59
06-12-2015 SAKRAMEN REKONSILIASI

Sakramen Rekonsiliasi

Embed Size (px)

Citation preview

SAKRAMEN REKONSILIASI

06-12-2015SAKRAMEN REKONSILIASI

Penamaan

TOBATPENGAKUAN DOSAPENGAMPUNAN DOSA

REKONSILIASI

PENEBUSAN DOSA

Dasar BiblisKetika membicarakan sakramen ini kita bertemu dengan tema-tema sekitar dosa, tobat, dan pengampunan. Tema-tema ini disinggung dalam Perjanjian Baru, bahkan juga sudah ada dalam Perjanjian Lama, jauh sebelum kehadiran Yesus.

Lukas 15: 11-32

Dinamika Dosa

Matius 18:12-14Lukas 15:1-7Domba yang hilang

Sirakh 12:4-7

Seruan pertobatan sudah digaungkan Yohanes Pembaptis di sekitar Sungai Yordan, kemudian digenapi dengan pembaptisan (Mt 3:2.11, Mk 1:4, Lk 3:3.8). Semasa hidup-Nya Yesus pun menyerukan perlunya pertobatan. Syarat-syarat pengampunan dosa disebut Yesus berulang kali (Mk 1:15, Mt 4:16-17, Lk 4:18-19).

Istilah metanoia sendiri disebut 58 kali dalam Injil. Yesus mengampuni dosa dan menyembuhkan banyak orang. Kuasa mengampuni tak hanya dimiliki Yesus (Mk 2:12), tetapi juga diberikan oleh Yesus kepada para Rasul-Nya (Mt 18:18, Yoh 20:23). Maka, mereka pun bertindak dengan kuasa itu, seperti Yesus.

Pada masa para Rasul baptis seolah merupakan sakramen tobat pertama dan radikal. Bagaimana dengan umat yang murtad dan menyesal lalu ingin kembali ke persekutuan umat?

Semua dosa dapat diampuni (Yak 1:21, Why 2:20-22, 1Tim 1:19-20, 1Kor 5:4-5, 2Kor 5:5-11,12:21). Dosa berat maupun ringan, tak ada yang tak terhapuskan.

Sekilas SejarahGereja sudah menyadari bahwa perbuatan pendosa -yang adalah anggota Gereja- telah mengoyak hubungan baik antara pendosa dengan Allah dan dengan persekutuan umat beriman. Karena dan melalui Yesus Kristus yang telah wafat dan bangkit hubungan yang retak atau terputus itu dapat dipulihkan.

Ritual TobatTOBAT KANONIKTOBAT PUBLIKTOBAT MONASTIKPraktek pertobatan dikaitkan dengan kepatutan menerima Sakramen Mahakudus dan dihayati seperti suatu devosiSemula tekanan perayaannya pada segi eklesial, maka rekonsiliasi terjadi di hadapan publik

Ritual TobatPembaruan liturgi pasca Konsili Vatikan II mencoba mengembalikan praktek sakramen ini lebih ke makna sosial-eklesialnya, namun tetap menjunjung kebutuhan personal.pada tahun 1973 muncullah buku tata perayaan baru, Ordo Paenitentiae, menawarkan tiga ritus rekonsiliasi dengan dasar eklesiologis baru.

Evolusi Tobat: Abad 2 dan 3Sumber: Didache, tulisan-tulisan karya Klemens dari Roma, Ignatius dari Antiokia, Polikarpus, Yustinus, Ireneus, dan juga buku berjudul Pastor Hermas. Tentang pelaksanaan pertobatan yang dilakukan terserah kehendak uskup. Sesudah dibaptis, umat hanya akan mendapat penitensi satu kali (Pastor Hermas, Klemens). Keyakinan bahwa semua dosa dapat diampuni tetap hidup di masa ini. Dosa berat diakui di depan umat/Gereja dengan tindakan tobat, lalu Gereja mendamaikan yang bertobat

Hanya uskuplah yang menentukan rekonsiliasi. Pendamaian yang diberikan oleh uskup sebagai pemimpin Gereja sama dengan pendamaian dari Allah sendiri (pax Ecclesiae, pax Dei). Mempertegas keyakinan bahwa semua dosa dapat diampuni, maka pertobatan berlaku untuk semua dosa. Tidak hanya untuk tiga dosa berat (capitalia), yakni murtad atau mengingkari iman, berbuat zinah, dan membunuh.

