Download doc - Skripsi made yuda asmara

Transcript
Page 1: Skripsi made yuda asmara

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Agama Hindu merupakan agama yang tertua di dunia, ajaran-ajaranya

bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Maha Esa.

Bila seseorang secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang bersumber

pada sabda suci Tuhan Yang Maha Esa itu, maka akan diperoleh ketentraman dan

kebahagiaan hidup yang sejati yang disebut “Moksatam jagadhita ya ca iti

dharma”(Titib, 2003 :2).

Agama Hindu dikatakan agama yang luwes atau sering disebut dengan

agama fleksibel. Ini dikarenakan agama Hindu khususnya di Bali menyesuikan

dengan sistem desa, kala dan patra. Dalam agama Hindu banyak terdapat ajaran-

ajaran yang tentunya tidak menyimpang dari kitab suci Veda. Salah satu ajaran

yang terpenting dan merupakan dasar atau landasan bagi umat Hindu dalam

pelaksanaan suatu aktivitas keagamaan adalah ajaran Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu yang berisikan tattwa, etika dan ritual. Dimana peranan ketiga hal tersebut

tidak pernah lepas dalam pelaksanaan suatu kegiatan atau aktifitas agama Hindu.

Seperti dalam bukunya Suhardana disebutkan : “ Barang siapa yang ingin

mendalami dan mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya memahahami

betul ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu yaitu tattwa, susila dan ritual”

(Suhardana 2006 : 6).

1

Page 2: Skripsi made yuda asmara

2

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang

mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Tattwa, susila dan ritual atau upacara

merupakan satu kesatuan yang utuh yang harus dilaksanakan secara seimbang

dalam melaksanakan suatu aktivitas agama Hindu. Karena ketiga aspek ini saling

melengkapi satu dengan yang lainnya. Kalau salah satu dari ketiga aspek tersebut

tidak dilaksanakan dengan baik, maka tujuan dari agama Hindu yaitu “Moksatam

jagadhita ya ca iti dharma” tidak akan tercapai dengan sempurna. Sehingga

dalam setiap melaksanakan aktivitas agama Hindu terutama dalam hal yadnya

atau persembahan suci tentu tidak pernah lepas dari konsep Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu (Sudharta, 2007 : 5).

Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang. Yang secara rutin dilaksanakan setiap lima belas hari

sekali secara bergiliran sesuai pembagian tempek oleh masyarakat Desa

Pakraman Alasngandang. Dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem

yang termasuk bagian dari upacara Dewa Yadnya tentunya tidak pernah lepas dari

konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang menjadi landasan terpenting yaitu

dalam bidang tattwa atau filosofis ketuhanan, dalam bidang susila atau etika

dalam berprilaku dan dalam bidang ritual atau upacaranya.

Secara realita yang ada disekitar khususnya di Desa Pakraman

Alasngandang, pelaksanaan persembahyangan purnama tilem kalau dilihat

sepintas tidak diragukan lagi mengenai hal ritual atau upacaranya. Tetapi dalam

hal etika dan tattwa atau filsafatnya kurang dipahami dan terkadang

dikesampingkan. Sebagian besar masyarakat Desa Pakraman Alasngandang

Page 3: Skripsi made yuda asmara

3

didalam melaksanakan ritual atau upacara persembahyangan purnama tilem

belum memahami secara benar bagaimanakah cara beretika dengan baik dan

semua hal tersebut berdasarkan tattwa yang mana. Hal inilah yang menjadi

kebiasaan kurang baik oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang khususnya

dalam melaksanakan suatu aktivitas keagamaan.

Etika masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam melaksanakan

upacara persembahyangan belum sesuai dengan apa yang diharapkan sesuai

dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Seperti bagaimana sikap

duduk yang benar dalam sembahyang, bagaimana etika dalam nunas tirta yang

baik, bagaimana etika dalam menggunakan bija yang benar dan semua itu

berdasarkan tattwa yang mana. Hal inilah yang belum dipahami dan dilaksanakan

dengan baik oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dalam melaksanakan

upacara persembahyangan purnama tilem. Contohnya dalam muspa kramaning

sembah, sikap duduk wanita ada yang menggunakan sikap silasana ada yang

menggunakan sikap bajrasana, hal inilah yang perlu dibenahi supaya kebiasaan

yang kurang baik tersebut tidak berlanjut pada generasi muda Hindu kedepan

khususnya masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.

Tattwa merupakan inti dari ajaran agama Hindu yang belum dipahami

secara benar oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang terutama pada

pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut. Seperti tattwa atau

filosofis dalam sarana upakara dupa, bunga, kuwangen, canang dan lain

sebagainya belum diketahui oleh sebagian besar masyarakat Desa Pakraman

Alasngandang. Masih banyak tattwa dan etika serta upacaranya yang perlu

Page 4: Skripsi made yuda asmara

4

dipahami dan dilaksanakan sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu.

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu sebagai pedoman dasar dalam

melaksanakan aktivitas keagamaan khususnya dalam persembahyangan purnama

tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang, supaya tujuan

agama Hindu dapat tercapai dengan benar. Sehingga dari latar belakang ini

peneliti tertarik untuk menjadikan suatu obyek penelitian menjadi sebuah karya

ilmiah dalam bentuk skripsi. Peneliti ingin mengetahui penerapan ajaran tattwa,

etika serta upacaranya dalam persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman

Alasngandang. Yang kemudian peneliti mengangkat judul “Persembahyangan

Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang

Kecamatan Rendang Kabupaten Karangasem (Perspektif Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu)”.

1.2 Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan

Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam Perspektif Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu?

2. Nilai-Nilai Pendidikan apakah yang terdapat dalam Persembahyangan

Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang?

Page 5: Skripsi made yuda asmara

5

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian yang berbentuk ilmiah sudah tentu dilandasi dengan tujuan yang

ingin dicapai, sebab berhasil tidaknya suatu penelitian ditentukan oleh jelas

tidaknya tujuan itu sendiri. Tujuan merupakan syarat yang mutlak yang harus ada

dalam penelitian. Penelitian yang baik adalah penelitian yang tidak saja berhasil

mengungkapkan masalah dan mencari solusi atau pemecahan dari permasalahan

tersebut, akan tetapi yang lebih penting adalah bagaimana hasil dari penelitian ini

memiliki daya efektif untuk mencapai sasaran dan tujuan. Setiap kegiatan yang

dilakukan dibuat suatu perencanaan yang matang, sehingga dalam pelaksanaannya

dapat meminimalkan hambatan yang akan ditemui serta hasil yang akan dicapai

sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Demikian pula dengan penelitian ini sudah

tentu memiliki tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan dari penelitian ini

meliputi dua tujuan pokok, yaitu tujuan yang bersifat umum dan tujuan yang

bersifat khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan sebagai salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan jenjang starata satu (S1) pada Institut Hindu Dharma Negeri

Denpasar, secara umum penelitian ini juga bertujuan sebagai pelaksanaan Tri

Dharma Perguruan Tinggi yaitu Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian

Masyarakat. Selain itu penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan

sumbangan pemikiran serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, khususnya

ilmu pengetahuan tentang tattwa, etika dan ritual dalam Persembahyangan

Page 6: Skripsi made yuda asmara

6

Purnama Tilem, sehingga dapat dijadikan pedoman dan landasan dalam

mewujudkan kehidupan yang harmonis baik lahir maupun bathin.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini

sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :

1 Untuk mengetahui persembahyangan purnama tilem di Pura

Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam perspektif Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu.

2 Untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam

Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah nilai guna dari kegiatan penelitian. Setiap

penulisan karya ilmiah atau penelitian sudah tentu memiliki manfaat atau guna

yang ingin dicapai berupa hasil yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan saat

ini maupun yang akan datang. Melalui pelaksanaan penelitian ini diharapkan

hasilnya dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Adapun

manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan menambah bahan pustaka

mengenai persembahyangan purnama tilem yang berdasarkan tattwa, etika dan

Page 7: Skripsi made yuda asmara

7

ritual yang dirangkum dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi

pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya tentang ajaran Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan maamfaat praktis sebagai

berikut :

1. Mendapatkan pengetahuan yang lebih tentang tattwa, etika, dan ritual

dalam ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu khususnya bagi

masyarakat Desa Pakraman Alasngandang.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan pengetahuan bagi yang

ingin lebih mendalami ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

3. Bagi masyarakat, dapat digunakan sebagai bahan acuan dan

pertimbangan dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem

dengan tatwa, etika dan ritual yang baik dan benar.

Page 8: Skripsi made yuda asmara

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP DAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan langkah awal bagi peneliti dalam

mengumpulkan informasi yang berhubungan dengan subyek penelitian yang akan

dilaksanakan. Dalam suatu karya ilmiah, penggunaan kajian pustaka sangat

penting dalam mendukung, mengungkapkan, serta menghasilkan suatu karya

ilmiah yang berbobot. Dalam kajian pustaka ini, peneliti mencari sumber data

kepustakaan sebagai pendukung khasanah pengetahuan, pustaka pembanding,

serta menunjukkan perbedaan arah penelitian untuk meminimalisir kesamaan

kajian. Kajian pustaka meliputi pengidentifikasian secara sistematis penemuan

dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan

masalah penelitian (Sugiyono, 2007 : 80).

Kajian pustaka yang akan dikaji dalam mendukung penelitian ini, baik

dalam bentuk pustaka-pustaka, buku-buku, karya ilmiah yang berupa skripsi

dipandang perlu dan bermanfaat dalam upaya melaksanakan penelitian ini,

sehingga tidak terjadi kesamaan dalam pembahasan sebuah objek penelitian.

Adapun beberapa sumber pustaka atau hasil penelitian yang dijadikan sebagai

bahan kajian pustaka antara lain sebagai berikut:

Jawi (2007), dalam penelitiannya “Makna Pelaksanaan Persembahyangan

Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Sikap Disiplin Siswa SD Negeri Blahbatuh

8

Page 9: Skripsi made yuda asmara

9

Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar”. Dalam penelitian ini dijelaskan

mengenai makna dan tata cara persembahyangan purnama tilem serta

menerangkan nilai-nilai agama Hindu yang terkandung dalam penelitian tersebut.

Penelitian ini sangat menunjang dalam membahas makna dan tata upacara

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang yang sesui

dengan tattwa, susila serta upacaranya.

Dewi (2008), dalam penelitiannya “Pelaksanaan Persembahyangan

Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif Nilai

Pendidikan Agama Hindu)”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana proses

pelaksanaan persembahyangan purnama tilem serta makna folosofis dari

pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut. Sehingga penelitian ini

dapat dijadikan acuan dalam membahas makna dan proses pelaksanaan

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang.

Widana (2009), dalam penelitiannya “Esensi Pelaksanaan

Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti

Sisswa di SD Dangin Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009”. Dalam penelitian ini

membahas esensi pelaksanaan persembahyangan purnama tilem terutama dalam

meningkatkan sradha dan bhakti siswa, selain itu membahas tentang nilai-nilai

pendidikan yang terkandung dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem

tersebut. Dalam hubungannya dengan penellitian ini, proses persembahyangan

purnama tilem tersebut dapat meningkatkan pengetahuan tattwa, etika serta ritual

masyarakat Desa Pakraman Alasngandang yang sesuai dengan ajaran Tri

Kerangka Dasar agama Hindu.

Page 10: Skripsi made yuda asmara

10

Subagiasta (2006), dalam bukunya berjudul “ Teologi, Filsafat, Etika dan

Ritual dalam Susastra Hindu” buku ini memberikan sumbangan mengenai nilai-

nilai ajaran agama Hindu, terutama tentang teologi Hindu, Filsafat Hindu, Etika

Hindu dan Ritual Hindu yang tersurat dalam beberapa susastra Hindu. Walaupun

paparan buku kecil ini masih sangat terbatas, tentunya memiliki harapan mulia

untuk bisa membangkitkan kecintaan pembaca terhadap beberapa susastra Hindu

yang sarat dengan nilai kerohaniannya. Tentang filsafat Hindu dipaparkan dalam

susastra Buana Kosa, Kusuma Dewa, Gong Besi, Siwagama, purana-purana,

kuturan tattwa, tentang Etika Hindu dipaparkan sesuai susastra Sila Krama dan

Slokantara. Sedangkan tentang ritual dipaparkan sesuai Kusuma Dewa, Siwa

Gama dan Gong Besi. Sehingga buku ini dapat dijadikan pedoman dalam

membahas ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan

purnama tilem tersebut.

Rudia (2004), dalam bukunya yang berjudul : “ Dasar-dasar Agama

Hindu” memuat tentang dasar-dasar agama Hindu yaitu pengertian tattwa atau

filsafat, etika dan upacara serta pengetahuan dasar-dasar agama Hindu mulai adri

pokok-pokok Sradha dalam agama Hindu sampai dengan upacara-upacara Yadnya

yang menyagkut hari-hari suci agama Hindu diantaranya adalah Purnama Tilem.

Isi dari buku ini dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian

persembahyangan puranma tilem yang tidak akan lepas dari dasar-dasar agama

Hindu yaitu tattwa, etika dan ritual.

Raras (2004) dalam bukunya “ Purnama Tilem “ buku ini membahas

tentang pengertian, makna filosofis beserta sejarah purnama tilem. Terkait dengan

Page 11: Skripsi made yuda asmara

11

obyek penelitian yaitu upacara persembahyangan Purnama Tilem tersebut, buku

ini sangat cocok dan menunjang dalam pembuatan penelitian ini. Karena buku ini

memaparkan secara rinci tentang bagaimana pelaksanaan upacara Purnama Tilem

tersebut baik dalam hal makna bersta sejarah purnama tilem tersebut.

Wiana (1992), dalam bukunya “Sembahyang Menurut Hindu” buku ini

menjelaskan tuntunan dan manfaat bersembahyang, tetapi juga menjelaskan

dengan rinci apa arti dan fungsi sarana persembahyangan bagi umat Hindu, seperti

air, bunga, api dan lain-lain. Dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah

membahas tentang tata cara persembahyangan khususnya pada Persembahyangan

purnama tilem, baik dari segi manfaat, fungsi serta sarana yang digunakan

didalam persembahyangan purnama tilem. Sehingga buku ini sangat tepat

dijadikan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini yang membahas tentang

persembahyangan purnama tilem dalam perspektif Tri Kerangka Dasar agama

Hindu di Desa Pakraman Alasngandang.

2.2 Landasan Konsep

Konsep merupakan suatu pengertian yang harus terlebih dahulu dipahami

di dalam suatu penelitian ilmiah. Landasan konsep merupakan teori-teori baku

yang digunakan sebagai landasan dasar di dalam menjawab semua permasalahan

yang diajukan. Konsep sangat perlu ada dalam sebuah penelitian agar penelitian

tesebut mempunyai dasar yang kokoh dan mendapatkan hasil yang ilmiah

(Sugiyono, 2007 : 81).

Page 12: Skripsi made yuda asmara

12

Landasan konsep dalam penulisan ini memuat uraian sistematis tentang

pemikiran yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Penulis

mencari pengertian-pengertian atau konsep-konsep yang relevan dengan variabel-

variabel yang menjadi topik penelitian ini, sehingga diperoleh pemahaman yang

komprehensif terhadap permasalahan yang dikemukakan berturut-turut yaitu

tentang (1). Persembahyangan (2). Purnama Tilem (3). Pura Kahyangan Tiga (4).

Desa Pakraman (5). Perspektif (6). Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

2.2.1. Persembahyangan

Kata “Persembahyangan” merupakan kata dasar dari sembah dan Hyang.

Kata “Sembah” berasal dari bahasa Jawa Kuno yang memiliki arti “menyayangi,

menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan” Sedangkan kata

“Hyang” artingan suci. Dengan demikian Sembahyang berarti menyembah yang

suci, diantara yang suci itu, yang maha suci adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Hakekat sembahyang sebagai langkah awal untuk dapat mendayagunakan

kepercayaan dan bhakti umat kepada Tuhan untuk meningkatkan harkat dan

martabat kehidupan manusia (PHDI, 2009 : 1).

Pada Kenyataannya semua agama mengajarkan uamatnya memuja Tuhan

secara individu dan dengan cara bersama-sama. Sembahyang sendiri (individual)

disebut Ekanta dan sembahyang dengan bersama-sama atau kelompok disebut

dengan Samkirtanam. Karena manusia pada hakekatnya memiliki dua dimensi

yaitu manusia sebagai makhluk individu dan manusia sebagai makhluk sosial.

Dalam Persembahyangan bersama sifat dan karakter manusianya berbeda-beda

seperti bersifat sattwam, rajasika dan tamasika (PHDI, 2009 :2)

Page 13: Skripsi made yuda asmara

13

Persembahyangan disini memiliki pengertian yang cukup luas, yaitu

melakukan pemujaan dan penghormatan kepada Dewa atau Tuhan Yang Maha

Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) atau kepada sesuatu yang suci dalam hal ini

adalah persembahyangan purnama tilem dalam perspektif Tri Kerangka Dasar

agama Hindu.

2.2.2. Purnama Tilem

Kata Purnama berasal dari kata “purna” yang artinya sempurna. Purnama

dalam kamus umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang bundar atau sempurna

(tanggal 14 dan 15 kamariah). Sedangkan Tilem artinya bulan mati atau gelap.

Pada hari Purnama yang beryoga adalah Sang Hyang Candra (Sang Hyang

Wulan) yang merupakan hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda yaitu Sang

Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Sedangkan pada hari Tilem yang beryoga

adalah Sang Hyang Surya, yang sekaligus merupakan hari penyucian Sang Hyang

Rwa Bhineda yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Wulan. Pada waktu

Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candra Sthawa (sama

Sthawa). Pada waktu Surya Graha (gerhana matahari) pujalah beliau dengan

Surya Cakra (Bhuana Sthawa) (Niken Tambang 2004 : 6).

Hari purnama tilem datang setiap 15 hari. Dari hari purnama mencari tilem

ada 15 Panglong atau 15 hari, sedangkan dari hari tilem mencari Purnama ada 15

Penanggal atau 15 hari. Dari purnama mencari purnama kembali lamanya 30 hari,

begitu juga dari tilem mencarai tilem kembali lamanya 30 hari. Sehari setelah

purnama sampai tilem disebut Panglong, sedangkan sehari setelah tilem sampai

Page 14: Skripsi made yuda asmara

14

purnama disebut Penanggal. Sehari sebelum hari purnama disebut dengan

Purwanining Purnama (Penanggal 14), sedangkan sehari sebelum hari tilem

disebut dengan Purwanining Tilem (Panglong 14). Hal inilah yang perlu

diperhatikan dan di ingat dalam menentukan hari-hari suci yang terletak pada

Purnama Tilem tersebut.

2.2.3. Pura Kahyangan Tiga

Istilah pura berasal dari kata “pur” yang artinya kota, benteng, atau kota

yang berbenteng. Pura berarti suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia

kesucian dengan dikelilingi atau dibentengi dengan tembok atau pagar untuk

memisahkan dengan dunia di sekitarnya yang dianggap tidak suci. Istilah Pura

dipergunakan sebagai tempat pemujaan umat Hindu di Bali (Oka Netra, 1994: 83-

84).

