di

Page 7: Untold History of Pangeran Diponegoro

alun-alun, terus bergerak-gerak melantunkan doa kepada Yang Maha Kuasa. Bola kecil

di tenggorokannya terus bergerak-gerak tak pernah berhenti.

Ki Ageng Ludhira dan juga Dyah Jayengsari tahu, Trisat Kenya merupakan pasukan

khusus pengawal Susuhunan Amangkurat Agung I yang semuanya terdiri dari para

perawan cantik yang dibekali olah kanjuragan tingkat tinggi. Disebut sebagai pasukan

pengawal khusus karena tugas seorang Trisat Kenya bukan saja bertanggungjawab

terhadap keamanan dan keselamatan fisik sang raja, namun juga wajib menjaga

kewibawaan dan melindungi rahasia sang raja dalam hal yang paling pribadi sekali pun.

Pasukan ini merupakan hal yang baru dalam tradisi Mataram Islam. Adalah Kanjeng

Ratu Ibu yang membentuk pasukan ini untuk menjaga Amangkurat I. Sang Ibu sungguh-

sungguh paham jika sejak kecil Amangkurat I yang memiliki perangai buruk, memang

punya banyak musuh. Jauh di dalam hatinya, Kanjeng Ratu Ibu sesungguhnya

menyesal dan meratapi keberadaan Raden Mas Sayidin, nama kecil dari Susuhunan

Amangkurat I, yang bersifat kurang baik, beda dengan adiknya, Pangeran Alit.

Raden Mas Sayidin sangat temperamental, kekanak-kanakan, dan memiliki kegemaran

yang tidak masuk akal dan tidak terpuaskan terhadap perempuan. Pada tahun 1637,

ketika masih berstatus sebagai putra mahkota, Raden Mas Sayidin sudah terlibat dalam

skandal memalukan yang melibatkan isteri seorang abdi dalem senior, Tumenggung

Wiraguna. Tumenggung kepercayaan Sultan Agung ini melaporkan hal itu kepada

Sultan Agung. Akibatnya Raden Mas Sayidin dihukum. Untuk beberapa lama, dia

dibuang ke hutan larangan.

Kejadian ini kelak menimbulkan dendam membara di dada putera mahkota tersebut,

sehingga di awal kekuasaanya, Raden Mas Sayidin yang telah menjadi Susuhunan

Amangkurat I membunuh Tumenggung Wiraguna dan seluruh pengikutnya.

Namun sebagai seorang ibu, apa dan bagaimana pun juga perangai sang anak, dia

tetaplah harus menjaga dan melindungi anaknya, bahkan walau nyawanya sendiri jadi

taruhan. Itulah yang dilakukan Kanjeng Ratu Ibu yang berinisiatif membentuk pasukan

khusus pengawal raja.

Awalnya, Kanjeng Ratu Ibu—alias Ratu Wetan, puteri dari Tumenggung Upasanta yang

merupakan Bupati Batang keturunan dari Ki Juru Martani—menginginkan sang raja

dijaga prajurit lelaki pilihan. Namun Amangkurat I sendiri menolaknya dan mengatakan

dia tidak bisa mempercayai laki-laki sedikit pun. Anaknya itu meminta agar seluruh

anggota pasukan pengawal khususnya hanya terdiri dari para perempuan muda, masih

perawan, dan tentu saja harus cantik.

“Mereka harus dilatih dengan keras agar terampil menggunakan senjata, dan juga harus

dibekali olah kanuragan yang mumpuni,” ujar Amangkurat I kepada Kanjeng Ratu Ibu.

Page 8: Untold History of Pangeran Diponegoro

“…dan tugas atau keanggotaan setiap Trisat Kenya hanya akan berakhir manakala

mereka dihadiahkan kepada para adipati atau bawahanku.”

Sang ibu hanya bisa mengangguk. Setiap keinginan sang raja bagaimana pun

adalah sabda pandhita ratu, yang tidak bisa ditolak sedikit pun. Akhirnya terbentuklah

pasukan Trisat Kenya yang seperti sekarang tengah berjalan dengan langkah tegap

menaiki bukit di timur alun-alun.

Sepuluh Trisat Kenya yang berbaris paling depan adalah pembuka jalan. Di

belakangnya, sepuluh abdi dalem laki-laki bertelanjang dada tanpa dibekali senjata,

menggotong tandu besar berisi kursi raja yang terbuat dari jati yang berat, lengkap

dengan atapnya yang berumbai sutera dan bordiran benang emas. Di sekeliling raja,

tigapuluh anggota Trisat Kenya berjaga. Ada yang membawa pedang, keris, tombak,

dan juga tulup, sejenis sumpit panjang yang diisi dengan panah kecil yang ujungnya

beracun. Masing-masing Trisat Kenya punya keahlian berbeda dalam penggunaan

senjata dan juga ilmu kanuragannya.

Pelan tapi pasti, rombongan raja itu bergerak menaiki puncak perbukitan. Beberapa

lelaki tua pembawa tiang obor setinggi dua tombak berada paling depan membuka jalan.

Di bagian paling belakang juga ditutup sejumlah abdi dalem laki-laki sepuh memegang

tiang obor. Ketika singgasana diturunkan di tempat yang paling tinggi, para abdi dalem

laki-laki semuanya langsung turun kembali ke bawah bukit. Demikian pula dengan yang

membawa obor. Sehingga sekarang hanya ada sang raja yang duduk dengan

pongahnya di atas singgasana, dikelilingi empatpuluhan Trisat Kenya lengkap dengan

senjatanya.

Suasana kemudian bertambah hening. Kesenyapan selama beberapa menit itu

sungguh-sungguh meremas jantung. Semua mata memandang ke atas bukit, menanti

apa yang hendak dilakukan atau diperintahkan oleh sang raja. Untuk beberapa lama

sang raja hanya duduk diam di atas singgasananya. Mungkin dia tengah menikmati

lautan jubah putih yang memenuhi alun-alun yang berada di bawah kakinya. Entah apa

yang ada di dalam benaknya ketika itu.

Dyah Jayengsari, Ki Ageng Ludhira, dan ribuan orang lainnya yang masih duduk di alun-

alun melihat dari kejauhan ketika Susuhunan Amangkurat I mulai bergerak turun dari

singgasananya. Dia berjalan beberapa langkah ke depan, dan berdiri dengan kedua

tangan berkacak pinggang.

Raja lalim itu terus berdiri dengan tegak. Kedua tangannya masih berkacak pinggang.

Dia mengedarkan pandangan ke bawah kakinya, menyapu seluruh areal alun-alun

kratonnya. Bibirnya yang menghitam mencibir. Sorot matanya yang dipenuhi dendam

kesumat berbinar-binar tanda puas. Kepalanya mengangguk-angguk. Dengan tangan

kanan masih berkacak pinggang, tiba-tiba tangan kirinya diangkat ke atas tinggi-tinggi.

Sebuah perintah yang hanya dipahami seluruh pasukannya yang sedari sore telah siap

dengan senjatanya.(bersambung)

Page 9: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Habisi !!!” teriak para komandan regu dengan suara yang menggelegar

Seketika itu juga berlompatanlah para prajurit itu dengan pedang terhunus ke tengah-tengah lapangan yang dipenuhi lautan manusia tanpa daya. Dengan teramat ganas, pasukan Mataram itu menyabetkan pedangnya ke kanan dan kiri, memenggal leher siapa pun yang ada di dekatnya tanpa pandang bulu, apakah itu laki-laki tua, perempuan, bahkan anak kecil. Jerit tangis, lolong kesakitan, dan kumandang doa memenuhi angkasa alun-alun kraton malam itu. Namun tak ada yang sanggup menghentikan kegilaan yang tengah dipertontonkan pasukan Mataram yang notabene kebanyakan juga sudah memeluk agama Islam.Di atas bukit, Amangkurat I masih berkacak pinggang menyaksikan pembantaian besar yang dilakukan prajuritnya terhadap enam ribuan ulama, santri, dan seluruh keluarganya. Kepalanya mengangguk-angguk puas. Sesekali jemarinya memilin kumisnya yang tebal melintang. Dia benar-benar menikmati pemandangan di bawahnya. Betapa ribuan orang yang tengah menanti ajal itu sebentar lagi akan lenyap dari muka bumi. Musuh-musuhnya akan semakin sedikit. Dan dia akan bisa berkuasa dengan tenang, tanpa diusik oleh siapa pun.

Raja Jawa itu merasa sangat aman berada di atas bukit. Di sekelilingnya berdiri dengan kewaspadaan penuh puluhan Trisat Kenya.Dalam waktu teramat singkat, ribuan nyawa melayang dengan kepala terpisah dari jasadnya. Tanah alun-alun yang begitu luas seketika berubah menjadi lautan darah. Dari cahaya ratusan tiang obor yang menyala di sekeliling alun-alun, terlihat pasukan Mataram yang sudah belepotan darah itu masih saja bergerak buas membunuh ke sana-kemari tanpa perlawanan. Pasukan yang sebagian pernah ikut menyerang VOC di Batavia semasa kekuasaan Sultan Agung itu kini berbalik menjadi mesin penjagal bagi bangsanya sendiri.

Pembantaian yang sangat mengerikan itu berlangsung tidak sampai setengah jam!

Tiba-tiba terdengar lengkingan peluit panjang tiga kali yang ditiup para pimpinan regu pasukan. Penyembelihan telah berakhir. Semua orang yang ada di dalam daftar berikut keluarganya sudah dihabisi. Mendengar isyarat peluit itu, Amangkurat I mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Buang semua mayat itu ke parit!Sebagian prajurit yang masih bersiaga dengan pedang terhunus berjajar satu lapis dalam jarak tiap lima tombak mengepung alun-alun. Pedang dan badan mereka belepotan darah. Prajurit yang lain menyambut datangnya gerobak-gerobak dorong yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Gerobak-gerobak itu segera saja diisi dengan mayat-mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad hingga penuh. Setelah gerobak penuh, prajurit yang membawa gerobak itu mendorongnya ke arah parit buatan dan membuang semua isinya ke dalam parit yang berair deras menuju ke Kali Opak. Berkali-kali mereka melakukan itu, mondar-mandir bagai kereta maut, hingga tak satu pun jasad tersisa.

Air parit dan Kali Opak yang tadinya jernih berubah menjadi kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium di mana-mana.

Page 10: Untold History of Pangeran Diponegoro

Tanpa diketahui siapa pun, Wulung Ludhira, bocah sepuluh tahun adik dari Dyah Jayengsari, ternyata masih hidup. Tubuhnya yang kecil tertutup oleh mayat-mayat tanpa kepala yang sebagiannya menindih tubuhnya. Anak yang sudah ditinggal ibunya sejak bayi itu menggigil ketakutan. Ayah dan kakak satu-satunya sudah meninggal dengan cara yang sangat mengerikan. Dia ingin menjerit dan menangis. Tapi suaranya tercekat oleh kengerian yang teramat sangat. Bocah itu hanya bisa diam tak bergerak. Tubuhnya dirasa amat lemas dan juga kaku. Seluruh badan, kepala, dan rambutnya basah oleh darah kental yang membanjir di sekitarnya.

Tiba-tiba Wulung Ludhira merasakan tubuh kecilnya ikut digotong dan dilempar ke dalam gerobak bersama belasan mayat lainnya. Ditumpuk begitu saja menjadi satu. Bocah itu sungguh-sungguh ketakutan. Tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia nyaris tidak bisa bernafas.Tapi itu malah menyelamatkan nyawanya.

Bocah kecil itu bisa merasakan jika gerobaknya ditarik dengan kasar oleh sejumlah prajurit. Roda-rodanya yang terbuat kayu dilapis karet hitam berderak-derak sebentar, lalu berhenti. Wulung Ludhira bisa merasakan gerobak tiba-tiba miring. Dia bersama belasan mayat tanpa kepala dan kepala tanpa jasad yang masih hangat itu pun langsung meluncur bebas ke dalam parit yang deras airnya. Dia pun hanyut di parit yang sudah dipenuhi mayat.

Walau pandai berenang, namun bocah itu kesulitan menggerakkan tubuhnya disebabkan mayat dan kepala ada di mana-mana. Dengan menahan kengerian yang teramat sangat, dia berpegangan pada salah satu kaki jasad yang mengambang. Bocah kecil itu terus mengikut kemana air membawanya.

Pekatnya malam membuatnya tak terlihat oleh pasukannya Amangkurat I yang masih sibuk membersihkan alun-alun. Bocah kecil itu kelelahan. Semua kejadian malam itu menguras seluruh tenaga dan perasaannya. Akhirnya Wulung Ludhira pingsan. Dia terus hanyut dibawa air hingga jauh dari alun-alun. Hingga tubuhnya tersangkut akar beringin yang menjulur ke Kali Opak, beberapa kilometer ke selatan Kraton Plered.

 

Entah sudah berapa lama Wulung Ludhira tak sadarkan diri. Ketika siuman, matahari sudah berada di atas kepalanya. Bocah kecil itu mendapati dirinya masih tersangkut suluran akar beringin yang tumbuh di pinggir kali. Sebagian badannya masih terendam di bawah air kali. Di beberapa tempat, jasad tanpa kepala dan kepala tanpa badan juga tersangkut. Kengerian yang teramat sangat kembali menyergapnya. Walau seluruh tubuhnya sakit, dan juga lelah, dengan sisa-sisa tenaga bocah kecil itu berusaha merangkak naik ke pinggir kali, hingga dia tergeletak di atas rerumputan, satu meter dari air kali.

Entah kini dia berada di mana. Bocah itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada rumah barang satu pun. Yang ada hanya hamparan rumput dengan tiga pohon beringin besar yang tumbuh di dekat dirinya.

Page 11: Untold History of Pangeran Diponegoro

Lainnya hanya berupa semak dan tumbuhan perdu. Anak kecil itu tidak tahu nama tempat ini. Perutnya yang tidak terisi sejak kemarin terasa perih. Tubuhnya dirasa makin lemah. Dia menggigil kedinginan. Bocah itu akhirnya tak sadarkan diri kembali. Dia tergeletak begitu saja di atas rerumputan, dinaungi pohon beringin besar yang ada didekatnya.

Tak lama kemudian, seorang lelaki tua bertelanjang dada, dengan kepala ditutupi caping yang sudah kusam, mendekati bocah itu dengan hati-hati. Ketika mendapati ada bocah kecil yang menggeletak di atas rumput, lelaki tua itu mengusap kepala Wulung Ludhira dengan lembut. Bibirnya yang sudah sedikit keriput tersenyum tulus. Dengan penuh hati-hati akhirnya dia menggendong bocah itu dan bergegas pergi menghilang begitu saja ke arah barat… []

Bab 1178 tahun kemudian…Gua Selarong, Yogyakarta, 1825NYALI LEBIH PENTING KETIMBANG OTAK! Walau malam ini gelap gulita, tak ada bulan dan bintang yang menggantung di atas langit, namun Ki Singalodra tidak perduli. Lelaki kekar dengan wajah berewokan itu terus memacu kudanya seperti dikejar setan. Derap kaki kudanya menggetarkan bumi. Kepulan debu yang ditinggalkannya membentuk tabir pekat yang tak tembus pandang. Semua hewan malam menyingkir dari jalan jika tak ingin tergilas kegilaan kuda dan penunggangnya itu.

Jagoan dari Dusun Ngampilan ini memegang tali kekang hanya dengan sebelah tangan. Tangan yang satunya lagi memeluk seorang bocah kecil yang tubuhnya berlumuran darah. Bocah itu sudah tak bernyawa. Tubuh mungilnya bergerak-gerak, seirama gerak kuda yang terus berlari dengan amat cepat bagai terbang di atas tanah.

Dada Ki Singalodra sungguh-sungguh sesak, terbakar amarah. Setengah jam lalu dusunnya dibakar Belanda. Celakanya, saat itu dia tengah berada di dusun tetangga. Mendengar kabar mengejutkan itu, dia langsung pulang untuk menyelamatkan isteri dan anaknya. Namun terlambat. Gubuknya sudah terbakar habis. Seluruh isinya tlah jadi arang. Asap masih mengepul. Bara masih menyala merah di mana-mana. Dengan histeris tanpa memperdulikan bara yang terinjak kaki dan hawa panas yang masih menyengat kulit, lelaki itu terus mencari isteri dan anak semata wayangnya itu. Tapi nasi sudah jadi bubur. Isterinya ditemukan tergeletak tak bernyawa di dekat sumur. Perempuan yang sangat dicintainya itu terlihat sedang memeluk anaknya yang nyaris seluruh tubuhnya terbakar.

Dengan mata berkaca-kaca menahan kesedihan sekaligus kemarahan yang amat sangat, lelaki itu berteriak histeris.

Dia segera mengambil anak itu dan memeluknya. Setelah mencium kening isterinya untuk yang terakhir kali, Ki Singalodra langsung melompat ke atas kuda hitamnya. Dengan sekali gebrak, kuda itu melesat pergi meninggalkan dusunnya.

Londo anjing!!!

Page 12: Untold History of Pangeran Diponegoro

Belanda telah menggali kapak peperangan dengan dirinya! Sia-sia saja selama ini dia mengabdi pada mereka, jika balasan yang diterimanya ternyata seperti ini! Tekadnya telah bulat. Yang dulu kawan mulai malam ini menjadi lawan terbesarnya. Sekarang juga dia akan bergabung dengan pasukan Kanjeng Pangeran Diponegoro yang tengah menyusun kekuatan untuk memerangi Belanda dari Tegalredjo dan Selarong.

Aku akan menjadi pedang yang paling tajam bagi Gusti Kanjeng Pangeran!Bagi warga Merapi hingga sekitar Laut Kidul, nama Ki Singalodra sudah tak asing lagi. Sejak pulang dari bertapa dan berguru di berbagai gua, lembah, dan gunung beberapa tahun lalu, Ki Singalodra kembali ke dusunnya di Ngampilan dan menantang semua jagoan di sana. Tidak saja di Ngampilan, lelaki ini juga berkeliling untuk mengadu kesaktian melawan para jagoan lainnya di sekitar Merapi, Merbabu, Dieng, dan Lawu. Walau sempat beberapa kali kepayahan dan menderita luka dalam sejumlah perkelahian, namun kecerdikan dan kenekatannya membuat dirinya keluar sebagai pemenang. Sosok Ki Singalodra menjadi sosok yang ditakuti. Dia pun akhirnya bisa mempersunting gadis idaman hatinya, bunga Dusun Ngampilan, yang sejak kecil telah mencuri perhatiannya.

Ketenaran namanya didengar langsung Residen Yogyakarta. Pejabat Belanda ini akhirnya memerintahkan kepala pasukan setempat untuk merekrutnya. Tetapi karena Ki Singalodra tidak mau ditempatkan sebagai kepala regu pasukan reguler yang harus bekerja tiap hari dan wajib memiliki disiplin tinggi, akhirnya dia dipekerjakan sebagai tenaga khusus.

Sekarang, Ki Singalodra sama sekali tidak menyangka. Pengabdiannya yang total selama ini kepada Belanda, ternyata dibalas dengan sangat menyakitkan.

Ibarat pepatah, air susu dibalas dengan air tuba.

Sebab itu, tidak ada jalan lain. Mulai malam ini, dia akan mengubah haluan hidupnya seratus delapan puluh derajat. Dendamnya teramat sangat besar. Darah harus dibalas dengan darah. Nyawa harus diganti nyawa. Kedua matanya merah menyala-nyala.

Belanda, Patih Danuredjo, dan orang-orang kraton cecunguk asing itu sekarang menjadi musuh terbesarku!Kedua mata jagoan dari Dusun Ngampilan itu lagi-lagi melotot garang. Dadanya sesak oleh amarah dan dendam.

Jalan tanah selebar tiga meter di depannya mulai menanjak lurus. Sebentar lagi dia akan tiba di pelataran menuju Gua Selarong, di mana Kanjeng Pangeran tengah berada. Mengingat sosok Pangeran Diponegoro, hatinya diliputi perasaan yang aneh. Antara semangat yang membara dan kerinduan yang teramat sangat.

Inilah jalanku!Tiba-tiba kudanya berhenti dan mengangkat kedua kakinya tinggi-tinggi. Ringkikannya memecah keheningan malam yang sepi. Hampir saja Ki Singalodra terjatuh jika dia tidak kuat menahan tali kekangnya. Dia segera

Page 13: Untold History of Pangeran Diponegoro

merapatkan tubuhnya dengan leher kuda sehingga keseimbangannya tetap terjaga. Sebelah tangannya tetap kuat mendekap tubuh anaknya. Tak jauh di depannya, empat lelaki dengan mengenakan baju wulung hitam dan ikat kepala yang juga hitam mencegatnya dengan tombak dan pedang terhunus. Salah satunya membawa obor di tangannya.

“Berhenti!” teriak mereka.

“Hendak kemanakah kisanak dan siapa yang digendong itu!” teriak salah satunya. Dengan penuh kewaspadaan, lelaki yang satu itu mendekati Ki Singalodra dari sisi kanan. Sedangkan yang satunya lagi bergerak menyamping ke sisi yang berlainan. Dua lelaki lainnya masih berdiri menghadang dengan senjata terhunus.Ketika lelaki itu melihat wajah Ki Singalodra dengan jelas, wajah yang tak asing lagi dan sangat ditakuti orang-orang kampung, nyalinya agak bergetar. Namun bayangan sosok Kanjeng Pangeran Diponegoro yang setiap waktu memberinya nasehat keagamaan membuat dirinya kuat dan berani.

“Takutlah kalian hanya kepada Allah Subhana wa Ta’ala, bukan kepada mahluk-Nya. Allah Maha Kuat, sedang mahluknya sangatlah lemah…”Tangan lelaki itu memperkuat genggaman tangannya pada gagang pedangnya, “Ternyata kau Singalodra. Hendak kemana engkau malam ini dan siapa lagi itu yang kau bunuh!”

Dengan penuh amarah, Ki Singalodra menjawab, “Ini anakku! Minggir kalian semua! Isteri dan anakku mati malam ini dibunuh Belanda! Aku mau menghadap Gusti Kanjeng Pangeran!”

Keempat lelaki yang menghadangnya tak percaya.

“Apa katamu? Bukankah engkau pelayan kafir Belanda! Janganlah berdusta. Pulanglah sekarang. Kembalilah kepada tuanmu itu sebelum kami membunuhmu!”

“Wahai prajurit, aku bicara jujur. Aku sekarang ingin menghadap Gusti Kanjeng Pangeran. Aku mau bergabung dengan kalian. Jika kalian masih saja menghadangku, maka terpaksa tanganku ini yang akan berbicara!” bentak Ki Singalodra dengan suara mengguntur. Semua orang tahu, Ki Singalodra memiliki ajian Brajamusti, suatu ilmu pukulan yang sangat mematikan. Bahkan korbannya bisa hangus terkena pukulan itu.

Keempat lelaki bersenjata pedang dan tombak itu bergerak mundur sesaat, namun mereka masih mengepung Ki Singalodra dengan penuh kewaspadaan. Pedang dan tombak masih terhunus. Masing-masing terdiam sejenak dalam situasi saling menunggu. Namun tiba-tiba suara derap kuda terdengar mendekat dari arah Gua Selarong.

“Tunggu! Berhenti! Siapa itu!”

Dalam formasi masih mengepung Ki Singalodra, keempat prajurit itu menoleh ke arah datangnya suara. Dari pekatnya malam, muncul seorang penunggang kuda dengan wajah yang sangat berwibawa. Sorot matanya tajam dengan kumis melintang. Ki Singalodra tahu, lelaki ini pastilah Ki

Page 14: Untold History of Pangeran Diponegoro

Guntur Wisesa, seorang ulama yang juga pendekar dari lereng utara Gunung Merapi yang telah bergabung dengan barisan perlawanan Kanjeng Pangeran Diponegoro sejak dua tahun lalu. Dia belum pernah bertanding dengan orang ini karena Ki Guntur selalu saja menghindar dan sama sekali tidak tertarik untuk melakukan uji kesaktian melawannya.(Bersambung)

Ketika melihat Ki Singalodra yang berkuda sambil menggendong seorang bocah yang

berlumuran darah, Ki Guntur Wisesa menyapanya lembut,

“Assalamu’alaikummusalam warahmatullahi wabarakatuh, wahai Singalodra.

Apa gerangan yang membawamu ke sini! Anak siapa yang kau bawa itu?”

Ketika mendengar sapaan yang lembut, hati Ki Singalodra yang tadinya panas

mendadak sejuk, bagai bara api tersiram air pegunungan.

“Wa’alaikumusalam… Aku ingin bergabung dengan barisan Kanjeng Gusti Pangeran,

wahai Ki Guntur Wisesa. Ini anakku, Surya Mandriga. Dia mati dibunuh Belanda tadi

malam, juga isteriku… Izinkan aku menghadap Kanjeng Gusti Pangeran sekarang juga.”

Ki Guntur Wisesa bergerak meminggirkan kudanya, memberi jalan pada tamunya.

“Silakan Kisanak. Kami akan mengawal Kisanak sampai di atas sana…”

“Terima kasih, Ki Guntur…”

Ki Singalodra mengangguk takzim pada ulama-pendekar itu dan kembali memacu

kudanya, namun tidak sekencang tadi. Kuda Ki Guntur Wisesa berjalan di depan.

Sedangkan keempat anak buahnya mengapit di kiri kanan dan belakangnya. Mereka

beriringan melintasi jalan utama yang terus menanjak menuju Gua Selarong yang

berada di bawah sebuah bukit batu yang besar.

Setibanya mereka di pelataran yang landai di mana di hadapan mereka terbentang batu

karang yang besar dengan sebuah tangga batu menuju ke atas, Ki Guntur Wisesa

memberi aba-aba dengan sebelah tangannya yang diangkat ke atas.

“Ya, kita berhenti sampai disini. Kita turun dan berjalan kaki ke atas sana.”

Ki Guntur yang mengenakan pakaian serba putih melompat dari kuda dan

menambatkannya pada salah satu pokok pohon yang ada di pinggir pelataran. Ki

Singalodra juga melompat turun dari kudanya sambil masih menggendong Surya

Mandriga.

“Mari Kisanak, ikut aku,” ajak Ki Guntur Wisesa. Dia menghampiri Ki Singalodra dan

menawarkan diri untuk membantu menggendongkan anaknya. Namun Ki Singalodra

menolaknya.

“Biar aku saja… Tolong tunjukkan saja jalannya.”

Page 15: Untold History of Pangeran Diponegoro

Kemudian Ki Guntur memerintahkan seorang anak buahnya berlari terlebih dahulu ke

atas untuk memberitahukan kedatangan Ki Singalodra kepada Kanjeng Pangeran

Diponegoro. Anak buah itu segera berlari ke atas.

“Sekarang kita tunggu dulu disini, Kisanak…,” ujar Ki Guntur.

Ki Singalodra menganggukkan kepala dan tetap berdiri dengan tegap di ujung bawah

susunan bebatuan yang membentuk anak tangga menuju ke gua yang ada di atasnya.

Tak lama kemudian, anak buah yang tadi ke atas tampak berlompatan menuruni anak

tangga yang sama. Dia langsung melapor kepada Ki Guntur yang berdiri di sisi kanan Ki

Singalodra.

“Kanjeng Gusti Pangeran siap menerimanya….”

Anak buah itu kemudian bergerak menggeserkan badannya ke samping, memberi jalan

kepada Ki Guntur dan Ki Singalodra. Keduanya lalu berlompatan bagai Kijang Kencana

menaiki tangga batu yang cukup curam. Hanya dengan beberapa kali hentakan

loncatan, badan mereka sudah melambung ke atas dengan cepat. Keempat prajurit

muda yang melihatnya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan takjub. Mereka

segera menyusul kedua orang itu dengan berlari menaiki tangga.

Setibanya di atas, Ki Singalodra tampak sedang diterima Pangeran Diponegoro. Ustadz

Muhammad Taftayani, Pangeran Ngabehi Jayakusuma alias Pangeran Bei[1], Ki Guntur

Wisesa, dan beberapa alim-ulama lainnya yang seluruhnya berpakaian putih-putih

tampak mendampinginya.

Semuanya menyandang senjata. Ada yang menyelipkan keris di pinggang, ada pula

yang memegang pedang.

Sebagaimana kawulo-alit yang bertemu dengan rajanya, sambil terus memeluk jasad

anaknya, Ki Singalodra segera berlutut. Dengan kepala menunduk, lelaki dengan

janggut dan cambang yang lebat ini berkata pelan, “Kanjeng Gusti Pangeran, hamba….”

Belum selesai lelaki itu mengucapkan perkataannya, Pangeran Diponegoro yang

mengenakan jubah serba putih lengkap dengan surban hijau lembut yang menutupi

sebagian kepalanya menyapa dengan lembut,

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh wahai Ki Singalodra… Semoga

Allah Subhana wa ta’alaselalu melindungi, merahmati, dan memberkati Kisanak…”

Badan Ki Singalodra menggigil mendengar suara yang sangat berwibawa itu. Entah

mengapa, mendengar salam dari orang-orang berjubah itu dia merasakan satu getaran

yang aneh di dalam dirinya. Getaran yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Ki

Singalodra tidak berani mengangkat wajahnya dari tanah. Dia tidak menjawab apa pun.

Bibirnya yang juga bergetar bagaikan terkunci rapat.

Page 16: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Bangunlah saudaraku. Tidak perlu berlutut seperti itu. Kita adalah sama. Semua

manusia itu sederajat. Yang membedakan di antara manusia bukanlah keturunan,

pangkat, atau jabatan, melainkan ketakwaannya kepada Allah subhana wa ta’ala…,”

ujar Diponegoro lagi.

Lelaki dengan pakaian serba hitam itu perlahan bangun dan berdiri. Tangannya tetap

memeluk jasad anaknya dengan erat. Ki Singalodra masih saja tidak berani menatap

langsung wajah Diponegoro. Dia hanya melihat ke bawah.

“Gerangan apa yang membuatmu ke sini Kisanak?”

“Maafkan saya Kanjeng Gusti Pangeran… Saya ingin bergabung dengan Kanjeng Gusti

Pangeran…”

Diponegoro tersenyum. Ustadz Muhammad Taftayani yang berdiri di samping

Diponegoro membisikkan sesuatu ke telinga anak didiknya itu, “Sebaiknya kita urus

dahulu jenazah anak itu…”

Pangeran Diponegoro mengangguk dan memanggil dua pengawalnya untuk mengurus

jenazah anak dari Ki Singalodra itu.

“Maafkan saya Kisanak. Sebaiknya jenazah anak Kisanak diurus terlebih dahulu

dengan baik. Sebagai Muslim, kita wajib memperlakukan jenazah dengan layak.

Serahkan saja pada kita…”

Ki Singalodra segera menuruti perkataan Diponegoro. Dengan hati-hati dan berlinang

airmata dia menyerahkan jenazah puteranya itu kepada dua orang pengawal yang

segera menyambutnya.

Setelah jenazah anak itu dibawa, Pangeran Diponegoro berkata kembali, “Nah, apakah

seorang Ki Singalodra sungguh-sungguh ingin berjihad di sisi kami dalam menegakkan

kalimah tauhid di tanah Jawa ini? Mengusir kaum kafir Belanda dari negeri ini?”

Dengan mantap lelaki itu mengangguk, “Ya, Kanjeng Gusti Pangeran. Saya

bersungguh-sungguh.”

“Apakah Kisanak mengetahui apa yang sedang kami perjuangkan disini?”

“Melawan Belanda…?”

“Itu betul. Namun tujuan kami lebih mulia dari itu semua. Belanda bukanlah musuh kami.

Sebagaimana kami tidak memusuhi Danurejo dan orang-orangnya. Musuh kami adalah

kekufuran dan kezaliman. Itu yang kami perangi. Kami tidak memerangi orang, tapi kami

memerangi sistem yang melawan perintah Allah. Kami memerangi sistem thagut.”

“Thagut…?”

“Ya. Sebelum bergabung dengan kami, sebaiknya Kisanak bisa memahami dengan

benar apa yang harus diperjuangkan oleh kita semua, kaum Muslimin, di dalam

Page 17: Untold History of Pangeran Diponegoro

hidupnya. Untuk itu, jika tidak keberatan,Kisanak terlebih dahulu akan mengikuti

pengajian yang akan disampaikan Ki Guntur atau Ustadz Taftayani. Beliaulah yang akan

menerangkan kepada kita semua tentang apa dan bagaimana seharusnya berperang di

dalam Islam. Saya pun saat ini masih selalu belajar memperdalam ilmu agama. Mari kita

sama-sama belajar mendalami ilmu, karena itu adalah perintah agama.”

“Berperang di dalam Islam..?”

“Ya. Itu benar, Kisanak. Jihad fi sabilillah namanya. Semuanya nanti akan

diterangkan oleh ustadz-ustadz yang ada di sini. Dan satu lagi…”

Ki Singalodra mengkerutkan dahinya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang

dimaksudkan dengan perang dalam Islam. Baginya perang adalah membunuh musuh

sebanyak-banyaknya, mengalahkannya, hingga musuh takluk. Itu saja.

Pangeran Diponegoro melanjutkan kalimatnya, “…semua yang ada disini harus

memperbaharui akidahnya. Jika Kisanak bersedia, silakan mengikuti perkataan saya

sekarang. Bagaimana?”

Lelaki berewokan itu menganggukkan kepalanya, “Baik Kanjeng Gusti Pangeran, saya

bersedia.”

“Nah, sekarang ikuti perkataan saya...”

Di depan gua yang gelap pekat tanpa penerangan obor, dengan perlahan namun jelas,

Pangeran Diponegoro berjalan mendekati Ki Singalodra yang masih berdiri mematung.

Tanpa ragu Diponegoro mengangkat kedua tangannya memegang kedua bahu lelaki itu.

Kemudian dia mulai mengucapkan dua kalimah syahadah yang diikuti kata demi kata

oleh Ki Singalodra.

“Asyhadu ala Ilaha Ilallah… wa asyhadu alla Muhammad ar-Rasulullahu... Saya

bersaksi, tiada tuhan yang patut disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi

Muhammad adalah Rasul utusan Allah…”

 

Dengan terbata-bata, jagoan dari Dusun Ngampilan yang jika mendengar namanya saja

orang kebanyakan bisa gemetar itu mengucapkan dua kalimah syahadat. Ki Singalodra

cukup cerdas. Sekali saja Diponegoro menuntunnya, dia sudah bisa mengikutinya.

Setelah selesai, semuanya mengucapkan syukur.

“Alhamdulillahi Rabb al’Amien…“

Pangeran Diponegoro kemudian langsung memeluk Ki Singalodra dengan hangat.

Bagai pelukan seorang kekasih yang lama tak berjumpa. Sama sekali tidak ada

kecanggungan tampak di sana. Diponegoro, sang putera Sultan Hamengku Buwono III,

dengan sangat akrab dan hangat memeluk erat seorang jagoan yang tangannya banyak

berlumur darah orang lain. Hal ini langsung membuat hati Ki Singalodra luluh. Lelaki ini

lumer dan menangis terisak.

Page 18: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Dosa-dosaku sudah banyak, Kanjeng Gusti Pangeran… Apakah ada cara untuk

menebusnya agar nanti saya bisa berkumpul dengan anak dan isteriku di surga?”

Pangeran Diponegoro masih memegang kedua bahu Ki Singalodra. Kedua matanya

yang tajam tapi menyejukkan menatap langsung ke dalam mata lelaki itu.

“Saudaraku, Allah Maha Pengampun dan Penyayang. Semua dosa umat-Nya akan

diampuni asalkan kita mau bersungguh-sungguh bertobat, terkecuali dosa syirik, yaitu

dosa karena menyekutukan Allah dengan sesuatu. Dosa syirik adalah dosa yang tak

terampuni.”

“Bagaimana caranya agar saya bisa kembali berkumpul nanti dengan keluargaku di

surga?” ulang Ki Singalodra.

“Berjihadlah dengan ikhlas, semata-mata demi tegaknya tauhid. Li ila kalimatillah. Asal kita tidak berhutang pada orang lain, setiap orang yang menemui

kematian di jalan jihad, syahid fi sabilillah, dijamin Allah langsung masuk surga…

tanpa dihisab.”

Kedua mata Ki Singalodra berbinar. Wajahnya menjadi cerah. “Terima kasih, Kanjeng

Gusti Pangeran. Terima kasih. Saya akan berjihad disamping Paduka.”

Ustadz Taftayani maju ke depan. Dia kemudian menyalami dan juga memeluk Ki

Singalodra. Setelah itu salah seorang guru dari Pangeran Diponegoro ini berdiri dan

memberikan sambutannya, “Dahulu ketika menghadapi kaum musyrikin Quraisy,

Allah subhana wa ta’ala mengirimkan seorang Hamzah bin Abdul Muthalib, untuk

memperkuat barisan kaum Muslimin. Hamzah adalah Singa Allah dan Rasul-Nya. Dialah

yang menjadi pahlawan Perang Badr dan Uhud. Dan sekarang, Allah subhana wa ta’ala mengirimkan bagi kita seorang Ki Singalodra yang gagah berani. Insya Allah,

dengan izin Allah, dengan bergabungnya Ki Singalodra, barisa kita akan bertambah

kuat. Cahaya kemenangan semakin dekat. Saya yakin, Ki Singalodra adalah Hamzah

yang dikirimkan Allah kepada kita. Allahu akbar!”“Amien ya Rabb! Allahu akbar!” teriak semua yang ada disitu. [] (Bersambung)

[1] Putera Sultan Hamengku Buwono II.

Bab 2ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGANTHAGUT, sebagaimana air yang tidak

pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai

dengan kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam

ini di dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang

hanya diikuti tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang

lainnya yang di antaranya para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja

Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan

Page 19: Untold History of Pangeran Diponegoro

Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono VI untuk membantu persiapan

perjuangannya pamannya itu.

Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan

pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.

Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga

gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar

menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang

sudah menetap di Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di

pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah

berjaga, namun mereka tetap waspada.

Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta

sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang

bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan

melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus

memiliki persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota

baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting:

bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan

benar tentang makna jihad di Jalan Allah.

Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu

bagiannya mengupas tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.

Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “…

Thaghut merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan

hidup, keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal

dari hukum Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka

itulah Thagut… Apakah ada yang ingin bertanya?”

Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2]juga bisa

dianggap sebagaiThagut?”

“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi yang

lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-jenis pajak yang

dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak salah, sekarang ini

ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir

Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya

melarat. Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti

ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah,

jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti

dengan sistem yang adil….”

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…” Tiba-tiba Pangeran

Diponegoro sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.

Page 20: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan

seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra.

Ketika menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser

untuk memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus

duduk membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah

menahannya.

“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ…,” bisiknya sambil tersenyum.

Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula.

Walau hatinya merasa teramat sungkan.

“Pangeran,” ujar Taftayani. “… kita disini sedang membahas pajak dan Thagut. Apakah

ada yang ingin ditambahkan?”

“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”

“Sedikit. Silakan paparkan…”

Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia

kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.

“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu

negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk

rakyatnya…,” paparnya.

Kemudian dia melanjutkan, “…Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri

memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau

kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini

sangat subur. Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya,

baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa

memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri

yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram hukumnya…”

Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar kalimat yang

disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.

“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang? Bahkan orang-

orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri…” tanya Pangeran

Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah

penjajah bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa

yang dijajahnya. Baik perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan

yang dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang

sekarang ada. Pajak sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk

memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat di negeri ini kian hari kian rakus

Page 21: Untold History of Pangeran Diponegoro

dengan kelezatan dunia. Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi

korban adalah rakyat kebanyakan…”

“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?” tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono

VI.

Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun ustadz itu malah

mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan Pangeran…”

“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab Diponegoro, “…sebab itu, jika

suatu kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah

penaklukan, kalah, dan sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang

berarti ‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari apa? Yaitu

membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta’ala,

baik itu ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang

korup, dan sebagainya. Itulah esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia

dari kebathilan dan kezaliman…”

Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar menyayangi murid

yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran Diponegoro,

yang terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal

sebagai Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta

ini memiliki banyak keistimewaan.

 

Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu

Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku

Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi

pembebas rakyat dari kezaliman dan kesengsaraan.

“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk mengusir penjajah

Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada

kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi

diriku,” tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro.

Sebab itu, Sultan secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh

dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng. (Bersambung)

[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal

dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden

Mas Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam

usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang

loyal walau terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di

Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal

karena kecelakaan saat berpesiar di laut.

Page 22: Untold History of Pangeran Diponegoro

Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri,

kompleks makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti

bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal

TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran

peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas

ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.

[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan kecil

tanpa perkecualian.

[3] Pajak atas pintu rumah.

[4] Pajak atas pekarangan rumah.

[5] Pajak atas hewan ternak.

[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya sedikit.

[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.

[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.

[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada

pertunjukkan kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada

pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini.

[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga pajak

pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap

dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik

bupati tanpa dibayar sepeser pun.

[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di

keraton Jogyakarta, pada Jum’at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember 1785).

Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM)

Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak

tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.

Di masa itu, perempuan-perempuan dan laki-laki Jawa-termasuk di kalangan

bangsawan kraton-lazim menikah di usia yang masih relatif sangat muda. Ketika

Diponegoro dilahirkan, Raden Ayu Mangkarawati, sang ibu, masih berusia 14 tahun, dan

ayahnya 16 tahun[1]. Dan sudah menjadi kelaziman jika sang anak kemudian diasuh

oleh nenek atau buyutnya. Hal ini merupakan tradisi leluhur agar sang anak

mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang benar dari seseorang kerabat yang

jauh lebih matang dan dewasa. Suatu konversi budaya yang saat ini sudah punah.

Page 23: Untold History of Pangeran Diponegoro

Sesuai amanah khusus dari Hamengku Buwono I, bayi Diponegoro diasuh oleh nenek

buyutnya, Ratu Ageng. Ratu Ageng dikenal sebagai seorang permaisuri yang sangat

taat pada agama dan luas ilmunya. Sampai tahun 1792, ketika suaminya masih

berkuasa, Ratu Ageng mengasuh Diponegoro di kraton dan kemudian meneruskannya

di Puri Tegalredjo setelah suaminya wafat.

Selain seorang pendidik, Ratu Ageng juga merupakan Panglima Bregada Langen Kesuma-kesatuan pasukan elit khusus perempuan pengawal raja, seperti hanya Trisat

Kenya di zaman Amangkurat I-pada masa kekuasaan Mangkubumi.

Bregada Langen Kesuma merupakan kesatuan khusus pengawal raja yang sangat

tangguh. Walau semua anggotanya perempuan, namun pasukan berkuda ini dilengkapi

dengan senjata api laras panjang dan pendek, pedang, keris, tombak, trisula, dwisula,

dan lain sebagainya. Keterampilan mereka dalam olah senjata dan olah kanuragan

jangan diragukan lagi.

Ada sebuah kisah yang terjadi pada bulan Juli 1809. Ketika itu Marshall Hermann

Wilhelm Daendels berkunjung ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam salah satu

jamuan penyambutan, diperlihatkan atraksi dari Bregada Langen Kesuma dan dia

terkagum-kagum melihat atraksi pasukan khusus perempuan ini. Sejarawan Carey

mengatakan jika Langen Kesuma merupakan satu-satunya kesatuan militer pribumi

yang mampu membuat Daendels berdecak kagum ketika melihatnya.

Selain Daendels, J. Greeve bersama Residen Surakarta Hartsinch juga pernah

menyaksikan Bregada Langen Kesuma ini. Mereka disambut dengan salvo senapan dan

meriam yang dipergilirkan dengan amat sempurna.

Markas dari kesatuan istimewa ini berada di Pesanggrahan Madyaketawang. Lapangan

latihan menembak bagi pasukan ini berada di alun-alun Pungkuran, di selatan kraton.

Serat Rerenggan Karaton, Pupuh XXII, Sinom, menyebutkan:

 

“Sanggrahan Madya Ketawang, lamun miyos Sri Bupati, pratameng Langenkusuma, lir priya praboting jurit, tinonton saking tebih, saengga priya satuhu, samya munggeng turangga, myang yen gladhi neng praja di, angreh kuda neng ngalun-alun pungkuran.”

 

Artinya lebih kurang sebagai: “Di Pesanggrahan Madyaketawang, dan datanglah Sri

Bupati (maksudnya Sri Sultan) untuk menyaksikan mereka, seorang perempuan yang

menjadi pemimpin pasukan Langen Kesuma, penampilannya mirip prajurit lelaki, dilihat

dari jauh, tampak seperti prajurit laki-laki sungguhan, semua naik kuda, menuju tempat

latihan di ibukota, yaitu di Alun-alun Pungkuran.”

Page 24: Untold History of Pangeran Diponegoro

Selain menempa pasukan khusus perempuannya dengan ilmu perang dan kanuragan,

Ratu Ageng juga membekali mereka dengan ilmu agama sehingga pakaian pasukan ini

terbilang sangat sopan, dengan tetap mengedepankan kebebasan gerak untuk

berperang. Ratu Ageng sebagai pengasuh Pangeran Diponegoro adalah panglima

pasukan khusus ini. Bukan hanya sebagai panglima, Ratu Ageng juga merupakan

seorang permaisuri raja yang sangat peduli dengan nilai-nilai keislaman. Sebab itulah,

selain menempa seorang Diponegoro dengan cara-cara seorang ksatria, Ratu Ageng

juga membekali cicit kesayangannya ini dengan ilmu agama yang cukup dalam.

Namun berbeda sikapnya dengan Diponegoro, terhadap anak kandungnya sendiri Ratu

Ageng malah tidak akur. Ini disebabkan karena Raden Mas Sundoro dianggap tidak taat

dalam menjalankan perintah agama, walau Raden Mas Sundoro sendiri dikenal sangat

anti terhadap penjajah Belanda.

Sebab itulah, ketika Hamengku Buwono I turun tahta dan digantikan oleh Raden Mas

Sundoro yang kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono II di tahun 1792, Ratu

Ageng memilih untuk keluar dari lingkungan kraton yang dianggapnya sudah cemar oleh

tradisi kafir Belanda. Ratu Ageng lebih memilih tinggal di sebuah dusun terpencil yang

kelak dikenal sebagai Tegalredjo, berjarak sekira tiga kilometer barat kraton. Diponegoro

ikut diboyong keluar dari kraton dan tinggal di dusun di tengah-tengah rakyatnya sendiri.

Dari Kraton, Puri Tegalredjo tepat berada di arah barat laut, arah yang dijadikan kiblat

bagi umat Islam di Nusantara untuk sholat. Di dalam kompleks puri, Ratu Ageng juga

membangun sebuah masjid di sebelah barat laut bangunan utama puri yang berupa

pendopo utama.

Karena dibesarkan dalam lingkungan kawulo alit atau rakyat kecil, maka dalam jiwa

seorang Diponegoro tumbuh rasa kepedulian yang sangat besar kepada orang-orang

kecil. Apalagi sejak kecil Diponegoro melihat dengan mata kepalanya sendiri betapa

seorang Ratu Ageng, permaisuri seorang raja, tidak merasa rendah ketika harus bergaul

dengan kawulo alit. Bahkan Ratu Ageng ikut terjun langsung bercocok tanam di sawah

dengan kaki dan tangan penuh lumpur. Ratu Ageng harus bekerja, karena dia harus

menghidupi keluarganya sendiri disebabkan dia menolak bantuan keuangan dari kraton

yang dianggapnya sudah dikotori oleh kemaksiatan dan kezaliman.

“Akan jauh lebih mulia di hadapan Allah jika aku bekerja dengan tangan dan kakiku

sendiri, ketimbang hidup dengan bertumpu pada uang kotor yang berasal dari memeras

keringat dan darah rakyat!” tegasnya.

