View
223
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Self Efficacy
2.1.1. Pengertian Self efficacy
Self efficacy merupakan teori yang diajukan bandura (1997) yang
berdasarkan teori sosial kognitif. Bandura (1997) mendefinisikan self efficacy
adalah keyakinan akan kemampuan diri untuk menguasai situasi dan
menyelesaikan tugas–tugas yang sulit. Self efficacy mempengaruhi usaha individu,
seberapa besar individu memiliki daya tahan menghadapi kesulitan dan reaksi
emosi yang ditunjukkan pada saat menghadapi tugas.
Bandura(1977) juga mengatakan bahwa self efficacy sebagai pertimbangan
seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan menampilkan
tindakan yang diperlukan dalam mencapai kinerja yang diinginkan.
Bandura (Warsito,2004) individu yang memiliki self efficacy yang rendah
akan menghindari semua tugas dan menyerah dengan mudah ketika masalah
muncul. Mereka menganggap kegagalan sebagai kurangnya kemampuan yang
ada. Dalam kaitannya dengan keyakinan akan kemampuan ini, orang yang
memiliki self efficacy yang tinggi berusaha atau mencoba lebih keras dalam
menghadapi tantangan sebaliknya orang yang memiliki self efficacy yang rendah
akan mengurangi usaha mereka untuk bekerja dalam situasi yang sulit. Tingkat
self efficacy individu juga berpengaruh terhadap stres serta depresi yang dapat
8
menguatkan situasi tertentu sebagaimana tingkat motivasi yang tentu juga
mempengaruhi pencapaian prestasinya.
2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Self Efficacy
Menurut Bandura (1997) ada empat faktor penting yang digunakan
individu dalam pembentukan self efficacy yaitu :
a. Master Experience ( Pengalaman keberhasilan)
Keberhasilan seseorang menguatkan keyakinan akan kemampuannya.
Sebaliknya kegagalan menyebabkan seseorang bertindak lebih hati-hati. Jika
pengalaman seseorang diperoleh berdasarkan keinginan mencapai
keberhasilan dengan mudah, maka mereka cenderung memperoleh hasil
dengan cepat dan mudah putus asa saat menghadapi suatu hambatan dan
kegagalan.
b. Vicarious Experience (Meniru)
Vicarious Experience merupakan pengalaman orang lain yang seolah-olah
dialami sendiri. Hal ini menunjukkan pada proses menirukan yang akan
membangun harapan bahwa mereka dapat memperbaiki prestasi mereka
sendiri dengan belajar dari pengamatan mereka.
c. Social Persuasion
Social Persuasion menunjuk pada suatu aktivitas dimana seseorang
mendapat dorongan untuk menimbulkan kepercayaan bahwa mereka dapat
mengalami kesuksesan dengan tugas-tugas yang spesifik.
9
d. Psycologicial & Emotional State ( Kondisi fisiologis & emosi)
Keadaan fisik dan emosi berpengaruh pada penilaian self efficacy individu.
Emosi berpengaruh yang negative seperti kecemasan untuk menyelesaikan
tugas-tugas.
2.1.3. Proses pembentukan Self Efficacy
Bandura (1997) menjelaskan bahwa self efficacy mempunyai efek pada
perilaku manusia melalui empat proses yaitu proses kognitif, proses motivasi,
proses afeksi dan proses seleksi.
a. Proses kognitif
Bandura (1997) menjelaskan bahwa serangkaiaan tindakan yang dilakukan
manusia awalnya dikonstruk oleh pikirannya. Pemikiran ini yang
menimbulakan arahan bagi manusia. Seseorang yang menilai bahwa mereka
sebagai seseorang yang tidak mampu, maka akan menafsirkan situasi tersebut
sebagai hal yang penuh dengan resiko dan gagal dalam perencanaan.
Sedangkan sesorang yang mempunyai self efficacy baik maka seseorang
tersebut akan memliki keyakinan dapat menghadapi situasi dan dapat
menghasilkan hal yang positif.
b. Proses motivasi
Melalui kognitifnya, seseorang memotivasi dirinya dan mengarahkan
tindakannya berdasarkan informasi yang dimiliki sebelumnya. Seseorang
membentuk keyakinan mengenai apa yang dapat dilakukan, dihindari, dan
tujuan yang dapat dicapai. Keyakinan ini akan memotivasi individu untuk
melakukan suatu hal.
10
c. Proses afeksi
Self efficacy mempengaruhi reaksi terhadap tekanan yang dihadapi ketika
menghadapi tugas. Seseorang yang percaya bahwa dirinya dapat menghadapi
situasi akan merasa tenang dan tidak cemas. Sebaliknya orang yang tidak
yakin akan kemampuannya dalam mengatasi situasi akan mengalami
kecemasan.
d. Proses seleksi
Seseorang yang mempunyai self efficacy rendah akan memilih tindakan
untuk menghindari atau menyerah pada suatu tugas yang melebihi
kemampuannya, tetapi sebaliknya dia akan mengambil tindakan dan
menghadapi suatu tugas apabila dia mempunyai keyakinan bahwa ia mampu
untuk mengtasinya.
2.1.4. Dimensi Self-Efficacy
Bandura (1997) mengatakan bahwa dimensi–dimensi dalam self efficasy
berupa di bawah ini :
a. Besar pengharapan
Besar pengharapan merupakan besarnya harapan terhadap kemungkinan
hasil dari suatu perilaku, yaitu suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan
tertentu menyebabkan hasil tertentu yang bersifat khusus. Besar pengharapan
efikasi diri (self efficacy) dapat diketahui dari indikator–indikator dibawah ini.
1) Tingkat kesulitan tugas yang diyakini dapat diselesaikan
2) Analisi pilihan perilaku yang akan dicoba (merasa mampu dilakukan)
11
3) Upaya menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas
kemampuannya.
b. Luas pengharapan
Luas pengharapan merupakan keyakinan sejauh mana perilaku tertentu
akan menimbulkan konsekuensi atau hasil tertentu, konsekuensi-konsekuensi
akan terjadi bila suatu perilaku dilakukan oleh seseorang, hanya saja
kemampuan seseorang untuk menampilkan perilaku terbatas maka
pengharapan seseorang terhadap suatu konsekuensi atau hasil terbatas pula.
Hal ini merupakan luas bidang perilkau yang diyakini berhasil dicapai siswa
dengan indikator.
1) pengharapan terbatas pada bidang perilaku khusus yaitu
keyakinan/kemantapan dalan menjalankan bidang tugas selama ini.
2) pengharapan yang menyebar meliput berbagai bidang perilaku yaitu
keyakinan atau kemantapan dalam menjalankan tugas lain yang belum
pernah dikerjakan
c. Kemantapan pengharapan
Kemantapan pengharapan merupakan harapan akan dapat membentuk
perilaku secara tepat. Suatu keyakinan bahwa seseorang akan berhasil dalam
bertindak sesuai dengan hasil yang diharapkan. Aspek ini menunjukan bahwa
harapan orang berkaitan dengan kesanggupan melakukan sesuatu perilaku
yang dikehendaki. Kemantapan Pengharapan tergantung pada situasi beberapa
informasi berupa persepsi dari hasil tindakan yang didapatkan melalui
12
kehidupan, modeling, peristiwa verbal dan keadaan emosi yang mengancam.
Dapat dilihat dengan indikator dibawah ini:
1) Bertahan dalam usahanya yaitu bertahan menghadapi tugas dan tantangan
pekerjaan sebagai siswa.
2) keuletan dalam berusaha menghadapi tugas–tugas tantangan studi.
2.1.5. Ciri – Ciri Self Efficacy
Bandura (1997) memaparkan mengenai perbedaan ciri–ciri yang
mempunyai self efficacy yang tinggi dan yang rendah :
a. Orang yang mempunyai self efficacy rendah (yang ragu–ragu akan
kemampuannya)
1. Orang yang menjauhi tugas–tugas sulit.
2. Berhenti dengan cepat bila menemui kesulitan.
3. Memiliki cita–cita yang rendah dan komitmen yang buruk untuk tujuan
yang mereka pilih.
