View
228
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Pulau kecil menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K), Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan (Kepmen KP) No. 18 Tahun 2008 tentang Akreditasi terhadap
Program PWP3K, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP)
No. 16 Tahun 2008 tentang Perencanaan PWP3K, adalah pulau dengan luas
lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya. Pulau-
pulau kecil adalah kumpulan beberapa pulau kecil yang membentuk kesatuan
ekosistem dengan perairan di sekitarnya.
Karakteristik pulau kecil menurut Penjelasan UU No. 27 Tahun 2007
adalah terpisah dari pulau besar, sangat rentan terhadap perubahan yang
disebabkan oleh alam dan atau manusia, memiliki keterbatasan daya dukung
pulau, apabila berpenghuni, penduduknya mempunyai kondisi sosial dan budaya
yang khas, dan ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar
pulau, baik pulau induk maupun pulau kontinen.
Pemanfaatan pulau-pulau kecil menurut Permen KP No. 20/MEN/2008
tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di sekitarnya, harus
dilakukan untuk kepentingan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan
budaya dengan berbasis masyarakat dan secara berkelanjutan. Pemanfaatan
pulau-pulau kecil tersebut harus memperhatikan aspek:
1) Keterpaduan antara kegiatan pemerintah dengan pemerintah daerah, antar
pemerintah daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam perencanaan dan
pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.
2) Kepekaan atau kerentanan ekosistem suatu kawasan yang berupa daya
dukung lingkungan, dan sistem tata air suatu pulau kecil.
3) Ekologis yang mencakup fungsi perlindungan dan konservasi.
4) Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
5) Politik yang mencakup fungsi pertahanan, keamanan, dan kedaulatan NKRI.
6) Teknologi ramah lingkungan.
7) Budaya dan hak masyarakat adat, masyarakat lokal dan tradisional.
Pasal 35 UU No. 27 tahun 2007 menyebutkan bahwa setiap orang secara
langsung atau tidak langsung dilarang untuk:
12
1) menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan ekosistem
terumbu karang,
2) mengambil terumbu karang di kawasan konservasi,
3) menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang
merusak ekosistem terumbu karang,
4) menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak ekosistem
terumbu karang,
5) menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang
tidak sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
6) melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budidaya
yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan
pulau-pulau kecil,
7) menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri,
pemukiman, dan/atau kegiatan lain,
8) menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun,
9) melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis,
ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan
dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat
sekitarnya,
10) melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara
teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan
lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan
masyarakat sekitarnya,
11) melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis,
ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan,
dan/atau pencemaran lingkungan, dan/atau merugikan masyarakat
sekitarnya, dan
12) melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan
dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut Permen KP No.
16/2008 adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan
pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara
pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara
ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Perencanaan PWP3K merupakan suatu proses penyusunan tahap-
13
tahap kegiatan yang melibatkan berbagai unsur kepentingan didalamnya, guna
pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang
ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan
wilayah atau daerah dalam jangka waktu tertentu.
Prinsip perencanaan PWP3K menurut Permen KP No. 16/MEN/2008
tentang Perencanaan PWP3K, adalah:
1) Merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan atau komponen dari
sistem perencanaan pembangunan daerah.
2) Mengintegrasikan kegiatan antara pemerintah dengan pemerintah daerah,
antar sektor; antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat; antara
ekosistem darat dan ekosistem laut; dan antara ilmu pengetahuan dan prinsip-
prinsip manajemen.
3) Dilakukan sesuai dengan kondisi biogeofisik dan potensi yang dimiliki masing-
masing daerah, serta dinamika perkembangan sosial budaya daerah dan
nasional.
4) Melibatkan peran serta masyarakat setempat dan stakeholder lainnya.
2.2 Taman Nasional Laut
Kawasan konservasi menurut PP No. 28 Tahun 2011 dibagi menjadi dua,
yaitu kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA). KSA
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan
yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan. KSA terdiri dari cagar alam dan suaka
margasatwa. Cagar alam adalah KSA yang karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem
tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Suaka margasatwa adalah KSA yang mempunyai ciri khas berupa
keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan
hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.
Kawasan pelestarian alam (KPA) menurut PP No. 28/2011 adalah kawasan
dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
(SDA) hayati dan ekosistemnya. KPA terdiri dari taman hutan raya, taman wisata
14
alam dan taman nasional. Taman hutan raya adalah KPA untuk tujuan koleksi
tumbuhan dan atau satwa yang alami dan bukan alami, jenis asli dan atau bukan
jenis asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman
wisata alam adalah KPA dengan tujuan utama pemanfaatan untuk kepentingan
pariwisata dan rekreasi alam. Taman nasional adalah KPA yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk
keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.
Taman nasional laut (TNL), berdasarkan definisi dalam UU No.5/1990 dan
PP No. 28/2011, dapat diartikan sebagai kawasan dengan ciri spesifik di suatu
perairan yang mempunyai fungsi lindung, pengawetan dan pemanfaatan yang
lestari. Pasal 30 UU No. 5/1990 menyebutkan bahwa pengelolaan taman
nasional adalah tercapainya tiga fungsi, yaitu: (1) perlindungan terhadap
ekosistem kehidupan, (2) pengawetan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya,
dan (3) pemanfaatan yang lestari. Selain ketiga fungsi tersebut, taman nasional
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun
tidak langsung melalui kegiatan pemanfaatan yang lestari. Sebagian wilayah
taman nasional selama ini menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat melalui
berbagai kegiatan, antara lain kegiatan perikanan tangkap. Seperti di TNKJ,
sebagaimana diungkapkan oleh Irnawati (2008), dimana mayoritas penduduknya
sangat tergantung pada SDI, atau dengan menjadi nelayan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Pengelolaan taman nasional berdasarkan Pasal 32 UU No. 5/1990
dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional menurut Permen No.
56/2006 adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi
zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis
data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata
batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-
aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zona taman nasional
adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional yang dibedakan menurut
fungsi dan kondisi ekologis, sosek, dan budaya masyarakat.
Penerapan sistem zonasi suatu kawasan laut (dalam hal ini TNL) yang
dilindungi menurut UU No. 5/1990 dimaksudkan sebagai alat bantu pengelolaan
yang berperan dalam (1) penentuan izin untuk pemanfaatan khusus (terbatas)
15
pada areal atau daerah tertentu, (2) penentuan perlindungan bagi spesies
tertentu dengan melindungi hewan kritis atau habitat yang memungkinkan
kehidupannya, (3) pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan, (4) mereduksi
atau mengeliminasi potensi konflik, dan (5) meningkatkan dukungan masyarakat
lokal bagi keberadaan kawasan laut yang dilindungi dengan menempatkan
aturan atau regulasi spesifik tentang aktifitas pemanfaatan pada setiap zona,
yang dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Sistem zonasi yang berlaku saat ini di TNKJ berdasarkan SK Dirjen PHKA
No. 79/IV/set-3/2005 membagi TNKJ menjadi tujuh zona (Tabel 1). TNKJ telah
mengalami dua kali revisi dalam penerapan sistem zonasi. Pada tahun 1998,
TNKJ untuk pertama kalinya setelah ditetapkan sebagai taman nasional, dibagi
menjadi empat zona, yaitu inti, perlindungan, pemanfaatan, dan penyangga.
Pada tahun 2001 dilakukan revisi terhadap sistem zonasi menjadi delapan zona,
yaitu inti, rimba, pemanfaatan wisata, pemanfaatan tradisional, pemanfaatan
pelagis, penelitian dan pendidikan, pemukiman tradisional, dan penyangga. Pada
tahun 2005 dilakukan revisi kembali, di mana sistem zonasi TNKJ dilakukan
pengurangan jumlah zona yang ada menjadi tujuh zona, yaitu inti, perlindungan,
pemanfaatan pariwisata, rehabilitasi, budidaya, pemukiman, dan pemanfaatan
perikanan tradisional.