Diponegoro juga melihat betapa Ratu Ageng sangat gandrung pada literatur-literatur

keagamaan, sejarah, dan juga sastra, sehingga rumahnya yang sederhana di

Tegalredjo bagaikan sebuah perpustakaan kecil. Sebaliknya, terhadap harta benda,

Ratu Ageng tidak memiliki minat yang besar. Dia hanya memiliki barang-barang primer

yang memang dibutuhkan dalam rumah tangga seperti kebanyakan orang.

Page 25: Untold History of Pangeran Diponegoro

Semua pengajaran yang diberikan Ratu Ageng dan para ulama yang dipanggil maupun

yang didatangi langsung oleh Diponegoro muda menyebabkan Pangeran Diponegoro

menjadi seorang pemuda yang bersahaya. Seluruh kehidupannya diusahakan dengan

keras mengikuti teladan Rasulullah SAW. Dia sering menyamar sebagai orang

kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Diam-diam

dia sering membaur bersama para santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan

dengan menggunakan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir

terbongkar, dia akan segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu,

Diponegoro juga senang mengembara, keluar masuk hutan, tinggal di gua-gua untuk

menyendiri, dan menatap lama-lama deburan ombak dan langit Laut Kidul.

 

Pangeran Diponegoro tahu betul, kehidupan para pembesar kraton yang sebagian besar

masih kerabatnya, kian hari malah kian jauh dari tuntunan agama. Para pejabat kraton

yang notabene sudah memeluk Islam, semakin hari malah semakin mesra dengan

kafir Belanda. Islam bagi mereka hanyalah identitas formal, sedangkan kelakuannya

sudah tidak ada beda lagi dengan kelakuan kaum kafir Belanda yang menyukai dansa-

dansi sampai pagi, minum-minuman keras, gila harta dan judi dengan taruhan gadis-

gadis penari.

Martabat Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang tadinya begitu tinggi dan mulia kini

sudah cemar, dikotori kafir Belanda dan sebagian besar pembesar kraton sendiri yang

sudah lupa dengan jatidirinya.

Sebab itu, ketika Hamengku Buwono III, ayah kandungnya, hendak menobatkannya

sebagai putera mahkota-walau Diponegoro bukan berasal dari permaisuri, namun selir-

dengan tegas dia menolaknya. Ustadz Taftayani tahu, penolakan Diponegoro lebih

disebabkan ketidaksukaannya terhadap campur tangan Belanda dalam kekuasaan

kraton. Bahkan pengangkatan seorang raja pun harus disetujui Belanda dan Residen

Belanda-lah yang melantik seorang raja. Diponegoro amat muak dengan semua ini.

Itulah yang melatarbelakangi penolakannya untuk menjadi raja di Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat.

Dengan penuh keikhlasan, dia menunjuk adiknya yang masih belia, Raden Mas Jarot,

untuk menerima posisi sebagai putera mahkota. Dihadapan orang-orang terdekatnya,

Diponegoro ketika itu mengatakan,

“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, tolong

ingatkan pada saya, bahwa saya bertekad tidak mau dijadikan pangeran mahkota,

walau pun seterusnya akan diangkat menjadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya

sendiri tidak ingin itu terjadi. Cukuplah saya menjadi seperti apa yang ada sekarang,

dekat dengan Gusti Allah dan rakyatku. Saya bertobat kepada Allah Yang Maha Besar.

Hidup di dunia tiada akan lama dan saya tidak ingin hidup saya ini nantinya dikotori oleh

kafir Belanda. Saya tidak ingin hidup dengan menanggung dosa…”[2]

Page 26: Untold History of Pangeran Diponegoro

Bagi Diponegoro, kehidupan penuh glamor di dalam kraton sama sekali tidak menarik

hatinya. Baginya kraton adalah tempat yang penuh dengan dosa, dan dia tidak mau ikut

terkotori. Diponegoro lebih menyukai hidup dan berada di tempat yang sepi, untuk

mencari kesejatian dan makna hidup, menggali ilmu agama, dan pengetahuan yang

bermanfaat.

Seorang Diponegoro lebih menyukai menjalin silaturahim dengan para alim-ulama dan

rakyat biasa, ketimbang berdekat-dekatan dengan penguasa. Sejumlah ulama besar

yang dekat dengan Diponegoro antara lain Kiai Muhammad Bahwi, penghulu utama

kraton, lalu Haji Baharudin yang menjadi Komandan Pasukan Suronatan, Kiai

Kasongan, Kiai Papringan, juga dengan Kiai Baderan ayah dari Kiai Mojo, dan lain-lain.

Dan seorang Ustadz Muhammad Taftayani merasa bersyukur bisa menjadi salah satu

guru bagi orang yang berhati mulia ini.

 

“Ustadz… silakan lanjutkan paparannya. Saya hendak keluar dahulu,” ujar Pangeran

Diponegoro membuyarkan semua ingatan Muhammad Taftayani[3] tentang murid

kesayangannya itu.

“Astaghfirullah.. saya melamun. Silakan Pangeran. Dan karena hari sudah semakin

malam, pengajian kali ini kita cukupkan sampai disini dahulu. Mudah-mudahan iman

Islam yang kita miliki mampu untuk mengikat hati kita semua dalam perjuangan yang

sebentar lagi akan mendatangi kita. Cepat atau lambat, semuanya akan diuji oleh

perjuangan ini. Saya berdoa agar Allah subhana wa ta’ala nanti memasukkan dan

mengumpulkan kita semua di dalam jannah-Nya. Amien ya Rabb.

Apakah kisanak semua masih ada pertanyaan?”

Ketujuh lelaki dewasa yang ada di hadapan Ustadz Taftayani saling berpandangan dan

kemudian menggelengkan kepala.

“Baiklah. Nanti kita akan berkumpul kembali dalam pengajian berikutnya. Untuk saat ini

saya cukupkan.Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.““Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab semuanya.

Pengajian telah berakhir malam itu. Para prajurit ada yang beristirahat, ada pula yang

bertugas jaga. Sedangkan dua senopati, sejumlah sesepuh, dan pimpinan pasukan

lainnya bergabung di sebuah rumah yang cukup besar di bagian bawah Gua Selarong.

Seperti yang dilakukan setiap malam, semuanya akan mendengar pemaparan

perkembangan terakhir situasi Yogyakarta dan juga kraton dari para telik sandiatau

mata-mata yang dikirim ke berbagai tempat. Pangeran Diponegoro akan langsung

memimpin pertemuan tersebut. [] (Bersambung)

[1] Bendoro Raden Mas Mustahar atau Bendoro Raden Mas Ontowiryo atau Pangeran

Diponegoro dilahirkan 11 November 1785. Ayahnya, Raden Mas Surojo atau yang

kemudian dikenal sebagai Hamengku Buwono III dilahirkan pada 20 Februari 1769.

Page 27: Untold History of Pangeran Diponegoro

[2] Kalimat yang diucapkan Pangeran Diponegoro ini tertulis di dalam Babad Diponegoro

jilid I hal.39-40.

[3] Menurut laporan Residen Belanda tahun 1805, Ustadz Taftayani yang berasal dari

Sumatera Barat itu mampu memberikan pengajaran dalam bahasa Jawa dan pernah

mengirimkan anak-anaknya ke Surakarta, pusat pendidikan agama pada waktu itu. Di

Surakarta, Taftayani menerjemahkan kitab fiqih Sirat Al-Mustaqim karya Nuruddin Ar

Raniri ke dalam bahasa Jawa. Ini mengindikasikan, Pangeran Diponegoro belajar Islam

dengan serius. (Dr. Kareel A. Steenbrink, 1984, “Beberapa Aspek Tentang Islam di

Indonesia Abad ke 19″, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta hal. 29

Bab 3

SUROMENGGOLO BERSAMA TIGA LELAKI LAINNYA sudah duduk bersila di ruangan

agak besar berdinding bambu yang tidak dilabur dengan kapur, sehingga bilik-biliki

bambu yang mengikat dengan saling-silang itu menampakkan keasliannya. Sebuah

pelita kecil sengaja diikatkan di pokok bambu, tepat di bagian tengah atas ruangan.

Keempat orang itu merupakan bagian dari pasukantelik sandi yang sengaja dikirim

Diponegoro ke daerah-daerah musuh untuk menggali informasi sebanyak-banyaknya

tentang berbagai hal.

Di luar, suara hewan malam terdengar bersahut-sahutan. Sesekali di kejauhan,

lenguhan monyet menimpali. Suaranya begitu memilukan, bagai meneriakkan nasib

rakyat pribumi yang terus-menerus menderita di bawah kekejaman Belanda dan antek-

anteknya.

Suromenggolo sungguh-sungguh kagum dengan Susuhunan Paku Buwono IV.

Keponakan dari Pangeran Diponegoro inilah-bersama Pangeran Mangkubumi[1]-yang

menganjurkan agar pamannya memilih Gua Selarong sebagai basis perlawanan gerilya.

Wilayah Selarong dengan beberapa guanya memang sangat strategis. Tempatnya

berada di ketinggian sebuah bukit, dikelilingi hutan yang masih lebat walau tidak luas.

Jalan dari dan menuju gua hanya satu dan itu pun kecil sehingga sulit dilalui kereta yang

ditarik kuda. Walau berada di ketinggian, namun Gua Selarong yang berada di selatan

Yogyakarta ini tak begitu jauh dengan dengan garis pantai Laut Kidul, tempat yang

disukai Diponegoro untuk tafakur .

Di bawah Gua Selarong terdapat perkampungan yang sudah ramai oleh rumah

penduduk. Walau demikian, kontur daerah ini memang menjadikannya sangat cocok

untuk dijadikan markas komando dalam kacamata militer.

Setelah menyimak dan menimbang saran dari Paku Buwono VI, Pangeran Diponegoro

akhirnya mengakui jika usul keponakannya tersebut memang tepat. Gua Selarong

memang sebuah benteng alami yang cukup tangguh.

Page 28: Untold History of Pangeran Diponegoro

Sebagai seseorang yang dididik dan dibesarkan panglima pasukan khusus pengawal

raja, Pangeran Diponegoro tahu banyak soal strategi perang. Ratu Ageng tidak hanya

memberinya pengetahuan keagamaan, tetapi juga membekalinya dengan dasar-dasar

kepemimpinan dan kemiliteran, pengetahuan tentang taktik perang, penggunaan

senjata, manajemen pasukan, dan lain sebagainya.

Sebab itulah, walau tidak dilakukan tiap malam, selepas pengajian dan di saat yang lain

sudah beristirahat atau kembali berjaga di posnya masing-masing, Pangeran

Diponegoro selalu mengadakan pertemuan terbatas dengan para telik sandi terpilih

untuk memantau perkembangan di luar sana.

Pangeran Diponegoro percaya dengan informasi yang disampaikan para telik sandinya.

Di sisi lain, tanpa sepengetahuan para telik sandinya, Diponegoro juga membentuk unit

kontra intelijen yang mengawasi dan mengecek semua informasi yang diterima dari

bawahannya. Yang terakhir ini direkrut dari orang-orang yang sangat dipercayainya,

walau pun jumlahnya tidak banyak. Ustadz Taftayani sendiri yang telah membaiat

mereka dengan kitab suci al-Qur’an di atas kepala.

Tiba-tiba pintu bilik yang bagian luarnya terbuat dari bambu bergerak terbuka. Deritnya

terdengar pelan. Dari pintu yang terbuka tampak Ki Guntur Wisesa yang pertama

memasuki ruangan, diikuti Pangeran Diponegoro, Ustadz Taftayani, Pangeran Bei,

seorang pengawal khusus, dan kemudian barulah beberapa orang sesepuh dan para

senopati. Salam pun ditebarkan, dijawab kembali dengan salam saling mendoakan

kebaikan bagi semuanya. Mereka duduk melingkar di tengah ruangan, diterangi

temaram satu-satunya pelita kecil yang diikat di atas dekat wuwungan.

Tidak ada yang bersuara hingga Ustadz Taftayani membuka pertemuan.

“Bagaimana laporanmu Suromenggolo?” bisiknya langsung ke pokok pertemuan.

Lelaki yang disapa Suromenggolo mengangguk pelan. Murid sekaligus orang

kepercayaan Kiai Mojo, ulama kharismatik dari Desa Mojo yang berada di utara

Surakarta, ini tidak segera menjawab. Dia mengedarkan terlebih dahulu pandangannya

ke sekeliling ruangan. Walau nyaris gelap, namun dia bisa merasakan jika seluruh

pimpinan pasukan jihad fi sabilillah Kanjeng Gusti Pangeran berkumpul di sini.

Setelah mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, masih sambil duduk bersila,

Suromenggolo membungkukkan badan dan mulai mengeluarkan suaranya. Terdengar

seperti orang berbisik, namun bisa didengar dengan jelas.

“Alhamdulillah. Semakin banyak ulama dan para pendekar yang menyatakan dengan

tegas jika mereka akan bergabung dengan kita….”

Pangeran Diponegoro dan semua yang ada di dalam ruangan tersebut juga

mengucapkan hamdallahtanda syukur kepada Allah subhana wa ta’ala. Beberapa

Page 29: Untold History of Pangeran Diponegoro

tahun lalu, Pengeran Diponegoro dan yang lainnya memang bergerak di segenap

penjuru negeri untuk menggalang kekuatan untuk memerangi dan mengusir Belanda.

Orang pertama yang dikunjungi Diponegoro adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat,

Klaten. Kedua kiai ini tidak saja menyatakan dengan tegas kesanggupannya untuk

bergabung namun juga memberi Diponegoro tambahan ilmu bela diri. Dari Bayat,

Diponegoro bersama Pangeran Mangkubumi melanjutkan perjalanan ke Sawit, Boyolali,

untuk menemui Kiai Modjo, seorang Kiai kepercayaan Kanjeng Susuhunan Pakubuwono

VI. Kiai Modjo pun mendukung penuh Pangeran Diponegoro. Lalu dengan diantar Kiai

Modjo, Pangeran Diponegoro menemui Tumenggung Prawirodigdoyo di Gagatan.

Tumenggung ini adalah orang kepercayaan Susuhunan Paku Buwono VI.

Dan atas saran Kiai Modjo dan Tumenggung Gagatan inilah, Pangeran Diponegoro pun

menemui Paku Buwono VI, keponakan Diponegoro sendiri.

“Hampir semua ulama yang saya temui di sekitar Merapi, Dieng, Merbabu, Kulon Progo,

dan lainnya, semua siap bergabung dengan Kanjeng Pangeran. Bukan saja para ulama,

namun juga para pendekar dan jagoan-jagoan setempat. Mereka sudah muak dengan

Belanda. Mereka hanya tinggal menunggu perintah dari Kanjeng Pangeran.”

Ustadz Taftayani mengangguk-angguk. “Alhamdulillah, ini perkembangan yang baik.

Namun ketahuilah, jika perang yang akan kita lakukan ini adalah perang sabil, Jihad fi sabilillah. Perang yang semata-mata bertujuan untuk meninggikan kalimat Allah dan

menghapuskan segala kezaliman. Sebab itu, kita harus mengaktifkan pengajian-

pengajian di seluruh negeri, agar semua yang nantinya bergabung dengan kita

memahami apa tujuan dan hakikat perang ini. Bagaimana Pangeran?”

“Insya Allah, saya juga berpendapat sama. Kita akan memetik kemenangan. Tidak ada

sedikit pun rasa takut dan cemas menghadapi hari esok bagi orang-orang beriman.

Kematian adalah kepastian. Dan hanya orang-orang beriman dan tawakal yang

kematiannya akan benar-benar indah. Insya Allah, Ustadz, dan juga yang lainnya, para

senopati dan para ulama, mulai besok kita akan menggencarkan pengajian kepada

semua orang yang bersedia bergabung dalam kafilah tauhid ini. Insya Allah..,” ujar

Diponegoro.

“Lantas, bagaimana dengan Danuredjo, Kisanak?” tanya Ustadz Taftayani kembali

kepada Suromenggolo.

“Danurejo makin tak terkendali, Ustadz. Tadi pagi seorang ibu yang sedang hamil tua

bersama dua orang anak kecil yang dibawanya dilarang lewat jembatan di Desa

Jotawang, hanya karena uang yang dimiliki sang ibu tadi untuk bayar pajak jalannya

kurang. Danurejo ada di sana. Dia tengah menginspeksi pos-pos jalan utama. Dia

sendiri yang kemudian memerintahkan ibu itu dan anak-anaknya untuk menyeberangi

Kali Code yang berbatu-batu yang ada di bawah jembatan. Akhirnya ibu dan anak-

anaknya itu pun terpaksa menyeberangi kali. Dan celaka, mereka jatuh dan terbawa

hanyut air kali yang deras. Tidak ada yang berani menolongnya karena Danurejo dan

pasukannya melarang semua orang yang ada di situ untuk menolong mereka….”

Page 30: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Astaghfirullah al-adziem....,” desis semua yang ada di sana.

“Dasar anjing Belanda!” umpat Ki Singalodra geram. Giginya sampai terdengar

bergemeletuk saking marahnya.

“Teruskan Kisanak…,” ujar Ustadz Taftayani. (Bersambung)

[1] Pangeran Mangkubumi merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono II atau yang

lebih populer disebut sebagai Sultan Sepuh. Sultan Hamengku Buwono II ini sangat anti

penjajah Belanda. Sikap ini diwariskan oleh Pangeran Mangkubumi. Pangeran

Diponegoro sendiri lebih dekat kepada Sultan Sepuh ketimbang terhadap ayahnya

sendiri, Sultan Hamengkubu Buwono III yang tidak begitu tegas, bahkan beberapa kali

dengan jelas mendukung Belanda.

Oleh Rizki Ridyasmara

Suromenggolo melanjutkan paparannya, “Danurejo juga telah memerintahkan dua orang

kepercayaannya, Pangeran Murdaningrat dan Pangeran Ponular untuk menaikkan tarif

pajak di beberapa ruas jalan yang makin ramai. Siapa saja yang tidak sanggup bayar,

dilarang melintas di jalan itu…”

 

Pangeran Diponegoro bergumam, “Murdaningrat dan Ponular, jahat benar mereka…”

 

Suromenggolo mendengar gumamannya, “Ya, benar Kanjeng Gusti Pangeran. Mereka

berdua telah benar-benar menjadi kaki tangan bagi Danurejo dan juga kafir Belanda.

Bukankah mereka yang menggantikan Kanjeng Gusti Pangeran dan Pamanda Kanjeng

Gusti Mangkubumi di dewan perwalian?”

 

Diponegoro mengangguk. “Ya, mereka yang menggantikanku dan

Paman Mangkubumi di Dewan Perwalian Kraton.”

 

Ustadz Taftayani dan semua orang yang berkumpul di ruangan itu tahu benar jika

sesungguhnya Dewan Perwalian Kraton hanyalah alat bagi kepentingan Belanda untuk

menipu rakyat.

Awalnya adalah ketika Sultan Hamengku Buwono III wafat pada tahun 1814. Saat itu

Raden Mas Jarot, adik dari Pangeran Diponegoro, baru berusia sepuluh tahun. Rakyat

menginginkan agar Diponegoro yang menjadi raja. Namun Diponegoro sejak awal

menolak. Dan Belanda pun tidak menyukai Diponegoro yang tidak mau tunduk pada

Page 31: Untold History of Pangeran Diponegoro

kepentingannya. Akhirnya Raden Mas Jarot pun naik tahta, menjadi Sultan Hamengku

Buwono IV dalam usia belia. Belanda menunjuk Paku Alam I sebagai wali

pemerintahannya.

 

Pada tanggal 20 Januari 1820, ketika Hamengku Buwono IV sudah hampir berusia

enambelas tahun, Paku Alam I meletakkan jabatan sebagai wali raja. Namun

pemerintahan mandiri Hamengku Buwono IV hanya berjalan selama dua tahun, karena

pada tanggal 6 Desember 1822 tengah hari, ketika baru saja sepulangnya dari tamasya,

dia meninggal dunia. Sebab itulah Hamengku Buwono IV disebut juga sebagai Sultan Seda ing Pesiyar, Sultan yang meninggal dunia ketika tengah tamasya.

Menurut keterangan Belanda, sakitlah yang menjadi sebab kematiannya. Namun

banyak orang yang percaya, jika Belanda atau orang-orangnya telah meracuni Sultan.

Belanda berbuat itu agar kekuasaan Patih Danuredjo IV bisa lebih besar.[1] Patih

Danuredjo IV, yang berasal dari keluarga Danurejan yang memang sejak lama menjadi

kaki tangan Belanda, kemudian menempatkan saudara-saudaranya menduduki jabatan-

jabatan penting di kraton. Dengan meninggalnya Hamengku Buwono IV, maka otomatis,

Raden Mas Gatot Menol, anaknya yang baru berusia tiga tahun akan naik tahta. Dengan

adanya raja balita ini, maka Patih Danuredjo akan sangat leluasa untuk menguasai

seluruh kraton. Dan kepentingan Belanda pun akan terjamin dalam waktu yang lama.

 

Dan memang demikian adanya. Raden Mas Gatot Menol yang baru berusia tiga tahun

pun diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono V. Untuk mendampingi raja kecil ini,

Belanda bersama Patih Danuredjo IV membentuk Dewan Perwalian Kraton, yang terdiri

dari orang-orang terdekat dari sang raja. Dewan ini dibentuk salah satunya untuk

menghilangkan kecurigaan rakyat banyak soal sebab kematian Hamengku Buwono IV.

Dengan adanya Dewan Perwalian, maka Patih Danuredjo bisa berlindung di balik dewan

ini atas semua tindak-tanduknya.

 

Naiknya Raden Mas Gatot Menol menjadi Hamengku Buwono V dan dibentuknya

Dewan Perwalian Kraton menimbulkan dilema tersendiri bagi seorang Pangeran

Diponegoro. Dia sudah curiga jika Dewan Perwalian hanyalah hasil akal-akalan dari

seorang Danuredjo. Karena keputusan final pemerintahan tetap berada di tangan Patih

Danuredjo IV bersama-sama dengan Residen Belanda.

 

Namun jika dia tidak bergabung di dalamnya, maka kraton akan sepenuhnya dikuasai

Danuredjo dan para penjilat kafir Belanda lainnya. Setelah bertafakur cukup lama di

Page 32: Untold History of Pangeran Diponegoro

Parangkusumo, dengan mengucapkan Bismillah, maka Pangeran Diponegoro pun

memilih untuk mau bergabung sebagai anggota Dewan Perwalian, bersama dengan

Mangkubumi, pamannya yang sangat dihormati Diponegoro. Diponegoro berharap

dengan bergabungnya dia dan Mangkubumi di dalam Dewan Perwalian Kraton, maka

mereka bisa mewarnai kraton agar lebih memihak umat ketimbang memihak penguasa

kafir Belanda.

 

Namun kenyataan berkata lain. Hampir setiap hari rapat demi rapat berlangsung,

memutuskan ini dan itu terkait kebijakan kraton terhadap berbagai macam masalah

menyangkut rakyat banyak, namun segala keputusan Dewan Perwalian ternyata tidak

berjalan sebagaimana mestinya. Semua kebijakan pemerintah ternyata tidak sejalan

dengan hasil musyawarah atau rekomendasi dari Dewan Perwalian. Patih Danuredjo

yang sangat licin dan mahir berbicara ini. bahkan dengan menyitir banyak ayat Qur’an,

hadits, dan juga siroh Rasul, selalu menelikung semua keputusan Dewan ini. Sehingga

keberadaan Dewan seolah tidak ada artinya, kecuali hanya sebagai panggung

sandiwara. Danuredjo bisa dengan mudah dan leluasa memutuskan segala hal walau itu

bertentangan dengan hasil musyawarah Dewan Perwalian Kraton. Patih Danuredjo lebih

berkuasa ketimbang Dewan Perwalian itu sendiri. Dewan yang berfungsi sebagaimana

layaknya Dewan Syuro ini tidak memiliki kekuatan apa-apa jika Danuredjo berkehendak

lain.

 

Semua ini membuat Pangeran Diponegoro bertambah muak. Maka dengan tegas,

Diponegoro-bersama Mangkubumi-menyatakan keluar dari dewan ini dan bersama-

sama umat berjuang dari luar lingkaran kekuasaan yang bertambah korup. Danuredjo

sendiri mengiming-imingi kedudukan dan uang yang banyak kepada Diponegoro, namun

Sang Pangeran tidak goyah dan tetap memilih berjuang dari luar tembok kraton

sepenuhnya.

Dengan tetap mengecilkan volume suara, Suromenggolo melaporkan semua informasi

yang diterimanya di lapangan, baik berkenaan dengan pergerakan pasukan Belanda

dan antek-anteknya, juga kebijakan baru yang diambil oleh Patih Danuredjo yang kian

menyusahkan rakyat.

 

Di akhir laporannya, Suromenggolo dan kedua rekan anggota pasukan telik sandi-nya

bersepakat jika perkembangan di luar semakin panas dan bukan tidak mungkin Belanda

dan Danuredjo akan mengambil suatu langkah untuk memprovokasi Pangeran

Diponegoro untuk memulai perang.

 

Page 33: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Maaf Kanjeng Pangeran..,” ujar Suromenggolo. “…saat ini Kanjeng Pangeran dan

semua yang ada di sini harap lebih waspada dan hati-hati. Dari berbagai informasi yang

kami dapatkan di lapangan, kami yakin jika Belanda dan Patih Danuredjo tengah

menyusun siasat agar kita semua terpancing . Mereka ingin kita melawan mereka

secara terbuka terlebih dahulu. Semua ini agar mereka memiliki alasan untuk

menangkap dan membunuh kita semua di sini…” [] (Bersambung)

[1] Peter Carey di dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanagara and the end of an old order in Java 1785-1855 (2007) menulis, “…bagaimana dia wafat sangat

mengerikan-tampaknya ia mendadak kena serangan penyakit ketika sedang makan-dan

tubuhnya langsung membengkak, suatu pertanda menurut dugaan beberapa orang

masa itu, bahwa dia telah diracuni… Kematian itu datang dengan tiba-tiba setelah

Hamengku Buwono IV menerima nasi dan makanan Jawa dari Patih Danuredja IV.”Oleh Rizki Ridyasmara

Bab 4

 

Pertengahan Juli 1825

 

MALAM TELAH TURUN MENYELIMUTI LANGIT Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Di aula kraton, musik Ratu Wilhelmina terdengar mendayu-dayu dari piringan hitam yang diputar. Gelak tawa para pembesar Belanda dan para pejabat kraton yang tengah dimabuk whisky dan Brandy dalam pesta jamuan makan malam yang mewah terdengar kencang. Diseling cekikikan genit para Noni Belanda dan perempuan-perempuan muda yang didatangkan orang-orangnya Patih Danuredjo entah dari mana.

Di salah satu ruangan utama kraton, Patih Dalem Danuredjo IV tampak duduk semeja dengan Anthonie Hendriks Smissaert, Residen Yogyakarta. Penggila pesta dan minuman keras itu, dan tentu saja juga wanita, merupakan Residen Belanda ke-18 untuk Yogyakarta. Sejak bertugas tahun 1823, hampir tiap pekan Smissaert menggelar pesta dansa-dansi dan minuman keras dengan mengundang koleganya, termasuk para pembesar kraton seperti halnya Patih Danuredjo IV dan sebagian pangeran serta pejabat lainnya.

Di hadapan meja yang dipenuhi abu cerutu dan beberapa botol Whisky yang sudah berkurang isinya, Patih Danuredjo tengah berembug dengan residen itu untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang makin lama makin mencemaskan mereka.

Dari para mata-mata yang disebar Belanda dan juga kraton, mereka mendapatkan keterangan jika kian hari kian banyak saja orang yang bergabung dengan Diponegoro. Apalagi di Puri Tegalredjo, tempat kediaman Diponegoro dan Ratu Ageng, sudah lama tercium adanya pelatihan-pelatihan ilmu bela diri bagi pribumi yang dipimpin oleh sejumlah ulama pendekar dan para jagoan yang menyatakan setia kepada Diponegoro. Pelatihan itu tidak

Page 34: Untold History of Pangeran Diponegoro

saja dilakukan dengan tangan kosong, namun juga menggunakan berbagai macam senjata.

“Patih, Kowe musti bisa bikin cara supaya Diponegoro itu bisa segera ditangkap!”

Patih Danuredjo tersenyum. Dengan suaranya yang lembut dan kalimat yang teratur rapi, dia menjawab, “Insya Allah, Tuan Residen tenang saja. Saya dan anak buah saya sedang mencari jalan supaya dia bisa sesegera mungkin ditangkap.”

“Kapan? Kowe tidak bisa berlama-lama begitu! Apa mau tunggu sampai pengikutnya banyak? Jadi susah kita nantinya!” sergah Smissaert sambil menenggak sebotol Whisky dari botolnya langsung. Jakunnya yang besar terlihat bergerak naik turun di lehernya. Dia kemudian menopangkan sebelah kakinya yang pendek naik di atas meja ke atas kaki yang lain. Tapak sepatu lars Smissaert kini menghadap lurus ke wajah Danuredjo. Patih Danuredjo benar-benar direndahkan olehnya. Tapi patih itu hanya berdiam diri sambil tetap tersenyum, walau hatinya serasa panas diperlakukan seperti itu.

Melihat Danuredjo yang belum juga menjawab pertanyaannya, dengan tidak sabaran lelaki kecil berwajah bulat dengan rambut tipis berwarna putih keperakan dan bermata biru itu berkata, “Aah, jangan-jangan kowe berkomplot dengan Diponegoro hah!”

Danuredjo yang ikut minum Whisky, hanya saja dia meminumnya dari sloki, tersedak. Airnya sampai tumpah membasahi pakaiannya.

“Tidak, bukan begitu, Tuan. Tuan salah besar jika sampai menduga hal itu. Saya sebenarnya sejak beberapa hari lalu berpikir jika kita sebenarnya punya cara yang bagus untuk menangkap Diponegoro itu…”

“Kenapa kowe dari tadi diam saja?” ketus Smissaert dengan sinis. Bekas Residen Rembang yang ditunjuk Gubernur Jenderal Van Der Capellen pada 3 Januari 1823 menjadi Residen Yogyakarta ini, walau bertubuh kecil dan kikuk, namun sikapnya sangat percaya diri.

“Saya baru mau cerita, Tuan…”

“Ya, cepatlah cerita!”

Danuredjo membetulkan posisi duduknya. Kini punggungnya ditegakkan tanpa bersandar ke bagian sandaran kursi rotan yang tinggi. Setelah terbatuk-batuk kecil sebentar dia mulai memaparkan rencana bulusnya.

“Tuan Residen, Tuan pasti tahu proyek jalan lurus dari Yogyakarta ke Magelang yang sedang kita kerjakan bukan?”

Smissaert mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, ya, saya tentu tahu. Ada apa dengan proyek itu?”

Wajah Danuredjo mendadak cerah. Dia memang selalu begitu jika sedang merencanakan sesuatu. Raut wajahnya yang sedemikian licik mengingatkan

Page 35: Untold History of Pangeran Diponegoro

Smissaert pada salah satu tokoh penasehat Kurawa dalam epik Bharata Yudha yang pernah dibacanya semasa masih kecil di Bataaf, kampung kelahirannya.

Ya, orang ini mirip sekali dengan Patih Sasngkuni!

“Tuan Residen, bagaimana jika jalan yang tadinya dibuat lurus itu, melewati Muntilan, dibelokkan sedikit ke barat, melewati Tegalredjo. Jalan itu kita buat sengaja menerabas tanah makam leluhur Diponegoro dan juga kebun miliknya. Kita tancapkan saja patok-patok proyek jalan di sana. Jika kita melakukan itu, Diponegoro pasti akan marah….”

Residen Smissaert menurunkan kedua kakinya dari atas meja. Wajahnya ikutan cerah. Kedua matanya yang biru terlihat berbinar-binar. “Ha! Ini baru namanya Patih Danuredjo! Tak sia-sia Belanda punya orang seperti kowe! Ayo, ayo, teruskan ceritamu!”

Disanjung demikian, Danuredjo tersenyum lebar. Dengan sikap yang dibuat-buat dia merendahkan diri dengan mengatakan jika dirinya biasa saja dan hanya bekerja semaksimal mungkin demi kemuliaan ratu Belanda.

“Tuan pasti sudah bisa menebak kemana arahnya. Kalau Diponegoro marah, dia pasti akan mengirim utusannya kesini untuk mengajukan protes. Kita acuhkan saja protesnya dan tetap mematoki tanah itu untuk dibuat jalan. Bahkan kita kirim saja para kuli ke Tegalredjo dan mulai mengerjakan proyek ini. Diponegoro pasti akan marah besar. Dia akan kehilangan akal sehatnya. Bisa jadi dia akan menyerang kuli-kuli kita itu. Atau bisa jadi pula dia akan menyerang langsung kita di sini. Kalau itu sampai terjadi, kita tinggal menangkapnya. Kita katakan saja jika Diponegoro mau memberontak terhadap pemerintah. Bukankah itu mudah?”

Smissaert tersenyum lebar, kedua matanya yang besar menyipit, “Ha..ha..ha.. betul. Betul itu. Nah, belokan saja jalan itu menuju tanah leluhurnya Diponegoro!”

“Kapan rencana kita bisa dilaksanakan, Tuan?”

“Secepatnya. Malam ini saja. Biar kita bisa cepat menangkap orang itu!”

“Baik, Tuan!”

Patih Danuredjo kemudian berdiri dari tempat duduknya. “Sebentar, Tuan. Saya akan panggil orang proyek jalan itu sekarang.”

“Ya, kowe harus bergerak cepat!”

Danuredjo membungkuk takzim pada Smissaert, kemudian dia keluar ruangan diiringi pandangan puas dari Smissaert. Dengan langkah agak limbung karena pengaruh minuman keras, Danuredjo pergi memanggil salah seorang anak buahnya yang sudah duduk menunggu di teras dekat dengan ruangan pertemuannya dengan Tuan Residen. Agaknya Danuredjo sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Melihat Patih Danuredjo

Page 36: Untold History of Pangeran Diponegoro

datang, lelaki yang duduk menunggu itu segera bangkit dan menyongsong tuannya.

“Joko!” panggil Danuredjo dari pintu ruangan.

“Dalem, Kanjeng Patih!” ujar lelaki yang dipanggil Joko seraya bergegas menghampiri Danuredjo sambil terbungkuk-bungkuk. Lelaki itu berhenti tepat dua meter di hadapan Danuredjo dengan sikap tubuh masih sedikit membungkuk dengan kedua tangannya ditangkupkan ke bawah perut.

“Tuan Residen sudah setuju dengan rencana kita. Bagaimana kalau malam ini juga rencana itu dilakukan?”

“Inggih, Kanjeng Patih. Saya siap…”

“Bagus. Kerjakan segera dan lapor setiap perkembangan yang ada padaku.”

“Inggih, Kanjeng Patih. Perintah segera saya laksanakan.”

Patih Danuredjo segera kembali ke dalam ruangan di mana Smissaert tengah asyik menenggak whisky-nya. Dia segera bergabung dengan orang Belanda nomor satu di Yogyakarta tersebut dan tenggelam dalam pesta minuman keras.

“Patih…, kowe sudah panggil itu Sari?” tanya Smissaert menyebut salah satu penari kraton dari Pacitan yang terkenal kecantikannya. Smissaert agaknya jatuh hati pada gadis yang usianya belum genap delapanbelas tahun itu. Danuredjo tersenyum lebar penuh arti ketika Smissaert menanyakan Sari. (Bersambung)

“Pasti, Tuan. Semuanya sudah saya siapkan, termasuk Sari.”

 

“Bagus, bagus. Tolong untuk perempuan itu kowe jangan suruh menari lama-lama.

Nanti diakecapekan. Aku tidak mau kalau dia nanti cepat capek. Untukmu sendiri pasti

sudah juga kan?”

 

Danuredjo tertawa keras sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Smissaert juga ikut

tertawa.

 

“Sriayu lagi…?” goda Smissaert.

 

Page 37: Untold History of Pangeran Diponegoro

Patih itu menggelengkan kepalanya, “Untuk malam ini yang lain saja. Bosan kalau

makan sayur asem terus, biar malam ini saya makan sayur lodeh…”

 

Smissaert sekarang yang tertawa keras. Danuredjo pun demikian. Keduanya memang

penggila perempuan. Bahkan di dalam urusan keputusan pengadilan pun, Patih

Danuredjo akan memenangkan pihak yang memberikan hadiah berupa perempuan

muda dan cantik kepadanya. Hanya Wakil Residen Chevallier yang mampu menandingi

mereka dalam urusan perempuan. Wakil Smissaert ini memiliki banyak kisah asmara,

termasuk dengan puteri-puteri kraton.

 

Di luar ruangan, musik Ratu Wihelmina masih mengalun dari phonograph, alat pemutar

piringan hitam dengan corong besar berwarna hitam. Botol minuman keras berserakan

di mana-mana. Laki-laki dan perempuan masih berpelukan di lantai mengikut alunan

suara musik. Yang lain duduk rapat menikmati Whisky sambil tertawa cekikikan. Aula

kraton malam itu tak ubahnya seperti bar atau rumah bordil. Aroma alkohol menyeruak

sampai menembus ke luar dinding tebal kraton.[]

Bab 5Puri Tegalredjo, 04.50 wib

ADZAN SUBUH BERKUMANDANG MEMENUHI ANGKASA pagi. Suaranya terdengar

mendayu-dayu diteriakkan dari berbagai mushola dan masjid, besar dan kecil, yang

tersebar di seantero dusun di lembah dan gunung di kaki Merapi. Ayam jantan pun

berkokok bersahut-sahutan.

 

Masjid yang berada di pojok barat laut kompleks Puri Tegalredjo masih sunyi. Sejumlah

lampu teplok yang biasanya menyala saat waktu Maghrib dan Isya, juga saat-saat

pengajian diadakan, juga sudah padam. Di dalam masjid yang belum sepenuhnya

rampung dibangun ini, walau sudah difungsikan sebagaimana masjid lainnya, sesosok

lelaki berjubah putih dengan surban hijau pupus tengah asyik terpekur dalam zikirnya.

Dia benar-benar menikmati suasana dini hari yang hening sendirian. Baginya malam

adalah waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sang Maha. Malam adalah selimut

bagi jiwa-jiwa yang sepi. Dan malam adalah wahana untuk mengantarkan ruhani yang

dahaga akan keabadian.

 

Suara derit pintu masjid berbunyi pelan. Seorang anak muda dengan jubah dan songkok

putih melangkahkan kakinya masuk ke dalam masjid. Dia lalu berdiri tidak jauh dari

Page 38: Untold History of Pangeran Diponegoro

lelaki itu yang masih saja asyik dengan zikirnya. Anak muda itu kemudian bertakbir dan

mulai menunaikan sholat tahiyatul masjid, dua rakaat.

 

Lelaki yang duduk bersila pun menghentikan zikirnya. Dia ikut berdiri, kemudian

melaksanakan sholat sunnah dua rakaat. Tak lama kemudian, beberapa orang lelaki

berpakaian putih-putih tampak mendatangi masjid. Mereka adalah warga sekitar Puri

Tegalredjo yang sering ikut pengajian pekanan. Tak sampai lima menit masjid kecil itu

sudah dipenuhi jamaah sholat subuh yang nyaris seluruhnya mengenakan baju wulung

atau jubah putih.

 

Lelaki yang tadi berzikir dan menunaikan sholat sunnah dua rakaat kemudian berdiri

paling depan di mihrab imam. Dia mempersilakan anak muda yang tadi bersamanya

untuk segera mengumandangkaniqamah.

 

Dengan suara yang elok, tidak terlalu keras dan juga tidak pelan, anak muda tadi

menangkupkan tangan ke sebelah telinganya dan mulai meneriakkan iqamah, tanda

sholat subuh berjamaah akan segera didirikan. Selesai iqamah, lelaki yang berdiri di

mihrab untuk sesaat berdiam diri. Lalu dia mengangkat kedua tangannya sebatas

telinga. Dengan penuh kekhusyukkan dia mengucapkan takbir, “Allahu Akbar!” Semua

yang ada di belakangnya serentak mengikuti takbir sang imam.

 

Pada rakaat pertama, Pangeran Diponegoro yang menjadi imam sholat membaca surat

Al-Ikhlas. Surat ini merupakan surat ke-112, termasuk surat al-Makiyah. Surat Al-Ikhlas

berisi tentang kemurnian tauhid. Pangeran Diponegoro selalu mengawali sholat subuh

dengan membaca surat ini. Seorang Muslim wajib memulai hari dengan tauhid yang

benar agar semua ibadah di hari itu mendapatkan keridhaan Allahsubhana wa ta’ala.

Itu salah satu prinsip Pangeran Diponegoro.

 

Di rakaat kedua, Diponegoro membaca surat At-Takaatsur yang merupakan surat ke-

102 yang menceritakan soal tabiat manusia kebanyakan yang sering lalai disebabkan

kecintaannya pada kemegahan dan kelezatan dunia yang sesungguhnya menipu.

Dengan suara yang lembut dan merdu, Diponegoro membaca delapan ayat surat

tersebut. Banyak dari jamaahnya yang terisak menangis mendengar suara Sang

Pangeran yang begitu menyayat hati.

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu,Sampai kamu masuk ke liang kubur,

Page 39: Untold History of Pangeran Diponegoro

Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui,Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,Niscaya kamu akan sungguh-sungguh menyaksikan neraka jahim,Dan sesungguhnya kamu akan sungguh-sungguh akan melihatnya dengan yakin seyakin-yakinnya,Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bangga-banggakan di dunia itu)…”Usai sholat, seperti biasanya, Pangeran Diponegoro mengisi tausiyah[1] subuh yang

berisi soal penguatan akidah dan sebagainya. Dia juga tak segan-segan menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan warga desa. Pagi ini, Diponegoro memberikan

tausiyah soal “Islam dan Negara”.

 

“…di dalam sirohnya[2], Rasulullah shallallahu wa allaihi wa salam memang tidak

secara eksplisit menyebut istilah Negara Islam. Inilah yang dijadikan senjata oleh orang-

orang kafir dan para pengikutnya yang menyatakan jika tidak pernah ada Negara Islam

di dunia ini, hatta di zaman Rasulullah hidup atau di masa kekuasaan

para sahabiyah pun tidak. Semua ini salah kaprah. Sebagai agama yang kaffah syumuliyah, lengkap dan melengkapi, Islam mengatur manusia dalam semua sisi

kehidupan, pribadi maupun sosial. Nah, sekarang apakah yang disebut suatu negara

itu? Ada yang tahu?”

 

Diponegoro menatap semua jamaahnya yang duduk bersila menghadap dirinya.

Seorang anak muda jebolan sekolah madrasah di Surakarta mengangkat tangannya.

 

“Ya, silakan jawab anak muda…”

 

“Maaf Kanjeng Pangeran. Setahu saya, yang dimaksudkan dengan istilah negara adalah

kumpulan manusia yang berdiam di suatu tempat, memiliki aturan atau hukum yang

disepakati semuanya. Maafkan saya kalau salah…”

 

Diponegoro tersenyum bangga, “Kisanak tidak salah. Jawaban Kisanak betul. Nah, jika

kita semua, umat Islam, berkumpul di suatu tempat, di suatu wilayah yang kita miliki,

dan di wilayah itu kita dengan kesadaran sendiri menerapkan hukum-hukum Islam,

hukum-hukum tauhid, maka itu sudah bisa disebut sebagai Negara Islam. Walau

wilayah yang kita diami atau miliki itu tidak luas. Inilah Daulah Islamiyah.”

Page 40: Untold History of Pangeran Diponegoro

 

Semua yang hadir di masjid itu mengangguk-anggukan kepalanya.

 

“Ada lagi yang ingin bertanya?”

 

Seorang lelaki tua mengangkat tangan.

 

“Ya, silakan Pak,” ujar Diponegoro.

 

“Dalem, Kanjeng Pangeran. Saya mau tanya bagaimana jika… apa itu… Daulah Islamiyah itu… belum ada… Apa yang harus kita lakukan?”

 

“Matur nuwun bapak… Iya, Daulah Islamiyah namanya. Atau Negara Islam. Jika

Daulah Islamiyah belum tercipta seperti yang kita inginkan bersama, maka mulailah

dengan menegakkan Daulah Islamiyah itu di dalam dada kita. Setelah itu tegakkanlah

Daulah Islamiyah itu di dalam keluarga kita, rumah tangga kita. Lalu setelah itu

sebarkanlah dengan damai, menyebar ke tetangga kita, dusun kita, kampung, desa, dan

terus menyebar dan meluas. Dengan sendirinya akan tercipta suatu Daulah Islamiyah

itu, walau mungkin tidak menamakan diri sebagai Negara Islam.”

 

“Maaf, Kanjeng Pangeran, bagaimana jika kita hidup seperti sekarang, dimana kaum

kafir yang berkuasa dan dengan kekuatan senjata pula. Dan bagaimana dengan orang-

orang Islam sendiri yang malah bersekutu dengan kafir Belanda itu?”

 

“Sekarang ini kita hidup di bawah paksaan hukum thagut. Thagut adalah hukum,

sistem kekuasaan, atau penguasa, yang aturan atau tindak-tanduknya bertentangan

dengan kalimat tauhid, bertentangan dengan perintah dan larangan Allah subhana wa ta’ala. Thagut adalah musuh Allah. Thagut adalah sekutu iblis. Sebab itu, orang yang

Islamnya benar, maka dia wajib memusuhi dan memerangi thagut sebagaimana dia juga

wajib memerangi iblis, dan bukan malah bersekutu dengannya dengan alasan atau dalih

apa pun. Orang Islam yang bersekutu dengan thagut adalah orang yang mengkhianati

Page 41: Untold History of Pangeran Diponegoro

perjanjiannya dengan Allah subhana wa ta’ala. Pasti ada balasan dari Allah terhadap

orang-orang seperti itu. Apakah sudah jelas sampai bagian ini..?” (Bersambung)

 

Bab 6

TIDAK SAMPAI SATU JAM KEMUDIAN masjid dan Paseban[1] Puri Tegalredjo telah

dipenuhi para sesepuh dan senopati pasukan pengikut Diponegoro. Sejumlah laskar

juga sudah berdatangan. Semuanya kebanyakan berjubah putih. Mereka menutupi

kepalanya dengan sorban yang juga berwarna putih, juga warna lainnya. Di dalam

masjid, Pangeran Diponegoro sedang menggelar pertemuan terbatas dengan sejumlah

sesepuh dan pimpinan pasukan.

“Bagaimana menurutmu, Paman?” tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi

yang baru saja datang dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Ya, firasatku juga mengatakan demikian. Mereka telah terang-terangan menantang kita

dengan menodai tanah makam leluhur. Kita harus mempercepat persiapan pasukan dan

segala sesuatunya.”

“Apakah basis sudah dipersiapkan juga?” selidik Diponegoro. Basis adalah nama sandi

bagi Gua Selarong, wilayah yang akan dijadikan markas komando utama jika Puri

Tegalredjo tidak bisa dipertahankan. Mangkubumi dan Susuhunan Paku Buwono VI-lah

yang mengusulkan lokasi perbukitan yang sangat strategis tersebut. Dan Diponegoro

mengakui jika Gua Selarong memang pilihan yang tepat.

Pangeran Bei yang diberi amanah sebagai Generalismus[2] Laskar Diponegoro

menjawab, “Insya Allah Selarong sudah siap. Bukankah begitu Ki Guntur Wisesa?”

