Upload
letu
View
228
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
SEBAGAI WADAH PENGOKOHAN KARAKTER NASIONAL MAHASISWA
DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) 2015
Oleh: Mariske Myeke Tampi
A. Pendahuluan
Seiring dengan berkembangnya kerjasama antar negara dalam berbagai bidang baik di tingkat
regional maupun internasional, karakter nasional Indonesia merupakan salah satu aspek yang sangat
perlu untuk dikokohkan secara signifikan terutama di kalangan mahasiswa yang akan melanjutkan
perkuliahan di luar negeri dalam rangka dual degree program maupun studi lanjut. Menurut data dari
OECD (Organisation of Economic Co-operation and Development), terdapat sekitar 15%-30%
mahasiswa internasional (termasuk Indonesia) yang memilih untuk tinggal di negara dimana mereka
lulus dari perkuliahan1. Pelajar dari Asia (termasuk Indonesia) berjumlah 52% dari seluruh mahasiswa
internasional yang belajar di negara-negara anggota OECD. Lebih dari 75% dari jumlah tersebut
terpusat pada 4 (empat) negara: Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Jepang2. Hal ini merupakan
berita baik, karena belajar di negara maju tentunya memberikan banyak keuntungan dari segi kualitas
akademis, penguasaan bahasa asing dan pergaulan internasional. Namun demikian, hal yang perlu
ditelaah lebih lanjut adalah apakah kemudian setelah para mahasiswa tersebut menyelesaikan
perkuliahan, semangat mengabdinya cenderung dipersembahkan untuk negara maju tersebut ataukah
tetap diabdikan untuk kepentingan bangsa Indonesia?
Dalam rangka menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada akhir tahun
2015, ASEAN pada umumnya dan Indonesia pada khususnya membutuhkan sosok pemimpin yang
cukup kuat untuk menghadapi globalisasi. Harapan utama dari ASEAN pada umumnya dan Indonesia
pada khususnya terhadap mahasiswa yang berkuliah di luar negeri adalah dengan proses perkuliahan
tersebut, sang mahasiswa memiliki kemampuan akademis, penguasaan bahasa asing dan pergaulan
internasional yang mapan, sehingga pada gilirannya kualitas tersebut akan menjadi dasar yang kuat
sebagai pemimpin di masa yang akan datang (future leader).
Negara Indonesia adalah negara yang kaya. Persebaran hutan dan sawah, kekayaan tambang maupun
hasil laut merupakan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia sebagai perpaduan dari sifat negara
agraris, berbentuk kepulauan (archipelago state) dan beriklim tropis. Hanya saja, rasio antara sumber
1 Asian Development Bank Institute, Labor Migration, Skills, and Student Mobility in Asia (Japan: Asian Development Bank
Institute, 2014), iii. 2 Ibid.
2
daya alam dan sumber daya manusia yang mampu mengelola sumber daya alam tersebut secara
optimal belumlah sepadan. Hal itu dibuktikan dengan data ekspor-impor 10 (sepuluh) negara ASEAN
pada tahun 2013-2014 dimana Indonesia selama 2 tahun berturut-turut yang hanya menduduki urutan
ke-empat dari bidang ekspor3 setelah Singapore, Thailand dan Malaysia.
Country 2013 2014/p
Exports Imports Total trade Exports Imports Total trade
Brunei Darussalam 11.445,4 3.611,8 15.057,2
10.584,1 3.596,6 14.180,7
Cambodia 9.148,2 9.176,0 18.324,2
10.681,4 18.973,2 29.654,6
Indonesia 182.551,8 186.628,7 369.180,5
176.292,7 178.178,8 354.471,5
Lao PDR 2.592,8 3.292,0 5.884,9
2.639,9 2.748,9 5.388,8
Malaysia 228.331,3 205.897,4 434.228,7
234.161,2 208.918,2 443.079,4
Myanmar 11.436,3 12.009,1 23.445,4
11.030,6 16.226,1 27.256,7
Philippines 53.978,3 65.130,6 119.108,9
61.809,9 67.756,9 129.566,9
Singapore 410.249,7 373.015,8 783.265,5
409.768,7 366.247,3 776.016,0
Thailand 228.730,2 249.517,1 478.247,3
227.573,6 227.952,3 455.525,9
Viet Nam 132.664,1 132.109,9 264.774,0
148.091,5 145.685,6 293.777,1
ASEAN 1.271.128,1 1.240.388,4 2.511.516,5 1.292.633,6 1.236.283,8 2.528.917,4
Source: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database
Gambar 1.
Data ekspor-impor 10 (sepuluh) negara ASEAN pada tahun 2013-2014
Selain mengelola sumber daya alam, para mahasiswa juga kelak diharapkan bisa mengelola sumber
daya manusia dalam negeri untuk berkarya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk di
dalamnya mengadopsi standar kompetensi internasional untuk setiap institusi untuk dapat memiliki
kemampuan bersaing baik di tingkat regional maupun internasional. Selain itu mengusahakan
kesejahteraan pekerja luar negeri merupakan hal yang penting, agar kasus-kasus pelanggaran hak
asasi manusia bisa dihentikan.4
Pengokohan semangat komunitas antar negara-negara di ASEAN juga merupakan hal yang perlu
untuk melancarkan MEA. Hal tersebut disampaikan oleh Tan Sri Ramon Navaratnam sebagai Ketua
Pusat Studi Kebijakan Publik dari Asian Law Institute (ASLI)5, wadah dimana Fakultas Hukum
UNTAR menjadi salah satu anggotanya.