2.3 Pengelolaan Perikanan Tangkap sebagai Sebuah Sistem
Taman Nasional Karimunjawa merupakan sebuah TNL, dimana lebih dari
93% wilayahnya berupa perairan dan mayoritas penduduknya (lebih dari 60%)
bekerja sebagai nelayan (Irnawati 2008). Kegiatan perikanan tangkap telah
dilakukan secara turun temurun jauh sebelum Karimunjawa ditetapkan sebagai
TNL. Upaya pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ harus dilakukan secara
terpadu dan berkelanjutan. Sistem perikanan tangkap dalam hal ini didefinisikan
berdasarkan sistem perikanan menurut Charles (2001), yang mencakup tiga
subsistem, yaitu: (1) subsistem SDI dan dan lingkungannya, (2) subsistem SDM
dan kegiatannya, dan (3) subsistem manajemen. Subsistem SDI dan
lingkungannya meliputi komponen ikan, ekosistem, dan lingkungan biofisiknya.
Subsistem SDM dan kegiatannya meliputi jenis-jenis kegiatan penangkapan ikan.
Subsistem manajemen meliputi komponen perencanaan dan kebijakan
perikanan, kelembagaan perikanan tangkap, pengelolaan perikanan, serta
pengembangan dan penelitian.
16
2.3.1 Subsistem SDI dan habitatnya
Subsistem SDI dan lingkungannya meliputi tiga komponen, yaitu ikan,
ekosistem, dan lingkungan biofisiknya. Sumber daya ikan (SDI) menurut UU No.
31 Tahun 2004 adalah potensi semua jenis ikan. Ikan adalah segala jenis
organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam
lingkungan perairan.
Jenis SDI yang ada di dalam TNKJ adalah ikan-ikan karang, invertebrata,
mamalia laut, dan reptilia (WCS 2009). Jenis ikan karang seperti Pomacentridae
(71 spesies), Labridae (52 spesies), Scaridae (27 spesies), Chaetodontidae (25
spesies), Serranidae (24 spesies), Acanthuridae (16 spesies), Nemiptheridae (16
spesies), Siganidae (13 spesies), Apogonidae (11 spesies), Lutjanidae (9
spesies), and famili lainnya (89 spesies). Angka yang cukup fantastis untuk area
di mana tekanan antropogenik dari manusia (dekat dengan pulau Jawa) sangat
tinggi namun masih memiliki jumlah spesies yang masih banyak.
Terdapat beberapa famili fauna laut non-karang dan non-ikan karang yang
tercatat di Karimunjawa (WCS 2009). Kelompok mamalia laut terdapat Tursiops
aduncus dari famili Delphinidae dengan nama lokal lumba-lumba hidung botol
yang termasuk fauna yang dilindungi di Karimunjawa. Kelompok reptilia terdapat
3 spesies dari famili Cheloniidae, antara lain penyu lekang atau tempayan
(Caretta caretta), penyu hijau (Chelonia mydas), dan penyu sisik (Eretmochelys
imbricata). Ketiga spesies penyu tersebut termasuk dalam status dilindungi.
Taman Nasional Karimunjawa juga memiliki biota laut lain yang dilindungi.
Biota laut tersebut dilindungi karena keberadaannya di alam sudah semakin
terancam, antara lain kepala kambing (Cassis comuta), triton terompet (Charonia
tritonis), nautilus berongga (Nautilus pompilius), batu laga (Turbo marmoratus),
akar bahar (Antipathes Sp.), lola (Trochus niloticus), kima raksasa (Tridacna
gigas), kima selatan (Tridacna derasa), kima pasir (Hippopus hippopus), kima
lubang (Tridacna crocea), kima besar (Tridacna maxima), kima sisik (Tridacna
squamosa) (WCS 2009).
2.3.2 Subsistem sumber daya manusia dan kegiatannya
Subsistem SDM dan kegiatannya di TNKJ meliputi kegiatan penangkapan
ikan. Kegiatan penangkapan ikan disesuaikan dengan jenis alat tangkap yang
ada dan berkembang di dalam TNKJ. Kegiatan usaha perikanan tangkap
merupakan suatu proses untuk menghasilkan produksi ikan yang dilakukan oleh
17
nelayan untuk memanfaatkan potensi SDI yang ada, selanjutnya dilakukan
proses penanganan, pendistribusian dan pemasaran, dengan tujuan akhir adalah
memperoleh nilai manfaat dan keuntungan. Terselenggaranya kegiatan untuk
menghasilkan produksi ikan memerlukan berbagai sarana seperti kapal, alat
tangkap dan perlengkapan lainnya. Kegiatan usaha perikanan tangkap terkait
antara SDI, manusia, teknologi, modal dan sumber daya informasi, yang masing-
masing komponennya perlu dikelola dengan baik agar tujuan untuk mencapai
keuntungan usaha dapat tercapai (Nurani 2010).
Letak Kepulauan Karimunjawa yang sangat strategis merupakan tujuan
kapal-kapal ikan yang berlalu lalang mencari daerah penangkapan (fishing
ground) di Laut Jawa (DKP Jateng 2004b). Karimunjawa menjadi tujuan tempat
bersinggah terutama untuk berlindung pada saat terjadi musim yang tidak
bersahabat, di samping sebagai tempat transit bagi kapal-kapal ikan untuk
memenuhi kebutuhan perbekalan atau melakukan perbaikan mesin kapal.
2.3.3 Subsistem kebijakan dan kelembagaan
Kebijakan atau policy, merupakan course of actions atau arah kegiatan
dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Purwaka 2008). Kebijakan
merupakan intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari cara pemecahan
masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih
baik. Kebijakan adalah upaya, cara dan pendekatan pemerintah untuk mencapai
tujuan pembangunan yang sudah dirumuskan. Kebijakan bisa juga merupakan
upaya pemerintah memperkenalkan model pembangunan baru berdasarkan
masalah lama. Kebijakan juga merupakan upaya mengatasi kegagalan dalam
proses pembangunan (Nurani 2010).
Kelembagaan merupakan proses melembaganya nilai-nilai kemanusiaan
(humanity), kebenaran (righteousness), kesopanan (civility), kearifan (wisdom),
kepencayaan (trust) dan perdamaian (peace). Kelembagaan diadakan untuk
menciptakan, menumbuhkan, mengembangkan, dan mengubah kehidupan yang
senantiasa lebih baik dari hari ke hari. Kelembagaan menghasilkan learning
civilization: bangsa yang senantiasa belajar, membuka diri, mau mengubah diri,
berkomunikasi, berdialog, dan mengakui keberadaan pihak lain (Purwaka 2008).
Kelembagaan merupakan suatu perangkat perundang-undangan yang
mengatur tata kelembagaan (institutional arrangement) dan mekanisme tata kerja
kelembagaan (institutional framework). Kelembagaan memiliki kapasitas yaitu
18
kapasitas potensial (potential capacity), kapasitas daya dukung (carrying
capacity), dan kapasitas daya tampung atau daya lentur (absorptive capacity).
Kinerja dari suatu kelembagaan merupakan fungsi dari tata kelembagaan,
mekanisme, dan kapasitas kelembagaan yang dimilikinya (Purwaka 2003).
Kelembagaan menurut Nurani (2010) dapat diartikan sebagai kelembagaan
sebagai institusi, yang merupakan organisasi berbadan hukum untuk mengelola
suatu kegiatan, dan kelembagaan sebagai pelembagaan nilai (institutionalized).
Kelembagaan sebagai organisasi merupakan kumpulan orang yang tergabung
dalam suatu wadah yang disatukan untuk bekerjasama mencapai suatu tujuan.
Kelembagaan sebagai organisasi mencakup beberapa komponen, yaitu: (1)
orang, sebagai pelaksana tugas; (2) teknologi, yang digunakan untuk
melaksanakan tugas; (3) informasi, sebagai pengetahuan untuk melaksanakan
tugas; (4) struktur, merupakan peraturan dan pembagian tugas; dan (5) tujuan,
merupakan alasan dan tujuan dari pelaksanaan tugas organisasi.
Kelembagaan dalam konsep pengelolaan SDI merupakan faktor penting
yang menggerakkan kinerja dari pengelolaan (Nurani 2010). Kelembagaan
sebagai aturan main (rule of the game) mencakup himpunan aturan mengenai
tata hubungan di antara orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan.
