VALIDASI KEJADIAN PUTING BELIUNG MENGGUNAKAN RADAR CUACA C-BAND DWSR-2501C.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

  • VALIDASI KEJADIAN PUTING BELIUNG MENGGUNAKAN RADAR CUACA C-BAND DWSR-2501C

    (Studi kasus kejadian puting beliung di Jakarta tanggal 26 Mei 2014)

    Abdullah Ali 1), Sabitul Hidayati 2)

    Staf Sub Bidang Pengelolaan Citra Radar BMKG Pusat Jalan Angkasa I No. 2 Kemayoran Jakarta Pusat 1)

    , Stasiun Meteorologi Klas I Sepinggan Balikpapan, Jalan Marsma R. Iswahyudi No.3 Balikpapan

    2)

    email : [email protected] 1)

    , [email protected] 2)

    ABSTRAK

    Pada tanggal 26 Juni 2014 melalui situs resmi BNPB dalam geospasial.bnpb.go.id telah dilaporkan terjadi puting beliung di Jl. Madrasah Kelurahan Rawa Buaya Kecamatan Cengkareng Kota Jakarta Barat provinsi DKI Jakarta, tepatnya pada koordinat 106.728 BT 6.16092 LS pada pukul 17.00 WIB. Kejadian tersebut menimbulkan dampak yang cukup signifikan, tercatat 10 rumah rusak sedang karena atap asbes yang berterbangan oleh hembusan angin tersebut. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan membuat validasi kejadian puting beliung adalah radar cuaca. Dengan menggunakan Radar Cuaca Doppler kita dapat melihat bentukan awan dan juga menganalisa profil angin pada saat kejadian. Dari hasil pengamatan menggunakan radar cuaca Tangerang pada tanggal 26 Juni 2014, keadaan perawanan pada koordinat yang dilaporkan sebagai tempat terjadinya puting beliung oleh BNPB tidak signifikan, hampir tidak awan yang meliputi tempat tersebut dari pukul 16.00 WIB hingga pukul 17.20 WIB. Namun pada pukul 16.40 WIB terdapat bentukan awan yang menyerupai hook echo di sekitar koordinat 6.0522 LS 106.5115 BT. Hal tersebut harus dianalisa lebih lanjut apakah benar bentukan awan tersebut merupakan pola hook echo yang merupakan salah satu tanda terjadinya puting beliung. Tujuan dari penulisan ini adalam mebuat validasi kejadian yang dilaporkan merupakan kejadian puting beliung dengan menganalisa bentukan awan yang menyerupai hook echo pada pukul 16.40 WIB. Dari analisa menggunakan Radar Cuaca C-Band DWSR-150 yang dipasang di Tangerang menunjukkan tidak ada rotasi angin di sekitar tempat yang diduga merupakan pola hook echo, angin yang berhembus cenderung seragam dari arah Tenggara. I. PENDAHULUAN

    Pada tanggal 26 Juni 2014 melalui situs resmi BNPB dalam geospasial.bnpb.go.id telah dilaporkan terjad

    di Jl. Madrasah Kelurahan Rawa Buaya Kecamatan Cengkareng Kota Jakarta Barat provinsi DKI Jakarta, tepatnya pada koordinat 106.728 BT 6.16092 LS pada pukul 17.00 WIB. Kejadian tersebut menimbulkan dampak yang cukup signifikan, tercatat 10 rumah rusak sedang karena atap asbes yang berterbangan oleh hembusan angin tersebut.

    Sebenarnya, untuk menentukan apakah hal yang terjadi tersebut merupakan banyak hal yang harus dilihat dan dipertimbangkan. Secara umum, kejadian masuk ke ranah ilmu meteorologi. Dalam ilmu meteorologi, terdapat banyak hal yang menjadi pertimbangan untuk menganalisa apakah kejaidan yang terjadi tersebut benar-benar merupakan kejadian puting beliung.

    Tujuan dari penulisan ini adalah membuat validasi terhadap kejadian puting beliung yang dilaporkan oleh BNPB melalui situs resmi geospasial.bnpb.go.id dengan menggunakan data radar cuaca C-Band DWSR-2501C, apakah benar kejadian tersebut merupakan fenomena meteorologi puting beliung atau hanya berupa fonomena angin kencang.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Puting Beliung

    Angin puting beliung adalah angin badai perusak berbentuk pusaran yang menerobos dari bawah awan

    jenis kumulonimbus ke permukaan tanah, dimana bentuknya dapat berupa corong sempit, silinder panjang atau tali yang memanjang (Zakir, 2008).

