Transcript
  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | i

    Kata Pengantar

    Kebutuhan energi akan semakin meningkat seiring adanya

    pembangunan berbagai industri sesuai dengan amanah Perpres 28

    Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional. Hingga saat ini

    sektor industri merupakan sektor yang mendominasi konsumsi

    energi di Indonesia. Oleh karena itu, ketersediaan energi yang

    memadai akan menentukan keberhasilan dalam pengembangan

    industri nasional ke depan.

    Kajian Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam

    Rangka Akselerasi Industrialisasi ini disusun dalam rangka

    menganalisis tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor

    industri yang relatif padat energi di Indonesia dan mengidentifikasi

    permasalahannya.

    Kami ucapkan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak

    yang telah membantu dalam penyusunan kajian ini, khususnya Tim

    INDEF (Institute for Development of Economics and Finance): Prof.

    Dr. Didik J. Rachbini, Prof. Dr. Bustanul Arifin, Prof. Dr. Ahmad Erani

    Yustika, Dr. Enny Sri Hartati, Eko Listiyanto, MSE., Ahmad Heri

    Firdaus, M.Si., Abra P.G. Talattov, SE. Imaduddin Abdullah, S.Sos.,

    Dzulfian Safian, SE.; serta asosiasi industri: Asosiasi Pertekstilan

    Indonesia (API), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Asosiasi

    Semen Indonesia (ASI), Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI),

    Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Indonesian Iron

    and Steel Industry Association (IISIA), Gabungan Pengusaha Kelapa

    Sawit Indonesia (GAPKI), Forum Industri Pengguna Gas Bumi

    (FIPGB).

  • ii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Akhirnya kami berharap kajian ini dapat memberi kontribusi bagi

    pengembangan sektor industri dan energi di masa mendatang.

    Jakarta, Desember 2012

    Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal

    Kementerian Perindustrian

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | iii

    Ringkasan Eksekutif

    Kajian Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri

    Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Sektor industri hingga saat ini merupakan sektor yang mendominasi

    konsumsi energi di Indonesia, di mana porsinya mencapai 49,4 persen

    dari total konsumsi energi nasional (Kementerian ESDM, 2012). Dalam

    sektor industri itu sendiri, terdapat beberapa industri yang dinilai paling

    padat menggunakan energi, baik yang digunakan sebagai bahan bakar

    ataupun yang digunakan sebagai bahan baku. Diantaranya adalah industri

    baja, industri semen, industri pupuk, industri keramik, industri pulp dan

    kertas, industri tekstil dan industri pengolahan kelapa sawit. Jika

    dibandingkan dengan faktor input yang lain, biaya energi pada tujuh (7)

    industri tersebut bahkan lebih besar dari biaya tenaga kerja, serta

    menempati peringkat kedua setelah biaya bahan baku. Oleh karena itu,

    dalam mengalisis kebutuhan energi pada sektor industri, selain akan

    dianalisis kebutuhan energi pada masing-masing sub sektor industri (9

    sektor), juga penting dilakukan analisis secara mendalam kebutuhan

    energi pada 7 industri terpilih tersebut.

    Secara lebih spesifik, Kajian Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor

    Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi ini bertujuan untuk: 1)

    menganalisis tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor industri

    yang lahap energi di Indonesia; 2) mengidentifikasi permasalahan energi

    yang dihadapi; 3) memproyeksi kebutuhan energi sektor industri; serta 4)

    menyusun rekomendasi kebijakan perencanaan kebutuhan energi di

    sektor industri ke depan.

    Terkait tujuan pertama, hasil analisis menunjukkan bahwa pada 2012

    dari 7 industri yang menjadi fokus kajian, industri pupuk merupakan sub

    sektor industri yang paling padat menggunakan energi. Diikuti dengan

  • iv | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    industri pulp dan kertas, industri tekstil, industri semen, industri baja,

    industri keramik, dan industri pengolahan kelapa sawit. Jika skenario

    akselerasi dan akselerasi disertai efisiensi dapat dilakukan maka pada

    2025 industri pupuk tetap menjadi pengkonsumsi energi terbesar, namun

    urutan kedua ditempati industri tekstil dan ketiga industri pulp dan

    kertas, untuk peringkat keempat industri lain urutannya tetap. Industri

    pupuk menjadi pengguna energi yang terbesar karena lebih banyak

    menggunakan gas sebagai bahan baku. Sementara Industri pengolahan

    kelapa sawit menjadi pengguna energi terkecil karena sebagian besar

    energi yang dibutuhkan dipenuhi dari biomassa.

    Dari sekian banyak bahan bakar energi yang digunakan oleh industri-

    industri tersebut, BBM (solar), listrik dan batubara merupakan jenis

    bahan bakar yang paling banyak digunakan. Namun, belakangan gas telah

    menjadi jenis bahan bakar yang semakin banyak digunakan oleh industri.

    Tetapi dalam mendapatkan gas tersebut, industri masih menghadapi

    berbagai kendala dalam mengakses bahan bakar gas tersebut.

    Tujuan kedua yaitu mengidentifikasi permasalahan energi yang dihadapi

    oleh sektor industri. Terdapat sejumlah masalah utama yang dihadapi

    sektor industri terkait dengan akses mereka terhadap energi, antara lain:

    1) Kesulitan memperoleh gas karena terjadi defisit pasokan gas untuk

    kebutuhan industri dalam negeri, sementara di sisi lain sebagian produksi

    gas justru ditujukan untuk ekspor. 2) Terbatasnya infrastruktur energi,

    seperti jaringan transmisi gas bumi yang masih minim. 3) Ketidaksesuaian

    antara persebaran sumber energi dengan lokasi industri, misalnya

    sumber gas bumi yang melimpah di Kalimantan dan Sumatera namun

    lokasi industri terpusat di pulau Jawa. 4) Masih rendahnya pemanfaatan

    batubara untuk kebutuhan domestik sedangkan sebagian besar (70

    persen) dari produksi batubara dipasarkan ke luar negeri. 5) Diversifikasi

    energi terutama energi terbarukan masih sulit dilakukan karena selain

    biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal, infrastruktur yang dibutuhkan

    juga masih belum memadai.

    Tujuan ketiga, memproyeksi kebutuhan energi sektor industri. Pada

    tujuan ketiga ini analisis dibagi dua, yaitu kebutuhan energi pada 9

    subsektor industri dan kebutuhan energi 7 industri terpilih yang relatif

    padat energi. Pada proyeksi 9 subsektor industri diperoleh hasil bahwa di

    tahun 2025 kebutuhan energi yang paling besar terdapat pada industri

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | v

    makanan, minuman dan tembakau, sebesar 72.210 gWh atau sekitar 26,6

    persen dari total kebutuhan energi untuk industri. Saat ini, industri

    makanan, minuman dan tembakau belum menjadi industri yang paling

    banyak membutuhkan energi, namun dikarenakan industri ini

    diproyeksikan akan menjadi salah satu industri yang tumbuh paling pesat,

    maka menimbulkan konsekuensi bahwa pertumbuhan permintaan

    energinya pun turut meningkat pesat pula. Selain itu, jumlah perusahaan

    di industri ini merupakan yang paling banyak bila dibandingkan dengan

    jumlah perusahaan di industri lainnya.

    Selanjutnya, di urutan kedua industri pupuk, kimia dan barang dari karet

    yang kebutuhan konsumsi energi pada 2025 mencapai 60.232 gWh atau

    sekitar 22,0 persen dari total kebutuhan energi untuk industri. Di tempat

    ketiga industri semen dan barang galian bukan logam yang

    membutuhkan energi sebesar 41.732 gWh (15,35 persen). Urutan

    keempat industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki yang

    diproyeksikan akan membutuhkan energi sebesar 36.050 gWh (13,0

    persen). Urutan kelima, industri alat angkutan, mesin dan peralatannya

    sebesar 18.491 gWh (6,8 persen). Keenam, industri logam dasar besi dan

    baja yang membutuhkan energi sebesar 14.431 gWh (5,3 persen).

    Ketujuh, industri kertas dan barang cetakan 10.212 gWh (3,8 persen).

    Terakhir, industri barang kayu dan hasil hutan yang diperkirakan

    mengkonsumsi energi dengan jumlah yang paling sedikit, sebesar 2.732

    gWh atau sekitar 1,0 persen dari total kebutuhan energi untuk industri.

    Pada proyeksi kebutuhan energi 7 industri terpilih yang relatif padat

    energi dihitung dengan menggunakan 3 skenario; skenario Business as

    Usual (BAU), skenario akselerasi, dan skenario akselerasi disertai efisiensi.

    Pendekatan dalam menghitung kebutuhan energi secara sektoral ini lebih

    bersifat mikro, artinya perhitungan mempertimbangkan berbagai

    perkembangan yang terjadi di sektor industri tersebut, seperti

    kemampuan tumbuh (kapasitas, produksi, konsumsi) secara alamiah atau

    tren pertumbuhan industri, rencana pembangunan pabrik baru, tren

    diversifikasi penggunaan sumber energi tertentu pada suatu industri,

    upaya melakukan efisiensi biaya, mengejar target swasembada suatu

    produk, menyamai/menyetarakan konsumsi per kapita dengan negara

    lain, dll. Selain itu pendekatan juga bersifat kasuistik dan ilustratif,

  • vi | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    dengan menampilkan contoh perusahaan tertentu yang memiliki pangsa

    pasar dominan dalam suatu industri.

    Secara ringkas kebutuhan energi untuk industri baja dengan skenario

    Business as Usual (BaU) pada 2025 diperkirakan sebesar 11.626 gWh.

    Dengan skenario akselerasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan baja

    domestik (swasembada baja) diperlukan energi sebesar 29.392 gWh pada

    2025. Skenario akselerasi disertai efisiensi pada industri baja lebih

    menekankan pada kemungkinan diturunkannya intensitas energi pada

    industri baja serta dilakukannya substitusi sumber energi primer. Jika hal

    ini berhasil dilakukan maka pada 2025 dibutuhkan energi sebesar 19.595

    gWh dan penghematan yang berhasil dilakukan sebesar Rp 6,4 triliun.

    Kebutuhan energi utama pada industri tekstil adalah energi listrik.

    Mengingat pasokan listrik PLN ke industri tekstil saat ini baru sekitar 70

    persen maka sisanya sebesar 30 persen menggunakan pembangkit

    sendiri yang membutuhkan minyak, batubara, dan gas. Dihitung dengan

    skenario BaU kebutuhan energi pada industri tekstil pada 2025 sebesar

    50.417 gWh. Dengan skenario akselerasi di mana targetnya mencukupi

    seluruh kebutuhan konsumsi kain dalam negeri, maka pada 2025

    dibutuhkan energi 252.955 gWh. Hal ini mengingat proporsi impor kain di

    Indonesia masih sekitar 39 persen, serta pertumbuhan konsumsi kain

    domestik yang cukup tinggi, sebesar 17 persen per tahun. Kondisi ini

    diikuti dengan tingkat pertumbuhan penduduk 2,3 persen per tahun, dan

    semakin cepatnya perubahan trend fashion. Selanjutnya, pada skenario

    akselerasi disertai efisiensi, salah satu isu utamanya adalah cukup tuanya

    mesin-mesin produksi yang digunakan industri tekstil sehingga

    penggunaan energinya relatif boros. Oleh karena itu, perhitungan

    skenario akselerasi disertai efisiensi selain menekankan pada urgensi

    untuk mencukupi konsumsi kain domestik juga pentingnya efisiensi

    dengan restrukturisasi permesinan dan substitusi energi. Hasil

    perhitungan menunjukkan bahwa kebutuhan energi di industri tekstil

    pada 2025 sebesar 222.600 gWh. Hasil perhitungan penghematan biaya

    yang bisa diperoleh jika skenario akselerasi disertai efisiensi dapat

    dilakukan pada industri tekstil adalah Rp12,8 triliun pada 2025.