Kelembagaan memberikan ketentuan terhadap anggotanya mengenai hak,
kewajiban dan tanggung jawab. Kelembagaan memberikan suatu kondisi, setiap
anggota menerima apa yang telah menjadi ketentuan, merasa aman, dan hidup
sewajarnya.
2.4 Pendekatan Sistem
Sistem adalah sekumpulan elemen-elemen atau objek-objek yang saling
berhubungan melalui berbagai bentuk interaksi dan bekerja sama untuk
mencapai suatu tujuan yang berguna (Simatupang 1995; Gaspersz 1992).
Sistem adalah satu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang
berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu
lingkungan kompleks (Eriyatno 2003; Marimin 2005). Pengertian tersebut
mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antar bagian, yang
menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antar bagian
yang interdependen satu sama lain. Selain itu, dapat dilihat bahwa sistem
berusaha mencapai tujuan. Pencapaian tujuan ini menyebabkan timbulnya
dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus perlu dikembangkan dan
19
dikendalikan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa sistem sebagai gugus dari
elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai
tujuan atau subtujuan.
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2005).
Permasalahan yang menggunakan pendekatan sistem dalam pengkajiannya
harus memiliki tiga karakteristik: (1) kompleks, (2) dinamis dan (3) probabilistik.
Terdapat tiga pola pikir dalam menganalisis permasalahan dengan pendekatan
sistem, yaitu: (1) sibernetik (cybernetic), artinya berorientasi kepada tujuan; (2)
holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem, dan
(3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang
operasional serta dapat melaksanakan daripada pendalaman teoritis untuk
mencapai efisiensi keputusan (Eriyatno 2003; Marimin 2005).
Pengkajian dengan menggunakan metode pendekatan sistem mencakup
empat tahap, yaitu: (1) analisis sistem, (2) pemodelan sistem, (3) implementasi
sistem, dan (4) operasi sistem (Simatupang 1995; Eriyatno 2003). Kompleksitas
dan kedinamisan pengelolaan perikanan tangkap di TNKJ melibatkan banyak
pihak (stakeholder) di dalamnya. Pengelolaan dan pengembangan perikanan
tangkap harus dilakukan dengan pendekatan sistem agar kebutuhan masing-
masing pihak atau pelaku dapat terakomodasi dengan baik dan meminimalkan
permasalahan-permasalahan yang timbul antar pelaku.
2.5 Model
Model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari suatu
objek atau situasi aktual. Karena model adalah suatu abstraksi dari realitas,
maka wujudnya kurang kompleks dari pada realitas itu sendiri (Eriyatno 2003).
Muhammadi et al. (2001) menyatakan model sebagai suatu bentuk yang dibuat
untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model merupakan simplifikasi dari
sistem yang dihadapi. Model dapat dikategorikan menurut jenis, fungsi, tujuan
pokok pengkajian atau derajat keabstrakan.
Model menurut Tarumingkeng (1994) adalah gambaran atau deskripsi
formal, dalam bentuk kata-kata, diagram dan atau persamaan matematis suatu
sistem, sehingga memberikan gambaran mengenai keadaan yang sebenarnya.
Model menurut Lucey (1995) biasanya digunakan sebagai pengganti sistem yang
nyata terutama sebagai alat bantu untuk mempelajari fenomena yang kompleks,
20
sehingga model merupakan alat yang sangat berguna dalam mengevaluasi
keadaan ataupun mendasari pengambilan keputusan.
Model menurut Seijo et al. (1998) berisi hubungan antara subsistem dan
jika akurat dapat menjadi alat yang ampuh untuk mengevaluasi dampak
bioekonomi alternatif strategi manajemen dan untuk membuat percobaan
simulasi. Kosasi (2002) menyatakan model sebagai suatu tiruan dari kondisi
yang sebenarnya, atau sebagai representasi atau formulasi dalam suatu sistem
nyata, atau penyederhanaan (abstraksi) dari sistem yang nyata dari sebuah
kejadian atau objek tertentu. Turban and Aronson (1998) menyatakan bahwa
yang mendorong orang untuk membuat model adalah kenyataan bahwa hanya
sebagian saja dari komponen-komponen pada suatu sistem nyata yang benar-
benar dapat menentukan perilaku sistem untuk suatu persoalan yang sedang
teramati. Hal ini mengisyaratkan bahwa penggunaan model merupakan suatu
penyederhanaan masalah dengan tetap mempertahankan validitasnya. Model
secara umum digunakan untuk memberikan sebuah gambaran, penjelasan dan
perkiraan dari realitas yang diselidiki. Pendekatan penggunaan model biasanya
dikenal dengan istilah simulasi.
Jenis model pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga (Eriyatno
2003), yaitu: (1) model ikonik (fisik), adalah perwakilan fisik dari beberapa hal,
baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda, mempunyai
karakteristik yang sama dengan hal yang diwakili, dan amat sesuai untuk
menerangkan kejadian pada waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi
dua (foto, peta, cetak biru) atau berdimensi tiga (prototip mesin, alat); (2) model
analog (diagramatik), yaitu keadaan berubah menurut waktu. Model analog
banyak berkesesuaian dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara sifat dan
klas-klas yang berbeda. Contoh dari model analog ini adalah kurva permintaan,
kurva distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Model analog dipakai
karena kesederhanaan namun efektif pada situasi yang khas; dan (3) model
simbolik (matematik), format model simbolik dapat berupa bentuk angka, simbol
dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan.
Pemodelan atau modeling adalah suatu gugus aktivitas pembuatan model.
Pemodelan mencakup suatu pemilihan dari karakteristik dari perwakilan abstrak
yang paling tepat pada situasi yang terjadi (Eriyatno 2003). Pemodelan sistem
dimulai dengan melakukan analisis terhadap kinerja sistem saat ini dan mencari
faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya permasalahan sistem.
21
2.6 Efektivitas Pengelolaan
Keefektifan pengelolaan adalah tingkat sejauh mana upaya pengelolaan
mencapai tujuan (Hockings et al. 2000). Pada suatu kawasan perlindungan laut
(KPL) atau TNL, beragam hal seperti faktor-faktor biofisik, tata-kelola dan sosio-
ekonomi dapat secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kinerja
pengelolaan secara menyeluruh, dan tingkat dimana KPL yang sedang dikelola,
pada akhirnya, dapat mempengaruhi perubahan pada beberapa atau semua
faktor terkait (Parks et al. 2006). Jadi, proses untuk mengevaluasi keefektifan
pengelolaan perlu melibatkan evaluasi terhadap tiga faktor yang mempengaruhi
pengelolaan kawasan tersebut.
Aspek ekologi meliputi parameter ekologi dan biologi yang dijadikan
indikator pengukuran efektifitas. Aspek ekologi merupakan aspek dampak
ekologi dari keberadaan TKNJ yang diukur secara insitu dengan menggunakan
teknik-teknik survei SDI. Penilaian aspek ekologi didasarkan kepada perubahan
ekosistem ataupun parameter biologi yang telah ditentukan. Parameter yang
dapat dijadikan sebagai indikator menurut WCS (2009) diantaranya adalah: (1)
penutupan habitat (terumbu karang, padang lamun, mangrove), (2) biomassa
ikan karang, ikan yang dilindungi, atau ikan indikator, (3) kelimpahan ikan karang,
ikan yang dilindungi, atau ikan indikator, (4) rekruitmen ikan, dan (5) kelimpahan
atau biomassa spesies yang dilindungi atau spesies indikator.
Pengukuran aspek sosial-ekonomi dianalisis dari tiga kriteria umum, yaitu
(1) kriteria efisiensi (produktivitas), (2) kriteria keberlanjutan (sosial dan biologi),
dan (3) kriteria pemerataan (Nikijuluw 2002). Kriteria efisiensi atau produktivitas,
yaitu kriteria penilaian kinerja suatu rezim dengan melihat besaran (magnitude)
output yang dihasilkan rezim tersebut secara relatif dibandingkan output rezim
lain. Kriteria keberlanjutan suatu rezim pengelolaan dapat dinilai dari sikap
masyarakat untuk menjaga lingkungan dan sumber daya alam (stewardship) dan
kelenturan (resilience) sistem. Kriteria pemerataan adalah suatu hal yang paling
banyak disoroti masyarakat. Hal ini disebabkan masyarakat tidak puas dengan
apa yang terjadi, yang mereka terima, dan yang mereka alami (WCS 2009).
