Click here to load reader
Upload
operator-warnet-vast-raha
View
135
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada zaman dahulu, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja Muna berna
Omputusangia, nama asli dari Omputusangia adalah La Ode Husaeni. Omputusangian
memiliki seorang istri yang sudah dinikahinya selama tujuh puluh tahun. Setiap hari,
Omputusangia hanya disibukkan dengan masalah-masalah kerajaan karena kerajaan adalah
sebuah pusat penyimpanan semua hal-hal penting, boleh dibilang semua yang ada dalam
kerajaan adalah panutan atau pedoman yang dibutuhkan dan diinginkan oleh rakyat Muna.
Tiba pada suatu malam, Omputusangia duduk di tempat peristirahatannya, ia pun berpikir
bahwa sudah tujuh puluh tahun menikahi istrinya namun Omputusangian belum juga
mendapatkan keturunan, lelah berpikir akhirnya raja terlelap tidur karena sudah larut malam.
Pagi hari, Omputusangia mendapat kabar dari pengawal kerajaan bahwa pulau Muna
didatangi seorang saudagar dari Arab dengan niat untuk menyebarkan agama Islam, saudagar
itu bernama Saidhi Raba. Pengawal kerajaan itu menambahkan lagi bahwa Saidhi Raba
memiliki kemampuan hebat seperti sebuah kesaktian karena Saidhi Raba datang di pulau
Muna lewat udara. Mendengar berita itu, Omputusangia memerintahkan pengawalnya untuk
memanggil Saidhi Raba datang ke kerajaan. Pergilah pengawal kerajaan tersebut ke tempat
Saidhi Raba. Setelah raja menunggu seharian di istana, pengawal yang disuruhnya tadi
kembali, namun tidak bersama Saidhi Raba. Melihat wajah raja yang kelihatan marah,
pengawal tersebut menjelaskan alasannya tidak membawa Saidhi Raba. Pengawal itu
mengatakan bahwa Saidhi Raba tidak ingin datang ke Istana karena raja memelihara babi,
dan menurut ajaran agama Saidhi Raba yakni Islam, babi adalah hewan yang haram.
Demi kedatangan Saidhi Raba, Raja Muna rela melepas semua babinya. Disurulah kembali
pengawal untuk pergi menjemput Saidhi Raba. Sore harinya, Saidhi Raba datang ke Istana
dan bertanya pada Raja tentang maksud Raja memanggil dirinya. Omputusangia pun berkata
bahwa ia ingin menguji kesaktian dari Saidhi Raba, hingga ia mampu menyebarkan ajaran
agama Islam di Muna. Pertama-tama, Raja menguji Saidhi Raba untuk membaca isi hatinya,
apabila Sidhi Raba dapat membaca apa yang diinginkan oleh Raja saat itu maka Raja akan
masuk dalam ajarannya yakni Islam. Dengan kemampuan yang dimilikinya, Sidhi Raba pun
mengatakan bahwa Raja ingin sekali memiliki seorang anak karena istrinya mandul.
Berdoalah Saidhi Raba kepada Tuhan namun doanya belum dikabulkan. Muncul kecurigaan
dari Raja bahwa Saidhi Raba tidaklah sehebat seperti apa yang dibicarakan. Saidhi Raba
rupanya tidak berhenti disitu, dilanjutkannya lagi untuk berdoa yang kedua kalinya, akhirnya
doa Saidhi Raba diterima. Istri Raja pun mengandung dan Raja masuk agama Islam karena
senang melihat istrinya telah mengandung. Sebelum pulang, Saidhi Raba berkata pada Raja
ii
bahwa roh yang ada dalam kandungan istrinya adalah roh yang terpaksa diberikan Tuhan
karena umur istri Raja Muna sudah sangat tua.
Perkataan Saidhi Raba rupanya terus dipikirkan oleh Omputosangia. Tibalah waktunya untuk
istri Raja melahirkan. Ternyata perkataan Saidhi Raba benar, anak yang dilahirkan oleh istri
Raja Muna berbadan setengah manusia dan setengah ular. Raja pun sedih melihat kondisi
anaknya namun ia harus berterima kasih karena ia telah meminta anak itu dari kesaktian
Saidhi Raba. Setiap hari, apabila ada kunjungan tamu dari Bugis ataupun Minangkabau,
anaknya yang diberi nama La ode Muna selalu disembunyikan dalam guci karena Raja malu
dengan keadaan fisik yang dialami oleh anaknya.
Lima belas tahun kemudian, La ode Muna tumbuh menjadi dewasa. Mulailah ia menggoda
para gadis yang ada dalam lingkungan istana. Ia pun menyampaikan niatnya untuk memiliki
seorang pacar, namun Raja tidak menhendaki dan melarangnya karena tidak mungkin La Ode
Muna dapat menikahi seorang gadis bila kondisi fisiknya setengah manusia dan setengah
ular. Sampai pada suatu hari, Omputosangia memutuskan untuk membuang La Ode Muna
agar ia tidak mendapatkan malu dari anak jadi-jadian itu. Raja membuang La Ode Muna di
Unggumora dengan bekal 44 biji telur dan 44 biji ketupat. Setelah empat puluh hari di buang
di tempat itu, La Ode Muna terbang ke langit dengan badan yang menyala dan mengatakan
bahwa saya telah terbang. Sampai sekarang rakyat Muna tidak mengetahui arah La Ode
Muna terbang. Ada pula yang mengatakan bahwa La Ode Muna terbang ke Ternate. La Ode
Muna dianggap sebagai seorang yang memiliki ilmu ataupun kemampuan. Jadi, rakyat Muna
mengistimewakan La Ode Muna karena ia manusia yang berkah karena disamping memiliki
kekurangan ia juga mempunyai kelebihan yakni setiap yang ia ucapkan akan menjadi
kenyataan.
B. TUJUAN
Untuk mengetahui sejarah terbentuknya kabupaten muna
ii
BAB II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN MUNA
Sebagai Suku bangsa, Muna memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari situs sejarah yang
ada di dinding Gua Liangkobori dan Metanduno menanndakan bahwa peradaban suku
bangsa muna dimulai sejak jaman purba mesolitikum. Relief yang ada didinding kedua Gua
tersebut menggambarkan kehidupan masyarakat saat itu yang masih nomade dan
menggantungkan hidupnya dari berburu dan meramu.
Menelusuri sejarah perdaban masyarakat dan sejarah kerajaan Muna memang agak sulit. Hal
ini disebabkan kurangnya literatur baik berupa manuskrip yang ditulis oleh sejarawan Muna
masa lalu naupun hasil penelitian ilmiah yang dilakukan saat ini.
Sudah menjadi hal yang lumrah bila menulis Sejarah Muna para penulis menggunakan
referensi sejarah buton. Penggunanaan referensi tersebut karena sejarah buton tidak terlepas
dengan sejarah Muna seperti suku muna yang telah mendiami daratan pulau buton sebelum
armada mia pata miana mendarat di pulau buton dan la kilaponto Raja Muna VII yang
kemudian dinobatkan menjadi Raja Buton VI yang berhasil menjadikan Buton sebagai
Kesultanan dan Sultan I.
Dari berbagai literatur yang mengutip tradisi lisan masyarakat muna dan hikayat yang ditulis
oleh penyair-penyair buton, dikatakan bahwa sejarah peradaban manusia di muna dimulai
ketika Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah 40 orang terdampar di suatu daratan di
Pulau Muna yang saaat ini di kenal dengan nama ‘Bahutara’.
Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya La Eli alias Baidhuldhamani gelar
Bheteno ne Tombula sebagai Raja Muna I. Namun sebelum itu telah ada komunitas
masyarakat yang diyakini merupakan perpaduan antara pengikut Swaerigading yang
berjumlah empat puluh orang dengan masyarakat lokal yang telah mendiami pulau muna
sejak ribuan tahun yang lalu.
Sebagaimana yang dijelaskan pada bab-bab terdahulu bahwa Sawerigading bersama
pengikutnya empat puluh orang yang menumpang sebuah kapal terdampar di sebuah wilayah
yang diberi nama ‘Bhahutara’pada saat sebuah pulau mucul dipermukan yang saat ini
dikenal sebagai Pulau Muna.Setelah terdampar, empat puluh orang pengukut Sawerigading
tersebut kemudian menyebar dan membentuk koloni-koloni bersama dengan penduduk asli
yang telah terlebih dahulu menghuni Pulau Muna, sedangkan Sawerigading sendiri
diceritakan terus melanjutkan petualangannya.
Tidak ada yang menjelaskan apakah Sawerigading melanjutkan petualangannya dengan
kapalnya yang terdampar tersebut atau membuat kapal baru.Tapi yang jelas kehadiran
Sawerigading dan emat puluh pengkutnya di Daratan Muna telah membawa nuansa baru
ii
dalam pembangunan peradaban dalam kehidupan Orang Muna.
Seiring dengan perkembangan zaman, koloni-koloni yang dibangun oleh pengikut
Sawerigading tersebut bersama masyarakat lokal semakin besar hingga terbentuklah
kampong-kampong. Setelah penduduk semakin banyak dan kampong yang terbentuk semakin
luas serta permasalahannya juga yang semakin kompleks maka mereka mengangkat seorang
pemimpin diantara mereka untuk mengatur seluruh kehidupan social mereka.
Menurut beberapa catatan sejarah mengungkapkan, sebelum terbentuknya kerajaan Muna,
dimuna telah terbentuk delapan kampong dengan pembagian 4 kampong dipimpin oleh
kamokula yaitu ;
1. Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
2. Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
3. Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
4. Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi
Sedangkan empat kampung lainnya di pimpin oleh mieno yakni:
1. Kuara, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
2. Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
3. Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
4. Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke
Pembagian wilayah menjadi depan kampong tersebut bertahan sampai pemeritahan raja
Muna VI Sugi Manuru.
Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan kampong yang telah terbentuk mengikat diri
dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno Wamelai sebagai pemimpin tertinggi.
‘Union’ yang telah terbentuk itu sangat memudahkan Bheteno ne Tombula Raja Muna I
dalam menyusun struktur pemerintahaan dan struktur social ketika awal-awal
pemerintahannya.Union yang telah terbentuk sebelumnya belum dianggap sebagai Negara
karena belum memenuhi syarat syarat sebagai sebuah Negara ( Kerajaan ).
Nantilah dilantik Bheteno Ne Tombula sebagai Raja Muna I, Kerajaan Muna baru dapat
dikatakan sebagai sebuah negara karena telah memenuhi syarakat-syarat sebagai sebuah
negara yaitu telah memiliki Rakyat, Wilayah dan pemerintahan yang berdaulat dan seluruh
stakeholder bersepakat untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan dengan segala
aturan-aturannya yang bernama Kerajaan Muna.
Sepanjang sejarah kerajaan Muna lebih kurang 530 tahun( 1417—1949 ), tercata ada 39
orang Raja yang pernah memimpin Kerajaan Muna, terdiri dari 34 orang raja yang dipilih dan
dilantik oleh Sarano Wuna yaitu lembaga yang memiliki kewenangan mengangkat dan
memberhentikan raja, tiga orang di utus oleh Kesultanan Buton dalam rangka politik
Kooptasi dengan pengaruh kekuatan Kolonial Belanda yaitu La Ode Umara II dan La Ode
Maktubu dan La Ode Ngkaili serta dua Orang sebagai Raja Pengganti ( Pejabat Sementara )
karena terjadi kekosongan Kekuasaan akibat intervensi colonial Belanda yaitu Wa Ode
ii
Wakelu ( Permaisuri Raja La Ode Ngkadiri yang digulingkan oleh belanda ) dan La Aka
Bhonto balano yang juga saat menjabat Rajanya di Gulingkan Oleh pemerintah colonial
Belanda.
B. KERAJAAN MUNA DIPIMPIN OLEH SUGI
Pasca pemerintahan Bheteno Ne Tombula 1467, Kerajaan Muna di pimpin oleh Sugi ( Yang
Dipertuan).Tidak ada catatan sejarah yang mengisahkan mengapa Raja-Raja Muna pasca
Bheteno Ne Tombula bergelar Sugi.Namun dari cerita rakyat Muna sedikit mengungkapkan
bahwa pemakaian Gelar Sugi tersebut menunjukan kedekatan hubungan antara Kerajaan
Muna dengan Kerajaan-Kerajaan di Jawa khususnya Kerajaan Majapahit karena sugi tersebut
berasal dari Bahasa Jawi Kuno yang artinya Suci atau dikeramatkan.
Pemerintahan Kerajaan Muna yang dipimpin oleh Sugi berlangsung selama 71 tahun ( 1467
– 1538 ). Sepanjang sejarah Kerajaan Muna ada lima orang Sugi yang perna memimpin
Kerajaan muna. Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani,Sugi La Ende
dan Sugi Manuru.
Dari kelima Sugi tersebut, Sugi Manuru lah yang paling banyak disebut-sebut dalam sejarah.
Hal ini berkaitan dengan peranan beliau dalam melakukan penataan Sistem Pemerintahan,
Kemasyarakatan, Sosial dan hukum di Kerajaan Muna. Karena jasanya tersebut, Sugi Manuru
Oleh Masyarakat Muna di beri gelar “Omputo Mepasokino Adhati” artinya Raja yang
menetapkan nilai-nilai dasar ( Adat ).
C. PEMERINTAHAN RAJA MUNA
inilah sepenggal cerita tentang kerajaan yang ada di Muna :
1. La Eli (BAIDUL ZAMANI)
2. La AKA (Koghua Bangkano Fotu
3. Sugi Ambano
4. Sugi Patani
5. Sugi la Ede
6. Sugi Manuru
7. Lakilaponto
8. La Posasu
9. Rampaisomba
10. Titakono
1. Raja Muna I – La Eli alieas Baidhuldhamani Gelar Bheteno Ne Tombula, (1417 –
1467).
La Eli alis Baidhudhamani gelar Bheteno Ne Tombula adalah Raja Muna Pertama. Dalam
tradisi lisan masyarakat Muna diceritakan bahwa La Eli alias Baidhuldhamani adalah
manusia yang telah ditemukan di dalam rumpun bambu oleh sekelompok orang yang sedang
ii
mencari bambu untuk keperluan pembuatan bangsal pada pesta yang akan digelar oleh Mieno
Wamelai salah seorang pemimpin kampung di Muna. Karena penemuannya di dalam rumpun
bambu tersebut, setelah dinobatkan menjadi Raja Muna I diberi gelar Omputo Bheteno Ne
Tombula ( Yang Dipertuan Yang Muncul Dari Bambu ). Bheteno Ne Tombula memilikki dua
orang Putra yakni La Aka Alias Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola dan Runtu Wulae
dan satu orang putri yaitu Wa Ode Pogo. Kaghua Bangkano Fotu/ La Aka kemudian menjadi
raja Muna II sedangkan Runtu Wulae kembali ke Luwu untuk menjadi Raja di Negeri
leluhurnya tersebut. Wa Ode Pogo menurunkan golongan kaomu yang berfungsi sebagai
Legislasi dan Yudikatif di kerajaan Muna. La Marati Bonto Balano I ( Sejenis MPR ) yang
berfungsi sebagai lembaga yang memilih dan melantik Raja Muna pertma adalah keturunan
Wa Ode Pogo.
