Zuhud Dan Wara

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Akhlak/Ethics

Citation preview

  • ZUHUD DAN WARA SEBAGAI PEMECAHAN MASALAH

    SIKAP HIDUP MATERIALISTIS

    PAPER

    Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mengikuti Ujian Akhir Pesantren

    Tingkat Muallimin

    Disusun oleh:

    Muhammad Imam Asy Syakir

    NIS : 08091050

    PESANTREN PERSATUAN ISLAM 40 SARONGGE

    PAMULIHAN-SUMEDANG

    2011 M/1432 H

  • ZUHUD DAN WARA SEBAGAI PEMECAHAN MASALAH

    SIKAP HIDUP MATERIALISTIS

    Disusun oleh:

    Muhammad Imam Asy Syakir

    NIS : 08091050

    Disahkan dan disetujui :

    Pembimbing I Pembimbing II

    Imas H. S.P. Deni Saeful Bukhary S.Pd.I

    NPA: 13604 NIAT: 00.1389

    Mengetahui:

    Mudirul Am

    Deni Saeful Bukhary S.Pd.I

    NIAT: 00.1389

  • ZUHUD DAN WARA SEBAGAI PEMECAHAN MASALAH

    SIKAP HIDUP MATERIALISTIS

    Disusun oleh:

    Muhammad Imam Asy Syakir

    NIS : 08091050

    Diujikan pada tanggal.

    Penguji I Penguji II

  • MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    Karya ini kupersembahkan bagi semua orang, yaitu siapapun yang haus

    dan lapar akan bacaan dan karya-karya, juga bagi orang-orang yang telah ikut

    membangun jatidiriku, mereka adalah kedua orang tua penulis Bapak Drs. Ian

    Muniran dan Ibu Yayah Nurjannah, guru-guru yang telah mentransmisikan

    ilmunya kepadaku, para penulis brilian yang bukunya selalu kubaca hingga

    mendobrak cakrawala pengetahuanku, teman-teman yang selalu menghangatkan

    kehidupan yang terasa dingin atau seperti apa yang dikatakan tokoh kartun Naruto

    bahwa teman adalah mereka yang mengeluarkanmu dari neraka yang dipenuhi

    rasa sepi.

    Kutipan:

    Hidup yang tak teruji bukanlah hidup yang berharga - Plato -

    (Filsuf, penulis buku besar Republik)

    Dalam hidup selalu perhatikan perubahan variabelnya - Ben Campbell -

    (Kata-kata mutiara dalam film 21)

  • KATA PENGANTAR

    Lectori salutem !

    Alhamdulillahirabbilalamin. Segala ungkapan syukur kepada Allah swt

    atas semua anugerah rahmat serta nikmat yang diturunkan kepada seluruh hamba-

    Nya. Dan anugerah rahmat serta nikmat tersebut hanya bisa didapatkan bila

    mengikuti seruan-Nya ke dalam diin yang disempurnakan dan diridlai-Nya, yaitu

    Islam, melalui utusan-Nya Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam.

    Ex necessitate rei

    Terlahir dari keadaan darurat. Demikianlah ungkapan yang menyertai

    terjadinya karya tulis ini. Sekalipun demikian, Karya Tulis Ilmiah yang ada

    ditangan pembaca ini, sengaja disusun untuk memenuhi syarat mengikuti ujian

    tingkat Muallimin atau Madrasah Aliyah.

    Les paroles sont faites pour masquer les pensees. Kata-kata itu

    diciptakan untuk mencerminkan pikiran-pikiran. Sebagaimana ungkapan perancis

    tersebut, begitulah tujuan lain penulis dalam menyusun karya tulis ini, yaitu dapat

    menuangkan buah pikir penulis terhadap suatu permasalahan dari permasalahan-

    permasalahan yang ada, khususnya yang dihadapi oleh kaum muslimin dewasa

    ini. Semoga dengan adanya karya ini setidaknya memberi secercah cahaya dan

    setetes solusi dalam pemecahannya.

    Dalam proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mengucapkan

    terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan jasanya dan ikut serta

    membantu penulis dalam penyusunan karya ini, diantaranya penulis ucapkan

    terima kasih kepada:

  • 1. Mudirul Am sekaligus pembimbing II yaitu Ustadz Deni Saeful

    Bukhari, S.Pd.I.

    2. Mudir Muallimin: Ustadz Muhammad Shagir, S.Psi.

    3. Mudir Tsanawiyah sekaligus Guru pelajaran Metode Karya Tulis

    (MPKT) di kelas XI dan pembimbing I: Bu Imas Haryati, S.P.

    4. Semua Asatidz dan Asatidzah

    5. Teman-teman santri RG dan UG baik Tsanawiyah maupun Muallimin

    dan kawan-kawanku semua dimanapun mereka berada.

    Ucapan terima kasih yang lebih khusus lagi kepada kedua orang tua

    penulis, yaitu Bapak Drs. Ian Muniran dan Ibu Yayah Nurjannah, juga teman-

    teman RG dan UG kelas III Muallimin atau kelas XII dan yang lainnya, yaitu:

    1. My Partner dan kaka kelas Abadi Aa Kin kin Syamsudin Muallimin

    Angkatan pertama yang selalu menyisakan waktunya bercakap-cakap

    ilmiah dan saling transfer wawasan yang membuka lebar-lebar jendela

    nalarku dan memberiku dunia baru, yaitu membaca. Syukran

    katsiraan.

    2. My Brother and Best Friends Sidiq Qamar Ramadlan angkatan

    Tajhiziah terakhir (The Last Tajhiziah) yang selalu mengajak

    Pabeulitz. Thanks for all.

    3. My Sister Ibu alias Imas Nurlathifah sebagai UG senior dari

    angkatan Tajhiziah terakhir (The Last Tajhiziah), Syukran.

    4. My Partner dan kaka kelas satu angkatan diatasku Aa Hamdani

    Musthafa. Teman seperjuangan ngaji kitab dan banyak menunjukkan

  • karya tulis ilmiahnya yang turut memotivasi penulis untuk melakukan

    hal yang sama, Syukran.

    5. My Sister Aam Amanah, Syukran.

    6. My Sister Fitri Hanifa Muslimah, Syukran.

    7. My Sister Hana Azizah Al Mutawakkil, Syukran.

    8. My Sister Hana Fauziah, Syukran.

    9. My Sister Ihat Shalihat, Syukran.

    10. My Sister Linaeni Widiagustini, Syukran.

    11. My Sister Muminah Khairiah, Syukran.

    12. My Sister Nurutami Febriani, Syukran.

    13. My Brother Rudi Hardian, Syukran.

    14. My Sister Siti Rodiah Kolbiah, Syukran.

    15. My Brother Ridlo Audah, Syukran.

    16. My Sister Imas Nuraeni, Syukran.

    17. My Brother Maruf Hidayat, Syukran.

    18. My Brother and Best Friends Ramdan Gun gun Setiara, Syukran.

    19. My Brother and Best Friends Umar Hadikusuma, Syukran.

    20. My Brothers and My Sisters semua Angkatan Tajhiziah terakhir,

    Syukran.

    21. My Brothers and My Sisters semua santri Tsanawiyah angkatan 2008,

    Thanks for you all.

    22. My Brother Jamaah Cipelah, Andi Romansyah, Syukran.

    23. My Brother Jamaah Cekdam, Yusef, Syukran.

  • Sebagai penutup prakata atau kata pengantar ini, penulis mengharapkan

    dari pembaca, bila menemui kekeliruan dan kekurangan maupun kesalahan yang

    fatal dalam Karya Tulis Ilmiah ini untuk tidak sungkan menyampaikan kritikan

    dan saran yang bersifat membangun bagi karya ini. Karena penulis mengakui

    untuk menghasilkan sebuah karya terbaik diperlukan bantuan dari orang lain dan

    proses juga cara yang benar, sebagaimana ungkapan ariston matron, melakukan

    sesuatu dengan caranya adalah yang paling baik. Sehingga akan terlahir suatu

    karya yang terbaik dan memiliki manfaat yang besar bagi kehidupan..

    Hasbunallah wanimal wakiil. Cukuplah Allah menjadi Penolong kami

    dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.

    Sumedang, 09 Mei 2011

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................i

    KATA PENGANTAR .... ..................................................................................ii

    DAFTAR ISI .................. ..................................................................................vi

    BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1

    A. Latar Belakang Masalah.................................................................1

    B. Rumusan Masalah ..........................................................................3

    C. Batasan Masalah ............................................................................4

    D. Tujuan Penulisan ...........................................................................4

    E. Metode Penulisan ...........................................................................4

    F. Sistematika Penulisan .....................................................................5

    BAB II LANDASAN TEORITIS .....................................................................9

    A. Zuhud ............................................................................................9

    B. Wara .............................................................................................14

    C. Konsep Materialistis ......................................................................17

    BAB III ANALISIS ZUHUD DAN WARA SEBAGAI PEMECAHAN

    MASALAH SIKAP HIDUP MATERIALISTIS ............................24

    A. Analisis Zuhud...............................................................................24

    B. Analisis Wara ...............................................................................40

  • C. Analisis Sikap Hidup Materialistis .................................................41

    D. Analisis Relevansi Zuhud dan Wara Sebagai Pemecahan Masalah

    Sikap Hidup Materialistis ..............................................................45

    BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................47

    A. Kesimpulan....................................................................................47

    B. Saran..............................................................................................47

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................49

    RIWAYAT HIDUP ...........................................................................................53

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Manusia adalah makhluk yang membutuhkan materi dalam kehidupan

    sehari-harinya. Dewasa ini, materi seolah dipandang sebagai aspek penting

    yang vital. Pandangan tersebut tidak lepas dari munculnya penemuan-

    penemuan alat-alat modern dalam bidang teknologi yang berguna dalam

    mempermudah manusia dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.

    Sehingga aktivitas kehidupan pada akhirnya sangat bergantung kepadanya.

    Selain itu, jargon hidup modern juga membawa manusia pada

    pandangan hidup yang sangat materialistik, yaitu segala sesuatu diukur hanya

    dengan aspek kebendaan. Pola hidup modern ini membawa dampak yang

    signifikan dalam sikap hidup yang di anut umat manusia di era globalisasi.

    Selain dari dampak yang positif, dampak negatif dari pola hidup modern yang

    materialistis ini, cenderung lebih dominan dalam fenomena kehidupan

    manusia.

    Bertolak dari fenomena tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan

    menemukan intisari dinamika kehidupan manusia, khususnya umat Islam pada

    era globalisasi ini yang telah bergeser dari nilai-nilai kehidupan yang

    spiritualis, yaitu berlandaskan pandangan atas ajaran suatu agama dalam hal

    ini Islam pada suatu nilai-nilai kehidupan yang materialistis yang notabene

    berasal dari suatu paham atau ajaran filsafat, yaitu Materialisme.