Pengukuran aspek tata kelola merupakan pengukuran terhadap kegiatan-
kegiatan pengelolaan yang dilakukan baik pada saat inisiasi pembentukan
kawasan konservasi perairan maupun setelah kawasan konservasi perairan telah
terkelola. Penilaian aspek tata kelola menggunakan teknik yang telah disusun
Staub and Hatziolos (2004), dan dimodifikasi seusai kondisi TNKJ. Penilaian
22
dilakukan terhadap enam hal, yaitu (1) ancaman dan kebijakan pengelolaan; (2)
rencana pengelolaan; (3) input pengelolaan (sumberdaya); (4) proses atau cara
pengelolaan;(5) program dan tindakan pengelolaan; dan (6) dampak dan tingkat
pencapaian tujuan pengelolaan.
Kawasan konservasi, seperti TNL, pada dasarnya dapat memberikan
manfaat bagi kelangsungan hidup, baik manusia maupun ekosistem lainnya
(Fauzi et al. 2007). Manfaat-manfaat tersebut sebagian merupakan manfaat
langsung yang bisa dihitung secara moneter dan manfaat tidak langsung yang
sering tidak bisa dikuantifikasi secara moneter. Namun, secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa kawasan konservasi laut (KKL) memiliki nilai ekonomi
yang tinggi, yang bersifat tangible (terukur) dan tidak terukur (intangible). Manfaat
terukur biasanya digolongkan dalam manfaat kegunaan baik yang dikonsumsi
maupun tidak, sedangkan manfaat tidak terukur berupa manfaat non-kegunaan
yang lebih bersifat pemeliharaan ekosistem jangka panjang. TNKJ sebagai KKL
dengan kekayaan biodiversity yang cukup tinggi, namun juga sebagai daerah
yang berfungsi sebagai daerah penangkapan ikan. Kondisi kawasan sekitarnya
yang dimanfaatkan secara multi-use, dikahawatirkan akan berdampak terhadap
penurunan, baik kualitas maupun kuantitas SDI dan ekosistemnya. Studi valuasi
ekonomi, sebagai salah satu dasar pengelolaan, menjadi sangat penting untuk
memahami sejauhmana TNKJ memberikan manfaat baik langsung maupun tidak
langsung. Manfaat ini harus dinilai secara ekonomi agar input kebijakan
pengelolaan wilayah dapat dilakukan secara komprehensif.
2.7 Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Tangkap
1) Sumber daya ikan unggulan
Sumber daya ikan (SDI) unggulan atau biasa disebut komoditas unggulan
menurut Hendayana (2003) merupakan suatu jenis komoditas yang paling
diminati dan memiliki nilai jual tinggi serta diharapkan mampu memberikan
pemasukan yang besar dibandingkan dengan jenis yang lainnya. Penentuan
komoditas ikan unggulan pada suatu daerah merupakan langkah awal menuju
pembangunan perikanan yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih
keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi globalisasi
perdagangan. Langkah menuju efisiensi dapat ditempuh dengan menggunakan
komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif baik ditinjau dari sisi
penawaran maupun permintaan. Dari sisi penawaran komoditas unggulan
23
dicirikan oleh superioritas dalam pertumbuhan pada kondisi biofisik, teknologi,
dan sosial ekonomi nelayan yang dapat dijadikan andalan untuk meningkatkan
pendapatan. Dari sisi permintaan, komoditas unggulan dicirikan oleh kuatnya
permintaan di pasar, baik pasar domestik maupun internasional.
Penentuan jenis SDI unggulan dilakukan dengan teknik comparative
performance index (CPI) atau teknik perbandingan indeks kinerja (CPI). Teknik
CPI menurut Marimin (2004) merupakan indeks gabungan (composite index)
yang dapat digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai
alternatif berdasarkan beberapa kriteria.
2) Potensi SDI
Potensi SDI dianalisis dengan model bioekonomi. Model bioekonomi SDI
dapat diduga dengan model surplus produksi Schaefer-Fox dan model ekonomi
Gordon (1954). Model disusun dari parameter biologi, biaya penangkapan, dan
harga ikan. Metode surplus produksi menurut Spare and Venema (1999)
merupakan metode untuk menentukan tingkat effort optimum, yaitu upaya
penangkapan ikan yang menghasilkan jumlah tangkapan maksimum tanpa
mempengaruhi produktivitas populasi ikan dalam waktu panjang. Hubungan
antara hasil tangkapan dengan effort dilihat dengan model Schaefer-Fox. Model
terpilih adalah yang paling sesuai (best fit) dari pendugaan stok ikan.
Model surplus produksi menurut Spare dan Venema (1999) hanya berlaku
apabila parameter slope (b) bernilai negatif, yang berarti penambahan effort akan
menyebabkan penurunan hasil tangkapan per upaya tangkap. Apabila bernilai
positif, maka tidak dapat dilakukan pendugaan besarnya stok maupun upaya
optimum, tetapi hanya dapat disimpulkan bahwa penambahan upaya tangkap
masih memungkinkan untuk meningkatkan hasil tangkapan (Kekenusa 2009).
3) Optimalisasi jumlah alat tangkap
Optimalisasi jumlah alat tangkap dapat dilakukan dengan teknik linear goal
programming (LGP). LGP menurut Mulyono (1991) merupakan pengembangan
dari teknik linear programming (LP). Perbedaan utama antara LP dan LGP
terletak pada struktur dan penggunaan fungsi tujuan. Fungsi tujuan dalam LP
hanya mengandung satu tujuan, sedangkan dalam LGP semua tujuan (satu atau
beberapa) digabungkan dalam sebuah fungsi tujuan. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengekspresikan tujuan ke dalam bentuk kendala (goal constraint),
24
memasukkan suatu variabel simpangan (deviational variable) dalam kendala
untuk mencerminkan seberapa jauh tujuan dicapai, dan menggabungkan variabel
simpangan dalam fungsi tujuan. Dalam LP tujuannya bisa maksimisasi atau
minimisasi, sedangkan LGP tujuannya untuk meminimumkan penyimpangan-
penyimpangan dari tujuan-tujuan tertentu.
Penyimpangan-penyimpangan dari tujuan menurut Mulyono (1991) dapat
diminimumkan, sehingga model LGP dapat menangani aneka ragam tujuan
dengan dimensi atau satuan ukuran yang berbeda. Tujuan-tujuan yang saling
bentrok juga dapat diselesaikan. Jika terdapat banyak tujuan, prioritas atau
urutan ordinalnya dapat ditentukan, dan proses penyelesaian LGP akan berjalan
sedemikian rupa sehingga tujuan dengan prioritas tertinggi dipenuhi sedekat
mungkin sebelum memikirkan tujuan-tujuan dengan prioritas lebih rendah. Jika
LP berusaha mengidentifikasi solusi optimum dari suatu himpunan solusi layak,
LGP mencari titik yang paling memuaskan dari sebuah persoalan dengan
beberapa tujuan.