Ki Guntur Wisesa yang bertanggungjawab penuh terhadap Gua Selarong tersenyum

dan menganggukkan kepalanya, “Insya Allah siap. Demikian pula dengan jalur, sudah

kita amankan…”

“Paman dan semuanya, mulai sekarang kita aktifkan penjagaan duapuluh empat jam,

tidak saja di lingkar tiga, namun juga lingkar dua, dan satu.”

Pangeran Bei dan Mangkubumi mengangguk, juga yang lainnya. Sebagai pemuda yang

sejak kecil digembleng banyak hal oleh Ratu Ageng, termasuk dasar-dasar kemiliteran,

Pangeran Diponegoro sejak jauh hari sudah mempersiapkan sistem pertahanan

menghadapi pasukan Belanda jika sewaktu-waktu perang meletus dengan Puri

Tegalredjo sebagai poros utamanya. Hal itu telah ditetapkan Diponegoro tiga tahun lalu

ketika dia masih bergabung di dalam Dewan Perwalian Kraton bersama Pangeran

Mangkubumi.

Page 42: Untold History of Pangeran Diponegoro

Sistem pengaman dibuat seperti gelang-gelang dengan radius yang berbeda. Gelang

terluar berjarak empat kilometer dari Puri Tegalredjo yang disebut sebagai lingkar tiga,

gelang kedua berjarak dua sampai dua setengah kilometer dari Puri dengan sandi

lingkar dua. Dan lingkar satu sejauh satu setengah kilometer dari poros utama. Masing-

masing lingkar dijaga oleh pasukan-pasukan terlatih yang saling berkoordinasi satu

dengan yang lainnya. Dari satu lingkar ke lingkar lainnya dihubungkan dengan jalur

komunikasi dan juga logistik, sehingga memudahkan jika terjadi sesuatu.

Di luar pasukan reguler, Diponegoro juga memiliki pasukan telik sandi atau mata-mata

yang terdiri dari laki-laki dan juga perempuan dari berbagai macam usia. Pasukan telik

sandi ini dikirim berpencar ke seluruh penjuru mata angin mengepung Kraton

Ngayogyakarta Hadiningrat. Beberapa dari pasukan ini sengaja ditanam di pihak musuh.

“Firasatku mengatakan perang besar melawan kafir Belanda tidak akan lama lagi

meletus. Tolong perempuan dan anak-anak diamankan dahulu, keluarkan mereka dari

Tegalredjo. Namun itu harus dilakukan dengan diam-diam. Saya tidak ingin mereka

menjadi korban kebuasan pasukan kafir Belanda dan juga pasukannya Danuredjo.

Sedikit demi sedikit para perempuan dan anak-anak harus dikeluarkan dari desa ini,”

ujar Diponegoro kepada Joyokirno, seorang senopati yang bertanggungjawab terhadap

keamanan sebelah Lor[3] Desa Tegalredjo.

Joyokirno mengangguk pelan, “Inggih, Kanjeng Pangeran. Segera saya laksanakan.”

“Lakukan dengan hati-hati dan sedikit demi sedikit supaya pergerakan ini tidak

menimbulkan kecurigaan di pihak musuh. Tolong sampaikan pada para senopati yang

lain,” ujar Diponegoro lagi sambil menepuk-nepuk bahu Joyokirno.

“Inggih, Kanjeng Pangeran…”

“Baiklah. Sekarang pergilah kembali ke pasukanmu…”

Joyokirno segera memeluk Diponegoro. Setelah pamit, dia segera melompat ke atas

kudanya dan melesat meninggalkan Puri Tegalredjo untuk kembali ke pasukannya yang

berjaga tigaratusan meter setelah pintu desa di sebelah utara.

“Ustadz…,” panggil Diponegoro kepada Ustadz Taftayani yang sedang meneliti peta

sederhana kota Yogyakarta yang dihamparkan di atas lantai masjid. Ulama dari

Minangkabau yang sudah menetap di dekat Tegalredjo itu mendekat.

“Ustadz, bagaimana dengan Kiai Modjo dan yang lainnya?”

Taftayani mengangguk dan balas berbisik, “Insya Allah mereka juga sudah siap. Bahkan

saya dengar jika Kiai Modjo juga tengah mengadakan konsolidasi dengan pasukan-

pasukannya. Dan beliau juga telah mengontak para alim-ulama dan sesepuh desa ke

Page 43: Untold History of Pangeran Diponegoro

berbagai daerah di sekitar Surakarta dan Yogya hingga Magelang untuk bergabung

dengan kita.”

Pangeran Diponegoro mengangguk-anggukkan kepalanya, “Apakah kita akan tetap

dengan formasi sepuluh komandemen untuk Yogyakarta, Ustadz?”

Mendengar pertanyaan itu, Ustadz Taftayani tidak segera menjawab. Diponegoro

memang telah membagi wilayah Yogyakarta ke dalam sepuluh daerah komandemen,

yang masing-masing daerah dipimpin oleh seorang komandan. Khusus Madiun, wilayah

ini dibagi menjadi tiga komandemen. Diponegoro telah berhitung, satu daerah

komandemen memiliki lebih kurang 10.000 keluarga. Dari jumlah ini, diharapkan bisa

disiapkan sekira seribuan orang prajurit, lengkap dengan senjata. Mereka harus menjadi

pasukan yang mandiri dan terlatih dengan baik, walau tongkat komando tetap berada di

tangan Pangeran Diponegoro. “Bagaimana, Ustadz?” tanya Diponegoro lagi.

“Menurut hemat saya, Pangeran, pembagian itu sudah cukup. Nanti kita lihat

perkembangannya kemudian. Bukankah dalam peperangan organisasi hanyalah suatu

ikatan yang teramat lentur? Semuanya tergantung pada improvisasi para pemimpin di

lapangan dan kecepatan dalam bertindak tepat. Itu yang penting.”

“Ya, itu benar. Dan bagaimana pandangan Ustadz soal perang yang sebentar lagi akan

meletus?”

“Kanjeng Pangeran, sebaiknya kita menahan diri. Jangan sampai kita dituding sebagai

pihak yang memulai perang. Kita bertahan saja dahulu. Tentang pancingan atau

mungkin jebakan yang dilakukan Belanda dan Patih Danuredjo, yang menancapkan

patok-patok di tanah makam, sebaiknya Pangeran mengirim nota protes kepada

Residen Smissaert…”

“Ya, itu saya setuju, Ustadz. Saya akan mengirim nota protes dan minta agar kafir

Belanda menghentikan proyek itu atau mengubah arah jalan yang akan dibuat sehingga

tanah leluhur aman. Dan yang kedua, saya minta agar residen kafir itu segera memecat

Danuredjo.”

“Ya, itu bagus. Saya setuju…”

“Tolong panggilkan Ahmad Prawiro, Ustadz. Saya akan siapkan surat sekarang juga

untuk diantar ke residen kafir itu.”

Ahmad Prawiro merupakan salah satu kurir andalan Diponegoro. Pemuda keturunan

Cina ini asli Pekalongan yang telah bergabung dengan Diponegoro sejak awal

perekrutan pasukan pertama di sekitar tahun 1820-an.

Page 44: Untold History of Pangeran Diponegoro

Ustadz Taftayani mengangguk. Dia bergegas keluar masjid untuk memanggil pemuda

yang dimaksud. Tak lama kemudian guru ngaji itu datang bersama seorang pemuda

berkacamata bulat yang mengenakan baju koko dan songkok putih.

“Ahmad…,” ujar Diponegoro setelah menjawab salam pemuda itu, “…Saya akan tulis

surat. Nanti tolong antarkan langsung ke Residen Smissaert. Pastikan dia yang

menerimanya…”

“Inggih, Kanjeng Gusti Pangeran.”

“Tunggu sebentar disini.” (Bersambung)

Diponegoro kemudian berdiri dan berjalan ke bilik kecil yang terdapat di samping masjid.

Di ruangan sempit itu hanya ada sebuah ranjang kecil sederhana, sebuah meja kayu

kecil, dan bangku kayu yang sudah sedikit bergoyang jika diduduki. Di atas meja itulah

Pangeran Diponegoro menulis surat protes kepada Residen Yogyakarta A.H. Smissaert,

yang isinya antara lain meminta agar Residen Yogyakarta itu memecat Patih Danuredjo

yang dianggap sudah keterlaluan sikapnya sehingga hampir semua rakyat Yogyakarta

memusuhi dia.

Tidak lama kemudian Diponegoro keluar dari biliknya dan kembali ke dalam masjid.

Ahmad Prawiro masih duduk bersila di tempatnya didampingi Ustadz Taftayani.

“Ini suratnya, Ahmad. Pagi ini juga tolong berikan langsung kepada residen itu.

Berangkatlah dalam nama Allah…”

“Insya Allah, Kanjeng Pangeran. Bismillah…“

Pemuda itu berdiri dan menerima surat yang telah digulung rapi dan dimasukkan ke

dalam tabung bambu yang kemudian disimpan di dalam tas kulit yang disandangnya di

bahu. Setelah pamit minta diri, Ahmad keluar dari masjid dan langsung melompat ke

atas kudanya. Dengan sekali gebrak, kuda itu telah melesat keluar dari pekarangan Puri

Tegalredjo.

Sepeninggal Ahmad, Pangeran Diponegoro kembali melanjutan pembahasan rencana

perang dengan sejumlah sesepuh dan senopati. Setelah itu semua pasukan

diperintahkan untuk kembali ke posnya masing-masing dengan kesiagaan penuh di

sekeliling Puri Tegalredjo dalam radius berlapis. Demikian pula dengan pasukan telik sandi.

“Ustadz…”

“Ya, Kanjeng Gusti Pangeran…”

“Saya akan menulis beberapa surat perintah kepada orang-orang kita di pantai utara, di

Mancanegara[1], serta di Bagelen dan Sukawati. Mereka harus mulai bersiap

menyambut apa pun yang akan terjadi esok hari.”

Page 45: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Surat perintah?”

“Benar, Ustadz. Saya menyerukan kepada semua rakyat Mataram, agar mulai saat ini

tidak lagi takut kepada kafir Belanda dan antek-anteknya. Orang-orang yang mengaku

Muslim tapi di dalam hidupnya menggantungkan diri dan keluarganya kepada thagut, yang menyerahkan loyalitasnya kepada thagut, bukan kepada Allah dan hukum-

hukum-Nya, juga harus diperangi. Hanya Allah subhana wa ta’ala yang layak dan

berhak ditakuti sekaligus dicintai. Saya hanya ingin mengatakan, jika terdengar meriam

berdentum sepanjang hari dan malam, maka semuanya harus siap siaga. Itu saja.”

“Baik, Kanjeng Pangeran. Itu sudah cukup.”

“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati[2], Ustadz! Ini prinsip kita.”

Ustadz Taftayani hanya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. []

 

Bab 7

 

AHMAD TERUS MEMACU KUDANYA MELEWATI jalan utama dari Tegalredjo ke

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang sudah dipenuhi berbagai macam penghalang

demi memperlambat gerak maju pasukan reguler Belanda yang biasanya menggunakan

kereta penarik meriam. Penghalang itu bisa berupa batang pohon yang sengaja

direbahkan melintang di jalan, batu-batu besar yang digulingkan secara acak, atau

penggalian sejumlah ruas jalan sedalam setengah meter dengan lebar satu tombak. Di

beberapa tempat yang hanya diketahui Laskar Diponegoro juga sudah dipasang

jebakan dan perangkap berupa lubang-lubang yang ditutup bilik yang kemudian

disamarkan dengan tanah. Siapa pun yang menginjak lubang itu akan jatuh dan tertusuk

belasan mata tombak atau panah yang telah ditanam menghadap ke atas. Sebab itu,

kurir dan rakyat kebanyakan sejak beberapa hari lalu menghindari jalan-jalan besar

sekitar Tegalredjo dan memilih untuk melewati ‘jalan tikus’ yang walau kecil dan berliku

namun aman.

 

Menurut informasi dari pasukan telik sandi, Residen Yogyakarta Smissaert pagi

menjelang siang ini masih berada di dalam kraton usai pesta besar tadi malam. Namun

beberapa kilometer sebelum pintu gerbang kraton, Ahmad terlebih dahulu mampir ke

sebuah rumah di gang sempit sekitar Sosrowijayan untuk berganti pakaian. Ini adalah

salah satu ‘rumah aman’ bagi pengikut Diponegoro yang tidak terlalu jauh dari jalan

utama menuju pusat kraton.

Di dalam rumah itu, Ahmad mengganti songkok dan baju koko putihnya, dengan baju

wulung hitam dengan penutup kepala yang berwarna gelap seperti kebanyakan

penduduk sekitar. Setelah itu dia kembali memacu kudanya menuju kraton melewati

Page 46: Untold History of Pangeran Diponegoro

jalan utama menuju gerbang kraton yang serupa garis lurus, yang sekarang dikenal

sebagai Jalan Malioboro.

Dari atas kudanya Ahmad bisa melihat dua prajurit kraton berjaga di sisi kanan dan kiri

pintu gerbang lengkap dengan tombak dan pedang. Namun pemuda itu bersikap

tenang, Di dalam lipatan tas kulitnya, telah dijahit sesobek kain merah putih biru dengan

lambang kraton di sisi kanannya sebagai tanda jika dirinya adalah kurir resmi bagi

keresidenan Belanda untuk Yogyakarta. Dengan simbol ini dia bebas keluar masuk

kraton dan gedung pemerintahan di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.

Ahmad terus memacu kudanya. Sepuluh meter di depan gerbang, dua prajurit kraton

menghunjamkan tombak ke arahnya.

“Berhenti! Turun!” bentak mereka.

Ahmad berhenti namun tidak turun dari pelana kudanya. Dia malah membentak prajurit

itu, “Minggir! Ada surat penting dari Gubernur Jenderal untuk Tuan Residen. Secepatnya

harus dibalas oleh Tuan Residen!”

Kedua prajurit itu saling berpandangan. Kemudian salah seorang di antaranya

menjawab dengan nada yang lebih sopan, “Coba perlihatkan kepada kami tanda

izin Kisanak!”

Dari atas kudanya, Ahmad memperlihatkan bagian dalam tas berisi sobekan kain merah

putih biru dengan simbol kraton di sisi kanannya. Melihat simbol tersebut, kedua prajurit

penjaga tersebut segera memberi ruang bagi Ahmad dan kudanya.

“Silakan lewat.”

“Tuan Residen ada di ruangan mana? Surat ini harus langsung sampai di tangannya

sekarang juga.”

“Di ruang kepatihan.”

“Baiklah, matur nuwun..!”

Ahmad kembali memacu kudanya memasuki pelataran halaman muka kraton dan

langsung menuju ruang kepatihan tempat Patih Danuredjo IV berkantor.

Setelah menambatkan kuda, Ahmad berjalan melintasi aula kraton bagian dalam.

Pemuda itu menahan nafasnya sejenak. Dia tidak tahan dengan aroma alkohol dan

tembakau yang begitu kuat menyeruak di aula itu. Beberapa puntung rokok masih

terlihat berserak di sudut-sudut kaki meja dan kursi. Namun ketika melihat seorang

prajurit jaga yang berdiri di depan ruangan kepatihan, Ahmad bisa bernafas lega.

Prajurit yang tengah jaga adalah Suryo Widhuro, salah seorang prajurit yang loyal

kepada Pangeran Mangkubumi. Ahmad kenal dengannya karena diam-diam Suryo juga

merupakan simpatisan Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Page 47: Untold History of Pangeran Diponegoro

Walau demikian, sekadar untuk memenuhi formalitas kraton, Suryo segera

menggeledah Ahmad Prawiro. Setelah dianggap bersih, Suryo segera berbisik,

“Serahkan saja suratnya padaku, nanti aku sampaikan pada residen itu.”

Ahmad menyerahkan surat yang langsung ditulis tangan oleh Pangeran Diponegoro,

“Tolong sampaikan langsung sekarang juga. Tidak perlu dibalas…”

Suryo mengangguk. Ahmad segera berlalu darinya. Prajurit itu pun mengetuk pintu

kamar kepatihan tempat Smissaert bermalam. [] (Bersambung)

[1] Mancanegara adalah sebutan masa itu untuk wilayah Madiun, Kediri, dan Rembang).

[2] Bahasa Jawa: “Sejari sekepala, sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah

penghabisan”.

Bab 8Kantor Residen Surakarta, 19 Juli 1825

DENGAN WAJAH YANG SANGAT SERIUS, Residen Surakarta Mac Gillavry terlihat

marah-marah sendiri di kantornya. Sekretarisnya hanya berdiam diri mendengar

atasannya mengomel tak menentu. Sebabnya, tak lain dan tak bukan, karena surat

peringatan akan bahaya Diponegoro yang ditulisnya-yang ditujukan bagi Residen

Yogyakarta Smissaert-mendapat tanggapan yang dingin. Bahkan Smissaert

menganggap Mac Gillavry terlalu berlebihan dan sedikit paranoid menghadapi Pangeran

Diponegoro dan pasukannya.

“Keparat Residen Yogyakarta itu! Sudah saya bantu tapi dia tidak perduli! Dasar orang

tak tahu berterimakasih! Kalau Yogya kacau, kita juga yang nanti kena getahnya.

Maunya apa Smissaert itu! Pesta dan pesta! Perempuan dan whisky melulu! Dia terlalu

menyepelekan Diponegoro…”

“Anthonie!” jerit Gillavry. Suaranya mengguntur menyakitkan gendang telinga.

Sekretaris Residen Surakarta yang sedari tadi berdiri di dekat pintu yang tertutup

dengan agak takut menjawab, “Ya, Tuan.”

“Saya akan menulis surat lagi yang isinya lebih kurang sama. Tapi kali ini langsung

ditujukan untuk Chevallier!”

“Asisten Sekretaris Residen Yogya itu, Tuan?”

“Ya, siapa lagi jika bukan dia! Cepat kau siapkan kertas dan pena. Saya akan diktekan!”

Anthonie van Huyn segera mengambil alat tulis dan menarik beberapa lembar kertas

kosong. “Siap, Tuan.”

Page 48: Untold History of Pangeran Diponegoro

Mac Gillavry duduk di atas kursinya yang memiliki sandaran tinggi. Dengan mengangkat

kedua kakinya ke atas meja kecil di samping kursi dia mulai mendiktekan suratnya yang

kali ini ditujukan langsung bagi bawahan Smissaert. Dia akan potong kompas, sekaligus

merendahkan rekannya itu.

 

“Amice,” ujarnya, “… De demang der desa Grojogan (de voornamste van boven

bedoelde hoofden) is op last van den Pangeran Dipanegara met 100 man zjin gevolg

naar Yogya vertrokken. Eenigen mijner spionnen zijn terug. Zij brengen de tijding, dat

het plan bestaat om eerst Patjitan een te vallen en met die bevolking Yogya te

vermeesteren. Zorg intusschen maar, dat hij, noch Dipanegara er iets van merken, dat

wij hen bespionneeren”

 

Mac Gillavry mengambil nafas. Kemudian dia mulai mendiktekan kembali kelanjutan

suratnya:

 

“…Een bijwijf van den demang heeft zich uitgelaten, dat hij naar Yogya was om nadere

orders te ontvangen, meldt mij per extra-post wanner hij weer van Yogya vertrekt en laat

dan door een knappen vent, slechts in de verte, nagaan of hij ook een anderen koerst

neemt. Op de pasars alhier loopt het gerucht, dat er op Yogya prang (Oorlog) zak jineb

eb dat het kleine volk reeds al zijn goederen geborgen heeft; dat de Rijksbestierder van

Yogya de Merapi heeft beklommen om een gelofte te doen voor dien prang enz., deze

merae nugae (loutere beuzeipraat) allen tot Uwe informatie. Vaarwel, H.C. Gillavry…”[1]

“Ya selesai. Coba aku baca dulu.”

Anthoine menyerahkan surat yang barusan ditulisnya. Mac Gillavry melihatnya dan

mengangguk-anggukkan kepalanya. Senyumnya kini sudah mulai mengembang.

“Hmm… bagus. Ya, seperti ini. Tulisanmu lama-lama bagus juga, Anthoine…,” ujarnya

sambil melirik sekretarisnya itu.

“Terima kasih, Tuan,” jawab Anthoine tersipu-sipu. Selama delapan bulan bekerja

dengan Gilavry, baru kali ini dia menerima pujian dari si gendut dengan kumis melintang

itu.

“Sekarang tolong kamu kirimkan surat itu langsung kepada Chevallier. Secepatnya!” ujar

Gillavry kembali berdiri dan menenggak segelas gula asam lagi, minuman tradisonal

kesukaannya.

Page 49: Untold History of Pangeran Diponegoro

Anthoine menerima surat itu kembali, melipatnya dan memasukkannya ke dalam

amplop yang kemudian disegel dengan lilin panas yang dicap simbol kerajaan Belanda.

Lalu dia bergegas keluar ruangan menemui petugas jaga dan menyuruhnya untuk

segera memanggil kurir khusus ke Yogyakarta. Tak lama kemudian, kurir yang dipanggil

pun menghadap Anthoine dengan sikap badan yang terbungkuk-bungkuk.

“Serahkan surat ini kepada Residen Yogyakarta Smissaert sekarang juga.”

“Inggih, Tuan,” ujar kurir itu sambil berkali-kali membungkukkan badannya. Dia

kemudian bergegas menuju kudanya yang ditambatkan di sayap kanan gedung

karesidenan Surakarta. Dengan beberapa kali gebrakan kaki pada badan kuda, dia pun

melesat meninggalkan Surakarta melewati jalan utama menuju Vredeburg Castle yang

berada di utara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. []

] “Sahabatku, atas perintah Diponegoro, Demang Desa Grojogan (yang dituakan di

antara para kepala desa yang disebut di atas) berangkat ke Yogyakarta bersama 100

orang anak buahnya. Beberapa mata-mata saya telah kembali. Mereka membawa berita

bahwa ada rencana untuk menyerang Pacitan terlebih dahulu, lalu dengan kelompok itu

mereka akan menguasai Yogyakarta. Sementara itu, usahakan agar Demang maupun

Diponegoro jangan menyadari bahwa kami memata-matai mereka. Selir sang Demang

memberitahukan bahwa dia pergi ke Yogya untuk menunggu perintah selanjutnya.

Tolong beritahu saya melalui pos kapan dia berangkat dari Yogya dan suruh seseorang

mengawasi dari kejauhan apakah Demang juga mengambil arah lain. Di pasar-pasar

sudah tersebar kabar bahwa di Yogya akan terjadi perang dan bahwa rakyat kecil telah

menyimpan harta benda mereka; pepatih Dalem Yogyakarta telah naik ke Gunung

Merapi untuk melakukan kaul bagi perang ini dsb, merae nugae (omong kosong) ini

hanya sebagai informasi buat Anda. Sampai jumpa, H. Mac Gillavry.” (Het Legioen van

Mangkoe Nagoro, Let Col H.F. Aukes, page 62, 1935, A.C. Nix & Co, Bdg/ ditulis

kembali dari Santosa, Irwan; Legiun Mangkunegara 1808-1842; Kompas; hal.144-145;

Sept, 2011)

Residen Yogyakarta ini kemudian berteriak agar prajurit jaga memanggil Patih

Danuredjo, “Panggil itu patih ke sini menghadapku!”

Suryo Widhuro, sang prajurit penjaga kamar kepatihan, segera menghadap, “Inggih,

Tuan Residen.”

Tak lama kemudian, dengan tergopoh-gopoh Patih Danuredjo datang ke ruangan di

mana Smissaert berada. Baginya, panggilan dari residen Belanda merupakan panggilan

yang sangat penting. Melihat wajahnya yang kusut, Danuredjo sepertinya juga baru

terbangun dari mimpinya.

“Ada apa Tuan Residen memanggil saya pagi-pagi begini?”

Page 50: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Diponegoro marah. Kowe harus baca itu surat!” ujar Belanda itu sambil melemparkan

sebuah gulungan surat yang sudah terbuka segelnya. Patih Danuredjo dengan sigap

menangkap gulungan surat itu dan membukanya. Wajahnya kemudian terlihat berseri-

seri.

“Ha.. ha.. ha.. Ini bagus. Apa aku bilang. Dia marah besar. Sebaiknya orang kita

memeriksa patok-patok yang ada di tanah makam itu sekarang juga. Jika dirusak, kita

pasang lagi. Dan pagi ini juga kita panggil Diponegoro untuk menghadap kesini untuk

menjelaskan tentang surat ini. Dia meminta Tuan untuk memecat saya. Ini sudah makar!

Kita tangkap saja orang itu di sini!”

Smissaert mengangguk-angguk, “Well, kowe benar-benar pintar Danuredjo! Ya, periksa

patok-patok itu sekarang dan kita panggil Diponegoro ke sini segera.”

Danuredjo ikut mengangguk dan terdiam. Biasanya, jika sedang demikian, orang itu

tengah memikirkan sesuatu atau menyusun rencana. Benar saja. Tiba-tiba dia

menyebut Pangeran Mangkubumi.

“Tuan Residen, Diponegoro masih sangat menghormati Pangeran Mangkubumi. Aku

juga curiga dengan orang itu. Bagaimana kalau Mangkubumi saja yang kita suruh untuk

menghadap Diponegoro dan menyampaikan undangan kita itu.”

“Bagus, itu juga rencana yang bagus.”

“Ya, saya takut kalau kita kirim kurir biasa, pemimpin pemberontak itu tidak akan mau

datang.”

“Baiklah, kowe atur saja. Yang penting segera undang itu pemberontak Diponegoro ke

sini menghadap kita. Kita tawarkan saja jabatan di kraton ini. Jika dia menolak ya

tangkap saja.”

“Jabatan di kraton?” tukas Danuredjo agak curiga.

Smissaert terkekeh, “Jangan takut Patih, kowe tidak perlu cemas seperti itu…”

Danuredjo mengangguk-angguk tanda senang. “Ya, Tuan Residen. Saya tahu itu. Tapi

menurut hemat saya, kita juga harus tetap menyiagakan pasukan, kalau-kalau terjadi

sesuatu yang tidak kita duga.”

“Benar juga katamu. Kalau begitu panggil saja Chevallier ke sini. Di mana dia sekarang?

Dan jangan lupa, kita panggil juga si Mangkubumi…” []

Bab 10

 

Page 51: Untold History of Pangeran Diponegoro

NUSANTARA ADALAH TEMPAT DI MANA ALLAH menitipkan sebagian kekayaan

surga-Nya. Tanah dan air Nusantara teramat subur. Kekayaan alamnya berlimpah-ruah.

Udaranya bersih dan iklimnya bersahabat. Letak Nusantara juga paling strategis di

antara tempat di mana pun di dunia, di pandang dari segi apa pun. Inilah yang

menyebabkan negeri ini sejak berabad lalu hingga sekarang menjadi rebutan kaum

imperialisme dan kolonialis dunia, seperti halnya kafir Spanyol, Portugis, Inggris,

Perancis, dan sekarang Belanda.

Ironisnya, walau turun-temurun telah menjadi penghuni wilayah yang sangat istimewa

ini, rakyat Nusantara dari tahun ke tahun bukannya bertambah makmur dan sejahtera,

malah bertambah miskin dan melarat. Belanda mengatakan jika hal itu disebabkan

kemalasan dari orang-orang pribumi. Namun bagi Diponegoro, tudingan itu sama sekali

tidak berdasar. Sebagai orang yang tumbuh besar bersama rakyat, dia tahu jika sejak

sinar matahari menyingsing, sudah banyak orang-orang pribumi yang pergi ke sawah

dengan cangkulnya, dan ada pula yang pergi ke pasar untuk menjual hasil bumi, atau

menjual jasa sebagai tenaga angkut. Dan mereka baru berhenti atau pulang ketika

matahari sudah jauh condong ke barat.

Bangsa ini adalah bangsa yang sangat rajin dan pekerja keras, namun jika bangsa yang

seperti ini malah menjadi miskin dan melarat, maka pasti ada sesuatu yang salah

dengan sistem kekuasaan yang ada.

Bagi seorang Diponegoro, satu-satunya jalan untuk mengeluarkan bangsanya dari

kemiskinan adalah dengan mengusir penguasa kafir dari Nusantara dan menginsyafkan

orang-orang pribumi yang sudah menjadi pelayan setianya. Thagut harus ditumbangkan

dan dihancurkan, diganti dengan sistem sosial dan kemasyarakatan yang berkeadilan.

Bukannya dengan mendekati thagut. Hal itu hanya bisa dicapai dengan perjuangan

berlandaskan akidah yang kuat, lurus dan benar, dan sama sekali tidak bisa

bekerjasama atau berkoalisi dengan Thagut atau kemungkaran.

“Kanjeng Pangeran…,” tiba-tiba Ki Singalodra sudah berdiri di sampingnya. Lelaki kekar

dengan jambang dan janggut yang lebat ini-sehingga sangat mirip dengan seorang

Warok Ponorogo-sekarang wajahnya terlihat lebih bersih dan rapi. Pangeran

Diponegoro yang tengah berdiri melihat sawah yang membentang di hadapannya

dengan latar belakang Gunung Merapi, menoleh ke samping. Ketika mengetahui siapa

yang datang, Pangeran tersenyum.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Ki Singalodra..”

“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh, Kanjeng Pangeran…”

“Ada apa, Kisanak?”

Ki Singalodra menundukkan kepalanya.

Page 52: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Kanjeng Pangeran… Terima kasih sudah menerima saya sebagai bagian dari barisan

ini. Saya sebenarnya punya satu permintaan, maaf jika Kanjeng Pangeran nantinya

tidak berkenan…”

“Katakan saja, Ki…”

“Saya ingin menjadi pengawal utama dari Kanjeng Pangeran. Biarkan saya menjaga

Kanjeng Pangeran setiap waktu…”

Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia lalu menepuk-nepuk bahu Ki Singalodra.

“Sebaik-baiknya penjaga kita adalah Allah subhana wa ta’ala, Kisanak…”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya juga paham. Tapi biarkanlah saya menjadi

perpanjangan tangan dari Allah subhana wa ta’ala untuk menjaga diri Kanjeng

Pangeran…”

“Terima kasih, Ki Singalodra… Apa yang menyebabkan Kisanak hendak menjadi

pengawal utamaku…”

Ki Singalodra tiba-tiba terdiam. Wajahnya dilempar jauh menghadap ke sawah dan

Gunung Merapi di kejauhan. Kedua matanya yang dilindungi alis yang tebal terlihat

basah. Dengan bergetar menahan haru, lelaki itu berkata lirih, “Aku ingin cepat-cepat

menggapai syahid fi sabilillah. Aku ingin cepat-cepat berkumpul kembali dengan isteri

dan anakku di surga. Bukankah orang yang syahid akan membawa syafaat kepada

keluarganya kelak?”

Diponegoro mengangguk pelan. Hatinya juga diliputih perasaan haru mendengar

pengakuan bekas penjahat itu. Dia kemudian memeluk Ki Singalodra yang masih

terisak. Orang itu agaknya benar-benar memendam rindu yang teramat sangat kepada

isteri dan anak satu-satunya.

“Kisanak, janganlah mengkhawatirkan anak dan isterimu yang sekarang sudah hidup

bahagia di surga. Mereka memang tengah menantikan hari di mana Kisanak bisa

berkumpul bersama-sama mereka. Dalam salah satu hadits Nabi shalallahu wa’allaihi

wasalam yang diriwayatkan dengan baik oleh Nasai, Rasululllah bersabda bahwa pada

hari kiamat, anak-anak kecil akan berdiri lalu dikatakan kepada mereka, ‘Masuklah ke

surga.’ Maka mereka mengatakan,’(Saya akan masuk) sehingga bapak-bapak kami

masuk (juga) ke surga.’ Lalu dikatakan kepada mereka,’Masuklah kalian dan bapak-

bapak kalian ke surga. Jadi anak Kisanak itu sudah menunggu Kisanak di pintu gerbang

surga. Janganlah cemas…”

Lalu Diponegoro membaca ayat-ayat Qur’an berkenaan dengan syahid fisabilillah.

Antara lain surat al-Baqarah ayat 154, “Janganlah kalian berkata bahwa orang yang

Page 53: Untold History of Pangeran Diponegoro

terbunuh di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kalian tidak

menyadarinya.” Lalu juga surat Ali Imron ayat 169.

“Ketahuilah Kisanak.., siapa pun yang menggapai mati syahid, maka dia akan dapat

memberikan syafaat bagi tujuhpuluh orang anggota keluarganya. Itu janji Rasulullah

yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud.”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Sebab itu saya ingin cepat-cepat meraih syahid itu. Izinkan

saya untuk menjaga Kanjeng Pangeran. Bagi saya dan teman-teman, pintu-pintu surga

sebentar lagi akan membentang di depan mata. Namun bagi Kanjeng Pangeran tidak.

Perjalanan Kanjeng Pangeran masih panjang. Kanjeng Pangeran harus membebaskan

negeri ini dahulu dari tangan kaum kafir dan para pelayannya sebelum menemui syahid.

Sebab itu izinkanlah saya mengawal Kanjeng Pangeran agar Kanjeng Pangeran bisa

menunaikan tugas dengan paripurna…”

Kedua mata Pangeran Diponegoro berkaca-kaca. Maha Besar Allah. Hidayah bisa

datang kapan saja dan kepada siapa saja. Dan hidayah bisa mengubah seorang jagoan

yang tangannya berlumuran darah seperti Ki Singalodra menjadi Singa Allah yang telah

bertekad untuk menghibahkan jiwa dan raganya semata-mata di jalan Allah. Suatu

perniagaan yang tidak akan pernah merugi hingga akhir dunia.

“Apa yang sebenarnya mendorong Kisanak untuk bergabung denganku melawan kafir

Belanda?” (Bersambung)

Ki Singalodra terdiam sejenak. Kemudian dia menjawab, “Mereka telah membunuh anak

dan isteriku, Kanjeng Pangeran…”

Diponegoro menganggukkan kepalanya, “Ya, soal itu saya sudah mendengarnya. Itu

saja?”

“Ya, Kanjeng Pangeran…”

“Jika demikian, kalau anak dan isterimu tidak dibunuh Belanda, makaKisanak masih

akan membela orang-orang kafir itu?” selidik Diponegoro dengan senyum tulus yang

mengembang di sudut bibirnya.

Ki Singalodra menundukkan kepalanya. “Maafkan saya, Kanjeng Pangeran… Saya

memang tidak banyak paham dengan agama Islam.”

Diponegoro memegang kedua bahu lelaki itu. “Tidak mengapa Kisanak. Apa yang

dilakukan Kisanakdengan membela kafir Belanda juga dilakukan oleh banyak saudara-

saudara kita. Itu disebabkan ketidaktahuan Kisanak akan agama Allah

ini. Kisanak khilaf dan jika bertobat maka Allah Maha Pengampun. Sayangnya, ada

banyak saudara-saudara kita yang mengerti tentang Islam, namun mereka malah

memilih untuk bersekutu dengan kafir Belanda. Mereka beralasan, jika mereka tidak

Page 54: Untold History of Pangeran Diponegoro

masuk ke dalam lingkaran pusat kekuasaan, maka akan semakin kotor dan zalimlah

kekuasaan itu. Namun nyatanya, ketika ikut-ikutan masuk ke dalam pusat kekuasaan,

tinggi sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pejabat kraton lainnya, makan

semeja dengan kaum kafir, yang terjadi bukannya pejabat kraton yang terwarnai

mereka, namun sebaliknya. Orang-orang yang tahu agama itu malah terwarnai oleh

pandangan dan sikap hidup orang-orang jahil dan orang-orang kafir itu. Mereka yang

tadinya memandang dunia hanya sebagai sarana untuk menuju keridhoan Allah,

sekarang banyak yang memandang dunia sebagai tujuan utama. Dunia sudah

menguasai hati dan pikiran mereka, bukan lagi panji syahadah… Dan Islam telah

menjadi sekadar alat untuk menipu umat dan memperkaya diri…”

“Itu benar, Kanjeng Pangeran. Orang-orang yang tahu agama itu, yang dulu hidup

sederhana, berpuasa Daud, sekarang malah suka hidup bermewah-mewah dengan

uang yang tidak jelas. Mereka tidak lagi memperdulikan umatnya. Tidak lagi peduli

dengan perjuangan menegakkan agama Allah ini. Yang mereka pikirkan hanyalah cara

agar mereka bisa bertambah kaya dan kaya…”

Diponegoro kembali tersenyum, “Benar, Kisanak. Sebab itu, apa yang Kisanak jalani di

masa lalu insya Allah akan diampuni Allah subhana wa ta’ala, karena

dahulu Kisanak jahil terhadap Islam. Ini sungguh berbeda dengan para ustadz dan

ulama yang sekarang sudah duduk semeja dengan penguasa. Mereka itulah kaum yang

Allah katakan sebagai orang-orang yang menukar agamanya dengan kehidupan

dunia….”

Diponegoro menarik nafas dalam-dalam. Perasaannya berat. Agaknya dia sungguh-

sungguh prihatin dengan sikap dan kelakuan sejumlah ulama yang seperti itu. Kemudian

dia bertanya lagi kepada Ki Singalodra, “Kisanak, motivasi Kisanak untuk memerangi

Belanda itu tidak lebih dari pelampiasan dendam. Itu bisa dimaklumi walau kurang

baik. Kisanak harus mengikhlaskan apa yang sudah menjadi suratan Allah. Satu-

satunya niat yang benar dan lurus di dalam berjuang adalah menegakkan panji tauhid

demi menggapai ridho Allah. Itu saja. Jangan campur-adukkan dengan motivasi-

motivasi yang lainnya. Sebab semua itu akan merusak keikhlasan kita di dalam berjihad.

Mengerti Kisanak?”

“Insya Allah, saya paham, Kanjeng Pangeran…”

“Alhamdulillah. Nah, sekarang apa yang ingin Kisanak lakukan?”

Ki Singalodra mengangkat wajahnya. Dengan takut-takut dia menatap wajah Pangeran

Diponegoro. “Maaf, beribu maaf, Kanjeng Pangeran. Saya ingin menjadi pengawal

utama dari Kanjeng Pangeran. Itu saja…”

Pangeran Diponegoro akhirnya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Dengan

izin Allah. Insya Allah, Kisanak akan selalu berada di sisiku di dalam perjuangan

menegakkan kalimat tauhid ini, siang dan malam. Bismillah, Kisanak….”

Page 55: Untold History of Pangeran Diponegoro

Ki Singalodra tidak dapat lagi menahan airmata yang kini akhirnya luruh di kedua

matanya. Dia yang kini gantian memeluk Diponegoro sambil menangis sesenggukan

bagai anak kecil.

“Semoga Allah subhana wa ta’ala selalu menyatukan hati kita di jalan lurus ini,

Kanjeng Pangeran, hingga kita nanti bisa berjumpa kembali di Jannah di dalam barisan

panjang kaum mujahidin…”

“Amien Ya Rabb al’amien….“

Ki Singalodra menatap langit yang membiru. Bibirnya tersenyum. Dia teringat masa

kecilnya, di mana sang kakek sering menceritakan jika buyutnya adalah orang-orang

hebat. “Kakek buyutmu itu, Singalodra, bernama Wulung Ludhira. Ketika Susuhunan

Amangkurat I membantai enamribuan ulama di Plered tahun 1647, kakek buyutmu itu

yang masih berusia sepuluh tahun adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan

diri. Dari mulut kakek buyutmu itulah, kita semua tahu betapa Amangkurat I itu sangat

lalim. Aku yakin, engkau kelak juga menjadi orang besar. Yakinlah itu!”

Sekarang Ki Singalodra mengerti, Allah telah memilihnya untuk mendampingi dan

mengawal Pangeran Diponegoro. Ini adalah tanggungjawab besar yang hanya bisa

dilakukan oleh orang hebat. []

Bab 11

 

HARI BELUM BEGITU SIANG KETIKA Pangeran Mangkubumi tiba di Kraton

Ngayogyakarta Hadiningrat. Baru saja Mangkubumi turun dari kudanya, seorang prajurit

jaga dengan tergesa menghampiri dirinya dan mengatakan jika Patih Danuredjo dan

Residen Smissaert yang masih berada di kraton sedang menunggunya.

“Ada apa mereka menungguku, Suryo?”

“Maaf Pangeran, saya kurang tahu…”

Dengan langkah lebar-lebar, Pangeran Mangkubumi berjalan menuju ruang kepatihan.

Dia benar-benar muak mencium aroma alkohol dan tembakau yang begitu merebak di

aula kraton. Tiba di ruangan kepatihan, Mangkubumi langsung masuk tanpa mengetuk

pintu lagi. Benar saja, di dalam kamar kerja Danuredjo, kedua orang itu sudah

menunggunya.

“Darimana saja engkau Pangeran?” sapa Smissaert yang duduk di belakang meja milik

Danuredjo. Seperti biasa, kedua kakinya diangkat ke atas meja. Mangkubumi benar-

benar marah. Namun dia berusaha untuk bisa mengendalikan diri.

“Menengok sawah,” jawab Mangkubumi singkat. “Ada apa Tuan Residen

memanggilku?”

Page 56: Untold History of Pangeran Diponegoro

Smissaert tersenyum. Demikian pula dengan Danuredjo yang duduk di sampingnya.

“Duduk dulu Pangeran…”

“Tidak. Biar saya berdiri di sini saja.”

“Baguslah. Nah, ada tugas untukmu yang harus dikerjakan secepatnya…”

“Tugas? Secepatnya?”

“Ya.”

“Apa itu?”

“Temui Diponegoro sekarang. Suruh dia menghadapku disini. Dia harus

mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dia sudah banyak mengganggu

ketertiban umum! Dia harus bertanggungjawab! Aku menunggunya di sini…”

“Ada surat undangannya?” tanya Mangkubumi tetap dingin. Kedua tangannya

bersedekap di depan dadanya yang sengaja dibusungkan. Baginya, bersikap sombong

di depan orang kafir adalah baik.

Anthonie Hendriks Smissaert menjentikkan jarinya, memberi isyarat pada Danuredjo

untuk mengambilkan surat pendek yang telah dilipat dan disegel dengan rapi. Patih

Dalem itu segera berdiri dan mengambil surat yang diletakkan di atas meja kecil yang

terbuat dari kayu jati dengan ukiran serong di sudut ruangan.

“Ini suratnya Tuan Residen…,” ujar Danuredjo sembari badannya membungkuk ke arah

Smissaert yang masih duduk dengan pongah.

“Berikan saja langsung ke dia…,” ujar Smissaert dengan acuh.

Dengan sikap hormat yang dibuat-buat, Danuredjo menyerahkan surat itu kepada

Pangeran Mangkubumi. Salah seorang paman dari Diponegoro itu merebut surat dari

Danuredjo tanpa mengucap sepatah kata pun. Surat itu langsung dimasukkan kedalam

saku bajunya. Danuredjo sendiri kembali duduk di samping Smissaert seperti anak

ayam berlindung di balik ketiak induknya.

“Saya berangkat,” ujar Mangkubumi seraya langsung balik badan dan keluar ruangan

begitu saja. Tanpa menghormat atau pun memberi salam.

Keluar dari kamar kepatihan, Mangkubumi memacu kudanya kembali ke arah

Tegalredjo. Jarak antara Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan Desa Tegalredjo

tidak begitu jauh. Jalannya pun sudah lebar, walau jika di musim hujan sangat

menyulitkan karena licin dan tanahnya banyak lubang. Namun bulan Juli adalah bulan

musim panas. Jadi Mangkubumi bisa memacu kudanya dengan lebih cepat.

Page 57: Untold History of Pangeran Diponegoro

Dari kraton menuju Tegalredjo terdapat tiga buah pos penjagaan di mana orang yang

lewat harus membayar bea jalan atau pajak jalan. Namun Mangkubumi terus saja

menggebrak kudanya dengan melompati portal penghalang yang ada sehingga dia

sama sekali tidak membayar pajak. Petugas jaga yang ada di pos jalan juga sudah

memakluminya. Tapi jangan coba-coba jika rakyat biasa yang lewat, mereka wajib

membayar bea jalan. Tidak ada cara lain. Peraturan biasanya memang hanya berlaku

untuk kawulo alit, namun tidak untuk para penggede… [] (Bersambung)

Bab 12

 

IKATAN TALI KEKANG KUDA YANG dikendarai Pangeran Mangkubumi agak

mengendur. Paman Diponegoro itu melambatkan kecepatan kudanya dan berhenti

terlebih dahulu di bawah batang kekar Delonix Regia[1] yang berdaun lebat dengan

bunga-bunga merah yang bermekaran di sana-sini. Tak sampai semenit dia sudah

mengencangkan ikatan itu. Dengan sekali gebrak, kudanya pun kembali melesat.

Usai melewati Kali Winongo di daerah Pringgokusuman, Mangkubumi melambatkan lari

kudanya. Sejauh mata memandang, hamparan sawah dan kebun terlihat begitu indah.

Tapi bukan itu yang membuat dia menurunkan kecepatan kudanya. Di berbagai mulut

gang dan jalan desa, para lelaki dewasa, bahkan banyak yang masih remaja belasan

tahun, tampak berkerumun lengkap dengan senjatanya masing-masing. Ada yang

membawa golok, keris, pisau panjang, clurit, tombak atau bambu yang yang

diruncingkan ujungnya, trisula, dan lain sebagainya.

“Ada apa ini?” tanya Mangkubumi di dalam hati.

Ketika mereka melihat siapa yang sedang berada di atas kuda, semuanya

membungkukkan badan dengan takzim. Pangeran Mangkubumi menyapa mereka

dengan hangat dan menghampiri salah satu dari mereka.

“Ada apa Kisanak bergerombol seperti ini lengkap dengan senjata?” tanyanya sambil

tetap berada di atas pelana kuda.

Salah seorang bapak yang menyelipkan keris di pinggangnya menjawab, “Beribu ampun

Kanjeng Pangeran. Kami ingin membela Kanjeng Pangeran Diponegoro. Kami dengar

Belanda akan menangkap beliau…”

Pangeran Mangkubumi tersenyum, “Siapa yang mengabarkan berita itu kepada kalian?”

“Demang[2], Kanjeng Pangeran…”

Mangkubumi kembali mengangguk-anggukan kepalanya, “Ya, Demang kalian benar…”

Lalu sebelum memacu kudanya kembali dia berpesan pada semuanya, “Saudara-

saudaraku, tanah makam leluhur memang telah dipatoki Belanda dan Patih Danuredjo

Page 58: Untold History of Pangeran Diponegoro

tadi malam. Pangeran Diponegoro sekarang memang tengah bersiap jika nanti terjadi

hal-hal yang buruk. Pesan saya, tetaplah bersiaga. Sampai ada perintah selanjutnya…”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Kami siap…,” sahut mereka serempak sembari

mengacungkan berbagai senjata yang mereka miliki. Mangkubumi menganggukkan

kepalanya kembali.

“Allah bersama kita! Allahu Akbar!” teriaknya.

“Allahu Akbar! Allahu Akbar!!” teriak orang-orang di bawahnya dengan bergemuruh.

“Saya sekarang akan menemui Pangeran Diponegoro. Tunggu perkembangan

selanjutnya!”

Mangkubumi kembali memacu kudanya menuju Desa Tegalredjo yang sudah terlihat di

kejauhan. Semakin mendekati Tegalredjo, semakin banyak rakyat yang berkumpul di

pinggir jalan dan juga di bukit-bukit lengkap dengan senjatanya. Bahkan beberapa di

antaranya sudah menunggang kuda. Perasaan haru meliputi Mangkubumi. Rakyat

Yogya memang sungguh-sungguh mencintai Pangeran Diponegoro dengan

perjuangannya. Bagi rakyat Yogyakarta, Diponegoro bukan lagi seorang pangeran,

namun sudah menjadi sultan yang sesungguhnya. Kenyataan ini menjadikan semangat

di dalam dada seorang Mangkubumi untuk berjuang di sisi keponakannya semakin

besar.

