22
PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK OTONOMI KHUSUS PAPUA DI SUSUN OLEH NAMA : RAHMADHIAN AULIA HAMUNTA NIM : 1 1 3 1 9 0 0 2 SEMESTER / KELAS : V (LIMA) / A FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK OTONOMI KHUSUS PAPUA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK

OTONOMI KHUSUS PAPUA

DI SUSUN OLEH

NAMA :

RAHMADHIAN AULIA HAMUNTA

NIM :

1 1 3 1 9 0 0 2

SEMESTER / KELAS :

V (LIMA) / A

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

Page 2: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

B A B I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Memahami Papua

Papua adalah salah satu bagian dari Indonesia yang mempunyai ironi paling besar memiliki

kekayaan alam begitu melimpah di satu sisi, kemiskinan dan keterbelakangan yang nampak

dengan mata telanjang di sisi lain. Kawasan ini adalah kawasan yang paling akhir

mendapatkan pengakuan internasional sebagai bagian dari Indonesia setelah Persatuan

Bangsa Bangsa (PBB) menyerahkan Papua ke Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963

melalui negosiasi yang berat berhadapan dengan Pemerintah penjajah Belanda. Pembangunan

yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia dinilai oleh masyarakat Papua sebagai

pembangunan yang tidak berhasil. Salah satu indikatornya adalah adanya gejolak disintegrasi

di kawasan ini, dengan digerakkan oleh berbagai kelompok separatis. Indikator lain yang

memperkuat penilaian tersebut adalah munculnya gerakan besar dari masyarakat Papua untuk

menjadikan Papua sebagai kawasan dengan perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia.

Bersama Aceh, Papua menjadi kawasan yang paling bergejolak setelah reformasi digulirkan

pada tahun 1998.

Kekecewaan yang mendalam terhadap perjalanan selama 35 tahun (1963-1998) menjadi

bagian dari Republik Indonesia ditengarai menjadi bagian inti dari gejolak tersebut.

Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan ruang baru bagi Papua untuk melakukan

exercise model baru pembangunan untuk kawasan ini. Upaya tersebut dijalankan dengan

berbagai cara, termasuk melakukan “pembangkangan politik” dalam bentuk gerakan-gerakan

yang mendekati arah ke separatisme. Tidak mengherankan jika Papua menjadi salah satu

kawasan yang menjadi perhatian utama dari Pemerintah Jakarta setelah reformas Sebelum

reformasi, kawasan yang berupa bagian barat dari Pulau Papua karena sebelah timur adalah

Negara Papua New Guinea bernama Irian Jaya, sebuah nama yang dipilih oleh Pemerintah

Indonesia setelah kawasan ini resmi menjadi bagian dari Republik Indonesia pada 1 Mei

1962, melalui negosiasi yang alot dan sengit di forum Internasional (Bachtiar, 1994: 88).

Nama “Irian” diperkenalkan pada Konferensi Malino pada tahun 1946. Dalam bahasa Biak,

kata itu berarti “sinar matahari menghalau kabut di laut”. Presiden Soekarno menjadi

penganjur utama penggunaan nama Irian, dengan mengakronimkan IRIAN sebagai “Ikut

Republik Indonesia Anti Nederland” (Koentjaraningrat, 1994: 3-5).

Sebelum diberi nama “Irian Jaya”, kawasan ini dikenal dengan nama “Papua”. Nama “Papua”

pada awalnya dipergunakan oleh pelaut Portugis Antonio d’Arbrau, yang mendarat di pulau

ini pada tahun 1521. Diperkirakan, kata “papua” berasal dari kata dalam bahasa Melayu kuno

“pua-pua”, yang berarti “keriting”. Nama ini kemudian dipakai oleh Antonio Pigafetta yang

ikut dalam pelayaran dengan Ferdinand Magellan mengelilingi bumi. Versi lain dari

penamaan papua adalah dari Papua bagian Timur, kini menjadi Papua Nieuw Guinea.

Sebutan “Nieuw Guinea” digunakan oleh para pelaut Belanda, menggunakan penamaan dari

seorang pelaut Spanyol, Ynigo Ortiz de Retes, yang mengunjungi kawasan utara pulau ini

Page 3: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

pada tahun 1545. Dinamakan “Nieuw Guinea” karena penduduk yang ditemui berwarna

hitam, seperti penduduk di Pantai Guinea, Afrsika.

Papua mempunyai kondisi sosial-budaya-politik yang khas. Ciri-ciri fisiologi Tanah Papua

yang beragam menyebabkan diferensiasi sistem mata pencaharian. Bukan hanya itu,

perkembangan struktur sosial masyarakat juga turut dipengaruhi oleh proses-proses adaptasi

manusia terhadap lingkungan alam. Sifat kemajemukan penduduk Papua juga dapat dilihat

dari prinsip hak ulayat tanah. Di antara masyarakat Papua terdapat kolektif-kolektif etnik

yang mengatur sistem hak ulatnya melalui klan (merupakan hak komunal). Selain itu terdapat

pula kolektif-kolektif lain yang mengatur hak ulayatnya melalui keluarga inti atau hak

individu.

M.T. Walker dan J.R. Mansoben mencatat bahwa keanekaragaman orang Papua bertalian erat

dengan pola adaptasi sosio-ekonomi penduduk pada zona ekologi utama. Setidaknya ada

empat zona ekologi utama :

Pertama, ekologi rawa,daerah pantai, dan muara sungai.

kedua, dataran pantai.

ketiga, kaki gunung dan lembah-lembah kecil.

keempat pegunungan tinggi.

Lingkungan ekologi yang berpengaruh terhadap pola-pola adaptasi tercermin dalam sistem

mata pencaharian hidup meliputi teknologi dan sistem pembagian kerja. Semakin kompleks

inovasi teknologi dan sistem pembagian kerja, maka aspek budaya lain seperti organisasi

sosial dan sistem ideologi (ritual agama) juga kian rumit.

Di zona ekologi pegunungan tengah, misalnya, masyarakat hidup dalam rumah-rumah besar

dalam hubungan keluarga yang luas, dengan jaringan luas dari sistem klan, gabungan klan,

dan federasi yang kompleks. Contoh penduduk yang menganut pola ini adalah suku Dani.

Tipe ini menghasilkan ikatan horisontal yang kuat. Pada zona ekologi muara sungai,

kepulauan dan pesisir pantai, penduduk hidup dalam keluarga-keluarga inti kecil yang amat

bersifat individualis. Karena wilayah pesisir dan kepulauan relatif sulit dijadikan lahan

pertanian, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mendorong mereka untuk berdagang.

Contoh masyarakat ini adalah penduduk pantai utara.

Kedua tipe ini menghasilkan relasi yang berbeda sehingga berpengaruh terhadap ikatan

kolektif yang terbentuk. Di sinilah kemudian makna keluarga mendapat tempat dalam struktur

hierarki masyarakat. Di satu sisi, keluarga mempunyai fungsi produktif, di sisi lain keluarga

merupakan identitas untuk sarana reproduksi kekuasaan. Aktifitas perang lantas menjadi

bagian dari persaingan produksi, sedangkan perkawinan sebagai sarana reproduksi kekuasaan.

Tidak mengherankan jika ritual ini menyedot konsumsi besar untuk keperluan pesta adat.

Kebutuhan pesta adat inilah yang di kemudian hari memberikan porsi bagi munculnya pola

patron-klien dimana patron merupakan pihak yang mensponsori pesta.

Lebih jauh, Antroplog J. van Baal mencermati bahwa ekologi muara, dengan aktifitas

produksinya meramu sagu, pada umumnya menyelenggarakan upacara keagamaan jauh lebih

meriah dibanding dengan penduduk yang menggantungkan dirinya dari bertani umbi-umbian.

Kompleksitas sistem ritus dan keagaman yang berbeda ini dipengaruhi oleh lingkungan alam

yang berbeda.

Page 4: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

1.2 Identifikasi Masalah

Penelitian evaluatif tentang kinerja Otsus selama lima tahun pelaksanaan (2002-2007) yang

dilaksanakan, memberikan gambaran penting untuk pertanyaan dasarnya adalah, bagaimana

kinerja kebijakan Otsus selama ini, khususnya berkenaan dengan transfer dana Otsus dalam

jumlah yang cukup memadai untuk percepatan pembangunan di Papua. Arti penting evaluasi

ini karena hingga hari ini “wajah Otsus” lebih berupa besaran Rupiah yang ditransfer Pusat ke

otoritas lokal di Papua. Data berikut ini menggambarkan besaran “wajah otsus” tersebut.

Tabel 8.1 Dana Otsus Dari Tahun ke Tahun

Tahun Dana Otsus

2002 1.382.300.000.000

2003 1.539.560.000.000

2004 1.642.617.943.000

2005 1.775.312.000.000

2006 2.913.218.000.000

2007 3.274.230.000.000

Permasalahannya adalah, bagaimana kinerja Papua setelah dilaksanakannya.

Kebijakan Otonomi Khusus?. Pertanyaan ini mengemuka karena isu tentang keberlimpahan

sumber daya alam dan semua potensi yang dimiliki Papua yang tidak sepenuhnya bisa

dinikmati oleh penduduknya muncul kembali di era otonomi khusus. Situasi ini yang

menyebabkan Papua mengalami kondisi yang biasa disebut sebagai problems of plenty atau

masalah dari keberlimpahruahan. Sebuah ironi tentang tetap miskinnya penduduk Papua di

tengah keberlimpahan sumber daya alam yang dimilikinya, meskipun status Otonomi Khusus

telah diberikan. Jawaban dari pertanyaan inilah yang menjadi permasalahan.

Page 5: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

1.3 Rumusan Masalah

1. Mengapa Harus Ada Otonomi Khusus Papua.

Sebagian besar dari aktor masyarakat sipil yang kami wawancarai berpendapat bahwa

Otonomi Khusus Papua muncul sebagai reaksi terhadap aksi politik, dalam hal ini tuntutan

merdeka yang dikumandangkan sebagian kalangan masyarakat sipil di Papua. Tuntutan itu

sendiri muncul sebagai akumulasi dari berbagai ketidakpuasan yang terdiferensiasi dalam

berbagai konteks historis. Tokoh-tokoh organisasi massa masih mempermasalahkan masalah

proses Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 yang dinilai tidak partisipatif dan representatif.

Ini berdampak kemudian pada kebijakan represif orde baru dalam menghadapi apa yang

disebut dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Masalah distribusi ekonomi yang tidak

menyentuh penduduk asli Papua hanyalah salah satu pilar yang menumbuhkan aspirasi

merdeka. Artinya, mereka masih memandang bahwa penuntasan masalah Papua lebih kental

unsur politis yang diikuti dengan pendekatan keamanan oleh TNI-Polri. Beberapa tokoh

malah memberikan pendapat lebih keras dengan menyatakan, Otsus tidak lebih dari gula-gula

dari Jakarta untuk melenakan penduduk Papua dari perut yang lapar. Mereka menangkap

kesan tidak serius pemerintah pusat dalam menciptakan rasa aman dan kesejahteraan di Papua

dengan kebijakan Otsus ini. Yang kentara terlihat malah keinginan Jakarta untuk memastikan

bahwa Papua masih berada dalam lingkup NKRI. Tetapi ada juga tokoh yang coba berpikir

positif, bahwa disamping kental unsur politisnya, Otsus Papua sebenarnya memberi peluang

besar bagi masyarakat Papua untuk menata dirinya sendiri dengan kewenangan yang lebih

luas. Hanya saja mereka melihat, kewenangan yang luas ini tidak diikuti oleh reformasi

struktural aparat pemerintahan daerah yang menjadi aktor dalam pelaksanaan Otsus.

Akibatnya seringkali pelaksanaan kebijakan masih menunggu hasil “konsultasi” pemerintah

daerah ke Jakarta.

2. Pelaksanaan Otsus

Kesan yang kami dapatkan dari sebagian besar tokoh, adalah bahwa mereka tidak sepenuhnya

terlibat aktif selama pelaksanaan Otsus. Memang ada beberapa tokoh yang masih terlibat

dalam penyusunan kebijakan selama pelaksanaan Otsus tetapi lebih banyak yang mengambil

jarak dan pesimis terhadap pelaksanaan Otsus. Ini bisa dipahami dalam berbagai kerangka

berpikir, ada tokoh yang ingin mempertahankan independesinya, ada pula kalangan akademisi

yang memang berkutat di kampus dan ada pula yang memang tidak pernah dilibatkan atau

diajak bicara oleh pemerintah provinsi yang menjadi aktor utama pelaksanaan Otsus. Tetapi

pada dasarnya, mereka memberikan jawaban yang hampir seragam dalam menanggapi

pelaksanaan Otsus Papua.

3. Peran Lembaga dan Hubungan Dengan Lembaga Lain dan Pemerintah

Pertanyaan ini bertujuan untuk menggali lebih dalam jaringan antar lembaga non pemerintah

di kota dan kabupaten serta interaksi dan hubungan mereka dengan pemerintah setempat

dalam era Otsus.

Page 6: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

4. Revisi Mengenai UU Otsus Papua

Terkait dengan pertanyaan terakhir, pendapat dari narasumber terhadap pertanyaan mendalam

ini terbelah. Pertama, ada yang memandang perlu diadakan revisi karena ada beberapa pasal

yang tidak kontekstual serta tidak menjawab kebutuhan masyarakat Papua. Di samping itu

UU Otsus perlu direvisi terkait dengan dinamika kewilayahan dengan pemekaran provinsi

Irian Jaya Barat.

Kedua, revisi perlu dilakukan tetapi dengan syarat dilakukannya terlebih dahulu dialog

terbuka antara Jakarta dengan Papua sebagaimana dialog yang dilakukan antara Jakarta dan

Aceh. Ketiga, tidak perlu dilakukan revisi sebab Otsus telah gagal.

Dalam nada yang lebih ekstrem mereka menyatakan bahwa pada prinsipnya masyarakat

Papua sebenarnya telah mengembalikan Otsus Papua ke Jakarta. Yang perlu dilakukan

hanyalah dialog terbuka antara Jakarta dan Papua sebagaima dialog Jakarta dan Aceh.

Perbedaaan pandangan para tokoh ini bisa dimengerti dengan melihat latar belakang

organisasi, kegiatan dan interaksi yang mereka lakukan. Apapun pandangan yang muncul dari

tokoh masyarakat sipil Papua terkait revisi UU Otsus ini, semuanya patut diperhatikan sebab

semuanya berangkat dari realitas yang mereka lihat dalam sudut pandang yang berbeda.

Page 7: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

1.4 Tujuan

Tujuan penulisan riset ini adalah untuk melihat pencapaian hasil maupun kelemahan-

kelemahan implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Capaian hasil dapat digunakan

sebagai motivasi untuk meningkatkan keberhasilan yang telah diperoleh, maupun untuk

meningkatkan target manfaat implementasi kebijakan otonomi khusus di masa yang akan

datang. Di sisi lain, berbagai kekurangan maupun kelemahan kebijakan Otonomi Khusus

dapat dimanfaatkan sebagai dasar penyempurnaan kelemahan kebijakan.

Akan didapatkan sebuah dasar yang bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan tindak lanjut

kebijakan yang tepat, akan berguna untuk menentukan langkah tindak lanjut yang dapat

dilakukan oleh semua level pemerintahan, dalam hal ini adalah pemerintah nasional,

pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota. Penulisan ini dengan demikian diharapkan

dapat menjadi salah satu referensi dan instrumen evaluasi bagi segenap orang yang terlibat

untuk mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat dan kondisi umum di Papua yang lebih

baik melalui kebijakan Otonomi Khusus.

Dengan dukungan sumber penulisan yang cukup, hasil penelitian ini dapat menyajikan

informasi yang terkait dengan evaluasi kebijakan otonomi khusus di Papua. Hasil penulisan

ini memberikan gambaran masalah kinerja kota sorong dan masyarakat Papua dalam

kebijakan Otonomi Khusus, dan alternatif kebijakan strategis yang bisa dilakukan untuk

mengatasi permasalahan tersebut.

Page 8: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

1.5 Kegunaan Riset

Kilas Balik Kota Sorong

Nama Sorong berasal dari kata SOREN dalam bahasa Biak Numfor yang berarti laut yang

terdalam dan bergelombang, kata Soren digunakan pertama kali oleh suku Biak Numfor yang

berlayar pada zaman dahulu dengan perahu-perahu layar dari satu pulau ke pulau yang lain

hingga tiba dan menetap di kepulauan Raja Ampat.

Suku Biak Numfor inilah yang memberi nama “Daratan Maladum” dengan sebutan SOREN

yang kemudian dilafalkan oleh para pedagang tionghoa, misionaris dari Eropa, Maluku dan

Sangihe Talaud dengan sebutan Sorong.

Awal mulanya kota sorong adalah salah satu kecamatan yang dijadikan pusat pemerintahan

Kabupaten Sorong. Namun dalam perkembangannya telah mengalami perubahan, sesuai

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1996 tanggal 3 Juni 1996 menjadi Kota

Administratif. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 Kota

Administratif ditingkatkan menjadi Kota Otonom, yakni Kota Sorong pada tanggal 21

Oktober 1999 dengn batas-batas administrative Kota Sorong bersamaan dengan

Pembentukan Propinsi Irian Jaya Tengah, Propinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai,

Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong ( Lembaran Negara RI Nomor

173 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3894).

1. Implementasi di Tingkat Kabupaten/ Kota Kabupaten Sorong

Kabupaten Sorong termasuk daerah kepala burung Papua, dengan mempunyai luas wilayah

1.10945 km2 dan jumlah penduduk 78.806 jiwa. Komitmen pemerintah kabupaten Sorong

dalam memberikan pelayanan kepada masayarakat sebaik mungkin di era Otonomi Khusus

terus dilakukan melalui peningkatan sarana dan prasarana dan peningkatan sumber daya

manusia dibidang kesehatan, hal ini tertuang dalam berbagai program yang bersumber dana

Otsus tahun 2002- 2006

.

Kebijakan pembangunan kesehatan di kabupaten Sorong di bawah Otsus pada tahun 2002

sampai tahun 2006 menyerap anggaran sebesar Rp 51,96 milyar, dilaksanakan dalam bentuk

kegiatan pembangunan kesehatan sebagai berikut:

Pembangunan Puskesmas dan Rumah Jabatan Kepala Puskesmas di ibukota distrik,

Peningkatan Pelayanan Kesehatan Dasar di kabupaten Sorong,

Operasional dan Pemeliharaan RSUD Sorong,

Proyek Pelayanan Kesehatan Dasar di kabupaten Sorong,

Pendidikan Tenaga Keseahatan di kabupaten Sorong,

Penanggulangan gizi buruk dan Pengembangan Posyandu di kabupaten Sorong,

Pencegahan penanggulangan penyakit menular dan HIV/AIDS di kabupaten Sorong,

Pembangunan Puskesmas dan Rumah Jabatan Kepala Puskesmas di ibuklota Distrik,

Peningkatan Pelayanan Kesehatan Dasar,

Page 9: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Operasional Puskesmas,

a) Pelayanan Kesehatan Dasar,

b) Operasional Puskesmas,

c) Pelayanan KIA.

Pembangunan Rumah Sakit Rujukan,

Operasional dan Pemeliharaan RSUD Sorong,

Pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (Rumah Sakit Rujukan Kabupaten

Sorong) di Aimas.

2. Kinerja di Tingkat Kabupaten/ Kota Kabupaten Sorong

1. Tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang memadai. Kabupaten Sorong

mempunyai dua rumah sakit yaitu rumah sakit Pertamina dan rumah sakit umum.

Sejak tahun 2005 pemerintah telah membangun rumah sakit rujukan yang saat ini

masih dalam tahap penyelesaian. Dengan selesainya rumah sakit rujukan diharapkan

masyarakat memperoleh pelayanan lebih baik. Jumlah Puskesmas di Kabupaten

Sorong sebelum dan diera otsus tidak bertambah, sedangkan Puskesmas rawat ginap

dari tahun 2001 hingga tahun 2006 terjadi peningkatan. Pustu cenderung menurun

secara drastis demikian halnya dengan polindes dan posyandu sedangkan pusling

bertambah 2 unit. Dari target tersedianya sarana dan prasarana kesehatan yang

memadai, Kabupaten Sorong telah berhasil mencapai kemajuan yang penting.

2. Menurunnya persebaran penyakit infeksi dan menular dan Menurunnya angka

kesakitan masyarakat. Penyakit malaria merupakan penyakit dominan di Kabupaten

Sorong, dan merupakan penyakit endemik di Papua, kemudian ISPA, penyakit kulit,

kecacingan, scabies, serta penyakit telinga dan frambosia. Pada tahun 2003 total

penderita jenis penyakit menular sebesar 24.916 jiwa, dan dapat diturunkan menjadi

24.486 pada tahun 2004. Data tahun 2005 dan 2006 tidak didapatkan. Jika

mempergunakan data 2003-2004, dari target upaya penurunan persebaran penyakit

infeksi dan menular, telah terjadi pencapaian sebagaimana dihrapkan.

3. Terpenuhinya tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata. Pada

tahun 2006, Kabupaten Sorong mempunyai dokter spesialis sebanyak 15, dokter

umum 35,dokter gigi 5, perawat 392, bidan 135, non perawat 110 serta apoteker 5.

Jika dilihat dari perkembangan tenaga kesehatan, maka cenderung meningkat setiap

tahun. Jika dibandingkan dengan ratio penduduk dan dokter, maka untuk tenaga

dokter, perawat, bidan di Kabupaten Sorong termasuk baik. Dari target terpenuhinya

tenaga medis dan paramedis yang tersebar secara merata, Kabupaten Sorong telah

berhasil mencapai taget dalam jumlah, namun masih perlu peningkatan dalam

kemerataan tenaga medis.

4. Kesadaran kesehatan, Kesehatan Ibu dan Anak, dan Angka Kesakitan. Untuk

mencegah adanya penyakit infeksi dan menular untuk anak-anak, antara tahun 2001-

2005 Pemerintah telah melakukan 41.052 imunisasi yang terdiri dari imunisasi BCG,

DPT, polio, campak, TT, dan BUMIL.

Page 10: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

5. Kebijakan pemerintah Kabupaten Sorong adalah memberikan keringanan biaya

serendah-rendahnya kepada masyarakat, menyebabkan animo masyarakat berobat

secara medis cenderung meningkat. Hasil dari kebijakan ini adalah meningkatnya

kesehatan publik secara relatif, termasuk di antaranya kesehatan ibu dan anak, dan

menurunnya angka kesakitan masyarakat. Namun kebijakan ini masih perlu untuk

ditingkatkan di tingkat pelaksanaannya, karena masih ditemukan laporan yang

menyebutkan adanya oknum petugas medis dan pengurus Askeskin yang memungut

biaya secara tidak sah dari masyarakat.

6. Terbinanya kesadaran kesehatan lingkungan oleh masyarakat. Dari data

penyakit terbesar diderita adalah ISPA, penyakit kulit, kecacingan, scabies, serta

penyakit telinga dan frambosia dapat dilihat bahwa tingkat kesadaran kesehatan

lingkungan oleh masyarakat masih belum tinggi.

3. Implementasi dan Kinerja Kebijakan Kota Sorong

Pertanian. Pada masa Otsus dilaporkan terdapat kemajuan dalam produksi pertanian di Kota

Sorong. Perkembangan produksi pertanian meningkat untuk semua komoditi, dengan

pertumbuhan paling tinggi pada produksi buah-buahan, ubi kayu, ubi jalar, dan jagung. Tiga

komoditi terakhir merupakan kelompok makanan pokok lokal. Pada tahun 2001 (sebelum

Otsus) produksi buah-buahan hanya 56 ton/tahun, meningkat menjadi 304 ton/tahun pada

tahun 2005. Produksi ubi kayu pada tahun 2001 adalah 339 ton, meningkat menjadi 550 ton

pada tahun 2005. Produksi ubi jalar pada tahun 2001 adalah 92 ton, meningkat menjadi 262

ton pada tahun 2005. Produksi jagung pada tahun 2001 adalah 3,75 ton, meningkat menjadi

66 ton pada tahun 2005. Tidak terdapat laporan luas lahan pertahun dan perkembangannya

sebelum dan setelah Otsus.

Perkebunan. Pada masa Otsus dilaporkan terdapat kemajuan yang terbatas dalam produksi

perkebunan di Kota Sorong. Perkembangan produksi perkebunan mengalami peningkatan

penting hanya untuk komoditi kelapa, di mana produksi pada tahun 2001 adalah 4 ton,

meningkat menjadi 156 ton pada tahun 2005. Komoditi jambu mete, hingga tahun 2004 tidak

ada produksi, namun pada tahun 2005 dilaporkan memproduksi 125 ton. Komoditi penting,

yaitu coklat merosot dari 34 ton pada tahun 2001 menjadi 3 ton pada tahun 2005.

Perikanan. Komoditas perikanan di Kota Sorong adalah udang beku, ikan kaleng, tuna,

cakalang, tepung ikan, dan ikan kayu. Pada tahun 2000 total produksi untuk seluruh komoditi

mencapai 1.187,62 ton, meningkat menjadi 1.193,83 ton di tahun 2001, menurun drastis pada

tahun 2002 menjadi 331,48 ton. Pada tahun 2002 meningkat menjadi 341,91 ton, dan tahun

2004 meningkat kembali menjadi 439 ton.

Peternakan. Populasi ternak potong –sapi, babi, kambing—mengalami fluktuasi sepanjang

implementasi Otsus. Pada tahun 2001 populasi ternak potong mencapai 2.960 ekor,

meningkat menjadi 3.447 pada tahun 2002, meningkat kembali menjadi 4.212 pada tahun

2003, pada tahun 2004 menurun menjadi 1.612 ekor. Pada tahun 2005 dilaporkan meningkat

kembali menjadi 4.634. Untuk populasi ternak unggas mengalami kemajuan penting, dari

populasi 36.175 pada tahun 2001 menjadi 360.766 pada tahun 2005.

Page 11: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Industri. Industri kecil mengalami peningkatan setelah Otsus, dari 463 unit usaha pada tahun

2001 menjadi 447 pada tahun 2005. Nilai investasi meningkat dari Rp 16,39 milyar menjadi

Rp 21,62 milyar pada tahun 2005. Nilai produksi meningkat dari Rp 9,87 juta menjadi Rp

16,51 juta. Secara keekonomian, dapat dikatakan terdapat pertumbuhan, tetapi masih di

bawah potensi yang dapat dicapai maupun terhadap rerata laju pertumbuhan ekonomi dan laju

inflasi selama 5 tahun berjalan

Page 12: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

BAB II

TEORI / TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori-Teori Tentang Tema yang Dipilih

1. Papua dan Indonesia

Wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ketika diproklamirkan

kemerdekannya pada tanggal 17 Agustus 1945, secara de jure mencakup seluruh wilayah

bekas jajahan Kerajaan Hindia Belanda. Berdasarkan nota kesepakatan antara pemerintah

Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda pada Konferensi Meja Bundar (KMB), maka

wilayah Irian Barat (Papua sekarang) akan diserahkan kemudian. Namun nota kesepakatan itu

diingkari oleh pihak Kerajaan Belanda yang memunculkan reaksi dari pemerintah Indonesia

pada tahun 1963 dengan melahirkan kebijakan melalui Komando Mobilisasi Umum, -yang

terkenal dengan sebutan Tiga Komando Rakyat (Trikora)- untuk merebut kembali wilayah

Irian Barat (Papua sekarang). Wilayah Irian Barat akhirnya terintegrasi ke dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia pada bulan Mei 1963. Dengan latar seperti itu, maka kebijakan

pembangunan di wilayah ini berbeda dengan wilayah lain yang berimplikasi luas dalam aspek

pembangunan sosial, ekonomi dan politik.

Provinsi Papua yang didirikan dengan dasar hukum UU No. 12 Tahun 1969 dan UU No. 45

Tahun 1999, mempunyai luas wilayah 317.062 km2, atau sekitar 20% dari luas daratan

Indonesia.

Provinsi Papua ditandai oleh tiga ekologi wilayah utama, yakni; (1) ekologi wilayah rawa-

rawa, dataran rendah, dan kaki gunung; (2) ekologi wilayah pesisir, pantai, dan kepulauan;

dan (3) ekologi wilayah pegunungan tinggi. Sekitar 70% penduduk asli Papua bertempat

tinggal di kampung-kampung yang terpencil, pedalaman, pulau-pulau kecil, dan perbatasan

negara, dengan kondisi topografis yang sulit diakses oleh pelayanan pembangunan,

pemerintahan, dan pelayanan jasa kemasyarakatan.

Pada dasarnya, proses pembangunan oleh Pemerintah Indonesia di Tanah Papua baru efektif

dimulai pada awal tahun 1980an. Itupun masih sangat bersifat sporadis, belum sempat

terencana secara matang seperti yang telah dilakukan di provinsi lainnya dengan format

REPELITA-GBHN. Terlambatnya mengawali proses pembangunan tersebut lebih disebabkan

oleh kesibukan Pemerintah dalam hal penyelesaian masalah politik kembalinya Irian Barat ke

Pangkuan Ibu Pertiwi. Berbarengan dengan itu, akselerasi pertumbuhan yang terjadi di

berbagai daerah di Indonesia tidak dapat diimbangi oleh kemajuan pembangunan di Tanah

Papua Kondisi ini, diperburuk oleh pola anutan sentralistik di bawah pengaruh kekuasaan

Orde Baru, yang ternyata telah menggiring eksistensi masyarakat Papua ke dalam situasi

enclave. Praktis, hal ini menjadi motif utama bagi munculnya ketidakpuasan yang

menyuburkan intensitas pergerakan kemerdekaan politik bagi sebagian komponen

masyarakat, setelah merasa dikecewakan dalam peristiwa Pepera Tahun 1969.

Page 13: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Desakan untuk menggunakan kembali nama “Papua” berangkat dari kekecewaan elit politik

lokal karena selama 36 tahun (1962-1998) menjadi bagian dari Indonesia di bawah tatanan

Orde Lama (1945-1965) dan Orde Baru (1966-1998), kawasan ini tetap menjadi kawasan

terbelakang dan semakin tertinggal dibanding kawasan lain.

Meskipun merupakan kawasan yang secara kategori pembangunan disebut terbelakang,

namun Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah. Ada proven deposit 2,5 milyar ton

bahan tambang emas & tembaga (konsesi Freeport saja); 540 juta m3 potensi lestari kayu

komersial; dan 9 juta ha hutan konversi untuk pembangunan perkebunan skala besar. Panjang

pantai wilayah ini mencapai 2.000 mil, luas perairan 228.000 km2, dengan tidak kurang dari

1,3 juta ton potensi lestari perikanan per tahun. Namun demikian, di balik semua

keberlimpahan tersebut, Papua juga dikenal sebagai provinsi dengan jumlah masyarakat

miskin terbanyak. Dibanding daerah-daerah lain di Indonesia, kawasan ini tetap menjadi

kawasan paling terbelakang dan paling miskin, tidak berbeda dengan posisinya pada saat

bergabung dengan Republik Indonesia pada tahun 1963.

Papua merupakan provinsi yang paling terbelakang di Indonesia. Pada tahun 1997 –sebelum

krisis-- tingkat kemiskinan Papua dilaporkan di atas 50%, sementara rerata tingkat

kemiskinan nasional telah mendekati 14%. Papua menjadi provinsi dengan populasi miskin

terbesar di Indinesia. Pada tahun 1999 dilaporkan persentase penduduk miskin Papua adalah

54,75%, yang menjadikan Papua tetap sebagai provinsi dengan populasi miskin terbesar,

disusul Nusa Tenggara Timur 46,73%, dan Maluku 46,14%. Tahun 2000, persentase

kemiskinan menurun menjadi 41,80%, tetapi masih yang terbesar di Indonesia, disusul

Maluku 46,14%,dan Nusa Tenggara Timur 36,52%.

Kemiskinan dan keterbelakangan yang mendalam di Papua, sudah pada tempatnya, diakui

sebagai kegagalan pendekatan pembangunan Papua selama masa Orde Baru. Dibanding

kawasan Indonesia lainnya, Papua merupakan kawasan dengan kondisi keterbelakangan yang

paling tinggi. Kondisi keterbelakangan ini, secara internal, disebabkan 5 hal utama, yaitu

bahwa pada saat menjadi bagian dari Indonesia:

1. sebagian besar masyarakat Papua hidup dalam kondisi keterbelakangan, atau dalam bahasa

akademis disebut keprimitifan

2. tidak terdapat infrastruktur fisik, dalam arti transportasi dan telekomunikasi, yang memadai,

bahkan pada tingkat paling minimal

3. rendahnya tingkat kesejahteraan dan kesehatan karena rendahnya tingkat pendidikan

4. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di kawasan ini untuk dapat secara langsung

masuk ke dalam “mesin” pembangunan yang berjalan dengan “mode” masyarakat dengan

kondisi seperti di Jawa dan kawasan lain yang lebih maju dari Papua

5. rendahnya kemampuan dari sumberdaya manusia di jajaran elit lokal untuk menjadi bagian

dari sistem kepemerintahan modern.

Page 14: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Simpulan yang dapat diambil adalah meskipun keputusan politik penyatuan Papua menjadi

bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia pada hakikatnya mengandung cita-cita luhur

yaitu membangun rakyat di Papua (Barat) menjadi masyarakat modern dan makmur,

kenyataan yang terjadi masih jauh dari harapan. Paling tidak, dua hal mendasar yang

mendesakkan keinginan untuk memperoleh Otonomi khusus sebagai salah satu varian konsep

desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization),

sebagai “pilihan antara” atas pilihan biner yang ada.

Pertama, pendekatan dalam kebijakan pembangunan Papua (atau Irian Jaya, pada saat itu)

selama masa Orde Baru lebih ditentukan oleh Pusat daripada aspirasi setempat. Pendekatan

ini biasanya disebut sebagai “pendekatan sentralistik”. Sebuah pendekatan yang dinilai lazim

pada awal tahun 1970n hingga 1980an, di mana Indonesia merupakan negara berkembang

yang sedang “membangun”, di dalam arti sedang melakukan “perubahan sosial yang

dipercepat”, yang memerlukan pola yang “satu ide, satu komando”, atau perencanaan dan

pengendalian pembangunan yang terpusat. Terlepas dari upaya dari Pemerintah Pusat untuk

melakukan pemahaman permasalahan pembangunan di tingkat lokal, namun kebijakan

pembangunan di Papua lebih banyak ditentukan oleh Pemerintah Pusat, sebagaimana

kebijakan pembangunan di daerah-daerah di Indonesia pada umumnya. Selain berasal dari

paradigma pembangunan yang ada dan diyakini pada saat itu, pendekatan yang sentralistik

juga didukung oleh elit politik di tingkat nasional dan elit politik Papua yang berkepentingan

dengan pemusatan kebijakan pembangunan Papua di Jakarta. Pendekatan pembangunan yang

dijalankan, yang berpola sentralistik tidak cukup berhasil membuat Papua menjadi kawasan

yang maju dan makmur. Kemakmuran cenderung lebih dinikmati perusahaan-perusahaan

multinasional dan nasional yang beroperasi di Papua, yang melakukan eksploitasi alam, dan

para pendatang dari luar Papua.

Kedua, momentum reformasi di Indonesia memberi peluang bagi timbulnya pemikiran dan

kesadaran baru untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam

menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Sehubungan dengan itu, Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menetapkan perlunya pemberian

status Otonomi Khusus kepada Provinsi Irian Jaya sebagaimana diamanatkan dalam

Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun

1999-2004 Bab IV huruf (g) angka 2. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000

tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang antara lain

menekankan tentang pentingnya segera merealisasikan Otonomi Khusus

tersebut melalui penetapan suatu undang-undang otonomi khusus bagi Provinsi Irian Jaya

dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Hal ini merupakan suatu langkah awal yang

positif dalam rangka membangun kepercayaan rakyat kepada Pemerintah, sekaligus

merupakan langkah strategis untuk meletakkan kerangka dasar yang kokoh bagi berbagai

upaya yang perlu dilakukan demi tuntasnya penyelesaian masalah-masalah di Provinsi Papua.

Dapat disimpulkan, pembangunan Irian Jaya dipersepsikan oleh masyarakat lokal belum

sesuai dengan keinginan dan aspirasinya, karena dibanding seluruh provinsi di Indonesia,

Irian Jaya merupakan kawasan yang paling tertinggal dari berbagai sisi pembangunan.

Ironisnya, Irian Jaya merupakan salah satu kawasan Indonesia yang memberikan sumbangan

pendapatan nasional yang tinggi, terutama dari hasil eksploitasi pertambangan.

Page 15: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

2. Papua dan Reformasi Indonesia

Krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1998 mendorong lahirnya gerakan

reformasi yang merubah peta politik, sosial, dan ekonomi nasional. Momentum perubahan

besar ini dipergunakan oleh masyarakat dan elit di Irian Jaya bagi reformasi hubungan Pusat-

Irian Jaya, dengan tujuan meletakkan Irian Jaya sebagai sebuah daerah yang mendapatkan

prioritas pembangunan yang sama besar dengan daerah lain di Indonesia. Berbeda dengan

gerakan sebelumnya yang bersifat separatis seperti gerakan Organisasi Papua Merdeka

(OPM), maka gerakan rakyat dan elit Irian Jaya mengarah kepada dua isu, yaitu:

(1) penggantian nama Irian Jaya, dadan.

(2) perlakuan khusus dalam kebijakan otonomi daerah yang diberikan Pusat kepada Irian

Jaya.

Momentum pertama diperoleh pada tahun 2000. Presiden Abdurrahman Wahid memberikan

dukungannya untuk merubah nama Irian Jaya menjadi Papua, sebagaimana aspirasi lokal

yang disampaikan ke Pusat. Perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua ini tertuang dalam

Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang

Pengembalian Nama Irian Jaya Menjadi Papua.

Perubahan nama ini merupakan instrumen penting untuk mendorong perlakuan khusus Papua

sebagai daerah otonom. Pada tahun 2000-2001, delegasi Papua memperjuangkan adanya

kebijakan “otonomi khusus” bagi Papua. Setelah melalui pengkajian yang komprehensif dan

melibatkan berbagai pihak yang terkait, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan

Presiden memberikan persetujuan untuk menerbitkan kebijakan Otonomi Khusus (Otsus),

dalam bentuk UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, yang

ditandatangani oleh Presiden Megawati pada tanggal 21 November 2001.

Pada tahun 2003, Presiden Megawati menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 1

Tahun 2003 yang membagi Provinsi Papua menjadi dua: Papua dan Irian Jaya Barat. Pada

saat ini, berkembang wacana untuk membagi Papua menjadi dua provinsi baru, Papua Barat

dan Papua Tengah. UU Otsus merupakan hasil tawar-menawar antara rakyat Papua dengan

Pemerintah RI tanggal 26 Februari 1999 di Istana Negara ketika 100 delegasi resmi, yang

mewakili elemen di Papua dengan dipimpin Thomas Beanal, menemui Presiden BJ Habibie.

Namun Presiden Habibie tidak memberikan dukungan kepada pemintaan tersebut. Desakan

ini akhirnya mendapatkan “angin segar” ketika Presiden Abdurrahman Wahid memberikan

dukungan untuk menggunakan kembali nama Papua sebagai ganti Irian Jaya, dan pemberian

ijin untuk mempergunakan bendera Bintang Kejora sebagai bendera provinsi.

Pada tahun 2000, desakan integrasi semakin menguat dan memuncak pada Kongres Papua II

di Jayapura tanggal 29 Mei – 3 Juni 2000. Presiden Megawati, yang menggantikan Presiden

Abdurrahman Wahid pada tahun 2001, merespon tuntutan merdeka untuk Papua dengan

menandatangani UU No. 21 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001 tentang otonomi khusus.

Lahirnya undang-undang tentang otonomi khusus ini dapat dilihat sebagai penyelesaian

konflik, win-win solution antara rakyat Papua yang berkeinginan terlepas dari NKRI serta

Pemerintah RI yang kokoh-teguh mempertahankan kedaulatan NKRI.

Page 16: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Nomor 21 tahun 2001 merupakan

pengakuan Pemerintah RI untuk melindungi hak ulayat orang Papua akan tanah, air, dan

kekayaan Papua. Sebuah prasyarat untuk mengangkat orang Papua dari ketertinggalan

dibanding saudaranya di kawasan tengah dan timur.

Pada tahun 2003, terjadi perubahan signifikan, yaitu pemekaran provinsi Papua menjadi dua:

Provinsi Papua, yang berada di timur, dan Provinsi Irian Jaya Barat, yang merupakan Papua

bagian barat, atau disebut sebagai bagian “Kepala Burung”, melalui Keputusan Presiden

(Keppres) No. 1 Tahun 2003. Sebuah eksekusi dari wacana yang berkembang pada tahun

1999. Otonomi khusus untuk Papua menjadi fakta bagi sketsa baru dari tata hubungan pusat-

deerah pasca reformasi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, presiden terpilih pada Pemilu 2004, mengembangkan

pemahaman bahwa membangun Papua harus komprehensif, demokratis, dan bermartabat.

Karenanya, masalah Papua hanya terselesaikan melalui kompromi dengan didasarkan pada

nilai-nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap rakyat Papua.

Dengan demikian, Presiden Yudhoyono mendukung kebijakan Otsus, yang pada saat

dirumuskannya beliau menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, dan menjadi salah

satu pemikir utama kebijakan otsus bagi Papua.

3. Papua dan UU Otsus

Sebagaimana dikemukakan pada UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi

Provinsi Papua, maka yang dimaksud Provinsi Papua adalah Provinsi yang sebelumnya

bernama Irian Jaya, yang diberi status Otonomi Khusus, yang merupakan bagian dari wilayah

Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang memiliki keragaman suku dan lebih dari 250

bahasa daerah serta dihuni juga oleh suku-suku lain di Indonesia.

Wilayah Provinsi Papua pada saat ini terdiri atas 12 Kabupaten dan dua Kota, yaitu:

Kabupaten Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Mimika,

Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Paniai, Kabupaten Nabire,

Kabupaten Sorong, Kabupaten Fakfak, Kabupaten Yapen Waropen, Kabupaten Manokwari,

Kota Jayapura, dan Kota Sorong. Provinsi Papua memiliki luas kurang lebih 421.981 km2

dengan topografi yang bervariasi, mulai dari dataran rendah yang ber-rawa sampai dengan

pegunungan yang puncaknya diselimuti salju. Wilayah Provinsi Papua berbatasan di sebelah

utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah selatan dengan Provinsi Maluku dan Laut Arafura,

di sebelah barat dengan Provinsi Maluku dan Maluku Utara, dan di sebelah timur dengan

Negara Papua New Guinea.

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang

lebih luas bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam

kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Page 17: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Kewenangan yang lebih luas berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan

rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan

alam di Provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai

bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan ini

berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian

masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua

melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta

merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai

kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta

lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua,

lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati

diri rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan

hukum adat.

Hal-hal mendasar yang menjadi isi Undang-Undang ini adalah:

pengaturan kewenangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi Papua serta

penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan kekhususan;

pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya

secara strategis dan mendasar;

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang berciri:

a) partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan

dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan melalui

keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;

b) pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan

dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi Papua pada umumnya

dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, pembangunan

berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung bagi masyarakat;

c) penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan dan

bertanggungjawab kepada masyarakat. pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab

yang tegas dan jelas antara badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, serta Majelis Rakyat

Papua (MRP) sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberikan

kewenangan tertentu

Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan,

penegakan supremasi hukum, penghormatan terhadap HAM, percepatan pembangunan

ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan kemajuan masyarakat Papua, dalam rangka

kesetaraan dan keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain.

Undang-Undang ini menempatkan orang asli Papua dan penduduk Papua pada umumnya

sebagai subjek utama pembangunan. Keberadaan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,

Pemerintah Kabupaten/Kota, serta perangkat di bawahnya, semua diarahkan untuk

memberikan pelayanan terbaik dan pemberdayaan rakyat. Undang-Undang ini juga

mengandung semangat penyelesaian masalah dan rekonsiliasi, antara lain dengan

pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini dimaksudkan

untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di masa lalu dengan tujuan

memantapkan persatuan dan kesatuan nasional Indonesia di Provinsi Papua.

Page 18: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Pada UU No. 21 Tahun 2001 ini juga disebutkan agenda-agenda yang mendasari

penerbitannya, yaitu berkenaan dengan cita-cita dan tujuan Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945, yaitu membangun masyarakat Indonesia

yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam agenda ini dipahami bahwa masyarakat Papua memiliki hak untuk menikmati hasil

pembangunan secara wajar. Dari segi yuridis, sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui dan menghormati satuan-

satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam

undang-undang. Dari sisi politik, Pemerintah menilai bahwa integrasi bangsa dalam wadah

Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap dipertahankan dengan menghargai

kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, melalui penetapan

daerah Otonomi Khusus.

Dengan melihat bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras

Melanesia yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia, yang memiliki

keragaman kebudayaan, sejarah, adat istiadat, dan bahasa sendiri, maka kebijakan otonomi

khusus dapat diberikan.

Pertimbangan tersebut juga didasari oleh pengakuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan

dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi

rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum

sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya

menampakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya

masyarakat Papua, termasuk bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam

Provinsi Papua belum digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat

asli, sehingga telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah

lain, serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.

Di sisi lain, hal yang utama adalah otonomi khusus diberikan dalam konteks untuk

mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi lain, dan meningkatkan taraf

hidup masyarakat di Provinsi Papua, serta memberikan kesempatan kepada penduduk asli

Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Pemberian kebijakan Otsus sendiri diberikan dengan melihat sisi penegakan hak-hak dasar di

Papua. Pada UU ini disebutkan bahwa pemberlakuan kebijakan khusus didasarkan pada nilai-

nilai dasar yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak

dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme, serta

persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara. Pemberian otonomi khusus

dengan demikian juga diletakkan pada keyakinan bahwa telah lahir kesadaran baru di

kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional

pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan

dengan pelanggaran dan perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.

Page 19: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Pemberian Otsus didukung oleh masyarakat dan elit Papua, khususnya untuk merespon

kemiskinan di Papua. Pada tahun 2002, Gubernur Papua pada saat itu –sebelum pemekaran—

JP Solosa, menyampaikan bahwa sekitar 75% warga Papua diperkirakan masih hidup di

bawah garis kemiskinan akibat keterbatasan sarana dan prasarana transportasi laut, darat, dan

udara di daerah10 itu. Keterbatasan sarana dan prasarana transportasi menghambat program-

program pembangunan pemerintah yang akan dilaksanakan bagi kepentingan masyarakat di

seluruh Papua. Gubernur Solosa menyatakan optimis dengan pemberlakuan UU No. 21 tahun

2001 tentang Otonomi Khusus. Dengan Otsus, Papua dapat mengatasi persoalan

ketertinggalan dan kemiskinan.

4. Evaluasi Kinerja Otsus

Laporan ini merupakan sintesa hasil implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Provinsi

Papua. Dasar pemikirannya adalah bahwa Kebijakan Otonomi Khusus merupakan kebijakan

yang bertujuan untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di

Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan provinsi di wilayah timur Indonesia yang

menghadapi berbagai persoalan mendasar terkait dengan fakta ketertinggalan wilayah. Daerah

yang sebenarnya sangat kaya dengan potensi sumberdaya alam (SDA) ternyata pada tataran

riil menghadapi fakta yang bertolak belakang. Ketertinggalan perekonomian masyarakat,

minimnya penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas, jaringan infrastruktur yang

masih memprihatinkan, hingga persoalan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM)

merupakan permasalahan mendasar di wilayah ini. Kontradiksi seperti ini lambat laun

menciptakan kesenjangan yang secara langsung sangat dirasakan oleh masyarakat Papua.

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah ternyata justru membawa dampak negatif

yang sangat besar, mulai dari kerusakan lingkungan hingga peminggiran hak-hak masyarakat

asli.

Berbagai aspirasi dan tuntutan agar pemerintah lebih memperhatikan ketertinggalan Papua

telah lama disuarakan oleh masyarakat. Namun lambannya respon pemerintah menyebabkan

aspirasi dan tuntutan tersebut berubah menjadi resistensi masyarakat yang tidak jarang

berubah menjadi konflik fisik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan. Masyarakat asli

Papua mulai mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam mencari solusi berbagai

persoalan mendasar di Papua.

Terlebih lagi, berbagai kebijakan yang diambil oleh pemerintah pusat terkait dengan

kekayaan alam Papua terkesan sangat eksploitatif dan justru meminggirkan peran masyarakat

lokal yang berdampak pada mandegnya tingkat kesejahteraan mereka. Intensitas konflik fisik

maupun tuntutan kemerdekaan yang semakin tinggi akhirnya membuat pemerintah mau tidak

mau harus secara serius memperhatikan perkembangan aspirasi masyarakat Papua. Seiring

dengan semakin populernya konsep desentralisasi pemerintahan sejak UU No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah disahkan, penyelenggaraan pemerintahan yang lebih sensitif

terhadap konteks lokal mulai menjadi mainstream utama reformasi pemerintahan.

Page 20: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Konsep desentralisasi juga mulai diterapkan oleh pemerintah untuk konteks wilayah Papua.

Penyelenggaraan pemerintahan mulai dijalankan dengan pendekatan yang berbeda, yang

diharapkan dapat menciptakan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemerintahan di Papua.

Lahirnya kebijakan Otonomi Khusus merupakan sebuah pilihan kebijakan pemerintah pusat

dan rakyat Papua sebagai suatu bentuk langkah kompromistis antara kepentingan nasional dan

desakan pemenuhan tuntutan rakyat Papua.

Sebagaimana dikemukakan di depan, otonomi khusus merupakan salah satu varian konsep

desentralisasi yang dikenal dengan desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization).

Kebijakan otonomi khusus akhirnya diambil oleh pemerintah pusat guna menyelesaikan

berbagai persoalan di Papua.14 Kebijakan ini diterapkan secara resmi melalui Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU No. 21

Tahun 2001).

Mekanisme baru penyelenggaraan pemerintahan ini dimaksudkan sebagai jalan tengah untuk

memfasilitasi aspirasi masyarakat daerah dengan kepentingan pemerintah nasional.

Pada dasarnya kebijakan otonomi khusus dimaksudkan untuk memberikan ruang dan otoritas

yang lebih luas dan adil bagi pemerintah daerah dan masyarakat Papua untuk mengelola

wilayahnya sesuai dengan karakter dan keunikan lokal. Otoritas yang diberikan mencakup

jaminan hak agar provinsi ini dapat mengelola kekayaan alam di Papua sehingga dapat

dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat asli. Dengan kata lain,

kebijakan Otonomi Khusus menciptakan sebuah tata pemerintahan daerah Papua yang unik

dan berbeda dengan wilayah lain.

Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 merupakan kerangka kebijakan umum yang menjadi

pedoman dalam melaksanakan Otonomi Khusus di Tanah Papua. UU ini mengatur berbagai

sektor dasar yang menjadi bagian dari pelaksanaan Otonomi Khusus. Sektor-sektor yang

diatur dalam undang-undang ini menciptakan karakter spesifik pada arah kebijakan daerah di

tanah Papua yang membedakannya dengan daerah lain di NKRI.

Sebagai bentuk kebijakan umum di tanah Papua, UU No. 21 Tahun 2001 ini memiliki filosofi

perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan.16 Filosofi ini diharapkan dapat menjadi solusi

untuk berbagai persoalan di Papua.17 Harapannya, kebijakan ini dapat menjadi instumen

efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih proporsional serta

menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti kemiskinan, keterbelakangan,

masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan ekonomi. Dengan demikian,

kebijakan Otonomi Khusus pada tataran umum sebenarnya merupakan kebijakan yang

dimaksudkan untuk mengakomodasi tiga hal; menjawab kebutuhan peningkatan dan

perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi NKRI dan mencari jalan tengah

terhadap berbagai kemelut selama ini.

Page 21: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

Seperti telah disebutkan sebelumnya, kebijakan otonomi khusus mulai diimplementasikan

setelah pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 (UU No. 21 Tahun

2001). Artinya, saat tulisan ini sedang dibuat pada April 2008, kebijakan otonomi khusus

telah berjalan kurang lebih tujuh tahun. Dari rentang waktu tersebut, berbagai langkah nyata

telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan implementasi otonomi khusus

di atas. Kebijakan-kebijakan strategis di bidang pelayanan dasar telah diimplementasikan

dengan melibatkan mobilisasi sumberdaya dan sumberdana yang jumlahnya sangat

signifikan. Kebijakan strategis tersebut meliputi bidang kebijakan umum, bidang

perekonomian, bidang infrastruktur, bidang pendidikan, kesehatan, dan bidang masyarakat

sipil.

Terkait dengan hal ini, untuk menilai efektivitas implementasi kebijakan ini, diperlukan

sebuah instrumen evaluasi yang dapat digunakan sebagai tolok-ukur keberhasilan maupun

kekurangan implementasi kebijakan ini. Kemitraan bekerjasama dengan Departemen Dalam

Negeri Republik Indonesia (Depdagri) telah melakukan penelitian yang terkait dengan

evaluasi implementasi kebijakan Otonomi Khusus di Papua. Penelitian yang dilakukan

meliputi evaluasi:

1. kebijakan umum,

2. kebijakan bidang kesehatan,

3. kebijakan bidang pendidikan,

4. kebijakan bidang infrastruktur,

5. kebijakan pengembangan masyarakat sipil.

Evaluasi tersebut dilakukan untuk melihat efektifitas implementasi kebijakan otonomi khusus

dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat asli Papua.

Page 22: PERUBAHAN KOTA SORONG DARI DAMPAK  OTONOMI KHUSUS PAPUA

2.2 Daftar Pustaka

Koentjaraningrat (ed) 1993, Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk, Jakarta:

Djambatan

Ricklefs, MC, 2001, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: Serambi

Vlekke, BHM, 2008, Nusantara: Sejarah Indonesia, Jakarta: KPG/Gramedia

Laporan Studi Evaluasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua, Bidang Kebijakan Umum,

Departemen Dalam Negeri,

Salah satu tulisan yang mengelaborasi sejarah atau latar belakang implementasi kebijakan

Otonomi Khusus di Papua menyebutkan bahwa kebijakan ini dilatarbelakangi antara lain

oleh ketidakpuasan masyarakat lokal terhadap pemerintah pusat, konflik yang muncul di

dalamnya yang akhirnya membuat kebijakan Otonomi Khusus dipilih sebagai solusi. Lihat

dalam Arifah Rahmawati, Papua Ethno-Political Conflict: Causes, Context, and Policy

Implication, Thesis, 2004, Naval Post Graduate School Menterey, California.

Democratic Center Cenderawasih University, Principal Thoughts Concerning Development

Policies in Papua Province, Jayapura, June 2003. halaman 8.

Undang-Undang No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, “Ketentuan Umum”

Laporan Evaluasi Otonomi Khusus Papua Bidang Kebijakan Umum, 2008, Jakarta:

Kemitraan untuk Tata Kelola yang Baik.

Kategori: Selayang Pandang

Diterbitkan pada Jum'at, 13 Juli 2012 02:13

Ditulis oleh Administrator

Dilihat: 213

Cetakan Pertama, Desember 2008

Kinerja Otonomi Khusus Papua Cet. I - Jakarta: Kemitraan, 2008;