Download pdf - tata busana

Transcript
Page 1: tata busana

KUALITAS TAHAN LUNTUR WARNA BATIK CAP

DI GRIYA BATIK LARISSA PEKALONGAN

SKRIPSI

Diajukan dalam Rangka Penyelesaian Studi Strata I

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh :

Nama : Antun Atikasari

NIM : 5444000054

Program Studi : PKK Konsentrasi Tata Busana S-1

Jurusan : Teknologi Jasa dan Produksi

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2005

Page 2: tata busana

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis dalam skripsi ini benar – benar hasil

karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian

ataupun seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi

ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Semarang, Maret 2006

Antun Atikasari

Page 3: tata busana

iii

SARI Antun Atikasari. 2006. Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan. Skripsi, Teknologi Jasa dan Produksi Busana, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang. Dosen Pembimbing I Dra. Uchiyah Achmad M.Pd, Dosen Pembimbing II Dra. Sri Endah Wahyuningsih M.Pd.

Pekalongan merupakan salah satu penghasil batik di Indonesia. Batik

sebagai bahan sandang sudah mulai membudaya di kalangan masyarakat. Ketahanan luntur warna batik sangat penting ditinjau dari kepentingan konsumen. Batik cap produksi Griya Batik Larissa banyak diminati konsumen karena harganya yang relatif lebih murah dan dimungkinkan ketahanan luntur warna yang tinggi. Berdasarkan latar belakang tersebut maka timbul permasalahan yaitu bagaimanakah kualitas ketahanan luntur warna batik cap di griya batik Larissa Pekalongan terhadap pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas tahan luntur warna batik cap terhadap pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan di griya batik Larissa Pekalongan. Sedangkan manfaat penelitian ini adalah memberi gambaran kepada masyarakat mengenai kualitas tahan luntur warna batik cap di griya batik Larissa Pekalongan.

Penelitian ini adalah eksperimen murni tentang tahan luntur warna batik cap dari bahan sutera, mori primisima dan shantung. Variabel penelitian berupa variabel tunggal yaitu kualitas tahan luntur warna batik cap. Data dikumpulkan melalui hasil pengujian laboratorium untuk mengukur tahan luntur warna terhadap pencucian dengan alat launderometer, tahan luntur warna terhadap keringat dengan American Association of Textile Chemists and Colourists (AATCC) perspiration tester, tahan luntur warna terhadap gosokan dengan alat crockmeter dan tahan luntur warna terhadap panas penyetrikaan dengan setrika listrik yang berpedoman pada standar pengujian dari Standar Industri Indonesia. Teknik untuk analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan uji Kruskall Wallis kemudian dilanjutkan dengan uji U Mann Whitney.

Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa kualitas tahan luntur warna batik cap terhadap pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan di griya batik Larissa mempunyai nilai baik. Hasil uji Kruskall Wallis pada tahan luntur warna batik cap terhadap pencucian diperoleh nilai χ2

hitung = 17 dengan p value (0,000 < 0,05) yang berarti ada perbedaan yang signifikan dari ketiga jenis kain, sedangkan penodaan warna terhadap kapas karena pencucian dari hasil uji Kruskall Wallis diperoleh nilai χ2

hitung = 17 dengan p value (0,000 < 0,05) yang berarti ada perbedaan yang signifikan dan hasil penodaan warna terhadap sutera diperoleh nilai χ2

hitung = 0,000 dengan p value (1,000 > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan dari ketiga jenis kain tersebut. Hasil analisis tahan luntur warna batik cap terhadap gosokan pada penodaan warna terhadap kapas kering menunjukkan χ2

hitung = 17 dengan p value (0,000 < 0,05) yang berarti ada perbedaan yang signifikan. Penodaan warna terhadap kapas basah karena gosokan

Page 4: tata busana

iv

menunjukkan χ2hitung = 17 dengan p value (0,000 < 0,05) yang berarti ada

perbedaan yang signifikan. Hasil uji Kruskall Wallis pada tahan luntur warna batik cap terhadap keringat diperoleh nilai χ2

hitung = 17 dengan p value (0,000 < 0,05) yang berarti ada perbedaan yang signifikan pada ketiga jenis kain tersebut. Penodaan warna terhadap kapas karena keringat pada uji Kruskall Wallis diperoleh nilai χ2

hitung = 9,955 dengan p value (0,007 < 0,05)yang berarti ada perbedaan yang signifikan dan hasil penodaan warna terhadap sutera menunjukkan χ2

hitung = 17 dengan p value (0,000 < 0,05) yang berarti ada perbedaan yang signifikan. Hasil analisis tahan luntur warna batik cap karena panas penyetrikaan menunjukkan χ2

hitung = 0,000 dengan p value (1,000 > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan pada perubahan warnanya. Hasil penodaan warna terhadap kapas kering menunjukkan χ2

hitung = 0,000 dengan p value (1,000 > 0,05) yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan pada ketiga jenis kain tersebut.

Simpulan dari penelitian ini adalah kualitas tahan luntur warna batik cap terhadap pencucian, keringat, gosokan dan panas penyetrikaan di griya batik Larissa Pekalongan termasuk dalam kategori baik. Saran dalam penelitian ini adalah : 1) Griya batik Larissa perlu meningkatkan kualitas produknya, 2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan variabel yang lain. Kata Kunci : Kualitas, tahan luntur warna, batik cap Larissa.

Page 5: tata busana

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

“ Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”. ( Al Insyirah : 6 )

“ Warna merupakan salah satu wujud ekspresi budaya umat manusia”.

( Euis Halisotan. H)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada :

1. Ibu dan Bapak tercinta.

2. Kakak – kakakku, Mas Imam,

Mas Agus, Mbak Ci’ dan

Mbak Ari.

3. Almamaterku.

Page 6: tata busana

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah- Nya

sehingga skripsi ini selesai sesuai yang diharapkan, serta tidak lepas mengucapkan

sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta

orang – orang yang berada di jalan-Nya.

Skripsi ini disusun sebagi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan pada

Program Studi Tata Busana Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas Teknik

Universitas Negeri Semarang.

Banyak sekali kesulitan serta hambatan sejak persiapan, penelitian dan

penyuisunan skripsi ini, namun hal tersebut dapat terselesaikan dan itu semua tak

lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini

disampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan izin untuk

mengadakan penelitian.

2. Dekan Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan

izin untuk mengadakan penelitian.

3. Ketua Jurusan Teknologi dan Produksi yang telah memberikan izin dan

kemudahan untuk mengadakan penelitian.

4. Dra. Uchiyah Achmad, M. Pd, Pembimbing I yang telah banyak meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan memberi petunjuk

dalam pelaksanaan penelitian sampai akhir penyusunan laporan.

Page 7: tata busana

vii

5. Dra. Sri Endah Wahyuningsih, M. Pd, Pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan

memberi petunjuk dalam pelaksanaan penelitian sampai akhir penyusunan

laporan.

6. Kepala Laboratorium Balai Besar Kerajinan dan batik Yogyakarta beserta

stafnya, yang telah membantu dalam pengujian laboratorium.

7. Drs. Eddy Wan, Pimpinan Griya Batik Larissa Pekalongan yang telah

memberikan kesempatan, kemudahan dan segala informasi yang dibutuhkan.

8. Semua pihak yang telah membantu baik secara moral maupun spriritual

dalam penyusunan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan kepada semua pihak yang telah

memberikan bantuan baik secara moral maupun spiritual sehingga skripsi ini

dapat selesai sesuai yang diharapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan

sumbangan dan manfaat kepada pembaca pada khususnya dan dunia ilmu

pengetahuan pada umumnya.

Semarang, Maret 2006

Peneliti

( Antun Atikasari )

Page 8: tata busana

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

PENGESAHAN KELULUSAN ii

PERNYATAAN iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN iv

KATA PENGANTAR v

SARI vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Permasalahan 4

C. Penegasan Istilah 4

D. Tujuan Penelitian 6

E. Manfaat Penelitian 6

F. Sistematika Skripsi 7

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kain Batik 9

B. Motif Kain Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan 13

C. Pembuatan Kain Batik Cap Pekalongan 21

Page 9: tata busana

x

1. Bahan dalam Pembatikan 22

2. Peralatan Batik Cap 36

3. Proses Pembuatan Batik Cap 37

D. Kualitas Tahan Luntur Warna 41

E. Kerangka Berfikir 47

BAB III METODE PENELITIAN

A. Populasi 49

B. Sampel 49

C. Teknik Pengambilan Sampel 49

D. Variabel Penelitian 51

E. Pendekatan Penelitian

1. Pendekatan Eksperimen 51

2. Desain Eksperimen 51

3. Waktu dan Tempat Penelitian 53

4. Tahapan-tahapan Eksperimen 53

F. Metode Pengumpulan Data

1. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian 54

2. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Gosokan 57

3. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat 59

4. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Panas Penyetrikaan 61

G. Validitas Eksperimen

1. Validitas Internal 64

2. Validitas Eksternal 64

H. Metode Analisis Data

1. Analisis Deskriptif 65

Page 10: tata busana

xi

2. Uji Kruskall Wallis 67

3. Uji Mann Whitney 67

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 68

1. Tinjauan Umum Griya Batik Larissa 68

2. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna Terhadap

Pencucian 69

3. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna Terhadap

Keringat 73

4. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna Terhadap

Panas Penyetrikaan 78

5. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna Terhadap

Gosokan 80

B. Pembahasan 84

C. Keterbatasan Penelitian 86

BAB V PENUTUP

A. Simpulan 87

B. Saran 88

DAFTAR PUSTAKA 89

LAMPIRAN 91

Page 11: tata busana

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Standar Penilaian Perubahan Warna Pada Standar Skala Abu-abu .........43

Tabel 2. Nilai Tahan Luntur Warna .......................................................................44

Tabel 3. Standar Penilaian Penodaan Warna Pada Standar Skala Penodaan.........45

Tabel 4. Evaluasi Tahan Luntur Warna .................................................................46

Tabel 5. Tabel Pengamatan ....................................................................................52

Tabel 6. Hasil Perubahan Warna karena Pencucian...............................................

Tabel 7. Hasil Uji Mann Whitney Data Perubahan Warna karena Pencucian ......

Tabel 8. Hasil Penodaan Warna Terhadap Kapas karena Pencucian.....................

Tabel 9. Hasil Uji Mann Whitney Data Penodaan Warna Terhadap Kapas Karena

Pencucian .................................................................................................

Tabel 10. Hasil Penodaan Warna Terhadap Rayon karena Pencucian ..................

Tabel 11. Hasil Perubahan Warna karena Keringat Asam.....................................

Tabel 12. Hasil Uji Mann Whitney Data Perubahan Warna Karena Keringat

Asam ......................................................................................................

Tabel 13. Hasil Penodaan Warna Terhadap Kapas Karena Keringat Asam..........

Tabel 14. Hasil Uji Mann Whitney Data Penodaan Warna Terhadap Kapas karena

Keringat Asam .........................................................................................

Tabel 15. Hasil Penodaan Warna Terhadap Rayon Karena Keringat Asam..........

Tabel 16. Hasil Uji Mann Whitney Data Penodaan Warna Terhadap Rayon karena

Keringat Asam .........................................................................................

Tabel 17. Hasil Perubahan Warna Karena Panas Penyetrikaan.............................

Tabel 18. Hasil Penodaan Warna Terhadap Kapas Kering Karena Panas

Penyetrikaan...........................................................................................

Page 12: tata busana

xiii

Tabel 19. Hasil Penodaan Warna Terhadap Kapas Kering Karena Gosokan ........

Tabel 20. Hasil Uji Mann Whitney Data Penodaan Warna Terhadap Kapas Kering

Karena Gosokan.......................................................................................

Tabel 21. Hasil Penodaan Warna Terhadap Kapas Basah Karena Gosokan .........

Tabel 22. Hasil Uji Mann Whitney Data Penodaan Warna Terhadap Kapas Basah

Karena Gosokan.......................................................................................

Page 13: tata busana

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Ragam Hias Semen ...........................................................................14

Gambar 2 Ragam Hias Buketan........................................................................14

Gambar 3 Ragam Hias Phoenix ( burung Hong ) .............................................15

Gambar 4 Ragam Hias Banji ( kehidupan abadi ) ............................................15

Gambar 5 Ragam Hias Arak – arakan ..............................................................16

Gambar 6 Ragam Hias Bridge ..........................................................................16

Gambar 7 Ragam Hias Kompeni ......................................................................16

Gambar 8 Ragam Hias Terang Bulan ...............................................................17

Gambar 9 Ragam Hias Jlamprang ....................................................................17

Gambar 10 Motif kawung ..................................................................................18

Gambar 11 Motif Sekar Jagad............................................................................19

Gambar 12 Flora ................................................................................................19

Gambar 13 Truntum...........................................................................................20

Gambar 14 Bentuk Morfologi Serat Sutera .......................................................25

Gambar 15 Kapas...............................................................................................27

Gambar 16 Shantung.........................................................................................32

Gambar 17 Skema Tahapan – tahapan Eksperimen...........................................53

Gambar 18 Bagan Analisis Data ........................................................................66

Gambar 19 Proses Pengecapan ..........................................................................

Gambar 20 Contoh Canting Cap........................................................................

Gambar 21 Proses Pewarnaan............................................................................

Gambar 22 Cara Lorodan...................................................................................

Gamabr 23 Cara Ngremuk .................................................................................

Page 14: tata busana

xv

Gambar 24 Launderometer ................................................................................

Gambar 25 AATCC Perspiration Tester ............................................................

Gambar 26 Crockmeter ......................................................................................

Gambar 27 Showroom Griya Batik Larissa .......................................................

Gambar 28 Kain Sutera dengan Merek Baochuta..............................................

Gambar 29 Kain Mori Primisima dengan merek Tari Kupu..............................

Gambar 30 Kain Shantung dengan merek Candi Mekar .................................

Page 15: tata busana

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Desain Penelitian...........................................................................................91

2. Sampel Kain Batik Cap.................................................................................109

3. Hasil Uji Pembakaran Kain Batik Cap..........................................................111

4. Laporan Hasil Uji Laboratorium Balai Besar Kerajinan dan Batik ..............112

5. Data Hasil penelitian .....................................................................................115

6. Hasil Uji Kruskall Wallis ..............................................................................116

7. Hasil Uji Mann Whitney ...............................................................................118

8. Hasil Crosstabulation ....................................................................................123

9. Foto Hasil Dokumentasi Proses Pembatikkan ..............................................126

10. Hasil Dokumentasi Foto Alat Uji Laboratorium.........................................129

11. Foto Hasil Dokumentasi Kain Batik Cap yang Belum Melalui Proses

Pembatikkan................................................................................................131

12. Surat Permohonan Izin Penelitian Fakultas Teknik ....................................133

13. Surat Selesai Penelitian Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta.......134

14. Surat Selesai Penelitian Griya Batik Larissa Pekalongan .........................135

Page 16: tata busana

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia mempunyai beraneka ragam budaya. Hampir di setiap

daerah mempunyai kebudayaan yang berbeda dengan daerah lain. Budaya itu

bisa berupa bahasa, tarian, upacara adat maupun pakaian adat. Pakaian adat

biasanya dibuat dari kain tradisional sesuai dengan daerahnya. Kain

tradisional yang terdapat di negara kita beraneka ragam al : songket, lurik,

tenun dan batik.

Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia, saat ini telah

berkembang, baik lokasi penyebaran, teknologi dan desainnya. Semula batik

hanya dikenal di lingkungan kraton di Jawa. Pada masa itu batik hanya dibuat

dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang digunakan berasal dari alam baik

tumbuh – tumbuhan maupun binatang ( Riyanto, dkk. 1997: 1 ). Batik di Jawa

berkembang sampai daerah – daerah lain seperti Banyumas, Tulungagung,

Wonogiri, Tasikmalaya dan Garut. Batik juga berkembang di pesisir utara

seperti Jakarta, Indramayu, Cirebon, Pekalongan, Lasem, Tuban, Gresik,

Sidoarjo, dan Madura. Teknologi yang digunakan semakin berkembang, hal

ini dapat dilihat dari peralatan membatik yang sudah canggih, sebagai contoh

canting yang menggunakan aliran listrik. Desain yang semakin beragam dari

motif dan warna yang digunakan juga beragam untuk batik daerah pesisir.

Page 17: tata busana

2

Pertumbuhan batik yang berlainan, menjadikan corak dan warna yang

beragam sesuai dengan asalnya, misalnya daerah pesisir seperti Cirebon,

Pekalongan, Lasem akan berbeda dengan daerah Solo atau Yogyakarta. Pada

umumnya batik daerah pesisir memiliki ciri warna yang beraneka ragam

seperti merah, biru, hijau dan lainnya. Sedangkan untuk daerah Solo atau

Yogyakarta menggunakan warna sogan, biru, hitam, kream dan putih.

Pekalongan sebagai salah satu daerah penghasil batik di Indonesia

mempunyai keunggulan dari daerah lain. Keunggulan para pembatik

Pekalongan adalah dari segi proses pembuatan batik atau teknik pembuatan

batik dan segi pewarnaan. Ditinjau dari segi teknik pembuatan batik, para

pembatik mempunyai pengalaman yang baik, dengan penggunaan beberapa

macam warna, maka harus bermain dengan lilin batik dan cara – cara

pewarnaan, seperti celupan tutup lilin dan colet tutup lilin dan sebagainya

(Sewan Susanto, 1973:328 ).