    Perhematan tersebut bersumber dari program restrukturisasi

    permesinan yang akan menghemat pemakaian energi dan peningkatan

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | vii

    produktivitas, serta adanya diversifikasi energi untuk pembangkit listrik

    dari BBM ke batubara.

    Secara umum kebutuhan energi utama pada industri pengolahan kelapa

    sawit adalah energi listrik, di mana semakin besar kapasitas produksi dan

    jenis produk olahan, relatif semakin tinggi pula tambahan energi yang

    diperlukan dalam proses produksi. Hasil perhitungan skenario BaU

    menunjukkan bahwa pada 2025 industri pengolahan kelapa sawit

    membutuhkan energi sebesar 594 gWh. Skenario akselerasi dihitung

    dengan asumsi produktivitas kebun kelapa sawit Indonesia setara dengan

    Malaysia. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada 2025 industri

    pengolahan kelapa sawit membutuhkan energi sebesar 832 gWh.

    Sementara itu, skenario akselerasi disertai efisiensi dihitung dengan

    asumsi selain industri CPO mampu melakukan akselerasi juga dapat

    menurunkan intensitas energinya setara world best practice yaitu sebesar

    17 kWh per Ton TBS. Hasil perhitungan dengan skenario ini menunjukkan

    bahwa pada 2025 industri pengolahan kelapa sawit membutuhkan energi

    sebesar 786 gWh.

    Pulp dan kertas ibarat emas hijau bagi pembangunan Indonesia. Dari sisi

    kontribusi terhadap penerimaan negara, sektor industri pulp dan kertas

    telah menyumbang 90 persen dari total penerimaan ekspor kehutanan.

    Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemain utama eksportir

    di bidang kehutanan sejak 1987 (Karseno dan Mulyaningsih dalam Ramli,

    2006). Dengan skenario Business as Usual perkiraan kebutuhan energi

    pada industri pulp dan kertas pada 2025 sebesar 87 ribu gWh. Energi

    tersebut diperoleh dari biomassa yang dapat menghasilkan energi sekitar

    41 ribu gWh. Selain itu, kebutuhan energi juga dipenuhi dari gas

    sebanyak 22 juta MMBTU dan batubara sebanyak 423 ribu ton.

    Saat ini Indonesia berada pada posisi ke 9 dunia sebagai produsen pulp

    dan posisi ke 8 sebagai produsen kertas. Dengan potensi sumber daya

    hutan produksi yang besar, sangat mungkin bagi Indonesia untuk

    melakukan akselerasi pada industri pulp dan kertas guna meningkatkan

    posisi sebagai produsen pulp dan kertas dunia menjadi peringkat ke 5.

    Dengan skenario akselerasi kebutuhan energi pada industri pulp dan

    kertas mencapai 145 ribu gWh. Energi tersebut diperoleh dari biomassa

    setara dengan 72 ribu gWh, gas sebanyak 40 juta MMBTU, dan 742 ribu

    ton batubara. Sedangkan pada skenario akselerasi disertai efisiensi energi

  • viii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    yang dibutuhkan menjadi berkurang, yakni gas sebanyak 34 juta MMBTU

    dan 647 ribu ton batubara. Hasil perhitungan penghematan biaya yang

    bisa diperoleh jika skenario akselerasi disertai efisiensi dapat dilakukan

    pada industri pulp dan kertas adalah Rp14,9 triliun pada 2025.

    Penghematan tersebut sangat mungkin dicapai jika industri pulp dan

    kertas lebih mengoptimalkan pemanfaatan sumber energi dari biomassa

    seperti black liquor, kulit pohon (bark), cpo, sludge, serbuk kayu (saw

    dust), kompos, dan sebagainya.

    Kebutuhan energi industri pupuk sangat dipengaruhi oleh ketersediaan

    gas alam, mengingat konsumsi gas merupakan salah satu indikator

    penting untuk menilai produksi pupuk. Dalam perhitungan kebutuhan

    energi industri pupuk, konsumsi gas alam sebagai bahan bakar saling kait

    mengait dengan konsumsi gas alam sebagai bahan baku. Berdasarkan

    skenario BaU pada 2025 industri pupuk membutuhkan total gas alam

    sebesar 1.314 juta MMBTU yang terdiri dari 1.274 juta MMBTU untuk

    bahan baku dan 39 juta MMBTU untuk bahan bakar atau setara 11.560

    gWh. Sementara dengan skenario akselerasi berupa peningkatan

    kapasitas produksi menjadi 86 persen (pencapaian efisiensi tertinggi

    selama delapan tahun terakhir), pada 2025 industri pupuk membutuhkan

    total gas alam sebesar 1.412 juta MMBTU yang terdiri dari 1.370 juta

    MMBTU untuk bahan baku dan 42 juta MMBTU untuk bahan bakar atau

    setara 12.414 gWh. Dalam skenario akselerasi disertai efisiensi

    diasumsikan kebutuhan energi untuk melakukan akselerasi tersebut

    dipenuhi dari batubara. Pada 2025, industri pupuk membutuhkan total

    gas alam sebesar 1.370 juta MMBTU yang seluruhnya digunakan untuk

    bahan baku, sedangkan untuk bahan bakar dibutuhkan 2,09 juta ton

    batubara setara 12.414 gWh. Substitusi sumber energi primer tersebut

    dapat menghemat biaya energy sekitar Rp2,81 triliun pada 2025.

    Industri semen merupakan industri yang sedang tumbuh subur seiring

    dengan meningkatnya pertumbuhan sektor properti dan pembangunan

    infrastruktur. Dengan skenario BaU kebutuhan energi pada industri

    semen pada 2025 mencapai 23.321 gWh. Energi tersebut dapat diperoleh

    dari 24,9 juta ton batubara dan 23.173 gWh listrik. Sementara dihitung

    dengan skenario akselerasi dan skenario akselerasi disertai efisiensi

    kebutuhan energi pada industri semen mencapai 38.589 gWh. Pada

    skenario akselerasi, jumlah energi tersebut dapat diperoleh dari 46,4 juta

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | ix

    ton batubara dan 38.320 gWh listrik. Sedangkan pada skenario akselerasi

    disertai efisiensi sumber energi dapat dipenuhi dari 23,1 juta ton

    batubara, 493.831 MMBTU gas alam dan 38.320 gWh listrik.

    Penghematan dari alih sumber energi primer ini sebesar Rp1,41 triliun

    pada 2025.

    Permintaan industri keramik saat ini sedang meningkat seiring

    meningkatnya pertumbuhan sektor konstruksi. Industri ini merupakan

    jenis industri yang relatif banyak mengkonsumsi energi, khususnya gas

    alam. Ketersediaan gas sangat menentukan keberlangsungan produksi

    keramik, karena sifat spesifik gas yang tidak bisa digantikan oleh sumber

    energi lain. Hasil proyeksi dengan skenario BaU energi yang dibutuhkan

    pada 2025 mencapai 3.299 gWh. Jumlah energi ini dapat diperoleh dari

    gas alam sebesar 129.624 MMBTU, BBM sebesar 1.053.331 barel dan

    kebutuhan listrik sebesar 1.586,4 gWh. Sementara dengan skenario

    akselerasi, kebutuhan energi industri keramik mencapai 5.479 gWh.

    Jumlah energi ini dapat diperoleh dari gas alam sebesar 179.408 MMBTU,

    BBM sebesar 1.752.607 barel, dan kebutuhan listrik sebesar 2.639,5 gWh.

    Lebih lanjut, jika skenario efisiensi yang disertai akselerasi dapat

    dilakukan maka diperkirakan energi yang dibutuhkan mencapai 5.232

    gWh. Jumlah energi tersebut dapat diperoleh dari gas alam sebesar

    170.437 MMBTU, BBM sebesar 1.664.977 barel dan listrik sebesar 2.508

    gWh.

    Hasil kajian ini merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

    1. Seiring meningkatnya harga BBM maka penggunaan batubara dan gas

    alam sebagai sumber energi alternatif perlu lebih ditingkatkan.

    2. Dalam hal penggunaan batubara, upaya penyediaan suplai listrik oleh

    PLN dengan sumber energi pembangkit dari batubara perlu ditingkatkan.

    Penggunaan batubara terintegrasi dan terlokalisasi di pembangkit listrik

    PLN bertujuan untuk meminimalisasi pencemaran.

    3. Pentingnya melakukan program restrukturisasi permesinan pada

    berbagai sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar

    penggunaan energi lebih efisien.

    4. Perlu membuat industri pengelola limbah yang terintegrasi dengan

    berbagai industri yang lahap energi. Limbah hasil pengolahan industri

  • x | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    bisa dihubungkan dengan industri pengolahan limbah B3, dalam satu

    wilayah industri bisa dibuat satu industri pengumpul limbah yang

    berfungsi sebagai distributor limbah yang akan memanfaatkan limbah

    sebagai bahan bakar. Pemanfaatan limbah sebagai bahan bakar ini akan

    sejalan dengan tujuan mewujudkan green industry.