“Aku akan berdiri di sisinya!” bathin Mangkubumi mantap. []

Bab 13

 

LANGIT SIANG BEGITU CERAH. ANGKASA terlihat biru. Di beberapa bagian ke arah

utara, awan tipis seputih kapas tampak berarak bagai gelombang prajurit berjubah putih

yang berbaris menyongsong ke medan laga. Berbeda seratus delapan puluh derajat

dengan raut wajah Patih Danuredjo siang itu. Usai Pangeran Mangkubumi pergi ke

Tegalredjo, membawa perintah Smissaert untuk membawa Pangeran Diponegoro ke

kraton, Residen Yogyakarta malah memarahi dirinya. Padahal dia sudah dengan

segenap tenaga melayaninya.

Pasalnya kabar pasukan bantuan dari Mangkunegaran belum juga ada kepastiannya.

Demikian pula yang dari Sumenep dan Tidore. Padahal dari sejumlah telik sandi

Belanda yang ditanam di dalam barisan Diponegoro diperoleh informasi, jika beberapa

hari lalu Diponegoro telah memberikan sejumlah uang yang tidak diketahui asal sumber

dananya, kepada dua orang kepercayaannya untuk dibelikan sejumlah senjata api.

Page 59: Untold History of Pangeran Diponegoro

Smissaert tahu, pasukan inti dari Diponegoro tidak bisa dianggap remeh. Diponegoro

memiliki jaringan yang sangat kuat tidak saja di wilayah Yogyakarta, tapi juga meluas

jauh melebihi garis pantai Pulau Jawa. Para pendukungnya terutama dari kalangan

ulama dan pondok pesantren. Belum lagi pasukan perempuannya yang dilatih sendiri

oleh Ratu Ageng. Kebanyakan dari laskar perempuannya adalah para desertir dari

Bregada Langen Kesuma, yang sangat mahir dalam olah kanuragan dan juga

penggunaan senjata. Semua itu ditambah dengan pasukan telik sandinya yang cukup

hebat dan dapat dukungan dari akar rumput, yakni rakyat Yogyakarta dan sekitarnya.

Sebab itu, ketika belum ada jawaban pasti dari berbagai pasukan lokal yang diharapkan

bisa membantu Belanda, Smissaert sangat gusar. Semua kegeraman itu

ditumpahkannya pada Patih Danuredjo yang dianggapnya hanya bisa menjilat namun

tidak berusaha maksimal.

“Patih, kowe sekarang sudah hidup enak. Kowe sudah menjadi sultan yang

sesungguhnya dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kowe bisa dengan mudah

menipu Sultan Menol yang masih lima tahun itu. Kowe punya banyak rumah, tanah,

hewan ternak, dan lainnya. Perempuan mana saja yang kowe mau pasti dapat, dari

yang masih gadis sampai janda kembang, dari yang masih bau kencur sampai yang

sudah seperti mangga masak. Tapi kowe masih saja bekerja setengah-setengah

membantu kita. Apa semuanya mau kita cabut lagi, hah!”

Dengan menyembah-nyembah tanpa memperdulikan harga diri, Patih Danuredjo

memohon-mohon kepada Smissaert agar Residen Yogya itu bersabar sedikit. “Sabar,

Tuan. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya. Mereka pasti datang. Tunggulah sampai

sore, pasti ada berita baik buat kita…”

“Kowe menyuruh saya sabar. Enak saja. Sekarang begini saja, kalau sampai sore tidak

ada kabar beritanya, maka kowe jangan harap bisa hidup dengan enak lagi…”

“Aduuuh… Janganlah sekejam itu, Tuan. Pasti, Tuan. Pasti akan ada beritanya. Mereka

pasti datang…”

“Sudahlah! Cepat kowe atur itu orang-orang agar kowe bisa selamat!”

“Baik. Baik, Tuan. Saya akan atur semuanya.”

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Smissaert beranjak dari kursinya dan berjalan

keluar ruangan menuju kamar tidur. Dia agaknya masih mengantuk setelah semalaman

hingga dini hari berpesta pora. Patih Danuredjo sendiri keluar dari ruangan kerjanya dan

memerintahkan agar prajurit jaga memanggil Ki Sentono, salah seorang

kepercayaannya.

“Cari dia cepat! Suruh dia selekasnya menghadapku!” ujar Danuredjo.

Page 60: Untold History of Pangeran Diponegoro

Suryo Widhuro, sang prajurit jaga ruangan kepatihan siang itu, segera berlari. Danuredjo

kembali ke ruangannya dan mencoba untuk menenangkan diri. Hatinya benar-benar

panas mendapat omelan dari Smissaert. Dia mengutuk Belanda itu. Namun hanya itu

yang bisa dilakukannya. Hidupnya sepenuhnya tergantung pada orang itu. Segala

kenikmatan dan kelezatan hidupnya diperoleh berkat pengabdiannya kepada Belanda.

Duduk seorang diri di ruangan kerjanya membuat Danuredjo tidak kerasan. Dia lalu

berdiri dan membuka pintu samping yang langsung menuju kamar tidurnya. Dengan

perlahan tangannya memegang gagang kunci dan mendorong pintu itu kedalam. Dari

pintu yang terbuka, Danuredjo bisa mengintip seorang perempuan muda masih

berkemul di atas pembaringan. Kedua matanya masih tertutup. Pundaknya yang putih

mulus tersingkap. Juga betisnya. Pemandangan itu membuat darah Danuredjo naik

sampai ke ubun-ubun. Kelelakiannya serasa terbakar kembali. Dengan cepat dan hati-

hati dia segera mengunci pintu kamar. Lalu bagai seekor serigala kelaparan, dia

langsung melompat ke tempat tidur. Perempuan itu terbangun. Dia malah tersenyum

ketika melihat Danuredjo yang datang.

 

RESIDEN YOGYAKARTA A.H. Smissaert tidak langsung menuju kamar tidurnya. Wakil

Residen Chevallier mencegatnya beberapa tombak dari pintu kamar tidur residen

tersebut.

“Tuan memanggilku?” tanya Chevallier. Letnan Satu Kavaleri peraih medali kehormatan

Ridder M.W.O dalam Palagan Waterloo[3] ini memberikan military salute[4] dengan

sikap tubuh tegak sempurna. Residen Smissaert hanya menganggukkan kepalanya.

“Ya. Pagi ini juga kau siapkan pasukan kita di Yogyakarta. Cek juga bantuan dari

Magelang dan Semarang. Bila perlu hubungi langsung Kolonel Von Jett yang ada di

sana. Kita akan segera menangkap Diponegoro. Pemberontak itu sekarang sudah

punya pasukan bersenjata, kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan…”

Di dalam hatinya Chevallier tertawa. Dia sudah tahu semua perkembangan terkini dari

Residen Surakarta Mac Gillavry. Namun wajahnya tetap menunjukkan sikap

profesionalnya sebagai Wakil Residen.

“Siap, laksanakan!” [] (Bersambung)

[1] Nama latin untuk tumbuhan Bunga Flamboyan.[2] Semacam kepala desa.[3] Palagan atau Pertempuran Waterloo terjadi pada tahun…… antara pasukan Prancis di bawah komando Jenderal Napoleon Bonaperte melawan

Page 61: Untold History of Pangeran Diponegoro

[4] Military Salute adalah pemberian hormat secara militer dengan tangan kanan diangkat setinggi pelipis atau di atas mata kanan. Hampir seluruh pasukan di dunia modern sekarang masih menggunakan cara penghormatan seperti ini.Bab 14

 

MANGKUBUMI SUNGGUH-SUNGGUH TIDAK ENAK hati menyampaikan surat dari

Residen Smissaert kepada Pangeran Diponegoro. Untunglah, keponakannya itu sangat

bijaksana sehingga tidak timbul syak wasangka di antara mereka.

“Paman, katakan kepada kafir Belanda itu jika saya sama sekali tidak tertarik dengan

semua yang ditawarkannya. Tidak ada jabatan dan kedudukan yang lebih tinggi dan

yang lebih aku inginkan terkecuali menjadi hamba yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Saya hanya menginginkan itu. Saya juga ingin kafir Belanda itu segera angkat kaki dari

bumi Jawa ini, dari Nusantara ini, dan biarkanlah negeri yang indah dan kaya ini kembali

menjadi milik pewarisnya yang sah, yaitu kita semua. Kita sama sekali tidak memerlukan

kehadiran mereka sebagai penguasa di sini…”

“Mereka tidak akan sudi melakukan itu semua…”

“Tidak mengapa, paman. Jika mereka tetap bersikeras untuk meneruskan penjajahan ini

dan ingin terus menindas rakyat seperti sekarang ini, juga memerangi agama kita, maka

tiada jalan lain kecuali kita harus mengusir mereka dengan pedang. Allah telah

menyatakan itu di dalam kitab suci Al-Quran. Sebab itu, sejak jauh hari kita memang

telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kita sangat cinta damai, tapi jika

musuh ingin berperang maka seribu pertempuran akan kita gelar!”

Kemudian Diponegoro mengutip salah satu ayat al-Quran, surat Al-Anfal ayat 60 yang

berbunyi, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.”

Mendengar jawaban yang sangat tegas itu, Pangeran Mangkubumi seperti tersihir oleh

pesona seorang Diponegoro yang begitu agung.

Seharusnya memang dia yang menjadi sultan di tanah ini!

“Jadi apa keputusanmu, Pangeran?”

“Maaf, paman. Katakan kepada kafir Belanda itu bahwa aku sama sekali tidak tertarik

dengan semua tawarannya. Dan untuk undangannya menghadap residen kafir itu,

Page 62: Untold History of Pangeran Diponegoro

ucapkan terima kasih karena telah mengundangku, namun aku tidak akan datang

kepada dia sampai kapan pun. Itu saja.”

Mangkubumi sudah menduga jika keponakannya akan bersikap demikian. Dan itu

sangat dihargai olehnya. Dia segera pamit untuk menyampaikan jawaban itu kepada

Residen Smissaert.

“Pergilah paman. Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi dan mempermudah

semua urusan Paman…”

“Terima kasih, Pangeran….”

Usai mengucap salam, Mangkubumi pun pergi kembali ke kraton saat itu juga. Debu-

debu mengepul dari kaki kudanya yang terbang bagaikan angin. []

 

Bab 15

 

IBARAT PELURU YANG TIDAK BISA dihentikan jika sudah dimuntahkan dari laras

senapan, demikian pula dengan kehidupan seseorang di masa sekarang yang

sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keputusan orang itu di dalam menjalani

hidup pada mulanya. Hidup, sebagaimana halnya dengan sang waktu, terus berjalan ke

depan, mustahil untuk bisa dimundurkan walau barang sekejap.

Berkali-kali sanubari seorang Patih Danuredjo merasakan hal itu dan sedikit banyak

menyesalinya. Namun berkali-kali pula, Danuredjo menyangkal suara hatinya sendiri

dengan mengatakan jika sesuatu itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia

hanya menjalani takdir yang sudah digariskan. Danuredjo selalu merasa gelisah. Namun

semua itu dengan kuat berusaha ditutupinya dengan senyum dan sikapnya yang sulit

ditebak.

Siang itu, usai kesekian kalinya melepaskan hasrat pada perempuan muda yang seakan

tiada pernah terpuaskan, Patih Danuredjo tampak termangu sendirian duduk di

belakang meja kerjanya. Tidak tampak Residen Smissaert yang sepertinya bersungguh-

sungguh meneruskan istirahatnya. Dan Danuredjo bersyukur atas hal itu.

Sudah hampir satu jam lamanya dia duduk di atas kursi di ruangan utama kepatihan,

namun Ki Sentono belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemarin pagi,

Danuredjo memang memerintahkan salah satu orang kepercayaannya itu untuk

meminta konfirmasi dari pihak Mangkunegaran soal kesiapannya membantu pihak

Belanda dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, jika terjadi sesuatu yang buruk terkait

dengan pembangkangan Pangeran Diponegoro. Namun sampai sekarang orang itu

belum muncul-muncul juga untuk memberikan laporannya.

Page 63: Untold History of Pangeran Diponegoro

Tahun lalu ketika berkunjung ke Kraton Mangkunegaran, Danuredjo mendapat janji

bahwa Legiun Mangkunegaran akan membantu pemerintah Belanda dan juga kraton

jika diperangi musuh atau pun pemberontak. Danuredjo tadinya merasa aman posisinya

dengan dibentuknya Dewan Perwalian dimana Diponegoro mau bergabung. Namun

ketika tahun 1822 Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari Dewan Perwalian dan

memilih berjuang di luar struktur pemerintahan sama sekali, dengan membawa serta

Mangkubumi, maka Patih Danuredjo baru merasa cemas. Ini berarti pemerintah tidak

bisa lagi mengendalikan sepak terjang Diponegoro. Sosok yang satu ini telah semakin

sukar untuk diawasi. Apalagi di kemudian hari, banyak ulama, pangeran, kepala daerah,

dan sejumlah jagoan atau jawara bergabung dengannya. Mereka sama-sama ingin

mengusir Belanda dari Tanah Jawa dan itu berarti ‘celaka tiga belas’ bagi Patih

Danuredjo.

Ketukan pintu tiga kali terdengar cukup keras membuyarkan lamunan Danuredjo.

“Ya, masuk!”

Seorang prajurit jaga membuka pintu, “Maaf Kanjeng Patih Dalem, Ki Sentono sudah

ada di aula depan…”

“Bawa saja ke sini sekarang juga!”

“Inggih, Kanjeng Patih… Laksanakan!”

Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang berjalan dengan cepat di atas

lantai kraton. Ketukan kembali terdengar di pintu ruangan.

“Masuk saja!”

Seorang lelaki tua bertubuh pendek gempal dan berpakaian serba putih, dengan janggut

dan kumis yang juga sudah mulai memutih, masuk ke dalam ruangan kerja kepatihan

dan membungkukkan badannya menghormat Patih Danuredjo.

“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, Kanjeng Patih Dalem…”Danuredjo berdiri dan menyambut orangtua itu, “Wa’alaikumusalam Ki Sentono. Mari

duduk di sini dan bagaimana kabar dari teman-teman?”

Ki Sentono duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Danuredjo. Dengan senyum

mengembang, lelaki tua yang jidatnya menghitam seperti bekas sujud itu mulai

melaporkan hasil kerjanya.

“Maafkan saya jika terlambat melapor kepada Tuan. Saya berhasil mendapatkan

konfirmasi dari Kraton Mangkunegaran jika Legiun mereka-termasuk pasukan khusus

Jayeng Sekar jika diperlukan-sudah sangat siap untuk bergerak merapat ke kita.

Demikian juga dengan Panembahan Sumenep Madura, Sultan Madura, Mayor Raja

Sulaiman dari Buton, Laskar Suku Alifuru-Tidore, dan Laskar Ternate. Beberapa

Page 64: Untold History of Pangeran Diponegoro

pangeran, kepala desa, dan yang lainnya juga sudah siap untuk membantu pemerintah.

Termasuk sejumlah korps pasukan yang berada langsung di bawah para Bupati.”

“Apakah semuanya pasti akan membantu kita, Ki Sentono? Kisanak bisa menjamin hal

itu?”

“Diri saya menjadi jaminannya, Tuan Patih. Bahkan Kanjeng Mangkunegara II sudah

menyatakan siap dipanggil kapan pun ke Yogyakarta jika diperlukan. Dari yang lainnya,

pasukan dari Mangkunegaran memang yang terdekat dengan kita. Mereka akan tiba di

Yogya dalam waktu yang tidak lama…”

“Ya. Kisanak benar…”

Danuredjo menghembuskan nafasnya lega. Dia tahu jika saat ini Belanda sedang dalam

keadaan lemah secara militer. Sebagian pasukan regulernya masih dalam penugasan

ekspedisi militer ke Celebes[1] dan Borneo. Satu-satunya harapan hanyalah bantuan

dari pasukan reguler Belanda yang ada di Surakarta dan Semarang yang berada di

bawah pimpinan Kolonel Von Jett. Perwira ini adalah komandan kesatuan militer

terbesar kedua di Jawa yang bermarkas di Semarang. Namun itu pun jumlahnya masih

dianggap kurang oleh Danuredjo. Sebab itu, ketika mendengar jaminan dari Ki Sentono,

Patih Danuredjo sangat bersuka cita. Wajahnya yang tadinya tegang kini sudah bisa

tersenyum kembali. (Bersambung)

[1] Celebes adalah nama lain dari Sulawesi.

“Ki Sentono, entah apa yang harus saya ucapkan kepadamu. Apa yang sudah Kisanak

kerjakan akan sangat berarti bagi kita semua, bagi pemerintahan yang kita sama-sama

berada di belakangnya. Aku berjanji, Kisanak akan mendapatkan hadiah dari

pemerintah. Dan kapan mereka semua akan bergerak?”

“Semuanya tinggal menunggu perintah Tuan Patih saja.”

Danuredjo mengangguk-anggukan kepalanya. Residen Smissaert harus segera

diberitahu hal ini. Tetapi dia agak jengkel juga terhadap Residen pengganti Baron de

Salis ini yang menurutnya tidak bisa bekerja dengan cepat. Danuredjo menggerutu.

Namun bagaimana pun, Smissaert sekarang adalah orang yang harus dilayaninya dan

dia harus bekerja dengan sebaik-baiknya agar posisinya sungguh-sungguh aman.

“Ki Sentono,” ujar Danuredjo. “…Kisanak sekarang saya perintahkan untuk ke

Tegalredjo. Membaurlah di sana dan laporkan dengan cepat perkembangan yang terjadi

di sana. Beberapa teman kita yang juga sudah berada di Tegalredjo akan membantu

Kisanak.”

“Apakah kodenya berubah, Tuan Patih?”

Page 65: Untold History of Pangeran Diponegoro

Danuredjo kembali tersenyum. Dia kemudian melihat ke kanan dan kiri ruangan. Sepi.

Dengan pelan Danuredjo menangkupkan kedua tangannya ke telinga Ki Sentono dan

berbisik, “Parangkusumo dan Progo.”

“Tanda?”

“Tali putih dan hijau pada ujung gagang senjata…”

Ki Sentono mengangguk. Ini berarti setiap pasukan telik sandi dari Danuredjo akan

mengikat ujung gagang senjatanya, apakah itu keris, pedang, kelewang, atau pun yang

lain, dengan tali putih dan hijau. Dan untuk konfirmasi, dia harus mengucapkan

“Parangkusumo” dan orang yang dimaksud harus menjawab, “Progo”.

“Sekarang pergilah Ki Sentono. Selamat bertugas.”

Ki Sentono membungkukkan badannya dan mengucap salam kembali. Setelah itu dia

keluar dari ruangan. Danuredjo kembali sendirian di dalam ruangannya. []

Bab 16

AKHIRNYA RESIDEN SMISSAERT KELUAR JUGA dari kamar tidurnya. Dengan kedua

mata yang masih sembab dan seluruh wajahnya kemerah-merahan bagai udang rebus,

pejabat Belanda itu membanting pantatnya di atas kursi kerja Danuredjo. Dan seperti

biasan, kedua kakinya diangkat ke atas meja.

“Bagaimana kabar Mangkubumi? Apakah dia sudah balik dari Tegalredjo?”

Danuredjo menggelengkan kepalanya, “Belum Tuan Residen… Tapi saya mendapat

kabar bahwa dia sedang menuju ke sini dengan membawa jawaban dari Diponegoro.”

“Well, kita tunggu saja di sini.”

Belum kering bibir Smissaert berbicara, pintu ruangan terbuka. Sosok Mangkubumi

sudah berada diambang pintu. Dengan langkah tegap dia masuk ke dalam ruangan.

Tanpa memberi salam dia langsung memberikan jawaban Diponegoro yang

disampaikan secara lisan.

“Pertama-tama Pangeran Diponegoro mengucapkan terima kasih atas undangan Tuan

Residen. Tapi dia menolak memenuhinya. Pangeran Diponegoro juga menolak semua

tawaran yang Tuan ajukan. Dia hanya ingin supaya Patih Danuredjo dipecat dan

Belanda angkat kaki dari Tanah Jawa. Baginya, tiada tawaran atau jabatan yang paling

utama kecuali mengharapkan kecintaan dan keridhaan Allah Yang Maha Kuasa. Dia

ingin supaya Tuan Residen menginsyafi kesalahannya dengan membuat jalan di atas

tanah makam leluhur tanpa izin. Itu saja.”

Page 66: Untold History of Pangeran Diponegoro

Wajah Smissaert merah padam. Dengan penuh amarah dia berteriak, “Diponegoro tidak

usah menceramahiku soal tuhannya! Dia benar-benar tidak tahu diuntung! Dia ingin

perang, maka kita akan beri dia perang yang besar!”

Danuredjo hanya berdiam diri. Dia menatap lantai ruangan kerjanya sendiri yang

sepertinya semakin lama entah mengapa semakin membuatnya gerah. Namun beda

dengan Mangkubumi. Lelaki ini tidak terpengaruh dengan kemarahan Smissaert yang

bagaikan letusan Gunung Merapi. Dia tetap berdiri dengan tenang dan menatap

langsung ke arah residen itu.

“Apalagi yang dikatakan pemberontak itu padamu?”

“Tidak ada lagi,” ujar Mangkubumi. “…Hanya saja, menurut hematku, pembangunan

jalan raya dengan menerabas tanah makam leluhur dan sebagian kebun milik

Diponegoro tanpa izin memang tidak bisa dibenarkan. Aku pun secara pribadi keberatan

karena itu adalah tanah makam leluhurku juga…”

“Aku tidak minta pendapatmu. Kowe hanya perlu menjawab pertanyaanku. Itu saja,” ujar

Smissaert ketus. Mukanya yang bulat masih merah padam.

“Bagaimana Patih? Apakah kowe punya rencana lagi?” tanya residen itu pada

Danuredjo.

“Kita beri peringatan terakhir saja kepada Diponegoro. Jika peringatan terakhir ini,

berikut batas waktunya, dia masih juga membangkang, maka itu berarti dia memang

menginginkan perang.”

Smissaert agaknya kurang berkenan dengan usulan Danuredjo kali ini. Dia sempat

berdiam agak lama. Setelah menimbang-nimbang sejenak, Smissaert akhirnya tidak

punya pilihan. Pihaknya bagaimana pun juga harus mengulur waktu karena pasukan

yang tersedia belum kuat, sedangkan pasukan bantuan belum datang. Sambil

menunggu datangnya pasukan bantuan, maka ada baiknya dia mengirim peringatan

terakhir kepada Diponegoro. Dan Mangkubumi sekarang juga harus kembali ke

Tegalredjo.

“Mangkubumi! Kowe sekarang juga kembali lagi ke Tegalredjo. Temui Diponegoro dan

katakan padanya jika nanti tengah malam dia masih bersikap seperti ini, maka tidak ada

jalan lain kecuali kami akan menangkapnya, dengan segala cara! Kami sudah benar-

benar habis kesabaran! Cepat jalan! Dan jika dia tidak mau juga kesini, kowe yang

harus jadi gantinya. Kowe akan kita tahan disini!”

Kedua geraham Mangkubumi bergemeretak menahan marah. Tapi dia tahu, tidak ada

gunanya menghadapi orang-orang seperti Smissaert dan Danuredjo. Keduanya adalah

sampah, dan dia benar-benar jijik untuk berlama-lama dengan keduanya di dalam satu

Page 67: Untold History of Pangeran Diponegoro

ruangan. Sebab itu dia segera berangkat kembali ke Tegalredjo bersama kudanya.

Tekadnya sudah bulat, dia akan bergabung secara terang-terangan dengan pasukannya

Diponegoro. Sebelum memacu kudanya, diam-diam dia segera memanggil Suryo

Widhuro, seorang prajurit jaga kraton yang bersimpati kepada perjuangan Pangeran

Diponegoro. Di bawah pohon beringin yang lebat, sambil berbisik Pangeran

Mangkubumi memberikan pesan kepada Suryo.

“Kisanak, inilah terakhir kali aku menginjak kraton sebagai seorang sahabat. Sore ini

aku akan bergabung dengan Pangeran Diponegoro di Tegalredjo dan tidak akan pernah

kembali lagi ke tempat ini sebagai kawan. Kisanak dan prajurit yang lain, para sahabat

kita, tetaplah disini. Bertugaslah seperti biasa. Sewaktu-waktu kami akan memerlukan

keberadaan Kisanak dan lainnya yang ada di sini…”

Wajah Suryo Widhuro terlihat tegang. Dia berkali-kali membungkukkan badannya

kepada Pangeran Mangkubumi. Namun Mangkubumi bukanlah seorang bangsawan

yang gila hormat. Dengan tangan kanannya dia memegang pundah prajurit itu dan

menganggukkan kepala sambil tersenyum.

“Suryo, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya pamit…”

“Wa’alaikumusalam, Kanjeng Pangeran… Saya akan setia dan siap selalu!”

Mangkubumi segera menggebrak kudanya. Dalam sekejap, kuda hitam coklat itu

meringkik dan kemudian berlari kencang meninggalkan kraton. Sikap Mangkubumi

sudah bulat. Sore ini dia akan bergabung dengan barisan Diponegoro. Namun walau

bagaimana pun, kedua matanya berkaca-kaca. Hatinya haru harus meninggalkan kraton

untuk selama-lamanya dengan cara seperti ini.

Perjuangan menegakkan kebenaran memang selalu mensyaratkan pengorbanan.

Sebab itu, jalan ini adalah jalan sepi. Jalan yang hanya kuat dilalui oleh orang-orang

yang memiliki kemauan baja dan prinsip hidup yang tak tergoyahkan. [] (Bersambung)

Bab 17

MANGKUBUMI BARU SAJA PERGI MENINGGALKAN kraton untuk kembali ke

Tegalredjo. Residen Smissaert segera memerintahkan Patih Danuredjo agar

menghubungi setiap pasukan lokal yang ada yang telah menyatakan siap untuk

bergabung memperkuat pemerintah.

“Panggil seluruh pasukan bantuan yang sudah siap bergabung dengan kita secepatnya.

Terlebih-lebih Legiun Mangkunegaran. Mereka akan tiba terlebih dahulu, bersama

dengan pasukan reguler dari Surakarta. Ke sini itu Cuma mereka hanya perlu tiga jam

dari Surakarta. Setelah itu baru yang dari Semarang dan lainnya akan datang ke sini.”

Page 68: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Betul, Tuan. Saya akan segera kontak agar Legiun Mangkunegaran segera

mengirimkan pasukannya ke sini.”

“Diponegoro pasti akan tetap tidak mau kesini… Orang koeppeg[1] itu memang harus

ditangkap secepatnya.”

“Betul, saya setuju, Tuan. Termasuk orang-orang yang dekat dengannya…”

“Apakah Mangkubumi bisa dipercaya, Patih?”

Danuredjo menggelengkan kepala, “Diponegoro hormat padanya, dan dia pun sangat

menghormati Diponegoro. Keduanya terikat satu tali keluarga. Saya yakin, Tuan

Residen, jika Mangkubumi itu diam-diam juga bersimpati padanya. Demikian pula

dengan sejumlah pangeran yang lain, seperti Joyokusumah itu…”

“Jika demikian, kalau dia pulang nanti, kita tangkap saja, atau jangan izinkan dia untuk

keluar kraton lagi…”

“Ya, ya, sangat bagus itu, Tuan.”

“Jika tidak ada aral melintang, satu jam lagi Mangkubumi akan tiba kembali di sini. Kita

akan dengar apa maunya Diponegoro itu. Apakah dia memang berani melawan kita atau

menyerah…”

“Saya tidak yakin kalau dia mau menyerah, Tuan. Tapi kita lihat saja nanti…”

Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang.

“Ya, masuk,” ujar Danuredjo.

Seorang anak buah Ki Sentono masuk. Setelah memberi salam dan penghormatan, dia

memberikan informasi jika Ki Sentono telah memanggil pasukan Mangkunegaran agar

secepatnya ke Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Mereka sudah dalam perjalanan ke sini, terdiri dari 10 orang kavaleri Eropa, 100

infanteri, dan limapuluhdragonder[2]. Selain itu, pasukan reguler dari Surakarta,

Magelang, dan Semarang juga sedang bersiap untuk berangkat ke Yogya…”

Danuredjo terdiam. Sepertinya dia baru saja berbicara hal itu pada Smissaert di ruangan

ini dan belum didengar siapa pun. Namun mengapa Ki Sentono sudah mengetahui hal

ini dan bergerak cepat? Danuredjo sungguh-sungguh heran sekaligus takjub.

Darimana Ki Sentono bisa mengetahui apa yang diinginkannya?

“Bagus, bagus. Tolong sampaikan pesanku untuk Residen Magelang bahwa kita juga

memerlukan dana yang besar untuk menghadapi Diponegoro…”

Page 69: Untold History of Pangeran Diponegoro

Senyum Danuredjo bertambah lebar mendengar Smissaert meminta dukungan dana.

Kepalanya mengangguk-angguk. Ya, semuanya memang butuh dana… Aku juga sangat memerlukannya…“Patih, kowe siapkan pasukanmu di sini agar bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Jangan tersenyum-senyum saja seperti itu. Aku muak melihatmu seperti itu!”

Senyum Danuredjo mendadak hilang dari wajahnya, berganti dengan keseriusan yang

dibuat-buat bagaikan badut.

“Ya, Tuan Residen. Saya akan siapkan pasukan disini.”

“Dan untukmu, prajurit. Terima kasih atas laporanmu dan kembalilah ke posmu.”

“Satu lagi Tuan-Tuan, patok-patok jalan raya yang ada di Tegalredjo telah dicabut oleh

pengikutnya Diponegoro. Mereka mengganti patok-patok jalan itu dengan ratusan

tombak. Para pekerjanya pun diusir…”

Smissaert dan Danuredjo mengangguk-anggukkan kepalanya. Ya, mereka agaknya memang mau berperang…

“terima kasih, prajurit. Kembalilah ke posmu.”

“Siap, Tuan Residen. Siap, Kanjeng Patih Dalem. Laksanakan!”

Prajurit itu pun segera keluar dari ruangan. Smissaert melihat Patih Danuredjo yang

masih saja duduk dengan pandangan mata yang merendahkan. Dengan penuh

kegeraman, orang Belanda itu berteriak kepada Danuredjo, “Patih, kowe mau apa lagi

di sini? Cepat siapkan pasukanmu sekarang juga! Panggil senopati-senopati terbaikmu

sekarang!”

Mendengar Smissaert berteriak seperti itu, Danuredjo segera lompat dari kursinya.

“Siap! Siap, Tuan Residen. Saya akan segera panggil para senopati untuk menyiapkan

pasukannya!” jawabnya sambil berkali-kali membungkukkan badan ke arah Smissaert

yang tengah duduk di belakang meja dengan kedua kaki dijulurkan tepat ke depan muka

Danuredjo. []

Bab 18

ISLAM AGAMA YANG CINTA DAMAI. Namun jika ada musuh yang memerangi agama

tauhid ini, maka Islam mewajibkan umat-Nya untuk balas memerangi. Walau demikian,

balasan yang dilakukan harus tetap mengindahkan kaidah-kaidah berperang di dalam

Islam, yakni tidak boleh melakukan pengrusakan yang tidak perlu, baik terhadap alam

dan juga terhadap lingkungan, tidak boleh membunuh perempuan dan anak-anak yang

bukan kombatan[3], tidak boleh membunuh dengan sadis, dan lain sebagainya. Berkali-

kali hal itu ditekankan Pangeran Diponegoro kepada pasukannya.

Page 70: Untold History of Pangeran Diponegoro

Siang menjelang sore, Mangkubumi telah tiba kembali di Puri Tegalredjo. Kepada

Pangeran Diponegoro dan para sesepuh yang lain, Pangeran Mangkubumi

menyampaikan pesan dari Residen Yogya Smissaert. Setelah itu dia menyatakan diri

bergabung sepenuhnya dengan barisan Diponegoro dan tidak ingin kembali lagi ke

kraton.

Dengan penuh haru Diponegoro memeluk pamannya ini. “Pamanda,

syukur alhamdulillah paman mau bergabung dengan kami. Mudah-mudahan

Allah subhana wa ta’ala memberikan kekuatan dan ketabahan pada paman di dalam

perjuangan ini. Ahlan wa sahlan, Paman…”

“Amien ya Rabb. Terima kasih, Pangeran. Semoga perjuangan kita menghadapi kafir

Belanda dan antek-anteknya bisa dimudahkan Allah subhana wa ta’ala. Semoga kafir

Belanda dapat segera terusir dari Tanah Jawa ini…”

“Amien ra Rabb al ‘amien…“

Pangeran Diponegoro kemudian mengajak Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz

Taftayani, dan para sesepuh lainnya untuk menggelar musyawarah kecil di dalam

masjid. Rombongan jubah putih itu pun beranjak dari pendopo depan Puri Tegalredjo

menuju masjid yang berdekatan letaknya. Hanya Ki Singalodra yang tetap berpakaian

hitam-hitam dengan ikat kepala yang juga hitam. (Bersambung)

[1] Bahasa Belanda: Keras Kepala.

[2] Dragonder adalah istilah untuk kavaleri ringan atau infanteri berkuda.

[3] Kombatan adalah pasukan tempur. ‘Bukan Kombatan’ artinya adalah perempuan dan

anak-anak yang bukan bagian dari pasukan tempur.

Di dalam masjid, Diponegoro membuka musyawarah dengan memaparkan

perkembangan paling baru dari pergerakan musuh.

“Dari lapangan, saya mendapatkan informasi jika Residen Yogya dan Patih Danuredjo

sedang menyiapkan pasukan yang dipusatkan di kraton. Mereka juga memanggil

sejumlah pasukan bantuan, baik dari pasukan pribumi seperti Legiun Mangkunegaran,

suku Alifuru, Tidore, Ternate, Buton, maupun dari pasukan reguler kafir Belanda dari

Semarang, Magelang, dan Surakarta…”

Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. “Huffhhh…. ternyata banyak pula saudara-

saudara seiman kita, orang-orang Islam, yang mau mempertaruhkan nyawanya demi

membela kafir Belanda. Mereka ini nyata-nyata telah menukar agama Allah dengan

dunia, dengan harga yang amat murah…!”

“Ya, paman. Saya juga sedih dengan kenyataan ini. Tapi itulah faktanya. Banyak orang

yang mengaku Islam, namun ternyata loyalitasnya bukan kepada Allah dan Rasul-Nya,

melainkan kepada thagut. Mereka mengerjakan sholat, berpuasa di bulan Ramadhan,

membayar zakat, dan naik haji berkali-kali, namun semua itu ternyata belum cukup,

Page 71: Untold History of Pangeran Diponegoro

mereka belum memahami Islam secara kafaah-syumuliyah, sehingga mereka

sesungguhnya tetap dalam kejahilannya…,” jawab Diponegoro.

“Dan hal ini akan terus terjadi sepanjang sejarah umat manusia…”

“Benar, paman. Musuh kita bukan hanya kaum kafir, kaum musyrik, tetapi juga orang-

orang munafik dan orang-orang jahil. Orang-orang yang mengaku Islam namun

membela thagut, atau hidup dengan melayani kepentingan thagut, sesungguhnya

mereka kaum munafik dan jahil. Kita harus memerangi mereka juga jika dakwah kita

terhadap mereka tidak mereka perdulikan…”

Ustadz Taftayani menyela, “Kanjeng Pangeran, bagaimana dengan kesiapan pasukan

kita? Yang di sekitar sini maupun yang ada di luar Tegalredjo?”

Pangeran Diponegoro mengangguk kemudian berkata, “Insya Allah, Ustadz. Allah

akan selalu bersama kita. Sampai dengan sekarang, sudah banyak ulama, pangeran,

kepala desa, dan beberapa sesepuh masyarakat yang menyatakan siap menolong

agama Allah ini dengan bergabung ke dalam pasukan kita.”

“Apakah jumlah pasukan kita sudah setara dengan kekuatan musuh, Kanjeng

Pangeran?” tanya Senopati Mardhiko dari Magelang.

Pangeran Diponegoro tersenyum bijak. Dia kemudian menjawab, “Satu orang beriman

yang berjihad di jalan Allah, akan bisa menghancurkan sepuluh prajurit musuh. Sepuluh

orang beriman yang berjihad di jalan Allah, akan mampu menghancurkan seratus

musuh. Mengapa kita takut jika jumlah kita lebih sedikit dibandingkan jumlah pasukan

musuh Allah itu? Lupakah Kisanak dengan ibrah dari Perang Badr?”

“Astaghfirullah al adziiim...,” seru Senopati Mardhiko. “Maafkan saya Kanjeng

Pangeran…”

Diponegoro menggelengkan kepalanya, “Tidak mengapa Senopati. Khilaf dan lupa

adalah sifat kita semua sebagai manusia biasa. Apakah Kisanak masih ingat ibrah

Perang Badar?”

Mardhiko mengangguk, “Ya, saya masih ingat.”

“Coba Kisanak paparkan secara singkat saja.”

Senopati Mardhiko mulai bercerita, “Perang Badar adalah peperangan pertama

Rasulullah menghadapi Musyrikin Quraisy. Kala itu jumlah pasukan Islam hanya

tigaratus lebih sedikit, harus berhadapan dengan pasukan kaum Musyrikin Quraisy yang

jumlahnya jauh lebih banyak, sekitar seribuan lebih. Pasukan Muslim juga kalah jauh

dalam kelengkapan kuda, onta, dan persenjataan. Namun Allah telah berjanji

sebagaimana di dalam surat Al-Anfal ayat 65 yang berbunyi, “…Jika ada duapuluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh, dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antaramu, mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir…” Dan Maha Benar Allah dengan

segala firman-Nya. Dalam perang Badr, pasukan kaum Muslimin dapat menghancurkan

pasukan musyrikin Quraisy yang jumlah dan kelengkapannya lebih banyak…”

Page 72: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Nah, sejarah sudah memperlihatkan kepada kita semua,” ujar Pangeran Diponegoro.

“…jika kita menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolong kita. Yakinlah, kita

pasti menang.”

Semua yang ada di situ mengangguk-anggukkan kepalanya. Pangeran Diponegoro

melanjutkan, “Kafir Belanda dan antek-anteknya itu tidak punya kekuatan. Yang Maha

Kuat hanyalah Allah subhana wa ta’ala. Dan jangan takut, lebih dari setengah

pangeran, lebih dari setengah demang, dan sebagian besar rakyat ada di belakang kita.

Dari informasi yang disampaikan para telik sandi kita yang disebar di mana-mana,

mereka semua sudah mempersenjatai diri dan tinggal menunggu perintah. Dengan

pasukan yang sangat kuat dan bantuan serta ridho Allah, insya Allah, kita akan meraih

kemenangan!”

“Allahu Akbar!” teriak Ki Singalodra. Yang lainnya pun meneriakkan takbir tersebut

hingga memenuhi seluruh bagian masjid tersebut.

“Dan saudara-saudaraku semua, para ulama, para pangeran, para demang, dan

senopati, kita sudah menempatkan pasukan-pasukan kita di semua pos sekitar

Tegalredjo ini. Kita sekarang hanya menunggu mereka, karena kita tidak ingin dianggap

yang memulai perang…”

Pangeran Diponegoro kemudian membaca kembali ayat suci Al-Qur’an, kali ini surat Al-

Hajj ayat 39 dan 40,

 

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa’“

“Kalian semua, nanti malam beristirahatlah dengan cukup. Berjagalah bergantian.

Sebab aku punya firasat jika besok akan menjadi hari yang melelahkan bagi kita semua.

Bersiaga dan bersiaplah…”

“Siap, Kanjeng Pangeran!” ujar para senopati.

“Nah, sekarang kembalilah ke pos kalian masing-masing. Jika sesuatu yang paling

buruk menimpa Puri Tegalredjo, maka semuanya sudah tahu kemana aku dan pasukan

akan pergi.”

Page 73: Untold History of Pangeran Diponegoro

Para senopati dan sesepuh yang lain pun meninggalkan masjid. Mereka kembali ke

pasukannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyebar ke seluruh wilayah

sekitar Tegalredjo. Satu jam lagi waktu maghrib akan tiba. Pangeran Diponegoro segera

mengambil wudhu untuk kembali berzikir menjelang saat pergantian siang ke malam di

dalam masjid. []

Bab 19

NAFAS PANGERAN DIPONEGORO BEGITU TENANG dan teratur. Bibirnya yang

selalu basah oleh zikir bergerak-gerak kecil. Kedua matanya dipejamkan. Tangan

kanannya begitu khusyuk memilin butiran biji tasbih yang terbuat dari kayu asam jawa

yang begitu langka. Putera Sultan Hamengku Buwono III ini kuat duduk bersila di dalam

masjidnya semalaman penuh, diseling sholat tahajud yang panjang. Perutnya juga

jarang diisi makanan dan minuman. Sejak remaja di bawah bimbingan Ratu Ageng,

permaisuri dari Hamengku Buwono I, Diponegoro telah terbiasa melakukan puasa

sunnah Daud, selang-seling sehari puasa sehari tidak.

Di sisi lain, sejak remaja Diponegoro juga mendapatkan gemblengan yang begitu

keras dan penuh disiplin dari Ratu Ageng yang notabene mantan panglima tertinggi

pasukan khusus pengawal raja Langen Kesuma. Selain Ratu Ageng, sejumlah pendekar

dengan ilmu beladiri juga didatangkan untuk membekali cicit kesayangannya ini agar

bisa menjadi manusia yang shalih, cerdas, serta kuat secara fisik dan mental.

Sehabis menunaikan sholat Isya berjamaah, Pangeran Diponegoro terus saja berzikir di

dalam masjid ditemani Ustadz Taftayani. Ki Singalodra dengan setia terus berjaga di

shaft paling belakang masjid. Dia duduk bersandar di dinding. Sesepuh yang lain sudah

kembali ke biliknya masing-masing. Sejumlah pasukan dengan senjata lengkap tampak

terus bersiaga di depan gerbang dan di batas desa dalam kelompok-kelompok kecil. Tak

hanya pasukan yang sudah terlatih, para lelaki Desa Tegalredjo juga tampak melakukan

penjagaan secara bergantian.

Malam itu menjadi malam yang menegangkan. Udara malam hari yang biasanya sejuk

bahkan dingin, berubah menjadi sangat gerah. Angin seolah tidak mau bertiup. Tanda-

tanda alam seperti ini sudah dimaklumi banyak orang. Peristiwa besar pasti akan terjadi

esok hari. Entah apa, hanya Allah Yang Maha Tahu. (Bersambung)

Di dalam bilik utama di dalam Puri Tegalredjo, isteri Pangeran Diponegoro, Raden Ayu

Retnaningsih-puteri dari Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang

Kepadhangan-tengah menidurkan anak-anaknya. Lagu Lir-Ilir mengalun merdu

perlahan dari bibirnya yang tipis. Dengan penuh kasih sayang, Raden Ayu Retnaningsih

mengusapkan tangannya dengan lembut ke kening anak-anaknya yang baru saja

terlelap. Disibakkannya rambut di kening anak-anaknya yang sudah agak panjang

menutupi keningnya. Perempuan itu memandangi lekat-lekat wajah mereka. Ada rasa

damai yang sangat indah di dalam relung garbanya, di saat dia memandangi wajah-

wajah mungil tanpa dosa yang tengah tertidur pulas.

Page 74: Untold History of Pangeran Diponegoro

Namun penglihatannya tiba-tiba buram. Kedua matanya basah. Bulir-bulir air mata yang

begitu bening pun luruh, merambat turun dengan pelan di kedua pipinya yang halus.

Perempuan shalihah itu galau kala teringat pesan suaminya, Pangeran Diponegoro, tadi

sore, jika dirinya dan anak-anak mereka harus selalu siap dengan segala kemungkinan

yang terjadi. Belanda dan Patih Danuredjo IV sedang mengincar diri suaminya, dan

bukan tidak mungkin Belanda akan mempergunakan cara apa saja untuk menangkap

mereka, bahkan mungkin membunuhnya.

Sekali lagi diusapnya kening anak-anaknya. Kemudian diciumnya dengan lembut.

Setelah itu dia meraih sebuah mushaf yang selalu tergeletak di ujung tempat tidurnya.

Dalam keadaan masih berwudhu, perempuan itu kemudian membaca ayat demi ayat

Allah dengan suara yang begitu lirih. Nyaris tak terdengar. Sepanjang malam, Raden

Ayu Retnaningsih bermunajat kepada Allah subhana wa ta’ala agar diberikan

ampunan, ketabahan, sekaligus kekuatan untuk menghadapi hari-hari esok yang hanya

Allah yang Maha Tahu.

Secara pribadi, Retnaningsih sungguh tidak pernah takut jika harus berhadapan

melawan Belanda. Perempuan yang jago memanah dan memimpin satu pasukan

khusus perempuan yang menjadi bagian dari Laskar Diponegoro ini hanya iba dengan

nasib anak-anaknya kelak yang harus ikut berperang. Walau tangguh dan tegar,

Retnaningsih bagaimana pun seperti seorang ibu kebanyakan, yang ingin anak-anaknya

tumbuh besar di dalam masa yang damai dan tenteram. Namun kenyataan berkata lain.

Agaknya Allah memang memiliki rencana lain terkait semua yang harus dihadapinya.

Di luar bangunan utama Puri Tegalredjo, Pangeran Diponegoro didampingi Ustadz

Taftayani, Pangeran Bei, Mangkubumi, dan Ki Singalodra, dengan penjagaan dari satu

regu pasukan kawal, masih berada di dalam masjidnya. Di luar tembok puri, terdapat

penjagaan satu lapis lagi di keempat penjuru mata angin. Demikian pula dengan lingkar

satu, lingkar dua, dan tiga. Semua prajurit sudah siap, menanti dengan kesiagaan penuh

apa yang akan terjadi.

Di tanah makam leluhur, tombak-tombak yang sengaja ditancapkan untuk menggantikan

patok-patok proyek jalan, masih berdiri dengan gagahnya. Ini adalah pesan yang sangat

nyata kepada kafir Belanda, jika pribumi tidak akan pernah takut untuk berjuang

menegakkan keadilan, bahkan jika harus di bayar dengan nyawa sekali pun. []

Bab 20

UFUK PAGI MULAI MEREKAH MERAH. Lampu-lampu sentir dan obor di beberapa

bagian Puri Tegalredjo masih menyala terang. Sebagian lagi sudah padam. Kompleks

Puri Tegalredjo yang memiliki luas keseluruhan sekira dua hektar are ini tampak sepi.

Namun sesungguhnya tidak demikian. Di tiap sudut bangunan, bawah pohon beringin,

dan di tempat-tempat tersembunyi, selalu saja ada prajurit yang berjaga. Mereka

memang tidak menampakkan penjagaan secara menyolok, sesuai dengan perintah

Page 75: Untold History of Pangeran Diponegoro

Senopati Joyonenggolo yang bertanggungjawab terhadap keamanan seluruh area

dalam puri tersebut.

Puri Tegalredjo merupakan kompleks bangunan yang berbeda dengan bangunan-

bangunan lain di desa ini, bahkan jika dibandingkan dengan bangunan kediaman para

pangeran yang lain. Kebanyakan bangunan masih menggunakan dinding bilik yang

dilabur kapur putih dengan tulang-tulang bambu atau kayu panjang dengan atap sirap

atau genteng. Berbeda dengan Puri tempat kediaman Ratu Ageng dan Pangeran

Diponegoro yang sudah dibangun secara permanen, dengan batu bata dan semen.