  • Materialisme merupakan bagian dari peradaban Barat, termasuk pula

    Sekulerisme, Komunisme dan Liberalisme yang menjadi citra negatif dari

    peradaban tersebut, selain daripada citra positifnya dalam bidang ilmu

    pengetahuan dan teknologi.

    Dalam buku Recik-Recik Dakwah yang ditulis K.H.E. Abdurrahman,

    disebutkan bahwa inti ajaran Materialisme adalah penolakan terhadap hukum

    Tuhan dan hidup kejiwaan (K.H. E. Abdurrahman, 1993:2 ). Sehingga atas

    dasar tersebut, Materialisme merupakan paham yang memiliki isi ajaran yang

    bertentangan dengan risalah Nabi Muhammad saw yang dibawa dalam ajaran

    Islam karena menolak hukum Allah swt. Premis diatas dapat dijadikan alasan

    untuk menjauhi paham tersebut, bukan malahan menjadi pengikutnya

    sebagaimana yang dewasa ini terjadi dengan bersikap hidup modern yang

    materialistis.

    Abu Daud As-Sijistan meriwayatkan sebuah hadits dari sahabat Ibnu

    Umar ra. yang berbunyi:

    : .

    Artinya: Rasulullah saw bersabda: Barang siapa yang meniru suatu kaum

    maka dia adalah bagian dari mereka. (Tarjamah Bhulughul

    Maram, Ahmad Hasan, 2002:673, hadits no: 1499)

    Berdasarkan hadits ini, maka fenomena sikap hidup materialistis

    adalah suatu bentuk tasyabuh (penyerupaan) bagi seorang muslim karena

    berasal dari luar ajaran Islam. Keadaan tersebut, tentunya menjadi suatu

    masalah yang harus dicari pemecahannya.

  • Penulis berikhtiar untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan

    kembali pada sikap zuhud dan wara. Zuhud dan wara merupakan sikap

    hidup yang telah dicontohkan Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya juga

    oleh tabiin dan ulama sesudah mereka. Zuhud dan wara adalah alternatif

    terbaik untuk mengatasi permasalahan ini, karena sikap ini merupakan

    antimaterialistis atau kebalikan dari sikap hidup materialistis.

    Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis tertarik untuk

    menulis dan menyajikannya dalam sebuah Karya Tulis Ilmiah dengan judul :

    ZUHUD DAN WARA SEBAGAI PEMECAHAN MASALAH SIKAP

    HIDUP MATERIALISTIS.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan permasalahan yang telah diajukan dalam latar belakang

    diatas, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut :

    1. Apa yang dimaksud dengan Zuhud?

    2. Apa yang dimaksud dengan Wara?

    3. Apa yang dimaksud dengan sikap hidup materialistis?

    4. Bagaimana sikap hidup yang diajarkan oleh Islam?

  • C. Batasan Masalah

    Berdasarkan permasalahan yang sebelumnya telah dirumuskan, maka

    dibuatlah batasan masalah yang akan dikemukakan sebagai berikut :

    1. Zuhud.

    2. Wara.

    3. Sikap hidup Materialistis.

    4. Sikap hidup yang diajarkan oleh Islam.

    D. Tujuan Penulisan

    Tujuan dari penulisan Karya tulis ini antara lain :

    1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Zuhud.

    2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Wara.

    3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Sikap hidup materialistis.

    4. Mengetahui sikap hidup yang diajarkan oleh Islam.

    E. Metode Penulisan

    Penulisan karya Tulis Ilmiah ini menggunakan metode normatif, yaitu

    metode penelitian kepustakaan murni. Penulis menggunakan metode normatif

    karena Analisis dan pengambilan kesimpulan didapat dari studi pustaka yang

    berupa referensi dari buku, catatan dan karya tulis lainnya.

  • F. Sistematika Penulisan

    Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis menyusun

    sistematika penulisan agar mempermudah pembahasan dan meringkaskan

    garis-garis besar isi tulisan ini, sistematika penulisan tersebut adalah sebagai

    berikut :

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    B. Rumusan Masalah

    C. Batasan Masalah

    D. Tujuan Penulisan

    E. Metode Penulisan

    F. Sistematika Penulisan

    BAB II LANDASAN TEORITIS

    A. Zuhud

    1. Pengertian Zuhud

    Pengertian Menurut Bahasa

    Pengertian Menurut Istilah

    2. Dalil-Dalil yang Berkenaan dengan Zuhud

    2.1 Dalil Zuhud Dalam Al Quran

    2.2 Dalil Zuhud Dalam Hadits

  • B. Wara

    1. Pengertian Wara

    1.1 Pengertian Menurut Bahasa

    1.2 Pengertian Menurut Istilah

    2. Dalil-Dalil yang Berkenaan dengan Wara

    C. Konsep Materialistis

    1. Materialisme

    Pengertian Materialisme

    Macam-Macam Aliran Materialisme

    Tokoh-Tokoh Materialisme

    2. Sikap Hidup Materialistis

    Pengertian Sikap Hidup Materialistis

    Dalil-Dalil yang Berkenaan dengan Sikap Hidup

    Materialistis

    BAB III ANALISIS ZUHUD DAN WARA SEBAGAI PEMECAHAN

    MASALAH SIKAP HIDUP MATERIALISTIS

    A. Analisis Zuhud

    1. Sejarah Munculnya Zuhud

    Asal Mula Zuhud

    Istilah Zuhud Dalam Ajaran Selain Islam

  • Korelasi Antara Zuhud dengan Ajaran Tasawuf

    2. Karakteristik Sikap Zuhud

    2.1 Karakteristik Zuhud

    2.2 Tingkatan Zuhud

    3. Sikap Zuhud Nabi Muhammad saw

    4. Kedudukan Kehidupan Duniawi Dalam Pandangan Islam

    Sehingga Dituntut Zuhud Terhadapnya

    B. Analisis Wara

    1. Karakteristik Sikap Wara

    2. Sikap Wara Nabi Muhammad saw.

    3. Korelasi Antara Wara dengan Zuhud

    C. Analisis Sikap Hidup Materialistis

    1. Pandangan Islam Terhadap Sikap Hidup Materialistis

    2. Kritikan-Kritikan Atas Sikap Hidup Materialistis

    D. Analisis Relevansi Zuhud dan Wara Sebagai Pemecahan Masalah

    Sikap Hidup Materialistis

    1. Perbandingan Sikap Hidup yang Diajarkan Dalam Islam

    dengan Sikap Hidup Materialistis

    2. Relevansi Sikap Zuhud dan Wara Sebagai Penanganan

    Terhadap Masalah Sikap Hidup Materialistis

  • BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

    A. Kesimpulan

    B. Saran

  • BAB II

    LANDASAN TEORITIS

    A. ZUHUD

    1. Pengertian Zuhud

    1.1 Pengertian Menurut Bahasa

    Dalam Kamus Al Munawwir yang disusun oleh Ahmad Warson

    Munawwir, Zuhud berasal dari bahasa Arab, yaitu zahida-yazhadu-zuhdan

    wa zahadah yang berarti meninggalkan dan tidak menyukai (Ahmad

    Warson Munawwir, 1984:626-627 ). Kemudian dalam kamus Al Munjid,

    az zuhdu wa zahadah adalah iraadlu anisy syai ihtiqaaran lahu, yaitu

    berpaling dari sesuatu lantaran memandangnya rendah. Sementara

    menurut apa yang terdapat dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi yang disusun Al

    Imam Al Mubarakfuri, zuhud itu adalah dhiddur raghbah yang berarti

    lawan dari menyukai (Al Mubarakfuri, 1990:485). Kemudian menurut

    Ali bin Muhammad Al-Jurjani dalam kitab At Tarifaat, zuhud adalah

    tarkul maili ila syaii yaitu menghindarkan diri dari kecenderungan atau

    ketergantungan terhadap sesuatu (Al Jurjani:115).

    1.2 Pengertian Menurut Istilah

    Al Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi mencantumkan

    pengertian Zuhud secara istilah yaitu, tarkur raghbati fid dunya ala ma

    yaqtadliihil kitaab was sunnah yaitu meninggalkan keinginan terhadap

    dunia atas apa yang menuntutnya Al Kitab (Al Quran) dan As Sunnah (Al

  • Mubarakfuri, 1990:485). Sementara dalam kitab At Tarifaat, bughdlud

    dunya wal iraadlu anha yaitu benci terhadap dunia dan berpaling

    darinya. Dikatakan pula tarku raaihatid dunya thalaban liraahatil

    aakhirah yaitu meninggalkan kesenangan dunia karena mencari

    kesenangan akhirat. Ada pula yang mendefinisikan an yakhluu qalbuka

    mimma khalat minhu yadaka yaitu hatimu merasa cukup dengan apa-apa

    yang ada di tanganmu (Al Jurjani:115).

    2. Dalil-Dalil yang Berkenaan dengan Zuhud

    2.1 Dalil Zuhud Dalam Al Quran

    Al-Quran menyatakan kata zuhud hanya satu kali yaitu dalam surat

    Yusuf ayat ke-20 itupun hanya dengan makna secara bahasanya saja

    sebagaimana telah disebutkan dalam pengertian-pengertian zuhud diatas.

    Sehingga ayat tersebut tidak mencakup makna yang dimaksud untuk

    menjadi dalil atas sikap zuhud. Akan tetapi terdapat banyak sekali ayat

    yang menyebutkan tentang perbandingan kehidupan duniawi dan

    kehidupan akhirat.

    Kehidupan duniawi adalah sementara, sekejap, permainan, senda

    gurau, perhiasan, menumpuk kekayaan, berbangga akan keturunan dan

    kesenangan yang fana dan menipu. Sementara akhirat adalah sebaik-baik

    tempat kembali bagi manusia dan kehidupan dunia dibanding akhirat

    adalah sedikit. Sehingga sikap zuhud diperlukan dalam menjalani

    kehidupan duniawi tersebut. Ayat-ayat yang dimaksud antara lain:

    1. Al Quran Surat An Nisa (4) ayat 77:

  • ... .

    Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan

    akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan

    kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.

    2. Al Quran Surat At Taubah (9) ayat 38:

    .

    Artinya: Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti

    kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini

    (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.

    3. Al Quran Surat Al Hadid (57) ayat 20:

    .

    Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-

    megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang

    banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-

    tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu

    menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian

    menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan

    ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia

    ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

    Selain ayat-ayat Al Quran yang dituliskan diatas, masih terdapat

    banyak ayat lainnya, namun karena jumlahnya yang banyak maka penulis

    tidak menuliskan semua ayat tersebut satu persatu karena memerlukan

  • banyak tempat dalam karya tulis ini, sehingga tidak efisien dalam

    penulisannya. Namun cukuplah sebagai referensi penulis akan

    menyebutkan nama surat dan ayatnya saja. Ayat-ayat tersebut antara lain:

    Al Baqarah (2) ayat 85-86, Ali Imran (3) ayat 14 dan 185, An Nisa (4) ayat

    94, Al Anam (6) ayat 32, 70 dan 130, Al Araaf (7) ayat 51, Yunus (10)

    ayat 7-8, dan 24, Huud (11) ayat 15, Ar Rad (13) ayat 26, Ibrahim (14)

    ayat 2-3, An Nahl (16) ayat 104-109, Al Isra (17) ayat 18-21, Al Kahfi

    (18) ayat 45-46 dan 103-105, Thaha (20) ayat 131, Al Muminun (23) ayat

    33-38, Al Qashash (28) ayat 60-61 dan 79, Al Ankabut (29) ayat 64, Ar

    Ruum (30) ayat 7, Luqman (31) ayat 33, Al Ahzab (33) ayat 28, Fathir

    (35) ayat 5, Al- Mumin (40) ayat 39, Asy Syura (42) ayat 36, Az Zukhruf

    (43) ayat 35, Al Jatsiyah (45) ayat 35, Muhammad (47) ayat 36, An Najm

    (73) ayat 29, Al Qiyamah (75) ayat 20-21, An Naziat (79) ayat 37-39, Al

    Ala (87) ayat 16-17 dan Ad Dluha (93) ayat 4.

    2.1 Dalil Zuhud Dalam Hadits

    Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, bahwa kehidupan

    duniawi begitu penuh dengan tipu muslihat dan kefanaan, dalam banyak

    haditspun disebutkan hal yang serupa dan adanya perintah atau anjuran

    supaya bersikap zuhud. Hadits-hadits tersebut antara lain:

    1. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari sahabat Abu Abbas Sahl

    bin Sad al Saidiy ra.

    :

    :

  • .

    Artinya: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi s.a.w., lalu berkata: Ya Rasulullah, tunjukkanlah padaku sesuatu amalan yang apabila

    amalan itu saya lakukan, maka saya akan dicintai oleh Allah dan

    juga dicintai oleh seluruh manusia. Beliau s.a.w. bersabda: Berzuhudlah di dunia, tentu engkau dicintai oleh Allah dan berzuhudlah dari apa yang dimiliki oleh para manusia, tentu

    engkau akan dicintai oleh para manusia. (Tarjamah Bhulughul Maram, Ahmad Hasan, 2002:674, hadits no. 1501)

    2. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari sahabat Abu Said Al

    Khudriy ra.

    .:

    .

    Artinya: Rasulullah saw duduk di atas mimbar dan kita duduk di

    sekitarnya, lalu beliau saw bersabda: Sesungguhnya salah satu

    yang saya takutkan atasmu semua sepeninggalku nanti ialah apa

    yang akan dibukakan untukmu semua itu dari keindahan harta

    dunia serta hiasan-hiasannya. (Riyadus Shalihin, hadits no.

    456, An Nawawi)

    3. Hadits riwayat Muslim dari sahabat Al Mustaurid bin Syaddad ra.

    :

    .

    Artinya: Rasulullah saw bersabda: Tidaklah dunia ini kalau

    dibandingkan dengan akhirat, melainkan seperti sesuatu yang

    seseorang di antara engkau semua menjadikan jarinya masuk

    dalam air lautan, maka cobalah lihat dengan apa ia kembali?

    (Riyadus Shalihin, hadits no. 461, An Nawawi)

  • 4. Hadits riwayat At Tirmidzi dari sahabat Abdullah bin Masud ra.

    : .

    Artinya: Rasulullah s.a.w. bersabda: Janganlah engkau semua

    terlampau cinta dalam mencari sesuatu untuk kehidupan, sebab

    dengan terlampau mencintainya itu, maka engkau semua akan

    mencintai pula keduniaan. (Riyadus Shalihin, hadits no. 477,

    An Nawawi)

    B. WARA

    1. Pengertian Wara

    1.1 Pengertian Menurut Bahasa

    Dalam Kamus Al Munawwir yang disusun oleh Ahmad Warson

    Munawwir, Wara berasal dari bahasa Arab, yaitu waraa-yarau-waraan

    yang berarti menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat. Ada

    juga waria an kadza yang berarti menahan diri (Ahmad Warson

    Munawwir, 1984:1657).

    1.2 Pengertian menurut Istilah

    Dalam kitab Subulussalam karya Al Imam Muhammad bin Ismail

    As Shananiy sebagai syarah atas kitab Bulughul Maram dan Terjemah

    Bulughul Maram oleh Ahmad Hassan, disebutkan bahwa wara adalah

    meninggalkan sesuatu yang meragu-ragukan kamu kepada sesuatu yang

    tidak meragu-ragukan kamu. Ada juga tajannaba syubuhaat khaufal

    wuqui fi muharram, yaitu menjauhi barang-barang syubhat lantaran

  • takut terjatuh di haram (As Shananiy, 1960:171 dan Ahmad Hassan,

    2002:671). Pengertian syubhat sendiri adalah ma lam yatayaqqan kaunuhu

    haraman au halalan, yaitu apa-apa yang diragukan keadaannya apakah

    haram atau halal (Al Jurjani:124).

    2. Dalil-Dalil yang Berkenaan dengan Wara

    Sebagai pondasi untuk membangun pemahaman terhadap sikap

    wara yang berlandaskan ajaran Islam yang benar atas apa yang

    dicontohkan oleh Rasulullah saw, maka penulis akan menyajikan beberapa

    hadits yang didalamnya diterangkan secara inflisit dan eksflisit apa itu

    sikap wara. Hadits-hadtis yang dimaksud antara lain:

    1. Hadits riwayat Bukhary dan Muslim dari sahabat Numan bin Basyir ra.

    .

    Artinya: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda sambil Numan masukkan dua jarinya di dua telinganya : sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, tetapi diantara keduanya

    ada beberapa yang syubhat yang tidak diketahui oleh

    kebanyakan manusia. Oleh karena itu, barang siapa menjauhi

    syubhat-syubhat, sesungguhnya ia telah membersihkan

    agamanya dan dirinya. Dan barang siapa termasuk di dalam

    syubhat, (dikhawatirkan) akan termasuk pada yang haram.

    Sebagaimana gembala yang menggembala di keliling batas,

    tidak lama ia akan jatuh padanya. Dan ketahuilah!

    Bahwasannya di dalam tubuh itu ada sekepal daging, yang

    apabila ia baik, maka baik pula tubuh itu seluruhnya. Dan

  • apabila ia rusak, maka rusak pula tubuh itu seluruhnya. Dan

    ketahuilah! Bahwa dia itu adalah hati. (Tarjamah Bhulughul Maram, Ahmad Hasan, 2002:671-672, hadits no. 1496)

    2. Hadits riwayat At Tirmidzi dari sahabat Hassan bin Ali ra.

    : .

    Artinya: Saya hafal sesuatu sabda dari Rasulullah saw: Tinggalkanlah

    apa-apa yang meragu-ragukan padamu untuk beralih kepada

    apa-apa yang tidak meragu-ragukan padamu. (Riyadus

    Shalihin, hadits no. 593, An Nawawi)

    3. Hadits riwayat At Tirmidzi dari sahabat Athiyyah bin Urwah As

    Sadiy As Shahabiy ra.

    :

    .

    Artinya: Rasulullah saw bersabda: Seseorang hamba itu belum sampai

    kepada tingkat menjadi orang yang bertaqwa, sehingga ia suka

    meninggalkan sesuatu yang tidak ada larangannya karena takut

    kalau-kalau dalam ha! itu ada larangannya (yaitu hal-hal yang

    syubhat). (Riyadus Shalihin, hadits no. 596, An Nawawi )

    Dari hadits-hadits diatas, dapat dipahami bahwa wara begitu

    diperlukan dalam menjaga hati dan amalan dari hal-hal yang

    dikhawatirkan haram atau berdosa sehingga dengan wara tersebut seorang

    muslim dapat mencapai derajat taqwa.

  • Dengan demikian, pengertian wara menurut para ulama dalam

    bagian sebelumnya, dikuatkan dengan keberadaan hadits-hadits ini sebagai

    dalilnya.

    C. KONSEP MATERIALISTIS

    1. Materialisme

    1.1 Pengertian Menurut Bahasa

    Materialisme terdiri dari dua kata material dan isme. Dalam

    Websters New World Dictionary dicantumkan bahwa Material berasal

    bahasa Latin, yaitu materia atau dalam bahasa Inggris Matter, yang berarti

    bahan, zat atau benda. Sementara isme berasal dari bahasa Latin, yaitu

    isma atau bahasa Yunani ismos, yang berarti doktrin, teori, prinsip, atau

    sistem (Victoria E. Neufeldt, 1988:716 & 834).

    Jadi, secara sederhana pengertian Materialisme adalah doktrin atau

    paham tentang kebendaan.

    1.1.2 Pengertian Menurut Istilah

    Dalam Websters New World Dictionary, disebutkan bahwa

    materialisme adalah the philosophic doctrine that matter is the only

    reality, yang berarti ajaran filsafat yang mengemukakan bahwa materi

    adalah satu-satunya kenyataan (Victoria E. Neufeldt, 1988:834).

    Sebagaimana disebutkan pula dalam buku Filsafat Modern: Dari

    Machiavelli sampai Nietzsche, disebutkan bahwa Materialisme adalah

    suatu istilah yang mengacu pada salah satu aliran filsafat Barat modern

  • yang berpandangan bahwa kenyataan yang sungguh-sungguh nyata itu

    adalah materi (F. Budi Hardiman, 2007: 295-296). Kemudian dalam

    Oxford Advanced Learners Dictionary halaman 768, materialisme adalah

    (philosophy) theory or believe that only material things exist, yaitu teori

    atau keyakinan filasafat bahwa hanya yang material yang ada (selain dari

    yang material berarti tidak ada pen.). Kemudian dalam buku Ensiklopedia

    Indonesia, materialisme adalah sebutan bagi nama filsafat yang

    mengajarkan bahwa segala-galanya berdasarkan materi atau zat.

    1.2 Macam-Macam Aliran Materialisme

    Materialisme dalam perjalanan sejarahnya, berkembang menjadi

    beberapa macam aliran, diantaranya Materialisme Mekanik, Materialisme

    Dialektik, dan Materialisme Historis.

    Dalam karya tulis ilmiah ini ketiga macam aliran materialisme

    diatas tidak akan dibahas secara lebih mendalam, tapi cukup sebagai

    pengenalan saja.

    1.3 Tokoh-Tokoh Materialisme

    Para tokoh Materialisme atau sering disebut kaum materialis yang

    paling berpengaruh dalam perkembangan paham ini, diantaranya ada

    empat tokoh materialis besar, mereka adalah:

    a. Ludwig Fueurbach (1804-1872)

    Feurbach lahir di Landshut, Jerman pada tanggal 28 Juli 1804.

    Semula dia adalah murid G. W. F. Hegel, seorang filsuf besar pada saat

    itu di Berlin, tapi kemudian dia menentang filsafat gurunya tersebut.

