View
0
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
HUBUNGAN KECUKUPAN ZAT GIZI DAN DIETARY
DIVERSITY SCORES (DDS) DENGAN STATUS GIZI
BALITA USIA 12-59 BULAN DI DESA BABAN,
KECAMATAN GAPURA, SUMENEP
Novita Tri Supriyanti1, Triska Susila Nindya2
1Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya 2Departemen Gizi Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga, Surabaya
ABSTRAK
Malnutrisi pada masa balita seperti underweight, stunting, dan wasting merupakan
masalah utama yang dihadapi oleh berbagai negara berkembang di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Prevalensi underweight dan stunting masih tinggi di kecamatan
Gapura, dimana Desa Baban memberikan kontribusi yang paling besar terhadap masalah
gizi di Kecamatan Gapura. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara kecukupan energi, vitamin A, zinc dan dietary diversity scores dengan status gizi
balita usia 12-59 bulan di Desa Baban, Kecamatan Gapura, Sumenep. Penelitian ini
merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross-sectional. Besar sampel
adalah 52 balita yang dipilih secara simple random sampling. Pengumpulan data primer
didapatkan dari hasil pengukuran antropometri balita dan wawancara dengan ibu balita
menggunakan kuesioner, formulir food recall 2 x 24 jam, dan formulir DDS. Hasil
penelitian menunjukkan sebagian besar diet balita tidak beragam, konsumsi energi dan
protein adekuat sedangkan konsumsi vitamin A dan zinc tidak adekuat. Terdapat
hubungan antara jumlah konsumsi energi (p=0,020), protein (p=0,004), vitamin A
(p=0,032), dan zinc (p=0,005) dengan status gizi BB/U. Selain itu, terdapat hubungan
antara konsumsi zinc (p=0,031) dengan TB/U dan jumlah konsumsi protein (p=0,05)
dengan BB/TB. Namun tidak terdapat hubungan antara dietary diversity scores dengan
status gizi balita. Oleh karena itu, perlu peningkatan konsumsi balita terhadap diet yang
beragam.
Kata kunci: kecukupan zat gizi, DDS, status gizi
ABSTRACT The problem of malnutrition in young children such as underweight, stunting, and
wasting remains a major nutritional problems faced in developing countries around the
world including Indonesia. The prevalence of underweight and stunting are quite high in
Gapura district, expecially in Baban village.The purpose of this study was to analyze the
relationship between consumption of energy, protein, vitamin A, zinc, and dietary
diversity scores with nutritional status of children aged 12-59 months in Baban village,
Gapura district, Sumenep. This study was an observational analytic study with cross-
sectional design. Around 52 children were selected by simple random sampling. The
collection of primary data obtained from the result of anthropometric measurement of
children and based on interview with mothers using questionnaire, food recall 2 x 24
hours and DDS form. The results showed that the dietary diversity was low, the energy
and protein consumption were adequate but vitamin A and zinc were inadequate. There
was a significant correlation between the amount of consumption of energy (p=0,020),
protein (p=0,004), vitamin A (p=0,032), and zinc (p=0,005) with underweight. There was
also a significant correlation between zinc’s consumption (p=0,031) with stunting and
between protein’s consumption with wasting. However, there was no correlation between
dietary diversity scores with children’s nutritional status. Therefore, it is important to
increase children’s consumption of varied diet.
Keywords: nutrient adequacy, DDS, nutritional status
PENDAHULUAN
Masa balita terutama periode dua
tahun pertama kehidupan merupakan
periode emas (golden age) sekaligus
kritis bagi seorang balita karena
mengalami tugas pertumbuhan dan
perkembangan yang sangat pesat. Oleh
karena itu, terjadinya gangguan gizi di
masa tersebut dapat bersifat permanen
dan tidak dapat pulih kembali walaupun
kebutuhan gizi di masa selanjutnya
terpenuhi (Adriani dan Wirjatmadi,
2012). Selain itu, masalah gangguan gizi
juga sering ditemukan pada anak usia
kurang dari lima tahun karena pada usia
ini aktivitas anak mulai meningkat,
namun asupan makanan cenderung
berkurang karena anak mengalami
kesulitan makan. Sehingga, masalah
gangguan gizi adalah sama besarnya
baik pada anak usia <2 tahun maupun
>2 tahun (FSNAU, 2014).
Masalah gizi kurang pada balita
seperti underweight, stunting, dan
wasting masih merupakan masalah gizi
utama yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang di dunia termasuk
Indonesia. Prevalensi stunting di negara-
negara berkembang pada tahun 2011
mencapai 28% atau 165 juta anak
menderita stunting dan 52 juta anak
menderita wasting di seluruh dunia
(Black, et al, 2013).
Menurut data riskesdas 2010 dan
profil kesehatan Provinsi Jawa Timur
tahun 2012 menunjukkan bahwa
prevalensi gizi kurang pada balita di
Jawa Timur masih cukup tinggi.
