Download docx - Kejahatan Bisnis Keko

Transcript

BAB IPENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi memegang peranan yang sangat penting dalam peradaban kehidupan manusia baik di masa kini maupun di masa yang akan datang. Pada era sekarang ini peranan teknologi informasi ditempatkan dalam suatu posisi strategis dimana kehadirannya dapat membuat seolahseolah dunia menjadi tanpa batas, dilihat dari jarak, ruang, dan waktu, serta dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Begitu pula di masa yang akan datang, kemajuan teknologi menghasilkan sejumlah situasi yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh manusia. Perubahan ini tentu akan memberikan suatu dinamika baru yang berdampak pada perubahan sosial budaya dalam suatu masyarakat, ekonomi, dan kerangka hukum secara cepat dan signifikan. Teknologi informasi mencakup suatu teknik untuk mengumpulkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, dan menyebarkan informasi. Salah satu cakupan teknologi informasi yang sangat berguna dan berpengaruh dalam perkembangan kehidupan masyarakat saat ini adalah mengenai pengiriman SMS (Short Message Service) yang berisi pengumuman dan atau penyebaran informasi layanan untuk berlangganan konten. SMS penawaran ini adalah suatu data elektronik berupa tulisan yang dikirimkan kepada pengguna dalam hal ini penerima SMS atau pesan singkat yang memiliki arti atau dapat dipahami. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang membawa pengaruh positif, di sisi lain hal ini kemudian menghadapi tantangan yang berat. Dunia tanpa batas yang semula menjadi titik tolak perkembangan dalam peradaban kehidupan manusia, kemudian berubah menjadi suatu penghalang yang patut diwaspadai dan mendapat pengawasan yang memadai. Banyak pelanggaran yang ditimbulkan dari adanya penyalahgunaan informasi elektronik atau dokumen elektronik, salah satunya mengenai kasus pencurian pulsa. Masih teringat dengan jelas kasus pencurian pulsa yang dilakukan oleh perusahaan content provider yang berawal dari adanya keluhan para pelanggan yang menemukan keanehan dengan pulsa pelanggan provider tertentu yang berkurang secara tidak wajar. Kasus ini bermula dari adanya penerimaan SMS (Short Message Service) kepada pelanggan mengenai penawaran terhadap layanan konten dengan mengakses suatu kode untuk memenangkan hadiah.[footnoteRef:1] Melalui penawaran gratis dan kesempatan untuk memenangkan hadiah tertentu, pelanggan yang tertarik pun akan langsung melakukan registrasi untuk kemudian berlangganan layanan premium yang telah dipilih. Namun permasalahan tak berhenti sampai disitu, pelanggan yang melakukan pemberhentian langganan layanan premium atau dikenal dengan istilah unregister kemudian gagal melakukannya, sehingga pelangganpun dipaksa berlangganan layanan premium, [1: http://www.tabloidpulsa.co.id/news/2068-jebakan-sedot-pulsa-harusnya-tak-terjadi-jika-brti-bekerja- efektif, (ditelusuri 26 Desember 2013).]

dengan dipotong pulsanya secara periodik dan terus menerus.[footnoteRef:2] [2: Ibid]

Pada mulanya perusahaan content provider berusaha untuk membuat konten kreatif yang menarik dengan tujuan agar bisnis di bidang ini berjalan dengan lancar. Dari layanan konten inilah perusahaan dapat meraih keuntungan. Namun pada perkembangannya konten kreatif tersebut tidak digemari konsumen. Salah satu penyebabnya adalah karena naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2005 silam. Ada perbedaan penggunaan terhadap layanan konten sesudah kenaikan harga BBM, pelanggan hanya menggunakan pulsa untuk kepentingan menelepon dan mengirim pesan saja, tidak lagi berlangganan layanan konten karena tentu akan memakan biaya yang lebih untuk kepentingan ini. Hal ini kemudian mendesak pihak perusahaan untuk terus berupaya agar perusahaan tersebut tetap berjalan. Berbagai macam cara dilakukan oleh perusahaan untuk dapat meningkatkan keuntungan, bahkan dengan tindakan illegal sekalipun.[footnoteRef:3] Akhirnya tindakan penyalahgunaan informasi elektronikpun muncul dalam fase ini. [3: Agus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia, CV Karya Putra Darwati, Bandung, 2012, hlm.63.]

Begitu pula dengan kasus yang dialami oleh David Tobing selaku konsumen kartu HALO yang menggugat Telkomsel sebagai penerbit kartu tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. David Tobing menggugat pihak Telkomsel yang melakukan penagihan secara sepihak terhadap layanan tambahan berbayar Opera Mini yang dikirimkan pada telepon selular miliknya. Saat itu ia menerima SMS dari Telkomsel yang berbunyi: [footnoteRef:4] [4: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 30 Desember 2013). ]

Terima kasih anda berlangganan Opera Mini Rp10.000/7hari. Syarat/Ketentuan berlaku hub *363# Untuk stop ketik OP OFF ke 3636. Download klik http://mini.opera.com. Sejak 16 Juli 2011 sampai dengan 10 September 2011 pihak Telkomsel melakukan penagihan sebanyak 9 (sembilan) kali pada nomor kartu yang terdaftar atas nama David Tobing, meskipun David tidak meminta layanan tersebut. Atas tagihan sepihak itu, David menderita kerugian sebesar Rp. 90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah).[footnoteRef:5] [5: http://www.theglobejournal.com/sosok/david-tobing-musuh- telkomsel-namun-pahlawan-korban-pencurian-pulsa/index.php, (ditelusuri 26 Desember 2013). ]