Dewasa ini penggunaan batik sebagai bahan sandang sudah mulai

membudaya dikalangan masyarakat. Kain batik yang semula hanya dipakai

untuk pakaian tradisional ( sebagai jarit, selendang ) kini banyak dipakai

dalam dunia fashion, mulai dari pakaian pesta, pakaian santai, sepatu, seragam

kerja atau sekolah, bahkan juga digunakan untuk perlengkapan rumah tangga (

seperti sprei, gordin, bantalan kursi, taplak dan sebagainya ).

Berkembangnya penggunaan batik tersebut dimungkinkan karena

semakin meningkatnya teknik pembuatan batik serta semakin beraneka ragam

disain batik yang dibuat. Hal tersebut juga mendukung pasaran batik menjadi

Page 18: tata busana

3

semakin luas, bahkan sampai ke luar negeri, sehingga sistem perdagangan

menjadi semakin rumit karena konsumennya semakin kritis. Sebagai bahan

sandang, konsumen menghendaki agar kualitas batik lebih ditingkatkan.

Kualitas atau mutu batik dapat dilihat dari ketahanan luntur warnanya.

Penelitian ini mengambil tempat di Griya Batik Larissa Pekalongan

karena disebabkan beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah batik Larissa

merupakan suatu usaha batik yang sudah berdiri cukup lama dibandingkan

dengan usaha batik lainnya. Faktor kedua adalah lokasi batik Larissa berada

dekat dengan rumah peneliti sehingga peneliti lebih mengetahui minat

konsumen terhadap batik Larissa.

Menurut pengamatan dari survey awal dapat dikemukakan bahwa di

Griya Batik Larissa Pekalongan batiknya banyak diminati masyarakat,

khususnya masyarakat pecinta batik. Hal ini kami peroleh dari bapak Agung

bagian produksi, komentar dari beberapa konsumen yaitu, karena di Griya

Batik Larissa mempunyai kualitas yang baik dari segi ketahanan luntur

warnanya. Selain dari pengamatan dilakukan studi pendahuluan terhadap

produk batik Larissa dengan cara manual. Hasil yang diperoleh dari pengujian

tahan luntur warna terhadap pencucian, gosokan dan panas penyetrikaan

adalah sedikit luntur akan tetapi tidak menodai kain lain. Produksi batik

Larissa selain ketahanan luntur warnanya yang bagus juga karena harganya

terjangkau. Griya batik ini memproduksi batik tulis, batik cap serta batik

printing. Batik tulis harganya lebih mahal sehingga hanya sedikit orang yang

mampu membeli. Keadaan ini mengakibatkan griya batik Larissa

Page 19: tata busana

4

memproduksi batik yang bersifat modern dengan menggunakan proses cap,

yang pengerjaannya lebih cepat dan harganya lebih murah.

B. Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah kualitas ketahanan luntur warna batik cap di griya batik

Larissa Pekalongan terhadap pencucian ?

2. Bagaimanakah kualitas ketahanan luntur warna batik cap di griya batik

Larissa Pekalongan terhadap gosokan ?

3. Bagaimanakah kualitas ketahanan luntur warna batik cap di griya batik

Larissa Pekalongan terhadap keringat ?

4. Bagaimanakah kualitas ketahanan luntur warna batik cap di griya batik

Larissa Pekalongan terhadap panas penyetrikaan ?

C. Penegasan Istilah

Untuk menghindari perbedaan – perbedaan penafsiran dalam judul dari

penelitian ini, serta untuk membatasi ruang lingkup studi maka perlu adanya

penegasan istilah. Adapun istilah – istilah yang perlu ditegaskan adalah

sebagai berikut :

1. Kualitas

Kualitas merupakan tingkat baik buruknya sesuatu atau mutu (

Depdiknas, 1996 : 533 ). Kualitas sama pengertiannya dengan mutu yaitu

Page 20: tata busana

5

sesuatu yang dibutuhkan oleh pembuatnya dan dibutuhkan oleh para pembeli

atau para konsumen.

2. Tahan Luntur Warna

Tahan luntur dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah tidak dapat

luntur. Sedangkan warna adalah corak rupa seperti merah, putih, hijau, dan

sebagainya. Menurut Nanie Asri dalam Duwi Susanti ( 2005 : 19 ), ketahanan

luntur warna adalah perubahan warna karena suatu sebab sehingga gradiasi

warnanya berubah atau luntur. Ketahanan luntur warna mengarah pada

kemampuan dari warna untuk tetap stabil dan tidak berubah.

Ketahanan luntur warna dibedakan dalam beberapa macam yaitu

ketahanan luntur warna terhadap pencucian, ketahanan luntur warna terhadap

cahaya, ketahanan luntur warna terhadap gosokan, ketahanan luntur warna

terhadap keringat, ketahanan luntur warna terhadap obat pemutih ( chloor ),

ketahanan luntur warna terhadap sinar lampu karbon dan ketahanan luntur

warna terhadap panas penyetrikaan. Penilaian tahan luntur warna dilakukan

dengan melihat adanya perubahan warna asli sebagai tidak ada perubahan, ada

sedikit perubahan, cukup berubah dan berubah sama sekali (Wibowo

Moerdoko, 1973 : 345).

3. Batik Cap

Batik cap yaitu kain batik yang pengerjaannya dilakukan dengan cara

mencapkan lilin batik cair pada kain atau mori dengan alat cap berbentuk

stempel dari plat tembaga yang sekaligus memindahkan pola ragam hias.

Page 21: tata busana

6

4. Griya Batik Larissa Pekalongan

Griya Batik Larissa Pekalongan dalam penelitian ini adalah suatu

usaha batik cap yang masih berkembang sampai sekarang di kota Pekalongan.

Secara keseluruhan yang dimaksudkan judul penelitian “Kualitas Tahan

Luntur Warna Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan” adalah kualitas

tahan luntur warna batik cap terhadap pencucian, gosokan, keringat dan panas

penyetrikaan di Griya Batik Larissa Pekalongan.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Mengetahui kualitas batik cap dilihat dari tahan luntur warna terhadap

pencucian di griya batik Larissa Pekalongan.

2. Mengetahui kualitas batik cap dilihat dari tahan luntur warna terhadap

gosokan di griya batik Larissa Pekalongan.

3. Mengetahui kualitas batik cap dilihat dari tahan luntur warna terhadap

keringat di griya batik Larissa Pekalongan.

4. Mengetahui kualitas batik cap dilihat dari tahan luntur warna terhadap

panas penyetrikaan di griya batik Larissa Pekalongan.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberi masukan ide atau gagasan bagi Griya Batik Larissa Pekalongan

untuk menunjukkan kualitas tahan luntur warna pada produknya.

Page 22: tata busana

7

2. Memberi gambaran dan informasi kepada masyarakat mengenai kualitas

tahan luntur warna batik cap di Griya Batik Larissa Pekalongan.

3. Sebagai informasi untuk penelitian yang lebih relevan.

F. Sistematika Skripsi

Sistematika skripsi terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian pendahuluan,

bagian isi dan bagian akhir skripsi.

1. Bagian Pendahuluan

Bagian ini berisi tentang ; halaman judul, abstrak, halaman

pengesahan, halaman moto dan persembahan, kata pengantar, daftar isi,

daftar tabel, daftar gambar dan daftar lampiran.

2. Bagian Isi

Bagian isi terdiri dari lima bab, yaitu : Bab I pendahuluan, Bab II

landasan teori, Bab III metodologi penelitian, Bab IV hasil penelitian dan

pembahasan, Bab V penutup.

Bab I : Pendahuluan, berisi tentang : latar belakang masalah,

permasalahan, penegasan istilah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian dan sistematika skripsi.

Bab II : Landasan Teori, bab ini memuat tentang pengertian kain batik,

motif kain batik di griya batik Larissa, kualitas tahan luntur

warna, pembuatan kain batik di griya batik Larissa dan

kerangka berfikir.

Bab III : Metode Penelitian, metode penelitian dalam skripsi ini berisi

tentang populasi, sampel, variabel penelitian, desain

Page 23: tata busana

8

eksperimen, metode pengumpulan data dan metode analisis

data.

Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi tentang hasil

penelitian, pembahasan penelitian dan keterbatasan penelitian.

Bab V : Penutup, bab ini berisi kesimpulan dan saran.

3. Bagian Akhir

Bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran – lampiran.

Page 24: tata busana

9

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini dikemukakan mengenai teori – teori tentang pengertian kain

batik, motif kain batik cap di griya batik Larissa Pekalongan, pembuatan kain

batik cap Pekalongan, ketahanan luntur warna dan kerangka berfikir.

A. Pengertian Kain Batik

Nian S. Djoemena ( 1990 : 1 ) berpendapat “bahwa membatik sama

dengan melukis diatas sehelai kain putih. Sebagai alat melukis dipakai canting

dan sebagai bahan melukis dipakai cairan malam”.

Menurut Konsensus Nasional 12 maret 1996, “ Batik adalah karya seni rupa pada kain, dengan pewarnaan rintang, yang menggunakan lilin batik sebagai perintang warna”. Menurut Konsensus tersebut dapat diartikan bahwa yang membedakan batik dengan tekstil pada umumnya adalah proses pembuatannya ( Riyanto, dkk.1997:4 ).

Dari pendapat diatas dapat dikemukakan bahwa batik adalah suatu

karya seni pada sehelai kain dengan berbagai corak dan warna yang dibuat

dengan alat yang berupa canting dengan menggunakan lilin batik atau malam

sebagai perintang warnanya kemudian dicelupkan pada zat warna.

Seni batik dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain :

1. Perkembangannya

a. Batik tradisional

b. Batik modern

c. Batik lukis

Page 25: tata busana

10

2. Ragam hias dan tata warnanya

a. Batik Vorstenlanden

b. Batik Pesisir

3. Proses pembatikkan

a. Batik tulis

b. Batik cap ( Nian S. Djoemena, 1990 : 2 ).

Dalam perkembangannya, batik digolongkan menjadi 3 macam yaitu :

1. Batik Tradisional

Batik tradisional adalah batik yang motifnya sudah ada sejak jaman

dahulu dan susunan isen batik tradisional umumnya selalu berulang dan

mempunyai sifat tetap. Batik tradisional susunan motifnya terikat oleh suatu

ikatan tertentu dengan isen – isen tertentu. Pembuatan kain batik tradisional

dapat dilakukan dengan dua macam cara yaitu batik tulis dan batik cap. Kain

batik tradisional umumnya memiliki warna – warna khusus sebagai warisan

nenek moyang yang turun temurun. Umumnya motif pada kain batik

tradisional diberi nama dan mempunyai arti khusus yang berhubungan dengan

kepercayaan masyarakat setempat, kapan digunakan dan siapa saja yang

menggunakannya tanpa mengurangi segi keindahan dari kain batik tersebut.

2. Batik Modern

Batik modern ialah batik yang motifnya bebas ( corak dan isen tidak

selalu tetap dan tidak ada yang diulang). Jenis isen batik modern sangat

banyak sehingga sukar untuk membuat patokan – patokan seperti batik

Page 26: tata busana

11

tradisional. Batik modern memiliki aturan yang lebih bebas dengan pewarnaan

yang tak terbatas.

3. Batik Lukisan

Batik lukisan atau kontemporer adalah batik yang motifnya dibuat

dengan lilin batik yang dilakukan secara spontan, biasanya dilakukan tanpa

pola bagi pelukis – pelukis yang telah mahir dan dibuat pola kerangka atau

coretan bagi pelukis yang belum mahir atau kurang berpengalaman. Variasi

dan penyempurnaan batik tulis atau digabung dengan batik cap. Hasil batik

lukis biasanya untuk keperluan – keperluan dekorasi sehingga pekerjaan

membatik lukis tidak perlu dikerjakan pada kedua belah muka kain, melainkan

hanya sebelah muka saja.

Riyanto,dkk (1997 : 8) berpendapat bahwa menurut sifat ragam hias

dan komposisi pewarnaan batik, batik dibagi menjadi dua kelompok yaitu

batik vorstenlanden dan pesisir.

1. Batik Vorstenlanden dari daerah Surakarta dan Yogyakarta, yang ciri – ciri ragam hiasnya bersifat simbolis dengan latar belakang kebudayaan Hindu – Jawa. Komposisi warna terdiri dari sogan, indigo ( biru ), hitam dan putih.

2. Batik pesisir adalah semua batik yang dihasilkan atau dibuat oleh daerah – daerah di luar Surakarta dan Yogyakarta, memiliki ciri ragam hias bersifat naturalistis dengan latar belakang pengaruh dari berbagai budaya, termasuk budaya asing, komposisi warna beraneka ragam.

Page 27: tata busana

12

Menurut Murtihadi dan Mukminatun ( 1979 : 55 ) bahwa proses

membatik dibedakan menjadi dua yaitu batik tulis dan dan batik cap :

1. Batik tulis

Batik tulis yaitu kain batik yang proses pengerjaannya menggunakan alat

canting untuk memindahkan lilin cair pada permukaan kain guna menutupi

bagian tertentu yang dikehendaki agar tidak terkena zat warna.

2. Batik cap

Batik cap yaitu kain batik yang pengerjaannya dilakukan dengan cara

mencapkan lilin batik cair pada kain atau mori dengan alat cap berbentuk

stempel dari plat tembaga yang sekaligus memindahkan pola ragam hias.

Batik Pekalongan termasuk batik daerah pesisir yang menggunakan warna

– warna yang beraneka – ragam. Batik Larissa di Pekalongan memproduksi

batik tradisional, modern dan lukis. Proses pembuatannya menggunakan

sistem tulis, cap dan printing. Pembuatan kain batik di griya batik Larissa pada

awalnya hanya menggunakan sistem tulis. Akibat permintaan konsumen yang

meningkat digunakan cap untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Penemuan batik cap berpengaruh positif pada efisiensi proses produksi.

Sebatang cap merupakan himpunan ragam hias yang terdiri atas garis dan titik

serta bidang lelehan malam. Pembuatan ragam hias itu memakan waktu relatif

lama apabila dilakukan dengan teknik tulis. Cap berfungsi untuk

memperpendek jangka waktu penyelesaian ragam hias batik.

Page 28: tata busana

13

B. Motif Kain Batik Cap di Griya Batik Larissa Pekalongan

Motif batik adalah pola atau corak pada kain batik (Depdiknas, 1994 :

666). Motif pada kain batik sangat berbeda dengan motif – motif pada kain

lainnya, sebab kain batik memiliki motif – motif yang khusus seperti motif

truntum, sekar jagad, kawung dan sebagainya.. Motif yang merupakan ragam

hias pada kain batik ini merupakan warisan turun temurun , pada umumnya

diberi nama dan mempunyai arti khusus.

Motif batik tradisional, seperti parangrusak, parangkusuma, sidomukti,

lurik dan lain sebagainya, semula dibuat dengan canting. Akibat permintaan

konsumen yang meningkat digunakan cap untuk memenuhi kebutuhan

tersebut. Dalam perkembangan berikutnya motif batik juga mengalami

kemajuan. Hal ini juga karena permintaan konsumen, baik dari segi jumlah

maupun ragam motif itu sendiri. Motif – motif kreasi baru yang berkembang

dan diterapkan dalam batik cap ini antara lain motif tumbuhan dan motif

hewan serta motif lain yang sesuai dengan permintaan konsumen.

Beberapa motif batik Pekalongan yang klasik atau tua yaitu motif

semen, motif ini hampir sama dengan motif – motif semen dari daerah Solo

dan Yogyakarta yang terdapat ornamen bentuk tumbuhan dan garuda. Suatu

perbedaan yang nyata ialah bahwa pada kain klasik ini hampir tidak ada.

Cecek, pengisian motif berupa garis – garis.

Page 29: tata busana

14

Gambar 1. Ragam Hias Semen

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

Nian S. Djoemena ( 1990 : 59 ) berpendapat bahwa menurut gaya dan

selera, serta dilihat dari segi ragam hias dan tata warnanya, batik Pekalongan

dibagi menjadi 3 golongan :

1. Batik Encim

Batik encim diproduksi oleh masyarakat keturunan Cina dan digolongkan

menjadi tiga jenis ragam hias :

a. Ragam hias buketan, memiliki tata warna famille rose, famille verte

dan sebagainya.

Gambar 2. Ragam hias buketan

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

Page 30: tata busana

15

b. Ragam hias simbolis kebudayaan Cina, bentuk motifnya antara lain

adalah burung hong ( phoenix ), banji ( kehidupan abadi ), naga

(kesiagaan), dan sebagainya.

Gambar 3. Ragam Hias Phoenix ( burung hong )

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

Gambar 4. Ragam Hias Banji ( kehidupan abadi )

(Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

c. Ragam hias yang bercorak lukisan, contohnya adalah motif seperti

arakan pengantin Cina.

Page 31: tata busana

16

Gambar 5. Ragam Hias Arak – arakan

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

2. Batik yang bergaya dan berselerakan Belanda, batik ini ragam hiasnya

antara lain adalah ragam hias kartu bridge dan ragam bias kompeni.

Gambar 6. Ragam Hias Kartu Bridge

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

Gambar 7. Ragam Hias Kompeni

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

Page 32: tata busana

17

3. Batik Pribumi, batik ini bergaya pribumi dengan warna yang cerah dan

meriah.

Gambar 8. Ragam Hias Terang Bulan

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

Selain ragam hias diatas, yang terkenal dan khas daerah Pekalongan adalah

motif Jlamprang yang asal mula idenya dari Arab. Motif Jlamprang adalah

motif geometris karena orang Arab pada umumnya tidak mau menggunakan

ornamen berbentuk barang hidup dan lebih suka menggunakan ragam hias

yang berbentuk geometris.sehingga muncullah motif geometris yang diberi

nama Jlamprang ( Sewan Susanto, 1973 : 326 ).

