22
1 RESTRUKTURISASI BUMN MENJADI HOLDING COMPANY Dr. Toto Pranoto Dr. Willem A. Makaliwe (Tim Riset Lembaga Management FEUI) This research is designed as a learning material for the public, academics, as well as corporations, about the experience of restructuring state-owned enterprises. The method used in this study is based on a combination of the assessment on company performance, examination of SOEs restructuring strategic plan made by policy makers, and in-depth interviews with relevant resource persons. There are several SOE restructuring plan that inhibited or unperformed due to complexity of the bureaucratic process. Based on case studies noted that decision makers have to ensure some points, i.e. ideal restructuring model, simple bureaucratic, good planning, and great leadership, are fulfilled in order to succeed the corporate restructuring. Kunci keberhasilan restrukturisasi BUMN terletak pada bagaimana pemerintah secara tegas memilih metode yang paling sesuai dalam pencapaian hasil yang disepakati, seperti efisiensi pengendalian kebijakan, dan penguatan mata rantai aktivitas, untuk mencapai peningkatan nilai perusahaan. Merujuk praktek yang dijalankan di banyak negara, terdapat beberapa pilihan metode restrukturisasi, seperti pembentukan Holding Company, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merjer dan akuisisi), penjualan saham kepada publik (IPO), penjualan kepada mitra strategis (Strategic Sale), penjualan kepada manajemen pengelola (MBO), Kontrak Manajemen, serta aliansi strategis lainnya. Implementasi dari Masterplan 20142019 Kementerian BUMN Republik Indonesia, terutama sehubungan dengan restrukturisasi BUMN, acapkali terhambat oleh karena realisi perencanaan tersebut harus disertai dengan produk hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini yang kemudian menjadi salah satu kelemahan restrukturisasi BUMN. Banyaknya stakeholder terkait, membuat proses pengambilan keputusan harus melewati proses birokrasi yang panjang dan rumit. Karena itu pihak

RESTRUKTURISASI BUMN MENJADI HOLDING COMPANY

  • Upload
    lmfeui

  • View
    2.272

  • Download
    11

Embed Size (px)

DESCRIPTION

RESTRUKTURISASI BUMN MENJADI HOLDING COMPANY

Citation preview

1

 

RESTRUKTURISASI BUMN MENJADI HOLDING COMPANY 

Dr. Toto Pranoto 

Dr. Willem A. Makaliwe 

(Tim Riset Lembaga Management FEUI)  

 

 

This research is designed as a learning material for the public, academics, as well as

corporations, about the experience of restructuring state-owned enterprises. The method used in

this study is based on a combination of the assessment on company performance, examination of

SOEs restructuring strategic plan made by policy makers, and in-depth interviews with relevant

resource persons. There are several SOE restructuring plan that inhibited or unperformed due

to complexity of the bureaucratic process. Based on case studies noted that decision makers have

to ensure some points, i.e. ideal restructuring model, simple bureaucratic, good planning, and

great leadership, are fulfilled in order to succeed the corporate restructuring.

 

Kunci keberhasilan restrukturisasi BUMN terletak pada bagaimana pemerintah secara tegas memilih metode 

yang  paling  sesuai  dalam pencapaian  hasil  yang  disepakati,  seperti  efisiensi  pengendalian  kebijakan,  dan 

penguatan mata  rantai  aktivitas,  untuk mencapai  peningkatan  nilai  perusahaan.   Merujuk  praktek  yang 

dijalankan di banyak negara, terdapat beberapa pilihan metode restrukturisasi, seperti pembentukan Holding 

Company,   penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (merjer dan akuisisi), penjualan saham kepada 

publik  (IPO),  penjualan  kepada mitra  strategis  (Strategic  Sale),  penjualan  kepada manajemen  pengelola 

(MBO), Kontrak Manajemen, serta aliansi strategis lainnya.  

 

Implementasi  dari  Masterplan    2014‐2019  Kementerian  BUMN  Republik  Indonesia,  terutama 

sehubungan dengan restrukturisasi BUMN, acapkali terhambat oleh karena realisi perencanaan tersebut 

harus disertai dengan produk hukum, yakni Peraturan Pemerintah (PP). Hal  ini yang kemudian menjadi 

salah  satu  kelemahan  restrukturisasi  BUMN.  Banyaknya  stakeholder  terkait,  membuat  proses 

pengambilan  keputusan  harus melewati  proses  birokrasi  yang  panjang  dan  rumit.  Karena  itu  pihak 

2

pengambil kebijakan akan menyusun Masterplan BUMN 2014‐2019 yang bersifat bottom‐up. Dalam hal 

ini Kementerian melibatkan BUMN  (terutama  yang bergerak di bidang  sekuritas dan  investasi) untuk 

melakukan kajian mengenai target dan perencanaan BUMN ke depan. 

 

Ide awal dari pembentukan holding company sebagai pilihan untuk restrukturisasi BUMN adalah untuk 

optimalisasi manajemen.  Jika  beberapa BUMN  di  sektor  yang  sama  di‐holding‐kan maka  paling  tidak 

akan  ada  share  support  di  dalam  holding  tersebut, misalkan  human  capital,  distribution,  information 

communication  and  technology)  dan  sebagainya.  Selain  itu  pembentukan  holding  BUMN  akan 

meningkatkan  fleksibilitas  perusahaan,  yang  pada  gilirannya  anak  perusahaan  akan  bergerak  sebagai 

pure  corporate.  Bentuknya  dapat  berupa:  financial  (investment)  holding  company,  strategic  holding 

company  (dengan  jenis  varian  yang  ada),  atau  operational  holding  company,  yang  tergantung  dari 

perbedaan  karakteristik  anak  perusahaan,  value  yang  diharapkan  dari  holding.  Pembentukan  holding 

company  ini  berbeda  dengan  perusahaan  induk  yang  sudah  berdiri  dan  membentuk  anak‐anak 

perusahaan untuk menunjang aktivitasnya. 

 

Holding BUMN  Industri Pupuk dan Semen  telah berjalan saat  ini, dengan proses  inisiasi pembentukan 

holding  telah  dimulai  sejak  tahun  1990‐an.  Yang  mana  cikal  bakal  pembentukan  Pupuk  Indonesia 

Holding Company  (PIHC), dimulai  sejak Pupuk Sriwijaya menjadi  induk perusahaan bagi empat BUMN 

sektor industri pupuk pada tahun 1997. Sedangkan, inisiasi pembentukan Semen Indonesia dimulai sejak 

Semen Gresik mengakuisisi  Semen  Padang  dan  Semen  Tonasa  pada  tahun  1995.  Lebih  lanjut  terkait 

dengan  restrukturisasi  BUMN  dalam  hal  Holding  Company,  Peraturan  Pemerintah  (PP)  tentang 

pembentukan  induk perusahaan BUMN Perkebunan dan Kehutanan sedang dalam tahapan menunggu 

persetujuan  Presiden.  Hal  tersebut  dikarenakan  rencana  tersebut  tidak  tercantum  dalam  Program 

Legislasi Nasional (Prolegnas).  

