Upload
tri-widodo-w-utomo
View
597
Download
0
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA
DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS
PENGELOLAAN DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL
THE RELEVANCE OF DECONCENTRATION IN THE
DECENTRALIZATION ERA: STUDY ON THE EFFECTIVENESS
OF DECONCENTRATION MANAGEMENT IN SOCIAL SECTOR
DISERTASI
Diajukan oleh:
Tri Widodo Wahyu Utomo
07/264426/SMU/493
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN DOKTOR ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI:
STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI
BIDANG SOSIAL
Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor
Dalam Ilmu Administrasi Publik
Universitas Gadjah Mada
Dipertahankan dihadapan Dewan Penguji
Program Doktoral
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal Juli 2015
Oleh:
Tri Widodo Wahyu Utomo
07/264426/SMU/493
PROGRAM PASCA SARJANA
PENDIDIKAN DOKTOR ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Disertasi initidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
sutu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak
terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, Agustus 2015
Yang Menyatakan,
Tri Widodo W. Utomo
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, Dzat Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha
Pemberi Rezeki, Maha Besar, Maha Penyantun, Maha Pemberi
Kecukupan, Maha Benar, Maha Mulia, dan Maha Mengabulkan.
Sungguh hanya atas ridho, bimbingan dan izin-Nyalah penulis bisa
merampungkan penulisan disertasi ini. Permasalahan disertasi ini
sering penulis bawa menghadap Sang Khaliq di tengah malam buta,
penulis sisipkan dalam doa-doa, dan bahkan penulis mohonkan
dengan nadzar-nadzar tertentu.
Bagi penulis, studi S3 dan penulisan disertasi merupakan
salah satu milestone yang sangat penting dalam hidup dan karir
penulis. Ini bukan sekedar keinginan meraih gelar terhormat dalam
jenjang pendidikan, namun juga sebagai upaya untuk memberi contoh
bagi anak-anak penulis bahwa pendidikan itu penting dan harus
dikejar karena merupakan anak tangga menuju kesuksesan dunia dan
kemuliaan akherat. Bagi penulis, menyelesaikan pendidikan juga
adalah wujud bakti selaku anak kepada orang tua dan mertua. Semoga
di masa tuanya, kemampuan penulis menyelesaikan studi akan
memberi segurat kebahagiaan dan sejumput kebanggaan di hati orang
tua penulis, Ibunda R.Ngt. Lestari Sedyati.
Tentu, penyelesaian disertasi ini telah memakan “korban”.
Waktu kebersamaan bagi istri dan anak-anak yang terlalu banyak
tersita, janji yang sering tertangguhkan, kesempatan bercengkerama
yang banyak tidak kesampaian, serta aneka perasaan yang mungkin
tidak terpuaskan. Oleh karenanya, dari palung hati yang terdalam
penulis ingin mempersembahkan karya sederhana ini sebagai wujud
cinta penulis kepada belahan jiwa penulis dunia akherat, R. Kania,
S.Sos, serta anak-anak penulis yang hebat lagi penurut: Nurusyifa
Widia Syafrisna, Rasyanda Zalfanur Nidatama, Najlanur Tria
Mardyanita, Muh. Mizan Abdurrahman, dan Muh. Nizam
Abdurrahim. Merekalah masa depan penulis. Merekalah spirit dan
energi yang terus mengobarkan hasrat penulis untuk berbuat lebih
baik dalam segala hal, lagi dan lagi.
Dukungan moril dan doa dari para senior, guru, sesepuh,
ii
dan pimpinan yang terus menanyakan progres studi penulis seperti
pak Noorsyamsa Djumara, pak Sunarno, pak Bhenyamin Hoessein,
pak Mimtah Thoha, dan ustadz Djam’an yang hampir setiap minggu
mengirim sms kepada penulis, benar-benar menjadi motivasi yang
sangat kuat bagi penulis untuk segera menyelesaikan studi ini, meski
harus terseok-seok. Sungguh penulis malu dan tidak tega untuk
mengecewakan harapan beliau-beliau. Khusus kepada Prof. Dr.
Bhenyamin Hoessein dan Prof. Dr. Miftah Thoha yang sekaligus
merupakan responden kunci dalam penelitian ini, penulis
melipatgandakan rasa berhutang budi pengetahuan yang mendalam.
Juga kepada teman-teman seperjuangan di LAN yang tidak
dapat disebutkan satu per satu, yang telah bersama-sama berdiskusi
tentang topik disertasi penulis atau memikirkan masa depan republik
tercinta, penulis sampaikan apresiasi sebesar-besarnya disertai
harapan semoga soliditas dan integritas selaku insan pemikir akan
terus kita perkokoh dan darmabaktikan untuk kebaikan ibu pertiwi.
Khusus untuk sahabat penulis, Suripto Asli Wong Kebumen yang
dengan tulus ikhlas menunggui penulis hingga larut malam dan
membantu proses pencetakan dokumen, penulis sampaikan terima
kasih yang tidak terhingga.
Akhirnya, disertasi ini tidak pernah akan selesai tanpa
arahan, bimbingan, dukungan, dan kepercayaan dari Promotor
penulis, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA beserta co-Promotor Prof. Dr.
Agus Pramusinto, MDA. Dengan kelebihan pengalaman, superioritas
keilmuan, dan kesabaran yang luar biasa dari beliau berdua, maka
lahirlah karya tulis sederhana ini. Kemurahhatian beliau berdua
terutama disaat-saat akhir penulisan disertasi ini, sungguh
memberikan motivasi dan kekuatan bagi penulis untuk tetap metrus
mengukir mimpi. Kesederhanaan dan kedangkalan disertasi ini
semata-mata terjadi karena kebodohan penulis yang tidak mampu
menangkap pemikiran-pemikiran kelas wahid dari promotor. Untuk
itu, penulis mohon maaf jika tidak mampu memenuhi ekspektasi
promotor untuk menghasilkan sebuah karya yang bernas dan cerdas.
Ucapan terima kasih dan pengahrgaan yang
setinggi-tingginya juga penulis haturkan kepada kaum terpelajar di
lingkungan MAP UGM, Prof. Sofian Effendi, Prof. Warsito Utomo,
iii
Prof. Wahyudi Komurotomo, Dr, Erwan Agus Purwanto, Dr. Agus
Heruanto Hadna, serta mbak Rini, yang secara langsung maupun
tidak langsung sudah banyak mewarnai pemikiran dan jalur hidup
penulis.
Kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan adalah milik
penulis. Dengan kesadaran penuh, penulis mengakui bahwa disertasi
ini teramat jauh dari atribut baik, apalagi sempurna. Bagi penulis,
disertasi ini bukanlah terminal akhir dari perjalanan intelektual,
namun justru menjadi awal dari perjalanan panjang yang harus
penulis tapaki secara konsisten. Untuk itu, dengan kerendahan hati
penulis memohon sumbangan kritik dan saran untuk menjadikan
karya ini lebih layak bagi kehidupan.
Ditengah banyaknya kelemahan, penulis tetap berharap
kiranya karya tulis ini ada manfaatnya bagi dunia keilmuan
administrasi publik serta bagi praktek tata negara di era desentralisasi,
sekecil apapun itu.
Jakarta, 11 Juli 2015
Tri Widodo WU
iv
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................ o
Lembar Persetujuan ................................................................... i
Kata Pengantar ............................................................................. ii
Daftar Isi ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, v
Daftar Tabel ................................................................................ viii
Daftar Box ................................................................................... x
Daftar Gambar ............................................................................ x
Abstrak ...................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................. 1
B. Fenomena Empiris Dekonsentrasi .................... 9
C. Rumusan Masalah / Problematika Penelitian … 21
D. Pertanyaan Penelitian (Research Question) ,,,,,,, 24
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian (Research
Objectives) …………………………………… 25
F. Keaslian Ide dan Originalitas Studi ................. 26
G. Sistematika Penulisan ....................................... 33
BAB II KERANGKA PIKIR DAN METODOLOGI
PENELITIAN
A. Kerangka Pikir Penelitian (Logical Framework
of Research) …………………………………. 37
B. Metodologi Penelitian ....................................... 40
1. Metode yang Digunakan ............................ 40
2. Operasionalisasi variabel ............................ 42
3. Teknik Pengumpulan Data .......................... 43
4. Responden / Sumber Informasi ................... 45
5. Jenis Data / Informasi ................................. 45
6. Teknik Analisis dan Interpretasi ................. 46
7. Pemilihan Lokus dan Fokus Penelitian ....... 48
BAB III REVIEW TEORETIK TENTANG
DEKONSENTRASI
v
A. Konsep Dasar Dekonsentrasi ........................... 51
B. Manfaat Dekonsentrasi ................................... 52
C. Relasi Desentralisasi – Dekonsentrasi ............. 53
D. Dua Sisi Desentralisasi – Dekonsentrasi dan
Kebutuhan Sinergi ............................................ 60
E. Pemencaran Kewenangan sebagai Esensi
Desentralisasi dan Dekonsentrasi ..................... 63
F. Konsep Otonomi Dalam Negara Kesatuan dan
Negara Federal ………………………………. 68
G. Dekonsentrasi di Antara Paradigma Sentralisasi
dan Desentralisasi ............................................. 72
H. Praktek Dekonsentrasi Negara Kesatuan:
Perspektif Internasional .................................. 82
1. China .......................................................... 83
2. Jepang ......................................................... 92
3. Negara-Negara Timur Tengah dan Afrika
Utara (MENA) ............................................ 100
4. Asia Tenggara ............................................. 103
5. Inggris dan Perancis .................................... 104
6. Yunani ........................................................ 106
I. Lessons Learned Penataan Dekonsentrasi untuk
Indonesia Berdasarkan Pengalaman
Internasional ..................................................... 108
BAB IV TINJAUAN NORMATIF DAN EMPIRIS
PELAKSANAAN DEKONSENTRASI DI
INDONESIA
A. Tinjauan Normatif Dekonsentrasi ..................... 113
B. Tinjauan Empiris Dekonsentrasi ....................... 134
C. Tinjauan Tentang Perangkat Dekonsentrasi ...... 150
BAB V KONTEKS DEKONSENTRASI DALAM
PEMBANGUNAN BIDANG SOSIAL DAN
PEMBANGUNAN DAERAH
A. Pembangunan Kesejahteraan Sosial ................. 160
B. Proritas Pembangunan Darah di Kalimantan
Tengah .............................................................. 168
C. Pembangunan Kesejahteraan Sosial di
Kalimantan Tengah ........................................... 175
vi
BAB VI RELEVANSI DEKONSENTRASI BIDANG
SOSIAL BERDASARKAN EFEKTIVITAS
PENGELOLAANNYA
A. Dimensi Program dan Kegiatan Dekonsentrasi ..183
B. Dimensi Anggaran/Pembiayaan Dekonsentrasi.. 205
C. Dimensi Kelembagaan Dekonsentrasi ……… 223
D. Dimensi Mekanisme Perencanaan
Dekonsentrasi ………………………………… 229
E. Dimensi Regulasi …………………………… 233
F. Relevansi Dekonsentrasi Bidang Sosial ........... 239
BAB VII PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................... 247
B. Rekomendasi dan Policy Agenda ..................... 253
Daftar Pustaka ......................................................................... 262
LAMPIRAN
1. Matriks Instrumentasi Penelitian: Daftar Responden dan
Jenis Informasi yang Dibutuhkan
2. Pedoman Wawancara
3. Kesimpulan dan Rumusan Hasil FGD
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian ...................... 43
Tabel 3.1. Ragam Definisi dan Interpretasi Desentralisasi –
Dekonsentrasi ........................................................ 54
Tabel 3.2. Komparasi Desentralisasi – Dekonsentrasi ............ 59
Tabel 3.3. Sharing Tanggungjawab Antar Level Pemerintahan
(Kasus Beberapa Negara) ………………………… 66
Tabel 3.4. Perbandingan Desentralisasi, Sentralisasi dan
Sentripelatism ......................................................... 82
Tabel 3.5. Model Dekonsentrasi – Desentralisasi di Beberapa
Negara .................................................................... 107
Tabel 4.1. Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Berbagai Produk
Hukum tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia
(1948-2004) ............................................................ 113
Tabel 4.2. Pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam
rangka pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No.
7/2008 ..................................................................... 120
Tabel 4.3. Perbandingan Pengaturan Dekonsentrasi Dalam PP
No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 ............................. 123
Tabel 4.4. Perangkat Dekonsentrasi di Indonesia (1948-2004). 154
Tabel 5.1. Jumlah PMKS Tahun 2008 .................................... 161
Tabel 5.2. Jumlah Anak Bermasalah Kesejahteraan Sosial
yang Telah Dilayani (2005-2009) ........................... 162
Tabel 5.3. Program dan Sub-Program Kementerian Sosial …. 164
Tabel 5.4. Sasaran Strategis, IKU, dan Keterkaitan Program
Kementerian Sosial ……………………………… 165
Tabel 5.5. Lima Prioritas Tertinggi Pembangunan Provinsi
viii
Kalimantan Tengah 2011-2015 …………………... 174
Tabel 5.6. Kemiskinan di Kalimantan Tengah ………………. 176
Tabel 5.7. Data PMKS Kalimantan Tengah dan Perbandingan
dengan Total PMKS se-Indonesia ………………... 178
Tabel 5.8. 17 Program Pembangunan Bidang Sosial Provinsi
Kalimantan Tengah 2010-2015 dan Indikator
Kinerjanya ……………………………………….. 180
Tabel 6.1. Program Dekonsentrasi Sosial yang Dilimpahkan .. 184
Tabel 6.2. Rincian Kegiatan Dekonsentrasi Kementerian
Sosial Tahun 2014 ……………………………….. 185
Tabel 6.3. Persandingan Program/Kegiatan Dekonsentrasi
Dengan Program/Kegiatan Provinsi Kalimantan
Tengah Sebagai Daerah Otonom Dalam Bidang
Kesejahteraan Sosial yang Berpotensi Tumpang
Tindih ……………………………………………. 194
Tabel 6.4. Persandingan Program/Anggaran Dekonsentrasi
dengan Program/Anggaran Tugas Pembantuan
Bidang Kesejahteraan Sosial di Prov. Kalimantan
Tengah …………………………………………… 199
Tabel 6.5. Beberapa Contoh Cross-Cutting Issues Program
Kesejahteraan Sosial …………………………….. 202
Tabel 6.6. Perkembangan Anggaran Kementerian Sosial dan
Alokasi Dana Dekonsentrasi 2010-2014 ………… 205
Tabel 6.7. Distribusi Dana Dekonsentrasi Kementerian Sosial
per Provinsi Tahun 2015 (dalam ribu rupiah), dan
Jumlah PMKS Korban Bencana Alam dan Korban
Bencana Sosial Tahun 2012 ……………………… 207
Tabel 6.8. Jumlah dan Distribusi Dana Dekonsentrasi yang
Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
2010-2014 (dalam ribu rupiah) ………………….. 211
Tabel 6.9. Jumlah dan Distribusi Dana Tugas Pembantuan
yang Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun
ix
2010-2014 (dalam ribu rupiah) …………………… 217
Tabel 6.10. Program Kerja dan Jumlah Dana Tugas
Pembantuan yang Diterima Dinas Sosial
Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014 (dalam ribu
rupiah) ………………………………………….. 219
Tabel 6.11. Perbandingan Jumlah Dana Dekonsentrasi dan
Dana Tugas Pembantuan yang Diterima Provinsi
Kalimantan Tengah dengan APBD Kalimantan
Tengah Tahun 2010-2014 ………………………… 221
Tabel 6.12. Unit Kerja di Lingkungan Kemensos yang
Berkedudukan di Daerah ………………………… 224
DAFTAR BOX
Box 6.1. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan
Program Daerah Otonom (Desentralisasi) ……… 198
Box 6.2. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan
Program Tugas Pembantuan ……………………. 200
Box 6.3. Ketergantungan Daerah terhadap Dana
Dekonsentrasi dan Melemahnya Fungsi
Dekonsentrasi Sosial ………………………….. 222
Box 6.4. Kerancuan Kelembagaan Dekonsentrasi ………. 229
Box 6.5. Inefektivitas Perencanaan Dekonsentrasi ……… 233
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Disertasi ...................................... 39
Gambar 6.1. Empat Bentuk Tumpang Tindih Dalam Program
Dekonsentrasi …………………………………... 204
i
Disertasi S-3
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI:
STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI
BIDANG SOSIAL
Abstrak:
Disertasi ini menganalisis relevansi dekonsentrasi dalam
mendukung kepentingan pusat di daerah, ditelaah dari aspek
efektivitas pengelolaan dekonsentrasi dalam dimensi
program/kegiatan, penganggaran, mekanisme, kelembagaan,
dan regulasi dekonsentrasi. Argumen pokok dari disertasi ini
adalah bahwa efektivitas pengelolaan dekonsentrasi akan
menentukan relevansi dekonsentrasi dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi.
Studi ini penting secara teoretik maupun empirik. Secara
teoretik, berbagai referensi menyatakan tentang kemanfaatan
dekonsentrasi di negara kesatuan yang terdesentralisasi.
Namun dalam praktek penyelenggaraan dekonsentrasi di
Indonesia banyak tuntutan untuk mengalihkan program dan
anggaran dekonsentrasi kedalam skema desentralisasi, karena
dekonsentrasi dipandang tidak banyak membawa manfaat
baik bagi pemerintah pusat maupun daerah. Disertasi ini
menegaskan thesis sebelumnya tentang kemanfaatan
dekonsentrasi dengan syarat dapat dikelola dengan efektif.
Adapun secara empirik, disertasi ini berkontribusi untuk
membuktikan dimensi-dimensi pengelolaan dekonsentrasi
yang kurang efektif, sehingga dapat diusulkan rekomendasi
pembenahannya.
Hasil penelitian menunjukkan masih adanya tumpang tindih
program/kegiatan dekonsentrasi dengan program/kegiatan
kementerian maupun program/kegiatan provinsi. Pemerintah
gagal melakukan pembedaan antara program dekonsentrasi
dengan program desentralisasi. Kesamaan program/kegiatan
tadi menjadikan daerah menggantungkan pada kucuran dana
dekonsentrasi untuk membiayai urusan-urusan yang
ii
sebenarnya sudah didesentralisasikan.
Sementara itu, aspek mekanisme pengelolaan dekonsentrasi
juga kurang efektif karena menjadi program rutin yang tidak
memiliki kebaruan, kurang berbasis pada analisis kebutuhan,
dan tidak didukung dengan instrumen monev yang matang.
Demikian pula aspek perangkat kelembagaan mengalami
kerancuan dengan banyaknya unit pusat di daerah.
Keberadaan perangkat daerah yang menjalankan tugas
dekonsentrasi semakin memperumit sistem kelembagaan
dekonsentrasi. Adapun dari sisi regulasi, meskipun fungsi
pemerintah pusat dalam menyediakan seperangkat norma,
standar, prosedur dan kebijakan (NSPK) sudah baik, namun
masih ada kecederungan pusat ingin melakukan sendiri
fungsi-fungsi yang sudah dilimpahkan dengan alasan daerah
belum cukup mampu untuk melaksanakan seluruh urusan
dekonsentrasi.
Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa relevansi
dekonsentrasi melemah akibat tidak efektifnya pengelolaan
asas dekonsentrasi dalam penyelenggaran pemerintahan. Oleh
karena itu, dalam rangka memperkuat relevansi dekonsentrasi,
disertasi ini merekomendasikan untuk dilakukan redefinisi
terhadap konsep dekonsentrasi, dengan mengembalikan
kepada standar internasional namun disesuaikan dengan
konteks Indonesia, dimana dekonsentrasi hanya berlaku untuk
urusan absolut pusat. Pada saat yang sama, diperlukan juga
penegasan kembali tentang apa yang dimaksud dengan
kepentingan pusat di daerah.
Disertasi ini juga merekomendasikan pembagian area yang
lebih jelas antara urusan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas
pembantuan, serta urusan pemerintahan umum. Akhirnya,
disertasi ini mengajukan rekomendasi bahwa sesuai
karakteristik dasar negara kesatuan, maka kebijakan
desentralisasi maupun dekonsentrasi harus bersifat
integralistik. Artinya, keberhasilan kedua asas pemerintahan
tersebut menjadi tanggungjawab bersama seluruh tingkatan
pemerintahan dari yang tertinggi hingga yang terendah.
iii
Doctoral Dissertation
THE RELEVANCE OF DECONCENTRATION
IN THE DECENTRALIZATION ERA: STUDY ON THE
EFFECTIVENESS OF DECONCENTRATION
MANAGEMENT IN SOCIAL SECTOR
Abstract:
This dissertation analyses the relevance of deconcentration
based on the effectiveness of deconcentration management in
terms of its programs/activities, budgeting, mechanism,
institutional arrangement, and regulation. It argues that the
effectiveness of deconcentration management will lead to the
relevance of deconcentration in the framework of
decentralized governance.
Theoretically and empirically, this study is important. From
theoretical perspective, many studies show that
deconcentration provides benefits in the decentralized unitary
state. In the Indonesian context, however, there is growing
demand to integrate deconcentration program and budget
into decentralization scheme due to disability of
deconcentration in producing positive impacts to central and
local government. This study support the previous thesis
regarding the benefits of deconcentration, but only if it’s
effectively managed. From empirical perspective, this study
contributes to explain some dimensions of ineffective
deconcentration management, and proposes some
recommendation of improvement.
The study shows that there is overlapping between
deconcentration programs/activities and ministerial and
provincial programs/ activities. The government has failed to
differentiate between deconcentration and decentralization
program. This situation, in turn, leads to the perplexity of
budget alocation system.
Meanwhile, the mechanism of deconcentration is also
iv
ineffective as it becomes a routine job with very limited
novelty, lack of needs analysis, as well as poor of monitoring
system. In the institutional aspect, some confusion have
emerged since there are so many central government units in
the local level. The local agencies that are managing
deconcentration functions have complicated the situation.
From the regulation perspective, the function of central
institution in providing standard, norms, and procedures is
relatively well managed. However, based on reason of local
incapability, there is a tendency that central institution wants
to conduct deconcentration programs by themself.
The main finding of the research is that the relevance of
deconcentration tends to weaken as a result of
less-effectiveness of deconcentration management. Therefore,
in order to strengthen the relevance of deconcentration, this
dissertation proposes to redefine the concept of
deconcentration. It should be compatible with international
standard, but with local adjusment where deconcentration
only fits with absolute functions of central government.
Simultaneously, clarification on the scope of national interest
in the local level is also needed.
This dissertation also advocates to clarify the area of
decentralization, deconcentration, medebewind /
co-administration, and general affairs of government. Finally,
this dissertation suggests that decentralization and
deconcentration should be integratedly designed. It means
that the success of the two priciples should be proportionally
borne by different level of government.
- 1 -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan ketentuan UU Nomor 32/2004, dalam
penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi. Sedangkan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 20 ayat 2 dan
3). Ketentuan ini dipertegas dalam UU No. 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 5 ayat (4). Keseluruhan asas
tersebut secara filosofis dimaksudkan untuk mewujudkan efektivitas
dan efisiensi tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam
proses mencapai tujuan mensejahterakan rakyat.
Secara eksplisit, klausul Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No.
32/2004 jo. Pasal 5 ayat (4) UU No. 23/2014 diatas menegaskan bahwa
asas desentralisasi dan dekonsentrasi melekat pada sistem
pemerintahan negara, yang merupakan prinsip dasar dalam
penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Ini berarti bahwa asas
desentralisasi dan dekonsentrasi bukan merupakan asas dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana banyak dipahami
secara keliru selama ini. Oleh karena melekat pada sistem
pemerintahan negara, maka baik asas desentralisasi maupun asas
dekonsentrasi didesain sepenuhnya oleh pemerintah pusat, termasuk
dimensi pengawasan dan pertanggung jawabannya dilakukan oleh
(aparat) pemerintah pusat.
- 2 -
Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan
desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah
(khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan
urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian,
demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan”
suatu negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat masih
memiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi
dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja
otonomi di daerah. Hak ”intervensi” Pemerintah atas Daerah ini dapat
dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (K/L), maupun
secara tidak langsung melalui aparatnya di daerah. Menurut UU
Nomor 5/1974 dan UU tentang pemerintahan daerah pada masa
sebelumnya, alat kelengkapan Pusat di Daerah dijalankan oleh instansi
vertikal yang dibentuk sebagai kepanjangan tangan instansi
pemerintah di tingkat Pusat. Sedangkan menurut UU Nomor 22/1999
dan UU Nomor 32/2004, perangkat / wakil pemerintah Pusat di daerah
adalah Gubernur, disamping instansi vertikal yang khusus menjalankan
urusan-urusan absolut (eksklusif) Pemerintah.1
Ini berarti pula bahwa propinsi dalam koridor otonomi daerah
memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat
(aparat dekonsentrasi), namun pada saat yang bersamaan juga sebagai
1 Berdasarkan UU No. 23/2014 provinsi dan kabupaten/kota selain berstatus sebagai
daerah otonom juga merupakan wilayah administratif. Bedanya, wilayah
administratif provinsi adalah wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dan wilayah kerja dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum,
sedangkan wilayah administratif kabupaten/kota adalah wilayah kerja bupati/
walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum saja.
- 3 -
pelaksana otonomi daerah itu sendiri (aparat desentralisasi);
sedangkan pada kabupaten/kota tidak lagi melekat fungsi
dekonsentrasi.
Mengingat tugas desentralisasi provinsi semakin mengecil,
maka fungsi-fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan
(implikasi tugas dekonsentrasi) harus diperkuat. Salah satu manifestasi
dari bekerjanya peran Pemerintah dalam sistem penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah adalah penetapan norma, standar, prosedur dan
kriteria (NSPK) oleh Pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin agar roda otonomi daerah yang bergulir di tingkat provinsi
dan kabupaten/kota tidak salah arah atau menimbulkan ekses-ekses
yang tidak diinginkan. Dalam kaitan ini, fungsi dekonsentrasi menjadi
faktor kunci terhadap sukses atau gagalnya implementasi desentralisasi
politik yang seluas-luasnya (devolution).
Pengalaman internasional mengilustrasikan bahwa
pelaksanaan desentralisasi yang kebablasan justru memberikan
dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi masyarakat daerah.
Disatu sisi, harus diakui bahwa desentralisasi memberi manfaat tinggi
bagi daerah dan masyarakat (Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998;
Rondinelli dan Cheema, 1983; McLean dan King, 1999; Anne Mills
dalam Kolehmainen-Aitken, 1999; Jessica Seddon, 1999; IRDA, 2002).
Disisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Work (2002) atau Moore
dan Putzel (1999), tingkat keberhasilan desentralisasi juga sangat
bervariatif di setiap negara/daerah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
desentralisasi juga membawa dampak buruk yang tidak diinginkan
(Hadiz, 2003; Utomo, 2004).
- 4 -
Dalam rangka mencapai keseimbangan sekaligus mengontrol
dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan desentralisasi
tersebut, maka logis bila pemerintah Pusat masih memainkan peran
dalam siklus kebijakan pembangunan di daerah melalui implementasi
fungsi dekonsentrasi. Dengan kata lain, dekonsentrasi dapat dipandang
sebagai sebuah komponen yang terintegrasi dengan desentralisasi. Hal
ini bertujuan agar daerah yang menyelenggarakan fungsi desentralisasi
tidak menjadi semakin selfish atau memiliki ego yang berlebihan
dalam memikirkan daerahnya sendiri. Dengan penguatan
dekonsentrasi, kebijakan pembangunan sebuah daerah dapat selalu
ditempatkan dalam konteks pembangunan yang lebih luas dan strategis
(embedding local policy into broader context of national development
and interest). Disinilah manfaat dekonsentrasi sebagai penyeimbang
arus desentralisasi yang begitu deras.
Hasil penelitian Mark Turner (2002) menunjukkan bahwa
dekonsentrasi di Kamboja memberikan manfaat yang sangat bervariasi,
sementara desentralisasi gagal memenuhi harapan yang ditetapkan
sebelumnya. Beberapa keuntungan dari dekonsentrasi ini menurut
Turner (2002: 354) adalah sebagai berikut:
� Accessibility of officials. Officials are available for
consultation, advice, and complaint. As local officials can
exercise decentralized authority, they make the decisions
and do not need to pass them up the line to distant central
offices.
� Mobilization of local resources. It is easier for locally based
officials to identify local resources, both human and
physical, and then mobilize them in the pursuit of locally
determined developmental purposes. Officials should also
be familiar with specific local constraints and the dynamics
of local politics.
- 5 -
� Rapid response to local needs. Officials are better placed to
respond rapidly to local needs as they are in the territory
and fully aware of local conditions.
� Orientation to the specific local needs. Because officials
know the local conditions, they are well placed to make
decisions and allocate resources which fit with the specific
conditions prevailing in a particular territory. Each sub-
national territory may have some unique features which can
be taken into account when planning and allocating
resources.
� Motivation of field personnel. Appointed government
officials are more motivated to perform well when they have
greater responsibility for programs they manage.
� Inter-office coordination. Coordination between offices
dealing with different functions is more easily achieved at
the local level where officials are physically close together
and are often familiar with each other.
� Central agencies. The decentralization of service functions
relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for
these has been passed down to the local level. Central
agencies can thus focus on improving the quality of policy.
Monitoring local-level performance and providing
assistance to sub-national units are key element of this
reformulated central government role.
Dengan demikian, pentingnya fungsi dekonsentrasi ini bukan
hanya sebagai perekat antara kepentingan nasional dengan kepentingan
daerah, namun lebih dari itu adalah menjamin terlaksananya
penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pembangunan dan
pelayanan secara lebih efektif dan efisien. Dan untuk menopang
pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi tadi, maka wajar jika
pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah dana (Dana
Dekonsentrasi) kepada pemerintah provinsi (cq. Gubernur) selaku
Wakil Pemerintah yang mengemban fungsi dekonsentrasi. Artinya,
dana dekonsentrasi adalah instrumen finansial yang disediakan untuk
menjalankan fungsi-fungsi dekonsentrasi yang telah ditetapkan atau
- 6 -
direncanakan sebelumnya (money follows function).
Dekonsentrasi sendiri merupakan sebuah mekanisme
pembagian tanggungjawab antar level pemerintahan (sharing of
responsibility among multi-tiered of government) yang terjadi
diseluruh negara. Menurut OECD (1997), tidak ada satupun negara di
dunia yang tidak menerapkan prinsip dekonsentrasi, dengan
menegaskan bahwa “deconcentrated administrations exist in all
countries”. Pada pertemuan tingkat Menteri negara-negara OECD
tentang pelayanan publik masa depan (Ministerial Symposium on the
Future of Public Services) bulan Maret 1996, di Paris, pimpinan OECD,
Alice Rivlin, menyatakan sebagai berikut:
Developments are forcing, as well as enabling, changes in the
structure and boundaries of government. There has long been
a debate about the size of government, as well as whether to
centralize or decentralize. We must now be willing to move in
both directions -- decentralizing some functions while
centralizing other critical policy-making responsibilities. Such
changes are under way in all countries.
Dalam prakteknya, upaya membagi tanggung jawab antar level
pemerintahan tadi dapat dilakukan melalui model desentralisasi politik
atau devolusi (penyerahan tanggung jawab), atau melalui model
dekonsentrasi (pelimpahan wewenang / tanggungjawab). Dengan kata
lain, wacana desentralisasi dan dekonsentrasi harus dipandang sebagai
bagian integral dari proses pembangunan bangsa (nation building),
sehingga adanya kejelasan fungsi antara pemerintah Pusat, Pemerintah
daerah, dan Wakil Pemerintah Pusat di daerah, menjadi sebuah
keniscayaan. Dalam konteks penelitian ini, maka perlu lebih penegasan
tentang pembagian tugas, peran dan tanggung jawab antara Pemerintah
- 7 -
Pusat dengan pemerintah Provinsi (cq. Gubernur) selaku wakil /
representasi pemerintah Pusat.
Dalam konteks pemencaran kewenangan tadi, maka urusan
pemerintahan dapat dilakukan dengan beberapa pola atau mekanisme.
Menurut pasal 10 UU Nomor 32/2004, pola-pola penyelenggaraan
urusan tadi dapat diaktualisasikan melalui 3 (tiga) modus, yakni:
1. Pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau
2. Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan
kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di
daerah, atau 3. Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah
dan/atau pemerintahan desa.2
Pola pertama pada hakekatnya adalah manifestasi asas
sentralisasi, dimana urusan pemerintahan tertentu dilaksanakan sendiri
oleh pemerintah, dan tidak diserahkan ataupun dilimpahkan kepada
pihak lain. Selanjutnya, pola kedua adalah penceminan dari
pelaksanaan asas dekonsentrasi, sedangkan pola ketiga adalah
penjabaran asas tugas pembantuan. Selain ketiga pola
penyelenggaraan urusan tersebut, sesungguhnya masih dapat ditambah
1 (satu) pola lagi yakni penyerahan urusan sepenuhnya kepada unit
pemerintahan otonom, yakni Pemerintah Daerah. Pola terakhir ini
sering dikenal sebagai asas desentralisasi.
Secara teoretik, tidak ada satupun artikel atau berani
menyatakan bahwa model yang satu lebih baik atau lebih efektif
dibanding model lainnya. Pilihan kebijakan tentang model
2 Dalam UU No. 23/2014 tidak ada lagi pengaturan tentang tiga bentuk/model
penyelenggaraan urusan tersebut. Meskipun demikian, ketiga bentuk tersebut
masih berlaku dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia saat ini.
- 8 -
penyelenggaraan urusan mana yang dianggap paling baik, tentulah
didasarkan pada kondisi obyektif dan kebutuhan pemerintah dan
masyarakat, serta manfaat terbesar yang dapat dihasilkan masing-
masing model. Itulah sebabnya, praktek penyelenggaraan
pemerintahan di berbagai negara menunjukkan adanya kecenderungan
untuk menggabungkan pola desentralisasi dengan dekonsentrasi (lebih
detil baca Bab III dan IV).
Apapun model / pola yang dipilih, satu hal harus mendapat
jaminan, yakni bahwa kebijakan, kepentingan dan target-target
pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah (Pusat) harus dapat
berjalan dengan baik dan optimal di seluruh wilayah negara. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa asas desentralisasi atau dekonsentrasi
bukanlah sebuah tujuan, namun hanya merupakan instrumen untuk
mendukung agar kebijakan dan program nasional dapat mencapai
tujuan yang ditetapkan.
Di Indonesia sendiri, pemerintah nampaknya masih terus
mencari model terbaik penyelenggaraan pemerintahan serta pola
hubungan pusat dengan daerah. Hal ini terlihat dari upaya yang belum
tuntas untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 32/2004 dan
peraturan terkait lainnya. Proses pencarian bentuk ini mengilustrasikan
bahwa derajat kontribusi asas desentralisasi dan dekonsentrasi bagi
penyelenggaraan pemerintahan selama ini belum terpetakan secara
jelas. Selain itu, keseimbangan konseptual antara desentralisasi dan
dekonsentrasi juga belum tergambar dengan gamblang.
Dewasa ini, dekonsentrasi justru sering dipandang sebagai
pelengkap belaka dari asas desentralisasi. Tingkat urgensi dan
- 9 -
relevansi dekonsentrasi belum mendapat pengakuan yang memadai.
Malahan dalam implementasi sehari-hari, ditemukan banyak sekali
kelemahan mendasar dalam praktek dekonsentrasi. Ironisnya, hingga
saat ini belum ada langkah-langkah konkrit untuk mengatasi berbagai
permasalahan dalam implementasi dekonsentrasi tersebut. Akibatnya,
keluhan tentang praktek dekonsentrasi dan temuan-temuan
penyimpangan dari pengelolaan program dan dana dekonsentrasi, terus
terjadi dan berulang setiap tahun (lihat sub-bab B dibawah).
Mengingat situasi yang demikian kompleks sebagaimana
paparan diatas, serta hasrat intelektual untuk lebih mempejelas pola
kebijakan di Indonesia tentang hubungan desentralisasi dan
dekonsentrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka
penulis tertarik untuk mengangkat issu tentang relevansi fungsi
dekonsentrasi dalam mendukung kebijakan nasional di daerah
sekaligus mendukung kebijakan dan pembangunan daerah otonom,
kedalam sebuah penelitian Disertasi.
B. Fenomena Empiris Dekonsentrasi
Selain didasarkan pada kerangka berpikir teoretis sebagaimana
dikemukakan diatas, pentingnya penelitian tentang dekonsentrasi juga
dilandasi oleh berbagai fenomena empiris yang berkembang dewasa
ini. Beberapa fenomena dibawah ini mengilustrasikan bahwa
dekonsentrasi belum terdefinisikan secara konkrit dan operasional.
Masih terdapat kebingungan dan kekaburan tentang makna yang
sebenarnya dari dekonsentrasi, sehingga dalam tataran
implementasinya juga menjadi kabur. Adapun beberapa fenomena
- 10 -
tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. Urusan atau wewenang yang dilimpahkan Pemerintah kepada
Gubernur sampai sekarang belum terdefinisi secara limitatif,
sehingga menyebabkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan
program dekonsentrasi menjadi sangat rendah. Hal ini juga
membuka kemungkinan terjadinya pembiayaan program / proyek
secara rangkap baik oleh APBN maupun APBD (double financing),
yang menyebabkan terjadinya inefisiensi besar dalam sistem
penganggaran publik. Situasi seperti ini misalnya ditandaskan oleh
Menteri Keuangan sendiri bahwa dalam kenyataannya dana
dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan kerap kali terjadi
tumpang tindih dengan dana desentralisasi, karena ketidakjelasan
mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pusat dan
Daerah (Portal Depkominfo, 05-04-2006).
2. Sebagai implikasi logis dari peran Gubernur selaku Wakil
Pemerintah, maka Lemhanas menyarankan agar sistem pemilihan
Gubernur diubah, dimana Presiden menunjuk langsung Gubernur.
Pilkada langsung hanya dilaksanakan untuk level bupati/walikota.
Selain menghemat biaya Pilkada, penunjukan Gubernur langsung
oleh presiden untuk memperkuat kinerja pemerintahan. Dengan
kata lain, penghapusan pilkada Gubernur merupakan konsekuensi
dari posisi Gubernur sebagai perwakilan Presiden di daerah (Detik,
Media Indonesia, Kompas, 6-12-07). Pernyataan ini nampaknya
memiliki korelasi dengan pernyataan Presiden SBY yang
menyatakan bahwa biaya demokrasi tinggi. Selain biaya yang
mencapai triliunan, rakyat juga dirugikan oleh penggunaan biaya
- 11 -
yang sangat tinggi tersebut (Tempo, 6-12-07). Selain
menggambarkan adanya silang pendapat yang tajam tentang
kedudukan Gubernur selalu wakil pemerintah (perangkat
dekonsentrasi), pernyataan Presiden dan usulan Lemhanas diatas
juga sering dipandang sebagai kritik – jika bukan gugatan –
terhadap desentralisasi yang dinilai berjalan terlalu jauh atau
kebablasan, sehingga perlu direm dengan mengembalikan
kewenangan pemilihan Gubernur kepada Presiden. Apabila ide ini
diterima, jelas berimplikasi pada perubahan mendasar tentang
peran, wewenang, dan tanggungjawab seorang Gubernur.
3. BKKSI (Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia)
menyatakan bahwa selama ini dekonsentrasi disalahgunakan baik
oleh Pemda maupun Departemen Teknis. Selain itu, dana
dekonsentrasi yang dikeluarkan untuk membiayai urusan
dekonsentrasi sangat besar, dimana ada daerah memiliki dana
dekonsentrasi lebih besar dari APBD-nya. Hal ini dipandang
sebagai permainan Pusat yang terselubung dan berpotensi korupsi
besar-besaran (Kompas, 24-12-2007). Pada saat yang bersamaan,
Tim Penertiban Rekening Departemen Keuangan menemukan
adanya ribuan satuan kerja (dulu disebut pemimpin proyek) yang
mengelola dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan, tetapi tidak
melaporkan realisasinya. Dana ini seperti hilang begitu saja karena
diserahkan melalui departemen teknis, tetapi tidak ada laporan
pertanggungjawabannya (Kompas, 18-12-2007).
Senada dengan temuan Tim Penertiban Rekening Depkeu diatas,
temuan Auditor Utama BPK Soekoyo juga mengindikasikan
- 12 -
bahwa dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan pemerintah pusat
ke daerah sejak tahun 2000 ternyata penggunaannya tidak
dilaporkan di APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD.
Akibatnya, ada potensi dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun
tersebut menjadi sarana untuk pencucian aset dan berpotensi tindak
pidana (Sumut Pos, 11-02-2007). Berdasarkan temuan tersebut,
BPK memberikan pendapat bahwa pengelolaan dana dekonsentrasi
dan dana tugas pembantuan belum memenuhi standard dan prinsip
pengelolan keuangan negara yang baik dan benar sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, dan temuan ini juga menjadi salah satu
penyebab opini disclaimer-nya Laporan Keuangan Pemerintah
Pusat.
4. Fungsi dekonsentrasi masih sering disikapi sebagai ”tugas kelas
dua” setelah penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Akibatnya,
kurang ada perhatian yang serius untuk mengkaji berbagai
persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dekonsentrasi
oleh provinsi (cq. Gubernur). Selain itu, penyikapan yang kurang
proporsional ini juga berdampak pada kurang adanya upaya yang
sistematis untuk menyempurnakan dan memperkuat fungsi
dekonsentrasi. Hal ini jelas merupakan kelemahan dari praktek
kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang memberikan otonomi
seluas-luasnya kepada kabupaten/kota.
Fenomena diatas antara lain dikuatkan dengan pernyataan
Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz yang mengatakan bahwa saat ini
masih terdapat kontroversi antara kewenangan perangkat
pemerintah pusat di provinsi seperti unit pelaksana teknis (UPT)
- 13 -
dengan kewenangan Gubernur selaku wakil pemerintah pusat
(Kompas, 22-10-2008). Pernyataan serupa diungkapkan Gubernur
Kalimantan Tengah, Teras Narang tentang masih banyaknya
kecenderungan program pemerintah yang ditujukan bagi daerah
tanpa melibatkan Gubernur. Dampaknya, pembangunan di daerah
menjadi tidak fokus dan anggaran banyak yang tidak efisien karena
tumpang tindih (Kompas, 1/12/2009).
Beberapa tahun sebelumnya, Gubernur Kalimantan Tengah juga
menyampaikan kririk serupa dan menyoroti posisi Gubernur yang
seolah-olah lepas dari program dan dana dekonsentrasi, sehingga
menjadi sangat dilematis bagi daerah, karena jika terjadi kesalahan
dalam implementasinya kepala daerah juga ikut menanggungnya
(Tempo Interaktif, 24-08-2006). Selain itu, pemerintah seharusnya
mempercayakan pengelolaan dana dekonsentrasi ke Gubernur agar
lebih bermanfaat. Sebab, kepercayaan pusat kepada daerah akan
memacu Kepala Daerah membangun wilayahnya, dan daerah akan
mengimbangi dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
(Tempo Interaktif, 05-09-2006).
Keluhan yang sama juga dikemukakan oleh mantan Gubernur Jawa
Barat, Danny Setyawan yang menyatakan bahwa penyaluran dana
dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh departemen
sektoral di pusat kepada dinas, mencerminkan bahwa departemen
sektoral masih mengobsesikan dinas-dinas di provinsi seperti
Kanwil (Pikiran Rakyat, 13-04-2005). Sejalan dengan sinyalemen
Gubernur Jabar tersebut, Ketua DPRD Jabar menyesalkan
turunnya dana dekonsentrasi (tahun 2007) karena tidak disertai
- 14 -
kejelasan mekanisme pertanggung jawabannya oleh SKPD yang
menerima. Pemerintah dinilai telah melakukan kesalahan karena
tidak memberitahukan kepada DPRD terkait program-program
menyangkut dana dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak dapat
melakukan pengawasan (Pikiran Rakyat, 10-01-2007). Ternyata,
setelah tujuh tahun berjalan, masalah mis-komunikasi dan mis-
koordinasi pusat-daerah masih terjadi. Hal ini nampak dari
pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang
menyebutkan kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan program
pemerintah, salah satunya dalam kebijakan impor sejumlah
komoditas pangan atau kebutuhan pokok. Pemerintah pusat sering
tidak bicara dengan daerah, sehingga kebijakan impor diterapkan,
harga komoditas lokal jatuh. Selain itu ada komoditas tertentu yang
tidak perlu diimpor karena persediaan di daerah mencukupi
(Kompas, 5-07-2014).
Keluhan tentang kebijakan dan praktek dekonsentrasi juga terjadi
di Provinsi NTB. Gubernur NTB menyatakan bahwa:
“penyelenggaraan koordinasi kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan di daerah hingga kini masih belum optimal, baik dari
aspek administrasi pemerintahan maupun pengendalian secara
kualitatif atas pelaksanaan kegiatan. Hal ini disebabkan antara lain
penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah belum terlaksana secara ideal, misalnya dalam hal
pembinaan dan pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah di kabupaten/kota, gubernur belum diberi
kewenangan represif untuk membatalkan kebijakan daerah
- 15 -
kabupaten/kota yang dinilai bertentangan dengan kebijakan pusat”
(Gaung NTB, Maret 2011, Penyelenggaraan Dekonsentrasi
Pembantuan Belum Optimal).
Fakta terbaru tentang kelemahan fungsi dekonsentrasi
diungkapkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho,
yang menyatakan bahwa gubernur belum menjadi perpanjangan
pemerintah pusat. Bupati/walikota banyak mengajukan proposal
dan audiensi ke kementerian tanpa melewati gubernur. Unit
pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah tidak berkoordinasi dengan
gubernur, sementara gubernur tidak memiliki kewenangan
memberi masukan terkait penempatan personel. Untuk itu, Gatot
menyarankan penguatan peran gubernur, dimana instansi vertikal
harus berada dibawah koordinasi gubernur, sedangkan kementerian
hanya sebagai koordinator (Kompas, 27-06-2014). Hal senada
diungkapkan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, yang
menginginkan pemerintah pusat dapat menjadi navigator
pembangunan daerah, namun memberi keleluasaan pemerintah
daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai
potensi, kondisi sosial, dan geografi daerah masing-masing. Saat
ini menurut Nurdin, pembangunan infrastruktur dan potensi daerah
terbengkalai, seperti kasus NTT yang sangat potensial untuk
peternakan sapi namun justru mengimpor daging sapi dari luar
negeri. Untuk itu disarakan agar pendekatan sektoral dalam
pembangunan diganti dengan pendekatan wilayah. Dengan
pendekatan wilayah ini, kondisi daerah yang berbeda akan
membutuhkan pendekatan dan program pembangunan yang
- 16 -
berbeda pula (Kompas, 1-07-2014).
Selain permasalahan diatas, implementasi dekonsentrasi yang
belum optimal juga dapat dilihat dari adanya kesenjangan pada dimensi
regulasi. Artinya, fungsi dekonsentrasi akan berjalan baik apabila
konsisten dengan kerangka aturan yang telah ditetapkan. Adapun
beberapa hal yang belum sesuai antara kondisi ideal dengan kondisi
faktual adalah sebagai berikut:
1. Pasal 108 UU No. 33/2004 menyatakan: Dana Dekonsentrasi dan
Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan
urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi
urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi
Khusus. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang
mengatur tentang pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK.
2. Pasal 2 PP No. 7/2008 menyatakan: Penyelenggaraan
dekonsentrasi dilakukan melalui pelimpahan sebagian urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan kementerian/ lembaga.
Selanjutnya, Kementerian/lembaga menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan. Namun, rincian detil tentang urusan yang
dilimpahkan oleh kementerian / lembaga beserta mekanisme dan
tata kelolanya belum ada, dan kalaupun ada tidak seragam antar
kementerian / lembaga. Akibatnya, prinsip money follows function
tidak berjalan karena dana dekonsentrasi dikucurkan tanpa
mengacu kepada tugas-tugas dekonsentrasi yang telah dilimpahkan
kepada Gubernur.
- 17 -
3. Pasal 15 PP No. 7/2008 menyatakan: Perencanaan program dan
kegiatan dekonsentrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Namun, UU No.
25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
(SPPN) hanya memuat pengaturan yang sangat minim tentang
dekonsentrasi, yang tertuangg dalam Pasal 32 yang berbunyi
Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengkoordinasikan
pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan. Ketentuan ini hanya memberi penugasan kepada
Gubernur selaku koordinator, namun integrasi program
dekonsentrasi dalam SPPN sendiri sama sekali tidak tergambar
dengan jelas.
4. Meskipun telah ada PP No. 23/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur
Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, sebagaimana
diamanatkan Pasal 37-38 UU No. 32/2004, namun faktanya belum
dapat diimplementasikan dengan sepenuhnya. Sebagai contoh,
pembentukan kelompok kerja sebagai perangkat Sekretaris
Gubernur (yang secara ex-officio dirangkap oleh Sekretaris Daerah
Provinsi) belum terbentuk di seluruh provinsi. Jikapun ada
kelompok kerja seperti Kelompok Kerja Bidang Hubungan Pusat-
Daerah dan Antar Daerah sebagaimana tertuang dalam Keputusan
Gubernur DKI Jakarta No. 750/2013, ternyata ini bukan kelompok
kerja seperti yang dimaksud oleh PP No. 23/2011 dan Permendagri
No. 66/2012 tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011. Dapat dikatakan
demikian karena PP No. 23/2011 maupun Permendagri No.
- 18 -
66/2012 tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam
Keputusan Gubernur DKI Jakarta ini. Selain itu, PP ini hanya
menyebutkan secara jelas mengenai 9 (Sembilan) tugas urusan
pemerintahan, namun memberikan urusan pemerintahan di
wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah tanpa
perincian yang jelas. Akibatnya, tetap saja belum nampak batas-
batas tugas dan wewenang Gubernur di bidang yang
didekonsentrasikan Pemerintah.
5. Pola belanja dekonsentrasi dan tugas pembantuan masih di
dominasi dengan jenis belanja bantuan sosial. Jenis belanja bantuan
sosial tidak tepat digunakan untuk mendanai kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana temuan BPK
atas hasil audit pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas
pembantuan di beberapa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah. Ketidaktepatan penggunaan jenis belanja bantuan sosial
tersebut disebabkan karena tidak secara konsisten menerapkan
aturan, baik aturan terkait dengan penyelenggaran dekonsentrasi
dan tugas pembantuan (PP Nomor 7/2008 serta Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 156/2008 dan perubahannya), maupun aturan
terkait dengan sistem penganggaran (PP Nomor 21/2004 tentang
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian
Negara/Lembaga). Selain itu, kebijakan pengalokasian dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan untuk Provinsi T.A 2011
belum sepenuhnya memperhatikan keseimbangan pendanaan di
daerah sebagaimana tertuang dalam rekomendasi Menteri
Keuangan tahun 2010, karena yang diutamakan dalam
- 19 -
pengalokasian adalah prioritas 2, dan porsi untuk non prioritas
tidak berbeda jauh dengan yang prioritas (Kementerian Keuangan,
Rekomendasi Menteri Keuangan Tentang Keseimbangan
Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan Tahun 2012, Lampiran Surat Menteri
Keuangan No. S-156/MK.07/2011, Tanggal 23 Januari 2011).
6. Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit
maupun antar tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah
pusat melalui anggaran kementerian, baik secara langsung ke
daerah maupun melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang
seharusnya menjadi urusan daerah yang telah didesentralisasikan.
Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme koordinasi
antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut,
sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di
samping itu, sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya
dapat mengkoordinasikan program-program di pusat maupun
daerah, yang didorong oleh ego sektoral dari masing-masing unit
di semua tingkatan. Akibatnya, sering terjadi ketidakjelasan siapa
mengerjakan apa, sehingga berbagai program saling berbenturan.
Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai
sebagai salah satu faktor yang mendorong tingginya belanja
pegawai baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah (DJPK Kementerian Keuangan, Grand Design
Desentralisasi Fiskal Indonesia, 2009).
Jika dilakukan analisis lebih dalam, maka munculnya berbagai
- 20 -
fenomena tersebut bersumber pada beberapa prasyarat yang tidak
dipenuhi agar dekonsentrasi berjalan dengan optimal. Prasyarat
pertama adalah kelengkapan instrumen yuridis. Sebagaimana dapat
kita simak, materi substantif dalam PP tentang dekonsentrasi (PP No.
39/2001 dan PP No. 7/2008) belumlah operasional dan membutuhkan
pengaturan yang lebih rinci dalam bentuk peraturan perundangan yang
lebih rendah, misalnya Keputusan Presiden, Peraturan Mendagri,
Peraturan Menkeu, dan sebagainya. Ketiadaan landasan hukum ini
jelas akan berdampak negatif dalam implementasi dekonsentrasi.
Prasyarat kedua yang juga harus dipenuhi adalah adanya
hubungan yang harmonis antar lembaga di tingkat pusat, khususnya
antara Depdagri dan Depkeu. Koordinasi ini terutama dibutuhkan
untuk merancang jenis-jenis kewenangan yang akan dilimpahkan
kepada wakil pemerintah di daerah, serta model pembiayaannya. Oleh
karena koordinasi diantara kedua instansi ini kurang terjalin harmonis,
maka model pelimpahan kewenangan dekonsentrasi dan model
pendanaan dekonsentrasi juga masih bermasalah hingga saat ini.
Adanya kejelasan lembaga / perangkat penyelenggara fungsi
dekonsentrasi juga menjadi prasyarat penting. Selama ini (sejak
lahirnya UU No. 22/1999), perangkat dekonsentrasi berupa kantor
wilayah menjadi hapus, kecuali perangkat yang melaksanakan lima
urusan absolut pemerintah pusat. Dampaknya, urusan
dekonsentrasi ”dititipkan” kepada perangkat desentralisasi, yakni
dinas dan lembaga teknis daerah. Selain kurang efektif, hal ini juga
membuka kemungkinan terjadinya overlap (tumpang tindih) atau
duplikasi tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi. Oleh sebab itu,
- 21 -
penataan kelembagaan dekonsentrasi menjadi salah satu kebutuhan
mendesak untuk mewadahi fungsi-fungsi yang dilimpahkan dari
pemerintah pusat.
C. Rumusan Masalah / Problematika Penelitian
Dari latar belakang dan fenomena-fenomena empiris diatas,
secara sederhana dapat diidentifikasi inti masalahnya,
yakni ”rendahnya relevansi dekonsentrasi dalam mendukung
kepentingan pusat di daerah, yang disebabkan oleh rendahnya
efektivitas pengelolaan dekonsentrasi”.
Tidak efektifnya pengelolaan dekonsentrasi itu sendiri
bersumber dari beberapa masalah yang lebih spesifik, antara lain:
1. Lemahnya fungsi pemrograman dekonsentrasi. Penamaan program
dekonsentrasi cenderung sama dengan program K/L dan program
pemerintah daerah, sehingga menimbulkan tumpang tindih
program. Mengingat dekonsentrasi adalah bagian dari fungsi
pemerintah pusat yang didelegasikan kepada pemerintah daerah,
maka kesamaan nama antara program dekonsentrasi dengan
program K/L merupakan suatu keniscayaan. Namun by nature
program dekonsentrasi sangat berbeda dengan program
desentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan daerah. Jika
masih terjadi kesamaan program ini menunjukkan adanya
kelemahan dan ketidakefektivan dalam fungsi pemrograman
dekonsentrasi.
2. Lemahnya manajemen penganggaran dekonsentrasi. Temuan BPK
atau Tim Penertiban Rekening Depkeu tentang penggunaan dana
- 22 -
dekonsentrasi yang tidak dipertanggungjawabkan, pernyataan
Menteri Keuangan tentang dana dekonsentrasi dan dana tugas
perbantuan yang sering tumpang tindih dengan dana desentralisasi,
adalah bukti yang sangat meyakinkan akan lemahnya manajemen
keuangan dekonsentrasi.
3. Lemahnya mekanisme perencanaan dekonsentrasi. Meskipun ada
forum-forum pembahasan di tingkat kementerian, namun program
dan anggaran dekonsentrasi cenderung monoton setiap tahunnya
dengan mengulang-ulang aktivitas yang sama, dan tidak ada
kebaruan dan kekhasan antar daerah. Selain itu, perencanaan
dekonsentrasi terlalu ministerial-oriented, dalam arti program dan
anggaran sudah dialokasikan oleh kementerian tanpa didahului
oleh analisis kebutuhan atau usulan dari daerah. Mekanisme
perencanaan hingga pertanggungjawaban program dekonsentrasi
juga kurang mendudukkan gubernur dalam peran sentral dalam
kapasitasnya selaku wakil pemerintah.
4. Tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi yang memadai.
Gubernur selaku Wakil pemerintah saat ini menghadapi dua macam
dilema sekaligus. Dilihat dari perangkat pendukungnya,
berdasarkan Permendagri Nomor 66/2012, gubernur semestinya
memiliki perangkat terdiri dari Sekretaris Gubernur yang secara ex-
officio dirangkap oleh Sekda Provinsi, dan Sekretaris Gubernur
memiliki perangkat berupa Kelompok Kerja yang dipimpin oleh
pada Staf Ahli Gubernur. Minimnya sumberdaya aparatur (SDM,
anggaran, sarana) yang dimiliki Staf Ahli, menjadikan tugas
tambahan selaku koordinator kelompok kerja tidak berjalan
- 23 -
optimal. Pada saat yang bersamaan, tugas-tugas dan wewenang
Gubernur sebagai wakil Pemerintah juga belum ditetapkan secara
jelas dan tegas. Dengan kedua kendala tersebut, ditambah dengan
tugas dekonsentrasi yang harus dilaksanakan cukup banyak, dapat
dibayangkan bahwa fungsi dekonsentrasi tidak mungkin berjalan
maksimal. Mengingat kondisi seperti ini, maka wajarlah apabila
banyak gubernur yang mengeluh atau merasa tidak berdaya.
Dengan tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi tadi,
maka program dekonsentrasi masih dijalankan oleh SKPD, yang
semestinya lebih fokus menjalankan urusan pemerintahan yang
telah didesentralisasikan.
5. Lemahnya fungsi regulasi. Meskipun sudah ada Peraturan Menteri
tentang Pelimpahan Kewenangan Dekonsenrasi, namun dalam
implementasinya sering menimbulkan kebingungan, misalnya
dalam hal ketidakjelasan pihak penerima pelimpahan wewenang
(addressat norm), tidak tegasnya rincian kewenangan
dekonsentrasi yang dilimpahkan, dan sebagainya.
Rumusan masalah dan rincian masalah yang lebih spesifik
sebagaimana tersebut diatas mencerminkan adanya problematika
konsepsi dan implementasi dekonsentrasi, yakni adanya indikasi
ketidakseriusan pemerintah dalam mendesain kebijakan dekonsentrasi.
Ketidakseriusan tadi boleh jadi mencerminkan adanya pandangan para
pengambil kebijakan bahwa dekonsentrasi adalah sebuah prinsip yang
tidak penting dan bukan prioritas dalam penyelenggaraan
pemerintahan, terutama di level daerah. Jika terbukti benar bahwa
dekonsentrasi dipandang tidak penting, muncul problematika
- 24 -
berikutnya yakni untuk apa dekonsentrasi tetap dijalankan sebagai
salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan? Berbagai
problematika sekitar eksistensi dan relevansi dekonsentrasi ini juga
dapat dikembangkan dengan mengkaitkannya kepada prinsip
desentralisasi, misalnya dengan mengemukakan pertanyaan apakah
dengan adalah desentralisasi luas berdasarkan UU No. 32/2004 maka
dekonsentrasi sesungguhnya tidak lagi diperlukan? Pertanyaan terakhir
ini akan membawa kepada diskusi teoretik (theoretical debate) antara
desentralisasi dan dekonsentrasi.
Dengan kata lain, inefektivitas pengelolaan dekonsentrasi dari
kelima dimensi diatas akan membawa pada kesimpulan tentang
urgensi dan/atau relevansi dekonsentrasi sebagai instrumen pemerintah
pusat untuk menjamin berfungsinya kepentingan pusat di daerah.
D. Pertanyaan Penelitian (Research Question)
Berdasarkan permasalahan atau problematika yang dipaparkan
diatas tentang rendahnya efektivitas implementasi kebijakan dan
program dekonsentrasi, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
(research question) sebagai berikut: Bagaimanakah relevansi
dekonsentrasi berdasarkan tingkat efektivitas pengelolaannya?, serta
Mengapa implementasi dekonsentrasi belum menunjukkan efektivitas
dalam pengelolaannya?.
Pertanyaan penelitian ini selanjutnya dijabarkan dalam
pertanyaan yang lebih rinci, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektivitas program dan kegiatan dekonsentrasi?
- 25 -
2. Bagaimanakah efektivitas penganggaran / pembiayaan
dekonsentrasi?
3. Bagaimanakah efektivitas perangkat kelembagaan dekonsentrasi?
4. Bagaimanakah efektivitas mekanisme perencanaan dekonsentrasi?
5. Bagaimanakah efektivitas regulasi terkait dengan implementasi
fungsi dekonsentrasi?
Kelima pertanyaan inilah yang akan dijawab pada analisis yang
dituangkan pada Bab V. Jawaban terhadap relevan atau tidaknya asas
dekonsentrasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut
sangat penting untuk dapat menentukan strategi yang tepat dalam
pembenahan berbagai problematika implementasi dekonsentrasi saat
ini. Apabila dekonsentrasi dinilai tidak memiliki relevansi yang cukup,
maka program-program dan dana dekonsentrasi yang ada selama ini
lebih baik dialihkan menjadi program dan dana desentralisasi. Namun
apabila dekonsentrasi masih dipandang relevan, maka pembenahan
sistemik meliputi 5 (lima) aspek yang diuraikan dalam rumusan
masalah, menjadi sebuah keniscayaan.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian (Research Objectives)
Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut diatas, maka
tujuan pokok dari penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini
adalah terdeskripsikannya tingkat relevansi dekonsentrasi berdasarkan
tingkat efektiviats pengelolaan dekonsentrasi sehingga dapat
dirumuskan rekomendasi rekomendasi tentang model kebijakan
dekonsentrasi yang lebih tepat untuk mendukung penyelenggaraan
pemerintahan yang ideal dan efektif di Indonesia berdasarkan
- 26 -
pengalaman historis maupun pengalaman negara-negara lain.
Rekomendasi tersebut diharapkan berupa sebuah konsep yang relatif
matang untuk menuju kepada suatu konstruksi keseimbangan antara
asas desentralisasi dan dekonsentrasi, keseimbangan dan kejelasan
peran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, serta
keharmonisan hubungan pemerintah Pusat dan Daerah
(Kabupaten/Kota) dengan Provinsi sebagai unit intermediasinya.
Secara praktis, kegunaan / manfaat yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah meningkatnya kualitas praktek penyelenggaraan
pemerintahan daerah, baik yang bersumber dari asas desentralisasi
maupun asas dekonsentrasi. Hal ini antara lain dapat dicapai dengan
penyempurnaan UU dan peraturan perundang-undangan sebagai
pelaksanaan UU tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun
2004). Sementara secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi dalam pengembangan teori desentralisasi dan
manajemen pemerintahan daerah, sekaligus membawa manfaat untuk
mengisi kebutuhan literatur yang sangat minim tentang filosofi,
formulasi, model-model, dan praktek / implementasi dekonsentrasi di
negara kesatuan (unitary state) pada umumnya, dan di Indonesia pada
khususnya.
