311
RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL THE RELEVANCE OF DECONCENTRATION IN THE DECENTRALIZATION ERA: STUDY ON THE EFFECTIVENESS OF DECONCENTRATION MANAGEMENT IN SOCIAL SECTOR DISERTASI Diajukan oleh: Tri Widodo Wahyu Utomo 07/264426/SMU/493 PROGRAM PASCA SARJANA PENDIDIKAN DOKTOR ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015

RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL

Embed Size (px)

Citation preview

RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA

DESENTRALISASI: STUDI EFEKTIVITAS

PENGELOLAAN DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL

THE RELEVANCE OF DECONCENTRATION IN THE

DECENTRALIZATION ERA: STUDY ON THE EFFECTIVENESS

OF DECONCENTRATION MANAGEMENT IN SOCIAL SECTOR

DISERTASI

Diajukan oleh:

Tri Widodo Wahyu Utomo

07/264426/SMU/493

PROGRAM PASCA SARJANA

PENDIDIKAN DOKTOR ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI:

STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI

BIDANG SOSIAL

Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor

Dalam Ilmu Administrasi Publik

Universitas Gadjah Mada

Dipertahankan dihadapan Dewan Penguji

Program Doktoral

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Gadjah Mada

Pada tanggal Juli 2015

Oleh:

Tri Widodo Wahyu Utomo

07/264426/SMU/493

PROGRAM PASCA SARJANA

PENDIDIKAN DOKTOR ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Disertasi initidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di

sutu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak

terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh

orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, Agustus 2015

Yang Menyatakan,

Tri Widodo W. Utomo

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, Dzat Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha

Pemberi Rezeki, Maha Besar, Maha Penyantun, Maha Pemberi

Kecukupan, Maha Benar, Maha Mulia, dan Maha Mengabulkan.

Sungguh hanya atas ridho, bimbingan dan izin-Nyalah penulis bisa

merampungkan penulisan disertasi ini. Permasalahan disertasi ini

sering penulis bawa menghadap Sang Khaliq di tengah malam buta,

penulis sisipkan dalam doa-doa, dan bahkan penulis mohonkan

dengan nadzar-nadzar tertentu.

Bagi penulis, studi S3 dan penulisan disertasi merupakan

salah satu milestone yang sangat penting dalam hidup dan karir

penulis. Ini bukan sekedar keinginan meraih gelar terhormat dalam

jenjang pendidikan, namun juga sebagai upaya untuk memberi contoh

bagi anak-anak penulis bahwa pendidikan itu penting dan harus

dikejar karena merupakan anak tangga menuju kesuksesan dunia dan

kemuliaan akherat. Bagi penulis, menyelesaikan pendidikan juga

adalah wujud bakti selaku anak kepada orang tua dan mertua. Semoga

di masa tuanya, kemampuan penulis menyelesaikan studi akan

memberi segurat kebahagiaan dan sejumput kebanggaan di hati orang

tua penulis, Ibunda R.Ngt. Lestari Sedyati.

Tentu, penyelesaian disertasi ini telah memakan “korban”.

Waktu kebersamaan bagi istri dan anak-anak yang terlalu banyak

tersita, janji yang sering tertangguhkan, kesempatan bercengkerama

yang banyak tidak kesampaian, serta aneka perasaan yang mungkin

tidak terpuaskan. Oleh karenanya, dari palung hati yang terdalam

penulis ingin mempersembahkan karya sederhana ini sebagai wujud

cinta penulis kepada belahan jiwa penulis dunia akherat, R. Kania,

S.Sos, serta anak-anak penulis yang hebat lagi penurut: Nurusyifa

Widia Syafrisna, Rasyanda Zalfanur Nidatama, Najlanur Tria

Mardyanita, Muh. Mizan Abdurrahman, dan Muh. Nizam

Abdurrahim. Merekalah masa depan penulis. Merekalah spirit dan

energi yang terus mengobarkan hasrat penulis untuk berbuat lebih

baik dalam segala hal, lagi dan lagi.

Dukungan moril dan doa dari para senior, guru, sesepuh,

ii

dan pimpinan yang terus menanyakan progres studi penulis seperti

pak Noorsyamsa Djumara, pak Sunarno, pak Bhenyamin Hoessein,

pak Mimtah Thoha, dan ustadz Djam’an yang hampir setiap minggu

mengirim sms kepada penulis, benar-benar menjadi motivasi yang

sangat kuat bagi penulis untuk segera menyelesaikan studi ini, meski

harus terseok-seok. Sungguh penulis malu dan tidak tega untuk

mengecewakan harapan beliau-beliau. Khusus kepada Prof. Dr.

Bhenyamin Hoessein dan Prof. Dr. Miftah Thoha yang sekaligus

merupakan responden kunci dalam penelitian ini, penulis

melipatgandakan rasa berhutang budi pengetahuan yang mendalam.

Juga kepada teman-teman seperjuangan di LAN yang tidak

dapat disebutkan satu per satu, yang telah bersama-sama berdiskusi

tentang topik disertasi penulis atau memikirkan masa depan republik

tercinta, penulis sampaikan apresiasi sebesar-besarnya disertai

harapan semoga soliditas dan integritas selaku insan pemikir akan

terus kita perkokoh dan darmabaktikan untuk kebaikan ibu pertiwi.

Khusus untuk sahabat penulis, Suripto Asli Wong Kebumen yang

dengan tulus ikhlas menunggui penulis hingga larut malam dan

membantu proses pencetakan dokumen, penulis sampaikan terima

kasih yang tidak terhingga.

Akhirnya, disertasi ini tidak pernah akan selesai tanpa

arahan, bimbingan, dukungan, dan kepercayaan dari Promotor

penulis, Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA beserta co-Promotor Prof. Dr.

Agus Pramusinto, MDA. Dengan kelebihan pengalaman, superioritas

keilmuan, dan kesabaran yang luar biasa dari beliau berdua, maka

lahirlah karya tulis sederhana ini. Kemurahhatian beliau berdua

terutama disaat-saat akhir penulisan disertasi ini, sungguh

memberikan motivasi dan kekuatan bagi penulis untuk tetap metrus

mengukir mimpi. Kesederhanaan dan kedangkalan disertasi ini

semata-mata terjadi karena kebodohan penulis yang tidak mampu

menangkap pemikiran-pemikiran kelas wahid dari promotor. Untuk

itu, penulis mohon maaf jika tidak mampu memenuhi ekspektasi

promotor untuk menghasilkan sebuah karya yang bernas dan cerdas.

Ucapan terima kasih dan pengahrgaan yang

setinggi-tingginya juga penulis haturkan kepada kaum terpelajar di

lingkungan MAP UGM, Prof. Sofian Effendi, Prof. Warsito Utomo,

iii

Prof. Wahyudi Komurotomo, Dr, Erwan Agus Purwanto, Dr. Agus

Heruanto Hadna, serta mbak Rini, yang secara langsung maupun

tidak langsung sudah banyak mewarnai pemikiran dan jalur hidup

penulis.

Kekurangan, kesalahan, dan kekhilafan adalah milik

penulis. Dengan kesadaran penuh, penulis mengakui bahwa disertasi

ini teramat jauh dari atribut baik, apalagi sempurna. Bagi penulis,

disertasi ini bukanlah terminal akhir dari perjalanan intelektual,

namun justru menjadi awal dari perjalanan panjang yang harus

penulis tapaki secara konsisten. Untuk itu, dengan kerendahan hati

penulis memohon sumbangan kritik dan saran untuk menjadikan

karya ini lebih layak bagi kehidupan.

Ditengah banyaknya kelemahan, penulis tetap berharap

kiranya karya tulis ini ada manfaatnya bagi dunia keilmuan

administrasi publik serta bagi praktek tata negara di era desentralisasi,

sekecil apapun itu.

Jakarta, 11 Juli 2015

Tri Widodo WU

iv

DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................ o

Lembar Persetujuan ................................................................... i

Kata Pengantar ............................................................................. ii

Daftar Isi ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, v

Daftar Tabel ................................................................................ viii

Daftar Box ................................................................................... x

Daftar Gambar ............................................................................ x

Abstrak ...................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................. 1

B. Fenomena Empiris Dekonsentrasi .................... 9

C. Rumusan Masalah / Problematika Penelitian … 21

D. Pertanyaan Penelitian (Research Question) ,,,,,,, 24

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian (Research

Objectives) …………………………………… 25

F. Keaslian Ide dan Originalitas Studi ................. 26

G. Sistematika Penulisan ....................................... 33

BAB II KERANGKA PIKIR DAN METODOLOGI

PENELITIAN

A. Kerangka Pikir Penelitian (Logical Framework

of Research) …………………………………. 37

B. Metodologi Penelitian ....................................... 40

1. Metode yang Digunakan ............................ 40

2. Operasionalisasi variabel ............................ 42

3. Teknik Pengumpulan Data .......................... 43

4. Responden / Sumber Informasi ................... 45

5. Jenis Data / Informasi ................................. 45

6. Teknik Analisis dan Interpretasi ................. 46

7. Pemilihan Lokus dan Fokus Penelitian ....... 48

BAB III REVIEW TEORETIK TENTANG

DEKONSENTRASI

v

A. Konsep Dasar Dekonsentrasi ........................... 51

B. Manfaat Dekonsentrasi ................................... 52

C. Relasi Desentralisasi – Dekonsentrasi ............. 53

D. Dua Sisi Desentralisasi – Dekonsentrasi dan

Kebutuhan Sinergi ............................................ 60

E. Pemencaran Kewenangan sebagai Esensi

Desentralisasi dan Dekonsentrasi ..................... 63

F. Konsep Otonomi Dalam Negara Kesatuan dan

Negara Federal ………………………………. 68

G. Dekonsentrasi di Antara Paradigma Sentralisasi

dan Desentralisasi ............................................. 72

H. Praktek Dekonsentrasi Negara Kesatuan:

Perspektif Internasional .................................. 82

1. China .......................................................... 83

2. Jepang ......................................................... 92

3. Negara-Negara Timur Tengah dan Afrika

Utara (MENA) ............................................ 100

4. Asia Tenggara ............................................. 103

5. Inggris dan Perancis .................................... 104

6. Yunani ........................................................ 106

I. Lessons Learned Penataan Dekonsentrasi untuk

Indonesia Berdasarkan Pengalaman

Internasional ..................................................... 108

BAB IV TINJAUAN NORMATIF DAN EMPIRIS

PELAKSANAAN DEKONSENTRASI DI

INDONESIA

A. Tinjauan Normatif Dekonsentrasi ..................... 113

B. Tinjauan Empiris Dekonsentrasi ....................... 134

C. Tinjauan Tentang Perangkat Dekonsentrasi ...... 150

BAB V KONTEKS DEKONSENTRASI DALAM

PEMBANGUNAN BIDANG SOSIAL DAN

PEMBANGUNAN DAERAH

A. Pembangunan Kesejahteraan Sosial ................. 160

B. Proritas Pembangunan Darah di Kalimantan

Tengah .............................................................. 168

C. Pembangunan Kesejahteraan Sosial di

Kalimantan Tengah ........................................... 175

vi

BAB VI RELEVANSI DEKONSENTRASI BIDANG

SOSIAL BERDASARKAN EFEKTIVITAS

PENGELOLAANNYA

A. Dimensi Program dan Kegiatan Dekonsentrasi ..183

B. Dimensi Anggaran/Pembiayaan Dekonsentrasi.. 205

C. Dimensi Kelembagaan Dekonsentrasi ……… 223

D. Dimensi Mekanisme Perencanaan

Dekonsentrasi ………………………………… 229

E. Dimensi Regulasi …………………………… 233

F. Relevansi Dekonsentrasi Bidang Sosial ........... 239

BAB VII PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................... 247

B. Rekomendasi dan Policy Agenda ..................... 253

Daftar Pustaka ......................................................................... 262

LAMPIRAN

1. Matriks Instrumentasi Penelitian: Daftar Responden dan

Jenis Informasi yang Dibutuhkan

2. Pedoman Wawancara

3. Kesimpulan dan Rumusan Hasil FGD

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Operasionalisasi Variabel Penelitian ...................... 43

Tabel 3.1. Ragam Definisi dan Interpretasi Desentralisasi –

Dekonsentrasi ........................................................ 54

Tabel 3.2. Komparasi Desentralisasi – Dekonsentrasi ............ 59

Tabel 3.3. Sharing Tanggungjawab Antar Level Pemerintahan

(Kasus Beberapa Negara) ………………………… 66

Tabel 3.4. Perbandingan Desentralisasi, Sentralisasi dan

Sentripelatism ......................................................... 82

Tabel 3.5. Model Dekonsentrasi – Desentralisasi di Beberapa

Negara .................................................................... 107

Tabel 4.1. Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Berbagai Produk

Hukum tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia

(1948-2004) ............................................................ 113

Tabel 4.2. Pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam

rangka pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No.

7/2008 ..................................................................... 120

Tabel 4.3. Perbandingan Pengaturan Dekonsentrasi Dalam PP

No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 ............................. 123

Tabel 4.4. Perangkat Dekonsentrasi di Indonesia (1948-2004). 154

Tabel 5.1. Jumlah PMKS Tahun 2008 .................................... 161

Tabel 5.2. Jumlah Anak Bermasalah Kesejahteraan Sosial

yang Telah Dilayani (2005-2009) ........................... 162

Tabel 5.3. Program dan Sub-Program Kementerian Sosial …. 164

Tabel 5.4. Sasaran Strategis, IKU, dan Keterkaitan Program

Kementerian Sosial ……………………………… 165

Tabel 5.5. Lima Prioritas Tertinggi Pembangunan Provinsi

viii

Kalimantan Tengah 2011-2015 …………………... 174

Tabel 5.6. Kemiskinan di Kalimantan Tengah ………………. 176

Tabel 5.7. Data PMKS Kalimantan Tengah dan Perbandingan

dengan Total PMKS se-Indonesia ………………... 178

Tabel 5.8. 17 Program Pembangunan Bidang Sosial Provinsi

Kalimantan Tengah 2010-2015 dan Indikator

Kinerjanya ……………………………………….. 180

Tabel 6.1. Program Dekonsentrasi Sosial yang Dilimpahkan .. 184

Tabel 6.2. Rincian Kegiatan Dekonsentrasi Kementerian

Sosial Tahun 2014 ……………………………….. 185

Tabel 6.3. Persandingan Program/Kegiatan Dekonsentrasi

Dengan Program/Kegiatan Provinsi Kalimantan

Tengah Sebagai Daerah Otonom Dalam Bidang

Kesejahteraan Sosial yang Berpotensi Tumpang

Tindih ……………………………………………. 194

Tabel 6.4. Persandingan Program/Anggaran Dekonsentrasi

dengan Program/Anggaran Tugas Pembantuan

Bidang Kesejahteraan Sosial di Prov. Kalimantan

Tengah …………………………………………… 199

Tabel 6.5. Beberapa Contoh Cross-Cutting Issues Program

Kesejahteraan Sosial …………………………….. 202

Tabel 6.6. Perkembangan Anggaran Kementerian Sosial dan

Alokasi Dana Dekonsentrasi 2010-2014 ………… 205

Tabel 6.7. Distribusi Dana Dekonsentrasi Kementerian Sosial

per Provinsi Tahun 2015 (dalam ribu rupiah), dan

Jumlah PMKS Korban Bencana Alam dan Korban

Bencana Sosial Tahun 2012 ……………………… 207

Tabel 6.8. Jumlah dan Distribusi Dana Dekonsentrasi yang

Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun

2010-2014 (dalam ribu rupiah) ………………….. 211

Tabel 6.9. Jumlah dan Distribusi Dana Tugas Pembantuan

yang Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun

ix

2010-2014 (dalam ribu rupiah) …………………… 217

Tabel 6.10. Program Kerja dan Jumlah Dana Tugas

Pembantuan yang Diterima Dinas Sosial

Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014 (dalam ribu

rupiah) ………………………………………….. 219

Tabel 6.11. Perbandingan Jumlah Dana Dekonsentrasi dan

Dana Tugas Pembantuan yang Diterima Provinsi

Kalimantan Tengah dengan APBD Kalimantan

Tengah Tahun 2010-2014 ………………………… 221

Tabel 6.12. Unit Kerja di Lingkungan Kemensos yang

Berkedudukan di Daerah ………………………… 224

DAFTAR BOX

Box 6.1. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan

Program Daerah Otonom (Desentralisasi) ……… 198

Box 6.2. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan

Program Tugas Pembantuan ……………………. 200

Box 6.3. Ketergantungan Daerah terhadap Dana

Dekonsentrasi dan Melemahnya Fungsi

Dekonsentrasi Sosial ………………………….. 222

Box 6.4. Kerancuan Kelembagaan Dekonsentrasi ………. 229

Box 6.5. Inefektivitas Perencanaan Dekonsentrasi ……… 233

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Disertasi ...................................... 39

Gambar 6.1. Empat Bentuk Tumpang Tindih Dalam Program

Dekonsentrasi …………………………………... 204

i

Disertasi S-3

RELEVANSI DEKONSENTRASI DI ERA DESENTRALISASI:

STUDI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN DEKONSENTRASI

BIDANG SOSIAL

Abstrak:

Disertasi ini menganalisis relevansi dekonsentrasi dalam

mendukung kepentingan pusat di daerah, ditelaah dari aspek

efektivitas pengelolaan dekonsentrasi dalam dimensi

program/kegiatan, penganggaran, mekanisme, kelembagaan,

dan regulasi dekonsentrasi. Argumen pokok dari disertasi ini

adalah bahwa efektivitas pengelolaan dekonsentrasi akan

menentukan relevansi dekonsentrasi dalam sistem

penyelenggaraan pemerintahan yang terdesentralisasi.

Studi ini penting secara teoretik maupun empirik. Secara

teoretik, berbagai referensi menyatakan tentang kemanfaatan

dekonsentrasi di negara kesatuan yang terdesentralisasi.

Namun dalam praktek penyelenggaraan dekonsentrasi di

Indonesia banyak tuntutan untuk mengalihkan program dan

anggaran dekonsentrasi kedalam skema desentralisasi, karena

dekonsentrasi dipandang tidak banyak membawa manfaat

baik bagi pemerintah pusat maupun daerah. Disertasi ini

menegaskan thesis sebelumnya tentang kemanfaatan

dekonsentrasi dengan syarat dapat dikelola dengan efektif.

Adapun secara empirik, disertasi ini berkontribusi untuk

membuktikan dimensi-dimensi pengelolaan dekonsentrasi

yang kurang efektif, sehingga dapat diusulkan rekomendasi

pembenahannya.

Hasil penelitian menunjukkan masih adanya tumpang tindih

program/kegiatan dekonsentrasi dengan program/kegiatan

kementerian maupun program/kegiatan provinsi. Pemerintah

gagal melakukan pembedaan antara program dekonsentrasi

dengan program desentralisasi. Kesamaan program/kegiatan

tadi menjadikan daerah menggantungkan pada kucuran dana

dekonsentrasi untuk membiayai urusan-urusan yang

ii

sebenarnya sudah didesentralisasikan.

Sementara itu, aspek mekanisme pengelolaan dekonsentrasi

juga kurang efektif karena menjadi program rutin yang tidak

memiliki kebaruan, kurang berbasis pada analisis kebutuhan,

dan tidak didukung dengan instrumen monev yang matang.

Demikian pula aspek perangkat kelembagaan mengalami

kerancuan dengan banyaknya unit pusat di daerah.

Keberadaan perangkat daerah yang menjalankan tugas

dekonsentrasi semakin memperumit sistem kelembagaan

dekonsentrasi. Adapun dari sisi regulasi, meskipun fungsi

pemerintah pusat dalam menyediakan seperangkat norma,

standar, prosedur dan kebijakan (NSPK) sudah baik, namun

masih ada kecederungan pusat ingin melakukan sendiri

fungsi-fungsi yang sudah dilimpahkan dengan alasan daerah

belum cukup mampu untuk melaksanakan seluruh urusan

dekonsentrasi.

Temuan utama dari penelitian ini adalah bahwa relevansi

dekonsentrasi melemah akibat tidak efektifnya pengelolaan

asas dekonsentrasi dalam penyelenggaran pemerintahan. Oleh

karena itu, dalam rangka memperkuat relevansi dekonsentrasi,

disertasi ini merekomendasikan untuk dilakukan redefinisi

terhadap konsep dekonsentrasi, dengan mengembalikan

kepada standar internasional namun disesuaikan dengan

konteks Indonesia, dimana dekonsentrasi hanya berlaku untuk

urusan absolut pusat. Pada saat yang sama, diperlukan juga

penegasan kembali tentang apa yang dimaksud dengan

kepentingan pusat di daerah.

Disertasi ini juga merekomendasikan pembagian area yang

lebih jelas antara urusan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas

pembantuan, serta urusan pemerintahan umum. Akhirnya,

disertasi ini mengajukan rekomendasi bahwa sesuai

karakteristik dasar negara kesatuan, maka kebijakan

desentralisasi maupun dekonsentrasi harus bersifat

integralistik. Artinya, keberhasilan kedua asas pemerintahan

tersebut menjadi tanggungjawab bersama seluruh tingkatan

pemerintahan dari yang tertinggi hingga yang terendah.

iii

Doctoral Dissertation

THE RELEVANCE OF DECONCENTRATION

IN THE DECENTRALIZATION ERA: STUDY ON THE

EFFECTIVENESS OF DECONCENTRATION

MANAGEMENT IN SOCIAL SECTOR

Abstract:

This dissertation analyses the relevance of deconcentration

based on the effectiveness of deconcentration management in

terms of its programs/activities, budgeting, mechanism,

institutional arrangement, and regulation. It argues that the

effectiveness of deconcentration management will lead to the

relevance of deconcentration in the framework of

decentralized governance.

Theoretically and empirically, this study is important. From

theoretical perspective, many studies show that

deconcentration provides benefits in the decentralized unitary

state. In the Indonesian context, however, there is growing

demand to integrate deconcentration program and budget

into decentralization scheme due to disability of

deconcentration in producing positive impacts to central and

local government. This study support the previous thesis

regarding the benefits of deconcentration, but only if it’s

effectively managed. From empirical perspective, this study

contributes to explain some dimensions of ineffective

deconcentration management, and proposes some

recommendation of improvement.

The study shows that there is overlapping between

deconcentration programs/activities and ministerial and

provincial programs/ activities. The government has failed to

differentiate between deconcentration and decentralization

program. This situation, in turn, leads to the perplexity of

budget alocation system.

Meanwhile, the mechanism of deconcentration is also

iv

ineffective as it becomes a routine job with very limited

novelty, lack of needs analysis, as well as poor of monitoring

system. In the institutional aspect, some confusion have

emerged since there are so many central government units in

the local level. The local agencies that are managing

deconcentration functions have complicated the situation.

From the regulation perspective, the function of central

institution in providing standard, norms, and procedures is

relatively well managed. However, based on reason of local

incapability, there is a tendency that central institution wants

to conduct deconcentration programs by themself.

The main finding of the research is that the relevance of

deconcentration tends to weaken as a result of

less-effectiveness of deconcentration management. Therefore,

in order to strengthen the relevance of deconcentration, this

dissertation proposes to redefine the concept of

deconcentration. It should be compatible with international

standard, but with local adjusment where deconcentration

only fits with absolute functions of central government.

Simultaneously, clarification on the scope of national interest

in the local level is also needed.

This dissertation also advocates to clarify the area of

decentralization, deconcentration, medebewind /

co-administration, and general affairs of government. Finally,

this dissertation suggests that decentralization and

deconcentration should be integratedly designed. It means

that the success of the two priciples should be proportionally

borne by different level of government.

- 1 -

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan ketentuan UU Nomor 32/2004, dalam

penyelenggaraan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas

desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi. Sedangkan dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah

menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 20 ayat 2 dan

3). Ketentuan ini dipertegas dalam UU No. 23/2014 tentang

Pemerintahan Daerah, khususnya pasal 5 ayat (4). Keseluruhan asas

tersebut secara filosofis dimaksudkan untuk mewujudkan efektivitas

dan efisiensi tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam

proses mencapai tujuan mensejahterakan rakyat.

Secara eksplisit, klausul Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UU No.

32/2004 jo. Pasal 5 ayat (4) UU No. 23/2014 diatas menegaskan bahwa

asas desentralisasi dan dekonsentrasi melekat pada sistem

pemerintahan negara, yang merupakan prinsip dasar dalam

penyelenggaraan pemerintahan secara nasional. Ini berarti bahwa asas

desentralisasi dan dekonsentrasi bukan merupakan asas dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana banyak dipahami

secara keliru selama ini. Oleh karena melekat pada sistem

pemerintahan negara, maka baik asas desentralisasi maupun asas

dekonsentrasi didesain sepenuhnya oleh pemerintah pusat, termasuk

dimensi pengawasan dan pertanggung jawabannya dilakukan oleh

(aparat) pemerintah pusat.

- 2 -

Sebagai implikasi logis dari berlakunya kerangka kebijakan

desentralisasi yang baru, kewenangan dan urusan pemerintah daerah

(khususnya kabupaten/kota) semakin luas sedangkan kewenangan dan

urusan unsur pemerintah pusat semakin mengecil. Meskipun demikian,

demi mempertahankan eksistensi, integritas dan ”hak kedaulatan”

suatu negara bangsa (nation-state), maka pemerintah pusat masih

memiliki hak-hak tertentu di daerah, atau dapat melakukan intervensi

dalam bentuk supervisi, pembinaan, pengawasan, dan penilaian kinerja

otonomi di daerah. Hak ”intervensi” Pemerintah atas Daerah ini dapat

dijalankan secara langsung oleh instansi tingkat Pusat (K/L), maupun

secara tidak langsung melalui aparatnya di daerah. Menurut UU

Nomor 5/1974 dan UU tentang pemerintahan daerah pada masa

sebelumnya, alat kelengkapan Pusat di Daerah dijalankan oleh instansi

vertikal yang dibentuk sebagai kepanjangan tangan instansi

pemerintah di tingkat Pusat. Sedangkan menurut UU Nomor 22/1999

dan UU Nomor 32/2004, perangkat / wakil pemerintah Pusat di daerah

adalah Gubernur, disamping instansi vertikal yang khusus menjalankan

urusan-urusan absolut (eksklusif) Pemerintah.1

Ini berarti pula bahwa propinsi dalam koridor otonomi daerah

memiliki 2 (dua) kedudukan, yakni sebagai wakil pemerintah pusat

(aparat dekonsentrasi), namun pada saat yang bersamaan juga sebagai

1 Berdasarkan UU No. 23/2014 provinsi dan kabupaten/kota selain berstatus sebagai

daerah otonom juga merupakan wilayah administratif. Bedanya, wilayah

administratif provinsi adalah wilayah kerja gubernur sebagai wakil pemerintah

pusat dan wilayah kerja dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum,

sedangkan wilayah administratif kabupaten/kota adalah wilayah kerja bupati/

walikota dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan umum saja.

- 3 -

pelaksana otonomi daerah itu sendiri (aparat desentralisasi);

sedangkan pada kabupaten/kota tidak lagi melekat fungsi

dekonsentrasi.

Mengingat tugas desentralisasi provinsi semakin mengecil,

maka fungsi-fungsi koordinasi, pembinaan, dan pengawasan

(implikasi tugas dekonsentrasi) harus diperkuat. Salah satu manifestasi

dari bekerjanya peran Pemerintah dalam sistem penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah adalah penetapan norma, standar, prosedur dan

kriteria (NSPK) oleh Pemerintah. Hal ini dimaksudkan untuk

menjamin agar roda otonomi daerah yang bergulir di tingkat provinsi

dan kabupaten/kota tidak salah arah atau menimbulkan ekses-ekses

yang tidak diinginkan. Dalam kaitan ini, fungsi dekonsentrasi menjadi

faktor kunci terhadap sukses atau gagalnya implementasi desentralisasi

politik yang seluas-luasnya (devolution).

Pengalaman internasional mengilustrasikan bahwa

pelaksanaan desentralisasi yang kebablasan justru memberikan

dampak sosial ekonomi yang merugikan bagi masyarakat daerah.

Disatu sisi, harus diakui bahwa desentralisasi memberi manfaat tinggi

bagi daerah dan masyarakat (Litvack, Ahmad, dan Bird, 1998;

Rondinelli dan Cheema, 1983; McLean dan King, 1999; Anne Mills

dalam Kolehmainen-Aitken, 1999; Jessica Seddon, 1999; IRDA, 2002).

Disisi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Work (2002) atau Moore

dan Putzel (1999), tingkat keberhasilan desentralisasi juga sangat

bervariatif di setiap negara/daerah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan

desentralisasi juga membawa dampak buruk yang tidak diinginkan

(Hadiz, 2003; Utomo, 2004).

- 4 -

Dalam rangka mencapai keseimbangan sekaligus mengontrol

dampak negatif yang mungkin muncul dari pelaksanaan desentralisasi

tersebut, maka logis bila pemerintah Pusat masih memainkan peran

dalam siklus kebijakan pembangunan di daerah melalui implementasi

fungsi dekonsentrasi. Dengan kata lain, dekonsentrasi dapat dipandang

sebagai sebuah komponen yang terintegrasi dengan desentralisasi. Hal

ini bertujuan agar daerah yang menyelenggarakan fungsi desentralisasi

tidak menjadi semakin selfish atau memiliki ego yang berlebihan

dalam memikirkan daerahnya sendiri. Dengan penguatan

dekonsentrasi, kebijakan pembangunan sebuah daerah dapat selalu

ditempatkan dalam konteks pembangunan yang lebih luas dan strategis

(embedding local policy into broader context of national development

and interest). Disinilah manfaat dekonsentrasi sebagai penyeimbang

arus desentralisasi yang begitu deras.

Hasil penelitian Mark Turner (2002) menunjukkan bahwa

dekonsentrasi di Kamboja memberikan manfaat yang sangat bervariasi,

sementara desentralisasi gagal memenuhi harapan yang ditetapkan

sebelumnya. Beberapa keuntungan dari dekonsentrasi ini menurut

Turner (2002: 354) adalah sebagai berikut:

� Accessibility of officials. Officials are available for

consultation, advice, and complaint. As local officials can

exercise decentralized authority, they make the decisions

and do not need to pass them up the line to distant central

offices.

� Mobilization of local resources. It is easier for locally based

officials to identify local resources, both human and

physical, and then mobilize them in the pursuit of locally

determined developmental purposes. Officials should also

be familiar with specific local constraints and the dynamics

of local politics.

- 5 -

� Rapid response to local needs. Officials are better placed to

respond rapidly to local needs as they are in the territory

and fully aware of local conditions.

� Orientation to the specific local needs. Because officials

know the local conditions, they are well placed to make

decisions and allocate resources which fit with the specific

conditions prevailing in a particular territory. Each sub-

national territory may have some unique features which can

be taken into account when planning and allocating

resources.

� Motivation of field personnel. Appointed government

officials are more motivated to perform well when they have

greater responsibility for programs they manage.

� Inter-office coordination. Coordination between offices

dealing with different functions is more easily achieved at

the local level where officials are physically close together

and are often familiar with each other.

� Central agencies. The decentralization of service functions

relieves central agencies of routine tasks. Responsibility for

these has been passed down to the local level. Central

agencies can thus focus on improving the quality of policy.

Monitoring local-level performance and providing

assistance to sub-national units are key element of this

reformulated central government role.

Dengan demikian, pentingnya fungsi dekonsentrasi ini bukan

hanya sebagai perekat antara kepentingan nasional dengan kepentingan

daerah, namun lebih dari itu adalah menjamin terlaksananya

penyelenggaraan pemerintahan dalam bidang pembangunan dan

pelayanan secara lebih efektif dan efisien. Dan untuk menopang

pelaksanaan tugas-tugas dekonsentrasi tadi, maka wajar jika

pemerintah pusat mengalokasikan sejumlah dana (Dana

Dekonsentrasi) kepada pemerintah provinsi (cq. Gubernur) selaku

Wakil Pemerintah yang mengemban fungsi dekonsentrasi. Artinya,

dana dekonsentrasi adalah instrumen finansial yang disediakan untuk

menjalankan fungsi-fungsi dekonsentrasi yang telah ditetapkan atau

- 6 -

direncanakan sebelumnya (money follows function).

Dekonsentrasi sendiri merupakan sebuah mekanisme

pembagian tanggungjawab antar level pemerintahan (sharing of

responsibility among multi-tiered of government) yang terjadi

diseluruh negara. Menurut OECD (1997), tidak ada satupun negara di

dunia yang tidak menerapkan prinsip dekonsentrasi, dengan

menegaskan bahwa “deconcentrated administrations exist in all

countries”. Pada pertemuan tingkat Menteri negara-negara OECD

tentang pelayanan publik masa depan (Ministerial Symposium on the

Future of Public Services) bulan Maret 1996, di Paris, pimpinan OECD,

Alice Rivlin, menyatakan sebagai berikut:

Developments are forcing, as well as enabling, changes in the

structure and boundaries of government. There has long been

a debate about the size of government, as well as whether to

centralize or decentralize. We must now be willing to move in

both directions -- decentralizing some functions while

centralizing other critical policy-making responsibilities. Such

changes are under way in all countries.

Dalam prakteknya, upaya membagi tanggung jawab antar level

pemerintahan tadi dapat dilakukan melalui model desentralisasi politik

atau devolusi (penyerahan tanggung jawab), atau melalui model

dekonsentrasi (pelimpahan wewenang / tanggungjawab). Dengan kata

lain, wacana desentralisasi dan dekonsentrasi harus dipandang sebagai

bagian integral dari proses pembangunan bangsa (nation building),

sehingga adanya kejelasan fungsi antara pemerintah Pusat, Pemerintah

daerah, dan Wakil Pemerintah Pusat di daerah, menjadi sebuah

keniscayaan. Dalam konteks penelitian ini, maka perlu lebih penegasan

tentang pembagian tugas, peran dan tanggung jawab antara Pemerintah

- 7 -

Pusat dengan pemerintah Provinsi (cq. Gubernur) selaku wakil /

representasi pemerintah Pusat.

Dalam konteks pemencaran kewenangan tadi, maka urusan

pemerintahan dapat dilakukan dengan beberapa pola atau mekanisme.

Menurut pasal 10 UU Nomor 32/2004, pola-pola penyelenggaraan

urusan tadi dapat diaktualisasikan melalui 3 (tiga) modus, yakni:

1. Pemerintah menyelenggarakan sendiri, atau

2. Dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan

kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di

daerah, atau 3. Dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah

dan/atau pemerintahan desa.2

Pola pertama pada hakekatnya adalah manifestasi asas

sentralisasi, dimana urusan pemerintahan tertentu dilaksanakan sendiri

oleh pemerintah, dan tidak diserahkan ataupun dilimpahkan kepada

pihak lain. Selanjutnya, pola kedua adalah penceminan dari

pelaksanaan asas dekonsentrasi, sedangkan pola ketiga adalah

penjabaran asas tugas pembantuan. Selain ketiga pola

penyelenggaraan urusan tersebut, sesungguhnya masih dapat ditambah

1 (satu) pola lagi yakni penyerahan urusan sepenuhnya kepada unit

pemerintahan otonom, yakni Pemerintah Daerah. Pola terakhir ini

sering dikenal sebagai asas desentralisasi.

Secara teoretik, tidak ada satupun artikel atau berani

menyatakan bahwa model yang satu lebih baik atau lebih efektif

dibanding model lainnya. Pilihan kebijakan tentang model

2 Dalam UU No. 23/2014 tidak ada lagi pengaturan tentang tiga bentuk/model

penyelenggaraan urusan tersebut. Meskipun demikian, ketiga bentuk tersebut

masih berlaku dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia saat ini.

- 8 -

penyelenggaraan urusan mana yang dianggap paling baik, tentulah

didasarkan pada kondisi obyektif dan kebutuhan pemerintah dan

masyarakat, serta manfaat terbesar yang dapat dihasilkan masing-

masing model. Itulah sebabnya, praktek penyelenggaraan

pemerintahan di berbagai negara menunjukkan adanya kecenderungan

untuk menggabungkan pola desentralisasi dengan dekonsentrasi (lebih

detil baca Bab III dan IV).

Apapun model / pola yang dipilih, satu hal harus mendapat

jaminan, yakni bahwa kebijakan, kepentingan dan target-target

pembangunan yang ditetapkan oleh pemerintah (Pusat) harus dapat

berjalan dengan baik dan optimal di seluruh wilayah negara. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa asas desentralisasi atau dekonsentrasi

bukanlah sebuah tujuan, namun hanya merupakan instrumen untuk

mendukung agar kebijakan dan program nasional dapat mencapai

tujuan yang ditetapkan.

Di Indonesia sendiri, pemerintah nampaknya masih terus

mencari model terbaik penyelenggaraan pemerintahan serta pola

hubungan pusat dengan daerah. Hal ini terlihat dari upaya yang belum

tuntas untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 32/2004 dan

peraturan terkait lainnya. Proses pencarian bentuk ini mengilustrasikan

bahwa derajat kontribusi asas desentralisasi dan dekonsentrasi bagi

penyelenggaraan pemerintahan selama ini belum terpetakan secara

jelas. Selain itu, keseimbangan konseptual antara desentralisasi dan

dekonsentrasi juga belum tergambar dengan gamblang.

Dewasa ini, dekonsentrasi justru sering dipandang sebagai

pelengkap belaka dari asas desentralisasi. Tingkat urgensi dan

- 9 -

relevansi dekonsentrasi belum mendapat pengakuan yang memadai.

Malahan dalam implementasi sehari-hari, ditemukan banyak sekali

kelemahan mendasar dalam praktek dekonsentrasi. Ironisnya, hingga

saat ini belum ada langkah-langkah konkrit untuk mengatasi berbagai

permasalahan dalam implementasi dekonsentrasi tersebut. Akibatnya,

keluhan tentang praktek dekonsentrasi dan temuan-temuan

penyimpangan dari pengelolaan program dan dana dekonsentrasi, terus

terjadi dan berulang setiap tahun (lihat sub-bab B dibawah).

Mengingat situasi yang demikian kompleks sebagaimana

paparan diatas, serta hasrat intelektual untuk lebih mempejelas pola

kebijakan di Indonesia tentang hubungan desentralisasi dan

dekonsentrasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, maka

penulis tertarik untuk mengangkat issu tentang relevansi fungsi

dekonsentrasi dalam mendukung kebijakan nasional di daerah

sekaligus mendukung kebijakan dan pembangunan daerah otonom,

kedalam sebuah penelitian Disertasi.

B. Fenomena Empiris Dekonsentrasi

Selain didasarkan pada kerangka berpikir teoretis sebagaimana

dikemukakan diatas, pentingnya penelitian tentang dekonsentrasi juga

dilandasi oleh berbagai fenomena empiris yang berkembang dewasa

ini. Beberapa fenomena dibawah ini mengilustrasikan bahwa

dekonsentrasi belum terdefinisikan secara konkrit dan operasional.

Masih terdapat kebingungan dan kekaburan tentang makna yang

sebenarnya dari dekonsentrasi, sehingga dalam tataran

implementasinya juga menjadi kabur. Adapun beberapa fenomena

- 10 -

tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

1. Urusan atau wewenang yang dilimpahkan Pemerintah kepada

Gubernur sampai sekarang belum terdefinisi secara limitatif,

sehingga menyebabkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan

program dekonsentrasi menjadi sangat rendah. Hal ini juga

membuka kemungkinan terjadinya pembiayaan program / proyek

secara rangkap baik oleh APBN maupun APBD (double financing),

yang menyebabkan terjadinya inefisiensi besar dalam sistem

penganggaran publik. Situasi seperti ini misalnya ditandaskan oleh

Menteri Keuangan sendiri bahwa dalam kenyataannya dana

dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan kerap kali terjadi

tumpang tindih dengan dana desentralisasi, karena ketidakjelasan

mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pusat dan

Daerah (Portal Depkominfo, 05-04-2006).

2. Sebagai implikasi logis dari peran Gubernur selaku Wakil

Pemerintah, maka Lemhanas menyarankan agar sistem pemilihan

Gubernur diubah, dimana Presiden menunjuk langsung Gubernur.

Pilkada langsung hanya dilaksanakan untuk level bupati/walikota.

Selain menghemat biaya Pilkada, penunjukan Gubernur langsung

oleh presiden untuk memperkuat kinerja pemerintahan. Dengan

kata lain, penghapusan pilkada Gubernur merupakan konsekuensi

dari posisi Gubernur sebagai perwakilan Presiden di daerah (Detik,

Media Indonesia, Kompas, 6-12-07). Pernyataan ini nampaknya

memiliki korelasi dengan pernyataan Presiden SBY yang

menyatakan bahwa biaya demokrasi tinggi. Selain biaya yang

mencapai triliunan, rakyat juga dirugikan oleh penggunaan biaya

- 11 -

yang sangat tinggi tersebut (Tempo, 6-12-07). Selain

menggambarkan adanya silang pendapat yang tajam tentang

kedudukan Gubernur selalu wakil pemerintah (perangkat

dekonsentrasi), pernyataan Presiden dan usulan Lemhanas diatas

juga sering dipandang sebagai kritik – jika bukan gugatan –

terhadap desentralisasi yang dinilai berjalan terlalu jauh atau

kebablasan, sehingga perlu direm dengan mengembalikan

kewenangan pemilihan Gubernur kepada Presiden. Apabila ide ini

diterima, jelas berimplikasi pada perubahan mendasar tentang

peran, wewenang, dan tanggungjawab seorang Gubernur.

3. BKKSI (Badan Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia)

menyatakan bahwa selama ini dekonsentrasi disalahgunakan baik

oleh Pemda maupun Departemen Teknis. Selain itu, dana

dekonsentrasi yang dikeluarkan untuk membiayai urusan

dekonsentrasi sangat besar, dimana ada daerah memiliki dana

dekonsentrasi lebih besar dari APBD-nya. Hal ini dipandang

sebagai permainan Pusat yang terselubung dan berpotensi korupsi

besar-besaran (Kompas, 24-12-2007). Pada saat yang bersamaan,

Tim Penertiban Rekening Departemen Keuangan menemukan

adanya ribuan satuan kerja (dulu disebut pemimpin proyek) yang

mengelola dana dekonsentrasi atau tugas pembantuan, tetapi tidak

melaporkan realisasinya. Dana ini seperti hilang begitu saja karena

diserahkan melalui departemen teknis, tetapi tidak ada laporan

pertanggungjawabannya (Kompas, 18-12-2007).

Senada dengan temuan Tim Penertiban Rekening Depkeu diatas,

temuan Auditor Utama BPK Soekoyo juga mengindikasikan

- 12 -

bahwa dana dekonsentrasi yang sudah dialirkan pemerintah pusat

ke daerah sejak tahun 2000 ternyata penggunaannya tidak

dilaporkan di APBN, neraca pemerintah pusat, atau di APBD.

Akibatnya, ada potensi dana yang mencapai sekitar Rp 28,75 triliun

tersebut menjadi sarana untuk pencucian aset dan berpotensi tindak

pidana (Sumut Pos, 11-02-2007). Berdasarkan temuan tersebut,

BPK memberikan pendapat bahwa pengelolaan dana dekonsentrasi

dan dana tugas pembantuan belum memenuhi standard dan prinsip

pengelolan keuangan negara yang baik dan benar sesuai dengan

ketentuan yang berlaku, dan temuan ini juga menjadi salah satu

penyebab opini disclaimer-nya Laporan Keuangan Pemerintah

Pusat.

4. Fungsi dekonsentrasi masih sering disikapi sebagai ”tugas kelas

dua” setelah penyelenggaraan fungsi desentralisasi. Akibatnya,

kurang ada perhatian yang serius untuk mengkaji berbagai

persoalan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dekonsentrasi

oleh provinsi (cq. Gubernur). Selain itu, penyikapan yang kurang

proporsional ini juga berdampak pada kurang adanya upaya yang

sistematis untuk menyempurnakan dan memperkuat fungsi

dekonsentrasi. Hal ini jelas merupakan kelemahan dari praktek

kebijakan otonomi daerah di Indonesia yang memberikan otonomi

seluas-luasnya kepada kabupaten/kota.

Fenomena diatas antara lain dikuatkan dengan pernyataan

Gubernur Jawa Tengah, Ali Mufiz yang mengatakan bahwa saat ini

masih terdapat kontroversi antara kewenangan perangkat

pemerintah pusat di provinsi seperti unit pelaksana teknis (UPT)

- 13 -

dengan kewenangan Gubernur selaku wakil pemerintah pusat

(Kompas, 22-10-2008). Pernyataan serupa diungkapkan Gubernur

Kalimantan Tengah, Teras Narang tentang masih banyaknya

kecenderungan program pemerintah yang ditujukan bagi daerah

tanpa melibatkan Gubernur. Dampaknya, pembangunan di daerah

menjadi tidak fokus dan anggaran banyak yang tidak efisien karena

tumpang tindih (Kompas, 1/12/2009).

Beberapa tahun sebelumnya, Gubernur Kalimantan Tengah juga

menyampaikan kririk serupa dan menyoroti posisi Gubernur yang

seolah-olah lepas dari program dan dana dekonsentrasi, sehingga

menjadi sangat dilematis bagi daerah, karena jika terjadi kesalahan

dalam implementasinya kepala daerah juga ikut menanggungnya

(Tempo Interaktif, 24-08-2006). Selain itu, pemerintah seharusnya

mempercayakan pengelolaan dana dekonsentrasi ke Gubernur agar

lebih bermanfaat. Sebab, kepercayaan pusat kepada daerah akan

memacu Kepala Daerah membangun wilayahnya, dan daerah akan

mengimbangi dengan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas

(Tempo Interaktif, 05-09-2006).

Keluhan yang sama juga dikemukakan oleh mantan Gubernur Jawa

Barat, Danny Setyawan yang menyatakan bahwa penyaluran dana

dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh departemen

sektoral di pusat kepada dinas, mencerminkan bahwa departemen

sektoral masih mengobsesikan dinas-dinas di provinsi seperti

Kanwil (Pikiran Rakyat, 13-04-2005). Sejalan dengan sinyalemen

Gubernur Jabar tersebut, Ketua DPRD Jabar menyesalkan

turunnya dana dekonsentrasi (tahun 2007) karena tidak disertai

- 14 -

kejelasan mekanisme pertanggung jawabannya oleh SKPD yang

menerima. Pemerintah dinilai telah melakukan kesalahan karena

tidak memberitahukan kepada DPRD terkait program-program

menyangkut dana dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak dapat

melakukan pengawasan (Pikiran Rakyat, 10-01-2007). Ternyata,

setelah tujuh tahun berjalan, masalah mis-komunikasi dan mis-

koordinasi pusat-daerah masih terjadi. Hal ini nampak dari

pernyataan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang

menyebutkan kurangnya koordinasi dalam pelaksanaan program

pemerintah, salah satunya dalam kebijakan impor sejumlah

komoditas pangan atau kebutuhan pokok. Pemerintah pusat sering

tidak bicara dengan daerah, sehingga kebijakan impor diterapkan,

harga komoditas lokal jatuh. Selain itu ada komoditas tertentu yang

tidak perlu diimpor karena persediaan di daerah mencukupi

(Kompas, 5-07-2014).

Keluhan tentang kebijakan dan praktek dekonsentrasi juga terjadi

di Provinsi NTB. Gubernur NTB menyatakan bahwa:

“penyelenggaraan koordinasi kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan di daerah hingga kini masih belum optimal, baik dari

aspek administrasi pemerintahan maupun pengendalian secara

kualitatif atas pelaksanaan kegiatan. Hal ini disebabkan antara lain

penguatan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di

daerah belum terlaksana secara ideal, misalnya dalam hal

pembinaan dan pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan

pemerintahan daerah di kabupaten/kota, gubernur belum diberi

kewenangan represif untuk membatalkan kebijakan daerah

- 15 -

kabupaten/kota yang dinilai bertentangan dengan kebijakan pusat”

(Gaung NTB, Maret 2011, Penyelenggaraan Dekonsentrasi

Pembantuan Belum Optimal).

Fakta terbaru tentang kelemahan fungsi dekonsentrasi

diungkapkan oleh Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho,

yang menyatakan bahwa gubernur belum menjadi perpanjangan

pemerintah pusat. Bupati/walikota banyak mengajukan proposal

dan audiensi ke kementerian tanpa melewati gubernur. Unit

pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah tidak berkoordinasi dengan

gubernur, sementara gubernur tidak memiliki kewenangan

memberi masukan terkait penempatan personel. Untuk itu, Gatot

menyarankan penguatan peran gubernur, dimana instansi vertikal

harus berada dibawah koordinasi gubernur, sedangkan kementerian

hanya sebagai koordinator (Kompas, 27-06-2014). Hal senada

diungkapkan Gubernur Sumatera Selatan, Alex Nurdin, yang

menginginkan pemerintah pusat dapat menjadi navigator

pembangunan daerah, namun memberi keleluasaan pemerintah

daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai

potensi, kondisi sosial, dan geografi daerah masing-masing. Saat

ini menurut Nurdin, pembangunan infrastruktur dan potensi daerah

terbengkalai, seperti kasus NTT yang sangat potensial untuk

peternakan sapi namun justru mengimpor daging sapi dari luar

negeri. Untuk itu disarakan agar pendekatan sektoral dalam

pembangunan diganti dengan pendekatan wilayah. Dengan

pendekatan wilayah ini, kondisi daerah yang berbeda akan

membutuhkan pendekatan dan program pembangunan yang

- 16 -

berbeda pula (Kompas, 1-07-2014).

Selain permasalahan diatas, implementasi dekonsentrasi yang

belum optimal juga dapat dilihat dari adanya kesenjangan pada dimensi

regulasi. Artinya, fungsi dekonsentrasi akan berjalan baik apabila

konsisten dengan kerangka aturan yang telah ditetapkan. Adapun

beberapa hal yang belum sesuai antara kondisi ideal dengan kondisi

faktual adalah sebagai berikut:

1. Pasal 108 UU No. 33/2004 menyatakan: Dana Dekonsentrasi dan

Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran

kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan

urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi

urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi

Khusus. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan yang

mengatur tentang pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK.

2. Pasal 2 PP No. 7/2008 menyatakan: Penyelenggaraan

dekonsentrasi dilakukan melalui pelimpahan sebagian urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan kementerian/ lembaga.

Selanjutnya, Kementerian/lembaga menetapkan norma, standar,

prosedur, dan kriteria pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan

tugas pembantuan. Namun, rincian detil tentang urusan yang

dilimpahkan oleh kementerian / lembaga beserta mekanisme dan

tata kelolanya belum ada, dan kalaupun ada tidak seragam antar

kementerian / lembaga. Akibatnya, prinsip money follows function

tidak berjalan karena dana dekonsentrasi dikucurkan tanpa

mengacu kepada tugas-tugas dekonsentrasi yang telah dilimpahkan

kepada Gubernur.

- 17 -

3. Pasal 15 PP No. 7/2008 menyatakan: Perencanaan program dan

kegiatan dekonsentrasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Namun, UU No.

25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

(SPPN) hanya memuat pengaturan yang sangat minim tentang

dekonsentrasi, yang tertuangg dalam Pasal 32 yang berbunyi

Gubernur selaku wakil Pemerintah Pusat mengkoordinasikan

pelaksanaan perencanaan tugas-tugas Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan. Ketentuan ini hanya memberi penugasan kepada

Gubernur selaku koordinator, namun integrasi program

dekonsentrasi dalam SPPN sendiri sama sekali tidak tergambar

dengan jelas.

4. Meskipun telah ada PP No. 23/2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Tugas dan Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur

Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi, sebagaimana

diamanatkan Pasal 37-38 UU No. 32/2004, namun faktanya belum

dapat diimplementasikan dengan sepenuhnya. Sebagai contoh,

pembentukan kelompok kerja sebagai perangkat Sekretaris

Gubernur (yang secara ex-officio dirangkap oleh Sekretaris Daerah

Provinsi) belum terbentuk di seluruh provinsi. Jikapun ada

kelompok kerja seperti Kelompok Kerja Bidang Hubungan Pusat-

Daerah dan Antar Daerah sebagaimana tertuang dalam Keputusan

Gubernur DKI Jakarta No. 750/2013, ternyata ini bukan kelompok

kerja seperti yang dimaksud oleh PP No. 23/2011 dan Permendagri

No. 66/2012 tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011. Dapat dikatakan

demikian karena PP No. 23/2011 maupun Permendagri No.

- 18 -

66/2012 tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam

Keputusan Gubernur DKI Jakarta ini. Selain itu, PP ini hanya

menyebutkan secara jelas mengenai 9 (Sembilan) tugas urusan

pemerintahan, namun memberikan urusan pemerintahan di

wilayah provinsi yang menjadi kewenangan Pemerintah tanpa

perincian yang jelas. Akibatnya, tetap saja belum nampak batas-

batas tugas dan wewenang Gubernur di bidang yang

didekonsentrasikan Pemerintah.

5. Pola belanja dekonsentrasi dan tugas pembantuan masih di

dominasi dengan jenis belanja bantuan sosial. Jenis belanja bantuan

sosial tidak tepat digunakan untuk mendanai kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana temuan BPK

atas hasil audit pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas

pembantuan di beberapa Kementerian/Lembaga dan Pemerintah

Daerah. Ketidaktepatan penggunaan jenis belanja bantuan sosial

tersebut disebabkan karena tidak secara konsisten menerapkan

aturan, baik aturan terkait dengan penyelenggaran dekonsentrasi

dan tugas pembantuan (PP Nomor 7/2008 serta Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 156/2008 dan perubahannya), maupun aturan

terkait dengan sistem penganggaran (PP Nomor 21/2004 tentang

Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian

Negara/Lembaga). Selain itu, kebijakan pengalokasian dana

dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan untuk Provinsi T.A 2011

belum sepenuhnya memperhatikan keseimbangan pendanaan di

daerah sebagaimana tertuang dalam rekomendasi Menteri

Keuangan tahun 2010, karena yang diutamakan dalam

- 19 -

pengalokasian adalah prioritas 2, dan porsi untuk non prioritas

tidak berbeda jauh dengan yang prioritas (Kementerian Keuangan,

Rekomendasi Menteri Keuangan Tentang Keseimbangan

Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan Dekonsentrasi

dan Tugas Pembantuan Tahun 2012, Lampiran Surat Menteri

Keuangan No. S-156/MK.07/2011, Tanggal 23 Januari 2011).

6. Sampai saat ini masih terjadi tumpang tindih belanja antar unit

maupun antar tingkatan. Masih sering terjadi belanja pemerintah

pusat melalui anggaran kementerian, baik secara langsung ke

daerah maupun melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas

pembantuan, digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang

seharusnya menjadi urusan daerah yang telah didesentralisasikan.

Hal ini juga diperparah dengan rendahnya mekanisme koordinasi

antara pusat dan daerah dalam pengalokasian dana-dana tersebut,

sehingga tidak hanya tidak tepat guna tapi juga tumpang tindih. Di

samping itu, sistem perencanaan nasional juga belum sepenuhnya

dapat mengkoordinasikan program-program di pusat maupun

daerah, yang didorong oleh ego sektoral dari masing-masing unit

di semua tingkatan. Akibatnya, sering terjadi ketidakjelasan siapa

mengerjakan apa, sehingga berbagai program saling berbenturan.

Tumpang tindih antara belanja pusat dan daerah ditenggarai

sebagai salah satu faktor yang mendorong tingginya belanja

pegawai baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah (DJPK Kementerian Keuangan, Grand Design

Desentralisasi Fiskal Indonesia, 2009).

Jika dilakukan analisis lebih dalam, maka munculnya berbagai

- 20 -

fenomena tersebut bersumber pada beberapa prasyarat yang tidak

dipenuhi agar dekonsentrasi berjalan dengan optimal. Prasyarat

pertama adalah kelengkapan instrumen yuridis. Sebagaimana dapat

kita simak, materi substantif dalam PP tentang dekonsentrasi (PP No.

39/2001 dan PP No. 7/2008) belumlah operasional dan membutuhkan

pengaturan yang lebih rinci dalam bentuk peraturan perundangan yang

lebih rendah, misalnya Keputusan Presiden, Peraturan Mendagri,

Peraturan Menkeu, dan sebagainya. Ketiadaan landasan hukum ini

jelas akan berdampak negatif dalam implementasi dekonsentrasi.

Prasyarat kedua yang juga harus dipenuhi adalah adanya

hubungan yang harmonis antar lembaga di tingkat pusat, khususnya

antara Depdagri dan Depkeu. Koordinasi ini terutama dibutuhkan

untuk merancang jenis-jenis kewenangan yang akan dilimpahkan

kepada wakil pemerintah di daerah, serta model pembiayaannya. Oleh

karena koordinasi diantara kedua instansi ini kurang terjalin harmonis,

maka model pelimpahan kewenangan dekonsentrasi dan model

pendanaan dekonsentrasi juga masih bermasalah hingga saat ini.

Adanya kejelasan lembaga / perangkat penyelenggara fungsi

dekonsentrasi juga menjadi prasyarat penting. Selama ini (sejak

lahirnya UU No. 22/1999), perangkat dekonsentrasi berupa kantor

wilayah menjadi hapus, kecuali perangkat yang melaksanakan lima

urusan absolut pemerintah pusat. Dampaknya, urusan

dekonsentrasi ”dititipkan” kepada perangkat desentralisasi, yakni

dinas dan lembaga teknis daerah. Selain kurang efektif, hal ini juga

membuka kemungkinan terjadinya overlap (tumpang tindih) atau

duplikasi tugas desentralisasi dan tugas dekonsentrasi. Oleh sebab itu,

- 21 -

penataan kelembagaan dekonsentrasi menjadi salah satu kebutuhan

mendesak untuk mewadahi fungsi-fungsi yang dilimpahkan dari

pemerintah pusat.

C. Rumusan Masalah / Problematika Penelitian

Dari latar belakang dan fenomena-fenomena empiris diatas,

secara sederhana dapat diidentifikasi inti masalahnya,

yakni ”rendahnya relevansi dekonsentrasi dalam mendukung

kepentingan pusat di daerah, yang disebabkan oleh rendahnya

efektivitas pengelolaan dekonsentrasi”.

Tidak efektifnya pengelolaan dekonsentrasi itu sendiri

bersumber dari beberapa masalah yang lebih spesifik, antara lain:

1. Lemahnya fungsi pemrograman dekonsentrasi. Penamaan program

dekonsentrasi cenderung sama dengan program K/L dan program

pemerintah daerah, sehingga menimbulkan tumpang tindih

program. Mengingat dekonsentrasi adalah bagian dari fungsi

pemerintah pusat yang didelegasikan kepada pemerintah daerah,

maka kesamaan nama antara program dekonsentrasi dengan

program K/L merupakan suatu keniscayaan. Namun by nature

program dekonsentrasi sangat berbeda dengan program

desentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan daerah. Jika

masih terjadi kesamaan program ini menunjukkan adanya

kelemahan dan ketidakefektivan dalam fungsi pemrograman

dekonsentrasi.

2. Lemahnya manajemen penganggaran dekonsentrasi. Temuan BPK

atau Tim Penertiban Rekening Depkeu tentang penggunaan dana

- 22 -

dekonsentrasi yang tidak dipertanggungjawabkan, pernyataan

Menteri Keuangan tentang dana dekonsentrasi dan dana tugas

perbantuan yang sering tumpang tindih dengan dana desentralisasi,

adalah bukti yang sangat meyakinkan akan lemahnya manajemen

keuangan dekonsentrasi.

3. Lemahnya mekanisme perencanaan dekonsentrasi. Meskipun ada

forum-forum pembahasan di tingkat kementerian, namun program

dan anggaran dekonsentrasi cenderung monoton setiap tahunnya

dengan mengulang-ulang aktivitas yang sama, dan tidak ada

kebaruan dan kekhasan antar daerah. Selain itu, perencanaan

dekonsentrasi terlalu ministerial-oriented, dalam arti program dan

anggaran sudah dialokasikan oleh kementerian tanpa didahului

oleh analisis kebutuhan atau usulan dari daerah. Mekanisme

perencanaan hingga pertanggungjawaban program dekonsentrasi

juga kurang mendudukkan gubernur dalam peran sentral dalam

kapasitasnya selaku wakil pemerintah.

4. Tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi yang memadai.

Gubernur selaku Wakil pemerintah saat ini menghadapi dua macam

dilema sekaligus. Dilihat dari perangkat pendukungnya,

berdasarkan Permendagri Nomor 66/2012, gubernur semestinya

memiliki perangkat terdiri dari Sekretaris Gubernur yang secara ex-

officio dirangkap oleh Sekda Provinsi, dan Sekretaris Gubernur

memiliki perangkat berupa Kelompok Kerja yang dipimpin oleh

pada Staf Ahli Gubernur. Minimnya sumberdaya aparatur (SDM,

anggaran, sarana) yang dimiliki Staf Ahli, menjadikan tugas

tambahan selaku koordinator kelompok kerja tidak berjalan

- 23 -

optimal. Pada saat yang bersamaan, tugas-tugas dan wewenang

Gubernur sebagai wakil Pemerintah juga belum ditetapkan secara

jelas dan tegas. Dengan kedua kendala tersebut, ditambah dengan

tugas dekonsentrasi yang harus dilaksanakan cukup banyak, dapat

dibayangkan bahwa fungsi dekonsentrasi tidak mungkin berjalan

maksimal. Mengingat kondisi seperti ini, maka wajarlah apabila

banyak gubernur yang mengeluh atau merasa tidak berdaya.

Dengan tidak adanya perangkat kelembagaan dekonsentrasi tadi,

maka program dekonsentrasi masih dijalankan oleh SKPD, yang

semestinya lebih fokus menjalankan urusan pemerintahan yang

telah didesentralisasikan.

5. Lemahnya fungsi regulasi. Meskipun sudah ada Peraturan Menteri

tentang Pelimpahan Kewenangan Dekonsenrasi, namun dalam

implementasinya sering menimbulkan kebingungan, misalnya

dalam hal ketidakjelasan pihak penerima pelimpahan wewenang

(addressat norm), tidak tegasnya rincian kewenangan

dekonsentrasi yang dilimpahkan, dan sebagainya.

Rumusan masalah dan rincian masalah yang lebih spesifik

sebagaimana tersebut diatas mencerminkan adanya problematika

konsepsi dan implementasi dekonsentrasi, yakni adanya indikasi

ketidakseriusan pemerintah dalam mendesain kebijakan dekonsentrasi.

Ketidakseriusan tadi boleh jadi mencerminkan adanya pandangan para

pengambil kebijakan bahwa dekonsentrasi adalah sebuah prinsip yang

tidak penting dan bukan prioritas dalam penyelenggaraan

pemerintahan, terutama di level daerah. Jika terbukti benar bahwa

dekonsentrasi dipandang tidak penting, muncul problematika

- 24 -

berikutnya yakni untuk apa dekonsentrasi tetap dijalankan sebagai

salah satu prinsip penyelenggaraan pemerintahan? Berbagai

problematika sekitar eksistensi dan relevansi dekonsentrasi ini juga

dapat dikembangkan dengan mengkaitkannya kepada prinsip

desentralisasi, misalnya dengan mengemukakan pertanyaan apakah

dengan adalah desentralisasi luas berdasarkan UU No. 32/2004 maka

dekonsentrasi sesungguhnya tidak lagi diperlukan? Pertanyaan terakhir

ini akan membawa kepada diskusi teoretik (theoretical debate) antara

desentralisasi dan dekonsentrasi.

Dengan kata lain, inefektivitas pengelolaan dekonsentrasi dari

kelima dimensi diatas akan membawa pada kesimpulan tentang

urgensi dan/atau relevansi dekonsentrasi sebagai instrumen pemerintah

pusat untuk menjamin berfungsinya kepentingan pusat di daerah.

D. Pertanyaan Penelitian (Research Question)

Berdasarkan permasalahan atau problematika yang dipaparkan

diatas tentang rendahnya efektivitas implementasi kebijakan dan

program dekonsentrasi, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

(research question) sebagai berikut: Bagaimanakah relevansi

dekonsentrasi berdasarkan tingkat efektivitas pengelolaannya?, serta

Mengapa implementasi dekonsentrasi belum menunjukkan efektivitas

dalam pengelolaannya?.

Pertanyaan penelitian ini selanjutnya dijabarkan dalam

pertanyaan yang lebih rinci, sebagai berikut:

1. Bagaimanakah efektivitas program dan kegiatan dekonsentrasi?

- 25 -

2. Bagaimanakah efektivitas penganggaran / pembiayaan

dekonsentrasi?

3. Bagaimanakah efektivitas perangkat kelembagaan dekonsentrasi?

4. Bagaimanakah efektivitas mekanisme perencanaan dekonsentrasi?

5. Bagaimanakah efektivitas regulasi terkait dengan implementasi

fungsi dekonsentrasi?

Kelima pertanyaan inilah yang akan dijawab pada analisis yang

dituangkan pada Bab V. Jawaban terhadap relevan atau tidaknya asas

dekonsentrasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan tersebut

sangat penting untuk dapat menentukan strategi yang tepat dalam

pembenahan berbagai problematika implementasi dekonsentrasi saat

ini. Apabila dekonsentrasi dinilai tidak memiliki relevansi yang cukup,

maka program-program dan dana dekonsentrasi yang ada selama ini

lebih baik dialihkan menjadi program dan dana desentralisasi. Namun

apabila dekonsentrasi masih dipandang relevan, maka pembenahan

sistemik meliputi 5 (lima) aspek yang diuraikan dalam rumusan

masalah, menjadi sebuah keniscayaan.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian (Research Objectives)

Berdasarkan permasalahan penelitian tersebut diatas, maka

tujuan pokok dari penelitian dalam rangka penulisan disertasi ini

adalah terdeskripsikannya tingkat relevansi dekonsentrasi berdasarkan

tingkat efektiviats pengelolaan dekonsentrasi sehingga dapat

dirumuskan rekomendasi rekomendasi tentang model kebijakan

dekonsentrasi yang lebih tepat untuk mendukung penyelenggaraan

pemerintahan yang ideal dan efektif di Indonesia berdasarkan

- 26 -

pengalaman historis maupun pengalaman negara-negara lain.