Gambar 9. Ragam Hias Jlamprang

( Sumber : Nian S. Djoemena 1990 )

Page 33: tata busana

18

Motif – motif batik cap yang digunakan dan diterapkan di griya batik

Larissa adalah motif – motif yang unsur idenya dari tumbuhan dan keadaan

alam sekitar serta pengembangan dari motif tradisional yang sudah ada. Griya

batik Larissa mempunyai stempel cap dengan berbagai model ragam hias

mencapai lima ratus buah.

Berikut ini contoh motif – motif batik cap yang telah diproduksi :

1. Motif Kawung

Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat ( eling, bahasa

Jawa ) akan asal – usulnya. Ide unsur visual yang terdapat pada motif batik

kawung tersebut adalah motif kawung tradisional yang sudah dikembangkan

dan diberi sentuhan isen – isen berupa titik dan garis. Akhirnya terbentuk

motif kawung dengan unsur garis dan titik – titik kecil yang terarah.

Penggunaan warna sogan atau coklat memberikan nuansa tradisional.

Gambar 10. Motif Kawung

( Dokumentasi Antun Atikasari 2005 )

2. Motif Sekar Jagad

Motif ini melambangkan keindahan dan kedamaian. Berasal dari kata

sekar ( bahasa Jawa ) yang artinya bunga dan jagad adalah dunia.Unsur –

Page 34: tata busana

19

unsur yang terdapat pada motif sekar jagad adalah gabungan atau komposisi

bentuk – bentuk ornamen geometris yang disusun sedemikian rupa sehingga

terbentuk motif yang menarik. Pemilihan warna biru tua yang dominan dan

sedikit warna kuning sebagai aksennya memberikan nuansa yang tradisional.

Gambar 11. Motif Sekar Jagad

( Dokumentasi Antun Atikasari 2005 )

3. Motif Flora

Motif ini adalah bentuk stilasi tumbuhan yang penyusunannya diatur

sedemikian rupa sehingga tercipta motif yang menarik . Motif ini memberi

nuansa batik pesisiran dengan adanya warna cerah yang mendominasi.

Gambar 12. Motif Flora

( Dokumentasi Antun Atikasari 2005 )

Page 35: tata busana

20

4. Motif Truntum

Motif ini merupakan motif truntum tradisional dengan hiasan pada tepi

kain. Motif ini berasal dari kata tumaruntum yang berarti menuntun, atau juga

sering dikaitkan dengan kata tuntum yang berarti tumbuh kembali. Kain yang

didominasi warna biru ini menjadikan motif ini bernuansa batik pesisiran.

Gambar 13. Motif Truntum

( Dokumentasi Antun Atikasari )

Ciri yang menonjol pada batik Pekalongan adalah ragam hiasnya

senantiasa silih berganti, dinamis dan mengikuti perkembangan pasar

(Hasanudin, 2001 : 161). Masyarakat daerah Pekalongan kurang

memperhatikan karya – karya seni rupa secara wajar dan lebih cenderung

kepada dagang. Perubahan dan penciptaan motif hanya semata – mata dilihat

dari segi perdagangan, yaitu mana yang cepat laku maka itulah yang

diproduksi.

Demikian juga, tata warna batik Pekalongan menunjukkan

kecenderungan dinamis, beraneka dan silih berganti (Hasanudin, 2001 : 161).

Batik Pekalongan umumnya mempunyai warna – warna cerah seperti merah,

kuning, hijau, biru, violet dan orange.

Page 36: tata busana

21

Adanya faktor – faktor antara lain diatas, maka motif batik di daerah

Pekalongan selalu berubah dan selalu meniru. Motif – motif baru diciptakan

oleh para pembuat canting cap batik atau orang – orang yang khusus

membuat motif untuk dijual pada pengusaha batik.

Batik cap mampu menembus segmen pasar sampai ke seluruh pelosok

tanah air. Berbagai kecenderungan pasar dipenuhi dengan membuat aneka cap

yang sesuai dengan tuntutan dan selera pembeli. Batik cap dapat

mengantisipasi dengan cepat perubahan pasar, sehingga mulai lepas dari

ikatan tradisi. Batik cap berhasil memasuki pasar manca atau ekspor yang

bervariasi.

Hasil produksi batik cap di griya batik Larissa Pekalongan sehari

mencapai 100 potong. Produksi ini meliputi berbagai jenis kain yaitu paris,

mori primisima, mori prima, katun dari ATBM, shantung dan sutera yang

dibuat dalam bentuk hem, kemeja, blus, kain panjang dan selendang, sarung

serta sarimbit. Penelitian ini mengambil sampel dari kain batik cap sutera,

mori primisima dan shantung karena batik cap dari tiga jenis kain ini lebih

banyak diminati oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan jumlah penjualan

pada batik cap sutera, mori primisima dan shantung lebih tinggi dibandingkan

dengan penjualan batik cap dari jenis kain katun ATBM, paris maupun mori

prima.

C. Pembuatan Kain Batik Cap Pekalongan

Griya batik Larissa memproduksi kain batik dengan menggunakan

berbagai jenis kain seperti sutera, mori primissima, mori prima, paris,

Page 37: tata busana

22

shantung serta katun dari ATBM. Kain batik yang diproduksi biasanya

mengikuti permintaan pasar. Untuk pasar menengah keatas, mereka membuat

batik sutera dengan berbagai teknik batik yaitu tulis, cap serta printing.

Sedangkan untuk kalangan menengah kebawah, Larissa batik membuat kain

batik dari kain mori, paris, shantung maupun katun dari ATBM. Pembuatan

batik untuk kalangan ini biasanya lebih banyak menggunakan cap, karena

harga produksi lebih murah sehingga harga produk batik terjangkau

masyarakat. Keunggulan kain batik cap diakui oleh kalangan konsumen dari

berbagai bangsa, terutama karena nilai – nilai artistiknya dan harga jual yang

relatif murah ( Hasanudin, 2001 : 179 ).

1. Bahan dalam Pembatikan

Bahan – bahan yang digunakan dalam batik meliputi kain mori, lilin atau

malam dan zat pewarna. Kain putih atau mori dikenal dalam tiga jenis yaitu :

mori yang paling halus disebut primisima, mori yang halus disebut prima dan

mori biru ( medium ) sebagai jenis pertengahan. Blaco juga dipakai dalam

pembatikan tetapi hanya untuk batik kasaran. Selain itu juga digunakan kain

sutera, paris, katun dari ATBM serta rayon. Untuk penelitian ini digunakan tiga

jenis kain yaitu sutera, mori primisima dan rayon atau shantung.

a. Kain yang digunakan

1). Sutera

a) Pengertian kain sutera

Sutera menurut Soeprijono (1974:99) adalah serat yang diperoleh

dari sejenis serangga yang disebut Lepidoptera. Serat sutera yang

Page 38: tata busana

23

berbentuk filamen dihasilkan oleh larva ulat sutera pada waktu membentuk

kepompong. Species yang paling utama yang dipelihara untuk

menghasilkan sutera adalah Bombyx mori. Peternakan sutera sudah

dimulai kira-kira 2640 SM. Negara-negara penghasil sutera adalah Jepang,

Tiongkok, Italia, dan Perancis. Di Indonesia juga sudah ada peternakan

ulat sutera yaitu di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat.

b). Sifat – sifat fisika serat sutera

(1) Kekuatan tarik serat sutera

Kekuatan tarik serat sutera adalah kemampuan serat menahan tarikan.

Kekuatan tarik dalam keadaan kering antara 4 – 4,5 gram per denier

dengan mulur 20 – 25%, sedangkan dalam keadan basah kekuatannya

3,5 – 4,0 gram per denier dengan mulur 25 – 30%

(2) Moisture Regain

Moisture Regain adalah presentase kandungan uap air terhadap berat

kering. Moisture Regain serat sutera mentah adalah 11 % tetapi

setelah dihilangkan serisinnya akan menjadi 10 %.

(3) Kekenyalan serat sutera

Kekenyalan suatu serat adalah kemampuan serat menahan

renggangan. Serat sutera dapat kembali ke panjang semula setelah

mulur 4% , tetapi kalau mulurnya lebih dari 4% pemulihannya lambat

dan tidak kembali ke panjang semula. Sutera selain bersifat kenyal

juga ringan, licin dan berkilau lembut.

Page 39: tata busana

24

(4) Daya serap air

Sutera pada udara lembab dapat menyerap air 30 % tanpa terasa

basah.

(5) Ketahanan sutera terhadap panas

Sutera mempunyai daya tahan panas sampai suhu 144ºC dalam waktu

yang tidak lama. Pemanasan pada suhu 140ºC dengan waktu yang

cukup lama, menyebabkan perubahan warna pada sutera dan

kekuatannya menurun, pada suhu 170ºC sutera mengalami kerusakan.

(6) Pengaruh air terhadap sutera

Sutera apabila dididihkan dalam air maka kilau dan kekuatan tarik

kain akan berkurang. Perubahan ini akan berjalan cepat pada suhu

diatas 100ºC.

(7) Pengaruh sinar matahari terhadap sutera

Penyinaran yang lama terhadap sinar matahari akan mengurangi

kekuatan serat sutera, sedangkan penyinaran selama 6 jam dengan

sinar ultraviolet menyebabkan kemunduran kekuatan sebesar 50 %.

(8) Sifat listrik kain sutera

Sutera merupakan isolator yang jelek. Penggosokan dalam keadaan

kering menyebabkan sutera bermuatan listrik.

(9) Morfologi serat sutera

Penampang membujur dari serat sutera tidak beraturan dikarenakan

pecahnya daerah serisin. Penampang melintang berupa elips atau

Page 40: tata busana

25

segitiga dengan sudut – sudut yang membulat. Diameter sutera sekitar

1/1500 cm, sedang untuk sutera liar sekitar 1/1600 cm.

Membujur Melintang

Gambar 14. Bentuk Morfologi Serat Sutera

( Sumber : Soeprijono, 1974 : 106 )

c). Sifat-sifat kimia sutera

(1) Ketahanan sutera terhadap asam

Sutera menyerap asam lemak dari larutan dan apabila dikerjakan dalam

larutan asam encer akan memberikan sifat khusus yaitu bunyi gemerisik

( scroop ) apabila saling bergesekan. Sutera tidak mudah diserang oleh

larutan asam encer hangat, tetapi larut dan rusak didalam asam kuat.

Dibanding wol, sutera kurang tahan asam.

(2) Ketahanan sutera terhadap alkali

Larutan alkali pekat dan dingin hanya menimbulkan pengaruh sedikit,

apabila pengerjaan dilakukan sebentar kemudian dicuci. Larutan

natrium hidroksida mendidih meskipun encer akan melarutkan sutera,

sedangkan larutan sabun dengan konsentrasi rendah biasanya digunakan

untuk pencucian sutera.

Page 41: tata busana

26

(3) Ketahanan terhadap pelarut organik

Sutera tahan terhadap semua pelarut organic tetapi larut dalam

kupromanium hidroksida dan kupri etilena diamina.

(4) Ketahanan sutera terhadap serangga

Secara biologi, sutera lebih tahan dibandingkan dengan serat – serat

alam yang lain..

2). Kain Mori Primisima

a). Pengertian Kain Mori Primisima

Kain mori digunakan untuk pencelupan sebab kain mori mudah

didapat dan harganya relatif murah, nama lain kain mori adalah “ muslin”

atau “cambric” ( S. K Sewan Susanto, 1973 : 53 ).

Istilah cambric berasal dari nama kota Combral di Perancis tempat

kain cambric dari benang linen dibuat pertama kalinya. Cambric berasal

dari serat kapas yang diputihkan dengan tenunan rapat, anyaman polos,

halus, lembut dan sedikit diberi kanji. Sedangkan masyarakat Indonesia

menyebut kain mori dengan muslin atau lawn. Kain mori digolongkan

menjadi 4 yaitu mori primisima, prima, biru dan blaco.

Mori primisima adalah mori yang paling halus tebal kain untuk lungsi

antara 105 – 125 per inchi 42 – 50 per cm sedangkan system 36 – 46 dan

untuk pakan 38 – 48 mengandung 100 – 120 per inchi 40 – 48 per cm dan

kanji ringan di bawah 10 % untuk memudahkan pencelupan 4 %.

Page 42: tata busana

27

b). Morfologi serat kapas

Mori merupakan jenis tekstil yang berasal dari tumbuh – tumbuhan

yang dihasilkan dari serabut biji tanaman jenis gossypium Hirsutum. Serat

kapas tumbuh menutupi seluruh seluruh permukaan biji kapas dan mulai

tumbuh pada saat tanaman berbunga dan merupakan pemanjangan sebuah

sel tunggal dari epidermis atau selaput luar biji. Sel membesar dan

kemudian membentuk silinder dalam waktu 17 – 15 hari. Lima belas hari

sampai delapan belas hari berikutnya mulai masa pendewasaan serat,

dimana dinding sel makin tebal dengan terbentuknya lapisan – lapisan

selulosa dibagian dinding asli yang disebut dengan dinding primer, dalam

dinding primer juga terkandung pectin, protein dan zat – zat yang

terkandung lilin. Selulosa dan dinding primer terbentuk benang – benang

yang sangat halus atau fibil. Setelah bunga kapas membuka pada saat itu

serat merupakan sel yang sangat panjang dengan dinding tipis yang

menutup protoplasma dan inti, kemudian tumbuh pula serat – serat yang

sangat pendek dan sangat kasar yang disebut linters.

Melintang Membujur

Gambar 15. Bentuk Penampang Serat Kapas

( Sumber :Enny Zuhni Khayati, 1997 : 127 )

Page 43: tata busana

28

c). Sifat – sifat serat kapas

(1) Penyerapan baik yaitu nyaman untuk dipakai pada cuaca panas, baik

untuk handuk atau sapu tangan.

(2) Penghantar panas yang baik yaitu kain yang dingin waktu kena panas.

(3) Tahan terhadap panas yang baik yaitu tidak terpengaruh panas

penyetrikaan.

(4) Kurang kenyal, oleh karena itu mudah kusut.

(5) Warna serat kapas sedikit krem, jadi tidak benar – benar putih. Warna

serat kapas akan semakin tua setelah penyimpanan antara dua sampai

tiga tahun. Pengaruh cuaca, kotoran, debu akan menyebabkan warna

kapas menjadi keabu – abuan.

(6) Kekuatan serat kapas terutama dipengaruhi oleh selulosa dalam serat

dan derajat orientasinya. Kekuatan serat kapas dalam keadaan kering

lebih rendah dibandingkan dengan keadaan basah. Kekuatan kapas

dapat dipertinggi dengan cara merendam dalam larutan costic soda (

proses merserisasi ). Proses ini selain menambah kekuatan kapas juga

dapat menambah kilau dan daya serap kain terhadap zat celup (

pewarnaan ).

(7) Sangat higroskopis, kain mudah menghisap air.

(8) Mulur dan elastisitas, mulur saat putus serat sekitar 4 – 13 % tergantung

dari jenisnya. Mulur dipengaruhi oleh jenisnya, sedangkan elastisitasnya

tergantung pada penarikan.

Page 44: tata busana

29

(9) Konduktor listrik yang baik, serat kapas tidak menimbulkan listrik

statis.

(10) Tahan alkali.

Kain dapat dicuci dan dikelantang dalam sabun yang mengandung

lindi serta tidak rusak oleh keringat ( Enny Zuhni Khayati, 1997 : 6 ).

3). Kain Shantung (serat Rayon Viskosa)

a). Pengertian kain shantung

Shantung menurut Enny Zuhni Khayati ( 1997 : 40 ) adalah jenis

tekstil yang berasal dari Tiongkok yang menggunakan serat rayon viskosa.

Pembuatan rayon viskosa ditemukan oleh D. F dan Beavan dari negeri

Inggris pada tahun 1891.

Rayon Viskosa dibuat dari bahan selulosa kayu cemara atau kayu beuk

yang dimurnikan kemudian dengan natrium hidroksida diubah dengan

selulosa alkali. Lalu dengan karbon disulfida diubah menjadi natrium

selulosa xantat dan selanjutnya dilarutkan dalam larutan hidroksida encer.

Larutan ini kemudian diperam dan akhirnya dipintal dengan cara

pemintalan basah menggunakan larutan asam. Bentuk serat rayon viskosa

keriting, karena viskosa dipintal dalam larutan yang mengandung sedikit

asam dan garam yang banyak, kemudian filamennya ditarik 40 – 50 % di

dalam larutan kedua dalam 90ºC dan ditarik sedikit lagi di udara, diperas

dan dipotong – potong menjadi stapel. Mula – mula serat masih lurus,

tetapi setelah dicelupkan ke dalam air akan keriting dan kemudian

dikeringkan. Serat ini penampang melintasnya tidak sistematis, yaitu

Page 45: tata busana

30

lekukan – lekukan atau bentuk gerigi terdapat pada setengah penampang

filamen. Bentuk memanjang serat rayon viskosa seperti silinder bergaris

dengan penampang lintang bergerigi.

Griya batik Larissa memproduksi batik cap dari berbagai jenis kain

antara lain kain shantung ( serat rayon viskosa ). Pembutan batik ini

ditujukan untuk konsumen dari golongan menengah ke bawah karena

harganya yang relatif lebih murah dibanding sutera.

b). Sifat fisika rayon viskosa

Sifat fisika rayon viskosa antara lain kekuatan dan mulur, moistured

regain, elastisitas, berat jenis, sifat jenis, daya terhadap sinar dan daya

terhadap panas.

(1) Kekuatan dan mulur

Kain shantung kekuatan dan mulurnya rendah sehingga tidak bagus

untuk membuat pakaian yang ketat. Kekuatan serat rayon viskosa kira –

kira 2,6 gram/Denier dalam keadaan kering dan kekuatan basah kira – kira

1,4 grm/ Denier. Mulurnya kira – kira 15 % dalam keadaan kering dan kira

– kira 25 % dalam keadaan basah ( Soeprijono, 1974 : 198 ).

(2) Moistured regain

Moistured regain pada kain shantung ialah kemampuan kain shantung

menyerap air. Kain shantung nyaman dipakai karena dingin dan menyerap

keringat. Moistured regain serat rayon viskosa dalam kondisi standart

adalah 12 – 13 %.

Page 46: tata busana

31

(3) Elastisitas

Elastisitas kain shantung ialah kemampuan kain kembali ke bentuk

semula setelah mengalami tarikan atau perenggangan. Elastisitas kain

shantung jelek, apabila dalam penenun benangnya mendapat suatu tarikan

mendadak kemudian benangnya tetap mulur dan tidak mudah kembali,

akibatnya dalam pencelupan akan mengakibatkan hasil celupan tidak rata

dan kelihatan seperti garis – garis yang lebih berkilau.

(4) Berat jenis

Berat jenis suatu kain dapat dibedakan menjadi 4 golongan yaitu :

Ringan ( 0 – 140 g/m2 )

Medium ( 141 – 160 g/ m2)

Setengah berat ( 161 – 250 g/ m2)

Berat ( lebih berat dari 250 g/m2)

Berat jenis kain shantung 1,52 termasuk dalam kain dengan jenis medium.

(5) Sifat listrik

Kain shantung tidak mudah kotor karena rayon viskosa merupakan

penghantar listrik yang baik. Kulit tubuh manusia mengandung elektron

bila kain punya kandungan listrik yang tinggi menyebabkan adanya tarik

menarik antar rambut pada kulit dengan kain. Adanya sifat kain shantung

yang merupakan penghambat listrikmenyebabkan kotoran tidak mudah

menempel dan tepat digunakan sebagai pakaian untuk musim panas. Bulu

pada permukaan memberi daya isolasi karena merupakan penyekat yang

baik.

Page 47: tata busana

32

(6) Daya tahan terhadap sinar

Kain shantung kekuatannya tidak berkurang apabila dijemur,

namun jika mengalami penyinaran pada saat penjemuran yang berulang –

ulang serat dari rayon viskosanya kekuatannya akan berkurang. Sutra lebih

tahan terhadap sinar matahari, tetapi rayon viskosa lebih tahan terhadap

sinar dibanding asetat.

(7) Daya tahan terhadap panas

Shantung tahan terhadap panas penyetrikaan tetapi pemanasan

dengan penyetrikaan dalam waktu lama menyebabkan kerapuhan dan

kerusakan molekul yang berbentuk serat warna rayon berubah menjadi

kuning dan menurunkan kualitas kain shantung tersebut.

(8) Morfologi serat rayon viskosa

Bentuk memanjang serat rayon viskosa seperti silinder bergaris dan

penampang lintangnya bergerigi.

Melintang Membujur

Gambar 16. Penampang Serat Rayon Viskosa

( Sumber : Soeprijono, 1974 : 110 )

Page 48: tata busana

33

c). Sifat Kimia Rayon Viskosa

Sifat kimia rayon viskosa ialah keadaan yang ditimbulkan dari reaksi

kimia dan tidak dapat kembali kebentuk semula. Sifat kimia dari rayon

viskosa ialah :

(1) Ketahanan terhadap asam

Rayon viskosa lebih cepat rusak oleh asam dibandingkan dengan kapas

terutama dalam keadaan panas.

(2) Ketahanan terhadap alkali

Rayon viskosa tidak tahan terhadap larutan alkali pekat tetapi rayon

viskosa tahan terhadap alkali encer, untuk itu dianjurkan untuk

menggunakan sabun lunak dan air suam – suam kuku.

(3) Sifat rayon viskosa terhadap garam

Rayon viskosa tidak tahan terhadap garam oleh karena itu bila dalam

pencelupan menggunakan garam maka harus dikurangi

penggunaannya.

(4) Ketahanan terhadap oksidator

Zat pengoksidasi mengakibatkan kerusakan pada kain shantung dengan

akibat penurunan kekuatan.

d). Sifat – sifat biologi serat rayon viskosa

Sifat biologi serat rayon viskosa ialah sifat – sifat yang ditimbulkan

dari mikroorganisme. Jamur pada rayon viskosa akan mengakibatkan serat

rayon viskosa berkurang kekuatannya serta berwarna.

Page 49: tata busana

34

b. Lilin batik

Lilin batik adalah bahan yang dipakai untuk menutup permukaan kain

menurut gambar motif, sehingga permukaan yang tertutup tersebut menolak

atau resist terhadap warna yang diberikan pada kain tersebut (S.K Sewan

Susanto,1973 : 58).

Ada beberapa macam kualitas malam atau lilin batik, kualitas ini

berpengaruh pada daya serap, warna pada mori, halusnya cairan dan

sebagainya. Adapun dalam pemakaiannya tergantung pada kebutuhannya.

Griya batik Larissa menggunakan dua jenis malam yaitu malam yang masih

baru dan malam daur ulang. Malam yang masih baru digunakan untuk

pengecapan, malam daur ulang digunakan untuk isen – isen. Malam daur

ulang adalah malam bekas lorodan yang dicampur dengan gondorukem.

c. Zat pewarna

Zat warna biasanya digunakan dalam proses pencelupan. Menurut

Riyanto,dkk (1997 : 16) yang dimaksud proses pencelupan ialah suatu proses

pemasukan zat warna ke dalam serat – serat bahan tekstil, sehingga diperoleh

warna yang sifatnya dapat dikatakan kekal. Zat warna yang biasanya

digunakan dalam pembatikan tanpa sesuatu perubahan dalam pemakaian

adalah zat warna bejana, zat warna langsung dan zat warna pigmen.

1) Zat warna bejana

Zat warna bejana mempunyai sifat antara lain adalah tahan gosokan

dan cahaya. Dari jenis zat warna ini yang dapat digunakan dalam proses

pembatikkan hanya terbatas pada indigoida dan indigosol.

Page 50: tata busana

35

2) Zat warna langsung

Zat warna ini mempunyai sifat cepat larut dalam air. Zat warna

langsung dibagi menjadi dua jenis yaitu zat warna reaktif dan zat warna

soga. Zat warna reaktif dapat dipakai dengan air panas ataupun dingin,

sedangkan zat warna soga dipakai dengan air panas saja.

3) Zat warna pigmen

Zat warna pigmen yang sering digunakan dalam pembatikan adalah zat

warna napthol. Proses pewarnaannya ada dua tingkatan ; pertama,

pencelupan napthol, kedua, pembangkitan warna dengan larutan dioxo

atau nyareni.

Batik Larissa menggunakan zat warna batik antara lain procion, sol dan

naphtol karena mudah, cepat dan praktis dalam penggunaannya. Zat warna

yang paling sering digunakan adalah naphtol. Berikut ini adalah proses

pewarnaan menggunakan naphtol :

1) Pencucian awal

Pencelupan awal dilakukan dengan mencelupkan kain ke dalam air

detergen. Hal ini bertujuan untuk membasahi kain secara merata dan

menghilangkan kotoran – kotoran kecil yang mengganggu warna kain. Setelah

selesai dicelup, kemudian kain ditiriskan.

2) Pencelupan ke dalam larutan naphtol

Naphtol dilarutkan dengan menggunakan air panas dalam wadah berupa

ember. Tujuan penggunaan air panas adalah supaya zat warna cepat larut.

Setelah naphtol larut seluruhnya dan larutan tersebut berangsur dingin, larutan

Page 51: tata busana

36

naphtol dipindahkan ke dalam glendongan. Glendongan adalah tempat

pewarnaan kain yang sudah dicap. Langkah selanjutnya adalah mencelupkan

kain ke dalam larutan tersebut. Setelah pencelupan ke dalam larutan naphtol,

kain ditiriskan lagi untuk proses pencelupan ke dalam larutan garam.

3) Pencelupan ke dalam larutan garam

Larutan garam adalah zat untuk membangkitkan warna, sehingga setelah

kain dicelupkan akan terlihat warna yang diinginkan. Untuk membuat larutan

garam ini digunakan air dingin. Kemudian larutan garam dipindahkan ke

dalam glendongan dan kain – kainnya dicelupkan ke dalamnya.

4) Pencucian akhir

Pencucian akhir dilakukan dengan tujuan agar warna yang tidak menempel

pada kain bisa bersih, sehingga hasilnya akan lebih baik. Pencucian akhir

biasanya dilakukan lebih dari sekali atau sesuai kebutuhan. Proses pencucian

akhir ini sama dengan proses pencucian awal.

2. Peralatan batik cap

Peralatan batik cap yang paling pokok adalah alat cap. Alat cap disebut

pula sebagai canting cap, berbentuk stempel yang dibuat dari plat tembaga.

Canting cap terdiri terdiri dari tiga bagian yaitu :

a. Bagian muka, berupa susunan plat tembaga yang membentuk pola batik.

b. Bagian dasar, tempat melekatnya bagian muka.

c. Tangkai cap, untuk memegang bila dipakai untuk mengecap.

Alat untuk menempatkan malam atau lilin batik disebut dulang, bahan

yang digunakan adalah tembaga. Dasar dulang diberi beberapa lapis kasa dari

Page 52: tata busana

37

anyaman tembaga untuk proses pemanasan lilin. Pembuatan perapiannya sama

dengan batik tulis yaitu menggunakan anglo atau kompor, hanya saja bentuknya

agak besar menyesuaikan dulang yang dipakai untuk memanaskan malam atau

lilin batik tersebut. Pencapan pada kain batik dilakukan di atas bantalan meja

cap.

3. Proses Pembuatan Batik Cap

Proses pembuatan batik pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu

pekerjaan persiapan dan pekerjaan pokok dalam pembatikan.

a. Pekerjaan persiapan membuat batik, yaitu bermacam – macam pekerjaan

yang dilakukan terhadap moti batik sehingga menjadi kain yang siap untuk

dibuat batik. Pekerjaan persiapan ini meliputi :

1) Memotong mori batik, yaitu memotong kain mori berbentuk piece atau

gulungan yang dipotong – potong menurut panjang kain yang akan

dibuat.

2) Mencuci (nggirah) atau ngetel, yaitu menghilangkan kanji untuk

diganti dengan kanji ringan supaya kain mempunyai daya serap yang

lebih tinggi, supel dan lemas.

3) Menganji, yaitu menganji kain yang sudah dicuci dengan kanji ringan

atau tipis agar lilin atau malam tidak meresap dalam kain dan nanti

lilin mudah dihilangkan atau dilorod. Pemakaian kanji tersebut sekitar

20 gram tapioka untuk I liter air.

4) Pengemplongan, yaitu meratakan kain yang nantinya siap untuk

disimpan atau langsung dibatik.

Page 53: tata busana

38

b. Pekerjaan Pokok dalam Pembatikan

Pekerjaan – pekerjaan pokok dalam pembuatan batik yaitu bermacam –

macam pekerjaan yang dilakukan dalam proses pembuatan batik yang

sebenarnya. Pekerjaan – pekerjaan ini meliputi :

1) Menulis atau mencap mori dengan lilin batik

Kain yang akan dibatik tulis diberi pola atau diberi motif lebih dahulu,

kemudian baru dikerjakan pembatikkan tulis. Untuk kain atau mori

yang akan dibatik cap dapat langsung dikerjakan tanpa dipola. Macam

– macam pengerjaan menulis atau mencap lilin ialah :

a) Membatik atau mencap klowong

Pekerjaan ini adalah pelekatan lilin batik yang pertama. Lilin batik ini

akan menjadi kerangka dari motif batik tersebut. Klowongan ini ada

dua tingkat, pertama disebut ngengrengan yaitu klowongan pertama

dan klowongan pada muka sebelahnya sebagai terusan klowongan

pertama disebut nerusi.

b) Nembok

Menembok adalah menutup kain setelah diklowong, dengan lilin yang

lebih kuat atau lebih tebal dan pada tempat – tempat tertutup ini

warnanya tetap putih. Nembok ini meliputi menutup permukaan kain

dengan lilin batik serta memberikan isen dan cecek pada kain yang

telah diklowong.

c) Membironi, merining atau menutup

Pekerjaan membironi, merining atau menutup bertujuan supaya

tempat – tempat yang berwarna tidak tertutup warna lain sehingga

Page 54: tata busana

39

pada warna putih tetap putih. Pekerjaan membironi dan merining

dilakukan pada kain setelah diwedel dan dikerok atau dilorod, sebelum

kain tersebut disoga atau dicelup warna akhir. Pekerjaan ini dilakukan

pada tengah – tengah proses pembuatan kain batik

d) Cap jeblok

Cap jeblok adalah apabila pada pencapan batik tidak dibedakan

atas lilin klowong dan lilin tembok, tetapi disatukan yaitu mengerjakan

capnya sekaligus. Jadi maksud cap jeblok ini menutup permukaan kain

yang nantinya akan berwarna soga atau putih. Pencapan ini digunakan

untuk membuat batik dengan proses lorodan.

2) Memberi warna pada kain

Mori batik yang telah dicap atau ditulis dengan lilin sesuai dengan

motif, siap untuk diwarna. Macam – macam cara pewarnaan kain batik

antara lain :

a) Medel

Medel adalah memberi warna biru tua pada kain setelah kain dicap

klowong dan dicap tembok atau selesai ditulisi. Bahan untuk medel

yaitu zat warna indigo sintetis dan zat warna napthol. Wedelan adalah

sebagai warna dasar yang berwarna biru tua.

b) Celupan warna dasar

Pemberian warna ini dengan celupan dan tidak perlu diwedel.

Warna – warna dasar yang biasa dipakai ialah warna hijau, violet,

merah, kuning, oranye dan lain – lain. Agar warna dasar ini tidak

Page 55: tata busana

40

tertindih dengan warna berikutnya maka harus ditutup lilin sesuai

motif. Zat warna yang dipakai adalah yang mempunyai ketahanan

yang baik terhadap pengaruh panas lilin batik seperti zat warna

indigosol, napthol atau indanthreen.

c) Menggadung

Menggadung ialah menyiram kain batik dengan larutan zat warna.

Pewarnaan ini biasa digunakan oleh pengrajin batik Pekalongan yaitu

untuk pewarnaan kain batik sarung atau buketan.

d) Coletan atau dulitan

Pewarnaan cara coletan atau dulitan adalah memberi warna

setempat pada kain batik dengan larutan zat warna yang dikuaskan

atau dilukiskan pada daerah yang diwarnai atau dibatasi oleh garis –

garis lilin sehingga warna tidak merembes ke daerah lain. Zat warna

yang digunakan adalah zat warna rapid atau indigosol.

e) Menyoga

Menyoga adalah memberi warna coklat pada kain. Pada proses

pembuatan kain sogan Yogyakarta dan Solo, menyoga adalah sebagai

pewarnaan terakhir.

3) Menghilangkan lilin batik

Menghilangkan lilin batik dapat dikerjakan dengan penghilangan

sebagian atau keseluruhan. Menghilangkan lilin sebagian atau setempat

(mengerok) adalah melepaskan lilin pada tempat tertentu dengan cara

menggaruk lilin dengan alat semacam pisau. Mengerok dimaksudkan

Page 56: tata busana

41

untuk membuka lilin klowong sehingga bekas lilin tersebut nantinya akan

diberi warna soga atau coklat.

Menghilangkan lilin dengan cara lorodan adalah menghilangkan

lilin batik dengan cara melorod atau menghilangkan lilin secara

keseluruhan. Menghilangkan lilin secara keseluruhan pada akhir proses

pembatikkan disebut mbabar, ngebyok atau nglorod. Proses ini dikerjakan

dengan air panas sehingga lilin meleleh dan lepas dari kain. Proses

memecah lilin atau ngremuk adalah salah satu cara menghilangkan lilin

dengan cara memecah lilin batik menjadi pecahan – pecahan sehingga zat

warna dapat masuk ke dalam kain dan membentuk motif – motif pecahan

lilin. Batik semacam ini disebut batik Wonogiren.

D. Kualitas Tahan Luntur Warna

Kualitas adalah tingkat baik buruknya sesuatu atau mutu

(Depdiknas,1996:533). Luntur dapat diartikan sebagai hilang atau

berkurangnya zat warna dari kain berwarna yang disebabkan oleh peristiwa –

peristiwa atau proses kimia maupun fisika. Lunturnya zat warna

mengakibatkan warna kain berubah atau memudar. Kain yang luntur

menunjukkan rendahnya mutu kain secara keseluruhan, khususnya rendahnya

mutu pewarnaan. Menurut Nanie Asri dalam Duwi Susanti (2005:19),

ketahanan luntur warna adalah perubahan warna karena suatu sebab sehingga

gradasi warnanya berubah atau luntur. Ketahanan luntur warna mengarah pada

kemampuan dari warna untuk tetap stabil dan tidak berubah. Proses lunturnya

kain disebabkan oleh berbagai hal antara lain adalah penggunaan zat warna

Page 57: tata busana

42

yang tidak sesuai dengan jenis serat pada proses pewarnaan bahan tekstil,

kurang sempurnanya proses pewarnaan, kurang pada zat warna, putusnya

ikatan kimia antara serat dengan kromofora dan auksokroma sehingga daya

afinitasnya hilang dan lepasnya zat warna sisa yang tidak berikatan dengan

serat atau hanya melekat pada permukaan serat saja.