F. Keaslian Ide dan Originalitas Studi
Keinginan awal penulis untuk mengkaji persoalan
dekonsenstrasi timbul dari bincang-bincang dengan para pejabat di
daerah, terutama di lingkup Biro / Bagian Organisasi dan Pemerintahan
serta Bappeda. Pada Biro Pemerintahan terdapat Bagian Dekonsentrasi,
- 27 -
namun mereka menyatakan bahwa perencanaan program dan anggaran
dekonsentrasi dilakukan oleh Bappeda. Namun pejabat Bappeda pada
umumnya juga mengaku tidak menangani urusan dekonsentrasi secara
spesifik, karena sudah ditangani oleh masing-masing Dinas. Demikian
pula Biro Organisasi yang memiliki tugas untuk mengkaji persoalan
tatalaksana organisasi, sering menyiratkan adanya mis-koordinasi
dalam penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah.
Dari hasil bincang-bincang tadi, penulis menarik sebuah
kesimpulan sementara bahwa kebijakan dan pola implementasi
dekonsentrasi belum cukup efektif, bahkan cenderung menjadi sumber
inefisiensi pemerintahan. Dari ketertarikan awal ini, penulis kemudian
melakukan penelusuran berita media cetak dan elektronik, dan
menemukan banyak sekali keluhan para Kepala Daerah dan pimpinan
DPRD tentang segala sesuatu yang menyangkut praktek dekonsentrasi
ini. Hasil penelusuran ini semakin menguatkan dugaan penulis tentang
terjadinya mis-manajemen dekonsentrasi.
Selanjutnya, penulis melakukan telaah yuridis dengan
mempelajari produk-produk hukum yang terkait dengan dekonsentrasi,
misalnya PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 tentang Penyelenggaraan
Dekonsentrasi. Dari telaah ini penulis memandang bahwa pengaturan
dekonsentrasi belum lengkap sehingga membuka peluang terjadinya
multi interpretasi dan kekaburan dalam implementasinya. Selain itu,
penulis beranggapan telah terjadi pengaturan secara asimetris
(asymmetrical regulation), dimana fungsi desentralisasi diatur oleh
produk hukum setingkat Undang-Undang, sedangkan fungsi
dekonsentrasi hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah (instrumen
- 28 -
pelaksanaan UU). Padahal, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi
sama-sama merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 20
ayat 2 dan 3, UU No. 32/2004), sehingga memiliki kedudukan yang
sejajar, dan semestinya diatur dengan level kebijakan yang sejajar pula.
Studi literatur tentang dekonsentrasi sendiri ternyata juga
masih sangat terbatas, bahkan cenderung langka. Kalaupun ada teori,
analisis atau kasus-kasus kajian penerapan dekonsentrasi, mayoritas
dikaitkan dengan studi tentang desentralisasi. Dengan kata lain,
dekonsentrasi hanyalah disiplin kecil (minor study) dari kajian
desentralisasi yang sangat banyak. Namun dari penelusuran penulis,
ada beberapa publikasi yang khusus mengulas tentang dekonsentrasi,
yakni:
1. Buku karangan Prof. Dr. Ateng Syafrudin, SH.,
berjudul ”Pemahaman Tentang Dekonsentrasi”, terbitan PT.
Refika Aditama, Bandung, 2006, terjemahan langsung dari
makalah Prof. F.A.M. Stroink berjudul ”Het Leerstuk der
Deconcentratie” (The Doctrine of Deconcentration), Bestuurlijke
Verkenningen, Nr. 27, 1978. Buku terjemahan ini berisi tentang
aneka ragam penerapan dekonsentrasi di Negeri Belanda pada
masa silam. Untuk praktek dekonsentrasi di Belanda pada saat ini
sendiri penulis tidak menemukan sumber atau referensi yang
memadai, sehingga sulit untuk menyimpulkan apakah praktek
dekonsentrasi yang lama masih berjalan hingga saat ini, ataukah
sudah ada perubahan kebijakan yang cukup mendasar.
2. Artikel Mark Turner dalam Jurnal Public Administration and
Development (Vol. 22, halaman 353–364, Canberra, 2002),
- 29 -
berjudul “Whatever happened to deconcentration: Recent
Initiatives in Cambodia”. Artikel ini berisi tentang praktek
desentralisasi di Kamboja yang dinilai gagal, sehingga
memunculkan kesadaran untuk memperkuat desentralisasi
administratif (dekonsentrasi) dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik dan partisipasi masyarakat.
3. Artikel John M. Cohen dan Stephen B. Peterson berjudul
Administrative Decentralization: A New Framework for Improved
Governance, Accountability and Performance (Discussion Paper
No. 582, Harvard Institute of International Development, Mei
1997). Dalam artikel ini disebutkan bahwa di negara berkembang
dan negara transisi, administrative decentralization menjadi
strategi baru dalam menjawab kebutuhan kritis pemerintahan,
antara lain peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pelayanan
yang lebih efektif dan efisien, serta peningkatan kinerja pemerintah.
Sayangnya, selama ini tidak ada pedoman dan kerangka analisis
yang dapat membantu mendesain strategi yang ditujukan
mengukur dan meningkatkan hal-hal tersebut. Untuk itu, penulis
mengajukan kerangka analisis yang disebut sebagai administrative
design framework.
4. Artikel Paul Smoke dan Johan Bastin berjudul Decentralizing
Regional Infrastructure Planning and Finance in Indonesia:
Progress to Date and a Strategy for the Future (Discussion Paper
No. 469, Harvard Institute of International Development, 1993).
Artikel lawas ini menceritakan tentang inefisiensi dan
ketidakberlanjutan pelayanan publik terutama penyediaan
- 30 -
infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh adanya fragmentasi dan
konflik kelembagaan antar kementerian, program lembaga donor
yang tidak sesuai dengan tujuan desentralisasi, koordinasi yang
buruk, pengembangan kapasitas yang tidak terarah, dan lemahnya
akuntabilitas.
Meskipun artikel ini menjelaskan situasi pada masa berlakunya UU
No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, namun
masih relevan untuk melihat kemungkinan situasi yang serupa
masih dijumpai pada saat ini dengan berlakunya UU Pemerintahan
Daerah yang baru.
5. Artikel Bernard Bizet berjudul Deconcentration versus
Decentralisation of Administration in France: A Centre-Periphery
Dilemma (Canadian Journal of Regional Science, 2002). Artikel ini
menceritakan sejarah desentralisasi dan dekonsentrasi di Perancis
sejak tahun 1960-an. Pada awal 1960, dekonsentrasi dilakukan
dengan merelokasi instansi pusat ke provinsi sebagai ekspresi
rasionalisasi dan modernisasi organisasi. Hal ini dilakukan sebagai
alternatif dari desentralisasi penuh, dan bertujuan mentransfer
kewenangan – besar atau kecil – kepada pejabat lokal yang dipilih.
Semenjak awal 1980, dekonsentrasi ditempuh sebagai komplemen
dari desentralisasi, dengan maksud agar pemerintah lebih sensitif
dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan rakyat lokal.
Meskipun demikian, hingga tahun 2000-an masih ada pertanyaan
tentang fungsi yang semestinya masih dipegang oleh pusat atau
dilimpahkan kepada daerah.
Salah satu manfaat dekonsentrasi di Perancis adalah
- 31 -
mengorganisasikan kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh
pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, tumpang tindih
(redundancies) masih terus terjadi antar tingkatan pemerintahan.
Walaupun ada tumpang tindih, namun ada keuntungan lain yakni
kadar fleksibilitas yang dimiliki otoritas daerah dalam menjalankan
program dekonsentrasi, meski masih dikontrol secara ketat oleh
pusat.
Tumpang tindih antara fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi di
Perancis ini cukup memberi gambaran bahwa kedua fungsi tadi
memang tidak dapat dipisahkan secara tegas, dan hal ini sangat
bermanfaat untuk menjadi dasar analisis dari disertasi ini. Hal yang
terpenting adalah bahwa meskipun ada tumpang tindih, namun
harus ada kemanfaatan yang terukur dari kedua fungsi tersebut.
6. Ronald Adamtey dalam disertasi berjudul Devolution and
Deconcentration in Action: A Comparative study of Five Municipal
Health Directorates in Ghana (Institute of Development Study,
University of Sussex, 2012). Publikasi ini menjelaskan proses
dekonsentrasi kesehatan di Ghana. Sampai dengan tahun 1980,
sistem pemerintahan Ghana sangat sentralistis. Pelayanan
kesehatan sangat buruk disebabkan oleh kurangnya SDM
professional dan anggaran yang sangat minim. Dibawah skema
structural adjustment loan pertengahan 1980-an, Ghana
melakukan reformasi dengan melimpahkan kewenangan bidang
kesehatan kepada provinsi. Kewenangan yang dilimpahkan itu
meliputi upaya pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan promosi
kesehatan, baik di level provinsi, distrik, sub-distrik, bahkan level
- 32 -
komunitas.
7. Artikel Paul Bernard berjudul Decentralisation and
Deconcentration: The French Experience (2005). Artikel ini
menjelaskan tentang sejarah dekonsentrasi di Perancis. Revolusi
tahun 1789 membentuk negara kesatuan Perancis yang modern dan
sentralistis. Namun semenjak Konstitusi ke-3 dan ke-4 (3rd and 4th
Republic), Perancis melakukan desentralisasi dengan memberi
kekuasaan kepada anggota dewan yang terpilih dari Department
dan Commune. Selanjutnya, berdasarkan konstitusi ke-5 (5th
Republic), dekonsentrasi dikembangkan sebagai konsekuensi logis
dari desentralisasi.
Atas dasar review literatur tentang dekonsentrasi tersebut,
maka penulis dapat menegaskan bahwa disertasi ini memiliki
originalitas yang tinggi. Obyek penelitian tentang tingkat relevansi
dekonsentrasi ini belum diteliti secara spesifik oleh penelitian
sebelumnya sehingga menjadi pembeda antara disertasi ini dengan
publikasi lain tentang dekonsentrasi. Selain itu, selama ini ada
kecenderungan bahwa dekonsentrasi dikaji tanpa memperhatikan
implikasi terhadap fungsi desentralisasi. Sedangkan disertasi ini berani
mengkaitkan antara dekonsentrasi dengan desentralisasi, yakni
ketidakefektivan dalam pengelolaan program dekonsentrasi dapat
berimplikasi pada kebutuhan untuk pengalihan anggaran dari anggaran
pusat (cq. kementerian) menjadi anggaran daerah otonom selaku
pelaksana fungsi desentralisasi. Sebaliknya, jika fungsi dekonsentrasi
tetap ingin dipertahankan, maka diperlukan pembenahan yang serius
terhadap manajemen dekonsentrasi (perencanaan, penganggaran,
- 33 -
kelembagaan, dan seterusnya) agar lebih efektif dan tidak overlap
dengan manajemen desentralisasi.
G. Sistematika Penulisan
Dalam rangka menjawab pertanyaan besar penelitian serta
pertanyaan derivatifnya sebagaimana disebutkan diatas, akan
dilakukan dengan melakukan pengerangkaan (structuring) kedalam
batang tubuh disertasi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam
menguraikan permasalahan sekaligus memberikan gambaran besar
tentang hasil akhir yang ingin diwujudkan dalam penelitian ini.
Jika dalam tahap analisis digunakan pola penalaran induktif,
maka struktur penelitian dan sistematika pelaporan menggunakan
penalaran deduktif. Artinya, dari bab pendahuluan hingga bab penutup
muatan yang ada didalamnya dimulai dari yang bersifat umum dan
lebar untuk kemudian dikerucutkan menjadi lebih padat dan sempit.
Pola deduktif dalam sistematika tadi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bab I Pendahuluan.
Bab ini berisi tentang fenomena-fenomena umum tentang
dekonsentrasi yang menjadi titik awal yang menarik minat peneliti
untuk menelusuri lebih lanjut. Selain itu, bab ini juga memberikan
penekanan tentang pokok permasalahan yang menjadi intisari dari
penelitian ini. Hal penting lain dari bab ini adalah kerangka pikir
yang memberikan guidance tentang dimensi-dimensi yang akan
diteliti serta pentahanapnnya.
2. Bab II Kerangka Pikir dan Metode Penelitian.
Bab ini dimaksudkan untuk memberi cara dan alur berpikir untuk
- 34 -
menjawab pertanyaan penelitia, pendekatan yang digunakan, dan
hubungan antar aspek yang menggambarkan bagaimaan tujuan
penelitian dapat terjawab. Selanjutnya dipaparkan juga aspek
metodologis yang meliputi metode yang digunakan, teknik
pengumpulan data, pemilihan responden dan instrumentasi, teknik
analisis dan interpretasi data, serta alasan pemilihan lokus dan
fokus penelitian.
3. Bab III Review Teoretik Tentang Dekonsentrasi.
Bab ini mencoba mengembangkan perdebatan teoretik tentang
dekonsentrasi, dengan lebih mengarahkan pada praktek
dekonsentrasi di negara berkembang. Teori-teori yang akan
diangkat dalam bab ini antara lain konsep dasar desentralisasi dan
dekonsentrasi dan sistem otonomi dalam negara kesatuan dan
negara federal. Selain itu, Bab ini juga akan mengelaborasi praktek
dekonsentrasi di beberapa negara berbentuk kesatuan (unitary
states). Dari penelusuran lintas negara ini diharapkan dapat ditarik
sebuah kerangka perbandingan, untuk selanjutnya dapat
diidentifikasikan lesson learned dari setiap pola dekonsentrasi di
negara yang dikaji.
4. Bab IV Tinjauan Normatif dan Empiris Pelaksanaan
Dekonsentrasi di Indonesia
Bab ini sudah sangat spesifik dengan khusus membahas tentang
implementasi dekonsentrasi di Indonesia, baik dilihat dari konteks
historis, normatif, maupun empirisnya. Selain itu, dalam bab ini
juga akan diuraikan tentang dimensi manajerial dan dimensi
substansial kebijakan dekonsentrasi, serta perkembangan
- 35 -
perangkat pemerintah pusat yang menjalankan fungsi
dekonsentrasi.
5. Bab V Konteks Dekonsentrasi dalam Pembangunan Bidang
Sosial dan Pembangunan Daerah
Bab ini memaparkan tentang setting/konteks dekonsentrasi dalam
hubungannya dengan sistem/kebijakan pembangunan bidang
kesejahteraan sosial dan pembangunan daerah. Termasuk dalam
bab ini adalah informasi terkait karakteristik daerah lokus secara
umum, misalnya menyangkut indikator-indikator makro
pembangunan seperti kondisi geografis dan demografis; potensi
sektor-sektor perekonomian; kinerja pemerintahan daerah dalam
pembangunan manusia (human development); serta prestasi dalam
sektor-sektor lainnya seperti penarikan investasi, perbaikan
infrastruktur, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan
sebagainya. Selain itu, akan disajikan juga berbagai data yang
berhubungan dengan aspek penyelenggaraan pemerintahan,
misalnya perkembangan anggaran daerah (PAD maupun dana
perimbangan). Urgensi paparan tentang setting atau
kontekstualisasi dekonsentrasi ini adalah untuk mencoba menarik
keterkaitan antara kebijakan dan implementasi dekonsentrasi
dengan hasil-hasil nyata pembangunan pada sektor tertentu.
6. Bab VI Relevansi Dekonsentrasi Bidang Sosial Berdasarkan
Efektivitas Pengelolaannya
Bab ini berisi analisis kasus tentang praktek dekonsentrasi di
bidang sosial, untuk melihat apakah kondisi kesenjangan
sebagaimana dipaparkan pada kerangka pikir benar-benar terjadi
- 36 -
atau tidak. Jika benar terjadi, apa yang menyebabkan hal tersebut
dan langkah antisipasi apa yang diperlukan untuk mengatasi
kondisi saat ini atau menyempurnakan pada masa yang akan datang.
Dengan demikian, analisis kasus ini sekaligus berfungsi sebagai
alat uji teori dalam prakteknya.
7. Bab VII Penutup
Bab ini dapat dikatakan sebagai produk atau hasil akhir dari
rangkaian panjang penelitian. Pola dekonsentrasi (normatif dan
empiris) yang ada saat ini akan dicoba untuk dibangun / didesain
kembali dengan menawarkan beberapa rekomendasi yang disertai
dengan keunggulan dan kelemahannya. Selanjutnya, rekomendasi
disertasi ini diharapkan menjadi policy agenda untuk
menyempurnakan implementasi dekonsentrasi maupun regulasi di
bidang pemerintahan daerah pada umumnya.
- 37 -
BAB II
KERANGKA PIKIR DAN METODOLOGI PENELITIAN
A. Kerangka Pikir Penelitian (Logical Framework of Research)
Ide dasar disertasi ini sangat sederhana, yakni mencermati
praktek kebijakan dekonsentrasi yang berlangsung selama ini, dan
keinginan untuk melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan untuk
masa yang akan datang. Dengan demikian, langkah pertama dalam
membangun konsep yang utuh tentang dekonsentrasi adalah dengan
mengidentifikasikan fenomenal-fenomena dan fakta-fakta empiris
dekonsentrasi (existing condition). Selanjutnya, untuk menjelaskan
mengapa fenomena itu terjadi atau mengapa fakta tersebut muncul,
maka digunakanlah 3 (tiga) pendekatan yaitu:
1. Pendekatan akademik / teoretik. Pendekatan ini mencoba
mengelaborasi konsep dasar dekonsentrasi dan kaitannya dengan
dekonsentrasi, serta model penerapan dekonsentrasi di negara
berbentuk kesatuan (unitary states). Meskipun Indonesia -- sebagai
locus dan obyek penelitian -- adalah negara kesatuan, namun telaah
teoretik dalam disertasi ini tidak secara spesifik memfokuskan pada
pengembangan dekonsentrasi di negara kesatuan. Sebab,
desentralisasi dan dekonsentrasi sesungguhnya bersifat umum dan
dapat diterapkan di berbagai bentuk negara manapun, baik
kesatuan, federal / serikat, maupun konfederasi.
2. Pendekatan komparasi dan experimental. Pendekatan ini
digunakan untuk melihat dan membandingkan pelaksanaan
dekonsentrasi di beberapa negara. Penelitian ini ingin
- 38 -
memfokuskan pada beberapa negara berbentuk kesatuan. Dari
pengalaman berbagai negara tadi diharapkan dapat diketahui sisi-
sisi positif yang mungkin dapat direplikasikan untuk konteks
Indonesia.
3. Pendekatan normatif empirik. Pendekatan ini dimaksudkan untuk
menguraikan kaidah-kaidah yuridis dalam tata peraturan
perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang
dekonsentrasi, baik pada level undang-undang, peraturan
pemerintah, atau aturan yang lebih rendah.
Dari ketiga pendekatan diatas, diasumsikan akan ditemukan
sejumlah kondisi kesenjangan (gap condition), yakni kesenjangan
antara praktek saat ini dengan dasar teoretis (conceptual gap), variasi
dan perbedaan penerapan dekonsentrasi antar negara (experiential
variation), serta kesenjangan antara ketentuan yuridis formal dengan
penerapannya (implementation gap). Dengan diketahuinya
kesenjangan (gap) tersebut, diharapkan dapat dilakukan diagnosa atau
pendeteksian tentang titik-titik atau celah-celah yang masih lemah dan
harus dibenahi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan.
Tiga pendekatan dan tiga kondisi kesenjangan diatas pada
gilirannya akan dijadikan sebagai bahan untuk merumuskan atau
mendesain konsep dekonsentrasi yang lebih tepat untuk sebuah negara
kesatuan seperti Indonesia. Dan hasil rekonstruksi konsep
dekonsentrasi tadi selanjutnya diharapkan membawa dua manfaat
utama, yakni memperkaya khazanah akademik tentang teori-teori
dekonsentrasi, serta menawarkan model-model alternatif
- 39 -
dekonsentrasi di Indonesia dalam rangka penyempurnaan kebijakan di
bidang Management pemerintahan secara umum dan kebijakan
otonomi daerah pada khususnya.
Dengan demikian, produk akhir dari proses rekonstruksi
dekonsentrasi sesungguhnya masih merupakan embrio yang tidak
memiliki makna jika tidak terinternalisasi dalam substansi kebijakan
pemerintah. Dalam hubungan ini, keseriusan para pemangku kebijakan
(policy holder) untuk mengevaluasi praktek penyelenggaraan
dekonsentrasi secara komprehensif menjadi kebutuhan yang señalan
dengan penelitian ini. Secara diagramatis, kerangka pikir sebagaimana
dijelaskan diatas dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 2.1. Kerangka Pikir Disertasi
- 40 -
B. Metodologi Penelitian
1. Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Sesuai dengan karakteristik pertanyaan penelitian dan
tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini lebih bersifat
exploratif, yakni ingin menggali sebanyak mungkin dan sedalam
mungkin informasi yang dapat mengungkap atau menjawab
permasalahan penelitian. Oleh karena metode yang digunakan
adalah penelitian kualitatif, maka instrumen dan pedoman
wawancara yang disusun dalam penelitian ini bersifat terbuka dan
umum. Dari sifatnya yang terbuka dan umum tadi akan terus
dikembangkan dan muncul pertanyaan-pertanyaan baru, issu-issu
baru, atau aspek-aspek baru yang relevan dengan tema besar
penelitian, seiring dengan proses yang berjalan (snowball). Dengan
demikian, metode kualitatif ini diharapkan dapat menggambarkan
realitas obyek penelitian (yakni dekonsentrasi) yang kompleks,
untuk selanjutnya memberikan penafsiran dan pemaknaan, disusul
dengan mengkaitkan hasil analisis dengan teori yang sudah ada. Ini
berarti bahwa metode kualitatif akan memiliki kontribusi terhadap
pengembangan teori dan konsep dari obyek yang diteliti (dalam hal
ini adalah dekonsentrasi).
Dilihat dari kasus yang diteliti yakni dekonsentrasi bidang
sosial, serta lokus terpilih yakni Provinsi Kalimantan Tengah, maka
penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian studi kasus
(case study). Sebagai sebuah studi kasus, maka temuan dan hasil
- 41 -
analisis dalam disertasi ini tidak berlaku dan tidak dapat
digeneralisasikan untuk bidang lain atau daerah lain. Sebab,
karakteristik dekonsentrasi pada bidang atau daerah lain sangat
mungkin berbeda dengan yang ditemukan di bidang sosial dan di
Kalimantan Tengah. Namun mengingat pola pengelolaan
dekonsentrasi bersifat top down yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan, maka antar daerah memiliki kemungkinan
kesamaan yang cukup banyak. Oleh karenanya, rekomendasi
disertasi ini dapat dipertimbangkan untuk membenahi
problematika pengelolaan dekonsentrasi pada bidang atau daerah
lain, meskipun masih membutuhkan kajian yang lebih spesifik.
Selain itu, dilihat dari pemanfaatan hasil penelitian untuk
perbaikan kebijakan, maka metode penelitian ini dapat pula
dikatakan sebagai penelitian evaluasi. Sebagaimana dikatakan oleh
Arikunto (2007), evaluasi merupakan kegiatan untuk
mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang
selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan
alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama
evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi
yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan
kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah
dilakukan. Meskipun demikian, perlu ditegaskan disini bahwa
peneltian ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak dari
pelaksanaan dekonsentrasi, namun lebih ingin membuktikan
tingkat efektivitas pengelolaan dekonsentrasi untuk kemudian
dianalisis tingkat relevansinya sebagai instrumen untuk
- 42 -
menegakkan kepentingan pusat dalam sistem penyelenggaraan
pemerintahan di level daerah.
2. Operasionalisasi Variabel
Disertasi ini pada dasarnya hanya mengeksplorasi satu variabel
yakni relevansi dekonsentrasi. Namun untuk menjelaskan tentang
relevansi tersebut, dipergunakan 1 (satu) variabel penjelas yakni
efektivitas pengelolaan dekonsentrasi. Dengan demikian,
“relevansi” merupakan variabel utama atau variabel tunggal
penelitian, sedangkan efektivitas pengelolaan menjadi explaining
variable (variabel yang menjelaskan variabel tunggal). Karena
“efektivitas pengelolaan” menjelaskan “relevansi”, maka semakin
tinggi pengelolaan dekonsentrasi dalam berbagai dimensinya akan
meningkatkan kadar relevansi dekonsentrasi. Sebaliknya, semakin
buruk pengelolaan dekonsentrasi, maka semakin rendah
urgensinya.
Selanjutnya, variabel penjelas ini dijabarkan kembali dalam 5
(lima) dimensi, yakni program dan kegiatan, anggaran/pembiayaan,
kelembagaan, mekanisme perencanaan, dan regulasi. Masing-
masing dimensi memiliki kriteria tersendiri untuk disimpulkan
tingkat efektivitasnya. Tentu saja, kadar efektivitas pengelolaan
dekonsentrasi berdasarkan kelima dimensinya akan sangat
tergantung pada kondisinya masing-masing.
Dalam bentuk tabel, operasionalisasi variabel ini dapat diurai
sebagai berikut:
- 43 -
Tabel 2.1.
Operasionalisasi Variabel Penelitian
Variabel
Utama
Variabel
Penjelas Dimensi Kriteria
Relevansi Dekon-
sentrasi
Efektivitas Pengelolaan
Dekon-
sentrasi
Program/ Kegiatan
• Adanya kesamaan/
tumpang tindih antar program
Anggaran/
Pembiayaan • Kemampuan dalam
membangun kinerja
• Ketergantungan daerah
• Tren proporsi dana
dekon dengan dana TP
Kelembagaan • Keberadaan “instansi
vertikal”
• Beban kerja perangkat
daerah
Mekanisme
Perencanaan • Proses pengusulan dan
penetapan program
Regulasi • Fungsi NSPK
• Substansi kebijakan
pelimpahan wewenang
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendukung kerangka penelitian kualitatif sebagaimana
disebutkan diatas, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
• In-depth interview (wawancara mendalam).
Teknik ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang
mendalam, berupa persepsi, pengalaman, atau pengakuan dari
tokoh-tokoh kunci (key informants). Data dan informasi yang
diperoleh dari wawancara mendalam ini biasanya tidak terdapat
pada dokumen atau data sekunder lainnya. Dalam kaitan
dengan obyek disertasi, maka wawancara akan dilakukan
- 44 -
terhadap pakar-pakar dibidang administrasi publik, manajemen
pemerintahan, dan desentralisasi atau dekonsentrasi secara
lebih spesifik. Selain itu, pejabat-pejabat kunci pemerintahan
baik yang masih menjabat maupun yang telah melepaskan
jabatannya diharapkan dapat dijadikan sebagai responden
kunci untuk memberikan pengalaman selama bekerja di tempat
tugasnya masing-masing.
• Observasi (pengamatan). Teknik ini diterapkan dengan cara
melihat langsung secara insidental praktek penyelenggaraan
dekonsentrasi, serta dengan menggali pengalaman dari
pegawai di tingkat operasional (pelaksana). Teknik yang sama
juga akan diterapkan dengan cara mengikuti pertemuan terkait
dekonsentrasi.
• Telaah literatur dan dokumentasi, yang digunakan untuk
menggali informasi yang bersifat teoretis dan terdapat di
berbagai jurnal, hasil kajian, laporan penelitian, atau publikasi
lainnya. Mengingat sumber yang tidak terbatas, maka dalam
menerapkan telaah ini dilakukan seleksi terhadap informasi-
informasi atau teori-teori yang relevan dengan tema di.sertasi.
Teori-teori yang diperoleh selanjutnya dipergunakan sebagai
alat analisis (analysis tool) untuk menguraikan dan/atau
menjelaskan pertanyaan dan masalah penelitian. Termasuk
dalam teknik ini adalah penggalian data-data berupa berita di
media cetak dan elektronik, baik yang tersaji di internet (online
edition) maupun secara tercetak (printed edition).
- 45 -
4. Responden / Sumber Informasi
Dengan demikian, penetapan sumber data (sample) untuk
menggali berbagai informasi yang dibutuhkan tidak bersifat
representative melainkan purposive, khususnya dalam penetapan
responden kunci yang akan diwawancara. Dalam kaitan ini, jumlah
responden juga bisa mengalami penambahan (snow-ball) sesuai
kebutuhan sepanjang proses penelitian berlangsung.
Meskipun demikian, untuk memberikan panduan awal,
rancangan tentang karakteristik responden beserta jenis data yang
dibutuhkan, jelas akan sangat membantu kelancaran penggalian
data serta keakurasian informasi yang diperlukan untuk analisis
selanjutnya. Untuk itu, penulis mengusulkan daftar responden
sebagai nara sumber kunci dalam penulisan disertasi ini, seperti
dapat dilihat pada Lampiran 1.
5. Jenis Data / Informasi
Pada dasarnya, penulisan dan analisis dalam disertasi ini akan
memanfaatkan seluruh data sepanjang memiliki relevansi dengan
substansi dan metodologi yang diinginkan. Adapun jenis-jenis data
tersebut dapat dirinci menjadi 3 (tiga) kelompok sebagai berikut:
a. Data primer, ditempuh melalui wawancara mendalam (indepth
and semi-structured interview) dengan nara sumber kunci (key
person), baik pengambil kebijakan, pakar, maupun pelaku
kebijakan. Data primer ini digali dengan menggunakan
instrumen berupa Pedoman Wawancara. Bentuk data yang
digali antara lain meliputi persepsi tentang urgensi
- 46 -
dekonsentrasi, model-model kelembagaan dan mekanisme
perencanaan dekonsentrasi, dan butir-butir sebagaimana
dielaborasi pada Tabel 2.1.
b. Data sekunder, antara lain berupa dokumentasi kebijakan pada
masa silam yang berkenaan dengan implementasi
dekonsentrasi. Selain itu, laporan-laporan tahunan pelaksanaan
program dekonsentrasi atau pertanggungjawaban pengelolaan
dana dekonsentrasi, juga menjadi target dokumentasi yang
harus diperoleh untuk mendukung proses analisis dan
interpretasi data. Beberapa bentuk konkrit dari data sekunder
ini antara lain Peratutran Menteri yang mengatur tentang
pelimpahan wewenang kepada gubernur atau substansi NSPK
lainnya, data tentang rincian program dan kegiatan
dekonsentrasi, data kelembagaan, rincian anggaran
dekonsentrasi maupun anggara DIPA dan APBD bidang sosial,
dan sebagainya.
c. Data tersier, misalnya berupa publikasi berbentuk jurnal, buku-
buku, berita koran, atau publikasi online di internet. Jenis data
ini terutama penting untuk memperkuat kerangka konseptual,
analisis teoretik dan literature review untuk menopang
penulisan disertasi.
6. Teknik Analisis dan Interpretasi
Teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan
pola penalaran induktif, artinya penelitian ini dimulai dari proses
pengumpulan fakta yang berserakan, kemudian dilakukan
- 47 -
penyeleksian terhadap relevansi dengan substansi, dan selanjutnya
dicari kesesuaian diantara fakta-fakta tersebut sehingga fakta-fakta
tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dilakukan
secara berulang-ulang sejak tahap awal hingga tersusunnya hasil
penelitian secara lengkap. Dengan kata lain, pola penalaran
induktif ini tidak berjalan linier, tetapi lebih banyak bekerja secara
siklistis dan berputar (sirkuler). Dalam penelitian kualitatif yang
bersifat eksploratif dan menggunakan pola penalaran induktif ini,
penelitian dianggap selesai jika tidak ada lagi fakta-fakta dan
informasi yang dianggap baru (jenuh). Adapun hasil dari pola
penalaran induktif ini adalah terbangunnya model, pola, atau
bahkan juga teori.
Untuk menguji keabsahan data dan instrumen yang digunakan,
serta akurasi analisis data, maka penulis akan menerapkan teknik
triangulasi, dalam hal ini dengan melakukan focused group
discussion (FGD) atau expert panel dengan mengundang beberapa
pakar, kolega, dan narasumber yang dipandang memiliki
pengetahuan dan keahlian dibidang yang relevan. FGD / expert
panel sebagai teknik triangulasi ini akan dilakukan minimal dua
kali dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pada tahap pengumpulan data. FGD pada tahap ini sekaligus
merupakan bagian dari pengumpulan data, dan berfungsi untuk
memverifikasi policy issues dan research questions. FGD akan
difokuskan pada pemetaan masalah dan hubungan
kausalitasnya, untuk kemudian akan digabung dengan data
sekunder dan hasil wwancara untuk memperkuat validitas data
- 48 -
penelitian.
2. Pada tahap setelah dihasilkan analisis dan interpretasi data.
FGD pada tahap ini lebih berfungsi untuk memverifikasi hasil
analisis, temuan, dan rekomendasi, serta difokuskan pada hasil
penelitian untuk memperkuat validitas hasil dan rekomendasi,
sehingga memperkuat probabilitas untuk implementasi yang
lebih baik.
Dengan melakukan FGD / expert panel ini diharapkan
kesimpulan dan rekomendasi akhir penelitian ini memiliki kadar
verifikasi ilmiah yang lebih baik sehingga memiliki kemungkinan
untuk diimplementasikan secara lebih baik pula.
7. Pemilihan Lokus dan Fokus Penelitian
Penelitian ini secara bertujuan (purposive) menetapkan
Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokus analisis. Alasan spesifik
memilih Kalimantan Tengah sebagai lokus adalah adanya
pertimbangan bahwa semenjak 2005 Gubernur telah mengeluarkan
pernyataan yang berisi keluhan dan pemikiran tentang penerapan
dekonsentrasi di daerah. Beberapa keluhan yang dilontarkan ke
berbagai media antara lain meliputi tidak dilibatkannya Gubernur
dalam penyusunan program pemerintah yang ditujukan bagi daerah,
tidak fokusnya pembangunan daerah, banyaknya anggaran yang
tidak efisien karena tumpang tindih, serta kurangnya kepercayaan
pusat kepada daerah.
Pernyataan Gubernur tadi bagi penulis merupakan sebuah
konfirmasi mengenai aktualitas permasalahan yang ada, sehingga
- 49 -
penulis tidak perlu melakukan penelitian pendahuluan (preliminary
study) tentang daerah-daerah yang memiliki masalah dalam
implementasi kebijakan dekonsentrasi. Berbagai hal yang
dikeluhkan dan pemikiran-pemikiran alternatif dari Gubernur dan
perangkat daerah itulah yang akan dielaborasi lebih jauh dalam
penelitian disertasi ini.
Selain lokus pada level daerah, penelitian ini juga menetapkan
Kementerian Sosial sebagai lokus sekaligus fokus analisis.
Pertimbangan dalam menetapkan instansi tersebut karena urusan
sosial merupakan urusan pemerintahan yang tidak banyak menarik
perhatian pemerintah, sehingga sering tidak menjadi prioritas
dalam rencana pembangunan baik pada jangka pendek, menengah,
maupun panjang. Karena tidak menjadi prioritas, maka alokasi
anggaran yang bersumber dari APBD juga relatif kecil, sehingga
pelayanan kepada masyarakat dengan kebutuhan sosial tertentu,
seperti penyakit masyarakat (PSK, anak terlantar, gelandangan dan
pengemis), penduduk jompo/manula, korban bencana alam, dan
sebagainya, kurang tertangani dengan baik. Perhatian yang tidak
seimbang terhadap sektor tertentu ini akan berimplikasi pada
besaran anggaran yang dialokasikan pada sektor tersebut, dan
berpeluang membuat kesenjangan antar sektor menjadi semakin
lebar. Untuk itulah, mengkaji tingkat efektivitas program (cq.
Dekonsentrasi) pada sektor yang bukan primadona menjadi
penting.
Dalam konteks Kalimantan Tengah, sangat kebetulan bahwa
sektor sosial juga bukan merupakan prioritas dalam RPJMD, dan
- 50 -
sering muncul sinyalemen untuk mengandalkan pembiayaan sektor
sosial dari pemerintah pusat. Padahal, permasalahannya bukan
pada sumber pembiayaannya, namun lebih pada bagaimana
mengelola program dan anggaran (bidang sosial) secara benar dan
efektif dapat mencapai tujuan strategis yang diharapkan.
Atas dasar pemikiran diatas, maka pemilihan lokus dan fokus
ini diharapkan dapat menghasilkan analisis keterkaitan antara
keduanya, yakni antara sektor sosial dengan praktek di daerah
lokus, sehingga dapat memberikan hasil yang saling mengoreksi
atau saling mengkonfirmasi.
Dengan pemilihan locus dan focus ini, maka dapat dikatakan
penelitian ini sebagai sebuah study kasus (case study) yang hanya
valid analisis maupun temuan dan rekomendasinya untuk sektor
sosial dan Kalimantan Tengah saja. Dengan demikian, disertasi ini
mengabaikan atau tidak meneliti daerah lain dan sektor lain,
sementara hasilnya juga tidak dapat dijadikan untuk digeneralisasi
pada sektor lain dan daerah lain.
- 51 -
BAB III
REVIEW TEORETIK TENTANG DEKONSENTRASI
A. Konsep Dasar Dekonsentrasi
Menurut World Bank (www1.worldbank.org/publicsector/
decentralization), dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari
desentralisasi yang pada umumnya digunakan di negara kesatuan.
Dekonsentrasi mendistribusikan kewenangan pengambilan keputusan,
keuangan, dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah di berbagai
tingkatan (Deconcentration is the weakest form of decentralization and
is used most frequently in unitary states – redistributes decision making
authority and financial and management responsibilities among
different levels of the national government). Dekonsentrasi dapat
berwujud peralihan tanggungjawab dari pejabat di pusat kepada
pejabat yang berada di daerah (provinsi maupun kabupaten/kota), dan
dapat menciptakan pemerintahan wilayah yang kuat (strong field
administration) dibawah pengawasan instansi pusat.
Sementara itu Robertson Work (2002: 6) mengemukakan
pendapat bahwa Deconcentration refers to the transfer of authority and
responsibility from one level of the central government to another while
maintaining the same hierarchical level of accountability from the
local units to the central government ministry or agency, which has
been decentralized. Atas dasar hal ini, Work menegaskan bahwa
dekonsentrasi dapat dilihat sebagai tahap awal terbentuknya
pemerintahan yang terdesentralisasi untuk meningkatkan pelayanan
publik.
- 52 -
Senada dengan pendapat Work, Hellmut Wollman (2007: 9-10)
menulis bahwa dekonsentrasi dapat dilihat sebagai “munisipalisasi
terbatas” (limited municipalisation). Artinya, pejabat di daerah dan
instansi induknya di pusat dapat berlaku sebagai “instansi lokal” bagi
urusan pemerintahan (local “agents” of state administration).
Diantara beberapa pendapat diatas, kajian Jesse Ribot (2004)
dan Hutchcroft (2001) mungkin dapat menjadi referensi mengenai arti
dekonsentrasi. Menurut Ribot (2004: 9), dekonsentrasi berkaitan
dengan transfer kewenangan dari aparat pusat kepada pejabatnya di
tingkat “cabang”, misalnya prefect, administrator, agen lini di daerah
lainnya. Sedangkan Hutchcroft menyatakan bahwa dekonsentrasi
berkaitan dengan transfer antar unit dalam internal organisasi
(intraorganizational transfer) dari pemerintah pusat kepada unit atau
pejabatnya di daerah. Instansi induk tetap memegang sebagian besar
kewenangan atas isi kebijakan, meskipun kepada pejabat dan unit di
daerah tadi telah dilimpahkan kewenangan tertentu.
Dari berbagai pandangan para pakar dapat disimpulkan bahwa
dekonsentrasi adalah konsep kewilayahan, geografis, atau lokasional.
Sebagaimana ditegaskan oleh Boeckenfoerde et.al. (2007: 7),
dekonsentrasi meliputi upaya memencarkan pejabat untuk
menjalankan fungsi administratif atau manajerial dari satu atau
beberapa lokasi ke beberapa atau banyak lokasi, namun tugas-tugas
administratif tersebut masih merupakan bagian dari pemerintah pusat.
B. Manfaat Dekonsentrasi
Selain tujuh manfaat yang dikemukakan Turner diatas,
- 53 -
dekonsentrasi menurut Bizet (2002: 478-479) juga memberi manfaat
untuk mengkombinasikan tindakan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Meskipun redundansi masih terjadi karena kompleksitas
tindakan pemerintah, namun dekonsentrasi akan memberi keuntungan
berupa derajat fleksibilitas yang lebih tinggi, membuat pemerintah
lebih sensitif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut rakyat
lokal, serta menciptakan prosedur yang lebih kompetitif antara
tindakan yang dilakukan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Sementara itu, kerangka kebijakan di Indonesia mengarahkan
dekonsentrasi untuk mencapai tujuan mendapatkan efisiensi dan
efektivitas dalam pengelolaan pemerintahan, pembangunan, dan
pelayanan umum, serta untuk menjamin hubungan yang serasi antara
Pemerintah dan Daerah, serta antar Daerah. Hal ini secara eksplisit
tertuang dalam konsiderans PP Nomor 39/2001 tentang
Penyelenggaraan Dekonsentrasi. Sayangnya, manfaat seperti ini hanya
menjadi formalitas belaka karena tiadanya indikator untuk mengukur
pencapaian tujuan tersebut.
C. Relasi Desentralisasi – Dekonsentrasi
Dalam khazanah akademik, dekonsentrasi selama ini lebih
sering dipandang sebagai bagian dari desentralisasi. Sebagaimana
dikemukakan oleh Rondinelli (1999), desentralisasi terdiri dari 4
(empat) jenis, yakni desentralisasi politik (political decentralization),
desentralisasi administratif (administrative decentralization),
desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), serta desentralisasi pasar
(market decentralization). Pembagian kedalam 4 (empat) jenis inilah
- 54 -
yang merupakan pemahaman umum desentralisasi. Desentralisasi
administratif sendiri dibagi lagi menjadi dekonsentrasi, delegasi, dan
devolusi. Dibandingkan delegasi dan devolusi, dekonsentrasi adalah
bentuk desentralisasi yang paling lemah, karena tidak berimplikasi
terjadinya transfer kewenangan riil dari Pusat kepada Daerah. Delegasi,
secara konseptual, lebih luas dibanding dekonsentrasi, sedangkan
devolusi mencerminkan adanya kemauan politik yang kuat dari
pemerintah Pusat untuk memberikan kewenangan yang luas kepada
daerah-daerah di wilayahnya.1
Dalam ranah desentralisasi administratif tadi terjadi perdebatan
tentang devolusi (atau desentralisasi dalam arti sempit) dan
dekonsentrasi. Tabel berikut memberi ilustrasi tentang ragam
pemaknaan desentralisasi dan dekonsentrasi secara teoretik.
Tabel 3.1. Ragam Definisi dan Interpretasi Desentralisasi –
Dekonsentrasi Sumber Desentralisasi / Devolusi Dekonsentrasi
World Bank http://www.ciesin.
org/decentralizati
on/English/General/Different_form
s.html
Decentralization is the
transfer of authority and responsibility for public
functions from the central
government to
Deconcentration is the
weakest form of decentralization and is used
most frequently in unitary
states – redistributes
1 Untuk diskusi selanjutnya dalam disertas ini, desentralisasi administratif yang
meliputi tiga kategori (dekonsentrasi, delegasi dan devolusi) disebut dengan
desentralisasi dalam arti luas. Sedangkan devolusi dimaknai sebagai desentralisasi
dalam arti sempit. Dengan demikian, penyebutan istilah “desentralisasi” dalam
disertasi ini lebih merujuk pada devolusi. Padanan kata desentralisasi dan
dekonsentrasi ini sesuai dengan pandangan Ribot (2004: 9) yang menyebutkan devolusi sebagai padanan desentralisasi politis (political decentralization) atau
desentralisasi demokratis (democratic decentralization). Bahkan menurut Ribot
(2004: 8), desentralisasi selalu menjelma dalam 2 (dua) bentuk utama, yakni
democratic decentralization (dikenal juga dengan political decentralization atau
devolution), dan deconcentration (dikenal juga dengan administrative
decentralization).
- 55 -
subordinate or quasi-
independent government organizations and/or
private sector.
Different types of
decentralization show different characteristics,
policy implications, and
conditions for success. Political, administrative,
fiscal, and market
decentralization are the
types of decentralization.
decision making authority
and financial and management responsibilities
among different levels of
the national government.
It can merely shift responsibilities from central
government officials in the
capital city to those working in regions, provinces or
districts, or it can create
strong field administration
or local administrative capacity under the
supervision of central
government ministries.
UNDP http://europeandcis.undp.org/uploads/public/file/Decentralisation%20backgroun
d.doc
Devolution to elected
local bodies is concerned
with the political as well
as the economic (and administrative)
arguments.
Deconcentration is
concerned mainly with the
administrative rationale for
decentralizing, and to some extent with the economic
arguments.
Robertson Work (2002: 5-6)
Devolution refers to the full transfer of
responsibility, decision-
making, resources and
revenue generation to a local level public
authority that is
autonomous and fully independent of the
devolving authority.
Units that are devolved are usually recognized as
independent legal entities
and are ideally elected
(although not necessarily).
Deconcentration refers to the transfer of authority and
responsibility from one
level of the central
government to another while maintaining the same
hierarchical level of
accountability from the local units to the central
government ministry or
agency, which has been decentralized.
Deconcentration can be
seen as the first step in a
newly decentralizing government to improve
service delivery.
Hellmut Wollman (2007:
2-3)
Decentralization has an intrinsically political
implication in that by
Deconcentration is an intrinsically administrative
concept that captures the
- 56 -
way powers and
functions (as well as resources) are assigned to
subnational bodies and
actors that possess some
political autonomy in their own right.
Decentralisation of public
functions to the local government level may be
called municipalisation.
One can speak of “full
municipalisation” of public tasks insofar as the
elected local council
decides, without exception, on their
conduct.
devolution of
(administrative) functions from an upper to a lower
level or unit, typically
through the establishment of
regional or local “field offices” of state
administration. Similarly,
the creation of central level (sectoral) agencies (self-
standing but subordinated to
the respective sectoral
central ministry) are a variant of deconcentration.
Deconcentration can be
seen in what can be called “limited municipalisation”.
The local administration
and its chief executive may come close to acting as
local “agents” of state
administration and to
virtually “integrating” them in state administration.
Jesse C. Ribot
(2004: 8-9)
Decentralization is any
act by which a central government formally
cedes powers to actors
and institutions at lower
levels in a political-administrative and
territorial hierarchy.
Decentralization is effective to the degree
that it meaningfully
represents the local
public – that is, the degree to which local
authorities and
institutions are empowered and
downwardly accountable
Deconcentration concerns
transfers of power to local branches of the central state,
such as prefects,
administrators, or local
technical line ministry agents. These upwardly
accountable bodies are
appointed local administrative extensions of
the central state. Their
primary responsibility is to
central government.
- 57 -
to the local population.
Hutchcroft
(2001: 30)
Devolution, involves a
much more extensive transfer of decision-
making authority and
responsibility to local government units
(commonly regions,
provinces, and/or
municipalities).
Deconcentration, involves
an intraorganizational transfer of particular
functions and workloads
from the central government to its regional or local
offices. The capital retains
the major level of authority
over the content of policies, even if the field offices and
officers are given some
discretion.
McBeath &
Helms (1983:
34-40)
Decentralization involves
transfers of authority to
administer programs,
provide services, and collect and distribute
revenues as well as
transfers of much of the administrative apparatus
for these functions to
subnational governments.
Deconcentration involves
the transfer of authority to
administer government
programs, services, and revenues from the national
government to the states,
provinces, regional centers, or directly to local areas.
Deconcentration is entirely
within the intricate web of inter- governmental
relations.
Selain definisi yang telah dipaparkan diatas, perbedaan antara
devolusi dan dokonsentrasi juga dapat dilihat dari pola transfer
pendanaannya. Dalam devolusi, terjadi proses desentralisasi fiskal,
yakni seperangkat kebijakan yang secara sengaja ditujukan untuk
kemampuan pendapatan pemerintah daerah. Sedangkan dalam
dekonsentrasi, pemerintah dapat melakukan transfer sejumlah dana
tertentu untuk membiayai pelayanan dasar seperti pendidikan,
kesehatan, kesejahteraan, atau perumahan, sepanjang Pemerintah
Daerah belum mempunyai anggaran untuk keperluan tersebut (Falleti
2004: 3).
- 58 -
Dalam prakteknya, dekonsentrasi kerap diasosiasikan sebagai
kebalikan atau dikotomi dari desentralisasi (dalam arti devolusi)
karena lebih menekankan pada distribusi kekuasaan pusat yang
memperkuat dan menstabilkan kekuasaan pusat di daerah. Padahal,
desentralisasi dengan dekonsentrasi bukanlah dua kutub yang saling
bertentangan secara dikotomis. Kedua konsep ini lebih membentuk
sebuh kontinuum. Tentang hal ini, Work (2001, dalam Gera 2008: 103)
menegaskan bahwa desentralisasi bukanlah alternatif dari sentralisasi.
Dalam buku terbitan FAO (2006: 31) juga terdapat penegasan bahwa
“deconcentration and decentralization, far from replacing each other,
have always been considered as complimentary by political decision
makers”. Pernyataan ini menyiratkan bahwa desentralisasi dan
dekonsentrasi dilaksanakan secara simultan dengan kadar yang
berbeda. Ketika pendulum bergerak ke kiri, hal ini menandakan
kecenderungan kearah pemerintahan yang sentralistik, namun
sebaliknya, ketika pendulum bergeser ke kanan, maka kecenderungan
yang terjadi adalah pemerintahan yang lebih terdesentralisasi.
Eko Prasojo (tanpa tahun) juga menandaskan bahwa
sentralisasi dan desentralisasi adalah suatu kontinuum, bukan
dikotomis. Artinya, dalam satu negara tidak mungkin dianut hanya
azas sentralisasi saja untuk semua urusan, sehingga tidak ada
sedikitpun otonomi yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk
mengatur dan mengurus beberapa materi urusan, dan demikian pula
sebaliknya. Atau dalam bahasa McBeath dan Helms (1983: 34),
desentralisasi dan dekonsentrasi sama-sama merupakan instrumen
untuk memperkuat derajat otonomi dalam sebuah negara. Cheema dan
- 59 -
Rondinelli (2007) dalam Picard (2008: 741-742) mengganti istilah
kontinuum dengan hubungan matriks. Dalam kalimat aslinya
dikatakan: “The relationship between devolution and de-
concentration/delegation should not be seen as a dichotomy or as
mutually exclusive, but rather can best be understood as a matrix of
relationships”. 2
Dari pencermatan terhadap berbagai definisi diatas, maka dapat
diperoleh beberapa karaktek dasar yang membedakan desentralisasi
(devolusi) dengan dekonsentrasi, sebagaimana dapat dilihat pada tabel
dibawah ini.
Tabel 3.2. Komparasi Desentralisasi – Dekonsentrasi
Dimensi Desentralisasi Dekonsentrasi Alasan / dasar
pertimbangan
Politik, ekonomi,
administratif.
Administratif dan ekonomi.
Tujuan Demokratisasi. Efisiensi.
Basis delegasi Teritorial. Fungsional.
Esensi Transfer otoritas dan
tanggung jawab,
termasuk sumber daya
dan (hak penggalian) sumber pendapatan.
Transfer pengambilan
keputusan, dan tanggung jawab
pengelolaan (program dan
keuangan).
Sifat transfer Otoritas penuh dan
pertanggungjawaban penuh.
Negara/pusat masih memegang
tanggungjawab, namun suatu saat bisa ditransfer secara
penuh.
Institusi
Penyelenggara
Pemerintah Daerah
otonom.
Field offices (perangkat Pusat
di daerah (baik jabatan atau unit kerja); atau field administration
or local administrative
(Pemerintahan Administratif).
2 Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, 2007, Decentralizing Governance:
Emerging Concepts and Practices, Washington DC: Brookings Institution Press.
Dikutip dari Louis A. Picard, book review. Lihat di “Publius, The Journal of
Federalism”, Volume 38, Number 4, Fall 2008, hlm. 742, Oxford University Press.
- 60 -
Sedikit uraian tambahan perlu diberikan untuk memperjelas
makna dekonsentrasi, terutama dalam hal perangkat kelembagaan atau
unit instansi penyelenggaranya. Sebagaimana dikemukakan Cheema
dan Rondinelli (1983: 18-25), dekonsentrasi merefleksikan adanya
redistribusi tanggungjawab administratif dari lembaga pemerintah
pusat. Redistribusi tersebut bisa berupa field administration; dan atau
local administration, yang secara konkrit diwadahi dalam kantor-
kantor perwakilan yang berada di setiap wilayah daerah. Dalam kaitan
ini, field administration adalah penempatan kantor-kantor pemerintah
pusat di setiap wilayah daerah yang sering disebut juga regionalisasi.
Umumnya regionalisasi mengarah pada pendistribusian wewenang
pemerintah pusat yang diberikan kepada kantor pusat di daerah dalam
bentuk beberapa pelayanan publik, sehingga menyerupai kantor
cabang. Urusan pelayanan publik itu ada yang sifatnya sektoral dan ada
pula pelayanan yang fungsional. Sedangkan local administration,
adalah jenis desentralisasi yang menjadikan seluruh subordinasi
pemerintahan dalam suatu negara adalah sebagai agen pemerintah
pusat. Biasanya yang menjadi agen pemerintah pusat tersebut adalah
lembaga-lembaga eksekutif.
D. Dua Sisi Desentralisasi – Dekonsentrasi dan Kebutuhan
Sinergi
Sebagai sebuah konsep, baik desentralisasi maupun
dekonsentrasi sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan.
Telaah literatur mengindikasikan banyaknya kontribusi
signifikan dari desentralisasi di berbagai sektor, misalnya dalam
- 61 -
pencegahan dan pemberantasan korupsi (Arikan 2004; Fjeldstad 2004;
Fisman 2002), pengurangan kemiskinan (Braathen 2008; Crook 2001;
UNDP 2000; Moore dan Putzel 1999), peningkatan kualitas pelayanan
(WB 2001; Kolehmainen-Aitken 1999; McLean 1999, Dillinger 1994),
memperkuat akuntabilitas (WB 2000), resolusi konflik (Sasaoka 2007,
Siegle and O’Mahony), ataupun pemberdayaan masyarakat
(Brinkerhoff 2006). Namun disisi lain, desentralisasi juga dapat
menimbulkan persoalan anggaran, meningkatan instabilitas macro
ekonomi dan disparitas regional, memunculkan egoisme kedaerahan
dan klientilisme, atau membengkakkan struktur birokrasi (Cornelius
1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden and Wibbels 2002;
Stein 1998, dikutip dari Falleti 2004: 1). Dengan demikian,
desentralisasi memiliki 2 (dua) wajah, positif dan negatif, yang dalam
bahasa Brillantes Jr. (2004: 39) dikatakan sebagai pedang bermata dua
(two-edged of sword).
Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki, Perry
dan Dillinger (1999: 3). Dari sisi kemanfaatan, desentralisasi dapat
lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah
melalui pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi
rakyat. Selain itu, desentralisasi dapat membangkitkan semangat
kompetisi dan inovasi antar pemerintah daerah untuk mencapai
kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun disisi lain, kualitas
pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan
sering disalahartikan atau disalahgunakan oleh elit lokal yang relatif
kurang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan.
Oleh karena desentralisasi semata tidak selalu membawa hasil
- 62 -
positif, maka munculnya konsep dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi
peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan yang memperlihatkan
adanya gejala kesenjangan (gap) yang semakin melebar antara
pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap
kebutuhan publik untuk berinteraksi secara intensif dengan pemerintah
pusat. Kemunculan dekonsentrasi ditandai dengan dibentuk dan
dioperasionalkannya sejumlah kantor-kantor pemerintah yang berada
di luar ibukota.
Mark Turner (2002: 354) mengakui adanya kelebihan dari
dekonsentrasi yang banyak menyentuh aspek manajerial. Manfaat
yang paling dirasakan adalah penggunaan sumber daya yang lebih
efisien. Selain itu, delegasi dalam pengambilan keputusan juga akan
membawa 7 (tujuh) keuntungan lainnya, yakni: meningkatkan
aksesibilitas pejabat dalam konsultasi dan pengaduan, meningkatkan
mobilisasi sumber daya lokal, mempercepat respon pejabat terhadap
kebutuhan dan tuntutan publik, mempertajam alokasi dan perencanaan
anggaran, mendorong motivasi pejabat yang menerima delegasi,
meningkatkan koodinasi antar instansi, serta meringankan beban
instansi pusat terhadap tugas-tugas rutin.
Meskipun demikian, Turner (2002: 355) juga mengingatkan
bahwa dekonsentrasi juga memiliki potensi menimbulkan dampak
yang sebaliknya. Ketergantungan terhadap pedoman dari atas sehingga
kurang responsif terhadap kondisi riil dalam masyarakat, adalah salah
satu kemungkinan negatif yg perlu diantisipasi. Kecenderungan lain,
para pejabat lokal lebih menyukai pola kerja lama berupa memerintah
dan mengontrol, dari pada terlibat langsung dalam kerjasama yang
- 63 -
bersifat partisipatif. Persoalan inovasi yang kurang berkembang akibat
kualitas rata-rata para pejabat di daerah, juga dapat menjadi kendala.
Selain itu, komunikasi dengan pejabat di tingkat pusat seringkali juga
kurang lancer, sementara masyarakat terkondisi pada alam berpikir
lama bahwa pejabat daerah tidak kapabel.
Mengingat desentralisasi dan dekonsentrasi memiliki kelebihan
dan kekurangan masing-masing, maka sangat wajar jika keduanya
bukan menjadi pilihan yang bersifat alternatif melainkan
komplementer. Dengan demikian, desentralisasi dan dekonsentrasi
bekerja bersama-sama untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi
tertinggi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sinergi hubungan seperti inilah dimaksud pengertian
desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai sebuah kontinuum, atau
sebuah bandul. Garis kontinuum atau bandul ini menunjukkan luas
atau besaran peran dan intervensi pemerintah pusat, serta luas dan
besaran kekuasaan / kewenangan yang ditransfer kepada pemerintah
daerah. Ketika bandul lebih berat kearah kiri, kebijakan yang
diterapkan cenderung sentralistis dimana Pusat lebih banyak
memegang kontrol terhadap jalannya pemerintahan di daerah.
Sebaliknya, pemerintah yang lebih terdesentralisasi tercermin ketika
bandul bergerak kearah kanan.
E. Pemencaran Kewenangan sebagai Esensi Desentralisasi dan
Dekonsentrasi
Ide dasar tentang perlunya sebuah negara menerapkan prinsip
desentralisasi dan/atau dekonsentrasi dalam mengatur hubungan antar
- 64 -
susunan pemerintahan adalah pembagian atau pemencaran urusan /
kewenangan pemerintahan. Dengan membagi atau memencarkan
kewenangan tadi, maka dapat dihindari terjadinya konsentrasi
kekuasaan pada satu titik yang sering menjadi sebab terjadinya rezim
yang otoriter dan inefisien. Dengan demikian, desentralisasi dan
dekonsentrasi memiliki dua tujuan sekaligus yaitu menciptakan
pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, serta menumbuhkan
pemerintahan yang partisipatif dan demokratis. Bell (1988)
sebagaimana dikutip Prasojo (2008, tanpa halaman) memberi ilustrasi
menarik dengan mengatakan “Negara nasional terlalu kecil untuk
mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi
terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang
sangat kecil”.3
Sebagaimana telah dipaparkan diatas, desentralisasi dan
dekonsentrasi adalah sebuah kontinuum yang bekerja pada satu garis
namun pada titik yang berbeda. Namun, esensi keduanya
sesungguhnya relatif sama yakni merupakan sebuah mekanisme
pembagian dan/atau pemencaran kewenangan dan tanggungjawab
antar level pemerintahan (multi-tiered of government) yang terjadi
diseluruh negara.
Menurut OECD (1997: 28), tidak ada satupun negara di dunia
yang tidak menerapkan prinsip dekonsentrasi, dengan menegaskan
bahwa “deconcentrated administrations exist in all countries”. Pada
3 Terkait dengan pembagian atau pemencaran urusan atau kewenangan dalam sebuah
negara, Regulska (1997: 23) dalam artikelnya memberi ilustrasi menarik dengan
mengajukan pertanyaan menggelitik sebagai berikut: “division of power and
responsibilities: should the subregional level have power?“
- 65 -
pertemuan tingkat Menteri negara-negara OECD tentang pelayanan
publik masa depan (Ministerial Symposium on the Future of Public
Services) bulan Maret 1996, di Paris, pimpinan OECD, Alice Rivlin,
menyatakan sebagai berikut:
Developments are forcing, as well as enabling, changes
in the structure and boundaries of government. There has
long been a debate about the size of government, as well
as whether to centralize or decentralize. We must now be
willing to move in both directions -- decentralizing some
functions while centralizing other critical policy-making
responsibilities. Such changes are under way in all
countries.
Dalam prakteknya, upaya membagi tanggungjawab antar level
pemerintahan tadi dapat dilakukan melalui desentralisasi politik atau
devolusi (penyerahan tanggung jawab), dan melalui dekonsentrasi
(pelimpahan wewenang / tanggungjawab). Hakekat pembagian
dan/atau pemencaran terhadap urusan tertentu tadi adalah tidak
dikenalnya tanggung jawab yang bersifat tunggal dan utuh dalam
penyelenggaraan fungsi/urusan pemerintahan tertentu, tetapi selalu ada
distribusi peran atau tanggungjawab bersama dengan kadar yang
berbeda-beda. Adanya “campur tangan” pemerintah pusat atau wakil
pemerintah dalam urusan pemerintahan di daerah inilah esensi
dekonsentrasi dalam bingkai desentralisasi.
Dalam hubungan ini, OECD (1997: 18-19) memberikan
ilustrasi tentang relasi pusat dan daerah serta sharing tanggungjawab
antar level pemerintahan (multi-tiered of government) dalam
penyelenggaraan urusan tertentu di beberapa negara. Secara singkat,
kondisi di berbagai negara dengan kasus yang beragam tersebut dapat
- 66 -
disimak pada Tabel sebagai berikut.
Tabel 3.3. Sharing tanggungjawab antar level pemerintahan (kasus
beberapa negara)
Model Desentralisasi / Devolusi Model Dekonsentrasi / Delegasi
Austria:
Functions such as housing are
shifting from the central to the
Länder level; local governments are
playing a larger role in economic
expansion and social change; and
there is a growing federal and
Länder concern with macro-
economic management and
reduction of regional and social
disparities.
Canada:
The federal government has
delegated to the provinces
activities such as administration
and enforcement of the Criminal
Code and regulation of inter-
provincial and international
highway traffic. The federal
government has withdrawn from
labor market training, forestry,
mining, and recreation, and has
proposed a much strengthened
partnership with the provinces on
such items as food inspection,
environmental management, social
housing, and tourism. Many
municipalities have transferred
responsibility for health, social
services and education to the
provinces because of the high costs
involved.
Denmark
During the 1970s and 1980s,
responsibility for social security
was shifted to municipalities, and
responsibility for regional planning,
primary health services, care for
the handicapped and disabled,
secondary schools, environmental
quality, and public transport moved
to the counties.
Italy
The period since 1970 has seen the
transfer from the State to the
regions of manpower training,
health care, agriculture, transport,
environmental protection, and
economic development. In 1990, a
law was passed that sets the stage
for a major reorganization of the
provinces and municipalities, which
should lead to a major reallocation
of functions between levels of
Finland
There has been a transfer of power
from central government’s
deconcentrated administration to
new regional joint authorities
controlled by municipalities since
1994 in areas such as regional
planning and development and
environmental policy.
- 67 -
government.
Iceland
All responsibility for primary
education was transferred from
central to local government in
August 1996. An experiment with
“pilot authorities” seeks to transfer
some central government
responsibilities to selected local
authorities.
Greece
Responsibilities delegated to the
new level of regional
administration created in 1994
include land use planning, public
land disposal, licensing of
industrial development, and the
administration of primary and
secondary school staff.
