View
12
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kulit
2.1.1. Definisi Kulit
Kulit merupakan pembungkus yang elastis yang terletak paling luar yang
melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan hidup manusia dan merupakan alat
tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu kira-kira 15% dari berat tubuh dan
luas kulit orang dewasa 1,5 m2. Kulit sangat kompleks ,elastis dan sensitif, serta
sangat bervariasi pada keadaan iklim, umur, seks, ras, dan juga bergantung pada
lokasi tubuh serta memiliki variasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya. Rata-rata
tebal kulit 1,2 mm paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan
paling tipis (0,05 mm) terdapat di penis kulit merupakan organ yang vital dan
esensial serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan (Permana & Sumaryana,
2018).
2.1.2. Struktur Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan jaringan yang mempunyai fungsi dan
karakteristik berbeda. Ketiga lapisan tersebut yaitu: lapisan epidermis, lapisan
dermis, dan lapisan subkutan (Baumann, 2009).
1. Lapisan Epidermis
Lapisan ini merupakan lapisan paling tipis dan terluar dari kulit.
Sangat penting dalam kosmetika karena lapisan ini memberikan tekstur,
kelembaban serta warna kulit. Sel penyusun utama lapisan epidermis adalah
keratinosit. Keratinosit diproduksi oleh lapisan sel basal. Apabila keratinosit
matang akan bergerak ke lapisan di atasnya yang disebut dengan proses
keratinisasi. Lapisan epidermis dibagi menjadi empat lapisan yaitu stratum
basal, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum korneum (Baumann,
2009).
5
a. Lapisan sel basal (Stratum basal)
Lapisan sel basal merupakan lapisan paling bawah dari
epidermis. Bentuk selnya adalah kuboid. Lapisan sel basal berfungsi
melindungi epidermis dengan terus menerus memperbarui selnya.
Lapisan ini mengandung banyak keratinosit. Selain itu, juga terdapat
sel melanosit untuk mensintesis melanin dan sel merkel untuk sensasi.
b. Lapisan sel prickle (Stratum spinosum)
Lapisan sel prickle adalah lapisan paling bawah kedua setelah
lapisan sel basal. Sel berbentuk polihedral dengan inti bulat merupakan
hasil pembelahan darisel basal yang bergerak ke atas dan saling
dihubungkan dengan desmosom.
c. Lapisan sel granuler (Stratum granulosum)
Lapisan sel granuler merupakan lapisan dengan butiran / granula
keratohialin di dalam sel. Pada lapisan ini, selnya berbentuk datar dan
tidak ada intinya. Granulakeratohialin mengandung profilagrin dan
akan berubah menjadi filagrin dalam dua sampai tiga hari. Filagrin akan
terdegradasi menjadi molekul yang berkontribusi terhadap hidrasi pada
stratum korneum dan membantu penyerapan radiasi sinar ultraviolet.
d. Lapisan tanduk (Stratum korneum)
Lapisan ini dangkal dan dibentuk oleh sekitar 15 baris sel.
Menurut organisasi strukturalnya (keberadaan keratinosit dalam
matriks lipid bilayer), stratum korneum menyerupai dinding bata
(keratinosit sebagai batu bata, dan lipid dan protein sebagai semen).
Sel-sel lapisan pertengahan kornea mengandung jumlah terbesar asam
amino, yang menentukan hidrofilisitas wilayah ini, sedangkan pada
lapisan yang lebih dalam hidrofilisitas menurun. Strata korneum
dijelaskan dalam literatur sebagai "lapisan sel-sel mati", karena sel-sel
lapisan ini tidak mensintesis protein dan tidak menanggapi sinyal
seluler.
2. Lapisan Dermis
Ketebalan dermis bervariasi di berbagai tempat tubuh, biasanya 1-4
mm. Dermis merupakan jaringan metabolik aktif, mengandung kolagen,
6
elastin, sel saraf, pembuluh darah dan jaringan limfatik. Juga terdapat
kelenjar ekrin, apokrin, sebaseus di samping folikel rambut (Garna, 2016).
Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yakni (Djuanda, 2007).
1. Pars papilare, yaitu bagian yang menonjol ke epidermis dan berisi
ujung serabut saraf dan pembuluh darah.
2. Pars retikulare, yaitu bagian di bawahnya yang menonjol ke arah
subkutan. Bagian ini terdiri atas serabut-serabut penunjang seperti
serabut kolagen, elastin, dan retikulin.Lapisan ini mengandung
pembuluh darah, saraf, rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea.
3. Lapisan Subkutan / Hypodermis
Jaringan hipodermis atau subkutan merupakan lapisan yang terdiri
dari lemak dan jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah dan saraf.
Lapisan ini penting dalam pengaturan suhu kulit dan tubuh (Han, 2015).
Gambar 2. 1 Struktur Lapisan Kulit (Mader, 2016)
2.1.3. Fungsi Kulit
Kulit bisa melindungi tubuh dari luka fisik, pengaruh angin, air, sinar
matahari, unsur kimiawi, bakteri, dan sebagainya. Selain itu. kulit juga mempunyai
fungsi untuk mengontrol suhu tubuh, sehingga suhu tubuh bisa seimbang dan sesuai
dengan perubahan suhu. Selain memiliki fungsi perlindungan, kulit juga memiliki
fungsi sebagai indra peraba. Jaringan kulit luar menahan panas, dingin, sentuhan,
rasa sakit, dan tekanan. Karena proporsinya yang besar dan meliputi seluruh bagian
tubuh, kulit juga menjadi organ peraba yang memiliki peranan penting dalam
perlakuan sosial (Fauzi & Nurmalina, 2012).
7
2.2. Sinar Ultraviolet
2.2.1. Definisi Sinar Ultraviolet
Sinar ultraviolet merupakan jenis radiasi elektromagnetik seperti halnya
gelombang radio, sinar-x, dan sinar gamma yang tidak terlihat oleh mata manusia.
Sinar ultraviolet adalah sumber cahaya energi tinggi, dan jika paparannya terlalu
banyak dapat merusak jaringan tubuh manusia dan juga bahan non-biologis.
Intensitas radiasi sinar ultraviolet yang dihasilkan oleh matahari berkisar 6,33 x 106
mW/cm2, sedangkan intensitas matahari rata-rata di Indonesia berkisar 0,45
mW/cm2. Paparan sinar ultraviolet dapat menyebabkan sejumlah efek sekunder
pada material akibat reaksi fotokimia dan panas (Kowalski, 2009).
2.2.2. Jenis Radiasi Ultraviolet
Radiasi ultraviolet adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang
gelombang 100-400 µm. Cahaya tampak memiliki rentang panjang gelombang
antara 400-700 µm dan cahaya inframerah memiliki rentang panjang gelombang
antara 700-1200 µm. Radiasi ultraviolet mengandung lebih banyak energi daripada
cahaya tampak atau inframerah, akibatnya radiasi ultraviolet memiliki potensi yang
lebih besar untuk menimbulkan kerusakan biologis. Spektrum ultraviolet dapat
dibagi lagi menjadi 3 bagian gelombang yaitu: UV-A (315-400 nm), UV-B (280-
315 nm), dan UV-C (100-280 nm). Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang
yang lebih pendek, membawa energi yang lebih tinggi, sehingga memiliki potensi
yang lebih besar untuk menimbulkan kerusakan biologis. Radiasi matahari yang
mencapai permukaan bumi sekitar 95% merupakan sinar UV-A dan 5% merupakan
sinar UV-B. Akibat menipisnya lapisan ozon maka terjadi peningkatan jumlah
radiasi ultraviolet yang mencapai permukaan bumi (Majdi et al., 2014).
2.3. Radikal Bebas
2.3.1. Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas (free radical) atau sering juga disebut reactive oxygen species
(ROS) berasal dari bahasa latin radikalis adalah bahan kimia yang dapat berupa
atom maupun molekul yang tidak memiliki elektron berpasangan pada lapisan
luarnya. Sifat dari radikal bebas adalah sangat reaktif dan memiliki waktu paruh
8
yang sangat cepat. Radikal bebas akan segera bereaksi dengan cepat dengan
mengambil elektron molekul disekitarnya (Arief, 2012).