Bahkan sebuah tembok setebal setengah sampai hampir satu meter dibangun

mengelilingi kompleks puri ini dengan bagian samping dan belakang lebih tinggi hingga

mencapai tiga meter[1].

Sebagaimana bangunan bangsawan kraton lainnya, kompleks ini juga menghadap ke

arah selatan di mana Laut Kidul menggelora. Hanya bangunan kraton yang menghadap

ke arah ini, sedangkan rumah rakyat biasa akan berdiri dengan menghadap bangunan-

bangunan kraton.

Gerbang besar Puri Tegalredjo diapit oleh dua pintu kecil yang selalu terbuka. Di

belakang gerbang, membentang sebuah alun-alun kecil dengan luas lebih kurang empat

kali luas lapangan basket. Alun-alun itu dikelilingi sawo kecik yang berjajar rapi, diseling

pohon beringin di sana-sini. Sebuah pendopo besar dengan atap joglo berdiri di sisi

utara alun-alun yang juga menghadap ke selatan. Di bagian belakang pendopo berdiri

bangunan utama puri sebagai tempat tinggal Ratu Ageng, dan juga Diponegoro serta

keluarganya. Bangunan utama ini dikelilingi bangunan-bangunan lain, seperti masjid di

sebelah barat, istal kuda, gudang beras dan hasil bumi lainnya, kamar-kamar tempat

menginap para tamu, juga rumah para pekerja puri ini.

Di Tegalredjo, tanah milik Pangeran Diponegoro cukup luas. Di sebelah timur dibatasi

Kali Winongo yang cukup dalam dan lebar.

Sejak Pangeran Diponegoro diboyong Ratu Ageng keluar dari kraton dan menetap di

Tegalredjo, wilayah ini berkembang dengan pesat. Jumlah penduduk terus bertambah.

Rumah-rumah baru terus bermunculan. Dan rumah-rumah lama banyak yang diubah

bentuknya. Dengan sendirinya jalur jalan raya mulai membaik dan lebih panjang.

Pangeran Diponegoro sendirilah yang mengatur pohon-pohon, jalan, dan kolam di

daerah ini. Selain tumbuhan, putera Hamengku Buwono III ini juga gemar memelihara

sejumlah hewan piaraan seperti burung perkutut dan juga kuda. Bisa jadi, dalam skala

lebih kecil, Diponegoro tampaknya mewarisi bakat kakek buyutnya, yakni Sultan

Hamengku Buwono I, yang merupakan seorang arsitek yang hebat, yang merencanakan

sendiri tata ruang serta rancang bangun untuk Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan

seluruh bangunan pendukungnya, termasuk Taman Sari.[2]

Page 76: Untold History of Pangeran Diponegoro

Tak jauh dari kompleks puri, masih di dalam areal tanah milik Diponegoro yang berada

di Selohardjo, di tepi Kali Winongo, Diponegoro juga membangun

sebuah panepen, yaitu tempat untuk menyendiri atau bersemadi. Gedung ini sangat

indah yang dilengkapi dengan serambi depan, tempat menerima tamu, dan juga surau,

kolam, dan taman. Di depan gedung ada sebuah batu datar[3] yang dinaungi pohon

Kemuning yang begitu rimbun daun-daunnya. Di tempat inilah, Pangeran Diponegoro

biasa duduk bertafakur di malam hari. Gedung tersebut dikelilingi kolam dan di tengah

kolam dibuat semacam “pulau” kecil yang ditumbuhi sebatang pohon beringin putih. Di

kolam besar yang airnya jernih itu banyak terdapat ikan dari berbagai jenis. [4]

(Bersambung)

[1] Disebut juga sebagai Pager Bumi.

[2] Gambaran tentang Puri Tegalrejo ini bisa dibaca dari kesaksian Pendeta H.A.

Brumund yang mengunjungi tempat tersebut selang beberapa hari setelah dibakar dan

dihancurkan oleh Belanda pada bulan Juli 1825. Juga dari lukisan karya Ratmojo di

tahun 1973 yang masih terpasang dengan rapi di salah satu ruangan Puri Tegalredjo

yang kini menjadi Museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama,

Jogyakarta.

[3] Sela gilang.

[4] Babad Diponegoro VII: b.40-42.

Pagi ini, usai melaksanakan sholat subuh berjamaah yang seperti biasa diikuti ceramah

lima menit, Pangeran Diponegoro keluar dari masjid menuju bangunan utama Puri

Tegalredjo. Ustadz Taftayani yang mendampinginya sejak tadi malam masih berdiam di

dalam masjid. Sedangkan Ki Singalodra tetap mengikuti Diponegoro, namun berhenti

sampai di teras depan bangunan utama.

Dari arah pendopo, Pangeran Mangkubumi berjalan mendekati Ki Singalodra yang

tengah berdiri di depan bangunan utama. Setelah memberi salam, Mangkubumi

menanyakan perihal pangeran kepada Ki Singalodra.

“Bagaimana keadaan Pangeran, Kisanak?”

“Alhamdulillah, baik…”

“Residen gila itu tadi malam mengutus salah seorang anak buahnya menemuiku. Dia

mengancam, jika Pangeran Diponegoro tidak juga menemuinya sampai maghrib, maka

Belanda akan melakukan segala cara untuk menangkapnya…”

“Inggih, Kanjeng Pangeran…”

Tiba-tiba pintu puri terbuka. Seorang laki-laki dengan jubah putih dan surban hijau

pupus keluar dan menyapa Mangkubumi dengan salam doa keselamatan.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Paman Mangkubumi…”

Page 77: Untold History of Pangeran Diponegoro

Mangkubumi menjawab salam Diponegoro kemudian memberitahukan soal utusan

Residen Smissaert yang menemuinya tadi malam di dekat Puri Tegalredjo.

“Bagaimana sebaiknya, Pangeran?”

Untuk sesaat Diponegoro terdiam. Dia tahu jika kali ini Residen Smissaert rupanya

benar-benar marah dan tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sejak beberapa hari lalu

dan puncaknya tadi malam, perasaannya mengatakan jika sesuatu akan terjadi.

Sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda namun Diponegoro tidak tahu apa yang akan

terjadi.

“Paman…,” jawabnya. “…Saya tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini atau besok.

Hanya Allah yang Maha Mengetahui Segala Sesuatunya. Kita sebagai hamba-Nya

hanya diperintahkan untuk bersiap jika terjadi sesuatu. Sebab itu, kita telah

mempersiapkan semuanya. Dan mudah-mudahan, insya Allah, semua yang terjadi

akan menjadi kebaikan bagi kita semua…”

Pangeran Mangkubumi menganggukkan kepala, “Itu benar, Pangeran. Namun apa yang

akan kita kerjakan untuk menjawab ultimatum residen itu?”

“Nanti akan saya tulis surat kembali. Surat terakhir kita kepada mereka. Tentang

peneguhan sikap kita. Selain itu, pagi ini juga tolong siapkan semua pasukan kita di

sekitar Tegalredjo ini, Paman.”

“Baik, Pangeran.”

“Dan kau Ki Singalodra…”

Ki Singalodra yang sedari tadi terdiam mendengarkan percakapan kedua bangsawan di

dekatnya itu dengan penuh hormat menjawab, “Inggih, Kanjeng Pangeran…”

“Kau hubungi lagi Senopati Joyonenggolo dan perintahkan dia untuk memperketat

penjagaan. Dan satu lagi, tolong supaya Joyonenggolo memeriksa jalur penyelamatan

ke Gua Selarong sekali lagi. Kita tidak tahu bagaimana nantinya, namun tidak ada

salahnya untuk mempersiapkan segala sesuatunya…”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan…”

Setelah memberi salam, Ki Singalodra bergegas berjalan menuju kuda hitamnya.

Dengan sekali lompat, dia sudah berada di atas pelana dan memacu kudanya menuju

pos utama puri tempat Senopati Joyonenggolo berada. []

Bab 21

DANUREDJO TAHU JIKA WAKIL RESIDEN Chevaliers telah menerima surat langsung

dari Residen Surakarta Mac Gillavry yang melaporkan tentang perkembangan kekuatan

pasukan Diponegoro yang semakin hari semakin besar. Bukan hanya dalam soal jumlah

pangeran, ulama, dan sesepuh desa yang setiap hari terus saja bertambah

Page 78: Untold History of Pangeran Diponegoro

mendukungnya, namun juga aliran dana yang diperoleh Diponegoro yang sampai saat

ini masih saja ditelusuri oleh Belanda. Pemerintah masih kesulitan untuk mencari

sumber pendanaan Diponegoro yang diduga kuat sangat besar disebabkan dia bisa

membeli senjata api dan tajam dalam jumlah banyak, memberi makan pasukan tiap hari

yang cukup banyak, dan juga melaksanakan pelatihan demi pelatihan tempur bagi

laskarnya di berbagai tempat.

Danuredjo sendiri tidak bisa memastikan hal itu. Namun dia yakin jika sejumlah

pangeran, ulama, dan sesepuh yang berdiri di belakang Diponegoro-lah yang telah

menyumbangkan uangnya untuk memberontak. Itu sudah dikatakannya kepada

Smissaert, namun residen tersebut malah menugaskannya untuk mencari bukti yang

kuat agar Belanda memiliki alasan untuk menangkapnya.

Seorang Danuredjo sesungguhnya malas mengurusi hal seperti itu, namun dia sudah

keburu melaporkan kepada Smissaert sehingga mau tidak mau dia akhirnya berjanji

untuk melakukan itu. Dan bukan seorang Danuredjo jika dia tidak bisa memutar otak

dengan licin. Setelah ditugasi Smissaert, dia malah memanggil Ki Sentono dan

menyerahkan tugas tersebut kepada orangtua itu.

Siang itu di pendopo alun-alun Lor[1] Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang

berbatasan sepelemparan meriam dari Benteng Vredeburg di mana Residen Yogyakarta

A. H. Smissaert tinggal, Danuredjo tengah mengumpulkan semua senopati utama kraton

dan juga beberapa pasukan bantuan. Di depan mereka, Patih Dalem tersebut

menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang sekarang berkumpul di

sekitar Tegalredjo tengah bersiap untuk melakukan pemberontakan dengan menyerang

kraton dan menghabiskan seluruh pejabat kraton beserta keluarganya.

“Pasukan Belanda akan membantu kita. Akan melindungi kraton kita. Walau mereka

berbeda agama dengan kita, berbeda dengan agama Islam sebagai falsafah kraton ini,

tetapi mereka akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mendukung kita.

Dengan izin Allah kita akan menang. Allahu Akbar!” ujar Danuredjo berapi-api.

Baginya, semua cara harus ditempuh untuk bisa menyatukan kekuatan di belakangnya,

termasuk menunggangi Islam demi kepentingan pribadinya.

Seluruh senopati yang ada di hadapannya mengangguk-anggukkan kepala. Walau tahu

jika yang dikatakan Patih Dalem tersebut banyak dustanya, namun para senopati

tersebut tidak mau mendebatnya. Mereka semua tahu, walau wajah Danuredjo selalu

memasang senyum, namun dia sesungguhnya sangat tidak suka didebat, bahkan

sekadar untuk dipertanyakan semua tindak-tanduknya. Dengan tersenyum dia bisa

memerintahkan pembunuhan yang paling keji sekali pun, atau paling ringan adalah

memecat mereka dan mengusir mereka beserta anak isterinya ke hutan. Siapa pun

yang berada dekat dengan Danuredjo tidak ingin mengambil resiko itu. Di depan orang

ini, lebih baik diam daripada berbicara.

Page 79: Untold History of Pangeran Diponegoro

Dengan penuh kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an tentang Islam yang penuh rahmat bagi

semesta, derajat manusia yang sama, Allah Maha Pengasih dan Penyayang, dan

sebagainya, Patih Danuredjo berpidato panjang lebar menekankan perlunya pihak

kraton menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah Belanda.

“Islam tidak melarang kita bermuamalah[2] dengan orang-orang di luar Islam. Rasulullah

dahulu juga melakukan hubungan dagang dengan orang Yahudi dan bukankah

Rasulullah itu sebaik-baiknya teladan bagi umat manusia? Sebab itu, bekerjasama

dengan Belanda itu diperbolehkan di dalam Islam. Bukankah begitu Kiai Suranudin?”

Lelaki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih dan tangan kanannya yang

selalu memilin sebuah tasbih kecil dari kayu cendana, menganggukkan kepalanya, “Ya.

Memang benar Kanjeng Patih…”

Danuredjo tersenyum puas, “Dan saya ingin bertanya kepada kalian semua. Apakah kita

ini semuanya telah beragama Islam?”

“Inggih, Kanjeng Patih…,” sahut semuanya serempak.

“Bukankah Kanjeng Sri Susuhunan Sultan Hamengku Buwono IV juga seorang

Muslim?”

“Inggih, Kanjeng Patih…”

“Nah, kita ini adalah kerajaan Islam. Kita adalah pemerintahan Islam. Semua yang ada

di kraton ini adalah orang-orang Islam. Kanjeng Sultan adalah Imam kita semua. Jika

Pangeran Diponegoro hendak melakukan pemberontakan kepada kraton, terhadap

Sultan, berarti dia telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam,

memberontak terhadap Imam. Bukankah itu yang di dalam fiqh Islam disebut

sebagai Bughot? Bagaimana Kiai Suranudin?”

Kiai Suranudin membelai-belai janggut putihnya yang sudah hampir menyentuh

dadanya, “Ya, ya, itu benar. Di dalam fiqh, kaum bughot adalah kaum atau kelompok

bersenjata yang menentang penguasa kaum Muslimin, menentang Sang Imam.

Sepengetahuan saya, syarat untuk bisa suatu kelompok dianggap

sebagai bughot adalah: Pertama, mereka memiliki pasukan bersenjata yang akan

digunakan untuk melawan Imamnya. Kedua, mereka ini memiliki pimpinan yang

ditaatinya. Ketiga, mereka berbuat demikian disebabkan karena timbulnya perbedaan

pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka

beranggapan bahwa memberontak adalah suatu keharusan…”

Belum selesai Kiai Suranudin berbicara, Danuredjo langsung menyela, “Jika demikian,

Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya jelas-jelas memenuhi semua persyaratan

disebut sebagai kaum bughot. Bukankah demikian Kiai?”

“Ya. Mereka sudah memenuhi ketiga syarat itu,” ujar Kiai Suranudin. Dia sepertinya

tidak punya pilihan lain. Danuredjo memang sangat lihai memutar lidah dan logika,

sehingga dia mau tidak mau akan mengatakan apa yang sesungguhnya dikehendaki

Page 80: Untold History of Pangeran Diponegoro

oleh Patih Dalem tersebut. Kiai Suranudin pun merasa apa yang dikatakannya benar,

sudah sesuai dengan kaidah fiqh, namun entah mengapa hatinya merasa tidak nyaman.

(Bersambung)

[1] Bahasa Jawa: Utara.

[2] (Bahasa Arab): Berinteraksi.

Tiba-tiba seorang kurir dari Residen Smissaert datang ke pendopo alun-alun Lor. Dia

langsung menemui Patih Danuredjo dan menyerahkan surat dari tuannya. Setelah

membuka surat itu, Danuredjo langsung mengakhiri pertemuan dengan para senopati

utama kraton dan yang lainnya.

“Sekarang kalian semua persiapkan pasukanmu masing-masing dengan baik. Dalam

waktu dekat kita akan bergerak.”

Itu saja. Kemudian dia melangkahkan kaki masuk ke dalam kraton. Residen Smissaert

telah menunggunya di ruangan kepatihan seperti biasanya. Tak sampai memakan waktu

lima menit, Danuredjo telah membuka pintu ruangan kantornya. Dia tahu Smissaert

sudah berada di dalam. Dan benar saja, Belanda bermuka bulat dengan mata biru dan

rambut tipis seputih kapas di kedua bagian samping kepalanya sudah berada di atas

kursi Danuredjo dengan kedua kaki diselonjorkan ke atas meja.

“Kowe sudah siapkan semua senopati yang ada?”

Danuredjo menganggukan kepalanya sambil duduk di depan Residen Smissaert tanpa

memperdulikan jika kedua telapak kaki Belanda yang masih memakai sepatu itu

langsung menghadap ke arah mukanya.

“Sudah. Semuanya sudah siap.”

Smissaert tertawa. Danuredjo juga. Belanda itu kemudian menurunkan kakinya dan

berdiri kemudian duduk di pinggir meja setelah menggeser papan nama Patih Dalem

Danuredjo IV dari tempatnya semula.

“Patih… Gillavry dan Von Jett telah mengkonfirmasi semua permintaan kita. Pasukan

mereka telah berangkat dari Surakarta, dan akan menyusul kemudian yang dari

Magelang serta Semarang. Mereka akan bergabung dengan Legiun Mangkunegaran

yang sebentar lagi akan tiba. Kita sudah kuat kembali. Sore ini kita akan tangkap

pemberontak itu!”

“Apakah tidak sebaiknya kita menunggu surat jawaban darinya dulu, Tuan Residen.

Bagaimana laporan dari kurir kita tadi malam yang menemui Mangkubumi?”

“Tidak perlu. Kita mengirim kurir dan meminta Diponegoro menulis surat lagi hanyalah

untuk memperbanyak pekerjaannya saja. Kita tidak menunggu surat itu. Kita akan

kepung mereka dengan kekuatan yang lebih besar ketimbang kekuatan mereka.”

Page 81: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Apakah kita sudah tahu berapa kekuatan mereka yang dipusatkan di Tegalredjo?”

“Ya. Dari beberapa pasukan telik sandi, kita sudah mendapat kepastiannya.”

“Siapa nanti yang memimpin penangkapan?”

Smissaert tertawa, “Kowe mau, Patih?”

Danuredjo menggeleng cepat. Sambil tertawa konyol Danuredjo menjawab, “Tuan

Residen pasti tahu saya bukan orang yang tepat untuk mengemban tugas itu. Wakil

Tuan, Chevallier jauh lebih tepat.”

Smissaert mengangguk-angguk. “Ya, kowe kali ini benar. Chevallier lebih punya

kemampuan untuk itu. Dia orang sudah aku panggil. Sekarang dia sedang ke sini.”

“Secepat itukah?”

“Rencana sudah aku susun dengan sangat rapi. Jika kowe pintar, kowe akan bisa

banyak belajar…”

Danuredjo hanya manggut-manggut. Tak berapa lama terdengar langkah-langkah

kaki tergesa milik wakil residen itu. Chevallier sudah mengenakan seragam tempur,

lengkap dengan topi dan pedangnya. Dia benar-benar sudah siap diterjunkan ke medan

laga. Setelah memberikan military-salute, dengan sikap sempurna Chevallier melapor

pada atasannya, Residen Anthonie Hendriks Smissaert.

“Lapor Tuan Residen! Kami siap dan tinggal menunggu perintah!”

“Berapa kekuatanmu untuk operasi nanti sore?”

“Siap! Duapuluh lima flankeurs[1], duapuluh lima huzaren[2], dan dua veldstuk[3].

Demikian pula dengan pasukan prang Sultan, pasukan prang Pangeran Pakualaman,

Legiun Mangkunegaran, dan lainnya. Semuanya sudah siap bergerak. Mereka kini

berada di posnya masing-masing untuk menunggu perintah. Letnan Satu Thierry dari

Resimen Huzaren ke-7 menjadi pimpinan operasi. Saya sendiri ikut di dalam pasukan

ini.”

Senyum Smissaert mengembang di wajahnya. Sambil mengangguk-angguk, dia

memberikan beberapa perintah. “Jika sampai pukul setengah tiga sore Mangkubumi

belum juga datang dengan membawa pimpinan pemberontak itu ke sini, maka kedua

orang itu-Mangkubumi dan Diponegoro-harus kalian tangkap, hidup atau mati. Tak ada

bedanya bagiku. Gunakan segala cara untuk menyeret kedua orang itu ke hadapanku.

Secepatnya!”

Smissaert melirik lemari jam Junghans yang berdiri di sudut ruangan kepatihan. Jarum

pendeknya yang berwarna keemasan telah mendekati angka dua. Smissaert tahu, jarum

itu akan terus bergerak pasti, detik demi detik, menit demi menit, seirama gerak dua

bandul yang bergelantungan di bawah bulatan dengan dua jarum jam.

Page 82: Untold History of Pangeran Diponegoro

Residen itu kemudian menatap wakilnya yang masih berdiri dengan sikap sempurna,

“Chevallier, kowepunya waktu kurang dari satu jam untuk bersiap. Sekarang kembalilah

ke pasukanmu. Bersiaplah. Sebelum hari menjadi gelap, aku sangat berharap pimpinan

pemberontak itu sudah kowe seret ke sini. Kita perlihatkan kepada semua orang,

hukuman apa yang bakal menimpa orang-orang yang berani melawan pemerintah yang

sah ini!”

“Siap!” jawab Chevallier singkat dan tegas. Setelah memberikan penghormatan kembali,

dia kemudian membalikkan badan. Dengan setengah berlari, veteran Palagan Waterloo

itu melintasi lorong yang satu ke lorong yang lain di dalam kraton menuju alun-alun Lor

tempat semua pasukannya berkumpul.

Matahari bulan Juli yang terik semakin tergelincir ke barat. Chevallier telah tiba di ujung

alun-alun. Dari kejauhan, nampak semua pasukannya telah berbaris rapi di lapangan

yang luas. Chevallier tersenyum. Walau tubuhnya bermandikan keringat, namun

semangatnya begitu tinggi. Sore nanti, Pangeran Diponegoro-Kepala Pemberontak itu-

beserta Pangeran Mangkubumi, sudah harus dibawanya ke Residen Smissaert. []

Bab 22

INFORMASI MERUPAKAN SESUATU YANG AMAT sangat berharga dalam sebuah

peperangan. Siapa yang menguasai informasi musuhnya, maka dia akan keluar sebagai

pemenang. Pangeran Diponegoro sangat mengetahui hal ini.

Sebab itu, jauh-jauh hari Diponegoro telah menugaskan Pangeran Bei untuk

menyebarkan sejumlah pasukan telik sandi ke kantung-kantung musuh, bahkan ke

dalam kraton dan juga Vredeburg, benteng Belanda yang berada tak jauh di utara

kraton. Pasukan telik sandi Diponegoro bukan hanya terdiri dari kaum lelaki, namun juga

perempuan. Para isteri pangeran, selir raja, pelayan kraton, tukang masak, hingga para

penari, dan pedagang yang diam-diam bersimpati pada perjuangan Pangeran

Diponegoro. Mereka secara suka rela bekerja, mengumpulkan informasi sebanyak-

banyaknya mengenai perkembangan dan pergerakan pasukan musuh.

Mengenai pasukan telik sandi ini, laskar Diponegoro memiliki dua jenis. Yang pertama

adalah pasukan telik sandi sukarela, yang terdiri dari banyak profesi dari berbagai

macam lapisan masyarakat. Sedangkan yang kedua adalah pasukan telik sandi utama,

yaitu pasukan yang sengaja dibentuk dari orang-orang terpilih, direkrut dan dilatih

secara rahasia, dan secara terencana serta terukur ditempatkan di posnya masing-

masing. Dengan sendirinya, tingkat kredibilitas informasi yang diperoleh pasukan telik

sandi utama ini jauh lebih terpercaya ketimbang yang pertama. (Bersambung)

[1] Infanteri

[2] Kavaleri

[3] Artileri (pembawa meriam)

Page 83: Untold History of Pangeran Diponegoro

Berdasarkan masukan dari pasukan telik sandi utama inilah, Pangeran Bei bersama

Pangeran Diponegoro menyusun sistem pengaman di sekitar wilayah Tegalredjo, yang

terbagi ke dalam tiga lingkaran dengan radius yang berbeda. Satu lingkaran dipimpin

oleh seorang senopati yang membawahi empat komandan arah mata angin,

komandan Lor[1], Kulon[2], Kidul[3], dan Wetan[4]. Jadi total ada tiga senopati

yang masing-masing membawahi empat komandan sesuai dengan mata angin.

Siang itu ba’da Dzuhur, dengan menunggang Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro

melakukan inspeksi ke seluruh pasukannya. Ki Singalodra, Mangkubumi, Pangeran Bei,

Ustadz Taftayani, dan tiga orang laskar menyertainya.

Tiba di tepi sebelah barat Kali Winongo yang berbatasan dengan wilayah Badran dan

Pringgokusuman, Pangeran Diponegoro beserta seluruh rombongannya menemui

Joyomustopo dan Joyoprawiro yang memimpin laskar setempat. Jumlah laskarnya lebih

kurang ada sekitar duaratusan orang bersenjata tombak, keris, dan pedang. Beberapa

di antaranya terlihat memegang senjata berupa tiga buah bola besi sebesar kepalan

tangan orang dewasa yang diberi besi tajam di sana-sini, yang dihubungkan dengan

rantai dan diputar-putar hingga mengenai musuh. Senjata ini disebut sebagai Bandil[5].

Setelah itu rombongan melanjutkan inspeksinya ke seluruh wilayah Tegalredjo. Inspeksi

seperti ini diperlukan, selain untuk koordinasi antar pimpinan pasukan, juga untuk

menaikkan semangat berjuang di kalangan laskar atau prajurit.

Menjelang kumandang adzan Asyar, Diponegoro dan rombongan sudah kembali ke

dalam masjid Puri Tegalredjo. Setelah beristirahat dan sholat berjamaah, Diponegoro

memanggil Mangkubumi.

“Paman, saya akan menulis surat terakhir untuk residen. Kita akan tetap pada pendirian

kita semula. Tak goyah sedikit pun. Tolong sebentar lagi panggilkan Ahmad Prawiro

untuk mengantarkan surat ini ke kraton.”

Setelah itu Pangeran Diponegoro masuk ke dalam biliknya. Pangeran Mangkubumi

menunggu di dalam masjid. Beberapa sesepuh dan laskar masih ada yang berzikir di

dalam masjid.

Seorang kurir dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam masjid. Menyadari Pangeran

Diponegoro tengah menulis surat di dalam biliknya, kurir tersebut mendekati Pangeran

Mangkubumi yang tengah duduk bersila dan segera menyampaikan berita yang

menggembirakan.

“Kanjeng Pangeran, Kiai Modjo dari Surakarta menyampaikan salam pada Kanjeng

Pangeran dan semua yang ada di Tegalredjo ini. Saat ini beliau, bersama anaknya, Kiai

Ghazali, dan seluruh pasukan santrinya tengah menuju ke sini untuk memperkuat

pertahanan…”

“Kiai Modjo dan anaknya?”

Page 84: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Betul, Kanjeng Pangeran. Mereka semua sedang berjalan ke Tegalredjo ini…”

Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk, “Baiklah. Terima kasih atas

informasinya, Kisanak. Saya akan sampaikan berita menggembirakan ini kepada

Pangeran Diponegoro secepatnya.”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya minta diri…”

Setelah mengucapkan salam, kurir tersebut keluar dari masjid untuk mengambil air

wudhu. []

Bab 23

NAFAS SUROMENGGOLO TERSENGAL-SENGAL. SALAH seorang kepercayaan

Diponegoro itu kemudian lompat dari kudanya dan langsung berlari menuju masjid, di

mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada.

“Assalamu’alaikum…!” ujarnya setengah berteriak. Dadanya terlihat turun naik.

Nafasnya masih satu-satu. “Kanjeng Pangeran ada?” tanyanya kepada salah seorang

laskar yang masih berada di masjid. Laskar itu kemudian menunjukkan ibu jarinya ke

arah sudut depan masjid dimana bilik Pangeran Diponegoro berada.

“Beliau sedang menulis surat di biliknya…”

Suromenggolo mengangguk dan masuk ke dalam masjid. Begitu melihat Mangkubumi

juga ada di masjid, Suromenggolo memberi salam mendekatinya.

“Salam, Kanjeng Pangeran Mangkubumi…”

“Salam juga, Kisanak. Apakah ada perkembangan baru di lapangan.

Kenapa Kisanak terengah-engah begitu?”

Suromenggolo menganggukkan kepalanya cepat, “Ya. Belanda. Pasukan Belanda

sudah bergerak dari alun-alun Lor menuju ke sini. Dua kilometer lagi mereka tiba di

jembatan Kali Winongo!”

Mangkubumi agak terkejut. Dia kemudian berdiri, “Cepat sekali gerakan mereka. Berapa

kekuatannya?”

“Dua meriam baja ukuran sedang yang ditarik dua kereta model Osten-Grey. Meriam itu

masih baru. Ada juga puluhan infanteri dengan senjata laras panjang flintlock, puluhan

kavaleri berkuda dengan pedang dan senjata api. Legiun Mangkunegaran juga ada di

sana. Jumlahnya sekira limaratusan…”

“Mereka ingin menangkap Pangeran Diponegoro?”

“Ya. Selain Kanjeng Pangeran Diponegoro, juga beberapa pimpinan lainnya.”

“Termasuk aku?”

Suromenggolo mengangguk, “Ya, termasuk.”

Page 85: Untold History of Pangeran Diponegoro

Menyadari bahaya yang semakin mendekat, Mangkubumi akhirnya bergegas mengetuk

pintu bilik di mana Pangeran Diponegoro sedang menulis surat. Pintu dibuka dari dalam.

Pangeran Diponegoro sudah berdiri diambang pintu. Mangkubumi segera melaporkan

semuanya.

“Pasukan Belanda sudah mendekati jembatan Kali Winongo!”

Diponegoro tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jembatan Kali Winongo

sangat dekat dengan Puri Tegalredjo. Namun pergerakan pasukan Belanda juga akan

sedikit terhambat dengan banyaknya barikade dan jebakan yang sudah dipasang

dengan cermat. Laskar yang menjaga sekitar wilayah Winongo juga akan tidak tinggal

diam. Pertempuran sebentar lagi akan terjadi.

Kepada Mangkubumi, Diponegoro berkata, “Paman, sekarang para kafirin dan murtadin

itu sudah di depan mata kita. Mereka menyerang kita. Tentu kita tidak akan tinggal diam.

Kini bersiaplah. Kita akan sambut mereka. Kita kibarkan panji-panji gula kelapa![6] Kita

kibarkan juga panji kejayaan negeri ini[7]. Allah bersama kita! Allahu Akbar!““Allahu Akbar! Kami semua siap, Pangeran!”

“Oh iya, Pangeran. Ada juga berita gembira. Kiai Modjo dan anaknya, Kiai Ghazali,

tengah berjalan ke sini memimpin pasukannya untuk memperkuat Tegalredjo.”

“Alhamdulillah. Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi kita semua, Paman…”

“Amien ya Rabb…“

Setelah mengucap salam, Mangkubumi bergegas keluar dari masjid, diikuti seluruh

sesepuh dan laskar yang ada. Hanya Ki Singalodra dan tiga prajurit kawal yang tetap

berdiri di samping Diponegoro. Dengan senyum tipis di bibirnya, Diponegoro menoleh

kepada Ki Singalodra.

“Kisanak, pintu surga sebentar lagi akan terbuka lebar-lebar di hadapan kita. Bersiaplah

untuk menyambutnya. Saya akan persiapkan isteri dan anak-anak dahulu. Tolong

siapkan Kiai Gentayu. Silakan Kisanak tunggu disini…” (Bersambung)

[1] (Bahasa Jawa): Utara

[2] (Bahasa Jawa): Timur

[3] (Bahasa Jawa): Selatan

[4] (Bahasa Jawa): Barat.

[5] Senjata bandil, keris, tombak, pedang, trisula, dwisula, dan sebagainya masih

tersimpan dengan baik di Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, museum

yang dibangun di atas lahan bekas Puri Tegalredjo di Desa Tegalredjo, sebelah barat

Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Page 86: Untold History of Pangeran Diponegoro

[6] Panji Gula-Kelapa adalah panji atau bendera merah putih. Lambang pemberontakan

untuk merdeka.

[7] Yang dimaksudkan dengan Panji Kejayaan adalah bendera berwarna kuning yang

melambangkan tanda kebesaran . Bendera ini merupakan simbol perjuangan leluhur

yang sudah berabad lamanya tidak pernah dikibarkan, sejak tahun 1292 pada masa

Jayakatwang hingga Sultan Agung.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Pangeran Diponegoro bergegas masuk ke dalam

bangunan utama Puri Tegalredjo. Seorang prajurit keluar dari masjid untuk mengambil

salah satu kuda kesayangan Pangeran Diponegoro dan menambatkannya di depan

masjid. Dia sendiri menjaga kuda itu.

Pada saat bersamaan, tepat di seberang Kali Winongo, limapuluh meter di selatan

jembatan, seorang pengintai yang bersembunyi di balik pohon tampak memicingkan

matanya di jendela intip teropong besi berukuran kecil yang diberi lensa di kedua

sisinya. Dari teropongnya, dia sudah bisa melihat bagian depan pasukan Belanda yang

membawa dua buah meriam ukuran sedang. Beberapa tampak menunggang kuda,

sedangkan yang lain berjalan kaki. Semuanya bersenjata lengkap.

Menurut informasi yang diterima, pasukan Belanda ini berniat menangkap Pangeran

Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, hidup atau mati. Namun dia dan seluruh laskar

Diponegoro tidak percaya. Dengan membawa pasukan bersenjata lengkap, Belanda

tidak akan sekadar menangkap Diponegoro dan Mangkubumi, namun juga akan

menghancurkan laskarnya. Belanda memang menginginkan perang.

Pengintai itu meletakkan teropongnya. Dia segera memberi kode kepada pasukan

pemukul yang tigapuluh meter bersembunyi di belakangnya dengan mengangkat

tangannya tinggi-tinggi sambil menggoyangkan-goyangkan dahan pohon yang

dipegangnya ke atas. Para komandan regu melihat isyarat tersebut. Mereka tahu,

musuh sudah bergerak mendekati ujung wetan[1] jembatan Kali Winongo. Namun

sesuai dengan perintah Pangeran Diponegoro, mereka tak diperbolehkan menyerang

terlebih dahulu. Sebab itu, sambil terus bersembunyi ke rerimbunan pohon dan semak,

mereka hanya menunggu apa yang akan dilakukan pasukan Belanda tersebut.

Di sisi lain, pasukan pemanah sudah mempersiapkan anak panah mereka di tali busur

yang tinggal direntangkan. Pasukan pemanah bersembunyi di dua sisi yang agak tinggi,

di kiri dan kanan jembatan. Mereka akan menyambut pasukan Belanda yang pasti akan

melintasi jembatan Kali Winongo di depannya.

Di kejauhan, Letnan Satu Thierry memerintahkan pasukannya untuk berhenti sejenak di

ujung jembatan. Pimpinan pasukan itu menyuruh tiga prajuritnya memeriksa jembatan

hingga ke ujungnya. Mereka agaknya curiga, kalau-kalau jembatan sudah disabotase

atau dirusak oleh Laskar Diponegoro, sehingga bisa saja ketika meriam dan pasukan

Page 87: Untold History of Pangeran Diponegoro

melintas, jembatan itu akan ambruk ke bawah dan mereka akan jatuh tenggelam ke

dalam sungai yang cukup dalam tersebut.

Baru saja ketiga prajurit Belanda itu sampai di tengah jembatan, tanpa diduga siapa

pun, dari arah berlawanan tiba-tiba datang sejumlah warga desa yang memegang aneka

senjata tajam. Sambil berteriak-teriak riuh-rendah, mereka mengacung-acungkan

senjatanya ke arah Belanda. Beberapa di antaranya bahkan mulai menembaki pasukan

itu dengan ketapelnya. Beberapa lagi menimpuki pasukan Belanda itu dengan batu-

batu.

Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo tertegun. Pimpinan duaratusan laskar yang bertugas

mempertahankan jembatan Kali Winongo dan sekitarnya saling berpandangan. Mereka

benar-benar tidak menduga jika warga desa akan berani menyongsong pasukan

Belanda yang bersenjata lengkap seperti itu.

“Uedan! Mereka kira ono pesta opo?” umpat Joyo Prawiro sambil terus merunduk di

balik pohon nangka.

Joyo Mustopo mengangguk cepat, “Yo wis. Kita lihat saja bagaimana Belanda itu. Kalau

mereka mulai menyerang, kita balas!”

Belum kering Joyo Mustopo berkata, tiba-tiba terdengar suara dentuman yang amat

keras. Beberapa detik kemudian, dentuman serupa terdengar lagi.

“Meriam Belanda!” ujar Joyo Prawiro. Bukannya takut, orang ini malah kegirangan. Dia

benar-benar menunggu momen untuk bisa berperang melawan kafir Belanda. Tak jauh

beda dengan Joyo Prawiro, Joyo Mustopo juga menyeringai. Belanda telah menyerang!

Itu berarti mereka sudah boleh menyerbu tentara kafir itu.

Dengan penuh semangat Joyo Mustopo berdiri, keluar dari tempat persembunyiannya.

Sambil mengacungkan pedangnya, dia berteriak, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Serbuu..!!!”

Dua orang prajurit yang masing-masing membawa panji gula kelapa dan panji kuning

dengan kalimah syahadah yang dibordir dengan benang emas berdiri sambil mengibar-

kibarkan kedua panji tersebut ke atas. Melihat panji perang sudah berkibar tinggi, dua

ratusan laskar dengan senjata aneka macam serentak keluar dari tempat

persembunyiannya sambil meneriakkan takbir. Tanpa takut mereka berlari

menyongsong musuh yang sebagian sudah berhasil melintasi jembatan. Pasukan

berkuda Belanda yang diikuti regu senapan juga baru saja menyeberangi jembatan.

Mereka terus merangsek maju dilindungi tembakan dari senapan flintclock yang

larasnya diarahkan rendah setinggi pinggang. Dari seberang kali, dua meriam dengan

kereta Osten Grey-nya masih tetap menembak ke arah laskar untuk membuyarkan

konsentrasi barisan mereka.

Page 88: Untold History of Pangeran Diponegoro

Di ujung jembatan, duel jarak dekat tak bisa dihindari. Dengan bersenjatakan keris,

pedang, tombak, bandil, dan apa saja yang bisa dijadikan senjata, dengan gagah berani

mereka berusaha menahan laju pasukan Belanda.

Joyo Mustopo terus merangsek ke depan. Tangan kanannya begitu lincah menyabetkan

pedang pendeknya ke kanan dan kiri. Sedangkan tangan kirinya menggenggam trisula

yang akan melukai siapa pun yang berada di dekatnya. Dengan kecepatan yang

mengagumkan, salah seorang pimpinan laskar ini berlompatan kesana-kemari

menghadapi pasukan Belanda yang terus saja berusaha untuk maju.

Sedangkan Joyo Prawiro yang berada lima meter di sebelah kanannya, dengan ganas

mengayun-ayunkan bandil dengan tiga bola besi berduri yang bisa meremukkan tulang

tengkorak. Kedua kakinya juga lincah berlompatan menghindar dari ujung sangkur

Belanda yang ditusukkan ke segala arah.

Sambil bertempur jarak dekat, Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo melihat Legiun

Mangkunegaran mulai berdatangan. Bagai air bah, prajurit-prajurit Jawa yang dikirim

Mangkunegara II tersebut membantu pasukan Belanda yang sesungguhnya mulai

kepayahan. Mendapat bantuan yang besar, pasukan kafir itu mulai bersemangat. Di

depan mereka, pasukan kavaleri mulai melabrak barisan bagian dalam laskar yang

akhirnya membuat laskar itu kocar-kacir.

Joyo Mustopo dan Joyo Prawiro tahu bahwa pasukan Belanda dan kaum murtadin itu

tidak akan bisa dibendung lagi. Kekuatan tidak imbang. Mereka akhirnya memilih

mundur teratur sembari melakukan perlawanan kecil. Dua serangkai tersebut kemudian

berbagi tugas. Joyo Mustopo akan memberikan laporan ke puri, sedangkan Joyo

Prawiro akan terus memimpin laskarnya yang masih tersisa untuk mengundurkan diri ke

arah barat.

“Sampaikan salamku untuk Kanjeng Gusti Pangeran!” teriak Joyo Prawiro. Joyo

Mustopo menggebrak kudanya. Dia langsung melesat meninggalkan arena pertempuran

yang mengepulkan asap yang begitu pekat. [] (Bersambung)

[1] (Bahasa Jawa): Timur.

27-------

Bab 24

DENTUMAN MERIAM BELANDA TERDENGAR KERAS hingga ke dalam Puri

Tegalredjo. Disusul bunyi tembakan yang begitu ramai bersahut-sahutan. Suara itu kian

lama kian nyaring, menandakan pasukan Belanda semakin dekat. Semua laskar bersiap

dengan senjata di tangan. Ada yang menjaga bagian luar dinding puri, ada yang berjaga

Page 89: Untold History of Pangeran Diponegoro

di dalam. Pintu gerbang utama sendiri dijaga seratusan laskar bersenjatakan pedang

dan beberapa pucuk senapan, dipimpin langsung Senopati Joyo Nenggolo.

Di sekitar kompleks Puri Tegalredjo, ratusan warga desa dengan senjata seadanya juga

turut berjaga-jaga. Bahkan di antara mereka ada yang menyongsong pasukan Belanda

yang datang dari utara, timur, dan selatan. Mereka menyambut musuh dengan begitu

bernafsu bagai menyambut datangnya gadis jelita untuk dipinang. Teriakan-teriakan

penyemangat dan takbir membahana di angkasa. Rakyat yang setiap hari akrab dengan

cangkul dan sawah, hari itu berlarian menjemput pasukan Belanda tanpa rasa takut

sedikit pun dengan senjata seadanya di tangan. Kecintaan mereka kepada Pangeran

Diponegoro dan agama Islam membuat mereka rela berkorban jiwa dan raga. Mati satu

tumbuh seribu.

Di tengah ketegangan itu, Ki Singalodra kehilangan Pangeran Diponegoro. Dia terus

berkeliling, memanjangkan leher ke kiri dan ke kanan mencari orang yang harus

dilindunginya. Namun sosok Pangeran Diponegoro tidak ada juga, bagai hilang ditelan

bumi. Ki Singalodra terus berdiri di ruang terbuka antara rumah utama dengan masjid,

duapuluh meter dari dinding bagian barat Puri Tegalredjo.

Pangeran Bei masih berada di dalam pendopo utama. Dia menerima sejumlah kurir

yang melaporkan dengan cepat bahwa pasukan Belanda ternyata tidak saja menyerang

dari arah timur, tapi juga utara dan selatan. Sedangkan di bagian barat, lebih sedikit

terbuka.

Tiba-tiba sisi kiri gapura utama yang berada di selatan kompleks puri meledak dan

hancur terkena peluru meriam. Bunyinya begitu keras. Setelah asap menghilang, bagai

air bah, gabungan pasukan Belanda dan Legiun Mangkunegaran mulai merangsek

masuk ke dalam kompleks puri. Pasukan kafir dan murtadin itu langsung disambut oleh

tombak dan sabetan pedang oleh laskar Diponegoro. Duel jarak dekat terjadi. Puri

Tegalredjo mulai dibasahi darah. Bumi Mataram kembali bergolak.

Belanda ternyata tidak saja membawa peluru meriam konvensional, namun juga peluru

bakar[1], sehingga dari mulut meriam berukuran sedang itu terlontar bola-bola api yang

menyala yang langsung membakar apa pun yang dikenainya.

Ki Singalodra menyaksikan bangunan utama Puri Tegalredjo mulai terbakar. Api mulai

menjilat atapnya yang terbuat dari bambu dan daun rumbia. Dia tidak bisa berbuat apa-

apa untuk memadamkannya. Sambil terus mengayunkan pedang untuk membunuh

pasukan Belanda dan kaum murtadin sebanyak-banyaknya, matanya masih sibuk

mencari-cari keberadaan Pangeran Diponegoro.

Lama-kelamaan jumlah prajurit Belanda dan para murtadin itu kian banyak. Mereka

sudah berada sangat dekat dengan bangunan utama puri. Ki Singalodra dan sejumlah

Page 90: Untold History of Pangeran Diponegoro

laskar pengawal utama Diponegoro mati-matian mempertahankan bangunan utama itu

agar Belanda tidak memasukinya.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, Pangeran Diponegoro ternyata masih berada di dalam

biliknya. Raden Ayu Retnaningsih jatuh pingsan setelah kepalanya tertimpa sebatang

bambu menyala yang jatuh dari atap rumah. Sambil menggendong isterinya tercinta,

Pangeran Diponegoro memerintahkan supaya para emban menggendong anak-

anaknya satu persatu.

“Jaga anak-anak itu. Cepat ikuti saya!” teriaknya.

Walau membawa tubuh isterinya, namun Diponegoro bisa melompat , keluar melewati

dinding bangunan utama puri yang sudah berlubang di satu sisinya. Kiai Gentayu juga

sudah menunggu di dekat situ, seakan sudah tahu jika tuannya akan keluar dari lubang

tersebut. Ki Singalodra merasa lega setelah melihat Pangeran Diponegoro masih hidup.

Dengan cepat dia mendekati Diponegoro dan menjadikan dirinya sebagai tameng hidup.

“Lewat dinding barat saja, Kanjeng Pangeran. Tembok itu harus kita lompati. Semua

arah sudah dikepung pasukan kafir!” teriak Ki Singalodra sambil tangannya menunjuk

dinding sayap barat Puri Tegalredjo yang tingginya mencapai tiga meter dan tebal

hampir satu meter.

“Tidak mungkin, Kisanak. Anak-anak sulit melompat! Sekarang kamu jaga isteriku ini

dahulu!”

Dengan cepat dan hati-hati, Diponegoro membaringkan Raden Ayu Retnaningsih di atas

Kiai Gentayu. Setelah itu dia berdiri tegak sejauh tiga meter dari dinding tebal tersebut.

Di belakang Diponegoro, Ki Singalodra dan laskar yang lainnya membuat benteng hidup

agar Belanda dan Legiun Mangkunegaran tidak mampu mencapai Sang Pangeran.

Pangeran Diponegoro sendiri menghadapkan badannya ke tembok besar itu. Sambil

memejamkan mata, kedua tangannya terangkat ke atas dan mengepal. Secepat kilat dia

kemudian berlari menerjang tembok, menubrukkan badannya, dan menghantamkan

tangannya keras-keras. Suara menggelegar terdengar . Asap mengepul begitu pekat.

Tembok tebal itu pun jebol berantakan bagai terkena peluru meriam yang besar.

Pangeran Diponegoro segera melompat ke punggung Kiai Gentayu di mana tubuh

isterinya masih terbaring lemas. Dia mempersilakan Ki Singalodra dan yang lainya naik

ke kudanya masing-masing, juga para emban yang masing-masing membawa satu

anaknya.

“Cepat! Kita pergi ke barat!” teriaknya.

Baru saja rombongan hendak bergerak, tiba-tiba dari arah belakang sejumlah prajurit

Belanda muncul dengan senapan flintclock siap tembak. Dalam hitungan sepersekian

Page 91: Untold History of Pangeran Diponegoro

detik, para emban segera memacu kudanya melewati tembol yang jebol itu, diikuti

Pangeran Diponegoro dan yang lainnya, termasuk Mangkubumi dan Pangeran Bei.

Ukuran tembok jebol cukup besar, setinggi lebih dari dua meter dengan lebar hampir

dua meter juga, sehingga bisa dilalui orang yang berkuda dengan leluasa.

(Bersambung)

[1] Peluru meriam konvensional di zaman itu hanya berupa bola-bola besi.Yang

dimaksudkan peluru bakar adalah bola-bola besi yang sudah dilumuri ter dan dibakar

sehingga ketika dilontarkan lewat mulut meriam, bola-bola api itu tidak hanya

menghancurkan benda yang terkena namun sekaligus membakarnya.

Seratusan meter di selatan, Letnan Satu Thierry dan Chevallier masih berada di atas

kudanya. Mereka mengawasi penyerbuan dari depan gapura yang sudah sepenuhnya

dikuasai pasukan Belanda dan Legiun Mangkunegara. Sejumlah pasukan kawal berada

di keliling mereka. Lalu seorang opsir dengan kudanya mendekat.