Fungsi tujuan menurut Mulyono (1991) dapat dirumuskan dengan:
Minimumkan )(1
m
i
iik ddPZ untuk k = 1, 2, ..., K ……………………... [2.1]
Fungsi kendala dirumuskan dengan:
iiijij bddxa ………………………………………………………… [2.2]
Keterangan:
Z = fungsi tujuan (total deviasi) yang akan diminimumkan
kP = urutan prioritas (preemtive priority factor)
id = deviasi negatif atau batas bawah
id = deviasi positif atau batas atas
ija = nilai koefisien (technological coefficient)
Perbedaan antara LGP dengan LP menurut Siswanto (2011) hanya terletak
pada kehadiran sepasang variabel deviasional yang akan muncul di fungsi tujuan
dan fungsi-fungsi kendala. Asumsi, notasi, formulasi model matematis, prosedur
perumusan model dan penyelesainnya tidak berbeda dengan LP. Fungsi tujuan
adalah tujuan yang hendak dicapai, yang harus diwujudkan ke dalam sebuah
fungsi matematika linear, yang kemudian fungsi tersebut dimaksimumkan atau
diminimumkan terhadap kendala-kendala yang ada. Kendala dalam hal ini dapat
diumpamakan sebagai suatu pembatas terhadap kumpulan keputusan yang
mungkin dibuat dan harus dituangkan ke dalam fungsi matematika linear yang
dihadapi oleh manajemen. Macam kendala sasaran yaitu untuk mewujudkan (1)
25
sasaran dengan nilai tertentu, (2) sasaran di bawah nilai tertentu, (3) sasaran di
atas nilai tertentu, dan (4) sasaran yang ada pada interval nilai tertentu. Tiga
macam sasaran di dalam LGP, yaitu sasaran dengan prioritas yang sama,
sasaran dengan prioritas yang berbeda, serta sasaran dengan prioritas dan
bobot yang berbeda
Variabel deviasional menurut Siswanto (2011) berfungsi untuk menampung
penyimpangan (deviasi) yang akan terjadi pada nilai kiri persamaan kendala
terhadap nilai ruas kanannya. Variabel deviasional terbagi menjadi dua, yaitu (1)
variabel deviasional untuk menampung deviasi yang berada di bawah sasaran
yang dikehendaki, dan (2) variabel deviasional untuk menampung deviasi yang
berada di atas sasaran yang dikehendaki. Slack variabel adalah variabel yang
berfungsi untuk menampung sisa kapasitas pada kendala yang berupa
pembatas. Surplus variabel adalah variabel yang berfungsi untuk menampung
kelebihan ruas kiri pada kendala yang berupa syarat.
4) Teknologi penangkapan ikan tepat guna
Teknologi penangkapan ikan tepat guna adalah jenis alat tangkap yang
memiliki kinerja atau keragaan (performance) yang baik. Seleksi teknologi
penangkapan ikan tepat guna menurut Haluan dan Nurani (1988) dapat
dilakukan melalui pengkajian aspek biologi, teknik, sosial, dan ekonomi. (bio-
technico-socio-economic approach), sebagai berikut:
(1) Jika ditinjau dari aspek biologi, alat tangkap tidak merusak atau mengganggu
kelestarian lingkungan. Kriterianya antara lain meliputi ukuran jarring atau
mesh size (yang digunakan untuk menganalisis selektivitas alat tangkap),
catch per unit effort (CPUE), jumlah ikan layak tangkap, jumlah komposisi
ikan hasil tangkapan, dan cara pengoperasian alat tangkap.
(2) Alat tangkap secara teknis efektif digunakan. Kriterianya mencakup
pengoperasian alat tangkap, daya jangkau operasi penangkapan, pengaruh
lingkungan fisik, selektivitas alat tangkap, dan penggunaan teknologi.
(3) Alat tangkap secara sosial dapat diterima oleh masyarakat nelayan.
Kriterianya: penilaian dan penerimaan masyarakat terhadap alat tangkap,
memberikan kesempatan kerja, dan banyaknya tenaga kerja yang terserap.
(4) Alat tangkap secara ekonomi bersifat menguntungkan. Kriterianya meliputi
penilaian terhadap aspek ekonomi dan finasial, seperti penerimaan (income)
per tahun dan income per tenaga kerja.
26
Monintja (2000) menyatakan bahwa aspek yang perlu dipertimbangkan
dalam pengembangan usaha perikanan adalah aspek biologi, teknis (teknologi),
ekonomis, dan sosial-budaya. Aspek biologi berhubungan dengan ketersediaan
SDI, penyebaran SDI, komposisi ukuran ikan hasil tangkapan, dan jenis spesies.
Aspek teknis berhubungan dengan unit penangkapan ikan, jumlah kapal, fasilitas
penanganan di kapal, fasilitas pendaratan, dan fasilitas penanganan ikan di
darat. Aspek sosial berkaitan dengan kelembagaan dan tenaga kerja, serta
dampak usaha terhadap masyarakat nelayan. Aspek ekonomi berkaitan dengan
hasil produksi dan pemasaran, serta efisiensi biaya operasional yang berdampak
terhadap pendapatan bagi stakeholders.
Proses seleksi alat tangkap ramah lingkungan menurut Monintja (2000)
dimulai dengan melihat spesies ikan yang menjadi tujuan kegiatan penangkapan
ikan. Apakah spesies tersebut termasuk kategori dilindungi atau terancam
punah, jika ya maka tidak dilakukan penangkapan. Jika spesies termasuk
kategori yang diperbolehkan, maka dapat dilanjutkan dengan memilih teknologi
penangkapan ikan yang ada di perairan tersebut, yang memenuhi syarat ramah
lingkungan dan berkelanjutan. Kriteria alat tangkap ramah lingkungan dan
berkelanjutan antara lain: (1) mempunyai selektivitas yang tinggi, (2) tidak
merusak habitat, (3) tidak membahayakan operator, (4) menghasilkan ikan
berkualitas tinggi, (5) produk yang dihasilkan tidak membahayakan konsumen,
(6) by-catch rendah, (7) tidak berdampak buruk terhadap biodiversity, (8) tidak
menangkap ikan-ikan yang dilindungi, (9) dapat diterima secara sosial, (10) hasil
tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) atau total
allowable catch (TAC), (11) tingkat keuntungan tinggi, (12) nilai investasi rendah,
(13) penggunaan bahan bakar rendah, dan (14) secara hukum legal.
Aspek lain yang tidak dapat diabaikan menurut Haluan dan Nurani (1988)
adalah kebijakan-kebijakan dan peraturan pemerintah. Kebijakan dan peraturan
dalam pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia perlu
diarahkan agar dapat menunjang tujuan-tujuan pengelolaan dan pembangunan
umum perikanan tangkap. Syarat-syarat pengembangan teknologi penangkapan
ikan harus dapat: (1) menyediakan kesempatan kerja yang banyak, (2) menjamin
pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan, (3) menjamin
jumlah produksi yang tinggi dan berkelanjutan, (4) mendapatkan jenis ikan
komoditi ekspor atau jenis ikan yang bisa di ekspor, dan (5) tidak merusak
kelestarian SDI.
27
5) Tingkat kelayakan usaha
Kelayakan usaha atau kelayakan bisnis dari suatu kegiatan industri
menurut Nurani (2010) akan memerlukan pertimbangan teknik dan ekonomi.
Dengan kata lain, apabila suatu kegiatan bisnis telah memenuhi kelayakan
teknik, maka perlu juga dipertanyakan bagaimana kelayakan ekonominya. Pada
dasarnya tujuan suatu kegiatan bisnis adalah memperoleh keuntungan (profit).
Kelayakan usaha dari kegiatan penangkapan ikan perlu dilakukan dan dapat
digunakan dalam pengambilan keputusan untuk pengembangan ke depan.
Nurani (2010) menyatakan dalam perhitungan kelayakan usaha terdapat
dua hal pokok yang harus dihitung, yaitu penerimaan dan pembiayaan.
Penerimaan dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan yang diperoleh selama
satu tahun dikalikan dengan harga. Pembiayaan dihitung berdasarkan biaya-
biaya yang harus dikeluarkan selama satu tahun. Biaya digolongkan menjadi
tiga, yaitu biaya investasi, biaya tetap, dan biaya tidak tetap. Biaya investasi
adalah biaya yang dikeluarkan untuk memulai usaha, yaitu untuk pembelian
kapal, alat tangkap, mesin dan investasi lainnya, termasuk modal kerja. Biaya
tetap (fixed cost) adalah biaya yang tetap harus dikeluarkan walaupun tidak
melakukan operasi penangkapan, diantaranya biaya perawatan kapal, alat
tangkap, mesin, gaji ABK (jika ABK diberi upah dengan sistem gaji), dan
penyusutan. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang baru akan
dikeluarkan jika melakukan operasi penangkapan ikan, meliputi biaya bekal
operasional seperti biaya pembelian solar, oli, minyak tanah, air tawar, es,
perbekalan makanan, izin operasi, retribusi dan bagi hasil (jika menggunakan
sistem bagi hasil untuk pendapatan ABK).