4. Berfokus pada akibat yang buruk pada kegagalan.
5. Orang mengurangi usaha karena lambat memeperbaikai keadaan dari
kegagalan yang dialami, mudah mengalami stres dan depresi.
b. Orang yang mempunyai self efficacy tinggi (yang mempunyai kepercayaan
yang kuat akan kemampuanya)
1. Mendekati tugas–tugas yang sulit sebagai tantangan untuk di menangkan.
2. Menyusun tujuan–tujuan yang menantang dan memelihara komitmen
untuk tugas tugas tersebut.
3. Mempunyai usaha yang tinggi atau gigih.
13
4. Orang berfikir strategis.
5. Berfikir bahwa kegagalan yang dialami karena usaha yag tidak cukup
sehingga diperlukan usaha yang tinggi dalam menghadapi kesulitan.
6. Cepat memperbaiki keadaan setelah mengalami kegagalan.
7. Mengurangi stress terhadap tugas yang dianggap memang sulit.
2.2. Bimbingan Kelompok
2.2.1. Pengertian Bimbingan Kelompok
Bimbingan Kelompok merupakan sarana untuk menunjang perkembangan
optimal masing-masing siswa, yang diharapkan dapat mengambil manfaat dari
pengalaman pendidikan ini bagi dirinya sendiri (dalam Winkel & Sri Hastuti,
2006). Menurut Romlah (2001), bimbingan kelompok adalah proses pemberian
bantuan yang diberikan pada individu dalam situasi kelompok. Bimbingan
kelompok ditujukan untuk mencegah timbulnya masalah pada siswa dan
mengembangkan potensi siswa.
Sedangkan menurut Tohirin (2007), menyebutkan bimbingan kelompok
adalah suatu cara memberikan bantuan kepada individu (siswa) melalui kegiatan
kelompok.Sementara itu, Sukardi (2008) menyatakan bahwa bimbingan kelompok
yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan sejumlah peserta didik secara
bersama-sama memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu (terutama
dari pembimbing/konselor) yang berguna untuk menunjang kehidupannya sehari-
hari baik individu maupun pelajar, anggota keluarga dan masyarakat serta untuk
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
14
Dari beberapa pengertian bimbingan kelompok di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan kelompok yang
dilakukan oleh sekelompok orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok
yaitu adanya interaksi saling mengeluarkan pendapat, memberikan tanggapan,
saran, dan sebaginya, dalam kaitannya untuk menvapai kehidupan yang lebih baik
dan mencegah timbulnya masalah.
2.2.2. Tujuan Bimbingan Kelompok
Tujuan Bimbingan Kelompok Winkel dan Sri Hastuti (2006) adalah
menunjang perkembangan pribadi dan perkembangan sosial masing-masing
anggota kelompok serta meningkatkan mutu kerja sama dalam kelompok guna
aneka tujuan yang bermakna bagi para partisipan. Selain itu, bimbingan kelompok
bertujuan untuk merespon kebutuhan dan minat para peserta didik.
Sedangkan menurut Prayitno (2004) tujuan bimbingan kelompok adalah
sebagai berikut :
a. Tujuan Umum
Tujuan umum dari layanan bimbingan kelompok adalah berkembangnya
sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi anggota kelompok.
Sering menjadi kenyataan bahwa kemampuan bersosisalisasi/berkomunikasi
seseorang sering terganggu oleh perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan
sikap yang tidak obyektif, sempit dan terkukung serta tidak efektif. Melalui
layanan bimbingan kelompok diharapkan hal-hal yang menganggu atau
menghimpit perasaan dapat diungkapkan, diringankan melalui berbagai cara,
pikiran yang buntu atau beku dicairkan dan didinamikkan melalui masukkan
15
dan tanggapan baru, persepsi yang menyimpang atau sempit diluruskan dan
diperluas melalui baru yang lebih efektif. Melalui kondisi dan proses
berperasaan, berpikir, kemampuan berkomunikasi, bersosialiasi dan bersikap
dapat dikembangkan. Selain tujuan tersebut yaitu untuk mengentaskan
masalah klien dengan memanfaatkan dinamika kelompok.
b. Tujuan Khusus
Bimbingan kelompok bermaksud membahas topik-topik tertentu.
Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu
mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan dan sikap
yang menunjang diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini
kemampuan berkomunikasi verbal maupun non verbal ditingkatkan. Dengan
diadakannya bimbingan kelompok ini dapat bermanfaat bagi siswa karena
dengan bimbingan kelompok akan timbul interaksi dengan anggota-anggota
kelompok mereka memenuhi kebutuhan psikologis, seperti kebutuhan untuk
menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya dan diterima oleh mereka,
kebutuhan bertukar pikiran dan berbagi perasaan, kebutuhan menemukan
nilai-nilai kehidupan sebagai pegangan, dan kebutuhan untuk menjadi lebih
mandiri.
2.2.3. Prosedur Pelaksanaan Bimbingan Kelompok
Bimbingan kelompok dalam pelaksanaannya melalui beberapa
tahap.Tahapan-tahapan disini bukanlah suatu tahapan yang mempunyai fase yang
berbeda-beda dan terpisah, namun merupakan fase yang saling berhubungan.Pada
pelaksanaan eksperimen bimbingan kelompok ini adalah mengacu pada tahap-
16
tahap bimbingan kelompok yang dikemukakan oleh (Prayitno,1995) tahap-tahap
tersebut adalah sebagai berikut: tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap
kegiatan dan tahap pengakhiran.
Tahap Awal (Pregroup)
Tahap awal merupakan langkah persiapan. Tahap ini lebih menekankan
pada persiapan untuk memimpin, kemudian cara mengumumkan mencari anggota
kelompok serta merencakan jenis kelompok (kelompok terbuka dan tertutup),
keanggotaan kelompok, jumlah anggota kelompok, frekuensi dan lamanya
pertamuan kelompok, dan tempat pertemuan. Persiapan yang sistematis sangatlah
penting untuk membantu proses selanjutnya.
Tahap I (Pembentukan)
Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap perlibatan diri atau tahap
memasukkan diri ke dalam kehidupan suatu kelompok. Pada tahap ini para
anggota saling memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan atau
harapan yang ingin dicapai baik oleh masing-masing, sebagian ataupun seluruh
anggota. Tahap ini merupakan tahap keheningan atau kecanggungan. Dalam tahap
ini anggota kelompok mulai belajar terlibat dalam interaksi kelompok. Fungsi dan
tugas utama pemimpin kelompok dalam tahap ini adalah mengajarkan cara
berpartisipasi dengan aktif sehingga dapat meningkatkan peluang mereka untuk
mendapatkan kelompok yang produktif.
Menurut Prayitno (1995) kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada
tahap awal ini adalah sebagai berikut:
a. Mengungkapakan pengertian dan tujuan kegiatan bimbingan kelompok
17
b. Menjelaskan cara-cara dan asas-asas bimbingan kelompok
c. Saling memperkenalkan dan mengungkapkan diri
d. Permainan penghangatan/pengakraban
Tahap II (Peralihan)
Tahap kedua adalah tahap peralihan atau transisi. Pada tahap ini suasana
kelompok mulai terbentuk dan dinamika kelompok sudah mulai tumbuh.
Karakteristik tahap transisi ditandai oleh perasaan khawatir, defence (bertahan),
dan berbagai bentuk perlawanan. Pada kondisi demikian pemimpin kelompok
perlu memberikan motivasi dan reinforcement kepada anggota agar mereka peduli
tentang apa yang dipikirkan terhadapnya dan belajar mengekspresikan diri
sehingga anggota lain bisa mendengarkan.
Menurut Prayitno (1995), kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada
tahap ini adalah:
a. Menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap selanjutnya
b. Menawarkan kepada anggota kelompok apakah sudah siap untuk menjalani
kegiatan pada tahap selanjutnya
c. Membahas suasana yang terjadi
d. Meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota
e. Kalau perlu kembali kepada aspek pada tahap yang pertama (tahap
pembentukan)
Tahap III (Kegiatan)
Tahap ini merupakan inti kegiatan kelompok sehingga aspek-aspek yang
menjadi pengiringnya cukup banyak. Pada kegiatan ini saatnya anggota
18
berpartisipasi untuk menyadari bahwa merekalah yang bertanggung jawab pada
kehidupan mereka. Jadi mereka harus didorong untuk mengambil keputusan,
pendapat dan tanggapan mengenai topik masalah yang dihadapi untuk digali
dalam kelompok.
Fungsi utama pemimpin pada tahap kegiatan ini adalah memberikan
penguatan secara sistematis dari tingkah laku kelompok yang diinginkan. Selain
itu dapat memberikan dukungan pada kesukarelaan anggota untuk mengambil
risiko dan mengarahkan untuk menerapkan tingkah laku dalam kehidupan sehari-
hari. Sedangkan kegiatan yang harus dilakukan pada tahap kegiatan ini adalah:
a. Masing-masing anggota secara bebas mengutarakan pendapat terhadap topik
masalahnya.
b. Menetapkan topik/masalah yang akan dibahas terlebih dahulu.
c. Anggota membahas masing-masing topik/masalah secara mendalam dan
tuntas.
d. Kegiatan selingan.
Tahap IV (Pengakhiran)
Tahap keempat adalah tahap akhir yang merupakan tahap konsolidasi dan
terminasi. Pada tahap ini “pokok perhatian utama adalah bukanlah berapa kali
kelompok itu bertemu namun pada hasil yang telah dicapai pada kelompok ketika
menghentikan pertemuan” Prayitno (1995). Pada saat kelompok memasuki tahap
pengakhiran, kegiatan kelompok sebaiknya dipusatkan pada pembahasan tentang
apakah anggota kelompk akan mampu menerapkan hal-hal yang telah dipelajari
pada kehidupan anggota sehari-hari. Tugas utama yang dihadapi para anggota
19
selama tahap akhir yaitu mentransfer apa yang telah mereka pelajari dalam
kelompok ke dunia luar.
Peranan pemimpin kelompok adalah tetap mengusahakan suasana yang
hangat memberikan pernyataan dan mengucapakan terima kasih atas keikutsertaan
anggota serta memberi semangat untuk kegiatan lebih lanjut dengan penuh rasa
persahabatan dan simpati, di samping itu fungsi pemimpin kelompok pada tahap
ini adalah memperjelas arti dari tiap pengalaman yang diperoleh melalui
kelompok dan mengajak para anggota untuk menerapkan dalam kehidupan sehari-
hari serta menekankan kembali akan pentingnya pemeliharaan hubungan antar
hubungan anggota setelah kelompok berakhir. Kegiatan yang harus dilakukan
pada tahap ini adalah:
a. Pemimpin kelompok menyatakan bahwa kegiatan akan segera diakhiri.
b. Pemimpin dan anggota kelompok mengemukakan kesan dan hasil-hasil
kegiatan.
c. Membahas kegiatan lanjutan.
d. Mengemukakan kesan dan harapan.
Setelah semua tahap terlaksana, kemudian dilakukan evaluasi dan follow
up. Follow up dapat dilaksanakan secara kelompok maupun secara individu. Pada
kegiatan tindak lanjut ini para anggota kelompok dapat membicarakan tentang apa
yang telah ditempuh.
Pemimpin kelompok dapat memberikan evaluasi dengan memberikan
pertanyaan atau wawancara dengan batas tertentu dan dilihat apakah para anggota
20
sudah menguasai topik yang dibicarakan atau belum. Hal tersebut dapat
memberikan gambaran akan keberhasilan kegiatan kelompok.
2.3. Modeling
2.3.1. Pengertian Modeling
Bandura (1997) menyatakan bahwa modeling atau yang disebut dengan
Vicarious experience adalah individu belajar melalui observasi dari model relevan
yang diperkuat. Hal ini menunjukkan pada proses menirukan yang akan
membangun harapan bahwa mereka dapat memperbaiki prestasi mereka sendiri
dengan belajar dari pengamatan mereka.
2.3.2. Proses Modeling
Bandura (1997) menyebutkan empat proses yang mempengaruhi belajar
observasional, yaitu proses attention, proses retentional, proses pembentukan
perilaku, dan proses motivational.
a. Proses Attentional
Model perlu diperhatikan sebelum model dapat dipelajari. Proses perhatian
ini dikarenakan beberapa sebab. Pertama, kapasitas sensoris sesorang akan
mempengaruhi attentional proses. Kedua, dipengaruhi oleh penguatan masa
lalu atau pengalaman belajar sebelumnya. Misalnya, jika aktivitas yang lalu
dipelajari lewat observasi terbukti berguna untuk mendapatkan suatu
penguatan, maka perilaku yang sama akan diperhatikan pada situasi modeling
berikutnya. Dan yang ketiga, dipengaruhi oleh karakteristik model.
21
b. Proses Retentional
Informasi yang diperoleh dari observasi dapat berguna apabila informasi
tersebut diingat atau disimpan. Dalam proses retensional tersebut terdapat dua
cara, yaitu dengan cara imajinatif dan secara verbal. Simbol–simbol yang
disimpan secara imajinatif adalah gambaran tentang hal–hal yang dialami oleh
model, yang dapat diambil dan dilaksanakan sesudah belajar observasional
terjadi.simbolisasi kedua adalah secara verbal.Simbolisasi verbal ini terjadi
secara kognitif dan fleksible. Kerumikan dan kepelikan perilaku bisa
ditangkap dengan baik dalam wadah kata–kata. Setelah informasi disimpan
secara koqnitif, maka informasi tersebut dapat diambil kembali, diulang, dan
diperkuat beberapa waktu sesudah belajar observasional terjadi.
c. Motorik reproducton
Motorik reproduction menentukan sejauh mana hal–hal yang telah
dipelajari akan diterjemahkan ke dalam tindakan. Seseorang mungkin
mempelajari sesuatu secara koqnitif namun tidak mampu menerjemahkan
informasi tersebut ke dalam perilaku karena ada keterbatasan.Bandura
berpendapat bahwa jika seseorang dilengkapi dengan semua apparatus fisik
untuk memberikan respon yang tepat, dibutuhkan satu periode rehearsal
(latihan repetisi) koqnitif sebelum perilaku pengamat menyamai perilaku
model. Selama proses pelatihan, individu mengamati perilaku mereka sendiri
dan membandingkan dengan representasi koqnitif dari pengalaman model.
Setiap diskrepansi antara perilaku seseorang dengan perilaku model akan
22
menimbulkan tindakan korektif. Proses ini terus berlangsung sampai ada
kesesuaian yang sudah memuaskan antara perilaku dan model.
d. Proses Motivational
Proses motivasional mempunyai dua fungsi. Pertama, menciptakan
ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model
yang dilihatnya diperkuat oleh aktivitas tertentu. Kedua, bertindak sebagai
intensif untuk menerjemahkan belajar kepada kinerja. Fungsi yang lainnya
yaitu menyediakan motif untuk menggunakan apa–apa yang telah dipelajari.
Informasi yang diperoleh melalui observasi dapat digunakan dalam berbagai
macam situasi jika individu tersebut membutuhkan.
2.3.3. Jenis Model
Bandura (1997) menyebutkan bahwa model yang digunakan dapat berupa
mastery model dan coping model:
a. Mastery model
Mastery model dilakukan dengan cara menampilkan seseorang yang ahli
dalam satu tugas kepada individu lain untuk dijadikan model. Model ini
membantu siswa mengembangkan kemampuan untuk mengatasi masalah dan
rintangan.
b. Coping model
Coping model dilakukan dengan cara menampilkan seseorang yang
mungkin masih memiliki beberapa kesulitan dengan satu tugas tertentu, akan
tetapi dapat menjadi contoh dan menunjukkan ia dapat menyelesaikan tugas
dengan sukses kepada orang yang baru mendapat keterampilan.
23
Sedangkan menurut Bandura dan Walters (dalam Sumardjono dkk,2012)
terdapat tiga macam model yang dapat ditiru :
a. Real-life model
Real-life model merupakan model di kehidupan nyata individu. Yaitu bila di
lingkungan rumah individu bisa menjadikan orang tua dan saudara kandung
untuk dijadikan model, sedangkan dilingkungan sekolah Guru dan teman.
b. Symbolic model
Model simbolik disajikan melalui pembelajaran lisan, tertulis dan alat peraga
gambar, atau kombinasi pembelajaran lisan dan gambar.
c. Representational model
Model representational model ditayangkan melalui televise dan video.