“Tuan! Para pimpinan pemberontak sudah meloloskan diri ke arah barat!”

Chevallier terkejut. Demikian pula Thierry. Setahu mereka, dari data yang dihimpun dari

pasukan mata-mata, termasuk tukang yang memandikan Kiai Gentayu setiap hari yang

disusupkan Belanda, tidak ada lubang sedikit pun di sepanjang dinding arah barat yang

bisa digunakan untuk meloloskan diri.

“Barat? Mana bisa? Bukankah di sana tidak ada pintu? Mengapa kalian tidak bisa

mencegahnya!” sergah Thierry.

“Ampun, Tuan. Diponegoro menjebol temboknya…”

Chevallier dan Letnan Satu Thierry kaget bukan kepalang. “Apa katamu? Menjebolnya?

Tembok itu sangat tebal. Kowe jangan bohongi saya, opsir!” ujar Chevallier naik pitam.

“Tidak! Saya tidak bohong Tuan! Silakan Tuan lihat sendiri. Kita sudah menguasai jalur

ke sana. Mari ikuti saya…”

Keduanya, diiring para pengawal berkuda, segera mengikuti opsir tersebut. Sampai di

depan tembok tebal yang dijebol Diponegoro, baik Chevallier maupun Letnan Satu

Thierry ternganga-nganga. Mereka sama sekali tidak bisa membayangkan apa dan

bagaimana cara seorang Diponegoro melakukannya hingga mampu menjebol tembok

tebal dan kuat seperti itu.[1]

Keterkejutan mereka hanya sesaat. Berganti dengan kemarahan yang amat sangat.

Chevallier tahu, Residen Smissaert pasti akan memarahinya habis-habisan. Misinya

gagal. Walau Puri Tegalredjo sudah dikuasai namun mereka tidak mampu menangkap

Diponegoro dan Mangkubumi. Dengan menahan kegeraman, keduanya lalu

memerintahkan agar seluruh bangunan di Puri Tegalredjo dibakar.

Page 92: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Hancurkan! Bakar habis semuanya!” []

Bab 25

API YANG MENJILAT SELURUH BANGUNAN kompleks Puri Tegalredjo terlihat

membumbung tinggi dari atas bukit karang, di mana Pangeran Diponegoro dan seluruh

rombongannya beristirahat sejenak. Raden Ayu Retnaningsih sudah siuman. Isteri

Pangeran Diponegoro itu sedang dirawat Ki Maswadhi, tabib puri yang juga berhasil

melarikan diri bersama mereka. Perempuan itu dibaringkan di atas rumput kering dan

diselimuti kain batik panjang berwarna kecoklatan yang biasanya dipakai untuk

mengganjal kursi pelana dengan punggung kuda.

Dari atas Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro menatap jauh ke bawah, ke arah timur di

mana Puri Tegalredjo berada. Hatinya teriris melihat rumah kediamannya sejak kecil

dibakar habis oleh pasukan kafir Belanda yang dibantu prajurit Legiun Mangkunegaran.

Kedua matanya meremang basah. Bibirnya bergetar menahan sedih, dan juga amarah.

“Paman…,” ujar Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi yang berada di

sampingnya, “…lihatlah sekarang. Rumah dan masjidku sudah dibakar kaum kafir. Aku

sudah tidak punya apa-apa lagi di dunia ini… Hanya Allah subhana wa ta’ala dan

Rasul-Nya yang aku punya. Insya Allah, sampai mati, aku akan selalu berjuang

membela agama haq ini…”

Mendengar ucapan keponakannya yang dituturkan dengan penuh perasaan,

Mangkubumi ikut terharu. Kedua matanya juga ikut basah. Dengan perlahan dia

mencoba memberi penghiburan kepada keponakannya yang tengah gundah.

“Pangeran…, Allah Maha Kuasa dan Maha Kaya. Barangsiapa yang menggantungkan

diri hanya kepada-Nya, maka dia akan menjadi orang yang paling beruntung di dunia

kini dan akherat nanti. Cukuplah Allah sebagai pelindung. Dia-lah sebaik-baik

pelindung…”

Pangeran Diponegoro mengangguk pelan, “Benar, Paman. Apa yang terjadi hari ini

belumlah apa-apa dibandingkan dengan perang sesungguhnya. Semoga

Allah subhana wa ta’ala memberikan perlindungan, kekuatan, dan ketabahan bagi

kita semua…”

“Amien ya Rabb…“

“Paman, mari kita segera berangkat. Hari sudah mulai gelap. Desa Dekso masihlah

jauh. Mudah-mudahan kita bisa sampai di sana dengan selamat…”

Pangeran Mangkubumi dan Ngabehi memerintahkan supaya semuanya bersiap

kembali. Desa Dekso yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo masih jauh. Di desa

ini, Pangeran Diponegoro berencana menitipkan anak-anak dan keluarganya, juga para

emban, dan yang lainnya yang bukan termasuk kombatan. Sedang dirinya sendiri, juga

Mangkubumi, Pangeran Bei, Ki Singalodra, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya-

Page 93: Untold History of Pangeran Diponegoro

termasuk isterinya sendiri, Raden Ayu Retnaningsih-setelah dari Dekso akan berjalan

kembali menuju Gua Selarong. Di sanalah markas komando utama berada. Ki Guntur

Wisesa sudah mempersiapkan segalanya di Selarong. []

Bab 26

NYALA API MASIH BEGITU BESAR membakar hampir semua bangunan di dalam

kompleks Puri Tegalredjo. Asapnya membubung tinggi mewarnai langit sore yang

seharusnya berwarna jingga dengan nuansa kelabu yang begitu pekat. Adzan maghrib

yang biasanya mengalun merdu dari masjid Tegalredjo, kini tiada terdengar lagi.

Demikian pula dengan rombongan warga desa berjubah putih yang biasanya

berbondong-bondong berjalan kaki menuju masjid untuk menunaikan sholat, sudah tidak

ada. Semuanya menghilang, seiring serbuan pasukan gabungan Belanda dan Legiun

dari Surakarta ke kediaman Ratu Ageng, tempat di mana Bendoro Raden Mas

Ontowiryo, yang kemudian lebih populer disebut Pangeran Diponegoro, menempa diri

sejak kecil dengan ilmu dan amal.

Letnan Satu Thierry bersama pasukannya malam itu terus bertahan di Tegalredjo.

Demikian pula dengan Chevallier. Sebagai pimpinan pasukan, Thierry merasa

bertanggungjawab untuk terus melakukan pengejaran ke arah Barat, arah di mana

rombongan Pangeran Diponegoro melarikan diri.

Sedangkan Chevallier, walau tidak mengakui, namun sepertinya enggan untuk kembali

ke tempat Residen Smissaert berada malam ini. Lolosnya Pangeran Diponegoro dan

juga Mangkubumi pasti akan menimbulkan kemarahan Residen Yogyakarta yang baru

bertugas dua tahun itu. Sebab itu dia memilih untuk tetap tinggal bersama Thierry.

Hari sudah mulai gelap. Penjagaan di sekeliling lahan bekas puri diperketat. Para

prajurit Legiun Mangkunegaran ditempatkan di pos-pos jaga terluar dari kompleks puri.

Menurut laporan sejumlah opsir lapangan, pasukan Belanda ternyata belum

sepenuhnya menguasai wilayah ini sepenuhnya. Di sejumlah titik yang menyebar di

sekitar Tegalredjo, masih terdapat sisa-sisa laskar pemberontak. Mereka tidak

terorganisir dengan rapi, sehingga mirip dengan gerombolan kriminal.

Yang sama sekali tidak diketahui Thierry dan juga Chevallier, berita penyerangan

pasukan Belanda ke Puri Tegalredjo ternyata mengundang simpati yang begitu dalam

dari rakyat pribumi terhadap Pangeran Diponegoro. Tanpa dikomando, dari berbagai

desa dan pelosok kampung, dari lembah dan gunung, mengalir laskar-laskar dadakan

dengan membawa aneka jenis senjata yang berjalan menuju Tegalredjo. Laskar-laskar

dadakan ini dipimpin oleh Demang, ulama, atau jagoan setempat. Tujuan mereka satu,

untuk merebut kembali kompleks Puri Tegalredjo, yang oleh rakyat pribumi sudah

dianggap sebagai kraton sesungguhnya.

Page 94: Untold History of Pangeran Diponegoro

Laskar-laskar dadakan ini mengepung wilayah Tegalredjo dari segala arah. Kecuali

sekitar jembatan Kali Winongo menuju Kraton dan Benteng Vredeburg, di mana jalur

satu-satunya keluar-masuk Kraton-Puro Tegalredjo yang aman dijaga dengan kuat oleh

pasukan gabungan Belanda-Legiun Mangkunegaran. (Bersambung)

[1] Sampai sekarang, tembok yang dijebol Pangeran Diponegoro masih bisa disaksikan

di Monumen Pangeran Diponegoro, Sasana Wiratama, Jalan H.O.S. Cokroaminoto 430,

Tegalredjo, Yogyakarta. Telp. (0274) 622668.

Di berbagai akses jalan, laskar dadakan ini melakukan blokade hampir di semua jalan

utama. Mereka menebangi pohon-pohon besar dan sengaja membiarkannya melintang

di jalan raya, batu-batu besar digulingkan, dan sebagian bahkan mulai menggali lubang-

lubang dan selokan tepat di tengah-tengah jalan. Letnan Satu Thierry dan Chevallier

cemas. Thierry kemudian memanggil sejumlah kurir yang dikumpulkannya di depan

tenda komando yang didirikan di utara alun-alun, dekat dengan bagian depan pendopo

yang hampir keseluruhan bangunannya sudah hancur.

“Kalian semua secepatnya ke kraton. Temui Residen Smissaert. Katakan padanya jika

sekarang juga memerlukan pasukan bantuan. Para pemberontak berdatangan dari

segala arah. Nasib kita semua di sini bergantung pada kalian semua! Pergilah cepat!”

“Laksanakan, Komandan!”

Dengan naik kuda, mereka segera menuju jembatan Kali Winongo yang sudah

diamankan. Setelah dari jembatan itu, mereka menyebar menuju Benteng Vredeburg

dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Baru saja para kurir itu pergi dengan kudanya, seorang opsir kembali datang, “Lapor

komandan! Para pemberontak semakin mendekati utara dan selatan kita!” ujarnya.

“Utara dan selatan? Seberapa banyak kekuatan mereka?”

“Masing-masing sekira seratusan orang. Mereka dipimpin para Demang, pendekar, dan

pemimpin Islam, dengan senjata tajam.”

“Bagaimana dengan pasukan kita?”

“Mereka siap di posnya masing-masing. Yang di utara, di sekitar Bener dan Kricak,

sudah diperkuat oleh limapuluh prajurit Legiun. Limapuluh prajurit Legiun lagi sekarang

sedang bergerak ke pos selatan, di sekitar Ngemper dan Gampingan, untuk

memperkuat kedudukan kita di sana.

Thierry memandang sejenak ke arah Chevallier yang sedang duduk di atas meja sambil

mendengarkan laporan opsir tersebut. Kemudian perwira tersebut memerintahkan agar

beberapa regu pasukan yang masih ada di dalam kompleks puri segera diberangkatkan

Page 95: Untold History of Pangeran Diponegoro

ke pos wilayah utara dan selatan Tegalredjo untuk menghadapi ancaman yang tidak

bisa diduga itu.

“Bagaimana dengan pos Barat dan Timur kita?”

“Pos Barat dan Timur sudah kuat. Juga akses kita ke pusat lewat jembatan Kali

Winongo sudah kuat…”

“Good, kita sudah meminta tambahan pasukan dari Yogyakarta. Mudah-mudahan

mereka segera tiba di sini. Untuk pengamanan di dalam puri cukup satu peleton

pasukan…”

Setelah opsir itu berlalu dari hadapannya, Letnan Satu Thierry mendekati Chevallier.

Dengan berbisik dia berkata, “Komandan, saya punya firasat jika apa yang kita lakukan

sore ini akan menjadi awal dari sebuah perang besar. Pangeran Diponegoro bukan

sekadar pangeran pemberontak. Tapi dia sudah menjadi pemimpin, raja yang

sesungguhnya, dari inlander. Para inlander itu akan bersatu di belakangnya untuk

melawan kita semua…”

Chevallier terdiam. Kedua matanya menatap lurus ke arah Thierry yang jauh lebih

muda. Dengan penuh keingintahuan, Chevallier juga berbisik, “Kamu yakin?”

Letnan Satu Thierry mengangguk. Begitu yakin.

“Apa yang membuatmu yakin seperti itu, Letnan?” selidik Chevallier.

“Ini penilaian obyektifku saja sebagai seorang tentara. Pemimpin yang dicintai rakyatnya

adalah pemimpin sejati. Adalah sangat sulit mengalahkan peperangan yang dipimpin

langsung oleh pemimpin yang seperti ini. Rakyat akan rela mati demi pemimpin seperti

ini. Mereka tidak lagi menganggapnya sebagai seorang manusia yang memiliki

kekurangan, namun mereka akan menganggapnya sebagai Pemimpin Agama mereka

sendiri. Diponegoro sudah memenuhi semua syarat itu. Ini akan jadi peperangan yang

besar, Komandan. Sama seperti sepuluh tahun lalu ketika Napoleon memimpin pasukan

Prancis di Waterloo menghadapi Duke Wellington…”

Chevallier mengangguk-anggukkan kepalanya. Pernyataan Letnan Satu Thierry

mengingatkannya akan pertempuran besar yang pernah diikutinya sepuluh tahun lalu di

sisi seorang Napoleon Bonaparte.

“Kita sekarang melawan raja sesungguhnya dari para inlander. Suatu ketika, sejarah

bangsa ini akan menulis Pangeran Diponegoro dengan tinta emas. Pemberontak itu

akan dianggap sebagai pahlawan besar. Aku yakin itu…,” ujar Thierry. Chevallier

mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia juga punya pandangan yang sama dengan

perwira yang lebih muda darinya itu. []

Bab 27

Page 96: Untold History of Pangeran Diponegoro

UDARA MALAM YANG BIASANYA SANGAT sejuk kali ini dirasakan begitu panas bagi

Residen Yogyakarta, Anthonie Hendriks Smissaert. Itu dirasakannya setelah mendengar

kegagalan misi yang diemban Letnan Satu Thierry dan Chevallier dari seorang opsir

yang baru saja tiba di depan mejanya.

“Kerja begitu saja tidak becus! Buat apa membawa pasukan banyak seperti itu, dengan

meriam pula, kalau untuk menangkap dua pimpinan pemberontak seperti itu saja tidak

bisa!” semprotnya pada opsir itu. Prajurit rendahan tersebut hanya mematung diam.

“Dan sekarang dia minta bantuan pada kita untuk menyelamatkan dirinya! Gila apa! Apa

seluruh Yogyakarta ini mau dikosongkan hanya untuk menyelamatkan pasukannya yang

terkepung di Tegalredjo! Buat apa bertahan di situ kalau para pemimpin pemberontak itu

kabur? Buat apa bikin pos disitu dan bukannya mengejar sampai mereka tertangkap!”

Opsir itu masih saja mematung dengan dagu tegak. Smissaert geleng-geleng

kepalanya. Wajahnya kemudian didongakkan ke atas sembari menghembuskan nafas

panjang-panjang.

“Thierry dan Chevallier itu bikin malu saja. Apa kata Mac Gillavry nantinya kalau ternyata

dia tahu? Mau disembunyikan kemana mukaku ini, hah!”

Smissaert rupanya benar-benar marah. Beberapa hari lalu, Mac Gillavry memang

menulis surat kepada dirinya yang isinya memperingatkan tentang bahayanya Pangeran

Diponegoro yang berhasil menghimpun pasukan yang cukup kuat. Namun kala itu

Smissaert malah mentertawakannya dan mengacuhkannya. Ternyata faktanya berkata

lain. Diponegoro berhasil lolos dari kepungan pasukan gabungan Belanda dan Legiun

Mangkunegaran. Sebab itu, dia sungguh-sungguh malu kepada Residen Surakarta

tersebut.

“Opsir!”

“Siap, Tuan!”

“Apa benar pasukan kita terjepit di sana dan perlu penambahan pasukan?”

Dengan dagu tetap terangkat ke atas, opsir tersebut menjawab tegas, “Siap, Tuan. Saya

hanya menyampaikan perintah dari Letnan Satu Thierry.”

Smissaert kembali mengangguk-angguk. Prajurit memang hanyalah pion, yang hanya

dilatih untuk mematuhi atau menyampaikan perintah, bukan untuk berpikir. Yang berpikir

mengatur strategi adalah para perwira. Tapi dia benar-benar kesal. Kalau saja Thiery

atau Chevallier yang datang saat ini di depannya, pasti dia akan memarahi habis-

habisan kedua orang itu. Akhirnya setelah berpikir sebentar dia punya satu rencana

bagus. Thierry dan Chevallier memang harus diberi pelajaran, namun hal itu tidak akan

Page 97: Untold History of Pangeran Diponegoro

sampai mengorbankan profesionalitasnya sebagai panglima tertinggi pasukan

pemerintah seluruh wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat.

“Opsir..!” ujarnya lagi.

“Siap, Tuan!”

“Dengarkan baik-baik dan sampaikan pada komandanmu di Tegalredjo…”

“Siap, Tuan!” (Bersambung)

“Saya sebagai Panglima Tertinggi Pasukan Pemerintah di Ngayogyakarta Hadiningrat

memutuskan tidak akan memberi tambahan pasukan di Tegalredjo dalam waktu cepat.

Komandanmu itu harus bertahan dahulu menghadapi para pemberontak di sana dengan

sekuat tenaga. Dan tolong sampaikan pada komandanmu itu, mereka harus menulis

laporan yang berisi alasan pentingnya bertahan di Puri Tegalredjo padahal target sudah

kabur. Mengapa mereka tidak ikut mengejar Diponegoro dan malah mendirikan pos

komando di Puri Tegalredjo. Itu saja. Cepat sampaikan dengan utuh!”

“Siap, Tuan! Saya akan sampaikan semuanya dengan utuh!”

“Laksanakan!”

“Siap, laksanakan!”

Setelah memberikan penghormatan secara militer, opsir itu segera berlalu dari hadapan

Smissaert dan langsung menggebrak kudanya kembali ke Tegalredjo.

Setelah ruangannya sepi, Smissaert kemudian menulis surat yang secara singkat

meminta bantuan kepada Residen Surakarta, Magelang, dan juga Semarang, untuk

secepatnya mengirim pasukan bantuan ke Yogyakarta. Khusus kepada Residen

Magelang, Smissaert juga meminta pasokan dana untuk membiayai operasi ini. Selesai

menulis beberapa surat, dia segera memanggil seorang kurir khusus yang sudah biasa

ke Surakarta dan dikenal Mac Gillavry dengan baik. Sutowijoyo namanya.

“Selamat malam, Tuan,” sapa Sutowijoyo begitu masuk ke dalam ruangan kepatihan.

Dia kemudian berdiri saja di depan Smissaert.

“Ya, malam. Kowe sekarang juga pergi ke Surakarta dan temui Residen Mac Gillavry di

sana. Sampaikan salamku dan juga surat ini. Sedangkan surat-surat yang lain

nanti kowe sampaikan pada kurir yang lain sesuai dengan tujuannya. Berhati-hatilah di

jalan. Para pemberontak sudah berada di mana-mana…”

“Siap, Tuan. Laksanakan!”

Page 98: Untold History of Pangeran Diponegoro

Sutowijoyo segera menerima surat-surat tersebut kemudian langsung bergegas menuju

kudanya.

Di dalam kamar kerjanya, Smissaert terkekeh sendirian. Dia puas sudah mengerjai

Thierry dan Chevallier. Wajah mereka berdua pasti akan terlihat lucu ketika menerima

laporan dari kurirnya jika dirinya menolak memberi pasukan tambahan ke Tegalredjo…

[]

Bab 28

RESIDEN SURAKARTA, HENDRIK MAURITZ MAC Gillavry berdiri memandangi langit

malam dari jendela gedung karesidenan yang lebar. Malam di pertengahan Juli benar-

benar pekat. Nun jauh di atas langit, ribuan titik kecil berwarna putih dan kuning

bercahaya bagai tebaran mutiara yang menggantung di awan yang gelap. Di bawahnya,

dari tempatnya berdiri, puluhan kunang-kunang beterbangan ke sana-kemari dengan

lincah di antara pucuk-pucuk ilalang, pohon, dan semak. Walau mencoba untuk bersikap

tenang, namun kedua mata Mac Gillavry yang dilindungi tulang pipi yang kuat tidak bisa

menyembunyikan kegusaran di dalam hatinya. Mac Gillavry sekarang benar-benar kesal

dengan Anthonie Hendriks Smissaert yang menurutnya tidak becus bekerja di wilayah

sepenting Yogyakarta.

Dari tempatnya yang berada di sebelah Lor Wetan[1] wilayah Karesidenan

Yogyakarta, Mac Gillavry terus mengikuti perkembangan demi perkembangan operasi

penangkapan terhadap Pangeran Diponegoro dan sejumlah pangeran pemberontak

lainnya yang gagal di Tegalredjo.

Secara pribadi, Mac Gillavry tidak menyalahkan komandan di lapangan terkait

kegagalan operasi itu. Yang salah tetap komandan tertinggi di Karesidenan Yogya,

yakni Smissaert. Sudah sejak awal dia telah memperingatkan, berkali-kali dia kirim surat

yang melaporkan perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro dari hari ke hari-

sesuatu yang sesungguhnya bukan kewajibannya-kepada Smissaert, tetapi Residen

Yogya ini malah mengabaikannya. Dan ketika perang sudah pecah seperti malam ini, di

mana banyak rakyat pribumi membentuk satuan-satuan laskar tersendiri dan berperang

di belakang Diponegoro, maka keadaan menjadi sulit untuk dikendalikan dan diprediksi.

Dan semua ini membuat posisi Mac Gillavry serba salah. Mau tidak mau dia harus

memenuhi permintaan dari Smissaert untuk mengirimkan pasukan tambahan ke

Yogyakarta. Permintaan yang sama yang ditujukan bagi Mangkunegara II dengan

Legiun Mangkunegarannya.

Kebetulan, malam ini baru saja tiba Letnan-Kolonel Genie[2] Cochius dari Markas

Komando Semarang, yang berencana akan menginspeksi pasukan besok pagi.

Sebentar lagi, bawahan dari Kolonel Von Jett ini akan datang di ruangannya untuk

membahas strategi pertahanan Yogyakarta.

Page 99: Untold History of Pangeran Diponegoro

Benar saja, tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kakinya di atas lantai marmer

yang dingin di malam yang sunyi itu. Setelah saling memberikan hormat secara militer

dan bersalaman, Cochius dan Mac Gillavry membentangkan sebuah peta Karesidenan

Yogyakarta dan sekitarnya di atas meja bundar, tempat di mana biasanya

dilangsungkan rapat antar pejabat karesidenan.

Sambil menunjukkan jarinya di satu titik merah di atas peta, Gillavry berkata, “Ini

Tegalredjo. Semula Diponegoro dan yang lainnya tinggal dan bermarkas di sini. Tadi

sore Chevallier dan Letnan Satu Thierry menyerang kedudukan mereka dari segala

arah, terutama selatan, timur, dan utara. Pasukan dari arah barat sendiri rupanya

terhambat blokade jalan dan banyak jebakan di sana sehingga Diponegoro dan yang

lainnya berhasil meloloskan diri ke arah barat ini.”

“Kemana kira-kira perginya mereka?”

Mac Gillavry mengangkat kedua bahunya. “Entahlah. Mereka mungkin sudah

mempersiapkan segalanya, termasuk jalur pelarian. Yang jadi masalah, sepeninggal

Diponegoro dari Puri Tegalredjo sore tadi, sepanjang malam ini timbul pemberontakan di

mana-mana. Pasukan kita cukup kewalahan sekarang. Bukan tidak mungkin,

pemberontakan akan merembet ke Surakarta ini…”

“Ya, ya itu benar. Saya juga mendengar kabar jika pasukan Kiai Modjo juga telah

bergerak untuk bergabung dengan Diponegoro. Entah, mereka sudah bertemu atau

belum…”

Mac Gillavry tidak begitu kaget dengan kabar yang dikatakan Cochius. Dia tahu, Kiai

Modjo dan banyak guru agama di wilayahnya memang sangat dekat dengan

Diponegoro sejak lama. Bahkan ada juga di antara mereka yang mengikatkan diri dalam

tali kekeluargaan dengan mengawinkan satu anak dengan yang lainnya.

“Agama Islam telah menyatukan mereka semua. Inilah yang sesungguhnya sangat

berbahaya. Kita akan sulit untuk menundukkan para pemberontak yang disatukan oleh

agama ini. Sejarah telah memberi kita banyak pelajaran tentang hal itu, sejak masa-

masa awal penyebaran agama ini di Arab hingga masa Perang Salib di Yerusalem…”

Cochius mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya dia benar-benar kagum

dengan residen yang satu ini yang mempunyai wawasan kesejarahan yang cukup baik.

Berbeda sekali dengan Smissaert. Cochius kemudian menoleh kepada Gillavry dan

bertanya mengenai apa yang sudah dilakukan Smissaert dalam menghadapi

Diponegoro, “Tuan Residen, apa yang kemudian diperbuat oleh Karesidenan Yogya

untuk menghadapi hal ini?”

Mac Gillavry tidak bisa menyembunyikan kejengkelannya. “Tidak ada! Nyaris tidak ada!

Sejak awal aku sudah peringatkan mereka akan bahayanya Diponegoro ini, tetapi

Page 100: Untold History of Pangeran Diponegoro

mereka tidak perduli. Sekarang setelah semuanya terjadi, dengan enaknya mereka

meminta bantuan pasukan kepada kita. Mau tidak mau, kita pasti akan membantu

mereka. Segala sesuatu yang terjadi di Yogya, sudah pasti akan dirasakan juga disini!”

“Lantas jika demikian, apa yang sekarang Tuan Residen buat?”

“Apa yang aku perbuat?”

“Ya. Yang pertama sudah pasti Tuan akan berusaha keras mencegah pemberontakan

akan merembet di wilayah ini. Benar bukan?”

Residen Surakarta itu mengamini pandangan Cochius, “Ya. Itu sudah pasti…”

“Dan yang kedua?” (Bersambung)

[1] (Bahasa Jawa): Timur Laut

[2] Insinyur kemiliteran, atau Korps Zeni.

“Bagaimana menurutmu sendiri, Letkol?” Gillavry balik bertanya.

“Memadamkan pemberontakan terhadap pemerintah adalah tugas kita semua. Di mana

pun itu terjadi. Apalagi yang berada dekat dengan wilayah kita sendiri. Bukankah

demikian, Tuan Residen?”

“Itu benar. Kita memang harus ikut memadamkan pemberontakan dengan menangkap

pimpinan pemberontakan itu.”

“Bagaimana dengan permintaan penambahan pasukan ke Yogyakarta?”

“Besok pagi engkau akan menginspeksi pasukan kita disini. Kita akan

memberangkatkan sejumlah pasukan ke Yogya besok pagi itu. Kita hubungi juga Legiun

untuk ikut berangkat ke Yogyakarta bersama-sama kita.”

“Legiun sudah siap. Mereka akan berangkat besok pagi menambah jumlah pasukan

mereka di Yogya. Jika tidak ada halangan, Ritmeester[1] Raden Mas Suwongso

sendiri yang akan memimpin Legiun. Mereka ini akan memperkuat pertahanan di

sekeliling kraton…”

“Baguslah jika begitu. Bagaimana dengan kabar dari Semarang sendiri?”

“Kolonel Von Jett sudah menyanggupi untuk mengirim satu kompi infanteri ditambah

artileri sebanyak duaratusan prajurit infanteri dan kavaleri yang akan dipimpin Kapten

Kumsius. Mereka akan lewat Magelang karena Residen Magelang akan menitipkan

dana tambahan untuk pertahanan Yogyakarta seperti yang Residen Smissaert minta.”

“Apakah Kolonel Von Jett sendiri akan langsung memimpin pasukannya?”

Page 101: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Sepertinya begitu. Tapi sampai sekarang belum ada informasi yang valid tentang itu…”

“Menurut penilaianmu pribadi?”

“Besar kemungkinan dia akan terjun langsung. Dia seorang pimpinan yang tidak betah

berada di belakang meja…”

Gillavry tertawa, “Beruntung kau punya pimpinan seperti dia…”

“Ya. Dan Tuan Residen juga beruntung memiliki sekutu kuat yang sangat setia pada

kerajaan kita di sini…”

“Oh ya? Siapa yang Anda maksud, Letkol?”

“Siapa lagi jika bukan Susuhunan Mangkunegara II, si Raja Tua itu…”

Mac Gillavry tersenyum lebar dan mengangguk-angguk, “Ya, kau benar, Letkol. Raja itu

sangat setia pada kita. Dia patut mendapatkan medali kehormatan atas kesetiaannya

selama ini. Kesetiaan yang tanpa cela…”

Malam bertambah larut. Letnan Kolonel Genie Cochius dan Residen Mac Gillavry terus

membahas strategi yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan terakhir.

Mereka terus berbincang sampai dini hari. Pukul tiga pagi mereka baru masuk ke dalam

kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Keduanya percaya, esok hari adalah hari

yang amat melelahkan…

Tak jauh di perbatasan antara Karesidenan Surakarta dengan Yogyakarta, di sejumlah

tempat masih terjadi pertempuran dalam skala kecil antara laskar-laskar dadakan

melawan prajurit Belanda dan juga Legiun. Pos-pos penjagaan jalan dan juga pos intai

diserang. Korban terus berjatuhan di kedua belah pihak. Sesekali masih terdengar suara

tembakan bersahut-sahutan. Malam yang biasanya sunyi, kali ini begitu meriah. Sebuah

awal bagi perang besar… []

Bab 29

PERAN PEREMPUAN DI NUSANTARA ternyata sudah jauh ada sebelum Raden Ayu

Kartini lahir. Dua abad sebelum era Kartini, di Aceh Darussalam terdapat Sri Sultanah

Ratu Safiatudin Tajul ‘Alam. Ratu ini selain sangat cerdas-menguasai sekurangnya tujuh

bahasa asing, pelahap karya sastra dan sejarah, dan diplomat ulung, juga seorang yang

perempuan shalihah yang begitu taat memegang ajarannya. Salah satunya adalah

catatan yang mengisahkan dia selalu menerima semua tamu negara yang bukan

muhrim dari balik hijab sutera berhiaskan emas permata. Semua itu ditambah dengan

‘kegagahannya’ memimpin satu pasukan khusus perempuan pengawal istana yang ikut

maju bertempur dengan gagah berani dalam Perang Malaka di tahun 1639.

Di Tanah Jawa, puluhan tahun sebelum Kartini lahir, seorang Ratu Ageng-permaisuri

Sultan Hamengku Buwono I-juga menyamai kualitas seorang Sultanah Safiatudin. Hal

Page 102: Untold History of Pangeran Diponegoro

itu diwariskan kepada Raden Ayu Retnaningsih, isteri dari Pangeran Diponegoro, yang

tidak saja cantik, cerdas, dan sholihah, namun juga mampu memimpin pasukan khusus

perempuan sebagaimana Bregada Langen Kesuma, yang turut berperang di sisi

Diponegoro dengan gagah berani melawan kafir Belanda dan antek-anteknya.

Setelah siuman dari pingsannya, dengan masih merasakan lemas di sekujur badan,

Raden Ayu Retnaningsih sudah mengendarai kuda sendirian. Perjalanan dari Tegalredjo

ke Dekso yang sudah masuk ke dalam wilayah Kulon Progo[2] sebenarnya bukan

perjalanan yang sulit dan melelahkan. Namun disebabkan mereka mengambil jalur agak

melambung ke utara, dan tidak melalui jalan raya, melainkan melalui jalan kecil bahkan

harus menerabas hutan dan pinggiran sawah, maka mereka baru tiba di desa kecil

tersebut lewat tengah malam.

Sesekali dari atas kudanya, Pangeran Diponegoro mendekati isterinya tersebut dan

menanyakan apakah Retnaningsih sudah lelah dan menawarkan istirahat. Namun

dengan tegar dan tersenyum, perempuan itu selalu menggelengkan kepalanya dan

bersikeras agar perjalanan dilanjutkan saja hingga tiba di desa tujuan.

Menurut rencana yang disusun bersama dengan Ki Guntur Wisesa, jika Puri Tegalredjo

tidak bisa dipertahankan maka semua anak-anak kecil, para emban, dan siapa pun yang

bukan atau belum bisa menjadi kombatan, akan dititipkan di Dekso. Setelah itu,

Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan

yang lainnya akan melanjutkan perjalanan ke wilayah Gua Selarong yang sudah lama

ditetapkan sebagai basis perjuangan melawan kafir Belanda.

Perpisahan yang terjadi antara Raden Ayu Retnaningsih dan anak-anaknya yang masih

kecil di Dekso sungguh-sungguh mengharukan. Sambil mengumpulkan semua anaknya

di dalam rengkuhan pelukannya, dengan penuh perasaan cinta Retnaningsih berkata,

“Anak-anakku, ibu atau bapakmu cepat atau lambat pasti akan meninggalkanmu semua.

Namun Allahsubhana wa ta’ala tidak akan pernah meninggalkanmu. Gusti Allah akan

selalu menjagamu. Sebab itu, janganlah sekali-kali melupakan atau meninggalkan Gusti

Allah. Hanya Gusti Allah sebaik-baik pelindung dan tempat mengadu. Ibu dan bapakmu

akan terus berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan kalian dan semua saudara-

saudara seiman. Doakanlah kami. Dan kami pun akan selalu mendoakan kalian. Jika

kalian selalu bersama Allah, maka kalian juga akan selalu bersama ibu dan bapakmu ini.

Yakinlah, kita akan segera bertemu dan berkumpul kembali. Allah Maha Kuasa. Gusti

Allah Maha Kuat…”

Walau berusaha tetap tegar, namun Retnaningsih tidak mampu membendung airmata

haru yang akhirnya mengalir keluar dari kedua sudut matanya. Dipeluknya anak-anak itu

satu-persatu dengan hangat. Tidak ada yang tahu, apakah ini pertemuan terakhir atau

bukan. Namun semua berharap, agar mereka bisa kembali bertemu dalam satu

keluarga yang utuh.

Page 103: Untold History of Pangeran Diponegoro

Setelah Raden Ayu Retnaningsih memeluk anak-anaknya, giliran Pangeran Diponegoro

yang mencium dan melepas semua anak-anaknya, juga dengan peluk dan cium.

“Anak-anaku sayang, yakinlah dengan keyakinan yang sebenar-benarnya. Allah akan

selalu bersamamu. Jika suatu hari kalian melihat cahaya yang indah, kapan pun itu, itu

adalah aku. Tumbuh besarlah dan menjadi kuatlah. Pegang agama kita sekuat-kuatnya,

gigitlah dengan sekeras-kerasnya, hingga nafas terakhir…Jika kalian selalu bersama

Allah, aku dan ibumu ada di sana…”

Semua yang hadir malam itu berlinang airmata. Sebuah perpisahan yang amat sangat

mengharukan.

Di Dekso, mereka semua tidak berlama-lama. Malam itu juga mereka melanjutkan

perjalanan, kali ini terus ke arah selatan, menuju Gua Selarong. Beberapa lelaki dewasa

yang ada di Dekso mengikuti rombongan dengan membawa senjatanya masing-masing

dan bersumpah sehidup semati bersama Pangeran Diponegoro. Di setiap kampung dan

dusun yang dilewati, jumlah rombongan selalu bertambah. Lebih dari setengah lelaki

yang sudah mampu berperang, memilih ikut bersama Pangeran Diponegoro. Dari yang

semula hanya berjumlah puluhan, semakin mendekati Selarong, rombongan mereka

sudah mencapai ratusan hingga membentuk satu pasukan besar.

Rombongan besar ini mencapai Selarong disambut dengan gema adzan subuh dan

kokok ayam jantan. Ratusan laskar yang sudah berada di Selarong menyambut

rombongan itu dengan gegap gempita dan takbir. Kedua mata Pangeran Diponegoro

kembali basah karena terharu. Dia teringat satu episode sejarah Rasul Muhammad

SAW ketika hijrah menghindari kezaliman kaum musyrik Quraisy, dari Makkah menuju

Madinah. Saat menginjak perbatasan kota Madinah, penduduk asli Madinah yang

dikenal sebagai Kaum Anshor menyambut rombongan Rasulullah dengan takbir dan

lagu-lagu perjuangan. Diponegoro tersenyum. Mereka adalah kaum Muhajirin sekarang

dan laskar serta penduduk Selarong adalah kaum Anshor-nya.

Sejarah memang selalu berulang, dalam bentuk dan pola yang sama. Yang berganti

hanyalah nama-nama… [] (Bersambung)

[1] Pangkat setara Kapten.

[2] Kulon Progo berarti “Sebelah barat Kali Progo”

Bab 30

DANUREDJO SEPANJANG MALAM TIDAK BERADA di ruangan kerjanya di kraton.

Secara khusus Residen Smissaert menyuruhnya untuk membuat selebaran dan

memperbanyaknya.

Page 104: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Patih, kowe cepat bikin pamflet. Umumkan jika Diponegoro itu penjahat yang

berbahaya. Siapa pun yang mengikutinya maka mereka akan kita anggap juga sebagai

pemberontak dan akan kita hukum seberat-beratnya. Besok pagi pamflet-pamflet itu

harus sudah tertempel di banyak tempat strategis di seluruh karesidenan ini!” ujar

Smissaert.

Patih Danuredjo tidak bisa membantah. Sebab itu, ketika Letnan Satu Thierry dan

Chevallier berangkat memimpin pasukan yang cukup besar ke Tegalredjo, Patih

Danuredjo malah sibuk menulis dan menyusun kata demi kata untuk selebarannya di

ruangan percetakan di dalam kraton.

Menulis kata demi kata untuk memfitnah seseorang adalah salah satu keahlian Patih

Danuredjo yang jarang dimiliki orang lain. Danuredjo tahu jika sebuah peperangan

bukan hanya mengandalkan pertempuran dengan senjata yang mematikan di lapangan,

tetapi juga mengandalkan banyak pertempuran di palagan lain yang tidak menggunakan

senjata api atau senjata tajam. Salah satunya adalah pertempuran di lapangan media

atau propaganda.

Pertempuran di bidang propaganda bertujuan untuk memenangkan opini masyarakat,

meraih dukungan dan simpati yang luas, sekaligus menghancurkan karakter musuh

sehancur-hancurnya, sehingga musuh tidak mendapatkan dukungan rakyat, dan akan

jauh lebih baik jika musuh bisa dijadikan common-enemy atau musuh bersama yang

harus diperangi. Dengan propaganda yang hebat, orang baik bisa dijadikan orang jahat,

juga sebaliknya.

Patih Danuredjo sungguh-sungguh paham akan hal ini. Patih Danuredjo, yang diam-

diam mengidolakan Machiavelli dengan Il Principe-nya[1], telah belajar banyak dari filsuf

Italia kelahiran abad ke-15 Masehi ini tentang bagaimana cara untuk merebut dan

mempertahankan kekuasaan dengan segala tatktik dan strategi. Tujuan menghalalkan

kekuasaan, itulah Machiavelisme.

Untuk membuat sebuah selebaran, bukan perkara yang sulit bagi Danuredjo. Sebuah

pamflet yang efektif dan tepat sasaran, harus memenuhi beberapa persyaratan, antara

lain ditulis dengan bahasa yang mudah dipahami semua orang, ringkas, to the point,

menggunakan tulisan yang jelas dan mudah terbaca, kertas dan tinta dengan warna

yang mencolok sehingga menjadi pusat perhatian orang banyak, dan sebagainya.

Kepada juru tulis kraton, Patih Danuredjo memerintahkan untuk menulis kata demi kata

sesuai dengan perintahnya, “Coba kau tulis semua yang akan kukatakan ini.”

“Inggih, Kanjeng Patih…”

“Pengumuman…,” ujar Danuredjo memulai kalimatnya. Juru tulis kraton itu mulai

menuliskan satu persatu kata yang keluar dari bibir Danuredjo. Tak sampai limabelas

Page 105: Untold History of Pangeran Diponegoro

menit, konsep pamflet selesai. Danuredjo membacanya kembali untuk memeriksa

segala sesuatunya. Kepalanya kemudian mengangguk-angguk.

“Bagus, wis bagus. Ya ini saja kamu cetak dan perbanyak. Malam ini juga kamu sebar.

Tempelkan di tempat-tempat strategis di seluruh wilayah Yogyakarta. Besok aku ingin

lihat, di semua tempat yang strategis, di persimpangan jalan, depan semua toko, depan

stasiun, pos penjagaan, jembatan, tiang-tiang dan pohon, di depan masjid dan gereja, di

semua tempat, pamflet ini sudah harus tertempel…”

“Inggih, Kanjeng Patih Dalem…”

“Dan satu lagi… Siapa pun yang terlihat merusak atau mencabut pamflet ini, tangkap

saja. Mereka pastilah bagian dari pemberontak itu…”

Setelah memberikan perintah itu, Patih Danuredjo segera keluar dari ruang percetakan

dengan membawa satu salinan konsep pamflet tersebut yang akan diperlihatkannya

kepada Smissaert. Dia bergegas menuju ruang kepatihan di mana Residen Smissaert

masih ada di sana.

Patih Danuredjo benar-benar menyukai tugas yang satu ini. Menghancurkan karakter

orang lain lewat sebuah pamfler atau selebaran efeknya bisa jauh lebih parah ketimbang

daya hancur sebuah peluru meriam. Dan hal ini sah-sah saja di dalam perang, bahkan

bisa dipergunakan di masa-masa damai pula untuk menghancurkan karakter orang yang

tidak disukai.

Pihak yang anti pemerintah juga suka menggunakan selebaran untuk menyerang

kekuasaan. Danuredjo ingat, salah satu kasus mengenai selebaran yang pernah sangat

dikenalnya adalah yang terjadi di masa kekuasaan Pakubuwono III[2]. Hanya saja,

selebaran di masa itu malah dibuat oleh seorang yang berseberangan dengan

pemerintah.

Alkisah, sebuah pamflet gelap ditemukan menempel di tempat penyimpanan gamelan

kramat milik keraton. Isinya, ringkas dan padat:

“Haruskah orang-orang Eropa itu dianggap lebih kuat daripada Allah?”

Ketika selebaran itu sampai ke telinga Pakubuwono III, raja yang sangat setia terhadap

penguasa kolonial Belanda tersebut langsung marah. Dia segera memerintahkan

supaya dicari orang yang dianggap bertanggungjawab atas selebaran tersebut. Tidak

ada petunjuk apa pun selain sebuah coretan kecil di bagian bawah selebaran

bertuliskan: Susuhunan Ayunjaya Adimurti Senapati Ingulaga.

Setelah mengadakan pembicaraan dengan para pejabat Belanda, Pakubuwono III

kemudian memerintahkan agar Kiai Alim Demak, seorang ulama yang hanif dan berada

Page 106: Untold History of Pangeran Diponegoro

di luar struktur kekuasaan, ditangkap dan dipenjarakan. Kiai yang buta huruf latin itu

langsung dianggap bersalah. Hukuman berat menantinya.

Tanpa pengadilan, orangtua itu dijatuhi hukuman mati dengan cara yang sangat

mengerikan. Di hadapan rakyat biasa yang diperintahkan untuk menonton, di tengah

alun-alun, Kiai Alim Demak digantung terbalik di sebuah tiang dengan kaki di atas.

Dengan perlahan kulit kepalanya dikelupas selapis demi selapis. Lalu tepat di bawah

wajahnya, pamflet yang menjadi sebab-musabab itu dibakar.

Malam sudah semakin larut. Namun di dalam kraton sejumlah senopati, pasukan telik

sandi, beberapa prajurit kepala, dan kurir tampak masih hilir-mudik dengan wajah

tegang. Perkembangan di Tegalredjo sangatlah mencemaskan. Dari sejumlah laporan,

gabungan pasukan Belanda dan Legiun yang dipimpin Letnan Satu Thierry dan

Chevallier yang sore tadi merebut Tegalredjo, malam ini malah terkepung oleh laskar

pendukung Pangeran Diponegoro. Walau laskar-laskar tersebut hanya bersenjatakan

alat-alat sederhana, seperti keris, pedang, tombak atau bambu runcing, dan lainnya,

namun semangat yang mereka miliki sungguh mengerikan. Jika pasukan Belanda dan

Legiun berperang untuk menyelamatkan diri, maka para pendukung Pangeran

Diponegoro itu pergi berperang untuk mencari mati.

Patih Danuredjo tahu betul jika seruan jihad Diponegoro-lah yang menyebabkan itu

semua. Sebab itulah di dalam selebarannya, Danuredjo berusaha keras jika yang

digelorakan Diponegoro bukanlah jihad, namun teror dan ajakan setan.

Sambil terus bergegas menuju ruangannya, Patih Dalem Kraton Ngayogyakarta

Hadiningrat itu bergumam, “Orang-orang harus percaya kalau dia itu mengangkat

senjata hanya karena sakit hati tidak terpilih menjadi Sultan. Islam hanya dijadikan

kambing hitam untuk mengobati kekecewaan hatinya. [] (Bersambung)

[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Niccol%C3%B2_Machiavelli

[2] Sri Susuhunan Pakubuwana III lahir di Kartasura tahun 1732 dan wafat tahun 1788

adalah raja kedua Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1749 – 1788. Dia

merupakan raja keturunan Mataram pertama yang dilantik oleh Belanda.

Bab 31

JARAK DARI TEGALREDJO KE DEKSO yang sudah masuk ke wilayah Kulon Progo[1]

memang tidak begitu jauh. Namun juga tidak bisa dibilang dekat. Apalagi rombongan

Pangeran Diponegoro selalu menghindari jalan besar. Rombongan ini selalu memilih

lewat jalan-jalan kecil, jalan setapak, bahkan harus menembus rapatnya belukar hutan,

pematang sawah, pinggir kali dan jurang, dan yang lainnya hanya dengan

mengandalkan cahaya bulan. Semua itu dilakukan untuk menghindarkan keberadaan

mereka dari intaian mata-mata Belanda dan Danuredjo.

Page 107: Untold History of Pangeran Diponegoro

Sebab itu, setelah beberapa kali berhenti untuk beristirahat, sholat, dan juga makan,

rombongan ini baru tiba di Dekso menjelang tengah malam. Setelah melepas anak-

anak, para emban, dan beberapa lainnya yang bukan kombatan, rombongan kembali

berjalan menerabas hutan menuju selatan. Sesuai dengan arahan Mangkubumi dan

Susuhunan Pakubuwono VI, mereka akan menuju wilayah Gua Selarong yang sangat

strategis.

Perjalanan dari Dekso ke Selarong juga tidak mudah. Mereka harus menyeberangi Kali

Progo yang di musim panas seperti bulan Juli ini airnya surut sehingga bisa dilalui,

walau tetap harus berhati-hati karena bebatuannya licin dan banyak ular. Mereka juga

harus menyeberangi beberapa kali kecil seperti Kali Konteng dan lainnya.

Mendekati Gua Selarong yang berada di wilayah Bantul, hari sudah menjelang pagi

walau matahari belum menampakkan wajahnya. Beberapa dari anggota rombongan

tampak kelelahan dan mengantuk, bahkan ada yang sampai tertidur di atas kudanya,

namun tidak demikian dengan Pangeran Diponegoro, Mangkubumi, Pangeran Bei,

Ustadz Taftayani, dan para sesepuh lainnya. Mereka sudah terbiasa di dalam hidupnya

menyedikitkan tidur dan memperbanyak sholat sunnah, zikir, dan ibadah lainnya.