 

Konsistensi merupakan salah satu isu yang harus diperhatikan guna mencapai kelancaran implementasi 

Masterplan  BUMN.  Hal  ini  didasari  oleh  karena,  produk  hukum  yang mendasari Masterplan  BUMN 

hanya  dapat  sebatas  Peraturan  Menteri,  sehingga  sangat  dimungkinkan  perombakan  Masterplan 

tersebut apabila terjadi pergantian Menteri. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan konsistensi 

kepemimpinan agar design pengelolaan BUMN dapat berjalan secara berkesinambungan. 

 

3

Berdasarkan  Undang‐Undang  yang  berlaku,  restrukturisasi  badan  usaha  terdiri  dari  empat  opsi,  di 

antaranya  adalah  pembentukan  holding,  penggabungan,  peleburan,  dan  pengambilalihan.  Perbedaan 

Holding  Company  dengan  opsi  lainnya merujuk  pada  beberapa  faktor  yang  harus  dipertimbangkan. 

Konsekuensi dari restrukturisasi suatu badan usaha adalah perubahan perlakuan dalam beberapa aspek 

internal  perusahaan.  Beberapa  aspek  tersebut  di  antaranya  adalah  aspek  teknis  (operasional),  aspek 

legal, aspek organisasi dan sumber daya manusia, dan aspek perpajakan.  Dimana menurut aspek legal, 

keempat bentuk  restrukturisasi  tersebut memiliki beberapa perbedaan. Hal  tersebut dapat dijelaskan 

melalui tabel berikut. 

 

Tabel 1. Aspek Hukum terkait Restrukturisasi 

Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI

4

Tabel 2. Aspek Hukum terkait Restrukturisasi (lanjutan) 

Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI

 

 

Selain aspek hukum, restrukturisasi suatu badan usaha juga perlu memperhatikan perubahan yang akan 

terjadi  dalam  sistem  kepegawaian  perusahaan.  Perubahan  tersebut  diantaranya  adalah  perbedaan 

status  kepegawaian,  sistem  remunerasi,  budaya  perusahaan,  dan  sebagainya.  Beberapa  poin  dalam 

aspek SDM dan budaya perusahaan dapat dijelaskan melalui tabel berikut. 

5

Tabel 3. Aspek Sumber Daya Manusia dan Budaya Perusahaan terkait Restrukturisasi 

SU B STAN S I   HO LD IN G    PENG GABUN G AN PELEBURAN P EN G AMB ILALIHAN

STATU S KEPEGAW AIAN   

St a tus  p egaw ai   di  perusahaan  in duk  bi sa  berb eda dengan  d i anak  perusahaan   

Sta t us  pegawa i d i d ua  peru sah aan   yang  dig abungk an  menjadi sa t u  (m o no   st a tus) 

St a tus  p egaw ai  di dua  peru sah aan  yan g dileb ur   menjadi sa tu  (m on o  sta t us)  

S ta tu s  pegawa i  di p eru sah aan   ind uk bisa  b erb eda dengan  d i anak p eru sah aan   

SIS TEM   SD M  (term asuk  REM UN ERAS I)  

Si stem  SDM  (term asuk rem u ner asi)   di  perusahaan  in duk  bi sa  berb eda dengan  d i anak  perusahaan   

Si st em  SDM  (term asu k rem un era si)  di dua  peru sah aan   yang  dig abungk an  menjadi sa t u   

Si stem  SDM  (term a suk re mu ner as i)    di  dua  peru sah aan  yan g dileb ur menjadi sa tu    

S ist em  SD M   (term asuk  r em un era si)  di p eru sah aan   ind uk bisa  b erb eda dengan  d i anak p eru sah aan   

BU DAYA  PERU SAHAAN   

Bu daya    perusahaan  di perusahaan  in duk  bi sa  berb eda dengan  d i anak  perusahaan   

Bud ay a    perusahaan   di dua  perusahaan  yang  di g ab ung kan  menjadi  sa tu   

Bu daya    perusahaan   di  dua  peru sah aan  yan g dileb ur menjadi sa tu    

B uday a    p erusahaan  di p eru sah aan   ind uk bisa  b erb eda dengan  d i anak p eru sah aan   

JUM L AH  PEG AWAI    Jum l ah  pegawa i akan  bert am b ah  ka r ena  or g an isa si  di kant or  hol din g  

Jum l ah  pegaw ai  dapa t berk ur an g  ka r ena  ada  fung si y ang  tadi ny a ad a di m asi ng‐masing peru sah aan   seka r ang  dij ad ik an  sa tu   

Jum lah  pegawa i dapa t berk ur an g ka r ena  ada  fu ng si  yan g  tadin ya  ada  di  masing ‐masing  perusahaan  seka r ang di jadik an  sa tu   

J um lah  peg aw ai bi sa  sa ja  d iper tahank an  seper ti sed ia  k al a   

BIAYA   SDM    Bi aya  SDM  bisa  ber tam bah  k a rena  ada  tam bah an  per sone l di  kant or holdin g.   

Biay a pegaw ai  ter ka i t go lden   shakeh and  tid ak  sebesa r  yang  ter jadi di pe lebur an  ka r ena  akan  dim anfaa tk an  ol eh  pegaw ai  di  sa tu  peru sah aan   saj a  namun   terg ant ung  kebi ja k an   sur viv a l com p any   

Bi aya  pegawa i ter ka i t gold en  shake  hand  bisa  sa ja  besa r  ka r ena  akan  dim anfaa t kan  ol eh  pegawa i d i dua  peru sah aan    

B iay a pegaw ai  ter ka it  gol den   sh akehand  ti dak seb esa r  y ang  ter jadi d i p e lebur an  k a rena  ad a k em ungk in an  d im anfaa tk an  ol eh  p egaw ai di  sat u  p eru sah aan   sa j a   

  

Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI

 

6

Perbedaan  bentuk  restrukturisasi  badan  usaha  akan  berpengaruh  terhadap  perlakuan  pajak  yang 

dikenakan  pada  badan  usaha  tersebut.  Sehingga  hal  tersebut  perlu  dipertimbangkan  sebelum 

melakukan  restrukturisasi.  Perbedaan  perlakuan  pajak  dalam  empat  bentuk  restrukturisasi 

dirangkumkan pada tabel berikut. 