2.3.4. Dampak Modeling
Menurut Bandura dan walters (dalam Sumardjono dkk,2012) modeling
memberi beberapa efek bagi pengamat, yaitu :
a. Modeling effect
Melalui pengamatan dan meniru, siswa mencocokkan perilaku model dengan
respon baru berupa perilaku yang pertama kali dilakukan siswa yang
bersangkutan. Jadi model mendemonstrasikan perilaku baru bagi siswa serta
dalam jangkauan kapasitas siswa untuk meniru.
b. Disinhibitory effect
Melalui pengamatan dan meniru model, siswa melemahkan atau menguatkan
respon terlarang (inhibitory response) dalam perbendaharaan pola perilaku.
Respon terlarang misalnya perilaku agresi dan perilaku menyimpang.
24
c. Eliciting effect
Melalui pengamatan dan meniru model, siswa mencocokkan perilaku model
dengan respn yang sudah ada dalam pembedaharaan perilakunya.
2.3.5. Modeling dalam meningkat Self efficacy
Bandura (1997) menyebutkan bahwa sumber self efficacy adalah dengan
Vicarious experience atau modeling, dimana individu belajar melalui observasi
dengan model yang relevan. Menurut Alderman dalam Masraroh (2012)
menyebutkan bahwa teman sebaya dan guru atau pembimbing dapat membantu
meningkatkan self efficacy melalui modeling. Sehingga teknik modeling dapat
dilakukan melalui kelompok.
Teknik modeling yang dilakukan melalui kelompok terjadi interaksi antara
personal (P), lingkungan (E), dan perilaku (B) yang saling berkaitan, atau disebut
juga triadic reciprocal determinism (Bandura, 1997). Konsep tersebut
menggambarkan perilaku mempengaruhi individu dan lingkungan, lingkungan
atau orang mempengaruhi perilaku.
2.4. Hasil Temuan yang relevan
Penelitian Masraroh (2012) yang melakukan penelitian “Efektifitas
Layanan Bimbingan Kelompok Teknik Modeling Untuk Meningkatkan self
efficacy Akademik Siswa (Studi Eksperimen Kuasi di Kelas X Sekolah Menengah
Atas Laboratorium Universitas Pendidikan Indonesia Bandung)” menunjukkan
bahwa dari hasi uji anova diketahui F hitung(3,458) lebih besar dari Ftabel(3,42)
dan koefisien sig.failed 0,037>0,05. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ada
25
26
perbedaan yang signifikan self efficacy siswa setelah mendapatkan layanan
bimbingan kelompok teknik Modeling
Sedangkan penelitian Lestari (2011) yang melakukan penelitian tentang
“Meningkatkan efikasi diri siswa kelas X MEKATRONIK B SMK Negeri 3
Salatiga melalui bimbingan kelompok tahun ajar 2010/2011” yang menyimpulkan
skor pretest dan postest kelompok eksperimen mengalami peningkatan dari 2028
menjadi 2267, skor pos tes 141,69 lebih besar dari skor pre tes 126,75. Hasil uji
Man Whitney antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen diketahui
sig 2 tailed 0,036 <0,05 sehingga secara statistik menunjukkan ada perbedaan
yang signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen.
Sedangkan dalam Lasitosari (2007) yang melakukan penelitian
“Keefektifan Bimbingan kelompok untuk meningkatkan keyakinan diri siswa
yang tidak naik kelas pada siswa kelas X dan XI SMA Negeri 3 Semarang Tahun
2007” yang menyimpulkan adanya peningkatan keyakinan diri siswa yang tidak
naik kelas di kelas X dan XI yang ditunjukan dengan nilai mean rank pre test
sebesar 30.02 menjadi 38,26 pada post test. Sehingga Bimbingan kelompok
efektif untuk meningkatkan keyakinan diri siswa kelas X dan XI yang tidak naik
kelas di SMA Negeri 3 Semarang tahun 2007
2.5. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Layanan bimbingan
kelompok teknik modeling dapat meningkatkan secara signifikan Self efficacy
siswa yang rendah pada siswa XI TEI B di SMK Negeri 2 Salatiga Tahun
Pelajaran 2012/2013”.
Recommended