    5. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat

    menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka penghematan

    (efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk mendorong

    penggunaan energi alternatif terbarukan.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xi

    Daftar Isi

    Kata Pengantar i

    Ringkasan Eksekutif iii

    Daftar Isi xi

    Daftar Tabel xv

    Daftar Gambar xix

    Daftar Singkatan dan Istilah xxi

    BAB I PENDAHULUAN 1

    1.1. Latar Belakang 1

    1.2. Tujuan Penelitian 5

    1.3. Manfaat Kajian 5

    BAB II GAMBARAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL 7

    2.1. Overview Pengelolaan Energi Negara Lain 7

    2.1.1. China 7

    2.1.2. India 11

    2.1.3. Malaysia 12

    2.2. Kebijakan Energi di Indonesia 15

    2.2.1. Kebijakan Bauran Energi 15

    2.2.2. Pasokan dan Kebutuhan Energi 16

    2.3. Kendala dalam Pemenuhan Kebutuhan Energi bagi

    Industri di Indonesia 20

    BAB III METODE PENELITIAN 23

    3.1. Jenis dan Sumber Data 23

    3.1.1. Wawancara 23

    3.1.2. Focus Group Discussion 24

    3.2. Metode Analisis 24

    3.3. Asumsi 25

    3.3.1. Industri Baja 26

  • xii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e

    3.3.2. Industri Tekstil 29

    3.3.3. Industri Pupuk 31

    3.3.4. Industri Pulp dan Kertas 37

    3.3.5. Industri Kelapa Sawit 39

    3.3.6. Industri Semen 40

    3.3.7. Industri Keramik 42

    3.4. Batasan Studi 43

    BAB IV KINERJA SEKTOR INDUSTRI 45

    4.1. Kinerja Sektor Industri Indonesia 45

    4.2. Kinerja Subsektor Industri 50

    4.2.1. Industri Makanan, Minuman dan Tembakau 50

    4.2.2. Industri Tekstil, Barang dari Kulit dan Alas Kaki 52

    4.2.3. Industri Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya 53

    4.2.4. Industri Kertas dan Barang Cetakan 54

    4.2.5. Industri Pupuk, Kimia dan Barang dari Karet 55

    4.2.6. Industri Semen dan Barang Galian bukan logam 56

    4.2.7. Industri Logam Dasar Besi & Baja 57

    4.2.8. Industri Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya 57

    4.2.9. Industri Barang lainnya 58

    4.3. Kinerja 7 Industri Terpilih 59

    4.3.1. Industri Baja 60

    4.3.2. Industri Tekstil 64

    4.3.3. Industri Pupuk 65

    4.3.4. Industri Pulp dan Kertas 67

    4.3.5. Industri Pengolahan Kelapa Sawit 71

    4.3.6. Industri Semen 73

    4.3.7. Industri Keramik 76

    BBAABB VV

    KKEEBBUUTTUUHHAANN EENNEERRGGII SSEEKKTTOORR IINNDDUUSSTTRRII

    8811

    5.1. Kebutuhan Energi 9 (Sembilan) Sub Sektor Industri 81

    5.2. Proyeksi Kebutuhan Energi 9 (Sembilan) Kelompok

    Industri

    88

    5.3. Proyeksi Komposisi Penggunaan Energi 9 (Sembilan)

    Kelompok Industri 91

    5.4. Permasalahan Energi pada Sektor Industri 94

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xiii

    BBAABB VVII KKEEBBUUTTUUHHAANN EENNEERRGGII PPAADDAA IINNDDUUSSTTRRII TTEERRPPIILLIIHH 9999

    6.1. Industri Baja 100

    6.1.1. Komposisi Penggunaan Energi 100

    6.1.2. Kebutuhan Energi Industri Baja 102

    6.2. Industri Tekstil 107

    6.2.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri Tekstil 107

    6.2.2. Kebutuhan Energi Industri Tekstil 108

    6.3. Industri Pengolahan Kelapa Sawit 113

    6.3.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri

    Pengolahan Kelapa Sawit 113

    6.3.2. Kebutuhan Energi Industri Pengolahan Kelapa Sawit 114

    6.4. Industri Pulp dan Kertas 116

    6.4.1. Realisasi Konsumsi Energi Industri Pulp dan Kertas 116

    6.4.2. Komposisi Penggunaan Energi Industri Pulp dan

    Kertas

    118

    6.4.3. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pulp dan

    Kertas

    120

    6.5. Industri Pupuk 124

    6.5.1. Realisasi Konsumsi Energi Industri Pupuk 124

    6.5.2. Komposisi Penggunaan Energi Industri Pupuk 126

    6.5.3. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pupuk 127

    6.6. Industri Semen 131

    6.6.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri Semen 131

    6.6.2. Kebutuhan Energi Industri Semen 132

    6.7. Industri Keramik 139

    6.7.1. Komposisi Penggunaan Energi Industri

    Keramik 139

    6.7.2. Kebutuhan Energi Industri 141

    6.8. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih 146

    BAB VII PENUTUP 151

    7.1. Kesimpulan 151

    7.2. Rekomendasi 154

    7.2.1. Rekomendasi Umum 154

    7.2.2. Rekomendasi Masing-masing Industri Terpilih 156

    Daftar Pustaka 161

    Lampiran

  • xiv | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xv

    Daftar Tabel

    Tabel 3.1. Rencana Penambahan Kapasitas Produksi Baja Nasional 28

    Tabel 3.2. Realisasi Produksi Pupuk dan Non-Pupuk PT Pusri

    (Holding) 2005-2010 32

    Tabel 3.3. Realisasi Pemakaian Gas Alam Dalam Proses Pembuatan

    Urea dan Amoniak 35

    Tabel 3.4. Kapasitas, Total, dan Efisiensi Produksi Amoniak dan Urea

    2003-2010 36

    Tabel 4.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha (persen) 45

    Tabel 4.2. Laju pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (persen) 46

    Tabel 4.3. Neraca Gas Untuk Industri & PLN Tahun 2010 2011

    (MMSCFD) 49

    Tabel 4.4. Beberapa Indikator Kinerja Industri Makanan, Minuman

    dan Tembakau 51

    Tabel 4.5. Beberapa Indikator Kinerja Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki 53

    Tabel 4.6. Beberapa Indikator Kinerja Industri Kayu dan Barang dari

    Kayu 54

    Tabel 4.7. Beberapa Indikator Kinerja Industri Kertas dan Barang

    Cetakan 55

    Tabel 4.8. Beberapa Indikator Kinerja Industri Pupuk, Kimia dan

    Barang dari Karet 55

    Tabel 4.9. Beberapa Indikator Kinerja Industri Semen dan Barang

    Galian bukan logam 56

    Tabel 4.10. Beberapa Indikator Kinerja Industri Logam Dasar Besi dan

    Baja 57

    Tabel 4.11. Beberapa Indikator Kinerja Alat Angkutan, Mesin dan

    Peralatannya 58

    Tabel 4.12. Beberapa Indikator Kinerja Industri Barang lainnya 59

    Tabel 4.13. Konsumsi per Kapita Baja Beberapa Negara Tahun 2009 62

    Tabel 4.14. Profil Industri Tekstil 65

    Tabel 4.15. Realisasi Produksi Pupuk dan Non-Pupuk PT Pusri

    (Holding) tahun 2005-2010 66

    Tabel 4.16. Pangsa Produksi CPO 72

  • xvi | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e

    Tabel 4.17. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit 73

    Tabel 5.1. Nilai Watt (kWh) dari Masing-masing Jenis Bahan Bakar

    Energi 83

    Tabel 5.2. Kebutuhan Energi 9 (sembilan) Kelompok Sektor Industri

    (gWh) 84

    Tabel 5.3. Komposisi Kebutuhan Masing-masing Energi Pada Industri

    Manufaktur Tahun 2009 85

    Tabel 5.4 Distribusi Komposisi Kebutuhan Energi dari Masing-

    masing Jenis Industri 2009 86

    Tabel 5.5. Proyeksi Pertumbuhan Industri Kecil, Menengah dan

    Besar 2010-2025 (Persen) 89

    Tabel 5.6. Proyeksi Kebutuhan Energi 9 (Sembilan) Kelompok

    Industri (gWh) 90

    Tabel 5.7. Proyeksi Komposisi Kebutuhan Energi Setiap Jenis Energi

    Pada 9 Kelompok Industri 92

    Tabel 5.8. Proyeksi Komposisi Kebutuhan Energi Pada 9 Kelompok

    Industri (Satuan Unit) 93

    Tabel 5.9. Persentase Kebutuhan Energi Pada Industri Manufaktur

    Tahun 2009 96

    Tabel 5.10. Persentase Jenis Energi Pada Industri Manufaktur Tahun

    2009 97

    Tabel 6.1. Agregasi Kebutuhan Energi 7 Sektor Industri Terpilih 100

    Tabel 6.2. Komponen Biaya Produksi PT. Krakatau Steel tahun 2010 101

    Tabel 6.3. Proporsi Konsumsi Energi Industri Baja Tahun 2009 102

    Tabel 6.4. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Baja (gWh) 103

    Tabel 6.5. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Baja 104

    Tabel 6.6. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Baja 106

    Tabel 6.7. Penghematan Biaya Energi pada Industri Baja 107

    Tabel 6.8. Struktur Biaya Produksi Industri TPT 107

    Tabel 6.9. Kebutuhan Energi Industri Tekstil (gWh) 110

    Tabel 6.10. Kebutuhan Energi Industri Tekstil (satuan unit) 111

    Tabel 6.11. Proyeksi Kekurangan Kebutuhan Energi Industri Tekstil

    (satuan unit) 112

    Tabel 6.12. Penghematan dari Diversifikasi dan Efisiensi Energi 113

    Tabel 6.13. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pengolahan Kelapa Sawit 115

    Tabel 6.14. Penghematan Energi pada Industri Pengolahan Kelapa

    Sawit (Rp miliar) 116

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xvii

    Tabel 6.15. Komposisi Input Energi Industri Pulp dan Kertas (Persen) 120

    Tabel 6.16. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pulp dan Kertas 122

    Tabel 6.17. Proyeksi Kekurangan Energi Industri Pulp dan Kertas 123

    Tabel 6.18. Penghematan Biaya Energi pada Industri Pulp dan Kertas

    (Rp triliun) 124

    Tabel 6.19. Proyeksi Kebutuhan Energi Industri Pupuk 2012-2025 128

    Tabel 6.20. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Pupuk 2012-

    2025 130

    Tabel 6.21. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Semen (gWh) 137

    Tabel 6.22. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Semen 138

    Tabel 6.23. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Semen 138

    Tabel 6.24. Penghematan Biaya Energi pada Industri Semen 139

    Tabel 6.25. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Keramik (gWh) 143

    Tabel 6.26. Proyeksi Kebutuhan Energi pada Industri Keramik 144

    Tabel 6.27. Proyeksi Kekurangan Energi pada Industri Keramik 145

    Tabel 6.28. Penghematan Biaya Energi pada Industri Keramik 145

    Tabel 6.29. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada

    Skenario Business as Usual (gWh) 146

    Tabel 6.30. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada

    Skenario Akselerasi (gWh) 147

    Tabel 6.31. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada

    Skenario Akselerasi disertasi Efisiensi (gWh) 147

    Tabel 6.32. Proyeksi Kebutuhan Energi 7 Industri Terpilih pada

    Skenario Business as Usual

    148

  • xviii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xix

    Daftar Gambar

    Gambar 1.1. Pemakaian Energi Akhir Menurut Sektor (persen) 2

    Gambar 1.2. Perbandingan Intensitas Energi Primer di Beberapa

    Negara 3

    Gambar 2.1. Perkembangan Permintaan Energi Primer Dunia 8

    Gambar 2.2. Perbandingan Permintaan Energi Berdasarkan Sektor 8

    Gambar 2.3. Perkembangan Intensitas Energi Di China 9

    Gambar 2.4a. Efisiensi penggunaan energi 9

    Gambar 2.4b. Kontribusi terhadap PDB 9

    Gambar 2.5. Komposisi Penggunaan Energi China 10

    Gambar 2.6. Penggunaan Energi di Sektor Industri Berdasarkan

    Wilayah 11

    Gambar 2.7. Komposisi Konsumsi Energi pada Sektor Industri di

    India (persen) 12

    Gambar 2.8. Konsumsi Energi Primer Berdasarkan Jenis Energi 13

    Gambar 2.9. Bauran Energi Pembangkit Listrik Malaysia 13

    Gambar 2.10. Pemasok Batubara untuk Pembangkit Listrik

    Malaysia 14

    Gambar 2.11. Sasaran Bauran Energi Primer Nasional 2025 15

    Gambar 2.12. Pasokan Energi di Indonesia Menurut Jenis (2000-

    2010) 17

    Gambar 2.13. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Jenis (2005-

    2010) 18

    Gambar 2.14. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Sektor

    (2004-2010) 19

    Gambar 3.1. Rasio Total Produksi Urea dan Amoniak

    terhadap Total Produksi Industri Pupuk 33

    Gambar 3.2. Komposisi Kebutuhan Energi Industri Pupuk tahun

    2009 (persen)