3 Indonesia stopped sending domestic workers to Saudi Arabia in 2011 after the Saudi government, without informing the
Indonesian government, beheaded a domestic worker who confessed to killing her employer. A“EAN, A“EAN Trade -
(O -line), tersedia di http://www.asean.org/resources/2012-02-10-08-47-55/asean-statistics/item/external-trade-
statistics-3, (3 Desember 2015) 4 Southeast Asia: ASEAN 2015 (On-line), tersedia di https://migration.ucdavis.edu/mn/more.php?id=3868 , (3 Desember
2015) 5 Ta “ri Ra o Navarat a , “tre gthe i g Co u ity “pirit , The Jakarta Post, 30 November 2015, 6
3
B. Rumusan Masalah
Berikut ini adalah rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini:
1. Mengapa pengokohan karakter nasional dianggap penting?
2. Bagaimana cara pengokohan karakter nasional pada mahasiswa dalam menghadapi Masyarakat
Ekonomi ASEAN 2015?
C. Isi
Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan pergaulan yang mensyaratkan leburnya batas-batas antar
negara demi menjalankan kesepakatan yang telah dibuat. Leburnya batas-batas tersebut sejatinya
tidak mengurangi karakteristik sebagai bangsa Indonesia, terutama bagi mahasiswa yang akan
menempuh studi ke luar negeri. Berikut ini adalah uraian mengenai urgensi pengokohan karakter
nasional dan cara pengokohannya dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015.
1. Urgensi Pengokohan Karakter Nasional
Mahasiswa seringkali menjadi sasaran empuk dari pengaruh budaya maupun paham-paham luar
yang bersifat mengurangi karakter Pancasilais. Dengan berkembangnya kecanggihan media
maupun sarana komunikasi, penetrasi budaya maupun paham-paham luar terjadi secara serta-
merta, sehingga membentuk pola pikir tertentu yang tidak sejalan bahkan bertentangan sama
sekali dengan karakter Pancasilais, apalagi bagi mahasiswa yang akan terjun langsung ke dalam
lingkungan yang paham dan budayanya sama sekali berbeda dengan paham dan budaya
Indonesia.
Bukan berarti penulis menentang pergaulan regional dan internasional, justru karena penulis
memiliki keinginan yang kuat agar bangsa Indonesia menjalin pergaulan dengan dunia luar dan
kelak bisa menjadi penggerak (mover) berskala regional bahkan internasioanal, maka penulis
menulis tulisan ini. Harapannya agar tulisan ini bisa memberikan inspirasi mengenai bagaimana
cara membentuk mahasiswa agar kelak bukanlah insan pengikut (follower) melainkan insan
penggerak (mover) dengan memiliki karakter nasional yang kokoh.
Bacharuddin Jusuf Habibie merupakan figur penggerak (mover) di bidangnya. Setelah belajar di
Jerman dan memperoleh prestasi summa cum laude sebagai doctor-ingenieur dari Fakultas
Teknik Mesin Jurusan Desain dan Konstruksi Pesawat Terbang, ia sempat bekerja di Jerman
selama 8 (delapan) tahun. Setelah itu, ia mengabdikan ilmunya di tanah air dengan menjadi
Menteri Negara Riset dan Teknologi serta Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN). Ia pun pernah menjabat menjadi wakil presiden yang kemudian diangkat
4
menjadi Presiden dalam situasi genting6, dalam peristiwa lengsernya Soeharto. Dalam
pergaulannya dengan manusia dari berbagai belahan bumi yang memiliki berbagai budaya dan
paham, B. J. Habibie tetap memiliki karakter nasional, sehingga pada gilirannya, ia menjadi
penggerak (mover). Bukan terpengaruh melainkan mempengaruhi. Hal ini yang kemudian
menjadi titik tolak pemikiran penulis mengenai pengokohan karakter nasional bagi mahasiswa.
Sejatinya, mereka adalah pemimpin masa depan (future leader) yang akan menjadi pemegang
tampuk kepemimpinan. Kemana arah bangsa ini akan dibawa oleh mereka, tentunya berdasarkan
pola pikir dan karakter yang dibangun pada masa kini.
2. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Wadah Pengokohan Karakter Nasional
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata kuliah yang secara nyata membentuk mahasiswa
untuk mengenal hak dan kewajiban sebagai warga negara termasuk di dalamnya mengenal
Pancasila sebagai identitas nasional. Pendidikan Kewarganegaraan sebenarnya berkedudukan
sebagai Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU)7 dalam setiap pendidikan tinggi bidang hukum
(higher education in legal field). Tulisan ini bukan bermaksud untuk menghimbau para dosen
sebagai akademisi untuk beralih dan mengajar mata kuliah tersebut, melainkan bagaimana jiwa
dari mata kuliah ini menjadi akar semangat bagi para akademisi dalam menyalurkan ilmu
maupun melatih kemahiran mahasiswa dalam praktek hukum. Nasionalisme diharapkan menjadi
motor penggerak setiap aktivitas perkuliahan dalam pendidikan tinggi bidang hukum (higher
education in legal field). Nasionalisme diharapkan makin kokoh seiring dengan luasnya
pengetahuan mahasiswa tentang ilmu hukum dan mahirnya mahasiswa dalam praktek hukum,
sehingga pada gilirannya ilmu dan kemahiran praktek hukum tersebut diarahkan untuk
memajukan kesejahteraan bangsa Indonesia.