Sweden
Since the 1960s there has been a
transfer of responsibility to local
government of services such as
schools, old-age and child care,
and health care. In 1992, local
governments took over
responsibility for long-term medical
care of the elderly and
handicapped, and county councils
took responsibility for public
transportation.
Sweden
There has also been some
centralization of functions and
tasks, such as the social security
administration, the administration
of student aid and grants, the
national tax administration,
employment of disabled and
handicapped persons, and the
administration of housing
subsidies.
France
The 1982 decentralization plan
gave full independence to the
regions and the Departments in a
range of areas such as education,
economic support measures, and
local transport. It also gave
responsibility for the construction
and maintenance of primary
schools to the municipalities.
France
Retaining responsibility for most
other education policy at the
central level.
Ireland
The responsibilities of the local
government have been greatly
increased, and a wide range of
central controls removed from
matters such as land disposal,
staffing, personnel, and housing
Ireland
Environmental functions have been
transferred to a national agency.
- 68 -
construction. Local authorities have
acquired additional functions such
as urban renewal, housing, physical
planning, road traffic, amenity
provision, and building control.
United Kingdom
Recently, the role of local
government has put more emphasis
on securing services rather than
providing them directly.
United Kingdom
In the past 15 years there has been
some centralization of power so as
to set national direction, standards
and policy frameworks; but there
have been parallel moves down-
wards, particularly to service
users themselves, using Citizen’s
Charters to define specific service
standards and rights of redress.
Sumber: OECD, Managing across Levels of Government, 1997
(diinterpretasi dan dimodifikasi)
Dari perbandingan diatas dapat dicermati bahwa desentralisasi
dan dekonsetrasi sama-sama merupakan pilihan politik yang rasional.
Pilihan mana yang disukai dan akan diprioritaskan, tergantung pada
tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah, serta kondisi lingkungan
strategis yang mempengaruhi pilihan tersebut. Namun secara garis
besar nampaknya bisa disepakati bahwa terlepas dari derajat
kedalaman atau keluasan wewenang, pembagian dan/atau pemencaran
kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebuah
keniscayaan yang esensial dalam negara modern yang demokratis.
F. Konsep Otonomi Dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal
Pada hakekatnya, baik negara kesatuan maupun negara federal
bisa terdesentralisasi atau tersentralisasi. Namun kecenderungan
global adalah pergerakan kearah negara yang desentralistis. Sebagai
- 69 -
contoh, Myanmar adalah salah satu contoh ekstrim negara yang
dikategorikan sebuah rezim yang sangat sentralistis di Asia. Meskipun
kekuasaan negara masih dipegang oleh junta militer, namun tetap saja
terdapat hasrat untuk melakukan reformasi dengan memberikan
otonomi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Desentralisasi di
Myanmar ini ditujukan untuk meningkatkan partisipasi publik,
akuntabilitas birokrasi, efisiensi administratif, serta respon terhadap
kebutuhan masyarakat, disamping tujuan-tujuan lainnya (Fritzen and
Lim, 2006: 1).
Dari wilayah Amerika Latin, rezim yang sangat sentralistis
diwakili oleh Kosta Rika. Menurut Ryan (2004: 82), Kosta Rika ini
merupakan negeri dengan tradisi paling sentralistis di kawasan
Amerika Selatan, namun berusaha untuk mengimplementasikan
desentralisasi. Sayangnya, desentralisasi di negara ini tidak berjalan
dengan baik bahkan cenderung gagal karena adanya penolakan dari
para pemimpin politik di negeri tersebut, selain karena penerapan yang
ambigu.
Demikian pula di Eropa yang diwakili Inggris dan Perancis.
Kedua negara ini pada masa lampau sangat kental nuansa
sentralisasinya, malahan lebih tepat disebut sebagai negara yang
otoriter. 4 Dalam era setelah tumbangnya rezim monarkhi baik di
4 Sebagai ilustrasi, pernyataan Raja Louis XIV (5 September 1638 – 1 September 1715) dari Perancis yang sangat terkenal berbunyi: “L'État c'est Moi” (negara
adalah saya). Louis XIV sering dikenal dengan sebutan the Sun King (French: le
Roi Soleil). Louis XIV percaya dengan hak suci raja (divine right of kings), sebuah
doktrin politik dan agama tentang absolutisme raja. Lihat:
http://en.wikipedia.org/wiki/Divine_right_of_kings,
http://en.wikipedia.org/wiki/Louis_XIV_of_France Kondisi Inggris pada abad
- 70 -
Perancis maupun di Inggris, karakteristik Perancis masih sangat
sentralistis dan seragam (Politica Comparata, ibid.), sementara Inggris
Raya juga memiliki reputasi sebagai negara yang paling sentralistis di
Eropa (Jeffery and Wincott, 2006: 3). Meskipun demikian, keduanya
saat ini justru bisa menjadi contoh dalam keberhasilannya membangun
sistem demokrasi melalui pemberian otonomi kepada unit
pemerintahan dibawah pemerintah pusat. Kecenderungan terjadinya
pergeseran ini dinyatakan secara eksplisit pula oleh Goldsmith dan
Newton (1983: 216), sebagai berikut:
“Central government has always been powerful in
Britain, which, with France, is one of the most highly
centralised, unitary states in the western world, but in
the last few years the centre has further consolidated its
power by increasing its legal, political, and financial
control over local authorities.”
Contoh-contoh dari sistem kenegaraan yang berlaku di
berbagai negara tidak mendukung adanya upaya untuk mengkaitkan
konsep negara kesatuan dan federal dengan derajat sentralisasi atau
desentralisasi. 5 Bahkan dalam bentuk negara yang sama, variasi
pertengahan (middle ages) juga sangat serupa. Sebagai contoh, Raja James I (the
King of England, 19 June 1566 – 27 March 1625), menulis dua karya berjudul The
Trew Law of Free Monarchies dan Basilikon Doron (1597-1598) yang
memperkokoh basis ideologi untuk sistem monarkhi. Lihat:
http://en.wikipedia.org/wiki/James_I_of_England.
5 Meskipun tidak ada korelasi yang signifikan antar kedua bentuk negara, namun
bentuk negara kesatuan diharapkan lebih komprehensif dalam melakukan reformasi menuju desentralisasi. Sebab, tanggung jawab akhir penyelenggaraan
pemerintahan, khususnya dalam hal pembelanjaan anggaran negara, masih berada
di tangan pusat. Oleh karenanya, reformasi desentralisasi yang berasal dari inisiatif
pusat (top-down) pasti dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi. Pada saat
yang sama, dorongan dan tuntutan terhadap desentralisasi yang datang dari bawah
(bottom-up), akan berorientasi pada upaya memperbesar demokrasi. Di negara
- 71 -
desentralisasinya bisa jadi sangat berlainan. Selain itu, dapat dipahami
pula dari paparan diatas bahwa model desentralisasi baik di negara
kesatuan maupun negara federal sangatlah bervariasi. Hal ini misalnya
dikemukakan oleh Fleurke dan Hulst (2006: 37) yang mengkaji negara-
negara kesatuan di Eropa. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa
sistem administrasi negara di Eropa memiliki variasi yang sangat besar.
Beberapa negara kesatuan di wilayah Skandinavia relatif mempunyai
sistem pemerintahan daerah yang kuat dalam pelayanan publik tanpa
adanya intervensi kebijakan yang rigid. Namun pemerintahan daerah
negara kesatuan Perancis dapat dikatakan relatif lemah. Hanya diakui
pula oleh Fleurke dan Hulst bahwa sistem administrasi di negara-
negara tersebut sangat sering berubah haluan diantara titik ekstrim
sentralisasi dan desentralisasi di titik ekstrim lainnya.
Fakta-fakta yang diungkapkan diatas mengarah pada sebuah
pemahaman tidak adanya satupun model desentralisasi dan
dekonsentrasi yang seragam antar negara, bahkan antar negara dengan
bentuk yang sama. Kondisi yang lebih lazim adalah bahwa sebuah
negara menerapkan desentralisasi dan dekonsentrasi secara simultan,
dan pada saat yang bersamaan juga menerapkan beberapa variasi dari
desentralisasi. Dengan demikian, asymmetric decentralization
(desentralisasi yang tidak setara) cenderung lebih banyak dijadikan
pilihan terbaik. Pilihan seperti ini secara rasional dapat dimengerti
federal, masalah tentang fiskal mungkin sama dengan di negara kesatuan, namun
tanggung jawab atas pemecahan masalah sudah sepenuhnya diserahkan kepada
pemerintah daerah di berbagai level (Ansell and Gingrich 2003: 141; Wibbels
2000: 690). Sebaliknya, Tillin (2006: 46) menyebutkan bahwa negara federal lebih
baik dibanding negara kesatuan dalam menangani atau menyelesaikan konflik.
- 72 -
mengingat adanya fakta bahwa dalam sebuah negara (yang berbentuk
kesatuan sekalipun), setiap daerah tidak memiliki karakteristik, potensi,
latar belakang sejarah, atau setting politik yang sama. Itulah sebabnya,
pengaturan yang berbeda menjadi sebuah tuntutan yang wajar.
Dari deskripsi diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep
otonomi pada negara kesatuan dan negara federal tidak dapat
dibedakan secara mendasar. Kesimpulan seperti ini misalnya dikatakan
oleh Work (2002: 11): ”There is no broad-based generalisation that
can be made about the correlation of federal/unitary states and
decentralisation”. Fakta menunjukkan bahwa negara federal dapat
bersifat sangat sentralistis, seperti Malaysia, sebaliknya negara
kesatuan seperti China justru memiliki derajat desentralisasi (ekonomi)
yang relatif tinggi.
G. Dekonsentrasi di Antara Paradigma Sentralisasi dan
Desentralisasi
Dekonsentrasi adalah sebuah konsep yang unique dalam ranah
administrasi publik. Disatu sisi, dekonsentrasi dipandang sebagai
bagian yang integral dengan desentralisasi, atau bentuk tertentu dari
desentralisasi. Dalam posisi ini, dekonsentrasi maupun desentralisasi
sama-sama berhubungan dengan soal penyebaran kekuasaan dan
tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada unit-unit pemerintahan
yang lebih kecil. Namun disisi lain, dekonsentrasi juga sering
dipersepsi sebagai implikasi dari agenda sentralisasi, yang
mencerminkan adanya keengganan pemerintah pusat untuk berbagi
kekuasaan dengan jenjang pemerintahan di bawahnya. Dalam situasi
- 73 -
seperti ini, dikotomi antara dekonsentrasi dengan desentralisasi
menjadi tidak terelakkan. Akibat lebih lanjut, dikotomi dekonsentrasi
– desentralisasi bahkan bermetamorfosa menjadi dikotomi antara
sentralisasi dengan desentralisasi.
Perdebatan antara sentralisasi dan desentralisasi sudah cukup
banyak diulas oleh para pakar ilmu politik atau administrasi negara,
dan telah menjadi persepsi umum bahwa kedua konsep tersebut secara
anatomis berlawanan. Beberapa ahli yang telah membuat analisis
komprehensif tentang hal ini antara lain Cumming (1995), Gerring,
Thacker and Moreno (2004), Hutchcroft (2001), Dickovick (2003), dan
sebagainya. Definisi umum sentralisasi adalah “the concentration of
administrative power in the hands of a central authority, to which all
inferior departments, local branches, etc. are directly responsible”,
sedangkan desentralisasi didefinisikan sebagai “the weakening of the
central authority and distribution of its functions among the branches
or local administrative bodies” (Cummings 1995: 113).
Sentralisasi dan desentralisasi sendiri memiliki probabilitas
yang sama untuk diterapkan pada konteks negara kesatuan (unitaris)
atau negara federal (federalis). Dalam konteks negara kesatuan, Elazar
(1997: 239) memberi kontribusi yang sangat penting dengan membagi
negara kesatuan kedalam dua karakteristik utama, yakni model hirarkis
(the hierarchical model) dan model hubungan pusat – pinggiran (the
center – periphery model).6
6 Untuk negara federal, Elazar tidak melakukan pembagian seperti pada bentuk
negara kesatuan, namun hanya membangun satu model yang disebut dengan
federal model. Pembagian karakteristik negara federal justru dilakukan oleh Ansel
dan Gingrich (2003: 152-153), yakni Federal Consensual dan Federal
- 74 -
Model pertama yang berbentuk piramida adalah ekspresi klasik
yang bersifat hirarkis, dimana kewenangan atau kekuasaan
didistribusikan kepada jenjang-jenjang pemerintahan melalui jalur
komando (chain of command). Dalam model ini, kedudukan tertinggi
(pusat) adalah kepentingan utama, yang menjadi tempat pengambilan
keputusan dan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh unit-unit
pemerintah dibawahnya. Dengan demikian, model ini dapat dikatakan
menyerupai model atau cara kerja militer. Negara kesatuan yang
berpola ini adalah Perancis.
Pada model kedua, kewenangan atau kekuasaan terkonsentrasi
pada satu tangan (yakni pemerintah pusat), yang sedikit banyak
terpengaruh oleh wilayah / daerah yang mengelilinginya. Dalam
banyak kasus, model ini secara natural cenderung bersifat oligarkhi,
dengan kekuasaan dipegang dan/atau dijalankan oleh orang-orang
yang merepresentasikan “pusat”, sebagaimana ciri khas dari model
Westminster parliamentary system. Kekuasaan pusat ini dapat
dilakukan secara terkonsentrasi atau tersebar, berdasarkan pada
keputusan yang diambil pusat baik melalui persetujuan dan/atau
perwakilan dari wilayah pinggiran (periphery) maupun tidak. Contoh
konkrit dari negara kesatuan yang berpola ini adalah Inggris.
Dari pemodelan yang dilakukan Elazar diatas dapat disimak
bahwa dalam negara kesatuan, pemerintah pusat merupakan tempat
ditemukannya atau bekerjanya kekuasaan negara. Kekuasaan ini
bersifat utuh atau tunggal, dan terkonsentrasi di tingkat pusat. Inilah
ciri dasar dari negara kesatuan.
Majoritarian.
- 75 -
Karakter negara kesatuan yang sentralistis atau yang
terkonsentrasi tadi dapat dikurangi derajatnya baik dengan
dekonsentrasi, desentralisasi, atau keduanya secara simultan. Idealnya,
dekonsentrasi dijalankan bersama-sama dengan desentralisasi, tanpa
menghilangkan karakter sebuah negara kesatuan. Jika hanya
dekonsentrasi yang berjalan, tetap kentara sekali semangat
sentralisasinya. Sebab, dekonsentrasi hanya berhubungan dengan
pemencaran kekuasan diantara institusi pusat, dan tidak melibatkan
instansi otonom di tingkat yang lebih rendah. Itulah sebabnya,
dekonsentrasi perlu diimbangi dengan desentralisasi atau pemencaran
kekuasaan dalam tubuh negara secara inklusif (bukan secara internal
di lingkungan pusat belaka). Dengan kata lain, dekonsentrasi tidak
identik dengan sentralisasi apabila ditempuh bersama-sama dengan
desentralisasi. Sebagaimana dilaporkan dalam publikasi FAO (2006:
31), sentralisasi terdiri dari dua variasi yakni konsentrasi dan
dekonsentrasi. Hanya jika terdapat desentralisasi diantara konsentrasi
dan/atau dekonsentrasi tadi, maka dapat dihindari menguatnya
sentralisasi.
Dilihat dari kecenderungan global, maka pergerakan yang
terjadi adalah dari sisi kiri (sentralisasi) ke sisi kanan (desentralisasi).
Bahkan pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi ini oleh John
Naisbitt (1984) disebut sebagai salah satu dari sepuluh megatrends di
dunia. Pernyataan ini diperkuat oleh Stoner and Freeman (1989) yang
secara tegas menulis: “The clear trend today is toward more
decentralization; atau Brooke (1984) yang menyatakan: “Probably the
most thorough account of the relationship between centralization and
- 76 -
autonomy suggested that beliefs will swing towards decentralization
unless this is discredited by a series of disasters” (dalam Cummings
1995: 108).
Laporan FAO (2006: 42) memberi analisis lebih detil mengapa
desentralisasi menjadi pilihan kebijakan yang paling baik saat ini.
Alasan yang dikemukakan yakni: pengurangan peran pemerintah (state
withdrawal) harus dijawab dengan solusi alternatif yang tepat;
perkembangan demokrasi membuka pintu-pintu baru untuk partisipasi
publik yang lebih luas; masyarakat madani sudah semakin terdidik dan
siap menjadi mitra pemerintah; tantangan pembangunan yang lebih
kompleks; serta adanya perkembangan teknologi yang semakin
canggih sehingga dapat memacu inovasi dan diferensiasi produk
barang/jasa dan menghilangkan hambatan (barriers) dalam
perdagangan antar daerah atau antar negara.
Dalam diskursus sentralisasi – desentralisasi ini, menarik untuk
menyimak ahli lain yang mengisyaratkan bahwa pergerakan ke sisi
kanan atau ke sisi kiri sebenarnya tidaklah penting; yang penting
adalah tercapainya keseimbangan diantara keduanya. Hal ini misalnya
dikemukakan oleh Fayol (1949) dengan mengatakan: “The question of
centralization or decentralization is simply a matter of proportion; it
is a matter of finding the optimum degree for the particular concern”
(Cummings 1995: 109). Sejalan dengan pendapat Fayol, Kauzya
(dalam Bertucci, tanpa tahun) juga menawarkan konstruksi
keseimbangan sentralisasi dan desentralisasi.
Menurut Kauzya, faktor pendorong sentralisasi adalah upaya
mempertahankan integritas nasional, kepentingan semua, keadilan
- 77 -
bagi seluruh daerah, serta koordinasi pembangunan yang lebih baik.
Sedangkan faktor pendorong desentralisasi terdiri dari pengakuan
terhadap keberagaman lokal, sistem sosial dan kepentingan masyarakat
di daerah. Faktor pendorong sentralisasi dan desentralisasi ini untuk
selanjutnya dipertemukan oleh aktor-aktor di tingkat pusat maupun
daerah, ditambah dengan elite politik, masyarakat madani, dan
kelompok bisnis, agar tidak saling merugikan.
Upaya menemukan titik keseimbangan tadi merupakan reaksi
wajar mengingat kedua konsep tadi memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Dengan mencapai derajat keseimbangan
yang tertinggi, maka praktek penyelenggaraan fungsi negara secara
logis akan semakin berkualitas. Untuk mengukur keuntungan
(advantages) dan kekurangan (disadvantages) dari sentralisasi dan
desentralisasi tersebut, paling tidak dapat digunakan tiga kriteria yang
diusulkan FAO (2006: 41), yakni penerapan kebijakan pembangunan,
tingkat efektivitas, serta kontrol dalam pemanfaatan anggaran.
Dari aspek penerapan kebijakan pembangunan, pola
sentralisasi memiliki kelebihan untuk menjamin adanya standarisasi
kebijakan secara nasional, dan ini akan membawa dampak positif pada
aspek kedua, yakni meningkatkan efisiensi program pembangunan
tersebut. Demikian pula dalam pengelolaan anggaran, pola sentralisasi
lebih memungkinkan terjadinya economies of scale. Sementara itu pola
desentralisasi memiliki kelebihan berupa penerapan kebijakan yang
berbeda sesuai kondisi daerah sehingga dapat memenuhi kebutuhan
yang berbeda pula. Selain itu, pengambilan keputusan juga bias
dilakukan secara lebih fleksibel, sehingga dapat mendorong efektivitas
- 78 -
program pembangunan di wilayah masing-masing. Adapun dalam
pengelolaan anggaran, pola desentralisasi bisa lebih baik karena
memerlukan pengawasan secara fisik dan langsung (bukan
pengawasan secara administratif berdasarkan dokumen semata).
Kriteria untuk mengukur kadar sentralisasi dan desentralisasi
suatu negara juga dirumuskan oleh Hutchcroft (2001: 34-37) yang
dibagi kedalam sepuluh pertanyaan sebagai berikut:
1. Apakah pejabat eksekutif di daerah ditunjuk/diangkat
oleh pusat atau dipilih oleh rakyat?
2. Apakah ada mekanisme yang efektif di daerah untuk
untuk mendorong partisipasi?
3. Apakah ada daerah (provinsi, distrik) yang memiliki
kewenangan yang cukup luas dalam pengambilan
keputusan?
4. Pada sektor informal, apakah ada konsentrasi kekuatan
sosial ekonomi pada tokoh, boss atau patron lokal?
5. Apakah ada lembaga legislatif yang memiliki
kewenangan pengambilan keputusan secara signifikan?
6. Jika terdapat lembaga legislative yang efisien, apakah
mereka bekerja pada sistem presidensil atau
parlementer?
7. Apakah anggota legislatif dipilih atau diangkat?
8. Seberapa besar sistem pemilihan umum mampu
menghasilkan keterwakilan kepentingan lokal di
tingkat nasional?
9. Apakah partai politik diatur secara nasional atau ada
pengaturan oleh daerah? Dan sejauh mana tingkat
kohesi internal partai politik tersebut?
10. Sejauh mana struktur administrasi (birokrasi) terbebas
dari pengaruh dan patronase partai?
Kriteria dalam bentuk pertanyaan yang diajukan oleh
Hutchcroft diatas tidak menghasilkan jawaban yang hitam putih bahwa
sistem politik suatu negara bercorak sentralistik atau desentralistik.
- 79 -
Bahkan Hutchcroft juga menyatakan bahwa hasil analisis akan berada
pada kontinuum diantara sentralisasi dan desentralisasi tersebut.
Bahkan dia menyatakan bahwa: “…inadequate way of gauging the
degree of centralization or decentralization of the total governmental
system”.
Hanya saja, dia juga memberi gambaran bahwa suatu rezim
tergolong sentralistik jika terdapat kombinasi dari beberapa kondisi
berikut: 1) pejabat daerah diangkat / ditunjuk oleh pusat; 2) hanya ada
sedikit ruang untuk partisipasi publik; 3) di tingkat lokal tidak terdapat
lembaga legislatif tersendiri; 4) tidak ada tokoh lokal yang berpengaruh
dan dapat mengimbangi kekuasaan pusat; 5) kewenangan pengambilan
keputusan terkonsentrasi pada lembaga eksekutif; 6) lembaga legislatif
(jika ada) dibentuk sebagai bagian dari struktur parlementer, bukan
presidensil; 7) sebagian besar anggota legislatif nasional ditunjuk oleh
pemerintah pusat; 8) masih ada sistem pemilu dimana kandidat anggota
parlemen ditentukan oleh partai politik; 9) semua partai politik
berskala nasional dan mampu mengimplementasikan kebijakan untuk
seluruh wilayah negara; dan 10) birokrasi terhindar dari sistem
patronase partai politik (Hutchcroft, 2001: 37).7
Ditengah perdebatan tentang sentralisasi – desentralisasi dan
posisi dekonsentrasi tersebut, sangat menarik untuk mencermati
konsep Gerring, Thacker & Moreno (2004: 3, 13) tentang
centripetalisme, sebuah konsep yang menyatakan bahwa good
governance dan pemerintahan yang demokratis dapat diwujudkan
7 Kondisi yang bertolak belakang dari ke-10 butir tersebut, dapat ditafsirkan sebagai
rezim negara yang berkarakter desentralistik.
- 80 -
melalui penggabungan antara authority (refleksi dari sentralisasi)
dengan inclusion (refleksi dari sentralisasi). 8 Prinsip authority
mengandung makna bahwa pemerintah harus memiliki mekanisme
yang efektif untuk mencapai dan menjalankan konsensus, sedang
prinsip inclusion berarti bahwa pemerintah harus menjangkau seluruh
kepentingan, ide dan identitas yang ada dalam negara. Secara sekilas,
keduanya bertolak belakang secara mendasar sehingga sulit untuk
memenuhi kedua prinsip tersebut dalam waktu yang sama.
Namun Gerring, Thacker & Moreno mengasumsikan bahwa
centripetalism justru membangun konsensus dengan cara
mengkonstruksi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Kewenangan
yang dimiliki oleh negara sentripetal (centripetal states) berasal dari
kemampuannya untuk menyatukan kelompok dan perspektif yang
berbeda, atau menginstitusionalisasikan konflik-konflik politik. Dalam
hal ini, negara sentripetal atau organisasi sentripetal lebih melakukan
rekonsiliasi antara prinsip authority dan prinsip inclusion, dari pada
kompromi diantara keduanya.
Secara lebih gamblang, Gerring, Thacker & Moreno (2004: 15-
17) membedakan prinsip desentralisme, sentralisme, dan
sentripetalisme dalam membangun good governance sebagai berikut:
“Decentralists envision political institutions that are
separate and independent of one another, resulting in a
decisionmaking process that is highly localized and
8 Menurut Gerring, Thacker & Moreno (2004: 19), contoh konkrit negara yang
menerapkan paradigma sentralisme, desentralisme, dan sentripetalisme berturut-
turut adalah Inggris, Amerika Serikat, dan Swedia. Sentripetalisme sendiri
merupakan paradigma yang sesuai dengan bentuk negara unitaris, dimana
kewenangan konstitusional dipegang oleh pemerintah pusat.
- 81 -
requires universal consent.
Centralists envision political institutions that are highly
focused and coordinated from the top.
Centripetalism sees the source of good government in
institutions that reconcile inclusion and authority,
bringing interests, ideas, and identities toward the center
into an authoritative decisionmaking process.”
Selanjutnya, ketiga paham tersebut dapat dibandingkan dalam
21 indikator yang lebih rinci, yakni sifat kedaulatan (territorial),
konstruksi legislatif, sistem pemerintahan, sistem pemilu, sifat
konstitusi, posisi kabinet, kedudukan dewan yang dibentuk pemerintah,
kohesivitas partai, penghentian, pembatasan masa jabatan, jumlah
jabatan yang dipilih, siklus pemilu, prosedur pemilihan kandidat, pola
voting, kapanye, partai politik, kelompok kepentingan, referendum,
lembaga peradilan, serta birokrasi. Perbandingan selengkapnya dapat
dilihat pada Tabel dibawah ini.
- 82 -
Tabel 3.4. Perbandingan Desentralisasi, Sentralisasi dan
Sentripelatism
Sumber: Gerring, Thacker & Moreno (2004: 15).
H. Praktek Dekonsentrasi Negara Kesatuan: Perspektif
Internasional
Pada dasarnya, sentralisasi memiliki dua variasi yakni
konsentrasi dan dekonsentrasi. Dengan kata lain, sentralisasi dapat
menjelma kedalam format sentralisasi yang terkonsentrasi
- 83 -
(concentrated centralization) dan sentralisasi yang terpencar
(deconcentrated centralization). Variasi seperti inilah yang nampaknya
menimbulkan opini bahwa dekonsentrasi sedikit banyak berhubungan
dengan sentralisasi. Sentralisasi sendiri lebih sering ditemukan di
negara-negara berbentuk unitaris karena memang proses pembentukan
negara tersebut tidak didahului oleh kesepakatan antar negara-negara
kecil yang sudah ada sebelumnya, melainkan terbentuk sebagai sebuah
bangsa yang utuh dan berdaulat. Itulah sebabnya, wacana sentralisasi
lebih mudah diamati di negara unitaris.
Untuk memberi gambaran yang relatif utuh dan mampu
memberi kontribusi teoretis yang kuat, dibawah ini akan diuraikan
situasi dan praktek di beberapa negara terkait dengan implementasi
dekonsentrasi dalam mengelola hubungan pusat dan daerah:
1. China
China adalah negara sosialis dengan ciri sistem partai tunggal,
yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Partai Komunis China
(Chinese Communists Party) sebagai partai yang berkuasa (the rulling
party). Organ negara yang sangat besar kekuasaannya adalah Kongres
Rakyat China (The People's Congress of China, PCC) yang merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam struktur PCC terdapat satuan
permanen yang disebut Panitia Kerja atau Standing Committee (SC)
yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislative
power). Pada level daerah, Kongres Rakyat Lokal (The Local People
Congresses, LPC) merupakan organ kekuasaan pusat di daerah, yang
memiliki satuan permanen di daerah yang bersangkutan. Sementara itu,
- 84 -
Dewan Negara China (The State Council of China, SCC) adalah organ
administratif negara yang tertinggi, dan pemegang kekuasaan eksekutif
yang tertinggi dari organ kekuasaan negara yang tertinggi. Pemerintah
daerah adalah organ eksekutif dari kekuasaan negara di tingkat daerah,
sekaligus organ administratif di daerah, dan bertanggung jawab kepada
SCC (UNESCAP, tanpa tahun).
Dengan melihat struktur politik dan pemerintahan seperti ini
sudah tergambarkan dengan gamblang bahwa pemerintah pusat dan
daerah terikat secara integratif dan kohesif melalui sebuah ikatan
Kongres Rakyat dan Dewan Negara. Dengan kata lain, kekuasaan
absolut pusat atas pemerintahan daerah secara operasional
dimanifestasikan dalam kewenangan yang melekat pada kedua organ
negara tersebut.
Adanya struktur pemerintahan daerah yang hanya berfungsi
“administratif belaka” atau sebagai agen pemerintah pusat, membentuk
pola hubungan antara pusat dan daerah dengan model principal-agent
relations, yakni sebuah pola relasi dimana pusat dapat secara sepihak
mengubah sistem yang sudah ada sebelumnya guna mengatasi masalah
keagenan atau karena perbedaan tujuan. Untuk kasus di negara
berkembang, China, Indonesia dan Vietnam dijadikan sebagai contoh
negara yang berpola principal-agent relations atau bercorak
sentralistis sekaligus dekonsentratif.
Menurut Smoke (2005: 25, 28), China memiliki tradisi yang
sangat panjang tentang konsep desentralisasi terbatas (limited
decentralization). China menitikberatkan dekonsentrasi kepada
provinsi dan kota-kota besar, sedangkan daerah yang lebih rendah
- 85 -
diberikan devolusi yang lebih besar termasuk peran dalam
pembelanjaan anggaran. Selanjutnya, provinsi sebagai perangkat
dekonsentrasi memiliki kontrol yang besar dalam pengaturan daerah-
daerah yang lebih rendah.
Meskipun terkenal sebagai negara yang kurang terbuka
terhadap demokrasi dan cenderung otoriter, namun terobosan terhadap
desentralisasi sesungguhnya telah diupayakan, bahkan berjalan lebih
dahulu dari berbagai negara Asia termasuk Indonesia. Reformasi yang
dijalankan membentuk adanya siklus sentralisasi dan desentralisasi
fungsi-fungsi administratif yang merefleksikan pemikiran para
pemimpin China untuk menemukan keseimbangan yang optimal
antara kontrol pusat dengan kemandirian / otonomi unit sub-national
yang terbatas (Straussman and Zhang 2001, dalam Beh 2007: 11).
Reformasi tahap pertama, government organizational reforms
(GOR), dilakukan dari tahun 1952 hingga 1953 selama tiga tahun masa
Revolusi China, yang mengganti struktur lokal yang didominasi oleh
militer dengan administrasi pemerintah pusat. Hal ini dilakukan untuk
mencapai tujuan memperkuat pembangunan ekonomi skala besar
sekaligus memperkokoh kekuasaan pusat di daerah. Pada periode Mao
ini, strategi sentralisasi dengan cara memperlemah daerah memang
nampak menonjol sekali dengan tujuan untuk menjaga dari status semi-
anarkis atau dari para pembangkang terhadap kekuasaanya.
Namun pada tahun 1978 setelah memperoleh kursi kekuasaan
lagi, Deng Xiaoping memperkenalkan empat gagasan modernisasi,
yakni memberikan tanggung jawab produksi kepada petani,
merevitalisasi perusahaan swasta di perkotaan, mendesentralisasikan
- 86 -
pengambilan keputusan kepada perusahaan milik negara, mereformasi
harga (Beh, 2007: 10). Dengan demikian, desentralisasi di China pada
masa ini lebih banyak berhubungan dengan pasar (market
decentralization). Secara konkrit, perubahan yang dicapai dari
desentralisasi ekonomi tersebut adalah bahwa hingga sebelum 1985,
pemerintah China hanya memiliki kontrol sebesar 20 persen terhadap
perusahaan-perusahaan milik negara, sementara provinsi, county, dan
township (xiang) masing-masing memegang kendali sebesar 45 persen,
20 persen, dan 15 persen (Basuki, 2006: 11-12). Tentu saja, terobosan
seperti ini sangat signifikan untuk mendukung keberhasilan tugas-
tugas pemerintahan daerah karena mendapatkan support pendapatan
yang bersumber dari laba perusahaan-perusahaan milik negara.
Sementara itu, desentralisasi politik dan desentralisasi
administratif di China nampaknya tidak semaju desentralisasi ekonomi
(pasar), sehingga tanggungjawab dan intervensi pusat dalam
penyelenggaraan urusan-urusan diluar bidang ekonomi relatif masih
besar. Menurut Konstitusi China, pemerintahan daerah dibagi menjadi
tiga tipologi, yakni: pemerintahan daerah secara bertingkat,
pemerintahan yang otonom berdasarkan wilayah etnisitas (autonomous
governments of nationality regions), dan pemerintahan wilayah
administrasi khusus (governments of special administrative regions).
Sesuai dengan prioritas pusat yang menitikberatkan pada
desentralisasi ekonomi, maka ketiga tipologi pemerintahan daerah
tersebut dibebani tugas dan tanggung jawab untuk mengelola
pembangunan ekonomi di wilayahnya. Tugas-tugas pembangunan
ekonomi ini misalnya meliputi rincian sebagai berikut (UN-ESCAP,
- 87 -
ibid.):
• Drawing up socio-economic development strategies of the
regions as well as middle and long-term plans for economic
development, year plans, measures of developing resources,
transforming technologies, importing technologies and capital;
• Solving important economic contradictions between branches
and between branches and regions and mediating economic
relations;
• Organizing and coordinating production and circulation;
• Enforcing economic laws and regulations;
• Appointing and dismissing cadres; and
• Providing infrastructure basic conditions and services for
economic development.
Adapun bidang-bidang pemerintahan yang turut ditransfer
kepada pemerintah daerah selain urusan ekonomi mencakup bidang
pendidikan dan budaya, konstruksi perkotaan dan pedesaan, keuangan
dan perpajakan, administrasi kependudukan (civil administration),
kesehatan, jaminan sosial dan ketertiban umum, serta beberapa urusan
lainnya. Namun tentang kewenangan pemerintah daerah di China ini,
Basuki (2006: 12) mencatat bahwa hanya urusan kesehatan dan
pendidikan yang secara jelas telah ditransfer sebagai kewenangan
provinsi.9
9 Kewenangan yang ditransfer dari pusat kepada pemerintahan daerah tersebut tidak
sama untuk level yang berbeda. Masing-masing level memiliki kewenangan
tersendiri sesuai mandat konstitusi. Sebagai contoh, konstitusi menyebutkan secara
eksplisit tentang kewenangan daerah di wilayah yang dihuni oleh etnis Han
sebagai berikut: “Local governments at the county or higher level have the power
to carry out resolutions and orders of the People Congresses at the corresponding
and higher level of governments and of the State Council, can govern the economic,
educational, scientific, cultural, health, sport and administrative affairs, like
finance, civil administration, public security, nationality, judicature, supervision
and family planning, exercise personnel appointment and dismiss training,
examination, rewards and punishments. The provincial and municipality
governments have the power to decide on the designation of the country and the
- 88 -
Kebijakan lain yang mengindikasikan adanya upaya
desentralisasi adalah pemilihan pejabat township secara langsung,
yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 1999. Sedangkan untuk
daerah lain yang secara ekonomi lebih maju, yakni di wilayah pesisir
timur, pemilihan secara langsung bagi deputi konggres level township
sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya. Adapun pemilihan
langsung bagi Komite Desa (Village Committee, termasuk kepala desa)
dimulai tahun 1988 di beberapa desa di Guangxi, menggantikan sistem
lama berupa penunjukan / pengangkatan secara langsung oleh pejabat
pusat (Basuki, 2006: 13). Tugas village committee (VC) adalah
membuat aturan yang melarang perjudian dan pencurian, serta
pemeliharaan saluran irigasi. VC bertanggungjawab kepada dewan
warga (villagers’ assembly) yang terdiri dari warga yang sudah dewasa
atau perwakilan dari setiap kepala keluarga. Desentralisasi di China
memang lebih difokuskan di tingkat desa (village dan township).
Namun keberadaan Kongres Rakyat (people’s congresses) pada
semua level masih merefleksikan kekuasaan pusat yang kokoh, sebab
lembaga ini berwenang untuk menetapkan atau mengangkat pejabat
senior pemerintah daerah (kecuali level village yang dipilih oleh
rakyat), membatalkan kebijakan pemerintah daerah yang dianggap
nationality of the country and town. Local governments at country and town level
have the power to carry out resolutions and orders made by the People Congress
at the corresponding and higher level of governments and to govern administrative
affairs. The autonomous authorities of governments of the autonomous areas,
except for exercising the powers of the local governments at the same levels as
mentioned above, can decide on local finance for themselves, govern the local
educational, scientific, cultural, health and sport affairs for themselves and have
the power to organize the public security army for safeguarding local social
security and to use the local language in common use.”
- 89 -
tidak sesuai dengan kebijakan pusat, serta menunjuk atau
memberhentikan anggota kabinet dari setiap tingkatan pemerintah
daerah (Basuki 2006: 18, UNESCAP).
Dari kewenangan yang melekat pada Kongres Rakyat sebagai
manifestasi kuasa negara tersebut, dapat dikatakan bahwa struktur
pemerintahan daerah di China bersifat sangat hirarkis, dimana level
yang lebih rendah adalah bawahan (subordinate) dari level diatasnya.
Pemerintah provinsi membawahi pemerintah level kota (city),
pemerintah city membawahi county, dan pemerintah county adalah
atasan dari pemerintahan desa (country). Ini berarti bahwa jenjang
pemerintahan yang lebih rendah harus tunduk pada kepemimpinan,
instruksi, pengawasan, dan evaluasi dari jenjang pemerintahan yang
lebih tinggi dengan penuh kesadaran serta menjalankan seluruh tugas
yang diberikan. Pada saat yang sama, pemerintah daerah hanya dapat
menjalankan fungsi dan kewenangannya yang otonom, sesuai dengan
pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah atasannya (UNESCAP,
ibid.).
Secara lebih konkrit, pemahaman terhadap praktek
dekonsentrasi dan pola hubungan pusat dan daerah di China dapat
dijelaskan dalam beberapa dimensi sebagai berikut (UNESCAP):
1. Struktur kelembagaan.
Unit administratif tertinggi adalah dewan negara (State Council).
Unit administratif tertinggi di tingkat daerah adalah pemerintah
daerah dipimpin oleh dan tunduk kepada State Council. Cabang
pemerintahan daerah atau tingkatan dibawahnya berkewajiban
melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
- 90 -
oleh pemerintah pusat serta menjalankan setiap yang diberikan
pusat berdasarkan pedoman yang juga ditetapkan oleh pusat.
2. Pembagian fungsi dan koordinasi.
Fungsi pemerintah pusat dan daerah sangat serupa dilihat dari
konten atau isinya. Perbedaannya hanya menyangkut lingkup
wilayah administrasi, pusat memegang dan menjalankan urusan
administrasi negara serta membuat kebijakan secara makro pada
lingkup nasional, sedang pemerintah daerah memegang fungsi
yang sama untuk wilayah daerahnya masing-masing.
3. Sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan negara.
Hubungan antara dewan negara (State Council) dengan pemerintah
daerah mengikuti model kepemimpinan terpadu (unified
leadership) dan desentralisasi kewenangan yang tepat. Hal-hal
yang berhubungan dengan stabilitas sosial politik, kepentingan
sosio-ekonomi nasional yang vital, teknologi cangih, konstruksi
infrastruktur skala besar, lembaga penelitian dan pengetahuan,
serta universitas dikelola langsung oleh pusat. Sedangkan urusan
keuangan, perdagangan, perumusan perundang-undangan,
pendidikan, kesehatan, kebudayaan, olah raga, ketenagakerjaan,
kepegawaian, dan kesejahteraan sosial dijalankan secara bersama-
sama oleh kedua level pemerintahan (pusat dan daerah). Untuk
pengawasan terhadap kewenangan ekonomi makro seperti
perbankan, perpajakan, dan kebijakan harga, diterapkan metode
kerjasama dan pembagian kewenangan.
Pola kepemimpinan terpadu juga berlaku dalam manajemen
keuangan. Dalam hal ini, sistem keuangan yang terpadu (unified
- 91 -
finance) terbagi menjadi dua level, pusat dan daerah. Sistem
anggaran daerah sendiri dapat dibagi lagi menjadi tiga, yakni
provinsi, county dan country. Dalam kerangka hirarki seperti ini,
sistem keuangan daerah menginduk, bersumber dan/atau tidak
boleh menyimpang dari sistem keuangan pusat.
4. Hubungan administratif.
Pemerintah pusat dapat menerapkan pengaruh terhadap pemerintah
daerah dalam banyak aspek. Dewan negara, dalam kedudukan
sebagai organ legislator administratif, mengontrol seluruh prosedur
administrasi atau tata pemerintahan lokal/daerah sepenuhnya.
Pemerintah daerah wajib mengikuti setiap regulasi dari pemerintah
pusat. Dewan negara juga memberikan pedoman bagi pemerintah
daerah dalam hal kebijakan atau perencanaan. Selanjutnya, Dewan
negara menguji dan menerima hasil kerja pemerintah daerah
melalui tiga sistem penilaian, yaitu pengawasan umum secara
administratif, pengawasan khusus terhadap lembaga pengawas
tingkat cabang (supervisory branches), serta pengawasan ekonomi
terhadap lembaga pemeriksa tingkat cabang (auditing branches).
Melalui tiga jenis supervisi ini, pemerintah pusat melakukan
evaluasi terhadap pemerintah daerah baik dalam hal kebijakan
maupun perencanaan. Meski kedudukan pemerintah sedemikian
kuat, namun perkembangan terbaru di China juga memberikan hak
kepada pemerintah daerah untuk melakukan keberatan (counter-
action) terhadap pemerintah dalam hal-hal tertentu, misalnya
pengambilan keputusan di bidang keuangan, import dan export,
atau urusan perdagangan.
- 92 -
Uraian diatas mengindikasikan adanya upaya pemerintah
China untuk memberikan kewenangan secara bertahap kepada
pemerintah daerah, namun dengan tetap mempertahankan kewenangan
pusat atas daerah. Instrumen pengawasan menjadi salah satu metode
untuk menjamin ketaatan dan keseragaman regulasi dari pemerintah
daerah terhadap pedoman dan kebijakan yang ditetapkan oleh pusat.
Dalam upaya menjaga keselarasan kebijakan antar tingkatan
pemerintahan tadi, fungsi dan kedudukan dewan negara (State
Council) baik di tingkat pusat maupun di level daerah menjadi sangat
penting. Dengan kata lain, lembaga inilah yang secara operasional
menjalankan fungsi dekonsentrasi, meski tidak dinyatakan secara
eksplisit.
2. Jepang
Sebagaimana umumnya di berbagai negara kesatuan, status dan
kewenangan pemerintah daerah di Jepang diperoleh langsung dari
pusat. Sebagai negara kesatuan, jenjang hirarki atau tingkatan
pemerintahan di Jepang tersusun dalam tiga lapis, yakni pemerintah
pusat, pemerintah regional (provinsi atau prefektur), serta pemerintah
daerah.
Gambaran tentang susunan pemerintahan daerah di Jepang
sendiri terdiri atas 47 prefectures (To, Do, Fu, Ken), 779 cities (Shi),
dan 1.038 towns dan villages (Cho, Son). Selain itu ada lagi wilayah
khusus seperti 23 special wards (Ku) di Tokyo, dan 16 designated cities
(catatan: To adalah sebutan atau status khusus untuk Tokyo, Do untuk
wilayah Hokkaido, Fu untuk Osaka dan Kyoto, sedang untuk prefektur
- 93 -
selebihnya digunakan istilah yang sama, yakni Ken).
Sebagai negara kesatuan, Jepang sering dipersepsi sebagai
negara yang sentralistis (centralized developmental state), meskipun
kepada kota-kota besar dan prefektur dengan populasi yang padat telah
diberikan kewenangan yang lebih besar dan fleksibilitas lebih luas
dalam penggunaan anggaran (Jacobs, 2003: 601-603). Michihiro
(2007: 1) juga berpendapat bahwa pada abad yang lalu, pemerintah
pusat memiliki kontrol kekuasaan yang lebih besar dibanding saat ini.
Dengan mengutip Kurt Steiner, Jacobs (ibid.) menjelaskan
bahwa untuk menjaga kendali yang kuat terhadap pemerintah prefectur
dan municipal, pemerintah Jepang menerapkan instrumen hukum
nasional yang preskriptif (tegas, seragam dan cenderung kaku) seperti
pembatasan otoritas finansial daerah, fungsi-fungsi yang didelegasikan,
kesalahan administratif, tradisi strukturalisme, dan tekanan melalui
pejabat / instansi sejawat (limits on local financial authority, agency
delegated functions, administrative oversight, a tradition of hierarchy,
and peer pressure). Faktor terakhir, yakni peer pressure bahkan
menjadikan pemerintah daerah tidak mungkin untuk mengabaikan
arahan dari pusat, karena ketidaktaatan akan mengakibatkan
ketidaksukaan dari pusat serta celaan dari pemerintah prefektur dan
pemerintah daerah (municipal) yang lain.
Namun, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, sesungguhnya
telah terjadi banyak perubahan dalam hubungan pusat – daerah di
Jepang. Konstitusi Jepang pasal 8 memberikan garansi terhadap
otonomi daerah dan mengatur prinsip-prinisp umum pemerintahan
daerah. selanjutnya, pada pasal 92 juga terdapat aturan tentang otonomi,
- 94 -
yang berbunyi: “Regulations concerning organisation and operations
of local public entities shall be fixed by law in accordance with the
principle of local autonomy”. Pernyataan seperti ini, menurut Sato
(2001: 3), menegaskan bahwa Konstitusi Jepang memberikan derajat
independensi dan otonomi yang sangat besar kepada pemerintah
daerah.
Studi Reed dan Muramatsu yang dikutip Jacobs (ibid.) juga
menyebutkan bahwa tingkat kontrol pemerintah sub-nasional dalam
pengambilan keputusan telah semakin besar. Selain itu, fungsi
pemerintah prefektur bergeser menjadi partner dan pendukung bagi
pemerintah municipal. Pergeseran ini bahkan membentuk sebuah
situasi berhadap-hadapan antara pusat disatu sisi dengan daerah disisi
lain (one of the center versus the prefectures and municipalities).
Pergeseran juga terjadi dalam hal pemilihan walikota. Setelah
ditetapkannya UU Pemerintah Daerah 1888 (Japan’s Municipal
Government Act), Tokyo, Osaka, Kyoto dan 29 daerah lainnya
ditetapkan sebagai kota-kota utama. Namun, kota-kota tersebut diberi
otonomi yang sangat kecil dan berada dibawah supervisi Menteri
Dalam Negeri (Naimusho). Mereka juga tidak memiliki hak untuk
memilih walikota. Baru pada tahun 1898, kota-kota utama (largest
cities) diberi kewenangan memilih walikotanya sendiri (Jacobs, 2003:
608-609).
Penguatan otoritas daerah atau transfer kewenangan yang lebih
besar dari pusat juga diberikan kepada enam kota besar utama di
Jepang, yaitu Tokyo, Osaka, Nagoya, Yokohama, Kyoto, dan Kobe.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa desentralisasi di Jepang juga
- 95 -
menganut pola asymmetric decentralization atau multiple gradation of
local autonomy. Hasil penelitian Reed (dalam Jacobs, ibid.) di
Prefektur Saga, Saitama dan Chiba menyimpulkan bahwa prefektur
dan municipal dengan anggaran paling besar cenderung memiliki
fleksibilitas paling besar untuk menerapkan kebijakan atau program
pembangunannya. Kesimpulan lain dari studi Reed adalah prefektur
dan kota-kota yang paling padat penduduknya, yang berstatus sebagai
Chukaku-shi atau Kota Inti (core cities), memiliki derajat otonomi
yang paling tinggi. 10 Selain Kota Inti, dalam hirarki pemerintahan
daerah juga diperkenalkan adanya Tokurei-shi atau Kota dengan Kasus
Istimewa (Special Case Cities) yang ditetapkan mulai 1999, dan
hingga 2003 telah terbentuk 39 Tokurei-shi. Sebagaimana kota inti,
kota dengan kasus istimewa juga diberikan hak-hak otonom yang lebih
luas untuk mengelola pemerintahannya.
Jika pemerintahan pada level daerah memiliki otonomi yang
cukup luas (tergantung pada variabel populasi dan lapangan kerja),
10 Kasus kota Toyota dapat menjelaskan fenomena kota inti ini. Toyota dan Okazaki
adalah kota yang bertetangga. Pada tahun 1871 Okazaki adalah ibukota Prefektur
Nukata, sedang Toyota secara administratif adalah bagian dari Prefektur Aichi.
Ketika Prefektur Nukata dilebur kedalam Prefektur Aichi dengan ibukota Nagoya
pada tahun 1872, Okazaki masih bertahan sebagai kota besar dengan posisi yang
penting hingga 90 tahun kemudian. Pada awal 1960-an, penduduk Okazaki
berjumlah 157 ribu jiwa, jauh lebih besar dibanding kota tetangganya, Koromo
yang hanya berpenduduk 45 ribu jiwa saat berubah nama menjadi kota Toyota pada
tahun 1959. Lahirnya industri otomotif Toyota yang menyerap tenaga kerja dalam
jumlag besar, telah merubah secara drastis struktur demografis kedua kota tersebut. Pada tahun 1965, penduduk Okazaki bertambah menjadi 194 ribu sedang Toyota
bertambah dua kali lipat menjadi 107 ribu. Namun pada 1975, jumlah penduduk
Toyota menjadi 249 ribu melampaui Okazaki, sehingga Toyota menjadi kota yang
lebih besar dan penting khususnya secara ekonomi. Pada tahun 1998, Toyota
ditetapkan sebagai Chukaku-shi atau Kota Inti (core cities), sedang Okazaki baru
menerima status tersebut pada tahun 2006.
- 96 -
maka otonomi pada level prefektur menampakkan sedikit gambaran
yang berbeda. Selama 30 tahun setelah lahirnya Prefectural
Government Act (Fukensei) 1890, fungsi utama pemerintahan
prefektur hanya sebagai kepanjangan tangan (administrative
extensions) pemerintah pusat untuk menjamin implementasi kebijakan
pusat berjalan baik di tingkat daerah. Dapat dikatakan pula bahwa
kedudukan “gubernur” atau kepala prefektur murni sebagai wakil /
agent pemerintah pusat belaka. Pada tahun 1929, kepada prefektur
sempat diberikan hak untuk menerbitkan regulasi, namun pada tahun
berikutnya hingga masa Perang Dunia II, kewenangan prefektur
kembali berkurang secara signifikan. Bahkan menurut Steiner,
prefektur tetap berkedudukan sebagai agen pemerintah pusat hingga
pertengahan tahun 1960-an (Jacobs, 2003: 616-617).
Mulai awal 1970-an, prefektur kembali memiliki kewenangan
dan peran yang lebih berarti, terutama di bidang pembinaan usaha kecil
dan menengah, juga dalam hal promosi pembangunan perkotaan dan
wilayah. Meskipun pemerintah pusat tetap menyediakan kerangka
kebijakan yang harus dipedomani dalam pengambilan keputusan,
namun prefektur dapat merumuskan rencana pembangunan jangka
panjang, yang menjadi pedoman bagi pemerintah municipal (Core
Cities dan Special Case Cities) untuk menyusun perencanaan
pembangunannya. Namun untuk daerah yang lebih kecil atau pedesaan,
fungsi perencanaan masih dipegang atau dilaksanakan oleh pemerintah
prefektur (Jacobs, 2003: 617).
Arah desentralisasi pada masa-masa sekarang lebih
menunjukkan terjadinya penguatan pemerintah daerah. Gubernur
- 97 -
(kepala prefektur), walikota, dan anggota local assemblies saat ini
dipilih langsung oleh masyarakat. Pemerintah prefektur dan municipal
juga memiliki kewenangan administratif yang komprehensif dalam
wilayahnya. Meskipun pemerintah pusat masih memiliki kantor
cabang di daerah, namun keduanya terpisah sama sekali dan tidak ada
hubungan koordinasi. Tidak ada satu lembagapun yang
merepresentasikan pemerintah pusat secara utuh dan penuh di daerah.
Dengan demikian, hal ini menegaskan pemerintah daerah sebagai unit
administratif yang komprehensif (Michihiro, 2007: 5).
Lahirnya Law Concerning the Provision of Related Laws for
the Promotion of Decentralisation of Power (Omnibus
Decentralisation Act) 1999 11 sebagai amandemen terhadap Local
Autonomy Law, semakin memperkokoh kedudukan dan fungsi
pemerintah daerah. Amandemen ini berisi tiga hal penting sebagai
berikut (Michihiro 2007: 5-6, 50-51; Sato 2001: 3-4):
1. Adanya kejelasan pembagian tanggung jawab antara pemerintah
pusat dan daerah.
Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki tanggungjawab luas
dalam seluruh urusan administrasi di wilayahnya, sedang
pemerintah pusat menangani urusan tentang eksistensi negara
dalam hubungan internasional, urusan-urusan umum yang lebih
efektif untuk diterapkan secara seragam di seluruh wilayah negara,
serta urusan yang berhubungan dengan kerangka hukum
pemerintah daerah.
11 Berlaku efektif mulai April 2000, sehingga sering dikenal pula dengan istilah
decentralization reform 2000.
- 98 -
2. Penghapusan aturan tentang fungsi-fungsi delegasi keagenan
(agency delegated function arrangement).
Fungsi delegasi ini sebelumnya melekat pada kepala pemerintah
daerah dalam kedudukan selaku agen pemerintah pusat atau
pemerintah atasan, namun sering dinilai sebagai sumber masalah
yang merusak hubungan kerjasama antara pusat dan daerah.
Dengan adanya amandemen UU otonomi daerah, agency delegated
function dihapuskan, dan fungsi pemerintahan di daerah dibedakan
kedalam dua kategori, yakni fungsi pemerintah daerah dan fungsi
mandat (statutory entrusted functions). Fungsi yang kedua ini
adalah fungsi yang didelegasikan kepada pemerintah daerah, yang
semula merupakan tanggungjawab pusat. Fungsi ini antara lain
meliputi penerbitan pasport, pengelolaan jalan nasional, dan
pengumpulan data statistik untuk keperluan pemerintah pusat atau
pemerintah prefektur.
Dengan penghapusan aturan tentang fungsi-fungsi delegasi
keagenan seperti butir diatas, fungsi pemerintah daerah mencakup
seluruh urusan diluar fungsi-fungsi dalam kategori statutory
entrusted functions. Dalam hal ini, fungsi pemerintah daerah
mencakup bidang-bidang yang teramat luas terdiri dari seluruh
aspek kehidupan bernegara selain urusan diplomasi, keamanan
nasional, peradilan, dan pununtutan umum (kejaksaan). 12 Pada
12 Pada dasarnya, pemerintah daerah bertanggungjawab dalam pemberian pelayanan
public seperti pendaftaran penduduk, pembangunan dan pengelolaan pusat
perawatan kesehatan, pendidikan pra sekolah (TK) dan pendidikan dasar 9 tahun
(SD-SMP), layanan perpustakaan, fasilitas umum (public halls and facilities),
konstruksi, pemeliharaan dan pengelolaan sampah, pembangunan dan peningkatan
- 99 -
saat yang sama, amandemen UU otonomi daerah juga menghapus
ketentuan yang mensyaratkan persetujuan dari pusat bagi
pemerintah daerah yang akan menerbitkan surat hutang (bond).
3. Peninjauan kembali fungsi partisipasi dalam pemerintahan.
Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat di era
desentralisasi luas, maka Konstitusi Jepang membolehkan
penerbitan anggaran dasar / anggaran rumah tangga untuk hal-hal
tertentu yang menguntungkan masyarakat pemilih. Selain itu,
masyarakat diberikan hak untuk meminta komisi audit atau
lembaga pemeriksa untuk melakukan investigasi terhadap
anggaran pemerintah daerah. Jika mereka masih kurang puas
dengan hasil kerja komisi audit, maka mereka dapat menempuh
jalur hukum melalui gugatan peradilan.
Meskipun karakteristik pemerintah daerah cukup beragam
secara populasi, luas wilayah dan besaran kewenangan, namun Local
Autonomy Law pada prinsipnya tetap menganut dan mengusahakan
adanya keseragaman struktur organisasi serta fungsi pemerintah daerah
(dengan pengecualian Tokyo dan kota-kota tertentu atau designated
cities).13 Penyeragaman ini didasarkan pada dua alasan utama, yaitu:
pertama, jenis-jenis dan kualitas pelayanan harus sama untuk seluruh
wilayah negara sesuai dengan standar yang ditetapkan pusat; dan kedua,
terlepas dari adanya perbedaan karakteristik masing-masing daerah,
jalan dan sarana parkir, serta pelayanan kepolisian dan pemadam kebakaran.
13 Kota-kota khusus atau Designated Cities tersebut meliputi Osaka, Nagoya, Kyoto,
Yokohama, Kobe, Kitakyushu, Sapporo, Kawasaki, Fukuoka, Hiroshima, Sendai,
Chiba, Saitama, Shizuoka, dan Hokkaido. Hamamatsu dan Niigata menyusul
ditetapkan sebagai Designated Cities pada bulan April 2007.
- 100 -
namun pemerintah daerah tetap harus tunduk pada pedoman dari
pemerintah pusat, dari pada mengembangkan kebijakan yang bersifat
kasuistis.
Selain itu, meskipun pemerintah pusat masih memiliki hak
intervensi, namun berdasarkan The Omnibus Decentralisation Act
1999, intervensi tersebut harus dilakukan seminimal mungkin dan
mengikuti tata cara tertentu.14 Pola seperti ini membentuk hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang saling tergantung
dan saling melengkapi (Michihiro, 2007: 6-7).
Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
memang dapat dikatakan unik. Disatu sisi, kontrol pusat kepada daerah
relatif kuat, namun disisi lain daerah memiliki fleksibilitas tinggi untuk
menetapkan kebijakan. Kondisi ini oleh Muramatsu (dalam Sato, 2001:
1) merupakan kombinasi dari model kontrol administratif secara
vertikal (perpendicular administrative control model) dengan model
kompetisi secara horizontal (horizontal political competition model).
Dalam model kombinasi tadi, pemberian otonomi dan fleksibilitas
diharapkan dapat memacu kompetisi antar daerah, namun tetap
diimbangi oleh pemberian pedoman dan kebijakan pusat yang berlaku
secara nasional.
3. Negara-Negara Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA)
Kawasan Afrika pada umumnya dan negara-negara MENA
14 Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik yang muncul dalam
hubungan pemerintah pusat dan daerah di Jepang, dibentuk dewan tertentu yakni
Central-Local Government Dispute Resolution Council, dibawah struktur
Kementerian Manajemen Publik, Dalam Negeri, Pos dan Telekomunikasi.
- 101 -
(Middle East and North Africa, Timur Tengah dan Afrika Utara) pada
khususnya, memang sudah lama dikenal sebagai kawasan regional
yang memiliki karakter kuat sebagai bangsa-bangsa unitaris yang
sentralistis. Publikasi Tosun dan Yilmaz (2008) memberi gambaran
yang cukup komprehensif tentang sentralisasi, dekonsentrasi, dan
desentralisasi di wilayah yang sering dilanda konflik ini.
Mayoritas negara-negara MENA berbentuk kesatuan / unitaris,
kecuali Ethiopia, Sudan, dan Nigeria yang berbentuk federasi. Secara
teoretis, dalam negara kesatuan sangat dimungkinkan menerapkan pola
sentralisasi atau desentralisasi. Namun, sistem administrasi negara di
kawasan MENA ini cenderung sangat sentralistis, yang dilengkapi
dengan perangkat dekonsentrasi yang kompleks. Itulah sebabnya,
struktur pemerintahan daerah di negara-negara MENA hampir
seluruhnya menerapkan dekonsentrasi. Pengambilan keputusan,
khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, dilakukan oleh
pemerintah pusat, sedangkan peran provinsi atau governorates lebih
banyak untuk melaksanakan keputusan tersebut. Selanjutnya, ditingkat
yang lebih rendah, pada umumnya dibagi menjadi dua tipe
pemerintahan daerah, yakni unit dekonsentrasi dan unit desentralisasi
(municipal). Kedua tipe pemerintahan daerah ini memiliki sistem
operasi dan aturan yang sangat berbeda. Unit-unit dekonsentrasi
memberikan pelayanan publik dalam skala besar (misalnya pendidikan
dan kesehatan) dengan mengacu pada pedoman yang sangat rigid dari
pemerintah pusat. Sedangkan unit-unit desentralisasi menjalankan
fungsi yang lebih sedikit, misalnya pembangunan dan pemeliharaan
jalan lokal, penerangan jalan, pembuangan sampah, pelayanan
- 102 -
perpustakaan dan pertamanan, serta penerbitan ijin bangunan (Tosun
dan Yilmaz, 2008: 7-8).
Di semua negara yang disurvei (Iran, Yaman, Mesir, Gaza, dan
Tunisia), prinsip dekonsentrasi diterapkan di level provinsi, sedang di
level distrik hanya Iran, Yaman, dan Mesir yang memberlakukan
dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi hanya diletakkan pada level
distrik. Dengan demikian, terdapat dua pola dekonsentrasi –
desentralisasi di negara-negara MENA.
Pertama, dekonsentrasi diletakkan pada level provinsi dan
distrik, dengan provinsi berkedudukan selaku agen pusat yang
mengontrol pemerintahan pada level distrik. Pada saat yang bersamaan,
desentralisasi hanya diberikan kepada pemerintahan level distrik. Pola
ini dapat dijumpai di Iran, Yaman dan Mesir, namun di kedua negara
terakhir tidak ada data pendukung tentang desentralisasi di level distrik.
Pola kedua, dekonsentrasi hanya diterapkan di tingkat provinsi
sedangkan desentralisasi hanya untuk level distrik.
Hal yang menarik untuk disimak lebih jauh adalah bahwa pada
kasus di berbagai negara, agen pusat di daerah tadi diperankan oleh
provinsi. Di seluruh negara MENA, gubernur (Iran: Ostandar) diangkat
oleh presiden. Demikian pula pada level dibawahnya, kepala distrik
yang bersifat dekonsentratif diangkat oleh pemerintah pusat,
sedangkan kepala municipal yang bersifat desentralistik dipilih
langsung oleh rakyat. Khusus di Tunisia dan Gaza / Tepi Barat, tidak
terdapat pemerintahan daerah di bawah provinsi yang bersifat
dekonsentratif, sehingga kepala municipal langsung dipilih oleh rakyat.
- 103 -
4. Asia Tenggara
Kondisi di negara-negara MENA dapat ditemukan pula di
Vietnam. Smoke (2005: 26) menulis bahwa Vietnam menjadi negara
komunis yang sangat sentralistis seusai perang Vietnam (1959-1975).
Namun semenjak periode 1990-an, pemerintah mencoba
memperkenalkan bentuk baru hubungan pusat – daerah melalui
program reformasi ekonomi (doi moi). Dalam konsep ini, pusat masih
memegang kekuasaan secara substansial, namun provinsi sudah
diberikan beberapa diskresi (kewenangan). Provinsi memiliki
kekuasaan yang lebih besar, termasuk kewenangan terhadap
pemerintahan yang lebih rendah. Dengan demikian, kewenangan
dekonsentrasi dititikberatkan pada provinsi. Selain itu, tuntutan
terhadap partisipasi dan pemenuhan hak-hak politik semakin besar,
namun Vietnam tetap mempertahankan sistem partai tunggal yang
dikendalikan secara terpusat (a one-party state and a fairly centrally
driven system).
