186
Permasalahan Tenurial dan Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil dalam Perspektif Masyarakat Sipil Proceeding Roundtable Discussion Hotel Salak, BOGOR, 29 November 2007 WORKING GROUP ON FOREST LAND TENURE

Prosiding rtd iii

Embed Size (px)

DESCRIPTION

 

Citation preview

Page 1: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipildalam Perspektif Masyarakat Sipil

Proceeding Roundtable DiscussionHotel Salak, BOGOR, 29 November 2007

WORKING GROUP ON FOREST LAND TENURE

Page 2: Prosiding rtd iii
Page 3: Prosiding rtd iii

PPeerrmmaassaallaahhaann TTeennuurriiaall ddaannRReeffoorrmmaa AAggrraarriiaa ddii KKaawwaassaann HHuuttaannddaallaamm PPeerrssppeekkttiiff MMaassyyaarraakkaatt SSiippiill

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure Hotel Salak Bogor,29 November 2007

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis

Page 4: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion PPeerrmmaassaallaahhaann TTeennuurriiaall ddaann RReeffoorrmmaa AAggrraarriiaa ddii KKaawwaassaann HHuuttaannddaallaamm PPeerrssppeekkttiiff MMaassyyaarraakkaatt SSiippiill

Working Group Tenure 2007

Penyusun: Emila W Suwito

Gambar sampul depan: Kiri atas: padang penggembalaan dalam hutan produksi di Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan Kanan atas: hutan adat desa Guguk Kabupaten Merangin, Jambi Kiri bawah: masyarakat adat Sando Batu Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan Kanan bawah: salah satu pal batas hutan lindung Bukit Rigis Reg 45B, Lampung Barat

Foto oleh Suwito (dokumentasi WG-Tenure) Design dan tata letak oleh Emila

Diterbitkan pertama kali oleh Working Group TenureGedung Badan Planologi Kehutanan Jl. Juanda 100 Bogor Telp./fax : +62 251 381384 Email: [email protected]//www.wg-tenure.org

Penerbitan didukung oleh International Land Coalition (ILC)

Page 5: Prosiding rtd iii

i

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa bahwa Roundtable discussion (RTD) ke-3 dengan tema “PERMASALAHAN TENURIAL & REFORMA AGRARIA DIKAWASAN HUTAN DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT SIPIL” telahdiselenggarakan dengan sukses pada tanggal 29 November 2007, di Hotel Salak,Bogor. Roundtable discussion ke-3 ini terselenggara atas kerjasama WG-Tenure denganHuMa, dan merupakan bagian dari kegiatan WG-Tenure yang pendanaannyadidukung oleh International Land Coalition.

Roundtable discussion merupakan rangkaian kegiatan diskusi yang dirancang olehWG-Tenure untuk menggali perspektif para pihak terhadap permasalahan tenurialdi kawasan hutan dan inisiatif-inisiatif yang telah dikembangkan dalam mencarisolusi penyelesaiannya.

Roundtable discussion yang ketiga ini dirancang untuk melakukan pendalamanmasalah tenurial dalam perspektif masyarakat sipil (civil society), terutama darikalangan kelompok masyarakat, NGO, akademisi dan DPR/DPRD. Selain itu jugauntuk memperdalam dan menggali perspektif masyarakat sipil terhadap kebijakanyang dikeluarkan pemerintah yang mungkin berpeluang merespon permasalahankonflik tenurial yang terjadi.

Prosiding ini disusun sebagai publikasi pelaksanaan RTD dan diharapkan dapatmemberikan pemahaman yang lebih baik terhadap permasalahan tenurial yangterjadi dan mampu memberikan kontribusi positif pada upaya penyelesaian konflik.Beberapa permasalahan tenurial dalam pengelolaan hutan dan rekomendasinya telahteridentifikasi dalam RTD ini, baik secara umum maupun yang secara khususdimandatkan kepada WG-Tenure untuk melaksanakannya.

WG-Tenure menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginyakepada semua pihak yang telah berkontribusi dan berpartisipasi mendukungsuksesnya penyelenggaraan RTD ke-3 ini, terutama kepada HuMa yang telahmenjalin kerjasama dengan baik.

Bogor, Desember 2007

Iman SantosoKoordinator Dewan Pengurus WG-Tenure

Page 6: Prosiding rtd iii

ii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

Page 7: Prosiding rtd iii

iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................ iIman Santoso (Koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure)

Ringkasan ...................................................................................................................... viiSummary ...................................................................................................................... xiiiI. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 11.2 Tujuan ............................................................................................................. 21.3 Peserta ............................................................................................................. 21.4 Agenda Acara ................................................................................................ 2

II. Pembukaan2.1 Sambutan Panitia

Suwito (Koordinator Eksekutif WG-Tenure) ......................................... 5

2.2 Sambutan Dewan Pengurus WG-Tenure)Martua Sirait (Sekretaris) ........................................................................... 7

III.Presentasi dan Diskusi Sesi I3.1 Presentasi3.1.1 Kasus Masyarakat Adat Kontu di Kabupaten Muna,

Sulawesi SelatanIbu Aisyah (Organisasi Rakyat Kontu) ..................................................... 9

3.1.2 Kasus di Jember (Kisah Tragis dari Lereng SelatanPegunungan Hyang Argopuro: Adakah kaitan Sistem PenguasaanLahan dengan Bencana Banjir Bandang?Bambang Teguh (SD INPERS) ................................................................... 11

3.1.3 Pengalaman mendorong inisiatif resolusi konflik pengelolaansumberdaya hutan berbasiskan masyarakat di Desa GugukKecamatan Sungai Manau Kab. Merangin, Jambi (Mengurai KonflikMenuju Keselarasan Pengeloaan Sumberdaya Hutan)Rahmat Hidayat (KKI-WARSI) ................................................................. 12

3.1.4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2007; Peluang dan Kendaladari Aspek Tenure SecurityI Made Subadia Gelgel (SAM Kehutanan Bidang Kelembagaan........ 13

3.2 Proses Diskusi ................................................................................................ 13

Page 8: Prosiding rtd iii

iv

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

IV. Presentasi dan Diskusi Sesi II

4.1 Presentasi4.1.1 Reforma Agraria

Gunawan Sasmita MPA (Direktur Land Reform BPN-RI) .................. 234.1.2 Relevansi Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di

Kawasan HutanUsep Setiawan (Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA) ..................... 25

4.1.3 Pembaruan Agraria di Kawasan HutanTri Chandra Aprianto (KARSA) ................................................................. 26

4.2 Proses Diskusi ................................................................................................ 26V. Identifikasi Masalah dan Rekomendasi

5.1 Identifikasi Masalah ...................................................................................... 335.2 Rekomendasi/Mandat kepada WG-Tenure ............................................. 435.3 Rekomendasi .................................................................................................. 44

VI.Review/Catatan Penting WG-TenureProf. I Nyoman Nurdjaja, SH ............................................................................... 47

VII.PenutupanSambutan PenutupanAsep Yunan Firdaus (Direktur Eksekutif HuMa) ............................................ 51

Lampiran

Makalah UtamaKisah Tragis dari Lereng Selatan Pegunungan Hyang Argopuro-Jember:Adakah kaitan Sistem Penguasaan Lahan dengan Bencana Banjir Bandang?Oleh: Bambang Teguh (SD INPERS) .................................................................. 57Mengurai Konflik Menuju Keselarasan Pengelolaan Sumberdaya Hutan:Berbagi pengalaman didalam mendorong inisiatif resolusi konflikpengelolaan sumberdaya hutanberbasiskan masyarakat di Desa GugukKecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, JambiOleh: Rahmat Hidayat (KKI-WARSI) ................................................................ 67PP No. 6/2007 tentang Tata Hutan, Rencana Pengelolaan danPemanfaatan Hutan Peluang dan Kendala Aspek Tenure SecurityOleh: Ir. I Made Subadia Gelgel (SAM Kehutanan Bidang Kelembagaan). 95Reforma AgrariaOleh: Gunawan Sasmita MPA (Direktur Land Reform BPN-RI) ................. 100Reforma Agraria di HutanRelevansi Program Pembaruan Agraria di Kawasan HutanOleh: Usep Setiawan (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria/KPA) ...... 111

Page 9: Prosiding rtd iii

v

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

Pembaruan Agraria di Kawasan HutanOleh: Tri Chandra Aprianto (KARSA) ............................................................... 117

Makalah PenunjangKauman BerteriakOleh: Yusuf Hidayat dan Fellysianus Arga Narata (Yayasan KolingWonosobo) ............................................................................................................... 129Kisah Tragis Petani di Desa Siyai-Kabupaten Melawi: Membuat Ladang,Diciduk PolisiOleh: Abdias, LBBT- Kalimantan Barat ............................................................. 135BLORA: Konflik Agraria, Pelanggaran HAM dan Eksploitasi BerwajahBaruOleh: Lidah Tani Blora .......................................................................................... 141

Daftar Peserta ................................................................................................................ 147Poster

Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat Adat Desa Guguk di KabupatenMerangin, Jambi ..................................................................................................... 157Pekon Sukapura: Pemukiman di dalam Hutan Lindung Bukit RigisRegister 45b Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat .............. 158Banjir Bandang Jember Awal Tahun 2006 ......................................................... 159Inisiatif Tata Pengelolaan Bersama Taman Nasional LaiwanggiWanggameti Di Kabupaten Sumba Timur ........................................................ 160Masyarakat Lodang-Seko dan Pengelolaan Sumberdaya HutanKeberlanjutan Ton Toga dan Komunitas Adat Sando Batu Di PegununganLatimojong, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan ............................................ 161

Page 10: Prosiding rtd iii

vi

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

Page 11: Prosiding rtd iii

vii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

RINGKASANLatar Belakang dan Tujuan

Masalah tenurial (klaim atas hak) merupakan salah satu penyebab utama terjadinyakonflik pengelolaan hutan di Indonesia. Konflik tenurial dapat muncul ke permukaanberupa ketidakpastian status hak masyarakat di kawasan hutan dan ketidakjelasantata batas kawasan hutan. Dan hampir pada setiap kasus konflik tenurial tersebutpihak masyarakat seringkali berada pada posisi yang lemah. Sebagian besar kasuskonflik tenurial di kawasan hutan hingga saat ini belum berhasil diselesaikan denganbaik. Belum ada mekanisme penyelesaian konflik yang dapat menjadi peganganseluruh pihak untuk menyelesaikan konflik ini.

Pendalaman terhadap berbagai permasalahan tenurial dan inisitif penyelesaiankonflik sangat diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif ataskonflik yang terjadi. WG-Tenure merancang roundtable discussion untukmelakukan pendalaman /kajian konflik dan perspektif berbagai pihak terhadapkonflik dan upaya penyelesaiannya, dengan harapan dapat mengembangkanrekomendasi kepada lembaga atau instansi terkait.

Roundtable discussion dirancang tiga kali dengan melibatkan masing-masing unsurkomunitas yang berbeda. Roundtable discussion pertama diadakan denganmelibatkan pihak pemerintah, kedua diadakan atas kerjasama WG-Tenure dan APHIdengan topik perspektif pengusaha hutan dalam menyikapi kasus-kasus tenurial diunit pengusahaan hutan produksi. Sementara roundtable discussion yang ketigadiselenggarakan WG-Tenure bekerjasama dengan HuMA untuk melakukanpendalaman masalah tenurial dalam perspektif masyarakat sipil (civil society),terutama dari kalangan kelompok masyarakat, NGO, akademisi dan DPR/DPRD.Selain itu juga untuk memperdalam dan menggali perspektif masyarakat sipilterhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang mungkin berpeluangmerespon permasalahan konflik tenurial yang terjadi.

Tujuan roundtable discussion adalah sebagai berikut;

1) Mengidentifikasi permasalahan, pandangan dan pengalaman dari kalanganmasyarakat sipil dalam menyikapi kasus-kasus konflik tenurial di kawasan hutan;

2) Mendalami perspektif dan respon masyarakat sipil terhadap kebijakanPemerintah sebagai respon terkini atas konflik tenurial di kawasan hutan, yaituPPAN dan PP No. 6/2007

Page 12: Prosiding rtd iii

viii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

3) Merumuskan agenda kegiatan tindak lanjut yang berpeluang memberikankontribusi dalam penyelesaian kasus konflik tenurial di kawasan hutan.

Roundtable discussion ini dihadiri oleh sekitar 75 peserta yang berasal dari unsurPemerintah (anggota WG-Tenure), LSM, Akademisi, Lembaga penelitian, dankelompok masyarakat dari berbagai daerah (Jambi, Lampung Barat, Tasikmalaya,Garut, Wonosobo, Blora, Purwokerto, Jember, Kabupaten Melawi Kalimantan Barat,Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara, Kabupaten Sidrap, Seko Kabupaten LuwuUtara Sulawesi Selatan, Flores, NTT, dan NTB).

Proses Diskusi

Sebelum diskusi dimulai acara dibuka dengan laporan panitia penyelenggara yangdisampaikan oleh Koordinator Eksekutif WG-Tenure (Suwito), kemudiandilanjutkan dengan sambutan Dewan Pengurus WG-Tenure yang diwakili oleh Ir.Martua Sirait, MSc. (Sekretaris Dewan Pengurus WG-Tenure).

Diskusi dibagi menjadi 3 sesi. Sesi pertama dipandu oleh moderator Iwan Nurdin(KPA) dengan pembicara masing-masing Ibu Aisyah (Organisasi Rakyat Kontu) yangmempresentasikan kasus yang dialami masyarakat adat Kontu di Kabupaten MunaSulawesi Tenggara; Bambang Teguh (SD INPERS) yang menyampaikan makalahberjudul Kisah Tragis dari Lereng Selatan Pegunungan Hyang Argopuro-Jember,Adakah Kaitan Sistem Penguasaan Lahan dengan Bencana Banjir Bandang?; RahmatHidayat (WARSI) yang berbagi pengalaman dalam mendorong inisiatif resolusikonflik pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat di Desa GugukKecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Presentasi terakhiradalah uraian tentang peluang dan kendala pelaksanaan PP No. 6/2007 yangdisampaikan oleh Ir. I. Made Subadia Gelgel (SAM Kehutanan Bidang Kelembagaan).

Sesi kedua menampilkan tiga pembicara masing-masing Gunawan Sasmita MPA(Direktur Land reform BPN-RI), Usep Setiawan (Sekjen KPA), dan Tri ChandraAprianto (KARSA). Sesi kedua mengupas tentang Kebijakan reforma agraria dikawasan hutan yang dipandu oleh Martua Sirait.

Sesi ketiga difasilitatori oleh Koordinator Eksekutif WG-Tenure (Suwito) untukmelakukan identifikasi masalah dan menggali rekomendasi dari peserta.

Page 13: Prosiding rtd iii

ix

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

Masalah-masalah yang diidentifikasi:

UU 41/1999 tentang Kehutanan masih bermasalah Departemen Kehutanan masih bertahan pada paradigma lama Terjadinya monopoli penguasaan sebagian besar hutan Ketimpangan kepemilikan/ penguasaan tanah/hutan Terjadinya konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah (tidak

sinkron) Kurangnya sosialisasi peraturan-peraturan pemerintah Penataan Batas kawasan hutan secara sepihak/sewenang-wenang

termasuk tata batas enclave (batas dalam) Tahapan-tahapan pelepasan kawasan hutan belum jelas Penegasian hak-hak masyarakat atas kepemilikan/penguasaan lahan

hutan Fragmentasi/pemecahan wilayah adat/Marga Adanya kebijakan pengusiran masyarakat dari hutan/hak Stigmatisasi masyarakat sebagai perambah/perusak hutan Kapasitas masyarakat untuk mengelola hutan tidak merata Mulai terjadi kembali praktek-praktek represif Terjadinya konflik horizontal (antar masyarakat) Adanya gerakan politik anti/kontra reforma agraria Bentuk konkrit reforma agraria (PPAN) belum jelas Subyek reforma agraria di kawasan hutan belum jelas Identifikasi keberadaan masyarakat adat Pengakuan keberadaan masyarakat adat oleh Perda Degradasi kualitas lingkungan/rawan bencana Persepsi domain BPN dan Dephut Sertifikasi tanah tidak selalu menjamin keamanan/kepastian hak

Page 14: Prosiding rtd iii

x

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

Mendorong terbentuknya Dewan reforma agraria (oleh Presiden) yang

kredible dan mempunyai kewenangan yang tinggi sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil dapat menjadi acuan bagi pelaksana di lapangan.

WGT diharapkan dapat menjadi anggota Dewan Reforma Agraria Nasional untuk menyampaikan aspirasi masyarakat

Memfasilitasi upaya-upaya untuk mengubah paradigma PPAN Menfasilitasi/mendorong agar PPAN bisa berpihak dan mengakui

kedaulatan masyarakat adat Memfasilitasi dialog BPN-DEPHUT Memfasilitasi penyamaan persepsi lintas sektoral dalam rangka

pembaruan agraria (Masyarakat – BPN – DEPHUT – LSM – PEMDA – Instansi tekait)

Mendorong untuk mensinergikan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan BPN, DEPHUT dan Masyarakat

Mendorong dephut membuat terobosan (tidak terpaku pada peraturan-peraturan dalam menghadapi masalah-masalah lapangan) “Hukum yang Progresif”

Memfasilitasi pertemuan multipihak sebagai upaya mencari sinergi dalam penyelesai konflik

Menyusun model-model pemahaman konflik yang latent Menyusun model-model usaha penyelesaian konflik Menyampaikan info/data dari lapangan ke tingkat pengambil

kebijakan Memediasi kepentingan para pihak membangun pemahaman para pihak dalam pengelolaan kawasan

hutan melalui dialog kritis secara berkala dari pusat sampai tingkat basis

Menyediakan data-data tata batas kawasan hutan (BATB) Merumuskan perencanaan partisipatif pengelolaan kawasan hutan

menjadi bagian dalam MUSRENBANG (desa, kecamatan, dan daerah) Menyediakan forum/rubrik tanya jawab tentang issue tenure WGT perlu melibatkan NGO daerah untuk menjadi anggota WGT Bangun jaringan dan struktur WG-Tenure dari pusat hingga di tingkat

basis/daerah yang mengalami sengketa Organisasi Masyarakat sipil dijadikan mitra strategis Kasus/konflik yang terjadi antara pihak TN Bukit Raya Bukit Baka dan

masyarakat adat Suuk Limbai kab Melawi ditindaklanjuti di tingkat Pusat (DEPHUT), serta melakukan mediasi antara MA dengan pihak TN/Kehutanan.

Rekomendasi/mandat kepada WG-Tenure

Page 15: Prosiding rtd iii

xi

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

Diperlukan persamaan persepsi antara BPN dan Dephut terhadap

PPAN Pendidikan Reforma agraria di kawasan hutan Diperlukan sinergi antar sektor terkait dalam menyusun kebijakan,

dalam hal ini Departemen Kehutanan dan BPN Untuk melakukan pembaharuan/perubahan perlu mengkaji ulang dan

menata kembali aturan-aturan dan kebijakan kehutanan, pertanahan, dan otonomi daerah ; karena saat ini yang diterapkan adalah sistem ekonomi yang kapitalis monopoli, sehingga terjadi penguasaan tunggal atas SDA hutan oleh DEPHUT.

Mendorong Dephut, Baplan, untuk melakukan peninjauan kembali tata batas kawasan hutan

Pelaksanaan tata batas harus melibatkan masyarakat (partisipatif) Adanya pengawasan tata batas kawasan hutan “lingkar batas” Memperkuat jaringan antar masyarakat di sekitar kawasan Mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan Membangun pemahaman bersama yang mendalam tentang persoalan,

metode dan strategi dalam menyelesaikan masalah (konflik) Meningkatkan kampanye tentang berbagai persoalan di basis dan

merumuskan program rutin yang applicable di lapangan Masyarakat adat harus dilibatkan dalam dewan reforma agraria (BPN)

Rekomendasi:

Page 16: Prosiding rtd iii

xii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

Sesi terakhir adalah review atau catatan penting WG-Tenure yang disampaikan olehsalah satu anggota WG-Tenure Prof. Dr. I. Nyoman Nurdjaja, SH.

Beberapa catatan penting yang disampaikan:

1. Kondisi kehutanan di Indonesia (kerusakan hutan; marjinalisasi/ pengabaian/penggusuran hak dan akses masyarakat atas sumberdaya hutan; konflik/sengketa tenurial; kemiskinan ekonomi; resistensi sosial& budaya)

2. Penyebab terjadinya kondisi kehutanan seperti tersebut pada point (1) antaralain:- Hukum dan kebijakan pemerintah di tingkat normatif dan implementasi/

enforcement tidak pro rakyat dan ekologis- Pengabaian dimensi keadilan-demokrasi-berkelanjutan dalam pengelolaan

SDH- Pengakuan hak masyarakat adat dalam peraturan perundangan bersifat semu- Hutan komunal/adat tidak menjadi entitas hukum (legal entity) yang setara

dengan hutan negara & hutan hak3. Adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat adat atas

sumberdaya hutan4. Hukum adat vs hukum negara5. Beberapa aksi ke depan yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan oleh

masyarakat

Page 17: Prosiding rtd iii

xiii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

SUMMARYBackground and Objectives

Conflict over forest land (land tenure conflict) is one of main causal in forest management inIndonesia. Tenure conflict may occur due to insecurity tenure right and unclear boundary offorest area. Most of tenure conflict could not be solved properly. Conflict resolution mechanismthat could be a reference for stakeholders is not yet available.

Study on tenure problems and its conflict resolution is important to get comprehensiveunderstanding on the cases. Therefore, WG-Tenure set a serial roundtable discussion to identifyperspective of multi-stakeholders and to obtain deep learning on land tenure conflict occurredand initiative of conflict resolution effort. These discussions are expected to give somerecommendations to all stakeholders involved.

Roundtable discussion was set three times and invite different stakeholder in each discussion.First discussion was held by involvement of government and the second one was carried out incollaboration with Association of Indonesia Forest Concession Holders (APHI) with the topicon private sector’s perspective on land tenure conflicts in forest management unit. The thirdroundtable discussion was conducted by WG-Tenure collaborated with HuMa in order to findout civil society (NGO, university, research centre, legislative) perspective on forest landtenure conflicts. This discussion was expected also to obtain perspective of civil society ongovernment regulation that might be an opportunity to give positive response on land tenureconflict occurred.

The objectives:

1). To identify the problems, perspectives, and experiences of participants in dealing withforest land tenure conflicts

2). To get civil society’s perspective and response on government regulation issued, which isAgrarian Reform (PPAN) and Government Regulation (PP) No. 6/2007.

3). To formulate the activities (agenda), as follow up, that could contribute to solve forestland tenure conflicts.

Participants:

About 75 participants attended at this roundtable discussion is a representative of ForestryDepartment (WG-Tenure member), National Land Agency (BPN), NGO, University, researchcenter, and community from several regions in Indonesia (Jambi, West Lampung District,Tasikmalaya, Garut, Wonosobo, Blora, Purwokerto, Jember, Melawi District West Kalimantan,Muna District South East Sulawesi, Sidrap district, Seko North Luwu South Sulawesi, Flores,Waingapu East Nusa Tenggara, and West Nusa Tenggara.)

Page 18: Prosiding rtd iii

xiv

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

The Process of Discussion

Executive coordinator of WG-Tenure, Suwito initiated the discussion by delivering the speechas an organizer of the event. Board of WG-Tenure who represented by Martua Sirait (Secretary)delivered a welcome speech then.

The discussion was set into 3 sessions. The first session was directed by Iwan Nurdin (KPA)as a moderator and invited 4 (four) presenters, they are Miss Aisyah (Organisasi Rakyat Kontu/People organization of Kontu) who presented the case face by customary community (MasyarakatAdat) Kontu in Muna district, South East Sulawesi; Bambang Teguh (NGO named SDINPERS) who delivered a paper with title “Kisah Tragis dari Lereng Selatan PegununganHyang Argopuro-Jember, Adakah kaitan sistem penguasaan Lahan dengan bencana banjirbandang?”(Tragic story from South Slope of Hyang Argopuro mountain-Jember, is there anyrelationship between land tenure system and the flood occurred?; Rahmat Hidayat (NGO namedWARSI) who shared their experience on encouraging initiative of community based conflictresolution in forest management in Guguk village Sub district of Sungai Manau, Merangindistrict Jambi province. The last presentation in this session was about Challenge and constraintof the implementation of government regulation (PP) no 6/2007. This paper was presented byI. Made Subadia Gel-gel (Expert staff on institutional division of Forestry Minister)

Second session present 3 (three) presenters, they are Gunawan Sasmita MPA (Directore ofLand Reform BPN-RI/GoI National Land Agency); Usep Setiawan (Secretary General of KPA);Tri Chandra Aprianto (KARSA); and Martua Sirait as a moderator. This session discussedabout regulation of land reform in forest area.

Third session was identifying problems and recommendations that directed by Suwito as afacilitator.

Page 19: Prosiding rtd iii

xv

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

Problems identified are:

Some problems identified within UU No. 41/1999 on Forestry Ministry of Forestry still retains an old paradigm in forest management in

Indonesia monopoly practices in forest management/utilization gap of forest land tenure (ownership/possession) unsynchronized (vertical conflict) between government and local government government regulations are not informed well community is not involved in the forest area delineation process, including for

determining enclave procedure on releasing the state forest area is still unclear community right on forest land ownership/possession is neglected fragmentation of customary land community evicted from forest land by government stigma that community is an encroacher and/or forest destroyer there is different level of community capacity to manage the forest Repressive actions are re-appeared in forest management practices conflict within community (horizontal conflict) is exist there is political action against agrarian reform Figure of agrarian reform implementation is unclear The subject of agrarian reform in forest zone is unclear problem on identification of existing customary community is still remained problem on recognition of existing customary community by local

government regulation is still remained environment quality degraded Perception of BPN and Forestry Department domain certified land is not always give land tenure security

Page 20: Prosiding rtd iii

xvi

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

To encourage establishing credible Dewan Reforma Agraria/Agrarian Reform

Board (by President) that has strong authority, hence regulations issued would be implemented in the field

WG-Tenure should involve in Dewan Reforma Agraria in order to deliver community aspiration

To facilitate changing paradigm on Agrarian Reform (PPAN) To facilitate and encourage Agrarian Reform to consider and recognize

customary community To facilitate dialogue between BPN and Forestry Department To facilitate dialogue across sector among community, BPN, Forestry

Department, NGO, and local government, in order to get same perception on agrarian reform

To synchronize the regulation related to BPN, Forestry Department, and community

Encourage Forestry Department to formulate an innovative regulation for solving conflict over forest land

facilitating multi stakeholders dialogue for better understanding on conflict resolution

To prepare models on understanding of latent conflict To prepare models on conflict resolutions To deliver information and data to decision maker Mediation among stake holder To facilitate dialogue regularly to create multi stakeholder better

understanding on forest management practices. To provide data on forest boundary/ forest boundary delineation process To formulate forest participatory planning as a part of MUSRENBANG To provide a forum/rubric “ask & answer” on forest land tenure issues WG-Tenure should involve local NGO as member Establishment of network and WG-Tenure structure in local site where the

conflict exist To involve Civil society organization as a strategic partner WG-Tenure deliver/inform Forestry Department about conflict between

Customary community Suuk Limbai Melawi district and Bukit Raya Bukit Baka National Park.

WG-Tenure is expected to facilitate a discussion customary community and National Park (WG-Tenure as a mediator)

Recommendation/mandates to WG-Tenure:

Page 21: Prosiding rtd iii

xvii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

Forestry Department and BPN should have same perception on agrarian

reform (PPAN) Education on Agrarian reform in forest area To improve better Coordination between Forestry department and National

Land Agency (BPN) especially in setting up government regulations. To revise and examine rules and regulation on forestry, land, and autonomy in

order to make better regulation. Encourage and support Forestry Department (Agency of Forest Planning) to

review forest boundary. Participatory process (community involvement) on delineation process of

forest boundary Effective control of forest boundary To strengthen networking of community surrounding the forest To encourage community participation in forest management practices To develop comprehensive understanding on method and strategy in conflict

resolution To enhance campaign on some tenure issues and problem in the field and

formulate the routine applicable programs. Customary community should be involved in Dewan Reforma Agraria

(Agrarian Reform Board)

The last session is review and highlight WG-Tenure delivered by Prof. Dr. I. Nyoman Nurdjaja,SH.

Notes delivered are:

1. Forestry condition in Indonesia (forest degradation; marginalization/neglected communityrights and access over forest resources; tenure conflict; property; socio culture resistence)

2. The causal of those condition above are:- Law and government policy is not pro people and ecology- Ignoring justice-democratic-sustainable dimension in forest resource management- Community rights recognition in the regulations is unclear- Communal forest is not a legal entity

3. different perception between government and community over forest resources is exist4. customary law vs country law5. there should be collaborative action done by government and community

Recommendations:

Page 22: Prosiding rtd iii
Page 23: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sudah menjadi topik penting dalam setiap diskusi pengelolaan hutan, bahwa masalahtenurial (klaim atas hak) merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konflikkehutanan di Indonesia. Konflik tenurial dapat muncul ke permukaan berupaketidakpastian status hak masyarakat di kawasan hutan dan ketidakjelasan tata bataskawasan hutan. Dan hampir pada setiap kasus konflik tenurial tersebut pihakmasyarakat seringkali berada pada posisi yang lemah. Sebagian besar kasus konfliktenurial di kawasan hutan hingga saat ini belum berhasil diselesaikan dengan baik.Belum ada mekanisme penyelesaian konflik yang dapat menjadi pegangan seluruhpihak untuk menyelesaikan konflik ini.

Pendalaman terhadap berbagai permasalahan tenurial dan inisitif penyelesaiankonflik sangat diperlukan untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif ataskonflik yang terjadi. WG-Tenure merancang roundtable discussion untuk melakukanpendalaman/kajian konflik dan perspektif berbagai pihak terhadap konflik danupaya penyelesaiannya, dengan harapan dapat mengembangkan rekomendasikepada lembaga atau instansi terkait.

Roundtable discussion ini dirancang tiga kali dengan melibatkan masing-masing unsurkomunitas yang berbeda. Roundtable discussion pertama diadakan dengan melibatkanpihak pemerintah pada tanggal 7 Oktober 2003, bertempat di Badan PlanologiKehutanan Bogor. Roundtable discussion kedua diadakan atas kerjasama WG-Tenuredan APHI dengan topik perspektif pengusaha hutan dalam menyikapi kasus-kasustenurial di unit pengusahaan hutan produksi, yang diadakan pada tanggal 22 Februari2005 di Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta.

Roundtable discussion yang ketiga diselenggarakan WG-Tenure bekerjasama denganHuMA untuk melakukan pendalaman masalah tenurial dalam perspektif masyarakatsipil (civil society), terutama dari kalangan kelompok masyarakat, NGO, akademisi,lembaga penelitian dan DPR/DPRD. Selain itu juga akan memperdalam danmenggali perspektif masyarakat sipil terhadap kebijakan yang dikeluarkanpemerintah yang mungkin berpeluang merespon permasalahan konflik tenurial yangterjadi. Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan olehKabinet Indonesia Bersatu mungkin bisa menjadi salah satu peluang atau cara untukmembuka pintu penyelesaian konflik tenurial termasuk di dalam kawasan hutan.Pemerintah juga telah menggulirkan Peraturan Pemerintah/ PP No. 6/2007 tentangTata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.PP ini memberikan peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh

Page 24: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

2

tenure security dalam pengelolaan hutan dengan berbagai skema yang ditawarkan,seperti HKm, Kemitraan, Hutan Desa, dan juga HTR.

Roundtable discussion menghadirkan narasumber dari pihak pemerintah dalam halini BPN dan Departemen Kehutanan untuk mengulas perspektif pemerintahterhadap PPAN dan PP No.6/2007. Untuk memberikan pembelajaran danpemahaman bersama atas konflik yang terjadi, serta menjadi acuan untukmerumuskan langkah-langkah atau agenda penyelesaiannya, dalam RTDdipresentasikan beberapa pengalaman komunitas masyarakat sipil dalam menyikapikonflik tenurial di kawasan hutan dan mengidentifikasi inisiatif-inisiatif yangdikembangkan untuk menyelesaikan konflik.

1.2 Tujuan

Tujuan roundtable discussion adalah sebagai berikut;

1) Mengidentifikasi permasalahan, pandangan dan pengalaman dari kalanganmasyarakat sipil dalam menyikapi kasus-kasus konflik tenurial di kawasan hutan;

2) Mendalami perspektif dan respon masyarakat sipil terhadap kebijakanPemerintah sebagai respon terkini atas konflik tenurial di kawasan hutan, yaituPPAN dan PP No. 6/2007

3) Merumuskan agenda kegiatan tindak lanjut yang berpeluang memberikankontribusi dalam penyelesaian kasus konflik tenurial di kawasan hutan.

1.3 Peserta

Sekitar 75 orang peserta hadir dalam rountable discussion ini yang berasal dari berbagaipihak antara lain Pemerintah (Dephut/dalam hal ini mewakili anggota WG-Tenure;dan BPN); Akademisi; Kelompok masyarakat dari berbagai daerah (Jambi, SukapuraLampung Barat, Garut, Wonosobo, Blora, Purwokerto, Padang, Kalimantan Barat,Waingapu, Kupang, Mataram, Flores, Sidrap, Seko Luwu Utara, Kabupaten Muna,dan Sulawesi tengah); NGO, Lembaga Penelitian, dan pengusaha (sebagai anggotaWG-Tenure)

1.4 Agenda Acara

1. Sambutan pembukaan oleh panitia yang disampaikan oleh Koordinator EksekutifWG-Tenure

2. Sambutan dari Dewan Pengurus WG-Tenure yang disampaikan oleh Ir. MartuaSirait MSc. (Sekretaris Dewan Pengurus WG-Tenure)

3. Presentasi dan Diskusi Sesi I:

Page 25: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

3

Penyaji makalah:- Ibu Aisyah (Organisasi Rakyat Kontu)- Bambang Teguh (SD INPERS Jember)- Rahmat Hidayat (WARSI, Jambi)- Ir. I Made Subadia Gelgel (SAM Kehutanan Bidang Kelembagaan)Moderator: Iwan Nurdin (KPA)

4. Presentasi dan Diskusi Sesi II:Penyaji Makalah:- Gunawan Sasmita MPA (Direktur Land Reform BPN-RI)- Usep Setiawan (KPA)- Tri Chandra Aprianto (KARSA)Moderator : Ir. Martua Sirait, MSc.

5. Sesi III : Identifikasi masalah dan perumusan agenda tindak lanjut (rekomendasi)Fasilitator: Suwito (WG-Tenure)

6. Review/catatan penting dari WG-Tenure yang disampaikan oleh anggotaWG-Tenure Prof. Dr. I Nyoman Nurdjaja, SH

7. Sambutan Penutupan yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif HuMa

Page 26: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

4

Page 27: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

5

II. PEMBUKAAN

2.1 Sambutan PanitiaOleh: Koordinator Eksekutif WG-Tenure (Ir. Suwito)

Rekan-rekan, bapak ibu sekalianAssalamu’alaikum wr wb, dan salam sejahtera untuk kita semuanya

Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih atas kehadirannya memenuhiundangan kami. Saya sampaikan kepada wakil masyarakat adat dari Seko,masyarakat adat Sando batu, Organisasi Rakyat Kontu, masyarakat adat Guguk. Jugadari serikat petani pasundan, dari Waremtahu Lampung yang anggota WG-Tenure.Selain pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari masyarakat adat dan kelompoktani juga dihadiri oleh LSM, perguruan tinggi, lembaga penilitian, dan juga adaobserver dari Philipina (Asian NGO Coalition).

Bapak ibu sekalian sebenarnya agenda ini telah dirancang oleh WG-Tenure sejaktahun 2003 tetapi kemudian pada tahun 2005 kita mulai merangkak dan setelahmelakukan berbagai komunikasi baru pada tahun 2007 ini bisa dilaksanakan. Banyakhal yang mempengaruhi agak mundurnya kegiatan ini. Kegiatan ini merupakanrangkaian dari tiga diskusi. Roundtable discussion pertama dilakukan untuk konstituenWG-Tenure dari komunitas lembaga pemerintahan, roundtable discussion kedua untukkomunitas pengusaha kehutanan, dan saat ini untuk komunitas masyarakat sipilyang kita identifikasi sebagai perwakilan dari masyarakat, LSM, perguruan tinggi,peneliti, dan anggota DPRD.

Bapak ibu sekalian perlu kami sampaikan bahwa pertemuan kita hari ini bukan untukmemecahkan masalah, sesuai dengan yang kita sampaikan dalam TOR bahwaroundtable discussion ini merupakan media konsultasi WG-Tenure untuk konstituenmasyarakat sipil. Jadi sekali lagi forum ini bukan untuk memecahkan masalah tetapimari kita sama-sama berbagi pengalaman, berbagi tindakan, berbagi informasisehingga kita bisa bersama-sama merumuskan agenda strategis ke depan yang haruskita tindaklanjuti untuk menangani masalah-masalah yang kita hadapi secarabersama-sama. Itu yang ingin kami tegaskan

Kami juga sampaikan bahwa acara ini terselenggara atas dukungan salah satu mitrakami yaitu International Land Coalition (ILC) yang merupakan lembaga di bawah IFAD(FAO). Begitu juga yang lebih penting lagi acara ini terselenggara atas kerjasamadengan HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum berbasis Masyarakat danEkologis).

Page 28: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

6

Sekali lagi yang ingin kami sampaikan bahwa Koordinator Dewan Pengurus WG-Tenure pada hari ini tidak dapat hadir bersama-sama kita karena sedang mengikutidiklat Lembaga Administrasi Negara.

Untuk menyingkat waktu kami tidak akan berpanjang kalam mudah-mudahan kitadapat berproses bersama secara baik. Untuk yang terakhir karena ada di sini anggotaWG-Tenure yang bukan berasal dari masyarakat sipil, seperti dari dunia pengusahadan pemerintahan yang bukan narasumber, jadi anggota WG-Tenure ini akan lebihbanyak menyaksikan, karena ini forum masyarakat sipil.

Terima kasih, semoga acara kita ini dapat berjalan dengan baik.

Assalamu’alaikum wr wb.

Page 29: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

7

2.2 Sambutan Dewan Pengurus WG-Tenure

Oleh: Ir. Martua Sirait M.Sc. (Sekretaris Dewan Pengurus WG-Tenure)

Selamat pagi

Bapak ibu sekalian dan kawan-kawan semua,

Senang sekali kita bisa bertemu kembali pagi hari ini untuk melihat kembali wajahworking group tenure kita terutama pada kalangan masyarakat sipil.

Seperti tadi dkemukakan oleh mas wito tentang working group kita, memang diskusikita di design untuk satu diskusi-diskusi terpisah, pemerintah, dunia usaha, danmasyarakat sipil. Dua diskusi pertama sudah berlangsung dengan baik, dan adamandat-mandat serta tugas-tugas yang diberikan dengan melihat permasalahan, apayang bisa dilakukan oleh WG-Tenure ke depan. Begitu juga yang diharapkan daridiskusi kita hari ini. Kita berharap juga bisa melihat permasalahan yang lebih up todate keadaan saat ini konflik pertanahan di dalam kawasan hutan. Dan kita juga bisaberpikir bentuk apa yang bisa diperankan WG-Tenure ke depan. Itulah yang menjadiinti dari diskusi kita, dimana di sesi siang kita akan lebih fokus ke sana, setelah kitamendengar pemaparan-pemaparan terutama pemaparan dari lapangan, pemaparandari berbagai instansi pemerintah tentang program-program yang ada, dan kita cobamelihat bagaimana kita bisa memasang tangga ke depan untuk mengaturpenyelesaiannya.