Adzan subuh bergema tepat ketika mereka memasuki batas Desa Selarong di mana Ki

Guntur Wisesa dan banyak laskarnya sudah menunggu di kedua sisi jalan.

“Ahlan wa sahlan, Kanjeng Pangeran!” sambut Ki Guntur Wisesa ketika menyambut

kedatangan Pangeran Diponegoro dan yang lainnya. Kedua pasukan bertemu dan

saling berangkulan. Beberapa di antara mereka sampai menetaskan airmata haru.

Persaudaraan di dalam Islam memang sedemikian indah. Walau banyak yang tidak

saling mengenal, namun ukhuwah Islamiyah yang tlah tertanam di dalam dada

mereka membuat semuanya merasa sebagai satu bangunan yang kokoh, yang saling

melengkapi satu dengan yang lainnya.

“Kanjeng Pangeran, subuh telah tiba. Mari kita ke masjid terlebih dahulu,” ajak Ki Guntur

Wisesa yang segera membawa pasukan besar itu ke sebuah masjid sederhana yang

tidak begitu jauh dari gerbang desa. Walau masjid kecil, tapi halaman rumputnya luas

sehingga sebagian pasukan bisa turut mengikuti sholat subuh berjamaah di halaman

tersebut.

“Kanjeng Pangeran dan yang lainnya silakan sholat terlebih dahulu. Kami akan berjaga-

jaga di sini bergantian,” ujar Ki Guntur.

Setelah menunaikan sholat, semuanya berjalan beriringan menuju Gua Selarong yang

berada di ketinggian bukit, dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Para senopati dan ulama

pendekar sendiri berkumpul untuk melakukan musyawarah mengenai pelaksanaan

strategi pertahanan dan penyerangan melawan pasukan kafir Belanda dan para

murtadin lainnya yang menjadi kaki tangan penjajah. []

Page 108: Untold History of Pangeran Diponegoro

Bab 32

ORANG-ORANG KAMPUNG BERLARIAN MENYAMBUT datangnya barisan panjang

laskar Pangeran Diponegoro di Selarong. Mereka, tua dan muda, berteriak-teriak

kegirangan.

“Kanjeng Pangeran Diponegoro datang! Kanjeng Pangeran Diponegoro datang!”

Pagi-pagi buta itu, di mana hawa masih terasa dingin mengigit tulang, kaum perempuan,

anak-anak, dan orang-orang tua, bergegas keluar dari rumahnya dan berdiri di pinggir

jalan. Takbir berulang-ulang diteriakkan memenuhi langit. Dari atas Kiai Gentayu, kuda

hitam dengan ‘kaus kaki’ putih di keempat kakinya, Pangeran Diponegoro dengan

mengenakan jubah dan sorban serba putih terus menebar senyum dan membalas takbir

dengan tak kalah semangat. Pangeran Bei dan Mangkubumi, disertai Senopati Ki

Guntur Wisesa, Ustadz Taftayani, dan Ki Singalodra, berkuda di sekeliling Diponegoro.

Di bagian belakang rombongan, tak kurang sekira limaratus meter dari keberadaan

Pangeran Diponegoro di depan, terlihat di kejauhan satu pasukan besar dipimpin dua

lelaki yang mengenakan jubah dan sorban putih, sebagaimana Pangeran Diponegoro

dan Mangkubumi pakai. Pasukan besar itu mengibarkan satu panji berwarna hitam.

“Siapa mereka?” ujar Abdullah pelan. Lelaki yang menjabat sebagai kepala regu yang

bertugas mengamankan bagian paling belakang barisan Diponegoro, bersama sepuluh

anak buahnya, langsung berbalik arah dan menunggu mereka. Sedangkan pasukan

yang lain melanjutkan perjalanan ke Gua Selarong dengan perlahan.

Abdullah menghela kudanya perlahan, diikuti anak buahnya. Mereka berjalan

berlawanan arah dengan rombongan Diponegoro untuk menyambut kedatangan

pasukan besar yang masih terlihat di kejauhan sedang memasuki gerbang desa dengan

sikap waspada. Ketika jarak di antara mereka sudah sekira seratusan meter, Abdullah

menarik nafas lega. Dari jauh dia sudah mengenali dua lelaki berjubah dan bersorban di

depan pasukan besar.

“Kanjeng Kiai Modjo dan Kiai Ghazali…,” desisnya gembira.

Kiai Ghazali adalah anak dari Kiai Modjo. Mereka berdua telah menyusul Diponegoro ke

Selarong membawa serta pasukan Boelkiyo, pasukan khusus yang

mendapat gemblengan dari Kiai Modjo dan ulama pendekar lainnya di Surakarta.

“Topo, cepat kau lapor pada Kanjeng Pangeran bahwa Kiai Modjo dan pasukannya

sudah menyusul kita di Selarong!” ujar Abdullah.

Sutopo, salah seorang laskar dari Sambiredjo segera memacu kudanya melewati

rombongan pasukan dari samping jalan menuju ke bagian depan di mana Pangeran

Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada. Sedangkan Abdullah dan beberapa anak

buahnya tetap menunggu laskar Kiai Modjo yang menurut kabar memang sudah

Page 109: Untold History of Pangeran Diponegoro

berangkat dari Surakarta kemarin siang, sebelum terjadi penyerangan Belanda ke

Tegalredjo.

Pasukan besar itu kian dekat. Abdullah benar. Panji hitam yang dilihatnya sekarang

sudah menampakkan tulisan syahadatain di bagian tengahnya yang dibuat dari sulaman

benang emas sehingga tulisan arab itu bercahaya ditimpa sinar mentari pagi yang baru

saja muncul di ufuk timur. Sosok Kiai Modjo dan Kiai Ghazali pun sudah tampak jelas.

Dia segera menyongsong ke depan.

“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh! Ahlan wa sahlan Kiai!” ujar

Abdullah lantang seraya menggebrak kudanya mendekati Kiai Modjo dan Kiai Ghazali.

Kiai Modjo tersenyum. Ulama besar dari daerah Modjo di Surakarta itu membalas salam

dari Abdullah. [] (Bersambung)

[1] Progo adalah nama sebuah sungai besar di sebelah barat Yogyakarta yang berhulu

di Puncak Gunung Merapi di utara Yogya dan bermuara di Pantai Selatan. Kulon Progo

berarti “sebelah barat Kali Progo”.

“Sebentar lagi Kanjeng Pangeran Diponegoro akan menemui Kanjeng Kiai..”

Belum kering bibir Abdullah mengucapkan kalimat itu, dari arah belakang terdengar

derap kaki kuda yang kian lama kian jelas. Pangeran Diponegoro, disertai Mangkubumi,

Ki Singalodra, dan Ustadz Taftayani terlihat memacu kudanya ikut menyambut Kiai

Modjo. Dari atas kudanya, mereka semua bersalaman dan berpelukan. Kedua pasukan

besar itu pun bergabung menjadi satu. Pangeran Diponegoro mengajak Kiai Modjo dan

Kiai Ghazali ke bagian depan. Mereka kemudian segera memacu kudanya menuju

pelataran yang terletak di bagian bawah Gua Selarong.

Ki Guntur Wisesa yang berada di depan barisan memanggil sejumlah kepala regu.

Kepada mereka semua, Senopati yang bertanggungjawab atas wilayah Selarong ini

memerintahkan agar mereka semua mengatur pasukannya masing-masing, untuk

mengisi pos-pos pertahanan yang sudah dipersiapkan.

“Tempati posisi kalian semua. Isi posnya masing-masing. Bersiagalah, jangan lengah!”

teriaknya.

Para kepala regu segera membubarkan diri kembali ke regunya masing-masing.

Setibanya di pelataran depan anak tangga menuju ke Gua Selarong, Pangeran

Diponegoro dan lainnya turun dari kudanya. Diponegoro bersama para sesepuh lainnya

menaiki tangga yang dibuat dari susunan bebatuan menuju ke gua yang berada di

bagian atas. Isteri dari Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih beserta puluhan

Laskar Puteri, menunggu di bawah membiarkan kaum laki-laki naik ke atas terlebih

Page 110: Untold History of Pangeran Diponegoro

dahulu. Setelah para sesepuh naik semua, barulah mereka menaiki tangga menuju gua

yang satunya lagi.

Gua Selarong seakan memang diciptakan berpasangan. Satu di sebelah barat dan satu

lagi di timur. Yang di sebelah barat di sebut Gua Kakung karena dipakai sebagai pusat

komando pasukan laki-laki, sedangkan yang di timur disebut Gua Puteri yang akan

dihuni oleh Raden Ayu Retnaningsih beserta pasukannya.

Pagi yang sama jauh di utara Selarong, tepatnya di Semarang,Residen Semarang dan

Kolonel Von Jett tengah melakukan persiapan untuk menginspeksi duaratusan pasukan

artileri dan infanteri di bawah pimpinan Kapten Kumsius yang akan segera berangkat ke

Yogyakarta siang atau sore harinya. Menurut rencana, pasukan ini akan transit terlebih

dulu ke Magelang untuk mengambil uang titipan dari residennya sesuai dengan

permintaan Residen Yogyakarta, A.H. Smissaert.

Kabar tentang pemberontakan yang meletus di Yogyakarta sendiri sangat mengejutkan

Semarang. Warga Semarang terbelah menjadi dua. Ada yang mendukungnya namun

lebih banyak yang cemas. Pemerintah jajahan sendiri menyebarkan fitnah jika yang

memberontak di Yogyakarta adalah para kriminal dan penjahat yang kabur setelah

menjebol berbagai penjara. Mereka ditampung oleh Pangeran Diponegoro dan dijadikan

anggota pasukannya. Kebanyakan warga Semarang, di antaranya banyak warga Cina

yang berprofesi sebagai pedagang, dilanda ketakutan yang teramat sangat. Mereka

takut jika pemberontakan itu akan menjalar ke Semarang. Mereka segera berkumpul

dan berencana membentuk satuan-satuan sipil bersenjata-mirip pamswakarsa-yang

akan mempertahankan kampungnya dari segala ancaman yang mungkin saja timbul.

Karesidenan Semarang sendiri, sama seperti karesidenan-karesidenan lainnya,

berusaha turut memadamkan pemberontakan Diponegoro dengan mengirimkan

pasukannya ke Yogyakarta. Duaratusan pasukan infanteri dan kavaleri yang dipimpin

Kapten Kumsius sedang bersiap berangkat. Komandan pasukan Belanda di Semarang,

Kolonel Von Jett, malah berinisiatif datang langsung ke Yogyakarta untuk bergabung

dengan para pembuat kebijakan secara langsung menghadapi pemberontakan itu. []

Bab 33

SALAH SEORANG PRAJURIT JAGA MELAPOR pada Ki Guntur Wisesa yang baru saja

hendak mendaki susunan tangga batu menuju Gua Kakung tempat di mana Diponegoro

akan melangsungkan musyawarah.

“Ada apa, Kisanak?” selidik senopati itu.

“Maaf Ki, ada kabar penting yang hendak disampaikan anggota pasukan telik sandi kita

dari Plered kepada Kanjeng Pangeran…”

Page 111: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Kanjeng Pangeran hendak memimpin pertemuan terbatas. Sampaikan saja padaku,

nanti aku teruskan pada Kanjeng Pangeran…”

“Inggih, Ki….”

“Apakah itu orangnya?” Ki Guntur Wisesa menunjuk seorang lelaki muda berpakaian

wulung hitam-hitam yang tengah berdiri sekira tujuh tombak di belakang mereka. Prajurit

jaga itu mengangguk. Dia kemudian memanggil lelaki itu dan mempersilakan untuk

menyampaikan informasi yang dimiliki kepada Ki Guntur Wisesa.

“Apa yang hendak Kisanak sampaikan?”

Dengan perlahan, prajurit mata-mata itu menyampaikan laporan jika Sentot

Prawirodirdjo dengan limaratusan pasukannya sudah menyatakan akan bergabung di

Selarong. “Insya Allah, dalam waktu dekat…”

Ki Guntur Wisesa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tapi dia sepertinya belum yakin

benar dengan kabar yang dibawa prajurit itu. “Kisanak dari Plered?”

Prajurit itu mengangguk, “Inggih, Ki…”

“Siapa nama pemimpinmu?” selidik Ki Guntur. Kalimat ini sesungguhnya adalah kata

sandi yang harus dijawab dengan sesuai oleh orang yang memang bagian dari pasukan

telik sandi yang ditempatkan di Plered. Ada dua kombinasi pertanyaan dan jawaban.

“Semarang Magelang…,” jawabnya pelan.

“Apa?”

“Magelang Yogyakarta…”

Ki Guntur tersenyum. Kombinasi jawaban prajurit itu sesuai. Baru dia yakin jika informasi

yang disampaikan prajurit itu benar adanya. Sambil menepuk-nepuk punggung prajurit

tersebut, Ki Guntur mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih, Kisanak. Sekarang saya akan ke atas, melaporkan kabar ini kepada

Kanjeng Pangeran.”

Prajurit itu segera minta diri dan menghilang dalam kesibukan para laskar dan kepala

regu yang tengah mempersiapkan segala sesuatunya.

Ki Guntur sendiri bergegas menaiki susunan tangga batu menuju Gua Kakung dimana

Pangeran Diponegoro akan mengadakan tukar pikiran dengan Kiai Modjo, Ustadz

Taftayani, Pangeran Bei, dan Pangeran Mangkubumi. Setibanya di mulut gua,

semuanya sudah duduk melingkar.

Page 112: Untold History of Pangeran Diponegoro

Setelah memberi salam, Ki Guntur menyampaikan maaf karena datang terlambat. “Ndak

apa-apa, Ki Guntur. Kita baru saja akan mulai,” ujar Pangeran Diponegoro sembari

mempersilakan Senopati Selarong itu duduk di sampingnya.

Tukar pikiran dibuka dengan pembacaan beberapa ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh

Kiai Modjo. Setelah itu, Pangeran Diponegoro mempersilahkan masing-masing untuk

bicara.

Ki Guntur Wisesa mengangkat tangan terlebih dahulu, “Kanjeng Pangeran, Kiai, dan

Ustadz, maafkan saya bila lancang berbicara terlebih dahulu. Saya hanya ingin

menyampaikan kabar gembira dari pasukan telik sandi kita yang ada di Plered. Dia

mengabarkan jika Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya insya Allah akan bergabung

disini. Itu saja….” [](Bersambung)

Semua yang hadir di dalam gua tersebut mengucapkan syukur, “Alhamdulillah…“

Berita baik ini tentu menggembirakan semuanya. Bergabungnya Sentot dan pasukannya

merupakan suntikan darah segar pada barisan kaum mujahidin yang tengah

menggalang kekuatan untuk mengusir kekuatan penjajah kafir Belanda dan antek-

anteknya dari Bumi Mataram.

Bagi para sesepuh dan kerabat Kraton, sosok Sentot Prawirodirdjo yang dilahirkan pada

tahun 1807 tidaklah asing lagi. Ayahnya, Raden Ronggo Prawirodirjo III, merupakan ipar

Sultan Hamengku Buwono IV, dan sekaligus juga mertua Pangeran Diponegoro dimana

salah satu isterinya yang bernama Raden Ayu Citrowati, merupakan anak dari Raden

Ronggo namun beda ibu dengan Sentot.

Berbeda dengan keluarga Danuredjan, keluarga Raden Ronggo dikenal sebagai

keluarga yang gigih menentang penjajah kafir Belanda. Bahkan ayah Sentot

Prawirodirdjo sendiri akhirnya meninggal dibunuh Daendels. Hal ini memicu dendam

membara di dalam dada seorang Sentot yang sangat membanggakan ayahnya tersebut.

Inilah yang menjadi salah satu penyebab bergabungnya Sentot ke dalam pasukan

Diponegoro.

Beda dengan remaja seusianya, seorang Sentot Prawirodirjo sejak masih kanak-kanak

telah digemblengberbagai macam ilmu dan pengetahuan, seperti olah diri, cara

berkelahi, ilmu agama, hingga dasar-dasar kesatriaan atau ilmu perang.

Sebab itulah, walau masih terbilang remaja, namun Sentot tumbuh menjadi seorang

laki-laki yang berkepribadian matang dan dewasa. Salah satunya diwujudkan dalam

keberaniannya memilih cara berpakaian yang sungguh berbeda dengan orang

kebanyakan, yaitu jubah putih dengan surban, yang serupa dengan Pangeran

Diponegoro dan Kiai Modjo.

Sentot yang cerdas tahu jika sebuah pakaian bisa dijadikan sebagai identitas sekaligus

alat perlawanan. Jika kebanyakan rakyat Mataram hanya berpakaian wulung, atau para

Page 113: Untold History of Pangeran Diponegoro

pejabat kraton mulai mengenakan pakaian jas dan pantalon, seperti lazimnya orang-

orang kafir, maka Sentot menuruti jejak Pangeran Diponegoro dan Kiai Modjo yang

mengenakan pakaian jubah dan surban sebagai identitasnya. Ini juga sekaligus

maklumatnya kepada rakyat Mataram jika dirinya merupakan bagian dari kaum Muslimin

dunia, yang siap mati syahid demi tegaknya kalimat tauhid di seluruh muka bumi.

“Alhamdulillah, apa yang dikabarkan oleh Ki Guntur insya Allah benar…,” ujar Kiai

Modjo menanggapi. “…Saya mengenal Adinda Sentot dengan baik. Sejak lama dia

memang telah mempersiapkan diri dan juga menyusun pasukannya untuk bergabung

dengan kita, untuk mengusir penjajah kafir dari Bumi Mataram. Dengan adanya

Sentot, insya Allah kita akan semakin kuat. Anak muda itu memiliki wawasan dan

kecakapan perang yang hebat…”

Pangeran Diponegoro mengangguk-angguk. Demikian pula dengan Pangeran Bei yang

menjadi panglima tertinggi pasukan Diponegoro, dan juga yang lainnya.

“Ya, itu benar Kiai. Saya mengenalnya dan mengagumi banyak hal yang ada pada

dirinya. Jika semuanya berkenan, saya ingin Sentot memimpin pasukan kita semua di

dalam peperangan,” ujar Pangeran Bei dengan wajah bersungguh-sungguh. “Apakah

ada pendapat lain?”

Ustadz Taftayani menjawab, “Insya Allah, peperangan ini adalah peperangan untuk

menegakkan La Illaha ilallah, menegakkan ketauhidan, di bumi kita. Saya yakin,

seorang Sentot Prawirodirdjo akan menjadi Usamah bin Zaid bin Haritsah[1] di dalam

barisan ini. Bismillah…“

“Ya, bi idznillah, Ustadz. Dengan izin Allah..,” ujar Diponegoro.

“Paman Mangkubumi, bagaimana dengan perkembangan pasukan kita di lapangan?”

tanya Diponegoro kepada Pangeran Mangkubumi.

“Pertempuran masih berlangsung hingga pagi tadi di Tegalredjo. Rakyat di sana bangkit

melawan kafir Belanda. Bukan hanya yang ada di Tegalredjo dan sekitarnya, namun

banyak laskar yang terus mengalir ke sana untuk mengusir kafir Belanda dan antek-

anteknya itu. Di berbagai desa, laskar-laskar baru bermunculan. Mereka dipimpin para

ulama, pendekar, demang, atau jagoan setempat. Mereka telah berjanji setia pada garis

perjuangan di jalan Allah ini…”

Pangeran Mangkubumi terdiam sebentar. Setelah menegakkan punggungnya, dia

melanjutkan laporannya. “Pangeran, pasukan kita sendiri sudah berada di posisinya

masing-masing. Kafir Belanda yang ada di Yogyakarta juga sudah meminta bantuan

pasukan dari Semarang dan Magelang. Legiun Mangkunegaran juga sudah

mengirimkan kembali pasukannya untuk membantu kaum kafir itu.”

Pangeran Ngabehi Djayakusumah terlihat geleng-geleng kepala. Dia tidak habis pikir

dengan orang-orang Mataram sendiri, juga para pejabatnya, yang malah berpihak pada

Page 114: Untold History of Pangeran Diponegoro

kafir Belanda, bukan memihak pada rakyatnya sendiri dan Allah. Padahal banyak dari

para antek kafir Belanda itu yang sudah memeluk Islam sebagai agamanya.

“Pangeran Bei…,” ujar Mangkubumi.

“Ya, saudaraku…”

“Saya juga dapat kabar dari Pisangan, jika laskar yang dipimpin Mulyo Sentiko sudah

siap menghadang pasukan bantuan kafir Belanda yang datang dari arah Magelang.

Menurut kabar dari telik sandi kita, pasukan itu juga membawa uang dalam jumlah besar

yang diberikan Residen Magelang kepada Residen Yogyakarta. Beberapa orang kita

malah turut sebagai kuli angkut yang berada di dalam barisan kafirin itu..”

Pangeran Bei mengangguk-angguk senang, “Berapa jumlah pasukan bantuan kafir itu?”

“Sekitar duaratusan prajurit, terdiri dari pasukan infanteri dan kavaleri, dipimpin seorang

kapten Belanda.”

“Dan jumlah laskar Mulyo Sentiko?”

“Paling banyak seratusan. Tapi laskar-laskar setempat sudah menggabungkan diri

dengannya.”

Pangeran Bei terdiam sesaat. Kemudian dia berkata pada yang lainnya. “Saudara-

saudaraku semua, insya Allah, kita semua sudah siap dengan segala kemungkinan

yang terjadi. Kita akan menggunakan strategi perang Dhedhemitan atau Gebag ancat nrabas geblas[2]. Kita akan serbu atau sergap pasukan kafir itu, lalu dengan

cepat menghilang ke hutan-hutan. Kita akan gunakan hutan sebagai benteng

alam.Insya Allah, orang-orang kafir itu akan kalah!”

“Dan satu lagi Pangeran…,” ujar Kiai Modjo dengan suara yang berwibawa. Ulama yang

disegani dari wilayah Modjo, Surakarta, itu kemudian mengeluarkan secarik kertas yang

dilipat empat dari saku jubahnya dan membukanya.

“Selebaran ini saya dapat dari seorang prajurit saya. Dia bilang di Yogyakarta dan

sekitarnya sudah banyak tertempel selebaran seperti ini subuh tadi. Isinya mengatakan

jika Pangeran Diponegoro adalah penjahat dan pasukannya terdiri dari para kriminal dan

tahanan yang lari dari penjara, yang telah disulap seolah-olah pasukan santri dan

ulama. Kita dituding sebagai orang-orang yang memperalat agama demi mencapai

ambisi kekuasaan duniawi. Dan siapa pun yang bergabung dengan kita, akan dianggap

sebagai penjahat dan akan diperangi oleh Belanda. Ini jelas buatan Belanda atau antek-

anteknya semacam Danuredjo itu. Bagaimana pendapat sinuhun sendiri?”

Pangeran Ngabehi menerima selebaran itu yang diserahkan oleh Kiai Modjo kepadanya.

Setelah membacanya sebentar, selebaran itu kemudian diserahkannya kepada

Pangeran Diponegoro.

Page 115: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Aku sudah menduga jika kafir Belanda tidak saja menyerang kita secara fisik, tetapi

juga berusaha menghancurkan kita lewat cara-cara seperti ini. Sejarah sudah

mengajarkan kepada kita jika musuh-musuh Allah senantiasa menggunakan berbagai

macam cara untuk melenyapkan api tauhid ini untuk selama-lamanya. Ini adalah bagian

dari Ghouz al fikri, perang urat syaraf. Allah subhana wa ta’ala di dalam al Qur’an

telah memperingatkan kita semua akan hal ini..,” papar Diponegoro yang kemudian

menyerahkan selebaran itu kepada Ustadz Taftayani. Setelah membacanya sebentar,

guru agama yang sudah mendidik Diponegoro sejak usia kanak-kanak di Pesantren

Mlangi dekat dengan Puri Tegalredjo itu berkata,

“Selebaran berisi fitnah seperti ini mengingatkan kita pada satu episode dalam siroh

Rasul shalallohu wa alaihi wassalam tentang berita dari kaum fasik. Adalah Al-Walid

bin Uqbah bin Abi Mu’ith, yang diutus Rasulullah untuk mengambil zakat dari Suku Bani

Al-Musththaliq yang dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar, seperti diriwayatkan

Imam Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa mereka

enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya. Padalah sesungguhnya al-

Walid tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Rasulullah marah.

Namun Beliau harus mengecek kebenaran berita itu. Rasulullah lalu mengutus Khalid

untuk mengecek kebenarannya. Ternyata al-Walid terbukti berdusta. Peristiwa ini

menyebabkan Allah subhana wa ta’ala menurunkan firman-Nya seperti yang tercatat

di dalam surat al-Hujurat ayat 6:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Ayat ini, seperti yang dikemukakan Ibnu Katsir, termasuk ayat yang agung, karena berisi

pelajaran yang amat penting agar umat tidak mudah terprovokasi oleh fitnah atau berita

dusta, atau mudah menerima begitu saja berita yang tidak jelas sumbernya, atau berita

yang jelas sumbernya, tetapi sumber itu dikenal sebagai media penyebar fitnah. Apalagi

perintah Allah ini berada di dalam surat Al-Hujurat, surat yang sarat dengan pesan etika,

moral, dan prinsip-prinsip mu’amalah. Insya Allah Pangeran, para ulama kita akan

membimbing saudara-saudara kita, rakyat Mataram sampai ke desa-desa, agar tidak

mudah percaya dengan selebaran-selebaran yang dibuat oleh orang kafir dan kaum

murtadin semacam ini. Fitnah ini tidak akan mengurangi kekuatan kita sedikit pun!”

“Ya, Ustadz. At-Tabayyun minaLlah wal ‘ajalatu Minasy Syaithan, sikap

tabayun[3] merupakan perintah Allah, sementara sikap terburu-buru merupakan arahan

syaitan,” jawab Diponegoro. []

[1] Usamah bin Zaid bin Haritsah adalah panglima pasukan Rasulullah SAW yang masih

sangat muda, usianya belum 20 tahun ketika memimpin pasukan kaum Muslimin dalam

membebaskan beberapa negeri. Lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Usama_ibn_Zayd

[2] Istilah ini merupakan prinsip-prinsip dari Perang Gerilya.

Page 116: Untold History of Pangeran Diponegoro

[3] (Bahasa Arab) Tabayyun lebih kurang berarti cek dan ricek.

Bab 34

ANGIN ADALAH PRAJURIT ALLAH DI medan perang. Dua orang anggota laskar Mulyo

Sentiko yang dikirim ke garis paling depan-sekira duaratusan meter di luar gerbang

Desa Lagorok, Pisangan-telah mencium kedatangan pasukan kafir dari arah utara.

Angin yang bertiup dari Merapi ke arah Laut Kidul membawa serta bebauan orang-orang

kafir tersebut lewat udara, sehingga keberadaan mereka bisa diketahui jauh sebelum

sosok mereka terlihat.

Djauhari serta Djamhadi, dua orang laskar kepercayaan Mulyo Sentiko segera memacu

kudanya kembali ke perkemahan induk pasukan yang berada di atas bukit kecil di tepi

jalan raya Desa Lagorok.

Perkemahan pasukan mereka juga berada di atas bukit di sisi kanan dan kiri jalan raya

yang terlindung lebatnya pohon dan semak. Jalan raya yang berada di bawah mereka

agak menanjak dan menikung. Mulyo Sentiko menganggap jalan dengan kondisi seperti

ini sangat bagus untuk dijadikan tempat penyergapan. Maka ketika dia menerima kabar

dari pasukan telik sandi jika pasukan Kapten Kumsius telah berangkat dari Magelang

menuju Yogyakarta lewat jalan ini, maka Mulyo Sentiko memerintahkan pasukannya

mendirikan kemah di tempat ini sekaligus menyusun strategi penyergapan.

Di kedua sisi bukit yang mengapit jalan di bawahnya, para laskar menghimpun batu-batu

kali dengan ukuran besar dan disusun sedemikian rupa sehingga terkesan alami. Batu-

batu kali ini akan digelontorkan ke bawah untuk menimbun pasukan kafir Belanda yang

akan lewat.

Selain batu-batu, pasukan panah juga disiapkan berjajar di kedua sisi bukit dalam jarak

tembak efektif. Mereka bersembunyi di dalam lubang-lubang yang sudah disamarkan

oleh ilalang dan semak, dan dilindungi oleh batang-batang pohon, baik yang masih

berdiri maupun yang sudah mati.

Di selatan jalan, Mulyo Sentiko membuat lubang jebakan selebar duameter dengan

kedalaman satu meter yang ditutup dengan ranting dan ditimbun dengan tanah kembali.

Kuda atau siapa pun yang lewat akan terperosok jatuh ke dalam lubang, di mana

dasarnya telah ditanami banyak ujung tombak yang ujungnya menghadap ke atas dan

telah diberi racun ular weling.

Di utara jalan, dimana nanti ekor pasukan kafir Belanda berada, sedianya akan ditutup

oleh gelondongan-gelondongan kayu dan batu-batu yang digelontorkan dari atas bukit

sehingga pasukan Belanda akan terkurung di jalan yang diapit dua bukit di kedua

sisinya, serta tidak bisa maju atau pun mundur. Dalam keadaan terkurung, laskar Mulyo

Sentiko akan menghabisi pasukan ini dengan mudah.

Page 117: Untold History of Pangeran Diponegoro

Semua pasukan sudah berada di tempatnya masing-masing. Mereka tinggal menunggu

datangnya dua pengintai yang memberi tanda jika rombongan pasukan kafir Belanda

sudah dekat.

Yang ditunggu-tunggu pun tiba. Dari arah utara dua pengendara kuda memacu kudanya

cepat-cepat. Debu beterbangan dan dengan cepat menghilang dibawa angin.

“Bersiap! Bersiap!” ujar Djauhari dan Djamhadi. Kedua pasukan pengintai itu segera

masuk ke dalam jalan setapak yang segera ditutup semak dan dedaunan kering oleh

prajurit yang bertugas menghapus jejak kedua pengintai tersebut.

Semuanya semakin waspada. Mereka tinggal menunggu aba-aba dari seorang

pengintai yang berada di puncak sebuah pohon beringin yang tinggi di puncak bukit.

Jika pasukan Belanda sudah tampak dan dekat, dia akan segera menirukan suara

monyet, tanda bahwa semua sudah harus benar-benar bersiap untuk menyergap

pasukan Belanda pimpinan Kapten Kumsius tersebut.

Detik demi detik berlalu dengan penuh ketegangan. Semuanya sudah memegang

dengan erat senjatanya masing-masing. Anak panah mulai diselipkan di tali busur.

Suasana begitu mencekam. Tak lama kemudian terdengar suara monyet melengking

tinggi tiga kali.

Belanda sudah tiba!

Mulyo Sentiko yang berada di atas bukit sebelah barat sudah memberi isyarat dengan

tangannya agar seluruh prajurit yang bertugas menggulingkan batu di bukit barat dan

timur bersiap. Bagian depan pasukan Belanda sudah terlihat mulai memasuki jalan yang

menyempit yang diapit bukit. Mulyo Sentiko menunggu agar inti pasukan tersebut benar-

benar berada di tengah agar konsentrasi pasukan mereka buyar. Mulyo Sentiko dan

pasukannya tahu jika sejumlah kuli pengangkut barang yang berada di ekor pasukan

merupakan anggota laskar Diponegoro yang sengaja disusupkan.

Semua menunggu tak sabar.

Tiba-tiba Mulyo Sentiko mendorong batu besar yang ada di depannya. Semua anggota

laskar yang bertugas menggelontorkan batu dan batang pohon ke bawah mengikutinya.

Suaranya menggemuruh bagai tanah longsor. Pasukan Belanda yang berada di bawah

seketika melihat ke atas. Sesaat mereka tertegun. Lalu mereka berlarian ke segala arah

mengindari longsoran batu-batu besar dan batang-batang pohon yang tiba-tiba saja

menghujani mereka. Beberapa prajurit yang tak sempat menghindar tertimbun hidup-

hidup. Dari ketinggian, Mulyo Sentiko dan laskarnya menyaksikan bagaimana pasukan

pimpinan Kapten Kumsius tersebut kacau-balau.

Page 118: Untold History of Pangeran Diponegoro

Ketika asap sudah agak mereda, Mulyo Sentiko mengibarkan panji berwarna merah

tinggi-tinggi. Kini giliran pasukan pemanah yang bertugas menghujani pasukan Belanda

yang masih kacau tersebut dari atas bukit. Bagai ratusan burung walet yang

beterbangan, meluncur lurus ke bawah dalam kecepatan tinggi, anak-anak panah yang

ujungnya telah dicelup racun tersebut berlomba untuk menancap dan masuk ke dalam

kulit pasukan kafir tersebut. Tak lama kemudian, setelah hujan panah usai, puluhan

pasukan penombak maju dari arah depan dan atas dengan meneriakkan takbir.

Pasukan Belanda yang sama sekali tidak siap berusaha membuat satu formasi

pertahanan. Namun sia-sia, jalan terlalu sempit dan musuh sudah terlalu dekat.

Pertarungan jarak dekat pun terjadi. Laskar Mulyo Sentiko yang dibantu laskar setempat

tanpa takut sedikit pun menerjang lawan. Dengan kekuatan seadanya, pasukan Belanda

membuang senjata api laras panjangnya dan mencabut pedang. Mereka berkelahi

dengan kalap dan tak lagi menghirakan kawan dan lawan. Kapten Kumsius sendiri

diiringi empat prajuritnya sejak dari awal penyerangan sudah melarikan diri dengan

memacu kudanya ke arah Yogyakarta, meninggalkan pasukannya yang semakin

terdesak dan bergelimpangan mati di sana-sini. Sejumlah kuli angkut yang membawa

berbagai barang-termasuk uang yang berada di dalam peti kecil yang berada di atas

kuda-sudah terlebih dahulu melarikan diri dan bergabung dengan laskar Mulyo Sentiko.

Pertempuran itu tidak sampai memakan waktu satu jam. Mulyo Sentiko dengan

bertelanjang dada berdiri di tengah-tengah jalan yang dipenuhi mayat pasukan Belanda.

Darah musuh memenuhi dada dan celananya. Pedangnya juga demikian.

Teriakan takbir kembali membahana tatkala mengetahui jika pasukan Belanda sudah

dikalahkan. Semuanya mati dan tak ada tawanan satu orang pun. Mulyo Sentiko

tersenyum dan menengadahkan kepalanya ke langit yang luas.

“Matur nuwun sanget ya Gusti Allah…”

Melihat hampir semua laskarnya juga bertelanjang dada, bahkan banyak yang

celananya robek terkena sabetan pedang dan tanah, serta belepotan darah musuh,

Mulyo Sentiko segera memerintahkan anak buahnya agar mengganti bajunya dengan

mengenakan seragam tentara Belanda yang masih sangat bagus. Tanpa diperintah dua

kali, anak buahnya berlomba melucuti seragam tentara Belanda tersebut dan

mengenakannya. Termasuk topi, pedang, senjata api laras panjang dan pendek, belati,

dan lainnya.

“Apakah semuanya sudah kebagian?” teriak Mulyo Sentiko.

Para anak buahnya ada yang menjawab sudah dan ada juga yang belum. Namun

disebabkan tidak ada lagi seragam Belanda yang tersisa, maka Mulyo Sentiko

memerintahkan agar semuanya berbaris kembali. Dia kemudian menaiki kudanya dan

mengambil posisi di depan barisan.

Page 119: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Allahu Akbar!” teriaknya disambut takbir oleh seluruh laskarnya. “Alhamdulillah! Alhamdulillahi Rabb al’amin! Ini adalah kemenangan pertama kita terhadap penjajah

kafir Belanda.

Sekarang juga, kemenangan ini akan kita laporkan kepada Kanjeng Pangeran

Diponegoro di Selarong. Mari kita berbaris dengan tertib. Insya Allah, jika tidak ada aral

melintang, beberapa jam ke depan kita sudah tiba di sana!” [] (Bersambung)

Bab 35

NAFAS KAPTEN KUMSIUS TERDENGAR SEPERTI lokomotif tua yang kelebihan

beban. Setelah memacu kudanya sejauh lebih kurang 7 paal atau 10 kilometer, hingga

mencapai Yogyakarta, Kumsius tiba di Benteng Vredeburg dan langsung menghadap

Kolonel Von Jett yang sudah tiba terlebih dahulu dari Semarang. Dengan suara

tersengal, Kumsius melaporkan tragedi yang baru saja dialaminya.

Demi mendengar laporan anak buahnya, Kolonel Von Jett segera memerintahkan

Letnan Delatree untuk memimpin satu detasemen kavaleri untuk secepatnya membantu

pasukan Belanda yang sedang disergap pemberontak di Pisangan. Dalam waktu

singkat, Letnan Delatree pun berangkat bersama pasukan berkudanya meninggalkan

debu musim panas yang beterbangan sepanjang jalan.

Kolonel Vont Jett sendiri memerintahkan agar Kapten Kumsius beristirahat di salah satu

barak Benteng Vredeburg dan sesegera mungkin membuat laporan tentang kejadian

yang baru saja dialami.

Tak sampai satu setengah jam kemudian, Letnan Delatree dan pasukannya tiba

kembali. Sama seperti Kapten Kumsius, Letnan Delatree dengan nafas tersengal juga

melaporkan bahwa musuh yang sekarang sudah mengenakan seragam pasukan

Belanda tiba-tiba menyerangnya, sedangkan pasukan yang dipimpinnya benar-benar

tidak siap menghadapi musuh yang disangka ‘teman sendiri’.

“Para pemberontak itu mengenakan seragam pasukan kita. Semua senjata kita juga

sudah berada di tangan mereka. Dari jauh kami mengira jika mereka itu sisa-sisa dari

pasukan Kapten Kumsius yang berhasil lolos dari penyergapan. Ternyata kami keliru.

Mereka ternyata para pemberontak yang mengenakan seragam kita dan tiba-tiba saja

menyerang dengan membabi-buta. Kita tidak siap!”

Kolonel Von Jett sungguh-sungguh geram. “Berapa anggota pasukanmu yang tersisa!”

“Begitu kami menyadari musuh, kami hanya bertempur sebentar dan segera

menyelamatkan diri kembali ke sini. Korban di pihak kita tidak banyak, Kolonel. Mereka

terlalu kuat dan jumlahnya pun banyak sekali…”

Von Jett mengangguk-angguk. Dia baru sadar jika Belanda sekarang tidak bisa

menganggap remeh kekuatan pasukannya Diponegoro. Setelah menerima laporan dari

Letnan Delatree, Von Jett segera bertemu dengan Residen Yogyakarta Anthonie

Page 120: Untold History of Pangeran Diponegoro

Hendriks Smissaert, Asisten Residen Chevallier, dan juga Patih Dalem Danuredjo IV,

untuk membahas perkembangan terakhir. []

Bab 36

GURAT KEGEMBIRAAN TERPANCAR JELAS DI wajah seluruh laskar Mulyo Sentiko

yang dalam waktu seharian telah memetik sekaligus dua kemenangan gemilang:

menghancurkan kolonel pimpinan Kapten Kumsius dan memukul mundur detasemen

kavalerinya Letnan Delatree. Mulyo Sentiko yang juga mengenakan seragam pasukan

Belanda lengkap dengan pedang panjangnya memimpin di depan barisan. Sedangkan

seluruh laskarnya yang juga berseragam pasukan Belanda lengkap dengan topi dan

atributnya, juga semua senjata yang bisa direbut, mengikutinya dari belakang. Dengan

penuh kebanggaan, laskar ini terus bergerak menuju Gua Selarong.

Ba’da Asyar, ketika Pangeran Diponegoro, Kiai Modjo, Ustadz Taftayani, Pangeran

Mangkubumi, Pangeran Bei, dan lainnya tengah berkumpul di Gua Kakung, di batas

terluar wilayah Selarong sekira seratus meteran dari pelataran luas di bawah tangga

menuju gua, dua orang prajurit jaga-Luthfi dan Manto-yang sedang berada di posnya

tampak gugup. Mereka memicingkan mata, berusaha sekuat tenaga memperjelas

penglihatannya, jauh melampaui hamparan sawah dan kebun di ujung jalan, tampak

barisan panjang pasukan kavaleri dan infanteri Belanda tengah mendekati mereka

dengan perlahan.

“Jahanam! Londo wis uedan![1] Siang-siang begini mereka mau menyerang kita!”

jerit Luthfi. Laskar Selarong yang berasal dari Arab-Pekalongan ini kepalanya turun-naik

seperti burung onta dengan sebelah mata ditutup dan dipayungi sebelah tangannya

untuk memastikan apakah iring-iringan pasukan yang masih jauh itu sungguh-sungguh

Belanda atau bukan.

“Kowe ojo kesusu[2]. Lihat dulu baik-baik…,” ujar Manto yang juga memicingkan

matanya. Manto masih ragu apakah benar pasukan Belanda akan mendatangi Gua

Selarong siang-siang begini. Dia masih ragu. Tapi semakin dekat, tampaknya apa yang

dicemaskan Luthfi cukup beralasan juga. Apalagi dari kejauhan, seseorang dari

‘pasukan Belanda’ itu yang berada di paling depan tiba-tiba tampak memacu kudanya

sendirian kencang-kencang mendatangi mereka. Kontan, keduanya bersiaga. Baru saja

keduanya hendak melompat ke atas kuda, terdengar teriakan yang tidak asing di telinga

mereka.

“Assalamu’alaikum! Ini saya, Mulyo Sentiko!”

Luthfi yang sudah berada di atas kuda hendak mengambil langkah seribu menahan tali

kudanya. Sedangkan Manto yang masih berada di bawah menyambut kedatangan

Mulyo Sentiko yang sore itu tampak gagah dengan seragam kavaleri Belandanya.

Keduanya bernafas lega karena awalnya mereka menyangka jika pasukan Mulyo

Sentiko adalah pasukan Belanda yang hendak menyerang mereka.

“Uedan kowe, dapat dari mana seragam kafir londo itu?”

Page 121: Untold History of Pangeran Diponegoro

Mulyo Sentiko terkekeh, “Pasukanku baru saja mengalahkan wong kafir

itu. Ambrol mereka!”

Manto geleng-geleng kepala. Demikian pula dengan Luthfi.

“Alhamdulillah!” ujar Manto. Prajurit jaga itu kemudian menyuruh Luthfi yang

sudah kadung berada di atas kuda menghantarkan Mulyo Sentiko dan pasukannya ke

Gua Selarong agar tidak terjadi kesalahpahaman.

“Sebaiknya Paman terlebih dahulu masuk ke Selarong agar tidak terjadi

kesalahpahaman yang lainnya. Dan pasukan yang lain mengikuti dari belakang…” Ujar

Manto.

“Matur Nuwun…!” jawab Mulyo Sentiko yang kemudian langsung menggebrak

kudanya mengikuti Luthfi yang telah berlari duluan.

Kedatangan Mulyo Sentiko dan anggota pasukannya yang mengenakan seragam

Belanda dan membawa serta aneka persenjataan, serta uang yang cukup banyak,

sangat menggembirakan seluruh laskar Diponegoro yang berada di sekitar Selarong.

Mereka mengelu-elukan barisan laskar berseragam Belanda yang baru saja

memenangkan pertempuran melawan kaum kafir itu.

Mengetahui kedatangan laskar dari Pisangan ini, Pangeran Diponegoro dan para

sesepuh lainnya keluar dari gua dan menyambut Mulyo Sentiko dengan penuh haru.

“Insya Allah, kemenanganmu tadi merupakan awal dari kemenangan perjuangan kita

untuk mengusir kaum kafir penjajah dari Bumi Mataram yang kita cintai ini.”

“Amien Ya Rabb al’amien… Terima kasih Kanjeng Gusti Pangeran…,” jawab Mulyo

Sentiko. []

[1] (Bahasa Jawa kasar): “Jahanam! Belanda sudah gila!”

[2] (Bahasa Jawa kasar): “Kamu jangan terburu-buru” atau “Kamu jangan gegabah.”

Bab 37

KETAKUTAN MELANDA WARGA EROPA DAN Cina di Yogyakarta dan sekitarnya.

Pemberontakan Pangeran Diponegoro yang awalnya sempat dianggap remeh ternyata

malah membesar dan meluas. Banyak kepala desa, terutama di wilayah-wilayah

perdikan yang banyak terdapat sekolah agama, dengan terang-terangan memihak

Diponegoro. Bahkan para kepala desa itu membentuk laskarnya sendiri-sendiri dan

mulai mengganggu pos-pos jaga Belanda di sejumlah titik. Sejumlah pasukan kraton

juga bergabung dengan Diponegoro dengan membawa serta persenjataan dan

kudanya.

Dan di dalam kraton sendiri, terjadi perpecahan di kalangan kerabat kerajaan. Lebih dari

setengah pangeran dan bangsawan bergabung ke Selarong. Mereka ingin ber sama-

sama membebaskan Bumi Mataram dari tangan kotor kafir Belanda dan juga

menghukum Patih Danuredjo IV yang telah mengotori kraton dan memperdaya Sultan

Page 122: Untold History of Pangeran Diponegoro

Hamengku Buwono V yang masih bocah. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang

dibangun Sultan Hamengku Buwono I dengan begitu berwibawa dan sakral, oleh

Danuredjo malah dicemari, hingga kini tak ubahnya bagai rumah bordil. Para pangeran

dan bangsawan bagaimana pun menghendaki kemuliaan kraton bisa kembali seperti

awalnya[1].

Semua perkembangan ini yang terjadi dengan begitu cepat membuat pihak Belanda

cemas. Dari Batavia, Gubernur Jenderal Godert Alexander Gerard Philip baron van der

Capellen menuding Residen Anthonie Hendriks Smissaert tidak becus mengurus Yogya.

Van der Capellen berjanji akan sangat serius memperhatikan salah satu anak buahnya

ini dan mengancam akan mengambil tindakan tegas jika Smissaert masih saja lemah.

Sore itu Kolonel Von Jett mondar-mandir di ruangan peta yang berada di dalam

kompleks Benteng Vredeburg. Residen Smissaert dan Danuredjo tampak duduk di atas

kursi kayu yang menempel di dinding ruangan dekat jendela. Keduanya tampak tegang

memperhatikan Von Jett yang tampak begitu serius, bahkan tak bisa menyembunyikan

sedikit kecemasannya.

“Gila! Ini sungguh gila jika dibiarkan. Baru tiga hari Diponegoro memberontak, tapi

dimana-mana sudah banyak orang yang bergabung dengannya. Pasukannya

bertambah kuat. Sedangkan pasukan yang mau membantu kita masih saja berada di

jalan. Lambat sekali mereka. Mana itu laskar Sumenep! Mana laskar Tidore! Mana

Legiun yang katanya mau mengirim pasukan tambahan lagi ke sini!”

Von Jett masih saja mondar-mandir. Dia kemudian menggeleng-gelangkan kepalanya.

Lalu dia berkata lagi. Masih dengan nada yang tinggi, “Mana Kapten Bouwensch!

Panggil dia!”

Smissaert dan Danuredjo saling berpandangan. Di ruangan hanya ada mereka berdua

selain Von Jett. Danuredjo akhirnya berdiri dengan kikuk. Dia bergegas keluar ruangan

memanggil salah seorang prajurit jaga dan menyuruhnya memanggil Kapten

Bouwensch, Komandan Garnisun Karesidenan Yogyakarta. Setelah itu Danuredjo

kembali masuk ke ruangan.