Dalam pemakaian bahan tekstil sehari – hari, tahan luntur warna

mempunyai arti yang penting. Ketahanan luntur warna ditinjau dari segi

kepentingan konsumen meliputi bermacam – macam tahan luntur warna,

diantaranya tahan luntur warna terhadap sinar matahari, pencucian, gosokan,

panas penyetrikaan dan keringat.

Tidak semua pencapan dan pencelupan mempunyai ketahanan luntur

yang baik, lainnya sedang dan sebagian buruk. Sifat dari tahan luntur warna

tidak berkorelasi dengan sifat tahan luntur lainnya. Warna yang mungkin

memiliki ketahanan luntur terhadap pencucian baik, mungkin memiliki

ketahanan luntur yang kurang baik terhadap sinar matahari. Daya tarik

menarik zat warna biasanya ditentukan oleh sifat menyerap serat. Ketahanan

luntur pada pewarnaan, langsung dapat diperbaiki dengan penyempurnaan

akhir yang kadang – kadang diberikan pada kapas yang dimerserisasi sehingga

menyerap dan menahan zat warna lebih baik dari pada kapas yang tidak

mendapat penyempurnaan.

Griya batik Larissa menggunakan zat warna sintetis (naphtol) yang

dimungkinkan mempunyai ketahanan luntur yang tinggi. Zat warna naphtol

lebih sering dipakai karena lebih mudah dan praktis penggunaannya.

Page 58: tata busana

43

Penilaian kualitas ttahan luntur warna dilakukan dengan mengamati

adanya perubahan warna dari uji dan penilaian penodaan warna terhadap kain

putih. Penilaian secara visual dengan cara membandingkan perubahan warna

yang terjadi dengan standar perubahan warna. Standar yang digunakan adalah

standar yang dikeluarkan oleh International Standart Organization ( ISO )

yaitu Standar Gray Scale untuk perubahan warna dan Staining Scale untuk

perubahan karena penodaan dengan kain putih ( Wibowo, 1975 : 154 ).

1. Standar Skala Abu – abu ( Gray Scale )

Gray scale digunakan untuk menilai perubahan warna pada bahan

tekstil dalam pengujian tahan luntur warna. Nilai Gray scale menentukan

tingkat perbedaan atau konsentrasi warna dari tingkat terendah sampai tingkat

tertinggi, yaitu nilai 1 sampai dengan nilai 5. Gray scale terdiri dari 9 pasang

lempeng standar abu – abu dan setiap pasang merupakan perbedaan atau

kekontrasan warna yang sesuai dengan nilai tahan luntur warnanya ( Wibowo,

1975 : 154 ).

Tabel 1. Standar Penilaian Perubahan Warna pada Standar Skala Abu – abu

Nilai tahan luntur warna

Perbedaan warna ( dalam satuan CD )

Toleransi untuk standar kerja (dalam satuan CD)

5 4 – 5

4 3 – 4

3 2 – 3

2 1 – 2

1

0 0,8 1,5 2,1 3,0 4,2 6,0 8,5 12,0

0,0 ± 0,2 ± 0,2 ± 0,2 ± 0,2 ± 0,3 ± 0,5 ± 0,7 ± 1,0

( Sumber : Wibowo Moerdoko, 1975 )

Page 59: tata busana

44

Bahan tekstil yang telah diuji dibandingkan dengan contoh aslinya dengan

meletakkan berdampingan dengan arah yang sama di atas dasar yang berwarna

abu – abu pada nilai 5 standar skala abu- abu. Bahan yang tipis diperlukan dua

lapis atau lebih untuk mencegah pengaruh dari warna dasar. Skala abu – abu

yang diletakkan berdampingan dengan contoh uji diterangi dengan cahaya

matahari untuk daerah – daerah di belahan bumi selatan dengan sudut 45 º C

yang kuat penerangannya tidak kurang dari 50 lumen per square foot.

Perbedaan contoh asli dengan contoh yang telah diuji dibandingkan dengan

yang ditunjukkan oleh skala abu –abu. Nilai tahan luntur contoh uji adalah

angka standar skala abu – abu yang sesuai dengan kekontrasan antar contoh

yang telah diuji, seperti pada tabel 2. Nilai perbedaan warna dinyatakan dalam

satuan C.D ( Color Difference ).

Tabel 2. Nilai Tahan luntur Warna

Nilai tahan luntur warna Penilaian

5

4

3

2

1

Kekontrasan sesuai dengan tingkat 5

standar skala abu –abu.

Kekontrasan sesuai dengan tingkat 4

standar skala abu –abu.

Kekontrasan sesuai dengan tingkat 3

standar skala abu –abu.

Kekontrasan sesuai dengan tingkat 2

standar skala abu –abu.

Kekontrasan sesuai dengan tingkat 1

standar skala abu –abu.

Sumber : Wibowo Moerdoko, 1975.

Page 60: tata busana

45

Perubahan warna jika terletak diantara kedua tingkat dalam standar skala

abu – abu, maka diberi nilai antara 1-2, 2-3, 3-4, atau 4-5.

2. Standar Skala Penodaan ( Staining Scale )

Staining Scale digunakan untuk menilai penodaan warna pada kain

putih dalam menentukan tahan luntur warnanya. Staining Scale terdiri dari

sepasang lempeng standar putih dan 8 lempeng standar putih dan abu – abu

yang setiap pasangnya menunjukkan perbedaan atau kekontrasan warna sesuai

dengan nilai penodaan warna. Pengamatan terhadap penodaan warna pada

kain putih dalam uji tahan luntur dilakukan dengan membandingkan

perbedaan warna dari kain putih yang dinodai dengan perbedaan yang

digambarkan oleh Staining Scale ( Wibowo, 1975 : 154 ).

Tabel 3. Standar Penilaian Penodaan Warna pada Standar Skala Penodaan

Nilai tahan luntur warna

Perbedaan warna ( dalam satuan CD )

Toleransi untuk standar kerja (dalam satuan CD)

5 4 – 5

4 3 – 4

3 2 – 3

2 1 – 2

1

0 2,0 4,0 5,6 8,0 11,3 16,0 22,6 32,0

0,0 ± 0,3 ± 0,3 ± 0,4 ± 0,5 ± 0,7 ± 1,0 ± 1,5 ± 2,0

( Sumber : Wibowo Moerdoko, 1975 )

Cara menilai dan mengevaluasi penodaan warna dengan skala penodaan

sama dengan cara menilai dan mengevaluasi pada perubahan warna dengan

menggunakan standar skala abu –abu. Hasil evaluasi tahan luntur warna

terhadap angka – angka Gray Scale atau Staining Scale sebagai berikut :

Page 61: tata busana

46

Tabel 4. Evaluasi Tahan Luntur Warna

Nilai Tahan Luntur Warna Evaluasi Tahan Luntur Warna 5

4 – 5 4

3 – 4 3

2 – 3 2

1 – 2 1

Baik sekali Baik Baik

Cukup baik Cukup Kurang Kurang Jelek Jelek

( Sumber : Wibowo Moerdoko, 1975 )

1. Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian

Cara uji ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna terhadap

pencucian yang berulang – ulang. Berkurangnya warna dan pengaruh gosokan

yang dihasilkan oleh larutan dan gosokan lima kali pencucian dengan mesin,

hampir sama dengan satu kali pencucian dengan mesin selam 45 menit.

2. Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap Gosokan

Cara pengujian ini adalah untuk menguji penodaan dari bahan berwarna

pada kain lain, yang disebabkan karena gosokan dan dipakai untuk bahan

tekstil berwarna dari segala macam serat baik dalam bentuk benang maupun

kain.

3. Pengujian Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat

Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna dari

segala macam bahan tekstil berwarna terhadap keringat. Contoh – contoh uji

yang terpisah dari bahan tekstil berwarna direndam dalam larutan keringat

buatan bersifat asam, kemudian diberikan tekanan mekanik tertentu dan

dikeringkan perlahan – lahan pada suhu yang naik sedikit demi sedikit.

Page 62: tata busana

47

4. Pengujian Tahan Luntur Warna terhadap Panas Penyetrikaan

Cara uji ini dimaksudkan untuk menentukan tahan luntur warna dari segala

macam bahan dan bentuk bahan tekstil terhadap penyetrikaan. Pengujian ini

dilakukan terhadap bahan tekstil dalam keadaan basah, lembab dan kering.

Contoh uji disetrika dalam keadaan panas kering, panas lembab atau panas

basah dalam kondisi tertentu dan dievaluasi perubahan dan penodaan

warnanya.

E. KERANGKA BERFIKIR

Batik merupakan salah satu produk tradisional yang digemari

masyarakat. Selain motif yang bervariasi kain yang digunakan juga bervariasi.

Salah satu batik yang diminati masyarakat adalah batik Pekalongan yang

terkenal dengan warna yang cerah dan beragam.

Griya batik Larissa merupakan salah satu industri yang memproduksi

baik batik tulis, batik cap, maupun batik printing dengan berbagai jenis motif

dan kain. Kain yang paling sering digunakan untuk membatik adalah kain

mori, sutera, shantung, dan paris. Griya batik Larissa memiliki konsumen

yang banyak, konsumen merasa puas dengan produk griya batik Larissa. Hal

ini dimungkinkan karena kualitas kain batik yang baik antara lain ketahan

luntur warnanya. Konsumen bahan batik menghendaki bahan yang sifat tahan

lunturnya minimal, oleh karena itu apabila industri pembuat kain batik dapat

menekan kelunturan kain sebelum dibuat pakaian, mereka dapat mencegah

pengaduan konsumen yang disebabkan oleh tahan luntur warna yang rendah.

Page 63: tata busana

48

Kualitas kain batik dapat dilihat dari ketahanan luntur warna terhadap

pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan.. Pengujian tahan luntur

warna tersebut dapat dilakukan pada jenis kain yang berbeda seperti pada

kain mori, sutera, dan shantung. Penggunaan kain mori, sutera serta shantung

ini dimaksudkan untuk melihat dan membandingkan tingkat kelunturan warna

kain batik yang diproduksi di griya batik Larissa.

Masalah yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah kualitas ketahanan

luntur warna batik cap di griya batik Larissa Pekalongan. Oleh karena itu,

dilakukan uji ketahanan luntur warna terhadap pencucian, gosokan, keringat

dan panas penyetrikaan yang akan dilakukan di laboratorium dengan

menggunakan jenis kain yang berbeda yaitu sutera, mori dan shantung. Hasil

akhir dari pengujian tersebut akan didapatkan data yang menunjukkan nilai

kualitas ketahanan luntur warna batik cap dengan variasi kain sutera, mori dan

shantung.

Page 64: tata busana

49

BAB III

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang akan digunakan untuk

mengungkapkan masalah yang diteliti, hal – hal yang akan dibahas dalam metode

penelitian adalah populasi, sampel, teknik pengambilan sampel, variabel

penelitian, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, validitas eksperimen

dan metode analisis data.

A. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti (Sudjana, 1996 :

6). Populasi dalam penelitian ini adalah kain batik cap dari enam jenis kain

yaitu sutera, mori primisima, mori prima, paris, shantung dan katun dari

ATBM di Griya Batik Larissa Pekalongan.

B. Sampel

Sampel penelitian adalah merupakan suatu objek yang akan diteliti

(Sudjana, 1996 : 6). Sampel penelitian ini ialah kain batik cap terbuat dari tiga

jenis kain didapat dari griya batik Larissa Pekalongan yaitu sutera, mori

primisima dan shantung.

C. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik yang dipakai dalam pengambilan sampel ialah teknik purposive

sample yaitu pengambilan sampel yang dilakukan berdasarkan ciri-ciri

tertentu atau sifat-sifat populasi yang diketahui, yaitu kain batik cap dari kain

shantung, sutra, mori, yang didapat dari griya batik Larissa Pekalongan.

Page 65: tata busana

50

1. Sutera

Kain sutera yang digunakan untuk proses pembatikkan dibeli di

Pekalongan dari seorang pemasok kain dengan merek dagang “Baochuta”.

Kain batik cap dari sutera yang dijadikan sampel diambil secara acak dengan

panjang kain 2 m.

2. Mori Primisima

Kain kapas ( mori primisima ) yang digunakan untuk proses pembatikkan

didapatkan dari pabrik tekstil Primatex dangan merek dagang “ Tari Kupu”.

Kain batik cap dari mori primisima yang dijadikan sampel diambil secara

acak dengan panjang kain 2,50 m.

3. Shantung ( rayon viskosa )

Kain shantung yang digunakan untuk proses pembatikkan berasal dari

pabrik textil Candi Mekar dengan merek dagang “Candi Mekar “ . Kain batik

cap dari shantung yang dijadikan sampel diambil secara acak dengan panjang

kain 2 m.

Selain dengan melihat label pada ketiga kain tersebut, dilakukan uji

bakar untuk mengetahui jenis kain. Uji pembakaran kain shantung dan mori

primisima menunjukkan hasil seperti berikut : terbakar dan mengabu, bau

kertas terbakar, abu berwarna abu – abu dan lembut. Kain sutera pada uji

pembakaran menunjukkan hasil terbakar singkat dan mengabu, abu hitam dan

mudah remuk, bau seperti rambut terbakar. Sehingga dapat diketahui bahwa

kain tersebut adalah sutera, mori primisima ataupun shantung. Sampel kain

batik cap dan hasil uji bakar dapat dilihat pada lampiran halaman 110 - 111.

Pengambilan contoh uji dilakukan secara acak yaitu dibagian tengah maupun

tepi kain.

Page 66: tata busana

51

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek penelitian atau yang menjadi titik

perhatian suatu penelitian ( Suharsimi Arikunto, 2002 : 96 ).

Objek penelitian skripsi ini hanya mengacu pada satu variabel tunggal yang

akan diteliti atau dideskripsikan yaitu kualitas tahan luntur warna batik cap.

E. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen. Dalam

pendekatan ini akan diuraikan tentang metode eksperimen, desain ekperimen

dan pelaksanaan eksperimen.

1. Pendekatan Eksperimen

Metode yang digunakan ini ialah eksperimen. Eksperimen adalah

suatu percobaan yang berhubungan dengan persoalan yang akan diteliti

(Sudjana,1996:1). Metode eksperimen dalam penelitian ini ialah pengujian

terhadap batik cap yang meliputi :

a) Ketahanan luntur warna terhadap pencucian

b) Ketahanan luntur warna terhadap gosokan

c) Ketahanan luntur warna terhadap keringat

d) Ketahanan luntur warna terhadap panas penyetrikaan

2. Desain Eksperimen

Desain eksperimen merupakan langkah-langkah yang perlu diambil

sebelum ekperimen dilakukan agar data yang semestinya dapat terkumpul

dan dapat dianalisis. Eksperimen dilakukan pada kain batik cap dengan

Page 67: tata busana

52

tiga jenis kain yaitu sutera, mori primisima dan shantung yang didapat dari

griya batik Larissa Pekalongan di laboratorium tekstil Balai Besar

Kerajinan dan Batik. Pelaksanaan eksperimen meliputi pengujian tahan

luntur terhadap pencucian, keringat, gosokan dan panas penyetrikaan.

Produk hasil eksperimen diperlihatkan melalui tabel pengamatan sebagai

berikut :

Tabel 5. Tabel Pengamatan

Jenis Kain Variabel yang diukur

Indikator Sutera Mori

Primisima Shantung

Perubahan Warna Penodaan Warna terhadap kapas

Ketahanan luntur warna terhadap pencucian Penodaan Warna

terhadap sutera

Perubahan Warna Penodaan Warna terhadap kapas

Ketahanan luntur warna terhadap keringat asam

Penodaan Warna terhadap sutera

Perubahan Warna

Ketahanan luntur warna terhadap panas penyetrikaan

Penodaan Warna terhadap kapas kering

Penodaan Warna terhadap kapas kering

Ketahanan luntur warna terhadap gosokan

Penodaan Warna terhadap kapas basah

Eksperimen diulang sebanyak 6 kali, pengujian minimal 3 kali dan

hasil rata – rata dari ketiganya merupakan hasil pengujian ( Wibowo

Moerdoko, 1975 : 195 ).

Page 68: tata busana

53

3. Waktu dan Tempat Penelitian

Eksperimen ketahanan luntur warna batik cap pada proses

pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan dilakukan di

laboratorium tekstil Balai Kerajinan dan Industri Batik, pada bulan

november2005.

4. Tahapan – tahapan Eksperimen

Gambar 17. Skema Tahapan-Tahapan Eksperimen

Kain Batik Cap

Pengujian Tahan Luntur Warna

Data

Analisis

Hasil

Sutera Mori Shantung

Gosokan Pencucian Keringat Penyetrikaan

Try Out

Page 69: tata busana

54

F. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

dengan melakukan penilaian untuk mengetahui kualitas hasil pengujian yang

meliputi ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat, gosokan dan

panas penyetrikaan dengan uji laboratorium. Eksperimen dilakukan di

laboratorium dengan alat-alat yang telah distandartkan. Selanjutnya dilakukan

pengujian kualitas warnanya meliputi pengujian kualitas tahan luntur warna

terhadap pencucian, gosokan, keringat dan panas penyetrikaan dengan

mengamati hasil pengujian dan penilaian dengan gray scale dan staining scale.

1. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Pencucian

a. Ruang Lingkup

Cara pengujian ini dilakukan untuk menentukan tahan luntur warna

terhadap pencucian yang berulang – ulang. Berkurangnya warna dan

pengaruh gosokan yang dihasilkan oleh larutan dan gosokan dari 5 kali

pencucian tangan atau pencucian dengan mesin yang mengandung chlor

dalam rumah tangga, hampir sama dengan satu kali pengujian selama 45

menit.

b. Cara persiapan contoh uji

Contoh uji diambil dengan ukuran 5 x 10 cm kemudian diletakkan

diantara kedua kain putih. Kemudian dijahit pada salah satu sisi yang

pendek. Dua helai kain putih itu masing – masing berukuran 5 x 10 cm

dimana yang sehelai sama dengan contoh uji dan sehelai lagi adalah

menurut pasangan dibawah ini :

Page 70: tata busana

55

Bila yang sehelai : Maka yang sehelai :

Kapas rayon

Sutera kapas

Rayon viscosa kapas ( SII.0115 : 75 ).

c. Cara Uji

1 ). Prinsip Pengujian

Contoh bahan uji dicuci pada kondisi suhu, alkalinitas, pemutihan yang

sesuai dan dan gosokan – gosokan, sehingga berkurangnya warna yang

diinginkan didapat dalam waktu singkat. Gosokan diperoleh dengan

lemparan, geseran serta tekanan, bersama – sama dengan penggunaan

perbandingan larutan yang rendah dan sejumlah kelereng baja.

2 ). Pereaksi dan Peralatan

a). Pereaksi

(1) Natrium hipochlorit

(2) Natrium Metasilikat

(3) Larutan asam asetat 28 %

(4) Sabun dengan syarat sebagai berikut :

(a) Mengandung air dan zat – zat yang menguap pada 105 ‘ C

maksimum 10 %

(b) Jumlah alkali bebas, zat – zat yang tak larut dalam alcohol dan

natrium chlorida maksimum 6 %

(c) Alkali bebas sebagai NaOH maksimum 0,2 %

(d) Zat tak terlarut dalam air maksimum 1,0 %

Page 71: tata busana

56

(e) Titer asam lemak minimum 39 %

(f) Kadar sabun non hidrat minimum 85 %

b). Peralatan

(1) Launderometer atau alat sejenis yang memutarkan bejana yang

tertutup didalam pemanas yang suhunya dapat dikendalikan secara

thermostatic dengan kecepatan 42 putaran per menit. Alat ini

dilengkapi dengan bejana – bejana dan kelereng – kelereng dari baja

tahan karat.

(2) Setrika listrik dengan pemanas 1000 watt

(3) Standart Gray Scale untuk mengetahui perubahan warna

(4) Standart Staining Scale untuk mengetahui penodaan warna

c). Cara uji ( Wibowo Moerdoko, 1975 : 190 )

Pelaksanaan pengujian pada suhu 40 ‘ C yaitu dimaksudkan untuk

pencucian pada suhu rendah. Untuk meniru pencucian dengan tangan

dan perubahan warna sesuai dengan hasil lima kali pencucian dengan

tangan pada suhu 40 ‘ C, prosesnya adalah :

(1). 200 ml larutan yang mengandung 0,5 % volume sabun dan 10

buah kelereng baja dimasukkan dimasukkan kedalam bejana,

kemudian tutup rapat dan dipanasi sampai 40 °C.

(2). Bejana tersebut diletakkan pada tempatnya dengan penutup

menghadap keluar. Pemasangan bejana diatur sedemikian rupa

sehingga tiap sisi terdiri dari sejumlah bejana yang sama.

Page 72: tata busana

57

(3). Untuk pemanasan pendahuluan, mesin dijalankan selama paling

sedikit 2 menit.

(4). Mesin dihentikan dengan bejana tegak lurus keatas, tutup bejana

dibuka dan contoh uji yang telah diremas – remas kedalam larutan

dimasukkan kemudian ditutup kembali dan Launderometer dijalankan

selama 45 menit.

(5).Mesin dihentikan, bejana – bejana diambil dan isinya

dikeluarkan,masing – masing contoh dicuci dua kali di dalam gelas piala

dengan 100 ml air pada suhu 40 ‘ C, selama masing – masing 1 menit

dengan diaduk dan diperas dengan tangan. Kemudian diasamkan dalam

100 ml larutan asam asetat 0,014 % ( 0,05 ml asam asetat 28 % per 100 ml

air ), selama satu menit pada suhu 27 ‘ C. Cuci lagi di dalam 100 ml pada

suhu 27 ‘ C selama satu menit. Akhirnya bahan diperas dengan

hidroekstraktor atau mangel. Contoh uji dikeringkan dengan jalan

menyetrika pada suhu 135 ‘ – 150 ‘ C.

2. Uji Tahan Luntur Warna terhadap gosokan

a. Ruang lingkup

Cara uji ini meliputi cara uji penodaan dari bahan berwarna pada

kain lain yang disebabkan oleh gosokan. Pengujian dilakukan dua kali

yaitu gosokan dengan kain kering dan gosokan dengan kain basah.

b. Cara Persiapan Contoh Uji

Diambil dua contoh uji, satu untuk pengujian kering dan yang lain

untuk gosokan kain basah. Contoh uji dipotong dengan ukuran 5 x 15 cm

dengan panjangnya miring terhadap lusi dan pakan (SII. 0118 : 75 ).

Page 73: tata busana

58

c. Cara Uji

1) Prinsip Pengujian

Contoh uji dipasang pada crockmeter dan digosokkan kain putih kering

dengan kondisi tertentu. Penggosokan ini diulangi dengan kain putih

basah. Staining Scale digunakan untuk menilai penodaan pada kain putih.

2) Peralatan dan Bahan – bahan

a) Peralatan

Crockmeter

Staining Scale

b) Bahan – bahan

Air suling

Kain kapas

c) Cara Uji

(1) Gosokan Kering

Contoh uji diletakkan diatas alat penguji dengan sisi yang panjang searah

dengan arah gosokan. Jari crockmeter dibungkus dengan kain putih kering

dengan anyamannya miring terhadap arah gosokan. Kemudian digosokkan

10 kali maju mundur ( 20 kali gosokan ) dengan memutar alat pemutar 10

kali dengan 10 kali dengan kecepatan satu putaran per detik. Kain putih

diambil dan dievaluasi.

(2) Gosokan Basah

Kain putih dibasahi dengan air suling, diperas diantara kertas saring,

sehingga kadar air dalam kain menjadi 65 ± 5 % terhadap berat kain pada

Page 74: tata busana

59

kondisi standar kelembaban relatif 65 ± 2 % dan suhu 27 ± 2 º C.

Kemudian dikerjakan seperti pada cara gosokan kering secepat mungkin

untuk menghindarkan penguapan. Kain putih dikeringkan di udara

sebelum dievaluasi.

3. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Keringat

a. Ruang Lingkup

Cara uji ini dilakukan untuk menentukan ketahanan luntur warna

pada berbagai macam bahan tekstil berwarna terhadap pengaruh keringat.

b. Cara Persiapan Contoh Uji

Contoh uji dipotong dengan ukuran 6 x 6 cm dan dijahit di antara

sepasang kain putih dengan ukuran yang sama dimana yang sehelai sama

dengan contoh uji dan sehelai lagi adalah menurut pasangan dibawah ini :

Bila yang sehelai : Maka yang sehelai :

Kapas rayon

Sutera kapas

Rayon viscosa kapas ( SII.0117 : 75 ).

c. Cara Uji

1 ). Prinsip Pengujian

Contoh – contoh uji yang terpisah dari bahan tekstil berwarna

direndam dalam larutan keringat buatan bersifat basa dan asam, kemudian

diberikan tekanan mekanik tertentu dan dikeringkan pada suhu yang naik

sedikit demi sedikit.

Page 75: tata busana

60

2 ). Pereaksi dan Peralatan

a). Pereaksi

Larutan keringat buatan bersifat asam

Natrium chlorida : 10 gram

Asam laktat : 1 gram

Dinatrium ortofosfat nonhidrat : 1 gram

Histidin mono hidrochlorida : 0,25 gram

Ditambah air suling sehingga seluruhnya menjadi satu liter

PH larutan harus : 3,5

b). Peralatan

(1) AATCC (American Association of Textile Chemists and Colorists)

Perspiration Tester atau alat yang sejenis.

(2) Alat pemeras jenis mangel yang diperlengkapi dengan pengatur

tekanan.

(3) Gelas piala 500 ml dan pengaduk gelas yang ujungnya dipipihkan.

(4) Standart Gray Scale untuk mengetahui perubahan warna

(5) Standart Staining Scale untuk mengetahui penodaan warna

(6) Lempeng – lempeng kaca atau plastik.

(7) Tungku pengering listrik yang diperlengkapi dengan pengatur suhu.

c). Cara Uji

(1) Sebuah contoh uji direndam sambil diaduk – aduk dalam larutan

keringat buatan yang bersifat asam selama 15 – 30 menit untuk

Page 76: tata busana

61

mendapatkan pembasahan sempurna. Kemudian contoh uji tersebut

diperas sehingga beratnya menjadi 2,5 – 3 kali berat contoh uji semula.

(2) Contoh uji diletakkan di antara 2 lempeng kaca, kemudian contoh uji

dipasang pada perspiration tester dengan diberi tekanan 10 pound (60

gram / cm2) , diatur sedemikian rupa sehingga contoh uji dalam kedudukan

tegak pada waktu diletakkan dalam tungku.

(3) Contoh uji yang telah diberi tekanan tersebut dimasukkan ke dalam

tungku pada suhu 38 ± 1 ºC, selama minimal 6 jam. Bila contoh uji setelah

6 jam belum kering, contoh uji dilepaskan dari perspiration tester,

kemudian dikeringkan di udara pada suhu tidak lebih dari 60º C. Untuk

lebih mudah contoh uji dapat dikerjakan semalam selama 16 jam.

4. Uji Tahan Luntur Warna Terhadap Panas Penyetrikaan

a. Ruang Lingkup

Cara uji tahan luntur warna dari segala macam bentuk bahan

tekstil terhadap panas penyetrikaan. Pengujian ini dilakukan terhadap

bahan tekstil dalam keadaan basah, lembab dan kering.

b. Cara Persiapan Contoh Uji

Contoh uji dibuat berukuran ( 5 x 10 ) cm ( SII. 0120 : 75 ).

c. Cara Uji

1). Prinsip pengujian

Contoh uji disetrika dalam keadaan panas kering, panas lembab atau panas

basah dalam kondisi tertentu dan dievaluasi perubahan dan penodaan

warnanya.

Page 77: tata busana

62

2). Penggunaan dan batas-batasnya

Jenis dan pemakaian akhir suatu kain biasanya akan menentukan

cara pengujian mana yang akan dipakai. Kain yang dapat dicuci dengan

cara dry cleaning harus dikerjakan dengan cara penyetrikaan kering dan

lembab. Kain-kain tersebut dapat dikerjakan langsung dengan setrika

kering dan kemudian disetrika baik dengan dilapisi diatasnya dengan kain

yang lembab atau dengan setrika uap.

Kain-kain yang dapat dicuci harus dikerjakan langsung dengan

cara setrika kering atau dalam keadaan basah.

3). Peralatan

a) Kain kapas putih putih dengan berat ± 118 g/cm2

b) Setrika tangan yang mempunyai berat sedemikian rupa sehingga

memberi tekanan 36 g/cm2. kebanyakan setrika listrik tidak

memberikan tekanan 36 g/cm2 sehingga perlu ditambah pemberat.

c) Press Pad, Permeable terhadap uap.

d) Gray Scale

e) Staining Scale

f) Alat pengukur suhu (Pirometer permukaan, kertas penguji panas

atau Tempil Stick).

4). Cara uji

Contoh uji yang telah dikerjakan terhadap pemanasan atau

pengeringan harus dikondisikan dalam suhu kamar dan kelembaban (65%

RH.27°C)sebelum pengujian.

Page 78: tata busana

63

(a). Penyetrikaan kering

(1) Perubahan warna

Contoh uji diletakkan di atas sepotong kain kapas putih pada

permukaan halus dan horizontal. Setrika tangan dengan suhu yang

telah ditetapkan kemudian diletakkan di atas contoh uji dan dibiarkan

selama 10 detik.

(2) Penodaan warna

Ikuti cara perubahan warna kecuali contoh uji ditutup dengan kain

putih kering.

(b). Penyetrikaan lembab

Contoh uji kering diletakkan di atas kain putih kering. Kain putih

yang kering dibasahi dengan air suling pada suhu kamar dan diperas

sehingga penyerapan basahnya 100%, kemudian diletakkan diatasnya

Setrika tangan yang telah ditentukan suhunya diletakkan selama 10 detik

diatas contoh uji yang telah ditutup dengan kain putih lembab.

(c) Penyetrikaan basah

Contoh uji dan kain putih dibasahi dengan air suling pada suhu

kamar dan diperas sampai mencapai penyerapan basah 100%. Contoh uji

kemudian diletakkan diatas kain putih ditutup dengan kain putih basah dan

setrika tangan dengan suhu yang telah ditentukan kemudian diletakkan

diatasnya selama 15 detik.

Page 79: tata busana

64

G. Validitas Eksperimen

Validitas eksperimen adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat

kevalidan atau kesahihan suatu instrumen (Suharsimi, 2002:144). Validitas

eksperimen yang diusahakan dalam penelitian ini ialah validitas internal dan

validitas eksternal.

1. Validitas Internal

Validitas internal adalah validitas yang berhubungan dengan adanya

faktor-faktor dari dalam yang mempengaruhi eksperimen. Faktor-faktor

tersebut perlu di perhatikan dan dikendalikan.

Alat yang dipakai pengujian tahan luntur warna ialah alat

launderometer, crockmeter, gray scale dan staining scale milik Balai

Kerajinan dan Industri Batik yang sudah distandartkan dan telah ditera

setahun sekali pada saat pengujian dilakukan alat tersebut masih dalam masa

tera sehingga kevalidan alat tepenuhi dan dapat digunakan untuk menguji

secara ilmiah.

2. Validitas Eksternal

Validitas eksternal ialah validitas yang berhubungan dengan

kemungkinan generalisasi kevalidan hasil eksperimen kepada populasi yang

lebih luas. Validitas eksternal diusahakan dengan membatasi dan memberi

karakteristik pada objek penelitian sehingga hasil yang digeneralisasikan pada

objek yang mempunyai karakteristik yang sama.

Dalam penelitian ini validitas eksternal yang diusahakan ialah:

a) Kain sutera dengan ukuran 5 x 10 cm, 5 x 15 cm, 6 x 6 cm, 5 x 10 cm.

Page 80: tata busana

65

b) Kain mori primisima dengan ukuran 5 x 10 cm, 5 x 15 cm, 6 x 6 cm, 5 x

10 cm.

c) Kain shantung dengan ukuran 5 x 10 cm, 5 x 15 cm, 6 x 6 cm, 5 x 10 cm.

H. Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah cara mengevaluasi data yang diperoleh dari

hasil pengumpulan data. Analisis yang dilakukan untuk mencari kualitas kain

batik cap dengan variasi jenis kain sutera, mori primisima, dan shantung yang

meliputi ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat dan panas

penyetrikaan. Metode analisis data ini meliputi analisis deskriptif dan uji

Kruskall Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney.

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan atau memberi

gambaran terhadap objek yang akan diteliti melalui sampel atau populasi,

tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk

umum ( Sugiono, 1997:21).

Penelitian deskriptif dilakukan dalam rangka :

a) Menelaah variabel – variabel lepas dalam suatu fenomena berdasarkan

data yang dikumpulkan dari subjek banyak,

b) Menelaah kasus tunggal secara mendalam,

c) Menganalisis kasus tunggal secara mendalam (Muh, Ali, 1993 : 125 ).

Metode yang digunakan dalam penelitian deskriptif ini adalah

metode studi perbandingan. Metode studi perbandingan dilakukan dengan

Page 81: tata busana

66

cara membandingkan persamaan dan perbedaan berbagai fenomena untuk

mencari faktor apa, atau situasi bagaimana yang menyebabkan timbulnya

suatu peristiwa tertentu. Pelaksanaannya mula – mula diadakan studi

tentang faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya atau munculnya

suatu gejala, kemudian dibandingkan dengan situasi lain. Setelah diketahui

persamaan dan perbedaan penyebab, selanjutnya ditetapkan bahwa sesuatu

faktor yang menyebabkan munculnya suatu gejala pada objek yang diteliti

itulah sebenarnya yang menyebabkan munculnya gejala tersebut, baik

pada objek yang diteliti maupun pada objek yang diperbandingkan. ( Muh.

Ali, 1993 : 186 )

tidak

Gambar 18. Bagan analisis Data

Pada data dengan tipe ordinal, maka pengujian langsung

menggunakan statistik non parametrik yaitu Kruskall Wallis dan

dilanjutkan uji Mann Whitney.

Data yang diperoleh Nominal Ordinal

Uji Kruskall - Wallis Uji Mann Whitney

Uji F (Anava) Uji T (Tukey)

Interval ratio

Normalitas

Parametrik

Non Parametrik

Page 82: tata busana

67

2. Uji Kruskal - Wallis

Uji Kruskal - Wallis digunakan untuk menguji kemaknaan

perbedaan ( jika memang ada perbedaan ) beberapa (k) sampel independen

dengan data berskala ordinal ( Bhisma Murti, 1996 : 110). Data tahan

luntur warna terhadap pencucian, keringat, gosokan dan panas

penyetrikaan yang diperoleh diubah dahulu menjadi bentuk data ordinal (

rangking ) dengan cara mengurutkan semua data dari urutan yang terbesar

sampai yang terkecil. Setiap data tersebut ditandai dengan rangking yang

diperoleh. Perolehan hasil data yang sama maka rangkingnya dapat

dihitung dari rata – rata urutannya. Rumus yang digunakan dalam

pengujian ini adalah :

H = )1(3)1(

12 2

+−+

NnR

nN j

j

Keterangan : k = banyak sampel

nj = banyak kasus dalam sampel ke j

N = ∑ nj = banyak kasus dalam seluruh sampel ( Sugiyono,

1997 : 189 ).