  • Menurut Feurbach, agama itu adalah ciptaan manusia sendiri,

    Tuhan dan surga (akhirat) tidak lain merupakan perwujudan dari cita-

    citanya sendiri. Dengan kata lain, Allah adalah hasil proyeksi diri manusia

    itu sendiri, yakni manusia yang diabsolutkan dan diobjektifkan. Selain itu,

    pandangan materialistiknya dapat disimak dari perkatannya, bahwa alam

    adalah dasar bagi manusia. Masih menurutnya, alam material adalah

    kenyataan terakhir.

    Diantara karya-karyanya adalah Das Wesen der Christentums

    (Hakikat agama kristen) dan Das Wesen der Religion (Hakikat agama).

    Ludwig Feurbach dapat dikatakan sebagai tokoh besar materialis

    dalam bidang teologi dan filsafat, ia meninggal di Rechenberg dekat

    Nuernberg pada tanggal 13 September 1872.

    b. Karl Marx (1818-1883)

    Karl Marx lahir di kota Trier, Jerman (dahulu disebut Prusia) pada

    tanggal 5 Mei 1813 dari keluarga Yahudi. Marx tumbuh dalam keadaan

    kecewa terhadap agama Yahudi dan Kristen. Karena itu sejak kecil dia

    telah memandang jijik pada agama.

    Sebagai pemikir, dia lebih percaya pada ilmu pengetahuan (sains)

    ketimbang agama. Yang dia yakini adalah bahwa yang prinsipil itu adalah

    materi. Marx menyebut agama sebagai candu (opium).

    Diantara karya-karyanya adalah: Die Heilige Familie (Keluarga

    kudus), Das Kapital (Modal), Das Elend der Philosophie (Miskinnya

    Filsafat), dan Manifest der Kommunistischen (Manifesto partai komunis).

  • Karl Marx adalah seorang materialis dalam bidang ekonomi dan

    politik, Marx meninggal di London pada tanggal 14 Maret 1883.

    c. Sigmund Freud (1856-1939)

    Sigmund Freud dilahirkan pada tanggal 6 Mei tahun 1856 di

    Freiberg, kota kecil daerah Moravia. Ia merupakan keturunan Yahudi.

    Seperti Marx, kekecewaan Freud pada praktik keagamaan pada saat itu,

    oleh para pendetanya, membuatnya berpikir negatif terhadap agama.

    Diantara pandangan materialistik Freud, yaitu sebutannya untuk

    agama sebagai ilusi, karena muncul dan memperoleh kekuatannya dari

    keinginan-keinginan manusia (human wishes). Dalam bukunya The

    Ecyclopaedia of Religion and Ethics, dengan tegas dia mengatakan,

    daripada menyembah Tuhan yang kita ciptakan, lebih baik kita

    menghadapi dunia ini secara berani dan rasional (Mulyadhi Kartanegara,

    2005:155).

    Karya-karyanya antara lain, Studies of Hysteria, The Interpretation

    of Dreams (Penafsiran atas Mimpi), dan The Future of an Illusion.

    Sigmund Freud adalah seorang materialis dari kalangan ilmu

    psikologi, kemudian dia mendirikan sendiri disiplin ilmu baru di bidang

    ini yaitu psikoanalisis. Freud meningal di London setelah menghindar dari

    Nazy pada 1939.

    d. Emile Durkheim (1858-1917)

    Durkheim lahir di Epinal, Prancis pada 1858, dari sebuah keluarga

    rabi Yahudi. Dia adalah seorang materialis dari kalangan sosiolog.

  • Pernyatannya yang terkenal adalah, what we call God is actually

    society. (apa yang kita sebut Tuhan tidak lain dari masyarakat), dengan

    alasan bahwa masyarakatlah yang mampu mengakomodasi semua sifat

    yang biasanya kita alamatkan kepada Tuhan. Dengan demikian, Tuhan

    bukanlah Dzat transenden yang menciptakan dunia dengan segala isinya,

    termasuk manusia dan lembaga-lembaga sosialnya, melainkan tercipta

    oleh apa yang disebut dengan kesadaran kolektif, yang seperti pikiran

    (ruh), juga merupakan fenomena alamiah yang dapat dikaji secara

    objektif (Mulyadhi Kartanegara, 2005:156).

    Hasil-hasil karyanya yang terkemuka antara lain, The Social

    Division of Labor (1893), The Rules of Sociological Method (1895), The

    Elementary Forms of Religious (1912).

    Emile Durkheim adalah seoarang materialis dari kalangan sosiolog,

    ia meninggal pada tahun 1917.

    Selain keempat tokoh materialis diatas, sebenarnya masih banyak

    tokoh lainnya. Namun keempat tokoh diatas memiliki pengaruh yang

    paling besar dalam perkembangan paham materialisme, sehingga penulis

    keempat tokoh tersebut saja yang dicantumkan dalam karya tulis ini.

    2. Sikap Hidup Materialistis

    2.1 Pengertian Sikap Hidup Materialistis

    Dari istilah materialisme muncul istilah materialis dan

    materialistis. Dalam Websters New World Dictionary halaman 834,

    disebutkan bahwa Materialis adalah a person who believe in materialism,

  • yaitu orang yang percaya pada materialisme. Sementara dalam Oxford

    Advanced Learners Dictionary halaman 768, disebutkan bahwa materialis

    adalah person excessively interested in material things, yaitu orang yang

    sangat menggandrungi urusan material atau kebendaan atau believer in

    materialism, yaitu penganut materialisme, kemudian materialistis adalah

    adjektive of materialism, yaitu istilah yang menunjukkan sifat dari

    materialisme.

    Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap hidup

    materialistis adalah sikap hidup yang berasal dari aliran materialisme,

    yang berarti orang yang bersikap materialistis adalah seorang materialis

    atau pengikut materialisme.

    2.2 Dalil-Dalil yang Berkenaan dengan Sikap Hidup Materialistis

    Sikap hidup materialistis sebenarnya telah diprediksi oleh Nabi

    Muhammad saw akan menimpa umatnya, sebagaimana sabda Beliau:

    .

    Artinya: Sesungguhnya salah satu yang saya takutkan atasmu semua

    sepeninggalku nanti ialah apa yang akan dibukakan untukmu

    semua itu dari keindahan harta dunia serta hiasan-hiasannya.

    (Riwayat Bukhary dan Muslim dari sahabat Abu Said Al

    Khudriyi ra. Riyadus Shalihin, hadits no. 456, karya An Nawawi)

    Selain perdiksi Nabi saw tadi, Beliau saw juga menyebutkan

    bahwa hal-hal materialistik seperti harta benda adalah fitnah bagi umatnya.

    Sebagaimana sabda Beliau:

  • .

    Artinya: Sesungguhnya setiap ummat itu ada fitnahnya dan fitnah

    ummatku ialah harta. (Riwayat At Tirmidzi dari sahabat Kaab

    bin Iyadl ra., Riyadus Shalihin, hadits no. 479, An Nawawi)

    Nabi saw juga membuat sebuah perumpamaan bahwa harta dan

    kemegahan dapat membahayakan urusan keagamaan umatnya. Beliau

    bersabda:

    .

    Artinya: Tidaklah dua ekor serigala yang lapar yang dikirimkan ke

    tempat kambing itu lebih berbahaya padanya daripada tamaknya

    seseorang itu pada harta dan kemegahan dalam membahayakan

    agamanya. (Riwayat At Tirmidzi dari sahabat Kaab bin Malik

    ra, Riyadus Shalihin, hadits no. 483, An Nawawi)

  • BAB III

    ANALISIS ZUHUD DAN WARA SEBAGAI PEMECAHAN MASALAH

    SIKAP HIDUP MATERIALISTIS

    A. Analisis Zuhud

    1. Sejarah Munculnya Zuhud

    1.1 Asal Mula Zuhud

    Ada beberapa pendapat yang menyebutkan tentang asal-usul/asal

    mula zuhud, diantaranya:

    A. Menurut Prof. Dr. Harun Nasution

    Prof. Dr. Harun Nasution mencatat ada lima pendapat tentang asal-

    usul zuhud, yaitu:

    1. Pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen.

    2. Pengaruh ajaran Phytagoras yang mengharuskan meninggalkan

    kehidupan materi dalam rangka membersihkan roh.

    3. Pengaruh ajaran Plotinus yang menyatakan bahwa harus meninggalkan

    dunia dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa

    menyatu dengan Tuhan.

    4. Pengaruh Budha dengan paham nirwananya bahwa untuk mencapainya

    orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.

    5. Pengaruh Hindu yang mendorong manusia meninggalkan dunia dan

    mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai persatuan Atman

    dengan Brahman.

  • B. Menurut Abul Ala Afifi

    Abul Ala Afifi mencatat ada empat pendapat para peneliti tentang

    faktor atau asal-usul zuhud, yaitu:

    1. Berasal atau dipengaruhi oleh India dan Persia.

    2. Berasal atau dipengaruhi oleh askestisme Nasrani.

    3. Berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang berbeda-beda

    kemudian menjelma menjadi satu ajaran.

    4. Berasal dari ajaran Islam.

    Untuk faktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh

    menjadi tiga, yaitu:

    a. Faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua sumbernya,

    al-Quran dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untuk hidup

    wara, taqwa dan zuhud.

    b. Reaksi rohaniah kaum muslimin terhadap sistem sosial politik dan

    ekonomi di kalangan Islam sendiri, yaitu ketika Islam telah tersebar ke

    berbagai negara.

    c. Reaksi terhadap fiqih dan Ilmu Kalam, sebab keduanya tidak bisa

    memuaskan dalam pengamalan agama Islam.

    Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu diteliti

    lebih jauh (blog.uin-malang.ac.id/2011/02/definisi-dan-sejarah-tasawuf

    dan pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/makalah-zuhud.html).

  • 1.2 Istilah Zuhud Dalam Ajaran Selain Islam

    Dalam agama dan aliran kepercayaan selain Islam, terdapat pula

    praktik kehidupan yang menyerupai zuhud.

    Dalam ajaran Hindu dikenal istilah samsara yang mempraktikkan

    sikap hidup yang menempuh kesengsaraan dan meninggalkan urusan

    duniawi untuk mencapai persatuan Atman dan Brahman. Kemudian dalam

    ajaran Kristen dikenal istilah asketisme yang sering diartikan sebagai

    zuhud, padahal antara kedua istilah ini berbeda satu sama lain.

    Asketisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu askein yang berarti

    exercise atau latihan (Victoria E. Neufeldt, 1988:79). Asketisme adalah

    ajaran-ajaran yang mengendalikan latihan rohani dengan cara

    mengendalikan tubuh dan jiwa sehingga tercapai kebijakan-kebijakan

    rohani (id.wikipedia.org/wiki/Asketisme).

    Selain dalam ajaran Hindu dan Kristen, praktik yang menyerupai

    zuhud juga terdapat dalam ajaran Jainisme, Budha, aliran Phytagoras,

    Plotinus, dan lain-lain.

