View
228
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejahatan merupakan suatu fenomena yang komplek yang dapat dipahami
dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat
menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda
satu dengan yang lain. Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk
memehami kejahatan itu sendiri. Usaha memahami kejahatan ini sebenarnya telah
berabad-abad lalu dipikirkan oleh para ilmuan terkenal. Plato (427-347 s.m.)
menyatakan dalam bukunya „Republiek‟ menyatakan antara lain bahwa manusia
merupakan sumber dari banyak kejahatan. Sementara itu, Aristoteles (382-322
s.m.) menyatakan bahwa kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pembrontakan.
Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa yang perlu untuk
hidup, tetapi untuk kemewahan.1
Proses globalisasi serta pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam
kehidupan masyarakat, selain itu juga dapat mengakibatkan perubahan kondisi
sosial masyarakat, selain itu juga dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial
masyarakat. Yang mana pada dasarnya kehidupan di dunia ini tidak terlepas dari
perubahan terhadap suatu lingkungan, baik lingkungan fisik, lingkungan biologis,
maupun lingkungan sosial masyarakat. Pengertian dari perubahan sosial itu
sendiri antara lain perubahan-perubahan sosial merupakan suatu variasi dari cara-
cara hidup yang telah diterima yang disebabkan baik karena perubahan-
1Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010, Kriminologi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 1.
1
perubahankondisi geografis, kebudayaan materiil, komposisi penduduk, ideologi
maupun adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat
tertentu.2Menurut Soerjono Soekanto bahwa perubahan sosial adalah segala
perubahan pada lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang
mempergunakan sisitem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap,
dan pola-pola perikelakuan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.3
Perubahan sosial itu sendiri adalah dimana hal ini selain membawa dampak
positif juga membawa dampak negatif, dampak negatif dari pada perubahan sosial
ini juga merambah kearah perkembangan tindak kejahatan terutama dalam hukum
pidana. Salah satu tindak pidana penganiyaan terhadap hewan seperti penyiksaan
terhadap hewan sehingga, mengakibatkan hewan cacat atau menderita luka-luka
berat lainnya atau mati. Dalam hal ini tidak lagi memperhatikan kesehatan hewan
dan kesejahtraan hewan. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan
dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan,
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit, medik
reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan, serta
keamanan pakan. Sedangkan, kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang
berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku
alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari
perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan
manusia. Yang terjadi belakangan ini, perlakuan terhadap hewan baik itu,
pembunuhan, penganiyaan, dan penyalahgunaan dari hewan tersebut.
2Zainuddin Ali, 2006, Sosiologi Hukum, Cet.Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18.
3Soerjono Soekanto, 1987, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
51.
Indonesia sendiri telah memiliki peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai kesejahteraan hewan, yakni menggunakan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang
menentukan bahwa:
Pasal 66 ayat (1) ditentukan “Untuk kepentingan kesejahteraan hewan
dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan;
penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan;
pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar
terhadap hewan”. Dalam ayat (2) huruf c ditentukan bahwa “Pemeliharaan,
pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-
baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiyaan
dan penyalahgunaan, serta rasa takut, dan tertekan. Pada huruf g ditentukan bahwa
“Perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiyaan dan
penyalahgunaan”.
Dalam penjelasan Pasal 66 ayat (2) huruf c ditentukan bahwa, yang dimaksud
dengan “penganiayaan” adalah tindakan untuk meperoleh kepuasan dan/atau
keuntungan dari hewan dengan memerlakukan hewan di luar batas kemampuan
biologis dan fisiologis hewan. Dan yang dimaksud dengan “penyalahgunaan”
adalah tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan
dengan memerlukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan
peruntukan atau kegunaan hewan tersebut. Apabila terjadinya suatu tindak pidana
penganiayaan terhadap hewan, pejabat pegawai negeri sipil yang akan melakukan
pemeriksaan yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perternakan dan
kesehatan hewan sesuai denganPasal 84 ayat (2) huruf a Undang-Undang No.
18/2009 ditentukan bahwa “Melakukan pemeriksan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan
hewan.