Prevalensi balita gizi kurang di Provinsi
Jawa Timur pada tahun 2010 dengan
indeks BB/U sebesar 12,3% dan gizi
buruk sebesar 4,8% menurun menjadi
10,3% dan 2,3% pada tahun 2012.
Sedangkan prevalensi pendek pada
balita dengan indeks TB/U sebesar
14,9% dan balita sangat pendek sebesar
20,9% mengalami peningkatan pada
tahun 2012 menjadi 18,0% dan 12,1%.
Selain itu, prevalensi balita kurus
sebesar 7,3% dan prevalensi balita
sangat kurus sebesar 6,8%, pada tahun
2012 prevalensi balita kurus mengalami
peningkatan menjadi 8,5% dan 3,9%
prevalensi balita sangat kurus
(Kemenkes, 2010).
Berbagai faktor yang
menyebabkan masalah gizi kurang pada
balita dibedakan menjadi dua yaitu
faktor langsung dan tidak langsung.
Faktor langsung berkaitan erat dengan
asupan makanan dan infeksi sedangkan
faktor tidak langsung berkaitan dengan
aspek pengetahuan, pola pengasuhan,
sosial-ekonomi, pelayanan kesehatan
dan sebagainya (Adriani dan
Wirjatmadi, 2012). Secara fisiologis,
balita sedang dalam masa pertumbuhan
sehingga kebutuhan energi relatif lebih
besar dibandingkan orang dewasa.
Ketidaksesuaian antara jumlah zat gizi
yang diperoleh dari makanan (pola
konsumsi) dengan kebutuhan tubuh,
akan mendorong terjadinya gangguan
gizi pada balita (Marimbi, 2010). Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan pada tahun 2012 di wilayah
kerja Puskesmas Wonorejo Pasuruan
yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara pola asuh dan tingkat
konsumsi dengan kejadian status gizi
kurang pada balita usia 24-60 bulan
(Oktafiani, 2012).
Salah satu Kabupaten dari 6
Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur
dengan status DBK (daerah bermasalah
kesehatan) adalah Kabupaten Sumenep
(Kemenkes RI, 2012). Masalah gizi
balita merupakan masalah kesehatan
yang masih banyak dijumpai pada
populasi umum di berbagai daerah di
Provinsi Jawa Timur, termasuk di
kabupaten Sumenep. Data PSG Jawa
Timur tahun 2012 menunjukkan bahwa
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di
Kabupaten Sumenep sebesar 13,1% dan
4,9%. Sedangkan berdasarkan data PSG
Kabupaten Sumenep tahun 2012,
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk
atau kurang energi protein total dengan
indikator BB/U cenderung menurun dari
15,7% pada tahun 2010 menjadi 14,2%
pada tahun 2012.
Prevalensi angka gizi kurang dan
gizi buruk di Kabupaten Sumenep
tersebut, walaupun telah mengalami
penurunan namun masih lebih tinggi
jika dibandingkan dengan rata-rata
angka gizi kurang dan gizi buruk di
Provinsi Jawa Timur yaitu sebesar
10,3% dan 2,3% (BPS, 2012). Selain itu,
penurunan yang terjadi belum dikatakan
optimal artinya kasus gizi kurang belum
mampu terselesaikan dan terjadi
kesenjangan yang cukup tinggi antar
puskesmas atau kecamatan karena
penurunan prevalensi gizi kurang dan
gizi buruk tersebut, hanya terjadi pada
tingkat kabupaten namun belum pada
tingkat puskesmas atau kecamatan.
Salah satu kecamatan dengan
prevalensi gizi kurang yang cukup tinggi
di Kabupaten Sumenep adalah
kecamatan Gapura. Berdasarkan data
hasil kegiatan pemantauan status gizi
(PSG) dengan indikator BB/U pada
tahun 2012 di Kecamatan Gapura
diketahui prevalensi balita dengan BB
kurang sebesar 13,5% dari 192 balita
yang diukur. Sedangkan menurut indeks
TB/U prevalensi balita pendek sebesar
30,7% atau sebanyak 59 balita pendek
dari 192 balita yang diukur. Selain itu,
pada tahun 2012 jumlah balita BGM di
Kecamatan Gapura adalah 94 balita atau
sekitar 5,2% dari 1823 balita yang
diukur berat badannya. Terdapat 17 desa
di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan
Gapura, dan salah satu desa dengan
prevalensi balita dengan gizi kurang
terbanyak di Kecamatan Gapura adalah
Desa Baban. Berdasarkan data
penimbangan di Posyandu pada tahun
2013 prevalensi gizi kurang dengan
indikator BB/U di Desa Baban sebesar
9,6% dari total 136 balita. Sehingga,
Desa Baban memberikan kontribusi
yang cukup besar terhadap masalah gizi
kurang yang terjadi di wilayah kerja
Puskesmas Gapura.
