36
KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER A. PERAN PEMERINTAH Di negara manapun juga, baik yang beraliran sosial maupun berbasis kapitalis atau gabungan dari dua sistem ekonomi tersebut, pemerintah mempunyai peran sangat penting di dalam ekonomi. Walaupun dalam praktiknya di banyak negara intervensi pemerintah sangat luas, bahkan menguasai atau memonopoli ekonomi, seperti di China (walaupun sekarang sudah jauh berkurang dibandingkan 20 tahun silam), Korea Utara, Myanmar, dan Kuba, dimana jumlah perusahaan milik negara (BUMN) jauh lebih banyak daripada jumlah perusahaan swasta, tetapi pada prinsipnya tugas pemerintah di dalam ekonomi hanyalah sebagai stabilisator, fasilisator, stimulator, dan regulator, sedangkan pelaku ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada swasta. Tugas pemerintah ini direalisasikan lewat berbagai macam kebijakan, peraturan, dan perundang-undangan dengan tujuan untuk mendorong atau menggairahkan ekonomi pada saat ekonomi sedang lesu dan mengeram laju ekonomi pada saat sedang memanas, terutama untuk mencegah inflasi yang tinggi. Dalam kata lain, tugas pemerintah adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu yang menciptakan kesempatan kerja penuh, yang berarti mengurangi/menghilangkan pengangguran dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi makro secara garis besar dapat dibedakan menjadi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, seperti juga ekonomi dapat dibagi menjadi dua sektor, yakni sektor riil dan sektor moneter. Sektor rill menghasilkan barang dan jasa, disebut juga sisi produksi dari ekonomi. Sektor ini dapat lagi dibagi menurut kelompok kegiatan atau subsektor, seperti pertanian, pertambangan, industri, dan lain-lain. Sedangkan, sektor moneter boleh dikatakan merupakan hasil dari sektor rill dalam bentuk uang atau sisi moneter dari ekonomi. Pertumbuhan dan stabilitas sektor rill dipengaruhi oleh pemerintah lewat kebijakan fiskal dan di Indonesia kebijakan ini adalah tanggung jawab Menteri Keuangan. Sedangkanpertumbuhan dan stabilitas sektor moneter dipengaruhi oleh pemerintah lewat kebijakan moneter yang sepenuhnya adalah tanggung jawab Bank Indonesia. Keserasian antara kedua kebijakan tersebut sangat penting karena akan

Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

  • Upload
    school

  • View
    3.164

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

KEBIJAKAN FISKALDAN MONETER

A. PERAN PEMERINTAH

Di negara manapun juga, baik yang beraliran sosial maupun berbasis kapitalis atau gabungan dari dua sistem ekonomi tersebut, pemerintah mempunyai peran sangat penting di dalam ekonomi. Walaupun dalam praktiknya di banyak negara intervensi pemerintah sangat luas, bahkan menguasai atau memonopoli ekonomi, seperti di China (walaupun sekarang sudah jauh berkurang dibandingkan 20 tahun silam), Korea Utara, Myanmar, dan Kuba, dimana jumlah perusahaan milik negara (BUMN) jauh lebih banyak daripada jumlah perusahaan swasta, tetapi pada prinsipnya tugas pemerintah di dalam ekonomi hanyalah sebagai stabilisator, fasilisator, stimulator, dan regulator, sedangkan pelaku ekonomi sepenuhnya diserahkan kepada swasta. Tugas pemerintah ini direalisasikan lewat berbagai macam kebijakan, peraturan, dan perundang-undangan dengan tujuan untuk mendorong atau menggairahkan ekonomi pada saat ekonomi sedang lesu dan mengeram laju ekonomi pada saat sedang memanas, terutama untuk mencegah inflasi yang tinggi. Dalam kata lain, tugas pemerintah adalah untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat tertentu yang menciptakan kesempatan kerja penuh, yang berarti mengurangi/menghilangkan pengangguran dan kemiskinan.

Kebijakan ekonomi makro secara garis besar dapat dibedakan menjadi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, seperti juga ekonomi dapat dibagi menjadi dua sektor, yakni sektor riil dan sektor moneter. Sektor rill menghasilkan barang dan jasa, disebut juga sisi produksi dari ekonomi. Sektor ini dapat lagi dibagi menurut kelompok kegiatan atau subsektor, seperti pertanian, pertambangan, industri, dan lain-lain. Sedangkan, sektor moneter boleh dikatakan merupakan hasil dari sektor rill dalam bentuk uang atau sisi moneter dari ekonomi. Pertumbuhan dan stabilitas sektor rill dipengaruhi oleh pemerintah lewat kebijakan fiskal dan di Indonesia kebijakan ini adalah tanggung jawab Menteri Keuangan. Sedangkanpertumbuhan dan stabilitas sektor moneter dipengaruhi oleh pemerintah lewat kebijakan moneter yang sepenuhnya adalah tanggung jawab Bank Indonesia. Keserasian antara kedua kebijakan tersebut sangat penting karena akan menciptakan suatu stabilitas di dalam ekonomi dengan pertumbuhan yang berkelanjutan.

B. KEBIJAKAN FISKAL1. Teori dan Model

Di Indonesia, kebijakan fiskal mempunyai dua prioritas. Prioritas pertama adalah mengatasi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan masalah-masalah APBN lainnya. Defisit APBN terjadi apabila penerimaan pemerintah lebih kecil daripada pengeluarannya. 1 Prioritas kedua adalah mengatasi masalah stabilitas ekonomi makro, yang terkait dengan antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, kesempatan kerja, dan neraca pembayaran.

Mekanisme kerja dari pengaruh dari kebijakan fiskal terhadap ekonomi akan mudah dipahami di dalam konteks ekonomi makro dengan bantuan sebuah modal ekonomi tertutup (tanpa hubungan ekonomi luar negeri)2 yang sederhana dari Keynes yang terdiri atas sejumlah persamaan, seperti berikut ini.

Y = C + I + G (6.1)

Page 2: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

C = cYd + Ca (6.2)S = s.Yd; s = (1-c) (6.3)Yd = Y – T (6.4)T = tY (6.5)I = Ia (6.6)G = Ga (6.7)S = I (6.8)T = G (6.9)

Di mana persamaan (6.1) adalah definisi pendapatan nasional. Pada saat permintaan agregat (AD) sama dengan penawaran agregat atau produksi (AS) atau pada saat ekonomi domestik tertutup seimbang, nilai dari pendapatan nasional (GDP) sama dengan nilai total dari konsumsi swasta ©, pembentukan modal tetap bruto atau investasi (I), dan pengeluaran pemerintah (G). Persamaan (6.2) menggambarkan fungsi konsumsi, yang mana nilai konsumsi ditentukan oleh pendapatan bersih setelah dikurangi pajak (Yd) dan konsumsi otonom (Ca), yakni bagian dari konsumsi yang ditentukan di luar model atau tidak dipengaruhi oleh tingkat atau perubahan pendapatan. Koefisien c (suatu persentase) menandakan bahwa tidak semua pendapatan digunakan untuk konsumsi. Artinya, sisa dari pendapatan atau (1-c) adalah tabungan (S), seperti di persamaan (6.3). Persamaan (6.4) adalah pendapatan bersih setelah dikurangi pajak; persamaan (6.5) mencerminkan pendapatan pemerintah dari pajak yang ditentukan selain oleh tingkat pendapatan (dari wajib pajak), juga oleh besarnya tarif pajak (t); persamaan (6.6) adalah investasi yang sifatnya otonom; persamaan (6.7) adalah pengeluaran pemerintah yang juga sifatnya berdiri sendiri, tidak ditentukan oleh model (ekonomi), tetapi oleh kebijakan fiskal, dan dua persamaan terakhir mencerminkan keseimbangan ekonomi domestik tertutup, yakni pada saat dana tabungan sama seperti dana yang dibutuhkan untuk investasi di dalam negeri (persamaan (6.8)) dan jumlah pemasukan pajak sama dengan jumlah pengeluaran pemerintah (persamaan (6.9)).

