Unud 868 1769482947 Ayu Prilia Diantari_tesis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tesis hukum

Citation preview

  • TESIS

    KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORERDALAM SISTEM KEPEGAWAIAN

    AYU PRILIA DIANTARI

    NIM : 1090561018

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    2013

  • iKEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORERDALAM SISTEM KEPEGAWAIAN

    Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH)

    Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum

    Universitas Udayana

    AYU PRILIA DIANTARI

    NIM : 1090561018

    PROGRAM MAGISTER

    PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM

    PROGRAM PASCASARJANA

    UNIVERSITAS UDAYANA

    DENPASAR

    2013

  • ii

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

    Yang bertandatangan di bawah ini :

    Nama : Ayu Prilia Diantari

    Program Studi : Ilmu Hukum

    Judul tesis : Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian

    Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari Plagiat. Apabila dikemudian hari

    terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur

    dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undang yang

    berlaku.

    Denpasar, 8 Juli 2013

    Yang menyatakan

    Ayu Prilia Diantari

  • iii

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha

    Esa karena atas berkat dan rahmatNya tesis yang berjudul Kepastian Hukum Kedudukan

    Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian dapat diselesaikan dengan baik.

    Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari

    semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama mengikuti

    pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

    Atas terselesaikannya tesis ini maka ijinkanlah penulis dengan segala kerendahan hati

    menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarnya kepada :

    1. Bapak Prof.Dr.dr. Ketut Suastika, SpPD (KEMD) sebagai Rektor Universitas

    Udayana

    2. Ibu Prof.Dr,dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) sebagai Direktur Program Pasca Sarjana

    Universitas Udayana.

    3. Bapak Prof.Dr.Drs. Johanes Usfunan, SH.MH, sebagai pembimbing I yang telah

    berkenan meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga tesis ini dapat

    terselesaikan dengan baik.

    4. Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumertayasa,SH.MH sebagai pembimbing II yang telah

    berkenan membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik.

    5. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.M.Hum.LLM sebagai Ketua Program Study

    Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

    6. Bapak Dr. Putu Tuni Caka Bawa Landra, SH,MH sebagai sekretaris Program Study

    Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

  • iv

    7. Seluruh staf dan dosen pada Program Study Magister Ilmu Hukum Program Pasca

    Sarjana Universitas Udayana yang telah membantu dalam memberikan ilmu

    pengetahuan dan membantu proses administrasi selama perkuliahan di Universitas

    Udayana.

    8. Bapak Gde Widarmika, SE.MM, selaku Kepala Bidang Data dan Perencanaan

    Pegawai dan staf, dan seluruh staf BKD,DIKLAT Kabupaten Badung yang telah

    mendukung dan memberikan toleransi yang sangat besar kepada penulis selama

    menyusun tesis ini, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

    9. Terima kasih kepada keluarga tercinta,orang tua Bapak I Made Sidia Wedasmara,

    SH.MH, Ibu I Gusti Ayu Rai Wardhani, SH, Kakak Putu Ayu Ratna Wulandari,

    SE,AK, adik Komang Trisdia Mahindra Yogi, Mbok Nengah, Mertua dan suami

    tercinta dr. I Made Pasek Soma Gauthama yang telah mendukung secara moril dan

    senantiasa ada disaat tersulit dalam menyelesaikan tesis ini.

    10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang ikut memberikan

    dorongan, semangat untuk terus maju menyelesaikan tesis ini dan memberikan

    sumbangan ide dalam penulisan tesis ini.

    Semoga segala bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan pahala oleh Tuhan

    Yang Maha Esa. Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna namun

    besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua.

    Denpasar, 8 Oktober 2013

    Penulis

  • vAbstrak

    Penulisan tesis ini mengkaji tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem

    Kepegawaian. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ada dua yaitu pertama : apakah

    semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP

    No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai

    Negeri Sipil (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun 2005) dan kedua : bagaimana tanggung

    jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon

    Pegawai Negeri Sipil.

    Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan

    perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam

    penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder serta

    bahan hukum tersier .

    Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tenaga honorer berdasarkan PP No. 48 Tahun

    2005 tidak semua dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, ada syarat-syarat yang

    harus dipenuhi oleh tenaga honorer sebelum namanya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri

    Sipil, selain seleksi administrasi tenaga honorer juga harus melewati tes

    disiplin,integritas,kesehatan.

    Tanggung jawab yang diberikan pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat

    diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah dengan menggunakan pendekatan preventif yaitu :

    pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah

    bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dan memberikan santunan pensiun. Pemberian tanda

    terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan

    kemampuan dari daerah masing-masing.

    Kata Kunci : Tenaga Honorer, Pemerintah Daerah, Tanggung Jawab.

  • vi

    abstract

    This thesis examines the status of Honorary Power In Personnel System. The problems examined

    in this study there are two: first: whether Honorary employee can be appointed as civil servants

    and the second: how local government responsibilities for Honorary employee who are not

    eligible for appointment as candidate for Civil Servants.

    This research is a normative law using statutory approach and the conceptual approach.

    Legal materials used in the study came from the research literature in the form of primary legal

    materials, secondary and tertiary legal materials.

    These results indicate that Honorary employee under PP. 48 of 2005 does not

    automatically appointed as candidate for Civil Servants, there are requirements that must be met

    by Honorary employee appointed before his name became candidates for Civil Servants, in

    addition to the selection and administration of honorary workers also have to pass a test of

    discipline, integrity, health.

    Given the responsibility of government to Honorary employee who are not eligible for

    appointment as Civil Servants is to use a preventive approach, namely: the government provides

    job security for government agencies within the productive age for those who have a high

    dedication and providing retirement benefits. Giving gratuities are charged to Expenditure

    Budget and tailored to the capabilities of each area.

    Keywords: Honorary employee, Local Government, Responsibility

  • vii

    RINGKASAN

    Tesis ini meneliti tentang Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem

    Kepegawaian. Terdapat dua permasalahan yang diangkat dalam penyusunan tesis ini yakni :

    1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Calon Pegawai

    Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005

    2. Bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak

    dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

    Disamping membahas dua permasalahan tersebut juga membahas mengenai tujuan dan

    manfaat dari penelitian ini guna kepentingan ilmu pengetahuan hukum khususnya dalam bidang

    kepegawaian serta landasan teori yang menjadi dasar pemecahan permasalahan dengan

    menggunakan konsep Negara hukum, teori kewenangan, asas desentralisasi, asas-asas umum

    pemerintahan yang baik, teori penjenjangan norma.

    Pada Bab II merupakan penjabaran dari landasan teori Bab I dengan membahas Tenaga

    honorer, Pegawai Negeri Sipil, dan Pejabat Pembina Kepegawaian.

    Tenaga honorer adalah Seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina

    Kepegawaian yaitu pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan

    memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang

    berlaku atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada

    instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran Pendapatan

    dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pegawai Negeri

    Sipil adalah Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah

    memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas

    dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan Peraturan

    Perundang-Undangan yang berlaku, Pejabat Pembina Kepegawaian Pejabat yang berwenang

    adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan

    Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

    Pada Bab III membahas atas permasalahan pertama yang terdiri dari dua pembahasan

    yaitu : Pengaturan Tenaga Honorer yang dapat dilihat pada UU No.43 Tahun 1999 tentang

    Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer

    Menjadi CPNS, Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman 2005, Peraturan

  • viii

    Kepala BKN No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer serta Surat Edaran

    Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5 Tahun 2010 tentang

    Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. Pembahasan

    kedua tentang mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dimana tenaga honorer

    dapat diangkat menjadi CPNS tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam

    PP No. 48 Tahun 2005, salah satu syaratnya adalah tenaga honorer maksimal berusia 46 tahun

    dan minimal 19 tahun dengan memiliki masa kerja yang telah diatur dalam Peraturan

    Pemerintah, selain itu pemeriksaan berkas dilakukan dengan sangat teliti melalui proses

    batching, editing, coding, dimasukan nama-nama ke dalam data base, dilakukan verifikasi dan

    validasi yang dilakukan oleh BKN, Menpan, BKD dan Inspektorat daerah, sub bab ketiga

    membahas mengenai kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005, dimana

    dengan berlakunya PP No. 48 tahun 2005, Pasal 8 yang melarang pengangkatan tenaga honorer

    setelah tahun 2005 maka kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 tetap

    berkedudukan sebagai tenaga honorer dan tidak bisa diangkat menjadi CPNS.