Sedangkan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam
Pasal 302 menentukan bahwa:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan penganiayaan
ringan terhadap hewan;
1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas,
dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan
kesehatannya;
2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas
yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak
memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang
seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada bahwa
pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau
menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda
paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
Dari ketentuan peraturan perundang-undangan diatas dan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana bahwa terdapat sanksi tegas terhadap masyarakat (setiap
orang) yang melakukan penganiayaan dan penyalahgunaanhewan, bahwa
pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya, sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit,
rasa tertekan. Demikianjugapenggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan
dengan sebaik-baiknya, sehinggahewan bebas dari penganiayaan dan
penyalahgunaan seperti; sengaja menyakiti, melukai atau merusakkan kesehatan
hewan dengan tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari
hewan dengan memerlukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan
peruntukan atau kegunaan hewan tersebut yaitu dalam Pasal 302 menentukan
diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum,
yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum
(antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak
jelas.4Dalam UU NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dapat
ditemukan norma yang kabur dalam Pasal 66 ayat (2) huruf f yang menentukan
bahwa: “pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya
sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan, dan
penyalahgunaan”. Terjadi kekaburan norma antara apa yang disebut “pemotongan
dan pembunuhan” hewan dengan sebaik-baiknya, yang dimaksud Pasal 66 ayat
4Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 90.
(2) huruf f dan huruf g: perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari “tindakan
penganiayaan dan penyalahgunaan”. Norma yang kabur tersebut memunculkan
pertanyaan, apakah maksud pemotongan dan pembunuhan hewan dengan sebaik-
baiknya, sehingga bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan dan
penyalahgunaan, apabila terjadi suatu pemotongan dan pembunuhan tidak
menimbulkan rasa sakit, rasa takut dan tertekan. Begitu juga, dalam Pasal 66 tidak
ada ketentuan sanksi pidananya. Sehingga, kekaburan norma tersebut
menimbulkan ketidakpastian hukum atau bahkan kekonflikan hukum.Maksud
dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan yang menjamin kesejahteraan hewan dan bebas dari penganiayaan hewan.
Hal itu membingungkan pelakuyang memanfaatkan hewan karena dalam Undang-
undang tersebut menjamin kesejahteraan hewan, bebas dari penganiayaan dan
penyalahgunaan hewan.
Apabila kita lihat penjelasan diatas maka pelanggaran-pelanggaran terhadap
UU RI NO. 18/2009 ini tidak terlepas dari pelindungan hukum terhadap kesehatan
hewan dan kesejahtraan hewan tersebut terutama penerapan sanksi pidananya.
Dimana dalam penetapan sanksi pidana terhadap kejahatan penganiyaan pada
hewan itu harus dapat dibuktikan, karena dalam penetapan sanksi dalam suatu
perundang-undangan pidana bukanlah sekedar masalah teknis perundang-
undangan semata, melainkan ia bagian tidak terpisahkan dari substansi atau materi
perundang-undangan itu sendiri. Hal ini sangat perlu diperhatikan mengingat
berbagai keterbatasan serta kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi
kejahatan.
Masalah penetapan sanksi pidana ini tidak terlepas dari tujuan pemidanaan itu
sendiri atau tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan, dengan kata lain,
perumusan tujuan pemidanaan diarahkan untuk dapat mengukur sejauh mana
penerapan sanksi pidana itu dapat mencapai tujuan secara efektif. Meskipun jenis
sanksi untuk setiap bentuk kejahatan berbeda-beda, namun yang jelas semua
penerapan sanksi pidana harus berorientasi pada tujuan pemidanaan itu sendiri.