Persamaan (6.5) dan persamaan (6.7) mencerminkan kebijakan fiskal,sejak T dan G merupakan dua instrumen dari kebijakan tersebut. Secara agregat, sisi pendapatan dari APBN diwakili oleh T3 dan sisi pengeluarannya oleh G. Jika pengeluaran lebih besar daripada penerimaan (G>T), maka APBN dalam kondisi defisit, sebaliknya jika pendapatan melebihi pengeluaran (G<T), APBN mengalami surplus. Apabila APBN defisit, pemerintah hanya punya dua pilihan untuk membiayai saldo negatif tersebut, yaitu didanai oleh Bank Indonesia lewat printing money yang berarti jumlah uang yang beredar di masyarakat meningkat atau lewat pinjaman, baik dari dalam negeri, misalnya dengan menerbitkan obligasi atau dari luar negeri (cara yang kedua ini berarti ekonomi tidak lagi tertutup). Karena opsi pertama tersebut sangat berisiko terhadap peningkatan laju inflasi, maka biasanya opsi kedua yang dipilih.

Sekarang pertanyaan, bagaimana kebijakan fiskal dapat memengaruhi ekonomi?. Efek dari kebijakan fiskal terhadap ekonomi terdiri atas efek jangka pendek dan efek jangka panjang. Efek jangka pendek adalah efek awal atau langsung dari kebijakan itu sendiri, sedangkan efek jangka panjang adalah efek awal ditambah efek-efek selanjutnya atau disebut efek pengali (multiplier) dari kebijakan tersebut. Misalnya, pemerintah

Page 3: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

mengurangi subsidi BBM, yang merupakan salah satu komponen dari pengeluaran rutin APBN. Maka efek awalnya adalah: G↓→ Y↓ (lihat persamaan (6.1)). Sedangkan efek jangka panjangnya adalah G↓→ Y↓ (persamaan (6.1)), ceteris paribus variabel-variabel lainnya konstan, →Yd ↓ |ΔΤ = 0 (persamaan (6.4)) →C↓ (persamaan (6.2)) →Y ↓ (persamaan (6.1)) (perubahan Y tahap kedua)→…… dan seterusnya melalui jalur yang sama beberapa kali (Y, Yd, dan C mengalami penurunan beberapa kali) hingga akhirnya efek dari pengurangan G menjadi nol (Y, Yd dan C tidak lagi menurun). Berarti dalam efek jangka panjang, Y mengalami perubahan beberapa kali walaupun G hanya sekali berubah: ΔY (1), ΔY (2),…………, ΔY (n). Perubahan total dari Y bisa dihitung lewat efek income multiplier dari perubahan G, atau: ΔY = {1/[1-c(1-t)]} Χ ΔG

Jika ekonomi sedang lesu, yang dicerminkan oleh laju pertumbuhan PDB yang menurun atau negatif, maka pemerintah berkewajiban sesuai fungsinya memberi insentif atau dorongan agar pertumbuhan kembali positif atau meningkat. Untuk tujuan tersebut, pemerintah lewat kebijakan fiskal punya dua opsi: menaikkan pengeluaran (ΔG>0) atau/ dan mengurangi tarif pajak pendapatan (Δt<0) jikasistem pajak pendapatan yang berlaku adalah seperti di persamaan (6.5). Ini yang dimaksud dengan kebijakan fiskal ekspansif. Sebaliknya, kebijakan fiskal kontraktif adalah mengurangi pengeluaran ((ΔG<0) atau meningkatkan pendapatan pajak lewat menaikkan tarif pajak ((Δt>0).

Misalnya, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif dengan memperbesar G. Sebelumnya, seperti yang diilustrasikan di gambar 6.1, keseimbangan ekonomi pada kesempatan kerja penuh ditunjukkan oleh titik E0, yakni perpotongan antara AD0 DAN AS0 dengan pendapatan Y0 dan harga P0. Pengeluaran pemerintah naik sebesar ΔG membuat kurva permintaan bergeser ke kanan menjadi AD1dengan kurva AS tetap, tidak berubah. Maka titik keseimbangan yang baru (E1) terjadi di sebelah kanan dari titik keseimbangan yang lama, dengan tingkat pendapatan dan harga yang lebih tinggi (Y1 dan P1). Besarnya perbedaan Y1 –Y0 atau ΔY akibat ΔG ditentukan oleh besarnya nilai multiplier yang ada, seperti di persamaan (6.10), atau ym x ΔG; dimana ym = {1/[1-c(1-t)]}. Jadi, kesimpulannya adalah bahwa kebijakan fiskal ekspansif mempunyai efek positif terhadap ekonomi karena pendapatan atau PDB meningkat, tetapi juga berdampak terhadap peningkatan inflasi, karena sesuai hukum ekonomi,

ym X ΔG AS0

P1 E1

E0

P0

AD0

AD1

0Y1 Y2

ΔYGambar 6.1

Page 4: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Peningkatan Y akibat G lewat pergeseran kurva AD: suatu ilustrasi

ym X ΔG LM0

r1 e1

e0

r0

IS0

IS1

0Y1 Y2

ΔYGambar 6.2

Peningkatan suku bunga akibat peningkatan G lewat pergeseran kurva IS: suatu ilustrasi Permintaan meningkat sementara penawaran tetap membuat harga naik lewat efek kelebihan permintaan.

Kebijakan fiskal ekspansif juga bisa mengakibatkan kenaikan suku bunga yang disebabkan oleh peningkatan permintaan kredit yang didorong oleh kenaikan pendapatan. Jika kenaikan suku bunga terlalu tinggi akan berdampak negatip terhadap pertumbuhan investasi di dalam negeri. Apabila nilai pendapatan atau penurunan laju pertumbuhan PDB akibat penurunan investasi sama besarnya dengan nilai pendapatan yang meningkat karena peningkatan pengeluaran pemerintah, maka efek dari kebijakan fiskal tersebut menjadi nol; atau seperti yang disebut di buku-buku teks ekonomi makro, kebijakan fiskal tersebut telah menimbulkan efek crowding-out.

Efek kenaikan suku bunga dari kebijakan fiskal ekspansif dapat diilustrasikan denganmenggunakan kurva IS (investasi-tabungan) seperti di dalam gambar 6.2. Proses mekanismenya tidak berbeda dengan di gambar 6.1: sebelum kebijakan tersebut, keseimbangan ekonomi ditunjukkan oleh titik e0, yakni perpotongan antara IS0 dan LM0

dengan pendapatan Y0 dan suku bunga r0. Pengeluaran pemerintah naik sebesar ΔG membuat kurva IS bergeser ke kanan menjadi IS1, dengan kurva LM (likuiditas/permintaan uang-suplai uang) tetap, tidak berubah. Maka titik keseimbangan yang baru (e1) terjadi disebelah kanan dari titik keseimbangan yang lama, dengan tingkat pendapatan dan suku bunga yang lebih tinggi (Y1 dan r1).

Kurva IS adalah suatu garis yang menghubungi sejumlah titik keseimbangan di sektor rill, yaitu pada saat investasi (I) = tabungan (S), pada tingkat pendapatan dan suku bunga yang berbeda. Sedangkan kurva LM adalah suatu garis yang menghubungi

Page 5: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

sejumlah titik keseimbangan di sektor moneter (pasar uang), yakni pada saat permintaan uang = penawaran uang, pada tingkat pendapatan dan suku bunga yang berbeda.

Seperti yang diilustrasikan di gambar 6.3, pergeseran sepanjang kurva IS menandakan bahwa, misalnya,jika suku bunga naik, maka investasi berkurang karena biaya investasi yang diukur berdasarkan biaya meminjam modal dari bank atau biaya alternatif dari investasi meningkat, dan tabungan meningkat. Yang terakhir ini mengakibatkan konsumsi berkurang dan bersama dengan berkurangnya investasi membuat pendapatan menurun.

Gambar 6.3Efek dari kebijakan fiskal ekspansif terhadap suku bunga dan

pendapatan: suatu ilustrasi.

2.Data Empiris

Salah satu indikator untuk mengukur sejauh mana peran pemerintah lewat bijakan fiskalnya di dalam perekonomian Indonesia adalah tren perkembangan jangka panjang dari rasio G-Y atau besarnya pengeluaran pemerintah sebagai persentase dari pendapatan nasional atau PDB. Seperti yang dapat dilihat di gambar 6.4, pada dekade 1980-an hingga awal krisis, pengeluaran pemerintah sempat mengalami penurunan yang terus menerus. Namun sejak krisis, terutama tahun 1998 dan 1999 rasionya meningkat mencapai 17% hingga 21%. Perkembangan ini menandakan bahwa pada saat ekonomi Indonesia mengalami krisis tahun 1997/98, yang membuat pertumbuhan ekonomi negatif pada tahun 1998, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif, yang memang sangat diperlukan untuk menggairahkan kembali perekonomian nasional. Salah satu bagian penting dari pengeluaran pemerintah semasa krisis adalah untuk membantu kaum miskin lewat program Jaringan Pengaman Sosial (JPS), yang sebagian besar didanai oleh Bank Dunia.