3. Nasionalisme Sebagai Semangat Pemersatu Keberagaman Kultur di Bawah Naungan
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 20108, jumlah suku bangsa di
Indonesia adalah sebanyak 1.128 suku bangsa. Negara kita sejatinya merupakan negara
multikultural. Pergerakan nasionalisme tidak bisa lepas dari sejarah pembentukan bangsa
Indonesia. Menurut George Mc. Turnan Kahin, kejayaan masa lalu pada masa terbentuknya
6 Bacharuddin Jusuf Habibie, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi (Jakarta: THC
Mandiri, 2006), 548-549. 7 H. R. B. Soepardi, Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Tangerang: Pustaka Mandiri,
2010), 3 8 BPS, (On-line), tersedia di http://www.jpnn.com/berita.detail-57455, (1 Desember 2015)
5
Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pada abad ke-9 dan ke-14 merupakan titik tolak pergerakan
nasionalisme bangsa Indonesia9. Kemudian diikuti dengan usaha dini para tokoh pergerakan
kebangsaan sebelum tahun 1942 yaitu Raden Adjeng Kartini, anak seorang Bupati Jawa yang
perintis sekolah untuk anak perempuan10
; Wahidin Soediro Hoesodo, pensiunan dokter Jawa
yang berusaha meningkatkan pengetahuan masyarakat Jawa dengan pengetahuan Barat yang
dimilikinya maupun warisan kebudayaannya sendiri11
; Raden Soetomo dan Eaden Gunawan
Mangunkusumo yang membentuk organisasi Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908, yang
memobilisasi generasi muda pada saat itu untuk memajukan pendidikan, pertanian, industri dan
perdagangan di Jawa dan Madura12
. Semua tokoh tersebut memberikan sumbangsih besar dalam
masa perintis. Selain itu, ada pula gerakan Pan Islamisme yang dimotori oleh Jamaluddin al-
Afghani yang mempengaruhi pergerakan umat Islam di Indonesia.
Masa penegas ditandai dengan adanya Kongres Pemuda II pada tanggal 27-28 Oktober 1928
yang diketuai oleh Sugondo Joyopuspito. Kongres ini menghasilkan “Putusan Kongres Pemuda
Pemudi Indonesia yang terkenal dengan nama “Sumpah Pemuda”13 sebagai pemersatu seluruh
pemuda yang ada di daerah-daerah di Indonesia.
Gerakan-gerakan kedaerahan tersebut merupakan beberapa contoh dari banyak gerakan
kedaerahan yang bergerak sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini yang
merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia sejatinya merupakan bangsa multikultural dan
semangat nasionalisme adalah semangat pemersatu keberagaman kultur-kultur tersebut di bawah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4. Pancasila Sebagai Dasar Negara yang Paling Sesuai dengan Sifat Bangsa Indonesia yang
Multikulturalis
Proses perumusan Dasar Negara Indonesia merupakan proses yang alot. Dimulai dari adanya
janji politik dari pemerintah bala tentara Jepang kepada bangsa Indonesia bahwa “Kemerdekaan
9 George Mc. Turnan Kahin, seorang ahli politik dan sejarah dari Cornell University, Amerika Serikat, yang terjun dalam
penelitian mengenai revolusi sampai pada berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia bersimpati dengan tujuan
revolusi Indonesia. Menurut beliau, sebelum kedatangan Belanda, Indonesia sudah merupakan wilayah kesatuan pada saat
terbentuknya Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Pada masa jayanya Sriwijaya melakukan berbagai tingkat pengawasan atas
hampir seluruh Hindia, laut Tiongkok Selatan, sebagian India dan berhasil dalam perang melawan Kamboja. Meskipun tidak
memiliki pengaruh di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun menguasai hampir seluruh Hindia (termasuk Kalimantan Utara),
begitu juga Malaya. George Mc. Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia, terjemahan Nin Bakdi Soemanto (Solo: UNS Press, 1995), 49-50 10
Ibid. 11
Ibid. 12
Ibid. 13
Hartono, Pancasila ditinjau dari Segi Historis (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 21. Bandingkan dengan Aryaning Arya Kresna,
et al, Modul Pendidikan Kewarganegaraan (Tangerang: UPH, 2006) Tangerang: UPH , 7.
6
Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945” dengan latar belakang bahwa bala
tentara Jepang menderita kekalahan dan tekanan dari tentara sekutu serta tuntutan dan desakan
dari pemimpin bangsa Indonesia14
. Tanpa menunggu lama dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) atau Dokuritsu Junbi Coosakai pada tanggal 29 April
1945 yang diketuai Dr. Rajiman Wedyodiningrat. Badan ini bertugas untuk menyelidiki segala
sesuai mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia.
Panitia ini kemudian mempersiapkan acara sidang pada tanggal 29 Mei 1945 berupa
mempersiapkan rancangan Dasar Negara Indonesia. Pada sidang pertama Prof. Mr. H. Moh.
Yamin mengajukan usul berupa 5 (lima) Asas dan Dasar Kebangsaan Republik Indonesia yaitu:
1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kebangsaan Persatuan Indonesia; 3) Rasa Kemanusiaan yang
adil dan beradab; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tetapi
rumusan ini pada saat itu tidak mencapai kesepakatan karena golongan Islam mengusulkan juga
konsepsi Dasar Negara Indonesia adalah berdasarkan syariat Islam.
Pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai pada
tanggal 1 Juni 1945 yang diketuai oleh Ir. Soekarno, dirumuskan konsep dasar negara yang berisi
tentang: 1) Kebangsaan; 2) Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan; 3) Mufakat atau
demokrasi; 4) Kesejahteraan Sosial; dan 5) Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Kemudian pada tanggal
22 Juni 1945, dalam piagam Jakarta dituliskan bahwa dasar negara Indonesia adalah: 1)
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya; 2)
Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; dan 5) Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Sejatinya kesemuanya itu merupakan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Dari proses tersebut bisa digambarkan bahwa proses perumusan dasar negara merupakan proses
destilasi dimana kelima sila Pancasila muncul sebagai produk terakhir sebagai kristalisasi dari
nilai-nilai perjuangan bangsa. Berikut ini adalah bagan yang menunjukkan bahwa Pancasila
dihasilkan melalui proses yang cukup alot:
14
Ibid, 27 et seq.
7
Gambar 2.
Pancasila sebagai kristalisasi dari nilai-nilai perjuangan bangsa
Dengan kata lain, dengan latar belakang bangsa Indonesia yang multikultural, tidak ada dasar
negara yang lebih tepat dibanding Pancasila. Begitu pula dengan paham maupun idealisme lain
di luar Pancasila. Oleh karena itu, Pancasila layak dipertahankan sebagai identitas nasional.
5. Pancasila Sebagai Grund Norm (Hans Kelsen) Sekaligus Menjadi Nilai Transendens yang
Menjiwai Segenap Peraturan Perundang-Undangan Di Bawahnya
Sejatinya setiap norma hukum dalam bangsa Indonesia bersumber dari identitas nasional yaitu
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum15
. Pancasila merupakan hukum dasar
(grundnorm) sekaligus menjiwai segenap peraturan perundang-undangan yang ada di
bawahnya16
. Pancasila juga merupakan suatu kesatuan hierarkis dimana sila yang satu dan sila
yang lainnya tidak boleh dipertukarkan.
Pelaksanaan norma hukum di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari tegaknya Pancasila sebagai
dasar negara, sebab Pancasila-lah yang mendasari dan menjiwai seluruh norma hukum yang ada
di Indonesia berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
15
Darji Darmodiharjo, et al., Menjadi Warga Negara Pancasila (Balai Pustaka: Jakarta, 1984), 2. 16
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), 27.
8
Gambar 3.
Pancasila Sebagai Grund Norm (Hans Kelsen) Sekaligus Menjadi Nilai Transendens yang Menjiwai Segenap
Peraturan Perundang-Undangan Di Bawahnya
6. Peran Moral Pancasilais Sebagai Faktor Penentu Kebijakan Etis oleh Mahasiswa Sebagai
Pemimpin di Masa Yang Akan Datang (Future Leader)
Menurut Rest, penulis buku Moral Development in The Professions: Psychology and Applied
Ethics dalam proses penentuan keputusan etis (ethical decision making) terkandung unsur
pemilahan berdasarkan moral (moral judgment)17
. Pemilahan berdasarkan moral (moral
judgment) memiliki definisi:
“Moral judgment refers to formulating and evaluating which possible solutions to the moral
issue have moral justification. This step in the process requires reasoning through the
possible choices and potential consequences to determine which are ethically sound.”18
Dalam pemilahan berdasarkan moral (moral judgment) diperlukan justifikasi dalam proses
merumuskan dan mengevaluasi kemungkinan solusi. Justifikasi tersebut memerlukan proses
pencarian alasan melalui pilihan kemungkinan dan konsekuensi potensial untuk menentukan
mana pilihan yang terdengar etis. Frasa “terdengar etis” (ethically sound) tersebut sebenarnya
mewakili unsur subjektif berupa nilai yang terinternalisasi dalam diri seseorang (internalized
value) yang kemudian muncul pada saat seseorang sedang melakukan justifikasi untuk penentuan
keputusan.
17
Ada 3 (tiga) komponen dari ethical decision making yaitu moral awareness, moral judgment, dan moral intention. Sarah
Hope Lincoln, PhD (cand),et. al., Ethical Decision Making: A Process Influenced by Moral Intensity , Journal of Healthcare,
Science and the Humanities, Volume I, No. 1,(September 2011): 55. 18
Ibid.
9
Justifikasi dalam penentuan dalam keputusan etis (ethical decision making), melalui tahapan
perkembangan secara psikologi. Menurut Kohlberg ada 6 (enam) tahap perkembangan, setiap
tahap memiliki kebutuhan untuk menjawab satu pertanyaan besar19
:
a) Tahap pra-konvensional pertama (infantile phase-1)
Tahap ini merupakan tahapan hukuman dan ketaatan; ketaatan didasarkan pada peraturan
tertulis dan otoritas. Termotivasi hanya bagi keuntungan pribadi, dengan pertanyaan besar:
Apa yang bisa membuat saya lolos dari semua peraturan ini (What can I get away with?)
b) Tahap pra-konvensional kedua (infantile phase-2)
Kebenaran menurut tahap ini adalah mematuhi peraturan ketika peraturan tersebut cukup
menguntungkan baginya. Maksimalitas pencapaian personal adalah kuncinya, Apa saja
keuntungan bagi saya jika saya melakukan peraturan ini? (What’s in it for me?)
c) Tahap konvensional pertama (people pleaser phase)
Tahap ini ditandai dengan sikap yang mencari perbuatan yang akan menyenangkan orang
lain. Terdapat kesadaran terhadap perasaan, persetujuan dan harapan dari lingkungannya,
dengan pertanyaan bagaimana keputusan ini berpengaruh pada hubungan-hubungan saya?
