View
195
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
1
ANALISIS FINANSIAL, RESIKO DAN SENSITIVITAS USAHA PETERNAKAN AYAM PETELUR
(Survei pada Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur Kabupaten Lamongan)
Sunaryo Hadi Warsito¹ , Zaenal Fanani² , Budi Hartono³
¹ Mahasiswa Program Studi Ilmu Ternak Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang
² dan ³ Staf Pengajar Program Studi Ilmu Ternak Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang
ABSTRACT
This research aims to investigate : 1. The feasibility of the layer poultry business evaluated from facet of financial; 2. Risk of financial of the layer poultry enterprise 3. Influence of price change of chicken's egg and feed to earnings of farmer. Analysis the used is production cost structure analysis, revenue, advantage, financial, risk of financial and sensitivity. The method used is the method of survey undertaken in groups of layer poultry farming "Gunungrejo Makmur", which consists of 24 members. To simplify the calculation, so the sample was stratified or grouped into three based on the business scale. The result of research show that average of result in one year at scale of I used production cost equal to Rp 119,061,052 and obtained revenue equal to Rp 147,464,147 and also clean advantage which obtained equal to Rp 28,403,094; at scale of II used production cost equal to Rp 240,795,738 and obtained revenue equal to Rp 318,949,828 and also clean advantage which obtained equal to Rp 78,154,037; at scale of III used production cost equal to Rp 761,154,395 and obtained revenue equal to Rp 966,528,077 and also clean advantage which obtained equal to Rp 205,373,681. The result of analysis of financial show that at scale of I obtained by result of ARR equal to 69.86%; NPV equal to Rp 108,840,066; B/C Ratio 2.5890; PP equal to 16 days 7 months 1 year and of IRR equal to 54.5139%. At scale of II obtained by result of ARR equal to 91.55%; NPV equal to Rp 303,559,110; B/C Ratio 3.1106; PP equal to 7 days 4 months 1 year and of IRR equal to 68.4660%. At scale of III obtained by result of ARR equal to 72.45%; NPV equal to Rp 648,408,885; B/C Ratio 2.3576; PP equal to 13 days 9 months 1 year and of IRR equal to 48,2183%. Pursuant to analysis of financial as a whole that at all of group member scale farmer of the layer poultry of Gunungrejo Makmur still feasible to be developed by its enterprise. The result of risk analysis of financial show that at scale of I obtained by result of OER equal to 71.45%; CR equal to 3.25; DAR equal to 11.97%; ROA equal to 43.92%; ROE equal to 47.10%; DCR equal to 476.99%; Coefficient Variation of equal to 27.57% and Down of Limit equal to Rp 12,743,020. At scale of II obtained by result of OER equal to 66.70%; CR equal to 3.22; DAR equal to 11.81%; ROA equal to 56.73%; ROE equal to 61.62%; DCR equal to 576.28%; Coefficient Variation of equal to 37.36% and Down of Limit equal to Rp 19,765,221. At scale of III obtained by result of OER equal to 72.34%; CR equal to 3.07; DAR equal to 11.46%; ROA equal to 44.59%; ROE equal to 48.57%; DCR equal to 448.40%;
2
Coefficient Variation of equal to 47.57% and Down of Limit equal to Rp 9,970,779. Pursuant to risk analysis as a whole that at all of scale show generated risk level still is peaceful, because result of obtained advantage admit of to close over risk which possible happened. The result of analysis of sensitivity show that at scale of I will experience of loss at condition happened increase of price of feed start 10% and when at the same time happened degradation of egg price start 15% or will happened at condition of price of feed go up to start 15% and followed by egg price go down to start 10%. At scale of II not yet experienced of loss although happened increase of price of feed until 15% and when at the same time happened degradation of egg price until 15%. At scale of III will experience of loss at condition happened increase of price of feed start 10% and during at the same time happened degradation of egg price start 15%. Level of sensitivity to changes in feed prices are rising as well as egg prices decreased once advanced financial analysis the overall results obtained in all strata indicate that changes in the rate of decline in egg prices have higher sensitivity than a change in feed price increases. Key words : analysis, financial, risk of financial, sensitivity ----------------------------------------------------------------------------------
PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan
sektor yang paling banyak menyerap
tenaga kerja dan terbukti paling
tahan menghadapi krisis yang telah
terjadi di Indonesia. Demikian juga
subsektor peternakan merupakan
subsektor yang sangat penting
peranannya dalam menjaga
ketahanan pangan yang tidak
tergantikan oleh subsektor lainnya.
Peranan tersebut menjadi begitu
penting karena pangan asal hewan
merupakan penyedia protein hewani
sebagai kebutuhan pokok utama
dalam pemenuhan gizi masyarakat.
Hal ini ditunjang oleh peningkatan
jumlah penduduk, pendapatan
perkapita, perubahan selera
konsumen / gaya hidup, serta
meningkatnya kesadaran
masyarakat, maka akan
menyebabkan meningkatnya
tuntutan pada pemenuhan
kebutuhan pangan baik kualitas dan
kuantitasnya. Salah satu kebutuhan
pangan tersebut adalah protein
hewani yang sangat menunjang
program pemerintah untuk
mencerdaskan bangsa, sehingga
diharapkan rakyat Indonesia tidak
semakin tertinggal jauh oleh bangsa
lain.
3
Salah satu komoditi ternak
yang menyediakan protein hewani
adalah ayam petelur. Ayam petelur
selain menghasilkan produk protein
hewani yang berupa telur utamanya,
namun juga dagingnya yang berupa
ayam afkir. Usaha ayam petelur
dapat menghasilkan perputaran
modal yang cepat dan harga
telurnya yang relatif murah yang
mudah terjangkau oleh lapisan
masyarakat Indonesia. Sehingga
usaha peternakan ayam petelur
masih memberikan prospek pasar
yang semakin tahun semakin
meningkat seiring faktor – faktor
penunjang di atas, yang sangat
memungkinkan peluang tersebut
untuk dimanfaatkan.
Berdasarkan kondisi tersebut
maka sudah selayaknya usaha
peternakan ayam tersebut perlu
dilindungi dan didukung oleh
kebijakan pemerintah agar usaha ini
lebih berkembang. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Anonimus
(2003) bahwa pemerintah telah
bertekad menjadikan sektor
agribisnis sebagai sektor unggulan.
Untuk jangka panjangnya,
diharapkan sektor agribisnis dapat
menjadi lokomotif bagi stimulasi
pembangunan nasional. Indonesia
mempunyai potensi besar di sektor
agribisnis. Kekayaan sumber daya
agribisnis sangat besar, agribisnis
berperan sebagai mata pencaharian
sebagian besar penduduk, serta
agribisnis mempunyai potensi
menghasilkan pemasukan devisa
bagi negara. Ironisnya, potensi
sektor agribisnis belum tergarap
secara optimal. Pertumbuhan
kapasitas produksi dan utilisasi
agribisnis dirasakan masih lambat.
Akibatnya, keinginan untuk
mengandalkan sektor agribisnis
sebagai salah satu faktor pendukung
stimulasi pemulihan ekonomi
dirasakan masih akan menghadapi
kendala.
Sementara itu menurut
Inounu dkk. (2006) bahwa subsektor
peternakan berperan nyata dalam
ketahanan pangan nasional melalui
penyediaan protein hewani dan
penyedia lapangan kerja baik di
pedesaan maupun perkotaan.
Secara nasional industri
perunggasan merupakan pemicu
utama pertumbuhan pembangunan
di subsektor peternakan.
Pada kenyataannya usaha
peternakan ayam petelur merupakan
usaha yang secara cepat dapat
menghasilkan protein hewani dan
4
dengan harga yang relatif lebih
murah bila dibandingkan usaha
ternak lainnya, maka siklus
perputaran usaha ini sangat besar
dan cepat. Namun demikian usaha
peternakan ayam petelur tersebut
masih sangat fluktuatif harganya
karena komponen yang mendukung
proses produksinya sangat
bergantung pada keadaan ekonomi
gobal dunia. Sehingga usaha
peternakan ayam petelur sangat
rentan dalam perkembangannya,
karena itu peluang untuk mendapat
keuntungan ataupun kerugian juga
sangat besar kemungkinannya.
Upaya memperoleh
keuntungan yang besar dan
berkelanjutan merupakan sasaran
utama bagi semua kegiatan usaha
termasuk di dalamnya usaha
peternakan ayam petelur, yang pada
akhirnya akan meningkatkan
kesejahteraan bagi pelaku usaha
peternakan ayam petelur tersebut.
Untuk mencapai sasaran tersebut
perlu adanya langkah upaya, salah
satu diantaranya dengan
mengetahui kelayakan suatu usaha
peternakan ayam petelur.
Berpijak dari keadaan di atas
maka diperlukan suatu analisis untuk
mengetahui seberapa besar tingkat
keberhasilan dari suatu usaha
peternakan ayam petelur, sehingga
perlu dilakukan suatu penelitian
tentang Analisis Finansial, Resiko
Finansial dan Sensitivitas Usaha
Peternakan Ayam Petelur.
Oleh karena itu yang menjadi
permasalahan dalam penelitian
adalah sebagai berikut : 1.
Bagaimana kelayakan finansial
suatu usaha peternakan ayam
petelur ? 2. Bagaimana resiko
finansial suatu usaha peternakan
ayam petelur ? 3. Bagaimana
apabila terjadi perubahan harga
pakan dan hasil produksi (telur
ayam) terhadap pendapatan
peternak ?