 

Tabel 4. Aspek Perpajakan terkait Restrukturisasi 

 

Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI

 

 

 

 

7

2.    Perjalanan Restrukturisasi BUMN di Indonesia 

Pada tahun 1997/1998 program privatisasi di  Indonesia tidak berjalan. Selain disebabkan kondisi sosial 

politik yang tidak mendukung, program privatisasi  juga dikritik karena tidak  transparan, tidak memiliki 

prosedur yang  jelas, serta tidak dijalankan oleh  lembaga yang memiliki komitmen dan kapabilitas yang 

memadai. Situasi  sosial politik  tahun 1997‐1998 yang  sangat bergejolak, di mana  terjadi  transformasi 

kepemimpinan nasional secara fundamental, menyebabkan kebijakan privatisasi sulit untuk dijalankan. 

 

Kebijakan privatisasi BUMN mulai marak terutama pada era pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Pada 

tahun 1999, pemerintah   menerbitkan Master Plan Reformasi BUMN 1999‐2004, yang mengandung tiga 

kebijakan pokok pengelolaan BUMN, yaitu restrukturisasi, profitisasi dan privatisasi untuk mensinergikan 

158 BUMN yang ada sehingga menciptakan nilai tambah bagi BUMN. Dalam fase ini, kebijakan privatisasi 

BUMN  terutama  didorong  oleh  hasil  kesepakatan  antara  International Monetary  Fund  (IMF)  dengan 

Pemerintah RI terkait dengan Kebijakan Reformasi Struktural (structural reform policy) yang tercantum 

dalam berbagai Letter of Intent (LOI) yang ditandatangani oleh Pemerintah RI sebagai kompensasi atas 

pemberian pinjaman oleh IMF berupa extended fund facility (EFF) kepada Pemerintah RI.  

 

Pada tahun 1999 program privatisasi telah dilakukan atas sejumlah BUMN seperti Semen Gresik, Telkom 

(lanjutan), Pelindo,  Indosat, Kimia Farma, Bank Mandiri. Pada periode 1999‐2004  ini proses privatisasi 

mengalami banyak hambatan  tidak saja dari kalangan  legislator dan karyawan namun  juga dari publik 

luas yang mencapai puncaknya pada kasus spinn‐off PT Semen Padang. Menurut referensi, penolakan ini 

antara  lain disebabkan oleh  faktor  kurangnya  sosialisasi, dan perbedaan metoda divestasi. Walaupun 

pemerintah  telah memiliki  tujuan  kebijakan  privatisasi  yang  dituangkan  dalam Master  Plan  BUMN, 

namun  dalam  pelaksanaannya  terlihat  unsur  memenuhi  kebutuhan  defisit  anggaran  APBN  lebih 

dominan dibandingkan tujuan meningkatkan kinerja BUMN.  

 

Pada  masa  Tanri  Abeng,  Menteri  BUMN  1998‐1999,  penyusunan Master  Plan  BUMN  dimaksudkan 

sebagai  roadmap  untuk  penciptaan  nila  (value  creation)  BUMN,  dengan melibatkan  enam  konsultan 

internasional, ternyata tidak dijalankan sebagai mestinya karena terjadi lebih banyak distorsi politik yang 

menjadi  penghambat  proses  penciptaan  nilai. Dimensi  kepentingan  politik  dalam  pengelolaan BUMN 

belum dapat secara tuntas dipisahkan dari kekuasaan yang memang bersumber dari kekuatan politik.  

 

8

Pada  era  reformasi,  pembentukan  Kementrian  Negara  pendayagunaan  BUMN  sudah  memposisikan 

BUMN  sebagai  korporasi  yang  seyogyanya  terisolasi  dari  kepentingan  politik  serta  kultur  birokrasi. 

Karenanya  untuk  memperkuat  reformasi  BUMN,  Presiden  Habibie  pada  2009  telah  mencanangkan 

delapan  pondasi  korporasi  BUMN.  Selain  itu  master  Plan  BUMN  2000‐2005  telah  memperoleh 

persetujuan DPR di Agustus 1999, sehingga sesungguhnya proses politik sudah dipenuhi.  

 

Dinamika politik 1998–2004 yang berjalan begitu cepat di mana terjadi empat kali pengantian presiden 

membawa implikasi terhadap pelaksanaan reformasi BUMN dan implementasi master plan 1999 – 2004. 

Dari Dinamika Politik tersebut bisa dibayangkan dalam waktu 10 tahun telah terjadi 7 kali penggantian 

Menteri  BUMN  dan memunculkan  keraguan  terhadap  konsistensi  pelaksanaan  kebijakan  kementrian 

BUMN.  

 

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dilakukan usaha penyesuaian masterplan 

BUMN dengan dikeluarkannya Master Plan Revitalisasi BUMN 2005‐2009. Inti dari masterplan ini adalah 

upaya  untuk menciptakan  BUMN  Indonesia masa  depan  yang  kompetitif, menembus  batas  sebagai 

perusahaan multinasional    yang  berukuran menengah, memiliki  core  competence  dan  dapat masuk 

dalam  jajaran  perusahaan  terkemuka  di  dunia.  Dalam  Masterplan  Revitalisasi  BUMN  2005‐2009 

disebutkan  bahwa  pemerintah  akan  melakukan  beberapa  kebijakan  strategis  dalam  rangka  upaya 

peningkatan  kinerja,  di  antaranya  dengan  cara  restrukturisasi  BUMN  untuk  stand  alone, 

merger/konsolidasi, holding, divestasi, serta likuidasi.  

 

Proses privatisasi sendiri akan dilaksanakan melalui mekanisme yang cukup ketat di antara pemerintah 

dan DPR. Proses ini mengikuti tahapan sebagai berikut: 1) proses internal di pemerintah yang terdiri dari 

proses  penetapan  BUMN  yang  akan  di  privatisasi melibatkan  Komite  Privatisasi  yang  diketuai  oleh 

Menko Ekonomi dan beranggotakan Menteri Keuangan, Menteri Negara BUMN  serta Menteri  Teknis 

terkait; 2) proses persetujuan dan  konsultasi di DPR  yang dimulai dengan penetapan hasil privatisasi 

dalam APBN (jika ada); 3) proses pelaksanaan privatisasi sesuai dengan program tahunan privatisasi dan 

sesuai dengan persetujuan DPR. 