    33

    Gambar 4.1. Pertumbuhan Produksi Industri Manufaktur Besar

    dan Sedang Triwulanan 2009-2012 (persen) 47

    Gambar 4.2. Kontribusi Industri Non Migas terhadap PDB (persen) 49

    Gambar 4.3. Konsumsi Baja Nasional (juta ton) 60

  • xx | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e

    Gambar 4.4. Rata-rata Rasio Total Produksi Urea dan Amoniak

    terhadap Total Produksi Industri Pupuk Selama

    Periode 2003-2010 66

    Gambar 4.5. Komposisi Kebutuhan Energi Industri Pupuk tahun

    2009 (Persen) 67

    Gambar 4.6. Produksi Pulp Indonesia (Juta Ton) 70

    Gambar 4.7. Produksi Kertas Indonesia (Juta Ton) 70

    Gambar 4.8. Komposisi Input Industri Pulp dan Kertas 71

    Gambar 4.9. Konsumsi Semen Nasional (JutaTon) 74

    Gambar 4.10. Produksi dan Konsumsi Keramik Nasional (juta M2) 78

    Gambar 6.1. Komposisi Sumber Energi Industri Tekstil (persen) 108

    Gambar 6.2. Komposisi Biaya Energi pada Industri

    Pengolahan Kelapa Sawit (persen) 118

    Gambar 6.3. Kebutuhan Energi di Industri Pulp dan Kertas 118

    Gambar 6.4. Jenis Bahan Bakar di PT.IKPP (persen) 119

    Gambar 6.5. Komposisi Penggunaan Energi untuk Bahan

    Bakar pada Industri Pupuk 2009 126

    Gambar 6.6. Proyeksi Konsumsi Energi yang Dibutuhkan Industri

    Pupuk 129

    Gambar 6.7. Komposisi Biaya Produksi Pada Industri Semen 2009

    (persen) 131

    Gambar 6.8. Komposisi Biaya Energi Pada Industri Semen Tahun

    2009 (persen) 132

    Gambar 6.9. Konsumsi Semen Per Kapita Tahun 2010 (kilogram) 135

    Gambar 6.10. Biaya Produksi pada Industri Keramik Tahun 2009

    (Persen) 140

    Gambar 6.11. Biaya Energi pada Industri Keramik Tahun 2009

    (Persen) 141

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | xxi

    Daftar Singkatan dan Istilah

    BaU : Business as Usual

    Bark : Kulit pohon

    Black liquor : Cairan hitam kental yang merupakan produk sampingan dari

    proses perubahan kayu menjadi bubur (pulp)

    Black liquor gasification-combined cycle (BLGCC) : Teknologi gasifikasi

    dengan menggunakan black liquor, kulit dan potongan kayu

    Cal : Calorie (kalori)

    CRC : Cold Rolled Coil

    gWh : Giga Watt hour

    Gr : Gram

    HRC : Hot Rolled Coil

    mWh : Mega Watt hour

    MMBTU : Million Metric British Thermal Units

    MMSCF : Mile-Mile Standard Cubic Feet

    Kkal : Kilo Kalori

    kWh : Kilo Watt Hour

    PG : Pupuk Gresik

    PIM : Pupuk Iskandar Muda

    PK : Pupuk Kujang

    PKT : Pupuk Kalimantan Timur

    PT. KS : Perseroan Terbatas Krakatau Steel

    Pusri : Pupuk Sriwijaya

    Rp : Rupiah

    Scrap : Besi rongsokan

    Saw dust : Serbuk kayu

    Sludge : Lumpur/endapan

    Tankos : Tandan kosong kelapa sawit

    US$ : US dollar

    WR : Wire Rod

  • xxii | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi e

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Peranan energi sangat penting bagi akselerasi sektor industri,

    utamanya sebagai bahan bakar untuk proses produksi. Mesin

    produksi hanya dapat bekerja optimal jika energi yang tersedia

    mencukupi dan sesuai dengan karakteristik mesin. Selain sebagai

    bahan bakar, energi juga dapat dipakai sebagai bahan baku produk.

    Urgensi ini membuat upaya peningkatan pertumbuhan sektor

    industri tidak dapat lepas dari analisis penyediaan energi sektor

    industri.

    Kebutuhan energi akan terus meningkat seiring pertumbuhan

    ekonomi nasional yang dicirikan antara lain dengan perkembangan

    sektor industri dan peningkatan jumlah penduduk. Namun

    pemerintah mengalami kesulitan untuk mengimbangi kenaikan

    permintaan tersebut dengan penyediaan energi yang cukup dan

    tepat sasaran serta energi yang ekonomis. Untuk itu, pemerintah

    berupaya untuk menciptakan kebijakan yang ideal sedemikian agar

    kenaikan kebutuhan energi dapat diimbangi dengan kenaikan

    penyediaan energi yang akan menghasilkan tambahan output. Jika

    kondisi ini tercapai maka setiap energi yang dikonsumsi dalam

    proses produksi akan lebih efisien, karena sesuai dengan

    karakteristik mesin dan sesuai dengan kebutuhan produk.

    Secara umum, sektor industri merupakan sektor yang

    mengkonsumsi energi akhir paling banyak bila dibandingkan dengan

    sektor lainnya (Gambar 1.1). Peningkatan penggunaan energi di

    sektor industri dalam 10 tahun terakhir terjadi karena proses

  • 2 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    transformasi struktural yang cepat dari sektor pertanian ke sektor

    industri. Selain peningkatan jumlah industri baik perluasan pabrik

    maupun pendirian industri-industri baru, diduga terjadi

    pemborosan penggunaan energi di sektor industri (ESDM; 2007,

    dalam Pambudi; 2009). Terlebih lagi sektor industri dalam negeri

    pernah sangat terpukul waktu krisis moneter 1997-1998 yang

    menyebabkan depresiasi besar nilai tukar rupiah. Tingginya tingkat

    ketergantungan terhadap mesin-mesin produksi impor membuat

    pelaku industri tidak mampu memperbarui mesin-mesin

    produksinya. Sehingga banyak industri yang harus beroperasi hanya

    dengan mengandalkan mesin-mesin tua yang relatif boros energi.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 3

    Indonesia memerlukan energi lebih banyak dibandingkan dengan

    produk yang sama di negara lain.

    Ketidakefisienan pemakaian energi sangat merugikan sektor

    industri karena terkait dengan jumlah output yang dihasilkan serta

    keuntungan agregat industri. Dampak yang lebih besar lagi adalah

    inefisiensi energi dalam skala massif dan berkepanjangan dapat

    menyebabkan inefisiensi ekonomi melalui alokasi sumber daya yang

    tidak optimal. Jika tidak segera ditangani, akan berdampak pada

    sulitnya mencapai target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7-9

    persen per tahun sesuai dengan target Masterplan Percepatan dan

    Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.

    Sumber: Handbook Energy 2010; Kementerian ESDM, 2011

    Catatan: PDB konsumsi energi primer menggunakan nilai tetap US$ tahun 2000

    Gambar 1.2. Perbandingan Intensitas Energi Primer di Beberapa

    Negara

    Disamping persoalan efisiensi penggunaan energi, besarnya energi

    yang diperlukan untuk keberlangsungan sektor industri penting

    dikaji, utamanya terkait dengan peluang investasi di suatu industri

    tertentu. Perencanaan pembangunan industri selalu terkait dengan

    besarnya energi yang dibutuhkan. Oleh karena itu analisis tentang

    kebutuhan energi di sektor industri penting untuk dilakukan, agar

    upaya akselerasi sektor industri dapat diiringi dengan penyediaan

    energi yang memadai.

  • 4 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Perhitungan kebutuhan energi pada industri terpilih yang tergolong

    padat energi atau yang paling banyak menggunakan sumber energi

    penting dilakukan. Hal ini sebagai bahan pertimbangan kebijakan

    akselerasi industri sekaligus dalam upaya mempercepat

    pertumbuhan industri nasional yang salah satunya dengan cara

    menarik investasi baru.

    Saat ini terdapat sekitar 10 perusahaan yang menggunakan energi

    terbesar di Indonesia, di mana sebagian besar merupakan industri

    yang berbasis manufaktur. Beberapa industri seperti baja, tekstil,

    semen, pupuk, dan keramik merupakan industri-industri yang

    mengkonsumsi energi relatif besar dan cenderung meningkat dari

    tahun ke tahun (KESDM, Ditjen EBTKE, 2011). Oleh karena itu,

    industri-industri tersebut dapat dijadikan sebagai suatu patokan

    perhitungan atau signal dalam analisis penyediaan energi sektor

    industri. Terlebih lagi industri tersebut yaitu: baja, tekstil, semen,

    pupuk, dan keramik menjadi prioritas dalam pengembangan

    industri nasional, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden

    No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, dan

    merupakan fokus Dokumen Akselerasi Industrialisasi Tahun 2012-

    2014 yang diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.

    Perhitungan kebutuhan energi sektor industri yang dibedakan

    menurut basis industrinya yaitu industri material dasar dan industri

    manufaktur padat karya juga penting dilakukan. Peran penting

    industri material dasar dalam pembangunan antara lain terlihat

    pada industri dan baja, industri semen, industri pupuk (petrokimia),

    dan industri keramik. Sementara peran penting industri manufaktur

    padat karya salah satunya terlihat pada industri tekstil dan produk

    tekstil.

    Pada industri berbasis agro, industri pengolahan kelapa sawit dan

    industri pulp dan kertas penting juga dilihat kebutuhan energinya.

    Industri pengolahan kelapa sawit, terutama minyak kelapa sawit,

    berperan dalam meningkatkan daya dukung terhadap industri

    makanan olahan di Indonesia. Sementara industri pulp dan kertas

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 5

    berperan dalam meningkatkan nilai tambah produk seiring

    permintaan produk kertas yang meningkat.

    1.2. Tujuan Penelitian

    Penelitian tentang kebutuhan energi pada sektor industri

    dimaksudkan untuk menganalisis besarnya kebutuhan energi yang

    diperlukan oleh industri dalam proses produksinya. Dengan

    demikian penelitian ini akan menganalisis secara lebih mendalam

    mengenai besarnya tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor

    industri di Indonesia yang tergolong paling banyak menggunakan

    sumber energi atau industri padat energi. Sektor industri yang

    dianalisis secara lebih mendalam pada kajian ini terdiri dari 7 sektor

    industri terpilih yang padat energi, yaitu:

    a. Industri Baja;

    b. Industri Tekstil;

    c. Industri Pupuk;

    d. Industri Pulp dan Kertas;

    e. Industri Pengolahan Kelapa Sawit;

    f. Industri Semen; dan

    g. Industri Keramik;

    Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai dalam kajian ini adalah:

    1) Menganalisis tingkat kebutuhan energi pada beberapa sektor

    industri di Indonesia yang relatif padat energi.

    2) Mengidentifikasi permasalahan energi pada sektor industri.

    3) Memproyeksi kebutuhan energi pada beberapa sektor industri

    dengan beberapa skenario.

    4) Menyusun rekomendasi kebijakan perencanaan kebutuhan

    energi di sektor industri ke depan.

    1.3. Manfaat Kajian

    Saat ini pemerintah seringkali dihadapkan pada permasalahan yang

    dianggap sangat krusial yaitu kurang tersedianya energi untuk

  • 6 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    industri yang sangat strategis. Akibat dari kurangnya perencanaan

    energi yang tidak matang, maka seringkali terjadi energi yang

    murah malah diekspor, sedangkan industri dalam negeri justru

    terpaksa menggunakan energi mahal yang tersedia. Ketidaktepatan

    kebijakan ini pada akhirnya akan menurunkan daya saing industri

    Indonesia di pasar internasional.

    Argumentasi yang seringkali diajukan pemerintah adalah tidak

    adanya perencanaan energi untuk industri yang dapat dijadikan

    pegangan bagi pemerintah. Salah satu faktor penghambat adalah

    kurang tersedianya prasarana distribusi energi sehingga konsumen

    sulit mengakses energi murah tersebut.

    Untuk itu, kajian ini diharapkan dapat menyajikan kebutuhan energi

    di masing-masing kelompok industri padat energi, dalam satuan

    aslinya, sehingga lebih mudah bagi semua pihak untuk melakukan

    perencanaan energinya. Ketersediaan data kebutuhan energi pada

    satuan aslinya akan dapat menjadi alternatif solusi bagi pemerintah

    dalam membuat kebijakan penyediaan energi di sektor industri,

    khususnya penyediaan energi di 7 sektor industri terpilih yang

    padat energi.

    Diharapkan dengan tercapainya solusi penyediaan energi di 7 sektor

    industri terpilih yang padat energi, maka secara umum dapat

    dikatakan bahwa sektor industri dapat menunjang target

    pertumbuhan ekonomi nasional.

    Selain itu kajian ini juga dapat digunakan sebagai pertimbangan

    bagi sektor industri khususnya perusahaan dalam membuat strategi

    penggunaan energi ke depan khususnya yang berkaitan dengan

    jenis energi yang dibutuhkan sebagai bahan bakar maupun sebagai

    bahan baku produksi.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 7

    BAB II

    GAMBARAN PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

    DAN BEBERAPA NEGARA LAIN

    2.1. Overview Pengelolaan Energi Negara Lain

    Indonesia perlu belajar dari negara-negara setara, yang mampu

    mengelola ketahanan energinya secara lebih baik. China dan India

    merupakan dua negara yang perekonomiannya sangat

    diperhitungkan oleh dunia saat ini. Industri yang tumbuh pesat di

    kedua negara tersebut tentunya memerlukan ketersediaan energi

    yang memadai dan berkelanjutan. Di kawasan ASEAN,

    perekonomian Malaysia relatif setara dengan Indonesia, hanya saja

    Malaysia mampu menghindar dari ketergantungan sumber energi

    minyak yang harganya terus melambung saat ini. Overview singkat

    pengelolaan energi di beberapa negara akan dapat memberi

    gambaran bagi pengelolaan energi nasional yang lebih baik ke

    depan. Meskipun kebijakan masing-masing negara masih harus

    disesuaikan dengan karakteristik yang ada, namun dengan

    benchmark negara-negara yang relatif lebih baik pengelolaan

    energinya harapan akan perbaikan kebijakan ketahanan energi di

    Indonesia bukan hal mustahil.

    2.1.1. China

    Permintaan energi dunia meningkat pesat, di mana China

    mengambil porsi terbesar atas total permintaan energi dunia.

    Bahkan jika permintaan energi di China dan India digabung, maka

    kedua negara ini mengambil porsi sebesar 50 persen dari total

    pertumbuhan permintaan energi dunia. Sebuah dominasi yang

  • 8 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    sangat besar separoh pertumbuhan permintaan energi dunia hanya

    berasal dari dua negara besar, China dan India, lihat Gambar 2.1.

    Sumber: IEA, 2011

    Gambar 2.1. Perkembangan Permintaan Energi Primer Dunia

    Permintaan kebutuhan energi di China digunakan untuk

    menghidupkan industrinya. Sebesar 71 persen permintaan energi

    di China digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasokan energi di

    sektor industri, sementara di negara-negara lain porsinya masih di

    bawah 50 persen yang digunakan untuk industri, lihat Gambar 2.2.

    Dengan demikian sangat wajar jika produk-produk China sangat

    mendominasi di pasar dunia saat ini, salah satu keunggulannya

    adalah pasokan energi di sektor industri yang memadai.

    Ketersediaan energi membuat industri-industri di China dapat

    mengoperasikan kapasitas mesin produksinya secara optimal.

    Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011

    Gambar 2.2. Perbandingan Permintaan Energi

    Berdasarkan Sektor

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 9

    Menariknya, China tidak hanya fokus pada upaya pemenuhan

    kebutuhan energi dengan menyediakan pasokan yang sebesar-

    besarnya tetapi juga berupaya melakukan efisiensi penggunaan

    energi melalui berbagai inovasi teknologi secara terencana.

    Hasilnya cukup mengesankan, nilai intensitas energi di China

    mengalami penurunan signifikan yang menunjukkan bahwa

    pemanfaatan energi semakin efisien. Sejak 1978 intensitas energi di

    China semakin turun akibat pengembangan energi-intensif untuk

    industri seperti industri semen dan baja serta pengembangan

    teknologi untuk efisiensi energi, lihat Gambar 2.3.

    Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011

    Gambar 2.3. Perkembangan Intensitas Energi Di China

    Perpaduan antara strategi pemenuhan pasokan energi di sektor

    industri dan upaya serius dari industri untuk meningkatkan efisiensi

    penggunaan energi di China menghasilkan output ekonomi yang

    meningkat pesat. Berbagai jenis industri lahap energi di China

    mampu meningkatkan efisiensinya dalam menggunakan energi

    yang ada disertai dengan peningkatan output produksi sehingga

    menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi, lihat Gambar 2.4.

    Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011

    Gambar 2.4a. Efisiensi penggunaan energi Gambar 2.4b. Kontribusi terhadap PDB

  • 10 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Dilihat dari komposisi penggunaan energi di China batubara

    merupakan sumber energi yang paling besar digunakan yaitu

    sebesar 67 persen, sementara penggunaan minyak sebesar 17

    persen. Dengan komposisi ini maka fluktuasi harga minyak relatif

    tidak berdampak langsung pada penyediaan energi di China. Hanya

    saja mengingat batubara merupakan substitusi dari energi minyak,

    fluktuasi di harga minyak juga akan mendorong meningkatnya

    harga batubara, lihat Gambar 2.5.

    Sumber: World energi Outlook Report-IEA, 2011

    Gambar 2.5. Komposisi Penggunaan Energi China

    Kebijakan penyediaan kebutuhan energi di China cukup berhasil

    salah satunya dikarenakan sejak sebelum reformasi Deng Xioping,

    kebijakan energi sudah diselaraskan dengan kebijakan industri.

    Pada tahun 1970an, State Planning Commission (SPC) menentukan

    berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk industri, sehingga ada

    gambaran di masa depan. Pada Januari 2010, Cina membentuk

    National Energy Commission (NEC) yang ditujukan untuk

    meningkatkan strategi pengembangan energi. Konservasi Energi

    mulai direncanakan dalam Rencana Lima Tahun (2006-2010) di

    mana dalam Rencana tersebut, Cina juga menyoroti pentingnya

    kerjasama dengan dunia internasional dalam menjamin pasokan

    energi dalam negeri.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 11

    2.1.2. India

    Dari sisi global, India merupakan negara keempat terbesar dalam

    penggunaan energi bagi sektor industri (5 persen), berada di bawah

    China (24 persen), Amerika Serikat (13 persen), dan Rusia (6

    persen). Lima industri di India yang paling lahap energi yaitu

    industri baja, semen, kimia dan petrokimia, pulp and paper, dan

    aluminium. Kelima industri ini mengkonsumsi 56 persen dari

    konsumsi energi sektor industri di India, lihat Gambar 2.6.

    Sumber: IEA, 2011

    Gambar 2.6. Penggunaan Energi di Sektor Industri

    Berdasarkan Wilayah

    Batubara dan minyak bumi mendominasi penggunaan energi sektor

    industri di India. Sebesar 33 persen sumber energi sektor industri

    menggunakan batubara, 23 persen menggunakan minyak, serta

    sisanya berbagai sumber energi lain. Sektor industri mengkonsumsi

    sebesar 45 persen dari total listrik yang dihasilkan oleh pembangkit

    milik negara. Sekitar 30 persen listrik untuk industri dihasilkan oleh

    pembangkit swasta (captive power plant), lihat Gambar 2.7.

    Efisiensi penggunaan energi juga merupakan fokus kebijakan energi

    di India, terutama di tiga industri terbesar India, yaitu industri baja,

    kimia dan petrokimia, serta industri semen. Selain itu, cukup

    besarnya penggunaan listrik swasta untuk industri diharapkan

    dapat meningkatkan ketahanan energi bagi industri di India.

  • 12 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Sumber: IEA, 2011

    Gambar 2.7. Komposisi Konsumsi Energi pada Sektor Industri

    di India (persen)

    2.1.3. Malaysia

    Malaysia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang

    perkembangan ekonominya relatif cepat. Perekonomian Malaysia

    ditopang oleh industri pengolahan dan penciptaan nilai tambah

    sumber daya alam. Kontribusi sektor industri pengolahan terhadap

    PDB Malaysia sekitar 28,9 persen, di mana industri yang

    mengkonsumsi banyak energi di negara ini adalah baja, semen,

    kayu, makanan, kaca, pulp dan paper, keramik, dan industri karet.

    Berdasarakan sumber energinya, gas dan minyak mendominasi

    penggunaan energi primer di Malaysia, sebesar 85 persen.

    Sementara berdasarkan sektornya, transportasi dan industri

    mendominasi penggunaan energi akhir terbesar di Malaysia,

    sebesar 70,7 persen, lihat Gambar 2.8.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 13

    Sumber: PETRONAS, 2012

    Gambar 2.8. Konsumsi Energi Primer Berdasarkan Jenis Energi

    Salah satu hal menarik dari kebijakan energi di Malaysia adalah

    terkait dengan penyediaan pasokan energi listrik. Dalam penyediaan

    energi listrik, secara terencana Malaysia mampu menggeser

    ketergantungan pembangkit listriknya dari Minyak ke Gas dan

    Batubara sejak tahun 1990-an. Kebijakan diversifikasi sumber energi

    listrik sudah dimulai sejak 1980, setelah pada 1970-an terjadi shock

    harga minyak dunia. Dari sini terlihat bahwa kebijakan energi di

    Malaysia relatif lebih terencana dan konsisten dalam penerapannya,

    sehingga fluktuasi harga minyak tidak lagi secara langsung

    mengancam ketahanan energinya, lihat Gambar 2.9.

    Sumber: Energy Commission of Malaysia, 2012

    Gambar 2.9. Bauran Energi Pembangkit Listrik Malaysia

  • 14 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Malaysia mampu menggeser ketergantungan sumber energi

    listriknya dari minyak ke gas dan batubara. Menariknya, sebagian

    besar batubara yang digunakan untuk membangkitkan listrik di

    Malaysia diimpor dari Indonesia. Indonesia merupakan pemasok

    batubara terbesar bagi pembangkit listrik Malaysia, yaitu sebesar

    65 persen pada 2011, turun dibandingkan 2008 yang mencapai 84

    persen,lihat Gambar 2.10.

    Sumber: Energy Commission of Malaysia, 2012

    Gambar 2.10. Pemasok Batubara untuk Pembangkit Listrik

    Malaysia

    Dalam rencana jangka panjangnya, Malaysia akan melanjutkan

    penggunaan gas dan batubara dalam suplai sumber energi

    pembangkit listriknya. Beberapa kebijakan Malaysia tentang gas

    dan batubara ke depan untuk menjaga ketahanan nasional pasokan

    energi antara lain: a) mengkaji perjanjian pasokan gas, untuk

    meningkatkan ketahanan suplai energi; b) meningkatkan pasokan

    melalui terminal regasifikasi, terutama di Melaka dan Johor; c)

    diversifikasi negara pemasok batubara untuk menjaga ketahanan

    pasokan energi; d) menjajaki kemungkinan kepemilikan tambang di

    negara-negara pemasok; dan e) peningkatan teknologi untuk

    mengurangi emisi.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 15

    2.2. Kebijakan Energi di Indonesia

    2.2.1 Kebijakan Bauran Energi

    Dalam menghadapi ancaman krisis energi, pemerintah Indonesia

    sendiri telah mengantisipasi dengan merumuskan kebijakan energi

    nasional yang dituangkan dalam Peraturan Presiden No.5 Tahun

    2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi strategi untuk

    menjamin keamanan energi di Indonesia. Inti kebijakan tersebut

    ialah mendesain bauran energi di tahun 2025 dengan mengurangi

    konsumsi energi fosil dan menggantinya dengan energi baru

    terbarukan.

    * BaU = Business as Usual

    ** EBT = Energi Baru Terbarukan :

    1. Bahan Bakar Nabati/Biofuel (5%)

    2. Panas Bumi (5%)

    3. Biomasa, Buklir, Air, Surya, Angin (5%)

    4. Batubara yang dicairkan (2%)

    Sumber: Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (PEN), 2006

    Gambar 2.11. Sasaran Bauran Energi Primer Nasional 2025

  • 16 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Disamping itu, kebijakan lain yang telah disiapkan oleh pemerintah

    yakni UU No.30 Tahun 2007 tentang Energi yang bertujuan untuk

    mewujudkan kemandirian energi. UU ini juga menjadi landasan

    berdirinya lembaga Dewan Energi Nasional (DEN) yang bertugas

    dalam merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional.

    Kemudian ada juga PP No.70 Tahun 2009 tentang Konservasi

    Energi, UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang

    didalamnya juga telah mendorong pengembangan sumber energi

    terbarukan sebagai penghasil listrik serta Blue Print Pengelolan

    Energi Nasional 2006-2025.

    Secara umum, kebijakan bauran energi yang akan dilaksanakan oleh

    Indonesia dapat dilihat pada gambar 2.11. Sasaran bauran energi

    primer dibuat dalam dua skenario yakni skenario konservatif

    (Business as Usual) serta skenario optimalisasi pengelolaan energi

    sesuai dengan Perpres Nomor 5 Tahun 2006 yang mengoptimalkan

    sumber energi terbarukan.

    Berdasarkan sasaran bauran energi primer nasional, pada 2025

    harus ada perubahan energi mix yang pada saat ini masih

    didominasi minyak bumi.Pada 2005 minyak bumi masih 54,78%,

    batubara 16,77%, gas 22,24% dan energi baru terbarukan

    6,2%.Namun pada 2025 energi mix untuk minyak bumi menjadi

    20%, gas bumi 30%, batubara 33% dan energi baru terbarukan

    sebesar 17%.

    2.2.2. Pasokan dan Kebutuhan Energi

    Selama bertahun-tahun, Indonesia menggunakan berbagai jenis

    pasokan energi mulai dari minyak, gas, batubara, hingga panas

    bumi. Akan tetapi, ketergantungan Indonesia terhadap energi

    minyak sangat besar, yaitu 46 persen dari total pasokan energi

    Indonesia. Persentase tersebut sudah lebih rendah dibandingkan

    beberapa tahun terakhir dimana minyak menguasai lebih dari 50%

    total pasokan energi Indonesia. Dari Gambar 2.12, dapat dilihat

    bahwa walaupun persentasenya semakin berkurang sejak tahun

    2000, yaitu 59,64% menjadi 46,77% pada tahun 2010, namun

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 17

    minyak tetap menjadi sumber energi utama di Indonesia. Dari

    gambar 2.12 juga dapat dilihat bahwa terjadi bauran energi yang

    semakin merata secara perlahan, dimana suplai gas dan batubara

    cenderung meningkat. Pada tahun 2000, suplai energi batubara

    hanya sekitar 12,91% dari total suplai energi, yang pada tahun

    2010, jumlahnya naik hampir dua kali lipat sehingga mencapai

    23,91% dari total suplai energi Indonesia. Hal yang sama juga terjadi

    pada energi gas, walaupun pertumbuhannya tidak terlalu signifikan

    dibandingkan batubara, dimana pada tahun 2010 suplai gas

    mencapai 24,29% dari suplai energi Indonesia. Persentase tersebut

    naik dibandingkan tahun 2000 ketika suplai energi gas mencapai

    22,6% dari suplai energi Indonesia.

    Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, 2011

    Gambar 2.12. Pasokan Energi di Indonesia Menurut Jenis

    (2000-2010)

    Bila dilihat secara rata-rata kontribusi suplai energi pada periode

    tahun 2000 hingga 2010, maka energi minyak merupakan energi

    utama dimana kontribusinya rata-rata mencapai 58% dari total

    pasokan energi. Konstribusi energi minyak tersebut jauh di atas

    rata-rata pasokan energi batubara maupun energi gas yang

    persentase masing-masing sebesar 21% dan 24% pada periode yang

    sama. Salah satu sebab mengapa minyak masih mendominasi

    suplai energi di Indonesia adalah kebijakan subsidi minyak yang

    masih ada hingga hari ini. Besarnya subsidi minyak adalah

    sedemikian sehingga harga eceran minyak dalam negeri hanya

    setengah dari harga eceran internasionalnya.

  • 18 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Jika dilihat dari konsumsi energi menurut jenisnya, maka energi

    dalam bentuk fuel (BBM) merupakan jenis energi yang paling

    banyak dikonsumsi, lihat Gambar 2.13. Dari data yang dikeluarkan

    oleh Kementrian ESDM dalam Handbook of Energy and Economic

    Statistic of Indonesia (2011) diketahui bahwa sejak tahun 2005,

    BBM merupakan energi yang paling banyak dikonsumsi oleh

    masyarakat Indonesia baik sektor industri, komersial, transportasi,

    maupun sektor rumah tangga. Walaupun konsumsi BBM mengalami

    penurunan sejak tahun 2005, namun proporsi konsumsi BBM

    sangat besar dibandingkan jenis energi lain seperti batu bara dan

    energi gas. Pada tahun 2005, 57% dari total konsumsi energi

    Indonesia berbentuk BBM. Jumlah persentase konsumsi BBM

    berkurang menjadi 46% pada tahun 2010. Sedangkan untuk jenis

    energi gas, walaupun sempat mencapai 18% dari total konsumsi

    energi pada tahun 2009, namun peningkatan penggunaan energi

    gas tidak terlalu signifikan dalam lima tahun terakhir. Dibandingkan

    jenis energi lainnya, jenis energi batu bara merupakan jenis energi

    yang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun

    2005, konsumsi energi batu bara hanya 11% dari total konsumsi

    energi di Indonesia, namun pada tahun 2010, persentase

    penggunaan energi batu baru meningkat menjadi 17%.

    Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, 2011

    Gambar 2.13. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Jenis

    (2005-2010)

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 19

    Selama ini sektor industri dan sektor transportasi merupakan dua

    sektor yang paling lahap energi, lihat Gambar 2.14. Pada tahun

    2004, sektor industri menggunakan 39,9% dari total konsumsi

    energi di Indonesia. Jumlah tersebut terus meningkat hingga tahun

    2011 sektor industri menggunakan sekitar 47% dari total konsumsi

    energi Indonesia. Hal yang sama juga terjadi pada sektor

    transportasi yang terus mengalami peningkatan secara persentase

    dalam penggunaan energi di Indonesia. Pada tahun 2010, sektor

    transportasi menggunakan 36% dari total konsumsi energi di

    Indonesia, meningkat dibandingkan tahun 2004 sebesar 33%.

    Berbeda dengan sektor industri maupun sektor transportasi yang

    mengalami peningkatan dalam persentase penggunaan energi di

    Indonesia, sektor rumah tangga justru mengalami penurunan dalam

    persentase total penggunaan energi di Indonesia. Pada tahun 2004,

    16,76% dari total konsumsi energi di Indonesia digunakan untuk

    sektor rumah tangga. Namun persentase tersebut semakin

    berkurang hingga tahun 2010 ketika persentase konsumsi energi di

    Indonesia untuk sektor rumah tangga hanya 11,51%.

    Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia, 2011

    Gambar 2.14. Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Sektor

    (2004-2010)

  • 20 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    2.3. Kendala dalam Pemenuhan Kebutuhan Energi bagi Industri

    di Indonesia

    Secara umum, sektor industri khususnya industri yang relatif

    banyak menggunakan energi hingga saat ini masih merasa kesulitan

    untuk mendapatkan energi yang murah, efisien atau ramah

    lingkungan. Hal ini dikarenakan pasokan energi yang ada harus

    diperoleh dengan biaya yang relatif tinggi, dan untuk

    mendapatkannya pun masih relatif sulit. Jika industri menggunakan

    sumber energi yang murah misalnya batubara, maka

    konsekuensinya industri tersebut akan dianggap sebagai industri

    yang tidak ramah lingkungan karena menghadapi masalah

    pelestarian lingkungan yang tertuang dalam peraturan-peraturan

    tentang lingkungan hidup (UU Lingkungan Hidup).

    Lebih lanjut, permasalahan energi gas di Indonesia antara lain

    terkait dengan pasokan untuk domestik yang minim; sistem

    distribusi gas yang kurang memadai; infrastruktur (pipa gas) yang

    belum tersebar ke seluruh pelosok konsumen, dan belum

    berkembangnya receiving terminal gas berbentuk cair (liquified

    natural gas, LNG). Selama ini pemerintah lebih banyak mengekspor

    gas alam ke luar negeri, baik melalui pipa maupun LNG, sehingga

    kebutuhan gas dalam negeri belum terpenuhi secara maksimal.

    Secara spesifik berikut kendala-kendala aktual yang dihadapi oleh

    sektor industri dalam aksesibilitasnya terhadap kebutuhan energi:

    a. Kesulitan memperoleh energi gas disebabkan

    kuranglengkapnya prasarana pendistribusian gas bumi.

    Perkiraan yang agak kasar, energi gas dikonsumsi dalam

    negeri saat ini baru memenuhi sekitar 50-60% dari

    kebutuhan akan energi gas dalam negeri. Defisit gas bumi

    juga disebabkan tingginya ekspor gas yang mencapai lebih

    dari 50 persen dari total produksi gas bumi.

    b. Terbatasnya infrastruktur pendistribusian gas bumi seperti

    jaringan transmisi gas bumi yang baru sepanjang 2.150 Km

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 21

    dan jaringan distribusi sepanjang 3.900 Km. Distribusi gas

    bumi hanya dapat menggunakan pipa atau bentuk LNG,

    padahal lokasi konsumen gas bumi tidak selalu berdekatan

    dengan sumber gas buminya.

    c. Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi dengan

    lokasi industri, misalnya sumber gas bumi yang melimpah

    tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Papua namun lokasi

    industri terpusat di pulau Jawa. Demikian pula energi

    batubara yang melimpah di Sumatera dan Kalimantan,

    sementara konsumennya sebagian besar terpusat di pulau

    Jawa.

    d. Masih rendahnya pemanfaatan batubara untuk kebutuhan

    domestik sedangkan sebagian besar (70 persen) dari

    produksi batubara dipasarkan ke luar negeri. Salah satu

    penyebabnya juga karena keterbatasan infrastruktur dalam

    hal distribusi. Disamping itu, isu lingkungan juga menjadi

    hambatan bagi industri dalam memanfaatkan sumber energi

    batubara, yakni dengan adanya UU Lingkungan Hidup.

    e. Diversifikasi energi terutama energi terbarukan masih sulit

    dilakukan karena selain biaya yang dikeluarkan jauh lebih

    mahal, infrastruktur yang dibutuhkan juga masih belum

    memadai.

    f. Issu lain terkait dengan pengembangan energi terbarukan

    adalah mahalnya harga energi terbarukan bila dibandingkan

    dengan harga BBM subsidi, sehingga konsumen cenderung

    tetap memilih membeli sumber energi yang lebih murah.

    g. Belum selesainya penyusunan Kebijakan Energi Nasional

    (KEN) yang akan dijadikan sebagai acuan.

  • 22 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 23

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    3.1. Jenis dan Sumber Data

    Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder

    dan data primer. Data sekunder adalah statistik industri nasional

    dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian RI, dan

    data dari asosiasi industri terpilih. Data sekunder digunakan untuk

    menyusun pemetaan awal yang menggambarkan konfigurasi sektor

    industri yang dikaji secara umum. Sedangkan data primer

    digunakan untuk mengetahui karakteristik kebutuhan energi dan

    pemanfaatan energi sektor industri, khususnya 7 kelompok industri

    terpilih yang padat energi, sebagai tujuan utama kajian ini. Data

    primer diperoleh dari wawancara mendalam langsung ke beberapa

    pelaku industri dan asosiasi industri.

    3.1.1. Wawancara

    Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung

    kepada beberapa pelaku industri/perusahaan dan asosiasi industri,

    menggunakan kuesioner sebagai panduan agar wawancara dapat

    lebih fokus pada inti kajian. Poin pokok yang digali secara

    mendalam adalah mengenai besarnya kebutuhan energi, akses

    terhadap energi, proporsi biaya energi dalam proses produksi,

    tingkat efisiensi penggunaan energi, intensitas penggunaan energi

    pada industri yang bersangkutan, dan lain-lain aspek yang

    berkaitan.

  • 24 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    3.1.2. Focus Group Discussion

    Focus Group Discussion (FGD) dalam kajian ini ditujukan untuk

    mendapatkan konfirmasi dan masukan dari para pelaku industri

    terpilih dan para ahli agar kajian dapat menggambarkan realitas

    yang ada di industri. Selain para pelaku dan pengurus asosiasi

    industri, FGD juga melibatkan para ekonom, akademisi, serta

    birokrat dari berbagai instansi terkait.

    3.2. Metode Analisis

    Metode analisis kebutuhan energi sektor industri ini secara umum

    dibagi menjadi 2. Pertama, untuk analisis kebutuhan energi 9

    subsektor industri digunakan analisis trend, di mana basis datanya

    bersumber dari data konsumsi energi pada Industri Besar-Sedang

    (IBS) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada

    analisis kebutuhan energi 9 subsektor industri ini proyeksi

    kebutuhan energi ke depan mengacu pada target pertumbuhan

    masing-masing subsektor industri yang tertuang di dalam Rencana

    Strategis (Renstra) Kementerian Perindustrian.

    Kedua, untuk analisis 7 sektor industri terpilih yang padat energi,

    analisis kebutuhan energi dilakukan dengan metode deterministik.

    Artinya, output suatu industri diproyeksikan pada tahun depan

    dengan menggunakan 3 skenario, yang kemudian dilakukan analisis

    proporsionalitas kebutuhan energinya, dengan asumsi intensitas

    energi konstan. Setelah mengetahui kebutuhan energi di 7 sektor

    industri terpilih yang padat energi pada tahun peramalan,

    kemudian proyeksi tersebut dikurangkan dengan ketersediaan

    energi di industri masing-masing pada tahun 2009. Hasilnya adalah

    kekurangan energi pada tahun peramalan terhadap tahun 2009,

    yang mencerminkan berapa besar kekurangan energi industri ke

    depan.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 25

    Kebutuhan energi pada beberapa industri terpilih ke depan

    diproyeksi berdasarkan skenario trend pertumbuhan produksi, di

    mana skenario dibagi menjadi 3, yaitu: a) skenario Business as Usual

    (BaU); b) skenario akselerasi; dan c) skenario akselerasi disertai

    efisiensi.

    3.3. Asumsi

    Asumsi yang digunakan untuk menghitung kebutuhan energi pada 7

    industri terpilih yang padat energi di masing-masing skenario, ada

    yang sama, ada pula yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh

    karakteristik industri dan sumber energi yang berbeda-beda

    sehingga sulit untuk disamaratakan.

    Namun demikian, pada skenario efisiensi atau penghematan,

    digunakan asumsi patokan harga energi yang sama, yaitu harga

    energi BBM sebesar 1,11 US$/liter, dengan acuan menggunakan

    harga solar industri 20121; batubara sebesar 65 US$/Ton, dengan

    acuan menggunakan harga batubara bulan Oktober 2012 pada

    kandungan kalori 5.100 kkal/kg atau batubara kategori kalori

    sedang2; serta gas bumi sebesar 10,2 US$/MMBTU, dengan acuan

    harga gas alam yang akan mulai berlaku bulan April 2013

    mendatang3.

    Kebutuhan energi pada 7 sektor industri terpilih yang padat energi

    dihitung dengan menggunakan 3 skenario yaitu: a) skenario

    Business as Usual (BaU); b) skenario akselerasi, dan c) skenario

    akselerasi disertai efisiensi. Skenario BaU adalah suatu skenario di

    mana pemerintah tidak melakukan suatu intervensi baru di luar

    yang sudah direncanakan sehingga dunia usaha melakukan kegiatan

    usaha seperti lazimnya dengan peningkatan kegiatan yang alamiah

    mengikuti permintaan. Meskipun demikian skenario BaU bisa tetap

    bervariasi jika terjadi pengaruh luar yang cukup dominan seperti

    1 Tambangnews, 2012 dalam www.tambangnews.com

    2 Kementerian ESDM, 2012 dalam www.djmbp.esdm.go.id/sijh/HBA

    3 Kementerian ESDM, 2012 dalamwww.esdm.go.id/berita/migas

  • 26 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    resesi perekonomian dunia atau bencana alam sehingga impor

    menurun.

    Skenario akselerasi adalah suatu keadaan dimana industri tersebut

    dipacu peningkatan produksinya guna memenuhi suatu target

    tertentu. Target tersebut bisa berupa tingkat pertumbuhan

    produksi, tingkat pemenuhan suatu pasar atau penguasaan pasar,

    atau ada tujuan nasional yang ingin dicapai seperti swasembada

    produk industri tertentu.

    Skenario akselerasi disertai efisiensi adalah suatu skenario

    akselerasi sebagaimana diuraikan diatas yang pada waktu

    bersamaan dilakukan upaya-upaya penghematan penggunaan

    energi atau efisiensi energi. Efisiensi energi diberi arti yang relatif

    luas, yaitu upaya peningkatan produktivitas mesin industri sehingga

    menggunakan energi yang lebih sedikit pada tingkat produksi tetap,

    atau menggunakan energi lain (energi alternatif) yang harganya

    relatif lebih murah dan lebih ramah lingkungan.

    Berikut asumsi yang digunakan dalam menghitung kebutuhan

    energi untuk masing-masing industri padat energi.

    3.3.1. Industri Baja

    Dalam perhitungan kebutuhan energi untuk industri baja asumsi

    yang digunakan untuk masing-masing skenario adalah sebagai

    berikut:

    a. Skenario Business as Usual (BaU)

    Dalam skenario BaU, kapasitas produksi baja hingga tahun

    2025 tumbuh sebesar rata-rata pertumbuhan per tahun

    selama sepuluh tahun terakhir periode 2002-2011, yaitu

    sebesar 7,7 persen per tahun (Worldsteel Association, 2012).

    Intensitas energi pada industri baja di Indonesia sebesar 900

    kWh per Ton4. Artinya, untuk menghasilkan 1 Ton baja di

    Indonesia membutuhkan energi sebesar 900 kWh. Angka

    4 Berdasarkan hasil FGD dengan pelaku industri pada 4 Mei 2012.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 27

    intensitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan India sebesar

    600 kWh per Ton dan Jepang sebesar 350 kWh per Ton, yang

    menunjukkan bahwa penggunaan energi untuk pembuatan

    baja di Indonesia belum seefisien kedua negara tersebut5.

    Proporsi komposisi jenis energi yang digunakan di industri

    baja tetap, sesuai dengan kondisi konsumsi energi pada

    2009, yaitu BBM 25 persen, batubara 3 persen, gas alam 7

    persen, listrik 65 persen (BPS, 2009).

    b. Skenario Akselerasi

    Mengingat porsi impor yang masih besar dalam konsumsi

    baja nasional (sekitar 52 persen), maka skenario akselerasi

    ini mengasumsikan Indonesia berusaha mencukupi seluruh

    kebutuhan konsumsi baja domestik dari produksi dalam

    negeri (swasembada baja) maksimal dapat dicapai pada

    2025.

    Berdasarkan data sekunder, diketahui bahwa hingga 2015

    yang akan datang sudah ada rencana di Indonesia akan

    dibangun beberapa pabrik baja baru dan ada ekspansi pabrik

    baja yang sudah berdiri. Berikut rencana pendirian pabrik

    baja tersebut, lihat Tabel 3.1:

    Mengingat sampai dengan 2015 sudah ada rencana

    peningkatan kapasitas produksi baja, maka proyeksi

    kebutuhan energi industri baja skenario akselerasi ini dimulai

    setelah 2015.

    5 Dalam hal efisiensi, teknologi dan jenis bahan baku yang digunakan industri baja sangat

    menentukan, di mana Indonesia cenderung menggunakan sponge iron, India menggunakan

    blast furcane/baja tanur tinggi, dan Jepang menggunakan scrap/besi tua (Hasil Rakor, 28

    November 2012).

  • 28 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    Tabel 3.1. Rencana Penambahan Kapasitas Produksi Baja

    Nasional

    No Perusahaan Kapasitas Produksi

    (Ton per Tahun)

    Rencana

    Beroperasi

    1 PT Indoferro 500.000 2012

    2 PT Delta Prima Steel 100.000 2012

    3 PT Meratus Jaya Iron and Steel 315.000 2014

    4 PT Krakatau Posco 3.000.000 2014

    5 PT Sebuku Lateritic Iron and Steel 1.000.000 2014

    6 PT Jogja Magasa Iron 1.000.000 2015

    Sumber: Antara/Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), 2012

    Untuk periode 2012-2015 diasumsikan seluruh (100 persen)

    kapasitas produksi pabrik baja yang baru dibangun

    sebagaimana disebut pada Tabel 3.1. langsung dapat dipakai

    pada tahun mulai beroperasi.

    Pertumbuhan konsumsi baja nasional sebesar 9,0 persen,

    merupakan rata-rata pertumbuhan konsumsi baja 10 tahun

    terakhir (Worldsteel Association, 2012).

    Intensitas energi industri baja di Indonesia sebesar 900 kWh

    per Ton.

    c. Skenario Akselerasi Disertai Efisiensi

    Diasumsikan terjadi penurunan intensitas energi, dari 900

    kWh per Ton baja menjadi 600 kWh per Ton baja, intensitas

    energi industri baja di India digunakan sebagai benchmark.

    Terjadi pergeseran proporsi penggunaan sumber

    energi/konversi:

    o Penggunaan BBM yang saat ini masih 25 persen secara

    bertahap berkurang 1,5 persen per tahun, sehingga

    pada 2025 proporsi penggunaan BBM tinggal 5,5

    persen.

    o Penggunaan batubara yang saat ini sebesar 3 persen

    secara bertahap meningkat 1 persen per tahun,

    sehingga pada 2025 proporsi penggunaan batubara

    menjadi 16 persen.

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 29

    o Penggunaan gas alam yang saat ini sebesar 7 persen

    secara bertahap meningkat 0,5 persen per tahun,

    sehingga pada 2025 proporsi penggunaan gas alam

    menjadi 13,5 persen.

    o Proporsi penggunaan energi listrik diasumsikan tetap

    sebesar 65 persen hingga 2025.

    3.3.2. Industri Tekstil

    a. Skenario Business as Usual

    Diasumsikan produksi tekstil tumbuh sebesar rata-rata

    pertumbuhan lima tahun terakhir periode 2006-2011, di

    mana pemintalan (spinning) tumbuh 7,5 persen dan

    penenunan (weaving) 6,9 persen.

    Mengingat penggunaan energi pada proses produksi tekstil

    cukup beragam dan sangat tergantung dari jenis produk yang

    dibuat, maka perhitungan energi dibatasi untuk kegiatan

    pemintalan dan penenunan. Dominasi produksi dari hasil

    pemintalan dan penenunan saat ini sekitar 70 persen dalam

    industri tekstil nasional.

    Intensitas energi untuk kegiatan pemintalan sebesar 9,59

    gigajoule per Ton atau 2.664 kWh per Ton, sementara

    penenunan sebesar 33 gigajoule per ton atau 9.167 kWh per

    Ton (Ditjen EBTKE, KESDM, 2011).

    b. Skenario Akselerasi

    Dari total konsumsi kain domestik, sebesar 39 persen masih

    berasal dari impor. Sementara untuk konsumsi benang

    domestik sebagian besar sudah tercukupi dari produksi

    nasional, namun masih ada sekitar 13 persen berasal dari

    impor. Oleh karena itu, skenario akselerasi ini

    mengasumsikan Indonesia dapat mencukupi seluruh

    kebutuhan konsumsi kain dan benang domestik dari produksi

  • 30 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    dalam negeri (swasembada) yang ditargetkan tercapai pada

    2025.

    Pertumbuhan konsumsi kain dan benang domestik

    diasumsikan sebesar 17 persen per tahun, merupakan rata-

    rata pertumbuhan konsumsi 4 tahun terakhir periode 2007-

    2010, dalam satuan mata uang (Kementerian Perindustrian,

    2011).

    Intensitas energi untuk kegiatan pemintalan sebesar 9,59

    gigajoule per Ton (2.664 kWh per Ton), sementara

    penenunan sebesar 33 gigajoule per ton (9.167 kWh per Ton)

    [Ditjen EBTKE-Kementerian ESDM, 2011].

    c. Skenario Akselerasi Disertai Efisiensi

    Salah satu isu utama dalam industri tekstil adalah cukup

    tuanya mesin-mesin produksi yang digunakan sehingga

    penggunaan energinya relatif boros. Pada skenario ini

    diasumsikan dilakukan restrukturisasi permesinan, sehingga

    konsumsi energi mesin lebih efisien. Berdasarkan hasil

    evaluasi restrukturisasi permesinan yang dilakukan

    Kementerian Perindustrian periode 2007-2009 (lihat

    Lampiran Peraturan Direktur Jenderal Basis Industri

    Manufaktur No.01/BIM/PER/1/2011), setelah program

    restrukturisasi permesinan terjadi peningkatan efisiensi

    pengggunaan energi antara 6-18 persen, atau rata-rata

    efisiensi energi meningkat sebesar 12 persen.

    Intensitas energi untuk kegiatan pemintalan sebesar 9,59

    gigajoule per Ton (2.664 kWh per Ton), sementara

    penenunan sebesar 33 gigajoule per ton (9.167 kWh per Ton)

    [Ditjen EBTKE-Kementerian ESDM, 2011].

    Terjadi pergeseran proporsi penggunaan sumber

    energi/konversi:

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 31

    o Penggunaan BBM yang saat ini masih 5 persen secara

    bertahap proporsi berkurang 0,4 persen per tahun,

    sehingga pada 2025 tidak lagi menggunakan BBM.

    o Penggunaan batubara yang saat ini sebesar 15 persen

    secara bertahap proporsinya meningkat 0,4 persen per

    tahun, sehingga pada 2025 proporsinya menjadi 20

    persen.

    o Proporsi penggunaan gas alam tetap sebesar 10 persen

    hingga 2025.

    o Proporsi penggunaan energi listrik tetap sebesar 70

    persen hingga 2025.

    3.3.3. Industri Pupuk

    Dalam perhitungan kebutuhan energi untuk industri pupuk asumsi

    yang digunakan untuk masing-masing skenario adalah sebagai

    berikut:

    a. Karakteristik Sektoral

    Menurut penuturan Perwakilan Asosiasi Industri Pupuk

    Nasional dalam FGD terkait kebutuhan energi sektor industri,

    pabrik pupuk minimal membutuhkan input gas senilai 80

    persen dari total input. Jika input gas kurang dari 80 persen

    maka pabrik pupuk tidak dapat berproduksi.

    Produksi pupuk di Indonesia dikuasai oleh perusahaan-

    perusahaan milik negara (BUMN). Ada lima pemain besar

    dalam industri pupuk nasional, yaitu PT Pupuk Iskandar

    Muda (PIM), PT Pupuk Sriwijaya (Pusri), PT Pupuk Kujang

    (PK), PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT), dan PT Pupuk Gresik

    (PG) dimana kelima perusahaan tersebut adalah perusahaan

    BUMN6. Kelima perusahaan ini menguasai sebagian besar

    pangsa pasar pupuk di Indonesia, sedangkan perusahaan-

    6 Kebijakan Rightsizing terhadap BUMN yang dilakukan Pemerintah pada 1997 membuat

    5 perusahaan pupuk menjadi 1 holding company menjadi PT Pusri (Holding). Sebagai

    informasi tambahan silahkan dilihat: www.bumn.go.id/wp.../03200701.pdf

  • 32 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    perusahaan pupuk swasta hanya pemain kecil dari industri

    pupuk. Oleh karena itu, batas penelitian dalam analisis ini

    menggunakan data yang bersumber dari kelima perusahaan

    BUMN tersebut.

    Dua produk utama pada industri pupuk adalah produk pupuk

    dan nonpupuk. Produk pupuk rata-rata menyumbang sekitar

    65 persen dari total output, sedangkan sisanya sebanyak 35

    persen adalah produk nonpupuk, lihat Tabel 3.2.

    Tabel 3.2. Realisasi Produksi Pupuk dan Non-Pupuk

    PT Pusri (Holding) 2005-2010 (dalam juta ton)

    Tahun Total Pupuk Total Non-

    Pupuk Total Produksi

    1996 7,17 5,37 12,54

    1997 6,92 5,29 12,21

    1998 6,42 5,03 11,45

    1999 7,05 5,15 12,20

    2000 6,79 5,07 11,86

    2001 6,32 4,47 10,79

    2002 6,48 4,47 10,95

    2003 6,74 4,85 11,59

    2004 7,22 5,34 12,55

    2005 7,66 5,29 12,95

    2006 7,44 5,26 12,70

    2007 7,95 5,29 13,24

    2008 8,72 5,57 14,29

    2009 10,51 5,92 16,43

    2010 10,31 6,01 16,32

    Rata-rata

    Pertumbuhan 2,9% 1,0% 2,1%

    Sumber: Laporan Tahunan 2005, 2008, dan 2010 PT Pusri (Holding)

    Produk pupuk yang terbesar adalah urea, sedangkan produk

    nonpupuk terbanyak adalah amoniak. Produksi urea dan

    amoniak rata-rata menyumbang sekitar 69 persen hingga 80

    persen dengan rata-rata sekitar 75 persen sehingga industri

    pupuk menggunakan asumsi hanya 2 produk, yaitu urea

    (pupuk) dan amoniak (nonpupuk).

  • Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi | 33

    Sumber : Laporan Tahunan PT Pusri Holding 2005, 2008, dan 2010

    Gambar 3.1. Rata-rata Rasio Total Produksi Urea dan Amoniak

    terhadap Total Produksi Industri Pupuk Periode 2003-2010

    Jenis energi terbesar dan utama yang dibutuhkan pada

    industri pupuk adalah gas alam, yang sebagian besar

    digunakan untuk bahan baku. Di sisi lain, kebutuhan energi

    untuk bahan bakar seperti solar, batubara, dan gas alam

    tidak terlalu signifikan bagi industri pupuk karena hanya

    menyumbang sekitar 3,1 persen dari total input energi yang

    dibutuhkan untuk industri pupuk. Oleh karena itu, penelitian

    pada industri pupuk ini menganalisis kebutuhan gas alam

    yang digunakan untuk bahan baku dan juga bahan bakar

    hingga 2025.

    Sumber: Statistik IBS-BPS 2012 dan Laporan Tahunan PT Pusri (Holding) 2009 (diolah)

    Gambar 3.2. Komposisi Kebutuhan Energi Industri Pupuk 2009

    (persen)

  • 34 | Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi

    b. Skenario Business as Usual

    Skenario Business as Usual di sini adalah ketika kondisi

    industri pupuk tidak mengalami perubahan secara signifikan

    atau fundamental. Skenario ini disusun berdasarkan tren

    yang berlaku di tahun-tahun sebelumnya, kemudian ditarik

    rata-ratanya untuk dijadikan acuan memprediksi kondisi

    industri pupuk di masa depan.

    Dalam memprediksi konsumsi energi yang dibutuhkan oleh

    industri pupuk, proyeksi kali ini menggunakan urea dan

    amoniak sebagai sampelnya. Hal ini dikarenakan urea dan


Recommended