    Pada Bab IV membahas dua permasalahan yaitu : Tanggung jawab pemerintah daerah

    terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS secara preventif dengan cara

    pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif di lingkungan instansi pemerintah

    bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan

    pensiun dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk uang ataupun cindera mata

    sebagai tanda terima kasih daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada

    Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.

    Pembahasan kedua mengenai pengaturan sengketa tenaga honorer, dimana apabila terjadi

    tuntutan karena ketidakpuasan terhadap tindakan pemerintah dengan melakukan pengangkatan

    tenaga honorer tersebut maka berdasarkan Pasal 1365 KUHP tenaga honorer dapat menutut ganti

    rugi terhadap tindakan pemeritah yang dianggap merugikan tersebut dan berdasarkan Pasal 1

    angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN Surat Keputusan yang dikeluarkan

    pemerintah dapat digugat di PTUN dan dimohon pembatalan terhadap Surat Keputusan

    pengangkatan tenaga honorer tersebut karena sifatnya illegal.

    Pada Bab V Kesimpulan pertama : bahwa tidak semua tenaga honorer dapat diangkat

    menjadi CPNS, tenaga honorer yang dapat diangkat apabila telah memenuhi syarat-syarat pada

    PP No. 48 Tahun 2005 yaitu : Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah

  • ix

    19 (sembilan belas) tahun, Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun

    sebelum tahun 2005 dan dilakukan secara terus menerus, SK Pengangkatan dikeluarkan oleh

    Pejabat yang berwenang, Lulus seleksi administrasi dari Tim audit yang terdiri dari Menpan,

    BKN, inspektorat dan Badan kepegawaian daerah pada pengecekan dokumen berupa :

    DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja)

    SPM (Surat Perintah Membayar)

    SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) Cek fisik keberadaan tenaga honorer

    Daftar absensi

    Kesimpulan kedua : Tanggung jawab pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat

    diangkat menjadi CPNS dengan memberikan tanggung jawab secara preventif yaitu pemerintah

    memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka

    yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam

    kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun cinderamata

    sebagai tanda terima kasih daerah karena telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja dan

    bersama-sama membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada

    Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.

    Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan pertama : Pemerintah daerah diharapkan tidak

    melakukan pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005, agar tidak

    menimbulkan permasalahan dikemudian hari, perekrutan pegawai untuk memenuhi formasi yang

    kosong dilingkungan pemerintah daerah dilakukan dengan penerimaan pegawai melalui jalur

    umum saja, Kedua : Pemerintah daerah hendaknya memenuhi tanggung jawabnya secara

    preventif terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS untuk menjamin

    kesejahteraan pegawai tetap terjamin dan pemerintah berpedoman pada Asas-Asas Umum

    Pemerintahan Yang Baik dalam menjalankan pemerintahan agar tidak menimbulkan masalah

    dikemudian hari.

  • xDAFTAR ISI

    Halaman

    Halaman Judul

    Halaman Persyaratan Gelar Megister i

    Surat Persyaratan Bebas Plagiat .. ii

    Halaman Ucapan Terima Kasih ... iii

    Halaman Abstrak . v

    Halaman Abstract . vi

    Ringkasan . vii

    Halaman Daftar Isi x

    BAB I PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang ................................................................................. 1

    2. Rumusan Masalah ............................................................................. 7

    3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7

    3.1. Tujuan Umum ............................................................................ 7

    3.2. Tujuan Khusus ........................................................................... 7

    4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8

  • xi

    4.1. Manfaat Teoritis ........................................................................ 8

    4.2. Manfaat Praktis ......................................................................... 8

    5. Originalitas Penelitian ...................................................................... 8

    6. Landasan Teoritis ............................................................................. 15

    6.1. Konsep Negara Hukum ............................................................. 15

    6.2. Teori Kewenangan .................................................................... 22

    6.3. Asas Desentralisasi .................................................................... 29

    6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ... 32

    6.5 Teori Penjenjangan Norma . 35

    7. Metode Penelitian ............................................................................ 37

    7.1. Jenis Penelitian .......................................................................... 37

    7.2. Jenis Pendekatan ........................................................................ 39

    7.3. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 41

    7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 44

    7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................. 45

    BAB II PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA

    1. Tenaga Honorer ............... 47

  • xii

    2. Pegawai Negeri Sipil .................... 55

    3. Pejabat Pembina Kepegawaian .................... 74

    BAB III PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI .

    CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL ..

    1. Peraturan Tenaga Honorer ... 82

    2. Mekanisme Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon

    Pegawai Negeri Sipil ............................................ 89

    3. Kedudukan Tenaga Honorer .... 99

    BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH ...

    TERHADAP TENAGA HONORER ...

    1. Penyelesaian Masalah Tenaga Honorer Oleh Pemerintah Daerah

    Secara Preventif 108

    2.Pengaturan Tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Honorer . 132

    BAB V PENUTUP

    1. Kesimpulan ................................................................................. 131

    2. Saran .............................................................................................. 132

    DAFTAR BACAAN

  • 1BAB I

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Masalah

    Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bupati diberi wewenang baik

    secara terikat maupun wewenang bebas untuk mengambil keputusan-keputusan untuk

    melakukan pelayanan umum, wewenang terikat artinya segala tindakan yang

    dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan aturan dasar, sedangkan wewenang bebas

    artinya pemerintah secara bebas menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan

    yang akan dikeluarkan karena aturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima

    wewenang1.

    Wewenang pemerintah tersebut adalah penyelenggaraan pembangunan di

    segala aspek termasuk didalamnya adalah pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dan

    pengangkatan tenaga honorer di daerah. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-

    Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang

    Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor

    32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32

    Tahun 2004).

    Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberikan hak otonomi

    kepada daerah untuk mengatur urusan pemerintahan di daerah. hal ini

    1 Sadjijono, 2011, Bab-Bab Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta, hlm 59-60

  • 2dapat dilihat pada Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

    yang menyatakan bahwa :

    Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak :

    1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.2. Memilih pimpinan daerah3. Mengelola aparatur daerah4. Mengelola kekayaan daerah5. Memungut pajak dan retrebusi daerah6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya

    alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah.7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan

    perundang-undangan.

    Selain UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur urusan pemerintahan, Peraturan

    Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

    Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah

    Kabupaten/Kota (yang selanjutnya disebut PP No. 38 Tahun 2007), juga mengatur

    tentang pembagian urusan pemerintahan. Pada Bab III tentang Pembagian Urusan

    Pemerintahan, Pasal 5 ayat (1) menyatakan :

    Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadikewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

    Kewenangan pemerintah berdasarkan Pasal 2 ayat (2) adalah : Politik luar negeri,

    pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama, sedangkan

    yang menjadi urusan pemerintahan adalah : Pasal 2 ayat (4) menyatakan :

    Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tigapuluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi :a. pendidikanb. kesehatanc. pekerjaan umum

  • 3d. perumahane. penataan ruangf. perencanaan pembangunang. perhubungan,h. lingkungan hidupi. pertahananj. kependudukan dan catatan sipilk. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anakl. keluarga berencana dan keluarga sejahteram. sosialn. ketenagakerjaan dan ketransmigrasiano. koperasi dan usaha kecil dan menengahp. penanaman modalq. kebudayaan dan pariwisatar. kepemudaan dan olah ragas. kesatuan bangsa dan politik dalam negerit. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat

    daerah, kepegawaian, dan persandianu. pemberdayaan masyarakat dan desav. statistikw. kearsipanx. perpustakaany. komunikasi dan informatikaz. pertanian dan ketahanan panganaa. kehutananbb. energy dan sumber daya mineralcc. kelautan dan perikanan,dd. perdaganganee. perindustrian.

    Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di daerah sesuai dengan Peraturan

    Perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

    tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974

    tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU No. 43 Tahun 1999).

    Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999

    menyatakan:

  • 4ayat (1) : Pegawai Negeri terdiri dari :a. Pegawai Negeri Sipilb. Anggota Tentara Nasional Indonesiac. Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia

    ayat (2) : Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf aterdiri dari :a. Pegawai Negeri Sipil Pusat, danb. Pegawai Negeri Sipil Daerah.

    ayat (3) : Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.

    Manajemen Kepegawaian yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil

    diatur pada UU No. 43 Tahun 1999) sedangkan pegawai yang tidak berkedudukan

    sebagai Pegawai Negeri diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah.

    Perekrutan terhadap tenaga honorer secara hukum memang diatur tetapi masih

    bersifat terbatas, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal ini

    Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu berdasarkan pada Peraturan

    Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun

    2005) yang sekarang sudah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43

    tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun

    2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai

    Negeri Sipil.

    Salah satu masalah tenaga honorer ini adalah ketika diterbitkannya

    PP No. 48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan :

    Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini semua Pejabat PembinaKepegawaian dan pejabat lain di Lingkungan instansi, dilarangmengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkandengan Peraturan Pemerintah.

  • 5Permasalahan yang penulis temukan adalah pengangkatan tenaga

    honorer di daerah dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa kerja dari

    tenaga honorer, pengangkatan tenaga honorer ini telah dibatasi sampai

    dengan tahun 2005 karena setelah tahun 2005 sudah tidak ada lagi

    pengangkatan tenaga honorer ataupun sejenisnya, namun pada

    kenyataannya masih banyak terjadi pengangkatan tenaga honorer maupun

    kontrak di lingkungan pemerintahan yang diangkat oleh kepala instansi

    dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kepala instansi terkait, ini

    menimbulkan pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah dengan

    Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala instansi terkait, salah

    satunya SK Kepala Dinas Pendidikan No. 1751 Tahun 2012 tentang Guru

    Kontrak Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung Tahun 2012 serta

    Keputusan Bupati Badung No. 1316/01/HK/2005 tentang Pengangkatan

    Tenaga Honorer Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung. Hal ini

    menyebabkan kepastian hukum kedudukan tenaga honorer sangat lemah.

    Status hukum tenaga honorer perlu diperjelas dan dijamin kepastian

    hukumnya karena disatu pihak pengangkatan tenaga honorer maupun

    kontrak tetap dilakukan sedangkan dipihak lain muncul peraturan yang

    melarang pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005, hal ini

    menimbulkan permasalahan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum

    bagi mereka yang diangkat menjadi tenaga honorer setelah tahun 2005

    sedangkan tenaga mereka sangat dibutuhkan didalam kelancaran

  • 6administrasi pemerintahan, Pegawai yang berstatus bukan sebagai pegawai

    negeri inilah yang harus mendapat perhatian karena kedudukannya sebagai

    pegawai sangat tidak memiliki jaminan kepastian hukum. Hal ini sangat

    bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945 pada Pasal 27 Ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga

    negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

    Pemerintah dalam hal ini harus memperhatikan kesejahteraan tenaga

    honorer karena sampai kapan mereka akan berstatus sebagai tenaga

    honorer dan sampai kapan penggajian tenaga honorer yang dibebankan

    kepada APBD akan diberikan, semua itu tidak ada kejelasan. Walaupun

    pemerintah memiliki kewenangan diskresi atau Freies Ermessen yaitu

    kebebasan yang dimiliki pemerintah untuk melakukan penyimpangan terhadap asas

    legalitas, tetapi tindakan pemerintah juga harus dibatasi dan senantiasa bersandar

    kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik agar membawa manfaat bagi

    masyarakat. Pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat

    mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat kepada masyarakat. Dari

    pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut

    dengan judul KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA

    HONORER DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN.

  • 72. Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, maka

    rumusan masalah yang akan dikaji sebagai berikut :

    1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat

    menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48

    Tahun 2005 ?

    2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap tenaga

    honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai

    Negeri Sipil ?

    3. Tujuan Penelitian

    Secara garis besar tujuan penulisan dapat digolongkan menjadi dua

    (2) macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Sesungguhnya kedua

    tujuan ini saling berkaitan, saling mengisi antara yang satu dengan yang

    lainnya.

    3.1 Tujuan Umum

    Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui, mengkaji dan

    menganalisa mengenai proses pengangkatan tenaga honorer

    menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah

    daerah.

  • 83.2 Tujuan Khusus

    a) Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi antara PP No. 48

    tahun 2005 dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh

    Pejabat instansi di lingkungan pemerintah daerah.

    b) Untuk mengetahui tanggung jawab yang dilakukan pemerintah

    terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi

    Calon Pegawai Negeri Sipil.

    4. Manfaat Penelitian

    4.1 Manfaat Teoritis

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

    pengembangan ilmu hukum. Khususnya hukum kepegawaian sehingga

    nantinya dapat merumuskan pemikiran yang bersifat teoritis dalam hal

    pembuatan peraturan tentang kepegawaian.

    4.2 Manfaat Praktis

    Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan

    bagi aparatur pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan untuk

    mewujudkan keadilan di bidang kepegawaian.

    5. Orisinalitas Penelitian

    Masalah dalam hal kepegawaian sangat menarik untuk dijadikan

    objek penelitian terlebih lagi pegawai yang berstatus sebagai tenaga

    honorer karena di Indonesia masih banyak terdapat pegawai yang berstatus

    tenaga honorer yang sampai saat sekarang ini belum jelas statusnya dan

  • 9tuntutan mereka belum dipenuhi oleh pemerintah. Oleh sebab itu penulis

    sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Kepastian Hukum

    Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian, sejauh ini belum dilakukan

    oleh orang lain dalam penelitian hukum, oleh karena itu judul penelitian ini belum

    dikaji oleh peneliti-peneliti lainnya sehingga orisinalitas penelitian ini dapat penulis

    pertanggungjawabkan.

    Pertama : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah

    Mada, Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Haryuni yang berjudul

    Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Di

    Lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan2.

    Perbandingan :

    Haryuni : Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haryuni membahas

    mengenai permasalahan yang terjadi dalam pengangkatan

    tenaga honorer menjadi CPNS di Aceh Selatan, kendala yang

    ditemukan dalam penelitian tersebut adalah persepsi

    implementator yang berbeda terhadap tenaga honorer yang

    bisa masuk database, tidak adanya koordinasi dengan setiap unit

    organisasi dalam proses verifikasi dan penyusunan formasi, Hasil

    2 Haryuni, Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS DiLingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan , diakses darihttp://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011.

  • 10

    seleksi tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengangkatan

    tenaga honorer, Penempatan tenaga honorer tidak sesuai dengan

    kebutuhan riil masing-masing instansi.

    Penulis : dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pembahasan pada tenaga

    honorer yang tidak dapat diangkat menjadi PNS yang disebabkan

    pengangkatan honorer tersebut dilakukan melebihi batas tahun yang

    ditentukan di dalam PP No. 48 Tahun 2005.

    Kedua : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,

    Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Rosanti, yang berjudul Kebijakan Rekrutmen

    Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Di

    Kabupaten Morowali3.

    Perbandingan :

    Rosanti : Dalam penulisan tesis ini Rosanti meneliti tentang alasan Kabupaten

    Morowali melakukan pengangkatan tenaga honorer pasca PP No. 48

    Tahun 2005 alasannya adalah : adanya pertumbuhan organisasi

    pemerintahan daerah dengan berdirinya Kabupaten Morowali pada tahun

    1999 yang menimbulkan konflik pemindahan Ibukota, sehingga

    berdampak pada kebutuhan jumlah pegawai, penerapan PP No. 41 tahun

    3 Rosanti, Kebijakan Rekrutmen Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor48 Tahun 2005 Di Kabupaten Morowali, diakses darimorowali://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=opac&act=view&typ=html&perpus_id-&perpus=searcing=tenaga honorer,pada tanggal 20 Agustus 2011.