G ↑ Y ↑ Permintaan Kredit ↑

r ↑

I ↓

Y ↓

C ↓S ↓

Page 6: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Sumber: BPS

Gambar 6.4Tren perkembangan pengeluaran pemerintah, 1981-2002 (% dari PDB)

Pentingnya kebijakan fiskal yang ekspansif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada saat ekonomi mengalami kelesuan dapat juga dilihat di gambar 6.5, yang menunjukkan dua garis pertumbuhan dari masing-masing, G dan PDB. Setelah sempat mengalami suatu peningkatan pada tahun 2002, laju pertumbuhan pengeluaran pemerintah menurun secara drastis; sementara laju pertumbuhan PDB berjalan lambat dan perbandingan antara PDB pada semester I tahun 2005 dengan semester I satu tahun sebelumnya menunjukkan adanya suatu penurunan. Walaupun banyak faktor lain yang turut mempengaruhi pertumbuhan PDB, pergerakan dari dua garis tersebut mengindikasikan bahwa memang pengeluaran pemerintah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia; terutama pada saat pertumbuhan dari investasi dan ekspor sedang lesu. Sebaliknya, seperti telah dijelaskan sebelumnya, pada saat ekonomi mulai “memanas”,yang bisa memicu kenaikan laju inflasi, pemerintah menerapkan kebijakan fiskal ekspansif.

Gambar 6.5Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah (ΔG) dan PDB (ΔPDB) atas harga konstan

2000 (%), 2001-Sem. I-2005

Page 7: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Hal ini bisa dilakukan dengan mengurangi pengeluaran pemerintah atau menaikkan pajak yang berarti penambah kenaikan pemasukan pemerintah. Jadi, dalam kata lain, naik turunnyapengeluaran atau penerimaan pemerintah, atau naik turunnya defisit anggaran pemerintah bisa digunakan sebagai salah satu indikator mengenai arah kebijakan fiskal. Tabel 6.1 menunjukkan perkembangan penerimaan dan pengeluaran serta, Saldonya, defisit keuangan pemerintah selama periode 2003-2007. Dapat dilihat bahwa ada tahun-tahun di mana defisit keuangan pemerintah menurun karena jumlah peningkatan pendapatan lebih besar daripada jumlah penambahan pengeluaran, dan ada tahun-tahun dimana sebaliknya, defisit bertambah.

Tabel 6.1Arah Kebijakan Fiskal, 2003-2007 (Rp triliun)

komponen 2003 2004 2005 2006 2007Total penerimaan pemerintahTotal pengeluaran pemerintahDefisit anggaran

341,1378,8-37,7

380,4397,8-17,4

516,2542,4-26,2

659,1699,1-40,0

723,06763,57-40,61

Sumber: BPS dan BI

Besarnya defisit anggaran pemerintah sebaiknya juga dilihat dari persentasenya terhadap PDB. Karena yang perlu diukur tidak hanya beban dari kebijakan fiskal, tetapi juga efektivitasnya, dan ini bisa dilihat jika dibandingkan dengan PDB. Gambar 6.6 menunjukkan bahwa rasio defisit anggaran terhadap PDB selama periode yang diteliti mengalami kenaikan, dari -0,5 pada tahun 2005 ke -1,3 tahun 2007, dan berdasarkan estimasi oleh PT Bank Danamon Indonesia, diperkirakan defisit anggaran pemerintah akan naik terus untuk dua tahun kedepan.

Sumber: CEIC (PT Bank Danamon Indonesia)

Gambar 6.6Defisit Fiskal, 2005-2009 (% dari PDB)

Tiga tabel berikut menunjukkan perkembangan defisit fiskal dan rinciannya menurut total penerimaan dan total pengeluaran pemerintah di ASEAN selama periode 1990-

Page 8: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

2007. Dalam defisit fiskal, dapat dilihat bahwa Indonesia termasuk kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (Tabel 6.2).

Kesimpulan dari tabel ini adalah bahwa tingkat kebijakan fiskal ekspansif di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan di ASEAN secara rata-rata per negara. Hanya pada masa krisis, khususnya selama periode 1998-1999, defisit anggaran pemerintah Indonesia mengalami suatu peningkatan yang sangat besar. Hal yang sama juga terjadi di Thailand dan Filipina, dua negara yang juga sangat terpukul oleh krisis yang sama. Anggaran pemerintah Malaysia juga mengalami defisit pada tahun 1998 yang pada beberapa tahun sebelumnya selalu surplus. Melihat rinciannya, Indonesia sebagai negara terbesar di blok ekonomi tersebut, ternyata total penerimaan pemerintah tidak yang terbesar (Tabel 6.3). Demikian juga dengan pengeluaran pemerintah, yang lebih kecil dibandingkan sejumlah negara ASEAN lainnya (Tabel 6.4).

Tabel 6.2Defisit Fiskal di ASEAN (% dari PDB)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipinaSingapuraThailandVietnam

-0,3-4,5-0,8-9,7-2,9-2,8-3,510,84,87,2

15,1-7,23,012,90,8-3,30,614,53,0-1,3

0,5-6,21,0-5,70,7-2,20,310,40,9-0,9

1,7-0,90,5-5,22,4-0,10,111,6-1,5-3,3

5,4-2,4-1,7-6,6-1,80,8-1,93,4-2,8-1,6

-1,4-1,2-2,5-2,5-3,2-0,3-3,87,1-3,3-3,3

10,9-2,1-1,1-4,3-5,50,7-4,010,0-2,2-4,3

0,4-3,1-2,4-4,2-5,2…

-4,05,1-2,4-3,5

-9,9-3,4-1,5-3,2-5,3…

-5,34,8-1,4-2,3

-1,7-4,0-1,7-5,4-5,0…

-4,63,10,4-2,2

13,5-2,0-1,0-2,4-4,1…

-3,84,10,10,2

25,2-0,5-0,5-4,3-3,6…

-2,76,8-0,6-1,1

12,8-0,8-0,9-3,2-3,3…

-1,16,71,1-1,8

…-1,2-1,2-2,7-3,2…

-0,2…

-1,7-5,4

Sumber ADB database

Tabel 6.3Total Penerimaan Pemerintah di ASEAN (% dari PDB)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipinaSingapuraThailandVietnam

42,23,918,89,924,89,616,632,418,914,7

36,57,617,711,122,96,618,935,918,621,9

39,78,216,512,623,06,918,938,018,521,7

36,88,717,910,423,37,819,437,817,920,0

28,38,016,48,720,07,317,331,215,519,6

32,59,818,69,o19,54,916,131,415,419,0

49,110,014,712,417,44,215,330,315,120,1

42,29,817,812,722,6…

`15,627,815,121,2

40,810,416,512,621,8…

14,623,616,122,3

60,99,816,910,422,1…

14,821,517,125,3

56,010,017,610,621,0…

14,520,917,127,4

63,410,217,811,120,3…

15,022,217,528,0

50,010,919,011,821,5…

16,222,417,726,8

…12,117,913,621,8…

17,1…

17,224,9

Sumber ADB database

Tabel 6.4Total Pengeluaran Pemerintah di ASEAN (% dari PDB)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipinaSingapuraThailandVietnam

43,38,419,632,427,712,420,421,313,921,9

66,014,814,726,722,19,818,216,115,423,8

51,014,415,419,522,39,218,621,017,823,1

52,612,417,417,221,07,919,016,719,722,6

59,413,418,118,621,86,519,219,918,220,3

55,613,621,716,022,75,119,718,718,021,2

40,614,815,819,622,93,519,318,817,322,6

38,416,220,321,027,8…

19,722,117,724,4

45,317,718,017,927,1…

19,818,817,524,2

54,715,918,718,527,1…

19,318,516,826,4

42,613,918,614,625,1…

18,216,917,126,2

38,713,318,417,423,9…

17,715,418,027,3

28,714,220,017,424,9…

17,315,716,327,5

…15,419,119,125,0…

17,1…

19,228,1

Sumber ADB database

Page 9: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

C. KEBIJAKAN MONETER

1. Teori dan Model

Uang mempunyai peran sentral di dalam perekonomian modern. Berbeda dengan zaman dahulu kala, sekarang ini tanpa uang tidak mungkin ekonomi bisa berjalan karena tidak ada permintaan atau konsumsi rumah tangga (C). Sedangkan di sisi lain, terlalu banyak uang beredar di masyarakat mengakibatkan terlalu banyak permintaan. Jika produksi atau penawaran di pasar terbatas, maka tingkat inflasi akan meningkat, dan inflasi yang terlalu tinggi akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dapat dipahami betapa pentingnya kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas peredaran uang, jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit. Stabilitas uang yang beredar berarti stabilitas ekonomi dan yang terakhir ini merupakan kondisi paling krisis untuk pertumbuhan output yang tinggi dan berkelanjutan.