    1.3 Korelasi Antara Zuhud dengan Ajaran Tasawuf

    Menurut Prof. Dr. H. Amin Syukur, M.A. zuhud dalam

    terminologinya tidak terlepas dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian

    yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak)

    Islam dan gerakan protes (pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/

    makalah-zuhud.html). Selain itu, zuhud merupakan salah satu maqam yang

    sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari pendapat ulama

  • tasawuf yang senantiasa mencantumkan zuhud dalam pembahasan tentang

    maqamat, meskipun dengan sistematika yang berbeda-beda. Al Ghazali

    menempatkan zuhud dalam sistematika : at-taubah, ash-shabr, al-faqr, az-

    zuhud, at-tawakkul, al-mahabbah, al-marifah dan ar-ridla. Al Tusi

    menempatkan zuhud dalam sistematika : at-taubah, al-wara, az-zuhud,

    al-faqr, ash-shabr, ar-ridla, at-tawakkul dan al-marifah. Sementara Al

    Qusyairi menempatkan zuhud dalam urutan maqam : at-taubah, al-wara,

    az-zuhud, at-tawakkul dan ar-ridla. (blog.uin-malang.ac.id/.../2011/02//

    definisi-dan-sejarah-tasawuf).

    Atas dasar itulah, istilah zuhud selalu diidentikan dengan tasawuf.

    2. Karakteristik Sikap Zuhud

    2.1 Karakteristik Zuhud

    Menurut Ibnu Taimiyyah zuhud yang disyariatkan adalah:

    meninggalkan segala sesuatu yang tidak akan bermanfaat di negeri

    akhirat dan terikatnya hati pada apa yang ada di sisi Allah swt.

    Kemudian beliau melanjutkan: Adapun dalam praktiknya ialah

    meninggalkan Fudlulu (kelebihan-kelebihan) yang tidak akan menopang

    taat kepada Allah, baik berupa makanan, pakaian, harta, dan yang

    lainnya. (Majmuatu Fatawa Ibn Taimiyyah, kitab Ilmis-suluk, 10: 642

    dalam Majalah Risalah, No 7 th. 45 Ramadlan 1428/Oktober 2007:18)

    Berkaitan dengan hal tersebut, yaitu meninggalkan fudlulu, Imam

    Al Ghazaliy membagi kebutuhan manusia kedalam dua kategori yaitu,

    muhim (primer) dan fudlul (sekunder). Muhim menurut beliau ada enam

  • yaitu, (1) makanan, (2) pakaian, (3) tempat tinggal, (4) peralatan rumah

    tangga, (5) pernikahan/rumah tangga, (6) harta dan kedudukan. Selain dari

    keenam muhim ini, bisa dimasukkan kedalam kategori fudlul. Beliau

    memberi contoh kuda pilihan termasuk sebagai kategori fudlul. Hal

    tersebut dikarenakan manusia memilikinya untuk identitas kemewahan

    (lit-turfah), karena dengan berjalan pun masih bisa. Dan zuhud yang

    diajarkan Islam itu adalah meninggalkan fudlul tanpa melupakan muhim.

    (Ihya Ulumiddin 4: 198 dalam Majalah Risalah, No 7 th. 45 Ramadlan

    1428/Oktober 2007:18)

    2.2 Tingkatan Zuhud

    Dalam buku berjudul Mereka yang Zuhud, disebutkan bahwa

    zuhud memiliki tingkatan, sebagaimana perkataan Ibrahim bin Adham,

    zuhud itu ada tiga tingkatan, yaitu zuhud fardh (wajib), zuhud fadhl

    (keutamaan) dan zuhud salamah (keselamatan). Adapun zuhud fardh

    adalah zuhud terhadap yang haram, sedangkan zuhud fadhl adalah zuhud

    dari yang halal dan zuhud salamah adalah adalah zuhud dari yang syubhat

    (Dr. Syauqi Abu Khalil, 2006:3).

    3. Sikap Zuhud Nabi Muhammad saw.

    Sikap zuhud yang ada dalam Islam notabene diinspirasi oleh

    akhlak Nabi Muhammad saw yang merupakan perwujudan ajaran Quran.

    Sebagaimana pula disebutkan dalam sebuah hadits dari Ummul

    Muminiin, Aisyah ra.

    .

  • Artinya: Bahwasannya Akhlak Beliau adalah Al Quran. (Riwayat

    Muslim, Al Jamiu Liahkaamil Quran, karya Al Qurthuby, juz

    18:227 )

    Selain daripada itu, akhlak Nabi saw disebut sebagai yang paling

    baik diantara manusia dalam hadits dari Anas bin Malik ra., dan beliau saw

    juga diabadikan dalam Quran sebagai yang memiliki budi pekerti atau

    akhlak yang agung dan tinggi, sebagaimana berikut.

    .

    Artinya: Rasulullah saw adalah manusia yang paling baik akhlaknya.

    (Riwayat Muslim, Shahih Muslim, juz 2:323)

    .

    Artinya: Dan engkau sesungguhnya mempunyai budi pekerti yang tinggi.

    (Tafsir Quran,1987:845)

    Syed Mahmudunnasir dalam bukunya yang berjudul Islam:

    Konsepsi dan Sejarahnya, menulis akhlak Nabi saw sebagai berikut.

    Kesederhanaan merupakan inti akhlak Nabi saw.Moral-moral yang tinggi yang merupakan gambaran yang menarik dari akhlaknya,

    bukan suatu kemahiran yang ada pada dirinya, melainkan merupakan hal

    yang melekat di dalam sifatnya.

    Dia biasa memeras susu kambing-kambingnya, menambal pakaian yang sobek dan memperbaiki sendiri sepatunya. Tidak ada

    pekerjaan yang dianggap rendah olehnya.Apapun yang ditawarkan kepadanya, dia akan dengan gembira memakannya. Makanan yang sedikit

    yang dimilikinya selalu dibagi-bagi dengan mereka yang datang ke

    rumahnya. Makanan sehari-harinya adalah kurma dan air atau roti barley.

    Susu dan madu merupakan makanan mewah yang digemarinya, tetapi dia

    selalu menahan diri terhadap makanan itu. Pakaiannya juga sangat

    sederhana.tempat tinggalnyapun terdiri atas ruangan-ruangan kecil yang terbuat dari batu bata. Dia juga biasa menggunakan wangi-wangian.

  • Dia menemui setiap orang dengan wajah ceria. Kadang-kadang dia menyukai gurauan yang baik bersama sahabat-sahabatnya.

    Dia biasa bertingkah laku sebagaimana orang lain. Dia tidak pernah memarahi pembantu-pembantunya karena kesalahan mereka. Nabi

    tidak pernah membiarkan siapapun menjadi budaknya. Begitu dia

    mendapat budak, dia membebaskannya.

    Nabi tidak pernah mengecewakan orang-orang fakir dan sengsara.

    Dia akan memberi makan orang yang lapar meskipun akibatnya sendiri

    tidak mempunyai makanan. Nabi Muhammad saw, meskipun dia menjadi penguasa Arabia,

    tetapi menempuh kehidupannya secara sederhana.(Syed Mahmudunnasir, 1994:117-118)

    Dari akhlak beliau tersebut, tercermin sikap zuhud yang sejati.

    Sikap zuhud dari sebuah totalitas keimanan, karena beliau adalah orang

    yang paling takut kepada Allah swt dan paling taqwa kepadanya diantara

    hamba-hamba-Nya pada zamannya maupun zaman sesudahnya, karena

    beliau adalah Nabi sekaligus Rasulullah saw yang diutus sebagai pemberi

    kabar gembira dan peringatan bagi seluruh alam. Dalam Al Quran dan

    hadits dari Beliau disampaikan:

    ... ...

    Artinya: sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kepada

    Allah dari kamu sekalian dan orang yang paling taqwa kepada-

    Nya dibanding kamu sekalian. (Riwayat Bukhary, Fathul

    Bari, Kitabun Nikah, juz 10:130, hadits no. 5063)

    .

    Artinya: Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

    rahmat bagi semesta alam. (Q.S. Al Anbiyaa, ayat 107)

    ...

  • Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan

    kebenaran, sebagai pembawa berita gembira dan pemberi

    peringatan. (Q.S. Al Baqarah, ayat 119)

    Diantara contoh sikap zuhud Nabi saw dalam kehidupannya adalah

    sebagaimana yang diutarakan sahabat Abdullah bin Masud dalam sebuah

    hadits berikut.

    .

    Artinya: Rasulullah saw pernah tidur di atas sebuah hamparan, ketika beliau bangun, sungguh terlihat bekasnya pada badannya. Kami

    berkata: Wahai Rasulullah! Andai saja kami buatkan untuk anda hamparan yang empuk. Beliau malah menjawab: Apalah artinya dunia ini bagiku, tidaklah aku didunia ini melainkan

    seperti seorang penunggang kendaraan yang berteduh dibawah

    pohon lalu ia pergi dan meninggalkannya. (Riwayatkan At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Kitab Zuhud, hadits no. 2377,

    Menurut Imam Albaniy derajatnya shahih)

    Selain hadits diatas, ada pula dalam sebuah kesempatan Abu Dzar

    bercerita tentang sikap zuhud Rasulullah saw:

    : . : . :

    . :

    .

    Artinya: Aku berjalan bersama Nabi saw di sebuah daerah berbatuan hitam di Madinah, sehingga sampai di Uhud yang menghadap ke

  • kami. Laul beliau bersabda: Wahai Abu Dzar! Aku menjawab: Iya, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tidak menyenangkanku seandainya aku mempunyai emas sebesar

    gunung Uhud ini tinggal di rumahku selama tiga hari, dan

    tersisa darinya untukku satu dinar, selain yang aku sisihkan

    untuk bayar utang, kecuali aku akan bagikan kepada hamba-

    hamba Allah, seperti ini, ini, dan ini i(ke sebelah kanannya,

    kirinya, dan belakangnya). Kemudian beliau berjalan lagi dan bersabda: Sesungguhnya orang-orang yang banyak (hartanya) akan menjadi orang-orangyang sedikit (hartanya) pada hari

    Qiyamat, kecuali orang yang membagikannya seperti ini, ini, dan

    ini (ke sebelah kanannya, kirinya dan belakangnya). (Riwayat Bukhary dalam Shahih Al Bukhary, kitab al-istiqradl wa adaad-duyun wal-hijr wat-taflis, hadits no. 2258, kitab ar-riqaq, hadits

    no. 6079. Riwayat Muslim dalam Shahih Muslim, kitab az-zakat,

    hadits no. 990)

    Bahkan meskipun beliau menjabat sebagai Rasulullah dan

    pemimpin negara, ketika wafat Beliau tidak meninggalkan sepeserpun

    uang atau harta yang melimpah, beliau hanya meninggalkan keledai

    putihnya, pedang dan sebidang tanah yang disedekahkan untuk ibnu sabil,

    sebagaimana hadits dari Juwairiyah, salah satu istri beliau berikut.

    .