6) Kebijakan dan kelembagaan
Peraturan perundangan menurut Purwaka (2003) sangat penting dalam
pengembangan perikanan, karena hukum dan peraturan yang akan menentukan
aturan main dalam pelaksanaan pengelolaan. Analisis kebijakan atau peraturan
perundangan dimaksudkan untuk mengkaji sampai sejauhmana tingkat
efektivitas kebijakan atau hukum atau peraturan perikanan yang ada mampu
berperan dalam mendorong pengembangan perikanan. Ada tiga pendekatan
yang dilakukan, yaitu berdasarkan pada struktur hukum (legal structure), mandat
hukum (legal mandate), dan penegakan hukum (legal enforcement). Berdasarkan
struktur hukum, sistem perundangan harus terdapat kesalinghubungan antara
28
yang ada di level bawah dengan yang ada di level atas, kesalinghubungan
antara tujuan pengelolaan SDI dengan strategi dan petunjuk pelaksanaan untuk
pencapaian tujuan. Berdasarkan mandat hukum, peraturan perundang-undangan
harus jelas mendeskripsikan kepada siapa mandat hukum diberikan. Penegakan
hukum merupakan pilar utama untuk menegakkan kebijakan atau peraturan.
Keterpaduan sistem perundang-undangan perlu dibangun untuk dapat menjamin
terlaksananya pengelolaan secara optimal, efisien dan efektif.
Analisis kebijakan merupakan aktivitas menciptakan pengetahuan tentang
proses pembuatan kebijakan dan pengetahuan dalam proses pembuatan
kebijakan itu sendiri. Analisis kebijakan juga merupakan bentuk analisis yang
menghasilkan dan menyajikan informasi sehingga dapat memberi landasan bagi
para pembuat kebijakan dalam membuat kebijakan. Analisis kebijakan
merupakan proses sirkular yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang
bersifat umum ataupun yang spesifik. Siklus analisis kebijakan terdiri dari
kegiatan pemantauan, evaluasi, perumusan masalah, proyeksi ke depan, dan
rekomendasi. Banyak permasalahan yang terjadi tidak dapat diatasi karena
kebijakan yang berlaku tidak mampu menjawab atau bahkan tidak ada kebijakan
yang terkait dengan permasalahan yang ada. Kondisi tersebut menunjukkan
adanya kesenjangan antara kebijakan yang dibutuhkan dengan kebijakan yang
tersedia (berlaku). Kesenjangan ini dapat dianalisis dan informasi yang dihasilkan
dapat berguna bagi penyempurnaan kebijakan atau pembuatan kebijakan baru.
Analisis isi (content analysis) menurut Ekomadyo (2006) diartikan sebagai
metode untuk mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah “teks”. Teks
dapat berupa kata-kata, makna gambar, simbol, gagasan, tema dan bermacam
bentuk pesan yang dapat dikomunikasikan. Analisis isi berusaha memahami data
bukan sebagai kumpulan peristiwa fisik, tetapi sebagai gejala simbolik untuk
mengungkap makna yang terkandung dalam teks, dan memperoleh pemahaman
terhadap pesan yang direpresentasikan. Metode analisis isi menjadi pilihan untuk
diterapkan pada penelitian yang terkait dengan isi komunikasi dalam sebuah
teks. Ada beberapa pertanyaan tipikal yang dapat dijawab dengan menggunakan
metode analisis isi, yaitu: pertanyaan tentang prioritas atau hal penting dari isi
teks, seperti frekuensi, dimensi, aturan dan jenis-jenis cerita dari peristiwa yang
direpresentasikan; pertanyaan tentang bias informasi dalam teks, seperti
komparasi relatif tentang durasi, frekuensi, prioritas, atau hal yang ditonjolkan
dalam berbagai representasi; dan perubahan historis dalam modus representasi.
29
Penelitian analisis isi berusaha melihat konsistensi makna dalam sebuah
teks. Konsistensi ini dapat dijabarkan dalam pola-pola terstruktur yang dapat
membawa peneliti kepada pemahaman tentang sistem nilai dibalik teks. Metode
analisis isi menuntut beberapa persyaratan, yaitu: objektif, sistematis, dan dapat
digeneralisasikan. Objektif berarti prosedur dan kriteria pemilihan data,
pengkodean serta cara interpretasi harus didasarkan pada aturan yang telah
ditentukan sebelumnya. Sistematis berarti inklusi dan eksklusi atau kategori
harus berdasarkan aturan yang konsisten. Dapat digeneralisasikan, berarti tiap
temuan harus memiliki relevansi teoretis. Neuman (2000) menyebutkan tahapan
dalam metode analisis isi, yaitu (1) menentukan unit analisis (misal jumlah teks
yang ditetapkan sebagai kode), (2) menentukan sampling (3) menentukan
variabel dan menyusun kategori pengkodean, dan (5) menarik kesimpulan.
Nikijuluw (2002) menyatakan analisis kelembagaan adalah memisahkan
hukum atau peraturan (kelembagaan) dari strategi yang ditetapkan oleh pelaku
atau organisasi. Tujuan analisis kelembagaan adalah untuk melihat perbedaan
kesenjangan antara kelembagaan yang bersifat normatif dengan organisasi yang
sangat bernuansa subjektif. Ketika seseorang melaksanakan analisis
kelembagaan, mutlak baginya untuk mengkaji aspek-aspek organisasi karena
strategi organisasi dapat berpengaruh pada suatu kelembagaan atau bahkan
dapat memberi arah agar terjadi pergantian atau perubahan kelembagaan.
Kinerja dari suatu kelembagaan dapat dilihat melalui beberapa indikator.
Indikator kinerja suatu kelembagaan dapat dilihat dengan pendekatan:
(1) Aspek politik, kelembagaan perikanan memiliki bargaining yang kuat dalam
penentuan kebijakan-kebijakan perikanan di tingkat lokal maupun nasional,
yang tercermin dalam tata kelembagaan, kerangka kerja dan kapasitasnya.
(2) Aspek sosial budaya, kelembagaan perikanan akan dapat menumbuhkan
kebanggaan pada jati diri dan budaya bangsa yang bernilai luhur yang telah
berakar kuat pada adat istiadat masyarakat. Secara sosial, kelembagaan
perikanan dapat menumbuhkan jiwa sosial masyarakat yang kuat, bersinergi
diantara stakeholder perikanan dan menjauhkan konflik.
(3) Aspek ekonomi, kelembagaan perikanan secara nyata memberikan
kontribusi ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan
khususnya, dan masyarakat sekitar secara umum.
(4) Aspek hukum, kelembagaan perikanan memperoleh mandat yang jelas dari
hukum atau peraturan yang ada, baik tata kelembagaan, kerangka kerja,
30
maupun kapasitas kelembagaannya. Hal ini terkait dengan aspek legal,
pengaturan operasional dan teknis, dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
yang jelas.
(5) Aspek teknologi, pemanfaatan dan tanggap terhadap dinamika perubahan
teknologi yang tercermin pada tata kelembagaan, kerangka kerja dan
kapasitas kelembagaannya untuk dapat mengembangkan perikanan secara
produktif, efisien, berkualitas, dan aman.
2.8 Model Penggunaan Zona
Penataan ruang atau zonasi merupakan suatu proses pengaturan yang
membagi suatu wilayah secara geografis ke dalam sub-sub wilayah, dimana
setiap sub-wilayah dirancang untuk penggunaan khusus (Cicin-Sains and Knecht
1998). Zonasi pada dasarnya merupakan aktivitas penataan kegiatan manusia
yang dilakukan di dalam suatu area laut (Douvere et al. 2009). Hal ini sesuai
dengan prinsip manajemen bahwa yang diatur adalah manusianya sebagai
pengguna atau pemanfaat SDI. Jika manusia bisa diatur dengan baik, maka
proses pengelolaan SDI bisa menjadi lebih optimal dan berkelanjutan.
Karakteristik zonasi perairan yang efektif berdasarkan Douvere et al.