2. Raja Muna II – La Patola/ La Aka / Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola ( 1467
– 1477 ).
Kaghua Bangkano Fotu adalah salah seorang dari dua orang putra Bheteno Ne Tombula
dengan Permaisurinya Wa Tandi Abe. Saudara Kaghua Bangkano Fotu yang bernama Runtu
Wulae kembali ke Kerajaan Luwu negeri leluhurnya untuk menjadi raja dinegeri tersebut.
3. Raja Muna III – La Mbona Gelar Sugi Ambona ( 1477 – 1497 )
4. Raja Muna IV – La Patani gelar Sugi Patani ( 1497 – 1512 )
5. Raja Muna V – Sugi La Ende – (1512-1527 )6. Raja Muna VI – Sugi Manuru ( 1527-
1538 ).
Pada masa pemerintahan Sugi manuru, penyebaran agama Islam gelombang pertama mulai
masuk di Muna dibawah oleh Syekh Abdul Wahid ). Penyebaran islam saat itu masih sangat
lambat karena pengaruh kepercayaan animisme yang dianut sebelumnya oleh masyarakat
Muna masih melekat dengan sangat kuatnya. Pada gelombang pertama penyebaran agama
islam di Muna hanya ada beberapa orang kerabat kerajaan yang tertarik untuk mempelajari
ajaran Islam yang diajarkan oleh Syekh Abd. Wahid tersebut. Salah satu diantaranya adalah
La Kilaponto Putra Raja Muna VI Sugi Manuru, yang kemudian menjadi Raja Muna VII
menggantikan ayahandanya. Hal lain yang menghambat meluasnya penyebaran agama islam
di Muna adalah karena belum cukup satu tahun menjadi Raja Muna, La Kilaponto telah
dilantik menjadi Raja Buton VI menggantikan mertuanya yang telah meninggal dunia.
Setelah menjadi raja buton, La Kilaponto kemudian pindah ke Baubau pusat kerajaan Buton.
Bersamaan dengan itu Syekh Abd. Wahid guru agama beliau juga turut dibawah ke Buton
sehingga penyebaran agama islam di muna terhenti, sedangkan di Buton berjalan begitu
pesat. Bahkan agama islam begitu mempengaruhi istnah sehingga Buton berubah menjadi
kesultanan dan hukum islam menjadi hukum negara dengan syultan pertamanya adalah La
Kilaponto dengan Gelar Sultan Kaimuddin Khalifatul Khamis.
7. Raja Muna VII – La Kilaponto gelar mepokonduaghono Ghoera ( 1538-1541).
La Kilaponto adalah penganut Islam yang taat. La Kilaponto memeluk islam sebelum
ii
menjadi raja Raja Muna. Dia mengenal islam dari penyebar agama islam pertama di kerjaan
muna Syekh Abdul Wahid ( 1527). Nila-nilai islam begitu tertancap dalam hatinya sebab
beliau mempelajari islam dari usia yang sangat mudah. Karena ketaatannya terhadap islam,
sehingga ketika menjadi Raja buton beliau menjadikan hukum islam sebagai hukum negara
dan bentuk negara di rubah menjadi Kesultanan. La Kilaponto juga di kenal sebagai manusia
yang fenomenal karena beliau perna menjadi raja di lima kerajaan besar yang ada di Sulawesi
tenggara dalam Waktu yang bersamaan. La Kilaponto juga merupakan pemimpin yang
kharismatik dan berwibawa sehingga disegani oleh kerajaan-kerajaan tetangga termasuk juga
pemerintah kolonial belanda. La Kilaponto yang dikenal sangat sakti dan piawai dalam
strategi perang, membuat Belanda tidak mampu mengintervensi Kesultanan Buton juga
Kerajaan-kerajaan yang pernah dipimpin oleh La Kilaponto. La Kilaponto sebenarnya telah
membaca gelagat tidak baik yang ditunjukan oleh Belanda. Olehnya itu selama berkuasa La
Kilaponto menjalankan politik Kesetaraan dengan pemerintah Kolonial Belanda. La
Kilaponto tidak berupaya untuk melakukan konfrontasi dengan Belanda. Hubungan
pemerintahan kolonial belanda sebatas hubungan dagang dan diplomatis. Hal ini berkaitan
dengan falsafa hidup yang dianut Oleh Lakilaponto yang pernah diajarkan oleh Ayahandanya
Sugi Manuru yaitu “Pobini-biniti Kuli”. Arti harafia dari ajaran tersebut adalah saling
tenggang rasa dan saling menghargai. Jadi menurut La Kilaponto selama Pemerintah
Kolonial Belanda tidak mengganggu kehormatan dan kedaulatan Negeri Buton dan negeri
tetangganya khususnya Kerajaan Muna yang merupakan negeri leluhurnya dan beliau pernah
menjadi Raja di Negeri tersebut, maka La ilaponto tidak akan menyerang Belanda. Disaat La
Kolaponto masih hidup belanda sudah mecah belah miliki keinginan untuk menguasai
kesultanan Buton untuk dikuasai, namun karena segan dengan La Kilaponto keinginan itu di
urungkan. Hal ini berkaitan dengan letak strategis Kesultanan Buton sebagai pintu gerbang
Kerajaan-Kerajaan di Tumur dan barat Nusantara. Untuk mewujudkan keinginannya itu
Belanda melakukan politik ocupasi dan pecah belah. Olehnya itu mereka melakukan strategi
kerja sama perdagangan. Selama itu mereka terus melakukan pendekatan dengan aparat
Kesultanan Buton. Politik pecah bela Belanda mendapatkan hasil setelah La Kilaponto
Mangkat dan di gantikan oleh Putranya dengan Putri Raja Jampea yang bernama La
Tumparasi. Keberhasilan Politik adu domba belanda itu di tandai dengan di gulingkannya
Sultan Kaimuddin II dari tahtanya karena bersikap tegas perlawanan dengan kolonial belanda
oleh sarana Wolio.
8. Raja Muna VIII -La Posasu gelar Kobangkuduno ( 1541-1551).
9. Raja Muna IX – Rampeisomba ( 1551-1600).
10. Raja Muna X – Titakono ( 1600- 1625 )
Pada masa pemerintahan La Titakono, penyebar Islam gelombang kedua yakni Firus
Muammad masuk di Muna. Pada gelombang kedua penyebaran isalam ini belum mampu
mengislamkan Raja Muna, sehingga pengaruh islam belum masuk ke istana. Walaupun La
ii
Totakono BELUM memeluk Islam namun beliau sangaat menghargai nilai-nilai islam.
Sebagai bukti penghormatan beliau pada islams, pada masa pemerintahannya masjid pertama
dibangun di Muna ( 1614 ). Pembangunan masjid itu diikuti oleh pembagunan pusat
pendidikan islam. Seiring dengan itu ajaran islam sedikit demi sedikit mulai dipelajari
masyarakat Muna. Salah satu murid dari Firus Muamad adalah La Ode Sa’aduddin putra dari
Raja Muna X Titakono. Setelah Titakono mangkat, La Ode Sa’aduddin di nobatkan menjadi
Raja Muna XI. Selain membangun masjid, Raja Titakono membentuk lembaga baru dalam
sturktur pemerintahan kerajaan muna yaitu Bonto Bhalano. Bonto Bhalano adalah sebuah
lembaga sejenis Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bertugas memilih dan mengangkat
Raja Muna.