    Artinya: Tidaklah Rasulullah saw ketika wafatnya meninggalkan satu dinarpun tidak pula satu dirham, tidak pula hamba sahaya baik

    laki-laki maupun perempuan dan tidak pula yang lainnya,

    kecuali hanya keledai putih yang biasa ditungganginya, serta

    pedang dan sebidang tanah yang dishadaqahkan untuk ibnu

    sabil. (Riwayat Bukhary, Shahih Bukhary, kitab al washaya, hadits no. 2588)

    Dalam sejarah hidupnya, Nabi Muhammad saw menempuh jalan

    hidup yang sederhana bahkan cenderung kekurangan dalam hal materi.

    Tetapi dengan hal tersebut bukan berarti beliau mengajarkan jalan hidup

    dalam kekurangan, namun apa yang beliau ajarkan adalah bagaimana

  • menyikapi kondisi kehidupan duniawi dalam konteks yang relevan dengan

    risalah yang diembannya yaitu lebih fokus terhadap akhirat ketimbang

    kehidupan duniawi, namun sekalipun demikian, beliau tidak melarang

    umatnya untuk mendapatkan kehidupan duniawi tersebut.

    Ada sebuah nasihat beliau yang patut kita pegang dalam menjalani

    kehidupan sebagai seorang muslim yang konsekuen terhadap urusan

    agamanya, sehingga urusan duniawi tidak menjadi hal yang melalaikan

    baginya. Beliau menasihati umatnya supaya tidak takut untuk hidup dalam

    kefakiran karena mencintai Rasulullah saw (memeluk agama Islam).

    : :

    : :

    :

    .

    Artinya: Dari Abdullah bin Mughaffal ra, katanya: Ada seorang lelaki berkata kepada Nabi saw: Ya Rasulullah! demi Allah,

    sesungguhnya saya ini niscaya cinta kepada Tuan. Beliau lalu

    bersabda: Lihatlah baik-baik apa yang engkau ucapkan itu.

    Orang itu berkata lagi. Demi Allah, sesungguhnya saya ini

    niscayalah cinta kepada Tuan. Dia berkata demikian sampai tiga

    kali. Kemudian beliau saw bersabda: Jikalau engkau mencintai

    saya, maka sediakanlah sebuah baju tijfaf untuk menempuh

    kefakiran, sebab sesungguhnya kefakiran itu lebih cepat

    mengenai orang yang mencintai saya daripada cepatnya air

    banjir sampai di tempat penghabisannya. (Riwayat At Tirmidzi, Riyadush Shalihin, hadits no. 482, An Nawawi)

    Demikian Nabi Muhammad saw memberikan contoh bersikap

    zuhud dalam kehidupan. Sebagai teladan yang baik, beliau tentunya tidak

    memberikan contoh yang salah dan berakibat buruk. Sehingga kita sebagai

  • umatnya dituntut untuk mengikuti setiap hal yang dicontohkan olehnya,

    sebagaimana tercantum dalam surat Al Ahzab ayat 21:

    .

    Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan

    yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)

    Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut

    Allah.

    4. Kedudukan Kehidupan Duniawi Dalam Pandangan Islam Sehingga

    Dituntut Zuhud Terhadapnya

    Dalam Islam, kehidupan duniawi senantiasa diperbandingkan dengan

    kehidupan akhirat. Dua kehidupan yang dalam kepercayaan kaum muslimin

    benar adanya. Kehidupan dunia sedang dan telah mereka jalani, sementara

    kehidupan akhirat adalah yang akan dijalani nanti setelah mati. Kehidupan

    akhirat dipandang jauh lebih utama daripada kehidupan dunia karena

    disebutkan begitu adanya dalam Al Quran dan Al Hadits.

    Dalam Al Quran cukup banyak ayat yang menyinggung mengenai

    keutamaan akhirat dibadingkan duniawi, dalam bab II penulis sudah

    mencantumkan nama surat dan ayat yang menyebut urusan ini. Adapun dalam

    hadits yang menerangkan urusan ini, konteksnya sama saja dengan apa yang

    diterangkan dalam Al Quran. Kehidupan dunia dianggap sebagai kehidupan

    yang sementara, yang nilainya lebih rendah daripada kehidupan akhirat yang

    dinilai sebagai kehidupan yang abadi dan menjanjikan kebahagiaan yang

  • hakiki bagi mereka yang menginginkan dan menuntutnya. Dan pemikiran

    tersebut tentunya merupakan pemikiran yang muncul dari keimanan terhadap

    akhirat, sehingga membawa kesadaran terhadap eksistensi hidup di alam dunia

    dengan tidak terjebak dalam tipu dayanya.

    Dalam sebuah hadits dari Aisyah, disebutkan bahwasannya dunia dan

    seisinya tidak lebih baik dibandingkan satu ibadah yang mandub, yaitu:

    .

    Artinya: Dua rakaat fajar itu lebih baik daripada dunia seisinya.

    (Riwayat Ahmad, Muslim dan Tirmidzi, Nailul Authar, 3: 22,

    Asy Syaukani)

    Kemudian dalam hadits riwayat Anas bin Malik ra. Nabi saw bersabda

    bahwa kehidupan itu hanyalah kehidupan akhirat.

    .

    Artinya: Ya Allah. Tidak ada kehidupan yang kekal melainkan kehidupan

    di akhirat. (Riwayat Bukhary dan Muslim, Riyadus Shalihin,

    hadits no. 458 An Nawawi)

    Anas bin Malik ra juga menyampaikan hadits mengenai kenikmatan

    dan kesengsaraan hidup di dunia tidak menjamin hal yang sama dirasakan

    kembali di akhirat.

    : :

    : . :

    : .

  • Artinya: "Rasulullah s.a.w. bersabda: Akan didatangkanlah orang yang paling enak kehidupannya di dunia dan ia termasuk golongan

    ahli neraka pada hari kiamat nanti, lalu diceburkan dalam

    neraka sekali ceburan, lalu dikatakan: "Hai anak Adam, adakah

    engkau dapat merasakan sesuatu kebaikan sekalipun sedikit?

    Adakah suatu kenikmatan yang pernah menghampirimu

    sekalipun sedikit? Ia berkata: "Tidak.demi Allah, wahai Tuhanku. Juga akan didatangkanlah orang yang paling menderita kesengsaraan di dunia dan ia termasuk ahli syurga,

    lalu ia dimasukkan sekali masuk dalam syurga, lalu dikatakan

    padanya: Hai anak Adam, adakah engkau dapat merasakan sesuatu kesengsaraan sekalipun sedikit? Adakah suatu kesukaran

    yang pernah menghampirimu sekalipun sedikit? Ia menjawab: Tidak, demi Allah, tidak pernah ada kesukaranpun yang menghampiri diriku dan tidak pernah saya melihat suatu

    kesengsaraanpun sama sekali. (Riwayat Muslim, Riyadus Shalihin, hadits no. 460, An Nawawi)

    Sementara dalam hadits dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw

    menuturkan bahwa kehidupan dunia adalah penjara bila dibandingkan dengan

    kenikmatan di akhirat kelak (surga).

    :

    Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. pula, katanya: Rasulullah saw bersabda:

    Dunia ini adalah penjara bagi orang mu'min dan surga bagi

    orang kafir.(Riwayat Muslim, Riyadus Shalihin, hadits no. 468,

    An Nawawi)

    Seterusnya Rasulullah saw membuat perbandingan nilai dunia dengan

    akhirat menggunakan perumpamaan jari yang dicelupkan kedalam air, dengan

    maksud bahwa jari itu hanya sedikit sekali membawa bekas air. Juga beliau

    saw. Membuat perumpamaan nilai dunia dengan sesuatu yang ditemuinya di

    sebuah perjalanan di pasar bersama para sahabatnya, yaitu seekor kambing

    yang cacat.

  • :

    : .

    .

    Artinya: Dari al-Mustaurid bin Syaddad r.a., katanya: "Rasulullah s.a.w.

    bersabda: "Tidaklah dunia ini kalau dibandingkan dengan

    akhirat, melainkan seperti sesuatu yang seseorang di antara

    engkau semua menjadikan jarinya masuk dalam air lautan, maka

    cobalah lihat dengan apa ia kembali - yakni, seberapa banyak

    air yang melekat di jarinya itu. Jadi dunia itu sangat kecil

    nilainya dan hanya seperti air yang melekat di jari tadi

    banyaknya." (Riwayat Muslim, Riyadus Shalihin, hadits no. 461,

    An Nawawi)

    :

    : : : .

    : .

    Artinya: Dari Jabir r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. berjalan melalui

    pasar, sedang orang-orang ada di sebelahnya kiri kanan.

    Kemudian melalui seekor anak kambing kecil telinganya dan

    telah mati. Beliau s.a.w. menyentuhnya lalu mengambil

    telinganya, terus bertanya: "Siapakah di antara engkau semua

    yang suka membeli ini dengan wang sedirham?" Orang-orang

    menjawab: "Kita semua tidak suka menukarnya dengan sesuatu

    apapun dan akan kita gunakan untuk apa itu?" Beliau bertanya

    lagi: "Sukakah engkau semua kalau ini diberikan saja padamu."

    Orang-orang menjawab: "Demi Allah, andaikata kambing itu

    hidup, tentunya juga cacat karena ia kecil telinganya. Jadi apa

    harganya lagi setelah kambing itu mati?" Kemudian beliau

    s.a.w. bersabda: "Demi Allah, niscayalah dunia ini lebih hina di

    sisi Allah daripada kambing ini bagimu semua." (Riwayat

    Muslim, Riyadus Shalihin, hadits no. 462, An Nawawi)

    Dalam suatu kesempatan beliau memberikan nasihat untuk hidup

    didunia. Yaitu, dengan gaya bicara beliau yang mengandung ijaaz dan padat

    makna, beliau menganjurkan untuk hidup seperti seorang pengelana atau

  • pengembara yang hanya singgah di dunia ini, bukan untuk menetap lama.

    Sehingga menjadikan kita betah dan tidak ingin meninggalkannya.

    :

    : .

    :

    .

    Artinya: Dari Ibnu Umar ra, katanya: Rasulullah saw menepuk kedua belikatku, lalu bersabda: Jadilah engkau di dunia ini seolah-olah engkau orang gharib atau sebagai orang yang

    menyeberangi jalan. Ibnu Umar berkata: Jikalau engkau di waktu sore, maka janganlah menantikan waktu pagi dan jikalau

    engkau di waktu pagi, maka janganlah menantikan waktu sore,

    ambillah kesempatan sewaktu engkau sehat untuk masa sakitmu,

    sewaktu engkau masih hidup untuk masa matimu (Riwayat Bukhary, Shahih Al Bukhary, kitab ar riqaaq, hadits no. 6416)

    Sabda beliau saw diatas semakin terkokohkan dengan apa yang beliau

    sendiri perbuat, sebagaimana dalam hadits berikut.

    :

    :

    :

    .