(2009) adalah: (1) berdasarkan pendekatan ekosistem, seimbang antara tujuan
ekologi, sosial-ekonomi, dan menjamin keberlanjutan; (2) terpadu antar sektor,
instansi, dan antar tingkat pemerintah; (3) berdasarkan area (lokasi); (4) adaptif;
(5) strategis, bertujuan jangka panjang; dan (6) melibatkan stakeholder. Dalam
perencanaan zonasi, setidaknya terdapat tiga kategori informasi spasial yang
relevan, yaitu: (1) distribusi biologi dan ekologi termasuk area yang penting bagi
spesies tertentu atau komunitas biologi; (2) informasi spasial mengenai aktivitas
manusia (termasuk identifikasi konflik pemanfaatan yang ada); dan (3) kondisi
oseanografi dan lingkungan fisik lainnya, seperti batimetri, arus, dan sedimen.
Sistem informasi geografis (SIG) menurut Barus dan Wiradisastra (2000)
merupakan suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data
yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Menurut Narwastu dan
Prasetyo (2007) GIS merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat digunakan
untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan keluaran
informasi geografis berikut atribut-atributnya. Manfaat SIG secara umum adalah
mmmemberikan informasi yang mendekati kondisi dunia nyata, memprediksi
suatu hasil, dan perencanaan strategis.
31
SIG digolongkan ke dalam sistem informasi spasial dimana pemanfaatan
SIG dapat menyatukan pengetahuan yang dimiliki oleh nelayan dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh ilmuan perikanan untuk kegiatan pengelolaan
perikanan laut di masa mendatang (Close and Hall 2006). Output yang
didapatkan dari indikator oseanografi yang sesuai dengan distribusi dan
kelimpahan ikan dipetakan dengan teknologi SIG. Data indikator oseanografi
yang cocok perlu diintegrasikan dengan berbagai layer pada SIG karena ikan
sangat mungkin merespon bukan hanya pada satu parameter lingkungan saja,
tapi berbagai parameter yang saling berkaitan. Dengan kombinasi SIG dan data
lapangan akan memberikan informasi spasial misalnya dimana posisi ikan
banyak tertangkap, berapa jarak antara fishing base dan fishing ground yang
produktif, serta kapan musim penangkapan ikan yang efektif. Tentu saja hal ini
akan memberikan gambaran solusi tentang pertanyaan nelayan kapan dan
dimana bisa mendapatkan banyak ikan (Zainuddin 2006).
2.9 Kebijakan Strategis Pengelolaan Perikanan Tangkap
1) Strategi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap
Analisis strategi pengembangan TNKJ dilakukan dengan analisis strength
weaknesses opportunities and threats (SWOT). Analisis SWOT adalah suatu
cara untuk mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis dalam rangka
merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika dapat memaksimalkan
kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Analisis SWOT
mempertimbangkan faktor lingkungan internal strength dan weaknesses serta
lingkungan eksternal opportunities dan threats yang dihadapi, sehingga dapat
diambil keputusan strategis (Rangkuti 2000).
Analisis SWOT didahului dengan pembuatan matriks internal strategic
factor analysis summary (IFAS) dan external strategic factor analysis summary
(EFAS) (David 2002). Penyusunan matriks IFAS dan EFAS didasarkan pada
hasil analisis terhadap sistem, yaitu dengan melihat faktor-faktor yang menjadi
kekuatan dan kelemahan internal, serta peluang dan ancaman eksternal. Matriks
SWOT dibuat untuk menyusun alternatif strategi. Alternatif strategi disusun
berdasarkan logika untuk memanfaatkan peluang dan kekuatan yang ada, serta
mengeliminir kelemahan dan ancaman sistem.
32
Matriks SWOT menurut Marimin (2004) menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi oleh perusahaan
dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Dari matriks ini
akan terbentuk empat kemungkinan alternatif strategi. Strategi SO (strength-
opportunities), yaitu menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang (kuadran I). Strategi ST (strength-threats), yaitu
menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
(kuadran II). Strategi WO (weaknesses-opportunities): menciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang (kuadran III). Strategi
WT (weaknesses-threats): menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan
dan menghindari ancaman (kuadran IV). Membuat keputusan untuk memilih
alternatif strategi sebaiknya dilakukan setelah mengetahui terlebih dahulu posisi
kondisi saat ini di kuadran sebelah mana sehingga strategi yang dipilih
merupakan strategi yang paling tepat karena sesuai dengan kondisi internal dan
eksternal yang dimiliki.
Pengambilan keputusan pemilihan strategi yang tepat dalam berbagai
strategi menurut Marimin (2004) dan Nurani (2010) adalah sebagai berikut:
(1) Kuadran I, merupakan kondisi yang sangat menguntungkan, yaitu sistem
memiliki kekuatan dan peluang yang baik. Strategi yang tepat adalah
strategi yang mendukung pertumbuhan agresif.
(2) Kuadran II, sistem memiliki kekuatan namun menghadapi berbagai
ancaman. Strategi yang tepat adalah diversifikasi, yaitu menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang.
(3) Kuadran III, sistem memiliki peluang yang baik namun terkendala kelemahan
internal. Strategi yang tepat adalah strategi turn around, yaitu meminimalkan
masalah-masalah internal, sehingga dapat merebut peluang eksternal
dengan lebih baik.
(4) Kuadran IV, kondisi yang sangat tidak menguntungkan. Strategi yang tepat
adalah strategi defensif, yaitu dengan meminimalkan kerugian-kerugian yang
kemungkinan akan timbul.
2) Strategi penerapan model
Salah satu teknik pemodelan yang dikembangkan untuk perencanaan
kebijakan strategis adalah teknik pemodelan interpretasi struktural (interpretative
structural modeling atau ISM). ISM adalah suatu pemodelan deskriptif yang
33
bernilai efektif bagi proses perencanaan jangka panjang yang bersifat strategis.
Perencanaan strategis mancakup suatu totalitas sistem yang tidak dapat
dianalisis bagian demi bagian, melainkan harus dipahami secara keseluruhan.
Teknik ISM memberikan lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya
dan memperluas pandangan dalam konstruksi sistem yang cukup kompleks.
Teknik ISM menganalisis elemen-elemen sistem, dan memecahkannya dalam
bentuk grafik dari hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. ISM
adalah proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-
model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu
sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan
grafis serta kalimat (Eriyatno 2003; Marimin 2004; Nurani 2010). ISM menurut
Saxena (1992) bersangkut paut dengan interpretasi dari suatu objek yang utuh
atau perwakilan sistem melalui aplikasi teori grafis secara sistematis dan iteratif.
Metodologi dan teknik ISM menurut Eriyatno (2003) dan Marimin (2004)
dapat dibagi menjadi dua yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi subelemen.
Prinsip dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem yang
memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara efektif dan
untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur dari suatu sistem yang
berjenjang diperlukan untuk lebih menjelaskan pemahaman perihal yang dikaji.
Penentuan strategi implementasi model dengan menggunakan teknik ISM
memerlukan identifikasi elemen penting yang akan dimasukkan ke dalam model
atau program. Menurut Saxena (1992) program dapat dibagi menjadi sembilan
elemen, yaitu: (1) sektor masyarakat yang terpengaruh, (2) kebutuhan dari
program, (3) kendala utama program, (4) perubahan yang dimungkinkan dari
program, (5) tujuan dari program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7)
aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas guna
mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang
terlibat dalam pelaksanaan program.
Output teknik ISM berupa ranking masing-masing subelemen dan plot
subelemen ke dalam empat sektor beserta koordinatnya (Marimin 2004), yaitu:
(1) Sektor 1; weak driver-weak dependent variables (autonomus). Subelemen
yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau
mempunyai hubungan sedikit. Subelemen pada sektor 1, jika: nilai driver
power (DP) < 0,5X dan nilai dependence (D) ≤ 0,5X, serta X adalah jumlah
subelemen.
34
(2) Sektor 2; weak driver-strongly dependent variables (dependent). Umumnya
subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak
bebas. Subelemen pada sektor 2, jika: nilai DP < 0,5X dan nilai D > 0,5X.
(3) Sektor 3; strong driver-strongly dependent variables (linkage). Subelemen
yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan
antara subelemen tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen akan
memberikan dampak terhadap subelemen lainnya dan pengaruh umpan
balik dapat memperbesar dampak. Subelemen pada sektor 3, jika: nilai DP
> 0,5X dan nilai D > 0,5X.