Ada berbagai faktor yang
mempengaruhi status gizi balita
terutama di Kabupaten Sumenep.
Penyebab utama gizi buruk di
Kabupaten Sumenep pada tahun 2012
adalah karena penyakit infeksi sebesar
38,5% dan pola asuh sebesar 23,1%
(Seksi Gizi Dinkes Kabupaten Sumenep,
2012). Pola asuh berpengaruh terhadap
pola pemberian makan pada balita.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis hubungan kecukupan
energi, protein, vitamin A, zinc, dan
skor keragaman konsumsi dengan status
gizi balita usia 12-59 bulan di Desa
Baban, Kecamatan Gapura, Kabupaen
Sumenep.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional analitik dengan desain
cross sectional. Sampel dari penelitian
ini adalah 52 balita yang berusia 12-59
bulan yang terpilih secara acak dengan
metode simple random sampling dan
bertempat tinggal di Desa Baban,
Kecamatan Gapura, Kabupaten
Sumenep. Sedangkan responden
penelitian adalah ibu dan atau pengasuh
dari balita yang terpilih sebagai sampel
dalam penelitian ini.
Ada dua macam data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu
Pengumpulan data primer dan data
sekunder. Data primer yang
dikumpulkan, meliputi karakteristik
keluarga, karakteristik balita, keragaman
konsumsi (DDS) dan jumlah konsumsi
yang didapatkan melalui wawancara
dengan ibu balita menggunakan
kuesioner, form food recall 2 x 24 jam
serta formulir DDS. Pengukuran
keragaman konsumsi dengan
mengevaluasi kelompok makanan yang
telah dikonsumsi dalam satu periode
waktu, 12 kelompok makanan untuk
tingkat rumah tangga, 9 kelompok
makanan untuk tingkat individu dan 7
kelompok makanan untuk balita berusia
6-23 bulan. Konsumsi dikatakan
beragam apabila jumlah kelompok
makanan yang dikonsumsi ≥4 (FAO,
2011 dan WHO, 2008). Data status gizi
balita yaitu berat badan dan tinggi badan
balita diperoleh dari hasil pengukuran
antropometri dengan menggunakan alat
ukur antropometri yaitu timbangan
digital untuk mengukur berat badan dan
microtoise/ length board untuk
mengukur tinggi badan/panjang badan
balita.
Pengumpulan data sekunder
dilakukan untuk melengkapi data
primer. Data ini didapat dari berbagai
instansi seperti dinas kesehatan,
puskesmas, posyandu, kantor
kecamatan/kelurahan. Adapun data
sekunder yang dikumpulkan, antara lain:
data berat badan lahir, panjang badan
lahir dan kelengkapan imunisasi dasar
diperoleh melalui catatan yang terdapat
di KMS balita dan dikonfirmasi pada
bidan desa setempat.
Teknik analisis data yang
digunakan untuk mengetahui hubungan
antara keragaman konsumsi (DDS)
dengan status gizi balita menggunakan
uji chi-square dengan α = 0,05 dan
apabila tidak memenuhi syarat
menggunakan uji Fisher’s exact.
Sedangkan untuk mengetahui kekuatan
hubungan menggunakan uji korelasi
koefisien kontingensi. Analisis data
yang digunakan untuk mengetahui
hubungan antara jumlah konsumsi zat
gizi dengan status gizi balita
menggunakan uji korelasi pearson
dengan α = 0,05.
Tabel 1. Karakteristik Keluarga dan
Karakteristik Balita di Desa Baban,
Kecamatan Gapura, Sumenep Tahun
2014
Variabel n %
Karakteristik Keluarga
Umur Balita
≤ 24 bulan (younger
age)
>24 bulan (older
age)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Berat Badan Lahir
BB lahir normal (>
2500 gram)
BB lahir rendah (≤
2500 gram)
Tidak diukur BB
lahir/tidak ada
catatan
8
44
27
25
46
3
3
15,4
84,6
51,9
48,1
88,4
5,8
5,8
Variabel n %
Panjang Badan Lahir
PB lahir normal (48-
52 cm)
BB lahir rendah (<
48 cm)
Tidak diukur PB
lahir/tidak ada
catatan
28
5
19
53,9
9,6
36,5
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa mayoritas balita
berusia > 24 bulan (84,6%), berjenis
kelamin laki-laki (51,9%), serta
memiliki berat badan lahir dan panjang
badan lahir normal masing-masing
sebesar 88,4% (Tabel 1).
