Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | i
Kata Pengantar
Kebutuhan energi akan semakin meningkat seiring adanya
pembangunan berbagai industri sesuai dengan amanah Perpres 28
Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Hingga saat ini
sektor industri merupakan sektor yang mendominasi konsumsi
energi di Indonesia. Oleh karena itu, ketersediaan energi yang
memadai akan menentukan keberhasilan dalam pengembangan
industri nasional ke depan.
Kajian Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam
Rangka Akselerasi Industrialisasi ini disusun dalam rangka
menganalisis tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor
industri yang relatif padat energi di Indonesia dan mengidentifikasi
permasalahannya.
Kami ucapkan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penyusunan kajian ini, khususnya Tim
INDEF (Institute for Development of Economics and Finance): Prof.
Dr. Didik J. Rachbini, Prof. Dr. Bustanul Arifin, Prof. Dr. Ahmad Erani
Yustika, Dr. Enny Sri Hartati, Eko Listiyanto, MSE., Ahmad Heri
Firdaus, M.Si., Abra P.G. Talattov, SE. Imaduddin Abdullah, S.Sos.,
Dzulfian Safian, SE.; serta asosiasi industri: Asosiasi Pertekstilan
Indonesia (API), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Asosiasi
Semen Indonesia (ASI), Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI),
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Indonesian Iron
and Steel Industry Association (IISIA), Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (GAPKI), Forum Industri Pengguna Gas Bumi
(FIPGB).
ii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Akhirnya kami berharap kajian ini dapat memberi kontribusi bagi
pengembangan sektor industri dan energi di masa mendatang.
Jakarta, Desember 2012
Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal
Kementerian Perindustrian
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | iii
Ringkasan Eksekutif
Kajian Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri
Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Sektor industri hingga saat ini merupakan sektor yang mendominasi
konsumsi energi di Indonesia, di mana porsinya mencapai 49,4 persen
dari total konsumsi energi nasional (Kementerian ESDM, 2012). Dalam
sektor industri itu sendiri, terdapat beberapa industri yang dinilai paling
padat menggunakan energi, baik yang digunakan sebagai bahan bakar
ataupun yang digunakan sebagai bahan baku. Diantaranya adalah industri
baja, industri semen, industri pupuk, industri keramik, industri pulp dan
kertas, industri tekstil dan industri pengolahan kelapa sawit. Jika
dibandingkan dengan faktor input yang lain, biaya energi pada tujuh (7)
industri tersebut bahkan lebih besar dari biaya tenaga kerja, serta
menempati peringkat kedua setelah biaya bahan baku. Oleh karena itu,
dalam mengalisis kebutuhan energi pada sektor industri, selain akan
dianalisis kebutuhan energi pada masing-masing sub sektor industri (9
sektor), juga penting dilakukan analisis secara mendalam kebutuhan
energi pada 7 industri terpilih tersebut.
Secara lebih spesifik, Kajian Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor
Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi ini bertujuan untuk: 1)
menganalisis tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor industri
yang lahap energi di Indonesia; 2) mengidentifikasi permasalahan energi
yang dihadapi; 3) memproyeksi kebutuhan energi sektor industri; serta 4)
menyusun rekomendasi kebijakan perencanaan kebutuhan energi di
sektor industri ke depan.
Terkait tujuan pertama, hasil analisis menunjukkan bahwa pada 2012
dari 7 industri yang menjadi fokus kajian, industri pupuk merupakan sub
sektor industri yang paling padat menggunakan energi. Diikuti dengan
iv | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
industri pulp dan kertas, industri tekstil, industri semen, industri baja,
industri keramik, dan industri pengolahan kelapa sawit. Jika skenario
akselerasi dan akselerasi disertai efisiensi dapat dilakukan maka pada
2025 industri pupuk tetap menjadi pengkonsumsi energi terbesar, namun
urutan kedua ditempati industri tekstil dan ketiga industri pulp dan
kertas, untuk peringkat keempat industri lain urutannya tetap. Industri
pupuk menjadi pengguna energi yang terbesar karena lebih banyak
menggunakan gas sebagai bahan baku. Sementara Industri pengolahan
kelapa sawit menjadi pengguna energi terkecil karena sebagian besar
energi yang dibutuhkan dipenuhi dari biomassa.
Dari sekian banyak bahan bakar energi yang digunakan oleh industri-
industri tersebut, BBM (solar), listrik dan batubara merupakan jenis
bahan bakar yang paling banyak digunakan. Namun, belakangan gas telah
menjadi jenis bahan bakar yang semakin banyak digunakan oleh industri.
Tetapi dalam mendapatkan gas tersebut, industri masih menghadapi
berbagai kendala dalam mengakses bahan bakar gas tersebut.
Tujuan kedua yaitu mengidentifikasi permasalahan energi yang dihadapi
oleh sektor industri. Terdapat sejumlah masalah utama yang dihadapi
sektor industri terkait dengan akses mereka terhadap energi, antara lain:
1) Kesulitan memperoleh gas karena terjadi defisit pasokan gas untuk
kebutuhan industri dalam negeri, sementara di sisi lain sebagian produksi
gas justru ditujukan untuk ekspor. 2) Terbatasnya infrastruktur energi,
seperti jaringan transmisi gas bumi yang masih minim. 3) Ketidaksesuaian
antara persebaran sumber energi dengan lokasi industri, misalnya
sumber gas bumi yang melimpah di Kalimantan dan Sumatera namun
lokasi industri terpusat di pulau Jawa. 4) Masih rendahnya pemanfaatan
batubara untuk kebutuhan domestik sedangkan sebagian besar (70
persen) dari produksi batubara dipasarkan ke luar negeri. 5) Diversifikasi
energi terutama energi terbarukan masih sulit dilakukan karena selain
biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal, infrastruktur yang dibutuhkan
juga masih belum memadai.
Tujuan ketiga, memproyeksi kebutuhan energi sektor industri. Pada
tujuan ketiga ini analisis dibagi dua, yaitu kebutuhan energi pada 9
subsektor industri dan kebutuhan energi 7 industri terpilih yang relatif
padat energi. Pada proyeksi 9 subsektor industri diperoleh hasil bahwa di
tahun 2025 kebutuhan energi yang paling besar terdapat pada industri
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | v
makanan, minuman dan tembakau, sebesar 72.210 gWh atau sekitar 26,6
persen dari total kebutuhan energi untuk industri. Saat ini, industri
makanan, minuman dan tembakau belum menjadi industri yang paling
banyak membutuhkan energi, namun dikarenakan industri ini
diproyeksikan akan menjadi salah satu industri yang tumbuh paling pesat,
maka menimbulkan konsekuensi bahwa pertumbuhan permintaan
energinya pun turut meningkat pesat pula. Selain itu, jumlah perusahaan
di industri ini merupakan yang paling banyak bila dibandingkan dengan
jumlah perusahaan di industri lainnya.
Selanjutnya, di urutan kedua industri pupuk, kimia dan barang dari karet
yang kebutuhan konsumsi energi pada 2025 mencapai 60.232 gWh atau
sekitar 22,0 persen dari total kebutuhan energi untuk industri. Di tempat
ketiga industri semen dan barang galian bukan logam yang
membutuhkan energi sebesar 41.732 gWh (15,35 persen). Urutan
keempat industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki yang
diproyeksikan akan membutuhkan energi sebesar 36.050 gWh (13,0
persen). Urutan kelima, industri alat angkutan, mesin dan peralatannya
sebesar 18.491 gWh (6,8 persen). Keenam, industri logam dasar besi dan
baja yang membutuhkan energi sebesar 14.431 gWh (5,3 persen).
Ketujuh, industri kertas dan barang cetakan 10.212 gWh (3,8 persen).
Terakhir, industri barang kayu dan hasil hutan yang diperkirakan
mengkonsumsi energi dengan jumlah yang paling sedikit, sebesar 2.732
gWh atau sekitar 1,0 persen dari total kebutuhan energi untuk industri.
Pada proyeksi kebutuhan energi 7 industri terpilih yang relatif padat
energi dihitung dengan menggunakan 3 skenario; skenario Business as
Usual (BAU), skenario akselerasi, dan skenario akselerasi disertai efisiensi.
Pendekatan dalam menghitung kebutuhan energi secara sektoral ini lebih
bersifat mikro, artinya perhitungan mempertimbangkan berbagai
perkembangan yang terjadi di sektor industri tersebut, seperti
kemampuan tumbuh (kapasitas, produksi, konsumsi) secara alamiah atau
tren pertumbuhan industri, rencana pembangunan pabrik baru, tren
diversifikasi penggunaan sumber energi tertentu pada suatu industri,
upaya melakukan efisiensi biaya, mengejar target swasembada suatu
produk, menyamai/menyetarakan konsumsi per kapita dengan negara
lain, dll. Selain itu pendekatan juga bersifat kasuistik dan ilustratif,
vi | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
dengan menampilkan contoh perusahaan tertentu yang memiliki pangsa
pasar dominan dalam suatu industri.
Secara ringkas kebutuhan energi untuk industri baja dengan skenario
Business as Usual (BaU) pada 2025 diperkirakan sebesar 11.626 gWh.
Dengan skenario akselerasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan baja
domestik (swasembada baja) diperlukan energi sebesar 29.392 gWh pada
2025. Skenario akselerasi disertai efisiensi pada industri baja lebih
menekankan pada kemungkinan diturunkannya intensitas energi pada
industri baja serta dilakukannya substitusi sumber energi primer. Jika hal
ini berhasil dilakukan maka pada 2025 dibutuhkan energi sebesar 19.595
gWh dan penghematan yang berhasil dilakukan sebesar Rp 6,4 triliun.
Kebutuhan energi utama pada industri tekstil adalah energi listrik.
Mengingat pasokan listrik PLN ke industri tekstil saat ini baru sekitar 70
persen maka sisanya sebesar 30 persen menggunakan pembangkit
sendiri yang membutuhkan minyak, batubara, dan gas. Dihitung dengan
skenario BaU kebutuhan energi pada industri tekstil pada 2025 sebesar
50.417 gWh. Dengan skenario akselerasi di mana targetnya mencukupi
seluruh kebutuhan konsumsi kain dalam negeri, maka pada 2025
dibutuhkan energi 252.955 gWh. Hal ini mengingat proporsi impor kain di
Indonesia masih sekitar 39 persen, serta pertumbuhan konsumsi kain
domestik yang cukup tinggi, sebesar 17 persen per tahun. Kondisi ini
diikuti dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2,3 persen per tahun, dan
semakin cepatnya perubahan trend fashion. Selanjutnya, pada skenario
akselerasi disertai efisiensi, salah satu isu utamanya adalah cukup tuanya
mesin-mesin produksi yang digunakan industri tekstil sehingga
penggunaan energinya relatif boros. Oleh karena itu, perhitungan
skenario akselerasi disertai efisiensi selain menekankan pada urgensi
untuk mencukupi konsumsi kain domestik juga pentingnya efisiensi
dengan restrukturisasi permesinan dan substitusi energi. Hasil
perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan energi di industri tekstil
pada 2025 sebesar 222.600 gWh. Hasil perhitungan penghematan biaya
yang bisa diperoleh jika skenario akselerasi disertai efisiensi dapat
dilakukan pada industri tekstil adalah Rp12,8 triliun pada 2025.