Sebelum dikenal istilah Pura, untuk menunjukkan tempat pemujaan Hindu

di Bali dikenal istilah Kahyangan atau Hyang bahkan pada zaman Bali kuno

dipakai istilah “Ulon” yang berarti tempat suci atau tempat yang dipakai untuk

berhu8bungan dengan Ketuhanan. Hal ini dimuat dalam Prasasti Sukawana AI

(Th. 882 M). demikian pula Prasasti Pura Kehen menyebutkan istilah Hyang.

Menurut Lontar Usana Dewa Mpu Kuturan lah yang mengajarkan umat Hindu di

Bali membuat Kahyangan Dewa seperti cara membuat pemujaan Dewa di Jawa

timur.

Dalam bukunya Sumantra (166 : 2009) menjelaskan bahwa, Kahyangan

atau Prahyangan berasal dari kata Hyang (biasanya dihubungkan dengan Sang,

Dang), merupakan kata sandang yang ditempatkan didepan sesuatu yang

Page 15: Skripsi made yuda asmara

15

simuliakan, di hormati. Sedangkan Menurut Tim Penyusun Buku Pelajaran

Agama Hindu untuk SMU Kahyangan adalah Tempat pemujaan Tuhan oleh umat

Hindu di Indonesia khususnya di Bali dan kata Tiga mempunyai arti nama

bilangan bagi lambing bilangan asli 3 jadi pengertian Pura Kayangan Tiga dalam

kaitannya dengan penelitian ini adalah tempa suci umat Hindu yang difungsikan

untuk melaksanakan pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam

prabhawanya atau manefestasinya sebagai Tri Wisesa atau Tri Murti. Jenis Pura

yang tergolong dalam Pura Kayangan Tiga adalah

1. Pura Desa atau Pura Bale Agung, merupakan tempat suci umat Hindu

untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai

Dewa Brahma, Dewa Brahma merupakan prabhawa Ida Sang Hyang

Widhi sebagai pencipta yaitu menciptakan segala yang ada di alam

semesta ini.

2. Pura Puseh merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja

manefestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai

Dewa Wisnu yang berfungsi sebagai pemelihara alam semesta,

3. Pura Dalem merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja

manefestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai

Dewa Siwa yang berfungsi untuk mempralina atau melebur alam

semesta.

4. Pura Prajapati merupakan tempat suci umat Hindu untuk memuja

manefestasi Ida Sang Hyang Widhi dalam manefestasinya sebagai Sang

Prajapati yang biasa disebut juga Pura Ulu (Pura Kuburan).

Page 16: Skripsi made yuda asmara

16

2.2.4. Desa Pakraman

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa desa adalah :

1. Kesatuan wilayah yang dihuni oleh sejumlah keluarga yang mempunyai

istem pemerintahan sendiri.

2. Kelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan (Tim Penyusun,

1991: 227).

Sedangkan menurut Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang

Desa Pakraman, menyebutkan Desa Pakraman adalah kesatuan masyarakat

hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama

pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan

Khayangan Tiga atau Khayangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan

harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam

satu Desa Pekraman bisa terdiri dari satu atau lebih Banjar Pekraman.

Tjokorda Raka Dherana (1982:36) dalam bukunya yang berjudul

“Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam Tertib Masyarakat” mengatakan

bahwa istilah desa mengandung dua pengertian, yaitu:

1. Secara Tradisional desa adalah merupakan perwujudan dari lembaga Pakraman, yang dikenal dengan istilah “Desa Pakraman”

2. Pengertian kedua adalah menunjuk pada adanya bentuk Desa Administratif yang eksistensinya tergantung pada kehendak penguasa daerah, yang disebut “Desa Dinas” (Dherana,1982: 21)

Desa Pakraman dalam pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah

yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu, kecuali di beberapa desa dalam

kota atau desa-desa yang terletak di pinggir pantai yang penduduknya sudah

Page 17: Skripsi made yuda asmara

17

heterogen dan terdiri dari berbagai umat beragama. Di Bali sekarang ini konsep

desa mengandung dua pengertian. Pertama, desa sebagai komunitas yang bersifat

sosial, religius, tradisional, adalah satu kesatuan wilayah di mana para warganya

secara bersama-sama atas tanggungan bersama mengkonsepsikan dan

mengaktifkan upacara-upacara keagamaan, kegiatan-kegiatan sosial yang ditata

oleh sistem budaya. Organisasi desa dalam pengertian ini disebut Desa Pakraman.

Rasa kesatuan sebagai Desa Pakraman diikat oleh faktor Tri Hita Karana, yaitu:

a. Parahyangan Desa adalah pura yang dipuja oleh warga desa yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem,

b. Palemahan desa atau tanah desac. Pawongan desa atau warga desa

Kedua desa sebagai komunitas yang lebih bersifat administratif atau

kedinasan, yaitu satu kesatuan wilayah di bawah kecamatan dan dikepalai oleh

seorang Kepala Desa atau Perbekel. Organisasi desa dinas disatukan oleh adanya

kesatuan fungsi yang dijalankan oleh desa sebagai kesatuan administratif

(Dherana,1982: 19).

Menurut Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 Tahun

1986 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Kedudukan,

Fungsi dan Peranan Desa Pakraman sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum

Pakraman dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan

tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun

temurun dalam ikatan Khayangan Tiga (Khayangan Desa), yang mempunyai

wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah

tangganya sendiri.

Page 18: Skripsi made yuda asmara

18

Adapun desa-desa di Bali telah mempunyai pemerintahan sendiri,

memiliki aturan-aturan tata krama yang dibuat serta berlaku bagi seluruh warga

desa. Segala sesuatu yang berhubungan dengan desanya, terutama dalam usaha

untuk menegakkan Pakraman, kewajiban warga desa terhadap wilayah

pemukimannya terhadap sesama warga desa dan terhadap sesama agamanya serta

larangan-larangan, dan keharusan-keharusan yang harus dipatuhi oleh warga desa,

semuanya itu ditentukan oleh warga desa itu sendiri dalam bentuk aturan-aturan

yang tidak tertulis, maupun tertulis dan dinamakan dresta, sima, awig-awig, loka

cara, Batur dresta dan lain sebagainya.

Aturan-aturan ini sebagian tidak tertulis, tetapi dipahami oleh warga Desa

Pakraman serta dipatuhi. Oleh karena isi dari aturan-aturan tersebut, disarikan

dari nilai budaya warga desa yang bersangkutan atas dasar kepatuhan dari para

leluhurnya secara turun temurun. Perubahan-perubahan peraturan Pakraman

biasanya terjadi secara evolusi dan alamiah sejalan dengan perubahan-perubahan

nilai budaya yang terdapat di kalangan warga desa itu sendiri.

2.2.5 Perspektif

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengatakan bahwa kata perspektif berarti

sudut pandang atau pandangan (Tim Penyusun 2001:760). Sedangkan Echols

(dalam Dika, 2008:18) istilah perspektif berasal dari Bahasa Inggris, yaitu

“perspective”, yang artinya sebenarnya. Perspektif adalah sudut pandang dimana

sesuatu dilihat, gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang bermakna

dalam proses menyusun dan memecahkan suatu masalah

Page 19: Skripsi made yuda asmara

19

(Posrwadarmita,1991 :834). Perspektif digunakan untuk mengkaji masalah dari

sudut pandang tertentu demi tercapainya pendapat yang khusus atau mendalam.

Menurut beberapa pengertian dalam kamus Filsafat (Tim Penyusun,

2000:834) prespektif memiliki pengertian :

1. Sudut pandang darimana sesuatu dilihat.

2. Gambaran tentang apa yang mungkin atau apa yang bermakna dalam

proses penyusunan dan memecahkan suatu masalah.

Bertitik tolak dari kutipan di atas maka prespektif adalah suatu sudut

pandang atau gambaran dari sesuatu dalam hal ini adalah Persembahyangan

Purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam

ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

2.2.6 Tri Kerangka Dasar Agama Hindu

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga konsep yang

mendasari ajaran Agama Hindu tersebut. Barang siapa ingin mendalami dan

mempelajari Agama Hindu tersebut hendaknya memahahami betul ketiga

kerangka dasar Agama Hindu itu. Ketiga konsep kerangka dasar agama Hindu

tersebut antara lain : Tattwa atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama

Hindu, ritual atau upacara agama Hindu (Suhardana 2006 : 6).

Tattwa, etika dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana

kuning telur atau sarinya merupakan aspek tattwa atau Filsafatnya, dan putih telur

merupakan aspek dari susila atau etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan

Page 20: Skripsi made yuda asmara

20

aspek dari ritual atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila

ketiga komponen dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi dengan

baik. Begitu juga pada agama Hindu yang akan berjalan dengan baik dan benar

apabila dalam melaksanakan aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan

upacara, etika dan tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang

menjadi tujuan dari agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan

umat Hindu (Sudharta, 2007 : 5).

Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat

dipisahkan. Karena itu ketiga kerangka dasar agama tersebut harus dipahami

benar, mengingat ketiganya saling berkaitan. Memahami atau tidak memahami

salah satu aspek, dapat mengakibatkan pemahaman terhadap agama Hindu

menjadi tidak lengkap dan bahkan bisa mengaburkan atau memberi pengertian

yang keliru terhadap agama Hindu. Oleh karenanya, barang siapa ingin

mempelajari agama Hindu hendaknya mendalami ketiga hal tersebut. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling melengkapi, saling keterkaitan

dan tentu saja tidak dapat dipisah-pisahkan.

Bagi umat Hindu sendiri, memahami dan mendalami ketiga aspek

termaksud diatas tentu akan menjadi sangat penting. Janganlah berpegang kepada

salah satu aspeknya saja misalnya aspek upacaranya. Usahakanlah mempelajari,

menghayati dan mengamalkan bukan saja aspek upacaranya, tetapi juga aspek

tattwa dan susilanya. Dengan demikian akan terdapat keseimbangan dalam

pemahaman dan pelaksanaannya baik upacara, tattwa maupun susilanya.

Page 21: Skripsi made yuda asmara

21

Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,

sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam

kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya merupakan pengorbanan suci

yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan

yadnya. Ketiga aspek tersebut harus dilaksanakan secara baik dan seimbang demi

terwujudnya agama Hindu tersebut dalam aktivitas keagamaan sehari-hari

(Sudharta, 2007 : 4).

2.3 Teori

Dalam bukunya Sugiyono (2007 : 52) menjelaskan bahwa, Teori adalah

seperangkat konstruk (konsep), definisi dan proposisi yang berfungsi untuk

melihat fenomena secara sistematik, melalui sfesifikasi hubungan antar variabel,

sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena.

Teori dimaksudkan sebagai sesuatu yang mengandung prinsip dasar yang berlaku

umum yang memberikan kerangka orientasi untuk analisis dan klasifikasi.

Kerangka orientasi yang dimaksudkan adalah kerangka pikiran yang dirumuskan

dengan jelas sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian. Teori yang

dipakai dalam penelitian ini antara lain : Teori Interaksionisme Simbolik dan

Teori Religi.

2.3.1 Teori Interaksionisme simbolik

Teori Interkasionisme Simbolik menurut Bogda dan Taylor

mengemukakan orang senantiasa berada dalam suatu interpensi dan defenisi

karena mereka harus terus menerus bergerak dari satu situasi lain sebuah situasi

fenomena akan bermakna apabila ditafsirkan dan didefenisikan (Suprayoga,

Page 22: Skripsi made yuda asmara

22

2001 : 105). Orang dengan potensi yang dimiliki dianggap mampu menjadi obyek

untuk dirinya sendiri dan sebagai subyek yang mampu melihat tindakan-tindakan

seperti orang lain melihatnya. Dengan kata lain manusia dapat membayangkan

serta sadar diri dari perlakunya dari sudut orang lain. Dengan demikian manusia

mengkontruksi perilakunya dengan membangkitkan respon tertentu dari orang

lain karena manusia adalah pelambang bermakna.

Tindakan perilaku seorang sekelompok orang tergantung pada bagaimana

mendefenisikan lingkungannya dan mendefenisikan dirinya. Peranan sosial nilai,

norma dan tujuan bahkan yang membentuk kondisi dan tanggung jawab

perbuatan. Simbol adalah suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantaran

pemahaman terhadap obyek. Manifestasi serta karakteristik simbol tidak terbatas

pada isyarat fisik tetapi dapat juga berwujud penggunaan kata-kata, yakni simbol

suara, yang mengandung arti bersama serta bersifat standar. Singkatnya simbol

berfungsi memimpin pemahaman obyek kepada obyek. Dalam makna tertentu

bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat (Triguna, 2000 : 7). Simbol berfungsi

sebagai perwujudan statis sosial seseorang semakin beraneka ragam simbol yang

dapat digunakan atau melekat pada seseorang semakin tinggi status sosial yang

bersangkutan. Akibat simbol acapkali dipandang sebagi alat melegitimasikan

status social. Dalam kontek ini sibolisme pada masyarakat Hindu, simbol juga

syarat dengan makna status dan peranan itulah sebabnya pada masyarakat Hindu

simbol dipandang identitas individu atau kelompok.

Menurut Blumer (1962 : 50) salah seorang tokoh aliran ini menyatakan

bahwa mutiara interaksionisme simbolik menunjukkan keadaan sifat khas dari

Page 23: Skripsi made yuda asmara

23

interkasi antara mausia yang diantarnya oleh pengguna simbol-simbol serta

interkasi terhadap simbol-simbol.

Kajian simbol terkait dengan penelitian ini sebagai tanda persembahan.

Hal ini menunjukkan betapa universalnya penggunaan simbol dalam kehidupan

manusia. Proses upacara dalam agama Hindu menggunkan banyak simbol. Dalam

penelitian ini simbol-simbol salah satunya dapat dilihat dalam wujud upakara atau

sarana dalam ritual agama Hindu yang terkandung dalam ajaran Tri Kerangka

Dasar Agama Hindu pada persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa

Pakraman Aalasngandang. Wujud dari sarana merupakan perwujudan penyerahan

diri atau keihklasan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang terbentuk sedemikian

rupa yang berisikan seluruh hasil ciptaan Tuhan yang terdiri dari hasil bumi.

2.3.2. Teori Religi

Religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai

suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan

mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya yang

menempati alam. (Koentjaraningrat, 1997 : 53-54).

Menurut Koentjaraningrat (dalam Yudha Triguna, 2000 : 75),

menguraikan: “banyak teori yang mencoba menerangkan bagaimana asas religi

pada berbagai suku bangsa di dunia terjadi. Macam-macam teori tersebut bila

diklasifikasikan, maka akan tampak empat kategori besar, yaitu (1) Teori religi

yang dalam pendekatannya beroriantasi pada keyakinan relegi. (2) Teori-teori

Page 24: Skripsi made yuda asmara

24

yang dalam pendekatannya berorintasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib

atau hal yang gaib. (3) Teori-teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada

upacara relegi, dan (4) teori yang dalam pendekatannya menggunakan kombinasi

ketiga poin di atas.

Teori religi menjelaskan bahwa ada satu hal yang selalu ada dalam segala

macam gagasaan dan perilaku keagamaan mahluk manusia yaitu perasaan bahwa

hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau agama itu bersifat keramat, berbeda

dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan religi atau agama, yaitu yang

bersifat provane. Dengan demikian sampai pada suatu sistem berkaitan dari

keyakinan-keyakinan dan upacara-upacara yang keramat Koentjaraningrat,(1980 :

94-95).

Koentjaraningrat, (1997 : 194-195) teori Taylor yang terpenting

menyebutkan bahwa perilaku manusia yang bersifat religi itu terjadi karena (1)

Manusia mulai sadar akan adanya konsep roh. (2) Manusia mengakui adanya

berbagai gejala yang tak dapat dijelaskan dengan akal. (3) Keinginan manusia

untuk mengahapi berbagai krisis yang senantiasa dialami manusia dalam daur

hidupnya. (4) Kejadian-kejadian luar biasa yang dialami manusia di alam

sekelilinghnya. (5) adanya getaran (yaitu emosi) berupa rasa kesatuan yang timbul

dalam jiwa manusia sebagai warga masyarakatnya. (6) manusia menerima suatu

firman dari Tuhan

Teori Religi dalam penelitian ini pendekatannya berorientasi kepada

upacara religi yaitu pada persembahyangan purnama tilem di pura Desa

Page 25: Skripsi made yuda asmara

25

Pakraman Alasngandang dalam penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu. Teori ini juga dipergunakan dalam penelitian ini karena adanya

pembahasan yang mendalam terhadap keyakinan religi masyarakat di Desa

Pakraman Alasngandang terutama dalam melaksanakan persembahyangan

purnama tilem tersebut.

2.3.3. Teori Nilai

Menurut Hartono dan Hunt (dalam Metriani, 2008 : 35), nilai adalah

gagasan mengenai apakah suatu pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai

pada hakekatnya mengarahkan perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak

mengalami apakah sebuah perilaku dan pertimbangan seseorang tetapi tidak

menghakimi apakah sebuah perilaku tertentu itu salah atau benar. Sedangkan

menurut John Dewey dalam teori pragmatisme, nilai pandangan sebagai perbuatan

pemberi nilai dikaitkan dengan keginaannya, sesuatu yang menjadikannya nilai

sama dan berguna. Nilai dalam kehidupan sosial dikaitkan sebagai objek dari cita-

cita atau tujuan bersama yang telah disetujui oleh masyarakat. Nilai itu

dimaksudkan sebagai kemampuan yang mendasar kemakmuran bersama

(Djunaidi, 1982:16).

Teori nilai dalam penelitian ini dipergunakan untuk membahas dan

memecahkan penerapan nilai-nilai yang terdapat dalam persembahyangan

Purnama Tilem di Pura Kahyanga Tiga Desa Pakraman Alasngandang

Alasngandang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

Page 26: Skripsi made yuda asmara

26

2.4. Model Penelitian

Bagan 1. Model Penellitian

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu

Tattwa (Filsafat)

Ritual(Upacara

)

Susila(Etika)

PersembahyanganPurnama Tilem

AGAMA HINDU

Dalam perspektif Tri Kerangangka Dasar Agama

Hindu

1). Pola Ajaran Tattwa

2). Pola Ajaran Susila (Etika)

3). Pola Ajaran Ritual (upacara)

Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam persembahyangan Purnama

Tilem

1). Nilai Pedidikan Sosial Religius

2). Nilai Pendidika Sosial Budaya

3). Nilai Pendidikan Sosial Ekonomi

Page 27: Skripsi made yuda asmara

27

Penjelasan Bagan :

Agama Hindu tidak dapat lepas dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu,

yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Tattwa merupakan inti terdalam dari segala

rangkaian bentuk persembahan dan kegiatan umat manusia kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Susila merupakan etika atau tata cara melakukan persembahan dan

kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan Ritual

merupakan bentuk persembahan dan kegiatan upacara umat Hindu kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Ketiga aspek ini merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat

dipisah-pisahkan. Ketiganya harus dilaksanakan secara seimbang dalam

melakukan setiap kegiatan Agama Hindu khususnya pada persembahyangan

purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang. Jika

dalam pelaksanaan upacara tersebut sudah menerapkan ajaran tattwa yang benar,

susila yang baik serta ritualnya yang sesuai dalam perspektif Tri Kerangka Dasar

Agama Hindu tersebut, maka masyarakat Desa Pakraman Alasngandang dapat

meraih kehidupan yang harmonis sekala dan niskala. Dalam persembahyangan

purnama tilem tersebut terdapat nilai-nilai pendidikan berupa nilai pendidikan

sosial religius, nilai pendidikan sosial budaya dan nilai pendidikan sosial

ekonomi.