Working group kita sudah berumur cukup lama dari tahun 2001 sekarang sudah2007, belum banyak memenuhi harapan semua teman-teman, tetapi itulah berbagaiketerbatasan yang kita miliki. Selama ini banyak terlibat dalam penyelesaian kasusdemi kasus yang sudah waktunya juga dipaparkan karateristik daripadapermasalahan konflik pertanahan di kawasan hutan. Dan juga sudah waktunyamungkin bagi WG-Tenure untuk diskusi nanti melihat keluar dari kasus masing-masing, tetapi melihat masalah ini sebagai masalah yang mungkin bisa diselesaikanbukan kasus per kasus tetapi dengan cara lain, misal dengan kebijakan.

Selamat berdiskusi!!

Page 30: Prosiding rtd iii
Page 31: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

9

III. PRESENTASI DAN DISKUSI SESI IPada Sesi I yang dipandu oleh moderator Iwan Nurdin (KPA) dipresentasikan empatmakalah yang masing-masing disampaikan oleh Ibu Aisyah (Organisasi RakyatKontu, Kabupaten Muna); Bambang Teguh (SD INPERS Jember); Rahmat Hidayat(WARSI, Jambi); dan Bapak I. Made Subadia Gelgel (Staf Ahli Menteri KehutananBidang Kelembagaan).

Pada sesi ini dipresentasikan berbagai konflik yang terjadi di lapangan sertapembelajaran upaya penyelesaian konflik yang telah dilakukan. Pada akhir sesidipresentasikan kebijakan pemerintah dalam hal ini Dephut terkait pemberdayaanmasyarakat.

3.1. Presentasi

3.1.1. Kasus Masyarakat Kontu di Kabupaten Muna, SulawesiTenggara

“Jika perusahaan-perusahaan besar itu diberikan konsesi pertambangan di kawasan hutan lindung,kenapa kami tidak bisa mencari hidup (bertani) di kawasan hutan, padahal hutan itu adalah warisanleluhur kami........mana keadilan bagi kami?”

Kalimat-kalimat tersebut mengawali presentasi kasus Masyarakat Kontu. Terjadipengusiran masyarakat dari lahan yang selama ini mereka garap (warga dianggapsebagai perambah hutan). Disampaikan bahwa menurut sejarah Kontu adalahwilayah adat masyarakat Watoputih, dimana terdapat bukti-bukti dan ceritasejarahnya. Kawasan tersebut merupakan pemberian Raja Muna yangkepemilikannya bersifat komunal bukan perorangan dan merupakan lahanperkebunan masyarakat Watoputih sejak sebelum Indonesia Merdeka.

Pada Tahun 1999 diterbitkan Kepmenhutbun No. 454/Kpts-II/1999 tentangpenunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Sulawesi Tenggara, dimana salah satupoint dalam Kepmen tersebut adalah Penunjukan hutan lindung Jompi. Masyarakat

Page 32: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

10

melihat sejumlah kelemahan-/kejanggalan dalam Kepmen tersebut antara lain bahwaberita acara tata batas (BATB) tidak ditandatangani oleh beberapa pejabat berwenangseperti BPN, Gubernur, dan Dirjen Inventarisasi dan Tata Guna Hutan (baca Baplan.Selain itu proses tata batas tidak melibatkan masyarakat Watoputih sebagai pemiliklahan. Menurut kesaksian mantan Kepala BPN Muna (pada persidangan 4 orangwarga Kontu tahun 2003), bahwa kawasan Kontu dan sekitarnya bukan hutanlindung.

Disampaikan pula bahwa masyarakat kontu bukan perambah hutan tetapi wargakembali bercocok tanam di atas tanah mereka karena sudah tidak ada lagi pohon jatiyang mereka tanam, petani kembali berkebun di lahan bekas kebun mereka padajaman dulu (dalam bahasa Muna disebut “dasa”). Pada jaman pemerintahanSwapraja rakyat dipaksa menanam jati di lahannya, namun setelah pohon jati tumbuhbesar masyarakat diusir dari lahannya dan kemudian diklaim sebagai milikpemerintah. Sejak tahun 2000 hingga saat ini tegakan jati yang tumbuh di kawasankontu sudah habis ditebang oleh para pencuri kayu (illegal logging). Melihat fenomenaini masyarakat Kontu berpendapat kalau saja aparat polisi, tentara, polisi pamongpraja dan polhut yang menggusur warga petani di kontu selama ini dimanfaatkanuntuk mengamankan tegakan jati, maka tegakan jati di Kabupaten Muna kondisinyatidak akan kritis seperti sekarang ini.

Pemakalah menyampaikan akar masalah konflik di kontu adalah sebagai berikut:

- Konflik di Kontu merupakan buah dari kegagalan Pemerintah di masa lalu dalammelakukan perencanaan kehutanan (inventarisasi, pengukuhan, danpenatagunaan hutan)

- Konflik di Kontu juga merupakan puncak dari perlawanan rakyat atasketidakadilan Pemda Kabupaten Muna dalam mengelola tanah dan sumberdayahutan jati

- Konflik di Kontu Kabupaten Muna tidak bisa dilepaskan dari agenda ekonomitersembunyi Pemkab Muna yaitu bisnis kayu jati yang dijalankan olehperusahaan-perusahaan besar dari luar daerah.

Konflik di Kontu hanya satu dari sekian banyak konflik agraria di Kabupaten Muna.Konflik-konflik yang lain akan segera muncul terkait dengan penguasaan wilayahkomunal/adat masyarakat Muna di wilayah yang berbeda.

Beberapa solusi yang ditawarkan dan diharapkan oleh masyarakat adalah:

- Revisi Kepmenhutbun No. 454/Kpts-II/1999- Dilakukannya proses inventarisasi dan penataan ulang kawasan hutan dengan

melibatkan secara penuh masyarakat lokal sebagai pemilik sumberdaya setempat

Page 33: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

11

3.1.2. Kasus di Jember (Kisah Tragis dari Lereng SelatanPegunungan Hyang Argopuro: Adakah kaitan SistemPenguasaan Lahan dengan Bencana Banjir Bandang?

Illegal logging dan perambahan hutan serta aktivitas masyarakat di dalam hutan dipegunungan Hyang Argopuro dituding banyak pihak sebagai penyebab terjadinyabanjir bandang pada akhir tahun 2005 di Jember. Namun demikian menurut temuandari Lembaga Studi Desa untuk Petani SD INPERS (LSDP SD INPERS), longsoranbanyak terjadi di areal yang dikonsesikan (HGU), antara lain di areal PERHUTANI.Temuan ini sejalan dengan pernyataan Kepala Bidang Pemantauan Sumber DayaAlam dan Lingkungan, LAPAN Dr. Orbita Roswintiarti yang dilansir harian Kompastanggal 7 Januari 2006, bahwa berdasarkan citra satelit pada daerah bencana banjirsemakin ke atas vegetasinya semakin tipis dan homogen. Bahkan ditengarai hanyatersisa semak belukar serta tanaman semusim yang tidak memiliki daya serap baikdan perakarannya kurang dalam.

Beberapa perusahaan pemegang konsesi telahlama beroperasi di pegunungan HyangArgopuro. Beroperasinya perusahaan-perusahaan ini belum secara signifikanmemberikan manfaat ekonomi kepadamasyarakat di sekitarnya, bahkan nampaknyatelah berdampak pada kerusakan lingkungan.Banyak kasus/konflik lahan terjadi antaramasyarakat dengan pihak-pihak lain(perusahaan/pemerintah daerah). Sementarapenebangan hutan makin marak dilakukanoleh berbagai pihak.

Muncul inisiatif masyarakat membentuk kelompok (Kelompok Tani Rengganis)untuk menjaga kelestarian hutan dan melakukan penghijuan kembali hutan yangtelah rusak. Kelompok tani ini pada tahun 2005 melakukan kerja sama denganPERHUTANI dan membentuk kerjasama dalam wadah LMDH (LembagaMasyarakat Desa Hutan).

Page 34: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

12

3.1.3. Pengalaman mendorong inisiatif resolusi konflikpengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakatdi Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau KabupatenMerangin Provinsi Jambi (Mengurai Konflik MenujuKeselarasan Pengeloaan Sumberdaya Hutan)

Sebagai masyarakat adat Guguk sudah sejak lama memiliki aturan yang mengaturhubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam di sekitarnya, sertahubungan antar manusia. Salah satunya adalah adanya aturan untukmendistribusikan tanah dan pengalokasian pemanfaatan lahan.

Pemberian ijin konsesi HPH kepada PT. Injapsin telah menimbulkan konflik sejaksekitar tahun 1980 - 1990, puncaknya terjadi pada tahun 1999 dimana warga yangsedang mengupulkan kayu untuk perbaikan rumah ditangkap dan diancam akandibunuh, sehingga hal ini memicu konflik, dan terjadi pembakaran Camp perusahaanoleh masyarakat. Persoalan mendasar dalam pengelolaan hutan di Guguk adalahPemerintah tidak percaya terhadap masyarakat padahal pengelolaan oleh masyarakatjauh lebih baik daripada konsesi HPH

Dengan didampingi oleh Komunitas KonservasiIndonesia (KKI) Warsi berbagai upaya dilakukan untukmenyelesaikan konfllik, antara lain:

• meyakinkan para pihak terutama pemda kabupatendan propinsi bahwa sudah saatnya penyelesaiankonflik dilakukan dengan melibatkan masyarakat

• melakukan negoisasi dengan perusahaan dimanadicapai kesepakatan bahwa perusahaan pemegangHPH secara adat dinyatakan bersalah, danperusahaan juga mengakuinya, serta dikenakandenda tertinggi (denda hukum bunuh)

• diakuinya peradilan adat sebagai upaya untukmengadili persoalan

• Pihak HPH (PT INJAPSIN) melepaskan 10 petakuntuk menjadi wilayah hutan adat.

• keluar rekognisi yang mengakui wilayah seluas 690 ha di bukit katangar sebagaiwilayah adat desa guguk (Okt 2003)

• Bupati membuat surat permohonan kepada Menteri untuk mengeluarkan wilayahtersebut dari wilayah konsesi

Page 35: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

13

• Perda JAMBI no 3 2006 tentang masyarakat adat datuk sinaro putih (di kabupatenBungo)

3.1.4 Peraturan Pemerintah (PP) No. 6/2007; Peluang danKendala dari Aspek Tenure Security

Tujuan penyusunan PP adalah sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilandan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan (luas dan sebaran),optimalisasi fungsi, meningkatkan daya dukung DAS, peningkatan kapasitas dankeberdayaan masyarakat, serta terjaminnya distribusi manfaat.

Dengan dikeluarkannya PP No. 6/2007, maka terdapat peluang-peluang antara lain:

- Ada yang mengatur kepastian pengelolaan hutan- Ada upaya besar pemberdayaan masyarakat melalui HTR, HKm, Hutan Desa,

dan Kemitraan- Perluasan jenis ijin pemanfaatan.

Beberapa kendala implementasi PP No. 6/2007 antara lain:

- Aturan pelaksanaan yang belum kelar (misal: Permenhut Hutan Desa masihdalam pembahasan)

- Kriteria dan standar akan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sekitar- Kawasan hutan yang clear & clean susah untuk didapatkan- Terkait dengan kemantapan kawasan hutan- Hubungan dengan Pemerintah Daerah- Kapasitas masyarakat yang tidak merata

3.2 Proses Diskusi

Satyawan (IPB)• Mendengar pemaparan dari 3 pengalaman masyarakat lokal dan ditutup

dengan pembahasan dari pemerintah mengenai konsep pengelolaan hutan,disini terlihat dengan sangat jelas adanya permasalahan yang belum selesai.

Pertanyaan & Komentar

Page 36: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

14

Seharusnya pembicara dari pemerintah menanggapi dari ketiga presentasipengalaman yang dilakukan oleh masyarakat lokal, tetapi itu tidak terjadi.Jadi kita dapatkan suatu pembicaraan yang tersekat, tidak cair danbersambung.

• departemen kehutanan masih berpegangan pada paradigma lama mengenaikawasan hutan yang tidak berubah, sementara masyarakat mengungkapdefinisi kawasan hutan diperdebatkan. Sebenarnya ingin kami dengarbagaimana reaksi dan tangapan dari DEPHUT mengenai permasalahan ini.

Pastor Ubin (Pemuka Agama Katholik, Pendamping Masyarakat Adat SuukLimbai Kab. Melawi, Kalimantan Barat)

• Ikut mendampingi beberapa kasus yang terjadi di masyarakat, kasus yanghangat saat ini adalah konflik masyarakat dengan Taman Nasional Bukit RayaBukit Baka, 2 orang ditangkap dan dipenjarakan, sampai saat ini masihditangani kejaksaan, kami sudah memohonkan penangguhan penahanantetapi tidak ditanggapi.

• Sedikitnya ada 4 kasus besar masyarakat berhadapan dengan pengusaha kayu.Masyarakat umumnya menolak pembabatan hutan diwilayah mereka olehpara pengusaha, antara lain dengan surat pernyataan penolakan. Contohterjadi di:1. kampung Ganjan: sampai sekarang kasusnya masih digantung oleh

kepolisian. Ada pemalsuan tanda tangan untuk pencairan dana fee 260juta rupiah. Tetapi menurut kepolisian tidak ada bukti kuat, padahal sudahdisampaikan salinan fotokopi tanda tangan yang dipalsukan.

2. kasus di Mintiban: Masyarakat masih menghadapi kasus denganperusahaan KSK. Intinya masyarakat menolak dengan alasan karenamerupakan satu-satunya tempat usaha masyarakat.

3. konflik masyarakat di Sungkup dengan pihak TN. Masyarakat mengklaimwilayah meraka sudah ada sebelum negara ini ada yang direbut denganperjuangan perebutan antar suku dayak limbai dengan dayak ngaju. Adabukti sejarah dengan adanya batu betanam sebagai tanda bahwa sukulimbai menguasai wilayah tersebut

• Dari kasus-kasus ini:- pengajuan penolakan oleh masyarakat tidak ada tanggapan dari

pemerintah baik dari tingkat kecamatan, kabupaten, propinsi, bahkansudah kirim surat ke Menteri, tetapi yang terjadi intimidasi danpenangkapan oleh aparat polisi

- dari penjelasan tentang PP 6/2007 kesimpulan sementara: masyarakat adattidak ada. Karena ada ungkapan bahwa apabila diberikan kepada

Page 37: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

15

masyarakat, masyarakat tidak siap, tidak siap dalam arti apa? padahalmasyarakat sudah ada di hutan selama ratusan tahun.

- adanya eksploitasi besar-besaran saat ini karena adanya pengusaha yanghanya melihat nilai jual kayu, padahal masyarakat sendiri tidak senangdengan adanya perusahaan yang mengeksploitasi kayu secara besar-besaran. Dan masyarakat dituduh sebagai pembalak liar

- PP ini merupakan penghakiman bahwa masyarakat tidak layak untukmengelola hutan.

- persyaratan yang ada di PP tentang pembentukan KPH dan ijinmenyulitkan masyarakat, dan berpotensi menghilangkan hak masyarakatatas hutan yang sudah dimiliki selama ratusan tahun.

• Menyangkut isu yang sedang panas saat ini mengenai pemanasan global,melihat dan mendengar melalui media ajakan Menteri kehutanan kepadamasyarakat untuk menanam berjuta-juta pohon, ini akan sia-sia kalau HPHtetap ada. Atau usulan saatnya pemerintah menanam, nanti masyarakat yangmenebang.

Indra Agustiani (Serikat Petani Pasundan (SPP) Garut)• SPP berdiri tahun 2000, awalnya gerakan reklaiming, yang memiliki tingkat

represif sangat tinggi. Tetapi saat ini fokus pada gerakan untuk upayapenataan wilayah, garapan, produksi walaupun ternyata penataan lebih beratdari proses reklaiming.

• sebelum PPAN, kawan-kawan sudah melakukan penataan dan ada desa yangbisa dijadikan contoh sebagai wilayah hutan yang pengelolaannya lebih bagusjika dibandingkan dengan perhutani. (Tanaman unggulan masyarakat berupajengkol). Tetapi ada intimidasi dengan adanya penangkapan yang dilakukanoleh pihak perhutani terhadap pemimpin kelompok tani.

• kedatangan Joyo Winoto (BPN) di desa Sari Mukti, setelah pulang, rumahKades Sari Mukti ditungguin oleh ADM dan ada ancaman-ancaman.Demikian juga di Tasik dan Ciamis juga terjadi hal serupa.

• PPAN tetap menjadi semangat untuk tetap melakukan apa yang merekalakukan saat ini karena itu merupakan hak mereka untuk melakukanpenggarapan .

• Disisi lain tidak yakin pemerintah dalam hal ini departemen kehutanan danperhutani mengalami perubahan pola pikir yang berpihak kepadamasyarakat. Perhutani memang mempunyai program PHBM namun dilapangan orientasinya adalah proyek dan seringkali mengalami kegagalan.Ketika penataan dilakukan oleh petani yang muncul adalah tindakan represif

Page 38: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

16

• SPP tidak hanya mengurus masalah tanah karena reforma agraria tidakhanya berbicara masalah tanah tetapi juga masalah kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh adalah pendidikan dan kesejahteraan.

• Menanggapai PP no. 6/2007 itu hanya diperuntukkan untuk di luar Jawa.Di Jawa peluang hutan desa tidak ada, yang disodorkan selalu PHBMmeskipun sudah tidak cocok untuk diimplementasikan

Rujito (KOSLATA, Mataram)• PP no 6/2007 sepintas potensial akan memberikan kesejahteraan dan

mengeliminasi persoalan-persoalan di desa. Tetapi PP 6 juga memiliki potensikonflik yang muncul antara lain:

adakah areal hutan yang sudah dicadangkan untuk HKM, HTR, HutanDesa? Ini akan menjadi persoalan sendiri, ketika di desa sudahmengajukan itu, ternyata di daerah belum bisa menyiapkan areal tersebutPP No. 6 berpotensi menyebabkan konflik antar desa terutama desa yangada di sekitar hutan dengan desa lainnya yang tidak di sekitar hutan,karena Hutan Desa akan menambah pendapatan desa.adakah antisipasi yang disiapkan untuk konflik yang mungkin muncul?

• Untuk masyarakat Muna: Perjuangan untuk diakuinya keberadaanmasyarakat kontu dalam mengelola wilayah hutan harus diteruskan, janganmengeluh. Pengalaman memperjuangkan hak ulayat LOMBOK Barat bagianUtara yang mirip dengan konflik di SULTRA, yaitu dengan:

Mengadakan dialog multipihak, untuk membicarakan kenapa kasusseperti ini muncul. Dan muncul berbagai pemikiran-pemikiran diantaranya sesuai dengan SE Menhut mengenai Pengakuan keberadaanmasyarakat adat yang perlu adanya penelitian. Untuk itu apakah diSULTRA sudah ada penelitian mengenai masyarakat adat, dan apakah 5kriteria yang ditentukan sudah dipenuhi oleh masyarakat di SULTRA?Perlu dilakukan pemetaan dan pengukuran untuk wilayah masyarakatkontu yang melibatkan pegiat LSM dan pihak-pihak lain termasuk jugaPemda. Karena untuk mengakui keberadaan masyarakat adat perlu adaPEMDA. Di lombok melibatkan dishut , BPN, Sekda untuk melihat apakahbenar di Lombok barat bagian utara masih ada masyarakat adatnya,wilayah hukum adat, hutan adatnya, serta masih adakah pranata adatnya.Kalau memang ada harus dirumuskan dalam naskah akademis yang akandipakai untuk meyakinkan Pemda. Alhamdulillah Raperda minggu lalusudah ada di Panmus DPRD.

Page 39: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

17

Ada tanggapan yang secara khusus untuk pak Made:1. Bapak Satyawan yang mempertanyakan paradigma DEPHUT dalam memandang

kawasan hutan karena dianggap masih paradigma lama yang menyebabkanbanyak masalah di lapangan

2. Pastor Ubin menilai PP 6 sangat mengabaikan masyarakat, karena tidak adakepercayaan terhadap masyarakat. Padahal masyarakat sudah ada sejak ratusantahun dan mampu membuat hutan menjadi lebih lestari, tiba-tiba harus ditelitidulu apakah mereka sanggup mengelola hutan

3. PP 6 tidak ditujukan untuk penyelesai konflik dan cenderung diperuntukkanuntuk wilayah luar jawa dan

4. PP 6 merupakan potensi konflik terutama antar desaSeperti telah disampaikan bahwa sesi ini bukan untuk menyelesaikan persoalan tetapiuntuk lebih banyak mengungkap persoalan yang terjadi.

I Made Subadia Gelgel (SAM Kehutanan Bidang Kelembagaan)• Tidak ada kata-kata dalam PP ini yang mengatakan tidak percaya kepada

masyarakat. Justru sejak awal pembentukan PP ini ada upaya-upaya agarPP ini menggambarkan keberpihakan kepada masyarakat (pro poor). Tetapipada prosesnya masyarakat kita sangat heterogen, sebagian masyarakat sudahsiap mengelola hutan (seperti di tempat Pak Ubin), tetapi di Kalimantan Baratbagian utara masyarakat sudah siap menjadi pedagang kayu. Di Sanggaumasyarakat sudah dipengaruhi oleh cukong yang melakukan kegiatan-kegiatan ilegal yang dulunya sangat-sangat peduli terhadap hutan. Kondisiseperti ini yang tidak bisa kita sama ratakan. Jadi dalam PP N0. 6 ini adavalidasi. Tetapi perlu diketahui terlebih dahulu kapasitas masyarakat untukmengelola hutan, agar hutan tetap lestari. Perlu ada upaya-upayapeningkatan kapasitas masyarakat agar masyarakat menjadi pengusaha yangbaik unggul, mengerti pasar, dan tidak mudah ditipu oleh cukong. Sehinggadalam PP no. 6 ada kalimat perlu peningkatan kapasitas masyarakat. Jadibukan dan tidak ada kata-kata bahwa masyarakat tidak dipercaya. Jadi janganada persepsi di antara kita bahwa pemerintah meniadakan masyarakat,pemerintah menanggap masyarakat orang yang tidak mengerti. Kearifanlokal masyarakat yang harus kita dorong. Banyak contoh di daerah perbatasanmasyarakat yang tadinya sangat arif terhadap lingkungannya sekarangmenjadi sangat konsumtif karena pengaruh cukong illegal logging.

Moderator (Iwan Nurdin/KPA)

Tanggapan

Page 40: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

18

• Kasus-kasus yang terjadi baik di TN maupun HPH, saya tidak sempatmendapat informasinya yang lengkap dari pak ubin apa kasusnya, tetapiapabila kita bicara soal yang umum terjadi, apabila petugas TN denganterpaksa melakukan penangkapan terhadap masyarakat tentu terjadi hal yangmenyalahi komitmen yang berkaitan dengan peraturan perundangan,misalnya masyarakat menebang kayu di kawasan hutan yang pohonnya tidakboleh ditebang, dengan alasan apapun. Ini tentunya menjadi persoalan karenakita bicara tentang hukum. Di areal konservasi masyarakat dilarangmelakukan penebangan kayu, apalagi kayu ditebang untuk dijual. Apabilaini terjadi mau tidak mau harus ada proses hukum yang akan diserahkankepada pengadilan. Pemerintah bekerja tentunya berdasarkan hukumtertulis. Terkait dengan apakah masyarakat boleh memanfaatkan kayu, didalam UU dan PP 6 masyarakat boleh menebang kayu dengan ijin Bupatisebanyak 20m3 sepanjang tidak untuk tujuan komersial, namanya ijinpemungutan hasil hutan kayu. Ini diatur agar tidak terjadi semua orangmerasa butuh dengan tujuan yang tidak jelas. Untuk itu tetap diperlukankontrol bersama. Di Kalimantan banyak terjadi, waktu pemerintah membukapeluang kepada Bupati untuk memberikan ijin HPH skala kecil 100 ha, tetapiyang terjadi adalah di semua daerah memberikan ijin tidak peduli apakahmemenuhi syarat atau tidak, kalau ada orang minta ijin diberilah ijin, sehinggadi Kaltim banyak orang yang menjadi kaya karena menikmati skema tersebut.

• Terkait HPH masih boleh menebang, sebenarnya kayu kalau dibiarkan berartitidak punya nilai, tetapi kalau dipungut akan punya nilai. Di kawasankonservasi pohon memang dibiarkan, tetapi di hutan produksi kita butuhuang untuk membangun. Kalau kayu dipungut akan ada kewajibanmenanam. Di dalam surat perintah ijin HPH ada kewajiban menanam. Didalam aturan juga ditetapkan syarat-syarat menebang, misalnya harusdisisakan pohon inti. Tetapi kenyataannya di lapangan tidak sesuai ketentuanadalah tugas kita bersama untuk mencermati.

• Menanggapi Indra: model hutan desa tidak masuk model di Jawa, karenahutan-hutan di Jawa yang dikelola Perhutani yang mengatur adalah PP No.30, sementara di luar itu di atur dalam PP no. 6, tetapi PP 30 ini sedangdiupayakan untuk dirubah. Dengan PP 30 Perhutani punya ijin dan hakuntuk mengatur dan mengelola hutannya. Pemerintah hanya mendorongagar keberpihakan kepada masyarakat lebih kental, maka muncul PHBM danPHBM plus. Apabila PHBM plus ini dirasakan belum baik maka mari kitapikirkan dan apa usul dari rekan Indra agar PHBM benar-benar dapatdilaksanakan dengan baik. Model PHBM adalah model kemitraan, Perhutanimempunyai ijin dan mengajak masyarakat untuk mengelola hutan bersama.

Page 41: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

19

Apabila pelaksanaanya di lapangan terkesan proyek ini adalah oknum.Kadang-kadang seseorang diberikan kewenangan seringkali menggunakansesuka hati.

• Sampai saat ini komitmen pemerintah untuk pengelolaan hutan di Jawaadalah berdasar pada PP No. 30, kehutanan secara keseluruhan UU No. 41/1999, dan UU No. 5/1990 tentang kawasan konservasi.

• Apabila komitmen memang perlu dirubah maka tidak tertutup kemungkinanuntuk dirubah. Tetapi jangan sampai sudah ada komitmen yang disepakatibersama namun dibilang tidak benar. Apabila ada kasus maka harusdiselesaikan, apakah dengan merubah undang-undangnya, atau melakukanterobosan-terobosan di daerah abu-abu sehingga tidak muncul konflik sepertiitu.

• Menanggapi Pak Rujito:• Semua langkah ada peluang konflik. Bagaimana kita memperkecil peluang

konflik untuk tujuan yang besar. Sekarang kita buka peluang adanya HutanDesa, dengan harapan masyarakat desa lebih sejahtera, tentu nanti timbulkecemburuan, timbul persoalan-persoalan baru. Yang perlu disampaikansaat ini permenhut Hutan Desa belum selesai karena masih belummenemukan model yang tepat. Hutan Desa nanti mungkin ada klasifikasinya.Bagaimana syarat desa dan hutannya apabila akan membangun hutan desadi hutan lindung dan juga hutan produksi? Bagaimana hubungan antaralembaga desa dan masyarakatnya? Karena kita tidak ingin lembaga desa yangmenerima manfaat sementara masyarakatnya tetap miskin. Hutan desa perluada syarat & kriteria desa yang akan diberikan ijin agar hutan tetap terjaga.Untuk Hutan adat aturannya masih belum selesai karena akan ada PP sendiriyaitu PP hutan adat. Selama BUPATI mengakui masyarakat adat, Hutan adatakan ada. Banyak Bupati yang telah berani mengeluarkan tetapi ada juga yangbelum.

• Menanggapi Pak Satyawan: Memang Paradigma mengenai kawasan hutanmasih mengacu pada UU 41, tetapi dalam pelaksanaanya tidak kaku, bahwakawasan hutan tidak boleh di-apa-apakan. Hutan boleh di-apa-apa-kan sesuaidengan syaratnya. Masing-masing fungsi hutan sudah ada peruntukanfungsinya. Hutan produksi untuk kayu dan jasa, hutan lindung untuk jasa,hutan konservasi lebih pada rekreasi dan perlindungan plasma nutfah. Iniyang menyebabkan terjadinya perlakuan yang berbeda. Jadi paradigma kitaadalah membangun untuk kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan danlestari. Pemerintah melakukannya dengan membagi fungsi hutan, sehinggakegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalamnya harus mengikuti kaidah-kaidah sesuai dengan fungsi hutan.

Page 42: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

20

Ibu Aisyah (Organisasi Rakyat Kontu)• Dalam masalah kontu, sudah diupayakan berbagai cara, namun sampai saat

ini masih belum selesai, antara lain ke Departemen Kehutanan dan DPRDkomisi IV.

• Ada surat Rekomendasi dari DKN, bahwa status Kontu masih Status Quo.• Dalam waktu dekat akan ada ancaman penggusuran, dipindah karena akan

ada pemilihan gubernur tanggal 2 Desember. Sekarang status masyarakatbelum jelas.

• Dengan didampingi teman-teman LSM, masyarakat Kontu sedangmengupayakan lobi ke Pihak kepolisian untuk tidak melakukan kekerasanterhadap warga kontu. Di kontu dalam penggusuran selalu menggunakanalat negara (aparat kepolisian) dan keberpihakan terhadap masyarakat masihminim.

• Dengan kondisi yang serba belum jelas, masyarakat Kontu tetap berupayabertahan karena memang itu lahan penghidupan mereka.

Rahmat Hidayat (KKI WARSI)• Saat ini kita mengambil beberapa pilihan hukum, untuk hutan adat

merupakan rekognisi Bupati dengan Raperda, kenapa kita pilih itu, karenakalau kita tidak tutup dulu ruangnya, perusahaan sawit sudah menungguuntuk masuk. Walaupun memang secara formal lebih sulit, karena harus keDPRD untuk menggoal-kan perda

• ada juga di Sumatera Barat, Kota Malintang kita sepakat tidak perlu ada perda,tidak perlu ada surat bupati, karena ketika peraturan Nagari diubah menjadiperda malah menjadi kontraproduktif. Jadi untuk Sumbar kita mendorongPernag (peraturan nagari) dan hukum-hukum adat.

• Di Kabupaten Bengkulu sedang mendorong hutan desa, tidak perlu perdaatau aturan yang lebih tinggi, karena hanya dengan adanya perdes merekasudah jalan. Sangat tergantung pilihan-pilihan hukumnya dengan melihatkondisi setempat.

• Di Jambi, rebut dulu arealnya, karena kalau tidak akan habis oleh perkebunansawit.

• Ada beberapa saran terkait dengan proses penyusunan Perda (PengakuanMasyarakat Adat dan Hutan Adat), antara lain:- Harus ada tekanan dari berbagai sisi. Dari sisi masyarakat harus didorong

untuk mengadvokasi dirinya sendiri, dari NGO membantu menyiapkandata, peta, dan juga menggunakan media. Pengalaman WARSImenggunakan media seperti Kompas, Gatra, dan RCTI, SCTV. Dengan

Page 43: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

21

demikian Bupati juga merasa tertekan. Di satu sisi hutan adat Guguk danhutan batu kerbau yang diangkat, maka BUPATI merasa tersanjung,dengan demikian akan lebih mudah untuk mencegah pengeluaran ijinperkebunan sawit (saat ini ada 3 ijin yang dibatalkan). Jadi advokasinyaharus multi-lini tetapi juga harus multi level.

• Pemkab Bungo sudah menulis surat kepada menteri, karena Perda sudahada, RTR kabupaten sudah ada, ruangnya sudah ada, harapannya ini akanmenjadikan pemerintah memberikan kawasannya untuk dikelola masyarakatadat secara formal

• Di jambi sudah ada sekitar 9 SK Bupati untuk hutan adat, dan 32 Perdes.Intinya kita tidak melihat status hukum tetapi lebih kepada kekuatan di tingkatlapangan.

Bambang Teguh (SD INPERS, Jember)• Setalah banjir bandang di Jember, semua pihak instansi yang memiliki

konsesi di wilayah selatan Hyang Argopuro tutup mulut, dan hari ini atasinisiatif bersama melakukan perbaikan lahan

• Di satu sisi ada fenomena yang menarik bahwa saat ini beberapa kelompoktani dibentuk dan dipelopori oleh Partai politik. Dengan mengatasnamakanmasyarakat tani, kelompok ini melakukan klaim-klaim lahan yang carakerjanya mirip dengan kawan-kawan Rengganis, Sekti dan NGO di Jember.Ini menjadi catatan kita bersama bahwa selama ini kerja-kerja yang telahdipelopori oleh kawan-kawan tani, di satu sisi juga ada kelompok yang kontrayang cara kerjanya sama persis dengan kerja-kerja kelompok tani.

Kesimpulan:Kawasan hutan kita penuh dengan konflik dengan masyarakat karena wilayah initerus diperebutkan penguasaan dan pengelolaannya, padahal regulasi masih jauhdari upaya memperuntukkan itu bagi masyarakat. Proses diskusi akan semakinmenarik nantinya karena akan membahas peluang reformasi agraria di kawasanhutan. Yang nantinya akan membuka perspektif kita bagaimana mengarahkanadanya akses masyarakat yang lebih luas terhadap sumber-sumber agraria.

Moderator

Page 44: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

22

Page 45: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

23

IV. PRESENTASI & DISKUSI SESI II

Sesi ke-2 dipandu oleh Ir. Martua Sirait, MSc., dengan menampilkan tiga pembicarayaitu Gunawan Sasmita MPA (Direktur Land Reform BPN-RI), Usep Setiawan(Sekjen KPA), dan Tri Chandra Aprianto (KARSA). Pada sesi ini dipresentasikankebijakan pemerintah mengenai reforma agraria (PPAN), relevansi PPAN dikawasan hutan, serta kerangka konseptual tentang pelaksanaan reforma agrariadalam pengelolaan hutan.

4.1. Presentasi4.1.1 Reforma Agraria

Prinsip pengelolaan pertanahan di Indonesia adalah bahwa pertanahan harusberkontribusi nyata untuk (1) meningkatkan kesejahteraan rakayat, (2) menatakehidupan bersama yang lebih berkeadilan, (3) mewujudkan keberlanjutan sistemkemasyarakatan, kebangsaaan dan kenegaraan Indonesia, dan (4) mewujudkankeharmonisan (terselesaikannya sengketa dan konflik pertanahan). Prinsip ini sejalandengan UUD 1945 pasal 33 ayat (3), pasal 27, pasal 28 ayat (2), dan UUPA.

Page 46: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

24

Dari prinsip tersebut kemudian diturunkan ke dalam 11 (sebelas) agenda prioritasBPN, dimana agenda ke-11 adalah mengembangkan dan memperbaharui politik,hukum, dan kebijakan pertanahan (Reforma Agraria). Dalam Pidato Presiden padatanggal 31 januari 2007 dinyatakan bahwa reforma agraria akan dimulai tahun 2007.

Sejarah reforma agraria dimulai dengan UU No. 13/1946 tentang penghapusan desa-desa perdikan (desa dengan hak istimewa seperti memungut pajak, bebas dari pajak),UU No. 1/1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir (tanah yang memilikihak pertuanan), UU No. 2/1960 tentang perjanjian bagi hasil untuk memperbaikitatanan yaitu untuk melindungi hak-hak petani yang dikuatkan dengan perjanjianagar tercapai pembagian hasil yang adil, dan UU 5/1960 yang disusun selam 14 tahuntentang Pokok-pokok agraria.

Definisi operasional Reforma agraria adalah penataan ulang sistem politik danhukum pertanahan berdasarkan prinsip-prinsip pasal-pasal dalam UUD 1945 danUUPA; serta proses penyelenggaraan land reform (LR) dan access reform (AR) secarabersama.

Tujuan reforma agraria ada tujuh, tetapi penyelesaian konflik pertanahan adalahpersoalan yang paling banyak disorot dan ditunggu oleh seluruh pihak.

Strategi dasar reforma agraria adalah (1) melakukan penataan atas konsentrasi asetdan atas tanah-tanah terlantar melalui penataan politik dan hukum pertanahanberdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan UUPA (2) mengalokasikan tanah yanglangsung dikuasasi oleh negara (obyek reforma agraria) untuk rakyat (subyekreforma agraria)

Model dasar pelaksanaan reforma agraria harus memperhatikan ketersediaan tanah,siapa subyek penerima manfaat, bagaimana mekanisme dan delivery systemnya,serta kelembagaan yang melaksanakan dan terkait dengan sumber pendanaan.

Mekanisme penyaluran tanah paling mudah dilakukan bagi penduduk miskin yangsudah berada pada obyek yang akan diberikan, sementara yang paling sulti dilakukanadalah apabila subyek penerima manfaat lokasinya jauh dengan tanah (obyek) yangakan diberikan. Model yang dikembangkan ada tiga yaitu (1) subyek (pendudukmiskin) sudah berada dan menggarap tanah yang akan diberikan (obyek) (2) subyekpenerima manfaat didekatkan pada obyek dengan tanpa paksaan/sukarela (3)mendekatkan tanah (obyek) ke penerima manfaat (penduduk miskin).

Mengenai kelembagaan direncanakan akan dibentuk Dewan Reforma Agraria diPusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota. Di pusat akan dipimpin langsung oleh Presidendengan pelaksana BPN, di Propinsi akan dipimpin oleh Gubernur yang pelaksanasehari-harinya adalah Kantor Wilayah BPN, demikian juga dengan di Kabupaten

Page 47: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

25

Kota. Yang sangat menarik saat ini sedang digarap lembaga pengelola reformaagraria nasional yang berbentuk badan layanan umum dibawah BPN yang salahsatu fungsinya adalah membiayai reforma agraria.

4.1.2 Relevansi PPAN di Kawasan HutanBeberapa hal yang disampaikan adalah:

• Realitas/kondisi agraria di Indonesia saat ini:- penuh ketimpangan penguasaan dan pemilikan- maraknya sengketa & konflik- degradasi kualitas lingkungan- tumpang tindih dan tarik menarik kepentingan sektoral

• Agenda pokok pembaruan Agraria dalam TAP MPR IX/2001:- Perlu dikaji ulang peraturan dan Perundang-undangan yang berkaitan

dengan Agraria- Penataan ulang struktur penguasaan tanah dan SDA lainnya- Penyelesaian konflik dan sengketa Agraria dan SDA Lainnya- Perlunya pemulihan ekosistem yang rusak

• PPAN merupakan agenda nasional dan momentum baru, nilai-nilai dan prinsipyang diusung sudah baik, tetapi tinggal menunggu bagaimana implementasinya

• PP 6/2007 dirasakan tidak klop dengan semangat reforma agraria dan seakanmenyalip rencana pemerintah mengeluarkan PP reforma agraria

• Kondisi sektor kehutanan merupakan cermin dari kondisi agraria di Indonesiasecara keseluruhan. Sebagian besar hutan kita dikuasai secara monopolistik. DiJawa oleh Perhutani, diluar Jawa oleh perusahaan swasta besar dan BUMN.

• Dalam catatan KPA konflik di sektor kehutanan menduduki urutan ketiga dalamtingkat paling banyak terjadi konflik setelah perkebunan dan pertambangan

• Konflik kehutanan terjadi karena terjadi penegasian hak masyarakat dalampenguasaan hutan, serta tertutupnya akses masyarakat untuk mengelola danmemanfaatkan hasil-hasil hutan

• Akibat dari penguasaan secara monopolistik:- Model ini dirasa tidak adil terutama bagi masyarakat di dalam dan sekitar

hutan- Lemahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan- Tidak terkendalinya degradasi dan kerusakan hutan

• Land reform tidak boleh mengecualikan diri pada sektor hutan

Page 48: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

26

• Tujuh tujuan reforma agraria harus seiring dengan reformasi di kawasan hutan

• Model reforma agraria di kawasan hutan harus dilakukan dengan mengikismonopolistik penguasaan hutan. Memberikan rasa keadilan bagi masyarakatdidalam dan sekitar hutan dengan membuka akses terhadap pemanfaatan hasil-hasil hutan. Mencegah arus eksploitasi hutan dengan memperketat izin barudan meninjau kembali izin yang sudah ada

• Peran strategis kehutanan dalam reforma agraria- sebagai sumberdaya fresh distribusi lahan- pembuka lapangan kerja- hutan sebagai pencapaian tujuan ekologis reforma agraria

4.1.3 Pembaruan Agraria di Kawasan HutanCatatan penting yang disampaikan adalah:• Ada satu paradigma di pemerintah yang menilai hutan hanya sebagai sumber

utama peningkatan devisa. Paradigma itu belum ditinggalkan oleh dephut daninstansi pemerintahan selama ini. Implikasinya seperti dapat kita saksikan terjadidi daerah-daerah (seperti yang disampaikan masyarakat Kontu, Jember, Marena).