2.3.2. Sumber Radikal Bebas
Dalam tubuh manusia radikal bebas dapat berasal 2 sumber yaitu endogen
dan eksogen (Winarsi, 2007).
1. Sumber Endogen
a. Autoksidasi
Autoksidasi merupakan produk dari proses metabolisme aerob.
Jenis molekulnya dapat berasal dari hemoglobin, katekolamin,
mioglobin, sitkrom C yang tereduksi, serta thiol. Autoksidasi dari
produk diatas dapat menghasilkan kelompok oksigen reaktif.
b. Oksidasi enzimatik
Terdapat beberapa jenis enzim yang dapat menghasilkan radikal
bebas seperti, xanthine oksidase, lipoxygenase, aldehid oxidase, amino
acid oxidase,dan prostaglandin synthase.
c. Respiratory burst
Respiration burst merupakan proses dimana sel fagositik
menggunakan oksigen dalam jumlah yang besar pada proses
fagositosis. Sekitar 70-90% penggunaan oksigen tersebut berperan
dalam produksi superoksida yang merupakan bentukan awal dari
radikal bebas.
2. Sumber Eksogen
a. Obat-obatan
Obat-obatan dapat berperan dalam peningkatan produksi radikal
bebas dengan cara peningkatan tekanan oksigen. Jenis obat-obatan
tersebut dapat berupa obat golongan antibiotik quionoid, obat kanker,
serta penggunaan asam askorbat yang berlebih dapat mempercepat
peroksidasi lipid.
b. Radiasi
Penggunaan Radioterapi memungkinkan terjadinya kerusakan
jaringan yang disebabkan oleh radikal bebas. Radiasi dibagi menjadi
9
radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi elektromagnetik
dapat berupa sinar X, sinar gamma, sinar UV sedangkan radiasi partikel
dapat berupa partikel elektron, photon, neutron, alfa, dan beta.
2.3.3. Pembentukan Radikal Bebas
Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas mirip dengan
rancidity oxidative (ketengikan oksidatif) yaitu melalui tiga tahap reaksi seperti
berikut (Winarsi, 2007) :
a. Tahap inisiasi, yaitu tahap awal pembentukan radikal bebas. Misalnya:
Fe2+ + H2O2 → Fe3++ OH-+ •OH
R1-H + •OH → R1• + HO2
b. Tahap propagasi, yaitu tahap perpanjangan rantai radikal
R2-H + R1• → R2• + R1-H
R3-H + R2• → R3• + R2-H
c. Tahap terminasi, yaitu tahap bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain
atau dengan penangkap radikal, sehingga protein propagasinya rendah
R1• + R1• → R1-R1
R2• + R1• → R2-R1
R2• + R2• → R2-R2, dst.
2.3.4. Mekanisme Senyawa Radikal Bebas Menyebabkan Penuaan Dini
Radikal bebas merupakan penyebab utama terkait proses penuaan, dianggap
sebagai satu-satunya proses utama, dimodifikasi oleh genetik dan faktor
lingkungan; oksigen radikal bebas bertanggung jawab (karena reaktivitasnya
tinggi) terhadap kerusakan tingkat sel dan jaringan terkait usia. Akumulasi radikal
oksigen pada sel dan modifikasi oksidatif molekul biologi (lipid, protein, dan asam
nukleat) berperan pada penuaan dan kematian sel. Pada kondisi normal, terjadi
keseimbangan antara oksidan, antioksidan, dan biomolekul. Radikal bebas yang
berlebih menyebabkan antioksidan seluler natural kewalahan, memicu oksidasi,
dan berkontribusi terhadap kerusakan fungsional seluler (Fusco et al., 2007).
10
2.4. Belimbing Wuluh
2.4.1. Morfologi Tanaman Belimbing Wuluh
Tanaman di Indonesia banyak yang bisa memberi manfaat untuk kehidupan,
salah satu diantaranya adalah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.). Belimbing
wuluh merupakan salah satu spesies dalam family Averrhoa yang tumbuh di daerah
ketinggian hingga 500 m di atas permukaan laut dan dapat ditemui di tempat yang
banyak terkena sinar matahari langsung tetapi cukup lembab. Pada umumnya
belimbing wuluh ditanam dalam bentuk tanaman pekarangan yaitu diusahakan
sebagai usaha sambilan atau tanaman peneduh di halaman rumah (Sari & Suryani,
2014).
Klasifikasi ilmiah tanaman belimbing wuluh adalah (Nugraha, 2017):
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Familia : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L.
Habitusnya meliputi pohon, tingginya 5-10 meter. Batangnya tegak,
bercabang-cabang, permukaan kasar, banyak tonjolan, hijau kotor. Daun berbentuk
majemuk, menyirip, anak daun 25-45 helai, bulat telur, ujung meruncing, pangkal
membulat, panjang 7-10cm, lebar 1-3cm, bertangkai pendek, pertualangan
menyirip, hijau muda, hijau. Bunga berbentuk malai, pada tonjolan batang dan
cabang, menggantung, panjang 5-20cm, kelopak ± 6 cm, merah, daun mahkota
bergandengan, bentuk lanset, ungu. Buah buni, bulat, panjang 4 cm, hijau
kekuningan. Biji buah belimbing wuluh lanset atau segitiga, masih muda hijau
setelah tua kekuningan kehijauan. Akarnya tunggang, coklat kehitaman (Etsa et al.,
2015).
11
Gambar 2. 2 Tanaman Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
(Kinho et al., 2011)
2.4.2. Kandungan Daun Belimbing Wuluh
Zat aktif yang bisa didapat pada daun belimbing wuluh antara lain adalah
tanin, sulfur, asam format, peroksida, saponin dan flavonoid (Sari & Suryani, 2014).
a. Tanin
Tanin merupakan suatu senyawa fenol yang memiliki berat molekul besar
yang terdiri dari gugus hidroksi dan beberapa gugus yang bersangkutan seperti
karboksil untuk membentuk kompleks kuat yang efektif dengan protein dan
beberapa makromolekul. Tanin terdiri dari dua jenis yaitu tanin terkondensasi dan
tanin terhidrolisis. Kedua jenis tanin ini terdapat dalam tumbuhan, tetapi yang
paling dominan terdapat dalam tanaman adalah tanin terkondensasi. Kadar tanin
yang tinggi pada daun belimbing wuluh muda sebesar 10,92% (Hayati et al., 2010).
Oksidasi tanin akan menghasilkan senyawa berwarna coklat yang tidak
mampu mengendapkan protein. Fenol sangat peka terhadap oksidasi enzim dan
mungkin hilang pada proses isolasi akibat kerja enzim fenolase yang terdapat pada
tumbuhan. Kompleks tanin protein umumnya terbentuk dengan adanya ikatan
hidrogen dan tidak larut. Ikatan hidrogen antara gugus karbonil dari ikatan peptida
dengan gugus hidroksil dari tanin merupakan ikatan yang paling dominan di dalam
kompleks tanin protein. Interaksi hidrofobik tanin-protein terlihat pada cincin
aromatik fenol dan alifatik serta rantai samping aromatik pada protein asam amino.
12
Kompleks ini dipengaruhi oleh pH, suhu dan bobot molekul. Nilai pH yang rendah
akan menurunkan pembentukan kompleks tanin-protein sebagai akibat adanya efek
elektrostatik dari protein (Purwanti et al., 2018).
Tanin terdiri dari katekin, leukoantosianin dan asam hidroksi yang masing-
masing dapat menimbulkan warna bila bereaksi dengan ion logam. Warna ini
terbentuk karena terbentuknya kompleks antara logam Fe dari FeCl 31% dengan
gugus hidroksi dari tanin. Terikatnya Fe pada tanin menghasilkan warna yang
spesifik karena gugus hidroksil berkonjungasi dengan ikatan rangkap, sedangkan
terikatnya katekin dengan Fe tidak memberikan warna yang sama, sebab gugus
hidroksil tidak berkonjugasi dengan ikatan rangkap. Manfaat tanin salah satunya
untuk pengobatan luka bakar, pada industri tekstil dan industri tinta tanin sebagai
zat warna, pencegah korosi, sebagai penjernih dalam industri minuman anggur,
sebagai bahan fotografi dan menurunkan viskositas lumpur pada pipa pengeboran
minyak (Iga & Savitri, 2014).
b. Asam Format
Asam format atau asam formiat (nama sistematis: asam metanoat) adalah
asam karboksilat yang paling sederhana. Asam format secara alami antara lain
terdapat pada sengat lebah dan semut, sehingga dikenal pula sebagai asam semut
(Purwanti et al., 2018).
c. Peroksida
Senyawa peroksida yang dapat berpengaruh terhadap antipiretik, peroksida
merupakan senyawa pengoksidasi dan kerjanya tergantung pada kemampuan
pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini mampu membunuh banyak mikroorganisme
(Fidia, 2017).
d. Saponin
Saponin berfungsi sebagai antihiperglikemik dengan cara mencegah
pengambilan glukosa pada brush border di usus halus. Saponin memiliki molekul
yang dapat menarik air atau hidrofilik dan molekul yang dapat melarutkan lemak
atau lipofilik (Nugraha, 2017).
e. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang paling
banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan
13
senyawa phenolik dengan struktur kimia C6 − C3 − C6. Flavonoid bekerja dengan
cara denaturasi protein. Proses ini juga menyebabkan gangguan dalam
pembentukan sel sehingga merubah komposisi komponen protein. Fungsi membran
sel yang terganggu dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas sel, diikuti
dengan terjadinya kerusakan sel bakteri. Kerusakan tersebut menyebabkan
kematian sel bakteri. Flavonoid berfungsi untuk menjaga pertumbuhan normal dan
pertahanan terhadap pengaruh infeksi dan kerusakan. Pada sel daun terdapat cairan
vakuola yang terdapat dalam vakuola terutama terdiri dari air, namun di dalamnya
dapat terlarut berbagai zat seperti gula, berbagai garam, protein, alkaloida, zat
penyamak atau tanin dan zat warna. Jumlah tanin dapat berubah-ubah sesuai dengan
musim serta pigmen dalam vakuola adalah flavonoid (Iga & Savitri, 2014).
2.4.3. Aktivitas Farmakologi Daun Belimbing Wuluh
Beberapa aktivitas farmakologis dari daun belimbing wuluh yaitu sebagai
berikut:
1. Kegunaan di Masyarakat
Daun belimbing wuluh yang dilumatkan untuk mengatasi demam
dan obat luar. Rebusan daun untuk menanggulangi peradangan, gerusan
tangkai muda dan bawang merah sebagai obat oles pada penyakit gondong.
Daun belimbing wuluh muda dicampur beberapa rempah-rempah untuk
encok. Efek farmakologi daun belimbing wuluh dapat digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri dan sebagai antiinflamasi (Sudarsono et al.,
2002).
2. Aktivitas Antioksidan
Hasil pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa asam
askorbat sebagai kontrol positif memiliki nilai IC50 sebesar 5,71±0,04
µg/ml, sementara esktrak etanol daun belimbing wuluh memiliki nilai IC50
sebesar 16,99±0,12 µg/mL. Senyawa fitokimia yang terkandung dalam
ekstrak etanol daun belimbing wuluh telah berhasil diidentifikasi yang
meliputi saponin, tanin, steroid, flavonoid dan alkoloid. Kadar total fenol
dan flavonoid ekstrak daun belimbing wuluh dapat ditentukan dan
14
berpotensi menjadi salah satu sumber antioksidan yang tinggi (Hasim et al.,
2019).
3. Aktivitas Antiinflamasi
Pada penelitian lain, kontrol positif yang digunakan dalam
pengukuran aktivitas antiinflamasi ini adalah natrium diklofenak dan
aktivitas antiinflamasi pada metode ini dinyatakan dengan persen inhibisi
hemolisis. Natrium diklofenak (100 µg/mL) memiliki aktivitas
antiinflamasi yang ditunjukkan dengan nilai persen inhibisi hemolisisnya
sebesar 89,62±2,57%. Ekstrak etanol daun belimbing wuluh memiliki
aktivitas antiinflamasi pada konsentrasi 200, 300, 500, 600 µg/mL yang
ditunjukkan dengan nilai persen inhibisinya secara berturut-turut sebesar
91,18±4,62; 81,42±2,55; 84,26±1,05; dan 50,49±13,27%. Hasil uji
ANOVA menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak etanol daun belimbing
wuluh pada 600 ppm memiliki nilai persen inhibisi yang paling rendah serta
berbeda signifikan (p<0,05) dibandingkan dengan konsentrasi pada 200,
300, 500 ppm dan konsentrasi natrium diklofenak. Konsentrasi ekstrak
berpengaruh terhadap nilai persen inhibisi hemolisisnya. Konsentrasi
ekstrak etanol daun belimbing wuluh 200 ppm memiliki nilai persen inhibisi
hemolisis paling tinggi dibandingkan dengan konsentrasi ekstrak lainnya.
Konsentrasi ekstrak 200 ppm ini merupakan konsentrasi ekstrak terendah
yang diujikan. Dapat disimpulkan bahwa daun belimbing wuluh
menunjukkan adanya aktivitas antiinflamasi (Hasim et al., 2019).
4. Antihipertensi
Hasil pengukuran tekanan darah sistol dan diastol pada kelompok
satu (kelompok kontrol positif dengan pemberian captopril 2,5 mg/kgBB)
menunjukkan penurunan yang bermakna. Rerata tekanan sistol sebelum
perlakuan adalah 183,57 dan setelah perlakuan 131,00. Untuk analisa
bivariat pada tekanan sistol digunakan Wilcoxon test karena data tidak
berdistribusi normal dan diperoleh nilai p 0,018. Rerata tekanan diastole
sebelum perlakuan 173,13 dan setelah perlakuan 124,83. Dari hasil uji
statistik kelompok 2 (kelompok eksperimen 1 yaitu pemberian ekstrak daun
belimbing wuluh dengan dosis 52,517 mg/100 gram BB tikus) diperoleh
15
nilai mean tekanan sistol sebelum 181,43 dan setelah perlakuan 143,29.
Sedangkan nilai mean diastole sebelum 169,57 dan setelah perlakuan
136,00. Hasil uji statistik kelompok 3 (kelompok eksperimen 2 yaitu dengan
pemberian ekstrak daun belimbing wuluh dosis 105,034 mg/100 gram BB
tikus) didapatkan nilai mean sistol sebelum 184,43 dan setelah perlakuan
135,57; sedangkan mean diastole sebelum 173,86 dan setelah perlakuan
123,86. Pre dan Post test pada masing-masing kelompok dianalisa
menggunakan paired t test dengan hasil nilai p kedua kelompok adalah
0,000. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tekanan darah yang
signifikan antara sebelum dan setelah perlakuan baik kelompok 2 maupun
kelompok 3. Maka dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan daun
belimbing wuluh memiliki aktivitas farmakologi sebagai antihipertensi atau
penurun tekanan darah (Mulyani et al., 2015).
5. Antifungal
Aspergillus flavus dan Candida albicans merupakan jenis jamur
yang memiliki potensi menyebabkan penyakit. Kapang Aspergillus flavus
dapat menurunkan kualitas bahan pangan disebut biodeteriorasi, dan dapat
menghasilkan metabolit sekunder berupa aflatoksin. Candida albicans
berpotensi menyebabkan kandidiasis, sariawan dan keputihan. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui kemampuan ekstrak daun belimbing wuluh
(Averrhoa bilimbi L.) dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus
dan Candida albicans, serta mengetahui konsentrasi terendah yang mampu
menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus dan Candida albicans yang
dibandingkan dengan kontrol albothyl dan natrium benzoat sebagai kontrol
positif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental,
sedangkan rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 kali ulangan. Perlakuan yang diujikan pada
Aspergillus flavus dan Candida albicans adalah daun belimbing wuluh
dengan konsentrasi 20%, 40%, 60%, 80%, 100%, dan dua kontrol positif
(albothyl dan natrium benzoat). Parameter yang diamati adalah diameter
zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak daun belimbing wuluh, albothyl,
dan natrium benzoat. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis
16
varian (ANAVA) dan dilanjutkan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)
pada tingkat kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil analisis uji DMRT
menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mampu menghambat
pertumbuhan khamir Candida albicans pada konsentrasi 60%, 80% dan
100%, tetapi tidak menghambat pertumbuhan pada kapang Aspergillus
flavus. Kontrol positif albothyl dapat menghambat pertumbuhan Candida
albicans lebih baik dari pada ekstrak daun belimbing wuluh, sedangkan
natrium benzoat tidak menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus
(Permana, 2014).
6. Antidiabetes
Daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) merupakan tanaman
yang dapat digunakan sebagai terapi herbal dalam menangani diabates
melitus. Kandungan utama yaitu flavonoid yang berperan dalam aktivitas
farmakologikal yang berfungsi sebagai antioksidan dan antidiabetes. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa daun belimbing wuluh (Averrhoa
bilimbi L.) memang telah dipercaya memiliki khasiat untuk terapi
antidiabetes. Beberapa penelitian juga telah dilakukan sebelumnya. Uji
efektivitas ekstrak daun belimbing wulung terhadap mencit telah dibuktikan
memiliki tingkat aktivitas yang baik dalam menurunkan kadar glukosa
dalam darah (Kurniawaty & Lestari, 2016).
7. Antilithiasis
Pada penelitian ini telah dilakukan pengujian aktivitas antilithiasis
ekstrak etanol daun belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) pada mencit
putih (Mus musculus). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya
aktivitas antilithiasis dari ekstrak etanol daun belimbing wuluh pada mencit,
serta menentukan dosis yang efektif sebagai antilithiasis. Daun belimbing
wuluh diekstraksi secara maserasi dengan pelarut etanol 70% kemudian
dipekatkan dengan Rotary Evaporator. Selanjutnya ekstrak etanol daun
belimbing wuluh dibuat dalam beberapa dosis yaitu 16,6 mg/Kg BB, 25
mg/Kg BB dan 33 mg/Kg BB. Parameter pengukuran yang digunakan yaitu
bobot badan, bobot ginjal, rasio bobot ginjal terhadap bobot badan mencit
serta kadar kalsium. Analisis kadar kalsium dilakukan dengan
17
Spektrofotometer Serapan Atom pada panjang gelombang 422,7 nm. Hasil
menunjukan kadar kalsium pada kelompok pemberian ekstrak etanol daun
belimbing wuluh secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok
induksi (p < 0,05). Ini membuktikan bahwa pemberian ekstrak etanol daun
belimbing wuluh pada mencit yang diinduksi batu ginjal memiliki aktivitas
sebagai antilithiasis dan dosis yang paling efektif sebagai antilithiasis yaitu
pada dosis 16,6 mg/Kg BB (Patala et al., 2018).
2.5. Antioksidan
2.5.1. Definisi Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menunda, menghambat atau
mencegah oksidasi lipid atau molekul lain dengan menghambat inisiasi atau
propagasi dari reaksi rantai oksidatif (Javanmardi et al., 2003). Antioksidan
merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. Senyawa ini
memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi
oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan
senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas
dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi,
2011).
2.5.2. Klasifikasi Antioksidan
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu antioksidan sintetik atau sekunder (antioksidan yang diperoleh dari
hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami atau primer (antioksidan hasil
ekstraksi bahan alam) (Inggrid & Santoso, 2014).
1. Antioksidan Primer atau Alami
Berikut adalah pengelompokkan antioksidan primer menurut
(Hurrell et al., 2003):
a. Antioksidan mineral adalah kofaktor antioksidan enzim.
Keberadaannya mempengaruhi metabolisme makromolekul kompleks
seperti karbohidrat. Contoh: selenium, tembaga, besi, seng dan mangan.
18
b. Antioksidan vitamin, dibutuhkan untuk fungsi metabolisme tubuh.
Contoh: vitamin C, vitamin E, vitamin B.
c. Fitokimia adalah senyawa fenolik, yang bukan vitamin maupun
mineral. Senyawa yang termasuk ke dalam golongan fitokimia adalah
senyawa flavonoid. Flavonoid adalah senyawa fenolik yang memberi
warna pada buah, biji-bijian, daun, bunga dan kulit. Sebagai contoh
diantaranya: karotenoid adalah zat warna dalam buah-buahan dan
sayuran, β-karoten terdapat pada wortel dan dapat dikonversi menjadi
vitamin A, likopen banyak terdapat dalam tomat, dan zeaxantin banyak
terdapat pada bayam.
2. Antioksidan Sekunder atau Sintetik
Senyawa antioksidan sintetik memiliki fungsi menangkap radikal
bebas dan menghentikan reaksi berantai (Hurrell et al., 2003). Berikut
adalah contoh antioksidan sintetik: Butylated hydroxyl anisole (BHA),
Butylated hydroxylrotoluene (BHT), Propyil gallate (PG) dan metal
chelating agent (EDTA), Tertiary butyl hydroquinone (TBHQ), Nordihydro
guaretic acid (NDGA). Antioksidan sintetik utama pada saat ini yang
digunakan dalam produk makanan adalah monohidroksi atau polihidroksi
senyawa fenol dengan berbagai substituen pada cincinnya (Hamid et al.,
2010).
2.5.3. Fungsi Antioksidan
Antioksidan berfungsi sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi
radikal bebas penyebab beberapa penyakit salah satunya seperti karsinogenis,
dalam tubuh manusia. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki
sistem pertahanan antioksidan yang cukup, sehingga apabila terjadi paparan radikal
berlebihan, maka tubuh membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari luar)
(Muchtadi, 2013).
2.5.4. Mekanisme Kerja Antioksidan
Menurut mekanisme kerjanya antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom
19
hidrogen. Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama disebut antioksidan
primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida
(R•, ROO•) atau mengubahnya ke bentuk stabil, sementara turunan radikal
antioksidan (A•) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibandingkan radikal lipid.
Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju
antioksidan dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai
oksidan dengan mengubah lipida ke bentuk stabil (Yuswantina, 2009).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada
lipida dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tiap inisiasi maupun propagasi.
Radikal-radikal antioksidan (A•) yang terbentuk pada reaksi tersebut stabil dan
tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain
membentuk radikal lipida baru. Radikal-radikal antioksidan dapat saling
membentuk produk non-radikal. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap
radikal lipid sebagai berikut :
Inisiasi : R• + AH → RH : A•
Propagasi : ROO• + AH → ROOH + A•
(Furqon, 2016).
2.6. Pengujian Antioksidan
2.6.1. Macam-Macam Pengujian Antioksidan
Uji aktivitas antioksidan terdiri atas metode in vivo dan in vitro. Para peneliti
lebih mengembangkan metode in vitro karena metode in vivo membutuhkan waktu
pengerjaan yang lama. Metode antioksidan secara in vitro terbagi menjadi metode
1,1-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), xantin oksidase, tiosianat, dan deoksiribosa
(Sharma, 2014).
1. Metode DPPH
Metode absorbansi radikal DPPH merupakan metode yang
sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit
dengan waktu yang singkat (Hanani et al., 2006). Pengukuran aktivitas
antioksidan sampel dilakukan pada panjang gelombang 517 nm yang
merupakan panjang gelombang maksimum DPPH, dengan konsentrasi
DPPH 50 µm. Adanya aktivitas antioksidan dari sampel mengakibatkan
20
perubahan warna pada larutan DPPH dalam etanol yang semula berwarna
violet pekat menjadi kuning pucat (Andayani et al., 2008).
Metode DPPH merupakan pengukuran penangkal radikal bebas
sintetik dalam pelarut organik pada suhu kamar oleh suatu senyawa yang
mempunyai aktivitas antioksidan. Proses penangkalan radikal bebas ini
melalui mekanisme pengambilan atom hidrogen dari senyawa antioksidan
oleh radikal bebas sehingga radikal bebas menangkap satu electron dari
antioksidan. Metode ini juga merupakan pengujian aktivitas antioksidan
yang paling cocok bagi pelarut etanol dan methanol (Rochmatika et al.,
2012).
2. Metode Xantin Oksidase
Metode xantin oksidase menentukan nilai inhibisi sampel terhadap
radikal bebas. Perhitungan aktivitas inhibisi radikal bebas menggunakan
superoksida dismutase (SOD) (Widowati et al., 2005). Metode xantin
oksidase adalah metode dengan prinsip metabolisme xantin-xantin
oksidase, yang menghasilkan radikal anion superoksida. Superoksida
dismutase (SOD) mengubah superoksida menjadi hidrogen peroksida
(H2O2) sehingga metode ini dapat digunakan untuk mengukur aktivitas
antioksidan dalam meredam radikal anion superoksida. Metode ini tidak
memerlukan waktu yang lama pada pengukuran, namun metode ini
melewati beberapa tahap inkubasi dalam pembentukan radikal bebas (Yang
et al., 2013).
3. Metode Tiosianat
Metode tiosianat menentukan aktivitas radikal bebas menggunakan
senyawa pembanding sebagai kontrol positif. Sebanyak 2 mL sampel
dicampur dengan 2,05 mL asam linoleat dan buffer fosfat pH 7,0 diinkubasi
di tempat gelap pada suhu 37℃. Jumlah peroksida yang terbentuk
ditentukan dari serapan warna merah pada panjang gelombang 500 nm
dengan penambahan FeCl2 dan amonium tiosianat. Pengukuran dilakukan
setiap 24 jam hingga dicapai absorbansi maksimum (Sharma, 2014).
Metode tiosianat adalah metode dengan prinsip lipid peroksidasi.
Metode ini menggunakan asam linoleat, yaitu asam lemak tidak jenuh yang
21
bertindak sebagai radikal bebas (Hanani et al., 2006). Metode ini secara
spesifik dapat mengukur jumlah radikal bebas berdasarkan peroksidasi
lipid, yaitu pembentukan radikal alkoksi. Namun, metode ini memerlukan
proses pengukuran serapan yang lama. Pengukuran serapan harus terus
dilakukan hingga dicapai nilai absorbansi maksimum (Sharma, 2014).
4. Metode Deoksiribosa
Metode deoksiribosa menggunakan reaksi degradasi deoksiribosa
dengan radikal bebas yang dihasilkan dari larutan besi (II) sulfat dan
hidrogen peroksida. Radikal bebas dicampurkan dengan ekstrak dan 2-
deoksiribosa. Reaksi ini membentuk malonaldehida (MDA). Antioksidan
dalam ekstrak tanaman akan mencegah radikal hidroksil merusak 2-
deoksiribosa, sehingga produk MDA terhambat. Kemudian larutan
diberikan tiobarburat (TBA) yang akan berikatan dengan MDA dan
menyebabkan warna merah (Yang et al., 2013).
Metode ini memerlukan senyawa pembanding sebagai kontrol
positif. Jumlah MDA diamati sebagai hasil dari peredaman radikal bebas
oleh antioksidan. Reaksi pembentukan radikal bebas oleh FeSO4 dan H2O2
menghasilkan radikal hidroksil yang diukur dengan metode deoksiribosa.
Metode ini dapat mengukur potensi antioksidan yang menghambat radikal
hidroksil. Metode ini memerlukan tahapan yang lebih banyak dibandingkan
metode in vitro yang lainnya karena produk MDA harus dihentikan terlebih
dahulu oleh TBA sebelum dilakukan pengukuran nilai serapan pada panjang
gelombang yang ditentukan (Atun, 2010).
2.6.2. Penetapan IC50
Aktivitas antioksidan dinyatakan secara kuantitatif dengan IC50. IC50
adalah konsentrasi larutan uji yang memberikan peredaman DPPH sebesar 50%.
Aktivitas antioksidan dari ekstrak ditentukan berdasarkan nilai IC50 yang
menggambarkan besarnya konsentrasi senyawa uji yang dapat menangkap radikal
sebesar 50%. Nilai IC50 tersebut selanjutnya digunakan untuk menghitung
konsentrasi ekstrak dalam sediaan. IC50 dihitung dari kurva regresi linear pada
berbagai konsentrasi uji versus % penghambatan (Yuhernita & Juniarti, 2011).
22
2.7. Spektrofotometer UV-Vis
2.7.1. Definisi Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran energi cahaya oleh suatu
sistem kimia pada panjang gelombang tertentu (Underwood & Day, 2002). Sinar
ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, dan sinar
tampak (visible) mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Spektrofotometri
UV-Vis dapat digunakan untuk informasi baik analisis kualitatif maupun analisis
kuantitatif. Analisis kualitatif dapat digunakan untuk mengidentifikasi kualitas obat
atau metabolitnya. Data yang dihasilkan oleh Spektrofotometri UV-Vis berupa
panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH dan pelarut, sedangkan dalam
analisis kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel)
dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya (Putri & Setiawati,
2015).
Pengukuran spektrofotometri menggunakan alat spektrofotometer yang
melibatkan energi elektronik yang cukup besar pada molekul yang dianalisis,
sehingga spektrofotometer UV-Vis lebih banyak dipakai untuk analisis kuantitatif
dibandingkan kualitatif. Spektrum UV-Vis sangat berguna untuk pengukuran
secara kuantitatif. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum
Lambert-Beer. Hukum Lambert-Beer dinyatakan dalam persamaan (Rohman,
2007):
A = a.b.c
Keterangan :
A = absorban
a = absorpsivitas molar
b = tebal kuvet (cm)
c = konsentrasi
Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan linearitas antara absorban
dengan konsentrasi larutan analit dan berbanding terbalik dengan transmitan.
Dalam hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan (Rohman, 2007)
yaitu :
a. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis.
23
b. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang yang
sama.
c. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang
lain dalam larutan tersebut.
d. Tidak terjadi fluorensensi atau fosforisensi.
e. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.
Salah satu syarat senyawa dianalisis dengan spektrofotometri adalah karena
senyawa tersebut mengandung gugus kromofor. Kromofor adalah gugus fungsional
yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika diikat oleh gugus ausokrom.
Hampir semua kromofor mempunyai ikatan rangkap berkonjugasi diena (C=C‒
C=C), dienon (C=C‒C=O), benzen dan lain-lain. Ausokrom adalah gugus
fungsional yang mempunyai electron bebas, seperti -OH, NH2, NO2, -X (Harmita,
2006).
2.7.2. Instrumen Spektrofotometer UV-Vis
Instrumen atau alat yang digunakan untuk mengetahui emisi radiasi
elektromagnetik sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrofotometer.
Menurut (Moreshwar, 2003) Komponen dari instrumen Spektrofotometri UV-Vis
adalah :
a. Sumber Cahaya
Sumber yang biasa digunakan pada spektroskopi absorbsi adalah lampu
wolfram. Pada daerah UV digunakan lampu hidrogen atau lampu deuterium.
Kebaikan lampu wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak
bervariasi pada berbagai panjang gelombang.
b. Monokromator
Monokromator adalah alat yang akan memecah cahaya polikromatis
menjadi cahaya tunggal (monokromatis) dengan komponen panjang
gelombang tertentu. Monokromator berfungsi untuk mendapatkan radiasi
monokromator dari sumber radiasi yang memancarkan radiasi polikromatis.
Monokromator terdiri dari susunan :
Celah (slit) masuk ‒ filter ‒ prisma ‒ kisi (grating) ‒ celah (slit) keluar.
24
c. Wadah sampel (kuvet)
Kuvet merupakan wadah sampel yang akan dianalisis. Kuvet dari
leburan silika (kuarsa) dipakai untuk analisis kualitatif dan kuantitatif pada
daerah pengukuran 190-1100 nm, dan kuvet dari bahan gelas dipakai pada
daerah pengukuran 380-1100 nm karena bahan dari gelas mengabsorbsi radiasi
UV.
d. Detektor
Detektor akan menangkap sinar yang diteruskan oleh larutan. Sinar
kemudian diubah menjadi sinyal listrik oleh amplifier dan dalam rekorder akan
ditampilkan dalam bentuk angka-angka pada reader (komputer).
e. Visual Display Recorder
Merupakan sistem baca yang memperagakan besarnya isyarat listrik,
menyatakan dalam bentuk % transmitan maupun Absorbansi.
2.8. Kosmetik
2.8.1. Definisi Kosmetik
Kosmetik dikenal manusia sejak berabad-abad yang lalu. Pada abad ke-19
pemakaian kosmetik mulai mendapat perhatian. Selain digunakan untuk
kecantikan, kosmetik juga digunakan untuk kesehatan (Tranggono & Latifah,
2007). Kosmetik berasal dari kata Yunani yaitu kosmetikos yang berarti menghias,
mengatur. Pada dasarnya kosmetik adalah bahan campuran yang kemudian
diamplikasikan pada anggota tubuh bagian luar seperti epidermis kulit, kuku,
rambut, bibir, gigi dan sebagainya bertujuan untuk menambah daya tarik,
melindungi, memperbaiki sehingga penampilannya lebih dari semula (Haynes,
1997).
Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1175/MENKES/PER/2010 Pasal 1 kosmetika (Permenkes, 2010) adalah
bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh
manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik. Bahan utama yang dapat digunakan untuk
25
kosmetik adalah bahan dasar yang berkasiat, bahan aktif dan ditambah bahan
tambahan lain seperti bahan pewarna, bahan pewangi, pada pencampuran bahan-
bahan tersebut harus memenuhi kaidah pembuatan kosmetik ditinjau dari berbagai
segi teknologi, kimia teknik dan lainnya (Wasitaatmadja, 1997).
2.8.2. Kegunaan Kosmetik
Penggolongan kosmetik menurut kegunaannya bagi kulit sebagai berikut
(Tranggono & Latifah, 2007):
1. Kosmetik perawatan kulit (skin care cosmetic)
Kosmetik jenis ini digunakan untuk merawat kebersihan dan
kesehatan kulit. Kosmetik perawatan kulit, terdiri dari :
a. Kosmetik untuk membersihkan kulit (cleanser) : sabun, cleansing,
cream, cleansing milk, dan penyegar kulit (freshener), toner.
b. Kosmetik untuk melembabkan kulit (moisturizer), misalnya
moisturizer cream, night cream, anti wrinkle cream.
c. Kosmetik pelindung kulit, misalnya sunscreen cream dan sunscreen
foundation, sun block cream / losion.
d. Kosmetik untuk menipiskan atau mengamplas kulit (peeling), misalnya
scrub cream yang berisi butiran-butiran halus yang berfungsi sebagai
pengamplas.
2. Kosmetik riasan (dekoratif atau make up)
Kosmetik jenis ini diperlukan untuk merias atau menutup cacat pada
kulit sehingga menghasilkan penampilan yang lebih menarik serta
menimbulkan efek psikologis yang baik, seperti percaya diri. Dalam
kosmetik riasan, peran zat warna dan pewangi sangat besar. Dalam kosmetik
riasan, peran zat warna dan pewangi sangat besar.
Kosmetik dekoratif terbagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :
a. Kosmetik dekoratif yang hanya menimbulkan efek pada permukaan dan
pemakaian sebentar, misalnya lipstick, bedak, pemerah pipi,
eyeshadow, dan lain-lain.
26
b. Kosmetik dekoratif yang efeknya mendalam dan biasanya dalam waktu
lama baru luntur, misalnya kosmetik pemutih kulit, cat rambut,
pengeriting rambut, dan lain-lain.
2.9. Masker Wajah
2.9.1. Definisi Masker Wajah
Masker wajah merupakan suatu bentuk sediaan yang memiliki cara khusus
untuk membersihkan wajah dan sekaligus sebagai skin care. Sediaan diaplikasikan
pada wajah berbentuk layer yang relatif tebal dan kemudian dilepaskan setelah
beberapa waktu, biasanya 15 sampai 30 menit (Shai et al., 2009).
Masker wajah adalah salah satu jenis perawatan yang sering dimanfaatkan
oleh para wanita untuk mengatasi masalah kulit wajah. Tetapi belum banyak yang
tahu bahwa beda jenis masker wajah maka berbeda pula kegunaan dan fungsinya,
contohnya sebagai berikut (Anjani & Dwiyanti, 2013):
a. Untuk kulit kering, pilihlah masker yang mengandung pelembab. Biasanya
akan tertera kata moisturizing, hydrating, dan nourishing. Manfaat untuk wajah
kering adalah membantu untuk memberikan kelembaban, melembutkan, dan
memberikan rasa nyaman pada kulit wajah.
b. Untuk kulit berminyak, pilihlah masker seperti clay mask, deep cleansing mask
atau masker yang mengandung ekstrak lemon (jeruk nipis). Masalah kulit
berminyak biasanya adalah komedo dan jerawat. Clay (tanah liat) mampu
menyerapa kelebihan minyak, kotoran dan racun dari kulit.
c. Untuk kulit normal, pilih masker yang sifatnya perawatan, menyegarkan, dan
menjaga kesehatan kulit seperti masker kolagen dan masker lumpur (mud
mask). Kolagen dapat menjaga elastisitas, mengencangkan dan juga
menghaluskan kulit wajah. Sedangkan lumpur kaya akan berbagai mineral
penting yang dibutuhkan kulit.
2.9.2. Bentuk-bentuk Masker
Masker terdiri atas berbagai macam bentuk. Berikut ini adalah macam-
macam masker dan penggunaannya (Muliyawan & Suriana, 2013) :
27
1. Masker Bubuk
Masker ini terdiri dari bahan serbuk (koalin, titanium dioksida,
magnesium karbonat), gliserin, air suling, hidrogen peroksida (H2O2).
Berfungsi memutihkan, mengencangkan kulit. Dalam penggunaannya, bahan
bubuk tersebut dicampurkan dengan aqua destilator atau air mawar, hingga
menjadi adonan kental. Dalam membuat adonan tersebut memerlukan keahlian
agar tidak terlalu cair maupun tidak terlalu kental dan mudah dioleskan pada
kulit wajah.
2. Masker Gelatin (Peel-off Mask)
Masker ini membentuk tembus terang (transparan) pada kulit. Bahan
dasar atau basis adalah bersifat jelly dari gum, latex, dan biasanya dikemas
dalam tube. Penggunaannya langsung diratakan pada kulit wajah. Adapun cara
mengangkatnya dengan cara mengelupas, diangkat pelan-pelan secara utuh
mulai dagu ke atas sampai jidat dan berakhir di dahi. Jenis masker yang ada di
pasaran biasanya tergantung merk, ada yang untuk semua jenis kulit ada yang
dibedakan berdasarkan jenis kulit.
3. Masker Bahan Alami (Biological Mask)
Masker ini dibuat dari bahan-bahan alami, misalnya ekstrak dari buah-
buahan atau sayur-sayuran, kuning telur, putih telur, susu, madu, minyak
zaitun, dan sebagainya.
2.9.3. Fungsi Utama Masker Wajah
Masker wajah berfungsi untuk meningkatkan kebersihan, kesehatan, dan
kecantikkan kulit sekaligus memperbaiki dan merangsang kembali aktivitas sel
kulit. Bahan kosmetik wajah pada umumnya bertujuan untuk menyegarkan,
mengencangkan kulit dan sebagai sumber tambahan antioksidan bagi kulit
(Kumalaningsih, 2006).
Kegunaan masker adalah sebagai berikut (Muliyawan & Suriana, 2013) :
a. Memperbaiki dan merangsang aktivitas sel-sel kulit yang masih aktif.
b. Mengangkat kotoran dan sel-sel tanduk yang masih terdapat pada kulit secara
mendalam.
c. Memperbaiki dan mengencangkan kulit.
28
d. Memberi nutrisi, menghaluskan, melembutkan, dan menjaga kelembaban kulit.
e. Mencegah, mengurangi, dan menyamarkan kerusakan-kerusakan pada kulit
seperti gejala keriput dan hiperpigmentasi.
f. Memperlancar aliran darah dan getah bening pada jaringan kulit.
2.10. Masker Peel-off
2.10.1. Definisi Masker Peel-off
Masker peel-off terbuat dari bahan karet, seperti polivinil alkohol atau damar
vinil asetat dan merupakan salah satu jenis sediaan masker yang praktis dan mudah
saat penggunaannya. Masker peel-off biasanya dalam bentuk gel atau pasta yang
dioleskan ke kulit muka. Setelah alkohol yang terkandung dalam masker menguap,
terbentuklah lapisan film yang tipis dan transparan pada kulit muka. Setelah
berkontak selama 15-30 menit, lapisan tersebut diangkat dari permukaan kulit
dengan cara dikelupas (Simms, 2003). Setelah kering masker tersebut dapat
langsung diangkat tanpa perlu dibilas. Masker peel-off bermanfaat dalam
membersihkan, menyegarkan, melembabkan, dan melembutkan kulit wajah karena
dapat mengangkat kotoran dan sel kulit mati. Dengan pemakaian teratur masker
peel-off dapat merileksasi otot-otot wajah dan mengurangi kerutan halus pada
wajah (Yulin, 2015).
2.10.2. Karakteristik Masker Peel-off
Karakteristik ideal sediaan masker peel-off (Grace et al., 2015):
1. Tidak terdapat partikel yang kasar.
2. Tidak toksik.
3. Tidak menimbulkan iritasi.
4. Dapat membersihkan dan mengencangkan kulit.
5. Memberikan efek lembab.
6. Membentuk lapisan film yang seragam.
7. Dapat kering pada waktu 5-30 menit.
8. Mudah digunakan dan tidak timbul rasa sakit.
29
2.10.3. Bahan-bahan Pembentuk Masker Peel-off
Pada umumnya, bahan-bahan yang digunakan dalam sediaan masker peel-
off antara lain:
a. Polivinil Alkohol (PVA)
Polivinil alkohol adalah polimer sintetis yang larut dalam air dengan
rumus (C2H4O)n. Polivinil alkohol umumnya dianggap sebagai bahan yang
tidak beracun. Bahan ini bersifat non iritan pada kulit dan mata pada
konsentrasi sampai dengan 10%, serta digunakan dalam kosmetik pada
konsentrasi hingga 7%(Rowe et al., 2009). Polivinil alkohol dikenal sebagai
agen pembentuk lapisan film, pendispersi, lubrikan, pelindung kulit,
digunakan pada formulasi gel dan lotion, shampo, tabir surya, masker, serta
beberapa aplikasi kosmetik dan perawatan kulit lainnya. Namun salah satu
kelemahan dari polivinil alkohol adalah lapisan film yang dihasilkan
cenderung lebih kaku dan memiliki fleksibilitas yang tergolong rendah
(Barnard, 2011).
Gambar 2. 3 Struktur Kimia Polivinil Alkohol (Pubchem, 2005)
b. Polivinil Pirolidon (PVP)
Penambahan polivinil pirolidon (PVP) K-30 sebagai plasticizer
agent bertujuan untuk meningkatkan kualitas dari lapisan yang dibentuk
oleh PVA. PVP K-30 memberikan pengaruh terhadap viskositas, daya
sebar, pH, elastisitas dan kekencangan dari sediaan masker peel-off
(Anggen, 2015). Rumus empiris (C6H9NO)n dan berat molekul 2500-
3.000.000. Povidone sebagai polimer sintetik yang pada dasarnya terdiri
dari gugus linier 1-vinil-2-pirolidon, derajat polimerisasi yang berbeda-beda
yang menghasilkan polimer dari berbagai berat molekul. Fungsinya sebagai
30
disintegrant, penambah disolusi, zat pensuspensi, tablet binder (Rowe et al.,
2009).
Gambar 2. 4 Struktur Kimia Polivinil Pirolidon (Pubchem, 2017)
c. Hidroksipropil Metilselulosa
Hidroksipropil Metilselulosa (HPMC) atau hipermelosa secara luas
digunakan sebagai bahan tambahan dalam formulasi sediaan farmasi oral,
mata, hidung, dan topikal. Selain itu HPMC juga digunakan secara luas
dalam kosmetik dan produk makanan. Kegunaan HPMC diantaranya
sebagai zat peningkat viskositas, zat pendsipersi, zat pengemulsi, penstabil
emulsi, zat penstabil, zat pensuspensi, sustained release agent, pengikat
pada sediaan tablet, dan zat pengental (Rowe et al., 2009). HPMC dikenal
memiliki sifat sebagai pembentuk film yang baik, serta memiliki
penerimaan yang sangat baik. HPMC akan membentuk lapisan film
transparan, kuat, dan fleksibel (Barnard, 2011).
Gambar 2. 5 Struktur Kimia Hidroksipropil Metilselulosa (Rowe et al.,
2009)
31
d. Propilen Glikol
Propilen glikol (C3H8O2) merupakan cairan bening, tidak berwarna,
kental, praktis tidak berbau, manis, dan memiliki rasa yang sedikit tajam
menyerupai gliserin. Propilen glikol telah banyak digunakan sebagai
pelarut, ekstraktan, dan pengawet dalam berbagai formulasi farmasi
parenteral dan non parenteral. Pelarut ini umumnya lebih baik dari gliserin
dan melarutkan berbagai macam bahan, seperti kortikosteroid, fenol, obat
sulfa, barbiturat, vitamin (A dan D), alkaloid, dan banyak anestesi lokal.
Propilen glikol biasa digunakan sebagai pengawet antimikroba, desinfektan,
humektan, plasticizer, pelarut, dan zat penstabil. Konsentrasi propilen glikol
yang biasa digunakan sebagai humektan adalah 15% (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 6 Struktur Kimia Propilen Glikol (Rowe et al., 2009)
e. Metil Paraben
Metil paraben (C8H8O3) banyak digunakan sebagai pengawet
antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi sediaan
farmasi. Metil paraben dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
paraben lain atau dengan zat antimikroba lainnya. Dalam kosmetik, metil
paraben merupakan pengawet yang paling sering digunakan. Kombinasi
yang sering digunakan adalah dengan metil, etil, propil, dan butil paraben.
Aktivitas metil paraben juga dapat ditingkatkan dengan penambahan
32
eksipien lain seperti propilen glikol (2-5%), phenylethyl alkohol, dan asam
edetic (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 7 Struktur Kimia Metil Paraben (Rowe et al., 2009)
f. Propil Paraben
Propil paraben (C10H12O3) berbentuk bubuk putih, kristal, tidak
berbau, dan tidak berasa. Propil paraben banyak digunakan sebagai
pengawet antimikroba dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi
sediaan farmasi. Propil paraben menunjukkan aktivitas antimikroba antara
pH 4-8. Efikasi pengawet menurun dengan meningkatnya pH karena
pembentukan anion fenolat. Paraben lebih aktif terhadap ragi dan jamur
daripada terhadap bakteri. Mereka juga lebih aktif terhadap gram positif
dibandingkan terhadap bakteri gram negatif (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 8 Struktur Kimia Propil Paraben (Rowe et al., 2009)
g. Carbopol
Carbopol 940 sering digunakan sebagai gelling agent pada sediaan
farmasi atau kosmetik (Zats & Kushla, 1996). Konsentrasi gelling agent
kurang dari 10 %, umumnya digunakan dalam rentang 0,5-2,0%. Carbopol
jenis ini, paling efisien dibandingkan jenis resin carbopol yang lain dan
memiliki sifat non-drip, serta dapat membentuk gel dengan viskositas yang
33
tinggi dan memiliki kejernihan sangat baik (Allen, 2002). Kelarutan
carbopol 940 sangat baik dalam air, alkohol, dan gliserin.
Gambar 2. 9 Struktur Kimia Carbopol (Rowe et al., 2009)
h. Gliserin
Gliserin atau gliserol memiliki sifat jernih, tidak berwarna, tidak
berbau, kental, higroskopis, dan memiliki rasa yang manis 0,6 kali
mendekati sukrosa. Gliserin memiliki kelarutan yang baik dalam air, etanol
(95%), dan metanol, sedikit larut dalam aseton, dan praktis tidak larut dalam
benzen, kloroform, dan minyak. Kegunaan gliserin meliputi pengawet
antimikroba, emollient, humektan, plasticizer, pelarut, pemanis, agen yang
mempengaruhi tonisitas. Konsentrasi gliserin sebagai humektan hingga
30% (Rowe et al., 2006).
Gambar 2. 10 Struktur Kimia Gliserin (Pubchem, 2004)
i. Etanol 96%
Etanol memiliki sinonim alkohol, etil alkohol, etil hydroxide,
grainalkohol, methyl carbinol. Etanol jernih, tidak berwarna, sedikit mudah
menguap, memiliki bau yang khas dan rasa terbakar. Etanol memiliki rumus
molekul (C2H6O) dan bobot molekul 46,07. Penggunaannya sebagai pelarut
dalam sediaan topikal sebanyak 60-90% sedangkan sebagai pengawet
penggunaannya ≥ 10%. Etanol 96% memiliki titik didih 78,15℃. Larutan
34
etanol tidak sesuai dengan wadah aluminium dan dapat berinteraksi dengan
beberapa obat (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 11 Struktur Kimia Etanol (Rowe et al., 2009)
j. Di-Natrium EDTA
Dinatrium EDTA berbentuk bubuk kristal putih, tidak berbau
dengan rasa sedikit asam. Dinatrium EDTA mempunyai rumus molekul
C10H14N2Na2O8 untuk anhidrat dengan berat molekul 336,2 g/mol,
sedangkan dihidrat mempunyai rumus molekul C10H18N2Na2O10 dengan
berat molekul 372,2 g/mol. Dinatrium EDTA digunakan sebagai agen
pengkelat dalam berbagai sediaan farmasi, termasuk obat kumur, tetes mata,
dan sediaan topikal, biasanya digunakan pada konsentrasi antara 0,005
sampai 0,1% b/v (Rowe et al., 2009).
Gambar 2. 12 Struktur Kimia Di-Natrium EDTA (Rowe et al., 2009)
35
2.10.4. Basis Gel Masker Peel-off
2.10.4.1. Definisi Gel
Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri
partikel anorganik kecil atau molekul besar yang tersuspensi dalam cairan dengan
penambahan gelling agent (Allen et al., 2011). Gel merupakan sistem semipadat
terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul
organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Farmakope Indonesia Edisi V,
2015). Gel merupakan sediaan bermassa lembek, berupa suspensi yang dibuat dari
zarah kecil senyawa anorganik atau makromolekul senyawa organik, masing-
masing terbungkus dan saling terserap oleh cairan (Formularium Nasional Edisi II,
1978).
2.10.4.2. Penggolongan Gel
1. Berdasarkan sifat fasa koloid (Lieberman, 1998), meliputi :
a. Gel anorganik, contoh : bentonit magma.
b. Gel organik, pembentuk gel berupa polimer.
2. Berdasarkan sifat pelarut (Lieberman, 1998), meliputi :
a. Hidrogel (pelarut air)
Hidrogel umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofilik
yang saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi
seperti interaksi ionik, ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik.
Hidrogel bersifat lunak, elastis sehingga meminimalkan iritasi karena
friksi pada jaringan sekitarnya. Kekurangan hidrogel yaitu memiliki
kekuatan mekanik dan kekerasan yang rendah setelah mengembang.
Contoh: bentonit magma, gelatin.
b. Organogel (pelarut bukan air/pelarut organik)
Contoh: dispersi logam stearat dalam minyak dan plastibase
(polietilen dengan BM rendah yang terlarut dalam minyak mineral dan
didinginkan secara shock cooled).
c. Xerogel
Xerogel adalah gel yang telah padat dengan konsentrasi
pelarut yang rendah. Kondisi tersebut dapat dikembalikan ke keadaan
semula dengan menambahkan agen pengimbibisi, dan
36
mengembangkan matriks gel. Contoh: gelatin kering, tragakan
ribbons, acacia tears, selulosa kering dan polystyrene.
3. Berdasarkan karakteristik cairan gel (gel hidrofilik dan gel hidrofobik)
a. Gel hidrofilik
Gel hidrofilik umumnya mengandung komponen bahan
pengembang, air, penahan lembab dan pengawet. Basis yang
dimiliki umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar
dan dapat dilarutkan dengan fase pendispersi. Kelebihan hidrofilik
dibanding hidrofobik yaitu sistem koloid hidrofilik lebih mudah
dibuat dan memiliki kestabilan yang lebih besar (Ansel, 1989).
Karakteristik gel jenis ini mempunyai aliran tiksotropik, tidak
lengket, mudah menyebar, mudah dibersihkan, kompatibel dengan
beberapa eksipien dan larut dalam air (Rowe et al., 2009).
b. Gel hidrofobik
Gel hidrofobik tersusun dari partikel-partikel anorganik, bila
ditambahkan ke dalam fase pendispersi maka akan terjadi interaksi
antara basis gel dan fase pendispersi (Ansel, 1989). Basis yang
dimiliki umumnya mengandung parafin cair dan polietilen atau
minyak lemak dengan bahan pembentuk gel koloidal silika atau
aluminium atau zink sabun (Lieberman, 1998).
4. Berdasarkan jumlah fasenya (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2014)
a. Sistem fase tunggal
Gel fase tungal terdiri dari makromolekul organik yang
tersebar serba sama dalam suatu cairan sedemikian hingga tidak
terlihat adanya ikatan antara molekul makro yang terdispersi dan
cairan. Walaupun gel ini umumnya mengandung air, etanol dan
minyak dapat digunakan sebagai fase pembawa. Sebagai contoh,
minyak mineral dapat dikombinasi dengan resin polietilena untuk
membentuk dasar salep berminyak.
37
b. Sistem dua fase
Jika massa gel terdiri dari jaringan partikel kecil yang
terpisah, gel digolongkan sebagai sistem dua fase (misalnya gel
aluminium hidroksida). Dalam sistem dua fase, jika ukuran partikel
dari fase terdispersi relatif besar, massa gel kadang-kadang
dinyatakan sebagai magma (misalnya magma bentonit). Baik gel
maupun magma dapat berupa tiksotropik, membentuk semipadat
jika dibiarkan dan menjadi cair pada pengocokan. Sediaan harus
dikocok dahulu sebelum digunakan untuk menjamin homogenitas.
2.10.4.3. Sifat Atau Karakteristik Gel
Sifat dan karakteristik gel adalah sebagai berikut (Lieberman et al.,
1989):
1. Swelling Gel
Dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat
mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan
berpenetrasi diantara matriks gel dan dan terjadi interaksi antara pelarut
dengan gel. Pengembangan gel kurang sempurna bila terjadi ikatan silang
antar polimer di dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan
komponen gel berkurang.
2. Sineresis
Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam massa
gel. Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan gel.
Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga
terbentuk massa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi
berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada
saat terbentuknya gel. Adanya perubahan pada ketegaran gel akan
mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan
cairan bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel
maupun organel gel.
3. Efek suhu
Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk
melalui penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi
38
setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer seperti methyl cellulose
(MC), dan hydroxypropyl methyl cellulose (HPMC) terlarut hanya pada
air yang dingin membentuk larutan yang kental. Pada peningkatan suhu
larutan membentuk gel. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase
disebabkan oleh pemanasan gel.
4. Efek elektrolit
Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh pada
gel hidrofilik dimana ion berkompetisi secara efektif dengn koloid
terhadap pelarut yang ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang
tidak terlalu hidrofilik dengan konsentrasi elektrolit kecil akan
meningkatkan rigiditas gel dan mengurangi waktu untuk menyusun diri
sesudah pemberian tekanan geser. Gel Na-alginat akan segera mengeras
dengan adanya sejumlah konsentrasi ion kalsium yang disebabkan
karena terjadinya pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium
alginat yang tidak larut.
5. Elastisitas dan rigiditas
Sifat ini merupakan karakteristik dari gelatin agar dan nitroselosa,
selama transformasi dari bentuk solid menjadi gel terjadi peningkatan
elastisitas dengan peningkatan konsentrasi pembentuk gel. Bentuk
struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan mempunyai
aliran viskoelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam tergantung dari
komponen pembentuk gel.
6. Rheologi
Larutan pembentuk gel (bahan pembentuk gel) dan dispersi
padatan yang terflokulasi memberikan aliran pseudoplastis yang khas,
dan menunjukkan jalan aliran non newton yang dikarakterisasi oleh
penurunan viskositas dan peningkatan laju aliran.
Recommended