Transcript
Page 1: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

Malahayati | Otonomi Khusus dalam Sistem Pemerintahan Indonesia | December 19, 2015

OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA

ANTARA TEORI DAN PRAKTIK DALAM KERANGKA NEGARA

KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Page 2: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 1

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan

kekuatan dan kemudahan bagi Penulis dalam menyelesaikan tulisan yang berjudul

Otonomi Khusus Aceh dan Papua: Antara Teori dan Praktik dalam Kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Tulisan ini merupakan salah satu tugas dalam Mata Kuliah

Otonomi Khusus dalam Sistem Pemerintahan Indonesia pada Program Doktoral Ilmu

Hukum Universitas Syiah Kuala Tahun 2015.

Tulisan ini menguraikan tentang pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh dan

Papua, dikaitkan dengan teori dan konsep dasar negara kesatuan. Tulisan terdiri dari IV

(empat) bab yang tersusun dalam sistematikan: Bab I Pendahuluan; Bab II Konsep Negara

Kesatuan, Asas Desentralisasi dan Otonomi Khusus yang menjadi dasar teori dalam

pendekatan penelitian; Bab III Otonomi Khusus Aceh dan Papua dalam Kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia; dan ditutup dengan Bab IV yang terdiri dari kesimpulan dan

saran-saran.

Tulisan ini tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Harapan Penulis, masukan dan

kritikan dari pembaca akan memberikan perbaikan terhadap substansi tulisan yang lebih

akurat dan reliable. Di sisi lain, semoga tulisan ini dapat memberi kontribusi dalam bidang

otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi khusus ini

sesuai dengan tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Paragraf

Keempat Pembukaan UUDNRI 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Salam.

Penulis,

Malahayati

Page 3: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ 1

DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 3

A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 3

B. Perumusan Masalah ................................................................................................ 7

C. Tujuan Penulisan ..................................................................................................... 7

D. Metode Pendekatan ................................................................................................. 8

E. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 9

BAB II KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI DAN

OTONOMI KHUSUS ..................................................................................... 11

A. Konsep Negara Kesatuan ...................................................................................... 11

B. Teori Desentralisasi .............................................................................................. 15

C. Otonomi Khusus ................................................................................................... 21

BAB III OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ...................................... 24

A. Otonomi Khusus Aceh .......................................................................................... 24

B. Otonomi Khusus Papua......................................................................................... 27

C. Analisis Komprehensif.......................................................................................... 31

BAB IV PENUTUP....................................................................................................... 38

A. Kesimpulan ........................................................................................................... 38

B. Saran ..................................................................................................................... 38

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 40

Page 4: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia disamping sebagai negara hukum, juga bersusunan atau

berbentuk negara kesatuan, sebagaimana disebutkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), yaitu “Negara Indonesia

ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.” Konsep negara kesatuan (unitary state)

adalah konsep suatu negara yang tidak mempunyai kesatuan-kesatuan pemerintahan yang

mempunyai kedaulatan.1 Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

adalah dependent dan subordinat. Abu Daud Busroh berdasarkan susunan negara,

mengatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun daripada beberapa

negara seperti halnya dalam negara federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal, artinya

hanya ada satu negara, tidak ada negara di dalam negara. Jadi dengan demikian, di dalam

negara kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang

mempunyai kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.

Pemerintahan pusat inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan

segala sesuatu dalam negara tersebut.2

Sementara, Mahfud MD menyebutkan negara kesatuan adalah negara yang

kekuasaannya dipencar ke daerah-daerah melalui pemberian otonomi atau pemberian

wewenang kepada daerah-daerah untuk mengurus dan mengatur rumah tangga mereka

sendiri melalui desentralisasi atau melalui dekonsentrasi. Ini berarti bahwa daerah-daerah

itu mendapat hak yang datang dari, atau diberikan oleh, pemerintah pusat berdasarkan

undang-undang dan konstitusi.3 Hal ini selaras dengan hakikat politik hukum Pasal 18

1 Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktiek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia, hlm. 6 2 Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 64-65. 3 Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES Indonesia,

Jakarta, hlm. 221.

Page 5: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 4

UUDNRI 1945, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjamin adanya

desentralisasi dan otonomi yang luas bagi daerah-daerah di seluruh Indonesia.4

Sejalan dengan konsep tersebut, Bhenyamin Hoessein mengatakan bahwa dalam

konteks negara kesatuan, penerapan asas desentralisasi dan sentralisasi dalam organisasi

negara tidak bersifat dikotomis melainkan kontinum.5 Artinya, Pemerintah Pusat tidak

mungkin menyelenggarakan semua urusan pemerintahan di tangannya secara sentralisasi,

begitu juga sebaliknya, pemerintah daerah tidak mungkin menyelenggarakan semua urusan

pemerintahan yang diserahkan. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan

kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi

dan dekonsentrasi, sedangkan urusan yang mengandung dan menyangkut kepentingan

masyarakat setempat diselenggarakan secara desentralisasi.

Perkembangan dan kebutuhan terhadap bentuk negara kesatuan yang berprinsip

sentralistik, juga dapat dilakukan secara desentralisasi sebagaimana yang berlaku pada

negara federasi. Negara kesatuan juga dapat dibagi dalam pola sentralistik dan

desentralistik. Negara kesatuan dengan pola sentralistik adalah sistem kenegaraan yang

menetapkan seluruh wilayah negara, tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah

administrasi dan hukum. Sedangkan, pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari

pemerintah pusat kepada daerah. Penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi

dasar negara kesatuan.6

Dalam Pasal 18 UUDNRI 1945, Perubahan Kedua, disebutkan:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,

kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan

undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

4 Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,

hlm. 262. 5 Bhenyamin Hoessein dalam Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi

Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 13. 6 Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm. 59-

62.

Page 6: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 5

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan

umum.

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah

Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah

Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-

peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

undang-undang.

Berdasarkan, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) UUD RI 1945 tersebut menunjukkan

bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota

itu mempunyai pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Maksud asas otonomi tersebut adalah asas

desentralisasi dan dekonsentrasi.

Selanjutnya, berdasarkan ayat (6), disebutkan bahwa pemerintahan daerah berhak

menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi

(desentralisasi dan dekonsentrasi) dan tugas pembantuan. Sementara, ayat (7) menyatakan

susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

Dalam hal ini setelah Perubahan Kedua UUDNRI 1945, dibentuk Undang-Undang Nomor

32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya pada 30 September 2014

diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,7

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Menjadi Undang-Undang,8 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

7 Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244, TLN RI

No. 5587 8 Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi

Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657.

Page 7: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 6

Pemerintahan Daerah (UU Pemda).9 Salah satu alasan undang-undang tentang

Pemerintahan Daerah ini banyak mengalami perubahan adalah karena banyak perbedaan

definisi-definisi yang sangat fundamental.

UUDNRI 1945 menegaskan bahwa pemerintahan daerah diselenggarakan

berdasarkan prinsip permusyawaran/demokrasi. Artinya secara administrative pelaksanaan

pemerintahan dilakukan dengan cara membuat kebijakan desentralisasi. Dengan adanya

asas desentralisasi ini, maka lahir satuan pemerintahan daerah yang bersifat otonom yaitu

pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus urusannya berdasarkan aspirasi

dan kepentingan masyarakat setempat dengan menggunakan prinsip otonomi seluas-

luasnya, nyata dan bertanggung jawab, sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004.

Prinsip otonomi seluas-luasnya, maksudnya daerah diberikan kewenangan

mengurus dan mengatur semua unsur pemerintahan di luar yang menjadi urusan

pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang pemerintah daerah. Prinsip otonomi

nyada adalah suatu prinsip untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan

berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi

untuk tumbuh hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.

Sedangkan prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelesaiannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yang ada

dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

Sementara, Pasal 18A UUD RI, perubahan kedua, tahun 2000, yaitu:

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi,

kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan

Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan

sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur

dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.

9 Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.

Page 8: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 7

Kemudian, Pasal 18B UUD RI, perubahan kedua, tahun 2000, yaitu:

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang

bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,

yang diatur dalam undang-undang.

Dari beberapa pendapat di atas dan melihat dasar konstitusional pemberlakuan

desentralisasi di Indonesia, sudah menunjukan pengaturan yang selaras. Oleh karenanya,

pasca perubahan UUDNRI 1945 dan konsistensi pelaksanaan desentralisasi, terutama

pasca reformasi kekuasaan pemerintahan tidak lagi terpusat pada Pemerintah Pusat. Negara

Kesatuan Republik Indonesia kemudian mengenal istilah daerah khusus atau daerah

istimewa. Tiga daerah, yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

kemudian mendapatkan perlakuan khusus dalam bentuk otonomi khusus.

