RESPONSI KULIT
MORBUS HANSEN
Oleh :
Fitria Marizka Kusumawardhany
G99122116
Pembimbing :
dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014
1
STATUS RESPONSI
ILMUKESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, SpKK, M.Sc
Nama : Fitria Marizka Kusumawardhany
NIM : G99122116
MORBUS HANSEN
A. DEFINISI
Morbus Hansen adalah infeksi granulomatosa kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae.1 Merupakan penyakit infeksi yang bersifat kronik
progresif, mula-mula menyerang saraf tepi, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf
pusat.2,3
B. SINONIM
Morbus hansen disebut juga sebagai penyakit lepra atau kusta3,4.
C. EPIDEMIOLOGI
Di seluruh dunia, sekitar 250.000 kasus baru kusta dilaporkan setiap
tahun dan sekitar 2 juta orang memiliki cacat kusta yang terkait. Tiga negara
endemik utama (India, Brasil, dan Indonesia) tercatat untuk 77% dari semua
kasus baru.5 Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir tahun 2008
adalah 22.359 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 16.668 orang.
Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi,
Maluku, dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah
0,72.3
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dapat
menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa.
Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa ialah umur 25-35 taun, sedangkan
2
pada kelompok anak umur 10-12 tahun.6 Pada ras kulit hitam didapatkan
insidensi bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada kulit putih lebih
cenderung tipe lepromatosa.2 Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat
ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat, dan air susu ibu, jarang
didapat di dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. 3
D. ETIOLOGI
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh Armaure Hansen pada 1873 di Norwegia. M. leprae berbentuk basil
dengan ukuran 3-8 μm x 0,5 μm, tahan asam dan alkohol serta Gram-
positif.3 Adanya distribusi lesi yang dominan pada kulit, mukosa hidung,
dan saraf perifer superfisial menunjukkan pertumbuhan kuman obligat
intrasel ini cenderung menyukai temperatur < 37°C. Bagian tubuh yang
dingin seperti saluran pernapasan, testis, ruang anterior mata, dan kulit
terutama cuping telinga dan jari merupakan tempat yang biasa diserang.
Untuk kriteria identifikasi, ada lima sifat khas M. leprae, yakni:
1. M. leprae merupakan parasit interseluler obligat yang tidak dapat
dibiakkan pada media buatan.
2. Sifat tahan asam M. leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3. M. leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang mengoksidasi
D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
4. M. leprae merupakan satu-satunya mikobakterium yang menginvasi
dan bertumbuh dalam saraf perifer.
5. Ekstrak terlarut dan preparat M. leprae mengandung komponen
antigenik yang stabil dengan aktivasi imunologis yang khas, yaitu uji
kulit positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita
lepromatous.4
Reservoir utama M. leprae adalah manusia. Transmisi lepra secara
pasti belum diketahui, dimungkinkan transmisi melalui droplet hidung, kontak
dengan bagian tubuh yang terinfeksi, dan vektor serangga. Portal masuknya
3
M. leprae kurang dipahami, tetapi mencakup inokulasi melalui kulit (gigitan,
goresan, luka kecil, tato) atau inhalasi ke saluran hidung atau paru-paru.7 Masa
tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.3
E. PATOGENESIS
Sel Schwann (SC) adalah target utama untuk infeksi oleh M. leprae
menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan cacat konsekuen. Pengikatan
M. leprae dengan SC menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi
aksonal. Telah terbukti bahwa M. leprae dapat menyerang SC dengan protein
laminin-mengikat spesifik 21 kDa selain PGL-1. PGL-1 (sebuah
glycoconjugate unik, dominan pada permukaan M. leprae) mengikat laminin-
2. Hal ini menjelaskan kecenderungan predileksi bakteri di saraf perifer.
Identifikasi dari reseptor bertarget SC M. leprae, dystroglycan (DG),
menunjukkan peran molekul ini dalam degenerasi saraf awal. M. leprae yang
disebabkan demielinasi adalah hasil dari ligasi bakteri langsung ke neuregulin
reseptor, erbB2 dan Erk1/2 aktivasi, dan selanjutnya MAP kinase memberikan
sinyal dan proliferasi.8
Makrofag adalah salah satu sel inang yang paling banyak bersentuhan
dengan mikobakteri. Fagositosis M. leprae oleh makrofag monosit yang
diturunkan dapat dimediasi oleh reseptor komplemen CR1 (CD35), CR3
(CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan diatur oleh protein kinase.