Tokoh-tokoh abad III seperti Tertulianus, Hipolitus, Ciprianus, Origenes, dll.Tempat duduk pendosa dipisahkan dari umat lain. Para pendosa dimasukkan dalam golongan peniten (ordo paenitentium). Namun ada kekecualian untuk pendosa yang hampir meninggal dunia, mereka tidak terhitung dalam kelompok peniten. Otoritas uskup masih besar..

Abad ke 4Terdapat bentuk-bentuk ritual khusus. [1] untuk yang menjelang ajal: diberi absolusi segera, lalu diberi komuni, tapi kalau sembuh harus menjalani ritual pertobatan biasa, [2] rekonsiliasi para bidaah, yang telah dibaptis, keluar dari Gereja, lalu kembali lagi: ritus khusus dengan penumpangan tangan, kadang didahului pengurapan dengan minyak krisma

[3] bagi klerus: tak masuk golongan peniten, diizinkan menerima komuni, [4] teguran secara rahasia: semacam penitensi pribadi yang bersifat sakramental.

Abad VI-XIITulisan-tulisan Yohanes Casianus (Institutiones Monasticae), Benediktus (Regula Benedicti dan Regula Magistri), dan Columbanus (Regula Caenobialis). Praktek baru itu semula tumbuh dari biara-biara monastik di Irlandia. Dari sana muncul praktek pengakuan dosa pribadi, maka praktek itu sering disebut dengan tobat monastik..

Yang khas adalah munculnya sistem tarifa (dari bahasa Arab: daftar, katalog; daftar dosa dan hukumannya; istilah bahasa Latinnya liber paenitentialis). Pengakuan dapat dilakukan beberapa kali sejauh diperlukan, di hadapan pelayan rekonsiliasi entah rahib, imam, atau diakon. Denda atau penitensinya diberikan menurut tarifa. Berat ringannya denda setara dengan berat ringannya dosa.

Ada sistem tebusan yang diberlakukan untuk membereskan dosa-dosa. Untuk ukuran sekarang terasa agak aneh, tapi itu pernah terjadi. Sistem itu dianut dengan cara pembayaran uang kepada biara dan para rahiblah yang akan melakoni puasa atau mengambil alih tugas peniten. Pada periode ini lahir pula praktek indulgensi (penghapusan hukuman).

Tujuan Pengakuan Pertama, suatu pengakuan asketik, di mana motivasi sebenarnya adalah kebutuhan akan bimbingan rohani, demi perkembangan hidup spiritualnya. Dalam biara-biara rahib atau imam yang dianggap mumpuni menjadi bapa spiritual sekaligus konfesor.

Tujuan Pengakuan Kedua, suatu pengakuan pendosa, yang mengharapkan dosa-dosanya mendapat pengampunan lewat cara melunasi denda. Jadi, motivasinya memang ingin membersihkan diri dari dosa-dosa.

Tujuan Pengakuan Ketiga, motivasinya karena dalam situasi darurat (waktu perang) dan tak ada konfesor, maka pengakuannya disampaikan langsung kepada Allah. Allahlah yang mengampuni dosa. Siapa pun, bahkan pedang atau kuda pun, yang ada di dekatnya bisa dianggap sebagai perwakilan Allah dan pendosa yang kepepet itu mengakukan dosa-dosanya sebelum maut menghadang.

Devosi Pengakuan: Abad Pertengahan - Pra Konsili Vatikan IIPada periode ini muncul sistem parokial. Maka pengakuan wajib setahun sekali yang berkaitan dengan komuni Paskah dapat dilakukan di gereja-gereja paroki (Konsili Lateran IV, 1215, kan. 21). Cara pengakuan semacam ini nantinya menjadi semacam alat kontrol sosial.