Rekomendasi tersebut diharapkan berupa sebuah konsep yang relatif

matang untuk menuju kepada suatu konstruksi keseimbangan antara

asas desentralisasi dan dekonsentrasi, keseimbangan dan kejelasan

peran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi, serta

keharmonisan hubungan pemerintah Pusat dan Daerah

(Kabupaten/Kota) dengan Provinsi sebagai unit intermediasinya.

Secara praktis, kegunaan / manfaat yang diharapkan dari hasil

penelitian ini adalah meningkatnya kualitas praktek penyelenggaraan

pemerintahan daerah, baik yang bersumber dari asas desentralisasi

maupun asas dekonsentrasi. Hal ini antara lain dapat dicapai dengan

penyempurnaan UU dan peraturan perundang-undangan sebagai

pelaksanaan UU tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun

2004). Sementara secara akademik, penelitian ini diharapkan dapat

berkontribusi dalam pengembangan teori desentralisasi dan

manajemen pemerintahan daerah, sekaligus membawa manfaat untuk

mengisi kebutuhan literatur yang sangat minim tentang filosofi,

formulasi, model-model, dan praktek / implementasi dekonsentrasi di

negara kesatuan (unitary state) pada umumnya, dan di Indonesia pada

khususnya.

F. Keaslian Ide dan Originalitas Studi

Keinginan awal penulis untuk mengkaji persoalan

dekonsenstrasi timbul dari bincang-bincang dengan para pejabat di

daerah, terutama di lingkup Biro / Bagian Organisasi dan Pemerintahan

serta Bappeda. Pada Biro Pemerintahan terdapat Bagian Dekonsentrasi,

- 27 -

namun mereka menyatakan bahwa perencanaan program dan anggaran

dekonsentrasi dilakukan oleh Bappeda. Namun pejabat Bappeda pada

umumnya juga mengaku tidak menangani urusan dekonsentrasi secara

spesifik, karena sudah ditangani oleh masing-masing Dinas. Demikian

pula Biro Organisasi yang memiliki tugas untuk mengkaji persoalan

tatalaksana organisasi, sering menyiratkan adanya mis-koordinasi

dalam penyelenggaraan dekonsentrasi di daerah.

Dari hasil bincang-bincang tadi, penulis menarik sebuah

kesimpulan sementara bahwa kebijakan dan pola implementasi

dekonsentrasi belum cukup efektif, bahkan cenderung menjadi sumber

inefisiensi pemerintahan. Dari ketertarikan awal ini, penulis kemudian

melakukan penelusuran berita media cetak dan elektronik, dan

menemukan banyak sekali keluhan para Kepala Daerah dan pimpinan

DPRD tentang segala sesuatu yang menyangkut praktek dekonsentrasi

ini. Hasil penelusuran ini semakin menguatkan dugaan penulis tentang

terjadinya mis-manajemen dekonsentrasi.

Selanjutnya, penulis melakukan telaah yuridis dengan

mempelajari produk-produk hukum yang terkait dengan dekonsentrasi,

misalnya PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008 tentang Penyelenggaraan

Dekonsentrasi. Dari telaah ini penulis memandang bahwa pengaturan

dekonsentrasi belum lengkap sehingga membuka peluang terjadinya

multi interpretasi dan kekaburan dalam implementasinya. Selain itu,

penulis beranggapan telah terjadi pengaturan secara asimetris

(asymmetrical regulation), dimana fungsi desentralisasi diatur oleh

produk hukum setingkat Undang-Undang, sedangkan fungsi

dekonsentrasi hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah (instrumen

- 28 -

pelaksanaan UU). Padahal, baik desentralisasi maupun dekonsentrasi

sama-sama merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan (Pasal 20

ayat 2 dan 3, UU No. 32/2004), sehingga memiliki kedudukan yang

sejajar, dan semestinya diatur dengan level kebijakan yang sejajar pula.

Studi literatur tentang dekonsentrasi sendiri ternyata juga

masih sangat terbatas, bahkan cenderung langka. Kalaupun ada teori,

analisis atau kasus-kasus kajian penerapan dekonsentrasi, mayoritas

dikaitkan dengan studi tentang desentralisasi. Dengan kata lain,

dekonsentrasi hanyalah disiplin kecil (minor study) dari kajian

desentralisasi yang sangat banyak. Namun dari penelusuran penulis,

ada beberapa publikasi yang khusus mengulas tentang dekonsentrasi,

yakni:

1. Buku karangan Prof. Dr. Ateng Syafrudin, SH.,

berjudul ”Pemahaman Tentang Dekonsentrasi”, terbitan PT.

Refika Aditama, Bandung, 2006, terjemahan langsung dari

makalah Prof. F.A.M. Stroink berjudul ”Het Leerstuk der

Deconcentratie” (The Doctrine of Deconcentration), Bestuurlijke

Verkenningen, Nr. 27, 1978. Buku terjemahan ini berisi tentang

aneka ragam penerapan dekonsentrasi di Negeri Belanda pada

masa silam. Untuk praktek dekonsentrasi di Belanda pada saat ini

sendiri penulis tidak menemukan sumber atau referensi yang

memadai, sehingga sulit untuk menyimpulkan apakah praktek

dekonsentrasi yang lama masih berjalan hingga saat ini, ataukah

sudah ada perubahan kebijakan yang cukup mendasar.

2. Artikel Mark Turner dalam Jurnal Public Administration and

Development (Vol. 22, halaman 353–364, Canberra, 2002),

- 29 -

berjudul “Whatever happened to deconcentration: Recent

Initiatives in Cambodia”. Artikel ini berisi tentang praktek

desentralisasi di Kamboja yang dinilai gagal, sehingga

memunculkan kesadaran untuk memperkuat desentralisasi

administratif (dekonsentrasi) dalam rangka meningkatkan

pelayanan publik dan partisipasi masyarakat.

3. Artikel John M. Cohen dan Stephen B. Peterson berjudul

Administrative Decentralization: A New Framework for Improved

Governance, Accountability and Performance (Discussion Paper

No. 582, Harvard Institute of International Development, Mei

1997). Dalam artikel ini disebutkan bahwa di negara berkembang

dan negara transisi, administrative decentralization menjadi

strategi baru dalam menjawab kebutuhan kritis pemerintahan,

antara lain peningkatan transparansi dan akuntabilitas, pelayanan

yang lebih efektif dan efisien, serta peningkatan kinerja pemerintah.

Sayangnya, selama ini tidak ada pedoman dan kerangka analisis

yang dapat membantu mendesain strategi yang ditujukan

mengukur dan meningkatkan hal-hal tersebut. Untuk itu, penulis

mengajukan kerangka analisis yang disebut sebagai administrative

design framework.

4. Artikel Paul Smoke dan Johan Bastin berjudul Decentralizing

Regional Infrastructure Planning and Finance in Indonesia:

Progress to Date and a Strategy for the Future (Discussion Paper

No. 469, Harvard Institute of International Development, 1993).

Artikel lawas ini menceritakan tentang inefisiensi dan

ketidakberlanjutan pelayanan publik terutama penyediaan

- 30 -

infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh adanya fragmentasi dan

konflik kelembagaan antar kementerian, program lembaga donor

yang tidak sesuai dengan tujuan desentralisasi, koordinasi yang

buruk, pengembangan kapasitas yang tidak terarah, dan lemahnya

akuntabilitas.

Meskipun artikel ini menjelaskan situasi pada masa berlakunya UU

No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, namun

masih relevan untuk melihat kemungkinan situasi yang serupa

masih dijumpai pada saat ini dengan berlakunya UU Pemerintahan

Daerah yang baru.

5. Artikel Bernard Bizet berjudul Deconcentration versus

Decentralisation of Administration in France: A Centre-Periphery

Dilemma (Canadian Journal of Regional Science, 2002). Artikel ini

menceritakan sejarah desentralisasi dan dekonsentrasi di Perancis

sejak tahun 1960-an. Pada awal 1960, dekonsentrasi dilakukan

dengan merelokasi instansi pusat ke provinsi sebagai ekspresi

rasionalisasi dan modernisasi organisasi. Hal ini dilakukan sebagai

alternatif dari desentralisasi penuh, dan bertujuan mentransfer

kewenangan – besar atau kecil – kepada pejabat lokal yang dipilih.

Semenjak awal 1980, dekonsentrasi ditempuh sebagai komplemen

dari desentralisasi, dengan maksud agar pemerintah lebih sensitif

dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan rakyat lokal.

Meskipun demikian, hingga tahun 2000-an masih ada pertanyaan

tentang fungsi yang semestinya masih dipegang oleh pusat atau

dilimpahkan kepada daerah.

Salah satu manfaat dekonsentrasi di Perancis adalah

- 31 -

mengorganisasikan kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh

pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, tumpang tindih

(redundancies) masih terus terjadi antar tingkatan pemerintahan.

Walaupun ada tumpang tindih, namun ada keuntungan lain yakni

kadar fleksibilitas yang dimiliki otoritas daerah dalam menjalankan

program dekonsentrasi, meski masih dikontrol secara ketat oleh

pusat.

Tumpang tindih antara fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi di

Perancis ini cukup memberi gambaran bahwa kedua fungsi tadi

memang tidak dapat dipisahkan secara tegas, dan hal ini sangat

bermanfaat untuk menjadi dasar analisis dari disertasi ini. Hal yang

terpenting adalah bahwa meskipun ada tumpang tindih, namun

harus ada kemanfaatan yang terukur dari kedua fungsi tersebut.

6. Ronald Adamtey dalam disertasi berjudul Devolution and

Deconcentration in Action: A Comparative study of Five Municipal

Health Directorates in Ghana (Institute of Development Study,

University of Sussex, 2012). Publikasi ini menjelaskan proses

dekonsentrasi kesehatan di Ghana. Sampai dengan tahun 1980,

sistem pemerintahan Ghana sangat sentralistis. Pelayanan

kesehatan sangat buruk disebabkan oleh kurangnya SDM

professional dan anggaran yang sangat minim. Dibawah skema

structural adjustment loan pertengahan 1980-an, Ghana

melakukan reformasi dengan melimpahkan kewenangan bidang

kesehatan kepada provinsi. Kewenangan yang dilimpahkan itu

meliputi upaya pencegahan, pengobatan, rehabilitasi, dan promosi

kesehatan, baik di level provinsi, distrik, sub-distrik, bahkan level

- 32 -

komunitas.

7. Artikel Paul Bernard berjudul Decentralisation and

Deconcentration: The French Experience (2005). Artikel ini

menjelaskan tentang sejarah dekonsentrasi di Perancis. Revolusi

tahun 1789 membentuk negara kesatuan Perancis yang modern dan

sentralistis. Namun semenjak Konstitusi ke-3 dan ke-4 (3rd and 4th

Republic), Perancis melakukan desentralisasi dengan memberi

kekuasaan kepada anggota dewan yang terpilih dari Department

dan Commune. Selanjutnya, berdasarkan konstitusi ke-5 (5th

Republic), dekonsentrasi dikembangkan sebagai konsekuensi logis

dari desentralisasi.

Atas dasar review literatur tentang dekonsentrasi tersebut,

maka penulis dapat menegaskan bahwa disertasi ini memiliki

originalitas yang tinggi. Obyek penelitian tentang tingkat relevansi

dekonsentrasi ini belum diteliti secara spesifik oleh penelitian

sebelumnya sehingga menjadi pembeda antara disertasi ini dengan

publikasi lain tentang dekonsentrasi. Selain itu, selama ini ada

kecenderungan bahwa dekonsentrasi dikaji tanpa memperhatikan

implikasi terhadap fungsi desentralisasi. Sedangkan disertasi ini berani

mengkaitkan antara dekonsentrasi dengan desentralisasi, yakni

ketidakefektivan dalam pengelolaan program dekonsentrasi dapat

berimplikasi pada kebutuhan untuk pengalihan anggaran dari anggaran

pusat (cq. kementerian) menjadi anggaran daerah otonom selaku

pelaksana fungsi desentralisasi. Sebaliknya, jika fungsi dekonsentrasi

tetap ingin dipertahankan, maka diperlukan pembenahan yang serius

terhadap manajemen dekonsentrasi (perencanaan, penganggaran,

- 33 -

kelembagaan, dan seterusnya) agar lebih efektif dan tidak overlap

dengan manajemen desentralisasi.

G. Sistematika Penulisan

Dalam rangka menjawab pertanyaan besar penelitian serta

pertanyaan derivatifnya sebagaimana disebutkan diatas, akan

dilakukan dengan melakukan pengerangkaan (structuring) kedalam

batang tubuh disertasi. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam

menguraikan permasalahan sekaligus memberikan gambaran besar

tentang hasil akhir yang ingin diwujudkan dalam penelitian ini.

Jika dalam tahap analisis digunakan pola penalaran induktif,

maka struktur penelitian dan sistematika pelaporan menggunakan

penalaran deduktif. Artinya, dari bab pendahuluan hingga bab penutup

muatan yang ada didalamnya dimulai dari yang bersifat umum dan

lebar untuk kemudian dikerucutkan menjadi lebih padat dan sempit.

Pola deduktif dalam sistematika tadi dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bab I Pendahuluan.

Bab ini berisi tentang fenomena-fenomena umum tentang

dekonsentrasi yang menjadi titik awal yang menarik minat peneliti

untuk menelusuri lebih lanjut. Selain itu, bab ini juga memberikan

penekanan tentang pokok permasalahan yang menjadi intisari dari

penelitian ini. Hal penting lain dari bab ini adalah kerangka pikir

yang memberikan guidance tentang dimensi-dimensi yang akan

diteliti serta pentahanapnnya.

2. Bab II Kerangka Pikir dan Metode Penelitian.

Bab ini dimaksudkan untuk memberi cara dan alur berpikir untuk

- 34 -

menjawab pertanyaan penelitia, pendekatan yang digunakan, dan

hubungan antar aspek yang menggambarkan bagaimaan tujuan

penelitian dapat terjawab. Selanjutnya dipaparkan juga aspek

metodologis yang meliputi metode yang digunakan, teknik

pengumpulan data, pemilihan responden dan instrumentasi, teknik

analisis dan interpretasi data, serta alasan pemilihan lokus dan

fokus penelitian.

3. Bab III Review Teoretik Tentang Dekonsentrasi.

Bab ini mencoba mengembangkan perdebatan teoretik tentang

dekonsentrasi, dengan lebih mengarahkan pada praktek

dekonsentrasi di negara berkembang. Teori-teori yang akan

diangkat dalam bab ini antara lain konsep dasar desentralisasi dan

dekonsentrasi dan sistem otonomi dalam negara kesatuan dan

negara federal. Selain itu, Bab ini juga akan mengelaborasi praktek

dekonsentrasi di beberapa negara berbentuk kesatuan (unitary

states). Dari penelusuran lintas negara ini diharapkan dapat ditarik

sebuah kerangka perbandingan, untuk selanjutnya dapat

diidentifikasikan lesson learned dari setiap pola dekonsentrasi di

negara yang dikaji.

4. Bab IV Tinjauan Normatif dan Empiris Pelaksanaan

Dekonsentrasi di Indonesia

Bab ini sudah sangat spesifik dengan khusus membahas tentang

implementasi dekonsentrasi di Indonesia, baik dilihat dari konteks

historis, normatif, maupun empirisnya. Selain itu, dalam bab ini

juga akan diuraikan tentang dimensi manajerial dan dimensi

substansial kebijakan dekonsentrasi, serta perkembangan

- 35 -

perangkat pemerintah pusat yang menjalankan fungsi

dekonsentrasi.

5. Bab V Konteks Dekonsentrasi dalam Pembangunan Bidang

Sosial dan Pembangunan Daerah

Bab ini memaparkan tentang setting/konteks dekonsentrasi dalam

hubungannya dengan sistem/kebijakan pembangunan bidang

kesejahteraan sosial dan pembangunan daerah. Termasuk dalam

bab ini adalah informasi terkait karakteristik daerah lokus secara

umum, misalnya menyangkut indikator-indikator makro

pembangunan seperti kondisi geografis dan demografis; potensi

sektor-sektor perekonomian; kinerja pemerintahan daerah dalam

pembangunan manusia (human development); serta prestasi dalam

sektor-sektor lainnya seperti penarikan investasi, perbaikan

infrastruktur, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan

sebagainya. Selain itu, akan disajikan juga berbagai data yang

berhubungan dengan aspek penyelenggaraan pemerintahan,

misalnya perkembangan anggaran daerah (PAD maupun dana

perimbangan). Urgensi paparan tentang setting atau

kontekstualisasi dekonsentrasi ini adalah untuk mencoba menarik

keterkaitan antara kebijakan dan implementasi dekonsentrasi

dengan hasil-hasil nyata pembangunan pada sektor tertentu.

6. Bab VI Relevansi Dekonsentrasi Bidang Sosial Berdasarkan

Efektivitas Pengelolaannya

Bab ini berisi analisis kasus tentang praktek dekonsentrasi di

bidang sosial, untuk melihat apakah kondisi kesenjangan

sebagaimana dipaparkan pada kerangka pikir benar-benar terjadi

- 36 -

atau tidak. Jika benar terjadi, apa yang menyebabkan hal tersebut

dan langkah antisipasi apa yang diperlukan untuk mengatasi

kondisi saat ini atau menyempurnakan pada masa yang akan datang.

Dengan demikian, analisis kasus ini sekaligus berfungsi sebagai

alat uji teori dalam prakteknya.

7. Bab VII Penutup

Bab ini dapat dikatakan sebagai produk atau hasil akhir dari

rangkaian panjang penelitian. Pola dekonsentrasi (normatif dan

empiris) yang ada saat ini akan dicoba untuk dibangun / didesain

kembali dengan menawarkan beberapa rekomendasi yang disertai

dengan keunggulan dan kelemahannya. Selanjutnya, rekomendasi

disertasi ini diharapkan menjadi policy agenda untuk

menyempurnakan implementasi dekonsentrasi maupun regulasi di

bidang pemerintahan daerah pada umumnya.

- 37 -

BAB II

KERANGKA PIKIR DAN METODOLOGI PENELITIAN

A. Kerangka Pikir Penelitian (Logical Framework of Research)

Ide dasar disertasi ini sangat sederhana, yakni mencermati

praktek kebijakan dekonsentrasi yang berlangsung selama ini, dan

keinginan untuk melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan untuk

masa yang akan datang. Dengan demikian, langkah pertama dalam

membangun konsep yang utuh tentang dekonsentrasi adalah dengan

mengidentifikasikan fenomenal-fenomena dan fakta-fakta empiris

dekonsentrasi (existing condition). Selanjutnya, untuk menjelaskan

mengapa fenomena itu terjadi atau mengapa fakta tersebut muncul,

maka digunakanlah 3 (tiga) pendekatan yaitu:

1. Pendekatan akademik / teoretik. Pendekatan ini mencoba

mengelaborasi konsep dasar dekonsentrasi dan kaitannya dengan

dekonsentrasi, serta model penerapan dekonsentrasi di negara

berbentuk kesatuan (unitary states). Meskipun Indonesia -- sebagai

locus dan obyek penelitian -- adalah negara kesatuan, namun telaah

teoretik dalam disertasi ini tidak secara spesifik memfokuskan pada

pengembangan dekonsentrasi di negara kesatuan. Sebab,

desentralisasi dan dekonsentrasi sesungguhnya bersifat umum dan

dapat diterapkan di berbagai bentuk negara manapun, baik

kesatuan, federal / serikat, maupun konfederasi.

2. Pendekatan komparasi dan experimental. Pendekatan ini

digunakan untuk melihat dan membandingkan pelaksanaan

dekonsentrasi di beberapa negara. Penelitian ini ingin

- 38 -

memfokuskan pada beberapa negara berbentuk kesatuan. Dari

pengalaman berbagai negara tadi diharapkan dapat diketahui sisi-

sisi positif yang mungkin dapat direplikasikan untuk konteks

Indonesia.

3. Pendekatan normatif empirik. Pendekatan ini dimaksudkan untuk

menguraikan kaidah-kaidah yuridis dalam tata peraturan

perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang

dekonsentrasi, baik pada level undang-undang, peraturan

pemerintah, atau aturan yang lebih rendah.

Dari ketiga pendekatan diatas, diasumsikan akan ditemukan

sejumlah kondisi kesenjangan (gap condition), yakni kesenjangan

antara praktek saat ini dengan dasar teoretis (conceptual gap), variasi

dan perbedaan penerapan dekonsentrasi antar negara (experiential

variation), serta kesenjangan antara ketentuan yuridis formal dengan

penerapannya (implementation gap). Dengan diketahuinya

kesenjangan (gap) tersebut, diharapkan dapat dilakukan diagnosa atau

pendeteksian tentang titik-titik atau celah-celah yang masih lemah dan

harus dibenahi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi

penyelenggaraan pemerintahan.

Tiga pendekatan dan tiga kondisi kesenjangan diatas pada

gilirannya akan dijadikan sebagai bahan untuk merumuskan atau

mendesain konsep dekonsentrasi yang lebih tepat untuk sebuah negara

kesatuan seperti Indonesia. Dan hasil rekonstruksi konsep

dekonsentrasi tadi selanjutnya diharapkan membawa dua manfaat

utama, yakni memperkaya khazanah akademik tentang teori-teori

dekonsentrasi, serta menawarkan model-model alternatif

- 39 -

dekonsentrasi di Indonesia dalam rangka penyempurnaan kebijakan di

bidang Management pemerintahan secara umum dan kebijakan

otonomi daerah pada khususnya.

Dengan demikian, produk akhir dari proses rekonstruksi

dekonsentrasi sesungguhnya masih merupakan embrio yang tidak

memiliki makna jika tidak terinternalisasi dalam substansi kebijakan

pemerintah. Dalam hubungan ini, keseriusan para pemangku kebijakan

(policy holder) untuk mengevaluasi praktek penyelenggaraan

dekonsentrasi secara komprehensif menjadi kebutuhan yang señalan

dengan penelitian ini. Secara diagramatis, kerangka pikir sebagaimana

dijelaskan diatas dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Disertasi

- 40 -

B. Metodologi Penelitian

1. Metode yang Digunakan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif. Sesuai dengan karakteristik pertanyaan penelitian dan

tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini lebih bersifat

exploratif, yakni ingin menggali sebanyak mungkin dan sedalam

mungkin informasi yang dapat mengungkap atau menjawab

permasalahan penelitian. Oleh karena metode yang digunakan

adalah penelitian kualitatif, maka instrumen dan pedoman

wawancara yang disusun dalam penelitian ini bersifat terbuka dan

umum. Dari sifatnya yang terbuka dan umum tadi akan terus

dikembangkan dan muncul pertanyaan-pertanyaan baru, issu-issu

baru, atau aspek-aspek baru yang relevan dengan tema besar

penelitian, seiring dengan proses yang berjalan (snowball). Dengan

demikian, metode kualitatif ini diharapkan dapat menggambarkan

realitas obyek penelitian (yakni dekonsentrasi) yang kompleks,

untuk selanjutnya memberikan penafsiran dan pemaknaan, disusul

dengan mengkaitkan hasil analisis dengan teori yang sudah ada. Ini

berarti bahwa metode kualitatif akan memiliki kontribusi terhadap

pengembangan teori dan konsep dari obyek yang diteliti (dalam hal

ini adalah dekonsentrasi).

Dilihat dari kasus yang diteliti yakni dekonsentrasi bidang

sosial, serta lokus terpilih yakni Provinsi Kalimantan Tengah, maka

penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian studi kasus

(case study). Sebagai sebuah studi kasus, maka temuan dan hasil

- 41 -

analisis dalam disertasi ini tidak berlaku dan tidak dapat

digeneralisasikan untuk bidang lain atau daerah lain. Sebab,

karakteristik dekonsentrasi pada bidang atau daerah lain sangat

mungkin berbeda dengan yang ditemukan di bidang sosial dan di

Kalimantan Tengah. Namun mengingat pola pengelolaan

dekonsentrasi bersifat top down yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan, maka antar daerah memiliki kemungkinan

kesamaan yang cukup banyak. Oleh karenanya, rekomendasi

disertasi ini dapat dipertimbangkan untuk membenahi

problematika pengelolaan dekonsentrasi pada bidang atau daerah

lain, meskipun masih membutuhkan kajian yang lebih spesifik.

Selain itu, dilihat dari pemanfaatan hasil penelitian untuk

perbaikan kebijakan, maka metode penelitian ini dapat pula

dikatakan sebagai penelitian evaluasi. Sebagaimana dikatakan oleh

Arikunto (2007), evaluasi merupakan kegiatan untuk

mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang

selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan

alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama

evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi-informasi

yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan

kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah

dilakukan. Meskipun demikian, perlu ditegaskan disini bahwa

peneltian ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi dampak dari

pelaksanaan dekonsentrasi, namun lebih ingin membuktikan

tingkat efektivitas pengelolaan dekonsentrasi untuk kemudian

dianalisis tingkat relevansinya sebagai instrumen untuk

- 42 -

menegakkan kepentingan pusat dalam sistem penyelenggaraan

pemerintahan di level daerah.

2. Operasionalisasi Variabel

Disertasi ini pada dasarnya hanya mengeksplorasi satu variabel

yakni relevansi dekonsentrasi. Namun untuk menjelaskan tentang

relevansi tersebut, dipergunakan 1 (satu) variabel penjelas yakni

efektivitas pengelolaan dekonsentrasi. Dengan demikian,

“relevansi” merupakan variabel utama atau variabel tunggal

penelitian, sedangkan efektivitas pengelolaan menjadi explaining

variable (variabel yang menjelaskan variabel tunggal). Karena

“efektivitas pengelolaan” menjelaskan “relevansi”, maka semakin

tinggi pengelolaan dekonsentrasi dalam berbagai dimensinya akan

meningkatkan kadar relevansi dekonsentrasi. Sebaliknya, semakin

buruk pengelolaan dekonsentrasi, maka semakin rendah

urgensinya.

Selanjutnya, variabel penjelas ini dijabarkan kembali dalam 5

(lima) dimensi, yakni program dan kegiatan, anggaran/pembiayaan,

kelembagaan, mekanisme perencanaan, dan regulasi. Masing-

masing dimensi memiliki kriteria tersendiri untuk disimpulkan

tingkat efektivitasnya. Tentu saja, kadar efektivitas pengelolaan

dekonsentrasi berdasarkan kelima dimensinya akan sangat

tergantung pada kondisinya masing-masing.

Dalam bentuk tabel, operasionalisasi variabel ini dapat diurai

sebagai berikut:

- 43 -

Tabel 2.1.

Operasionalisasi Variabel Penelitian

Variabel

Utama

Variabel

Penjelas Dimensi Kriteria

Relevansi Dekon-

sentrasi

Efektivitas Pengelolaan

Dekon-

sentrasi

Program/ Kegiatan

• Adanya kesamaan/

tumpang tindih antar program

Anggaran/

Pembiayaan • Kemampuan dalam

membangun kinerja

• Ketergantungan daerah

• Tren proporsi dana

dekon dengan dana TP

Kelembagaan • Keberadaan “instansi

vertikal”

• Beban kerja perangkat

daerah

Mekanisme

Perencanaan • Proses pengusulan dan

penetapan program

Regulasi • Fungsi NSPK

• Substansi kebijakan

pelimpahan wewenang

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendukung kerangka penelitian kualitatif sebagaimana

disebutkan diatas, maka dalam penelitian ini akan dipergunakan

teknik pengumpulan data sebagai berikut:

• In-depth interview (wawancara mendalam).

Teknik ini dimaksudkan untuk mendapatkan informasi yang

mendalam, berupa persepsi, pengalaman, atau pengakuan dari

tokoh-tokoh kunci (key informants). Data dan informasi yang

diperoleh dari wawancara mendalam ini biasanya tidak terdapat

pada dokumen atau data sekunder lainnya. Dalam kaitan

dengan obyek disertasi, maka wawancara akan dilakukan

- 44 -

terhadap pakar-pakar dibidang administrasi publik, manajemen

pemerintahan, dan desentralisasi atau dekonsentrasi secara

lebih spesifik. Selain itu, pejabat-pejabat kunci pemerintahan

baik yang masih menjabat maupun yang telah melepaskan

jabatannya diharapkan dapat dijadikan sebagai responden

kunci untuk memberikan pengalaman selama bekerja di tempat

tugasnya masing-masing.

• Observasi (pengamatan). Teknik ini diterapkan dengan cara

melihat langsung secara insidental praktek penyelenggaraan

dekonsentrasi, serta dengan menggali pengalaman dari

pegawai di tingkat operasional (pelaksana). Teknik yang sama

juga akan diterapkan dengan cara mengikuti pertemuan terkait

dekonsentrasi.

• Telaah literatur dan dokumentasi, yang digunakan untuk

menggali informasi yang bersifat teoretis dan terdapat di

berbagai jurnal, hasil kajian, laporan penelitian, atau publikasi

lainnya. Mengingat sumber yang tidak terbatas, maka dalam

menerapkan telaah ini dilakukan seleksi terhadap informasi-

informasi atau teori-teori yang relevan dengan tema di.sertasi.

Teori-teori yang diperoleh selanjutnya dipergunakan sebagai

alat analisis (analysis tool) untuk menguraikan dan/atau

menjelaskan pertanyaan dan masalah penelitian. Termasuk

dalam teknik ini adalah penggalian data-data berupa berita di

media cetak dan elektronik, baik yang tersaji di internet (online

edition) maupun secara tercetak (printed edition).

- 45 -

4. Responden / Sumber Informasi

Dengan demikian, penetapan sumber data (sample) untuk

menggali berbagai informasi yang dibutuhkan tidak bersifat

representative melainkan purposive, khususnya dalam penetapan

responden kunci yang akan diwawancara. Dalam kaitan ini, jumlah

responden juga bisa mengalami penambahan (snow-ball) sesuai

kebutuhan sepanjang proses penelitian berlangsung.

Meskipun demikian, untuk memberikan panduan awal,

rancangan tentang karakteristik responden beserta jenis data yang

dibutuhkan, jelas akan sangat membantu kelancaran penggalian

data serta keakurasian informasi yang diperlukan untuk analisis

selanjutnya. Untuk itu, penulis mengusulkan daftar responden

sebagai nara sumber kunci dalam penulisan disertasi ini, seperti

dapat dilihat pada Lampiran 1.

5. Jenis Data / Informasi

Pada dasarnya, penulisan dan analisis dalam disertasi ini akan

memanfaatkan seluruh data sepanjang memiliki relevansi dengan

substansi dan metodologi yang diinginkan. Adapun jenis-jenis data

tersebut dapat dirinci menjadi 3 (tiga) kelompok sebagai berikut:

a. Data primer, ditempuh melalui wawancara mendalam (indepth

and semi-structured interview) dengan nara sumber kunci (key

person), baik pengambil kebijakan, pakar, maupun pelaku

kebijakan. Data primer ini digali dengan menggunakan

instrumen berupa Pedoman Wawancara. Bentuk data yang

digali antara lain meliputi persepsi tentang urgensi

- 46 -

dekonsentrasi, model-model kelembagaan dan mekanisme

perencanaan dekonsentrasi, dan butir-butir sebagaimana

dielaborasi pada Tabel 2.1.

b. Data sekunder, antara lain berupa dokumentasi kebijakan pada

masa silam yang berkenaan dengan implementasi

dekonsentrasi. Selain itu, laporan-laporan tahunan pelaksanaan

program dekonsentrasi atau pertanggungjawaban pengelolaan

dana dekonsentrasi, juga menjadi target dokumentasi yang

harus diperoleh untuk mendukung proses analisis dan

interpretasi data. Beberapa bentuk konkrit dari data sekunder

ini antara lain Peratutran Menteri yang mengatur tentang

pelimpahan wewenang kepada gubernur atau substansi NSPK

lainnya, data tentang rincian program dan kegiatan

dekonsentrasi, data kelembagaan, rincian anggaran

dekonsentrasi maupun anggara DIPA dan APBD bidang sosial,

dan sebagainya.

c. Data tersier, misalnya berupa publikasi berbentuk jurnal, buku-

buku, berita koran, atau publikasi online di internet. Jenis data

ini terutama penting untuk memperkuat kerangka konseptual,

analisis teoretik dan literature review untuk menopang

penulisan disertasi.

6. Teknik Analisis dan Interpretasi

Teknik analisis yang digunakan adalah teknik deskriptif dengan

pola penalaran induktif, artinya penelitian ini dimulai dari proses

pengumpulan fakta yang berserakan, kemudian dilakukan

- 47 -

penyeleksian terhadap relevansi dengan substansi, dan selanjutnya

dicari kesesuaian diantara fakta-fakta tersebut sehingga fakta-fakta

tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Hal ini dilakukan

secara berulang-ulang sejak tahap awal hingga tersusunnya hasil

penelitian secara lengkap. Dengan kata lain, pola penalaran

induktif ini tidak berjalan linier, tetapi lebih banyak bekerja secara

siklistis dan berputar (sirkuler). Dalam penelitian kualitatif yang

bersifat eksploratif dan menggunakan pola penalaran induktif ini,

penelitian dianggap selesai jika tidak ada lagi fakta-fakta dan

informasi yang dianggap baru (jenuh). Adapun hasil dari pola

penalaran induktif ini adalah terbangunnya model, pola, atau

bahkan juga teori.

Untuk menguji keabsahan data dan instrumen yang digunakan,

serta akurasi analisis data, maka penulis akan menerapkan teknik

triangulasi, dalam hal ini dengan melakukan focused group

discussion (FGD) atau expert panel dengan mengundang beberapa

pakar, kolega, dan narasumber yang dipandang memiliki

pengetahuan dan keahlian dibidang yang relevan. FGD / expert

panel sebagai teknik triangulasi ini akan dilakukan minimal dua

kali dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Pada tahap pengumpulan data. FGD pada tahap ini sekaligus

merupakan bagian dari pengumpulan data, dan berfungsi untuk

memverifikasi policy issues dan research questions. FGD akan

difokuskan pada pemetaan masalah dan hubungan

kausalitasnya, untuk kemudian akan digabung dengan data

sekunder dan hasil wwancara untuk memperkuat validitas data

- 48 -

penelitian.

2. Pada tahap setelah dihasilkan analisis dan interpretasi data.

FGD pada tahap ini lebih berfungsi untuk memverifikasi hasil

analisis, temuan, dan rekomendasi, serta difokuskan pada hasil

penelitian untuk memperkuat validitas hasil dan rekomendasi,

sehingga memperkuat probabilitas untuk implementasi yang

lebih baik.

Dengan melakukan FGD / expert panel ini diharapkan

kesimpulan dan rekomendasi akhir penelitian ini memiliki kadar

verifikasi ilmiah yang lebih baik sehingga memiliki kemungkinan

untuk diimplementasikan secara lebih baik pula.

7. Pemilihan Lokus dan Fokus Penelitian

Penelitian ini secara bertujuan (purposive) menetapkan

Provinsi Kalimantan Tengah sebagai lokus analisis. Alasan spesifik

memilih Kalimantan Tengah sebagai lokus adalah adanya

pertimbangan bahwa semenjak 2005 Gubernur telah mengeluarkan

pernyataan yang berisi keluhan dan pemikiran tentang penerapan

dekonsentrasi di daerah. Beberapa keluhan yang dilontarkan ke

berbagai media antara lain meliputi tidak dilibatkannya Gubernur

dalam penyusunan program pemerintah yang ditujukan bagi daerah,

tidak fokusnya pembangunan daerah, banyaknya anggaran yang

tidak efisien karena tumpang tindih, serta kurangnya kepercayaan

pusat kepada daerah.

Pernyataan Gubernur tadi bagi penulis merupakan sebuah

konfirmasi mengenai aktualitas permasalahan yang ada, sehingga

- 49 -

penulis tidak perlu melakukan penelitian pendahuluan (preliminary

study) tentang daerah-daerah yang memiliki masalah dalam

implementasi kebijakan dekonsentrasi. Berbagai hal yang

dikeluhkan dan pemikiran-pemikiran alternatif dari Gubernur dan

perangkat daerah itulah yang akan dielaborasi lebih jauh dalam

penelitian disertasi ini.

Selain lokus pada level daerah, penelitian ini juga menetapkan

Kementerian Sosial sebagai lokus sekaligus fokus analisis.

Pertimbangan dalam menetapkan instansi tersebut karena urusan

sosial merupakan urusan pemerintahan yang tidak banyak menarik

perhatian pemerintah, sehingga sering tidak menjadi prioritas

dalam rencana pembangunan baik pada jangka pendek, menengah,

maupun panjang. Karena tidak menjadi prioritas, maka alokasi

anggaran yang bersumber dari APBD juga relatif kecil, sehingga

pelayanan kepada masyarakat dengan kebutuhan sosial tertentu,

seperti penyakit masyarakat (PSK, anak terlantar, gelandangan dan

pengemis), penduduk jompo/manula, korban bencana alam, dan

sebagainya, kurang tertangani dengan baik. Perhatian yang tidak

seimbang terhadap sektor tertentu ini akan berimplikasi pada

besaran anggaran yang dialokasikan pada sektor tersebut, dan

berpeluang membuat kesenjangan antar sektor menjadi semakin

lebar. Untuk itulah, mengkaji tingkat efektivitas program (cq.

Dekonsentrasi) pada sektor yang bukan primadona menjadi

penting.

Dalam konteks Kalimantan Tengah, sangat kebetulan bahwa

sektor sosial juga bukan merupakan prioritas dalam RPJMD, dan

- 50 -

sering muncul sinyalemen untuk mengandalkan pembiayaan sektor

sosial dari pemerintah pusat. Padahal, permasalahannya bukan

pada sumber pembiayaannya, namun lebih pada bagaimana

mengelola program dan anggaran (bidang sosial) secara benar dan

efektif dapat mencapai tujuan strategis yang diharapkan.

Atas dasar pemikiran diatas, maka pemilihan lokus dan fokus

ini diharapkan dapat menghasilkan analisis keterkaitan antara

keduanya, yakni antara sektor sosial dengan praktek di daerah

lokus, sehingga dapat memberikan hasil yang saling mengoreksi

atau saling mengkonfirmasi.

Dengan pemilihan locus dan focus ini, maka dapat dikatakan

penelitian ini sebagai sebuah study kasus (case study) yang hanya

valid analisis maupun temuan dan rekomendasinya untuk sektor

sosial dan Kalimantan Tengah saja. Dengan demikian, disertasi ini

mengabaikan atau tidak meneliti daerah lain dan sektor lain,

sementara hasilnya juga tidak dapat dijadikan untuk digeneralisasi

pada sektor lain dan daerah lain.

- 51 -

BAB III

REVIEW TEORETIK TENTANG DEKONSENTRASI

A. Konsep Dasar Dekonsentrasi

Menurut World Bank (www1.worldbank.org/publicsector/

decentralization), dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari

desentralisasi yang pada umumnya digunakan di negara kesatuan.

Dekonsentrasi mendistribusikan kewenangan pengambilan keputusan,

keuangan, dan tanggungjawab kepada pemerintah daerah di berbagai

tingkatan (Deconcentration is the weakest form of decentralization and

is used most frequently in unitary states – redistributes decision making

authority and financial and management responsibilities among

different levels of the national government). Dekonsentrasi dapat

berwujud peralihan tanggungjawab dari pejabat di pusat kepada

pejabat yang berada di daerah (provinsi maupun kabupaten/kota), dan

dapat menciptakan pemerintahan wilayah yang kuat (strong field

administration) dibawah pengawasan instansi pusat.

Sementara itu Robertson Work (2002: 6) mengemukakan

pendapat bahwa Deconcentration refers to the transfer of authority and

responsibility from one level of the central government to another while

maintaining the same hierarchical level of accountability from the

local units to the central government ministry or agency, which has

been decentralized. Atas dasar hal ini, Work menegaskan bahwa

dekonsentrasi dapat dilihat sebagai tahap awal terbentuknya

pemerintahan yang terdesentralisasi untuk meningkatkan pelayanan

publik.

- 52 -

Senada dengan pendapat Work, Hellmut Wollman (2007: 9-10)

menulis bahwa dekonsentrasi dapat dilihat sebagai “munisipalisasi

terbatas” (limited municipalisation). Artinya, pejabat di daerah dan

instansi induknya di pusat dapat berlaku sebagai “instansi lokal” bagi

urusan pemerintahan (local “agents” of state administration).

Diantara beberapa pendapat diatas, kajian Jesse Ribot (2004)

dan Hutchcroft (2001) mungkin dapat menjadi referensi mengenai arti

dekonsentrasi. Menurut Ribot (2004: 9), dekonsentrasi berkaitan

dengan transfer kewenangan dari aparat pusat kepada pejabatnya di

tingkat “cabang”, misalnya prefect, administrator, agen lini di daerah

lainnya. Sedangkan Hutchcroft menyatakan bahwa dekonsentrasi

berkaitan dengan transfer antar unit dalam internal organisasi

(intraorganizational transfer) dari pemerintah pusat kepada unit atau

pejabatnya di daerah. Instansi induk tetap memegang sebagian besar

kewenangan atas isi kebijakan, meskipun kepada pejabat dan unit di

daerah tadi telah dilimpahkan kewenangan tertentu.

Dari berbagai pandangan para pakar dapat disimpulkan bahwa

dekonsentrasi adalah konsep kewilayahan, geografis, atau lokasional.

Sebagaimana ditegaskan oleh Boeckenfoerde et.al. (2007: 7),

dekonsentrasi meliputi upaya memencarkan pejabat untuk

menjalankan fungsi administratif atau manajerial dari satu atau

beberapa lokasi ke beberapa atau banyak lokasi, namun tugas-tugas

administratif tersebut masih merupakan bagian dari pemerintah pusat.

B. Manfaat Dekonsentrasi

Selain tujuh manfaat yang dikemukakan Turner diatas,

- 53 -

dekonsentrasi menurut Bizet (2002: 478-479) juga memberi manfaat

untuk mengkombinasikan tindakan pemerintah pusat dan pemerintah

daerah. Meskipun redundansi masih terjadi karena kompleksitas

tindakan pemerintah, namun dekonsentrasi akan memberi keuntungan

berupa derajat fleksibilitas yang lebih tinggi, membuat pemerintah

lebih sensitif dalam pengambilan keputusan yang menyangkut rakyat

lokal, serta menciptakan prosedur yang lebih kompetitif antara

tindakan yang dilakukan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Sementara itu, kerangka kebijakan di Indonesia mengarahkan

dekonsentrasi untuk mencapai tujuan mendapatkan efisiensi dan

efektivitas dalam pengelolaan pemerintahan, pembangunan, dan

pelayanan umum, serta untuk menjamin hubungan yang serasi antara

Pemerintah dan Daerah, serta antar Daerah. Hal ini secara eksplisit

tertuang dalam konsiderans PP Nomor 39/2001 tentang

Penyelenggaraan Dekonsentrasi. Sayangnya, manfaat seperti ini hanya

menjadi formalitas belaka karena tiadanya indikator untuk mengukur

pencapaian tujuan tersebut.

C. Relasi Desentralisasi – Dekonsentrasi

Dalam khazanah akademik, dekonsentrasi selama ini lebih

sering dipandang sebagai bagian dari desentralisasi. Sebagaimana

dikemukakan oleh Rondinelli (1999), desentralisasi terdiri dari 4

(empat) jenis, yakni desentralisasi politik (political decentralization),

desentralisasi administratif (administrative decentralization),

desentralisasi fiskal (fiscal decentralization), serta desentralisasi pasar

(market decentralization). Pembagian kedalam 4 (empat) jenis inilah

- 54 -

yang merupakan pemahaman umum desentralisasi. Desentralisasi

administratif sendiri dibagi lagi menjadi dekonsentrasi, delegasi, dan

devolusi. Dibandingkan delegasi dan devolusi, dekonsentrasi adalah

bentuk desentralisasi yang paling lemah, karena tidak berimplikasi

terjadinya transfer kewenangan riil dari Pusat kepada Daerah. Delegasi,

secara konseptual, lebih luas dibanding dekonsentrasi, sedangkan

devolusi mencerminkan adanya kemauan politik yang kuat dari

pemerintah Pusat untuk memberikan kewenangan yang luas kepada

daerah-daerah di wilayahnya.1

Dalam ranah desentralisasi administratif tadi terjadi perdebatan

tentang devolusi (atau desentralisasi dalam arti sempit) dan

dekonsentrasi. Tabel berikut memberi ilustrasi tentang ragam

pemaknaan desentralisasi dan dekonsentrasi secara teoretik.

Tabel 3.1. Ragam Definisi dan Interpretasi Desentralisasi –

Dekonsentrasi Sumber Desentralisasi / Devolusi Dekonsentrasi

World Bank http://www.ciesin.

org/decentralizati

on/English/General/Different_form

s.html

Decentralization is the

transfer of authority and responsibility for public

functions from the central

government to

Deconcentration is the

weakest form of decentralization and is used

most frequently in unitary

states – redistributes

1 Untuk diskusi selanjutnya dalam disertas ini, desentralisasi administratif yang

meliputi tiga kategori (dekonsentrasi, delegasi dan devolusi) disebut dengan

desentralisasi dalam arti luas. Sedangkan devolusi dimaknai sebagai desentralisasi

dalam arti sempit. Dengan demikian, penyebutan istilah “desentralisasi” dalam

disertasi ini lebih merujuk pada devolusi. Padanan kata desentralisasi dan

dekonsentrasi ini sesuai dengan pandangan Ribot (2004: 9) yang menyebutkan devolusi sebagai padanan desentralisasi politis (political decentralization) atau

desentralisasi demokratis (democratic decentralization). Bahkan menurut Ribot

(2004: 8), desentralisasi selalu menjelma dalam 2 (dua) bentuk utama, yakni

democratic decentralization (dikenal juga dengan political decentralization atau

devolution), dan deconcentration (dikenal juga dengan administrative

decentralization).

- 55 -

subordinate or quasi-

independent government organizations and/or

private sector.

Different types of

decentralization show different characteristics,

policy implications, and

conditions for success. Political, administrative,

fiscal, and market

decentralization are the

types of decentralization.

decision making authority

and financial and management responsibilities

among different levels of

the national government.

It can merely shift responsibilities from central

government officials in the

capital city to those working in regions, provinces or

districts, or it can create

strong field administration

or local administrative capacity under the

supervision of central

government ministries.

UNDP http://europeandcis.undp.org/uploads/public/file/Decentralisation%20backgroun

d.doc

Devolution to elected

local bodies is concerned

with the political as well

as the economic (and administrative)

arguments.

Deconcentration is

concerned mainly with the

administrative rationale for

decentralizing, and to some extent with the economic

arguments.

Robertson Work (2002: 5-6)

Devolution refers to the full transfer of

responsibility, decision-

making, resources and

revenue generation to a local level public

authority that is

autonomous and fully independent of the

devolving authority.

Units that are devolved are usually recognized as

independent legal entities

and are ideally elected

(although not necessarily).

Deconcentration refers to the transfer of authority and

responsibility from one

level of the central

government to another while maintaining the same

hierarchical level of

accountability from the local units to the central

government ministry or

agency, which has been decentralized.

Deconcentration can be

seen as the first step in a

newly decentralizing government to improve

service delivery.

Hellmut Wollman (2007:

2-3)

Decentralization has an intrinsically political

implication in that by

Deconcentration is an intrinsically administrative

concept that captures the

- 56 -

way powers and

functions (as well as resources) are assigned to

subnational bodies and

actors that possess some

political autonomy in their own right.

Decentralisation of public

functions to the local government level may be

called municipalisation.

One can speak of “full

municipalisation” of public tasks insofar as the

elected local council

decides, without exception, on their

conduct.

devolution of

(administrative) functions from an upper to a lower

level or unit, typically

through the establishment of

regional or local “field offices” of state

administration. Similarly,

the creation of central level (sectoral) agencies (self-

standing but subordinated to

the respective sectoral

central ministry) are a variant of deconcentration.

Deconcentration can be

seen in what can be called “limited municipalisation”.

The local administration

and its chief executive may come close to acting as

local “agents” of state

administration and to

virtually “integrating” them in state administration.

Jesse C. Ribot

(2004: 8-9)

Decentralization is any

act by which a central government formally

cedes powers to actors

and institutions at lower

levels in a political-administrative and

territorial hierarchy.

Decentralization is effective to the degree

that it meaningfully

represents the local

public – that is, the degree to which local

authorities and

institutions are empowered and

downwardly accountable

Deconcentration concerns

transfers of power to local branches of the central state,

such as prefects,

administrators, or local

technical line ministry agents. These upwardly

accountable bodies are

appointed local administrative extensions of

the central state. Their

primary responsibility is to

central government.

- 57 -

to the local population.

Hutchcroft

(2001: 30)

Devolution, involves a

much more extensive transfer of decision-

making authority and

responsibility to local government units

(commonly regions,

provinces, and/or

municipalities).

Deconcentration, involves

an intraorganizational transfer of particular

functions and workloads

from the central government to its regional or local

offices. The capital retains

the major level of authority

over the content of policies, even if the field offices and

officers are given some

discretion.

McBeath &

Helms (1983:

34-40)

Decentralization involves

transfers of authority to

administer programs,

provide services, and collect and distribute

revenues as well as

transfers of much of the administrative apparatus

for these functions to

subnational governments.

Deconcentration involves

the transfer of authority to

administer government

programs, services, and revenues from the national

government to the states,

provinces, regional centers, or directly to local areas.

Deconcentration is entirely

within the intricate web of inter- governmental

relations.

Selain definisi yang telah dipaparkan diatas, perbedaan antara

devolusi dan dokonsentrasi juga dapat dilihat dari pola transfer

pendanaannya. Dalam devolusi, terjadi proses desentralisasi fiskal,

yakni seperangkat kebijakan yang secara sengaja ditujukan untuk

kemampuan pendapatan pemerintah daerah. Sedangkan dalam

dekonsentrasi, pemerintah dapat melakukan transfer sejumlah dana

tertentu untuk membiayai pelayanan dasar seperti pendidikan,

kesehatan, kesejahteraan, atau perumahan, sepanjang Pemerintah

Daerah belum mempunyai anggaran untuk keperluan tersebut (Falleti

2004: 3).

- 58 -

Dalam prakteknya, dekonsentrasi kerap diasosiasikan sebagai

kebalikan atau dikotomi dari desentralisasi (dalam arti devolusi)

karena lebih menekankan pada distribusi kekuasaan pusat yang

memperkuat dan menstabilkan kekuasaan pusat di daerah. Padahal,

desentralisasi dengan dekonsentrasi bukanlah dua kutub yang saling

bertentangan secara dikotomis. Kedua konsep ini lebih membentuk

sebuh kontinuum. Tentang hal ini, Work (2001, dalam Gera 2008: 103)

menegaskan bahwa desentralisasi bukanlah alternatif dari sentralisasi.

Dalam buku terbitan FAO (2006: 31) juga terdapat penegasan bahwa

“deconcentration and decentralization, far from replacing each other,

have always been considered as complimentary by political decision

makers”. Pernyataan ini menyiratkan bahwa desentralisasi dan

dekonsentrasi dilaksanakan secara simultan dengan kadar yang

berbeda. Ketika pendulum bergerak ke kiri, hal ini menandakan

kecenderungan kearah pemerintahan yang sentralistik, namun

sebaliknya, ketika pendulum bergeser ke kanan, maka kecenderungan

yang terjadi adalah pemerintahan yang lebih terdesentralisasi.

Eko Prasojo (tanpa tahun) juga menandaskan bahwa

sentralisasi dan desentralisasi adalah suatu kontinuum, bukan

dikotomis. Artinya, dalam satu negara tidak mungkin dianut hanya

azas sentralisasi saja untuk semua urusan, sehingga tidak ada

sedikitpun otonomi yang diberikan kepada pemerintahan daerah untuk

mengatur dan mengurus beberapa materi urusan, dan demikian pula

sebaliknya. Atau dalam bahasa McBeath dan Helms (1983: 34),

desentralisasi dan dekonsentrasi sama-sama merupakan instrumen

untuk memperkuat derajat otonomi dalam sebuah negara. Cheema dan

- 59 -

Rondinelli (2007) dalam Picard (2008: 741-742) mengganti istilah

kontinuum dengan hubungan matriks. Dalam kalimat aslinya

dikatakan: “The relationship between devolution and de-

concentration/delegation should not be seen as a dichotomy or as

mutually exclusive, but rather can best be understood as a matrix of

relationships”. 2

Dari pencermatan terhadap berbagai definisi diatas, maka dapat

diperoleh beberapa karaktek dasar yang membedakan desentralisasi

(devolusi) dengan dekonsentrasi, sebagaimana dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 3.2. Komparasi Desentralisasi – Dekonsentrasi

Dimensi Desentralisasi Dekonsentrasi Alasan / dasar

pertimbangan

Politik, ekonomi,

administratif.

Administratif dan ekonomi.

Tujuan Demokratisasi. Efisiensi.

Basis delegasi Teritorial. Fungsional.

Esensi Transfer otoritas dan

tanggung jawab,

termasuk sumber daya

dan (hak penggalian) sumber pendapatan.

Transfer pengambilan

keputusan, dan tanggung jawab

pengelolaan (program dan

keuangan).

Sifat transfer Otoritas penuh dan

pertanggungjawaban penuh.

Negara/pusat masih memegang

tanggungjawab, namun suatu saat bisa ditransfer secara

penuh.

Institusi

Penyelenggara

Pemerintah Daerah

otonom.

Field offices (perangkat Pusat

di daerah (baik jabatan atau unit kerja); atau field administration

or local administrative

(Pemerintahan Administratif).

2 Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, 2007, Decentralizing Governance:

Emerging Concepts and Practices, Washington DC: Brookings Institution Press.

Dikutip dari Louis A. Picard, book review. Lihat di “Publius, The Journal of

Federalism”, Volume 38, Number 4, Fall 2008, hlm. 742, Oxford University Press.

- 60 -

Sedikit uraian tambahan perlu diberikan untuk memperjelas

makna dekonsentrasi, terutama dalam hal perangkat kelembagaan atau

unit instansi penyelenggaranya. Sebagaimana dikemukakan Cheema

dan Rondinelli (1983: 18-25), dekonsentrasi merefleksikan adanya

redistribusi tanggungjawab administratif dari lembaga pemerintah

pusat. Redistribusi tersebut bisa berupa field administration; dan atau

local administration, yang secara konkrit diwadahi dalam kantor-

kantor perwakilan yang berada di setiap wilayah daerah. Dalam kaitan

ini, field administration adalah penempatan kantor-kantor pemerintah

pusat di setiap wilayah daerah yang sering disebut juga regionalisasi.

Umumnya regionalisasi mengarah pada pendistribusian wewenang

pemerintah pusat yang diberikan kepada kantor pusat di daerah dalam

bentuk beberapa pelayanan publik, sehingga menyerupai kantor

cabang. Urusan pelayanan publik itu ada yang sifatnya sektoral dan ada

pula pelayanan yang fungsional. Sedangkan local administration,

adalah jenis desentralisasi yang menjadikan seluruh subordinasi

pemerintahan dalam suatu negara adalah sebagai agen pemerintah

pusat. Biasanya yang menjadi agen pemerintah pusat tersebut adalah

lembaga-lembaga eksekutif.

D. Dua Sisi Desentralisasi – Dekonsentrasi dan Kebutuhan

Sinergi

Sebagai sebuah konsep, baik desentralisasi maupun

dekonsentrasi sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan.

Telaah literatur mengindikasikan banyaknya kontribusi

signifikan dari desentralisasi di berbagai sektor, misalnya dalam

- 61 -

pencegahan dan pemberantasan korupsi (Arikan 2004; Fjeldstad 2004;

Fisman 2002), pengurangan kemiskinan (Braathen 2008; Crook 2001;

UNDP 2000; Moore dan Putzel 1999), peningkatan kualitas pelayanan

(WB 2001; Kolehmainen-Aitken 1999; McLean 1999, Dillinger 1994),

memperkuat akuntabilitas (WB 2000), resolusi konflik (Sasaoka 2007,

Siegle and O’Mahony), ataupun pemberdayaan masyarakat

(Brinkerhoff 2006). Namun disisi lain, desentralisasi juga dapat

menimbulkan persoalan anggaran, meningkatan instabilitas macro

ekonomi dan disparitas regional, memunculkan egoisme kedaerahan

dan klientilisme, atau membengkakkan struktur birokrasi (Cornelius

1999; Fox and Aranda 1996; Rodden 2000; Rodden and Wibbels 2002;

Stein 1998, dikutip dari Falleti 2004: 1). Dengan demikian,

desentralisasi memiliki 2 (dua) wajah, positif dan negatif, yang dalam

bahasa Brillantes Jr. (2004: 39) dikatakan sebagai pedang bermata dua

(two-edged of sword).

Dua wajah desentralisasi juga diungkapkan oleh Burki, Perry

dan Dillinger (1999: 3). Dari sisi kemanfaatan, desentralisasi dapat

lebih tepat meningkatkan efisiensi dan daya tanggap pemerintah

melalui pemenuhan layanan publik yang lebih sesuai dengan preferensi

rakyat. Selain itu, desentralisasi dapat membangkitkan semangat

kompetisi dan inovasi antar pemerintah daerah untuk mencapai

kepuasan masyarakat yang lebih tinggi. Namun disisi lain, kualitas

pelayanan publik sering menjadi korban karena transfer kewenangan

sering disalahartikan atau disalahgunakan oleh elit lokal yang relatif

kurang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan.

Oleh karena desentralisasi semata tidak selalu membawa hasil

- 62 -

positif, maka munculnya konsep dekonsentrasi dilakukan ketika terjadi

peningkatan fungsi dan aktivitas pemerintahan yang memperlihatkan

adanya gejala kesenjangan (gap) yang semakin melebar antara

pemerintah pusat dan daerah. Dekonsentrasi muncul terhadap

kebutuhan publik untuk berinteraksi secara intensif dengan pemerintah

pusat. Kemunculan dekonsentrasi ditandai dengan dibentuk dan

dioperasionalkannya sejumlah kantor-kantor pemerintah yang berada

di luar ibukota.

Mark Turner (2002: 354) mengakui adanya kelebihan dari

dekonsentrasi yang banyak menyentuh aspek manajerial. Manfaat

yang paling dirasakan adalah penggunaan sumber daya yang lebih

efisien. Selain itu, delegasi dalam pengambilan keputusan juga akan

membawa 7 (tujuh) keuntungan lainnya, yakni: meningkatkan

aksesibilitas pejabat dalam konsultasi dan pengaduan, meningkatkan

mobilisasi sumber daya lokal, mempercepat respon pejabat terhadap

kebutuhan dan tuntutan publik, mempertajam alokasi dan perencanaan

anggaran, mendorong motivasi pejabat yang menerima delegasi,

meningkatkan koodinasi antar instansi, serta meringankan beban

instansi pusat terhadap tugas-tugas rutin.

Meskipun demikian, Turner (2002: 355) juga mengingatkan

bahwa dekonsentrasi juga memiliki potensi menimbulkan dampak

yang sebaliknya. Ketergantungan terhadap pedoman dari atas sehingga

kurang responsif terhadap kondisi riil dalam masyarakat, adalah salah

satu kemungkinan negatif yg perlu diantisipasi. Kecenderungan lain,

para pejabat lokal lebih menyukai pola kerja lama berupa memerintah

dan mengontrol, dari pada terlibat langsung dalam kerjasama yang

- 63 -

bersifat partisipatif. Persoalan inovasi yang kurang berkembang akibat

kualitas rata-rata para pejabat di daerah, juga dapat menjadi kendala.

Selain itu, komunikasi dengan pejabat di tingkat pusat seringkali juga

kurang lancer, sementara masyarakat terkondisi pada alam berpikir

lama bahwa pejabat daerah tidak kapabel.

Mengingat desentralisasi dan dekonsentrasi memiliki kelebihan

dan kekurangan masing-masing, maka sangat wajar jika keduanya

bukan menjadi pilihan yang bersifat alternatif melainkan

komplementer. Dengan demikian, desentralisasi dan dekonsentrasi

bekerja bersama-sama untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi

tertinggi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sinergi hubungan seperti inilah dimaksud pengertian

desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai sebuah kontinuum, atau

sebuah bandul. Garis kontinuum atau bandul ini menunjukkan luas

atau besaran peran dan intervensi pemerintah pusat, serta luas dan

besaran kekuasaan / kewenangan yang ditransfer kepada pemerintah

daerah. Ketika bandul lebih berat kearah kiri, kebijakan yang

diterapkan cenderung sentralistis dimana Pusat lebih banyak

memegang kontrol terhadap jalannya pemerintahan di daerah.

Sebaliknya, pemerintah yang lebih terdesentralisasi tercermin ketika

bandul bergerak kearah kanan.

E. Pemencaran Kewenangan sebagai Esensi Desentralisasi dan

Dekonsentrasi

Ide dasar tentang perlunya sebuah negara menerapkan prinsip

desentralisasi dan/atau dekonsentrasi dalam mengatur hubungan antar

- 64 -

susunan pemerintahan adalah pembagian atau pemencaran urusan /

kewenangan pemerintahan. Dengan membagi atau memencarkan

kewenangan tadi, maka dapat dihindari terjadinya konsentrasi

kekuasaan pada satu titik yang sering menjadi sebab terjadinya rezim

yang otoriter dan inefisien. Dengan demikian, desentralisasi dan

dekonsentrasi memiliki dua tujuan sekaligus yaitu menciptakan

pemerintahan yang lebih efektif dan efisien, serta menumbuhkan

pemerintahan yang partisipatif dan demokratis. Bell (1988)

sebagaimana dikutip Prasojo (2008, tanpa halaman) memberi ilustrasi

menarik dengan mengatakan “Negara nasional terlalu kecil untuk

mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi

terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang

sangat kecil”.3

Sebagaimana telah dipaparkan diatas, desentralisasi dan

dekonsentrasi adalah sebuah kontinuum yang bekerja pada satu garis

namun pada titik yang berbeda. Namun, esensi keduanya

sesungguhnya relatif sama yakni merupakan sebuah mekanisme

pembagian dan/atau pemencaran kewenangan dan tanggungjawab

antar level pemerintahan (multi-tiered of government) yang terjadi

diseluruh negara.

Menurut OECD (1997: 28), tidak ada satupun negara di dunia

yang tidak menerapkan prinsip dekonsentrasi, dengan menegaskan

bahwa “deconcentrated administrations exist in all countries”. Pada

3 Terkait dengan pembagian atau pemencaran urusan atau kewenangan dalam sebuah

negara, Regulska (1997: 23) dalam artikelnya memberi ilustrasi menarik dengan

mengajukan pertanyaan menggelitik sebagai berikut: “division of power and

responsibilities: should the subregional level have power?“

- 65 -

pertemuan tingkat Menteri negara-negara OECD tentang pelayanan

publik masa depan (Ministerial Symposium on the Future of Public

Services) bulan Maret 1996, di Paris, pimpinan OECD, Alice Rivlin,

menyatakan sebagai berikut:

Developments are forcing, as well as enabling, changes

in the structure and boundaries of government. There has

long been a debate about the size of government, as well

as whether to centralize or decentralize. We must now be

willing to move in both directions -- decentralizing some

functions while centralizing other critical policy-making

responsibilities. Such changes are under way in all

countries.

Dalam prakteknya, upaya membagi tanggungjawab antar level

pemerintahan tadi dapat dilakukan melalui desentralisasi politik atau

devolusi (penyerahan tanggung jawab), dan melalui dekonsentrasi

(pelimpahan wewenang / tanggungjawab). Hakekat pembagian

dan/atau pemencaran terhadap urusan tertentu tadi adalah tidak

dikenalnya tanggung jawab yang bersifat tunggal dan utuh dalam

penyelenggaraan fungsi/urusan pemerintahan tertentu, tetapi selalu ada

distribusi peran atau tanggungjawab bersama dengan kadar yang

berbeda-beda. Adanya “campur tangan” pemerintah pusat atau wakil

pemerintah dalam urusan pemerintahan di daerah inilah esensi

dekonsentrasi dalam bingkai desentralisasi.

Dalam hubungan ini, OECD (1997: 18-19) memberikan

ilustrasi tentang relasi pusat dan daerah serta sharing tanggungjawab

antar level pemerintahan (multi-tiered of government) dalam

penyelenggaraan urusan tertentu di beberapa negara. Secara singkat,

kondisi di berbagai negara dengan kasus yang beragam tersebut dapat

- 66 -

disimak pada Tabel sebagai berikut.

Tabel 3.3. Sharing tanggungjawab antar level pemerintahan (kasus

beberapa negara)

Model Desentralisasi / Devolusi Model Dekonsentrasi / Delegasi

Austria:

Functions such as housing are

shifting from the central to the

Länder level; local governments are

playing a larger role in economic

expansion and social change; and

there is a growing federal and

Länder concern with macro-

economic management and

reduction of regional and social

disparities.

Canada:

The federal government has

delegated to the provinces

activities such as administration

and enforcement of the Criminal

Code and regulation of inter-

provincial and international

highway traffic. The federal

government has withdrawn from

labor market training, forestry,

mining, and recreation, and has

proposed a much strengthened

partnership with the provinces on

such items as food inspection,

environmental management, social

housing, and tourism. Many

municipalities have transferred

responsibility for health, social

services and education to the

provinces because of the high costs

involved.