D. kerajaan Muna Pra Islam
Kerajaan Muna pra islam berangsuung selama 208 tahun ( 1417 -1625 ). Dalam kurung
waktu tersebut kerajaan Muna dipimpin oleh 10 orang raja. Pada masa pemerintaha pra islam
tersebut tercatat terjadi beberapa peristiwa yang dilakkkan oleh Raja-Raja Muna yang terukir
tinta emas dalam lembaran sejarah dunia.
Sayangya akibat kooptasi VOC Belanda dan Kesultana Buton serta terlambatnya
pembudayaan tulis dan kurangnya minat masyarakat Muna dalam menulis sejarah maka
goresan sejarah Putera Muna tersebut dicatat sebagai sejarah Buton. Akibatnya erajan Muna
kurang dikenal dalam pergaulan kerajaan-kerajaan nusantara.
E. RAJA –RAJA MUNA PASCA AGAMA ISLAM
1. Raja Muna XI – La Ode Sa’adudin ( 1625-1626 )
La Ode Sa’aduddin adalah Raja Muna pertama yang memeluk islam. Pada masa
pemerintahan beliau agama islam mulai mengalami perkembangan. Agama islam bukan saja
di pelajari dikalangan istana tetapi mulai diajarkan pada massyarakat luas. Pusat pendidikan
agama islam yag didirikan oleh ayahandanya Raja Muna X Titakono mulai kedtangan banyak
murid untuk belajar.
2. Raja Muna XII -La Ode Ngkadiri gelar Sangia Kaindea ( 1626-1667)-
Periode pertama. Pada tahun 1643, gelombang ke tiga penyebaran agama islam masuk di
Muna di bawah oleh Syarif Muhammad.
3. Raja Muna XIII – Wa Ode Wakelu ( Permaisuri raja La Ode Ngkadiri )- ( 1667-
1668).
Wa Ode Wakelu menjadi raja menggantikan suaminya La Ode Ngakadiri karena di jatuhkan
oleh oleh Belanda.
4. Raja Muna XIV La Ode Muh. Idris. (1668-1671).
La Ode Muh. Idris adalah raja yang dikirim oleh Belanda dari Kesultanan Buton setelah
berhasil menjatuhkan La Ode Ngkadiri Raja Muna XII.
ii
5. La Ode Ngkadiri ( Periode Kedua) – ( 1671 )
Pemerintahan La Ode Ngkadiri di periode Kedua ini di bawah pengaruh kekuasaan kolonial
belanda.
6. Raja Muna XV – La Ode Abd. Rahman gelar Sangia Latugho ( 1671-1716 )
7. Raja Muna XVI – La Ode Husaini gelar Omputo Sangia ( 1716-1767 )
8. Raja Muna XVII – La Ode Muh. Ali ( 1767)
9. Raja Muna XVIII –L a Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )10.
Raja Muna XIX – La Ode Harisi (1767 – ? )
La Ode Harisi memperkenalkan prutra mahkota dalam suksesi raja di kerajaan Muna.
11. Raja Muna XX – La Ode Umara I gelar Omputo ne Gege,
La Ode Umara I , Raja Muna XX adalah raja yang dihukum gantung oleh sarano Wuna
karena telah melakukan sebuah kesalahan yang besar. Keputusan untuk menjatuhkan
hukuman gantung tersebut merupakan vonis peradilan yang dinamakan mintarano bhitara
( yang memangku kekuasaan peradilan- MA? ). Tidak diceritakan apa yang menjadi
kesalahan Raja sehingga mendapatkan vonis tersebut. Hal ini berkaitan dengan adab
masyarakat Muna yang tabuh untuk menceritakan aib saudaranya apa lagi itu seorang raja.
Sidang majelis yang menyidangkan Raja La Ode Umara berlangsung tertutup dan semua
orang yang terlibat dalam persidangan tersebut disumpah untuk tidak menyebarkan apa yang
dilihat dan didengar dalam persidangan. Diperkirakan kesalahan yang dilakukan raja La Ode
Umara yang menyebabkan dia mendapat hukuman gantung tersebut adalah menyangkut
kesusilaan.
12. Raja Muna XXI – La Ode Murusali gelar sangia gola
13. Raja Muna XXII – La Ode Ngkumabusi
14. Raja Muna XXIII – La Ode Sumaili Gelar Omputo ne Sombo.
Pada masa pemerintahan La Ode Sulaili terjadi pemberotakan yang dilakukan oleh Wa Ode
Kadingke Cucu dari Sangia La Tugho. Pemberotakan itu dipicu oleh perlawanan terhadap
sistem adat dalam hal kawin-mawin. Wa Ode Kadingke menolak denda adat yang begitu
besar yang dibebankan pada suaminya Daeng Marewa dari Suku Bugis. Menurut adat saat
itu, apabila ada perempuan keturunan yang berdara Kaomu ( Keturunan Raja ) akan menikah
dengan orang yang bukan suku Wuna maka laki-laki tersebut akan dikenakan denda adat
berupa membayar mahar sebesar 400 Boka. Menurut pandangan Wa Ode Kadingke yang
berkeyakinan keislamannya cukup tinggi denda tersebut bertentangan dengan hukum islam
sebab menurut hukum islam mengenai besaran mahar itu ditentukan oleh wanita yang akan
menikah dan tidak membebani pihak laki-laki. Pemberontakan itu semakin meluas, karena
Waode Kadingke sangat mahir dalam strategi perang. La Ode Sumaili tidak mampu meredam
pemberontakan tersebut,bahkan akibat pemberontakan itu Wa Ode Kadingke bersama
suaminya Daeng Marewa mendirikan Kesultanan Tiworo di bagian barat Pulau Muna.
Ketidak mapuan La Ode Sumaili menumpas pemberotakan tersebut oleh sarano wuna
ii
dianggap sebagai suatu kesalahan besar yang dilakukan oleh Raja La Ode Sumaili, olehnya
itu La Ode Sumaili harus mendapat hukuman yang setimpal. Dalam sebuah Rapat dewan sara
diputuskan La Ode Sumaili untuk dihukum gantung. Itulah sebabnya La Ode Sumaili digelar
Omputo Negege artinya Raja yang dihukum gantung.
15. Raja Muna XIV – LA Ode Saete gelar Sorano Masigi ( 1816-1830 ).
La Ode Saete merupakan Raja Muna yang dipilih oleh sarano (dewan adat ) Wuna. Pada
waktu yang bersamaan, Kolonial belanda menunjuk la Ode Wita dari Kesultanan Buton
Sebagai Raja Muna sehingga pada waktu itu terjadi dualisme kekuasaan di Muna. Untuk
mengurangi intervensi Kolonial Belanda Raja La Ode Saete kembali meindahkan pusat
pemerintahan dekat dengan masjid Muna di Kota Lama Muna sekaligus melakukan
konfrontasi dengan Belanda yang berkoalisi dengan Kesultanan Buton. Semasa
kepemimpinan La Ode Sumaili sebagai raja Muna, terjadi beberapa kali perang terbuka
antara Kerajaan Muna dan Kolonial Belanda yang dibantu dengan Kesultanan buton. Dalam
perang tersebut Pasukan Belanda dan dan Buton terus mengalami kekalahan. Belanda dan
sekutunya Buton kewalahan menghadapi Pasukan Kerajaan Muna. Konfrontasi antara
Belanda dengan sekutunya Buton melawan Kerajaan Muna terus berlanjut sampai La Ode
Saetei Mangkat pada tahun 1830.
16. Raja Muna XXV – La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 )
Setelah La Ode Suaete Mangkat, Dewan adat Sarano Wuna mengadakan rapat untuk
melakukan pemilihan Raja penggantinya. Dalam rapat tersebut disepakati untuk mengangkat
La Ode Bulae sebagai Raja Muna. La Ode Bulae dalam mejalankan pemerintahan melajutkan
kebijakan pendahulunya La Ode Saete untuk konfrontasi dengan Kolonial Belanda dan
Sekutunya Buton. Dalam sebuah perang, Belanda dan sekutunya Buton berhasil menangkap
La ode Bulae dan membawahnya kepersidangan pengadilan di Makassar. Dalam persudangan
pengadilan tersebut, La Ode bulae dinyatakan bersalah dan dibuang di Pulau Nusa
Kambangan, kemudian diasingkan ke Bengkulu.
17. Raja Muna XXVI – La Aka (1861-1864)
La Aka adalah Bonto Balano pada masa pemerintahan La Ode Bulae. Beliau sebenarnya
tidak berhak menjadi raja karena berasal dari keturunan Walaka, namun karena terjadi
kekosongan kekuasaan di Kerajaan Muna akibat di asingkannya Raja la Ode Bulae oleh
Kolonial belanda dan sekutunya Buton di Pulau Nusa Kambangan dan Bengkulu, maka
kekuasaan diambil alih oleh Bonto Balano sambil menunggu pemilihan yang dilakukan oleh
sarano Wuna. Karena itulah La Aka dikenal sebagai bukanlah Raja yang aktual / difinitif.
18. Raja Muna XXVII – La Ode Ali gelar sangia Rahia (1864-1870)
19. Raja Muna XXVII – LA Ode Huse
20. Raja Muna XXIX – La Ode Tao
21. Raja Muna XXX – La Ode Ngkaili ( 1903-1906)
Pada masa Pemerintahan La Ode Ngkaili Pusat pemerintahan Kerajaan Muna di pindahkan
ii
dari Kota Muna ke Raha oleh penguasa Kolonial Belanda. Pemindahan pusat pemerintahan
tersebut dibawah tekanan militer Kolonial Belanda setelah pasukan Kerajaan Muna
mengalami kekalahan dalam sebuah pertempuran melawan pasukan koalisi Belanda- Buton.
Bersamaan dengan pemindahan ibu kota kerajaan, pemerintah Kolonial Belanda mengutus
seorang raja dari Kesultanan Buton yaitu la Ode Maktubu untuk menggulingkan Raja La Ode
Ngkaili yang sedang berkuasa dan diangkat oleh Sarano Wuna.
22. Raja Muna XXXI – La Ode Maktubu (1906 –- 1914)
Setelah pasukan koalisi Belanda –Buton memenangkan pertempuran pada tahun 1906 dan
berhasil menggulingkan Raja Muna XXX La Ode Ngkaili, penguasa VOC Belanda di
Makassar mengutus seorang dari Kesultanan Buton yakni La Ode Maktubu untuk menjadi
Raja di Kerajaan Wuna. La Ode Maktubu adalah Putara Sultan Buton La Ode Salihi.
Intervensi Pemerintahan Belanda dan Pengkoptasian Kesultanan Buton terhadap Kerajaan
Muna mendapat perlawanan dari seluruh rakyat Muna. Sebagai wujud dari perlawanan itu
adalah pada waktu yang bersamaan Sarano Wuna mengadakan rapat untuk mengakat La Ode
Umara sebagai Raja Muna menggantikan Raja La Ode Ngkaili yang telah digulingkan oleh
koalisi Belanda- Buton, serta tidak mengakui La Ode Maktubu Sebagai Raja. Besarnya
dukungan rakyat terhadap keputusan Sarano Wuna yang tidak mengakui La Ode Maktubu
sebagai raja Muna, memaksa La Ode Maktubu meninggalkan Muna dan kembali ke Buton.
Karena tidak kuasa melawan sendiri keperkasaan prajurit Kerajaan Muna, akhirnya La Ode
Maktubu Kembali Ke Buton dan pengadukan perinstiwa tersebut pada sekutunya Belanda.
Pengaduan Kesultanan Buton atas sikap Pemerintahan Kerajaan Muna mengusir utusan
Kesultanan Buton, ditanggapi serius oleh pemerintah kolonial belanda sehingga dikirim
pasukan militer untuk memerangi kerajaan Muna.
Raja Muna XXXII – La Ode Umara II (1906)
Setelah la ode maktubu tidak mendapat pengakuan dari sarano Wuna serta diusir dari
kerajaan Muna, pemerintah Kolonial Belanda Mengutus La Ode umara gelar Sangia Bariyah.
Strategi yang dilakukan pemerintah Kolonial ini cukup berhasil sebab selain La Ode Umara
yang memiliki garis keturunann dari Muna yaitu putra dari Kenepulu Bula , La Ode Umara
juga masih menjabat sebagai Sultan Buton. Setelah situasi kembali kondusif dan pemerintah
belanda semakin dalam kukunya tertancap di kerajaan Muna, La Ode Maktubu Kembali di
lantik menjadi Raja Muna sampai tahun 1914
23. Raja Muna XXXIV – La Ode Pulu (1914-1918)
Pada masa pemerintahan la Ode Pulu, intervensi politik Kolonial Belanda di Kerajaan Muna
semakin kuat. Pada akhir masa pemerintahan La Ode Pulu ( 1918 ) Pemerintah Kolonial
belanda dan Kesultanan Buton ( Sultan Buton Saat itu La Ode Muh. Asikin ) secara sepihak
melakukan perjanjian yang dikenal dengan Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918. Isi
perjanjian tersebut adalah Belanda hanya mengakui ada dua pemerintahan setingkat swapraja
di Sulawesi tenggara yaitu Swapraja Laiwoi dan Swapraja Buton. Dengan demikian menurut
ii
perjanjian tersebut secara otomatis muna menjadi bagian dari Kesultanan Buton/
Underafdeling. Sebagai Raja yang berdaulat dan diangkat oleh Sarano Wuna, La Ode Pulu
melakukan perlawanan dan tidak mengakui perjanjian tersebut. Akibatnya la Ode Pulu di
asingkan Nusa Kambangan. Selama dua Tahun pasca pemerinyahan La Ode Pulu, Kerjaan
Muna berada dalam Kekuasaan Kolonial Belanda sampai dewan Adat ( Sarano Wuna
mengadakan rapat dan mengangkat La Ode Afiuddin sebagai Raja.
24. Raja Muna XXXIV – La Ode Afiuddin ( 1920-1824)
La Ode Afiuddin yang diharapkan Belanda akan bekerja sama ternyata bersikap sama dengan
Raja sebelumnya La Ode Pulu. Korte Verklaring pada 2 Agustus 1918 juga tidak diakui dan
terus melakukan perlawanan. Akibatnya belanda kembali mengambil alih pemerintahan di
kerajaan muna.
25. – 1924-1926.
pada tahun ini oleh pemerintah Kolonial belanda dianyatakan bahwa Kerajaan Muna berada
dibawah pemerintahan darurat militer Belanda. Semua urusan administrasi diambil alih oleh
Belanda.
26. Raja Muna XXXV – La Ode Rere (1926-1928 )
Setelah dua tahun pemerintahan darurat militer belanda di berlakukan di kerajaan Muna,
Sarano Wuna melakukan sidang untuk kembali mengangkat Raja Muna. Pada saat itu oleh
sarano wuna disepakati La Ode Rere Sebagai Raja Muna. Sama halnya dengan Raja La Ode
Pulu dan La Ode Afifuddin, Lam Ode Rere juga tidak mengakui perjanjian Korte Verklering
akibatnya Belanda kembali menjatuhkan La Ode rere dari keududkannya sebagai Raja Muna.
27. – 1928-1938,
terjadi kevakuman pemerintahan di Kerajaan Muna. Belanda sebagai penguasa Kolonial
mengabil alih untuk mengendalikan pemerintahan sambil menunggu sidang dewan Sara
untuk menjjuk Raja baru.
28. Raja Muna XXXVI – La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ).
Pada masa pemerintahan La Ode dika dilakukan pemugaran masjid agung di Kota Muna
menjadi semi permanen. Sebagian dari bahan pembuatan masjid tersebut dibantu oleh Jules
Couvreur seorang kontrolir Belanda yang bertugas di Muna saat itu . Sebagai mana raja muna
yang lain, La Ode Dika tidak mau tunduk dengan belanda dan koloninya Buton. La Ode Dika
juga tidak mengakui isi perjanjian Korte Verklaring sebab perjanjian itu dianggap ilegal.
Sikap pperlawanan La Ode Dika tersebut diperlihatkan saat berkunjung di istana kesultanan
Buton. Di hadapan Sultan Buton Muhammad Hamidi, la Ode Dika tidak mau memberi
hormat, tapi justeru mengancungkan telunjuk seakan memberi ancaman pada Sultan Buton.
Apa yang yang dilakukan La De Dika tersebut oleh Sultan Buton dilaporkan pada Penguasa
Kolonial Belanda di Makassar. Akibatnya La Ode Dika di panggil menghadap Perwakilan
pemerintah kolonial Belanda di makassar untuk mendengar langsung keputusan Pemerintah
Kolonial yang memecat dirinya dari jabatan Raja Muna. Sepulangnya dari makassar, La ode
ii
Dika langsung meninggalkan kamali/Istana kerajaan Muna. Seluruh urusan administrasi
kenegaraan diserahkan pada sekretaris kerajaan yakni La ode Sabora . Sayangngnya kamali/
istanaa tersebut pada masa pemerintrahan Drs. La Ode kaimuddin sebagai Bupati Muna yang
juga merupakan putra dari La ode Dika di Rubah menjadi gedung Pertemuan ( Gedung
wamelai).
29. 1938-1941
Pemerintahan Kerajaan Muna sepenuhnnya di kendalikan oleh Kolonial belanda.
30. !941 – 1946
Pemerintahan Kerjaan Muna benar-benar lumpuh sebab Belanda telah keluar dari kerajaan
muna karena takluk dengan pemerintahan militer Jepang. Pada masa itu pemerintahan
dijalankan oleh pemerintahan Militer Jepang dari Batalion Laut yang bermarkas di Manado.
31. 1946-1947.Setelah Jepang menyerah dari Pasukan Kualisi, seluruh personil Jepang
meninggalkan Muna dan digantikan dengan pasukan Nica.
32. Raja Muna XXXVII – La Ode Pandu ( 1947-1956).
Setelah terjadi kekosongan kekuasaan di kerajaan Muna, pemerintah Belanda di Makassar
mengangkat La Ode Pandu sebagai pejabat Raja Muna pada tahun 1947 dan dilantik pada
tahun itu juga di depan Masjid Muna di Kota lama Muna. Pelantikan La Ode Pandu dihadiri
oleh utusan pemerintah belanda. La Ode Pandu meninggal akibat ditembak gerombolan Di/II
di Posunsuno saat melakukan kunjungan di Wasolangka.
33. 12 Desember 1956Muna menjadi bagian dari Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai
Kabupaten bersama 3 Kabupaten lainya yaitu, Kendari Kolaka dan Buton.
F. SEJARAH TERBENTUKNYA KABUPATEN MUNA
Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna seiring dengan perjuangan pembentukan propinsi
Sulawesi tengara. Dalam perjuangan ini dilakukan secara sinergis antara tokoh muda dan
tokoh tua baik yang ada di muna ataupun yang ada diperantauan, baik perorangan maupun
organisasi.
Tokoh Muda seperti Idrus Efendi, Halim Tobulu, La Ode Enda dan La Ode Taeda Ahmad
dikenal sangat gigih memperjuangkan pembentukan Kabupaten Muna. dan Propinsi Sulawesi
Tenggara.
Dengan oraganisasi para militer yang dibentuknya seperti Batalyon SADAR ( Sarekat Djasa
Rahasia) dan Barisan 20 mereka terus menggalang dukungan guna perwujudan pembentukan
kabupaten Muna dan Propinsi Sulawesi Tenggara.
Bataliyon SADAR dan Barisan 20 pada awalnya dibentuk untuk melakukan perlawanan
terhadap pasukan sekutu ( NICA ) yang diboncengi Belanda yang mencoba kembali untuk
melakukan penjajaahan terhadap Indonesia yang telah memproklamirkan kemerdekaannya
pada Tanggal 17 Agustus 1945. Dengan Jiwa patriotism yang tinggi Tokoh-Tokoh Muna
ii
tersebut melakukan perlawanan melalui gerakan bawah tanah dan perang terbuka. Tujuannya
adalah mengusir colonial tersebut dari bumi Indonesia dalam hal ini termasuk di Muna.
A.Fase I (Pertama), Pemerintahan Swapraja
Pemerintahan Muna pada fase ini berstatus Swapraja dengan raja yang terakhir Laode Pandu
yang dilantik oleh pemangku adat menjadi Raja Muna tanggal 24 Februari 1947 di Kota
Wuna. Pada fase ini tidak dapat dilepaskan dengan perjuangan mempertahankan proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia. Para pejuang Muna dengan dipelopori tokoh-tokoh Muna
melakukannya dengan cara-cara yang lebih cerdik. Para tokoh dan rakyat pejuang daerah
Muna baik perorangan maupun organisasi perjuangan antara lain Batalyon Sadar (Serikat
Djasa Rahasia), Barisan 20 dan lain-lain. Mereka dipimpin oleh para tokoh dianataranya,
Laode Muh Idrus Efendy dengan nama samaran Sitti Goladria, Laode Enda Anwar dengan
nama samaran Soneangka, Laode Taeda Ahmad dan Halim Toboeloe. S
B.Fase II (Kedua), Pemerintahan Kewedanan
Pada fase ini ditandai dengan dibubarkan Daerah Afdeling Buton dan Laiwoi berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Tenggara Nomor 18 Tahun 1951 tanggal 20
Oktober 1951. Ini didasrakan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 34 Tahun 1952 tentang
pembentukan 7 (tujuh) Daerah Administratif Sulawesi Tenggara, pemerintahan Muna beralih
status menjadi Kewedanan bersama-sama dengan Kewedanan Buton, Kendari, dan Kolaka.
Masing-masing Kewedanan dipimpin oleh seorang KPN (Kepala Pemerintahan Negeri). Dan
dalam sejarahnya Kewedanan Muna dipimpin, oleh :
1. Abdul Razak,
2. Ngitung,
3. Andi Pawilloi,
4. H Lethe,
5. H Suphu Yusuf,
6. Andi Jamuddin, dan,
7. F Latana.
C.Fase III (Ketiga), Perjuangan Pembentukan Kabupaten Muna
Bupati Sulawesi Tenggara yang kelima adalah Drs Laode Manarfa, tanggal 26 Juni S/D 31
Juli 1954 mengadakan sidang DPRD-SGR Sulawesi Tenggara di Raha, dengan menghasilkan
ketetapan-ketetapan antara lain, Kabupaten Sulawesi Tenggara meliputi Kewedanan Kendari,
Kolaka, dan Boea Pinang. Hasil keputusan tersebut harus mendapat persetujuan Pemerintah
Pusat, sehingga untuk kepentingan perjuangan tersebut, anggota DPRD-SGR Sulawesi
Tenggara berangkat ke Jakarta. Delegasi Muna diwakili oleh Laode Ado dan Supphu Yusuf.
Hasil perjuangan tersebut disetujui oleh Menteri Dalam Negeri tanggal 3 Januari 1955.
Berdasarkan ketetapan Menteri Dalam Negeri tentang pembentukan dan pemekaran
ii
kabupaten Sulawesi Tenggara menjadi dua Kewedanan, maka terjadilah polemik dan protes
dari para tokoh masyarakat dan pemuda baik di Muna maupun di Makassar. Karena tujuan
akhir terbentuknya Kewedanan Muna belum terwujud. Protes dan unjuk rasa dilakukan oleh
para pemuda Muna baik yang ada di Muna maupun yang ada di Makassar. Unjuk rasa tesebut
selalu ditujukan kepada Laode Ado sebagai delegasi Muna yang menghadap kepada Menteri
Dalam Negeri.
Berdasarkan kenyataan tersebut, Raja Muna, Laode Pandu mengadakan rapat pada hari
Senin, tanggal 12 September 1955 di Raha yang dihadiri tiga Kepala Distrik, yaitu Kepala
Distrik Katobu, Kepala Distrik Kabawo, Kepala Distrik Tongkuno, dan Kepala Distrik Lawa
tidak hadir. Selain itu turut pula hadir para Kepala Kampung, Ketua-ketua Partai/Organisasi,
Pemuka Masyarakat, dan Pihak Kepolisian. Agenda rapat yakni mendengarkan delegasi
DPRD-SGR SULTRA pada bulan Januari 1955, membicarakan tentang status daerah-daerah
otonom dan status swapraja. Dan keputusannya antara lain, Muna diperjuangkan untuk
menjadi daerah Swatantra dengan otonomi penuh. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
hasil rapat memutuskan memberikan mandat kepada Laode Rasjid dan Laode Ado untuk
melaksanakan tugas menyusun program dan menetapkan langkah perjuangan untuk
terbentuknya daerah Swatantra Muna, dan membentuk daerah persiapan pembentukan
Kabupaten Muna.
Pemberi mandat untuk melaksanakan tugas-tugas dimaksud ditanda tangani oleh sebanyak
102 orang. Selanjutnya, pada tanggal 5 Agustus 1956, para tokoh masyarakat Muna di
Makassar yang tergabung dalam PRIM (Persatuan Rakyat Indonesia Muna), membentuk
panitia pembentukan kabupaten Muna yang ditanda tangani oleh Laode Walanda sebagai
Ketua dan Laode Hatali sebagai sekretaris yang ditujukan kepada MENDAGRI di Jakarta dan
Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar dan 13 alamat lainnya
Tanggal 2 September 1956 dibentuk Panitia Dewan Penuntut Kabupaten Muna di Raha
dengan Ketua dan Sektretarisnya masing-masing Laode Hibi dan Laode Tuga dan disetujui
oleh Raja Muna. Gelombang penuntutan pembentukan daerah setingkat Kabupaten juga
muncul dari generasi muda Muna yang ada di Makassar. Pada tanggal 8 Februari 1958
terbentuk panitiaa penuntutan percepatan pembentukan Kabupaten Muna Muna dengan
Ketua La Ode Walanda dan sekretaris Ando Arifin. Panitia ini kemudian mengutus
delegasinya untuk mengahadap MENDAGRI di Jakarta. Delegasi ini dipimpin oleh La Ode
Muh. Idrus Efendi.
Tanggal 20 Maret 1958 Pemerintah Swapraja Buton mengeluarkan Surat Pernyataan yang
ditanda tangani Sultan Buton Laode Falihi, yang intinya menyetujui terbentuknya Kabupaten
Muna. Mengenai batas-batas akan ditetapkan pada perundingan-perundingan yang akan
datang.
Sebagai realisasi pernyataan Sultan Buton tersebut maka diadakan rapat bertempat di
Pendopo Sri Sultan Buton, yang hadir pada rapat tersebut ialah, Drs Laode Manarfa, Kepala
ii
Daerah Sulawesi Tenggara, Laode Falihi, Sultan Buton, Laode Pandu, Raja Muna, Laode A
Salam dan Laode Hude masing-masing Kepala Distrik yang diperbantukan pada Kantor
Swapraja Buton, sebagai yang mewakili Buton. Hadir juga Laode Muh Shalihin, Kepala
Distrik Katobu dan Laode Rianse sebagai Distrik Lawa, mewakili Muna.
Wujud dari pertemuan diatas yang disertai pernyataan-pernyatan Panitia dari tiap tingkat
pejabat pemerintah, maka pada tanggal 6 Desember 1958 diutuslah empat orang Delegasi
Muna untuk menghadap pemerintah pusat yakni Laode Muh Idrus Efendi, La Sipala, Laode
Muh Badia Rere dan Laode Ado. Adapun penyandang dana keberangkatan Delegasi adalah
Ham Ahing, Darwis Tungguno dan Wahid Kuntarati
Hasil perjuangan tersebut oleh Mendagri menetapkan, Pulau Sulawesi dibagi 4 (empat)
propinsi yaitu Sulawesi utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Pemerintah Pusat mengajukan para delegasi agar dipenuhi syarat-syarat berdirinya propinsi
Sulawesi Selatan Tenggara, antara lain Sulawesi Selatan dibagi 4 (empat) Kabupaten, yaitu
KPN Kolaka, KPN Kendari, KPN Buton, dan KPN Muna.
Pada tanggal 20 hingga 22 Juli 1959 diadakan rapat raksasa yang dihadiri utusan Buton,
Muna, Kendari, Kolaka masing-masing 15 orang, lima orang dari staf Kepala Daerah, empat
KPN, dan empat Swapraja. Musyawarah itu dipimpin langsung Laode Manarfa dan dihadiri
pula oleh unsur TNI, Abdul Kahar (Kuasa Perang), H Abdul Halik (Buton), Abdul Rahim
Daeng Muntu (Muna), H L Lethe (Kendari), Abdul Wahab (Kolaka).
D.Fase IV (Empat), Terbentuknya Kabupaten Muna
Setelah melalui perjuangan yang panjang oleh para tokoh pejuang Muna, dan dilakukan tanpa
pamrih dalam menghadapi berbagai tantangan, maka berdasarkan berbagai pertimbangan
yang logis dan pertimbangan strategis, oleh pemerintah pusat menindaklanjuti yang ditandai
dengan lahirnya Undang-undang Nomor 29 tahun 1959 tentang pembentukan daerah-daerah
tingkat II di Sulawesi, termasuk didalamnya Kabupaten Muna dengan ibukotanya Raha.
Pada awal pengusulan Kabupaten Muna terdiri dari empat Ghoerah (distrik, red) yaitu distrik
Katobu, Distrik Lawa, Distrik Kabawo, dan Distrik Tongkuno. Dari empat distrik itu belum
memenuhi kriteria untuk membentuk suatu kabupaten, maka diadakan pendekatan dengan
beberapa tokoh pada saat itu yaitu tokoh Masyarakat Kulisusu, tokoh Masyarakat
Wakorumba, dan tokoh Masyarakat Tiworo Kepulauan, yang pada saat itu ketiga distrik
tersebut adalah distrik Kulisusu diwakili oleh Laode Ganiru dan Laode Ago, Distrik
Wakorumba diwakili oleh Laode Hami dan Laode Haju, Distrik Tiworo diwakili oleh La
Baranti.