Konsili Trente (abad XVI) mengajarkan beberapa poin penting berikut ini: [1] satu-satunya bentuk sah sakramen tobat adalah pengakuan langsung ke telinga seorang imam, [2] imam menentukan denda: serasa seorang hakim dan perayaan sakramen tampak seperti sidang pengadilan, [3] untuk mencegah hal-hal yang kurang baik, sakramen ini diadakan di tempat khusus (bilik/kamar) dengan terali pemisah antara imam dan peniten.

Sekitar abad XVIII-XIX ada anggapan yang dipengaruhi protestantisme bahwa orang awam sebetulnya tidak pantas menyambut komuni, kecuali kalau mengaku dosa lebih dulu. Maka kemudian ditetapkan bahwa sekurang-kurangnya umat mengaku dosa dan menyambut komuni satu kali setahun di sekitar Paskah.

Di awal abad XX Paus Pius X menganjurkan umat (mulai dari yang berusia 7 tahun) untuk kerap menyambut komuni, bahkan setiap hari. Akibatnya: [1] komuni jadi lebih penting daripada misa, [2] karena komuninya kerap, maka pengakuan jadi kerap pula (tak hanya dosa berat), [3] sakramen ini menjadi devosi bagi orang-orang saleh; karena banyak yang antri maka ritualnya dilakukan kilat, [4] banyak umat ke gereja pada hari Minggu, tapi hanya untuk mengaku dosa dan menyambut komuni.

Ordo Paenitentiae (1973)Ordo Paenitentiae menegaskan empat unsur dasar Sakramen Rekonsiliasi: [1] Penyesalan (contritio): perasaan sedih karena dosa yang telah dilakukan dan karena kerugian yang ditimbulkannya, dengan keputusan untuk tidak berdosa lagi di masa mendatang. [2] Pengakuan (confessio): ungkapan dari keadaan peniten seperti apa adanya di hadapan Allah, juga ungkapan sesal yang terkandung dalam hatinya.

[3] Penyilihan (satisfactio): tindakan untuk memuaskan Allah dengan melakukan penitensi atau pemulihan hidup lewat penyesalan, doa, dan matiraga. [4] Pengampunan (absolutio): tanda pemberian maaf oleh Allah kepada pendosa yang menyatakan pertobatannya kepada seorang pelayan Gereja, dan dengan demikian sakramen digenapkan (OP 6).

Ritus 1Pengakuan dan absolusi pribadiCara ini merupakan pembaruan cara pengakuan pribadi tradisional (K. Trente). Unsur barunya adalah pewartaan Sabda Allah, yang dapat juga dilakukan oleh peniten, entah pada saat perayaan pengakuan atau penelitian batin sebelumnya.

Struktur ritus lengkap: [a] penyambutan peniten: salam yang hangat, tanda salib, undangan untuk percaya, [b] pewartaan Sabda (opsional): bacaan (tentang belaskasih Allah dan panggilan untuk bertobat), [c] pengakuan dosa dan penerimaan pelunasan dosa (silih/satisfactio): (saya mengaku/doa tobat), pengakuan, nasihat, usulan penitensi/denda, [d] pernyataan sesal-tobat dan absolusi, [e] seruan pujian bagi Allah dan pengutusan.

Versi pendek, tak boleh meniadakan: [a] pengakuan dosa dan penerimaan pelunasan dosa, [b] pernyataan sesal dan tobat, [c] absolusi, [d] pengutusan. Versi dalam bahaya kematian: Saya membebaskanmu dari dosa-dosamu dalam nama (+) Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin.

Ritus 2Ini merupakan cara baru yang mengajak peniten untuk melakukan persiapan bersama, namun kemudian dapat diteruskan dengan pengakuan pribadi. Meskipun baru, tata cara ini mirip dengan tradisi Gereja perdana.Pola Ritus II ini mengedepankan pentingnya pewartaan Sabda, maka lebih kelihatan sebagai Liturgi Sabda.