 

 

 

9

3.  Studi Kasus Holding Company: PT. Semen Indonesia, Tbk 

Pembentukan Semen  Indonesia sebagai  induk perusahaan dari beberapa BUMN sektor  Industri Semen 

(Semen Gresik,  Semen Padang, dan  Semen Tonasa)  telah dimulai  sejak Bapak Dwi  Soetjipto diangkat 

oleh Menteri BUMN saat itu (Bapak Sugiharto), sebagai Direktur Utama Semen Gresik tahun 2005. Pada 

waktu  itu posisi Semen Gresik adalah  sebagai Operating Holding dari dua BUMN  semen  lainnya yang 

telah diakuisisi sejak tahun 1995. 

 

Ide dasar pembentukan Holding Company adalah guna menciptakan value added, meningkatkan daya 

saing  perusahaan,  serta  menyelesaikan  konflik  yang  terjadi  diantara  BUMN  sektor  industri  semen. 

Strategi  utama  yang  digunakan  adalah  sinergi  antara  BUMN  semen  yang  dilakukan  secara  bertahap 

(adanya  process  to  readiness).  Adapun  untuk mencapai  suatu  sinergi,  selain  proses,  juga  diperlukan 

kepemimpinan  yang mampu membangun  kepercayaan,  sehingga  perubahan  ini  dapat  diterima  dan 

diimplementasikan dengan baik. 

 

Tahapan awal yang dilalui dalam proses pembuktian sinergi BUMN sektor Industri Semen adalah dengan 

“memaksa” orang untuk mau bersinergi  (human approach). Proses pembuktian sinergi melalui human 

approach  ini  terlebih  dahulu  dimulai  di  lingkup  internal  Semen  Gresik,  yang  kemudian  dilanjutkan 

dengan proses pembentukan kepercayaan BUMN semen yang lain bahwa pembentukan holding adalah 

demi kepentingan bersama. Untuk mengatasi permasalahan antar‐BUMN, dibutuhkan  leadership yang 

didukung oleh aspek legal dari pemerintah guna memberikan wewenang kepada induk perusahaan. 

 

Pada tahun 2009, Semen Gresik mulai menjajaki system approach di antaranya dengan mengkaji bentuk 

Holding Company, sistem operasi, serta strategi yang ideal untuk digunakan. Kajian tersebut diselesaikan 

pada  tahun 2011, dan mulai  tahun 2012 PT.  Semen  Indonesia, Tbk  terbentuk  serta mulai beroperasi 

sebagai  strategic  holding.  Adapun  terdapat  beberapa  tahapan  sebelum  Semen  Indonesia  beroperasi 

dengan pendekatan strategic holding. Beberapa tahapan tersebut, diantara lain: 

 

• Tahapan  Operating  Holding  (periode  2003‐2005):  Semen  Gresik  menjadi  induk  dari  Semen 

Padang dan Semen Tonasa, namun masih menjalankan kegiatan operasional. 

• Tahapan  Functional  Holding  (periode  2005‐2011):  Penerapan  sinergi  antar‐perusahaan  di 

beberapa  fungsi  operasional  utama  (pemasaran,  pengadaan,  dan  capital  project)  guna 

10

meningkatkan  kinerja  operasional  dan  keuangan  operating  company.  Namun,  Semen  Gresik 

sebagai induk perusahaan masih menjalankan fungsi opersional. 

• Tahapan  Strategic  Holding  (periode  2012‐ke  depan):  Semen  Gresik  bertransformasi menjadi 

Semen  Indonesia, dan mengalihkan fungsi operasional kepada Semen Gresik yang baru. Hal  ini 

merupakan upaya pembentukan  strategic holding  company yang   berfokus dalam pencapaian 

sinergi pada seluruh aspek operasional. 

Pembentukan strategic holding ini nyaris terhambat oleh karena permasalahan pajak yang diperkirakan 

mencapai Rp 4  triliun  jika  terjadi pengalihan aset akibat dibentuknya perusahaan baru yang berfungsi 

sebagai  operating  company.  Untuk mengatasi  permasalahan  tersebut,  kemudian  aset  Semen  Gresik 

tetap dimiliki oleh Semen Indonesia, sementara posisi Semen Gresik yang baru adalah sebagai operator 

atau pengelola aset yang dimiliki Semen Indonesia. Dengan opsi tersebut, strategic holding tetap dapat 

berjalan tanpa dikenakan beban pajak pengalihan aset. 

 

Beberapa strategi yang digunakan oleh Semen Indonesia guna mencapai sinergi, adalah: 1) pengaturan 

sistem pemasaran per area, yakni dengan menentukan  ruang  lingkup pemasaran produk untuk setiap 

operating company; 2) pengaturan sistem pemasaran terintegrasi, sebagai contoh: memasarkan produk 

Semen  Tonasa  dengan  brand  Semen Gresik  di wilayah  Kalimantan  guna mencapai  efisiensi  biaya;  3) 

penerapan sistem sinergi penjualan sehingga operating company berlomba‐lomba untuk meningkatkan 

total sales, bukan meningkatkan penjualan perusahaan secara individu.  

 

Unit  kerja  yang  terdapat  di  Semen  Indonesia,  antara  lain  adalah:  Capex  Strategis,  Legal,  Human 

Resource,  Research  and Development,  Engineering,  Communication.  Berdasarkan  unit  kerja  tersebut 

dapat  diketahui  bahwa  Semen  Indonesia  tidak  lagi menjalankan  kegiatan  operasi, melainkan  hanya 

melakukan  kegiatan  pengembangan  usaha  dan  investasi  strategis  perusahaan.  Secara  umum  pasca 

dibentuknya Semen  Indonesia sebagai strategic holding  terlihat dampak positif pada kinerja keuangan 

serta kapasitas produksi yang meningkat cukup signifikan. 

 

 

 

 

11

4.  Studi Kasus Holding Company: Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) 

 Pembentukan  Pupuk  Indonesia  Holding  Company  (PIHC)  tidak  lepas  dari  sejarah  pendirian  Pupuk 

Sriwidjaja (Pusri). Pada tahun 1959 sektor agriculture Indonesia sangat dominan terhadap PDB, sehingga 

banyak pupuk yang dibutuhkan. Selanjutnya dibentuk beberapa BUMN Pupuk lainnya seperti Petrokimia  

Gresik, Pupuk Kujang, Pupuk Kaltim, dan sebagainya. Kemudian pada tahun 1997, pemerintah melihat 

bahwa terjadi persaingan antar‐BUMN Pupuk karena adanya same production, same product, and same 

customer. Persaingan ini menyebabkan corporate value menjadi kurang optimal. 

 

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah mengambil langkah penting dalam pembentukan 

holding  saat  ini,  yakni dengan menunjuk Pusri  sebagai distributor  tunggal dari  seluruh produk pupuk 

dalam  negeri.  Secara  bertahap  produsen‐produsen  pupuk mulai  digabung  dan  Pusri  berubah  bentuk 

menjadi  operating  holding.  Niat  awal  dari  penggabungan  ini  adalah  menjadikan  Pusri  sebagai 

distribution  center,  dengan masing‐masing  produsen  produksi  dan  kemudian  didistribusikan melalui 

Pusri.  Dengan  desain  tersebut  diharapkan  akan  terjadi  efisensi  dengan  didukung  oleh  sarana  dan 

prasarana yang memadai. 

 

Pada periode tersebut, Pusri menjalankan dua peran, yakni sebagai operating holding serta distribution 

center, sehingga banyak yang beranggapan bahwa terjadi konflik kepentingan yang memungkinkan Pusri 

melakukan  pengaturan  pasar.  Untuk  menghadapi  permasalahan  tersebut,  dibuatlah  kajian  untuk 

mengubah bentuk holding BUMN Pupuk. Dari tahun 1997 hingga tahun 2010 banyak sekali wacana serta 

kajian berkaitan dengan pembentukan holding company yang optimal bagi BUMN Pupuk. Di samping isu 

konflik kepentingan tersebut, kenaikan biaya produksi menjadi  trigger agar perubahan bentuk holding 

cepat direalisasikan. Pada tahun 1997, biaya bahan baku pupuk (70 persen dari gas alam) masih berkisar 

US$  1.  Sedangkan  pada  tahun  2010,  rata‐rata  biaya  bahan  baku  ada  di  level US$  5.  Kenaikan  COGS 

sebesar  lima  kali  lipat.   Terdapat urgency pada waktu  itu untuk dibuat holding baru, dengan disertai 

spin‐off pada aset‐aset produktif Pusri. 

 

Pada tahun 2010 dibentuklah Pusri Palembang, yang merupakan hasil spin‐off aset‐aset produktif Pusri 

Persero.  Pada  saat  itu  terdapat  dua  Pusri,  yakni  Pusri  Palembang  dan  Pusri  Persero.  Hal  tersebut 

diperlukan  guna menghindari  adanya  resistensi  dini  terhadap  adanya  perubahan.  Faktor  non‐teknis 

12

berperan penting dalam menentukan keberhasilan suatu proses restrukturisasi. Faktor non‐teknis yang 

dimaksud antara  lain adalah adanya “legacy”, karena Pusri merupakan perusahaan pupuk pertama di 

Indonesia. Agar tidak menghilangkan sisi legacy dari Pusri Persero kepada Pusri Palembang, maka Pusri 

Palembang merupakan Pusri  yang dibentuk dari  tahun 1959,  seperti halnya  yang dilakukan oleh BRI. 

Langkah  ini diambil guna menumbuhkan  rasa kebersamaan dan kepercayaan,  sehingga meminimalisir  

resistensi. Bentuk pengembangan dari Pusri yang    tadinya hanya ada satu Pusri sekarang menjadi dua 

Pusri. Setelah semuanya telah settle, baru namanya menjadi Pupuk Indonesia (PIHC). Aspek non‐teknis 

berperan penting dalam proses tersebut.  

 

Hasil kajian dari konsultan  independen yang dilakukan sebelumnya, menyatakan bahwa penggabungan 

ini menciptakan optimalisasi kinerja perusahaan. Optimalisasi terlihat dari aset yang meningkat dari Rp 2 

triliun  menjadi  Rp  5  triliun  tanpa  ada  perubahan  produksi,  dan  hanya  dengan  adanya  mekanisme 

pengaturan.  Posisi  bargaining  power  pun meningkat  karena menjadi  price maker.  Berikutnya mulai 

dilakukan  mekanisme  efisiensi  ke  tingkat  bawah,  di  antaranya  dengan  standardisasi  biaya  umum, 

sehingga biaya produksi menurun. 

 

Adapun  fungsi‐fungsi  umum  yang  terdapat  di  holding  company  pada waktu  itu,  diantaranya  adalah 

fungsi  pengambil  kebijakan,  distribusi,  pengadaan,  keuangan,  investasi  dan  sebagainya.  Salah  satu 

kegunaan  fungsi  keuangan  di  level  holding  adalah  meningkatkan  kemudahan  akses  kredit  bagi 

keseluruhan perusahaan. Sebelum dibentuk holding, setiap perusahaan operating maju sendiri‐sendiri 

untuk memperoleh  kredit,  sehingga  yang  dilihat  adalah  balance  sheet  dari masing‐masing  operating 

company.  Namun  dengan  adanya  holding,  diperoleh  posisi  yang  lebih  baik,  karena  yang  di‐leverage 

neraca konsolidasi. Pada akhirnya risiko dan harga (suku bunga kredit) yang diperoleh akan  lebih baik. 

Sehingga kami dapat membantu anak perusahaan yang kondisi keuangannya belum cukup perform. 

 

Pada  periode  tersebut  bentuk  holding  berubah menjadi  investment  holding.  Adapun  benchmark‐nya  

adalah  Temasek.  Jika  akan dilakukan  suatu  investasi di Australia misalnya, maka  akan  dibuat  konsep 

paper, research, planning, dan sebagainya. Namun demikian, ternyata di aturan setiap perusahaan harus 

ada  kegiatan  operasionalnya.  Hal  ini  dapat  memunculkan  permasalahan  terutama  di  bidang  pajak. 

Karena berdasarkan  surat Dirjen Pajak, RKAP BUMN harus diserahkan pada Dirjen Pajak, maka RKAP  

dapat saja rugi terus, karena tidak ada operasional. 

13

 

Butuh kurang lebih dua tahun untuk meyakinkan. Kemudian disetujui BPK dan meminta ada perubahan 

UU BUMN  tentang adanya  investment holding. Sekarang dalam akta disebutkan bahwa PIHC bergerak 

dalam bidang pengelolaan perusahaan. Memang hal ini jadi rumit terutama di sisi pajak. Sebagai contoh 

dari sisi penerimaan, karena penerimaan utama dari dividen, maka tidak dapat menentukan COGS  jika 

menetapkan dividen  tersebut sebagai pendapatan. Mungkin hal  itu yang membedakan dengan BUMN 

lain. Adapun perubahan UU BUMN tentang adanya status kegiatan usaha pengelolaan perusahaan, telah 

didahului oleh Perusahaan Pengelola Aset (PPA), sehingga terdapat benchmark mengenai hal tersebut. 

 

Adapun  berkaitan  dengan  spin‐off  aset  Pusri  Persero  ke  Pusri  Palembang,  dikenakan  pajak  atas 

pengalihan aset. Hal ini cukup menyedihkan, mengingat ini hanya re‐statusasi dari satu BUMN ke BUMN 

lain, akan  tetapi pajak  tetap berlaku. Hal  ini yang kemudian menjadi kendala  restrukturisasi beberapa 

BUMN di Indonesia. Pada akhirnya, dibayar kurang lebih Rp 1 triliun.  

 

Mengenai sumberdaya manusia, dapat dikatakan bahwa aspek  ini adalah bagian  tersulit dibandingkan 

dengan aspek yang  lain. Pada awalnya memang ada  resistensi  terhadap perubahan di  sisi SDM, akan 

tetapi  lambat  laun resistensi tersebut semakin menurun  intensitasnya. Namun demikian, dalam  jangka 

pendek  banyak  terjadi  downsize  dari  sisi  operasional.  Banyak  terjadi  merger  dari  “cicit  dan  cucu 

perusahaan”.  Hal  ini  yang  kemudian  menyebabkan  penyusutan  wewenang  pada  beberapa  pihak. 

Adapun  salah  satu  hal  yang  belum  berhasil  dalam  rangkaian  restrukturisasi  ini  adalah  dari  sisi  SDM, 

dalam hal belum berhasil membuat  suatu  culture bersama. Memang  seperti  yang diketahui mungkin 

banyak teori di buku yang dapat menjelaskan hal tersebut. Namun kembali  lagi, apakah kita akan walk 

the talk? Karena terdapat banyak aspek non‐teknis yang harus dipertimbangkan. 

 

Implikasi adanya restrukturisasi pada anak perusahaan, seperti terdapat dalam akte, klausa tambahan, 

misal:  tentang kerja  sama dan  investasi harus dengan persetujuan RKAP. Sehingga peran direksi anak 

perusahaan  bersifat  operasional,  yakni menjalankan  kebijakan  dari  holding  company.  Sesuai  dengan 

akte, mungkin  inilah satu‐satunya holding (BUMN) yang direksinya diberikan kuasa untuk menentukan 

direksi  anak  perusahaan.  Berkaitan  dengan  chain  of  command,  Dirut  pada  anak  perusahaan  akan 

melaporkan kegiatan pada Direksi dan Dirut holding, akan tetapi belum ada matriks yang eksplisit. Untuk 

pengawasan  anak  perusahaan,  di  bawah  direktur  keuangan  holding.  Ke  depannya,  akan  ada  direksi‐

14

direksi  yang  dibuat  matriks.  Sebagai  contoh,  direktur  keuangan  tidak  perlu  lagi  ada  di  level  anak 

perusahaan.  Jadi, GM keuangan  itu akan dimatrikskan ke atas. Direktur komersil  tidak perlu ada  lagi, 

karena wewenangnya juga ada di GM pemasaran. Perlahan hal tersebut mulai dipikirkan, namun belum 

dapat diimplementasikan dalam waktu dekat. 

 

5.     Rekomendasi Holding Company:  BUMN Sektor Perkebunan   

Secara  overall,  beberapa  BUMN  sektor  perkebunan  menunjukkan  pola  pertumbuhan  dan  earning 

stability yang serupa, yakni berada di kuadran kedua. Rata‐rata pertumbuhan pendapatan tahunan pada 

sektor perkebunan mencapai 10,6 %,  sedangkan hasil perhitungan  rata‐rata  earning  stability  sebesar 

0,17. Hal tersebut menggambarkan kondisi keuangan BUMN sektor perkebunan yang cenderung stabil 

dan  stagnan  dibandingkan  dengan  beberapa  sektor  lainnya.  Secara  spesifik,  kinerja  beberapa  BUMN 

pada sektor perkebunan dapat dijelaskan melalui gambar berikut. 

 

Gambar 1. Pemetaan Kinerja BUMN Sektor Perkebunan 

Sumber: Diolah Tim Lembaga Management FEUI (2013) 

 

15

Dalam  gambar  tersebut,  ukuran  bubble  menunjukkan  besarnya  laba  tahun  berjalan  perusahaan. 

Beberapa perusahaan yang cenderung besar dari sisi  laba  tahun berjalan diantara  lain adalah PTPN  III 

dan  PTPN  IV. Beberapa perusahaan  yang memiliki  pertumbuhan pendapatan dan  earning  stability  di 

atas rata‐rata sektoral adalah PTPN I, PTPN V, PTPN VI, PTPN VII, dan PTPN XII. Hal ini menggambarkan 

bahwa beberapa BUMN tersebut memiliki pertumbuhan dan volatilitas pendapatan yang relatif tinggi.  

Kondisi secara makro menunjukkan rata‐rata pertumbuhan PDB sektor perkebunan yang mencapai 3,7 

% dengan rasio Coefficient of Variation (CV) sebesar 0,07. 

 

Berdasarkan hasil pemetaan kinerja BUMN  sektor perkebunan dapat  terlihat kinerja keuangan BUMN 

pada  sektor  tersebut  cenderung  serupa.  Melihat  kondisi  tersebut  dapat  diambil  suatu  kesimpulan 

rekomendasi model restrukturisasi yang ideal, yang digambarkan melalui matriks berikut. 

 

 

 

Tabel 5.  Matriks Model Restrukturisasi BUMN Sektor Perkebunan 

Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI (2013), dari Model Kocourek‐Hyde (2001) 

 

Matriks tersebut merupakan pengembangan dari model Kocourek‐Hyde  yang telah disesuaikan dengan 

kondisi  yang  dihadapi.  Beberapa  BUMN  sektor  perkebunan  dimaksud  adalah  PTPN  I  sampai  dengan 

16

PTPN XIV, serta RNI. Dapat terlihat pada matriks di atas, bahwa Customer Base pada kasus BUMN sektor 

perkebunan cenderung berbeda. Hal tersebut dikarenakan adanya keragaman produk hasil perkebunan, 

seperti:    kelapa  sawit,  teh,  tebu,  kopi,  tembakau,  dan  sebagainya.  Adapun  input  atau  sumber  daya 

(resources)  yang  digunakan  antar  perusahaan  cenderung  serupa.  Sedangkan  pada  studi  kasus  ini, 

didapati risiko usaha yang cenderung berpengaruh antar unit, serta volatilitas pasar komoditas primer 

yang relatif stabil. Selain itu juga dapat diketahui bahwa Strategic Agenda antar perusahaan pada sektor 

ini  cenderung  serupa, mengingat  core  business  yang  sama.  Berdasarkan  hasil  olahan  dari  berbagai 

referensi dapat disimpulkan bahwa model  restrukturisasi  yang  ideal untuk BUMN  sektor perkebunan 

adalah pembentukan Operational Holding Company. 

 

6.    Rekomendasi Holding Company: BUMN Sektor Kehutanan   

Beberapa BUMN sektor kehutanan menunjukkan pola pertumbuhan pendapatan dan earning stability 

yang cenderung beragam. Berdasarkan pemetaan keuangan perusahaan dalam sektor tersebut, didapati 

beberapa  perusahaan memiliki  rata‐rata  pertumbuhan  pendapatan  yang  bernilai  negatif,  sedangkan 

beberapa perusahaan  lain mencapai  rata‐rata pertumbuhan dua digit. Adapun  rata‐rata pertumbuhan 

pendapatan  BUMN  sektor  kehutanan  mencapai  40  %,  disertai  dengan  hasil  perhitungan  rata‐rata 

earning  stability  sebesar  0,42.  Angka  tersebut  menggambarkan  kondisi  keuangan  BUMN  sektor 

kehutanan  yang  cenderung  tidak  stabil  relatif  terhadap  BUMN  sektor  lainnya.  Lebih  lanjut,  kinerja 

beberapa BUMN pada sektor kehutanan dapat dijelaskan melalui gambar berikut. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

17

Gambar 2. Pemetaan Kinerja BUMN Sektor Kehutanan 

Sumber: Diolah oleh Tim Lembaga Management FEUI (2013) 

 

 

Pada  gambar  di  atas  dapat  terlihat  beberapa  perusahaan  yang  memiliki  laba  tahun  berjalan  yang 

cenderung besar diantaranya adalah Perhutani dan Inhutani I. Beberapa perusahaan yang memilki rata‐

rata  pertumbuhan  pendapatan  bernilai  negatif.  Di  sisi  lain,  beberapa  BUMN  yang  relatif  stabil 

pertumbuhannya di antaranya adalah Perhutani,  Inhutani  I, dan  Inhutani  IV. Hal tersebut didasari oleh 

nilai earning  stability beberapa BUMN  tersebut yang berada di bawah  rata‐nilai  rata earning  stability 

sektoral. Adapun  tingginya  rata‐rata pertumbuhan pendapatan pada  sisi mikro,  tidak  tergambar pada 

sisi  makro.  Sebagaimana  terlihat  pada  gambar  di  atas  bahwa  rata‐rata  pertumbuhan  PDB  sektor 

kehutanan sebesar 1,04 %, dengan rasio CV sebesar 0,02. 

 

Sebelumnya dari hasil pemetaan kinerja BUMN pada sektor kehutanan didapati rata‐rata pertumbuhan 

pendapatan dan nilai CV yang cenderung beragam. Namun demikian, dari sisi kegiatan usaha, terdapat 

beberapa variabel lain yang dipertimbangkan untuk menentukan model restrukturisasi BUMN. Beberapa 

variabel tersebut sebagaimana dijelaskan melalui matriks berikut. 

 

18

 

 

Tabel 6. Matriks Model Restrukturisasi BUMN Sektor Kehutanan 

Sumber: Diolah oleh Lembaga Management FEUI (2013), dari Model Kocourek‐Hyde (2001) 

 

 

Dari Gambar 2 dapat diketahui bahwa  terjadi overlaps di  sisi Customer Base pada  studi kasus BUMN 

sektor  kehutanan.  Hal  tersebut  dikarenakan  produk  hasil  kehutanan  antar  perusahaan  yang  serupa, 

antara  lain:  kayu  dan  produk  olahan  dari  kayu.  Input  atau  sumber  daya  (Resources)  yang  digunakan 

setiap perusahaan pada  sektor  tersebut  juga  serupa. Risiko usaha pada bisnis  sektor kehutanan akan 

berpengaruh  pada  seluruh  unit  perusahaan.  Di  sisi Market  Certainty,  dapat  dikatakan  cukup  stabil 

mengingat  volatilitas  pasar  komoditas  primer  yang  relatif  rendah.  Sedangkan  dapat  diketahui  bahwa 

Strategic Agenda  antar perusahaan pada  sektor  ini  cenderung  serupa, mengingat  core  business  yang 

sama.  Sehingga  dari  hasil  observasi  tersebut  didapati  rekomendasi model  restrukturisasi  yang  ideal 

untuk BUMN sektor kehutanan adalah pembentukan Operational Holding Company. 

 

7. Benchmark Khazanah Nasional Bhd 

Khazanah  Nasional  Berhad  sebagai  induk  perusaahaan  BUMN  yang  bersifat  komersial  di  Malaysia 

didirikan  sejak  tahun 1994.    Fungsi Khazanah  adalah  sebagai  super holding  company  yang mengelola 

kelompok  BUMN  yang  bersifat  komersial  di  Malaysia.  Nilai  portfolio  Khazanah  yang  dihitung 

19

berdasarkan  Net Worth  Adjusted  (NWA)  telah  berkembang  tiga  kali  lipat  selama  10  tahun  terakhir, 

dimana value pada tahun 2004 sebesar RM 33,3 billion atau setara US$ 10.63 billion telah berkembang 

menjadi RM  103.5 billion  atau  setara US$  33.04 billion pada  akhir  2013.  Sebagai  investment  holding 

company Khazanah saat  ini beroperasi secara global  ,termasuk diantaranya  investasi di negara seperti 

Singapura, India, China, Indonesia dan beberapa negara di Eropa. Saat  ini Khazanah Nasional bertindak 

sebagai  investment  holding  company  yang  membawahi  11  sub  holding  lainnya  meliputi  industri  :  

properti, transportasi dan logistik, utilitas, keuangan,  infrastruktur dan konstruksi, media & komunikasi, 

kesehatan,  agrikultur  ,  basic  material  ,  teknologi  dan  biotek,  dan  bisnis  lainnya  (Other).  Holding 

Khazanah ini tidak termasuk didalamnya kelompok Petronas dan kelompok Proton . 

 

Sumber  keberhasilan  peningkatan  value  Khazanah  ini,  berdasarkan wawancara  LM  dengan  Abdullah 

Abdul Hamid  ,Executive Director of Transformation Program Khazanah    , diantaranya adalah  : a) clear 

industry and regulatory structure and reporting lines ; b) professional management and board working in 

unision ; c) independence in key decision making; d) strong internal culture of performance and emphasis 

on systems and control ; e) focus on financial dicipline in addition to service delivery ; f) dicipline access 

to credit and orderly competition. 

 

Salah  satu  kunci  keberhasilan  tersebut  adalah  struktur  organisasi  yang  jelas  dalam membagi  tugas 

antara  Board  dan Manajemen,  dimana  Board  (yang  dianggap  sebagai  perwakilan  pemerintah)  hanya 

mengatur masalah makro dan  regulasi,    sementara Manajemen dibawah CEO   mengatur aspek mikro 

pengelolaan korporasi. Artinya pihak executing agency dijalankan pihak manajemen profesional  . CEO 

Khazanah  (dijabat oleh Tan  Sri Dato Azman bin Hj Mohktar  sejak 2004) bertanggung  jawab  langsung 

kepada Perdana Menteri Malaysia, sehingga intervensi pihak lain dapat dihindari seminimal mungkin . 

 

Pada  tahun 2005 Perdana Menteri Abdulah Badawi mengambil  inisiatif untuk pemberdayaan  seluruh 

Goverment Link Companies  (GLC)   dengan mendirikan Putrajaya Committee on GLC High Performance 

(PCG) dimana Khazanah bertindak sebagai koordinator/ pusat sekretariat. PCG dipimpin Deputi Menteri 

Keuangan  dan  beranggotakan  pimpinan  GLC  meliputi  Permodalan  Nasional  Berhad  (PMN),  EPF, 

Lembaga Tabung Haji  (LTH),   Khazanah Nasional, dan  LTAT.  Struktur  komisi  tersebut melibatkan  juga 

konsultan internasional sebagai penasehat manajemen.  Tugas utama PCG adalah melakukan review dan 

20

membuat  kebijakan  yang  sifatnya  mendorong  GLC  Malaysia  untuk  masuk  dalam  kategori  high 

performer. Struktur selengkapnya PCG dapat dilihat pada Gambar 3.  

 

Komite tersebut bekerja cukup komprehensf dan kemudian telah merekomendasikan beberapa rencana 

aksi (action plan) yang segera bisa diimplementasikan. Beberapa aktivitas yang dilaksanakan diantaranya 

melakukan analisis GLC operating framework untuk mendapatkan kerangka pengelolaan GLC yang lebih 

baik, melakukan  interview dengan ratusan    top  leader bisnis  (CEO GLC dan GLIC,  foreign  investor) dan 

melakukan benchmarking secara global dan regional untuk mendapatkan pola yang paling  ideal untuk 

menjadi global champion  .Keberadaan PCG  ini mampu mengkoordinasikan potensi seluruh BUMN dan 

lembaga  keuangan  lainnya  milik  negara  dalam  sinergi  yang  optimal.  PCG  ini  mampu  menembus 

kelambanan birokrasi karena di Malaysia tidak ada Kementrian khusus yang menangani BUMN . 

            Gambar 3  Struktur PCG dan JWT 

 Sumber : Joint Working Team Compilation, PCG, 2005 

 

21

8.    Penutup   

Riset LM‐FEUI mengenai restrukturisasi BUMN ini, khususnya pembentukan holding company,  ditujukan 

untuk kepentingan publik, yaitu kalangan akademik sebagai kajian lebih lanjut, dan bagi korporasi, untuk 

pembelajaran proses restrukturisasi yang semakin baik.  Penulisan didasarkan pada metode konseptual, 

perkembangan  terkini, pengalaman PT  Semen  Indonesia Tbk dan Pupuk  Indonesia Holding Company, 

serta  rekomendasi  model  untuk  BUMN  industri  kehutanan  dan  perkebunan.    Tim  LM‐FEUI  juga 

mengevaluasi performa BUMN dan proses restrukturisasi pada masing‐masing industri menurut master 

plan yang telah disusun. Pada akhirnya, untuk menjamin keberhasilan restrukturisasi beberapa hal perlu 

dicermati,  seperti:  penentuan  metode  restrukturisasi,  birokrasi  yang  sederhana,  perencanaan  yang 

terarah, dan adanya kepemimpinan yang kuat.  

 Daftar Referensi 

Bornstein,  Morris.  2000.  “Post‐Privatization  Enterprise  Restructuring”,  Working  Paper  Number  327,     University of Michigan. 

Forrer, John, and James Kee. 2004. Privatization and organizational change: Lesson from cross_national research. Working Paper. 

Haque, M.  Samsul.  2000.  “Privatization  in  developing  countries:  Formal  causes,  critiqal  reason  and adverse  impact”,  in Ali  Farazmand  (ed),  Privatization  or  public  enterprise  reform? Westpoint, Conn: Greenwood Press, 2000. 

Husnan,  S.  1996.  “Penjualan  saham  BUMN:  Apakah  terjadi  distribusi  kemakmuran”,    dalam    Siagian (Editor) Reformasi BUMN dalam perspektif krisis ekonomi mikro.  Jakarta: Pusat Reformasi dan Pengembangan BUMN, hal 175‐193. 

Ho,  Daniel,  and  Angus  Young.  2013.  “China’s  Experience  in  Reforming  Its  State‐Owned  Enterprises: Something New,  Something Old  and  Something  Chinese?,”  International  Journal  of  Economy, Management and Social Sciences. 

Kementerian BUMN Republik  Indonesia. 2012.  Ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara  (BUMN) untuk Periode yang Berakhir 31 Desember 2012. 

Kementerian BUMN Republik Indonesia. 2009. Masterplan Kementerian BUMN Tahun 2010‐2014. Khazanah Media Statement. 2014. Tenth Khazanah Annual Review (KAR 2014)  Kocourek,  Paul,  and  Paul  Hyde.  2001.  “The Model  2  Organization: Making  Your  Company  Safe  for 

Zealots”. Strategy+Business, Q1 2001, Issue 22. Pranoto,  Toto.  2011.  “Faktor‐Faktor  yang  Mempengaruhi  Keberhasilan  Privatisasi  BUMN:  Studi 

Komparatif Indonesia‐Malaysia”. Disertasi Program Pascasarjana FISIP UI. PT. Perkebunan Nusantara III. 2014.  Holding BUMN Perkebunan: Menuju World Class Holding Company. 

Bahan Presentasi Diskusi bersama Lembaga Management FEUI tanggal 19 Februari 2014. 

22

Putrajaya Committee on GLC High Performance (PCG). 2005. Shirley, Mary M.  1999.  “Bureaucrats  in  business:  The  role  of  privatization  in  state  owned  enterprise 

reform”, World Development., 27:1, pp. 115‐136. Soetjipto, Dwi. 2014. Road to Semen Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Vickers, J. and G. Yarrow. 1988. Privatization: An economic analysis. London: MIT Press.