Penelitian bertujuan untuk
melakukan analisis : a. Kelayakan
suatu usaha peternakan ayam
petelur ditinjau dari segi finansial. b.
Resiko finansial suatu usaha
peternakan ayam petelur. c.
Pengaruh perubahan harga pakan
dan hasi produksi (telur ayam)
terhadap pendapatan peternak.
Hasil penelitian diharapkan
dapat dimanfaatkan sebagai 1.
bahan pertimbangan bagi peternak
yang bersangkutan dalam
memutuskan menerapkan
manajemen usaha peternakan
5
ayam petelurnya di masa
mendatang. 2. bahan informasi bagi
peternak lainnya untuk diketahui
dan dapat diterapkan pada usaha
peternakan ayam petelurnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada
kelompok usaha peternakan ayam
petelur “Gunungrejo Makmur”, yang
beranggotakan peternak - peternak
di kecamatan Kedungpring,
Sekaran, Sugio, Babat, Widang,
Modo, Karang Geneng serta
Maduran dalam wilayah Kabupaten
Lamongan (kecuali Widang, masuk
kabupaten Tuban). Penentuan
lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive sampling)
dengan pertimbangan bahwa
kelompok usaha peternakan ayam
petelur tersebut mempunyai catatan
(recording) yang relatif lengkap
mengenai usaha peternakannya dan
belum pernah diteliti sebelumnya
serta mengalami perkembangan
usaha yang cukup baik. Penelitian
di lapangan dilaksanakan mulai
tanggal 16 Pebruari 2009 sampai
dengan 30 Agustus 2009.
Metode penelitian yang
digunakan adalah metode survei.
Singarimbun dan Effendi (1995)
menyatakan bahwa metode survei
merupakan metode penelitian yang
mengambil sampel dari beberapa
populasi dan menggunakan
kuesioner sebagai alat pengumpul
data yang pokok (primer). Selain itu
pengumpulan data primer juga
dilakukan melalui pengamatan
langsung dan wawancara yang
mendalam (Sumardjono, 1996).
Sedangkan data sekunder diperoleh
dari laporan ilmiah, literatur atau
referensi yang relevan dengan
penelitian ini.
Total sampel yang digunakan
adalah 24 orang anggota kelompok,
yang merupakan jumlah keseluruhan
anggota kelompok usaha
peternakan ayam petelur
“Gunungrejo Makmur”. Sampel
tersebut kemudian dilakukan
stratifikasi atau pengelompokan
menjadi tiga berdasarkan skala
usahanya. Pengelompokan tersebut
bertujuan untuk memudahkan dalam
perhitungan analisis finansial
maupun resiko finansial serta
sensitivitas. Penentuan skala
usaha dibagi atas skala kecil (strata
I), skala menengah (strata II) dan
skala besar (strata III) dengan
menggunakan rumus Teken dan
Asnawi (1997) sebagai berikut :
6
a. skala kecil : < X – 0,5sd
b. skala menengah : antara X –
0,5sd sampai dengan X + 0,5sd
c. skala besar : > X + 0,5sd
Di mana “X” merupakan rata – rata
kepemilikan ayam petelur dan “sd”
merupakan simpangan deviasi.
Berdasarkan rumus tersebut
diperoleh hasil dengan jumlah
sampel sebanyak 24 peternak
dengan rata – rata kepemilikan
ternak 2281 ekor, standar deviasi
jumlah pemeliharaan sebesar 1856
ekor, maka yang termasuk kategori
peternak skala kecil (strata I) adalah
peternak dengan populasi ayam
petelur kurang dari 1353 ekor. Pada
skala menengah (strata II) dengan
populasi antara 1353 ekor sampai
dengan 3209 ekor, sedangkan pada
skala besar (strata III) dengan
populasi lebih dari 3209 ekor.
Analisis Data
Data kualitatif yang nanti
diperoleh akan digunakan untuk
menjelaskan dan menggambarkan
keadaan obyek penelitian atau
responden, dalam hal ini adalah
anggota kelompok usaha
peternakan ayam petelur
“Gunungrejo Makmur”. Sedangkan
data kuantitatif digunakan untuk
menggambarkan analisis input –
ouput usaha yang meliputi analisis
biaya produksi, penerimaan dan
keuntungan, yang selanjutnya
dipergunakan untuk perhitungan
analisis finansial, resiko dan
sensitivitas.
Analisis Biaya Produksi
Biaya produksi merupakan
seluruh biaya yang dikeluarkan
selama proses produksi. Biaya
dibedakan menjadi dua, yakni :
a. Biaya tetap
Merupakan biaya yang tidak
dipengaruhi oleh produksi yang
dihasilkan dan dirumuskan sebagai
berikut :
TFC = FC x n (Himawati, 2006)
Keterangan :
TFC = Total Fixed Cost (Total Biaya
Tetap)
FC = Fixed Cost (Biaya Tetap)
N = banyaknya input
Biaya tetap ini meliputi biaya
penyusutan peralatan, kandang,
gudang, pajak dan bunga. Biaya
penyusutan dihitung sebagai berikut
(Himawati, 2006)
Pb - Ps D = T
Keterangan :
7
D = Depresiasi (penyusutan)
Pb = Harga beli (Rp)
Ps = Harga jual (Rp)
T = lama pemakaian (tahun)
b. Biaya variabel
Merupakan biaya yang besar
kecilnya dipengaruhi oleh
produksi yang dihasilkan (biaya
operasi) dan dirumuskan sebagai
berikut (Himawati, 2006) :
TVC = VC x n
Keterangan :
TVC = Total Variable Cost
VC = Variable Cost
n = banyaknya unit
Akhirnya biaya produksi secara
matematis dapat ditulis sebagai
berikut :
TC = TFC + TVC
Keterangan :
TC = Total Cost
TFC = Total Fixed Cost
TVC = Total Variable Cost
Analisis Penerimaan
Penerimaan merupakan hasil
kali antara harga dengan total
produksi dan dituliskan sebagai
berikut (Himawati, 2006) :
TR = Pq x Q
Keterangan :
TR = Total Revenue
Pq = Harga per satuan unit
Q = Total Produksi
Analisis Keuntungan
Keuntungan merupakan
selisih antara total penerimaan
dengan total biaya produksi dan
secara matematis dapat dituliskan
sebagai berikut (Himawati, 2006) :
Π = TR – TC
Keterangan :
Π = Keuntungan
TR = Total Revenue
TC = Total Cost
Analisis Finansial :
1. Average Rate of Return (ARR)
ANI TI ARR = ------- AI = --------- AI 2 Keterangan :
ANI = Average Net Income
AI = Average Investment
TI = Total Investment
(Sjahrial, 2008)
Kriteria :
Suatu proyek dapat diterima
apabila ARR-nya melebihi suatu
target ARR.
2. Net Present Value (NPV)
n NCFt
NPV = ∑ A0 t=1 (1+r)
8
Keterangan : NCFt = aliran kas masuk bersih
yang diharapkan dari
proyek tersebut pada
periode t
r = tingkat diskonto (biaya modal
rata – rata tertimbang)
A0 = investasi yang diasumsikan
dikeluarkan pada awal
tahun pertama atau tahun
ke nol
(Sjahrial, 2008)
Kriteria :
NPV > 0 berarti investasi tersebut
layak, NPV < 0 berarti investasi
tersebut tidak layak dan
NPV = 0 berarti investasi tersebut
berada dalam keadaan impas (BEP)
3. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
Merupakan perbandingan
antara nilai sekarang aliran kas
masuk bersih dengan nilai sekarang
investasi (Sjahrial, 2008)
Kriteria :
B/C Ratio > 1 berarti usaha tersebut
layak
B/C Ratio < 1 berarti usaha tersebut
tidak layak
B/C Ratio = 1 berarti usaha tersebut
impas (BEP).
4. Payback Period (PP)
Nilai Investasi PP = ------------------------ x 1 tahun Aliran Kas Bersih
(Sjahrial, 2008)
Kriteria :
Apabila investasi lebih pendek dari
PP maksimum maka usul investasi
diterima.
5. Internal Rate of Return (IRR)
NPV1 IRR = i1 + ----------------- (i2 – i1) NPV1 - NPV2 Keterangan :
i1 = nilai coba – coba discount
factor pertama (NPV positif)
i2 = nilai coba – coba discount
factor kedua (NPV negatif)
NPV1 = NPV dengan nilai discount
factor pertama (NPV positif)
NPV2 = NPV dengan nilai discount
factor kedua (NPV negatif)
(Prawirokusumo, 1990)
Kriteria :
Apabila IRR lebih besar atau sama
dengan sosial discount factor berarti
usaha tersebut layak.
Analisis Resiko Finansial
1. Rasio Biaya Operasi / Operating Expense Ratio TFOE – TFC OER = x 100% GPFR
9
Keterangan :
OER = Operating Expense Ratio
TFOE = Total Farm Operating
Expense
TFC = Total Fixed Cost
GPFR = Gross Profit Farm
Revenue
(Syamsuddin, 2004)
Kriteria pengujian :
OER < 65% menunjukkan
kondisi aman, artinya usaha
tersebut menguntungkan.
OER antara 65% sampai
80% menunjukkan kondisi
hati – hati, artinya usaha
tersebut berada dalam
batasan minimum untuk
mendapatkan keuntungan.
OER > 80% menunjukkan
kondisi tidak aman, artinya
usaha tersebut tidak
menguntungkan.