Struktur ritus: [a] ritus pembuka: nyanyian, salam, doa imam, [b] perayaan Sabda: bacaan pertama, mazmur tanggapan, bacaan kedua, bait pengantar Injil, bacaan Injil, homili, pemeriksaan batin, [c] ritus rekonsiliasi: doa pengakuan bersama (mis. Saya mengaku), litani/doa jemaat mohon pengampunan, doa Bapa kami, pengakuan dan absolusi pribadi, seruan pujian bagi Allah, doa syukur penutup, [d] ritus penutup: berkat, pengutusan.

Ritus 3Ini ritus yang sama sekali baru. Ada tiga versi: lengkap, pendek, dan darurat. Ritus ini baru berlaku untuk saat-saat khusus yang tidak lazim atau keadaan memaksa, dan diselenggarakan dengan seizin uskup setempat. (OP 31-32).

Misalnya, [a] sedang dalam bahaya maut dan tidak terdapat cukup waktu dan imam untuk mendengarkan pengakuan perorangan (saat perang, kebakaran, atau bencana alam), atau [b] karena jumlah peniten yang banyak sementara jumlah imam dan waktu yang ada tidak memadai untuk mendengarkan pengakuan perorangan (saat peziarahan atau menjelang masa-masa pesta liturgis/menjelang Paskah/Natal). Secara struktural ritus ini tak berbeda dari ritus sebelumnya (Ritus II), kecuali pada bagian penutupnya.

Struktur ritus: [a] ritus pembuka: nyanyian, salam, doa imam, [b] perayaan Sabda: bacaan pertama, mazmur tanggapan, bacaan kedua, bait pengantar Injil, bacaan Injil, homili, instruksi, pemeriksaan batin, [c] ritus rekonsiliasi: doa pengakuan bersama (mis. Saya mengaku) sambil berlutut, litani/doa jemaat mohon pengampunan, doa Bapa kami, pengakuan bersama, absolusi umum, [d] seruan pujian bagi Allah dan penutup: nyanyian, berkat, pengutusan.

Versi pendek: [a] bacaan singkat, [b] instruksi, [c] pengakuan bersama (Saya mengaku), [d] absolusi umum.Versi darurat bahaya kematian: Saya melepaskanmu dari segala dosa: demi nama (+) Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus.Yang masih berdosa berat kendati sudah menerima absolusi umum tetap harus mengakukan dosa beratnya pada pengakuan pribadi setelah rekonsiliasi bersama itu.

Unsur-unsur Utama Ritual TerkiniPelayan sakramen:Yang boleh menerima pengakuan adalah imam (berkat tahbisan suci) dan mempunyai yurisdiksi (kewenangan legal). Yurisdiksi penitensial itulah yang menyebabkan validitas pelayanannya dan absolusinya. Imam sebagai pelayan Gereja adalah sekaligus hakim dan tabib, pelayan keadilan dan belas kasih Allah .

Peran PelayanHakimTabib Pelayan Kerahiman IlahiPelayan Keadilan Ilahi

Ia terikat pada rahasia sakramental, tidak boleh membocorkan rahasia pengakuan (KHK kan. 983). Pelanggaran hukum ini dapat mengakibatkan imam diekskomunikasi.

Nasihat-nasihatnya hendaklah bersifat membebaskan (liberatif) dan memulihkan (kuratif), bukan mengutuk dan memojokkan. Kualitas yang diharapkan: kebaikan hati (goodness), pengetahuan (knowledge), dan kebijaksanaan (prudence). Keutamaan lain: sabar (terhadap siapa pun dan apa pun dosanya), rendah hati (belum tentu pelayan lebih baik daripada penitennya), murni hati (selalu menjaga diri dengan olah spiritual), dsb.

Tugas dan kewajiban: [a] siap menerima kapan pun bila ada yang mau mengaku dosa dan terikat mendengarkan pengakuan, [b] tampil sebagai hakim spiritual yang bijaksana, [c] melepaskan dosa-dosa melalui absolusi yang resmi, [d] bahkan dapat juga menolak atau menunda memberi absolusi jika peniten belum layak menerimanya,

[e] sebagai tabib/dokter/penyembuh dan bapa spiritual ia menyelidiki penyebab dosa itu dan memberikan obat untuk menyembuhkannya, [f] jika salah (dalam hal nasihat kepada peniten) ia harus juga meralat kesalahannya menyangkut keabsahan sakramentalnya. Beberapa kewenangan dan aturan lainnya terdapat dalam Kitab Hukum Kanonik (kan. 965-986).Imam mengenakan busana liturgis yang sesuai atau yang ditetapkan oleh Odinaris Wilayah (OP 14).

Peniten/pentobat:Yang boleh mengaku dosa dalam sakramen ini adalah orang beriman kristiani (sesuai KHK: orang Katolik) yang menyesali dosa dan berniat memperbaiki diri, bertobat kembali kepada Allah (KHK kan. 987). Ia bebas memilih imam kepada siapa hendak mengaku dosa. Dapat juga ia mengaku dengan pendamping seorang penerjemah yang dijamin dapat menjaga kerahasiaan dan tak akan ada penyalahgunaan dan sandungan lainnya (KHK kan. 990).

Disposisi yang diharapkan dari peniten dan menentukan keutuhan dan kesempurnaan penghapusan dosanya adalah [a] rasa penyesalan, [b] pengakuan dosa, dan [c] penerimaan penitensi/silih/denda/satisfactio dan memenuhi atau melaksanakannya.. Kewajiban: Jika umat ingin bertobat maka ia wajib mengakukan dosa berat dan ringan dengan dasar rasa sesal-tobat yang sungguh, minimal setahun satu kali (sesuai perhitungan tahun biasa, atau tahun liturgis: mulai dari Adven atau Paskah).

Forma dan formula:Saat simbolis terpenting adalah ketika imam menumpangkan tangan (sekurangnya tangan kanan saja) di atas kepala peniten selama mengucapkan formula absolusi. Tata gerak yang telah berabad-abad ini seolah menjadi satu-satunya simbol yang ada dalam sakramen ini. Alangkah baiknya jika simbolisme ini juga dapat dilihat oleh umat lain, tak hanya si peniten.

Catatan Pastoral LiturgisYang paling banyak dipraktekkan di gereja-gereja di seluruh dunia adalah Ritus I, pengakuan dan absolusi pribadi/perorangan. Idealnya Ritus I ini dapat dilaksanakan dalam konteks bimbingan rohani yang tidak terlalu terikat waktu. Sehingga baik pelayan maupun peniten dapat sungguh menghayati perannya dan menikmatinya.

Ritus II memang lebih kaya isinya dan bisa lebih efektif dalam pelaksanaannya. Beberapa kesulitan: [1] ketersediaan jumlah imam yang mencukupi untuk sejumlah umat yang mau mengaku dosa perorangan,[2] biasanya sulit untuk bisa mengumpulkan umat kembali setelah pengakuan pribadi itu dan bersama-sama menyerukan pujian syukur atas kerahiman Allah dan menutup perayaan tobat kolektif itu, [3] adanya saat kosong bagi mereka yang menunggu saat pujian syukur bersama dan penutupan ibadat, selama orang-orang sedang mengaku dosa pribadi.

Secara teologis dan liturgis Ritus III ini sudah mencitrakan suatu ibadat jemaat, bercorak umum/bersama. Sayangnya, pelaksanannya sangat tergantung pada izin uskup diosis, yang berpegang pada beberapa persyaratan yang ada. Peraturan yang terasa agak kaku itu dianggap sebagai bentuk ketakutan jika saja praktek pengakuan perorangan malah ditinggalkan. Benarkah akan begitu?

Mengapa dihindari?Tidak tahu makna dan tujuannyaMaluTakutMengkambinghitamkan yang lainMelepaskan tanggungjawabDLL