(How will this decision affect my relationships?)
d) Tahap konvensional kedua (upholding letter and spirit of the law phase for fairness)
Pada tahap ini seseorang mengetahui aturan baik bentuk tertulisnya maupun apa tujuan
peraturan tersebut; bahwa perilaku tersebut akan memberikan kontribusi terbesar pada
kesejahteraan umum (common good) dan keadilan (fairness). Pertanyaan terbesar dalam tahap
ini adalah apakah keputusan saya akan mempertahankan keadilan, tata aturan dan akan tetap
mempertahankan baik hukum tertulis maupun tujuan mengapa hukum itu dibuat? (How does
this decision maintain fairness, order and uphold both the letter and the spirit of the law?)
e) Tahap pasca-konvensional (responsibility based on internal principle)
Pada tahap ini seseorang menerima kewajiban terhadap orang lain sebagai sebuah pemberian
dan cenderung untuk menimbang aturan, hukum dan perintah dari sudut pandang kritis.
Mereka beroperasi sesuai dengan asas-asas yang telah mereka yakini (internal principle), dan
bukan pada kepentingan pribadi (self-interest), rasa takut terhadap hukuman (punishment)
atau keyakinan yang kaku (rigid beliefs). Mereka saling menghargai satu dengan yang lain.
Pertanyaan utama dalam tahap ini adalah apa saja tanggung jawab saya terhadap orang lain
dan terhadap masyarakat pada umumnya? (What are my responsibilities to others and to
society?)
19
Kohlberg dalam Max Oliva, Learn Stages of Moral Growth to Help Unlock Personal Understanding , Business Press, 6
February 2012, 27. Max Oliva adalah pengajar ethical decision making lecturer di Regis University, Las Vegas, pengarang
buku Beatitudes for the Workplace.
10
f) Tahap pasca-konvensional (universal ethical principle)
Ini adalah tahap asas universal etis (universal ethical principle) dari keadilan, kesetaraan, hak
asasi dan penghargaan terhadap martabat (dignity) dari manusia sebagai pribadi. Alasan
dalam melakukan kebenaran adalah sebagai makluk rasional, yang telah menguji validitas
dari suatu asas dan telah memegang teguh asas tersebut. Dalam tahap ini, seseorang telah
menempatkan integritas (integrity) dalam tataran yang tinggi dan memperhatikan
keseimbangannya dengan belas kasihan (compassion). Keberanian untuk menghidupi
keyakinannya terlepas dari konsekuensi negatif yang mungkin terjadi adalah tanda dari
seseorang yang berada di tahap 6. Pertanyaan mendasar adalah apakah yang saya yakini
mengandung kebenaran sejati? (What do I believe is the truly right thing to do?)
Gambar 4.
Tahap Perkembangan Moral (Stages of Moral Growth)
Berdasarkan tahap-tahap perkembangan moral tersebut, dapat terlihat seberapa penting
pendidikan moral dalam penentuan keputusan etis. Justifikasi yang dilakukan oleh seseorang
seyogyanya diputuskan dalam tahap moralitas tertinggi, bukan karena takut kena hukuman,
Pra-conventional Conventional Stage Post-conventional
11
bukan juga karena ingin menyenangkan orang lain, melainkan karena mempertimbangkan
kesejahteraan orang banyak (common good) dan pertimbangan etis antara integritas (integrity)
dan belas kasihan (compassion).
Jika dilihat dari sudut pandang mahasiswa sebagai pemimpin yang akan datang (future leader),
tatanan nilai moral yang mereka anut akan mempengaruhi mereka dalam menentukan justifikasi
mereka pada saat pengambilan keputusan di masa yang akan datang. Pelaku bom bunuh diri
(suicide bomb) pada peristiwa Paris Attack yang terjadi pada 13 November 2015 yang lalu, jika
dilihat dari skema Stages of Moral Growth di atas, sebenarnya bukanlah orang yang tidak
memiliki moral sama sekali. Mereka adalah orang-orang ‘bermoral’ dalam kategori ‘the common
good’ ajaran radikalisme tertentu. Tindakan pengeboman Paris merupakan tindakan kepatuhan
(conformity) menurut kelompok mereka, seperti dalam kutipan pendapat Sageman dalam “bunch
of guys theory”20berikut:
“Sageman explain why some people are willing to kill themselves and others in the process.
According to psychologists, the answer lies in a force that can be more powerful than an
individual's personality or upbringing. That force is group dynamics to conform with the
group, one of the strongest motivational factors in human psychology.
When humans are in a group, they conform to the group, they become more and more like
each other. Bonds within a close-knit group can grow surprisingly strong – strong enough
that they match, or even trump biological family ties. Throughout history, organisations such
as the military have harnessed this power of the group to motivate individuals.
But new evidence from Marc Sageman shows that extremist cells can form spontaneously,
without any connections to established organisations. His analysis of al-Qaeda has shown
that most people who join the organisation join when they are already radicalised, and
crucially this radicalisation process has happened among a group of friends. He calls it his
'bunch of guys' theory.”