    Artinya: Dari Abdullah bin Masud ra, katanya: Rasulullah saw tidur di atas selembar tikar, lalu bangun sedang di lambungnya tampak

    bekas tikar itu. Kami berkata: Ya Rasulullah, alangkah baiknya kalau kita ambilkan saja sebuah kasur untuk Tuan." Beliau

    bersabda: Apakah untukku ini dan apa pula untuk dunia? Saya di dunia ini tidaklah lain kecuali seperti seorang yang

    mengendarai kenderaan yang bernaung di bawah pohon,

    kemudian tentu akan pergi dan meninggalkan pohon

    tersebut.(Riwayat Tirmidzi, Riyadus Shalihin, hadits no. 484, An Nawawi)

  • Kemudian dalam hadits-hadits berikut semakin teranglah kecilnya nilai

    dunia dibandingkan akhirat.

    :

    :

    .

    Artinya: Dari Sahal bin Sa'ad as-Sa'idi ra, katanya: Rasulullah saw

    bersabda: "Andaikata dunia ini di sisi Allah dianggap menyamai

    dengan selembar sayap nyamuk, niscayalah Allah tidak akan

    memberi minum seteguk airpun kepada orang kafir

    daripadanya.(Riwayat Tirmidzi, Riyadus Shalihin, hadits no.

    475, An Nawawi).

    :

    :

    .

    Artinya: Dari Abu Hurairah ra, katanya: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Ingatlah, sesungguhnya dunia itu dilaknat, dilaknat pula segala sesuatu yang ada di dalamnya, melainkan

    berzikir kepada Allah dan apa-apa yang menyamainya, juga

    orang yang alim serta orang yang menuntut ilmu. (Riwayat Tirmidzi, Riyadus Shalihin, hadits no. 476, An Nawawi)

    Demikian deskripsi perbandingan kehidupan dunia dengan akhirat.

    Sebenarnya masih banyak dalil-dalil yang berkaitan dengan pembahasan ini,

    namun penulis anggap dengan dalil-dalil yang diatas saja sudah cukup untuk

    memberi gambaran mengenai nilai dunia dibanding akhirat, sehingga harus

    bersikap zuhud terhadapnya.

  • B. Analisis Wara

    1. Karakteristik Sikap Wara

    Menurut Qomar Kailani wara itu ada dua macam:

    1. Wara lahiriyah, yaitu tidak mempergunakan anggota tubuhnya untuk hal-

    hal yang tidak diridlai Allah.

    2. Wara bathiniyah, yaitu tidak menempatkan atau mengisi hatinya kecuali

    Allah. (pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/makalah-zuhud.html)

    2. Sikap Wara Nabi Muhammad saw.

    Dalam sebuah riwayat diterangkan bahwa Nabi saw begitu hati-hati

    dalam memakan sesuatu, karena beliau khawatir bahwa makanan tersebut

    termasuk dalam sedekah, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik ra. berikut.

    :

    .

    Artinya: Bahwasanya Nabi saw menemukan sebiji buah kurma di jalanan,

    lalu beliau saw bersabda: Andaikata saya tidak takut bahwa kurma

    ini termasuk golongan barang sedekah, pastilah saya akan

    memakannya. (Riwayat Bukhary dan Muslim, Riyadlush Shalihin

    karya An Nawawi, hadits no. 589)

    3. Korelasi Antara Wara dengan Zuhud

    Zuhud dan wara merupakan dua sikap yang memiliki definisinya

    tersendiri, namun keduanya memiliki kesamaan dalam peran. Keduanya dapat

    direlevansikan dalam upaya menyikapi, menghadapi dan mengatasi

    permasalahan dari modernisasi yang negatif yang membawa dampak

  • signifikan dalam aspek-aspek kehidupan terutama sikap hidup yang dianut,

    dalam hal ini materialistis.

    sikap wara memiliki peranan penting dalam upaya menghadapi

    modernisasi. Sikap wara akan menjadi perisai sekaligus benteng dalam

    menjawab tantangan modernisasi, karena dengan sikap tersebut seseorang

    akan memilki kekuatan batin yang luar biasa. (pasaronlineforall.blogspot.

    com/2010/12/makalah-zuhud.html). Sementara dengan sikap zuhud, seseorang

    dalam hal ini seorang muslim dapat menjaga eksistensi dirinya dalam

    menghadapi sikap hidup yang sekuler dalam pengetian keduniawian dan tetap

    dalam jalur yang ditentukan Islam.

    Atas dasar itulah sikap zuhud dan wara memiliki korelasi yang

    relevan untuk disandingkan dalam memecahkan permasalahan sikap hidup

    materialistis sebagai akibat dari modernisasi yang negatif.

    C. Analisis Sikap Hidup Materialistis

    1. Pandangan Islam Terhadap Sikap Hidup Materialistis

    Sikap hidup materialistis merupakan konsekuensi logis bagi penganut

    paham materialisme. Ada enam dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan

    paham ini, yaitu:

    1. Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi.

    2. Tidak meyakini adanya alam ghaib.

    3. Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.

    4. Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam meletakkan hukum.

    5. Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.

  • 6. Sebuah paham garis pemikiran, manusia sebagai narasumber dan juga

    sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialektis.

    (id.wikipedia.org/wiki/Materialisme)

    Dasar-dasar tersebut bila diberi komentar dari sudut pandang Islam

    maka akan negatif, karena dasar-dasar ideologi tersebut bertolak belakang

    dengan dasar ideologi Islam.

    Dalam Islam dapat dirangkum bahwa hal-hal pokoknya adalah aqidah,

    ibadah, muammalah dan akhlak. Kesemua pokok tersebut didasari

    sepenuhnya oleh wahyu yaitu, Al Quran sebagai pedoman utamanya

    bergandengan dengan Sunnah Rasulullah saw. beliau saw bersabda:

    : .

    Artinya: Ku tinggalkan untuk kalian dua perkara, tidaklah kalian

    akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu

    Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. (Riwayat Malik bin Anas, Al Muwatha,

    Kitab Al Qadr, hadits no. 1662)

    Atas dasar inilah maka paradigma yang dibangun dalam pemikiran dan

    pengamalannya selalu dikembalikan pada apa yang terdapat dalam Al Quran

    dan Sunnah.

    .

    Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu

    berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

    kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu

  • benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang

    demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An Nisa, ayat: 59)

    Dan dalam keduanya, yaitu Al Quran dan Sunnah tidaklah ada

    satupun kerancuan yang menyebutkan mengenai satu-satunya realitas adalah

    materi saja dengan menafikan aspek non materi dan kekufuran (tidak

    meyakini) pada hal yang gaib sebagaimana terdapat dalam poin satu dan dua,

    karena rujukan utama ajaran Islam tersebut dalam banyak tempat menyebut

    aspek-aspek yang non material, seperti Allah swt yang disebutkan dalam Al

    Quran surat Asy Syura ayat ke-11, yang berbunyi:

    .

    Artinya: tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah

    yang Maha Mendengar dan Melihat.

    Dari ayat tersebut dapat dipahami, bila menurut kaum materialis

    semua realitas adalah materi, lalu bagaimana menjelaskan sesuatu yang tidak

    sama dengan segala sesuatu, sementara semuanya adalah materi. Namun ayat

    diatas menyebutkan bahwa dalam aqidah Islam, Allah swt tidaklah ada yang

    menyamainya sesuatupun. Terlepas dari persoalan apakah zat Allah itu materi

    atau non materi, karena tak ada satupun yang mengetahuinya, selain zat Allah

    sendiri.

    Kemudian dalam ayat lain terdapat bantahan untuk poin nomor dua

    yaitu, Firman Allah Taala:

    - -

    .

  • Artinya: Alif laam miin. Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan

    padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, yaitu mereka

    yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan

    menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada

    mereka. (Q.S. Al Baqarah, 2 ayat 3)

    Demikianlah bantahan terhadap dua poin dari dasar ideologi paham

    materialisme, dengan mematahkan dua poin saja sudah cukup kiranya untuk

    meruntuhkan pondasi ideologi paham ini. Sementara poin-poin selanjutnya

    akan runtuh dengan sendirinya dengan runtuhnya dua poin pertama.

    2. Kritikan-Kritikan Atas Sikap Hidup Materialistis

    Dalam buku biografi singkat berjudul Muhammad Iqbal, yang ditulis

    oleh Donny Gahrial Adian. Disebutkan bahwa pandangan materialisktik,

    dalam hal ini materialisme mekanik didasari atas matinya pandangan

    metafisik. Pandangan materialisme mekanik ini pada prinsispnya, yaitu:

    1. Mendesakralisasi realitas, memandang alam sebagai alam profan yang

    dikendalikan bukan oleh kuasa gaib melainkan hukum alam (naturalisme).

    2. Memandang manusia sebgai subjek yang meneliti alam (subjektivisme

    Cartesian).

    3. Memandang Tuhan sekadar pencipta alam beserta hukum-hukumnya yang

    lalu cuci tangan (Deisme). (Donny Gahral Adian, 2003:16-17)

    Selanjutnya disebutkan bahwa pandangan materialisme mekanis

    memiliki banyak kelemahan, seperti dikemukakan Berger dalam bukunya,

    Toward a Critique of Modernity bahwa ada lima dilema, yaitu:

  • 1. Abstraksi (hidup manusia melayani birokrasi dan teknologi).

    2. Futurisasi (masa depan sebagai orientasi utama aktivitas dan imajinasi,

    hidup dotentukan oleh jam)

    3. Individuasi (pemisahan individu dari kepekaan sebagai entitas kolektif,

    oleh karenanya menghasilkan alienasi).

    4. Deliberasi (hidup didominasi oleh pilihan dan bukan takdir).

    5. Sekularisasi (marginalisasi agama dari pelbagai bidang kehidupan).

    (Donny Gahral Adian, 2003:18)

    Selain kritikan dari kaum muslimin, kritikan terhadap materialisme

    juga bermunculan dari orang-orang Barat itu sendiri yang notabene tempat

    lahirnya paham ini, sebagaimana dipaparkan dalam lima poin diatas. Bahkan

    John Ruskin yang merupakan seorang komunis gaya lama meyakini bahwa

    materialisme adalah dosa sosial yang besar.

    D. Analisis Relevansi Zuhud dan Wara Sebagai Pemecahan Masalah Sikap

    Hidup Materialistis

    1. Perbandingan Sikap Hidup dalam Islam dengan Sikap Hidup

    Materialistis

    Islam begitu kompleks, dengan Al Quran dan sunnah Nabi saw

    sebagai dasar utamanya. Segala aspek kehidupan dari yang urgen sampai yang

    berkenaan dengan urusan yang remeh tak lepas dari sentuhan ajaran Islam.

    Begitupun dengan aspek sikap hidup.