Untuk memahami efektivitas dari kebijakan moneter terhadap ekonomi di Indonesia, perlu terlebih dahulu dipahami empat hal pokok. Pertama, mekanisme kerja dari pasar uang atau bagaimana terjadinya permintaan dan penawaran uang dan keseimbangan antara keduanya. Kedua, faktor-faktor utama yang memengaruhi permintaan dan penawaran uang. Ketiga, sistem moneter Indonesia. Keempat, hubungan antara uang yang beredar dan pertumbuhan ekonomi.

Untuk dua hal pokok pertama tersebut, perlu dibahas terlebih dahulu garis besar perkembangan teori-teori moneter, khususnya mengenai permintaan uang. Teori-teori permintaan uang yang berkembang hingga saat ini berakar dari pemikiran ekonomi klasik.

Ada dua teori utama dari aliran klasik mengenai peran uang di dalam ekonomi, yakni teori kuantitas uang dan teori Cambridge. Dasar pemikiran dari teori kuantitas uang adalah bahwa uang hanya sebagai alat tukar dan perekonomian selalu dalam kondisi keseimbangan (AD = AS) pada tingkat kesempatan kerja penuh. Sebagai alat tukar, maka uang akan berputar atau berpindah tangan dari satu pihak ke pihak lain selama satu periode tertentu. Berapa kali uang berpindah tangan dalam setahun disebut velositas uang beredar (V). Apabila V = 12, artinya uang berpindah tangan sebanyak 12 kali. Menurut teori ini, faktor utama yang mempengaruhi V adalah faktor kelembagaan, utamanya mekanisme pembayaran yang digunakan, misalnya tunai atau seperti zaman sekarang ini banyak dilakukan dengan cek. Karena mekanisme pembayaran relatif tidak berubah dalam waktu jangka pendek (apalagi dalam satu tahun), maka V dinyatakan konstan.

Dasar pemikiran teori kuantitas uang ini dapat diilustrasikan di dalam suatu persamaan sederhana sebagai berikut: MV = PT dimana, M = jumlah uang yang beredar untuk keperluan transaksi, yakni M1 yang terdiri atas uang kartal dan uang giral: V = velositas uang; P = harga rata-rata atau Indeks Harga Konsumen (IHK); dan T = jumlah output yang ditransaksikan pada tingkat kesempatan kerja penuh.

Sedangkan dasar pemikiran dari teori Cambridge adalah bahwa permintaan uang tidak hanya dipengaruhi oleh volume transaksi yang diukur dengan PDB rill (y), tetapi

Page 10: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

juga dipengaruhi oleh tiga faktor lainnya, yaitu tingkat kekayaan seseorang, tingkat bunga (r), dan ekspektasi seseorang tentang masa depan. Di dalam model Cambridge ini, nilai aset seperti pendapatan atau kekayaan dihitung dalam nilai nominal, oleh karena itu, permintaan uang karena faktor kekayaan dinyatakan proposional dengan pendapatan nasional nominal, seperti yang digambarkan oleh persamaan berikut ini.

MD = mdP.y (6.12)= mdY Dimana MD = permintaan uang, dan md = koefisien yang konstan.

Pandangan dari Cambridge ini selanjutnya disempurnakan oleh Keynes yang menyatakan bahwa permintaan uang mempunyai dua tujuan, yakni untuk maksud transaksi (MD

1) yang dipengaruhi oleh pendapatan (Gambar 6.7) dan untuk spekulasi (MD

2) yang dipengaruhi oleh tingkat suku bunga (Gambar 6.8). Maka permintaan uang total adalah permintaan uang untuk transaksi ditambah dengan permintaan uang untuk spekulasi.

Y MD

1

md1

0 MD1

Gambar 6.7Permintaan uang untuk transaksi

r

md2

0 MD2

Gambar 6.8Permintaan uang untuk spekulasi

MD T = MD

1 + MD2

= MD1(Y) + MD

2(r) (6.13)

Sedangkan, penawaran uang bersifat otonom, ditentukan di luar model atau ekonomi, yakni oleh Otoritas Moneter (OM):MS = MD

T

Page 11: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Karena permintaan uang untuk tujuan trasaksi ditentukan oleh tingkat pendapatan nasional, sementara harga uang yang dicerminkan oleh tingkat suku bunga ditentukan oleh keseimbangan di pasar uang, maka dapat diturunkan kurva LM, yakni suatu garis yang menghubungkan sejumlah titik kombinasi antara suku bunga dan pendapatan dimana pasar uang pada posisi keseimbangan. Seperti yang diilustrarikan di gambar 6.9, pada saat pendapatan Y0, permintaan uang MD

T0 dan suku bunga r0. Pada saat pendapatan meningkat ke Y1, permintaan uang bertambah ke MD

T1 dan, sesuai hukum pasar karena jumlah MS tetap tidak bertambah, maka suku bunga naik ke r1 yang mencerminkan kelangkaan uang di masyarakat.

r MS rLM

r1 ――—―― E1 MDT1 r1 ―――――――――

r0 ――—―― EO MDT0 r0 ――――――

0 M Y0 Y1

Y

Gambar 6.9Keseimbangan Pasar Uang dan Kurva LM

Kebijakan moneter di Indonesia sepenuhnya tanggung jawab dari Otoritas Moneter (OM), yaitu Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral Indonesia. Sistem moneter di Indonesia terdiri atas OM dan bank-bank yang menciptakan uang giral dan uang kuasi5

yang adalah bank-bank umum yang mempunyai kedudukan khusus dalam sistem keuangan karena dapat menciptakan kedua jenis uang tersebut. OM (atau BI) adalah lembaga yang melaksanakan pengendalian moneter dengan empat (4) fungsi utama: (i) mencetak dan mengedarkan uang kartal sebagai alat pembayaran yang sah; (ii) memelihara dan menjaga posisi cadangan devisa; (iii) melakukan pembinaan dan penngawasan terhadap bank-bank yang ada di Indonesia; dan (iv) memegang kas pemerintah. Kewajiban OM terdiri atas uang kertas dan uang logam yang berada di luar BI dan Kantor Pembendaharaan dan Kas Negara (KPKN) yang dimiliki oleh bank umum dan sektor swasta (masyarakat), serta simpanan giro bank umum dan masyarakat pada BI. Kewajiban ini disebut uang primer.

Ada empat (4) instrumen yang dapat dipergunakan oleh BI sebagai suatu bank sentral untuk mengarahkan pelaksanaan kebijakan moneternya untuk mencapai sasaran operasional, yaitu: (i) operasi pasar terbuka, yaitu kegiatan jual beli surat berharga oleh BI yang diumumkan secara terbuka sebelum dan sesudah transaksi dengan tujuan untuk memengaruhi jumlah uang beredar dan suku bunga; (ii) giro wajib minimum, yaitu

Page 12: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

mengubah ketentuan jumlah dana yang harus disimpan oleh bank di BI; (iii) fasilitas diskonto, yaitu suku bunga yang dibebankan kepada bank-bank komersial yang meminjam dana dari BI bila cadangannya secara temporer berada di bawah tingkat yang ditentukan; dan (iv) persuasi moral, yaitu himbauan yang dilakukan oleh BI kepada perbankan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, misalnya himbauan untuk bersikap konservatif dalam menyalurkan pinjaman.