    Karena berbagai sebab, udara dapat berputar-putar membentuk pusaran. Pusaran ada yang berskala kecil ada yang besar. Dalam skala kecil pusaran udara disebut angin pusing (whirl wind). Angin pusing dapat terjadi di atas tanah yang mendapat sinaran matahari pada siang hari yang terik, tetapi hidupnya hanya beberapa menit. Karena pemanasan yang kuat di suatu tempat, udara di tempat itu terangkat dengan kuat dan cepat sehingga seolah-olah ditempat itu terjadi kekosongan udara yang dengan cepat pula diisi oleh udara sekitarnya . Pengumpulan udara tersebut menimbulkan angin berputar. Angin pusing paling sering terjadi di padang pasir, dan dapat mengangkut debu, pasir atau benda-benda ringan lainnya. Angin pusing yang lebih besar terdapat di bagian bawah awan dan disebut puting beliung atau angin puyuh. Kecepatan angin di sekitarnya dapat mencapai 150 sampai 500 km/jam. Dengan kecepatan yang demikian besar angin puting beliung mempunyai daya pengrusak yang cukup tinggi (Soerjadi, 2010). 2.2 Proses Terjadinya Puting Beliung.

    Udara di permukaan yang mendapatkan pemanasan kuat akan mengalami proses pengangkatan yang

    kuat dan cepat. Bila pemanasan yang demikian terjadi di suatu tempat, maka di tempat itu seolah-olah terjadi kekosongan udara yang dengan cepat pula diisi oleh udara sekitarnya sehingga daerah tersebut menjadi daerah pumpunan angin dan pengumpulan udara. Pengumpulan udara yang berlangsung sangat cepat menimbulkan pusingan angin atau angin berputar. Bila pemanasan kuat terdapat di bawah awan guntur tingkat muda yang di dalamnya terdapat gerakan udara vertikal yang kuat, dan di bawah awan yang udaranya sangat lembap dapat timbul pilin udara atau angin pusing memutar awan guntur. Puting beliung yang kuat menimbulkan bentuk kerucut pada bagian bawah awan. Tekanan udara pada ujung kerucut awan dapat sangat rendah sehingga benda-benda di bawahnya dapat terangkat. Penurunan tekanan di tempat yang dilalui puting beliung dapat mencapai 100 sampai 200 hPa. Puting beliung umumnya timbul di atas daratan (Soerjadi, 2010). 2.3 Puting Beliung Pada Citra Radar

    Seperti yang diketahui bahwa puting beliung/tornado mempunyai diameter kurang dari beberapa ratus

    meter dan mempunyai durasi pendek beberapa menit. Dengan observasi visual saja hampir tidak mungkin untuk melukiskan dengan tepat dimensi puting beliung dan distribusi awan badai ketika terjadi puting beliung. Dengan bantuan radar, puting beliung dapat dideteksi lebih teliti dan beberapa fotografi yang menarik dapat dipelajari. Puting beliung biasanya terbentuk pada sisi kanan bagian belakang awan induk (mothercloud), tetapi ada laporan lain mengenai kejadian puting beliung kadang-kadang pada ujung lain awan badai. Awan badai penghasil puting beliung merupakan awan supercell. Awan supercell biasanya terdiri dari satu sel tunggal yang menghasilkan konveksi yang kuat, biasanya sekitar 30-60 km (20 sampai 40 mil) di bagian terluas dari badai yang nampak di radar.

    Ada dua tanda yang mencirikan kejadian puting beliung :

    1. Sebuah mesocyclone, yang merupakan udara naik yang berputar yang nampak sebagai rotasi sperti terlihat pada gambar 1 (a).

    2. Sebuah echo berbentuk kail (hook echo), yang diciptakan oleh echo curah hujan/ presipitasi yang membungkus di sekitar mesocyclone seperti terlihat pada gambar 1 (b).

  • Bentuk yang menarik dari citra reflektifitas radar adalah tampak tonjolan echo berbentuk kail (hook echo) yang agak luas. Sedangkan dari citra velocity tampak jelas bentuk mesocyclone. Dari deteksi radar, dapat disimpulkan bahwa jika tiba-tiba tampak tonjolan dari echo awan badai yang selanjutnya berkembang menjadi bentuk kail (hook echo) maka dapat diwaspadai sebagai pertanda bahwa puting beliung mungkin sudah terbentuk. Jika echo awan badai membentuk puting beliung, maka badai dapat diikuti jejaknya dengan radar. Beberapa sistem puting beliung dapat bertahan untuk beberapa jam dan dapat bergerak lebih dari 100 km. Masyarakat yang berada dalam lintasan sistem echo demikian dapat diperingatkan lebih dini dengan waktu yang cukup untuk dapat menyelamatkan jiwa dan harta milik. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa radar Doppler merupakan instrumen yang sesuai untuk mengidentifikasi dan melokalisasi tornado.

    III. DATA DAN METODE

    3.1 Data

    Data yang digunakan adalah data Radar Cuaca C-BAND DWSR-2501C yang terpasang di Stasiun Geofisika Tangerang pada tanggal 26 Juni 2014. Raw data yang digunakan adalah hasil scanning dalam mode VCP 21 dengan jarak maksimum yang digunakan adalah 240 km.

    3.2 Metode

    1. Metode Studi Kasus (Case of Study)

    Metode studi kasus sebagai salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci, dan mendalam terhadap suatu organism (indvidu), lembaga, atau gejal tertentu dengan daerah subjek yang sempit. Dalam tulisan ini penulis mengamati pola-pola pengamatan radar kejadian di Jakarta yang diduga merupakan kejadian puting beliung.

    2. Metode Studi Pustaka

    Metode studi pustaka dilakukan dengan mencari berbagai referensi berkaitan dengan tanda-tanda yang dapat diamati dari radar pada saat kejadian puting beliung.

    Gambar 1. (a) Pola rotasi yang tampak pada citra radar saat kejadian putting beliung. (b) Pola hook echo yang

    terdeteksi pada radar

    a b

  • IV. PEMBAHASAN

    Posisi yang dilaporkan oleh BNPB saat kejadian terletak pada koordinat 106.728 BT 6.16092 LS sekitar

    pukul 17.00 WIB. Namun apabila kita melihat dari data radar cuaca BMKG yang dipasang di Tangerang, pada titik koordinat dan sekitarnya sama sekali tidak ada awan yang terpantau, seperti terlihat pada gambar 2. Gambar yang diambil adalah gambar pada jam 09.40 UTC hingga 10.20 UTC.

    Pembahasan mengenai analisa yang akan dilakukan tidak pada koordinat yang dilaporkan BNPB, karena

    kondisi perawanan pada daerah tersebut tidak signifikan dan tidak terdapat awan sama sekali yang meliputi daerah tersebut. Daerah yang akan dianalisa pada daerah sekitar dari koordinat 6.0522 LS 106.5115 BT karena pada daerah tersebut terdapat pola menyerupai hook echo yang menjadi salah satu tanda dari kejadian puting beliung seperti terlihat pada gambar 3.

    Gambar 3. Produk CMAX (Z) pukul 09.40

    Gambar 2. Produk CMAX (Z) berturut-turut dari kiri ke kanan pukul 09.50, pukul 10.10 dan pukul 10.20

  • Pada dasarnya, kejadian puting beliung selalu ditandai dengan adanya rotasi profil angin. Terdapat beberapa tanda-tanda pada citra radar yang dapat digunakan sebagai indiKator terjadinya puting beliung, salah satunya adalah hook echo. Perlu diketahui, pola hook echo akan terbentuk karena evolusi dari awan tersebut yang diakibatkan karena rotasi angin, bukan karena suatu collision antar sel awan. Untuk memvalidasi apakah kejadian di Jakarta pada tanggal 26 Mei 2014 benar merupakan kejadian puting beliung, dilakukan dianalisa proses perkembangan awan.

    Pada pembahasan ini, citra radar yang dianalisa mulai dari pukul 09.00 UTC hingga pukul 10.20 UTC. Bentukan awan yang menyerupai pola hook echo terjadi pada jam 09.40, dimana pada waktu tersebut selisih 10 menit dari pemberitaan oleh BNPB. Perkembangan awan pada pukul 09.00 UTC dapat dilihat pada gambar 4.

    Seperti terlihat pada gambar 2, terdapat awan kumulonimbus multisel dengan nilai reflectivitas yang

    tinggi hingga lebih dari 40 dBZ. Angin yang berhembus dari arah tenggara menyebabkan awan bergerak ke arah

    Sel

    C Sel

    B

    Sel

    A

    Gambar 4. (a) Produk CMAX (Z) pukul 09.00 UTC radar Tangerang. (b) Produk CAPPI (V) 0,5 km radar

    Tangerang pukul 09.00 UTC

    a

    b

  • barat laut. Pada produk CMAX (Z) yang diberi tanda lingkaran, terdapat awan kumulonimbus dengan nilai reflektivitas yang tinggi hingga lebih dari 48 dBz. Terdapat tiga inti sel awan dengan nilai reflektivitas hingga mencapai 55 dBZ. Dua sel awan yaitu sel A dan sel B telah mencapai tahap matur dan akan segera mencapai tahap disipasi, sedangakan pada sel C sel awan masih berkembang lagi.

    Pada gambar 2 dalam produk CAPPI(V) 0,5 km (yang diberi tanda lingkaran) terdapat angin inbound dalam jarak yang lebih dekat dari radar dan angin outbond dalam jarak yang lebih jauh dari radar. Echo tersebut merupakan downbrust yang diakibatkan oleh awan kumulonimbus dengan ukuran yang cukup besar (terdapat tiga inti sel) pada tempat yang sama. Saat downbrust tersebut mencapai permukaan, angin berhembus ke dua arah, yaitu ke timur laut dan ke barat daya. Echo dari downbrust tersebut belum terlalu signifikan nilainya, dan angin yang mengarah ke dua arah akibat downdraft tersebut masih dominan ke arah barat daya. Namun nilai downdraft tersebut menguat pada menit-menit setelahnya seperti terlihat pada gambar 5 dalam grafik vertical speed (grafik sebelah kanan

    Nilai downdraft pad pukul 09.00 UTC di ketinggian sekitar 400 meter mencapai nilai 33 m/s,dan pada

    komponen horizontal di ketinggian yang sama mencapai 7.12 m/s dari arah 105. Nilai downdraft ini meningkat pada menit-menit setelahnya, tercatat pada pukul 09.10 nilai downdraft pada lapisan sekitar 400 meter mencapai 48 m/s sedangkan komponen horizontal pada ketinggian yang sama 7.10 m/s dari arah 120. Pada pukul 09.20 ketinggian ketinggian sekitar 400 meter angin komponen vertical mencapai 59 m/s ke arah bawah,dan komponen horizontal pada ketinggian yang sama hanya mencapai 4.02 ms dari arah 103. Ppada pukul 09.30 ketinggian sekitar ketinggian 400 meter dalam komponen vertical mencapai 33 m/s ke bawah, dan komponen horizontal naik menjadi 6.82 m/s dari arah 123. Pada pukul 09.40 ketinggian sekitar 400 meter komponen vertikal mencapai 11 m/s kebawah dan komponen horizontal mencapai 5.89 m/s dari arah 123. Dan pada pukul 09.50 pada ketinggian sekitar 500 meter komponen vertikal nilai 23 m/s kebawah dan komponen horizontal mencapai 5.36 m/s dari arah 133. Ketinggian rata-rata dimana downdraft terjadi secara kontinyu yaitu pada ketinggian 3000 meter. Jika dilihat dari nilai downdraft, rata-rata kecepatan yang terjadi dari pukul 09.00 hingga 09.50 pada ketinggian sekitar 400 meter mencapai 34.5 m/s. Nilai downdraft in sangat signifikan, apabila dikonversikan dalam knot mencapai 69 knots.

    Gambar 5. Produk VVP radar Tangerang, dari kiri ke kanan pukul 09.00 UTC, 09.10 UTC, 09.20, 09.30, 09.40,

    09.50

  • Nilai downdraft yang kuat ini akan menyebabkan kejadian downbrust atau microbrust, angin yang mengarah ke dua arah yang berlawanan (barat laut dan timur laut) pada permukaan bertahan hingga pukul 09.50, seperti akan terlihat pada gambar-gambar selanjutnya dalam produk CAPPI (V).

    Pada gambar 6 produk CMAX (Z), sel A dan sel B telah meluruh, sedangkan sel C memasuki tahap matur. Karena awan ini merupakan suatu sistem awan multisel, terlihat pada sel D akan mulai tumbuh awan konvektif. Downdraft yang terjadi juga semakin kuat. Pada tempat disekitar sel C, dengan produk CAPPI (V) yang diberi tanda lingkaran terdapat nilai inbound dan outbond yang cukup signifikan akibat dari downdraft yang terjadi hingga mencapai 35 m/s pada ketinggian sekitar 1000 m. Angin akibat downdraft ini bertemu dengan angin yang berhembus dari arah timur laut dan timur, sehingga menyebabkan konvergensi. Konvergensi ini akan mengakibatkan sel D semakin tumbuh secara konvektif dan memasuki tahap matur. Pergerakan awan tidak terlalu signifikan, bergerak perlahan ke arah barat laut karena dorongan angin dari arah timur laut.

    Sel C Sel D

    Gambar 6. (a) Produk CMAX (Z) pukul 09.10 UTC radar Tangerang. (b) Produk CAPPI (V) 0,5 km radar Tangerang

    pukul 09.10 UTC

    a

    b

  • Pada pukul 09.20 UTC di gambar 7 terlihat sel C telah mulai meluruh, dan sel D mulai tumbuh. Terdapat

    beberapa sel awan yang ada disebelah utara-timur laut sel D. Secara umum angin masih dominan dari arah tenggara dan downbrust yang menghasilkan dua arah angin di permukaan pada sekitar sel C dan D masih bertahan. Angin yang berhembus dari arah tenggara mengakibatkan sel D akan mengalami collision dengan sel-sel awan di utaranya dan bergerak ke arah barat laut seperti terlihat pada gambar 8 yang merupakan kondisi pada jam 09.30.

    Sel C

    Gambar 7. (a) Produk CMAX (Z) pukul 09.20 UTC radar Tangerang. (b) Produk CAPPI (V) 0,5 km radar

    Tangerang pukul 09.20 UTC

    a

    b

    Sel D

    Sel C

  • Pada pukul 09.30 UTC, terlihat sel D sudah mengalami collision dengan sel-sel di sebelah utranya, terlihat ukuran dari sel D menjadi lebih besar. Pada tanda lingkaran sebelah atas nampak muncul sel-sel awan baru yang mulai tumbuh. Awan konvektiv sel D juga menyebabkan downbrust yang cukup signifikan, terlihat pada CAPPI (V) 0,5 km pada tanda lingkaran terdapat dua arah angin yang berlawanan yang disebabkan downdraft saat mencapai permukaan. Angin yang mengarah ke timur laut bertemu dengan angin yang berhembus dari timur. Hal ini akan mengakibatkan konveksi yang lebih kuat lagi karena proses konvergensi, juga angin dari arah timur-tenggara akan terbelokkan ke arah barat laut dan menggerakan awan ke arah barat laut pula.

    Teradapat echo yang dapat mengecoh apabila tidak diperhatikan secara seksama, yaitu echo yang ditunjuk anak panah dengan tanda false hook echo. Jika dilihat dari skala cakupan awannya, luasan tersebut terlalu besar untuk awan yang menunjukkan hook echo. Jika dilihat dari data kecepatan pada gambar

    False hook echo

    Sel D yang sudah

    mengalami collision

    Inti Sel baru yang muncul

    muncul

    a

    b

    Gambar 8. (a) Produk CMAX (Z) pukul 09.30 UTC radar Tangerang. (b) Produk CAPPI (V) 0,5 km radar

    Tangerang pukul 09.30 UTC

  • dibawahnya juga tidak ada rotasi sama sekali. Hal lain yang membuktikan bahawa echo tersebut bukanlah hook echo dapat didukung dengan data spectral width, yang merupakan informasi rata-rata perbedaan kecepatan antara partikel dalam suatu sampling volum. Apabila benar bahwa echo tersebut merupakan hook echo, nilai spectral width di tempat tersebut akan bernilai besar. Namun pada produk CAPPI (W) 0,5 km di daerah yang sama nilai spectral width tidak signifikan, nilai yang tercatat kurang dari 1.7 m/s, seperti terlihat pada gambar9.

    Pola tersebut adalah pola bright band echo, dimana pada pola bright band echo menunjukkan terdapat hydrometeor hasil pencairan es yang bergerak turun pada ketinggian yang sama. Pada lapisan freezing level, partikel-partikel es yang begerak turun akan mulai meleleh menjadi butiran droplet. Butiran-butiran droplet ini dapat jatuh bersamaan dan pergerakan mereka akan terpantau pada ketinggian yang sama. Hal tersebut dibuktikan melaui cross section dari daerah bright band echo pada gambar 10. Ketinggian maksimum yang di set pada citra croos section tersebut adalah 1 km. Pada citra tersebut telihat terdapat echo yang memanjang pada ketinggian sekitar 1km dengan nilai reflektivitas sekitar 28 dBz. Kemungkinan jenis hydrometeor dengan nilai reflektivitas tersebut hanyalah droplet. Droplet yang memanjang pada lapisan yang sama tersebut merupakan droplet hasil pencairan dari partikel es yang bergerak bersama-sama dan pada ketinggian yang sama pula.

    Gambar 8. CAPPI (W) 0,5 km radar Tangerang pukul 09.30 UTC

  • Pergerkan droplet dalam jumlah yang besar ini akan menyebabkan downdraft yang kuat. Butiran-butiran air yang bergerak bersama-sama pada ketinggian yang sama pula akan mendesak masa udara ke bawah. Selain itu, apabila masa udara tersebut lebih dingin daripada masa udara dibawahnya, maka massa udara kalor laten untuk menguapkan droplet tersebut diperoleh dari kalor udara dilingkungannya, dan berakibat udara yang memberikan kalor laten tersebut menjadi semakin dingin. Saat udara tersebut menjadi dingin, densitas dari udara tersebut akan semakin tinggi. Kenaikan densitas dari massa udara tersebut dan dorongan dari partikel bright band echo tersebut akan menimbulkan downdraft yang kuat, sehingga potensi microbrust, downbrust dan angin kencang akan semakin besar di permukaan. Terbukti pada produk VVP(V) pada pukul 09.30 (pada gambar 4) vertical speed pada lapisan 1000 meter mencapai -26 m/s, dan pada lapisan permukaan hingga mencapai -33 m/s, tanda negatif berarti arah angin menuju kebawah (downdraft).

    Pola echo yang paling menyerpai hook echo terjadi pada jam 09.40, seperti pada gambar 111 yang diberi tanda lingkaran.

    Gambar 10. (a) Produk CMAX (Z) pukul 09.30 UTC radar Tangerang. (b) Produk cross section dari garis

    yang terdapat di gamr 7(a).

    a b

    Sel D

    Awan konvektif yang

    mulai tumuh akibat

    density current sel D

    Sel awan yang mulai

    tumbuh oada jam

    09.30 dan mengalami

    collision

    Gambar 111. Produk CMAX (Z) pukul 09.40

  • Jika dilihat dari bentukan echo tersebut, memang bentuk tersebut seperti hook echo. Namun apabila dilihat dari pembentukannya, awan tersebut terbentuk karena collision antara sel awan di sebelah utara sel D yang mulai terbentuk pada pukul 09.20 hingga 09.30 UTC dengan awan konvektif yang mulai tumbuh karena density current dari sel D yang telah mencapai tahap matur. Density current tersebut bergerak ke barat laut-utara karena memang pada lokasi tersebut angin yang berhembus dominan dari arah tenggara. Sedangkan hook echo yang sebenarnya terbentuk melalui proses evolusi, dari bentukan bow echo kemudian menjadi hook echo. Bentukan bow echo juga tidak di temukan pada rentang waktu pukul 09.00 09.30.

    Parameter lain yang harus diperhatikan dan yang paling vital adalah angin. Apabila benar echo tersebut merupakan hook echo yang menandakan terjadinya puting beliung, dapat dipastikan di tempat hook echo tersbut berada akan terdapat rotasi yang dapat dideteksi dengan pasangan koplet angin inbound dan outbound. Data angin pada produk CAPPI (V) 0.5 km seperti pada gambar 12 tidak menunjukkan adanya rotasi di daerah echo yang diduga merupakan hook echo tersebut, dan juga echo lain tidak menunjukkan adanya rotasi.

    Echo dengan moment radial velocity pada gambar 10 masih terlihat dominan dari arah tenggara. Pada daerah yang diduga hook echo arah angin juga dari arah tenggara. Pada produk VVP(V) pukul 09.40 di gambar 2 menunjukkan kontinyuitas downdraft terjadi pada ketinggian 2000 meter, dan nilai downdraft di lapisan 1000 meter mencapai 26 m/s dan pada ketinggian dibawahnya mencapai 21 m/s. Nilai ini sangat signifikan walupun tidak ada rotasi, jika dikonversikan ke satuan knots, menjadi 42 knots. Downdradt ini akan menyebabkan shear yang cukup signifikan saat ,mencapai permukaan, dan menyebabkan nilai dari spectral width cukup besar di daerah tersebut, dengan nilai 1.7 hingga 3.4 m/s seperti terlihat pada gambar 13.

    Gambar 12. Produk CAPPI(V) 0.5 km

  • Jadi dapat dikatakan bahwa bentukan echo padap pukul 09.40 (yang diberi tanda lingkaran) pada gambar 10 bukanlah merupakan hook echo, awan tersebut hanyalah gabungan dari sel-sel awan, bukan merupakan betuk evolusi suatua awan menjadi bentuk hook echo. Angin yang berhembus juga bukan merupakan rotasi, angin yang berhembus juga memiliki keseragaman arah yaitu dari arah tenggara.

    Awan-awan konvektif pada pukul 09.50 hingga 10.20 UTC bergerak ke arah barat laut dan mulai memudar, dan angin yang berhembus juga masih seragam dari arah tenggara seperti terlihat pada gambar 14 dan 15.

    Gambar 13. Produk CAPPI (W) 0.5 km

    Gambar 14. Produk CMAX (Z) berturut-turut dari kiri ke kanan pukul 09.50, 10.10, dan 10.20 UTC

  • V. KESIMPULAN

    Berdasarkan parameter-parameter yang terdapat pada radar cuaca C Band DWSR 2501C yang terpasang di Tangerang, kejadian pada tanggal 26 Mei 2014 di Jakarta bukanlah merupakan kejadian puting beliung karena tidak adanya rotasi pada pukul 09.00 hingga pukul 10.20 UTC dan bentukan awan yang diduga hook echo pada tempat di sekitar koordinat 6.0522 LS 106.5115 BT bukanlah pola hook echo melainkan collison antara beberapa sel awan yang sudah dalam tahap matur dengan awan konvektif yang mulai tumbuh. Kejadian tersebut hanya merupakan kejadian angin kencang, nilai downdraft pada pukul 09.00 hingga 09.50 sangat signifikan, rata-rata hingga mencapai 34.5 m/s.

    VI. DAFTAR PUSTAKA

    Byko, Z. et. a., 2009: Descending Reflectivity Cores in Supercell Thunderstorms Observed by Mobile Radars and in a High-Resolution Numerical Simulation. Wea. Forecasting, 24, 155-186.

    Fujita, T. T., 1958: Mesoanalysis of the Illinois tornadoes of 9 April 1953. J. Meteor., 15, 288-296.

    Rasmussen, E. N. et.al., 2006. A preliminary survey of rear-flank descending reflectivity cores in supercell storms. Wea. Forecasting, 21, 923-938.

    Zakir, A., Hidayah, T. 2008. Interpretasi Citra satelit dan Radar. Jakarta: Workshop BMKG.1977

    Burgess, D.W., R.J. Donaldson, and P.R.Desrochers, 1993. Tornado detection and warning by radar. The Tornado: Its Structure, Dynamics, Predictions and Hazards, Geophys. Monogr., No 79, Amer. Geophys. Union, 203-221

    http://pustakacuaca.blogspot.com/2010/03/puting-beliung.html, diakses 20 Juni 2014

    Gambar 15. Produk CAPPI (V) 0.5 km berturut-turut dari kiri ke kanan pukul 09.50, 10.10, dan 10.20 UTC