Perlakuan – perlakuan tersebut memberikan hasil yang berbeda

apabila Hhitung > χ2 tabel dengan α = 5 % dan dk = banyaknya kelompok

perlakuan dikurangi satu atau k – 1. kriteria pengujian adalah Hhitung <

Htabel. Maka dapat disimpulkan ada perbedaan antara perlakuan tersebut.

3. Uji Mann Whitney

Uji Mann Whitney digunakan untuk menguji perbedaan lebih

lanjut antar kelompok perlakuan. Rumusnya adalah sebagai berikut :

Page 83: tata busana

68

U1 = ( )

121

21 21

Rnn

nn −+

+

U2 = ( )

222

21 21 Rnnnn −

++

Keterangan :

n1 = jumlah sampel 1

n2 = jumlah sampel 2

U1 = jumlah peringkat 1

U2 = jumlah peringkat 2

R1 = jumlah rangking pada sampel n1

R2 = jumlah rangking pada sampel n2 ( Sugiyono, 1997 : 151 ).

Kriteria pengujiannya Ho diterima yang berarti tidak ada

perbedaan yang signifikan apabila harga U yang terkecil lebih besar dari U

tabel atau diperoleh probabilitas lebih besar 0,05. Untuk mempermudah

perhitungan pada analisis ini digunakan program komputer SPSS 11.0.

Page 84: tata busana

69

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Analisis Deskriptif

a. Tinjauan Umum Griya Batik Larissa Pekalongan

Penelitian ini dilakukan di Griya Batik Larissa Pekalongan yang beralamat

di Pesindon II no 8, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan.

Griya Batik Larissa Pekalongan adalah salah satu pelaku usaha batik yang

masih berjalan dan berproduksi di Pekalongan. Pemilik usaha batik ini adalah

Drs. H. Eddywan.

Usaha batik ini berdiri sejak tahun 1990 dengan diberi nama ‘ Larissa “

yang berasal dari nama anak keduanya. Batik Larissa mempunyai tenaga kerja

sebanyak 70 orang dengan tugas yang berbeda. Kepala produksi 1 orang,

tenaga cap 10 orang, 14 orang tenaga jahit, 5 orang tenaga memotong, 8 orang

tenaga pembatik isen – isen, 10 orang tenaga pewarnaan, 10 orang tenaga

batik tulis, 6 orang tenaga pengepakan, 6 orang tenaga toko.

Hasil kain batik Larissa biasanya berupa pakaian baik pakaian wanita

maupun pakaian pria. Batik Larissa selain membuka showroom di rumah, juga

mempunyai showroom di jalan Hayam Wuruk 122 Pekalongan.

Page 85: tata busana

70

b. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap

Pencucian

Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap pencucian

dapat dilihat dari hasil perubahan warna, penodaan terhadap kapas dan

penodaan terhadap sutera.

1) Perubahan Warna Karena Pencucian

Nilai perubahan warna terhadap pencucian dari ketiga jenis kain dapat

dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Hasil Perubahan Warna Karena Pencucian

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 2 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 3 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 4 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 5 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 6 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil perubahan warna dari ketiga jenis

kain dalam kategori baik, dengan nilai perubahan warnanya 4 untuk jenis kain

shantung dan sutera serta nilai 4-5 untuk mori primisima. Dilihat dari nilainya

menunjukkan bahwa untuk jenis kain mori primisima mempunyai perubahan

warna yang lebih kecil. Pada kain mori primisima dengan nilai 4-5 ini,

mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 0,8 CD, sedangkan

untuk kain shantung dan sutera dengan nilai 4 mempunyai perbedaan warna

dengan gray scale sebesar 1,5 CD.

2) Penodaan Warna terhadap Kapas karena Pencucian

Nilai tahan luntur terhadap pencucian dilihat dari penodaan warna

terhadap kapas dari ketiga jenis kain dapat dilihat pada tabel 7.

Page 86: tata busana

71

Tabel 7. Hasil Penodaan Warna terhadap Kapas karena Pencucian

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 2 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 3 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 4 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 5 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 6 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari

ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai tahan luntur warnanya 4

untuk jenis kain shantung dan mori primisima, serta nilai 4-5 untuk sutera.

Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain sutera mempunyai

penodaan warna terhadap kapas yang lebih kecil. Pada kain sutera dengan

nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan staining scale sebesar 2,0

CD, sedangkan untuk kain shantung dan mori primisima dengan nilai 4

mempunyai perbedaan warna dengan staining scale sebesar 4,0 CD.

3) Penodaan Warna terhadap Sutera Karena Pencucian

Nilai tahan luntur terhadap pencucian dilihat dari penodaan warna

terhadap sutera dari ketiga jenis kain dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8. Hasil Penodaan warna terhadap sutera Karena Pencucian

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4 Baik 4 Baik 4 Baik 2 4 Baik 4 Baik 4 Baik 3 4 Baik 4 Baik 4 Baik 4 4 Baik 4 Baik 4 Baik 5 4 Baik 4 Baik 4 Baik 6 4 Baik 4 Baik 4 Baik

Page 87: tata busana

72

Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari

ketiga jenis kain dalam kategori baik dengan nilai penodaan warna terhadap

sutera sebesar 4 dengan perbedaan warna terhadap staining scale sebesar 4

CD.

c. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Gosokan

Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap gosokan

dapat dilihat dari hasil penodaan warna terhadap kapas kering dan penodaan

warna terhadap kapas basah.

1) Penodaan Warna terhadap Kapas Kering Karena Gosokan

Nilai penodaan warna terhadap kapas kering karena gosokan dari

ketiga jenis kain dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9. Hasil Penodaan Warna terhadap Kapas Kering karena Gosokan

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 2 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 3 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 4 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 5 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 6 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas

kering dari ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai perbedaan

warnanya 4 untuk jenis kain shantung dan sutera serta nilai 4-5 untuk mori

primisima. Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain mori

primisima mempunyai penodaan warna yang lebih kecil. Pada kain mori

primisima dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan gray

scale sebesar 0,8 CD, sedangkan untuk kain shantung dan sutera dengan nilai

4 mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 1,5 CD.

Page 88: tata busana

73

2) Penodaan Warna terhadap Kapas basah karena Gosokan

Nilai penodaan warna terhadap kapas basah karena gosokan dari ketiga

jenis kain dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Hasil Penodaan Warna terhadap Kapas Basah karena Gosokan

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 3-4 Cukup baik 3-4 Cukup baik 4 Baik 2 3-4 Cukup baik 3-4 Cukup baik 4 Baik 3 3-4 Cukup baik 3-4 Cukup baik 4 Baik 4 3-4 Cukup baik 3-4 Cukup baik 4 Baik 5 3-4 Cukup baik 3-4 Cukup baik 4 Baik 6 3-4 Cukup baik 3-4 Cukup baik 4 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna dari ketiga jenis

kain dalam kategori cukup baik untuk jenis kain shantung dan mori primisima

dengan nilai perubahan warnanya 3-4, sedangkan untuk jenis kain sutera

dalam kategori baik dengan nilai perubahan warna sebesar 4. Pada kain jenis

shantung dan mori primisima nilai perubahan warnanya 3-4, yang berarti

perbedaan terhadap gray scale 2,1 CD yang berbeda dengan jenis kain sutera

yang perbedaan warna dengan gray scale sebesar 1,5 CD.

d. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Keringat

Asam

Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap keringat

asam dapat dilihat dari hasil perubahan warna, penodaan terhadap kapas dan

penodaan terhadap rayon.

1) Perubahan Warna Karena Keringat Asam

Nilai perubahan warna terhadap keringat asam dari ketiga jenis kain

dapat dilihat pada tabel 11.

Page 89: tata busana

74

Tabel 11. Hasil Perubahan Warna Karena Keringat Asam

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 2 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 3 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 4 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 5 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik 6 4 Baik 4-5 Baik 4 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil perubahan warna dari ketiga jenis

kain dalam kategori baik, dengan nilai perubahan warnanya 4 untuk jenis kain

shantung dan sutera serta nilai 4-5 untuk mori primisima. Dilihat dari nilainya

menunjukkan bahwa untuk jenis kain mori primisima mempunyai perubahan

warna yang lebih kecil. Pada kain mori primisima dengan nilai 4-5 ini,

mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 0,8 CD, sedangkan

untuk kain shantung dan sutera dengan nilai 4 mempunyai perbedaan warna

dengan gray scale sebesar 1,5 CD.

2) Penodaan Warna terhadap Kapas Karena Keringat Asam

Nilai tahan luntur terhadap keringat asam dilihat dari penodaan warna

terhadap kapas dari ketiga jenis kain dapat dilihat pada tabel 12.

Tabel 12. Hasil Penodaan warna terhadap kapas Karena Keringat Asam

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4 Baik 4 Baik 4-5 Baik 2 3 Cukup 4 Baik 4-5 Baik 3 4-5 Baik 4 Baik 4-5 Baik 4 4-5 Baik 4 Baik 4-5 Baik 5 4-5 Baik 4 Baik 4-5 Baik 6 4-5 Baik 4 Baik 4-5 Baik

Page 90: tata busana

75

Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari

ketiga jenis kain dalam kategori baik, dengan nilai tahan luntur warnanya 4-5

untuk jenis kain shantung dan sutera, serta nilai 4 untuk mori primisima.

Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain shantung dan sutera

mempunyai penodaan warna terhadap kapas yang lebih kecil. Pada kain

shantung dan sutera dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan

staining scale sebesar 2,0 CD, sedangkan untuk mori primisima dengan nilai 4

mempunyai perbedaan warna dengan staining scale sebesar 4,0 CD.

3) Penodaan Warna terhadap Sutera Karena Keringat Asam

Nilai tahan luntur terhadap pencucian dilihat dari penodaan warna

terhadap sutera karena keringat asam dari ketiga jenis kain dapat dilihat pada

tabel 13.

Tabel 13. Hasil Penodaan Warna terhadap Sutera karena Keringat Asam

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4-5 Baik 4 Baik 4 Baik 2 4-5 Baik 4 Baik 4 Baik 3 4-5 Baik 4 Baik 4 Baik 4 4-5 Baik 4 Baik 4 Baik 5 4-5 Baik 4 Baik 4 Baik 6 4-5 Baik 4 Baik 4 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas dari

ketiga jenis kain dalam kategori baik dengan nilai penodaan warna terhadap

sutera sebesar 4 dengan perbedaan warna terhadap staining scale sebesar 4

CD.

Page 91: tata busana

76

e. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Panas

Penyetrikaan

Kualitas batik cap ditinjau dari tahan luntur warna terhadap panas

penyetrikaan dapat dilihat dari hasil perubahan warna dan penodaan warna

terhadap kapas kering.

1) Perubahan Warna Karena panas penyetrikaan

Nilai perubahan warna karena panas penyetrikaan dari ketiga jenis kain

dapat dilihat pada tabel 14.

Tabel 14. Hasil Perubahan Warna karena Panas Penyetrikaan

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4 Baik 4 Baik 4 Baik 2 4 Baik 4 Baik 4 Baik 3 4 Baik 4 Baik 4 Baik 4 4 Baik 4 Baik 4 Baik 5 4 Baik 4 Baik 4 Baik 6 4 Baik 4 Baik 4 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil perubahan warna dari ketiga jenis

kain dalam kategori baik, dengan nilai perubahan warnanya 4. Dilihat dari

nilainya menunjukkan bahwa ketiga jenis kain tersebut mempunyai perbedaan

gray scale sebesar 1,5 CD.

2) Penodaan Warna Karena terhadap Kapas Kering karena Panas

Penyetrikaan

Nilai penodaan warna terhadap kapas kering karena panas

penyetrikaan dari ketiga jenis kain dapat dilihat pada tabel 15.

Page 92: tata busana

77

Tabel 15. Hasil Penodaan Warna terhadap Kapas Kering karena Panas

Penyetrikaan

Jenis Kain Shantung Mori primisima Sutera Ulangan

Nilai Ket Nilai Ket Nilai Ket 1 4-5 Baik 4-5 Baik 4-5 Baik 2 4-5 Baik 4-5 Baik 4-5 Baik 3 4-5 Baik 4-5 Baik 4-5 Baik 4 4-5 Baik 4-5 Baik 4-5 Baik 5 4-5 Baik 4-5 Baik 4-5 Baik 6 4-5 Baik 4-5 Baik 4-5 Baik

Terlihat pada tabel, ternyata hasil penodaan warna terhadap kapas

kering karena panas penyetrikaan dari ketiga jenis kain dalam kategori baik,

dengan nilai penodaan warnanya 4-5. Dilihat dari nilainya menunjukkan

bahwa ketiga jenis kain tersebut mempunyai perbedaan staining scale sebesar

2,0 CD.

2. Analisis Kruskall Wallis dan Mann Whitney Tahan Luntur Warna

a. Kualitas Batik Cap dari Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian

1) Perubahan Warna karena Pencucian

Perbedaan perubahan warna dari ketiga jenis kain ini yaitu sutera, mori

primisima dan shantung secara signifikan ditunjukkan dari hasil uji Kruskall

Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 17 dengan p value = 0,000 < 0,05, yang

berarti ada perbedaan perubahan warna yang signifikan dari ketiga jenis kain

tersebut ( lihat lampiran hal 118). Lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan

antar jenis kain, dapat dilihat dari hasil uji U Mann Whitney, seperti tercantum

pada tabel 16.

Page 93: tata busana

78

Tabel 16. Hasil Uji U Mann Whitney Data Perubahan Warna Karena Pencucian

Perbedaan Perubahan warna Z P value Keterangan Shantung >< Mori primisima -3,317 0,001 Berbeda Shantung >< Sutera 0,00 1,000 Tidak berbeda Mori Primisima >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda

Terlihat pada tabel hasil uji perbedaan menggunakan U Mann Whitney

pada perubahan warna antara kain shantung dan mori primisima serta antara

mori primisima dan sutera diperoleh p value 0,001 < 0,05, yang berarti ada

perbedaan yang signifikan sedangkan hasil uji perbedaan antara shantung dan

sutera diperoleh nilai p value = 1,00 > 0,05, yang berarti tidak ada perbedaan

yang signifikan dari kedua jenis kain tersebut dilihat dari perubahan warnanya.

2) Penodaan Warna terhadap Kapas karena Pencucian

Perbedaan penodaan warna dari ketiga jenis kain ini secara signifikan

ditunjukkan dari hasil uji Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 17

dengan p value = 0,000 < 0,05, yang berarti ada perbedaan penodaan warna

terhadap kapas yang signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran

hal 118 ). Lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan penodaan warna terhadap

kapas antar jenis kain, dapat dilihat dari hasil uji U Mann Whitney, seperti

tercantum pada tabel 17.

Tabel 17. Hasil Uji U Mann Whitney Data Penodaan Warna terhadap Kapas karena Pencucian

Perbedaan Perubahan warna Z P value Keterangan Shantung >< Mori primisima 0,000 1,000 Tidak berbeda Shantung >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda Mori Primisima >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda

Page 94: tata busana

79

Terlihat pada tabel hasil uji perbedaan menggunakan U Mann Whitney

pada penodaan warna terhadap kapas antara kain shantung dan sutera serta

antara mori primisima dan sutera diperoleh p value 0,001 < 0,05, yang berarti

ada perbedaan yang signifikan sedangkan hasil uji perbedaan antara shantung

dan mori primisima diperoleh nilai p value = 1,000 > 0,05, yang berarti tidak

ada perbedaan yang signifikan dari kedua jenis kain tersebut dilihat dari

penodaan warna terhadap kapas.

3) Penodaan Warna terhadap Sutera karena Pencucian

Hasil analisis Kruskall Wallis penodaan warna terhadap sutera pada

kain sutera, mori primisima dan shantung, diperoleh nilai χ2 hitung = 0,000

dengan p value = 1,000 > 0,05, yang berarti tidak ada perbedaan penodaan

warna terhadap sutera yang signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat

lampiran hal 118 ).

b. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Gosokan

1) Penodaan Warna terhadap Kapas Kering karena Gosokan

Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa untuk jenis kain mori

primisima mempunyai penodaan warna yang lebih kecil. Pada kain mori

primisima dengan nilai 4-5 ini, mempunyai perbedaan warna dengan gray

scale sebesar 0,8 CD, sedangkan untuk kain shantung dan sutera dengan nilai

4 mempunyai perbedaan warna dengan gray scale sebesar 1,5 CD. Perbedaan

penodaan warna dari ketiga jenis kain ini secara signifikan ditunjukkan dari

hasil uji Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 17 dengan p value =

0,000 < 0,05, yang berarti ada perbedaan penodaan warna yang signifikan dari

Page 95: tata busana

80

ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran hal 118 ). Lebih lanjut untuk

mengetahui perbedaan antar jenis kain, dapat dilihat dari hasil uji U Mann

Whitney, seperti tercantum pada tabel 18.