    Sikap hidup dalam Islam adalah sikap hidup yang diajarkan oleh

    Rasulullah saw, karena demikianlah hakikatnya. Yaitu, apa yang disebut

  • dengan Islam adalah apa yang Rasulullah saw sampaikan kepada umat

    manusia sebagai ajaran Tuhan. Termasuk dalam hal ini urusan sikap hidup

    yang berasal dari apa yang harus disampaikannya kepada umat manusia.

    Sementara mengenai sikap hidup yang bagaimana yang beliau coba sampaikan

    kepada umat manusia yaitu, sikap hidup yang memerhatikan betul urusan

    keakhiratan (ukhrawi).

    Adapun sikap hidup selain itu, tak perlu dibahas lagi apalagi

    dipertimbangkan untuk dipilih dan dilaksanakan dalam kehidupan.

    2. Relevansi Sikap Zuhud dan Wara Sebagai Penanganan Terhadap

    Sikap Hidup Materialistis

    Sikap hidup materialistis jelas bukanlah merupakan suatu aspek

    kehidupan yang datang dari Islam, karena telah terbukti secara analisis bahwa

    hakekatnya berasal dari ajaran filsafat yang bersifat profan dan berbenturan

    dengan hakekat ajaran Islam.

    Adapun alternatif bagi kaum muslimin untuk terjauh dari sikap hidup

    yang materialistis adalah dengan kembali mengamalkan sikap zuhud dan juga

    wara, karena sudah jelas keduanya merupakan bagian dari sunnah Rasulullah

    saw.

  • BAB IV

    KESIMPULAN DAN SARAN

    A. KESIMPULAN

    Dari discourse yang telah dipaparkan sedemikian rupa dalam karya

    tulis ini, dapat diperoleh kesimpulan seperti berikut.

    1. Zuhud adalah sikap hidup yang mengutamakan sisi akhirat

    2. Wara adalah sikap kehati-hatian terhadap segala urusan

    3. Sikap hidup materialistis berasal dari paham filsafat yang inti ajarannya

    berbenturan dengan ajaran Islam.

    4. Sikap zuhud dan wara merupakan sikap hidup yang berasal dari ajaran

    Islam.

    5. Kaum muslimin hendaknya bersikap zuhud dan wara dan meninggalkan

    sikap hidup materialistis.

    B. SARAN

    Sebagai penutup dari tulisan ini, penulis ingin menyampaikan dua poin

    yang semoga dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai pandangan atau

    sekedar saran, sebagaimana berikut.

    1. Sikap hidup bagi seorang muslim haruslah jelas orientasinya, karena di

    dalam ajaran Islam semuanya harus jelas, kejelasan tersebut dipahami dari

    adanya tata cara dan aturan-aturan di dalam Islam bagi penganutnya yang

    semuanya dikupas secara tuntas dalam Al Quran dan As Sunnah.

  • 2. Manusia adalah pemegang amanat kekhalifahan dimuka bumi ini (Q.S. Al

    Ahzab ayat 72 dan Al Baqarah ayat 30). Karena itu manusia adalah

    makhluk yang memiliki keunggulan dari makhluk lainnya, keunggulan

    tersebut diantaranya adalah akal pikiran, hawa nafsu dan hati nurani.

    Dengan akal pikiran, manusia dapat paham pada hakikat yang rasional,

    dengan hawa nafsu, manusia memiliki hasrat untuk mencapai sesuatu dan

    dengan hati nurani, manusia dapat menerima hakikat spiritual. Maka

    dalam menjalankan amanat yang kita emban, ketiga perangkat yang

    dianugerahkan kepada kita haruslah menjadi alat bagi kita untuk

    membawa kita pada keselamatan (dunia dan akhirat) dalam menjalankan

    amanat itu. Wallahu Alamu bishawwab.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Abdurrahman, K.H.E., Recik-Recik Dakwah, Sinar Baru, Bandung, 1993.

    Adian, Donny Gahrial, Muhammad Iqbal, Teraju, Jakarta, 2003.

    Al Ahli, Abdul Aziz Sayyid, Al Khalifah Az Zahid Umar ibni Abd Al Aziz, Dar

    An Nahdhah, Kairo, t.t.p., edisi Indonesia diterjemahkan oleh Abdillah,

    Kholil, Umar bin Abdul Aziz: Khalifah yang Zuhud yang Memenuhi

    Dunia dengan Keadilan, Samara, Jakarta, 2009.

    Al Asqalaniy, Ahmad bin Ali Ibnu Hajar, Fathul Bari, Daarul Fikr, Beirut,

    1996.

    Al Bukhary, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Al Bukhary, Daarul

    Fikr, Beirut, 1981.

    Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Al Fiqh Al Iqtishadi li Amiril Muminin Umar ibn

    Al Khaththab, Dar Al Andalus Al Khadra, Jeddah, Cet. Ke-1, 2003, edisi

    Indonesia diterjemahkan oleh Zamakhsyari, Asmuni Solihan, Fikih

    Ekonomi Umar bin Al Khatab, Khalifa, Jakarta, 2006.

    Al Jurjaniy, Ali bin Muhammad, At Tariifaat, Al Haramain, t.t.p.

    Al Mahaliy, Jalaludin dan As Suyuthiy, Jalaludin , Tafsirul Jalalain, Al-

    Haramain, Cetakan ke-6, 2007.

    Al Mubarakfury, Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim, Tuhfatul Ahwadzi fi

    Syarhi Jamiut Tirmidzi, Daarul Kutub Al Ilmiah, Beirut, 1990.

    Al Munjid fillugoti wal Alaam, Daarul Masyriq, Beirut, 2007.

    Al Quran dan terjemahnya, PT Intermasa, Jakarta, 1993.

  • Al Qurthuby, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Anshary, Al Jamiu

    Liahkaamil Quran, Daarul Fikr, Beirut, 1987.

    Abu Daud, Sulaiman bin Asy Syaats As Sijistani, Sunan Abu Daud, Daarul Fikr,

    Beirut, 1994.

    Anas, Malik bin, Al Muwatha, Daarul Fikr, Beirut, 2002.

    An Nawawi, Abu Zakariya Yahya bin Syaraf, Riyadlush Shalihin, Daarul Ilmi,

    Surabaya, t.t.p.

    As Shananiy, Muhammad bin Ismail, Subulus Salam, Maktabah Dahlan,

    Bandung, 1960.

    At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa, Al Jamius Shahih, Daarul Fikr,

    Beirut, 2003.

    Boangmanalau, Singkop Boas, Marx-Dostoevsky-Nietzsche: Menggugat Teodisi

    dan Merekonstruksi Antropodisi, AR-RUZZ MEDIA, Yogyakarta, 2008.

    Budiono, Kamus Ilmiah Populer Internasional, Alumni, Surabaya, 2005.

    Echols, John M., dan Shadily, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia,

    Jakarta, 1984.

    Ensiklopedi Indonesia, W. Van Hoeven, Bandung, t.t.p.

    Fathur Rahman Lithalibi Ayaatil Quran, Maktabah Dahlan, t.t.p.

    Hamidy, Muammal, M., Imran A., dan Fanany, Umar, Terjemah Nailul Authar,

    PT Bina Ilmu, surabaya, 1993.

    Hamidy, Zainuddin, dan Hs., Fachruddin, Tafsir Quran, Widjaya Jakarta,

    Jakarta, 1987.

  • Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, PT

    Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007.

    Hart, Michael H., The 100, 2005, edisi Indonesia, 100 Tokoh Paling Berpengaruh

    Sepanjang Masa, Karisma Publishing group, t.t.p.

    Hassan, Ahmad, Tafsir Al Furqan, Pustaka Tamaam, Bangil, 1999.

    Hassan, Ahmad, Tarjamah Bulughul Maram, CV Penerbit Dipenegoro, Bandung,

    2002.

    Hornby, AS, Oxford Advanced Learners Dictionary, Oxford English, Oxford,

    1989.

    Ibnu Majah, Abu Abdillah Muhammad bin Yazid Al Quzwainiy, Sunan Ibnu

    Majah, Daarul Fikr, Beirut, 2004.

    Kertanegara, Mulyadi, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Mizan,

    Bandung, 2005.

    Khalil, Syauqi Abu, Baitun Ussisa Ala At Taqwa, edisi Indonesia diterjemahkan

    oleh Awaluddin, Imam, Mereka yang Zuhud, Embun Publishing, Jakarta,

    2006.

    Mahmudunnasir, Syed, Islam: Concepts and History, Kitab Bhavan, New Delhi,

    1981, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Adang Affandi, Islam: Konsepsi

    dan Sejarahnya, PT Rosda Karya, Bandung, 1994.

    Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al Munawwir, Pustaka Progressif,

    Yogyakarta, 1984.

    Murchland, Bernard, Humanism and Capitalism: A Survey of Thought on

    Morality, edisi Indonesia diterjemahkan oleh Hadikusumo, Hartono,

  • Humanisme dan Kapitalisme: Kajian Pemikiran tentang Moralitas, PT

    Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1992.

    Muslim, Abu Husein bin Muslim bin Al Hajjaj Al Qusyairiy, Shahih Muslim,

    Syirkatul Muaraf, Bandung, t.t.p.

    Neufeldt, Victoria E., (Editor in Chief), Websters New World Dictionary, Third

    College Edition, Websters New world, New York, 1988.

    Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Rajawali, Jakarta, 1989.

    Solihin, M., Perkembangan Filsafat dari Klasik hingga Modern, Pustaka Setia,

    Bandung, 2007.

    Wojowasito, S., dan W., Tito Wasito, Kamus Lengkap: Inggris-Indonesia,

    Indonesia-Inggris, Hasta, Bandung, 1980.

    Referensi lainnya dari:

    Majalah:

    Risalah, Jangan Lupakan Zuhud, edisi no. 7, Th. 45 Ramadlan 1428/Oktober

    2007, Yayasan Risalah Pers, Bandung., 2007.

    Internet:

    1. Sumberkristen.com/berkenalan-dengan-asketisme-teologi-penyangkalan-

    diri/

    2. Blog.uin-malang.ac.id/2011/02/definisi-dan-sejarah-tasawuf/

    3. Pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/makalah-zuhud.html/

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis lahir di Sumedang pada hari Selasa 13 Agustus 1991. Nama

    lengkap penulis adalah Muhammad Imam Asy-Syakir. Saat ini masih mengikuti

    kegiatan pembelajaran atau pendidikan di Pesantren Persatuan Islam 40 Sarongge

    ditingkat Muallimin, tepatnya berada dikelas II Muallimin. Sebelumnya penulis

    menyelesaikan pendidikan di Pesantren yang sama, 1 tahun untuk kelas Tajhiziah

    (2004-2005), dimana penulis termasuk generasi atau angkatan terakhir dari

    keberadaan kelas Tajhiziah disana, kemudian melanjutkan 3 tahun untuk tingkat

    Tsanawiyah (2005-2008), lulus pada tahun 2008. Sementara untuk pendidikan

    tingkat Sekolah Dasar (SD) penulis menghabiskan 6 tahun (1998-2004) di SD

    Sirnasari, lulus tahun 2004.