Berdasarkan kesepakatan yang utuh dan bulat dari tokoh – tokoh tersebut untuk bergabung
dalam pemerintahan Kabupaten Muna, maka doktrin untuk terbentuknya Kabupaten Muna
sudah tidak ada masalah lagi.
ii
Dengan terbentuknya Kabupaten Muna, secara administratif dan yuridis pada tanggal 2 Maret
1960, maka para Bupati yang menjabat sebagai Bupati Muna, adalah,:
1.LAODE ABDUL KUDUS 02 Maret 1960 S/D 03 – Maret 1961,
2. LETTU INF. M THOLIB 21 Juni 1961 S/D 13 Juli 1965,
3. LAODE RASYID 11 November 1965 S/D 03 Desember 1970,
4. RS LA UTE 13 Desember 1970 S/D 22 April 1974,
5. DRS LAODE KAIMOEDDIN 22 April 1974 S/D 10 Maret 1981,
6. DRS LAODE SAAFI AMANE 10 Maret 1981 S/D 10 Maret 1986
7. DRS MAOLA DAUD 1986 S/D 1997,
8. KOL ART H M SALEH LASATA 3 Oktober 1997 S/D 1999
9. KOL INF H M DJAMALUDDIN BEDDU 1998 S/D 2000
10.RIDWAN BAE DAN Drs SYARIF ARIFIN S (Bupati dan wakil bupati) periode 2000-
2005,
11. RIDWAN BAE DAN Drs H LA BUNGA BAKA PERIODE TAHUN 2005 – 2010
12. Dr. LM. BAHARUDDIN, M.KES DAN DRS. MALIK DITU, M.Si 2010 2015
Jabatan Ketua DPRD Kabupaten Muna adalah,
1. PELTU BABASA,
2. KAPTEN MAHMUD A,
3. KOL CHB M YASIN USMAN,
4. KOL. CHK M A RACHMAN SH,
5. Drs LAODE MARADALA, dan
6. Hj WA ODE ZAENAB HIBI.
7. H. UKING DJASA, SH
Di samping para pejabat Bupati Definitif sebagaimana tersebut diatas, maka untuk mengisi
kekosongan dalam proses pemilihan Bupati, maka Gubernur Sulawesi Tenggara menunjuk
beberapa pelaksana Bupati agar tidak terjadi kefakuman dalam bidang pemerintahan,
pembangunan, dan pembinaan masyarakat. Adapun pelaksana Bupati adalah,
1. La Tana,
2. Laode Saafi Amane,
3. Ahmad Djamaluddin SH,
4. Laode Moh Saleh SH,
5. Drs H Badrun Raona.
Pejabat SEKWILDA sejak terbentuknya Kabupaten Muna adalah,:
1. Drs Laode Arifin,
2. Drs Laode Saifudin Misbah,
3. Drs Muh Kasim Andi,
ii
4. Drs LM Shalihin Sabora,
5. Drs Laode Majid Olo,
6. Drs Laode Nsaha,
7. Drs Muh Yusuf,
8. Drs H Badrun Raona,
9. Drs P Haridin,
10. Drs H Laode Kilo.
11. Zakaruddin, SE
12. DRS. H La Ode Alibasa
13. Dra La Ora, M.Pd
ii
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
A. PEMERINTAHAN RAJA MUNA
1. La Eli (BAIDUL ZAMANI)
2. La AKA (Koghua Bangkano Fotu
3. Sugi Ambano
4. Sugi Patani
5. Sugi la Ede
6. Sugi Manuru
7. Lakilaponto
8. La Posasu
9. Rampaisomba
10. Titakono
B. PEMERINTAHAN BUPATI MUNA
1.LAODE ABDUL KUDUS 02 Maret 1960 S/D 03 – Maret 1961,
2. LETTU INF. M THOLIB 21 Juni 1961 S/D 13 Juli 1965,
3. LAODE RASYID 11 November 1965 S/D 03 Desember 1970,
4. RS LA UTE 13 Desember 1970 S/D 22 April 1974,
5. DRS LAODE KAIMOEDDIN 22 April 1974 S/D 10 Maret 1981,
6. DRS LAODE SAAFI AMANE 10 Maret 1981 S/D 10 Maret 1986
7. DRS MAOLA DAUD 1986 S/D 1997,
8. KOL ART H M SALEH LASATA 3 Oktober 1997 S/D 1999
9. KOL INF H M DJAMALUDDIN BEDDU 1998 S/D 2000
10.RIDWAN BAE DAN Drs SYARIF ARIFIN S (Bupati dan wakil bupati) periode 2000-
2005,
11. RIDWAN BAE DAN Drs H LA BUNGA BAKA PERIODE TAHUN 2005 – 2010
12. Dr. LM. BAHARUDDIN, M.KES DAN DRS. MALIK DITU, M.Si 2010 2015
B. SARAN
Makalah ini masih memiliki berbagai jenis kekurangan olehnya itu kritik yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan.
ii
DAFTAR PUSTAKA
1. http://apomienowuna.blogdetik.com/index.php/2011/09/sejarah-masuknya-islam-di-
muna-dan-munculnya-kangkilo/
2. http://hamiudin.blogspot.com/2007/09/sejarah-kabupaten-muna.html
3. http://sejarah-muna.blogspot.com/
4. http://www.naskah.net/2012/03/profil-sejarah-kerajaan-muna-dan.html
5. http://hamiudin.blogspot.com/2007/09/sejarah-kabupaten-muna.html
6. http://wunabarakati.blogspot.com/2007/10/type-your-summary-here-type-rest-
of_25.html
7. http://lapatuju.blogspot.com/2013/05/beberapa-versi-asal-usul-pulau-muna.html
8. http://lukman-ode.blogspot.com/2012/01/sejarah-kerajaan-muna.html
9. http://formuna.wordpress.com/buku/mengenal-sejarah-dan-peradaban-orang-muna-
upaya-pelurusan-sejarah/bab-vi-sejarah-pembentukan-kabupaten-muna/
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya kami bias menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami buat guna
memenuhi tugas dari dosen.
Makalah ini membahas tentang “SEJARAH PEMBENTUKAN KABUPATEN MUNA”,
semoga dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai Siswa dapat menambah dan
memperluas pengetahuan kita.
Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna, maka dari
itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari bapak/ibu selaku Guru kami serta temen-
temen sekalian, karena kritik dan saran itu dapat membangun kami dari yang salah menjadi
benar.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita, akhir
kata kami mengucapkan terima kasih.
Raha, Februari 2014
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………….....…........ i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………….. ………....................... 1
B. Tujuan................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Muna.......…………………......................... 3
B. Kerajaan Muna dipimpin oleh Sugi.................……………............................... 5
C. Pemerintahan Raja Muna.......................................………................................ 5
D. Kerajaan Muna Pra Islam.............................................…….............................. 8
E. Raja – Raja Muna Pasca Agama Islam...............................................................8
F. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Muna............................................................ 13
BAB III PENUTUP
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………….................... 19
4.2 Saran................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 20
ii
MAKALAH
SEJARAH PEMBENTUKAN KABUPATEN MUNA
NAMA : MUH. DANDY AZHARI
KELAS : XI ELEKTRO C.
SMK NEGERI 2 RAHA
2013
ii