• Penguatan organisasi rakyat untuk siap memanfaatkan aturan atau kebijakan yangakan dijalankan pemerintah

• Ada kekuatan antireform yang akan memanfaatkan peluang-peluang danmempengaruhi reforma agraria

• Masyarakat sipil perlu membuat institusi tata produksi sendiri yang tidakmembuat mereka tergantung pada pemerintah seperti yang muncul dalamPHBM. Selain tata produksi masyarakat juga perlu penguatan institusi tatakonsumsi.

• Ada upaya BPN membuat kader reforma agraria sampai di tingkat kabupaten.Pelatihan untuk kader itu akan dilakukan di Ungaran, Semarang. Bagaimana titiktemu antara petani yang mengusung reforma agraria dengan kader reformaagraria?

4.2. Proses Diskusi

Moderator

Point-point penting yang disampaikan oleh pembicara:

Page 49: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

27

• Pak gunawan mengingatkan kita dasar hukum UU no 2/1960 tentang bagi hasilyang menunjukkan bahwa issu reforma agraria diperlukan suatu perangkat yangmembatasi hubungan-hubungan yang bersifat eksploitatif di lapangan

• Usep melemparkan pentingnya suatu pendekatan ekopolulisme dan satuframework model reforma agraria di kawasan hutan.

• Chandra mengangkat paradigma yang berkaitan dalam tata konsumsi

Eko (Sayogyo Institute, Sains, Bogor)• Menyimak pemaparan dari masyarakat Kontu dan juga Jember masalah yang

dihadapi adalah sama, dan saya sepakat dengan yang dikemukakan Usepbahwa reforma agraria yang terpenting atau paling banyak di kehutanan

• Di Poso, desa Toyado:Ada masyarakat yang kehilangan lahan karena setelah mereka kembali padakawasan yang ditinggalkannya (selama 5 tahun) itu karena konflik masa lalu,dipatok-patok oleh dephut dan masyarakat dilarang untuk mengolahkebunnya. Ini sebagai satu kelemahan ketika pemerintah (dephut) bekerjatidak ada sosialisasi dan koordinasi dengan pemerintah desa dan masyarakatadat. Apakah bisa kita berjuang agar hukum yang digunakan di Indonesiatidak hanya hukum legal formal tetapi ada kearifan lokal yang harus diakuidan bisa menjadi salah satu solusi untuk menyelesaikan konflik agraria.

• Perlu diperhatikan langkah-langkah ke depan agar PPAN tidak sia-sia karenapada prinsipnya sudah bagus, ada masyarakat yang miskin dan ada hutanyang akan dibagi-bagi. Kekhawatiran adalah jangan sampai subyek penerimamanfaat salah, yang akhirnya masyarakat tidak mendapatkan apa-apa.

• Sejauh mana dewan reforma agraria yang akan dibentuk akan efektif, apakahtidak akan menambah panjang birokrasi? Bagaimana sinergisnya dengan BPNdan Pemerintah daerah?

• Di Poso ada transmigrasi spontan dari Bali. Oleh masyarakat adat Pamonadiijinkan untuk mengelola hutan dan BUPATI (sekitar tahun 1970-an) jugamengijinkan untuk mengelola hutan, namun karena konflik merekameninggalkan wilayah tersebut selama 5-6 tahun , dan setelah kembali lagi,ternyata mereka tidak bisa mengelola lahan yang mereka kelola sebelumnyakarena menurut Dinas kehutanan setempat merupakan hutan lindung.Kenapa ada kontradiksi kebijakan seperti itu?

Pertanyaan & Komentar

Page 50: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

28

Amos (Sumba)• Agar acaranya diperpanjang agar bisa mengidenfikasi persoalan dengan

cermat. Khawatir akan terjadi kesalahan identifikasi masalah.• Di TN di Marena ada proses yang melibatkan masyarakat untuk menetapkan

batas kawasan TN. Ada 600 ha lahan efektif yang sudah disepakati untukdikeluarkan dan dikelola oleh masyarakat, tetapi sampai saat ini masih belumbisa dikelola oleh masyarakat karena tahapan-tahapan pelepasan kawasanhutan masih belum jelas.

Yufik (SPP Garut)• Hubungan manusia dengan tanah tidak hanya persoalan struktural dan

kultural, tetapi juga persoalan teritorial• Masyarakat Kampung Laut di CILACAP yang berasal dari Nusa Kambangan,

yang mengungsi ke pulau-ulau kecil karena dijadikan Pulau Penjara olehBelanda. Segara anakan yang merupakan tempat mencari ikan, dan sekarangmenjadi daratan (karena adanya endapan), tanah tersebut diklaim olehPerhutani, dan mereka dipaksa untuk menaman kayu putih yang apabilaterendam akan menjadi racun, yang akan berdampak negatif pada tambakyang masyarakat kelola

• Tumpangtindih dan ketidak-jelasan hukum dalam pengaturan kehutanan

Gunawan Sasmita MPA (BPN-RI)• Soal kader reforma agraria saya belum tahu secara jelas karena saya belum

mendapat informasi itu dari atasan saya.• Menanggapi Pak Eko mengenail permasalahan di Poso: salah satu agenda

prioritas BPN adalah menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerahbencana alam dan daerah-daerah konflik, sepanjang masih dalam domainBPN. BPN tidak bisa berjalan sendiri, karena berkaitan dengan kepentingan-kepentingan lainnya

• Perlu diingatkan bahwa reforma agraria di kawasan hutan sesuasi dengantujuan reforma agraria harus menjaga, memperbaiki dan mempertahankantatanan lingkungan hidup.

• Di dalam UUPA secara umum telah diatur seluruh masalahn pertanahantermasuk di dalamnya masalah kehutanan. Banyaknya UU sektoral yanglahir setelah UUPA mengerdilkan UUPA seperti UU Kehutanan,Pertambangan dan Pengairan. Kemudian muncul konsensus baru yaitu TAP

Tanggapan

Page 51: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

29

MPR No. IX/2001 yang salah satunya mengamanatkan untukmengsinkronkan UU sumberdaya alam yang ada, namun pada kenyataannyasetelah TAP MPR tersebut lahir, muncul juga UU baru yang ”tidak konsisten”dengan UUPA.

• Dalam tataran implementasi BPN selalu berpegang pada aturan yangmemang domainnya BPN. Sebagai contoh pernah terjadi di Sumatera UtaraBPN melakukan redistribusi lahan (obyek land reform) tetapi kemudiandiklaim oleh Kehutanan dan akhirnya pihak BPN yang ditangkap. Obyekreforma agraria sesuai dengan UUPA yaitu antara lain tanah-tanah absenteedan tanah negara. Apabila kawasan hutan telah dilepaskan (berarti tanahnegara) maka itu merupakan domain BPN, tetapi apabila masih merupakankawasan hutan berarti harus clean and clear terlebih dahulu. Reforma agrariabertujuan untuk menyelesaikan persoalan tanpa menimbulkan masalah baru.Reforma agraria akan dilakukan secara bertahap dengan damai atau tidakada konflik di dalam.

• Dewan reforma agraria nasional yang akan dibentuk akan menjadi fungsipolitik dan koordinasi semua sektor untuk mengatasi berbagai persoalan.Di tingkat Nasional akan dipimpin oleh Presiden. BPN tidak bisa merambahmasuk ke dalam kawasan hutan sebelum kawasan hutan tersebut dilepaskanmenjadi tanah negara. Persoalan-persoalan seperti ini nantinya diharapkanakan bisa diselesaikan di tingkat Dewan Reforma Agraria.

• Ada 64 model yang sedang dikembangkan untuk melaksanakan reformaagraria. Mulai dari asset reform sampai access reform. 20-25% dari 64 modeladalah model untuk menyelesaikan sengketa dan konflik. Dan masih adakemungkinan ada model lain.

• Sebagai contoh salah satu model yang dapat dikembangkan adalahmendekatkan tanah ke penerima manfaat. Sebagai contoh sengketa dikawasan perkebunan (HGU), dimana masyarakat telah berpuluh-puluhtahun menggarap tanah di dalam kawasan perkebunan tersebut, artinyamasyarakat memiliki dasar klaim yang kuat (justified claim). Penyelesaianyang ditawarkan adalah pihak perkebunan diminta untuk melepaskan HGUdan diganti dengan tanah negara di lokasi lain (melalui proses penilaian).

• Mengenai tanah timbul yang diklaim pihak lain, maka sebaiknya diclearkanterlebih dahulu.

• Reforma agraria bukan sekedar bagi-bagi tanah atau bagi-bagi hutan, tetapilebih luas dari itu. Meskipun salah satu inti programnya adalah redistribusitanah. Reforma agraria adalah program besar sehingga seluruh instansipemerintah ikut di dalamnya, semua komponen harus berperan aktif.

Page 52: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

30

Sebagai contoh masyarakat petani akar rumput sangat diharapkan berperandalam identifikasi penerima manfaat dari program reforma agraria.

• BPN sedang mengembangkan pilot project sebagai model-model reformaagraria di beberapa propinsi. Sebagai contoh di Sulawesi Tenggara adaperusahaan perkebunan sawit yang tidak memiliki HGU tetapi secarakeseluruhan bermitra dengan masyarakat yang memiliki lahan tersebut yangdiatur dengan perjanjian. Ini merupakan salah satu contoh access reformsetelah asset reform-nya ada.

Usep Setiawan (KPA)• Pendekatan sosial kultural merupakan salah satu pendekatan yang bisa

digunakan untuk menyelesaikan sengketa agraria.• Pendekatan lain yang masih relevan adalah transitional justice yang merestitusi

hak-hak korban• Langkah-langkah strategis agar PPAN tidak sia-sia antara lain dengan

melakukan penguatan subjek reforma agraria (penerima manfaat) dapatdilakukan masyarakat dengan penguatan organisasi masyarakat yang harusdilandasi dengan pemahaman agar tanah yang akan didistribusikan tidakhabis dijual.

• Keberhasilan reforma agraria ditentukan oleh adanya kerjasama antarapemerintah pusat, pemda, dan masyarakat sebagai subjek reforma agraria(Masyarakat adat, Nelayan, Petani di pedesaan), serta dukungan politis daripemerintah daerah.

• Usulan taktis terutama untuk identifikasi obyek dan subyek reforma agraria :- objek tanah-tanah atau kawasan hutan yang selama ini menjadi tempat

tinggal dan sumber kehidupan meskipun sebagian sedang bersengketa.Karena salah satu tujuan reforma agraria adalah penyelesaian sengketamaka sudah seharusnya tanah-tanah yang bersengketa menjadi obyekutama reforma agraria

- Subjek prioritas utama reforma agraria semestinya adalah masyarakatmiskin yang tergusur dan terusir dari lahannya, kawasanya, karenamereka yang paling lama menunggu, menderita, dan paling besarharapannya terhadap Reforma agraria mampu menyelesaikan masalahmereka. Baru kemudian masyarakat miskin lainnya.

• Konflik yang terjadi di Poso tidak terlepas dari konflik agraria, sehinggapenanganan reforma agraria juga harus memperhatikan sosiologismasyarakat

Page 53: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

31

• Setuju reforma agraria dilakukan juga di TN dengan menggunakanpendekatan ekopopulisme penting dilakukan. Jangan sampai tumbuhan danhewan dilindungi dan dilestarikan, tetapi manusia yang berada didalamnyadiusir.

• Untuk klaim tanah timbul di Segara anakan, perlu adanya instrumen legalitas.

Tri Chandra Aprianto (KARSA)• Di Cilacap ada tumpang tindih antara Pemda Kabupaten Cilacap dan

Departemen Hukum dan HAM. Secara teritori merupakan wilayahadministrsi Kabupaten Cilacap, tetapi pengelolaannya dilakkan olehDephukum dan HAM (merupakan wilayah penjara) == Nusa Kambangan.

• Tumpang tindihnya aturan menjadi menjadi pro-kontra berjalannya reformaagraria. Seperti BPN menunggu hutan menjadi tanah negara dulu baru bisadiurus oleh BPN (land reform). Itu merupakan salah satu soal yang mendasar.

• Di TN di Marena, sudah terjadi Proses penataan ulang wilayah TN yangkemudian bisa duduk bersama pihak TN, dan membuat kesepekatan baruyang menarik

Martua Sirait:

• Sepertinya perlu kita buat rubrik khusus untuk tanya-jawab, karena sepertinyamasih banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terungkap dan perlu dijawab.Terutama dalam bidang PPAN akan banyak lagi hal-hal yang baru, yang bersifatfilosofis, prosedural, historis, yang mungkin perlu diperkaya dan perlu teruskita jawab

• Waktunya memang sangat terbatas, dan keterlibatan DEPHUT yang tidak terlalubanyak. Padalah kita inginkan mereka hadir dalam pemaparan untuk kita secarabebas berpikir, dan mendiskusikannya kemana kita akan membawa ini, dan tidakhanya mendiskusikan perbedaan kita yang memang kita benar berbeda, danakhirnya tidak menemukan solusinya.

Moderator

Page 54: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

32

Page 55: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

33

V. IDENTIFIKASI MASALAH & REKOMENDASI

Sesi ini difasilitasi oleh Koordinator Eksekutif WG-Tenure (Suwito). Pada sesiidentifikasi masalah yang terjadi di dalam pengelolaan hutan di Indonesia prosesdiskusi menggunakan metode curah pendapat (brainstorming). Masing-masingpeserta diberikan kesempatan untuk mengungkapkan cerita dari pengalaman ataugagasan yang ditawarkan dalam konteks identifikasi permasalahan tenurial dikawasan hutan. Fasilitator menuliskan hasil identifikasi permasalahan dalam kertasmetaplan yang ditempel pada papan flipchart, sehingga bisa terbaca oleh semuapeserta.

Setelah identifikasi permasalahan dirasakan cukup prosesnya, lalu fasilitatormeminta kepada peserta untuk berkelompok (masing-masing kelompok terdiri atas3-4 orang). Fasilitator memberikan panduan agar masing-masing kelompokmerumuskan rekomendasi atas permasalahan yang telah teridentifikasi sebelumnya.Tidak ada pembagian kelompok mana merumuskan rekomendasi untuk masalahyang mana, tetapi fasilitator memberikan kebebasan kepada peserta untukmengusulkan rekomendasinya. Sebelum diskusi dalam kelompok, peserta membuatkesepakatan bahwa rekomendasi yang dirumuskan ada 2 macam, yaitu rekomendasisecara umum dan rekomendasi yang ditujukan secara khusus atau dimandatkankepada WG-Tenure untuk menindaklanjutinya.

5.1. Identifikasi Masalah

Fasilitator:Sesi-sesi sebelumnya merupakan pengantar untuk memasuki sesi ke-3 ini. Sayamencoba memulai dengan hasil identifikasi saya dulu sebagai bahan diskusi(ditampilkan dalam metaplan). Nanti apabila ada identifikasi saya yang salah bisadibenarkan dan diklarifikasi, serta apabila ada masalah yang strategis dan belumteridentifikasi disini dapat diusulkan. Kemudian dari beberapa masalah yangstrategis ini kita nanti akan merekomendasikan kira-kira agenda atau kegiatanstrategis apa yang akan kita usung atau usulkan untuk mencari solusi daripermasalahan-permasalahan ini. Bisa jadi satu agenda strategis dapat memecahkanlebih dari satu masalah, jadi tidak harus selalu berurutan satu agenda strategis untuksatu masalah.

Page 56: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

34

Kita akan mulai dengan apa yang tadi disampaikan Pak Amos dari Flores tentangkekhawatiran akan kesalahan dalam mengidentifikasi masalah sehingga akanberakibat fatal terhadap solusi yang akan kita rekomendasikan.

Beberapa masalah yang teridentifikasi (sementara) yaitu:

• Kebijakan pengusiran masyarakat dari hutan sampai saat ini masih terjadi (Sepertiterjadi di Kontu)

• Penegasian hak-hak masyarakat atas kepemilikan/penguasaan hutan

• Akibatnya stigmatisasi masyarakat yang selalu negatif, masyaraat sebagaiperambah hutan, masyarakat sebagai penebang liar

• Kapasitas masyarakat yang tidak merata

• Sampai saat ini DEPHUT masih bertahan pada paradigma lama (UU 41/1999),atau bisa disebut sebenarnya ada apa dengan UU no. 41/1999?

• Praktek represif muncul lagi (kontu, rengganis, di garut, dan tempat lain)

• Kekhawatiran munculnya konflik horizontal, baik dari implementasi kebijakanyang ada (PP 6/2007 dan PPAN), maupun karena adanya gerakan politik anti-reforma agraria

• Monopoli pengusaan sebagian besar kawasan hutan

• Terjadi ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan hutan

• Sampai saat ini tahapan proses pelepasan hutan masih belum jelas Pengalamandari Sumba Barat meskipun telah melalui tahapan tata batas partsipatif.Pengalaman lain di Sukapura - Lampung barat, ada pemukiman, SDN, gedungKades masuk kedalam kawasan hutan Lindung, dan mereka disana karenaprogram pemerintah Biro Rekonstruksi Nasional Jaman Presiden Soekarno.Sampai saat ini masih berproses, sudah beberapa kali dibawa ke Dephut, dalamhal ini Baplan dan kebetulan Pemda Lam-Bar membentuk Tim Terpadu untukmenangani masalah Sukapura. Namun sampai saat ini belum ada hasil.

• Sharing dari Lombok Barat mengenai identifikasi keberadaan masyarakat adat.Hal ini masih menjadi pertentangan apakah perlu penelitian dan pengkajianmengenai masyarakat adat. Seperti di Papua masyarakat merasa tidakmemerlukan pengkajian dan penelitian untuk mengakui keberadaan masyarakatadatnya.

• Adanya degradasi kualitas lingkungan (rawan bencana)

Page 57: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

35

Sirajudin (AMAN Sulawesi Selatan)• Penetapan kawasan tanpa melibatkan masyarakat sekitar hutan• Wilayah adat Sando batu dimasukkan ke dalam kawasan hutan Lindung 1984-

1985• Puncaknya tahun 2006 ada penangkapan 2 petani.

FasilitatorUsulan pak Udin masuk ke dalam konflik vertikal (pemerintah pusat dan Pemda)

Paskalis (Mutis, NTT)• Penataan batas kawasan dilakukan secara sepihak atau dengan kata lain tidak

partisipatif sehingga menimbulkan konflik yang cukup serius• Konflik horizontal di dalam masyarakat terjadi karena adanya perbedaan

perlakuan dan partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan

Martua SiraitTata batas memang menjadi masalah, ketika belum lengkap proses tata batas, beritaacara belum ditanda tangani, tetapi seolah-olah kawasan itu sudah menjadi kawasanhutan tetap. Ini sebenarnya yang keliru pemahaman tentang hutan, hutan yang sudahditunjuk oleh pemerintah seolah-olah bisa semua dilakukan oleh DepartemenKehutanan. Tidak demikian sebenarnya, sesuai dengan UU Kehutanan Pasal 12 bab13 jelas bahwa pada hutan yang baru ditunjuk hanya bisa menentukan fungsinyatidak lebih dari itu. Bayangkan Dephut bisa mengusir orang hanya dengan menunjukhutan, ini merupakan kesewenang-wenangan. Kemudian bisa memberikan kepadapihak ketiga yaitu HPH. Ini belum jelas baru pada tahap perencanaan belum menjadihutan tetap, prosedurnya belum jelas. Jadi persoalan tata batas tidak hanya padaproses tata batas yang dilakukan dengan masyarakat tetapi kita harus konsentrasijuga pada apa yang boleh dilakukan oleh Dephut dan apa yang tidak boleh dilakukanpada wilayah hutan yang belum ditata batas secara temu gelang dan berita acaranyabelum ditanda tangani.

Rudjito (Koslata, NTB)• Beda persepsi soal tatabatas tidak hanya antara masyarakat dengan Dephut, tetapi

juga terjadi antara masyarakat dengan BPN tentang kawasan yang bukan hutan.• Perbedaan bentuk tanda batas yang oleh pemerintah biasa dengan menggunakan

patok/beton, tetapi bagi masyarakat tanda batas di lapangan bisa dalam bentuk

Page 58: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

36

lain seperti dengan kayu, batu, kali yang disebut sebagai (istilah adat) pengati-ati. Seringkali perbedaan ini memungkinkan terjadinya penegasian wilayah adatoleh pemerintah karena batas-batasnya yang dianggap tidak jelas (karena tidakberupa patok/beton)

FasilitatorAda penelitian ICRAF soal hubungan antara tanah hutan dengan hutan itu sendiri

Syamsudin (Masyarakat Adat Sando Batu, Sidrap)• Ada konflik 3 dimensi antara masyarakat, pertanahan dan kehutanan. Wilayah

adat yang diakui masyarakat Sando batu diakui oleh kehutanan sebagai hutanlindung dan Produksi, sementara BPN mencoba memfasilitasi MA untukmengakui wilayah dan hak adat ada disana. Tetapi ketika mencoba untukmempertemukan MA, kehutanan, dan BPN, salah satu dari pihak pemerintah(kehutanan dan BPN) tidak ada, sehingga konflik tidak akan pernah selesai.Komitmen dari Kehutanan dan BPN di daerah mutlak diperlukan untukpenyelesaian konflik.

• Ada persoalan yang tidak selesai antara kehutanan dengan pertanahan tentangstatus kawasan, sehingga hak masyarakat atas kawasan menjadi terabaikan

• Kalau kami miskin, tidak masalah, tapi kalau kami dimiskinkan itu menjadipersoalan

Razali (Masyarakat Desa Guguk, Jambi)• Ada pemecahan kawasan administrasi atas kawasan guguk menjadi kawasan yang

terbagi atas beberapa desa oleh pemerintah

FasilitatorNampaknya di Guguk terjadi segmentasi/pemecahan wilayah adat Marga Pembarapmenjadi desa-desa sehingga di dalam SK Bupati Merangin disebutkan Wilayah adatdesa Guguk.

Amos (NTT)• Masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan Taman Nasional

• Perlu membangun jaringan masyarakat sekitar kawasan taman nasional untukmelakukan upaya advokasi pengeluaran kawasan dari taman nasional

Page 59: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

37

FasilitatorAda 2 usulan kedepan :

• mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan penataan kawasan hutan

• membangun jaringan antar masyarakat agar lebih kuat

Ichwanto Buyung (WATALA, Lampung)• Kawasan hutan yang telah dilepas (dari areal HPK) kewenangannya diberikan

kepada pemerintah daerah untuk didistribusikan kepada masyarakat, kemudianditerbitkan Perda yang mengatur pendistribusian tanah tersebut dengan domainBPN. Karena tidak selesai maka diambil alih oleh pemerintah provinsi yangdikoordinasikan oleh dinas kehutanan (SK Gubernur)

• Sebagai dampak dari distribusi lahan tersebut, muncul persoalan di masyarakat.Menurut masyarakat adat, sertifikat adalah bencana, karena begitu ada sertifikat,begitu cepat mereka kehilangan tanah, karena sertifikat dapat dengan mudahuntuk dijual.

• Ada persoalan klaim pemimpin/tokoh adat (klaim seluas 1.000 ha) yangmenimbulkan konflik bagi masyarakat adatnya.

Fasilitator• Pengalaman di Bengkunat yang terjadi pelepasan kawasan dan ada perda yang

menyebutkan harus disertifikasi dengan biaya sekian, tapi mereka tidak maukarena tanpa mengeluarkan biayapun mereka sudah bisa memiliki sertifikat. Tapiakhirnya ada perusahaan yang mencoba untuk membantu membayai sertifikasi,dan kemudian menjualnya ke perusahaan tersebut.

• Sertifikasi lahan tidak selalu strategis untuk mengamankan kepemilikan lahan

Mardius (Masyarakat adat Suuk Limbai Kabupaten Melawi,Kalbar)• Pola cukong (sawit dan batubara) dilakukan dengan memperalat pemerintah desa,

apalagi pada masyarakat adat yang tunduk kepada pemerintah desa.• Terjadi pembungkaman terhadap para aparat desa oleh para cukong.

Fasilitator• Yang disampaikan Pak Mardius mungkin bisa dikelompokkan dalam tindakan

represif yang muncul kembali

Page 60: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

38

• Ada pengalaman masalah Sertifikasi lahan di papua, di persidangan yangmemiliki sertifikat kalah. Sehingga ada semboyan di masyarakat papua ”kaumemiliki sertifikat, kami memiliki tanah, maka kau bawa pulang itu sertifikat”.

Ferdi (Flores, NTT)• Kasus di Kabupaten Manggarai, persoalan yang muncul adalah penetapan tapal

batas tidak partisipatif sehingga pemukiman (sawah, rumah, sarana ibadah)menjadi kawasan hutan.

• Terjadi konflik fisik dan kekerasan terhadap masyarakat

FasilitatorIntinya mengenai persoalan tata batas, penunjukan dan penetapan kawasan, ada halmendasar mengenai proses mulai dari penunjukan sampai pengukuhan, dimanadalam prosedurnya tercantum dalam salah satu pasal disebutkan ada identifikasidan penyelesaian hak-hak pihak ketiga. Karena dalam UU 41 yang disebut hutannegara adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah. Yang tidak berfungsi saatini adalah identifikasi hak-hak masyarakat dan penyelesaian hak-hak pihak ketigaatas kawasan yang ditunjuk sebagai hutan negara.

Ariah (Masyarakat adat desa Sungkup Suuk Limbai KabupatenMelawi, Kalbar)Pihak taman nasional melakukan penataan batas sampai pada pemasangan patoktanpa melibatkan masyarakat sehingga masyarakat tidak tahu. Sementara masyarakatberladang, mengambil kayu di dalam kawasan ditangkap.

FasilitatorPengalaman dari Sumba, Flores, dan Kalimantan Barat tentang penunjukan TamanNasional tanpa melibatkan masyarakat di sekitarnya.

Ma’in (YPPR, Sulawesi Selatan)• Wilayah adat Sando Batu diklaim sebagai hutan lindung dan HPT. Tetapi,

ironisnya di kawasan itu terjadi illegal logging yang diduga berkoneksi denganpemerintah daerah. Sementara kalau masyarakat yang mencoba berladangdianggap sebagai perambah hutan.

• Sosialisasi kebijakan ke daerah masih sangat kurang, sehingga masyarakatketinggalan informasi. Disarankan kepada WG-Tenure agar dapat membantumensosialisasikan kebijakan yang ada kepada masyarakat di daerah.

Page 61: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

39

FasilitatorMasalah yang diungkap di Sando Batu mungkin bisa dikatagorikan ke masalahstigmatisasi masyarakat yang selalu negatif.

Nikson (Palu, Sulawesi Tengah)• Banyaknya persoalan yang mengemuka dari keberadaan taman nasional

menunjukkan bahwa taman nasional itu bukan kebutuhan masyarakat• Kami sudah membuat kesepakatan dengan TN Lore Lindu bahwa masing-masing

saling mengakui dan saling melindungi. Yang menjadi kekhawatiran adalahbagaimana kesepakatan yang sudah dibuat bersama antara masyarakat dengantaman nasional bisa kuat dan mengikat? Sebab di Kabupaten kami belum dibuatPerdanya.

• Taman nasional tidak secara serentak mengakui status kawasan hutan adat, adabeberapa kawasan yang belum diakui. Alasannya karena belum ada inisiatif darimasyarakat.

FasilitatorDikemukakan sebuah inisiatif yang baik yaitu kesepakatan antara masyarakat danTN tetapi masih ada kekhawatiran karena belum ada dukungan politiknya, sehinggadikhawatirkan kerjsama ini dapat dikalahkan oleh peraturan yang lain. Terkaitpengakuan masyarakat adat selama ini, peraturan yang ada mengatur bahwakeberadaan masyarakat adat diakui dengan perda, tetapi di Guguk belum diakuidengan Perda tetapi diakui dengan SK Bupati. Sama halnya dengan pengakuanmasyarakat adat Seko oleh SK Bupati. Sampai saat ini masih ada perdebatan apakahmemang harus Perda. Memang secara legal Perda lebih kuat dibandingkan denganSK Bupati.

Lukito (Lidah Tani Blora)Terkait dengan identifikasi masalah, ada beberapa masalah besar:

1. Faktor pengambil kebijakan2. Di tingkat peraturannya/kebijakannya tidak berpihak kepada masyarakat dan

saling tumpang tindih3. Di tingkat masyarakat sendiri terjadi konflik horizontal. Identifikasi sebaiknya

dikhususkan masing-masing di tingkat lapangan, di tingkat pemerintahan danperaturannya itu sendiri yang terkait dengan paradigma PPAN, dan kemudianbagiamana kemudian PPAN dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang ada.Sehingga rekomendasi seperti apa yang harus disampaikan?

Page 62: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

40

FasilitatorYang disampaikan nampaknya memperkuat apa yang telah disampaikansebelumnya. Kebijakan belum memihak kepada masyarakat, ada konflik horinsontal,pelaku itu pemerintah sediri mungkin dalam kalimat yang lebih luas masihmemegang paradigma lama.

Diyan (JKPM, Wonosobo)• Ada dua bentuk perda di Wonosobo: PHBM dan PSDHM, namun penangkapan

terhadap masyarakat masih terjadi. Sekarang ada PSDHL (merupakan MOUantara Perum Perhutani Unit I dengan Bupati Wonosobo), tetapi masih juga adapenangkapan terhadap petani.

• Belajar dari masalah ini, kita harus hati-hati, bagaimana tanggungjawabpenyelesaian masalah melalui instrumen kelembagaan misalkan PPAN

Indra Agustiani (SPP Garut)• Pembagian lahan 1.100ha di Sagara lewat sertifikasi individu kepada masyarakat

(776 KK) ternyata tidak menyelesaikan masalah, masyarakat tetap miskin.Kemudian muncul gagasan untuk melakukan sertifikasi komunal atau HGU yangdiberikan kepada organisasi tani masyarakat. Ketika hal ini diajukan kepada BPN,ternyata masih ada persoalan bahwa bentuk pengakuan hak negara ataspengelolaan rakyat masih belum jelas (bentuk konkret dari reforma agraria belumjelas).

• Persepsi BPN Pusat dengan Kanwil BPN di daerah dan Pemda masih belum samasoal PPAN, terkait dengan kebutuhan masing-masing daerah.

• Seberapa kuat posisi tawar dari BPN untuk melaksanakan reforma agrariakhususnya di kawasan hutan. Paradigma BPN Pusat dan daerah belum samaterkait dengan pandangan tentang organisasi petani maupun terhadap kawasanhutan.

• Terkait penataan batas, melalui persidangan atas penangkapan petani anggotaSPP, terungkap fakta bahwa pemetaan tata batas hanya pernah dilakukan padatahun 1931, setelah itu belum pernah dilakukan (menurut berita acara tata batasyang disampaikan oleh pihak Perhutani)

Fasilitator• Bentuk konkrit dari konsep reforma agraria masih belum jelas di tingkat lapangan

• Tidak sinergis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah

Page 63: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

41

• Persoalan tata batas memang sangat bervariasi. Diibaratkan seperti di Lampungada istilah patok nafas yang artinya sekuat nafas yang membawa patok di situpatok akan dipasang.

Martua Sirait• Tata batas dan enclave itu hampir sama masalahnya, dikurung dulu di dalam

kawasan kemudian akan dienclave tetapi tidak pernah terjadi enclave tersebut.WGT punya laboratorium tentang proyek-proyek yang sedang berjalan, baikPPAN maupun Kehutanan. Tawaran dari Dephut tentang HKm, Hutan Desa,Hutan Adat, HTR yang dapat menjawab permasalahan adalah HKm di hutanLindung yang kawasan hutannya jelas.

• Kasus di Bengkunat dan Sagara bisa menjadi laboratorium yang baik untukmelihat bagaimana PPAN nantinya.

• Masalah penetapan kawasan hutan (tata batas) jaman belanda, pada saat definisihutan saat itu yang berbeda dengan definisi hutan saat ini. Pada saat itu adalahsemua lahan termasuk tegalan kecuali sawah dan pemukiman. Saat ini adalahtanah yang tidak dibebani hak.

Fasilitator• Batas enclave yang dimaksud Pak Martua adalah batas dalam. Di luarnya kawasan

hutan, di dalamnya adalah kawasan pemukiman• Apakah ada masalah dengan definisi hutan?

Martua Sirait• Terkait dengan definisi hutan yang menjadi masalah adalah di dalam UU

Kehutanan dimana tidak ada strategi transisi dari jaman dulu (terkait peraturan)sampai saat ini, sehingga peraturan yang berlaku jaman dulu otomatis tetapberlaku sampai sekarang ini, terutama terjadi di Jawa.

• Hal yang disebut Pak Gun tapi tidak disebutkan oleh Pak Made:BPN memiliki beberapa konsep pemikiran dan mempersiapkan peraturan agartidak terjadi ketidakadilan di antara masyarakat itu sendiri dengan memasukkanundang-undang bagi hasil. Sementara kehutanan membuka diri kepadamasyarakat agar terlibat dalam pengelolaan hutan tetapi tidak pernah jelas siapamasyarakat yang dimaksud. Apakah orang miskin yang tidak memiliki lahansehingga diberikan akses atau kepada masyarakat siapa saja. Ini menunjukkanpendekatan-pendekatan yang dilakukan kehutanan yang sebenarnya tidak siapdengan masalah-masalah riil di lapangan, dan ini dikhawatirkan akan terjadinyahubungan-hubungan eksploitatif.

Page 64: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

42

Fasilitator• Tentang UU saya sederhanakan bahwa ”UU 41 masih bermasalah”

• Terkait dengan BPN dan Kehutanan pada saat ini subjek reforma agraria dikawasan hutan masih belum jelas.

Martua SiraitSaya lihat dari peraturan yang ada masih belum menjelaskan siapa subjek reformadi kawaasan hutan sementara di BPN sudah lengkap dan jelas.

Ronald Firdaus (ARUPA, Jogjakarta)• HKm di Yogya dilaksanakan di kawasan hutan produksi, jadi bukan di hutan

lindung.• Kaitannya dengan tanah, hutan, masyarakat, dan penguasa. Ada fenomena

menarik di Jogja dimana ada hutan yang dibangun masyarakat di hutan negarayaitu dengan HKm, kemudian ada hutan milik yang dibangun di tanahmasyarakat yang disebut hutan rakyat, dan ada juga hutan yang dibangun ditanah bukan hutan negara, tanah milik, tetapi seperti di tanah desa, tanah AB,tanah GG, dan tanah milik sultan. Korelasi menarik terjadi di hutan yangdibangun di tanah sultan, dimana sultan selaku pemilik tanah memberikan hakkepada masyarakat untuk mengelola tanpa dibebani kewajiban, ikatan, danmacam-macam peraturan. Sementara masyarakat yang mengelola tidakmenuntut kepemilikan, tanggung area, juga hubungan antara masyarakat denganpemerintah desa, kabupaten, dan provinsi tidak ada masalah terkait denganpengelolaan ini.

• Relasi yang baik antara masyarakat yang mengelola hutan dengan Sultan sebagaipemilik hutan ini mungkin bisa dicontoh untuk pengelolaan hutan di Indonesia,dimana penguasa tidak membebani peraturan dan kewajiban yang banyak,sementara masyarakat juga tidak menuntut kepemilikan, tetapi terciptapemanfaatan tanah dengan baik.

FasilitatorBagaimana relasi yang baik antara Sultan dengan masyarakatnya dapatdiimplementasikan di daerah lain. Sebenarnya sultan bukan person, tapi sistemkesultanan, kalau pilkada selama ini lebih ke person, bagaimana dalam pilkadamemilih person yang bisa menciptakan sistem mengayomi rakyat.

Dari berbagai masalah yang telah berhasil kita identifikasi, langkah selanjutnya adalahmerumuskan rekomendasi berdasarkan referensi hasil identifikasi. Bagaimana kitaakan mencari solusi agar Departemen Kehutanan tidak selamanya memakai

Page 65: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

43

paradigma lama, bagaimana ke depan agar UU 41/1999 tidak terus bermasalah. Salahsatu rekomendasi yang telah diberikan adalah memperkuat jaringan masyarakat disekitar hutan dengan tujuan untuk mengeliminir terjadinya konflik.

Martua SiraitRekomendasi ini untuk melakukan sesuatu, jadi akan diberikan kepada siapa?

FasilitatorKarena roundtable discussion ini adalah forum konsultasinya WG-Tenure makaapabila ada rekomendasi atau agenda strategis yang ditujukan khusus kepada WGTmohon dituliskan rekomendasi untuk WG-Tenure. Tetapi bila rekomendasi tersebutbersifat umum maka tidak perlu ditulis untuk WG-Tenure, namun cukup dituliskanapa yang direkomendasikan.

5.2 Rekomendasi/mandat kepada WG-Tenure:

• Mendorong terbentuknya Dewan reforma agraria (oleh Presiden) yang kredibledan mempunyai kewenangan yang tinggi sehingga kebijakan-kebijakan yangdiambil dapat menjadi acuan bagi pelaksana di lapangan.

• WGT diharapkan dapat menjadi anggota Dewan Reforma Agraria Nasional untukmenyampaikan aspirasi masyarakat

• Memfasilitasi upaya-upaya untuk mengubah paradigma PPAN

• Menfasilitasi/mendorong agar PPAN bisa berpihak dan mengakui kedaulatanmasyarakat adat

• Memfasilitasi dialog BPN-DEPHUT

• Memfasilitasi penyamaan persepsi lintas sektoral dalam rangka pembaruanagraria (Masyarakat – BPN – DEPHUT – LSM – PEMDA – Instansi tekait)

• Mendorong untuk mensinergikan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan BPN,DEPHUT dan Masyarakat

• Mendorong dephut membuat terobosan (tidak terpaku pada peraturan-peraturandalam menghadapi masalah-masalah lapangan) “Hukum yang Progresif”

• Memfasilitasi pertemuan multipihak sebagai upaya mencari sinergi dalampenyelesai konflik

• Menyusun model-model pemahaman konflik yang latent

• Menyusun model-model usaha penyelesaian konflik

Page 66: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

44

• Menyampaikan info/data dari lapangan ke tingkat pengambil kebijakan

• Memediasi kepentingan para pihak

• membangun pemahaman para pihak dalam pengelolaan kawasan hutan melaluidialog kritis secara berkala dari pusat sampai tingkat basis

• Menyediakan data-data tata batas kawasan hutan (BATB)

• Merumuskan perencanaan partisipatif pengelolaan kawasan hutan menjadibagian dalam MUSRENBANG (desa, kecamatan, dan daerah)

• Menyediakan forum/rubrik tanya jawab tentang issue tenure

• WGT perlu melibatkan NGO daerah untuk menjadi anggota WGT

• Bangun jaringan dan struktur WG-Tenure dari pusat hingga di tingkat basis/daerah yang mengalami sengketa

• Organisasi Masyarakat sipil dijadikan mitra strategis

• Kasus/konflik yang terjadi antara pihak TN Bukit Raya Bukit Baka dan masyarakatadat Suuk Limbai kab Melawi ditindaklanjuti di tingkat Pusat (DEPHUT), sertamelakukan mediasi antara MA dengan pihak TN/Kehutanan.