  • 11

    2007 membuka peluang bagi pegawai untuk mengembangkan karir dan

    kegiatan mutasi pegawai menyediakan ruang kosong bagi kebutuhan

    Sumber Daya Manusia yang cukup besar untuk menunjang pelaksanaan

    tugas pemerintahan. Hal ini kemudian menjadi alasan pemerintah daerah

    melalui masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan

    rekrutmen tenaga honorer. Namun demikian rekrutmen yang dilakukan

    belum dilaksanakan secara baik sehingga menjadi kurang terkendali.

    Dampak dari kebijakan ini terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan

    secara umum kualitas sumber daya manusia membaik, kualitas pelayanan

    publik cenderung membaik, namun jumlah tenaga honorer yang terus

    bertambah memberikan tekanan besar pada APBD Kabupaten Morowali

    sehingga melebihi kemampuan anggaran keuangan daerah. dalam tesis

    tersebut Penulis menyarankan agar pemerintah daerah dalam memenuhi

    kebutuhan SDM, rekrutmen tenaga honorer dilakukan perencanaan yang

    matang dengan mempertimbangkan keadaan organisasi pemerintah

    daerah, kemampuan keuangan daerah, visi dan misi daerah, kondisi sosial

    masyarakat dan kebijakan pemerintah pusat dan propinsi. Perencanaan

    pegawai harus betul-betul mencerminkan kebutuhan riil organisasi pemda,

    sehingga diharapkan tidak terdapat lagi tenaga honorer yang tidak

    memiliki kompetensi tetapi menjadi beban pemda.

    Penulis : Dalam penelitian Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam

    Sistem Kepegawaian disini lebih khusus membahas mengenai bagaimana

  • 12

    kedudukan tenaga honorer yang telah diangkat setelah tahun 2005, dengan

    berlakunya PP No. 48 Tahun 2005 ini kepastian hukum kedudukan tenaga

    honorer tersebut tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum, karena

    pengangkatan mereka tidak sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 yang

    telah dikeluarkan, dan membahas sejauh mana tanggung jawab yang

    diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagai pelaku yang melakukan

    tindakan hukum pengangkatan tenaga honorer tersebut.

    Ketiga : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,

    Yogyakarta, Tahun 2007, atas nama David Yudia Putra yang berjudul Implementasi

    Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah

    Propinsi Sumatera Barat4.

    Perbandingan :

    David : Dalam tesis ini membahas mengenai bagaimana implementasi kebijakan

    pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil serta

    faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan

    pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di

    lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Hasil dari penelitian ini

    4 David Yudia Putra yang berjudul Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorermenjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, diakses darihttp://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011.

  • 13

    adalah pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tidak dilaksanakan

    sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, hal ini terjadi karena :1.

    Persepsi implementor yang keliru menyebabkan terdapat beberapa tenaga

    honorer yang tidak masuk data base. 2. Konsitensi dan koordinasi yang

    lemah menyebabkan Formasi tahun 2006 yang telah ditetapkan, dari sisi

    komposisinya tidak sesuai dengan prioritas pengangkatan Tenaga Honorer

    menjadi CPNS. 3. Pengumuman dalam proses perekrutan tidak

    menyebutkan bahwa formasi yang lowong harus dilamar oleh para tenaga

    honorer, hal ini mengakibatkan beberapa tenaga honorer yang memenuhi

    kualifikasi yang dipersyaratkan dalam formasi tersebut tidak bisa diangkat

    menjadi CPNS, 4.Evaluasi yang tidak dilaksanakan secara benar dan tepat,

    menyebabkan terdapat tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat tetap

    diusulkan menjadi CPNS.

    Penulis : Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pembahasan terhadap tenaga

    honorer yang tidak masuk ke dalam data base karena pengangkatannya tidak

    sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005.

    Keempat : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,

    Yogyakarta, Tahun 2010, atas nama Padmawati dengan judul penelitian Kajian

    Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas

  • 14

    Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor

    43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian5.

    Perbandingan :

    Padmawati : Dalam penelitian ini meneliti tentang keberadaan guru honorer di

    Pemerintah Kota Surakarta tujuannya adalah untuk mengetahui

    pengaturan tenaga guru honorer Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas

    Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta menurut Undang-

    Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian di Pemerintah

    Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota

    Surakarta menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang

    Kepegawaian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada tesis

    tersebut dapat disimpulkan bahwa di Kota Surakarta telah diselesaikan

    pada tahun 2009 dimana guru honorer diangkat menjadi Calon Pegawai

    Negeri Sipil dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 43

    Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan dirinci dalam

    Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah

    dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang

    Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

    5 Padmawati, Loc.cit

  • 15

    Penulis : Dalam penelitian ini penulis membahas keberadaan tenaga honorer dengan

    permasalahan yang terjadi, baik itu tenaga honorer yang berasal dari

    tenaga guru, administrasi, kesehatan. Dimana keberadaan mereka tidak

    masuk dalam data base dan tidak dapat diangkat menjadi CPNS karena

    pengangkatan mereka bertentangan dengan PP No. 48 Tahun 2008.

    6. Landasan Teoritis

    Sebagai landasan dalam upaya pembahasan penelitian ini maka

    penulis menggunakan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas dan pandangan

    sarjana sebagai dasar untuk menjawab permasalahan yang dipaparkan

    dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah :

    1. Konsep Negara hukum

    2. Teori Kewenangan

    3. Asas Desentralisasi

    4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

    5. Teori Penjenjangan Norma

    6.1 Konsep Negara Hukum

    Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional

    (sebagai lawan dari tatanan hukum internasional). Negara sebagai badan hukum

    adalah suatu personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas,

    oleh sebab itu dari sudut pandang hukum persoalan Negara tampak sebagai persoalan

  • 16

    tatanan hukum nasional6. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 disebutkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum, ini

    artinya bahwa mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat dan Negara diatur

    oleh hukum (baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis) sehingga baik anggota

    masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut7.

    Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada

    implementasi memiliki karakter yang beragam hal ini disebabkan karena falsafah

    bangsa, ideoligi negara dan lain-lain8. Dalam sistem hukum eropa kontinental (civil

    law) negara hukum dikenal dengan istilah rechtsstaat, negara hukum menurut eropa

    kontinental ini harus memenuhi empat syarat seperti yang dikatakan Freidrich Julius

    Stahl dalam bukunya Ridwan HR adalah :

    1. Perlindungan Hak Asasi Manusia

    2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu

    3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan

    4. Peradilan administrasi negara9

    6 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusamedia dan Nuansa,Bandung, hlm.261.

    7 Baharuddin Lopa, 1987, Permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan Bintang,Jakarta, hlm 101.

    8 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm 1

    9 Ibid, hlm 3

  • 17

    Unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana disampaikan oleh Sri

    Soemantri meliputi :

    1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harusberdasarkan atas hukum.

    2. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (warga negara)3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (rechterlijke controle)10

    Penjelasan unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan oleh Sri Soemantri

    diatas memperjelas bahwa Negara Republik Indonesia bersistem konstitusional tidak

    absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan konsep unsur dari negara hukum ini

    pemerintah daerah yang telah mendapat hak otonomi tidak boleh sewenang-wenang

    menjalankan kekuasaannya, pemerintah daerah harus tetap mengacu kepada

    pemerintah pusat karena negara kita adalah negara kesatuan.

    Unsur-unsur negara hukum pada konsep civil law yang dikemukakan oleh

    para sarjana diatas memiliki kesamaan satu dengan yang lain, dengan adanya negara

    hukum tugas pemerintah sangat luas yaitu mengutamakan kepentingan seluruh

    masyarakat, setiap tindakan pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang agar

    tidak berbuat sewenang-wenang.

    Sedangkan konsep negara hukum menurut anglo saxon (common law)

    dikenal dengan istilah rule of law, menurut A.V Dicey dalam bukunya Ridwan HR,

    10 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni Bandung,Bandung, hlm 29.