Denmark

During the 1970s and 1980s,

responsibility for social security

was shifted to municipalities, and

responsibility for regional planning,

primary health services, care for

the handicapped and disabled,

secondary schools, environmental

quality, and public transport moved

to the counties.

Italy

The period since 1970 has seen the

transfer from the State to the

regions of manpower training,

health care, agriculture, transport,

environmental protection, and

economic development. In 1990, a

law was passed that sets the stage

for a major reorganization of the

provinces and municipalities, which

should lead to a major reallocation

of functions between levels of

Finland

There has been a transfer of power

from central government’s

deconcentrated administration to

new regional joint authorities

controlled by municipalities since

1994 in areas such as regional

planning and development and

environmental policy.

- 67 -

government.

Iceland

All responsibility for primary

education was transferred from

central to local government in

August 1996. An experiment with

“pilot authorities” seeks to transfer

some central government

responsibilities to selected local

authorities.

Greece

Responsibilities delegated to the

new level of regional

administration created in 1994

include land use planning, public

land disposal, licensing of

industrial development, and the

administration of primary and

secondary school staff.

Sweden

Since the 1960s there has been a

transfer of responsibility to local

government of services such as

schools, old-age and child care,

and health care. In 1992, local

governments took over

responsibility for long-term medical

care of the elderly and

handicapped, and county councils

took responsibility for public

transportation.

Sweden

There has also been some

centralization of functions and

tasks, such as the social security

administration, the administration

of student aid and grants, the

national tax administration,

employment of disabled and

handicapped persons, and the

administration of housing

subsidies.

France

The 1982 decentralization plan

gave full independence to the

regions and the Departments in a

range of areas such as education,

economic support measures, and

local transport. It also gave

responsibility for the construction

and maintenance of primary

schools to the municipalities.

France

Retaining responsibility for most

other education policy at the

central level.

Ireland

The responsibilities of the local

government have been greatly

increased, and a wide range of

central controls removed from

matters such as land disposal,

staffing, personnel, and housing

Ireland

Environmental functions have been

transferred to a national agency.

- 68 -

construction. Local authorities have

acquired additional functions such

as urban renewal, housing, physical

planning, road traffic, amenity

provision, and building control.

United Kingdom

Recently, the role of local

government has put more emphasis

on securing services rather than

providing them directly.

United Kingdom

In the past 15 years there has been

some centralization of power so as

to set national direction, standards

and policy frameworks; but there

have been parallel moves down-

wards, particularly to service

users themselves, using Citizen’s

Charters to define specific service

standards and rights of redress.

Sumber: OECD, Managing across Levels of Government, 1997

(diinterpretasi dan dimodifikasi)

Dari perbandingan diatas dapat dicermati bahwa desentralisasi

dan dekonsetrasi sama-sama merupakan pilihan politik yang rasional.

Pilihan mana yang disukai dan akan diprioritaskan, tergantung pada

tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah, serta kondisi lingkungan

strategis yang mempengaruhi pilihan tersebut. Namun secara garis

besar nampaknya bisa disepakati bahwa terlepas dari derajat

kedalaman atau keluasan wewenang, pembagian dan/atau pemencaran

kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebuah

keniscayaan yang esensial dalam negara modern yang demokratis.

F. Konsep Otonomi Dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal

Pada hakekatnya, baik negara kesatuan maupun negara federal

bisa terdesentralisasi atau tersentralisasi. Namun kecenderungan

global adalah pergerakan kearah negara yang desentralistis. Sebagai

- 69 -

contoh, Myanmar adalah salah satu contoh ekstrim negara yang

dikategorikan sebuah rezim yang sangat sentralistis di Asia. Meskipun

kekuasaan negara masih dipegang oleh junta militer, namun tetap saja

terdapat hasrat untuk melakukan reformasi dengan memberikan

otonomi kepada pemerintahan yang lebih rendah. Desentralisasi di

Myanmar ini ditujukan untuk meningkatkan partisipasi publik,

akuntabilitas birokrasi, efisiensi administratif, serta respon terhadap

kebutuhan masyarakat, disamping tujuan-tujuan lainnya (Fritzen and

Lim, 2006: 1).

Dari wilayah Amerika Latin, rezim yang sangat sentralistis

diwakili oleh Kosta Rika. Menurut Ryan (2004: 82), Kosta Rika ini

merupakan negeri dengan tradisi paling sentralistis di kawasan

Amerika Selatan, namun berusaha untuk mengimplementasikan

desentralisasi. Sayangnya, desentralisasi di negara ini tidak berjalan

dengan baik bahkan cenderung gagal karena adanya penolakan dari

para pemimpin politik di negeri tersebut, selain karena penerapan yang

ambigu.

Demikian pula di Eropa yang diwakili Inggris dan Perancis.

Kedua negara ini pada masa lampau sangat kental nuansa

sentralisasinya, malahan lebih tepat disebut sebagai negara yang

otoriter. 4 Dalam era setelah tumbangnya rezim monarkhi baik di

4 Sebagai ilustrasi, pernyataan Raja Louis XIV (5 September 1638 – 1 September 1715) dari Perancis yang sangat terkenal berbunyi: “L'État c'est Moi” (negara

adalah saya). Louis XIV sering dikenal dengan sebutan the Sun King (French: le

Roi Soleil). Louis XIV percaya dengan hak suci raja (divine right of kings), sebuah

doktrin politik dan agama tentang absolutisme raja. Lihat:

http://en.wikipedia.org/wiki/Divine_right_of_kings,

http://en.wikipedia.org/wiki/Louis_XIV_of_France Kondisi Inggris pada abad

- 70 -

Perancis maupun di Inggris, karakteristik Perancis masih sangat

sentralistis dan seragam (Politica Comparata, ibid.), sementara Inggris

Raya juga memiliki reputasi sebagai negara yang paling sentralistis di

Eropa (Jeffery and Wincott, 2006: 3). Meskipun demikian, keduanya

saat ini justru bisa menjadi contoh dalam keberhasilannya membangun

sistem demokrasi melalui pemberian otonomi kepada unit

pemerintahan dibawah pemerintah pusat. Kecenderungan terjadinya

pergeseran ini dinyatakan secara eksplisit pula oleh Goldsmith dan

Newton (1983: 216), sebagai berikut:

“Central government has always been powerful in

Britain, which, with France, is one of the most highly

centralised, unitary states in the western world, but in

the last few years the centre has further consolidated its

power by increasing its legal, political, and financial

control over local authorities.”

Contoh-contoh dari sistem kenegaraan yang berlaku di

berbagai negara tidak mendukung adanya upaya untuk mengkaitkan

konsep negara kesatuan dan federal dengan derajat sentralisasi atau

desentralisasi. 5 Bahkan dalam bentuk negara yang sama, variasi

pertengahan (middle ages) juga sangat serupa. Sebagai contoh, Raja James I (the

King of England, 19 June 1566 – 27 March 1625), menulis dua karya berjudul The

Trew Law of Free Monarchies dan Basilikon Doron (1597-1598) yang

memperkokoh basis ideologi untuk sistem monarkhi. Lihat:

http://en.wikipedia.org/wiki/James_I_of_England.

5 Meskipun tidak ada korelasi yang signifikan antar kedua bentuk negara, namun

bentuk negara kesatuan diharapkan lebih komprehensif dalam melakukan reformasi menuju desentralisasi. Sebab, tanggung jawab akhir penyelenggaraan

pemerintahan, khususnya dalam hal pembelanjaan anggaran negara, masih berada

di tangan pusat. Oleh karenanya, reformasi desentralisasi yang berasal dari inisiatif

pusat (top-down) pasti dilakukan dengan mempertimbangkan efisiensi. Pada saat

yang sama, dorongan dan tuntutan terhadap desentralisasi yang datang dari bawah

(bottom-up), akan berorientasi pada upaya memperbesar demokrasi. Di negara

- 71 -

desentralisasinya bisa jadi sangat berlainan. Selain itu, dapat dipahami

pula dari paparan diatas bahwa model desentralisasi baik di negara

kesatuan maupun negara federal sangatlah bervariasi. Hal ini misalnya

dikemukakan oleh Fleurke dan Hulst (2006: 37) yang mengkaji negara-

negara kesatuan di Eropa. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa

sistem administrasi negara di Eropa memiliki variasi yang sangat besar.

Beberapa negara kesatuan di wilayah Skandinavia relatif mempunyai

sistem pemerintahan daerah yang kuat dalam pelayanan publik tanpa

adanya intervensi kebijakan yang rigid. Namun pemerintahan daerah

negara kesatuan Perancis dapat dikatakan relatif lemah. Hanya diakui

pula oleh Fleurke dan Hulst bahwa sistem administrasi di negara-

negara tersebut sangat sering berubah haluan diantara titik ekstrim

sentralisasi dan desentralisasi di titik ekstrim lainnya.

Fakta-fakta yang diungkapkan diatas mengarah pada sebuah

pemahaman tidak adanya satupun model desentralisasi dan

dekonsentrasi yang seragam antar negara, bahkan antar negara dengan

bentuk yang sama. Kondisi yang lebih lazim adalah bahwa sebuah

negara menerapkan desentralisasi dan dekonsentrasi secara simultan,

dan pada saat yang bersamaan juga menerapkan beberapa variasi dari

desentralisasi. Dengan demikian, asymmetric decentralization

(desentralisasi yang tidak setara) cenderung lebih banyak dijadikan

pilihan terbaik. Pilihan seperti ini secara rasional dapat dimengerti

federal, masalah tentang fiskal mungkin sama dengan di negara kesatuan, namun

tanggung jawab atas pemecahan masalah sudah sepenuhnya diserahkan kepada

pemerintah daerah di berbagai level (Ansell and Gingrich 2003: 141; Wibbels

2000: 690). Sebaliknya, Tillin (2006: 46) menyebutkan bahwa negara federal lebih

baik dibanding negara kesatuan dalam menangani atau menyelesaikan konflik.

- 72 -

mengingat adanya fakta bahwa dalam sebuah negara (yang berbentuk

kesatuan sekalipun), setiap daerah tidak memiliki karakteristik, potensi,

latar belakang sejarah, atau setting politik yang sama. Itulah sebabnya,

pengaturan yang berbeda menjadi sebuah tuntutan yang wajar.

Dari deskripsi diatas maka dapat disimpulkan bahwa konsep

otonomi pada negara kesatuan dan negara federal tidak dapat

dibedakan secara mendasar. Kesimpulan seperti ini misalnya dikatakan

oleh Work (2002: 11): ”There is no broad-based generalisation that

can be made about the correlation of federal/unitary states and

decentralisation”. Fakta menunjukkan bahwa negara federal dapat

bersifat sangat sentralistis, seperti Malaysia, sebaliknya negara

kesatuan seperti China justru memiliki derajat desentralisasi (ekonomi)

yang relatif tinggi.

G. Dekonsentrasi di Antara Paradigma Sentralisasi dan

Desentralisasi

Dekonsentrasi adalah sebuah konsep yang unique dalam ranah

administrasi publik. Disatu sisi, dekonsentrasi dipandang sebagai

bagian yang integral dengan desentralisasi, atau bentuk tertentu dari

desentralisasi. Dalam posisi ini, dekonsentrasi maupun desentralisasi

sama-sama berhubungan dengan soal penyebaran kekuasaan dan

tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada unit-unit pemerintahan

yang lebih kecil. Namun disisi lain, dekonsentrasi juga sering

dipersepsi sebagai implikasi dari agenda sentralisasi, yang

mencerminkan adanya keengganan pemerintah pusat untuk berbagi

kekuasaan dengan jenjang pemerintahan di bawahnya. Dalam situasi

- 73 -

seperti ini, dikotomi antara dekonsentrasi dengan desentralisasi

menjadi tidak terelakkan. Akibat lebih lanjut, dikotomi dekonsentrasi

– desentralisasi bahkan bermetamorfosa menjadi dikotomi antara

sentralisasi dengan desentralisasi.

Perdebatan antara sentralisasi dan desentralisasi sudah cukup

banyak diulas oleh para pakar ilmu politik atau administrasi negara,

dan telah menjadi persepsi umum bahwa kedua konsep tersebut secara

anatomis berlawanan. Beberapa ahli yang telah membuat analisis

komprehensif tentang hal ini antara lain Cumming (1995), Gerring,

Thacker and Moreno (2004), Hutchcroft (2001), Dickovick (2003), dan

sebagainya. Definisi umum sentralisasi adalah “the concentration of

administrative power in the hands of a central authority, to which all

inferior departments, local branches, etc. are directly responsible”,

sedangkan desentralisasi didefinisikan sebagai “the weakening of the

central authority and distribution of its functions among the branches

or local administrative bodies” (Cummings 1995: 113).

Sentralisasi dan desentralisasi sendiri memiliki probabilitas

yang sama untuk diterapkan pada konteks negara kesatuan (unitaris)

atau negara federal (federalis). Dalam konteks negara kesatuan, Elazar

(1997: 239) memberi kontribusi yang sangat penting dengan membagi

negara kesatuan kedalam dua karakteristik utama, yakni model hirarkis

(the hierarchical model) dan model hubungan pusat – pinggiran (the

center – periphery model).6

6 Untuk negara federal, Elazar tidak melakukan pembagian seperti pada bentuk

negara kesatuan, namun hanya membangun satu model yang disebut dengan

federal model. Pembagian karakteristik negara federal justru dilakukan oleh Ansel

dan Gingrich (2003: 152-153), yakni Federal Consensual dan Federal

- 74 -

Model pertama yang berbentuk piramida adalah ekspresi klasik

yang bersifat hirarkis, dimana kewenangan atau kekuasaan

didistribusikan kepada jenjang-jenjang pemerintahan melalui jalur

komando (chain of command). Dalam model ini, kedudukan tertinggi

(pusat) adalah kepentingan utama, yang menjadi tempat pengambilan

keputusan dan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh unit-unit

pemerintah dibawahnya. Dengan demikian, model ini dapat dikatakan

menyerupai model atau cara kerja militer. Negara kesatuan yang

berpola ini adalah Perancis.

Pada model kedua, kewenangan atau kekuasaan terkonsentrasi

pada satu tangan (yakni pemerintah pusat), yang sedikit banyak

terpengaruh oleh wilayah / daerah yang mengelilinginya. Dalam

banyak kasus, model ini secara natural cenderung bersifat oligarkhi,

dengan kekuasaan dipegang dan/atau dijalankan oleh orang-orang

yang merepresentasikan “pusat”, sebagaimana ciri khas dari model

Westminster parliamentary system. Kekuasaan pusat ini dapat

dilakukan secara terkonsentrasi atau tersebar, berdasarkan pada

keputusan yang diambil pusat baik melalui persetujuan dan/atau

perwakilan dari wilayah pinggiran (periphery) maupun tidak. Contoh

konkrit dari negara kesatuan yang berpola ini adalah Inggris.

Dari pemodelan yang dilakukan Elazar diatas dapat disimak

bahwa dalam negara kesatuan, pemerintah pusat merupakan tempat

ditemukannya atau bekerjanya kekuasaan negara. Kekuasaan ini

bersifat utuh atau tunggal, dan terkonsentrasi di tingkat pusat. Inilah

ciri dasar dari negara kesatuan.

Majoritarian.

- 75 -

Karakter negara kesatuan yang sentralistis atau yang

terkonsentrasi tadi dapat dikurangi derajatnya baik dengan

dekonsentrasi, desentralisasi, atau keduanya secara simultan. Idealnya,

dekonsentrasi dijalankan bersama-sama dengan desentralisasi, tanpa

menghilangkan karakter sebuah negara kesatuan. Jika hanya

dekonsentrasi yang berjalan, tetap kentara sekali semangat

sentralisasinya. Sebab, dekonsentrasi hanya berhubungan dengan

pemencaran kekuasan diantara institusi pusat, dan tidak melibatkan

instansi otonom di tingkat yang lebih rendah. Itulah sebabnya,

dekonsentrasi perlu diimbangi dengan desentralisasi atau pemencaran

kekuasaan dalam tubuh negara secara inklusif (bukan secara internal

di lingkungan pusat belaka). Dengan kata lain, dekonsentrasi tidak

identik dengan sentralisasi apabila ditempuh bersama-sama dengan

desentralisasi. Sebagaimana dilaporkan dalam publikasi FAO (2006:

31), sentralisasi terdiri dari dua variasi yakni konsentrasi dan

dekonsentrasi. Hanya jika terdapat desentralisasi diantara konsentrasi

dan/atau dekonsentrasi tadi, maka dapat dihindari menguatnya

sentralisasi.

Dilihat dari kecenderungan global, maka pergerakan yang

terjadi adalah dari sisi kiri (sentralisasi) ke sisi kanan (desentralisasi).

Bahkan pergeseran dari sentralisasi ke desentralisasi ini oleh John

Naisbitt (1984) disebut sebagai salah satu dari sepuluh megatrends di

dunia. Pernyataan ini diperkuat oleh Stoner and Freeman (1989) yang

secara tegas menulis: “The clear trend today is toward more

decentralization; atau Brooke (1984) yang menyatakan: “Probably the

most thorough account of the relationship between centralization and

- 76 -

autonomy suggested that beliefs will swing towards decentralization

unless this is discredited by a series of disasters” (dalam Cummings

1995: 108).

Laporan FAO (2006: 42) memberi analisis lebih detil mengapa

desentralisasi menjadi pilihan kebijakan yang paling baik saat ini.

Alasan yang dikemukakan yakni: pengurangan peran pemerintah (state

withdrawal) harus dijawab dengan solusi alternatif yang tepat;

perkembangan demokrasi membuka pintu-pintu baru untuk partisipasi

publik yang lebih luas; masyarakat madani sudah semakin terdidik dan

siap menjadi mitra pemerintah; tantangan pembangunan yang lebih

kompleks; serta adanya perkembangan teknologi yang semakin

canggih sehingga dapat memacu inovasi dan diferensiasi produk

barang/jasa dan menghilangkan hambatan (barriers) dalam

perdagangan antar daerah atau antar negara.

Dalam diskursus sentralisasi – desentralisasi ini, menarik untuk

menyimak ahli lain yang mengisyaratkan bahwa pergerakan ke sisi

kanan atau ke sisi kiri sebenarnya tidaklah penting; yang penting

adalah tercapainya keseimbangan diantara keduanya. Hal ini misalnya

dikemukakan oleh Fayol (1949) dengan mengatakan: “The question of

centralization or decentralization is simply a matter of proportion; it

is a matter of finding the optimum degree for the particular concern”

(Cummings 1995: 109). Sejalan dengan pendapat Fayol, Kauzya

(dalam Bertucci, tanpa tahun) juga menawarkan konstruksi

keseimbangan sentralisasi dan desentralisasi.

Menurut Kauzya, faktor pendorong sentralisasi adalah upaya

mempertahankan integritas nasional, kepentingan semua, keadilan

- 77 -

bagi seluruh daerah, serta koordinasi pembangunan yang lebih baik.

Sedangkan faktor pendorong desentralisasi terdiri dari pengakuan

terhadap keberagaman lokal, sistem sosial dan kepentingan masyarakat

di daerah. Faktor pendorong sentralisasi dan desentralisasi ini untuk

selanjutnya dipertemukan oleh aktor-aktor di tingkat pusat maupun

daerah, ditambah dengan elite politik, masyarakat madani, dan

kelompok bisnis, agar tidak saling merugikan.

Upaya menemukan titik keseimbangan tadi merupakan reaksi

wajar mengingat kedua konsep tadi memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing. Dengan mencapai derajat keseimbangan

yang tertinggi, maka praktek penyelenggaraan fungsi negara secara

logis akan semakin berkualitas. Untuk mengukur keuntungan

(advantages) dan kekurangan (disadvantages) dari sentralisasi dan

desentralisasi tersebut, paling tidak dapat digunakan tiga kriteria yang

diusulkan FAO (2006: 41), yakni penerapan kebijakan pembangunan,

tingkat efektivitas, serta kontrol dalam pemanfaatan anggaran.

Dari aspek penerapan kebijakan pembangunan, pola

sentralisasi memiliki kelebihan untuk menjamin adanya standarisasi

kebijakan secara nasional, dan ini akan membawa dampak positif pada

aspek kedua, yakni meningkatkan efisiensi program pembangunan

tersebut. Demikian pula dalam pengelolaan anggaran, pola sentralisasi

lebih memungkinkan terjadinya economies of scale. Sementara itu pola

desentralisasi memiliki kelebihan berupa penerapan kebijakan yang

berbeda sesuai kondisi daerah sehingga dapat memenuhi kebutuhan

yang berbeda pula. Selain itu, pengambilan keputusan juga bias

dilakukan secara lebih fleksibel, sehingga dapat mendorong efektivitas

- 78 -

program pembangunan di wilayah masing-masing. Adapun dalam

pengelolaan anggaran, pola desentralisasi bisa lebih baik karena

memerlukan pengawasan secara fisik dan langsung (bukan

pengawasan secara administratif berdasarkan dokumen semata).

Kriteria untuk mengukur kadar sentralisasi dan desentralisasi

suatu negara juga dirumuskan oleh Hutchcroft (2001: 34-37) yang

dibagi kedalam sepuluh pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah pejabat eksekutif di daerah ditunjuk/diangkat

oleh pusat atau dipilih oleh rakyat?

2. Apakah ada mekanisme yang efektif di daerah untuk

untuk mendorong partisipasi?

3. Apakah ada daerah (provinsi, distrik) yang memiliki

kewenangan yang cukup luas dalam pengambilan

keputusan?

4. Pada sektor informal, apakah ada konsentrasi kekuatan

sosial ekonomi pada tokoh, boss atau patron lokal?

5. Apakah ada lembaga legislatif yang memiliki

kewenangan pengambilan keputusan secara signifikan?

6. Jika terdapat lembaga legislative yang efisien, apakah

mereka bekerja pada sistem presidensil atau

parlementer?

7. Apakah anggota legislatif dipilih atau diangkat?

8. Seberapa besar sistem pemilihan umum mampu

menghasilkan keterwakilan kepentingan lokal di

tingkat nasional?

9. Apakah partai politik diatur secara nasional atau ada

pengaturan oleh daerah? Dan sejauh mana tingkat

kohesi internal partai politik tersebut?

10. Sejauh mana struktur administrasi (birokrasi) terbebas

dari pengaruh dan patronase partai?

Kriteria dalam bentuk pertanyaan yang diajukan oleh

Hutchcroft diatas tidak menghasilkan jawaban yang hitam putih bahwa

sistem politik suatu negara bercorak sentralistik atau desentralistik.

- 79 -

Bahkan Hutchcroft juga menyatakan bahwa hasil analisis akan berada

pada kontinuum diantara sentralisasi dan desentralisasi tersebut.

Bahkan dia menyatakan bahwa: “…inadequate way of gauging the

degree of centralization or decentralization of the total governmental

system”.

Hanya saja, dia juga memberi gambaran bahwa suatu rezim

tergolong sentralistik jika terdapat kombinasi dari beberapa kondisi

berikut: 1) pejabat daerah diangkat / ditunjuk oleh pusat; 2) hanya ada

sedikit ruang untuk partisipasi publik; 3) di tingkat lokal tidak terdapat

lembaga legislatif tersendiri; 4) tidak ada tokoh lokal yang berpengaruh

dan dapat mengimbangi kekuasaan pusat; 5) kewenangan pengambilan

keputusan terkonsentrasi pada lembaga eksekutif; 6) lembaga legislatif

(jika ada) dibentuk sebagai bagian dari struktur parlementer, bukan

presidensil; 7) sebagian besar anggota legislatif nasional ditunjuk oleh

pemerintah pusat; 8) masih ada sistem pemilu dimana kandidat anggota

parlemen ditentukan oleh partai politik; 9) semua partai politik

berskala nasional dan mampu mengimplementasikan kebijakan untuk

seluruh wilayah negara; dan 10) birokrasi terhindar dari sistem

patronase partai politik (Hutchcroft, 2001: 37).7

Ditengah perdebatan tentang sentralisasi – desentralisasi dan

posisi dekonsentrasi tersebut, sangat menarik untuk mencermati

konsep Gerring, Thacker & Moreno (2004: 3, 13) tentang

centripetalisme, sebuah konsep yang menyatakan bahwa good

governance dan pemerintahan yang demokratis dapat diwujudkan

7 Kondisi yang bertolak belakang dari ke-10 butir tersebut, dapat ditafsirkan sebagai

rezim negara yang berkarakter desentralistik.

- 80 -

melalui penggabungan antara authority (refleksi dari sentralisasi)

dengan inclusion (refleksi dari sentralisasi). 8 Prinsip authority

mengandung makna bahwa pemerintah harus memiliki mekanisme

yang efektif untuk mencapai dan menjalankan konsensus, sedang

prinsip inclusion berarti bahwa pemerintah harus menjangkau seluruh

kepentingan, ide dan identitas yang ada dalam negara. Secara sekilas,

keduanya bertolak belakang secara mendasar sehingga sulit untuk

memenuhi kedua prinsip tersebut dalam waktu yang sama.

Namun Gerring, Thacker & Moreno mengasumsikan bahwa

centripetalism justru membangun konsensus dengan cara

mengkonstruksi kepentingan-kepentingan yang berbeda. Kewenangan

yang dimiliki oleh negara sentripetal (centripetal states) berasal dari

kemampuannya untuk menyatukan kelompok dan perspektif yang

berbeda, atau menginstitusionalisasikan konflik-konflik politik. Dalam

hal ini, negara sentripetal atau organisasi sentripetal lebih melakukan

rekonsiliasi antara prinsip authority dan prinsip inclusion, dari pada

kompromi diantara keduanya.

Secara lebih gamblang, Gerring, Thacker & Moreno (2004: 15-

17) membedakan prinsip desentralisme, sentralisme, dan

sentripetalisme dalam membangun good governance sebagai berikut:

“Decentralists envision political institutions that are

separate and independent of one another, resulting in a

decisionmaking process that is highly localized and

8 Menurut Gerring, Thacker & Moreno (2004: 19), contoh konkrit negara yang

menerapkan paradigma sentralisme, desentralisme, dan sentripetalisme berturut-

turut adalah Inggris, Amerika Serikat, dan Swedia. Sentripetalisme sendiri

merupakan paradigma yang sesuai dengan bentuk negara unitaris, dimana

kewenangan konstitusional dipegang oleh pemerintah pusat.

- 81 -

requires universal consent.

Centralists envision political institutions that are highly

focused and coordinated from the top.

Centripetalism sees the source of good government in

institutions that reconcile inclusion and authority,

bringing interests, ideas, and identities toward the center

into an authoritative decisionmaking process.”

Selanjutnya, ketiga paham tersebut dapat dibandingkan dalam

21 indikator yang lebih rinci, yakni sifat kedaulatan (territorial),

konstruksi legislatif, sistem pemerintahan, sistem pemilu, sifat

konstitusi, posisi kabinet, kedudukan dewan yang dibentuk pemerintah,

kohesivitas partai, penghentian, pembatasan masa jabatan, jumlah

jabatan yang dipilih, siklus pemilu, prosedur pemilihan kandidat, pola

voting, kapanye, partai politik, kelompok kepentingan, referendum,

lembaga peradilan, serta birokrasi. Perbandingan selengkapnya dapat

dilihat pada Tabel dibawah ini.

- 82 -

Tabel 3.4. Perbandingan Desentralisasi, Sentralisasi dan

Sentripelatism

Sumber: Gerring, Thacker & Moreno (2004: 15).

H. Praktek Dekonsentrasi Negara Kesatuan: Perspektif

Internasional

Pada dasarnya, sentralisasi memiliki dua variasi yakni

konsentrasi dan dekonsentrasi. Dengan kata lain, sentralisasi dapat

menjelma kedalam format sentralisasi yang terkonsentrasi

- 83 -

(concentrated centralization) dan sentralisasi yang terpencar

(deconcentrated centralization). Variasi seperti inilah yang nampaknya

menimbulkan opini bahwa dekonsentrasi sedikit banyak berhubungan

dengan sentralisasi. Sentralisasi sendiri lebih sering ditemukan di

negara-negara berbentuk unitaris karena memang proses pembentukan

negara tersebut tidak didahului oleh kesepakatan antar negara-negara

kecil yang sudah ada sebelumnya, melainkan terbentuk sebagai sebuah

bangsa yang utuh dan berdaulat. Itulah sebabnya, wacana sentralisasi

lebih mudah diamati di negara unitaris.

Untuk memberi gambaran yang relatif utuh dan mampu

memberi kontribusi teoretis yang kuat, dibawah ini akan diuraikan

situasi dan praktek di beberapa negara terkait dengan implementasi

dekonsentrasi dalam mengelola hubungan pusat dan daerah:

1. China

China adalah negara sosialis dengan ciri sistem partai tunggal,

yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Partai Komunis China

(Chinese Communists Party) sebagai partai yang berkuasa (the rulling

party). Organ negara yang sangat besar kekuasaannya adalah Kongres

Rakyat China (The People's Congress of China, PCC) yang merupakan

pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam struktur PCC terdapat satuan

permanen yang disebut Panitia Kerja atau Standing Committee (SC)

yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislative

power). Pada level daerah, Kongres Rakyat Lokal (The Local People

Congresses, LPC) merupakan organ kekuasaan pusat di daerah, yang

memiliki satuan permanen di daerah yang bersangkutan. Sementara itu,

- 84 -

Dewan Negara China (The State Council of China, SCC) adalah organ

administratif negara yang tertinggi, dan pemegang kekuasaan eksekutif

yang tertinggi dari organ kekuasaan negara yang tertinggi. Pemerintah

daerah adalah organ eksekutif dari kekuasaan negara di tingkat daerah,

sekaligus organ administratif di daerah, dan bertanggung jawab kepada

SCC (UNESCAP, tanpa tahun).

Dengan melihat struktur politik dan pemerintahan seperti ini

sudah tergambarkan dengan gamblang bahwa pemerintah pusat dan

daerah terikat secara integratif dan kohesif melalui sebuah ikatan

Kongres Rakyat dan Dewan Negara. Dengan kata lain, kekuasaan

absolut pusat atas pemerintahan daerah secara operasional

dimanifestasikan dalam kewenangan yang melekat pada kedua organ

negara tersebut.

Adanya struktur pemerintahan daerah yang hanya berfungsi

“administratif belaka” atau sebagai agen pemerintah pusat, membentuk

pola hubungan antara pusat dan daerah dengan model principal-agent

relations, yakni sebuah pola relasi dimana pusat dapat secara sepihak

mengubah sistem yang sudah ada sebelumnya guna mengatasi masalah

keagenan atau karena perbedaan tujuan. Untuk kasus di negara

berkembang, China, Indonesia dan Vietnam dijadikan sebagai contoh

negara yang berpola principal-agent relations atau bercorak

sentralistis sekaligus dekonsentratif.

Menurut Smoke (2005: 25, 28), China memiliki tradisi yang

sangat panjang tentang konsep desentralisasi terbatas (limited

decentralization). China menitikberatkan dekonsentrasi kepada

provinsi dan kota-kota besar, sedangkan daerah yang lebih rendah

- 85 -

diberikan devolusi yang lebih besar termasuk peran dalam

pembelanjaan anggaran. Selanjutnya, provinsi sebagai perangkat

dekonsentrasi memiliki kontrol yang besar dalam pengaturan daerah-

daerah yang lebih rendah.

Meskipun terkenal sebagai negara yang kurang terbuka

terhadap demokrasi dan cenderung otoriter, namun terobosan terhadap

desentralisasi sesungguhnya telah diupayakan, bahkan berjalan lebih

dahulu dari berbagai negara Asia termasuk Indonesia. Reformasi yang

dijalankan membentuk adanya siklus sentralisasi dan desentralisasi

fungsi-fungsi administratif yang merefleksikan pemikiran para

pemimpin China untuk menemukan keseimbangan yang optimal

antara kontrol pusat dengan kemandirian / otonomi unit sub-national

yang terbatas (Straussman and Zhang 2001, dalam Beh 2007: 11).

Reformasi tahap pertama, government organizational reforms

(GOR), dilakukan dari tahun 1952 hingga 1953 selama tiga tahun masa

Revolusi China, yang mengganti struktur lokal yang didominasi oleh

militer dengan administrasi pemerintah pusat. Hal ini dilakukan untuk

mencapai tujuan memperkuat pembangunan ekonomi skala besar

sekaligus memperkokoh kekuasaan pusat di daerah. Pada periode Mao

ini, strategi sentralisasi dengan cara memperlemah daerah memang

nampak menonjol sekali dengan tujuan untuk menjaga dari status semi-

anarkis atau dari para pembangkang terhadap kekuasaanya.

Namun pada tahun 1978 setelah memperoleh kursi kekuasaan

lagi, Deng Xiaoping memperkenalkan empat gagasan modernisasi,

yakni memberikan tanggung jawab produksi kepada petani,

merevitalisasi perusahaan swasta di perkotaan, mendesentralisasikan

- 86 -

pengambilan keputusan kepada perusahaan milik negara, mereformasi

harga (Beh, 2007: 10). Dengan demikian, desentralisasi di China pada

masa ini lebih banyak berhubungan dengan pasar (market

decentralization). Secara konkrit, perubahan yang dicapai dari

desentralisasi ekonomi tersebut adalah bahwa hingga sebelum 1985,

pemerintah China hanya memiliki kontrol sebesar 20 persen terhadap

perusahaan-perusahaan milik negara, sementara provinsi, county, dan

township (xiang) masing-masing memegang kendali sebesar 45 persen,

20 persen, dan 15 persen (Basuki, 2006: 11-12). Tentu saja, terobosan

seperti ini sangat signifikan untuk mendukung keberhasilan tugas-

tugas pemerintahan daerah karena mendapatkan support pendapatan

yang bersumber dari laba perusahaan-perusahaan milik negara.

Sementara itu, desentralisasi politik dan desentralisasi

administratif di China nampaknya tidak semaju desentralisasi ekonomi

(pasar), sehingga tanggungjawab dan intervensi pusat dalam

penyelenggaraan urusan-urusan diluar bidang ekonomi relatif masih

besar. Menurut Konstitusi China, pemerintahan daerah dibagi menjadi

tiga tipologi, yakni: pemerintahan daerah secara bertingkat,

pemerintahan yang otonom berdasarkan wilayah etnisitas (autonomous

governments of nationality regions), dan pemerintahan wilayah

administrasi khusus (governments of special administrative regions).

Sesuai dengan prioritas pusat yang menitikberatkan pada

desentralisasi ekonomi, maka ketiga tipologi pemerintahan daerah

tersebut dibebani tugas dan tanggung jawab untuk mengelola

pembangunan ekonomi di wilayahnya. Tugas-tugas pembangunan

ekonomi ini misalnya meliputi rincian sebagai berikut (UN-ESCAP,

- 87 -

ibid.):

• Drawing up socio-economic development strategies of the

regions as well as middle and long-term plans for economic

development, year plans, measures of developing resources,

transforming technologies, importing technologies and capital;

• Solving important economic contradictions between branches

and between branches and regions and mediating economic

relations;

• Organizing and coordinating production and circulation;

• Enforcing economic laws and regulations;

• Appointing and dismissing cadres; and

• Providing infrastructure basic conditions and services for

economic development.

Adapun bidang-bidang pemerintahan yang turut ditransfer

kepada pemerintah daerah selain urusan ekonomi mencakup bidang

pendidikan dan budaya, konstruksi perkotaan dan pedesaan, keuangan

dan perpajakan, administrasi kependudukan (civil administration),

kesehatan, jaminan sosial dan ketertiban umum, serta beberapa urusan

lainnya. Namun tentang kewenangan pemerintah daerah di China ini,

Basuki (2006: 12) mencatat bahwa hanya urusan kesehatan dan

pendidikan yang secara jelas telah ditransfer sebagai kewenangan

provinsi.9

9 Kewenangan yang ditransfer dari pusat kepada pemerintahan daerah tersebut tidak

sama untuk level yang berbeda. Masing-masing level memiliki kewenangan

tersendiri sesuai mandat konstitusi. Sebagai contoh, konstitusi menyebutkan secara

eksplisit tentang kewenangan daerah di wilayah yang dihuni oleh etnis Han

sebagai berikut: “Local governments at the county or higher level have the power

to carry out resolutions and orders of the People Congresses at the corresponding

and higher level of governments and of the State Council, can govern the economic,

educational, scientific, cultural, health, sport and administrative affairs, like

finance, civil administration, public security, nationality, judicature, supervision

and family planning, exercise personnel appointment and dismiss training,

examination, rewards and punishments. The provincial and municipality

governments have the power to decide on the designation of the country and the

- 88 -

Kebijakan lain yang mengindikasikan adanya upaya

desentralisasi adalah pemilihan pejabat township secara langsung,

yang pertama kali dilaksanakan pada tahun 1999. Sedangkan untuk

daerah lain yang secara ekonomi lebih maju, yakni di wilayah pesisir

timur, pemilihan secara langsung bagi deputi konggres level township

sudah berlangsung beberapa tahun sebelumnya. Adapun pemilihan

langsung bagi Komite Desa (Village Committee, termasuk kepala desa)

dimulai tahun 1988 di beberapa desa di Guangxi, menggantikan sistem

lama berupa penunjukan / pengangkatan secara langsung oleh pejabat

pusat (Basuki, 2006: 13). Tugas village committee (VC) adalah

membuat aturan yang melarang perjudian dan pencurian, serta

pemeliharaan saluran irigasi. VC bertanggungjawab kepada dewan

warga (villagers’ assembly) yang terdiri dari warga yang sudah dewasa

atau perwakilan dari setiap kepala keluarga. Desentralisasi di China

memang lebih difokuskan di tingkat desa (village dan township).

Namun keberadaan Kongres Rakyat (people’s congresses) pada

semua level masih merefleksikan kekuasaan pusat yang kokoh, sebab

lembaga ini berwenang untuk menetapkan atau mengangkat pejabat

senior pemerintah daerah (kecuali level village yang dipilih oleh

rakyat), membatalkan kebijakan pemerintah daerah yang dianggap

nationality of the country and town. Local governments at country and town level

have the power to carry out resolutions and orders made by the People Congress

at the corresponding and higher level of governments and to govern administrative

affairs. The autonomous authorities of governments of the autonomous areas,

except for exercising the powers of the local governments at the same levels as

mentioned above, can decide on local finance for themselves, govern the local

educational, scientific, cultural, health and sport affairs for themselves and have

the power to organize the public security army for safeguarding local social

security and to use the local language in common use.”

- 89 -

tidak sesuai dengan kebijakan pusat, serta menunjuk atau

memberhentikan anggota kabinet dari setiap tingkatan pemerintah

daerah (Basuki 2006: 18, UNESCAP).

Dari kewenangan yang melekat pada Kongres Rakyat sebagai

manifestasi kuasa negara tersebut, dapat dikatakan bahwa struktur

pemerintahan daerah di China bersifat sangat hirarkis, dimana level

yang lebih rendah adalah bawahan (subordinate) dari level diatasnya.

Pemerintah provinsi membawahi pemerintah level kota (city),

pemerintah city membawahi county, dan pemerintah county adalah

atasan dari pemerintahan desa (country). Ini berarti bahwa jenjang

pemerintahan yang lebih rendah harus tunduk pada kepemimpinan,

instruksi, pengawasan, dan evaluasi dari jenjang pemerintahan yang

lebih tinggi dengan penuh kesadaran serta menjalankan seluruh tugas

yang diberikan. Pada saat yang sama, pemerintah daerah hanya dapat

menjalankan fungsi dan kewenangannya yang otonom, sesuai dengan

pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah atasannya (UNESCAP,

ibid.).

Secara lebih konkrit, pemahaman terhadap praktek

dekonsentrasi dan pola hubungan pusat dan daerah di China dapat

dijelaskan dalam beberapa dimensi sebagai berikut (UNESCAP):

1. Struktur kelembagaan.

Unit administratif tertinggi adalah dewan negara (State Council).

Unit administratif tertinggi di tingkat daerah adalah pemerintah

daerah dipimpin oleh dan tunduk kepada State Council. Cabang

pemerintahan daerah atau tingkatan dibawahnya berkewajiban

melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan

- 90 -

oleh pemerintah pusat serta menjalankan setiap yang diberikan

pusat berdasarkan pedoman yang juga ditetapkan oleh pusat.

2. Pembagian fungsi dan koordinasi.

Fungsi pemerintah pusat dan daerah sangat serupa dilihat dari

konten atau isinya. Perbedaannya hanya menyangkut lingkup

wilayah administrasi, pusat memegang dan menjalankan urusan

administrasi negara serta membuat kebijakan secara makro pada

lingkup nasional, sedang pemerintah daerah memegang fungsi

yang sama untuk wilayah daerahnya masing-masing.

3. Sentralisasi dan desentralisasi kekuasaan negara.

Hubungan antara dewan negara (State Council) dengan pemerintah

daerah mengikuti model kepemimpinan terpadu (unified

leadership) dan desentralisasi kewenangan yang tepat. Hal-hal

yang berhubungan dengan stabilitas sosial politik, kepentingan

sosio-ekonomi nasional yang vital, teknologi cangih, konstruksi

infrastruktur skala besar, lembaga penelitian dan pengetahuan,

serta universitas dikelola langsung oleh pusat. Sedangkan urusan

keuangan, perdagangan, perumusan perundang-undangan,

pendidikan, kesehatan, kebudayaan, olah raga, ketenagakerjaan,

kepegawaian, dan kesejahteraan sosial dijalankan secara bersama-

sama oleh kedua level pemerintahan (pusat dan daerah). Untuk

pengawasan terhadap kewenangan ekonomi makro seperti

perbankan, perpajakan, dan kebijakan harga, diterapkan metode

kerjasama dan pembagian kewenangan.

Pola kepemimpinan terpadu juga berlaku dalam manajemen

keuangan. Dalam hal ini, sistem keuangan yang terpadu (unified

- 91 -

finance) terbagi menjadi dua level, pusat dan daerah. Sistem

anggaran daerah sendiri dapat dibagi lagi menjadi tiga, yakni

provinsi, county dan country. Dalam kerangka hirarki seperti ini,

sistem keuangan daerah menginduk, bersumber dan/atau tidak

boleh menyimpang dari sistem keuangan pusat.

4. Hubungan administratif.

Pemerintah pusat dapat menerapkan pengaruh terhadap pemerintah

daerah dalam banyak aspek. Dewan negara, dalam kedudukan

sebagai organ legislator administratif, mengontrol seluruh prosedur

administrasi atau tata pemerintahan lokal/daerah sepenuhnya.

Pemerintah daerah wajib mengikuti setiap regulasi dari pemerintah

pusat. Dewan negara juga memberikan pedoman bagi pemerintah

daerah dalam hal kebijakan atau perencanaan. Selanjutnya, Dewan

negara menguji dan menerima hasil kerja pemerintah daerah

melalui tiga sistem penilaian, yaitu pengawasan umum secara

administratif, pengawasan khusus terhadap lembaga pengawas

tingkat cabang (supervisory branches), serta pengawasan ekonomi

terhadap lembaga pemeriksa tingkat cabang (auditing branches).

Melalui tiga jenis supervisi ini, pemerintah pusat melakukan

evaluasi terhadap pemerintah daerah baik dalam hal kebijakan

maupun perencanaan. Meski kedudukan pemerintah sedemikian

kuat, namun perkembangan terbaru di China juga memberikan hak

kepada pemerintah daerah untuk melakukan keberatan (counter-

action) terhadap pemerintah dalam hal-hal tertentu, misalnya

pengambilan keputusan di bidang keuangan, import dan export,

atau urusan perdagangan.

- 92 -

Uraian diatas mengindikasikan adanya upaya pemerintah

China untuk memberikan kewenangan secara bertahap kepada

pemerintah daerah, namun dengan tetap mempertahankan kewenangan

pusat atas daerah. Instrumen pengawasan menjadi salah satu metode

untuk menjamin ketaatan dan keseragaman regulasi dari pemerintah

daerah terhadap pedoman dan kebijakan yang ditetapkan oleh pusat.

Dalam upaya menjaga keselarasan kebijakan antar tingkatan

pemerintahan tadi, fungsi dan kedudukan dewan negara (State

Council) baik di tingkat pusat maupun di level daerah menjadi sangat

penting. Dengan kata lain, lembaga inilah yang secara operasional

menjalankan fungsi dekonsentrasi, meski tidak dinyatakan secara

eksplisit.

2. Jepang

Sebagaimana umumnya di berbagai negara kesatuan, status dan

kewenangan pemerintah daerah di Jepang diperoleh langsung dari

pusat. Sebagai negara kesatuan, jenjang hirarki atau tingkatan

pemerintahan di Jepang tersusun dalam tiga lapis, yakni pemerintah

pusat, pemerintah regional (provinsi atau prefektur), serta pemerintah

daerah.

Gambaran tentang susunan pemerintahan daerah di Jepang

sendiri terdiri atas 47 prefectures (To, Do, Fu, Ken), 779 cities (Shi),

dan 1.038 towns dan villages (Cho, Son). Selain itu ada lagi wilayah

khusus seperti 23 special wards (Ku) di Tokyo, dan 16 designated cities

(catatan: To adalah sebutan atau status khusus untuk Tokyo, Do untuk

wilayah Hokkaido, Fu untuk Osaka dan Kyoto, sedang untuk prefektur

- 93 -

selebihnya digunakan istilah yang sama, yakni Ken).

Sebagai negara kesatuan, Jepang sering dipersepsi sebagai

negara yang sentralistis (centralized developmental state), meskipun

kepada kota-kota besar dan prefektur dengan populasi yang padat telah

diberikan kewenangan yang lebih besar dan fleksibilitas lebih luas

dalam penggunaan anggaran (Jacobs, 2003: 601-603). Michihiro

(2007: 1) juga berpendapat bahwa pada abad yang lalu, pemerintah

pusat memiliki kontrol kekuasaan yang lebih besar dibanding saat ini.

Dengan mengutip Kurt Steiner, Jacobs (ibid.) menjelaskan

bahwa untuk menjaga kendali yang kuat terhadap pemerintah prefectur

dan municipal, pemerintah Jepang menerapkan instrumen hukum

nasional yang preskriptif (tegas, seragam dan cenderung kaku) seperti

pembatasan otoritas finansial daerah, fungsi-fungsi yang didelegasikan,

kesalahan administratif, tradisi strukturalisme, dan tekanan melalui

pejabat / instansi sejawat (limits on local financial authority, agency

delegated functions, administrative oversight, a tradition of hierarchy,

and peer pressure). Faktor terakhir, yakni peer pressure bahkan

menjadikan pemerintah daerah tidak mungkin untuk mengabaikan

arahan dari pusat, karena ketidaktaatan akan mengakibatkan

ketidaksukaan dari pusat serta celaan dari pemerintah prefektur dan

pemerintah daerah (municipal) yang lain.

Namun, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, sesungguhnya

telah terjadi banyak perubahan dalam hubungan pusat – daerah di

Jepang. Konstitusi Jepang pasal 8 memberikan garansi terhadap

otonomi daerah dan mengatur prinsip-prinisp umum pemerintahan

daerah. selanjutnya, pada pasal 92 juga terdapat aturan tentang otonomi,

- 94 -

yang berbunyi: “Regulations concerning organisation and operations

of local public entities shall be fixed by law in accordance with the

principle of local autonomy”. Pernyataan seperti ini, menurut Sato

(2001: 3), menegaskan bahwa Konstitusi Jepang memberikan derajat

independensi dan otonomi yang sangat besar kepada pemerintah

daerah.

Studi Reed dan Muramatsu yang dikutip Jacobs (ibid.) juga

menyebutkan bahwa tingkat kontrol pemerintah sub-nasional dalam

pengambilan keputusan telah semakin besar. Selain itu, fungsi

pemerintah prefektur bergeser menjadi partner dan pendukung bagi

pemerintah municipal. Pergeseran ini bahkan membentuk sebuah

situasi berhadap-hadapan antara pusat disatu sisi dengan daerah disisi

lain (one of the center versus the prefectures and municipalities).

Pergeseran juga terjadi dalam hal pemilihan walikota. Setelah

ditetapkannya UU Pemerintah Daerah 1888 (Japan’s Municipal

Government Act), Tokyo, Osaka, Kyoto dan 29 daerah lainnya

ditetapkan sebagai kota-kota utama. Namun, kota-kota tersebut diberi

otonomi yang sangat kecil dan berada dibawah supervisi Menteri

Dalam Negeri (Naimusho). Mereka juga tidak memiliki hak untuk

memilih walikota. Baru pada tahun 1898, kota-kota utama (largest

cities) diberi kewenangan memilih walikotanya sendiri (Jacobs, 2003:

608-609).

Penguatan otoritas daerah atau transfer kewenangan yang lebih

besar dari pusat juga diberikan kepada enam kota besar utama di

Jepang, yaitu Tokyo, Osaka, Nagoya, Yokohama, Kyoto, dan Kobe.

Kebijakan ini menunjukkan bahwa desentralisasi di Jepang juga

- 95 -

menganut pola asymmetric decentralization atau multiple gradation of

local autonomy. Hasil penelitian Reed (dalam Jacobs, ibid.) di

Prefektur Saga, Saitama dan Chiba menyimpulkan bahwa prefektur

dan municipal dengan anggaran paling besar cenderung memiliki

fleksibilitas paling besar untuk menerapkan kebijakan atau program

pembangunannya. Kesimpulan lain dari studi Reed adalah prefektur

dan kota-kota yang paling padat penduduknya, yang berstatus sebagai

Chukaku-shi atau Kota Inti (core cities), memiliki derajat otonomi

yang paling tinggi. 10 Selain Kota Inti, dalam hirarki pemerintahan

daerah juga diperkenalkan adanya Tokurei-shi atau Kota dengan Kasus

Istimewa (Special Case Cities) yang ditetapkan mulai 1999, dan

hingga 2003 telah terbentuk 39 Tokurei-shi. Sebagaimana kota inti,

kota dengan kasus istimewa juga diberikan hak-hak otonom yang lebih

luas untuk mengelola pemerintahannya.

Jika pemerintahan pada level daerah memiliki otonomi yang

cukup luas (tergantung pada variabel populasi dan lapangan kerja),

10 Kasus kota Toyota dapat menjelaskan fenomena kota inti ini. Toyota dan Okazaki

adalah kota yang bertetangga. Pada tahun 1871 Okazaki adalah ibukota Prefektur

Nukata, sedang Toyota secara administratif adalah bagian dari Prefektur Aichi.

Ketika Prefektur Nukata dilebur kedalam Prefektur Aichi dengan ibukota Nagoya

pada tahun 1872, Okazaki masih bertahan sebagai kota besar dengan posisi yang

penting hingga 90 tahun kemudian. Pada awal 1960-an, penduduk Okazaki

berjumlah 157 ribu jiwa, jauh lebih besar dibanding kota tetangganya, Koromo

yang hanya berpenduduk 45 ribu jiwa saat berubah nama menjadi kota Toyota pada

tahun 1959. Lahirnya industri otomotif Toyota yang menyerap tenaga kerja dalam

jumlag besar, telah merubah secara drastis struktur demografis kedua kota tersebut. Pada tahun 1965, penduduk Okazaki bertambah menjadi 194 ribu sedang Toyota

bertambah dua kali lipat menjadi 107 ribu. Namun pada 1975, jumlah penduduk

Toyota menjadi 249 ribu melampaui Okazaki, sehingga Toyota menjadi kota yang

lebih besar dan penting khususnya secara ekonomi. Pada tahun 1998, Toyota

ditetapkan sebagai Chukaku-shi atau Kota Inti (core cities), sedang Okazaki baru

menerima status tersebut pada tahun 2006.

- 96 -

maka otonomi pada level prefektur menampakkan sedikit gambaran

yang berbeda. Selama 30 tahun setelah lahirnya Prefectural

Government Act (Fukensei) 1890, fungsi utama pemerintahan

prefektur hanya sebagai kepanjangan tangan (administrative

extensions) pemerintah pusat untuk menjamin implementasi kebijakan

pusat berjalan baik di tingkat daerah. Dapat dikatakan pula bahwa

kedudukan “gubernur” atau kepala prefektur murni sebagai wakil /

agent pemerintah pusat belaka. Pada tahun 1929, kepada prefektur

sempat diberikan hak untuk menerbitkan regulasi, namun pada tahun

berikutnya hingga masa Perang Dunia II, kewenangan prefektur

kembali berkurang secara signifikan. Bahkan menurut Steiner,

prefektur tetap berkedudukan sebagai agen pemerintah pusat hingga

pertengahan tahun 1960-an (Jacobs, 2003: 616-617).

Mulai awal 1970-an, prefektur kembali memiliki kewenangan

dan peran yang lebih berarti, terutama di bidang pembinaan usaha kecil

dan menengah, juga dalam hal promosi pembangunan perkotaan dan

wilayah. Meskipun pemerintah pusat tetap menyediakan kerangka

kebijakan yang harus dipedomani dalam pengambilan keputusan,

namun prefektur dapat merumuskan rencana pembangunan jangka

panjang, yang menjadi pedoman bagi pemerintah municipal (Core

Cities dan Special Case Cities) untuk menyusun perencanaan

pembangunannya. Namun untuk daerah yang lebih kecil atau pedesaan,

fungsi perencanaan masih dipegang atau dilaksanakan oleh pemerintah

prefektur (Jacobs, 2003: 617).

Arah desentralisasi pada masa-masa sekarang lebih

menunjukkan terjadinya penguatan pemerintah daerah. Gubernur

- 97 -

(kepala prefektur), walikota, dan anggota local assemblies saat ini

dipilih langsung oleh masyarakat. Pemerintah prefektur dan municipal

juga memiliki kewenangan administratif yang komprehensif dalam

wilayahnya. Meskipun pemerintah pusat masih memiliki kantor

cabang di daerah, namun keduanya terpisah sama sekali dan tidak ada

hubungan koordinasi. Tidak ada satu lembagapun yang

merepresentasikan pemerintah pusat secara utuh dan penuh di daerah.

Dengan demikian, hal ini menegaskan pemerintah daerah sebagai unit

administratif yang komprehensif (Michihiro, 2007: 5).

Lahirnya Law Concerning the Provision of Related Laws for

the Promotion of Decentralisation of Power (Omnibus

Decentralisation Act) 1999 11 sebagai amandemen terhadap Local

Autonomy Law, semakin memperkokoh kedudukan dan fungsi

pemerintah daerah. Amandemen ini berisi tiga hal penting sebagai

berikut (Michihiro 2007: 5-6, 50-51; Sato 2001: 3-4):

1. Adanya kejelasan pembagian tanggung jawab antara pemerintah

pusat dan daerah.

Dalam hal ini, pemerintah daerah memiliki tanggungjawab luas

dalam seluruh urusan administrasi di wilayahnya, sedang

pemerintah pusat menangani urusan tentang eksistensi negara

dalam hubungan internasional, urusan-urusan umum yang lebih

efektif untuk diterapkan secara seragam di seluruh wilayah negara,

serta urusan yang berhubungan dengan kerangka hukum

pemerintah daerah.

11 Berlaku efektif mulai April 2000, sehingga sering dikenal pula dengan istilah

decentralization reform 2000.

- 98 -

2. Penghapusan aturan tentang fungsi-fungsi delegasi keagenan

(agency delegated function arrangement).

Fungsi delegasi ini sebelumnya melekat pada kepala pemerintah

daerah dalam kedudukan selaku agen pemerintah pusat atau

pemerintah atasan, namun sering dinilai sebagai sumber masalah

yang merusak hubungan kerjasama antara pusat dan daerah.

Dengan adanya amandemen UU otonomi daerah, agency delegated

function dihapuskan, dan fungsi pemerintahan di daerah dibedakan

kedalam dua kategori, yakni fungsi pemerintah daerah dan fungsi

mandat (statutory entrusted functions). Fungsi yang kedua ini

adalah fungsi yang didelegasikan kepada pemerintah daerah, yang

semula merupakan tanggungjawab pusat. Fungsi ini antara lain

meliputi penerbitan pasport, pengelolaan jalan nasional, dan

pengumpulan data statistik untuk keperluan pemerintah pusat atau

pemerintah prefektur.

Dengan penghapusan aturan tentang fungsi-fungsi delegasi

keagenan seperti butir diatas, fungsi pemerintah daerah mencakup

seluruh urusan diluar fungsi-fungsi dalam kategori statutory

entrusted functions. Dalam hal ini, fungsi pemerintah daerah

mencakup bidang-bidang yang teramat luas terdiri dari seluruh

aspek kehidupan bernegara selain urusan diplomasi, keamanan

nasional, peradilan, dan pununtutan umum (kejaksaan). 12 Pada

12 Pada dasarnya, pemerintah daerah bertanggungjawab dalam pemberian pelayanan

public seperti pendaftaran penduduk, pembangunan dan pengelolaan pusat

perawatan kesehatan, pendidikan pra sekolah (TK) dan pendidikan dasar 9 tahun

(SD-SMP), layanan perpustakaan, fasilitas umum (public halls and facilities),

konstruksi, pemeliharaan dan pengelolaan sampah, pembangunan dan peningkatan

- 99 -

saat yang sama, amandemen UU otonomi daerah juga menghapus

ketentuan yang mensyaratkan persetujuan dari pusat bagi

pemerintah daerah yang akan menerbitkan surat hutang (bond).

3. Peninjauan kembali fungsi partisipasi dalam pemerintahan.

Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat di era

desentralisasi luas, maka Konstitusi Jepang membolehkan

penerbitan anggaran dasar / anggaran rumah tangga untuk hal-hal

tertentu yang menguntungkan masyarakat pemilih. Selain itu,

masyarakat diberikan hak untuk meminta komisi audit atau

lembaga pemeriksa untuk melakukan investigasi terhadap

anggaran pemerintah daerah. Jika mereka masih kurang puas

dengan hasil kerja komisi audit, maka mereka dapat menempuh

jalur hukum melalui gugatan peradilan.

Meskipun karakteristik pemerintah daerah cukup beragam

secara populasi, luas wilayah dan besaran kewenangan, namun Local

Autonomy Law pada prinsipnya tetap menganut dan mengusahakan

adanya keseragaman struktur organisasi serta fungsi pemerintah daerah

(dengan pengecualian Tokyo dan kota-kota tertentu atau designated

cities).13 Penyeragaman ini didasarkan pada dua alasan utama, yaitu:

pertama, jenis-jenis dan kualitas pelayanan harus sama untuk seluruh

wilayah negara sesuai dengan standar yang ditetapkan pusat; dan kedua,

terlepas dari adanya perbedaan karakteristik masing-masing daerah,

jalan dan sarana parkir, serta pelayanan kepolisian dan pemadam kebakaran.

13 Kota-kota khusus atau Designated Cities tersebut meliputi Osaka, Nagoya, Kyoto,

Yokohama, Kobe, Kitakyushu, Sapporo, Kawasaki, Fukuoka, Hiroshima, Sendai,

Chiba, Saitama, Shizuoka, dan Hokkaido. Hamamatsu dan Niigata menyusul

ditetapkan sebagai Designated Cities pada bulan April 2007.

- 100 -

namun pemerintah daerah tetap harus tunduk pada pedoman dari

pemerintah pusat, dari pada mengembangkan kebijakan yang bersifat

kasuistis.

Selain itu, meskipun pemerintah pusat masih memiliki hak

intervensi, namun berdasarkan The Omnibus Decentralisation Act

1999, intervensi tersebut harus dilakukan seminimal mungkin dan

mengikuti tata cara tertentu.14 Pola seperti ini membentuk hubungan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang saling tergantung

dan saling melengkapi (Michihiro, 2007: 6-7).

Pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

memang dapat dikatakan unik. Disatu sisi, kontrol pusat kepada daerah

relatif kuat, namun disisi lain daerah memiliki fleksibilitas tinggi untuk

menetapkan kebijakan. Kondisi ini oleh Muramatsu (dalam Sato, 2001:

1) merupakan kombinasi dari model kontrol administratif secara

vertikal (perpendicular administrative control model) dengan model

kompetisi secara horizontal (horizontal political competition model).

Dalam model kombinasi tadi, pemberian otonomi dan fleksibilitas

diharapkan dapat memacu kompetisi antar daerah, namun tetap

diimbangi oleh pemberian pedoman dan kebijakan pusat yang berlaku

secara nasional.

3. Negara-Negara Timur Tengah dan Afrika Utara (MENA)

Kawasan Afrika pada umumnya dan negara-negara MENA

14 Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik yang muncul dalam

hubungan pemerintah pusat dan daerah di Jepang, dibentuk dewan tertentu yakni

Central-Local Government Dispute Resolution Council, dibawah struktur

Kementerian Manajemen Publik, Dalam Negeri, Pos dan Telekomunikasi.

- 101 -

(Middle East and North Africa, Timur Tengah dan Afrika Utara) pada

khususnya, memang sudah lama dikenal sebagai kawasan regional

yang memiliki karakter kuat sebagai bangsa-bangsa unitaris yang

sentralistis. Publikasi Tosun dan Yilmaz (2008) memberi gambaran

yang cukup komprehensif tentang sentralisasi, dekonsentrasi, dan

desentralisasi di wilayah yang sering dilanda konflik ini.

Mayoritas negara-negara MENA berbentuk kesatuan / unitaris,

kecuali Ethiopia, Sudan, dan Nigeria yang berbentuk federasi. Secara

teoretis, dalam negara kesatuan sangat dimungkinkan menerapkan pola

sentralisasi atau desentralisasi. Namun, sistem administrasi negara di

kawasan MENA ini cenderung sangat sentralistis, yang dilengkapi

dengan perangkat dekonsentrasi yang kompleks. Itulah sebabnya,

struktur pemerintahan daerah di negara-negara MENA hampir

seluruhnya menerapkan dekonsentrasi. Pengambilan keputusan,

khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, dilakukan oleh

pemerintah pusat, sedangkan peran provinsi atau governorates lebih

banyak untuk melaksanakan keputusan tersebut. Selanjutnya, ditingkat

yang lebih rendah, pada umumnya dibagi menjadi dua tipe

pemerintahan daerah, yakni unit dekonsentrasi dan unit desentralisasi

(municipal). Kedua tipe pemerintahan daerah ini memiliki sistem

operasi dan aturan yang sangat berbeda. Unit-unit dekonsentrasi

memberikan pelayanan publik dalam skala besar (misalnya pendidikan

dan kesehatan) dengan mengacu pada pedoman yang sangat rigid dari

pemerintah pusat. Sedangkan unit-unit desentralisasi menjalankan

fungsi yang lebih sedikit, misalnya pembangunan dan pemeliharaan

jalan lokal, penerangan jalan, pembuangan sampah, pelayanan

- 102 -

perpustakaan dan pertamanan, serta penerbitan ijin bangunan (Tosun

dan Yilmaz, 2008: 7-8).

Di semua negara yang disurvei (Iran, Yaman, Mesir, Gaza, dan

Tunisia), prinsip dekonsentrasi diterapkan di level provinsi, sedang di

level distrik hanya Iran, Yaman, dan Mesir yang memberlakukan

dekonsentrasi. Sedangkan desentralisasi hanya diletakkan pada level

distrik. Dengan demikian, terdapat dua pola dekonsentrasi –

desentralisasi di negara-negara MENA.

Pertama, dekonsentrasi diletakkan pada level provinsi dan

distrik, dengan provinsi berkedudukan selaku agen pusat yang

mengontrol pemerintahan pada level distrik. Pada saat yang bersamaan,

desentralisasi hanya diberikan kepada pemerintahan level distrik. Pola

ini dapat dijumpai di Iran, Yaman dan Mesir, namun di kedua negara

terakhir tidak ada data pendukung tentang desentralisasi di level distrik.

Pola kedua, dekonsentrasi hanya diterapkan di tingkat provinsi

sedangkan desentralisasi hanya untuk level distrik.

Hal yang menarik untuk disimak lebih jauh adalah bahwa pada

kasus di berbagai negara, agen pusat di daerah tadi diperankan oleh

provinsi. Di seluruh negara MENA, gubernur (Iran: Ostandar) diangkat

oleh presiden. Demikian pula pada level dibawahnya, kepala distrik

yang bersifat dekonsentratif diangkat oleh pemerintah pusat,

sedangkan kepala municipal yang bersifat desentralistik dipilih

langsung oleh rakyat. Khusus di Tunisia dan Gaza / Tepi Barat, tidak

terdapat pemerintahan daerah di bawah provinsi yang bersifat

dekonsentratif, sehingga kepala municipal langsung dipilih oleh rakyat.

- 103 -

4. Asia Tenggara

Kondisi di negara-negara MENA dapat ditemukan pula di

Vietnam. Smoke (2005: 26) menulis bahwa Vietnam menjadi negara

komunis yang sangat sentralistis seusai perang Vietnam (1959-1975).

Namun semenjak periode 1990-an, pemerintah mencoba

memperkenalkan bentuk baru hubungan pusat – daerah melalui

program reformasi ekonomi (doi moi). Dalam konsep ini, pusat masih

memegang kekuasaan secara substansial, namun provinsi sudah

diberikan beberapa diskresi (kewenangan). Provinsi memiliki

kekuasaan yang lebih besar, termasuk kewenangan terhadap

pemerintahan yang lebih rendah. Dengan demikian, kewenangan

dekonsentrasi dititikberatkan pada provinsi. Selain itu, tuntutan

terhadap partisipasi dan pemenuhan hak-hak politik semakin besar,

namun Vietnam tetap mempertahankan sistem partai tunggal yang

dikendalikan secara terpusat (a one-party state and a fairly centrally

driven system).

Kasus di Vietnam ini sangat mirip dengan kasus Kamboja yang

menempatkan dekonsentrasi pada provinsi dan desentralisasi pada

level dibawah provinsi (communes). Kewenangan provinsi dibatasi

berdasarkan Provincial Budget Law (1997), sedang desentralisasi di

level commune diatur dalam Law on Commune / Sangkat

Administrative Management dan Election Law (2001). Demikian pula

Thailand yang menggulirkan program reformasi dengan

memberlakukan Provincial Administration Act (1997) dan

Decentralization Act (1999). Regulasi pertama mengatur tentang

dekonsentrasi bagi provinsi, sedang aturan yang kedua menjabarkan

- 104 -

fungsi dan proses desentralisasi. Adapun Philipina, semenjak

kejatuhan Presiden Marcos tahun 1986 dan digantikan oleh rezim

demokratis dibawah Presiden Arroyo, lahir konstitusi baru tahun 1987

yang memberikan otonomi khusus kepada Muslim Mindanao dan

Cordilleras. Namun desentralisasi di Philipina lebih menguat lagi

semenjak tahun 1991 dengan lahirnya Local Government Code yang

memberi mandat untuk melakukan devolusi kepada pemerintah daerah

Smoke (2005: ibid.).

5. Inggris dan Perancis

Inggris Raya (United Kingdom) adalah salah satu negara

unitaris dengan karakter sentralisasi yang paling kuat di dunia, dengan

kekuasaan terpusat secara sangat kuat pada parlemen. Mayoritas

penduduk terkonsentrasi di Inggris (England) yang diperintah secara

langsung oleh departemen fungsional di tingkat pusat. Dalam

menjalankan tugasnya, departemen-departemen ini tidak didukung

oleh sistem koordinasi secara teritorial dengan otorina atau institusi di

daerah. Pola sentralistis di Inggris Raya ini mirip dengan sistem di

Finlandia dan Portugal, dimana administrasi sebagian besar wilayah

dikendalikan secara tersentral, sedangkan wilayah pinggiran terdapat

pemerintahan daerah otonom diberikan kekuasaan melalui devolusi

(Jeffery dan Wincott, 2006: 3-4). Dari perspektif desentralisasi fiskal,

Bird dan Smart (2001: 12) juga menyinggung kasus Inggris dan

Perancis untuk kasus negara maju. Struktur pemerintahan daerah di

Inggris atau Perancis disebut hanya berfungsi sebagai agen pemerintah

pusat, dibanding sebagai aktor yang mandiri. Konkritnya, hubungan

- 105 -

antara pusat dan daerah membentuk model principal-agent relations,

yakni sebuah pola relasi dimana pusat dapat secara sepihak mengubah

sistem yang sudah ada sebelumnya guna mengatasi masalah keagenan

atau karena perbedaan tujuan. Untuk kasus di negara berkembang,

China, Indonesia dan Vietnam dijadikan sebagai contoh negara yang

bercorak sentralistis sekaligus dekonsentratif.

Pernyataan Bird dan Smart diperkuat oleh Prud’ Homme (2003,

dalam Ferdiana, tanpa tahun: 4) yang melakukan kajian di berbagai

negara berkembang, terutama di Afrika. Hasil kajiannya mengatakan

bahwa proklamasi kemerdekaan di berbagai negara berkembang

menyebabkan semakin pentingnya rasa persatuan nasional sehingga

untuk sementara usaha menerapkan desentralisasi menjadi berkurang.

Dengan kata lain, pemerintah yang berkuasa setelah masa kolonial

berakhir cenderung tidak menyukai konsep desentralisasi, sehingga

pemerintah daerah dengan sengaja diposisikan hanya sebagai agen

pusat di daerah, bukan suatu unit yang otonom.

Demikian pula yang terjadi di Perancis. Meskipun saat ini telah

terjadi pergeseran peran Prefect, namun pada awalnya Prefect hanyalah

agen untuk mengeksekusi fungsi pemerintah pusat. Bizet (2002: 477-

478) menjelaskan bahwa relokasi kewenangan dan aparat pusat ke

provinsi (baca: dekonsentrasi) sejak tahun 1960-an adalah ekspresi dari

strategi rasionalisasi dan modernisasi organisasi pemerintahan. Hal ini

dilakukan sebagai alternatif terhadap desentralisasi skala besar (full

scale decentralization). Namun saat ini Prefect sudah dapat

mengembangkan program dan aspek personalianya bersama-sama

dengan pejabat yang dipilih (locally elected representatives). Selain itu,

- 106 -

ada 3 (tiga) kewenangan kementerian yang secara jelas diterjemahkan

menjadi perangkat dekonsentrasi di provinsi, yakni pejabat

administrasi (administrative corps), struktur lokal untuk pelaksanaan

fungsi pemerintah pusat (local structures for implementation), serta

aparat pengawasan umum (general inspection).

Pengalaman Perancis memberi pelajaran tentang batas-batas

antara urusan desentralisasi dengan dekonsentrasi. Dalam kaitan ini,

untuk meningkatkan kejelasan batas-batas fungsi/wewenang dalam

urusan dekonsentrasi, Perancis menetapkan adanya 3 (tiga) perangkat

dekonsentrasi yang bertugas menjalankan kewenangan kementerian di

tingkat provinsi, yakni pejabat administrasi (administrative corps),

struktur lokal untuk pelaksanaan fungsi pemerintah pusat (local

structures for implementation), serta aparat pengawasan umum

(general inspection) (Bizet, 2002: 479). Dengan kata lain, Perancis

lebih menggunakan pendekatan perangkat dekonsentrasi yang limitatif,

dan tidak memulai dari pembagian urusan dekonsentrasinya. Setelah

ditetapkan perangkat tadi, barulah diberikan program-program

dekonsentrasinya. Dalam hal ini, Bizet (2002: 478) menyebutkan ada

delapan program atau urusan dekonsentrasi yang diimplementasikan

sejak tahun 1983-1986, yakni planning, training and education, urban

planning, health and social action, ports and rivers, school transport,

public teaching, dan culture.

6. Yunani

Yunani juga cukup menarik untuk dicermati. Negara kesatuan

Yunani terbagi menjadi 13 wilayah geografis (diamerismata) yang

- 107 -

memiliki kewenangan dan tanggung jawab administrasi relatif kecil.

Wilayah Yunani secara administratif dibagi menjadi municipalities dan

communities, prefectures dan districts. Districts bertanggung jawab

secara langsung kepada pemerintah pusat, sedangkan prefectures,

municipalities dan communities, secara administratif dan finansial

otonom, dengan tetap mendapatkan pengawasan dari pusat (Elgar

encyclopedia Greece's report). Kepala District atau Departments

(nomoi) ditunjuk/diangkat oleh prefect (nomarkhis), dan ini

menunjukkan bahwa Distrik cenderung menerapkan prinsip

dekonsentrasi dibanding desentralisasi. Yunani memang dikenal

dengan sistem pemerintahan yang sentralistik, sehingga pemerintah

daerah tidak memiliki hak untuk menggali sumber pendapatannya

sendiri. Yunani mulai mempromosikan desentralisasi semenjak

dilakukan amandemen konstitusi tahun 2001 (Ensiklopedi Britanica).

Dalam bentuk tabel, model desentralisasi dan dekonsentrasi dari

pengalaman beberapa negara beserta level pemerintahan yang

menyelenggarakannya, dapat dilihat sebagai berikut.

Dari berbagai model di beberapa negara di dunia diatas dapat

disederhanakan dalam matriks dibawah ini.

Tabel 3.5. Model Dekonsentrasi – Desentralisasi di Beberapa Negara

Negara Model Dekonsentrasi – Desentralisasi

Iran (plus Yaman dan

Mesir)

• Dekonsentrasi di provinsi (Iran: Ostandar; Yaman

/ Mesir: governorates).

• Dekonsentrasi di distrik (Iran: Shahrestan; Mesir:

Markaz).

• Desentralisasi di municipal (Iran: Shahr).

Tunisia dan Tepi

Barat • Dekonsentrasi di provinsi (governorates).

• Desentralisasi di municipal.

- 108 -

Vietnam Dekonsentrasi di provinsi.

Kamboja • Dekonsentrasi di provinsi.

• Desentralisasi di communes.

Philipina • Devolusi di unit sub-provincial (cities,

municipalities, barangay / village).

• Provinsi masih memegang peran penting terhadap

unit sub-provincial.

Thailand • Dekonsentrasi di provinsi dan distrik (sebelum

1997).

• Desentralisiasi di municipalities, districts, dan

subdistricts (setelah 1997).

Yunani • Dekonsentrasi di distrik.

• Desentralisasi di prefectures, municipalities dan

communities.

Sumber: Tosun dan Yilmaz (2008), Smoke (2005), diolah.

I. Lessons Learned Penataan Dekonsentrasi untuk Indonesia

Berdasarkan Pengalaman Internasional

Dari pengalaman berbagai negara diatas, cukup banyak hal

yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran bagi Indonesia untuk

memperbaiki kebijakan dan praktek dekonsentrasi agar lebih efektif

sebagai instrumen pemerintah pusat untuk menjamin berjalannya

fungsi pusat di daerah.

Pengalaman China memberi pelajaran mengenai titik berat

otonomi daerah, yang diletakkan pada tingkat desa (village dan

township), sedang dekonsentrasi lebih banyak berada di tingkat

provinsi dan dewan negara (state council). Selain itu, pengalaman

China menunjukkan adanya link (hubungan) yang kokoh antara pusat

dan daerah, yakni dalam wujud Kongres Rakyat Lokal (Local People

Congresses) dan Dewan Negara China (State Council of China).

Lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan

- 109 -

pengawasan, termasuk pengujian produk hukum yang dikeluarkan oleh

pemerintah daerah.

Pada kasus Indonesia, link hirarkhis antara kabupaten/kota

dengan provinsi sempet terputus dengan lahirnya UU No. 22/1999,

sementara hubungan pusat dan daerah cenderung melemah karena

fungsi pemerintah pusat hanya direpresentasikan oleh satu orang yakni

gubernur.

Selanjutnya, China juga memberi pelajaran berharga dalam

pembagian wewenang pemerintah pusat dan daerah. Di China, urusan

pusat dan daerah sangat serupa dilihat dari konten atau isinya, hanya

berbeda dalam lingkup wilayah administrasi, dimana pusat memegang

dan menjalankan urusan administrasi negara serta membuat kebijakan

secara makro pada lingkup nasional, sedang pemerintah daerah

memegang fungsi yang sama untuk wilayah daerahnya masing-masing.

Konsep pembagian kewenangan tersebut lebih bersifat pembagian

secara fungsional teritorial daripada substansial. Substansi dikerjakan

secara bersama-sama, namun wilayah kerja berbeda-beda.

Mengacu pada PP No. 38/2007, Indonesia sebenarnya juga

menerapkan model kemiripan antara kewenangan pusat dan daerah.

Namun, kewenangan daerah tersebut adalah kewenangan otonom yang

lahir dari asas desentralisasi. Maka menjadi rancu jika fungsi

dekonsentrasi juga sama dengan kewenangan otonomi daerah tersebut.

Sementara di China, karena provinsi dan dewan negara hanya

menjalankan asas dekonsentrasi, maka wajar jika ada kesamaan urusan.

Dari Jepang, Indonesia juga bisa menarik banyak pelajaran.

Satu hal yang sangat mendasar dan dapat dijadikan pelajaran adalah

- 110 -

bahwa pemerintah Jepang memiliki komitmen yang sangat besar untuk

terus memperkuat desentralisasi kepada daerah dengan memberi

kewenangan yang semakin banyak disertai fleksibilitas pengelolaan

keuangan. Bahkan dengan amandemen UU otonomi, pemerintah

membatasi sendiri kewenangannya untuk melakukan intervensi kepada

kebijakan di tingkat daerah, serta menghapus fungsi-fungsi

dekonsentrasi (agency delegated function).

Jepang juga memberi pelajaran tentang derajat desentralisasi

secara berbeda antar daerah berdasarkan tingkat kemajuan daerah yang

diindikasikan oleh jumlah penduduk, kemampuan menyerap tenaga

kerja, serta kapasitas ekonomi. Semakin tinggi tingkat kemajuan

daerah, maka semakin besar punya kewenangan yang dapat dimiliki

atau dijalankan. Dalam kaitan ini, pemerintah pusat memberi peluang

besar kepada daerah untuk mendapatkan otonomi yang luas melalui

penggabungan (amalgamasi) beberapa daerah menjadi daerah inti.

Semakin besar kapasitas ekonomi suatu wilayah akibat penggabungan

tadi, maka semakin besar derajat otonomi yang akan diberikan oleh

pemerintah pusat.

Dalam konteks Indonesia, program dekonsentrasi sebenarnya

dapat diarahkan sebagai mekanisme pancingan atau stimulus untuk

mendorong perkembangan pembangunan daerah. Dengan menjadikan

dekonsentrasi sebagai model subsidiarity, maka akan dapat

dihindarkan tumpang tindih program maupun anggaran dekonsentrasi

dengan program dan anggaran lainnya.

Selanjutnya, dari Perancis ada beberapa pelajaran yang bisa

diambil, salah satunya tentang institusi penyelenggara dekonsentrasi.

- 111 -

Di Perancis, fungsi dekonsentrasi dijalankan oleh State’s field services,

yakni institusi yang dibentuk untuk menjalankan kepentingan dan

urusan pusat di daerah, semacam kantor wilayah dalam model UU No.

5/1974 di Indonesia. Kedudukan Prefect sebagai “overlord” pun juga

mirip dengan kedudukan kepala wilayah dalam model UU No. 5/1974

yakni sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Sementara di Indonesia,

saat ini perangkat dekonsentrasi hanya diduduki oleh gubernur, itupun

tidak memiliki kewenangan yang lemah, jauh dibanding dengan

“penguasa tunggal”.

Dalam fungsinya selaku aparat dekonsentrasi atau kepanjangan

tangan pusat, prefect bertanggungjawab terhadap kepentingan nasional,

pengawasan administratif, serta penegakan dan penghormatan

terhadap hukum. Ini sesungguhnya adalah tugas-tugas yang dalam

terminologi pemerintahan di Indonesia disebut dengan istilah fungsi

pemerintahan umum, yang secara akronim kadang dikenal dengan

tugas-tugas korwasbindal (koordinasi, pengawasan, pembinaan dan

pengendalian).

Pelajaran lain yang sangat baik adalah bahwa sebagai wujud

keseimbangan desentralisasi dengan dekonsentrasi, pemerintah pusat

di Perancis memiliki kewenangan untuk mengawasi unit sub-nasional

melalui instrumen ‘tutelle’ (administrative, technique et financière).

Tutelle mensyaratkan setiap kebijakan pemerintah daerah harus

mendapatkan persetujuan lebih terlebih dahulu dari prefect sebelum

diimplementasikan (prinsip a priori atau ex ante facto law review).

Namun sejak lahirnya Loi Deferre 1982, kontrol pusat terhadap unit

sub-nasional berkurang, dan memberikan kebebasan yang lebih besar

- 112 -

kepada unit sub-nasional. Dalam hal ini, instrumen tutelle diganti

dengan sistem evaluasi setelah pemberlakuan suatu aturan tertentu (ex

post facto law review). Model keseimbangan perangkat dekonsentrasi

(gubernur selaku wakil pemerintah atau siapapun juga nantinya)

seperti inilah yang harus dibangun untuk menjamin efektivitas

program dekonsentrasi di Indonesia.

- 113 -

BAB IV

TINJAUAN NORMATIF DAN EMPIRIS PELAKSANAAN

DEKONSENTRASI DI INDONESIA

A. Tinjauan Normatif Dekonsentrasi

Dilihat dari perspektif kesejarahan, penafsiran dan penerapan

fungsi dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia

mengalami pasang surut yang sangat kentara. Hal ini dapat dicermati

dari pengaturan tentang dekonsentrasi yang bervariasi diantara

peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah di

Indonesia, sebagaimana uraian pada Tabel dibawah ini.

Tabel 4.1. Pengaturan Dekonsentrasi Dalam Berbagai Produk

Hukum tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia (1948-

2004)

Sumber Hukum Substansi Pengaturan tentang Dekonsentrasi

UU No. 22/1948 dan UU No. 1/1957

Tidak ada klausul yang mengatur tentang fungsi dekonsentrasi dan kedudukan gubernur (Kepala

Daerah Tingkat I).

TAP MPRS No. XXI/MPRS/1966

tentang Pemberian Otonomi seluas-

luasnya kepada

Daerah

• Dekonsentrasi dinyatakan sebagai komplemen saja sekalipun dengan

predikat ”Vital”.

• Sebagai tindak lanjut dari Tap ini, telah

disusun RUU Kedudukan dan Hubunggan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan

Amanat Presiden No.

R.36/PRES/HK/3/1968 tanggal 16-3-1968, namun sayangnya tidak ada tindak lanjut

dari RUU tersebut.

UU No. 18/1965

tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah

• “Pemerintah akan terus dan konsekwen

mendjalankan politik desentralisasi jang kelak akan mengarah kearah tertjapainja

desentralisasi teritorial jaitu meletakkan

- 114 -

tanggung djawab teritorial riil dan seluas-

luasnja dalam tangan Pemerintah Daerah, disamping mendjalankan politik

dekonsentrasi sebagai komplement jang

vital” (Penjelasan, Angka III. Urusan

Rumah Tangga Daerah dan Urusan Tugas Pembantuan).

• Urusan-urusan Pemerintah Pusat, sebagian atau seluruhnja jang menurut pertimbangan

Pemerintah Pusat dapat dipisahkan dari

tangan Pemerintah Pusat untuk diatur dan

diurus sendiri oleh Daerah, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan

mendjadi urusan rumah-tangga Daerah

(Pasal 40).

• Kepala Daerah adalah alat Pemerintah Pusat

sekaligus alat Pemerintah Daerah (Pasal 44). Sebagai alat Pemerintah Pusat, Kepala

Daerah:

o Memegang pimpinan kebidjaksanaan

politik polisionil didaerahnja, dengan mengindahkan wewenang-wewenang

jang ada pada pendjabat-pendjabat jang

berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan jang berlaku;

o Menjelenggarakan koordinasi antara

djawatan-djawatan Pemerintah Pusat di Daerah dan antara djawatan-djawatan

tersebut dengan Pemerintah Daerah;

o Melakukan pengawasan atas djalannja

Pemerintah Daerah; o Mendjalankan tugas-tugas lain jang

diserahkan kepadanja oleh Pemerintah

Pusat.

UU No. 5/1974 tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan

di Daerah

• Dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, azas dekonsentrasi

bukan sekedar komplemen atau pelengkap

terhadap azas desentralisasi, akan tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan

pemerintah di daerah. Urusan-urusan yang

dilimpahkan oleh Pemerintah kepada

- 115 -

pejabat-pejabatnya di daerah menurut azas

dekonsentrasi tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah baik mengenai perencanaan,

pelaksanaan maupun pembiayaannya, Unsur

pelaksana adalah instansi-instansi Vertikal,

yang dikordinasikan oleh Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku perangkat

Pemerintah, tetapi kebijaksanaan terhadap

pelaksanaan urusan dekonsentrasi sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah.

• Kepala Wilayah (termasuk Gubernur) dalam

semua tingkat sebagai wakil Pemerintah Pusat adalah Penguasa Tunggal di bidang

Pemerintahan di Daerah.

• Menimbang butir f: ”... hubungan yang

serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah

atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan otonomi Daerah

yang nyata dan bertanggung jawab yang

dapat menjamin perkembangan dan

pembangunan Daerah dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”.

• Pasal 73: ”Apabila dipandang perlu, Menteri

Dalam Negeri dapat menunjuk Pembantu

Gubernur, Pembantu Bupati atau Pembantu

Walikotamadya yang mempunyai wilayah kerja tertentu dalam rangka dekonsentrasi”.

• Penjelasan Umum angka 2 butir c: ”Wilayah

yang dibentuk berdasarkan azas dekonsentrasi disebut Wilayah

Administratip yang dalam Undang-undang

ini selanjutnya disebut "Wilayah". Wilayah-wilayah disusun secara vertikal dan

merupakan lingkungan kerja perangkat

Pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di daerah.

Pembentukan Wilayah-wilayah dalam

susunan Vertikal adalah untuk meningkatkan

pengendalian dalam rangka menjamin kelancaran penyelenggaraan pemerintahan”.

- 116 -

• Penjelasan Umum angka 3 butir c: ”Oleh

karena tidak semua urusan pemerintahan

dapat diserahkan kepada Daerah menurut azas desentralisasi, maka penyelenggaraan

berbagai urusan pemerintahan di daerah

dilaksanakan oleh perangkat Pemerintah di

daerah berdasarkan azas dekonsentrasi. Urusan-urusan yang dilimpahkan oleh

Pemerintah kepada pejabat-pejabat di daerah

menurut azas dekonsentrasi ini tetap menjadi tanggungawab Pemerintah Pusat

baik mengenai perencanaan, pelaksanaan

maupun pembiayaannya. Unsur pelaksanaanya adalah terutama Instansi-

instansi Vertikal, yang dikoordinasikan oleh

Kepala Daerah dalam kedudukannya selaku

perangkat Pemerintah Pusat, tetapi kebijaksanaan terhadap pelaksanaan urusan

dekonsentrasi tersebut sepenuhnya

ditentukan oleh Pemerintah Pusat.

UU No. 22/1999 tentang

Pemerintahan

Daerah

• Propinsi berkedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah

Administrasi, yang melaksanakan

kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur. Daerah

Propinsi bukan merupakan Pemerintah

atasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah

Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah

Kota tidak mempunyai hubungan hierarki

(Penjelasan Umum, butir 1F).

• Gubernur berkedudukan sebagai kepala

Daerah sekaligus Wakil Pemerintah.

• Pasal 8 (2): ”Kewenangan Pemerintahan

yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam

rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan

yang dilimpahkan tersebut”.

• Pasal 9 (3): ”Kewenangan Propinsi sebagai

Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang Pemerintahan

- 117 -

yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku

Wakil Pemerintah”.

• Pasal 63: ”Penyelenggaraan wewenang yang

dilimpahkan oleh Pemerintah kepada

Gubernur selaku wakil Pemerintah dalam

rangka dekonsentrasi, sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi”.

UU No. 32/2004

tentang Pemerintahan

Daerah

Gubernur sebagai Kepala Daerah Provinsi

berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah dalam pengertian untuk menjembatani

dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan

tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam

pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada

strata pemerintahan kabupaten dan kota

(Penjelasan Umum, butir 4. Pemerintahan Daerah).

Dari deskripsi substansial pada seluruh UU yang mengatur

tentang pemerintahan daerah diatas, dapat ditarik beberapa intisari

penting yang berhubungan dengan dekonsentrasi, yakni:

1. Pada periode 1948 hingga 1959, praktek dekonsentrasi sangat

lemah. Selain tidak ada pengaturan secara eksplisit di dalam UU

No. 22/1948 dan UU No. 1/1957, juga dikarenakan semangat dasar

dari kedua UU tersebut yang lebih bercorak desentralistis. Nuansa

desentralistis ini kemungkinan besar mendapat pengaruh dari dua

kondisi, yaitu: 1) praktek pemerintahan daerah yang sebelumnya

sangat desentralistis, terutama pada masa penjajahan Belanda dan

pendudukan Jepang; dan 2) sistem ketatanegaraan Indonesia yang

masih labil, yang mengarah pada penerapan demokrasi liberal dan

sistem pemerintahan parlementer, serta ditandai pula dengan

- 118 -

perubahan bentuk negara menjadi negara federal (Republik

Indonesia Serikat).1

2. Pada periode 1959 hingga 1966, dengan ditandai oleh keluarnya

Dekrit Presiden, bandul politik berubah menjadi sangat sentralistis,

yang dikenal dengan demokrasi terpimpin (guided democracy).

Semangat sentralisme ini nampaknya diwadahi lebih lanjut

kedalam UU No. 18/1965, sehingga wajar jika dekonsentrasi hanya

dinilai sebagai pelengkap (meskipun dengan predikat vital).

Dengan demikian, perubahan bandul politik kearah sentralisme

berkorelasi secara langsung dengan perubahan bandul hubungan

antar susunan pemerintahan yang mengarah pada dekonsentrasi.

Kondisi ini berlangsung terus hingga tahun 1974.

3. Pada periode 1974 hingga 1999, ditandai oleh sebuah pelanggaran

prinsip dekonsentrasi. Hal ini dapat diamati dari semangat UU No.

5/1974 yang menegaskan bahwa azas dekonsentrasi bukan sekedar

komplemen atau pelengkap terhadap azas desentralisasi, akan

tetapi sama pentingnya dalam penyelenggaraan pemerintah di

daerah. Namun dalam kenyataannya asas dekonsentrasi jauh lebih

dominan dibanding desentralisasi. Bahkan banyak pakar yang

1 Republik Indonesia Serikat secara resmi terbentuk pada tanggal 27 Desember 1949

yang ditandai dengan dilakukannya penandatanganan naskah pengakuan

kedaulatan di negeri Belanda oleh Presiden Soekarno dan menyerahkan kekuasaan

di Jakarta. Pada tanggal yang sama di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat. Pada

tanggal 17 Agustus 1950, bentuk negara RIS berubah kembali menjadi Negara

Kesatuan RI, namun tetap mempertahankan demokrasi liberal dan sistem

pemerintahan parlementer. Pada periode Desember 1949 sampai dengan Juli 1959

telah terjadi pergantian kabinet sebanyak sembilan kali. Lihat: Jakarta Post

www.thejakartapost.com/resources/cabinet/cabinet.asp

- 119 -

menyebutkan bahwa era ini adalah era yang sentralistis (lihat lagi

bagian awal Bab ini).

4. Pada periode 1999 hingga 2004, sudah terdapat kemajuan yang

cukup penting tentang pengaturan dekonsentrasi, yakni dengan

munculnya peraturan pemerintah (PP) yang secara khusus

mengatur tentang dekonsentrasi. Namun yang menjadi persoalan

adalah adanya implementation gap, yakni kesenjangan antara

aturan tertulis dengan praktek nyata di lapangan. Dengan kata lain

PP dekonsentrasi (PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008) belum dapat

diterapkan sepenuhnya. Faktor penyebab kurang berfungsinya

kedua PP ini salah satunya adalah kurang harmonisnya koordinasi

antar instansi di pusat, khususnya antara Departemen Dalam

Negeri dan Departemen Keuangan (lihat White and Smoke, 2005:

8).

Kemungkinan faktor penyebab lainnya adalah belum tersusunnya

aturan pelaksanaan sebagai penjabaran dari butir-butir yang

terkandung didalamnya, yang seharusnya menjadi pedoman bagi

pemerintah daerah untuk mengimplementasikan kebijakan pusat

tentang dekonsentrasi. Tabel dibawah memberikan gambaran

tentang pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam rangka

pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No. 7/2008.

- 120 -

Tabel 4.2. Pengaturan lebih lanjut yang dibutuhkan dalam

rangka pelaksanaan PP No. 39/2001 dan PP No.

7/2008

Bentuk Aturan PP No. 39/2001 PP No. 7/2008

Pengaturan berbentuk Peraturan (Regeling)

Peraturan Menteri Dalam

Negeri

– Tata cara pendanaan tugas pembantuan (pasal 48)

– Penyusunan dan penyampaian laporan

kegiatan tugas pembantuan

provinsi kepada

pemerintah kabupaten/kota dan desa (pasal 62 dan 63)

– Penyusunan dan penyampaian laporan kegiatan tugas pembantuan

kabupaten/kota kepada

pemerintah desa (pasal 64)

– Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

dilimpahkan oleh

pemerintah (pasal 17)

Peraturan Menteri

Keuangan

– Pedoman pengelolaan dana dekonsentrasi dan

dana tugas pembantuan

(pasal 79)

Peraturan Menteri/Pimpin

an Lembaga

– Lingkup urusan pemerintahan yang akan

ditugaskan kepada

gubernur (pasal 39).

Peraturan Gubernur

– Pembentukan Tim Koordinasi

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang

dilimpahkan oleh

pemerintah (pasal 17)

- 121 -

– Lingkup urusan pemerintahan yang akan

ditugaskan kepada

bupati/walikota dan/atau kepala desa (pasal 40)

Peraturan Bupati / Walikota

– Lingkup urusan pemerintahan yang akan

ditugaskan kepada kepala desa (pasal 41)

– Pembentukan Tim Koordinasi Penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang

dilimpahkan oleh

pemerintah (pasal 44)

Peraturan perundang-

undangan

tersendiri

Rincian kewenangan yang

dilimpahkan

kepada gubernur atau perangkat

pusat di daerah

(pasal 16)

Pengaturan berbentuk Keputusan (Beschikking)

Keputusan Presiden

Tata cara pelimpahan

wewenang pemerintahan

kepada gubernur

dan atau perangkat pusat di daerah

(pasal 4)

Tata cara penarikan

kewe-nangan yang dilimpahkan

kepada gubernur

dan atau perangkat pusat di daerah

(pasal 13)

- 122 -

Keputusan Menteri

Keuangan

Tata cara penyaluran biaya

penyelenggaraan

wewe-nang yang dilimpahkan

kepada gubernur

dan atau perangkat

pusat di daerah (pasal 8)

Keputusan Bupati / Walikota

– Kegiatan tugas pembantuan provinsi yang dilaksanakan oleh SKPD

kabupaten/kota (pasal 62)

Paparan diatas adalah analisis substantif asas dekonsentrasi

dalam level politis, yakni undang-undang.2 Selanjutnya, analisis pada

level politis ini dapat diturunkan pada organizational level yang

menyediakan aturan tentang dekonsentrasi adalah PP No. 39/2001

yang merupakan penjabaran dari UU No. 22/1999, serta PP No. 7/2008

yang merupakan penjabaran dari UU No. 32/2004. Dalam hal ini,

pengaturan secara lebih detil dalam kedua PP tersebut dapat disimak

perbandingannya dalam Tabel dibawah ini.

2 Meminjam model analisis kebijakan Bromley (1989), pengaturan sebuah substansi

kebijakan pada tataran UU dan Tap MPR dapat dikategorikan pada policy level.

Pada berbagai kasus, mandat pada policy level ini membutuhkan upaya

penerjemahan atau penjabaran melalui proses institutional arrangements pada

level organisasional.

- 123 -

Tabel 4.3. Perbandingan Pengaturan Dekonsentrasi Dalam PP No.

39/2001 dan PP No. 7/2008

Dimensi PP No. 39 Tahun 2001 PP No. 7 Tahun 2008

Definisi

Dekonsentrasi

Pelimpahan wewenang

dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil

Pemerintah dan/atau

Perangkat Pusat di Daerah.

Pelimpahan wewenang

dari Pemerintah kepada gubernur sebagai wakil

Pemerintah dan/atau

kepada Instansi Vertikal di wilayah tertentu.

Cakupan Dana Dekonsentrasi

– Semua penerimaan dan pengeluaran dalam

rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak

termasuk dana yang

dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di

daerah.

Sumber Dana

Dekonsentrasi

Biaya untuk

penyelenggaraan kewenangan

dilimpahkan kepada

Gubernur dan atau

Perangkat Pusat di Daerah dibebankan pada

APBN sesuai besaran

kewenangan dan beban tugas yang dilimpahkan.

Pelaksanaan pelimpahan

sebagian urusan pemerintahan dari

Pemerintah kepada

instansi vertikal di daerah

didanai melalui anggaran kementerian/lembaga.

Penyelenggaraan Dekonsentrasi

– • Dilakukan melalui pelimpahan sebagian

urusan pemerintahan

yang menjadi kewenangan K/L, dan

didanai melalui

anggaran K/L.

• Urusan pemerintahan

yang dilimpahkan

kepada gubernur

dilaksanakan oleh SKPD provinsi

- 124 -

berdasarkan

penetapan gubernur.

• Urusan pemerintahan

yang dilimpahkan

kepada gubernur tidak

boleh dilimpahkan

kepada bupati/walikota.

• Ruang lingkup

dekonsentrasi

mencakup aspek penyelenggaraan,

pengelolaan dana,

serta

pertanggungjawaban dan pelaporan.

Pelimpahan Urusan / Kewenangan

• Pelimpahan kewenangan disertai

dengan pembiayaan yang sesuai dengan

besaran kewenangan

yang dilimpahkan.

• Pelimpahan

kewenangan dapat dilakukan kepada

seluruh Gubernur

atau Perangkat Pusat di Daerah atau

kepada Gubernur

atau Perangkat Pusat di Daerah tertentu.

• Kewenangan yang

dapat dilimpahkan

meliputi sebagian

kewenangan di bidang politik luar

negeri, hankam,

peradilan, moneter dan fiskal, agama

dan kewenangan

bidang lain.

Selain dilimpahkan kepada gubernur, sebagian urusan

pemerintahan dapat pula

dilimpahkan kepada

Instansi Vertikal atau pejabat Pemerintah di

daerah

- 125 -

• Menteri / Pimpinan

Lembaga dapat

memprakarsai pelimpahan

kewenangan sesuai

dengan bidang

kewenangannya.

• Ada 13 urusan yang

dapat dilimpahkan

kepada Gubernur.

Tata Cara Pelimpahan

• Dalam hal Presiden

melimpahkan kewenangannya

kepada Gubernur,

dapat langsung

menetapkan melalui Keputusan Presiden.

• Dalam rangka

pelimpahan

wewenang pemerintahan kepada

Gubernur / Perangkat

Pusat di Daerah,

Menteri/Pimpinan Lembaga

memprakarsai

dengan menentukan jenis kewenangan

yang akan

dilimpahkan, kemudian ditetapkan

dengan Keputusan

Presiden;

• Jenis kewenangan

yang akan dilimpahkan terlebih

dahulu

dikonsultasikan dengan instansi

terkait dan

• Setelah

ditetapkannya pagu indikatif, K/L

memprakarsai dan

merumuskan urusan

pemerintahan yang akan dilimpahkan

kepada gubernur

paling lambat pertengahan Maret

untuk tahun anggaran

berikutnya.

• Rumusan tentang

urusan pemerintahan yang akan

dilimpahkan

dituangkan dalam rancangan Renja-KL

dan disampaikan

kepada Bappenas sebagai

bahan koordinasi

dalam

Musrenbangnas.

• K/L memberitahukan

kepada gubernur

mengenai lingkup

urusan pemerintahan yang akan

dilimpahkan

(dituangkan dalam

- 126 -

Gubernur/Perangkat

Pusat di Daerah ybs.

Peraturan Menteri /

Pimpinan Lembaga), paling lambat

pertengahan Juni

untuk tahun anggaran

berikutnya setelah ditetapkannya pagu

sementara.

• Peraturan Menteri /

Pimpinan Lembaga disampaikan kepada

gubernur dengan

tembusan kepada

Mendagri, Menkeu, dan Bappenas paling

lambat minggu I

Desember untuk tahun anggaran

berikutnya setelah

ditetapkannya Perpres Rincian

APBN.

Tata Cara

Penyelenggaraan • Bagi Daerah yang

belum ada instansi

vertikal untuk melaksanakan

sebagian

kewenangan di bidang politik luar

negeri, hankam,

peradilan, moneter

dan fiskal, dan agama yang

dilimpahkan,

dibentuk instansi vertikal dengan

menetapkan susunan

organisasi, formasi dan tatalaksananya.

• Penyelenggaraan

kewenangan di

bidang lain yang

• Dalam

penyelenggaraan

urusan pemerintahan yang dilimpahkan

oleh Pemerintah,

gubernur melakukan penyiapan perangkat

daerah yang akan

melaksanakan

program dan kegiatan

dekonsentrasi serta

koordinasi, pengendalian,

pembinaan,

pengawasan dan pelaporan.

• Gubernur

membentuk tim

koordinasi yg

- 127 -

diterima Gubernur,

pelaksanaannya dilakukan oleh Unit

Organisasi yang ada

dalam Dinas

Provinsi.

• Dalam hal di

Provinsi belum ada

Dinas yang tepat

untuk menangani suatu bidang

kewenangan yang

dilimpahkan,

Gubernur dapat menugaskan

Perangkat Daerah

lainnya atau membentuk unit

pelaksana secara

khusus.

• Dalam

menyelenggarakan

kewenangan yang

dilimpahkan,

Gubernur memberitahukan

kepada DPRD.

ditetapkan dengan

Pergub berpedoman pada Permendagri.

• Gubernur

memberitahukan

kepada DPRD

berkaitan dengan penyelenggaraan

urusan pemerintahan

tersebut.

Tanggung jawab Gubernur

• Mengkoordinasikan

Perangkat Daerah dan Pejabat Pusat di

Daerah serta antar

Kabupaten dan Kota

di wilayahnya sesuai bidang tugas yang

berkaitan dengan

kewenangan yang dilimpahkan;

• Melakukan fasilitasi

Terselenggaranya

pedoman, norma, standar, arahan,

pelatihan, dan

- 128 -

supervisi, serta

melaksanakan pengendalian dan

pengawasan;

• Memberikan saran

dan pertimbangan

kepada Pemerintah berkenan dengan

penyelenggaraan

kewenangan pemerintahan di

wilayahnya.

• Memperhatikan

standar, norma, dan

kebijakan Pemerintah;

keserasian,

kemanfaatan, kelancaran

pelaksanaan tugas

pemerintahan dan pembangunan; dan

standar pelayanan

minimal.

Tata Cara Penarikan

Pelimpahan

• Penarikan urusan

pemerintahan yang dilimpahkan dapat

dilakukan apabila

urusan pemerintahan tidak

dapat dilanjutkan

karena Pemerintah

mengubah kebijakan atau apabila

Gubernur /

Perangkat Pusat di Daerah

mengusulkan untuk

ditarik sebagian atau seluruhnya.

• Menteri / Pimpinan

Lembaga

• Penarikan urusan

pemerintahan yang dilimpahkan dapat

dilakukan apabila

urusan pemerintahan tidak dapat

dilanjutkan karena

Pemerintah

mengubah kebijakan dan/atau pelaksanaan

urusan pemerintahan

tidak sejalan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

• Penarikan dilakukan

melalui penetapan Peraturan Menteri /

Lembaga, dengan

- 129 -

mengevaluasi

penyelenggaraan kewenangan yang di

limpahkan dan

menyampaikan

hasilnya kepada Gubernur /

Perangkat Pusat di

Daerah.

• Berdasarkan hasil

evaluasi, Menteri /

Pimpinan Lembaga

dapat menarik

sebagian atau seluruh kewenangan

yang dilimpahkan

setelah berkoordinasi

dengan Mendagri &

instansi terkait, dengan

memberitahukan

alasan dan

pertimbangannya.

• Penarikan

kewenangan yang

dilimpahkan

ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Jika dalam waktu 6

bulan sejak usul penarikan belum

ditetapkan Keppres,

Gubernur /

Perangkat Pusat di Daerah dapat

menghentikan

sepihak penyelenggaraan

kewenangan yang

dilimpahkan.

tembusan Mendagri,

Menkeu, dan Bappenas.

• Peraturan tersebut

digunakan oleh

Menkeu sebagai

dasar pemblokiran dokumen anggaran

dan penghentian

pencairan dana.

- 130 -

Prinsip Pendanaan

• Penganggaran dan

pengelolaan keuangan dalam

penyelenggaraan

kewenangan yang dilimpahkan

dilakukan secara

terpisah dari APBD

sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.

• Ketentuan lebih

lanjut tentang tata cara penyaluran

biaya

penyelenggaraan wewenang yang

dilimpahkan kepada

Gubernur atau

perangkat Pusat di Daerah, ditetapkan

dengan Kep.

Menkeu.

• Dalam hal

pelaksanaan

kewenangan yang

dilimpahkan menghasilkan

penerimaan, maka

penerimaan tersebut

merupakan penerimaan Negara

dan wajib disetor ke

Kas Negara.

• Pendanaan

dekonsentrasi dialoka- sikan setelah

adanya pelimpahan

wewenang dari Pemerintah.

• Pendanaan tersebut

dialokasikan untuk

kegiatan non-fisik.

• Penganggaran dana

dekonsentrasi

dituangkan dalam

penyusunan RKA-

KL.

• Penyaluran dana

dilakukan oleh

Bendahara Umum

Negara atau kuasanya melalui

Rekening Kas Umum

Negara.

• Semua barang yang

dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan

dana dekonsentrasi

merupakan barang milik negara, dan

dapat dihibahkan

kepada Daerah.

Pertanggung jawaban

• Pertanggungjawaban penyelenggaraan

kewenangan yang

dilimpahkan,

dilakukan Gubernur / Perangkat Pusat di

Daerah.

• Pertanggungjawaban dan pelaporan

dekonsentrasi

mencakup aspek

manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek

manajerial terdirf

- 131 -

• Pertanggungjawaban

disampaikan

Gubernur / Perangkat Pusat di Daerah

kepada Menteri /

Pimpinan Lembaga

dengan tembusan Mendagri dan

DPRD.

• Pertanggungjawaban

atas penyelenggaraan kewenangan yang

dilimpahkan oleh

Presiden kepada

Gubernur, disampaikan oleh

kepada Presiden

melalui Mendagri.

dari perkembangan

realisasi penyerapan daua, pencapaian

target keluaran,

kendala yang

dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek

akuntabilitas terdiri

dari laporan realisasi anggaran, neraca,

catatan atas laporan

keuangan, dan

laporan barang.

• Kepala SKPD

provinsi

bertanggungjawab

atas pelaporan kegiatan

dekonsentrasi.

• Laporan

pertanggungjawaban keuangan secara

tahunan atas

pelaksanaan

dekonsentrasi oleh gubernur dilampirkan

dalam Laporan

Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD

kepada DPRD.

Pembinaan dan

Pengawasan • Menteri/pimpinan

lembaga melakukan

pembinaan dan pengawasan atas

penyelenggaraan

kewenangan yang dilimpahkan.

• Dalam hal-hal

tertentu, kewenangan

pembinaan dan pengawasan atas

penyelenggaraan

• Menteri/pimpinan

lembaga melakukan

pembinaan dan pengawasan dalam

penyelenggaraan

urusan pemerintahan yang dilimpahkan

kepada gubernur.

Pembinaan tsb meliputi pemberian

pedoman, standar,

fasilitasi dan

- 132 -

pemerintahan dapat

dilimpahkan kepada Gubernur.

bimbingan teknis,

serta pemantauan dan evaluasi atas

penyelenggaraan

dekonsentrasi.

• Gubernur melakukan

pembinaan dan pengawasan kegiatan

dekonsentrasi yang

dilaksanakan oleh SKPD Provinsi.

Pembinaan tsb

dilakukan dalam

rangka peningkatan kinerja, transparansi,

dan akuntabilitas

penyelenggaraan dekonsentrasi.

• Menteri Keuangan

melakukan

pembinaan dan pengawasan terhadap

pengelolaan dana

dekonsentrasi.

Selanjutnya, pengaturan lebih rinci tentang dana dekonsentrasi

dapat ditemukan dalam UU No. 33/2004 tentang Perimbangan

Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam

UU ini dinyatakan bahwa dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal

dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah

yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka

pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan

untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana dekonsentrasi

dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat non fisik, yaitu antara lain

untuk kegiatan koordinasi perencanaan, fasilitasi, pelatihan,

pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Sebagai wujud

- 133 -

pertanggungjawaban dana dekonsentrasi, gubernur menyampaikan

laporan pertanggungjawaban seluruh pelaksanaan kegiatan

dekonsentrasi kepada menteri negara/pimpinan lembaga yang

memberikan pelimpahan wewenang dan selanjutnya menteri

negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan pertanggung

jawaban pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi secara nasional kepada

Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan status barang dalam pelaksanaan

dekonsentrasi, dalam Pasal 91 undang-undang tersebut dinyatakan

bahwa semua barang yang diperoleh dari dana dekonsentrasi menjadi

barang milik negara dan dapat dihibahkan kepada daerah. Barang milik

negara yang dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan

ditatausahakan oleh daerah sedangkan barang milik negara yang tidak

dihibahkan kepada daerah wajib dikelola dan ditatausahakan oleh

kementerian negara/lembaga yang memberikan pelimpahan

wewenang.

Dari ketentuan yang bersumber pada kedua peraturan

pemerintah tersebut, dapat dicermati adalah beberapa inkonsistensi

kebijakan, sebagai berikut:

1. Kedua PP tersebut menegaskan bahwa dekonsentrasi adalah

pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam Keputusan

Presiden (PP No. 39/2001) atau penetapan Gubernur sebelum

dilaksanakan oleh SKPD provinsi (PP No. 7/2008). Kedua model

ini dalam prakteknya belum dilaksanakan, dan pelimpahan

wewenang dilakukan oleh kementerian / LPND kepada SKPD di

- 134 -

provinsi. Dalam hal ini terdapat kesan bahwa Gubernur selaku

wakil pemerintah justru dilewati.

2. Kedua PP mengatur bahwa pelimpahan wewenang kepada

gubernur tidak boleh dilimpahkan kembali kepada bupati/walikota.

Namun kenyataannya, dana dekonsentrasi banyak turun ke

kabupaten/kota yang mengindikasikan bahwa program

dekonsentrasi juga dilaksanakan oleh kabupaten/kota. Padahal,

bupati/walikota jelas-jelas bukan wakil pemerintah atau perangkat

dekonsentrasi. Jika pengertian dekonsentrasi dilaksanakan secara

konsekuen, maka kabupaten/kota hanya dapat menerima dana

tugas pembantuan.

3. Kedua PP juga menegaskan bahwa pelimpahan wewenang harus

disertai dengan pembiayaan. Ini berarti, prinsip money follows

function / authority yang semestinya diterapkan. Namun dalam

tataran praktek lebih menonjol penerapan prinsip function follows

money, yang bisa dilihat dari fakta bahwa dana dekonsentrasi selalu

dikucurkan sementara Kepres (atau dasar hukum lainnya) tentang

pelimpahan kewenangan belum diterbitkan.

B. Tinjauan Empiris Dekonsentrasi

Pada tataran empirik, kebijakan dekonsentrasi di Indonesia

selama ini dapat dikatakan tidak utuh, karena lebih banyak menyentuh

aspek pelimpahan anggaran pusat kepada perangkatnya di daerah, serta

kurang memfokuskan pada isi otoritas atau kewenangan dekonsentrasi.

Dengan demikian, dekonsentrasi model Indonesia selama ini dapat

- 135 -

disebut sebagai dekonsentrasi keuangan (financial deconcentration),3

sedangkan dekonsentrasi substansial (authoritative deconcentration)

belum memiliki kerangka kebijakan yang jelas. Dengan demikian,

kondisi dan permasalahan yang dapat dicermati dari praktek

penyelenggaraan dekonsentrasi di Indonesia meliputi aspek manajerial

dan substansial. Aspek manajerial berhubungan dengan fungsi-fungsi

perencanaan, penganggaran dan pertanggungjawaban, sedangkan

aspek substansial menyangkut isi / substansi kewenangan dari program

dekonsentrasi serta perangkat kelembagaan untuk menjalankan

kewenangan dekonsentrasi tersebut.

1. Aspek Manajerial

Sebuah program pembangunan, lazimnya selalu didahului oleh

3 Istilah dekonsentrasi keuangan ini dikembangkan untuk memberikan kesejajaran

konsep (analog) dengan desentralisasi fiskal. Sebagaimana dipahami,

desentralisasi dalam arti sempit atau devolusi adalah penyerahan kewenangan

(transfer of power / authority) kepada pemerintah daerah sebagai urusan otonominya. Transfer kewenangan ini tidak bisa berjalan dengan baik jika tidak

didukung oleh desentralisasi fiskal, yakni penyerahan kewenangan kepada

pemerintah daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah guna

mendukung devolusi. Dengan demikian, devolusi dan desentralisasi fiskal adalah

dua sisi yang tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Demikian pula dekonsentrasi, pendelegasian wewenang secara substantif

(authoritative deconcentration) akan efektif jika ditunjang oleh sumber

pembiayaan yang memadai (financial deconcentration).

Hal lain yang perlu digarisbawahi, meskipun istilah financial deconcentration

adalah analog dari fiscal decentralization, namun keduanya memiliki perbedaaan

yang sangat mendasar. Istilah fiscal deconcentration tidak tepat digunakan karena pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan yang luas dari dana dekonsentrasi

yang diberikan dari setiap kementerian. Pemerintah daerah hanya berwenang

membelanjakan dalam batas-batas aturan yang telah ditetapkan oleh Menteri atau

Pemerintah. Sedangkan dalam fiscal decentralization, pemerintah daerah memiliki

kewenangan atas pajak-pajak daerah tertentu, serta memiliki kewenangan

menetapkan pungutan / retribusi tertentu pula.

- 136 -

sebuah perencanaan yang matang, komprehensif, dan visioner. Dalam

proses perencanaan ini, paling tidak harus dapat diformulasikan visi

dan misi jangka panjang, menengah, maupun jangka pendek. Selain itu,

perencanaan yang baik semestinya juga telah dapat

mengidentifikasikan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, serta

program dan kegiatan yang harus dijalankan untuk mencapai visi, misi,

tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.4 Selanjutnya, sasaran dan

kegiatan yang diajukan harus dilengkap dengan indikator-indikator

capaian, baik indikator input, output, maupun outcome/impact/benefit.

Jika pola perencanaan model Renstra ini dapat dilakukan secara efektif,

diharapkan mampu mencapai tujuan secara efektif dengan sumber

daya yang efisien.

Sayangnya, dalam konteks penyelenggaraan fungsi

dekonsentrasi, sama sekali belum ada Renstra (KL = Kementerian /

Lembaga maupun Daerah atau SKPD) yang memberi gambaran jangka

menengah tentang capaian dan agenda-setting dari program

dekonsentrasi.

Dalam prakteknya, dekonsentrasi tereduksi menjadi

dekonsentrasi keuangan, sementara dekonsentrasi keuangan tereduksi

lagi menjadi kegiatan teknis dan rutin tahunan yang dilaksanakan tanpa

4 Struktur perencanaan yang terdiri dari visi, misi, tujuan, sasaran, program dan

kegiatan ini sering dikenal dengan istilah Perencanaan Strategis (Renstra). Renstra merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama

kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan memperhitungkan

potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin timbul, yang disusun bukan

hanya untuk memenuhi amanat peraturan (Inpres No. 7/1999 tentang Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintah), namun juga untuk gambaran umum program dan

kegiatan yang akan dilaksanakan selama 5 th ke depan.

- 137 -

didahului analisis kebutuhan atau perencanaan jangka panjang yang

matang atas dasar berbagai pertimbangan strategis. Wujud konkrit dari

aktivitas rutin yang sangat teknis itu misalnya adalah pengajuan

pejabat pengelola keuangan dari dinas-dinas di tingkat provinsi, yang

disusul dengan pencairan anggaran, serta diakhiri dengan pelaporan.

Dalam siklus anggaran yang sangat tradisional seperti itu, prinsip

manajemen kinerja menjadi terabaikan. 5 Pengelolaan program dan

anggaran dekonsentrasi yang tidak berbasis kinerja ini menurut penulis

adalah masalah utama yang harus dipecahkan, karena akan berdampak

pada masalah-masalah yang lebih spesifik.

Oleh karena prinsip manajemen kinerja tidak diterapkan, maka

wajar jika komunikasi antar instansi dalam pengelolaan program dan

dana dekonsentrasi menjadi kurang terjalin dengan baik. Bahkan

seorang Gubernur yang merupakan pejabat tertinggi di daerah sering

mengeluhkan tentang manajemen anggaran dekonsentrasi ini.

Sebagaimana dilaporkan Harian Pikiran Rakyat (13/04/2005),

Gubenur Jawa Barat saat itu, Danny Setyawan menyatakan bahwa

penyaluran dana dekonsentrasi selama ini langsung ditangani oleh

departemen sektoral di pusat kepada dinas. Mekanisme seperti itu,

5 Manajemen Kinerja (MK) menurut Armstrong dan Baron (1998) adalah “a

strategic and integrated approach to delivering sustained success to organization

by improving the performance of the people who work in team and by developing

the capabilities of teams and individual contributors”. Untuk bisa mencapai kinerja optimal dalam suatu organisasi, harus diperhatikan komponen sebagai

berikut: 1) output, outcome, process and input; 2) planning; 3) measurement and

review; 4) development and improvement; 5) communication; 6) stakeholder; 7)

ethical; dan 8) scope. Jika melihat pada komponen MK tersebut, jelas sekali bahwa

pengelolaan dana dekonsentrasi kurang memperhatikan kinerja (performance-

based).

- 138 -

menurutnya, mencerminkan bahwa departemen sektoral masih

menganggap dan mengobsesikan dinas-dinas yang ada di provinsi

seperti kanwil (kantor wilayah) dulu.

Ironisnya, DPRD Jawa Barat pun juga tidak tahu menahu soal

pencairan dana dekonsentrasi ini. DPRD Jabar juga menyesalkan

turunnya dana dekonsentrasi tahun 2007 dari pemerintah pusat karena

tidak disertai kejelasan mekanisme pertanggung jawabannya oleh

satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang menerima. Bahkan mereka

menyatakan bahwa pemerintah pusat melakukan dua kesalahan.

Pertama, menyalurkan dana dekonsentrasi setelah APBD disahkan,

padahal mestinya penyaluran dana dilakukan pada saat RAPBD

dibahas. Kesalahan kedua adalah tidak ada mekanisme pemberitahuan

kepada DPRD terkait program-program menyangkut dana

dekonsentrasi, sehingga DPRD tidak dapat melakukan pengawasan

(Pikiran Rakyat, 10/1/2007).

Keluhan senada juga disampaikan oleh Gubernur Kalimantan

Tengah, Agustin Teras Narang, dalam Rapat Konsultasi Departemen

Dalam Negeri dan Gubernur Se-Indonesia tentang Penyelengaraan

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Jakarta tanggal 5/9/2006. Dia

menyatakan bahwa pembangunan daerah efektif apabila hubungan

pemerintah dan provinsi sinkron. Oleh karenanya, pemerintah

seharusnya mulai mempercayakan pengelolaan dana itu ke gubernur

agar dana bisa lebih bermanfaat. Sebab, kepercayaan pusat kepada

daerah akan memacu kepala daerah membangun wilayahnya, dan

daerah akan mengimbangi dengan meningkatkan transparansi dan

akuntabilitas (Tempo Interaktif, 5/9/2006). Teras Narang juga

- 139 -

menyarankan agar alokasi pendanaan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan tetap dilakukan pemerintah pusat namun dengan

melibatkan pemerintah provinsi/gubernur dalam perencanaan,

operasional teknis, penyaluran, maupun pengalokasian. Dengan begitu,

ada sinergi dengan yang diinginkan kabupaten/kota dalam satu

provinsi (Kompas, 7/9/2006). Posisi Gubernur yang seolah-olah lepas

dari program dan dana dekonsentrasi menjadi sangat dilematis, karena

jika terjadi kesalahan dalam implementasinya kepala daerah juga ikut

menanggungnya (Tempo Interaktif, 24/8/2006).

Teras Narang adalah Gubernur yang secara konsisten

memperjuangkan adanya kejelasan peran dan wewenang Gubernur

dalam konstelasi otonomi daerah. Hingga tahun 2009 pun, beliau

masih tetap menyuarakan aspirasi tentang penguatan kedudukan

Gubernur. Pada Rakernas APPSI 2-4 Desember 2009, Teras Narang

menegaskan kembali adanya kecenderungan program pemerintah yang

ditujukan bagi daerah tanpa melibatkan Gubernur. Dampaknya,

pembangunan di daerah menjadi tidak fokus dan anggaran banyak

yang tidak efisien karena tumpang tindih (Kompas, 1/12/2009).

Kondisi diatas juga dirasakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ali

Mufiz yang menyebutkan bahwa saat ini masih terdapat kontroversi

antara kewenangan perangkat pemerintah pusat di provinsi seperti unit

pelaksana teknis (UPT) dengan kewenangan gubernur selaku wakil

pemerintah pusat. Selain itu, gubernur mengalami kesulitan dalam

mengimplemantasikan rencana investasi, pembangunan infrastruktur,

dan pengembangan ekonomi karena terkendala oleh ketatnya peraturan

pusat yang harus dipenuhi (Kompas, 22/11/2008).

- 140 -

Jika seorang gubernur (dalam kedudukan selaku wakil

pemerintah pusat) tidak memiliki kontrol yang efektif terhadap

program dan dana dekonsentrasi, ini berarti ada permasalahan serius

dalam dimensi pertanggungjawaban. Selama ini, mekanisme dan

instrumen pertanggungjawaban dana dekonsentrasi diakui oleh banyak

pihak sangat tidak jelas. Anggota Panitia Anggaran DPR-RI, Nasril

Bahar, menjelaskan bahwa kebiasaan pemerintah daerah tidak

mempertanggungjawabkan dana dekonsentrasi sudah terjadi sejak

lama. Selain itu, pengawasan juga sulit dilakukan karena tidak

termasuk dalam mata anggaran di APBD sebagai bantuan yang

bersumber dari APBN. Tidak jelasnya pelaporan anggaran ini

membuka peluang alokasi dana dekonsentrasi tumpang tindih dengan

alokasi dana proyek pada APBD (Sumut Pos, 1/2/2007).

Sebelumnya, Auditor Utama Keuangan Negara II Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK) Soekoyo menyatakan, dana dekonsentrasi

yang sudah dialirkan pemerintah pusat ke daerah sejak tahun 2000

ternyata penggunaannya tidak dilaporkan di APBN, neraca pemerintah

pusat, atau di APBD. Akibatnya, ada potensi dana yang mencapai

sekitar Rp 28,75 triliun tersebut menjadi sarana untuk pencucian aset

dan berpotensi tindak pidana (Sumut Pos, 1/2/2007). Direktur

Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus

Manao menambahkan bahwa sejak dana dekonsentrasi dikucurkan

tahun 2001 sampai sekarang, pemerintah pusat dan daerah tidak ada

yang mau mempertanggungjawabkan dana tersebut, dan ini menjadi

salah satu penyebab terjadinya selisih angka antara realisasi anggaran

di departemen dan realisasi anggaran yang dikeluarkan dalam

- 141 -

anggaran pendapatan dan belanja negara (Tempo Interaktif, 12/2/2007).

Carut marut pertanggungjawaban dana dekonsentrasi tersebut

juga diakui oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara

Departemen Keuangan Herry Purnomo. Menurut Herry,

pertanggungjawaban dana dekonsentrasi memang masih menjadi

masalah, dimana Gubernur mengeluh tidak tahu ada penggelontoran

dana dekonsentrasi di daerahnya, sedangkan aparat otonom

(walikota/bupati) merasa tidak mempunyai hubungan

pertanggungjawaban dengan pemerintah pusat sehingga mereka ogah-

ogahan lapor (Tempo Interaktif, 12/2/2007).

Selain masalah pelaporan dan pertanggungjawaban,

kemungkinan terjadinya tumpang tindih anggaran juga menjadi

problema yang cukup pelik. Hal ini bahkan disampaikan sendiri oleh

Menteri Keuangan pada Lokakarya Nasional Penguatan Pelaksanaan

Kebijakan Desentralisasi Fiskal, Mei 2006 di Jakarta. Beliau

menyatakan bahwa dana dekonsentrasi dan dana tugas perbantuan

harus selalu sinergis dan tidak tumpang tindih dengan dana

desentralisasi, meskipun dalam kenyataannya kerap kali terjadi

tumpang tindih karena ketidakjelasan mengenai pembagian urusan

pemerintahan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, penggunaan

dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut perlu diidentifikasi

kembali dan dievaluasi agar tidak mendanai kegiatan yang seharusnya

menjadi kewenangan/urusan daerah. Terdapat indikasi bahwa banyak

kegiatan yang seharusnya sudah menjadi kewenangan daerah tetapi

kegiatan tersebut masih dibiayai dengan dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan. Untuk itu, diperlukan suatu mekanisme pengalihan dana

- 142 -

dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang urusannya sudah

didaerahkan menjadi dana alokasi khusus (DAK) untuk menghindari

pendanaan ganda tersebut (Portal Depkominfo, 5/4/2006).

Hal tersebut sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU No 33

Tahun 2004 Pasal 108 yang menyatakan Dana Dekonsentrasi dan

Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran

kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan

urusan yang menurut peraturan perundang-undangan menjadi urusan

Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi Khusus.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang

mengatur tentang pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK.

Akibatnya, permasalahan yang timbul sejak awal digulirkannya dana

dekonsentrasi masih terus terjadi.

Kemungkinan terjadinya tumpang tindih sendiri tidak hanya

terjadi antara dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan dengan

dana desentralisasi, sebagaimana sinyalemen Menteri Keuangan diatas.

Tumpang tindih juga bisa terjadi antara dana dekonsentrasi (PBN)

dengan dana APBD. Dengan kondisi tersebut, dapat membuka peluang

terjadinya inefisisensi bahkan penyelewengan penggunaan anggaran,

misalnya kemungkinan aset-aset negara yang dibelanjakan dengan

dana dekonsentrasi tidak teradministrasikan dengan baik, sehingga

memungkinkan terjadi praktek pencucian aset (asset laundering).

Kekhawatiran tersebut juga diungkapkan oleh Auditor Utama

Keuangan Negara II BPK RI Soekoyo dan Direktur Akuntansi dan

Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan Hekinus Manao.

Menurut data BPK, puluhan triliun rupiah dana dekonsentrasi

- 143 -

yang dikucurkan pemerintah pusat sejak 2001-2006 rentan

diselewengkan karena tidak jelas laporan pertanggungjawabannya.

Laporan audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)

2004 memastikan, seluruh departemen yang mengucurkan dana

dekonsentrasi tidak dilaporkan dalam LKPP 2004. Pada periode 2001-

2003, itu lebih buruk lagi karena pemerintah sama sekali tidak

menyusun LKPP. Pada 2005, pemerintah pusat mengucurkan dana

dekonsentrasi Rp 4 triliun dan pertanggungjawabannya mengalami

kemajuan karena sebagian dicantumkan dalam LKPP 2005. Namun,

BPK masih menemukan dana dekonsentrasi sebesar Rp 2,08 triliun

belum dicantumkan dalam LKPP 2005. Buruknya pelaporan dana

dekonsentrasi juga merupakan salah satu penyebab BPK

mengeluarkan opini disclaimer terhadap LKPP 2004 dan 2005 (Portal

BPK, 29/1/2007).6

Sebagai gambaran, besaran dana dekonsentrasi yang mengucur

ke daerah selama periode 2005-2007 secara berturut-turut adalah Rp.

17.972 milyar, Rp. 30.653 milyar, dan Rp. 34.044 milyar.7 Ini berarti

setiap tahunnya mengalami peningkatan. Sementara belanja untuk

daerah yang dialokasikan dalam APBN (sering dikenal dengan dana

desentralisasi),8 untuk periode yang sama jumlahnya juga meningkat,

6 BPK juga menemukan pelanggaran dalam penggunaan dana dekonsentrasi di

daerah. Sebagai contoh, dana dekonsentrasi sector kesehatan di Sumatera Utara ternyata juga diperuntukkan untuk membangun gedung, yang semestinya tidak

boleh dipergunakan untuk pembangunan fisik (Portal BPK, 2006).

7 Diluar dana dekonsentrasi ini, masih ada belanja pusat di daerah pada kategori dana

tugas pembantuan, yang besarnya berturut-turut adalah Rp. 12.120 milyar (2005),

Rp. 5.620 milyar (2006), dan Rp. 9.429 milyar (2007).

8 Dana desentralisasi adalah belanja untuk daerah yang terdiri dari komponen dana

- 144 -

yakni Rp. 126.147 milyar, Rp. 217.031 milyar, dan Rp. 250.765 milyar

(Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan).

Mengingat besarnya belanja pemerintah yang bersumber dari dana

dekonsentrasi ini, maka wajar jika muncul tuntutan untuk

penyempurnaan manajerial dalam pengelolaan dana dekonsentrasi.

2. Aspek Substansial

Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya,

dekonsentrasi secara teoretis memiliki korelasi yang kuat dengan

desentralisasi. Pada hakekatnya keduanya berhubungan dengan

transfer kewenangan dari pusat ke daerah, hanya dalam desentralisasi

terjadi penyerahan secara penuh/luas, sedangkan dalam dekonsentrasi

hanya bersifat pemencaran saja namun kewenangan masih tetap berada

ditangan pusat.

Namun dalam prakteknya, seringkali desentralisasi dan

dekonsentrasi dipahami sebagai dua hal yang berseberangan. Berbagai

program yang memperbesar peran pemerintah pusat selalu

diidentikkan sebagai hasrat melakukan resentralisasi. Dampaknya,

dekonsentrasi sebagai konsep atau konstruksi penataan hubungan antar

susunan pemerintahan, menjadi tidak popular dan cenderung ditolak.

Purwo Santoso (Jawa Pos, 27/12/2007) mengungkapkan bahwa

dengan pemberlakuan PP No. 38/2007 dan PP No. 41/2007, tidak ada

lagi alasan untuk menyangkal bahwa resentralisasi telah berlangsung.

bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana

penyesuaian (DP), dana otsus (2% DAU Nasional), serta dana tambahan

infrastruktur.

- 145 -

Diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali

fondasi pemerintahan sentralistis, yang justru hendak dibongkar

melalui UU No 22/1999.

Kritik serupa tentang inkonsistensi pusat dalam mendorong

desentralisasi juga dikemukakan oleh Eko Prasojo (Jawa Pos,

27/12/2007). Menurut Eko, hingga memasuki 2008 penyelenggaraan

otonomi daerah direfleksikan oleh banyaknya inkonsistensi

pemerintah pusat. Hal itu mengindikasikan belum siapnya pemerintah

pusat untuk mengubah paradigma pemerintahan yang sentralistik ke

arah pemerintahan yang desentralistik. Inkonsistensi pemerintah pusat

terjadi secara vertikal dan horizontal.

Secara vertikal, inkonsistensi tersebut dicerminkan berbagai

produk peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis dan tidak

sinkron. Sering ketentuan pengaturan dalam peraturan pemerintah

mereduksi isi UU tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini misalnya

nampak dari pengambilalihan kembali urusan bidang pertanahan yang

sudah diserahkan kepada pemerintah daerah. Pada sisi lain, berbagai

macam peraturan perundang-undangan sering mengalami perubahan

yang sangat cepat dan tidak memperhatikan kemampuan daerah untuk

mengimplementasikannya.

Sedangkan inkonsistensi secara horizontal bisa dilihat dari

tidak harmonisnya ketentuan peraturan perundang-undangan antara

satu sektor dengan sektor lain. Bahkan, sebagian aparatur

penyelenggara negara di Kementerian dan Lembaga Pemerintah

Nondepartemen masih memiliki paradigma dan pemikiran yang

sentralistik. Hal itu, misalnya, direfleksikan dengan semakin

- 146 -

banyaknya Unit Pelaksana Teknis (UPT), balai-balai, dan kantor-

kantor regional dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non

Departemen di daerah. Tujuan didirikannya berbagai lembaga teknis

pusat di daerah merupakan kegamangan dan ketidakrelaan sektor di

pusat terhadap kewenangan yang sudah diserahkan kepada pemerintah

daerah.

Namun disisi lain, Eko juga mengakui bahwa ketiadaan

perangkat dekonsentrasi di tingkat kabupaten/kota menyebabkan

sulitnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sebab, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah tidak

memiliki perangkat dekonsentrasi untuk menjalankan peran dan

fungsinya tersebut.

Dari penjelasan Eko Prasojo diatas dapat disimpulkan adanya

dua faktor yang menyebabkan inkonsistensi dalam praktik

penyelenggaraan otonomi daerah, yakni ketidakrelaan sektor

(departemen) di pusat terhadap kewenangan yang diserahkan kepada

daerah, serta ketiadaan perangkat dekonsentrasi. Selain kedua faktor

tersebut, sebenarnya masih bisa ditambah satu faktor lagi, yakni

kejelasan kewenangan dekonsentrasi yang dijalankan pemerintah pusat

secara limitatif, serta kejelasan kewenangan dekonsentrasi yang

dilimpahkan kepada perangkat dekonsentrasi di daerah.

Sejauh ini identifikasi jenis kewenangan-kewenangan yang

dikategorikan sebagai kewenangan dekonsentrasi belum dilakukan

secara jelas dan tegas oleh pemerintah (belum ada aturan perundangan-

undangan yang lebih operasional). Walaupun pemerintah telah

mengeluarkan PP No. 38/2007 tentang pembagian urusan

- 147 -

pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan

pemerintahan daerah kabupaten/kota, namun tidak mengatur dengan

jelas terkait dengan kriteria-kriteria tertentu yang menjadi kewenangan

pemerintah pusat yang didekonsentrasikan kepada gubernur. Sebab, PP

No. 38/2007 memang lebih banyak mengatur bidang-bidang urusan

yang didesentralisasikan, sedangkan urusan dekonsentrasi semestinya

diturunkan lagi dari rincian urusan pemerintah pusat yang telah

ditetapkan dalam PP No. 38/2007 tersebut.

Kewenangan dekonsentrasi, jika dapat dirinci secara limitatif

akan memiliki banyak nilai positif dan keuntungan, misalnya, pertama,

sebagai pedoman bagi Gubernur untuk menjamin efektivitas fungsi

pemerintah pusat di tingkat daerah. Dengan kata lain, kejelasan fungsi

dekonsentrasi tadi akan memperkuat ikatan NKRI. Kedua, dapat

menghindarkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih/overlap

kegiatan antara program departemen dengan program pemprov, dan

ketiga merupakan entry point untuk mengucurkan dana APBN dalam

rangka menjalankan fungsi pemerintah di daerah, karena kucuran dana

dalam kerangka pembiayaan program yang tidak jelas (karena belum

dilimpahkan), dapat dikatakan sebagai bentuk inefisiensi yang rendah

tingkat akuntabilitasnya.

Saat ini, regulasi yang paling konkrit mengatur tentang

dekonsentrasi adalah PP No. 7/2008, namun didalamnya tidak ditemui

tentang rincian isi kewenangan yang dapat didekonsentrasikan. PP ini

lebih banyak mengatur tentang tata cara penyelenggaraan

dekonsentrasi, tetapi lupa tidak mengatur sisi substansial. Sementara

itu, regulasi sebelumnya yaitu PP No. 39/2001 sebenarnya lebih maju

- 148 -

dibanding PP penggantinya. Dalam PP No. 39/2001 ini sudah memberi

batasan kewenangan yang dilimpahkan kepada gubernur selaku

perangkat pemerintah pusat, meliputi sebagai berikut:

a) Aktualisasi nilai-nilai Pancasila sebagai Dasar Negara,

dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sosialisasi

kebijaksanaan nasional di daerah;

b) Koordinasi wilayah, perencanaan, pelaksanaan,

sektoral, kelembagaan, pembinaan, pengawasan, dan

pengendalian;

c) Fasilitasi kerjasama dan penyelesaian perselisihan

antar daerah dalam wilayah kerjanya;

d) Pelantikan bupati/walikota;

e) Pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah

dengan daerah otonom di wilayahnya dalam rangka

memelihara dan menjaga keutuhan NKRI;

f) Fasilitasi penerapan dan penegakan peraturan

perundang-undangan;

g) Pengkondisian terselenggaranya pemerintahan daerah

yang baik, bersih dan bertanggung jawab, baik yang

dilakukan oleh Badan Eksekutif Daerah maupun

Badan Legislatif Daerah;

h) Penciptaan dan pemeliharaan ketenteraman dan

ketertiban umum;

i) Penyelenggaraan tugas-tugas umum pemerintah

lainnya yang tidak termasuk dalam tugas instansi lain;

j) Pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah

kabupaten/kota;

k) Pengawasan represif terhadap Peraturan Daerah,

Keputusan Kepala Daerah, dan Keputusan DRPD serta

Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota;

l) Pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian

dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan; dan

m) Pemberian pertimbangan terhadap pembentukan,

pemekaran, penghapusan, dan penggabungan daerah.

Sayangnya, kewenangan tersebut diatas hanya berkenaan

dengan bidang pemerintahan umum, dan belum meliputi urusan-

- 149 -

urusan pemerintahan lainnya secara sektoral. Sementara dalam praktek,

yang lebih terjadi adalah pelaksanaan sebagian tugas departemen

teknis/sektor. Kondisi ini, sekali lagi, mencerminkan adanya

implementation gap dalam penerapan kebijakan dekonsentrasi.

PP No. 7/2008 sendiri lebih banyak mengatur tentang prosedur

atau mekanisme dekonsentrasi, dan tidak banyak menyentuh aspek

substansial. Ruang lingkup dekonsentrasi (dan tugas pembantuan)

hanya dipersepsi sepanjang mencakup aspek penyelenggaraan,

pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan

pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi (pasal 8-10). Sedangkan aspek

substantif diatur dalam pasal 13 yang menyatakan bahwa: “Urusan

pemerintahan yang dapat dilimpahkan dari Pemerintah kepada

gubernur sebagai wakil pemerintah merupakan sebagian urusan

pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan

ditetapkan sebagai urusan Pemerintah”.

Bunyi pasal 13 diatas mengilustrasikan bahwa PP No. 7/2008

menggantungkan diri pada produk kebijakan lain yang secara khusus

mengatur tentang substansi kewenangan pemerintah pusat dan daerah.

Dalam hal ini, ketentuan yang dimaksud adalah PP No. 38/2007

tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,

Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah

Kabupaten/Kota. Ironisnya, PP ini tidak menyediakan penjelasan

tentang proses maupun kriteria pelimpahan urusan pemerintah kepada

gubernur selaku wakil pemerintah. Kondisi seperti inilah yang

menjelaskan mengapa praktek dekonsentrasi menjadi sangat lambat

dan tidak memiliki kejelasan hingga saat ini, bahkan cenderung

- 150 -

menimbulkan permasalahan administratif seperti pertanggungjawaban,

tumpang tindih urusan, hingga masalah inefisiensi anggaran

sebagaimana telah dipaparkan secara detail pada awal Bab ini.

Dalam perspektif kedepan, kejelasan kewenangan yang perlu

atau akan didekonsentrasikan kepada perangkat pusat di daerah

menjadi kebutuhan mendesak. Rincian kewenangan dekonsentrasi

tersebut sedapat mungkin meliputi urusan mutlak (kewenangan

absolut) pemerintah pusat yang terdiri dari enam bidang urusan (pasal

10 UU No. 32/2004), namun harus mencakup pula urusan-urusan

besama (kewenangan concurrent). Limitasi urusan dekonsentrasi yang

mencakup urusan absolut diperlukan untuk mencegah tumpang tindih

di antara instansi di tingkat pusat (kementerian dan lembaga) dengan

perangkatnya di daerah, sedangkan limitasi urusan dekonsentrasi yang

berhubungan dengan urusan bersama (concurrent) diperlukan untuk

menjamin tidak adanya tumpang tindih antara instansi pusat (sebagai

pihak yang melimpahkan urusan) dengan perangkat gubernur (sebagai

pihak yang menjalankan urusan yang dilimpahkan). Tanpa adanya

kejelasan dan limitasi urusan yang akan didekonsentrasikan (baik dari

urusan absolute maupun concurrent) tadi, maka efektivitas dan

efisiensi pemerintahan daerah tidak akan pernah terwujud secara

optimal.

C. Tinjauan Tentang Perangkat Dekonsentrasi

Studi awal tentang pemerintahan Provinsi (provincial

government) dan kewenangan yang melekat padanya diawali oleh

terbentuknya the British North America Act 1867 (BNA Act). UU yang

- 151 -

menjadi dasar lahirnya Negara Kanada ini membentuk 3 (tiga) provinsi,

yakni Nova Scotia, New Brunswick, dan Province of Canada. Dalam

bagian Pembukaan BNA Act dikatakan bahwa ketiga provinsi tadi

secara integral berada dibawah kontrol Kerajaan Inggris Raya dan

memiliki hukum dasar yang serupa dengan konstitusi Kerajaan

(federally united into One Dominion under the Crown of the United

Kingdom of Great Britain and Ireland with a constitution similar in

principle to that of the United Kingdom). (Bellamy, Pammet and Rowat,

1976).

Ketentuan diatas menyiratkan bahwa provinsi merupakan unit

pemerintahan yang sepenuhnya menjalankan tugas yang

diberikan/dilimpahkan oleh Pemerintah Pusat, dan oleh karenanya

dikontrol sepenuhnya pula oleh Pusat. Meskipun provinsi diberikan

kewenangan-kewenangan otonom melalui Konstitusi Provinsi, namun

tetap mencerminkan representasi pemerintah Pusat. Dengan kata lain,

meskipun menjalankan fungsi desentralisasi, namun provinsi-provinsi

tersebut sekaligus juga mengimplementasikan fungsi dekonsentrasi.

Dalam wacana hubungan antara pemerintah Pusat dan

pemerintah Daerah, berbagai khazanah akademik menggambarkan

bahwa unit pemerintahan Provinsi (provincial government) sering

berfungsi sebagai unit penghubung (intermediate administrative

entity) antara Pusat dan Daerah (Kabupaten/Kota). Sebagai unit

intermediasi ini, Provinsi memiliki 2 (dua) posisi monopoli, yaitu

sebagai ”agen tunggal” dalam menjabarkan kebijakan Pusat yang

menyangkut urusan kepemerintahan daerah, serta ”agen tunggal” yang

menyediakan seluruh informasi tentang daerah kepada Pusat (Schiavo-

- 152 -

Campo dan Sundaram, 2000).

Sebagai ilustrasi, Konstitusi Afrika Selatan membentuk tiga

“spheres” pemerintah (bukan “tingkat”), untuk menekankan aspek

kerjasama antar jurisdiksi yang saling melengkapi satu sama lain

(cooperative government). Aspek hirarkis antara Provinsi dengan

municipalities tetap ada dan terdapat di beberapa ketentuan dalam

UUD, namun terbatas pada sistim monitoring, pembinaan dan

supervisi. Provinsi merencanakan secara strategis, dan mendukung

proses perencanaan municipalities. Pasal 155 (7) UUD memberikan

hak baik kepada pemerintah nasional maupun pemerintah provinsi

untuk menetapkan legislasi dan tindakan administratif untuk menjamin

prestasi municipalities. Pemerintah provinsi diberikan hak untuk

mengintervensi dalam penyelenggaraan pemerintahan municipalities

agar standar pelayanan minimal tercapai dan mandat konstitutional

municipalities secara keseluruhan dipenuhi (GTZ-SfDM dan USAID-

PERFORM, 2003).

Ide dasar dari pemikiran para ahli seperti disebutkan diatas

adalah perlu adanya sharing kewenangan dan/atau tanggungjawab

antar level pemerintahan dalam bidang urusan tertentu.

Di Indonesia, dengan adanya perubahan bandul desentralisasi

semenjak tahun 1999, timbullah efek loncatan katak (leapfrogging

effect), yakni terjadinya transfer kewenangan dan sumberdaya pusat

langsung kepada kabupaten/kota. Pada saat yang sama, terjadi pula

transfer sebagian kewenangan dan sumberdaya dari provinsi. Proses

inilah yang menjadikan fungsi dan peran provinsi menjadi tidak lagi

signifikan. Sebagai ilustrasi, pasal 38 UU No. 32/2004 hanya

- 153 -

memberikan tiga tugas/wewenang gubernur selaku wakil pemerintah,

yaitu koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan

pemerintahan daerah dan tugas pembantuan di daerah. Hal ini

menyiratkan bahwa fungsi atau peran gubernur (kepala pemerintahan

provinsi) menjadi berkurang atau mengalami efek trade-off dengan

bergulirnya otonomi luas. Dalam posisi yang melemah tadi, provinsi

relatif kehilangan pengaruh terhadap kabupaten/kota, baik dalam aspek

perencanaan, koordinasi, pengawasan, pembinaan, dan evaluasi /

monitoring penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Kondisi ini diperberat dengan kenyataan bahwa perangkat

dekonsentrasi semenjak 1999 hanya dilaksanakan oleh gubernur,

sedangkan pada tahun sebelumnya berdasarkan UU No. 5/1974,

perangkat dekonsentrasi adalah pemerintahan wilayah yang terdiri dari

kepala wilayah (yang dirangkap oleh kepala daerah), serta kantor-

kantor wilayah sebagai kepanjangan kementerian di tingkat pusat.

Secara logika, tidaklah mungkin gubernur menjalankan tugas-tugas

dekonsentrasi seorang diri. Konsekuensinya, tugas-tugas

dekonsentrasi akhirnya dijalankan oleh dinas-dinas daerah atau

perangkat daerah lainnya.

Tentu saja, pelaksanaan tugas dekonsentrasi oleh perangkat

desentralisasi ini dapat menimbulkan permasalahan baru. Tidak

terintegrasinya fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi dapat

mengakibatkan timbulnya tumpang tindih, kekaburan, dan duplikasi

tugas. Selain itu, beban kerja perangkat daerah juga semakin besar, dan

ini akan menyebabkan tingkat efektivitas menjadi menurun. Masalah

ini belum termasuk persoalan administratif seperti siklus perencanaan

- 154 -

dekonsentrasi, model pelaporan dan pertanggungjawaban, dan

sebagainya. Oleh sebab itu, model kelembagaan dekonsentrasi yang

tepat, akan menentukan keberhasilan program dekonsentrasi tersebut.

Dengan kata lain, penataan kelembagaan dekonsentrasi semestinya

diintegrasikan dengan penataan kewenangan dan pengaturan aspek

penganggaran dekonsentrasi.

Secara historis, perangkat penyelenggara dekonsentrasi

memang berubah-ubah. Perubahan yang paling mendasar terjadi pada

periode UU No. 22/1999 dimana urusan pemerintahan yang bersifat

concurrent (dilaksanakan bersama-sama oleh berbagai tingkat

pemerintahan), tidak ada lagi perangkat pusat secara khusus yang

menjalankannya. Dalam hal ini, hanya gubernur-lah satu-satunya

perangkat dekonsentrasi di tingkap provinsi, sedangkan di

kabupaten/kota tidak ada satupun pejabat / instansi vertikalnya.

Secara lebih detail, perangkat dekonsentrasi yang menjalankan

kewenangan / urusan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dapat

digambarkan sebagai berikut:

Tabel 4.4. Perangkat Dekonsentrasi di Indonesia (1948-2004)

Dasar Hukum Perangkat Penyelenggara Dekonsentrai

UU No. 22/1948 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan

perangkat dekonsentrasi. Oleh arena pemerintahan daerah hanya diselenggarakan berdasarkan 2 asas,

yakni otonomi atau penyerahan penuh dan

medebewind atau penyerahan tidak penuh (Penjelasan

UU), maka tidak tergambar asas dekonsentrasi sama sekali.

Namun, Kepala Daerah yang merangkap sebagai

Kepala Dewan Pemerintah Daerah, selain

berkedudukan sebagai kepala daerah otonom,

- 155 -

berkedudukan juga selaku pejabat pemerintah Pusat.

Dalam fungsi ini, Kepala Daerah mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD. Ia berhak menahan

dijalankannya suatu keputusan kedua dewan apabila

dianggap bertentangan dengan kepentingan umum

atau peraturan dari pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi (pasal 36).

UU No. 1/1957 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat dekonsentrasi, dan tidak dikenal pula istilah

pemerintahan wilayah. Hal ini disebabkan UU ini menganut sistem otonomi riil, sehingga perumusan

mengenai urusan rumah tangga daerah bersifat umum.

Menurut penjelasan umum UU No. 1957/1, oleh

karena pertumbuhan dan dinamika kehidupan

masyarakat serta faktor-faktor yang terdapat didalam masyarakat itu sendiri tidak memungkinkan penetapan

secara tegas manakah yang merupakan urusan rumah

tangga daerah dan manakah yang termasuk urusan Pusat, maka pada asasnya tidak diadakan pembagian

kekuasaan (baca: kewenangan atau urusan) antara

Daerah dengan Pusat secara terperinci.

Secara implisit, prinsip pembagian kewenangan pusat

dan daerah dapat ditemukan dari ketentuan pasal 31 dan 38 sebagai berikut:

• Pasal 31 (ayat 1): Setiap daerah berhak mengatur

dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya.

• Pasal 38 (ayat 2): Sebagai pembatasan terhadap hak

itu ialah bahwa sesuatu daerah tidak boleh

mengatur pokok-pokok (onderwerpen) dan hal-hal (punten) yang telah diatur dalam peraturan

perundangan (wetelijk regeling) dari pemerintah

Pusat atau daerah yang lebih tinggi tingkatnya.

UU No. 18/1965 Tidak ada pengaturan spesifik tentang fungsi dan perangkat dekonsentrasi. Dalam penjelasan dinyatakan

bahwa “Tidak mungkin untuk menyusun perincian

secara limitatif tentang berbagai jenis urusan-urusan yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang

seragam, malahan perincian yang demikian akan tidak

sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat daerah

- 156 -

yang bersangkutan”.

Namun untuk menegaskan batas-batas kewenangan daerah, terdapat pengaturan sebagai berikut:

• Dalam kebebasan mengatur dan mengurus rumah tangganya, daerah tidak dapat menjalankan

kekuasaan diluar batas-batas wilayah daerahnya.

• Daerah tidak pula diperbolehkan mencampuri

urusan rumah tangga daerah lain, yang secara positif enumeratif telah ditentukan dalam UU

pembentukan sebagai tugas kewenangan pangkal,

dan urusan-urusan lain yang ditetapkan dalam PP atau Perda dari Daerah yang lebih tinggi

tingkatannya.

• Daerah yang lebih tinggi tingkatannya tidak

diperbolehkan memasuki hal-hal yang termasuk

urusan rumah tangga daerah dibawahnya.

UU No. 5/1974 • Kepala Wilayah (psl. 1, 76-81)

• Instansi vertikal (psl. 1, 85)

UU No. 22/1999 • Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 9, 31)

• Perangkat pusat di daerah atau Instansi vertikal (psl.

1, 64)

• Dinas propinsi (psl. 63)

UU No. 32/2004 • Gubernur selaku wakil pemerintah (psl. 1, 10, 37)

• Instansi vertikal (psl. 1)

Dari perbandingan material UU Pemerintahan Daerah (1948-

2004) diatas, maka kondisi umum perangkat dekonsentrasi dapat

dijelaskan dan diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) periode sebagai

berikut:

1. Periode pertama: sebelum berlakunya UU No. 5/1974 (1948-1974).

Para periode ini, secara umum dapat disimak adanya kesamaan

paradigma berpikir tentang pemerintahan daerah diantara UU No.

22/1948, UU No. 1/1957, dan UU No. 18/1965. Kesamaan antara

lain bahwa fungsi dekonsentrasi belum terdefinisikan dengan jelas

- 157 -

dan konkrit, karena memang belum dilakukan pembagian

kekuasaan / kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Selain itu,

meskipun kepala daerah juga berkedudukan selaku “wakil

pemerintah” atau membawa misi dan kepentingan pusat, namun

rincian tugas-tugas selaku wakil pemerintah tadi belum dilakukan.

Fungsi yang dijalankan selaku pejabat pemerintah pusat, lebih

banyak menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan umum, misalnya

dalam rangka pengawasan.

2. Periode kedua: masa berlakunya UU No. 5/1974 (1974-1999).

Pada masa berlakunya UU No. 5/1974, penyelenggaraan

dekonsentrasi dapat dikatakan optimal dilihat dari perangkat yang

tersedia di tingkat daerah. Persoalannya, jumlah instansi vertikal

terlalu banyak, sedangkan rincian kewenangan dekonsentrasi juga

belum diidentifikasi secara limitatif. Situasi surplus kelembagaan

seperti ini jelas dapat menimbulkan inefisiensi penggunaan sumber

daya (khususnya aspek kepegawaian dan keuangan), disamping

berpotensi menimbulkan problem koordinasi dengan perangkat

pemerintah daerah.

3. Periode ketiga: pasca penggantian UU No. 5/1974 (1999-sekarang).

Adapun pada masa UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004,

perangkat dekonsentrasi menjadi sangat sedikit. Instansi vertikal

yang masih dipertahankan adalah instansi yang menjalankan

urusan mutlak pemerintah, sedang untuk urusan bersama

(concurrent), hanya ada Gubernur selaku wakil pemerintah yang

menjadi perangkat dekonsentrasi. Jika pada masa sebelumnya

terjadi surplus instansi vertikal, maka semenjak tahun 1999 justru

- 158 -

menjadi defisit perangkat dekonsentrasi. Kondisi defisit

kelembagaan ini juga menimbulkan persoalan baru, karena

gubernur mau tidak mau harus menitipkan urusan dekonsentrasi

kepada perangkat desentralisasi. Persoalan menjadi semakin pelik

ketika urusan dekonsentrasi ternyata tidak diterima perangkat

daerah dari gubernur, tetapi langsung dari kementerian / lembaga

di tingkat pusat.

Tentang kedudukan gubernur selaku perangkat dekonsentrasi ini,

Prasojo (2008) menyimpulkan bahwa otonomi daerah berdasarkan

UU No. 22/1999 jo UU No. 32/2004 telah menyebabkan

fragmentasi administrasi (fragmented administration) yang

berlebihan di kabupaten/kota. Ketentuan pasal 4 UU No. 22/1999

yang menyebutkan tidak adanya hirarki antara propinsi dan

kabupaten/kota telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi

Gubernur. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan,

pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan di kabupaten/kota. Hubungan antara pemerintah

kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui

gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul.

Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan

pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat

Propinsi. Pada sisi lainnya batas-batas budaya di level

kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang

mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No.

32/2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah seperti itu,

ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang

- 159 -

terlanjur sudah terbentuk.

Dari ketiga pembabakan waktu diatas dapat disimpulkan

bahwa fungsi dan kewenangan dekonsentrasi sepanjang sejarah

pemerintahan RI sesungguhnya belum berjalan sepenuhnya.

Dekonsentrasi secara faktual masih menjadi komplemen atau

pelengkap dari asas desentralisasi. Dalam hal ini, dari berbagai UU

Pemerintahan Daerah yang ada, hanya UU No. 18/1965 yang berani

secara tegas menyebutkan bahwa dekonsentrasi adalah komplemen

dari desentralisasi. Keseriusan pemerintah untuk menjalankan fungsi

dekonsentrasi ini sangat lemah, baik dilihat dari ketiadaan peraturan

perundangan yang mendukungnya maupun kekurangjelasan

mekanisme penganggaran beserta pertanggungjawabannya. Uniknya,

meskipun kebijakan pemerintah dari masa ke masa merefleksikan

bahwa dekonsentrasi lebih merupakan pelengkap, namun dalam

realitanya peran dan intervensi pemerintah pusat masih cukup dominan

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

160

BAB V

KONTEKS DEKONSENTRASI DALAM PEMBANGUNAN

BIDANG SOSIAL DAN PEMBANGUNAN DAERAH

A. Pembangunan Kesejahteraan Sosial

Sosial adalah salah satu bidang pembangunan yang saat ini

diselenggarakan oleh Kementerian Sosial (untuk selanjutnya disebut

Kemensos). Pembangunan bidang sosial memiliki acuan pada

Konstitusi, yakni pasal 34 UUD 1945 yang mengamanatkan negara

untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Fakir miskin dan

anak terlantar itu adalah dua diantara 26 kategori PMKS (Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial).1 Meskipun dalam Konstitusi hanya

1 PMKS adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang

karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi

sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, baik jasmani,

rohani, maupun sosial secara memadai dan wajar.

Kategori PMKS secara lengkap adalah: 1) Anak balita terlantar, misalnya berasal

dari keluarga sangat miskin, menderita gizi buruk, atau kehilangan hak asuh dari

orang tua; 2) Anak terlantar, misalnya karena dilalaikan oleh orang tuanya atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya; 3) Anak yang berhadapan dengan hukum,

misalnya sebagai tersangka atau terpidana; 4) Anak jalanan, yang menghabiskan

waktunya ditempat-tempat umum untuk mencari nafkah; 5) Anak dengan

kedisabilitasan, baik fisik maupun mental; 6) Anak yang menjadi korban tindak

kekerasan atau diperlakukan salah, seperti dipaksa bekerja, dianiaya, atau

mendapat pelecehan seksual; 7) Anak yang memerlukan perlindungan khusus,

misalnya sebagai korban perdagangan manusia, kelompok minoritas dan terisolasi,

berada dalam lingkungan yang diskriminatif, dan seterusnya; 8) Lanjut usia

terlantar; 9) Penyandang disabilitas; 10) Tuna susila; 11) Gelandangan; 12)

Pengemis; 13) Pemulung; 14) Kelompok minoritas; 15) Bekas warga binaan

Lembaga pemasyarakatan; 16) Orang dengan HIV/AIDS (ODHA); 17) Korban penyalahgunaan NAPZA; 18) Korban trafficking; 19) Korban tindak kekerasan;

20) Pekerja migran bermasalah sosial; 21) Korban bencana alam; 22) Korban

bencana sosial; 23) Perempuan rawan sosial ekonomi; 24) Fakir miskin; 25)

Keluarga bermasalah sosial psikologis; dan 26) Komunitas adat terpencil.

161

disebutkan secara eksplisit dua kategori PMKS, namun Kementerian

Sosial juga menyelenggarakan program pembangunan kesejahteraan

sosial bagi seluruh kategori PMKS yang ada.

Pembangunan bidang sosial sendiri menjadi sangat strategis

dan mengandung urgensi sangat tinggi mengingat permasalahan

bidang sosial yang sangat kompleks dan cenderung muncul setiap

tahunnya. Berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi

Kesejahteraan Sosial Kemensos, pada tahun 2008 teridentifikasi

jumlah PMKS sebagai berikut:

Tabel 5.1. Jumlah PMKS Tahun 2008

Kategori Jumlah

Kategori Jumlah

Anak Balita

Terlantar

299.127 Penyalahgunaan

Napza

80.260

Anak Terlantar 2.250.152 Penderita ODHA 11.483

Anak Jalanan 109.454 Tuna Susila 63.661

Anak Nakal 198.578 Pengemis 35.057

Lanjut Usia

Terlantar

1.644.002 Gelandangan 25.169

Sumber: Kementerian Sosial (2014, diolah)

Sayangnya, tidak tersedia data secara time-series sehingga

dapat dilihat trend peningkatan atau penurunan dari masing-masing

kategori PMKS. Meskipun demikian, data 2008 tersebut memberi

Terhadap ke-26 jenis PMKS tersebut, Bappenas mengusulkan untuk dilakukan

penataan dengan mengintegrasikan beberapa jenis yang serupa, sehingga secara

keseluruhan hanya ada 8 (delapan) kategori PMKS, yakni: 1) penduduk terlantar,

2) penduduk penyandang disabilitas, 3) fakir miskin (penduduk miskin terdata &

berdomisili tetap), 4) penduduk miskin yang tidak berdomisili tetap (homeless), 5) masyarakat adat, 6) korban bencana, 7) korban kekerasan, eksploitasi dan

perdagangan manusia, dan 8) penduduk termarjinalkan (Direktur Perlindungan dan

Kesejahteraan Bappenas, Program Prioritas Pembangunan Nasional Tahun 2015

dan RPJMN 2015 – 2019, Mei 2014)

162

ilustrasi tentang beratnya permasalahan yang harus diatasi, dan

perlunya sinergi dari instansi pemerintah yang lain baik di tingkat pusat

maupun daerah. Bahkan jika dikaitkan dengan kemampuan pemerintah

(cq. Kemensos) dalam melayani PMKS, tidak berlebihan jika

dikatakan bahwa PMKS semestinya dijadikan agenda kebijakan

prioritas nasional. Data dibawah ini menunjukkan besarnya gap antara

masalah yang dihadapi dengan kapasitas pemerintah untuk melayani.

Tabel 5.2. Jumlah anak bermasalah kesejahteraan sosial yang telah

dilayani (2005-2009)

Jenis Masalah 2005 2006 2007 2008 2009

Anak Balita Terlantar

250 250 500 700 1.024

Anak Terlantar

• Dalam asuhan

keluarga

• Dalam panti

65.394

145.000

64.894

145.000

62.200

145.000

60.200

145.000

4.100

145.000

Anak berhadapan

dengan hukum 11.080 11.770 8.340 5.900 318

Anak Jalanan 46.800 46.800 21.700 10.400 12.784

Anak dengan kecacatan

6.065 6.065 6.035 6.000 6.080

Jumlah 274.589 274.779 243.775 228.200 169.306

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos (dalam

Renstra Kemensos 2010-2014)

Tabel diatas memberi gambaran bahwa jangkauan pelayanan

pemerintah dari tahun ke tahun justru mengalami penurunan. Tentu

saja ini harus menjadi peringatan dini bahwa apabila tidak ada

perbaikan kebijakan penanganan PMKS yang signifikan, maka sangat

mungkin persoalan sosial akan semakin membesar pada masa

mendatang. Komitmen pemerintah untuk mengalokasikan anggaran

163

yang memadai serta sinergi berbagai instansi terkait akan sangat

menentukan keberhasilan penanganan masalah-masalah sosial.

Mengingat permasalahan yang begitu besar, maka dalam

rangka menjabarkan amanat UUD 1945 untuk memelihara warga

negara yang memiliki masalah sosial, disusunlah UU Nomor 11 Tahun

2009 Tentang Kesejahteraan Sosial, dengan tujuan untuk mempercepat

terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara

agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga

dapat melakukan fungsi sosialnya. Dengan mengacu pada amanat UU

No. 11/2009 inilah, Kemensos kemudian merumuskan visi dalam

Rencana Strategis 2010-2014 yakni “Terwujudnya Kesejahteraan

Sosial Masyarakat”. Lewat visi ini ingin diwujudkan suatu perubahan

dari masyarakat yang masih berada dalam kategori PMKS menjadi

berkesejahteraan sosial pada tahun 2014, sesuai dengan target RPJMN

2010-2014. Selanjutnya visi diatas dijabarkan melalui perumusan misi

sebagai berikut:

• Meningkatkan aksesibilitas perlindungan sosial untuk

menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan sosial,

pemberdayaan sosial, dan jaminan kesejahteraan sosial bagi PMKS.

• Mengembangkan perlindungan dan jaminan sosial bagi

PMKS.

• Meningkatkan profesionalisme penyelenggaraan

perlindungan sosial dalam bentuk bantuan sosial, rehabilitasi, pemberdayaan, dan jaminan sebagai metode

penanggulangan kemiskinan.

• Meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial dalam

perlindungan, jaminan, pemberdayaan, rehabilitasi, dan penanggulangan kemiskinan.

• Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai kepahlawanan,

keperintisan, dan kesetiakawanan sosial untuk menjamin

164

keberlanjutan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaran kesejahteraan sosial.

• Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam

penyelenggaraan kesejahteraan sosial.

Secara operasional, visi dan misi tadi dijalankan melalui

program dan sub program sebagai berikut:

Tabel 5.3. Program dan Sub-Program Kementerian Sosial

Program Sub Program

Rehabilitasi Sosial • Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak

• Pelayanan Sosial Lanjut Usia

• Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang

Cacat

• Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Penyalahgunaan NAPZA

• Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial

Perlindungan dan

Jaminan Sosial • Bantuan Sosial Korban Bencana Alam

• Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial

• Bantuan Sosial Korban Tindak Kekerasan dan

Pekerja Migran

• Pengumpulan dan Pengelolaan Sumber Dana

Sosial

• Jaminan Kesejahteraan Sosial

• Bantuan Tunai Bersyarat / Program Keluarga

Harapan (PKH)

Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan

• Penanggulangan Kemiskinan (Perkotaan dan

Perdesaan)

• Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil

• Pemberdayaan Keluarga

• Pemberdayaan Kelembagaan Sosial

Masyarakat

• Pelestarian Kepahlawanan, Keerintisan, dan

Kesetiakawanan Sosial

165

Diklat dan Litbang

Kesejahteraan Sosial • Pendidikan Tinggi Kesejahteraan Sosial

• Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial

• Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial

(I-VI)

• Penelitian Kebijakan Pembangunan

Kesejahteraan Sosial

• Penelitian Terapan Pembangunan

Kesejahteraan Sosial

• Pengembangan Sistem Informasi

Kesejahteraan Sosial

• Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat

• Dukungan Manajemen dan Tugas Teknis Lain

Badan Diklat dan Penelitian Kesejahteraan

Sosial

Dukungan

Manajemen dan

Pelaksanaan Teknis Lain Kemensos

• Perencanaan dan Penganggaran

• Tata Kelola Keuangan

• Tata Kelola Organisasi dan SDM

• Hubungan Masyarakat

• Peningkatan Sarana dan Prasarana

• Penyusunan Perundang-Undangan dan

Bantuan Hukum

• Penyuluhan Sosial

Peningkatan

Pengawa-san dan Akuntabilitas

Aparatur Negara

• Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas

Aparatur Negara

Adapun sasaran strategis beserta IKU (Indikator Kinerja

Utama) dari program-program tersebut dapat diuraikan pada tabel

dibawah ini.

Tabel 5.4. Sasaran Strategis, IKU, dan Keterkaitan Program

Kementerian Sosial

Sasaran Strategis Indikator Kinerja Utama Keterkaitan

Program

1 Meningkatnya kesejahteraan

sosial fakir

miskin

a. Jumlah keluarga fakir miskin yang meningkat

kemampuannya dalam

pemenuhan kebutuhan dasar

Program Pemberdayaan

Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan

166

b. Jumlah fakir miskin yang

telah mengakses fasilitas pelayanan dasar.

2 Meningkatnya

partisipasi

masyarakat dalam penyelenggaraan

kesejahteraan

soaial

a. Jumlah LKS (Lembaga

Kesejahteraan Sosial)

yang telah menyelenggarakan

kesejahteraab sosial.

Program

Pemberdayaan

Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan

b. Jumlah TKS (Tenaga

Kesejahteraan Sosial) berbasis masyarakat

yang telah

menyelenggarakan kesejahteraab sosial.

3 Meningkatnya

pelayanan,

perlindungan, dan rehabilitasi sosial

menuju

kemandirian.

a. Jumlah penerima

manfaat yang memiliki

kemampuan dasar melakukan aktivitas

sehari-hari.

Program

Rehabilitasi

Sosial

b. Jumlah penerima manfaat yang terpenuhi

kebutuhan dasarnya.

4 Meningkatnya

kemampuan masyarakat dalam

mengurangi

resiko bencana

a. Jumlah masyarakat yang

siaga dalam menghadapi bencana

Program

perlindungan dan Jaminan Sosial

b. Jumlah korban bencana

yang terlindungi

kebutuhan dasarnya dalam kondisi darurat

c. Jumlah pekerja migran

yang terlindungi hak dasarnya

5 Meningkatnya

kualitas

penyelenggaraan kesejahteraan

sosial

a. Jumlah PMKS yang telah

terverifikasi

Program

Pendidikan,

Pelatihan, Penelitian, dan

Pengembangan

Kesejahteraan Sosial

b. Persentase LKS yang terakreditasi

c. Persentase SDM

Kesejahteraan Sosial

yang tersertifikasi kompetensi

penyelenggaraan

kesejahteraan sosial

167

6 Meningkatnya

pengawasan internal bidang

kesejahteraan

sosial yg

transparan dan akuntabel

Opiki BPK atas laporan

keuangan Kemensos.

Program

Pengawasan dan Peningkatan

Akuntabilitas

Aparatur

7 Meningkatnya

efisiensi,

efektivitas manajemen

kesejahteraan

sosial

Persentase penilaian usulan

roadmap reformasi

birokrasi.

Program

Dukungan

Manajemen dan Pelaksanaan

Tugas Teknis

lainnya

Sumber: Renstra Kemensos 2010-2014

Dari keenam program tersebut, empat diantaranya

diselenggarakan baik oleh Kemensos sendiri secara terpusat maupun

melalui skema dekonsentrasi, yakni program Rehabilitasi Sosial,

Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pemberdayaan Sosial, dan

Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Teknis Lain Kemensos.

Sedangkan program Diklat dan Litbang Kesejahteraan Sosial serta

program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara

dijalankan secara mandiri oleh Kemensos melalui Badan Pendidikan

dan Penelitian Kesejahteraan Sosial serta Inspektorat Jenderal.

Oleh karena keempat program tadi dijalankan secara

“konkuren” baik oleh Kemensos maupun oleh Gubernur selaku wakil

pemerintah, maka adanya tumpang tindih antara program Kemensos

dengan program dekonsentrasi sosial menjadi tidak terhindarkan.

Selain itu, karena program Kemensos dan program dekonsentrasi

sosial juga sangat mirip dengan program-program pembangunan

bidang sosial yang dilaksanakan oleh Dinas Sosial di provinsi, maka

168

tumpang tindih antara program dan anggaran Kemensos dengan

program dan anggaran Dinas Sosial juga sulit diabaikan.

Namun tumpang tindih dalam program tidak selalu berarti

tumpang tindih dalam kegiatan dan alokasi anggaran, karena dalam

suatu program dapat terdiri dari beberapa kegiatan. Kalaupun

kegiatannya sama, juga tidak selalu overlap jika kegiatan itu terdiri dari

beberapa paket atau satuan yang berbeda. Sebagai contoh, sama-sama

kegiatan bimtek namun jika jumlah bimtek itu lebih dari satu bahkan

dilaksanakan untuk segmen masyarakat yang berbeda, maka tidak

dapat dikatakan telah terjadi tumpang tindih atau inefisiensi. Untuk

analisis lebih lanjut tentang potensi tumpang tindih ini akan dijelaskan

lebih lanjut pada bagian selanjutnya.

B. Prioritas Pembangunan Daerah di Kalimantan Tengah

Provinsi Kalimantan Tengah terbentuk pada tanggal 2 Juli 1958

berdasarkan UU Nomor 21 tahun 1958, dengan luas wilayah kurang

lebih 154.267 km2, atau merupakan merupakan provinsi terluas ketiga

di Indonesia setelah Provinsi Papua dan Kalimantan Timur. Dari luas

wilayah tadi, 82,16 persen merupakan kawasan kehutanan, dan sisanya

non-kehutanan. Secara administratif, provinsi ini terbagi menjadi 13

kabupaten dan 1 kota, serta 129 kecamatan, 1.343 desa dan 131

kelurahan.

Dari aspek demografi, berdasarkan Sensus Penduduk 2010,

jumlah penduduk Kalteng adalah 2.202.599 orang, terdiri atas

1.147.878 laki-laki dan 1.054.721 perempuan, dengan jumlah kepala

keluarga (KK) sebanyak 550.650. Persebaran penduduk Kalteng

169

belum merata dan masih bertumpu pada beberapa kabupaten induk.

Kotawaringin Timur, Kapuas dan Kotawaringin Barat adalah tiga

kabupaten dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk

terbanyak yang masing-masing berjumlah 373.842 orang, 329.406

orang, dan 235.274 orang. Kabupaten Katingan merupakan Kabupaten

pemekaran dengan jumlah penduduk terbanyak diantara kabupaten

pemekaran lainnya di Kalimantan Tengah yakni sebanyak 141.350

orang. Tingkat kepadatan penduduk Kalteng adalah sebanyak 14 orang

per kilometer persegi. Kota Palangka Raya sebagai ibukota provinsi

memiliki tingkat kepadatan penduduk paling tinggi, yakni sebanyak 82

orang per kilometer persegi sedangkan yang paling rendah adalah

Murung Raya yakni sebanyak 4 orang per kilometer persegi (RPJMD

Kalteng 2010-2015).

Dilihat dari potensi perekonomian yang menjadi unggulan,

Kalteng mempunyai nilai Location Quotient (LQ) cukup besar yaitu

sektor pertanian, jasa-jasa serta pengangkutan dan komunikasi. Hal ini

berarti bahwa tiga sektor tersebut merupakan sektor unggulan yang

dimiliki Provinsi Kalimantan Tengah untuk dapat dioptimalkan

pengelolaannya. Terkait dengan potensi sektoral tersebut, komposisi

angkatan kerja menurut kelompok umur di Kalteng didominasi

penduduk yang berumur 20 sampai dengan 44 tahun. Sebagian besar

(60%) penduduk berumur 15 tahun keatas bekerja di sektor pertanian,

sedangkan sektor terkecil penyerapannya adalah sektor keuangan 0,74

persen. Sayangnya, tingkat pendidikan SDM pekerja relatif masih

rendah. Hampir 78,35 persen penduduk yang bekerja diberbagai

sektor, memiliki tingkat pendidikan dasar yaitu tidak/belum tamat

170

SD/sederajat hingga tamat SLTP/sederajat (RPJMD Kalteng 2010-

2015).

Dalam skala regional, Kalimantan Tengah menghadapi

tantangan besar untuk meningkatkan derajat ekonomi kawasan dengan

tetap menjaga isu tentang kelestarian lingkungan hidup. Dengan

wilayah yang secara umum masih didominasi hutan, dan ditambah

dengan kondisi geografi dan persebaran penduduk yang terpencar,

telah mengakibatkan kondisi-kondisi seperti adanya kesenjangan

pembangunan antarwilayah. degradasi sumber daya alam dan

lingkungan hidup dan mitigasi bencana, masih tingginya kebutuhan

investasi di sektor strategis di wilayah pusat-pusat pertumbuhan, serta

masih belum optimalnya perkembangan produktivitas dan pendapatan

masyarakat di sektor pertanian dalam arti luas (termasuk kehutanan).

Itulah sebabnya, pengembangan ekonomi berbasis hutan menjadi

sebuah keniscayaan.

Selain itu, sebagai wilayah terluas ketiga se Indonesia serta

dengan kondisi alam yang relatif masih berhutan, kondisi infrastruktur

dan aksesibilitas antarkawasan di Kalimantan Tengah menjadi isu

pokok pembangunan dalam beberapa tahun ke depan. Hingga saat ini,

Kalimantan Tengah menghadapi problem infrastruktur seperti

terbatasnya kuantitas dan kualitas prasarana perhubungan, lemahnya

integrasi jaringan infrastruktur multimoda, lemahnya aksesibilitas

wilayah-wilayah pedalaman, serta masih banyaknya infrastruktur

strategis yang harus dibangun dan dikembangkan untuk membuka

keterisolasian wilayah. Itulah sebabnya, dibutuhkan dana yang tidak

sedikit dalam rangka membangun kondisi infrastruktur dan

171

aksesibilitas antarkawasan tersebut. Jika problem infrastruktur ini

dapat diminimalisir, akan menimbulkan multiplier effect dalam bentuk

pertumbuhan ekonomi dan percepatan pembangunan wilayah secara

lebih optimal.

Rendahnya dukungan infrastruktur dalam pembangunan

daerah, secara langsung berimplikasi pada lemahnya pelayanan publik,

yang antara lain terlihat dari beberapa fenomena seperti: 1) belum

meratanya jangkauan pelayanan dasar pendidikan dan rendahnya mutu

pelayanan pendidikan di daerah perdesaan dan pedalaman di Kalteng;

2) belum optimalnya cakupan layanan kesehatandasar dan kualitas

pelayanan kesehatan di pusat-pusat yankesmas di daerah; 3) belum

optimalnya cakupan layanan kesejahteraan sosial dan kinerja

pelayanan sosial di pusat-pusat pelayanannya; 4) belum optimalnya

cakupan layanan pendidikan dan kualitas pembelajaran di pusat-pusat

pendidikan di daerah; serta 5) belum meratanya jangkauan pelayanan

kesehatan dasar dan rendahnya mutu pelayanan kesehatan di daerah

perdesaan dan pedalaman di Kalteng (RPJMD Kalteng 2010-2015).

Disamping permasalahan diatas, Kalimantan Tengah juga

menghadapi masalah mendasar yakni masih tingginya jumlah desa

tertinggal (895 desa) atau 61,81 persen dengan kondisi terbatas bidang

infrastruktur, akses pendidikan, akses kesehatan, perekonomian rakyat

yang belum berkembang serta kelembagaan desa dan kelembagaan

masyarakat yang masih rendah.

Dengan memperhatikan berbagai potensi dan permasalahan

diatas, maka pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah mencoba

melakukan penajaman program dan kebijakan pembangunan daerah

172

dengan merumuskan visi jangka menengah yaitu: “Meneruskan dan

Menuntaskan Pembangunan Kalimantan Tengah agar Rakyat Lebih

Sejahtera dan Bermartabat Demi Kejayaan Negara Kesatuan Republik

Indonesia”. Visi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam tujuh

pernyataan misi sebagai berikut:

1. Sinergi dan Harmonisasi Pembangunan Kewilayahan

Kalimantan Tengah melalui pemantapan Rencana

Penataan Ruang Provinsi (RTRWP) secara berkelanjutan dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat dan

lingkungan hidup.

2. Menciptakan pendidikan berkualitas dan terakses serta merata.

3. Menjamin dan meningkatkan kesehatan masyarakat yang

merata dan mudah dijangkau.

4. Pembangunan dan peningkatan infrastruktur yang menjangkau kantong-kantong pemukiman penduduk dan

memfasilitasi pembangunan ekonomi rakyat.

5. Pengembangan dan penguatan ekonomi Kerakyatan yang saling bersinergi dan berkelanjutan.

6. Pelembagaan sistem penguatan kapasitas SDM

masyarakat dan pemerintah. 7. Terciptanya kerukunan dan kedamaian serta sinergitas dan

harmonisasi kehidupan bermasyarakat di Kalimantan

Tengah.

Secara tidak langsung, pernyataan misi diatas sudah

menggambarkan prioritas kebijakan pembangunan di Kalimantan

Tengah. Hal ini diperkuat pula dengan tujuan strategis yang ditetapkan

dalam RPJMD 2010-2015 dan ingin dicapai sampai dengan akhir tahun

2015 sebagai berikut:

1. Revitalisasi dan terciptanya cluster-cluster ekonomi

unggulan di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota.

2. Terselenggaranya penataan ruang yang memperhatikan keberlanjutan sumber daya wilayah.

3. Terselenggaranya sistem pendidikan yang bermutu dan

terjangkau.

173

4. Tersedianya akses infrastruktur pendidikan hingga ke

pelosok wilayah. 5. Meningkatnya sistem layanan kesehatan dasar yang

bermutu dan terjangkau.

6. Tersedianya akses infrastruktur kesehatan dasar hingga ke

pelosok wilayah. 7. Terwujudnya sistem dan jaringan transportasi,

komunikasi, dan informatika yang mendukung aktifitas

ekonomi kerakyatan. 8. Tersedianya infrastruktur pengairan yang mendukung

ketahanan pangan.

9. Tersedianya pemanfaatan sumber energi untuk masyarakat.

10. Terselenggaranya sistem perekonomian kerakyatan yang

terpadu.

11. Terselenggaranya kemitraan usaha antara ekonomi kerakyatan dengan ekonomi skala besar.

12. Meningkatnya daya saing masyarakat.

13. Meningkatnya kapasitas dan kinerja aparatur pemerintah. 14. Terwujudnya soliditas antar kelompok masyarakat.

Ketujuh misi dan ke-14 tujuan strategis diatas selanjutnya

diturunkan dalam prioritas pembangunan daerah pada periode 2011-

2012, 2013, 2014, dan 2015. Dalam setiap periode tersebut dapat

dilihat bahwa meskipun ada sedikit perbedaan prioritas untuk setiap

periode, terutama pada periode 2011-2012, namun tidak satupun yang

memberi titik berat pada aspek kesejahteraan sosial. 2 Pembangunan

pusat-pusat ekonomi unggulan serta pembangunan sektor pendidikan

dan kesehatan merupakan sektor yang paling mendapatkan perhatian

2 Dikaitkan dengan program dekonsentrasi, Gubernur Kalimanten Tengah, Agustin

Teras Narang memberi pernyataan bahwa penetapan program dekonsentrasi harus berdasarkan pada kebutuhan dasar (basic needs) daerah. Namun faktanya, sektor-

sektor yang banyak menggunakan APBN seperti PU, Pendidikan, dan Kesehatan

justru merupakan sektor yang paling banyak “melompat”, tidak melalui gubernur.

Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah (9 Oktober 2014).

174

selama kurun waktu lima tahun, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel

dibawah ini.

Tabel 5.5. Lima Prioritas Tertinggi Pembangunan Provinsi

Kalimantan Tengah 2011-2015

Prioritas Pembangunan Prov. Kalteng Periode 2011-2015

2011-2012 2013 2014 2015

1. Penyiapan tata ruang

yang

berdimensi ekonomi

unggulan

daerah

1. Pengembangan pusat-

pusat

ekonomi unggulan

daerah

(lanjutan)

1. Pengembangan pusat-

pusat

ekonomi unggulan

daerah

(lanjutan)

1. Pengembangan pusat-

pusat

ekonomi unggulan

daerah

(lanjutan)

2. Pengembangan pusat-

pusat

ekonomi

unggulan daerah

2. Pengembangan sarana dan

prasarana

bagi tenaga

pendidik dan kependidikan

(lanjutan)

2. Pengembangan sarana dan

prasarana

bagi tenaga

pendidik dan kependidikan

(lanjutan)

2. Pengembangan sarana dan

prasarana

bagi tenaga

pendidik dan kependidikan

(lanjutan)

3. Pengembangan sarana dan

prasarana

bagi tenaga

pendidik dan kependidikan

3. Peningkatan kesejahteraan

dan kualitas

tenaga

pendidik dan kependidikan

(lanjutan)

3. Peningkatan kesejahteraan

dan kualitas

tenaga

pendidik dan kependidikan

(lanjutan)

3. Peningkatan kesejahteraan

dan kualitas

tenaga

pendidik dan kependidikan

(lanjutan)

4. Peningkatan kesejahteraan

dan kualitas

tenaga

pendidik dan kependidikan

4. Penyusunan dan

penyempurna

an regulasi

dan penyelenggar

aan sistem

pendidikan & kesehatan

(lanjutan)

4. Penyelenggaraan sistem

pendidikan

dan

kesehatan (lanjutan)

4. Penyelenggaraan sistem

pendidikan

dan

kesehatan (lanjutan)

5. Penyusunan

dan penyempurna

5. Penyediaan

sarana-prasarana

5. Penyediaan

sarana- prasarana dan

5. Penyediaan

sarana-prasarana dan

175

an regulasi

dan penyelenggar

aan sistem

pendidikan

dan kesehatan

dan

infrastruktur pendidikan

dan

kesehatan

(lanjutan)

infrastruktur

pendidikan dan

kesehatan

(lanjutan)

infrastruktur

pendidikan dan

kesehatan

(lanjutan)

Sumber: RPJMD Provinsi Kalimantan Tengah 2010-2015 (diolah)

Peta prioritas pembangunan secara langsung menunjukkan peta

pengalokasian anggaran. Maknanya, semakin tinggi prioritas sebuah

sektor pembangunan, maka semakin besar pula alokasi anggaran yang

diberikan. Dalam hal ini, mengingat sektor sosial tidak mendapat

prioritas, maka konsekuensi logisnya adalah tidak memperoleh alokasi

anggaran yang signifikan, sehingga wajar jika ada harapan yang tinggi

untuk mendapatkan dukungan dari pusat melalui sekama dana

dekonsentrasi.

C. Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Kalimantan Tengah

Secara umum, pembangunan kesejahteraan sosial di

Kalimantan Tengah menghadapi tantangan dan permasalahan yang

masih fundamental, antara lain: 1) masih tingginya angka kematian

bayi, balita dan ibu melahirkan serta tingginya proporsi balita kurang

gizi; 2) masih tingginya kesenjangan status kesehatan dan akses

terhadap pelayanan kesehatan antar wilayah, gender dan kelompok

pendapatan; 3) masih terjadinya beban ganda penyakit yaitu pola

penyakit yang diderita masyarakat sebagian besar adalah penyakit

infeksi menular; serta 4) masih perlunya ditingkatkan kualitas

kependudukan dan ketenagakerjaan, keluarga kecil berkualitas serta

pemuda dan olah raga di seluruh wilayah Kalimantan Tengah.

176

Meskipun permasalahan yang ada masih cukup menonjol,

namun kinerja pembangunan kesejahteraan sosial di Kalteng dapat

dikatakan menunjukkan peningkatan yang berarti dari waktu ke waktu.

Pada periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin di provinsi ini

menurun sebesar 61.317 orang, yakni dari 292.118 orang pada tahun

2000 menjadi 230.801 orang pada tahun 2005, atau menurun dari 16,31

persen pada tahun 2000 menjadi 10,73 persen pada tahun 2005. Namun

pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang

signifikan menjadi 257.089 orang atau 13,42 persen. Hal ini

disebabkan adanya kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005.

Pada bulan Maret 2007, terjadi penurunan kembali jumlah penduduk

miskin menjadi 210.327 orang (9,38 persen), kemudian Maret 2008

menjadi 199.991 orang (8,71 persen), dan pada bulan Maret 2009

jumlah penduduk miskin menjadi 165.854 (7,02 persen). Pada bulan

Maret 2010, terjadi penurunan jumlah penduduk miskin menjadi

164.221 orang atau 6,77 persen, terdiri dari penduduk perkotaan

sebesar 33.229 orang dan perdesaan 130.992 orang. Ini berarti selama

periode Maret 2009-2010 jumlah penduduk miskin turun sebesar 1.633

orang (RPJMD Kalteng 2010-2015). Adapun berdasarkan data terbaru

BPS Kalimantan Tengah, jumlah dan persebaran penduduk miskin di

Kalimantan Tengah pada tahun 2012 adalah sebagai berikut:

Tabel 5.6. Kemiskinan di Kalimantan Tengah

Kabupaten/Kota

Garis

Kemiskinan

(Rp/kapita/bln)

Persentase

Penduduk

Miskin

Penduduk

Miskin

(000)

1. Kotawaringin Barat 268 998 5,64 14,10

2. Kotawaringin Timur 277 586 6,91 26,87

3. Kapuas 217 237 6,11 19,96

177

4. Barito Selatan 290 543 7,26 9,08

5. Barito Utara 296 658 6,10 7,47

6. Sukamara 305 940 5,37 2,55

7. Lamandau 279 652 4,66 3,12

8. Seruyan 283 282 7,92 12,01

9. Katingan 283 362 6,10 9,18

10.Pulang Pisau 269 463 5,25 6,34

11.Gunung Mas 277 660 6,56 6,62

12.Barito Timur 321 334 8,53 8,70

13.Murung Raya 311 328 5,78 5,87

14.Palangka Raya 247 901 4,24 10,03

Kalimantan Tengah 277 407 6,19 141,90

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Tengah 2014

Permasalahan kesejahteraan sosial lain yang dihadapi selain

kemiskinan adalah rendahnya partisipasi perempuan dan anak dalam

pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktek

diskriminasi terhadap perempuan. Berdasarkan data SUSENAS tahun

2009, partisipasi perempuan di dibidang pendidikan juga masih sangat

rendah, yakni sebesar 4,20 persen yang tidak sekolah, 34,06 persen

berpendidikan SD, 18.85 persen setingkat SMP, 15,29 persen setingkat

SMA, dan hanya 4,14 yang mengenyam pendidikan tinggi (diploma

maupun sarjana). Angka partisipasi laki-laki dalam pendidikan masih

lebih baik, dimana 1,75 persen tidak sekolah, 33,46 persen

berpendidikan SD, 20,46 persen menamatkan SMP, 18,73 persen

menempuh pendidikan setaraf SMA, dan 4,17 persen yang mendapat

kesempatan kuliah di perguruan tinggi.

Kondisi ini diperparah oleh masih adanya kasus-kasus

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada tahun 2008, terdapat 39

kasus KDRT. Dengan jumlah rumah tangga sebanyak 448.058, berarti

rasio KDRT-nya adalah 0,0087. Kasus KDRT pada tahun 2009

178

meningkat menjadi 69 laporan/pengaduan, meskipun rationya turun

menjadi 0,0014 karena jumlah rumah tangga yang meningkat menjadi

469.220 (sumber: Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak dan KB,

dalam RPJMD Kalteng 2010-2015).

Sementara itu berdasarkan rekapitulasi data PMKS se

Indonesia pada tahun 2012 yang dikeluarkan Pusat Data dan Informasi

Kesejahteraan Sosial Kemensos, Kalimantan Tengah termasuk

provinsi dengan tingkat masalah sosial yang sangat rendah. Bahkan

dalam beberapa kategori, provinsi ini tidak memiliki kasus sama sekali.

Jika total PMKS di Kalimantan Tengah dibandingkan dengan total

PMKS di Indonesia, maka akan ketemu angka 201.251 berbanding

53.608.469. Dengan kata lain, jumlah PMKS di Kalteng hanya 0,37

persen dari total PMKS di Indonesia.

Secara lebih rinci, jumlah PMKS Kalteng dibandingkan dengan

angka total Indonesia dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 5.7. Data PMKS Kalimantan Tengah dan Perbandingan dengan

Total PMKS se-Indonesia

No. Kategori PMKS Kalimantan

Tengah Indonesia

1 Anak Balita Terlantar 219 341.458

2 Anak Terlantar 830 1.677.780

3 Anak Nakal 236 146.228

4 Anak Jalanan 0 135.983

5 Wanita Rawan Sosial Ekonomi 0 1.135.528

6 Korban Tindak Kekerasan 0 848.219

7 Lanjut Usia Terlantar 6.008 2.296.425

8 Penyandang Cacat 2.486 1.250.780

9 Tuna Susila 0 50.276

10 Pengemis 0 178.262

11 Gelandangan 12 18.599

12 Bekas Warga Binaan Lembaga

Kemasyarakatan

32 108.819

179

13 Korban Penyalahgunaan Napza 0 418.048

14 Penduduk Miskin 146.900 30.018.980

15 Keluarga Fakir Miskin 36.725 7.504.736

16 Rumah Tidak Layak Huni 0 4.451.807

17 Keluarga Bermasalah Sosial

Psikologis

0 200.230

18 Komunitas Adat Terpencil 0 603

19 Kepala Keluarga 644 136.257

20 Korban Bencana Alam 7.159 1.153.720

21 Korban Bencana Sosial 0 259.436

22 Pekerja Migran Terlantar 0 40.883

23 Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

0 16.688

24 Keluarga Rentan 0 1.218.724

Jumlah 201.251 53.608.469

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos, 2012 (diolah)

Terlepas dari validitas data, tabel diatas menunjukkan bahwa

dari 24 kategori PMKS, Kalimantan Tengah tidak memiliki masalah

sosial yang signifikan kecuali untuk dua kategori saja yakni penduduk

miskin dan keluarga fakir miskin. Sementara masalah yang cukup

menonjol lainnya adalah lanjut usia terlantar dan korban bencana alam.

Gambaran situasi seperti itu tentunya harus menjadi

pertimbangan dalam merencanakan kegiatan beserta alokasi

anggarannya. Artinya, harus ada korelasi antara masalah yang dihadapi

dengan program yang akan dijalankan, sehingga setiap rupiah yang

dibelanjakan akan dapat berkontribusi terhadap pemecahan masalah

yang dihadapi. Terkait dengan hal ini, RPJMD Provinsi Kalimantan

Tengah 2010-2015 mengamanatkan 17 (tujuh belas) program sosial

yang harus dijalankan beserta dengan indikator kinerja (outcome)

sebagai berikut:

180

Tabel 5.8. 17 Program Pembangunan Bidang Sosial Provinsi

Kalimantan Tengah 2010-2015 dan Indikator Kinerjanya

No Program Bidang

Sosial Indikator Kinerja

1 Program Pelayanan

Administrasi Perkantoran

Terselenggaranya pelayanan administrasi

perkantoran setiap tahun, antara lain: jasa surat menyurat, komunikasi 60 bulan/5

gedung, operasional rutin kantor 60 bulan,

ATK 60 bulan, rapat-rapat koordinasi, konsultasi keluar daerah 60 bulan.

2 Program Peningkatan

Sarana dan Prasarana

Aparatur

Terlaksananya pembangunan, rehabilitasi,

pemeliharaan gedung 60 paket/5 gedung,

perlengkapan, peralatan gedung 5 paket.

3 Program Peningkatan

Disiplin Aparatur

Terlaksananya pengadaan pakaian dinas

820 stel/5 paket.

4 Program Fasilitas

Pindah/ Purna Tugas PNS

Pembayaran biaya pemulangan 25 orang.

5 Program Peningkatan

Kapasitas SDM Aparatur

Pelaksanaan bimtek 75 orang, kegiatan

olahraga karyawan 10 kali.

6 Program

Pengembangan

Sistem Pelaporan Capaian Kinerja dan

Keuangan

Tersedianya dokumen laporan capaian

kinerja 5 paket, dokumen laporan

keuangan 60 kali.

7 Program

Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas

Adat Terpencil &

PMKS lainnya

Meningkatnya kemampuan petugas dan

pendamping sosial pemberdayaan Fakir Miskin di 25 lokasi, Pemberdayaan warga

KAT di 10 lokasi.

8 Program Pelayanan

dan Rehabilitasi

Kesejahteraan Sosial

Terselenggaranya Pelayanan dan

Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial, antara

lain melalui: Bimbingan 600 Anak dan

Wanita Rawan Sosial Ekonomi, pendataan 10 paket, bimbingan sosial 10

kali, renovasi gedung 2 paket, Sarana dan

prasarana 4 paket.

9 Program Pembinaan

Anak Terlantar

Terlaksananya pembinaan anak terlantar

di 25 lokasi.

181

10 Program Pembinaan

Penyandang Cacat dan Trauma

Terlaksananya pembinaan para

penyandang cacat dan trauma, melalui: pelatihan dan pengembangan bakat 200

orang, pendataan 5 paket.

11 Program Pembinaan

Panti Asuhan/Panti Jompo

Terlaksananya pelayananan sosial bagi

100 orang per tahun di PSTW Sinta Rangkang.

12 Program Pembinaan

eks Penyandang

Penyakit Sosial (narapidana, PSK,

narkoba & penyakit

sosial lainnya)

Terselenggaranya bimbingan sosial dan

pelatihan keterampilan berusaha bagi eks

penyandang penyakit sosial 325 (Loka Bina Karya, Bimbingan Napza).

13 Program

Pemberdayaan

Kelembagaan

Kesejahteraan Sosial

Terlaksananya perekrutan, pembinaan

manajer sosial kecamatan 33, organisasi

sosial 10, Karang Taruna 250, Wahana

Kesejahteraan social 3 Paket, PMI 300 orang, Tali asih 17 Agustus 3.140 orang

dan 10 Nopember 330 orang.

14 Program Bantuan Sosial Korban

Bencana Alam

Tersalurkannya bantuan sosial untuk korban bencana alam di 14

Kabupaten/Kota.

15 Program Bantuan

Sosial Korban Bencana Sosial

Tersalurkannya bantuan sosial untuk

korban bencana sosial di 14 Kabupaten/Kota.

16 Program PKH Peningkatan dan Akses dan kualitas

pendidikan dan kesehatan bagi di 14

Kabupaten/Kota.

17 Program

Pengumpulan dan

Pengelolaan Sumber Daya Sosial

Jumlah SK penyelenggaraan undian

berhadiah 25 kegiatan.

Sumber: RPJMD Provinsi Kalimantan Tengah 2010-2015 (diolah)

Tabel diatas berisi program-program pembangunan bidang

kesejahteraan sosial yang menjadi urusan rumah tangga provinsi

Kalimanten Tengah dan dibiayai sepenuhnya dari APBD. Dari uraian

program diatas dapat dikritisi beberapa hal. Pertama, dari 17 program

ada sebanyak 6 (enam) program yang bersifat administratif seperti

182

administrasi perkantoran, pembelian alat tulis dan peralatan kerja,

penyusunan laporan, bahkan pengadaan pakaian dinas. Orientasi

kedalam (inward looking) ini jelas akan mengurangi intensitas dalam

melayani masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial.

Kedua, indikator kinerja yang seharusnya pada level manfaat

(outcome), ternyata masih banyak yang berada pada level output saja.

Akibatnya, kemanfaatan dari program tersebut masih sangat rendah,

misalnya masih sekitar pada pelaksanaan bimbingan teknis atau

sosialisasi.

183

BAB VI

RELEVANSI DEKONSENTRASI BIDANG SOSIAL

BERDASARKAN EFEKTIVITAS PENGELOLAANNYA

Dekonsentrasi adalah salah model penyelenggaraan urusan

pemerintahan selain desentralisasi, tugas pembantuan, atau sentralisasi

(pelaksanaan urusan oleh pemerintah pusat). Pada setiap sektor

pembangunan, ketiga model tersebut dilaksanakan secara bersama-

sama untuk mencapai hasil yang paling optimal, meskipun terdapat

potensi terjadinya irisan (intersection).

Praktek implementasi kebijakan dekonsentrasi bidang sosial

sendiri sangat menarik untuk dianalisis dalam beberapa dimensinya,

antara lain aspek program dan kegiatan, penganggaran atau

pembiayaan, mekanisme perencanaan, kelembagaan, dan kerangka

regulasi terkait dekonsentrasi. Secara lebih mendalam, masing-masing

aspek pelaksanaan dekonsentrasi lingkup Kemensos dapat dielaborasi

sebagai berikut:

A. Aspek Program dan Kegiatan Dekonsentrasi

Payung hukum penyelenggaraan urusan dekonsentrasi bidang

sosial diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/2013 tentang

Pelimpahan Kewenangan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke

Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten Kota Tahun

Anggaran 2014. Atas dasar Permensos Nomor 20/2013 ini, ada 4

(empat) kelompok program dekonsentrasi sosial yang dilimpahkan,

dengan rincian sebagai berikut:

184

Tabel 6.1. Program Dekonsentrasi Sosial yang Dilimpahkan

No Program

Dekonsentrasi Rincian Program

1 Program Dukungan

Manajemen dan

Pelaksanaan Tugas

Teknis Lainnya Kemensos

a. Laporan keuangan pengelolaan sistem

akuntansi pemerintah;

b. Laporan penyusunan usulan program

dan kegiatan; c. Rapat koordinasi perencanaan

program, laporan musyawarah

d. Perencanaan pembangunan kesejahteraan sosial, dan pemantapan

e. Program dananggaran Kementerian

Sosial Tahun 2015; f. Pelaksanaan pameran Indotera Expo;

g. Pelaksanaan penyuluhan sosial;

h. Penyusunan program dan rencana

kerja/teknis/program; i. Pengendalian dan pelaporan.

2 Program Rehabilitasi

Sosial

a. Pelayanan sosial lanjut usia;

b. Rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan napza;

c. Rehabilitasi sosial orang dengan

kecacatan;

d. Rehabilitasi sosial tuna sosial; dan e. Kesejahteraan sosial anak

3 Program Perlindungan

dan Jaminan Sosial

a. Perlindungan sosial korban bencana

alam; b. Perlindungan sosial korban bencana

sosial;

c. Perlindungan sosial korban tindak

kekerasan dan pekerja migran; d. Pengumpulan dan pengelolaan

sumber dana bantuan sosial; dan

e. Jaminan sosial, terdiri dari:

• Program Keluarga Harapan; dan

• Asuransi kesejahteraan sosial

4 Program

Pemberdayaan Sosial

dan Penanggulangan

Kemiskinan

a. Pemberdayaan keluarga dan

kelembagaan sosial;

b. Pemberdayaan komunitas adat

terpencil; c. Penanggulangan kemiskinan

pedesaan;

185

d. Penanggulangan kemiskinan

perkotaan; dan e. Pelestarian nilai kepahlawanan,

keperintisan, dan kesetiakawanan

sosial.

Program-program diatas dijabarkan lebih lanjut di tingkat

Direktorat Jenderal melalui penerbitan Pedoman Pelaksanaan

Dekonsentrasi di masing-masing satuan kerja. Berdasarkan Pedoman

Pelaksanaan Dekonsentrasi 2014 dari ketiga Direktorat Jenderal dan

Sekretariat Jenderal dapat dikemukakan kegiatan dekonsentrasi tahun

2014 sebagai berikut:

Tabel 6.2. Rincian Kegiatan Dekonsentrasi Kementerian Sosial Tahun

2014

No Program Kegiatan Dekonsentrasi 2014

Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial

1 Perlindungan Sosial Korban

Bencana Alam

a. Pembentukan Kampung Siaga Bencana b. Pemantapan Petugas Pendamping Sosial

Korban Bencana Alam

c. Pemantapan Kemampuan Shelter Korban

Bencana Alam d. Pemantapan Kemampuan Pengelolaan

Logistik Bencana

e. Pemantapan Petugas Psikososial f. Laporan Keuangan/Kinerja/Pembinaan

Pegawai/Kekayaan Milik

Negara/Evaluasi/Monitoting/Publikasi dan

Pengembangan Organisasi Bidang PSKBA g. Laporan pengelolaan Keuangan dan

Kegiatan

h. Pemeliharaan Kendaraan Operasional Kendaraan Penanggulangan Bencana

i. Pengerahan dan Insentif Petugas

Penanggulangan Bencana j. Forum Koordinasi Provinsi

k. Penyusunan Program dan Rencana Kerja

186

2 Perlindungan

Sosial Korban Bencana Sosial

a. Kajian Pemetaan Daerah Rawan Bencana

Sosial b. Bimtek Petugas Perlindungan Sosial

Korban Bencana Sosial

c. Penyusunan Dokumen

Perencanaan/Program/Anggaran

3 Perlindungan

Sosial Korban

Tindak

Kekerasan dan Pekerja Migran

a. Perlindungan Korban Kekerasan dan

Pekerja Migran Bermasalah

b. Bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

bagi Korban Tindak Kekerasan dan Pekerja Migran

c. Rapat Koordinasi Perlindungan Sosial

KTK dan PM d. Pendataan KTK dan PM

4 Pengumpulan dan

Pengelolaan

Sumber Dana Bantuan Sosial

(PPSDBS)

a. Laporan Kegiatan Pemantauan dan

Pengawasan atas Penyelenggaraan Undian

Gratis Berhadiah (UGB) dan Pengumpulan Uang atau Barang (PUB)

b. Laporan Keuangan/Kinerja/Pembinaan

Pegawai/Kekayaan Milik Negara/Evaluasi/Monitoting/Publikasi dan

Pengembangan Organisasi Bidang

PPSDBS c. Laporan Hasil Pengembangan Organisasi

Bidang PPSDBS

d. Monitoring Bantuan Hibah Dalam

Negeri/UKS

5 Jaminan

Kesejahteraan

Sosial: Program

Keluarga

Harapan (PKH)

a. Operasional Unit Pelaksana Program

Keluarga Harapan (UPPKH) Tingkat

Provinsi b. Operasional UPPKH Tingkat

Kabupaten/Kota

c. Rapat Koordinasi PKH Tingkat Provinsi

d. Rapat Koordinasi PKH Tingkat Kabupaten/Kota

e. Bimbingan Teknis Program Keluarga

Harapan (PKH) f. Laporan Pengelolaan Keuangan dan

Kegiatan

g. Penyusunan Dokumen Perencanaan Bidang Jaminan Sosial

187

Jaminan

Kesejahteraan Sosial: Asuransi

Kesejahteraan

Sosial

a. Administrasi Kegiatan

b. Bimbingan Motivasi Asuransi Kesejahteraan Sosial

c. Observasi dan Seleksi Calon Pelaksana

Askesos 2014

d. Pemantapan Petugas Pelaksana Askesos Kabupaten/Kota

e. Rekonsiliasi

f. Bimbingan Teknis, Monitoring, Evaluasi dan Supervisi bagi Lembaga Pelaksana

Askesos

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial

1 Pelayanan Sosial

Lanjut Usia

a. Pemberian Bantuan Usaha Ekonomi

Produktif (UEP)

b. Asistensi Sosial melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia (LKS

LU)

c. Pendampingan dan Perawatan Lanjut Usia di Lingkungan Keluarga

d. Pelayanan Harian Lanjut Usia

e. Bantuan Operasional KOMDA Lanjut Usia f. Operasional dan Monitoring ASLUT

g. Administrasi Keuangan

2 Rehabilitasi

Sosial Korban Penyalahgunaan

Napza (KPN)

a. Identifikasi dan Seleksi KPN

b. Rehabilitasi dan Bimbingan Fisik, Kesehatan, Mental Sosial dan

Keterampilan KPN Luar Panti

c. Praktek Belajar Kerja (PBK)

d. Pendamping Usaha Ekonomi Produktif (UEP) KPN

e. Bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP)

3 Rehabilitasi Sosial Orang

Dengan

Kecacatan

(RSODK)

a. Unit Pelayanan Sosial Keliling (UPSK) b. Pemantapan Kader RSODK Berbasis

Masyarakat

c. Kampanye Sosial Hak Penyandang

Disabilitas Intelektual (PDI) dan Penyandang Disabilitas Mental (PDM)

d. Peningkatan Kemampuan Wirausaha

Penyandang Disabilitas Masyarakat e. Penyaluran Asistensi Sosial melalui

Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS)

188

4 Rehabilitasi

Sosial Tuna Sosial

a. Gelandangan, Pengemis & Pemulung,

Tuna Susila, Korban Trafficking Perempuan, Bekas Warga Binaan LP,

Orang Dengan HIV/AIDS & Kelompok

Minoritas yang Mendapatkan Rehabilitasi

dan Perlindungan Sosial b. Bimbingan Pencegahan Penyakit

HIV/AIDS Wanita Korban Trafficking

c. Bimbingan Sosial Rehabilitasi Sosial Penanganan Bekas Warga Binaan LP

d. Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial Eks

Wanita Tuna Susila

e. Bimbingan dan Rehabilitasi Gepeng dan Pemulung

f. Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial ODHA

g. Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial Waria h. Penanganan Korban Trafficking

i. Pemberian Bantuan Sosial

5 Kesejahteraan

Sosial Anak

Anak Balita, Anak Terlantar & Anak Jalanan,

Anak Berhadapan dengan Hukum, Anak dengan Kecacatan, Anak yang Membutuhkan

Perlindungan Khusus yang Mendapatkan

Layanan Program Kesejahteraan Sosial Anak

Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan

Kemiskinan

1 Pemberdayaan

Keluarga dan Kelembagaan

Sosial

a. Keluarga Plasma/Keluarga Rentan, Wanita

Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) yang Mendapat Bantuan

b. LK3 yang Melakukan Pelayanan

Kesejahteraan Sosial c. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring /

Evaluasi / Publikasi / Sosialisasi serta

Kegiatan Pendukung Pemberdayaan

Keluarga dan Kelembagaan Sosial d. TKSK yang Mendapat Pelatihan

Peningkatan Kemampuan

e. Organisasi Sosial yang Mendapatkan Pelatihan Peningkatan Kemampuan

f. PSM yang Mendapatkan Pelatihan

Peningkatan Kemampuan g. Karang Taruna Mendapatkan Pelatihan

Peningkatan Kemampuan

189

h. WKSBM Mendapatkan Peningkatan

Kapasitas i. CSR Kesejahteraan Sosial yang telah

Terbentuk

j. Family Care Unit yang Melakukan

Pemberdayaan Keluarga

2 Pemberdayaan

Komunitas Adat Terpencil (KAT)

a. Penyusunan Rekomendasi Hasil Analisis,

Kajian, Kebijakan Pemberdayaan KAT b. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring /

Evaluasi / Publikasi / Sosialisasi serta

Kegiatan Pendukung Pemberdayaan KAT c. Dokumen Perencanaan / Program /

Anggaran / Data / Informasi / Kebijakan

Bidang Pemberdayaan KAT

3 Penanggulangan Kemiskinan

Perdesaan

a. Bantuan UEP bagi Masyarakat Miskin di Perdesaan

b. Pendamping Sosial yang Mendapatkan

Bimbingan Teknis c. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring /

Evaluasi / Koordinasi, Pembinaan serta

Kegiatan Pendukung Pelaksanaan Penanggulangan Kesmiskinan Perdesaan

d. Dokumen Perencanaan / Program /

Anggaran / Data / Informasi / Kebijakan

Bidang Penanggulangan Kesmiskinan Perdesaan

4 Penanggulangan

Kesmiskinan Perkotaan

a. Keluarga Miskin yang Mendapat Bantuan

Stimulan UEP di Perkotaan b. Pendamping Sosial KUBE dan LKM yang

Mendapatkan Bimbingan Teknis di

Perkotaan

c. Rekomendasi Hasil Analisis, Kajian, Kebijakan Bidang Penanggulangan

Kesmiskinan

d. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring / Evaluasi / Koordinasi, Pembinaan serta

Kegiatan Pendukung Pelaksanaan

Penanggulangan Kesmiskinan Perkotaan

e. Dokumen Perencanaan / Program / Anggaran / Data / Informasi / Kebijakan

Bidang Penanggulangan Kesmiskinan

Perkotaan

190

5 Pelestarian Nilai

Kepahlawanan, Keperintisan, dan

Kesetiakawanan

Sosial

a. TMPN/TMP/MPN yang Direhab dan

Dipelihara b. Bantuan Perbaikan Rumah bagi

Warakawuri / Keluarga Pahlawan Nasional

dan Perintis Kemerdekaan / Janda Perintis

c. Laporan Keuangan / Kinerja / Monitoring / Evaluasi / Koordinasi, Pembinaan serta

Kegiatan Pendukung Pelaksanaan

Pelestarian Nilai Kepahlawanan, Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial

d. Generasi Muda yang Mengikuti Kegiatan

Pra-Manggala dan Manggala Indonesia

Sekretariat Jenderal

1 Program

Dukungan Manajemen dan

Pelaksanaan

Tugas Teknis Lainnya

Kemensos

a. Laporan Keuangan Pengelolaan Sistem

Akuntansi Pemerintah (SAP) b. Laporan Penyusunan Usulan program dan

Kegiatan Daerah

c. Rakor Perencanaan Program, Laporan Musrenbang Kesos, dan Pemantapan

Program dan Anggaran Kemensos Tahun

2015

2 Penyuluhan Sosial

a. Pelaksanaan Penyuluhan Sosial o Penyuluhan Sosial Masyarakat

o Penyuluhan Sosial Keliling

o Penyuluhan Sosial Melalui Media (cetak, elektronik, kesenian tradisional)

o Penyuluhan Sosial Melalui Media Luar

Ruang

b. Penyusunan Program dan Rencana Kerja / Teknis

Sumber: Petunjuk Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Kementerian Sosial Tahun 2014.

Mengingat kegiatan dekonsentrasi juga bersumber dari

program yang sama sebagaimana kegiatan yang dilakukan sendiri oleh

pusat (Kemensos), maka terjadinya tumpang tindih program dan

kegiatan dekonsentrasi dan kegiatan yang dilaksanakan sendiri oleh

Kemensos menjadi nyata. Namun terkait dengan hal ini, para pejabat

191

Kemensos termasuk Direktur PSKBA Inspektur Jenderal1 yang

bertugas mengawasi dan memeriksa program dan anggaran di

lingkungan Kemensos saling mengkonfirmasi bahwa tidak terjadi

overlap yang mengakibatkan inefisiensi program dan anggaran.

Menurut Direktur PSKBA, kalaupun terjadi tumpang tidih kegiatan

atau tumpang tindih penerima manfaat dari suatu program/kegiatan

tertentu, hal itu sifatnya penguatan. Sebab, bantuan yang diberikan dari

satu program sangat kecil dan tidak mencukupi untuk memenuhi

kebutuhan penerima bantuan. Bahkan meskipun seseorang menerima

bantuan dari beberapa kegiatan, itupun masih sangat kecil. Dalam

bahasa Inspektur Jenderal, situasi seperti itu dikatakan sebagai strategi

keroyokan atau gotong royong. Menurutnya, mengapa program

pengentasan kemiskinan sangat sulit berhasil, salah satunya

disebabkan karena anggaran yang kecil dan tidak mampu memberikan

dampak signifikan bagi penerima bantuan. Selain itu, dari sisi

pengawasan memang tidak ada aturan yang melarang terjadinya

perangkapan penerimaan bantuan bagi pihak tertentu. Jika warga

masyarakat dilarang menerima bantuan lebih dari satu

sumber/program, justru akan membuat program pemberdayaan

masyarakat semakin tidak efektif.

Meskipun demikian, di kalangan Kemensos sendiri sudah

muncul kesadaran untuk memperbaiki sistem perencanaan program

1 Wawancara dengan Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam

(PSKBA) dan Kepala Seksi Kedaruratan Direktorat PSKBS Kemensos, Senin, 29 September 2014; dengan Inspektur Jenderal Kemensos, Kamis, 2 Oktober 2014.

Dalam wawancara pada program Metro Highlight di Metro-TV tanggal 1

November 2014, Menteri Sosial Khofifah juga menegaskan hal yang sama bahwa

berbagai program pemberdayaan sosial tidak ada duplikasi melainkan penguatan.

192

dan kegiatan. Dalam hal ini, untuk mengurangi potensi tumpang tindih

antar program, maka adanya pembagian urusan dan tanggungjawab

yang lebih jelas menjadi kebutuhan mendesak, sehingga Kemensos

telah mengembangkan konsep pembagian wewenang/urusan yang

lebih sederhana, yang diharapkan tidak akan ada lagi kerancuan atau

kebingungan tentang domain suatu program.2 Dengan contoh

penanganan anak terlantar diatas, maka dalam konsep baru ini akan

menjadi wewenang kabupaten/kota secara utuh, sehingga pusat (cq.

Kemensos) tidak perlu lagi mengalokasikan anggaran penanganan

anak terlantar baik dari skema dekonsentrasi maupun kegiatan yang

dilakukan sendiri secara terpusat.

Selain tumpang tindih antara program dekonsentrasi dengan

program yang dijalankan sendiri oleh Kementerian, masih ada dua

bentuk tumpang tindih yang lain, yakni: 1) tumpang tindih

program/anggaran dekonsentrasi dengan program/APBD provinsi, dan

2) tumpang tindih program/anggaran dekonsentrasi Kemensos dengan

program/anggaran dekonsentrasi kementerian lain yang terkait.

Khusus menyangkut potensi tumpang tindih program/anggaran

dekonsentrasi dengan program/APBD provinsi, pejabat di Kemensos

memberikan argumentasi yang sama, yakni bahwa hal tersebut

merupakan bentuk penguatan antar program atau gotong royong lintas

program untuk mewujudkan sasaran secara lebih efektif. Hal ini juga

didorong oleh alokasi APBN untuk sektor sosial yang relatif rendah,

2 Konsep pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan

kabupaten/kota dalam bidang sosial ini sudah masuk dalam UU No. 23/2014

tentang Pemerintahan Daerah.

193

sehingga sedikit banyak ada ketergantungan kepada sumber dari pusat

melalui skema dana dekonsentrasi (untuk lebih rincinya, baca analisis

pada bagian berikutnya tentang aspek anggaran/pembiayaan

dekonsentrasi). Dengan kata lain, kemungkinan overlap dengan APBD

sangat kecil. Sebab, tidak prioritasnya pembangunan sektor sosial di

daerah membuat daerah justru mengandalkan dana dekonsentrasi.

Contohnya adalah untuk penanganan bencana sosial yang menjadi

program kerja Direktorat PSKBS, jika tidak dikucurkan dana

dekonsentrasi dari Kemensos, bisa-bisa tidak ada kegiatan sama sekali

di daerah. Kalaupun ada sharing dari APBD, sifatnya lebih sebagai

supporting untuk safeguarding. Sebagai contoh, untuk kegiatan

keserasian sosial di Direktorat PSKBS, bantuan sosial yang diberikan

sekitar Rp 109 juta, sedangkan anggaran daerah hanya untuk

safeguarding saja seperti untuk operasional forum, untuk

pendampingan, dan monev kegiatan. Jadi anggaran daerah sifatnya

hanya pelengkap, dan tidak terjadi overlap. Kalaupun masih ada

tumpang tindih, hal ini dapat diminimalisir melalui Rapat Koordinasi

Kesejahteraan Sosial yang dilakukan setiap pertengahan tahun dan

diikuti oleh seluruh Dinas Sosial se Indonesia.3

Adapun gambaran tumpang tindih antara program

dekonsentrasi bidang sosial dengan program desentralisasi (urusan

otonom daerah) bidang sosial di Provinsi Kalteng dapat dilihat pada

tabel dibawah ini.

3 Wawancara dengan Direktur PSKBA dan Kepala Seksi Kedaruratan Direktorat

PSKBS Kemensos, Senin, 29 September 2014.

194

Tabel 6.3. Persandingan Program/Kegiatan Dekonsentrasi dengan

Program/Kegiatan Provinsi Kalteng Sebagai Daerah

Otonom dalam Bidang Kesejahteraan Sosial yang

Berpotensi Tumpang Tindih

No. Program / Kegiatan

Dekonsentrasi No.

Program / Kegiatan

Desentralisasi (Daerah

Otonom)

1 Program Pemberdayaan

Sosial dan

Penanggulangan Kemiskinan

1 Program Pemberdayaan Fakir

Miskin, Komunitas Adat

Terpencil, dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial

(PMKS) Lainnya

• Pelestarian

Kepahlawanan,

Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial

• Penanggulangan

Kemiskinan Perdesaan

• Pemberdayaan

Keluarga dan Kelembagaan Sosial

Masyarakat

• Pemberdayaan

Komunitas Adat Terpencil

• Penanggulangan

Kemiskinan Perkotaan

• Peningkatan kemampuan

petugas dan pendamping

sosial pemberdayaan fakir miskin, KAT, dan PMKS

lainnya

• Pengadaan sarana dan

prasarana pendukung usaha bagi keluarga miskin

• Kegiatan

pemetaan/penjajagan awal

calon lokasi KAT

• Pembangunan rumah warga

KAT

2 Program Rehabilitasi

Sosial

2 Program Pelayanan dan

Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial

• Rehabilitasi Sosial

Korban

Penyalahgunaan

NAPZA

• Rehabilitasi Sosial

Orang Dengan

Kecacatan

• Rehabilitasi Sosial

Tuna Sosial

• Rehabilitasi dan

Perlindungan Sosial

Anak

• Pelaksanaan KIE

(Komunikasi, Informasi,

Edukasi), konseling dan

kampanye sosial bagi PMKS

• Peningkatan kualitas

pelayanan, sarana, dan

prasarana rehabilitasi kesejahteraan sosial bagi

PMKS

• Kegiatan bimbingan sosial

dan pelatihan keterampilan

195

• Pelayanan Sosial Lanjut

Usia

anak dan wanita rawan

sosial ekonomi

3 Program Perlindungan dan

Jaminan Sosial

3 Program Pemberdayaan

Kelembagaan Kesejahteraan Sosial

• Perlindungan Sosial

Korban Bencana Alam

• Perlindungan Sosial

Korban Bencana Sosial

• Perlindungan Sosial

Korban Tindak

Kekerasan dan Pekerja

Migran

• Jaminan Kesejahteraan

Sosial (Bantuan Tunai Bersyarat / PKH)

• Pengumpulan dan

Pengelolaan Sumber

Daya Sosial

• Asuransi Kesejahteraan

Sosial

• Pembinaan manajer sosial

kecamatan/ tenaga

kesejahteraan sosial kecamatan

• Pemberdayaan organisasi

sosial

• Pemberdayaan karang

taruna

• Pemberdayaan PMI

• Pelestarian nilai-nilai

kepahlawanan, keperintisan, kejuangan dan

kesetiakawanan sosial

• Fasilitasi KOMDA lansia

4 Program Pembinaan Anak

Terlantar

• Pengembangan bakat dan

keterampilan anak terlantar

• Pendataan anak terlantar

5 Program Pembinaan para

Penyandang Cacat dan

Trauma

• Pendayagunaan para

penyandang cacat dan eks trauma

• Monitoring, evaluasi, dan

pelaporan

• Pelayanan sosial bagi

penghuni panti asuhan / panti jompo

6 Program Pembinaan Eks

Penyandang Penyakit Sosial

(eks Narapidana, PSK, narkoba, dan penyakit sosial

lainnya)

196

• Pendidikan dan pelatihan

keterampilan berusaha bagi

eks penyandang penyakit sosial

7 Program Bantuan Sosial

Korban Bencana Alam

• Kegiatan perlindungan

sosial korban bencana alam

8 Program Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial

• Kegiatan perlindungan

sosial korban bencana

sosial

9 Program Keluarga Harapan (PKH)

• Peningkatan koordinasi

pengelolaan program

keluarga harapan

10 Program Pengumpulan dan

Pengelolaan Sumber Dana

Sosial

• Kegiatan pengumpulan dan

pengelolaan sumber dana sosial

Sumber: Dinas Sosial Kalimantan Tengah (2014, diolah)

Tabel diatas mengilustrasikan adanya perbedaan dalam

pengelompokan program dekonsentrasi dan program desentralisasi.

Dengan pengelompokan yang berbeda tadi, sulit ditemukan adanya

tumpang tindih program dan kegiatan. Akan tetapi apabila dicermati

lebih detil, meskipun nama dan jumlah programnya berbeda, namun isi

kegiatan sesungguhnya relatif sama. Kesamaan inilah yang

menimbulkan persepsi tumpang tindih, meskipun dalam prakteknya

pihak Kemensos maupun Dinas Sosial Provinsi menyatakan tidak

terjadi tumpang tindih seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.

Berdasarkan penjelasan para pejabat Dinas Sosial Kalimantan

197

Tengah,4 yang dikonfirmasi juga oleh pernyataan pejabat Kementerian

Sosial, meski programnya sama namun sasaran masyarakat penerima

manfaat dari program tersebut berbeda-beda. Kalaupun ada anggota

masyarakat yang sama yang menerima bantuan dari program yang

berbeda (misalnya menerima bantuan dari program bencana alam dan

program keluarga harapan), hal itu masih ditolerir karena tujuan dari

setiap program yang berbeda-beda, disamping jumlahnya yang relatif

kecil.

Hal yang lebih menarik untuk disimak dari tabel diatas justru

adalah cakupan program yang sedikit berbeda. Pada program

dekonsentrasi, tidak menyebut secara spesifik tentang PMKS

(penyandang masalah kesejahteraan sosial) yang berjumlah 26 jenis,

namun lebih terarah kepada sasaran yang konkrit seperti korban

penyalahgunaan NAPZA, orang dengan kecacatan (ODK), dan korban

tindak kekerasan dan pekerja migran. Sedangkan pada program

desentralisasi kurang jelas siapa target penerima manfaat dari program

yang diselenggarakan karena bersifat umum dengan menyabutkan

“Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) lainnya”.

Rumusan program dan kegiatan yang bersifat umum seperti ini selain

mempersulit pengukuran kinerja, juga akan membuka kemungkinan

terjadinya tumpang tindih yang lebih besar. Oleh karena itu, rumpun

program sebaiknya diselaraskan antara program dekonsentrasi dan

desentralisasi, namun rincian kegiatan disusun lebih spesifik

4 Wawancara dengan Kepala Subbagian Program Dinas Sosial Prov. Kalimantan

Tengah (9 Oktober 2014) dan dengan Kepala Dinas Sosial Prov. Kalimantan

Tengah (10 Oktober 2014).

198

berdasarkan karakterstik, kebutuhan, dan tujuan masing-masing

program.

Box 6.1. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan Program

Daerah Otonom (Desentralisasi)

Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/2013 tentang

Pelimpahan Kewenangan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke

Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten Kota Tahun Anggaran 2014, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Pedoman

Pelaksanaan Dekonsentrasi Tahun 2014, beberapa kegiatan yang

dilimpahkan dan dibiayai oleh anggaran dekonsentrasi antara lain adalah: perlindungan sosial korban bencana alam, perlindungan

sosial korban bencana sosial, pengumpulan dan pengelolaan sumber

dana sosial, serta pelestarian kepahlawanan, keperintisan, dan

kesetiakawanan sosial. Keempat kegiatan tersebut sama persis dengan kegiatan yang dilakukan oleh Dinas Sosial Provinsi

Kalimantan Tengah dan dibiayai oleh APBD Kalteng 2014.

Sedangkan untuk kegiatan lain, tumpang tindih tersebut tersamar dalam judul kegiatan yang berbeda namun substansinya

sama. Sebagai contoh, pada bidang rehabilitasi sosial, terdapat

kegiatan yang didekonsentrasikan yakni rehabilitasi sosial orang dengan kecacatan, rehabilitasi sosial tuna sosial, dan rehabilitasi dan

perlindungan sosial anak. Sementara pada kegiatan Dinas Sosial,

ketiga kegiatan tersebut masuk pada kegiatan peningkatan kualitas

pelayanan, sarana, dan prasarana rehabilitasi kesejahteraan sosial bagi PMKS.

Begitu pula untuk bidang pemberdayaan sosial dan

penanggulangan kemiskinan, terdapat kegiatan berupa pemberdayaan keluarga dan kelembagaan sosial masyarakat yang

telah didekonsentrasikan, namun pada saat yang sama terdapat

kegiatan pemberdayaan organisasi sosial, karang taruna, dan PMI, yang dibiayai oleh APBD dan merupakan tugas desentralisasi.

Fakta ini membenarkan pernyataan Agus Dwiyanto (2015: 2-6)

bahwa pembagian urusan pemerintahan masih kabur, rancu, dan

dalam banyak hal tumpang tindih. Pemerintah pusat (cq. Kementerian Sosial) telah mendekonsentrasikan urusan yang telah

dilaksanakan oleh daerah, yang secara legal tidak dapat dibenarkan,

bahkan dapat dikatakan melanggar peraturan perundangan yang berlaku, dalam hal ini PP No. 38/2007.

199

Sementara itu terkait potensi overlap antara program

dekonsentrasi dengan program tugas pembantuan, ada empat program

yang secara bersama-sama dibiayai oleh dana dekonsentrasi dan dana

TP, yakni program Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT),

program Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam, program

Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial, dan program Pelestarian

Kepahlawanan, Keperintisan, dan Kesetiakawanan Sosial.

Persandingan antara program dekonsentrasi dan program tugas

pembantuan yang diterima Dinas Sosial Kalimantan Tengah dari

Kementerian Sosial dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 6.4. Persandingan Program/Anggaran Dekonsentrasi dengan

Program/Anggaran Tugas Pembantuan Bidang

Kesejahteraan Sosial di Kalimantan Tengah (Rp 000)

Program 2012 2013 2014

Dekon TP Dekon TP Dekon TP

Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil

526.210 2.404.600 419.500 3.415.175 508.330 3.160.445

Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam

2.196.527 114.492 2.396.527 354.492 1.753.465 -

Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial

324.325 37.000 400.340 - 255.960 -

Pelestarian Kepahla-wanan, Keperintisan & Kesetiakawanan Sosial

273.777 600.000 304.066 - 305.149 -

Jumlah 3.320.839 3.156.092 3.216.671 3.769.667 2.822.904 3.160.445

Sumber: Dinas Sosial Kalimantan Tengah (2014, diolah)

Dengan hanya membaca tabel diatas, maka akan terlihat jelas

tumpang tindih antara program dekonsentrasi dan program tugas

pembantuan. Artinya, untuk program yang sama dibiayai dari dua

sumber pendanaan yang berbeda. Namun sebenarnya tidak dapat

200

dikatakan overlap mengingat perbedaan karakteristik antar kedua

program tersebut, yakni adanya ketentuan peraturan perundang-

undangan bahwa dana dekonsentrasi digunakan untuk membiayai

kegiatan non fisik, sedangkan dana tugas pembantuan lebih untuk

mendukung kegiatan yang bersifat fisik.5 Faktanya, dapat dikatakan

pula bahwa pada setiap program sesungguhnya membutuhkan alokasi

untuk fisik dan non-fisik, sebagaimana pernyataan yang diberikan oleh

responden di pusat maupun di daerah. 6

Box 6.2. Tumpang Tindih Program Dekonsentrasi dengan Program

Tugas Pembantuan

Pada level program, tumpang tindih dekonsentrasi dan tugas pembantuan sangat nampak karena sama-sama terdapat pembiayaan

untuk 4 (empat) program, yakni pemberdayaan komunitas adat

terpencil, perlindungan sosial korban bencana alam, perlindungan sosial korban bencana sosial, serta pelestarian kepahlawanan,

keperintisan, dan kesetiakawanan sosial. Besaran alokasi dana untuk

bidang dekonsentrasi dan tugas pembantuan sektor sosial relatif

berimbang selama tiga tahun terakhir. Namun dilihat dari program kerja yang dibiayai oleh dana TP, ternyata jumlahnya semakin

sedikit dan tinggal satu yakni program yang dibiayai pada tahun

2014, yakni pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Meminjam analisis Agus Dwiyanto (2015: 10), salah satu faktor

yang menimbulkan tumpang tindih antara program/dana

dekonsentrasi dengan tugas pembantuan itu adalah karena kementerian mengalami kesulitan untuk melakukan dekonsentrasi

kepada gubernur jika kegiatannya bersifat fisik, walaupun menurut

pertimbangan kementerian, urusan tersebut akan lebih efektif dan

efisien jika didekonsentrasikan. Sebaliknya, pemerintah yang memiliki urusan non-fisik tidak dapat menggunakan mekanisme

tugas pembantuan kepada daerah, sehingga harus membentuk UPT

sendiri di daerah.

5 Wawancara dengan Kepala Inspektur Jenderal Kementerian Sosial (2 Oktober

2014) dan dengan Kepala Dinas Sosial Kalimantan Tengah (10 Oktober 2014).

6 Wawancara dengan Kepala Subbagian Program Dinas Sosial Kalteng (9 Oktober

2014) dan dengan Kepala Dinas Sosial Kalimantan Tengah (10 Oktober 2014).

201

Melihat tabel 6.4. diatas nampak sekali bahwa program

perlindungan sosial korban bencana alam dan program pelestarian

nilai-nilai kepahlawanan dan kesetiakawanan sosial sudah tidak

mendapat dukungan melalui tugas pembantuan sejak tahun 2013,

sementara program perlindungan sosial korban bencana sosial tidak

lagi menerima dana tugas pembantuan sejak tahun 2014. Dalam kaitan

ini, fungsi belanja fisik salah satunya menjadi beban daerah (APBD).

Mencermati data yang tertuang dalam tabel 6.4. diatas,

sepanjang ketentuan bahwa dana dekonsentrasi hanya diperbolehkan

untuk membiayai aktivitas non-fisik masih berlaku, maka keberadaan

program dekonsentrasi menjadi sangat relevan karena tidak dapat

digantikan melalui program tugas pembantuan.

Akhirnya, potensi tumpang tindih juga terjadi antara

program/anggaran dekonsentrasi Kemensos dengan program/anggaran

dekonsentrasi kementerian lain. Sebagaimana dimaklumi,

pembangunan bidang kesejahteraan sosial melibatkan banyak instansi.

Selain Kemensos, masih banyak K/L yang juga menangani sebagian

urusan kesejahteraan sosial, misalnya Kementerian Kesehatan

(Kemenkes), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(Kemendikbud), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera),

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

(Kemen PPPA), Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi

(Kemenakertrans), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham),

Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Badan Nasional

Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Narkotika Nasional (BNN),

202

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Komisi

perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan masih banyak lagi.

Tabel dibawah ini memberi ilustrasi tentang issu dan program

yang memiliki keterkaitan dengan lebih dari satu instansi (cross-

cutting issues) yang melibatkan kepentingan banyak instansi di tingkat

pusat.

Tabel 6.5. Beberapa Contoh Cross-Cutting Issues Program

Kesejahteraan Sosial

No Issu / Masalah Kesejahteraan

Sosial

K/L yang Memiliki

Keterkaitan Fungsi

1 Anak/penduduk terlantar (berasal

dari keluarga sangat miskin,

menderita gizi buruk, atau kehilangan hak asuh orang tua,

tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya,

berhadapan dengan hukum).

Kemensos, Kemenkes,

Kemen. PPPA,

Kemenkumham, KPAI/Komnas PA, DJSN.

2 Anak/penduduk dengan disabilitas, baik fisik maupun mental, termasuk

korban penyalahgunaan Napza.

Kemensos, Kemenkes, Kemen. PPPA, BNN,

Kemendikbud, DJSN.

3 Penduduk miskin yang tidak berdomisili tetap (pengemis,

pemulung, gelandangan, korban

trafficking, pekerja migram

bermasalah, dll)

Kemensos, Kemenkes, Kemen. PPPA,

Kemenkumham,

Kemenakertrans,

Kemenpera, KPAI/Komnas PA, DJSN.

4 Penduduk korban bencana alam

atau bencana sosial.

Kemensos, Kemenkes,

Kemenpera, BNPB, DJSN.

Penanganan masalah-masalah yang bersinggungan dengan

tugas dan fungsi banyak instansi itulah yang memiliki probabilitas

terjadinya tumpang tindih. Kemungkingan overlap menjadi semakin

besar mengingat pembahasan program dan anggaran kementerian

biasanya hanya berlangsung dalam skema Trilateral Meeting antara

Bappenas, Direktoral Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, dan

203

Kementerian yang bersangkutan. Selama ini belum ada forum lintas

K/L untuk mensikronkan usulan program/anggaran secara lebih

terintegrasi. Meskipun setiap tahun ada Musrenbang Nasional dan juga

ada Kementerian Koordinator, namun harmonisasi program/anggaran

lintas K/L terkait cross-cutting issues tadi tidak terjadi.7

Dari uraian diatas dapat ditemukan adanya empat bentuk

potensi overlap atau tumpang tindih program dekonsentrasi dengan

program lainnya, yakni: 1) overlap antara program dekonsentrasi

dengan program kerja kementerian, sebagaimana telah dibahas pada

Bab V; 2) overlap antara program dekonsentrasi dengan program

provinsi selaku daerah otonom yang dibiayai oleh APBD; 3) overlap

antara program dekonsentrasi dengan program tugas pembantuan;

serta 4) overlap antara program dekonsentrasi suatu kementerian

dengan kementerian lain yang terkait. Secara grafis, keempat potensi

tumpang tindih program tersebut dapat divisualisasikan dalam gambar

dibawah ini.

7 Untuk meminimalisir overlap pemrograman antar lembaga tersebut, Bappenas

untuk mengusulkan integrasi program antar K/L melalui inisiatif yang disebut

dengan Sistem Rujukan dan Pelayanan Sosial Terpadu. Sistem ini akan dibangun

di setiap daerah untuk meningkatkan integrasi program, dengan fungsi utama untuk pemutakhiran basis data secara terpadu, serta untuk keperluan penanganan

pengaduan dan pelayanan kesejahteraan sosial. Sistem ini diharapkan juga mampu

menjadi media penghubung dan koordinasi pelaksanaan untuk K/L terkait di

tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat dan perusahaan (CSR).

204

Gambar 6.1.

Empat Bentuk Tumpang Tindih Dalam Program Dekonsentrasi

Diantara keempat bentuk overlap diatas, penelitian ini lebih

menyoroti bentuk pertama dan kedua, sedangkan bentuk overlap yang

lain tidak menjadi fokus pada penelitian ini. Jika diperluas lagi, maka

dari empat bentuk potensi tumpang tindih program diatas masih ada

variasi lain kemungkinan overlap yakni: 1) antara program

dekonsentrasi dengan program tugas pembantuan dan tugas daerah

otonom; 2) antara program kementerian dengan ketiga program

lainnya (dekonsentrasi, daerah otonom, dan tugas pembantuan); serta

3) antara program tugas pembantuan di tingkat provinsi dengan

program tugas pembantuan di tingkat kabupaten/kota; dan 4) antara

program di tingkat provinsi (baik yang bersumber dari APBD provinsi,

dana dekonsentrasi maupun dana tugas pembantuan) dengan program

kabupaten/kota, mengingat obyek penyandang PMKS yang sama

yakni sama-sama berada di kabupaten/kota.

205

B. Aspek Anggaran / Pembiayaan Dekonsentrasi

Anggaran yang dialokasikan untuk pembiayaan program

dekonsentrasi Kemensos tahun 2014 dapat dikatakan cukup besar

karena mencapai Rp 580.933.675.000 atau 7,6 persen dari total

anggaran Kemensos 2014 sebesar Rp. 7.683.627.443.000.

Dibandingkan dengan dana dekonsentrasi tahun 2013 sebesar Rp

546.425.389.000, ada kenaikan nominal sebesar Rp. 34,5 milyar.

Namun persentase dana dekonsentrasi tahun 2013 dibandingkan

dengan total total anggaran Kemensos tahun 2013 jauh lebih sedikit

dibanding ratio tahun 2014, yakni hanya 3,37 persen. Hal ini terjadi

karena pada tahun tahun 2013 ada tambahan anggaran Kemensos yang

cukup signifikan yang bersumber dari dana BLSM (Bantuan Langsung

Sementara Masyarakat).

Selain komponen dana dekonsentrasi, total anggaran

Kemensos setiap tahunnya juga dialokasikan untuk membiayai

program Tugas Pembantuan kepada provinsi dan kabupaten/kota.

Sisanya kemudian dikelola sendiri oleh kementerian, yang disebut

sebagai dana pusat. Adapun gambaran tentang perkembangan

anggaran Kemensos dan besaran dana dekonsentrasi selama periode

2010-2014 dapat dilihat pada Tabel sebagai berikut.

Tabel 6.6. Perkembangan Anggaran Kementerian Sosial dan Alokasi

Dana Dekonsentrasi 2010-2014

TA Pusat Dekon TP Jumlah

2010 3,016,315,502 505,456,119 105,934,698 3,627,706,319

2011 3,424,585,089 539,883,331 136,108,881 4,100,577,301

2012 3,808,574,484 623,913,375 138,120,328 4,570,608,187

2013 15,505,769,035 546,425,389 135,978,750 16,188,173,174

2014 7,004,004,013 580,933,675 98,689,755 7,683,627,443

Sumber: Kementerian Sosial (2014, diolah)

206

Besarnya anggaran dekonsentrasi ini menjelaskan beberapa

hal. Pertama, urusan dan program dekonsentrasi masih memegang

peran strategis dalam mencapai visi, misi dan tujuan pembangunan

kesejahteraan sosial. Dengan trend seperti ini, maka keberadaan tugas

dekonsentrasi masih akan terus eksis seiring dengan tugas-tugas

desentralisasi. Dengan kata lain, meskipun kebijakan nasional telah

mendorong desentralisasi secara luas, namun tetap ada penyeimbang

dari sisi peran pusat melalui kebijakan dekonsentrasi.

Kedua, meskipun sempat mengalami penurunan jumlah dana

dekonsentrasi pada tahun 2013, namun pada tahun 2014 kembali

mengalami kenaikan baik secara nominal maupun persentasenya.

Dengan masih besarnya dana dekonsentrasi, maka Kemensos sebagai

representasi pemerintah pusat masih akan memiliki kontrol yang cukup

besar terhadap program-program pembangunan di daerah. Pada saat

yang bersamaan, daerah masih dapat berharap dukungan dari pusat

terutama terhadap sektor pembangunan yang tidak menjadi prioritas,

sehingga sektor ini dapat berlangsung dengan baik.

Selanjutnya, hal lain yang dapat dicermati dari data diatas

adalah bahwa meskipun jumlah dana dekonsentrasi Kemensos relatif

besar, namun alokasi yang diterima oleh masing-masing provinsi

relatif kecil, terutama jika dibandingkan dengan permasalahan

kesejahteraan sosial yang ada di wilayah yang bersangkutan. Sekedar

untuk memberi ilustrasi, tabel dibawah ini menguraikan distribusi dana

dekonsentrasi per provinsi untuk program Perlindungan Sosial Korban

Bencana Alam (PSKBA) dan program Perlindungan Sosial Korban

Bencana Sosial (PSKBS), dibandingkan dengan jumlah PMKS Korban

207

Bencana Alam dan Korban Bencana Sosial.8 Pembandingan

dekonsentrasi program PSKBA dan dekonsentrasi program PSKBS

dilakukan karena keduanya cukup kontras dilihat dari besaran

anggaran yang dialokasikan.

Tabel 6.7. Distribusi Dana Dekonsentrasi Kemsos per Provinsi

Tahun 2015 (dalam ribu rupiah), dan Jumlah PMKS

Korban Bencana Alam dan Korban Bencana Sosial Tahun

2012

Provinsi

Alokasi Dana Dekon-

sentrasi 2015 (Rp)

Jumlah PMKS 2012

(Jiwa)

Program

PSKBA

Program

PSKBS

Korban

Bencana

Alam

Korban

Bencana

Sosial

DKI Jakarta 3.952.990 396.140 - 1.413

Jawa Barat 3.197.709 415.760 27.4122 6.150

Jawa Tengah 2.894.420 365.060 13.2204 13.609

DI. Yogyakarta 3.079.810 387.640 - -

Jawa Timur 2.957.498 414.510 24.2332 10.881

Aceh 3.035.500 407.654 - -

Sumatera Utara 1.791.940 424.760 31.972 4.949

Sumatera Barat 2.293.130 411.460 24.154 33.983

Riau 1.948.892 403.390 43.464 559

Jambi 2.180.370 398.150 289 4

Sumatera Selatan 2.048.770 407.020 5.373 880

Lampung 2.146.386 408.800 4.388 1.429

Kalimantan Barat 1.948.780 397.120 85.962 20.656

Kalimantan Tengah 2.429.125 400.340 7.159 -

Kalimantan Selatan 2.403.100 407.820 125.802 76.792

Kalimantan Timur 2.403.200 434.560 11.429 611

Sulawesi Utara 1.899.210 421.260 638 801

8 Dilihat dari tahunnya, data tentang Distribusi Dana Dekonsentrasi Kementerian

Sosial per Provinsi Tahun 2015 ini memang secara tidak langsung tidak dapat

dibandingkan dengan data tentang Jumlah PMKS Korban Bencana Alam dan

Korban Bencana Sosial Tahun 2012. Namun mengingat data distribusi dana dekonsentrasi tidak dipublikasikan setiap tahunnya, sementara data PMKS 2015

baru bisa dihasilkan paling cepat pada tahun 2016, maka Tabel ini hanya

merupakan proksi untuk melihat bahwa besaran dana dekonsentrasi tidak cukup

optimal dalam menangani masalah sosial.

208

Sulawesi Tengah 2.263.652 422.860 1.352 18.589

Sulawesi Selatan 2.217.760 432.460 1.350 43

Sulawesi Tenggara 1.593.924 424.060 1.571 618

Maluku 2.226.445 455.680 26.118 -

Bali 1.817.324 432.160 2.812 132

NTB 2.118.660 424.660 25.845 9.535

NTT 2.451.124 442.968 35.332 909

Papua 2.135.740 496.040 5.000 7.893

Bengkulu 1.949.772 419.580 92 50

Maluku Utara 1.829.397 443.412 2.454 37.949

Banten 3.321.840 374.960 4.924 179

Bangka Belitung 1.911.640 412.210 1.595 38

Gorontalo 2.2.97.290 412.260 49035 61

Kepulauan Riau 1.832.200 409.424 - -

Papua Barat 2.209.832 306.360 6.952 10.723

Sulawesi Barat 1.510.940 406.360 - -

Kalimantan Utara 843.770 - - -

Jumlah 77.168.479 13.716.998 1.153.720 259.436

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Kemensos, 2012

(diolah); dan Pedoman Pelaksanaan Dekonsentrasi tahun 2014

Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial (diolah).

Jika dilakukan rata-rata secara kasar, maka untuk setiap korban

bencana alam hanya mendapat bantuan sebesar Rp. 77.168.479.000

dibagi 1.153.720 jiwa, atau sebesar Rp. 66.887 saja. Padahal, anggaran

dekonsentrasi untuk program korban bencana alam bukan hanya untuk

bantuan, namun terbagi dalam 11 kegiatan lainnya, sebagaimana

diuraikan pada Tabel 5.6. Demikian pula untuk program dekonsentrasi

untuk korban bencana sosial, jika dirata-ratakan secara kasar akan

ditemukan angka nominal sebesar Rp 13.716.998.000 dibagi 259.436

jiwa, atau sebesar Rp 52.872, sementara masih ada tiga kegiatan yang

bersifat administratif.

Meskipun jumlah dana dekonsentrasi yang diterima oleh

daerah berdasarkan program relatif kecil, namun karena hampir setiap

209

kementerian mengucurkan dana dekonsentrasi, maka secara agregat

jumlah dana dekonsentrasi yang diterima setiap provinsi bisa dikatakan

cukup besar. Sebagai ilustrasi, data Direktorat Jenderal Perimbangan

kementerian Keuangan menunjukkan bahwa jumlah dana

dekonsentrasi yang diberikan kepada seluruh provinsi di Indonesia

pada tahun 2013 secara keseluruhan mencapai Rp 13,43 trilyun, lebih

sedikit dibanding alokasi tahun 2012 sebesar Rp. 17,86 trilyun

(Yusrizal Ilyas, 2014, Kebijakan Pengelolaan Dana Dekonsentrasi

dan Tugas Pembantuan, Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi

Keuangan Daerah, DJPK Kementerian Keuangan). Tahun 2014 jumlah

dana dekonsentrasi merosot drastis menjadi hanya Rp. 6,81 trilyun

(Kementerian Keuangan, 2014, Rekomendasi Menteri Keuangan:

Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam Rangka Perencanaan

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun Anggaran 2015).

Dengan demikian terlihat bahwa trend dana dekonsentrasi dari

tahun ke tahun terus menurun. Hal ini antara lain disebabkan karena

adanya pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK sebagaimana

yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian. Meskipun terdapat

pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK sesuai amanat UU No.

33/2004, namun dana dekonsentrasi sendiri akan selalu ada sebagai

konsekuensi dari asas desentralisasi yang dilaksanakan bersama-sama

dengan asas dekonsentrasi.9 Hanya saja, trend pengurangan dana

dekonsentrasi tadi mengilustrasikan melemahnya fungsi

9 Wawancara dengan Kepala Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan, Direktorat Jenderal Perimbangan, Kementerian Keuangan, 7 Oktober

2014 di Kantor DJPK Kementerian Keuangan.

210

dekonsentrasi, sehingga peran pemerintah dalam melakukan

koordinasi, pembinaan dan monitoring evaluasi terhadap pemerintah

daerah juga akan berkurang. Dalam hal seperti ini, maka daerah

dituntut untuk lebih proaktif menjalin komunikasi dan konsultasi

dengan pemerintah pusat terkait pelaksanaan tugas otonominya.

Besarnya dana dekonsentrasi di daerah namun diterima kecil-

kecil oleh setiap sektor membuat pemanfaatan dana ini tidak optimal.

Ilustrasi tentang besaran untuk korban bencana alam seperti

dipaparkan pada tabel diatas mencerminkan betapa rendah efektivitas

dana ini. Perencanaan kebutuhan dilakukan berbagai pihak

(kementerian dan daerah) untuk program-program yang berbeda-beda

sehingga tidak fokus untuk mengatasi masalah tertentu yang benar-

benar dibutuhkan masyarakat. Jika dana ini diintegrasikan dengan

APBD, paling tidak perencanaan bisa lebih terfokus dan besaran dana

bantuan bisa memberi dampak yang lebih signifikan.

Trend penurunan alokasi dana dekonsentrasi juga terjadi di

Kalimantan Tengah, terutama disebabkan oleh menurunnya dana

dekonsentrasi sektor pendidikan. Sektor ini mengalami penurunan

yang drastis dalam hal besaran dana dekonsentrasi, yakni dari Rp 254

milyar lebih pada tahun 2010, menjadi hanya Rp 40 milyar lebih

sedikit pada tahun 2014. Sedangkan pada sektor lain, situasinya

beragam yang dicirikan oleh 6 (enam) sektor/instansi yang terus

memperbesar alokasi dana dekonsentrasi, 4 (empat) sektor/instansi

yang cenderung mengalami penurunan, dan sektor/instansi lainnya

bersifat fluktuatif dalam hal besaran dana alokasikan yang dilimpahkan

ke provinsi.

211

Adapun sektor-sektor atau instansi pusat yang mengalami

peningkatan dalam hal mengalokasikan dana dekonsentrasi setiap

tahun adalah Dalam Negeri, Pertanian, Perindustrian dan Perdagangan,

Energi dan ESDM, Kesehatan, serta Pemuda dan Olahraga. Sedangkan

sektor-sektor atau instansi pusat yang cenderung semakin mengurangi

alokasi dana dekonsentrasinya meliputi Pendidikan, Sosial,

Kebudayaan dan Pariwisata, dan ANRI (Arsip Nasional).10

Selengkapnya perkembangan jumlah dan distribusi dana dekonsentrasi

dari Kementerian/Lembaga kepada Provinsi Kalimantan Tengah

selama kurun waktu tahun 2010-2014 dapat disimak pada Tabel

dibawah ini.

Tabel 6.8. Jumlah dan Distribusi Dana Dekonsentrasi yang Diterima

Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014 (dalam

ribu rupiah)

No Kementerian/

Lembaga

Dana Dekonsentrasi

2010 2011 2012 2013 2014

1 Dalam Negeri 17.728.834 29.206.044 33.066.421 35.878.449 42.784.707

2 Pertanian 19.471.775 30.702.711 44.482.595 45.311.775 40.374.772

3 Industri & Perdagangan

2.680.365 3.616.491 4.563.249 5.489.157 6.580.373

4 Energi & ESDM 1.000.000 1.000.000 1.843.952 2.024.332 2.587.572

5 Pendidikan 254.115.297 172.470.094 113.001.758 75.700.202 40.354.606

6 LH 500.000 500.000 3.133.926 4.200.000 3.464.094

7 Badan Penana-man Modal

150.000 271.740 500.000 500.000 500.000

8 PU 5.182.592 7.000.000 11.022.283 6.645.220 8.248.032

9 Kesehatan 20.269.688 15.120.682 16.273.562 22.069.444 23.585.668

10 Tenaga Kerja 6.621.571 5.477.214 11.935.837 10.485.123 6.503.253

10 Tahun 2011 merupakan tahun anomali bagi sektor kesehatan dan sektor sosial di

Kalimantan Tengah. Pada tahun ini, dana dekonsentrasi bidang kesehatan

mengalami penurunan yang cukup besar, namun terus meningkat selama tiga tahun berikutnya. Sebaliknya, bidang sosial mengalami peningkatan alokasi dana

dekonsentrasi pada tahun 2011 namun terus menurun pada tahun-tahun

selanjutnya. Kondisi serupa dialami juga oleh bidang kebudayaan dan pariwisata

yang hanya mengalami peningkatan alokasi pada tahun 2011.

212

11 Sosial 11 16.723.802 17.857.609 17.161.347 14.516.798 13.438.315

12 Kehutanan 3.707.258 4.754.382 5.505.693 5.937.821 3.817.177

13 Kelautan & Perikanan

7.083.663 6.855.781 8.406.088 8.847.094 6.954.054

14 Pemuda & OR 5.508.980 4.768.502 5.445.319 6.456.760 7.034.837

15 Koperasi & UKM

4.090.194 4.040.194 5.202.388 4.494.336 4.568.759

16 Budaya & Pariwisata

1.555.000 3.494.322 2.382.000 1.750.000 1.400.000

17 ANRI - 7.492.161 4.229.782 157.171 -

18 Bappenas - - 960.690 960.690 960.690

19 Perpustakaan Nasional

2.688.064 - - 2.227.540 402.783

Jumlah 369.077.073 314.629.927 289.056.890 253.651.912 213.559.692

Sumber: Bappeda Kalimantan Tengah (2014, diolah)

Penurunan dana dekonsentrasi sektor pendidikan meskipun

cukup signifikan, namun tidak begitu berdampak terhadap upaya

pembiayaan program pembangunan pendidikan di Kalimantan

Tengah. Sebab, sektor pendidikan adalah salah satu prioritas tertinggi

dalam pembangunan daerah Kalimantan Tengah (selain kesehatan dan

sektor ekonomi), sehingga alokasi APBD untuk sektor pendidikan

terus mengalami peningkatan. Namun untuk sektor sosial yang bukan

merupakan prioritas pembangunan dan memiliki alokasi anggaran di

APBD yang relatif kecil, maka penurunan dana dekonsentrasi cukup

mempengaruhi pemerintah daerah untuk mencapai target-target kinerja

yang diinginkan. Itulah sebabnya, integrasi dana dekonsentrasi sosial

11 Ada perbedaan data antara Bappeda Kalimantan Tengah dengan Dinas Sosial

Kalimantan Tengah tentang besaran dana dekonsentrasi, meskipun sama-sama

mengalami penurunan setiap tahunnya. Berdasarkan data Dinas Sosial, besaran

dana dekonsentrasi yang diterima dari Kementerian Sosial adalah Rp

16.598.760.000 (2014), Rp 17.931.973.000 (2013), Rp 20.317.439.000 (2012), dan Rp 22.586.837.000 (2011). Berdasarkan penjelasan Bappeda Kalteng

(wawancara dengan Kabid Pengendalian, 9 Oktober 2014), perbedaan data ini

terjadi karena Bappeda menggunakan data perencanaan, sedang Dinas Sosial

adalah dana riil yang berubah-ubah karena adanya revisi anggaran.

213

kedalam skema APBD akan memberi keleluasaan baru bagi daerah

dalam merumuskan program dan capaian kinerjanya.

Untunglah, disaat dana dekonsentrasi dan desentralisasi masih

berdiri pada tempatnya masing-masing, kekurangan anggaran untuk

mendukung pembangunan sosial dapat ditutup dari sumber lain dengan

dilakukannya inovasi atau terobosan baru untuk mencari sumber-

sumber pembiayaan baru yang potensial. Kalimantan Tengah yang

merupakan daerah yang kaya dengan potensi sumber daya alam seperti

pertambangan dan kehutanan, memiliki cukup banyak perusahaan

nasional maupun multi-nasional yang potensial sebagai sumber

pembiayaan melalui skema CSR (corporate social responsibility).

Melalui Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 11 Tahun

2012 tentang Pelaksanaan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan

Perusahaan (TSLP)12, perusahaan yang dalam kegiatan usahanya

menimbulkan dampak baik sosial maupun lingkungan, diberikan

tanggungjawab sosial dan lingkungan sekaligus sebagai manifestasi

pemberian kesempatan yang lebih luas untuk berperan serta dalam

pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat dan pelestarian lingkungan.

Dari sumber inilah maka trend dana dekonsentrasi dan tugas

pembantuan bidang sosial yang terus berkurang belum terasa

12 Perda ini ditindaklanjuti dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No.

188.44/719/2013 tentang Forum CSR Provinsi Kalimantan Tengah. Melalui forum

CSR ini, maka bantuan dan program CSR tidak ditentukan secara top-down oleh

pemerintah provinsi, namun melalui pembahasan para pengusaha berbasis pada

kesadaran dan kemampuan masing-masing perusahaan. Dalam forum ini, Ketua KADIN, Ketua Gapensi, dan Ketua HIPMI Kalimantan Tengah berkedudukan

sebagai Pengawas; sementara Pengurus Inti antara lain terdiri dari BRI Cabang

Palangkaraya, Direktur PT. Gema Cipta Nusantara, Bank Kalteng, BNI Cabang

Palangkaraya, dan sebagainya.

214

dampaknya secara serius di Kalimantan Tengah. Namun bagi daerah

yang tidak memiliki sumber pembiayaan alternatif, penurunan dana

dekonsentrasi akan menimbulkan permasalahan yang cukup rumit.

Wujud partisipasi perusahaan tersebut adalah dengan

memberikan bantuan atau program untuk meningkatkan kualitas hidup

masyarakat dalam ranah ekonomi, sosial, dan lingkungan, yang

membawa manfaat secara timbal balik baik bagi perusahaan maupun

bagi komunitas sekitar perusahaan tersebut berada. Dalam hal ini,

wujud bantuan atau program TSLP meliputi enam hal, yakni:

a. Bantuan pembiayaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial;

b. Peningkatan kualitas pendidikan masyarakat dan kebudayaan;

c. Peningkatan taraf kesehatan masyarakat;

d. Kompensasi pemulihan dan/atau peningkatan fungsi lingkungan

hidup;

e. Memacu pertumbuhan ekonomi yang berkualitas berbasis

kerakyatan, dan

f. Pengembangan infrastruktur publik yang selaras dengan program-

program pemerintah daerah dan kegiatan usaha perusahaan.

Ada hal yang menarik dari keenam program TSLP diatas jika

dibandingkan dengan prioritas pembangunan daerah sebagaimana

dikemukakan pada awal bab ini. Jika prioritas tertinggi pembangunan

daerah di provinsi ini sebagaimana tertera dalam RPJMD diletakkan

pada sektor pertumbuhan ekonomi (termasuk pengembangan

infrastruktur), maka Perda No. 11 Tahun 2012 justru memberi titik

berat TSLP pada penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Secara selintas

nampak ada pertentangan antara RPJMD dengan Perda No. 11 Tahun

215

2012. Namun sesungguhnya hal itu disengaja dengan maksud agar

sektor kesejahteraan sosial tetap mendapat perhatian yang cukup dan

dukungan pembiayaan yang memadai. Dengan demikian, meskipun

dana dekonsentrasi semakin berkurang setiap tahunnya, namun dengan

dukungan CSR dari berbagai perusahaan maka pelayanan bidang sosial

akan dapat diselenggarakan dengan baik. Inilah salah satu terobosan

dari pemerintah Provinsi Kalteng untuk mengantisipasi dukungan

pendanaan yang semakin kecil dari pemerintah pusat (cq. Kementerian

Sosial).

Disamping adanya trend jumlah penurunan dana

dekonsentrasi, terdapat indikasi bahwa dana dekonsentrasi sangat

dibutuhkan oleh provinsi karena keterbatasan APBD dalam

mendukung pembangunan di daerah, bahkan cenderung menciptakan

ketergantungan. Di beberapa daerah bahkan jumlah dana dekonsentrasi

di bidang kesejahteraan sosial lebih besar dibanding dana APBD untuk

Dinas Sosial di provinsi tersebut.13

Di Kalimantan Tengah hal ini juga terjadi dimana pada tahun

2014, dana dekonsentrasi sebesar Rp. 16,598 Milyar, namun APBD

untuk bidang sosial hanya Rp 15,807 Milyar. Dalam situasi seperti ini,

dana dekonsentrasi sangat membantu pemenuhan kebutuhan daerah,

sementara idealnya dana dekonsentrasi digunakan untuk memenuhi

kebutuhan dan kepentingan pusat di daerah. Dengan demikian, tanpa

disadari telah terjadi pergeseran filosofi tentang program dan anggaran

dekonsentrasi. Sayangnya, hingga saat ini masih sangat sulit untuk

13 Wawancara dengan Inspektur Jenderal Kemensos, Kamis, 2 Oktober 2014 di

Kantor Kemensos.

216

dibuat garis batas yang tegas antara kepentingan pusat dan kepentingan

daerah. Sebagai contoh, issu anak terlantar secara faktual berada di

daerah, namun pemerintah pusat tidak dapat melepaskan urusan

penanganan anak terlantar ini sepenuhnya kepada daerah mengingat

berbagai keterbatasan yang dimiliki pemerintah daerah. Itulah

sebabnya, Kemensos masih merasa berkewajiban untuk

mengalokasikan anggaran penanganan anak terlantar sebagai program

dan kepentingan pusat.

Hal lain yang dapat diamati dari aspek anggaran adalah bahwa

mandat Pasal 108 UU No. 33/2004 tentang pengalihan dana

dekonsentrasi menjadi DAK (Dana Alokasi Khusus) ternyata tidak

berjalan dengan baik. Sumber permasalahan mengapa dana

dekonsentrasi tidak dapat dialihkan menjadi DAK adalah karakteristik

yang berbeda antara program dekonsentrasi dengan program yang

dibiayai oleh DAK. Program dekonsentrasi tidak boleh bersifat fisik,

sementara DAK justru untuk membiayai program fisik. Perbedaan

karakteristik ini terntu juga berimplikasi kepada kebutuhan untuk

mengubah perencanaan program hingga pertanggungjawabannya.

Selain itu, Kementerian Keuangan telah mengidentifikasi empat

kelompok utama kendala pengalihan tersebut, yakni:

1) kendala dan fakta dari sisi metode pendekatan dalam

mengklasifikasikan pembagian urusan pemerintahan (yang menjadi faktor utama), 2) masih dominannya peran pemerintah

pusat dalam melaksanakan semua urusan pasca implementasi

otonomi/desentralisasi daerah mengaburkan posisi masing-masing level pemerintahan, 3) dengan usia

otonomi/desentraslisasi daerah yang sudah 10 tahun, kemampuan

daerah dalam melaksanakan urusan wajib masih terbatas sungguh menjadi ironi yang mematahkan tesis otonomi/desentraslisasi,

dan; 4) kesinkronan aturan teknis menjadi kendala yang cukup

217

signifikan menjadi ganjalan untuk merampungkan pengalihan

secara tuntas (Kementerian Keuangan, Rekomendasi Menteri

Keuangan 2013 Untuk Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan 2014, Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi

dan Tugas Pembantuan, 2013).

Di lingkungan Kemensos, upaya pengalihan ini juga sudah

pernah dicoba dan diterapkan namun tidak berjalan efektif, sehingga

akhirnya kembali kepada mekanisme dekonsentrasi. Ternyata,

pengalaman di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga sama,

dimana Dana BOS sudah dicoba dilakukan melalui DAK namun dalam

pelaksanaannya ada beberapa daerah tidak bisa melaksanakan secara

optimal sehingga ada indikasi Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan meminta kembali pengelolaan Dana BOS (Kementerian

Keuangan, ibid, 2013).

Menariknya, Provinsi Kalimantan Tengah ternyata juga

menerima dana Tugas Pembantuan. Tabel dibawah ini

menggambarkan perkembangan alokasi dana tugas pembantuan yang

diterima oleh provinsi Kalimantan Tengah selama lima tahun terakhir.

Tabel 6.9. Jumlah dan Distribusi Dana Tugas Pembantuan yang

Diterima Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2010-2014

(dalam ribu rupiah)

No Kementerian /

Lembaga Dana Tugas Pembantuan

2010 2011 2012 2013 2014 1 Pertanian 15.799.075 22.695.090 68.592.720 128.069.337 100.250.684

2 Kesehatan 20.000.000 - - - -

3 Tenaga Kerja Transmigrasi

29.541.543 28.705.678 40.460.978 25.854.844 16.378.404

4 Sosial 4.635.503 2.635.490 3.646.392 3.769.667 3.160.445

5 Kelautan & Perikanan

6.525.840 5.706.670 8.243.042 6.984.275 4.155.795

6 PU 70.101.300 84.805.000 87.266.740 76.103.286 67.697.280

7 Budaya & Pariwista - 2.500.000 1.750.000 - -

8 Dalam Negeri - - 2.000.000 - -

Jumlah 146.603.261 147.047.928 212.209.872 240.781.409 191.642.608

Sumber: Bappeda Kalimantan Tengah (2014, diolah)

218

Tabel 6.8. dan 6.9. diatas menjelaskan beberapa hal. Pertama,

besaran alokasi dana dekonsentrasi yang diterima daerah (cq.

Kalimantan Tengah) semenjak tahun 2013 relatif berimbang dengan

besaran dana tugas pembantuan. Namun pada periode 2010-2012,

alokasi dana dekonsentrasi jauh melampaui dana tugas pembantuan.

Hal ini terjadi karena kecenderungan dana dekonsentrasi yang semakin

merosot sementara dana tugas pembantuan semakin meningkat. Dilihat

dari karakter masing-masing sumber pendanaannya, dapat diketahui

bahwa orientasi kepada belanja program fisik (dana tugas pembantuan)

semakin meningkat, sementara belanja program non-fisik semakin

mengecil (dana dekonsentrasi). Kedua, hanya sedikit kementerian

yang mengalokasikan dana tugas pembantuan kepada provinsi, karena

memang alokasi dana ini semestinya untuk kabupaten/kota. Selain itu,

pola pengalokasian data tugas pembantuan juga tidak terstruktur,

misalnya Kementerian Dalam Negeri yang hanya mengalokasikan

pada tahun 2012, Kementerian Kesehatan hanya mengalokasikan pada

tahun 2010, atau Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata yang hanya

mengalokasikan pada tahun 2011 dan 2012. Pada kasus ketiga

kementerian ini, sudah dapat dipastikan bahwa program/kegiatan fisik

yang dilakukan tidak bersifat tahun jamak (multi years), dan hanya

memenuhi kebutuhan tahun berjalan saja. Ketiga, dilihat dari

peruntukannya, dana tugas pembantuan diberikan kepada perangkat

daerah dalam rangka melakukan tugas tertentu dari pemerintah pusat

(cq. kementerian/lembaga), sangat berbeda sekali dengan dana

dekonsentrasi yang diberikan kepada perangkat pusat di daerah. Oleh

karena hanya gubernur yang berkedudukan selaku wakil pemerintah,

219

maka hanya gubernur-lah yang dapat menerima dana dekonsentrasi,

sementara dana tugas pembantuan pada umumnya diberikan kepada

kabupaten/kota. Meski tidak ada larangan kebijakan untuk

memberikan dana tugas pembantuan kepada provinsi, namun apabila

jumlah dana TP semakin besar dialokasikan di tingkat provinsi, maka

pembangunan di tingkat kabupaten/kota bisa terganggu, khususnya

jika mereka memiliki kapasitas fiskal yang relatif rendah. Dengan kata

lain, eksistensi dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan pada

dasarnya adalah untuk menjaga keseimbangan pembangunan baik

antar sektor maupun antara pembangunan di provinsi dengan

pembangunan di kabupaten/kota.

Khusus sektor sosial, perkembangan jumlah dana tugas

pembantuan yang diterima oleh Dinas Sosial Kalimantan Tengah

selama empat tahun terakhir beserta program kerja yang dibiayai dari

dana TP dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 6.10. Program Kerja dan Jumlah Dana Tugas Pembantuan yang

Diterima Dinas Sosial Kalimantan Tengah Tahun 2010-

2014 (dalam ribu rupiah)

No Program Dana Tugas Pembantuan Bidang Sosial

2011 2012 2013 2014

1 Pemberdayaan

Komunitas Adat Terpencil (KAT)

3.028.750 2.404.600 3.415.175 3.160.445

2 Perlindungan

Sosial Korban

Bencana Alam

1.700.378 114.492 354.492 -

3 Perlindungan

Sosial Korban

Bencana Sosial

- 37.000 - -

4 Pelestarian Kepahlawanan,

Keperintisan, dan

- 600.000 - -

220

Kesetiakawanan

Sosial

Jumlah 14 4.729.128 3.156.092 3.769.667 3.160.445

Sumber: Dinas Sosial Kalimantan Tengah (2014, diolah)

Dari tabel diatas terlihat bahwa besaran dana tugas pembantuan

selama empat tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang

signifikan. Namun dilihat dari program kerja yang dibiayai, ternyata

jumlahnya semakin sedikit dan tinggal satu yakni program

pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil (KAT). Dari 13

kabupaten/kota di Kalimantan Tengah, saat ini masih ada tiga

kabupaten yang memiliki KAT, yakni Kabupaten Kotawaringin

Timur, Kabupaten Gunung Mas, dan Kabupaten Murung Raya. Hal ini

mengindikasikan bahwa seiring dengan semakin meningkatnya

pembangunan di daerah yang berimplikasi semakin berkurangnya

jumlah daerah terpencil, maka suatu saat keberadaan dana tugas

pembantuan dalam rangka pemberdayaan KAT tidak akan diperlukan

lagi.

Selain melihat trend dana dekonsentrasi yang semakin

menurun dan trend dana tugas pembantuan yang cenderung meningkat

setiap tahun kecuali pada tahun 2014, menganalisis aspek anggaran

dekonsentrasi juga bisa dilihat dari perbandingan antara jumlah total

dana dekonsentrasi semua sektor dengan total APBD. Dalam hal ini

14 Data pada Dinas Sosial Kalimantan Tengah ini berbeda dibandingkan data

Bappeda Kalimantan Tengah sebagaimana tercantum pada Tabel 6.8, khususnya pada tahun 2011 dan 2012. Sedangkan untuk tahun 2013 dan 2014 tidak ada

perbedaan data. Kemungkinan penyebab perbedaan data ini adalah komunikasi dan

koordinasi yang lemah antara kedua instansi, atau pencatatan/pendokumentasian

yang lemah di Bappeda terkait perubahan/revisi anggaran dana tugas pembantuan.

221

dapat dilihat bahwa kemampuan fiskal Kalimantan Tengah semakin

menguat yang diindikasikan dengan semakin meningkatnya APBD.

Sementara dana dekonsentrasi secara akumulatif semakin menurun,

bukan hanya di sektor kesejahteraan sosial saja. Dalam empat tahun

terakhir (2011-2014), APBD Kalimantan Tengah meningkat hampir

100 persen, dan sebaliknya dana dekonsentrasi menurun lebih dari 30

persen.

Tabel 6.11. Perbandingan Jumlah Dana Dekonsentrasi dan Dana

Tugas Pembantuan yang Diterima Provinsi Kalteng

dengan APBD Kalteng Tahun 2010-2014

Tahun APBD Dana

Dekonsentrasi

Dana Tugas

Pembantuan

2011 1.712.570.051.000 314.629.927.000 147.047.928.000

2012 2.260.466.375.417 289.056.890.000 212.209.872.000

2013 2.501.734.823.005 253.651.912.000 240.781.409.000

2014 3.041.907.060.000 213.559.692.000 191.642.608.000

Sumber: Bappeda Kalimantan Tengah (2014, diolah)

Dengan melihat perbandingan dan trend diatas, dapat disimak

bahwa kontribusi dana dekonsentrasi semakin mengecil dalam

pembiayaan pembangunan daerah. Jika dikaitkan dengan

perbandingan antara total anggaran (DIPA) Kementerian Sosial

dengan alokasi dana dekonsentrasi yang rasionya semakin kecil, maka

ada kecenderungan bahwa anggaran pusat semakin besar dinikmati

oleh aparat di pusat itu sendiri. Hal ini tentu akan membawa

konsekuensi program dekonsentrasi akan semakin berkurang, dan

daerah harus lebih fokus untuk memperkuat kapasitas fiskalnya.

Meskipun dana dekonsentrasi cenderung berkurang yang

dikonfirmasi oleh data di kementerian dan di daerah, namun diyakini

bahwa dana ini tidak akan pernah hilang sama sekali. Menurut Kepala

222

Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan,

Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan,

perintah UU No. 33/2004 tentang pengalihan dana dekonsentrasi

menjadi dana alokasi khusus (DAK) tidak berlaku bagi seluruh dana

dekonsentrasi, namun hanya dana dekonsentrasi yang selama ini masih

keliru dalam pengalokasiannya untuk membiayai aktivitas fisik.15

Artinya, dana dekonsentrasi akan menemukan titik equilibriumnya,

yakni sebuah posisi dimana jumlah dana dekonsentrasi tidak cukup

besar namun mampu mendukung tugas-tugas pemerintah pusat untuk

melakukan fungsi-fungsi pembinaan dan supervisi kepada daerah

sekaligus mendukung program-program daerah yang memiliki nilai

strategis dan eksternalitas skala nasional. Gubernur Kalteng juga

menyadari bahwa meskipun dana dekonsentrasi semakin berkurang,

namun keberadaan fungsi pusat di daerah tidak mungkin dihilangkan

dan akan terus dibutuhkan oleh daerah.16

Box 6.3. Ketergantungan Daerah terhadap Dana Dekonsentrasi dan

Melemahnya Fungsi Dekonsentrasi Sosial

Total dana dekonsentrasi secara nasional mengalami penurunan

secara signifikan selama tiga tahun terakhir. Pada tahun 2014 hanya

tersedia sebesar Rp. 6,81 trilyun, jauh lebih sedikit dibanding tahun 2013 (Rp 13,43 trilyun) dan tahun 2012 (Rp 17,86 trilyun). Dari

jumlah tersebut, dana dekonsentrasi bidang sosial secara nasional

mengalami fluktuasi, dari Rp 623,913,375 pada tahun 2012, turun

menjadi Rp 546,425,389 (2013) dan naik lagi menjadi Rp 580,933,675 (2012).

15 Wawancara dengan Kepala Subdirektorat Evaluasi Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian

Keuangan, tanggal 7 Oktober 2014.

16 Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah, tanggal 9 Oktober 2014, di

rumah jabatan Gubernur Kalteng.

223

Kalimantan Tengah adalah salah satu provinsi yang terimbas berkurangnya dana dekonsentrasi. Selama 5 tahun terakhir, dana

yang diterima provinsi ini terus mengalami penurunan dari Rp 369

milyar pada tahun 2010, menjadi hanya Rp 213 milyar pada tahun

2014. Sektor sosial termasuk yang mengalami penurunan dalam alokasi dana dekonsentrasi untuk Kalteng, dari Rp 22,586 milyar

pada tahun 2011 menjadi Rp 16,598 milyar pada tahun 2014.

Tren penurunan dana dekonsentrasi tersebut mengindikasikan melemahnya dukungan program dekonsentrasi dalam menopang

pembangunan daerah. Meskipun demikian, menarik untuk dikaji

karena meskipun dana dekonsentrasi semakin mengecil, namun ternyata masih lebih besar dibanding dengan dana APBD untuk

sektor yang sama (cq. sosial). Pada tahun 2014, misalnya, dana

dekonsentrasi yang diterima provinsi ini adalah sebesar Rp. 16,598

milyar, sedangkan APBD untuk bidang sosial hanya Rp 15,807 milyar.

Ilustrasi diatas menunjukkan adanya kecenderungan daerah ini

mengalami ketergantungan pada dana dekonsentrasi sebagai sumber pembiayaan pembangunan di daerah. Ketergantungan ini muncul

karena bidang sosial bukan termasuk bidang prioritas dalam RPJMD

Kalimantan Tengah, sehingga tidak mendapat porsi anggaran yang signifikan.

Jika alokasi dana dekonsentrasi semakin menurun, sementara

daerah sendiri tidak memberi perhatian terhadap pembangunan

bidang kesejahteraan sosial, dikhwatirkan sektor ini akan semakin merosot kinerjanya. Meskipun saat ini sudah ada kebijakan untuk

mengarahkan dana CSR sebagai komponen penunjang sektor sosial,

namun pemerintah provinsi tetap wajib mencari jalan yang cerdas untuk kesinambungan pembangunan sosial di daerah.

C. Aspek Kelembagaan Dekonsentrasi

Meskipun tidak ada lagi Kantor Wilayah seperti pada masa

berlakunya UU No. 5/1974, namun Kementerian Sosial memiliki

“instansi vertikal” berupa Balai Besar dan panti-panti. Dalam hal ini,

terdapat 10 Balai Besar (6 Diklat, 1 Litbang, dan 3 Rehabilitasi), 1

Sekolah Tinggi, 35 panti sosial, dan 4 unit non satker, dengan perincian

dan persebaran wilayah sebagai berikut:

224

Tabel 6.12. Unit Kerja di Lingkungan Kemensos yang Berkedudukan

di Daerah

No Instansi Vertikal Kemensos

Balai Besar Diklat dan Litbang

1 Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial

(B2P2KS) Wilayah Regional I Padang

2 B2P2KS Wilayah Regional II Bandung

3 B2P2KS Wilayah Regional III Yogyakarta

4 B2P2KS Wilayah Regional IV Banjarmasin

5 B2P2KS Wilayah Regional V Makassar

6 B2P2KS Wilayah Regional VI Jayapura

7 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS) Yogyakarta

8 BBRVBD (Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa)

Cibinong, Jawa Barat

9 BBRSBD (Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa) Soeharso,

Surakarta, Jawa Tengah

10 BBRSBG (Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Grahita) Kartini,

Temanggung, Jawa Tengah

Sekolah Tinggi

1 Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung

Panti (Satuan Kerja)

1 BPBI (Balai Penerbitan Braille Indonesia) Abiyoso, Cimahi, Jawa Barat

2 PSBG (Panti Sosial Bina Grahita) Nipotowe, Palu, Sulawesi

Tengah

3 PSBRW (Panti Sosial Bina Rungu Wicara) Melati, Cipayung,

Jakarta Timur

4 PSBRW Meohai, Kendari, Sulawesi Tenggara

5 PSBRW Efata, Naibonat, NTT

6 PSBG Ciung Wanara, Cibinong, Jawa Barat

7 PSPP (Panti Sosial Pamardi Putra) Galih Pakuan, Parung, Bogor,

Jawa Barat

8 PSPP Insyaf, Lou Bakeri, Medan, Sumatera Utara

9 PSMP (Panti Sosial Marsudi Putra) Toddopuli, Makassar, Sulawesi Selatan

10 PSMP Handayani, Cipayung, Jakarta Timur

11 PSMP Paramita, Mataram, NTB

12 PSMP Antasena, Salaman, Jawa Tengah

225

13 PSBR (Panti Sosial Bina Remaja) Bambu Apus, Cipayung, Jakarta

Timur

14 PSBR Rumbai, Pekanbaru, Riau

15 PSBR Naibonat, Kupang, NTT

16 PSAA (Panti Sosial Asuhan Anak) Alyatama, Talang Bakung,

Jambi

17 PSAA Tunas Bangsa, Pati, Jawa Tengah

18 PSAA Darussa’adah, Aceh Besar, Aceh

19 PSBL (Panti Sosial Bina Laras) Phala Martha, Cibadak,

Sukabumi, Jawa Barat

20 PSBL Dharma Guna, Pagar Dewa, Bengkulu

21 PSBL Budi Luhur, Banjarbaru, Kalimantan Selatan

22 PSBN (Panti Sosial Bina Netra) Mahatmiya, Kediri-Tabanan, Bali

23 PSBN Tan Miyat, Bekasi, Jawa Barat

24 PSBN Wiyata Guna, Bandung, Jawa Barat

25 PSBN Tu Mou Tow, Manado, Sulawesi Utara

26 PSPA (Panti Sosial Petirahan Anak) Satria, Baturaden,

Purwokerto, Jawa Tengah

27 PSKW (Panti Sosial Karya Wanita) Mulya Jaya, Pasar Rebo,

Jakarta Timur

28 PSTW (Panti Sosial Tresna Werdha) Budhi Dharma, Bekasi, Jawa

Barat

29 PSTW Gau Mabaji, Samaya, Makassar, Sulawesi Selatan

30 PSTW Minaula, Kendari, Sulawesi Tenggara

31 PSBK (Panti Sosial Bina Karya) Pangudi Luhur, Bekasi, Jawa

Barat

32 PSBD (Panti Sosial Bina Daksa) Budi Perkasa, Palembang,

Sumatera Selatan

33 PSBD Bahagia, Medan, Sumatera Utara

34 PSBD Wirajaya, Makassar, Sulawesi Selatan

35 PSBPLK (Panti Sosial Bina Pasca Lara Kronis) Wasana Bahagia,

Ternate Selatan, Maluku

Unit Non-Satker

1 SDC (Social Development Center) Bambu Apus, Jakarta Timur

2 RPSA (Rumah Perlindungan Sosial Anak) Bambu Apus, Jakarta

Timur

3 PLT-ADK (Pusat Layanan Terpadu Anak Dengan Kecacatan)

Bambu Apus, Jakarta Timur

4 RPS ODHA (Rumah Perlindungan Sosial Orang Dengan

HIV/AIDS) Sukabumi, Jawa Barat

Sumber: data-data Kemensos, diolah, 2014.

226

Meskipun unit-unit kerja diatas berkedudukan di daerah,

namun tidak dapat dikatakan sebagai instansi vertikal yang

menjalankan urusan/program dekonsentrasi dan dibiayai melalui dana

dekonsentrasi. Sebab, unit-unit kerja tersebut tidak menerima

pelimpahan wewenang, dan anggaran yang digunakan adalah DIPA

yang dikelola sendiri oleh Kemensos. Untuk Balai Besar Diklat dan

Litbang menginduk pada Badan Pendidikan dan Penelitian

Kesejahteraan Sosial, sedangkan untuk panti asuhan menginduk pada

Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial.

Temuan ini mengkonfirmasi hasil FGD yang dilakukan penulis

dan menghasilkan kesimpulan bahwa konsep kelembagaan pelaksana

urusan dekonsentrasi juga masih rancu dan membingungkan.

Keberadaan UPT dan/atau unit kerja kementerian di daerah secara

definisi termasuk dalam kelembagaan dekonsentrasi, namun dalam

praktek tidak menunjukkan karakter sebagai perangkat kewilayahan,

karena memiliki wilayah kerja yang mencakup lebih dari satu provinsi,

serta dalam realitanya tidak mengelola program dan dana

dekonsentrasi, melainkan program dan anggaran kementerian.

Program dan anggaran dekonsentrasi bidang sosial adalah program dan

anggaran yang dilimpahkan Kemensos kepada Dinas Sosial Provinsi.

Sementara itu di tingkat daerah, fungsi wakil pemerintah masih

dipegang sendiri oleh gubernur karena belum terbentuk perangkat

sebagaimana diamanatkan oleh PP No. 23/2011 tentang Perubahan

Atas PP Nomor 19/2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang Serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil

Pemerintah di Wilayah Provinsi, dan Peraturan Mendagri No. 66/2012

227

tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011. Berdasarkan PP dan

Permendagri tersebut, fungsi gubernur selaku wakil pemerintah

semestinya dibantu oleh Sekretaris Gubernur yang dijabat secara ex-

officio oleh Sekretaris Daerah. Selanjutnya, Sekretaris Gubernur secara

operasional dibantu oleh kelompok jabatan fungsional. Berdasarkan

Peraturan Mendagri No. 66/2012, kelompok jabatan fungsional ini

diterjemahkan sebagai kelompok kerja berjumlah lima kelompok,

masing-masing adalah Pokja Bidang Stabilitas Pemerintahan dan

Politik Dalam Negeri, Pokja Penataan Wilayah dan Pembangunan

Daerah, Pokja Bidang Penguatan Tata Kelola Pemerintahan, Pokja

Bidang Penguatan Hubungan Pusat, Daerah dan Antar Daerah, dan

Pokja Bidang Ketenteraman dan Perlindungan Masyarakat. Setiap

Pokja secara ex-officio dipimpin oleh seorang koordinator yang dijabat

oleh Staf Ahli Gubernur.

Klausul inilah yang belum terlaksana di Kalimantan Tengah,

sehingga gubernur menjalankan tugas dan fungsinya selaku wakil

pemerintah terintegrasi dengan tugas hariannya selaku Kepala Daerah.

Kedudukan selaku wakil pemerintah ini menurut Gubernur

Kalimantan Tengah merupakan kedudukan yang tidak bergigi.

Seorang gubernur tidak bisa optimal melaksanakan tugasnya sebagai

wakil pemerintah dengan tegas, misalnya untuk memberi sanksi

apabila terjadi pelanggaran terkait dengan kewenangannya sebagai

koordinator dan pengawas pembangunan di daerah, terutama terhadap

kabupaten/kota. Itulah sebabnya, kalaupun akan dibentuk perangkat

gubernur selaku wakil pemerintah, diyakini tidak akan efektif

sepanjang tidak disertai dengan otoritas yang lebih kuat. Selain itu,

228

peranan dan beban Sekretaris Daerah sudah sangat overload. Jika

ditambah lagi dengan tugas baru sebagai Sekretaris Gubernur, akan

semakin berat dan semakin tidak efektif. Itulah sebabnya, pemerintah

Provinsi Kalimantan Tengah lebih memilih untuk mengotimalkan

kelembagaan yang telah ada. 17

Meskipun berorientasi pada pembenahan perangkat yang sudah

ada, namun pelaksanaan fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah

sudah dinilai cukup baik oleh kabupaten/kota. Hal ini terungkap dari

pernyataan Walikota Palangkaraya yang menyebutkan bahwa fungsi

dekonsentrasi dan peran gubernur selaku wakil pemerintah sudah

cukup baik. Melalui upaya-upaya koordinasi dan pelaksanaan forum

Rakordal (rapat koordinasi dan pengendalian), gubernur relatif mampu

melakukan sinkronisasi program antar kabupaten/kota di wilayah

provinsi. Hanya saja perlu diperhatikan adanya problem klasik di

daerah yakni regulasi di tingkat pusat yang tidak sinkron antara satu

kementerian dengan kementerian lain. Bahkan banyak regulasi yang

belum berjalan baik, sudah terjadi perubahan lagi. Situasi ini membuat

daerah bingung dan mengakibatkan banyak program tidak berjalan

dengan baik. Selain itu, kebijakan dalam pengalokasian anggaran

sebaiknya tidak dilakukan berdasarkan lobby-lobby, melainkan

berdasarkan kebutuhan daerah. Sebab, daerah-daerah minus yang tidak

memiliki akses lobby akan sangat rugi karena tidak memiliki sumber

17 Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah, Kamis, 9 Oktober 2014, di

rumah jabatan Gubernur Kalteng.

229

alternatif dalam pembiayaan program-program pembangunan di

daerahnya. 18

Box 6.4. Kerancuan Kelembagaan Dekonsentrasi

Kementerian Sosial memiliki “instansi vertikal” yang terdiri dari 10 Balai Besar (6 Diklat, 1 Litbang, dan 3 Rehabilitasi), 1

Sekolah Tinggi, 35 panti sosial, dan 4 unit non satker. Namun, unit

kerja atau unit pelaksana teknis di daerah ini tidak menjalankan urusan/program dan tidak menerima pelimpahan wewenang.

Mereka menjalankan program kementerian dan mengelola sendiri

DIPA Kementerian Sosial.

Sementara itu, perangkat gubernur selaku wakil pemerintah sesuai amanat PP No. 23/2011 dan Peraturan Mendagri No. 66/2012

tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011 masih belum terbentuk sampai

sekarang, karena gubernur memandang lembaga itu tidak akan efektif dan bahkan hanya memberi beban tambahan bagi jajaran

pejabat daerah. Harapan daerah justru supaya berbagai UPT

kementerian yang ada di daerah, dilimpahkan sebagai perangkat

daerah, lengkap dengan program dan anggarannya, agar tidak menimbulkan duplikasi fungsi atau urusan.

Hal ini sesuai dengan kesimpulan riset Agus Dwiyanto (2015:

10) yang menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan pemerintah di daerah oleh UPT/balai sering menimbulkan eksternalitas negatif

bagi daerah.

D. Aspek Mekanisme Perencanaan Dekonsentrasi

Program dekonsentrasi di Indonesia pada umumnya dan

dekonsentrasi bidang sosial khususnya saat ini telah menjelma menjadi

program rutin yang berjalan secara berulang setiap tahun tanpa ada

nuansa-nuansa pembaharuan. Dari tahun ke tahun, kelompok program

dekonsentrasi cenderung tidak pernah berubah, sebagaimana pula

kegiatan-kegiatan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, mekanisme

18 Wawancara dengan Walikota Palangkaraya, Jumat, 10 Oktober 2014, di rumah

kediaman Walikota.

230

perencanaan program dekonsentrasi-pun menjadi teknis dan mekanis,

formalistik, dan tidak ada kebaruan dari waktu ke waktu (business as

usual).

Sekitar pertengahan tahun berjalan, Kemensos akan

menyelenggarakan Rapat Koordinasi Perencanaan Program dan

Anggaran untuk tahun yang akan datang. Dalam rakor semacam ini

lazimnya akan diinformasikan tentang pagu anggaran untuk masing-

masing satuan kerja maupun pagu untuk dekonsentrasi. Ini berarti

perencanaan program dekonsentrasi bersifat top down, yang

selanjutnya dikomunikasikan kepada daerah (cq. Dinas Sosial

Provinsi). Karena sudah menjadi sesuatu yang rutin, maka pada

umumnya peserta dari daerah hanya akan menerima apa adanya (taken

for granted).

Padahal, idealnya perencanaan dekonsentrasi itu

mengkombinasikan antara kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai

oleh pusat (cq. kementerian) dengan kebutuhan dan prioritas

pembangunan daerah. Ditambah lagi dengan tidak adanya pengukuran

dampak atau kemanfaatan dari program dekonsentrasi, maka

dekonsentrasi telah kehilangan filosofi dasarnya sebagai penyeimbang

urusan dan program desentralisasi.

Sesungguhnya otoritas Kemensos telah menyadari bahwa

partisipasi daerah untuk mengajukan usulan program dekonsentrasi

yang lebih sesuai kebutuhan adalah sangat penting. Menyadari

pentingnya model partisipatoris dalam perencanaan program

dekonsentrasi, Kemensos pernah mencoba meminta setiap provinsi

untuk mengajukan usulan program yang akan dibiayai dari dana

231

dekonsentrasi. Ternyata, apa yang diusulkan oleh provinsi sama persis

dengan kegiatan pada tahun-tahun sebelumnya. Atas dasar pengalaman

inilah maka mekanisme seperti saat ini masih terus dipertahankan.19

Dalam kaitan itu, Gubernur Kalimantan Tengah

mengungkapan fenomena senada, yakni bahwa penetapan program

dekonsentrasi selama ini merupakan keinginan (wants) dari pusat yang

cenderung “dipaksakan” kepada daerah. Namun karena lemahnya

kapasitas untuk melakukan needs assessment, maka program

dekonsentrasi menjadi sesuatu yang rutin.20 Karena rutinitas itulah,

maka program dekonsentrasi sama setiap tahunnya dan kurang ada

evaluasi yang komprehensif terhadap kemanfaatan dan kebutuhan

untuk pengembangannya pada tahun-tahun mendatang.

Sementara itu terkait dengan peran Gubernur dalam

perencanaan dan pengelolaan program dekonsentrasi, Permensos No.

20/2013 mengatur tentang tata cara penyelenggaraan dekonsentrasi,

dimana Gubernur diberi kewajiban untuk melakukan beberapa hal

terkait perencanaan program dan anggaran dekonsentrasi sebagai

berikut:

a. Melakukan sinkronisasi dengan penyelenggaraan urusan

Pemerintah Daerah dan menjamin terlaksananya kegiatan

dekonsentrasi secara efektif dan efisien;

19 Wawancara dengan Kepala Seksi Kedaruratan, Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kemensos, Senin, 29 September 2014 di Kantor

Kemensos.

20 Wawancara dengan Gubenur Kalimantan Tengah, Kamis, 9 Oktober 2014, di

Rumah Jabatan Gubernur.

232

b. Menetapkan SKPD dan perangkat daerah untuk melaksanakan

program dan kegiatan dekonsentrasi dengan mempertimbangkan

persyaratan kemampuan dan kompetensi personil;

c. Melaksanakan program, kegiatan, dan anggaran dekonsentrasi

lingkup Kementerian Sosial sesuai dengan norma, standar,

prosedur, dan kriteria yang telah ditentukan oleh Pemerintah;

d. Melakukan koordinasi, pengendalian, pembinaan, pengawasan,

dan pelaporan.

Selain empat tugas diatas, Gubernur juga wajib

memberitahukan kepada DPRD berkaitan dengan penyelenggaraan

program, kegiatan, dan anggaran dekonsentrasi yang diterima dari

pemerintah pusat. Pada saat yang sama, dalam penyelenggaraan urusan

yang dilimpahkan Gubernur harus berpedoman pada norma, standar,

prosedur, kriteria, dan kebijakan pemerintah, serta keserasian,

kemanfaatan, kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan dan

pembangunan daerah.

Dalam prakteknya, peran Gubernur diatas dijalankan secara ex

officio oleh Kepala Dinas yang bersangkutan. Karena keempat peran

diatas tidak disertai dengan instrumen untuk monitoring dan

evaluasinya, sementara interpretasi dan gaya kepemimpinan setiap

Kepala Dinas sangat mungkin berbeda-beda, maka menjadi rumitlah

ketika Gubernur harus mempertanggungjawabkan program dan

anggaran dekonsentrasi di seluruh sektor. Oleh karena itu, pedoman

pelaksanaan dekonsentrasi harus lebih dikembangkan, termasuk

bagaimana mekanisme hubungan Gubernur dengan Kepala Dinas

selaku penyelenggara program dekonsentrasi.

233

Box 6.5. Inefektivitas Perencanaan Dekonsentrasi

Setiap pertengahan tahun berjalan, Kementerian Sosial

menyelenggarakan Musrenbang Sosial. Rapat ini membahas dan

menetapkan secara top down pagu anggaran untuk masing-masing satuan kerja maupun pagu dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Dari perspektif daerah, penetapan program dekonsentrasi

selama ini merupakan keinginan (wants) dari pusat yang cenderung “dipaksakan” kepada daerah. Namun karena lemahnya kapasitas

untuk melakukan needs assessment dari pemerintah pusat maupun

daerah, maka program dekonsentrasi menjadi sesuatu yang rutin.

Sebenarnya sudah ada upaya untuk memberdayakan kedudukan gubernur selaku wakil pemerintah melalui Peraturan Menteri Sosial

No. 20/2013 yang mengatur tentang tata cara penyelenggaraan

dekonsentrasi, dimana Gubernur diberi kewajiban untuk melakukan sinkronisasi, koordinasi, pengendalian, pembinaan, serta

pengawasan, dan pelaporan. Namun dalam prakteknya, posisi

digantikan secara ex officio oleh Kepala Dinas, sementara instrumen komunikasi antara SKPD dengan gubernur belum terbangun secara

terstruktur, sehingga gubernur seperti terlepas dari konteks program

dekonsentrasi.

Kondisi seperti inilah yang menimbulkan kesan tidak dilibatkannya gubernur sebagai intermediaries dalam alokasi

anggaran sektoral. Gubernur lebih terlihat sebagai wakil

Kementerian Dalam Negeri, dan belum berfungsi sebagai wakil pemerintah secara keseluruhan (Agus Dwiyanto, 2015: 39).

E. Aspek Regulasi

Makna dari aspek regulasi disini adalah bahwa pemerintah

pusat dalam era desentralisasi luas lebih dituntut untuk menyediakan

perangkat aturan (regulasi) dan supervisi terhadap pemerintah daerah.

Salah satu tugas pokok pemerintah pusat dalam kerangka regulasi ini

adalah menyediakan NSPK (norma, standar, prosedur, dan kriteria)

yang akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam

menjalankan urusan desentralisasi maupun dekonsentrasinya. Terkait

dengan klausul bahwa pemerintah (cq. Kementerian) wajib

234

menyediakan NSPK, hingga saat ini di lingkungan Kemensos sudah

ada 13 (tiga belas) Peraturan Menteri Sosial yang mengandung muatan

NSPK tersebut, yaitu:

a. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 110 Tahun 2009 tentang

Persyaratan Pengangkatan Anak.

b. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 128 Tahun 2011 tentang

Kampung Siaga Bencana (KSB).

c. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 184 Tahun 2011 tentang

Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS).

d. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 03 Tahun 2012 tentang Standar

Lembaga Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika, Penggunaan Zat

Adiktif dan Psikotropika (NAPZA).

e. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 02 Tahun 2012 tentang Taman

Anak Sejahtera.

f. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 08 Tahun 2012 tentang

Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi Sumber Kesejahteraan

Sosial (PSKS).

g. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 06 Tahun 2012 tentang

Penghargaan Terhadap Lanjut Usia.

h. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 09 Tahun 2012 tentang

Komunitas Adat Terpencil (KAT).

i. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 19 Tahun 2012 tentang

Pedoman Pelayanan Lanjut Usia.

235

j. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 25 Tahun 2012 tentang Standar

Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Oleh Lembaga Di

Bidang Kesejahteraan Sosial.

k. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 26 Tahun 2012 tentang Standar

Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika,

Psikotropika, dan Penggunaan Zat Adiktif Lainnya.

l. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna

Siaga Bencana (Tagana).

m. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor 01 Tahun 2013 tentang

Bantuan Sosial Bagi Korban Bencana (alam dan sosial).

Dengan telah terbitnya seperangkat regulasi bermuatan NSPK

tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Kemensos telah menunaikan

tugas dan kewajibannya menyediakan NSPK sebagai pedoman bagi

pemerintah daerah dalam menjalankan urusan dan program yang akan

dilimpakan melalui asas dekonsentrasi atau diserahkan melalui asas

desentralisasi. Dengan kata lain, sepanjang pemerintah daerah

(provinsi) sudah memiliki kemampuan dan kesiapan yang cukup untuk

melaksanakan urusan pemerintahan tertentu, maka tidak ada alasan

bagi instansi pusat (cq. Kemensos) untuk terus memegang dan

menjalankan sendiri urusan dan/atau program tersebut.

Permasalahan kemampuan dan kecukupan inilah yang

seringkali menjadi variabel pengganggu dalam menetapkan urusan

pusat yang akan atau perlu diserahkan/dilimpahkan kepada daerah.

Pejabat di tingkat pusat pada umumnya menyatakan setuju untuk

penyerahan urusan yang lebih luas. Namun, mereka memandang

bahwa kemampuan dan kesiapan aparat di daerah belum memadai

236

untuk menjalankan urusan tersebut dengan optimal, sehingga

pemerintah pusat masih harus menjalankan sendiri urusan tadi, atau

setidaknya dilaksanakan dengan pola dekonsentrasi.21 Dilain pihak,

aparat daerah menyatakan diri sudah mampu untuk menjalankan

urusan yang akan didesentralisasikan, namun pemerintah pusatlah

yang tidak memiliki keseriusan untuk menyerahkan urusan tersebut

kepada daerah.22

Perdebatan dan polemik seperti ini telah berlangsung lama dan

belum ada solusi yang dapat memuaskan kedua belah pihak. Hal ini

terjadi karena selama ini memang tidak ada prasyarat atau prakondisi

untuk suksesnya sebuah urusan desentralisasi dan dekonsentrasi.

Variabel kemampuan atau kesiapan daerah tidak pernah didefinisikan

dengan baik dan tidak jelas operasionalisasi variabelnya. Akibatnya,

muncullah penafsiran yang beragam sesuai persepsi dan kepentingan

masing-masing pihak. Maka, adanya kriteria dan ukuran yang jelas

tentang kemampuan/kesiapan daerah itu menjadi sangat penting untuk

menguji apakah sebuah urusan tertentu sudah waktunya untuk

diserahkan kepada daerah, ataukah masih perlu dikemas dalam

kerangka program dekonsentrasi, ataukah harus dilaksanakan sendiri

oleh pemerintah pusat.

Itulah sebabnya, menerbitkan NSPK saja tidaklah cukup.

Pemerintah pusat (cq. Kemensos) masih perlu melakukan berbagai

21 Wawancara dengan Direktur Perlindungan Sosial Korban Bencana Alam

(PSKBA) Kemensos, Senin, 29 September 2014 di Kantor Kemensos.

22 Wawancara dengan Gubernur Kalimantan Tengah, Kamis, 9 Oktober 2014, di

Rumah Jabatan Gubernur.

237

upaya untuk menjamin bahwa NSPK tersebut diimplementasikan

dengan baik, salah satunya dengan cara meningkatkan kompetensi

daerah agar memiliki standar yang dipersyaratkan dalam NSPK, baik

dalam hal SDM, sarana prasarana, tatalaksana, teknologi, dan

sebagainya.

Terkait dengan aspek regulasi berupa Permensos No. 20/2013

Pelimpahan Kewenangan Dekonsentrasi dan Penugasan Tugas

Pembantuan ke Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten

Kota Tahun Anggaran 2014 diatas, ada beberapa hal yang perlu

dikritisi, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Meskipun Permensos No. 20/2013 tersebut mengatur tentang

pelimpahan kewenangan, namun dalam batang tubuhnya sama

sekali tidak menegaskan secara eksplisit daftar urusan, program,

atau kegiatan yang dilimpahkan. Dalam kaitan ini, pasal 6 hanya

berbunyi:

“Rencana program yang dibiayai melalui pendanaan

dekonsentrasi lingkup Kemensos meliputi: a) program

dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya

Kemensos, b) program rehabilitasi sosial, c) program

perlindungan dan jaminan sosial, dan d) program

pemberdayaan sosial dan penanggulangan kemiskinan”.

Dengan bunyi seperti itu, maka program dekonsentrasi

sesungguhnya identik dengan program Kemensos sendiri yang

dibiayai dari DIPA Kemensos. Hal ini terjadi karena nama program

dekonsentrasi identik dengan nama Direktorat Jenderal. Oleh

karena itu, akan lebih baik jika dalam Permensos tersebut

ditegaskan terlebih dahulu urusan / program yang dilimpahkan

238

kepada Gubernur, baru dijelaskan rincian dari masing-masing

urusan/program tersebut.

2. Judul Permensos No. 20/2013 tersebut juga membingungkan dan

berpotensi menimbulkan kekacauan dalam sistem administrasi

negara. Sebab, pelimpahan kewenangan dari pemerintah (cq.

Menteri) itu kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, bukan

kepada instansi atau SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah).

SKPD adalah perangkat daerah, bukan instansi vertikal

kementerian. Pelimpahan kewenangan kepada perangkat pusat di

daerah disebut dekonsentrasi, sedangkan pelimpahan kewenangan

kepada perangkat daerah masuk dalam pengertian Tugas

Pembantuan (medebewind). Artinya, kebijakan yang tertuang

dalam Permensos No. 20/2013 secara de jure adalah dekonsentrasi,

namun secara de facto adalah tugas pembantuan. Jelas ini

berpotensi membuat kerancuan dalam tata hubungan pusat dan

daerah.

Selain itu, Menteri Sosial tidak juga berwenang melimpahkan tugas

dekonsentrasi kepada Dinas Sosial Provinsi, karena Dinas Sosial

bukan perangkat Kemensos di daerah. Oleh karena itu, dinas

daerah tidak diperkenankan menerima pelimpahan wewenang atau

urusan langsung dari pemerintah (cq. Menteri). Kesalahan seperti

inilah yang agaknya menjadi sumber keluhan banyak Gubernur

tentang komunikasi langsung antara Dinas Daerah dengan

Kementerian tanpa melalui dan sepengetahuan Gubernur. Selain

itu, pelimpahan wewenang yang keliru penerimanya ini rentan

239

terhadap temuan pemeriksaan karena dinas provinsi dapat

dianggap melakukan sesuatu diluar kewenangannya.

3. Dari tahun ke tahun, Peraturan Menteri tentang pelimpahan

Kewenangan Dekonsentrasi relatif tidak ada yang berubah,

terutama dalam hal urusan dan program-program yang

dilimpahkan. Hal ini mengilustrasikan adanya pola kerja yang

berbasis pada rutinitas dan business as usual. Bahkan pejabat

Kemensos juga mengakui bahwa tidak ada pembaharuan dalam

program kerja dekonsentrasi sejak awal hingga saat ini.23 Hal ini

terjadi karena pemahaman yang lemah dari pejabat pusat dan

daerah tentang filosofi dekonsentrasi. Dekonsentrasi yang

semestinya bisa diarahkan untuk melakukan perubahan dan

inovasi, untuk mengurangi kesenjangan antar sektor atau antar

daerah, untuk menutup kekurangan yang dimiliki daerah, untuk

memperkuat solidaritas antar kelompok masyarakat atau antar

daerah, dan sebagainya, sering terlupakan dan kembali ke program-

program yang sudah menjadi tradisi. Akibatnya, dekonsentrasi

hanya sekedar komplemen atau pelengkap terhadap azas

desentralisasi.

F. Relevansi Program Dekonsentrasi Sosial

Mengingat bahwa pembangunan kesejahteraan sosial

merupakan amanat UUD 1945 yang belum dapat dilaksanakan secara

23 Wawancara dengan Kepala Seksi Kedaruratan, Direktorat Perlindungan Sosial

Korban Bencana Sosial (PSKBS) Kemensos, Senin, 29 September 2014 di Kantor

Kemensos.

240

maksimal, maka pemerintah pusat masih memiliki kepentingan yang

sangat kuat untuk menjalankan tugas ini sekaligus sebagai bentuk

jaminan bahwa kinerja pembangunan kesejahteraan sosial dapat

semakin meningkat dari tahun ke tahun. Ini berarti pula bahwa program

dekonsentrasi masih sangat relevan sebagai instrumen pemerintah

mewujudkan cita-cita Konstitusi. Terlebih lagi dengan fakta masih

teramat banyaknya permasalahan sosial yang dihadapi bangsa

Indonesia, ditambah oleh keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh

daerah (provinsi) dan rendahnya prioritas pembangunan sosial di

daerah, maka kehadiran pemerintah untuk turut serta melaksanakan

sendiri tugas-tugas pemerintahan tertentu (cq. kesejahteraan sosial)

atau melalui proses pelimpahan kepada wakil pemerintah di daerah,

masih dirasakan relevansinya. Meskipun urusan pemerintahan tertentu

telah didesentralisasikan sebagai urusan rumah tangga daerah otonom,

namun permasalahan yang terjadi di daerah tetap menjadi bagian dari

tanggungjawab pusat, terutama ketika daerah otonom belum

menunjukkan kemampuan terbaik untuk mengelola urusan tersebut.

Dengan demikian, pada tataran konseptual, dekonsentrasi masih sangat

relevan untuk menjamin terpenuhinya kepentingan dan urusan pusat di

daerah.

Sayangnya, kadar urgensi dan relevansi dekonsentrasi tadi

cenderung semakin memudar dalam tataran implementasinya.

Beberapa hal yang membuat merosotnya kadar relevansi dekonsentrasi

ini antara lain:

1. Dari perspektif program dan kegiatan, terlihat bahwa program dan

kegiatan dekonsentrasi sosial memiliki kemiripan yang sangat

241

tinggi dengan program dan kegiatan yang dilaksanakan sendiri oleh

Kemensos. Dalam hal ini tidak terlihat adanya pembedaan antara

fungsi pemerintah pusat (sentralisasi) dengan fungsi pemerintah

pusat di daerah (dekonsentrasi). Meskipun rujukannya sama, yakni

urusan atau kewenangan pemerintah (dalam hal ini bidang sosial),

namun tujuan dan ruang lingkupnya pasti berbeda. Selain itu, tidak

semua urusan pemerintah pusat didekonsentrasikan, sehingga

secara logika antara fungsi pemerintah pusat dengan fungsi

pemerintah pusat di daerah haruslah berbeda, baik dalam rincian

kewenangan, jenis program, maupun bentuk kegiatannya.

Ketidakjelasan antara fungsi pemerintah pusat yang harus

dijalankan sendiri dengan fungsi pemerintah yang dapat

didelegasikan (dekonsentrasi), ternyata terjadi juga dalam program

dekonsentrasi dengan program desentralisasi. Meskipun

perumpunan program relatif berbeda, namun substansi program

sesungguhnya dapat dikatakan sama bahkan identik. Hal ini juga

membuktikan adanya kebingungan dalam menyusun program

untuk menerjemahkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi.

Dalam skema pemrograman saat ini, maka program daerah otonom

dapat diusulkan untuk mendapat pembiayaan dari sumber

dekonsentrasi, atau sebaliknya. Artinya, tidak ada implikasi serius

jika program dekonsentrasi dijalankan dalam skema desentralisasi.

Padahal, desentralisasi dan dekonsentrasi adalah dua asas yang

sangat berbeda dengan landasan kewenangan yang berbeda,

sehingga program yang dilakukan semestinya bersifat saling

242

melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan

(substitusi).

Mengingat tidak adaanya sesuatu yang khas atau unique dari

program dekonsentrasi yang membedakannya dari program lain,

serta tidak adanya ciri yang spesifik dari program dekonsentrasi,

maka pada hakekatnya program dekonsentrasi ini dapat dilebur

dengan program apa saja, bahkan dapat mendorong efisiensi

program dan sumber daya.

2. Dari perspektif perencanaan, nampak dengan jelas bahwa

dekonsentrasi dirancang secara umum tanpa memperhatikan

karakteristik, kebutuhan, dan aspirasi daerah. Program

dekonsentrasi cenderung didesain secara tersentralisasi, dan

menjadi tradisi yang dipertahankan selama bertahun-tahun.

Meskipun sama-sama untuk mendukung kepentingan nasional,

namun permasalahan di daerah cukup beragam sehingga

perencanaan dekonsentrasi idealnya harus tetap didahului oleh

analisis kebutuhan masing-masing daerah, sehingga program dan

anggaran yang dikucurkan akan mampu menyelesaikan masalah di

daerah sekaligus memenuhi kepentingan pusat di daerah yang

bersangkutan.

Dengan pola perencanaan yang masih berdasarkan rancangan

kementerian ini, maka program dekonsentrasi menjadi sesuatu

yang generic atau sama antar provinsi. Padahal, idealnya program

dekonsentrasi harus direncanakan secara kontekstual agar mampu

membawa kemanfaatan sesuai problematika dan dinamika di

sebuah daerah.

243

3. Dari perspektif penganggaran, juga terlihat bahwa dana

dekonsentrasi berubah fungsi dari yang seharusnya untuk

menjamin kepentingan nasional di daerah, menjadi untuk

membiayai program yang sebenarnya telah dan bisa dilakukan

sendiri oleh daerah. Besaran dana dekonsentrasi yang cukup besar

pada gilirannya justru menimbulkan situasi ketergantungan,

terutama untuk sektor-sektor di daerah yang tidak prioritas seperti

sektor sosial.

4. Dari sisi pelaksanaan program dan anggaran dekonsentrasi,

larangan penggunaan dana dekonsentrasi untuk keperluan fisik

juga menjadikan belanja dekonsentrasi tidak produktif, karena

lebih banyak untuk membiayai perjalanan dinas24, honorarium, dan

menyusun laporan atau evaluasi program. Selain itu, meskipun

dana dekonsentrasi sudah dilimpahkan dan dikelola oleh perangkat

Gubernur (cq. Dinas), namun pejabat pusat masih memiliki

kesempatan yang sangat lebar untuk turut menikmati dana

dekonsentrasi tersebut, melalui perjalanan dinas, atau nara sumber.

Untuk itu, perlu dipikirkan lagi mata-mata keluaran dalam

anggaran dekonsentrasi yang lebih produktif, efisien, dan

berorientasi pada outcomes yang lebih nyata bagi masyarakat di

daerah. Disisi lain, pelaksanaan program dekonsentrasi jarang

sekali melibatkan keberadaan instansi vertikal di daerah seperti

Kantor Wilayah atau UPT. Program dan dana dekonsentrasi

24 Jenis-jenis perjalanan dinas ini antara lain perjalanan dinas paket meeting (dalam

dan luar kota), transport dalam kota, perjalanan dinas luar kota (termasuk uang

harian dan uang penginapan).

244

seolah-olah menjadi domein dari dinas teknis tertentu, padahal

dilihat dari sumber dan karakteristiknya, kepentingan pusat jauh

lebih menonjol dan harus mendapat perhatian lebih dibanding

kepentingan daerah.

Oleh karena pola-pola manajemen dekonsentrasi yang kurang

efektif sebagaimana dikemukakan diatas, maka tidak dapat

dirumuskan tujuan yang jelas, konkrit, dan terukur dari program

dekonsentrasi. Tujuan program dekonsentrasi cenderung standar dan

sama dengan tujuan program lain, misalnya untuk meningkatkan

pemahaman masyarakat tentang sesuatu, memenuhi kebutuhan

operasional, melaksanakan pemeliharaan, dan sebagainya. Idealnya,

tujuan program/kegiatan dekonsentrasi haruslah lebih strategis,

misalnya untuk mendorong dilakukannya perubahan/pembaharuan

dalam business prosess urusan pemerintahan tertentu,

mengembangkan atau menyebarluaskan inovasi atau best practices

dalam pelayanan publik pada sektor tertentu, menekan defisiensi

kompetensi aparatur dalam tugas tertentu, mengurangi kesenjangan

pendapatan/kapasitas antar kelompok dalam masyarakat melalui

program intervensi tertentu, meningkatkan tingkat kepercayaan dan

dukungan rakyat kepada pemerintah dalam kasus tertentu, dan

sebagainya. Dengan kata lain, fungsi dan program dekonsentrasi

semestinya tidak tergantikan oleh program-program lainnya.

Kelemahan pada aspek kekaburan tujuan dekonsentrasi ini

diperparah lagi dengan belum adanya mekanisme penilaian kinerja

atau pengukuran dampak program dekonsentrasi, sehingga tingkat

kemanfaatan dekonsentrasi beserta pihak-pihak penerima manfaat

245

(beneficiaries) tidak dapat terpetakan secara jelas dan terukur. Hal ini

pada gilirannya semakin melemahkan relevansi dekonsentrasi sebagai

instrumen pemerintah untuk menjamin kepentingan nasional di daerah

agar berjalan secara optimal.

Rendahnya urgensi dan relevansi dekonsentrasi ini misalnya

bisa dirasakan ketika diajukan pertanyaan kepada pejabat di

kementerian: “apakah akan muncul permasalahan krusial jika

program/anggaran dekonsentrasi disatukan dengan program/anggaran

yang dilaksanakan sendiri oleh kementerian, atau didesentralisasikan

sekalian kepada daerah?”, dan ternyata dijawab tidak ada persoalan.25

Artinya, tidak akan ada perbedaan yang signifikan, baik ada maupun

tidak ada program/anggaran dekonsentrasi. Bahkan Inspektur Jenderal

Kemensos sangat mendukung jika program dekonsentrasi beserta

anggarannya dialihkan sebagai program desentralisasi, karena sesuai

dengan spirit otonomi daerah. Peran pusat menurutnya cukup pada

wilayah regulasi dan supervisi, sehingga tidak terlalu berat beban yang

harus dilaksanakan. Namun jika pilihan ini yang akan diangkat sebagai

kebijakan, perlu dipikirkan bagaimana ukuran kinerja pemerintah

pusat terkait dengan fungsi regulasi dan supervisi tersebut.26

Dari hasil penelitian, relevansi dekonsentrasi ini juga diamini

oleh seluruh pakar yang diwawancara oleh penulis maupun dari hasil

pelaksanaan FGD. Konsep dekonsentrasi tidak dapat dipisahkan

25 Wawancara dengan dengan Gubernur Kalimantan Tengah, tanggal 9 Oktober

2014, di rumah jabatan Gubernur Kalteng.

26 Wawancara dengan Inspektur Jenderal Kemensos, Kamis, 2 Oktober 2014, serta

dengan Direktur PSKBA dan Kepala Seksi Kedaruratan Direktorat PSKBS, 29

September 2014, di Kantor Kemensos.

246

dengan konsep negara kesatuan. Dalam negara kesatuan, pemerintah

pusat bagaimanapun tetap memiliki hak campur tangan terhadap

pemerintah daerah. Dalam konteks pembangunan bidang sosial,

relevansi dekonsentrasi sosial bertujuan untuk menciptakan

standarisasi pelayanan, atau pengurangan kesenjangan sosial antar

daeah. Meskipun demikian, desain dekonsentrasi membutuhkan

beberapa perbaikan mendasar. Sebagai contoh, kekakuan

dekonsentrasi yang hanya boleh dilakukan untuk kegiatan fisik sudah

waktunya ditinjau kembali. Misalnya, untuk membuka daerah-daerah

terisolir, semestinya dana dekonsentrasi boleh saja dimanfaatkan untuk

kegiatan fisik. Pertimbangan yang harus lebih dikedepankan adalah

kemanfaatan dana, kondisi riil dan kebutuhan daerah terhadap

pembangunan bidang tertentu. Dengan demikian, maka desain

dekonsentrasi harus dimaknakan dan diarahkan kepada dekonsentrasi

fungsional, yang tidak semata-mata dibatasi oleh wilayah administrasi

sebuah provinsi.27

27 Wawancara dengan Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA tanggal 26 Oktober 2009 di

Hotel Santika Makassar, dengan Prof. Dr. Eko Prasojo tanggal 11 Juli 2004 di

Kantor Kementerian PAN dan RB, serta dengan Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein,

SH tanggal 23 Juli 2014 di Program Pascasarjana Ilmu Administrasi UI, Jakarta.

247

BAB VII

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Dari uraian dan analisis pada bab-bab sebelumnya dapat ditarik

beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara konseptual, dekonsentrasi masih memiliki urgensi dan

relevansi yang tinggi dalam tata kelola atau tata hubungan

pemerintah pusat dan daerah, serta dalam menjamin program dan

kepentingan pusat di daerah. Urgensi dekonsentrasi tersebut adalah

dalam hal menjalankan fungsi atau kepentingan pemerintah pusat

pada level daerah. Program dekonsentrasi bidang sosial juga masih

menunjukkan relevansi untuk dilaksanakan. Sebab, urusan sosial

adalah sektor pembangunan yang jarang sekali menjadi prioritas

dalam pembangunan daerah sehingga proporsi anggarannya relatif

kecil dibanding sektor lainnya. Hal ini ”memaksa” pemerintah (cq.

Kementerian Sosial) untuk menjamin agar fungsi perlindungan dan

pembangunan sosial tetap terlaksana dengan baik di daerah melalui

pengalokasian anggaran lewat skema dana dekonsentrasi. Dengan

demikian, politik anggaran dekonsentrasi diharapkan dapat

menjaga keseimbangan pembangunan antar sektor, sekaligus

mencukupi kebutuhan masyarakat akan pelayanan sosial.

Namun dalam implementasinya, relevansi dekonsentrasi sangat

melemah karena dalam pengelolaannya tidak efektif. Dengan kata

lain, urgensi atau relevansi dekonsentrasi tadi gagal diwujudkan

248

dalam bentuk kebijakan dan strategi yang memperkuat

urgensi/relevansi tersebut.

2. Dari aspek program dan kegiatan dekonsentrasi, temuan lapangan

membuktikan masih terjadinya tumpang tindih program dan

kegiatan dekonsentrasi dan kegiatan yang dilaksanakan sendiri

oleh Kemensos, serta tumpang tindih program/anggaran

dekonsentrasi dengan APBD provinsi.

Tumpang tindih program itu terjadi karena adanya kesamaan nama

program yang bersumber dari aplikasi sistem perencanaan program

baik di pusat maupun daerah. Judul-judul kegiatan juga relatif sama,

namun berbeda dalam hal target output atau sasaran penerima

manfaat dari kegiatan tersebut. Temuan BPK tentang tumpang

tindih program dekonsentrasi dengan program lainnya menurut

penulis disebabkan karena selama ini ada kecenderungan asas

dekonsentrasi terjebak dalam dikotomi pusat dan daerah. Asas

desentralisasi yang melahirkan daerah otonom dan urusan-urusan

otonomi rumah tangga daerah memang memiliki batas yang tegas

dengan urusan pemerintah (pusat). Dalam situasi seperti ini, wajar

jika pusat tidak dapat atau tidak diperbolehkan melakukan urusan

daerah yang telah didesentralisasikan, dan sebaliknya. Namun asas

dekonsentrasi yang by design ditujukan untuk menjaga kohesi

antara pusat dan daerah, kepentingan pusat harus menjadi

kepentingan daerah, sementara kepentingan daerah secara otomatis

adalah juga kepentingan pusat. Dengan demikian, urusan

pemerintah (pusat) tidak cukup hanya didefinisikan sebagai urusan

yang berskala dan memiliki eksternalitas nasional atau

249

internasional sebagaimana model pembagian urusan menurut PP

No. 38/2007.1 Urusan pusat juga harus mencakup urusan berskala

lokal yang menjadi concern atau kepentingan nasional, misalnya

urusan yang berhubungan dengan kebakaran hutan yang sudah

mengganggu kesehatan dan sistem transportasi, urusan ketahanan

pangan, urusan pengentasan kemiskinan, serta urusan-urusan yang

diamanatkan dalam konstitusi UUD 1945. Dalam penanganan

urusan-urusan seperti ini, tumpang tindih program dan anggaran

menjadi keniscayaan, karena urusan itu adalah urusan dan

kepentingan bersama. Dikotomi pusat-daerah juga terjadi dalam

pelaksanaan Tugas Pembantuan. Seolah-olah yang melakukan

pembantuan adalah daerah kepada pusat, atau kabupaten/kota

kepada provinsi. Padahal dalam dengan mengalokasikan anggaran

pusat untuk daerah atau APBD provinsi kepada kabupaten/kota

melalui skema dana Tugas Pembantuan, itu adalah wujud

pembantuan pusat kepada darah dan provinsi kepada

kabupaten/kota. Bahkan pembentukan unit pusat di daerah dan

penempatan pegawai pusat di daerah harus dipandang juga sebagai

pembantuan pusat kepada daerah.

3. Dari aspek penganggaran dekonsentrasi, data lapangan

menunjukkan bahwa jumlah dana dekonsentrasi yang diterima

setiap provinsi secara agregat bisa dikatakan cukup besar karena

bersumber dari berbagai kementerian. Namun secara sektoral,

1 PP ini sudah tidak berlaku dengan telah berlakunya UU No. 23 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menempatkan pembagian urusan pemerintah pusat,

provinsi dan kabupaten/kota sebagai bagian integral dari UU tersebut.

250

alokasi tadi relatif kecil, bahkan banyak kementerian/lembaga yang

tidak mengalokasikan dana dekonsentrasi sama sekali. Dalam

konteks Kemensos, jumlah dana dekonsentrasi yang disediakan

setiap tahun juga relatif besar, namun alokasi yang diterima oleh

masing-masing provinsi relatif kecil. Uniknya, meskipun alokasi

dana dekonsentrasi sosial untuk setiap provinsi tidak besar, namun

memainkan peran penting dalam pembangunan daerah karena

alokasi dana APBD yang kecil. Dengan demikian, ada tendensi

daerah bergantung dari dana dekonsentrasi untuk membiayai

urusan yang sudah didesentralisasikan. Artinya, dana

dekonsentrasi sangat membantu pemenuhan kebutuhan daerah,

sementara idealnya dana dekonsentrasi digunakan untuk

memenuhi kebutuhan dan kepentingan pusat. Dalam situasi seperti

inilah overlap pembiayaan muncul, meskipun target penerima

manfaat dari dana dekonsentrasi dan dana APBD berbeda.

4. Dari aspek mekanisme pengelolaan dekonsentrasi, program

dekonsentrasi terjebak menjadi sebuah rutinitas dari tahun ke tahun.

Program dan anggaran dekonsentrasi juga tidak dilakukan atas

analisis kebutuhan, baik pemerintah pusat sebagai pihak yang

melimpahkan kewenangan (delegan) maupun provinsi / gubernur

selaku pihak yang menerima pelimpahan kewenangan (delegataris).

Disisi lain, peran Gubernur selaku wakil pemerintah pada

prakteknya dijalankan secara ex officio oleh Kepala Dinas yang

bersangkutan. Karena tugas dan fungsi wakil pemerintah belum

dilengkapi dengan instrumen untuk monitoring dan evaluasinya,

sementara gaya kepemimpinan setiap Kepala Dinas sangat

251

berbeda-beda, maka Gubernur menjadi dilematis saat harus

mempertanggung jawabkan program dan anggaran dekonsentrasi

di semua sektor.

5. Dari aspek perangkat kelembagaan dekonsentrasi, masih banyak

unit kerja kementerian/lembaga yang berkedudukan di daerah,

namun tidak dapat dikatakan sebagai instansi vertikal yang

menjalankan urusan/program dekonsentrasi dan dibiayai melalui

dana dekonsentrasi. Dengan demikian, ada kerancuan konsep

kelembagaan pelaksana urusan dekonsentrasi.

Dari aspek kelembagaan juga nampak bahwa ”perangkat wakil

pemerintah” yang terdiri dari Sekretaris Gubernur dengan dibantu

kelompok-kelompok kerja (Pokja), ternyata tidak berjalan secara

efektif. Hal ini disebabkan karena kewenangan yang tidak

ditetapkan secara limitatif, pola koordinasi dengan SKPD yang

tidak jelas, serta tidak dilengkapinya Pokja dengan instrumen

administrasi seperti pendanaan, personil, dan perlengkapan.

Akibatnya, business process program dekonsentrasi (perencanaan,

pelaksanaan, hingga pertanggungjawabannya) menjadi tidak jelas

hingga saat ini, sementara SKPD masih dapat melakukan lobby

secara langsung ke Kementerian tanpa koordinasi yang memadai

dengan Pokja. Selain itu, kedudukan Sekretaris Gubernur yang

dirangkap oleh Sekretaris Daerah juga kurang efektif karena Sekda

lebih fokus pada tugas-tugas otonomi daerah (desentralisasi).

Lemahnya peran Sekretaris Gubernur dan belum terbentuknya

kelompok kerja ini secara langsung telah mengakibatkan lemahnya

peran gubernur selaku wakil pemerintah. Permasalahan perangkat

252

dekonsentrasi semakin rumit dengan keberadaan unit-unit kerja

Kementerian/lembaga berkedudukan di daerah. Disatu sisi mereka

berada di daerah dan berhak diklasifikasikan sebagai instansi

vertikal yang mengemban fungsi dekonsentrasi, namun disisi lain

mereka tidak menerapkan manajamen perencanaan dan

penganggaran menurut asas dekonsentrasi.

6. Dari aspek regulasi dekonsentrasi, fungsi pemerintah pusat dalam

menyediakan seperangkat norma, standar, prosedur dan kebijakan

(NSPK) sudah baik, namun masih ada kecederungan pusat ingin

melakukan sendiri fungsi-fungsi yang sudah dilimpahkan dengan

alasan daerah belum cukup mampu untuk melaksanakan seluruh

urusan dekonsentrasi.

7. Pengelolaan dekonsentrasi yang tidak efektif sebagaimana disebut

diatas telah mengakibatkan terjadinya dekonstruksi dekonsentrasi,

dimana pemahaman dan penerapan dekonsentrasi di tanah air

sudah sangat melenceng dari standar teoretik dan praktik

internasional. Di Indonesia, pemerintahan wilayah (field

administration) sebagai konsekuensi dekonsentrasi tidak terbentuk

karena hilangnya instansi vertikal sejak 1999. Sebagai gantinya,

pemangku fungsi dekonsentrasi di daerah (provinsi) hanya

diemban oleh seorang pejabat yakni wakil pemerintah, yang

dirangkap oleh Gubernur. Pergeseran makna dan penafsiran

tentang dekonsentrasi inilah yang menjadikan praktek

dekonsentrasi di Indonesia tidak memiliki rujukan konseptual atau

landasan teoretik yang kuat, dan pada gilirannya menyebabkan

banyak disorientasi (kebingungan arau kekurangjelasan) dalam

253

praktek penyelenggaraan dekonsentrasi. Disorientasi itu misalnya

nampak dari tidak jelasnya batas-batas antara dekonsentrasi

dengan delegasi (salah satu bentuk dari desentralisasi

administratif), antara dekonsentrasi dengan tugas pembantuan,

juga perintah pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK yang

menyiratkan adanya pencampuradukan program yang seharusnya

dibiayai dari dana dekonsentrasi dan program yang semestinya

dibiayai dari DAK. Ketidakjelasan konseptual juga terjadi dalam

hal tidak tegasnya pembedaan antara gubernur selaku wakil

pemerintah dan gubernur selaku koordinator dan

penanggungjawab fungsi dekonsentrasi di daerah.

8. Proses dekonstruksi dekonsentrasi terjadi karena tidak adanya

identifikasi atau kejelasan tentang kepentingan pusat di daerah.

Akibatnya, terjadilah duplikasi urusan, kepentingan, hingga

program pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

B. Rekomendasi dan Policy Agenda

Dengan menyimak berbagai permasalahan yang ada, hasil

analisis, serta kesimpulan diatas, maka dapat diajukan beberapa

rekomendasi untuk diangkat menjadi policy agendas. Agenda

kebijakan yang diusulkan ini selanjutnya diharapkan dapat memberi

kontribusi konseptual dalam penyempurnaan UU Pemerintahan

Daerah yang akan datang. Adapun pokok-pokok yang dapat

direkomendasikan oleh disertasi ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengurangi – jika tidak menghilangkan – disorientasi

tentang dekonsentrasi, maka langkah pertama yang harus

254

dilakukan adalah melakukan redefinisi terhadap konsep

dekonsentrasi. Untuk ini, peneliti merekomendasikan untuk

mengembalikan konsep dekonsentrasi sesuai definisi internasional,

namun hanya berlaku untuk urusan absolut pusat. Makna

rekomendasi ini adalah bahwa setiap unit pusat di daerah seperti

Kantor Regional, Kantor Perwakilan, atau UPT harus mendapatkan

pelimpahan dari instansi induknya. Model penganggarannya juga

harus dimasukkan dalam skema dana dekonsentrasi, tidak melekat

pada DIPA K/L. Kelebihan dari model ini adalah bahwa urusan

yang dijalankan oleh perangkat dekonsentrasi benar-benar

berhubungan dengan kepentingan pemerintah pusat, urusan

strategis nasional di daerah, serta urusan equalisasi atau urusan

untuk mengurangi kesenjangan antar wilayah. Selanjutnya, jika

Kantor Regional, Kantor Perwakilan, atau UPT tadi memiliki

wilayah kerja lebih dari satu provinsi, maka mereka harus

berkoordinasi dan melaporkan tugasnya kepada seluruh gubernur

(selaku wakil pemerintah) sesuai wilayah kerjanya. Sebaliknya,

seluruh gubernur yang terkait dengan instansi tersebut berhak

untuk meminta informasi maupun laporan agar terdapat sinergi

antara program daerah dengan program instansi vertikal tersebut.

2. Untuk urusan konkuren masih dimungkinkan untuk menjalankan

asas dekonsentrasi sepanjang program yang dijalankan benar-benar

ditujukan untuk menjamin terlaksananya kepentingan pusat di

daerah. Oleh karena itu, selain perlu pendefinisian ulang terhadap

makna dekonsentrasi, peneliti juga merekomendasikan perlunya

mendefinisikan kembali makna kepentingan pusat yang harus

255

dijalankan asas dekonsentrasi. Dalam hal ini, penulis mengajukan

5 (lima) cakupan kepentingan pusat sebagai berikut:

a. Program yang dimaksudkan untuk mendorong perubahan/

pembaharuan dalam business prosess urusan pemerintahan

tertentu,

b. Program yang dimaksudkan untuk mengembangkan atau

menyebarluaskan inovasi atau best practices dalam pelayanan

publik sektor tertentu,

c. Program yang dimaksudkan untuk menekan defisiensi

kompetensi aparatur dalam tugas tertentu,

d. Program yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan

pendapatan/kapasitas antar kelompok dalam masyarakat

melalui program intervensi tertentu,

e. Program yang dimaksudkan untuk meningkatkan tingkat

kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah dalam

kasus tertentu.

Hanya program-program yang memenuhi salah satu atau lebih

kriteria itulah yang dapat dibiayai dari sumber pendanaan

dekonsentrasi (selain urusan absolut).

3. Filosofi dekonsentrasi sebagai pengikat negara kesatuan dalam

iklim desentralisasi luas perlu diperkuat dengan memperkenalkan

konsep subsidiaritas (subsidiarity). Dengan prinsip subsidiaritas ini,

maka program dan anggaran dekonsentrasi dialokasikan untuk

mencapai tujuan-tujuan tertentu, misalnya untuk memacu

kreativitas dan inovasi daerah, atau sebagai insentif bagi daerah

(provinsi) yang mampu memenuhi kebijakan atau standar

256

pemerintah pusat di bidang tertentu, atau untuk mengurangi tingkat

kesenjangan antar daerah, atau untuk menutup celah fiskal (defisit

anggaran) yang dihadapi pemerintah daerah, dan seterusnya.

Penerapan model subsidiaritas juga bisa dilakukan misalnya bagi

daerah yang mampu menekan tingkat pencemaran lingkungan

hingga level tertentu, daerah-daerah bertetangga yang mampu

menyusun satu kerangka perencanaan yang terpadu dan tidak

terpenggal-penggal atas dasar batas administratif, daerah yang

mampu mengurangi tigkat kemiskinan dan pengangguran secara

signifikan, dan seterusnya.

Untuk menjamin keberhasilan model subsidiaritas seperti ini, maka

kementerian/lembaga diharapkan dapat merancang target-target

kinerja/capaian yang terukur di lingkup tugas dan wewenang

masing-masing. Selanjutnya, target-target tadi ditawarkan kepada

provinsi atau kabupaten/kota yang berminat untuk terlibat dalam

skema kerja pencapaian target kementerian/lembaga tertentu.

Dalam hal ini, hanya daerah-daerah yang berpartisipasi dan yang

mampu memenuhi target dalam skema kerja saja yang akan

mendapatkan insentif dari model subsidiaritas sebagai pengganti

model alokasi dana dekonsentrasi.

4. Untuk urusan sektoral (selain urusan absolut) yang didelegasikan,

pemerintah dapat secara langsung melimpahkan tanpa harus

membentuk atau memiliki instansi di daerah. Pemerintah (dalam

hal ini K/L) membuat perencanaan kebutuhan program yang akan

didelegasikan, menyediakan anggarannya, namun yang

melaksanakan adalah SKPD. Selanjutnya SKPD selaku pihak yang

257

menerima delegasi (delegataris) harus mempertanggungjawabkan

tugas delegasi kepada pihak yang memberikan delegasi (delegan)

melalui gubernur (selaku wakil pemerintah). Dengan prinsip

seperti ini, maka keberadaan asas medebewind atau Tugas

Pembantuan menjadi tidak relevan lagi untuk provinsi, dan hanya

boleh dilakukan antara pemerintah pusat dengan kabupaten/kota,

atau provinsi dengan kabupaten/kota.

5. Sebagai konsekuensi negara kesatuan yang terdesentralisasi

(decentralized unitary state), maka fungsi dekonsentrasi,

desentralisasi, dan tugas pembantuan, direkomendasikan tetap

dijalankan secara berimbang, namun dengan memperjelas area dan

urusan yang dilaksanakan. Dalam kaitan ini, maka peneliti

memetakan hubungan kewenangan antar tingkatan pemerintahan

dengan menggunakan diagram Venn. Dari irisan (intersection)

antar urusan antar tingkatan pemerintahan tersebut akan nampak

batas-batas urusan absolut pemerintah pusat, urusan otonom

provinsi dan kabupaten/kota, urusan dekonsentrasi, urusan tugas

pembantuan, serta urusan pemerintahan umum, sebagaimana

termodelkan dalam gambar dibawah ini.

258

6. Mengingat karakteristik dasar negara kesatuan (unitary states),

maka kebijakan desentralisasi maupun dekonsentrasi harus bersifat

integralistik. Artinya, keberhasilan kedua asas pemerintahan

tersebut menjadi tanggungjawab bersama seluruh tingkatan

pemerintahan dari yang tertinggi hingga yang terendah. Dengan

kata lain, fungsi dekonsentrasi juga harus diterapkan hingga ke

tingkat kabupaten/kota, tanpa harus dengan membentuk perangkat

dekonsentrasi yang baru, dan dengan kadar yang berbeda sesuai

situasi dan kebutuhan daerah. Atas dasar paham integralistik ini,

maka seorang bupati/walikota harus memahami mana wilayah

urusan pusat dan mana urusan yang berada dibawah otoritas

otonominya. Sepanjang menyangkut urusan dan kepentingan pusat

atau keselamatan nasional, maka secara otomatis bupati/walikota

harus tunduk dan berkewajiban mengamankan kebijakan nasional,

tanpa harus memiliki kedudukan selaku wakil pemerintah di

tingkat kabupaten/kota. Dengan model seperti ini, maka beban

259

tugas Gubernur selaku wakil pemerintah dapat dikurangi, sekaligus

mengefektifkan rentang kendali pemerintah terhadap daerah

otonom. Pada saat yang sama, pemerintah tidak perlu memikirkan

pembentukan perangkat khusus dekonsentrasi di tingkat

kabupaten/kota, karena fungsi tersebut sudah melekat secara

implisit pada jabatan Kepala Daerah.

7. Dilihat dari dimensi perangkat penyelenggaranya, maka

direkomendasikan model kelembagaan dekonsentrasi yang

memenuhi dua kepentingan sekaligus, yakni efisiensi dan

efektivitas. Semangat dasar dari model efisiensi adalah

pemerintahan yang sedikit mengatur (least government) sehingga

dapat dicegah adanya tumpang tindih program sekaligus dapat

diciptakan penghematan dalam penggunaan sumber daya

(resources). Dengan pola pikir ini, maka perangkat dekonsentrasi

tetap dipertahankan ramping seperti yang dianut dalam UU No.

22/1999 dan UU No. 32/2004, yakni hanya gubernur selaku wakil

pemerintah. Model ini secara teoretis sangat cocok dengan konsep

gubernur yang difungsikan sebagai penghubung (intermediate

administrative entity) antara pusat dan daerah (kabupaten/kota

untuk konteks Indonesia). Dalam kedudukan sebagai perantara dan

perekat tersebut, kedudukan gubernur lebih dominan selaku

koordinator, bukan operator urusan atau kewenangan

pemerintahan bidang/sektor tertentu. Dalam model ini, urusan

pemerintahan yang bersifat sektoral lebih tepat didesentralisasikan

sebagian kepada perangkat perangkat pemerintah daerah, dan

260

sebagian lainnya tetap dilaksanakan sendiri oleh kementerian /

lembaga di tingkat pusat.

Sedangkan semangat dasar dari model efektivitas selain menjaga

kesatuan dan kesamaan model pemerintahan daerah, juga untuk

menjamin bahwa kepentingan pusat dapat berjalan sepenuhnya di

tingkat daerah. Dengan pola pikir ini, maka diperlukan perangkat

dekonsentrasi yang memadai sesuai dengan besaran urusan yang

dilimpahkan kepada daerah. Dengan demikian, besaran perangkat

dekonsentrasi di setiap daerah bisa berbeda-beda tergantung pada

kemampuan aparatur, potensi daerah, prospek pengembangan, dan

variabel terkait lain yang menentukan luas urusan dekonsentrasi.

Selain itu, hal yang perlu dipikirkan juga adalah besaran perangkat

dekonsentrasi harus lebih kecil dibanding besaran perangkat

desentralisasi. Ini merupakan implikasi logis dari kebijakan

pemberian otonomi luas kepada daerah yang dipraktekkan saat ini.

Dalam model ini, fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi berjalan

simultan namun keduanya tidak bekerja pada wilayah, bidang, atau

obyek yang sama. Fungsi dekonsentrasi lebih merupakan residu

(sisa) dari kewenangan pemerintahan yang belum atau tidak

didesentralisasikan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian

dapat dipetakan wilayah tanggungjawab yang dijalankan perangkat

daerah dan instansi vertikal, sehingga dapat dihindari tumpang

tindih yang selama ini terjadi.

8. Agar fungsi dekonsentrasi dan desentralisasi dapat berjalan

seimbang tanpa khawatir akan muncul tumpang tindih yang

mengakibatkan inefisiensi program dan anggaran, maka

261

perencanaan program dekonsentrasi tidak cukup dibahas melalui

mekanisme trilateral meeting antara Bappenas, Kementerian

Keuangan dan Kementerian teknis. Sebab, setiap kementerian

memiliki keterkaitan dengan kementerian/lembaga lain. Kemensos

misalnya, memiliki keterkaitan dengan Kementerian Kesehatan,

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,

Badan Nasional penanggulangan bencana, dan seterusnya. Oleh

karena itu, Trilateral Meeting perlu diperluas menjadi Multilateral

Meeting untuk menjamin setiap program dapat saling

dikomunikasikan antar kementerian terkait.

9. Jika tidak dilakukan upaya rekonstruksi secara komprehensif

terhadap dekonsentrasi, maka akan jauh lebih baik jika program

dan anggaran dekonsentrasi yang selama ini dikelola langsung oleh

kementerian diintegrasikan dengan program dan anggaran daerah

otonom. Pemerintah cukup kembali ke fungsi pembinaan,

penetapan standarisasi, dan supervisi serta pengembangan

kapasitas pemerintah daerah. Sementara bagi daerah, dengan

alokasi dana yang lebih besar akan dapat lebih fokus untuk

mencapai target-target sesuai kebutuhannya. Namun agar tidak

terjebak pada bentuk ”inefisiensi dan inefektivitas baru”, maka

daerah harus benar-benar memiliki orientasi pembangunan yang

komprehensif sehingga tidak menimbulkan problem kesenjangan

antar sektor. Selain itu, kemampuan teknis dan manajerial pejabat

daerah juga harus diperkuat agar tidak menimbulkan malpraktek

administrasi.

262

DAFTAR PUSTAKA

Ansell, Christopher, and Jane Gingrich, 2003, “Chapter 7: Trends in

Decentralization”, dalam Bruce E Cain; Russell J Dalton; Susan E

Scarrow, Democracy transformed? Expanding Political

Opportunities in Advanced Industrial Democracies, NY: Oxford University Press.

Arikan GG., 2004, “Fiscal decentralization: A remedy for corruption?”,

dalam International Tax and Public Finance 11(2): 175-195.

Basuki, Tobias, 2006, Decentralization in Indonesia and China: An Answer

to Legitimacy Crisis?. Paper presented at the annual meeting of the

The Midwest Political Science Association, Palmer House Hilton,

Chicago, Illinois, April.

Beh, LooSee. 2007, Public Administration in China and Malaysia: Evidence

of Reforms, Working Paper ICS No. 2. University of Malaya:

Institute of China Studies. Kuala Lumpur.

Bird, Richard M. dan Michael Smart, 2001, Intergovernmental Fiscal

Transfers: Some Lessons from International Experience, Paper

prepared for Symposium on Intergovernmental Transfers in Asian Countries: Issues and Practices, Asian Tax and Public Policy

Program, Hitosubashi University, Tokyo, Japan, February.

Bizet, Bernard, 2002, “Deconcentration versus Decentralisation of

Administration in France: A Centre-Periphery Dilemma”, dalam Canadian Journal of Regional Science / Revue canadienne des

sciences régionales, XXV: 3 (Autumn/automne 2002).

Boeckenfoerde, Markus, Philipp Dann, and Verena Wiesner, 2007, Max-

Planck Manual on Different Forms of Decentralization, Heidelberg:

Max-Planck Institute for Comparative Public Law and International

Law.

Braathen, Einar, 2008, Decentralisation and Poverty Reduction, A Review of

the Linkages in Tanzania and the International Literature, Norad

Report 22b/2008 Discussion, Norwegian Agency for Development

Cooperation. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.norad.no/items/14184/38/2084279701/Decentralisation%20and%20Poverty%20Reduction.pdf

Brinkerhoff, Derick W. (dengan Omar Azfar), 2006, Decentralization and

Community Empowerment: Does community empowerment deepen

democracy and improve service delivery?, U.S. Agency for

International Development Office of Democracy and Governance.

263

Burki, Shahid Javed, Guillermo E. Perry dan William R. Dillinger (1999),

Beyond the Center: Decentralizing the State, World Bank Latin America and Caribbean Studies, Washington DC.

Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, (ed.) 1983, Decentralization

and Development: Policy Implementation in Developing Countries,

Beverly Hills, California: Sage.

Cheema, G. Shabbir dan Dennis A. Rondinelli, 2007, Decentralizing

Governance: Emerging Concepts and Practices, Brookings

Institution Press.

Cohen, John M., and Stephen B. Peterson, 1997, Administrative

Decentralization: A New Framework for Improved Governance,

Accountability and Performance, Discussion Paper, The Harvard Institute of International Development,

www.cid.harvard.edu/hiid/582.pdf

Crook R, Sverrisson A. 2001. Decentralization and Poverty Alleviation in

Developing Countries: A Comparative Analysis, or Is West Bengal

Unique? Institute of Development Studies: Brighton.

Dillinger, William, 1994, Decentralization and Its Implications for Urban

Service Delivery. Urban Management Program Discussion Paper 16 (Washington, DC: World Bank), dalam Richard C. Crook and James

Manor, 1998, Democracy and Decentralization in South-East Asia

and West Africa: Participation, Accountability, and Performance. Cambridge: Cambridge University Press.

Dwiyanto, Agus, 2015, Administrasi Publik: Desentralisasi, Kelembagaan,

dan Aparatur Sipil Negara, Gadjah Mada UP dan LAN.

Falleti, Tulia G., 2004, A Sequential Theory of Decentralization and Its

Effects on the Intergovernmental Balance of Power: Latin American

Cases In Comparative Perspective, Working Paper #314, July.

Diakses tanggal 12 April 2009, tersedia online http://www.ciaonet.org/wps/fat01/fat01.pdf

FAO, 2006, Understand, Analyze and Manage a Decentralization Process, Institutions For Rural Development, Rome.

Ferdiana, Astri dan Laksono Trisnantoro, tanpa tahun, Bab 1 : Desentralisasi

dan Tinjauan Sejarah Desentralisasi Kesehatan di Indonesia. Online di http://www.desentralisasi-

kesehatan.net/id/moduldhs/bacaan_umum.htm

Fisman R, Gatti R. 2002. “Decentralization and corruption: evidence across countries”. Journal of Public Economics 83(3): 325-345.

264

Fjeldstad O-H. 2004. Decentralisation and Corruption: A Review of the

Literature. Chr. Michelson Institute: Bergen.

Fleurke, Frederik and Rudie Hulst, 2006, “A Contingency Approach to

Decentralization”, dalam Public Organization Review, Vol. 6.

Springer Science + Business Media.

Gera, Weena JS., 2008, “Central Bureaucratic Supervision and Capacity Development in Decentralization: Rethinking the Relevance of the

Department of Interior and Local Government of the Philippines”,

dalam Forum of International Development Studies No.37, September, Nagoya University: Graduate School of International

Development. Diakses tanggal 12 April 2009, tersedia online di http://www.gsid.nagoya-u.ac.jp/bpub/research/public/forum/37/index-en.html

Goldsmith, Mike and Ken Newton, 1983, “Central-local government

relations: The irresistible rise of centralized power”, dalam West

European Politics, Vol. 6 No. 4.

Hadiz, Vedi R., 2003, Decentralisation and Democracy in Indonesia: A

Critique of Neo-Institutionalist Perspectives, Working Papers Series No. 47, May. City University of Hongkong: Southeast Asia Research

Center.

IRDA, 2003, July, Indonesian Rapid Decentralization Appraisal (IRDA):

Third Report, Jakarta: Asia Foundation. http://www.asiafoundation.org/pdf/IRDA3-english.pdf

Jacobs, A. J., 2003, “Devolving Authority and Expanding Autonomy in

Japanese Prefectures and Municipalities”, dalam Governance, An

International Journal of Policy, Administration, and Institutions, Vol. 16, No. 4, October. Blackwell Publishing

Jeffery, Charlie, and Daniel Wincott, 2006, “Devolution in the United

Kingdom: Statehood and Citizenship in Transition”, dalam Publius:

The Journal of Federalism, Vol. 36 No. 1. Oxford University Press.

Kementerian Keuangan, 2009, Grand Design Desentralisasi Fiskal

Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.

Kolehmainen-Aitken, Riitta-Liissa, 1999, “Decentralization of the Health Sector”, in World Bank Institute (ed.), Decentralization Briefing

Notes, WBI Working Papers. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf

McBeath, Gerald A. and Andrea R. C. Helms, 1983, “Alternate Routes to

Autonomy in Federal and Quasi-Federal Systems”, in Publius, Vol. 13, No. 4 (autumn). Oxford University Press.

265

McLean, Keith and Elizabeth King, 1999, “Decentralization of the Education

Sector”, in World Bank Institute (ed.), Decentralization Briefing

Notes, WBI Working Papers. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.worldbank.org/wbi/publications/wbi37142.pdf

Michihiro, Kayama, (ed.), 2007, Local Government in Japan, Tokyo: Council

of Local Authorities for International Relations (CLAIR).

Moore, Mick and James Putzel, 1999, Politics and Poverty: A Background

Paper for The World Development Report 2000/1. Paper tidak

diterbitkan. Diakses tanggal 12 April 2009, http://www.worldbank.org/poverty/wdrpoverty/dfid/synthes.pdf

Nur, Abdul Majid Dano Muhammad, Laksono Trisnantoro, dan Dewi

Marhaeni Diah Herawati, 2009, Evaluasi Kebijakan Dana

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun 2005 - 2007. Working

Paper Series No. 1. Januari. UGM: Magister Kebijakan dan

Manajemen Pelayanan Kesehatan.

OECD, 1997, Managing across Levels of Government, OECD’s Public

Management Committee.

Picard, Louis A., 2008, book review. “Publius, The Journal of Federalism”,

Volume 38, Number 4, Oxford University Press.

Prasojo, Eko, 2008, Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan

Sentrifugalisme, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: FISIP-UI.

___________, tanpa tahun, Konsep dan Pengaturan Desentralisasi

Fungsional dan Kawasan Khusus dalam Undang-Undang

Pemerintahan Daerah, diakses tanggal 13 April 2009, http://desentralisasi.org/makalah/Kawasan-Khusus/EkoPrasojo_KonsepdanPengaturanDesentralisasiFungsionaldanKawasanKhususdalamUndang-UndangPemerintahanDaerah.pdf

Regulska, Joanna, 1997, “Decentralization or deconcentration: struggle for

political power in poland (1)”, International Journal of Public

Administration, Vol. 20: 3, 643 — 680

Ribot, Jesse C., 2004, Waiting for Democracy: The Politics of Choice in

Natural Resource Decentralization, World Resource Institute,

Washington.

Rondinelli, Dennis, 1999, “What is Decentralization?”, in World Bank, Decentralization Briefing Notes, WBI Working Papers.

266

Ryan, Jeffrey J., 2004, “Decentralization and Democratic Instability: The

Case of Costa Rica”, dalam Public Administration Review, Vol. 64, Issue 1 – January.

Sasaoka, Yuichi, 2007, Decentralization and Conflict, The 889th Wilton Park

Conference, Japan International Cooperation Agency.

Sato, Katsuhiro, 2001, Overview of Central-Local Relationships in Japan:

What was changed and what is challenged, Paper for the Workshop

Local Governance in a Global Era –In Search of Concrete Visions for

a Multi-Level Governance, 7-8 December, Hokkaido University.

Siegle, Joseph and Patrick O’Mahony, Assessing the Merits of

Decentralization as a Conflict Mitigation Strategy. Diakses tanggal

8 April 2009, http://www.dai.com/pdf/Decentralization_as_a_Conflict_Mitigation_Strategy.pdf

Smoke, Paul, 2005, “Chapter 2: The Rules of the Intergovernmental Game in

East Asia: Decentralization Frameworks and Processes”, dalam

World Bank, East Asia Decentralizes: Making Local Government

Work, Washington DC.

Syafrudin, Ateng, Pemahaman Tentang Dekonsentrasi, Refika Aditama,

Bandung, 2006, terjemahan Prof. F.A.M. Stroink, ”Het Leerstuk der

Deconcentratie” (The Doctrine of Deconcentration), Bestuurlijke Verkenningen, Nr. 27, 1978.

Tillin, Louise, 2006, “United in Diversity? Asymmetry in Indian Federalism”,

dalam Publius: The Journal of Federalism, Volume 37 Number 1. Oxford University Press.

Tosun, Mehmet Serkan dan Serdar Yilmaz, 2008, Centralization,

Decentralization, and Conflict in the Middle East and North Africa,

The World Bank Sustainable Development Network Social Development Department. Policy Research Working Paper No. 4774.

Turner, Mark, 2002, “Whatever happened to deconcentration: Recent

Initiatives in Cambodia”, Public Administration and Development

Journal. Vol 22, 353–364. Canberra, www.interscience.wiley.com

UNDP, 2000, Overcoming Human Poverty, UNDP Poverty Report. Diakses

tanggal 13 April 2009, http://www.undp.org/povertyreport/ENGLISH/ARfront.pdf

UN ESCAP, Country profile: China, http://www.unescap.org/huset/lgstudy/country/china/china.html#top

Utomo, Tri Widodo W., 2004, “Trend Desentralisasi Dalam Administrasi

Publik (Sebuah Kajian Terhadap Dampak Desentralisasi Dalam

267

Perspektif Internasional dan Pengalaman Indonesia)”, dalam Jurnal

Manajemen Pembangunan, No. 47/III/Tahun XIII, Jakarta: LAN.

Wollman, Hellmut, 2007, “Devolution of Public Tasks between (Political)

Decentralization and (Administrative) Deconcentration – in

Comparative (European) Perspective”, dalam Social Science

Institute of Tokyo University.

Wibbels, Erik, 2000, “Federalism and the Politics of Macroeconomic Policy

and Performance”, dalam American Journal of Political Science, Vol.

44, No. 4 (October). Midwest Political Science Association.

Work, Robertson, 2002, Overview of Decentralization Worldwide: A

Stepping Stone to Improved Governance and Human Development,

UNDP: 2nd International Conference on Decentralization Federalism: The Future of Decentralizing States?

World Bank, 2000, Helping Countries to Combat Corruption: Progress at

the World Bank since 1997. Washington DC.

___________, June 2001, “Decentralization and Governance: Does Decentralization Improve Public Service Delivery?” in PremNotes

No. 55. Diakses tanggal 13 April 2009, http://www1.worldbank.org/prem/PREMNotes/premnote55.pdf

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan

Komite Nasional Daerah. Undang-undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan

Daerah.

Undang-undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1965 Nomor 83).

Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1974 No. 38).

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 60).

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 125). Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI

Tahun 2004 No. 126). Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial

(Lembaran Negara RI Tahun 2009 No. 12).

268

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

(Lembaran Negara RI Tahun 2014 No. 244). Peraturan Pemerintah No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Dan

Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi

dan Tugas Pembantuan, (Lembaran Negara Tahun 2000 No. 203).

Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 62).

Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas

Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2001 No. 77). Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas

Pembantuan (Lembaran Negara Tahun 2008 No. 20).

Peraturan Pemerintah No. 23/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil

Pemerintah di Wilayah Provinsi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 66/2012 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 23/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah No. 19/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang serta Kedudukan Keuangan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi.

Peraturan Menteri Sosial Nomor 20/2013 tentang Pelimpahan Kewenangan

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke Instansi Sosial Provinsi dan Instansi Sosial Kabupaten Kota Tahun Anggaran 2014.

Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 1 Tahun 2011 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi

Kalimantan Tengah 2010-2015. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 11 Tahun 2012 tentang

Pelaksanaan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.

Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.44/719/2013 tentang Forum CSR Provinsi Kalimantan Tengah.

269

Surat Kabar

Kompas, 1 Desember 2009, Rakernas APPSI: Ketidakjelasan Peran

Gubernur Jadi Isu Sentral, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/01/03422189/Ketidakjelasan.Peran.Gubernur.Jadi.Isu.Sentral

____________, 22 Oktober 2008, Peran Gubernur Perlu Diperjelas, http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/22/20571279/peran.gubernur.perlu.diperjelas

____________, 24 Desember 2007, Dekonsentrasi Disalahgunakan Pemda

dan Departemen Teknis Sama-sama Bermain, http://64.203.71.11/kompas-cetak/0712/24/utama/4098087.htm

____________, 18 Desember 2007, 8 Temuan Mengejutkan: Mahkamah

Agung Belum Bersedia Memberikan Keterangan, http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0712/18/utama/4088987.htm

Pikiran Rakyat, 10 Januari 2007, DPRD Jabar Sesalkan Dana Dekon:

Disalurkan tanpa Mekanisme Pertanggungjawaban yang Jelas, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/012007/10/0210.htm

Tempo Interaktif, 5 September 2006, Daerah Minta Kewenangan Kelola

Dana Dekonsentrasi, http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2006/09/05/brk,20060905-83395,id.html

____________, 24 Agustus 2006, Daerah Tidak Boleh Kelola Dana

Dekonsentrasi, http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2006/08/24/brk,20060824-82538,id.html

Sumut Pos, 1 Februari 2007, Dana Dekonsentrasi Bakal Diaudit, http://nasrilbahar.wordpress.com/2007/02/02/dana-dekonsentrasi-bakal-diaudit/

Sumber Lain:

Detik, 6 Desember 2007, Muladi: Pilkada Gubernur Tidak Relevan dengan

Otonomi Daerah, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/12/tgl/06/time/210014/idnews/863340/idkanal/10

Direktur Perlindungan dan Kesejahteraan Bappenas, Program Prioritas

Pembangunan Nasional Tahun 2015 dan RPJMN 2015 – 2019, Mei 2014

Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Pedoman Pelaksanaan

Dekonsentrasi tahun 2014 Direktorat Jenderal Perlindungan dan

Jaminan Sosial. Kementerian Keuangan, 2014, Rekomendasi Menteri Keuangan:

Keseimbangan Pendanaan di Daerah Dalam Rangka

Perencanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan Tahun

Anggaran 2015.

270

Portal Badan Pemeriksa Keuangan, 29 Januari 2007, BPK Khawatir Terjadi

Asset Laundering, http://www.bpk.go.id/berita_content.php?lang=id&nid=638

Portal Departemen Komunikasi dan Informatika, 5 April 2006, Menkeu:

Alokasi DAU Masih Belum Optimal, http://www.depkominfo.go.id/2006/04/05/menkeu-alokasi-dau-masih-belum-optimal/

Petunjuk Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan

Kementerian Sosial Tahun 2014.

Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial, Isu-Isu Strategis Penyelenggaraan

Kesejahteraan Sosial Tahun 2015, bahan paparan pada Rapat

Koordinasi Perencanaan Program dan Anggaran Kementerian

Sosial Tahun 2015. Rencana Strategis Kementerian Sosial 2010-2015.

Daftar Isi Lampiran

1. Matriks Instrumentasi Penelitian: Daftar Responden dan Jenis

Informasi yang Dibutuhkan

2. Pedoman Wawancara:

a. Untuk Pejabat Kementerian

b. Untuk Pakar/Akademisi dan Perumus Kebijakan

c. Untuk Gubernur, Kepala Dinas dan Pejabat Daerah Terkait

3. Kesimpulan dan Rumusan Hasil FGD

Lampiran 1.

Matriks Instrumentasi Penelitian: Daftar Responden dan Jenis Informasi yang Dibutuhkan

No. Karakteristik

Responden

Nama / Jabatan

Responden Tujuan

Teknik (Metode)

& Instrumen

Jenis / Rincian Informasi yg

Dibutuhkan (Daftar Pertanyaan)

1.

Pakar / Ahli

� Prof. Dr. Bhenyamin

Hoessein (UI, Jakarta)

� Prof. Dr. Eko Prasojo (UI, Jakarta)

� Prof. Dr. Miftah Thoha,

MPA (UGM, Yogyakarta)

� Dr. I Made Suwandi

(Kemendagri).

(dan seterusnya, bergulir sesuai kebutuhan)

Menggali persepsi,

pengalaman, dan

pemikiran konseptual para

pakar / responden

kunci yang berkompeten di

bidang yang relevan

dengan fokus / tema

disertasi. Hasil dari wawancara ini akan

dituangkan secara

proporsional dalam bab-bab yang reevan.

Teknik: wawancara

mendalam (indepth & semi-

structured

interview)

Instrumen: Pedoman

wawancara

� Apakah dekonsentrasi masih

dibutuhkan dan perlu

dipertahankan? � Apakah dekonsentrasi harus

selalu seimbang dengan

desentralisasi? � Apa manfaat terpenting dari

dekonsentrasi?

� Apa kelemahan mendasar

pelaksanaan dekonsentrasi selama ini?

� Apa faktor determinan yang

menentukan keberhasilan / kegagalan dekonsentrasi?

� Perubahan apa yang perlu

dilakukan untuk memperkuat

dekonsentrasi? � Bagaimana model kelembagaan,

tatalaksana & pengelolaan

keuangan dekonsentrasi yang

ideal? � Bagaimana mengintegrasikan

program dekonsentrasi dengan

program / prioritas pembangunan

daerah? � Bagaimana mekanisme

perencanaan dan model

pertanggungjawaban yang baik dalam penyelenggaraan fungsi

dekonsentrasi?

� Bagaimana mewujudkan

keseimbangan peran gubernur selaku wakil pemerintah dan

selaku kepala daerah?

� Apa peran & tugas bupati/walikota dalam kerangka

dekonsentrasi?

2.

Perumus /

Pengambil

Kebijakan

� Kementerian Sosial

� Kementerian Keuangan

� Kementerian Dalam Negeri

Menggali informasi

tentang dasar

filosofis pengaturan dekonsentrasi

(Depdagri) atau

pelimpahan

Teknik: wawancara

mendalam (indepth & semi-

structured

interview)

� Apa sebenarnya alasan

fundamental adanya

dekonsentrasi, dan sejauhmana derajat dekonsentrasi dapat

diterapkan?

� Adakah tarik-menarik antara

wewenang kepada

gubernur (Dep. Teknis), serta untuk

mengeta- hui

berbagai kebijakan

yang pernah, sedang atau akan

dilaksanakan terkait

penyelenggaraan dekonsentrasi.

Instrumen: Pedoman

wawancara

fungsi dekonsentrasi dengan

kepentingan desentralisasi, atau adakah penolakan dari perangkat

desentralisasi thd kebijakan &

implementasi dekonsentrasi?

� Bagaimanakah pandangan Anda tentang praktek dekonsentrasi

selama ini?

� Apa kebijakan / strategi Departemen untuk menjamin

keberhasilan dekonsentrasi?

� Apa kesulitan/kendala K/L dalam

menjamin terlaksananya program Pusat di daerah? Contoh?

� Apakah program-program

unggulan dan prioritas dari K/L? � Pola apa yang lebih disukai oleh

K/L untuk menjalankan program2

tersebut: dilaksanakan sendiri, dilimpahkan kepada wakil

pemerintah, dilimpahkan kepada

instansi vertikal, atau

didesentralisasikan? � Apa pertimbangan K/L untuk

menentukan pola

penyelenggaraan program

tersebut?

� Apakah telah ada dasar hukum tentang pelimpahan wewenang

K/L kepada gubernur? Jika sudah,

apa kriteria yang digunakan untuk

pelimpahan tersebut? � Apakah diadakan evaluasi rutin

terhadap pelaksanaan program &

penggunaan dana dekonsentrasi? Jika ya, bagaimana hasilnya

secara time-series?

� Apakah pernah teridentifikasi

overlap antara program dekonsentrasi dengan program

daerah? Jika ya, apa langkah yang

ditempuh? � Bagaimana rencana penerapan /

pengem- bangan dekonsentrasi

dimasa mendatang?

3.

Aktor pelaksana

/ Implementator kebijakan

(Tingkat

Provinsi)

� Gubernur (Kalteng)

� Kepala Dinas Sosial � Pengelola Program

Dekonsentrasi

Menggali informasi

tentang praktek penyelenggaraan

dekonsentrasi di

tingkat provinsi,

Teknik: wawancara mendalam

(indepth & semi-

� Apakah fungsi & program

dekonsentrasi masih perlu / relevan untuk konteks daerah di

era otonomi luas?

� Apakah fungsi & program

misalnya menyangkut

kesulitan / kendala yang dihadapi,

manfaat yang

diperoleh, gagasan

perbaikan kedepan, dsb.

structured

interview)

Instrumen: Pedoman

wawancara

dekonsentrasi selama ini

membawa manfaat signifikan terhadap masyarakat &

pemerintah daerah? Jika ya,

uraikan manfaat apa saja.

� Apakah program dekonsentrasi selama ini sesuai dengan

kebutuhan daerah?

� Bagaimana proses perencanaan program & penganggaran

kegiatan dekonsentrasi?

Bagaimana pula

pertanggungjawabannya? � Apakah gubernur memiliki peran

yang jelas dan signifikan dalam

perencanaan, pelaksanaan & pengawasan program

dekonsentrasi?

� Apa fungsi gubernur selaku wakil pemerintah yang dapat dijalankan

secara efektif selama ini? Jika

ternyata tidak efektif, apa faktor

yang menyebabkannya? � Bagaimana mekanisme konsultasi

& komunikasi gubernur selaku

wakil pemerintah dengan K/L,

khususnya terkait program

dekonsentrasi? � Bagaimana menyeimbangkan

posisi gubernur selaku kepala

daerah dan selaku wakil

pemerintah? Apakah ada pengalaman conflicting interest

antara kedua posisi tersebut?

� Bagaimanakan pola / sistem pemilihan gubernur yang ideal?

� Apakah indikasi adanya overlap

program dan dana seperti disorot

berbagai pihak memang sebuah fakta? Jika ya, apa sumber yang

menyebabkan terjadinya overlap

tersebut? � Langkah-langkah perbaikan apa

saja yang sudah dilakukan untuk

membenahi implementasi dekonsentrasi?

� Menurut Anda, bagaimana

konsep kebijakan dekonsentrasi

yang lebih tepat / lebih baik untuk masa depan sejalan dengan

rencana revisi UU No. 32/2004?

4.

Aktor pelaksana / Implementator

kebijakan

(Tingkat

Kabupaten / Kota)

� Walikota (Palangkaraya)

Menggali informasi tentang praktek

penyelenggaraan

dekonsentrasi di

tingkat kabupaten/kota,

termasuk mencari

hubungan gubernur dengan

bupati/walikota

dalam kerangka

dekonsentrasi.

Teknik: wawancara

mendalam

(indepth & semi-

structured

interview)

Instrumen: Pedoman

wawancara

� Apakah daerah Anda mendapatkan tugas

menyelenggarakan sebagian

urusan dekonsentrasi? Jika ya, di

sektor apa dan program2 apa saja yang dijalankan?

� Bagaimana mekanisme turunnya

program dekonsentrasi tersebut: atas usulan daerah, atas

penugasan dari provinsi, atau

penugasan langsung dari K/L?

� Apakah program dekonsentrasi tersebut sesuai dengan kebutuhan

daerah?

� Adakah kendala dalam pelaksanaan program

dekonsentrasi selama ini? Jika

ada, langkah apa yang dilakukan? � Menurut Anda, bagaimana peran

gubernur dalam pengelolaan

program dekonsentrasi di daerah?

Apakah peran tersebut bisa dijalankan dengan optimal?

� Menurut Anda, perlukah

Bupati/Walikota diberi

kedudukan selaku wakil

pemerintah? � Menurut Anda, apakah

dekonsentrasi perlu untuk

percepatan pembangunan daerah?

Apa ada manfaat nyata dari program tsb?

� Menurut Anda, bagaimana

konsep kebijakan dekonsentrasi yang lebih tepat / lebih baik untuk

masa depan sejalan dengan

rencana revisi UU No. 32/2004?

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk Pejabat Kementerian)

Keterangan:

Pertanyaan, data-data, dana analisis data sepenuhnya untuk

kepentingan akademik dalam rangka penelitian dan penulisan disertasi

berjudul “Relevansi Dekonsentrasi Sebagai Instrumen Pemerintah

Dalam Mendukung Kebijakan Nasional di Daerah di Era

Desentralisasi”, pada Program S3 Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

1. Desain Dekonsentrasi. Menurut UU No. 32/2004, dekonsentrasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur

sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di

wilayah tertentu.

• Apakah Kementerian Sosial/Kesehatan memiliki Instansi

Vertikal?

• Jika Ya, apakah dibedakan antara program dekonsentrasi

kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan dekonsentrasi

kepada Instansi Vertikal?

• Jika Ya, apa perbedaan diantara keduanya?

2. Program Prioritas/Unggulan K/L.

• Apakah program-program unggulan dan prioritas dari K/L?

• Pola apa yang lebih paling tepat untuk menjalankan program-

program tersebut: apakah dilaksanakan sendiri, dilimpahkan

kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah, dilimpahkan

kepada Instansi Vertikal, atau didesentralisasikan kepada

daerah?

3. Urgensi Dekonsentrasi.

Apa pertimbangan utama dalam menetapkan sebuah program

sebagai program dekonsentrasi yang harus dibiayai dari dana

dekonsentrasi?

• Apakah program yang saat ini dibiayai dengan dana

dekonsentrasi tidak bisa dialihkan sebagai program yang

dilaksanakan sendiri oleh Kementerian, atau

didesentralisasikan kepada daerah?

• Jika Ya maupun Tidak, apa alasannya?

4. Dampak Program Dekonsentrasi. Apakah ada evaluasi secara rutin (tahunan) terhadap kemanfaatan

program dekonsentrasi?

• Jika Ya, apa saja manfaat dekonsentrasi tersebut, dan siapa saja

yang menerima manfaat tersebut?

• Apa kelemahan mendasar pelaksanaan dekonsentrasi selama

ini, dan faktor determinan yang menentukan keberhasilan atau

kegagalan dekonsentrasi?

• Terkait pertanyaan butir diatas, aspek-aspek apa saja yang pelu

diperbaiki dalam penyelenggaraan dekonsentrasi?

• Apa kebijakan atau strategi Kementerian Sosial / Kesehatan

untuk menjamin keberhasilan dekonsentrasi?

5. Pengalihan Dana Dekonsentrasi menjadi DAK.

Menurut PP No. 7/2008, kegiatan dekonsentrasi dan tugas

pembantuan akan dialihkan ke DAK selambat-lambatnya 2 tahun.

Apakah Kementerian Sosial/Kesehatan sudah melakukan

pengalihan tersebut?

• Jika Ya/Sudah, apakah sudah dilakukan evaluasi terhadap

efektivitas pelaksanaan program/anggaran sebagai akibat dari

pengalihan tersebut? Apakah pola baru (DAK) ini lebih baik

dibanding pola sebelumnya (Dekonsentarsi)?

• Jika Tidak/Belum, apa alasannya dan apakah sudah ada rencana

pengalihan tersebut?

6. Indikasi Overlap Program. Banyak pihak mensinyalir bahwa ada duplikasi atau tumpang

tindih antara program/anggaran K/L dengan program/anggaran

yang didekonsentrasikan; atau antara program/anggaran

dekonsentrasi dengan program/anggaran provinsi.

• Setujukah bapak dengan pernyataan tersebut?

• Apakah di Kementerian Sosial/Kesehatan juga ditemukan

fenomena seperti ini? Jika Ya, dalam program apa saja potensi

tumpang tindih itu terjadi?

• Apa faktor yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih itu

terjadi: perencanaan yang tidak sinergis, belum ada mekanisme

penyusunan program, egoisme instansi/unit kerja tertentu, atau

ada faktor lain?

Catatan: Mohon dapat diberikan data time series tentang jenis-

jenis program dekonsentrasi di lingkungan Kementerian

Sosial/Kesehatan.

7. Gagasan Penataan.

• Dengan adanya desentralisasi dan pembagian urusan pusat-

daerah, setujukah Anda jika fungsi Kementerian lebih baik

difokuskan pada penetapan NSPK (norma, standar, prosedur,

dan supervisi (pengawasan, monev)?

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk Pakar/Akademisi dan Perumus Kebijakan cq.

Kementerian Dalam Negeri)

Keterangan:

Pertanyaan, data-data, dana analisis data sepenuhnya untuk

kepentingan akademik dalam rangka penelitian dan penulisan disertasi

berjudul “Relevansi Dekonsentrasi Sebagai Instrumen Pemerintah

Dalam Mendukung Kebijakan Nasional di Daerah di Era

Desentralisasi”, pada Program S3 Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

1. Urgensi dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah dan

hubungan pusat-daerah.

• Apa sesungguhnya urgensi dari asas dekonsentrasi dalam

sistem pemerintahan kita?

• Apakah dekonsentrasi adalah satu-satunya alat pemerintah

untuk mendukung dan menjamin terselenggaranya

kepentingannya di daerah, atau untuk memenuhi urgensi tadi?

• Apakah jika program/anggaran dekonsentrasi yang

dilimpahkan kepada wakil pemerintah dihapus, maka

kepentingan pemerintah (nasional) tidak terlaksana dengan

baik di daerah? Adakah dampak yang sangat mendasar jika

dekonsentrasi kepada wakil pemerintah dihapus saja, sehingga

tersisa dekonsentrasi untuk instansi vertikal saja?

2. Manfaat dekonsentrasi salah satunya adalah untuk

menciptakan iklim / prosedur yang lebih kompetitif antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Bizet, 2002: 478-

479).

• Bagaimana dengan dekonsentrasi di Indonesia, adakah proses

kompetitif itu?

• Jika tidak, mengapa atau faktor apa yang menyebabkan tidak

munculnya iklim kompetisi?

3. Dekonsentrasi adalah pemberian tugas-tugas rutin dan

pelayanan kepada perangkat di daerah, sehingga pusat dapat

lebih berkonsentrasi pada perbaikan kualitas kebijakan

(Turner, 2002).

• Bagaimana tanggapan bapak/ibu, setujukah dengan pendapat

Turner tersebut?

• Apa saja kriteria yang sebaiknya digunakan untuk menentukan

suatu urusan/program sebagai urusan/program dekonsentrasi?

• Menurut pengamatan bapak/ibu, apakah pemerintah pusat (cq.

Kementerian/Lembaga) sudah memiliki dan menerapkan

kriteria urusan/program dekonsentrasi dengan benar?

4. Dalam UU No. 33/2004 pasal 108 disebutkan bahwa Dana

Dekonsentrasi kedepan akan dialihkan menjadi Dana Alokasi

Khusus.

• Jika kebijakan ini sudah terealisasi, apa sumber pendanaan

pengganti untuk urusan-urusan dekonsentrasi?

• Jika tidak ada penggantinya, maka dapat dipastikan urusan

dekonsentrasi tidak dapat diimplementasikan. Ini berarti pula

urusan dekonsentrasi akan terhapus dari sistem

penyelenggaraan pemerintahan, atau paling tidak semakin

memperkecil peranan dekonsentrasi. Apakah seperti ini arah

regulasi kedepan?

• Jika peran dekonsentrasi semakin lemah, bagaimana agenda

penguatan negara kesatuan bisa dijamin?

5. Menurut PP No. 7/2008, jangka waktu pengalihan kegiatan

dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan

daerah ke DAK adalah 2 tahun. Jika norma ini dipenuhi,

berarti tahun 2010 seluruh dana dekonsentrasi sudah harus

beralih ke mekanisme DAK.

• Menurut pengamatan bapak/ibu, Kementerian/Lembaga mana

saja yang sudah menerapkan kebijakan ini? Adakah evaluasi

terhadap kendala, masalah atau dampak dari kebijakan ini? Jika

sudah, apa rencana tindak lanjut kedepan?

• Perintah pengalihan dana dekonsentrasi menjadi DAK secara

teknis semestinya sulit dilakukan karena dana dekonsentrasi

tidak boleh digunakan untuk kegiatan fisik, sementara DAK

justru lebih banyak untuk mendukung proyek fisik. Bagaimana

menjembatani gap ini dan kompromi seperti apa yang

ditempuh?

6. Secara kelembagaan, dekonsentrasi itu hanya diberikan

kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau kepada

instansi vertikal.

• UPT, Kantor Regional, Pusat, atau unit kerja K/L di daerah

(selain yang menjalankan urusan absolut pemerintah) apakah

juga masuk dalam kategori sebagai “Instansi Vertikal”?

• Jika Ya:

o Bukankah program kerja mereka harus disebut sebagai

program dekonsentrasi, dan anggarannya juga anggaran

dekonsentrasi?

o Bukankah program dan anggaran unit K/L di daerah tadi

harus dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil

pemerintah?

o Sesuai dengan definisi “dekonsentrasi” sebagai

“pelimpahan wewenang”, bukankah seharusnya ada

pelimpahan wewenang dari pimpinan K/L kepada unit

kerja K/L tersebut?

• Jika Tidak, status kelembagaan unit K/L di daerah tersebut

tidak sesuai dengan definisi dekonsentrasi. Artinya, bukan

perangkat daerah, bukan perangkat pusat sepenuhnya (karena

berada di daerah), dan bukan pula Instansi Vertikal? Lantas,

model kelembagaan apa unit kerja semacam ini?

Contoh kasus: LAN memiliki unit kerja di daerah yang disebut

PKP2A, namun selama ini tidak pernah dikatakan bahwa

PKP2A adalah Instansi Vertikal. Program dan anggaran

PKP2A tidak disebut sebagai program dan anggaran

dekonsentrasi. Semua pembiayaan PKP2A dibebankan pada

DIPA LAN (anggaran pusat). Demikian pula, tidak ada

pelimpahan wewenang dari Kepala LAN kepada Kepala

PKP2A.

Dalam contoh kasus LAN tersebut, PKP2A (yang by definition

adalah instansi vertikal) justru menjalankan program dan

anggaran pusat (LAN) yang tidak berdasarkan pendelegasian

wewenang. Apakah ini dibenarkan? Bagaimana pendapat

Anda?

7. Menurut UU No. 32/2004, wakil pemerintah adalah

kedudukan dan peran yang dibebankan kepada Gubernur

secara ex-officio (karena jabatannya), dan bukan pada

institusi.

• Apakah tidak lebih baik fungsi itu melekat pada Gubernur

selaku Kepala Daerah, sehingga perangkat daerah secara

otomatis juga menjalankan fungsi ganda?

• Apakah gubernur yang memiliki peran ganda sebagai Kepala

Daerah dan sekaligus sebagai Wakil Pemerintah ini dapat

dikatakan sebagai fused-model dalam otonomi daerah?

(catatan: fused-model sebelumnya terjadi pada masa UU No.

5/1974 dimana KDH adalah juga Kepala Wilayah).

• Secara normatif maupun empiris, kedudukan Wakil

Pemerintah tidaklah sekuat Kepala Wilayah. Ketiadaan

perangkat kelembagaan Wakil Pemerintah adalah salah satu

penyebabnya. Apakah konsep Wakil Pemerintah ini masih

perlu dipertahankan?

• Bagaimana mewujudkan keseimbangan peran gubernur selaku

wakil pemerintah dan selaku kepala daerah ?

• Bagaimana peran dan tugas bupati/walikota dalam kerangka

dekonsentrasi? Apakah di tingkat kabupaten/kota memang

tidak dibutuhkan seorang wakil pemerintah?

o Dengan tidak adanya wakil pemerintah di kabupaten/kota,

apakah bupati/walikota cukup hanya sebagai representasi

rakyat?

o Dengan terpisahnya fungsi desentralisasi dan dekonsentrasi

(split-model), bagaimana menjamin kepentingan

pemerintah dapat terselenggara dengan baik di

kabupaten/kota?

Contoh kasus: Ketika terjadi kenaikan harga BBM, beberapa

bupati/walikota melakukan demonstrasi sebagai bentuk

representasi kepentingan rakyat. Padahal, pada saat yang sama

ada kepentingan nasional untuk

mensosialisasikan/mengamankan kebijakan pemerintah.

Faktanya, bupati/walikota tersebut lebih memilih

memperjuangkan kepentingan rakyat yang dalam kasus ini

berbeda dengan kepentingan pemerintah. Lantas, siapa yang

harus memperjuangkan kepentingan pemerintah? Bagaimana

caranya?

8. Banyak pihak mensinyalir bahwa ada duplikasi atau tumpang

tindih antara program/anggaran K/L dengan

program/anggaran yang didekonsentrasikan; atau antara

program/anggaran dekonsentrasi dengan program/anggaran

provinsi.

• Bagaimana pandangan bapak/ibu, apakah memperkuat indikasi

tersebut atau ada pendapat lain?

• Bagaimana mengintegrasikan program dekonsentrasi dengan

program atau prioritas pembangunan daerah?

9. Prospek / model dekonsentrasi yang ideal pada masa

mendatang.

• Menurut analisis bapak/ibu, bagaimana konstruksi

dekonsentrasi yang lebih ideal dalam konteks revisi UU No.

32/2004?

• Bagaimana model kelembagaan dan pengelolaan keuangan

dekonsentrasi yang sebaiknya?

• Bagaimana mekanisme perencanaan dan model

pertanggungjawaban yang baik dalam penyelenggaraan fungsi

dekonsentrasi?

PEDOMAN WAWANCARA

(Untuk Gubernur, Kepala Dinas dan Pejabat terkait)

Keterangan:

Pertanyaan, data-data, dana analisis data sepenuhnya untuk

kepentingan akademik dalam rangka penelitian dan penulisan disertasi

berjudul “Relevansi Dekonsentrasi Sebagai Instrumen Pemerintah

Dalam Mendukung Kebijakan Nasional di Daerah di Era

Desentralisasi”, pada Program S3 Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

1. Praktek & Permasalahan Dekonsentrasi

Di Tempo Interaktif (24-08-2006) bapak menyoroti posisi

Gubernur yang seolah-olah lepas dari program dan dana

dekonsentrasi, sehingga menjadi sangat dilematis bagi daerah,

karena jika terjadi kesalahan dalam implementasinya kepala daerah

juga ikut menanggungnya. Selanjutnya di harian Kompas (1-12-

2009), bapak menyatakan masih banyaknya kecenderungan

program pemerintah yang ditujukan bagi daerah tanpa melibatkan

Gubernur. Dampaknya, pembangunan di daerah menjadi tidak

fokus dan anggaran banyak yang tidak efisien karena tumpang

tindih.

• Apakah masalah-masalah itu masih terjadi hingga saat ini? Jika

ya, mengapa permasalahan itu bisa bertahan begitu lama?

• Apa sesungguhnya faktor kunci dari permasalahan itu, dan

bagaimana peran provinsi untuk meminimalisir masalah serta

dampaknya?

2. Program Prioritas/Unggulan Pembangunan Daerah

• Apakah program-program unggulan dan prioritas dari

Pemprov?

• Apakah APBD yang tersedia memadai untuk mewujudkan

prioritas pembangunan tersebut? Jika tidak, sumber

pembiayaan apa saja yang diharapkan oleh daerah?

• Apakah program dan dana dekonsentrasi dari pusat

(kementerian) berkontribusi terhadap prioritas pembangunan

daerah tersebut?

3. Manfaat Dekonsentrasi

• Apa saja manfaat dari program dekonsentrasi yang paling

dirasakan pemerintah daerah dan masyarakat lokal?

• Puaskah bapak dengan manfaat yang ada tersebut?

4. Indikasi Overlap Program

Banyak pihak mensinyalir bahwa ada duplikasi atau tumpang

tindih antara program/anggaran K/L dengan program/anggaran

yang didekonsentrasikan; atau antara program/anggaran

dekonsentrasi dengan program/anggaran provinsi.

• Setujukah bapak dengan pernyataan tersebut?

• Apa faktor yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih itu

terjadi: perencanaan yang tidak sinergis, belum ada mekanisme

penyusunan program, egoisme instansi/unit kerja tertentu, atau

ada faktor lain?

Catatan: Mohon dapat diberikan data time series tentang jenis-

jenis program dekonsentrasi di lingkungan Pemprov.

5. Gubernur selaku Wakil Pemerintah

• Dapatkah bapak menceritakan tentang dinamika dalam

menjalankan fungsi sebagai wakil pemerintah (tantangan,

hasil-hasil yang dicapai, permasalahan, dll)?

• Apakah bapak sudah menilai tugas selaku wakil pemerintah

dapat dijalankan secara efektif? Apa yang harus dibenahi untuk

meningkatkan efektivitas tersebut?

• Bagaimana sikap bupati/walikota terhadap aktualisasi peran

gubernur selaku wakil pemerintah?

• Bagaimana menyeimbangkan posisi gubernur selaku kepala

daerah dan selaku wakil pemerintah? Apakah ada pengalaman

conflicting interest antara kedua posisi tersebut?

6. Perangkat Wakil Pemerintah

Sebagai wakil pemerintah, Gubernur dibantu oleh Sekretaris

Gubernur, dan Sekgub dibantu oleh 7 kelompok kerja.

• Apakah sudah dibentuk Pokja tersebut?

• Bagaimanakah Pokja tersebut menjalankan tugasnya, dan apa

saja kendala yang dihadapi?

• Bagaimana pola koordiansi dengan SKPD?

• Apa hasil yang sudah dicapai dan hal apa yang perlu

penyempurnaan kedepan?

7. Prospek / model dekonsentrasi yang ideal pada masa

mendatang.

• Menurut analisis bapak/ibu, bagaimana konstruksi

dekonsentrasi yang lebih ideal dalam konteks revisi UU No.

32/2004?

• Bagaimana model kelembagaan dan pengelolaan keuangan

dekonsentrasi yang sebaiknya?

• Bagaimana mekanisme perencanaan dan model

pertanggungjawaban yang baik dalam penyelenggaraan fungsi

dekonsentrasi?

Kesimpulan dan Rumusan Hasil FGD / Expert Panel

“Membedah Permasalahan Dekonsentrasi dan Proyeksi Untuk

Rekonstruksi Kebijakan di Masa Mendatang”

Jakarta, 30 Juni 2014

1. Para pakar sepakat bahwa issu-issu yang dibahas dalam FGD

adalah issu-issu pokok dalam kebijakan desentralisasi dan

dekonsentrasi. Artinya, issu-issu itulah yang sering terjadi dalam

penyelenggaraan asas dekonsentrasi, dan perlu dipikirkan

solusinya dengan segera. Diantara berbagai masalah yang ada, para

pakar membenarkan indikasi tumpang tindih antara program yang

sudah didesentralisasikan namun secara bersamaan juga

didekonsentrasikan. Masalah menonjol yang lain adalah

implementasi kebijakan yang lemah, seperti tidak berjalannya

Permendagri No. 66/2012 tentang Pelaksanaan PP No. 23/2011.

Ketentuan UU No. 33/2004 yang mengatur pengalihan dana

dekonsentrasi menajdi DAK juga belum dilaksanakan oleh satupun

kementerian yang ada.

2. Berbagai permasalahan yang ada muncul karena ketidakjelasan

konsep dan kebingungan dalam memahami dekonsentrasi.

Ketidakjelasan dalam pemahaman konsep ini berujung pada

ketidakjelasan implementasi. Contoh, ketidakjelasan konsep

tentang dekonsentrasi itu adalah mencampuradukkan antara

delegasi dengan dekonsentrasi. Secara teoretis, dekonsentrasi dan

delegasi adalah varian dalam desentralisasi administratif, namun di

Indonesia keduanya tidak memiliki batas-batas dan definisi yang

jelas. Selain antara dekonsentrasi dan delegasi, ketidakjelasan

konsep juga terjadi antara dekonsentrasi dengan tugas pembantuan

(medebewind), dan antara tugas pembantuan dengan delegasi.

Untuk itu, pemahaman tentang dekonsentrasi harus dikembalikan

pada definisi internasional.

3. Konsep kelembagaan pelaksana urusan dekonsentrasi juga masih

rancu dan membingungkan. Keberadaan UPT dan/atau Kantor

Regional kementerian secara definisi termasuk dalam kelembagaan

dekonsentrasi, namun dalam praktek tidak menunjukkan karakter

sebagai perangkat kewilayahan, karena memiliki wilayah kerja

yang mencakup lebih dari satu provinsi, dan sangat bervariasi antar

kementerian. Dalam kasus seperti ini, gubernur menjadi tidak bisa

mengkoordinasikan UPT atau kantor regional yang ada di

wilayahnya. Lembaga seperti ini dalam realitanya juga tidak

mengelola program dan dana dekonsentrasi, melainkan program

dan anggaran kementerian.

4. Meskipun banyak masalah yang dihadapi, namun secara umum

para pakar menyatakan bahwa dekonsentrasi masih memiliki

urgensi yang tinggi sehingga perannya tidak dapat dikurangi

apalagi dihilangkan. Urgensi itu semakin menguat karena besarnya

potensi sentrifugal atau pemikiran beberapa Kepala Daerah untuk

keluar dari ikatan negara kesatuan. Sebagai contoh, seorang bupati

di Jawa Timur sempat menanyakan apakah NKRI itu harga mati

meski rakyat di daerah tidak sejahtera? Dalam rangka menjaga

integritas negara kesatuan itulah, asas dekonsentrasi harus didesain

sebaik mungkin. Namun diakui pula bahwa ada kesulitan untuk

merumuskan dengan pasti seberapa besar derajat urgensi itu, serta

dalam hal/program apa dekonsentrasi itu urgen/relevan dan dalam

hal/program apa tidak/kurang relevan.

5. Sayangnya, walaupun urgensi dekonsentrasi masih dianggap

tinggi, namun UU No. 32/2004 sendiri mengatur dekonsentrasi

secara sangat minim, jika tidak dikatakan tidak ada. Konsep

wilayah administratif tidak jelas, demikian pula fungsi gubernur

selaku perangkat dekonsentrasi tidak jelas, seolah-olah

dekonsentrasi hanya terkait urusan alokasi dana saja. Dalam pasal

20 ayat (2) dan (3) UU No. 32/2004 disebutkan bahwa dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah

menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Pasal itu tidak

menyebutkan dekonsentrasi sebagai asas penyelenggaraan

pemerintah daerah. Dengan kata lain, pemerintah daerah hanya

menjalankan fungsi otonomi dan tugas pembantuan. Hal inilah

yang membuat fungsi pemerintah putus di bawah (kabupaten/kota).

6. Kriteria dalam penetapan program dekonsentrasi serta alokasi dana

dekonsentrasi harus segera disusun secara pasti dan terukur.

Beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan misalnya tingkat

kesenjangan atau heterogenitas antar daerah. Semakin besar

kesenjangan atau heterogenitas antar daerah, maka semakin

penting adanya program dekonsentrasi. Kriteria lain adalah tingkat

kepentingan dan eksternalitas sebuah urusan/bidang pemerintahan.

Semakin luas area kepentingan dan dampak yang ditimbulkan,

maka semakin penting adanya program dekonsentrasi. Selain itu,

dekonsentrasi juga dapat diterapkan untuk urusan strategis seperti

urusan pulau kecil terluar, kawasan khusus (KAPET), administrasi

kependudukan, dan sebagainya. Intinya, fungsi dekonsentrasi

adalah mensejahterakan masyarakat di daerah secara

berkeseimbangan.1

7. Sebagai sebuah wacana ilmiah (academic exercise), fungsi

dekonsentrasi pada masa mendatang sebaiknya cukup diterapkan

untuk lingkup urusan absolut pemerintah pusat saja, misalnya

terkait urusan pemerintahan umum, termasuk dalam hal ini

kepentingan memelihara keutuhan dan kesatuan negara.

Sedangkan untuk bidang-bidang urusan pemerintahan (sektoral)

sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007 perlu diseleksi dengan

kriteria yang jelas. Dengan kata lain, dibutuhkan penguatan

dekonsentrasi dalam hal tertentu, namun diperlukan peninjauan

kembali dekonsentrasi dalam hal lain lagi. Dalam kaitan ini, urusan

pemerintah yang dilimpahkan kepada daerah melalui PP No.

38/2007 tidak masuk kategori dekonsentrasi, namun lebih tepat

sebagai urusan delegasi (kembali ke definisi dasar tentang

desentralisasi administratif).

8. Upaya rekonstruksi fungsi dekonsentrasi kedepan bisa disusun

dalam beberapa alternatif, misalnya: 1) provinsi murni

dekonsentrasi, sedangkan kabupaten/kota menjalankan fungsi

desentralisasi dan dekonsentrasi secara sekaligus; 2) mixed model,

1 Selama ini Kementerian Dalam Negeri menentukan besaran alokasi dana

dekonsentrasi di masing-masing provinsi, dengan menggunakan tiga indikator,

yakni: 1) jumlah kabupaten atau kota yang ada di setiap provinsi; 2) Standar Biaya Umum (SBU) yang diterbitkan setiap tahun berdasarkan peraturan Menteri

Keuangan, 3) aksesbilitas kewilayahan atau kondisi geografis setiap provinsi

(Direktur Dekonsentrasi dan Kerja Sama, Direktorat Jenderal Pemerintahan

Umum, Sirajuddin Nonci, dalam Tempo, 11/02/2014).

sebagaimana model UU No. 5/1974 namun tanpa perlu membentuk

instansi vertikal untuk setiap kementerian (Kantor Wilayah).

9. Terkait dengan butir kesimpulan no. 7 dan 8 diatas, maka otonomi

dengan konsep fused model seperti yang berlaku pada masa UU

No. 5/1974 dapat dipertimbangkan kembali namun bukan di

tingkat KDH + Kepala Wilayah, melainkan di tingkat SKPD.

Artinya SKPD menjalankan fungsi desentralisasi sekaligus

dekonsentrasi. Dalam hal seperti ini, penting untuk diperjelas mana

yang termasuk urusan dekonsentrasi dan mana yang desentralisasi,

sehingga dapat dihindari inefisiensi karena tumpang tindih

program atau anggaran, dan seterusnya.

10. Upaya merekonstruksi kebijakan dekonsentrasi sangat tepat

momentumnya dala kerangka rencana pemerintah melakukan

revisi UU No. 5/1974.