Page 28: Skripsi made yuda asmara

28

BAB III

METODE PENELITIAN

Penyusunan suatu karya ilmiah diperlukan sutu metode ilmiah pula, sebab

berhasil tidaknya suatu penelitian sebagian besar ditentukan oleh ketetapan

metode yang diperlukan dalam penelitian tersebut, sehingga nantinya diharapkan

hasil yang akan atau hendak dicapai dalam penelitian itu dapat dipertanggung

jawabkan keberadaanya. Metode memegang peranan yang sangat penting dalam

menyusun suatu karya ilmiah. Metode adalah cara yang teratur dan signifikan

untuk pelaksanaan sesuatu (Budiono, 2005: 44).

Mengingat betapa pentingnya metode itu , dalam penyusunan karya ilmiah

ini peneliti mempergunakan beberapa teknik yaitu : menentukan lokasi penelitian,

jenis penelitian, data dan sumber data, teknik penentuan informan, teknik

pengunpulan data, metode analisis data.

3.1 Lokasi Penelitian

Penentuan lokasi penelitian sangatlah penting dalam penelitian, agar tidak

melebarnya permasalahan yang dibahas. Pada umumnya pertimbangan penentuan

lokasi penelitian adalah untuk mengetahui keterbatasan geografis dan praktis

seperti waktu, biaya, dan tenaga. Sesuai dengan judul penelitian, maka lokasi

penelitian telah ditetapkan yakni di Desa Pakraman Alasngandang, Desa

Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.

28

Page 29: Skripsi made yuda asmara

29

3.2 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ada dua yaitu : penelitian kualitatif dan penelitian

kuantitatif. Penelitian kuantitatif mengukur objek dengan suatu perhitungan,

dengan angka, prosentase, statistik atau bahkan dewasa ini dengan komputer

sehingga penekanannya pada metode kuantitatif, sedangkan penelitian kualitatif

adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang

alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci (Sugiyono, 2005 : 12).

Ardika dalam makalahnya tentang metode penelitian kualitatif menyatakan bahwa

metode penelitian kualitatif mengacu pada strategi penelitian yang menghasilkan

data atau bahan keterangan deskriptif mengenai makna dari suatu benda, tindakan,

dan peristiwa-peristiwa yang terkait dalam kehidupan sosial masyarakat. Mengacu

pada pengertian tersebut, maka jenis pendekatan penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, mengingat permasalahan yang

ingin diangkat merupakan masalah sosial keagamaan.

Penelitian ini menyajikan data atau keterangan yang mendeskripsikan

tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang dilaksanakan

dalam persembahyangan purnama tilem. Mulai dari ajaran tattwa, etika, susila

serta dampak yang ditimbulkan dari ajaran tersebut.

3.3 Data dan Sumber Data

Data merupakan sumber keterangan-keterangan tentang satu hal.

Sebelum digunakan dalam proses analisis, data itu perlu dikelompokkan terlebih

Page 30: Skripsi made yuda asmara

30

dahulu (Iqbal, 2002 : 82). Berdasarkan pengambilannya, data dibedakan menjadi

dua yaitu: data primer dan data sekunder.

3.3.1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung di

lapangan oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang

memerlukannya. Data primer juga disebut data asli atau data utama (Iqbal, 2002:

167). Dalam hal ini yang menjadi data primer adalah berupa informasi yang

diperoleh langsung seperti : tokoh agama, seperti seluruh pemangku Kahyangan

Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dan masyarakat terkait yang dijadikan

sebagai informan kunci untuk mendapatkan informasi yang akurat sehingga data

yang diperoleh semakin jelas mengenai persembahyangan purnama tilem.

3.3.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh orang

yang melakukan penelitian dari sumber-sumber lain yang telah ada, seperti buku-

buku sebagai penunjang yang isinya berkaitan dengan topik penelitian. Data ini

biasanya diperoleh dari perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian

sebelumnya (Iqbal, 2002 : 167). Data sekunder yang dipakai dalam penelitian ini

adalah dari buku-buku yang menyangkut ajaran Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu, persembahyangan dan beberapa penelitian sebelumnya yang terkait.

Dalam pembahasannya, data primer dan data sekunder akan dipadukan agar

didapatkan data yang benar-benar valid.

Page 31: Skripsi made yuda asmara

31

3.4. Metode Penentuan Informan

Penelitian yang dilakukan menggunakan informan sebagai sumber

informasi atau orang yang memiliki kompetensi untuk menyampaikan data dan

informasi. Penelitian kualitatif erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual.

Informan yang dimaksud dalam penelitian adalah sumber data dan informasi yang

hasilnya akan bermanfaat dalam proses analisis, sehingga berguna bagi

pembentukan konsep dan proposisi sebagai temuan penelitian (Bungin, 2001 :

206).

Sampling adalah suatu cara pengumpulan data untuk dijadikan objek

penelitian (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 146 dalam Suwitrayasa, 2008 :

25). Memperhatikan hal tersebut, agar penelitian lebih efektif maka dalam

penelitian ini menggunakan teknik sampling, karena dengan menggunakan teknik

sampling dapat menghindarkan pemborosan mengenai waktu, dana, dan tenaga,

sehingga penelitian yang dilakukan dapat berlangsung lebih efektif.

Pengambilan terhadap siapa yang menjadi anggota sampel didasarkan atas

teknik-teknik sampling yang berbeda-beda. Berdasarkan pada aturan cara

pengambilan subjek yang akan menjadi anggota sampel, suatu teknik sampling itu

dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis yaitu : 1) Sampling tanpa pilih-memilih

(random sampling), 2) Sampling dengan pilih-memilih (non random sampling).

Dan sesuai dengan kondisi dan tujuan penyelidikan, maka jenis sampling subyek

dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis yaitu : 1) Propotional Sampling, 2)

Page 32: Skripsi made yuda asmara

32

Stratified Sampling, 3) Purposive Sampling, dan 4) Quota Sampling. Apabila

teknik sampling yang dipergunakan itu menggunakan kedua aturan itu, maka

dikenal dengan teknik sampling rangkap (combined sampling).

Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipergunakan adalah purposive

non random sampling, yakni penggabungan antara teknik purposive sampling

dengan teknik non random sampling. Dalam metodologi penelitian disebutkan

bahwa : “ purposive sampling atau sampling menurut tujuan adalah cara

pengambilan sampel berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang

diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang

ada dalam populasi yang sudah diketahui sebelumnya”. Sedangkan yang

dimaksud dengan teknik non random sampling adalah “cara pengambilan sampel

yang tidak semua anggota populasi diberi kesempatan untuk dipilih menjadi

sampel (Cholid Narbuko, Abu Achmadi, 2002 : 114-116 dalam Suwitrayasa, 2008

: 26). Jadi tidak semua anggota sampel yang diberi kesempatan menjadi sampel

yaitu hanya terbatas pada subjek-subjek yang dikenal saja.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka yang menjadi dasar penggunaan

anggota sampel dengan menggunakan purposive non random sampling

berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat. Suatu populasi yang telah diketahui

sebelumnya, seperti : tokoh-tokoh masyarakat, pemuka-pemuka masyarakat, dan

orang-orang yang memiliki kompeten dibidang apa yang akan diteliti sehingga

dapat memberikan informasi yang benar dan sesuai dengan apa yang dikaji dalam

penelitian ini yaitu penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu Dalam

Persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman alasngandang Kecamatan

Page 33: Skripsi made yuda asmara

33

Rendang Kabupaten Rendang sehingga data dan fakta yang diharapkan dalam

penelitian ini benar-benar valid.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah suatu metode yang khusus dipergunakan

sebagai alat untuk mencari dan memperoleh data. Metode pengumpulan data

adalah cara-cara yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data. Suatu teknik

atau cara untuk mendapatkan keterangan secara benar dan nyata diperlukan dalam

penyusunan sebuah karya ilmiah (Sugiyono, 2007 : 90).

Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data lazimnya menggunakan

observasi dan wawancara atau dengan menggunakan sumber lain seperti catatan-

catatan kepustakaan. Untuk mendukung jalannya penelitian nanti, ada beberapa

hal yang perlu dipersiapkan yaitu dengan menyiapkan instrumen penelitian yang

diartikan sebagai “alat bantu” merupakan sarana yang dapat diwujudkan dalam

benda. Misalnya berupa pedoman wawancara, lembar pengamatan,

mempersiapkan sumber-sumber data seperti buku-buku, arsip dan untuk lebih

mantapnya diambil beberapa gambar atau foto dari pelaksanaan

Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Desa Pakraman Alasngandang, Desa

Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Adapun Tehnik

pengumpulan data yang penulis gunakan mencakup :

3.5.1 Observasi

Page 34: Skripsi made yuda asmara

34

Observasi merupakan suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan

oleh peneliti untuk mencatat kejadian atau peristiwa dengan cara menyaksikannya

(Soehardi, 2001 : 96) Observasi disebut juga dengan pengamatan, meliputi

kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan

seluruh alat indra.

Dalam penelitian ini dimaksudkan, untuk terjun langsung mengamati dan

mengumpulkan data lapangan yang berkaitan dengan penerapan ajaran Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem baik dari

tattwa, etika serta sarana upakara yang digunakan pada perosesi ritualnya.

3.5.2 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan jalan

mengadakan penelitian kepustakaan, seperti melalui membaca, menulis, mengutip

materi yang berhubungan dengan skripsi ini. Cara menulis dan mengutip materi

dari kepustakaan disebut studi kepustakaan (Mukajir, 1990 : 64).

Tujuan dari metode Kepustakaan adalah untuk lebih mengetahui secara

detail dan memberikan kerangka berpikir, khususnya referensi relevan yang

berasal dari buku-buku, memberikan gambaran secara lengkap dengan

menggunakan sumber atau penelusuran kepustakaan untuk mendapatkan

informasi secara lengkap untuk menentukan tindak lanjut dalam mengambil

langkah penting dalam kegiatan ilmiah diantaranya adalah buku utama dan buku

penunjang.

Page 35: Skripsi made yuda asmara

35

Penelitian ini dilakukan dengan membaca, mempelajari dan mengutif

hasil-hasil yang telah dipublikasikan menjadi buku-buku, majalah dan penelitian

yang berhubungan dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu serta

tuntunan dalam tata cara bersembahyang pada purnama tilem.

3.5.3. Wawancara

Wawancara adalah tehnik pengumpulan data dengan mengajukan

pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada responden, dan jawaban –

jawaban responden tersebut dicatat atau direkam (Iqbal, 2002 : 85). Wawancara

merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data dengan jalan tanya jawab

sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan

penelitian. Kegiatan ini adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.

Jadi pengertian wawancara dapat disimpulkan sebagai suatu metode

pengumpulan data yang dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung

atau lisan dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para responden.

“Responden” artinya orang yang memberikan jawaban dari pertanyan, daftar

check atau lajur wawancara untuk mencegah kemungkinan mengalami kegagalan

memperoleh data yang penting (data yang dibutuhkan). Teknik pelaksanaan

wawancara meliputi menentukan waktu yang paling tepat untuk dilakukan

wawancara, menentukan responden, dan mencatat langsung hasil wawancara.

Teknik pelaksanaan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya :

1. Menetapkan subjek atau siapa yang hendak diwawancarai. Dalam

penelitian ini sebagai informan tokoh-tokoh Umat seperti Kelihan Adat,

Page 36: Skripsi made yuda asmara

36

Bendesa, Pemangku Desa serta masyarakat yang terkait yang

berkompoten dalam upacara persembahyangan purnama tilem tersebut.

2. Mempersiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan

pembicaraan dengan cara membuat pedoman wawancara.

3. Mengawali atau membuka alur wawancara kemudian melangsungkan

wawancara dengan memperhatikan pedoman wawancara.

4. Mengkonfirmasikan iktisar hasil wawancara dan mengakhirinya

5. Menulis hasil wawancara yang telah diperoleh sesuai dengan

permasalahan dengan menggunakan sumber-sumber sebagai bahan acuan

dalam penulisan karya ilmiah.

3.5.4. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen

bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.

Misalnya : cerita, biografi, foto, gambar, karya seni, film dan sebagainya

(Sugiyono, 2005: 82).

Fakta dan data sosial yang tersimpan dalam dokumen merupakan bahan

utama penelitian kualitatif. Di dalam melakukan teknik dokumentasi ini penulis

mengumpulkan data dengan menggunakan teknik dokumentasi berupa

pengambilan foto pelaksanaan persembahyangan yang ada di Pura Desa

Pakraman Alasngandang. Dengan adanya foto ini, diharapkan dapat memberikan

gambaran mengenai bagaimana pelaksanaan persembahyangan tesebut.

Page 37: Skripsi made yuda asmara

37

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data adalah serangkaian pengacakan data yang dikumpulkan dari

lapangan menjadi seperangkat informasi atau hasil, baik dalam bentuk temuan-

temuan baru, maupun temuan-temuan untuk penyajian hipotesis. Cara

menggunakan analisis data ini yaitu dengan mengamati, memahami, dan

menafsirkan setiap fakta atau data yang telah dikumpulkan serta hubungan di

antara fakta-fakta atau variable merupakan terkait dalam hipotesis (Sugiyono,

2007 : 244).

Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara

berkesinambungan. Diawali dengan proses klasifikasi data agar tercapai

konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi teoritis terhadap informasi

lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang

sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal (Bungin, 2001 : 106).

Analisis data dalam penelitian ini diawali dengan proses pengumpulan

data. Setelah data-data tentang penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama

Hindu dalam persembahyangan purnama tilem terkumpul, data tersebut disusun

secara sistematis dan dianalisis dalam proses reduksi data. Setelah proses reduksi

data, hasil analisis data tersebut disajikan dengan metode deskriptif. Bila sudah

valid, kemudian dijabarkan dan diperoleh kesimpulan yang menyeluruh tentang

penerapan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan

purnama tilem di Pura Desa Pakraman Alasngandang.

Page 38: Skripsi made yuda asmara

38

3.6.1. Reduksi Data

Reduksi data adalah merangkum data, memilih hal-hal pokok,

memfokuskan pada hal-hal penting dan mencari tema beserta polanya, dengan

demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas

dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.

Dengan reduksi data, maka peneliti merangkum dan mengambil data yang pokok

dan penting, dan data yang dianggap tidak penting dihilangkan supaya data yang

diperoleh menjadi lebih jelas (Sugiyono, 2007 : 247).

Data yang diperoleh dilapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu

maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Karena semakin lama peneliti

kelapangan, maka jumlah data yang diperoleh semakin banyak, komplek dan

rumit. Untuk itulah dilakukan analisis data dengan mempergunakan reduksi data

supaya data yang diperoleh semakin jelas mengenai penerapan ajaran Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu dalam persembahyangan purnama tilem di Desa

Pakraman Alasngandang.

3.6.2. Penyajian Data

Menurut Miles dan Hubermann dalam Nuryani (2006 : 40), menyatakan

bahwa, “penyajian data merupakan proses penyajian sekumpulan informasi yang

kompleks ke dalam bentuk yang sederhana dan selektif sehingga mudah dipahami

maknanya”.

Page 39: Skripsi made yuda asmara

39

Data tentang subjek penelitian yang peneliti peroleh melalui observasi dan

wawancara dengan informan selama penelitian di lapangan selanjutnya di

paparkan, kemudian dicari pokok-pokok penting yang terkandung di dalamnya

sehingga dapat di ketahui dengan jelas maknanya. Data yang peneliti peroleh

selanjutnya diseleksi dan di kode untuk memperoleh konsep yang lebih sederhana

sehingga relatif lebih mudah di pahami.

Page 40: Skripsi made yuda asmara

40

BAB IV

PENYAJIAN HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

Lokasi penelitian ini mengambil tempat di Desa Pakraman Alasngandang,

Desa Pempatan, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.

Berkaitan dengan penelitian ini penulis akan menguraikan beberapa hal,

diantaranya sebagai berikut : 1) Sejarah singkat Desa Pakraman Alasngandang, 2)

Letak Geografis, 3) Kependudukan, 4) Mata Pencaharian, 5) Pendidikan, 6)

Sistem Kepercayaan. Adapun uraiannya sebagai berikut:

4.1.1. Sejarah Desa Pakraman Alasngandang

Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu Desa Pakraman

yang ada di Desa Pempatan yang dipakai lokasi penelitian dan dipakai objek

dalam mencari data terkait dengan masalah-masalah dalam penelitian tentang

Persembahyangan Purnama Tilem. Desa Pakraman Alasngandang merupakan

komonitas masyarakat yang berada di bawah satu adat dan satu banjar dinas

yaitu banjar Alasngandang yang dikepalai oleh seorang kelihan adat (bendesa

adat) dan seorang kepala dusun (Kadus).

Desa pakraman Alasngandang yang berlokasi di Barat Laut Kabupaten

Karangasem, terbentang membujur dari arah Selatan ke Utara sesuai dengan

Prasasti Dukuh Sakti bahwa awalnya Desa Pakraman Alasngandang adalah

40

Page 41: Skripsi made yuda asmara

41

merupakan hutan lebat dan hanya berdiri sebuah pasraman yang bernama

pasraman Dukuh (dikutip dari monografi Desa Alasngandang tahun 2009). Maka

sebagai bukti hal tersebut di Desa Pakraman Alasngandang sampai saat ini berdiri

kokoh pura yang diberi nama Pura Dukuh dan prasasti Dukuh Sakti yang ada dan

masih tersimpan pada pura tersebut. Pura ini dipelihara, disungsung dan diaci

oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang yang dipercayai sebagai

pembawa berkah, pemberi keselamatan dan memberikan kemakmuran bagi

masyarakat Alasngandang.

Desa Pakraman Alasngandang didirikan sekitar tahun 1700-an, yang

awalnya adalah kumpulan dari beberapa orang yang datang dari Desa Pakraman

Rendang yang sekarang menjadi nama sebuah kecamatan. Kumpulan orang-orang

ini datang untuk merabas hutan belantara dengan tujuan dipakai sebagai lahan

bercocok tanam atau bertani, maka lama kelamaan orang-orang ini membentuk

sebuah sekaa untuk mendirikan Parahyangan sebagai tempat memuja Ida

Sanghyang Widhi Wasa. Pura-pura yang dibangun saat itu adalah pasraman

Dukuh yang sekarang menjadi pura Dukuh Sakti, membangun pura Ulun Suwi

sebagai tempat pemujaan Dewa Sangkara (Dewa tumbuh-tumbuhan) yang

sekarang diaci oleh subak abian desa pakraman Alasngandang. Di samping pura

Dukuh dan Ulun Suwi (bagi masyarakat Alasngandang disebut pura

Penyungsungan), juga mendirikan Pura Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale

Agung dan pura Dalem.