Terakhir, untuk mengetahui efektifitas dari kebijakan moneter, perlu diketahui dulu bagaimana relasi antara sektor rill dan sektor moneter. Seperti yang diilustrasikan secara sederhana di gambar 6.10, secara garis besar hubungan antara kedua sektor tersebut terjadi lewat dua jalur: permintaan uang, misalnya, meningkat menyusul pertumbuhan output/pendapatan di sektor rill dan investasi menurun akibat suku bunga meningkat, atau dalam prosesnya sebagai berikut: Y↑ →MD2 ↑→ r ↑→ I↓ (dan S↑→↑C↓) →Y↓→MD2→… dan seterusnya.

Jika OM bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lewat penurunan suku bunga yang membuat investasi (dan konsumsi) bertambah, maka dikatakan kebijakan moneter efektif. Untuk menurunkan tingkat bunga maka suplai atau jumlah uang yang beredar di masyarakat (M1) harus diperbanyak.

Gambar 6.10Hubungan antara sektor rill dan sektor moneter

MS0 MS

1

r r LM0

LM1

r0 ――――E0 r0 ――――――― e0

r1 ―――――― r1 ――――――――― e1

E1 MD IS0

0 M 0

MD = f(Y,r)

Sektor rill QD = QS =

I = f®

Sektor MoneterMD = MS

Page 13: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Y0 Y1Y

Seperti yang digambarkan di gambar 6.11, hal ini dicerminkan oleh pergeseran kurva MS dan kurva LM ke kanan. Proses penambahan jumlah M1 yang beredar di ekonomi hingga akhirnya membuat laju pertumbuhan PDB meningkat disebut mekanisme transmisi kebijakan moneter.

2. DATA EMPIRIS

Arah kebijakan moneter Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan dalam 20 tahun belakangan ini mengikuti perubahan kondisi perekonomian di dalam negeri yang juga dipengaruhi oleh dinamika perekonomian global.

Pada awal tahun 1980, sebelum deregulasi dan liberalisasi sektor keuangan, kebijakan moneter lebih diarahkan untuk menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah yang pada masa itu hingga krisis ekonomi 1997/98 pemerintah mengadopsi sistem penentuan kurs bebas terkendali (atau umum dikenal di buku-buku teks internasional sebagai sistem managed floating). Dalam periode 1983-1984, kebijakan moneter diarahkan untuk meletakkan landasan yang kokoh bagi perkembangan perbankan. Dari tahun 1985 hingga 1987, OM mengeluarkan kebijakan moneter yang berhati-hati di tengah tekanan pada neraca pembayaran, untuk menjaga kecukupan cadangan devisa. Selama periode 1988 – 1989, OM menerepkan kebijakan moneter ekspansif guna mendorong kegiatan ekonomi, tetapi berubah ke kebijakan moneter ketat dan diterapkan prinsip kehati-hatian di bidang perbankan pada periode 1990-1992. Pada periode 1993-1994, kebijakan moneter kontraktif secara bertahap dikendorkan pada saat situasi ekonomi cenderung stabil.

Namun, pada periode 1995 – 1997, kebijakan moneter yang cendrung berhati-hati diterapkan kembali di tengah tekanan peningkatan permintaan agregat dan inflasi. Sejak pertengahan kedua tahun 1997 hingga 1999, pada saat ekonomi mengalami krisis besar, diterapkan kebijakan moneter ketat yang dikombinasikan dengan perubahan dalam sistem penentuan kurs rupiah ke arah mekanisme pasar sepenuhnya. Instrumen yang digunakan adalah menaikkan suku bunga Sertifikat Bank indonesia (SBI). Namun, sejak tahun 2000 suku suku bunga SBI kembali menurun yang diikuti juga oleh suku bunga di pasar uang pada saat mana kebijakan moneter ditujukan untuk menciptakan stabilitas guna mendukung proses pemulihan ekonomi (Tabel 6.5). Selama periode 2003-2007, suku bunga SBI 1 bulan sempat meningkat hingga mencapai hampir 12,8% pada tahun 2005 dan setelah itu terus menurun yang pada tahun 2007 tercatat sebesar 8%. Sedangkan suku bunga deposito berjangka 1 bulan juga sempat meningkat hampir 12% pada tahun 2005 dan setelah itu turun ke hampir 7,2% pada tahun 2007 (Gambar 6.12). Dari sisi kredit perbankan , seperti yang dapat dilihat di tabel 6.5 , suku bunga kredit konsumsi selalu lebih tinggi dibandingkan suku bunga kredit untuk dunia usaha, yakni modal kerja dan investasi . Tujuan utama dari perbedaan tersebut adalah untuk memudahkan perkembangan dunia usaha. Selain itu, risiko bagi perbankan dengan meminjamkan uang ke perusahaan (tentu dengan asumsi bahwa perusahaan bersangkutan sudah menunjukkan

Page 14: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

kelayakan usahanya) relatif lebih kecil dibandingkan risiko dari meminjamkan uang ke konsumen.

Selain itu, biaya transaksi kredit ke perusahaan lebih murah dibandingkan ke konsumen karena rata-rata jumlah kredit per transaksi lebih besar untuk kredit usaha dibandingkan kredit konsumen. Gambar 6.13 menunjukkan perkembangan kredit usaha selama periode 2003-2007.

Di dalam kelompok ASEAN, Indonesia termasuk ekonomi yang suku bunganya relatif tinggi. Suku bunga untuk tabungan deposito di Indonesia berkisar antara tertinggi 23% pada tahun 1998 saat krisis ekonomi mencapai klimaksnya dan terendah 3,48% pada tahun 2007 (Tabel 6.6). Sedangkan untuk deposito berjangka 12 bulan, pada tahun 1998 suku bunganya juga paling tinggi mencapai hampir 28,3% (Tabel 6.7).

Tabel 6.5Perkembangan Suku Bunga di Indonesia, 2002-2007 (% per tahun)*

Periode Pinjaman antar-bank

Sertifikat Bank Indonesia(SBI)

Deposito Berjangka Kredit Rupiah

1 bulan 3 bulan 1 bulan 3 bulan 6 bulan Model kerja

Investasi Konsumsi

Page 15: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

2002JuniNov.2003JuniDes.2004Jan

MaretAprilMeiJuni Juli

Agust.Sept.Okt.Nov.Des.2005Jan.Feb.

MaretApril MeiJuni

14,812,3

9,978,3

8,17,37,27,17,06,86,66,66,86,44,8

4,94,76,26,36,57,8

15,113,0

9,58,4

7,97,47,37,37,37,47,47,47,47,47,4

7,47,47,47,77,98,2

15,113,1

10,18,3

8,27,37,37,27,37,37,37,37,37,37,3

7,37,37,37,57,88,1

14,712,8

10,36,6

6,25,85,86,16,26,26,26,36,36,36,4

6,46,46,56,56,76,7

15,813,7

11,57,1

6,66,16,06,16,36,46,56,66,66,66,7

6,76,76,96,97,07,2

15,714,1

12,28,2

7,66,76,46,36,36,46,76,86,97,07,1

7,07,27,37,17,17,1

19,018,4

17,415,0

14,914,614,414,214,113,913,813,813,613,513,4

13,413,313,313,313,213,3

18,118,0

17,415,6

15,415,114,914,714,614,514,414,314,214,114,0

13,913,813,713,713,613,6

20,220,1

19,718,6

18,418,117,817,617,517,317,017,016,816,716,5

16,316,216,316,216,116,0

Keterangan: * = angka dibulatkanSumber: Bank Indonesia

Sumber: BI

Gambar 6.12Perkembangan Suku Bunga SBI 1 Bulan dan Deposito 1 Bulan, 2003-2007 (%)

Page 16: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Sumber: BI

Gambar 6.13Perkembangan Suku Bunga Kredit Usaha, 2003-2007 (%)

Juga pada tahun yang sama, suku bunga pinjaman di Indonesia mencapai tingkat tertinggi. Namun, untuk tahun-tahun lainnya selama periode yang diteliti, suku bunga pinjaman di Lao PDR adalah yang tertinggi di dalam kelompok ekonomi ini (Tabel 6.8). Memang pada saat krisis ekonomi yang disebabkan oleh krisis rupiah, pemerintah melalui kebijakan moneternya berusaha menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dengan menaikkan suku bunga bank. Teorinya, seperti telah dibahas sebelumnya, jika suku bunga tabungan dalam rupiah lebih tinggi dibandingkan suku bunga tabungan dalam dolar AS, maka arus modal akan akan masuk ke Indonesia atau paling tidak, pelarian modal ke luar bisa dihentikan atau dikurangi, sehingga permintaan dolar AS di pasar valuta asing di dalam negeri bisa dikurangi secara drastis yang akhirnya memperkuat kurs rupiah.