(4) Sektor 4; strong driver-weak dependent variables (independent).
Subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem
dan disebut peubah bebas. Subelemen pada sektor 4, jika: nilai DP > 0,5X
dan nilai D < 0,5X.
2.10 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian mengenai Karimunjawa diantaranya dilakukan oleh Yusuf (2007)
yang meneliti mengenai “Kebijakan Pengelolaan Sumber daya Pesisir dan Laut
Kawasan TNKJ secara berkelanjutan”. Hasil penelitian menunjukkan analisis
penentuan zonasi dibagi menjadi empat zona, yaitu inti, perikanan berkelanjutan,
pemanfaatan, dan rehabilitasi. Zona inti memiliki empat pulau atau lokasi dengan
luas 943,5 ha (18,99%), zona perikanan berkelanjutan lima lokasi dengan luas
865,46 ha (17,42%), zona pemanfaatan enam lokasi dengan luas 971,17 ha
(19,54%), dan zona rehabilitasi 11 lokasi dengan luas 2.188,98 ha (44,05%).
Suryanto (2000) meneliti “Sistem Zonasi Pengelolaan TNL Berdasarkan
Indeks Kepekaan Lingkungan Studi Kasus di Kepulauan Karimunjawa Kabupaten
Jepara Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan zonasi telah
menggambarkan keserasian antar kegiatan konservasi, wisata alam, perikanan
dan pemberdayaan masyarakat, sehingga masing-masing zona menggambarkan
keterkaitan antara penataan pemanfaatan lahan daratan dan perairan dengan
cara meng-overlay-kan atribut-atribut penggunaan dan keadaan lahan, nilai IKL,
dinamika hidro-oseanografi, daerah dan jalur penangkapan ikan serta kelayakan
sosial ekonomi dan budaya. Hasil zonasi didapatkan empat zonasi dengan
masing-masing luasan, yaitu: (1) zona inti seluas 10.046,25 ha (9%), (2) zona
perlindungan seluas 21.208,75 ha (19%), (3) zona pemanfaatan seluas
29.022,50 ha (26%), dan (4) zona penyangga seluas 51.347,50 ha (46%).
35
Penelitian mengenai sistem zonasi yang dilakukan oleh Yusuf (2007) dan
Suryanto (2000) masih parsial dan belum mengakomodasikan peranan sistem
zonasi yang dihasilkan untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap. Selain
itu, sistem zonasi yang dijadikan acuan adalah sistem zonasi pada awal
penetapan, sehingga kurang mewakili kondisi sekarang. Penelitian Yusuf dan
Suryanto juga memiliki keterbatasan dalam pengkajian SDI, carrying capacity,
dinamika dan kompleksitas ekosistem, karena hal tersebut belum diintegrasikan.
Samidjan (2005) meneliti suksesi struktur komunitas pada terumbu karang
buatan di perairan Pulau Menjangan Besar dan Gon Waru. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat dua spesies bakteri pioneer yaitu Micrococcus luteus yang
memicu penempelan Pocillopora damicornis di Pulau Menjangan Besar dan
penempelan Marinomonas communis yang mendorong penempelan Acropora
tenuis di Gon Waru. Struktur komunitas pada bakteri, juvenile karang, perifiton,
dan makroalgae menunjukkan keanekaragaman yang rendah, tidak ada
dominasi spesies dan kesamaan spesies yang tinggi. Hubungan komunitas di
Gon Waru menunjukkan tipe protokooperasi, sementara di Pulau Menjangan
Besar menunjukkan hubungan amensalisme.
Purwanti (2008) meneliti tentang “Konsep co-management TNKJ”. Hasil
penelitian menunjukkan potensi keanekaragaman hayati semakin menurun dan
tingkat pemanfaatan sumber daya kurang terkontrol sehingga dapat mengancam
status TNKJ. Kajian kebijakan dan kelembagaan menunjukkan bahwa (1)
peraturan pengelolaan kawasan lebih mengkonsentrasikan pada kewenangan
pemerintah, (2) terdapat ketidakharmonisan (dishamonisasi) peraturan dalam hal
kewenangan pengelolaan antara Dephut, DKP dan pemerintah daerah sehingga
cenderung timbul konflik institusional karena peraturan sulit diterapkan lintas
sektor. Pengaturan kolaborasi dalam permenhut juga sulit dilaksanakan karena
belum ada kesepakatan dan kesepahaman tertulis antar stakeholders.
Maksum (2006) meneliti dampak sosio ekonomi dari kawasan TNKJ
terhadap aktivitas penangkapan ikan. Hasil penelitian menunjukkan adanya
dampak signifikan dari KKL terhadap aktivitas perikanan tangkap. Peningkatan
produksi perikanan secara statistik tidak signifikan karena kemungkinan ada
sumbangan dari landing yang berasal dari fishing ground lain. Sebanyak 50%
responden nelayan menyatakan bahwa TNKJ tidak memberikan manfaat untuk
perikanan, hal ini disebabkan karena hampir 75% responden tidak mengetahui
dan memahami mengenai KKL. Manfaat ekonomi lebih banyak dirasakan oleh
36
operator turis yang mendapatkan benefit dari penyewaan kapal dan pesawat ke
Karimunjawa, serta beberapa resot skala kecil.
Penelitian yang terkait dengan wilayah dan bidang perikanan tangkap
diantaranya Irnawati (2008) yang meneliti tentang “Pengembangan Perikanan
Tangkap di Kawasan TNKJ Jawa Tengah”. Hasil penelitian menunjukkan: (1)
sistem zonasi yang ada sudah sesuai dan serasi dengan prinsip konservasi dan
kebutuhan pemanfaatan berdasarkan fungsi dan luasan masing-masing zona, (2)
hubungan antar zona yang ada di TNKJ memiliki keterkaitan yang erat, yaitu
antara zona yang satu dengan yang lain memiliki hubungan keterpaduan yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, dan (3) prioritas pengembangan
perikanan tangkap di Karimunjawa diarahkan pada: (i) pengembangan teknologi
penangkapan ikan yang ramah lingkungan yang dapat menunjang sektor
pariwisata bahari, yaitu dengan alat tangkap bubu dan pancing tonda untuk
memanfaatkan dan mengembangkan komoditas unggulan yaitu ikan kerapu,
tongkol, dan cumi-cumi, (ii) pembinaan masyarakat nelayan, (iii) optimalisasi
pemanfaatan pelabuhan perikanan, dan (iv) peningkatan ketrampilan nelayan.
Yanuar et al. (2008) meneliti tentang “Optimasi Kegiatan Nelayan Sebagai
Instrumen Pendukung Keberlanjutan Taman Nasional Karimunjawa”. Hasil
penelitian menunjukkan: (1) jenis ikan komoditi utama di Kepulauan Karimunjawa
adalah teri, tongkol, tenggiri dan ekor kuning, (2) musim tangkap ikan teri,
tongkol, dan tenggiri masing-masing terjadi selama lima bulan, yaitu Juni-
Oktober, Agustus-Desember, Desember-April, dan khusus untuk ekor kuning
selama enam bulan yaitu Februari-Mei dan September-Oktober, (3) Jumlah alat
tangkap optimum adalah bagan perahu 81 unit, pancing tonda 101 unit, jaring
insang 71 unit, dan bubu 0 unit; serta (4) alokasi area untuk budidaya seluas 913
ha, sehingga diperlukan penambahan area zona pemanfaatan budidaya 125 ha.
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan umumnya hanya pada sistem
zonasi taman nasional atau bidang perikanannya saja. Penelitian-penelitian
tersebut cenderung parsial, sehingga perbaikan pada suatu bagian tidak diikuti
oleh perbaikan pada bagian yang lain. Penelitian tentang “Model Pengembangan
Taman Nasioanal Laut: Optimalisasi Pengelolaan Perikanan Tangkap”, akan
mensinergikan kegiatan perikanan tangkap dengan sistem zonasi yang berlaku.
Model pengembangan TNL yang dihasilkan diharapkan mampu mengeliminir
konflik pemanfaatan perairan antar stakeholders, serta menjamin keberlanjutan
SDI dan habitatnya.
Recommended