Serupa dengan kasus yang dialami oleh David Tobing, Feri Kuntoro melaporkan salah satu perusahaan content provider, yakni PT Colibri Networks atas pencurian pulsa yang dideritanya. Feri Kuntoro merasa dirugikan karena harus membayar tagihan sebesar ratusan ribu rupiah atas layanan konten yang telah diregistrasi oleh Feri sebelumnya9. Kemudian perusahaan tersebut melaporkan balik Feri Kuntoro dengan tuduhan pencemaran nama baik, fitnah, dan perbuatan tidak menyenangkan ke Polres Metro Jakarta Selatan. Akhirnya Feri Kuntoro menarik laporannya tersebut, kemudian diikuti oleh pihak PT Colibri Networks yang mencabut laporannya. Tak jelas apa motif dibalik pencabutan laporan oleh Feri Kuntoro, namun kasus pencurian pulsa harus segera ditindaklanjuti guna ditemukan penyelesaiannya dengan memberikan rasa adil bagi korban. Pembagian keuntungan telah disepakati dalam Perjanjian Kerjasama antara kedua belah pihak sesaat ketika salah satu perusahaan content provider terpilih sebagai pemenang Master Content Ring Back Tone. Dengan berlangganan nada sambung tersebut pelangganpun memiliki kesempatan untuk memenangkan hadiah. Namun ketika pelanggan ingin memberhentikan langganan terhadap layanan konten ini dengan mengikuti tata cara unregister, yang terjadi kemudian adalah pelanggan gagal memberhentikan langganan, dan bahkan berbalik menjadi perintah untuk perpanjanganlayanan konten meskipun pelanggan telah mengikuti petunjuk pemberhentian seperti yang tertera pada SMS yang dikirimkan. Ketidakberhasilan dalam penghentian layanan konten ini dilakukan dengan mengubah pengaturan algoritma sistem unregister layanan Ring Back Tone (RBT). Ketiga ilustrasi yang telah dipaparkan sebelumnya dikategorikan dalam bentuk kejahatan siber dan telematika/ cyber crime. Pelanggaran terhadap kasus gagalnya proses unregister yang dilakukan oleh pelanggan layanan konten dalam hal ini yang dialami oleh Feri Kuntoro merupakan perbuatan melawan hukum dimana perusahaan content provider menyebarkan berita bohong mengenai informasi unregister tehadap layanan konten yang telah diregistrasi sebelumnya oleh Feri Kuntoro yang menyebabkan kerugian pihaknya, yakni atas tagihan tidak wajar yang dibebankan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengandung unsur delik Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Terhadap pelanggaran atas Pasal 28 ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait dengan kasus yang telah dipaparkan sebelumnya, muncul pertanyaan apakah tanggung jawab pidana dapat dibebankan pada korporasi? Mengingat perusahaan content provider atau provider yang telah menimbulkan kerugian seharusnya bertanggung jawab atas pencurian pulsa tersebut. Bagaimana sebuah kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dalam hal ini perusahaan content provider maupun perusahaan provider secara jelas dan meyakinkan telah melanggar hukum dan menimbulkan kerugian, serta menciptakan keresahan dalam masyarakat baik bagi pengguna content provider yang tidak tahu kepada pihak mana seharusnya mereka meminta pertanggungjawaban atas pencurian pulsa yang mereka alami, dan perlindungan yang pasti agar tidak menderita kerugian yang lebih daripada sebelumnya, maupun bagi masyarakat bukan pengguna content provider yang berharap agar kasus yang serupa tidak terjadi pada mereka. Awal mula berkembangnya korporasi di Indonesia terjadi setelah tahun 1838 dimana pada tahun tersebut muncul berbagai macam bentuk badan usaha seperti CV, Firma, sebagai akibat dari semakin berkembangnya bisnis perdagangan di dunia, yang kemudian diatur dalam Kitab UndangUndang Hukum Dagang. Sebelumnya Perancis juga telah memasukan pengaturan mengenai korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce dengan menggunakan asas konkordansi. Belanda yang pernah dijajah oleh Perancis lalu memberlakukan pengaturan tersebut di negaranya. Begitu pula dengan Indonesia yang pada waktu itu menjadi daerah jajahan Belanda menerapkan hal yang sama seperti yang diberlakukan di Belanda. Akhirnya korporasipun lalu diakui sebagai subyek hukum di samping subyek hukum manusia yang tunduk pada KUH Perdata dan KUHD. Sebenarnya Kitab UndangUndang Hukum Pidana di Indonesia hanya mengenal orang perseorangan (legal persoon) sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, dan tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum.[footnoteRef:6] Namun korporasi kemudian dikategorikan sebagai subyek hukum dengan ditetapkannya UndangUndang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Selain itu pengakuan korporasi sebagai subyek hukum juga diperkuat dengan beberapa literatur di Indonesia, sebagai contoh menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia yang menyatakan bahwa pengurus suatu badan hukum maupun badan hukum itu sendiri ditetapkan sebagai subjek hukum.[footnoteRef:7] Hal ini semakin menguatkan bahwa korporasipun dapat dibebankan tanggung jawab atas indikasi kelalaian, keserampangan, kelicikan, dan kesengajaan atas segala tindakan korporasi.[footnoteRef:8] [6: Agus Budianto, Op. Cit., hlm. 10.] [7: Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989, hlm 55] [8: Agus Budianto, Op. Cit., hlm. 64 ]

Korporasi dalam pembentukannya memiliki tujuan yakni, untuk mendapatkan keuntungan dan terus meningkatkannya. Namun seringkali untuk mencapai tujuan tersebut, korporasi melakukan tindakan pelanggaran hukum, yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, disebut dengan kejahatan korporasi. Dikenal dua bentuk kejahatan korporasi, yakni yang pertama mengenai kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bekerja atau yang berhubungan dengan suatu perusahaan yang dipersalahkan, dan yang kedua mengenai kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri melalui karyawankaryawannya16. Dari bentukbentuk kejahatan korporasi inilah munculnya berbagai teori pertanggungjawaban pidana korporasi yang dilahirkan dalam rangka menghentikan atau menghukum korporasi yang melakukan tindak pidana.[footnoteRef:9] Untuk dapat dipidananya subyek hukum dalam hal ini korporasi, harus dilihat terlebih dahulu mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, untuk kemudian dibuktikan persyaratan unsur kesalahannya agar dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. [9: Idem, hlm. 64]

Hal yang tidak lepas dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi seperti yang dilakukan oleh perusahaan content provider yang menyebarkan berita bohong terkait kasus pencurian pulsa adalah mengenai korban yang menderita kerugian sebagai akibat dari pelaksanaan aktivitas suatu korporasi yang bertentangan dengan hukum yang berlaku. Tak dapat dipungkiri bahwa selalu ada pihak yang dirugikan dalam hal ini adalah konsumen layanan konten yang berlangganan. Namun berbeda dengan kejahatan biasa yang dilakukan oleh orang perseorangan dimana korban mengetahui secara persis bahwa dirinya merupakan seorang korban, dalam kejahatan korporasi seringkali korban tidak mengetahui bahwa diri mereka adalah korban dari kejahatan korporasi yang berujung kepada pembiaran terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi.[footnoteRef:10] Pencegahan dan penanggulangan kejahatan korporasi terhadap korban perlu mendapat perhatian khusus sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap korban. [10: Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006, hlm 4]

Berdasarkan banyaknya pertanyaan hukum terkait dengan permasalahan hukum yang terjadi dalam masyarakat barubaru ini, maka penulis tertarik untuk membuat penulisan hukum yang berjudul Pertanggungjawaban Pidana Atas Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong dan Menyesatkan yang Mengakibatkan Kerugian Konsumen Dalam Transaksi Elektronik pada Kasus Pencurian Pulsa untuk mencoba memberikan jawaban terkait pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang melakukan tindak pidana pencurian pulsa.

BAB IIPEMBAHASAN

A. TINDAK PIDANA/DELIK YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN CONTENT PROVIDER MAUPUN PROVIDER 1. Kasus Pencurian Pulsa yang Terjadi Ilustrasi kasus yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini adalah kasus pencurian pulsa yang bermula saat adanya pelaporan seorang korban yang bernama Feri Kuntoro pada tanggal 5 Oktober 2011 ke Polda Metro Jaya. Feri Kuntoro melapor ke bagian khusus unit cybercrime dengan nomor laporan LP/3409/X/2011/PMJ/Ditreskrimsus karena sebelumnya merasa telah dirugikan atas tagihan kartu provider pascabayar miliknya hingga empat ratus lima puluh ribu rupiah. Melalui modus pesan singkat berlangganan (registrasi) yang ditayangkan pada salah satu stasiun televisi swasta, Feri Kuntoro kemudian mendaftarkan diri dengan berlangganan suatu layanan konten provider untuk mengikuti program berhadiah untuk mendapatkan kesempatan memenangkan hadiah pada Maret 2011. Feri kemudian meregistrasi untuk berlangganan layanan konten provider dengan short code 9133. Diketahui kemudian bahwa short code tersebut adalah milik PT Colibri Networks, sebuah perusahaan content provider yang bekerjasama dengan provider Telkomsel. Feri kemudian melakukan pemberhentian langganan terhadap layanan konten dengan mengirim SMS unreg pada tanggal 24 Maret 2011, namun usahanya selalu gagal untuk berhenti berlangganan dan SMS balasan yang menjawab Maaf, sistem sedang bermasalah, silakan ulangi lagi. Sehari setelah laporan Feri Kuntoro tersebut, PT Colibri Networks kemudian menggugat balik Feri dengan pasal pencemaran nama baik, fitnah, dan perbuatan tidak menyenangkan ke Polres Jakarta Selatan. Mengingat adanya beberapa laporan kasus serupa di daerah lain, maka pada tanggal 24 Oktober 2011 Polda Metro Jaya selanjutnya melimpahkan kasus pencurian pulsa ini ke Bareskrim Mabes Polri sehingga koordinasi dengan instansi lain yang terkait dengan kasus ini menjadi lebih mudah untuk dilakukan guna menyelesaikan perkara tersebut. Pada tanggal 27 Januari 2012 ternyata tim kuasa hukum Feri Kuntoro mendatangi Mabes Polri untuk memberitahukan hal perdamaian kliennyadengan pihak PT. Colibri Networks, dan membatalkan jika memang ada laporan terhadap PT. Colibri Networks yang dilakukan Feri Kuntoro. Kuasa hukum Feri Kuntoro mengatakan bahwa perdamaian yang terjadi antara kliennya dengan perusahaan content provider tersebut dikarenakan PT Colibri Networks telah meminta maaf kepada pihaknya terlebih dahulu. Meski laporan terhadap PT. Colibri Networks secara perdata telah dicabut oleh Feri Kuntoro melalui kuasa hukumnya, namun Polisi tetap menganggap kasus ini sebagai kasus pidana, sehingga polisi segera menindaklanjuti laporan tersebut, dan setelah melalui rangkaian penyelidikan, dan penyidikan, polisipun menetapkan tiga tersangka dalam kasus pembobolan pulsa ini pada bulan Maret 2012, yakni tersangka dengan inisial KP, selaku Vice President Digital Music Content Management PT Telkomsel, kemudian tersangka dengan inisial NHB, sebagai Direktur PT Colibri Networks, dan yang terakhir tersangka dengan inisial WMH, yang menjabat sebagai Direktur PT Mediaplay. Ketiga tersangka tersebut disangkakan dengan kasus pembobolan pulsa para pelanggan telepon seluler melalui penandatanganan perjanjian kerjasama antara Telkomsel dan perusahaan penyedia layanan konten yang terkait. Ketiga tersangka yang telah ditetapkan oleh polisi kemudian dijerat dengan Pasal 62 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 362 dan 378 KUHP. Terkait dengan kasus pencurian pulsa yang lain dikenal pula dengan modus penipuan yang mengaku sebagai orangtua, dalam hal ini pengirim yang mengaku sebagai keluarga (mama atau papa) si penerima SMS maupun saudara terdekat lainnya yang meminta untuk dikirimi pulsa. Alih-alih bahwa keluarga terdekat tersebut sedang berada di kantor polisi dan membutuhkan pulsa, pengirim SMS tersebutpun mengirimkan SMS yang berisi suruhan untuk mengisi pulsa si penerima SMS. Perintah ini dibuat seolah-olah keluarga terdekat atau orang tua sedang berada dalam suatu masalah yang sangat membutuhkan pulsa sesegera mungkin. Salah satu contoh modus penipuan pulsa terjadi adalah:[footnoteRef:11] [11: http://www.kabelpulsa.com/laporkan-penipuan-kirim-sms-ke-1166-telkomsel.html, (ditelusuri 8 Januari 2014).]