5.3. RekomendasiRekomendasi yang diberikan oleh peserta adalah sebagai berikut:

• Diperlukan persamaan persepsi antara BPN dan Dephut terhadap PPAN• Pendidikan Reforma agraria di kawasan hutan• Diperlukan sinergi antar sektor terkait dalam menyusun kebijakan, dalam hal

ini Departemen Kehutanan dan BPN• Untuk melakukan pembaharuan/perubahan perlu mengkaji ulang dan menata

kembali aturan-aturan dan kebijakan kehutanan, pertanahan, dan otonomi daerah; karena saat ini yang diterapkan adalah sistem ekonomi yang kapitalis monopoli,sehingga terjadi penguasaan tunggal atas SDA hutan oleh DEPHUT.

• Mendorong Dephut, Baplan, untuk melakukan peninjauan kembali tata bataskawasan hutan

• Pelaksanaan tata batas harus melibatkan masyarakat (partisipatif)• Adanya pengawasan tata batas kawasan hutan “lingkar batas”• Memperkuat jaringan antar masyarakat di sekitar kawasan• Mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan

Page 67: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

45

• Membangun pemahaman bersama yang mendalam tentang persoalan, metodedan strategi dalam menyelesaikan masalah (konflik)

• Meningkatkan kampanye tentang berbagai persoalan di basis dan merumuskanprogram rutin yang applicable di lapangan

• Masyarakat adat harus dilibatkan dalam dewan reforma agraria (BPN)

Dari hasil rekomendasi yang diberikan nampaknya perubahan UU No. 41/1999tentang kehutanan tidak ditujukan kepada WG-Tenure untuk melakukannya.Dalam roundtable discussion yang pertama dengan peserta dari pihak Pemerintah,mandat yang diberikan kepada WG-Tenure adalah belajar memfasilitasi kasus-kasus spesifik di lapangan, jangan lari dulu ke kebijakan yang tentunyamemerlukan waktu yang sangat panjang. Kepada kawan-kawan yang lainmungkin bisa menindaklanjuti rekomendasi strategis untuk perubahanUU 41/1999.

Page 68: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

46

Page 69: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

47

VI. REVIEW/CATATAN PENTING WG-TENURE

Review atau catatan penting WG-Tenure disampaikan oleh salah satu anggota WG-Tenure yaitu Prof. Dr. I. Nyoman Nurdjaja, SH, adalah sebagai berikut:

Fenomena kehutanan di Indonesia:• Kerusakan dan degradasi sumberdaya hutan• Marjinalisasi/pengabaian/penggusuran hak dan akses masyarakat atas

sumberdaya hutan• Konflik/sengketa tenurial dan akses• Kemiskinan ekonomi• Social and legal insecurity & uncertainty• Resistensi sosial & budaya

Sebab-sebab terjadinya kondisi kehutanan di Indonesia saat ini:• Hukum dan kebijakan pemerintah di tingkat normatif dan implementasi/

enforcement yang tidak pro rakyat dan ekologi• Pengabaian dimensi keadilan-demokrasi-berkelanjutan dalam pengelolaan

sumber daya hutan• Pengakuan hak masyarakat adat dalam perat. peruu bersifat semu• Hutan komunal/adat tidak menjadi entitas hukum (legal entity) yang setara

dengan hutan negara & hutan hak

Persepsi Pemerintah terhadap sumberdaya Hutan:• Kumpulan tegakan pohon kayu yang hanya bernilai ekonomi – bukan sistem

ekologi & sistem kehidupan• Empty forest – hutan tidak berpenghuni• Tegakan kayu untuk kegiatan ekstraktif• State revenue – rupiah/dollar untuk modal pembangunan nasional• Paradigma economic growth development yang berorientasi target/rate/angka,

dengan mengabaikan dimensi proses pembangunan• Orientasi eksploitasi bukan pengelolaan hutan• Kebijakan pembangunan yang sentralistik dan sektoral• Yang merusak hutan adalah masyarakat adat/peladang gilir balik• Pemerintah mampu mengelola hutan tanpa melibatkan masyarakat

Page 70: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

48

• Menutup ruang partisipasi publik, akses masyarakat, pengakuan pluralismehukum

Persepsi Masyarakat atas sumberdaya hutan:• Hutan sumber kehidupan - sistem ekologi• Hutan selain punya nilai ekonomi, sosio-kultural, juga spiritual• Dijaga dan diatur dengan norma hukum adat – lembaga peradilan adat• Kearifan lokal untuk menjaga lingkungannya bersumber dari religi masyarakat• Terbukti — hutan yang dikelola rakyat lebih terjaga/lestari

Tentang Masyarakat adat:• Sekelompok yang tinggal secara turun temurun, dan bergenerasi, dalam satu

wilayah yang secara kultural memiliki batas-batas yang jelas menurut konsepmereka

• Pemerintahan adat dan struktur pemerintahan adat• Norma-norma hukum dan lembaga peradilan adat• Religi dan tempat tertentu yang disakralkan• Desa adat bali – punya pasar adat, kuburan adat, dan pusat desa dengan pohon

beringin untuk ritual

Tentang Hukum Adat :• Tidak tertulis – kelemahan ?• Tidak dikenali oleh warga sendiri/pemerintah/BUMN/BUMS – dipahami tokoh-

tokoh adat saja• Perlu kegiatan identifikasi, inventarisasi, dituliskan dan dikomunikasikan ke

steakholders• Direspons dan diakomodasi dalam hukum negara dalam law making process

Tentang Hukum Negara:• Peraturan perundang-undangan• Lebih menjadi produk politik-ekonomi dari pada produk hukum• Pro kepentingan pemerintah dan pemodal (BUMN/BUMS) melalui pemberian

ijin-konsesi• Menutup ruang partisipasi publik dan transparansi• Menggusur hak-hak dan akses masyarakat

Page 71: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

49

• Mengabaikan kemajemukan hukum rakyat• Terjadi insinkronisasi/inkonsistensi• Conflict of norms• Overlapping• Contradiction• Ambiguity• Inconsistency• Perebutan kewenangan-pertarungan kepentingan antar lembaga (BPN/

DEPHUT/ESDM/kimpraswil/pemda)

Aksi ke depan yang harus dilakukan oleh Pemerintah adalah:• Reformasi agraria dimulai dari reformasi (hukum) peraturan perundang-

undangan :- Yang sektoral, inkonsistensi dan insinkronisasi – uu, pp, perpres, permen/

sek.men, perda-perda- Tidak pro rakyat dan ekologi

• Pengawalan law making process, implementasi, dan penegakan hukum

Aksi ke depan yang harus dilakukan oleh Masyarakat adalah:• Identifikasi, inventarisasi, dan penulisan norma-norma adat• Komunikasikan ke stakeholders• Mendorong respons dan akomodasi mulai dari law making process sampai

law enforcement• Meredam potensi konflik intern/antar masyarakat adat• Soliditas pengorganisasi masyarakat dalam memperjuangkan pengakuan dan

perlindungan hak dan akses – intern dan antar masyarakat adat yangberbatasan

• Aksi perjuangan dari luar dan dalam sistem birokrasi untuk mempengaruhikebijakan, law making, inplementasi dan law enforcement

• Hutan adat/komunal diakui sebagai entitas hukum yang setara dengan

Page 72: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

50

Page 73: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

51

VII. PENUTUPAN

Sambutan PenutupanOleh:: Direktur Eksekutif HuMa (Asep Yunan Firdaus)

Bapak Ibu Saudara sekalian,Assalamu’alaikum wr. wb.

Bagian yang paling terakhir adalah bagian yang membosankan sehingga saya akansingkat saja.

Kita tadi sudah melalui proses mulai dari pembahasan cerita-cerita yang dialamioleh masyarakat, kemudian materi-materi yang disampaikan oleh pihak pemerintahmaupun narasumber lain di luar pemerintah. Dan kita telah melakukan identifikasipersoalan dan merumuskan agenda strategi ke depan, serta catatan-catatan pentingyang disampaikan oleh Pak Nyoman, yang saya kira bisa menggambarkan semuaproses dari pagi sampai sore hari ini.

Tentu saja saya harus menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua hadirinyang ikut proses dari awal sampai akhir meskipun ada beberapa undangan yangtidak ikut pada saat perumusan masalah dan rekomendasi. Terutama masyarakatyang sudah hadir dari beberapa wilayah dari Kontu, dari Kalbar, dari Jambi, Jember,Wonosobo, dan lain-lain, terima kasih atas kontribusi pemikiran yang sangat baikdan produktif pada hari ini kita mendapatkan catatan-catatan penting.

HuMa dan WG-Tenure mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan partisipasinyadalam kegiatan ini.

Cukup sekian,

Wabillahitaufiq Walhidayah, Wassalamu’alaikum wr wb

Page 74: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

52

Page 75: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

53

LAMPIRAN

Page 76: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

54

Page 77: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

55

MAKALAH UTAMA

Page 78: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

56

Page 79: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

57

KISAH TRAGIS DARI LERENG SELATANPEGUNUNGAN HYANG ARGOPURO - JEMBERAdakah kaitan Sistem Penguasaan Lahan dengan Bencana Banjir Bandang?

Nukilan Cerita

Pergantian tahun 2005 ke 2006 adalah kenangan yang mengguratkan mimpi burukbagi masyarakat desa Panti, Suci, Kemiri, Glagahwero dan sekitar lereng selatanPegunungan Hyang Argopuro Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dua hari dua malamair bagai dituang deras dari langit, mengakibatkan lereng selatan Pegunungan HyangArgopuro longsor. Banjir bandang berbalut lumpur menerjang desa mereka adalahkenyataan pahit diawal tahun.

Lebih dari 70 orang menjadi korban serta puluhan lainnya sampai saat ini belumditemukan. Banjir bandang menyapu 400 rumah penduduk, lebih dari 17 km jalanrusak, 16 jembatan putus, 297,3 ha persawahan hancur dan instalasi air bersih lumpuh.Serta berbagai fasilitas umum dan pendidikan hancur, yaitu; pasar, 9 dam dan cekdamrusak, 3 sekolah serta 1 pondok pesantren. Kejadian ini seakan menegaskan bahwaIndonesia memang wilayah rawan bencana dengan berbagai kasus kerusakanlingkungan dan konflik pertanahan.

Beberapa pihak menuding penyebab utama banjir bandang adalah pertanian danperladangan rakyat. Dalam kasus banjir bandang di Kabupaten Jember, tudinganitu mengarah pada kegiatan rakyat di lereng selatan Pegunungan Hyang Argopuroyang membuka hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan rakyat (tetelan, pen).Namun saat pencarian data yang dilakukan oleh Lembaga Studi Desa untuk PetaniSD INPERS (LSDP SD INPERS) guna mengetahui penyebab banjir bandang tersebut,diperoleh fakta yang jauh menyimpang dan cukup telak membantah pernyataanresmi dari beberapa pihak.

Dari temuan data hasil investigasi Lembaga Studi Desa untuk Petani SD INPERS(LSDP SD INPERS) diperoleh fakta bahwa penyebab utama longsor plus banjirbandang adalah beralihnya fungsi hutan menjadi areal perkebunan yang dimilikioleh pemerintah, swasta, dan militer, bukan lahan milik rakyat. Hal ini terbukti dari

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 80: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

58

Perbukitan Gligir Sapi sebagai benteng alami pelindung banjir di kabupaten Jemberyang berada dibawah penguasaan PERHUTANI merupakan salah satu wilayah yangcukup rusak vegetasinya sehingga rawan longsor.

Temuan data ini sejalan dengan pernyataan LAPAN yang dilansir harian Kompastanggal 7 Januari 2006 melalui Kepala Bidang Pemantauan Sumber Daya Alam danLingkungan, Dr. Orbita Roswintiarti. Menurutnya, bahwa dari citra satelit padadaerah bencana banjir semakin ke atas vegetasinya semakin tipis dan homogen.Bahkan ditengarai hanya tersisa semak belukar serta tanaman semusim yang tidakmemiliki daya serap baik dan perakarannya kurang dalam.

Nampaknya bencana banjir bandang ini akan terus berlanjut jika tidak segeradilakukan tata guna lahan di wilayah rawan longsor tersebut. Seperti di PerbukitanGligir Sapi yang menjulang setinggi lebih dari 900 m dpl sampai saat ini kerap terjadilongsoran serta retakan tanah dengan intensitas tinggi. Sementara itu PerbukitanGligir Sapi merupakan awal dari DAS (Daerah Aliran Sungai) dua sungai besar yaitu:DAS Bedadung dan DAS Sumber Klopo. Setelah banjir tahun lalu, tanggul alamiyang membatasi dua sungai besar tersebut lebarnya tinggal + 1 meter. Jika bencanabanjir tahun lalu berakibat begitu luas sementara airnya hanya berasal dari satu DASBedadung, maka bisa diperkirakan bagaimana dampak bencana yang ditimbulkanbila tebing perbukitan Gligir Sapi longsor kemudian dua DAS Bedadung dan SumberKlopo itu menyatu.

Namun persoalan tata guna lahan di wilayah tersebut tidaklah mudah., bukan hanyapersoalan menata ulang fungsi lahan rawan bencana, tetapi juga sebuah persoalanlama antara rakyat di sekitar lereng selatan Pegunungan Hyang Argopuro denganpemilik konsesi. Masalahnya semenjak awal telah terjadi pencaplokan/okupasi lahansehingga terjadi ketidakseimbangan penguasaan lahan antara rakyat dan institusi-institusi tersebut. Hal ini semakin memperparah kondisi sosial ekonomi masyarakatsekitarnya. Mereka tidak memiliki lahan dan tidak mendapat akses apapun terhadaplahan tersebut, sehingga kemiskinan yang membelit masyarakat di sekitar lerengselatan Pegunungan Hyang Argopuro semakin terasa saja. Semestinya denganadanya berbagai perkebunan dan PERHUTANI, kesejahteraan masyarakat berubahmenjadi lebih baik. Tetapi pada kenyataannya sampai hari ini, dimana banyak pemilikHGU yang telah beroperasi selama 30 tahun lebih dan memiliki produksi andalandi pasar kopi internasional, tidak memberikan kelimpahan rezeki kepada masyarakatsekitarnya. Malah berkontribusi menimbulkan bencana banjir bandang yang begituhebat. Dapat dilihat dengan banyaknya titik longsoran dan korban jiwa justru beradadiwilayah perkebunan dan PERHUTANI.

Sedangkan di dusun Karang Baru, desa Silo, kecamatan Silo kabupaten Jembermemiliki cerita tersendiri tentang pencaplokan/okupasi yang dilakukan oleh

Page 81: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

59

PERHUTANI. Dusun Karang Baru adalah daerah baru bentukan Belanda tahun 1917.Belanda sengaja membuka hutan seluas 92 untuk perluasan dan pengamananwilayah. Namun pada tahun 1962 PERHUTANI secara sepihak mengambil alih hakatas tanah milik rakyat tersebut dan memaksa rakyat meninggalkan tanah mereka.Kemudian PERHUTANI menanami tanah rampasannya dengan mahoni dan jati.Keadaan ini berjalan selama kurang lebih 30 tahun tanpa ada perlawanan berarti.

Hikayat Tempat Kejadian

Kabupaten Jember merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur.Terletak hampir di ujung paling Timur dari kota propinsi, berjarak + 200 km danbisa ditempuh normal 4-5 jam perjalanan darat. Kabupaten Jember adalah sebuahlembah yang dikelilingi oleh Pegunungan Hyang Argopuro dan Gunung Raung.Kabupaten Jember memiliki luas 3.239,34 kilometer persegi yang terbagi dalam 31kecamatan. Batas Wilayah Kab Jember antara lain :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso- Sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lumajang

Ketinggian Kabupaten Jember dari permukaan laut (dpl) 89 meter dengan topografiberbukit-bukit. Jenis tanah adalah alluvial/loss atau tanah muda yang subur hasilaktivitas vulkanis. Sehingga, pertanian dan perkebunan menjadi andalan pendapatandaerah. Di lereng selatan Pegunungan Hyang Argopuro bisa disebutkan beberapacontoh pengelola (baca: penguasa) perkebunan, diantaranya, Perusahaan DaerahPerkebunan/PDP Kebun Ketajek I dan II luas 477,87 ha, Perusahaan DaerahPerkebunan/PDP Kebun Manggisan luas 1.839,1211 ha, PTPN XII Kebun Panti luas515,32 ha, PTPN XII Kebun Patemon dan Darungan luas 1.045,8960 ha. PTPN XIIKebun Klatakan, Selodakon, Darungan, Curah Kalong luas 544,3000 ha, PT.Perkebunan Jember Indonesia Kebun Widodaren luas 6.125,5106 ha, PT. DIANARGOPURO kebun Kalitengah luas 579,424 ha, PT.YUNAWATI KALIDUREN kebunKaliduren luas 1.587,0973 ha, NV.CULT.MIJ.TOEGOESARI kebun Tugusari luas345,303 ha, KALIDUREN ESTATE luas 1.092, 2734 ha, institusi militer PUSKOPADA DAM V/BRAWIJAYA kebun Sentool luas 537,473 ha.

Kabupaten Jember memang memiliki tanah yang subur, tetapi anugerah ini pulamembuat banyak kasus pertanahan terjadi, misal; Jenggawah, Curahnongko,Mandigu, Ketajek, Sukorejo, Nogosari, Karang Baru dan lain-lain. Kasus-kasus yangterjadi sampai hari ini masih belum banyak ditemukan jalan keluarnya. Kasus

Page 82: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

60

sengketa tanah yang diangkat di sini adalah; Pertama, kasus tanah Ketajek yangterhampar di ketinggian + 1000 m (dpl) lereng selatan Pegunungan Hyang Argopuro,berada tepat di atas Desa Pakis dan Desa Suci Kecamatan Panti, dari pusat kota Jemberke arah Utara + 25 km kemudian terus naik. Kedua, kasus tanah di wilayah DusunKarang Baru Desa Silo Kecamatan Silo, dari pusat Kota Jember ke arah Timur + 30km. Sedangkan konflik lainnya adalah konflik pengelolaan sumber daya alam diLereng Selatan Pegunungan Hyang Argopuro.

Kasus tanah Ketajek terjadi di lereng selatan Pegunungan Hyang Argopuro.Perkebunan Ketajek berada di bawah penguasaan Perusahaan Daerah Perkebunan(PDP) Kabupaten Jember. Perkebunan kopi ini seluas 477 ha seperti tertuang dalamSK Menteri Dalam Negeri No.12/HGU/DA/1974 dan sertifikat HGU No.3 Tahun1973. Sementara dari hasil pengukuran warga saat melakukan reklaiming tahun 1999diketahui luas tanah 1.188 ha.

Sedangkan kasus tanah dusun Karang Baru Desa Silo Kecamatan Silo terjadi dikawasan hutan produksi, PERHUTANI. Sejak tahun 1998 setelah terjadi penebanganhutan secara masif kemudian oleh masyarakat dijadikan perkampungan dan lahanpertanian. Luas tanah yang menjadi sumber konflik seluas 92 ha.

Sementara konflik pengelolaan sumber daya alam terjadi di kawasan hutan produksiyang berada di dalam penguasaan PERHUTANI, di wilayah Lereng Selatan HyangArgopuro. Sebagian kawasan hutan produksi tersebut juga berada dalam satukawasan lindung yang telah ditetapkan sebagai suaka marga satwa dengan luaskeseluruhan 14.177 ha dan ketetapan surat Menteri Pertanian dan Agraria nomor :SK/12/PA/1962 tanggal 5 Mei 1962.

Kasus tanah Ketajek dan Kasus Pengelolaan Sumber Daya Alam, secara administrasimeliputi wilayah Desa Badean, Pakis, Suci, Kemiri Kecamatan Panti . Secara sosio-kultural yang berkasus adalah masyarakat setempat/lokal, bersuku Madura, dansudah turun-temurun tinggal di desa tersebut. Mata pencaharian mereka selama inisebagai buruh tani, buruh migran, dan petani. Sedangkan masyarakat di DusunKarang baru Desa silo Kecamatan Silo adalah masyarakat dari suku Madura yangberasal dari daerah lain (Silo, Pace, Sumber Jati, Garahan dan Karang Harjo)kemudian dipindahkan ke dusun tersebut sejak jaman Belanda tahun 1917. Matapencaharian mereka selama ini yaitu sebagai buruh tani, buruh migran, dan petani.

Jejak Para Pemain

Alih fungsi lahan selama ini selalu menimbulkan sengketa dan konflik, sebabdilakukan dengan cara-cara pencaplokan/okupasi, serta melibatkan banyak pihak.Keterlibatan para pihak ini terkait dengan konflik antara institusi/penerima konsesi

Page 83: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

61

dengan masyarakat setempat, serta pihak-pihak lain baik secara individu maupunlembaga secara tidak langsung berperan dalam konflik. Dalam konflik pengelolansumber daya alam di Desa Pakis dan Suci Kecamatan Panti, para pihak yangberkonflik yaitu antara masyarakat sekitar kawasan hutan lindung dengan pihakPERHUTANI. Serta masyarakat sekitar kawasan perkebunan dengan institusipemerintah kabupaten Jember (= Perusahaan Daerah Perkebunan/PDP kebunKetajek), Sedangkan dalam sengketa tanah di Dusun Karang Baru Desa SiloKecamatan Silo, para pihak yang berkonflik yaitu antara masyarakat sekitar kawasanhutan produksi dengan PERHUTANI.

Cerita sedih yang masih berlanjut

Sejarah tanah Ketajek diawali saat NV.LMODTD (Landbouw Mij Out Djember teDeventer) membuka tutupan hutan di lembah tersebut dan membikin perkebunan.Tetapi pada tahun 1930-an, NV.LMODTD meninggalkan tanah tersebut danmenelantarkannya. Adapun tanah yang kemudian disebut kebun Ketajek inisebenarnya terdiri dari dua bagian. Pertama merupakan lahan konsesi NV.LMODTDseluas 478 ha dan kedua, hasil pembabatan sendiri oleh warga seluas 710 ha.Tahun 1942 atas persetujuan perusahaan, warga membabat kembali bagian yang telahmenghutan tersebut. Pembukaan ini tidak saja pada bagian yang menghutan, tetapijuga merambah di wilayah sekitar konsesi. Tujuh tahun kemudian tanah dan kebunKetajek ganti pengelola. Melalui pengelola baru, masyarakat sekitar, terutama wargaDesa Pakis dan Suci, diberi bantuan keuangan guna membuka areal hutan.

Kedamaian ini berlangsung selama + 20 tahun apalagi tanah tersebut telah disahkanoleh pemerintah melalui bermacam surat pengakuan, misal surat pajak/petok Dtahun 1952. Tahun 1972 badai melanda masyarakat Ketajek. Perusahaan DaerahPerkebunan (PDP) Jember mendatangi perangkat desa dan mengundang seluruhwarga untuk mengambil tanah kebun Ketajek. Pengambilan paksa ini mewujud padatahun 1973, dimana PDP memulai sendiri taksasi kopi (menghitung produksi, pen)milik warga. Sejak saat itu bermacam teror dan intimidasi dari pihak PDP seperti,penyiksaan dan penahanan dialami warga.

Puncaknya ialah tragedi ”Rabu Hitam” tanggal 21 April 1999 saat warga melakukanreklaiming selama 8 bulan, dari pihak PDP dibantu POLRES Jember melakukanpengusiran, penganiayaan serta penembakan. Akibatnya seorang warga Ketajek matitertembak, 11 orang lainnya luka-luka. Dimana 6 orang diantaranya terluka parahdalam insiden tersebut. Dampak dari insiden tersebut adalah ditangkapnya 98 orangdan dikenakan berbagai macam tuduhan rekayasa. Sampai saat ini masyarakat tanahKetajek, masih dalam kemiskinan dan seringkali mendapat teror dan intimidasi daripihak PDP.

Page 84: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

62

Sejak runtuhnya rezim Soeharto 1998, demam pembabatan hutan berlangsung tanpahalangan, termasuk dikawasan pegunungan Hyang Argopuro. Kejadian ini jugamenimpa hutan lereng Selatan Hyang Argopuro. Kawasan hutan yang memilikiplasma nuftah berlimpah ini dari hari ke hari kian rusak. Ditengarai aksi perambahandan perusakan ini juga diikuti oleh oknum-oknum PERHUTANI, kepolisian maupunlembaga yang berkepentingan dengan hutan.

Menyadari keadaan tersebut, warga berinisiatif membentuk kelompok yang bertekadmenjaga kelestarian hutan. Langkah yang ditempuh adalah menghijaukan kembalihutan yang rusak tersebut dalam satu wadah organisasi petani hutan. Kemudianberdirilah Kelompok Tani (KT) RENGGANIS dengan misi mewujudkan kelestarianhutan dan membentuk rimba sebagai hutan yang berdampak sosial. Denganmenggarap tetelan, masyarakat sekitar hutan lereng Selatan Hyang Argopuroberharap bisa mengurangi kemiskinan yang telah membelit. Sementara penguasaanlahan oleh PERHUTANI tidak memberikan pengaruh terhadap ekonomi masyarakatsekitar hutan. Kemudian kelompok tani RENGGANIS sejak 2005 melakukan kerjasama dengan PERHUTANI dan membentuk kerjasama dalam wadah LMDH(Lembaga Masyarakat Desa Hutan). Menurut pengurus RENGGANIS, keputusanmembentuk LMDH adalah langkah taktis strategis menanggulangi kemiskinansekaligus ikut melestarikan hutan. Disebut taktis strategis sebab dalam prakteknya,RENGGANIS tidak hanya ikut pola pikir PERHUTANI lewat sistim LMDH/PHBM.RENGGANIS memiliki konsep pengelolaan hutan sendiri yaitu hutan sebagai rimbasosial. Konsep hutan sosial dalam pandangan RENGGANIS merupakan cara yangtepat dalam mengurangi kemiskinan dan sekaligus melestarikan hutan. Karenakonsep ini tumbuh dari kesadaran masyarakat sendiri bukan dipaksa dari atas.

Sistim hutan sosial berarti, tegakan yang ada bukan hanya kayu tahunan tetapi jugatanaman buah-buahan berkayu keras (durian, nangka, rambutan dan lain-lain) atautanaman perkebunan (kopi dan lain-lain). Dimana masyarakat dapat memperolehhasil sekaligus menjaga kelestarian hutan karena tanaman itu mampu menyerapserta menahan air. Dengan kata lain, masyarakat bisa menjadi ’petugas’ secara taklangsung. Sementara untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, mereka bisamendapat hasil dari tanaman-tanaman semusim ini yang menjadi tanaman sela.

Menurut pengakuan pengurus RENGGANIS kemudian, kondisi terakhir keadaanhutan yang dikerjakan dan diawasi oleh anggota RENGGANIS cukup terawat baikvegetasinya. Pencurian kayu menurun tajam dan kerusakan lahan makin jarangterjadi. Ini bisa menjadi bukti, bahwa sistim hutan sosial menjawab permasalahanantara masyarakat dengan PERHUTANI. Tetapi laiknya pembaharuan makatantangan serta hambatan juga menghadang kawan-kawan RENGGANIS gunamewujudkan rimba sosial, tantangan hari ini adalah banyaknya campur tanganbermacam pihak yang mengatasnamakan rakyat tetapi dalam kerjanya malah kontra

Page 85: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

63

produktif dengan RENGGANIS. Rakyat hanya di mobilisasi untuk mengabaikanupaya-upaya perbaikan hutan yang di pelopori RENGGANIS. Hal ini nampakdilapangan dengan banyaknya tanaman semusim. Bila hal ini tetap dilakukan makaakan mempermudah terjadinya longsor saat musim hujan apabila tidak adanyategakan (pohon) yang menaungi. Dengan kenyataan seperti itu, terbukti hanyakepentingan sesaat yang mendasari berbagai tindakan dilapangan bukan satupandangan yang visioner.

Sebagai kelompok petani yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kelestarianhutan, RENGGANIS bersama SEKTI (Serikat Tani Independen) dan FK LMDH(Forum Komunikasi Lembaga Masyarakat Desa Hutan) se-Jember, secara aktifmelakukan sosialisasi pentingnya kelestarian hutan di berbagai wilayah di Jember.Selain sosialisasi, RENGGANIS juga aktif mengikuti berbagai pertemuan, seminar,diskusi serta kerjasama berbagai pihak yang memiliki kepedulian tinggi terhadapkelestarian hutan.

Merunut sejarah, Dusun Karang Baru adalah daerah baru bentukan Belanda tahun1917. Belanda sengaja membuka hutan seluas 92 ha, untuk perluasan sertapengamanan wilayah. Belanda pada waktu itu segera memerintahkan kepada camatMayang, mantri polisi dan petinggi (kepala desa, pen) desa Silo untuk mencarikanorang-orang yang mau menggarap lahan tersebut. Maka sebanyak 80 orang daridesa sekitar kemudian ditempatkan pada lahan baru tersebut. Selanjutnya, tiap orangpenggarap mendapat jatah 1 hektar. Dimana pembagiannya, ¼ tanah adalahpekarangan dan ¾ tanah merupakan persawahan (tegalan). Selain itu juga disebutkanadanya pembangunan fasilitas umum seperti masjid, lapangan, dan fasilitaspendidikan. Dalam surat perjanjian ini juga ditetapkan, bahwa status tanah adalahhak milik. 80 orang keturunan tersebut bisa terus memiliki. Perjanjian ini terjadisekitar tahun 1942 dan dipimpin langsung oleh kepala desa waktu itu, P.Atun. Setelahpembagian dan perjanjian tersebut, masyarakat mengelola lahan itu tanpa halangan.

Tetapi pada tahun 1962 PERHUTANI dengan bantuan perangkat desa beserta aparatkepolisian mendatangi serta memaksa warga menanam jati dan lamtoro.PERHUTANI secara sepihak mencaplok lahan tersebut dan memaksa wargameninggalkan tanah mereka. Kemudian PERHUTANI dengan ancaman memaksawarga menanam bibit jati dan lamtoro dilahan mereka. Warga pun melawan tindakanini dengan mencabuti kembali bibit tersebut pada malam hari. Tindakan represiftersebut tidak hanya berbentuk ancaman, tetapi juga pengadilan dan penjara sebagaitindakan nyata guna meredam perlawanan warga. Penolakan warga berakibat padaditahannya 105 orang, bahkan terdapat seorang warga dibacok oleh sinderPERHUTANI. Mereka yang ditangkap dikenai tuduhan melakukan perlawananterhadap aparat.

Page 86: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

64

Kondisi terakhir dari konflik Karang Baru Silo adalah PERHUTANI yang tidak maumengakui bahwa mereka menduduki secara paksa lahan petani. PERHUTANI tetapberanggapan, masyarakatlah yang menyerobot/mengambil tanah milik negara.Sampai saat ini pun keberadaan masyarakat di Dusun Karang Baru tidak pernahmendapat pengakuan secara administratif dari pihak pemerintah Kabupaten Jember.

Resolusi

Langkah perlawanan reaktif dan sporadis yang dilakukan masyarakat dalammenghadapi konflik pertanahan, telah membawa dampak traumatis serta tidakberanjaknya perubahan/penyelesaian soal kemiskinan. Peristiwa-peristiwa tragisyang terjadi selama ini akibat perlawanan terhadap penyelesaian konflik telahmenjadi pelajaran penting bahwa upaya tersebut tidaklah cukup efektif dan sangatsulit untuk mencapai penyelesaian. Begitupun langkah-langkah yang pernahdilakukan mulai unjuk rasa, reklaiming, mediasi, dialog, hingga melakukan lobidengan berbagai pihak yang terkait penyelesaian kasus sangat sulit dan berbelit-belit meski tidak selalu gagal, namun sangatlah jauh dari capaian penyelesaian sepertiyang diharapkan. Ada tiga hal yang paling penting dan strategis dalam upayapencapaian penyelesaian konflik ini, yaitu:

a. Data BaseWilayah kawasan hutan lindung maupun produksi sampai hari ini tidak memilikiinformasi pengelolaan yang layak. Kesimpangsiuran penyebab banjir pada Januari2006 menunjukkan bahwa tidak ada informasi yang cukup tentang kondisi terakhir.Baik informasi spasial, informasi potensi dan hambatan. Kemudian informasi tentangtata guna lahan maupun informasi penguasaan. Lemahnya informasi tentangkawasan hutan lindung maupun produksi ini menyebabkan kesalahan kebijakanpengelolaan.

Sektoralisme pengelolaan kawasan hutan lindung maupun produksi adalah bagiandari kesalahan kebijakan tersebut. Tidak terkontrolnya pemanfaatan kawasan hutanlindung maupun produksi. Hal ini kemudian berpuncak pada parahnya kerusakansumberdaya alam, adalah bukti tidak tepatnya pengelolaan kawasan hutan lindungmaupun produksi selama ini.

b. Partisipasi MasyarakatMenjadikan pengelolaan kawasan hutan lindung maupun produksi menjadi lebihbaik adalah kewajiban semua pihak, khususnya masyarakat di sekitar kawasantersebut. Pengelolaan kawasan hutan lindung maupun produksi yang baik adalahtidak sekedar menghutankan kembali atau ”menghijaukan” kawasan hutan lindungmaupun produksi. Pengelolaan kawasan hutan lindung maupun produksi yang baik

Page 87: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

65

adalah menyeimbangkan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan fungsilindung/ konservasi; serta juga dengan tetap memanfaatkan kawasan hutan lindungmaupun produksi untuk kegiatan pertanian kerakyatan yang berkelanjutan.

Pengelolaan kawasan lindung maupun produksi yang baik akan menjaminkesejahteraan rakyat, khususnya yang menggantungkan hidupnya kepada wilayahtersebut; sekaligus memastikan keberlanjutan fungsi lindung yang akan bermanfaatuntuk seluruh masyarakat di Kabupaten Jember. Wujud partisipasi masyarakat inibisa berbentuk dalam wadah kelompok atau organisasi rakyat. Pembentukan,penguatan organisasi serta pendidikan bagi masyarakat, terutama masyarakat sekitarkawasan lindung dan produksi adalah tindakan yang paling masuk akal gunamenyelesaikan permasalahan ini. Terpenting lagi adalah diakuinya hak masyarakatdalam mengelola serta menjaga hutan. Baik dalam fungsinya sebagai pemecahmasalah ekonomi ataupun fungsi sisi ekologis.

c. RegulasiBerdasar dua resolusi diatas, kedepan perlu sekali dibuat/dikuatkan dengan satupayung regulasi. Salah satu wujud nyata dari hal tersebut sangat mungkindiintegrasikan kedalam perubahan penyusunan Rencana Tata Ruang WilayahKabupaten, menyusul penetapan Undang-Undang No.26 tentang Penataan Ruang2007 dimana penyesuaian RTRWK ada waktu tiga tahun, terlebih lagi dibukanyapartisipasi masyarakat dalam memberikan masukan dan usulan.

Jalan masih terlalu jauh

Begitulah cerita sekilas mengenai sengketa tanah dan konflik Pengelolaan SumberDaya Alam yang terjadi di kabupaten Jember. Selama ini masyarakat, terutama yangtinggal di sekitar kawasan hutan lindung dan produksi, belum pernah diakuikeberadaan maupun diberi hak-haknya. Perjuangan merebut dan mendudukkankembali peran serta hak-hak rakyat adalah kerja keras. Masih terasa jauh mewujudkankedaulatan ada di tangan rakyat. Kesabaran yang revolusioner menjadi kunci darikerja besar ini, dan harus dimulai dari sekarang !!

Page 88: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

66

Page 89: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

67

MENGURAI KONFLIK MENUJU KESELARASANPENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN1

(berbagi pengalaman didalam mendorong inisiatif resolusi konflik pengelolaansumberdaya hutan berbasiskan masyarakat di Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau

Kabupaten Merangin Provinsi Jambi)oleh: Rakhmat Hidayat2

Kato seiyo, bulek aik dek pembuluh, bulek kato dek mufakat. Bulek buliahdigulingkan pipih buliah dilayangkan , terhampar samo kering terbenam samo basah,merunduk samo kering melompek samo patah, mendapek samo belabo hilang samomerugi.

Seloko adat Masyarakat Guguk

A. Kenapa Kami Harus Tersingkir? (sebuah gambaran situasi dan latarbelakang konflik)

Inisiatif masyarakat adat Guguk didalam mempertahankan kawasan hutan tersisadi wilayahnya merupakan salah satu upaya yang digagas untuk membuktikankemampuan mereka didalam mengelola sumberdaya hutan kepada berbagaipemangku kepentingan utama. Sehingga paradigma lama yang menghalalkan segalacara demi mengejar ambisi ekonomi dengan memasung hak-hak politik rakyat, HAMdan kelestarian sumberdaya alam harus segera diakhiri dan diganti. Sebab telahterbukti menimbulkan krisis ekonomi, ekologi, pangan dan kepercayaan yangberkepanjangan. Dampaknya terbaikan kepentingan bahkan menggusur hak-hakmasyarakat adat dan lokal didalam akses dan kontrol sumberdaya hutan untukkehidupan subsistennya. Akhirnya terjadi proses marginalisasi yang menyangkuttidak hanya sumber kehidupan tetapi juga kekayaan sosial, kultur masyarakat lokaldalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan.

1 Tulisan ini didedikasikan untuk Almarhum Yuzamrir, Fasilitator yang menjadi motor utama prosespengakuan kawasan Hutan Adat Guguk. Disampaikan sebagai upaya pembelajaran padaLokakarya Resolusi Konflik diselenggarakan oleh WGT

2 Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia WARSI

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 90: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

68

Bagi masyarakat Guguk, sumberdaya hutan merupakan salah satu hal terpentingkarena hutan mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar masyarakatseperti pangan, sandang, papan, obat-obatan, pendapatan keluarga, hubungan religi,ketentraman dan lainnya. Sebaliknya masyarakat mengupayakan pengelolaan agardapat menjamin kesinambungan pemanfaatannya, bagi mereka hutan bukan sekedarkomoditi melainkan sebagai bagian dari sistim kehidupan. Sehinggapemanfaatannya tidak didasari hanya pada kegiatan eksploitatif, tetapi dilandasi padausaha-usaha untuk memelihara keseimbangan dan keberlanjutannya.

Pengelolaan seperti ini telah lama dilakukan oleh mereka dengan budaya kearifantradisional yang telah lahir, tumbuh dan berkembang dari penemuan tekhnologilokal serta telah diuji coba beratus tahun lamanya. Bagi mereka hubungan sinergisini bukan hal yang baru, karena sejak dulu telah hidup berdampingan dengan hutansecara harmonis. Dari hubungan ini terciptalah suatu kearifan tradisional dalambentuk hubungan saling menguntungkan yang berlangsung sampai sekarang.Kearifan ini telah berakar, tumbuh serta berkembang dapat dibuktikankeberadaannya hingga kini. Konsep berbanjar, talang, hutan adat, lubuk dan lebunglarangan merupakan bentuk kongkritnya.

Sayangnya, kemudian kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutanbelum menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjaminkesejahteraan dan perlindungan bagi pemanfaatan secara berkelanjutan. Konsep-konsep pengelolaan yang telah dipraktekan selama beratus tahun dipaksa minggir,digantikan konsep baru yang lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi, padatmodal, seragam, sentralistik dan tidak ramah secara ekologi. Sebagai contoh kecilbagaimana proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan seperti areal konsesiHPH, HTI, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya tanpamemperhatikan aspek kepentingan masyarakat lokal.