Pemberlakuan daerah khusus ini kemudian menimbulkan berbagai permasalahan,

baik dalam tataran norma maupun pada tataran implementasinya. Berbagai kajian tentang

hubungan antara pusat dan daerah-pun telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi

penerapan otonomi khusus ini. Perbedaan persepsi dalam memandang konsep hubungan

Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menimbulkan berbagai kesalahfahaman

dalam menata hubungan Pusat dan Daerah.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang

akan dikaji oleh Penulis yaitu tentang bagaimanakah teori dan praktik otonomi khusus

Aceh dan Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk menganalisis teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan

Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia secara normatif. Diharapkan

Page 9: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 8

penulisan ini mampu menjadi bahan pertimbangan dalam mengevaluasi pelaksanaan otonomi

khusus di Aceh dan Papua.

D. Metode Pendekatan

Tulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang

difokuskan untuk mengkaji kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.10 Tipe

penelitian hukum yuridis normatif dengan pertimbangan bahwa titik tolak penelitian analisis

terhadap peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan otonomi khusus di Aceh

dan Papua. Penggunaan jenis penelitian yuridis-normatif dalam penelitian ini mencoba

mengkaji hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni:

a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang

selanjutnya pada 30 September 2014 diganti dengan Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,11 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-

Undang,12 dan terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (UU Pemda).13

b. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan

Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, yang

selanjutnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh.

10 Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya,

hlm. 295 11 Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244, TLN RI

No. 5587. 12 Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi

Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657. 13 Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI No. 5679.

Page 10: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 9

c. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang.

Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan konsep (conceptual approach) dan

pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan konsep dilakukan untuk

memahami konsep-konsep otonomi khusus, desentralisasi dan negara kesatuan, khususnya

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk

meneliti aturan-aturan yang mengatur tentang otonomi khusus, baik di Aceh maupun

Papua, sehingga diharapkan aturan hukum atau norma yang ada tidak bertentangan dengan

konsep otonomi khusus dalam kerangka negara kesatuan.

Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier. Baik bahan hukum primer maupun sekunder

dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan berdasarkan system

cluster dan diklasifikasikan menurut sumber dan hirarkhienya untuk kemudian dianalisis

secara komprehensif. Penulis kemudian menguraikan dan menghubungkan seluruh bahan

hukum yang ada untuk kemudian disajikan dalam penulisan yang sistematis sesuai dengan

permasalahan yang telah dirumuskan.

E. Sistematika Penulisan

Tulisan ini akan disusun dalam beberapa Bab dan masing-masing Bab terdiri dari

beberapa Sub-Bab untuk memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang

diteliti. Adapun urutan dan sistematika pembahasannya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN berisi uraian latar belakang permasalahan munculnya

perbedaan antara teori dan praktik otonomi khusus di Aceh dan Papua dalam kerangka

NKRI. Apakah praktik yang dilaksanakan selama ini berbeda dengan teori tentang otonomi

khusus? Untuk kemudian ditentukan rumusan masalah yang akan diteliti dan tujuan

penulisannya. Dalam metode pendekatan diuraikan tipe penelitian dan pendekatan yang

Page 11: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 10

digunakan serta sumber bahan hukum yang digunakan, proses pengumpulan bahan hokum

dan dasar analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan otonomi khusus di Aceh

dan Papua.

BAB II KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI DAN

OTONOMI KHUSUS, akan menguraikan secara khusus tentang Konsep Negara Kesatuan,

Teori Desentralisasi, dan Otonomi Khusus. Konsep dan asas ini akan digunakan sebagai

dasar menganalisis permasalahan teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam

kerangka NKRI.

BAB III OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA, terdiri dari sub-bab Otonomi Khusus

Aceh; Otonomi Khusus Papua; dan Analisis Komprehensif. Pada sub-bab Analisis

komprehensif akan dianalisis secara ringkas tentang kesenjangan antara teori dan praktik

penerapan otonomi khusus di Aceh dan Papua dalam kerangka NKRI.

Sedang BAB IV PENUTUP yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran yang

merupakan rangkuman hasil penelitian dan analisis bab-bab terdahulu sehingga dapat

ditarik kesimpulan mengenai teori dan praktik otonomi khusus Aceh dan Papua dalam

kerangka NKRI serta memberikan kontribusi terhadap evaluasi pelaksanaan otonomi

khusus di Aceh dan Papua selama ini.

Page 12: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 11

BAB II

KONSEP NEGARA KESATUAN, TEORI DESENTRALISASI

DAN OTONOMI KHUSUS

A. Konsep Negara Kesatuan

Konsep negara kesatuan (unitary state) adalah konsep suatu negara yang tidak

mempunyai kesatuan-kesatuan pemerintahan yang mempunyai kedaulatan.14 CF Strong

menyebutkan bahwa hakikat negara kesatuan adalah negara yang kedaulatannya tidak

terbagi, atau dengan kata lain, negara yang kekuasaan pemerintah pusatnya tidak terbatas

karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembuat undang-undang

selain badan pembuat undang-undang pusat.15 Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan

atau wewenang tertinggi dalam lapangan pemerintahan. Konsekuensi logis dari posisinya

sebagai penyelenggara kedaulatan rakyat, maka unit-unit pemerintahan yang dibentuk dan

berada di bawah pemerintahan pusat harus tunduk kepada Pemerintah Pusat. Tanpa disertai

ketundukan dan kepatuhan secara organisasional berdasarkan peraturan yang berlaku, akan

tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangannya.16

Menurut Ateng Safrudin, negara kesatuan adalah negara yang mempunyai

konstitusi yang memberikan hak dan kewajiban menjalankan kewenangan

penyelenggaraan pemerintahan kepada Pemerintah Pusat.17 UUD itu memberikan

kewenangan pemerintah negara kepada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat, karena

penyelenggaraan segala kepentingan hak baik dari pusat maupun dari daerah sebenarnya

adalah kewajiban dari pemerintah yang satu. Namun terkait dengan luasnya daerah, makin

14 Hanif Nurcholis, ibid. 15 CF Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan

Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political Constitutions: An Introduction to the

Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 115. 16 Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif

Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 114. 17 Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan dan Lembaga

Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 50.

Page 13: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 12

banyak tugas yang harus diurus oleh pemerintah pusat. Sejalan dengan kemajuan

masyarakat dan negara, perbedaan antara yang satu dengan yang lain sukar diketahui dan

sukar diatur secara memusat, maka jika keadaan daerah-daerah sudah memungkinkan,

pusat menyerahkan kepada daerah-daerah untuk mengurus dan menyelenggarakan sendiri

kebutuhan-kebutuhan khusus dari daerah-daerah.

Menjaga kesatuan dan integritas negara merupakan salah satu alasan Pemerintah

Pusat mendominasi pelaksanaan urusan pemerintahan dengan mengenyampingkan peran

dan hak Pemerintah Daerah untuk terlibat langsung dan mandiri dalam rangka mengelola

serta memperjuangkan kepentingan daerahnya. Dominasi Pemerintah Pusat atas urusan-

urusan pemerintahan telah mengakibatkan hubungan antara Pemerintah Pusat dan daerah

dalam negara kesatuan menjadi tidak harmonis atau bahkan berada pada titik yang

mengkhawatirkan sehingga timbul gagasan untuk mengubah negara kesatuan menjadi

negara federal.18

Berdasarkan pandangan di atas, menunjukkan bahwa dalam negara kesatuan tidak ada

shared soverignity. Kedaulatan hanya ada di tangan negara atau pemerintah pusat, bukan di

daerah. Implikasinya, negara kesatuan hanya memiliki satu lembaga legislatif, yang

berkedudukan di pusat. Lembaga perwakilan rakyat di daerah atau DPRD hanya memiliki

regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan produk

lembaga legislatif pusat (DPR) dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Penyelenggara

negara dan/atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat melakukan review terhadap

peraturan daerah dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dan peraturan

perundangan yang lebih tinggi. Sehingga, esensi dalam negara kesatuan, kedaulatan mutlak

ada pada Pemerintah Pusat. Sementara, kekuasaan pada Pemerintahan Daerah merupakan

pendelegasian dari Pemerintah Pusat. Di mana kekuasaan yang didelegasikan tersebut

dapat ditarik atau dihapus kembali atas kedaulatan Pemerintah. Meskipun di daerah adanya

badan atau lembaga pembuat peraturan-peraturan (pemerintah daerah dan DPRD), namun

lembaga daerah tersebut tidak memiliki kekuasaan penuh.19

18 Ibid. 19 Amrizal J Prang, 2015, Pemerintahan Daerah: Konteks Otonomi Simetris dan Asimetris, Biena

Edukasi, Lhokseumawe, hlm. 3

Page 14: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 13

Oleh karena itu, terdapat beberapa kekurangan pada negara kesatuan, pertama,

beban kerja Pemerintah Pusat cenderung berlebihan. Kedua, akibat keberadaan pusat

pemerintahan yang jauh, mengakibatkan ketidakpekaan dengan masalah yang dihadapi

oleh rakyat di daerah, sehingga kurang perhatian dan kepentingannya terhadap daerah.

Ketiga, tidak boleh adanya daerah yang menyuarakan haknya berbeda dengan daerah-

daerah lainnya, atas alasan sentralisasi semua pelayanan harus sama. Konsekuensinya,

maka sering terjadi perlawanan dan konflik dengan daerah.20

Sementara, Jimly Asshiddiqie berbeda pandangan dalam hal ini. Jimly mengutip

pendapat John Locke yang mendeskripsikan kedaulatan rakyat itu dapat dibedakan antara

kedaulatan rakyat yang lebur dalam perjanjian pertama (first treaty), ketika negara

dibentuk tetapi bagian kedaulatan rakyat itu tetap berada di tangan rakyat, sewaktu-waktu

dapat dipakai dalam menentukan kebijakan negara dan mengangkat pejabat-pejabat

melalui pemilihan umum dan/atau referéndum (second treaty).21

Menurut John Locke, kontraktuil (perjanjian masyarakat) dari negara merupakan

peringatan, bahwa kekuasaan penguasa tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas. Karena

dalam mengadakan perjanjian individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak alamiah

mereka. Ada hak-hak alamiah yang merupakan hak asasi yang tidak dapat dilepaskan

(inalienable rights), juga tidak oleh individu itu sendiri. Penguasa yang diserahi tugas

mengatur hidup individu dalam ikatan kenegaraan harus menghormati hak asasi itu.22

Perjanjian masyarakat ini yang disebut dengan pactum subjectionist. Selain itu, Locke juga

mengajukan kontrak yang disebut dengan pactum unionis, yaitu individu-individu lainnya

mengadakan suatu perjanjian masyarakat membentuk suatu masyarakat politik atau

negara.23

Menurut Jimly Asshiddiqie, negara Indonesia sebagai negara yang berbentuk

kesatuan, sehingga kekuasaan asal berada di pemerintah pusat. Namun kewenangan

20 K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia, hlm. 342. 21 Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane, Jakarta,

hlm. 32. 22 F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung, hlm. 145. 23 Ibid.

Page 15: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 14

pemerintah pusat ditentukan batas-batasnya dalam undang-undang dasar dan undang-

undang, sedangkan kewenangan yang tidak disebutkan dalam undang-undang dasar dan

undang-undang ditentukan sebagai kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.24

Selanjutnya, Jimly juga menambahkan:

“Oleh karena itu, konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monistik, tidak

dapat dipecah-pecah merupakan konsep utopis yang memang jauh dari

kenyataan. Dengan demikian konsep kedaulatan rakyat itu dewasa ini

cenderung dipahami secara pluralis, tidak lagi monistik. Meskipun daerah-

daerah bagian dari negara kesatuan itu bukanah unit-unit negara bagian

yang tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai

kedaulatannya sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah provinsi atau

daerah kabupaten/kotanya, disamping kedaulatan dalam konteks bernegara

kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.25

Apalagi, kalau mengacu pendapat J.J. Rousseau, yang beranggapan bahwa negara

bersifat suatu wakil rakyat, yang kekuasaan tertinggi adalah rakyat atau berkedaulatan

rakyat (leer van de volkssouvereiniteit).26 Dari pendapat-pendapat di atas, meskipun prinsip

negara kesatuan bahwa kekuasaan atau kedaulatan penuh ada pada Pemerintahan Pusat

yang didapat melalui first treaty, namun kedaulatan mutlak masih tetap pada rakyat. Oleh

karena itu, relevan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 perubahan ketiga, tahun 2001,

disebutkan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar.”

Kajian pemerintahan negara kesatuan terbagi dalam dua sendi utama, yaitu sistem

pemerintahan yang sifatnya sentralistik atau yang sifatnya desentralistik. Kedua sifat ini

menciptakan karakter hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, yang

terkait dengan bentuk, susunan, serta pembagian kewenangan atau kekuasaan yang ada

pada negara. Artinya, dari bentuk dan susunan negara dapat dilihat apakah kekuasaan itu

dibagi ke daerah-daerah pusat kekuasaan itu dipusatkan di pemerintah pusat. Dari sisi

24 Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, the Habibie

Center, hlm. 26. 25 Jimly Asshiddiqie, 2005, Op., Cit., hlm. 33. 26 E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan

Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta, hlm. 332.

Page 16: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 15

pembagian kekuasaan dalam suatu negara, maka bisa berbentuk sistem sentralisasi atau

system desentralisasi. System ini secara langsung mempengaruhi hubungan pusat dan

daerah dalam melaksanakan pemerintahan di daerah.27

B. Teori Desentralisasi

Teori desentralisasi dipelopori oleh Van der Pot yang ditulis dalam bukunya

Hanboek van Netherlands Staatsrech, Van der Pot membedakan desentralisasi atas

desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma

dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah, berbentuk otonomi dan tugas

pembantuan. Desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang

didasarkan pada tujuan tertentu.28

Pemahaman tentang desentralisasi masih terus terjadi perdebatan. Hal ini terlihat

dari pengertian desentralisasi yang sering memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Secara

etimologis, istilah desentralisasi berasal dari Bahasa Latin, yaitu de (lepas) dan centrum

(pusat). Menurut perkataannya, desentralisasi adalah melepaskan diri dari pusat.

Negara kesatuan dibagi juga dalam pola sentralistik dan pola desentralistik. Negara

kesatuan dengan pola sentralistik adalah sistem kenegaraan yang menetapkan seluruh

wilayah negara tanpa kecuali, merupakan kesatuan wilayah administrasi dan hukum.

Sedangkan, pola desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada

daerah. Namun, penyerahan wewenang tersebut tidak mengubah esensi dasar negara

kesatuan.29

Asas desentralisasi adalah asas yang menyatakan penyerahan sejumlah urusan

pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada daerah, sehingga menjadi urusan rumah

tangga daerah itu. Sehingga, prakarsa, wewenang atau urusan dan tanggung jawab

27 Agussalim A Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia

Indonesia, Bogor, hlm. 62. 28 Bagir Manan, 1990, Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi

Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung. Hlm. 29. 29 Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia, hlm.

59-62.

Page 17: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 16

mengenai urusan-urusan yang diserahkan menjadi tanggung jawab daerah. Sementara,

dalam Pasal 1 angka 8 UU Pemda disebutkan: ”Asas desentralisasi adalah penyerahan

Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas

Otonomi”.

Dalam sejarah desentralisasi atau otonomi daerah, Hilaire Barnet, menyatakan:

“local government represented an early form of localized self-regulation. The country is

devided into local authorities – either county or district – each having law making and

administrative powers as deligated by Parliament”.30

Dalam negara kesatuan, Pemerintah Pusat memegang kedaulatan, pertama, secara

internal yaitu supremasi seseorang atau sekumpulan orang dalam negara terhadap individu-

individu atau perkumpulan-perkumpulan di dalam wilayah yurisdiksinya. Kedua, eksternal

yaitu kemerdekaan absolut suatu negara sebagai keseluruhan dalam kaitannya dengan

negara-negara lain.31 Desentralisasi melalui otonomi daerah menunjuk hanya kepada

masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus daerah. Namun, kadang-

kadang lembaga administrasi (pemerintah daerah) yang terpilih, berkompeten untuk

membuat norma-norma umum, misalnya undang-undang otonomi (peraturan daerah),

tetapi undang-undang ini mesti ada dalam kerangka (frame) undang-undang pusat, yang

dibuat oleh legislatif.32 Berdasarkan pandangan tersebut menunjukan daerah diberi

kewenangan membuat peraturan daerah, untuk mengatur tentang pelaksanaan

pemerintahan daerahnya, menurut kepentingan dan kebutuhan pemerintahannya. Namun,

pengaturannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan pemerintahan pusat, baik

konstitusi maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

A.H Manson, membagi desentralisasi menjadi dua yaitu, desentralisasi politik dan

desentralisasi administratif/birokrasi. Desentralisasi politik disebut juga dengan devolusi,

30 Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London: Cavendish

Limited, hlm. 496. 31 CF. Strong, 2004, Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan

Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Terjemahan dari Modern Political Constitution: An Introduction to the

Comparative Study of Their History and Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, hlm. 109-110. 32 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General Theory

of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hlm. 445.

Page 18: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 17

sedangkan desentralisasi administratif disebut juga dengan dekonsentrasi.33 Baik

desentralisasi maupun dekonsentrasi merupakan instrument dalam bidang division of

power. Maksudnya, dua konsep tersebut merupakan konsep administrasi, yaitu bagaimana

proses-proses kegiatan untuk mencapai tujuan dilaksanakan dalam organisasi dan

manajemen.

Sejalan dengan Manson, Conyers, juga membagi desentralisasi menjadi dua

macam, yaitu devolution (devolusi) adalah pelimpahan kewenangan politik dari pusat

kepada daerah yang ditetapkan secara legal dan deconcentration (dekonsentrasi),

merupakan kewenangan administratif yang diberikan oleh pusat kepada perwakilan badan-

badan pemerintah pusat yang ada di daerah.34

Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah pada

perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi, yaitu merupakan suatu hak atau

wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk mengurus dan mengatur sendiri

urusan rumah tangganya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Untuk menyelenggarakan otonomi ini, Pemerintah Pusat menyerahkan sejumlah urusan

pemerintahan yang kelak menjadi urusan rumah tangga daerah terseebut harus selalu

berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan

kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat dan harus menjamin keserasian

hubungan antara daerah dengan daerah lannya. Dalam rangka meningkatkan pelayanan

terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan secara merata di seluruh wilayah

negara Indonesia.35

Penyerahan urusan-urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat menjadi urusan

rumah tangga sendiri bagi daerah-daerah yang menerimanya dapat dilakukan dengan

33 Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta,

hlm. 4. 34 Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 8-9. 35 Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam rangka

Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sumatera Utara,

Medan, hlm. 23.

Page 19: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 18

mengikuti beberapa teori/ajaran tentang pembagian urusan pemerintahan antara

pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah, yaitu sebagai berikut:36

1. Sistem otonomi materiil, yaitu pembagian urusan-urusan yang dilakukan antara

pemerintah pusat dengan daerah-daerahnya, dimana yang menjadi urusan daerah

ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terperinci secara tegas dan pasti,

sedangkan di luar dari urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah adalah

merupakan urusan pemerintah pusat.

2. Sistem otonomi formal, yaitu pembagian urusan antara pemerintah pusat dengan

daerah-daerahnya, di mana daerah-daerah pada umumnya mempunyai kebebasan

untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi kemajuan

dan perkembangan daerah sepanjang daerah tidak mengatur urusan yang telah

diatur dan diurus oleh pemerintah pusat berdasarkan peraturan perundang-

undangan.

3. Sistem otonomi nyata (riil), yaitu penyerahan urusan-urusan kepada daerah

berdasarkan kepada faktor-faktor perhitungan dan tindakan atau kebijakan yang

benar-benar nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan atau kemampuan yang nyata

dari masing-masing daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri.

Selain itu, sebagaimana juga dikatakan oleh Axel Hadenius yaitu:

“Decentralisation may entail the transfer of autonomy in the following areas: (1)

Policy autonomy: local bodies are entitled to make their own decisions in certain

(more or less restricted) fields of policy; (2) Organisation autonomy: local bodies

are free to decide about their organisational structure; (3) Staff autonomy: local

political leaders and administrative personnel are selected without interference

from central authorities; (4) Fiscal autonomy: local bodies are able to raise

revenues independently and/or receive grants from the centre without any strings

attached (so-called block grants).37

Selanjutnya, jika kekuasaan pusat berpendapat ada baiknya mendelegasikan

kekuasaan itu pada badan-badan tambahan – apakah badan-badan tersebut berupa otoritas

36 Ibid, hlm. 24-25. 37

Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from India,

Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International, hlm. 1.

Page 20: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 19

daerah atau otoritas kolonial – maka hal itu boleh saja dilakukan mengingat otoritas pusat

memiliki kekuasaan penuh, bukan karena konstitusi menetapkan demikian. Pendelegasian

kekuasaan ini bukan berarti tidak ada badan pembuat undang-undang tambahan, tetapi

artinya badan-badan itu dapat dihapuskan menurut kebijaksanaan otoritas pusat. Denga

demikian, ada dua sifat penting negara kesatuan, yaitu: (1) supremasi parlemen pusat, dan

(2) tidak adanya badan berdaulat tambahan.38

Desentralisasi pada negara kesatuan, berwujud dalam bentuk satuan-satuan

pemerintahan lebih rendah (teritorial atau fungsional) yang berhak mengatur dan mengurus

sendiri sebagian urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya. Meskipun kedua

lingkungan pemerintahan (pusat dan daerah) merupakan satu kesatuan susunan yang

mencerminkan keutuhan bentuk negara kesatuan, tetapi karena masing-masing mempunyai

lingkungan wewenang, tugas, dan tanggung jawab berbeda, maka tidak menutup

kemungkinan terjadi semacam tarik-menarik bahkan spanning hubungan antara

keduanya.39 Mencermati negara kesatuan, baik mengenai negara kesatuan dengan

sentralisasi maupun desentralisasi menunjukan gambaran umum tentang identitas negara

kesatuan sebagai: (1) negara satu negara, (2) negara satu kedaulatan, (3) negara satu

wilayah/daerah, (4) negara satu bangsa, (5) negara satu sistem hukum, dan (6) negara satu

sistem pemerintahan.40

Uraian diatas menunjukkan bahwa dalam sistem pemerintahan negara kesatuan

dibagi dua yaitu negara kesatuan dengan sistem sentralistik dan desentralistik atau otonomi

dengan cara membagi-bagikan kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan daerah.

Namun, dalam menjalankan kewenangan otonomi ini kekuasaan mutlak masih ada pada

Pemerintah Pusat sehingga kekuasaan inipun dapat dihapus oleh Pemerintah Pusat.

Meskipun demikian, menurut Bagir Manan, desentralisasi dalam rangka hubungan

antara pusat dan daerah terjelma dalam empat asas pokok sebagai patokan, sebagaimana

UUD RI 1945, yaitu: Pertama, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh

38 CF. Strong, Op., Cit., hlm. 115. 39 Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 16-17. 40 Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung, hlm. 23.

Page 21: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 20

mengurangi hak-hak rakyat daerah untuk turut serta (secara bebas) dalam penyelenggaraan

pemerintahan daerah, sesuai dengan dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dal;am permusyawaratan/perwakilan atau dasar permusyawaratan dalam

sistem pemerintahan negara yang harus terselenggara sampai ketingkat pemerintahan

daerah. Kedua, bentuk hubungan antara pusat dan daerah, tidak boleh mengurangi hak-hak

(rakyat) daerah untuk berinisiatif atau berprakarsa mengatur dan mengerus urusan-urusan

yang dinggap penting bagi daerah. Ketiga, bentuk hubungan antara pusat dan daerah dapat

berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lain sesuai dengan keadaan khusus

masing-masing daerah. Dan, keempat, bentuk hubungan antara pusat dan daerah adalah

dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial daerah.41

Oleh karena itu, apabila dalam pelaksanaan sistem desentralistik atau otonomi,

Pemerintah Pusat masih mempunyai kekuasaan penuh dan mutlak terhadap daerah, maka

kekuasaan ini tidak dapat dijalankan oleh daerah secara maksimal. Sehingga, tujuan negara

sebagaimana falsafah Pancasila yaitu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat akan

sulit terwujud. Apalagi, dengan perkembangan saat ini sistem kekuasaan mutlak

Pemerintah Pusat dalam negara kesatuan tidak dapat dijalankan lagi.

Pengalaman negara-negara lain terdapat dua pola besar dalam merumuskan

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembagian tugas pengurusan urusan

pemerintahan (intergovernmental task sharing), yaitu: 1) pola general competence

(otonomi luas) dan 2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola otonomi luas

dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif

dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan, dalam

prinsip ultra vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan

sisanya menjadi kewenangan pusat.42 Pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah di

Indonesia termasuk dalam kategori pola general competence, hal ini dapat dilihat pasca

41 Bagir Manan, Op., Cit., hlm. 170. 42 Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-

konsepsi-otda.pdf, hlm. 3, diakses pada 25 November 2015.

Page 22: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 21

perubahan kedua Pasal 18 UUD RI, tahun 2000 yang sebelumnya hanya diatur dalam Pasal

18, kemudian ditambah 2 (dua) pasal yaitu Pasal 18A dan Pasal 18B.

C. Otonomi Khusus

Asas desentralisasi dikenal terbagi dalam 2 (dua) kategori, yaitu selain

desentralisasi simetris (symmetric decentralization), juga dikenal desentralisasi asimetris

(asymmetric decentralization) atau otonomi khusus. Sebagaimana dikemukakan oleh

Joachim Wehner, bahwa pemberian otonomi yang berbeda atas satu daerah atau wilayah

dari beberapa daerah merupakan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang cukup

umum ditemui dalam pengalaman pengaturan politik di banyak negara. Pengalaman ini

berlangsung baik di dalam bentuk negara kesatuan yang didesentralisasikan, maupun

dalam format pengaturan federatif. Dalam khasanah ilmu politik dan pemerintahan, pola

pengaturan yang tidak sebanding ini disebut sebagai asymmetrical decentralization,

asymmetrical devolution atau asymmetrical federalis, atau secara umum asymmetrical

intergovernmental arrangements.43

Secara prinsipil, berbagai bentuk penyebaran kekuasaan yang bercorak asimetris di

atas merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dimaksudkan untuk mengatasi dua

hal fundamental yang dihadapi suatu negara, yakni persoalan bercorak politik, termasuk

yang bersumber pada keunikan dan perbedaan budaya; dan persoalan yang bercorak

teknokratis-menejerial, yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam

menjalankan fungsi dasar pemerintahan.44 Sementara, menurut Peter Harris dan Ben

Reilly, melalui desentralisasi asimetris ini, wilayah-wilayah tertentu di dalam suatu negara

diberikan kewenangan khusus yang tidak diberikan kepada wilayah-wilayah lain.45

43 Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Pembelajaran dari

Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta, hlm. 10. 44 Ibid.

45 Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat Papua

di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 53. Lihat juga, Riris Katharina, 2011, Implementasi

Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan Terhadap Peran DPRP dan MRP), dalam

http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf, diakses pada 5 Desember 2015.

Page 23: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 22

Otonomi khusus adalah kewenangan khusus yang diberikan kepada daerah

‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut

prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut.

Kewenangan ini diberikan agar daerah ‘tertentu’ dapat menata daerah dan bagian dari

daerah tersebut agar lebih baik lagi di bidang tertentu sesuai dengan aspirasi daerahnya.

Otonomi khusus ditawarkan melebihi otonomi daerah biasa, karena otonomi ini diberikan

kepada daerah ‘tertentu’ yang berarti daerah tersebut mempunyai kelompok gerakan

kemerdekaan yang ingin memisahkan dirinya (daerahnya) dari wilayah NKRI. Jadi secara

tidak langsung, pemerintah memberikan otonomi khusus ini sebagai bentuk pendekatan

damai agar kelompok gerakan tersebut tidak terus bergejolak.

Pendekatan dan pemberlakuan desentralisasi asimentris atau otonomi khusus,

menurut Hurst Hannum, yang mengistilahkan dengan territorial autonomy, paling tidak

terdapat dua manfaat, yaitu:

1. Sebagai solusi terhadap kemungkinan terjadinya konflik etnis, atau konflik-

konflik fisik lainnya. Contohnya, Hong Kong jelas bagian daerah kedaulatan

negara Cina, tetapi memberikan sejumlah kewenangan penting kepada Hong

Kong dalam bidang politik, hukum dan ekonomi.

2. Sebagai respon demokratis dan damai terhadap keluhan/masalah-masalah kaum

minoritas yang hak-haknya selama ini dilanggar/kurang diperhatikan.46

Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era

reformasi. Sebelumnya, hanya dikenal istilah daerah khusus dan daerah istimewa.47 Pada

masa lalu, daerah khusus adalah daerah yang memiliki struktur pemerintahan yang berbeda

dengan daerah lain karena kedudukannya, sedangkan daerah istimewa adalah daerah yang

memiliki struktur pemerintahan berbeda karena perbedaan atau keistimewaan berupa

susunan asli masyarakat.

46 Ibid, hlm. 55. 47 Pasal 18 UUDNRI 1945 sebelum Perubahan menyatakan “Pembagian daerah Indonesia atas

daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan negara, dan hak-hak asal-

usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

Page 24: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 23

Otonomi khusus secara resmi menjadi bagian dari system penyelenggaraan negara

melalui Perubahan Kedua UUD 1945. Keberadaan otonomi khusus merupakan salah satu

bagian dari pembalikan politik penyelenggaraan negara yang semula bersifat sentralistis

dan seragam menuju kepada desentralisasi dan penghargaan kepada keberagaman. Hal ini

selaras dengan demokratisasi yang menjadi arus utama reformasi. Demokratisasi

penyelenggaraan pemerintahan menghendaki adanya desentralisasi dan penghormatan

terhadap keberagaman daerah.48

Dari sisi sosial ekonomi, sentralisasi yang telah dipraktikkan selama masa orde baru

telah melahirkan kesenjangan pusat dan daerah, serta kesenjangan antar daerah, yang

berujung kepada ancaman terhadap integrasi nasional. Desentralisasi dalam bingkai

otonomi daerah diharapkan dapat mewujudkan hubungan pusat daerah dan antar daerah

yang lebih adil dan demokratis. Khusus untuk Aceh dan Papua, pemberian otonomi khusus

juga diharapkan dapat menyelesaikan konflik integrasi yang telah berkepanjangan.

Otonomi khusus berdasarkan UUDNRI 1945 Pasca Perubahan memiliki perbedaan

mendasar jika dibandingkan dengan daerah khusus berdasarkan UUDNRI 1945 sebelum

perubahan. Otonomi berarti daerah memiliki hak, wewenang, dan kewajiban untuk

mengurus rumah tangga sendiri atau urusan daerah sendiri diluar urusan tertentu yang

ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat. Otonomi khusus berarti hak, wewenang, dan

kewajiban yang dimiliki suatu daerah ditentukan berbeda dengan daerah pada umumnya.

Otonomi diberikan kepada daerah sebagai kesatuan hukum, bukan kepada pemerintah

daerah. Otonomi khusus berbeda dengan daerah khusus karena di dalam otonomi khusus

perbedaan dengan daerah lain bukan hanya dari sisi struktur pemerintah daerah, melainkan

juga meliputi perbedaan ruang lingkup hak, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki

daerah, serta pola dan proporsi hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah khusus.

48 Pasal 18B ayat (1) UUDNRI 1945 menyatakan bahwa “Negara menagkui dan menghormati

satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-

undang.”

Page 25: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 24

BAB III

OTONOMI KHUSUS ACEH DAN PAPUA DALAM KERANGKA

NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

A. Otonomi Khusus Aceh

Aceh memiliki dua atribut otonomi khusus. Pertama melalui UU Nomor 18 Tahun

2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD, dan yang Kedua melalui UU No, 11

Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pada kebijakan pertama, pertimbangan

pemberian otonomi khusus adalah: (1) bahwa sistem Pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati

satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur

dengan Undang-undang; (2) bahwa salah satu karakter khas dalam sejarah perjuangan

rakyat Aceh adalah adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi yang bersumber pada

pandangan hidup, karakter sosial, dan kemasyarakatan dengan budaya Islam yang kuat

sehingga Daerah Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan

mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) bahwa untuk

memberi kewenangan yang luas dalam menjalankan pemerintahan bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh, dipandang perlu memberikan otonomi khusus; (4) bahwa UU No. 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dipandang belum

menampung sepenuhnya hak asal-usul dan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh;

dan (5) bahwa pelaksanaan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dalam penyelenggaraan

pemerintahan di Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.49

49 Agung Djojosoekarto & Rudiarto Sumarwono, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, dapat

diakses di www.kemitraan.or.id.

Page 26: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 25

Dasar pertimbangan pemberian kekhususan melalui UU No. 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh adalah: (1) bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia, menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus

atau bersifat istimewa; (2) bahwa berdasarkan perjalanan ketatanegaraan Republik

Indonesia, Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau

istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang

memiliki ketahanan dan daya juang tinggi; (3) bahwa ketahanan dan daya juang tinggi

tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syariat Islam yang melahirkan

budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam

merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4)

bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum

dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan,

pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia sehingga Pemerintahan Aceh perlu

dikembangkan dan dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik; (5)

bahwa bencana alam gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Aceh telah menumbuhkan

solidaritas seluruh potensi bangsa Indonesia untuk membangun kembali masyarakat dan

wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan

bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.50

Sebagai upaya menentukan arah politik hukum sebagaimana digariskan oleh

GBHN tahun 1999-2004, maka dengan keluarnya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001

(Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006) untuk wilayah Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dideklarasikan

adanya Peradilan Syari’at Islam sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional yang

dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun (Pasal 25

ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2006). Dengan demikian lingkungan Peradilan di Indonesia yang

menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pihak manapun terdiri dari: Peradilan

50 Ibid.

Page 27: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 26

Umum; Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah; Peradilan Militer; dan Peradilan Tata

Usaha Negara.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa Aceh merupakan daerah Istimewa

dengan otonomi khusus sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999

dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. Namun Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2001 kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 menempatkan titik berat otonomi khusus

pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah

Kabupaten dan Kota atau nama lain secara proporsional. Kekhususan ini merupakan

peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan

penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat

berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam

Peraturan Daerah yang disebut dengan Qanun.51

Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang tidak

menyebutkan secara tegas dimanakah letak titik berat otonomi tersebut, lebih lanjut

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dengan tegas menyebutkan Aceh adalah daerah

otonomi khusus. Hal ini dapat dilihat dari judul Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe

Aceh Darussalam, meskipun apa yang menjadi kewenangan yang bersifat khusus tersebut

tidak dirumuskan secara jelas dan tegas. Hanya ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2001 bahwa kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan

otonomi khusus.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dijelaskan Undang-

undang ini pada prinsipnya mengatur kewenangan pemerintahan di Provinsi Daerah

Istimewa Aceh yang merupakan kekhususan dari kewenangan pemerintahan daerah, selain

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

51 Penjelasan UU No. 18 Tahun 2001

Page 28: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 27

Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Konsep kekhususan dan keistimewaan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konsideran menimbang a disebutkan:

“…pemerintahan daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta

masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip

demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Ketentuan lebih lanjut dalam Penjelasan Umum disebutkan aspek hubungan

wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini Papua secara tegas disebutkan dalam judul

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Untuk Papua status Otonomi Khusus jelas dari judul Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2001 sebagaimana halnya juga dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Otonomi khusus bagi aceh. Otonomi khusus tidak menonjol dalam beberapa ketentuan atau

penjelasannya. Hal tersebut dikarenakan dalam MoU Helsinki tidak dipakai istilah otonomi

khusus, karena oleh pihak GAM tidak dianggap sebagai sesuatu yang mencerminkan sifat

pemerintahan yang diinginkan.

B. Otonomi Khusus Papua

Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan terhadap

belahan barat pulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju

pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Negosiasi

dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dan

pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum

kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962.

Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia

Page 29: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 28

dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dan

Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.

Namun setelah menjadi bagian dari NKRI, ternyata kehidupan masyarakat di Irian

Jaya tidak semakin membaik. Selain banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia, Irian

Jaya juga menjadi provinsi yang paling lambat dalam segala bidang pembangunan seperti

pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Akibat dari hal-hal tersebut maka muncul

sekelompok masyarakat yang tidak puas dengan pemerintah pusat dan akhirnya

membentuk kelompok separatis yang dikenal dengan OPM yang menginginkan agar Irian

Jaya lepas dari NKRI.

Penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Irian

Jaya selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya

memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung

terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan penghormatan

terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Irian Jaya, khususnya masyarakat Irian Jaya.

Presiden Megawati, yang menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun

2001, merespon tuntutan merdeka untuk Papua dengan menandatangani UU No. 21 Tahun

2001 tanggal 21 November 2001 tentang Otonomi Khusus. UU ini dapat dilihat terlahir

sebagai penyelesaian konflik yang win-win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan

terlepas dari NKRI serta Pemerintah RI yang kokoh-teguh mempertahankan kedaulatan

NKRI.

UU Otsus bagi Provinsi Papua ini merupakan pengakuan Pemerintah RI untuk

melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan kekayaan Papua. Inilah prasyarat

untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan disbanding saudaranya di kawasan

tengah dan timur.

Sebagaimana dikemukakan dalam UU No. 21 Tahun 2001 yang telah dicabut

melalui UU No. 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001, Otonomi

Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas

bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam

Page 30: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 29

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti pula

tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan

pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di Provinsi Papua untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat Papua.

Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-

budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai

bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran

yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi

pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat

Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, lambang daerah dalam bentuk

bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri rakyat Papua dan

pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.

Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:

Pertama, pengaturan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah Provinsi Papua serta

penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;

Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta

pemberdayaannya secara strategis dan mendasar;

Ketiga, mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, yang berciri:

a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan, dan

pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, serta pelaksanaan

pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;

b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi

kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi

Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian

lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung

bagi masyarakat;

c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan

dan bertanggungjawab kepada masyarakat

Page 31: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 30

Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara

badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi

kultural penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu.

Latar belakang pemberian otonomi khusus kepada Papua juga ditegaskan dalam

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2001 menggambarkan bahwa pemberian otonomi khusus kepada Papua

dilatarbelakangi oleh pengakuan negara terhadap dua hal penting. Pertama, pemerintah

mengakui bahwa hingga saat terbentuknya undang-undang tersebut terdapat permasalahan

di Papua yang belum diselesaikan. Permasalahan itu meliputi berbagai bidang, baik dalam

bidang politik, pemerintahan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Kedua, pemerintah

mengakui bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan yang diambil dan dijalankan untuk

menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Diakui secara tegas bahwa apa yang

dijalankan di Papua belum memenuhi rasa keadilan, belum memungkinkan tercapainya

kesejahteraan, penegakan hukum, dan penghormatan terhadap HAM, khususnya bagi

masyarakat Papua.

Berdasarkan latar belakang pembentukan UU Otonomi Khusus Papua dapat

diketahui bahwa tujuan pemberian Otonomi khusus adalah untuk menyelesaikan akar

masalah Papua sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Namun demikian, substansi UU

Otonomi Khusus Papua itu sendiri tidak mencakup upaya penyelesaian seluruh akar

persoalan di Papua. UU Otonomi Khusus Papua hanya dapat digunakan sebagai instrumen

normatif untuk menyelesaikan akar persoalan berupa “kesenjangan, persamaan

kesempatan, serta perlindungan hak dasar dan Hak Asasi Manusia.”

Secara spesifik UU Otonomi Khusus Papua menyatakan bahwa tujuan Otonomi

Khusus Papua adalah untuk mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi

lain, meningkatkan taraf hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan

kesempatan kepada penduduk asli Papua. Nilai-nilai dasar yang digunakan sebagai pijakan

pemberlakuan Otonomi Khusus adalah perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan

moral, hak-hak dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi,

pluralisme, serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.

Page 32: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 31

C. Analisis Komprehensif

Undang-undang mengenai pemerintahan daerah mengalami proses bongkar pasang

yang sangat dinamis. Proses perubahan yang cukup cepat setelah diatur dengan Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang,52 dan

terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.53 Terdapat

beberapa perbedaan substansi penyelenggaraan pemerintahan daerah antara Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang ini.

Walaupun demikian, belum sempat dilaksanakan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2014, pada 2 Oktober 2014, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, membatalkan

undang-undang tersebut dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perpu Pilkada).54

Sebagaimana, Pasal 205 Perpu Pilkada tersebut menyebutkan: “Pada saat Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 22

Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 243, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun Nomor 5586) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.”

Namun demikian, sebelum substansi pemilihan wakil kepala daerah ini

dilaksanakan, setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 diganti dengan Perpu

Pilkada yang selanjutnya ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015,

substansi ini diubah (dihapus). Khususnya, penghapusan terhadap Pasal 167-Pasal 172

52 Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Menjadi Undang-Undang, UU No.2 Tahun 2015, LN No.24 Tahun 2015, TLN No. 5657. 53 Undang-undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, UU No.9 Tahun 2015, LN No.58 Tahun 2015, TLN No. 5679. 54 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, Perpu

No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.

Page 33: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 32

mengenai pemilihan wakil kepala daerah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Sehingga, sebagaimana Pasal

1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, pemilihan wakil kepala daerah dilakukan

serentak dengan pemilihan kepala daerah.

Sebagaimana diketahui, secara legalitas, otonomi daerah kita hanya mengenal dua

sistem, yaitu otonomi khusus (otsus) dan otonomi daerah (otda) berdasarkan UU Nomor

32 Tahun 2004. Dalam sistem otsus, mekanisme berjalan menurut bingkai perundangan

yang dirancang dengan memperhatikan kekhususan tertentu secara definitif. Pertimbangan

lain ialah karakteristik dimiliki daerah tertentu, terutama aspek rendahnya kualitas hidup,

ketertinggalan, dan aspek politis. Aspek politis Aceh dan Papua lebih dominan

dibandingkan dengan provinsi lain karena secara teoretis saat itu otsus diharapkan menjadi

lem perekat kesatuan provinsi ini sebagai bagian integral NKRI. Dalam terminologi

teoretis, Mark Turner dan BC Smith menyebutnya a glue of national integration.

Semakin hari, kita menyaksikan semakin banyak kompleksitas pemerintahan di

tingkat provinsi menyusul sedikitnya ruang gerak provinsi dalam konteks peraturan

sekarang. Dalam rangka mengakui dan mengembangkan hak-hak adat, kekayaan

intelektual masyarakat, serta keadilan dalam perspektif hubungan pusat-daerah, diperlukan

solusi interpretatif yang cerdas tanpa mengurangi kehati-hatian dalam memberikan

kewenangan lebih besar kepada provinsi.

Selama ini, terjadi ketegangan dan tarik-ulur kewenangan antara pusat serta daerah

yang bermuara pada kebuntuan. Situasi ini akan berjalan tanpa akhir selama belum

ditemukan konteks legal untuk basis penyelesaian persoalan di atas. Tanpa upaya mencari

solusinya, kondisi ini akan menjadi ancaman bagi keutuhan NKRI.55

55 News: Desentralisasi Asimetris - Prof. Said M. Mas'ud, Ph.D. dapat diakses melalui

http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html

Page 34: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 33

Untuk kasus Indonesia, fokus otda yang diletakkan pada kabupaten dan kota sudah

tepat. Otsus di level provinsi untuk Aceh dan Papua juga sudah masuk akal. Namun, kita

masih melihat adanya kelemahan saat dihadapkan pada situasi pemerintahan provinsi lain

yang beraneka ragam. Ada alasan mengapa otsus diberlakukan di level provinsi, yakni,

dalam posisi barunya di perundang-undangan, ia adalah ujung tombak, wakil pemerintah

di daerah, sekaligus sebagai daerah otonom.

Fondasi dan nilai utama otonomi khusus adalah demokrasi sekaligus memperkuat

NKRI. Dengan posisi asimetris untuk sektor tertentu ini, kehendak mengubah posisi politik

provinsi dari semula sebagai ancaman disintegrasi menuju kebebasan terbatas untuk

mengembangkan diri sebagaimana dijamin pasal 18 UUD 1945 bisa ditingkatkan.

Selama ini daerah yang membuat gerakan untuk lepas dari NKRI bukanlah pada

level kabupaten atau kota, tetapi provinsi. Dengan menambah keleluasaan yang sewajarnya

di tingkat provinsi, diharapkan ia bisa menjadi jantung pertahanan agar daerah tak

menerabas melebihi haknya untuk berubah. Pelaksanaan otonomi khusus bagi Aceh dan

Papua bukan hanya akan mengakomodasi keberagaman yang ada, tetapi juga memberi

keleluasaan bagi mereka untuk memperkuat jati diri dalam kerangka NKRI.

Dari dua daerah yang memiliki otonomi khusus, Aceh dapat dikatakan telah cukup

berhasil, namun tidak demikian halnya dengan Papua. Aceh telah mampu meminimalisir

konflik dan kekerasan bersenjata dan menjalankan roda pemerintahan daerah dengan relatif

baik dibandingkan dengan Papua, walaupun masih terdapat riak-riak kecil kekerasan. Hal

ini berbeda dengan Papua yang masih dirundung konflik bersenjata dan kerap terjadi

kekerasan.

Tentu saja ada banyak faktor yang mempengaruhi adanya perbedaan di dua daerah

tersebut. Namun dua faktor yang paling menonjol adalah penyelesaian konflik dan

pelaksanaan otonomi khusus. Perbedaan mendasar antara Aceh dengan Papua adalah

dalam hal penyelesaian konflik. Di Aceh, konflik politik pemisahan diri diselesaikan

terlebih dahulu sebelum penerapan Otonomi Khusus. Otonomi khusus yang diberlakukan

di Aceh adalah produk kesepakatan bersama dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik

Page 35: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 34

sehingga pelaksanaannya pun dipahami bersama sebagai bentuk tindak lanjut penyelesaian

konflik.

Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Papua. Otonomi Khusus Papua tidak dapat

dikatakan sebagai bentuk kesepakatan bersama, melainkan produk dari pemerintah pusat

untuk meredam konflik yang terjadi di Papua. Jika Otonomi Khusus Aceh adalah bentuk

tindak lanjut dari penyelesaian konflik, Otonomi Khusus Papua dibuat sebagai upaya untuk

menyelesaikan konflik. Akibatnya, belum ada pemahaman bersama dari pihak-pihak yang

terlibat konflik terhadap eksistensi Otonomi Khusus. Bagi pemerintah pusat, Otonomi

Khusus adalah wujud nyata ikhtiar untuk menyelesaikan konflik, sedangkan bagi sebagian

masyarakat Papua Otonomi Khusus adalah ciptaan pemerintah pusat untuk menghentikan

perlawanan mereka.

Terhadap Otonomi Khusus, memang terdapat masyarakat Papua yang terlibat

dalam pembentukan dan menerimanya sebagai jalan terbaik bagi terwujudnya kedamaian

di Papua. Demikian pula dari sisi substansi, UU Otonomi Khusus Papua memang telah

memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat Papua. Namun hal itu berubah

menjadi bagian dari sumber konflik ketika UU Otonomi Khusus Papua tidak dilaksanakan

dengan konsisten.

Hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada Papua seringkali dibatasi,

dikurangi, bahkan ditarik kembali ke pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang

bersifat operasional dan sektoral. Hasil riset Patnership mengenai Kinerja Otonomi Khusus

Papua (2008) menunjukkan tingginya tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap

pelaksanaan Otonomi Khusus Papua. Bahkan disebutkan bahwa otonomi khusus justru

meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Penelitian tersebut

mengidentifikasi beberapa alasan ketidakberhasilan Otonomi Khusus Papua, yaitu:56

a. Beberapa substansi dalam UU Otonomi Khusus justru menimbulkan konflik yang tidak

terselesaikan antara masyarakat Papua dengan pemerintah, seperti masalah lambang

56 Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Jakarta, Kemitraan Bagi

Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Page 36: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 35

dan bendera daerah. Walaupun keberadaan lambang dan bendera diakui dalam Pasal 2

ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 tetapi tidak mendapatkan rumusan lebih lanjut dan

justru dihalang-halangi oleh pemerintah. Kasus pengibaran Bendera Bintang Kejora

adalah contoh yang sering terjadi. Aparat TNI dan Polri menolak pengibaran bendera

bintang kejora.

b. Dalam implementasinya, dimensi politik dalam penyelesaian masalah Papua jauh lebih

kuat dibanding pembangunan dan peningkatan kesejahteraaan. Otonomi Khusus lebih

banyak diisi oleh peristiwa politik seperti pemekaran, demonstrasi, pengembalian

Otonomi Khusus hingga Pilkada. Sangat sedikit ruang yang tersedia untuk program-

program konkrit guna meningkatkan taraf hidup masyarakat Papua demi

menghilangkat kesenjangan antara pusat dan Papua, antara daerah lain dengan Papua,

bahkan antara penduduk asil Papua dengan pendatang.

c. Perumusan aturan tatalaksana Otonomi Khusus tidak berjalan secepat pengucuran dana

Otonomi Khusus. Peraturan Pemerintah tentang MRP baru selesai setelah 3 tahun

Otonomi Khusus. Perdasus pertama baru muncul enam tahun setelah Otonomi Khusus.

Padahal sejak tahun 2002, dana Otonomi Khusus dalam jumlah yang sangat besar terus

mengucur. Akibatnya tidak ada satu kerangka aturan yang bisa menjamin dana

Otonomi Khusus mengalir untuk pembangunan yang berorientasi meningkatkan taraf

hidup masyarakat. Sebaliknya, dana Otonomi Khusus banyak ditengarai dikorupsi atau

digunakan untuk kepentingan para elit di Papua.

d. Evaluasi terhadap Otonomi Khusus yang seharusnya dilakukan setiap tahun setelah

evaluasi pertama pada tahun ketiga sebagaimana diamanatkan UU Otonomi Khusus

tidak dilakukan secara mendalam dan komperehensif. Akibatnya masyarakat tidak

pernah mendapatkan potret pelaksanaan Otonomi Khusus dalam hal pemenuhan hak-

hak mendasar mereka secara utuh. Yang berkembang di tengah masyarakat adalah

bahwa dana Otonomi Khusus banyak diselewengkan oleh birokrasi pemerintahan;

e. Otonomi Khusus memang terinformasikan kepada masyarakat luas (dalam hal ini di

kota dan kabupaten Jayapura) tetapi tidak well-informed. Masyarakat mengetahui

tentang Otonomi Khusus tetapi tidak memahaminya secara menyeluruh. Dengan

Page 37: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 36

realitas seperti itu, Otonomi Khusus berjalan menjadi kebijakan yang tidak partisipatif.

Kebijakan yang dijalankan dengan satu perspektif tunggal dari pemerintah.

Ketidakberhasilan Otonomi Khusus setidaknya bersumber pada lima hal. Pertama,

pelaksanaan otonomi khusus tidak diimbangi dengan upaya penyelesaian konflik politik

secara damai. Hal ini mengakibatkan politisasi pelaksanaan otonomi khusus baik oleh

pemerintah pusat maupun oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat sendiri. Otonomi

khusus bergeser menjadi isu-isu politik, bukan program nyata untuk meningkatkan taraf

hidup dan penghargaan hak dasar masyarakat sesuai dengan latar belakang kebijakan

otonomi khusus itu sendiri. Pemerintah pusat masih menggunakan pendekatan keamanan

yang bertolak belakang dengan tujuan otonomi khusus untuk meningkatkan penghormatan

terhadap hak asasi manusia.

Kedua, pendekatan kemanan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa dalam

pelaksanaan otonomi khusus sudah tercerabut dari nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan,

yaitu perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak dasar penduduk

asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta persamaan

kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Masih maraknya kekerasan dan

pelanggaran HAM, tidak adanya proses hukum, belum terbentuknya pengadilan HAM,

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, menunjukkan bahwa Otonomi Khusus hanya

dilaksanakan secara parsial. Untuk hal-hal tertentu masih terdapat ketidakpercayaan

pemerintah terhadap masyarakat untuk melaksanakan otonomi khusus.

Ketiga, terdapat kecenderungan menggerogoti otonomi khusus yang diberikan

dengan memperkuat kembali pola pemerintahan yang sentralistik. Penggerogotan

kekhususan otonomi khusus juga terjadi dalam bentuk berbagai kebijakan desentralisasi

yang tidak meletakkan titik berat otonomi di provinsi, tetapi menitikberatkan otonomi di

tingkat kabupaten dan kota sehingga menimbulkan konflik antar satuan pemerintahan

daerah.

Keempat, masih kurangnya kapasitas kelembagaan yang diperlukan untuk

menjalankan otonomi khusus baik karena status legal formal maupun karena kondisi politik

yang bersifat khusus. Sebagai contoh, MRP di Papua yang merupakan representasi kultural

Page 38: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 37

belum mampu mewarnai kebijakan dan mengontrol pelaksanaan pemerintahan. Sedangkan

di aceh, GAM yang sebagian besar telah bertransformasi dalam Partai Aceh belum mampu

memberikan kontribusi yang berarti untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Aceh.

Bahkan semakin hari, permasalahan internal partai dan mantan kombatan GAM menjadi

permasalahan tersendiri dalam menjalankan pemerintahan di Aceh. Produk hokum yang

dihasilkan juga belum mampu benjawab permasalahan dalam masyarakat Aceh sendiri,

bahkan terkesan hanya memenuhi keinginan para elit politik yang sedang berkuasa.

Page 39: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 38

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan pada bab-bab terdahulu, dengan ini Penulis dapat

merumuskan kesimpulan dalam beberapa aspek terkait penerapan otonomi khusus Aceh

dan Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia:

1. Bahwa sebenarnya penerapan otonomi khusus selaras dengan amanat konstitusi dalam

UUDNRI 1945 dan Penjelasannya, bahkan sebelum adanya Amandemen. Negara

mengakui dan menghormati daerah yang bersifat istimewa dan mengakui adanya hak

asal usul. Daerah yang diberikan keistimewaan dan kekhususan melalui UU khusus

atau istimewa adalah Provinsi Aceh, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta dan DI

Yogyakarta. UUDNRI 1945 setelah amandemen memberikan landasan yuridis yang

kuat melalui Pasal 18B ayat (1) yang melahirkan UU khusus dan istimewa bagi

Provinsi Aceh dan Papua.

2. Penerapan otonomi khusus dalam kerangka NKRI harus memperhatikan bentuk dari

negara, artinya selama daerah yang diberikan kekhususan dan keistimewaan tetap

berada dalam kerangka NKRI, maka otonomi khusus tidak menjadi sebuah masalah.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan pada tulisan ini, Penulis menyampaikan

saran-saran terhadap Pemerintah Pusat, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah, khususnya

Pemerintah Aceh dan Papua, sebagai berikut:

1. Untuk Pemerintah Pusat, DPR RI dan DPD RI sebagai pembuat undang-undang,

sebaikanya peraturan mengenai otonomi khusus diperjelas dan dipertegas, dengan

membuat rancangan dan panduan yang terarah, dipikirkan secara matang dan terukur

mengingat keberagaman dan luasnya wilayah NKRI. Selanjutnya Pasal 18B ayat (1)

Page 40: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 39

UUDNRI 1945 dibuat secara khusus undang-undang turunannya mengenai kriteria dan

standar pemberian daerah khusus maupun istimewa, mengingat selama ini pemberian

kekhususan dan keistimewaan lebih berdasarkan pada pertimbangan politis dan sejarah

saja.

2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus sama-sama ikhlas dan memiliki itikad

baik dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing, untuk mencapai tujuan

berbangsa dan bernegara. Persamaan persepsi terhadap konteks otonomi khusus yang

telah diberikan dapat meminimalisir permasalahan dalam menjaga hubungan antara

Pemerintah Pusat dan Daerah.

3. Untuk Pemerintah Daerah yang telah mendapatkan kekhususan seperti Aceh dan

Papua, sebaiknya mampu memanfaatkan sebaik-baiknya potensi daerahnya dan

mewujudkan cita-cita bangsa Indoensia yang adil, makmur dan sejahtera. Perlu

dibentuk produk hokum yang khusus dan sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-

masing.

Page 41: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 40

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abu Daud Busroh, 1990, Ilmu Negara, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kebijakan Otonomi Khusus di Indonesia, Pembelajaran

dari Kasus Aceh, Papua, Jakarta, dan Yogyakarta, Kemitraan, Jakarta.

Agung Djojosoekarto, dkk., 2008, Kinerja Otonomi Khusus Papua, Jakarta, Kemitraan

Bagi Pembaruan Tata Pemerintahan di Indonesia.

Agussalim A Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah: Kajian Politik dan Hukum, Ghalia

Indonesia, Bogor.

Ahmad Sukardja, 2012, Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Dalam

Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta.

Amrizal J Prang, 2015, Pemerintahan Daerah: Konteks Otonomi Simetris dan Asimetris,

Biena Edukasi, Lhokseumawe.

Astim Riyanto, 2010, Teori Negara Kesatuan, Yapemdo, Bandung.

Axel Hadenius, 2003, Decentralization and Democratic Governance Experiences from

India, Bolivia and South Africa, Sweden: Almqvist & Wiksell International.

Bagir Manan, 1990, Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi

Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung.

Bhenyamin Hoessein dalam Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan

Otonomi Daerah, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.

CF Strong, 2004, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang

Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, terjemahan dari Modern Political

Constitutions: An Introduction to the Comparative Study of Their History and

Existing Form, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.

Darmansjah Djumala, 2013, Soft Power Untuk Aceh, Resolusi Konflik dan Politik

Desentralisasi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1989, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan

Kesebelas, Ichtiar Baru, Jakarta.

F. Isjwara, 1995, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesepuluh, Bina Cipta, Bandung.

Faisal Akbar Nasution, 2007, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom Dalam rangka

Menunjang Keberhasilan Otonomi Daerah, Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana,

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Page 42: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 41

Hanif Nurcholis, 2005, Teori dan Praktiek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Hans Kelsen, 2006, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari General

Theory of Law and State, Nusamedia & Nuansa, Bandung.

Hendarmin Ranadireksa, 2007, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Bandung: Fokusmedia.

Hilaire Barnet, 2000, Constitutional and Administrative Law, Ed. Ke-3, London:

Cavendish Limited.

Jacobus Perviddya Solossa, 2006, Otonomi Khusus Papua, Mengangkat Martabat Rakyat

Papua di Dalam NKRI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2001, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, Jakarta, the

Habibie Center.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,

Jakarta.

Jimly Assiddiqie, 2005, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Yarsif Watampane,

Jakarta.

Johny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,

Surabaya.

K. Ramanathan, 2003, Asas sains politik, Fajar Bakti Sdn. Bhd., Selangor, Malaysia.

Made Suwandi, 2002, http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-

konsepsi-otda.pdf.

Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES

Indonesia, Jakarta.

Mukhlis, 2014, Fungsi dan Kedudukan Mukim Sebagai Lembaga Pemerintahan dan

Lembaga Adat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, Disertasi, pada

Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran, Bandung.

News: Desentralisasi Asimetris - Prof. Said M. Mas'ud, Ph.D. dapat diakses melalui

http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html

Riris Katharina, 2011, Implementasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua (Tinjauan

Terhadap Peran DPRP dan MRP), dalam

http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-19.pdf.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota,

Perpu No.1 Tahun 2014, LN No.245 Tahun 2014, TLN No. 5588.

Page 43: OTONOM KUSUS A AN PAPUA - repository.unimal.ac.idrepository.unimal.ac.id/2165/1/otsus aceh dan papua.pdf · otonomi khusus, khususnya di Aceh dan Papua, sehingga pelaksanaan otonomi

PAGE 42

Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. 23 Tahun 2014, LN RI Tahun 2004 No. 244,

TLN RI No. 5587.

Undang-Undang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, UU No. 2 Tahun 2015,

LN RI Tahun 2015 No. 24, TLN RI No. 5657.

Undang-Undang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah, UU No. 9 Tahun 2015, LN RI Tahun 2015 No. 58, TLN RI

No. 5679.


Recommended