Menurut mereka, saat melakukan pelaku pengeboman suicide bomb mereka telah melakukan
kebenaran yang diusung oleh kelompok mereka; sebagai perbuatan ber-integritas (integrity)
menurut ajaran mereka, sehingga hal ini merupakan pencapaian ‘moral’ tertinggi; moral yang
diajarkan di dalam kelompok mereka. Dengan demikian, menurut mereka, pengikut yang berani
melakukan suicide bomb patut mendapat penghargaan tertinggi dan patut diteladani oleh
pengikut lainnya. Inilah yang dimaksud dengan moral framework, walaupun dalam contoh di
atas, moral framework yang dianut oleh pelaku suicide bomb bertentangan dengan moral
Pancasila.
20
The 7/7 Bombers : A Psychological Investigation (On-line), tersedia di
http://www.bbc.co.uk/sn/tvradio/programmes/horizon/bombers.shtml (01 November 2014)
12
Dengan demikian, kemampuan mahasiswa untuk melakukan justifikasi di masa yang akan datang
sangat ditentukan oleh moral framework seperti apa yang menginspirasi mahasiswa tersebut
secara moral. Dengan moral Pancasilais, perbuatan-perbuatan seperti ini seharusnya tidak terjadi
dengan mengingat harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagai
esensi dari sila ke-dua, terutama hak untuk hidup dan hak untuk bebas dari rasa takut.
Dalam prakteknya, pendidikan tinggi bidang hukum (higher education in legal field) memiliki
peran yang sangat penting dalam hal ini. Pendidikan tinggi bidang hukum (higher education in
legal field) sadar ataupun tidak sadar sebenarnya merupakan penyuplai aparat hukum yang pada
gilirannya akan menentukan kebijakan-kebijakan strategis di masa yang akan datang. Ilmu
hukum maupun kemahiran dalam praktek hukum tentu saja merupakan hal yang harus dikuasai
oleh mahasiswa sebagai calon aparat hukum. Tetapi hal yang lebih esensial adalah kemana arah
ilmu dan kemahiran praktek hukum tersebut diarahkan. Seperti halnya anak panah, ilmu dan
kemahiran praktek hukum menunjukkan seberapa tajamnya anak panah tersebut. Tetapi, jika
anak panah tersebut berada di tangan yang salah, maka kita bisa membayangkan seberapa jauh
akibat yang akan dihasilkan. Adalah sebuah hak istimewa (privilage) bagi pendidikan tinggi
bidang hukum (higher education in legal field) karena pendidikan tinggi bidang hukum (higher
education in legal field) bukan hanya berperan dalam mendidik bagaimana cara menajamkan
anak panah, melainkan juga membentuk moralitas si pemegang anak panah agar nantinya bisa
memiliki tangan yang tepat dalam mengarahkan anak panah tersebut kepada tujuan yang tepat.
7. Peran Dosen Sebagai Akademisi Sekaligus Penginspirasi Moral Framework Pancasilais
dalam Pendidikan Tinggi Bidang Hukum (Higher Education In Legal Field)
Dalam tataran pendidikan tinggi bidang hukum (higher education in law field), dosen
menitikberatkan perannya sebagai pemimpin enerjik (vibrant leader) dalam menginisiasi ide
akademis, membimbing mahasiswa dalam aktivitasnya menuju ide tersebut serta menjadi
katalisator semangat dalam proses berolah ilmu hukum. Mahasiswa diharapkan telah secara
nyata menyadari potensi diri dengan cara memilih untuk berkembang pada spesialisasi ilmu dan
keahlian hukum. Hal ini sejalan dengan amanah dalam rumusan definisi Pendidikan Tinggi
(higher education):
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, kecerdasan, ahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”21
21
Pasal 1 ayat (1) UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
13
Penyebutan ‘mahasiswa’ didasarkan pada pemahaman bahwa insan tersebut telah memiliki
inisiatif dalam mengatur dan mengembangkan diri secara mandiri. Berbeda dengan ‘siswa’ yang
masih membutuhkan arahan dan bimbingan intensif dari seorang guru. Kaitannya dengan moral
framework, peran moralitas seorang dosen lebih ringan dibanding peran moralitas seorang guru.
Hal tersebut tergambar dalam sistem pendidikan di Indonesia pada kurikulum 2013, yaitu dengan
adanya keseimbangan knowledge, skill dan attitude; hardskill dan softskill pada setiap tingkat
pendidikan formal dengan rasio seperti digambarkan dalam diagram di bawah ini22
:
Gambar 5.
Keseimbangan knowledge, skill dan attitude; hardskill dan softskill dalam tiap tahapan pendidikan
Keterangan gambar:
SD = Sekolah Dasar
SMP = Sekolah Menengah Pertama
SMA/K = Sekolah Menengah Atas/Kejuruan
PT = Perguruan Tinggi
Dari bagan tersebut terlihat bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal, maka semakin
besar rasio penekanan pada ilmu pengetahuan (knowledge) dan kemahiran (skill), namun rasio
pengajaran attitude semakin berkurang. Pengajaran tentang attitude pada Perguruan Tinggi
secara formal hanya dilakukan pada Semester Awal melalui Mata Kuliah Dasar Umum
(MKDU)23
, artinya attitude termasuk di dalamnya kualitas moral mahasiswa diharapkan muncul
sebagai bentuk kesadaran pribadi. Oleh karena itu, dalam tataran pendidikan tinggi moral
framework Pancasilais diharapkan menjadi inspirasi dalam setiap mata perkuliahan yang ada.
22
Kementerian dan Kebudayaan, Implementasi Kurikulum 2013 (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013),
8. 23
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma Offset, 2004), 6.