Kasus di Vietnam ini sangat mirip dengan kasus Kamboja yang
menempatkan dekonsentrasi pada provinsi dan desentralisasi pada
level dibawah provinsi (communes). Kewenangan provinsi dibatasi
berdasarkan Provincial Budget Law (1997), sedang desentralisasi di
level commune diatur dalam Law on Commune / Sangkat
Administrative Management dan Election Law (2001). Demikian pula
Thailand yang menggulirkan program reformasi dengan
memberlakukan Provincial Administration Act (1997) dan
Decentralization Act (1999). Regulasi pertama mengatur tentang
dekonsentrasi bagi provinsi, sedang aturan yang kedua menjabarkan
- 104 -
fungsi dan proses desentralisasi. Adapun Philipina, semenjak
kejatuhan Presiden Marcos tahun 1986 dan digantikan oleh rezim
demokratis dibawah Presiden Arroyo, lahir konstitusi baru tahun 1987
yang memberikan otonomi khusus kepada Muslim Mindanao dan
Cordilleras. Namun desentralisasi di Philipina lebih menguat lagi
semenjak tahun 1991 dengan lahirnya Local Government Code yang
memberi mandat untuk melakukan devolusi kepada pemerintah daerah
Smoke (2005: ibid.).
5. Inggris dan Perancis
Inggris Raya (United Kingdom) adalah salah satu negara
unitaris dengan karakter sentralisasi yang paling kuat di dunia, dengan
kekuasaan terpusat secara sangat kuat pada parlemen. Mayoritas
penduduk terkonsentrasi di Inggris (England) yang diperintah secara
langsung oleh departemen fungsional di tingkat pusat. Dalam
menjalankan tugasnya, departemen-departemen ini tidak didukung
oleh sistem koordinasi secara teritorial dengan otorina atau institusi di
daerah. Pola sentralistis di Inggris Raya ini mirip dengan sistem di
Finlandia dan Portugal, dimana administrasi sebagian besar wilayah
dikendalikan secara tersentral, sedangkan wilayah pinggiran terdapat
pemerintahan daerah otonom diberikan kekuasaan melalui devolusi
(Jeffery dan Wincott, 2006: 3-4). Dari perspektif desentralisasi fiskal,
Bird dan Smart (2001: 12) juga menyinggung kasus Inggris dan
Perancis untuk kasus negara maju. Struktur pemerintahan daerah di
Inggris atau Perancis disebut hanya berfungsi sebagai agen pemerintah
pusat, dibanding sebagai aktor yang mandiri. Konkritnya, hubungan
- 105 -
antara pusat dan daerah membentuk model principal-agent relations,
yakni sebuah pola relasi dimana pusat dapat secara sepihak mengubah
sistem yang sudah ada sebelumnya guna mengatasi masalah keagenan
atau karena perbedaan tujuan. Untuk kasus di negara berkembang,
China, Indonesia dan Vietnam dijadikan sebagai contoh negara yang
bercorak sentralistis sekaligus dekonsentratif.
Pernyataan Bird dan Smart diperkuat oleh Prud’ Homme (2003,
dalam Ferdiana, tanpa tahun: 4) yang melakukan kajian di berbagai
negara berkembang, terutama di Afrika. Hasil kajiannya mengatakan
bahwa proklamasi kemerdekaan di berbagai negara berkembang
menyebabkan semakin pentingnya rasa persatuan nasional sehingga
untuk sementara usaha menerapkan desentralisasi menjadi berkurang.
Dengan kata lain, pemerintah yang berkuasa setelah masa kolonial
berakhir cenderung tidak menyukai konsep desentralisasi, sehingga
pemerintah daerah dengan sengaja diposisikan hanya sebagai agen
pusat di daerah, bukan suatu unit yang otonom.
Demikian pula yang terjadi di Perancis. Meskipun saat ini telah
terjadi pergeseran peran Prefect, namun pada awalnya Prefect hanyalah
agen untuk mengeksekusi fungsi pemerintah pusat. Bizet (2002: 477-
478) menjelaskan bahwa relokasi kewenangan dan aparat pusat ke
provinsi (baca: dekonsentrasi) sejak tahun 1960-an adalah ekspresi dari
strategi rasionalisasi dan modernisasi organisasi pemerintahan. Hal ini
dilakukan sebagai alternatif terhadap desentralisasi skala besar (full
scale decentralization). Namun saat ini Prefect sudah dapat
mengembangkan program dan aspek personalianya bersama-sama
dengan pejabat yang dipilih (locally elected representatives). Selain itu,
- 106 -
ada 3 (tiga) kewenangan kementerian yang secara jelas diterjemahkan
menjadi perangkat dekonsentrasi di provinsi, yakni pejabat
administrasi (administrative corps), struktur lokal untuk pelaksanaan
fungsi pemerintah pusat (local structures for implementation), serta
aparat pengawasan umum (general inspection).
Pengalaman Perancis memberi pelajaran tentang batas-batas
antara urusan desentralisasi dengan dekonsentrasi. Dalam kaitan ini,
untuk meningkatkan kejelasan batas-batas fungsi/wewenang dalam
urusan dekonsentrasi, Perancis menetapkan adanya 3 (tiga) perangkat
dekonsentrasi yang bertugas menjalankan kewenangan kementerian di
tingkat provinsi, yakni pejabat administrasi (administrative corps),
struktur lokal untuk pelaksanaan fungsi pemerintah pusat (local
structures for implementation), serta aparat pengawasan umum
(general inspection) (Bizet, 2002: 479). Dengan kata lain, Perancis
lebih menggunakan pendekatan perangkat dekonsentrasi yang limitatif,
dan tidak memulai dari pembagian urusan dekonsentrasinya. Setelah
ditetapkan perangkat tadi, barulah diberikan program-program
dekonsentrasinya. Dalam hal ini, Bizet (2002: 478) menyebutkan ada
delapan program atau urusan dekonsentrasi yang diimplementasikan
sejak tahun 1983-1986, yakni planning, training and education, urban
planning, health and social action, ports and rivers, school transport,
public teaching, dan culture.
6. Yunani
Yunani juga cukup menarik untuk dicermati. Negara kesatuan
Yunani terbagi menjadi 13 wilayah geografis (diamerismata) yang
- 107 -
memiliki kewenangan dan tanggung jawab administrasi relatif kecil.
Wilayah Yunani secara administratif dibagi menjadi municipalities dan
communities, prefectures dan districts. Districts bertanggung jawab
secara langsung kepada pemerintah pusat, sedangkan prefectures,
municipalities dan communities, secara administratif dan finansial
otonom, dengan tetap mendapatkan pengawasan dari pusat (Elgar
encyclopedia Greece's report). Kepala District atau Departments
(nomoi) ditunjuk/diangkat oleh prefect (nomarkhis), dan ini
menunjukkan bahwa Distrik cenderung menerapkan prinsip
dekonsentrasi dibanding desentralisasi. Yunani memang dikenal
dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, sehingga pemerintah
daerah tidak memiliki hak untuk menggali sumber pendapatannya
sendiri. Yunani mulai mempromosikan desentralisasi semenjak
dilakukan amandemen konstitusi tahun 2001 (Ensiklopedi Britanica).
Dalam bentuk tabel, model desentralisasi dan dekonsentrasi dari
pengalaman beberapa negara beserta level pemerintahan yang
menyelenggarakannya, dapat dilihat sebagai berikut.
Dari berbagai model di beberapa negara di dunia diatas dapat
disederhanakan dalam matriks dibawah ini.
Tabel 3.5. Model Dekonsentrasi – Desentralisasi di Beberapa Negara
Negara Model Dekonsentrasi – Desentralisasi
Iran (plus Yaman dan
Mesir)
• Dekonsentrasi di provinsi (Iran: Ostandar; Yaman
/ Mesir: governorates).
• Dekonsentrasi di distrik (Iran: Shahrestan; Mesir:
Markaz).
• Desentralisasi di municipal (Iran: Shahr).
Tunisia dan Tepi
Barat • Dekonsentrasi di provinsi (governorates).
• Desentralisasi di municipal.
- 108 -
Vietnam Dekonsentrasi di provinsi.
Kamboja • Dekonsentrasi di provinsi.
• Desentralisasi di communes.
Philipina • Devolusi di unit sub-provincial (cities,
municipalities, barangay / village).
• Provinsi masih memegang peran penting terhadap
unit sub-provincial.
Thailand • Dekonsentrasi di provinsi dan distrik (sebelum
1997).
• Desentralisiasi di municipalities, districts, dan
subdistricts (setelah 1997).
Yunani • Dekonsentrasi di distrik.
• Desentralisasi di prefectures, municipalities dan
communities.
Sumber: Tosun dan Yilmaz (2008), Smoke (2005), diolah.
I. Lessons Learned Penataan Dekonsentrasi untuk Indonesia
Berdasarkan Pengalaman Internasional
Dari pengalaman berbagai negara diatas, cukup banyak hal
yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran bagi Indonesia untuk
memperbaiki kebijakan dan praktek dekonsentrasi agar lebih efektif
sebagai instrumen pemerintah pusat untuk menjamin berjalannya
fungsi pusat di daerah.
Pengalaman China memberi pelajaran mengenai titik berat
otonomi daerah, yang diletakkan pada tingkat desa (village dan
township), sedang dekonsentrasi lebih banyak berada di tingkat
provinsi dan dewan negara (state council). Selain itu, pengalaman
China menunjukkan adanya link (hubungan) yang kokoh antara pusat
dan daerah, yakni dalam wujud Kongres Rakyat Lokal (Local People
Congresses) dan Dewan Negara China (State Council of China).
Lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan
- 109 -
pengawasan, termasuk pengujian produk hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah daerah.
Pada kasus Indonesia, link hirarkhis antara kabupaten/kota
dengan provinsi sempet terputus dengan lahirnya UU No. 22/1999,
sementara hubungan pusat dan daerah cenderung melemah karena
fungsi pemerintah pusat hanya direpresentasikan oleh satu orang yakni
gubernur.
Selanjutnya, China juga memberi pelajaran berharga dalam
pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah. Di China, urusan
pusat dan daerah sangat serupa dilihat dari konten atau isinya, hanya
berbeda dalam lingkup wilayah administrasi, dimana pusat memegang
dan menjalankan urusan administrasi negara serta membuat kebijakan
secara makro pada lingkup nasional, sedang pemerintah daerah
memegang fungsi yang sama untuk wilayah daerahnya masing-masing.
Konsep pembagian kewenangan tersebut lebih bersifat pembagian
secara fungsional teritorial daripada substansial. Substansi dikerjakan
secara bersama-sama, namun wilayah kerja berbeda-beda.
Mengacu pada PP No. 38/2007, Indonesia sebenarnya juga
menerapkan model kemiripan antara kewenangan pusat dan daerah.
Namun, kewenangan daerah tersebut adalah kewenangan otonom yang
lahir dari asas desentralisasi. Maka menjadi rancu jika fungsi
dekonsentrasi juga sama dengan kewenangan otonomi daerah tersebut.
Sementara di China, karena provinsi dan dewan negara hanya
menjalankan asas dekonsentrasi, maka wajar jika ada kesamaan urusan.
Dari Jepang, Indonesia juga bisa menarik banyak pelajaran.
Satu hal yang sangat mendasar dan dapat dijadikan pelajaran adalah
- 110 -
bahwa pemerintah Jepang memiliki komitmen yang sangat besar untuk
terus memperkuat desentralisasi kepada daerah dengan memberi
kewenangan yang semakin banyak disertai fleksibilitas pengelolaan
keuangan. Bahkan dengan amandemen UU otonomi, pemerintah
membatasi sendiri kewenangannya untuk melakukan intervensi kepada
kebijakan di tingkat daerah, serta menghapus fungsi-fungsi
dekonsentrasi (agency delegated function).
Jepang juga memberi pelajaran tentang derajat desentralisasi
secara berbeda antar daerah berdasarkan tingkat kemajuan daerah yang
diindikasikan oleh jumlah penduduk, kemampuan menyerap tenaga
kerja, serta kapasitas ekonomi. Semakin tinggi tingkat kemajuan
daerah, maka semakin besar punya kewenangan yang dapat dimiliki
atau dijalankan. Dalam kaitan ini, pemerintah pusat memberi peluang
besar kepada daerah untuk mendapatkan otonomi yang luas melalui
penggabungan (amalgamasi) beberapa daerah menjadi daerah inti.
Semakin besar kapasitas ekonomi suatu wilayah akibat penggabungan
tadi, maka semakin besar derajat otonomi yang akan diberikan oleh
pemerintah pusat.
Dalam konteks Indonesia, program dekonsentrasi sebenarnya
dapat diarahkan sebagai mekanisme pancingan atau stimulus untuk
mendorong perkembangan pembangunan daerah. Dengan menjadikan
dekonsentrasi sebagai model subsidiarity, maka akan dapat
dihindarkan tumpang tindih program maupun anggaran dekonsentrasi
dengan program dan anggaran lainnya.
Selanjutnya, dari Perancis ada beberapa pelajaran yang bisa
diambil, salah satunya tentang institusi penyelenggara dekonsentrasi.
- 111 -
Di Perancis, fungsi dekonsentrasi dijalankan oleh State’s field services,
yakni institusi yang dibentuk untuk menjalankan kepentingan dan
urusan pusat di daerah, semacam kantor wilayah dalam model UU No.
5/1974 di Indonesia. Kedudukan Prefect sebagai “overlord” pun juga
mirip dengan kedudukan kepala wilayah dalam model UU No. 5/1974
yakni sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Sementara di Indonesia,
saat ini perangkat dekonsentrasi hanya diduduki oleh gubernur, itupun
tidak memiliki kewenangan yang lemah, jauh dibanding dengan
“penguasa tunggal”.
Dalam fungsinya selaku aparat dekonsentrasi atau kepanjangan
tangan pusat, prefect bertanggungjawab terhadap kepentingan nasional,
pengawasan administratif, serta penegakan dan penghormatan
terhadap hukum. Ini sesungguhnya adalah tugas-tugas yang dalam
terminologi pemerintahan di Indonesia disebut dengan istilah fungsi
pemerintahan umum, yang secara akronim kadang dikenal dengan
tugas-tugas korwasbindal (koordinasi, pengawasan, pembinaan dan
pengendalian).
Pelajaran lain yang sangat baik adalah bahwa sebagai wujud
keseimbangan desentralisasi dengan dekonsentrasi, pemerintah pusat
di Perancis memiliki kewenangan untuk mengawasi unit sub-nasional
melalui instrumen ‘tutelle’ (administrative, technique et financière).
Tutelle mensyaratkan setiap kebijakan pemerintah daerah harus
mendapatkan persetujuan lebih terlebih dahulu dari prefect sebelum
diimplementasikan (prinsip a priori atau ex ante facto law review).
Namun sejak lahirnya Loi Deferre 1982, kontrol pusat terhadap unit
sub-nasional berkurang, dan memberikan kebebasan yang lebih besar
- 112 -
kepada unit sub-nasional. Dalam hal ini, instrumen tutelle diganti
dengan sistem evaluasi setelah pemberlakuan suatu aturan tertentu (ex
post facto law review). Model keseimbangan perangkat dekonsentrasi
(gubernur selaku wakil pemerintah atau siapapun juga nantinya)
seperti inilah yang harus dibangun untuk menjamin efektivitas
program dekonsentrasi di Indonesia.
- 113 -
BAB IV
TINJAUAN NORMATIF DAN EMPIRIS PELAKSANAAN
DEKONSENTRASI DI INDONESIA
A. Tinjauan Normatif Dekonsentrasi
Dilihat dari perspektif kesejarahan, penafsiran dan penerapan
fungsi dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia
mengalami pasang surut yang sangat kentara. Hal ini dapat dicermati
dari pengaturan tentang dekonsentrasi yang bervariasi diantara
peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah di
Indonesia, sebagaimana uraian pada Tabel dibawah ini.
Tabel 4.1. Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Berbagai Produk
Hukum tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia (1948-
2004)
Sumber Hukum Substansi Pengaturan tentang Dekonsentrasi
UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957
Tidak ada klausul yang mengatur tentang fungsi dekonsentrasi dan kedudukan gubernur (Kepala
Daerah Tingkat I).
TAP MPRS No. XXI/MPRS/1966
tentang Pemberian Otonomi seluas-
luasnya kepada
Daerah
• Dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun dengan
predikat ”Vital”.
• Sebagai tindak lanjut dari Tap ini, telah
disusun RUU Kedudukan dan Hubunggan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan
Amanat Presiden No.
R.36/PRES/HK/3/1968 tanggal 16-3-1968, namun sayangnya tidak ada tindak lanjut
dari RUU tersebut.
UU No. 18/1965
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah
• “Pemerintah akan terus dan konsekwen
mendjalankan politik desentralisasi jang kelak akan mengarah kearah tertjapainja
desentralisasi teritorial jaitu meletakkan
- 114 -
tanggung djawab teritorial riil dan seluas-
luasnja dalam tangan Pemerintah Daerah, disamping mendjalankan politik
dekonsentrasi sebagai komplement jang
vital” (Penjelasan, Angka III. Urusan
Rumah Tangga Daerah dan Urusan Tugas Pembantuan).
• Urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnja jang menurut pertimbangan
Pemerintah Pusat dapat dipisahkan dari
tangan Pemerintah Pusat untuk diatur dan
diurus sendiri oleh Daerah, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan
mendjadi urusan rumah-tangga Daerah
(Pasal 40).
• Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat
sekaligus alat Pemerintah Daerah (Pasal 44). Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala
Daerah:
o Memegang pimpinan kebidjaksanaan
politik polisionil didaerahnja, dengan mengindahkan wewenang-wewenang
jang ada pada pendjabat-pendjabat jang
berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan jang berlaku;
o Menjelenggarakan koordinasi antara
djawatan-djawatan Pemerintah Pusat di Daerah dan antara djawatan-djawatan
tersebut dengan Pemerintah Daerah;
o Melakukan pengawasan atas djalannja
Pemerintah Daerah; o Mendjalankan tugas-tugas lain jang
diserahkan kepadanja oleh Pemerintah
Pusat.
UU No. 5/1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan
di Daerah
• Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, azas dekonsentrasi
bukan sekedar komplemen atau pelengkap
terhadap azas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan
pemerintah di daerah. Urusan-urusan yang
dilimpahkan oleh Pemerintah kepada
- 115 -
pejabat-pejabatnya di daerah menurut azas
dekonsentrasi tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah baik mengenai perencanaan,
pelaksanaan maupun pembiayaannya, Unsur
pelaksana adalah instansi-instansi Vertikal,
yang dikordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat
Pemerintah, tetapi kebijaksanaan terhadap
pelaksanaan urusan dekonsentrasi sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah.
• Kepala Wilayah (termasuk Gubernur) dalam
semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di bidang
Pemerintahan di Daerah.
• Menimbang butir f: ”... hubungan yang
serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi Daerah
yang nyata dan bertanggung jawab yang
dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”.
• Pasal 73: ”Apabila dipandang perlu, Menteri
Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu
Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu
Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi”.
• Penjelasan Umum angka 2 butir c: ”Wilayah
yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi disebut Wilayah
Administratip yang dalam Undang-undang
ini selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan
merupakan lingkungan kerja perangkat
Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah.
Pembentukan Wilayah-wilayah dalam
susunan Vertikal adalah untuk meningkatkan
pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan”.
- 116 -
• Penjelasan Umum angka 3 butir c: ”Oleh
karena tidak semua urusan pemerintahan
dapat diserahkan kepada Daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan
berbagai urusan pemerintahan di daerah
dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di
daerah berdasarkan azas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh
Pemerintah kepada pejabat-pejabat di daerah
menurut azas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggungawab Pemerintah Pusat
baik mengenai perencanaan, pelaksanaan
maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaanya adalah terutama Instansi-
instansi Vertikal, yang dikoordinasikan oleh
Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku
perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan
dekonsentrasi tersebut sepenuhnya
ditentukan oleh Pemerintah Pusat.
UU No. 22/1999 tentang
Pemerintahan
Daerah
• Propinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah
Administrasi, yang melaksanakan
kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah
Propinsi bukan merupakan Pemerintah
atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota tidak mempunyai hubungan hierarki
(Penjelasan Umum, butir 1F).
• Gubernur berkedudukan sebagai kepala
Daerah sekaligus Wakil Pemerintah.
• Pasal 8 (2): ”Kewenangan Pemerintahan
yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam
rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan
yang dilimpahkan tersebut”.
• Pasal 9 (3): ”Kewenangan Propinsi sebagai
Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang Pemerintahan
- 117 -
yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku
Wakil Pemerintah”.
• Pasal 63: ”Penyelenggaraan wewenang yang
dilimpahkan oleh Pemerintah kepada
Gubernur selaku wakil Pemerintah dalam
rangka dekonsentrasi, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi”.
UU No. 32/2004
tentang Pemerintahan
Daerah
Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi
berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani
dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan
tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada
strata pemerintahan kabupaten dan kota
(Penjelasan Umum, butir 4. Pemerintahan Daerah).
Dari deskripsi substansial pada seluruh UU yang mengatur
tentang pemerintahan daerah diatas, dapat ditarik beberapa intisari
penting yang berhubungan dengan dekonsentrasi, yakni:
1. Pada periode 1948 hingga 1959, praktek dekonsentrasi sangat
lemah. Selain tidak ada pengaturan secara eksplisit di dalam UU
No. 22/1948 dan UU No. 1/1957, juga dikarenakan semangat dasar
dari kedua UU tersebut yang lebih bercorak desentralistis. Nuansa
desentralistis ini kemungkinan besar mendapat pengaruh dari dua
kondisi, yaitu: 1) praktek pemerintahan daerah yang sebelumnya
sangat desentralistis, terutama pada masa penjajahan Belanda dan
pendudukan Jepang; dan 2) sistem ketatanegaraan Indonesia yang
masih labil, yang mengarah pada penerapan demokrasi liberal dan
sistem pemerintahan parlementer, serta ditandai pula dengan
- 118 -
perubahan bentuk negara menjadi negara federal (Republik
Indonesia Serikat).1
2. Pada periode 1959 hingga 1966, dengan ditandai oleh keluarnya
Dekrit Presiden, bandul politik berubah menjadi sangat sentralistis,
yang dikenal dengan demokrasi terpimpin (guided democracy).
Semangat sentralisme ini nampaknya diwadahi lebih lanjut
kedalam UU No. 18/1965, sehingga wajar jika dekonsentrasi hanya
dinilai sebagai pelengkap (meskipun dengan predikat vital).
Dengan demikian, perubahan bandul politik kearah sentralisme
berkorelasi secara langsung dengan perubahan bandul hubungan
antar susunan pemerintahan yang mengarah pada dekonsentrasi.
Kondisi ini berlangsung terus hingga tahun 1974.
3. Pada periode 1974 hingga 1999, ditandai oleh sebuah pelanggaran
prinsip dekonsentrasi. Hal ini dapat diamati dari semangat UU No.
5/1974 yang menegaskan bahwa azas dekonsentrasi bukan sekedar
komplemen atau pelengkap terhadap azas desentralisasi, akan
tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di
daerah. Namun dalam kenyataannya asas dekonsentrasi jauh lebih
dominan dibanding desentralisasi. Bahkan banyak pakar yang
1 Republik Indonesia Serikat secara resmi terbentuk pada tanggal 27 Desember 1949
yang ditandai dengan dilakukannya penandatanganan naskah pengakuan
kedaulatan di negeri Belanda oleh Presiden Soekarno dan menyerahkan kekuasaan
di Jakarta. Pada tanggal yang sama di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. Pada
tanggal 17 Agustus 1950, bentuk negara RIS berubah kembali menjadi Negara
Kesatuan RI, namun tetap mempertahankan demokrasi liberal dan sistem
pemerintahan parlementer. Pada periode Desember 1949 sampai dengan Juli 1959
telah terjadi pergantian kabinet sebanyak sembilan kali. Lihat: Jakarta Post
www.thejakartapost.com/resources/cabinet/cabinet.asp
- 119 -
menyebutkan bahwa era ini adalah era yang sentralistis (lihat lagi
bagian awal Bab ini).
4. Pada periode 1999 hingga 2004, sudah terdapat kemajuan yang
cukup penting tentang pengaturan dekonsentrasi, yakni dengan
munculnya peraturan pemerintah (PP) yang secara khusus
mengatur tentang dekonsentrasi. Namun yang menjadi persoalan
adalah adanya implementation gap, yakni kesenjangan antara
aturan tertulis dengan praktek nyata di lapangan. Dengan kata lain
PP dekonsentrasi (PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008) belum dapat
diterapkan sepenuhnya. Faktor penyebab kurang berfungsinya
kedua PP ini salah satunya adalah kurang harmonisnya koordinasi
antar instansi di pusat, khususnya antara Departemen Dalam
Negeri dan Departemen Keuangan (lihat White and Smoke, 2005:
8).
Kemungkinan faktor penyebab lainnya adalah belum tersusunnya
aturan pelaksanaan sebagai penjabaran dari butir-butir yang
terkandung didalamnya, yang seharusnya menjadi pedoman bagi
pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan pusat
tentang dekonsentrasi. Tabel dibawah memberikan gambaran
tentang pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam rangka
pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008.
- 120 -
Tabel 4.2. Pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam
rangka pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No.
7/2008
Bentuk Aturan PP No. 39/2001 PP No. 7/2008
Pengaturan berbentuk Peraturan (Regeling)
Peraturan Menteri Dalam
Negeri
– Tata cara pendanaan tugas pembantuan (pasal 48)
– Penyusunan dan penyampaian laporan
kegiatan tugas pembantuan
provinsi kepada
pemerintah kabupaten/kota dan desa (pasal 62 dan 63)
– Penyusunan dan penyampaian laporan kegiatan tugas pembantuan
kabupaten/kota kepada
pemerintah desa (pasal 64)
– Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh
pemerintah (pasal 17)
Peraturan Menteri
Keuangan
– Pedoman pengelolaan dana dekonsentrasi dan
dana tugas pembantuan
(pasal 79)
Peraturan Menteri/Pimpin
an Lembaga
– Lingkup urusan pemerintahan yang akan
ditugaskan kepada
gubernur (pasal 39).
Peraturan Gubernur
– Pembentukan Tim Koordinasi
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang
dilimpahkan oleh
pemerintah (pasal 17)
- 121 -
– Lingkup urusan pemerintahan yang akan
ditugaskan kepada
bupati/walikota dan/atau kepala desa (pasal 40)
Peraturan Bupati / Walikota
– Lingkup urusan pemerintahan yang akan
ditugaskan kepada kepala desa (pasal 41)
– Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang
dilimpahkan oleh
pemerintah (pasal 44)
Peraturan perundang-
undangan
tersendiri
Rincian kewenangan yang
dilimpahkan
kepada gubernur atau perangkat
pusat di daerah
(pasal 16)
–
Pengaturan berbentuk Keputusan (Beschikking)
Keputusan Presiden
Tata cara pelimpahan
wewenang pemerintahan
kepada gubernur
dan atau perangkat pusat di daerah
(pasal 4)
–
Tata cara penarikan
kewe-nangan yang dilimpahkan
kepada gubernur
dan atau perangkat pusat di daerah
(pasal 13)
–
- 122 -
Keputusan Menteri
Keuangan
Tata cara penyaluran biaya
penyelenggaraan
wewe-nang yang dilimpahkan
kepada gubernur
dan atau perangkat
pusat di daerah (pasal 8)
–
Keputusan Bupati / Walikota
– Kegiatan tugas pembantuan provinsi yang dilaksanakan oleh SKPD
kabupaten/kota (pasal 62)
Paparan diatas adalah analisis substantif asas dekonsentrasi
dalam level politis, yakni undang-undang.2 Selanjutnya, analisis pada
level politis ini dapat diturunkan pada organizational level yang
menyediakan aturan tentang dekonsentrasi adalah PP No. 39/2001
yang merupakan penjabaran dari UU No. 22/1999, serta PP No. 7/2008
yang merupakan penjabaran dari UU No. 32/2004. Dalam hal ini,
pengaturan secara lebih detil dalam kedua PP tersebut dapat disimak
perbandingannya dalam Tabel dibawah ini.
2 Meminjam model analisis kebijakan Bromley (1989), pengaturan sebuah substansi
kebijakan pada tataran UU dan Tap MPR dapat dikategorikan pada policy level.
Pada berbagai kasus, mandat pada policy level ini membutuhkan upaya
penerjemahan atau penjabaran melalui proses institutional arrangements pada
level organisasional.
- 123 -
Tabel 4.3. Perbandingan Pengaturan Dekonsentrasi Dalam PP No.
39/2001 dan PP No. 7/2008
Dimensi PP No. 39 Tahun 2001 PP No. 7 Tahun 2008
Definisi
Dekonsentrasi
Pelimpahan wewenang
dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan/atau
Perangkat Pusat di Daerah.
Pelimpahan wewenang
dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil
Pemerintah dan/atau
kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu.
Cakupan Dana Dekonsentrasi
– Semua penerimaan dan pengeluaran dalam
rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak
termasuk dana yang
dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di
daerah.
Sumber Dana
Dekonsentrasi
Biaya untuk
penyelenggaraan kewenangan
dilimpahkan kepada
Gubernur dan atau
Perangkat Pusat di Daerah dibebankan pada
APBN sesuai besaran
kewenangan dan beban tugas yang dilimpahkan.
Pelaksanaan pelimpahan
sebagian urusan pemerintahan dari
Pemerintah kepada
instansi vertikal di daerah
didanai melalui anggaran kementerian/lembaga.
Penyelenggaraan Dekonsentrasi
– • Dilakukan melalui pelimpahan sebagian
urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan K/L, dan
didanai melalui
anggaran K/L.
• Urusan pemerintahan
yang dilimpahkan
kepada gubernur
dilaksanakan oleh SKPD provinsi
- 124 -
berdasarkan
penetapan gubernur.
• Urusan pemerintahan
yang dilimpahkan
kepada gubernur tidak
boleh dilimpahkan
kepada bupati/walikota.
• Ruang lingkup
dekonsentrasi
mencakup aspek penyelenggaraan,
pengelolaan dana,
serta
pertanggungjawaban dan pelaporan.
Pelimpahan Urusan / Kewenangan
• Pelimpahan kewenangan disertai
dengan pembiayaan yang sesuai dengan
besaran kewenangan
yang dilimpahkan.
• Pelimpahan
kewenangan dapat dilakukan kepada
seluruh Gubernur
atau Perangkat Pusat di Daerah atau
kepada Gubernur
atau Perangkat Pusat di Daerah tertentu.
• Kewenangan yang
dapat dilimpahkan
meliputi sebagian
kewenangan di bidang politik luar
negeri, hankam,
peradilan, moneter dan fiskal, agama
dan kewenangan
bidang lain.
Selain dilimpahkan kepada gubernur, sebagian urusan
pemerintahan dapat pula
dilimpahkan kepada
Instansi Vertikal atau pejabat Pemerintah di
daerah
- 125 -
• Menteri / Pimpinan
Lembaga dapat
memprakarsai pelimpahan
kewenangan sesuai
dengan bidang
kewenangannya.
• Ada 13 urusan yang
dapat dilimpahkan
kepada Gubernur.
Tata Cara Pelimpahan
• Dalam hal Presiden
melimpahkan kewenangannya
kepada Gubernur,
dapat langsung
menetapkan melalui Keputusan Presiden.
• Dalam rangka
pelimpahan
wewenang pemerintahan kepada
Gubernur / Perangkat
Pusat di Daerah,
Menteri/Pimpinan Lembaga
memprakarsai
dengan menentukan jenis kewenangan
yang akan
dilimpahkan, kemudian ditetapkan
dengan Keputusan
Presiden;
• Jenis kewenangan
yang akan dilimpahkan terlebih
dahulu
dikonsultasikan dengan instansi
terkait dan
• Setelah
ditetapkannya pagu indikatif, K/L
memprakarsai dan
merumuskan urusan
pemerintahan yang akan dilimpahkan
kepada gubernur
paling lambat pertengahan Maret
untuk tahun anggaran
berikutnya.
• Rumusan tentang
urusan pemerintahan yang akan
dilimpahkan
dituangkan dalam rancangan Renja-KL
dan disampaikan
kepada Bappenas sebagai
bahan koordinasi
dalam
Musrenbangnas.
• K/L memberitahukan
kepada gubernur
mengenai lingkup
urusan pemerintahan yang akan
dilimpahkan
(dituangkan dalam
- 126 -
Gubernur/Perangkat
Pusat di Daerah ybs.
Peraturan Menteri /
Pimpinan Lembaga), paling lambat
pertengahan Juni
untuk tahun anggaran
berikutnya setelah ditetapkannya pagu
sementara.
• Peraturan Menteri /
Pimpinan Lembaga disampaikan kepada
gubernur dengan
tembusan kepada
Mendagri, Menkeu, dan Bappenas paling
lambat minggu I
Desember untuk tahun anggaran
berikutnya setelah
ditetapkannya Perpres Rincian
APBN.
Tata Cara
Penyelenggaraan • Bagi Daerah yang
belum ada instansi
vertikal untuk melaksanakan
sebagian
kewenangan di bidang politik luar
negeri, hankam,
peradilan, moneter
dan fiskal, dan agama yang
dilimpahkan,
dibentuk instansi vertikal dengan
menetapkan susunan
organisasi, formasi dan tatalaksananya.
• Penyelenggaraan
kewenangan di
bidang lain yang
• Dalam
penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang dilimpahkan
oleh Pemerintah,
gubernur melakukan penyiapan perangkat
daerah yang akan
melaksanakan
program dan kegiatan
dekonsentrasi serta
koordinasi, pengendalian,
pembinaan,
pengawasan dan pelaporan.
• Gubernur
membentuk tim
koordinasi yg
- 127 -
diterima Gubernur,
pelaksanaannya dilakukan oleh Unit
Organisasi yang ada
dalam Dinas
Provinsi.
• Dalam hal di
Provinsi belum ada
Dinas yang tepat
untuk menangani suatu bidang
kewenangan yang
dilimpahkan,
Gubernur dapat menugaskan
Perangkat Daerah
lainnya atau membentuk unit
pelaksana secara
khusus.
• Dalam
menyelenggarakan
kewenangan yang
dilimpahkan,
Gubernur memberitahukan
kepada DPRD.
ditetapkan dengan
Pergub berpedoman pada Permendagri.
• Gubernur
memberitahukan
kepada DPRD
berkaitan dengan penyelenggaraan
urusan pemerintahan
tersebut.
Tanggung jawab Gubernur
• Mengkoordinasikan
Perangkat Daerah dan Pejabat Pusat di
Daerah serta antar
Kabupaten dan Kota
di wilayahnya sesuai bidang tugas yang
berkaitan dengan
kewenangan yang dilimpahkan;
• Melakukan fasilitasi
Terselenggaranya
pedoman, norma, standar, arahan,
pelatihan, dan
–
- 128 -
supervisi, serta
melaksanakan pengendalian dan
pengawasan;
• Memberikan saran
dan pertimbangan
kepada Pemerintah berkenan dengan
penyelenggaraan
kewenangan pemerintahan di
wilayahnya.
• Memperhatikan
standar, norma, dan
kebijakan Pemerintah;
keserasian,
kemanfaatan, kelancaran
pelaksanaan tugas
pemerintahan dan pembangunan; dan
standar pelayanan
minimal.
Tata Cara Penarikan
Pelimpahan
• Penarikan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan dapat
dilakukan apabila
urusan pemerintahan tidak
dapat dilanjutkan
karena Pemerintah
mengubah kebijakan atau apabila
Gubernur /
Perangkat Pusat di Daerah
mengusulkan untuk
ditarik sebagian atau seluruhnya.
• Menteri / Pimpinan
Lembaga
• Penarikan urusan
pemerintahan yang dilimpahkan dapat
dilakukan apabila
urusan pemerintahan tidak dapat
dilanjutkan karena
Pemerintah
mengubah kebijakan dan/atau pelaksanaan
urusan pemerintahan
tidak sejalan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
• Penarikan dilakukan
melalui penetapan Peraturan Menteri /
Lembaga, dengan
- 129 -
mengevaluasi
penyelenggaraan kewenangan yang di
limpahkan dan
menyampaikan
hasilnya kepada Gubernur /
Perangkat Pusat di
Daerah.
• Berdasarkan hasil
evaluasi, Menteri /
Pimpinan Lembaga
dapat menarik
sebagian atau seluruh kewenangan
yang dilimpahkan
setelah berkoordinasi
dengan Mendagri &
instansi terkait, dengan
memberitahukan
alasan dan
pertimbangannya.
• Penarikan
kewenangan yang
dilimpahkan
ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Jika dalam waktu 6
bulan sejak usul penarikan belum
ditetapkan Keppres,
Gubernur /
Perangkat Pusat di Daerah dapat
menghentikan
sepihak penyelenggaraan
kewenangan yang
dilimpahkan.
tembusan Mendagri,
Menkeu, dan Bappenas.
• Peraturan tersebut
digunakan oleh
Menkeu sebagai
dasar pemblokiran dokumen anggaran
dan penghentian
pencairan dana.
- 130 -
Prinsip Pendanaan
• Penganggaran dan
pengelolaan keuangan dalam
penyelenggaraan
kewenangan yang dilimpahkan
dilakukan secara
terpisah dari APBD
sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
• Ketentuan lebih
lanjut tentang tata cara penyaluran
biaya
penyelenggaraan wewenang yang
dilimpahkan kepada
Gubernur atau
perangkat Pusat di Daerah, ditetapkan
dengan Kep.
Menkeu.
• Dalam hal
pelaksanaan
kewenangan yang
dilimpahkan menghasilkan
penerimaan, maka
penerimaan tersebut
merupakan penerimaan Negara
dan wajib disetor ke
Kas Negara.
• Pendanaan
dekonsentrasi dialoka- sikan setelah
adanya pelimpahan
wewenang dari Pemerintah.
• Pendanaan tersebut
dialokasikan untuk
kegiatan non-fisik.
• Penganggaran dana
dekonsentrasi
dituangkan dalam
penyusunan RKA-
KL.
• Penyaluran dana
dilakukan oleh
Bendahara Umum
Negara atau kuasanya melalui
Rekening Kas Umum
Negara.
• Semua barang yang
dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan
dana dekonsentrasi
merupakan barang milik negara, dan
dapat dihibahkan
kepada Daerah.
Pertanggung jawaban
• Pertanggungjawaban penyelenggaraan
kewenangan yang
dilimpahkan,
dilakukan Gubernur / Perangkat Pusat di
Daerah.
• Pertanggungjawaban dan pelaporan
dekonsentrasi
mencakup aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek
manajerial terdirf
- 131 -
• Pertanggungjawaban
disampaikan
Gubernur / Perangkat Pusat di Daerah
kepada Menteri /
Pimpinan Lembaga
dengan tembusan Mendagri dan
DPRD.
• Pertanggungjawaban
atas penyelenggaraan kewenangan yang
dilimpahkan oleh
Presiden kepada
Gubernur, disampaikan oleh
kepada Presiden
melalui Mendagri.
dari perkembangan
realisasi penyerapan daua, pencapaian
target keluaran,
kendala yang
dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek
akuntabilitas terdiri
dari laporan realisasi anggaran, neraca,
catatan atas laporan
keuangan, dan
laporan barang.
• Kepala SKPD
provinsi
bertanggungjawab
atas pelaporan kegiatan
dekonsentrasi.
• Laporan
pertanggungjawaban keuangan secara
tahunan atas
pelaksanaan
dekonsentrasi oleh gubernur dilampirkan
dalam Laporan
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
kepada DPRD.
Pembinaan dan
Pengawasan • Menteri/pimpinan
lembaga melakukan
pembinaan dan pengawasan atas
penyelenggaraan
kewenangan yang dilimpahkan.
• Dalam hal-hal
tertentu, kewenangan
pembinaan dan pengawasan atas
penyelenggaraan
• Menteri/pimpinan
lembaga melakukan
pembinaan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan
urusan pemerintahan yang dilimpahkan
kepada gubernur.
Pembinaan tsb meliputi pemberian
pedoman, standar,
fasilitasi dan
- 132 -
pemerintahan dapat
dilimpahkan kepada Gubernur.
bimbingan teknis,
serta pemantauan dan evaluasi atas
penyelenggaraan
dekonsentrasi.
• Gubernur melakukan
pembinaan dan pengawasan kegiatan
dekonsentrasi yang
dilaksanakan oleh SKPD Provinsi.
Pembinaan tsb
dilakukan dalam
rangka peningkatan kinerja, transparansi,
dan akuntabilitas
penyelenggaraan dekonsentrasi.
• Menteri Keuangan
melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap
pengelolaan dana
dekonsentrasi.
Selanjutnya, pengaturan lebih rinci tentang dana dekonsentrasi
dapat ditemukan dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam
UU ini dinyatakan bahwa dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal
dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah
yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka
pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan
untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana dekonsentrasi
dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat non fisik, yaitu antara lain
untuk kegiatan koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan,
pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Sebagai wujud
- 133 -
pertanggungjawaban dana dekonsentrasi, gubernur menyampaikan
laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan
dekonsentrasi kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang
memberikan pelimpahan wewenang dan selanjutnya menteri
negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggung
jawaban pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi secara nasional kepada
Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan status barang dalam pelaksanaan
dekonsentrasi, dalam Pasal 91 undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi menjadi
barang milik negara dan dapat dihibahkan kepada daerah. Barang milik
negara yang dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan
ditatausahakan oleh daerah sedangkan barang milik negara yang tidak
dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh
kementerian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan
wewenang.
Dari ketentuan yang bersumber pada kedua peraturan
pemerintah tersebut, dapat dicermati adalah beberapa inkonsistensi
kebijakan, sebagai berikut:
1. Kedua PP tersebut menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah
pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam Keputusan
Presiden (PP No. 39/2001) atau penetapan Gubernur sebelum
dilaksanakan oleh SKPD provinsi (PP No. 7/2008). Kedua model
ini dalam prakteknya belum dilaksanakan, dan pelimpahan
wewenang dilakukan oleh kementerian / LPND kepada SKPD di
- 134 -
provinsi. Dalam hal ini terdapat kesan bahwa Gubernur selaku
wakil pemerintah justru dilewati.
2. Kedua PP mengatur bahwa pelimpahan wewenang kepada
gubernur tidak boleh dilimpahkan kembali kepada bupati/walikota.
Namun kenyataannya, dana dekonsentrasi banyak turun ke
kabupaten/kota yang mengindikasikan bahwa program
dekonsentrasi juga dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Padahal,
bupati/walikota jelas-jelas bukan wakil pemerintah atau perangkat
dekonsentrasi. Jika pengertian dekonsentrasi dilaksanakan secara
konsekuen, maka kabupaten/kota hanya dapat menerima dana
tugas pembantuan.
3. Kedua PP juga menegaskan bahwa pelimpahan wewenang harus
disertai dengan pembiayaan. Ini berarti, prinsip money follows
function / authority yang semestinya diterapkan. Namun dalam
tataran praktek lebih menonjol penerapan prinsip function follows
money, yang bisa dilihat dari fakta bahwa dana dekonsentrasi selalu
dikucurkan sementara Kepres (atau dasar hukum lainnya) tentang
pelimpahan kewenangan belum diterbitkan.
B. Tinjauan Empiris Dekonsentrasi
Pada tataran empirik, kebijakan dekonsentrasi di Indonesia
selama ini dapat dikatakan tidak utuh, karena lebih banyak menyentuh
aspek pelimpahan anggaran pusat kepada perangkatnya di daerah, serta
kurang memfokuskan pada isi otoritas atau kewenangan dekonsentrasi.
Dengan demikian, dekonsentrasi model Indonesia selama ini dapat
- 135 -
disebut sebagai dekonsentrasi keuangan (financial deconcentration),3
sedangkan dekonsentrasi substansial (authoritative deconcentration)
belum memiliki kerangka kebijakan yang jelas. Dengan demikian,
kondisi dan permasalahan yang dapat dicermati dari praktek
penyelenggaraan dekonsentrasi di Indonesia meliputi aspek manajerial
dan substansial. Aspek manajerial berhubungan dengan fungsi-fungsi
perencanaan, penganggaran dan pertanggungjawaban, sedangkan
aspek substansial menyangkut isi / substansi kewenangan dari program
dekonsentrasi serta perangkat kelembagaan untuk menjalankan
kewenangan dekonsentrasi tersebut.
1. Aspek Manajerial
Sebuah program pembangunan, lazimnya selalu didahului oleh
3 Istilah dekonsentrasi keuangan ini dikembangkan untuk memberikan kesejajaran
konsep (analog) dengan desentralisasi fiskal. Sebagaimana dipahami,
desentralisasi dalam arti sempit atau devolusi adalah penyerahan kewenangan
(transfer of power / authority) kepada pemerintah daerah sebagai urusan otonominya. Transfer kewenangan ini tidak bisa berjalan dengan baik jika tidak
didukung oleh desentralisasi fiskal, yakni penyerahan kewenangan kepada
pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah guna
mendukung devolusi. Dengan demikian, devolusi dan desentralisasi fiskal adalah
dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama.
Demikian pula dekonsentrasi, pendelegasian wewenang secara substantif
(authoritative deconcentration) akan efektif jika ditunjang oleh sumber
pembiayaan yang memadai (financial deconcentration).
Hal lain yang perlu digarisbawahi, meskipun istilah financial deconcentration
adalah analog dari fiscal decentralization, namun keduanya memiliki perbedaaan
yang sangat mendasar. Istilah fiscal deconcentration tidak tepat digunakan karena pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yang luas dari dana dekonsentrasi
yang diberikan dari setiap kementerian. Pemerintah daerah hanya berwenang
membelanjakan dalam batas-batas aturan yang telah ditetapkan oleh Menteri atau
Pemerintah. Sedangkan dalam fiscal decentralization, pemerintah daerah memiliki
kewenangan atas pajak-pajak daerah tertentu, serta memiliki kewenangan
menetapkan pungutan / retribusi tertentu pula.
- 136 -
sebuah perencanaan yang matang, komprehensif, dan visioner. Dalam
proses perencanaan ini, paling tidak harus dapat diformulasikan visi
dan misi jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek. Selain itu,
perencanaan yang baik semestinya juga telah dapat
mengidentifikasikan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, serta
program dan kegiatan yang harus dijalankan untuk mencapai visi, misi,
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.4 Selanjutnya, sasaran dan
kegiatan yang diajukan harus dilengkap dengan indikator-indikator
capaian, baik indikator input, output, maupun outcome/impact/benefit.
Jika pola perencanaan model Renstra ini dapat dilakukan secara efektif,
diharapkan mampu mencapai tujuan secara efektif dengan sumber
daya yang efisien.
Sayangnya, dalam konteks penyelenggaraan fungsi
dekonsentrasi, sama sekali belum ada Renstra (KL = Kementerian /
Lembaga maupun Daerah atau SKPD) yang memberi gambaran jangka
menengah tentang capaian dan agenda-setting dari program
dekonsentrasi.
Dalam prakteknya, dekonsentrasi tereduksi menjadi
dekonsentrasi keuangan, sementara dekonsentrasi keuangan tereduksi
lagi menjadi kegiatan teknis dan rutin tahunan yang dilaksanakan tanpa
4 Struktur perencanaan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran, program dan
kegiatan ini sering dikenal dengan istilah Perencanaan Strategis (Renstra). Renstra merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama
kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan
potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin timbul, yang disusun bukan
hanya untuk memenuhi amanat peraturan (Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah), namun juga untuk gambaran umum program dan
kegiatan yang akan dilaksanakan selama 5 th ke depan.
- 137 -
didahului analisis kebutuhan atau perencanaan jangka panjang yang
matang atas dasar berbagai pertimbangan strategis. Wujud konkrit dari
aktivitas rutin yang sangat teknis itu misalnya adalah pengajuan
pejabat pengelola keuangan dari dinas-dinas di tingkat provinsi, yang
disusul dengan pencairan anggaran, serta diakhiri dengan pelaporan.
Dalam siklus anggaran yang sangat tradisional seperti itu, prinsip
manajemen kinerja menjadi terabaikan. 5 Pengelolaan program dan
anggaran dekonsentrasi yang tidak berbasis kinerja ini menurut penulis
adalah masalah utama yang harus dipecahkan, karena akan berdampak
pada masalah-masalah yang lebih spesifik.
Oleh karena prinsip manajemen kinerja tidak diterapkan, maka
wajar jika komunikasi antar instansi dalam pengelolaan program dan
dana dekonsentrasi menjadi kurang terjalin dengan baik. Bahkan
seorang Gubernur yang merupakan pejabat tertinggi di daerah sering
mengeluhkan tentang manajemen anggaran dekonsentrasi ini.
Sebagaimana dilaporkan Harian Pikiran Rakyat (13/04/2005),
Gubenur Jawa Barat saat itu, Danny Setyawan menyatakan bahwa
penyaluran dana dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh
departemen sektoral di pusat kepada dinas. Mekanisme seperti itu,
5 Manajemen Kinerja (MK) menurut Armstrong dan Baron (1998) adalah “a
strategic and integrated approach to delivering sustained success to organization
by improving the performance of the people who work in team and by developing
the capabilities of teams and individual contributors”. Untuk bisa mencapai kinerja optimal dalam suatu organisasi, harus diperhatikan komponen sebagai
berikut: 1) output, outcome, process and input; 2) planning; 3) measurement and
review; 4) development and improvement; 5) communication; 6) stakeholder; 7)
ethical; dan 8) scope. Jika melihat pada komponen MK tersebut, jelas sekali bahwa
pengelolaan dana dekonsentrasi kurang memperhatikan kinerja (performance-
based).
- 138 -
menurutnya, mencerminkan bahwa departemen sektoral masih
menganggap dan mengobsesikan dinas-dinas yang ada di provinsi
seperti kanwil (kantor wilayah) dulu.
Ironisnya, DPRD Jawa Barat pun juga tidak tahu menahu soal
pencairan dana dekonsentrasi ini. DPRD Jabar juga menyesalkan
turunnya dana dekonsentrasi tahun 2007 dari pemerintah pusat karena
tidak disertai kejelasan mekanisme pertanggung jawabannya oleh
satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menerima. Bahkan mereka
menyatakan bahwa pemerintah pusat melakukan dua kesalahan.
Pertama, menyalurkan dana dekonsentrasi setelah APBD disahkan,
padahal mestinya penyaluran dana dilakukan pada saat RAPBD
dibahas. Kesalahan kedua adalah tidak ada mekanisme pemberitahuan
kepada DPRD terkait program-program menyangkut dana
dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak dapat melakukan pengawasan
(Pikiran Rakyat, 10/1/2007).
Keluhan senada juga disampaikan oleh Gubernur Kalimantan
Tengah, Agustin Teras Narang, dalam Rapat Konsultasi Departemen
Dalam Negeri dan Gubernur Se-Indonesia tentang Penyelengaraan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Jakarta tanggal 5/9/2006. Dia
menyatakan bahwa pembangunan daerah efektif apabila hubungan
pemerintah dan provinsi sinkron. Oleh karenanya, pemerintah
seharusnya mulai mempercayakan pengelolaan dana itu ke gubernur
agar dana bisa lebih bermanfaat. Sebab, kepercayaan pusat kepada
daerah akan memacu kepala daerah membangun wilayahnya, dan
daerah akan mengimbangi dengan meningkatkan transparansi dan
akuntabilitas (Tempo Interaktif, 5/9/2006). Teras Narang juga
- 139 -
menyarankan agar alokasi pendanaan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan tetap dilakukan pemerintah pusat namun dengan
melibatkan pemerintah provinsi/gubernur dalam perencanaan,
operasional teknis, penyaluran, maupun pengalokasian. Dengan begitu,
ada sinergi dengan yang diinginkan kabupaten/kota dalam satu
provinsi (Kompas, 7/9/2006). Posisi Gubernur yang seolah-olah lepas
dari program dan dana dekonsentrasi menjadi sangat dilematis, karena
jika terjadi kesalahan dalam implementasinya kepala daerah juga ikut
menanggungnya (Tempo Interaktif, 24/8/2006).
Teras Narang adalah Gubernur yang secara konsisten
memperjuangkan adanya kejelasan peran dan wewenang Gubernur
dalam konstelasi otonomi daerah. Hingga tahun 2009 pun, beliau
masih tetap menyuarakan aspirasi tentang penguatan kedudukan
Gubernur. Pada Rakernas APPSI 2-4 Desember 2009, Teras Narang
menegaskan kembali adanya kecenderungan program pemerintah yang
ditujukan bagi daerah tanpa melibatkan Gubernur. Dampaknya,
pembangunan di daerah menjadi tidak fokus dan anggaran banyak
yang tidak efisien karena tumpang tindih (Kompas, 1/12/2009).
Kondisi diatas juga dirasakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ali
Mufiz yang menyebutkan bahwa saat ini masih terdapat kontroversi
antara kewenangan perangkat pemerintah pusat di provinsi seperti unit
pelaksana teknis (UPT) dengan kewenangan gubernur selaku wakil
pemerintah pusat. Selain itu, gubernur mengalami kesulitan dalam
mengimplemantasikan rencana investasi, pembangunan infrastruktur,
dan pengembangan ekonomi karena terkendala oleh ketatnya peraturan
pusat yang harus dipenuhi (Kompas, 22/11/2008).
- 140 -
Jika seorang gubernur (dalam kedudukan selaku wakil
pemerintah pusat) tidak memiliki kontrol yang efektif terhadap
program dan dana dekonsentrasi, ini berarti ada permasalahan serius
dalam dimensi pertanggungjawaban. Selama ini, mekanisme dan
instrumen pertanggungjawaban dana dekonsentrasi diakui oleh banyak
pihak sangat tidak jelas. Anggota Panitia Anggaran DPR-RI, Nasril
Bahar, menjelaskan bahwa kebiasaan pemerintah daerah tidak
mempertanggungjawabkan dana dekonsentrasi sudah terjadi sejak
lama. Selain itu, pengawasan juga sulit dilakukan karena tidak
termasuk dalam mata anggaran di APBD sebagai bantuan yang
bersumber dari APBN. Tidak jelasnya pelaporan anggaran ini
membuka peluang alokasi dana dekonsentrasi tumpang tindih dengan
alokasi dana proyek pada APBD (Sumut Pos, 1/2/2007).
Sebelumnya, Auditor Utama Keuangan Negara II Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) Soekoyo menyatakan, dana dekonsentrasi
yang sudah dialirkan pemerintah pusat ke daerah sejak tahun 2000
ternyata penggunaannya tidak dilaporkan di APBN, neraca pemerintah
pusat, atau di APBD. Akibatnya, ada potensi dana yang mencapai
sekitar Rp 28,75 triliun tersebut menjadi sarana untuk pencucian aset
dan berpotensi tindak pidana (Sumut Pos, 1/2/2007). Direktur
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus
Manao menambahkan bahwa sejak dana dekonsentrasi dikucurkan
tahun 2001 sampai sekarang, pemerintah pusat dan daerah tidak ada
yang mau mempertanggungjawabkan dana tersebut, dan ini menjadi
salah satu penyebab terjadinya selisih angka antara realisasi anggaran
di departemen dan realisasi anggaran yang dikeluarkan dalam
- 141 -
anggaran pendapatan dan belanja negara (Tempo Interaktif, 12/2/2007).
Carut marut pertanggungjawaban dana dekonsentrasi tersebut
juga diakui oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara
Departemen Keuangan Herry Purnomo. Menurut Herry,
pertanggungjawaban dana dekonsentrasi memang masih menjadi
masalah, dimana Gubernur mengeluh tidak tahu ada penggelontoran
dana dekonsentrasi di daerahnya, sedangkan aparat otonom
(walikota/bupati) merasa tidak mempunyai hubungan
pertanggungjawaban dengan pemerintah pusat sehingga mereka ogah-
ogahan lapor (Tempo Interaktif, 12/2/2007).
Selain masalah pelaporan dan pertanggungjawaban,
kemungkinan terjadinya tumpang tindih anggaran juga menjadi
problema yang cukup pelik. Hal ini bahkan disampaikan sendiri oleh
Menteri Keuangan pada Lokakarya Nasional Penguatan Pelaksanaan
Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Mei 2006 di Jakarta. Beliau
menyatakan bahwa dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan
harus selalu sinergis dan tidak tumpang tindih dengan dana
desentralisasi, meskipun dalam kenyataannya kerap kali terjadi
tumpang tindih karena ketidakjelasan mengenai pembagian urusan
pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, penggunaan
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut perlu diidentifikasi
kembali dan dievaluasi agar tidak mendanai kegiatan yang seharusnya
menjadi kewenangan/urusan daerah. Terdapat indikasi bahwa banyak
kegiatan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah tetapi
kegiatan tersebut masih dibiayai dengan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme pengalihan dana
- 142 -
dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang urusannya sudah
didaerahkan menjadi dana alokasi khusus (DAK) untuk menghindari
pendanaan ganda tersebut (Portal Depkominfo, 5/4/2006).
Hal tersebut sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU No 33
Tahun 2004 Pasal 108 yang menyatakan Dana Dekonsentrasi dan
Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan
urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan
Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang
mengatur tentang pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK.
Akibatnya, permasalahan yang timbul sejak awal digulirkannya dana
dekonsentrasi masih terus terjadi.
Kemungkinan terjadinya tumpang tindih sendiri tidak hanya
terjadi antara dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dengan
dana desentralisasi, sebagaimana sinyalemen Menteri Keuangan diatas.
Tumpang tindih juga bisa terjadi antara dana dekonsentrasi (PBN)
dengan dana APBD. Dengan kondisi tersebut, dapat membuka peluang
terjadinya inefisisensi bahkan penyelewengan penggunaan anggaran,
misalnya kemungkinan aset-aset negara yang dibelanjakan dengan
dana dekonsentrasi tidak teradministrasikan dengan baik, sehingga
memungkinkan terjadi praktek pencucian aset (asset laundering).
Kekhawatiran tersebut juga diungkapkan oleh Auditor Utama
Keuangan Negara II BPK RI Soekoyo dan Direktur Akuntansi dan
Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao.
Menurut data BPK, puluhan triliun rupiah dana dekonsentrasi
- 143 -
yang dikucurkan pemerintah pusat sejak 2001-2006 rentan
diselewengkan karena tidak jelas laporan pertanggungjawabannya.
Laporan audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
2004 memastikan, seluruh departemen yang mengucurkan dana
dekonsentrasi tidak dilaporkan dalam LKPP 2004. Pada periode 2001-
2003, itu lebih buruk lagi karena pemerintah sama sekali tidak
menyusun LKPP. Pada 2005, pemerintah pusat mengucurkan dana
dekonsentrasi Rp 4 triliun dan pertanggungjawabannya mengalami
kemajuan karena sebagian dicantumkan dalam LKPP 2005. Namun,
BPK masih menemukan dana dekonsentrasi sebesar Rp 2,08 triliun
belum dicantumkan dalam LKPP 2005. Buruknya pelaporan dana
dekonsentrasi juga merupakan salah satu penyebab BPK
mengeluarkan opini disclaimer terhadap LKPP 2004 dan 2005 (Portal
BPK, 29/1/2007).6
Sebagai gambaran, besaran dana dekonsentrasi yang mengucur
ke daerah selama periode 2005-2007 secara berturut-turut adalah Rp.
17.972 milyar, Rp. 30.653 milyar, dan Rp. 34.044 milyar.7 Ini berarti
setiap tahunnya mengalami peningkatan. Sementara belanja untuk
daerah yang dialokasikan dalam APBN (sering dikenal dengan dana
desentralisasi),8 untuk periode yang sama jumlahnya juga meningkat,
6 BPK juga menemukan pelanggaran dalam penggunaan dana dekonsentrasi di
daerah. Sebagai contoh, dana dekonsentrasi sector kesehatan di Sumatera Utara ternyata juga diperuntukkan untuk membangun gedung, yang semestinya tidak
boleh dipergunakan untuk pembangunan fisik (Portal BPK, 2006).
7 Diluar dana dekonsentrasi ini, masih ada belanja pusat di daerah pada kategori dana
tugas pembantuan, yang besarnya berturut-turut adalah Rp. 12.120 milyar (2005),
Rp. 5.620 milyar (2006), dan Rp. 9.429 milyar (2007).
8 Dana desentralisasi adalah belanja untuk daerah yang terdiri dari komponen dana
- 144 -
yakni Rp. 126.147 milyar, Rp. 217.031 milyar, dan Rp. 250.765 milyar
(Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan).
Mengingat besarnya belanja pemerintah yang bersumber dari dana
dekonsentrasi ini, maka wajar jika muncul tuntutan untuk
penyempurnaan manajerial dalam pengelolaan dana dekonsentrasi.
2. Aspek Substansial
Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya,
dekonsentrasi secara teoretis memiliki korelasi yang kuat dengan
desentralisasi. Pada hakekatnya keduanya berhubungan dengan
transfer kewenangan dari pusat ke daerah, hanya dalam desentralisasi
terjadi penyerahan secara penuh/luas, sedangkan dalam dekonsentrasi
hanya bersifat pemencaran saja namun kewenangan masih tetap berada
ditangan pusat.
Namun dalam prakteknya, seringkali desentralisasi dan
dekonsentrasi dipahami sebagai dua hal yang berseberangan. Berbagai
program yang memperbesar peran pemerintah pusat selalu
diidentikkan sebagai hasrat melakukan resentralisasi. Dampaknya,
dekonsentrasi sebagai konsep atau konstruksi penataan hubungan antar
susunan pemerintahan, menjadi tidak popular dan cenderung ditolak.
Purwo Santoso (Jawa Pos, 27/12/2007) mengungkapkan bahwa
dengan pemberlakuan PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007, tidak ada
lagi alasan untuk menyangkal bahwa resentralisasi telah berlangsung.
bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana
penyesuaian (DP), dana otsus (2% DAU Nasional), serta dana tambahan
infrastruktur.
- 145 -
Diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali
fondasi pemerintahan sentralistis, yang justru hendak dibongkar
melalui UU No 22/1999.
Kritik serupa tentang inkonsistensi pusat dalam mendorong
desentralisasi juga dikemukakan oleh Eko Prasojo (Jawa Pos,
27/12/2007). Menurut Eko, hingga memasuki 2008 penyelenggaraan
otonomi daerah direfleksikan oleh banyaknya inkonsistensi
pemerintah pusat. Hal itu mengindikasikan belum siapnya pemerintah
pusat untuk mengubah paradigma pemerintahan yang sentralistik ke
arah pemerintahan yang desentralistik. Inkonsistensi pemerintah pusat
terjadi secara vertikal dan horizontal.
Secara vertikal, inkonsistensi tersebut dicerminkan berbagai
produk peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis dan tidak
sinkron. Sering ketentuan pengaturan dalam peraturan pemerintah
mereduksi isi UU tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini misalnya
nampak dari pengambilalihan kembali urusan bidang pertanahan yang
sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Pada sisi lain, berbagai
macam peraturan perundang-undangan sering mengalami perubahan
yang sangat cepat dan tidak memperhatikan kemampuan daerah untuk
mengimplementasikannya.
Sedangkan inkonsistensi secara horizontal bisa dilihat dari
tidak harmonisnya ketentuan peraturan perundang-undangan antara
satu sektor dengan sektor lain. Bahkan, sebagian aparatur
penyelenggara negara di Kementerian dan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen masih memiliki paradigma dan pemikiran yang
sentralistik. Hal itu, misalnya, direfleksikan dengan semakin
- 146 -
banyaknya Unit Pelaksana Teknis (UPT), balai-balai, dan kantor-
kantor regional dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non
Departemen di daerah. Tujuan didirikannya berbagai lembaga teknis
pusat di daerah merupakan kegamangan dan ketidakrelaan sektor di
pusat terhadap kewenangan yang sudah diserahkan kepada pemerintah
daerah.
Namun disisi lain, Eko juga mengakui bahwa ketiadaan
perangkat dekonsentrasi di tingkat kabupaten/kota menyebabkan
sulitnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sebab, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak
memiliki perangkat dekonsentrasi untuk menjalankan peran dan
fungsinya tersebut.
Dari penjelasan Eko Prasojo diatas dapat disimpulkan adanya
dua faktor yang menyebabkan inkonsistensi dalam praktik
penyelenggaraan otonomi daerah, yakni ketidakrelaan sektor
(departemen) di pusat terhadap kewenangan yang diserahkan kepada
daerah, serta ketiadaan perangkat dekonsentrasi. Selain kedua faktor
tersebut, sebenarnya masih bisa ditambah satu faktor lagi, yakni
kejelasan kewenangan dekonsentrasi yang dijalankan pemerintah pusat
secara limitatif, serta kejelasan kewenangan dekonsentrasi yang
dilimpahkan kepada perangkat dekonsentrasi di daerah.
Sejauh ini identifikasi jenis kewenangan-kewenangan yang
dikategorikan sebagai kewenangan dekonsentrasi belum dilakukan
secara jelas dan tegas oleh pemerintah (belum ada aturan perundangan-
undangan yang lebih operasional). Walaupun pemerintah telah
mengeluarkan PP No. 38/2007 tentang pembagian urusan
- 147 -
pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, namun tidak mengatur dengan
jelas terkait dengan kriteria-kriteria tertentu yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur. Sebab, PP
No. 38/2007 memang lebih banyak mengatur bidang-bidang urusan
yang didesentralisasikan, sedangkan urusan dekonsentrasi semestinya
diturunkan lagi dari rincian urusan pemerintah pusat yang telah
ditetapkan dalam PP No. 38/2007 tersebut.
Kewenangan dekonsentrasi, jika dapat dirinci secara limitatif
akan memiliki banyak nilai positif dan keuntungan, misalnya, pertama,
sebagai pedoman bagi Gubernur untuk menjamin efektivitas fungsi
pemerintah pusat di tingkat daerah. Dengan kata lain, kejelasan fungsi
dekonsentrasi tadi akan memperkuat ikatan NKRI. Kedua, dapat
menghindarkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih/overlap
kegiatan antara program departemen dengan program pemprov, dan
ketiga merupakan entry point untuk mengucurkan dana APBN dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintah di daerah, karena kucuran dana
dalam kerangka pembiayaan program yang tidak jelas (karena belum
dilimpahkan), dapat dikatakan sebagai bentuk inefisiensi yang rendah
tingkat akuntabilitasnya.
Saat ini, regulasi yang paling konkrit mengatur tentang
dekonsentrasi adalah PP No. 7/2008, namun didalamnya tidak ditemui
tentang rincian isi kewenangan yang dapat didekonsentrasikan. PP ini
lebih banyak mengatur tentang tata cara penyelenggaraan
dekonsentrasi, tetapi lupa tidak mengatur sisi substansial. Sementara
itu, regulasi sebelumnya yaitu PP No. 39/2001 sebenarnya lebih maju
- 148 -
dibanding PP penggantinya. Dalam PP No. 39/2001 ini sudah memberi
batasan kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku
perangkat pemerintah pusat, meliputi sebagai berikut:
a) Aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara,
dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sosialisasi
kebijaksanaan nasional di daerah;
b) Koordinasi wilayah, perencanaan, pelaksanaan,
sektoral, kelembagaan, pembinaan, pengawasan, dan
pengendalian;
c) Fasilitasi kerjasama dan penyelesaian perselisihan
antar daerah dalam wilayah kerjanya;
d) Pelantikan bupati/walikota;
e) Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah
dengan daerah otonom di wilayahnya dalam rangka
memelihara dan menjaga keutuhan NKRI;
f) Fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan
perundang-undangan;
g) Pengkondisian terselenggaranya pemerintahan daerah
yang baik, bersih dan bertanggung jawab, baik yang
dilakukan oleh Badan Eksekutif Daerah maupun
Badan Legislatif Daerah;
h) Penciptaan dan pemeliharaan ketenteraman dan
ketertiban umum;
i) Penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah
lainnya yang tidak termasuk dalam tugas instansi lain;
j) Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah
kabupaten/kota;
k) Pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah,
Keputusan Kepala Daerah, dan Keputusan DRPD serta
Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota;
l) Pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian
dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; dan
m) Pemberian pertimbangan terhadap pembentukan,
pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.
Sayangnya, kewenangan tersebut diatas hanya berkenaan
dengan bidang pemerintahan umum, dan belum meliputi urusan-
- 149 -
urusan pemerintahan lainnya secara sektoral. Sementara dalam praktek,
yang lebih terjadi adalah pelaksanaan sebagian tugas departemen
teknis/sektor. Kondisi ini, sekali lagi, mencerminkan adanya
implementation gap dalam penerapan kebijakan dekonsentrasi.
PP No. 7/2008 sendiri lebih banyak mengatur tentang prosedur
atau mekanisme dekonsentrasi, dan tidak banyak menyentuh aspek
substansial. Ruang lingkup dekonsentrasi (dan tugas pembantuan)
hanya dipersepsi sepanjang mencakup aspek penyelenggaraan,
pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan
pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi (pasal 8-10). Sedangkan aspek
substantif diatur dalam pasal 13 yang menyatakan bahwa: “Urusan
pemerintahan yang dapat dilimpahkan dari Pemerintah kepada
gubernur sebagai wakil pemerintah merupakan sebagian urusan
pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan
ditetapkan sebagai urusan Pemerintah”.
Bunyi pasal 13 diatas mengilustrasikan bahwa PP No. 7/2008
menggantungkan diri pada produk kebijakan lain yang secara khusus
mengatur tentang substansi kewenangan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam hal ini, ketentuan yang dimaksud adalah PP No. 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Ironisnya, PP ini tidak menyediakan penjelasan
tentang proses maupun kriteria pelimpahan urusan pemerintah kepada
gubernur selaku wakil pemerintah. Kondisi seperti inilah yang
menjelaskan mengapa praktek dekonsentrasi menjadi sangat lambat
dan tidak memiliki kejelasan hingga saat ini, bahkan cenderung
- 150 -
menimbulkan permasalahan administratif seperti pertanggungjawaban,
tumpang tindih urusan, hingga masalah inefisiensi anggaran
sebagaimana telah dipaparkan secara detail pada awal Bab ini.
Dalam perspektif kedepan, kejelasan kewenangan yang perlu
atau akan didekonsentrasikan kepada perangkat pusat di daerah
menjadi kebutuhan mendesak. Rincian kewenangan dekonsentrasi
tersebut sedapat mungkin meliputi urusan mutlak (kewenangan
absolut) pemerintah pusat yang terdiri dari enam bidang urusan (pasal
10 UU No. 32/2004), namun harus mencakup pula urusan-urusan
besama (kewenangan concurrent). Limitasi urusan dekonsentrasi yang
mencakup urusan absolut diperlukan untuk mencegah tumpang tindih
di antara instansi di tingkat pusat (kementerian dan lembaga) dengan
perangkatnya di daerah, sedangkan limitasi urusan dekonsentrasi yang
berhubungan dengan urusan bersama (concurrent) diperlukan untuk
menjamin tidak adanya tumpang tindih antara instansi pusat (sebagai
pihak yang melimpahkan urusan) dengan perangkat gubernur (sebagai
pihak yang menjalankan urusan yang dilimpahkan). Tanpa adanya
kejelasan dan limitasi urusan yang akan didekonsentrasikan (baik dari
urusan absolute maupun concurrent) tadi, maka efektivitas dan
efisiensi pemerintahan daerah tidak akan pernah terwujud secara
optimal.
C. Tinjauan Tentang Perangkat Dekonsentrasi
Studi awal tentang pemerintahan Provinsi (provincial
government) dan kewenangan yang melekat padanya diawali oleh
terbentuknya the British North America Act 1867 (BNA Act). UU yang
- 151 -
menjadi dasar lahirnya Negara Kanada ini membentuk 3 (tiga) provinsi,
yakni Nova Scotia, New Brunswick, dan Province of Canada. Dalam
bagian Pembukaan BNA Act dikatakan bahwa ketiga provinsi tadi
secara integral berada dibawah kontrol Kerajaan Inggris Raya dan
memiliki hukum dasar yang serupa dengan konstitusi Kerajaan
(federally united into One Dominion under the Crown of the United
Kingdom of Great Britain and Ireland with a constitution similar in
principle to that of the United Kingdom). (Bellamy, Pammet and Rowat,
1976).
Ketentuan diatas menyiratkan bahwa provinsi merupakan unit
pemerintahan yang sepenuhnya menjalankan tugas yang
diberikan/dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat, dan oleh karenanya
dikontrol sepenuhnya pula oleh Pusat. Meskipun provinsi diberikan
kewenangan-kewenangan otonom melalui Konstitusi Provinsi, namun
tetap mencerminkan representasi pemerintah Pusat. Dengan kata lain,
meskipun menjalankan fungsi desentralisasi, namun provinsi-provinsi
tersebut sekaligus juga mengimplementasikan fungsi dekonsentrasi.
Dalam wacana hubungan antara pemerintah Pusat dan
pemerintah Daerah, berbagai khazanah akademik menggambarkan
bahwa unit pemerintahan Provinsi (provincial government) sering
berfungsi sebagai unit penghubung (intermediate administrative
entity) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/Kota). Sebagai unit
intermediasi ini, Provinsi memiliki 2 (dua) posisi monopoli, yaitu
sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan kebijakan Pusat yang
menyangkut urusan kepemerintahan daerah, serta ”agen tunggal” yang
menyediakan seluruh informasi tentang daerah kepada Pusat (Schiavo-
- 152 -
Campo dan Sundaram, 2000).
Sebagai ilustrasi, Konstitusi Afrika Selatan membentuk tiga
“spheres” pemerintah (bukan “tingkat”), untuk menekankan aspek
kerjasama antar jurisdiksi yang saling melengkapi satu sama lain
(cooperative government). Aspek hirarkis antara Provinsi dengan
municipalities tetap ada dan terdapat di beberapa ketentuan dalam
UUD, namun terbatas pada sistim monitoring, pembinaan dan
supervisi. Provinsi merencanakan secara strategis, dan mendukung
proses perencanaan municipalities. Pasal 155 (7) UUD memberikan
hak baik kepada pemerintah nasional maupun pemerintah provinsi
untuk menetapkan legislasi dan tindakan administratif untuk menjamin
prestasi municipalities. Pemerintah provinsi diberikan hak untuk
mengintervensi dalam penyelenggaraan pemerintahan municipalities
agar standar pelayanan minimal tercapai dan mandat konstitutional
municipalities secara keseluruhan dipenuhi (GTZ-SfDM dan USAID-
PERFORM, 2003).
Ide dasar dari pemikiran para ahli seperti disebutkan diatas
adalah perlu adanya sharing kewenangan dan/atau tanggungjawab
antar level pemerintahan dalam bidang urusan tertentu.
Di Indonesia, dengan adanya perubahan bandul desentralisasi
semenjak tahun 1999, timbullah efek loncatan katak (leapfrogging
effect), yakni terjadinya transfer kewenangan dan sumberdaya pusat
langsung kepada kabupaten/kota. Pada saat yang sama, terjadi pula
transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari provinsi. Proses
inilah yang menjadikan fungsi dan peran provinsi menjadi tidak lagi
signifikan. Sebagai ilustrasi, pasal 38 UU No. 32/2004 hanya
- 153 -
memberikan tiga tugas/wewenang gubernur selaku wakil pemerintah,
yaitu koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan tugas pembantuan di daerah. Hal ini
menyiratkan bahwa fungsi atau peran gubernur (kepala pemerintahan
provinsi) menjadi berkurang atau mengalami efek trade-off dengan
bergulirnya otonomi luas. Dalam posisi yang melemah tadi, provinsi
relatif kehilangan pengaruh terhadap kabupaten/kota, baik dalam aspek
perencanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, dan evaluasi /
monitoring penyelenggaraan pemerintahan di daerah.
Kondisi ini diperberat dengan kenyataan bahwa perangkat
dekonsentrasi semenjak 1999 hanya dilaksanakan oleh gubernur,
sedangkan pada tahun sebelumnya berdasarkan UU No. 5/1974,
perangkat dekonsentrasi adalah pemerintahan wilayah yang terdiri dari
kepala wilayah (yang dirangkap oleh kepala daerah), serta kantor-
kantor wilayah sebagai kepanjangan kementerian di tingkat pusat.
Secara logika, tidaklah mungkin gubernur menjalankan tugas-tugas
dekonsentrasi seorang diri. Konsekuensinya, tugas-tugas
dekonsentrasi akhirnya dijalankan oleh dinas-dinas daerah atau
perangkat daerah lainnya.
Tentu saja, pelaksanaan tugas dekonsentrasi oleh perangkat
desentralisasi ini dapat menimbulkan permasalahan baru. Tidak
terintegrasinya fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi dapat
mengakibatkan timbulnya tumpang tindih, kekaburan, dan duplikasi
tugas. Selain itu, beban kerja perangkat daerah juga semakin besar, dan
ini akan menyebabkan tingkat efektivitas menjadi menurun. Masalah
ini belum termasuk persoalan administratif seperti siklus perencanaan
- 154 -
dekonsentrasi, model pelaporan dan pertanggungjawaban, dan
sebagainya. Oleh sebab itu, model kelembagaan dekonsentrasi yang
tepat, akan menentukan keberhasilan program dekonsentrasi tersebut.
Dengan kata lain, penataan kelembagaan dekonsentrasi semestinya
diintegrasikan dengan penataan kewenangan dan pengaturan aspek
penganggaran dekonsentrasi.
Secara historis, perangkat penyelenggara dekonsentrasi
memang berubah-ubah. Perubahan yang paling mendasar terjadi pada
periode UU No. 22/1999 dimana urusan pemerintahan yang bersifat
concurrent (dilaksanakan bersama-sama oleh berbagai tingkat
pemerintahan), tidak ada lagi perangkat pusat secara khusus yang
menjalankannya. Dalam hal ini, hanya gubernur-lah satu-satunya
perangkat dekonsentrasi di tingkap provinsi, sedangkan di
kabupaten/kota tidak ada satupun pejabat / instansi vertikalnya.
Secara lebih detail, perangkat dekonsentrasi yang menjalankan
kewenangan / urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dapat
digambarkan sebagai berikut:
Tabel 4.4. Perangkat Dekonsentrasi di Indonesia (1948-2004)
Dasar Hukum Perangkat Penyelenggara Dekonsentrai
UU No. 22/1948 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan
perangkat dekonsentrasi. Oleh arena pemerintahan daerah hanya diselenggarakan berdasarkan 2 asas,
yakni otonomi atau penyerahan penuh dan
medebewind atau penyerahan tidak penuh (Penjelasan
UU), maka tidak tergambar asas dekonsentrasi sama sekali.
Namun, Kepala Daerah yang merangkap sebagai
Kepala Dewan Pemerintah Daerah, selain
berkedudukan sebagai kepala daerah otonom,
- 155 -
berkedudukan juga selaku pejabat pemerintah Pusat.
Dalam fungsi ini, Kepala Daerah mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD. Ia berhak menahan
dijalankannya suatu keputusan kedua dewan apabila
dianggap bertentangan dengan kepentingan umum
atau peraturan dari pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi (pasal 36).
UU No. 1/1957 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat dekonsentrasi, dan tidak dikenal pula istilah
pemerintahan wilayah. Hal ini disebabkan UU ini menganut sistem otonomi riil, sehingga perumusan
mengenai urusan rumah tangga daerah bersifat umum.
Menurut penjelasan umum UU No. 1957/1, oleh
karena pertumbuhan dan dinamika kehidupan
masyarakat serta faktor-faktor yang terdapat didalam masyarakat itu sendiri tidak memungkinkan penetapan
secara tegas manakah yang merupakan urusan rumah
tangga daerah dan manakah yang termasuk urusan Pusat, maka pada asasnya tidak diadakan pembagian
kekuasaan (baca: kewenangan atau urusan) antara
Daerah dengan Pusat secara terperinci.
Secara implisit, prinsip pembagian kewenangan pusat
dan daerah dapat ditemukan dari ketentuan pasal 31 dan 38 sebagai berikut:
• Pasal 31 (ayat 1): Setiap daerah berhak mengatur
dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya.
• Pasal 38 (ayat 2): Sebagai pembatasan terhadap hak
itu ialah bahwa sesuatu daerah tidak boleh
mengatur pokok-pokok (onderwerpen) dan hal-hal (punten) yang telah diatur dalam peraturan
perundangan (wetelijk regeling) dari pemerintah
Pusat atau daerah yang lebih tinggi tingkatnya.
UU No. 18/1965 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat dekonsentrasi. Dalam penjelasan dinyatakan
bahwa “Tidak mungkin untuk menyusun perincian
secara limitatif tentang berbagai jenis urusan-urusan yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang
seragam, malahan perincian yang demikian akan tidak
sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat daerah
- 156 -
yang bersangkutan”.
Namun untuk menegaskan batas-batas kewenangan daerah, terdapat pengaturan sebagai berikut:
• Dalam kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan
kekuasaan diluar batas-batas wilayah daerahnya.
• Daerah tidak pula diperbolehkan mencampuri
urusan rumah tangga daerah lain, yang secara positif enumeratif telah ditentukan dalam UU
pembentukan sebagai tugas kewenangan pangkal,
dan urusan-urusan lain yang ditetapkan dalam PP atau Perda dari Daerah yang lebih tinggi
tingkatannya.
• Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak
diperbolehkan memasuki hal-hal yang termasuk
urusan rumah tangga daerah dibawahnya.
UU No. 5/1974 • Kepala Wilayah (psl. 1, 76-81)
• Instansi vertikal (psl. 1, 85)
UU No. 22/1999 • Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 9, 31)
• Perangkat pusat di daerah atau Instansi vertikal (psl.
1, 64)
• Dinas propinsi (psl. 63)
UU No. 32/2004 • Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 10, 37)
• Instansi vertikal (psl. 1)
Dari perbandingan material UU Pemerintahan Daerah (1948-
2004) diatas, maka kondisi umum perangkat dekonsentrasi dapat
dijelaskan dan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) periode sebagai
berikut:
1. Periode pertama: sebelum berlakunya UU No. 5/1974 (1948-1974).
Para periode ini, secara umum dapat disimak adanya kesamaan
paradigma berpikir tentang pemerintahan daerah diantara UU No.
22/1948, UU No. 1/1957, dan UU No. 18/1965. Kesamaan antara
lain bahwa fungsi dekonsentrasi belum terdefinisikan dengan jelas
- 157 -
dan konkrit, karena memang belum dilakukan pembagian
kekuasaan / kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Selain itu,
meskipun kepala daerah juga berkedudukan selaku “wakil
pemerintah” atau membawa misi dan kepentingan pusat, namun
rincian tugas-tugas selaku wakil pemerintah tadi belum dilakukan.
Fungsi yang dijalankan selaku pejabat pemerintah pusat, lebih
banyak menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan umum, misalnya
dalam rangka pengawasan.
2. Periode kedua: masa berlakunya UU No. 5/1974 (1974-1999).
Pada masa berlakunya UU No. 5/1974, penyelenggaraan
dekonsentrasi dapat dikatakan optimal dilihat dari perangkat yang
tersedia di tingkat daerah. Persoalannya, jumlah instansi vertikal
terlalu banyak, sedangkan rincian kewenangan dekonsentrasi juga
belum diidentifikasi secara limitatif. Situasi surplus kelembagaan
seperti ini jelas dapat menimbulkan inefisiensi penggunaan sumber
daya (khususnya aspek kepegawaian dan keuangan), disamping
berpotensi menimbulkan problem koordinasi dengan perangkat
pemerintah daerah.
3. Periode ketiga: pasca penggantian UU No. 5/1974 (1999-sekarang).
Adapun pada masa UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004,
perangkat dekonsentrasi menjadi sangat sedikit. Instansi vertikal
yang masih dipertahankan adalah instansi yang menjalankan
urusan mutlak pemerintah, sedang untuk urusan bersama
(concurrent), hanya ada Gubernur selaku wakil pemerintah yang
menjadi perangkat dekonsentrasi. Jika pada masa sebelumnya
terjadi surplus instansi vertikal, maka semenjak tahun 1999 justru
- 158 -
menjadi defisit perangkat dekonsentrasi. Kondisi defisit
kelembagaan ini juga menimbulkan persoalan baru, karena
gubernur mau tidak mau harus menitipkan urusan dekonsentrasi
kepada perangkat desentralisasi. Persoalan menjadi semakin pelik
ketika urusan dekonsentrasi ternyata tidak diterima perangkat
daerah dari gubernur, tetapi langsung dari kementerian / lembaga
di tingkat pusat.
Tentang kedudukan gubernur selaku perangkat dekonsentrasi ini,
Prasojo (2008) menyimpulkan bahwa otonomi daerah berdasarkan
UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 telah menyebabkan
fragmentasi administrasi (fragmented administration) yang
berlebihan di kabupaten/kota. Ketentuan pasal 4 UU No. 22/1999
yang menyebutkan tidak adanya hirarki antara propinsi dan
kabupaten/kota telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi
Gubernur. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,
pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan di kabupaten/kota. Hubungan antara pemerintah
kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui
gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul.
Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan
pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat
Propinsi. Pada sisi lainnya batas-batas budaya di level
kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang
mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No.
32/2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah seperti itu,
ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang
- 159 -
terlanjur sudah terbentuk.
Dari ketiga pembabakan waktu diatas dapat disimpulkan
bahwa fungsi dan kewenangan dekonsentrasi sepanjang sejarah
pemerintahan RI sesungguhnya belum berjalan sepenuhnya.
Dekonsentrasi secara faktual masih menjadi komplemen atau
pelengkap dari asas desentralisasi. Dalam hal ini, dari berbagai UU
Pemerintahan Daerah yang ada, hanya UU No. 18/1965 yang berani
secara tegas menyebutkan bahwa dekonsentrasi adalah komplemen
dari desentralisasi. Keseriusan pemerintah untuk menjalankan fungsi
dekonsentrasi ini sangat lemah, baik dilihat dari ketiadaan peraturan
perundangan yang mendukungnya maupun kekurangjelasan
mekanisme penganggaran beserta pertanggungjawabannya. Uniknya,
meskipun kebijakan pemerintah dari masa ke masa merefleksikan
bahwa dekonsentrasi lebih merupakan pelengkap, namun dalam
realitanya peran dan intervensi pemerintah pusat masih cukup dominan
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
160
BAB V
KONTEKS DEKONSENTRASI DALAM PEMBANGUNAN
BIDANG SOSIAL DAN PEMBANGUNAN DAERAH
A. Pembangunan Kesejahteraan Sosial
Sosial adalah salah satu bidang pembangunan yang saat ini
diselenggarakan oleh Kementerian Sosial (untuk selanjutnya disebut
Kemensos). Pembangunan bidang sosial memiliki acuan pada
Konstitusi, yakni pasal 34 UUD 1945 yang mengamanatkan negara
untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Fakir miskin dan
anak terlantar itu adalah dua diantara 26 kategori PMKS (Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial).1 Meskipun dalam Konstitusi hanya
1 PMKS adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang
karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi
sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik jasmani,
rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar.
Kategori PMKS secara lengkap adalah: 1) Anak balita terlantar, misalnya berasal
dari keluarga sangat miskin, menderita gizi buruk, atau kehilangan hak asuh dari
orang tua; 2) Anak terlantar, misalnya karena dilalaikan oleh orang tuanya atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya; 3) Anak yang berhadapan dengan hukum,
misalnya sebagai tersangka atau terpidana; 4) Anak jalanan, yang menghabiskan
waktunya ditempat-tempat umum untuk mencari nafkah; 5) Anak dengan
kedisabilitasan, baik fisik maupun mental; 6) Anak yang menjadi korban tindak
kekerasan atau diperlakukan salah, seperti dipaksa bekerja, dianiaya, atau
mendapat pelecehan seksual; 7) Anak yang memerlukan perlindungan khusus,
misalnya sebagai korban perdagangan manusia, kelompok minoritas dan terisolasi,
berada dalam lingkungan yang diskriminatif, dan seterusnya; 8) Lanjut usia
terlantar; 9) Penyandang disabilitas; 10) Tuna susila; 11) Gelandangan; 12)
Pengemis; 13) Pemulung; 14) Kelompok minoritas; 15) Bekas warga binaan
Lembaga pemasyarakatan; 16) Orang dengan HIV/AIDS (ODHA); 17) Korban penyalahgunaan NAPZA; 18) Korban trafficking; 19) Korban tindak kekerasan;
20) Pekerja migran bermasalah sosial; 21) Korban bencana alam; 22) Korban
bencana sosial; 23) Perempuan rawan sosial ekonomi; 24) Fakir miskin; 25)
Keluarga bermasalah sosial psikologis; dan 26) Komunitas adat terpencil.
161
disebutkan secara eksplisit dua kategori PMKS, namun Kementerian
Sosial juga menyelenggarakan program pembangunan kesejahteraan
sosial bagi seluruh kategori PMKS yang ada.
Pembangunan bidang sosial sendiri menjadi sangat strategis
dan mengandung urgensi sangat tinggi mengingat permasalahan
bidang sosial yang sangat kompleks dan cenderung muncul setiap
tahunnya. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial Kemensos, pada tahun 2008 teridentifikasi
jumlah PMKS sebagai berikut:
Tabel 5.1. Jumlah PMKS Tahun 2008
Kategori Jumlah
Kategori Jumlah
Anak Balita
Terlantar
299.127 Penyalahgunaan
Napza
80.260
Anak Terlantar 2.250.152 Penderita ODHA 11.483
Anak Jalanan 109.454 Tuna Susila 63.661
Anak Nakal 198.578 Pengemis 35.057
Lanjut Usia
Terlantar
1.644.002 Gelandangan 25.169
Sumber: Kementerian Sosial (2014, diolah)
Sayangnya, tidak tersedia data secara time-series sehingga
dapat dilihat trend peningkatan atau penurunan dari masing-masing
kategori PMKS. Meskipun demikian, data 2008 tersebut memberi
Terhadap ke-26 jenis PMKS tersebut, Bappenas mengusulkan untuk dilakukan
penataan dengan mengintegrasikan beberapa jenis yang serupa, sehingga secara
keseluruhan hanya ada 8 (delapan) kategori PMKS, yakni: 1) penduduk terlantar,
2) penduduk penyandang disabilitas, 3) fakir miskin (penduduk miskin terdata &
berdomisili tetap), 4) penduduk miskin yang tidak berdomisili tetap (homeless), 5) masyarakat adat, 6) korban bencana, 7) korban kekerasan, eksploitasi dan
perdagangan manusia, dan 8) penduduk termarjinalkan (Direktur Perlindungan dan
Kesejahteraan Bappenas, Program Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2015
dan RPJMN 2015 – 2019, Mei 2014)
162
ilustrasi tentang beratnya permasalahan yang harus diatasi, dan
perlunya sinergi dari instansi pemerintah yang lain baik di tingkat pusat
maupun daerah. Bahkan jika dikaitkan dengan kemampuan pemerintah
(cq. Kemensos) dalam melayani PMKS, tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa PMKS semestinya dijadikan agenda kebijakan
prioritas nasional. Data dibawah ini menunjukkan besarnya gap antara
masalah yang dihadapi dengan kapasitas pemerintah untuk melayani.
Tabel 5.2. Jumlah anak bermasalah kesejahteraan sosial yang telah
dilayani (2005-2009)
Jenis Masalah 2005 2006 2007 2008 2009
Anak Balita Terlantar
250 250 500 700 1.024
Anak Terlantar
• Dalam asuhan
keluarga
• Dalam panti
65.394
145.000
64.894
145.000
62.200
145.000
60.200
145.000
4.100
145.000
Anak berhadapan
dengan hukum 11.080 11.770 8.340 5.900 318
Anak Jalanan 46.800 46.800 21.700 10.400 12.784
Anak dengan kecacatan
6.065 6.065 6.035 6.000 6.080
Jumlah 274.589 274.779 243.775 228.200 169.306
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos (dalam
Renstra Kemensos 2010-2014)
Tabel diatas memberi gambaran bahwa jangkauan pelayanan
pemerintah dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan. Tentu
saja ini harus menjadi peringatan dini bahwa apabila tidak ada
perbaikan kebijakan penanganan PMKS yang signifikan, maka sangat
mungkin persoalan sosial akan semakin membesar pada masa
mendatang. Komitmen pemerintah untuk mengalokasikan anggaran
163
yang memadai serta sinergi berbagai instansi terkait akan sangat
menentukan keberhasilan penanganan masalah-masalah sosial.
Mengingat permasalahan yang begitu besar, maka dalam
rangka menjabarkan amanat UUD 1945 untuk memelihara warga
negara yang memiliki masalah sosial, disusunlah UU Nomor 11 Tahun
2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, dengan tujuan untuk mempercepat
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara
agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga
dapat melakukan fungsi sosialnya. Dengan mengacu pada amanat UU
No. 11/2009 inilah, Kemensos kemudian merumuskan visi dalam
Rencana Strategis 2010-2014 yakni “Terwujudnya Kesejahteraan
Sosial Masyarakat”. Lewat visi ini ingin diwujudkan suatu perubahan
dari masyarakat yang masih berada dalam kategori PMKS menjadi
berkesejahteraan sosial pada tahun 2014, sesuai dengan target RPJMN
2010-2014. Selanjutnya visi diatas dijabarkan melalui perumusan misi
sebagai berikut:
• Meningkatkan aksesibilitas perlindungan sosial untuk
menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan sosial,
pemberdayaan sosial, dan jaminan kesejahteraan sosial bagi PMKS.
• Mengembangkan perlindungan dan jaminan sosial bagi
PMKS.
• Meningkatkan profesionalisme penyelenggaraan
perlindungan sosial dalam bentuk bantuan sosial, rehabilitasi, pemberdayaan, dan jaminan sebagai metode
penanggulangan kemiskinan.
• Meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial dalam
perlindungan, jaminan, pemberdayaan, rehabilitasi, dan penanggulangan kemiskinan.
• Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai kepahlawanan,
keperintisan, dan kesetiakawanan sosial untuk menjamin
164
keberlanjutan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaran kesejahteraan sosial.
• Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Secara operasional, visi dan misi tadi dijalankan melalui
program dan sub program sebagai berikut:
Tabel 5.3. Program dan Sub-Program Kementerian Sosial
Program Sub Program
Rehabilitasi Sosial • Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak
• Pelayanan Sosial Lanjut Usia
• Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang
Cacat
• Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Penyalahgunaan NAPZA
• Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial
Perlindungan dan
Jaminan Sosial • Bantuan Sosial Korban Bencana Alam
• Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial
• Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan
Pekerja Migran
• Pengumpulan dan Pengelolaan Sumber Dana
Sosial
• Jaminan Kesejahteraan Sosial
• Bantuan Tunai Bersyarat / Program Keluarga
Harapan (PKH)
Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan
Kemiskinan
• Penanggulangan Kemiskinan (Perkotaan dan
Perdesaan)
• Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
• Pemberdayaan Keluarga
• Pemberdayaan Kelembagaan Sosial
Masyarakat
• Pelestarian Kepahlawanan, Keerintisan, dan
Kesetiakawanan Sosial
165
Diklat dan Litbang
Kesejahteraan Sosial • Pendidikan Tinggi Kesejahteraan Sosial
• Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
• Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
(I-VI)
• Penelitian Kebijakan Pembangunan
Kesejahteraan Sosial
• Penelitian Terapan Pembangunan
Kesejahteraan Sosial
• Pengembangan Sistem Informasi
Kesejahteraan Sosial
• Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat
• Dukungan Manajemen dan Tugas Teknis Lain
Badan Diklat dan Penelitian Kesejahteraan
Sosial
Dukungan
Manajemen dan
Pelaksanaan Teknis Lain Kemensos
• Perencanaan dan Penganggaran
• Tata Kelola Keuangan
• Tata Kelola Organisasi dan SDM
• Hubungan Masyarakat
• Peningkatan Sarana dan Prasarana
• Penyusunan Perundang-Undangan dan
Bantuan Hukum
• Penyuluhan Sosial
Peningkatan
Pengawa-san dan Akuntabilitas
Aparatur Negara
• Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas
Aparatur Negara
Adapun sasaran strategis beserta IKU (Indikator Kinerja
Utama) dari program-program tersebut dapat diuraikan pada tabel
dibawah ini.
Tabel 5.4. Sasaran Strategis, IKU, dan Keterkaitan Program
Kementerian Sosial
Sasaran Strategis Indikator Kinerja Utama Keterkaitan
Program
1 Meningkatnya kesejahteraan
sosial fakir
miskin
a. Jumlah keluarga fakir miskin yang meningkat
kemampuannya dalam
pemenuhan kebutuhan dasar
Program Pemberdayaan
Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan
166
b. Jumlah fakir miskin yang
telah mengakses fasilitas pelayanan dasar.
2 Meningkatnya
partisipasi
masyarakat dalam penyelenggaraan
kesejahteraan
soaial
a. Jumlah LKS (Lembaga
Kesejahteraan Sosial)
yang telah menyelenggarakan
kesejahteraab sosial.
Program
Pemberdayaan
Sosial dan Penanggulangan
Kemiskinan
b. Jumlah TKS (Tenaga
Kesejahteraan Sosial) berbasis masyarakat
yang telah
menyelenggarakan kesejahteraab sosial.
3 Meningkatnya
pelayanan,
perlindungan, dan rehabilitasi sosial
menuju
kemandirian.
a. Jumlah penerima
manfaat yang memiliki
kemampuan dasar melakukan aktivitas
sehari-hari.
Program
Rehabilitasi
Sosial
b. Jumlah penerima manfaat yang terpenuhi
kebutuhan dasarnya.
4 Meningkatnya
kemampuan masyarakat dalam
mengurangi
resiko bencana
a. Jumlah masyarakat yang
siaga dalam menghadapi bencana
Program
perlindungan dan Jaminan Sosial
b. Jumlah korban bencana
yang terlindungi
kebutuhan dasarnya dalam kondisi darurat
c. Jumlah pekerja migran
yang terlindungi hak dasarnya
5 Meningkatnya
kualitas
penyelenggaraan kesejahteraan
sosial
a. Jumlah PMKS yang telah
terverifikasi
Program
Pendidikan,
Pelatihan, Penelitian, dan
Pengembangan
Kesejahteraan Sosial
b. Persentase LKS yang terakreditasi
c. Persentase SDM
Kesejahteraan Sosial
yang tersertifikasi kompetensi
penyelenggaraan
kesejahteraan sosial
167
6 Meningkatnya
pengawasan internal bidang
kesejahteraan
sosial yg
transparan dan akuntabel
Opiki BPK atas laporan
keuangan Kemensos.
Program
Pengawasan dan Peningkatan
Akuntabilitas
Aparatur
7 Meningkatnya
efisiensi,
efektivitas manajemen
kesejahteraan
sosial
Persentase penilaian usulan
roadmap reformasi
birokrasi.
Program
Dukungan
Manajemen dan Pelaksanaan
Tugas Teknis
lainnya
Sumber: Renstra Kemensos 2010-2014
Dari keenam program tersebut, empat diantaranya
diselenggarakan baik oleh Kemensos sendiri secara terpusat maupun
melalui skema dekonsentrasi, yakni program Rehabilitasi Sosial,
Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pemberdayaan Sosial, dan
Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Teknis Lain Kemensos.
Sedangkan program Diklat dan Litbang Kesejahteraan Sosial serta
program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara
dijalankan secara mandiri oleh Kemensos melalui Badan Pendidikan
dan Penelitian Kesejahteraan Sosial serta Inspektorat Jenderal.
Oleh karena keempat program tadi dijalankan secara
“konkuren” baik oleh Kemensos maupun oleh Gubernur selaku wakil
pemerintah, maka adanya tumpang tindih antara program Kemensos
dengan program dekonsentrasi sosial menjadi tidak terhindarkan.
Selain itu, karena program Kemensos dan program dekonsentrasi
sosial juga sangat mirip dengan program-program pembangunan
bidang sosial yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial di provinsi, maka
168
tumpang tindih antara program dan anggaran Kemensos dengan
program dan anggaran Dinas Sosial juga sulit diabaikan.
Namun tumpang tindih dalam program tidak selalu berarti
tumpang tindih dalam kegiatan dan alokasi anggaran, karena dalam
suatu program dapat terdiri dari beberapa kegiatan. Kalaupun
kegiatannya sama, juga tidak selalu overlap jika kegiatan itu terdiri dari
beberapa paket atau satuan yang berbeda. Sebagai contoh, sama-sama
kegiatan bimtek namun jika jumlah bimtek itu lebih dari satu bahkan
dilaksanakan untuk segmen masyarakat yang berbeda, maka tidak
dapat dikatakan telah terjadi tumpang tindih atau inefisiensi. Untuk
analisis lebih lanjut tentang potensi tumpang tindih ini akan dijelaskan
lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
B. Prioritas Pembangunan Daerah di Kalimantan Tengah
Provinsi Kalimantan Tengah terbentuk pada tanggal 2 Juli 1958
berdasarkan UU Nomor 21 tahun 1958, dengan luas wilayah kurang
lebih 154.267 km2, atau merupakan merupakan provinsi terluas ketiga
di Indonesia setelah Provinsi Papua dan Kalimantan Timur. Dari luas
wilayah tadi, 82,16 persen merupakan kawasan kehutanan, dan sisanya
non-kehutanan. Secara administratif, provinsi ini terbagi menjadi 13
kabupaten dan 1 kota, serta 129 kecamatan, 1.343 desa dan 131
kelurahan.
Dari aspek demografi, berdasarkan Sensus Penduduk 2010,
jumlah penduduk Kalteng adalah 2.202.599 orang, terdiri atas
1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan, dengan jumlah kepala
keluarga (KK) sebanyak 550.650. Persebaran penduduk Kalteng
169
belum merata dan masih bertumpu pada beberapa kabupaten induk.
Kotawaringin Timur, Kapuas dan Kotawaringin Barat adalah tiga
kabupaten dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk
terbanyak yang masing-masing berjumlah 373.842 orang, 329.406
orang, dan 235.274 orang. Kabupaten Katingan merupakan Kabupaten
pemekaran dengan jumlah penduduk terbanyak diantara kabupaten
pemekaran lainnya di Kalimantan Tengah yakni sebanyak 141.350
orang. Tingkat kepadatan penduduk Kalteng adalah sebanyak 14 orang
per kilometer persegi. Kota Palangka Raya sebagai ibukota provinsi
memiliki tingkat kepadatan penduduk paling tinggi, yakni sebanyak 82
orang per kilometer persegi sedangkan yang paling rendah adalah
Murung Raya yakni sebanyak 4 orang per kilometer persegi (RPJMD
Kalteng 2010-2015).
Dilihat dari potensi perekonomian yang menjadi unggulan,
Kalteng mempunyai nilai Location Quotient (LQ) cukup besar yaitu
sektor pertanian, jasa-jasa serta pengangkutan dan komunikasi. Hal ini
berarti bahwa tiga sektor tersebut merupakan sektor unggulan yang
dimiliki Provinsi Kalimantan Tengah untuk dapat dioptimalkan
pengelolaannya. Terkait dengan potensi sektoral tersebut, komposisi
angkatan kerja menurut kelompok umur di Kalteng didominasi
penduduk yang berumur 20 sampai dengan 44 tahun. Sebagian besar
(60%) penduduk berumur 15 tahun keatas bekerja di sektor pertanian,
sedangkan sektor terkecil penyerapannya adalah sektor keuangan 0,74
persen. Sayangnya, tingkat pendidikan SDM pekerja relatif masih
rendah. Hampir 78,35 persen penduduk yang bekerja diberbagai
sektor, memiliki tingkat pendidikan dasar yaitu tidak/belum tamat
170
SD/sederajat hingga tamat SLTP/sederajat (RPJMD Kalteng 2010-
2015).
Dalam skala regional, Kalimantan Tengah menghadapi
tantangan besar untuk meningkatkan derajat ekonomi kawasan dengan
tetap menjaga isu tentang kelestarian lingkungan hidup. Dengan
wilayah yang secara umum masih didominasi hutan, dan ditambah
dengan kondisi geografi dan persebaran penduduk yang terpencar,
telah mengakibatkan kondisi-kondisi seperti adanya kesenjangan
pembangunan antarwilayah. degradasi sumber daya alam dan
lingkungan hidup dan mitigasi bencana, masih tingginya kebutuhan
investasi di sektor strategis di wilayah pusat-pusat pertumbuhan, serta
masih belum optimalnya perkembangan produktivitas dan pendapatan
masyarakat di sektor pertanian dalam arti luas (termasuk kehutanan).
Itulah sebabnya, pengembangan ekonomi berbasis hutan menjadi
sebuah keniscayaan.
Selain itu, sebagai wilayah terluas ketiga se Indonesia serta
dengan kondisi alam yang relatif masih berhutan, kondisi infrastruktur
dan aksesibilitas antarkawasan di Kalimantan Tengah menjadi isu
pokok pembangunan dalam beberapa tahun ke depan. Hingga saat ini,
Kalimantan Tengah menghadapi problem infrastruktur seperti
terbatasnya kuantitas dan kualitas prasarana perhubungan, lemahnya
integrasi jaringan infrastruktur multimoda, lemahnya aksesibilitas
wilayah-wilayah pedalaman, serta masih banyaknya infrastruktur
strategis yang harus dibangun dan dikembangkan untuk membuka
keterisolasian wilayah. Itulah sebabnya, dibutuhkan dana yang tidak
sedikit dalam rangka membangun kondisi infrastruktur dan
171
aksesibilitas antarkawasan tersebut. Jika problem infrastruktur ini
dapat diminimalisir, akan menimbulkan multiplier effect dalam bentuk
pertumbuhan ekonomi dan percepatan pembangunan wilayah secara
lebih optimal.
Rendahnya dukungan infrastruktur dalam pembangunan
daerah, secara langsung berimplikasi pada lemahnya pelayanan publik,
yang antara lain terlihat dari beberapa fenomena seperti: 1) belum
meratanya jangkauan pelayanan dasar pendidikan dan rendahnya mutu
pelayanan pendidikan di daerah perdesaan dan pedalaman di Kalteng;
2) belum optimalnya cakupan layanan kesehatandasar dan kualitas
pelayanan kesehatan di pusat-pusat yankesmas di daerah; 3) belum
optimalnya cakupan layanan kesejahteraan sosial dan kinerja
pelayanan sosial di pusat-pusat pelayanannya; 4) belum optimalnya
cakupan layanan pendidikan dan kualitas pembelajaran di pusat-pusat
pendidikan di daerah; serta 5) belum meratanya jangkauan pelayanan
kesehatan dasar dan rendahnya mutu pelayanan kesehatan di daerah
perdesaan dan pedalaman di Kalteng (RPJMD Kalteng 2010-2015).
Disamping permasalahan diatas, Kalimantan Tengah juga
menghadapi masalah mendasar yakni masih tingginya jumlah desa
tertinggal (895 desa) atau 61,81 persen dengan kondisi terbatas bidang
infrastruktur, akses pendidikan, akses kesehatan, perekonomian rakyat
yang belum berkembang serta kelembagaan desa dan kelembagaan
masyarakat yang masih rendah.
Dengan memperhatikan berbagai potensi dan permasalahan
diatas, maka pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mencoba
melakukan penajaman program dan kebijakan pembangunan daerah
172
dengan merumuskan visi jangka menengah yaitu: “Meneruskan dan
Menuntaskan Pembangunan Kalimantan Tengah agar Rakyat Lebih
Sejahtera dan Bermartabat Demi Kejayaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Visi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam tujuh
pernyataan misi sebagai berikut:
1. Sinergi dan Harmonisasi Pembangunan Kewilayahan
Kalimantan Tengah melalui pemantapan Rencana
Penataan Ruang Provinsi (RTRWP) secara berkelanjutan dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat dan
lingkungan hidup.
2. Menciptakan pendidikan berkualitas dan terakses serta merata.
3. Menjamin dan meningkatkan kesehatan masyarakat yang
merata dan mudah dijangkau.
4. Pembangunan dan peningkatan infrastruktur yang menjangkau kantong-kantong pemukiman penduduk dan
memfasilitasi pembangunan ekonomi rakyat.
5. Pengembangan dan penguatan ekonomi Kerakyatan yang saling bersinergi dan berkelanjutan.
6. Pelembagaan sistem penguatan kapasitas SDM
masyarakat dan pemerintah. 7. Terciptanya kerukunan dan kedamaian serta sinergitas dan
harmonisasi kehidupan bermasyarakat di Kalimantan
Tengah.
Secara tidak langsung, pernyataan misi diatas sudah
menggambarkan prioritas kebijakan pembangunan di Kalimantan
Tengah. Hal ini diperkuat pula dengan tujuan strategis yang ditetapkan
dalam RPJMD 2010-2015 dan ingin dicapai sampai dengan akhir tahun
2015 sebagai berikut:
1. Revitalisasi dan terciptanya cluster-cluster ekonomi
unggulan di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.
2. Terselenggaranya penataan ruang yang memperhatikan keberlanjutan sumber daya wilayah.
3. Terselenggaranya sistem pendidikan yang bermutu dan
terjangkau.
173
4. Tersedianya akses infrastruktur pendidikan hingga ke
pelosok wilayah. 5. Meningkatnya sistem layanan kesehatan dasar yang
bermutu dan terjangkau.
6. Tersedianya akses infrastruktur kesehatan dasar hingga ke
pelosok wilayah. 7. Terwujudnya sistem dan jaringan transportasi,
komunikasi, dan informatika yang mendukung aktifitas
ekonomi kerakyatan. 8. Tersedianya infrastruktur pengairan yang mendukung
ketahanan pangan.
9. Tersedianya pemanfaatan sumber energi untuk masyarakat.
10. Terselenggaranya sistem perekonomian kerakyatan yang
terpadu.
11. Terselenggaranya kemitraan usaha antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi skala besar.
12. Meningkatnya daya saing masyarakat.
13. Meningkatnya kapasitas dan kinerja aparatur pemerintah. 14. Terwujudnya soliditas antar kelompok masyarakat.
Ketujuh misi dan ke-14 tujuan strategis diatas selanjutnya
diturunkan dalam prioritas pembangunan daerah pada periode 2011-
2012, 2013, 2014, dan 2015. Dalam setiap periode tersebut dapat
dilihat bahwa meskipun ada sedikit perbedaan prioritas untuk setiap
periode, terutama pada periode 2011-2012, namun tidak satupun yang
memberi titik berat pada aspek kesejahteraan sosial. 2 Pembangunan
pusat-pusat ekonomi unggulan serta pembangunan sektor pendidikan
dan kesehatan merupakan sektor yang paling mendapatkan perhatian
2 Dikaitkan dengan program dekonsentrasi, Gubernur Kalimanten Tengah, Agustin
Teras Narang memberi pernyataan bahwa penetapan program dekonsentrasi harus berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) daerah. Namun faktanya, sektor-
sektor yang banyak menggunakan APBN seperti PU, Pendidikan, dan Kesehatan
justru merupakan sektor yang paling banyak “melompat”, tidak melalui gubernur.
Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah (9 Oktober 2014).
174
selama kurun waktu lima tahun, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel
dibawah ini.
Tabel 5.5. Lima Prioritas Tertinggi Pembangunan Provinsi
Kalimantan Tengah 2011-2015
Prioritas Pembangunan Prov. Kalteng Periode 2011-2015
2011-2012 2013 2014 2015
1. Penyiapan tata ruang
yang
berdimensi ekonomi
unggulan
daerah
1. Pengembangan pusat-
pusat
ekonomi unggulan
daerah
(lanjutan)
1. Pengembangan pusat-
pusat
ekonomi unggulan
daerah
(lanjutan)
1. Pengembangan pusat-
pusat
ekonomi unggulan
daerah
(lanjutan)
2. Pengembangan pusat-
pusat
ekonomi
unggulan daerah
2. Pengembangan sarana dan
prasarana
bagi tenaga
pendidik dan kependidikan
(lanjutan)
2. Pengembangan sarana dan
prasarana
bagi tenaga
pendidik dan kependidikan
(lanjutan)
2. Pengembangan sarana dan
prasarana
bagi tenaga
pendidik dan kependidikan
(lanjutan)
3. Pengembangan sarana dan
prasarana
bagi tenaga
pendidik dan kependidikan
3. Peningkatan kesejahteraan
dan kualitas
tenaga
pendidik dan kependidikan
(lanjutan)
3. Peningkatan kesejahteraan
dan kualitas
tenaga
pendidik dan kependidikan
(lanjutan)
3. Peningkatan kesejahteraan
dan kualitas
tenaga
pendidik dan kependidikan
(lanjutan)
4. Peningkatan kesejahteraan
dan kualitas
tenaga
pendidik dan kependidikan
4. Penyusunan dan
penyempurna
an regulasi
dan penyelenggar
aan sistem
pendidikan & kesehatan
(lanjutan)
4. Penyelenggaraan sistem
pendidikan
dan
kesehatan (lanjutan)
4. Penyelenggaraan sistem
pendidikan
dan
kesehatan (lanjutan)
5. Penyusunan
dan penyempurna
5. Penyediaan
sarana-prasarana
5. Penyediaan
sarana- prasarana dan
5. Penyediaan
sarana-prasarana dan
175
an regulasi
dan penyelenggar
aan sistem
pendidikan
dan kesehatan
dan
infrastruktur pendidikan
dan
kesehatan
(lanjutan)
infrastruktur
pendidikan dan
kesehatan
(lanjutan)
infrastruktur
pendidikan dan
kesehatan
(lanjutan)
Sumber: RPJMD Provinsi Kalimantan Tengah 2010-2015 (diolah)
Peta prioritas pembangunan secara langsung menunjukkan peta
pengalokasian anggaran. Maknanya, semakin tinggi prioritas sebuah
sektor pembangunan, maka semakin besar pula alokasi anggaran yang
diberikan. Dalam hal ini, mengingat sektor sosial tidak mendapat
prioritas, maka konsekuensi logisnya adalah tidak memperoleh alokasi
anggaran yang signifikan, sehingga wajar jika ada harapan yang tinggi
untuk mendapatkan dukungan dari pusat melalui sekama dana
dekonsentrasi.
C. Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Kalimantan Tengah
Secara umum, pembangunan kesejahteraan sosial di
Kalimantan Tengah menghadapi tantangan dan permasalahan yang
masih fundamental, antara lain: 1) masih tingginya angka kematian
bayi, balita dan ibu melahirkan serta tingginya proporsi balita kurang
gizi; 2) masih tingginya kesenjangan status kesehatan dan akses
terhadap pelayanan kesehatan antar wilayah, gender dan kelompok
pendapatan; 3) masih terjadinya beban ganda penyakit yaitu pola
penyakit yang diderita masyarakat sebagian besar adalah penyakit
infeksi menular; serta 4) masih perlunya ditingkatkan kualitas
kependudukan dan ketenagakerjaan, keluarga kecil berkualitas serta
pemuda dan olah raga di seluruh wilayah Kalimantan Tengah.
176
Meskipun permasalahan yang ada masih cukup menonjol,
namun kinerja pembangunan kesejahteraan sosial di Kalteng dapat
dikatakan menunjukkan peningkatan yang berarti dari waktu ke waktu.
Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin di provinsi ini
menurun sebesar 61.317 orang, yakni dari 292.118 orang pada tahun
2000 menjadi 230.801 orang pada tahun 2005, atau menurun dari 16,31
persen pada tahun 2000 menjadi 10,73 persen pada tahun 2005. Namun
pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang
signifikan menjadi 257.089 orang atau 13,42 persen. Hal ini
disebabkan adanya kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005.
Pada bulan Maret 2007, terjadi penurunan kembali jumlah penduduk
miskin menjadi 210.327 orang (9,38 persen), kemudian Maret 2008
menjadi 199.991 orang (8,71 persen), dan pada bulan Maret 2009
jumlah penduduk miskin menjadi 165.854 (7,02 persen). Pada bulan
Maret 2010, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin menjadi
164.221 orang atau 6,77 persen, terdiri dari penduduk perkotaan
sebesar 33.229 orang dan perdesaan 130.992 orang. Ini berarti selama
periode Maret 2009-2010 jumlah penduduk miskin turun sebesar 1.633
orang (RPJMD Kalteng 2010-2015). Adapun berdasarkan data terbaru
BPS Kalimantan Tengah, jumlah dan persebaran penduduk miskin di
Kalimantan Tengah pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:
Tabel 5.6. Kemiskinan di Kalimantan Tengah
Kabupaten/Kota
Garis
Kemiskinan
(Rp/kapita/bln)
Persentase
Penduduk
Miskin
Penduduk
Miskin
(000)
1. Kotawaringin Barat 268 998 5,64 14,10
2. Kotawaringin Timur 277 586 6,91 26,87
3. Kapuas 217 237 6,11 19,96
177
4. Barito Selatan 290 543 7,26 9,08
5. Barito Utara 296 658 6,10 7,47
6. Sukamara 305 940 5,37 2,55
7. Lamandau 279 652 4,66 3,12
8. Seruyan 283 282 7,92 12,01
9. Katingan 283 362 6,10 9,18
10.Pulang Pisau 269 463 5,25 6,34
11.Gunung Mas 277 660 6,56 6,62
12.Barito Timur 321 334 8,53 8,70
13.Murung Raya 311 328 5,78 5,87
14.Palangka Raya 247 901 4,24 10,03
Kalimantan Tengah 277 407 6,19 141,90
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah 2014
Permasalahan kesejahteraan sosial lain yang dihadapi selain
kemiskinan adalah rendahnya partisipasi perempuan dan anak dalam
pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktek
diskriminasi terhadap perempuan. Berdasarkan data SUSENAS tahun
2009, partisipasi perempuan di dibidang pendidikan juga masih sangat
rendah, yakni sebesar 4,20 persen yang tidak sekolah, 34,06 persen
berpendidikan SD, 18.85 persen setingkat SMP, 15,29 persen setingkat
SMA, dan hanya 4,14 yang mengenyam pendidikan tinggi (diploma
maupun sarjana). Angka partisipasi laki-laki dalam pendidikan masih
lebih baik, dimana 1,75 persen tidak sekolah, 33,46 persen
berpendidikan SD, 20,46 persen menamatkan SMP, 18,73 persen
menempuh pendidikan setaraf SMA, dan 4,17 persen yang mendapat
kesempatan kuliah di perguruan tinggi.
Kondisi ini diperparah oleh masih adanya kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada tahun 2008, terdapat 39
kasus KDRT. Dengan jumlah rumah tangga sebanyak 448.058, berarti
rasio KDRT-nya adalah 0,0087. Kasus KDRT pada tahun 2009
178
meningkat menjadi 69 laporan/pengaduan, meskipun rationya turun
menjadi 0,0014 karena jumlah rumah tangga yang meningkat menjadi
469.220 (sumber: Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan KB,
dalam RPJMD Kalteng 2010-2015).
Sementara itu berdasarkan rekapitulasi data PMKS se
Indonesia pada tahun 2012 yang dikeluarkan Pusat Data dan Informasi
Kesejahteraan Sosial Kemensos, Kalimantan Tengah termasuk
provinsi dengan tingkat masalah sosial yang sangat rendah. Bahkan
dalam beberapa kategori, provinsi ini tidak memiliki kasus sama sekali.
Jika total PMKS di Kalimantan Tengah dibandingkan dengan total
PMKS di Indonesia, maka akan ketemu angka 201.251 berbanding
53.608.469. Dengan kata lain, jumlah PMKS di Kalteng hanya 0,37
persen dari total PMKS di Indonesia.
Secara lebih rinci, jumlah PMKS Kalteng dibandingkan dengan
angka total Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 5.7. Data PMKS Kalimantan Tengah dan Perbandingan dengan
Total PMKS se-Indonesia
No. Kategori PMKS Kalimantan
Tengah Indonesia
1 Anak Balita Terlantar 219 341.458
2 Anak Terlantar 830 1.677.780
3 Anak Nakal 236 146.228
4 Anak Jalanan 0 135.983
5 Wanita Rawan Sosial Ekonomi 0 1.135.528
6 Korban Tindak Kekerasan 0 848.219
7 Lanjut Usia Terlantar 6.008 2.296.425
8 Penyandang Cacat 2.486 1.250.780
9 Tuna Susila 0 50.276
10 Pengemis 0 178.262
11 Gelandangan 12 18.599
12 Bekas Warga Binaan Lembaga
Kemasyarakatan
32 108.819
179
13 Korban Penyalahgunaan Napza 0 418.048
14 Penduduk Miskin 146.900 30.018.980
15 Keluarga Fakir Miskin 36.725 7.504.736
16 Rumah Tidak Layak Huni 0 4.451.807
17 Keluarga Bermasalah Sosial
Psikologis
0 200.230
18 Komunitas Adat Terpencil 0 603
19 Kepala Keluarga 644 136.257
20 Korban Bencana Alam 7.159 1.153.720
21 Korban Bencana Sosial 0 259.436
22 Pekerja Migran Terlantar 0 40.883
23 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
0 16.688
24 Keluarga Rentan 0 1.218.724
Jumlah 201.251 53.608.469
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos, 2012 (diolah)
Terlepas dari validitas data, tabel diatas menunjukkan bahwa
dari 24 kategori PMKS, Kalimantan Tengah tidak memiliki masalah
sosial yang signifikan kecuali untuk dua kategori saja yakni penduduk
miskin dan keluarga fakir miskin. Sementara masalah yang cukup
menonjol lainnya adalah lanjut usia terlantar dan korban bencana alam.
Gambaran situasi seperti itu tentunya harus menjadi
pertimbangan dalam merencanakan kegiatan beserta alokasi
anggarannya. Artinya, harus ada korelasi antara masalah yang dihadapi
dengan program yang akan dijalankan, sehingga setiap rupiah yang
dibelanjakan akan dapat berkontribusi terhadap pemecahan masalah
yang dihadapi. Terkait dengan hal ini, RPJMD Provinsi Kalimantan
Tengah 2010-2015 mengamanatkan 17 (tujuh belas) program sosial
yang harus dijalankan beserta dengan indikator kinerja (outcome)
sebagai berikut:
180
Tabel 5.8. 17 Program Pembangunan Bidang Sosial Provinsi
Kalimantan Tengah 2010-2015 dan Indikator Kinerjanya
No Program Bidang
Sosial Indikator Kinerja
1 Program Pelayanan
Administrasi Perkantoran
Terselenggaranya pelayanan administrasi
perkantoran setiap tahun, antara lain: jasa surat menyurat, komunikasi 60 bulan/5
gedung, operasional rutin kantor 60 bulan,
ATK 60 bulan, rapat-rapat koordinasi, konsultasi keluar daerah 60 bulan.
2 Program Peningkatan
Sarana dan Prasarana
Aparatur
Terlaksananya pembangunan, rehabilitasi,
pemeliharaan gedung 60 paket/5 gedung,
perlengkapan, peralatan gedung 5 paket.
3 Program Peningkatan
Disiplin Aparatur
Terlaksananya pengadaan pakaian dinas
820 stel/5 paket.
4 Program Fasilitas
Pindah/ Purna Tugas PNS
Pembayaran biaya pemulangan 25 orang.
5 Program Peningkatan
Kapasitas SDM Aparatur
Pelaksanaan bimtek 75 orang, kegiatan
olahraga karyawan 10 kali.
6 Program
Pengembangan
Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan
Keuangan
Tersedianya dokumen laporan capaian
kinerja 5 paket, dokumen laporan
keuangan 60 kali.
7 Program
Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas
Adat Terpencil &
PMKS lainnya
Meningkatnya kemampuan petugas dan
pendamping sosial pemberdayaan Fakir Miskin di 25 lokasi, Pemberdayaan warga
KAT di 10 lokasi.
8 Program Pelayanan
dan Rehabilitasi
Kesejahteraan Sosial
Terselenggaranya Pelayanan dan
Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial, antara
lain melalui: Bimbingan 600 Anak dan
Wanita Rawan Sosial Ekonomi, pendataan 10 paket, bimbingan sosial 10
kali, renovasi gedung 2 paket, Sarana dan
prasarana 4 paket.
9 Program Pembinaan
Anak Terlantar
Terlaksananya pembinaan anak terlantar
di 25 lokasi.
181
10 Program Pembinaan
Penyandang Cacat dan Trauma
Terlaksananya pembinaan para
penyandang cacat dan trauma, melalui: pelatihan dan pengembangan bakat 200
orang, pendataan 5 paket.
11 Program Pembinaan
Panti Asuhan/Panti Jompo
Terlaksananya pelayananan sosial bagi
100 orang per tahun di PSTW Sinta Rangkang.
12 Program Pembinaan
eks Penyandang
Penyakit Sosial (narapidana, PSK,
narkoba & penyakit
sosial lainnya)
Terselenggaranya bimbingan sosial dan
pelatihan keterampilan berusaha bagi eks
penyandang penyakit sosial 325 (Loka Bina Karya, Bimbingan Napza).
13 Program
Pemberdayaan
Kelembagaan
Kesejahteraan Sosial
Terlaksananya perekrutan, pembinaan
manajer sosial kecamatan 33, organisasi
sosial 10, Karang Taruna 250, Wahana
Kesejahteraan social 3 Paket, PMI 300 orang, Tali asih 17 Agustus 3.140 orang
dan 10 Nopember 330 orang.
14 Program Bantuan Sosial Korban
Bencana Alam
Tersalurkannya bantuan sosial untuk korban bencana alam di 14
Kabupaten/Kota.
15 Program Bantuan
Sosial Korban Bencana Sosial
Tersalurkannya bantuan sosial untuk
korban bencana sosial di 14 Kabupaten/Kota.
16 Program PKH Peningkatan dan Akses dan kualitas
pendidikan dan kesehatan bagi di 14
Kabupaten/Kota.
17 Program
Pengumpulan dan
Pengelolaan Sumber Daya Sosial
Jumlah SK penyelenggaraan undian
berhadiah 25 kegiatan.
Sumber: RPJMD Provinsi Kalimantan Tengah 2010-2015 (diolah)
Tabel diatas berisi program-program pembangunan bidang
kesejahteraan sosial yang menjadi urusan rumah tangga provinsi
Kalimanten Tengah dan dibiayai sepenuhnya dari APBD. Dari uraian
program diatas dapat dikritisi beberapa hal. Pertama, dari 17 program
ada sebanyak 6 (enam) program yang bersifat administratif seperti
182
administrasi perkantoran, pembelian alat tulis dan peralatan kerja,
penyusunan laporan, bahkan pengadaan pakaian dinas. Orientasi
kedalam (inward looking) ini jelas akan mengurangi intensitas dalam
melayani masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial.
Kedua, indikator kinerja yang seharusnya pada level manfaat
(outcome), ternyata masih banyak yang berada pada level output saja.
Akibatnya, kemanfaatan dari program tersebut masih sangat rendah,
misalnya masih sekitar pada pelaksanaan bimbingan teknis atau
sosialisasi.
183
BAB VI
RELEVANSI DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL
BERDASARKAN EFEKTIVITAS PENGELOLAANNYA
Dekonsentrasi adalah salah model penyelenggaraan urusan
pemerintahan selain desentralisasi, tugas pembantuan, atau sentralisasi
(pelaksanaan urusan oleh pemerintah pusat). Pada setiap sektor
pembangunan, ketiga model tersebut dilaksanakan secara bersama-
sama untuk mencapai hasil yang paling optimal, meskipun terdapat
potensi terjadinya irisan (intersection).
Praktek implementasi kebijakan dekonsentrasi bidang sosial
sendiri sangat menarik untuk dianalisis dalam beberapa dimensinya,
antara lain aspek program dan kegiatan, penganggaran atau
pembiayaan, mekanisme perencanaan, kelembagaan, dan kerangka
regulasi terkait dekonsentrasi. Secara lebih mendalam, masing-masing
aspek pelaksanaan dekonsentrasi lingkup Kemensos dapat dielaborasi
sebagai berikut:
A. Aspek Program dan Kegiatan Dekonsentrasi
Payung hukum penyelenggaraan urusan dekonsentrasi bidang
sosial diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke
Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten Kota Tahun
Anggaran 2014. Atas dasar Permensos Nomor 20/2013 ini, ada 4
(empat) kelompok program dekonsentrasi sosial yang dilimpahkan,
dengan rincian sebagai berikut:
184
Tabel 6.1. Program Dekonsentrasi Sosial yang Dilimpahkan
No Program
Dekonsentrasi Rincian Program
1 Program Dukungan
Manajemen dan
Pelaksanaan Tugas
Teknis Lainnya Kemensos
a. Laporan keuangan pengelolaan sistem
akuntansi pemerintah;
b. Laporan penyusunan usulan program
dan kegiatan; c. Rapat koordinasi perencanaan
program, laporan musyawarah
d. Perencanaan pembangunan kesejahteraan sosial, dan pemantapan
e. Program dananggaran Kementerian
Sosial Tahun 2015; f. Pelaksanaan pameran Indotera Expo;
g. Pelaksanaan penyuluhan sosial;
h. Penyusunan program dan rencana
kerja/teknis/program; i. Pengendalian dan pelaporan.
2 Program Rehabilitasi
Sosial
a. Pelayanan sosial lanjut usia;
b. Rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza;
c. Rehabilitasi sosial orang dengan
kecacatan;
d. Rehabilitasi sosial tuna sosial; dan e. Kesejahteraan sosial anak
3 Program Perlindungan
dan Jaminan Sosial
a. Perlindungan sosial korban bencana
alam; b. Perlindungan sosial korban bencana
sosial;
c. Perlindungan sosial korban tindak
kekerasan dan pekerja migran; d. Pengumpulan dan pengelolaan
sumber dana bantuan sosial; dan
e. Jaminan sosial, terdiri dari:
• Program Keluarga Harapan; dan
• Asuransi kesejahteraan sosial
4 Program
Pemberdayaan Sosial
dan Penanggulangan
Kemiskinan
a. Pemberdayaan keluarga dan
kelembagaan sosial;
b. Pemberdayaan komunitas adat
terpencil; c. Penanggulangan kemiskinan
pedesaan;
185
d. Penanggulangan kemiskinan
perkotaan; dan e. Pelestarian nilai kepahlawanan,
keperintisan, dan kesetiakawanan
sosial.
Program-program diatas dijabarkan lebih lanjut di tingkat
Direktorat Jenderal melalui penerbitan Pedoman Pelaksanaan
Dekonsentrasi di masing-masing satuan kerja. Berdasarkan Pedoman
Pelaksanaan Dekonsentrasi 2014 dari ketiga Direktorat Jenderal dan
Sekretariat Jenderal dapat dikemukakan kegiatan dekonsentrasi tahun
2014 sebagai berikut:
Tabel 6.2. Rincian Kegiatan Dekonsentrasi Kementerian Sosial Tahun
2014
No Program Kegiatan Dekonsentrasi 2014
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial
1 Perlindungan Sosial Korban
Bencana Alam
a. Pembentukan Kampung Siaga Bencana b. Pemantapan Petugas Pendamping Sosial
Korban Bencana Alam
c. Pemantapan Kemampuan Shelter Korban
Bencana Alam d. Pemantapan Kemampuan Pengelolaan
Logistik Bencana
e. Pemantapan Petugas Psikososial f. Laporan Keuangan/Kinerja/Pembinaan
Pegawai/Kekayaan Milik
Negara/Evaluasi/Monitoting/Publikasi dan
Pengembangan Organisasi Bidang PSKBA g. Laporan pengelolaan Keuangan dan
Kegiatan
h. Pemeliharaan Kendaraan Operasional Kendaraan Penanggulangan Bencana
i. Pengerahan dan Insentif Petugas
Penanggulangan Bencana j. Forum Koordinasi Provinsi
k. Penyusunan Program dan Rencana Kerja
186
2 Perlindungan
Sosial Korban Bencana Sosial
a. Kajian Pemetaan Daerah Rawan Bencana
Sosial b. Bimtek Petugas Perlindungan Sosial
Korban Bencana Sosial
c. Penyusunan Dokumen
Perencanaan/Program/Anggaran
3 Perlindungan
Sosial Korban
Tindak
Kekerasan dan Pekerja Migran
a. Perlindungan Korban Kekerasan dan
Pekerja Migran Bermasalah
b. Bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
bagi Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran
c. Rapat Koordinasi Perlindungan Sosial
KTK dan PM d. Pendataan KTK dan PM
4 Pengumpulan dan
Pengelolaan
Sumber Dana Bantuan Sosial
(PPSDBS)
a. Laporan Kegiatan Pemantauan dan
Pengawasan atas Penyelenggaraan Undian
Gratis Berhadiah (UGB) dan Pengumpulan Uang atau Barang (PUB)
b. Laporan Keuangan/Kinerja/Pembinaan
Pegawai/Kekayaan Milik Negara/Evaluasi/Monitoting/Publikasi dan
Pengembangan Organisasi Bidang
PPSDBS c. Laporan Hasil Pengembangan Organisasi
Bidang PPSDBS
d. Monitoring Bantuan Hibah Dalam
Negeri/UKS
5 Jaminan
Kesejahteraan
Sosial: Program
Keluarga
Harapan (PKH)
a. Operasional Unit Pelaksana Program
Keluarga Harapan (UPPKH) Tingkat
Provinsi b. Operasional UPPKH Tingkat
Kabupaten/Kota
c. Rapat Koordinasi PKH Tingkat Provinsi
d. Rapat Koordinasi PKH Tingkat Kabupaten/Kota
e. Bimbingan Teknis Program Keluarga
Harapan (PKH) f. Laporan Pengelolaan Keuangan dan
Kegiatan
g. Penyusunan Dokumen Perencanaan Bidang Jaminan Sosial
187
Jaminan
Kesejahteraan Sosial: Asuransi
Kesejahteraan
Sosial
a. Administrasi Kegiatan
b. Bimbingan Motivasi Asuransi Kesejahteraan Sosial
c. Observasi dan Seleksi Calon Pelaksana
Askesos 2014
d. Pemantapan Petugas Pelaksana Askesos Kabupaten/Kota
e. Rekonsiliasi
f. Bimbingan Teknis, Monitoring, Evaluasi dan Supervisi bagi Lembaga Pelaksana
Askesos
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial
1 Pelayanan Sosial
Lanjut Usia
a. Pemberian Bantuan Usaha Ekonomi
Produktif (UEP)
b. Asistensi Sosial melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (LKS
LU)
c. Pendampingan dan Perawatan Lanjut Usia di Lingkungan Keluarga
d. Pelayanan Harian Lanjut Usia
e. Bantuan Operasional KOMDA Lanjut Usia f. Operasional dan Monitoring ASLUT
g. Administrasi Keuangan
2 Rehabilitasi
Sosial Korban Penyalahgunaan
Napza (KPN)
a. Identifikasi dan Seleksi KPN
b. Rehabilitasi dan Bimbingan Fisik, Kesehatan, Mental Sosial dan
Keterampilan KPN Luar Panti
c. Praktek Belajar Kerja (PBK)
d. Pendamping Usaha Ekonomi Produktif (UEP) KPN
e. Bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)
3 Rehabilitasi Sosial Orang
Dengan
Kecacatan
(RSODK)
a. Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK) b. Pemantapan Kader RSODK Berbasis
Masyarakat
c. Kampanye Sosial Hak Penyandang
Disabilitas Intelektual (PDI) dan Penyandang Disabilitas Mental (PDM)
d. Peningkatan Kemampuan Wirausaha
Penyandang Disabilitas Masyarakat e. Penyaluran Asistensi Sosial melalui
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)
188
4 Rehabilitasi
Sosial Tuna Sosial
a. Gelandangan, Pengemis & Pemulung,
Tuna Susila, Korban Trafficking Perempuan, Bekas Warga Binaan LP,
Orang Dengan HIV/AIDS & Kelompok
Minoritas yang Mendapatkan Rehabilitasi
dan Perlindungan Sosial b. Bimbingan Pencegahan Penyakit
HIV/AIDS Wanita Korban Trafficking
c. Bimbingan Sosial Rehabilitasi Sosial Penanganan Bekas Warga Binaan LP
d. Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial Eks
Wanita Tuna Susila
e. Bimbingan dan Rehabilitasi Gepeng dan Pemulung
f. Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial ODHA
g. Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial Waria h. Penanganan Korban Trafficking
i. Pemberian Bantuan Sosial
5 Kesejahteraan
Sosial Anak
Anak Balita, Anak Terlantar & Anak Jalanan,
Anak Berhadapan dengan Hukum, Anak dengan Kecacatan, Anak yang Membutuhkan
Perlindungan Khusus yang Mendapatkan
Layanan Program Kesejahteraan Sosial Anak
Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan
Kemiskinan
1 Pemberdayaan
Keluarga dan Kelembagaan
Sosial
a. Keluarga Plasma/Keluarga Rentan, Wanita
Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) yang Mendapat Bantuan
b. LK3 yang Melakukan Pelayanan
Kesejahteraan Sosial c. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring /
Evaluasi / Publikasi / Sosialisasi serta
Kegiatan Pendukung Pemberdayaan
Keluarga dan Kelembagaan Sosial d. TKSK yang Mendapat Pelatihan
Peningkatan Kemampuan
e. Organisasi Sosial yang Mendapatkan Pelatihan Peningkatan Kemampuan
f. PSM yang Mendapatkan Pelatihan
Peningkatan Kemampuan g. Karang Taruna Mendapatkan Pelatihan
Peningkatan Kemampuan
189
h. WKSBM Mendapatkan Peningkatan
Kapasitas i. CSR Kesejahteraan Sosial yang telah
Terbentuk
j. Family Care Unit yang Melakukan
Pemberdayaan Keluarga
2 Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil (KAT)
a. Penyusunan Rekomendasi Hasil Analisis,
Kajian, Kebijakan Pemberdayaan KAT b. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring /
Evaluasi / Publikasi / Sosialisasi serta
Kegiatan Pendukung Pemberdayaan KAT c. Dokumen Perencanaan / Program /
Anggaran / Data / Informasi / Kebijakan
Bidang Pemberdayaan KAT
3 Penanggulangan Kemiskinan
Perdesaan
a. Bantuan UEP bagi Masyarakat Miskin di Perdesaan
b. Pendamping Sosial yang Mendapatkan
Bimbingan Teknis c. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring /
Evaluasi / Koordinasi, Pembinaan serta
Kegiatan Pendukung Pelaksanaan Penanggulangan Kesmiskinan Perdesaan
d. Dokumen Perencanaan / Program /
Anggaran / Data / Informasi / Kebijakan
Bidang Penanggulangan Kesmiskinan Perdesaan
4 Penanggulangan
Kesmiskinan Perkotaan
a. Keluarga Miskin yang Mendapat Bantuan
Stimulan UEP di Perkotaan b. Pendamping Sosial KUBE dan LKM yang
Mendapatkan Bimbingan Teknis di
Perkotaan
c. Rekomendasi Hasil Analisis, Kajian, Kebijakan Bidang Penanggulangan
Kesmiskinan
d. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring / Evaluasi / Koordinasi, Pembinaan serta
Kegiatan Pendukung Pelaksanaan
Penanggulangan Kesmiskinan Perkotaan
e. Dokumen Perencanaan / Program / Anggaran / Data / Informasi / Kebijakan
Bidang Penanggulangan Kesmiskinan
Perkotaan
190
5 Pelestarian Nilai
Kepahlawanan, Keperintisan, dan
Kesetiakawanan
Sosial
a. TMPN/TMP/MPN yang Direhab dan
Dipelihara b. Bantuan Perbaikan Rumah bagi
Warakawuri / Keluarga Pahlawan Nasional
dan Perintis Kemerdekaan / Janda Perintis
c. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring / Evaluasi / Koordinasi, Pembinaan serta
Kegiatan Pendukung Pelaksanaan
Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial
d. Generasi Muda yang Mengikuti Kegiatan
Pra-Manggala dan Manggala Indonesia
Sekretariat Jenderal
1 Program
Dukungan Manajemen dan
Pelaksanaan
Tugas Teknis Lainnya
Kemensos
a. Laporan Keuangan Pengelolaan Sistem
Akuntansi Pemerintah (SAP) b. Laporan Penyusunan Usulan program dan
Kegiatan Daerah
c. Rakor Perencanaan Program, Laporan Musrenbang Kesos, dan Pemantapan
Program dan Anggaran Kemensos Tahun
2015
2 Penyuluhan Sosial
a. Pelaksanaan Penyuluhan Sosial o Penyuluhan Sosial Masyarakat
o Penyuluhan Sosial Keliling
o Penyuluhan Sosial Melalui Media (cetak, elektronik, kesenian tradisional)
o Penyuluhan Sosial Melalui Media Luar
Ruang
b. Penyusunan Program dan Rencana Kerja / Teknis
Sumber: Petunjuk Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Kementerian Sosial Tahun 2014.
Mengingat kegiatan dekonsentrasi juga bersumber dari
program yang sama sebagaimana kegiatan yang dilakukan sendiri oleh
pusat (Kemensos), maka terjadinya tumpang tindih program dan
kegiatan dekonsentrasi dan kegiatan yang dilaksanakan sendiri oleh
Kemensos menjadi nyata. Namun terkait dengan hal ini, para pejabat
191
Kemensos termasuk Direktur PSKBA Inspektur Jenderal1 yang
bertugas mengawasi dan memeriksa program dan anggaran di
lingkungan Kemensos saling mengkonfirmasi bahwa tidak terjadi
overlap yang mengakibatkan inefisiensi program dan anggaran.
Menurut Direktur PSKBA, kalaupun terjadi tumpang tidih kegiatan
atau tumpang tindih penerima manfaat dari suatu program/kegiatan
tertentu, hal itu sifatnya penguatan. Sebab, bantuan yang diberikan dari
satu program sangat kecil dan tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan penerima bantuan. Bahkan meskipun seseorang menerima
bantuan dari beberapa kegiatan, itupun masih sangat kecil. Dalam
bahasa Inspektur Jenderal, situasi seperti itu dikatakan sebagai strategi
keroyokan atau gotong royong. Menurutnya, mengapa program
pengentasan kemiskinan sangat sulit berhasil, salah satunya
disebabkan karena anggaran yang kecil dan tidak mampu memberikan
dampak signifikan bagi penerima bantuan. Selain itu, dari sisi
pengawasan memang tidak ada aturan yang melarang terjadinya
perangkapan penerimaan bantuan bagi pihak tertentu. Jika warga
masyarakat dilarang menerima bantuan lebih dari satu
sumber/program, justru akan membuat program pemberdayaan
masyarakat semakin tidak efektif.
Meskipun demikian, di kalangan Kemensos sendiri sudah
muncul kesadaran untuk memperbaiki sistem perencanaan program
1 Wawancara dengan Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
(PSKBA) dan Kepala Seksi Kedaruratan Direktorat PSKBS Kemensos, Senin, 29 September 2014; dengan Inspektur Jenderal Kemensos, Kamis, 2 Oktober 2014.
Dalam wawancara pada program Metro Highlight di Metro-TV tanggal 1
November 2014, Menteri Sosial Khofifah juga menegaskan hal yang sama bahwa
berbagai program pemberdayaan sosial tidak ada duplikasi melainkan penguatan.
192
dan kegiatan. Dalam hal ini, untuk mengurangi potensi tumpang tindih
antar program, maka adanya pembagian urusan dan tanggungjawab
yang lebih jelas menjadi kebutuhan mendesak, sehingga Kemensos
telah mengembangkan konsep pembagian wewenang/urusan yang
lebih sederhana, yang diharapkan tidak akan ada lagi kerancuan atau
kebingungan tentang domain suatu program.2 Dengan contoh
penanganan anak terlantar diatas, maka dalam konsep baru ini akan
menjadi wewenang kabupaten/kota secara utuh, sehingga pusat (cq.
Kemensos) tidak perlu lagi mengalokasikan anggaran penanganan
anak terlantar baik dari skema dekonsentrasi maupun kegiatan yang
dilakukan sendiri secara terpusat.
Selain tumpang tindih antara program dekonsentrasi dengan
program yang dijalankan sendiri oleh Kementerian, masih ada dua
bentuk tumpang tindih yang lain, yakni: 1) tumpang tindih
program/anggaran dekonsentrasi dengan program/APBD provinsi, dan
2) tumpang tindih program/anggaran dekonsentrasi Kemensos dengan
program/anggaran dekonsentrasi kementerian lain yang terkait.
Khusus menyangkut potensi tumpang tindih program/anggaran
dekonsentrasi dengan program/APBD provinsi, pejabat di Kemensos
memberikan argumentasi yang sama, yakni bahwa hal tersebut
merupakan bentuk penguatan antar program atau gotong royong lintas
program untuk mewujudkan sasaran secara lebih efektif. Hal ini juga
didorong oleh alokasi APBN untuk sektor sosial yang relatif rendah,
2 Konsep pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota dalam bidang sosial ini sudah masuk dalam UU No. 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah.
193
sehingga sedikit banyak ada ketergantungan kepada sumber dari pusat
melalui skema dana dekonsentrasi (untuk lebih rincinya, baca analisis
pada bagian berikutnya tentang aspek anggaran/pembiayaan
dekonsentrasi). Dengan kata lain, kemungkinan overlap dengan APBD
sangat kecil. Sebab, tidak prioritasnya pembangunan sektor sosial di
daerah membuat daerah justru mengandalkan dana dekonsentrasi.
Contohnya adalah untuk penanganan bencana sosial yang menjadi
program kerja Direktorat PSKBS, jika tidak dikucurkan dana
dekonsentrasi dari Kemensos, bisa-bisa tidak ada kegiatan sama sekali
di daerah. Kalaupun ada sharing dari APBD, sifatnya lebih sebagai
supporting untuk safeguarding. Sebagai contoh, untuk kegiatan
keserasian sosial di Direktorat PSKBS, bantuan sosial yang diberikan
sekitar Rp 109 juta, sedangkan anggaran daerah hanya untuk
safeguarding saja seperti untuk operasional forum, untuk
pendampingan, dan monev kegiatan. Jadi anggaran daerah sifatnya
hanya pelengkap, dan tidak terjadi overlap. Kalaupun masih ada
tumpang tindih, hal ini dapat diminimalisir melalui Rapat Koordinasi
Kesejahteraan Sosial yang dilakukan setiap pertengahan tahun dan
diikuti oleh seluruh Dinas Sosial se Indonesia.3
Adapun gambaran tumpang tindih antara program
dekonsentrasi bidang sosial dengan program desentralisasi (urusan
otonom daerah) bidang sosial di Provinsi Kalteng dapat dilihat pada
tabel dibawah ini.
3 Wawancara dengan Direktur PSKBA dan Kepala Seksi Kedaruratan Direktorat
PSKBS Kemensos, Senin, 29 September 2014.
194
Tabel 6.3. Persandingan Program/Kegiatan Dekonsentrasi dengan
Program/Kegiatan Provinsi Kalteng Sebagai Daerah
Otonom dalam Bidang Kesejahteraan Sosial yang
Berpotensi Tumpang Tindih
No. Program / Kegiatan
Dekonsentrasi No.
Program / Kegiatan
Desentralisasi (Daerah
Otonom)
1 Program Pemberdayaan
Sosial dan
Penanggulangan Kemiskinan
1 Program Pemberdayaan Fakir
Miskin, Komunitas Adat
Terpencil, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
(PMKS) Lainnya
• Pelestarian
Kepahlawanan,
Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial
• Penanggulangan
Kemiskinan Perdesaan
• Pemberdayaan
Keluarga dan Kelembagaan Sosial
Masyarakat
• Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil
• Penanggulangan
Kemiskinan Perkotaan
• Peningkatan kemampuan
petugas dan pendamping
sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT, dan PMKS
lainnya
• Pengadaan sarana dan
prasarana pendukung usaha bagi keluarga miskin
• Kegiatan
pemetaan/penjajagan awal
calon lokasi KAT
• Pembangunan rumah warga
KAT
2 Program Rehabilitasi
Sosial
2 Program Pelayanan dan
Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial
• Rehabilitasi Sosial
Korban
Penyalahgunaan
NAPZA
• Rehabilitasi Sosial
Orang Dengan
Kecacatan
• Rehabilitasi Sosial
Tuna Sosial
• Rehabilitasi dan
Perlindungan Sosial
Anak
• Pelaksanaan KIE
(Komunikasi, Informasi,
Edukasi), konseling dan
kampanye sosial bagi PMKS
• Peningkatan kualitas
pelayanan, sarana, dan
prasarana rehabilitasi kesejahteraan sosial bagi
PMKS
• Kegiatan bimbingan sosial
dan pelatihan keterampilan
195
• Pelayanan Sosial Lanjut
Usia
anak dan wanita rawan
sosial ekonomi
3 Program Perlindungan dan
Jaminan Sosial
3 Program Pemberdayaan
Kelembagaan Kesejahteraan Sosial
• Perlindungan Sosial
Korban Bencana Alam
• Perlindungan Sosial
Korban Bencana Sosial
• Perlindungan Sosial
Korban Tindak
Kekerasan dan Pekerja
Migran
• Jaminan Kesejahteraan
Sosial (Bantuan Tunai Bersyarat / PKH)
• Pengumpulan dan
Pengelolaan Sumber
Daya Sosial
• Asuransi Kesejahteraan
Sosial
• Pembinaan manajer sosial
kecamatan/ tenaga
kesejahteraan sosial kecamatan
• Pemberdayaan organisasi
sosial
• Pemberdayaan karang
taruna
• Pemberdayaan PMI
• Pelestarian nilai-nilai
kepahlawanan, keperintisan, kejuangan dan
kesetiakawanan sosial
• Fasilitasi KOMDA lansia
4 Program Pembinaan Anak
Terlantar
• Pengembangan bakat dan
keterampilan anak terlantar
• Pendataan anak terlantar
5 Program Pembinaan para
Penyandang Cacat dan
Trauma
• Pendayagunaan para
penyandang cacat dan eks trauma
• Monitoring, evaluasi, dan
pelaporan
• Pelayanan sosial bagi
penghuni panti asuhan / panti jompo
6 Program Pembinaan Eks
Penyandang Penyakit Sosial
(eks Narapidana, PSK, narkoba, dan penyakit sosial
lainnya)
196
• Pendidikan dan pelatihan
keterampilan berusaha bagi
eks penyandang penyakit sosial
7 Program Bantuan Sosial
Korban Bencana Alam
• Kegiatan perlindungan
sosial korban bencana alam
8 Program Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial
• Kegiatan perlindungan
sosial korban bencana
sosial
9 Program Keluarga Harapan (PKH)
• Peningkatan koordinasi
pengelolaan program
keluarga harapan
10 Program Pengumpulan dan
Pengelolaan Sumber Dana
Sosial
• Kegiatan pengumpulan dan
pengelolaan sumber dana sosial
Sumber: Dinas Sosial Kalimantan Tengah (2014, diolah)
Tabel diatas mengilustrasikan adanya perbedaan dalam
pengelompokan program dekonsentrasi dan program desentralisasi.
Dengan pengelompokan yang berbeda tadi, sulit ditemukan adanya
tumpang tindih program dan kegiatan. Akan tetapi apabila dicermati
lebih detil, meskipun nama dan jumlah programnya berbeda, namun isi
kegiatan sesungguhnya relatif sama. Kesamaan inilah yang
menimbulkan persepsi tumpang tindih, meskipun dalam prakteknya
pihak Kemensos maupun Dinas Sosial Provinsi menyatakan tidak
terjadi tumpang tindih seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.
Berdasarkan penjelasan para pejabat Dinas Sosial Kalimantan
197
Tengah,4 yang dikonfirmasi juga oleh pernyataan pejabat Kementerian
Sosial, meski programnya sama namun sasaran masyarakat penerima
manfaat dari program tersebut berbeda-beda. Kalaupun ada anggota
masyarakat yang sama yang menerima bantuan dari program yang
berbeda (misalnya menerima bantuan dari program bencana alam dan
program keluarga harapan), hal itu masih ditolerir karena tujuan dari
setiap program yang berbeda-beda, disamping jumlahnya yang relatif
kecil.
Hal yang lebih menarik untuk disimak dari tabel diatas justru
adalah cakupan program yang sedikit berbeda. Pada program
dekonsentrasi, tidak menyebut secara spesifik tentang PMKS
(penyandang masalah kesejahteraan sosial) yang berjumlah 26 jenis,
namun lebih terarah kepada sasaran yang konkrit seperti korban
penyalahgunaan NAPZA, orang dengan kecacatan (ODK), dan korban
tindak kekerasan dan pekerja migran. Sedangkan pada program
desentralisasi kurang jelas siapa target penerima manfaat dari program
yang diselenggarakan karena bersifat umum dengan menyabutkan
“Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya”.
Rumusan program dan kegiatan yang bersifat umum seperti ini selain
mempersulit pengukuran kinerja, juga akan membuka kemungkinan
terjadinya tumpang tindih yang lebih besar. Oleh karena itu, rumpun
program sebaiknya diselaraskan antara program dekonsentrasi dan
desentralisasi, namun rincian kegiatan disusun lebih spesifik
4 Wawancara dengan Kepala Subbagian Program Dinas Sosial Prov. Kalimantan
Tengah (9 Oktober 2014) dan dengan Kepala Dinas Sosial Prov. Kalimantan
Tengah (10 Oktober 2014).
198
berdasarkan karakterstik, kebutuhan, dan tujuan masing-masing
program.
Box 6.1. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan Program
Daerah Otonom (Desentralisasi)
Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/2013 tentang
Pelimpahan Kewenangan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke
Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten Kota Tahun Anggaran 2014, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Pedoman
Pelaksanaan Dekonsentrasi Tahun 2014, beberapa kegiatan yang
dilimpahkan dan dibiayai oleh anggaran dekonsentrasi antara lain adalah: perlindungan sosial korban bencana alam, perlindungan
sosial korban bencana sosial, pengumpulan dan pengelolaan sumber
dana sosial, serta pelestarian kepahlawanan, keperintisan, dan
kesetiakawanan sosial. Keempat kegiatan tersebut sama persis dengan kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Provinsi
Kalimantan Tengah dan dibiayai oleh APBD Kalteng 2014.
Sedangkan untuk kegiatan lain, tumpang tindih tersebut tersamar dalam judul kegiatan yang berbeda namun substansinya
sama. Sebagai contoh, pada bidang rehabilitasi sosial, terdapat
kegiatan yang didekonsentrasikan yakni rehabilitasi sosial orang dengan kecacatan, rehabilitasi sosial tuna sosial, dan rehabilitasi dan
perlindungan sosial anak. Sementara pada kegiatan Dinas Sosial,
ketiga kegiatan tersebut masuk pada kegiatan peningkatan kualitas
pelayanan, sarana, dan prasarana rehabilitasi kesejahteraan sosial bagi PMKS.
Begitu pula untuk bidang pemberdayaan sosial dan
penanggulangan kemiskinan, terdapat kegiatan berupa pemberdayaan keluarga dan kelembagaan sosial masyarakat yang
telah didekonsentrasikan, namun pada saat yang sama terdapat
kegiatan pemberdayaan organisasi sosial, karang taruna, dan PMI, yang dibiayai oleh APBD dan merupakan tugas desentralisasi.
Fakta ini membenarkan pernyataan Agus Dwiyanto (2015: 2-6)
bahwa pembagian urusan pemerintahan masih kabur, rancu, dan
dalam banyak hal tumpang tindih. Pemerintah pusat (cq. Kementerian Sosial) telah mendekonsentrasikan urusan yang telah
dilaksanakan oleh daerah, yang secara legal tidak dapat dibenarkan,
bahkan dapat dikatakan melanggar peraturan perundangan yang berlaku, dalam hal ini PP No. 38/2007.
199
Sementara itu terkait potensi overlap antara program
dekonsentrasi dengan program tugas pembantuan, ada empat program
yang secara bersama-sama dibiayai oleh dana dekonsentrasi dan dana
TP, yakni program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT),
program Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, program
Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial, dan program Pelestarian
Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial.
Persandingan antara program dekonsentrasi dan program tugas
pembantuan yang diterima Dinas Sosial Kalimantan Tengah dari
Kementerian Sosial dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 6.4. Persandingan Program/Anggaran Dekonsentrasi dengan
Program/Anggaran Tugas Pembantuan Bidang
Kesejahteraan Sosial di Kalimantan Tengah (Rp 000)
Program 2012 2013 2014
Dekon TP Dekon TP Dekon TP
Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil
526.210 2.404.600 419.500 3.415.175 508.330 3.160.445
Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
2.196.527 114.492 2.396.527 354.492 1.753.465 -
Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial
324.325 37.000 400.340 - 255.960 -
Pelestarian Kepahla-wanan, Keperintisan & Kesetiakawanan Sosial
273.777 600.000 304.066 - 305.149 -
Jumlah 3.320.839 3.156.092 3.216.671 3.769.667 2.822.904 3.160.445
Sumber: Dinas Sosial Kalimantan Tengah (2014, diolah)
Dengan hanya membaca tabel diatas, maka akan terlihat jelas
tumpang tindih antara program dekonsentrasi dan program tugas
pembantuan. Artinya, untuk program yang sama dibiayai dari dua
sumber pendanaan yang berbeda. Namun sebenarnya tidak dapat
200
dikatakan overlap mengingat perbedaan karakteristik antar kedua
program tersebut, yakni adanya ketentuan peraturan perundang-
undangan bahwa dana dekonsentrasi digunakan untuk membiayai
kegiatan non fisik, sedangkan dana tugas pembantuan lebih untuk
mendukung kegiatan yang bersifat fisik.5 Faktanya, dapat dikatakan
pula bahwa pada setiap program sesungguhnya membutuhkan alokasi
untuk fisik dan non-fisik, sebagaimana pernyataan yang diberikan oleh
responden di pusat maupun di daerah. 6
Box 6.2. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan Program
Tugas Pembantuan
Pada level program, tumpang tindih dekonsentrasi dan tugas pembantuan sangat nampak karena sama-sama terdapat pembiayaan
untuk 4 (empat) program, yakni pemberdayaan komunitas adat
terpencil, perlindungan sosial korban bencana alam, perlindungan sosial korban bencana sosial, serta pelestarian kepahlawanan,
keperintisan, dan kesetiakawanan sosial. Besaran alokasi dana untuk
bidang dekonsentrasi dan tugas pembantuan sektor sosial relatif
berimbang selama tiga tahun terakhir. Namun dilihat dari program kerja yang dibiayai oleh dana TP, ternyata jumlahnya semakin
sedikit dan tinggal satu yakni program yang dibiayai pada tahun
2014, yakni pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Meminjam analisis Agus Dwiyanto (2015: 10), salah satu faktor
yang menimbulkan tumpang tindih antara program/dana
dekonsentrasi dengan tugas pembantuan itu adalah karena kementerian mengalami kesulitan untuk melakukan dekonsentrasi
kepada gubernur jika kegiatannya bersifat fisik, walaupun menurut
pertimbangan kementerian, urusan tersebut akan lebih efektif dan
efisien jika didekonsentrasikan. Sebaliknya, pemerintah yang memiliki urusan non-fisik tidak dapat menggunakan mekanisme
tugas pembantuan kepada daerah, sehingga harus membentuk UPT
sendiri di daerah.
5 Wawancara dengan Kepala Inspektur Jenderal Kementerian Sosial (2 Oktober
2014) dan dengan Kepala Dinas Sosial Kalimantan Tengah (10 Oktober 2014).
6 Wawancara dengan Kepala Subbagian Program Dinas Sosial Kalteng (9 Oktober
2014) dan dengan Kepala Dinas Sosial Kalimantan Tengah (10 Oktober 2014).
201
Melihat tabel 6.4. diatas nampak sekali bahwa program
perlindungan sosial korban bencana alam dan program pelestarian
nilai-nilai kepahlawanan dan kesetiakawanan sosial sudah tidak
mendapat dukungan melalui tugas pembantuan sejak tahun 2013,
sementara program perlindungan sosial korban bencana sosial tidak
lagi menerima dana tugas pembantuan sejak tahun 2014. Dalam kaitan
ini, fungsi belanja fisik salah satunya menjadi beban daerah (APBD).
Mencermati data yang tertuang dalam tabel 6.4. diatas,
sepanjang ketentuan bahwa dana dekonsentrasi hanya diperbolehkan
untuk membiayai aktivitas non-fisik masih berlaku, maka keberadaan
program dekonsentrasi menjadi sangat relevan karena tidak dapat
digantikan melalui program tugas pembantuan.
Akhirnya, potensi tumpang tindih juga terjadi antara
program/anggaran dekonsentrasi Kemensos dengan program/anggaran
dekonsentrasi kementerian lain. Sebagaimana dimaklumi,
pembangunan bidang kesejahteraan sosial melibatkan banyak instansi.
Selain Kemensos, masih banyak K/L yang juga menangani sebagian
urusan kesejahteraan sosial, misalnya Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera),
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(Kemen PPPA), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemenakertrans), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham),
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Narkotika Nasional (BNN),
202
Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Komisi
perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan masih banyak lagi.
Tabel dibawah ini memberi ilustrasi tentang issu dan program
yang memiliki keterkaitan dengan lebih dari satu instansi (cross-
cutting issues) yang melibatkan kepentingan banyak instansi di tingkat
pusat.
Tabel 6.5. Beberapa Contoh Cross-Cutting Issues Program
Kesejahteraan Sosial
No Issu / Masalah Kesejahteraan
Sosial
K/L yang Memiliki
Keterkaitan Fungsi
1 Anak/penduduk terlantar (berasal
dari keluarga sangat miskin,
menderita gizi buruk, atau kehilangan hak asuh orang tua,
tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya,
berhadapan dengan hukum).
Kemensos, Kemenkes,
Kemen. PPPA,
Kemenkumham, KPAI/Komnas PA, DJSN.
2 Anak/penduduk dengan disabilitas, baik fisik maupun mental, termasuk
korban penyalahgunaan Napza.
Kemensos, Kemenkes, Kemen. PPPA, BNN,
Kemendikbud, DJSN.
3 Penduduk miskin yang tidak berdomisili tetap (pengemis,
pemulung, gelandangan, korban
trafficking, pekerja migram
bermasalah, dll)
Kemensos, Kemenkes, Kemen. PPPA,
Kemenkumham,
Kemenakertrans,
Kemenpera, KPAI/Komnas PA, DJSN.
4 Penduduk korban bencana alam
atau bencana sosial.
Kemensos, Kemenkes,
Kemenpera, BNPB, DJSN.
Penanganan masalah-masalah yang bersinggungan dengan
tugas dan fungsi banyak instansi itulah yang memiliki probabilitas
terjadinya tumpang tindih. Kemungkingan overlap menjadi semakin
besar mengingat pembahasan program dan anggaran kementerian
biasanya hanya berlangsung dalam skema Trilateral Meeting antara
Bappenas, Direktoral Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, dan
203
Kementerian yang bersangkutan. Selama ini belum ada forum lintas
K/L untuk mensikronkan usulan program/anggaran secara lebih
terintegrasi. Meskipun setiap tahun ada Musrenbang Nasional dan juga
ada Kementerian Koordinator, namun harmonisasi program/anggaran
lintas K/L terkait cross-cutting issues tadi tidak terjadi.7
Dari uraian diatas dapat ditemukan adanya empat bentuk
potensi overlap atau tumpang tindih program dekonsentrasi dengan
program lainnya, yakni: 1) overlap antara program dekonsentrasi
dengan program kerja kementerian, sebagaimana telah dibahas pada
Bab V; 2) overlap antara program dekonsentrasi dengan program
provinsi selaku daerah otonom yang dibiayai oleh APBD; 3) overlap
antara program dekonsentrasi dengan program tugas pembantuan;
serta 4) overlap antara program dekonsentrasi suatu kementerian
dengan kementerian lain yang terkait. Secara grafis, keempat potensi
tumpang tindih program tersebut dapat divisualisasikan dalam gambar
dibawah ini.
7 Untuk meminimalisir overlap pemrograman antar lembaga tersebut, Bappenas
untuk mengusulkan integrasi program antar K/L melalui inisiatif yang disebut
dengan Sistem Rujukan dan Pelayanan Sosial Terpadu. Sistem ini akan dibangun
di setiap daerah untuk meningkatkan integrasi program, dengan fungsi utama untuk pemutakhiran basis data secara terpadu, serta untuk keperluan penanganan
pengaduan dan pelayanan kesejahteraan sosial. Sistem ini diharapkan juga mampu
menjadi media penghubung dan koordinasi pelaksanaan untuk K/L terkait di
tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat dan perusahaan (CSR).
204
Gambar 6.1.
Empat Bentuk Tumpang Tindih Dalam Program Dekonsentrasi
Diantara keempat bentuk overlap diatas, penelitian ini lebih
menyoroti bentuk pertama dan kedua, sedangkan bentuk overlap yang
lain tidak menjadi fokus pada penelitian ini. Jika diperluas lagi, maka
dari empat bentuk potensi tumpang tindih program diatas masih ada
variasi lain kemungkinan overlap yakni: 1) antara program
dekonsentrasi dengan program tugas pembantuan dan tugas daerah
otonom; 2) antara program kementerian dengan ketiga program
lainnya (dekonsentrasi, daerah otonom, dan tugas pembantuan); serta
3) antara program tugas pembantuan di tingkat provinsi dengan
program tugas pembantuan di tingkat kabupaten/kota; dan 4) antara
program di tingkat provinsi (baik yang bersumber dari APBD provinsi,
dana dekonsentrasi maupun dana tugas pembantuan) dengan program
kabupaten/kota, mengingat obyek penyandang PMKS yang sama
yakni sama-sama berada di kabupaten/kota.
205
B. Aspek Anggaran / Pembiayaan Dekonsentrasi
Anggaran yang dialokasikan untuk pembiayaan program
dekonsentrasi Kemensos tahun 2014 dapat dikatakan cukup besar
karena mencapai Rp 580.933.675.000 atau 7,6 persen dari total
anggaran Kemensos 2014 sebesar Rp. 7.683.627.443.000.
Dibandingkan dengan dana dekonsentrasi tahun 2013 sebesar Rp
546.425.389.000, ada kenaikan nominal sebesar Rp. 34,5 milyar.
Namun persentase dana dekonsentrasi tahun 2013 dibandingkan
dengan total total anggaran Kemensos tahun 2013 jauh lebih sedikit
dibanding ratio tahun 2014, yakni hanya 3,37 persen. Hal ini terjadi
karena pada tahun tahun 2013 ada tambahan anggaran Kemensos yang
cukup signifikan yang bersumber dari dana BLSM (Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat).
Selain komponen dana dekonsentrasi, total anggaran
Kemensos setiap tahunnya juga dialokasikan untuk membiayai
program Tugas Pembantuan kepada provinsi dan kabupaten/kota.
Sisanya kemudian dikelola sendiri oleh kementerian, yang disebut
sebagai dana pusat. Adapun gambaran tentang perkembangan
anggaran Kemensos dan besaran dana dekonsentrasi selama periode
2010-2014 dapat dilihat pada Tabel sebagai berikut.
Tabel 6.6. Perkembangan Anggaran Kementerian Sosial dan Alokasi
Dana Dekonsentrasi 2010-2014
TA Pusat Dekon TP Jumlah
2010 3,016,315,502 505,456,119 105,934,698 3,627,706,319
2011 3,424,585,089 539,883,331 136,108,881 4,100,577,301
2012 3,808,574,484 623,913,375 138,120,328 4,570,608,187
2013 15,505,769,035 546,425,389 135,978,750 16,188,173,174
2014 7,004,004,013 580,933,675 98,689,755 7,683,627,443
Sumber: Kementerian Sosial (2014, diolah)
206
Besarnya anggaran dekonsentrasi ini menjelaskan beberapa
hal. Pertama, urusan dan program dekonsentrasi masih memegang
peran strategis dalam mencapai visi, misi dan tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial. Dengan trend seperti ini, maka keberadaan tugas
dekonsentrasi masih akan terus eksis seiring dengan tugas-tugas
desentralisasi. Dengan kata lain, meskipun kebijakan nasional telah
mendorong desentralisasi secara luas, namun tetap ada penyeimbang
dari sisi peran pusat melalui kebijakan dekonsentrasi.
Kedua, meskipun sempat mengalami penurunan jumlah dana
dekonsentrasi pada tahun 2013, namun pada tahun 2014 kembali
mengalami kenaikan baik secara nominal maupun persentasenya.
Dengan masih besarnya dana dekonsentrasi, maka Kemensos sebagai
representasi pemerintah pusat masih akan memiliki kontrol yang cukup
besar terhadap program-program pembangunan di daerah. Pada saat
yang bersamaan, daerah masih dapat berharap dukungan dari pusat
terutama terhadap sektor pembangunan yang tidak menjadi prioritas,
sehingga sektor ini dapat berlangsung dengan baik.
Selanjutnya, hal lain yang dapat dicermati dari data diatas
adalah bahwa meskipun jumlah dana dekonsentrasi Kemensos relatif
besar, namun alokasi yang diterima oleh masing-masing provinsi
relatif kecil, terutama jika dibandingkan dengan permasalahan
kesejahteraan sosial yang ada di wilayah yang bersangkutan. Sekedar
untuk memberi ilustrasi, tabel dibawah ini menguraikan distribusi dana
dekonsentrasi per provinsi untuk program Perlindungan Sosial Korban
Bencana Alam (PSKBA) dan program Perlindungan Sosial Korban
Bencana Sosial (PSKBS), dibandingkan dengan jumlah PMKS Korban
207
Bencana Alam dan Korban Bencana Sosial.8 Pembandingan
dekonsentrasi program PSKBA dan dekonsentrasi program PSKBS
dilakukan karena keduanya cukup kontras dilihat dari besaran
anggaran yang dialokasikan.
Tabel 6.7. Distribusi Dana Dekonsentrasi Kemsos per Provinsi
Tahun 2015 (dalam ribu rupiah), dan Jumlah PMKS
Korban Bencana Alam dan Korban Bencana Sosial Tahun
2012
Provinsi
Alokasi Dana Dekon-
sentrasi 2015 (Rp)
Jumlah PMKS 2012
(Jiwa)
Program
PSKBA
Program
PSKBS
Korban
Bencana
Alam
Korban
Bencana
Sosial
DKI Jakarta 3.952.990 396.140 - 1.413
Jawa Barat 3.197.709 415.760 27.4122 6.150
Jawa Tengah 2.894.420 365.060 13.2204 13.609
DI. Yogyakarta 3.079.810 387.640 - -
Jawa Timur 2.957.498 414.510 24.2332 10.881
Aceh 3.035.500 407.654 - -
Sumatera Utara 1.791.940 424.760 31.972 4.949
Sumatera Barat 2.293.130 411.460 24.154 33.983
Riau 1.948.892 403.390 43.464 559
Jambi 2.180.370 398.150 289 4
Sumatera Selatan 2.048.770 407.020 5.373 880
Lampung 2.146.386 408.800 4.388 1.429
Kalimantan Barat 1.948.780 397.120 85.962 20.656
Kalimantan Tengah 2.429.125 400.340 7.159 -
Kalimantan Selatan 2.403.100 407.820 125.802 76.792
Kalimantan Timur 2.403.200 434.560 11.429 611
Sulawesi Utara 1.899.210 421.260 638 801
8 Dilihat dari tahunnya, data tentang Distribusi Dana Dekonsentrasi Kementerian
Sosial per Provinsi Tahun 2015 ini memang secara tidak langsung tidak dapat
dibandingkan dengan data tentang Jumlah PMKS Korban Bencana Alam dan
Korban Bencana Sosial Tahun 2012. Namun mengingat data distribusi dana dekonsentrasi tidak dipublikasikan setiap tahunnya, sementara data PMKS 2015
baru bisa dihasilkan paling cepat pada tahun 2016, maka Tabel ini hanya
merupakan proksi untuk melihat bahwa besaran dana dekonsentrasi tidak cukup
optimal dalam menangani masalah sosial.
208
Sulawesi Tengah 2.263.652 422.860 1.352 18.589
Sulawesi Selatan 2.217.760 432.460 1.350 43
Sulawesi Tenggara 1.593.924 424.060 1.571 618
Maluku 2.226.445 455.680 26.118 -
Bali 1.817.324 432.160 2.812 132
NTB 2.118.660 424.660 25.845 9.535
NTT 2.451.124 442.968 35.332 909
Papua 2.135.740 496.040 5.000 7.893
Bengkulu 1.949.772 419.580 92 50
Maluku Utara 1.829.397 443.412 2.454 37.949
Banten 3.321.840 374.960 4.924 179
Bangka Belitung 1.911.640 412.210 1.595 38
Gorontalo 2.2.97.290 412.260 49035 61
Kepulauan Riau 1.832.200 409.424 - -
Papua Barat 2.209.832 306.360 6.952 10.723
Sulawesi Barat 1.510.940 406.360 - -
Kalimantan Utara 843.770 - - -
Jumlah 77.168.479 13.716.998 1.153.720 259.436
Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos, 2012
(diolah); dan Pedoman Pelaksanaan Dekonsentrasi tahun 2014
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (diolah).
Jika dilakukan rata-rata secara kasar, maka untuk setiap korban
bencana alam hanya mendapat bantuan sebesar Rp. 77.168.479.000
dibagi 1.153.720 jiwa, atau sebesar Rp. 66.887 saja. Padahal, anggaran
dekonsentrasi untuk program korban bencana alam bukan hanya untuk
bantuan, namun terbagi dalam 11 kegiatan lainnya, sebagaimana
diuraikan pada Tabel 5.6. Demikian pula untuk program dekonsentrasi
untuk korban bencana sosial, jika dirata-ratakan secara kasar akan
ditemukan angka nominal sebesar Rp 13.716.998.000 dibagi 259.436
jiwa, atau sebesar Rp 52.872, sementara masih ada tiga kegiatan yang
bersifat administratif.
Meskipun jumlah dana dekonsentrasi yang diterima oleh
daerah berdasarkan program relatif kecil, namun karena hampir setiap
209
kementerian mengucurkan dana dekonsentrasi, maka secara agregat
jumlah dana dekonsentrasi yang diterima setiap provinsi bisa dikatakan
cukup besar. Sebagai ilustrasi, data Direktorat Jenderal Perimbangan
kementerian Keuangan menunjukkan bahwa jumlah dana
dekonsentrasi yang diberikan kepada seluruh provinsi di Indonesia
pada tahun 2013 secara keseluruhan mencapai Rp 13,43 trilyun, lebih
sedikit dibanding alokasi tahun 2012 sebesar Rp. 17,86 trilyun
(Yusrizal Ilyas, 2014, Kebijakan Pengelolaan Dana Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan, Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi
Keuangan Daerah, DJPK Kementerian Keuangan). Tahun 2014 jumlah
dana dekonsentrasi merosot drastis menjadi hanya Rp. 6,81 trilyun
(Kementerian Keuangan, 2014, Rekomendasi Menteri Keuangan:
Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2015).
Dengan demikian terlihat bahwa trend dana dekonsentrasi dari
tahun ke tahun terus menurun. Hal ini antara lain disebabkan karena
adanya pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK sebagaimana
yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian. Meskipun terdapat
pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK sesuai amanat UU No.
33/2004, namun dana dekonsentrasi sendiri akan selalu ada sebagai
konsekuensi dari asas desentralisasi yang dilaksanakan bersama-sama
dengan asas dekonsentrasi.9 Hanya saja, trend pengurangan dana
dekonsentrasi tadi mengilustrasikan melemahnya fungsi
9 Wawancara dengan Kepala Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan, Direktorat Jenderal Perimbangan, Kementerian Keuangan, 7 Oktober
2014 di Kantor DJPK Kementerian Keuangan.
210
dekonsentrasi, sehingga peran pemerintah dalam melakukan
koordinasi, pembinaan dan monitoring evaluasi terhadap pemerintah
daerah juga akan berkurang. Dalam hal seperti ini, maka daerah
dituntut untuk lebih proaktif menjalin komunikasi dan konsultasi
dengan pemerintah pusat terkait pelaksanaan tugas otonominya.
Besarnya dana dekonsentrasi di daerah namun diterima kecil-
kecil oleh setiap sektor membuat pemanfaatan dana ini tidak optimal.
Ilustrasi tentang besaran untuk korban bencana alam seperti
dipaparkan pada tabel diatas mencerminkan betapa rendah efektivitas
dana ini. Perencanaan kebutuhan dilakukan berbagai pihak
(kementerian dan daerah) untuk program-program yang berbeda-beda
sehingga tidak fokus untuk mengatasi masalah tertentu yang benar-
benar dibutuhkan masyarakat. Jika dana ini diintegrasikan dengan
APBD, paling tidak perencanaan bisa lebih terfokus dan besaran dana
bantuan bisa memberi dampak yang lebih signifikan.
Trend penurunan alokasi dana dekonsentrasi juga terjadi di
Kalimantan Tengah, terutama disebabkan oleh menurunnya dana
dekonsentrasi sektor pendidikan. Sektor ini mengalami penurunan
yang drastis dalam hal besaran dana dekonsentrasi, yakni dari Rp 254
milyar lebih pada tahun 2010, menjadi hanya Rp 40 milyar lebih
sedikit pada tahun 2014. Sedangkan pada sektor lain, situasinya
beragam yang dicirikan oleh 6 (enam) sektor/instansi yang terus
memperbesar alokasi dana dekonsentrasi, 4 (empat) sektor/instansi
yang cenderung mengalami penurunan, dan sektor/instansi lainnya
bersifat fluktuatif dalam hal besaran dana alokasikan yang dilimpahkan
ke provinsi.
211
Adapun sektor-sektor atau instansi pusat yang mengalami
peningkatan dalam hal mengalokasikan dana dekonsentrasi setiap
tahun adalah Dalam Negeri, Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan,
Energi dan ESDM, Kesehatan, serta Pemuda dan Olahraga. Sedangkan
sektor-sektor atau instansi pusat yang cenderung semakin mengurangi
alokasi dana dekonsentrasinya meliputi Pendidikan, Sosial,
Kebudayaan dan Pariwisata, dan ANRI (Arsip Nasional).10
Selengkapnya perkembangan jumlah dan distribusi dana dekonsentrasi
dari Kementerian/Lembaga kepada Provinsi Kalimantan Tengah
selama kurun waktu tahun 2010-2014 dapat disimak pada Tabel
dibawah ini.
Tabel 6.8. Jumlah dan Distribusi Dana Dekonsentrasi yang Diterima
Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014 (dalam
ribu rupiah)
No Kementerian/
Lembaga
Dana Dekonsentrasi
2010 2011 2012 2013 2014
1 Dalam Negeri 17.728.834 29.206.044 33.066.421 35.878.449 42.784.707
2 Pertanian 19.471.775 30.702.711 44.482.595 45.311.775 40.374.772
3 Industri & Perdagangan
2.680.365 3.616.491 4.563.249 5.489.157 6.580.373
4 Energi & ESDM 1.000.000 1.000.000 1.843.952 2.024.332 2.587.572
5 Pendidikan 254.115.297 172.470.094 113.001.758 75.700.202 40.354.606
6 LH 500.000 500.000 3.133.926 4.200.000 3.464.094
7 Badan Penana-man Modal
150.000 271.740 500.000 500.000 500.000
8 PU 5.182.592 7.000.000 11.022.283 6.645.220 8.248.032
9 Kesehatan 20.269.688 15.120.682 16.273.562 22.069.444 23.585.668
10 Tenaga Kerja 6.621.571 5.477.214 11.935.837 10.485.123 6.503.253
10 Tahun 2011 merupakan tahun anomali bagi sektor kesehatan dan sektor sosial di
Kalimantan Tengah. Pada tahun ini, dana dekonsentrasi bidang kesehatan
mengalami penurunan yang cukup besar, namun terus meningkat selama tiga tahun berikutnya. Sebaliknya, bidang sosial mengalami peningkatan alokasi dana
dekonsentrasi pada tahun 2011 namun terus menurun pada tahun-tahun
selanjutnya. Kondisi serupa dialami juga oleh bidang kebudayaan dan pariwisata
yang hanya mengalami peningkatan alokasi pada tahun 2011.
212
11 Sosial 11 16.723.802 17.857.609 17.161.347 14.516.798 13.438.315
12 Kehutanan 3.707.258 4.754.382 5.505.693 5.937.821 3.817.177
13 Kelautan & Perikanan
7.083.663 6.855.781 8.406.088 8.847.094 6.954.054
14 Pemuda & OR 5.508.980 4.768.502 5.445.319 6.456.760 7.034.837
15 Koperasi & UKM
4.090.194 4.040.194 5.202.388 4.494.336 4.568.759
16 Budaya & Pariwisata
1.555.000 3.494.322 2.382.000 1.750.000 1.400.000
17 ANRI - 7.492.161 4.229.782 157.171 -
18 Bappenas - - 960.690 960.690 960.690
19 Perpustakaan Nasional
2.688.064 - - 2.227.540 402.783
Jumlah 369.077.073 314.629.927 289.056.890 253.651.912 213.559.692
Sumber: Bappeda Kalimantan Tengah (2014, diolah)
Penurunan dana dekonsentrasi sektor pendidikan meskipun
cukup signifikan, namun tidak begitu berdampak terhadap upaya
pembiayaan program pembangunan pendidikan di Kalimantan
Tengah. Sebab, sektor pendidikan adalah salah satu prioritas tertinggi
dalam pembangunan daerah Kalimantan Tengah (selain kesehatan dan
sektor ekonomi), sehingga alokasi APBD untuk sektor pendidikan
terus mengalami peningkatan. Namun untuk sektor sosial yang bukan
merupakan prioritas pembangunan dan memiliki alokasi anggaran di
APBD yang relatif kecil, maka penurunan dana dekonsentrasi cukup
mempengaruhi pemerintah daerah untuk mencapai target-target kinerja
yang diinginkan. Itulah sebabnya, integrasi dana dekonsentrasi sosial
11 Ada perbedaan data antara Bappeda Kalimantan Tengah dengan Dinas Sosial
Kalimantan Tengah tentang besaran dana dekonsentrasi, meskipun sama-sama
mengalami penurunan setiap tahunnya. Berdasarkan data Dinas Sosial, besaran
dana dekonsentrasi yang diterima dari Kementerian Sosial adalah Rp
16.598.760.000 (2014), Rp 17.931.973.000 (2013), Rp 20.317.439.000 (2012), dan Rp 22.586.837.000 (2011). Berdasarkan penjelasan Bappeda Kalteng
(wawancara dengan Kabid Pengendalian, 9 Oktober 2014), perbedaan data ini
terjadi karena Bappeda menggunakan data perencanaan, sedang Dinas Sosial
adalah dana riil yang berubah-ubah karena adanya revisi anggaran.
213
kedalam skema APBD akan memberi keleluasaan baru bagi daerah
dalam merumuskan program dan capaian kinerjanya.
Untunglah, disaat dana dekonsentrasi dan desentralisasi masih
berdiri pada tempatnya masing-masing, kekurangan anggaran untuk
mendukung pembangunan sosial dapat ditutup dari sumber lain dengan
dilakukannya inovasi atau terobosan baru untuk mencari sumber-
sumber pembiayaan baru yang potensial. Kalimantan Tengah yang
merupakan daerah yang kaya dengan potensi sumber daya alam seperti
pertambangan dan kehutanan, memiliki cukup banyak perusahaan
nasional maupun multi-nasional yang potensial sebagai sumber
pembiayaan melalui skema CSR (corporate social responsibility).
Melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 11 Tahun
2012 tentang Pelaksanaan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan
Perusahaan (TSLP)12, perusahaan yang dalam kegiatan usahanya
menimbulkan dampak baik sosial maupun lingkungan, diberikan
tanggungjawab sosial dan lingkungan sekaligus sebagai manifestasi
pemberian kesempatan yang lebih luas untuk berperan serta dalam
pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan.
Dari sumber inilah maka trend dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan bidang sosial yang terus berkurang belum terasa
12 Perda ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No.
188.44/719/2013 tentang Forum CSR Provinsi Kalimantan Tengah. Melalui forum
CSR ini, maka bantuan dan program CSR tidak ditentukan secara top-down oleh
pemerintah provinsi, namun melalui pembahasan para pengusaha berbasis pada
kesadaran dan kemampuan masing-masing perusahaan. Dalam forum ini, Ketua KADIN, Ketua Gapensi, dan Ketua HIPMI Kalimantan Tengah berkedudukan
sebagai Pengawas; sementara Pengurus Inti antara lain terdiri dari BRI Cabang
Palangkaraya, Direktur PT. Gema Cipta Nusantara, Bank Kalteng, BNI Cabang
Palangkaraya, dan sebagainya.
214
dampaknya secara serius di Kalimantan Tengah. Namun bagi daerah
yang tidak memiliki sumber pembiayaan alternatif, penurunan dana
dekonsentrasi akan menimbulkan permasalahan yang cukup rumit.
Wujud partisipasi perusahaan tersebut adalah dengan
memberikan bantuan atau program untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang
membawa manfaat secara timbal balik baik bagi perusahaan maupun
bagi komunitas sekitar perusahaan tersebut berada. Dalam hal ini,
wujud bantuan atau program TSLP meliputi enam hal, yakni:
a. Bantuan pembiayaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial;
b. Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat dan kebudayaan;
c. Peningkatan taraf kesehatan masyarakat;
d. Kompensasi pemulihan dan/atau peningkatan fungsi lingkungan
hidup;
e. Memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas berbasis
kerakyatan, dan
f. Pengembangan infrastruktur publik yang selaras dengan program-
program pemerintah daerah dan kegiatan usaha perusahaan.
Ada hal yang menarik dari keenam program TSLP diatas jika
dibandingkan dengan prioritas pembangunan daerah sebagaimana
dikemukakan pada awal bab ini. Jika prioritas tertinggi pembangunan
daerah di provinsi ini sebagaimana tertera dalam RPJMD diletakkan
pada sektor pertumbuhan ekonomi (termasuk pengembangan
infrastruktur), maka Perda No. 11 Tahun 2012 justru memberi titik
berat TSLP pada penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Secara selintas
nampak ada pertentangan antara RPJMD dengan Perda No. 11 Tahun
215
2012. Namun sesungguhnya hal itu disengaja dengan maksud agar
sektor kesejahteraan sosial tetap mendapat perhatian yang cukup dan
dukungan pembiayaan yang memadai. Dengan demikian, meskipun
dana dekonsentrasi semakin berkurang setiap tahunnya, namun dengan
dukungan CSR dari berbagai perusahaan maka pelayanan bidang sosial
akan dapat diselenggarakan dengan baik. Inilah salah satu terobosan
dari pemerintah Provinsi Kalteng untuk mengantisipasi dukungan
pendanaan yang semakin kecil dari pemerintah pusat (cq. Kementerian
Sosial).
Disamping adanya trend jumlah penurunan dana
dekonsentrasi, terdapat indikasi bahwa dana dekonsentrasi sangat
dibutuhkan oleh provinsi karena keterbatasan APBD dalam
mendukung pembangunan di daerah, bahkan cenderung menciptakan
ketergantungan. Di beberapa daerah bahkan jumlah dana dekonsentrasi
di bidang kesejahteraan sosial lebih besar dibanding dana APBD untuk
Dinas Sosial di provinsi tersebut.13
Di Kalimantan Tengah hal ini juga terjadi dimana pada tahun
2014, dana dekonsentrasi sebesar Rp. 16,598 Milyar, namun APBD
untuk bidang sosial hanya Rp 15,807 Milyar. Dalam situasi seperti ini,
dana dekonsentrasi sangat membantu pemenuhan kebutuhan daerah,
sementara idealnya dana dekonsentrasi digunakan untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan pusat di daerah. Dengan demikian, tanpa
disadari telah terjadi pergeseran filosofi tentang program dan anggaran
dekonsentrasi. Sayangnya, hingga saat ini masih sangat sulit untuk
13 Wawancara dengan Inspektur Jenderal Kemensos, Kamis, 2 Oktober 2014 di
Kantor Kemensos.
216
dibuat garis batas yang tegas antara kepentingan pusat dan kepentingan
daerah. Sebagai contoh, issu anak terlantar secara faktual berada di
daerah, namun pemerintah pusat tidak dapat melepaskan urusan
penanganan anak terlantar ini sepenuhnya kepada daerah mengingat
berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah daerah. Itulah
sebabnya, Kemensos masih merasa berkewajiban untuk
mengalokasikan anggaran penanganan anak terlantar sebagai program
dan kepentingan pusat.
Hal lain yang dapat diamati dari aspek anggaran adalah bahwa
mandat Pasal 108 UU No. 33/2004 tentang pengalihan dana
dekonsentrasi menjadi DAK (Dana Alokasi Khusus) ternyata tidak
berjalan dengan baik. Sumber permasalahan mengapa dana
dekonsentrasi tidak dapat dialihkan menjadi DAK adalah karakteristik
yang berbeda antara program dekonsentrasi dengan program yang
dibiayai oleh DAK. Program dekonsentrasi tidak boleh bersifat fisik,
sementara DAK justru untuk membiayai program fisik. Perbedaan
karakteristik ini terntu juga berimplikasi kepada kebutuhan untuk
mengubah perencanaan program hingga pertanggungjawabannya.
Selain itu, Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi empat
kelompok utama kendala pengalihan tersebut, yakni:
1) kendala dan fakta dari sisi metode pendekatan dalam
mengklasifikasikan pembagian urusan pemerintahan (yang menjadi faktor utama), 2) masih dominannya peran pemerintah
pusat dalam melaksanakan semua urusan pasca implementasi
otonomi/desentralisasi daerah mengaburkan posisi masing-masing level pemerintahan, 3) dengan usia
otonomi/desentraslisasi daerah yang sudah 10 tahun, kemampuan
daerah dalam melaksanakan urusan wajib masih terbatas sungguh menjadi ironi yang mematahkan tesis otonomi/desentraslisasi,
dan; 4) kesinkronan aturan teknis menjadi kendala yang cukup
217
signifikan menjadi ganjalan untuk merampungkan pengalihan
secara tuntas (Kementerian Keuangan, Rekomendasi Menteri
Keuangan 2013 Untuk Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan 2014, Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan, 2013).
Di lingkungan Kemensos, upaya pengalihan ini juga sudah
pernah dicoba dan diterapkan namun tidak berjalan efektif, sehingga
akhirnya kembali kepada mekanisme dekonsentrasi. Ternyata,
pengalaman di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga sama,
dimana Dana BOS sudah dicoba dilakukan melalui DAK namun dalam
pelaksanaannya ada beberapa daerah tidak bisa melaksanakan secara
optimal sehingga ada indikasi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan meminta kembali pengelolaan Dana BOS (Kementerian
Keuangan, ibid, 2013).
Menariknya, Provinsi Kalimantan Tengah ternyata juga
menerima dana Tugas Pembantuan. Tabel dibawah ini
menggambarkan perkembangan alokasi dana tugas pembantuan yang
diterima oleh provinsi Kalimantan Tengah selama lima tahun terakhir.
Tabel 6.9. Jumlah dan Distribusi Dana Tugas Pembantuan yang
Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014
(dalam ribu rupiah)
No Kementerian /
Lembaga Dana Tugas Pembantuan
2010 2011 2012 2013 2014 1 Pertanian 15.799.075 22.695.090 68.592.720 128.069.337 100.250.684
2 Kesehatan 20.000.000 - - - -
3 Tenaga Kerja Transmigrasi
29.541.543 28.705.678 40.460.978 25.854.844 16.378.404
4 Sosial 4.635.503 2.635.490 3.646.392 3.769.667 3.160.445
5 Kelautan & Perikanan
6.525.840 5.706.670 8.243.042 6.984.275 4.155.795
6 PU 70.101.300 84.805.000 87.266.740 76.103.286 67.697.280
7 Budaya & Pariwista - 2.500.000 1.750.000 - -
8 Dalam Negeri - - 2.000.000 - -
Jumlah 146.603.261 147.047.928 212.209.872 240.781.409 191.642.608
Sumber: Bappeda Kalimantan Tengah (2014, diolah)
218
Tabel 6.8. dan 6.9. diatas menjelaskan beberapa hal. Pertama,
besaran alokasi dana dekonsentrasi yang diterima daerah (cq.
Kalimantan Tengah) semenjak tahun 2013 relatif berimbang dengan
besaran dana tugas pembantuan. Namun pada periode 2010-2012,
alokasi dana dekonsentrasi jauh melampaui dana tugas pembantuan.
Hal ini terjadi karena kecenderungan dana dekonsentrasi yang semakin
merosot sementara dana tugas pembantuan semakin meningkat. Dilihat
dari karakter masing-masing sumber pendanaannya, dapat diketahui
bahwa orientasi kepada belanja program fisik (dana tugas pembantuan)
semakin meningkat, sementara belanja program non-fisik semakin
mengecil (dana dekonsentrasi). Kedua, hanya sedikit kementerian
yang mengalokasikan dana tugas pembantuan kepada provinsi, karena
memang alokasi dana ini semestinya untuk kabupaten/kota. Selain itu,
pola pengalokasian data tugas pembantuan juga tidak terstruktur,
misalnya Kementerian Dalam Negeri yang hanya mengalokasikan
pada tahun 2012, Kementerian Kesehatan hanya mengalokasikan pada
tahun 2010, atau Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang hanya
mengalokasikan pada tahun 2011 dan 2012. Pada kasus ketiga
kementerian ini, sudah dapat dipastikan bahwa program/kegiatan fisik
yang dilakukan tidak bersifat tahun jamak (multi years), dan hanya
memenuhi kebutuhan tahun berjalan saja. Ketiga, dilihat dari
peruntukannya, dana tugas pembantuan diberikan kepada perangkat
daerah dalam rangka melakukan tugas tertentu dari pemerintah pusat
(cq. kementerian/lembaga), sangat berbeda sekali dengan dana
dekonsentrasi yang diberikan kepada perangkat pusat di daerah. Oleh
karena hanya gubernur yang berkedudukan selaku wakil pemerintah,
219
maka hanya gubernur-lah yang dapat menerima dana dekonsentrasi,
sementara dana tugas pembantuan pada umumnya diberikan kepada
kabupaten/kota. Meski tidak ada larangan kebijakan untuk
memberikan dana tugas pembantuan kepada provinsi, namun apabila
jumlah dana TP semakin besar dialokasikan di tingkat provinsi, maka
pembangunan di tingkat kabupaten/kota bisa terganggu, khususnya
jika mereka memiliki kapasitas fiskal yang relatif rendah. Dengan kata
lain, eksistensi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan pada
dasarnya adalah untuk menjaga keseimbangan pembangunan baik
antar sektor maupun antara pembangunan di provinsi dengan
pembangunan di kabupaten/kota.
Khusus sektor sosial, perkembangan jumlah dana tugas
pembantuan yang diterima oleh Dinas Sosial Kalimantan Tengah
selama empat tahun terakhir beserta program kerja yang dibiayai dari
dana TP dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 6.10. Program Kerja dan Jumlah Dana Tugas Pembantuan yang
Diterima Dinas Sosial Kalimantan Tengah Tahun 2010-
2014 (dalam ribu rupiah)
No Program Dana Tugas Pembantuan Bidang Sosial
2011 2012 2013 2014
1 Pemberdayaan
Komunitas Adat Terpencil (KAT)
3.028.750 2.404.600 3.415.175 3.160.445
2 Perlindungan
Sosial Korban
Bencana Alam
1.700.378 114.492 354.492 -
3 Perlindungan
Sosial Korban
Bencana Sosial
- 37.000 - -
4 Pelestarian Kepahlawanan,
Keperintisan, dan
- 600.000 - -
220
Kesetiakawanan
Sosial
Jumlah 14 4.729.128 3.156.092 3.769.667 3.160.445
Sumber: Dinas Sosial Kalimantan Tengah (2014, diolah)
Dari tabel diatas terlihat bahwa besaran dana tugas pembantuan
selama empat tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang
signifikan. Namun dilihat dari program kerja yang dibiayai, ternyata
jumlahnya semakin sedikit dan tinggal satu yakni program
pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Dari 13
kabupaten/kota di Kalimantan Tengah, saat ini masih ada tiga
kabupaten yang memiliki KAT, yakni Kabupaten Kotawaringin
Timur, Kabupaten Gunung Mas, dan Kabupaten Murung Raya. Hal ini
mengindikasikan bahwa seiring dengan semakin meningkatnya
pembangunan di daerah yang berimplikasi semakin berkurangnya
jumlah daerah terpencil, maka suatu saat keberadaan dana tugas
pembantuan dalam rangka pemberdayaan KAT tidak akan diperlukan
lagi.
Selain melihat trend dana dekonsentrasi yang semakin
menurun dan trend dana tugas pembantuan yang cenderung meningkat
setiap tahun kecuali pada tahun 2014, menganalisis aspek anggaran
dekonsentrasi juga bisa dilihat dari perbandingan antara jumlah total
dana dekonsentrasi semua sektor dengan total APBD. Dalam hal ini
14 Data pada Dinas Sosial Kalimantan Tengah ini berbeda dibandingkan data
Bappeda Kalimantan Tengah sebagaimana tercantum pada Tabel 6.8, khususnya pada tahun 2011 dan 2012. Sedangkan untuk tahun 2013 dan 2014 tidak ada
perbedaan data. Kemungkinan penyebab perbedaan data ini adalah komunikasi dan
koordinasi yang lemah antara kedua instansi, atau pencatatan/pendokumentasian
yang lemah di Bappeda terkait perubahan/revisi anggaran dana tugas pembantuan.
221
dapat dilihat bahwa kemampuan fiskal Kalimantan Tengah semakin
menguat yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya APBD.
Sementara dana dekonsentrasi secara akumulatif semakin menurun,
bukan hanya di sektor kesejahteraan sosial saja. Dalam empat tahun
terakhir (2011-2014), APBD Kalimantan Tengah meningkat hampir
100 persen, dan sebaliknya dana dekonsentrasi menurun lebih dari 30
persen.
Tabel 6.11. Perbandingan Jumlah Dana Dekonsentrasi dan Dana
Tugas Pembantuan yang Diterima Provinsi Kalteng
dengan APBD Kalteng Tahun 2010-2014
Tahun APBD Dana
Dekonsentrasi
Dana Tugas
Pembantuan
2011 1.712.570.051.000 314.629.927.000 147.047.928.000
2012 2.260.466.375.417 289.056.890.000 212.209.872.000
2013 2.501.734.823.005 253.651.912.000 240.781.409.000
2014 3.041.907.060.000 213.559.692.000 191.642.608.000
Sumber: Bappeda Kalimantan Tengah (2014, diolah)
Dengan melihat perbandingan dan trend diatas, dapat disimak
bahwa kontribusi dana dekonsentrasi semakin mengecil dalam
pembiayaan pembangunan daerah. Jika dikaitkan dengan
perbandingan antara total anggaran (DIPA) Kementerian Sosial
dengan alokasi dana dekonsentrasi yang rasionya semakin kecil, maka
ada kecenderungan bahwa anggaran pusat semakin besar dinikmati
oleh aparat di pusat itu sendiri. Hal ini tentu akan membawa
konsekuensi program dekonsentrasi akan semakin berkurang, dan
daerah harus lebih fokus untuk memperkuat kapasitas fiskalnya.
Meskipun dana dekonsentrasi cenderung berkurang yang
dikonfirmasi oleh data di kementerian dan di daerah, namun diyakini
bahwa dana ini tidak akan pernah hilang sama sekali. Menurut Kepala
222
Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan,
perintah UU No. 33/2004 tentang pengalihan dana dekonsentrasi
menjadi dana alokasi khusus (DAK) tidak berlaku bagi seluruh dana
dekonsentrasi, namun hanya dana dekonsentrasi yang selama ini masih
keliru dalam pengalokasiannya untuk membiayai aktivitas fisik.15
Artinya, dana dekonsentrasi akan menemukan titik equilibriumnya,
yakni sebuah posisi dimana jumlah dana dekonsentrasi tidak cukup
besar namun mampu mendukung tugas-tugas pemerintah pusat untuk
melakukan fungsi-fungsi pembinaan dan supervisi kepada daerah
sekaligus mendukung program-program daerah yang memiliki nilai
strategis dan eksternalitas skala nasional. Gubernur Kalteng juga
menyadari bahwa meskipun dana dekonsentrasi semakin berkurang,
namun keberadaan fungsi pusat di daerah tidak mungkin dihilangkan
dan akan terus dibutuhkan oleh daerah.16
Box 6.3. Ketergantungan Daerah terhadap Dana Dekonsentrasi dan
Melemahnya Fungsi Dekonsentrasi Sosial
Total dana dekonsentrasi secara nasional mengalami penurunan
secara signifikan selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2014 hanya
tersedia sebesar Rp. 6,81 trilyun, jauh lebih sedikit dibanding tahun 2013 (Rp 13,43 trilyun) dan tahun 2012 (Rp 17,86 trilyun). Dari
jumlah tersebut, dana dekonsentrasi bidang sosial secara nasional
mengalami fluktuasi, dari Rp 623,913,375 pada tahun 2012, turun
menjadi Rp 546,425,389 (2013) dan naik lagi menjadi Rp 580,933,675 (2012).
15 Wawancara dengan Kepala Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian
Keuangan, tanggal 7 Oktober 2014.
16 Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah, tanggal 9 Oktober 2014, di
rumah jabatan Gubernur Kalteng.
223
Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi yang terimbas berkurangnya dana dekonsentrasi. Selama 5 tahun terakhir, dana
yang diterima provinsi ini terus mengalami penurunan dari Rp 369
milyar pada tahun 2010, menjadi hanya Rp 213 milyar pada tahun
2014. Sektor sosial termasuk yang mengalami penurunan dalam alokasi dana dekonsentrasi untuk Kalteng, dari Rp 22,586 milyar
pada tahun 2011 menjadi Rp 16,598 milyar pada tahun 2014.
Tren penurunan dana dekonsentrasi tersebut mengindikasikan melemahnya dukungan program dekonsentrasi dalam menopang
pembangunan daerah. Meskipun demikian, menarik untuk dikaji
karena meskipun dana dekonsentrasi semakin mengecil, namun ternyata masih lebih besar dibanding dengan dana APBD untuk
sektor yang sama (cq. sosial). Pada tahun 2014, misalnya, dana
dekonsentrasi yang diterima provinsi ini adalah sebesar Rp. 16,598
milyar, sedangkan APBD untuk bidang sosial hanya Rp 15,807 milyar.
Ilustrasi diatas menunjukkan adanya kecenderungan daerah ini
mengalami ketergantungan pada dana dekonsentrasi sebagai sumber pembiayaan pembangunan di daerah. Ketergantungan ini muncul
karena bidang sosial bukan termasuk bidang prioritas dalam RPJMD
Kalimantan Tengah, sehingga tidak mendapat porsi anggaran yang signifikan.
Jika alokasi dana dekonsentrasi semakin menurun, sementara
daerah sendiri tidak memberi perhatian terhadap pembangunan
bidang kesejahteraan sosial, dikhwatirkan sektor ini akan semakin merosot kinerjanya. Meskipun saat ini sudah ada kebijakan untuk
mengarahkan dana CSR sebagai komponen penunjang sektor sosial,
namun pemerintah provinsi tetap wajib mencari jalan yang cerdas untuk kesinambungan pembangunan sosial di daerah.
C. Aspek Kelembagaan Dekonsentrasi
Meskipun tidak ada lagi Kantor Wilayah seperti pada masa
berlakunya UU No. 5/1974, namun Kementerian Sosial memiliki
“instansi vertikal” berupa Balai Besar dan panti-panti. Dalam hal ini,
terdapat 10 Balai Besar (6 Diklat, 1 Litbang, dan 3 Rehabilitasi), 1
Sekolah Tinggi, 35 panti sosial, dan 4 unit non satker, dengan perincian
dan persebaran wilayah sebagai berikut:
224
Tabel 6.12. Unit Kerja di Lingkungan Kemensos yang Berkedudukan
di Daerah
No Instansi Vertikal Kemensos
Balai Besar Diklat dan Litbang
1 Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
(B2P2KS) Wilayah Regional I Padang
2 B2P2KS Wilayah Regional II Bandung
3 B2P2KS Wilayah Regional III Yogyakarta
4 B2P2KS Wilayah Regional IV Banjarmasin
5 B2P2KS Wilayah Regional V Makassar
6 B2P2KS Wilayah Regional VI Jayapura
7 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta
8 BBRVBD (Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa)
Cibinong, Jawa Barat
9 BBRSBD (Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa) Soeharso,
Surakarta, Jawa Tengah
10 BBRSBG (Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita) Kartini,
Temanggung, Jawa Tengah
Sekolah Tinggi
1 Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung
Panti (Satuan Kerja)
1 BPBI (Balai Penerbitan Braille Indonesia) Abiyoso, Cimahi, Jawa Barat
2 PSBG (Panti Sosial Bina Grahita) Nipotowe, Palu, Sulawesi
Tengah
3 PSBRW (Panti Sosial Bina Rungu Wicara) Melati, Cipayung,
Jakarta Timur
4 PSBRW Meohai, Kendari, Sulawesi Tenggara
5 PSBRW Efata, Naibonat, NTT
6 PSBG Ciung Wanara, Cibinong, Jawa Barat
7 PSPP (Panti Sosial Pamardi Putra) Galih Pakuan, Parung, Bogor,
Jawa Barat
8 PSPP Insyaf, Lou Bakeri, Medan, Sumatera Utara
9 PSMP (Panti Sosial Marsudi Putra) Toddopuli, Makassar, Sulawesi Selatan
10 PSMP Handayani, Cipayung, Jakarta Timur
11 PSMP Paramita, Mataram, NTB
12 PSMP Antasena, Salaman, Jawa Tengah
225
13 PSBR (Panti Sosial Bina Remaja) Bambu Apus, Cipayung, Jakarta
Timur
14 PSBR Rumbai, Pekanbaru, Riau
15 PSBR Naibonat, Kupang, NTT
16 PSAA (Panti Sosial Asuhan Anak) Alyatama, Talang Bakung,
Jambi
17 PSAA Tunas Bangsa, Pati, Jawa Tengah
18 PSAA Darussa’adah, Aceh Besar, Aceh
19 PSBL (Panti Sosial Bina Laras) Phala Martha, Cibadak,
Sukabumi, Jawa Barat
20 PSBL Dharma Guna, Pagar Dewa, Bengkulu
21 PSBL Budi Luhur, Banjarbaru, Kalimantan Selatan
22 PSBN (Panti Sosial Bina Netra) Mahatmiya, Kediri-Tabanan, Bali
23 PSBN Tan Miyat, Bekasi, Jawa Barat
24 PSBN Wiyata Guna, Bandung, Jawa Barat
25 PSBN Tu Mou Tow, Manado, Sulawesi Utara
26 PSPA (Panti Sosial Petirahan Anak) Satria, Baturaden,
Purwokerto, Jawa Tengah
27 PSKW (Panti Sosial Karya Wanita) Mulya Jaya, Pasar Rebo,
Jakarta Timur
28 PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha) Budhi Dharma, Bekasi, Jawa
Barat
29 PSTW Gau Mabaji, Samaya, Makassar, Sulawesi Selatan
30 PSTW Minaula, Kendari, Sulawesi Tenggara
31 PSBK (Panti Sosial Bina Karya) Pangudi Luhur, Bekasi, Jawa
Barat
32 PSBD (Panti Sosial Bina Daksa) Budi Perkasa, Palembang,
Sumatera Selatan
33 PSBD Bahagia, Medan, Sumatera Utara
34 PSBD Wirajaya, Makassar, Sulawesi Selatan
35 PSBPLK (Panti Sosial Bina Pasca Lara Kronis) Wasana Bahagia,
Ternate Selatan, Maluku
Unit Non-Satker
1 SDC (Social Development Center) Bambu Apus, Jakarta Timur
2 RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) Bambu Apus, Jakarta
Timur
3 PLT-ADK (Pusat Layanan Terpadu Anak Dengan Kecacatan)
Bambu Apus, Jakarta Timur
4 RPS ODHA (Rumah Perlindungan Sosial Orang Dengan
HIV/AIDS) Sukabumi, Jawa Barat
Sumber: data-data Kemensos, diolah, 2014.
226
Meskipun unit-unit kerja diatas berkedudukan di daerah,
namun tidak dapat dikatakan sebagai instansi vertikal yang
menjalankan urusan/program dekonsentrasi dan dibiayai melalui dana
dekonsentrasi. Sebab, unit-unit kerja tersebut tidak menerima
pelimpahan wewenang, dan anggaran yang digunakan adalah DIPA
yang dikelola sendiri oleh Kemensos. Untuk Balai Besar Diklat dan
Litbang menginduk pada Badan Pendidikan dan Penelitian
Kesejahteraan Sosial, sedangkan untuk panti asuhan menginduk pada
Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.
Temuan ini mengkonfirmasi hasil FGD yang dilakukan penulis
dan menghasilkan kesimpulan bahwa konsep kelembagaan pelaksana
urusan dekonsentrasi juga masih rancu dan membingungkan.
Keberadaan UPT dan/atau unit kerja kementerian di daerah secara
definisi termasuk dalam kelembagaan dekonsentrasi, namun dalam
praktek tidak menunjukkan karakter sebagai perangkat kewilayahan,
karena memiliki wilayah kerja yang mencakup lebih dari satu provinsi,
serta dalam realitanya tidak mengelola program dan dana
dekonsentrasi, melainkan program dan anggaran kementerian.
Program dan anggaran dekonsentrasi bidang sosial adalah program dan
anggaran yang dilimpahkan Kemensos kepada Dinas Sosial Provinsi.
Sementara itu di tingkat daerah, fungsi wakil pemerintah masih
dipegang sendiri oleh gubernur karena belum terbentuk perangkat
sebagaimana diamanatkan oleh PP No. 23/2011 tentang Perubahan
Atas PP Nomor 19/2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah di Wilayah Provinsi, dan Peraturan Mendagri No. 66/2012
227
tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011. Berdasarkan PP dan
Permendagri tersebut, fungsi gubernur selaku wakil pemerintah
semestinya dibantu oleh Sekretaris Gubernur yang dijabat secara ex-
officio oleh Sekretaris Daerah. Selanjutnya, Sekretaris Gubernur secara
operasional dibantu oleh kelompok jabatan fungsional. Berdasarkan
Peraturan Mendagri No. 66/2012, kelompok jabatan fungsional ini
diterjemahkan sebagai kelompok kerja berjumlah lima kelompok,
masing-masing adalah Pokja Bidang Stabilitas Pemerintahan dan
Politik Dalam Negeri, Pokja Penataan Wilayah dan Pembangunan
Daerah, Pokja Bidang Penguatan Tata Kelola Pemerintahan, Pokja
Bidang Penguatan Hubungan Pusat, Daerah dan Antar Daerah, dan
Pokja Bidang Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat. Setiap
Pokja secara ex-officio dipimpin oleh seorang koordinator yang dijabat
oleh Staf Ahli Gubernur.
Klausul inilah yang belum terlaksana di Kalimantan Tengah,
sehingga gubernur menjalankan tugas dan fungsinya selaku wakil
pemerintah terintegrasi dengan tugas hariannya selaku Kepala Daerah.
Kedudukan selaku wakil pemerintah ini menurut Gubernur
Kalimantan Tengah merupakan kedudukan yang tidak bergigi.
Seorang gubernur tidak bisa optimal melaksanakan tugasnya sebagai
wakil pemerintah dengan tegas, misalnya untuk memberi sanksi
apabila terjadi pelanggaran terkait dengan kewenangannya sebagai
koordinator dan pengawas pembangunan di daerah, terutama terhadap
kabupaten/kota. Itulah sebabnya, kalaupun akan dibentuk perangkat
gubernur selaku wakil pemerintah, diyakini tidak akan efektif
sepanjang tidak disertai dengan otoritas yang lebih kuat. Selain itu,
228
peranan dan beban Sekretaris Daerah sudah sangat overload. Jika
ditambah lagi dengan tugas baru sebagai Sekretaris Gubernur, akan
semakin berat dan semakin tidak efektif. Itulah sebabnya, pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah lebih memilih untuk mengotimalkan
kelembagaan yang telah ada. 17
Meskipun berorientasi pada pembenahan perangkat yang sudah
ada, namun pelaksanaan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah
sudah dinilai cukup baik oleh kabupaten/kota. Hal ini terungkap dari
pernyataan Walikota Palangkaraya yang menyebutkan bahwa fungsi
dekonsentrasi dan peran gubernur selaku wakil pemerintah sudah
cukup baik. Melalui upaya-upaya koordinasi dan pelaksanaan forum
Rakordal (rapat koordinasi dan pengendalian), gubernur relatif mampu
melakukan sinkronisasi program antar kabupaten/kota di wilayah
provinsi. Hanya saja perlu diperhatikan adanya problem klasik di
daerah yakni regulasi di tingkat pusat yang tidak sinkron antara satu
kementerian dengan kementerian lain. Bahkan banyak regulasi yang
belum berjalan baik, sudah terjadi perubahan lagi. Situasi ini membuat
daerah bingung dan mengakibatkan banyak program tidak berjalan
dengan baik. Selain itu, kebijakan dalam pengalokasian anggaran
sebaiknya tidak dilakukan berdasarkan lobby-lobby, melainkan
berdasarkan kebutuhan daerah. Sebab, daerah-daerah minus yang tidak
memiliki akses lobby akan sangat rugi karena tidak memiliki sumber
17 Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah, Kamis, 9 Oktober 2014, di
rumah jabatan Gubernur Kalteng.
229
alternatif dalam pembiayaan program-program pembangunan di
daerahnya. 18
Box 6.4. Kerancuan Kelembagaan Dekonsentrasi
Kementerian Sosial memiliki “instansi vertikal” yang terdiri dari 10 Balai Besar (6 Diklat, 1 Litbang, dan 3 Rehabilitasi), 1
Sekolah Tinggi, 35 panti sosial, dan 4 unit non satker. Namun, unit
kerja atau unit pelaksana teknis di daerah ini tidak menjalankan urusan/program dan tidak menerima pelimpahan wewenang.
Mereka menjalankan program kementerian dan mengelola sendiri
DIPA Kementerian Sosial.
Sementara itu, perangkat gubernur selaku wakil pemerintah sesuai amanat PP No. 23/2011 dan Peraturan Mendagri No. 66/2012
tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011 masih belum terbentuk sampai
sekarang, karena gubernur memandang lembaga itu tidak akan efektif dan bahkan hanya memberi beban tambahan bagi jajaran
pejabat daerah. Harapan daerah justru supaya berbagai UPT
kementerian yang ada di daerah, dilimpahkan sebagai perangkat
daerah, lengkap dengan program dan anggarannya, agar tidak menimbulkan duplikasi fungsi atau urusan.
Hal ini sesuai dengan kesimpulan riset Agus Dwiyanto (2015:
10) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan pemerintah di daerah oleh UPT/balai sering menimbulkan eksternalitas negatif
bagi daerah.
D. Aspek Mekanisme Perencanaan Dekonsentrasi
Program dekonsentrasi di Indonesia pada umumnya dan
dekonsentrasi bidang sosial khususnya saat ini telah menjelma menjadi
program rutin yang berjalan secara berulang setiap tahun tanpa ada
nuansa-nuansa pembaharuan. Dari tahun ke tahun, kelompok program
dekonsentrasi cenderung tidak pernah berubah, sebagaimana pula
kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, mekanisme
18 Wawancara dengan Walikota Palangkaraya, Jumat, 10 Oktober 2014, di rumah
kediaman Walikota.
230
perencanaan program dekonsentrasi-pun menjadi teknis dan mekanis,
formalistik, dan tidak ada kebaruan dari waktu ke waktu (business as
usual).
Sekitar pertengahan tahun berjalan, Kemensos akan
menyelenggarakan Rapat Koordinasi Perencanaan Program dan
Anggaran untuk tahun yang akan datang. Dalam rakor semacam ini
lazimnya akan diinformasikan tentang pagu anggaran untuk masing-
masing satuan kerja maupun pagu untuk dekonsentrasi. Ini berarti
perencanaan program dekonsentrasi bersifat top down, yang
selanjutnya dikomunikasikan kepada daerah (cq. Dinas Sosial
Provinsi). Karena sudah menjadi sesuatu yang rutin, maka pada
umumnya peserta dari daerah hanya akan menerima apa adanya (taken
for granted).
Padahal, idealnya perencanaan dekonsentrasi itu
mengkombinasikan antara kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai
oleh pusat (cq. kementerian) dengan kebutuhan dan prioritas
pembangunan daerah. Ditambah lagi dengan tidak adanya pengukuran
dampak atau kemanfaatan dari program dekonsentrasi, maka
dekonsentrasi telah kehilangan filosofi dasarnya sebagai penyeimbang
urusan dan program desentralisasi.
Sesungguhnya otoritas Kemensos telah menyadari bahwa
partisipasi daerah untuk mengajukan usulan program dekonsentrasi
yang lebih sesuai kebutuhan adalah sangat penting. Menyadari
pentingnya model partisipatoris dalam perencanaan program
dekonsentrasi, Kemensos pernah mencoba meminta setiap provinsi
untuk mengajukan usulan program yang akan dibiayai dari dana
231
dekonsentrasi. Ternyata, apa yang diusulkan oleh provinsi sama persis
dengan kegiatan pada tahun-tahun sebelumnya. Atas dasar pengalaman
inilah maka mekanisme seperti saat ini masih terus dipertahankan.19
Dalam kaitan itu, Gubernur Kalimantan Tengah
mengungkapan fenomena senada, yakni bahwa penetapan program
dekonsentrasi selama ini merupakan keinginan (wants) dari pusat yang
cenderung “dipaksakan” kepada daerah. Namun karena lemahnya
kapasitas untuk melakukan needs assessment, maka program
dekonsentrasi menjadi sesuatu yang rutin.20 Karena rutinitas itulah,
maka program dekonsentrasi sama setiap tahunnya dan kurang ada
evaluasi yang komprehensif terhadap kemanfaatan dan kebutuhan
untuk pengembangannya pada tahun-tahun mendatang.
Sementara itu terkait dengan peran Gubernur dalam
perencanaan dan pengelolaan program dekonsentrasi, Permensos No.
20/2013 mengatur tentang tata cara penyelenggaraan dekonsentrasi,
dimana Gubernur diberi kewajiban untuk melakukan beberapa hal
terkait perencanaan program dan anggaran dekonsentrasi sebagai
berikut:
a. Melakukan sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan
Pemerintah Daerah dan menjamin terlaksananya kegiatan
dekonsentrasi secara efektif dan efisien;
19 Wawancara dengan Kepala Seksi Kedaruratan, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kemensos, Senin, 29 September 2014 di Kantor
Kemensos.
20 Wawancara dengan Gubenur Kalimantan Tengah, Kamis, 9 Oktober 2014, di
Rumah Jabatan Gubernur.
232
b. Menetapkan SKPD dan perangkat daerah untuk melaksanakan
program dan kegiatan dekonsentrasi dengan mempertimbangkan
persyaratan kemampuan dan kompetensi personil;
c. Melaksanakan program, kegiatan, dan anggaran dekonsentrasi
lingkup Kementerian Sosial sesuai dengan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang telah ditentukan oleh Pemerintah;
d. Melakukan koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan,
dan pelaporan.
Selain empat tugas diatas, Gubernur juga wajib
memberitahukan kepada DPRD berkaitan dengan penyelenggaraan
program, kegiatan, dan anggaran dekonsentrasi yang diterima dari
pemerintah pusat. Pada saat yang sama, dalam penyelenggaraan urusan
yang dilimpahkan Gubernur harus berpedoman pada norma, standar,
prosedur, kriteria, dan kebijakan pemerintah, serta keserasian,
kemanfaatan, kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan dan
pembangunan daerah.
Dalam prakteknya, peran Gubernur diatas dijalankan secara ex
officio oleh Kepala Dinas yang bersangkutan. Karena keempat peran
diatas tidak disertai dengan instrumen untuk monitoring dan
evaluasinya, sementara interpretasi dan gaya kepemimpinan setiap
Kepala Dinas sangat mungkin berbeda-beda, maka menjadi rumitlah
ketika Gubernur harus mempertanggungjawabkan program dan
anggaran dekonsentrasi di seluruh sektor. Oleh karena itu, pedoman
pelaksanaan dekonsentrasi harus lebih dikembangkan, termasuk
bagaimana mekanisme hubungan Gubernur dengan Kepala Dinas
selaku penyelenggara program dekonsentrasi.
233
Box 6.5. Inefektivitas Perencanaan Dekonsentrasi
Setiap pertengahan tahun berjalan, Kementerian Sosial
menyelenggarakan Musrenbang Sosial. Rapat ini membahas dan
menetapkan secara top down pagu anggaran untuk masing-masing satuan kerja maupun pagu dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Dari perspektif daerah, penetapan program dekonsentrasi
selama ini merupakan keinginan (wants) dari pusat yang cenderung “dipaksakan” kepada daerah. Namun karena lemahnya kapasitas
untuk melakukan needs assessment dari pemerintah pusat maupun
daerah, maka program dekonsentrasi menjadi sesuatu yang rutin.
Sebenarnya sudah ada upaya untuk memberdayakan kedudukan gubernur selaku wakil pemerintah melalui Peraturan Menteri Sosial
No. 20/2013 yang mengatur tentang tata cara penyelenggaraan
dekonsentrasi, dimana Gubernur diberi kewajiban untuk melakukan sinkronisasi, koordinasi, pengendalian, pembinaan, serta
pengawasan, dan pelaporan. Namun dalam prakteknya, posisi
digantikan secara ex officio oleh Kepala Dinas, sementara instrumen komunikasi antara SKPD dengan gubernur belum terbangun secara
terstruktur, sehingga gubernur seperti terlepas dari konteks program
dekonsentrasi.
Kondisi seperti inilah yang menimbulkan kesan tidak dilibatkannya gubernur sebagai intermediaries dalam alokasi
anggaran sektoral. Gubernur lebih terlihat sebagai wakil
Kementerian Dalam Negeri, dan belum berfungsi sebagai wakil pemerintah secara keseluruhan (Agus Dwiyanto, 2015: 39).
E. Aspek Regulasi
Makna dari aspek regulasi disini adalah bahwa pemerintah
pusat dalam era desentralisasi luas lebih dituntut untuk menyediakan
perangkat aturan (regulasi) dan supervisi terhadap pemerintah daerah.
Salah satu tugas pokok pemerintah pusat dalam kerangka regulasi ini
adalah menyediakan NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria)
yang akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam
menjalankan urusan desentralisasi maupun dekonsentrasinya. Terkait
dengan klausul bahwa pemerintah (cq. Kementerian) wajib
234
menyediakan NSPK, hingga saat ini di lingkungan Kemensos sudah
ada 13 (tiga belas) Peraturan Menteri Sosial yang mengandung muatan
NSPK tersebut, yaitu:
a. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110 Tahun 2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak.
b. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 128 Tahun 2011 tentang
Kampung Siaga Bencana (KSB).
c. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 184 Tahun 2011 tentang
Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS).
d. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 03 Tahun 2012 tentang Standar
Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika, Penggunaan Zat
Adiktif dan Psikotropika (NAPZA).
e. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 02 Tahun 2012 tentang Taman
Anak Sejahtera.
f. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 08 Tahun 2012 tentang
Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi Sumber Kesejahteraan
Sosial (PSKS).
g. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 06 Tahun 2012 tentang
Penghargaan Terhadap Lanjut Usia.
h. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 09 Tahun 2012 tentang
Komunitas Adat Terpencil (KAT).
i. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 19 Tahun 2012 tentang
Pedoman Pelayanan Lanjut Usia.
235
j. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 25 Tahun 2012 tentang Standar
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Oleh Lembaga Di
Bidang Kesejahteraan Sosial.
k. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar
Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,
Psikotropika, dan Penggunaan Zat Adiktif Lainnya.
l. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna
Siaga Bencana (Tagana).
m. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 01 Tahun 2013 tentang
Bantuan Sosial Bagi Korban Bencana (alam dan sosial).
Dengan telah terbitnya seperangkat regulasi bermuatan NSPK
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Kemensos telah menunaikan
tugas dan kewajibannya menyediakan NSPK sebagai pedoman bagi
pemerintah daerah dalam menjalankan urusan dan program yang akan
dilimpakan melalui asas dekonsentrasi atau diserahkan melalui asas
desentralisasi. Dengan kata lain, sepanjang pemerintah daerah
(provinsi) sudah memiliki kemampuan dan kesiapan yang cukup untuk
melaksanakan urusan pemerintahan tertentu, maka tidak ada alasan
bagi instansi pusat (cq. Kemensos) untuk terus memegang dan
menjalankan sendiri urusan dan/atau program tersebut.
Permasalahan kemampuan dan kecukupan inilah yang
seringkali menjadi variabel pengganggu dalam menetapkan urusan
pusat yang akan atau perlu diserahkan/dilimpahkan kepada daerah.
Pejabat di tingkat pusat pada umumnya menyatakan setuju untuk
penyerahan urusan yang lebih luas. Namun, mereka memandang
bahwa kemampuan dan kesiapan aparat di daerah belum memadai
236
untuk menjalankan urusan tersebut dengan optimal, sehingga
pemerintah pusat masih harus menjalankan sendiri urusan tadi, atau
setidaknya dilaksanakan dengan pola dekonsentrasi.21 Dilain pihak,
aparat daerah menyatakan diri sudah mampu untuk menjalankan
urusan yang akan didesentralisasikan, namun pemerintah pusatlah
yang tidak memiliki keseriusan untuk menyerahkan urusan tersebut
kepada daerah.22
Perdebatan dan polemik seperti ini telah berlangsung lama dan
belum ada solusi yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Hal ini
terjadi karena selama ini memang tidak ada prasyarat atau prakondisi
untuk suksesnya sebuah urusan desentralisasi dan dekonsentrasi.
Variabel kemampuan atau kesiapan daerah tidak pernah didefinisikan
dengan baik dan tidak jelas operasionalisasi variabelnya. Akibatnya,
muncullah penafsiran yang beragam sesuai persepsi dan kepentingan
masing-masing pihak. Maka, adanya kriteria dan ukuran yang jelas
tentang kemampuan/kesiapan daerah itu menjadi sangat penting untuk
menguji apakah sebuah urusan tertentu sudah waktunya untuk
diserahkan kepada daerah, ataukah masih perlu dikemas dalam
kerangka program dekonsentrasi, ataukah harus dilaksanakan sendiri
oleh pemerintah pusat.
Itulah sebabnya, menerbitkan NSPK saja tidaklah cukup.
Pemerintah pusat (cq. Kemensos) masih perlu melakukan berbagai
21 Wawancara dengan Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam
(PSKBA) Kemensos, Senin, 29 September 2014 di Kantor Kemensos.
22 Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah, Kamis, 9 Oktober 2014, di
Rumah Jabatan Gubernur.
237
upaya untuk menjamin bahwa NSPK tersebut diimplementasikan
dengan baik, salah satunya dengan cara meningkatkan kompetensi
daerah agar memiliki standar yang dipersyaratkan dalam NSPK, baik
dalam hal SDM, sarana prasarana, tatalaksana, teknologi, dan
sebagainya.
Terkait dengan aspek regulasi berupa Permensos No. 20/2013
Pelimpahan Kewenangan Dekonsentrasi dan Penugasan Tugas
Pembantuan ke Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten
Kota Tahun Anggaran 2014 diatas, ada beberapa hal yang perlu
dikritisi, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Meskipun Permensos No. 20/2013 tersebut mengatur tentang
pelimpahan kewenangan, namun dalam batang tubuhnya sama
sekali tidak menegaskan secara eksplisit daftar urusan, program,
atau kegiatan yang dilimpahkan. Dalam kaitan ini, pasal 6 hanya
berbunyi:
“Rencana program yang dibiayai melalui pendanaan
dekonsentrasi lingkup Kemensos meliputi: a) program
dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya
Kemensos, b) program rehabilitasi sosial, c) program
perlindungan dan jaminan sosial, dan d) program
pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan”.
Dengan bunyi seperti itu, maka program dekonsentrasi
sesungguhnya identik dengan program Kemensos sendiri yang
dibiayai dari DIPA Kemensos. Hal ini terjadi karena nama program
dekonsentrasi identik dengan nama Direktorat Jenderal. Oleh
karena itu, akan lebih baik jika dalam Permensos tersebut
ditegaskan terlebih dahulu urusan / program yang dilimpahkan
238
kepada Gubernur, baru dijelaskan rincian dari masing-masing
urusan/program tersebut.
2. Judul Permensos No. 20/2013 tersebut juga membingungkan dan
berpotensi menimbulkan kekacauan dalam sistem administrasi
negara. Sebab, pelimpahan kewenangan dari pemerintah (cq.
Menteri) itu kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, bukan
kepada instansi atau SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah).
SKPD adalah perangkat daerah, bukan instansi vertikal
kementerian. Pelimpahan kewenangan kepada perangkat pusat di
daerah disebut dekonsentrasi, sedangkan pelimpahan kewenangan
kepada perangkat daerah masuk dalam pengertian Tugas
Pembantuan (medebewind). Artinya, kebijakan yang tertuang
dalam Permensos No. 20/2013 secara de jure adalah dekonsentrasi,
namun secara de facto adalah tugas pembantuan. Jelas ini
berpotensi membuat kerancuan dalam tata hubungan pusat dan
daerah.
Selain itu, Menteri Sosial tidak juga berwenang melimpahkan tugas
dekonsentrasi kepada Dinas Sosial Provinsi, karena Dinas Sosial
bukan perangkat Kemensos di daerah. Oleh karena itu, dinas
daerah tidak diperkenankan menerima pelimpahan wewenang atau
urusan langsung dari pemerintah (cq. Menteri). Kesalahan seperti
inilah yang agaknya menjadi sumber keluhan banyak Gubernur
tentang komunikasi langsung antara Dinas Daerah dengan
Kementerian tanpa melalui dan sepengetahuan Gubernur. Selain
itu, pelimpahan wewenang yang keliru penerimanya ini rentan
239
terhadap temuan pemeriksaan karena dinas provinsi dapat
dianggap melakukan sesuatu diluar kewenangannya.
3. Dari tahun ke tahun, Peraturan Menteri tentang pelimpahan
Kewenangan Dekonsentrasi relatif tidak ada yang berubah,
terutama dalam hal urusan dan program-program yang
dilimpahkan. Hal ini mengilustrasikan adanya pola kerja yang
berbasis pada rutinitas dan business as usual. Bahkan pejabat
Kemensos juga mengakui bahwa tidak ada pembaharuan dalam
program kerja dekonsentrasi sejak awal hingga saat ini.23 Hal ini
terjadi karena pemahaman yang lemah dari pejabat pusat dan
daerah tentang filosofi dekonsentrasi. Dekonsentrasi yang
semestinya bisa diarahkan untuk melakukan perubahan dan
inovasi, untuk mengurangi kesenjangan antar sektor atau antar
daerah, untuk menutup kekurangan yang dimiliki daerah, untuk
memperkuat solidaritas antar kelompok masyarakat atau antar
daerah, dan sebagainya, sering terlupakan dan kembali ke program-
program yang sudah menjadi tradisi. Akibatnya, dekonsentrasi
hanya sekedar komplemen atau pelengkap terhadap azas
desentralisasi.
F. Relevansi Program Dekonsentrasi Sosial
Mengingat bahwa pembangunan kesejahteraan sosial
merupakan amanat UUD 1945 yang belum dapat dilaksanakan secara
23 Wawancara dengan Kepala Seksi Kedaruratan, Direktorat Perlindungan Sosial
Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kemensos, Senin, 29 September 2014 di Kantor
Kemensos.
240
maksimal, maka pemerintah pusat masih memiliki kepentingan yang
sangat kuat untuk menjalankan tugas ini sekaligus sebagai bentuk
jaminan bahwa kinerja pembangunan kesejahteraan sosial dapat
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ini berarti pula bahwa program
dekonsentrasi masih sangat relevan sebagai instrumen pemerintah
mewujudkan cita-cita Konstitusi. Terlebih lagi dengan fakta masih
teramat banyaknya permasalahan sosial yang dihadapi bangsa
Indonesia, ditambah oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh
daerah (provinsi) dan rendahnya prioritas pembangunan sosial di
daerah, maka kehadiran pemerintah untuk turut serta melaksanakan
sendiri tugas-tugas pemerintahan tertentu (cq. kesejahteraan sosial)
atau melalui proses pelimpahan kepada wakil pemerintah di daerah,
masih dirasakan relevansinya. Meskipun urusan pemerintahan tertentu
telah didesentralisasikan sebagai urusan rumah tangga daerah otonom,
namun permasalahan yang terjadi di daerah tetap menjadi bagian dari
tanggungjawab pusat, terutama ketika daerah otonom belum
menunjukkan kemampuan terbaik untuk mengelola urusan tersebut.
Dengan demikian, pada tataran konseptual, dekonsentrasi masih sangat
relevan untuk menjamin terpenuhinya kepentingan dan urusan pusat di
daerah.
Sayangnya, kadar urgensi dan relevansi dekonsentrasi tadi
cenderung semakin memudar dalam tataran implementasinya.
Beberapa hal yang membuat merosotnya kadar relevansi dekonsentrasi
ini antara lain:
1. Dari perspektif program dan kegiatan, terlihat bahwa program dan
kegiatan dekonsentrasi sosial memiliki kemiripan yang sangat
241
tinggi dengan program dan kegiatan yang dilaksanakan sendiri oleh
Kemensos. Dalam hal ini tidak terlihat adanya pembedaan antara
fungsi pemerintah pusat (sentralisasi) dengan fungsi pemerintah
pusat di daerah (dekonsentrasi). Meskipun rujukannya sama, yakni
urusan atau kewenangan pemerintah (dalam hal ini bidang sosial),
namun tujuan dan ruang lingkupnya pasti berbeda. Selain itu, tidak
semua urusan pemerintah pusat didekonsentrasikan, sehingga
secara logika antara fungsi pemerintah pusat dengan fungsi
pemerintah pusat di daerah haruslah berbeda, baik dalam rincian
kewenangan, jenis program, maupun bentuk kegiatannya.
Ketidakjelasan antara fungsi pemerintah pusat yang harus
dijalankan sendiri dengan fungsi pemerintah yang dapat
didelegasikan (dekonsentrasi), ternyata terjadi juga dalam program
dekonsentrasi dengan program desentralisasi. Meskipun
perumpunan program relatif berbeda, namun substansi program
sesungguhnya dapat dikatakan sama bahkan identik. Hal ini juga
membuktikan adanya kebingungan dalam menyusun program
untuk menerjemahkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.
Dalam skema pemrograman saat ini, maka program daerah otonom
dapat diusulkan untuk mendapat pembiayaan dari sumber
dekonsentrasi, atau sebaliknya. Artinya, tidak ada implikasi serius
jika program dekonsentrasi dijalankan dalam skema desentralisasi.
Padahal, desentralisasi dan dekonsentrasi adalah dua asas yang
sangat berbeda dengan landasan kewenangan yang berbeda,
sehingga program yang dilakukan semestinya bersifat saling
242
melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan
(substitusi).
Mengingat tidak adaanya sesuatu yang khas atau unique dari
program dekonsentrasi yang membedakannya dari program lain,
serta tidak adanya ciri yang spesifik dari program dekonsentrasi,
maka pada hakekatnya program dekonsentrasi ini dapat dilebur
dengan program apa saja, bahkan dapat mendorong efisiensi
program dan sumber daya.
2. Dari perspektif perencanaan, nampak dengan jelas bahwa
dekonsentrasi dirancang secara umum tanpa memperhatikan
karakteristik, kebutuhan, dan aspirasi daerah. Program
dekonsentrasi cenderung didesain secara tersentralisasi, dan
menjadi tradisi yang dipertahankan selama bertahun-tahun.
Meskipun sama-sama untuk mendukung kepentingan nasional,
namun permasalahan di daerah cukup beragam sehingga
perencanaan dekonsentrasi idealnya harus tetap didahului oleh
analisis kebutuhan masing-masing daerah, sehingga program dan
anggaran yang dikucurkan akan mampu menyelesaikan masalah di
daerah sekaligus memenuhi kepentingan pusat di daerah yang
bersangkutan.
Dengan pola perencanaan yang masih berdasarkan rancangan
kementerian ini, maka program dekonsentrasi menjadi sesuatu
yang generic atau sama antar provinsi. Padahal, idealnya program
dekonsentrasi harus direncanakan secara kontekstual agar mampu
membawa kemanfaatan sesuai problematika dan dinamika di
sebuah daerah.
243
3. Dari perspektif penganggaran, juga terlihat bahwa dana
dekonsentrasi berubah fungsi dari yang seharusnya untuk
menjamin kepentingan nasional di daerah, menjadi untuk
membiayai program yang sebenarnya telah dan bisa dilakukan
sendiri oleh daerah. Besaran dana dekonsentrasi yang cukup besar
pada gilirannya justru menimbulkan situasi ketergantungan,
terutama untuk sektor-sektor di daerah yang tidak prioritas seperti
sektor sosial.
4. Dari sisi pelaksanaan program dan anggaran dekonsentrasi,
larangan penggunaan dana dekonsentrasi untuk keperluan fisik
juga menjadikan belanja dekonsentrasi tidak produktif, karena
lebih banyak untuk membiayai perjalanan dinas24, honorarium, dan
menyusun laporan atau evaluasi program. Selain itu, meskipun
dana dekonsentrasi sudah dilimpahkan dan dikelola oleh perangkat
Gubernur (cq. Dinas), namun pejabat pusat masih memiliki
kesempatan yang sangat lebar untuk turut menikmati dana
dekonsentrasi tersebut, melalui perjalanan dinas, atau nara sumber.
Untuk itu, perlu dipikirkan lagi mata-mata keluaran dalam
anggaran dekonsentrasi yang lebih produktif, efisien, dan
berorientasi pada outcomes yang lebih nyata bagi masyarakat di
daerah. Disisi lain, pelaksanaan program dekonsentrasi jarang
sekali melibatkan keberadaan instansi vertikal di daerah seperti
Kantor Wilayah atau UPT. Program dan dana dekonsentrasi
24 Jenis-jenis perjalanan dinas ini antara lain perjalanan dinas paket meeting (dalam
dan luar kota), transport dalam kota, perjalanan dinas luar kota (termasuk uang
harian dan uang penginapan).
244
seolah-olah menjadi domein dari dinas teknis tertentu, padahal
dilihat dari sumber dan karakteristiknya, kepentingan pusat jauh
lebih menonjol dan harus mendapat perhatian lebih dibanding
kepentingan daerah.
Oleh karena pola-pola manajemen dekonsentrasi yang kurang
efektif sebagaimana dikemukakan diatas, maka tidak dapat
dirumuskan tujuan yang jelas, konkrit, dan terukur dari program
dekonsentrasi. Tujuan program dekonsentrasi cenderung standar dan
sama dengan tujuan program lain, misalnya untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat tentang sesuatu, memenuhi kebutuhan
operasional, melaksanakan pemeliharaan, dan sebagainya. Idealnya,
tujuan program/kegiatan dekonsentrasi haruslah lebih strategis,
misalnya untuk mendorong dilakukannya perubahan/pembaharuan
dalam business prosess urusan pemerintahan tertentu,
mengembangkan atau menyebarluaskan inovasi atau best practices
dalam pelayanan publik pada sektor tertentu, menekan defisiensi
kompetensi aparatur dalam tugas tertentu, mengurangi kesenjangan
pendapatan/kapasitas antar kelompok dalam masyarakat melalui
program intervensi tertentu, meningkatkan tingkat kepercayaan dan
dukungan rakyat kepada pemerintah dalam kasus tertentu, dan
sebagainya. Dengan kata lain, fungsi dan program dekonsentrasi
semestinya tidak tergantikan oleh program-program lainnya.
Kelemahan pada aspek kekaburan tujuan dekonsentrasi ini
diperparah lagi dengan belum adanya mekanisme penilaian kinerja
atau pengukuran dampak program dekonsentrasi, sehingga tingkat
kemanfaatan dekonsentrasi beserta pihak-pihak penerima manfaat
245
(beneficiaries) tidak dapat terpetakan secara jelas dan terukur. Hal ini
pada gilirannya semakin melemahkan relevansi dekonsentrasi sebagai
instrumen pemerintah untuk menjamin kepentingan nasional di daerah
agar berjalan secara optimal.
Rendahnya urgensi dan relevansi dekonsentrasi ini misalnya
bisa dirasakan ketika diajukan pertanyaan kepada pejabat di
kementerian: “apakah akan muncul permasalahan krusial jika
program/anggaran dekonsentrasi disatukan dengan program/anggaran
yang dilaksanakan sendiri oleh kementerian, atau didesentralisasikan
sekalian kepada daerah?”, dan ternyata dijawab tidak ada persoalan.25
Artinya, tidak akan ada perbedaan yang signifikan, baik ada maupun
tidak ada program/anggaran dekonsentrasi. Bahkan Inspektur Jenderal
Kemensos sangat mendukung jika program dekonsentrasi beserta
anggarannya dialihkan sebagai program desentralisasi, karena sesuai
dengan spirit otonomi daerah. Peran pusat menurutnya cukup pada
wilayah regulasi dan supervisi, sehingga tidak terlalu berat beban yang
harus dilaksanakan. Namun jika pilihan ini yang akan diangkat sebagai
kebijakan, perlu dipikirkan bagaimana ukuran kinerja pemerintah
pusat terkait dengan fungsi regulasi dan supervisi tersebut.26
Dari hasil penelitian, relevansi dekonsentrasi ini juga diamini
oleh seluruh pakar yang diwawancara oleh penulis maupun dari hasil
pelaksanaan FGD. Konsep dekonsentrasi tidak dapat dipisahkan
25 Wawancara dengan dengan Gubernur Kalimantan Tengah, tanggal 9 Oktober
2014, di rumah jabatan Gubernur Kalteng.
26 Wawancara dengan Inspektur Jenderal Kemensos, Kamis, 2 Oktober 2014, serta
dengan Direktur PSKBA dan Kepala Seksi Kedaruratan Direktorat PSKBS, 29
September 2014, di Kantor Kemensos.
246
dengan konsep negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemerintah
pusat bagaimanapun tetap memiliki hak campur tangan terhadap
pemerintah daerah. Dalam konteks pembangunan bidang sosial,
relevansi dekonsentrasi sosial bertujuan untuk menciptakan
standarisasi pelayanan, atau pengurangan kesenjangan sosial antar
daeah. Meskipun demikian, desain dekonsentrasi membutuhkan
beberapa perbaikan mendasar. Sebagai contoh, kekakuan
dekonsentrasi yang hanya boleh dilakukan untuk kegiatan fisik sudah
waktunya ditinjau kembali. Misalnya, untuk membuka daerah-daerah
terisolir, semestinya dana dekonsentrasi boleh saja dimanfaatkan untuk
kegiatan fisik. Pertimbangan yang harus lebih dikedepankan adalah
kemanfaatan dana, kondisi riil dan kebutuhan daerah terhadap
pembangunan bidang tertentu. Dengan demikian, maka desain
dekonsentrasi harus dimaknakan dan diarahkan kepada dekonsentrasi
fungsional, yang tidak semata-mata dibatasi oleh wilayah administrasi
sebuah provinsi.27
27 Wawancara dengan Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA tanggal 26 Oktober 2009 di
Hotel Santika Makassar, dengan Prof. Dr. Eko Prasojo tanggal 11 Juli 2004 di
Kantor Kementerian PAN dan RB, serta dengan Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein,
SH tanggal 23 Juli 2014 di Program Pascasarjana Ilmu Administrasi UI, Jakarta.
247
BAB VII
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara konseptual, dekonsentrasi masih memiliki urgensi dan
relevansi yang tinggi dalam tata kelola atau tata hubungan
pemerintah pusat dan daerah, serta dalam menjamin program dan
kepentingan pusat di daerah. Urgensi dekonsentrasi tersebut adalah
dalam hal menjalankan fungsi atau kepentingan pemerintah pusat
pada level daerah. Program dekonsentrasi bidang sosial juga masih
menunjukkan relevansi untuk dilaksanakan. Sebab, urusan sosial
adalah sektor pembangunan yang jarang sekali menjadi prioritas
dalam pembangunan daerah sehingga proporsi anggarannya relatif
kecil dibanding sektor lainnya. Hal ini ”memaksa” pemerintah (cq.
Kementerian Sosial) untuk menjamin agar fungsi perlindungan dan
pembangunan sosial tetap terlaksana dengan baik di daerah melalui
pengalokasian anggaran lewat skema dana dekonsentrasi. Dengan
demikian, politik anggaran dekonsentrasi diharapkan dapat
menjaga keseimbangan pembangunan antar sektor, sekaligus
mencukupi kebutuhan masyarakat akan pelayanan sosial.
Namun dalam implementasinya, relevansi dekonsentrasi sangat
melemah karena dalam pengelolaannya tidak efektif. Dengan kata
lain, urgensi atau relevansi dekonsentrasi tadi gagal diwujudkan
248
dalam bentuk kebijakan dan strategi yang memperkuat
urgensi/relevansi tersebut.
2. Dari aspek program dan kegiatan dekonsentrasi, temuan lapangan
membuktikan masih terjadinya tumpang tindih program dan
kegiatan dekonsentrasi dan kegiatan yang dilaksanakan sendiri
oleh Kemensos, serta tumpang tindih program/anggaran
dekonsentrasi dengan APBD provinsi.
Tumpang tindih program itu terjadi karena adanya kesamaan nama
program yang bersumber dari aplikasi sistem perencanaan program
baik di pusat maupun daerah. Judul-judul kegiatan juga relatif sama,
namun berbeda dalam hal target output atau sasaran penerima
manfaat dari kegiatan tersebut. Temuan BPK tentang tumpang
tindih program dekonsentrasi dengan program lainnya menurut
penulis disebabkan karena selama ini ada kecenderungan asas
dekonsentrasi terjebak dalam dikotomi pusat dan daerah. Asas
desentralisasi yang melahirkan daerah otonom dan urusan-urusan
otonomi rumah tangga daerah memang memiliki batas yang tegas
dengan urusan pemerintah (pusat). Dalam situasi seperti ini, wajar
jika pusat tidak dapat atau tidak diperbolehkan melakukan urusan
daerah yang telah didesentralisasikan, dan sebaliknya. Namun asas
dekonsentrasi yang by design ditujukan untuk menjaga kohesi
antara pusat dan daerah, kepentingan pusat harus menjadi
kepentingan daerah, sementara kepentingan daerah secara otomatis
adalah juga kepentingan pusat. Dengan demikian, urusan
pemerintah (pusat) tidak cukup hanya didefinisikan sebagai urusan
yang berskala dan memiliki eksternalitas nasional atau
249
internasional sebagaimana model pembagian urusan menurut PP
No. 38/2007.1 Urusan pusat juga harus mencakup urusan berskala
lokal yang menjadi concern atau kepentingan nasional, misalnya
urusan yang berhubungan dengan kebakaran hutan yang sudah
mengganggu kesehatan dan sistem transportasi, urusan ketahanan
pangan, urusan pengentasan kemiskinan, serta urusan-urusan yang
diamanatkan dalam konstitusi UUD 1945. Dalam penanganan
urusan-urusan seperti ini, tumpang tindih program dan anggaran
menjadi keniscayaan, karena urusan itu adalah urusan dan
kepentingan bersama. Dikotomi pusat-daerah juga terjadi dalam
pelaksanaan Tugas Pembantuan. Seolah-olah yang melakukan
pembantuan adalah daerah kepada pusat, atau kabupaten/kota
kepada provinsi. Padahal dalam dengan mengalokasikan anggaran
pusat untuk daerah atau APBD provinsi kepada kabupaten/kota
melalui skema dana Tugas Pembantuan, itu adalah wujud
pembantuan pusat kepada darah dan provinsi kepada
kabupaten/kota. Bahkan pembentukan unit pusat di daerah dan
penempatan pegawai pusat di daerah harus dipandang juga sebagai
pembantuan pusat kepada daerah.
3. Dari aspek penganggaran dekonsentrasi, data lapangan
menunjukkan bahwa jumlah dana dekonsentrasi yang diterima
setiap provinsi secara agregat bisa dikatakan cukup besar karena
bersumber dari berbagai kementerian. Namun secara sektoral,
1 PP ini sudah tidak berlaku dengan telah berlakunya UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang menempatkan pembagian urusan pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota sebagai bagian integral dari UU tersebut.
250
alokasi tadi relatif kecil, bahkan banyak kementerian/lembaga yang
tidak mengalokasikan dana dekonsentrasi sama sekali. Dalam
konteks Kemensos, jumlah dana dekonsentrasi yang disediakan
setiap tahun juga relatif besar, namun alokasi yang diterima oleh
masing-masing provinsi relatif kecil. Uniknya, meskipun alokasi
dana dekonsentrasi sosial untuk setiap provinsi tidak besar, namun
memainkan peran penting dalam pembangunan daerah karena
alokasi dana APBD yang kecil. Dengan demikian, ada tendensi
daerah bergantung dari dana dekonsentrasi untuk membiayai
urusan yang sudah didesentralisasikan. Artinya, dana
dekonsentrasi sangat membantu pemenuhan kebutuhan daerah,
sementara idealnya dana dekonsentrasi digunakan untuk
memenuhi kebutuhan dan kepentingan pusat. Dalam situasi seperti
inilah overlap pembiayaan muncul, meskipun target penerima
manfaat dari dana dekonsentrasi dan dana APBD berbeda.
4. Dari aspek mekanisme pengelolaan dekonsentrasi, program
dekonsentrasi terjebak menjadi sebuah rutinitas dari tahun ke tahun.
Program dan anggaran dekonsentrasi juga tidak dilakukan atas
analisis kebutuhan, baik pemerintah pusat sebagai pihak yang
melimpahkan kewenangan (delegan) maupun provinsi / gubernur
selaku pihak yang menerima pelimpahan kewenangan (delegataris).
Disisi lain, peran Gubernur selaku wakil pemerintah pada
prakteknya dijalankan secara ex officio oleh Kepala Dinas yang
bersangkutan. Karena tugas dan fungsi wakil pemerintah belum
dilengkapi dengan instrumen untuk monitoring dan evaluasinya,
sementara gaya kepemimpinan setiap Kepala Dinas sangat
251
berbeda-beda, maka Gubernur menjadi dilematis saat harus
mempertanggung jawabkan program dan anggaran dekonsentrasi
di semua sektor.
5. Dari aspek perangkat kelembagaan dekonsentrasi, masih banyak
unit kerja kementerian/lembaga yang berkedudukan di daerah,
namun tidak dapat dikatakan sebagai instansi vertikal yang
menjalankan urusan/program dekonsentrasi dan dibiayai melalui
dana dekonsentrasi. Dengan demikian, ada kerancuan konsep
kelembagaan pelaksana urusan dekonsentrasi.
Dari aspek kelembagaan juga nampak bahwa ”perangkat wakil
pemerintah” yang terdiri dari Sekretaris Gubernur dengan dibantu
kelompok-kelompok kerja (Pokja), ternyata tidak berjalan secara
efektif. Hal ini disebabkan karena kewenangan yang tidak
ditetapkan secara limitatif, pola koordinasi dengan SKPD yang
tidak jelas, serta tidak dilengkapinya Pokja dengan instrumen
administrasi seperti pendanaan, personil, dan perlengkapan.
Akibatnya, business process program dekonsentrasi (perencanaan,
pelaksanaan, hingga pertanggungjawabannya) menjadi tidak jelas
hingga saat ini, sementara SKPD masih dapat melakukan lobby
secara langsung ke Kementerian tanpa koordinasi yang memadai
dengan Pokja. Selain itu, kedudukan Sekretaris Gubernur yang
dirangkap oleh Sekretaris Daerah juga kurang efektif karena Sekda
lebih fokus pada tugas-tugas otonomi daerah (desentralisasi).
Lemahnya peran Sekretaris Gubernur dan belum terbentuknya
kelompok kerja ini secara langsung telah mengakibatkan lemahnya
peran gubernur selaku wakil pemerintah. Permasalahan perangkat
252
dekonsentrasi semakin rumit dengan keberadaan unit-unit kerja
Kementerian/lembaga berkedudukan di daerah. Disatu sisi mereka
berada di daerah dan berhak diklasifikasikan sebagai instansi
vertikal yang mengemban fungsi dekonsentrasi, namun disisi lain
mereka tidak menerapkan manajamen perencanaan dan
penganggaran menurut asas dekonsentrasi.
6. Dari aspek regulasi dekonsentrasi, fungsi pemerintah pusat dalam
menyediakan seperangkat norma, standar, prosedur dan kebijakan
(NSPK) sudah baik, namun masih ada kecederungan pusat ingin
melakukan sendiri fungsi-fungsi yang sudah dilimpahkan dengan
alasan daerah belum cukup mampu untuk melaksanakan seluruh
urusan dekonsentrasi.
7. Pengelolaan dekonsentrasi yang tidak efektif sebagaimana disebut
diatas telah mengakibatkan terjadinya dekonstruksi dekonsentrasi,
dimana pemahaman dan penerapan dekonsentrasi di tanah air
sudah sangat melenceng dari standar teoretik dan praktik
internasional. Di Indonesia, pemerintahan wilayah (field
administration) sebagai konsekuensi dekonsentrasi tidak terbentuk
karena hilangnya instansi vertikal sejak 1999. Sebagai gantinya,
pemangku fungsi dekonsentrasi di daerah (provinsi) hanya
diemban oleh seorang pejabat yakni wakil pemerintah, yang
dirangkap oleh Gubernur. Pergeseran makna dan penafsiran
tentang dekonsentrasi inilah yang menjadikan praktek
dekonsentrasi di Indonesia tidak memiliki rujukan konseptual atau
landasan teoretik yang kuat, dan pada gilirannya menyebabkan
banyak disorientasi (kebingungan arau kekurangjelasan) dalam
253
praktek penyelenggaraan dekonsentrasi. Disorientasi itu misalnya
nampak dari tidak jelasnya batas-batas antara dekonsentrasi
dengan delegasi (salah satu bentuk dari desentralisasi
administratif), antara dekonsentrasi dengan tugas pembantuan,
juga perintah pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK yang
menyiratkan adanya pencampuradukan program yang seharusnya
dibiayai dari dana dekonsentrasi dan program yang semestinya
dibiayai dari DAK. Ketidakjelasan konseptual juga terjadi dalam
hal tidak tegasnya pembedaan antara gubernur selaku wakil
pemerintah dan gubernur selaku koordinator dan
penanggungjawab fungsi dekonsentrasi di daerah.
8. Proses dekonstruksi dekonsentrasi terjadi karena tidak adanya
identifikasi atau kejelasan tentang kepentingan pusat di daerah.
Akibatnya, terjadilah duplikasi urusan, kepentingan, hingga
program pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
B. Rekomendasi dan Policy Agenda
Dengan menyimak berbagai permasalahan yang ada, hasil
analisis, serta kesimpulan diatas, maka dapat diajukan beberapa
rekomendasi untuk diangkat menjadi policy agendas. Agenda
kebijakan yang diusulkan ini selanjutnya diharapkan dapat memberi
kontribusi konseptual dalam penyempurnaan UU Pemerintahan
Daerah yang akan datang. Adapun pokok-pokok yang dapat
direkomendasikan oleh disertasi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengurangi – jika tidak menghilangkan – disorientasi
tentang dekonsentrasi, maka langkah pertama yang harus
254
dilakukan adalah melakukan redefinisi terhadap konsep
dekonsentrasi. Untuk ini, peneliti merekomendasikan untuk
mengembalikan konsep dekonsentrasi sesuai definisi internasional,
namun hanya berlaku untuk urusan absolut pusat. Makna
rekomendasi ini adalah bahwa setiap unit pusat di daerah seperti
Kantor Regional, Kantor Perwakilan, atau UPT harus mendapatkan
pelimpahan dari instansi induknya. Model penganggarannya juga
harus dimasukkan dalam skema dana dekonsentrasi, tidak melekat
pada DIPA K/L. Kelebihan dari model ini adalah bahwa urusan
yang dijalankan oleh perangkat dekonsentrasi benar-benar
berhubungan dengan kepentingan pemerintah pusat, urusan
strategis nasional di daerah, serta urusan equalisasi atau urusan
untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Selanjutnya, jika
Kantor Regional, Kantor Perwakilan, atau UPT tadi memiliki
wilayah kerja lebih dari satu provinsi, maka mereka harus
berkoordinasi dan melaporkan tugasnya kepada seluruh gubernur
(selaku wakil pemerintah) sesuai wilayah kerjanya. Sebaliknya,
seluruh gubernur yang terkait dengan instansi tersebut berhak
untuk meminta informasi maupun laporan agar terdapat sinergi
antara program daerah dengan program instansi vertikal tersebut.
2. Untuk urusan konkuren masih dimungkinkan untuk menjalankan
asas dekonsentrasi sepanjang program yang dijalankan benar-benar
ditujukan untuk menjamin terlaksananya kepentingan pusat di
daerah. Oleh karena itu, selain perlu pendefinisian ulang terhadap
makna dekonsentrasi, peneliti juga merekomendasikan perlunya
mendefinisikan kembali makna kepentingan pusat yang harus
255
dijalankan asas dekonsentrasi. Dalam hal ini, penulis mengajukan
5 (lima) cakupan kepentingan pusat sebagai berikut:
a. Program yang dimaksudkan untuk mendorong perubahan/
pembaharuan dalam business prosess urusan pemerintahan
tertentu,
b. Program yang dimaksudkan untuk mengembangkan atau
menyebarluaskan inovasi atau best practices dalam pelayanan
publik sektor tertentu,
c. Program yang dimaksudkan untuk menekan defisiensi
kompetensi aparatur dalam tugas tertentu,
d. Program yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan
pendapatan/kapasitas antar kelompok dalam masyarakat
melalui program intervensi tertentu,
e. Program yang dimaksudkan untuk meningkatkan tingkat
kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah dalam
kasus tertentu.
Hanya program-program yang memenuhi salah satu atau lebih
kriteria itulah yang dapat dibiayai dari sumber pendanaan
dekonsentrasi (selain urusan absolut).
3. Filosofi dekonsentrasi sebagai pengikat negara kesatuan dalam
iklim desentralisasi luas perlu diperkuat dengan memperkenalkan
konsep subsidiaritas (subsidiarity). Dengan prinsip subsidiaritas ini,
maka program dan anggaran dekonsentrasi dialokasikan untuk
mencapai tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk memacu
kreativitas dan inovasi daerah, atau sebagai insentif bagi daerah
(provinsi) yang mampu memenuhi kebijakan atau standar
256
pemerintah pusat di bidang tertentu, atau untuk mengurangi tingkat
kesenjangan antar daerah, atau untuk menutup celah fiskal (defisit
anggaran) yang dihadapi pemerintah daerah, dan seterusnya.
Penerapan model subsidiaritas juga bisa dilakukan misalnya bagi
daerah yang mampu menekan tingkat pencemaran lingkungan
hingga level tertentu, daerah-daerah bertetangga yang mampu
menyusun satu kerangka perencanaan yang terpadu dan tidak
terpenggal-penggal atas dasar batas administratif, daerah yang
mampu mengurangi tigkat kemiskinan dan pengangguran secara
signifikan, dan seterusnya.
Untuk menjamin keberhasilan model subsidiaritas seperti ini, maka
kementerian/lembaga diharapkan dapat merancang target-target
kinerja/capaian yang terukur di lingkup tugas dan wewenang
masing-masing. Selanjutnya, target-target tadi ditawarkan kepada
provinsi atau kabupaten/kota yang berminat untuk terlibat dalam
skema kerja pencapaian target kementerian/lembaga tertentu.
Dalam hal ini, hanya daerah-daerah yang berpartisipasi dan yang
mampu memenuhi target dalam skema kerja saja yang akan
mendapatkan insentif dari model subsidiaritas sebagai pengganti
model alokasi dana dekonsentrasi.
4. Untuk urusan sektoral (selain urusan absolut) yang didelegasikan,
pemerintah dapat secara langsung melimpahkan tanpa harus
membentuk atau memiliki instansi di daerah. Pemerintah (dalam
hal ini K/L) membuat perencanaan kebutuhan program yang akan
didelegasikan, menyediakan anggarannya, namun yang
melaksanakan adalah SKPD. Selanjutnya SKPD selaku pihak yang
257
menerima delegasi (delegataris) harus mempertanggungjawabkan
tugas delegasi kepada pihak yang memberikan delegasi (delegan)
melalui gubernur (selaku wakil pemerintah). Dengan prinsip
seperti ini, maka keberadaan asas medebewind atau Tugas
Pembantuan menjadi tidak relevan lagi untuk provinsi, dan hanya
boleh dilakukan antara pemerintah pusat dengan kabupaten/kota,
atau provinsi dengan kabupaten/kota.
5. Sebagai konsekuensi negara kesatuan yang terdesentralisasi
(decentralized unitary state), maka fungsi dekonsentrasi,
desentralisasi, dan tugas pembantuan, direkomendasikan tetap
dijalankan secara berimbang, namun dengan memperjelas area dan
urusan yang dilaksanakan. Dalam kaitan ini, maka peneliti
memetakan hubungan kewenangan antar tingkatan pemerintahan
dengan menggunakan diagram Venn. Dari irisan (intersection)
antar urusan antar tingkatan pemerintahan tersebut akan nampak
batas-batas urusan absolut pemerintah pusat, urusan otonom
provinsi dan kabupaten/kota, urusan dekonsentrasi, urusan tugas
pembantuan, serta urusan pemerintahan umum, sebagaimana
termodelkan dalam gambar dibawah ini.
258
6. Mengingat karakteristik dasar negara kesatuan (unitary states),
maka kebijakan desentralisasi maupun dekonsentrasi harus bersifat
integralistik. Artinya, keberhasilan kedua asas pemerintahan
tersebut menjadi tanggungjawab bersama seluruh tingkatan
pemerintahan dari yang tertinggi hingga yang terendah. Dengan
kata lain, fungsi dekonsentrasi juga harus diterapkan hingga ke
tingkat kabupaten/kota, tanpa harus dengan membentuk perangkat
dekonsentrasi yang baru, dan dengan kadar yang berbeda sesuai
situasi dan kebutuhan daerah. Atas dasar paham integralistik ini,
maka seorang bupati/walikota harus memahami mana wilayah
urusan pusat dan mana urusan yang berada dibawah otoritas
otonominya. Sepanjang menyangkut urusan dan kepentingan pusat
atau keselamatan nasional, maka secara otomatis bupati/walikota
harus tunduk dan berkewajiban mengamankan kebijakan nasional,
tanpa harus memiliki kedudukan selaku wakil pemerintah di
tingkat kabupaten/kota. Dengan model seperti ini, maka beban
259
tugas Gubernur selaku wakil pemerintah dapat dikurangi, sekaligus
mengefektifkan rentang kendali pemerintah terhadap daerah
otonom. Pada saat yang sama, pemerintah tidak perlu memikirkan
pembentukan perangkat khusus dekonsentrasi di tingkat
kabupaten/kota, karena fungsi tersebut sudah melekat secara
implisit pada jabatan Kepala Daerah.
7. Dilihat dari dimensi perangkat penyelenggaranya, maka
direkomendasikan model kelembagaan dekonsentrasi yang
memenuhi dua kepentingan sekaligus, yakni efisiensi dan
efektivitas. Semangat dasar dari model efisiensi adalah
pemerintahan yang sedikit mengatur (least government) sehingga
dapat dicegah adanya tumpang tindih program sekaligus dapat
diciptakan penghematan dalam penggunaan sumber daya
(resources). Dengan pola pikir ini, maka perangkat dekonsentrasi
tetap dipertahankan ramping seperti yang dianut dalam UU No.
22/1999 dan UU No. 32/2004, yakni hanya gubernur selaku wakil
pemerintah. Model ini secara teoretis sangat cocok dengan konsep
gubernur yang difungsikan sebagai penghubung (intermediate
administrative entity) antara pusat dan daerah (kabupaten/kota
untuk konteks Indonesia). Dalam kedudukan sebagai perantara dan
perekat tersebut, kedudukan gubernur lebih dominan selaku
koordinator, bukan operator urusan atau kewenangan
pemerintahan bidang/sektor tertentu. Dalam model ini, urusan
pemerintahan yang bersifat sektoral lebih tepat didesentralisasikan
sebagian kepada perangkat perangkat pemerintah daerah, dan
260
sebagian lainnya tetap dilaksanakan sendiri oleh kementerian /
lembaga di tingkat pusat.
Sedangkan semangat dasar dari model efektivitas selain menjaga
kesatuan dan kesamaan model pemerintahan daerah, juga untuk
menjamin bahwa kepentingan pusat dapat berjalan sepenuhnya di
tingkat daerah. Dengan pola pikir ini, maka diperlukan perangkat
dekonsentrasi yang memadai sesuai dengan besaran urusan yang
dilimpahkan kepada daerah. Dengan demikian, besaran perangkat
dekonsentrasi di setiap daerah bisa berbeda-beda tergantung pada
kemampuan aparatur, potensi daerah, prospek pengembangan, dan
variabel terkait lain yang menentukan luas urusan dekonsentrasi.
Selain itu, hal yang perlu dipikirkan juga adalah besaran perangkat
dekonsentrasi harus lebih kecil dibanding besaran perangkat
desentralisasi. Ini merupakan implikasi logis dari kebijakan
pemberian otonomi luas kepada daerah yang dipraktekkan saat ini.
Dalam model ini, fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi berjalan
simultan namun keduanya tidak bekerja pada wilayah, bidang, atau
obyek yang sama. Fungsi dekonsentrasi lebih merupakan residu
(sisa) dari kewenangan pemerintahan yang belum atau tidak
didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian
dapat dipetakan wilayah tanggungjawab yang dijalankan perangkat
daerah dan instansi vertikal, sehingga dapat dihindari tumpang
tindih yang selama ini terjadi.
8. Agar fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi dapat berjalan
seimbang tanpa khawatir akan muncul tumpang tindih yang
mengakibatkan inefisiensi program dan anggaran, maka
261
perencanaan program dekonsentrasi tidak cukup dibahas melalui
mekanisme trilateral meeting antara Bappenas, Kementerian
Keuangan dan Kementerian teknis. Sebab, setiap kementerian
memiliki keterkaitan dengan kementerian/lembaga lain. Kemensos
misalnya, memiliki keterkaitan dengan Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Badan Nasional penanggulangan bencana, dan seterusnya. Oleh
karena itu, Trilateral Meeting perlu diperluas menjadi Multilateral
Meeting untuk menjamin setiap program dapat saling
dikomunikasikan antar kementerian terkait.
9. Jika tidak dilakukan upaya rekonstruksi secara komprehensif
terhadap dekonsentrasi, maka akan jauh lebih baik jika program
dan anggaran dekonsentrasi yang selama ini dikelola langsung oleh
kementerian diintegrasikan dengan program dan anggaran daerah
otonom. Pemerintah cukup kembali ke fungsi pembinaan,
penetapan standarisasi, dan supervisi serta pengembangan
kapasitas pemerintah daerah. Sementara bagi daerah, dengan
alokasi dana yang lebih besar akan dapat lebih fokus untuk
mencapai target-target sesuai kebutuhannya. Namun agar tidak
terjebak pada bentuk ”inefisiensi dan inefektivitas baru”, maka
daerah harus benar-benar memiliki orientasi pembangunan yang
komprehensif sehingga tidak menimbulkan problem kesenjangan
antar sektor. Selain itu, kemampuan teknis dan manajerial pejabat
daerah juga harus diperkuat agar tidak menimbulkan malpraktek
administrasi.
262
DAFTAR PUSTAKA
Ansell, Christopher, and Jane Gingrich, 2003, “Chapter 7: Trends in
Decentralization”, dalam Bruce E Cain; Russell J Dalton; Susan E
Scarrow, Democracy transformed? Expanding Political
Opportunities in Advanced Industrial Democracies, NY: Oxford University Press.
Arikan GG., 2004, “Fiscal decentralization: A remedy for corruption?”,
dalam International Tax and Public Finance 11(2): 175-195.
Basuki, Tobias, 2006, Decentralization in Indonesia and China: An Answer
to Legitimacy Crisis?. Paper presented at the annual meeting of the
The Midwest Political Science Association, Palmer House Hilton,
Chicago, Illinois, April.
Beh, LooSee. 2007, Public Administration in China and Malaysia: Evidence
of Reforms, Working Paper ICS No. 2. University of Malaya:
Institute of China Studies. Kuala Lumpur.
Bird, Richard M. dan Michael Smart, 2001, Intergovernmental Fiscal
Transfers: Some Lessons from International Experience, Paper
prepared for Symposium on Intergovernmental Transfers in Asian Countries: Issues and Practices, Asian Tax and Public Policy
Program, Hitosubashi University, Tokyo, Japan, February.
Bizet, Bernard, 2002, “Deconcentration versus Decentralisation of
Administration in France: A Centre-Periphery Dilemma”, dalam Canadian Journal of Regional Science / Revue canadienne des
sciences régionales, XXV: 3 (Autumn/automne 2002).
Boeckenfoerde, Markus, Philipp Dann, and Verena Wiesner, 2007, Max-
Planck Manual on Different Forms of Decentralization, Heidelberg:
Max-Planck Institute for Comparative Public Law and International
Law.
Braathen, Einar, 2008, Decentralisation and Poverty Reduction, A Review of
the Linkages in Tanzania and the International Literature, Norad
Report 22b/2008 Discussion, Norwegian Agency for Development
Cooperation. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.norad.no/items/14184/38/2084279701/Decentralisation%20and%20Poverty%20Reduction.pdf
Brinkerhoff, Derick W. (dengan Omar Azfar), 2006, Decentralization and
Community Empowerment: Does community empowerment deepen
democracy and improve service delivery?, U.S. Agency for
International Development Office of Democracy and Governance.
263
Burki, Shahid Javed, Guillermo E. Perry dan William R. Dillinger (1999),
Beyond the Center: Decentralizing the State, World Bank Latin America and Caribbean Studies, Washington DC.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, (ed.) 1983, Decentralization
and Development: Policy Implementation in Developing Countries,
Beverly Hills, California: Sage.
Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, 2007, Decentralizing
Governance: Emerging Concepts and Practices, Brookings
Institution Press.
Cohen, John M., and Stephen B. Peterson, 1997, Administrative
Decentralization: A New Framework for Improved Governance,
Accountability and Performance, Discussion Paper, The Harvard Institute of International Development,
www.cid.harvard.edu/hiid/582.pdf
Crook R, Sverrisson A. 2001. Decentralization and Poverty Alleviation in
Developing Countries: A Comparative Analysis, or Is West Bengal
Unique? Institute of Development Studies: Brighton.
Dillinger, William, 1994, Decentralization and Its Implications for Urban
Service Delivery. Urban Management Program Discussion Paper 16 (Washington, DC: World Bank), dalam Richard C. Crook and James
Manor, 1998, Democracy and Decentralization in South-East Asia
and West Africa: Participation, Accountability, and Performance. Cambridge: Cambridge University Press.
Dwiyanto, Agus, 2015, Administrasi Publik: Desentralisasi, Kelembagaan,
dan Aparatur Sipil Negara, Gadjah Mada UP dan LAN.
Falleti, Tulia G., 2004, A Sequential Theory of Decentralization and Its
Effects on the Intergovernmental Balance of Power: Latin American
Cases In Comparative Perspective, Working Paper #314, July.
Diakses tanggal 12 April 2009, tersedia online http://www.ciaonet.org/wps/fat01/fat01.pdf
FAO, 2006, Understand, Analyze and Manage a Decentralization Process, Institutions For Rural Development, Rome.
Ferdiana, Astri dan Laksono Trisnantoro, tanpa tahun, Bab 1 : Desentralisasi
dan Tinjauan Sejarah Desentralisasi Kesehatan di Indonesia. Online di http://www.desentralisasi-
kesehatan.net/id/moduldhs/bacaan_umum.htm
Fisman R, Gatti R. 2002. “Decentralization and corruption: evidence across countries”. Journal of Public Economics 83(3): 325-345.
264
Fjeldstad O-H. 2004. Decentralisation and Corruption: A Review of the
Literature. Chr. Michelson Institute: Bergen.
Fleurke, Frederik and Rudie Hulst, 2006, “A Contingency Approach to
Decentralization”, dalam Public Organization Review, Vol. 6.
Springer Science + Business Media.
Gera, Weena JS., 2008, “Central Bureaucratic Supervision and Capacity Development in Decentralization: Rethinking the Relevance of the
Department of Interior and Local Government of the Philippines”,
dalam Forum of International Development Studies No.37, September, Nagoya University: Graduate School of International
Development. Diakses tanggal 12 April 2009, tersedia online di http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp/bpub/research/public/forum/37/index-en.html
Goldsmith, Mike and Ken Newton, 1983, “Central-local government
relations: The irresistible rise of centralized power”, dalam West
European Politics, Vol. 6 No. 4.
Hadiz, Vedi R., 2003, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A
Critique of Neo-Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No. 47, May. City University of Hongkong: Southeast Asia Research
Center.
IRDA, 2003, July, Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA):
Third Report, Jakarta: Asia Foundation. http://www.asiafoundation.org/pdf/IRDA3-english.pdf
Jacobs, A. J., 2003, “Devolving Authority and Expanding Autonomy in
Japanese Prefectures and Municipalities”, dalam Governance, An
International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol. 16, No. 4, October. Blackwell Publishing
Jeffery, Charlie, and Daniel Wincott, 2006, “Devolution in the United
Kingdom: Statehood and Citizenship in Transition”, dalam Publius:
The Journal of Federalism, Vol. 36 No. 1. Oxford University Press.
Kementerian Keuangan, 2009, Grand Design Desentralisasi Fiskal
Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Kolehmainen-Aitken, Riitta-Liissa, 1999, “Decentralization of the Health Sector”, in World Bank Institute (ed.), Decentralization Briefing
Notes, WBI Working Papers. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
McBeath, Gerald A. and Andrea R. C. Helms, 1983, “Alternate Routes to
Autonomy in Federal and Quasi-Federal Systems”, in Publius, Vol. 13, No. 4 (autumn). Oxford University Press.
265
McLean, Keith and Elizabeth King, 1999, “Decentralization of the Education
Sector”, in World Bank Institute (ed.), Decentralization Briefing
Notes, WBI Working Papers. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf
Michihiro, Kayama, (ed.), 2007, Local Government in Japan, Tokyo: Council
of Local Authorities for International Relations (CLAIR).
Moore, Mick and James Putzel, 1999, Politics and Poverty: A Background
Paper for The World Development Report 2000/1. Paper tidak
diterbitkan. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.worldbank.org/poverty/wdrpoverty/dfid/synthes.pdf
Nur, Abdul Majid Dano Muhammad, Laksono Trisnantoro, dan Dewi
Marhaeni Diah Herawati, 2009, Evaluasi Kebijakan Dana
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun 2005 - 2007. Working
Paper Series No. 1. Januari. UGM: Magister Kebijakan dan
Manajemen Pelayanan Kesehatan.
OECD, 1997, Managing across Levels of Government, OECD’s Public
Management Committee.
Picard, Louis A., 2008, book review. “Publius, The Journal of Federalism”,
Volume 38, Number 4, Oxford University Press.
Prasojo, Eko, 2008, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan
Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: FISIP-UI.
___________, tanpa tahun, Konsep dan Pengaturan Desentralisasi
Fungsional dan Kawasan Khusus dalam Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, diakses tanggal 13 April 2009, http://desentralisasi.org/makalah/Kawasan-Khusus/EkoPrasojo_KonsepdanPengaturanDesentralisasiFungsionaldanKawasanKhususdalamUndang-UndangPemerintahanDaerah.pdf
Regulska, Joanna, 1997, “Decentralization or deconcentration: struggle for
political power in poland (1)”, International Journal of Public
Administration, Vol. 20: 3, 643 — 680
Ribot, Jesse C., 2004, Waiting for Democracy: The Politics of Choice in
Natural Resource Decentralization, World Resource Institute,
Washington.
Rondinelli, Dennis, 1999, “What is Decentralization?”, in World Bank, Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers.
266
Ryan, Jeffrey J., 2004, “Decentralization and Democratic Instability: The
Case of Costa Rica”, dalam Public Administration Review, Vol. 64, Issue 1 – January.
Sasaoka, Yuichi, 2007, Decentralization and Conflict, The 889th Wilton Park
Conference, Japan International Cooperation Agency.
Sato, Katsuhiro, 2001, Overview of Central-Local Relationships in Japan:
What was changed and what is challenged, Paper for the Workshop
Local Governance in a Global Era –In Search of Concrete Visions for
a Multi-Level Governance, 7-8 December, Hokkaido University.
Siegle, Joseph and Patrick O’Mahony, Assessing the Merits of
Decentralization as a Conflict Mitigation Strategy. Diakses tanggal
8 April 2009, http://www.dai.com/pdf/Decentralization_as_a_Conflict_Mitigation_Strategy.pdf
Smoke, Paul, 2005, “Chapter 2: The Rules of the Intergovernmental Game in
East Asia: Decentralization Frameworks and Processes”, dalam
World Bank, East Asia Decentralizes: Making Local Government
Work, Washington DC.
Syafrudin, Ateng, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, Refika Aditama,
Bandung, 2006, terjemahan Prof. F.A.M. Stroink, ”Het Leerstuk der
Deconcentratie” (The Doctrine of Deconcentration), Bestuurlijke Verkenningen, Nr. 27, 1978.
Tillin, Louise, 2006, “United in Diversity? Asymmetry in Indian Federalism”,
dalam Publius: The Journal of Federalism, Volume 37 Number 1. Oxford University Press.
Tosun, Mehmet Serkan dan Serdar Yilmaz, 2008, Centralization,
Decentralization, and Conflict in the Middle East and North Africa,
The World Bank Sustainable Development Network Social Development Department. Policy Research Working Paper No. 4774.
Turner, Mark, 2002, “Whatever happened to deconcentration: Recent
Initiatives in Cambodia”, Public Administration and Development
Journal. Vol 22, 353–364. Canberra, www.interscience.wiley.com
UNDP, 2000, Overcoming Human Poverty, UNDP Poverty Report. Diakses
tanggal 13 April 2009, http://www.undp.org/povertyreport/ENGLISH/ARfront.pdf
UN ESCAP, Country profile: China, http://www.unescap.org/huset/lgstudy/country/china/china.html#top
Utomo, Tri Widodo W., 2004, “Trend Desentralisasi Dalam Administrasi
Publik (Sebuah Kajian Terhadap Dampak Desentralisasi Dalam
267
Perspektif Internasional dan Pengalaman Indonesia)”, dalam Jurnal
Manajemen Pembangunan, No. 47/III/Tahun XIII, Jakarta: LAN.
Wollman, Hellmut, 2007, “Devolution of Public Tasks between (Political)
Decentralization and (Administrative) Deconcentration – in
Comparative (European) Perspective”, dalam Social Science
Institute of Tokyo University.
Wibbels, Erik, 2000, “Federalism and the Politics of Macroeconomic Policy
and Performance”, dalam American Journal of Political Science, Vol.
44, No. 4 (October). Midwest Political Science Association.
Work, Robertson, 2002, Overview of Decentralization Worldwide: A
Stepping Stone to Improved Governance and Human Development,
UNDP: 2nd International Conference on Decentralization Federalism: The Future of Decentralizing States?
World Bank, 2000, Helping Countries to Combat Corruption: Progress at
the World Bank since 1997. Washington DC.
___________, June 2001, “Decentralization and Governance: Does Decentralization Improve Public Service Delivery?” in PremNotes
No. 55. Diakses tanggal 13 April 2009, http://www1.worldbank.org/prem/PREMNotes/premnote55.pdf
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan
Komite Nasional Daerah. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah.
Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1965 Nomor 83).
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1974 No. 38).
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 60).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 125). Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI
Tahun 2004 No. 126). Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
(Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 12).
268
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara RI Tahun 2014 No. 244). Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Dan
Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan, (Lembaran Negara Tahun 2000 No. 203).
Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 62).
Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas
Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 77). Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2008 No. 20).
Peraturan Pemerintah No. 23/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil
Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66/2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 23/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.
Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/2013 tentang Pelimpahan Kewenangan
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten Kota Tahun Anggaran 2014.
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 1 Tahun 2011 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi
Kalimantan Tengah 2010-2015. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 11 Tahun 2012 tentang
Pelaksanaan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.
Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.44/719/2013 tentang Forum CSR Provinsi Kalimantan Tengah.
269
Surat Kabar
Kompas, 1 Desember 2009, Rakernas APPSI: Ketidakjelasan Peran
Gubernur Jadi Isu Sentral, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/01/03422189/Ketidakjelasan.Peran.Gubernur.Jadi.Isu.Sentral
____________, 22 Oktober 2008, Peran Gubernur Perlu Diperjelas, http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/22/20571279/peran.gubernur.perlu.diperjelas
____________, 24 Desember 2007, Dekonsentrasi Disalahgunakan Pemda
dan Departemen Teknis Sama-sama Bermain, http://64.203.71.11/kompas-cetak/0712/24/utama/4098087.htm
____________, 18 Desember 2007, 8 Temuan Mengejutkan: Mahkamah
Agung Belum Bersedia Memberikan Keterangan, http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/18/utama/4088987.htm
Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007, DPRD Jabar Sesalkan Dana Dekon:
Disalurkan tanpa Mekanisme Pertanggungjawaban yang Jelas, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/10/0210.htm
Tempo Interaktif, 5 September 2006, Daerah Minta Kewenangan Kelola
Dana Dekonsentrasi, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/09/05/brk,20060905-83395,id.html
____________, 24 Agustus 2006, Daerah Tidak Boleh Kelola Dana
Dekonsentrasi, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/08/24/brk,20060824-82538,id.html
Sumut Pos, 1 Februari 2007, Dana Dekonsentrasi Bakal Diaudit, http://nasrilbahar.wordpress.com/2007/02/02/dana-dekonsentrasi-bakal-diaudit/
Sumber Lain:
Detik, 6 Desember 2007, Muladi: Pilkada Gubernur Tidak Relevan dengan
Otonomi Daerah, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/12/tgl/06/time/210014/idnews/863340/idkanal/10
Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Bappenas, Program Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2015 dan RPJMN 2015 – 2019, Mei 2014
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pedoman Pelaksanaan
Dekonsentrasi tahun 2014 Direktorat Jenderal Perlindungan dan
Jaminan Sosial. Kementerian Keuangan, 2014, Rekomendasi Menteri Keuangan:
Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam Rangka
Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun
Anggaran 2015.
270
Portal Badan Pemeriksa Keuangan, 29 Januari 2007, BPK Khawatir Terjadi
Asset Laundering, http://www.bpk.go.id/berita_content.php?lang=id&nid=638
Portal Departemen Komunikasi dan Informatika, 5 April 2006, Menkeu:
Alokasi DAU Masih Belum Optimal, http://www.depkominfo.go.id/2006/04/05/menkeu-alokasi-dau-masih-belum-optimal/
Petunjuk Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Kementerian Sosial Tahun 2014.
Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Isu-Isu Strategis Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial Tahun 2015, bahan paparan pada Rapat
Koordinasi Perencanaan Program dan Anggaran Kementerian
Sosial Tahun 2015. Rencana Strategis Kementerian Sosial 2010-2015.
Daftar Isi Lampiran
1. Matriks Instrumentasi Penelitian: Daftar Responden dan Jenis
Informasi yang Dibutuhkan
2. Pedoman Wawancara:
a. Untuk Pejabat Kementerian
b. Untuk Pakar/Akademisi dan Perumus Kebijakan
c. Untuk Gubernur, Kepala Dinas dan Pejabat Daerah Terkait
3. Kesimpulan dan Rumusan Hasil FGD
Lampiran 1.
Matriks Instrumentasi Penelitian: Daftar Responden dan Jenis Informasi yang Dibutuhkan
No. Karakteristik
Responden
Nama / Jabatan
Responden Tujuan
Teknik (Metode)
& Instrumen
Jenis / Rincian Informasi yg
Dibutuhkan (Daftar Pertanyaan)
1.
Pakar / Ahli
� Prof. Dr. Bhenyamin
Hoessein (UI, Jakarta)
� Prof. Dr. Eko Prasojo (UI, Jakarta)
� Prof. Dr. Miftah Thoha,
MPA (UGM, Yogyakarta)
� Dr. I Made Suwandi
(Kemendagri).
(dan seterusnya, bergulir sesuai kebutuhan)
Menggali persepsi,
pengalaman, dan
pemikiran konseptual para
pakar / responden
kunci yang berkompeten di
bidang yang relevan
dengan fokus / tema
disertasi. Hasil dari wawancara ini akan
dituangkan secara
proporsional dalam bab-bab yang reevan.
Teknik: wawancara
mendalam (indepth & semi-
structured
interview)
Instrumen: Pedoman
wawancara
� Apakah dekonsentrasi masih
dibutuhkan dan perlu
dipertahankan? � Apakah dekonsentrasi harus
selalu seimbang dengan
desentralisasi? � Apa manfaat terpenting dari
dekonsentrasi?
� Apa kelemahan mendasar
pelaksanaan dekonsentrasi selama ini?
� Apa faktor determinan yang
menentukan keberhasilan / kegagalan dekonsentrasi?
� Perubahan apa yang perlu
dilakukan untuk memperkuat
dekonsentrasi? � Bagaimana model kelembagaan,
tatalaksana & pengelolaan
keuangan dekonsentrasi yang
ideal? � Bagaimana mengintegrasikan
program dekonsentrasi dengan
program / prioritas pembangunan
daerah? � Bagaimana mekanisme
perencanaan dan model
pertanggungjawaban yang baik dalam penyelenggaraan fungsi
dekonsentrasi?
� Bagaimana mewujudkan
keseimbangan peran gubernur selaku wakil pemerintah dan
selaku kepala daerah?
� Apa peran & tugas bupati/walikota dalam kerangka
dekonsentrasi?
2.
Perumus /
Pengambil
Kebijakan
� Kementerian Sosial
� Kementerian Keuangan
� Kementerian Dalam Negeri
Menggali informasi
tentang dasar
filosofis pengaturan dekonsentrasi
(Depdagri) atau
pelimpahan
Teknik: wawancara
mendalam (indepth & semi-
structured
interview)
� Apa sebenarnya alasan
fundamental adanya
dekonsentrasi, dan sejauhmana derajat dekonsentrasi dapat
diterapkan?
� Adakah tarik-menarik antara
wewenang kepada
gubernur (Dep. Teknis), serta untuk
mengeta- hui
berbagai kebijakan
yang pernah, sedang atau akan
dilaksanakan terkait
penyelenggaraan dekonsentrasi.
Instrumen: Pedoman
wawancara
fungsi dekonsentrasi dengan
kepentingan desentralisasi, atau adakah penolakan dari perangkat
desentralisasi thd kebijakan &
implementasi dekonsentrasi?
� Bagaimanakah pandangan Anda tentang praktek dekonsentrasi
selama ini?
� Apa kebijakan / strategi Departemen untuk menjamin
keberhasilan dekonsentrasi?
� Apa kesulitan/kendala K/L dalam
menjamin terlaksananya program Pusat di daerah? Contoh?
� Apakah program-program
unggulan dan prioritas dari K/L? � Pola apa yang lebih disukai oleh
K/L untuk menjalankan program2
tersebut: dilaksanakan sendiri, dilimpahkan kepada wakil
pemerintah, dilimpahkan kepada
instansi vertikal, atau
didesentralisasikan? � Apa pertimbangan K/L untuk
menentukan pola
penyelenggaraan program
tersebut?
� Apakah telah ada dasar hukum tentang pelimpahan wewenang
K/L kepada gubernur? Jika sudah,
apa kriteria yang digunakan untuk
pelimpahan tersebut? � Apakah diadakan evaluasi rutin
terhadap pelaksanaan program &
penggunaan dana dekonsentrasi? Jika ya, bagaimana hasilnya
secara time-series?
� Apakah pernah teridentifikasi
overlap antara program dekonsentrasi dengan program
daerah? Jika ya, apa langkah yang
ditempuh? � Bagaimana rencana penerapan /
pengem- bangan dekonsentrasi
dimasa mendatang?
3.
Aktor pelaksana
/ Implementator kebijakan
(Tingkat
Provinsi)
� Gubernur (Kalteng)
� Kepala Dinas Sosial � Pengelola Program
Dekonsentrasi
Menggali informasi
tentang praktek penyelenggaraan
dekonsentrasi di
tingkat provinsi,
Teknik: wawancara mendalam
(indepth & semi-
� Apakah fungsi & program
dekonsentrasi masih perlu / relevan untuk konteks daerah di
era otonomi luas?
� Apakah fungsi & program
misalnya menyangkut
kesulitan / kendala yang dihadapi,
manfaat yang
diperoleh, gagasan
perbaikan kedepan, dsb.
structured
interview)
Instrumen: Pedoman
wawancara
dekonsentrasi selama ini
membawa manfaat signifikan terhadap masyarakat &
pemerintah daerah? Jika ya,
uraikan manfaat apa saja.
� Apakah program dekonsentrasi selama ini sesuai dengan
kebutuhan daerah?
� Bagaimana proses perencanaan program & penganggaran
kegiatan dekonsentrasi?
Bagaimana pula
pertanggungjawabannya? � Apakah gubernur memiliki peran
yang jelas dan signifikan dalam
perencanaan, pelaksanaan & pengawasan program
dekonsentrasi?
� Apa fungsi gubernur selaku wakil pemerintah yang dapat dijalankan
secara efektif selama ini? Jika
ternyata tidak efektif, apa faktor
yang menyebabkannya? � Bagaimana mekanisme konsultasi
& komunikasi gubernur selaku
wakil pemerintah dengan K/L,
khususnya terkait program
dekonsentrasi? � Bagaimana menyeimbangkan
posisi gubernur selaku kepala
daerah dan selaku wakil
pemerintah? Apakah ada pengalaman conflicting interest
antara kedua posisi tersebut?
� Bagaimanakan pola / sistem pemilihan gubernur yang ideal?
� Apakah indikasi adanya overlap
program dan dana seperti disorot
berbagai pihak memang sebuah fakta? Jika ya, apa sumber yang
menyebabkan terjadinya overlap
tersebut? � Langkah-langkah perbaikan apa
saja yang sudah dilakukan untuk
membenahi implementasi dekonsentrasi?
� Menurut Anda, bagaimana
konsep kebijakan dekonsentrasi
yang lebih tepat / lebih baik untuk masa depan sejalan dengan
rencana revisi UU No. 32/2004?
4.
Aktor pelaksana / Implementator
kebijakan
(Tingkat
Kabupaten / Kota)
� Walikota (Palangkaraya)
Menggali informasi tentang praktek
penyelenggaraan
dekonsentrasi di
tingkat kabupaten/kota,
termasuk mencari
hubungan gubernur dengan
bupati/walikota
dalam kerangka
dekonsentrasi.
Teknik: wawancara
mendalam
(indepth & semi-
structured
interview)
Instrumen: Pedoman
wawancara
� Apakah daerah Anda mendapatkan tugas
menyelenggarakan sebagian
urusan dekonsentrasi? Jika ya, di
sektor apa dan program2 apa saja yang dijalankan?
� Bagaimana mekanisme turunnya
program dekonsentrasi tersebut: atas usulan daerah, atas
penugasan dari provinsi, atau
penugasan langsung dari K/L?
� Apakah program dekonsentrasi tersebut sesuai dengan kebutuhan
daerah?
� Adakah kendala dalam pelaksanaan program
dekonsentrasi selama ini? Jika
ada, langkah apa yang dilakukan? � Menurut Anda, bagaimana peran
gubernur dalam pengelolaan
program dekonsentrasi di daerah?
Apakah peran tersebut bisa dijalankan dengan optimal?
� Menurut Anda, perlukah
Bupati/Walikota diberi
kedudukan selaku wakil
pemerintah? � Menurut Anda, apakah
dekonsentrasi perlu untuk
percepatan pembangunan daerah?
Apa ada manfaat nyata dari program tsb?
� Menurut Anda, bagaimana
konsep kebijakan dekonsentrasi yang lebih tepat / lebih baik untuk
masa depan sejalan dengan
rencana revisi UU No. 32/2004?
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk Pejabat Kementerian)
Keterangan:
Pertanyaan, data-data, dana analisis data sepenuhnya untuk
kepentingan akademik dalam rangka penelitian dan penulisan disertasi
berjudul “Relevansi Dekonsentrasi Sebagai Instrumen Pemerintah
Dalam Mendukung Kebijakan Nasional di Daerah di Era
Desentralisasi”, pada Program S3 Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
1. Desain Dekonsentrasi. Menurut UU No. 32/2004, dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
• Apakah Kementerian Sosial/Kesehatan memiliki Instansi
Vertikal?
• Jika Ya, apakah dibedakan antara program dekonsentrasi
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan dekonsentrasi
kepada Instansi Vertikal?
• Jika Ya, apa perbedaan diantara keduanya?
2. Program Prioritas/Unggulan K/L.
• Apakah program-program unggulan dan prioritas dari K/L?
• Pola apa yang lebih paling tepat untuk menjalankan program-
program tersebut: apakah dilaksanakan sendiri, dilimpahkan
kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah, dilimpahkan
kepada Instansi Vertikal, atau didesentralisasikan kepada
daerah?
3. Urgensi Dekonsentrasi.
Apa pertimbangan utama dalam menetapkan sebuah program
sebagai program dekonsentrasi yang harus dibiayai dari dana
dekonsentrasi?
• Apakah program yang saat ini dibiayai dengan dana
dekonsentrasi tidak bisa dialihkan sebagai program yang
dilaksanakan sendiri oleh Kementerian, atau
didesentralisasikan kepada daerah?
• Jika Ya maupun Tidak, apa alasannya?
4. Dampak Program Dekonsentrasi. Apakah ada evaluasi secara rutin (tahunan) terhadap kemanfaatan
program dekonsentrasi?
• Jika Ya, apa saja manfaat dekonsentrasi tersebut, dan siapa saja
yang menerima manfaat tersebut?
• Apa kelemahan mendasar pelaksanaan dekonsentrasi selama
ini, dan faktor determinan yang menentukan keberhasilan atau
kegagalan dekonsentrasi?
• Terkait pertanyaan butir diatas, aspek-aspek apa saja yang pelu
diperbaiki dalam penyelenggaraan dekonsentrasi?
• Apa kebijakan atau strategi Kementerian Sosial / Kesehatan
untuk menjamin keberhasilan dekonsentrasi?
5. Pengalihan Dana Dekonsentrasi menjadi DAK.
Menurut PP No. 7/2008, kegiatan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan akan dialihkan ke DAK selambat-lambatnya 2 tahun.
Apakah Kementerian Sosial/Kesehatan sudah melakukan
pengalihan tersebut?
• Jika Ya/Sudah, apakah sudah dilakukan evaluasi terhadap
efektivitas pelaksanaan program/anggaran sebagai akibat dari
pengalihan tersebut? Apakah pola baru (DAK) ini lebih baik
dibanding pola sebelumnya (Dekonsentarsi)?
• Jika Tidak/Belum, apa alasannya dan apakah sudah ada rencana
pengalihan tersebut?
6. Indikasi Overlap Program. Banyak pihak mensinyalir bahwa ada duplikasi atau tumpang
tindih antara program/anggaran K/L dengan program/anggaran
yang didekonsentrasikan; atau antara program/anggaran
dekonsentrasi dengan program/anggaran provinsi.
• Setujukah bapak dengan pernyataan tersebut?
• Apakah di Kementerian Sosial/Kesehatan juga ditemukan
fenomena seperti ini? Jika Ya, dalam program apa saja potensi
tumpang tindih itu terjadi?
• Apa faktor yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih itu
terjadi: perencanaan yang tidak sinergis, belum ada mekanisme
penyusunan program, egoisme instansi/unit kerja tertentu, atau
ada faktor lain?
Catatan: Mohon dapat diberikan data time series tentang jenis-
jenis program dekonsentrasi di lingkungan Kementerian
Sosial/Kesehatan.
7. Gagasan Penataan.
• Dengan adanya desentralisasi dan pembagian urusan pusat-
daerah, setujukah Anda jika fungsi Kementerian lebih baik
difokuskan pada penetapan NSPK (norma, standar, prosedur,
dan supervisi (pengawasan, monev)?
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk Pakar/Akademisi dan Perumus Kebijakan cq.
Kementerian Dalam Negeri)
Keterangan:
Pertanyaan, data-data, dana analisis data sepenuhnya untuk
kepentingan akademik dalam rangka penelitian dan penulisan disertasi
berjudul “Relevansi Dekonsentrasi Sebagai Instrumen Pemerintah
Dalam Mendukung Kebijakan Nasional di Daerah di Era
Desentralisasi”, pada Program S3 Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
1. Urgensi dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah dan
hubungan pusat-daerah.
• Apa sesungguhnya urgensi dari asas dekonsentrasi dalam
sistem pemerintahan kita?
• Apakah dekonsentrasi adalah satu-satunya alat pemerintah
untuk mendukung dan menjamin terselenggaranya
kepentingannya di daerah, atau untuk memenuhi urgensi tadi?
• Apakah jika program/anggaran dekonsentrasi yang
dilimpahkan kepada wakil pemerintah dihapus, maka
kepentingan pemerintah (nasional) tidak terlaksana dengan
baik di daerah? Adakah dampak yang sangat mendasar jika
dekonsentrasi kepada wakil pemerintah dihapus saja, sehingga
tersisa dekonsentrasi untuk instansi vertikal saja?
2. Manfaat dekonsentrasi salah satunya adalah untuk
menciptakan iklim / prosedur yang lebih kompetitif antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Bizet, 2002: 478-
479).
• Bagaimana dengan dekonsentrasi di Indonesia, adakah proses
kompetitif itu?
• Jika tidak, mengapa atau faktor apa yang menyebabkan tidak
munculnya iklim kompetisi?
3. Dekonsentrasi adalah pemberian tugas-tugas rutin dan
pelayanan kepada perangkat di daerah, sehingga pusat dapat
lebih berkonsentrasi pada perbaikan kualitas kebijakan
(Turner, 2002).
• Bagaimana tanggapan bapak/ibu, setujukah dengan pendapat
Turner tersebut?
• Apa saja kriteria yang sebaiknya digunakan untuk menentukan
suatu urusan/program sebagai urusan/program dekonsentrasi?
• Menurut pengamatan bapak/ibu, apakah pemerintah pusat (cq.
Kementerian/Lembaga) sudah memiliki dan menerapkan
kriteria urusan/program dekonsentrasi dengan benar?
4. Dalam UU No. 33/2004 pasal 108 disebutkan bahwa Dana
Dekonsentrasi kedepan akan dialihkan menjadi Dana Alokasi
Khusus.
• Jika kebijakan ini sudah terealisasi, apa sumber pendanaan
pengganti untuk urusan-urusan dekonsentrasi?
• Jika tidak ada penggantinya, maka dapat dipastikan urusan
dekonsentrasi tidak dapat diimplementasikan. Ini berarti pula
urusan dekonsentrasi akan terhapus dari sistem
penyelenggaraan pemerintahan, atau paling tidak semakin
memperkecil peranan dekonsentrasi. Apakah seperti ini arah
regulasi kedepan?
• Jika peran dekonsentrasi semakin lemah, bagaimana agenda
penguatan negara kesatuan bisa dijamin?
5. Menurut PP No. 7/2008, jangka waktu pengalihan kegiatan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan
daerah ke DAK adalah 2 tahun. Jika norma ini dipenuhi,
berarti tahun 2010 seluruh dana dekonsentrasi sudah harus
beralih ke mekanisme DAK.
• Menurut pengamatan bapak/ibu, Kementerian/Lembaga mana
saja yang sudah menerapkan kebijakan ini? Adakah evaluasi
terhadap kendala, masalah atau dampak dari kebijakan ini? Jika
sudah, apa rencana tindak lanjut kedepan?
• Perintah pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK secara
teknis semestinya sulit dilakukan karena dana dekonsentrasi
tidak boleh digunakan untuk kegiatan fisik, sementara DAK
justru lebih banyak untuk mendukung proyek fisik. Bagaimana
menjembatani gap ini dan kompromi seperti apa yang
ditempuh?
6. Secara kelembagaan, dekonsentrasi itu hanya diberikan
kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau kepada
instansi vertikal.
• UPT, Kantor Regional, Pusat, atau unit kerja K/L di daerah
(selain yang menjalankan urusan absolut pemerintah) apakah
juga masuk dalam kategori sebagai “Instansi Vertikal”?
• Jika Ya:
o Bukankah program kerja mereka harus disebut sebagai
program dekonsentrasi, dan anggarannya juga anggaran
dekonsentrasi?
o Bukankah program dan anggaran unit K/L di daerah tadi
harus dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil
pemerintah?
o Sesuai dengan definisi “dekonsentrasi” sebagai
“pelimpahan wewenang”, bukankah seharusnya ada
pelimpahan wewenang dari pimpinan K/L kepada unit
kerja K/L tersebut?
• Jika Tidak, status kelembagaan unit K/L di daerah tersebut
tidak sesuai dengan definisi dekonsentrasi. Artinya, bukan
perangkat daerah, bukan perangkat pusat sepenuhnya (karena
berada di daerah), dan bukan pula Instansi Vertikal? Lantas,
model kelembagaan apa unit kerja semacam ini?
Contoh kasus: LAN memiliki unit kerja di daerah yang disebut
PKP2A, namun selama ini tidak pernah dikatakan bahwa
PKP2A adalah Instansi Vertikal. Program dan anggaran
PKP2A tidak disebut sebagai program dan anggaran
dekonsentrasi. Semua pembiayaan PKP2A dibebankan pada
DIPA LAN (anggaran pusat). Demikian pula, tidak ada
pelimpahan wewenang dari Kepala LAN kepada Kepala
PKP2A.
Dalam contoh kasus LAN tersebut, PKP2A (yang by definition
adalah instansi vertikal) justru menjalankan program dan
anggaran pusat (LAN) yang tidak berdasarkan pendelegasian
wewenang. Apakah ini dibenarkan? Bagaimana pendapat
Anda?
7. Menurut UU No. 32/2004, wakil pemerintah adalah
kedudukan dan peran yang dibebankan kepada Gubernur
secara ex-officio (karena jabatannya), dan bukan pada
institusi.
• Apakah tidak lebih baik fungsi itu melekat pada Gubernur
selaku Kepala Daerah, sehingga perangkat daerah secara
otomatis juga menjalankan fungsi ganda?
• Apakah gubernur yang memiliki peran ganda sebagai Kepala
Daerah dan sekaligus sebagai Wakil Pemerintah ini dapat
dikatakan sebagai fused-model dalam otonomi daerah?
(catatan: fused-model sebelumnya terjadi pada masa UU No.
5/1974 dimana KDH adalah juga Kepala Wilayah).
• Secara normatif maupun empiris, kedudukan Wakil
Pemerintah tidaklah sekuat Kepala Wilayah. Ketiadaan
perangkat kelembagaan Wakil Pemerintah adalah salah satu
penyebabnya. Apakah konsep Wakil Pemerintah ini masih
perlu dipertahankan?
• Bagaimana mewujudkan keseimbangan peran gubernur selaku
wakil pemerintah dan selaku kepala daerah ?
• Bagaimana peran dan tugas bupati/walikota dalam kerangka
dekonsentrasi? Apakah di tingkat kabupaten/kota memang
tidak dibutuhkan seorang wakil pemerintah?
o Dengan tidak adanya wakil pemerintah di kabupaten/kota,
apakah bupati/walikota cukup hanya sebagai representasi
rakyat?
o Dengan terpisahnya fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi
(split-model), bagaimana menjamin kepentingan
pemerintah dapat terselenggara dengan baik di
kabupaten/kota?
Contoh kasus: Ketika terjadi kenaikan harga BBM, beberapa
bupati/walikota melakukan demonstrasi sebagai bentuk
representasi kepentingan rakyat. Padahal, pada saat yang sama
ada kepentingan nasional untuk
mensosialisasikan/mengamankan kebijakan pemerintah.
Faktanya, bupati/walikota tersebut lebih memilih
memperjuangkan kepentingan rakyat yang dalam kasus ini
berbeda dengan kepentingan pemerintah. Lantas, siapa yang
harus memperjuangkan kepentingan pemerintah? Bagaimana
caranya?
8. Banyak pihak mensinyalir bahwa ada duplikasi atau tumpang
tindih antara program/anggaran K/L dengan
program/anggaran yang didekonsentrasikan; atau antara
program/anggaran dekonsentrasi dengan program/anggaran
provinsi.
• Bagaimana pandangan bapak/ibu, apakah memperkuat indikasi
tersebut atau ada pendapat lain?
• Bagaimana mengintegrasikan program dekonsentrasi dengan
program atau prioritas pembangunan daerah?
9. Prospek / model dekonsentrasi yang ideal pada masa
mendatang.
• Menurut analisis bapak/ibu, bagaimana konstruksi
dekonsentrasi yang lebih ideal dalam konteks revisi UU No.
32/2004?
• Bagaimana model kelembagaan dan pengelolaan keuangan
dekonsentrasi yang sebaiknya?
• Bagaimana mekanisme perencanaan dan model
pertanggungjawaban yang baik dalam penyelenggaraan fungsi
dekonsentrasi?
PEDOMAN WAWANCARA
(Untuk Gubernur, Kepala Dinas dan Pejabat terkait)
Keterangan:
Pertanyaan, data-data, dana analisis data sepenuhnya untuk
kepentingan akademik dalam rangka penelitian dan penulisan disertasi
berjudul “Relevansi Dekonsentrasi Sebagai Instrumen Pemerintah
Dalam Mendukung Kebijakan Nasional di Daerah di Era
Desentralisasi”, pada Program S3 Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
1. Praktek & Permasalahan Dekonsentrasi
Di Tempo Interaktif (24-08-2006) bapak menyoroti posisi
Gubernur yang seolah-olah lepas dari program dan dana
dekonsentrasi, sehingga menjadi sangat dilematis bagi daerah,
karena jika terjadi kesalahan dalam implementasinya kepala daerah
juga ikut menanggungnya. Selanjutnya di harian Kompas (1-12-
2009), bapak menyatakan masih banyaknya kecenderungan
program pemerintah yang ditujukan bagi daerah tanpa melibatkan
Gubernur. Dampaknya, pembangunan di daerah menjadi tidak
fokus dan anggaran banyak yang tidak efisien karena tumpang
tindih.
• Apakah masalah-masalah itu masih terjadi hingga saat ini? Jika
ya, mengapa permasalahan itu bisa bertahan begitu lama?
• Apa sesungguhnya faktor kunci dari permasalahan itu, dan
bagaimana peran provinsi untuk meminimalisir masalah serta
dampaknya?
2. Program Prioritas/Unggulan Pembangunan Daerah
• Apakah program-program unggulan dan prioritas dari
Pemprov?
• Apakah APBD yang tersedia memadai untuk mewujudkan
prioritas pembangunan tersebut? Jika tidak, sumber
pembiayaan apa saja yang diharapkan oleh daerah?
• Apakah program dan dana dekonsentrasi dari pusat
(kementerian) berkontribusi terhadap prioritas pembangunan
daerah tersebut?
3. Manfaat Dekonsentrasi
• Apa saja manfaat dari program dekonsentrasi yang paling
dirasakan pemerintah daerah dan masyarakat lokal?
• Puaskah bapak dengan manfaat yang ada tersebut?
4. Indikasi Overlap Program
Banyak pihak mensinyalir bahwa ada duplikasi atau tumpang
tindih antara program/anggaran K/L dengan program/anggaran
yang didekonsentrasikan; atau antara program/anggaran
dekonsentrasi dengan program/anggaran provinsi.
• Setujukah bapak dengan pernyataan tersebut?
• Apa faktor yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih itu
terjadi: perencanaan yang tidak sinergis, belum ada mekanisme
penyusunan program, egoisme instansi/unit kerja tertentu, atau
ada faktor lain?
Catatan: Mohon dapat diberikan data time series tentang jenis-
jenis program dekonsentrasi di lingkungan Pemprov.
5. Gubernur selaku Wakil Pemerintah
• Dapatkah bapak menceritakan tentang dinamika dalam
menjalankan fungsi sebagai wakil pemerintah (tantangan,
hasil-hasil yang dicapai, permasalahan, dll)?
• Apakah bapak sudah menilai tugas selaku wakil pemerintah
dapat dijalankan secara efektif? Apa yang harus dibenahi untuk
meningkatkan efektivitas tersebut?
• Bagaimana sikap bupati/walikota terhadap aktualisasi peran
gubernur selaku wakil pemerintah?
• Bagaimana menyeimbangkan posisi gubernur selaku kepala
daerah dan selaku wakil pemerintah? Apakah ada pengalaman
conflicting interest antara kedua posisi tersebut?
6. Perangkat Wakil Pemerintah
Sebagai wakil pemerintah, Gubernur dibantu oleh Sekretaris
Gubernur, dan Sekgub dibantu oleh 7 kelompok kerja.
• Apakah sudah dibentuk Pokja tersebut?
• Bagaimanakah Pokja tersebut menjalankan tugasnya, dan apa
saja kendala yang dihadapi?
• Bagaimana pola koordiansi dengan SKPD?
• Apa hasil yang sudah dicapai dan hal apa yang perlu
penyempurnaan kedepan?
7. Prospek / model dekonsentrasi yang ideal pada masa
mendatang.
• Menurut analisis bapak/ibu, bagaimana konstruksi
dekonsentrasi yang lebih ideal dalam konteks revisi UU No.
32/2004?
• Bagaimana model kelembagaan dan pengelolaan keuangan
dekonsentrasi yang sebaiknya?
• Bagaimana mekanisme perencanaan dan model
pertanggungjawaban yang baik dalam penyelenggaraan fungsi
dekonsentrasi?
Kesimpulan dan Rumusan Hasil FGD / Expert Panel
“Membedah Permasalahan Dekonsentrasi dan Proyeksi Untuk
Rekonstruksi Kebijakan di Masa Mendatang”
Jakarta, 30 Juni 2014
1. Para pakar sepakat bahwa issu-issu yang dibahas dalam FGD
adalah issu-issu pokok dalam kebijakan desentralisasi dan
dekonsentrasi. Artinya, issu-issu itulah yang sering terjadi dalam
penyelenggaraan asas dekonsentrasi, dan perlu dipikirkan
solusinya dengan segera. Diantara berbagai masalah yang ada, para
pakar membenarkan indikasi tumpang tindih antara program yang
sudah didesentralisasikan namun secara bersamaan juga
didekonsentrasikan. Masalah menonjol yang lain adalah
implementasi kebijakan yang lemah, seperti tidak berjalannya
Permendagri No. 66/2012 tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011.
Ketentuan UU No. 33/2004 yang mengatur pengalihan dana
dekonsentrasi menajdi DAK juga belum dilaksanakan oleh satupun
kementerian yang ada.
2. Berbagai permasalahan yang ada muncul karena ketidakjelasan
konsep dan kebingungan dalam memahami dekonsentrasi.
Ketidakjelasan dalam pemahaman konsep ini berujung pada
ketidakjelasan implementasi. Contoh, ketidakjelasan konsep
tentang dekonsentrasi itu adalah mencampuradukkan antara
delegasi dengan dekonsentrasi. Secara teoretis, dekonsentrasi dan
delegasi adalah varian dalam desentralisasi administratif, namun di
Indonesia keduanya tidak memiliki batas-batas dan definisi yang
jelas. Selain antara dekonsentrasi dan delegasi, ketidakjelasan
konsep juga terjadi antara dekonsentrasi dengan tugas pembantuan
(medebewind), dan antara tugas pembantuan dengan delegasi.
Untuk itu, pemahaman tentang dekonsentrasi harus dikembalikan
pada definisi internasional.
3. Konsep kelembagaan pelaksana urusan dekonsentrasi juga masih
rancu dan membingungkan. Keberadaan UPT dan/atau Kantor
Regional kementerian secara definisi termasuk dalam kelembagaan
dekonsentrasi, namun dalam praktek tidak menunjukkan karakter
sebagai perangkat kewilayahan, karena memiliki wilayah kerja
yang mencakup lebih dari satu provinsi, dan sangat bervariasi antar
kementerian. Dalam kasus seperti ini, gubernur menjadi tidak bisa
mengkoordinasikan UPT atau kantor regional yang ada di
wilayahnya. Lembaga seperti ini dalam realitanya juga tidak
mengelola program dan dana dekonsentrasi, melainkan program
dan anggaran kementerian.
4. Meskipun banyak masalah yang dihadapi, namun secara umum
para pakar menyatakan bahwa dekonsentrasi masih memiliki
urgensi yang tinggi sehingga perannya tidak dapat dikurangi
apalagi dihilangkan. Urgensi itu semakin menguat karena besarnya
potensi sentrifugal atau pemikiran beberapa Kepala Daerah untuk
keluar dari ikatan negara kesatuan. Sebagai contoh, seorang bupati
di Jawa Timur sempat menanyakan apakah NKRI itu harga mati
meski rakyat di daerah tidak sejahtera? Dalam rangka menjaga
integritas negara kesatuan itulah, asas dekonsentrasi harus didesain
sebaik mungkin. Namun diakui pula bahwa ada kesulitan untuk
merumuskan dengan pasti seberapa besar derajat urgensi itu, serta
dalam hal/program apa dekonsentrasi itu urgen/relevan dan dalam
hal/program apa tidak/kurang relevan.
5. Sayangnya, walaupun urgensi dekonsentrasi masih dianggap
tinggi, namun UU No. 32/2004 sendiri mengatur dekonsentrasi
secara sangat minim, jika tidak dikatakan tidak ada. Konsep
wilayah administratif tidak jelas, demikian pula fungsi gubernur
selaku perangkat dekonsentrasi tidak jelas, seolah-olah
dekonsentrasi hanya terkait urusan alokasi dana saja. Dalam pasal
20 ayat (2) dan (3) UU No. 32/2004 disebutkan bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah
menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal itu tidak
menyebutkan dekonsentrasi sebagai asas penyelenggaraan
pemerintah daerah. Dengan kata lain, pemerintah daerah hanya
menjalankan fungsi otonomi dan tugas pembantuan. Hal inilah
yang membuat fungsi pemerintah putus di bawah (kabupaten/kota).
6. Kriteria dalam penetapan program dekonsentrasi serta alokasi dana
dekonsentrasi harus segera disusun secara pasti dan terukur.
Beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan misalnya tingkat
kesenjangan atau heterogenitas antar daerah. Semakin besar
kesenjangan atau heterogenitas antar daerah, maka semakin
penting adanya program dekonsentrasi. Kriteria lain adalah tingkat
kepentingan dan eksternalitas sebuah urusan/bidang pemerintahan.
Semakin luas area kepentingan dan dampak yang ditimbulkan,
maka semakin penting adanya program dekonsentrasi. Selain itu,
dekonsentrasi juga dapat diterapkan untuk urusan strategis seperti
urusan pulau kecil terluar, kawasan khusus (KAPET), administrasi
kependudukan, dan sebagainya. Intinya, fungsi dekonsentrasi
adalah mensejahterakan masyarakat di daerah secara
berkeseimbangan.1
7. Sebagai sebuah wacana ilmiah (academic exercise), fungsi
dekonsentrasi pada masa mendatang sebaiknya cukup diterapkan
untuk lingkup urusan absolut pemerintah pusat saja, misalnya
terkait urusan pemerintahan umum, termasuk dalam hal ini
kepentingan memelihara keutuhan dan kesatuan negara.
Sedangkan untuk bidang-bidang urusan pemerintahan (sektoral)
sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007 perlu diseleksi dengan
kriteria yang jelas. Dengan kata lain, dibutuhkan penguatan
dekonsentrasi dalam hal tertentu, namun diperlukan peninjauan
kembali dekonsentrasi dalam hal lain lagi. Dalam kaitan ini, urusan
pemerintah yang dilimpahkan kepada daerah melalui PP No.
38/2007 tidak masuk kategori dekonsentrasi, namun lebih tepat
sebagai urusan delegasi (kembali ke definisi dasar tentang
desentralisasi administratif).
8. Upaya rekonstruksi fungsi dekonsentrasi kedepan bisa disusun
dalam beberapa alternatif, misalnya: 1) provinsi murni
dekonsentrasi, sedangkan kabupaten/kota menjalankan fungsi
desentralisasi dan dekonsentrasi secara sekaligus; 2) mixed model,
1 Selama ini Kementerian Dalam Negeri menentukan besaran alokasi dana
dekonsentrasi di masing-masing provinsi, dengan menggunakan tiga indikator,
yakni: 1) jumlah kabupaten atau kota yang ada di setiap provinsi; 2) Standar Biaya Umum (SBU) yang diterbitkan setiap tahun berdasarkan peraturan Menteri
Keuangan, 3) aksesbilitas kewilayahan atau kondisi geografis setiap provinsi
(Direktur Dekonsentrasi dan Kerja Sama, Direktorat Jenderal Pemerintahan
Umum, Sirajuddin Nonci, dalam Tempo, 11/02/2014).
sebagaimana model UU No. 5/1974 namun tanpa perlu membentuk
instansi vertikal untuk setiap kementerian (Kantor Wilayah).
9. Terkait dengan butir kesimpulan no. 7 dan 8 diatas, maka otonomi
dengan konsep fused model seperti yang berlaku pada masa UU
No. 5/1974 dapat dipertimbangkan kembali namun bukan di
tingkat KDH + Kepala Wilayah, melainkan di tingkat SKPD.
Artinya SKPD menjalankan fungsi desentralisasi sekaligus
dekonsentrasi. Dalam hal seperti ini, penting untuk diperjelas mana
yang termasuk urusan dekonsentrasi dan mana yang desentralisasi,
sehingga dapat dihindari inefisiensi karena tumpang tindih
program atau anggaran, dan seterusnya.
10. Upaya merekonstruksi kebijakan dekonsentrasi sangat tepat
momentumnya dala kerangka rencana pemerintah melakukan
revisi UU No. 5/1974.