“Residen…,” ujar Von Jett. Smissaert menatap lelaki jangkung tersebut. Tatapan

matanya masih saja angkuh, walau dia menyadari jika pemberontakan Diponegoro yang

membesar dengan cepat merupakan kesalahannya. Von Jett tidak menghiraukan

semua itu sama sekali.

Kemudian Von Jett melanjutkan, “…tidak ada jalan lain bagi kita kecuali menghentikan

pemberontakan Diponegoro ini secepatnya. Dia orang harus ditangkap segera. Menurut

pasukan mata-mata kita, pemberontak itu bersama yang lainnya sekarang ini berada di

Selarong. Dan saya sudah menyiapkan satu koloni pasukan untuk menyerbu markasnya

di sana.”

Page 123: Untold History of Pangeran Diponegoro

Smissaert hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Von Jett agaknya tidak puas jika

residen tersebut hanya mengangguk-anggukkan kepalanya begitu saja.

“Bagaimana pandanganmu, Tuan Residen?” ujarnya dengan ketus.

Masih menganggukkan kepalanya, Smissaert menjawab, “Ya, tidak ada jalan lain,

memang. Dia orang secepatnya harus ditangkap.”

“Itu sudah pasti. Sekarang saya minta agar Yogyakarta menyiapkan dukungan logistik

bagi pasukan yang akan ke Selarong. Kiriman dari Magelang sudah direbut musuh,

Yogya harus menanggungnya.”

“Oke, oke… Chevallier yang akan menyiapkan…”

Tiba-tiba pintu ruangan diketuk orang, “Maaf, saya Kapten Bouwensch…”

“Ya. Masuk,” jawab Kolonel Von Jett datar.

Bouwensch masuk dan memberi hormat secara militer. Von Jett hanya menganggukkan

kepalanya dan tidak menyuruhnya duduk, sehingga orang nomor satu yang

bertanggungjawab atas keamanan Karesidenan Yogya ini terus saja berdiri dengan

sikap sempurna.

“Kapten…”

“Siap, Kolonel!”

“Sekarang juga siapkan pasukanmu dengan perbekalan tempur garis pertama. Besok

pagi-pagi sekali sebelum ayam berkokok, berangkatlah ke Selarong untuk menangkap

Diponegoro. Pimpin langsung pasukan itu.”

“Siap, Kolonel. Berapa kekuatan yang akan kita kerahkan ke Selarong?”

“Satu koloni, gabungan kavaleri dan invanteri, didukung artileri ringan. Seluruh Legiun

dari Mangkunegaran harus ikut.”

“Keamanan di dalam Yogya?”

“Serahkan pada prajurit Sultan dan beberapa regu pasukan reguler. Jika serangan esok

hari gagal, maka kita akan berada di dalam situasi yang sangat sulit. Bisa-bisa kita akan

bertahan di dalam benteng ini saja.”

Kapten Bouwensch mengamini pandangan komandannya itu. Keadaan dalam tiga hari

terakhir ini memang bertambah buruk bagi mereka. Pemberontak mendapat dukungan

dari mana-mana. Inlanderbangkit di hampir semua desa dan dusun. Dan semakin lama

Karesidenan Yogyakarta semakin terkepung oleh berbagai laskar yang muncul di mana-

mana. Perjalanan ke Kedu, Magelang, dan Surakarta sudah tidak aman lagi.

Page 124: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Bagaimana perkembangan terakhir keamanan di sini?”

“Semua pasukan reguler bertugas mengamankan dalam kota, bersama-sama pasukan

kraton dengan tambahan Legiun…”

“Pasukan bantuan dari Tidore dan Sumenep?”

“Dalam waktu tak lama lagi mereka akan tiba.”

“Berapa hari lagi kita menunggu mereka?”

“Jika tidak ada halangan, paling lama dua hari lagi.”

“Apa rencanamu jika sewaktu-waktu pemberontak benar-benar mengepung dan

menyerang Yogya?”

“Sultan dan semua pembesar kraton harus diamankan di dalam benteng ini.”

Von Jett mengangguk-anggukkan kepalanya, “Bagus. Benteng ini adalah tempat

terakhir yang harus memberikan keamanan bagi Sultan dan yang lainnya. Batavia terus

memantau perkembangan di sini setiap waktu. Mereka tidak segan mengambil tindakan

yang tidak kita sukai jika itu memang diperlukan. Terhadap semuanya…,” ujar Von Jett

yang menatap Smissaert dengan tajam ketika mengucapkan kalimat terakhir yang

terdengar bagaikan ancaman.[] (Bersambung)

[1] Para putera Sultan Hamengku Buwono I, II, dan III yang berjumlah 23 orang

bergabung dengan Pangeran Diponegoro, demikian pula dengan cucu dan cicit mereka

yang jumlahnya tak kurang dari 54 orang. Itu diluar angka 74 bangsawan kraton yang

juga menggabungkan diri dengan pasukan Diponegoro di Selarong. Sedangkan para

ulama, hampir semuanya bergabung dengan Diponegoro, kecuali segelintir orang yang

memilih bersekutu dengan Danuredjo dan Belanda.

“Itu saja, Kapten. Kembalilah kepada pasukanmu dan siapkan mereka dengan baik.”

“Siap, Kolonel!”

Bouwensch kembali memberikan hormat dan bergegas meninggalkan ruangan.

Sepeninggal kapten tersebut, Kolonel Von Jett bertanya kepada Danuredjo.

“Patih, apa yang sudah kamu lakukan?” Von Jett kemudian duduk di atas meja,

menghadap Danuredjo yang masih duduk di kursi kayu dekat jendela bersebarangan

dengan Smissaert.

“Saya sudah mempersiapkan semuanya, Tuan Kolonel. Pasukan kraton sudah berada

di posnya masing-masing bersama Legiun dan pasukan Belanda. Selebaran sudah

Page 125: Untold History of Pangeran Diponegoro

tertempel di mana-mana. Dan sekarang kita tinggal menunggu datangnya pasukan

bantuan dari luar Yogya. Mereka semua sudah dalam perjalanan ke sini.”

“Dan untuk pasukan bantuan, apakah hanya dari Tidore dan Madura saja?”

“Tidak juga, Tuan Kolonel. Jayeng Sekar[1] juga sudah kita minta. Belum lagi dari Mayor

Raja Sulaiman dari Buton, laskar Alifuru Tidore, Ternate, dan sejumlah korps para

bupati di Jawa. Mereka semua sudah saya minta untuk mengirimkan pasukannya ke

sini, selain untuk memperkuat keberadaan mereka di daerahnya masing-masing.

Apakah kita juga mau merekrut para relawan?”

“Maksudmu?”

Danuredjo terkekeh, “Apakah Tuan lupa dengan sejarah perang salib?”

Kolonel Von Jett belum memahami apa yang hendak dimaksudkan Patih Danuredjo ini.

Keningnya berkerut sambil menatap Danuredjo dalam-dalam.

“Maksudmu?” ujarnya dingin.

“Apa yang dilakukan Paus Urbanus II saat menggelorakan perang salib untuk merebut

Yerusalem di dalam Konsili di Clermont tahun 1095?” tanya Danuredjo sedikit bangga

karena bisa dengan baik mengingat sebagian isi buku kecil sejarah perang salib yang

pernah dibacanya di perpustakaan karesidenan.

Mendengar itu Kolonel Von Jett segera tersadar, “Ya. Ya, aku ingat. Yang kamu maksud

merekrut para tahanan untuk dijadikan pasukan, bukan?”

Danuredjo tersenyum kembali. Kepalanya mengangguk-angguk bagaikan boneka-

bonekaan khas Yogyakarta yang terbuat dari tanah liat yang dikeringkan dan diberi per

di leher bagian dalamnya.

“Betul, Tuan. Ketika merekrut pasukan untuk mendukung penyerangan ke Yerusalem,

selain mengerahkan pasukan gereja dan pasukan reguler utusan kerajaan-kerajaan

Eropa, Paus juga menyerukan para kriminal dan penjahat yang memenuhi berbagai

penjara di Eropa agar bergabung dengan pasukannya…”

“Dan supaya para kriminal itu mau bergabung, Paus akan menghapus semua dosa

mereka dan menjanjikannya surga. Demikian bukan?”

Danuredjo terkekeh, “He..he..he.., ya, ya benar. Tuan Kolonel juga membaca sejarah

perang salib rupanya.”

Residen Smissaert menggerutu dalam hati. Dia benar-benar tidak menyukai gaya

Danuredjo yang menurutnya terlalu lebay. Tertawa Danuredjo yang dibuat-buat itu

Page 126: Untold History of Pangeran Diponegoro

malah menimbulkan kekesalan di hatinya. Namun Smissaert tertawa dalam hati. Kolonel

Von Jett ternyata tidak ikut tertawa sedikit pun. Tersenyum pun tidak. Sehingga semua

itu membuat Danuredjo tahu diri dan dengan teratur menghentikan tawanya dan kembali

memasang topeng wajah serius.

“Patih…”

“Ya, Tuan Kolonel.”

“Kowe sekarang rekrut para relawan. Kowe harus bisa kosongkan penjara-penjara

yang ada di wilayah ini, dan mengubah para tahanan yang kuat secara fisik untuk

dijadikan anggota pasukan yang tangguh yang dapat menghancurkan pemberontak

itu…”

Danuredjo hendak menyela. Dia agaknya tidak begitu setuju jika dirinyalah yang harus

melaksanakan tugas ini. Namun Kolonel Von Jett tidak memberikan kesempatan.

“Kowe harus bisa. Dan saya tidak mau mendengar alasan apa pun. Laksanakan saja.”

Smissaert tersenyum dikulum. Beda dengan Danuredjo yang hanya bisa menundukkan

kepala menatap lantai lekat-lekat sambil menggerutu dalam hati. Entah apa yang ada di

dalam benaknya. []

Bab 38

UNTUK MEMPERKUAT PERTAHANAN DI SEKITAR SELARONG, Pangeran Ngabehi

dan sesepuh yang lain telah memerintahkan agar semua akses jalan menuju dan dari

Selarong diberi berbagai jebakan dan blokade. Di berbagai tempat strategis, namun

tersembunyi sehingga tidak diketahui banyak orang, didirikan pos pengintaian. Bahkan

sejumlah laskar diperintahkan agar berbaur dengan warga sekitar dan turut membantu

meringankan hidup keseharian mereka dimana pasokan beberapa kebutuhan pokok

mulai disabotase Belanda dan pihak Danuredjo.

Hampir setiap jam, Pangeran Ngabehi dan Mangkubumi menerima kedatangan pasukan

telik-sandi yang melaporkan perkembangan terbaru dari lapangan, dan juga para utusan

laskar-laskar dari berbagai daerah yang baru saja terbentuk untuk mendukung

perjuangan Pangeran Diponegoro. Ada yang dari Semarang, Kedu, Banyumas, Pacitan,

Magelang, Wonosari, dan sebagainya. Mereka semuanya melaporkan jika di semua

daerah, rakyat telah bangkit dan menyusun barisannya sendiri-sendiri untuk ikut

berjuang mengusir kaum penjajah kafir Belanda dari Bumi Mataram dan mengembalikan

kewibawaan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah dicemari Danuredjo dan

kawan-kawannya.

Kepada mereka, Pangeran Ngabehi dan Diponegoro hanya berpesan agar kebangkitan

perjuangan bersenjata melawan kafir Belanda semata-mata diniatkan demi tegaknya

agama Allah di Bumi Mataram. “Islam itu agama yang adil dan membebaskan.

Janganlah berbuat zalim, bahkan terhadap musuhmu sekali pun,” tulis Diponegoro di

Page 127: Untold History of Pangeran Diponegoro

dalam setiap suratnya yang disampaikan kepada para laskar yang bangkit di berbagai

daerah.

Sore itu setelah Asar, Akhmad Prawiro-kurir khusus yang sering mengantarkan surat-

surat Diponegoro ke kraton-bergegas menaiki ratusan anak tangga menuju Gua Kakung

tempat Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berkumpul. Akhmad Prawiro

tidak sendirian. Di belakangnya, Ki Singalodra mengawal.[] (Bersambung)

[1] Jayeng Sekar merupakan pasukan yang dibentuk oleh Daendels yang direkrut dari

putera keluarga kaya di Jawa yang bekerja sebagai polisi. Anggota pasukan ini

kebanyakan putera keluarga pengusaha, bangsawan, pejabat kraton, dan sebagainya.

Mereka terlatih dengan baik dan digaji lumayan besar ketimbang pasukan reguler

lainnya, dan ditugaskan di sejumlah karesidenan.

Setibanya di pelataran atas, Akhmad Prawiro berdiri di depan gua dan mengucapkan

salam. Pangeran Diponegoro dan yang lainnya menjawab salam pemuda keturunan

Cina tersebut.

“Mari masuk, Kisanak,” ajak Diponegoro.

Dengan penuh hormat, Akhmad Prawiro melangkahkan kaki kanannya terlebih dahulu-

demikian yang diajarkan para guru ngaji sejak dia masih kanak-kanak-untuk memasuki

rumah atau bangunan lainnya. Dia kemudian duduk bersila, mengikuti seluruh sesepuh

yang ada di dalam gua tersebut.

“Nah, anak muda, sekarang tolong ceritakan kepada kami, apa yang membuatmu

tergesa seperti itu?” tanya Pangeran Ngabehi.

“Maaf, Kanjeng Pangeran. Saya baru saja bertemu dengan beberapa orang prajurit

kraton yang bersimpati kepada jihad kita. Mereka mengatakan bahwa beberapa jam lalu

Kolonel Von Jett, Kapten Bouwensch, Smissaert, serta Danuredjo bertemu di Vredeburg

dan mereka merencanakan untuk menyerang kita di Selarong secepatnya.”

“Benarkah?”

“Inggih, Kanjeng Pangeran. Bouwensch sendiri telah memerintahkan pasukan Belanda

untuk segera bersiap dengan membawa perlengkapan tempur garis pertama.”

Pangeran Bei terdiam sejenak. Demikian pula dengan Pangeran Diponegoro dan yang

lainnya. Semuanya tahu bahwa diperlukan waktu sekitar satu-dua jam bagi pasukan

Belanda di Vredeburg untuk bersiap dan berangkat. Dan perjalanan dari Benteng

Vredeburg ke Selarong lebih singkat lagi. Ini berarti serangan itu bisa terjadi tengah

malam nanti atau besok pagi.

“Kisanak, ada lagi yang ingin kamu sampaikan?”

Akhmad Prawiro menggelengkan kepalanya. “Itu saja, Kanjeng Pangeran…”

Page 128: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Kisanak, dan kau juga Ki Singalodra…”

“Inggih, Gusti Kanjeng Pangeran…,” jawab Akhmad Prawiro dan Ki Singalodra

bersamaan.

“…Katakan kepada seluruh kepala regu laskar yang berada di Selarong agar

secepatnya bersiap hijrah sementara ke arah selatan, tepatnya di sekitar Sendangsari,

di tepi Kali Progo. Siapa yang sudah siap, silakan berangkat. Tidak perlu menunggu kita

semua. Kita akan bersiap pula secepatnya. Nah, sekarang turunlah dan temui para

kepala regu di bawah…”

Setelah mengucapkan salam, keduanya kemudian langsung turun. Ki Guntur Wisesa

yang berada di tengah-tengah mereka berdiri, “Kanjeng Pangeran, saya akan ke bawah

dahulu mengatur semuanya.”

“Silakan, Ki,” jawab Diponegoro.

Sebagai orang yang bertanggungjawab atas keamanan wilayah Selarong, Ki Guntur

segera melompat ke bawah mendahulu Ki Singalodra dan Akhmad Prawiro. Ki Guntur

segera menemui sejumlah kepala pasukan dan menginstruksikan agar tidak ada satu

pun laskar yang melakukan perlawanan terhadap kolone Belanda pimpinan Kapten

Bouwensch yang akan menyerang Selarong.

“Kita secepatnya menyingkir ke Sendangsari sekarang juga. Biarkan mereka menemui

Selarong yang kosong!” tegasnya.

Untunglah semua kepala laskar yang ada patuh tanpa banyak tanya. Mereka segera

bersiap untuk menggerakkan pasukannya ke Sendangsari seperti yang diperintahkan. Ki

Guntur Wisesa sendiri sebenarnya ingin bertanya mengapa mereka harus menghindari

serangan Belanda, sedangkan pasukan mereka di Selarong ini sudah cukup kuat. Dia

yakin, semuanya bisa menghancurkan kolone Kapten Bouwensch.

Ah, nanti saja saya akan bertanya pada Kanjeng Pangeran Diponegoro!

Tiba-tiba pundak Ki Guntur Wisesa ditepuk seseorang. Ki Guntur segera menoleh ke

belakang. Pangeran Diponegoro telah berdiri di dekatnya, disertai para sesepuh.

Dengan senyum yang begitu tulus, Diponegoro berkata, “Ki Guntur saudaraku, kita kali

ini sengaja menghindar dari serangan pasukan kafir Belanda…”

Ki Guntur salah tingkah. Dia benar-benar tidak menduga Pangeran Diponegoro

mengetahui apa yang tengah berkecamuk di dalam kepalanya.

“Eh, maafkan saya, Kanjeng Pangeran. Bukan maksud saya untuk berburuk sangka…”

“Tidak mengapa, Ki. Rasulullah saja sering didebat para sahabatnya. Bahkan

Umar radiyallahu anhupernah diacungkan pedang tepat di hari pelantikannya sebagai

khalifah oleh umatnya. Mengapa pula saya tidak. Saya hanyalah manusia biasa, tidak

Page 129: Untold History of Pangeran Diponegoro

berbeda denganmu dan dengan yang lainnya. Strategi menghindar kali ini memang

sengaja kita gunakan agar kafir Belanda mengira kita lemah, belum cukup kuat.

Kemenangan telak yang diraih laskar Mulyo Sentiko di Pisangan terhadap dua pasukan

kafir pimpinan Kapten Kumsius dan Letnan Delatree amat mengejutkan Belanda. Dan

mereka akan bertambah kaget manakala pasukan mereka kembali hancur di Selarong.

Mereka akan memanggil seluruh kekuatannya dari Batavia dan dari luar Jawa. Mereka

juga akan menekan seluruh raja untuk mengerahkan pasukan bantuannya untuk

menyerang kita. Ini tentu kita tidak inginkan. Biarlah kali ini kita menghindar, agar

mereka lengah. Dan pada saatnya nanti, insya Allah tidak akan lama lagi, kita akan

melakukan serangan besar-besaran terhadap jantung kekuatan mereka di Bumi

Mataram. Kita akan kepung Yogya dan membebaskannya!” papar Diponegoro panjang

lebar.

“Serangan besar?”

“Betul, Kisanak. Kita akan kepung Yogyakarta, memutuskannya dari dunia luar, dan

serang mereka di jantungnya! Insya Allah, kita akan bisa menghancurkan mereka…”

“Amien ya Rabb!”

Ki Guntur Wisesa benar-benar kagum dengan rencana itu. Dia pun segera pamit.

Setelah menunaikan sholat maghrib berjamaah, semua laskar yang ada di Selarong

berangkat hijrah ke selatan melewati jalur khusus yang telah diamankan oleh anggota

laskar. Pangeran Diponegoro dan sesepuh lainnya berada di tengah rombongan. Di

depan barisan, Ki Guntur Wisesa dan Pangeran Bei memimpin. Sedangkan di bagian

paling belakang, laskar elit Bulkiyo pimpinan Kiai Modjo mengawal. Di bawah siraman

cahaya rembulan, mereka semua meniti jalan setapak menuju daerah yang aman di

tepian Kali Progo. []

Bab 39

NILAI PENDADAKAN DALAM SUATU SERANGAN menempati posisi sangat penting

dalam sukses tidaknya suatu operasi pertempuran. Kapten Bouwensch sangat

mengetahui hal ini. Sebab itu, setelah keluar dari ruang pertemuan, dimana Kolonel Von

Jett memerintahkan persiapan serangan ke markas pemberontak di Gua Selarong, dia

segera menghimpun beberapa komandan pasukan dan hanya mengatakan jika mereka

akan segera berangkat melakukan serangan ke suatu daerah.

Namun Bouwensch agaknya lupa, Benteng Vredeburg tidak hanya dihuni oleh orang-

orang Eropa. Di dalam benteng yang letaknya hanya sepelemparan meriam di utara

Kraton Yogyakarta itu, terdapat ratusan orang pribumi. Mereka menempati strata

terendah dalam kehidupan sosial di dalam benteng, dipekerjakan sebagai budak yang

antara lain bertugas melayani kebutuhan prajurit dan perwira Belanda, tukang sapu,

tukang rumput, perawat kuda, tukang masak, dan sebagainya. Dan Pangeran

Diponegoro serta sesepuh yang lain memanfaatkan hal ini dengan menyusupkan

banyak orangnya ke dalam benteng sebagai pelayan.

Page 130: Untold History of Pangeran Diponegoro

Sebab itu, ketika Kapten Bouwensch mengumpulkan para komandan pasukannya dan

memerintahkan persiapan garis tempur pertama untuk diberangkatkan ke Selarong,

informasi ini didengar oleh seorang pelayan dan segera membocorkannya.

Pangeran Diponegoro memiliki banyak telinga di Benteng Vredeburg dan juga di dalam

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat sendiri. Sebab itu, ketika Diponegoro dan laskarnya

sudah berangkat menuju wilayah aman di selatan Selarong malam harinya, maka di

dalam benteng, Kapten Bouwensch dan pasukannya baru melaksanakan apel di

lapangan luas yang berada di tengah-tengah bangunan utama, lengkap dengan segala

perlengkapannya. (Bersambung)

Satu jam sebelum memberangkatkan pasukannya, Bouwensch terlebih dahulu mengirim

satu regu perintis dengan kawalan pasukan bersenjata yang bertugas mengamankan

akses jalan menuju Selarong. Menurut sejumlah mata-mata, pergerakan laskar dan

simpatisan pemberontak sangat luar biasa. Hanya dalam radius yang sangat sempit,

semua akses jalan yang berdekatan dengan Vredeburg dan Kraton sudah banyak yang

dirusak atau dipasang jebakan dan blokade, berupa lubang-lubang atau pengrusakan

jalan yang disengaja, pohon-pohon besar yang ditumbangkan dan batangnya dibiarkan

melintang menutupi jalan, pemampatan aliran air hingga air meluber ke jalan tanah

membuat jalan menjadi becek bahkan gembur, penimbunan jalan oleh batu-batu kali,

dan sebagainya. Pasukan perintis bertugas menyingkirkan semua itu agar pergerakan

pasukan penyerang yang di antaranya membawa kereta meriam yang berat yang ditarik

kuda bisa lebih lancar.

Tentu saja hal ini membuat lambat pergerakan pasukan Belanda. Laskar Diponegoro

yang hanya terdiri dari pasukan berkuda dan berjalan kaki-kavaleri dan infanteri-jauh

lebih cepat ketimbang pasukan Belanda. Sebab itu, ketika pasukan Diponegoro telah

tiba di Sendangsari dan membuat perkemahan di tengah rerimbunan hutan di sepanjang

tepian Kali Progo, Kapten Bouwensch dan pasukannya baru beranjak beberapa

kilometer dari Vredeburg.

Wilayah Selarong sendiri sudah benar-benar bersih dari laskar dan juga lelaki dewasa.

Yang tinggal di desa itu cuma perempuan dan anak-anak. Semua lelaki yang sudah

dianggap besar sengaja diperintahkan meninggalkan desa untuk sementara waktu. Ini

dilakukan untuk menghindarkan mereka dari sasaran kemarahan Belanda yang

dipastikan gagal menemukan Diponegoro dan laskarnya.

Tanpa diketahui siapa pun, sebagian anggota laskar perempuan di bawah komando

Raden Ayu Retnaningsih tetap tinggal di Selarong dan berpura-pura menjadi warga

sekitar. Mereka diperintahkan menggali informasi tentang kekuatan pasukan Kapten

Bouwensch, dan juga memberi rasa aman kepada penduduk asli Selarong.

Page 131: Untold History of Pangeran Diponegoro

Seperti halnya Trisat Kenya atau Bregada Langen Kesuma, laskar puteri

Diponegoro juga memiliki kecakapan tempur terlatih dan olah kanuragan yang tinggi,

sehingga srikandi-srikandi ini, walau diluarnya tampak lemah gemulai, namun

menyimpan kekuatan dan keberanian yang dahsyat.

Lewat tengah malam, pasukan Kapten Bouwensch telah tiba di perbatasan terluar Desa

Selarong. Mereka tidak langsung masuk, namun mengirim pasukan pelopor terlebih

dahulu, yang terdiri dari tiga regu pasukan infanteri bersenjatakan

senapan flintlock[1] dan pedang, dan mengikuti pasukan itu dari belakang. Pasukan

pelopor terdiri dari gabungan pasukan Eropa dan Legiun Mangkunegaran yang

semuanya berkuda serta dilengkapi pedang serta karaben Musketon.

Situasi di sekitar Gua Selarong sangat sepi. Pasukan Bouwensch dengan amat leluasa

masuk dan menyisir seluruh bagian tanpa menemukan seorang laskar pun. Sadarlah

Bouwensch jika pergerakan pasukannya sudah tercium oleh pasukan Diponegoro.

Walau geram, dia mengakui jika pasukan mata-mata Diponegoro kali ini ternyata lebih

lihai dibanding Belanda.

Setelah setengah jam menyisir wilayah itu tanpa hasil, Kapten Bouwensch memutuskan

untuk kembali ke Vredeburg dan tidak mempertahankan Selarong. Diajuga tidak

memerintahkan pasukannya untuk menyisir di luar wilayah Selarong, sesuatu yang amat

berbahaya karena sikap permusuhan rakyat pribumi terhadap Belanda semakin

memuncak disebabkan pemberontakan Diponegoro dan para pangeran lainnya ini.

Namun Bouwensch juga menilai, dengan menyingkirnya para pemberontak dari

pasukannya, maka itu berarti kekuatan pemberontak masih lemah.

Kepergian pasukan Bouwensch dari Selarong diikuti oleh pandangan mata ratusan

perempuan pribumi dan anak-anak, yang di antaranya anggota laskar puteri

Diponegoro. Mereka lega, strategi menahan diri mereka berhasil. Belanda akan mengira

mereka masih lemah. Dengan begitu mereka akan lebih leluasa untuk memperkuat

pasukan dan mengepung Yogyakarta nantinya. []

Bab 40

INGIN SEKALI SESUNGGUHNYA KI SINGALODRA membunuh sebanyak-banyaknya

pasukan Belanda. Dia yakin, dia mampu melakukan itu. Tapi karena Pangeran

Diponegoro dan para sesepuh lainnya memilih untuk menggunakan taktik menghindar

sementara, dia mau tidak mau harus patuh dan taat dengan keputusan syuro itu.

Lewat tengah malam, Ki Singalodra dikejutkan oleh suara derap kaki kuda yang kian

lama kian mendekat ke arah perkemahan mereka di tepian Kali Progo dekat dengan

wilayah Sendangsari. Lelaki yang tengah tertidur di bawah pohon di luar arena

perkemahan itu segera bangkit dan berdiri untuk melihat siapa yang datang malam-

malam begini. Penglihatannya yang tajam menangkap tiga penunggang kuda

perempuan yang tengah memacu kudanya menuju perkemahan.

Pasukan telik sandi Laskar Puteri!

Page 132: Untold History of Pangeran Diponegoro

Ki Singalodra melompat keluar dari rerimbunan semak dan melambaikan tangannya

kepada tiga laskar puteri penunggang kuda tersebut.

“Tahan! Tahan! Aku Singalodra! Ada kabar penting rupanya.”

Ketiga penunggang tersebut menarik tali kekang kudanya dan berhenti hanya dalam

jarak dua meter dari tempat Ki Singalodra berdiri. Mereka memberi salam yang segera

dijawab oleh Ki Singalodra.

“Ki Singalodra, kami utusan dari Raden Ayu Retnaningsih untuk menyampaikan kabar

terbaru dari Selarong…”

“Ya. Saya tahu.”

“Bisakah kami diantar menemui Kanjeng Pangeran Diponegoro?”

Ki Singalodra menganggukkan kepalanya. “Sebentar,” katanya. Kemudian lelaki itu

mengeluarkan suara burung gagak dan dari rerimbunan semak keluar seekor kuda

hitam yang berjalan perlahan menghampiri tuannya. Ki Singalodra pun segera melompat

ke punggung kudanya itu.

“Mari ikut saya!”

Ki Singalodra berjalan di depan, diikuti ketiga laskar perempuan yang menyelipkan keris

dan trisula di pinggangnya. Mereka berempat tidak dapat memacu kudanya kencang-

kencang karena jalan tanah yang sempit dengan banyak suluran akar pohon di

bawahnya. Beberapa kali mereka bahkan harus menundukkan kepala dan

merendahkan badannya agar tidak terkena cabang dan batang pohon di hutan ini yang

menjalar ke mana-mana. Tidak sampai setengah jam kemudian, hamparan rumput hijau

yang tidak terlalu luas membentang di depan mereka. Di bawah sorot cahaya rembulan

yang agak redup, hamparan rumput itu tampak sarat dengan misteri. Di ujung hamparan

rumput tersebut, terlihat tenda-tenda pasukan Diponegoro yang disamarkan vegetasi

sekitarnya. (Bersambung)

[1] Senapan Flintlock merupakan senjata api laras panjang yang harus diisi kembali

dengan bubuk mesiu setiap melepas 12 kali tembakan. Kelemahan jenis senjata ini

adalah bubuk mesiu yang dimasukkan harus benar-benar kering. Sebab itu, jika musim

hujan, senapan ini sering tidak berfungsi karena bubuk mesiu menjadi lembab.

“Itu tenda Kanjeng Pangeran,” ujar Ki Singalodra dengan menunjukkan tangan kirinya ke

arah sebuah tenda yang tidak berbeda dengan tenda yang lainnya, hanya saja terdapat

pohon jati yang meranggas di dekatnya. Ki Singalodra kemudian menuntun kuda

hitamnya menyusuri jalan setapak di antara hamparan rumput tersebut menuju tenda

tersebut.

Page 133: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Assalamu’alaikum, Ki…”

Tiba-tiba Pangeran Mangkubumi sudah muncul di depan mereka, bagaikan muncul

begitu saja dari dalam bumi.

Dengan sedikit terkejut, Ki Singalodra menjawab salam itu, “…eh Kanjeng Pangeran

Mangkubumi…Wa’alaikumusalam…“

“Siapa yang mengikutimu itu, Ki?”

Ki Singalodra turun dari kudanya dan menjelaskan jika ketiga penunggang kuda

dibelakangnya adalah laskar puteri utusan isteri Pangeran Diponegoro, Raden Ayu

Retnanningsih, yang hendak menyampaikan kabar terbaru dari Selarong.

“Mereka akan menyampaikan pesan terbaru dari Selarong kepada Kanjeng Pangeran

Diponegoro…”

Mangkubumi berjalan mendekati ketiga penunggang kuda perempuan tersebut dan

berhenti dua meter dihadapan mereka. Paman dari Diponegoro tersebut kemudian

berdiam diri sejenak. Entah apa yang tengah dilakukannya. Setelah itu dia

menganggukkan kepalanya dan mempersilakan Ki Singalodra dan ketiga penunggang

perempuan tersebut berjalan kembali. Mangkubumi bahkan mengiringi tamu-tamunya itu

berjalan menuju tenda Pangeran Diponegoro, yang ternyata bukan seperti yang

ditunjukkan Ki Singalodra, namun lebih ke dalam, hanya berjarak sepuluh meter dari tepi

Kali Progo.

Pangeran Diponegoro sendiri ternyata tidak berada di dalam tendanya. Ketika para

tamunya sudah tiba di depan tenda, Sang Pangeran ternyata muncul dari balik

pepohonan yang rapat dari arah kali. Mangkubumi dan yang lainnya mengucapkan

salam yang segera dijawab dengan hangat oleh Diponegoro.

“Wahai laskar puteri, apa yang hendak kalian sampaikan padaku?”

Seorang dari ketiga laskar itu menjawab, “Kami ingin menyampaikan jika saat ini seluruh

rakyat Mataram di Selarong dalam keadaan sehat wal-afiat…”

“Alhamdulillah ya Rabb…,” ujar Diponegoro.

“Kapten Bouwensch dan pasukannya memang datang dan melakukan penyisiran.

Selain di sekitar wilayah gua juga di beberapa rumah penduduk secara acak. Setelah

tidak menemukan apa yang dicari, mereka kemudian mengancam penduduk agar tidak

ikut-ikutan mendukung perjuangan kita. Setelah itu mereka pergi kembali ke

Vredeburg…”

Pangeran Diponegoro mendengarkan dengan penuh seksama. Wajahnya menunduk

menekuri lantai rumput yang dilapisi dedaunan kering dan kain lebar yang terlihat sudah

Page 134: Untold History of Pangeran Diponegoro

lusuh. Dia kemudian berkata dengan pelan, “Bagaimana dengan rakyat di sana. Apakah

mereka disakiti atau rumahnya dibakar?”

“Tidak Kanjeng Pangeran. Belanda tidak melakukan pembakaran. Mereka hanya datang

dan mengancam kami semua. Mereka juga sempat berusaha mempengaruhi kami jika

pemberontakan ini hanyalah alat Kanjeng Pangeran agar bisa menguasai Kraton

Ngayogyarakarta Hadiningrat…”

Diponegoro mengucap istighfar. Dia sudah mendengar hal itu sebelumnya. Belanda

memang menggunakan segala cara untuk menghancurkan perjuangannya. Diponegoro

sama sekali tidak marah. Dia menyadari jika apa yang diperjuangkannya adalah apa

yang juga diperjuangkan para nabi Allah dan Rasul-Nya, dari Adam, Musa, Nuh,

Ibrahim, Isa, hingga Muhammad Shalallahu wa’allaihi salam. Perjuangan

menegakkan ketauhidan merupakan jalan sepi dan sunyi, sangat jauh dari hingar-bingar

duniawi.

“Apakah pasukan kafir itu sudah pergi seluruhnya dari Selarong?”

“Betul Kanjeng Pangeran. Mereka tidak lama di Selarong dan kembali secepatnya ke

benteng mereka. Laskar kami sudah mengikuti mereka sampai beberapa paal dari

batas terluar desa.”

“Paman…,” ujar Diponegoro kepada Mangkubumi.

“Ya, Pangeran.”

“Insya Allah, selarong malam ini sudah aman kembali. Apakah sekarang juga kita

kembali atau bagaimana menurut Paman?”

Mangkubumi terdiam sesaat. Kemudian dia menjawab, “Sebaiknya kita mengadakan

musyawarah terlebih dahulu, Pangeran.”

Diponegoro menganggukkan kepalanya. “Baiklah jika demikian, Paman. Tolong panggil

Kiai Modjo, paman Ngabehi, Ki Guntur Wisesa, Ustadz Taftayani, dan yang lainnya ke

sini.”

“Baik, Pangeran.”

Mangkubumi segera meninggalkan tenda dan memanggil sejumlah sesepuh yang

biasanya menggelar syuro terlebih dahulu sebelum memutuskan pergerakan pasukan.

Pangeran Diponegoro kemudian kembali bertanya pada salah seorang laskar puteri

yang masih duduk bersimpuh di hadapannya.

“Siapa nama kalian dan darimana asal kalian?”

Masing-masing dari ketiga laskar puteri tersebut menyebutkan namanya, yaitu Arum,

Asih, dan Retnowati. Mereka dari Wonosari, Krapyak, dan Kedu.

Page 135: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Jika kalian lelah, kalian bisa istirahat terlebih dahulu di tenda keputerian tidak jauh dari

sini. Ki Singalodra bisa mengantarkan kalian.”

“Terima kasih Kanjeng Pangeran. Alhamdulillah, kami tidak lelah. Kami akan segera

kembali ke Selarong. Adakah pesan atau perintah Kanjeng Pangeran kepada kami

semua di sana?”

“Ya. Tolong sampaikan kepada rakyat Mataram yang ada di Selarong, agar mereka

tidak perlu takut. Takutlah hanya kepada Allah subhana wa ta’ala, bukan kepada

mahluk-Nya. Kita semua akan segera kembali ke sana dan akan terus berjuang hingga

agama Allah ini tegak. Sampaikan juga rasa terima kasihku karena kesetiaan mereka

dengan perjuangan ini. Mungkin itu saja.”

Ketiga laskar puteri tersebut kemudian pamit dan keluar dari tendanya. Pangeran

Diponegoro memerintahkan agar Ki Singalodra mengawal ketiga tamu itu hingga ke

batas Sendangsari.

Bersamaan dengan pulangnya ketiga tamu itu, para sesepuh seperti Kiai Modjo,

Pangeran Bei, dan yang lainnya terlihat berjalan mendekati tenda Diponegoro. Mereka

segera menggelar musyawarah kecil dan akhirnya sepakat jika malam itu juga seluruh

pasukan akan kembali ke Selarong.

“Insya Allah, kita akan sampai jauh sebelum ayam jantan berkokok,” ujar Pangeran

Diponegoro. Yang lain mengaminkan. []

Bab 41

KOLONE KAPTEN BOUWENSCH TIBA KEMBALI di Benteng Vredeburg saat hari

masih gelap. Tanpa beristirahat terlebih dahulu, Bouwensch langsung melaporkan

semuanya kepada Kolonel Von Jett yang masih saja berada di ruangan kerjanya.

Dengan wajah mengantuk, Kolonel Von Jett mendengarkan semua laporan kapten yang

bertanggungjawab atas keamanan di seluruh wilayah Karesidenan Ngayogyakarta

Hadiningrat itu.

“Kami sengaja tidak menduduki Selarong karena tidak ada urgensinya. Dan dengan

kejadian ini, kami berkesimpulan jika pasukan pemberontak belumlah cukup kuat untuk

melakukan ancaman langsung ke Yogya. Mereka masih dalam tahap menghimpun

kekuatan dan belum mencapai situasi yang cukup untuk berhadapan dengan kita di

sini.”

“Ya, ya, bisa jadi itu memang benar,” ujar Kolonel Von Jett. “Namun kamu juga tidak

boleh lengah dengan keberadaan mereka. Ingat, mereka sudah berani menghadang kita

di Pisangan dan merebut semua senjata kita di sana…”

“Saya kira mereka itu nekat saja. Dan keberuntungan saat itu kebetulan berada di pihak

mereka, Kolonel.”

“Mungkin saja demikian…”

Page 136: Untold History of Pangeran Diponegoro

“Bagaimana dengan perjalananmu, pergi dan pulang?”

“Aman, Kolonel. Pasukan perintis kita sudah menyingkirkan semua blokade dan

rintangan yang mereka buat untuk menghalangi jalan kita. Jalur dari sini ke Selarong

sudah aman.”

“Apakah kamu menempatkan pasukanmu di sepanjang jalan itu?”

“Tidak.”

Tiba-tiba Kolonel Von Jett tertawa. Sebentar. Kemudian terdiam dengan tatapan mata

yang tajam ke arah Bouwensch. Kapten Bouwensch yang berdiri di hadapannya

bingung.

“Kapten! Sudah berapa lama Anda mengamankan karesidenan ini!”

“Siap, Kolonel! Sudah…”

Belum selesai Bouwensch menjawab, Von Jett menukas, “…Anda tidak menempatkan

pasukan Anda di sepanjang jalur ke Selarong. Hanya menyingkirkan semua rintangan

yang ada. Bagaimana Anda bisa meyakinkanku jika jalur itu sudah aman sekarang!

Pemberontak itu bisa saja setiap waktu kembali memblokade dan membuat rintangan-

rintangan di jalan itu dengan bebas. Kapten, Anda benar-benar memalukan dengan

jawaban itu!”

Bouwensch menyadari kesilapannya. Dia benar-benar tidak bermaksud meyakinkan

keamanan jalur itu selamanya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Dia sudah salah

omong. Dan Kolonel Von Jett sudah menelannya mentah-menatah. Tapi bagaimana pun

dia harus membela diri.

“Siap, Kolonel! Saya memang salah dengan kalimat itu. Saya hanya ingin menegaskan

jika selama perjalanan, pergi dan pulang, jalur itu sudah kami bersihkan. Itu saja…”

Von Jett duduk dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Anda memang salah Kapten. Tapi sudahlah. Pemberontak memang sudah ada di

mana-mana. Sekarang kamu istirahatkan pasukan dan bekerjalah kembali seperti biasa.

Dan untuk kamu, jangan jauh-jauh dari benteng ini.”

“Siap, Kolonel! Terimakasih!”

Bouwensch pun menghormat dan balik badan, langsung keluar dari ruangan Kolonel

Von Jett. [] (Bersambung)

Bab 42

Page 137: Untold History of Pangeran Diponegoro

DUGAAN KAPTEN BOUWENSCH TERNYATA SALAH total. Sekembalinya dari

Selarong ke Benteng Vredeburg, hampir di segala penjuru Yogya, para penduduk keluar

rumah dengan membawa berbagai macam senjata. Mereka berkumpul di alun-alun

kampung dan desa untuk mendengarkan instruksi dari para kepala dan berangkat

berbondong-bondong ke Selarong. Mereka semua mendengar jika Belanda baru saja

menyerang Selarong. Hal ini menimbulkan kemarahan di dalam dada rakyat banyak dan

mereka segera angkat senjata dan pergi ke Selarong untuk membantu Pangeran

Diponegoro dan yang lainnya.

Selain ada yang berangkat ke Selarong, para penduduk sekitar Yogya juga banyak yang

memilih untuk mengepung pusat karesidenan ini sehingga jantung pemerintahan

Karesidenan Ngayogyakarta Hadiningrat tertutup dari dunia luar. Kraton dan Benteng

Vredeburg terkepung. Kolonel Von Jett tidak bisa melakukan koordinasi dengan markas

induk pasukannya di Semarang. Smissaert tidak bisa berkomunikasi dengan residen-

residen tetangga, dan Danuredjo pun untuk sementara waktu tidak bisa lagi mengimpor

perempuan-perempaun muda yang cantik seperti yang biasa dilakukannya hampir

setiap malam.

Himbauan dan ancaman dari para kaki tangan Patih Danuredjo IV tidak dipedulikan

rakyat. Mereka lebih mematuhi perintah Pangeran Diponegoro untuk bersama-sama

mulai berjuang angkat senjata mengusir kaum kafir dari Bumi Mataram dan

menghancurkan kaki tangannya.

Berkali-kali usaha menembus blokade ini menemui kegagalan, dari cara-cara halus

dengan bujuk rayu dan sebagainya hingga menggunakan ancaman dan juga kekerasan.

Hingga setelah tiga hari terkepung, maka para pembesar Karesidenan Yogya boleh

merasa sedikit lega ketika Ritmeester Raden Mas Soewongso berinisiatif untuk

menjebol pengepungan dan mengontak Solo untuk memberitahukan tentang

pengepungan itu. Ritmeester Raden Mas Soewongso adalah komandan Legiun

Mangkunegaran yang sedang diperbantukan di Karesidenan Ngayogyakarta Hadiningrat

sejak penyerangan ke Puri Tegalredjo beberapa hari lalu. Ketika mendengar usulannya,

Danuredjo kontan tersenyum lebar. Sedangkan Smissaert dan yang lainnya hanya

memberinya dukungan.

Danuredjo berharap, pengepungan Yogya oleh laskar-laskar pendukung Diponegoro

bisa segera berakhir atau dipatahkan, agar dia bisa kembali kepada hobinya: mencari

perempuan-perempuan cantik untuk diboyongnya ke tempat tidur. Sebab itu, dia sangat

mendukung inisiatif yang diambil oleh Raden Mas Soewongso yang akan menjebol

pengepungan itu dengan pasukan Legiun Mangkunegaran yang tersisa.

Keesokan harinya, hanya beberapa menit sebelum adzan subuh bergema, diam-diam

Raden Mas Soewongso memimpin pasukannya yang terdiri dari 25 pasukan infanteri

dan 12 dragonder[1] keluar dari Kraton. Dengan penuh keberanian, bahkan nekat,

mereka mencoba menerobos garis pengepungan yang dilakukan para laskar

Page 138: Untold History of Pangeran Diponegoro

Diponegoro. Pertempuran jarak dekat pun tak terhindarkan. Korban berjatuhan di kedua

belah pihak di hari yang masih terasa dingin itu.

Pasukan Legiun Mangkunegaran sendiri tinggal sisa dua dragonder. Raden Mas

Soewongso segera memacu kudanya diiringi dua orang dragonder yang masih tersisa

dari seluruh pasukannya. Sejumlah laskar berkuda mengejarnya di belakang.

Kejar-kejaran terjadi di pagi-pagi buta itu. Nyaris mencapai Kalasan, dari kudanya yang

berlari kencang, seorang laskar Diponegoro menembakkan batu dari ketapelnya dan

tepat mengenai kepala bagian belakang dari Raden Mas Soewongso. Pimpinan Legiun

Mangkunegaran itu pun pingsan dan terjatuh dari kudanya. Setelah sempat terseret

beberapa puluh meter dari kudanya, lelaki itu menggeletak di jalan. Dua orang

Dragonder yang tersisa akhirnya menyerah. Mereka kemudian dibawa oleh laskar

Diponegoro ke Selarong untuk dihadapkan kepada Pangeran Diponegoro.

Setibanya di Selarong, Raden Mas Soewongso yang sudah siuman diberi pengobatan

pada kepala bagian belakangnya. Pangeran Diponegoro bersama sejumlah sesepuh

menengoknya di dalam sebuah rumah yang dijadikan tempat pengobatan. Dengan sikap

bersahabat, Diponegoro memberi salam dan menyapa putera mahkota Kraton

Mangkunegaran ini.

“Bagaimana kepalamu?”

“Alhamdulillah, sudah agak baikan.”

“Saya kesini dalam rangka mengajak saudaraku untuk bergabung dalam kafilah jihad ini,

mengusir kaum kafir Belanda dari Bumi Mataram yang sama-sama kita cintai ini.

Apakah saudaraku mau bergabung dengan kafilah kami?”

Raden Mas Soewongso menggelengkan kepalanya. Namun Pangeran Diponegoro tidak

marah. Dengan senyum yang tulus dia berkata, “Pertimbangkanlah kembali tawaranku

ini saudaraku. Ini adalah tugas suci dari Allah subhana wa ta’ala. Al-Jannah adalah

jaminannya. Saya beri waktu dua hari untukmu berpikir. Kami tidak akan menyiksamu

dan tidak akan menyakitimu. Jika kamu memerlukan apa pun, bilang saja pada

kami, insya Allah kami penuhi…”

Akhirnya Diponegoro bersama para sesepuh lainnya minta diri. Dan benar, seperti yang

Diponegoro katakan, dua hari kemudian dia datang kembali dan menanyakan hal yang

sama. Namun sikap Raden Mas Soewongso tidak berubah.

“Maaf, saya tetap pada jalanku ini. Lebih baik mati di sini ketimbang mengkhianati

mertuaku. Terserah apa yang hendak engkau lakukan padaku ini,” jawab Raden Mas

Soewongso ketus.

Page 139: Untold History of Pangeran Diponegoro

Diponegoro dan sesepuh yang lainnya tidak berkata apa-apa lagi. Setelah

mengucapkan salam, mereka semua pergi meninggalkan Raden Mas Soewongso yang

masih dijaga oleh sejumlah laskar.

“Lepaskan dia dan dua pengawalnya dengan baik. Kawal sampai Delanggu,” bisik

Pangeran Diponegoro kepada dua orang penjaga yang berdiri di depan rumah yang

dijadikan tempat menginap Raden Mas Soewongso dan dua orang pengawalnya.

(Bersambung)

[1] Kesatuan kavaleri ringan atau infanteri berkuda.

44