Menjelang akhir tahun 2005, ekonomi Indonesia diguncang oleh kenaikan harga BBM di pasar dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah. Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya sejak pemerintahan orde baru, dalam kondisi seperti ini yang bisa memicu kenaikan inflasi, OM Indonesia menerapkan kebijakan moneter kontraktif

Tabel 6.6Perkembangan Suku Bunga Tabungan Deposito di ASEAN

(% per tahun; periode rata-rata)

Page 17: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Negara 1990

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

……15,00…3,43…10,903,8311,002,40

…7,2515,00…3,70…8,002,725,00…

…7,0914,00…4,10…8,002,725,00…

…6,5618,00…4,23…9,103,085,000,40

…6,6123,00…3,87…11,001,434,50-0,45

…6,4016,00…2,76…7,301,343,000,20

…6,138,86…2,27…7,401,282,500,20

…3,009,19…2,28…7,500,771,750,20

…2,418,96…2,12…4,200,441,502,40

1,132,195,14…1,86…4,200,240,752,40

1,002,134,37…1,58…4,260,230,752,40

0,872,084,85…1,41…3,800,301,883,00

1,151,834,38…1,48…3,500,292,503,00

…1,903,48…1,44…2,200,250,753,06

Sumber ADB database

Tabel 6.7Perkembangan Suku Bunga Deposito 12 Bulan di ASEAN

(% per tahun; periode rata-rata)Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

……18,00…7,21…19,705,4813,75…

……15,00…6,89…10,704,0110,6212,00

…11,9517,00…7,26…9,903,998,889,60

…11,1316,00…9,32…11,404,4111,509,60

…11,0928,29…5,74…13,302,516,0011,40

…9,8422,35…3,95…12,802,464,127,20

…7,2012,12…4,24…10,502,423,506,24

…8,3315,48…4,00…10,801,532,886,84

…7,2015,28…4,00…9,201,322,007,80

1,697,0010,39…3,70…8,000,701,007,56

1,626,607,07…3,70…8,180,721,007,56

1,636,8310,95…3,70…6,000,863,008,40

1,146,4011,63…3,73…5,010,884,508,40

…7,058,20…3,70…3,100,832,328,80

Sumber ADB database

Tabel 6.8Perkembangan Suku Bunga Pinjaman di ASEAN

(% per tahun; periode rata-rata)Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

……20,83…8,798,0024,127,3614,42…

…18,7018,8525,678,7316,5014,686,3713,25…

…18,8019,2227,009,9416,5014,846,2613,4020,10

…18,4021,82…10,6316,5016,286,3213,6514,42

6,5018,3332,1529,2812,1316,5015,787,4414,4214,40

5,5017,5627,6632,008,5616,1311,785,808,9812,70

5,5017,3418,4632,007,6715,2510,915,837,8310,55

5,5016,5018,5526,177,1315,0012,405,667,259,42

5,5016,2318,9529,336,5315,009,145,376,889,06

5,5018,4716,9430,506,3015,009,475,315,949,48

5,5017,6214,1229,256,0515,0010,085,305,50…

5,5017,3314,0526,835,9515,0010,185,305,7911,03

5,506,405,9830,006,4916,089,785,317,3511,18

5,5016,1813,8630,006,4117,008,695,337,05…

Sumber ADB database

atau uang ketat dengan menaikkan suku bunga SBI sebagai instrumennya dengan tujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di dalam ekonomi dan dengan cara itu laju inflasi bisa ditahan. Sebagai ilustrasi empiris, di tabel 6.9 dapat dilihat perkembangan

Page 18: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

jumlah uang yang beredar untuk periode 2000-2005 (Juni). Berikut, gambar 6.14 menunjukkan perkembangan jumlah uang primer dan jumlah uang beredar, yang terdiri dari M1 (arti sempit) dan M2 (arti luas).

Di dalam kelompok ASEAN, jumlah suplai uang atau uang beredar di Indonesia bukan yang terbesar, walaupun sempat meningkat tajam pada tahun 1998 yang mencapai sekitar 60,4% dari PDB (Tabel 6.10) dengan laju 62,3% (Tabel 6.11). Lebih kecilnya jumlah uang beredar disebut, negara A dibandingkan di negara B bisa menandakan dua hal.

Tabel 6.9Jumlah Uang Beredar (Money Supply), 2000-2005 (Rp Triliun)

Akhir Periode M2 M1 Uang Kuasi∑ Kartal Giral

20002001200220032004

2005 januari2005 juni

747,0844,1883,9955,7

1.033,51.015,91.073,7

162,2177,7191,9223,8253,8248,2267,6

72,476,380,794,5109,3101,8106,1

89,8101,4111,3129,3144,6146,4161,5

584,8666,3692,0731,9779,7767,7806,1

Gambar 6.14Perkembangan Uang Primer dan Uang Beredar (Rp triliun)

Pertama, kegiatan ekonomi di negara A sedang lesu dibandingkan di negara B. Makin banyak transaksi ekonomi makin banyak permintaan akan uang yang berarti makin banyak jumlah uang beredar. Kedua, negara A sedang menerapkan kebijakan moneter kontraktif, atau yang umum disebut di Indonesia sebagai kebijakan uang ketat, yang biasanya ditandai dengan tingkat suku bunga (atau dalam kasus Indonesia, SBI) yang tinggi.

Tabel 6.10Jumlah Suplai Uang di ASEAN(% dari PDB)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

Sumber ADB database

Tabel 6.11Laju Pertumbuhan Suplai Uang di ASEAN(%)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Page 19: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

Sumber ADB database

Selanjutnya, tabel 6.12 menunjukkan jumlah kredit yang dikeluarkan oleh perbankan sejak tahun 1996. Besarnya kredit yang disalurkan oleh perbankan ke masyarakat merupakan komponen penting dari peningkatan suplai uang di dalam ekonomi. Akibat Krisis ekonomi 1997/98, arus kredit sempat berkurang drastis, terutama karena perbankan nasional waktu itu sedang menghadapi masalah NPL. Sementara itu, pada waktu yang sama, akibat suku bunga perbankan yang meningkat tajam membuat arus dana dari masyarakat yang masuk ke sektor perbankan mengalami peningkatan yang pesat yang membuat rasio kredit terhadap deposito menurun drastis. Beberapa tahun setelah krisis tersebut, arus kredit mulai membaik yang membuat rasio kredit terhadap deposito kembali meningkat (gambar 6.15).

Dilihat dari perspektif ASEAN, konsisten dengan tabel 6.10 maupun tabel 6.11, jumlah kredit perbankan ke masyarakat (yakni kredit modal kerja dan investasi ke dunia usaha dan kredit konsumen ke rumah tangga) di Indonesia bukan yang terbanyak, dilihat dari persentasenya setiap tahun terhadap PDB. Selama periode 1990-2007, rasio tertinggi terjadi pada tahun 1998 yang mencapai 62%. Namun, setelah itu cenderung menurun terus (tabel 6.13). Tren ini bisa disebabkan oleh dua kemungkinan: laju pertumbuhan kredit per tahun yang semakin kecil, atau, PDB yang meningkat terus.

Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah merupakan salah satu tanggung jawab otoritas moneter, dalam hal ini BI. Karena stabilitas nilai rupiah bersama dengan stabilitas harga atau laju inflasi yang terkontrol merupakan dua prasyarat penting bagi pencapaian stabilitas perekonomian nasional.