Tabel 18. Hasil Uji U Mann Whitney Data Penodaan Warna terhadap Kapas Kering karena Gosokan

Perbedaan Perubahan warna Z P value Keterangan Shantung >< Mori primisima 0,000 1,000 Tidak berbeda Shantung >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda Mori Primisima >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda

Terlihat pada tabel hasil uji perbedaan menggunakan U Mann Whitney

pada penodaan warna terhadap kapas kering karena gosokan antara kain

shantung dan sutera serta antara mori primisima dan sutera diperoleh p value

0,001 < 0,05, yang berarti ada perbedaan yang signifikan sedangkan hasil uji

perbedaan antara shantung dan mori primisima diperoleh nilai p value = 1,00

> 0,05, yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua jenis kain

tersebut dilihat dari penodaan warnanya terhadap kapas kering karena

gosokan.

2) Penodaan Warna terhadap Kapas Basah karena Gosokan

Perbedaan penodaan warna dari ketiga jenis kain ini secara signifikan

ditunjukkan dari hasil uji Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 17

dengan p value = 0,000 < 0,05, yang berarti ada perbedaan penodaan warna

yang signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran hal 118 ). Lebih

lanjut untuk mengetahui perbedaan antar jenis kain, dapat dilihat dari hasil uji

U Mann Whitney, seperti tercantum pada tabel 19.

Page 96: tata busana

81

Tabel 19. Hasil Uji U Mann Whitney Data Penodaan Warna terhadap Kapas Basah karena Gosokan

Perbedaan Perubahan warna Z p value Keterangan Shantung >< Mori primisima 0,000 1,000 Tidak berbeda Shantung >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda Mori Primisima >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda

Terlihat pada tabel hasil uji perbedaan menggunakan U Mann Whitney

pada penodaan warna karena gosokan antara kain shantung dan sutera serta

antara mori primisima dan sutera diperoleh p value = 0,001 < 0,05, yang

berarti ada perbedaan yang signifikan sedangkan hasil uji perbedaan antara

shantung dan mori primisima diperoleh nilai p value = 1,00 > 0,05, yang

berarti tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua jenis kain tersebut

dilihat dari penodaan warnanya karena gosokan.

c. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Keringat Asam

1) Perubahan Warna karena Keringat Asam

Perbedaan perubahan warna dari ketiga jenis kain ini secara signifikan

ditunjukkan dari hasil uji Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 17

dengan p value = 0,000 < 0,05, yang berarti ada perbedaan perubahan warna

yang signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran hal 118). Lebih

lanjut untuk mengetahui perbedaan antar jenis kain, dapat dilihat dari hasil uji

U Mann Whitney, seperti tercantum pada tabel 20.

Tabel 20. Hasil Uji U Mann Whitney Data Perubahan Warna Karena Keringat Asam

Perbedaan Perubahan warna Z P value Keterangan Shantung >< Mori primisima -3,317 0,001 Berbeda Shantung >< Sutera 0,00 1,000 Tidak berbeda Mori Primisima >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda

Page 97: tata busana

82

Terlihat pada tabel hasil uji perbedaan menggunakan U Mann Whitney

pada perubahan warna karena keringat asam antara kain shantung dan mori

primisima serta antara mori primisima dan sutera diperoleh p value 0,001 <

0,05, yang berarti ada perbedaan yang signifikan sedangkan hasil uji

perbedaan antara shantung dan sutera diperoleh nilai p value = 1,00 > 0,05,

yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua jenis kain tersebut

dilihat dari perubahan warnanya karena keringat asam

2) Penodaan Warna terhadap Kapas karena Keringat Asam

Perbedaan penodaan warna dari ketiga jenis kain ini secara signifikan

ditunjukkan dari hasil uji Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 9,955

dengan p value = 0,007 < 0,05, yang berarti ada perbedaan penodaan warna

terhadap kapas yang signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran

hal 118 ). Lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan penodaan warna terhadap

kapas antar jenis kain, dapat dilihat dari hasil uji U Mann Whitney, seperti

tercantum pada tabel 21.

Tabel 21. Hasil Uji U Mann Whitney Data Penodaan Warna terhadap Kapas Karena Keringat asam

Perbedaan Perubahan warna Z p value Keterangan Shantung >< Mori primisima -1,643 0,100 Tidak berbeda Shantung >< Sutera -1,477 0,140 Tidak berbeda Mori Primisima >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda

Terlihat pada tabel hasil uji perbedaan menggunakan U Mann Whitney

pada penodaan warna terhadap kapas antara kain shantung dan sutera serta

antara shantung dan mori primisima diperoleh p value lebih besar dari 0,05,

yang berarti tidak ada perbedaan yang signifikan, sedangkan hasil uji

perbedaan antara mori primisima dan sutera diperoleh nilai p value = 0,001 <

Page 98: tata busana

83

0,05, yang berarti ada perbedaan yang signifikan dari kedua jenis kain tersebut

dilihat dari penodaan warna terhadap kapas karena keringat asam.

3) Penodaan Warna terhadap Sutera karena Keringat Asam

Dilihat dari nilainya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

penodaan warna terhadap sutera yang signifikan, terbukti dari hasil uji

Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 17 dengan p value = 0,000 <

0,05, yang berarti ada perbedaan penodaan warna terhadap sutera yang

signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran hal 118 ).

Lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan penodaan warna terhadap

sutera antar jenis kain, dapat dilihat dari hasil uji U Mann Whitney, seperti

tercantum pada tabel 22.

Tabel 22. Hasil Uji U Mann Whitney Data Penodaan Warna terhadap Sutera karena Keringat Asam

Perbedaan Perubahan warna Z p value Keterangan Shantung >< Mori primisima -3,317 0,001 Berbeda Shantung >< Sutera -3,317 0,001 Berbeda Mori Primisima >< Sutera 0,000 1,000 Tidak berbeda

Terlihat pada tabel hasil uji perbedaan menggunakan U Mann Whitney

pada penodaan warna terhadap sutera antara kain shantung dan sutera serta

antara shantung dan mori primisima diperoleh p value kurang dari 0,05, yang

berarti ada perbedaan yang signifikan, sedangkan hasil uji perbedaan antara

sutera dan mori primisima diperoleh nilai p value = 1,000 > 0,05, yang berarti

tidak ada perbedaan yang signifikan dari kedua jenis kain tersebut dilihat dari

penodaan warna terhadap sutera karena keringat asam

Page 99: tata busana

84

d. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Panas

Penyetrikaan

1) Perubahan Warna karena Panas Penyetrikaan

Ketiganya tidak berbeda nyata nilai perubahan warnanya, terbukti dari

hasil uji Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 0,000 dengan p value

= 1,000 > 0,05, yang berarti tidak ada perbedaan perubahan warna yang

signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran hal 118 ).

2) Penodaan Warna terhadap Kapas Kering karena Panas Penyetrikaan

Ketiganya tidak berbeda nyata nilai penodaan warnanya, terbukti dari

hasil uji Kruskall Wallis yang diperoleh nilai χ2 hitung = 0,000 dengan p value

= 1,000 > 0,05, yang berarti tidak ada perbedaan penodaan warna terhadap

kapas yang signifikan dari ketiga jenis kain tersebut ( lihat lampiran hal 118).

B. Pembahasan

1. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap

Pencucian

Hasil uji kualitas batik cap dilihat dari tahan luntur warna terhadap

pencucian menunjukkan bahwa batik cap dari bahan shantung, mori primisima

dan sutera dalam kategori baik. Nilai perubahan warna ketiganya dalam

kategori baik, artinya ketiga jenis kain tersebut mempunyai ketahanan luntur

yang baik yang mempunyai nilai 4 pada shantung dan sutera, sedangkan mori

primisima mempunyai nilai 4 - 5. Dari ketiga jenis kain tersebut ternyata batik

cap dari bahan mori primisima mempunyai nilai ketahanan luntur yang lebih

baik daripada batik cap dari bahan shantung dan sutera. Kain kapas sangat

Page 100: tata busana

85

higroskopis, selain itu kain kapas yang telah dimerserisasi mempunyai daya

serap yang lebih tinggi terhadap zat celup ( pewarnaan ). Hal ini sesuai teori

dari Enny Zuhni Khayati ( 1997 : 6 ) bahwa serat kapas sangat higroskopis

dan lebih tahan alkali dibanding sutera dan shantung. Kain dapat dicuci dan

dikelantang dalam sabun yang mengandung lindi.

Dilihat dari penodaan warna terhadap kapas, batik cap dari bahan

sutera mempunyai nilai yang lebih baik dibandingkan mori primisima dan

shantung yaitu 4 – 5. Nilai penodaan warna batik cap dari bahan mori

primisima dan shantung adalah 4. Nilai penodaan warna terhadap sutera pada

ketiga jenis kain ini terhadap sutera adalah 4.

2. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Gosokan

Kualitas tahan luntur warna batik cap terhadap gosokan, batik cap yang

terbuat dari kain sutera lebih baik. Hal ini dilihat dari nilai penodaan warna

pada kapas basah yaitu 4-5 dan penodaan pada kapas kering yaitu 4. Penodaan

warna pada kapas kering, batik cap dari bahan shantung dan mori primisima

mendapat nilai 4 sedangkan pada penodaan terhadap kapas basah mendapat

nilai 3-4. Kain batik cap dari jenis sutera mempunyai permukaan yang licin

dan daya serap air yang tinggi sehingga penodaan warna lebih baik. Sutera

selain bersifat kenyal juga berifat ringan, licin dan berkilau lembut

(Soeprijono, 1974 : 106).

3. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Keringat

Asam

Kualitas batik cap dari ketiga jenis kain ditinjau dari tahan luntur

warna terhadap keringat asam dalam kategori baik. Nilai perubahan warna

untuk batik cap dari bahan mori primisima ternyata lebih baik daripada jenis

Page 101: tata busana

86

shantung dan sutera yaitu 4-5. Mori primisima lebih tahan alkali, sehingga

tidak mudah rusak oleh keringat, berbeda dengan sutera dan shantung yang

tidak tahan alkali. Serat kapas lebih tahan alkali dan tidak mudah rusak oleh

keringat (Eni Zuhni Khayati, 1997: 6). Sehingga kualitas batik cap terhadap

keringat, perubahan warna kain mori primisima lebih baik. Nilai perubahan

warna batik cap dari bahan shantung dan sutera adalah 4. Nilai penodaan

warna terhadap kapas, batik cap dari bahan sutera adalah 4-5 sedangkan batik

cap dari bahan mori primisima mempunyai nilai 4. Penodaan warna terhadap

kapas karena keringat asam, kain sutera lebih baik. Hal ini disebabkan

permukaan sutera yang lebih licin dibandingkan mori primisima dan shantung.

Untuk nilai penodaan warna terhadap sutera, batik cap dari bahan shantung

lebih baik yaitu mempunyai nilai 4-5 dan batik cap dari bahan mori primisima

dan sutera mendapat nilai 4.

4. Kualitas Batik Cap dilihat dari Tahan Luntur Warna terhadap Panas

Penyetrikaan

Perubahan warna dan penodaan warna terhadap kapas kering pada

panas penyetrikaan dari ketiga jenis kain termasuk dalam kategori baik. Pada

perubahan warna mempunyai nilai 4 dan penodaan warna terhadap kapas

kering 4 – 5. Hal ini disebabkan batik cap dari bahan mori primisima dan

shantung tahan terhadap temperatur tinggi sehingga tahan pada panas

penyetrikaan 204 º C - 218º C seperti pada pengujian tahan luntur warna

terhadap panas penyetrikaan. Serat kapas menurut Enny Zuhni Khayati ( 1997

: 6 ) tahan terhadap temperatur tinggi, kain tahan panas setrika dan dapat

direbus. Sutera kurang tahan terhadap panas penyetrikaan, tetapi masih tahan

pada penyetrikaan suam – suam kuku. Menurut Soeprijono (1974 : 106),

Page 102: tata busana

87

sutera mempunyai daya tahan panas sampai suhu 144ºC dalam waktu yang

tidak lama. Pemanasan pada suhu 140ºC dengan waktu yang cukup lama dapat

menyebabkan perubahan warna dan kekuatannya menurun.

Berdasarkan hasil pengujian tersebut, secara umum ketiga jenis kain

yakni: shantung, mori primisima dan sutera mempunyai nilai ketahanan luntur

warna terhadap pencucian, keringat asam, panas penyetrikaan dan gosokan

yang baik.

C. Keterbatasan Penelitian

Ada beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain :

1. Penelitian ini tidak menguji tahan luntur warna terhadap cahaya, obat

pemutih maupun sinar lampu karbon.

2. Proses pencucian hanya menggunakan sabun sesuai dengan SII dan tidak

digunakan sabun netral atau lunak.

Page 103: tata busana

69

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Kualitas ketahanan luntur warna batik cap terhadap pencucian di Griya

Batik Larissa Pekalongan pada ketiga jenis kain yaitu sutera, mori

primisima dan shantung, pada perubahan warnanya memberikan hasil nilai

“baik”, dan mempunyai nilai “baik” pada penodaan warna terhadap kapas

dan sutera.

2. Kualitas ketahanan luntur warna batik cap terhadap gosokan di Griya Batik

Larissa Pekalongan pada ketiga jenis kain yaitu sutera, mori primisima dan

shantung, pada penodaan warna terhadap kapas kering memberikan hasil

nilai “baik”, dan mempunyai nilai “baik” pada penodaan warna terhadap

kapas basah.

3. Kualitas ketahanan luntur warna batik cap terhadap keringat di Griya Batik

Larissa Pekalongan pada ketiga jenis kain yaitu sutera, mori primisima dan

shantung, pada perubahan warnanya memberikan hasil nilai “baik”, dan

mempunyai nilai “baik” pada penodaan warna terhadap kapas dan sutera.

4. Kualitas ketahanan luntur warna batik cap terhadap panas penyetrikaan di

Griya Batik Larissa Pekalongan pada ketiga jenis kain yaitu sutera, mori

primisima dan shantung, pada perubahan warnanya memberikan hasil nilai

“baik”, dan mempunyai nilai “baik” pada penodaan warna terhadap kapas.

Page 104: tata busana

70

B. Saran

Saran yang diberikan berdasarkan hasil dan keterbatasan penelitian adalah

sebagai berikut :

1. Griya Batik Larissa perlu meningkatkan kualitas produknya.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan variabel yang lain.

Page 105: tata busana

90

DAFTAR PUSTAKA

Bhisma Murti. 1996. Penerapan Metode Statistik Non- Parametrik dalam Ilmu- Ilmu Kesehatan. Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama.

Depdiknas. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka

Didik Riyanto. 1997. Proses Batik. Surakarta : CV Aneka.

Duwi Susanti. 2005. Skripsi. Pemanfaatan Daun Pepaya Sempurna ( Caricae Papaya Linn ) untuk Pencelupan Kain Sutera dengan Konsentrasi Mordan Tawas. Semarang : Universitas Negeri Semarang.

Enny Zuhni Khayati. 1997. Ilmu Tekstil . Yogyakarta : IKIP Yogyakarta.

Euis Halisotan, dkk. 1999. Zat Warna Alami : Restospek dan Prospek. Yogyakarta : ITB

Hasanudin. 2001. Batik Pesisiran. Bandung : PT Kiblat.

Jumaeri. 1977. Pengetahuan Barang Teksti. Bandung : Institut Teknologi Tekstil. Muhamad Ali,1993. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung :

Angkasa. Murtihadi, Mukminatun. 1979. Petunjuk Teknologi Batik. Jakarta Depdikbud

Nian S. Djoemena. 1990 a. Ungkapan Sehelai Batik, Jakarta : Djambatan.

----- 1990 b. Batik dan Mitra. Jakarta : Djambatan.

Riyanto, dkk. 1997. Katalog Batik Indonesia. Yogyakarta : BPBK

S.K Sewan Susanto, 1973. Seni Kerajinan Batik Indonesia, Yogyakarta, Balai Penelitian Batik Dan Kerajinan Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri Departemen Perindustrian.

Soeprijono P. 1974 . Serat – serat Tekstil. Bandung : ITB. Standar Industri Indonesia. 1980. Cara Uji Tekstil. Bandung : Balai Besar

Penelitian dan Pengembangan Industri Tekstil. Sugiono. 1997. Statistika Untuk Penelitian. Bandung : CV Alfabeta.

Sudjana. 1996. Desain dan Analisis Eksperimen. Jakarta. Tarsito.

Page 106: tata busana

91

Suharsimi Arikunto. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.

Jakarta : Rineka Cipta.

Trias Purwadi. 2004. Menginventarisasi Batik Pekalongan.http://www.suara merdeka.com/8 oktober 2004/.( 3 september 2005 ).

----- 2005. Batik Pesisiran Lebih Bebas dan kaya Motif .http://www.suara

merdeka.com/22 maret 2005/.( 8 desember 2005 ).

UNNES. 2002. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Semarang : UNNES Press.

Wibowo Moerdoko, dkk. 1975. Evaluasi Tekstil Bagian Kimia. Bandung. ITT.

Page 107: tata busana

HASIL DOKUMENTASI FOTO ALAT UJI LABORATORIUM

1. Alat Uji Tahan Luntur Warna terhadap Pencucian

Gambar 17. Launderometer

2. Alat Uji Tahan Luntur Warna terhadap Keringat

Gambar 18. AATCC Perspiration Tester

Page 108: tata busana

3. Alat Uji Tahan Luntur Warna terhadap Gosokan

Gambar 19. Crockmeter

Page 109: tata busana

FOTO DOKUMENTASI PROSES PEMBATIKKAN

1. Proses Mencap Mori dengan Lilin Batik

Gambar 20. Proses Pengecapan

Gambar 21. Contoh Canting Cap

Page 110: tata busana

2. Proses Pewarnaan

Gambar 22. Proses Pewarnaan

3. Proses Menghilangkan Lilin Batik

Gambar 23. Cara lorodan

Page 111: tata busana

Gambar 24. Cara Ngremuk