Perhematan tersebut bersumber dari program restrukturisasi
permesinan yang akan menghemat pemakaian energi dan peningkatan
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | vii
produktivitas, serta adanya diversifikasi energi untuk pembangkit listrik
dari BBM ke batubara.
Secara umum kebutuhan energi utama pada industri pengolahan kelapa
sawit adalah energi listrik, di mana semakin besar kapasitas produksi dan
jenis produk olahan, relatif semakin tinggi pula tambahan energi yang
diperlukan dalam proses produksi. Hasil perhitungan skenario BaU
menunjukkan bahwa pada 2025 industri pengolahan kelapa sawit
membutuhkan energi sebesar 594 gWh. Skenario akselerasi dihitung
dengan asumsi produktivitas kebun kelapa sawit Indonesia setara dengan
Malaysia. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada 2025 industri
pengolahan kelapa sawit membutuhkan energi sebesar 832 gWh.
Sementara itu, skenario akselerasi disertai efisiensi dihitung dengan
asumsi selain industri CPO mampu melakukan akselerasi juga dapat
menurunkan intensitas energinya setara world best practice yaitu sebesar
17 kWh per Ton TBS. Hasil perhitungan dengan skenario ini menunjukkan
bahwa pada 2025 industri pengolahan kelapa sawit membutuhkan energi
sebesar 786 gWh.
Pulp dan kertas ibarat emas hijau bagi pembangunan Indonesia. Dari sisi
kontribusi terhadap penerimaan negara, sektor industri pulp dan kertas
telah menyumbang 90 persen dari total penerimaan ekspor kehutanan.
Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama eksportir
di bidang kehutanan sejak 1987 (Karseno dan Mulyaningsih dalam Ramli,
2006). Dengan skenario Business as Usual perkiraan kebutuhan energi
pada industri pulp dan kertas pada 2025 sebesar 87 ribu gWh. Energi
tersebut diperoleh dari biomassa yang dapat menghasilkan energi sekitar
41 ribu gWh. Selain itu, kebutuhan energi juga dipenuhi dari gas
sebanyak 22 juta MMBTU dan batubara sebanyak 423 ribu ton.
Saat ini Indonesia berada pada posisi ke 9 dunia sebagai produsen pulp
dan posisi ke 8 sebagai produsen kertas. Dengan potensi sumber daya
hutan produksi yang besar, sangat mungkin bagi Indonesia untuk
melakukan akselerasi pada industri pulp dan kertas guna meningkatkan
posisi sebagai produsen pulp dan kertas dunia menjadi peringkat ke 5.
Dengan skenario akselerasi kebutuhan energi pada industri pulp dan
kertas mencapai 145 ribu gWh. Energi tersebut diperoleh dari biomassa
setara dengan 72 ribu gWh, gas sebanyak 40 juta MMBTU, dan 742 ribu
ton batubara. Sedangkan pada skenario akselerasi disertai efisiensi energi
viii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
yang dibutuhkan menjadi berkurang, yakni gas sebanyak 34 juta MMBTU
dan 647 ribu ton batubara. Hasil perhitungan penghematan biaya yang
bisa diperoleh jika skenario akselerasi disertai efisiensi dapat dilakukan
pada industri pulp dan kertas adalah Rp14,9 triliun pada 2025.
Penghematan tersebut sangat mungkin dicapai jika industri pulp dan
kertas lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi dari biomassa
seperti black liquor, kulit pohon (bark), cpo, sludge, serbuk kayu (saw
dust), kompos, dan sebagainya.
Kebutuhan energi industri pupuk sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
gas alam, mengingat konsumsi gas merupakan salah satu indikator
penting untuk menilai produksi pupuk. Dalam perhitungan kebutuhan
energi industri pupuk, konsumsi gas alam sebagai bahan bakar saling kait
mengait dengan konsumsi gas alam sebagai bahan baku. Berdasarkan
skenario BaU pada 2025 industri pupuk membutuhkan total gas alam
sebesar 1.314 juta MMBTU yang terdiri dari 1.274 juta MMBTU untuk
bahan baku dan 39 juta MMBTU untuk bahan bakar atau setara 11.560
gWh. Sementara dengan skenario akselerasi berupa peningkatan
kapasitas produksi menjadi 86 persen (pencapaian efisiensi tertinggi
selama delapan tahun terakhir), pada 2025 industri pupuk membutuhkan
total gas alam sebesar 1.412 juta MMBTU yang terdiri dari 1.370 juta
MMBTU untuk bahan baku dan 42 juta MMBTU untuk bahan bakar atau
setara 12.414 gWh. Dalam skenario akselerasi disertai efisiensi
diasumsikan kebutuhan energi untuk melakukan akselerasi tersebut
dipenuhi dari batubara. Pada 2025, industri pupuk membutuhkan total
gas alam sebesar 1.370 juta MMBTU yang seluruhnya digunakan untuk
bahan baku, sedangkan untuk bahan bakar dibutuhkan 2,09 juta ton
batubara setara 12.414 gWh. Substitusi sumber energi primer tersebut
dapat menghemat biaya energy sekitar Rp2,81 triliun pada 2025.
Industri semen merupakan industri yang sedang tumbuh subur seiring
dengan meningkatnya pertumbuhan sektor properti dan pembangunan
infrastruktur. Dengan skenario BaU kebutuhan energi pada industri
semen pada 2025 mencapai 23.321 gWh. Energi tersebut dapat diperoleh
dari 24,9 juta ton batubara dan 23.173 gWh listrik. Sementara dihitung
dengan skenario akselerasi dan skenario akselerasi disertai efisiensi
kebutuhan energi pada industri semen mencapai 38.589 gWh. Pada
skenario akselerasi, jumlah energi tersebut dapat diperoleh dari 46,4 juta
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | ix
ton batubara dan 38.320 gWh listrik. Sedangkan pada skenario akselerasi
disertai efisiensi sumber energi dapat dipenuhi dari 23,1 juta ton
batubara, 493.831 MMBTU gas alam dan 38.320 gWh listrik.
Penghematan dari alih sumber energi primer ini sebesar Rp1,41 triliun
pada 2025.
Permintaan industri keramik saat ini sedang meningkat seiring
meningkatnya pertumbuhan sektor konstruksi. Industri ini merupakan
jenis industri yang relatif banyak mengkonsumsi energi, khususnya gas
alam. Ketersediaan gas sangat menentukan keberlangsungan produksi
keramik, karena sifat spesifik gas yang tidak bisa digantikan oleh sumber
energi lain. Hasil proyeksi dengan skenario BaU energi yang dibutuhkan
pada 2025 mencapai 3.299 gWh. Jumlah energi ini dapat diperoleh dari
gas alam sebesar 129.624 MMBTU, BBM sebesar 1.053.331 barel dan
kebutuhan listrik sebesar 1.586,4 gWh. Sementara dengan skenario
akselerasi, kebutuhan energi industri keramik mencapai 5.479 gWh.
Jumlah energi ini dapat diperoleh dari gas alam sebesar 179.408 MMBTU,
BBM sebesar 1.752.607 barel, dan kebutuhan listrik sebesar 2.639,5 gWh.
Lebih lanjut, jika skenario efisiensi yang disertai akselerasi dapat
dilakukan maka diperkirakan energi yang dibutuhkan mencapai 5.232
gWh. Jumlah energi tersebut dapat diperoleh dari gas alam sebesar
170.437 MMBTU, BBM sebesar 1.664.977 barel dan listrik sebesar 2.508
gWh.
Hasil kajian ini merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Seiring meningkatnya harga BBM maka penggunaan batubara dan gas
alam sebagai sumber energi alternatif perlu lebih ditingkatkan.
2. Dalam hal penggunaan batubara, upaya penyediaan suplai listrik oleh
PLN dengan sumber energi pembangkit dari batubara perlu ditingkatkan.
Penggunaan batubara terintegrasi dan terlokalisasi di pembangkit listrik
PLN bertujuan untuk meminimalisasi pencemaran.
3. Pentingnya melakukan program restrukturisasi permesinan pada
berbagai sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar
penggunaan energi lebih efisien.
4. Perlu membuat industri pengelola limbah yang terintegrasi dengan
berbagai industri yang lahap energi. Limbah hasil pengolahan industri
x | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
bisa dihubungkan dengan industri pengolahan limbah B3, dalam satu
wilayah industri bisa dibuat satu industri pengumpul limbah yang
berfungsi sebagai distributor limbah yang akan memanfaatkan limbah
sebagai bahan bakar. Pemanfaatan limbah sebagai bahan bakar ini akan
sejalan dengan tujuan mewujudkan green industry.
5. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka penghematan
(efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk mendorong
penggunaan energi alternatif terbarukan.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xi
Daftar Isi
Kata Pengantar i
Ringkasan Eksekutif iii
Daftar Isi xi
Daftar Tabel xv
Daftar Gambar xix
Daftar Singkatan dan Istilah xxi
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Penelitian 5
1.3. Manfaat Kajian 5
BAB II GAMBARAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 7
2.1. Overview Pengelolaan Energi Negara Lain 7
2.1.1. China 7
2.1.2. India 11
2.1.3. Malaysia 12
2.2. Kebijakan Energi di Indonesia 15
2.2.1. Kebijakan Bauran Energi 15
2.2.2. Pasokan dan Kebutuhan Energi 16
2.3. Kendala dalam Pemenuhan Kebutuhan Energi bagi
Industri di Indonesia 20
BAB III METODE PENELITIAN 23
3.1. Jenis dan Sumber Data 23
3.1.1. Wawancara 23
3.1.2. Focus Group Discussion 24
3.2. Metode Analisis 24
3.3. Asumsi 25
3.3.1. Industri Baja 26
xii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e
3.3.2. Industri Tekstil 29
3.3.3. Industri Pupuk 31
3.3.4. Industri Pulp dan Kertas 37
3.3.5. Industri Kelapa Sawit 39
3.3.6. Industri Semen 40
3.3.7. Industri Keramik 42
3.4. Batasan Studi 43
BAB IV KINERJA SEKTOR INDUSTRI 45
4.1. Kinerja Sektor Industri Indonesia 45
4.2. Kinerja Subsektor Industri 50
4.2.1. Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 50
4.2.2. Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 52
4.2.3. Industri Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya 53
4.2.4. Industri Kertas dan Barang Cetakan 54
4.2.5. Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 55
4.2.6. Industri Semen dan Barang Galian bukan logam 56
4.2.7. Industri Logam Dasar Besi & Baja 57
4.2.8. Industri Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 57
4.2.9. Industri Barang lainnya 58
4.3. Kinerja 7 Industri Terpilih 59
4.3.1. Industri Baja 60
4.3.2. Industri Tekstil 64
4.3.3. Industri Pupuk 65
4.3.4. Industri Pulp dan Kertas 67
4.3.5. Industri Pengolahan Kelapa Sawit 71
4.3.6. Industri Semen 73
4.3.7. Industri Keramik 76
BBAABB VV
KKEEBBUUTTUUHHAANN EENNEERRGGII SSEEKKTTOORR IINNDDUUSSTTRRII
8811
5.1. Kebutuhan Energi 9 (Sembilan) Sub Sektor Industri 81
5.2. Proyeksi Kebutuhan Energi 9 (Sembilan) Kelompok
Industri
88
5.3. Proyeksi Komposisi Penggunaan Energi 9 (Sembilan)
Kelompok Industri 91
5.4. Permasalahan Energi pada Sektor Industri 94
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xiii
BBAABB VVII KKEEBBUUTTUUHHAANN EENNEERRGGII PPAADDAA IINNDDUUSSTTRRII TTEERRPPIILLIIHH 9999
6.1. Industri Baja 100
6.1.1. Komposisi Penggunaan Energi 100
6.1.2. Kebutuhan Energi Industri Baja 102
6.2. Industri Tekstil 107
6.2.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri Tekstil 107
6.2.2. Kebutuhan Energi Industri Tekstil 108
6.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit 113
6.3.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri
Pengolahan Kelapa Sawit 113
6.3.2. Kebutuhan Energi Industri Pengolahan Kelapa Sawit 114
6.4. Industri Pulp dan Kertas 116
6.4.1. Realisasi Konsumsi Energi Industri Pulp dan Kertas 116
6.4.2. Komposisi Penggunaan Energi Industri Pulp dan
Kertas
118
6.4.3. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pulp dan
Kertas
120
6.5. Industri Pupuk 124
6.5.1. Realisasi Konsumsi Energi Industri Pupuk 124
6.5.2. Komposisi Penggunaan Energi Industri Pupuk 126
6.5.3. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pupuk 127
6.6. Industri Semen 131
6.6.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri Semen 131
6.6.2. Kebutuhan Energi Industri Semen 132
6.7. Industri Keramik 139
6.7.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri
Keramik 139
6.7.2. Kebutuhan Energi Industri 141
6.8. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih 146
BAB VII PENUTUP 151
7.1. Kesimpulan 151
7.2. Rekomendasi 154
7.2.1. Rekomendasi Umum 154
7.2.2. Rekomendasi Masing-masing Industri Terpilih 156
Daftar Pustaka 161
Lampiran
xiv | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xv
Daftar Tabel
Tabel 3.1. Rencana Penambahan Kapasitas Produksi Baja Nasional 28
Tabel 3.2. Realisasi Produksi Pupuk dan Non-Pupuk PT Pusri
(Holding) 2005-2010 32
Tabel 3.3. Realisasi Pemakaian Gas Alam Dalam Proses Pembuatan
Urea dan Amoniak 35
Tabel 3.4. Kapasitas, Total, dan Efisiensi Produksi Amoniak dan Urea
2003-2010 36
Tabel 4.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha (persen) 45
Tabel 4.2. Laju pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (persen) 46
Tabel 4.3. Neraca Gas Untuk Industri & PLN Tahun 2010 2011
(MMSCFD) 49
Tabel 4.4. Beberapa Indikator Kinerja Industri Makanan, Minuman
dan Tembakau 51
Tabel 4.5. Beberapa Indikator Kinerja Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki 53
Tabel 4.6. Beberapa Indikator Kinerja Industri Kayu dan Barang dari
Kayu 54
Tabel 4.7. Beberapa Indikator Kinerja Industri Kertas dan Barang
Cetakan 55
Tabel 4.8. Beberapa Indikator Kinerja Industri Pupuk, Kimia dan
Barang dari Karet 55
Tabel 4.9. Beberapa Indikator Kinerja Industri Semen dan Barang
Galian bukan logam 56
Tabel 4.10. Beberapa Indikator Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan
Baja 57
Tabel 4.11. Beberapa Indikator Kinerja Alat Angkutan, Mesin dan
Peralatannya 58
Tabel 4.12. Beberapa Indikator Kinerja Industri Barang lainnya 59
Tabel 4.13. Konsumsi per Kapita Baja Beberapa Negara Tahun 2009 62
Tabel 4.14. Profil Industri Tekstil 65
Tabel 4.15. Realisasi Produksi Pupuk dan Non-Pupuk PT Pusri
(Holding) tahun 2005-2010 66
Tabel 4.16. Pangsa Produksi CPO 72
xvi | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e
Tabel 4.17. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit 73
Tabel 5.1. Nilai Watt (kWh) dari Masing-masing Jenis Bahan Bakar
Energi 83
Tabel 5.2. Kebutuhan Energi 9 (sembilan) Kelompok Sektor Industri
(gWh) 84
Tabel 5.3. Komposisi Kebutuhan Masing-masing Energi Pada Industri
Manufaktur Tahun 2009 85
Tabel 5.4 Distribusi Komposisi Kebutuhan Energi dari Masing-
masing Jenis Industri 2009 86
Tabel 5.5. Proyeksi Pertumbuhan Industri Kecil, Menengah dan
Besar 2010-2025 (Persen) 89
Tabel 5.6. Proyeksi Kebutuhan Energi 9 (Sembilan) Kelompok
Industri (gWh) 90
Tabel 5.7. Proyeksi Komposisi Kebutuhan Energi Setiap Jenis Energi
Pada 9 Kelompok Industri 92
Tabel 5.8. Proyeksi Komposisi Kebutuhan Energi Pada 9 Kelompok
Industri (Satuan Unit) 93
Tabel 5.9. Persentase Kebutuhan Energi Pada Industri Manufaktur
Tahun 2009 96
Tabel 5.10. Persentase Jenis Energi Pada Industri Manufaktur Tahun
2009 97
Tabel 6.1. Agregasi Kebutuhan Energi 7 Sektor Industri Terpilih 100
Tabel 6.2. Komponen Biaya Produksi PT. Krakatau Steel tahun 2010 101
Tabel 6.3. Proporsi Konsumsi Energi Industri Baja Tahun 2009 102
Tabel 6.4. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Baja (gWh) 103
Tabel 6.5. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Baja 104
Tabel 6.6. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Baja 106
Tabel 6.7. Penghematan Biaya Energi pada Industri Baja 107
Tabel 6.8. Struktur Biaya Produksi Industri TPT 107
Tabel 6.9. Kebutuhan Energi Industri Tekstil (gWh) 110
Tabel 6.10. Kebutuhan Energi Industri Tekstil (satuan unit) 111
Tabel 6.11. Proyeksi Kekurangan Kebutuhan Energi Industri Tekstil
(satuan unit) 112
Tabel 6.12. Penghematan dari Diversifikasi dan Efisiensi Energi 113
Tabel 6.13. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pengolahan Kelapa Sawit 115
Tabel 6.14. Penghematan Energi pada Industri Pengolahan Kelapa
Sawit (Rp miliar) 116
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xvii
Tabel 6.15. Komposisi Input Energi Industri Pulp dan Kertas (Persen) 120
Tabel 6.16. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pulp dan Kertas 122
Tabel 6.17. Proyeksi Kekurangan Energi Industri Pulp dan Kertas 123
Tabel 6.18. Penghematan Biaya Energi pada Industri Pulp dan Kertas
(Rp triliun) 124
Tabel 6.19. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pupuk 2012-2025 128
Tabel 6.20. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Pupuk 2012-
2025 130
Tabel 6.21. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Semen (gWh) 137
Tabel 6.22. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Semen 138
Tabel 6.23. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Semen 138
Tabel 6.24. Penghematan Biaya Energi pada Industri Semen 139
Tabel 6.25. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Keramik (gWh) 143
Tabel 6.26. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Keramik 144
Tabel 6.27. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Keramik 145
Tabel 6.28. Penghematan Biaya Energi pada Industri Keramik 145
Tabel 6.29. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada
Skenario Business as Usual (gWh) 146
Tabel 6.30. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada
Skenario Akselerasi (gWh) 147
Tabel 6.31. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada
Skenario Akselerasi disertasi Efisiensi (gWh) 147
Tabel 6.32. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada
Skenario Business as Usual
148
xviii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xix
Daftar Gambar
Gambar 1.1. Pemakaian Energi Akhir Menurut Sektor (persen) 2
Gambar 1.2. Perbandingan Intensitas Energi Primer di Beberapa
Negara 3
Gambar 2.1. Perkembangan Permintaan Energi Primer Dunia 8
Gambar 2.2. Perbandingan Permintaan Energi Berdasarkan Sektor 8
Gambar 2.3. Perkembangan Intensitas Energi Di China 9
Gambar 2.4a. Efisiensi penggunaan energi 9
Gambar 2.4b. Kontribusi terhadap PDB 9
Gambar 2.5. Komposisi Penggunaan Energi China 10
Gambar 2.6. Penggunaan Energi di Sektor Industri Berdasarkan
Wilayah 11
Gambar 2.7. Komposisi Konsumsi Energi pada Sektor Industri di
India (persen) 12
Gambar 2.8. Konsumsi Energi Primer Berdasarkan Jenis Energi 13
Gambar 2.9. Bauran Energi Pembangkit Listrik Malaysia 13
Gambar 2.10. Pemasok Batubara untuk Pembangkit Listrik