Sebelum adanya kegiatan HPH beroperasi di wilayah desa, secara adat tata carapembukaan lahan perladangan telah diatur dan dipatuhi anggota masyarakat, akantetapi pengaturan lebih ditekan kepada anggota masyarakat dari luar desa. Bagisetiap masyarakat luar desa yang ingin membuka lahan harus membayar danmematuhi aturan-aturan yang ditetapkan lembaga adat. Disamping itu pendatangdi haruskan menjalani acara pengangkatan sebagai anggota masyarakat, setelahsemua syarat-syarat terpenuhi maka hak dan kewajibanya akan sama denganmasyarakat lainnya.Kegiatan lain dalam pengumpulan hasil hutan non kayu sepertimadu, rotan, manau, jernang serta buah-buahan, dapat menambah pendapatanrumah tangga dan menjadi sebagai sumber ekonomi rumah tangga pada saat-saatkrisis. Pengambilan madu dan jernang dilakukan satu sampai dua kali setahunbiasanya bersamaan dengan musim buah-buahan. Untuk madu masyarakatmengenal adanya pohon sialang tempat madu lebah bersarang dan pengambilan

Page 91: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

69

dilakukan secara sederhana menggunakan tunam (obor). Madu yang diperoleh dijualRp. 5.000/kilogram.

Setelah UU No.5 Tahun 1967, UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.5 Tahun 1979diberlakukan, aturan adat secara tersurat masih ada, tetapi pelaksanaannya mulaihilang. Seiring dengan melemahnya fungsi adat dan peranan Depati. Disampingitu, penyebab lainnya adalah karena rimbo (hutan alami) yang semula dianggapoleh masyarakat sebagai tanah Depati/Batin, statusnya telah berubah menjadi hutannegara sehingga masyarakat tidak dapat mempertahankan hak-haknya terutamaketika berhadapan dengan pihak luar. Sebagai contoh, saat ini ada warga masyarakatdari marga lain yang membuka lahan untuk dijadikan ladang/kebun didaerah jalanlogging PT.INJAPSIN and Co tetapi tanpa sepengetahuan/seizin Marga Pembarap.Masuknya PT.INJAPSIN and Co yang memegang konsesi HPH terhadap hutan yangberada dalam wilayah tanah Depati/Marga juga tidak melibatkan masyarakat.Demikian juga hutan sisa yang masih terdapat dalam wilayah desa oleh pemerintahdiberi status Hutan Produksi, dimana masyarakat tidak tahu apakah hutan tersebutsudah dikonsesikan kepada perusahaan pemegang HPH atau belum. Bahkanpemasangan patok batas HP tersebut dibeberapa tempat berada dalam kebun milikmasyarakat. Kondisi ini makin memperparah konflik antara masyarakat denganpihak luar (Pemerintah, Pengusaha), dampaknya sungguh memilukan lahan-lahanbudidaya jadi terlantar karena masyarakat sudah tidak boleh lagi mengelolaladangnya. Sehingga proses pemiskinan berjalan kian cepat.

Akar permasalahan terjadinya proses pemiskinan masyarakat disekitar dan didalamhutan terletak dari adanya ideologi penguasaan oleh pemerintah terhadap segalakekayaan sumberdaya alam pada umumnya serta hutan pada khususnya. Pada masapemerintahan Orde Baru yang lebih dari tiga dasawarsa secara sengajamempersempit terminologi negara menjadi semata-mata sebagai pemerintah saja,bukan sebagai pemerintah dan rakyat. Konsekuensinya posisirakyat menjadi tidaksejajar dengan pemerintah didalam pengelolaan hutan, sehingga muncul asumsipembangunan bahwa rakyat inferio dan pemerintah superior. Sehinggamenempatkan posisi pemerintah sebagai sentral pembangunan kehutaan. Suatukewajaran legenda yang muncul selama itu adalah pemerintah sebagai penguasa,pengusaha dan pengaman smberdaya hutan.

Paradigma yang hanya mengedepankan posisi Pemerintah tanpa dibarengipenngkatan peranserta rakyat didalam pengelolaan dan kontrol atas sumberdayahutan kemudian melahirkan berbagai peraturan kebijakan pembanguna kehutananyang represif, kaku, sentralistik dan tidak akomodatif. Paradigma ini dapat dilihatsecara jelas dari a) adanya peraturan kebijakan yang mengabaikan, meminggirkanbahkan menggusur hak-hak rakyat atas pengelolaan, penguasaan dan pemanfaatansumberdaya hutan, b) menekankan pendekatan keamanan, c) menonjolkan sangsi-

Page 92: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

70

sangsi hukum yang ditujukan hanya pada rakyat yang melakukan pelanggaranhukum.

Sehingga sangat mudah kemudian pemerintah memunculkan cap-cap kriminal yangmenyedihkan bagi rakyat disekitar dan didalam hutan yang mengekspresikankearifan pengelolaan sumberdaya hutan, misalnya pencuri dan penjarah kekayaanalam, perambah hutan, peladang liar, peladang berpindah, penyebab kebakaranhutan, pertanian primitif, pencuri kayu, penggembala liar, dan lainnya. Stempelini diciptakan untuk mengkualifikasi perbuatan rakyat yang mencoba mengaksessumberdaya hutan, sekalipun untuk kebutuhan dasarnya, sebagai bentuk dari budayakontrol untuk mengkukuhkan dominasi dan hak menguasai pemerintah terhadapsumberdaya hutan. Sehingga sebagai pengusa tunggal dapat dengan semena-menamelakukan apapun, dengan justifikasi untuk peningkatan pendapatan dan devisanegara dengan model pengelolaan sentralistik, penyusunan dan penyampaianprogram yang baku dan memakai pendekatan atas-bawah.

Pemerintah secara sadar sebenarnya telah mengabaikan hak-hak masyarakat untukmenguasai dan memanfaatkan sumberdaa hutan sebagai sumber kehidupan yangtelah turun-temurun. Konsekuensi logis yang muncul adalah para korbanpembangunan yang dihasilkan dari praktek pemanfaata dan pengelolaansumberdaya hutan berbasiskan negara. Pandangan ini secara sistematik danstruktural menyebabkan pemiskinan masyarakat, akses rakyat terhadap sumberdayaalam hutan menjadi tertutup sama sekali. Kondisi ini terkadang secara kasat matadibarengi dengan politik kekerasan yang makin menempatkan masyarakat padaposisi masyarakat adat dan lokal ditepi jurang kehancuran, baik ekonomis, ekologis,sosial, budaya maupun religi.

B. Potret Desa Guguk (gambaran kearifan yang tak kujung lekang)

Desa Guguk merupakan salah satu desa tua di Kecamatan Sungai Manau KabupatenMerangin Provinsi Jambi. Telah berdiri sejak masa sebelum penjajahan Belanda,dimana pada waktu itu bernama Pelegai Panjang. Menurut cerita para tetua adat,nenek moyang mereka berasal dari Mataram dan Minangkabau. Nenek moyangmereka yang berasal dari Mataram adalah 3 orang perempuan yaitu : Panatih LeloMajnun, Panatih Lelo Baruji, dan Panatih Lelo Majanin. Sedangkan yang berasaldari Minangkabau adalah 3 orang laki-laki yaitu : Syech Rajo, Syech Beti, dan SyechSaidi Malin Samad. Pada waktu itu pusat pemerintahan kampung berada disisisebelah selatan Batang Merangin yaitu di Pelegai Panjang. Disinilah kemudian berdiripemukiman yang terdiri dari gubuk-gubuk yang mereka sebut guguk. Dari kata-kata itulah kemudian desa ini bernama Guguk dan pemukimannya berangsur-angsurpindah ke sisi sebelah utara Batang Merangin yaitu di Dusun Guguk sekarang. Saatini, Pelegai Panjang tidak lagi dihuni oleh warga.

Page 93: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

71

Pada masa sebelum penjajahan tersebut, Guguk merupakan pusat pemerintahan dariMarga Pembarap3, yang dipimpin oleh Nan Duo Silo yaitu Depati. Marga pembarapsendiri terdiri dari beberapa kampong/dusun yang dipimpin oleh Kepala Kampung/Dusun. Kemudian Marga Pembarap bersama beberapa Marga yang lain membentukpersekutuan wilayah yang disebut Luak-16, yang terdiri dari anak 10 dan induk 6.Induk yang 6 tersebut ialah : 1) Pembarap; 2) Tiang Pumpung; 3) Sanggerahan;4) Peratin Tuo; 5) Serampas; dan 6) Sungai Tenang. Diantara Marga yang enam ini,Marga Pembaraplah yang paling tua. Di Pembarap merupakan Sandaran galahtambatan biduk dari Rajo (jenang) diwaktu naik ke Luak-16. Kalau diakui olehPembarap barulah daerah lain mengakui dan barulah boleh naik ke darat. DiPembarap pula tempat untuk memutuskan perkara-perkara besar yang bersangkutpaut dengan adat.

Pada zaman penjajahan Belanda, sebutan Depati terhadap nan duo silo diubah olehBelanda menjadi Pesirah dengan gelar Depati Mangkujudo/Mangkurajo. Keadaanini terus berlangsung sampai dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1979 tentangPemerintahan Desa, yang dengan sendirinya mengubah tatanan kehidupan dan adatistiadat Marga Permbarap. Berdasarkan UU tersebut, Marga Pembarap dibagimenjadi 8 desa, tetapi kemudian digabung kembali menjadi 4 desa sampai sekarangyaitu : Desa Guguk, Desa Markeh, Desa Air Batu, dan Desa Parit Ujung Tanjung.Karena masing-masing desa mempunyai pemerintahan sendiri, maka pesirah/kepala adat yang berkedudukan di Guguk peranannya perlahan-lahan hilang dalamMarga Pembarap. Sehingga adat-istiadat lama yang telah dipakai turun temurunoleh masyarakat juga mulai hilang. Akan tetapi untuk desa Guguk yang sejak dulumerupakan pusat pemerintahan Marga Pembarap, beberapa aturan-aturan yangberakar pada adat istiadat lama tersebut masih dicoba untuk dipertahankan cukupoleh warga masyarakat.

Batas-batas wilayah Marga Pembarap adalah seperti yang tertuang dalam piagamLantak Sepadan4 yang diserahkan oleh Sultan Anom Seri Negoro dari KesultananJambi kepada Depati Pembarap pada hari Senin bulan Syafar 1170 H, yang berbunyi:“…hutan dan tanahnya itu hinggo Teluk Serambi terus ke Tebat Gedang Tanjung Selasahterus ke Bukit Cempedak turun ke Setepung merampung ke Ulu Masat terus ke Serik Bedjadjohabis bateh dengan Masumai terus ke Pematang Buluh apo berbatas dengan Depati Ma. Langkapterus ke Renah Utan Udang berwatas dengan Serampas/Dusun Tuo terjun ke Ulu Mangkanangberbatas dengan Sengrahan dan Tiang Pumpung seekor ikannya sebingkah tanahnya dan setitik

3 Marga merupakan bentuk pemerintahan terkecil di Jambi saat itu (dikepalai oleh seorang Depati ataupasirah), sama seperti nagari di Minang Kabau atau Mendapo di Kerinci. Marga pembarap artinyamarga yang terdahulu atau tertua

4 Lantak Sepadan = istilah lokal untuk batas wilayah

Page 94: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

72

airnya adalah milik Depati Pembarap”. Tanah yang termasuk kedalam wilayah yangdisebutkan dalam piagam tersebut disebut juga tanah Depati/tanah Batin .

Pemanfaatan tanah Depati/Batin di Marga Pembarap sangat khas, dimana tanah inidapat dimanfaatkan dan dijadikan hak milik oleh masyarakat didalam Kemargaanmaupun yang berasal dari marga lain selama belum menjadi hak milik orang lain,dengan tatacara sebagai berikut :

a. Pemanfaatan tanah Depati/Batin oleh Anak Buahnya5 sendiri.

Landasan filosofis kepemilikan tanah sesuai dengan batas wilayah yang tertera didalam piagam Lantak Sepadan memang diutamakan untuk tempat hidup danpenghidupan dari Depati-depati beserta anak buahnya. Maka tanah Depati akan bisamenjadi milik perseorangan bagi anak buah dengan jalan :

1). Untuk wilayah Rimbo6, berlaku pepatah “Siapa cepat siapa dulu” selama rimbo itubelum terpasang lembeh7 sebagai ciri tando. Dengan adanya tanda/lembeh inimaka diakui haknya dalam hukum adat. Maksud pepatah tersebut adalah siapayang lebih cepat memasang lembeh sebagai ciri tando dan lebih awal menggarapsuatu lahan maka dialah yang diakui haknya terhadap lahan tersebut oleh adat.

2). Untuk Sesap8, berlaku aturan apabila telah lebih dari 3 tahun diterlantarkan, makatanah tersebut akan dikuasai kembali oleh Depati/Batin. Tanah tersebut dapatdikerjakan dan dimanfaatkan kembali oleh warga yang lain dengan seizin Depati.

3). Untuk Sesap Parimboan9 , jika akan dikerjakan maka harus melakukan tuek tanyo10

dulu kepada yang mengerjakan terdahulu.

5 Istilah lama untuk anak kemenakan yang berasal dari Marga Pembarap6 sebutan untuk kawasan hutan alam yang masih menjadi milik Depati/Batin7 lembeh/lambeh, merupakan tanda yang terbuat dari kayu yang telah dipotong serta berkait dan

disangkut-sangkutkan pada tali (biasanya tali terbuat dari kulit kayu). Selanjutnya warga yang telahdiakui haknya terhadap tanah tersebut berkewajiban mengerjakan tanah itu, menanami, danmemeliharanya.

8 Sesap merupakan tanah-tanah yang pernah diolah tapi kemudian diberakan, biasanya apabila telahlebih dari 3 tahun ditinggalkan akan dinamakan sesap rendah belukar tinggi,

9 Sesap parimbon, merupakan belukar tua. Biasanya telah diberakan diatas 7 tahun dan bentuknyatelah mirip kembali dengan hutan

10 Menanyakan kembali komitmen orang yang telah menggarap terlebih dahulu, apakah akan dikerjakankembali atau ditinggalkan

Page 95: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

73

b. Pemakaian tanah Depati/Batin oleh anak buah Depati lain dalam MargaPembarap. Pemakaian tanah Depati oleh anak buah depati yang lain dalam MargaPembarap tidak berlaku pepatah “keair berbunga pasir, kedarat berbunya kayu” tetapihanya perlu mendapat persetujuan antar Depati dengan mempertimbangkankepentingan anak buah masing-masing. Maksudnya ialah untuk pemakaian tanahseperti tersebut tidak dilakukan pungutan apapun.

c. Pemakaian tanah Depati/Batin oleh warga luar. Pemakaian tanah Depati olehmasyarakat dari marga lain. Maka pepatah “keair berbunga pasir, kedarat berbunga kayu”tersebut diberlakukan. Mekanismenya yaitu, warga tersebut menyerahkan biayayang telah disepakati kepada lembaga adat melalui Kepala Kampung yang seterusnyamenyerahkan kepada Depati.

Guguk berbatas wilayah dengan desa Muara Bantan di Utara, Lubuk Beringin danareal HPH PT. Injapsin diselatan, Markeh di Timur serta di Barat dengan Parit UjungTanjung. Desa dengan jumlah penduduk 456 KK ini dapat dicapai melalui daratdengan menggunakan kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil, karenadilalui oleh jalan propinsi yang menghubungkan kota Bangko (ibu kota kabupaten)dengan kota Sungai Penuh (ibu kota kabupaten Kerinci), dengan kondisi jalan aspal.Terdapat 4 dusun didesa ini, yaitu Guguk, Simpang Guguk, Marus, dan PadangKulim. Pemukiman penduduk umumnya berada di kiri-kanan jalan propinsi yangmelalui desa kecuali pemukiman di Guguk yang berada di pinggir Batang Merangin.Sebagian besar sarana dan prasarana desa terdapat di Simpang Guguk yangmerupakan pusat pemerintahan Desa. Luas wilayah desa kira-kira 83.000 hektar,yang pemanfaatannya meliputi :

Ladang. Bagi masyarakat desa Guguk, berladang merupakan proses awal merekamembuat kebun karet. Suatu lokasi hutan atau sesap dibuka untuk ditanamipadi gogo. Sambil mereka memelihara tanaman padi, mereka mulaimempersiapkan lahan tersebut untuk ditanami dengan karet. Lubang tanamdibuat, dan jika telah siap, maka penanaman dilakukan. Tumpang sari karetdengan padi ini dapat dilakukan sampai tanaman karet berumur 3 tahun. Setelahitu lahan tersebut tidak dapat lagi ditanami padi. Lama kelamaan luas ladangsemakin berkurang, sementara kebun karet semakin luas.Kebun. Pemanfaatan lahan di desa Guguk didominasi oleh kebun karet yangmerupakan tanaman pertanian/perkebunan yang utama. Penyebarannyameliputi hampir seluruh wilayah desa mulai dari selatan (perbatasan dengandesa Muara Bantan) terus ke Utara melewati Sungai Merangin dan bertemudengan batas Hutan Produksi, tetapi ada juga beberapa bidang kebun karet yangsampai ke pinggir jalan logging PT.INJAPSIN yang merupakan batas paling utaradesa. Demikian juga dari Barat (batas dengan desa Parit) sampai ke timur (batas

Page 96: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

74

dengan desa Markeh) juga didominasi oleh kebun Karet. Kebun Kulit manisterdapat disepanjang sisi aliran Sungai Merangin berselang-seling dengan kebunkaret, dan terbanyak terdapat disebelah timur desa (batas dengan Desa Markehdan desa Air Batu). Tanaman perkebunan lainnya yang diusahakan adalah kopiakan tetapi dalam jumlah yang tidak begitu luas.Kebun campur milik masyarakatumumnya berisi tanaman buah-buahan. Jenis tanaman buah-buahan yangbanyak diusahakan adalah Durian, Duku, dan dalam jumlah yang lebih keciljuga ada Manggis, Ambacang, dan buah-buahan lainnya. Tanaman-tanaman iniumumnya diusahakan disekitar pemukiman. Khusus untuk tanaman Durianpenyebarannya disamping disekitar pemukiman juga terdapat di daerah BukitTemedak dan Bukit marus (batas dengan desa Muara Bantan) serta disepanjangaliran Sungai Nilo.Sesap/belukar. Yang dimaksud dengan sesap atau belukar adalah bekas lahanyang pernah diolah tapi kemudian ditinggalkan. Sesap/belukar tidak begitu luasdan hanya terdapat diperbatasan dengan Desa Muara Bantan yaitu di sekitarSungai Durian Daun, Sungai Kunyit, dan Sungai Marus.Sawah. Lahan yang dijadikan sawah relatif sedikit sekali yaitu dipinggir SungaiMerangin. Ketergantungan masyarakat terhadap tanaman karet menyebabkanmasyarakat tidak begitu berminat untuk mengolah sawah. Untuk memenuhikebutuhan beras, mereka membeli dari pasar atau dari KUD yang terdapat didesa. Disamping itu, lahan yang berbukit dan bergelombang juga sulit untukdibuka dan diolah menjadi sawah.Rimbo (hutan). Selain pemanfaatan lahan seperti diatas, dalam wilayah desaterdapat hutan yang cukup luas yaitu disebelah selatan desa mulai dari bekasdusun Pelegai Panjang di pinggir Sungai Merangin terus ke Utara melewati jalanlogging PT.INJAPSIN sampai perbatasan dengan desa Lubuk Beringin. Statushutan ini oleh pemerintah ditetapkan sebagai hutan produksi, dimana patok batasHP tersebut telah dipasang dan bahkan beberapa patok batas berada dalam kebuncampur milik masyarakat. Saat ini masyarakat tidak mengetahui apakah hutanproduksi ini telah diberikan hak pengusahaannya kepada PT.INJAPSIN ataubelum. Sebagian dari hutan inilah, yaitu didaerah Bukit Tapanggang yang olehmasyarakat hendak dijadikan Hutan Adat Desa.

Pemanfaatan sumberdaya alam oleh warga masyarakat dari luar marga pembarap,berlaku pepatah “keair berbunga pasir, kedarat berbunga kayu, tambang pendulang berbungadaun, sawah dan ladang berbunga emping, terkecuali hasil-hasil tersebut untuk dipakai sendiri”.Jika seandainya aturan ini dapat diterapkan terhadap perusahaan pemegang HPHyang sejak belasan tahun yang lalu mengekploitasi hasil hutan milik marga pembarap,maka tentulah kehidupan perekonomian masyarakat lebih baik dan terasa

Page 97: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

75

manfaatnya oleh masyarakat. Akan tetapi karena kawasan hutan marga tersebuttelah menjadi hutan negara, maka pepatah tersebut tidak dapat lagi diterapkan olehpemangku adat.

Penopang perekonomian masyarakat Guguk sangat bergantung kepada tanamanKaret. Setiap hari baik laki-laki maupun perempuan berangkat pagi-pagi sekalikekebun karet untuk memotong (menyadap) dan baru kembali kerumah menjelangatau sesudah lohor. Kegiatan ini terus berlangsung sepanjang tahun dan intensitasnyabaru agak menurun jika musim hujan datang. Pada sore harinya sebagian laki-lakimencari ikan disungai, melakukan aktifitas lain, atau bersantai. Sedangkan kaumwanitanya melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti memasak,membersihkan rumah, atau mengasuh anak. Pada malam hari lebih banyak lagikaum laki-laki yang mencari ikan di Sungai, atau jika sedang musim, mereka pergimengambil madu lebah didalam hutan. Tanaman Kulit Manis juga memberikankontribusi penghasilan tambahan sepanjang tahun kepada mereka. Jika musim buah-buahan datang, mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari hasil duku, durian,manggis, rambutan dan buah-buahan lain yang musimnya seringkali datangserentak. Disamping itu mereka juga sering mengambil buah-buahan hutan sepertipetai, durian hutan, rambutan hutan, bedaro, tampui, buah tungau dan banyak lagijenisnya.

Pemenuhan kebutuhan akan kayu untuk bahan bangunan, masih dapatmengambilnya dari hutan yang terdapat dalam kawasan desa atau dengan membelidari orang lain. Jenis kayu yang paling banyak dimanfaatkan/dipakai olehmasyarakat adalah Ketuko/Sebayang, Meranti, Medang, Balam, Cengau, Mampiai,dan Kulim. Akan tetapi jika kayu diambil untuk dijual, maka yang dilihat adalahkwalitasnya. Hasil hutan non kayu lainnya yang banyak dimanfaatkan olehmasyarakat adalah rotan, manau, getah jelutung, bambu, tanaman obat, dan hewanhutan. Jenis-jenis hewan hutan yang sering dimanfaatkan adalah rusa, kijang, napoh,kancil, murai batu, ayam berugo, ayam tugang, burung kuau, landak, kambing hutan,dan lain-lain.

C. Konflik, Kenapa harus Takut? (sebuah pengalaman membangunkonsensus untuk pengukuhan kawasan Hutan Adat BukitTapanggang)

Belajar dar pengalaman didalam memfasilitasi proses resolusi konflik di desa guguk,ternyata tergambarkan dengan jelas bagaimana konflik laten terus muncul tanpaada upaya serius dari pemerintah untuk menyelesaikannya. Selain itu upaya untukmendorong gagasan baru pengelolaan hutan masih terganjal oleh ketidak seriusanPemda, dimana mereka lebih mengutamakan peningkatan sebesar-besarnya PAD

Page 98: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

76

dari pada memunculkan bentuk pengelolaan yang berbasis pada masyarakat dankeberlanjutan fungsi ekosistem hutan. Saat ini kebijakan baru diera reformasi danotonomi daerah makin mempersempit ruang bagi masyarakat adat dan lokal untukmengekspreiskan bentuk-bentuk kearifan tradisionalnya.

Kegiatan lapangan yang digulirkan untuk mengurai konflik dan mendorong prosesmenuju pengukuhan, pengakuan dan penghormatan kawasan kelola rakyat terusdiikhtiarkan, kerangka metodologis memang belum menjadi prioritas utama.Berdasarkan analisis bersama melalui temu-temu kampung munculah rekomendasiaktifitas yang telah digagas bersama masyarakat, seperti studi dan kebijakan,menyusun strategi dan rencana pengelolaan serta pengukuhan kawasan kelola rakyatyang bertumpu dari bawah, mengkomunikasikan dan mensosialisasikan inisiatifmasyarakat kepada desa-desa tetangga melalui temu dan musyawarah kampungsekaligus memfasilitasi penyelesain konflik. Sedangkan pada Pemerintah daerah,Legislatif, Perguruan Tinggi dan Ornop melalui diskusi ditingkat kabupaten.

SK pengakuan, pengukuhan dan penghormatan kawasan kelola rakyat olehPemerintah hanyalah salah satu alat untuk menyelesaikan konflik serta membuatterobosan dan pilihan hukum. Bagi masyarakat Guguk pilihan pengakuan menjadisangat penting, khususnya untuk merebut kembali kawasan adat dari tangan HPH.Sebab apabila belum ada pengakuan dikuatirkan kawasan tersebut akan di HGU-kan dan di IPK-kan. SK Bupati dan Perda mengenai pengukuhan sangat pentingdan perlu segera ditindak lanjuti karena dengan adanya SK tersebut merupakanmanifestasi adanya pengakuan oleh pemerintah terhadap eksistensi masyarakat danhukum adat. Tanpa adanya pengakuan terhadap masyarakat lokal, sangat sulit sekalibagi masyarakat adat untuk melindungi dan mengelola kawasan secara berkelanjutandan lestari. Masyarakat lebih banyak dirugikan jika berhadapan dengan pihak-pihakluar yang mempunyai ijin usaha dari pemerintah karena kekuatan masyarakat adatdalam nilai tawar/bergaining sangat lemah.

Strategi yang dipakai untuk mencapai sasaran tersebut adalah dengan jalanmelaksanakan kegiatan identifikasi potensi kawasan kelola rakyat dilapangan denganmetode partisipatif (perencanaan pengelolaan, pemetaan, inventori partisipatif aturanpengelolaan), mengkoordinasikan dan menginformasikan hasil kesepakatanmasyarakat serta membangun komunikasi dengan berbagai stakeholder sepertiDPRD, Pemerintah Daerah, Dinas Instansi Teknis, LSM, Perguruan Tinggi danmasyarakat adat, loby serta mediasi dengan berbagai stakeholder ditingkat lokal.Menyelenggarakan berbagai forum diskusi untuk kepentingan masyarakat,khususnya upaya untuk mempromosikan aktifitas masyarakat, pengetahuan lokal,kearifan tradisional dan potensi wilayah yang berkaitan dengan hak kelola rakyat.

Page 99: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

77

Secara detail beberapa upaya resolusi konflik yang dilakukan dapat digambarkansebagai berikut :

1. Meretas Belenggu Areal KonsesiSejarah kelam pengelolaan sumberdaya alam di Guguk dimulai denganberoperasinya perusahaan HPH PT. Injapsin and Co11 sejak tahun 1988. Keberadaankawasan konsesi yang salah satu wilayah operasinya berada diwilayah adat MargaPembarap, khususnya dihulu-hulu sungai sub DAS Batang Merangin menjadi konflikterbuka ketika proses penataan batas wilayahnya. Patok-patok batas HP dipancangkantanpa ada proses komunikasi terlebih dahulu dengan masyarakat. Sehinggakemudian wilayah-wilayah kebun, ladang dan sesap belukar masyarakat masukkedalam wilayah konsesi. Masyarakat yang sejak awal memanfaatkan kawasantersebut untuk memungut hasil hutan seperti rotan, manau, getah jernang, getahbalam, kayu ramuan rumah, durian, bedaro, madu menjadi tertutup. Dan semakindiperparah ketika hasil kebun seperti karet, kopi dan kulit manis juga tidak bisadiambil karena berada di wilayah HP. Benturan mulai terjadi, setiap persoalandiselesaikan dengan pendekatan keamanan. Masyarakat semakin tertekan, kekebundan ladang menjadi tidak tenang.

Terhadap kenyataan tersebut, masyarakat Desa Guguk, bersama dengan desa-desabekas Marga Pembarap12 lainnya menyatakan penolakan dan berjuang agar PT.Injapsin melepaskan kawasan hutan marga pembarap yang masuk kedalamkonsesinya. Berbagai negosiasi dan perundingan telah dilakukan untukmenyampaikan dan mendesak direalisasikannya tuntutan tersebut. PT Injapsin yangmemegang izin konsesi HPH dengan luas ± 61.610 ha termasuk didalamnya kawasanhutan marga pembarap bersikeras dengan izin yang telah diberikan MenteriKehutanan kepada mereka, dilain pihak masyarakat Marga Pembarap yang tergabungdalam 4 Desa yaitu Desa Guguk, Parit Ujung Tanjung, Merkeh dan Air Batumenunjukan bukti kepemilikan dan penguasaan Marga atas kawasan tersebut yangtertuang dalam Piagam Landak Sepadan tahun 1170 Hijiriah yang ditanda tanganioleh Sultan Anom Seri Mogoro dari Kesultanan Jambi yang diserahkan kepada DepatiMarga Pembarap 1170 Hijiriah hari senin bulan Syafar yang menjelaskan Wilayah

11 PT HPH Injapsin beroperasi berdasarkan SK Menhut nomor 107/KPTS-IV/88 tanggal 22 Februari 1988dengan areal konsesi seluas 61.610 Ha

12 Dari pembicaraan dengan Dt. H. Abu Bakar Dpt Mangkujudo diketahui bahwa Marga adalah bentukpemerintahan masyarakat hukum adat di Jambi yang dibentuk oleh Belanda pada tahun 1930-ansebagai copyan Marga di Palembang menggantikan Pemerintahan Kedepatian yang dibentuk danditerapkan oleh masyarakat Jambi sebelumnya. Sedangkan Pembarap maksudnya adalah yang tertua.

Page 100: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

78

kekuasaan Depati Marga Pembarap. Dari beberapa kali pertemuan masing-masingpihak bersikukuh dengan landasan hukum masing-masing, Marga Pembarap denganPiagam Lantak Sepadannya (Hukum Adat) sementara PT Injapsin dengan SK Menteriyang mereka peroleh (Hukum Negara) sehingga terjadi konflik hukum yangberkepanjangan dan berakibat semakin memanasnya hubungan antara masyarakatMarga Pembarap dengan PT Injapsin. Puncaknya ketika ada anggota masyarakatyang sedang mengambil kayu ramuan (bahan untuk membuat rumah) ditangkapdan diancam mau dibunuh. Informasi tersebut segera menyebar keseluruh dusun,dan tindakan anarkis berupa pembakaran Camp hampir terjadi. KKI WARSI yangpada awalnya baru melakukan proses diagnostik lapangan, memfasilitasi proseskonsultasi masyarakat adat dan memfasilitasi masyarakat dalam kongres AMAN Idiminta masyarakat agar membangun proses-proses dialogis untuk penyelesaiankonflik secara damai. Kendati begitu beberapakali aparat keamanan melakukanintimidasi terhadap masyarakat, melalui pemanggilan dn interogasi.

Atas dasar kondisi yang demikian Warsi mengambil inisiatif untuk menfasilitasiproses-proses negosiasi tersebut. Bertempat di Hotel Bukit Indah Bangko, tanggal 12April 1999 diadakanlah peertemuan antara Masyarakat Adat Marga Pembarapdengan HPH. PT. Injapsin . Pertemuan tersebut juga melibatkankan PemerintahanKabupaten dan Kecamatan yang berada diwilayah kerja perusahaan tersebut. Melaluidialog yang panjang dan dengan argumen dan bukti yang sangat kuat akhirnyaperusahan mengakui telah melakukan kesalahan dengan mengekploitasi hutanditanah adat Marga Pembarap dan dengan itu disepakati bahwa perusahan akanmembayar denda adat dan melakukan Pembinaan Desa sekitar wilayah kerjaperusahaan tesebut

Denda adat yang djatuhkan oleh mayarakat Adat Marga Pembarap cukup besar,termasuk katagori pelanggararan yang sangat berat. PT. Injapsin harus meminta maafkepada masyarakat adat dan membayar denda berupa kerbau seekor, beras 100gantang, kelapa 100 buah dan selemak semanisnya serta membayar HPH Bina Desasebesar Rp 28 Juta.

Dalam pertemuan Bukit Indah itu juga disepakati agar kawasan hutan yang adadisekitar Bukit Tapanggang dan sekitarnya menjadi Hutan Adat. Ide tersebutsebenarnya muncul dari keprihatinan beberapa tokoh adat dan tokoh masyarakatyang hadir atas makin meningkatnya kerusakan hutan yang menyebakan makinberkurangnya keberadaan hutan alam di sekitar desa Guguk dan wilah eks MargaPembarap. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan tokoh-tokoh adat adalahkedekatan hutan tersebut dengan kota Kabupaten dan mereka berharap nantinyahutan tersebut dapat dijadikan kawasan wisata alam dan penelitian bagi generasimendatang. Mulai saat itulah perjuangan masyarakat Guguk untuk mendapatkanpengakuan Hutan adat tersebut dari berbagai pihak dilakukan.

Page 101: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

79

Selanjutnya secara kongkrit pada tanggal 20 Juli 1999 Tokoh Adat dan Kepala DesaGuguk mengajukan surat kepada PT Injapsin untuk melepaskan Hutan di KawasanBukit Tapanggang untuk dijadikan Hutan Adat Desa Guguk. Merespon surat tersebut,pada tanggal 10 September 1999 PT. Injapsin melalui Surat Nomor 01/IJS-N/IX/1999 melepaskan sebagian kawasan sebagai hutan adat yang meliputi petak 45, 46,72, 73, 74, 106, 107, 108 dan 109. Kawasan yang dilepaskan tersebut tidak hanya beradadi wilayah Desa Guguk, tetapi juga Desa Parit Ujung Tanjung.

2. Konflik dengan Desa TetanggaPada tahun 2000, masyarakat Desa Guguk bersama masyarakat Desa Parit UjungTanjung telah melakukan pemetaan partisipatif untuk kawasan yang akan dijadikanHutan Adat tersebut. Dari hasil kegiatan itu berhasil dipetakan seluas 800,53 Ha.Untuk memastikan keselamatan atas kawasan seluas 800, 53 Ha tersebut dari praktekpembalakan hutan, masyarakat Desa Guguk bersepakat untuk mengajukanpengukuhan atas kawasan tersebut kepada Pemda Merangin dengan sebuahKeputusan Bupati. Setidaknya ada 4 (empat) alasan mengapa masyarakat memilihKeputusan Bupati untuk memproteksi Hutan Adat tersebut. Pertama, maraknya illegallogging yang mengancam kawasan hutan adat tersebut setiap saat dengan begitubanyaknya sawmill disekitar hutan adat. Kedua, proteksi kawasan kelola tersebutmembutuhkan political will dari Pemerintah Kabupaten yang diwujudkan melaluisebuah keputusan politik yang cepat, karena hutan adat sudah berada beradacengkreman pembalakan hutan, sehingga Keputusan Bupati menjadi pilihan strategiskarena secara proses lebih gampang dan cepat dilakukan dibanding dengan Perdayang harus melalui pengajuan draft dari Bupati, kemudian dilanjutkan denganpembahasan panjang di DPRD dengan kebiasaan debat kusir masih terus berlangsungdan belum tentu juga DPRD mau membahas Draft tersebut karena bukan merupakanprioritas. Ketiga, kawasan yang akan diproteksi tersebut bersifat kongkrit, maksudnyaobjek hukum (hutan adat) dan subjek hukumnya (masyarakat hukum adat DesaGuguk) dengan pengaturan pengelolaan hutan adat yang jelas pula (piagamkesepakatan), sehingga yang diperlukan itu adalah sebuah penetapan (beschikking)dengan sebuah Keputusan Bupati bukan pengaturan (regeling) sebuah Perda, lagipula Perda tidak mugkin memuat penetapan, karena sebuah penetapan merupakansebuah keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata UsahaNegara dalam hal ini Bupati. Keempat, alasan yuridis formal yaitu adanya klausuldalam Perda Kabupaten Merangin Nomor 22 tahun 2002 tentang Pengurusan Hutandan Retribusi Hasil Hutan, dimana dalam Pasal 14 ayat (1) dinyatakan bahwaketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan hutan adat diatur dengan KeputusanBupati. Penafsiran dari Pasal 14 ayat (1) tersebut, termasuk didalamnya menetapkan,mengukuhkan dan sekaligus memproteksi kawasan tersebut.

Page 102: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

80

Dalam perjalanannya terjadi perbedaan pendapat antara Desa Parit Ujung Tanjungdengan Desa Guguk mengenai batas kawasan yang akan dijadikan Hutan Adat.Penyelesaian konflik batas tersebut telah coba diselesaikan antara desa yangbersangkutan dengan difasilitasi oleh Warsi, namun tidak kunjung mendapatkankata sepakat, begitu juga ditingkat Kecamatan. Sengketa batas ini kemudian dibawake DPRD Kabupaten Merangin. Melalui hearing beberapa kali dengan wakil rakyatMerangin tersebut yang didapat cuma janji muluk anggota dewan untuk turunkelokasi Hutan Adat dan sekaligus menyelesaikan konflik batas tersebut. Ataskesepakatan bersama, dibawalah konflik batas ini untuk diselesaikan di tingkatKabupaten. Dari beberapa kali pembicaraan, akhirnya disepakati mengadakan forummulti pihak penyelesaian konflik batas tersebut. Pihak-pihak yang akan dilibatkanadalah 4 Desa Eks. Marga Pembarap, muspika Sungai manau, Lembaga Adatkabupaten Merangin dan Kecamatan Sungai Manau, Dinas Kehutanan dan BagianHukum Kabupaten Merangin serta Warsi. Dalam pertemuan Forum Multifihak diHotel Suslinda pada tanggal 25 November 2002 yang dihadiri oleh 4 Desa Eks MargaPembarap, Muspika Sungai Manau, Lembaga Adat Kabupaten Merangin, DinasKehutanan dan Bagian Hukum serta Warsi, dihasilkan beberapa kesepakatan yangdituangkan dalam Berita Acara Pertemuan yaitu:

1. akan dilakukan pengukuran dan penata batasan ulang antara Desa Guguk denganDesa Parit Ujung Tanjung oleh Tim independen yang beranggotakan BagianHukum dan Organisasi, Dinas Kehutanan dan PSH, BPN, Muspika SungaiManau, Lembaga Adat Kecamatan, Perwakilan Masyarakat Desa Eks MargaPembarap, Lembaga Adat Kabupaten serta Warsi atas fasilitasi Pemerintah DaerahKabupaten Merangin.

2. Desa Parit dan Desa Guguk beserta kedua Desa Lainnya bersepakat untuk tidakmelakukan aktifitas/ kegiatan eksploitasi hutan dan kayu didalam kawasan calonhutan adat yang akan diukur dan ditata batas ulang sampai keluarnya SKpengukuhan oleh Bupati Merangin.

3. dengan adanya kesepakatan bersama ini diharapkan dapat mempercepatpengukuhan hutan adat oleh Bupati merangin dan keempat Desa diatas sertapihak-pihak lain terikat dengan kesepakatan ini.

4. apabila terjadi pelanggaran terhadap point kedua maka pelakunya akan diprosesmenurut hukum yang berlaku.

Dari beberapa kali pembicaraan dengan Kepala Dinas dan Bagian Bina Program sertaKabag Hukum dan Kasi Perundang-undangan Setda Merangin sebagai tindak lanjutkesepakatan Suslinda, akhirnya disepakati untuk segera membentuk Tim denganSK Bupati. Tapi ditengah jalan ada persoalan teknis mengenai apakah Notas Dinasyang diajukan lebih dahulu baru setelah itu SK Tim, atau malah keduanya sekaligus.

Page 103: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

81

Kadishut berpendapat demi efisiensi sebaiknya bersamaan, namun Bagian Hukumberpendapat lain , karena lebih melihat kepada proseduralnya Nota Dinas lebihduluan, kemudian baru SK Tim. Perbedaan pemikiran ini telah kita coba merajutnyadengan menekankan kembali bahwa penyelesaian tata batas ini segera, jauh lebihpenting daripada memperdebatkan teknis proseduralnya. Setelah bolak balik dariBagian Bina Program- Kadishut- Bagian Umum- Tata Pemerintahan- kemudianBagian Hukum akhirnya pada tanggal 4 Februari 2003 keluarlah Keputusan BupatiNo. 62 Tahun 2003 tentang Pembentukan Team Terpadu Penanganan Tata BatasPengelolaan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Adat Desa Guguk. Dimana Team initerdiri dari Dinas Kehutanan, Bagian Hukum, Tata Pemerintahan, BPN, MuspikaSungai Manau, Lembaga Adat Kecamatan, Lembaga Adat Kabupaten, Kepala DesaEks Marga Pembarap serta Warsi dengan tugas-tugas sebagai berikut:

1. merencanakan dan mengidentifikasi batas-batas hutan adat guguk sebagaimanayang dimohonkan diatas peta.

2. melaksanakan kegiatan tata batas dilapangan dengan tata kerja:berkoordinasi dengan masyarakat atau lembaga adat yang secara pastimengetahui batas-batas hutan adat yang dimohonkan dilapangan.merintis jalur batas sekaligus memasang patok-patok sementara sebagai tandabatas yang mudah dikenali dilapangan.memetakan batas-batas yang telah dibuat di lapangan kemudian hasilnyadituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang ditandatangani olehseluruh unsur team terpadu sebagai dasar laporan akhir team dan bahandiproses lebih lanjut.

3. hasil kerja team sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2, dibuat Berita Acaradan disampaikan kepada Bupati dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kajianuntuk mengambil keputusan

Penyelesaian Konflik batas Oleh Tim Terpadu yang dibentuk dengan KeputusanBupati Nomor 62 Tahun 2003 diawali dengan sosialisasi SK Tim kepada masyarakatDesa Guguk, Lembaga Adat Kabupaten dan Lembaga Adat Kecamatan Sungai Manauserta Kepada BPN, Tata Pemerintahan, Bagian Hukum dan Dinas KehutananKabupaten Merangin pada tanggal 25 Februari 2003. Kemudian dilanjutkan denganRapat Koordinasi Tim pada tanggal 18 Maret 2003 guna mendudukkan tugas Tim,serta hal-hal yang harus dipersiapkan untuk kepentingan tata batas serta kesepakatanturun kelapangan. penataan batas oleh Tim akhirnya dilaksanakan pada tanggal 29-30 Maret 2003 dengan kesepakatan yang dituangkan dalam berita acara lapanganyaitu (1) titik awal ditarik dari Durian Bapaga Batu dengan ukuran kompas 225° dariutara ke Muara Sungai Tai. (2) dari Muara Sungai Tai ditarik lurus dengan sudut225° dari utara menuju ketelun muara Sungai Kelensen naik terus kekilometer 68

Page 104: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

82

Jalan Logging. Didalam kawasan hutan adat tersebut diadakan diskusi untukmenentukan hal-hal yang harus dipersiapkan dan dilakukan kedepan, yaitu (1) BAPDefinitif segera dipersiapkan (2) merampungkan peta baru. (3) melakukan Draftigbersama SK Bupati Merangin. (4) Masalah HP terbatas akan diusahakan oleh DinasKehutanan Merangin bersama Warsi Kementri Kehutanan. (5) Status Kebunmasyarakat akan diperjelas kedudukannya. (6) menggelar Workshop Kabupatenuntuk meyakinkan Bupati Merangin sehingga segera mengeluarkan KeputusanPerlindungan dan Pengakuan terhadap Kawasan Hutan Adat tersebut.

Hasil pengecekan Tim Tata Batas kelapangan kemudian disosialisasikan pada tanggal11 April 2003 di Desa Guguk dengan mengundang Desa Parit Ujung Tanjung. NamunDesa Parit tidak bisa hadir dengan alasan pada waktu bersamaan juga ada acara diDesa tersebut. keputusan yang dihasilkan pada waktu itu adalah menunggu petayang dibuat BPN kemudian dipadukan dengan Peta yang dibuat oleh Warsi bersamamasyarakat Desa Guguk. Dan kemudian akan melakukan pertemuan lanjutan dengankedua belah pihak.

Atas saran masyarakat KKI Warsi berupaya mendudukkan persoalan batas inidengan orang yang paling berpengaruh secara adat di Desa Parit Ujung Tanjung.Tapi kesepakatan lapangan tersebut menjadi mentah kembali, karena menurut TokohAdat Desa Parit Ujung Tanjung, kawasan Hutan Adat Desa Guguk tersebut bukandari Durian Bapaga batu ke muara Sungai Tai terus menelusuri Sungai Tai CabangDua kemudian ditarik lurus menuju Jalan Logging Kilometer 68. Tetapi dari DurianBapaga Batu ke muara Sungai Tai kemudian membelah Dua Bukit Tapanggangmenuju Kilometer 68 Jalan Longging karena alasannya kalau menelusuri Sungai Taisampai Sungai Tai Cabang Dua maka banyak kebun masyarakat Parit yang masukdalam hutan adat. Karena tidak bisa mendudukkan itu dengan Tokoh Adat Parit,akhirnya pembicaraan dialihkan pada tujuan dan kebaikan pengelolaan hutan secaraadat.

Melihat situasi dan kondisi yang demikian, pada tanggal 23 April 2003 diadakanlahkoordinasi strategi penyelesaian tata batas antara KKI Warsi, Ketua dan anggotaKelompok Pengelola Hutan Adat Guguk, tokoh adat Guguk, Dinas Kehutanan,Bagian Hukum dan BPN Kabupaten Merangin. Dalam pertemuan tersebut disepakati,(a) mengeluarkan kebun masyarakat Parit sepanjang Sungai Tai. (b) memadukanpeta BPN dengan Peta yang dibuat Warsi bersama masyarakat Guguk. (c)mempersiapkan BAP tata batas sesuai dengan Peta Hasil Tata Batas. (d) mengadakanpertemuan Tim untuk memfinalisasi hasil tata batas tersebut. Akhirnya pada tanggal30 April 2003 berhasil dipertemukan semua anggota Tim Tata Batas bertempat diKantor Dinas Kehutanan Merangin untuk memfinalisasi Hasil Tata Batas tersebutdengan; (a) mensosialisasikan hasil tata batas yang telah dituangkan dalam bentukpeta serta mendudukkan kembali penyelesaian batas untuk mencari titik temu yang

Page 105: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

83

adil dan dapat diterima oleh kedua belah pihak. (b) membahas draft berita acarakesepakatan tata batas. (c) penandatanganan berita acara kesepakatan dan peta hasiltata batas. Setelah mendudukkan dan memberi pemahaman kepada Desa Paritakhirnya mereka menyetujui dan akan menandatangani BAP serta Peta denganmengeluarkan semua kebun masyarakat Desa Parit yang masuk dalam kawasanHutan Adat Desa Guguk yang berjarak ± 200 meter dari pinggir Sungai Tai.

Dengan adanya kesepakatan batas ini maka pengukuhan Hutan Adat Desa Gugukoleh Bupati Merangin sudah di depan mata, ditambah lagi dalam Perda KabupatenMerangin No. 22 Tahun 2002 Tentang Pengurusan Hutan dan Retribusi Hasil Hutantelah memberikan peluang kepada masyarakat untuk membentuk hutan adat denganpengukuhannya oleh Bupati.

3. Jatuh Bangun Mendorong Pengukuhan Hutan Adat GugukAda tiga hal pokok yang menyebabkan masyarakat Desa Guguk menuntut segeradikukuhkannya Kawasan Bukit Tapanggang menjadi Hutan Adat Desa Gugukdidalam sebuah Keputusan Bupati Merangin. Pertama, telah selesainya konflik batashutan dengan Desa Parit Ujung Tanjung, dengan ditandatangani Berita AcaraKesepakatan Tata Batas dan Peta kawasan Hutan Adat Desa Guguk. Kedua, maraknyaillegal logging yang mengancam kawasan hutan adat tersebut setiap saat, karenadisekeliling kawasan tersebut banyak terdapat Saw Mill liar yang aktif menebangkayu setiap harinya. Ketiga, adanya ketentuan dalam Perda Kabupaten MeranginNo. 22 tahun 2002 tentang Pengurusan Hutan dan Retribusi Hasil Hutan. Dimanadalam Pasal 4 dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah berwenang untuk menetapkanstatus dan fungsi; (a) hutan adat; (b) hutan hak; (c) hutan diluar kawasan hutanlainnya. Kemudian dalam Pasal 14 dinyatakan lebih jauh bahwa; (1) pemanfaatanhutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai denganfungsinya; (2) ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan hutan adat diatur denganKeputusan Bupati. Atas dasar itu masyarakat Desa Guguk menyiapkan segala sesuatuyang diperlukan untuk kepentingan pengukuhan. Masyarakat bersama Warsikemudian membicarakan hal-hal yang harus dipersiapkan tersebut dengan BagianHukum dan Dinas Kehutanan Kabupaten Merangin. Dari pembicaraan disepakatiuntuk melakukan drafting bersama Draft Keputusan Bupati dengan terlebih dahulumempersiapkan bahan hukum di Desa yaitu, Piagam Kesepakatan Pengelolaan HutanAdat, SK Kepala Desa, SK Lembaga Adat dan Surat Permohonan Pengukuhan HutanAdat dari Pemerintahan Desa Guguk.

Masyarakat Guguk sangat sadar bahwa pengelolaan sumberdaya hutan yangditerapkan oleh Pemerintah baik secara Nasional maupun di daerah sangatlahmengecewakan. Mereka melihat setiap hari truk-truk hilir mudik mengangkut kayugelondongan maupun balok roti, baik dimasa beroperasinya HPH maupun saat

Page 106: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

84

reformasi. Shawmil (baik yang berizin maupun liar) terus mendekat ke kampung,Hutan-hutan yang tersisa dibalak oleh berbagai pihak yang dilindungi oleh aparatkeamanan dan penegak hukum. Pada tetangga desa mereka, aturan adat nyaris tidaklagi digunakan, kepentingan ekonomi sangat mengemuka. Bahkan masyarakatGuguk menjadi bahan cemoohan, karena masih mau melindungi hutan.

Kondisi ini makin menambah keyakinan masyarakat untuk kembali memberlakukanaturan adat dalam mengelola hutan. Aturan-aturan adat tersebut sudah sangat kentaldengan keseharian mereka, karena memang pada mulanya semua aturan yangmenyangkut pengelolaan sumber daya alam di Marga Pembarap diatur dengankeputusan adat. Aturan-aturan adat tersebut sangat mementingkan aspekkeberlanjutan dan lebih banyak berhubungan dengan pemeliharaan sertapemanfaatan yang tidak bersifat ekploitasi, dan tidak komersil. Selain itu melihatmasih adanya hutan sisa yang dekat dengan lokasi pemukiman dan belumdiekploitasi oleh perusahan serta harus berpacu dengan illegal logging, membuatbeberapa tokoh masyarakat mempunyai pemikiran untuk menyelamatkannya.Gagasan ini terus menguat bahkan telah disyahkan melalui rapat adat tanggal 15Februari 1999. Dalam rapat adat ini mereka telah menetapkan hutan sisa didaerahBukit Tapanggang sebagai calon Hutan Adat Desa yang akan dikelola secara bijaksanauntuk dijadikan penyangga kehidupan mereka saat ini dan untuk anak cucu merekananti. Akan tetapi, masyarakat sendiri masih ragu apakah hutan adat mereka iniakan mendapat pengakuan dari pemerintah, mengingat kawasan hutan tersebut telahditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan produksi ?

Adanya kesepakatan masyarakat dengan PT. INJAPSIN and CO tahun 1999, dimanatelah ditetapkan hutan disekitar Bukit Tapangganng menjadi Hutan Adat DesaGuguk. Kemudian, sebagai tindak lanjut dari kesepakatan tersebut dilakukanpemetaan partisipatif masyarakat dan diikuti oleh BPN dan Warsi pada Bulan Mei2001 luas kawasan tersebut adalah 800. 5 Ha yang menurut tambo adat merupakanhak dari masyarakat Guguk. Pada tingkat selanjutnya, diupayakan pengukuhan hutanadat Desa guguk tersebut melalui SK Bupati. Salah satu upaya yang dilaksanakanadalah dengan mengirimkan surat permohonan pengukuhan hutan adat yangdikirim pada bulan September 2001.Selama menanti tindak lanjut surat tersebut dariBupati, juga terus dilakukan sosialisasi dan advokasi kepada stakeholders yang terkait,seperti kepada Dinas Kehutanan, Biro Hukum dan Organisasi, Biro Pemerintahandan BPN.

Pada tahap ini ditemukan suatu kendala yaitu adanya kekuatan hukum penyerahanBukit tapanggang dan sekitarnya menjadi hutan Adat oleh PT. INJAPSIN and COkepada masyarakat tahun 1999. Untuk mengatasi hal ini juga diupayakanpembahasan dengan instansi terkait di kabupaten Merangin. Hasil dari pertemuan

Page 107: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

85

tersebut disepakati bahwa PT. INJAPSIN and CO harus menyerahkan kawasantersebut kepada masyarakat dalam bentuk Akta Notaris. Untuk menindaklanjutihal ini Masyarakat telah mengirim surat kepada Direksi Injapsin, sedangkan DinasKehutananpun sudah menyurati Direktur PT. Injapsin untuk menanggapi suratmasyarakat tersebut. Sampai saat ini belum ada jawaban dari perusahaan tersebut.

Aspirasi masyarakat dalam mengelola Sumber Daya Alam di desa Guguk, khususnyahutan sebenarnya sudah tertuang didalam piagamkesepakatan masyarakat yangsudah disepakati dan ditandatangani bersama melalui musyawarah desa pada bualanJuli 2001. Piagam kesepakatan tersebut nantinya yang akan dijadikan pedomanteantang tata aturan pengambilan, dan sanksi bagi pelanggaran. Dengan telahdisepakatinya aturan tersebut maka masyarakat berharap ini dapat ditetapkan olehBupati sebagai bentuk pengelolaan oleh masyarakat dan Sekaligus dengan selesainyapeta maka kawasan tersebut dikukuhkan oleh Bupati menjadi hak kelola masyarakatGuguk.

Untuk memastikan keselamatan atas kawasan seluas 690 Ha dari praktek pembalakanhutan, masyarakat Desa Guguk bersepakat untuk mengajukan pengukuhan ataskawasan tersebut kepada Pemda Merangin dengan sebuah Keputusan Bupati.Setidaknya ada 4 (empat) alasan mengapa masyarakat memilih Keputusan Bupatiuntuk memproteksi Hutan Adat tersebut. Pertama, maraknya illegal logging yangmengancam kawasan hutan adat tersebut setiap saat dengan begitu banyaknyashawmill disekitar hutan adat. Kedua, proteksi kawasan kelola tersebut membutuhkanpolitical will dari Pemerintah Kabupaten yang diwujudkan melalui sebuah keputusanpolitik yang cepat, karena hutan adat sudah berada dalam cengkreman pembalakanhutan, sehingga Keputusan Bupati menjadi pilihan strategis karena secara proseslebih gampang dan cepat dilakukan dibanding dengan Perda yang harus melaluipengajuan draft dari Bupati, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan panjang diDPRD dengan kebiasaan debat kusir masih terus berlangsung dan belum tentu jugaDPRD mau membahas Draft tersebut karena bukan merupakan prioritas. Ketiga,kawasan yang akan diproteksi tersebut bersifat kongkrit, maksudnya objek hukum(hutan adat) dan subjek hukumnya (masyarakat hukum adat Desa Guguk) denganpengaturan pengelolaan hutan adat yang jelas pula (piagam kesepakatan), sehinggayang diperlukan itu adalah sebuah penetapan (beschikking) dengan sebuah KeputusanBupati bukan pengaturan (regeling) sebuah Perda, lagi pula Perda tidak mugkinmemuat penetapan, karena sebuah penetapan merupakan sebuah keputusan TataUsaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini Bupati.Keempat, alasan yuridis formal yaitu adanya klausul dalam Perda KabupatenMerangin Nomor 22 tahun 2002 tentang Pengurusan Hutan dan Retribusi HasilHutan, dimana dalam Pasal 14 ayat (2) dinyatakan bahwa ketentuan lebih lanjutmengenai pemanfaatan hutan adat diatur dengan Keputusan Bupati. Penafsiran dari

Page 108: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

86

Pasal 14 ayat (2) tersebut, termasuk didalamnya menetapkan, mengukuhkan dansekaligus memproteksi kawasan tersebut.

Secara khusus aktifitas yang diakukan untuk mendorong terwujudnya kawasankelola rakyat yang dihormati, dilindungi dan diakui oleh Pemerintah Daerah secaragaris besar dilakukan melalui fasilitasi proses pemantapan batas pengelolaan kawasandan mendorong lahirnya payung kebijakan.

Aktifitas yang dilakukan untuk pemantapan batas kelola adalah sebagai berikut :

Ditingkat DesaKKI Warsi telah mendorong dua kali pertemuan di tingkat Desa yang bertikai(Desa Parit Ujung Tanjung dengan Desa Guguk) untuk menegoisasikanpenyelesaian batas wilayah kelola, namun gagal. Karena Desa Parit tidak bersediahadir. Melalui diskusi marathon dengan kedua desa serta buntunya negosiasiditingkat desa, akhirnya masyarakat Guguk sepakat membawa persoalan konfliktatabatas ke pihak Kecamatan.Ditingkat KecamatanMelalui fasilitasi Camat, kedua belah pihak berhasil dihadirkan baik dariPemerintah Desa, lembaga adat, dan pemuda. Tapi pertemuan tetap tidakmembuahkan hasil dan meminta supaya pihak Kabupaten dilibatkan.Hearing dengan DPRD Kabupaten MeranginMembicarakan persoalan pengakuan hutan adat dalam produk hukum daerahserta penyelesaian konflik batas hutan. Dari tiga kali hearing yang dilakukanyang didapat cuma janji muluk anggota dewan yang akan turun kelokasi HutanAdat dan sekaligus menyelesaikan konflik batas.Mendorong Penyelesaian Melalui Pemerintah Daerah Merangin

Pada tahap awal masalah ini didaskusikan dengan Dinas Kehutanan danBagian Hukum Setda Kabupaten MeranginHasil diskusi akhirnya disepakati mengadakan forum multi pihakpenyelesaian konflik batas tersebut. Pihak-pihak yang akan dilibatkan adalah4 Desa Eks. Marga Pembarap, Muspika Kecamatan Sungai manau, LembagaAdat kabupaten, Dinas Kehutanan, Bagian Hukum serta KKI Warsi.

Penyelesaian Melalui Forum MultipihakDalam pertemuan di Hotel Suslinda pada tanggal 25 November 2002 yang dihadirioleh 4 Desa Eks Marga Pembarap, muspika sungai manau, Lembaga Adat Kabupaten,Dinas Kehutanan, Bagian Hukum serta KKI Warsi, disepakati beberapa kesepakatanyang dituangkan dalam Berita Acara yaitu:

Page 109: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

87

1. akan dilakukan pengukuran dan penata batasan ulang antara Desa Gugukdengan Desa Parit Ujung Tanjung oleh Tim independen yang beranggotakanBagian Hukum dan Organisasi, Dinas Kehutanan dan PSH, BPN, MuspikaSungai Manau, Lembaga Adat Kecamatan, Perwakilan Masyarakat Desa EksMarga Pembarap, Lembaga Adat Kabupaten serta Warsi atas fasilitasiPemerintah Daerah Kabupaten Merangin.

2. Desa Parit dan Desa Guguk beserta kedua Desa Lainnya bersepakat untuktidak melakukan aktifitas/ kegiatan eksploitasi hutan dan kayu didalamkawasan calon hutan adat yang akan diukur dan ditata batas ulang sampaikeluarnya SK pengukuhan oleh Bupati Merangin.

3. dengan adanya kesepakatan bersama ini diharapkan dapat mempercepatpengukuhan hutan adat oleh Bupati merangin dan keempat Desa diatas sertapihak-pihak lain terikat dengan kesepakatan ini.

4 apabila terjadi pelanggaran terhadap point kedua maka pelakunya akandiproses menurut hukum yang berlaku.

Mendorong terbentuknya Tim Independen Penyelesaian konflik tata batasdengan SK Bupati Merangin

Berbagai diskusi intensif telah dilakukan dengan Kepala Dinas Kehutanan dan BagianBina Program serta Kabag Hukum dan Kasi Perundang-undangan Setda Meranginsebagai tindak lanjut kesepakatan Suslinda, akhirnya disepakati untuk segeramembentuk Tim dengan SK Bupati. Akhirnya pada tanggal 4 Februari 2003 keluarlahKeputusan Bupati No. 62 Tahun 2003 tentang Pembentukan Tim Terpadu PenangananTata Batas Pengelolaan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Adat Desa Guguk, Tim initerdiri dari Dinas Kehutanan, Bagian Hukum, Tata Pemerintahan, BPN, MuspikaSungai Manau, Lembaga Adat Kecamatan, Lembaga Adat Kabupaten, Kepala DesaEks Marga Pembarap serta KKI Warsi dengan tugas-tugas sebagai berikut:

1. merencanakan dan mengidentifikasi batas-batas hutan adat Guguksebagaimana yang dimohonkan diatas peta.

2. melaksanakan kegiatan tata batas dilapangan dengan tata kerja:berkoordinasi dengan masyarakat atau lembaga adat yang secara pastimengetahui batas-batas hutan adat yang dimohonkan dilapangan.merintis jalur batas sekaligus memasang patok-patok sementara sebagaitanda batas yang mudah dikenali dilapangan.memetakan batas-batas yang telah dibuat di lapangan kemudian hasilnyadituangkan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang ditandatanganioleh seluruh unsur team terpadu sebagai dasar laporan akhir team danbahan diproses lebih lanjut.

Page 110: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

88

3. hasil kerja team sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan 2, dibuat BeritaAcara dan disampaikan kepada Bupati dalam bentuk rekomendasi sebagaibahan kajian untuk mengambil keputusan

Penyelesaian Konflik batas Oleh Tim Terpadu yang dibentuk dengan KeputusanBupati Nomor 62 Tahun 2003

Sosialisasi SK Tim pada tanggal 25 Februari 2003 dengan Masyarakat,Lembaga Adat, Kecamatan dan PemdaRapat Koordinasi Tim, pada tanggal 18 Maret 2003 guna mendudukkan tugasTim, serta hal-hal yang harus dipersiapkan untuk kepentingan tata batas sertakesepakatan turun kelapanganPenataan batas oleh Tim, pada tanggal 29-30 Maret 2003 dengan kesepakatanyang dituangkan dalam berita acara sementara sebagai berikut:a. titik awal ditarik dari Durian Bapaga Batu dengan ukuran kompas 225°

dari utara ke Muara Sungai Tai.b. dari Muara Sungai Tai ditarik lurus dengan sudut 225° dari utara menuju

ketelun muara Sungai Kelensen naik terus kekilometer 68 Jalan Logging.Diskusi dengan Tim di dalam Kawasan Hutan Adat guna menetapkanrencana tindaklanjut yaitu:a. BAP Definitif segera dipersiapkanb. rampungkan peta baruc. Siapkan Draft SK Bupatid. Masalah HP akan diusahakan oleh Warsi Kementri Kehutanane Status Kebun masyarakat akan diperjelas kedudukannyaf. menggelar Workshop KabupatenSosialisai Hasil Tata BatasSosialisasi ini dilakukan pada tanggal 11 April 2003 di Desa Guguk denganmengundang Desa Parit, tapi sayangnya perwakilan Desa Parit tidak bisahadir. Keputusan yang dihasilkan adalah menunggu peta yang dibuat BPNkemudian dipadukan dengan Peta partisipatif yang telah dibuat masyarakatdengan fasilitasi oleh Warsi, setelah itu baru dijadikan alat untukmenyelesaikan konflik tatabatas kawasan antara Guguk dan Parit.Membangun Dukungan Penyelesaian Konflik dengann Tokoh Adat DesaParitUpaya untuk menyelesaikan konflik tata batas dilakukan dengan melakukankomunikasi yang lenih intensif dengan pihak Parit Ujung Tanjung, sebabdesa ini mulai menarik diri dari proses-proses dialog. Secara khusus Timfasilitasi melakukan diskusi dengan Tokoh-tokoh adat desa Parit untukmendudukkan persoalan batas. Hasil diskusi dikomunikasikan kembalidengan masyarakat Guguk dan Pemda. Tapi masih menemui jalan buntu.

Page 111: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

89

Sebab menurut masyarakat Guguk, batas kesepakatan meliputi wilayahDurian bapaga batu ke muara Sungai Tai terus menelusuri Sungai Taicabang dua kemudian ditarik lurus menuju Jalan Logging Kilometer 68.Sedangkan menurut masyarakat Parit Ujung Tanjung batas yang dimintamulai dari Durian bapaga batu ke muara Sungai Tai kemudian membelahdua Bukit Tapanggang menuju Kilometer 68 Jalan Longging dengan alasankalau menelusuri Sungai Tai sampai Sungai Tai cabang dua, maka banyakkebun masyarakat Parit yang masuk dalam hutan adat. Ketidak sepakatanbatas ini, untuk sementara didinginkan kembali. Sebagai alat komunikasidengan kedua belah pihak dan menghindari anggapan keberpihakan, prosesfasilitasi dilakukan dengan melibatkan pihak Pemerintah Kabupaten,khususnya upaya merampungkan Peta BPN yang dapat diterima oleh keduabelah pihak.Koordinasi Strategi Penyelesaian Tata Batas 23 April 2003Tim fasilitasi beserta Ketua Kelompok Pengelola Hutan Adat Guguk (BapakAbu Sama) mendialogkan kembali dengan Dinas Kehutanan, Bagian Hukumdan BPN persolan tata batas terkait dengan tarik menarik kepentingan antaraDesa Guguk dengan Parit Ujung Tanjung. dalam pertemuan tersebutdiputuskan:a. mengeluarkan kebun orang parit sepanjang Sungai Taib. memadukan peta BPN dengan Peta Partisipatifc. Mempersiapkan BAP tata batas sesuai dengan Peta perpaduan tersebut.d. mengadakan pertemuan Tim untuk memfinalisasi hasil tata batasRapat Finalisasi Hasil Tata BatasRapat ini diadakan pada tanggal 30 April 2003 bertempat di kantor DinasKehutanan,dengan tujuan untuk:a. mensosialisasikan hasil tata batas yang telah dituangkan dalam bentuk

peta serta mendudukkan kembali penyelesaian batas untuk mencari titiktemu yang adil dan dapat diterima oleh kedua belah pihak.

b. membahas draft berita acara kesepakatan tata batasc. penandatanganan berita acara kesepakatan dan peta hasil tata batas

Setelah didudukkan kembali dengan jalan memberi pemahaman kepada masyarakatDesa Parit akhirnya mereka menyetujui dan akan menandatangani BAP serta Petadengan syarat mengeluarkan semua kebun mereka yang masuk dalam kawasanhutan adat yang berjarak ± 200 meter dari pinggir Sungai Tai.

Setelah adanya kesepahaman dan kesepakatan tata batas, proses mendorong lahirnyapayung hukum untuk pengakuan kawasan kelola rakyat yang sebelumnya didorongperlahan, akhirnya harus tancap gas dengan kecepatanpenuh. Sebab pasca tata batasserta proses pembelajaran yang melibatkan Pemda dan masyarakat ke Lampung,

Page 112: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

90

para pihak sepakat agar segera didorong payung hukum untuk pengakuan kawasankawasan. Upaya yang dilakukan untuk mewujudkannya adalah sebagai berikut :

Dimasyarakat Dampingan (Desa Guguk)Revisi Piagam Kesepakatan Pengelolaan dan Pemeliharaan Hutan Adat,karena perubahan luasan Kawasan akibat adanya kesepakatan batas yangbaru serta memasukkan ketentuan perlindungan satwa yang didalam piagamsebelumnya belum ada, sekaligus menyempurnakan ketentuan-ketentuanyang belum cukup diatur dengan tegas. Proses revisi ini dilakukan di BalaiDesa Guguk pada tanggal 9 Mei 2003 yang dihadiri oleh segenap unsurmasyarakat yaitu Kepala Dusun, Sekretaris Desa, BPD, Ketua Pemuda, KaumPerempuan, Kelompok Pengelola, Lembaga Adat Guguk, Tokoh Adat sertaKKI Warsi sebagai Fasilitator.Keputusan Kepala Desa Guguk tentang Penetapan Kawasan BukitTapanggang menjadi Hutan Adat Desa Guguk. Proses penyusunannyamelibatkan Kades, Sekdes serta Warsi sebagai Fasilitator.Keputusan Lembaga Adat Desa Guguk tentang Pengakuan Kawasan BukitTapanggang menjadi Hutan Adat Desa Guguk yang melibatkan Tokoh Adat,Lembaga Adat serta Warsi sebagai Fasilitator.Surat Permohonan Pengukuhan oleh Bupati Merangin. dalam hal inidipersiapkan oleh Kades dengan Sekdes, Tokoh Adat serta Warsi sebagaifasilitator.

Proses Drafting di KKI WarsiProses ini dilakukan untuk merampungkan Draft Keputusan Bupati yangmengakomodir keinginan masyarakat, cita hukum serta memasukkan peraturanperundang-undangan yang mengakui, menghormati hak kelola masyarakat.Proses ini sama-sama dilakukan oleh Tim Fasilitasi. Hasil Drafting ini bertujuanmengarahkan pengambil kebijakan di Pemda Merangin untuk tidak menyimpangdari substansi yang disusun dalam draft ini.Menyiapkan dan Menyerahkan Bundel yang berisi Bahan-bahan PendukungKepada Dinas Kehutanan dan Bagian HukumBundel ini sengaja dipersiapkan dan kemudian diserahkan ke Bagian Hukumdan Dinas Kehutanan sebagai upaya mendorong (presure) Pemda Merangin agarsegera menerbitkan SK Bupati, karena persoalan batas sudah selesai dan semuabahan pendukung sudah lengkap, sehingga aspirasi masyarakat harus segeradiwujudkan.Mempersiapkan Draft Bersama. Bahan pendukung (Draft I SKBupati) yang telahsiap kemudian didistribusikan ke Bagian Hukum dan Dinas Kehutanan. Secarakhusus Tim fasilitasi mendiskusikan rancangan dengan Bagian Hukum Setda

Page 113: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

91

Kabupaten Merangin untuk membahas secara substansi maupun argumentasilahirnya SK baik secara filosofis, sosiologis maupun Yuridis. Hasilnya berupaDraft II SK Bupati.Pembahasan Draft II SK Bupati. Draft II Secara intensif didiskusikan denganDinas Kehutanan. Ada beberapa poin kritis yang harus dimasukan kedalam DraftII, yaitu harus secara tegas mencantumkan ketentuan UU No.41 Tahun 1999perihal hutan negara dan ketentuan bertentangan dengan peraturan yang lebihtinggi (azas hukum) atau kepentingan nasional. Hasilnya disepakati Draft ke IIIuntuk dikonsultasikan dengan Bagian Hukum.Pembahasan Draft III SK Bupati. Pembahasan dilakukan dengan Bagian Hukumdan lebih difokuskan dari segi azas hukum, sistematika maupun bahasa hukum,seperti misalnya penyebutan hutan negara dan bertentangan dengan aturan yanglebih tinggi dihilangkan saja, karena sudah merupakan ketentuan dan azasnyahukum. Untuk itu secara intensif Tim fasilitasi harus bolak-balikmenkonsultasikan draft III ini dengan masyarakat Guguk dan Dinas Kehutanan.Pihak Kehutanan masih melihat bahwa draft III harus tetap memasukan apa yangtelah disarankan karena telah sesuai dengan UU No.41. Pandangan DinasKehutanan kemudian didiskusikan kembali dengan Bagian Hukum, sebabmerekalah yang akan merancang peraturannya (Legal Drafter). Akhirnyadicapailah titik temu antara masyarakat, Bagian Hukum dan Dinas Kehutananuntuk tetap mencantumkan saran terkait dengan UU.41. Sebab persoalan tersebuttidak substansial untuk terus diperdepatkan, karena secara utuh drfat tersebutsudah mengakomodasikan aspirasi masyarakat Guguk dan aturan main yangtermaktub dalam undang-undang. Akhirnya semua sepakat bahwa hasil revisidraft III akan difinalisasi menjadi SK Bupati.Finalisasi Draft SK Bupati. Setelah adanya kesepakatan para pihak, draft akhirkemudian ditandatangani oleh Kepala Bagian Hukum Setda KabupatenMerangin. Draft yang telah didisposisi oleh Kepala Bagian Hukum, beserta Petayang telah ditandatangani oleh BPN kemudian di konsultasikan dengan Bupatiuntuk disetujui dan ditandatangani. Akhirnya Bupati Kabupaten Meranginmenandatangani Keputusan Bupati Nomor 287 tahun 2003 tentang PengukuhanKawasan Bukit Tapanggang Menjadi Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat DesaGuguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin tertanggal 2 Juni 2003.

C. Penutup

Setiap saat konflik pengelolaan sumberdaya hutan terus bertambah, sementarakonflik yang terjadi sebelumnya belum terselesaikan. Kalaupun terselesaikan,masyarakat tetaplah menjadi pihak yang dirugikan. Kondisi ini makin meningkatkan

Page 114: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

92

ketidak percayaan terhadap peran lembaga-lembaga formal yang terlibat didalampenyelesaian konflik, dampaknya para pihak yang terlibat konflik akan mencari jalankeluar sesuai dengan kepentingannya. Sehingga terjadilah berbagai tindakan anarkis,baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun Pemerintah dan investor yangdidukung oleh perangkat peraturan dan aparat keamanan, adu domba antaramasyarakat.

Mau tidak mau, kondisi ini harus dicarikan jalan keluarnya. Belajar dari pengalamanlapangan, ternyata keberadaan lembaga perwalian lokal, baik lembaga formal desa,lembaga adat, kelompok pengelola hutan adat, kelompok perempuan pengelolasumberdaya air dan lainnya yang tumbuh dan berkembang dikampung perlu dijajagisebagai lembaga penyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya hutan, paling tidakditingkat mikro. Sebab melihat banyaknya kasus-kasus konflik masyarakat denganactor lain pengguna hutan (Pemerintah, pengusaha, aparat keamanan, masyarakatluar) yang berlarut-larut dan tanpa upaya penyelesaian yang nyata merupakanindikasi kuat bahwa perlu segera dicari lembaga alternativ. Krisis kepercayaanterhadap lembaga formal penyelesai konflik dapat dipahami sebagai sebuahfenomena yang wajar karena aparat yang seharusnya menegakan aturan main dantidak berpihak justru ikut bermain.

Mendorong muncul dan kuatnya lembaga perwalian lokal didalam memfasilitasipenyelesaian konflik pengelolaan sumberdaya hutan menjadi mendesak ditengahbertambahnya ketidak percayaan terhadap lembaga yang sudah ada. Sehinggadengan mendorong inisiatif dari bawah, berbasiskan pada norma yang diterapkansehari-hari oleh masyarakat serta mendapat dukungan dan legitimasi PemerintahDaerah, paling tidak bias menjawab kebuntuan lembaga yang mana yang mampumemfasilitasi penyelesaian konflik. Pembentukan lembaga penyelesai konflik ditingkat kampung, diharapkan dapat diterima oleh semua pihak dan dibentuk sesegeramungkin mengingat penyesaian konflik tidak dapat dibiarkan berlarut-larut karenasudah banyak kerugian yang ditanggung oleh para pihak yang terlibat konflik.Sehingga lembaga ini mampu menghasilkan alternative mekanisme penyelesaiankonflik berdasarkan uji coba ditingkat mikro, untuk kemudian menjadi bahanpembelajaran bagi para pihak lainnya untuk memakai atau memodifikasi sesauaidengan tipologi konflik yang terjadi di wilayahnya.

Perjuangan masyarakat Guguk didalam mendorong proses pengukuhan kawasankelola mereka melalui konsep hutan adat, akhirnya terobati sudah. Pada tangal 11Oktober 2003 Bupati kabupaten Merangin hadir secara langsung untuk mengukuhkanKawasan Bukit Tapanggang sebagai kawasan hutan adat masyarakat Guguk melaluiupacara pengukuhan hutan adat, Setelah berbagai upaya yang melelahkan tentunyaSK Bupati bukan akhir perjuangan, namun awal yang lebih berat dan panjang untukmeyakinkan semua pihak, kalau masyarakat akan mampu mengelola

Page 115: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

93

sumberdayanya secara adil, demokratis dan lestari asal diberi peluang, perlindungan,pengakuan dan penghargaan.

Beberapa upaya yang perlu dilakukan kedepan untuk membangun kelembagaanperwalian local didalam memediasi berbagai konflik yang muncul adalah a)mendorong diakuinya lembaga perwalian lokal secara otonom sebagai lembagaalternative untuk penyelesaian konflik pengelolaan seumberdaya hutan dari levelkampung sampai Kabupaten, b) meningkatkan kemampuan lembaga perwalian lokaldidalam memfasilitasi penyelesaian konflik suemberdaya hutan denganmenggunakan pendekatan peradilan adat dan hukum formal., c) membangun danmengembangkan komunikasi antara parapihak pemangku kepentingan utama(Masyarakat adat dan local, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pelaku DuniaUsaha, Organisasi Non Pemerintah dan Perguruan Tinggi) agar tercapainya kondisiyang saling ,menghormati dan saling mengakui hak dan d) mendorong tersedianyaperaturan didalam mekanisme penyelesian konflik sumberdaya hutan yangmerupakan kombinasi antara aturan adat dan peraturan perundang-undangan yangharmonis dan berkeadilan, sehingga mampu memberikan kepastian penyelesaiankonflik.

Saat ini dukungan dari berbagai pihak mulai didapatkan, Pemerintah Daerah melaluiDinas Kehutanan Kabupaten Merangin telah mengalokasikan dana sebesar 300 jutarupiah untuk rehabilitasi. Kemudian BPDAS Batanghari telah memfasilitasipengembangan bufferzone hutan adat melalui penanaman karet unggul danpengkayaan tanaman hutan. Program-program melalui dana DAK/DR dan GNRHLtelah berhasil diimplementasikan oleh masyarakat dengan mempergunakan renstrakampung yang telah disusun. Penghargaanpun telah diperoleh baik KALPATARUmaupun CBFM Award, selain secara rutin Guguk menjadi lokasi belajar para pihakdidalam pengelolaan sumbedaya hutan berbasiskan masyarakat. Tapi kami tetapberkeyakinan perjuangan baru dimulai, khususnya untuk mulai regenerasikepengurusan, transparansi kelompok didalam pengelolaan sumberdaya yangmasuk, membangun mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis dan yangpaling penting menguatkan keyakinan atas godaan para investor, baik perkebunansawit maupun pertambangan.

Page 116: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

94

Page 117: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

95

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 118: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

96

Page 119: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

97

Page 120: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

98

Page 121: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

99

Page 122: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

100

Page 123: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

101

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 124: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

102

4 4 PRINSIP PERTANAHANPRINSIP PERTANAHAN

Pertanahan Harus Berkontribusi Secara Nyata:I. Untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat;II. Untuk menata kehidupan bersama yang

lebih berkeadilan;III. Untuk mewujudkan keberlanjutan sistem

kemasyarakatan, kebangsaan dankenegaraan Indonesia;

IV. Untuk mewujudkan keharmonisan(terselesaikannya sengketa dan konflikpertanahan).

1. Membangun kepercayaan masyarakat pada Badan Pertanahan Nasional RI

2. Meningkatkan pelayanan dan pelaksanaan pendaftaran tanah serta sertipikasi tanah secara menyeluruh di seluruh Indonesia

3. Memastikan penguatan hak-hak rakyat atas tanah

4. Menyelesaikan persoalan pertanahan di daerah-daerah korban bencana alam dan daerah-daerah konflik di seluruh tanah air

5. Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa dan konflik pertanahan secara sistematis

11 AGENDA BPN RI11 AGENDA BPN RI

Page 125: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

103

6. Membangun Sistem Informasi Manajemen Pertanahan Nasional (SIMTANAS) dan sistem pengamanan dokumen pertanahan di seluruh Indonesia

7. Menangani masalah KKN serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat

8. Membangun basis data penguasaan dan pemilikan tanah skala besar

9. Melaksanakan secara konsisten semua peraturan perundang-undangan pertanahan yang telah ditetapkan

10. Menata kelembagaan Badan Pertanahan Nasional RI11. Mengembangkan dan memperbaharui politik, hukum

dan kebijakan pertanahan (Reforma Agraria).