(Anonimus, 2006 yang dikutip
oleh Chumairoh, 2008)
2. Rasio Likuiditas
Current Assets Current Ratio = ------------------------ Current Liabilities Keterangan :
Current Assets = aktiva lancar
Current Liabilities = hutang lancar
(Syamsuddin, 2004)
Kriteria pengujian :
CR > 1,5 menunjukkan
aman, artinya usaha tersebut
berada pada kondisi yang
aman atau mampu untuk
membayar semua kewajiban
lancarnya menggunakan
aktiva lancar yang
dimilikinya.
CR antara 1,1 sampai 1,5
menunjukkan hati – hati,
artinya usaha tersebut harus
berjaga – jaga karena berada
pada kondisi batas
keamanan minimal untuk
dapat membayar hutang
lancarnya dengan
menggunakan aktiva lancar
yang dimilikinya.
CR < 1,1 menunjukkan
tidak aman, artinya usaha
tersebut berada pada kondisi
yang tidak aman atau
berbahaya karena
kemampuan untuk
membayar hutang lancarnya
dengan menggunakan aktiva
lancar yang dimilikinya
sangat kecil.
(Anonimus, 2006 yang dikutip
oleh Chumairoh, 2008)
10
3. Rasio Solvabilitas
Total Debt DAR = ------------------- x 100% Total Assets
Keterangan :
Total Debt = total hutang
Total Assets = total aktiva
(Syamsuddin, 2004)
Kriteria pengujian :
DAR < 30% menunjukkan
aman, artinya keadaan
usaha tersebut termasuk
kategori aman karena
prosentase hutangnya
termasuk kecil.
DAR antara 30% sampai
75% menunjukkan hati –
hati, artinya keadaan usaha
tersebut termasuk kategori
dalam peringatan atau batas
minimal keadaan aman
dalam hal penggunaan
hutang.
DAR > 75% menunjukkan
tidak aman, artinya keadaan
usaha tersebut termasuk
dalam kategori keadaan
bahaya karena sebagian
besar atau hampir seluruh
aktiva yang dimiliki berasal
dari hutang.
(Anonimus, 2006 yang dikutip
oleh Chumairoh, 2008)
4. Rasio Profitabilitas
Rasio profitabilitas yang
digunakan pada perhitungan dalam
penelitian ini adalah Return On
Assets (ROA) dan Return On Equity
(ROE).
NFI + IOD ROA = x 100% ATA Keterangan :
NFI (Net Farm Income) = pendapat-
an bersih ; IOD (Interest On Debt)
= bunga hutang ; dan
ATA (Average Total Assets) = rata –
rata total modal (modal sendiri dan
hutang) (Syamsuddin, 2004)
Kriteria pengujian :
ROA > 5% menunjukkan
aman, artinya usaha tersebut
dalam keadaan aman atau
menguntungkan.
ROA antara 0 sampai 5%
menunjukkan hati – hati,
artinya usaha tersebut dalam
keadaan batas keamanan
atau keuntungan minimal
(peringatan).
ROA < 0% menunjukkan
tidak aman, artinya usaha
tersebut dalam keadaan tidak
aman atau tidak
menguntungkan.
(Anonimus, 2006 yang dikutip
oleh Chumairoh, 2008 )
11
NFI ROE = x 100% ASE Keterangan :
NFI (Net Farm Income)
= pendapatan bersih
ASE (Average Stockholders Equity)
= rata – rata modal peternak sendiri
(Syamsuddin, 2004)
Kriteria pengujian :
ROE > 15% menunjukkan
aman, artinya usaha tersebut
dalam keadaan aman atau
menguntungkan.
ROE antara 5 sampai 15%
menunjukkan hati – hati,
artinya usaha tersebut dalam
keadaan batas keamanan
atau keuntungan minimal.
ROE < 5% menunjukkan
tidak aman, artinya usaha
tersebut dalam keadaan tidak
aman atau tidak
menguntungkan.
(Anonimus, 2006 yang dikutip
oleh Chumairoh, 2008)
5. Rasio Kemampuan Membayar
Hutang / Debt Coverage Ratio
EBIT + TFC DCR = x 100% I + PR (1 – t)
Keterangan :
EBIT = Earning Before Interest and
Tax (laba sebelum bunga dan pajak)
TFC = Total Fixed Cost
I = Interest (bunga pinjaman)
PR = Principal Repayment
(pinjaman pokok)
t = tax (pajak)
(Syamsuddin, 2004)
Kriteria pengujian :
DCR > 150%
menunjukkan aman, artinya
keuntungan yang diperoleh
usaha tersebut cukup untuk
membayar hutang.
DCR antara 110 sampai
150% menunjukkan hati –
hati, artinya keuntungan yang
diperoleh usaha tersebut
berada pada batas minimal
kecukupan untuk membayar
hutang.
DCR < 110%
menunjukkan tidak aman,
artinya keuntungan yang
diperoleh usaha tersebut
berada pada tingkat bahaya
atau ketidakcukupan dalam
membayar hutang.
(Anonimus, 2006 yang dikutip
oleh Chumairoh, 2008)
12
6. Analisis Resiko Finansial Seca-
ra Statistik
Parameter yang dipakai
sebagai ukuran untuk keuntungan
yang diharapkan selama satu tahun
adalah hasil rata – rata (mean)
keuntungan tiap bulan. Rumusnya
adalah :
n
∑Ei i=1
E = --------- n Keterangan : E = nilai rata – rata keuntungan yag diharapkan Ei = hasil bersih pada bulan pertama n = jumlah bulan dalam satu tahun
Untuk mengukur resiko finansial
secara statistik dipergunakan ukuran
ragam dan simpangan baku dengan
rumus :
n
∑ (Ei – E)² i=1
V² = ----------------- (n – 1) Simpangan baku merupakan akar
dari ragam dan menunjukkan
besarnya resiko yang harus
ditanggung oleh peternak, dengan
rumus :
V = √ V²
Keterangan : V² = Ragam
V = Simpangan baku
Semakin besar nilai
koefisien variasi menunjukkan
bahwa resiko yang harus ditanggung
oleh peternak semakin besar
dibandingkan dengan
keuntungannya. Rumus koefisien
variasi :
V
CV =
E
Keterangan : CV = Koefisien variasi
V = Simpangan baku
E = Hasil rata – rata
Batas bawah menunjukkan
nilai rata – rata terendah yang
mungkin diterima oleh peternak dan
dirumuskan seperti berikut :
L = E – 2V
Keterangan :
L = Batas bawah
E = Rata – rata hasil
V = Simpangan baku
Berdasarkan rumus – rumus
di atas dapat diperoleh hubungan
antara batas nilai bawah dengan
koefisien variasi (Hernanto,1991) :
Apabila nilai CV < 0,5 atau L
> 0 maka peternak
terhindar dari kerugian.
Apabila nilai CV > 0,5 atau L
< 0 maka peternak
mempunyai peluang
mengalami kerugian.
13
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas
dipergunakan untuk melihat
mengenai perubahan harga pakan
dan hasil produksinya (telur ayam)
terhadap pendapatan peternak. Hal
ini dilakukan dengan pertimbangan
bahwa kedua faktor tersebut
merupakan bagian terbesar dari arus
biaya dan manfaat usaha
peternakan ayam petelur. Untuk
perubahan harga pakan dan hasil
produksinya dihitung sebesar 5%,
10% dan 15%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Struktur Biaya, Peneri -
maan dan Keuntungan
Analisis usaha peternakan
pada umumnya dilakukan untuk
mengetahui keuntungan yang
diperoleh. Keuntungan yang
diperoleh dalam sebuah usaha
peternakan merupakan selisih
antara penerimaan dengan
pengeluaran atau biaya. Untuk
menghasilkan suatu produk
diperlukan beberapa item biaya yang
harus dikeluarkan. Biaya produksi
terdiri dari biaya tetap dan biaya
variabel. Biaya tetap merupakan
semua biaya yang dikeluarkan yang
besarnya tidak bergantung pada
jumlah produksi yang dihasilkan,
yang antara lain berupa biaya sewa
tanah dan penyusutan. Sedangkan
biaya variabel merupakan biaya
yang besarnya selalu berubah
tergantung jumlah produksi yang
akan dihasilkan atau dengan kata
lain biaya yang digunakan untuk
sesuatu barang, yang barang
tersebut habis terpakai dalam satu
kali proses produksi. Pada
pemeliharaan ayam petelur dengan
cara pemeliharaan awal berupa
pullet, biaya variabelnya berupa
biaya pembelian pakan, obat –
obatan dan vaksin, tenaga kerja dan
lain – lain. Biaya tetap pada usaha
peternakan ayam petelur pada
kelompok peternak Gunungrejo
Makmur Kabupaten Lamongan
meliputi : sewa tanah, penyusutan
ayam, penyusutan kandang,
penyusutan peralatan dan bunga
modal. Penyusutan ayam
memerlukan biaya paling besar pada
penggunaan biaya tetap, yakni pada
strata I rata – rata mencapai 72,26%
atau Rp 9.898.413 ; strata II 72,49%
atau Rp 20.342.460 ; dan strata III
69,31% atau Rp 42.945.111 dari
total biaya tetap. Sedangkan total
biaya tetap menghabiskan
pengeluaran pada strata I rata – rata
14
sebesar 11,51% atau Rp 13.699.129
; strata II 11,65% atau Rp
28.062.619 ; dan strata III 8,14%
atau Rp 61.959.760 dari
keseluruhan total biaya.
Biaya variabel merupakan
komponen yang memerlukan biaya
yang cukup besar yakni pada strata I
total biaya variabel mencapai
88,49% atau Rp 105.361.923 ; strata
II 88,35% atau Rp 212.733.120 ; dan
strata III 91,86% atau Rp
699.194.636 dari keseluruhan total
biaya. Biaya variabel pada usaha
peternakan ayam petelur pada
kelompok peternak Gunungrejo
Makmur Kabupaten Lamongan
meliputi : pakan, obat dan vaksin,
listrik dan air, tenaga kerja, dan lain
– lain. Pengadaan pakan
memerlukan biaya yang cukup besar
yang nilainya pada strata I rata –
rata mencapai 92,01% atau Rp
96.945.664 ; strata II 92,36% atau
Rp 196.489.173 ; strata III 92,09%
atau Rp 643.860.250 dari seluruh
biaya variabel. Dengan melihat
kondisi demikian maka pakan
merupakan salah satu komponen
yang harus diperhatikan guna
mencapai keberhasilan usaha
peternakan ayam petelur.
Telur merupakan produk
utama peternakan ayam petelur
sebagai sumber penerimaan
peternak. Pada strata I hasil
penerimaan dari telur rata – rata
sebesar 98,30% atau Rp
144.957.004 ; strata II 99,13% atau
Rp 316.173.042 ; dan strata III
99,80% atau Rp 964.581.410 dari
total penerimaan. Berdasarkan
kenyataan di atas maka jumlah
produksi telur dan harga telur juga
merupakan komponen yang harus
juga mendapatkan perhatian yang
serius guna mencapai keberhasilan
usaha peternakan ayam petelur.
Keuntungan yang merupakan
target utama dalam usaha
peternakan ayam petelur pada
kelompok peternak Gunungrejo
Makmur Kabupaten Lamongan pada
strata I rata – rata setiap tahun
mencapai laba kotor dan bersih
sebesar Rp 42.102.224 dan Rp
28.403.094 ; strata II Rp
106.216.708 dan Rp 78.154.037 ;
strata III Rp 267.333.441 dan Rp
205.373.681.
Analisis Finansial
Tujuan dilakukannya
analisis finansial adalah untuk
mengetahui apakah usaha
15
peternakan ayam petelur pada
kelompok peternak Gunungrejo
Makmur Kabupaten Lamongan layak
untuk dikembangkan atau tidak.
Seluruh modal yang digunakan
dalam usaha peternakan ayam
petelur secara umum berasal dari
modal sendiri. Asumsi – asumsi
yang digunakan antara lain : 1)
Anggota kelompok peternak
mengeluarkan biaya sewa tanah ; 2)
Anggota kelompok peternak
memulai usaha dengan
memasukkan ayam berupa pullet ;
3) Pajak tidak diperhitungkan ; 4)
Biaya pemasaran, mendatangkan
bahan peternakan ataupun biaya tak
terduga dimasukkan ke dalam biaya
lain – lain ; 5) Anggota kelompok
peternak hanya mempunyai hutang
kepada ketua kelompok berupa
pakan beserta obat dan vaksin ; 5)
Bunga bank yang berlaku 12% per
tahun dan bunga deposito sebesar
6% per tahun serta jangka pinjaman
dalam kurun waktu 5 tahun.
Struktur permodalan usaha
peternakan pada kelompok
Gunungrejo Makmur terdiri dari
modal tetap yang meliputi tanah,
ayam, kandang beserta
peralatannya. Sedangkan modal
tidak tetap meliputi pakan, obat dan
vaksin, listrik dan air, tenaga kerja
serta lain – lain. Beberapa indikator
yang digunakan untuk analisis
finansial berupa Average Rate of
Return (ARR), Net Present Value
(NPV), Benefit Cost Ratio (B/C
Ratio), Payback Period (PP) dan
Internal Rate of Return (IRR).
1. Average Rate of Return (ARR)
Hasil perhitungan ARR
selama satu tahun periode produksi
seperti disajikan pada tabel 5 adalah
strata I sebesar 69,86% yang
memberikan pengertian bahwa
untuk setiap nilai Rp 1.000.000,-
yang diinvestasikan pada usaha
peternakan ayam petelur strata I
pada kelompok peternak
Gunungrejo Makmur akan
memberikan tingkat rata – rata
keuntungan sebesar Rp 698.600,-
setiap tahunnya. Pada strata II
sebesar 91,55% yang memberikan
pengertian bahwa untuk setiap nilai
Rp 1.000.000,- yang diinvestasikan
pada usaha peternakan ayam
petelur strata II pada kelompok
peternak Gunungrejo Makmur akan
memberikan tingkat rata – rata
keuntungan sebesar Rp 915.500,-
setiap tahunnya. Sedangkan strata
III sebesar 72,45% yang
16
memberikan pengertian bahwa
untuk setiap nilai Rp 1.000.000,-
yang diinvestasikan pada usaha
peternakan ayam petelur strata III
pada kelompok peternak
Gunungrejo Makmur akan
memberikan tingkat rata – rata
keuntungan sebesar Rp 724.500,-
setiap tahunnya. Bila dibandingkan
dari strata yang ada maka strata III
menghasilkan nilai ARR dibawah
strata II. Hal ini terjadi dikarenakan
pada strata III harga jual telur yang
diproduksinya dijual secara harga
partai dibandingkan strata lain yang
dapat menjual secara retail (eceran).
Selain itu penerimaan strata III dari
penjualan kotoran dan karung bekas
pakan masih rendah yakni hanya
0,20% dari total penerimaan apabila
dibandingkan dengan strata II
sebesar 0,87% dan strata I sebesar
1,70%. Namun secara keseluruhan
hasil ARR yang diperoleh anggota
peternak Gunungrejo Makmur pada
semua strata masih lebih besar
daripada suku bunga deposito
maupun pinjaman bank yang berlaku
yakni sebesar 6% dan 12%,
sehingga ketiga strata tersebut
masuk kategori layak.
2. Net Present Value (NPV)
Hasil NPV usaha
peternakan ayam petelur pada
kelompok peternak Gunungrejo
Makmur yang dihitung dengan
menggunakan social discount rate
sebesar 6% (setara bunga deposito
6% per tahun) seperti terlihat pada
tabel 5 pada strata I adalah sebesar
Rp 108.840.066; strata II sebesar Rp
303.559.110 dan pada strata III
sebesar Rp 648.408.885. Usaha
peternakan tersebut pada semua
strata berdasarkan nilai NPV layak
untuk dikembangkan, karena NPV
yang dihasilkan lebih besar dari nol.
3. Benefit Cost Ratio (B/C Ratio)
Berdasarkan hasil analisis
B/C Ratio seperti terlihat pada tabel
5, dapat dilihat bahwa pada strata I
diperoleh hasil B/C Ratio sebesar
2,5890 ; strata II sebsar 3,1106 ; dan
strata III sebesar 2,3576. Artinya
dari setiap modal yang ditanamkan
sebesar Rp 1,- maka akan
menghasilkan pada strata I sebesar
Rp 2,5890 yang berarti peternak
masih memperoleh keuntungan
sebesar Rp 1,5890 ; pada strata II
sebesar Rp 3,1106 yang berarti
peternak masih memperoleh
keuntungan sebesar Rp 2,1106 ;
17
dan pada strata III sebesar Rp
2,3576 yang berarti peternak masih
memperoleh keuntungan sebesar
Rp 1,3576. Jadi dari hasil analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa
semua strata pada usaha
peternakan ayam petelur pada
kelompok peternak Gunungrejo
Makmur masih mendapatkan
keuntungan. Keuntungan yang
diperoleh pada strata III tidak lebih
tinggi daripada strata II, hal ini
disebabkan karena marjin
keuntungan yang diperoleh strata III
lebih kecil sebagai akibat menjual
harga telur tidak secara retail atau
eceran. Selain itu penerimaan strata
III dari penjualan kotoran dan karung
bekas pakan masih rendah yakni
hanya 0,20% dari total penerimaan
apabila dibandingkan dengan strata
II sebesar 0,87% dan strata I
sebesar 1,70%.
4. Payback Period (PP)
Berdasarkan hasil PP
seperti terlihat pada tabel 5, bahwa
PP strata I dalam kurun waktu 1
tahun 7 bulan 16 hari, strata II dalam
kurun waktu 1 tahun 4 bulan 7 hari
dan strata III dalam kurun waktu 1
tahun 9 bulan 13 hari. Hal ini berarti
bahwa usaha peternakan ayam
petelur pada kelompok peternak
Gunungrejo Makmur pada strata I
akan menutup modal yang tertanam
selama 1 tahun 7 bulan 16 hari,
pada strata II selama 1 tahun 4
bulan 7 hari dan pada strata III
selama 1 tahun 9 bulan 13 hari.
Sehubungan dengan jangka
pinjaman di bank selama 5 tahun,
sedangkan hasil PP pada semua
strata masih di bawah 5 tahun maka
usaha peternakan tersebut pada
semua strata masih layak untuk
dikembangkan.
6. Internal Rate of Return (IRR)
IRR merupakan jumlah
antara penerimaan dan pengeluaran
yang telah dihitung dengan present
value sama dengan nol. Perhitungan
IRR dilakukan dengan beberapa kali
ujicoba dengan social discount rate
sampai menghasilkan nilai NPV
yang negatif. Seperti tersaji pada
tabel 5 bahwa nilai IRR strata I
sebesar 54,5139% ; strata II sebesar
68,4660% dan strata III sebesar
48,2183%. Berdasarkan nilai IRR
tersebut maka usaha peternakan
ayam petelur pada kelompok
peternak Gunungrejo Makmur pada
strata I masih dapat menguntungkan
sampai pada suku bunga pinjaman
18
maksimum 54,5139% dan pada
strata II masih dapat
menguntungkan sampai pada suku
bunga pinjaman maksimum
68,4660% serta pada strata III masih
dapat menguntungkan sampai pada
suku bunga pinjaman maksimum
48,2183%. Berarti secara
keseluruhan usaha peternakan
tersebut masih layak untuk
dikembangkan karena nilai IRR yang
dihasilkan lebih besar dari social
discount rate sebesar 6% ataupun
suku bunga pinjaman yang berlaku
sebesar 12%.
Analisis Resiko Finansial
Pengukuran suatu proyek
adalah sangat penting dalam
mengadakan penilaian atas
anggaran modal (capital budgeting)
secara menyeluruh. Dengan adanya
kemampuan untuk mengukur resiko
yang terkandung dalam masing –
masing proyek maka akan
memungkinkan seseorang untuk
dapat memandang proyek – proyek
yang mempunyai tingkat
pengembalian (return) yang sama
secara berbeda karena adanya
perbedaan tingkat resiko. Untuk
dapat mengukur suatu proyek maka
haruslah dibedakan variabilitas
return dari masing – masing proyek
(Syamsuddin, 2004). Beberapa
indikator yang digunakan dalam
analisis resiko untuk menghitung
tingkat resiko meliputi : rasio biaya
(Operating Expenses Ratio / OER),
rasio likuiditas (Current Ratio / CR),
rasio solvabilitas (Debt to Assets
Ratio / DAR), rasio profitabilitas
(Return on Assets / ROA dan
Return on Equity / ROE), rasio
kemampuan mengembalikan
hutang (Debt Coverage Ratio /
DCR) dan penghitungan resiko
finansial secara statistik.
1. Rasio Biaya Operasi (Operating
Expenses Ratio / OER)
Perhitungan rasio biaya operasi
atau OER pada tabel 6 menunjukkan
pada masing – masing strata adalah
strata I sebesar 71,45%, strata II
sebesar 66,70% dan strata III
sebesar 72,34%. Rasio biaya
operasi pada strata I selama satu
tahun sebesar 71,45% artinya setiap
penerimaan sebesar Rp 1.000.000,-
selama satu tahun akan memerlukan
biaya sebesar Rp 714.500,-.
Sedangkan rasio biaya operasi pada
strata II selama satu tahun sebesar
66,70% artinya setiap penerimaan
sebesar Rp 1.000.000,- selama satu
19
Tabel 1. Hasil Average Rate of Return (ARR), Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (B/C Ratio), Payback Period (PP) dan Internal Rate of Return (IRR) pada Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur
Strata
ARR
NPV
B/C Ratio
PP
IRR
I
69,86%
Rp 108.840.066
2,5890
1,6269
(1 tahun 7 bulan 16 hari)
54,5139 %
II
91,55%
Rp 303.559.110
3,1106
1,3541
(1 tahun 4 bulan 7 hari)
68,4660 %
III
72,45%
Rp 648.408.885
2,3576
1,7865
(1 tahun 9 bulan 13 hari)
48,2183 %
tahun akan memerlukan biaya
sebesar Rp 667.000,-. Sementara
itu rasio biaya operasi pada strata III
selama satu tahun sebesar 72,34%
artinya setiap penerimaan sebesar
Rp 1.000.000,- selama satu tahun
akan memerlukan biaya sebesar Rp
723.400,-. Nilai rasio biaya operasi
pada ketiga strata berdasarkan
kriteria yang disampaikan oleh
Anonimus (2006) seperti dikutip oleh
Chumairoh (2008) termasuk kategori
hati - hati karena berada dalam
rentang antara 65% sampai 80%.
Sedangkan yang termasuk kategori
aman adalah dengan nilai rasio
biaya operasi kurang dari 65%.
Artinya usaha yang dilakukan oleh
ketiga strata tersebut kurang efisien
dalam proses produksinya. Lebih
lanjut Anonimus (2006) yang dikutip
Chumairoh (2008) menyatakan
bahwa semakin rendah nilai OER,
maka semakin efisien usaha
peternakan tersebut dalam
menghasilkan keuntungan. Namun
bila dibandingkan diantara ketiga
strata tersebut, maka strata II
merupakan yang paling efisien
dalam memanfaatkan sumber biaya
untuk menghasilkan penerimaan
yang besarnya sama dengan strata I
dan III. Sedangkan paling kurang
efisien adalah strata III, karena nilai
rasio biaya operasinya merupakan
yang tertinggi.
Besarnya nilai rasio biaya
operasi sangat dipengaruhi oleh
20
harga sapronak (pullet, pakan, obat
dan vaksin) serta harga jual output
yang berupa telur dan kotoran ayam
beserta karung bekas pakan. Pada
strata III paling rendah penerimaan
yang diperoleh dari penjualan
kotoran dan karung bekas pakan
apabila dibandingkan dengan strata I
maupun II yakni hanya sebesar
0,20% dari total penerimaan,
sedangkan pada strata I sebesar
1,70 dan strata II sebsar 0,87.
Selain itu pada strata III menjual
harga telurnya yang lebih rendah
karena dijual dengan harga partai
disebabkan produksinya yang lebih
banyak. Sedangkan pada strata I
dan II dapat menjual telurnya
dengan harga eceran karena
produksinya yang relatif lebih sedikit.
2. Rasio Likuiditas (Current Ratio
/ CR)
Perhitungan rasio likuiditas
yang dipergunakan adalah Current
Ratio (CR) yaitu perbandingan
antara jumlah aktiva lancar dengan
hutang lancar. Berdasar hasil
penelitian seperti yang terlihat pada
tabel 6 menunjukkan CR pada strata
I sebesar 3,25 ; strata II sebesar
3,22 dan strata III sebesar 3,07.
Nilai CR 3,25 pada strata I
mempunyai arti bahwa setiap Rp
1.000.000,- hutang lancar yang
dimiliki oleh peternak strata I dijamin
oleh aktiva lancar sebesar Rp
3.250.000,-. Nilai CR 3,22 pada
strata II berarti bahwa setiap Rp
1.000.000,- hutang lancar yang
dimiliki oleh peternak strata II dijamin
oleh aktiva lancar sebesar Rp
3.220.000,-. Sedangkan nilai CR
3,07 pada strata III mempunyai arti
bahwa setiap Rp 1.000.000,- hutang
lancar yang dimiliki oleh peternak
strata III dijamin oleh aktiva lancar
sebesar Rp 3.070.000,-. Nilai CR
pada ketiga strata berdasarkan
kriteria yang disampaikan oleh
Anonimus (2006) seperti dikutip oleh
Chumairoh (2008) termasuk kategori
aman karena nilai CR lebih dari 1,5
yang berarti ketiga strata kelompok
peternak Gunungrejo Makmur
berada pada kondisi yang aman
atau mampu untuk membayar
semua kewajiban lancarnya
menggunakan aktiva lancar yang
dimilikinya. Sedangkan menurut
Syamsuddin (2004) menyatakan
tidak ada suatu ketentuan mutlak
tentang berapa tingkat CR yang
dianggap baik atau yang harus
dipertahankan oleh suatu
perusahaan karena biasanya tingkat
21
CR ini juga sangat tergantung pada
jenis usaha dari masing – masing
perusahaan.
3. Rasio Solvabilitas (Debt to
Assets Ratio / DAR)
Rasio solvabilitas yang
dipergunakan adalah Debt to Assets
Ratio (DAR) yang mengukur jumlah
aktiva usaha peternakan yang
dibiayai oleh hutang atau modal
yang berasal dari kreditur. Berdasar
hasil penelitian seperti yang terlihat
pada tabel 6 menunjukkan DAR
pada strata I sebesar 11,97% ; strata
II sebesar 11,81% dan strata III
sebesar 11, 46%. Nilai DAR 11,97%
pada strata I berarti bahwa nilai
hutang yang ada besarnya senilai
11,97% dari jumlah harta yang
dimiliki oleh peternak strata I. Nilai
DAR 11,81% pada strata II berarti
bahwa nilai hutang yang ada
besarnya senilai 11,81% dari jumlah
harta yang dimiliki oleh peternak
strata II. Selanjutnya Nilai DAR
11,46% pada strata III berarti bahwa
nilai hutang yang ada besarnya
senilai 11,46% dari jumlah harta
yang dimiliki oleh peternak strata III.
Nilai DAR pada ketiga strata
berdasarkan kriteria yang
disampaikan oleh Anonimus (2006)
seperti dikutip oleh Chumairoh
(2008) termasuk kategori aman
karena nilai DAR lebih kecil 30%
yang berarti keadaan usaha semua
strata kelompok peternak
Gunungrejo Makmur dalam keadaan
aman sebab prosentase hutangnya
termasuk kecil.
4. Rasio Profitabilitas (Return on
Assets / ROA dan Return on
Equity / ROE)
Rasio profitabilitas yang
dipergunakan adalah Return on
Assets (ROA) dan Return on Equity
(ROE). Nilai ROA satu tahun pada
strata I sebesar 43,92% mempunyai
arti bahwa setiap Rp 1.000.000,-
harta yang diinvestasikan akan
menghasilkan keuntungan bersih
sebesar Rp 439.200,- dalam satu
tahun. Nilai ROA satu tahun pada
strata II sebesar 56,73% mempunyai
arti bahwa setiap Rp 1.000.000,-
harta yang diinvestasikan akan
menghasilkan keuntungan bersih
sebesar Rp 567.300,- dalam satu
tahun. Sedangkan nilai ROA satu
tahun pada strata III sebesar 44,59%
mempunyai arti bahwa setiap Rp
1.000.000,- harta yang
diinvestasikan akan menghasilkan
keuntungan bersih sebesar Rp
22
445.900,- dalam satu tahun. Nilai
ROA pada ketiga strata
berdasarkan kriteria yang
disampaikan oleh Anonimus (2006)
seperti dikutip oleh Chumairoh
(2008) termasuk kategori aman
karena nilai ROA lebih dari 5% yang
berarti usaha kelompok peternak
Gunungrejo Makmur semua strata
dalam keadaan menguntungkan.
Berdasarkan nilai ROA maka strata
II yang paling menguntungkan sebab
mempunyai tingkat pengembalian
atau keuntungan dalam hal ini
adalah keuntungan kotor terhadap
harta atau assets yang paling tinggi,
sedangkan strata I yang paling
sedikit memberikan keuntungan
sebab tingkat pengembalian atau
keuntungan kotor yang diperoleh
jumlahnya paling rendah.
Nilai ROE satu tahun pada
strata I sebesar 47,10% mempunyai
arti bahwa setiap Rp 1.000.000,-
modal sendiri yang diinvestasikan
akan menghasilkan keuntungan
bersih sebesar Rp 471.000,- dalam
satu tahun. Nilai ROE satu tahun
pada strata II sebesar 61,62%
mempunyai arti bahwa setiap Rp
1.000.000,- modal sendiri yang
diinvestasikan akan menghasilkan
keuntungan bersih sebesar Rp
616.200,- dalam satu tahun.
Sedangkan nilai ROE satu tahun
pada strata III sebesar 48,57%
mempunyai arti bahwa setiap Rp
1.000.000,- modal sendiri yang
diinvestasikan akan menghasilkan
keuntungan bersih sebesar Rp
485.700,- dalam satu tahun. Nilai
ROE pada ketiga strata
berdasarkan kriteria yang
disampaikan oleh Anonimus (2006)
seperti dikutip oleh Chumairoh
(2008) termasuk kategori aman
karena nilai ROE lebih dari 15%
yang berarti usaha kelompok
peternak Gunungrejo Makmur
semua strata dalam keadaan
menguntungkan. Berdasarkan nilai
ROA maka strata II yang paling
menguntungkan sebab keuntungan
yang diperoleh dalam hal ini
keuntungan bersih yang jumlahnya
paling tinggi diantara kedua strata
yang lain, sedangkan strata I yang
paling sedikit memberikan
keuntungan sebab keuntungan yang
diperoleh paling rendah diantara
kedua strata yang lainnya.
23
5. Rasio Kemampuan Mengem -
balikan Hutang (Debt Coverage
Ratio / DCR)
Rasio kemampuan
mengembalikan hutang atau Debt
Coverage Ratio (DCR) sering
dipergunakan sebagai pembanding
mengenai kemampuan pendapatan
atau keuntungan yang dihasilkan
suatu usaha untuk menutup
angsuran pinjaman. Berdasar hasil
penelitian seperti yang terlihat pada
tabel 6 menunjukkan DCR pada
strata I sebesar 476,99% ; strata II
sebesar 576,28% dan strata III
sebesar 448,40%. Nilai DCR pada
ketiga strata berdasarkan kriteria
yang disampaikan oleh Anonimus
(2006) seperti dikutip oleh
Chumairoh (2008) termasuk kategori
aman karena nilai DCR lebih dari
150%. Hal ini berarti bahwa
keuntungan yang diperoleh pada
usaha peternakan ayam petelur
tersebut masih cukup untuk
membayar hutang.
Tabel 2. Hasil Rasio Biaya Operasi (Operating Expenses Ratio / OER),
Rasio Liquiditas (Current Ratio / CR), Rasio Solvabilitas (Debt
to Assets Ratio / DAR), Rasio Profitabilitas (Return on Assets
/ ROA dan Return on Equity / ROE) dan Rasio Kemampuan
Mengembalikan Hutang (Debt Coverage Ratio / DCR) pada
Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur
Strata
OER
CR
DAR
ROA
ROE
DCR
I
71,45 %
3,25
11,97 %
43,92 %
47,10 %
476,99 %
II
66,70 %
3,22
11,81 %
56,73 %
61,62 %
576,28%
III
72,34 %
3,07
11,46 %
44,59 %
48,57 %
448,40 %
24
6. Resiko Finansial Secara Statistik
Varian atau standar deviasi
pada perhitungan analisis resiko
merupakan varian dari hasil yang
diharapkan (E). Varian menunjukkan
besarnya tingkat resiko dari masing –
masing proyek atau usaha, apabila
semakin tinggi nilai varian maka
semakin tinggi pula tingkat resiko suatu
usaha tersebut (Syamsuddin, 2004).
Lebih lanjut Syamsuddin (2004)
mengatakan bahwa dengan
menggunakan varian maka
perbandingan antara usaha yang satu
dengan yang lain harus hati – hati
karena hal tersebut merupakan
pengukuran absolut dari penyebaran,
dan tidaklah mempertimbangkan
penyebaran hasil yang diperoleh dalam
hubungannya dengan nilai hasil yang
dharapkan.
Hasil perhitungan pada tabel 3
menunjukkan varian selama satu tahun
pada masing – masing strata kelompok
peternak Gunungrejo Makmur. Pada
strata I diperoleh hasil sebesar Rp
7.830.036 artinya besarnya fluktuasi
keuntungan bersih atau dengan kata
lain besarnya resiko yang harus
ditanggung oleh peternak strata I
selama satu tahun adalah Rp
7.830.036. Nilai standar deviasi pada
strata II diperoleh hasil sebesar Rp
29.194.407 artinya besarnya fluktuasi
keuntungan bersih atau dengan kata
lain besarnya resiko yang harus
ditanggung oleh peternak strata II
selama satu tahun adalah Rp
29.194.407. Sedangkan nilai standar
deviasi pada strata III diperoleh hasil
sebesar Rp 97.701.451 artinya
besarnya fluktuasi keuntungan bersih
atau dengan kata lain besarnya resiko
yang harus ditanggung oleh peternak
strata III selama satu tahun adalah Rp
97.701.451. Jika nilai standar deviasi
atau varian yang diperoleh dari hasil
perhitungan pada masing – masing
strata dibandingkan maka tingkat resiko
pada strata III merupakan yang paling
tinggi diantara ketiga strata tersebut.
Namun besarnya nilai varian yang
diperoleh pada perhitungan analisis
resiko dalam penelitian belum tentu
mencerminkan tingkat resiko, sebab
menurut Syamsuddin (2004)
menyatakan bahwa varian merupakan
pengukuran variabilitas yang bersifat
absolut, maka akan kurang tepat
apabila digunakan untuk mengukur
proyek atau usaha yang berbeda
besarnya.
Hasil perhitungan koefisien
variasi selama satu tahun menunjukkan
bahwa pada strata I sebesar 27,57%
yang berarti bahwa jumlah resiko yang
harus ditanggung oleh peternak strata I
nilainya 27,57% dari jumlah keuntungan
25
bersih yang diterima peternak strata I
selama satu tahun. Nilai koefisien
variasi pada strata II sebesar 37,36%
yang berarti bahwa jumlah resiko yang
harus ditanggung oleh peternak strata II
nilainya 37,36% dari jumlah keuntungan
bersih yang diterima peternak strata II
selama satu tahun. Sedangkan nilai
koefisien variasi pada strata III sebesar
47,57% yang berarti bahwa jumlah
resiko yang harus ditanggung oleh
peternak strata III nilainya 47,57% dari
jumlah keuntungan bersih yang diterima
peternak strata III selama satu tahun.
Besarnya angka yang diperoleh pada
ketiga strata tersebut menunjukkan
perbandingan besarnya tingkat resiko
yang sesungguhnya atau dapat
dikatakan sebagai indikator tingkat
resiko yang mungkin terjadi pada
masing – masing strata. Hal ini sejalan
dengan Syamsuddin (2004) yang
menyatakan bahwa pengukuran dengan
koefisien variasi memepertimbangkan
variabilitas yang relatif antara masing –
masing proyek sehingga akan sangat
tepat untuk digunakan dalam
pengukuran proyek – proyek atau usaha
– usaha yang berbeda besarnya.
Dengan demikian berdasarkan nilai
koefisien variasi yang diperoleh maka
strata III mempunyai tingkat resiko yang
lebih tinggi dari kedua strata yang
lainnya, sedangkan strata I mempunyai
tingkat resiko yang paling rendah.
Hasil perhitungan nilai batas
bawah selama satu tahun menunjukkan
bahwa pada strata I sebesar Rp
12.743.020 yang artinya bahwa
besarnya keuntungan bersih terendah
yang mungkin diterima oleh peternak
strata I selama satu tahun sebesar Rp
12.743.020. Nilai batas bawah pada
strata II sebesar Rp 19.765.221 yang
artinya bahwa besarnya keuntungan
bersih terendah yang mungkin diterima
oleh peternak strata II selama satu
tahun sebesar Rp 19.765.221.
Sedangkan Nilai batas bawah pada
strata III sebesar Rp 9.970.779 yang
artinya bahwa besarnya keuntungan
bersih terendah yang mungkin diterima
oleh peternak strata III selama satu
tahun sebesar Rp 9.970.779. Menurut
Hernanto (1991) batas bawah (L)
menunjukkan nilai rata – rata terendah
yang mungkin diterima oleh peternak.
Jika nilai L > 0 maka peternak yang
mengusahakan peternakan ayam
petelur akan terhindar dari kerugian.
Sebaliknya apabila nilai L < 0 maka
peternak akan mengalami kerugian.
Dengan demikian berdasarkan nilai
batas bawah yang diperoleh pada ketiga
strata menunjukkan anggota peternak
ayam petelur Gunungrejo Makmur
26
Kabupaten terhindar dari kerugian yang
mungkin terjadi.
Berdasarkan tabel 3 secara
keseluruhan maka usaha peternakan
ayam petelur yang dilakukan pada
strata I memiliki tingkat resiko keuangan
yang paling rendah, sedangkan strata III
memiliki resiko keuangan yang paling
tinggi.
Tabel 3. Analisis Resiko Finansial Secara Statistik pada Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur
Strata
Keuntungan Bersih
Rata – Rata (Rp)
Varian (Rp)
Koefisien
Variasi (%)
Batas Bawah
(Rp)
I
28.403.094 7.830.037
27,57
12.743.020
II
78.154.037 29.194.408
37,36
19.765.221
III
205.373.681 97.701.451
47,57
9.970.779
5.6. Analisis Sensitivitas
Kelayakan suatu usaha dapat
berubah karena disebabkan adanya
suatu perubahan pada faktor – faktor
biaya dan penerimaan, sebagai
akibatnya dapat saja suatu proyek yang
semula layak diusahakan menjadi tidak
layak untuk diusahakan. Pada usaha
peternakan ayam petelur, perubahan
harga pakan dan telur sangat besar
peranannya karena merupakan
komponen yang memberikan kontribusi
terbesar pada arus output input usaha
peternakan.
Pada tabel 4 menunjukkan
bahwa pada strata I masih layak untuk
diusahakan atau dikembangkan apabila
dalam kondisi seperti berikut : harga
pakan tetap dan telur tetap atau turun
sampai 15%; pakan naik sampai 5%
dan telur tetap atau turun sampai 15%;
pakan naik sampai 10% dan telur tetap
atau turun sampai 10%; pakan naik
sampai 15% dan telur tetap atau turun
sampai 5%. Selanjutnya pada strata I
akan menjadi tidak layak karena akan
mengalami kerugian apabila terjadi
kenaikan harga pakan mulai 10% dan
dalam waktu bersamaan terjadi
penurunan harga telur mulai 15% atau
akan terjadi pada kondisi harga pakan
naik mulai 15% dan diikuti harga telur
turun mulai 10%.
27
Tabel 4. Analisis Keuntungan Selama Satu Tahun Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur dengan Harga Telur dan Pakan Berubah pada Strata I
Harga Pakan (Rp)
Harga Telur (Rp)
Tetap
Turun 5%
Turun 10%
Turun 15%
Tetap
28.403.094
21.155.244
13.907.394
6.659.544
Naik 5%
23.555.811
16.307.961
9.060.111
1.812.260
Naik 10%
18.708.528
11.460.678
4.212.827
-3.035.023
Naik 15%
13.861.245
6.613.394
-634.456
-7.882.306
Pada tabel 5 menunjukkan
bahwa pada strata II masih layak untuk
diusahakan atau dikembangkan, karena
dalam kondisi harga pakan naik sampai
15% dan dalam waktu bersamaan harga
telur turun sampai 15% masih belum
terjadi kerugian pada usaha peternakan
ayam petelur pada kelompok peternak
Gunungrejo Makmur.
Pada tabel 6 menunjukkan
bahwa pada strata III masih layak untuk
diusahakan atau dikembangkan apabila
dalam kondisi seperti berikut : harga
pakan tetap dan telur tetap atau turun
sampai 15%; pakan naik sampai 5%
dan telur tetap atau turun sampai 15%;
pakan naik sampai 10% dan telur tetap
atau turun sampai 10%; pakan naik
sampai 15% dan telur tetap atau turun
sampai 10%. Selanjutnya pada strata III
akan menjadi tidak layak karena akan
mengalami kerugian apabila terjadi
kenaikan harga pakan mulai 10% dan
dalam waktu bersamaan terjadi
penurunan harga telur mulai 15%.
Berdasarkan hasil keuntungan
seperti tersaji pada tabel 4, 5 dan 6
secara keseluruhan maka strata I
merupakan kelompok peternak yang
memiliki tingkat sensitivitas yang paling
tinggi untuk berpeluang mengalami
kerugian apabila terjadi gejolak
perubahan harga pakan dan telur.
Sedangkan yang paling rendah tingkat
sensitivitasnya terhadap perubahan
harga pakan dan telur adalah strata II.
28
Tabel 5. Analisis Keuntungan Selama Satu Tahun Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur dengan Harga Telur dan Pakan Berubah pada Strata II
Harga Pakan (Rp)
Harga Telur (Rp)
Tetap
Turun 5%
Turun 10%
Turun 15%
Tetap
78.154.089
62.345.437
46.536.785
30.728.133
Naik 5%
68.329.630
52.520.978
36.712.326
20.903.674
Naik 10%
58.505.172
42.696.520
26.887.868
11.079.216
Naik 15%
48.680.713
32.872.061
17.063.409
1.254.761
Tabel 6. Analisis Keuntungan Selama Satu Tahun Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur dengan Harga Telur dan Pakan Berubah pada Strata III
Perubahan Harga
Strata III
Tetap
Turun 5%
Turun 10%
Turun 15%
Tetap
205.373.681
157.144.611
108.915.540
60.686.470
Naik 5%
173.180.669
124.951.598
76.722.528
28.493.457
Naik 10%
140.987.656
92.758.586
44.529.515
-3.699.555
Naik 15%
108.794.644
60.565.573
12.336.503
-35.892.568
29
Lebih lanjut bila dilakukan
analisis finansial (ARR, NPV, B/C Ratio,
PP, IRR) terhadap perubahan harga
pakan maupun telur akan diperoleh
hasil pada strata I seperti tersaji pada
tabel 11 dan pada strata II (tabel 12)
serta pada strata III (tabel 13) diperoleh
hasil tingkat sensitivitas bahwa pada
strata I : setiap kenaikan harga pakan
5%, 10% dan 15% akan terjadi
penurunan nilai ARR sebesar 11,92%,
23,84% dan 35,76% ; untuk nilai NPV
diperoleh hasil penurunan sebesar Rp
20.416.756, Rp 40.833.510 dan Rp
61.250.266 ; untuk nilai B/C Ratio terjadi
penurunan sebesar 0,2980 , 0,5961 dan
0,8942 ; untuk nilai PP terjadi
penambahan waktu sebesar 2 bulan 16
hari, 5 bulan 25 hari dan 10 bulan 9 hari
; untuk nilai IRR terjadi penurunan
sebesar 8,1662% , 16,6518% dan
25,7912%. Sedangkan bila terjadi
penurunan harga telur 5%, 10% dan
15% akan terjadi penurunan nilai ARR
sebesar 17,82%, 35,65% dan 53,48% ;
untuk nilai NPV diperoleh hasil
penurunan sebesar Rp 30.527.943, Rp
61.055.888 dan Rp 91.583.831 ; untuk
nilai B/C Ratio terjadi penurunan
sebesar 0,4457 , 0,8914 dan 1,3371 ;
untuk nilai PP terjadi penambahan
waktu sebesar 4 bulan 1 hari, 10 bulan
7 hari dan 1 tahun 8 bulan 25 hari ;
untuk nilai IRR terjadi penurunan
sebesar 12,3355% , 25,7157% dan
38,7491%. Jadi pada strata I
perubahan dalam penurunan harga telur
mempunyai tingkat sensitivitas lebih
tinggi daripada perubahan dalam
kenaikan harga pakan.
Tingkat sensitivitas pada strata II
diperoleh hasil bahwa setiap kenaikan
harga pakan 5%, 10% dan 15% akan
terjadi penurunan nilai ARR sebesar
11,51%, 23,02% dan 34,52% ; untuk
nilai NPV diperoleh hasil penurunan
sebesar Rp 41.380.403, Rp 82.761.020
dan Rp 124.141.641 ; untuk nilai B/C
Ratio terjadi penurunan sebesar 0,2887
, 0,5754 dan 0,8631 ; untuk nilai PP
terjadi penambahan waktu sebesar 1
bulan 20 hari, 3 bulan 21 hari dan 6
bulan 8 hari ; untuk nilai IRR terjadi
penurunan sebesar 7,6285% ,
15,3685% dan 23,3981%. Sedangkan
bila terjadi penurunan harga telur 5%,
10% dan 15% akan terjadi penurunan
nilai ARR sebesar 18,52%, 37,04% dan
55,55% ; untuk nilai NPV diperoleh hasil
penurunan sebesar Rp 66.585.823, Rp
133.171.866 dan Rp 199.757.908 ;
untuk nilai B/C Ratio terjadi penurunan
sebesar 0,4630 , 0,9259 dan 1,3889 ;
untuk nilai PP terjadi penambahan
waktu sebesar 2 bulan 26 hari, 6 bulan
27 hari dan 1 tahun 1 bulan 4 hari ;
untuk nilai IRR terjadi penurunan
sebesar 12,3375% , 25,1107% dan
30
39,0368%. Jadi pada strata II
perubahan dalam penurunan harga telur
mempunyai tingkat sensitivitas lebih
tinggi daripada perubahan dalam
kenaikan harga pakan.
Tingkat sensitivitas pada strata
III diperoleh hasil bahwa setiap
kenaikan harga pakan 5%, 10% dan
15% akan terjadi penurunan nilai ARR
sebesar 11,35%, 22,71% dan 34,07% ;
untuk nilai NPV diperoleh hasil
penurunan sebesar Rp 135.596.965, Rp
271.193.937 dan Rp 406.790.902 ;
untuk nilai B/C Ratio terjadi penurunan
sebesar 0,2839 , 0,5678 dan 0,8517 ;
untuk nilai PP terjadi penambahan
waktu sebesar 2 bulan 28 hari, 6 bulan
24 hari dan 1 tahun 0 bulan 4 hari ;
untuk nilai IRR terjadi penurunan
sebesar 8,1273% , 16,6367% dan
25,0016%. Sedangkan bila terjadi
penurunan harga telur 5%, 10% dan
15% akan terjadi penurunan nilai ARR
sebesar 17,02%, 34,03% dan 51,04% ;
untuk nilai NPV diperoleh hasil
penurunan sebesar Rp 203.140.841, Rp
406.281.688 dan Rp 609.422.531 ;
untuk nilai B/C Ratio terjadi penurunan
sebesar 0,4253 , 0,8506 dan 1,2760 ;
untuk nilai PP terjadi penambahan
waktu sebesar 4 bulan 22 hari, 1 tahun
0 bulan 3 hari dan 2 tahun 1 bulan 9 hari
; untuk nilai IRR terjadi penurunan
sebesar 12,1374% , 24,9686% dan
39,1824%. Jadi pada strata III
perubahan dalam penurunan harga telur
juga mempunyai tingkat sensitivitas
lebih tinggi daripada perubahan dalam
kenaikan harga pakan.
Secara keseluruhan pada
semua strata pada kelompok peternak
ayam petelur Gunungrejo Makmur akan
mengalami tingkat sensitivitas yang
tinggi dengan adanya perubahan harga
pakan yang naik maupun harga telur
yang turun. Hal itu terjadi karena kedua
komponen tersebut merupakan faktor
yang utama dalam mempengaruhi arus
kas masuk maupun keluar usaha
peternakan ayam petelur.
31
Tabel 7. Analisis Perubahan Harga Pakan dan Telur Selama Satu Tahun Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur Terhadap Hasil ARR, NPV, B/C Ratio, PP dan IRR pada Strata I
Perubahan
Harga
ARR
NPV
B/C Ratio
PP
IRR
Pakan naik 5%
57,94%
88.423.310
2,2910
1 tahun 10 bulan 2 hari
46,3477%
Pakan naik 10%
46,02%
68.006.556
1,9929
2 tahun 1 bulan 11 hari
37,8621%
Pakan naik 15%
34,10%
47.589.800
1,6948
2 tahun 5 bulan 25 hari
28,7227%
Normal / tetap
69,86%
108.840.066
2,5890
1 tahun 7 bulan 16 hari
54,5139%
Telur turun 5%
52,04%
78.312.123
2,1433
1 tahun 11 bulan 17 hari
42,1784%
Telur turun 10%
34,21%
47.784.178
1,6976
2 tahun 5 bulan 23 hari
28,7982%
Telur turun 15%
16,38%
17.256.235
1,2519
3 tahun 4 bulan 11 hari
15,7648%
Tabel 8. Analisis Perubahan Harga Pakan dan Telur Selama Satu Tahun Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur Terhadap Hasil ARR, NPV, B/C Ratio, PP dan IRR pada Strata II
Perubahan
Harga
ARR
NPV
B/C Ratio
PP
IRR
Pakan naik 5%
80,04%
262.178.707
2,8229
1 tahun 5 bulan 27 hari
60,8375%
Pakan naik 10%
68,53%
220.798.090
2,5352
1 tahun 7 bulan 28 hari
53,0975%
Pakan naik 15%
57,03%
179.417.469
2,2475
1 tahun 10 bulan 15 hari
45,0679%
Normal / tetap
91,55%
303.559.110
3,1106
1 tahun 4 bulan 7 hari
68,4660%
Telur turun 5%
73,03%
236.973.287
2,6476
1 tahun 7 bulan 3 hari
56,1285%
Telur turun 10%
54,51%
170.387.244
2,1847
1 tahun 11 bulan 4 hari
43,3553%
Telur turun 15%
36,00%
103.801.202
1,7217
2 tahun 5 bulan 11 hari
29,4292%
32
Tabel 9. Analisis Perubahan Harga Pakan dan Telur Selama Satu Tahun Kelompok Peternak Gunungrejo Makmur Terhadap Hasil ARR, NPV, B/C Ratio, PP dan IRR pada Strata III
Perubahan
Harga
ARR
NPV
B/C Ratio
PP
IRR
Pakan naik 5%
61,10%
512.811.920
2,0737
2 tahun 0 bulan 11 hari
40,0910%
Pakan naik 10%
49,74%
377.214.948
1,7898
2 tahun 4 bulan 7 hari
31,5816%
Pakan naik 15%
38,38%
241.617.983
1,5059
2 tahun 9 bulan 17 hari
23,2167%
Normal / tetap
72,45%
648.408.885
2,3576
1 tahun 9 bulan 13 hari
48,2183%
Telur turun 5%
55,43%
445.268.044
1,9323
2 tahun 2 bulan 5 hari
36,0809%
Telur turun 10%
38,42%
242.127.197
1,5070
2 tahun 9 bulan 16 hari
23,2497%
Telur turun 15%
21,41%
38.986.354
1,0816
3 tahun 10 bulan 22 hari
9,0359%
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
1. Berdasarkan analisis finansial secara
keseluruhan bahwa pada semua
strata anggota kelompok peternak
ayam petelur Gunungrejo Makmur
masih layak untuk dikembangkan
usahanya.
2. Berdasarkan analisis resiko secara
keseluruhan bahwa pada semua
strata menunjukkan tingkat resiko
yang ditimbulkan masih aman,
karena hasil keuntungan yang
diperoleh masih dapat menutupi
resiko yang mungkin terjadi.
Sehingga anggota kelompok
peternak ayam petelur
Gunungrejo Makmur pada semua
strata masih layak untuk
dikembangkan usahanya.
3. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa pada strata I
akan mengalami kerugian pada
kondisi terjadi kenaikan harga
pakan mulai 10% dan pada
waktu bersamaan terjadi penurunan
harga telur mulai 15% atau akan
terjadi pada kondisi harga pakan
naik mulai 15% dan diikuti harga
telur turun mulai 10%. Pada
strata II belum mengalami
kerugian walaupun terjadi kenaikan
harga pakan sampai 15% dan
pada waktu bersamaan terjadi
penurunan harga telur sampai
15%. Pada strata III akan
mengalami kerugian pada kondisi
33
terjadi kenaikan harga pakan
mulai 10% dan dalam waktu
bersamaan terjadi penurunan
harga telur mulai 15%. Tingkat
sensitivitas setelah dilakukan
analisis finansial lanjutan diperoleh
hasil pada semua strata
menunjukkan bahwa perubahan
dalam penurunan harga telur
mempunyai tingkat sensitivitas yang
lebih tinggi daripada perubahan
dalam kenaikan harga pakan dan
secara keseluruhan tingkat
sensitivitas termasuk tinggi bila
terjadi perubahan harga pada kedua
komponen tersebut.
Saran :
1. Secara umum usaha peternakan
ayam petelur pada kelompok
peternak Gunungrejo Makmur
Kabupaten Lamongan layak untuk
dikembangkan. Sehingga
diperlukan suatu dukungan dari
berbagai pihak termasuk pemerintah
guna untuk lebih mengembangkan
sentra usaha peternakan khususnya
peternakan ayam petelur di daerah
Lamongan yang masih belum begitu
besar populasinya bila
dibandingkan dengan daerah lain di
Jawa Timur.
2. Pada strata I anggota kelompok
peternak Gunungrejo Makmur harus
lebih dikembangkan usahanya ke
arah strata II sehingga diperoleh
hasil yang lebih optimal. Sedangkan
pada strata III harus lebih
mengoptimalkan penerimaan dari
hasil penjualan kotoran ayam dan
karung bekas pakan ternak serta
perlu adanya upaya untuk
meningkatkan nilai jual telurnya
menjadi lebih baik yakni setara
harga eceran seperti pada strata
atau skala usaha yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2003. Pola Kemitraan Alter - natif Andalan Sektor Agribisnis. http://www.situshijau_co.id.htm. Diakses 22 Juni 2008.
Chumairoh, I.N. 2008. Analisis Resiko
Finansial. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Hernanto, F. 1991. Ilmu Usaha Tani.
Penebar Swadaya. Jakarta. Himawati, D. 2006 . Analisa Resiko
Finansial Usaha Peternakan Ayam Pedaging pada Peternak-an Plasma Kemitraan KUD “Sari Bumi” di Kecamatan Bululawang Kabupaten Malang. Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.
Inounu, I. , A. Priyanti, E. Martindah,
I.S. Nurhayati dan R. A. Saptati . 2006 . Restrukturisasi Sistem
Produksi Perunggasan di Indonesia . Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengem- bangan Pertanian. Bogor.
34
Prawirokusumo, S. 1990 . Ilmu Usaha Tani. BPFE. Yogyakarta.
Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey.
LP3ES. Jakarta. Sumardjono, M.1996 .Pedoman Pem-
buatan Usulan Penelitian . Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Syamsuddin, L . 2004 . Manajemen
Keuangan Perusahaan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Sjahrial, D. 2008. Manajemen Keuang-
an . Edisi 2 . Penerbit Mitra Wacana Media. Jakarta.
Teken dan Asnawi . 1997 . Teori
Ekonomi Mikro . Departemen Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB Bogor.
Recommended