Tabel 2. Keragaman Konsumsi dan Tingkat
Konsumsi Zat Gizi Pada Balita di
Desa Baban, Kecamatan Gapura,
Sumenep Tahun 2014
Variabel n %
Keragaman Konsumsi
Diet Tidak Beragam (Skor
DDS < 4)
Diet Beragam (Skor DDS ≥
4)
Tingkat Konsumsi Energi
Adekuat (≥ EAR)
Inadekuat (< EAR)
Tingkat Konsumsi Protein
Adekuat (≥ EAR)
Inadekuat (< EAR)
Tingkat Konsumsi Vitamin A
Adekuat (≥ EAR)
Inadekuat (< EAR)
Tingkat Konsumsi Zinc
Adekuat (≥ EAR)
Inadekuat (< EAR)
43
9
29
23
37
15
16
36
14
38
82,7
17,3
55,8
44,2
71,2
28,8
30,8
69,2
26,9
73,1
Jenis makanan yang paling
banyak dikonsumsi oleh balita adalah
dari sumber padi-padian, daging, dan
produk peternakan. Sebagian besar skor
keragaman konsumsi balita (DDS) balita
adalah < 4 jenis pangan yang
dikonsumsi, sehingga dikategorikan
sebagai diet yang tidak beragam sebesar
82,7%. Jumlah balita dengan diet yang
beragam (skor DDS ≥ 4 ) adalah sebesar
17,3%. Selain itu, Berdasarkan hasil
wawancara dengan food recall 2x24 jam
didapatkan hasil rata-rata jumlah
konsumsi energi adalah 1059,4 ± 364,80
(kkal), protein 27,81 ± 10,69 (gr),
vitamin A 268,97 ± 282,19 (mcg), dan
Zn 3,09 ±1,55 (mg). Sebagian besar
tingkat konsumsi balita terhadap energi
dan protein adalah adekuat masing-
masing sebesar 55,8% dan 71,2%,
sedangkan tingkat konsumsi balita
terhadap vitamin A dan Zn adalah
inadekuat yakni sebesar 30,8% dan
26,9% (Tabel 2).
Tabel 3. Status Gizi Balita Balita
Berdasarkan Indeks BB/U, TB/U,
dan BB/TB di Desa Baban,
Kecamatan Gapura, Sumenep Tahun
2014
Status Gizi Balita n %
BB/U
Kurang
Normal
TB/U
Pendek
Normal
BB/TB
Kurus
Normal
20
32
30
22
4
48
38,5
61,5
57,7
42,3
7,7
92,3
Bedasarkan hasil pengukuran
antropometri BB dan TB balita dapat
ditentukan status gizi balita saat ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar status gizi balita BB/U
adalah normal (61,5%), sedangkan balita
dengan status gizi BB/U kurang sebesar
38,5%. Sebagian besar balita memiliki
status gizi TB/U pendek (57,7%),
sedangkan balita dengan status gizi
TB/U normal sebesar 42,3%. Selain itu,
sebagian besar status gizi balita dengan
indeks BB/TB adalah normal (92,3%)
dan hanya 7,7% balita dengan status gizi
BB/TB kurus (Tabel 3).
Tabel 4. Hubungan Antara Keragaman Konsumsi dengan Status Gizi Balita di Desa Baban,
Kecamatan Gapura, Sumenep Tahun 2014
Status Gizi Balita
Keragaman Konsumsi
Diet Tidak Beragam (skor
DDS < 4)
Diet Beragam (Skor
DDS ≥ 4)
p-value
n % n %
BB/U
Kurang
Normal
TB/U
Pendek
Normal
BB/TB
Kurus
Normal
18
25
26
17
4
39
41,9
58,1
60,5
39,5
9,3
90,7
2
7
4
5
0
9
22,2
77,8
44,4
55,6
0
100
0,454
0,468
1,000
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pada balita dengan diet beragam
lebih banyak ditemukan status gizi
BB/U normal sebesar 77,8%; TB/U
normal sebesar 55,6%; dan 100% balita
memiliki status gizi BB/TB normal
sedangkan, kecendrungan balita untuk
memiliki status gizi BB/U kurang, TB/U
pendek, dan BB/TB kurus lebih banyak
ditemukan pada balita dengan diet tidak
beragam. Hasil uji statistik dengan
α=0,05 menunjukkan nilai p > 1
sehingga tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara dietary diversity scores
(DDS) dengan status gizi balita baik
dengan indeks BB/U, TB/U, maupun
BB/TB (Tabel 4).
Tabel 5. Hasil Uji Korelasi Linear Pearson Antara Jumlah Konsumsi Zat Gizi Dengan Z-Score Status
Gizi Balita di Desa Baban, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep Tahun 2014
Variabel Bebas Variabel Terikat p-value Keterangan
Konsumsi Energi Z-Score status gizi BB/U 0,020 Signifikan
Z-Score status gizi TB/U 0,161 Tidak Signifikan
Z-Score status gizi BB/TB 0,203 Tidak Signifikan
Konsumsi Protein Z-Score status gizi BB/U 0,004 Signifikam
Z-Score status gizi TB/U 0,135 Tidak Signifikan
Z-Score status gizi BB/TB 0,05 Signifikan
Konsumsi Vitamin A Z-Score status gizi BB/U 0,032 Signifikan
Z-Score status gizi TB/U 0,350 Tidak Signifikan
Z-Score status gizi BB/TB 0,061 Tidak Signifikan
Konsumsi Zn Z-Score status gizi BB/U 0,005 Signifikan
Z-Score status gizi TB/U 0,031 Signifikan
Z-Score status gizi BB/TB 0,126 Tidak Signifikan
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan jumlah konsumsi energi
signifikan dengan status gizi balita
BB/U dengan koefisien korelasi 0,322
(nilai mendekati 0) yang artinya
semakin rendah konsumsi energi maka
semakin rendah pula nilai z-score atau
status gizi balita menurut BB/U tersebut.