14
8. Metode Pembelajaran Non-Ceramah Untuk Menjembatani Ketidakpahaman Mahasiswa
Dalam Penjelasan Teori Mengenai Pancasila
Metode pembelajaran non-ceramah sangat efektif untuk menjembatani ketidakpahaman
mahasiswa dalam penjelasan teori yang disajikan dalam bentuk ceramah. Berikut ini hasil survey
dari 100 siswa di kelas Kewarganegaraan (Civics) UPH College mengenai efektifitas
pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah dan non ceramah. Sebanyak 15% siswa
yang cukup paham hanya dengan metode ceramah, sedangkan 85% siswa memerlukan tambahan
metode non-ceramah untuk menjembatani ketidakpahaman mereka dalam penjelasan teori.
Metode non ceramah tersebut terdiri dari case study, essay writing, debate, digital media
campaign, crossword maupun watching video.
Gambar 6.
Perbandingan antara siswa yang telah paham dengan metode ceramah dan siswa yang memerlukan tambahan metode non-ceramah
Dari segi metode analisis dalam case study, penggunaan metode inquiry dengan mendata dan
menelaah Issue-Rules-Application-Conclusion (IRAC) merupakan salah satu metode untuk
membentuk pola pikir analitis berbasis nilai-nilai moral mengenai kasus-kasus yang terkait
dengan moralitas Pancasilais. Sebagai tambahan, metode ajar yang dianjurkan dalam kurikulum
2013 bukan lagi metode mengajar searah seperti yang diterapkan dalam Pembekalan Butir-butir
P4, melainkan diarahkan pada diskusi kelompok, bekerja, simulasi dan evaluasi24
.
Metode inquiry juga menjadi salah satu rahasia keberhasilan sistem pendidikan Finlandia,
sehingga dikatakan “Once poorly ranked educationally, with a turgic bureaucratic system that
produced low quality education and large inequalities, it now ranks first among all the OECD
24
Ibid., 219.
15
nations on the PISA assessment.”25 Negara ini menerapkan Inquiry Method yaitu memotivasi
keaktifan mahasiswa untuk belajar dengan cara:
a. Menanyakan pertanyaan yang bersifat terbuka (asking open-ended questions);
b. Ceramah tidak lebih dari 50 menit (lecturing for not more than 50 minutes);
c. Menyelenggarakan aplikasi dalam pembelajaran (conducting investigation), misalnya
mengukur, membangun, atau mendesain;
d. Membaca bermacam-macam hal dari berbagai sumber (reading variety of references);
e. Siswa dibimbing untuk menjadi mandiri (self-reliant), misalnya dalam hal menentukan target
mingguan;
f. Menyelesaikan tugas dalam kelompok (completing projects in a group); dan
g. Menulis artikel untuk majalah internal (writing articles for their own magazine)
Dengan menerapkannya secara tekun maka pembelajaran akan menjadi lebih bisa dikelola dan
dimemorisasi oleh pikiran mahasiswa. Metode ini kami gunakan dalam kelas Civics UPH
College melalui proyek “Jika saya adalah Gubernur”. Salah satu kelompok membuat karya yang
menunjukkan bahwa sebagai warga negara yang baik mereka peduli terhadap perkembangan
pariwisata dalam negeri khususnya pariwisata di Raja Ampat Papua Barat. Mereka membuat
prototype bandara internasional yang unik untuk memperlancar arus transportasi dari dan ke
Papua Barat.
Dengan membuat proyek bandara ini, mereka telah terlebih dahulu melakukan research
mengenai apa masalah-masalah yang terjadi di bidang pariwisata Indonesia dan bagaimana cara
menyelesaikannya. Hal ini sudah termasuk dalam inquiry method dimana mereka dibimbing
untuk kritis dan melakukan usaha secara aplikatif untuk memvisualisasikan hasil pemikiran
25
Ibid
Gambar 7.
Proyek Bandara Internasional di Papua Barat
16
mereka. Dengan mengerjakan hal seperti ini juga, mereka secara tidak sadar menggunakan otak
kiri sebagai pusat logika dan otak kanan sebagai pusat kreativitas secara seimbang, sehingga
keduanya berkembang secara signifikan.
9. Geopolitik dan Geostrategi Pendidikan Tinggi Bidang Hukum (Higher Education In Legal
Field) Indonesia Dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015
Setelah tertatanya Pancasila sebagai motor penggerak dan penginspirasi dalam pembelajaran
Pendidikan Tinggi Bidang Hukum (Higher Education In Legal Field), maka diharapkan setiap
mahasiswa dapat menghadapi MEA dengan suatu kepercayaan diri sebagai bangsa Indonesia.
Dengan melihat potensi geografis bangsa Indonesia yang sebagai negara kepulauan (archipelago
state) yang terletak di daerah tropis yang memungkinkan tumbuh kembangnya beraneka ragam
tumbuhan dan hewan serta keragaman budaya, keragaman hasil budaya dan kekayaan sumber
daya manusia seyogyanya dengan pengelolaan yang baik26
, mahasiswa tidak perlu ragu dengan
kemampuan bangsa Indonesia untuk bersaing maupun bekerja sama dengan sesama anggota
ASEAN dalam MEA.
Mari Elka Pangestu merupakan salah satu contoh figur publik yang sadar akan kemampuan
bangsa Indonesia tersebut dan mengelolanya secara baik. Dengan pencanangan ekonomi kreatif
yang dilakukan sejak tahun 2008 lalu, beliau mempromosikan keanekaragaman budaya maupun
hasil budaya Indonesia sampai ke tingkat internasional. Sekarang gerakan pencanangan ekonomi
yang telah dilakukan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tersebut telah didukung oleh
Presiden Joko Widodo dan secara otomatis pula akan menjadi salah satu tiang penopang
perekonomian bangsa dalam menunjang kelancaran MEA.
Jika definisi ekonomi kreatif berlandaskan pada definisi Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2009-2015 oleh Kementerian Perdagangan RI (2008):
“Industri kreatif yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat
individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan
dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut",
maka pemikiran-pemikiran kreatif misalnya usaha Grabbike merupakan daya kreasi individu
dalam menciptakan lapangan kerja di bidang transportasi. Dengan menemukan bentuk usaha
kreatif seperti itu masyarakat telah melakukan terobosan-terobosan di bidang ekonomi dan secara
langsung telah menopang perekonomian bangsa menghadapi MEA. Kerjasama kreatifpun bisa
dilakukan dengan mengajak bangsa lain bergabung dalam sistem dengan melibatkan hukum
26
S.H. Sarundajang, Geostrategi (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2011), 22. Bandingkan dengan Martin Glassner & Chuck
Fahrer, Political Geography (USA: John Wiley & Sons Inc., 2004), 23.
17
bisnis dalam menganalisa peluang dan risiko hukum usaha tersebut, dan membuatkan badan
hukum untuk usaha-usaha kreatif tersebut.
C. Penutup
Pengokohan karakter nasional bukan hanya terbatas pada terselenggaranya Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) 2015, melainkan visi jangka panjang untuk menjadikan mahasiswa sebagai
pemimpin di masa yang akan datang (future leader) yang akan bertanggung jawab terhadap
kemaslahatan hidup orang banyak. Jika melihat urgensi tersebut, maka mahasiswa sepatutnya
diinspirasi dengan moral framework Pancasilais agar mahasiswa kelak dapat menjadi penggerak
(mover) kebangsaan dan bukan hanya pengikut (follower), terutama bagi mahasiswa yang menjalani
perkuliahan di luar negeri. Oleh karena itu, pendidikan tinggi bidang hukum (higher education in
legal field) yang sejatinya merupakan penyuplai aparat hukum mendapat perhatian khusus. Ilmu
hukum maupun kemahiran dalam praktek hukum merupakan hal yang harus dikuasai oleh mahasiswa
sebagai calon aparat hukum. Tetapi hal yang lebih esensial adalah semangat nasionalisme yang
mengisi kegiatan berolah ilmu agar ilmu tersebut harapannya dapat diabdikan untuk kepentingan
bangsa dan negara. Dalam menghadapi MEA pemikiran-pemikiran hukum pada umumnya dan hukum
bisnis pada khususnya hendaknya diarahkan pada ekonomi kreatif guna menyokong perekonomian
bangsa Indonesia dan juga menjadi inspirasi bagi negara lain yang berada dalam regional ASEAN.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asian Development Bank Institute, Labor Migration, Skills, and Student Mobility in Asia (Japan:
Asian Development Bank Institute, 2014)
Darmodiharjo, Darji, et al., Menjadi Warga Negara Pancasila (Balai Pustaka: Jakarta, 1984)
Glassner, Martin & Chuck Fahrer, Political Geography (USA: John Wiley & Sons Inc., 2004)
Habibie, Bacharuddin Jusuf, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju
Demokrasi (Jakarta: THC Mandiri, 2006)
Hartono, Pancasila ditinjau dari Segi Historis (Jakarta: Rineka Cipta, 1992)
Kaelan, Pendidikan Pancasila (Yogyakarta: Paradigma Offset, 2004)
Kahin, George Mc. Turnan, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi di
Indonesia, terjemahan Nin Bakdi Soemanto (Solo: UNS Press, 1995)
Kementerian dan Kebudayaan, Implementasi Kurikulum 2013 (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2013)
18
Kresna, Aryaning Arya, et al, Modul Pendidikan Kewarganegaraan (Tangerang: UPH, 2006)
Tangerang: UPH
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000)
Sarundajang, S.H., Geostrategi (Jakarta: Kata Hasta Pustaka, 2011)
Soepardi, H. R. B., Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(Tangerang: Pustaka Mandiri, 2010)
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
Jurnal
Lincoln, Sarah Hope, et. al., “Ethical Decision Making: A Process Influenced by Moral Intensity”,
Journal of Healthcare, Science and the Humanities, Volume I, No. 1 (September 2011)
Koran
Navaratnam, Tan Sri Ramon, “Strengthening Community Spirit”, The Jakarta Post, 30 November
2015
Oliva, Max, “Learn Stages of Moral Growth to Help Unlock Personal Understanding”, Business
Press, 6 February 2012
Artikel
ASEAN, “ASEAN Trade 2013-2014” (On-line), tersedia di http://www.asean.org/resources/2012-02-
10-08-47-55/asean-statistics/item/external-trade-statistics-3, (3 Desember 2015)
Southeast Asia: ASEAN 2015 (On-line), tersedia di
https://migration.ucdavis.edu/mn/more.php?id=3868 , (3 Desember 2015)
The 7/7 Bombers : A Psychological Investigation (On-line), tersedia di
http://www.bbc.co.uk/sn/tvradio/programmes/horizon/bombers.shtml (01 November 2014)
BPS, (On-line), tersedia di http://www.jpnn.com/berita.detail-57455, (1 Desember 2015)