Tabel 6.12Jumlah Kredit dalam rupiah dan uang asing menurut kelompok bank,

1996-2004 (Rp triliun)Akhir periode

Bank Pemerintah

Bank Pemerintah daerah

Bank swasta nasional

Bank asing and JV

Total

199619971998199920002001200220032004Mei 20052005

108,9153,3220,7112,3102,1117,1146,0173,2217,1230,7…

6,57,56,66,810,115,421,529,237,240,9…

150,0168,7193,456,082,4101,9137,0175,1224,6250,9…

27,648,666,750,074,473,260,960,574,786,8…

292,9378,1487,4225,1269,0307,6365,4437,9553,6609,3689,7

Page 20: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

20062007

……

……

……

……

787,1995,1

Sumber: BI

Sumber: BI

Gambar 6.15Perkembangan Rasio Kredit-Deposito, 1997-Mei 2005 (%)

Oleh karena dapat dipahami jika pada saat nilai tukar rupiah jatuh pada tahun 1997/98, BI menaikkan suku bunganya yang begitu tinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya (dan kayaknya tidak akan terulang lagi) semata-mata untuk menahan laju kejatuhan rupiah saat itu. Memang, paling tidak menurut teori, nilai rupiah yang melemah dapat mendorong ekspor karena daya saing harga dari produk-produk Indonesia meningkat. Sayangnya, pengalaman selama krisis ekonomi1997/98, ekspor Indonesia tidak naik secara signifikan.

Tabel 6.13Perkembangan kredit Perbankan di ASEAN (% dari PDB)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

……46,75,172,732,826,975,394,1…

…5,351,811,1173,032,564,375,6141,39,7

…6,254,08,7193,833,773,979,3146,410,4

…6,959,616,5221,831,684,585,2177,611,4

…7,259,916,7216,628,275,6100,8176,711,5

41,06,662,110,1197,326,869,297,3155,828,9

38,66,460,710,5186,132,166,989,2138,335,1

35,66,460,710,5186,132,166,989,2138,335,1

37,75,652,412,3195,828,761,483,7127,844,8

29,46,649,210,0191,722,160,187,4122,951,8

20,68,049,69,3149,527,258,179,7116,558,2

10,57,2 46,08,8137,028,150,770,8111,469,5

16,08,941,77,3119,4…48,672,6101,375,0

Sumber ADB database

Sementara pada waktu yang sama, nilai impor dalam rupiah meningkat sangat signifikan karena Indonesia sudah sangat tergatung pada impor sehingga pada saat nilai dolar mahal, Indonesia tidak semudah itu bisa menguranngi volume impor, seperti misalnya

Page 21: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

impor BBM, bahan baku yang telah diproses, makanan, komponen, dan lain-lain. Akibatnya, walaupun rupiah melemah, cadangan devisa, khususnya dolar AS, yang disimpan di BI berkurang, bukannya bertambah. Padahal, seperti telah dijelaskan sebelumnya, menjamin cadangan valuta asing cukup juga merupakan tugas penting BI.

Di bab 3 telah ditunjukkan tren perkembangan jangka panjang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak dekade 90-an hingga pascakrisis 1997/98. Sejak BI mmengganti sistem bebas terkendali ke sistem bebas dalam penentuan kurs rupiah, yang ditandai dengan pelepasan rentang intervensinya sesaat setelah krisis tersebut muncul, hingga saat ini BI sudah beberapa kali melakukan intervensi di pasar valas untuk menahan kurs rupiah, paling tidak jangan sampai menembus angka Rp. 10.000 per satu dolar AS (Tabel 6.14).

Sejak penghapusan batas intervensi rupiah pada 14 Agustus 1997, kebijakan moneter Indonesia mengalami suatu perubahan yang besar, yang mana dirasa perlu untuk mencari nominal anchor yang baru bagi kebijakan moneter. Salah satu bentuk baru yang banyak mendapat sambutan dari ekonom dan pembuat kebijakan adalah mengarah ke sasaran inflasi yang eksplisit atau strategi kebijakan moneter berupa inflation targeting.

Tabel 6.14Perkembangan Kurs Mata Uang di ASEAN

(Nilai Uang Nasional per 1 Dolar AS; periode rata-rata)Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

Sumber ADB database

Dalam pernagetan inflasi, sasaran akhir dari kebijakan moneter diarahkan untuk mencapai tingkat inflasi yang relatif rendah dan stabil. Secara resmi, BI telah menempatkan inflasi sebagai anchor baru dari kebijakan moneternya dalam pasal 7 UU No. 23 tahun 1999. Namun, penargetan inflasi tidak langsung dilakukan secara penuh oleh BI, tetapi secara bertahap sebagai suatu proses pembelajaran. Meskipun belum dilakukan secara penuh, tetapi pada tahun 2000 BI telah menetapkan target inflasinnya sebesar 3-5%, tahhun 2001 sebesar 4-6%, tahun 2003 sebesar 9% (±1%), tahun 2004 sebesar 5,5% (±1%), dan tahun 2005 akibat kenaikan harga BBM ditetapkan antara 10-12,6%.

Ada sejumlah indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat inflasi di suatu ekonomi. Di antaranya yang umum digunakan adalah perubahan indeks harga konsumen (IHK), seperti yang ditunjukan di tabel 6.15; pertumbuhan indeks harga konsumen makanan (IHKM) (tabel 6.16); pertumbuhan indeks harga produsen/grosir (IHP) (Tabel 6.17); dan pertumbuhan deflator PDB (Tabel 6.18) .

Rahutami (2004) mencoba melihat kesiapan Indonesia dalam menggunakan penargetan Inflasi dalam kebijakan moneternya, dengan suatu analisis ekonometris.

Page 22: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Studinya memakai data kuartalan untuk periode 1981.1-2004.2 dan dengan pendekaran analisi vector autoregressions (VAR) yang merupakan model untuk data runtut waktu, di mana tiap variabel endogen dijelaskan oleh nilai lag-nya dan lag variabel endogen lain. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan inflation targeting di Indonesia tidak semudah yang dibayangkan, yaitu hanya berupa penggantian anchor kebijakan moneter.

Tabel 6.15Pertumbuhan IHK di Asean (%)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

2,1141,8…35,93,1…12,43,55,9…

6,07,89,519,64,0…6,71,75,7…

2,07,17,915,83,4…7,51,45,95,7

1,78,06,219,52,8…5,62,05,63,2

-0,414,858,590,15,225,39,3-0,38,17,8

-0,14,020,3128,42,821,35,90,00,24,2

1,2-0,89,323,11,5-0,24,01,31,7-1,6

0,60,212,57,81,421,26,81,01,6-0,4

-2,33,310,010,71,857,03,0-0,40,64,0

0,31,25,115,51,236,63,50,51,83,2

0,93,86,110,51,44,56,01,72,87,8

1,15,810,57,23,19,47,60,54,58,4

0,24,713,16,83,620,06,21,04,77,4

0,35,96,44,52,035,02,82,12,38,3

Sumber ADB database

Tabel 6.16Pertumbuhan IHKM di ASEAN (%)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

-0,4………4,2…10,90,88,0…

2,6…13,2…4,8…8,02,38,0…

3,07,69,5…5,8…9,62,18,8…

3,76,77,225,44,1…3,32,07,0…

0,314,181,392,78,926,38,00,29,5…

-0,27,624,8118,94,620,64,60,9-0,8…

0,0-3,42,7…1,9-2,61,60,6-1,2-3,9

0,5-2,57,36,70,719,54,70,50,7-1,3

0,31,810,89,60,768,32,30,00,37,6

-0,81,54,715,21,336,32,20,63,72,6

1,66,35,910,42,21,16,22,04,411,6

0,58,610,07,73,69,36,41,35,011,3

0,36,414,89,43,420,65,51,64,68,7

2,210,011,4813,035,33,32,94,011,2

Sumber ADB database

Tabel 6.17Pertumbuhan IHP di ASEAN (%)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

……10,0…0,7…8,51,7……

……11,4…4,7…5,50,0……

……7,6…2,8…9,00,11,8…

……9,2…2,5…0,5-1,25,1…

…………11,2…9,9-3,012,1…

……10,5…-3,9…5,92,1-4,7…

……12,5…3,1…5,910,13,8-0,2

……13,0…0,2…7,6-1,62,52,1

……4,4…-0,7…5,0-1,51,71,8

……3,4…4,7…4,92,04,03,6

……7,4…6,2…8,65,16,76,4

……15,3…5,9…12,59,79,24,4

……13,6…5,1…8,85,07,04,2

……13,8…6,7…2,70,33,3…

Sumber ADB database

Tabel 6.18Pertumbuhan Deflator PDB di ASEAN (%)

Negara 1990 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Page 23: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Brunei DarussalamKambojaIndonesiaLaos PDRMalaysiaMyanmarFilipina SingapuraThailand Vietnam

8,4145,67,733,13,818,513,04,15,842,1

2,911,79,920,63,619,67,62,35,617,0

4,53,48,712,93,723,07,71,34,08,7

8,64,312,619,33,533,76,20,74,16,6

-11,710,275,385,38,535,910,5-1,79,28,8

11,61,714,2127,10,022,68,0-5,3-4,05,7

29,0-3,19,625,14,92,56,43,71,33,4

-5,62,716,78,6-1,624,86,4-1,82,11,9

0,40,73,710,63,141,54,5-0,70,84,0

6,11,85,515,73,320,53,8-0,81,36,7

15,94,88,610,56,03,56,14,33,18,2

18,86,114,37,34,6…6,50,74,68,2

10,04,614,16,93,8…5,10,65,07,3

0,96,511,53,25,2…2,84,03,48,2

Sumber ADB database

Banyak hal yang harus disiapkan terlebih dahulu untuk dapat mengadopsi penargetan inflasi dan menjadikan strategi tersebut menghasilkan kinerja yang lebih optimal.

Dari hasil kajiannya mengenai mekanisme transmisi, ia menyimpulkan sebagai berikut: nilai tukar merupakan jalur mekanisme transmisi yang lebih kuat dan cepat dalam memengaruhi output dan inflasi. Adanya goncangan di dalam nilai tukar berupa depresiasi akan memengaruhi kestabilan output dan inflasi. Di sisi lain, jalur suku bunga masih mengalami hambatan, sehingga pengelolaan suku bunga tidak akan memberikan pengaruh yang kuat dan langsung pada output dan inflasi. Hasil mekanisme transmisi ini, apabila dikaitkan dengan kesiapan Indonesia dalam menjalan inflation targeting secara penuh, merupakan suatu kelemahan yang harus dikelola. Besarnya dominasi ketidakstabilan nilai tukar terhadap stabilisasi ekonomi secara luas, merupakan hambatan dalam penerapan inflation targeting secara penuh. Dari sisi institusional, BI telah menunjukkan langkah-langkah yang cukup untuk mempersiapkan adopsi inflation targeting secara penuh, tetapi masih terdapat benturan kepentingan, terutama dalam masalah independensi penetapan target. Hal ini juga harus menjadi suatu koreksi bagi pemerintah dan BI dalam operasionalisasi inflation targeting secara penuh. (hal 18 dan 19).9

3. Krisis 1997/98 akan Terulangi lagi pada Tahun 2008-2009?

Sejak krisis ekonomi 1997/98, ketahanan system moneter di Indonesia terus mendapat ujian silih berganti, yang terutama bersumber dari luar. Selama tahun 2008, perekonomian Indonesia menghadapi sejumlah persoalan, mulai dari naiknya harga BBM dan pangan di pasar internasional hingga kebangkrutan sejumlah perusahaan-perusahaan raksasa AS, termasuk Lehman Brothers, yang semuanya akibat panjang dari kasus “Subprime Mortgage” di Negara adi daya tersebut.

Kenaikan harga BBM dan pangan di pasar internasional memicu naiknya inflasi di dalam negeri. Inflasi setahun Agustus 2008, misalnya, telah mencapai hamper 12%, jadi sudah menembus 2 digit, jauh di atas target yang ditetapkan semula oleh BI, yakni 5% plus minus 1%. Akibatnya, BI terpaksa merevisi targetnya menjadi paling rendah 11,5% hingga tertinggi 12,5% pada akhir tahun 2008. Sebenarnya, harga BBM dan pangan di pasar internasional sudah mulai turun menjelang akhir tahun 2008, walaupun dengan laju yang tidak besar. Namun demikian, laju inflasi di dalam negeri tidak ikut merosot karena naiknya permintaan agregat, terutama menjelang Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, ditambah lagi dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Page 24: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Yang terakhir ini dengan sendirinya menambah inflasi karena Indonesia banyak mengimpor (disebut inflasi yang diimpor).

Awal September 2008, nilai tukar rupiah merosot ke posisi Rp 9.455 per 1 dolar AS, yang terjadi karena imbas dari depresiasi nilai tukar dari sejumlah mata uang di kawasan Asia terhadap dolar AS, yang menurut Kompas.10 karena para investor memburu dolar AS yang harganya amat murah. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin berat karena banyak investor asing di Indonesia menjual aset-aset rupiah mereka di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), dan surat-surat berharga lainnya, dan menukar rupiah mereka yang didapatkan dari pelepasan surat-surat berharga tersebut dengan dolar AS. Tindakan ini, terutama karena semakin banyaknya perusahaan keuangan skala besar global yang menghadapi kesulitan keuangan yang sangat serius, dengan sendirinya menambah kenaikan dalam permintaan terhadap dolar AS di pasar valas yang tambah memperlemah nilai tukar rupiah. Selain itu, pada waktu yang sama, akibat pelepasan surat-surat berharga tersebut, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (BEJ) merosot.

Jadi, sebenarnya tindakan menjual aset-aset rupiah oleh investor-investor asing dan mengambil kembali dolar-dolar mereka sama seperti penyebab krisis rupiah pada tahun 1997 lalu. Hanya saja jumlah modal asing yang keluar dari Indonesia kali ini, walaupun jumlahnya besar, diperkirakan masih jauh lebih kecil dibandingkan jumlah modal yang lari pada tahun 1997.

Namun demikian, itu sudah berdampak sangat serius terhadap likuiditas di dalam negeri yang menjadi semakin kering, yang sebelumnya sudah ketat sebagai konsekuensi dari kebuijakan uang ketat yang diterapkan oleh BI selama periode Mei-September dengan suku bunga (BI rate1) sebesar 125 basis poin (bp), dengan tujuan utama untuk meredam laju inflasi. Kekeringan likuiditas di dalam negeri diperparah karena dana pemerintah sebanyak Rp 120 triliun yang disimpan di BI tidak juga disalurkan ke pasar.

Dampaknya, seperti yang diberitakan di Kompas (19 September 2008),12 rasio likuiditas perbankan turun dengan jumlah yang besar dari 119,3% pada triwulan I-2008 menjadi 111,9% pada triwulan berikutnya. Jika rasio ini terus menurun hingga di bawah 100%, maka perbankan nasional terancam akan mengalami nasib yang sama seperti pada krisis 1997/98, karena perbankan kesulitan menyediakan dana yang ingin ditarik nasabah.

Menghadapi kondisi ini, bank-bank melakukan tindakan yang sama seperti yang pernah diperbuat pada saat krisis 1997/98, yakni menaikkan suku bunga deposito berjangka (walaupun tidak sebesar pada krisis 1997/98), baik resmi maupun tidak resmi, agar perbankan bisa menarik lebih banyak lagi dana masyarakat.13 Sedangkan, langkah-langkah yang diambil oleh BI untuk menghadapi kondisi ini adalah sebagai berikut. Pertama, untuk jangka panjang, BI akan tetap menerapkan kebijakan moneter kontraktif (pengetatan likuiditas) yang bisa menurunkan tingkat inflasi ke posisi 6,5% - 7,5% pada tahun 2009. Sedangkan untuk jangka pendek, BI menerapkan kebijakan moneter ekspansif (pelonggaran likuiditas). Kebijakan ini dilakukan dengan tetap menjaga efektivitas kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi sebagai prioritas utama. Dalam melonggarkan likuiditas, BI menyusun tenor dan suku bunga transaksi repo14 lelang menjadi lebih menarik dan fleksibel. Untuk mendukung kebijakan ini, BI menurunkan suku bunga transaksi repo semalam dari BI rate plus 300 bp menjadi BI rate plus 100 bp, dan menyesuaikan fasilitas BI dari semula BI rate minus 200 bp menjadi BI rate minus 100 bp.

Page 25: Bab 6 kebijakan fiskal & moneter

Selain itu, BI juga menyediakan fasilitas likuiditas kepada perbankan yang membutuhkan melalui operasi pasar terbuka, termasuk melalui pembelian surat berharga. BI juga melakukan penyempurnaan berbagai aturan tentang pemberian fasilitas repo sehingga mempermudah perbankaan untuk mendapatkan likuiditas tambahan dari BI.