Jumlah konsumsi protein juga signifikan
dengan status gizi BB/U dan BB/TB
masing-masing dengan koefisien
korelasi 0,390 dan 0,273 yang artinya
semakin rendah asupan protein maka
semakin rendah pula status gizi menurut
BB/U dan BB/TB. Selain itu, konsumsi
vitamin A signifikan terhadap status gizi
BB/U dengan koefiesien korelasi 0,298
yang artinya semakin rendah asupan
vitamin A maka semakin rendah pula
status gizi BB/U. Satu-satunya
mikronutrien yang signifikan terhadap
status gizi TB/U pada balita adalah zinc.
Jumlah konsumsi zinc berhubungan
dengan status gizi balita BB/U dan
TB/U masing-masing dengan koefisien
korelasi 0,385 dan 0,299 yang artinya
semakin rendah asupan zinc maka
semakin rendah pula status gizi BB/U
dan TB/U pada balita tersebut (Tabel 5).
PEMBAHASAN
Karakteristik Balita
Karakteristik balita adalah
berbagai hal mendasar yang melekat
pada diri balita diantaranya, usia, jenis
kelamin, berat badan lahir dan panjang
badan lahir. Jumlah subjek yang diteliti
dalam penelitian ini adalah 52 balita
yang berusia 12-59 bulan yang
diklasifikasikan menjadi ≤ 24 bulan dan
> 24 bulan. Usia 1-5 tahun merupakan
kelompok umur yang rawan gizi dan
rawan penyakit, karena pada usia ini
terjadi transisi dari makanan bayi
menjadi makanan orang dewasa dan
anak lebih banyak menghabiskan waktu
untuk bermain dan beraktivitas di luar
(Adriyani dan Wirjatmadi, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar usia
balita adalah > 24 bulan.
Selain itu, jenis kelamin
menentukan pada besar kecilnya
kebutuhan gizi seseorang. Beberapa
hasil penelitian yang menghubungkan
antara jenis kelamin dengan status gizi
balita menunjukkan hasil yang
inkonsisten. Penelitian yang dilakukan
di Ghana menunjukkan bahwa
underweight, stunting, dan wasting lebih
banyak ditemukan pada anak perempuan
dibandingkan anak laki-laki (Eunice dan
Sarah, 2013). Sedangkan penelitian di
Bangladesh menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan status gizi antara anak
laki-laki dan anak perempuan (Mohsena
et al, 2010). Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa jumlah
balita yang berjenis kelamin laki-laki
dan perempuan dalam penelitian ini
dengan perbandingan yang seimbang.
Parameter lain yang juga
berpengaruh terhadap status gizi balita
adalah berat badan lahir dan panjang
badan lahir. Bayi yang dilahirkan
dengan berat badan dan panjang badan
lebih rendah berisiko 2,94 kali untuk
menglami underweight dan berisiko 2,3
kali untuk mengalami stunting
dibandingkan bayi yang dilahirkan
dengan berat badan dan panjang badan
normal (Gewa dan Nannette, 2012).
Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar
balita memiliki berat badan lahir normal
(> 2500 gr) dan panjang badan lahir
normal (48-52 cm).
Status Gizi
Status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk
variabel tertentu, atau perwujudan dari
nutriture dalam bentuk variabel tertentu
(Supariasa dkk, 2001). Sebagian besar
balita memiliki status gizi BB/U normal,
TB/U pendek, dan BB/TB normal.
Balita dengan status gizi baik cenderung
memiliki status kesehatan yang juga
baik. Hal ini karena status gizi memiliki
hubungan yang sinergistik dengan
kejadian infeksi, malnutrisi
meningkatkan morbiditas dan
kerentanan balita terhadap sejumlah
penyakit infeksi karena respon imun
yang terganggu (imunodefisiensi)
seperti berkurangnya jumlah produksi
antibodi SigA bila dibandingkan dengan
anak yang tidak mengalami malnutrisi
(Rodriguez et al, 2011). Dengan
demikian, anak yang memiliki status
gizi baik cenderung memiliki kondisi
kesehatan yang juga baik.
Hubungan Antara Keragaman
Konsumsi dengan Status Gizi Balita Sebagian besar konsumsi balita
adalah tidak beragam (skor DDS < 4).