Tujuan hukum pidana itu sendiri adalah untuk membina kesadaran umum
dalam bersikap tindak yang serasi baik aspek lahir maupun aspek batin, karena
hanya dengan sikap tindak yang demikian kepintingan umum dan kepentingan
perorangan secara langsung dapat terlindungi gangguan peristiwa pidana.5Maka
dari itu, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan umum,
karena bila seseorang takut untuk melakukan perbuatan tidak baik karena takut
dihukum, maka semua mahluk hidup akan hidup dengan tentram dan aman.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa masyarakat turut memiliki
tanggung jawab untuk mendampingi pemerintah dalam upaya menegakkan
ketentuan-ketentuan perihal kesejahteraan hewan. Partisipasi masyarakat ini tentu
menjadi krusial karena saat ini penegakkan hukum di bidang kesejahteraan hewan
masih sangat jauh dari memadai.Namun, kendala lainnya adalah masih sangat
minimnya kesadaran dan kepedulian masyarakat Indonesia terhadap kesejahteraan
hewan.
Dengan melihat latar belakang diatas maka penulis ingin mengadakan
penelitian tentang “PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PENGANIAYAAN
5Purnadi Purbacaraka dan A. Ridwan Halim, 1989, Filsafat Hukum Pidana Dalam Tanya
Jawab, Cetakan Ketiga, Rajawali Pers, Jakarta, h. 21.
TERHADAP HEWAN DITINJAU DARI UU NO 18 TAHUN 2009 TENTANG
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DAN KUHP”.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang permasalahan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perternakan dan kesehatan hewan,
terutama dalam hal penerapan sanksi pidananya jelas terlihat ada ancaman pidana
bagi seseorang yang melakukan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap
hewan. Namun dalam kenyataannya hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi
bagi seseorang untuk melakukan penganiayaan dan penyalahgunaan terhadap
hewan tanpa memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan hewan tersebut. Hal
inilah yang membawa kepada suatu permasalahan yang diangkat dalam
pembuatan penelitian ini yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan penganiayaan terhadap hewan ditinjau dari UU RI
NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan KUHP ?
2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana penganiayaan terhadap hewan
ditinjau dari UU RI NO 18/2009 dan KUHP ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Di dalam suatu tulisan apabila ruang lingkup masalah tidak dibatasi maka
pembahasan akan menjadi tidak terbatas, dan di dalam pembahasan ini ruang
lingkupnya dibatasi sehingga tidak menyimpang dari pokok masalah.
Berdasarkan pada rumusan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya,
maka obyek kajian tulisan ilmiah ini ialah kesejahteraan hewan, kesehatan hewan
dan pertanggung jawaban pidana, yang mana dimaksudkan ialah penulis akan
mengkaji tentang apa yang dimaksud dengan penganiayaan terhadap hewan dan
sejauhmana pertanggungjawaban pidana terkait penganiayaan terhadap hewan
ditinjau dari Undang-Undang RI NO. 18/2009 tentang Perternakan dan Kesehatan
Hewan dan KUHP agar tercipta suatu perlindungan hukum serta tujuan dari pada
hukum pidana itu sendiri.
1.4 Orisinalitas Penilitian
Penulisan skripsi yang memfokuskan mengenai pertanggung jawaban pidana
penganiayaan terhadap hewan belum pernah ada sebelumnya di Fakultas Hukum
Universitas Udayana. Dalam penelusuran penulis ada judulyang mirip seperti:
1. Judul: Esistensi Pasal 302 KUHP Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan
Hewan di Indonesia, tahun: 2014, oleh: Epifanius Ivan dari Fakultas
Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, dan permasalahanya yaitu:
bagaimana tindak pidana penganiayaan terhadap hewan peliharaan yang
dilakukan oleh pemilik hewan peliharaan dan bagaimana eksistensi Pasal
302 KUHP terhadap tindak pidana penganiayaan hewan di Indonesia.
2. Judul: Proses Penyembelihan Hewan Dengan Metode Stunning Dalam
Persepektif Hukum Islam, tahun: 2014, oleh: Riadi Barkan dari Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan permasalahannya yaitu: apakah penyembelihan dengan cara
stunning(penyembelihan pada hewan yang dipingsankan terlebih dahulu
dengan mengunakan aliran listrik) telah mematuhi unsur ihsan terhadap
hewan, dan bagaimana pandangan islam mengenai penyembelihan dengan
cara stunning.
Dari hasil penelusuran judul skripsiyang mirip sebagai perbandingan masalah
yang diangkat dalam penelitiannya berbeda denganpenelitian yang dilakukan
penulis. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada pembahasan mengenai
pertanggung jawaban pidana penganiayaan terhadap hewan yang tidak
memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan hewan, dan permasalahan yang
diangkat penulis yaitu: bagaimana pengaturan penganiayaan terhadap hewan
ditinjau dari UU NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan
KUHP, dan bagaimana pertanggung jawaban pidana penganiayaan terhadap
hewan ditinjau dari UU NO 18/2009 dan KUHP. Karena, dalam penelitian ini
memperhatikan perlindungan terhadap kesehatan hewan dan kesejahteraan hewan
dalampemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan harus
dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus,
rasa sakit, dan rasa tertekan.
Demikianjugapenggunaan dan pemanfaatan hewan agar dilakukan dengan
sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan
seperti; sengaja menyakiti, melukai atau merusakkan kesehatan hewan dengan
tindakan untuk memperoleh kepuasan dan/atau keuntungan dari hewan dengan
memerlukan hewan secara tidak wajar dan/atau tidak sesuai dengan peruntukan
atau kegunaan hewan tersebut dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
1.5 Tujuan Penelitian
Setiap pembahasan pasti memiliki tujuan tertentu karena dengan adanya
tujuan yang jelas maka akan memberikan arah yang jelas pula untuk mencapai
tujuan tersebut. Adapun tujuan dari pembahasan ini adalah:
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah penganiayaan terhadap hewan dapat
dipertanggungjawabankan ditinjau dari UU RI NO. 18/2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan dan KUHP.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahuiperundang-undangan yang mengatur
mengenai penganiayaan terhadap hewan dalam hukum positif
di Indonesia.
2. Untuk mengetahui dan memahami sejauhmana pertanggung
jawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku penganiayaan
terhadap hewan ditinjau dari UU RI NO. 18/2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan maupun KUHP.
1.6 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum khususnya bidang hukum pidana dan
dapat dijadikan bahan referensi pada perpustakaan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi:
1. Bagi masyarakat bahwa melakukan penganiayaan terhadap
hewan dapat dipertanggungjawabkan pidana.
2. Bagi penegak hukum dapat membantu memberikan
sumbangan pemikiran dalam menangani dan menyelesaikan
kasus-kasus penganiayaan terhadap hewan.
3. Bagi pembentuk Undang-Undang dapat digunakan sebagai
refrensi dalam membuat kebijakan peraturan perundang-
undangan khususnya dalam penyempurnaan UU NO 18/2009
tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan maupun KUHP.
1.7 Landasan Teoritis
Indonesia dalam Undang – Undang dasarnya yakni Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia
berdasrkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machstaat)6. Sebagai suatu negara hukum indonesia memiliki karakter yang
6Eva Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua,Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.
cenderung untuk menilai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh masyarakat atas
dasar peraturan-peraturan hukum. Ini berarti bahwa Republik Indonesia adalah
negara hukum yang demokratis berdasarkan pancasila dan UUD NRI 1945,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan menjamin semua warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu tanpa ada terkecuali demi terciptanya
keadilan dan kesejahtraan dalam kehidupan manusia.
Dengan meningkatnya status kesejahteraan masyarakat dunia, terutama di
negara maju, meningkat pula kesadaran dan tuntutan terhadap penerapan
kesejahteraan hewan. Maka dari pada ituterdapat berbagai macam aturan atau
peraturan perundang-undangan yang mengatur peternakan, kesehatan hewan dan
kesejahteraan hewan di Indonesia. Yang mana salah satunya yang akan dibahas
dalam pembuatan penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009
tantang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Pasal 1 angka 2 UU NO 18/2009 pengertian tentang kesehatan hewan adalah
segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan,pengobatan hewan,
pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan,
penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan
peralatan kesehatan hewan, serta keamanan pakan. Dan dalam angka 4 ditentukan
bahwa “hewan peliharaan adalah hewan yang kehidupannya untuk sebagian atau
seluruhnya bergantung pada manusia untuk maksudtertentu”. Dimana pengertian
kesejahteraan hewan dalam Pasal 1 angka 42 ditentukan bahwa “kesejahteraan
hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental
hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan
ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak
terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
Sedangkan, dalam Bab IV bagian kedua mengenai kesejahteraan hewan
diatur pada Pasal 66 yang menentukan:
Pasal 66 ayat (1) ditentukan bahwa “Untuk kepentingan kesejahteraan hewan
dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan;
penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan;
pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar
terhadap hewan”. Dalam ayat (2) huruf c ditentukan bahwa “Pemeliharaan,
pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-
baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiyaan
dan penyalahgunaan, serta rasa takut, dan tertekan. Huruf gditentukan bahwa
“Perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiyaan dan
penyalahgunaan”.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai
penganiayaan hewan diatur dalam Pasal 302 menentukan bahwa:
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan
penganiayaan ringan terhadap hewan;
1. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas,
dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan
kesehatannya;
2. Barangsiapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas
yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak
memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang
seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada bahwa
pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2)Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau
menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda
paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
Dalam Perkembangan dunia saat ini menuntut penerapan kaidah-kaidah
kesejahteraan hewan di hampir setiap bidangseperti: produksi pangan, pertanian,
perdagangan, transportasi, konservasi satwa liar, penanganan penyakit, akrobat,
sirkus, dan lain sebagainya. Memang kesejahteraan hewan merupakan persoalan
sosial kompleks dengan banyak sisi, baik itu ilmu pengetahuan, ekonomi, agama,
maupun budaya.
Namun, dari kaca mata hukum di banyak negara, binatang bisa menjadi hak
milik seseorang atau bukan hak milik siapa pun. Pada era modern, hewan
diperlakukan sebagai subyek hukum, meskipun hewan tidak bisa menggugat
ataupun membela diri sendiri. Manusia mendominasi mahluk lain dan alam
sekitar dengan akal budinya, sehingga secara hukum hewan dibela oleh manusia7.
Dalam pengertian tindak pidana penganiayaan adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka
pada tubuh, yang akibat mana semata-mata merupkan tujuan si penindak.8 Unsur-
unsur yang harus dipenuhi dalam tindak pidana penganiayaan terhadap hewan
adalah “barangsiapa adalah setiap subyek hukum dengan sengaja menyakiti,
melukai, atau merusak kesehatan hewan dan perbuatan itu dilakukan tidak dengan
maksud yang pantas atau melawati batas yang diizinkan.Dalam hal ini tampak
jelas bahwa pengaturan mengenai kejahatan terhadap hewan yang dilakukan oleh
setiap orangdilarang untuk menyakiti, melukai, atau dengan merusak kesehatan
hewan yang tidak sesuai dengan peruntukan atau kegunaan hewan dan/atau
melewati batas yang diizinkan serta memiliki sanksi pidana bagi yang melanggar
ketentuan tersebut.
Kecuali pemotongan dan pembunuhan ialah mendapatkan izin dari pihak
yang berwenang, dimana dalam hal ini diatur dalam UU RI NO. 18/2009 pada
Pasal 61 ayat (1) pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus:
a. dilakukan dirumah potong; dan
b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan
masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
7Kesehatan Hewan Indonesia, Pasal Pidana Penganiayaan Hewan, URL :
http://tatavetblog.blogspot.com/2013/08/pasal-pidana-penganiayaan-hewan.html , diakses tanggal
5 Maret 2015. 8Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, Raja Grafindo Persada,
Jakarta,h. 12.
Dalam ayat (2) ditentukan bahwa: dalam rangka menjamin ketentraman batin
masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
harus memperhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut
masyarakat. Pada ayat (4) ditentukan bahwa: ketentuan mengenai pemotongan
sebagaimana yang dimaksudayat (1) huruf a dekecualikan bagi pemotongan untuk
kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.
Jadi jelas bahwa penganiayaan terhadap hewan yang dilakukan oleh setiap
orangharus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Apabila
terdapat pelaku yang melakukan penganiayaan terhadap hewan maka dapat
dikenakan sanksi pidana. Berkaitannya dengan judul skripsi yang ditulis
yaitu:“Pertangguang Jawaban Pidana Penganiayaan Terhadap Hewan Ditinjau
dari UU NO 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan dan KUHP”,
maka kiranya juga perlu dijelaskan menegenai pengertian dari pada pertanggung
jawaban pidana itu sendiri.Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika
sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana, mengenai hal ini juga ada
dasar yang pokok, yaitu: asas legalitas (Principle of legality), asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini
dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Moeljatno
mengatakan, “orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana)
kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Dengan demikian,
pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak
pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada
seseorang yang melakukan tindak pidana.9
Dalam penelitian ini penulis juga menekankan pada penerapan sanksi yang
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi di dalam pertanggungjawaban
pidana penganiayaan terhadap hewan, teori-teori yang mendukung yaitu teori
pertanggungjawaban pidana dan teori tujuan pemidanaan.
1) Teori Pertanggungjawaban Pidana
Dasar dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang
terdapat 4 unsur-unsurnya yaitu:
1. Melakukan perbuatan pidana;
2. Mampu bertanggungjawab;
3. Dengan kesengajaan atau kealpaan;
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Pertanggungjawaban pidana merupakan menjurus kepada
pemidanaan pelaku yang telah melakukan suatu tindak pidana dan
memenuhi unsur-unsur tindak pidana serta memenuhi unsur-unsur yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan
yang terlarang, diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut
melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka
hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dimintai
pertanggungjawaban.
9Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Kencana, h.19.
2) Teori Tujuan Pemidanaan
Ada beberapa teori tujuan pemidanaan yang dapat digunakan sebagai
landasan dalam penerapan sanksi pidana yakni terdapat 3 (tiga) teori
sebagai berikut:
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (absolute/vergeldings
theorieen);
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian theory);
3. Teori Gabungan (verenegings theorieen).
Masing-masing teori yang disebutkan diatasmemiliki alasan atau
dasar penjatuhan pidana yang berbeda-beda yaitu:
1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (absolute/vergeldings theorieen)
Meneurut teori ini, “tujuan pembalasan (revenge) disebut juga sebagai
tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri
maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan”.
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984:10, mengatakan
penjatuhan pidana itu dibenarkan semata-mata karena orang telah
melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana.
Beberapa pakar penganut teori ini, antara lain:
a. Immanuel kant
Immanuel kant berpendapat bahwa kejahatan itu mengakibatkan
ketidakadilan kepada orang lain, maka harus dibalas pula dengan
ketidakadilan yang berupa pidana kepada penjahatnya.
b. Hegel
“Hukum atau keadilan itu, merupakan kenyataan kemerdekaan.
Sehubungan dengan itu maka kejahatan merupakan ketidakadilan
(onrecht) yang berarti merupakan tantangan terhadap hukum dan
keadilan.
c. Hebart
Berpendapat bahwa kejahatan itu menimbulkan ketidak puasan kepada
masyarakat. Untuk melenyapkan ketidakpuasan masyarakat tersebut,
orang yang menimbulkan ketidakpuasan tadi (si penjahatnya) harus
dijatuhi pidana.
2. Teori Relatif atau Teori Tujuan (utilitarian theory)
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib
masyarakat dan akibatnya, tujuan pidana untuk prevensi terjadinya
kejahatan. Tujuan pidana adalah untuk mencegah kejahatan yang
dapat dibedakan atas:
a) Pencegahan umum (generale preventie), bahwa pidana itu
dimaksudkan untuk mencegah setiap orang yang akan
melakukan kejahatan.
b) Pencegahan khusus (speciale preventie), bahwa pidana itu
dimaksudkan agar orang yang telah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatan.
3. Teori Gabungan (verenegings theorieen)
Pada dasarnya teori gabungan ini adalah gabungan antara teori absolut
atau teori pembalasan denagn teori relatif atau teori tujuan. Jadi, dasar
pembenaran pidana dari teori gabungan adalah meliputi dasar
pembenaran pidana dari teori pembalasan atau teori tujuan yaitu baik
terletak pada kejahatanya maupun pada tujuan pidananya10
.
Dengan melihatteori diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan
adalah untuk menjerakan penjahat, membuat tak berdaya lagi si penjahat dan
memperbaiki pribadi si penjahat. Pada hakekatnya ketiga hal tersebut haruslah
membentuk suatu sinkronisasi yang dapat saling mendukung sata sama lain
sehingga nantinya selain dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan
juga dapat memperbaiki mental para pelaku kejahatan agar dikemudian hari dalam
masyarakat tidak mengulangi kejahatannya tersebut sehingga dapat menjadi orang
yang berguna dalam masyarakat. Sinkronisasi ketiga tujuan pemidanaan itulah
yang menjadi dasar diadakannya sanksi pidana.
1.8 Metode Penelitian
Metodelogi mempunyai beberapa pengertian, yaitu: logika dari penelitian
ilmiah, studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan suatu sistem dari
prosedur dan teknik penelitian. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa metode
penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk
10
Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Cetakan ke-1,
Alfabeta, Bandung, h. 53.
mengungkapkan kebenaran secara sistimatis, metodelogis, konsisten. Adapun
metode penelitian yang digunakan yaitu:
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
yakni hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum dikosepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang
dianggap pantas.11
Yang mana dalam hal ini hukum di konsepkan dalam
peraturan perundang-undangan sebagai norma yang harus
memperhatikan kesejahteraan hewan yang perlu diterapkan dan
ditegakkan untuk melindunggi hewan dari perlakuan setiap orang yang
tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
b. Jenis Pendekatan
Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan fakta (the fact approach) dan pendekatan perundang-
undangan (the statute approach). Pendekatan fakta (the fact approach)
adalah fakta-fakta yang terdapat dilapangan yang diamati dan
dikumpulkan secara metodis kemudian dijadikan bahan untuk menunjang
penelitian.
Sedangkan, pendekatan perundang-undangan (the statute approach)
adalah menelaah undang-undang, memahami hierarki dan asas-asas
dalam peraturan perundang-undangan. Bahwapendekatan perundang-
11
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum ,
Cetakan Ke-6, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.118.
undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga
negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.12
c. Sumber Bahan Hukum
Karena penelitian ini merupakan penelitian normatif, maka sumber
bahan hukum yang digunakan dalam pembuatan laporan ini adalah
sumber bahan hukum sekunder yang berupa bahan hukum, yang terdiri
atas:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945
b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
c) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009
Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
d) Peraturan Pemerintahan Republik Indonesia Nomor 95 Tahun
2012 Tentang Kesehatan Masyarakat Veterriner dan
Kesejahteraan Hewan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
meneganai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder dalam
laporan ini terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya
tulis hukum, dan materi-materi yang dapat diunduh dan diakses
melalui internet yang berkaitan dengan rumusan masalah.
12
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, h. 97.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum tersier dalam laporan ini terdiri atas Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Ensiklopedia.
d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitan
ini adalah teknik studi dokumen, yaitu mengutip secara langsung dari
literatur-literatur, dan perundang-undangan, serta analisis contoh-contoh
kasus yang ada, disertai dengan merumuskan inti sari dari bahan-bahan
pustaka dengan permasalahan penelitian.
e. Teknik Analisis
Teknik analisis merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan hukum
yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya.
Adapun teknik pengolahan bahan hukum yaitu setelah bahan hukum
terkumpul dapat digunakan berbagai teknik analisis. Teknik analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi,
dan teknik argumentasi.
Teknik deskripsi yaitu dengan memaparkan bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder apa adanya, yang mana nantinya dari uraian
tersebut akan digunakan untuk menjawab permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau
tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah
oleh penelitian terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan
norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun
dalam bahan hukum sekunder. Dan teknik argumentasi tidak bisa
dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada
alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan
permasalahan hukum makin banyak argument makin menunjukkan
kedalaman penalaran hukum.
Recommended