  • 18

    yang lahir dalam naungan sistem anglo saxon mengemukakan unsur-unsur Negara

    hukum (rule of law) :

    1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremasi of the law) yaitu tidak adanyakekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power) dalam artibahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.

    2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.

    3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain olehundang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.11

    Dalam kaitan dengan penelitian ini kedua konsep negara hukum baik dari

    civil law maupun common law sama-sama digunakan sebagai dasar teori dalam

    penelitian ini, dalam konsep civil law dasar yang digunakan adalah Asas Legalitas

    dan Perlindungan Hak Asasi Manusia sedangkan dalam common law syarat yang

    digunakan untuk memperkuat argumen teoritik dalam kaitan dengan judul penelitian

    ini adalah supremasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Kedua konsep

    civil law (rechtsstaat) dan common law (rule of law) sangat relevan dipergunakan

    sebagai dasar pembenaran akademik.

    Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam

    setiap penyelenggaraan pemerintah dan Negara, secara normatif bahwa setiap

    tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau

    berdasarkan pada kewenangan dianut setiap Negara hukum selain itu tindakan

    pemerintah tidak boleh dilakukan secara retroactive yaitu Asas yang melarang suatu

    aturan berlaku surut.

    11 Ridwan HR, Loc.cit.

  • 19

    Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum

    pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada

    suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-

    undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan).

    Dengan penerapan asas legalitas ini oleh pemerintah maka tindakan yang

    dilakukan akan jelas dan memiliki kepastian hukum karena asas legalitas menjadi

    dasar legitimasi tindakan pemerintah sehingga persamaan perlakuan pada setiap

    orang terutama pegawai, baik itu yang berstatus pegawai negeri maupun tenaga

    honorer akan terwujud sehingga hak asasi mereka sebagai pegawai akan terjaga.

    Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki, diperoleh dan dibawa

    bersama dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak

    Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan

    oleh karena itu menjadi kewajiban semua orang untuk menghormati, menjunjung

    tinggi dan melindungi HAM12. Dengan berpedoman kepada asas legalitas maka tidak

    akan terjadi pelanggaran terhadap HAM, oleh sebab itu pemerintah daerah dalam

    mengelola aparaturnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada agar tidak terjadi

    pelanggaran terhadap HAM, namun apabila pemerintah daerah dalam

    pelaksanaannya melanggar peraturan yang ada maka tindakan pemeritah tersebut

    dapat dituntut ke Badan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adminitrative law

    12 Dasril Radjab,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.176.

  • 20

    takes several forms agencies can act somewhat like legislatures and somewhat like

    court they may promulgate binding regulation goverment areas of their expertise or

    they may decide matters involving particular litigants on a case by case basis.13

    Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata

    usaha antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha

    negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai dikeluarkannya keputusan tata usaha

    negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.

    Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat di pusat dan di

    daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum tata usaha

    negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber

    pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan

    kewajiban pada orang lain.14

    Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila15.

    Negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat akan tetapi dituntut

    untuk peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat.

    Sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum maka supremasi hukum harus

    ditegakkan, segala tindakan pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum yang

    13 Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research, West Group,hlm 206

    14 Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Di Gugat, Penerbit Djambatan, Jakarta,hlm 6-7.

    15 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di Indonesia,Penerbit Alumni Bandung, Bandung, hal 11.

  • 21

    berlaku, tindakan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang, tidak ada tindakan yang

    tidak berdasarkan atas hukum dan seseorang hanya dapat dihukum apabila melanggar

    hukum, begitu juga dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak

    boleh bertentangan dengan apa yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat hal ini

    dilakukan untuk menjaga kesatuan bangsa.

    Menurut Soehino melihat konsep negara kesatuan dari segi susunannya,

    negara kesatuan adalah :

    Negara yang tidak tersusun dari negara dengan demikian didalam negara kesatuanini hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintahan pusat yang mempunyaikekuasaan dan wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskansegala sesuatu didalam negara itu16.

    Dalam negara kesatuan kekuasaan negara terletak pada pemerintah pusat

    bukan pada pemerintah daerah tetapi pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian

    kekuasaannya kepada pejabat daerah berdasarkan hak otonom (dalam rangka

    desentralisasi)17.

    Menurut Moh. Mahfud MD konstitusi tidak boleh memberi pembatasan atas

    HAM atau menjadikannya sebagai sisa kekuasaan pemerintahan semata sebaliknya

    kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi agar HAM warganya tidak

    16 Soehino, 1980, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm 224.

    17 Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Penerbit GayaMedia Pratama, Jakarta, hlm 29.

  • 22

    dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sesama warganya.18 Dengan

    berpedoman kepada aturan maka kepastian hukum akan terjadi karena suatu

    peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah dapat

    diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-

    peraturan yang berlaku maka pada asasnya dapat dilihat dan diharapkan apa yang

    akan dilakukan pemerintah sehingga masyarakat dapat menyesuaikan dengan

    keadaan.

    6.2 Teori Kewenangan

    Kewenangan (authority,gezag) dan wewenang (competence bevoegdheid),

    wewenang berasal dari kata wenang yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

    wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu),

    sedangkan kewenangan juga diartikan sama.19 Dalam bukunya Ridwan HR tentang

    Hukum Adminitrasi Negara, H.D Stout mengatakan:

    Bevoegdheid is een begrip uit het berstuurlijke organisatierecht, wat kanworden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heft op deverkrijging en uitoefening van bertuursrechtelijke bevoegdheden doorpubliekrechtlijke rechtsubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer(wewenang merupakan pengertian dari hukum organisasi pemerintahan yangdapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan denganperolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik).

    18 Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES,Jakarta, hlm 159.

    19 Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1150

  • 23

    Dengan adanya wewenang maka pemerintah pusat maupun daerah dapat

    melakukan tindakan hukum pemerintahan sesuai dengan peraturan yang berlaku,

    kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan

    Hukum Administrasi Negara karena didalamnya terkandung hak dan kewajiban dari

    pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya kewenangan ini maka

    pemerintah daerah khususnya dapat mengatur daerahnya baik dalam hal urusan

    rumah tangga daerah, aparatur pemerintahan daerah, mengelola kekayaan alamnya,

    dll.

    Menurut F.P.C.L Tonnaer pengertian kewenangan dalam bukunya Ridwan

    HR menyatakan :

    Overheidsbevoeghdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen ompositief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burger onderlingen tussen overhead en te scheppen (kewenangan pemerintah dalam kaitan inidianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif dan denganbegitu dapat menciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warganegara).20

    Pengertian kewenangan menurut Ridwan H.R. adalah Kewenangan yang

    biasanya terdiri dari beberapa wewenang, adalah kekuasaan terhadap segolongan

    orang-orang tertentu ataupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau

    bidang urusan tertentu yang bulat, seperti urusan-urusan pemerintahan. Menurut

    Achmad Sanusi pada dasarnya, dapat diterima bahwa setiap manusia (menselijk

    wezen) dianggap sebagai orang (persoon) atau subjek-hukum. Ia mempunyai

    20 Ridwan HR, Op cit , hlm 101.

  • 24

    wewenang hukum, yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif.21 Menurut S.F

    Marbun wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan

    hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh

    undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.22 Jadi

    kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang

    lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.

    Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (recht bevoegdheid).

    Hebert A Simon memberikan pengertian wewenang adalah sebagai kekuasaan

    untuk mengambil keputusan yang membimbing tindakan-tindakan individu lainnya.

    Wewenang merupakan hubungan antara dua individu satunya atasan dan yang

    lainnya bawahan23. Philipus M Hadjon mengatakan wewenang terdiri atas

    sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas

    hukum24. Komponen pengaruh menekankan penggunaan wewenang dimaksudkan

    untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum dimaksudkan

    21 Satria, Pengertian Wewenang, http://satriagosatria.blogspot.com/2009/12/pengertian-wewenang.html.

    22 SF. Marbun, 1997, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,Liberty, Yogyakarta, hlm 154-155.

    23 Herbert A Simon, 1984, Perilaku Adminitrasi, terjemahan Cetakan kedua, Penerbit PT. BinaAksara, Jakarta, hlm 195.

    24 Philipus M Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia(Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, hlm 135.