Rata-rata balita hanya mengkonsumsi 3
jenis kelompok makanan antara lain dari
sumber padi-padian, daging, dan produk
peternakan. Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara keragaman konsumsi
dengan status gizi balita berdasarkan
indeks BB/U, TB/U, maupun BB/TB.
Hal ini tidak sejalan dengan hasil survey
demografi pada 11 negara yang
dilakukan oleh Arimond dan Ruel
(2004) yang menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara keragaman
konsumsi dengan status gizi TB/U pada
balita usia 6-23 bulan.
Walaupun secara statistik hasil
penelitian di Desa Baban menunjukkan
hubungan yang tidak signifikan antara
keragaman konsumsi dengan status gizi
balita, namun berdasarkan hasil tabulasi
silang antara status gizi dengan
keragaman konsumsi dapat terlihat
bahwa kecendrungan atau potensi balita
untuk memiliki status gizi normal
berdasarkan indeks BB/U, TB/U,
maupun BB/TB lebih besar pada balita
dengan diet yang beragam daripada
yang tidak beragam. Hal ini karena skor
keragaman konsumsi menunjukkan
jumlah dan jenis pangan yang
dikonsumsi oleh balita. Semakin tinggi
skor keragaman konsumsi (dietary
diversity scores) maka semakin beragam
pula jenis makanan yang dikonsumsi
oleh balita.
Makanan yang beragam menjadi
parameter kualitas diet, yang mana
berbagai kebutuhan zat gizi dapat
terpenuhi melalui makanan yang
beragam tersebut. Dietary diversity
scores berhubungan dengan kualitas dan
kecukupan zat gizi (nutrient adequacy)
pada balita (Daniels, 2006). Sehingga,
kecukupan zat gizi tersebut pada
akhirnya berpengaruh terhadap status
gizi balita (Branca dan Ferrari, 2002).
Dietary diversity scores berhubungan
dengan hasil pengukuran antropometri
(Kennedy et al, 2007).
Hubungan Antara Jumlah Konsumsi
Energi, Protein, Vitamin A, dan Zinc
dengan Status Gizi Balita
Penyakit KEP atau kekurangan
energi protein pada balita merupakan
akibat defisiensi konsumsi terhadap
energi dan protein. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar
tingkat konsumsi balita terhadap energi
dan protein adalah adekuat. Hasil uji
korelasi pearson antara jumlah
konsumsi energi dengan status gizi
BB/U menunjukkan p=0,020 yang
berarti terdapat hubungan antara jumlah
konsumsi energi dengan status gizi
balita BB/U. Selain itu, jumlah
konsumsi protein juga berhubungan
secara signifikan dengan status gizi
balita BB/U dan BB/TB masing-masing
dengan nilai signifikansi p=0,004 dan
p=0,05. Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Bungangan Kota Semarang yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi
asupan energi dan protein maka status
gizi balita semakin baik (Rarastiti,
2013). Energi dibutuhkan untuk
mempertahankan hidup guna menunjang
proses pertumbuhan dan melakukan
aktivitas. Kekurangan energi akan
terjadi bila konsumsi energi melalui
makanan kurang dari energi yang
dikeluarkan sehingga tubuh akan
mengalami keseimbangan energi
negatif. Bila terjadi pada bayi dan anak-
anak akan menghambat pertumbuhan
(Almatsier, 2001). Protein berperan
dalam pertumbuhan dan pemeliharaan
jaringan, pembentukan senyawa tubuh
yang esensial, regulasi keseimbangan
air, mempertahankan netralitas tubuh,
pembentukan antibodi, dan transport zat
gizi (Muchtadi, 2009).
Selain itu, hasil uji statistik
menunjukkan hubungan yang tidak
signifikan antara jumlah konsumsi
energi dan protein dengan status gizi
TB/U. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian di Desa Batulawang,
Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur
yang menyatakan bahwa tidak terdapat
hubungan antara jumlah konsumsi
energi dengan status gizi TB/U. Hal ini
karena jumlah konsumsi energi hanya
menggambarkan keadaan konsumsi saat
ini, sedangkan status gizi TB/U
menggambarkan riwayat gizi masa lalu
yang merupakan akumulasi dari jumlah
konsumsi saat ini dan masa lalu.
Demikian pula jumlah konsumsi protein
menunjukkan hubungan yang negatif
dengan status gizi TB/U, hal ini
disebabkan karena penggunaan protein
tersebut belum memadai dan efisien
untuk proses pertumbuhan linear
(Hanum, et al, 2014 ).
Berbagai mikronutrien seperti
vitamin dan mineral dibutuhkan dalam
tubuh untuk menunjang proses
pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan
dapat disebabkan oleh kurang
adekuatnya asupan zat gizi seperti
energi dan protein serta beberapa
mikronutrien seperti vitamin A dan Zn
(Branca dan Ferrari, 2002). Berdasarkan
hasil penelitian di Desa Baban
menunjukkan bahwa sebagian besar
tingkat konsumsi balita terhadap
mikronutrien seperti, vitamin A dan Zn,
adalah tidak adekuat.
Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa jumlah konsumsi Zn memiliki
hubungan yang signifikan dengan status
gizi BB/U dan TB/U. Zinc memegang
peranan yang esensial dalam banyak
fungsi tubuh seperti, kofaktor pada
berbagai enzim, berperan dalam fungsi
kekebalan fungsi sel T dan pembentukan
antibodi oleh sel B. kekurangan zinc
dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan seperti tubuh pendek
(Almatsier, 2001). Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan
di Kecamatan Tembalang Kota
Semarang yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara kejadian
stunting dengan kecukupan zinc pada
balita usia 6-35 bulan (Anindita, 2012).
Penelitian serupa juga pernah dilakukan
di Kamerun yang menunjukkan bahwa
pada anak-anak yang menderita stunting
cenderung ditemukan kadar plasma zinc
dalam darah yang rendah (Reina et al,
2014).
Selain itu hasil uji statistik antara
jumlah konsumsi vitamin A dengan
status gizi BB/U menunjukkan
hubungan yang signifikan dengan nilai
p=0,032. Hal ini sejalan dengan peranan
vitamin A dalam berbagai fungsi faali
tubu seperti, penglihatan, diferensiasi
sel, fungsi kekebalan tubuh,
pertumbuhan dan perkembangan
(Almatsier, 2001). Penelitian serupa
juga pernah dilakukan di India yang
menunjukkan bahwa anak-anak yang
tidak memperoleh asupan vitamin A
adekuat memiliki prevalensi stunting,
underweight, dan wasting yang lebih
tinggi dibandingkan dengan anak-anak
yang memperoleh vitamin A adekuat.
Defisiensi vitamin A meningkatkan
risiko morbiditas, mortalitas, dan
penyakit infeksi yang lebih tinggi pada
anak (Semba et al, 2010).
Sementara itu, hasil uji statistik
menunjukkan tidak terdapatnya
hubungan antara jumlah konsumsi
vitamin A dengan status gizi TB/U
maupun BB/TB serta jumlah konsumsi
Zn juga menunjukkan hubungan yang
tidak signifikan dengan status gizi
BB/TB. Tidak terdapatnya hubungan
antara jumlah konsumsi mikronutrien
dengan status gizi balita di daerah
penelitian dapat disebabkan karena tidak
adanya perbedaan jumlah konsumsi
berbagai mikronutrien tersebut baik
pada balita dengan status gizi kurang
maupun gizi normal yakni sebagian
besar tingkat konsumsinya adalah tidak
adekuat.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sebagian besar balita berusia > 24
bulan, berjenis kelamin laki-laki dan
memiliki berat badan lahir serta panjang
badan lahir normal. Diet balita adalah
tidak beragam, tingkat konsumsi energi
dan protein adekuat sedangkan tingkat
konsumsi vitamin A dan Zn adalah
inadekuat. Sebagian besar balita
memiliki status gizi BB/U normal, TB/U
pendek, dan BB/TB normal.
Terdapat hubungan yang
signifikan antara jumlah konsumsi
energi, protein, vitamin A dan Zn
dengan status gizi BB/U. Terdapat juga
hubungan yang signifikan antara jumlah
konsumsi Zn dengan status gizi TB/U
serta jumlah konsumsi protein dengan
status gizi BB/TB. Sementara itu, tidak
terdapat hubungan antara skor
keragaman konsumsi (DDS) dengan
status gizi balita baik dengan indeks
BB/U, TB/U, maupun BB/TB.
Upaya untuk meningkatkan status
gizi balita daerah penelitian dapat
dilakukan dengan meningkatkan
konsumsi balita terhadap sumber energi,
protein, vitamin A, dan Zn melalui
kegiatan sosialisasi, pelatihan dan
penyuluhan pada ibu balita tentang
pemilihan dan pengolahan makanan
yang beragam dan bergizi seimbang
pada balita. Selain itu, upaya untuk
menurunkan kejadian stunting dapat
dilakukan dengan pemberian
supplementasi Zn dan fortifikasi Zn
pada makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M., B. Wirjatmadi, 2012.
Pengantar Gizi Masyarakat.
Kencana Predana Media Group.
Jakarta
Almatsier, S., 2001. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. Gramedia. Jakarta
Anindita, Putri, 2012. Hubungan
Tingkat Pendidikan Ibu,
Pendapatan Keluarga, Kecukupan
Protein & Zinc dengan Stunting
(Pendek) Pada Balita usia 6-35
Bulan di Kecamatan Tembalang
Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol.1, hal.617-626
Arimond, M. & Ruel, M.T. 2004.
Dietary Diversity Is Associated
with Child Nutritional Status:
Evidence from 11 Demographic
and Health Surveys1,2. The Journal
of Nutrition. vol. 134, pp. 2579-85.
Black, E.R., C.G. Victora., S.P. Walker.,
Z.A. Bhutta., P. Christian., M.D.