Tidak beresponnya terhadap M. leprae tampaknya berkorelasi dengan profil
sitokin Th2.8
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
mempunyai nama khusus yang dari kulit disebut histiosit. Kalau ada kuman
(M.leprae) masuk, akibatnya bergantung pada Sistem Imunitas Seluler (SIS)
orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.
leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan
dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel
4
Gambar 1. Patogenesis Kusta3
Kontak
Infeksi
Subklinis
Non Infeksi
Sembuh
Indeteminate (I)30%
Deteminate
I TT Ti BT BB BL Li LL
95%
70%
epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan berubah menjadi sel
datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh
limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan
jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit
tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembangbiak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau
sel busa dan sebagai alat angkut penyebarluasan.3
Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul
gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis
bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan
tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
memberikan gambaran lepromatosa. Agar proses ini selanjutnya lebih jelas
lihat bagan patogenesis ini.3
F. KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate
pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:
5
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: Tuberkuloid indefinite
BT: Borderline tuberculoid
BB: Mid borderline bentuk yang labil
BL: Borderline lepromatous
Li: Lepromatosa indefinite
LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.3
Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe
tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, merupakan tipe yang stabil, jadi
berarti tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa
polar, yakni lepromatosa 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang tidak
mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe
borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan
lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberkuloid
dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL
dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.3
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi bentuk
Multibasilar (MB) dan Pausibasilar (PB). MB berarti mengandung banyak
kuman yaitu tipe LL, BL, BB. Sedangkan PB berarti mengandung sedikit
kuman yakni tipe TT, BT, dan I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling yang
termasuk MB adalah tipe LL, BL dan BB dengan Indeks Bakteri (IB) lebih
dari 2+ sedangkan PB adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+.3
Pada tahun 1987 telah terjadi perubahan, yang dimaksud dengan kusta
PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan
kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT. Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA
positif, maka akan dimasukkan ke dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB
adalah semua penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apapun klasifikasi
klinisnya dengan BTA postif, harus diobati dengan regimen MDT-MB.3
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis
6
kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini tercantum
dalam tabel 1.3
Tabel 1. Bahan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)
PB MB
Lesi Kulit
(makula datar,
papul yang meninggi,
nodus)
- 1-5 lesi
- hipopigmentasi / eritema
- distribusi tidak asimetris
- hilangnya sensasi yang jelas
- >5 lesi
- distribusi lebih simetris
- hilangnya sensasi kurang jelas
Kerusakan Saraf
(menyebabkan hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
- hanya satu cabang saraf banyak cabang saraf
G. MANIFESTASI KLINIS
Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis, bakterioskopi, dan
histopatologis. Menurut WHO (1995), diagnosis kusta ditegakkan bila
terdapat satu dari tanda kardinal berikut6,9:
1. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritema dengan hilangnya
sensibilitas yang jelas.
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel, biasanya hipopigmentasi
tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi
dapat bervariasi tetapi umumnya berupa makula, papul, atau nodul.
2. Keterlibatan saraf tepi yang ditandai dengan penebalan dan
hilangnya sensibilitas yang jelas.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas.
Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai
kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot. Penebalan saraf
tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan/atau kelemahan
otot juga merupakan tanda kusta.
7
3. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan
jaringan kulit.
H. PEMERIKSAAN FISIK
Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan fisik
sebagai berikut3,6:
1. Inspeksi
Semua kelainan kulit di seluruh tubuh diperhatikan, seperti adanya
makula, nodul, jaringan parut, kulit yang keriput, penebalan kulit, dan
kehilangan rambut tubuh (alopesia dan madarosis). Pasien diminta
memejamkan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk
mengetahui fungsi saraf wajah. 3,6.
2. Pemeriksaan Sensibilitas
Kusta mendapat julukan The great imitator dalam penyakit kulit
sehingga perlu didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit kulit yang
lain. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu
jelas. Hal ini dengan mudah dilakukan dengan menggunakan jarum
terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba dan kalau masih belum jelas
dengan kedua cara tersebut barulah pengujian terhadap rasa suhu, yaitu
panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.3
3. Pemeriksaan Fungsi Saraf Tepi
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, penebalan, dan nyeri tekan. Beberapa saraf superfisial yang
dapat dan perlu diperiksa, yaitu N. fasialis, N. aurikuralis magnus, N.
radialis, N. ulnaris, N. medianus, N. poplitea lateralis, dan N. tibialis
posterior. Bagi tipe lepramatosa kelainan saraf biasanya bilateral dan
menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya. Gejala-gejala kerusakan saraf:
8
1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari
manis; clawing kelingking dan jari manis; atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial.
2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah; tidak mampu aduksi ibu jari; clawing ibu
jari, telunjuk, dan jari tengah; ibu jari kontraktur; atrofi otot tenar dan
kedua otot lumbrikalis lateral.
3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari
telunjuk; tangan gantung (wrist drop); tak mampu ekstensi jari-jari
atau pergelangan tangan.
4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan
dorsum pedis; kaki gantung (foot drop); kelemahan otot peroneus.
5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki; claw toes; paralisis otot
intristik kaki dan kolaps arkus pedis.
6. N. fasialis: lagoftalmus (cabang temporal dan zigomatik); kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal,
mandibular dan servikal).
7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.3
Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang:
a. Mata : Iritis, Iridosiklitis, gangguan visus sampai
kebutaan
b. Hidung : Epistaksis, hidung pelana.
c. Tulang dan sendi : Absorbsi, mutilasi, arthritis
d. Lidah : ulkus, nodus
e. Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi
f. Kelenjar Limfe : Limfadenitis
g. Rambut : Alopesia, Madarosis
h. Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal,
piolonefritis, nefritis interstisial.4 Diagnosis banding berbagai tipe
kusta tercantum pada tabel 2 dan 3.3
4. Pemeriksaan Fungsi Saraf Otonom
9
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom
perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat
pula tidak, yang dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan).
Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan
dengan bagian tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di
daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita
yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar menentukannya.
Kekeringan ini terjadi karena adanya infiltrasi granuloma ke dalam
adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel
rambut3,6.
Tabel 2. Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta
Multibasiler (MB)
SIFAT LEPROMATOSA
(LL)
BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)
MID BORDERLINE
(BB )
Lesi
-Bentuk Makula, Infiltrat
difus, papul, nodus
Makula, Plakat, papul Plakat, Dome-shaped
(kubah), Punched-
out
-Jumlah Tak terhitung,
praktis tidak ada
kulit yang sehat
Sukar dihitung, masih
ada kulit sehat
Dapat dihitung, kulit
sehat jelas ada
-Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
-Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
-Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas
-Anestesia Tak ada sampai tak
jelas
Tak jelas Lebih jelas
BTA
-Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
10
-Sekret
hidung
Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif
Tabel 3. Gambaran klinis, Bakteriologik, Imunologik Kusta
Pausibasiler (PB)
SIFAT TUBERKULOID
(TT )
BORDERLINE
TUBERCULOID (BT)
INDETERMINATE
(I)
Lesi
-Bentuk Makula saja; makula
dibatasi infiltrat
Makula dibatasi
infiltrat; infiltrat saja
Hanya makula
-Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu
dengan satelit
Satu atau beberapa
-Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
-Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
-Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
-Anesthesia Jelas Jelas Tak ada sampai tak
jelas
BTA
-Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
Tes lepromin Positif kuat ( 3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negatif
I. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendukung diagnosis kusta, antara lain:
1. Pemeriksaan bakterioskopik (slit skin smear)
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA, antara lain dengan
Ziehl Nielsen. Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang
11
diharapkan paling padat oleh kuman, setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10
tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat yaitu kedua
cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti
yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan kedua cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut,
oleh karena atas dasar pengalaman tempat tersebut diharapkan
mengandung kuman paling banyak.3
M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented),
dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan
fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA
tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley.3
Tabel 3.1 Indeks Bakteri
Indeks Bakteri Keterangan
0 Tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
(LP).
1+ 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100
BTA; IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya karena untuk mendapatkan 100
12
Rumus: IM= Jumlah solid/ (Jumlah solid + Non solid) x 100%
BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan; mulai IB 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan.3
2. Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan
non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
(subepidermal clear zone), yaitu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman.
Pada tipe borderline tercampur unsur-unsur tersebut.3
3. Pemeriksaan Serologis
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti-
phenolic glycolipid-1 dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diganosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik yang tidak
jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis.
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta ialah: Uji MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), Uji ELISA (Enzyme
Linked Imnnuno-sorbent Assay), ML dipstick test, ML flow test.3
4. Tes Lepromin
Meskipun tidak diagnostik pada paparan atau infeksi M. leprae, tes
ini menilai kemampuan pasien untuk meningkatkan respon granulomatosa
terhadap suntikan kulit terhadap M. leprae yang mati. Pasien kusta
tuberkuloid atau borderine lepromatous biasanya memiliki respon positif
(> 5 mm). Pasien kusta lepromatosa biasanya tidak ada respon.10
J. DIAGNOSIS BANDING
Pada lesi kulit:
1. Makula hipopigmentasi: leukoderma, vitiligo, tinea versikolor,
pitiriasis alba, morfea, dan parut.11
13
2. Lesi papular sampai nodular: pada dermis: dermatofibroma, eruptif
histiositoma, limfoma, sarkoidosis, dan granuloma lainnya; eruptif dan
inflamasi subkutan nodul berulang: ENL, erythema nodusum,
erythema induratum, vaskulitis; Nodul subkutan terpalpasi tapi tidak
telihat pada Latapi lepromatosis mirip lipoma.1
3. Plak eritem: tinea korporis, lupus vulgaris, lupus eritematosus,
granuloma anulare, sifilis sekunder, sarkoides, leukemia kutis, dan
mikosis fungoides.11
4. Ulkus: ulkus diabetik, ulkus kalosum, frambusia, penyakit Raynauld
dan Buerger.
Gangguan saraf:
Neuropati perifer: neuropati diabetik, amiloidosis saraf, trauma.11
K. KOMPLIKASI
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik.11 Reaksi kusta dapat terjadi sebelum,
selama, atau sesudah pengobatan. Reaksi ini dapat merugikan penderita dan
menimbulkan kecacatan jika tidak segera diatasi. Reaksi kusta terdiri dari:
Tabel 4. Reaksi Kusta3,11
Keterangan Reaksi tipe 1/Delayed
hipersensitivity
reaction/Upgrading,
reversal, atau downgrading
reactions
Reaksi tipe 2/Eritema
Nodusum Leprosum
(ENL)
Terjadi akibat perubahan
keseimbangan antar imunitas
seluler dan basil maka hasil
akhir reaksi tersebut dapat
terjadi upgrading/reversal
apabila menuju ke arah
Respon imun humoral,
berupa fenomena
kompleks imun akibat
reaksi antara antigen M.
leprae + antibodi (IgM,
IgG) + komplemen
14
tuberkuloid (terjadi
peningkatan SIS) atau down
grading apabila menuju ke
bentuk lepromatosa (terjadi
penurunan SIS)
kompleks imun
Keadaan umum Umumnya baik, demam
ringan (sub febris) atau tanpa
demam
Ringan sampai berat
disertai kelemahan
umum dan demam tinggi
Peradangan di kulit Bercak kulit lama menjadi
cenderung lebih meradang
(merah), dapat timbul bercak
baru
Timbul nodul
kemerahan, lunak dan
nyeri tekan. Biasanya
pada lengan dan tungkai.
Nodul dapat pecah
(ulserasi)
Neuritis Sering terjadi, berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
Dapat terjadi
Peradangan pada
organ lain
Hampir tidak ada Terjadi pada mata,
kelenjar getah bening,
sendi, ginjal, testis
Waktu timbulnya Biasanya dalam 6 bulan
pertama pengobatan
Biasanya setelah
mendapat-kan
pengobatan yang lama,
umumnya > 6 bulan
Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta PB
maupun MB
Hanya pada kusta tipe
MB
Reaksi ini dapat merugikan penderita dan menimbulkan kecacatan jika
tidak segera diatasi. 3
1. Cacat pada tangan dan kaki
15
a. Tingkat 0: Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat
b. Tingkat 1: Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat
c. Tingkat 2: Terdapat kerusakan
atau deformitas
2. Cacat pada mata
a. Tingkat 0: Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta ; tidak
ada gannguan penglihatan
b. Tingkat 1: Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada
gangguan penglihatan
Tingkat 2: Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter.3
L. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Pengobatan kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah
DDS (Diamino difenil sulfon) atau Dapson, kemudian Klofazimin,
dan Rifampisin. Untuk mencegah resistensi, mulai tahun 1997 WHO
menetapkan pengobatan menggunakan MDT (Multi Drug Treatment).
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati
resistensi, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat
pemutusan mata rantai penularan.3
Penatalaksanaan kusta adalah MDT, standar WHO (1997):
a. Tipe MB (BB, BL, LL atau semua tipe dengan BTA positif):
1) Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan
2) DDS 100 mg/hari
3) Klofazimin 300 mg tiap bulan, dalam pengawasan,
diteruskan 50 mg sehari atau 100 mg selama sehari atau
3 kali 100 mg setiap minggu.11
16
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam
24 sampai 36 bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif.
Apabila bakterioskopis masih positif, harus dilanjutkan sampai
bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara
bakterioskopis minimal setiap 3 bulan. Jadi besar kemungkinan
pengobatan kusta MB ini hanya selama 2 sampai 3 tahun.3
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From
Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa
pengobatan) secara klinis dan bakteriologis minimal setiap
tahun selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negatif dan
klinis tidak ada keaktifan baru, maka dinyatakan bebas dari
pengamatan dan disebut Release From Control (RFC). Saat ini
apabila secara klinis sudah terjadi penyembuhan, pemberian
obat dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.3
b. Tipe PB (I, TT, BT, dengan BTA negatif):
1) Rifampisin 600 mg setiap bulan
2) DDS 100 mg/hari.11
Keduanya diberikan dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai
9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama pengobatan,
pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan
minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatakan RFC.3
Berdasarkan klasifikasi WHO (1997) untuk kepentingan
pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu PB dengan
lesi tunggal, PB dengan lesi 2-5 buah, dan penderita MB dengan lesi
>5 buah. Sebagai standar pengobatan, WHO Expert Committee pada
tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus MB
menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan untuk kasus PB
dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. Bagi kasus
17
PB dengan lesi tunggal pengobatan adalah Rifampisin 600 mg
ditambah dengan Ofloksasin 400 mg, dan Minosiklin 100 mg (ROM)
dosis tunggal.3
Regimen obat baru yang disarankan untuk kusta pada tahun 2009
oleh "WHO Report of the Global Programme Managers’ Meeting on
Leprosy Control Strategy" adalah sebagai berikut: Untuk pasien MB
yang masih peka rifampisin, regimen bulanan sepenuhnya diawasi
mencakup: Rifapentin 900 mg (atau rifampicin 600 mg),
moksifloksasin 400 mg, dan klaritromisin 1000 mg (atau minocycline
200 mg) selama 12 bulan. Untuk pasien yang resisten terhadap
rifampisin, fase intensif dapat mencakup moksifloksasin 400 mg,
klofazimin 50 mg, klaritromisin 500 mg, dan minocycline 100 mg per
hari diawasi selama enam bulan. Fase lanjutan terdiri moksifloksasin
400 mg, klaritromisin 1000 mg, dan minocycline 200 mg sebulan
sekali, diawasi selama 18 bulan.12
2. Rawat inap
a. Bila disertai reaksi reversal atau ENL berat
b. Pasien dengan keadaan umum buruk (ulkus, gangren)
c. Pasien dengan rencana tindakan operatif.11
3. Non medikamentosa
a. Rehabilitasi medik, karya, sosial
b. Penyuluhan kepada pasien, keluarga, dan masyarakat.11
J. PROGNOSIS
Pengobatan kusta menjadi lebih sederhana dengan adanya MDT, serta
prognosisnya menjadi lebih baik. Namun, kesembuhan kusta juga bergantung
pada luas lesi dan stadium penyakit serta kepatuhan pasien pada pengobatan.
Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis menjadi kurang baik.2
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Rea TH dan Modlin RL. Leprosy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick’s dermatology in
general medicine 7th ed. New York: Mc Graw Hill; 2008. h. 1786-1796.
2. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit edisi 2. Jakarta: EGC;
2005. h. 154-155.
3. Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoedalli ES, Menaldi SL. Kusta. Dalam: Djuanda
A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi keenam.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. h. 296-299.
4. Amiruddin MD. Penyakit kusta. Dalam: Harahap M, editor. Ilmu penyakit
kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates; 2000. h. 260-271.
5. Smith WCS dan Saunderson P. Leprosy. Clinical Evidence. 2010;0915.
6. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi Ketiga Jilid Dua. Jakarta: Media Aesculapius FK UI. Hlm:
65-72.
7. Wolff K dan Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical
dermatology 6th edition. New York: Mc Graw Hill; 2009. h. 665-671.
8. Bhat RM dan Prakash C. Leprosy: an overview of pathophysiology.
Interdisciplinary Perspectives on Infectious Disease. 2012;181089.
9. Rosandi R, Radityo, Onmaya V, Menaldi SL, Daili ESS. 2012. Morbus
Hansen Tipe Borderline Tuberculoid dengan Reaksi Reversal dan
Tuberkulosis Paru. Kumpulan Makalah Lengkap PIT XII Perdoski. Cetakan I.
Surakarta: Rajawali Offset. Hlm: 528-31.
10. Smith DC. Leprosy Workup. Dalam: Cuncha B, editor. Medscape reference,
drug, disease, & procedures; 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/220455-workup#showall (diakses
tanggal 22 Januari 2014).
11. PERDOSKI. Kusta. Dalam: Sugito TL, Hakim L, Suseno LSU, Suriadiredja
ASD, Toruan TL, Alam TN. Panduan pelayanan penyakit medis dokter
19
spesialis dan kulit kelamin perhimpunan dokter spesialis kulit dan kelamin
indonesia (PERDOSKI). Jakarta: PP PERDOSKI; 2011. h. 88-91.
12. Rao PN dan Jain S. Newer management options in leprosy. Indian journal of
dermatology. 2013;58(1): 6-11.
20
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
1. IDENTITAS
Nama : Tn. J
Umur : 70 th
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Tegalrejo RT 15/ RW 8, Jatiyoso, Karanganyar
Pekerjaan : Petani
Tanggal Periksa : 18 Januri 2014
No. RM : 01238847
2. KELUHAN UTAMA
Pasien mengeluh jari-jarinya memendek.
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke RSDM mengeluh jari-jari tangan kirinya
memendek sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan tiba-tiba tanpa ada
luka sebelumnya. Pasien tidak merasa nyeri maupun gatal pada jari-
jarinya. Pasien juga tidak demam. Jari-jari memendek mulanya sejak 1
tahun lalu pada tangan kanannya.
Selain itu, sejak 3 bulan yang lalu pasien juga mengeluh mata
terasa silau dan berair. Pasien merasa silau terutama jika terkena sinar
matahari. Pasien tidak merasa gatal atau lengket pada kedua mata. Saat
memejamkan mata, kedua mata masih bisa menutup rapat.
Sejak 5 tahun yang lalu pasien juga mengeluh timbul bercak-
bercak merah di tubuhnya. Bercak merah bermula pada kaki sebelah kiri,
semakin lama semakin banyak hingga hampir di seluruh tubuh. Pasien
merasa nyeri dan kebas pada bagian tubuh yang terdapat bercak merah,
tetapi pasien tidak merasakan gatal. Bercak timbul tanpa dicetuskan oleh
21
makanan atau obat. Pasien juga merasakan kesemutan pada kaki dan
tangannya.
Pasien pernah memeriksakan diri ke Puskesmas 5 tahun yang lalu,
didiagnosis sakit gula. Namun, tidak rutin kontrol dan minum obat. Pasien
tidak pernah mengetahui atau mendapat pengobatan kusta sebelumnya.
Tidak ada keluarga atau tetangga yang sakit serupa.
Kurang lebih 10 hari yang lalu pasien pernah mondok di RSUD
Karanganyar karena luka pada jari jempol dan telunjuk kaki kirinya.
Menurut keluarga pasien didiagnosis sakit gula sehingga jari jempol dan
telunjuk kaki kirinya harus diamputasi.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat sakit serupa sebelumnya : disangkal
R. alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat atopi (asma, rhinitis) : disangkal
Riwayat sakit gula : (+) sejak 5 tahun yang lalu, tidak
terkontrol
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
5. RIWAYAT KELUARGA
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat atopi (asma, rhinitis) : disangkal
Riwayat alergi obat dan makanan : disangkal
Riwayat sakit gula : disangkal
Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
RIWAYAT KEBIASAAN
Sehari-hari pasien makan tiga kali sehari dengan nasi dan sayur serta
lauk pauk. Pasien tidak pernah mengalami gatal ataupun kelainan lain
setelah mengkonsumsi makanan tertentu.
22
RIWAYAT EKONOMI
Pasien adalah seorang laki-laki yang bekerja sebagai petani. Saat ini
pasien menggunakan fasilitas pembayaran BPJS PBI.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan umum : Baik, compos mentis, gizi kesan cukup
Vital Sign : T : 120/80 mmHg Rr : 20 x/menit
N : 88 x/menit T : 36,7 C
Kepala : dalam batas normal
Leher : penebalan n. auricularis magnus (-)
Mata : madarosis (+)
Wajah : fascies leonina (-), hidung pelana (+)
Telinga : infiltrat (+)
Thorax : dalam batas normal
Abdomen : dalam batas normal
Ekstremitas : dalam batas normal
2. Status Dermatologis
Regio fascialis : madarosis, hidung pelana, infiltrat pada telinga, plakat
dan nodul eritem multipel diskret
23
Regio ekstremitas superior dextra et sinistra, Regio trunkus superior et
inferior: plakat eritem multipel diskret, batas tegas, hipoestesi; atrofi tenar (+/+),
atrofi hipotenar (+/+), absorbsi jari-jari tangan, sausagge appereance pada jari-jari
tangan; ginekomastia (+/+)
24
Regio ekstremitas inferior dextra et sinistra: plakat eritem multipel diskret,
batas tegas, hipoestesi, Amputie digiti I dan II pedis sinistra
3. Status Neurologis
- Pemeriksaan nervus kranialis : dalam batas normal, paresis (-)
- Kekuatan motorik :
- Refleks fisiologis:
- Pemeriksaan saraf perifer:
25
5 555 5 555
5 555 5 555
+ 2+ 2
+ 2+ 2
o Nervus aurikularis magnus: tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
o Nervus ulnaris : tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
o Nervus poplitea lateralis : tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
o Nervus tibialis posterior : tidak ada pembesaran, tidak ada
nyeri
- Pemeriksaan sensorik: terdapat hipestesi pada lesi di seluruh badan.
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan BTA :
- IB = +3
- IM = 0%
D. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea corporis
2. Eritema Nodusum
E. DIAGNOSIS
Morbus Hansen tipe multibasiler
F. PLAN
- Penyerahan ke puskesmas untuk terapi MDT MB
G. TERAPI
1. Medikamentosa
- Rifampisisn 600 mg/bulan
- DDS 100mg/hari
- Klofazimin 300 mg
2. Non Medikamentosa
26
Edukasi ke pasien dan keluarga tentang proses pengobatan dan penyakit.
Edukasi untuk rutin kontrol minum obat dan kontrol ke Puskesmas dan
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSDM.
H. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad cosmeticum : dubia ad malam
27
Recommended