Tolong donk isi pulsa mama 25 ribu, mama sedang di kantor polisi. Isi pulsanya ke no 085222013***, ini mama sedang pinjem hp temen. Nanti uangnya mama ganti. Contoh lainnya adalah mengenai SMS Kredit Tanpa Agunan (KTA) yang dikirimkan oleh bank kepada sejumlah nomor ponsel tertentu untuk menawarkan produk bank berupa kredit agunan. Berbeda dengan modus yang dilakukan oleh perusahaan penyedia layanan konten yang bekerjasama dengan provider, SMS ini dikirimkan dari pihak yang tidak terkait dengan penyelenggara layanan konten dan tergolong dalam salah satu cara kreativitas marketing dalam mempromosikan produknya terhadap calon pelanggan. Salah satu contoh SMS penawaran tersebut adalah:[footnoteRef:12] [12: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa- resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 8 Januari 2014).]

Yth. Bpk/Ibu kami beri KTA dari Bank Midun 5-150 jt. Bunga 1.50% min 99jt, syrt KTP & Krt kredit, klu tidak berminat tlgabaikan sms ini. Angel 0857842****/021342987** Kasus lainnya yang terkait dengan pencurian pulsa adalah yang terjadi pada konsumen kartu HALO Telkomsel, David Tobing atas penagihan secara sepihak layanan tambahan berbayar Opera Mini yang dikirmkan oleh pihak Telkomsel. David Tobing sebelumnya tidak pernah meminta layanan tersebut, namun secara tiba-tiba pihak Telkomsel mengirimkan pesan yang berbunyi: Terima kasih anda berlangganan Opera Mini Rp10.000/7hari. Syarat/Ketentuan berlaku hub *363# Untuk stop ketik OP OFF ke 3636. Download klik http://mini.opera.com [footnoteRef:13] [13: Hukumonline,http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan- pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 30 Desember 2013).]

2. Unsur Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong dan Menyesatkan dalam Kasus Pencurian Pulsa yang Dilakukan Perusahaan Content Provider Maupun Provider Berdasarkan kasus pencurian pulsa yang telah ditentukan sebelumnya, bahwa penulisan hukum ini kemudian akan membahas tentang kasus pencurian pulsa perusahaan penyedia layanan konten yang bekerjasama dengan provider melalui layanan konten yang telah diregistrasi sebelumnya oleh pelanggan, kemudian pada saat pelanggan/konsumen menlakukan pemberhentian/unregister, yang terjadi kemudian adalah adanya balasan SMS yang berisi Maaf, sistem sedang bermasalah, silakan ulangi lagi. Ilustrasi kasus diatas memang belum mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde) sehingga pasal ini belum bisa digunakan sebagai penerapan, namun pasal tersebut dapat digunakan sebagai dasar tuntutan. Berikut adalah isi dari Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. a. Setiap orang Unsur setiap orang mengacu pada setiap subyek hukum, yakni pemegang hak dan kewajiban, yang memiliki kemampuan untuk dibebankan tanggung jawab terhadap perbuatannya menurut Undang-Undang. Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pengertian unsur setiap orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing maupun badan hukum. Jadi, dengan kata lain Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik mengakui bahwa unsur setiap orang juga dapat dikenakan terhadap badan hukum (rechtspersoon) sebagai subjek hukum dan bukan hanya kepada manusia saja. Bahwa dalam hal ini konsumen sebuah provider melaporkan perusahaan yang terkait dengan tagihan kartu pascabayar milik provider yang dibebankan kepadanya berdasarkan program layanan konsumen dengan short code 9313, dan kemudian diketahui bahwa kode singkat tersebut adalah milik salah satu perusahaan penyedia layanan konten yang bekerjasama dengan salah satu provider di Indonesia. Penulis menarik kesimpulan bahwa laporan tersebut yang diajukan kepada provider maupun perusahaan penyedia layanan konten yang mana kedua perusahaan tersebut merupakan korporasi/badan hukum yang diakui sebagai subjek hukum oleh undang-undang yang berlaku. b. Dengan sengaja Menurut memori penjelasan atau Memorie Van Toelichting (MvT), pidana umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.[footnoteRef:14] Berbeda dengan teori kehendak maupun kesengajaan yang menjadi salah satu titik penentu terhadap subjek hukum berupa manusia dalam menentukan unsur kesalahannya bila dikaitkan dengan kemampuannya untuk bertanggung jawab seperti yang kita ketahui dalam asas pidana yakni actus non facit reum, nisi mens sit rea atau tiada pidana tanpa kesalahan sebagai sikap kalbu atau unsur mens rea, dalam kejahatan yang dilakukan oleh korporasi sebagai badan hukum dikenal pula dengan bentuk pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada pelaku sekalipun pelaku tersebut tidak memiliki mens rea yang menjadi syarat. Hanya dengan dapat dibuktikannya bahwa si pelaku telah melakukan suatu perilaku lahiriah atau actus reus berupa tindakan melakukan sesuatu yang dilarang dalam undang-undang (commission) maupun tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang (omission), maka terhadapnya dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, seperti yang tertulis dalam RUU KUHP dimana dalam hal tindak pidana tertentu seseorang dapat dipidana karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan. Begitu pula dengan korporasi yang tidak dapat diketahui mengenai unsur mens rea nya dikarenakan badan hukum tidak mempunyai sikap kalbu yang dapat diidentifikasi seperti manusia pada umumnya. Korporasi memang mempunyai kehendak, namun kehendak tersebut dilihat berdasarkan para pengurus yang menjalankannya. [14: Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hlm. 66-70.]

Bahwa karena pengubahan algoritma bahasa pemrograman terhadap permintaan unregister layanan konten membuat pelanggan yang ingin berhenti berlangganan menjadi gagal, sehingga munculah berita bohong dan menyesatkan sebagai perwujudan tindakan kesengajaan dengan maksud, dimana dengan dilakukannya perubahan algoritma membuktikan bahwa perbuatan itu memang memiliki maksud untuk melakukan tindakan tersebut, dan tentu menghendaki akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu c. Tanpa hak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia hak diartikan sebagai kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena telah ditentukan undang-undang atau aturan. Menurut penulis tanpa hak dapat diartikan sebagai tidak adanya kekuasaan untuk melakukan sesuatu seperti yang telah ditentukan oleh undang-undang atau aturan. Menurut Prof. Van Hemel Wederrechtelijk dijabarkan dalam dua kelompok, yakni secara positif maupun secara negatif.[footnoteRef:15] Secara positif Wederrechtelijk diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan hukum dengan penjelasan lebih dalam yakni, met krenking van eens anders rect atau dengan melanggar hak orang lain. Kemudian dalam kelompok negatif Wederrechtelijk diartikan sebagai tidak berdasarkan hukum, dengan kata lain sebagai Zonder bevoegheid atau tanpa hak. [15: P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT.Citra Aditya, Bandung, 1997, hlm. 347-349.]

Bahwa menurut Penulis setelah menjabarkan uraian di atas, istilah Wederrechtelijk atau melawan hukum adalah penjabaran secara luas dari tanpa hak, sehingga keduanya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Tanpa hak disini berhubungan dengan tindakan penyebaran berita bohong dan menyesatkan, dimana tidak ada satupun dalam undang-undang yang menyatakan penyebaran berita bohong berhak dilakukan oleh subjek hukum/ subjek hukum tidak memiliki hak untuk menyebarkan berita bohong dan menyesatkan. Unsur tanpa hak dengan sendirinya menjadi terbukti ketika unsur penyebaran berita bohong dan menyesatkan dapat dibuktikan. d. Menyebarkan berita bohong dan menyesatkan Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebarkan adalah kegiatan menyiarkan atau mengirimkan. Sedangkan berita bohong adalah berita yang tidak sesuai dengan hal yang sebenarnya, sehingga menyebabkan suatu keadaan menyesatkan. Dalam hal ini perusahaan penyedia layanan konten telah mengirimkan suatu berita yang tidak sebenarnya mengenai informasi tentang gagalnya proses unregister melalui balasan SMS Maaf sistem sedang bermasalah, silakan ulangi lagi yang dikirimkan oleh perusahaan penyedia layanan konten tersebut maupun provider yang menyebabkan tagihan telepon konsumen semakin bertambah dan membuatnya tetap berlangganan layanan konten tersebut. Menurut David Tobing selaku penasehat hukum dari konsumen terdapat dua modus pencurian pulsa berdasarkan inisiatif perusahaan penyedia layanan konten maupun provider, yakni:[footnoteRef:16] [16: David Tobing, Seminar Tanggung Jawab Provider Dalam Penyediaan Konten Terkait Kasus Pnecurian Pulsa, yang diselenggarakan Atmajaya Mootcourt Guild, Jakarta, 1 Maret 2012, hlm. 5.]

1) Provider/Content provider membuat program algoritma yang dikonsepkan menolak permintaan unregister pelanggan. 2) Adanya provider/content provider nakal yang menyebarluaskan nomor-nomor pelanggan kepada perusahaan content provider lainnya. Penulis kemudian berpendapat bahwa modus pencurian pulsa yang dilakukan oleh perusahaan penyedia layanan konten maupun provider adalah menggunakan program perubahan algoritma terhadap proses unregister mengingat bahwa short code 9133 tersebut milik salah satu perusahaan penyedia layanan konten yang menjadi penyebab tagihan konsumen tersebut semakin bertambah besar. Pengubahan algoritma siistem unregister, mengakibatkan suatu sistem secara otomatis mengirimkan SMS yang berisi penolakan permintaan unregister/ tidak berhasilnya pemberhentian langganan layanan konten seperti yang dilakukan oleh konsumen. Hal pemberitahuan mengenai gagalnya permintaan unregister merupakan sebuah berita bohong dan menyesatkan karena kondisi sistem elektronik tidak dalam kondisi yang rusak setiap kali dilakukan proses unregister. e. Mengakibatkan kerugian konsumen Bahwa unsur mengakibatkan kerugian konsumen merupakan hubungan sebab akibat dengan perbuatan sebelumnya dimana suatu perbuatan menyebarkan berita bohong dan menyesatkan mengakibatkan suatu kondisi dimana seseorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang telah mereka keluarkan.96 Kerugian yang dimaksud disini adalah kerugian yang diterima oleh konsumen dimana pengertian konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam hal ini perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. f. Transaksi elektronik Bahwa sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Bahwa telah terjadi perbuatan hukum yakni jual-beli, yakni dengan membeli suatu layanan konten yang dijual oleh perusahaan content provider dan provider melalui telepon genggam milik konsumen/pelanggan Unsur dari tindak pidana Pasal 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik tersebut dikaitkan dengan tindak pidana pencurian Pasal 362 KUHP yang terdiri dari unsur: a. Barangsiapa Barangsiapa mengacu pada subjek hukum, dimana meskipun dalam hal ini KUHP tidak dikenal badan hukum sebagai subjek hukum, namun karena perkembangan waktu kejahatan tidak hanya dilakukan oleh orang-perseorangan saja, melainkan kejahatan dilakukan pula oleh suatu organisasi/badan hukum yang bersifat kompleks. Saat inipun, RUU KUHP kita telah merumuskan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dibebankan tanggung-jawab pidana. Dalam undang-undang lainnya juga sudah dikenal konsep pertanggungjawaban pidana korporasi, seperti dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian mengakui badan hukum sebagai subjek hukum, Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang juga secara implisit mengakui orang-perseorangan maupun badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada pelaku usaha. b. Mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab II tentang definisi dari mengambil yang mengalami perluasan bahwa kategori mengambil dapat dilakukan tidak terbatas pada membawa atau mengalihkan dengan sentuhan tangan, namun termasuk juga perbuatan mengalihkan atau memindahkan barang dengan berbagai cara. Begitu pula dengan definisi barang yang dikaitkan dengan pulsa/ satuan dalam perhitungan biaya telepon. Dalam pengertian pulsa sebagai satuan dalam perhitungan biaya telepon, dipersyaratkan bahwa biaya telepon didapatkan dengan menegluarkan sejumlah uang tertentu yang ditukar kedalam bentuk yang lain dan digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang dituju. Setelah pemakaian habis, maka konsumen harus mengisi ulang kembali dengan mengeluarkan sejumlah uang yang diinginkan, disesuaikan dengan pulsa yang diinginkan pula. Begitupun dengan pulsa yang sistem tagihannya diberikan kemudian setelah pemakaian telepon dalam jangka waktu tertentu.Oleh karena itu pulsa juga dapat ditafsirkan dengan sejumlah uang, yang jika dikaitkan lebih jauh melalui perlasan pengertian sama dengan barang. Pengertian barang disini menjadi luas karena pemakaian bentuk kata yang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Ditambah lagi perkembangan teknologi yang semakin maju setiap waktunya harus dapat diakomodir terhadap suatu bentuk pengertian/definisi yang lama, oleh karena itu suatu perluasan penafsiran menjadi dibutuhkan, karena pada waktu pengaturan mengenai hal yang baru ini dibuat, hal tersebut belum terpikirkan oleh para pembuat undang-undang sebelumnya.[footnoteRef:17] [17: Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 48]

Bahwa sekarang ini penafsiran barang sama dengan aliran listrik yang telah dikembangkan dalam delik komputer. Hal ini diperkuat dengan putusan Pengadilan Arnhem (N.J. 1984, 80) yang memutuskan pada tanggal 27 Oktober 1983 bahwa data komputer (computer gegevens) dalam hal tertentu sama dengan barang.[footnoteRef:18] [18: Idem, hlm. 49.]

c. Dengan maksud untuk dimiliki dengan melawan hukum Pengertian dengan maksud untuk dimiliki termasuk dalam salah satu dari ketiga tingkatan dalam sengaja, yakni:[footnoteRef:19] [19: Idem, hlm. 116.]