Malaysia 14
Gambar 2.11. Sasaran Bauran Energi Primer Nasional 2025 15
Gambar 2.12. Pasokan Energi di Indonesia Menurut Jenis (2000-
2010) 17
Gambar 2.13. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Jenis (2005-
2010) 18
Gambar 2.14. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Sektor
(2004-2010) 19
Gambar 3.1. Rasio Total Produksi Urea dan Amoniak
terhadap Total Produksi Industri Pupuk 33
Gambar 3.2. Komposisi Kebutuhan Energi Industri Pupuk tahun
2009 (persen)
33
Gambar 4.1. Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar
dan Sedang Triwulanan 2009-2012 (persen) 47
Gambar 4.2. Kontribusi Industri Non Migas terhadap PDB (persen) 49
Gambar 4.3. Konsumsi Baja Nasional (juta ton) 60
xx | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e
Gambar 4.4. Rata-rata Rasio Total Produksi Urea dan Amoniak
terhadap Total Produksi Industri Pupuk Selama
Periode 2003-2010 66
Gambar 4.5. Komposisi Kebutuhan Energi Industri Pupuk tahun
2009 (Persen) 67
Gambar 4.6. Produksi Pulp Indonesia (Juta Ton) 70
Gambar 4.7. Produksi Kertas Indonesia (Juta Ton) 70
Gambar 4.8. Komposisi Input Industri Pulp dan Kertas 71
Gambar 4.9. Konsumsi Semen Nasional (JutaTon) 74
Gambar 4.10. Produksi dan Konsumsi Keramik Nasional (juta M2) 78
Gambar 6.1. Komposisi Sumber Energi Industri Tekstil (persen) 108
Gambar 6.2. Komposisi Biaya Energi pada Industri
Pengolahan Kelapa Sawit (persen) 118
Gambar 6.3. Kebutuhan Energi di Industri Pulp dan Kertas 118
Gambar 6.4. Jenis Bahan Bakar di PT.IKPP (persen) 119
Gambar 6.5. Komposisi Penggunaan Energi untuk Bahan
Bakar pada Industri Pupuk 2009 126
Gambar 6.6. Proyeksi Konsumsi Energi yang Dibutuhkan Industri
Pupuk 129
Gambar 6.7. Komposisi Biaya Produksi Pada Industri Semen 2009
(persen) 131
Gambar 6.8. Komposisi Biaya Energi Pada Industri Semen Tahun
2009 (persen) 132
Gambar 6.9. Konsumsi Semen Per Kapita Tahun 2010 (kilogram) 135
Gambar 6.10. Biaya Produksi pada Industri Keramik Tahun 2009
(Persen) 140
Gambar 6.11. Biaya Energi pada Industri Keramik Tahun 2009
(Persen) 141
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xxi
Daftar Singkatan dan Istilah
BaU : Business as Usual
Bark : Kulit pohon
Black liquor : Cairan hitam kental yang merupakan produk sampingan dari
proses perubahan kayu menjadi bubur (pulp)
Black liquor gasification-combined cycle (BLGCC) : Teknologi gasifikasi
dengan menggunakan black liquor, kulit dan potongan kayu
Cal : Calorie (kalori)
CRC : Cold Rolled Coil
gWh : Giga Watt hour
Gr : Gram
HRC : Hot Rolled Coil
mWh : Mega Watt hour
MMBTU : Million Metric British Thermal Units
MMSCF : Mile-Mile Standard Cubic Feet
Kkal : Kilo Kalori
kWh : Kilo Watt Hour
PG : Pupuk Gresik
PIM : Pupuk Iskandar Muda
PK : Pupuk Kujang
PKT : Pupuk Kalimantan Timur
PT. KS : Perseroan Terbatas Krakatau Steel
Pusri : Pupuk Sriwijaya
Rp : Rupiah
Scrap : Besi rongsokan
Saw dust : Serbuk kayu
Sludge : Lumpur/endapan
Tankos : Tandan kosong kelapa sawit
US$ : US dollar
WR : Wire Rod
xxii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peranan energi sangat penting bagi akselerasi sektor industri,
utamanya sebagai bahan bakar untuk proses produksi. Mesin
produksi hanya dapat bekerja optimal jika energi yang tersedia
mencukupi dan sesuai dengan karakteristik mesin. Selain sebagai
bahan bakar, energi juga dapat dipakai sebagai bahan baku produk.
Urgensi ini membuat upaya peningkatan pertumbuhan sektor
industri tidak dapat lepas dari analisis penyediaan energi sektor
industri.
Kebutuhan energi akan terus meningkat seiring pertumbuhan
ekonomi nasional yang dicirikan antara lain dengan perkembangan
sektor industri dan peningkatan jumlah penduduk. Namun
pemerintah mengalami kesulitan untuk mengimbangi kenaikan
permintaan tersebut dengan penyediaan energi yang cukup dan
tepat sasaran serta energi yang ekonomis. Untuk itu, pemerintah
berupaya untuk menciptakan kebijakan yang ideal sedemikian agar
kenaikan kebutuhan energi dapat diimbangi dengan kenaikan
penyediaan energi yang akan menghasilkan tambahan output. Jika
kondisi ini tercapai maka setiap energi yang dikonsumsi dalam
proses produksi akan lebih efisien, karena sesuai dengan
karakteristik mesin dan sesuai dengan kebutuhan produk.
Secara umum, sektor industri merupakan sektor yang
mengkonsumsi energi akhir paling banyak bila dibandingkan dengan
sektor lainnya (Gambar 1.1). Peningkatan penggunaan energi di
sektor industri dalam 10 tahun terakhir terjadi karena proses
2 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektor
industri. Selain peningkatan jumlah industri baik perluasan pabrik
maupun pendirian industri-industri baru, diduga terjadi
pemborosan penggunaan energi di sektor industri (ESDM; 2007,
dalam Pambudi; 2009). Terlebih lagi sektor industri dalam negeri
pernah sangat terpukul waktu krisis moneter 1997-1998 yang
menyebabkan depresiasi besar nilai tukar rupiah. Tingginya tingkat
ketergantungan terhadap mesin-mesin produksi impor membuat
pelaku industri tidak mampu memperbarui mesin-mesin
produksinya. Sehingga banyak industri yang harus beroperasi hanya
dengan mengandalkan mesin-mesin tua yang relatif boros energi.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 3
Indonesia memerlukan energi lebih banyak dibandingkan dengan
produk yang sama di negara lain.
Ketidakefisienan pemakaian energi sangat merugikan sektor
industri karena terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta
keuntungan agregat industri. Dampak yang lebih besar lagi adalah
inefisiensi energi dalam skala massif dan berkepanjangan dapat
menyebabkan inefisiensi ekonomi melalui alokasi sumber daya yang
tidak optimal. Jika tidak segera ditangani, akan berdampak pada
sulitnya mencapai target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-9
persen per tahun sesuai dengan target Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
Sumber: Handbook Energy 2010; Kementerian ESDM, 2011
Catatan: PDB konsumsi energi primer menggunakan nilai tetap US$ tahun 2000
Gambar 1.2. Perbandingan Intensitas Energi Primer di Beberapa
Negara
Disamping persoalan efisiensi penggunaan energi, besarnya energi
yang diperlukan untuk keberlangsungan sektor industri penting
dikaji, utamanya terkait dengan peluang investasi di suatu industri
tertentu. Perencanaan pembangunan industri selalu terkait dengan
besarnya energi yang dibutuhkan. Oleh karena itu analisis tentang
kebutuhan energi di sektor industri penting untuk dilakukan, agar
upaya akselerasi sektor industri dapat diiringi dengan penyediaan
energi yang memadai.
4 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Perhitungan kebutuhan energi pada industri terpilih yang tergolong
padat energi atau yang paling banyak menggunakan sumber energi
penting dilakukan. Hal ini sebagai bahan pertimbangan kebijakan
akselerasi industri sekaligus dalam upaya mempercepat
pertumbuhan industri nasional yang salah satunya dengan cara
menarik investasi baru.
Saat ini terdapat sekitar 10 perusahaan yang menggunakan energi
terbesar di Indonesia, di mana sebagian besar merupakan industri
yang berbasis manufaktur. Beberapa industri seperti baja, tekstil,
semen, pupuk, dan keramik merupakan industri-industri yang
mengkonsumsi energi relatif besar dan cenderung meningkat dari
tahun ke tahun (KESDM, Ditjen EBTKE, 2011). Oleh karena itu,
industri-industri tersebut dapat dijadikan sebagai suatu patokan
perhitungan atau signal dalam analisis penyediaan energi sektor
industri. Terlebih lagi industri tersebut yaitu: baja, tekstil, semen,
pupuk, dan keramik menjadi prioritas dalam pengembangan
industri nasional, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden
No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, dan
merupakan fokus Dokumen Akselerasi Industrialisasi Tahun 2012-
2014 yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.
Perhitungan kebutuhan energi sektor industri yang dibedakan
menurut basis industrinya yaitu industri material dasar dan industri
manufaktur padat karya juga penting dilakukan. Peran penting
industri material dasar dalam pembangunan antara lain terlihat
pada industri dan baja, industri semen, industri pupuk (petrokimia),
dan industri keramik. Sementara peran penting industri manufaktur
padat karya salah satunya terlihat pada industri tekstil dan produk
tekstil.
Pada industri berbasis agro, industri pengolahan kelapa sawit dan
industri pulp dan kertas penting juga dilihat kebutuhan energinya.
Industri pengolahan kelapa sawit, terutama minyak kelapa sawit,
berperan dalam meningkatkan daya dukung terhadap industri
makanan olahan di Indonesia. Sementara industri pulp dan kertas
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 5
berperan dalam meningkatkan nilai tambah produk seiring
permintaan produk kertas yang meningkat.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang kebutuhan energi pada sektor industri
dimaksudkan untuk menganalisis besarnya kebutuhan energi yang
diperlukan oleh industri dalam proses produksinya. Dengan
demikian penelitian ini akan menganalisis secara lebih mendalam
mengenai besarnya tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor
industri di Indonesia yang tergolong paling banyak menggunakan
sumber energi atau industri padat energi. Sektor industri yang
dianalisis secara lebih mendalam pada kajian ini terdiri dari 7 sektor
industri terpilih yang padat energi, yaitu:
a. Industri Baja;
b. Industri Tekstil;
c. Industri Pupuk;
d. Industri Pulp dan Kertas;
e. Industri Pengolahan Kelapa Sawit;
f. Industri Semen; dan
g. Industri Keramik;
Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah:
1) Menganalisis tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor
industri di Indonesia yang relatif padat energi.
2) Mengidentifikasi permasalahan energi pada sektor industri.
3) Memproyeksi kebutuhan energi pada beberapa sektor industri
dengan beberapa skenario.
4) Menyusun rekomendasi kebijakan perencanaan kebutuhan
energi di sektor industri ke depan.
1.3. Manfaat Kajian
Saat ini pemerintah seringkali dihadapkan pada permasalahan yang
dianggap sangat krusial yaitu kurang tersedianya energi untuk
6 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
industri yang sangat strategis. Akibat dari kurangnya perencanaan
energi yang tidak matang, maka seringkali terjadi energi yang
murah malah diekspor, sedangkan industri dalam negeri justru
terpaksa menggunakan energi mahal yang tersedia. Ketidaktepatan
kebijakan ini pada akhirnya akan menurunkan daya saing industri
Indonesia di pasar internasional.
Argumentasi yang seringkali diajukan pemerintah adalah tidak
adanya perencanaan energi untuk industri yang dapat dijadikan
pegangan bagi pemerintah. Salah satu faktor penghambat adalah
kurang tersedianya prasarana distribusi energi sehingga konsumen
sulit mengakses energi murah tersebut.
Untuk itu, kajian ini diharapkan dapat menyajikan kebutuhan energi
di masing-masing kelompok industri padat energi, dalam satuan
aslinya, sehingga lebih mudah bagi semua pihak untuk melakukan
perencanaan energinya. Ketersediaan data kebutuhan energi pada
satuan aslinya akan dapat menjadi alternatif solusi bagi pemerintah
dalam membuat kebijakan penyediaan energi di sektor industri,
khususnya penyediaan energi di 7 sektor industri terpilih yang
padat energi.
Diharapkan dengan tercapainya solusi penyediaan energi di 7 sektor
industri terpilih yang padat energi, maka secara umum dapat
dikatakan bahwa sektor industri dapat menunjang target
pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu kajian ini juga dapat digunakan sebagai pertimbangan
bagi sektor industri khususnya perusahaan dalam membuat strategi
penggunaan energi ke depan khususnya yang berkaitan dengan
jenis energi yang dibutuhkan sebagai bahan bakar maupun sebagai
bahan baku produksi.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 7
BAB II
GAMBARAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL
DAN BEBERAPA NEGARA LAIN
2.1. Overview Pengelolaan Energi Negara Lain
Indonesia perlu belajar dari negara-negara setara, yang mampu
mengelola ketahanan energinya secara lebih baik. China dan India
merupakan dua negara yang perekonomiannya sangat
diperhitungkan oleh dunia saat ini. Industri yang tumbuh pesat di
kedua negara tersebut tentunya memerlukan ketersediaan energi
yang memadai dan berkelanjutan. Di kawasan ASEAN,
perekonomian Malaysia relatif setara dengan Indonesia, hanya saja
Malaysia mampu menghindar dari ketergantungan sumber energi
minyak yang harganya terus melambung saat ini. Overview singkat
pengelolaan energi di beberapa negara akan dapat memberi
gambaran bagi pengelolaan energi nasional yang lebih baik ke
depan. Meskipun kebijakan masing-masing negara masih harus
disesuaikan dengan karakteristik yang ada, namun dengan
benchmark negara-negara yang relatif lebih baik pengelolaan
energinya harapan akan perbaikan kebijakan ketahanan energi di
Indonesia bukan hal mustahil.
2.1.1. China
Permintaan energi dunia meningkat pesat, di mana China
mengambil porsi terbesar atas total permintaan energi dunia.
Bahkan jika permintaan energi di China dan India digabung, maka
kedua negara ini mengambil porsi sebesar 50 persen dari total
pertumbuhan permintaan energi dunia. Sebuah dominasi yang
8 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
sangat besar separoh pertumbuhan permintaan energi dunia hanya
berasal dari dua negara besar, China dan India, lihat Gambar 2.1.
Sumber: IEA, 2011
Gambar 2.1. Perkembangan Permintaan Energi Primer Dunia
Permintaan kebutuhan energi di China digunakan untuk
menghidupkan industrinya. Sebesar 71 persen permintaan energi
di China digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasokan energi di
sektor industri, sementara di negara-negara lain porsinya masih di
bawah 50 persen yang digunakan untuk industri, lihat Gambar 2.2.
Dengan demikian sangat wajar jika produk-produk China sangat
mendominasi di pasar dunia saat ini, salah satu keunggulannya
adalah pasokan energi di sektor industri yang memadai.
Ketersediaan energi membuat industri-industri di China dapat
mengoperasikan kapasitas mesin produksinya secara optimal.
Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011
Gambar 2.2. Perbandingan Permintaan Energi
Berdasarkan Sektor
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 9
Menariknya, China tidak hanya fokus pada upaya pemenuhan
kebutuhan energi dengan menyediakan pasokan yang sebesar-
besarnya tetapi juga berupaya melakukan efisiensi penggunaan
energi melalui berbagai inovasi teknologi secara terencana.
Hasilnya cukup mengesankan, nilai intensitas energi di China
mengalami penurunan signifikan yang menunjukkan bahwa
pemanfaatan energi semakin efisien. Sejak 1978 intensitas energi di
China semakin turun akibat pengembangan energi-intensif untuk
industri seperti industri semen dan baja serta pengembangan
teknologi untuk efisiensi energi, lihat Gambar 2.3.
Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011
Gambar 2.3. Perkembangan Intensitas Energi Di China
Perpaduan antara strategi pemenuhan pasokan energi di sektor
industri dan upaya serius dari industri untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan energi di China menghasilkan output ekonomi yang
meningkat pesat. Berbagai jenis industri lahap energi di China
mampu meningkatkan efisiensinya dalam menggunakan energi
yang ada disertai dengan peningkatan output produksi sehingga
menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, lihat Gambar 2.4.
Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011
Gambar 2.4a. Efisiensi penggunaan energi Gambar 2.4b. Kontribusi terhadap PDB
10 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Dilihat dari komposisi penggunaan energi di China batubara
merupakan sumber energi yang paling besar digunakan yaitu
sebesar 67 persen, sementara penggunaan minyak sebesar 17
persen. Dengan komposisi ini maka fluktuasi harga minyak relatif
tidak berdampak langsung pada penyediaan energi di China. Hanya
saja mengingat batubara merupakan substitusi dari energi minyak,
fluktuasi di harga minyak juga akan mendorong meningkatnya
harga batubara, lihat Gambar 2.5.
Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011
Gambar 2.5. Komposisi Penggunaan Energi China
Kebijakan penyediaan kebutuhan energi di China cukup berhasil
salah satunya dikarenakan sejak sebelum reformasi Deng Xioping,
kebijakan energi sudah diselaraskan dengan kebijakan industri.
Pada tahun 1970an, State Planning Commission (SPC) menentukan
berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk industri, sehingga ada
gambaran di masa depan. Pada Januari 2010, Cina membentuk
National Energy Commission (NEC) yang ditujukan untuk
meningkatkan strategi pengembangan energi. Konservasi Energi
mulai direncanakan dalam Rencana Lima Tahun (2006-2010) di
mana dalam Rencana tersebut, Cina juga menyoroti pentingnya
kerjasama dengan dunia internasional dalam menjamin pasokan
energi dalam negeri.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 11
2.1.2. India
Dari sisi global, India merupakan negara keempat terbesar dalam
penggunaan energi bagi sektor industri (5 persen), berada di bawah
China (24 persen), Amerika Serikat (13 persen), dan Rusia (6
persen). Lima industri di India yang paling lahap energi yaitu
industri baja, semen, kimia dan petrokimia, pulp and paper, dan
aluminium. Kelima industri ini mengkonsumsi 56 persen dari
konsumsi energi sektor industri di India, lihat Gambar 2.6.
Sumber: IEA, 2011
Gambar 2.6. Penggunaan Energi di Sektor Industri
Berdasarkan Wilayah
Batubara dan minyak bumi mendominasi penggunaan energi sektor
industri di India. Sebesar 33 persen sumber energi sektor industri
menggunakan batubara, 23 persen menggunakan minyak, serta
sisanya berbagai sumber energi lain. Sektor industri mengkonsumsi
sebesar 45 persen dari total listrik yang dihasilkan oleh pembangkit
milik negara. Sekitar 30 persen listrik untuk industri dihasilkan oleh
pembangkit swasta (captive power plant), lihat Gambar 2.7.
Efisiensi penggunaan energi juga merupakan fokus kebijakan energi
di India, terutama di tiga industri terbesar India, yaitu industri baja,
kimia dan petrokimia, serta industri semen. Selain itu, cukup
besarnya penggunaan listrik swasta untuk industri diharapkan
dapat meningkatkan ketahanan energi bagi industri di India.
12 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Sumber: IEA, 2011
Gambar 2.7. Komposisi Konsumsi Energi pada Sektor Industri
di India (persen)
2.1.3. Malaysia
Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang
perkembangan ekonominya relatif cepat. Perekonomian Malaysia
ditopang oleh industri pengolahan dan penciptaan nilai tambah
sumber daya alam. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap
PDB Malaysia sekitar 28,9 persen, di mana industri yang
mengkonsumsi banyak energi di negara ini adalah baja, semen,
kayu, makanan, kaca, pulp dan paper, keramik, dan industri karet.
Berdasarakan sumber energinya, gas dan minyak mendominasi
penggunaan energi primer di Malaysia, sebesar 85 persen.
Sementara berdasarkan sektornya, transportasi dan industri
mendominasi penggunaan energi akhir terbesar di Malaysia,
sebesar 70,7 persen, lihat Gambar 2.8.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 13
Sumber: PETRONAS, 2012
Gambar 2.8. Konsumsi Energi Primer Berdasarkan Jenis Energi
Salah satu hal menarik dari kebijakan energi di Malaysia adalah
terkait dengan penyediaan pasokan energi listrik. Dalam penyediaan
energi listrik, secara terencana Malaysia mampu menggeser
ketergantungan pembangkit listriknya dari Minyak ke Gas dan
Batubara sejak tahun 1990-an. Kebijakan diversifikasi sumber energi
listrik sudah dimulai sejak 1980, setelah pada 1970-an terjadi shock
harga minyak dunia. Dari sini terlihat bahwa kebijakan energi di
Malaysia relatif lebih terencana dan konsisten dalam penerapannya,
sehingga fluktuasi harga minyak tidak lagi secara langsung
mengancam ketahanan energinya, lihat Gambar 2.9.
Sumber: Energy Commission of Malaysia, 2012
Gambar 2.9. Bauran Energi Pembangkit Listrik Malaysia
14 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Malaysia mampu menggeser ketergantungan sumber energi
listriknya dari minyak ke gas dan batubara. Menariknya, sebagian
besar batubara yang digunakan untuk membangkitkan listrik di
Malaysia diimpor dari Indonesia. Indonesia merupakan pemasok
batubara terbesar bagi pembangkit listrik Malaysia, yaitu sebesar
65 persen pada 2011, turun dibandingkan 2008 yang mencapai 84
persen,lihat Gambar 2.10.
Sumber: Energy Commission of Malaysia, 2012
Gambar 2.10. Pemasok Batubara untuk Pembangkit Listrik
Malaysia
Dalam rencana jangka panjangnya, Malaysia akan melanjutkan
penggunaan gas dan batubara dalam suplai sumber energi
pembangkit listriknya. Beberapa kebijakan Malaysia tentang gas
dan batubara ke depan untuk menjaga ketahanan nasional pasokan
energi antara lain: a) mengkaji perjanjian pasokan gas, untuk
meningkatkan ketahanan suplai energi; b) meningkatkan pasokan
melalui terminal regasifikasi, terutama di Melaka dan Johor; c)
diversifikasi negara pemasok batubara untuk menjaga ketahanan
pasokan energi; d) menjajaki kemungkinan kepemilikan tambang di
negara-negara pemasok; dan e) peningkatan teknologi untuk
mengurangi emisi.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 15
2.2. Kebijakan Energi di Indonesia
2.2.1 Kebijakan Bauran Energi
Dalam menghadapi ancaman krisis energi, pemerintah Indonesia
sendiri telah mengantisipasi dengan merumuskan kebijakan energi
nasional yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.5 Tahun
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi strategi untuk
menjamin keamanan energi di Indonesia. Inti kebijakan tersebut
ialah mendesain bauran energi di tahun 2025 dengan mengurangi
konsumsi energi fosil dan menggantinya dengan energi baru
terbarukan.
* BaU = Business as Usual
** EBT = Energi Baru Terbarukan :
1. Bahan Bakar Nabati/Biofuel (5%)
2. Panas Bumi (5%)
3. Biomasa, Buklir, Air, Surya, Angin (5%)
4. Batubara yang dicairkan (2%)
Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (PEN), 2006
Gambar 2.11. Sasaran Bauran Energi Primer Nasional 2025
16 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Disamping itu, kebijakan lain yang telah disiapkan oleh pemerintah
yakni UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi yang bertujuan untuk
mewujudkan kemandirian energi. UU ini juga menjadi landasan
berdirinya lembaga Dewan Energi Nasional (DEN) yang bertugas
dalam merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional.
Kemudian ada juga PP No.70 Tahun 2009 tentang Konservasi
Energi, UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang
didalamnya juga telah mendorong pengembangan sumber energi
terbarukan sebagai penghasil listrik serta Blue Print Pengelolan
Energi Nasional 2006-2025.
Secara umum, kebijakan bauran energi yang akan dilaksanakan oleh
Indonesia dapat dilihat pada gambar 2.11. Sasaran bauran energi
primer dibuat dalam dua skenario yakni skenario konservatif
(Business as Usual) serta skenario optimalisasi pengelolaan energi
sesuai dengan Perpres Nomor 5 Tahun 2006 yang mengoptimalkan
sumber energi terbarukan.
Berdasarkan sasaran bauran energi primer nasional, pada 2025
harus ada perubahan energi mix yang pada saat ini masih
didominasi minyak bumi.Pada 2005 minyak bumi masih 54,78%,
batubara 16,77%, gas 22,24% dan energi baru terbarukan
6,2%.Namun pada 2025 energi mix untuk minyak bumi menjadi
20%, gas bumi 30%, batubara 33% dan energi baru terbarukan
sebesar 17%.
2.2.2. Pasokan dan Kebutuhan Energi
Selama bertahun-tahun, Indonesia menggunakan berbagai jenis
pasokan energi mulai dari minyak, gas, batubara, hingga panas
bumi. Akan tetapi, ketergantungan Indonesia terhadap energi
minyak sangat besar, yaitu 46 persen dari total pasokan energi
Indonesia. Persentase tersebut sudah lebih rendah dibandingkan
beberapa tahun terakhir dimana minyak menguasai lebih dari 50%
total pasokan energi Indonesia. Dari Gambar 2.12, dapat dilihat
bahwa walaupun persentasenya semakin berkurang sejak tahun
2000, yaitu 59,64% menjadi 46,77% pada tahun 2010, namun
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 17
minyak tetap menjadi sumber energi utama di Indonesia. Dari
gambar 2.12 juga dapat dilihat bahwa terjadi bauran energi yang
semakin merata secara perlahan, dimana suplai gas dan batubara
cenderung meningkat. Pada tahun 2000, suplai energi batubara
hanya sekitar 12,91% dari total suplai energi, yang pada tahun
2010, jumlahnya naik hampir dua kali lipat sehingga mencapai
23,91% dari total suplai energi Indonesia. Hal yang sama juga terjadi
pada energi gas, walaupun pertumbuhannya tidak terlalu signifikan
dibandingkan batubara, dimana pada tahun 2010 suplai gas
mencapai 24,29% dari suplai energi Indonesia. Persentase tersebut
naik dibandingkan tahun 2000 ketika suplai energi gas mencapai
22,6% dari suplai energi Indonesia.
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, 2011
Gambar 2.12. Pasokan Energi di Indonesia Menurut Jenis
(2000-2010)
Bila dilihat secara rata-rata kontribusi suplai energi pada periode
tahun 2000 hingga 2010, maka energi minyak merupakan energi
utama dimana kontribusinya rata-rata mencapai 58% dari total
pasokan energi. Konstribusi energi minyak tersebut jauh di atas
rata-rata pasokan energi batubara maupun energi gas yang
persentase masing-masing sebesar 21% dan 24% pada periode yang
sama. Salah satu sebab mengapa minyak masih mendominasi
suplai energi di Indonesia adalah kebijakan subsidi minyak yang
masih ada hingga hari ini. Besarnya subsidi minyak adalah
sedemikian sehingga harga eceran minyak dalam negeri hanya
setengah dari harga eceran internasionalnya.
18 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Jika dilihat dari konsumsi energi menurut jenisnya, maka energi
dalam bentuk fuel (BBM) merupakan jenis energi yang paling
banyak dikonsumsi, lihat Gambar 2.13. Dari data yang dikeluarkan
oleh Kementrian ESDM dalam Handbook of Energy and Economic
Statistic of Indonesia (2011) diketahui bahwa sejak tahun 2005,
BBM merupakan energi yang paling banyak dikonsumsi oleh
masyarakat Indonesia baik sektor industri, komersial, transportasi,
maupun sektor rumah tangga. Walaupun konsumsi BBM mengalami
penurunan sejak tahun 2005, namun proporsi konsumsi BBM
sangat besar dibandingkan jenis energi lain seperti batu bara dan
energi gas. Pada tahun 2005, 57% dari total konsumsi energi
Indonesia berbentuk BBM. Jumlah persentase konsumsi BBM
berkurang menjadi 46% pada tahun 2010. Sedangkan untuk jenis
energi gas, walaupun sempat mencapai 18% dari total konsumsi
energi pada tahun 2009, namun peningkatan penggunaan energi
gas tidak terlalu signifikan dalam lima tahun terakhir. Dibandingkan
jenis energi lainnya, jenis energi batu bara merupakan jenis energi
yang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun
2005, konsumsi energi batu bara hanya 11% dari total konsumsi
energi di Indonesia, namun pada tahun 2010, persentase
penggunaan energi batu baru meningkat menjadi 17%.
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, 2011
Gambar 2.13. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Jenis
(2005-2010)
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 19
Selama ini sektor industri dan sektor transportasi merupakan dua
sektor yang paling lahap energi, lihat Gambar 2.14. Pada tahun
2004, sektor industri menggunakan 39,9% dari total konsumsi
energi di Indonesia. Jumlah tersebut terus meningkat hingga tahun
2011 sektor industri menggunakan sekitar 47% dari total konsumsi
energi Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada sektor
transportasi yang terus mengalami peningkatan secara persentase
dalam penggunaan energi di Indonesia. Pada tahun 2010, sektor
transportasi menggunakan 36% dari total konsumsi energi di
Indonesia, meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 33%.
Berbeda dengan sektor industri maupun sektor transportasi yang
mengalami peningkatan dalam persentase penggunaan energi di
Indonesia, sektor rumah tangga justru mengalami penurunan dalam
persentase total penggunaan energi di Indonesia. Pada tahun 2004,
16,76% dari total konsumsi energi di Indonesia digunakan untuk
sektor rumah tangga. Namun persentase tersebut semakin
berkurang hingga tahun 2010 ketika persentase konsumsi energi di
Indonesia untuk sektor rumah tangga hanya 11,51%.
Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, 2011
Gambar 2.14. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Sektor
(2004-2010)
20 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
2.3. Kendala dalam Pemenuhan Kebutuhan Energi bagi Industri
di Indonesia
Secara umum, sektor industri khususnya industri yang relatif
banyak menggunakan energi hingga saat ini masih merasa kesulitan
untuk mendapatkan energi yang murah, efisien atau ramah
lingkungan. Hal ini dikarenakan pasokan energi yang ada harus
diperoleh dengan biaya yang relatif tinggi, dan untuk
mendapatkannya pun masih relatif sulit. Jika industri menggunakan
sumber energi yang murah misalnya batubara, maka
konsekuensinya industri tersebut akan dianggap sebagai industri
yang tidak ramah lingkungan karena menghadapi masalah
pelestarian lingkungan yang tertuang dalam peraturan-peraturan
tentang lingkungan hidup (UU Lingkungan Hidup).
Lebih lanjut, permasalahan energi gas di Indonesia antara lain
terkait dengan pasokan untuk domestik yang minim; sistem
distribusi gas yang kurang memadai; infrastruktur (pipa gas) yang
belum tersebar ke seluruh pelosok konsumen, dan belum
berkembangnya receiving terminal gas berbentuk cair (liquified
natural gas, LNG). Selama ini pemerintah lebih banyak mengekspor
gas alam ke luar negeri, baik melalui pipa maupun LNG, sehingga
kebutuhan gas dalam negeri belum terpenuhi secara maksimal.
Secara spesifik berikut kendala-kendala aktual yang dihadapi oleh
sektor industri dalam aksesibilitasnya terhadap kebutuhan energi:
a. Kesulitan memperoleh energi gas disebabkan
kuranglengkapnya prasarana pendistribusian gas bumi.
Perkiraan yang agak kasar, energi gas dikonsumsi dalam
negeri saat ini baru memenuhi sekitar 50-60% dari
kebutuhan akan energi gas dalam negeri. Defisit gas bumi
juga disebabkan tingginya ekspor gas yang mencapai lebih
dari 50 persen dari total produksi gas bumi.
b. Terbatasnya infrastruktur pendistribusian gas bumi seperti
jaringan transmisi gas bumi yang baru sepanjang 2.150 Km
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 21
dan jaringan distribusi sepanjang 3.900 Km. Distribusi gas
bumi hanya dapat menggunakan pipa atau bentuk LNG,
padahal lokasi konsumen gas bumi tidak selalu berdekatan
dengan sumber gas buminya.
c. Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi dengan
lokasi industri, misalnya sumber gas bumi yang melimpah
tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua namun lokasi
industri terpusat di pulau Jawa. Demikian pula energi
batubara yang melimpah di Sumatera dan Kalimantan,
sementara konsumennya sebagian besar terpusat di pulau
Jawa.
d. Masih rendahnya pemanfaatan batubara untuk kebutuhan
domestik sedangkan sebagian besar (70 persen) dari
produksi batubara dipasarkan ke luar negeri. Salah satu
penyebabnya juga karena keterbatasan infrastruktur dalam
hal distribusi. Disamping itu, isu lingkungan juga menjadi
hambatan bagi industri dalam memanfaatkan sumber energi
batubara, yakni dengan adanya UU Lingkungan Hidup.
e. Diversifikasi energi terutama energi terbarukan masih sulit
dilakukan karena selain biaya yang dikeluarkan jauh lebih
mahal, infrastruktur yang dibutuhkan juga masih belum
memadai.
f. Issu lain terkait dengan pengembangan energi terbarukan
adalah mahalnya harga energi terbarukan bila dibandingkan
dengan harga BBM subsidi, sehingga konsumen cenderung
tetap memilih membeli sumber energi yang lebih murah.
g. Belum selesainya penyusunan Kebijakan Energi Nasional
(KEN) yang akan dijadikan sebagai acuan.
22 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder
dan data primer. Data sekunder adalah statistik industri nasional
dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian RI, dan
data dari asosiasi industri terpilih. Data sekunder digunakan untuk
menyusun pemetaan awal yang menggambarkan konfigurasi sektor
industri yang dikaji secara umum. Sedangkan data primer
digunakan untuk mengetahui karakteristik kebutuhan energi dan
pemanfaatan energi sektor industri, khususnya 7 kelompok industri
terpilih yang padat energi, sebagai tujuan utama kajian ini. Data
primer diperoleh dari wawancara mendalam langsung ke beberapa
pelaku industri dan asosiasi industri.
3.1.1. Wawancara
Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung
kepada beberapa pelaku industri/perusahaan dan asosiasi industri,
menggunakan kuesioner sebagai panduan agar wawancara dapat
lebih fokus pada inti kajian. Poin pokok yang digali secara
mendalam adalah mengenai besarnya kebutuhan energi, akses
terhadap energi, proporsi biaya energi dalam proses produksi,
tingkat efisiensi penggunaan energi, intensitas penggunaan energi
pada industri yang bersangkutan, dan lain-lain aspek yang
berkaitan.
24 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
3.1.2. Focus Group Discussion
Focus Group Discussion (FGD) dalam kajian ini ditujukan untuk
mendapatkan konfirmasi dan masukan dari para pelaku industri
terpilih dan para ahli agar kajian dapat menggambarkan realitas
yang ada di industri. Selain para pelaku dan pengurus asosiasi
industri, FGD juga melibatkan para ekonom, akademisi, serta
birokrat dari berbagai instansi terkait.
3.2. Metode Analisis
Metode analisis kebutuhan energi sektor industri ini secara umum
dibagi menjadi 2. Pertama, untuk analisis kebutuhan energi 9
subsektor industri digunakan analisis trend, di mana basis datanya
bersumber dari data konsumsi energi pada Industri Besar-Sedang
(IBS) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada
analisis kebutuhan energi 9 subsektor industri ini proyeksi
kebutuhan energi ke depan mengacu pada target pertumbuhan
masing-masing subsektor industri yang tertuang di dalam Rencana
Strategis (Renstra) Kementerian Perindustrian.
Kedua, untuk analisis 7 sektor industri terpilih yang padat energi,
analisis kebutuhan energi dilakukan dengan metode deterministik.
Artinya, output suatu industri diproyeksikan pada tahun depan
dengan menggunakan 3 skenario, yang kemudian dilakukan analisis
proporsionalitas kebutuhan energinya, dengan asumsi intensitas
energi konstan. Setelah mengetahui kebutuhan energi di 7 sektor
industri terpilih yang padat energi pada tahun peramalan,
kemudian proyeksi tersebut dikurangkan dengan ketersediaan
energi di industri masing-masing pada tahun 2009. Hasilnya adalah
kekurangan energi pada tahun peramalan terhadap tahun 2009,
yang mencerminkan berapa besar kekurangan energi industri ke
depan.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 25
Kebutuhan energi pada beberapa industri terpilih ke depan
diproyeksi berdasarkan skenario trend pertumbuhan produksi, di
mana skenario dibagi menjadi 3, yaitu: a) skenario Business as Usual
(BaU); b) skenario akselerasi; dan c) skenario akselerasi disertai
efisiensi.
3.3. Asumsi
Asumsi yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi pada 7
industri terpilih yang padat energi di masing-masing skenario, ada
yang sama, ada pula yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh
karakteristik industri dan sumber energi yang berbeda-beda
sehingga sulit untuk disamaratakan.
Namun demikian, pada skenario efisiensi atau penghematan,
digunakan asumsi patokan harga energi yang sama, yaitu harga
energi BBM sebesar 1,11 US$/liter, dengan acuan menggunakan
harga solar industri 20121; batubara sebesar 65 US$/Ton, dengan
acuan menggunakan harga batubara bulan Oktober 2012 pada
kandungan kalori 5.100 kkal/kg atau batubara kategori kalori
sedang2; serta gas bumi sebesar 10,2 US$/MMBTU, dengan acuan
harga gas alam yang akan mulai berlaku bulan April 2013
mendatang3.
Kebutuhan energi pada 7 sektor industri terpilih yang padat energi
dihitung dengan menggunakan 3 skenario yaitu: a) skenario
Business as Usual (BaU); b) skenario akselerasi, dan c) skenario
akselerasi disertai efisiensi. Skenario BaU adalah suatu skenario di
mana pemerintah tidak melakukan suatu intervensi baru di luar
yang sudah direncanakan sehingga dunia usaha melakukan kegiatan
usaha seperti lazimnya dengan peningkatan kegiatan yang alamiah
mengikuti permintaan. Meskipun demikian skenario BaU bisa tetap
bervariasi jika terjadi pengaruh luar yang cukup dominan seperti
1 Tambangnews, 2012 dalam www.tambangnews.com
2 Kementerian ESDM, 2012 dalam www.djmbp.esdm.go.id/sijh/HBA
3 Kementerian ESDM, 2012 dalamwww.esdm.go.id/berita/migas
26 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
resesi perekonomian dunia atau bencana alam sehingga impor
menurun.
Skenario akselerasi adalah suatu keadaan dimana industri tersebut
dipacu peningkatan produksinya guna memenuhi suatu target
tertentu. Target tersebut bisa berupa tingkat pertumbuhan
produksi, tingkat pemenuhan suatu pasar atau penguasaan pasar,
atau ada tujuan nasional yang ingin dicapai seperti swasembada
produk industri tertentu.
Skenario akselerasi disertai efisiensi adalah suatu skenario
akselerasi sebagaimana diuraikan diatas yang pada waktu
bersamaan dilakukan upaya-upaya penghematan penggunaan
energi atau efisiensi energi. Efisiensi energi diberi arti yang relatif
luas, yaitu upaya peningkatan produktivitas mesin industri sehingga
menggunakan energi yang lebih sedikit pada tingkat produksi tetap,
atau menggunakan energi lain (energi alternatif) yang harganya
relatif lebih murah dan lebih ramah lingkungan.
Berikut asumsi yang digunakan dalam menghitung kebutuhan
energi untuk masing-masing industri padat energi.
3.3.1. Industri Baja
Dalam perhitungan kebutuhan energi untuk industri baja asumsi
yang digunakan untuk masing-masing skenario adalah sebagai
berikut:
a. Skenario Business as Usual (BaU)
Dalam skenario BaU, kapasitas produksi baja hingga tahun
2025 tumbuh sebesar rata-rata pertumbuhan per tahun
selama sepuluh tahun terakhir periode 2002-2011, yaitu
sebesar 7,7 persen per tahun (Worldsteel Association, 2012).
Intensitas energi pada industri baja di Indonesia sebesar 900
kWh per Ton4. Artinya, untuk menghasilkan 1 Ton baja di
Indonesia membutuhkan energi sebesar 900 kWh. Angka
4 Berdasarkan hasil FGD dengan pelaku industri pada 4 Mei 2012.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 27
intensitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan India sebesar
600 kWh per Ton dan Jepang sebesar 350 kWh per Ton, yang
menunjukkan bahwa penggunaan energi untuk pembuatan
baja di Indonesia belum seefisien kedua negara tersebut5.
Proporsi komposisi jenis energi yang digunakan di industri
baja tetap, sesuai dengan kondisi konsumsi energi pada
2009, yaitu BBM 25 persen, batubara 3 persen, gas alam 7
persen, listrik 65 persen (BPS, 2009).
b. Skenario Akselerasi
Mengingat porsi impor yang masih besar dalam konsumsi
baja nasional (sekitar 52 persen), maka skenario akselerasi
ini mengasumsikan Indonesia berusaha mencukupi seluruh
kebutuhan konsumsi baja domestik dari produksi dalam
negeri (swasembada baja) maksimal dapat dicapai pada
2025.
Berdasarkan data sekunder, diketahui bahwa hingga 2015
yang akan datang sudah ada rencana di Indonesia akan
dibangun beberapa pabrik baja baru dan ada ekspansi pabrik
baja yang sudah berdiri. Berikut rencana pendirian pabrik
baja tersebut, lihat Tabel 3.1:
Mengingat sampai dengan 2015 sudah ada rencana
peningkatan kapasitas produksi baja, maka proyeksi
kebutuhan energi industri baja skenario akselerasi ini dimulai
setelah 2015.
5 Dalam hal efisiensi, teknologi dan jenis bahan baku yang digunakan industri baja sangat
menentukan, di mana Indonesia cenderung menggunakan sponge iron, India menggunakan
blast furcane/baja tanur tinggi, dan Jepang menggunakan scrap/besi tua (Hasil Rakor, 28
November 2012).
28 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
Tabel 3.1. Rencana Penambahan Kapasitas Produksi Baja
Nasional
No Perusahaan Kapasitas Produksi
(Ton per Tahun)
Rencana
Beroperasi
1 PT Indoferro 500.000 2012
2 PT Delta Prima Steel 100.000 2012
3 PT Meratus Jaya Iron and Steel 315.000 2014
4 PT Krakatau Posco 3.000.000 2014
5 PT Sebuku Lateritic Iron and Steel 1.000.000 2014
6 PT Jogja Magasa Iron 1.000.000 2015
Sumber: Antara/Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), 2012
Untuk periode 2012-2015 diasumsikan seluruh (100 persen)
kapasitas produksi pabrik baja yang baru dibangun
sebagaimana disebut pada Tabel 3.1. langsung dapat dipakai
pada tahun mulai beroperasi.
Pertumbuhan konsumsi baja nasional sebesar 9,0 persen,
merupakan rata-rata pertumbuhan konsumsi baja 10 tahun
terakhir (Worldsteel Association, 2012).
Intensitas energi industri baja di Indonesia sebesar 900 kWh
per Ton.
c. Skenario Akselerasi Disertai Efisiensi
Diasumsikan terjadi penurunan intensitas energi, dari 900
kWh per Ton baja menjadi 600 kWh per Ton baja, intensitas
energi industri baja di India digunakan sebagai benchmark.
Terjadi pergeseran proporsi penggunaan sumber
energi/konversi:
o Penggunaan BBM yang saat ini masih 25 persen secara
bertahap berkurang 1,5 persen per tahun, sehingga
pada 2025 proporsi penggunaan BBM tinggal 5,5
persen.
o Penggunaan batubara yang saat ini sebesar 3 persen
secara bertahap meningkat 1 persen per tahun,
sehingga pada 2025 proporsi penggunaan batubara
menjadi 16 persen.
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 29
o Penggunaan gas alam yang saat ini sebesar 7 persen
secara bertahap meningkat 0,5 persen per tahun,
sehingga pada 2025 proporsi penggunaan gas alam
menjadi 13,5 persen.
o Proporsi penggunaan energi listrik diasumsikan tetap
sebesar 65 persen hingga 2025.
3.3.2. Industri Tekstil
a. Skenario Business as Usual
Diasumsikan produksi tekstil tumbuh sebesar rata-rata
pertumbuhan lima tahun terakhir periode 2006-2011, di
mana pemintalan (spinning) tumbuh 7,5 persen dan
penenunan (weaving) 6,9 persen.
Mengingat penggunaan energi pada proses produksi tekstil
cukup beragam dan sangat tergantung dari jenis produk yang
dibuat, maka perhitungan energi dibatasi untuk kegiatan
pemintalan dan penenunan. Dominasi produksi dari hasil
pemintalan dan penenunan saat ini sekitar 70 persen dalam
industri tekstil nasional.
Intensitas energi untuk kegiatan pemintalan sebesar 9,59
gigajoule per Ton atau 2.664 kWh per Ton, sementara
penenunan sebesar 33 gigajoule per ton atau 9.167 kWh per
Ton (Ditjen EBTKE, KESDM, 2011).
b. Skenario Akselerasi
Dari total konsumsi kain domestik, sebesar 39 persen masih
berasal dari impor. Sementara untuk konsumsi benang
domestik sebagian besar sudah tercukupi dari produksi
nasional, namun masih ada sekitar 13 persen berasal dari
impor. Oleh karena itu, skenario akselerasi ini
mengasumsikan Indonesia dapat mencukupi seluruh
kebutuhan konsumsi kain dan benang domestik dari produksi
30 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
dalam negeri (swasembada) yang ditargetkan tercapai pada
2025.
Pertumbuhan konsumsi kain dan benang domestik
diasumsikan sebesar 17 persen per tahun, merupakan rata-
rata pertumbuhan konsumsi 4 tahun terakhir periode 2007-
2010, dalam satuan mata uang (Kementerian Perindustrian,
2011).
Intensitas energi untuk kegiatan pemintalan sebesar 9,59
gigajoule per Ton (2.664 kWh per Ton), sementara
penenunan sebesar 33 gigajoule per ton (9.167 kWh per Ton)
[Ditjen EBTKE-Kementerian ESDM, 2011].
c. Skenario Akselerasi Disertai Efisiensi
Salah satu isu utama dalam industri tekstil adalah cukup
tuanya mesin-mesin produksi yang digunakan sehingga
penggunaan energinya relatif boros. Pada skenario ini
diasumsikan dilakukan restrukturisasi permesinan, sehingga
konsumsi energi mesin lebih efisien. Berdasarkan hasil
evaluasi restrukturisasi permesinan yang dilakukan
Kementerian Perindustrian periode 2007-2009 (lihat
Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri
Manufaktur No.01/BIM/PER/1/2011), setelah program
restrukturisasi permesinan terjadi peningkatan efisiensi
pengggunaan energi antara 6-18 persen, atau rata-rata
efisiensi energi meningkat sebesar 12 persen.
Intensitas energi untuk kegiatan pemintalan sebesar 9,59
gigajoule per Ton (2.664 kWh per Ton), sementara
penenunan sebesar 33 gigajoule per ton (9.167 kWh per Ton)
[Ditjen EBTKE-Kementerian ESDM, 2011].
Terjadi pergeseran proporsi penggunaan sumber
energi/konversi:
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 31
o Penggunaan BBM yang saat ini masih 5 persen secara
bertahap proporsi berkurang 0,4 persen per tahun,
sehingga pada 2025 tidak lagi menggunakan BBM.
o Penggunaan batubara yang saat ini sebesar 15 persen
secara bertahap proporsinya meningkat 0,4 persen per
tahun, sehingga pada 2025 proporsinya menjadi 20
persen.
o Proporsi penggunaan gas alam tetap sebesar 10 persen
hingga 2025.
o Proporsi penggunaan energi listrik tetap sebesar 70
persen hingga 2025.
3.3.3. Industri Pupuk
Dalam perhitungan kebutuhan energi untuk industri pupuk asumsi
yang digunakan untuk masing-masing skenario adalah sebagai
berikut:
a. Karakteristik Sektoral
Menurut penuturan Perwakilan Asosiasi Industri Pupuk
Nasional dalam FGD terkait kebutuhan energi sektor industri,
pabrik pupuk minimal membutuhkan input gas senilai 80
persen dari total input. Jika input gas kurang dari 80 persen
maka pabrik pupuk tidak dapat berproduksi.
Produksi pupuk di Indonesia dikuasai oleh perusahaan-
perusahaan milik negara (BUMN). Ada lima pemain besar
dalam industri pupuk nasional, yaitu PT Pupuk Iskandar
Muda (PIM), PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), PT Pupuk Kujang
(PK), PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), dan PT Pupuk Gresik
(PG) dimana kelima perusahaan tersebut adalah perusahaan
BUMN6. Kelima perusahaan ini menguasai sebagian besar
pangsa pasar pupuk di Indonesia, sedangkan perusahaan-
6 Kebijakan Rightsizing terhadap BUMN yang dilakukan Pemerintah pada 1997 membuat
5 perusahaan pupuk menjadi 1 holding company menjadi PT Pusri (Holding). Sebagai
informasi tambahan silahkan dilihat: www.bumn.go.id/wp.../03200701.pdf
32 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
perusahaan pupuk swasta hanya pemain kecil dari industri
pupuk. Oleh karena itu, batas penelitian dalam analisis ini
menggunakan data yang bersumber dari kelima perusahaan
BUMN tersebut.
Dua produk utama pada industri pupuk adalah produk pupuk
dan nonpupuk. Produk pupuk rata-rata menyumbang sekitar
65 persen dari total output, sedangkan sisanya sebanyak 35
persen adalah produk nonpupuk, lihat Tabel 3.2.
Tabel 3.2. Realisasi Produksi Pupuk dan Non-Pupuk
PT Pusri (Holding) 2005-2010 (dalam juta ton)
Tahun Total Pupuk Total Non-
Pupuk Total Produksi
1996 7,17 5,37 12,54
1997 6,92 5,29 12,21
1998 6,42 5,03 11,45
1999 7,05 5,15 12,20
2000 6,79 5,07 11,86
2001 6,32 4,47 10,79
2002 6,48 4,47 10,95
2003 6,74 4,85 11,59
2004 7,22 5,34 12,55
2005 7,66 5,29 12,95
2006 7,44 5,26 12,70
2007 7,95 5,29 13,24
2008 8,72 5,57 14,29
2009 10,51 5,92 16,43
2010 10,31 6,01 16,32
Rata-rata
Pertumbuhan 2,9% 1,0% 2,1%
Sumber: Laporan Tahunan 2005, 2008, dan 2010 PT Pusri (Holding)
Produk pupuk yang terbesar adalah urea, sedangkan produk
nonpupuk terbanyak adalah amoniak. Produksi urea dan
amoniak rata-rata menyumbang sekitar 69 persen hingga 80
persen dengan rata-rata sekitar 75 persen sehingga industri
pupuk menggunakan asumsi hanya 2 produk, yaitu urea
(pupuk) dan amoniak (nonpupuk).
Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 33
Sumber : Laporan Tahunan PT Pusri Holding 2005, 2008, dan 2010
Gambar 3.1. Rata-rata Rasio Total Produksi Urea dan Amoniak
terhadap Total Produksi Industri Pupuk Periode 2003-2010
Jenis energi terbesar dan utama yang dibutuhkan pada
industri pupuk adalah gas alam, yang sebagian besar
digunakan untuk bahan baku. Di sisi lain, kebutuhan energi
untuk bahan bakar seperti solar, batubara, dan gas alam
tidak terlalu signifikan bagi industri pupuk karena hanya
menyumbang sekitar 3,1 persen dari total input energi yang
dibutuhkan untuk industri pupuk. Oleh karena itu, penelitian
pada industri pupuk ini menganalisis kebutuhan gas alam
yang digunakan untuk bahan baku dan juga bahan bakar
hingga 2025.
Sumber: Statistik IBS-BPS 2012 dan Laporan Tahunan PT Pusri (Holding) 2009 (diolah)
Gambar 3.2. Komposisi Kebutuhan Energi Industri Pupuk 2009
(persen)
34 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi
b. Skenario Business as Usual
Skenario Business as Usual di sini adalah ketika kondisi
industri pupuk tidak mengalami perubahan secara signifikan
atau fundamental. Skenario ini disusun berdasarkan tren
yang berlaku di tahun-tahun sebelumnya, kemudian ditarik
rata-ratanya untuk dijadikan acuan memprediksi kondisi
industri pupuk di masa depan.
Dalam memprediksi konsumsi energi yang dibutuhkan oleh
industri pupuk, proyeksi kali ini menggunakan urea dan
amoniak sebagai sampelnya. Hal ini dikarenakan urea dan