Onis., M. Ezzati., S.G. McGregor.,
J. Katz., R. Martorell., R. Uauy,
2013. Maternal And Child
Undernutrition And Overweight In
Low-income And Middle-income
Countries. The Lancet. vol. 382,
page. 427-451
BPS, 2012. Jatim Dalam Angka Terkini
Tahun 2012-2013 Triwulan 1.
Diakses dari
http://bps.go.id/publikasi.pdf.
(sitasi 10 Agustus 2014).
Branca, F. & Ferrari, M. 2002. Impact of
micronutrient deficiencies on
growth: The stunting syndrome.
Annals of Nutrition & Metabolism.
vol. 46, page. 8-17.
Daniels, M.C., 2006. Dietary diversity
as a measure of nutritional
adequacy throughout childhood.
Disertasi. Chapel Hill. The
University of North Carolina.
Eunice, A and D. Sarah, 2013. An
assessment of The Nutritional
Status of Under Five Children in
Four Districts in The Central
Region of Ghana. Asian Journal of
Agriculture and Rural
Development, Vol.3, page.851-860
FAO, 2011. Guidelines For Measuring
Household and Individual Dietery
Diversity. EC-FAO. Roma
FSNAU, 2014. Nutrition Analysis.
Technical Series Report. no.8:53
Gewa, Constance and Y. Nannette,
2012. Undernutrition among
Kenyan Children: Contribution of
Child, Maternal, and Household
Factors. Public Health Nutrition,
Vol.15, page.29-38
Hanum, F., A. Khomsan., Y. Heryanto,
2014. Hubungan Asupan Gizi dan
Tinggi Badan Ibu dengan Status
Gizi Anak Balita. Jurnal Gizi dan
Pangan. Vol.9, hal.1-6
Kemenkes, R.I., 2010. Riset Kesehatan
Dasar 2010, Jakarta; Balitbangkes
Kemenkes, R.I., 2012. Data/Informasi
Kesehatan Provinsi Jawa Timur,
Jakarta; Balitbangkes
Kennedy, G., Pedro, M.R., Seghieri, C.,
Nantel, G., I. Brouwer, 2007.
Dietery Diversity Score is Useful
Indicator of Micronutrient Intake in
Non-Breastfeeding Filipino
Children. Journal of
Nutrition.Vol.137,page.1-6
Marimbi, H., 2010. Tumbuh Kembang,
Status Gizi, dan Imunisasi Dasar
Pada Balita. Nuha Medika.
Yogyakarta
Mohsena, M., Mascie-Taylor, C. &
Goto, R. 2010. Association
between socio-economic status and
childhood undernutrition in
Bangladesh; a comparison of
possession score and poverty index.
Public Health Nutrition. vol.13, pp.
1498-504.
Muchtadi, D., 2009. Pengantar Ilmu
Gizi. Penerbit Alfabeta. Bandung
Oktafiani, A., 2012. Hubungan Antara
Pola Asuh dan Tingkat Konsumsi
Dengan Status Gizi Balita Usia 24-
60 Bulan (Studi di Wilayah Kerja
Puskesmas Wonorejo Kabupaten
Pasuruan). Skripsi. Surabaya.
Universitas Airlangga
Rarastiti, C.N.,2013. Hubungan
Karakteristik Ibu, Frekuensi
Kehadiran Anak ke Posyandu,
Asupan Energi dan Protein dengan
Status Gizi anak usia 1-2 tahun.
Skripsi. Semarang. Universitas
Diponegoro
Reina Engle-Stone, Alex, O.N., Nankap,
M., David, W.K. & Kenneth, H.B,
2014. Stunting Prevalence, Plasma
Zinc Concentrations, and Dietary
Zinc Intakes in a Nationally
Representative Sample Suggest a
High Risk of Zinc Deficiency
among Women and Young
Children in Cameroon1-3. The
Journal of nutrition. vol. 144, pp.
382-91
Rodríguez, L., Cervantes, E. & Ortiz, R.
2011. Malnutrition and
Gastrointestinal and Respiratory
Infections in Children: A Public
Health Problem. International
Journal of Environmental Research
and Public Health. vol. 8, pp. 1174-
205.
Seksi Gizi Dinkes Sumenep, 2012. Buku
Evaluasi Program Perbaikan Gizi
Masyarakat Tahun 2010-2012.
Sumenep; Dinkes
Semba, R.D., S. Pee., K. Sun.,
Campbell, A.A., Bloem, M.W. &
Raju, V.K. 2010. Low intake of
vitamin A-rich foods among
children, aged 12-35 months, in
India: association with
malnutrition, anemia, and missed
child survival interventions.
Nutrition. vol. 26, pp. 958-62.
Supariasa, N.D., B. Bakri., I. Fajar,
2001. Penilaian Status Gizi.
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta
WHO, 2008. Indicators For Assessing
Infant and Young Children Feeding
Practices. WHO press. Geneva
Recommended