  • 25

    bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum yang jelas, sedangkan

    komponen konformitas hukum dimaksudkan bahwa wewenang itu haruslah

    mempunyai standar yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang dan standar

    khusus untuk wewenang tertentu.

    Secara teoritis kewenangan bersumber dari Peraturan Perundang Undangan,

    Dalam bukunya Ridwan HR, HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt menjelaskan

    kewenangan diperoleh melalui tiga cara yaitu :

    1. Atribusi

    2. Delegasi

    3. Mandat25

    Menurut Van Wijk dalam bukunya Hoofdstukken Van Administratif Recht

    mengatakan :

    Van delegative van bestuursbevoegdheden is sprake wanneer een bevoegdheid vaneen bestuursorgaan wordt overgedragen aan een ander orgaan, dat diebevoegdheid gaat uitoefenen in plaats van het oorspronkelijk bevoegde orgaan.delegatie impliceert dus overdracht wat aanvankelijke bevoegd heid van a was is

    25 Ridwan HR, Op.cit, hlm 105, 1) atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan olehpembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, ini artinya bahwa wewenang untuk membuatkeputusan langsung bersumber pada Undang-Undang, kewenangan ini disebut dengan kewenanganasli, 2) delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepadaorgan pemerintahan lainnya, ini artinya adalah adanya penyerahan wewenang untuk membuatkeputusan oleh Pejabat Pemerintahan kepada pihak lain, pemindahan tanggung jawab dari yangmemberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). 3) mandat terjadi ketikaorgan pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ini artinyamemberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberimandat dan tanggung jawab pemberi mandat bukan tanggung jawab mandataris

  • 26

    voortaan bevoegdheid van b.26( terjemahan sendiri : kekuatan delegatif terjadiketika kekuatan dari sebuah badan administratif awal ditransfer/diberikan ketubuh yang akan menjalankan kekuasaan yang akan menjadi kekuatan yangdimiliki oleh pihak yang menerima transferan/pihak yang diberi kekuatan).

    Dalam kaitan dengan teori kewenangan dalam penelitian ini delegasi

    merupakan wewenang yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini, pemerintah

    pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur wilayah

    dan aparatur di wilayahnya masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya

    pemerintah daerah tidak boleh menciptakan wewenang baru namun hanya

    menjalankan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat.

    Setiap perbuatan pemerintah harus bertumpu pada suatu kewenangan yang

    sah, tanpa adanya kewenangan yang sah pejabat atau badan usaha negara dalam hal

    ini tidak akan dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah.27

    Selain kewenangan tersebut pemerintah juga memiliki kebebasan bertindak

    melalui Freies Ermessen atau kewenangan diskresi. Kewenangan diskresi ini tidak

    dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang pemerintahan yang

    melekat untuk bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan

    tanggungjawab atas tindakan tersebut. Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman

    26 Van Wijk, 1988, Hoofdstukken Van Administratif Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Culemborg,hlm. 60

    27 Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adminitrasi, Banyumedia Publising, Malang, hlm77.

  • 27

    dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan discretion, yang artinya kebebasan

    bertindak.

    Laica Marsuki mengatakan Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang

    diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan

    pemerintahan, diembankan dalam kaitan menjalankan bestuurzorg.28 Menurut Nata

    Saputra Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat

    administrasi yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi

    Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada

    berpegang teguh kepada ketentuan hukum.29

    Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus

    dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:

    1. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh

    administratur negara

    2. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan

    keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan

    3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara

    moral maupun hukum.

    28 Sadjijono, Op.cit, hlm 70.

    29 M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm.5

  • 28

    Terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Hal ini diperlukan

    agar tidak terjadi kewenangan yang tidak terbatas, yaitu adanya kebebasan atau

    keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri, untuk

    menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, kewenangan pemerintah ini tidak boleh

    mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan

    secara hukum dan juga secara moral.

    Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif)

    dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:

    1. Apabila terjadi kekosongan hukum

    2. Adanya kebebasan interprestasi

    3. Adanya delegasi perundang-undangan

    4. Demi pemenuhan kepentingan umum. 30

    Dari penjelasan tersebut diketahui pemerintah memiliki kewenangan diskresi

    tetapi tetap pada batas-batas yang ditentukan, batas-batas diskresi seorang pejabat

    administrasi pemerintahan adalah memperhatikan :

    1. Tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan

    2. Tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia

    3. Untuk kepentingan umum

    4. Negara dalam keadaan darurat, bencana alam.

    30 http://justkazz.blogspot.com/2010/02/penggunaan-asas-diskresi-dalam.html

  • 29

    5. Konstitusi Undang-Undang belum jelas atau belum ada yang mengatur

    6. Tidak ada kepentingan antara pejabat dengan produk diskresi

    7. Adanya persetujuan dari masyarakat jika diskresi akan merugikan.

    8. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan asas-asas umum

    pemerintahan yang baik.

    6. 3 Asas Desentralisasi

    Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 18 menentukan bahwa

    :

    Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur danmengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugaspembantuan.

    Ini artinya bahwa pemerintah daerah dapat menjalankan dan mengatur

    pemerintahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat, kewenangan ini

    diberikan agar pemerintah daerah lebih dapat memperhatikan dan memajukan

    daerahnya dengan sumber pendapatan asli daerah yang dimiliki, setiap permasalahan

    yang terjadi didaerah dapat segera teratasi dengan adanya hak otonomi tersebut.

    J in het veld menyajikan beberapa kebaikan dari asas desentralisasi yaitu :

    1. Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap daerahdan penduduk yang beraneka ragam;

    2. Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena pemerintahpusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dankebutuhan setempat dan tidak mungkin mengetahui bagaimanamemenuhi kebutuhan tersebut;

    3. Dengan desentralisasi dapat meringankan beban yang melampaui batasdari perangkat pusat yang disebabkan tunggakan kerja;

    4. Pada desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol karenadalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebihmempergunakan pengaruhnya daripada masyarakat luas;

  • 30

    5. Pada desentralisasi masyarakat setempat dapat kesempatan ikut sertadalam penyelenggaraan pemerintah tidak hanya sebagai objek;

    6. Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalammelakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah lakupemerintah, ini dapat menghindari pemborosan dalam hal tertentu,desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna31.

    Daerah Otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-

    batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

    kepentingan masyarakat setempat. Pemberian otonomi ini bertujuan untuk

    mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat karena pemerintah pusat tidak

    mungkin dapat menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa bantuan pemerintah

    daerah.

    Bagir Manan menyatakan dalam kaitan dengan otonomi daerah hak

    mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan

    mengelola sendiri (zelbesturen) sedangkan kewajiban secara horizontal berarti

    kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara

    vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan

    pemerintahan Negara secara keseluruhan.32

    Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

    Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa :

    31 J.In Het Veld, Niewevormen Van Decentralisaties,P.Sikke en A Zadel dalam Beknopt leerbookvoor het gemeente Recht, dalam Victor Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, page 42.

    32 Bagir Manan, 2000, Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah,Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung 13 Mei.

  • 31

    Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahkepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam systemNegara Kesatuan Republik Indonesia.

    Walaupun terjadi penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah

    daerah dalam penyelenggaraan pemerintah tidak boleh mengingkari makna Negara

    kesatuan. Pemerintahan yang dibentuk sebagai akibat adanya pemisahan kekuasaan

    dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak

    terpisahkan dari pemerintah pusat dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.

    Hazairin dalam bukunya Fauzan menyatakan desentralisasi adalah suatu cara

    pemerintahan yang sebagian kekuasaan mengatur dan mengurus dari pemerintah

    pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan misalnya kepada daerah-

    daerah dalam Negara sehingga daerah-daerah tersebut mempunyai pemerintahan

    sendiri.33 Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah

    pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus

    rumah tangganya sendiri.34 Menurut Siswanto Sunaryo desentralisasi adalah

    penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk

    mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI35. Kemantapan

    33 Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan KeuanganAntara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm 45.

    34 Viktor M Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika,Jakarta, hlm 38.

    35 Siswanto Sunaryo, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,hlm.7

  • 32

    penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negara termasuk pemerintahan daerah

    sampai kelurahan/desa berhubungan langsung oleh kemantapan dasar dan kecermatan

    pengaturan prinsip negara kesatuan dan desentralisasi36.

    Berdasarkan uraian diatas Indonesia menganut otonomi yang seluas-luasnya,

    nyata dan bertanggung jawab, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

    mengatur semua urusan pemerintah pusat, kecuali masalah politik luar negeri,

    pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama.

    Dengan asas desentralisasi pemerintah daerah dituntut untuk dapat

    meningkatkan daerahnya baik dari segi pendapatan maupun sumber daya manusianya

    sehingga dengan asas ini Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah diberikan

    kewenangan untuk mengatur aparatur daerahnya dengan baik, berupaya untuk terus

    meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pemerintah

    seperti perekrutan pegawai baik dari jalur umum maupun pengangkatan tenaga

    honorer.

    6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

    Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De

    Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van

    Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum

    36 Arief Mulyadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara KesatuanRI, Prestasi Pustaka,hlm 266.

  • 33

    bagi rakyat terhadap pemerintah37. Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah

    karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

    dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya Undang-

    Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

    Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan

    asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : kepastian hukum, tertib

    penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, professional dan akuntabilitas

    sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang

    Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan

    Nepotisme. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1 menentukan :

    Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umumpenyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertibpenyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas efisiensi,asas efektivitas.

    Crince le Roy menyebutkan beberapa asas umum pemerintahan yang baik

    yaitu :

    1. Asas kepastian hukum (principle of legal security recht zakerheidsbeginsel)2. Asas keseimbangan (principle of proportionality evenredigheidsbeginsel)3. Asas kesamaan (principle of equality, gelijkheids beginsel)4. Asas kecermatan (principle of carefulness, zorgvuldigheids beginsel)5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah (principle of motivation,

    motiveringsbeginsel).6. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (principle of non misuse of

    competence, verbord van detournament depouvoir).7. Asas permainan yang wajar (principle of fair play, fair play beginsel)8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of

    arbitrariness, redelijkgeids beginsel of verbod van willkeur).

    37 Amrah Muslimin, 1982 , Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok TentangAdministrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hlm 140.

  • 34

    9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle ofmeeting raised expectation of gewekte verwachtingen).

    10.Asas peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing theconsequences of an annulled decision herstel beginsel

    11.Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup pribadi (principle ofprotecting the personal way of life, bescherming van de personlijklevenssfeer).38

    Dari uraian asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas sangat relevan

    digunakan untuk mendukung penelitian ini, pemerintah daerah harus menerapkan

    asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan pemerintahannya

    terutama pada asas kepastian hukum dan asas keadilan khususnya dalam hal

    perekrutan pegawai baik itu melalui jalur umum maupun pengangkatan pegawai

    honorer. Penulis dalam penelitian ini menggunakan asas kepastian hukum dan asas

    keadilan karena :

    1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan

    landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap

    kebijakan penyelenggaraan Negara.39 Asas kepastian hukum memiliki dua

    aspek yaitu : aspek material yang berkaitan dengan kepercayaan, dimana asas

    kepastian hukum menghalangi badan pemerintah menarik kembali keputusan

    dan merubahnya. Aspek formal memberikan hak kepada yang berkepentingan

    38 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Setia, Bandung,hlm 81.

    39 Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta,Yogyakarta, hlm 75.

  • 35

    untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya secara

    tepat dan tidak adanya berbagai tafsiran.

    2. Asas keadilan menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat

    administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran, asas

    keadilan menuntut tindakan pemerintah harus proposional, sesuai, seimbang

    dan selaras dengan hak setiap orang.

    6.5 Teori Penjenjangan Norma

    Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang

    menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma.

    Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada

    norma yang lebih tinggi.40 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur

    pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk membuat

    norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara

    ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi

    validitas dari norma hukum yang dibuat pertama.

    Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah

    superordinasi dan subordinasi. Norma yang menentukan pembentukan norma lain

    adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang

    40 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 83.

  • 36

    lebih rendah.41 Jenjang Perundang-Undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat

    dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan

    yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang-

    Undang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan

    yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak

    boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.42

    Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik, antara

    satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, maupun konflik

    norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam

    Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain.

    Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka diperlukan penyelesaian dengan

    menggunakan asas-asas preverensi yang meliputi:

    a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturanperundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.

    b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undanganyang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturanperundang-undangan yang bersifat umum (general).

    c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yangbaru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yanglama.43

    41 Hans Kelsen, Op cit, hlm 179

    42 Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.131

    43 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 6-7.

  • 37

    Keberadaan teori penjenjangan norma hukum pada tesis ini sangat

    penting karena dengan teori ini akan menjawab permasalahan yang terjadi

    secara akademis, dalam penelitian ini terjadi konflik norma antara

    peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah yaitu

    antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan, sehingga pada teori

    penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah lex superior derogat legi

    inferiori yang artinya dengan sistem piramida, peraturan yang lebih rendah

    tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, peraturan

    yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.

    7. Metode Penelitian

    Metode yang digunakan di dalam penelitian tesis ini adalah :

    7.1 Jenis Penelitian

    Penelitian tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem

    Kepegawaian merupakan jenis penelitian hukum normatif, menurut

    Soejono Soekanto penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

    bahan pustaka dapat dikatakan penelitian hukum normatif. Penelitian

    hukum normatif atau kepustakaan mencangkup : penelitian terhadap asas-

    asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap

    taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum serta

  • 38

    sejarah hukum.44 Morris L Cohen dan Kent C Olson legal research is an

    essential component of legal practice. It is the process of finding the law

    governs an activity and materials that explain or analyze that law45

    (penelitian hukum merupakan bagian terpenting dari praktek hukum.

    Penelitian hukum digunakan dalam proses penemuan hukum dalam hal

    mengatur dan menerangkan isi hukum). Dalam penelitian ini mengkaji

    tentang sistematik hukum yaitu konflik norma antara PP No. 48 tahun 2005

    dengan Surat Keputusan Kepala Instansi. Menurut Amiruddin dan Zainal

    Asikin menyatakan penelitian hukum positif disebut juga penelitian

    hukum doctrinal dimana acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang

    tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum

    dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku

    manusia. Sumber datanya adalah bahan hukum primer, bahan hukum

    sekunder dan bahan hukum tersier.46

    44 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu TinjauanSingkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 14.

    45 Morris L Cohen, Kent C Olson, 2000, Legal Research In a Nutshell, Seventh Edition, WestGroup,ST.Paul,Minn page 1.

    46 Amiruddin, dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. RajagrafindoPersada, Jakarta, hlm 118.

  • 39

    7.2 Jenis Pendekatan

    Macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum adalah :

    1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

    Penelitian ini dilakukan dengan menelaah semua Undang-

    Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang

    sedang ditangani, pendekatan ini juga bertujuan untuk mengetahui

    sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun

    horizontal, secara vertikal melihat bagaimana hierarkis peraturan

    perundang-undangan tersebut, sedangkan secara horizontal diteliti

    sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur

    berbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara

    konsisten. Tujuannya adalah agar dalam penelitian ini dapat

    mengetahui kelemahan pada peraturan perundang-undangan yang

    digunakan dalam mengatur bidang-bidang tertentu.

    2. Pendekatan Kasus (Case Approach)

    Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang

    berkaiatan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan

    pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, yang menjadi kajian pokok

    dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu

    pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu keputusan. Ratio

    decidendi atau reasoning ini digunakan sebagai referensi bagi penyusunan

    argumentasi dalam pemecahan isu hukum. if you have one case name in a

  • 40

    subjek area, you should be able to use this piece of information to locate :

    other cases, trough the case digests and citators, relevant legislation through

    the encyclopaedias47 (jika anda memiliki suatu kasus maka harus

    dibandingkan dengan kasus lain yang ada, melalui kasus tersebut dicerna

    dengan peraturan yang relevan dan dengan ensiklopedia).

    3. Pendekatan Historis (Historical Approach)

    Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang mengenai

    apa yang dipelajari dan perkembangan peraturan mengenai isu yang sedang

    dihadapi. Pendekatan ini mengungkap filosofi dan pola pikir yang

    melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.

    4. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)

    Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan Undang-Undang

    suatu negara dengan Undang-Undang dari satu atau lebih negara lain

    mengenai hal yang sama. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui

    persamaan dan perbedaan diantara Undang-Undang tersebut.

    5. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)

    Dalam pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan

    dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum,

    dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di

    47 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook, Australia, page 35.

  • 41

    dalam ilmu hukum peneliti akan menemukan ide-ide yang

    melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,

    asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Ini akan

    dijadikan dasar untuk membangun argumentasi hukum dalam

    memecahkan isu yang dihadapi48.

    Dalam penelitian ini penulis penggunakan pendekatan undang-undang

    dan pendekatan konseptual, karena dalam penelitian ini menelaah semua

    peraturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani dan

    mencari sinkronisasi peraturan baik secara vertikal maupun horizontal, selain

    itu dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual mengkaji

    terhadap teori-teori, definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan

    pengertian dan landasan dalam pelaksanaan yang berkaitan dengan

    kepegawaian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

    Konsep Negara hukum, Teori Kewenangan, Asas Desentralisasi,

    Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Teori Penjenjangan

    Norma.

    7.3 Sumber Bahan Hukum

    1. Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat seperti

    norma dan kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,

    48 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabaya,hlm.93-95

  • 42

    bahan hukum yang tidak dikodifikasi dan yurisprudensi dalam penelitian ini

    bahan hukum primer yang digunakan adalah :

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    Undang-Undang No. 43 tahun 1999 (yang selanjutnya disebut

    UU No. 43 tahun 1999) tentang Perubahan atas Undang-Undang

    RI No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169).

    Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

    Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75).

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang selanjutnya

    disebut UU No. 32 tahun 2004) yang telah diubah menjadi

    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan

    Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

    Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

    2008 Nomor 59).

    Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas

    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha

    Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160).

    Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2005 (yang selanjutnya

    disebut PP No. 48 tahun 2005) yang sekarang sudah dirubah

  • 43

    dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2007 tentang

    Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005

    Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon

    Pegawai Negeri Sipil. (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 2005 Nomor 122).

    Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

    Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

    Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82).

    Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21

    Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengolahan

    Tenaga Honorer Tahun 2005.

    Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 15

    Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer.

    Surat Edaran Menteri Negara PAN dan RB Nomor 5 Tahun

    2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di

    Lingkungan Instansi Pemerintah.

    2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

    penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku

    hukum, hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum. Dalam

    penelitian ini penulis menggunakan buku, makalah, hasil penelitian

  • 44

    dalam bidang hukum, internet yang berkaitan dengan penelitian

    yang penulis lakukan.

    3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan

    petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

    bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, ensiklopedia.49

    7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

    Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini

    adalah dengan sistem kartu (card system). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji

    berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan ada dua yaitu50 :

    a. Kartu kutipan yang digunakan untuk mencatat atau mengutip sumber bahanbacaan tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis, judul buku atau artikel,impesum, halaman dan sebagainya)

    b. Kartu bibliografi dipergunakan untuk mencatat sumber bahan bacaan yangdipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu penelitimenyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporanpenelitian.

    Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan

    mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam

    kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang

    dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas pendapatnya.

    49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu TinjauanSingkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13

    50 ibid, hlm 53

  • 45

    Selanjutnya bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui study kepustakaan

    digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.

    7.5 Teknik Analisa Bahan Hukum

    Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan permasalahan yang dibahas

    selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi, sistematisasi

    evaluasi, argumentasi.

    Pendeskripsian atau penggambaran yang dilakukan untuk menentukan isu dan

    makna dari suatu bahan hukum yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang

    diteliti. Pada tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan terhadap makna dari

    hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

    masalah kepegawaian baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

    Surat Keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah.

    Tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma

    terutama dalam hal ditemukan konflik norma. Dalam hal ini maka untuk

    menyelesaikan konflik norma diantaranya dengan : pengingkaran (disavowal),

    reinterpretasi, pembatalan (invalidation), pemulihan (remedy).

    Setelah bahan hukum dapat diindentifikasi dengan jelas maka kemudian

    dilakukan sistematisasi, pada tahap sistematisasi ini akan dilakukan pemaparan

    berbagai pendapat hukum dan hubungan hierarki antara aturan-aturan hukum yang

    berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan

    koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum dari para sarjana

    yang berhubungan agat dapat dipahami dengan baik. Bahan hukum yang sudah

  • 46

    tersistematisasi, baik yang berasal dari pendapat sarjana maupun peraturan perundang

    hukum lainnya selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat atau

    argumentasi disesuaikan dengan koherensi terhadap permasalahan yang dibahas

    dalam penelitian ini.

  • 47

    BAB II

    PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA

    Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan

    dengan kepegawaian yaitu : pengertian tenaga honorer, penggunaan

    beberapa istilah yang berbeda di dalam menyebutkan tenaga yang bukan

    berstatus sebagai Pegawai Negeri, adanya pengangkatan tenaga honorer

    setelah tahun 2005 yang menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap

    kedudukan tenaga honorer yang diangkat tersebut serta pengangkatan

    tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil yang tidak sesuai dengan

    Pasal 3 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2005), selain itu juga akan membahas

    pengertian Pegawai Negeri Sipil serta Pejabat Pembina Kepegawaian.

    1. Tenaga Honorer

    Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi

    kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu yaitu

    harus ada pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang

    hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu nation51.

    Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat Undang-

    Undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Negara

    mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa semua penduduknya agar

    51 C.S.T. Kansil,1992, Ilmu Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12

  • 48

    mentaati Undang-Undang serta Peraturan lainnya, untuk mewujudkan

    kedaulatan tersebut dibutuhkan pemerintah yang berdaulat artinya bahwa

    negara memiliki pemerintahan yang berwibawa, pemerintah harus diakui

    oleh rakyatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sederajat dengan

    negara lain, untuk memiliki suatu pemerintahan yang berwibawa

    dibutuhkan aparatur yang baik dan handal untuk menggerakkan

    pemerintahan52.

    Sebagai suatu negara hukum, Indonesia dalam menjalankan setiap

    tindakan pemerintahannya harus berdasarkan atas hukum, tujuannya agar

    setiap tindakan pemerintah memiliki legitimasi sehingga kepastian hukum

    tetap ditegakkan, hanya ada satu negara yang berkuasa yaitu pemerintah

    pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi, pemerintahan pusat inilah

    yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu di

    dalam negara tersebut walaupun dalam negara Indonesia terdapat asas

    desentralisasi, kewenangan tetap ada pada pemerintah pusat, pemerintah

    daerah yang dilimpahkan kekuasaan tidak boleh sewenang-wenang dalam

    menjalankan pemerintahannya, segala tindakan pemerintah daerah harus

    sesuai dengan aturan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, inilah yang

    disebut sebagai hukum administrasi negara dimana pemerintah sebagai

    52 Nimatul Huda,2010, Ilmu Negara, Rajagrafindo,hlm32

  • 49

    penggerak negara harus sejalan antara pemerintah pusat dan pemerintah

    daerah untuk menciptakan negara yang kuat. Neil Hawke menyatakan

    Administrative law deals with the legal control of government and related

    administrative powers53 artinya hukum administrasi berkaitan dengan kontrol

    terhadap pemerintah dan berkaitan dengan kekuasaan administrasi (terjemahan

    sendiri). It has been seen that the essential task of administra