11 AGENDA BPN RI 11 AGENDA BPN RI ((lanjutanlanjutan))

PIDATO PRESIDEN RI PIDATO PRESIDEN RI (31 JANUARI 2007)(31 JANUARI 2007)

“P rogram Reform a A graria … secara bertahap …akan dilaksanakan m ula i tahun 2007 in i. Langkah itud ilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyattermiskin yang berasa l dari hutan konversi dan tanahla in yang menurut hukum pertanahan kita bo lehd iperuntukkan bagi kepentingan rakyat. In ilah yang saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilandan Kesejahteraan Rakyat … [yang] saya anggapm utlak untuk d ilakukan.”

Page 126: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

104

REFORM A AGRARIA(UUPA, Keputusan MPR No. 5 MPR/2003)

= PEM BARUAN AGR ARIA

(Tap IX/MPR/2001, Keputusan MPR No.5 MPR/2003)

TANAH UNTUK KEADILAN DAN TANAH UNTUK KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN RAKYATKESEJAHTERAAN RAKYAT

I. TAP MPR No. IX/MPR/2001

Pembaruan Agraria: merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kem akmuran bagi seluruh rakyat Indonesia .

DEFINISIDEFINISI

Page 127: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

105

I. TAP MPR No. IX/MPR/2001

Pembaruan Agraria: merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kem akmuran bagi seluruh rakyat Indonesia .

DEFINISIDEFINISI

III. Definisi Operasional

Reforma Agraria :1. Penataan ulang sistim politik dan hukum

pertanahan berdasarkan prinsip pasal –pasal UUD 45 dan UUPA;

2. Proses penyelenggaraan land reform (LR) dan access reform (AR) secara bersama;

RA = LR + AR

DEFINISI (DEFINISI (lanjutanlanjutan))

Page 128: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

106

DEFINISI (DEFINISI ( lanjutanlanjutan))

a. LR adalah proses redistribusi tanah untuk menata Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah berdasarkan politik dan hukum pertanahan.

b. AR adalah suatu proses penyediaan akses bagi masyarakat (Subyek Reforma Agraria) terhadap segala hal yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan tanahnya sebagai sumber kehidupan (partisipasi ekonomi-politik, modal, pasar, teknologi, pendampingan, peningkatan kapasitas dan kemampuan).

I. Menata ulang ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil,

II. Mengurangi kemiskinan,III. Menciptakan lapangan kerja,

IV. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah,

V. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan,

VI. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup,

VII. Meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga.

TUJUAN REFORMA AGRARIATUJUAN REFORMA AGRARIA

Page 129: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

107

I. Melakukan penataan atas konsentrasi aset dan atas tanah-tanah terlantar melalui penataan politik dan hukum pertanahan berdasarkan Pancasila, UUD’45 dan UUPA

II. Mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (Obyek Reforma Agraria) untuk rakyat (Subyek ReformaAgraria)

STRATEGI DASAR RASTRATEGI DASAR RA

OBYEK:Tanah-tanah yang menurut ketentuanperaturan perundang-undangan dapatdialokasikan untuk reforma agraria , seperti: tanah obyek land reform, tanahnegara, dll.

SUBYEK:Orang miskin, seperti buruh tani, petanitidak bertanah (land less)

OBYEK & SUBYEK REFORMA OBYEK & SUBYEK REFORMA AGRARIAAGRARIA

Page 130: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

108

Obyek(Ketersediaan

Tanah)

Subyek(Penerima Manfaat)

Model II(S ? O)

Model III(O ? S)

Model Dasar

Model I(O ? S)

MEKANISME & MEKANISME & DELIVERY SYSTEMDELIVERY SYSTEM

I. Dewan Reforma Agraria (DRA)

Merumuskan dan menetapkan kebijakan sertaevaluasi dan pengendalian pelaksanaan ReformaAgrariaOrganisasi DRA:1. Tingkat Pusat: DRAN2. Tingkat Provinsi: DRAP3. Tingkat Kab/Kota: DRAK

KELEMBAGAAN KELEMBAGAAN RARA

Page 131: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

109

II. Lembaga Pengelola Reforma Agraria Nasional

Lembaga ini berbentuk BLU (BadanLayanan Umum) yang berada di bawahBPN-RI yang salah satu fungsinya adalahmembiayai reforma agraria

KELEMBAGAAN KELEMBAGAAN RARA (( lanjutanlanjutan))

TERIMA KASIH

Page 132: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

110

Page 133: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

111

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 134: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

112

Page 135: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

113

Page 136: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

114

Page 137: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

115

Page 138: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

116

Page 139: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

117

DRAFT BAHAN DISKUSIPEMBARUAN AGRARIA DI KAWASAN HUTAN13

Oleh: Tri Chandra Aprianto14

ITulisan ini merupakan draft bahan diskusi yang membahas kerangka konseptualtentang pelaksanaan reforma agraria dalam pengelolaan hutan. Tentu saja akanmembicarakan proses pembelajaran dari praktek yang terjadi saat ini. Kendatibegitu tidak serta merta hanya membahas bagaimana kerangka konseptualnya.

Pertanyaannya mengapa perlu dilaksanakan? Ada 2 (dua) alasan utama: (i)terdapatnya konflik pengusaan, dan (ii) perlunya penataan pengelolaan sumberagraria dalam kawasan hutan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta

keberlanjutan lingkungan.

Tulisan ini pertama-tama adalah mendeskribsikan bagaimana peta pola-pola konflikyang terjadi di kawasan hutan. Kendati terdapat upaya untuk menyelesaikan denganberbagai inisiatif, salah satunya PHBM. Namun prakteknya, berbagai inisiatif tersebut(malah) menjadi picu bagi konflik baru. Kedua, setelah mendapatkan gambaranmengenai peta pola-pola konflik, kemudian disusun inisiatif penyelesaian tenurialdi kawasan hutan dengan jalan pembaruan agraria.

IIMenurut Himawan Pambudi, Titik krusial paling utama mengenai persepsipembaruan agraria terletak pada istilah penguasaan. Secara substansial istilah tersebut

13 Draft tulisan ini merupakan catatan saya dari serangkaian diskusi yang dilakukan oleh KARSA tentangreforma agraria di kawasan hutan. Sebagian datanya diperoleh dari catatan dan laporan TimMonitoring dan Evaluasi KARSA (Suraya Afiff, Barid Hardiyanto, Himawan, Agung Wibawanto, DeviAnggraeni, Edi Suprapto dan Tri Chandra Aprianto) dalam program SGP-PTF. Terima kasih atas atasini semua. Namun tanggung jawab terletak pada diri saya. Mengingat tulisan ini masih berupa draftyang harus diperbincangkan, mohon untuk tidak dikutip.

14 Ketua Majelis Perwakilan Anggota (MPA) KARSA.

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 140: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

118

mengandung makna distribusi dan jaminan atas sumber-sumber agraria. Pada titikkrusial inilah terdapat 2 (dua) arus pandangan utama, kendati masing-masingmemiliki keyakinan yang sama bahwa sumber agraria harus dikelola oleh rakyat.Akan tetapi dalam tingkatan praksis terdapat perbedaan persepsi diantara keduanya.Persepsi pertama sumber-sumber agraria harus berada di tangan rakyat sampaidengan kepemilikannya (property right). Sementara yang, penguasaan cukup sampaipada pengelolaan atas sumber-sumber agraria (access right).

Pada titik inilah tidak jarang melahirkan konflik. Sehingga dibutuhkan adanyaperaturan. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, aturan-aturan ini mengatur siapa yang berhak untuk membuat keputusan tentangpemanfaatan dan pengelolaan, apa saja aktivitas yang diperbolehkan dan tidak bolehdilakukan, aturan mana saja yang akan digunakan, dan bagaimana sesesorang dapatmemperoleh akses terhadap sumberdaya tertentu (Ostrom, 1990).

Berbagai aturan ini dapat bersumber dari praktek keseharian masyarakat. Praktekkeseharian ini merupakan hasil yang sudah diketahui secara turun menurun, tapidapat juga merupakan aturan main baru yang merupakan respon situasi kekinian.Sumber lain dari aturan ini bisa juga berasal dari aturan hukum yang ditetapkanoleh negara. Dalam implementasinya, berbagai aturan ini dapat saling menunjang,termasuk dapat pula diimplementasikan secara parsial oleh aktor-aktor lapangan,atau malah bertolak belakang antara satu sama lainnya, sehingga berada dalam situasisaling tarik menarik pengaruh dan berkonflik.

Peta Sebaran wilayah kerja dari beberapa ORNOP selama program SPP-PTFTanah Komunal 1. AMAN (Pendokumentasian

kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam di Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar-Jawa Barat dan Masyarakat Marga Pelepat-Jambi)

Kawasan Lindung 1. WATALA (Pengembangan Hutan

Kemasyarakatan Hutan Lindung di Lampung Barat)

2. LPPSP (Kawasan Sabuk Hijau Mangrove yang dikelola Dispenda Kota Tegal yang banyak dikonversi menjadi tambak)

3. MITRA BENTALA (Rehabilitasi Mangrove di Pulau Pahawang - Kawasan hutan lindung Pemda Lampung Barat)

4. Nestari-ICBB (Bioprospeksi di Kawasan Hutan Lindung- Perhutani Jawa Barat)

Page 141: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

119

IIISelain problem tenurial, terdapat kondisi obyektif yang dialami petani hutan di Jawa.Berdasarkan assessment didapatkan ragam masalah yang dihadapi petani:

• Petani hutan tidak mempunyai akses untuk meningkatkan pendapatan.• Sistem pengelolaan hutan yang menempatkan petani hutan sebagai alat. Petani

diberi kesempatan melakukan tumpang sari hanya selama 2 (dua) tahun. Selamaitu pula saat petani memberi pupuk. Artinya daerah tegakan terkena pupuk jugamenjadi subur. Walau begitu petani tidak boleh menanam tanaman di bawahnya.

• Petani tidak mendapatkan hasil apapun dari tanaman utama. Jika punmendapatkan 25% saat PHBM berlangsung (dan masih harus dibagi lagi denganLMDH, Desa, dan lain-lain). Padahal beban yang diterima petani lebih besar,misalnya jika ada tanaman yang hilang petani yang disalahkan. Pengamanansepenuhnya ditanggung petani.

Kawasan Hutan Produksi 1. SILVAGAMA (Pelestarian hutan di

Tanah Timbul Nusa Kambangan yang dikuasai multi pihak: LP Nusa Kambangan/ Depkumham – Perhutani - Pemda)

2. PARAMITRA (Pengorganisasian Masyarakat di Kawasan Perhutani Malang Timur-Selatan)

3. Perkumpulan KARSA (Memfasilitasi negosiasi berbagai pihak di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Sulawesi Tengah)

4. YBL MASTA (Tanah Simpen di Kawasan Perhutani Magelang)

5. LATIN (Pengembangan ekonomi lokal di Kawasan Perhutani Sukabumi)

Kawasan ”Tanah negara” untuk peruntukan lain 1. PMPRD (pengolahan hasil damar di

kawasan hutan negara dengan tujuan istimewa )

2. WALHI Sumatera Selatan (Reboisasi di kawasan ex-tambang/Kawasan hutan Produksi)

Page 142: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

120

• Petani selalu membeli sendiri saprodi yang diperlukan dalam tumpang sari (bibit,pupuk, dan lain-lain). Padahal terdapat ada aturan yang mengatakan bahwa biayakeseluruhan ditanggung oleh Perhutani.

• Pemasaran yang tidak menguntungkan petani hutan.• Sering terjadi jual beli kontrak lahan.• Sering muncul ancaman untuk tidak boleh menggarap lahan berdasarkan alasan

subyektif petugas perhutani.• Terjadi pemiskinan di 6.000 desa pinggiran hutan.• Petani hutan tidak mempunyai akses terhadap kemanfaatan hutan, seperti:

seringnya petani hutan mengalami kekurangan air.• Imbas dari rusaknya hutan akibat penebangan oleh pengusaha (yang berkolusi

dengan pegawai Perhutani) justru dialami petani pinggiran hutan seperti tanahlongsor, angin ribut, banjir bandang, dan lain-lain.

• Petani hutan tidak mempunyai surat hak garap tetap sehingga sering terjadikonflik antar sesama petani maupun antara petani dengan Perhutani.

• Petani hutan tidak pernah menjadi subyek dalam pembahasan kebijakanperhutani, baik itu mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.Padahal petani hutan lebih tahu seluk beluk soal hutan.

IVDalam catatan Suraya Afiff ada 3 (tiga) dimensi institusi yang dikembangkan dalamkonteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat:

1. Pengembangan institusi tata kuasa dan tata guna lahan Kepastian tenurial adalah isu utama pengelolaan hutan berbasis masyarakat,sekaligus ini merupakan prasyarat pengelolaan hutan yang lestari. Kepastian tenurialbanyak dipersoalkan karena banyak yang tumpang tindih dengan klaim negarasebagai ”kawasan hutan.”15 Ketidakpastian penguasaan tenurial seringkali dilihatsebagai salah satu alasan mengapa masyarakat seringkali tidak teralu antusias untukmencari strategi pengelolaan sumber-sumber agraria jangka panjang. Ruang lingkuppersoalan kepastian tenurial ini mencakup kepastian asset dan akses masyarakat atashutan di sekitar mereka hidup, juga terkait dengan pertanyaan seberapa pentingmasyarakat menjadi penentu atas kesepakatan model pengembangan komoditi dan

15 Apa yang terjadi di desa Pipikoro merupakan contoh soal yang nyata, di mana keberadaan desa

Page 143: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

121

pengelolaan sumberdayanya, kepastian waktu usaha, serta kesepakatan pembagianmanfaat hasil hutan secara lebih adil. Pada saat ini, masih sedikit sekali ruang yangdisediakan Departemen Kehutanan untuk mengembangkan model-modelpengelolaan yang lebih berpihak kepada rakyat.

Spektrum Bundle of Rights dalam Model-Model Perhutanan Sosial

Model Hak atas Lahan

Pengaturan tata ruang

fungsi hutan & pertanian

bersama

Akses individu

atas Lahan

Hak mendapat

benefit atas komoditi

kehutanan

Hak Pelepasan

Lahan

Tumpang sari √

PHBM √ √ (bagi hasil)

Hutan Kemasyarakatan

Redistribusi Lahan ke petani

√ Hak milik

privat/ individu

√ √ √

Redistribusi Lahan ke institusi adat

√ Hak Ulayat

Institusi adat

Redistribusi Lahan ke kelompok/ Desa

√ Hak

pengelolan Desa /

kelompok tani

√ √ √

ini sudah di luar daerah teritorial Taman Nasional Lore Lindu. Akan tetapi setelah berjalan, secara tiba-tiba, negara menganggap daerah Pipikoro merupakan salah satu daerah di dalam kawasan hutanNegara. Sehingga klaim saat ini Pipikoro merupakan wilayah hutan. Tentu saja keberadaan masyarakatPipikoro tidak diangap sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Laporan KARSA Palu 2007.

Persoalan kepastian tenurial ini tidak hanya terkait dengan kejelasan akses (propertyrights) masyarakat saja, tetapi juga menyangkut keterlibatan warga desa. Banyaktempat, akses terhadap lahan hutan ini seringkali lebih banyak dikuasai oleh paraelit lokal (baik secara politik, ekonomi atau sosial). Kalaupun dibuat kebijakan bagihasil, seperti pada program PHBM, maka para elit lokal dan penguasa desa biasanyalebih banyak mendapatkan manfaat dibandingkan dengan warga biasa. Kenyataanini menunjukkan bahwa relasi kuasa antar kelompok dalam masyarakat di suatu

Page 144: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

122

desa tidak selalu berimbang. Dengan demikian, dalam melihat model-modelPerhutanan Sosial juga diperlukan fokus analisis yang terkait dengan isu transparansi,akuntabilitas dan ketimpangan penguasaan dalam masyarakat.

2. Pengembangan institusi tata produksi

Ketika kepastian tenurial dapat diperoleh masyarakat, maka tantangan selanjutnyaadalah mengembangkan institusi yang terkait dengan penataan produksi. Terdapat2 (dua) level strategi pengembangan yang perlu dipikirkan: (i) strategi pengembangantata produksi pada tingkat kelompok atau komunitas, dan (ii) strategi pengembangantata produksi pada tingkat skala rumah tangga petani. Strategi ini dilakukan dalamrangka mencari bentuk usaha bersama yang melibatkan semua anggota kelompok.Di sektor kehutanan, salah satu strategi yang sekarang ini banyak mendapat perhatianadalah membangun tata niaga produksi kayu rakyat maupun non-timber forestproduct/sumberdaya hutan non-kayu (NTFP) yang berwawasan lingkungan.

3. Pengembangan institusi tata konsumsi

Perubahan pola konsumsi tidak hanya terjadi pada masyarakat yang tinggaldiperkotaan saja, tapi juga dialami oleh masyarakat pedesaan. Perubahan polakonsumsi umumnya berpengaruh besar pada cara masyarakat menilai sumber-sumber agraria. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal menurutSuraya Afiff dipengaruhi oleh sedikitnya (tiga) faktor: (i) Kondisi fisik dankarakteristik sumber-sumber agraria setempat; (ii) faktor ekonomi-politik padatingkat internasional, nasional, maupun daerah; (iii) faktor dinamika sosial-politiklokal.

VSelain pengembangan institusi, yang dibutuhkan dalam rangka penataan ulang ataspenguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria di Indonesia adalah perubahanparadigma pembangunan nasional. Memang telah ada cara pandang bahwapengelolaan hutan membutuhkan peran serta masyarakat, sebagaimana keinginanDepartemen Kehutanan RI saat ini. Namun dasar dari cara pandang ini basisfilosofinya masih berlandaskan bahwa hutan adalah penghasil devisa negara, baikitu kayu maupun hasil hutan non kayu, termasuk tambang. Pandangan ini sangatberimplikasi pada tidak saja peminggiran local wisdom, tapi juga berlangsungnyaproses dan praktek ke(pe)miskinan secara struktural.

Setidaknya terdapat beberapa hal yang bisa diapresiasi di sini dalam hal terjadinyaperubahan paradigma pembangunan nasional. Program Pembaruan AgrariaNasional (PPAN) menunjukkan tidak sekedar adanya komitmen untuk dijalankannyaPembaruan Agraria di Indonesia yang telah lama macet. Pada tingkat yang lain dapat

Page 145: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

123

juga dilihat sebagai bagian dari upaya untuk melakakukan perubahan paradigmapembangunan nasional, walaupun dalam prakteknya hingga kini belum dijalankan.

Pada tingkat yang lebih lokal, terdapat upaya untuk mewujudkan Hak Kuasa Keloladari masyarakat tani dalam rangka proses penataan ulang hak atas sumber-sumberagraria di Boya Marena, Donggala, Sulawesi Tengah. Pada April 2007 bersama-samaorganisasi pendamping lainnya mencoba untuk mendorong lahirnya kesepakatanpengelolaan sumber daya alam, antara pihak Balai Taman Nasional Lore Lindudengan Masyarakat Adat Kulawi, di Boya Marena, Desa Bolapapu, KecamatanKulawi, Kabupaten Donggala. Hal ini dilakukan karena banyak peraturanperundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber-sumber agrariayang saling tumpang tindih dan bertentangan.

Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari Pembangunan kesepakatanpengelolaan sumber-sumber agraria antara Balai Taman nasional Lore Lindu denganmasyarakat adat Kulawi di Boya Marena ini. Pertama, merupakan langkah nyata yangmengarah pada perwujudan keadilan dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria. Kedua, pembangungan kesepakan ini juga akan memberi jaminanyang lebih kokoh pada kesinambungan fungsi-fungsi ekologis kawasan TamanNasional, di mana di wilayah ini terdapat juga pemukiman yang selama ini telahmengelola kawasan hutan. Bahkan jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagaiTaman Nasional Lore Lindu. Bagi masyarakat Boya Marena, keberlanjutan fungsi-fungsi ekologis hutan merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar.16

Mengingat, pentingnya arti ekosistem hutan bagi kehidupan masyarakat Marena.Dalam hal ini masyarakat Boya Marena memandang hutan bukan hanya satukesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang didominasi pepohonan dalampersekutuan alam lingkungan. Lebih dari itu masyarakat Boya Marena jugamemandang hutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem sosial, ekonomi,budaya bahkan religi. Sehingga kerusakan hutan tidak hanya menurunkan fungsi-fungsi ekologi hutan, melainkan juga mengakibatkan kerusakan konstruksi sosial,budaya serta hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat.17

16 Draft Kesepakatan Pengelolaan Sumber Daya Alam antara Balai Taman Nasional Lore Lindu denganMasyarakat Adat Kulawi di Boya Marena, Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala,Sulawesi Tengah, April 2007.

17 Draft Kesepakatan Pengelolaan Sumber Daya Alam antara Balai Taman Nasional Lore Lindu denganMasyarakat Adat Kulawi di Boya Marena, Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala,Sulawesi Tengah, April 2007.

Page 146: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

124

Kesediaan Pemerintah dalam hal ini Balai Taman Nasional Lore Lindu melakukankesepakan pengelolaan dengan masyarakat Boya Marena menunjukkan adanyaapresisai terhadap pengetahuan indiginous dan kapasitas pengelolaan sumber-sumber agraria yang berakar pada pengingkaran Negera terhadap hak-hakmasyarakat adat di satu sisi, dan penolakan masyarakat terhadap klaim sepihaknegara di sisi lain. Sehingga pada akhirnya kesepakatan ini nantinya dapat menjadijalan baru bagi terwujudnya pengelolaan sumber-sumber agraria yang partisipatif,berkeadilan dan bermartabat yang lebih bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakatdi sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu serta kerberlanjutan kelestarianTaman Nasional itu sendiri.18

VIYang perlu diingat adalah semua faktor ini saling kait mengait dan dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dalam konteks tertentu. Dengan demikian, dapatlahdilihat bahwa pengembangan institusi lokal pada dasarnya adalah suatu upaya yangcukup kompleks dan memerlukan waktu yang panjang untuk mewujudkannya. Olehkarena itu penting sekali bagi para penggiat ORNOP atau organisasi rakyat yangdidampingi untuk memikirkan road map (peta jalan) dari perubahan sosial sepertiapa yang ingin dicapai.

18 Draft Kesepakatan Pengelolaan Sumber Daya Alam antara Balai Taman Nasional Lore Lindu denganMasyarakat Adat Kulawi di Boya Marena, Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Donggala,Sulawesi Tengah, April 2007.

Page 147: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

125

Daftar Pustaka:

Li, Tania M. 2001. Masyarakat adat, difference, and the limits of recognition inIndonesia’s forest zone, Modern Asian Studies 35 (3): 645–676.

Ostrom, Elinor. 1990. Governing the Commons: The Evolution of Institutions for CollectiveAction. Cambridge: Cambridge University Press.

Schlager, Edella and Elinor Ostrom (1992) ‘Property Rights Regimes andNatural Resources: A Conceptual Analysis’ , Land Economics 68(3): 249-262Tri Chandra Aprianto, 2000, Strategi Pemberdayaan Ekonomi Sistem Hutan Kerakyatan

(Sebuah Agenda Penanggulangan Kemiskinan Struktural Sektor Kehutanan)” dalam,“Agenda Penanggulangan Kemiskinan Struktural Focal Point Mayarakat Hutan,”Jakarta: Kerja sama antara The Ford Foundation, KIKIS dan KPSHK.

Page 148: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

126

Page 149: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

127

MAKALAH PENUNJANG

Page 150: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

128

Page 151: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

129

KAUMAN BERTERIAK.....Sebuah kasus yang terjadi di sebuah desa dalam ketidakberdayaan.....

Kisah Tanah GG Di Desa Kauman, Kec Kaliwiro, Kab Wonosobo

Oleh: Yusuf Hidayat dan Fellysianus Arga Narata(Yayasan Koling Wonosobo)

“Sedumuk Bathuk Sanyari Bumi Ditohi Satumekaning Pati”

Sebuah ungkapan yang melekat dibenak masyarakat dusun Kauman desa Kaumankecamatan Kaliwiro, yang masuk dalam kabupaten Wonosobo Jawa Tengah.Ungkapan yang begitu kental dikalangan masyarakat, sebuah perlambangketidakberdayaan masyarakat atas kekuasaan, perlambang milik masyarakat yangpenghabisan, yang sebenarnya lebih merupakan sikap pasrah kepada nasibketimbang sebagai kesadaran awal untuk mempertahankan hak.

Betapa ungkapan ini sangat menyentuh ketika secara luas ditafsirkan sebagai sikapperlawanan yang gigih atas setiap kesewenang-wenangan terhadap hak hidup, hakyang telah dirampas atas sumber kehidupan yang sangat penting bagi masyarakatKauman.

Impian Yang Tergusur Diatas Gelak Tawa

Mungkin akan terasa sangat indah bila saat ini dapat terulang atas ketentraman yangdulu pernah dirasakan, saat-saat penuh kejayaan, kemakmuran dan kepuasan hidup.Masyarakat bisa bertani dan beternak, mereka bisa merasakan dan mengenyam hidupapa adanya sebagai petani.

Namun demikian, seiring berkembangnya jaman, tanah ataupun lahan yang menjadiandalan mereka sebagai sumber penghidupan kini tidak dapat diolah secara leluasa.Lahan tersebut telah dikuasai negara dalam hal ini perhutani. Dasar klaim dariperhutani adalah hak berupa Suppletoir Proses verbal van Grensregelling (berita acaratata batas hutan) yang dibuat pada tanggal 17 agustus 1933 yang bernahasa belanda.Sebuah warisan harta kolonial Belanda yang jika diruntut alur sejarah kita semuatahu bagaimana dulu Belanda merebut segalanya yang dimiliki penduduk.

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 152: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

130

Warisan Kolonial Yang Berujung Pada Pengklaiman Hak

Dianto Bachtiar – Anton Lucas dalam bukunya “ merampas tanah rakyat “menyebutkan pemberian hak erfpacht kepada orang asing atau bukan bumi putra(timur asing dan sebagainya) menyebabkan banyak petani kehilangan hak atas lahangarapan mereka secara de jure, meskipun de fakto mereka masih bisa menggarapnya.Setelah AW ditetapkan pada 1870, penguasaan tanah berskala besar oleh perusahaanatau perkebunan asing memang berkembang pesat, di Jawa misalnya tanahonderneming dan konsesi yang diberikan kepada swasta asing hingga 1930 mencapai1.250.706 hektar. Sementara itu harsono menunjukkan, hingga 1940 terdapat sekitar2.900 swasta yang menguasai 2.250.000 hektar tanah dengan rata-rata penguasaan948 hektar meningkat dari 2.725.000 hektar, kenaikan ini menandai bangkitnyakembali usaha perkebunan swasta di hindia Belanda setelah diterpa great depressionpada 1930, selama masa depresi 1929 – 1940 seluruh produksi perkebunan – dengansatu dua komoditi sebagai perkecualian-menurun.

Tentu saja tanah yang dikuasai oleh swasta jauh lebih luas dibandingkan yangdikuasai oleh Bumi Putra.

Menurut tauchid, rata-rata pemilikan tanah pertanian di Jawa pada 1920 sekitar 1,3hektar per keluarga (terdiri dari 5 orang) pada 1940 angka ini menjadi lebih kecilkarena semakin banyak tanah rakyat yang diberikan kepada swasta, baik secara paksamaupun “ sukarela “.

Setelah perang kemerdekaan, sejumlah perkebunan besar di Indonesia terbengkelaiatau dibiarkan tak berproduksi oleh pemiliknya, pada saat itulah banyak pendudukyang sebelumnya adalah buruh perkebunan atau tinggal disekitar perkebunan, mulaimenggarap lahan berbagai perkebunan tersebut. Menurut perhitungan kasarpemerintah pada waktu itu, dari 200.000 hektar perkebunan di Jawa sekitar 80.000hektar digarap oleh rakyat.

Sebelumnya, pemerintah pendudukan Jepang juga mendorong bahkan memobilisasirakyat untuk menduduki dan menggarap perkebunan milik Belanda, pendudukandan penggarapan perkebunan ini, dalam beberapa hal merupakan bagian darigerakan kemerdekaan Indonesia.

Selanjutnya, berdasarkan salah satu persetujuan konferensi meja bundar (KMB) yangditandatangani pada Desember 1949, pemerintah Indonesia tidak akan mengganggugugat keberadaan perusahaan asing, khususnya perusahaan Belanda, yang telah dansedang beroperasi di Indonesia. Jika pemerintah Indonesia mau mengambilnya makaharus memberi ganti rugi. Tetapi dilapangan masih banyak rakyat yang mendudukidan menggarap perkebunan asing.

Page 153: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

131

Demikian pula berbagai satuan tentara yang tidak mau menerima hasil perjuangandiplomasi – seperti perjanjian Renville, Roem-Rojen, dan KMB. Mereka bahkanmengganggu rakyat yang menduduki dan menggarap lahan perkebunan asing itu.

Keadaan ini memunculkan persoalan yang cukup pelik, menyangkut pengalihankekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah Indonesia. Disatupihak, pemerintah Kolonial Belanda tidak menginginkan kekuasaan ekonominya diIndonesia hilang begitu saja, sementara di pihak lain pemerintah Indonesiamenginginkan proses pengalihan kekuasaan berlangsung secara terhormat melaluijalan hukum. Ini berarti sejumlah hak ekonomi perusahaan asing khususnyaperkebunan Belanda harus tetap dijaga, tetapi hak dan aspirasi rakyat Indonesia yangbaru saja merdeka harus diperhatikan pula. Karena itulah sambil menungguditetapkannya peraturan agraria yang baru, yang mencerminkan maknakemerdekaan yang sesungguhnya pemerintah mengeluarkan UU No.8 darurat tahun1954 tentang penyesuaian pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht. Dan hinggasaat ini ketetapan itu berujung pada pengklaiman hak atas rakyat.

Tapi itulah kenyataannya, pengklaiman atas hak milik setelah Belanda terusir darinegara Indonesia, yang seharusnya apa-apa yang dikuasai Belanda dikembalikanlagi kepada masyarakat setempat. Ini membuktikan bahwa ada kesamaan watak yangmendasar antara pemerintah kolonial Belanda, khususnya pada jaman liberal(sesudah 1870), dan pemerintah orde baru. Persamaan itu adalah lebihmengedapankan kepentingan pengusaha ketimbang rakyat banyak. Hal ini, misalnyaketidak berpihakan nya pemerintah dalam sengketa tanah yang terjadi di dusunKauman.

Bukan persoalan yang mendasar sebenarnya bagi masyarakat pada waktu itu ataspengklaiman hak tersebut, akan tetapi persoalannya terletak pada merembetnyadaerah kekuasaan lahan. Masyarakat sudah terima ing pandum (red Jawa) yangartinya terima apa adanya, kekayaan alam yang sebenarnya dulu direbut oleh Belandadiklaim oleh pihak pemerintah dalam hal ini adalah perhutani.

Geliat Masyarakat Kauman

Jaman berjalan disela-sela keluhan masyarakat Kauman yang berkeinginan untukmemiliki tempat untuk menggembalakan ternaknya yang pada saat itu sebagian besarpenduduk memelihara hewan ternak. Pembahasan-pembahasan pun dilakukanmelalui musyawarah desa yang sepakat untuk membeli tanah yang berada di utaradesa Kauman yang sampai saat ini menjadi tanah GG / Government Ground? (menurutpeta dari pemerintah), yang sebenarnya tanah tersebut adalah tanah hak warga dusunKauman.

Page 154: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

132

Menurut penuturan cerita para sesepuh warga desa Kauman tanah GG awalnya tanah“pangonan” bersama (tanah bersama yang dimanfaatkan sebagai penggembalaanternak). Warga Kauman menyerahkan tanah tersebut untuk dijadikan tanah GG agartidak membayar pajak (karena pajak pada masa pemerintahan kolonial Belanda itumenurut masyarakat dirasakan sangat mahal).

Sekitar tahun 1952 di dusun Kauman marak dengan hama celeng yang mengganggutanaman peduduk, dari hasil kesepakatan penduduk maka tanah penggembalaanternak tersebut yang dipenuhi semak-semak dibabat dengan harapan hama yangtinggal disitu pergi dan tidak mengganggu tanaman penduduk.

Ini bukan persoalan masyarakat merampas dan membabat hutan seenaknya, akantetapi masyarakat memang mempunyai hak atas tanah itu, karena bukti atas tanahtersebut yang berupa peta yang dimiliki oleh desa Kauman dan peta perpajakanpada kantor perpajakan Temanggung ada.

Perum perhutani telah menguasai tanah GG tersebut dengan alas hak berupasuppletoir proses verbal van grensregelling (berita acara tata batas hutan) bahwa padatanggal 17 agustus 1933 comisi/panitia tata batas telah membuat dan menanda tanganiberita acara tata batas, termasuk komplek gunung pogor yang berbatasan dengandesa Kauman. Berita acara itu disahkan pada tanggal 15 Desember 1933, salah satuisi berita acara yang berbahasa Belanda tersebut terjemahannya adalah berita acaratambahan atas peraturan batas wilayah hutan tegal goenoeng Djebaran yang harusdipertahankan, terletak di desa-desa Kaliwiro, Kemiriombo, Kaoeman, Bendoengandan medono dari kecamatan Ngadisno, kabupaten Wonosobo, residensi (bagian)Kedoe, propinsi Java Tengah (inilah perubahan pertama dari proses verbal dariperaturan perhutanan, tanggal 10 Oktober 1923 yang disetujui tanggal 13 Februari1924.

Status Tanah Yang belum Jelas

Di desa Kauman ada beberapa tanah GG, seperti tanah GG tegal sewan di dusunBowongso (sekitar 30 Ha), di dusun Bonegoro (sekitar 15 Ha) dan tanah GG tegalanyang terletak di dusun Kauman dan dusun Kedungrejo (sekitar 27 Ha), tanah-tanahGG di dusun Bonegoro dan dusun Bowongso saat ini telah dikembalikan kepadamasyarakat (dikuasai masyarakat), hanya tanah GG tegalan yang sampai saat inidikuasai Perhutani. (wawancara bersama sesepuh masyarakat desa Kauman : BapakSuyitno / ketua RW, bapak Nuryatman / Kepala Dusun, Bp. Suparjo RT dan bapakturman Mustakim / tokoh masyarakat.

Masyarakat mengakui tanah kehutanan (kawasan hutan) di tanah GG Tegalan ituseluas 16 ha, yang dikelola oleh perhutani lebih dari 16 Ha. Sehingga sisa dari 16 ha

Page 155: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

133

itu seharusnya menjadi milik desa kauman. Dan inilah yang menjadi sumber sengketaantara masyarakat desa kauman dengan perhutani. Masyarakat tidak menuntut tanahGG itu menjadi tanah milik, tetapi diberikan kepada Pemerintah Desa digunakanuntuk kepentingan desa dan dikelola sebagai Hutan Desa. Dengan menjadi hutandesa, masyarakat menjamin akan berubah menjadi hijau royo-royo dan tidak menjadikondisinya seperti sekarang yang terbuka menjadi lahan kritis. Sehingga bahaya tanahlongsor sewaktu-waktu dapat terjadi dan mengancam warga Dusun Kauman.

Kauman Dalam Awang-Awang

Masalah tenurial merupakan masalah klasikal Perhutani, sering masalah ini dianggapsebagai masalah yang ringan, sehingga penyelesaianya terkesan tidak memiliki targetkapan harus selesai. Sejalan dengan dinamika masyarakat dan adanya kepentingan-kepentingan dari dinas / instansi terkait, kawasan hutan menjadi salah satu obyekyang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan / kepentingannya. Perlu dipahamibersama bahwa luas kawasan hutan yang ditekankan mampu berfungsi secaraekologi, ekonomi dan sosial, jumlah minimal menurut peraturan pemerintahRepublik Indonesia No. 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan adalah 30 %dari total luas DAS. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan lainnya harusdiselesaikan secara proposional. Adanya bibrikan, pengakuan hak atas hutandomonitor dan terus menerus diupayakan penyelesaiannya.

Perjuangan yang tak Kunjung Selesai

Dengan bekal bukti peta desa yang ada masyarakat mengurus sengketa ini, akantetapi gagal dan berakibat fatal bahkan 70 orang orang warga dusun Kaumandipenjarakan selama 7 hari.

Sungguh sangat ironis sekali masyarakat Kauman dalam memperjuangkan hakmereka berujung pada terali besi yang seakan-akan mereka dianggap kriminal kelaskakap. Diplomasi pun dilakukan dengan tujuan agar tidak ada lagi kekerasan ataupunanarkis, cukup panjang juga perjuangan masyarakat kauman dalam memperjuangkanhaknya.

Hingga akhirnya perundingan itu mengundang perhatian dari berbagai pihak.

Perundingan yang melibatkan berbagai pihak untuk penyelesaian masalah tersebuttelah dilakukan beberapa kali dan difasilitasi oleh DPRD (komisi B) kabupatenWonosobo. Kegiatan peninjauan lapangan juga telah dilakukan dengan melibatkanDPRD, Dinas Perpajakan, Bappeda, Perum Perhutani dan masyarakat warga desaKauman. Dan tuntutan dari masyarakat warga desa adalah bahwa:

Page 156: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

134

1. Di dusun Kauman desa Kauman kecamatan kaliwiro kabupaten Wonosobo padablok Gunung pogor, ada tanah 16 Ha, tanah kehutanan.

2. kenyataan di lapangan bahwa pemerintah cq. Perhutani menguasai tanah lebihdari 16 Ha

3. dengan demikian sisa tanah yang dari 16 Ha adalah hak atas warga dusun Kaumanyang sampai saat ini masih dikuasai oleh pemerintah cq. Perhutani

4. warga dusun kauman tidak akan mempermasalahkan tanah pemerintah yang 16Ha, tanah kehutanan tersebut yang akan kami permasalahkan atau untukdikembalikan kepada kami yaitu hak atas tanah sisa dari 16 Ha.

Usaha tuntutan hak atas sisa tanah itupun berujung sia-sia, akhirnya usaha tuntutanitu diajukan kepada presiden Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 2003. yangselanjutnya presiden menyerahkan urusan ini kepada BPN Kabupaten Wonosobountuk ditindaklanjuti, namun demikian sesampainya di BPN Kabupaten Wonosobo,kepala BPN Kabupaten Wonosobo Drs. Hartanto ( dalam wawancara langsung )bahwa tanah GG adalah tanah negara, menurutnya dalam UUPA tanah yang dikuasaioleh negara diatur untuk kepentingan negara dan bisa dimohon oleh siapa saja, tanahGG Kauman telah mengalami peralihan dan dijadikan tanah kehutanan, jadi secarade jure masyarakat tidak punya bukti, jadi BPN menganggap kasus tanah GG Kaumansudah selesai dan jika masyarakat masih merasa tidak dapat menerima penyelesaiankasus ini sebaiknya melanjutkan ke pengadilan untuk memperoleh putusan yangmempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Ketika perum Perhutani memberi pandangan, Ir. H. Dwi Witjahjono, MBA kepala(administrastratur) KPH Kedu Selatan bahwa semua masalah bisa diselesaikan asaldirembug secara bersama-sama dan tidak meninggalkan pihak yang memilikiwewenang. Jika masyarakat mengadakan rembug desa bisa mengundang PerumPerhutani. Menarik juga untuk diterima pandangan perum Perhutani KPH KeduSelatan dalam menyikapi kasus tersebut, tapi dilapangan berkata lain, setiap rembugtidak pernah diselesaikan, hanya sebatas wacana dan wacana.