Perkumpulan orang-orang atau sekaa lama kelamaan mulai berkembang

akhirnya kumpulan orang-orang itu membentuklah sebuah desa dengan

Page 42: Skripsi made yuda asmara

42

beranggotakan 55 KK yang dinamakan desa Wana Sigug sesuai dengan prasasti

Dukuh Sakti (dikutif dari monografi desa Alasngandang). Desa Wana Sigug inilah

yang sekarang dinamakan Desa Pakraman Alasngandang, yang sesuai dengan

makna nama aslinya yaitu, Wana berarti hutan (Bali artinya alas) dan Sigug

berarti Ngandang. Jadi nama Alasngandang secara etimologi dan semantiknya

berasal dari nama Wana Sigug, dari etimologi kata inilah nama Desa Pakraman

Alasngnadang itu terlahir. Karena nama ini dirasakan kurang bagus dan kata

sigug memiliki konotasi yang kurang baik dalam bahasa Bali maka Wana Sigug

diubah menjadi Alasngandang dengan mempertahankan makna dari kata itu. Desa

Pakraman Alasngandang pada awal berdiri hingga sampai sekarangpun Desa

Pakraman ini beranggota sebanyak 55 KK ayahan desa yang dipakai sebagai inti

dari Banjar Alasngandang dan sampai sekarang jumlahnya tidak pernah berubah

atau bertambah dan sekaligus sebagai pokok ayahan desa, sedangkan KK banjar

dinasnya sampai saat ini berjumlah sebanyak 220 KK. Jadi bertambahnya KK

yang ada di Banjar Alasngandang adalah KK banjar dinasnya sedangkan KK

ayahan desanya tetap dari awal sampai saat ini berjumlah 55 KK.

Desa Pakraman Alasngandang yang berjumlah 55 KK inilah dipakai

pokok untuk membangun Kahyangan Tiga yaitu pura Puseh, Bale Agung dan

Pura Dalem. Ke-55 KK ini yang dipakai patokan ayahan desa sebagai ibunya

Banjar Alasngandang. Kenapa dikatakan ibunya Banjar karena desa ayahan yang

berjumlah 55 KK inilah yang lebih pertama ada, setelah itu baru terbentuknya

Banjar dinas Alasngandang. Dan sebelum terjadi perubahan bahwa segala

sesuatu keperluan baik upacara maupun pembangunan pisik terutama pura Puseh,

Page 43: Skripsi made yuda asmara

43

pura Bale Agung dan pura Dukuh Sakti yang bertanggung jawab adalah desa yang

berjumlah 55 KK ini, di bawah koordinasi kelian desa. Dengan diubahnya pola

lama lewat paruman atau rapat banjar adat maka semua pura yang ada di wilayah

banjar adat Alasngandang ditanggung oleh Banjar adat baik biaya upacara

maupun pembangunan pura tersebut. Akan tetapi, hal-hal yang berhubungan

dengan tanah ayahan masih dipergunakan dresta (aturan) lama seperti iuran

pokok desa.

4.1.2 Letak Geografis

Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah bagian wilayah dari Desa

Pempatan. Desa Pempatan sebuah desa yang berada dalam lingkungan pemerintah

kecamatan Rendang, kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali. Desa Pempatan

yang berbatasan langsung dengan kabupaten Bangli berjarak sekitar 45 km dari

ibu kota kabupaten Karangasem yakni Amlapura tepatnya ke arah barat atau desa

yang berada di ujung barat kabupaten Karangasem. Sedangkan dari ibu kota

provinsi Desa Pempatan berjarak sekitar 55 km ke arah timur kota Denpasar.

Secara administrasi.

Untuk menuju ke lokasi Desa Pakraman ini bisa ditempuh dengan

kendaraan roda dua maupun roda empat karena jalannya sudah diaspal.

Transportasi angkutan umum menuju lokasi sangat lancar karena perkembangan

perekonomian masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang sangat maju apalagi

sekarang berkembang industri kerajinan. Jarak tempuh dari Desa Pakraman

Alasngandang dengan pusat pemerintahan adalah sebagai berikut :

Page 44: Skripsi made yuda asmara

44

1). Jarak ke ibukota kedesaan 3,5 km dengan waktu tempuh 10 menit

2). Jarak ke ibukota kecamatan 6 km dengan waktu tempuh 20 menit

3). Jarak ke ibukota kabupaten 45 km dengan waktu tempuh 60 menit

4). Jarak ke ibukota provinsi 55 km dengan waktu tempuh 90 menit

Desa pakraman Alasngandang memiliki batas-batas alam sebagai berikut :

1). Utara : Kabupaten Bangli

2). Timur : Desa Pakraman Waringin

3). Selatan : Desa Pakraman Pempatan dan Kubakal

4). Barat : Sungai yang merupakan batas barat Kabupaten

Karangasem dan batas timur Kabupaten Bangli.

Desa Pakraman Alasngandang merupakan salah satu naungan dari

Desa Pempatan. Desa Pempatan membawahkan sebelas dusun atau banjar dinas

yaitu banjar Alasngandang, banjar Pempatan, banjar Kubakal, banjar Putung,

banjar Teges, banjar Waringin, banjar Pemuteran, banjar Pule, banjar Puregai,

banjar Keladian dan banjar Geliang. Masing-masing banjar atau dusun dinas ini

juga merupakan desa pakraman atau desa adat dengan otonomi desanya masing-

masing kecuali banjar Keladian yang masih berada di bawah desa

Adat/Pakraman Besakih serta masuk dalam wilayah Desa Pakraman Besakih

serta berada di bawah adat desa Besakih tetapi secara administrasi masuk

perbekelan Pempatan. Ditinjau dari segi alamnya Desa Pakraman Alasngandang

merupakan desa dataran tinggi dengan curah hujan rata-rata per tahun 3000 mm.

Page 45: Skripsi made yuda asmara

45

4.1.3 Kependudukan

Berdasarkan data yang terdapat dalam monografi Desa Pakraman

Alasngandang tahun 2009 penduduk Desa Pakraman Alasngandang berjumlah

1045 jiwa dan 220 KK. Sedangkan luas wilayah Desa Pakraman Alasngandang 6

km2 atau 160 Ha. Jumlah penduduk dan luas wilayah ini merupakan modal yang

sangat pontensial untuk membangun desa Alasngandang menjadi desa yang maju

dan sejahtera sesuai harapan pemerintah utamanya masyarakat Alasngandang.

Wilayah Desa Pakraman Alasngandang sesuai dengan pesebaran penduduknya

belumlah merata sehingga rumah-rumah penduduk saling berjauhan. Kepemiliki

tanah pun tidak merata, ada satu kepala keluarga mengerjakan atau mengolah tnah

pertanian 10 are, ada yang 1 ha dan ada beberapa yang melebihi dari 1 ha. Ini

yang menyebabkan masyarakat Alasngandang dari pola perekonomiannya tidak

seimbang atau merata. Untuk mengetahui jumlah penduduk menurut kelompok

umur dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel. 1

Penduduk Menurut Kelompok Umur

NO KELOMPOK UMUR JUMLAH (ORANG)1 00 - 04 Tahun 632 05 - 06 Tahun 403 07 - 12 tahun 1004 13 - 14 tahun 545 15 - 24 tahun 1786 25 - 54 tahun 2997 55 ke atas 311

JUMLAH 1045

Page 46: Skripsi made yuda asmara

46

Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009

Secara rinci Desa Pakraman Alasngandang terdidiri 220 KK dengan luas wilayah

160 ha yang dibagi menjadi enam Banjar Tempekan yaitu :

1). Banjar tempekan Kaja Kangin berjumlah 30 KK dengan luas wilayah

22 ha.

2). Banjar tempekan Kelod Kangin berjumlah 50 KK dengan luas

wilayah 34 ha.

3). Banjar tempekan Tengah berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 24 ha

4). Banjar tempekan Kelod Kauh berjumlah 49 KK dengan luas wilayah

23 ha.

5). Banjar tempekan Kaja Kauh berjumlah 31 KK dengan luas wilayah 20

ha.

6). Banjar tempekan Geluwung berjumlah 29 KK dengan luas wilayah 29

ha.

Di samping dipilah menjadi enam banjar tempekan desa pakraman

Alasngandang juga memiliki organisasi yang lengkap sesuai dengan paruman

desa yang mengombinasikan antara unsur tradisi dan modern ( hasil transpormasi

sosial yang fundamental dengan visi ke depan) seperti sperti ada organisasi seni

yang tergabung dalam sekaa gong, sekaa kidung dan ada organisasi sosial yang

tergabung dalam sekaa gae (sekarang dinamai sekaa macaru). Selanjutnya para

yogya dan ngawi wenang Desa Pakaraman Alasngandang atau yang berwenang

dalam memutuskan segala sesuatu di Desa Pakraman adalah :

1) Paruman desa maka raksa desa pakraman Alasngandang

Page 47: Skripsi made yuda asmara

47

2) Kerta desa maka caksu lan kerta paraja

3) Kelihan desa pakraman pinaka pengerajeg desa dibantu oleh prajuru desa

sebagai berikut:

a). Penyarikan desa/ sekretaris

b). Petengen desa/ bendahara

c). Saye tempek/ ketua tempek

d). Pecalang desa/ pengaman di tingkat Desa Pakraman

prajuru Desa Pakraman di atas juga dilengkapi dengan baga-baga (bagian-

bagian) yaitu :

a). baga parhyangan

b). baga palemahan

c). baga pawongan

d). baga lembaga arta

e). serta sekretariat tetap

4.1.4. Mata Pencaharian

Berdasarkan mata pencaharian masyarakat Desa Pakraman Alasngandang

sebagian besar bermata pencaharian petani dan buruh/swasta, pegawai negeri,

dagang dan pengerajin, sehingga hampir seluruh masyarakat Desa Pakraman

Alasngandang memiliki pekerjaan yang tetap dan berpengasilan yang cukup untuk

sehari-hari. Berdasarkan data yang diperoleh dari monografi Desa Pakraman

Alasngandang tahun 2009, bahwa mata pencahariannya masyarakat Desa

Pakraman Alasngandang dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Page 48: Skripsi made yuda asmara

48

Tabel .2

Mata Pencaharian Penduduk Desa Pakraman Alasngandang

No Mata Pencaharian Jumlah

1 Buruh tani 30 orang

2 Petani 765 orang

3 Pedagang/wiraswasta 25 orang

4 Pegawai Negeri (PNS) 8 orang

6 Penjahit 2 orang

7 Montir 1 orang

8 Sopir 4 orang

9 Pramuwisata 4 orang

10 Karyawan swasta 65 orang

11 Tukang kayu 4 orang

Jumlah 908 orang

Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009

Penduduk desa ini hidup dari pertanian yakni 80 % masyarakatnya bertani,

18 % berwirausaha dan 2 % pegawai. Kehidupan masyarakat Alasngandang

sangat bergantung pada musim utamanya musim hujan karena bercocok tanam

sangat bergantung pada air hujan bahkan untuk keperluan sehari-hari pun

misalnya mandi minum juga bergantung pada air hujan. Maka itu masing-masing

KK di desa ini pastilah memiliki cubang atau tempat menampung air hujan untuk

persediaan di musim kemarau. Jika musim kemarau melanda masyarakat

Alasngandang maka untuk mensuplay air untuk keperluan sehari-hari membeli

Page 49: Skripsi made yuda asmara

49

dari mobil-mobil tangki seharga Rp 80.000. Pada umumnya masyarakat

Alasngandang lebih cendrung berternak yaitu beternak sapi karena lewat

pekerjaan ini perekonomian masyarakat bisa terangkat. Setiap KK yang ada di

Desa Pakraman Alasngandang pasti memelihara sapi minimal dua ekor sebagai

pekerjaan pokok. Bahkan sampai saat ini di Desa Pakraman Alasngandang

banyak lahir kelompok-kelompok ternak yang keberadaannya sangat diperhatikan

oleh pemeritah baik pemerintah pusat maupun daerah. Hanya saja sebagai

kendalanya bagi masyarakat Alasngandang adalah air. Maka ada istilah yang

muncul di masyarakat Alasngandang ” sapi makan sapi” artinya beternak sapi di

musim kemarau untuk membeli air keperluan ternaknya harus menjual sapi.

4.1.5. Pendidikan

Untuk mengetahui tingkat pendidikan Desa Pakraman Alasngandang

dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.

Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

NOTINGKAT

PENDIDIKANJUMLAH (ORANG)

1 SD 215

2 SLTP 75

3 SLTA 25

4 PERGURUAN TINGGI 11

JUMLAH 326

Sumber : data statistik Desa Pakraman Alasngandang 2009

Page 50: Skripsi made yuda asmara

50

Berdasarkan data penduduk menurut tingkat pendidikan pada tabel di atas

maka dapat dilihat bahwa pendidikan di Desa Pakraman Alasngandang masih

tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang tamat

pendidikan di atas SD kurang dari 30%.

Terkait dengan masalah tingkat pendidikan di Desa Pakraman

Alasngandang. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada

perkembangan masyarakat khususnya masyarakat desa pakraman Alasngandang.

Selain hal tersebut, tinggi rendahnya pendidikan sesorang akan berekses terhadap

status sosial di masyarakat. Intelektualitas suatu masyarakat sangat ditentukan

oleh tingkat pendidikannya, maka dari sini salah satu barometer kemajuan suatu

desa dapat dilihat, khususnya kemajuan dibidang pendidikan. Sri Hariyati, 1985

dalam Ariani mengatakan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka

semakin banyak pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki sehingga semakin

terbuka pula kesempatan baginya untuk memperoleh pekerjaan.

4.1.6. Sistem Kepercayaan

Desa Pakraman Alasngandang menurut dresta yang ada termasuk desa

yang memiliki suatu sistem kepercayaan yang disebut agama. Agama yang dianut

oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang adalah agama Hindu dengan

tradisi dan budaya yang masih kuat sebagai suatu bentuk keyakinan. Keyakinan

atau religius yang dilaksanakan bagi masyarakat Alasngandang sesuai dengan

koridor konsep dasar dari agama dalam hal ini yakni agama Hindu. Konsep dasar

yang dimaksud yaitu tattwa atau filosofinya Hindu, susila atau etika Hindu dan

upacara atau ritual agama Hindu. Ketiga hal tersebut itulah yang selalu dipakai

Page 51: Skripsi made yuda asmara

51

dasar dan pijakan dalam melakukan aktivitas keagamaanya dan sekaligus sudah

menjadi satu napas keagamaan bagi masyarakat Alasngandang. Melakukan yajna

adalah aktivitas yang amat penting dalam kehidupan beragama di Desa Pakraman

Alasngandang karena didasarkan pada ajaran kitab suci bahwa pentingnya yajna

dalam kehidupan umat manusia. Hal ini dikuatkan dalam kitab suci Weda yakni

dalam Athawa Weda menyatakan bahwa yajna adalah penyangga bumi, Yayur

Weda menguraikan bahwa yajna adalah pusat penciptaan alam semesta (bhuwana

Agung). Maka itu ritual keagamaan atau yajna sangat diperhatikan oleh

masyarakat Alasngandang dengan tujuan mengharmoniskan alam sekala dengan

alam niskala. Di samping itu bisa menyeimbangkan antara bhuana alit dan

bhuwana agung agar terjadi keharmonisan (hita) pada diri dan keharmonisan

(hita) pada alam semesta.

Agama yang dianut oleh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang

masih bersifat homogen yaitu seluruh masyarakatnya menganut agama Hindu.

Maka sampai saat ini persoalan-persoalan lintas agama tidak pernah terjadi karena

kehidupan masyarakatnya masih menganut satu agama yakni Hindu. Keyakinan

dalam menjalankan agamanya teralisasi dalam bentuk-bentuk ritual (aci) yang

dilaksanakan disetiap pura yang ada di wilayah Banjar Adat Alasngandang atau

tempat-tempat yang dianggap sakral atau disucikan seperti tempat perempatan

agung (jalan simpang empat) .

Dalam perkembangan selanjutnya Desa Pakraman Alasngandang tetap

melestarikan dan mempertahankan hal-hal yang merupakan kuna dresta seperti

pemargi aci atau jalannya ritual serta memfungsikan prajuru desa dan kerta desa

Page 52: Skripsi made yuda asmara

52

sebagai tulang punggung mengajegkan dresta dan tradisi adat setempat.

Sedangkan hal-hal yang perlu diperbaharui atau diperbaiki sesuai dengan

perkembangan zaman (era kesejagatan) sudah mulai ditata disesuaikan dengan

kemampuan serta potensi dan kondisi Desa Pakraman Alasngandang sehingga

modernisasi tidak melunturkan dan mengikis tradisi, budaya dan adat setempat.

Bidang fisik dari sistem kepercayaan ini terus dilakukan pembenahan dan

perbaikan, salah satunya dengan mengadakan rehab-rehab pura . Kondisi pura

atau pelinggih di pura Kahyangan Tiga di Alasngandang untuk tahun ini hampir

50 % sudah diperbaharui dengan sumber dana dari pemerintah daerah lewat

bantuan dan ditambah dari iuran masyarakat atau krama desa setempat. Maka

untuk lebih jelasnya peneliti melaporkan dalam bentuk tabel aset-aset kepemilikan

Desa Pakraman Alasngandang yaitu sebagai berikut :

Tabel . 4.

Data Kepemilikan (Aset) Desa Pakraman Alasngandang

NO NAMA ASET JUMLAH

1 Pura Puseh 1 unit

2 Pura Bale Agung 1 unit

3 Pura Dalem 1 unit

4 Pura Praja Pati 1 unit

5 Pura Ulun Suwi 1 unit

6 Pura Dukuh Sakti 1 unit

7 Penyucian Ida Betara 1 unit

8 Wantilan 3 unit

9 Bale Banjar 1 unit

Page 53: Skripsi made yuda asmara

53

10 Kantor LPD 1 unit

11 CBD 1 unit

12 Setra 1 unit

13 Pelinggih Ulun Desa 1 unit

14 Pelinggih Tulak Tanggul 1 unit

15 Pelinggih Perempatan Agung 1 unit

16 Bale Kulkul 3 unit

17 Petapakan Betara Nini 1 Paket

18 Petapakan Betara Gede 1 Paket

19 Petapakan Betara Ayu 1 Paket

20 Petapakan Betara Mas 1 Paket

21 Prerai Betara Kahyangan Tiga dan Pura Dukkuh  4 paket

22 Topeng 1 Paket

23 Gong 1 Paket

24 Tanah ayahan Desa 57 ayahan

25 Tanah Laba Pura 7 ha

26 Tanah Duwe Desa 2 ha

Sumber : Monografi Desa Pakraman Alasngandang 2009

Di samping aset-aset di atas Desa Pakraman Alasngandang memiliki

sarana pendukung yang lain yang sudah tentu berguna untuk membantu dalam

menunjang aktivitas desa antara lain :

1) ada pura Ibu (dadia) sebanyak lima belas

2) Kelompok tani ternak sebanyak tiga kelompok

3) Sekaa teruna satu kelompok

4) Sekaa pesantian satu kelompok

5) Sekaa gong dua kelompok

6) Koperasi serba usaha dua kelompok

7) Sekaa macaru satu kelompok

Page 54: Skripsi made yuda asmara

54

8) Sekaa angklung tiga kelompok

9) Kelompok pengerajin 15 kelompok

10) Satu Sekolah Dasar.

4.2 Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang dalam Perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,

persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman

Alasngandang dilaksanakan dengan rutin setiap 15 (lima belas) hari sekali

berdasarkan pembagian tempek (pembagian wilayah) di Desa Pakraman

Alasngandang. Dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem tersebut

tidak pernah lepas dari kajian Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang berisikan

ajaran tattwa, etika dan ritual.

Tri Kerangka Dasar Agama Hindu merupakan tiga ajaran yang saling

berkaitan dan merupakan dasar dari ajaran agama Hindu tersebut. Barang siapa

ingin mendalami dan mempelajari agama Hindu tersebut hendaknya memahahami

betul ketiga kerangka dasar agama Hindu itu. Ketiga konsep kerangka dasar

agama Hindu itu ialah tattwa atau filsafat agama Hindu, susila atau etika agama

Hindu dan ritual atau upacara agama Hindu, Siden (wawancara : 27 April 2010)

Dalam bukunya Sudharta (2007 : 5) menjelaskan bahwa, Tattwa, etika

dan ritual dapat di ibaratkan dengan sebutir telur. Dimana kuning telur atau

sarinya merupakan aspek tattwa atau filsafatnya, dan putih telur merupakan aspek

dari susila atau etikanya, sedangkan kulit dari telur merupakan aspek dari ritual

atau upacaranya. Telur akan menetas dengan sempurna apabila ketiga komponen

Page 55: Skripsi made yuda asmara

55

dari kuning telur, putih telur dan kulitnya berfungsi dengan baik. Begitu juga pada

agama Hindu yang akan berjalan dengan baik dan benar apabila dalam

melaksanakan aktivitas keagamaannya selalu disertai dengan upacara, etika dan

tentu saja berdasarkan tattwa yang benar. Sehingga apa yang menjadi tujuan dari

agama tersebut dapat tercapai sesuai dengan kepercayaan umat Hindu.

Ketiga aspek diatas merupakan suatu kesatuan yang utuh dan tidak dapat

dipisahkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga hal tersebut saling

melengkapi, saling keterkaitan dan tentu saja tidak dapat dipisah-pisahkan.

Dimana kalau salah satu dari aspek tersebut tidak berfungsi dengan baik maka

agama yang kita harapkan belum sempurna.

Aspek tattwa atau filosofinya merupakan inti ajaran agama Hindu,

sedangkan aspek susila dan etikanya merupakan pelaksanaan ajaran agama dalam

kehidupan sehari-hari. Aspek upacara dan ritualnya merupakan pengorbanan suci

yang tulus ikhlas kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atau yang bisa dikatakan

yadnya. Ketiga aspek tersebut harus dilaksanakan secara baik dan seimbang

terutama dalam hal ini yaitu penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam

persembahyangan purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang yang melipuiti

antara lain :

4.2.1 Pola Ajaran Tattwa dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,

tattwa merupakan ajaran-ajaran pokok yang mengandung makna atau filosofis

dari ajaran agama Hindu. Masyarakat Alasngandang masih sangat awam sekali

Page 56: Skripsi made yuda asmara

56

mendengar kata “tattwa”, istilah tattwa belum begitu dimengerti apalagi dengan

menerapkan ajaran-ajarannya. Secara umum masyarakat Alasngadang belum

memahami ajaran-jaran tattwa atau makna filosofis yang terkandung dalam setiap

aktivitas agama Hindu dan sarana/upakara khususnya dalam persembahyangan

purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakramnan Alasngandang.

Dalam kamus istilah Agama Hindu (2005:127), kata “tattwa” berasal dari

kata “tat” yang artinya hakekat, kenyataan, kebenaran, hakekat dari objek yang

konkrit, sari-sari dari suatu ajaran. Aspek tattwa atau filosofi dari ajaran agama

Hindu ini merupakan inti ajaran agama Hindu yang akan banyak mengulas

tentang makna dari agama Hindu itu sendiri.

Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menjelaskan bahwa, inti tattwa itu

adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang disebut dengan Ekatwa

Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan itu dalam yang banyak, yang

banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal

lima kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha antara lain :

1). Percaya terhadap adanya Tuhan (Widha Tattwa)2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma Tattwa)3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala)4). Percaya terhadap adanya Punarbhawa (Samsara)5). Percaya terhadap adanya Moksa(Bersatunya atman dengan Brahman).

Jadi yang dimaksud dalam hal ini adalah nilai-nilai kebenaran atau sari-

sari dari suatu ajaran mengenai pelaksanaan persembahyangan purnama tilem di

Desa Pakraman Alasngandang. Adapun nilai-nilai tattwa yang dimaksud meliputi

: 1). Kajian tattwa dalam mantram Tri sandhya, 2). Kajian tattwa dalam mantram

Page 57: Skripsi made yuda asmara

57

kramaning sembah dan 3). Kajian Tattwa dalam Sarana Upakara

Persembahyangan, adapun uraiannya sebagai berikut :

4.2.1.1 Pola Ajaran Tattwa dalam Mantra Tri sandhya.

Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa, Tri

sandhya adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh semua umat Hindu tiga

kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini diamanatkan dalam kitab suci Veda dan

sudah dilaksanakan sejak ribuan tahun yang lalu. Bila kita tidak tekun

melaksanakan Tri sandhya berarti kiata tidak secara sungguh-sungguh

mengamalkan ajaran yang terkandung dalam kitab suci Veda. Banyak hambatan

yang dialami mengapa seseorang tidak tekun melaksanakan puja atau

sembahyang Tri sandhyya diamtaranya karena kurang memahami makna yang

terkandung dalam melaksanakan puja Tri sandhyya, karena tidak dibiasakan

(abhyasa) dan karena bahasanya tidak atau kurang dimengerti.

Merupakan sembahyang yang dilakukan tiga waktu yaitu pada pagi hari

yang disebut dengan “Surya Puja”, siang hari disebut dengan “Rahina Puja” dan

sore hari disebut “Sandhya Puja”. Puja Tri Sandhya terdiri dari enam bait, bait

pertama atau sebagai Sandya Vandanam (awal) diambil dari Gayatri atau Savitri

Mantram (Rg Veda, Sama Veda dan Yayur Veda) atau sering disebut dengan

Gayatri mantram atau ibunya mantra. Setiap melaksanakan puja Tri Sandhya

hendaknya selalu didahului dengan penyucian diri (asucilaksana). Gayatri mantra

terdapat dalam YajurVeda XXVI. 3. (Widana, 2009 : 45) Tri Sandhya.

Adapun mantranyasebagai berikut :

Page 58: Skripsi made yuda asmara

58

a) Sikap Duduk (Padāsana, Silāsana, Bajrāsana)

Om Prasada Sthiti Sarira Çiva Suci Nirmala Ya Namah Svaha

Artinya:Ya Tuhan, dalam Siwa suci tak ternodai, hamba telah duduk dengan tenang.

b) Pranayama :1). Puraka (Menarik nafas)

Om Ang Namah

2). Kumbaka (Menahan nafas)

Om Ung Namah

3). Recaka (Mengeluarkan nafas)

Om Mang Namah

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur alam semesta hamba puja Dikau.

c) Kara Sodhana (Sarira Suddha)

Om soddha mam svahaOm ati soddha mam svaha

Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, sucikanlah hamba dari segala dosa

d) Puja Tri Sandhya :

Bait I : Om Om Om Bhūr Bhuvah Svah, Tat savitur varenyam,

Bhargo devasya dhimahiDhiyo yo nah pracodayat

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa yang menguasai ketiga dunia ini, Engkau Maha Suci, sumber segala cahaya dan kehidupan, berikanlah budi nurani kami penerangan sinar cahaya-Mu Yang Maha Suci.

Bait II : Om Nārāyana Evedam Sarvam,Yad bhūtam yasca bhavyam,Niskalangko niranjano nirvikalpo,

Page 59: Skripsi made yuda asmara

59

Nirākhyātah sudho deva eko,Narayano na dvityo asti kaścit

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, sumber segala ciptaan, sumber semua makhluk dan kehidupan, Engkau tak ternoda, suci murni, abadi dan tak ternyatakan. Engkau Maha Suci dan tiadalah Tuhan yang kedua.

Bait III : Om Tvam Sivah Tvam Mahādeva,Iśvarah parameśvarah,

Brahmā Visnuśca Rudraśca,Purusah parikirtitāh

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau disebut juga Siwa, Mahadewa, Brahma, Wisnu dan juga Rudra, karena Engkau adalah asal mula segala yang ada.

Bait IV : Om Pāpo’ham Pāpa Karmaham,Pāpātma pāpa sambavah,Trāhi mām pundarikāksah,Sabāhyā bhyantarah śucih

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, hamba-Mu penuh kenestapaan, nestapa dalam perbuatan, jiwa, kelahiran. Karena itu oh Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari kenestapaan ini, dan sucikanlah lahir bathin hamba.

Bait V : Om Kşvama sva mām Mahādevah,Sarva prāni hitāńkara,Mām moca sarva pāpebhyah,Pālayasva Sadā Sivah

Artinya : Om Sanghyang Widhi Wasa, Yang Maha Utama, ampunilah hamba-Mu, semua makhluk Engkau jadikan sejahtera, dan engkau bebaskan hamba-mu dari segala kenestapaan atas tuntunan suci-Mu oh penguasa kehidupan.

Bait VI : Om kşantavyah kayiko doşāh,kşantavyo vācika mama,kşantavyo mānaso dosah,

Page 60: Skripsi made yuda asmara

60

tat pramādāt ksamasva mām,

Om Śāntih, Śāntih, Śāntih OmArtinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa dari perbuatan, ucapan, dan pikiran hamba, semoga segala kelalaian hamba itu Engkau ampuni. Om Sang Hyang Widhi Wasa,

Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selalu.

4.2.1.2 Pola Ajaran Tattwa dalam Mantra Kramaning Sembah.

Kramaning sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat untuk

memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala Prabhawa/manifestasi

kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan penuh ketululusan hati, dengan

sarana bunga atau kuwangen yang bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang

bahagia dan sejahtera lahir batin atau Moksartham Jagadhita (Wiana, 1992 : 11).

Adapun urutan-urutan Kramaning sembah, baik pada waktu sembahyang

sendiri ataupun sembahyang adalah sebagai berikut :

Persiapan penyucian sarana upakara sembahyang :

a). Mantra penyucian dupa :

Om Ang Dupa diprasta ya namah

Artinya :

Ya Tuhan dalam wujudmu sebagai Brahma, tajamkanlah nyala dupa kami, sehingga sepeti sinar-Mu.

b).Mantra Penyucian Bunga :

Om Puspadanta ya namah

Artinya :

Ya Tuhan semoga bunga ini cemerlang dan suci.

Page 61: Skripsi made yuda asmara

61

1) Sembah tanpa bunga (Muyung)

Mantra:

Om Ātma Tattvātmā Śoddha Mām Svāhā

Artinya:

Ya Tuhan dalam wujud atma atau jiwa, dan kebenaran, bersihkan dan sucikanlah hambamu.

2) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Sanghyang Aditya dengan sarana bunga.

Mantra:

Om Ādityasyaparam jyotirakta tejo namo’stutesvetapankaja mādhyasthahbhāskārāyo namo’stute

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Sinar Surya Yang Maha Hebat, Engkau bersinar merah, hormat pada-Mu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih, hormat pada-Mu pembuat sinar.

3) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Ista Dewata dengan sarana Kwangen atau bunga.

Pada muspa inilah yang diantar dengan Pangastawa yang mengkhusus

sesuai dengan Ista Dewata yang di puja pada saat ittu. Seperti dalam hal ini di

Pura Dalem, Pura Desa dan Pura Puseh.

a). Sembahyang di Pura Dalem

Mantra :

Om catur dewi mahādewicatur asrame bhatariÇiwa jagatpati dewidurgha maçarira dewiOm catur dewi dipata ya namah

Artinya :

Page 62: Skripsi made yuda asmara

62

Om Hyang Widhi, sakti-Mu berwujud Catur Dewi, yang di puja oleh Catur Asrama, sakti dari Ciwa Raja Semesta alam dalam wujud Dewi Durgha. Ya, Catur Dewi hamba menyembah kebawah kakimu.

b).Sembahyang di Pura Desa

Mantra :

Om isano sarwa widnyanaIswara sarwa bhutānam,Brahmāno dhipati brahmān,Çiwastu sadā ciwayaOm Çiwa dipata ya namah.

Artinya :Om Hyang Widhi, Hyang Tunggal yang Maha Sadar, selaku Yang Maha Kuasa menguasai semua makhluk selaku Brahma Raja dari pada semua Brahmana, selaku Ciwa dan Sada Ciwa. Ya Hyang Ciwa hamba menyembah pada-Mu.

c). Sembahyang di Pura Puseh

Mantra :

Om giripati mahā wiryammahā dewa pratista linggamsarwa dewa pranamyanamsarwa jagat pratistanamOm giripati dipata ya namah.

Artinya :

Om Hyang Widhi, selaku Giripati yang Maha Agung, Maha Desa dengan lingga yang mantap, semua dewa-dewa tunduk pada-Mu. Om Giripati hamba menyembahmu.

Selain mantra Pengastawa yang mengkhusus disetiap pura-pura, Sang

Hyang Widhi sebagai Ista Dewata dapat juga dipuja dengan mantra sebagai

berikut :

Mantra:

Om namo devaya,adhisthanaya,sarva vyāpi vai Śivāya,padmāsana ekapratisthaya,ardhanareśvaryai namo namah svaha.

Page 63: Skripsi made yuda asmara

63

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat kami kepada dewa yang bersemayam di tempat utama kepada Siwa yang sesungguhnya berada dimana – mana, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba menghormat.

4) Menyembah Sanghyang Widhi Wasa sebagai Pemberi Anugerah, dengan sarana Kwangen atau bunga.

Mantra:

Om anugraha manohara,deva dattanugrahaka,arcanam sarva pujanam,namah sarvanugrahaka,Om deva devi mahasiddhi,yajnangga nirmalatmaka,laksmi siddhisca dirghayuhnirvighna sukha vrddhisca.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah. Anugerah pemberian Dewa, pujaan dalam semua pujian, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah. Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud Yajna, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, kegembiraan dan kemajuan.

5) Sembah tanpa bunga (Sembah Puyung).

Mantra:Om deva suksma paramaçintyaya namah svaha.

Artinya:Om Sanghyang Widhi Wasa, hormat pada Dewa yang tak berpikiran yang maha tinggi, yang maha gaib. Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon Tirtha (air suci) dan Bija/Wibhuti.

6) Pembagian Tirtha.

Sebelum Tirtha dipercikkan, ucapkan terlebih dahulu mantram ini:

Mantra:

Om Pratama Sudha, Dvitya Sudha, Tritya Sudha, Caturti Sudha, Pancami Sudha, Sudha, Sudha, Sudha Variastu Namah Svaha.

Page 64: Skripsi made yuda asmara

64

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga kami dianugerahi kesucian, hormat kepada-Mu.

Dapat pula dengan menggunakan mantram berikut ini:

a). Pemercikan tiga kali ke ubun – ubun:

Mantra:

Om Ang Brahma amrtha ya namahOm Ung Wisnu amrtha ya namahOm Mang Isvara amrtha ya namah

Artinya:

Om Hyang Widhi Wasa, bergelar Brahma, Wisnu, Iswara, hamba memuja-Mu semoga dapat memberi kehidupan (dengan tirtha ini).

b). Minum Tirtha tiga kali:

Mantra:

Om sarira paripurna ya namah,Om ang ung mang sarira sudha,Pramantya ya namah,Om ung ksama sampuranya namah.

Artinya:

Om Sanghyang Widhi Wasa, Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur segala ciptaan, semoga badan hamba terpelihara selalu, bersih, terang dan sempurna.

c). Meraup, mengusap Tirtha ke muka ke arah atas:

Mantra:

Om Siva amertha ya namah,Om Sadha Siva amertha ya namah,Om Parama Siva amertha ya namah.

Artinya:

Oh Hyang Widhi (Siwa, Sadha Siwa, Parama Siwa) hamba memuja-Mu semoga memeberi amrtha pada hamba.

7) Memasang bija:

Page 65: Skripsi made yuda asmara

65

a). Bija untuk di dahi:

Mantra:Om Sriyam Bhavantu

Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kebahagiaan meliputi hamba).

b). Bija untuk di bawah tenggorokan:

Mantra:Om Sukham Bhavantu

Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesenangan selalu hamba peroleh).

c). Bija untuk ditelan:

Mantra:Om purnam bhavantuOm ksama sampurna ya namah svaha.

Artinya :(Oh Hyang Widhi, semoga kesempurnaan meliputi hamba, Oh Hyang Widhi semoga semuanya menjadi bertambah sempurna).

8) Meninggalkan tempat suci, didahului Parama santih:

Mantra:

Om Śāntih, Śāntih, Śāntih Om.Artinya :

Om Sanghyang Widhi Wasa, semoga damai dihati, damai didunia dan damai selalu.

Menurut Beneh wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,

bagi masyarakat yang tidak tahu tattwa atau mantra kramaning sembah, didalam

muspa ngaturang pangubhakti menggunakan seha atau pengganti mantra yang

ada dalam buku atau lontar-lontar mengenai persembahyangan. Adapun seha yang

digunakan tersebut adalah sebagai berikut :

Seha : Om Pakulun Paduka Bhatara ........(Nama Dewa yang dipuja)Iki panjak Iratu angatur akenSembah pangubhakti majeng Paduka BhataraDumogi sweca ring panjake sami

Page 66: Skripsi made yuda asmara

66

Magda selamet sadha rahayu sareng sami.

Artinya :Om Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi ........(Nama Dewa yang dipuja), hamba menghaturkan sembah kepada-Mu, semoga Tuhan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi umat semuanya.

Dari hasil beberapa wawancara dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar

masyarakat Desa Pakraman Alasngandang belum mengetahui dan menggunakan

mantra sesuai dengan pola ajaran tattwa dalam melaksanakan muspa kramaning

sembah pada persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang. Sebagai alternatif yang dipakai adalah Seha (pengganti

mantra) bagi masyarakat yang belum mengetahui mantra sesuai dengan ajaran Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu.

4.2.1.3. Pola Ajaran Tattwa dalam Sarana Upakara Persembahyangan.

Menurut Merta wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,

masyarakat Alasngandang belum memahami tattwa atau makna dari

sarana/upakara yang dipakai dalam persembahyangan purnama tilem di Desa

Pakaramn Alasngandang baik itu bunga, dupa, canang, banten pejati dan segahan.

Sehingga sarana/upakara persembahyanganpun disalahartikan dan terkadang

dikesampingkan karena kurang memahami makna yang terkandung dari

sarana/upakara tersebut.

Dalam bukunya Widana (2009 : 74) menjelaskan bahwa, Upakara berasal

dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan” dan “kara” yang artinya

“perbuatan/pekerjaan”. Jadi istilah upakara dapat diartikan sebagai segala sesuatu

yang berhubungan dengan perbuatan/pekerjaan yang umumnya berbentuk

Page 67: Skripsi made yuda asmara

67

material. Pendeknya upakara itu berhubungan dengan perlengkapan suatu

upacara. Adapun sarana atau alat persembahyangan yang dipakai dalam upacara

persembahyangan Purnama Tilem di Desa Pakraman Alasngandang adalah

sebagai berikut :

1). Bunga

Bunga adalah lambang kesucian, karena itu perlu diusahakan bunga yang

segar, bersih dan harum. Jika pada saat sembahyang tidak ada kawangen, maka

dapat diganti dengan bunga (kemabang). Bunga yang tidak baik dipersembahkan

menurut AGASTYAPARWA adalah:

"Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Hyang Widhi, yaitu bunga

yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncanng, bunga yang berisi semut bunga

yang layau atau yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburan. Itulah

bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang-orang baik" (Pasek, 2008 :

29),

2). Kuwangen

Kuwangen berasal dari bahasa jawa kuno dari kata “wangi” artinya harum.

Kata wangi mendapat awalan “ka” dan akhiran “an” sehingga menjadi

“kewangin” lalu disandikan menjadi kuwangen yang artinya keharuman yaitu

untuk mengharumkan nama Tuhan (Wiana, 2005 : 31). Dalam lontar Sri Jaya

Kesunu, Kuwangen disebutkan sebagai lambang “Omkara” sedangkan menurut

lontar Brahdhara Upanisad, Kuwangen adalah lambang Ida Sang Hyang widdhi.

Page 68: Skripsi made yuda asmara

68

3). Dupa

Apinya dupa adalah simbol Sangyang Agni, yaitu saksi dan pengantar

sembah kita kepada Hyang Widhi. Api dalam istilah agama Hindu disebut “Apuy,

Agni Wahni”, api sebagai sumber kehidupan dewanya Brahma. Sifat api adalah

menerangi atau menyinari dan “Dharmanya” membakar. Api merupakan salah

satu unsur alam yang dipakai sebagai sarana persembahyangan dan sarana

keagamaan, yang berfungsi sebagai perlambang sifat-sifat Tuhan dalam

hubungannya turut mempermulia ciptaanya, dan secara simbolis api dipakai

sebagai saksi dalam upacara (Wiana, 2005 : 53).

4). Tirtha

Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara

tertentu dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada Hyang Widhi (Ida Betara).

Tirtha dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini

dumaksudkan agar pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari

segala kotoran , noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Tirtha ada dua macam

yaitu Tirtha yang didapat dengan memohon kepada Tuhan dan Bathara-bhatara,

dan Tirtha yang dibuat oleh pandita dengan puja. Tirtha ini berfungsi untuk

membersihkan diri dari kotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun

pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan dimuka. Ini

merupakan simbolis pembersihan bayu, sabda dan idep (Wiana, 2005 : 83).

5). Bija atau Wija

Page 69: Skripsi made yuda asmara

69

Bija atau wija di dalam bahasa sanskerta disebut gandaksata yang berasal

dari kata “ganda” dan “aksata” yang artinya biji padi-padian yang utuh serta

berbau wangi. Bija adalah lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa.

Kumara ini adalah benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang.

Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian

menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita.

Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang

bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha

(Widana, 2009 : 75).

6). Canang

Canang berasal dari bahasa Jawa Kuno yang pada mulanya berarti “sirih”,

yang mana sirih ini disuguhkan kepada para tamu (uttama) yang dihormati. Pada

jaman dahulu tradisi makan daun sirih adalah suatu kebiasaan yang sangat

dihormati. Bahkan didalam kekawin Nitisastra disebut “masepi tikang waktra tan

Amucang Wang” artinya sepi rasanya mulut bilamana tiada makan sirih (Pasek,

2008 : 90).

Unsur-unsur canang adalah sebagai berikut yaitu : porosan yang terdiri

dari pinang dan kapur dan dibungkus daun sirih merupakan lambang pemujaan

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pinang merupakan lambang dari Dewa Brahma,

Sirih lambang dari Dewa Wisnu dan Kapur merupakan lambang dari Dewa Siwa.

Plawa atau daun merupakan lambang dari tumbuhnya pikiran yang suci, dan

ceper berbentuk segi empat adalah lambang dari swastika, bunga adalah lambang

Page 70: Skripsi made yuda asmara

70

keikhlasan dan reringgitan merupakan lambang dari ketepatan hati (Wiana, 1992 :

28).

7). Banten Pejati

Banten pejati adalah nama Banten atau upakara, sesajen yang sering

dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati

akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan

prabhavaNya. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten, dinyatakan:

“Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang”

Artinya: Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran

yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten

yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung

simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu

mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang

mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti

dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati

berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten

yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang

Widhi dan manifestasi-Nya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon

Page 71: Skripsi made yuda asmara

71

dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati

merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña

(Pasek, 2008 : 105).

8). Segehan

Secara etimologi Segehan artinya Suguh (menyuguhkan), dalam hal ini

adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah atau

kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam

kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan

menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang

harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (Wiana, 2005 : 43).

4.2.2. Pola Ajaran Etika dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Menurut Siden wawancara tanggal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,

etika merupakan suatu prilaku atau sikap yang baik dalam melakukan suatu

aktivitas, dalam hal ini adalah etika didalam persembahyangan purnama tilem di

Desa Pakraman Alasngandang perlu ditingkatkan, karena etika masyarakat di

dalam melaksanakan persembahyangan masih kurang dengan apa yang

diharapkan sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu. Hal ini dapat

dilihat dari sikap sembahyang masyarakat Alasngandang, baik itu dalam sikap

badan dalam sembahyang, sikap tangan saat muspa maupun sikap dalam

pembagian tirha dan bija yang tidak disiplin dan masih saling mendahului. Hal

inilah yang perlu ditingkatkan supaya etika atau sikap dalam sembahnyang dapat

berjalan secara baik sesuai dengan ajaran tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

Page 72: Skripsi made yuda asmara

72

Secara teoritis, Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk

jamaknya (ta etha) berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”. Dalam pengertian ini

etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang

maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika

berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik,

dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang

lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam pengertian ini etika mirip

dengan pengertian moralitas, yang berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk

jamaknya (mores) berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan” (Suhardana, 2006 : 12).

Jadi etika dan moralitas berarti sistem nilai atau aturan tentang tata cara

hidup yang baik dalam kaitannya dengan penelitian ini yaitu tentang bertata cara

hidup atau berprilaku yang baik dalam melaksanakan persembahyangan purnama

tilem di Desa Pakraman Alasngandang

Dengan mentaati etika, tata susila secara tidak langsung dapat

menertibkan, mendidik membiasakan diri dan patuh dengan adat istiadat yang

telah ditetapkan. Jadi etika atau peraturan tingkah laku yang baik dan mulia yang

harus menjadi pedoman hidup manusia.

Hal ini disebutkan dalam kitab Saramuccaya Sloka 160 sebagai berikut :

Cila ktikang pradhana ring dadi wwang,Hana prawrtining dadi wwang duccila apakanta,Praydjananika ring hurip, ring wibhawa, ring kaprajnan,Apan wyartha ika kabeh, yan tan hana cilayukti

Artinya :

Page 73: Skripsi made yuda asmara

73

Susila itu adalah yang paling utama (dasar mutlak) pada titisan sebagai manusia, jika ada prilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan, dan kebijaksanaan) bila tidak ada pentrapan kesusilaan pada perbuatan (praktek susila) (Kajeng, dkk. 1994:128).

Dari kutipan tersebut diatas bahwa susila atau etika merupakan hal yang

paling penting untuk diperhatikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

khususnya dalam persembahyngan purnama tulem. Karena orang yang tidak

melaksanakan susila dengan baik hidupnya akan sia-sia dan tidak berguna.

Adapun etika dalam pelaksanaan persembahyangan purnama tilem meliputi

sebagai berikut :

4.2.2.1 Etika Muspa dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Dalam bukunya Wiana (2005 : 12) menjelaskan bahwa, etika di dalam

muspa sangat penting diperhatikan dalam melakukan persembahyangan. Karena

dalam upacara keagamaan khususnya Dewa yadnya inilah yang paling kelihatan

adalah sikap badan kita didalam melakukan persembahyangan. Sikap-sikap yang

dimaksud antara lain : 1). Sikap dan tempat duduk, 2). Sikap tangan dan letak

bunga atau kuwangen 3). Sikap hati. Adapun uraiannya sebagai berikut :

1). Sikap dan tempat duduk dalam sembahyang

Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,

Sikap duduk untuk muspa yang baik adalah sikap silasana atau bersila untuk

sikap duduk laki-laki, dan untuk sikap duduk untuk perempuan adalah bajrasana

atau bertimpuh dimana kedua tumit kaki diduduki. Usahakanlah sikap duduk itu

Page 74: Skripsi made yuda asmara

74

dengan mengambil sikap badan yang tegak tetapi enak atau tidak kaku. Tidak

boleh bungkuk atau miring dan jangan sikap tegang yang dibuat-buat.

Usahakanlah duduk hingga tulang punggung dapat tegak lurus atau vertikal.

Mengenai tempat duduk didalam persembahyangan usahakanlah

mengambil tempat duduk menghadap kedepan atau menghadapi pelinggih

anustana dari Ida Sang Hyang Widhi yang akan kita aturi puspa dalam jarak

seperlunya. Usahakanlah pada waktu mencari tempat duduk, kita tidak

mengganggu atau menyinggung rasa hati orang yang ada disamping kita. Dan

jaganlah lalu lalang didepan orang yang sedang muspa. (Merta, wawancara : 28

April 2010).

Mengenai sikap dan tempat duduk yang sudah dijalskan diatas harus

dilaksanakan dan dipahami sesuai dengan tuntunan muspa didalam melakukan

persembahyangan terutama pada saat persembahyangan purnama tilem. Karena

dengan sikap duduk yang benar dan tempat duduk yang nyaman akan

mengahantarkan kita menjadi lebih khusuk didalam menghubungkan diri kepada

Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

2). Sikap tangan dan letak bunga dalam sembahyang

Sikap tangan dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah sikap

amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada dan kedua ibu jari bertemu,

kemudian empat jari kanan ditutup dengan empat jari kiri yang didahului dengan

pranayama (pengaturan nafas). Didalam melakukan puja Tri Sandhya dengan

Page 75: Skripsi made yuda asmara

75

sikap amustikarana tidak mutlak harus menggunakan sarana seperti bunga yang

dipakai dalam sikap amustikarana (Titib, 2003 : 37).

Dalam melaksanakan muspa kramaning sembah sikap tangan dan letak

bunga sudah ditentukan dan ditetapkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Dalam sembahynag yang dipimpin oleh seorang pemimpin (pandita atau

pinandita), maka kita mengikuti tuntunan pemimpin upacara tersebut. Adapun

sikap tangan dalam melakukan sembahyang sesuai petunjuk buku upadeça (1968 :

36) adalah sebagai berikut :

a) Kehadapan Sang Hyang widhi, cakupan tangan diletakkan diatas dahi hingga ujung jari ada diatas ubun-ubun (siwadwara).

b) Kehadapan para dewa (dewata), ujung jari-jari tangan diatas diantara kening (tengahing lelata).

c) Kepada Pitara (roh leluhur), ujung jari-jari tangan berada diujung hidung.

d) Kepada sesama manusia, tangan di hulu hati dengan ujung jari-jari tangan mengarah keatas.

e) Kepada para Bhuta, tangan berada di hulu hati, tetapi ujung jari-jari tangan mengarah kebawah.

Pada saat sembah puyung dengan tangan kosong yaitu pada setiap awal

dan akhir sembahyang yang sering disebut dengan sembah tanpa srana. Pada

sikap katupan tangan pada ujung jarinya berisi sedikit bunga. Katupan tangan

mempunyai arti tertentu harus dilakukan dengan semestinya, agar arti dan

maksudnya tidak hilang. Telapak tangan kanan adalah perlambang “sukma sarira”

atau perlambangannya sang jiwa. Sebaliknya telapak tangan kiri adalah simbol

“stula sarira” atau simbul badan wadag. Lima jari tangan kanan adalah

perlambang Panca Budhindria (pelihat, pendengar, pencium, pengecap dan

Page 76: Skripsi made yuda asmara

76

peraba). Sedangkan lima jari tangan kiri adalah simbul Panca Karmendria(mulut,

tangan,kaki, badan, kelamin). Karena muspa dilakukan dengan “wahyadyatmika”

yaitu lahir bhatin, maka pengatupan tangan yang melambangkan wahyadyatmika

ini perlu ditertibkan. Katupkanlah tangan sejak telapaknya hingga jari-jarinya.

Jari-jari semuanya harus lurus dan rapat antara yang kanan dengan jari-jari yang

kiri, naiknya tangan harus tepat ditengah-tengah badan (didepan mulut, hidung

dan sebagainya) jangan miring kesamping kanan atau kiri (Kaler, 2004 : 12).

Katupan tangan pada muspa kramaning sembah disebut dengan

“cakuping kara kalih” ini juga memiliki arti menungggalnya lahir bhatin

(wahyadyatmika) diri kita. Dirapatkannya semua jari adalah lambang bahwa

semua indria kita sudah terikat dan semua indria kita tidak bekerja, sehingga budi

nurani sepenuhnya kita sudah kehadapan Ida Sang Hyang Widhi yang diaturi

puspa. Gerakan indria kepada sasarn lain kita tutup.

Dalam menggunakan bunga yang melambangkan kesucian hati itu yaitu

dengan cara menjepitnya diujung jari. Dan jepitlah dengan jari tengah kanan dan

kiri, yakni jari yang tertinggi. Sembulkanlah bunga keatas jangan dijepit

tersembunyi, hingga bunga itu merupakan tajuk mahkota dari katupan tangan kita.

Kesucian hati yang dilambangkan dengan bunga itu merupakan tajuk dari

pelaksanaan muspa. Demikian pula bila memakai sarana kuwangen serta

sebagian besar disembulkan keatas. Muka kuwangen dibuat agak mengadah,

jangan menghadap kesamping kekiri atau kekanan (Kaler, 2004 : 14-15).

3). Sikap hati dalam sembahyang

Page 77: Skripsi made yuda asmara

77

Menurut Ratep dalam wawancara tanggal 28 April 2010, menyatakan

muspa atau sembahyang harus dilakukan dengan kesucian dan ketenangan hati

semaksimal-maksimalnya. Mulai dari berpakaian, sikap duduk, asucilaksana dan

sebagainya maka usaha-usaha lain untuk mencapai kesucian dan ketenangan hati

perlu ditempuh. Sebagai dimaklumi bahwa hati itu laksana air, sangat mudah

bergerak, bergetar dan bergelombang. Ia sangat mudah terpengaruh. Usaha-usaha

menenangkan (lebih-lebih waktu muspa) diantarnya adalah dengan mengurangi

pengaruh-pengaruh yang menyentuh hati itu. Pengaruh ini biasanya datang dari

pancaindra, terutama mata, sehingga pada saat muspa mata dipejamkan untuk

meniadakan atau mengurangi penglihatan dengan mana gejolak hati dapat

dikurangi.

Pernafasan bisa membantu bahkan bisa menentukan timbulnya

ketenangan hati. Sesudah duduk teratur tarikklah nafas panjang-panjang denngan

tenang barang 5 atau 10 kali dengan teratur dan pelan-pelan. Lakukanlah ini

dengan sabar seenaknya, hingga hati menjadi tenang. Kalau hati belum tenang

seperlunya, dada masih terengah-engah, ebar jantung masih cepat belum teratur,

maka bernapaslah dalam-dalam seperlunya terus dilakaukan. Dan janganlah kita

mulai muspa kalau kita belum mencapai ketenangan hati (Kaler, 2004 : 15-16) .

4.2.2.2 Etika Pembagian Tirtha dan Bija dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Tirtha dan bija merupakan hal yang penting dalam melaksanakan

persembahyangan. Sembahyang terasa belum lengkap ketika belum dapat nunas

tirtha wangsuhpada dan bija. Biasanya tirtha dan bija ini dibagikan setelah muspa

Page 78: Skripsi made yuda asmara

78

kramaning sembah selesai. Tirtha merupakan air suci, yaitu air yang telah

disucikan dengan suatu ritual khusus dan disebut dengan Tirtha Wangsuh Pada

Hyang Widhi (Ida Betara). Begitu juga dengan wija atau sering disebut dengan

bija ini merupakan lambang Kumara yaitu putra atau bija Bhatara Siwa. (Pasek,

2008 : 79-80).

Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,

pembagian Tirtha dan bija ini dibagikan oleh pinandita atau pemangku dan

dibantu oleh jro sedahan atau istri pemangku. Pembagian tirtha dan bija ini

dilakuakan secara teratur, mulai dari tempat duduk yang paling depan hingga

kebelakang. Etika dalam nunas tirtha ini harus mengambil sikap duduk yang

benar dan tidak boleh berdiri. Tirtha ini ditunas/dibagikan kemudian dipercikan di

kepala, diminum tiga kali dan dipakai mencuci muka. Hal ini dumaksudkan agar

pikiran dan hati kita menjadi bersih dan suci yaitu bebas dari segala kotoran , noda

dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Begitu juga dengan bija, bija yang ditunas

tersebut dipakai di jidat/selaning lelata, dileher dan ditelan sebanyak tiga butir,

bija ini merupakan benih ke-Siwaan yang bersemayam di dalam diri setiap orang.

Dengan demikian "Mawija" (Mabija) mengandung pengertian

menumbuhkembangkan benih ke-Siwaan yang bersemayam didalam diri kita.

Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ditanam di tempat yang

bersih dan suci, maka itu pemasangan Bija(Wija) dilakukan setelah metirtha.

4.2.2.3 Etika Berpakaian dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Pakaian merupakan hal utama yang mempengaruhi penampilan

seseorang, berpakaian yang sopan dan rapi adalah cerminan masyarakat yang baik

Page 79: Skripsi made yuda asmara

79

terutama dalam hal sembahyang ke pura. Sembahyang sangat identik dengan

kesucian, jadi pakaian yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah

bersih, suci dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan (Kaler, 2004 : 6).

Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan bahwa,

Keindahan dalam pakaian sembahyang bukanlah syarat yang utama, baik itu yang

bersifat mode, tren, gaul dan sebagainya tidak menjadi jaminan dalam

melaksanakan persembahyangan. Hal utama yang perlu diperhatikan adalah

kebersihan dan kerapian pakaian saat busana dipakai, ketika berpakaian usahakan

tidak mengganggu gerakan badan, jangan terlalu ketat sehingga dapat

mengganggu pernafasan dan tidak kaku dalam melakukan gerakan yang nantinya

dapat berpengaruh terhadap persembahyangan terutama dalam melakukan muspa.

Menurut Ratep wawancara tanggal 28 april 2010 menjelaskan bahwa,

selain dapat mempengaruhi diri sendiri, pakaian juga dapat mempengaruhi pikiran

orang lain. Dengan berpakaian yang ketat, berwarna yang mencolok dapat

mengganggu pikiran orang yang melihatnya. Usahakan pakaian yang digunakan

menyesuaikan dengan ukuran tubuh maksudnya jangan sampai memperlihatkan

bentuk atau lekukan tubuh dengan pakaian yang ketat dan transparan, selain itu

masalah warna janganlah sampai mengundang perhatian orang artinya pandangan

orang selalu tertuju pada objek yang sama sehingga dapat mengganggu

pelaksanaan persembahyangan dan pemusatan pikiran saat menghubungkan diri

pada Tuhan Yang Maha Esa.

Page 80: Skripsi made yuda asmara

80

Berpakaian yang bersih, rapi dan sopan akan membuat suasana

persembahyangan menjadi aman dan nyaman. Etika berpakaian dalam

sembahyang perlu kita tekankan, selain untuk menjaga kesucian pura, etika

berpakaian perlu dipahami dan diperhatikan oleh masyarakat supaya tidak dipakai

sebagai ajang mode pakaian yang baru. Pakaian dengan mode-mode yang baru

biasanya sering dipamerkan dipura saat sembahyang seperti mode kain kebaya,

sapari, destar, saput dan pakaian lainnya dengan harga yang bersaing. Hal itulah

yang harus kita hindari demi kesucian dan kelestarian budaya Hindu kedepan

supaya tidak punah.

4.2.3. Ajaran Ritual atau Upacara dalam Persembahyangan Purnama Tilem.

Menurut Wendra wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,

masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan suatu ritual atau upacara

keagamaan seperti persembahyangan purnama tilem sudah cukup bagus. Dilihat

dari prosesi pelaksanaan suatu ritual keagamannya sudah baik dan teratur, hal ini

perlu dipertahankan serta ditingkatkan supaya agama Hindu kedepan tidak

merosot terutama dalam hal ritual atau upacaranya yang paling kelihatan dan

mencolok.

Dalam bukunya Surayin, (2005 : 9) menjelaskan bahwa, upacara berasal

dari kata “upa” yang berarti “berhubungan dengan”, dan “cara” yang bersal dari

kata “car” yang berarti gerak kemudian mendapat akhiran “a” menjadi kata benda

yang berarti gerakan. Jadi upacara adalah segala sesuatu yang berhubungan

Page 81: Skripsi made yuda asmara

81

dengan gerakan atau kegiatan, atau dalam kata lain upacara adalah gerakan

(pelaksanaan) dari pada suatu yadnya. Pada umumnya upacara itu adalah

berbentuk materi yang juga disebut “banten”, sebagaimana diketahui tadnya di

Bali selalu dilengkapi dengan sesajen-sesajen (upakara).

Upacara adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa sansekerta yang

berarti “mendekati”. Disamping berarti mendekati juga berarti “penghormatan”

inti upacara adalah tattwanya memang suatu aktivitas yang mendekatkan manusia

dan alam lingkungannya, dengan sesamanya dan dengan Tuhannya. Pendekatan

dengan alam lingkungan alam dengan tujuan untuk membangun alam yang

Bhutahita artinya alam linhkungan yang sejahtera (Wiana, 1997 : 37-38).

Disadari bahwa ritual itu merupakan media atau sarana untuk

memudahkan bagi umat untuk dapat sampai kepada Beliau yang di puja. Selain

menggunakan mantra/doa, menggunakan sarana bunga, dupa, banten dan

sebagainya, bahwa ritual itu merupakan satu paket persembahan dengan berbagai

aspeknya. Kuncinya adalah jenis apapun ritual yang dipersembahkan tentu

didasari dengan hati suci serta tulus ikhlas tanpa mengharapkan alasannya

(Subagiasta, 2006 :38). Adapun ritual dalam persembahyangan purnama tilem di

Desa Pakraman Alasngandang adalah sebagai berikut :

4.2.3.1 Ritual dalam Persiapan Sembahyang.

Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan bathin. Persiapan lahir

meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan. Termasuk

dalam persiapan lahir ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian yang

Page 82: Skripsi made yuda asmara

82

bersih dan rapi, bunga dan dupa, sedangkan persiapan bathin ialah ketenangan dan

kesucian pikiran.

Menurut Sekar wawancara tanggal 13 April 2010 menjelaskan bahwa,

langkah-langkah persiapan dan sarana prasarana sembahyang pertama-tama

adalah Asuci Laksana yaitu membersihkan badan dengan mandi dan keramas,

supaya badan kita benar-benar bersih secara jasmani, karena kebersihan badan

dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati dalam melakukan

persembahyngan terutama dalam memusatkan diri kepada Ida Sang Hyang widhi

Wasa. Langkah selanjutnya adalah kebersihan Pakaian, Pakaian waktu

sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu

ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat dan warna yang mencolok dapat

mengganggu konsentrasi dalam pemusatan pikiran.

Persiapan selanjutnya adalah menyiapkan sarana penunjang

persembahnyangan seperti : bunga, kuwangen, dupa, canang, banten, tirtha, bija

(wija) dan sarana yang mendukung lainnya. Semua sarana ini harus suci misalnya

bunga yang dipakai harus bunga yang masih segar. Selain itu adalah kebersihan

Pura atau tempat sembahyang supaya bersih dari sampah atau kotoran-kotoran

agar tidak mengganggu proses atau jalannya persembahyangan tersebut.

Persiapan bhatin sebelum melakukan persembahyangan meliputi :

Pertama, rasa tulus ikhlas dalam melaksanakan sembahyang. Kedua, kesadaran

bathin yang luhur dan suci sesuai dengan ajaran Tri Kaya Parisudha, yaitu : suci

dalam pikiran, suci dalam perkataan, dan suci dalam perbuatan. Ketiga, bhakti

Page 83: Skripsi made yuda asmara

83

kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa secara pasrah dan utuh. Keempat, kesadaran

melaksanakan sembahyang agar ditujukan pada jalan dharma, kesucian dan

kesejahtraan mahluk serta alam semesta. Dan yang terakhir meyakini ajaran Tat

Tvam Asi yakni memandang semua mahluk mempunyai hakikat yang sama

(Merta, wawancara : 28 April 2010 ).

Sebelum masuk ke areal Pura hendaknya “melukat” terlebih dahulu

dengan memercikkan tirtha kepada diri kita, sebagai simbol menyucikan diri dan

mohon ijin secara niskala. Mangku Siden menambahkan bahwa umat hendaknya

masuk ke Pura melalui pintu sebelah kiri dan keluar menuju pintu sebelah kanan

karena harus sesuai dengan arah perputaran waktu yang selalu maju.

4.2.3.2 Ritual dalam Puja Tri Sandhya.

Dalam bukunya Titib (2003 : 35) menjelaskan bahwa, Puja Tri Sandhya

merupakan sembahyang wajib yang dilakukanoleh setiap umat Hindu tiga kali

dalam sehari. Dan Puja Tri Sandhya ini juga dilakukan sebelum melaksanakan

muspa Kramaning Sembah khususnya dalam persembahyangan Purnama Tilem

yang dilaksanakan di Desa Pakraman Alasngandang. Pelaksanaan Puja Tri

Sandhya ini dilakukan secara bersama-sama dan dipimpin oleh pinandita atau Jro

Mangku yang muput pada saat itu.

Puja Tri Sandhya ini dapat dilakukan dengan menggunakan sarana berupa

bunga, dupa, air suci dan sejenisnya. Tetapi bila hal itu tidak tersedia maka cukup

dengan sikap amustikarana yaitu cakupan dua tangan didada, kedua ibu jari

bertemu, empat jari kanan kemudian ditutup dengan empat jari kiri, tentunya

Page 84: Skripsi made yuda asmara

84

didahului dengan pranayama (pengaturan nafas) supaya tarikan dan hembusan

nafasnya lembut (Titib, 2003 : 37).

Hal terpenting dalam melakukan puja Tri Sandhya adalah mengetahui dan

mengerti makna mantram-mantram yang diucapkan, sehingga melalui

pemahaman terhadap arti dan makna Puja Tri Sandhya tersebut maka kita akan

lebih mantap, yakin dan khusuk memuja keagungan Ida Sang Hyang Widhi.

”Masyarakat di Desa Pakraman Alasngandang sebagian besar belum memahami

dan mengerti makna dari mantram Puja Tri Sandhya yang diucapkan” (Siden,

wawancara : 28 April 2010).

Dari hasil wawancara tersebut bahwa pelaksanaan Puja Tri Sandhya ini

harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan yang paling penting mengetahui

dan memahami arti atau makna dari Puja Tri Sandhya yang dilakukan tersebut.

Sehingga apa yang kita harapkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dapat

tercapai dengan benar. Mangku Siden memberi saran, “Dalam melakukan Puja

Trisandya baik sendirian maupun berkelompok hendaknya kita berkonsentrasi

dengan baik, mengikuti desah nafas kita dengan halus dan pelan. Sepanjang

mampu kita bernafas lantunkanlah sloka-sloka tersebut dengan lemah lembut.

Kalau kita melantunkan sloka dengan pikiran, maka mantram tersebut seperti

terkejar-kejar atau belomba-lomba dan tidak berakhir dengan bersamaan”.

4.2.3.3 Ritual dalam muspa Kramaning Sembah.

Menurut Wendra dalam wawancara tanggal 14 April 2010 menjelaskan

bahwa, Kramaning Sembah merupakan Sembahyang yang dilakukan umat untuk

Page 85: Skripsi made yuda asmara

85

memuja Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dengan segala Prabhawa/manifestasi

kemahakuasaan-Nya, yang dilaksanakan dengan penuh ketululusan hati, dengan

sarana bunga atau kuwangen yang bertujuan mewujudkan suatu kehidupan yang

bahagia dan sejahtera lahir batin atau Moksartham Jagadhita.

Setelah melakukan Puja Trisandhya, dilanjutkan dengan melaksanakan

Panca Kramaning Sembah yang bermakna sebagai berikut:

1).Sembah pertama dengan tangan kosong (puyung) yang intinya bertujuan untuk memohon kesucian dan memusatkan pikiran.

2).Sembah kedua, ketiga dan keempat dengan memakai bunga dan kawangen dengan tujuan penyampaian rasa hormat kepada Tuhan, penyampaian hormat kepada sifat wujudNya dalam segala manifestasiNya dan kepada para Dewa, serta penyampaian permohonan maaf dan permohonan anugrah.

3).Sembah kelima, yaitu sembah tangan kosong yang merupakan sembah penutup sebagai rasa terima kasih atas rahmatNya dan mengantarkan kembali ke alam gaib (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981 : 29).

Setelah melaksanakan persembahyangan, umat dipercikkan tirtha wangsuh

Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikkan 3-7 kali di kepala, 3 kali diminum dan 3 kali

mencuci muka (meraup). Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati umat menjadi

bersih dan suci. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan,

kedamaian dan kebahagiaan lahir dan bathin itu sendiri (Sujana & Susila,

2002:31).

Mawija atau mabija dilakukan setelah selesai metirtha yang merupakan

rangkaian terakhir dari suatu persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras

yang dicuci dengan air atau air cendana. Bila dapat diusahakan beras galih dan

tidak patah-patah, yaitu beras yang utuh tidak patah (aksata). Wija atau bija

adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Jadi, mewija

Page 86: Skripsi made yuda asmara

86

mengadung makna menumbuh kembangkan benih ke-Siwa-an itu di dalam diri

umat (Sujana & Susila, 2002:31-32).

Menurut Siden wawancara tanggal 14 April 2010 menyatakan bahwa, dalam

melaksanakan Panca Kramaning Sembah yang dipimpin oleh Pinandita atau jro

mangku, hendaknya umat tidak ikut me-mantram. Hal ini dianalogikan bahwa

Pinandita itu seperti sopir bus, sedangkan umat adalah penumpang. Sopir akan

mengantarkan penumpangnya sampai tempat tujuan atau terminal. Jika

penumpang juga ikut menyetir akan timbul kegaduhan. Sehingga

persembahyangan tidak menjadi tenang dan menggangu umat lain yang ingin

mengadu masalah hidup kepada Hyang Widhi dan memohon sinar suci-Nya dan

tuntunan-Nya menghadapi masalah. Namun, ikut me-mantram tidak dilarang

karena menurut Mangku Siden bahwa mungkin umat itu tidak sedang dalam

masalah atau ingin belajar menghapalkan mantram tersebut, asal tidak

mengganggu konsentrasi umat lain yang sedang sembahyang.

4.3. Nilai-Nilai Pendidikan yang terdapat dalam Persembahyangan Purnama Tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang.

Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang yang dilaksanakan oleh masyarakat Alasngandang

merupakan suatu bentuk persembahan bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa

sebagai penguasa alam dunia besrta isinya. Disamping sebagai persembahan

bhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, persembahyangan purnama tilem

mengandung nilai-nilai pendidikan yang luhur yang mencakup beberapa aspek

Page 87: Skripsi made yuda asmara

87

sosial mulai dari nilai sosial relegius, nilai sosial budaya dan nilai dari sosial

ekonominya. Berikut akan dijelaskan nilai-nilai yang terdapat dalam

persembahyangan purnama tilem tersebut.

4.3.1 Nilai Pendidikan Sosial Religius dalam persembahyangan purnama tilem

Sosial religius berasal dari dua kata yaitu sosial dan religius. “Sosial”

dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian sosial adalah segala sesuatu

yang mengenai masyarakat, kemasyarakatan atau juga suka memperhatikan

kepentingan umum W.J.S Poerwadarminta, (1976 : 961). Sedangkan “religius”

berasal dari kata religi yang artinya kepercayaan kepada Tuhan Selanjutnya kata

religius berarti bersifat religi : bersifat keagamaan: yang bersangkutan dengan

religi (Tim Penyusun, 1991 : 944).

Dalam bukunya Titib (2006 : 258) menyatakan bahywa, inti tattwa itu

adalah kepercayaan kepada Tuhan (Ketuhanan) yang disebut dengan Ekatwa

Anekatwa Svalaksana Bhatara yang artinya Tuhan itu dalam yang banyak, yang

banyak dalam yang Esa. Tattwa adalah kepercayaan, dalam Hindu kita mengenal

lima kepercayaan yang disebut dengan Panca Sradha yaitu : 1). Percaya terhadap

adanya Tuhan (Widha Tattwa), 2). Percaya terhadap adanya Atman (Atma

Tattwa), 3). Percaya terhadap adanya Hukum Karma (Karma Phala), 4). Percaya

terhadap adanya Punarbhawa (Samsara) dan 5). Percaya terhadap adanya Moksa

(Bersatunya atman dengan Brarman).

Page 88: Skripsi made yuda asmara

88

Kelima kepercayaan umat Hindu tersebut diatas, kepercayaan yang paling

kuat yang diyakini oleh masyarakat Alasngandang adalah kepercayaan terhadap

Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini dibuktikan masyarakat secara teratur

melaksanakan persembahyangan untuk memuja Ida Sanng Hyang Widhi Wasa

atau Tuhan Yang Maha Esa terutama pada hari purnama tilem di pura Desa

Pakraman Alasngandang.

Menurut Merta wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,

kurangnya pemahaman tattwa dan etika dalam masyarakat Alasngandang pada

persembahyangan purnama tilem, dikarenakan masyarakat Alasngandang masih

sangat awam tentang ajaran-ajaran ketuhanan yang berisikan makna filosofis

tentang persembahyangan. Kalau dilihat dari pengetahuan atau tingkat

pendidikannya, masyarakat Alasngandang masih sangat jauh dengan apa yang

diharapkan. Inilah yang menjadi salah satu kendala dalam penerapan ajaran Tri

Kerangka Dasar Agama Hindu pada pelaksanaan pemsembahyangan purnama

tilem di Desa Pakraman Alasngandang.

Selain itu kurangnya penyuluhan-penyuluhan agama yang diberikan pada

masyarakat Alasngandang seperti Dharma Wacan dan Dharma Tula yang dapat

meningkatkan pemahaman keagamaan khususnya dalam hal yadnya yaitu

sembahyang. Sembahyang merupakan hal yang paling penting dilakukan oleh

umat Hindu Seperti dalam Bhagavadgita disebutkan :

Manmana bvaha madbhaktoMadyaji mam namaskuruMam evai syasi vamAtmanam matparayanah

Page 89: Skripsi made yuda asmara

89

(Bhagavadgita, IX.34)

Artinya :

Pusatkanlah pikiranmu padaKu, berbhaktilah kepadaKu, sembahlah Aku, sujudlah padaKu, setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri dan Aku sebagai tujuan engkau akan datang (mendekat) padaKu (Pudja, 1993 : 150).

Yang dimaksudkan dengan Aku disini adalah Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, dan yang dimaksudkan dengan kamu atau engkau adalah umatnya. Dengan

demikian ini berarti bahwa dengan bhakti pada Tuhan seseorang akan dapat

menyatu pada-Nya yang mengakibatkan kebahagiaan. Betapa pentingnya hal

tersebut sehingga penerapan ajaran tattwa, etika dan ritual dalam

persembahyangan purnama tilem harus dilaksanakan dengan baik dan benar

sesuai dengan konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

4.3.2 Nilai Pendidikan Sosial Budaya dalam Persembahyangan Purnama Tilem

Secara etimologi kata kebudayaan berasal dari kata dasar ”budaya” yang

mendapat proses afiksasi ke-an menjadi kebudayaan. Menurut kamus umum

bahasa Indonesia makna kata ”budaya” berarti pikiran atau akal budi maka secara

morfologis kebudayaan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan pikiran atau

akal budi (Poerwadarminta, 1991 : 64).

Dari sudut pandang ilmu antropologi kebudayaan adalah keseluruhan sistem

gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat

yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Kata kebudayaan atau culture

berasal dari kata sansekerta ”buddhayah” yaitu bentuk jamak dari buddhi yang

Page 90: Skripsi made yuda asmara

90

berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan hal-hal

yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat, 1983 : 182 – 1830).

Sehubungan dengan kebudayaan menurut Koentjaraningrat menyatakan

bahwa agama adalah unsur terpenting didalam membentuk kebudayaan, dan

sistem budaya memiliki empat elemen antara lain :

1). Filsafat keyakinan yang mengendalikan dogma (mindsetting).2). Etika yaitu tatakrama yang dihasilkan dari keyakinan tersebut.3). Penghayatan sehari-hari dari agama yang berupa (ritual agama) yang

dimunculkan untuk menyalurkan emosi keagamaan yang menyertai penghayatan beragama.

4). Para Shadaka atau umat yang meyakini kepercayaan tersebut (Tantera Keramas, 2008 : 28)

Menurut Warsa wawancara tangal 27 April 2010 menjelaskan bahwa,

berbicara tentang sosial budaya pada masyarakat Alasngandang tidak bisa lepas

dari apa yang disebut agama, adat dan budaya. Di samping ketiga hal tersebut juga

tidak bisa terlepas dengan desa kala patra, sebab sistem pelaksanaan agama, adat

dan budaya selalu berdasarkan tradisi yang berlaku di desa setempat. Dalam

melaksanakan ritual atau sistem kepercayaan, masyarakat Alasngandang selalu

menjungjung kuna dresta dan lokal dresta sebagai bagian dari budaya masyarakat

setempat.

Sistem sosial masyarakat Alasngandang lebih mengedepankan

kebersamaan dan kegotongroyongan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan. Bila

ada suatu permasalahan yang muncul dimasyarakat Alasngandang

penyelesaiannya diputuskan menurut adat atau awig-awig yang telah disepakati

oleh masyarakat setempat. Penyelesaian dimaksud bisa berupa kena sangsi atau

Page 91: Skripsi made yuda asmara

91

didamaikan. Maka penyelesaian persoalan-persoalan seperti ini sesuai dengan apa

yang diungkapkan oleh Tjok Istri Putra Astiti bahwa penyelesaian persoalan adat

dilandasi oleh tiga azas yaitu azas kerukunan, azas keselarasan, azas kepatutan.

Berdasarkan azas-azas ini pula para penguasa banjar menyelesaikan suatu

persoalan. Ketiga azas ini selalu menjadi dasar dalam peyelesaian konflik oleh

hakim desa dalam hal ini penghulu desa seperti bendesa adat atau kepala dusun.

Hubungan yang harmonis selalu dipelihara antara prajuru desa dengan

manggalaning dinas dalam hal ini kepala dusun seperti diungkapkan oleh bendesa

adat setempat bahwa hubungan bendesa adat dengan kepala dusun seperti suami

istri, kepala dusun adalah suaminya dan bendesa adat adalah istrinya maka dalam

memutuskan suatu persoalan selalu berkoordinasi. Maka hubungan sosial

masyarakat Alasngandang selalu berjalan harmonis. Dan setiap permasalahan

selalu diselesaikan oleh kepala dusun yang didampingi Bendesa Adat dengan

mengedepankan azas kerukunan, azas keselarasan dan azas kepatutan.

Aspek dari kebudayaan dalam melaksanakan persembahyangan purnama

tilem di Desa Pakraman Alasngandang meliputi dua hal yaitu : budaya dalam

busana berpakaian dan budaya dalam sarana persembahyangan. Budaya didalam

busana berpakaian khususnya dalam persembahyangan purnama tilem di Desa

Pakraman Alasngandang mengedepankan nilai seni dan estetika (keindahan).

Busana yang digunakan dalam sembahyang syaratnya adalah bersih, suci

dan dipakai secara rapi menurut norma kesopanan. Jadi pada intinya busana

didalam melaksanakan persembahyangan tersebut adalah bersih, suci dan busana

tersebut dipakai secara sopan. Seiring perkembangan zaman dan budaya, busana

Page 92: Skripsi made yuda asmara

92

persembahyangan selalu memiliki perubahan atau inovasi-inovasi baru terutama

dalam hal estetika atau keindahannya. Perubahan-perubahan tersebut secara tidak

langsung dapat merubah makna dan kesucian dari busana persembahyangan

agama Hindu itu sendiri (Kaler, 2004 : 6).

Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,

dalam melaksanakan persembahyangan purnama tilem, busana masyarakat

Alasngandang selalu mengikuti mode atau gaya busana yang dijadikan tren pada

saat itu. Gaya busana itu umumnya di perlihatkan pada kalangan remaja-remaja

yang haus akan penampilan yang terbaru. Hal ini ditunjukkan dengan pakaian

kebaya remaja putri yang sedikit transparan atau terbuka, selain itu pada busana

putra hal yang menonjol adalah pada busana udeng/destar dan kekancutan yang

masing-masing memiliki makna tersendiri. Dengan merubah gaya udeng dan

kekancutan tersebut tentunya juga merubah makna yang terkandung dalam busana

agama Hindu tersebut.

Nilai pendidikan seni budaya juga terdapat dalam sarana upakara pada

persembahyangan purnama tilem terutama dalam pembuatan banten. Banten

yang merukapan salah satu upakara yang terpenting didalam persembahyangan,

selalu berpatokan pada makna dan simbol-simbol yang terkandung dalam

pembuatan banten tersebut. Tetapi dalam persembahyangan purnama tilem di

Desa Pakraman Alasngandang, banten-banten yang dipersembahkan kepada Ida

Sang Hyang Widhi Wasa belum sesuai dengan apa yang diharapkan pada ajaran

tattwa agama Hindu tersebut.

Page 93: Skripsi made yuda asmara

93

Menurut Karma wawancara 28 April tanggal 2010 menjelaskan bahwa,

banten-banten yang dipersembahkan dalam persembahyangan purnama tilem oleh

masyarakat Alasngandang memiliki nilai pendidikan budaya yang sangat tinggi.

Banten yang dipersembahkan tersebut kebanyakan masih menggunakan makanan-

makanan yang terbungkus dari plastik, seperti snack atau makanan ringan yang

siap saji. Masyarakat Alasngandang dalam pembuatan banten persembahan lebih

suka menggunakan bahan makanan yang instan atau siap saji. Sedangkan bahan-

bahan yang semestinya dipakai seperti ketupat, pisang, jaja gina dan jaja uli

sudah jarang sekali dipergunakan. Hal inilah yang perlu dibenahi supaya

kebudayaan tradisional yang syarat dengan simbol dan makna yang berbau

spiritual tersebut supaya tidak hilang ditelan oleh budaya modern yang serba

pkaktis.

4.3.3 Nilai Pendidikan Sosial Ekonomi dalam Persembahyangan Purnama Tilem

Menurut bukunya Prawiro (1990 : 4) menyatakan bahwa, ekonomi adalah

studi tentang usaha manusia dalam kegiatannya memenuhi kebutuhan hidup.

Tantangan berat yang dihadapi oleh masyarakat dewasa ini adalah tidak hanya

menaggulangi krisis moneter dan krisis ekonomi saja, tetapi juga mengubah

paradigma dari Ekonomi Kapitalis menjadi Ekonomi Kerakyatan (Ekonomi

Sosialis). Tentu saja dalam mengatasi tantangan berat tersebut, diperlukan adanya

komitmen yang kuat untuk menumbuhkan kesadaran baru.

Menurut Ratep wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,

pada intinya melaksanakan yadnya harus dilandasi dengan ketulusikhlasan dan

Page 94: Skripsi made yuda asmara

94

tanpa menghaparkan imbalan. Tetapi kalau yadnya yang dilaksanakan sampai

terasa memberatkan bagi dirinya, itulah yadnya yang tidak ikhlas. Dilihat dari segi

perekonomian masyarakat Alasngandang tergolong ekonomi menengah kebawah.

Hal ini dilihat dari mata pencahariannya yang kebanyakan seorang petani. Jadi

untuk memenuhi kabutuhan sehari-hari saja masyarakat Alasngandang terasa sulit,

apalagi harus dituntut dengan melaksanakan yadnya. Dilihat dari tingkat besar

kecilnya yadnya memiliki beberapa tingkatan yaitu :

1. Tingkat Nistaa). Nistaning nistab). Nistaning Madyac). Nistaning Utama

2. Tingkat Madyaa). Madyaning Nistab). Madyaning Madyac). Madyaning Utama

3). Tingkat Utamaa). Utamaning Nistab). Utamaning Madyac). Utamaning Utama

Dengan demikian hendaknya dipahami benar mulai dari tingkat kecil,

tengah dan tingkat yang paling utama. Bukan berarti tingkat yang paling utama itu

yang paling baik dan bukan tingkat nista yang paling buruk. Yadnya itu dilihat

dari ketulus ikhlasannya. Seperti dalam Bhagawadgita Bab IX Sloka 26

disebutkan bahwa :

Pattram puspam phalam to yamYo me bhaktya prayacchatiTad aham bhaktyupahrtamAsnami prayatatmanah

(Bhagavadgita, IX.26)

Page 95: Skripsi made yuda asmara

95

Terjemahannya:

Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan kepada-Ku, daun, bunga  buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci, Aku terima (Pudja, 1993 : 153).

Yadnya dalam hal ini harus didasari oleh cinta kasih dan hati yang suci,

walaupun hanya bisa mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji

buah dan seteguk air akan diterima oleh Ida Sang Hayng Widhi Wasa, apabila

persembahan tersebut didasari oleh ketulusan dan kesucian hati. Hal inilah

semestinya dijadikan pedoman supaya didalam melaksanakan yadnya atau

persembahan tidak semata-mata memperlihatkan materi yang dimilikinya. Tetapi

dalam kenyataannya masyarakat Alasngandang dalam melaksanakan

persembahan kepada Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi Wasa memiliki rasa gengsi

yang tinggi dalam dirinya. Mereka merasa gengsi jika membawa banten seadanya

ke Pura khususnya pada saat persembahyangan Purnama Tilem di Desa

Pakraman Alasngandang. Masyarakat berlomba-lomba memperllihatkan dan

memamerkan bantennya yang dibawa supaya tidak merasa kalah saing.

Menurut Siden wawancara tanggal 28 April 2010 menjelaskan bahwa,

nilai pendidikan yang terdapat dalam sosial perekonomian yaitu dalam membuat

upakara-upakara untuk sarana persembahyangan purnama tilem. Terutama dalam

hal kecil seperti membuat kuwangen yang semakin disederhanakan. Didalam

kuwangen semestinya berisikan dua buah uang kepeng atau pis bolong yang

melambangkan windu yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Tapi uang kepeng yang

asli belakangan ini sulit dicari dan harganyapun semakin mahal. Sehingga

masyarakat berinisiatif menggantinya dengan alternatif uang logam biasa dan

Page 96: Skripsi made yuda asmara

96

parahnya lagi diganti dengan uang kertas. Hal ini tentu akan mengurangi makna

dari kuwangen tersebut yang dipakai sebagai sarana pokok dalam memuja Ida

Sang Hyang Widhi Wasa.

Selain dalam hal kuwangen, nilai pendidikan sosial ekonomi juga

berpengaruh pada pembuatan upakara banten pejati yang didalamnya berisikan

banten daksina. Banten daksina merupakan sarana yang sangat penting dalam

melaksanakan suatu upacara keagamaan khususnya pada persembahyangan

purnama tilem di Desa Pakraman Alasngandang. Pada umumnya dalam

pembuatan banten daksina salah satu unsur terpenting adalah berisikan buah

kelapa yang melambangkan Bhuana Agung dan telor bebek melambangkan

Bhuana Alit. Dipakainya telor bebek sebagai simbol dari Bhuana Alit yang

mempunyai makna kebijaksanaan. Tetapi dalam kenyataannya sebagian besar

masyarakat Alasngandang dalam membuat banten daksina masih menggunakan

telor ayam yang harganya relatif lebih murah dari pada telor bebek. Tentu saja

makna yang tekandung dalam banten daksina yang terbuat dari telor ayam

berbeda dengan makna banten daksina yang terbuat dari telor bebek tersebut

(Merta, wawancara : 28 April 2010).

Nilai pendidikan dalam bidang sosial ekonomi ini lebih mengarah pada

materi yang berupa upakara-upakara persembahyangan. Upakara-upakara yang

dipakai dalam suatu aktivitas keagamaan seperti ritual persembahyangan purnama

tilem di Desa Pakraman Alasngandang sudah barang tentu memiliki suatu makna

dan nilai-nilai yang terkandung dalam upakara tersebut. Jika upakara-upakara

tersebut dirubah karena keadaan ekonomi masyarakat yang mendesak, maka

Page 97: Skripsi made yuda asmara

97

makna dan nilai-nilai yang terkandung pada upakara-upakara tersebut juga

berubah.

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data mengenai Persembahyangan

purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga di Desa Pakraman Alasngandang dalam

perspektif Tri Kerangka Dasar Agama Hindu, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Persembahyangan purnama tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa

Pakraman Alasngandang secara rutin dilaksanakan setiap lima belas hari

sekali. Dalam pelaksanaan persembahyangan tersebut masyarakat

Alasngandang tidak pernah lepas dari ajaran tattwa, etika dan ritual dalam

Page 98: Skripsi made yuda asmara

98

persembahyangan purnama tilem. Dalam ajaran tattwa berisikan tentang

kajian tattwa dalam mantra Tri sandhya, kajian tattwa dalam mantra

Kramaning Sembah dan kajian tattwa dalam sarana upakara

persembahyangan. Dan dalam ajaran susila atau etika berisikan etika

muspa dalam persembahyangan, Etika pembagian tirtha dan bija, dan

etika berpakaian dalam persembahyangan. Sedangkan dalam kajian ritual

dalam persembahyanga purnama tilem berisikan ritual dalam persiapan

sembahyang, ritual dalam Puja Tri Sandhya dan ritual dalam muspa

Kramaning Sembah.

2. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam persembahyangan purnama

tilem di Pura Kahyangan Tiga Desa Pakraman Alasngandang meliputi :

Nilai pendidikan sosial religius, nilai pemdidikan sosial budaya dan nilai

pendidikan sosial ekonomi.

5.2 Saran

Dari uraian diatas, maka dapat disampaikan beberapa saran-saran yang

nantinya dapat dijadikan dasar untuk mendorong atau memotivasi para pembaca

sekalian adalah sebagai berikut:

1. Kepada seluruh masyarakat Desa Pakraman Alasngandang agar secara

rutin melaksanakan persembahyangan purnama tilem dan selalu

menerapkan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yaitu ajaran tattwa,

susila dan ritual.

97

97

Page 99: Skripsi made yuda asmara

99

2. Bagi para tokoh masyarakat agar dapat lebih memajukan para generasi

muda Hindu khususnya masyarakat Desa Pakraman Alasngandang,

melalui pelaksanaan, Dharma Wacana, Dharma Tula dan penyuluhan-

penyuluhan ajaran agama supaya pemahaman masyararat terhadap ajaran

agama Hindu semakin meningkat.

3. Para generasi muda penerus bangsa diharapkan senantiasa dapat berpikir

secara kritis, logis, baik dan benar agar dapat melaksanakan aktivitas

agama Hindu sesuai dengan ajaran Tri Kerangka Dasar Agama Hindu.

4. Karena terbatasnya ruang lingkup penelitian ini, kepada peneliti lain

diharapkan dapat mengembangkan dan menjadikan bahan acuan dan

kajian untuk penelitian selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anandakusuma Sri Reshi, 2006, Aum Upacara Dewa Yadnya, Surabaya :

PT.KAYUMAS AGUNG

Ayu Ira Dewi, Putu, 2008. Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Kampus IHD Negeri Denpasar di Singaraja (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar.

Bajrasana, I Gede, IB Arisufhana & I Gusti Gede Goda. (1981). Acara

(Sadacara). Jakarta: Departemen Agama RI. Hal. 12-30

Budiono. 2005. Kamus Ilmiah Populer Internasional. Surabaya : Alumni

Surabaya.

Bungin, Burhan. 2001. Metodelogi Penelitian Sosial. Surabaya : Airlangga

University Press

Page 100: Skripsi made yuda asmara

100

Daryanto, SS. 1998. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Apolo.

Departemen Agama RI, 2005 Kamus Istilah Agama Hindu : Denpasar

Dwi Metriani, 2008. Upacara Pati Wangi Dalam Perkawinan Antar Wangsa Di Desa Gulingan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung (Kajian Nilai Pendidikan Agama Hindu). IHDN Denpasar

Iqbal, H. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta : Gihalva

Indonesia.

Jawi, I Nyoman, 2007. Makna Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem Dalam Meningkatkan Sikap Disiplin Siswa SD Negeri Blahbatuh Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar IHDN Denpasar.

Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1994. Sarasamuscaya, Dengan Teks Bahasa

Sansekerta dan Jawa Kuna. Surabaya : Paramita.

Kaler, Igusti Ketut. 2004, Tuntunan Muspa Bagi UmatHindu, Penerbit Kayu

Mas Agung : Denpasar

Koentjaraningrat, 1997. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II,

Rineka Cipta.

______________, 1981, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : PT.

Gramedia

, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru

Moleong, Lexy, 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja

Rosda Karya.

Oka Netra, A.A Gde, 1994. Tuntunan Dasar Agama Hindu, Tim Penyusun

PHDI Pusat, 1993, Pedoman Pembinaan Umat Hindu Dharma Indonesia,

Jakarta : Upada Sastra.

PHDI Kabupaten Karangasem, 2009, Filosofis Sembahyang, Arti dan Makna

Sembahyanga. Amlapura

Page 101: Skripsi made yuda asmara

101

Posrwadarminta, 1991. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : PN Balai

Pustaka.

Prawiro, Ruslan, 1990. Ekonomi Sumberdaya. Bandung : Penerbit Alumni

Pudja, Gde, 1993. Bhagavadgita (Pancama Veda). Jakarta : Hanuman Sakti.

Raka Dherana, Tjokorda. 1982. Pembinaan Awig-Awig Desa Pakraman Dalam

Tertib Masyarakat. Denpasar

Ritzer, George, 1985. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.

Jakarta : Rajawali.

Rudia Adiputra I Gede, 2004, Dasar-Dasar Agama Hindu, Jakarta : Lestari

Karya Megah

Soehardi, Sigit, 2001. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial – Bisnis –

Manajemen, Yogyakarta : BPFE UST

Suardana I Ketut, 1993. Metodelogi Penelitian, Singaraja STKIP

Subagiasta Iketut, 2008. Sradha dan Bhakti, Surabaya: PARAMITA

, 2006. Teologi,Filsafat, Etika dan Ritul dalam susastra

Hindu, Surabaya: PARAMITA.

Sudaharta ,Tjok Rai,2007 Upadsa Tentang Ajaran-Ajaran Agama Hindu,

Surabaya : PARAMITA

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfa Beta.

________, 2007. Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alpabeta

Suhardana, K.M, 2006. Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar : PT.

PANAKOM.

Sujana, I Made & I Nyoman Susila. (2002). Manggala Upacara. Jakarta:

Departemen Agama RI

Page 102: Skripsi made yuda asmara

102

Sumantra, I Nengah 2009. Dasar-dasar Pendidikan Agama Hindu, Institut

Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Suprayogo, Imam dan Tabroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial Agama.

Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Sura I Gede, 1994. Agama Hindu Sebuah Pengantar, Surabaya :

PT.KAYUMAS AGUNG

Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Melangkah Kearah Persiapan Upakara-upakara

Yadnya. Surabaya : Paramita.

Suwitrayasa, I Nyoman. 2008. Eksistensi Tari Tampyog dan Upacara Piodalan

Purnama Kenem di Pura Puseh Desa Adat Manukaya Let Tampaksiring-

Gianyar. IHDN Denpasar

Tambang Raras Niken, 2004, Purnama Tilem, Surabaya : PARAMITA

Tantera Keramas, Dewa Made. 2008. Metoda Penelitian Kualitatif dalam Ilmu

Agama dan kebudayaan

Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.

Titib, I Made. 2003, Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa, Surabaya :

Penerbit Paramita.

Wiana, Ketut. 2009. Sembayang Menurut Hindu, Penerbit Yayasan Dharma

Naradha : Denpasar.

, I Ketut,1999. Pelinggih Di Pemerajan, Denpasar: Upada

Sastra.

, Ketut. (2005). Doa Sehari-Hari: Menurut Hindu. Denpasar: PT

Pustaka Manikgeni.

Page 103: Skripsi made yuda asmara

103

, . 1997. Beragama bukan Hanya Di Pura Agama Hindu Sebagai

Tuntunan Hidup. Denpasar : Yayasan Dhrama Naradha.

Widana, I Ketut, 2009. Esensi Pelaksanaan Persembahyangan Purnama Tilem

Dalam Meningkatkan Kualitas Sraddha Bhakti Sisswa di SD Dangin

Tukap Tahun Pelajaran 2008/2009. IHDN Denpasar.

Widana, Igusti Ketut, 2009. Menjawab Pertanyaan Umat, Denpasar : Pustaka

Bali Post

Yudha, Triguna, 2000, Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma