19
Desember 2013 Masyarakat Sipil Mengawasi Alam Review Izin Industri Berbasis Lahan Policy Paper

Permit review-icel-indonesian

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Permit review-icel-indonesian

Tim Penulis

Henri Subagiyo

Ohiongyi Marino

Rizkita Alamanda

Desember 2013

Masyarakat Sipil Mengawasi Alam Review Izin Industri Berbasis Lahan

Policy Paper

Page 2: Permit review-icel-indonesian

ii

Penyunting

Frans R. Siahaan

Gambar Frans R. Siahaan, Deforestasi di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai

Policy paper ini adalah hasil studi ICEL, isi dan pendapat dalam policy paper ini seluruhnya merupakan tanggung jawab ICEL dan bukan merupakan pandangan yang menggambarkan pendapat the Asia Foundation.

Page 3: Permit review-icel-indonesian

iii

Kata Pengantar Review izin ini merupakan inisiatif masyarakat sipil yang bertujuan untuk mendorong akuntabilitas

proses pemberian izin bagi kegiatan industri berbasis lahan. Review izin ini dilatarbelakangi oleh

carut marutnya proses perizinan yang pada gilirannya berkontribusi terhadap meningkatnya

deforestasi dan degradasi lahan.

Kegiatan review izin ini merupakan bagian dari Program SETAPAK yang didukung oleh the Asia

Foundation dan didanai United Kingdom Climate Change Unit (UKCCU). Program SETAPAK bertujuan

untuk meningkatkan tata kelola hutan dan lahan di Indonesia, dalam rangka mendukung penurunan

emisi gas rumah kaca. Program ini mendukung upaya organisasi masyarakat sipil di Indonesia untuk

berperan dalam mendorong tata kelola hutan dan lahan yang lebih baik, termasuk memperdebatkan

kebijakan pemerintah dan mengawasi pelaksanaannya, agar lebih efektif dalam mencapai

pembangunan yang berkelanjutan.

Peningkatan tata kelola perizinan di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan merupakan

hal yang sangat penting dan perlu dalam upaya penurunan angka deforestasi, penurunan emisi gas

rumah kaca, pelestarian sumber daya alam, dan keadilan sosial dan ekonomi dalam pemanfaatan

sumber daya alam bagi rakyat Indonesia. Studi ini merupakan bagian dari upaya itu, sebagai

instrumen pengawasan yang dikembangkan oleh masyarakat sipil untuk mengkaji dan mengevaluasi

proses pengendalian pemanfaatan hutan dan lahan melalui sistem perizinan.

Kami ucapkan terima kasih kepada UKCCU atas dukungannya, dan selamat kepada ICEL dan

keseluruhan tim penulis studi ini atas kontribusinya. Semoga studi ini bermanfaat untuk perbaikan

pengelolaan hutan dan lahan, agar sumber daya alam dapat dilestarikan dan dimanfaatkan secara

berkelanjutan.

Kami juga berterima kasih kepada banyak pihak yang telah membantu proses pelaksanaan review

izin hingga terbitnya policy paper ini. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada para peneliti di

lapangan yang telah membantu proses penelitian di sembilan daerah studi, yaitu: Agus Budiman dan

Leziardi (Gemawan); Ari As’ari dan Rangga (Titian); Ilham Jaya Rosdiana, Hariansyah, Khairul Razikin,

dan Yudistira (Stabil); Febri Irwansyah dan Awaliah Rahmah (Walhi Sumsel); Sudirman dan

Muhammad Farhan (Pilar Nusantara); serta Deddy Permana dan Aprillino (Wahana Bumi Hijau).

Kami juga sampaikan terima kasih kepada Frans R. Siahaan yang telah menyunting policy paper ini.

Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada Blair Palmer, Prayekti Murharjanti, Alam

Suryaputra dari the Asia Foundation yang telah memberikan dukungan dan masukan hingga policy

paper ini dapat diterbitkan.

Kami menyadari bahwa policy paper ini masih memiliki banyak kekurangan. Karena itu saran dan

kritik dari pembaca senantiasa kami sambut dengan baik untuk perbaikan penelitian ini kedepan.

Akhir kata, kami berharap policy paper ini dapat bermanfaat untuk pengembangan sistem perizinan

yang lebih baik.

Jakarta, Desember 2013

Page 4: Permit review-icel-indonesian

iv

Henri Subagiyo Blair Palmer

Direktur Eksekutif Direktur Program Tata Kelola Lingkungan

Indonesian Center for Environmental Law The Asia Foundation

Page 5: Permit review-icel-indonesian

v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................................................. ii

Daftar Isi ........................................................................................................................................... iii

Daftar Tabel dan Gambar ................................................................................................................. iv

Ringkasan Eksekutif ........................................................................................................................... v

Mengapa Review Izin? ....................................................................................................................... 1

Bagaimana Review Izin dilakukan? ..................................................................................................... 2

Apakah ditemukan pelanggaran perizinan? ........................................................................................ 4

Bagaimana akses masyarakat untuk melakukan pengawasan perizinan? ............................................. 6

Kesimpulan ...................................................................................................................................... 10

Rekomendasi ................................................................................................................................... 11

Page 6: Permit review-icel-indonesian

vi

Daftar Tabel dan Gambar

Tabel

Tabel 1. Kewenangan Menerbitkan Izin Usaha di Ketiga Sektor ........................................................... 3

Tabel 2. Sampel Penelitian ................................................................................................................. 4

Gambar

Gambar 1. Tahapan Review Izin .......................................................................................................... 2

Gambar 2. Temuan Pelanggaran ......................................................................................................... 5

Gambar 3. Tabel Perolehan Dokumen di ketiga sektor ........................................................................ 7

Gambar 4. Perolehan Dokumen Terkait Izin HTI .................................................................................. 7

Gambar 5. Perolehan Dokumen Terkait Izin Perkebunan ..................................................................... 8

Gambar 6. Perolehan Dokumen Terkait Izin Eksplorasi Pertambangan ................................................ 9

Gambar 7. Perolehan Dokumen Terkait Izin Eksploitasi Pertambangan ................................................ 9

Gambar 8. Perolehan Dokumen Izin HTI di Daerah Studi ................................................................... 10

Gambar 9. Perolehan Dokumen Izin Perkebunan di Daerah Studi ...................................................... 10

Gambar 10. Perolehan Dokumen Izin Eksplorasi Pertambangan di Daerah Studi ................................ 10

Gambar 11. Perolehan Dokumen Izin Eksploitasi Pertambangan di Daerah Studi .............................. 10

Page 7: Permit review-icel-indonesian

v

Ringkasan Eksekutif Izin merupakan instrumen pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam agar selaras dengan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan, disamping memberikan kepastian dan perlindungan usaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa proses perizinan di Indonesia sarat dengan masalah. Carut marutnya proses perizinan telah berkontribusi terhadap meningkatnya deforestasi dan degradasi lahan, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan bahkan berdampak pada kemiskinan. Carut marut ini juga menggambarkan buruknya tata kelola hutan dan lahan yang terkait erat dengan korupsi. Kondisi di atas melatarbelakangi dilakukannya review izin oleh masyarakat sipil. Review izin ini bertujuan untuk memastikan apakah pemerintah telah mengeluarkan izin sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku lewat serangkaian kajian berbagai dokumen yang dipersyaratkan. Review izin ini difokuskan pada sembilan daerah studi, yaitu Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Timur, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Musi Rawas, Kabupaten Sintang, Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Berau, dan Kabupaten Bulungan. Izin yang direview adalah izin HTI, izin usaha perkebunan, dan izin usaha pertambangan dengan mengambil sampel dari daerah studi. Metode review izin dilakukan dengan mengambil sampel berdasarkan perkiraan ketersediaan dokumen izin. Kemudian dokumen tersebut dikaji untuk dibandingkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Review izin ini berhasil mengidentifikasi enam izin yang melanggar ketentuan yang berlaku. Di sektor kehutanan ditemukan tiga ketentuan yang dilanggar, di sektor perkebunan ditemukan lima ketentuan yang dilanggar, dan di sektor pertambangan tidak dapat dipastikan ada atau tidak pelanggaran mengingat lebih 68% dokumen yang diperlukan tidak dapat diperoleh. Secara proses, review izin ini juga menyimpulkan buruknya transparansi dari sistem perizinan. Dari 635 dokumen yang diperlukan, hanya setengahnya saja yang bisa diperoleh dan kondisi terburuk ditemukan pada sektor pertambangan. Temuan ini cukup mengkhawatirkan bagi akses masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap keputusan pemberian izin. Lemahnya pengawasan tersebut dapat memperburuk deforestasi, degradasi lahan, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan bahkan kemiskinan. Hasil review izin ini mengonfirmasi buruknya tata kelola sistem perizinan industri berbasis lahan.

Karena itu, pemerintah perlu melakukan review mendalam terhadap semua izin yang telah

dikeluarkan dan menindaklanjuti temuan pelanggaran dengan penegakan hukum, serta

memperbaiki sistem perizinan yang terintegrasi, transparansi, dan akuntabel. Sedangkan bagi

masyarakat sipil perlu melakukan review izin secara masif dan terus menerus dimana hasilnya dapat

dijadikan sebagai dasar untuk melakukan advokasi perbaikan sistem perizinan maupun penegakan

hukum.

Page 8: Permit review-icel-indonesian

1

Mengapa Review Izin?

Izin di sektor sumberdaya alam selain untuk memberikan kepastian usaha dan perlindungan terhadap kegiatan usaha, juga merupakan instrumen pengawasan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya alam agar selaras dengan kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan seperti yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Melalui instrumen izin, pemerintah dapat memastikan ketaatan pelaku usaha terhadap peraturan yang ada. Sementara bagi pelaku usaha, izin digunakan sebagai acuan dalam permohonan dan pelaksanaan kegiatan usaha. Sedangkan bagi masyarakat, khususnya yang berpotensi terkena dampak, izin berguna sebagai instrumen pengawasan, baik itu untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usaha maupun untuk mengawasi pemerintah dalam mengeluarkan izin. Dari aspek peraturan perundang-undangan, proses pemberian izin sesungguhnya tidaklah mudah, karena harus memenuhi banyak persyaratan adminsistrasi dan teknis. Namun sudah menjadi pengetahuan umum bahwa izin di sektor industri berbasis lahan (land-based industries) terutama sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan begitu mudahnya diterbitkan. Masifnya izin di ketiga sektor tersebut telah berkontribusi dalam meningkatkan laju deforestasi. Pada tahun 2011 saja, laju deforestasi nasional mencapai 450,637 ha/tahun. Sementara di tingkat propinsi, seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan laju deforestasinya masing-masing sebesar 33,977 ha/tahun, 41,738 ha/tahun, dan 13,596 ha/tahun.1 Selain itu, kerap kali izin dikeluarkan tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Sebagai contoh, berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), luasan izin KP dan PKP2B di kota Samarinda mencapai hingga 71% atau 50.742,76 hektar dari luas kota Samarinda.2 Tidak mengherankan kebijakan ini berdampak pada buruknya lingkungan kota Samarinda yang ditandai dengan banjir rutin3 dan bahkan lubang bekas tambang telah menelan enam korban tewas pada tahun 2012.4

Disamping deforestasi dan aspek lingkungan, masifnya pemberian izin juga berdampak pada meningkatnya konflik. Catatan Widiyanto, dkk. hingga November 2012 menunjukkan bahwa terdapat 232 konflik sumberdaya alam dan agraria di 22 provinsi.5 Untuk keseluruhan propinsi di Pulau Kalimantan saja misalnya, data tahun 2012 menunjukkan bahwa telah terjadi 108 konflik di sektor perkebunan, 28 konflik di sektor kehutanan, dan 13 konflik di sektor pertambangan.6 Konflik tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya berkurangnya kawasan hutan, tumpang tindih penguasaan lahan, dan lemahnya penerapan prinsip persetujuan dengan dasar informasi tanpa paksaan (free, prior, and informed consent/FPIC).7

Dari sisi ekonomi, masifnya pemberian izin telah mendongkrak tumbuhnya industri berbasis lahan di Indonesia yang pada akhirnya turut berkontribusi signifikan pada Produk Domestik Bruto (PDB). Untuk PDB Tahun 2012 yang mencapai 7.422,8 triliun rupiah, sektor pertanian (termasuk kehutanan dan perkebunan) dan pertambangan masing-masing berkontribusi sebesar 14,70% dan 11,85%.8 Secara teoritis ketika PDB meningkat maka pendapatan masyarakat juga meningkat yang pada

1 Kementerian Kehutanan, 2012, Statistik Kehutanan Indonesia 2011, Kementerian Kehutanan, Jakarta 2 Jatam, 2010, Mautnya Batubara Pengerukan Batubara & Generasi Suram Kalimantan, Jakarta, hlm. 25. 3 http://daerah.sindonews.com/read/2013/06/24/25/753544/warga-samarinda-gugat-pemerintah 4 http://www.jatam.org/saung-berita/minerba/223-lobang-bekas-tambang-kembali-telan-korban-jiwa-.html 5 Widiyanto, dkk., 2012, OutlookKonflik Sumberdaya Alam dan Agraria 2012, Pusat Database dan Informasi HuMa, Jakarta,

hal 3. 6 Peta Sebaran Konflik Agraria dan Sumberdaya Alam - http://geodata-cso.org/index.php/page/index/6 7 Widiyanto, dkk., 2012, OutlookKonflik Sumberdaya Alam dan Agraria 2012, Pusat Database dan Informasi HuMa, Jakarta,

hal 3. 8 Badan Pusat Statistik, 2013, Berita Resmi Statistik, Jakarta.

Page 9: Permit review-icel-indonesian

2

gilirannya akan menurunkan angka penduduk miskin. Namun ironisnya, tidak demikian yang terjadi. Data pada Tahun 2013 menunjukkan bahwa sebesar 21% masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dikategorikan sebagai penduduk miskin.9 Di Propinsi Kalimantan Timur misalnya, dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang lebih dari 50%-nya berasal dari sektor pertambangan10 ternyata lebih dari 6% penduduknya masih dibawah garis kemiskinan11. Di tingkat kabupaten, Musi Banyuasin bisa dijadikan contoh. Dengan PDRB terbesar di Propinsi Sumatera Selatan, yakni mencapai 53,90 miliar rupiah, serta kontribusi terbesar berasal dari sektor pertambangan dan pertanian (termasuk kehutanan dan perkebunan), kabupaten ini justru memiliki tingkat kemiskinan tertinggi di Sumatera Selatan, yaitu 18,99%.12 Fakta di atas menggambarkan buruknya tata kelola dalam bidang perizinan. Bahkan dalam beberapa kasus korupsi di sektor sumberdaya alam, fakta persidangan menunjukkan bahwa buruknya tata kelola perizinan berkaitan erat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), baik itu pada tahap proses pemenuhan persyaratan izin, pelaksanaan, hingga pengawasan. Kasus terbaru yang divonis hakim adalah kasus suap Amran Batalipu, Mantan Bupati Buol, yang divonis tujuh tahun enam bulan penjara dalam kasus korupsi pemberian izin perkebunan sawit kepada PT. Hardaya Inti Perkasa di Kabupaten Buol.13 Buruknya sistem perizinan di sektor kehutanan, perkebunan dan pertambangan memunculkan inisiatif masyarakat sipil untuk melakukan review izin. Tiga alasan penting review ini perlu dilakukan adalah, pertama, rendahnya kepastian bahwa proses pemberian izin yang ada telah dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, berdasarkan hipotesa pertama, sangat sulit diharapkan pemerintah menjalankan tanggungjawabnya untuk melakukan pengawasan terhadap izin-izin yang telah dikeluarkan. Ketiga, pentingnya memproteksi hutan dan lahan dari berbagai aktifitas yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan dalam jangka panjang dengan cara menekan atau mempersempit ruang gerak berbagai aktifitas yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Diharapkan review izin inisiatif masyarakat sipil ini dapat berguna bagi pemerintah dan masyarakat sipil itu sendiri, terutama untuk mendorong akuntabilitas pemerintah pada proses pemberian dan pengawasan izin-izin yang telah dikeluarkan.

Bagaimana review izin dilakukan?

Review izin dilakukan dengan mengkaji data/dokumen yang menjadi persyaratan izin untuk diperbandingkan kesesuaiannya dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada tahap awal, peneliti mengkaji peraturan perundang-undangan dan perubahan-perubahannya untuk memperoleh ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan acuan dalam mengeluarkan izin maupun melaksanakan kegiatan usaha. Setiap perubahan memberikan implikasi hukum yang berbeda pada prosedur

9 KeyNote Speech Menhut Pada Kuliah Umum Universitas Sam Ratu Langi Manado, 8 November 2013, http://ppid.dephut.go.id/pidato_kemenhut/browse/31, diakses pada tanggal 29 November 2013. Lihat pula Menhut: 21 Persen Masyarakat Sekitar Hutan Miskin, 18 Agustus 2013, http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/08/18/mrqk6j-menhut-21-persen-masyarakat-sekitar-hutan-miskin, diakses pada tanggal 29 November 2013. 10 Ibid., hlm. 11 Ibid., hlm. 48. 12 Ibid., hlm. 152. 13 http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/063460607/Bekas-Bupati-Buol-Amran-Divonis-75-Tahun-Penjara

GAMBAR 1TAHAPAN REVIEW IZIN

Kajian peraturan dan penyusunan manual review izin

Penentuan sample izin

Pengumpulan informasi/dokumen

Kajian terhadap informasi/dokumen(identifikasi pelanggaran)

Penulisan hasil

Page 10: Permit review-icel-indonesian

3

pemberian izin. Kemudian, ketentuan-ketentuan tersebut dijadikan sebagai alat uji yang dituangkan dalam manual. Berdasarkan alat uji tersebut, peneliti mengaji data/dokumen yang merupakan kelengkapan izin untuk dinilai kesesuaiannya dengan alat uji guna mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi. Sampel pada review izin ini terdiri dari sampel izin di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Sampel di tingkat propinsi adalah izin yang diterbitkan oleh gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Gubernur berwenang untuk menerbitkan izin yang lokasi usahanya lintas kabupaten/kota. Sedangkan sampling di tingkat kabupaten/kota adalah izin yang dikeluarkan oleh bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bupati/walikota berwenang menerbitkan izin yang berlokasi di satu kabupaten/kota tersebut. Berdasarkan kewenangan pemberian izin di setiap sektor, kewenangan pejabat pusat dan daerah (propinsi dan kabupaten/kota) dalam pemberian izin dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah.

Tabel 1. Kewenangan menerbitkan Izin Usaha di Ketiga Sektor

SEKTOR JENIS IZIN USAHA

LOKASI IZIN PEJABAT BERWENANG

Hutan Tanaman Industri IUPHHK-HTI Semua daerah lokasi Menteri Kehutanan

Perkebunan Izin Usaha Perkebunan

Berada di satu kabupaten/kota

Bupati/Walikota

Melintasi lebih dari satu kabupaten/kota

Gubernur

Pertambangan Izin Usaha Pertambangan

Berada di satu kabupaten/kota

Bupati/Walikota

Melintasi lebih dari satu kabupaten/kota

Gubernur

Izin yang direview dalam penelitian ini adalah Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit, dan Izin Usaha Pertambangan atau Kuasa Pertambangan sebelum berlakuya Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam mendapatkan izin usaha tersebut terdapat izin-izin lain yang merupakan prasyarat, antara lain: izin pinjam pakai, izin lokasi, izin pelepasan kawasan hutan, izin lingkungan, Hak Guna Usaha (HGU) dan lainnya. Review izin dilakukan di tiga provinsi, yakni Propinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur, serta di enam kabupaten yang terdiri dari Kabupaten Musi Banyasin, Musi Rawas, Sintang, Kubu Raya, Berau, dan Bulungan. Daerah studi yang dipilih memiliki posisi yang strategis bagi kehutanan nasional ditinjau dari luasan kawasan hutan maupun angka deforestasi dan degradasi kehutanan. Total luas kawasan hutan daerah studi mencapai 27.941.7655 Ha atau 21% dari total luas kawasan hutan di Indonesia (131.279.115 Ha).14 Kalimantan Timur-yang pada saat studi dilakukan masih satu propinsi dengan Kalimantan Utara-memiliki luas kawasan hutan terbesar kedua di Indonesia, yakni mencapai 14.651.053 Ha atau 11%.15 Sementara Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan masing-masing memiliki luas kawasan hutan 8.990.875 Ha dan 4.399.837 Ha atau proporsinya masing-masing 7% dan 3% dari luas total kawasan hutan Indonesia. Dari aspek laju deforestasi dan degradasi hutan, ketiga daearah studi berkontribusi sebesar 25% atau 210.356 Ha

14 Kementerian Kehutanan, 2012 Statistik Kehutanan Indonesia 2011, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta 15 Ibid

Page 11: Permit review-icel-indonesian

4

per tahun terhadap laju deforestasi nasional dan sebesar 832.126 Ha per tahun terhadap degradasi hutan nasional Awalnya pemilihan sampel dalam studi ini didasarkan pada kriteria kawasan hutan yang paling luas dimana di masing-masing daerah diambil 10% dari total izin di setiap sektor (kehutanan, perkebunan, dan pertambangan), namun pada perkembangannya karena sulitnya mengakses data akhirnya pemilihan sampel lebih pada perkiraan ketersediaan dokumen/data. Hal ini dengan pertimbangan bahwa diperolehnya dokumen perizinan dari setiap sampel merupakan prioritas utama untuk melakukan review izin. Dengan metode tersebut, review izin ini kemudian mengambil 33 izin yang dijadikan sampel dengan rincian 8 Izin HTI, 17 Izin Perkebunan, dan 8 Izin Pertambangan. Tabel sampel penelitian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:

Tabel 2. Sampel Penelitian

Keberhasilan review izin sangat ditentukan oleh aksesibilitas dokumen/data perizinan. Oleh karena itu, gambaran tentang aksesibilitas dokumen/data perizinan juga akan dijelaskan dalam policy paper ini. Dalam memperoleh dokumen/data, dilakukan dengan permohonan informasi sesuai dengan standar yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Dokumen/data penting yang umumnya dibutuhkan untuk melakukan review izin adalah Surat Keputusan Izin Usaha, Dokumen Amdal, Rekomendasi bupati/gubernur, Izin pinjam pakai/izin pelepasan kawasan hutan, Surat Kelayakan Lingkungan Hidup. Guna memaksimalkan ketersediaan dokumen/data, juga dilakukan pendekatan informal setelah prosedur dengan UU KIP gagal dilakukan, yaitu dengan meminta dokumen atau data kepada orang-orang atau contact person yang ada di lembaga terkait, lembaga swadaya masyarakat, dan perpustakaan.

Apakah ditemukan pelanggaran perizinan?

Hasil Review Izin dikategorikan menjadi 3 penilaian, yaitu: (1) Tidak Terdapat Pelanggaran; (2)

Terdapat Pelanggaran; dan (3) Tidak diketahui ada atau tidak pelanggaran yang dijadikan sebagai

dasar untuk menilai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Tiga kategori penilaian

memiliki kriteria penilaian sebagai berikut :

1. Tidak Terdapat Pelanggaran. Izin yang diterbitkan dinyatakan "tidak terdapat pelanggaran"

jika seluruh persyaratan izin yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terpenuhi

2. Terdapat Pelanggaran. Izin yang diterbitkan dinyatakan "terdapat pelanggaran" jika

ditemukan adanya pelanggaran pada salah satu atau lebih persyaratan izin yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

Sektor

Daerah

Kehutanan

(IUPHHK-HTI)

Perkebunan Pertambangan TOTAL

Sumatera Selatan 1 1 1 3

Musi Banyuasin 3 2 0 5

Musi Rawas 1 1 1 3

Kalimantan Barat 0 2 1 3

Sintang 1 2 0 3

Kubu Raya 0 2 0 2

Kalimantan Timur 0 0 1 1

Berau 1 3 3 7

Bulungan 1 4 1 6

TOTAL 8 17 8 33

Page 12: Permit review-icel-indonesian

5

3. Tidak Diketahui ada atau tidaknya pelanggaran. Izin yang diterbitkan dinyatakan "tidak

diketahui ada atau tidaknya pelanggaran" karena dokumen tidak dapat diperoleh atau tidak

tersedia.

Dari 33 izin yang direview, tidak satupun izin dapat dikatakan bebas dari pelanggaran karena data tidak dapat diakses secara lengkap. Temuan menunjukkan bahwa ada enam izin melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Enam izin tersebut terdiri dari 3 Izin HTI dari total 8 izin yang direview dan 3 izin perkebunan dari total 17 izin yang direview. Sedangkan 27 izin lainnya tidak dapat dikatakan bebas dari pelanggaran karena tidak semua dokumen izin dapat diperoleh.

Di sektor kehutanan ditemukan tiga pelanggaran, yaitu: (1) Kegiatan HTI berada di luar hutan produksi. Berdasarkan pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No. 41

Tahun 1999 pemanfaatan hutan produksi hanya dapat dilakukan apabila perusahaan telah mendapatkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu di kawasan hutan produksi. Satu perusahaan di Musi Banyuasin melakukan pelanggaran ini.

(2) Tidak memenuhi prosedur lelang, yaitu: (a) Tidak memiliki Surat Penetapan Pemenang Lelang. Hal ini melanggar ketentuan Pasal 18 ayat (6) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.10/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Peraturan Menteri kehutanan Nomor P.05/Menhut-II/2004 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan yang mengatur bahwa setiap pemenang lelang wajib mendapatkan Surat Penepatapan Pemenang Lelang dari Menteri Kehutanan. Satu perusahaan di Musi Banyuasin melakukan pelanggaran ini; (b) Mengabaikan penetapan lelang. Satu perusahaan di Musi Banyuasin ditemukan mengabaikan surat penetapan lelang yang menyatakan bahwa luas lahan yang akan diberikan seluas 66.055 Ha, sedangkan dalam surat IUPHHK-HT tercantum lahan seluas 67.100 Ha. Artinya, ada ketidak sesuaian antara surat penetapan lelang dengan surat Penetapan IUPHHK-HTI sebesar 1045 Ha. Patut dicatat bahwa izin HTI tersebut dibebankan pada areal yang masih produktif.16

(3) Belum bebas dari hak pihak ketiga. Berdasarkan pasal 3 ayat (1) Permenhut P.19/Menhut-II/2007 menyatakan bahwa areal untuk pembangunan hutan tanaman adalah hutan produksi yang tidak produktif dan tidak dibebani hak/izin lain. Ternyata dalam kenyataannya, salah satu perusahaan di Musi Rawas mengajukan IUPHHK-HTI yang masih dibebani IUPHH-HTI perusahaan lain dan disetujui oleh Kemenhut.

Terkait pelanggaran perizinan di sektor perkebunan, dari sembilan daerah studi, Kab. Musi Banyuasin dan Kab. Kubu Raya relatif lebih mudah diakses datanya dibandingkan tujuh daerah lainnya. Dari hasil penilaian ditemukan tiga pelanggaran kepatuhan pemberian izin, yakni masing-

16 Indonesia, Undang-Undang tentang Kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 167, Penjelasan Pasal 28 ayat (1). "Pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada hutan yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam." Penjelasan ini tidak meyatakan secara tegas untuk mewajibkan bahwa pemanfaatan hutan tanaman pada hutan yang tidak produktif seharusnya pemberi izin tetap mempertimbangkan hal ini dalam pengambilan keputusan pemberian izin.

Page 13: Permit review-icel-indonesian

6

masing dua di Kab. Musi Banyuasin dan satu Kab. Kubu raya. Detail pelanggaran di dua kabupaten tersebut adalah sebagai berikut: (1) Satu izin diterbitkan dengan melanggar tiga persyaratan, yaitu: (a) tidak memiliki rekomendasi

izin lokasi dari instansi pertanahan; (b) luas lahan yang diberikan melebihi ketentuan peraturan yang berlaku; (c) tidak terpenuhinya persyaratan lokasi. 17 Pelanggaran ini dilakukan oleh satu perusahaan di Musi Banyuasin.

(2) Satu izin diterbitkan dengan melanggar ketentuan lahan bebas dari hak pihak lain, yaitu perkebunan seluas 15.500 Ha beroperasi sejak tahun 2003 pada lokasi yang masih dibebani hak-hak masyarakat. Pada saat berakhirnya jangka waktu izin lokasi – sebagai salah satu syarat mendapatkan izin usaha perkebunan– seharusnya pemohon izin menyelesaikan kewajibannya dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran ini terjadi di Kubu Raya.

(3) Satu izin diterbitkan dengan tidak memiliki surat kelayakan lingkungan hidup pada saat mulai beroperasi. Perusahaan beroperasi pada tahun 2006 namun surat keputusan kelayakan lingkungan hidup yang bersangkutan diterbitkan pada tahun 2008. Surat keputusan kelayakan lingkungan hidup merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha atau kegiatan, dalam hal ini adalah izin perkebunan. Pelanggaran ini terjadi di Musi Banyuasin.

Pelanggaran di sektor pertambangan tidak dapat dipastikan karena lebih dari 68% dokumen yang diperlukan tidak dapat diperoleh. Hal ini menunjukkan perizinan di sektor pertambangan lebih tertutup dibandingkan sektor kehutanan dan perkebunan. Pelanggaran-pelanggaran di atas mencerminkan lemahnya pengawasan dan pengendalian pemerintah terhadap usaha kehutanan, perkebunan, dan pertambangan melalui instrumen perizinan. Sulit dibayangkan instrumen izin yang ada dapat didayagunakan untuk memastikan ketaatan pelaku usaha selama pelaksanaan usahanya, jika pada tahap awal saja telah banyak ditemukan pelanggaran terhadap proses pemberian izinnya.

Bagaimana akses masyarakat untuk melakukan pengawasan perizinan?

Review izin memerlukan ketersediaan dokumen perizinan yang memadai. Studi review izin ini mengalami kendala yang besar karena akses terhadap dokumen perizinan sangat sulit. Apabila kondisi keterbukaan informasi terkait dengan dokumen perizinan tidak diperbaiki, maka sulit diharapkan masyarakat dapat melakukan pengawasan secara efektif. Dokumen perizinan merupakan dokumen yang terbuka berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP). Berdasarkan Pasal 11 UU KIP, hasil keputusan badan publik dan pertimbangannya serta seluruh kebijakan beserta dokumen pendukungnya merupakan informasi yang wajib tersedia setiap saat. Dokumen perizinan adalah keputusan badan publik atau kebijakan yang bersifat teknis.

Walaupun transparansi telah dijamin oleh UU, pada prakteknya banyak dokumen perizinan yang tidak dapat diakses. Pada studi ini telah ditempuh berbagai cara untuk memperoleh dokumen perizinan, mulai dari melakukan permohonan dokumen sesuai dengan UU KIP kepada instansi yang berwenang hingga menggunakan pendekatan jaringan, yaitu meminta dokumen kepada pihak-pihak tertentu baik di instansi pemerintah, akademisi, maupun LSM yang mungkin bisa membantu dalam perolehan dokumen. Namun, banyak sekali dokumen yang tidak dapat diperoleh.

17 Kemeterian Pertanian Republik Indonesia, Keputusan Menteri Pertanian No. 352 Tahun 2002 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, menyatakan bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 Ha dalam satu propinsi atau 100.000 Ha untuk seluruh indonesia, kecuali untuk usaha perkebunan tebu. Namun, pada faktanya perusahaan tersebut mendapatkan izin dengan luas izin usaha sebesar 44.000 Ha.

Page 14: Permit review-icel-indonesian

7

Dari 635 dokumen penting dalam review izin ini, 50% dokumen tidak dapat diperoleh. Pada sektor kehutanan, dari 80 dokumen yang diperlukan, 43 dokumen atau 54% diperoleh dan 37 dokumen atau 46% tidak dapat diperoleh. Pada sektor perkebunan, dari total 323 dokumen yang dibutuhkan, 208 dokumen atau 64% diperoleh, dan 115 dokumen atau 36% tidak diperoleh. Sedangkan untuk sektor pertambangan, dari total 112 dokumen terkait izin eksplorasi tambang yang dibutuhkan, 76 dokumen atau 68% tidak dapat diperoleh dan hanya 36 dokumen atau 32% yang dapat diperoleh. Dokumen terkait izin eksploitasi lebih banyak lagi yang sulit diperoleh. Dari 120 dokumen yang dibutuhkan, 90 dokumen atau 75% tidak dapat diperoleh, hanya 30 dokumen atau 25% yang dapat diperoleh. Gambar 3 berikut menjelaskan perolehan dokumen di ketiga sektor di daerah studi.

Pada izin HTI, dokumen yang paling sulit diperoleh adalah proposal teknis, surat IUPHHK, dan tanda bukti pembayaran IUPHHK. Dari total 80 dokumen yang diperlukan, sebanyak 37 dokumen tidak dapat diperoleh. Jenis dokumen yang tidak dapat diperoleh tersebut dapat dilihat pada gambar 3. Sedangkan dokumen yang relatif mudah diperoleh adalah surat kelayakan lingkungan hidup dan surat keterangan domisili. Berikut ini grafik yang menggambarkan dokumen izin HTI yang tidak dapat diperoleh:

Page 15: Permit review-icel-indonesian

8

Temuan di daerah studi menunjukkan bahwa banyak dokumen izin HTI tidak ditemukan di daerah. Meskipun kewenangan pemberian izin berada di Pemerintah Pusat, namun seharusnya pemerintah daerah juga memiliki dokumen tersebut karena izin HTI hanya dapat diberikan setelah adanya rekomendasi dari kepala pemerintah daerah (gubernur atau bupati/walikota). Kondisi ini menunjukkan lemahnya koordinasi dan tidak terintegrasinya sistem perizinan antara pusat dan daerah. Salah satu penyebabnya adalah belum adanya pengaturan yang tegas tentang pertukaran dokumen perizinan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini berimplikasi sulitnya masyarakat sipil mengakses dokumen tersebut.

Dokumen terkait izin usaha perkebunan yang paling sulit diperoleh adalah surat pernyataan perusahaan/pemohon bahwa belum menguasai lahan, rekomendasi teknis dari gubernur atau bupati, serta surat izin usaha perkebunan dan permohonannya. Dari total 323 dokumen yang diperlukan, 208 dokumen yang jenis dokumennya dapat dilihat pada gambar 5. Sedangkan dokumen yang relatif mudah diperoleh adalah Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dokumen pelepasan kawasan hutan, dan surat pernyataan kesanggupan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan. Berikut ini gambaran tentang dokumen izin perkebunan yang tidak dapat diperoleh:

Page 16: Permit review-icel-indonesian

9

Dokumen terkait izin eksplorasi yang paling sulit diperoleh adalah bukti penempatan dana jaminan reklamasi, rencana reklamasi, dan izin pinjam pakai. Dari total 112 dokumen yang diperlukan, sebanyak 76 dokumen yang tidak dapat diperoleh dan dapat dilihat rincian dalam gambar 6 berikut ini:

Dokumen terkait dengan izin eksploitasi yang sulit diperoleh adalah bukti penempatan jaminan reklamasi untuk eksporasi dan ekspoitasi, bukti penempatan jaminan pasca tambang, laporan studi kelayakan lingkungan hidup, laporan eksplorasi, tanda bukti pembayaran iuran tetap, dan surat permohonan izin. Dari total 120 dokumen yang diperlukan, sebanyak 90 dokumen tidak dapat diperoleh dan 30 dokumen diperoleh. Dengan rincian dalam gambar 7 berikut ini:

Page 17: Permit review-icel-indonesian

10

Temuan menunjukkan bahwa Kabupaten Berau dan Musi Banyuasin merupakan daerah paling sulit diperoleh dokumen terkait izin HTI. Untuk dokumen terkait dengan izin usaha perkebunan paling sulit diperoleh pada Provinsi Sumsel, Kabupaten Musi Rawas, dan Kabupaten Berau. Sementara untuk dokumen izin eksplorasi pertambangan paling sulit diperoleh di Kabupaten Bulungan dan Musi Rawas. Sedangkan dokumen terkait izin eksploitasi pertambangan paling sulit diperoleh di Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Timur, dan Provinsi Kalimantan Barat. Lihat gambar 8, 9, 10 dan 11 berikut ini:

Kesimpulan

1. Tidak ada satupun izin yang direview dapat dikatakan bebas dari pelanggaran. 6 izin ditemukan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang terdiri dari 3 Izin HTI dan 3 izin perkebunan. Sedangkan 27 izin sisanya tidak dapat dikatakan bebas dari pelanggaran karena tidak semua dokumen izin dapat diperoleh.

2. Pada sektor kehutanan ditemukan tiga pelanggaran, yaitu: (a) Kegiatan HTI berada di luar hutan produksi, (b) Tidak dipenuhinya memenuhi prosedur lelang, (c) lahan yang diberikan belum bebas dari hak pihak ketiga.

3. Pada sektor perkebunan, dari tiga izin usaha perkebunan ditemukan terdapat lima pelanggaran, yaitu: (a) tidak adanya surat keputusan kelayakan lingkungan hidup; (b) tumpang tindih lahan

Page 18: Permit review-icel-indonesian

11

dengan hak lain; (c) tidak memiliki rekomendasi izin lokasi dari instansi pertanahan; (d) luas areal izin usaha perkebunan yang diberikan melebihi luas dalam ketentuan peraturan perundang-udangan untuk luas izin usaha perkebunan; (e) tidak memenuhi persyaratan izin lokasi, yaitu luas tanah yang dikuasai melebihi ketentuan luas tanah yang ditentukan dalam peraturan perundang-udangan (melebihi 20.000 Ha per provinsi).

4. Pada sektor pertambangan tidak dapat dipastikan ada atau tidak pelanggaran mengingat lebih dari 68% dokumen yang diperlukan tidak dapat diperoleh. Hal ini juga menunjukkan bahwa perizinan di sektor pertambangan lebih tertutup dibandingkan sektor kehutanan dan perkebunan.

5. Lemahnya penerapan keterbukaan informasi di bidang perizinan menjadi hambatan utama bagi masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan perizinan. Selain itu, koordinasi antar instansi pemerintah pusat, daerah, dan antar sektor sangat penting guna memastikan sistem perizinan yang terintegrasi, transparan, dan akuntabel.

6. Fungsi pengawasan dari pemerintah provinsi maupun pusat tidak berjalan sebagaimana mestinya, baik dalam hal transparansi maupun penaatan dalam proses perizinan.

Rekomendasi

A. Bagi Pemerintah

(1) Perlu adanya tindak lanjut penegakan hukum terhadap enam izin yang patut diduga melanggar

ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah maupun penegak hukum perlu

melakukan verifikasi dan investigasi lanjutan terhadap dugaan pelanggaran tersebut guna

menentukan upaya penegakan hukum apa yang paling tepat dilakukan (administrasi, perdata,

pidana).

(2) Perlu adanya perbaikan sistem perizinan, khususnya dalam hal:

a. Penerapan keterbukaan informasi perizinan yang memungkinkan masyarakat maupun

pemerintah sendiri dalam melakukan pengawasan terhadap penaatan pelaksanaan kegiatan

usaha berdasarkan izin dan dokumen pendukungnya.

b. Pengembangan peta lahan yang terintegrasi (tidak hanya peta luasan lahan melainkan juga

hak yang melekat pada lahan dan kondisi lainnya) untuk membantu pengambilan keputusan.

Beberapa temuan yang menyangkut hal ini adalah: (i) tidak sesuainya lahan yang diberikan

untuk kegiatan baik dari sisi luasan maupun kondisi produktivitas lahan; (ii) banyaknya

tumpang tindih lahan; dan (iii) masalah lahan. Inisiatif onemap pemerintah perlu diakselerasi

dan digunakan seluruh instansi di pusat maupun daerah.

c. Penguatan koordinasi antar instansi pemerintah pusat, daerah, dan antar sektor untuk

mendorong sistem perizinan yang terintegrasi

d. pengawasan dan pengendalian dari pemerintah pusat terkait dengan izin industri berbasis

lahan

(3) Perlu melakukan review mendalam terhadap seluruh izin berbasis lahan mengingat temuan di

sembilan daerah studi menunjukkan banyaknya pelanggaran dalam proses perizinan.

Page 19: Permit review-icel-indonesian

12

B. Bagi Masyarakat Sipil

(1) Perlu secara terus menerus melakukan review izin sebagai bentuk pengawasan atas izin yang

telah dikeluarkan guna mendukung penaatan dan penegakan hukum, baik secara mandiri oleh

masyarakat maupun pemerintah.

(2) Hasil pengawasan melalui review izin perlu ditindaklanjuti kepada instansi terkait, seperti

penegak hukum, pemerintah yang berwenang, dan sebagainya.

(3) Perlu memperkuat sistem maupun praktek keterbukaan informasi di sektor perizinan melalui

peningkatan permintaan informasi maupun pengajuan sengketa informasi. Hal ini bertujuan

untuk mengatasi permasalahan utama dalam pengawasan izin, yaitu minimnya dokumen yang

dapat diperoleh karena praktek keterbukaan perizinan yang lemah.

(4) Perlu memperkuat jaringan dan sarana penyebaran informasi mandiri diantara kelompok

masyarakat untuk mengatasi keterbatasan informasi yang dapat digunakan dalam melakukan

pengawasan perizinan.

(5) Menyuarakan atau mengadvokasikan pentingnya perbaikan sistem perizinan kepada instansi

yang berwenang baik di pusat maupun daerah dalam rangka melindungi sumber daya alam,

lingkungan, dan hak-hak masyarakat.