Page 157: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

135

KISAH TRAGIS PETANI DI DESA SIYAI -KABUPATEN MELAWI:

MEMBUAT LADANG, DICIDUK POLISIOleh: Abdias, LBBT - Kalbar.

Sungguh malang nasib beberapa warga kampung Sungkup Desa Siyai kecamatanMenukung Kabupaten Melawi. Setelah selama kurun waktu 3 tahun terakhir ini tidakbisa membuat ladang karena terserang belalang, ketika di tahun 2007 ini inginmembuat ladang kembali dengan harapan belalangnya sudah pergi, malah diserangbelalang berseragam lengkap yaitu polisi dengan tuduhan merusak lingkungan TamanNasional. Peristiwa yang sungguh menusuk hati setiap orang terutama masyarakatyang selama ini hidup dan makan nasi dari hasil ladang.

Peristiwa ini bermula ketika Pak Manan, Pak Toroh, Pak Pori, Ibu Ocik dan Ibu Tiranmembuka ladang di pinggiran sungai Ella yang merupakan kawasan hutan Adatmereka. Oleh pihak Taman Nasional, mereka dilaporkan kepada polisi dengantuduhan merusak lingkungan Taman Nasional.

Laporan pihak Taman Nasional tersebut ditindaklanjuti oleh Polisi. Pada tanggal 15agustus polisi mengecek tempat berladang masyarakat tersebut. Kemudian polisidatang lagi pada tanggal 16 Agustus bersama dengan pihak Taman Nasional. Merekayang datang dua orang berpakaian preman, 4 orang berpakaian dinas. Polisi datanglengkap dengan senjatanya. Kepada pak Ariah mereka mengaku mau menjemputpak Manan dan pak Toro. Pak Riah sempat menjawab” bapak jangan sembaranganmenjemput orang, ini bukan ayam-bukan anjing, mereka ini masih dibawah naunganadat”. Mendengar kata-kata pak Riah, mereka mengancam dengan mengatakanbahwa pak Riah harus berani bertanggungjawab. Namun Pak Riah membalas denganmenyebutkan bahwa dirinya tidak takut bertanggungjawab. Merasa tidak berhasilmenjemput pak Manan dan pak Toroh, polisi dan beberapa orang Taman Nasionalmenyuruh pak Toro dan pak Manan membuat surat pernyataan agar tidak membakarladangnya, lalu pulang. Sebelum meninggalkan kampung, mereka menyatakanbahwa kapan-kapan harus dilakukan pertemuan di Sungkup dengan menghadirkan

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 158: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

136

pihak kecamatan menukung. Masyarakat menyetujui dan mendukung dilakukanpertemuan penyelesaian masalah dengan memperjelas dan menegaskan kembalibatas antara wilayah adat masyarakat dengan Taman Nasional. Namun ternyatasebelum pertemuan yang direncanakan pada tanggal 30 agustus terealisasi, padatanggal 25 Agustus 2007 polisi datang ke km 39 (pondok pak Manan dan pak Toroh)membawa surat penangkapan atas nama pak Manan dan Pak Toro. Suratpenangkapan hanya ditunjukan saja. Sebelum ditangkap pak Toro bilang bahwa diatidak mau di tangkap oleh polisi karena ada kades, kadus dan RT yang bisa mengurusperkara ini. Lalu Manurung (polisi kepala PAM 35 Pt SBK) mengatakan bahwa pakToroh hanya dibawa ke kantor kades Siyai. Namun ternyata pak Toroh bukan dibawake kantor Kades Siyai tapi langsung ke Nanga Pinoh dan ditahan. Surat penangkapanbaru diserahkan kepada keluarga pak toro 5 hari setelahnya.

Setelah ditangkapnya pak Toroh, dilakukanlah pertemuan tanggal 30 agustus yangdihadiri wakil camat, wakil kapolsek, wakil Danramil kecamatan Menukung, PolisiPamong Praja, dan staf kecamatan. Dalam pertemuan ini justru pihak Taman Nasionalyang tidak hadir, padahal mereka yang mengusulkan pertemuan tersebut. Karenapihak Taman Nasional tidak hadir, maka pertemuan tidak menghasilkan sesuatu.Karena tidak menghasilkan sesuatu, maka Kades Siyai dan salah seorang warga DesaSiyai diutus untuk menghadap DPRD dan Bupati kabupaten Melawi di Nanga Pinoh.Namun oleg Camat Menukung dua orang utusan ini dicegah untuk tidak menghadapDPRD dan Bupati. Camat berjanji untuk memfasilitasi pertemuan dengan pihakTaman Nasional. Maka disepakatilah akan melakukan pertemuan tanggal 4September 2007. Maka pada tanggal 4 september 2007 dilakukanlah pertemuan dikecamatan Menukung. Hadir dalam pertemuan ini masyarakat Desa Siyai, Camat,wakil Polsek, wakil Danramil dan pihak Taman Nasional. Dalam pertemuan inimasyarakat minta penjelasan mengenai tapal batas Taman Nasional dengan wilayahadat, dan batas dengan SBK. Namun pihakTaman Nasional yang diwakili Edi tidakberani memberikan keputusan sebelum berkonsultasi dengan pimpinannya aituErwin. Masyarakat juga sempat menanyakan nasib pak Toroh yang ditangkap polisipada tanggal 25 Agustus, namun Edi mengatakan bahwa informasinya setelah 21hari lagi.

Tgl 9 September 07, pak Manan, Ijus (kadus Belaban) dan Pori, turun ke Pinoh dalamrangka memenuhi panggilan ke-2 Polres Melawi sebagai saksi. Karena pak Manansakit, maka yang menghadap ke Polres hanya kepala dusun Belaban dan Pori. Setelahmemberi keterangan di Polres, pak dusun dibolehkan keluar tapi pak Pori langsungmasuk ke tahanan. Dengan ditahankannya pak Pori, bearti sudah dua orang yangditahan.

Page 159: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

137

Tuntutan Masyarakat Ketemenggungan Siyai

Pemanggilan terhadap tiga orang warga yaitu Pak Manan D, Ibu Tiran, Ibu Ocik,serta penangkapan dan penahanan terhadap 2 (dua) orang warga yaitu Pak Torohdan Pak Pori dengan tuduhan merusak lingkungan karena mereka telah membuatladang tidak bisa diterima oleh masyarakat Ketemenggungan Siyai. Bagi merekamembuat ladang merupakan salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupserta merupakan tradisi yang diturunkan secara turun temurun yang pengaturannyaberdasarkan adat istiadat dan hukum adat setempat. Mereka juga tidak terima kalauwarga mereka dituduh membuat ladang di wilayah Taman Nasional. Kemudian yangpaling melecehkan masyarakat adat adalah bahwa salah satu warga yang menjaditarget Polisi adalah temenggung yang merupakan simbol kekuasaan tertinggipemerintahan adat suku Dayak Limbai di kedesaan Siyai. Oleh karena itu sebanyak.....orang warga membubuhkan tanda tangan mereka dalam surat tututan yangditujukan kepada Taman Nasional selaku pelapor dan Polres Melawi yang melakukaneksekusi (penangkapan). Adapun tuntutan mereka adalah sebagai berikut:

1. Menuntut Polres untuk membebaskan warga masyarakat yang ditahan danmenyerahkan proses nya kepada aturan adat/hukum adat setempat;

2. Menuntut Taman Nasional untuk mencabut laporannya terhadap wargamasyarakat Dayak Limbai Ketemenggungan Siyai

3. Menjatuhkan kepada Taman Nasional dan Polres Melawi hukum adatKesupanAdat, Kesupan Masyarakat, Kesupan temenggung dan Kesupan PengurusKampung. Kemudian mereka juga menjatuhkan kepada yang sama hukum adatPerusak nama baik Temenggung dan Masyarakat.

4. Menjatuhkan kepada Taman Nasional Hukum Adat Perampasan Hak, karenaTaman Nasional telah mengklaim Hutan Adat Masyarakat Ketemenggungan Siyaisecara sepihak sebagai Wilayah Taman Nasional.

Surat tuntutan tersebut dibawa dan disampaikan langsung oleh tokoh-tokoh adatdan pengurus kampung beserta masyarakat pada tanggal 19 September ke TamanNasional dan Polres kabupaten Melawi. Walaupun ketika tuntutan disampaikan,Polres dan Taman Nasional tidak mau dihukum adat dengan dalih bahwa merekatunduk kepada hukum Formal, bagi masyarakat adalah yang terpenting TamanNasional dan Polisi tahu bahwa tindakan dan perbuatan mereka telah melanggaraturan adat masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa di Polres dan Taman Nasionalmereka diabaikan, tapi mereka akan menegakan hukum adat ketika Taman Nasionalmasuk ke wilayah mereka, karena wilayah Taman Nasional sesungguhnya beradadi dalam kekuasaan dan naungan hukum adat masyarakat.

Page 160: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

138

Taman Nasional Klaim Hutan Adat

Menurut pak Manan, temenggung suku Dayak Limbai di Kedesaan Siyai yang jugasalah satu target penangkapan Polisi, Taman Nasional telah berlaku tidak adilterhadap masyarakat. Taman Nasional telah merampas hak masyarakatKetemenggungan Siyai yang dikelola secara turun temurun. Pak Mananmenceritakan bahwa menurut sejarahnya untuk mendapatkan wilayah hutan itusekarang ihi nenek moyang harus mempertaruhkan nyawa. Dulu telah terjadipertumpahan darah saat proses penguasaan wilayah adat. Karena menang dalampertempuran itu, maka masyarakat ketemenggungan Siyailah yang menguasai danmemiliki hak atas hutan dan wilayah adat tersebut. Tempat peristiwa pertumpahandarah tersebut masih ada sekarang ini. Pak menambahkan bahwa nenek moyangmereka dulu pun membuat ladang di wilayah itu. Tapi tetap mempertimbangkankeseimbangan alam. Oleh karena itu, ia sangat heran kalau tiba-tiba mereka dilarangmelakukan aktivitas tradisional seperti membuat ladang, meramu, berburu di wilayahmereka sendiri. Menurutnya batas dengan Taman Nasional sudah jelas sejakdilakukan pemetaan partisipatif pada tahun 1998.

Mengenai pemetaan partisipatif tersebut, Lorens (aktivis pemetaan PPSAK PancurKasih) yang pada waktu pemetaan berperan sebagai fasilitator membenarkan bahwamemang telah dilakuka pemetaan partisipatif wilayah adat masyarakat. Sehingga iaheran kalau sekarang justru terjadi polemik antara Taman Nasional dan masyarakat.Apalagi pemetaan tersebut juga diikuti oleh Taman nasional. Menurutnya, pemetaantersebut merupakan pemetaan yang melibatkan banyak pihak mulai dari TamanNasioanal, BKSDA sintang, PT. SBK, Masyarakat, Perguruang Tinggi, dan beberapaLSM. Dan, pemetaan tersebut dilakukan justru dengan tujuan untuk meniadakandan mengantisipati konflik batas.

Kemudian, Yuyun (aktivis Titian), salah satu peserta yang ikut dalam pemetaanwilayah adat masyarakat pada tahun 1998 menjelaskan bahwa pemetaan tersebutsesungguhnya untuk mengetahui sejauh mana daya jelajah masyarakat di wilayahtersebut. Ia menduga pengelola Taman Nasional sekarang ini tidak membaca danmenelusuri dokumen yang lalu, sehingga mereka tidak tahu dan tidak memahamipersoalan dan peristiwa yang pernah terjadi dimasa lalu sehubungan dengan batasTaman Nasional dan wilayah adat masyarakat. Menurutnya Taman Nasionalmemiliki zonasi-zonasinya. Bisa jadi tempat berladang masyarakat yang kemudiandituduh merusak lingkungan masuk dalam Zonasi Pemanfaatan Taman nasional.Kalau begitu keadaannya, masyarakat yang membuat ladang tidak bisa dipersalahkan,mengingat aktivitas tradisional di Zonasi pemanfaatan taman nasinal tetap dibokeh.Ia menyarankan dilakukan pertemuan para pihak untuk kembali melihat dan

Page 161: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

139

memperjelas batas antara wilayah adat masyarakat dan Taman Nasional demikelangsungan Taman Nasinal ke depan.

Mempolisikan Masyarakat, bukan solusi yang tepat.

Menanggapi peristiwa penangkapan warga masyarakat atas tuduhan merusaklingkungan Taman nasional, Concordius Kanyan, direktur LBBT melihat bahwaada upaya sistematis untuk mengkriminalkan masyarakat. Menurutnya sangat tidakmasuk akal Taman Nasional yang baru ditetapkan tahun 1992 justru menyingkirkanmasyarakat yang sudah hidup dan berkembang di situ jauh sebelum ditetapkannyaTaman Nasial Bukit Baka Bukit Raya. Bahkan mereka ada sebelum IndonesiaMerdeka. Yang justru melanggar dan merampas sesungguhnya adalah TamanNasional. Ia menambahkan, menangkap dan mempolisikan masyarakat bukanlahhal yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini, karena hal tersebut justru semakinmemperparah masalah. Dengan peristiwa penangkapan ini mereka bisa sajamelakukan tindakan-tindakan sebagai pelampiasan kekecewaan mereka, yang justrutidak baik bagi keberadaan Taman Nasional sendiri. Mereka bahkan bisa saja menolakkehadiran Taman Nasional. Dan itu adalah hak mereka.

Page 162: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

140

Page 163: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

141

BLORAKonflik Agraria, Pelanggaran HAM

dan Ekspoitasi Berwajah Baru19

Tak jauh beda dengan masyarakat desa hutan di sepanjang Jawa, masyarakat blora tidakmemiliki banyak pilihan untuk bertahan hidup. Keahlian yang hanya bertani tetapi tidakmemiliki tanah mengharuskan petani untuk masuk menggarap di lahan Negara yang daridulu di ‘kelola’ oleh perhutani sebagai hutan jati. Dan itulah mengapa petani masih tetap

mencangkul di lahan Negara hingga sekarang walaupun beribu tekanan di dapatkan dari sisimanapun.

I. LATAR BELAKANG

Blora adalah daerah kabupaten berada dalam lingkup wilayah propinsi Jawa Tengah.Sebelah timur dan barat berbatasan dengan kabupaten Bojonegoro dan Grobogan.Sedangkan sebelah selatan dan utara diapit oleh kabupaten Ngawi dan Rembang.Bagi orang luar, Blora dikenal sebagai daerah yang tandus karena kondisi wilayahBlora adalah perbukitan kapur. Bila musim kemarau sangat sulit untuk mencari air,tanahnya pecah, udara panas dan apabila musim penghujan tanahnya mudah becek.

Wilayah Blora terbagi menjadi dua, yaitu wilayah kekuasaan perhutani danpemerintah Blora. Wilayah Blora yang di kelola oleh perum perhutani kurang lebih49,9 % dari total luas wilayah. Di Jawa, Perum Perhutani dominan memakai sistemmonokultur [jati] dalam pengelolaan tanah hutan. Hal demikian juga berlaku untukwilayah Blora. Hampir separuh dari wilayah Blora ditanami jati, sisa dari wilayahtersebut terbagi menjadi pemukiman, jalan, lahan pertanian fasilitas kantor dansekolah.

19 Ditulis oleh Lidah Tani Blora

Perkumpulan untuk Pembaharuan HukumBerbasis Masyarakat dan EkologisWorking Group on Forest Land Tenure

Page 164: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

142

Prosentase Petani sebesar 59,78%20 dari total penduduk Blora. Sedangkan penggunaanlahan untuk sawah hanya 25,14%. Dan angka prosentase buruh tani juga cukup tinggiyaitu 18,15%. Dari hal tersebut dapat kita lihat dengan jelas, bahwa terdapatketimpangan dalam penguasaan tanah antara petani dengan negara, dan dapat kitahitung juga seberapa luas petani mempunyai lahan, karana di Blora mayoritas adalahburuh tani dan petani gurem.

Blora yang kondisi tanahnya dikenal tandus ternyata banyak menyimpan potensisumberdaya alam yang sangat luar biasa, mulai dari kayu jati kelas satu, sampaisumber minyak dan gas bumi.

Sumber daya alam yang begitu besar, ternyata tidak dapat menjawab masalahkemiskinan yang terjadi di kabupaten Blora, karena semua sumber daya alam yangada dikuasai langsung oleh pusat, di sisi lain pemeritah Blora sendiri seakan hanyatinggal diam.

Kondisi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan sangatlah memprihatikan, di Blorasangat tampak ketimpangan-ketimpangan, mulai dari ekonomi, pendidikan, aksesinformasi, sangatlah tertinggal dibanding dengan daerah-daerah lain.

Tabel. 1 Sebaran penggunaan lahan

Sumber: Kabupaten Blora Dalam Angka, 2000

Tabel. 2 Sebaran mata pencaharian penduduk

Sumber: Kabupaten Blora DalamAngka,2000

Model pemanfaatan Luas (ha) (%)

No Mata Pencaharian

Jumlah (jiwa) (%)

Tanah Sawah 45,772.361 25.1 1 Petani 238,456 59.78 Bangunan dan Pekarangan 16,656.019 9.1

2 Nelayan 113 0.03

Tegalan 30,125.157 16.5 3 Pengusaha 6,996 1.75

Padang rumput 77.375 0.04 4 Pengangkutan 2,719 0.68 Hutan 89,424.005 49.1 5 Buruh Tani 72,411 18.15

Perkebunan 4.000 0.002 6 Buruh Bangunan 9,991 2.54

Total 182,058.917 1.000 7 Buruh Industri 14,867 3.37

8 Pedagang 11,961 2.99

9 Pegawai Negeri/TNI Polri 23,070 5.78

10 Pensiunan 18,255 4.57

Jumlah 398,839 100

20 Kabupaten Blora dalam Angka, 2000

Page 165: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

143

Bagi orang luar, blora masyarakatnya dikenal mempunyai karakter yang sangat keras,sepertihalnya orang madura, dan masyarakat blora tidaklah mudah percaya kepadaseseorang sebelum ada bukti yang nyata, itu dapat kita lihat sepanjag sejarahpemerintahan di blora, tak ada salah satu tokoh penjabat pemeritahan yang melekatdi hati rakyat blora. Menurut cerita lisan masyarakat Blora, karakter yang keras itudi pengaruhi oleh salah satu tokoh Jipang panolan, yaitu Hario penangsang,khususnya mereka yang tinggal di daerah Randublatung dan Cepu.

Kondisi ekonomi yang lemah dan sempitnya lahan pertanian, memaksa masyarakatuntuk masuk kehutan jati dan mengambil kayu, untuk di jual, hasilnya untukmemenuhi kebutuhan keluarga.

Penyebab minimnya lahan pertanian di karenakan adanya ketipangan suber agrariakhusunya tanah, dan di jaman belanda banyak lahan petani yang di minta paksaoleh belanda untuk di jadikan perkebunan jati.

Tatabatas antara tanah penduduk dan lahan yang di kelola oleh perusahan kayuperhutani, sejak dari jaman dulu di tentukan sepihak oleh perusahaan, masyarakatsekitar tak pernah di ajak bicara .

II. SEJARAH KONFLIK

Blora yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari kayu jati sampai dengan minyakdan gas bumi, sejak dari jaman penjajahan sampai sakarang yang katanya sudahmerdeka, ternyata tidak dapat menjawab persoalan kemiskinan yang ada, Blora dieksploitasi sumbar daya alamnya sampai masyarakatnya.

Di jaman belanda petani sekitar hutan di eksploitasi, di paksa untuk menanam jatidan di pekerjakan sebagai belandong (buruh tebang ).

Eksploitasi sumber agraria khususnya jati, minyak dan gas buni maupun eksploitasitenaga manusia petani, memaksa berbagai gerakan protes di berbagai wilayah, untukmelawan kolonial, khusunya di Blora, randu baltung, di motori oleh Saminsurosentiko, adalah merupakan akibat terjadinya serangkaian perubahan dan tekanansosial yang sudah berlangsung cukup lama.

Sampai Indonesia merdeka, kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan jugatak kunjung berubah. Di jaman belanda rakyat petani di di ekploitasi oleh penjajah,kali ini meraka kembali diperas dan ditindas oleh bangsa sendiri, denganmengatasnamakan negara dan untuk kemakmuaran rakyat, Ibarat lepas dari mulutharimau masuk kemulut buaya.

Page 166: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

144

Orang-orang baon [petani penggarap di hutan negara] dan petani sekitar hutan dipaksa untuk mengikuti apa yang sudah menjadi aturan perusahaan warisan daribelanda. Kondisi masyarakat yang lemah, ekonomi, tidak berpendidikan dan tidakpernah mendapat informasi, hanya bisa meneriama dan meng iyakan apa yang dikatakan oleh aturan poerusahaan.

Petani yang tingal di baon, bila tidak mengikuti aturan perusahan, harus siap di usirdan tidak boleh bekerja atau mengarap lahan (sebelum ditanami jati).

Begitu juga masyarakat yang di sekitar hutan untuk mengakses sumberdaya yangada di tengah-tengah jati sangat terbatas, mereka yang mengabil kayu biasanyaditangkap dan di aniaya sampai akhirnya di penjarakan, walau sebenarnya jati ituadalah hasil tanaman petani.

Konflik–konflik antara perusahaan sebagai pengelola dan masyarakat yang menanamdan memelihara sampai jati menjadi pohon besar terus berlanjut, dan semakinmenguat.

Sampai punncaknya pada tahun 1998, di saat reformasi bergema dan di gulirkan,terjadilah panen raya kayu jati di blora. Selain konflik yang berkepanjangan, saat itumasyarakat juga terhipit oleh kebutuhan ekonomi, di karenakan adanya krisismoneter, dan yang sebenarnya memicu masyarakat, yang akhirnya sapai mengamukadalah di tembaknya tiga petani yang masuk hutan mengabil kayu jati, tiga petaniyang di tembak tersebut dua tewas dan yang satunya bisa di selamatkan.

Perusahaan yang merasa paling berkuasa dan berhak, mengunakan nama Negaratidak mau tinggal diam, perusahaan dengan mengunakan kekuatan militermelakukan opererasi dan penangkapan terhadap petani yang mengabil kayu, tetapidisisi lain bandar-badar besar dan aparat yang terlibat tidak pernah mendapatkansangsi apa-apa.

Sampai tahun 2006, khusunya di blora tercatat banyak sekali terjadi pelangaran HAM,mulai dari penganiayaan, penembakan terhadap petani yang masuk kedalam hutandan sampai pemiskinan terhadap masyrakat sekitar hutan jati. Dan yang palingmenyakitkan, di tembaknya seorang petani yang sedang berangkat keladang.

Dari kesekian pelangaran yang di lakukan oleh perusahaan perhutani, tak adasatupun pelaku yang diadili, atau mendapatkan ganjaran atas perlakuanya terhadappetani.

Semua kejadian itu tidak dapat terlupakan begitu saja, karena selama ini petani sekitarhutan dan petani baon yang paling berjasa terhadap keberadaan tanaman jati di blorakhususnya dan di jawa pada umumnya. Perhutani sebagai perusahaan kayu hanyabisa mengklaim telah memanen dan mengaku berhasil mengelola hutan jati.

Page 167: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

145

Petani yang selama ini memeras keringat dan tenaga, mulai mengolah tanah,menanam, memelihara, menjaga dan menebang, tidak pernah diakui akan haknyasemenjak sumberdaya jati masih sampai sekarang; jati habis, petani tidak pernahmendapat apa-apa, kecuali gelar yang diberikan oleh Negara dan perhutani: “PencuriKayu !”.

Negara dan perusahaan perhutani, dengan mengatasnamakan untuk kemakmuranrakyat, sampai sekarang masih menutup mata dan hatinya, mereka masih tidak maumengakui, bahwa hanya petanilah yang sanggup dan mampu megelola tanah dantanaman jati.

Dengan istilah baru (PHBM), Negara dengan menggunakan tangan-tanganperhutani, mencoba membujuk dan merankul petani untuk dapat diekpliotasikembali. Dengan di iming-imingi bagi hasil, masyarakat sekitar jati dibujuk dandirayu supaya petani mau kembali mengikuti aturan yang telah di tetapkan olehperusahaan, dan mau menanam jati untuk perusahaan.

Dengan mengunakan isu Hutan lestari, isu lingkungan, dan juga isu merugikanNegara, masyarakat selau di sudutkan, dibatasi aksesnya terhadap tanaman jati yangada, dan sengaja di singkirkan, dari apa yang seharusnya menjadi HAK! yangmestinya di dapat sebagai rakyat di dalam sebuah negara.

III. KONDISI TERAKHIR

Sampai saat ini konflik antara masyarakat dan pengelola jati masih terus berlanjut,masyarakat megelola lahan-lahan yang di terlantarkan oleh perusahaan, tetapi disisilain perusahan masih bersikeras, bahwa mereka yang paling berhak dan palingsanggup mengelola tanah dan tanaman jati. Korban penangkapan, penganiayaandan penembakan akan masih terus bertambah, seiring dengan pengolaan lahan danjati yang melupakan hak rakyat tani sekitar hutan.

Kayu –kayu yang selama ini menguntungkan segelintir orang akan terus berlumurankeringat dan darah petani yang tinggal di sekitar tanaman jati.

Pihak pemda blora sendiri terkesan tidak mau tahu, dan lebih berpihak kepadaperusahaan dari pada berpihak kepada rakyat petani.

IV. TUNTUTAN

1. Secepatnya di laksanakanya reforma agraria, khususnya di sektor Kehutanan.2. Kembalikan pegelolaan hutan kepada Rakyat Tani, dan Negara wajib

mengakuinya.

Page 168: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

146

3. Negara wajib mengakui hak-hak petani, sebagai warga Negara.4. Adili oknum yang telah menghilangkan nyawa petani dan melakukan

Pelanggaran HAM5. Dengan tegas menolak PHBMa. Karena PHBM adalah bentuk baru Ekploitasi terhadap petani sekitar hutan dan

juga kepada petani yang di baon.b. Proses PHBM yang selama ini di kampanyekan cenderung dan sengaja

membodohkan masyarakat petani hutan dan petani di baon.

Page 169: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

147

Daftar Peserta

No. Nama Institusi dan Alamat 1. A. Taufik BPN Jl. Sisingamangaraja No. 2, Jakarta Selatan Telp. 021 7228901 [email protected] 2. Ade Mutaqin Pokja PSDA Jl. Mampang Prapatan 12 No. 3A, Jakarta Selatan Telp. 021 7976131 3. Aisyah Organisasi Rakyat Kontu Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara Telp. 081341911822 4. Albertus Mardius Jaka Menukung Pastoran Katholik Menukung Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat 5. Amos S. Wunu BirdLife/Pakta Sumba Jln. Soekarno telp. 6. Andri Santosa RMI Jl. Sempur 55 Bogor Telp. 0251-311097 7. Anis Rohmani WG-Tenure Ged. Badan Planologi Kehutanan Jl. Juanda 100 Bogor Telp. 0251-381384 [email protected] / [email protected] 8. Anny Andaryati Samdhana Jl. Guntur No. 32 Bogor [email protected] 9. Ariansyah Mazid Serikat Petani Pasundan Tasikmalaya Jl. Dr. Sukarjo No. 44 Tasikmalaya

Page 170: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

148

No. Nama Institusi dan Alamat 10. Ariyah Permadali Menukung Pastoran Katholik Menukung Kabupaten Melawi Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) Jl. Budi Utomo Blok A5 No. 4 Pontianak, Kalimantan Barat 78241 Telp/fax : 0561-884566 [email protected] 11. Asep Yunan

Firdaus

HuMa Jl. Jati Agung Pasar Minggu, Jakarta Telp./fax : 021-78845871/7806959 [email protected]

12. Bambang Teguh SD INPERS Perum Pondok Gede Permai BC-13 Jember Telp. 081336700332 [email protected] 13. Berton N FWI Jl. Sempur Kaler No. 26, Bogor Telp. 0251 323664 [email protected] 14. Dedi LATIN Jl. Sutra No. 1 Situ Gede Bogor Telp. 0251-42522 15. Dermawati Walhi Kalimantan Selatan Banjarmasin Kal-sel 16. Devi Anggraini KARSA [email protected] 17. Didik Suhardjito Fakultas Kehutanan IPB Darmaga Bogor [email protected] 18. Don Marques ANGOC, Philipina [email protected]

Page 171: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

149

No. Nama Institusi dan Alamat 19. Eko Purwito H SAINS Jl. Malabar 22 Bogor Telp./fax: 0251-374048 [email protected] 20. Emila WG-Tenure Ged. Badan Planologi Kehutanan Jl. Juanda 100 Bogor Telp. 0251-381384/08129922270 [email protected] / [email protected] 21. Erfan Warentahu/WG-Tenure Sumberjaya Lampung Barat Telp./fax : 0723-465097 081369267267 22. Evi PILI Cimahpar Bogor Telp. 0251-657002/08156811935 [email protected] 23. Fellysianus Koling Wonosobo Telp. 08122764221 [email protected] 24. Ferdi M. M Yakines Flores Jl. Batu Cermin Labuan Bajo, Flores, NTT telp. 085239072905 25. Gamma Galudra ICRAF Jl. CIFOR Situ Gede Sindangbarang Bogor Telp. 0251-625415 [email protected]

26. George S AMAN

Telp. 021 7802771 [email protected]

Page 172: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

150

No. Nama Institusi dan Alamat 27. Gunawan Sasmita Direktur Land Reform BPN-RI Jl. Sisingamangaraja No. 2, Jakarta Selatan Telp. 021 7228901 [email protected] 28. I Nyoman Nurdjaja Fakultas Hukum Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 169 Malang 65145 Telp. 0341 553898 [email protected] 29. I. Made Subadia

Gelgel

Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kelembagaan Ged. Manggala Wanabakti Blok I lt. 3 Jakarta

30. Ichwanto M. Nuh WATALA/WG-Tenure

Jl. Teuku Umar No.54/68. Penengahan , Bandar Lampung

Telp. 0721 705068 [email protected] 31. IGN Andila Biro Hukum dan Organisasi Dephut Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta telp. 081310633628 32. Indra Agustiani Serikat Petani Pasundan Garut Jl. Raya Samarang No. 108 Garut Telp. 0262-231849 33. Isty Komah KPP STN Jl. Pustaka Jaya II No. 3 Rawamangun Jakarta Timur 13220 Telp./fax : 021-4757281 [email protected] 34. Iwan Nurdin KPA Jakarta 081548061079

Page 173: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

151

No. Nama Institusi dan Alamat 35. Lia Amalia WG-Tenure Ged. Badan Planologi Kehutanan Jl. Juanda 100 Bogor Telp. 0251-381384 [email protected] / [email protected] 36. Lili Suarni Q-Bar Jl. Bayur I No. 1 Lolong Padang, Sumatera Barat Telp./fax : 0751-40516 [email protected] 37. Lisken Situmorang FWI Jl. Sempur Kaler No. 26, Bogor Telp. 0251 323664 [email protected] 38. Lisman Sumardjani APHI Ged. Manggala Wanabakti Blok IV lt.9 Jakarta Telp./fax: 021-5734395/5732546 [email protected] 39. Lukito Lidah Tani Randublatung Blora LBH Semarang Jl. Parang Kembang No. 14 Tlogo Sari Semarang, Jawa Tengah Telp./fax : 024-6710687/6710495 [email protected] 40. Main YPPR BTN Bumi Arawa Indah Blok T No. 1 Pangkajene Sidrap 085221441056 Sulawesi Selatan 91611 41. Martua Sirait ICRAF/WG-Tenure [email protected]

Page 174: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

152

No. Nama Institusi dan Alamat 42. Melani Abdulkadir

Sunito

Samdhana/IPB Jl. Guntur No. 32 Bogor [email protected]

43. Mia Siscawati RMI Jl. Sempur 55 Bogor Telp. 0251-311097 [email protected] 44. Muh. Holil

Kelompok Tani Rengganis Desa Karang Pakel-Badian, Jember Telp. 0331-7839020

45. Mumu IHSA Telp. 021 75903617 [email protected] 46. Nia Ramdhaniaty RMI Jl. Sempur 55 Bogor Telp. 0251-311097 [email protected] 47. Niken

Sakuntaladewi

FORDA-ICRAF Jl. CIFOR Situ Gede Sindangbarang Bogor Telp. 0251-625415/08159404182 [email protected]

48. Nixen A.L Perkumpulan Bantaya Jl. Tanjung Satu No. 59, Palu Sulawesi Tengah Telp. 0451-425489 49. Nurholid Masyarakat Halimun Bogor Telp. 085697274742 50. Nurlela Badan Planologi Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta [email protected]

Page 175: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

153

No. Nama Institusi dan Alamat 51 Pandong KKI Warsi Jl. Inu Kertapati No. 12 Komplek DPRD Jambi, Kel. Pematang Sulur Telanai Pura, Jambi Telp. 0741-66695, 66678 Fax. 0741 670509 08127402515 52. Paskalis Nai Studio Driya Media Kupang Jl. Ade Irma II 30 A Telp. 0380-825028/081339446611 [email protected] 53. Pastor Ubin Pendamping Masyarakat Adat Pastoran Katholik Nanga Pinoh Lembaga Bela Banua Talino (LBBT) Jl. Budi Utomo Blok A5 No. 4 Pontianak, Kalimantan Barat 78241 Telp/fax : 0561-884566 [email protected] 54. Rahmat Hidayat KKI WARSI Jl. Inu Kertapati No. 12 Komplek DPRD Jambi, Kel. Pematang Sulur Telanai Pura, Jambi Telp. 0741-66695, 66678 Fax. 0741 670509 085239072905 55. Rambu Ida Koppesda Jl. Pierre Tendean No. 1 Waingapu 87111 Sumba Timur NTT 081338737396

Page 176: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

154

No. Nama Institusi dan Alamat 56. Ratih

Chandradewi

HuMa Jl. Jati Agung Pasar Minggu, Jakarta Telp./fax : 021-78845871/7806959 [email protected]

57. Razali Masyarakat Adat Desa Guguk Telp. 085266642754 58. Ronald Ferdaus ARUPA

Karanganyar RT 10 RW 29 No. 200A Sinduadi Mlati

Sleman Jogjakarta Telp. 0274-551571 [email protected] 59. Rujito MW Koslata Mataram Jl. Surabaya 36 Mataram, NTB Telp. /fax : 0370-625457 [email protected] 60. S Diyan JKPM Wonosobo Telp. 085227664799 [email protected] 61. Satyawan Sunito FEMA IPB/Anggota WG-Tenure Darmaga Bogor [email protected] 62. Sirajudin AMAN- Sulawesi Selatan Telp. 0411-440170 081242170005 63. Sungging Jalu S Kompleet Purwokerto Jl. Karang Kobar Gg. Gunung Gede No. 12 Bancarkembar Purwokerto Telp. 0281-630383 [email protected]

Page 177: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

155

No. Nama Institusi dan Alamat 64. Susilaningtias HuMa Jl. Jati Agung Pasar Minggu, Jakarta Telp./fax : 021-78845871/7806959 [email protected] 65. Sutrisno RMI Jl. Sempur 55 Bogor Telp. 0251-311097 66. Suwito WG-Tenure Ged. Badan Planologi Kehutanan Jl. Juanda 100 Bogor Telp. 0251-381384/0811113660 [email protected] / [email protected] 67. Swary Utami D WG-Pemberdayaan [email protected] 68. Syamsuddin Masyarakat Sando Batu Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan 69. Thurman Mustofa Masyarakat Desa Kauman Wonosobo 70. Titik W FKKM Bogor Baru Blok B VI No. 1, Bogor Telp. 0251-323090 71. Tri Chandra

Aprianto KARSA [email protected]

72. Usep S. Serikat Petani Pasundan Garut Jl. Raya Samarang No. 108 Garut Telp. 0262-231849 73. Usep Setiawan KPA Telp. 0818613667 [email protected]

Page 178: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

156

No. Nama Institusi dan Alamat 74. Usman Masyarakat Adat Seko Palopo Sulawesi Selatan 75. Wahyu F LEI Jl. Malabar, Bogor Telp. 0251 340744 [email protected] 76. Yance HuMa Jl. Jati Agung Pasar Minggu, Jakarta Telp./fax : 021-78845871/7806959 77. Yanti Badan Planologi Kehutanan Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta [email protected] 78. Yufik Serikat Petani Pasundan Garut Jl. Raya Samarang No. 108 Garut Telp. 0262-231849

Page 179: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

157

Page 180: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

158

Page 181: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

159

Page 182: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

160

Page 183: Prosiding rtd iii

Permasalahan Tenurial dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan dalam Perspektif Masyarakat Sipil

161

Page 184: Prosiding rtd iii

Proceeding Roundtable Discussion WG-Tenure

162

Page 185: Prosiding rtd iii
Page 186: Prosiding rtd iii

Working Group on Forest Land Tenure (WGWorking Group on Forest Land Tenure (WG--Tenure)Tenure)Kelompok Kerja Multipihak Penanganan Masalah Tenurial Kawasan HuKelompok Kerja Multipihak Penanganan Masalah Tenurial Kawasan Hutantan

Sekretariat:Gedung Badan Planologi

Jl. Juanda 100, BOGORTelp./Fax +62 251 381384

Email: [email protected]

WG-Tenure terbentuk atas rasa keprihatinan berbagai pihak terhadap permasalahan konflik lahan di kawasan hutan yang terus berlangsung. Sementara itu Pemerintah Republik Indonesia berkomitmen kepada CGI untuk menyelesaikan masalah penguasaan pertanahan di kawasan hutan, seperti yang tertuang dalam komitment 11 (1 Februari 2000). Pada saat yang hampir bersamaan dilahirkan TAP MPR no. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Merespons permasalahan tersebut Departemen Kehutanan beserta mitra-mitranya (DFID, NRMP, FF, ICRAF, serta Lembaga Non Pemerintah lain) mempersiapkan terbentuknya Working Group ini. Lokakarya persiapan telah dilaksanakan pada pertengahan tahun 2000 dan Lokakarya Ke II pada Bulan November 2001 sekaligus meresmikan Working Group ini sebagai kelompok kerja Multi Pihak (Pemerintah, DPR, Swasta, Kelompok Tani, Masyarakat Adat, Organisasi Non Pemerintah serta Perguruan Tinggi/lembaga Penelitian) yang bersifat independent. Keanggotaan pengurus Working Group di tunjuk mewakili para pihak, dan pertanggung jawaban pengurus dilakukan kepada keseluruhan anggota working group yang saat ini diwakili oleh 34 lembaga. Setiap anggota working group diperlengkapi surat tugas dari masing-masing instansi/lembaganya. Departemen Kehutanan bertindak sebagai pendukung yang memberikan fasilitas bagi Working Group multi pihak ini.

WG-Tenure merancang roundtable discussion (RTD) untuk melakukan pendalaman /kajian konflik dan perspektif berbagai pihak terhadap konflik dan upaya penyelesaiannya, dengan harapan dapat mengembangkan rekomendasi kepada lembaga atau instansi terkait.

Roundtable discussion (RTD) ini merupakan rangkaian dari RTD sebelumnya yang telah dilaksanakan dengan melibatkan pihak dari Pemerintahan dan private sector. RTD ini terselenggaran atas kerjasama WG-Tenure dengan HuMA untuk melakukan pendalaman masalah tenurial dalam perspektif masyarakat sipil (civil society), terutama dari kalangan kelompok masyarakat, NGO, akademisi dan DPR/DPRD. Selain itu juga untuk memperdalam dan menggali perspektif masyarakat sipil terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sebagai respon terhadap permasalahan konflik tenurial yang terjadi, yaitu PPAN dan PP No. 6/2007. Pengalaman komunitas masyarakat sipil dalam menyikapi konflik tenurial di kawasan hutan dan inisiatif-inisiatif yang dikembangkan untuk menyelesaikan konflik tersebutmemberikan pembelajaran dan pemahaman bersama atas konflik yang terjadi, serta menjadi acuan untuk merumuskan langkah-langkah atau agenda penyelesaiannya.

Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis