Download pdf - Makalah Morbus Hansen

Transcript

Penyakit Lepra dan Penanggulangannya Nama : Theodora Abdiel Purwa Dolorosa NIM : 102011066 Kelompok : A7Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510 Email : [email protected]

PendahuluanPenyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial.Pada umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah. Hal ini sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara tersebut dalam memberikan pelayanan yang memadai di bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat. Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya rendah. Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lainyang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita.Pembahasan Skenario 2Seorang laki-laki usia 40 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan. Tidak ada rasa gatal.Mind Mapping

Penunjang Pemeriksaan FisikAnamnesis

Diagnosa

Gejala Klinis Laki-laki usia 40 tahun mengeluh bercak putih di lengan kiri dan tidak gatal sejak 1 bulan.Pencegahan

Prognosis

Komplikasi Etiologi

Epidemiologi Patofisiologi Terapi

1. Anamnesis Pada anamnesis yang perlu ditanyakan yaitu : identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan anamnesis pribadi (meliputi keadaan sosial ekonomi, budaya, kebiasaan, obat-obatan dan lingkungan).Identitas meliputi nama, umur, jenis kelamin, nama orang tua atau anggota keluarga terdekat sebagai penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dimaksud dan sebagai data penelitian.Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien ke dokter atau mencari pertolongan. Dari hasil anamnesa didapatkan data bahwa pasien datang dengan keluhan adanya bercak putih pada lengan kiri, sejak 1 bulan, dan tidak ada rasa gatal.Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Berdasarkan skenario kasus dalam melakukan anamnesis, harus diusahakan data sebagai berikut : Waktu dan lamanya keluhan berlangsung, pada kasus ini keluhan berupa bercak putih dan berlangsung sejak 1 bulan yang lalu. Sifat dan berat serangan (warna bercak, adanya gatal, adanya baal pada bercak/lesi) Lokalisasi dan penyebarannya (menetap, menjalar, berpindah-pindah) Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali. Faktor resiko dan pencetus serangan, termasuk faktor yang memperberat atau meringankan keluhan. Apakah ada saudara sedarah, atau teman dekat yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat perjalanan ke daerah endemis untuk penyakit tertentu. Perkembangan penyakit ( kemungkinan telah terjadi komplikasi atau gejala sisa). Apakah sudah pernah berobat sebelumnya.Riwayat penyakit dahulu untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan penyakit yang pernah ia derita dengan penyakitnya sekarang. Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial, atau penyakit infeksi.Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan. Perlu ditanyakan apakah pasien mengalami kesulitan dalam kehidupan sehari-hari seperti masalah keuangan, pekerjaan dan sebagainya. Kebiasaan pasien yang harus ditanyakan kebiasaan merokok, minum alkohol dan obat-obatan termasuk obat terlarang. Pasien yang sering melakukan perjalanan juga harus ditanyakan tujuan perjalanan yang telah ia lakukan untuk mencari kemungkinan tertular penyakit infeksi tertentu di tempat tujuan perjalanannya. Bila ada indikasi, riwayat perkawinan dan kebiasaan seksual juga harus ditanyakan. Lalu terakhir menanyakan tentang lingkungan tempat tinggal, termasuk keadaan rumah, sanitasi, sumber air minum, ventilasi, tempat pembuangan sampah dan sebagainya.1

2. Pemeriksaan FisikInspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing-masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.1 Pemeriksaan Saraf TepiUntuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak. Pada tipe lepromatous (LL) biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh sedangkan tipe tuberkoloid (TT) terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1

Tes Fungsi SarafGunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin. Rasa Raba Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya.1 Rasa Nyeri Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.1 SuhuDilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas (sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bilapada daerah tersebut pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.1

3. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penujang diagnosis atau penunjang pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada penderita kusta adalah pemeriksaan bakteriologi (menggunakan kerokan jaringan kulit), pemeriksaan histopatologik, pemeriksaan serologik.2

Pemeriksaan bakteriologiPemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagianbawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping telinga didapati banyak M.leprae.2

Pemeriksaan histopatologikPemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid (TT) adalah tuberkel (giant cell, limfosit) dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Tipe lepromatosa (LL) terdapat lini tenang subepidermal (subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow/sel busa dengan banyak basil. Pada tipe borderline (BB) terdapat campuran unsur unsur tersebut. Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembang biak dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.2 Pemeriksaan serologicPemeriksaan ini tidak rutin dilakukan, biasanya diindikasikan untuk membantu diagnosis kusta pada kasus yang meragukan atau kusta subklinis (lesi di kulit tidak ada). Uji yang dapat dilakukan antara lain:2 Uji MLPA Uji ELISA M. leprae dipstick test M. leprae flow test

4. Working DiagnosisMorbus Hansen atau lepra atau yang paling terkenal dengan kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik karena pada penderita ketidakseimbangan antara derajat infeksi dan derajat penyakit disebabkan oleh respon imun yang berbeda. Penyakit ini di sebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional.2Diagnosa dari lepra pada umumnya berdasarkan pada gejala klinis dan symptom. Lesi kulit dapat bersifat tunggal atau multiple yang biasanya dengan pigmentasi lebih sedikit dibandingkan kulit normal yang mengelilingi. Kadang lesi tampak kemerahan atau berwarna tembaga. Beberapa variasi lesi kulit mungkin terlihat, tapi umumnya berupa makula (datar), papula (menonjol), atau nodul. Kehilangan sensasi merupakan tipikal dari lepra. Lesi pada kulit mungkin menunjukkan kehilangan sensasi pada pinprick atau sentuhan halus.2,3Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan histopatologis. Dari ketiga diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan paling sederhana. Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan klinik (pemeriksaan kulit, pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya). Untuk menetapkan diagnosis klinis penyakit kusta harus ada minimal satu tanda utama atau cardinal sign. Tanda utama tersebut yaitu : Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa. Kelainan dapat berbentuk bercak keputihan (hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematosa) yang mati rasa (anestesi) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat peradangan saraf (neuritis perifer) , bisa berupa : 1). Gangguan fungsi sensoris (mati rasa) 2). Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot, kelumpuhan 3). Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit (BTA positif).

Lepra tipe Indeterminate (I)Lepra tipeIndeterminateditemukan pada anak yang kontak dan kemudian menunjukkan 1 atau 2 makula hipopigmentasi yang berbeda-beda ukurannya dari 20 sampai 50 mm dan dapat dijumpai di seluruh tubuh. Makula memperlihatkan hipoestesia dan gangguan berkeringat. Hasil tes lepromin mungkin positif atau negatif. Sebagian besar penderita sembuh spontan, namun jika tidak diobati, sekitar 25% berkembang menjadi salah satu tipedeterminate.3

Lepra tipe Determinatea) Lepra tipe Tuberkuloid(TT)Manifestasi klinis lepra tipe TT berupa 1 sampai 4 kelainan kulit. Kelainan kulit tersebutdapatberupabercak-bercak hipopigmentasi yang berbatas tegas, lebar, kering, serta hipoestesi atau anestesi dan tidak berambut. Kadang kala ditemukan penebalan saraf kulit sensorik di dekat lesi, atau penebalan pada saraf predileksi sepertin. auricularis magnus.Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam negatif, sedangkan tes lepromin memperlihatkan hasil positif kuat. Hal ini menunjukkan adanya imunitas seluler terhadapMycobacterium leprae yangbaik.3b) Lepra tipe Borderline-Tuberkuloid (BT)Kelainan kulit pada lepra tipe ini mirip dengan lepra tipe TT, namun biasanya lebih kecil dan banyak serta eritematosa dan batasnya kurang jelas. Dapat dijumpai lesi-lesi satelit. Dapat mengenai satu saraf tepi atau Iebih, sehingga menyebabkan kecacatan yang luas. Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif pada penderita lepra BT(very fewsampai 1+). Tes lepromin positif.2c) Lepra tipe Borderline-Borderline (BB)Kelainan kulit berjumlah banyak tidak simetris dan polimorf. Kelainan kulit ini dapat berupa makula, papula dan bercak dengan bagian tengah hipopigmentasi dan hipoestesi serta berbentuk anuler dan mempunyai lekukan yang curam(punchedout).Hasil pemeriksaan usapan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 2+ dan 3+. Tes lepromin biasanya negatif. Lepra tipe BB sangat tidak stabil.2d) Lepra tipe Borderline-Lepromatosa (BL)Kelainan kulit dapat berjumlah sedang atau banyak, berupa makulaatau bercak-bercak eritematosa dan hiperpigmentasi atau hipopigmentasi dengan ukuran yang berbeda-beda dan tepi yang tidak jelas, dan juga papula, nodul serta plakat Kelainan saraf ringan. Hasil pemeriksaan apusan kulit untuk basil tahan asam positif kuat, dengan indeks bakteriologis 4+ sampai 5+. Tes lepromin negatif.3e) Lepra tipe Lepromatosa (IL)Kelainan kulit berupa makula hipopigmentasi atau eritematosa yang berjumlah banyalc, kecil-kecil, dan simetris dengan sensasi yang normal, permukaannya halus serta batasnya tidak jelas, dan papula. Saraf tepi biasanya tidak menebal, karena baru terserang pada stadium lanjut. Dapat terjadi neuropati perifer. Mukosa hidung menebal pada stadium awal, menyebabkan sumbatan hidung dan keluarnya duh tubuh hidung yang bercampur darah. Lama-kelamaan sel-sel lepra mengadakan infiltrasi, menyebabkan penebalan kulit yang progresif, sehingga menimbulkan wajah singa, plakat, dan nodul. Nodul juga dapat terjadi pada mukosa palatum, septum nasi dan sklera. Alis dan bulu mata menjadi tipis, serta bibir, jari-jari Langan dan kaki membengkak. Dapat terjadi iritis dan keratitis. Kartilago dan tulang hidung perlahan-lahan mengalami kerusakan, menyebabkan hidung pelana. Jika laring terinfiltrasi oleh sel lepra, maka akan timbul suara serak. Akhirnya testis mengalami atrofi, dan kadang kala mengakibatkan ginekomastia. Hasil pemeriksaan asupan kulit untuk basil tahan asam positif, dengan indeks bakteriologis 5+sampai 6+. Tes lepromin selalu negative.3

5. Differensial DiagnosisKusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena menyebabkan deformitas atau cacat tubuh. Kelainan kulit lain yang dapat menjadi diagnosis banding dari lepra atau morbus Hansen atau yang lebih dikenal sebagai kusta yaitu tinea versikolor, psoriasis, pitiriasis alba.2Vitiligo Pitiriasis versikolorPitiriasis albaTinea korporis

Lokasitangan, wajah, dada bagian atas, mata, cuping hidung, mulut, puting, pusar, dan organ kemaluan. Lipatan tubuh seperti ketiak, paha, selangkangan. ketiak, lipat paha, tungkai atas, leher, muka dan kulit kepala.Ektermitas dan bdan, bokong, paha atas, punggung, ekstensor lengan.

muka, leher, badan, lengan, dan gluteal

Gejala klinis-Lesi berupa bercak yang berbatas tegas disertai dengan skuama halus, lesi tersebut mempunyai ukuran, bentuk dan warna yang bermacam-macam, gatal bila berkeringatBercak multiple, eritema, depigmentasi.

lesi bulat atau lonjong , berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif ( tanda peradangan lebih jelas )

Tabel 1. Differensial Diagnosis1

6. Etiologi Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan oleh warga negara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um X 0,5 Um, tahan asam dan alkohol serta bersifat gram positif. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell) dan sistem retikulo endothelial.2

7. Epidemiologi Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:4a) Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 27 x 24 jam. b) Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang. Klinis ternyata kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyakit terinfeksi lainnya. Menurut Cocrane, terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka. Menurut Ress dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan M. Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah : Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti Kesadaran sosial :Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial ekonomi rendah Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat

8. Patofisiologi Penyakit kusta dapar di sebut sabagai penyakit imunologik. Karena di sebut sebagai penyakit imunologik maka perjalanan penyakit ini melibatkan antigen dan antibody. Kuman yang menyebabkan penyakit ini adalah Mycobacterium leprae. Masuknya Mycobacterium leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.4Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1. Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN yang akan meningkatkan fagositosis makrofag (fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari Mycobacterium leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dangrowth factorsakan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma.4Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast. Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1.4

9. Gejala KlinisBila kuman M leprae masuk kedalam tubuh seseorang dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, dan bila keadaan SIS nya rendah akan memberikan gambaran lepromatosa.1-4Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar yakni tuberkuloid 100% merupakan tipe yang stabil. Jadi berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut sebagai tipe borderline, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe cammpurang yang terdiri dari 50% tubekuloid dan 50% lepromatosanya. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya sementara BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat bebas beralih tipe, baik ke arah TT maupun ke arah LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat di tabel di bawah ini:KlasifikasiZona Spektrum Kusta

Ridley dan JoplingTTBTBBBLLL

MadridTuberkuloidBorderlineLepromatosa

WHOPausibasiler (PB)Multibasiler (MB)

PuskesmasPBMB

Tabel 2. Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi1Multibasiler berarti mengadung banyak kuman yaitu tipe LL, BL dan BB. Sedangkan pausibasiler berarti mengadung sedikit kuman, yakni tip TT, BT dan I. Beberapa perbandingan dari berbagai tipe tersebut dapat di lihat di tabel di bawah ini.

SifatLepromatosa (LL)Bordeline Lepromatosa (BL)Mid Borderline (BB)

Lesi: Bentuk

Jumlah

Distribusi Permukaan

Batas

AnestesiaMakulaInfiltrat difusPapulNodusTidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehatSimetrisHalus berkilat

Tidak jelas

Tidak ada sampai tidak jelasMakulaPlakatPapul

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Hampir simetrisHalus berkilat

Agak jelas

Tak jelasPlakatDome-shaped (kubah)Punched-out

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

AsimetrisAgak kasar, agak berkilatAgak jelas

Lebih jelas

BTA Lesi kulit Sekret hidungBanyak (ada globus)Bannyak (ada globus)Banyak Biasanya negatifAgak banyakNegatif

Tes LeprominNegatifNegatifBiasanya negatif

Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler (MB)1

SifatTuberkuloid (TT)Bordeline Tuberculoid (BT)Indeterminate(I)

Lesi Bentuk

Jumlah

Distribusi Permukaan Batas

AnestesiaMakula saja, makula dibatasi infiltratSatu, dapat beberapa

AsimetrisKering bersisikJelas

JelasMakula dibatasi infiltrat: infiltrat sajaBeberapa atau satu dengan satelitMasih asimetrisKering bersisikJelas

JelasHanya makula

Satu atau beberapa

VariasiHalus, agak berkilatDapat jelas atau dapat tidak jelasTak ada sampai tidak jelas

BTA Lesi kulit

Hampir selalu negatifNegatif atau hanya 1+Biasanya negatif

Tes leprominPositif kuat (3+)Positif lemahDapat positif lemah atau negative

Tabel 4. Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta pausibasiler (PB)1Kusta Indeterminate merupakan kusta yang paling ringan dimana hanya sangat kecil atau terbatas mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit bakteri yang ditemukan dan dengan tes lepromin sering kali hanya memberikan positif lemah. Di bawah mikroskop, dapat dilihat peradangan hanya minimal dan tidak tipikal. Kusta Indeteminate sering kali hanya pada satu bagian tubuh, asimptomatik, berupa makula hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm. Kusta indeterminate sering kali ditemukan di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari ekstremitas. Bila multipel lesi yang terjadi penyebarannya tidak simetris. Sensasi kulit mungkin sedikit berkurang namun fungsi dari kelenjar keringat masih normal. Penebalan saraf biasanya hanya ditemukan pada satu saraf.5Kusta Lepromatous merupakan kusta yang ditandai dengan adanya infeksi M. leprae yang progresif dimana banyak bakteri yang ditemukan pada lesi kulit. Lesi kulit umumnya asimetris, kecil, bersinar dan umunya konfluen. Plaq infiltrat memiliki batas yang tidak tegas dengan warna merah kecoklatan, dimana sering kali berubah tergantung warna kulit penderita. Tempat yang sering terkena adalah wajah dengan infiltrasi di bagian depan kepala, dagu, hidung, dan telinga yang sering mengakibatkan deformitas pada wajah yang disebut leonine facies (lions face). Tanda lain yang sering terjadi adalah madarosis. Dengan berkembangnya penyakit anestesia dan kekeringan kulit juga akan semakin parah. Daerah tubuh yang hangat akan terhindar seperti bagian axilla, inguinal, perineum, dan scalp.Mukosa hidung merupakan bagian yang hampir selalu terserang. Kelainan kronik dari hidung seperi hemorrhagic sering kali ditemukan pada penderita kusta di daerah endemis. Serangan M. leprae pada hidung akan menganggu proses pernafasan dan merusak septum nasal dan mengakibatkan hidung kehilangan substansinya (clover leaf nose). Mukosa lain seperti bibir, mulut dan laring juga dapat terkena infiltrasi dari M leprae. Infiltrasi juga dapat mengenai mata dibagian konjungtiva, kornea dan badan ciliary.5Kerusakan saraf perifer umumnya muncul dalam waktu yang lama. Kerusakan saraf tepi mulanya mengenai saraf sensoris dan umumnya simeteris di bagian ekstensor. Kehilangan sensoris kemudian secara perlahan akan menyebar ke bagian tengah tubuh. Rasa sakit jarang terjadi karna infeksi M leprae pada saraf sensoris. Saraf otonom juga terkena dengan ditandai adanya kehilangan fungsi dari kelenjar keringat dan kelainan vasomotor pembuluh darah tepi. Pada lepromatous leprosi, terkenanya saraf motor yang besar lebih sering terjadi dibandingkan lepra tipe tubekuloid. Pada keadaan lepra lepromatosa yang lebih berat bisa mengakibatkan tangan dan kaki mengecil, karena terjadinya osteoporosis dengan fraktur kompresi. Adanya trauma yang tidak disadari penderita dan infeksi sekunder juga bisa mengakibatkan kecacatan. Beberapa pasien memiliki limfeadenopathy. Infiltrat kadang-kadang dapat ditemukan pada testis yang bisa mengakibatkan kemandulan dan gynecomastia.5Lepra tuberkuloid merupakan lepra yang terjadi dengan jumlah lepra yang tidak terlalu banyak di tubuh dan keadaan sistem imun seluler tubuh penderita yang masih baik. Kerusakan saraf juga terjadi tetapi tidak sistemik. Lesi yang terjadi umumnya asimetris, jumlahnya sedikit, dan menyebar dengan sangat pelan. Mulanya bewarna merah atau merah keunguan, dan berupa makula atau papula. Kemudai secara perlahan membesar, dengan batas yang tegas, dan memperlihatkan bagian tengah yang bersih dengan atrofi yang halus, bersisik dan hipopigmentasi. Predileksi lesinya di bagian gluteus, punggung, wajah dan ekstensor ekstremitas. Hilangnya sensasi, anhidrosis dan hilangnya rambut juga terjadi.Inflamasi granul akan mengakibatkan kerusakan pada saraf tepi yang mengakibatkan hilangnya fungsi saraf tersebut. Gangguan fungsi sensoris merupakan kelainan saraf yang awal, selanjutnya dapat mengakibatkan paralisis dan akhirnya mengakibatkan atrofi otot. Kerusakan pada saraf wajah juga dapat terjadi dan mengakibatkan kelainan ekpresi wajah dimana wajahnya menjadi tidak berekspresi atau Antonine facies. Paralisis pada otot-otot vocal juga dapa terjadi.5Masalah yang terberat daripada kusta tuberkuloid adalah bila kerusakan saraf mencapai di bagian saraf yang menggerakan ekstremitar. Saraf yang terkenan umumny adalah saraf yang lebih superficialis dan mudah terkena trauma. Kerusakan saraf bisa mengenai N. ulnaris dan N medialis yang mengakibatkan terjadinya perubahan tangan yang berbentuk clawing lateral maupun medial. Pada kaki, bila yang terkena adalah sara peroneal akan mengakibatkan terjadinya foot drop dan bila mengenai saraf tibialis posterior akan mengakibarkan terjadinya anestesia pada telapak kaki. Sebagai hasil kerusakan saraf dapat mengakibatkan kulit yang kering, proses penyembuhan yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya, paralisis otot, respon terhadap trauma yang kecil. Dalam keadaan ini bila ada trauma kecil seperti menginjak batu, atau bahkan karna trauma panas pada kulit, penderita tidak akan merasakan apa-apa sehingga bisa mengakibatkan terjadi kerusakan yang besar. Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasiler dan pausibasiler. Yang termasuk tipe multibasiler adalah tipe LL, BL dan BB pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasiler adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.1Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai dengan BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun 1995. WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini dapat di lihat di tabel di bawah ini.

SifatPBMB

1. Lesi kulit(makula datar, papul yang meninggi, nodus) 1 5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi yang jelas Lebih dari 5 lesi Distribusi lebih simetris Hilangnya sensasi kurang jelas

2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena) Hanya satu cabang Banyak cabang saraf

Tabel 5. Bagan klinis menurut WHO (1995)Antara diagnosa secara klinis dan secara histopatologik, ada kemungkinan terdapat persamaan maupun perbedaan tipe. Perlu diingat bahwa diagnosis klinis seseorang harus didasarkan kepada hasil pemeriksaan kelainan klinis seluruh tubuh orang tersebut. Sebaiknya jangan hanya didasarkan pemeriksaan sebagian tubuh saja, sebab ada kemungkinan diagnosis klinis di wajah berbeda dengan tubuh, lengan, tungkai dan sebagainya. Bahkan pada satu lesi (kelainan kulit) pun dapat berbeda tipenya. Begitu juga dengan dasar diagnosis histopatologik, tergantung pada beberapa tempat dan dari tempat mana biopsinya di ambil. Sebagaimana lazimnya dalam bentuk diagnosis klini, dimulai dengan inspkesi, palpasi, lalu dilakukan pemeriksaan dengan alat yang sederhana misalnya jarum, kapas, tabung rekasi masing-masing air panas dan air dingin, pensil tinta dan sebagainya.1 Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduaya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada tidaknya anestesia sangat banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak selalu jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah pengujian terhadap rasa suhu yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris diperiksan dengan menggunakan Voluntary Muscle Test (VMT).1Kusta yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsitensi, ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberaoa saraf superfisial yang dapat dan perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh kusta dapat dibedakang menjadi 2 yaitu deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Cacat sekunder dapat berupa kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1Gejala-gejala kerusakan saraf karena kusta diantaranya:a) N. Ulnaris: Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis Clawing kelingking dan jari manis Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medialb) N. medianus Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah Tidak mampu aduksi ibu jari Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah Ibu jari kontraktur Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateralc) N. Radialis Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk Tangan gantung (wrist drop) Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangand) N. popliteal lateralis Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis Kaku gantung (foot drop) Kelemahan otot peroneuse) N. tibialis posterior Anestesia telapak kaki Claw toes Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedisf) N. fasialis Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibirg) N. trigeminus Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateralKerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. fasialis yang dapat membuat paralisis N. orbikularis palpebarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan.Infiltrat granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloa pada tubulus seminiferus testis.1Untuk dapat membuat diagnosis klinis dan tipenya, perlu diketahui terlebih dahulu cara membuat diagnosis kedua bentuk polat TT dan LL yang telah diuraikan secara sistematis pada tabel 1 diatas. Kusta dapat dibedakan menjadi kusta histoid dan kusta tipe neural:a. Kusta HistoidKusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepormatosa yang pertama dikemukakan oleh WADE pada tahun 1963. Secara klinis berbentuk nodus yag berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relaps sensitif atau relaps resisiten.b. Kusta tipe neuralKusta tipe neural murni mempunayi tanda sebagai berikut: Tidak ada dan tidak pernah ada lesi kulit Ada satu atau lebih pembesara saraf Ada anestesia dan atau paralisis, serta atrofi otot pada daerah yang disarafinya Bakterioskopik negatif Tes Mitsuda umumnya positif Untuk menentukan tipe, biasanya tipe tuberkuloid, borderline atau tipe nonspesifik, harus dilakukan pemeriksaan histopatologik saraf.Reaksi Kusta Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum diketahui dengan pasti sampai saat ini. Mengenai patofisiologi yang belum jelas tersebut akan diterangkan secara imunologik. Dimana reaksi imun tubuh kita dapat menguntungkan dan merugikan yang disebut reaksi imun patologik dan reaksi kusta tergolong di dalamnya. Reaksi kusta dapat dibedakan menjadi eritema nodosum leprosum (ENL) dan reaksi reversal atau reaksi upgrading.1ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarny makin besar kemungkinanan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompelks imun akibat reaksi antara antigen M leprae + antibodi (IgM & IgG) + komplemen yang kemudian akan menghasilkan komplek imun. Dengan terbentuknya kompleks imun ini maka ENL termasuk di dalam golongan penyakit komplek imun. Kadar antibodi imunoglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh lebig banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobata. Hal ini terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan hancur yang kemudian kuman kuman lepra ini akan menjadi antigen, dengan demikian akan meningkatkan terbentuknya komplek imun. Kompleks imun ini terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat mengendap dan melibatkan berbagai organ.1Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat mengakibatkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imunologik.Pada reaksi ENL tidak terjadi perubahan tipe kusta, lain halnya dengan reaksi reversal yang terjadi pada kusta tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang pernanan utama dalam reaksi kusta ini adalah sistem imunitas seluler, yaitu bila terjadi peningkatan SIS yang mendadak. Meskipun faktor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman M leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas yang memiliki peranan untuk menentukan tipe kusta adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat berubah menjadi tipe TT dan LL dengan mengikuti naik turunnya SIS, sebab setiap perubahan tipe selalu terjadi perubahan SIS juga. Begitu pula reaksi reversal terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai peningkatan SIS hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.1Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta saat ini sudah hampir tidak pernah digunakan lagi, downgrading merupakan kata yang menggambarkan proses perubahan ke arah lepromatosa.Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema menjadi eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat semakin infiltrat lagi, dan lesi lama menjadi bertambah luas. Adanya gejala neuritis akut perlu diperhatikan karena sangat menentukan prognosis dari pengobatan, bila ada neuritis maka penggunaan kortikosteroid diperlukan untuk mengurangi reaksi peradangan. Pada beberapa kasus kusta dapat ditemukan fenomena Lucio. Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, di negara lain prevalensinya rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrat difus, berwarna merah muda, bentuk rak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama pada ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat akan semakin eritematosa, disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologik dari fenomena lucio menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi enodetelial pembuh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M. leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat polimorfonuklear seperti pada ENL, namun dengan imunofloureseni tampak deposti imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.110. Penatalaksanaan a. Obat Utama:61) DDSMerupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap DDS ini yang memicu dilakukannya MDT.2) RifampisinDosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Dipakai sebulan sekali dalam MDT karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.3) Klofazimin (lamprene)Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh. Dosis yang dapat digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg selama seminggu. Efek sampingnya dapat berupa warna kecoklatan pada kulit, warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus. Hal ini disebabkan klofazimin merupakan zat warna dan dideposit dalam sel sistem retikuloendotelial.4) Protionamid. Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.

b. Obat alternatif:61) OfloksasinBerdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati.2) MinosiklinTermasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP.3) KlaritromisinKelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M. leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare.

11. KomplikasiDi dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksikronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan menyebabkan meningkatnya mortalitas.Amiloidos sekunder merupakan penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENLkronik.

12. PrognosisSetelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis,oftalmologis,physical medicine, dan rehabilitasi. Yang tidak umumadalah secondary amyloidosisdengan gagal ginjal dapat mejadi komplikasi.

13. Pencegahan 1) Pencegahan primer1 Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :a. Penyuluhan kesehatanPencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat.b. Pemberian imunisasiSampai saat ini belumditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi. Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbedapemberian vaksinasi BCG tersebut.2) Pencegahan sekunder1 Pencegahan sekunderdapat dilakukan dengan :Pengobatan pada penderita kustaPengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain.3) Pencegahan tersier1Pencegahan cacat kustaPencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas :a. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.b. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf.Kesimpulan1. Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae.2. Kusta dibagi dalam 2 bentuk,yaitu:-kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)-kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)3. Micobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluller,menyerang saraf perifer,kulitdan organ lainseperti mukosa saluran napas bagian atas,hati,sumsum tulangkecuali susunan saraf pusat.4. Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia,jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa.5. Manifestasi klinik dari penderita kusta adalah adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas.6. Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. Selain itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan.7. Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : pencegahan secara primer, sekunder dan tersier.

Daftar Pustaka1. Bickley, Lynn S. Buku saku pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan bates. Ed 5. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2008; hal.64-7.2. Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Edisi 6. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2010; hal. 73-83.3. Legendre DP, Muzny CA, et al. Hansens disease (leprosy). Medscape reference: 2012; hal. 27-37.4. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi VI. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2006; hal. 1580-98.5. Montoya D, Moddlin RL. Learning from leprosy : insight into the human innate immune response. Vol. 105. Los Angeles: Elsevier: 2010; hal 1-24.6. Sardjono OS. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: 2007; hal. 633-37.4