1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk), yakni bila orang sengaja melakukan suatu tindak pidana dengan maksud untuk mencapai tujuan yang dikeendakinya. 2) Sengaja dengan kesadaran tentang kepastian (opzet met bewustheid van zekerheid of noodzalijkheidsbewustzijn), yakni bila orang yang melakukan suatu perbuatan untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya, sedang ia menyadari bahwa suatu hal lain yang tidak dimaksudkan sebagai tujuan pasti akan terjadi 3) Sengaja dengan kesadaran kemungkinan sekali terjadi (opzet met waarschijnlijkheidsbewustzjin), yaitu bila orang melakukan suatu perbuatan, sedang ia mengetahui bahwa mungkin perbuatan yang dilakukannya itu akan menimbulkan akibat lain yang tidak dimaksud. Bahwa unsur dengan maksud untuk memiliki termasuk dalam tingkatan kesengajaan seperti di atas, dan tentu perbuatan yang disengaja ini dilakukan secara melawan hukum yang tanpa hak.

B. ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI YANG DIBEBANKAN TERHADAP PERUSAHAAN CONTENT PROVIDER MAUPUN PROVIDER 1. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang Ditetapkan dalam Kasus Pencurian Pulsa Dalam menentukan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi yang tepat dalam kasus pencurian pulsa ini dapat dibuktikan berdasarkan directing mind dari korporasi yakni organ korporasi yang karena posisinya sebagai penentu kebijakan korporasi yang memiliki kewenangan untuk melakukan/ tidak melakukan dan memerintahkan agar perbuatan tersebut dilakukan/ tidak dilakukan. Tentu saja perbuatan yang dilakukan/ tidak dilakukan ini mengikat korporasi, artinya perbuatan ini menjadi perbuatan korporasi. Dalam hal ini direktur utama perusahaan penyedia layanan konten maupun direktur utama dari provider dianggap sebagai personel yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan yang mengikat korporasi. Direktur dan manager dianggap mewakili pikiran dan kehendak perusahaan karena kewenangan yang dimilikinya tersebut berhak untuk mengendalikan perusahaan tersebut.[footnoteRef:20] [20: Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm.101.]

Ajaran tersebut termasuk dalam ajaran identifikasi. Untuk kemudian dibuktikan bahwa perbuatan dari personel tersebut memang dalam rangka kewenangannya, dengan kata lain bahwa tindak pidana yang dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi bukan melakukan perbuatan yang berada diluar kewenangannya (ultra vires).[footnoteRef:21] Untuk membuktikan hal ini menjadi kewenangan dari direktur suatu korporasi dapat digunakan doktrin identifikasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya. dan dapat diatribusikan kepada korporasi untuk bertanggung-jawab. Pikiran langsung dari korporasi tersebut memang diwakilkan oleh direktur sebagai orang yang dengan kewenangannya dianggap sebagai orang yang juga melakukan perbuatan tersebut, namun kita dapat mengetahui bahwa suatu tindak pidana benar-benar dilakukan secara teknis melalui pegawai/karyawan, kuasa/mandataris, atau personil, dibuktikan bahwa suatu tindak pidana ini memang dilakukan oleh manusia dalam rangka tugas kewenangannya melakukan suatu tindak pidana atas nama korporasi. Oleh karena itu doktrin vikarius dapat digunakan untuk menjawab persoalan ini. Bahwa doktrin vikarius mengatur dimana direktur dapat bertanggung-jawab pidana terhadap perbuatan yang dilakukan orang lain [21: Idem, hlm.162.]

(pegawai/karyawan,kuasa/mandataris). Seseorang yang dalam kenyataannya tidak melakukan tindak pidana namun dalam rangka pembebanan pertanggungjawaban pidana, ia dipandang memiliki kesalahan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain dalam suatu kedudukan tertentu. Hal ini dipahami bahwa tindakan karyawan dianggap sebagai tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan, begitu pula dengan apa yang menjadi pengetahuan karyawan merupakan pengetahuan dari kepala juga. Kemudian dapat ditarik lebih lanjut lagi bahwa perbuatan dalam hal ini tindak pidana penyebaran berita bohong dan mnyesatkan yang dilakukan oleh korporasi tersebut memang memberikan manfaat bagi korporasi itu sendiri. Hal ini juga terlihat dari sisi kerugian yang diderita oleh para konsumen sebagai akibat dari perbuatan korporasi ini. Namun perlu diingat bahwa sekalipun pengurus terbukti bersalah yang menjadikan dipidananya pengurus tersebut tidak memberikan jaminan yang cukup bahwa korporasi tidak sekali lagi melakukan perbuatan yang telah dilarang oleh undang-undang itu. Oleh karena itu menurut penulis pertanggungjawaban pidana yang dibebankan terhadap korporasi dan bukan terhadap pengurusnya membuat aktivitas korporasi dari tindakan melawan hukum dapat dihentikan, sehingga perlindungan terhadap masyarakat dari adanya bahaya kerugian diharapkan dapat terwujud. Begitu pula dengan kerugian yang diakibatkan oleh korporasi dalam hal ini perusahaan penyedia layanan konten maupun provider yang melakukan tindak pidana membuat korporasi ini harus bertanggung-jawab atas perbuatannya. Dengan maksud untuk memperjuangkan kepentingan korban yang telah dirugikan inilah korporasi tidak hanya dituntut atas tindak pidana yang dilakukannya, melainkan juga terhadap kerugian yang dibuatnya pada korban (konsumen) untuk selanjutnya diberikan ganti kerugian oleh korporasi tersebut sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan. 2. Sanksi yang Diberlakukan Kepada Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong dan Menyesatkan dalam Kasus Pencurian Pulsa Telah disebutkan sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang termasuk orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum. Korporasi dalam hukum pidana juga meliputi badan hukum maupun bukan badan hukum. Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, SH yang pengertian korporasi adalah:[footnoteRef:22] Bukan saja badanbadan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum. Sekumpulan orang yang terorganisir kemudian memiliki pemimpin, serta dapat melakukan perbuatan hukum seperti melakukan perjanjian untuk dan atas nama kumpulan tersebut, juga dapat dikategorikan sebagai korporasi. [22: Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm.45]

Berdasarkan penjelasan mengenai pengertian korporasi diatas, penulis kemudian berpendapat bahwa perusahaan penyedia layanan konten maupun provider termasuk dalam pengertian korporasi berupa badan hukum, yakni perseroan terbatas yang berdasarkan Pasal 1 Staatsblad 1870 No. 64 (Keputusan Raja tanggal 28 Maret 1870), yaitu: perkumpulan yang akta pendiriannya disahkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Gubernur Jenderal (pada waktu itu disebut juga dengan Directeur van JustititeI, sekarang Menteri Hukum dan HAM RI). Terhadap pelanggaran dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dimana setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik kemudian diatur mengenai ketentuan pidana dalam Undang-Undang ITE yang dapat dibebankan kepada korporasi dalam hal ini perusahaan penyedia layanan konten maupun provider dengan ketentuan sebagai berikut: Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam ketentuan Pasal 45 diatur mengenai pidana pokok berupa pidana penjara dan/atau denda bagi setiap orang yang melanggar Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE, namun pidana penjara tidak mungkin diberlakukan terhadap korporasi, sehingga diperlukan pemberlakuan pidana alternatif, seperti ditulis oleh Prof Sutan Remy Sjahdeini bahwa kata dan/atau menunjukkan bahwa sanksi tersebut bersifat alternatif (artinya dapat dipilih oleh Hakim), sehingga kepada korporasi hanya akan dikenakan sanksi pidana denda karena korporasi tidak mungkin menjalankan sanksi pidana penjara. Penulis sependapat dengan pernyataan Prof Dr. Sutan Remy Sjahdeini mengenai pemberlakuan sanksi pidana pokok berupa denda terhadap korporasi dikarenakan korporasi tidak dimungkinkan untuk menjalani pidana penjara, namun korporasi dapat dibebankan pidana pokok denda jika terbukti bersalah dengan pengaturan bahwa pidana denda yang diberikan jumlahnya lebih besar. Sebagai contohnya seperti yang diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 45 yang menyatakan bahwa: Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga. Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diberlakukan pula mengenai sistem pemberatan seperti yang dilakukan dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Terbukti pada Pasal 52 ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi, Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 37 dilakukan oleh korporasi dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga. Hal ini secara tidak langsung diharapkan berpengaruh terhadap tujuan pemidanaan yakni untuk menimbulkan efek jera dengan pemberlakuan pidana denda yang diperberat, dengan harapan korporasi tidak melakukan tindak pidana tersebut kembali. Selain pidana pokok berupa pidana denda yang dapat dibebankan terhadap korporasi, dikenal pula dengan pidana tambahan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab II mengenai jenis sanksi berupa pidana tambahan. Pidana tambahan memang telah diatur dalam KUHP Pasal 10, tetapi sekali lagi pengaturan mengenai sanksi pidana ini hanya berlaku bagi orang-perseorangan atau mungkin pengurus dari sebuah badan hukum. Menurut hemat penulis meskipun aturan mengenai pidana pokok dan tambahan ini hanya diatur dalam KUHP dan ditujukan pada subjek hukum orang-perseorangan, namun hal ini juga dapat digunakan sebagai acuan untuk menerapkan sanksi pidana terhadap korporasi itu sendiri. Sanksi pidana tambahan yang digunakan Penulis dalam penulisan hukum ini adalah pembekuan kegiatan usaha, perampasan aset korporasi oleh negara, pengambilalihan korporasi oleh negara, dan pengumuman putusan hakim. Menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya mengkategorikan sanksi pidana yang telah Penulis kemukakan diatas kedalam bentuk sanksi pidana pokok, namun Penulis memasukkan bentuk sanksi pidana tersebut dalam kategori pidana tambahan sesuai dengan Pasal 10 KUHP tentang sanksi pidana tambahan yang dapat diterapkan pada korporasi. Dibawah ini penjelasan mengenai jenis-jenis pidana tambahan menurut KUHP yang diterapkan kepada korporasi: a. Pencabutan Hak-hak Tertentu 1) Pembekuan kegiatan usaha Pembekuan kegiatan usaha dalam hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan content provider maupun provider untuk jangka waktu tertentu atau selamanya atas suatu kegiatan usaha tertentu maupun seluruh kegiatan usaha. Salah satu gambaran mengenai pembekuan suatu kegiatan usaha yang dapat dibebankan kepada provider, misalnya provider tersebut tidak diperkenankan untuk membuat suatu layanan konten maupun bekerjasama dengan perusahaan layanan konten selama jangka waktu tertentu. Begitu pula dengan perusahaan penyedia layanan konten, dalam jangka waktu tertentu perusahaan tersebut dibekukan kegiatan usahanya dari penjualan layanan konten dengan provider-provider tertenttu. Pembekuan kegiatan usaha bagi korporasi merupakan salah satu jenis pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu, dimana korporasi kehilangan haknya untuk melakukan kegiatan usaha yang memberikan keuntungan bagi korporasi tersebut. Sementara itu menurut Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, pembekuan kegiatan usaha terhadap korporasi hanya dilakukan untuk beberapa kegiatan usaha dan dalam jangka waktu tertentu saja. Terhadap pembekuan semua kegiatan dilakukan berdasarkan putusan hakim, dan dalam putusan tersebut korporasi hanya tidak diperkenankan untuk melakukan semua kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu. Beliau menambahkan bahwa dalam hal korporasi dibekukan dalam jangka waktu selamanya, maka dilakukanlah pembubaran korporasi atau dapat pula dilakukan pencabutan izin usaha yag diikuti dengan likuidasi.[footnoteRef:23] [23: Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hlm. 212.]

Hal ini menurut penulis tepat digunakan sebagai sanksi terhadap provider dalam hal ini maupun perusahaan penyedia layanan konten sebagai salah satu cara untuk menimbulkan efek jera dalam tujuan pemidanaan terhadap subjek hukum yang melakukan tindak pidana agar tidak melakukan tindakan melawan hukum dikemudian hari. Penjelasan R. Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 35 mengenai hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut salah satunya adalah mengenai hak menjalankan mata pencaharian tertentu, seperti dagang, perusahaan, dan lain-lain. Perusahaan penyedia layanan konten maupun provider yang terbukti bersalah dapat dikenakan pidana tambahan pencabutan hak tertentu seperti pembekuan kegiatan usaha tersebut. Tindakan pembekuan dari suatu kegiatan selama jangka waktu tertentu juga hendaknya sekaligus berada dalam pengawasan aparat berwenang, misalnya sebagai salah satu cara perbaikan kinerja perusahaan. 2) Perampasan aset korporasi oleh negara Perampasan aset bagi korporasi yang telah melakukan tindak pidana dapat dilakukan atas sebagian atau seluruh aset korporasi yang digunakan baik secara langsung dalam melakukan tindak pidana maupun yang secara tidak langsung berkaitan dengan tindak pidana tersebut. Aset yang dirampas ini kemudian dapat diserahkan menjadi milik salah satu BUMN yang memerlukan maupun dilelang kepada publik yang tentunya memerlukan aset tersebut dalam rangka melakukan kegiatan usahanya. Contoh dari aset yang dapat dirampas karena berkaitan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan adalah komputer yang digunakan oleh korporasi dalam hal ini baik perusahaan penyedia layanan konten dalam mengubah bahasa pemrograman (coding) untuk menggagalkan proses unregister, maupun aset secara tidak langsung seperti gedung, tanah tempat perusahaan korporasi berkedudukan. 3) Pengambilalihan korporasi oleh negara Sanksi yang dapat dibebankan terhadap korporasi adalah dengan perampasan korporasi oleh negara, atau diambil alih oleh negara. Akibat hukum yang ditimbulkan dari adanya pengambilalihan korporasi oleh negara adalah bahwa saham pemilik korporasi beralih menjadi milik negara. Dengan kata lain, korporasi tersebut kegiatan usahanya dikelola oleh negara sebagai suatu BUMN (Badan Usaha Milik Negara).

b. Pengumuman Putusan Hakim Salah satu bentuk sanksi pidana tambahan yang dapat dibebankan kepada korporasi dalam hal ini perusahaan penyedia layanan konten maupun provider adalah dengan diumumkannya putusan hakim melalui media cetak dan/atau elektronik. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang misalnya dalam Pasal 7 ayat (2) diatur sanksi pidana tambahan yang dapat dibebankan kepada korporasi yakni salah satunya mengenai pengumuman putusan hakim.[footnoteRef:24] Hal ini menimbulkan efek pencegahan yang cukup berpengaruh terhadap korporasi yang memiliki rekam jejak cukup baik dalam bidangnya, karena dengan adanya pengumuman melalu media cetak dan/atau elektronik, pasti akan mempermalukan korporasi itu sendiri dalam jangka pendek, begitu pula dalam jangka panjang konsumen menjadi tidak percaya terhadap kinerja korporasi tersebut dan mungkin saja beralih pada produk lainnya. Begitu pula dengan yang dialami provider maupun perusahaan penyedia layanan konten yang dilaporkan oleh konsumen tersebut, reputasi suatu korporasi selama ini menjadi bahan pertaruhan karena kasus pencurian pulsa yang dilakukan. Dengan pengumuman ini tentu menjadi sistem pencegahan tersendiri bagi korporasi lain agar tidak terancam sanksi pengumuman putusan hakim di media cetak dan/atau elektronik yang dapat mempermalukan korporasinya tersebut. [24: borneoclimatechange.org/berita-267-quo-vadis-tindak-pidana-korupsi-kehutanan.html. (ditelusuri 10 Januari 201).]

Kendala yang terjadi jika dikaitkan dalam ilustrasi kasus diatas adalah, bahwa sampai sekarang ini kasus pencurian pulsa yang diderita para konsumen/pelanggan yang bernasib serupa terkesan lambat, terbukti dengan sampai saat ini ada kasus yang belum sampai pada pengadilan, dan sudah dua kali mengalami pengembalian berkas dari kejaksaan ke kepolisian karena diduga kurang cukup bukti. 3. Hubungan Sebab-Akibat Dalam Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong dan Menyesatkan Dalam Kasus Pencurian Pulsa Bahwa hadirnya kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari selalu diiringi oleh satu atau rangkaian penyebab. Suatu peristiwa menjadi rangkaian akibat dari peristiwa-peristiwa lain yang telah terjadi/ada sebelumnya, sehingga menjadi satu lingkaran sebab-akibat. disebut juga dengan hubungan kausal yang artinya adalah sebab-akibat atau kausalitas. Hubungan kausalitas digunakan untuk mencari dan menentukan ada atau tidaknya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat yang muncul. Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berbunyi sebagai berikut, Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Frase yang mengakibatkan kerugian konsumen menjadi faktor akibat dalam suatu tindak pidana, sedangkan frase menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dikenal sebagai faktor sebab yang mendukung pada akhirnya suatu akibat terjadi. Bahwa syarat adanya suatu akibat dalam unsur delik tertentu, dalam hal ini Pasal 28 ayat (1) mengenai unsur yang mengakibatkan kerugian konsumen termasuk dalam delik materiil. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya laporan pelanggan salah satu provider di Indonesia terhadap kerugian pulsa yang dideritanya sebesar ratusan ribu rupiah, dan laporan-laporan dari masyarakat yang sering kita dengar mengenai pulsa mereka yang berkurang secara tidak wajar meskipun jumlah kerugiannya yang berbeda-beda antara satu konsumen dengankonsumen lainnya akibat ulah provider maupun perusahaan content provider melalui kegiatan usaha kerjasama berupa penyediaan layanan konten, begitu juga dengan masyarakat lainnya, serta berdasarkan survey dari YLKI/Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengenai potensi kehilangan pulsa pada 29 juta pengguna yang terjebak kasus pencurian pulsa melalui langganan layanan konten, yakni sebesar Rp. 147.000.000.000,00/bulan. Unsur menyebarkan berita bohong dan menyesatkan sebagai peristiwa yang menjadi sebab suatu akibat terjadi adalah melalui perubahan bahasa pemrograman (coding) yang dilakukan terlebih dahulu oleh perusahaan penyedia layanan konten sehingga tidak dapat dilakukan unregister terhadap layanan konten tersebut. 4. Bahwa berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh YLKI/Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dengan adanya kasus pencurian pulsa ini sekitar 220 juta nomor telepon selular yang aktif, sekitar 30% (29 juta) pengguna yang terjebak kasus semacam ini, dengan tarif berlangganan konten sebesar Rp. 5000,-/bulan, maka terjadi potensi kehilangan sebesar Rp 147.000.000.000,00/bulan.[footnoteRef:25] [25: David Tobing, op. cit., hlm. 7.]

Dari contoh survey diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa kerugian yang diderita pelanggan suatu provider maupun perusahaan content provider tidaklah sedikit. Mengingat para korban kejahatan korporasi pada umumnya tidak menyadari bahwa dirinya merupakan korban, tak terbayangkan jika kasus pencurian pulsa ini tidak ditangani secara serius dan terkesan lambat, dengan pembiaran seperti ini masyarakat akan semakin menderita kerugian dari segi pencurian pulsa,demikian pula dengan jumlah korban yang pastinya semakin bertambah, mengingat provider maupun perusahaan content provider ini memiliki data-data pelanggan, dengan teknologi yang dimiliki korporasi tersebut, mereka dapat semakin melancarkan penyedotan pulsa terhadap pelanggan. Berdasarkan upaya untuk memperjuangkan kepentingan korban yang telah dirugikan inilah pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi, khususnya perusahaan penyedia layanan konten maupun provider dibebankan. Korporasi tidak sekedar dituntut/ dibebankan pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukannya, namun juga demi kepentingan korban yang harus dilindungi inilah seharusnya pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang baru ini dilakukan dengan memberikan ganti kerugian (restitusi) terhadap korban. Ini merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban korporasi terhadap korban yang secara actual atau sudah mengalami kerugian, tidak terbatas pada perlindungan hukum terhadap calon korban seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada selama ini. Demikian pula halnya dengan tujuan pemidanaan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh orang-perseorangan. Tujuan pemidanaan terhadap individu berdasarkan teori prevensi adalah sebagai perlindungan agar orang/masyarakat lain terlindungi, aman, tidak terancam, tidak disakiti, tidak merasa takut, dan tidak mengalami kejahatan. Pemidanaan terhadap korporasipun juga mempunyai tujuan yang sama seperti terhadap orang-perseorangan. Diharapkan berhentinya kegiatan korporasi dari perbuatan melawan hukum, hendaknya melindungi masyarakat dari ancaman kerugian yang lebih besar lagi. 5. Hambatan Hukum Dalam Pembebanan Tanggung Jawab Pidana Korporasi Dalam Kasus Pencurian Pulsa Hambatan hukum mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi menjadi sulit untuk diterapkan mengenai perubahan peranan korporasi masa kini seperti yang tertera dalam penjelasan RUU KUHP Buku I angka 4 yang menjadikan korporasi sebagai subjek hukum, belum diakomodir seutuhnya dalam produk hukum yang telah ada sebelumnya seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita. Memang dalam kasus ini pertanggunggjawaban pidana korporasi sudah dapat dibebankan terhadap korporasi melihat bahwa Undang-Undang Informasi dan Tranksaksi Elektronik ini mengakui korporasi (badan hukum) sebagai subjek hukum pidana, lebih lanjut lagi dalam undang-undang ini diatur mengenai sanksi pidana yang dapat diterapkan atas tindak pidana penyebaran berita bohong yang menyesatkan dalam Pasal 28 ayat (1) kemudian dijelaskan dalam pasal selanjutnya mengenai sanksi pidana berupa denda yang dibebankan terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud diatas dengan beban pemberatan dua pertiga dari denda sebesar satu milyar rupiah. Secara materiil memang peraturan pidana secara khusus (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) telah mengakomodir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, namun hal ini kemudian berhalangan dengan hukum acara atau kita kenal dengan KUHAP yang tidak mengatur secara formil (untuk mengatur bagaimana cara menjalankan hukum materiil). Hal ini menyebabkan proses penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana dalam praktiknya menjadi sulit untuk dibuktikan. Selama ini kebanyakan dari kasus korporasi yang terjadi, pengadilan memutuskan pengurus korporasi saja yang akhirnya dipidana. Prinsip pertanggungjawaban korporasi di Indonesia diatur diluar KUHP sehingga segala pengaturan mengenai subjek tindak pidana korporasi tidak berlaku secara umum, karena diatur dalam perangkat hukum berupa undang-undang yang tersebar. Hal ini mengakibatkan pengaturan mengenai pertanggungjawaban korporasi menjadi sangat beragam, karena tidak terdapatnya kesepahaman. Misalnya dalam hal pembebanan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hanya dibebankan kepada pengurusnya saja, berbeda dengan ketentuan dalam undang-undang lain yang menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai pertanggingjawaban pidana korporasi itu sendiri. Dalam hukum pidana kita dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan (actus non facit reum, nisi mens sit rea) yang menjadi titik penentu dalam membebankan suatu pertanggungjawaban terhadap subjek hukum yang melakukan tindak pidana. Seperti yang dikatakan Gary Scanlan dalam bukunya bahwa an act does not make a man guilty of a crime, unless his mind be also guilty atau dalam istilah Indonesia dijelaskan dengan: tiada seorangpun yang melakukan tindak pidana, dijatuhi hukuman pidana tanpa kesalahan. Namun asas ini menjadi suatu penghalang bagi pembuktian mengenai unsur kesalahan dalam tindak pidana yang dilakukan korporasi, khususnya perusahaan penyedia layanan konten, maupun provider mengingat korporasi tidak memiliki sikap kalbu, meskipun demikian tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut juga dapat dipandang sebagai sikap kalbu dari korporasi itu sendiri.[footnoteRef:26] [26: Gary Scanlan dan Christopher Ryan, An Introduction to Criminal Law, Backstone Press Limited, London, 1985, hlm. 13.]

Pengetahuan dasar hukum dan teknis untuk para ahli hukum, penegak hukum dalam rangka penyelidikan, penyidikan, penuntutan, serta putusan mengenai cybercrime dan pertanggungjawaban pidana korporasi yang masih minim. Bagi penyidik yang kurang ,mendapat pemahaman mengenai bentuk kejahatan yang pengaturannya mengalami perkembangan, akan menimbulkan dampak kurang menguasainya cara untuk membuktikan suatu tindak pidana terjadi, mulai dari pembuktian mengenai terjadinya tindak pidana cybercrime sampai kepada cara menentukan pertanggungjawaban pidana yang dapat dibebankan kepada korporasi itu sendiri. Terbukti dengan sampai sekarang lembaga penegak hukum kita selalu mengenal orang-perseoragan (pengurus suatau korporasi) yang dipidana. Pelanggan layanan konten tidak sadar bahwa dirinya menjadi korban pencurian pulsa, karena cenderung biaya yang dikeluarkan per tiap bulan adalah kecil. Begitu juga keengganan korban untuk melaporkan karena berpikir bahwa dengan memperkarakan perusahaan content provider maupun provider akan mengeluarkan lebih banyak biaya, dan kemungkinan untuk mendapatkan haknya kembali lebih kecil karena dihadapkan dengan perusahaan-perusahaan dengan posisi hukum yang kuat melalui ahli-ahli hukum yang bekerja di korporasi tersebut yang digunakan untuk mencari celah dalam membela korporasinya, sehingga menjadikan posisi konsumen menjadi semakin lemah. Dalam sistem pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bertitik-tolak pada perlindungan terhadap korban, diatur mengenai sistem pidana pokok dan tambahan sebagai sanksi terhadap korporasi. Hambatannya adalah dalam Pasal 10 KUHP kita diatur mengenai pidana pokok berupa pidana denda yang sekali lagi KUHP hanya mengakomodir bentuk pertanggungjawaban pidana ini terhadap subjek hukum natural person/orang-perseorangan dan bukan korporasi. Sedangkan dalam bentuk pertanggungjawaban pidana yang bersumber pada perlindungan terhadap perlindungan korban pemberlakuan denda menjadi kurang efektif untuk melindungi korban. Korban tetap menderita kerugian, dan tak ada sistem dari pemberlakuan denda ini yang dapat mengganti kerugian korban, karena denda yang diberlakukan bagi pengurus suatu korporasi maupun korporasi itu sendiri yang menjadi milik negara dan bukan pada korban. Sedangkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang efektif bertujuan untuk melindungi kepentingan korban dari kerugian adalah dengan cara mencabut izin suatu perusahaan dari kegiatan usaha tertentu agar korban tidak lagi menderita kerugian. Namun pengaturan sanksi pidana pencabutan hak-hak tertentu ini hanya diatur sebagai pidana tambahan di KUHP. Pemberlakuan pencabutan hak-hak tertentu (izin kegiatan usaha) sebagai pidana tambahan dan bukan sebagai pidana pokok menjadikan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi yang bertujuan perlindungan terhadap korban ini menjadi tidak tercapai. Selain itu juga pengaturan mengenai pidana denda yang ada dalam Hukum Acara Pidana masih menitikberatkan pada subjek hukum pidana orang-perseorangan, karena masih mengadopsi dari peraturan yang lama (KUHP), dan belum mengakomodir cara pelaksanaan dari hukum materiil (hukum acara). Disini terlihat kelemahan dalam sistem penegakkan bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi dari sisi formil yang tidak bisa mengatur cara menerapkan hukum materiil, misalnya mengenai dalam KUHP telah diatur mengenai pidana pokok mengenai denda, namun tidak diatur secara jelas mengenai alokasi dana dari pidana denda tersebut diberikan pada siapa, sehingga kedua hal ini tidak saling mendukung. Disamping itu juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana kita tidak mengatur mengenai restitusi, sebagaimana kita tahu bahwa salah satu cara pertanggungjawaban pidana korporasi yang bertujuan melindungi kepentingan korban adalah melalui restitusi.

BAB IIIKESIMPULAN

Perkembangan cyberspace ternyata menimbulkan banyak tindak pidana cybercrime berupa pencurian pulsa dengan gagalnya proses unregister mengakibatkan pulsa konsumen berkurang. Atas tindakan tersebut dapat diterapkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai dasar tuntutan. Badan hukum sebagai salah satu subyek hukum dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adanya pengubahan algoritma bahasa pemrograman terhadap permintaan unregister layanan konten, menjadi bukti adanya unsur kesengajaan dari korporasi. Unsur tanpa hak berhubungan dengan tindakan penyebaran berita bohong dan menyesatkan. Sedangkan unsur menyebarkan berita bohong dan menyesatkan dibuktikan melalui pengiriman suatu berita yang tidak sebenarnya mengenai informasi tentang gagalnya proses unregister melalui balasan SMS Maaf sistem sedang bermasalah, silakan ulangi lagi yang dikirimkan oleh perusahaan penyedia layanan konten maupun provider yang menyebabkan kerugian pada konsumen dimana tagihan telepon bertambah atau pulsa konsumen menajdi berkurang. Dalam kasus pencurian pulsa, pertanggungjawaban pidana dibebankan terhadap korporasi dan bukan terhadap pengurusnya yang membuat aktivitas korporasi dari tindakan melawan hukum tersebut dapat dihentikan, sehingga dapat melindungi masyarakat dari adanya bahaya kerugian yang diakibatkan oleh korporasi dalam hal ini perusahaan penyedia layanan konten maupun provider yang melakukan tindak pidana. Sanksi yang dapat dibebankan terhadap korporasi yakni pidana pokok denda dengan pemberatan seperti yang telah tercantum dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebesar dua pertiga dari pidana denda yang dikemukakan dalam Pasal 45 sebesar satu milyar rupiah.Sanksi pidana tambahan yang dapat diterapkan adalah pembekuan kegiatan usaha terhadap perusahaan content provider maupun provider untuk jangka waktu tertentu atas suatu kegiatan usaha tertentu maupun seluruh kegiatan usaha, sebagai salah satu cara untuk menimbulkan efek jera.

DAFTAR PUSTAKA

A. BukuAgus Budianto, Delik Suap Korporasi di Indonesia, CV Karya Putra Darwati, Bandung, 2012Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2010David Tobing, Seminar Tanggung Jawab Provider Dalam Penyediaan Konten Terkait Kasus Pnecurian Pulsa, yang diselenggarakan Atmajaya Mootcourt Guild, Jakarta, 1 Maret 2012Gary Scanlan dan Christopher Ryan, An Introduction to Criminal Law, Backstone Press Limited, London, 1985Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta, 2006P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, PT.Citra Aditya, Bandung, 1997Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989

B. Peraturan Perundang-undanganKitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

C. Lain-lainnyahttp://www.tabloidpulsa.co.id/news/2068-jebakan-sedot-pulsa-harusnya-tak-terjadi-jika-brti-bekerja- efektif, (ditelusuri 26 Desember 2013).http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 30 Desember 2013)http://www.theglobejournal.com/sosok/david-tobing-musuh- telkomsel-namun-pahlawan-korban-pencurian-pulsa/index.php, (ditelusuri 26 Desember 2013).http://www.kabelpulsa.com/laporkan-penipuan-kirim-sms-ke-1166-telkomsel.html, (ditelusuri 8 Januari 2014).http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan-pencurian-pulsa- resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 8 Januari 2014).http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4e92d6ced120a/penipuan-dan- pencurian-pulsa-resahkan-banyak-kalangan, (ditelusuri 30 Desember 2013).