View
225
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia yang para anggotanya beraneka (bhinneka) baik dari sisi etnis, kultur,
dan agamanya, pernah memiliki kesepahaman, setidaknya itu tergambarkan dalam
pembukaan UUD ’45, yakni yang menyebutkan bahwa “kemerdekaan itu adalah hak segala
bangsa, karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri
kemanusiaan dan peri keadilan.” Adapun perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia
dapat mencapai penyataan (proklamasi) kemerdekaan atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa.
Dengan demikian pembukaan UUD ’45 itu dengan jelas menyatakan pengakuan akan
Allah yang “mahakuasa” dan “memberikan rahmat”. Hal itu menjadi sangat jelas dalam
ajaran Kristen dan Islam, keduanya sama-sama mengakui kebesaran kuasa dan
kemurahan/kasih Allah. Konsekuensinya pengenalan akan Allah akan mencerminkan
kehidupan yang menghayati kuasa dan kasih Allah itu. Kuasa dan kasih/kemurahan Allah itu
nyata misalnya dalam tindakan melawan hal-hal yang bertentangan dengan perikeadilan dan
perkemanusiaan, sebagaimana yang ada dalam penjajahan. Jadi Allah Yang Mahakuasa itu
berkehendak menolong dan membebaskan bangsa yang terjajah. Karena itu tidak heran Allah
diyakini menganugerahkan kemerdekaan (kepada bangsa Indonesia).
Dalam Kristen, Allah dalam Perjanjian Lama Allah telah membebaskan bangsa Israel
(yang dipimpin Musa) dari penjajahan Mesir, sebagaimana yang diperingati dalam Hari Raya
Paskah. Dalam Perjanjian Baru Paskah mengandung makna baru, yakni Allah membebaskan
umat manusia dari belenggu dosa dan maut melalui karya dan pengorbanan Yesus Kristus,
sehingga hubungan dengan Allah (Bapa) dapat dipulihkan. Sedangkan dalam Islam, Allah
menunjukkan rahmatNya dengan mengutus nabi atau rasul-Nya ke pelbagai bangsa dan
zaman, ditutup dengan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai nabi dan rasul terakhir kepada semua
manusia. Melalui wahyu yang disampaikan kepada Muhammad, Allah membebaskan
manusia dari kehidupan penuh dosa (dimulai dari kehidupan jahiliyah Arab pra-Islam),
sehingga hubungan yang benar (yang berserah dan taqwa) kepada Allah dapat ditegakkan.
©UKDW
2
Jadi jelaslah bahwa Allah dalam Kristen maupun Islam adalah Allah yang dikenal
kebesaran kuasa dan kasih/rahmat-Nya, yang dengan demikian juga senantiasa mengasihi,
menolong, dan membebaskan umat-Nya dari belenggu dosa. Jika Allah yang melawan
ketidakadilan itu adalah Allah yang sama, maka mestinya dikenal ciri-ciri pokoknya yang
serupa pula. Namun benarkah Allah orang-orang Kristen dan Allah orang-orang Islam adalah
sama? Karena baik Kristen dan Islam mengakui dan mengenal Allah-nya Abraham (Ibrahim),
maka tentunya Allah itu dimaksudkan sebagai Allah yang sama. Namun untuk lebih
memastikan lagi maka baiklah kita meneliti sifat-sifat yang paling utama dari Allah Kristen
dan Allah Islam itu, sebagaimana yang dihayati oleh masing-masing umat itu. Tulisan ini
bermaksud mendeskipsikan hasil penelitian itu.
Selanjutnya jika baik Kristen dan Islam menyembah Allah yang sama (sekali pun
caranya berbeda, sesuai pemahaman masing-masing), tentunya akan berpengaruh terhadap
penerapan kasih dan kuasa Allah dalam kehidupan umat-Nya. Demikian pula mestinya ada
kasih dan persaudaraan dan perdamaian yang tulus di antara kedua umat, serta kebersamaan
dalam bahu membahu melakukan kehendak Allah (seperti keadilan, kasih, kepedulian, dll)
dan menjauhkan yang tidak dikehendaki Allah (kejahatan, ketidakadilan, penindasan,
kemunafikan dan dosa-dosa lainnya). Memang hal-hal itu terlihat dalam kehidupan
masyarakat, misalnya dalam hal bahu-membahu membantu korban bencana alam, atau dalam
solidaritas sosial ketika ada warga negara yang teraniaya atau diperlakukan tidak adil. Namun
pengalaman di Indonesia tidak selamanya mencerminkan pengakuan terhadap kebesaran
kasih dan kuasa Allah tersebut. Ini terbukti dari sejumlah fakta berikut ini:
Pertama, dari sisi penghayatan internal, kita menjumpai pengagungan kebesaran Allah
itu bisa merupakan pengagungan kebesaran ‘diri sendiri’ atau ‘kelompoknya’. Terdapat
orang-orang yang mendirikan Gerejanya yang besar dan megah (melampaui jumlah
warganya) di tengah kesulitan Gereja lain mendirikan gedung yang sederhana. Gereja
semacam ini kurang peduli pada gereja lain, apalagi tempat ibadah agama lain yang
menyembah Allah yang sama. Orang juga “berziarah ke tanah suci” bukan untuk “ibadah”
tetapi untuk prestise atau untuk menaikkan pamor pribadi. Terdapat pula banyak tokoh agama
yang menyerukan ‘kasih sayang’ pada orang lain sementara dalam keluarganya sendiri ia tak
mampu menunjukkan kasih setia.
Kedua, dari sisi pemahaman eksternal. kita masih banyak menjumpai pandangan saling
“pengkafiran” satu terhadap lain antara penganut agama Kristen dan Islam. Orang Kristen
©UKDW
3
memandang saudara sebangsanya yang beragama Islam sebagai orang kafir, dan orang Islam
memandang saudara sebangsanya yang beragama Kristen sebagai kafir pula. Jika pandangan
“pengkafiran” itu memang didasarkan pandangan agamanya sendiri secara mendalam dan
didasarkan pengertian yang tepat tentang ajaran agama lain, maka pandangan itu sah-sah saja
(asal tidak sampai melakukan kekerasan atau penindasan tanpa dasar). Namun yang patut
disayangkan ialah sikap “pengkafiran” itu agaknya justru berdasarkan pemahaman yang
kurang utuh tentang agama lain, dan bisa jadi juga pemahaman yang kurang mendalam
tentang agamanya sendiri.
Sejumlah pengalaman maupun peristiwa menandai sinyalemen itu. Jika seorang
keluarga Kristen menyalakan televisi di rumah dan tidak ada yang menontonnya, kerap
dijumpai saluran diganti (atau setidaknya volume diperkecil) ketika sedang ada tayangan
adzan. Bukan karena ada program lain yang lebih penting, namun itu lebih karena perasaan
tidak nyaman terhadap ibadah agama Islam, seolah-olah yang dimuliakan itu adalah Allah
khusus Islam yang bukan Allahnya orang Kristen.
Demikian pula jika ada pembangunan tempat ibadah agama lain di daerahnya, orang
Islam maupun Kristen akan merasa terusik, seolah-olah pembangunan tempat ibadah itu
sudah pasti akan mengganggu kerukunan. Bahkan kehadiran kelompok agamanya sendiri
yang berbeda dalam sejumlah ajarannya rasanya ingin ditolak eksistensinya dan hak hidup
beragamanya di Indonesia (seperti kehadiran kelompok Ahmadiyah dan Islam Syiah oleh
sejumlah ormas Islam dan kelompok Saksi Jehovah oleh sejumlah Gereja-gereja di
Indonesia).
Dengan (sadar atau tidak sadar) menilai saudara sebangsanya yang berbeda (agama) itu
“kafir”, maka pembenaran terhadap tindakan-tindakan intoleran makin mendapat tempat,
apalagi pada saat penegakan hukum dan keadilan di Indonesia masih lemah.
Kenapa proses “pengkafiran” dan tindakan-tindakan intoleran itu dapat terjadi?
Diasumsikan, semua itu terjadi akibat “konstruksi berpikir” yang sudah tertutup untuk lebih
mengerti dan memahami liyan, dalam hal ini ajaran agama lain (Kristen atau Islam). Dalam
kerangka berpikir yang tertutup itu, pemahamannya akan mandeg pada keterbatasan
informasi awalnya. Celakanya lagi, informasi awal tentang ajaran Islam itu didapatkan hanya
dari sesama orang Kristen, dan informasi awal tentang ajaran Kristen hanya didapatkan dari
sesama orang Islam. Informasi yang bukan dari sumber primer semacam itu tentu riskan
dengan bias-bias serta kesalahpahaman.
©UKDW
4
Sebagai contoh, di Indonesia saat ini (tahun 2013) dengan penduduk mayoritas Muslim,
ajaran tentang Allah seperti “Trinitas” itu masih sulit dimengerti, baik oleh orang Kristen
sendiri, apalagi oleh orang Islam. Orang Islam memahami Al-Qur’an sendiri memuat kritik
terhadap Trinitas dan terhadap ke-Tuhan-an Yesus. Namun apakah telah cukup kajian yang
memadai dalam konteks apa firman kepada Muhammad itu diturunkan? Akibatnya
kurangnya informasi pelengkap maka terjadi kesalahpahaman, penghakiman, dan sikap
“pengkafiran”. Bahkan dalam hubungan yang baik pun dalam hati masih dapat tersimpan
“ganjalan” akan masalah ini.
Sebaliknya oleh sekelompok golongan Kristen, bahasa yang “baik-baik” seperti kasih,
karunia, syalom, dsb sering disangka merupakan “monopoli” orang Kristen (padahal, dalam
pengucapan yang berbeda namun dalam makna yg serupa, terdapat juga di Islam). Islam
sendiri tak jarang dihubungkan dengan hal-hal yang sebenarnya justru tidak Islami, seperti
terorisme, kekerasan, dendam, dll. Hal itu berdampak terhadap penilaian serta sikap negatif
berlebihan terhadap (ajaran) agama lain, khususnya dalam hal ini Islam.
Ajaran agama Islam yang komprehensif juga tak jarang kurang dipahami dengan baik
oleh banyak orang Islam sendiri, apalagi oleh orang Kristen. Salah satu penyebabnya ialah
sudah adanya apriori terhadap agama Kristen, pertama-tama akibat warisan memori sejarah
Perang Salib. Misalnya sebagaimana yang disebutkan Th. Van den End dan Christiaan de
Jonge:
Akibat-akibat Perang-perang Salib terhadap hubungan Kristen-Islam pada umumnya
sangat negatif. Gambaran orang-orang Islam tentang orang Kristen Barat berbeda sekali
dengan gambaran mereka tentang orang Kristen Timur. Orang Kristen Timur dihormati
sebagai orang yang berkebudayaan tinggi, tetapi orang-orang Barat dianggap biadab.
Perang-perang Salib hanya membenarkan gambaran ini. Di mata orang-orang Islam di
Palestina orang-orang Kristen dari Barat adalah orang-orang yang kejam, yang hanya
tahu membunuh dan merampok. Mereka sama sekali tidak menghormati orang-orang
Islam, yang sering dibunuh (sebab dianggap dikuasai iblis) atau dijadikan budak. Lebih
buruk lagi ialah agresi ini dilakukan dalam nama Kristus, Raja Damai….1
Dengan demikian benarlah analisis yang dikemukakan Th. Van den End: Bagi orang
Kristen Indonesia, kurun waktu (Perang Salib) ini termasuk prasejarah gereja (di Indonesia).
Akan tetapi, bagi orang-orang Islam, khususnya di Timur Tengah (yang pandangannya
1 Th. Van den End,, dan Christiaan de Jonge, Sejarah Perjumpaan Gereja dan Islam, (Jakarta: Sekolah
Tinggi Teologi Jakarta, 1997), h.81.
©UKDW
5
belakangan ini makin bepengaruh di Indonesia):2 zaman itu bukan zaman yang telah lewat,
melainkan masa ngeri yang selalu dapat muncul kembali. Sekaligus rasa ngeri ini menjadi
dorongan untuk melancarkan serangan balasan, yakni perang sabil (suci) Islam yang
dilakukan oleh orang-orang Turki Otoman untuk menyerbu daerah dar al-harb, daerah
perang, untuk menjadikannya dar al-Islam.3 Apalagi, di samping memori perang salib, pada
masa kolonial sebagian besar dunia Islam dijajah oleh dunia barat. Dengan demikian hingga
kini pun di Indonesia, khususnya di kalangan kelompok Islam yang dipengaruhi ajaran dari
Tiimur Tengah, masih terbawa memori permusuhan dengan penjajah Belanda (yang begitu
saja sering dihubungkan dengan agama Kristen).
Sementara itu memori sejarah perjumpaan nabi Muhammad dengan orang Nasrani
kurang dikenal baik di kalangan Islam fundamentalis.4 Demikian pula ajaran Kristen.
Akibatnya sikap yang menganggap penting tauhid, amal, iman, taqwa, ihsan5, dan
sebagainya dianggap hanya ada dalam agama Islam (padahal, dalam pengucapan yang
berbeda namun dalam makna yang serupa, terdapat juga dalam ajaran iman Kristen).
Padahal Budhy Munawar-Rachman, mengutip Ibn Taimiyyah, sebagaimana yang dikutip
oleh Nurcholish Madjid dalam Islam dan Hanifiyyah,6 menyebutkan bahwa pembicaraan
2 Mereka memiliki pandangan tentang sejarah ala Timur: “Sejarah adalah warisan masa lampau yang
tetap aktual, sehingga tidak terlalu penting kapan sesuatu terjadi pada zaman dahulu”.
3 Ibid., h.81-82.
4 Patut diingat bahwa Muhammad pun mendapat peneguhan dari Waraqah, seorang pendeta Nasrani
Arab, paman Khadijah, istrinya. Ketika pada awal perjuangannya para pengikut Muhammad s.a.w. dalam
pelarian karena dikejar orang Quraisy, mereka juga mendapat perlindungan dari kaum Habasyah (Ethiopia)
yang menganut agama Nasrani. Lihat “Muqaddimah”, dalam Al-Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: Departemen
Agama Republik Indonesia), 1994, h.61, serta juga Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir Al-
Quranul Majid An-Nur, jilid 1, (Jakarta: Cakrawala Publishing), 2011, h.6.
5 Ihsan di sini adalah “ajaran tentang penghayatan pekat akan hadirnya Tuhan dalam hidup melalui
penghayatan diri sebagai sedang menghadap dan berada di depan hadirat-Nya ketika sedang beribadat….Ihsan
adalah puncak tertinggi agama manusia.” Lihat Budhy Munawar-Rachman, “Kesatuan Transendental dalam
Teologi: Perspektif Islam tentang Kesamaan Agama-agama”, dalam Dialog: Kritik & Identitas Agama, ed. oleh
Th. Sumartana, dkk., (Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei), 1993, h.128 , mengutip dari “Iman, Islam, Ihsan:
Trilogi Ajaran Illahi” makalah KKA Paramadina ke-65, 1992, h.14.
6 Makalah yang tidak diterbitkan, 1993, h.4-5.
©UKDW
6
soal Islam, iman, taqwa, dan ihsan, dapat diringkas sebagai “soal-soal keimanan universal”,
sekalipun memerlukan realisasi ritus (ibadah).7
Di sisi lain keengganan untuk berdialog menjadikan Islam kurang dapat dipahami
dengan baik. Akibatnya Islam pun sering disalahpahami bahkan dicurigai. Apalagi muncul
pula sikap “pengkafiran” terhadap agama Islam, yang menilai Allah orang Islam sebagai
berhala (terutama oleh sekelompok orang Kristen yang mengagungkan nama Yahweh).8
Menurut Ma’arif Jamuin, dialog antar agama (bahkan) bisa dijadikan salah satu cara
untuk resolusi konflik.9 Memang upaya-upaya dialog telah dilakukan, khususnya di antara
kalangan sebagaian cendekiawan Islam dan kalangan pemikir Kristen. Upaya-upaya dialog
itu telah mampu mengurangi kesalahpahaman, serta menemukan titik temu terutama dalam
format kerjasama lintas iman. Namun dialog itu umumnya belum menyentuh hal yang
mendasar, seperti tentang ’Allah’, yang diyakini merupakan sumber segala sumber iman dan
agama. Dengan demikian upaya dialog itu masih menyisakan sejumlah prasangka yang
berarti.
Terdapat beberapa alasan kurang didalaminya ajaran yang mendasar tentang Allah
dalam forum dialog. Yang utama ialah kecurigaan motif: Umat Islam banyak yang masih
menaruh curiga bahwa upaya dialog ini adalah bentuk lain dari Kristenisasi. Sementara umat
Kristen banyak yang menaruh curiga bahwa dialog hanya mencari harmoni dengan Islam
dengan mengabaikan kekhasan iman Kristen, sehingga akan membawa kepada sinkretisme
yang menyesatkan.
Di samping itu ada pula alasan bahwa ”Keyakinan tentang Allah bersifat pribadi”:
Hal-hal teologis yang bersifat iman yang mendasar merupakan “aurat” yang milik pribadi,
tidak untuk dibuka-buka kepada pihak yang berbeda.10
Validitas alasan ini agaknya perlu
7 Budhy Munawar-Rachman, “Kesatuan Transendental dalam Teologi: Perspektif Islam tentang
Kesamaan Agama-agama”, dalam Dialog: Kritik & Identitas Agama, ed. oleh Th. Sumartana, dkk.,
(Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei), 1993, h.128.
8 Misalnya dengan diterbitkan dan disebarluaskannya buku tulisan G.J.O. Moshay, Who is this Allah.
(Garden Grove: Overseas Ministry), 1995, yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
9 Ma’arif Jamuin, Manual Advokasi, Resolusi Konflik antar Etnik dan Agama, (Solo: CISCORE, 1999),
h.106-108 dan h.115-126
10 Misalnya lihat Emha Ainun Nadjib, “Dialog Antar Agama dan Batas-batasnya”, dalam Dialog:
Kritik & Identitas Agama, ed. oleh Th. Sumartana, dkk., (Yogyakarta: Penerbit Dian/Interfidei), 1993, h.161.
©UKDW
7
direnungkan kembali, karena bukankah keyakinan terhadap Allah terkait dengan semua aspek
kehidupan? Dalam kehidupan bersama wajarlah manusia sebagai makhluk sosial memiliki
naluri untuk berbagi (sharing), dan sebagai orang yang percaya kepada Allah adalah wajar
untuk menghubungkan kehidupannya dengan keyakinannya kepada Allah.
Selain itu, tak dapat dipungkiri bahwa tidak dibicarakannya ajaran tentang Allah
dalam forum dialog juga karena sudah ada prasangka theologis: ada keyakinan bahwa iman
tentang Allah kita sepenuh berbeda (misalnya Allahnya orang Kristen itu tiga, sementara
Allah Islam satu).11
Membicarakan perbedaan tentunya malah memperuncing bibit-bibit
permusuhan, sehingga akan kontraproduktif. Pandangan ini berpendapat bahwa toleransi
dapat dibangun dengan menerima saja adanya perbedaan yang harus saling dihormati dan
tidak saling dicampurkan.12
Namun bagaimana kita tahu bahwa kita berbeda kalau tidak
pernah sungguh-sungguh berdialog? Kalau dalam dialog ditemukan banyak perbedaan, itulah
tempat untuk saling menghargai. Namun saya percaya sebenarnya jauh lebih banyak titik
temunya, jika dialog dilakukan dengan ketulusan dan keterbukaan hati.
Dalam penelitian ini akan dicari titik temunya dengan memahami “kebesaran Allah”,
Adanya ”kebesaran Allah” ini nampak dengan sama-sama terbiasa menyebutkan Allah
dengan kata ’maha’. Dalam menyebutkan Allah itu, umat Islam maupun Kristen
menggunakan sifat/atribut yang positif/besar/agung, seperti Mahakuasa, Mahatahu, Mahaesa,
Maha Penyayang, Maha Adil, dsb. Jadi terhadap Allah tidak mungkin dikenakan atribut atau
yang sifatnya rendah/kecil, seperti mahatakut, mahajahat, mahabodoh, mahaacuh, dsb. Dalam
tulisan ini istilah ’kebesaran’ ini dimaksudkan sebagai ’kemahaan’ dalam sifat/atribut yang
positif. Jadi mahakasih artinya kasihnya terbesar, mahakuasa artinya kuasanya terbesar
11 John Hick membagi fase-fase pemahaman iman Kristen ke dalam tiga fase. Fase pertama, pada abad
pertengahan, ialah fase penolakan total, dinyatakan bahwa orang-orang non-Kristen pasti masuk neraka. Sikap
terhadap kepercayaan lain yang sepenuhnya negatif ini jelas-jelas berhubungan dengan ketidakmengertian
mereka. Tentu saja pada periode Pertengahan ada kontak antara Kristen dan Islam tetapi itu adalah kontak
militer, bukan dialog religius atau saling menggali spiritualitas satu dengan yang lain. Konsepsi tentang Islam
yang disimpangkan oleh banyak orang Kristen dilawan dengan konsepsi tentang Kristen yang disimpangkan
oleh banyak orang Islam. Lihat John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, terj. Amin Ma’ruf dan Taufik
Aminuddin (Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei), 2006, h.23-25.
12 Lihat Syarifuddin R. Gomang, “Dakwah Islam Kontekstual”, dalam Allah Akbar, Allah Akrab,
Pembinaan Kerukunan Antarumat Beragama Yang Berbasis Konteks NTT, ed. oleh Philipus Tule, (Maumere:
Ledalero), 2003, h.113.
©UKDW
8
melampaui yang lain. Demikian pula ’mahatahu’ artinya Ia memiliki pengetahuan
terbesar/terbanyak, ’maharaja’ artinya Allahlah Raja yang terbesar, dsb.
Di samping alasan-alasan tersebut, banyak yang menghindari dialog teologis karena
lebih memilih dialog karya dengan kerjasama antarumat beragama, misalnya dalam tanggul
bencana atau dalam aksi kemanusiaan lainnya. Ini lebih menyentuh suasana kekeluargaan dan
tetap memelihara perbedaan dalam kebersamaan. Tentu ini pilihan yang baik. Namun motif
dan cara melakukan tindakan kemanusiaan bukankah bersumber dari bagaimana penghayatan
relasi seseorang dengan Allahnya? Saya percaya bahwa jika dialog teologis dilakukan dengan
sikap yang benar (tulus, terbuka, dan saling menghargai) dapat makin menguatkan dialog
karya.
Pada akhirnya alasan keberatan untuk berdialog (tentang Allah) dapat muncul
didasarkan pendapat bahwa pada dasarnya adalah mustahil mencari persamaan agama yang
jelas berbeda. Daripada membuang waktu, daya, dan dana untuk mendialogkan iman/agama,
lebih penting meningkatkan sikap toleran terhadap penganut agama yang berbeda (bersikap
rukun).13
Justru permasalahannya, kerukunan yang dipaksakan dapat mengakibatkan sikap
dualistis. (Dualistis dalam hal ini ialah bersikap rukun bila bertemu lintas agama, namun
bersikap bermusuhan bila ada dalam lingkungan seagama.) Tujuan dialog teologis ini agar
terbangun pengenalan dan pemahaman yang lebih otentik dan tulus.
Dengan demikian semua keberatan terhadap dialog yang dikemukakan di muka,
menurut pemahaman saya, kurang kuat. Sebenarnya ada banyak titik temu dalam menghayati
Allah orang Kristen dan Islam. Jika iman itu didalami lagi, sebenarnya justru akan banyak
kesalahpahaman disadari dan diluruskan. Malahan penyebutan Allah dalam ajaran Kristen
dan Islam sebenarnya banyak yang paralel, meskipun digunakan dalam kesempatan yang
berbeda dan dengan maksud yang tidak persis sama. Misalnya penyebutan Allah yang “Maha
Pemurah” lagi “Maha Penyayang/Maha Pemurah” (Bismillahir-Rahmanir-Rachim) sejalan
dengan teks liturgi PL “Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Konsep
’salam’ bahkan ’Islam’ sendiri sebenarnya secara etimologis satu rumpun dengan kata Ibrani
’syalom’, yang sangat dikenal dalam tradisi Kristen. Sifat-sifat Allah yang lekat dengan
13 Bambang Subandrijo, sebagai contoh saja, sekalipun pada awalnya menyebutkan pencarian titik
temu ajaran tentang keesaan Allah, pada akhirnya mengatakan: “Ketimbang memperdebatkan doktrin tentang
Allah dan Kristologi, akan lebih baik melakukan perintah-perintah Allah dan mengikuti teladan Yesus.” Lihat
Bambang Soebandrijo, Berjalan Seiring, Mencari Titik Temu, makalah, Yogyakarta, 2008.
©UKDW
9
‘kekuasaan’ dan ’keadilan’, dan ’kepedulian-Nya kepada kaum miskin’ ~yang juga
diamanatkan kepada manusia~ sangat kental mewarnai baik ajaran Kristen maupun Islam.
Di sisi lain, sebenarnya penghayatan akan nama Allah itu semestinya terekspresikan
di Indonesia. Dalam praktek masih terdapat banyak kesenjangan dalam praksis iman Kristen
dan Islam di Indonesia. Di samping itu, penghayatan iman terhadap Allah itu mestinya
berdampak terhadap pengamalan iman secara bersama-sama dalam menghadapi
permasalahan di Indonesia.
Sebagai kerangka dasar untuk membangun teologi yang menghubungkan tentang
(kebesaran) Allah dari pandangan Kristen dan Islam, saya pertama mengambil gagasan David
Brown dalam bukunya Tradition & Imagination, Revelation & Change. Hal pertama yang
relevan di sini ialah Brown melihat bahwa bahasa (berarti juga “penyebutan”) bukan
merupakan realitas pada dirinya sendiri, tetapi hanya menunjuk pada sesuatu (realitas itu).
Dalam konteks “penyebutan Allah dengan segala atributnya”, sebenarnya terkandunglah
sesuatu yang lebih dalam atau pun jauh daripada “sebutan” yang tersurat. Karena itu para
penyembah Allah perlu melakukan pencaharian yang berkelanjutan untuk menemukan
sesuatu yang lebih mendalam daripada sekedar kata atau nama. Pencarian itu dapat lebih
mudah dilakukan secara bersama daripada hanya mencari sendiri. Karena itu melakukan
dialog merupakan sesuatu yang penting dalam memperdalam suatu pemahaman, termasuk
memahami “Allah”. Pertanyaannya kemudian ialah: dengan siapakah orang berdialog? Hanya
dengan penganut agama yang samakah, atau juga perlu berdialog dengan penganut agama
lainnya?
Selanjutnya Brown, melalui pendekatan postmodernisme, melihat khususnya
kesinambungan sejarah Yahudi-Kristen-Islam sebagai peluang untuk dialog. Dialog di sini
dalam arti saling mencerahkan melalui refleksi teologis, terutama terkait dengan kandungan
moralnya yang relevan (bukan untuk mencari kemurnian pewahyuan). Brown berpendapat
bahwa apa yang datang lebih kemudian daripada Kristus dalam agama selain Kristen tetap
dapat menerangi dan memberi informasi kepada agamanya sendiri (agama Kristen).
Brown juga mengungkapkan bahwa adanya metoda “pembatalan” pada (tafsir teks-
teks) Al-Quran dan Hadits telah menarik perhatian kita kepada suatu jalan di mana
lingkungan yang baru mengembangkan prinsip-prinsip baru. Sementara karakter mendalam
yang terkandung dalam Hadits mengingatkan kaum beriman bahwa pemberlakuan suatu
©UKDW
10
ajaran tidak pernah dapat diterapkan (secara harfiah) berdasarkan ‘rasionalisme ala
Pencerahan’ semata. Karena itu pemberlakuannya membutuhkan pula pikiran untuk
mengintegrasikan kesimpulan-kesimpulan yang sama ke dalam praktik imajinatif sehari-hari
seorang beriman. Brown menyarankan pembaca Kristen untuk melihat Islam sebagai pola
pengembangan kreatif yang serupa dengan Yudaisme dan Kekristenan.
Pada akhirnya Brown menyimpulkan bahwa satu-satunya jalan menuju dialog yang
bermakna adalah melalui pengenalan, yang olehnya orang-orang Kristen bisa belajar,
sebagaimana juga bisa memberi. Bagian dari pengenalan tersebut dapat nampak dari
kesediaan untuk mendengar bagaimana Allah dapat berbicara melalui tradisi Islam.
Pola dialog yang berisi “belajar dan memberi” tersebut tentu juga sudah terjadi pada
agama Islam sendiri, melalui teladan Nabi Muhammad yang terjadi melalui keluarganya dan
para pendukungnya yang berlatar belakang Nasrani (Kristen) dan beliau pun (menganjurkan)
belajar dari para ahlul kitab (bandingkan Qs Yunus/10:94) , namun juga memberikan umpan
balik jika menemui hal yang berbeda. Nurcholish Madjid (Cak Nur) juga menjelaskan bahwa
karena antara kaum beriman dan kaum Ahl al-Kitab tidak ada perbedaan yang terlalu jauh,
maka sesungguhnya antara mereka itu dapat saling belajar. Kaum Muslim hendaknya
mempelajari dan menarik hikmah dari kitab-kitab suci lama, dan kaum Ahl-al-Kitab
mempelajari al-Qur’an.
Tentu juga, pengenalan yang dialogis ini tentu berdampak pada ditemukannya
pelbagai kesamaan. Sebagaimana disampaikan oleh Djohan Effendi: “Islam mengakui adanya
titik-titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama khususnya agama-agama samawi,
yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa sebagai landasan untuk hidup bersama”
(bdk. QS: III, Ali Imran, 63-64).
Tentu menemukan persamaan ini tidak mengingkari adanya perbedaaan-perbedaan,
namun perbedaan itu tidak dilihat dalam kacamata zaman Pencerahan yang menghakimi yang
lain, namun sebagai kekayaan yang kreatif dari sudut pandang berbeda karena konteks harian
yang berbeda pula yang umum dipakai orang dalam pada era postmodern kini.
Melalui kesediaan belajar dari agama lain, selain kita dapat menemukan kesamaan
dan lebih memahami perbedaan, kita juga dapat memperdalam nilai atau praksis agamanya
sendiri. Melalui tradisi, cara pandang, pengalaman nyata, serta pergumulan yang berbeda dari
penganut agama lain, seseorang dapat justru menemukan kedalaman suatu kebenaran yang
©UKDW
11
sebenarnya ada pada agamanya sendiri yang telah ‘terkubur’ atau ‘tercecer’ oleh arus zaman
atau konteks tertentu.
Untuk “mengambil kedalaman” itu saya mengacu pada Frithjof Schuon (dalam The
Transscendent Unity of Religions,1975), ahli metafisika pengikut tokoh sufi Ibn ‘Arabi. Bagi
Schuon, keragaman sebagai “yang banyak” adalah aspek luar (outward aspect) alam ini, yang
keberadaannya amat penting demi melihat fenomena menurut realitas terdalam (inward
reality) dari keragaman ini, yang menyebabkan lahirnya bermacam-macam jenis dan bentuk
yang berbeda sebagai manifestasi dari Yang Satu (the One). Dengan kata lain, tanpa
keragaman atau “yang banyak” realitas terdalam dari Yang Satu atau hakikat ketuhanan tak
akan diketahui ciptaan (makhluk).14
Demikian pula Schuon menjelaskan istilah realitas terdalam tersebut sebagai segi
“esoteris”: Bagi Schuon, kenyataan kemajemukan keberagaman bukan saja dikarenakan ada
berbagai agama melainkan karena juga karena di dalam satu agama pun terdapat
kemajemukan. Bukan saja karena adannya pelbagai aliran dalam satu agama, tetapi
dikarenakan adanya pemisahan secara horisontal dari setiap agama menjadi esoteris dan
eksoteris. Dan hal tersebut menurit Schuon merupakan kenyataan yang tak dapat dihindari.
Hal tersebut dikarenakan bahwa setiap agama pasti tersusun dari kedua hal tersebut,
eksoteris. Eksoteris adalah segi bentuk dari setiap agama (lembaga, wadah), sedangkan
esoteris adalah segi hakikat (adikodrati) dari setiap agama. Maksudnya adalah, bahwa pada
dasarnya setiap agama adalah cara untuk menangkap wahyu yang disingkapkan oleh Yang
Maha Tinggi. Dan dikarenakan manusia berada dalam daerah, kondisi, situasi, dan
kepentingan yang berbeda, maka cara memahami dan menangkap wahyu tersebut juga
berbeda pula. Oleh karena itu ada berbagai bentuk agama atau berbagai ajaran atau berbagai
dogma dalam usaha menangkap wahyu tersebut. Bentuk atau ajaran inilah yang dimaksudkan
dengan segi eksoteris. Sedangkan kesadaran akan “Yang Maha Tinggi yang adalah hakikat
dari berbagai bentuk” tadi, itulah segi esoterisnya.
Dari penjelasan Schuon tersebut, jelaslah bahwa segi esoteris ini meliputi hal-hal
mendalam yang universal, yang sama. Tidak heran terdapat banyak nilai yang sama-sama
dijunjung tinggi oleh pelbagai agama, misalnya seperti ‘kebaikan’ dan ‘keadilan’. Dalam
14 Media Zainul Bahr, Satu Tuhan, Banyak Agama, Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi, dan Al-Jili,
(Jakarta: Penerbit Mizan Pustaka), 2011, h.96.
©UKDW
12
tulisan ini kita akan mencoba mendalami sifat-sifat Allah yang sama-sama diakui oleh
Kristen dan Islam, khususnya mengenai kebesaran kuasa dan kasih-Nya. Cara mendalami
pemahaman tentang kebesaran kuasa dan kasih Allah ini ialah mendalami sumber-sumber
tradisi agamanya sendiri, namun juga melalui (mendengarkan) penghayatan dan praksis
kehidupan liyan (Islam atau Kristen).
Jadi dengan demikian tulisan ini dibangun dengan upaya pengenalan satu dengan
yang lain (antara ajaran Kristen dan Islam) melalui apresiasi kreatif tentang relevansi ajaran
agama yang lain bagi (memperdalam) ajaran agamanya sendiri secara dialogis. Itu bukan
berarti meniadakan bentuk yang sudah ada. Justru yang didapatkan dari agama lain dapat
justru dicari kembali dan dapat ditemukan dari sumber-sumber dalam agamanya sendiri
(misalnya dari Kitab Sucinya dan kecocokan sosio-historis).
Sebelum memperhatikan kesamaan pandangan tentang kebesaran Allah, lebih dahulu
perlu dijelaskan secara ringkas tentang kesalahpahaman (antarumat) dalam memahami nama
Allah itu sendiri sebagaimana yang dihayati agama lain. Pada masing-masing umat terdapat
hal yang kurang jelas dipahami, yang telah menimbulkan kesalahpahaman terhadap ajaran
agama/iman lainnya. Pertama yakni ketidakmengertian umat Islam (dan juga sebagian umat
Kristen) sendiri tentang perbedaan pemahaman Kristen antara arti ’Allah’ (God) dengan
’Tuhan’ (Lord). Yang kedua ialah ketidakmengertian orang Kristen tentang nama Allah
sebagaimana yang dipahami orang Islam.
Selanjutnya penghayatan tentang Allah dapat dipahami dengan memahami benang
merah isi Alkitab maupun benang merah isi al-Quran (sebagai cara mengerti Allah) dengan
tentu memperhatikan maksud teks-teks itu. Sekalipun penghayatan akan Allah merupakan hal
yang sulit dan tidak pernah sempurna, namun upaya-upaya awal untuk menjelaskannya dapat
dilakukan dengan melihat sebutan-sebutan/sifat-sifat Allah dalam Alkitab (Bible), dan
sebutan-sebutan/nama-nama Allah dalam Al-Quran . Dari pelbagai nama/sebutan itu, tentu
ada yang paling utama, yang penting, atau amat sering disebutkan. Ini berguna untuk
mencoba mengerti tentang sifat eksistensial Allah. Sifat eksistensial itu berguna untuk
memperdalam penghayatan iman kepada-Nya yang dilakukan para pemuja-Nya dan terpancar
dalam sikap keseharian pengikut-Nya.
©UKDW
13
Penjabaran kandungan Alkitab dan Al-Quran tentang (kebesaran) Allah itu dalam
tulisan ini diambil dari diskursus-diskursus yang berkembang di kalangan Kristen dan Islam.
Tentu tulisan ini tidak berpretensi mewakili semua pandangan Kristen maupun semua
pandangan Islam, mengingat variasi pemahaman tentang (kebesaran) Allah berada dalam
spektrum yang luas. Misalnya detail penjelasan tentang keesaan Allah dalam ajaran iman
Kristen sudah berbeda antara Pengakuan Iman Rasuli, Rumusan Pengakuan Konsili Nicea,
hingga keyakinan penganut Saksi Jehovah (yang dianggap sekte). Demikian pula pengakuan
akan ’takdir’ dan otoritas Allah dalam Islam dipahami secara berbeda ~ misalnya yang
dijabarkan oleh pandangan ”Jabbariyyah” amat berbeda dengan pandangan ”Qadariyyah”.
Pandangan yang dikemukakan di sini tentu yang selaras dengan yang terungkap dari kitab
sucinya (Alkitab bagi Kristen dan Al-Quran bagi Islam), selaras dengan pandangan sejumlah
tokoh-tokoh Kristen dan Islam.
Lalu bagaimana dampak pemahaman itu terhadap kehidupan nyata saat ini?
Bagaimana dampaknya terhadap kehidupan bersama, lebih khususnya di Indonesia? Untuk
itu didialogkan antara pembicaraan rasional pada dataran ”etika dan aksi” dengan
pembicaraan rasional ”pada dataran teologis”. Itu adalah bentuk-bentuk momen kedua
berteologi agama-agama yang diajukan oleh Banawiratma:
Dua momen yang menentukan dalam usaha berteologi selayaknya diperhatikan juga
oleh teologi agama-agama, yakni momen diam dan momen berbicara.
Momen pertama adalah momen diam atau momen tidak berbicara mengenai Allah.
Momen ini dapat kita sebut sebagai momen praksis, yang terlaksana dalam kontemplasi dan
aksi. Adapun momen kedua adalah momen berbicara mengenai Allah. Momen ini dapat
dilakukan dalam tiga bentuk (1) percakapan pada dataran berbagi pengalaman kontemplatif,
(2) pembicaraan rasional pada dataran etika dan aksi, (3) pembicaraan rasional pada dataran
teologis.15
Dengan kata lain pemahaman bersama yang dicapai melalui percakapan rasional
(kognitif) akan kurang bermakna jika tidak dihubungkan dengan etika dan aksi
15 J. B. Banawiratma “Mengembangkan Teologi Agama-Agama”, dalam Meretas Jalan Teologi
Agama-agama di Indonesia, ed. oleh Tim Balitbang PGI, (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2003, h. 44-45.
©UKDW
14
(psikomotorik). Namun tulisan ini tidak bermaksud merancang sebuah program aksi bersama,
karena program aksi bersama perlu dilihat dalam konteks paling aktual yang dihadapi oleh
calon pelaku aksi. Namun tulisan ini pada akhirnya hendak melakukan sedikit refleksi
terhadap aksi yang sudah dan belum terjadi, untuk dapat menjadi referensi atau bahan
pertimbangan bagi upaya-upaya aksi bersama di masa mendatang.
Penjelasan istilah “kebesaran”
Bila kita meyakini bahwa sifat Allah dapat dipahami dari sebutan-sebutan yang
dikenakan padanya (dalam kitb suci dan ibadah kepada-Nya), maka kita akan menemukan
kata Allah atau TUHAN yang terkait dengan sifatnya yang “lebih” dari makhluk lainnya.
“Kelebihan” ini bukan dalam makna yang negatif (lebih lemah, lebih jahat, dsb), melainkan
dalam makna yang positif (lebih berkuasa, lebih baik, dsb). Inilah yang dalam tulisan ini
diistilahkan dengan “kebesaran”. Dalam penyebutan kepada Tuhan/Allah dalam bahasa
Indonesia digunakan istilah “Maha”, untuk menunjukkan sifat yang melampaui segala
ciptaan-Nya. Jadi. misalnya, kata “Mahakuasa” artinya Dia yang paling besar kekuasaan-
Nya, “Mahakasih” artinya Dia yang paling besar kasih-Nya, “Maha Penyayang” artinya Dia
yang paling besar rasa penyayang-Nya, dsb. Pemahaman itu mestinya nampak dalam hidup
umat. Artinya pemahaman dasar yang sama akan Allah itu akan menimbulkan konsekuensi
(dampak) etis yang selaras dengan kehidupan umat-Nya. Ini akan memperlancar sikap dan
tindakan bersama yang selaras secara tulus, tidak munafik.
Mengingat manusia dihayati juga sebagai ‘mandataris’ atau ‘kafilah’ yang diutusnya
sebagai saksi-Nya, maka sewajarnyalah jika sifat-sifat Allah (yang nampak dari nama-nama-
Nya) mestinya juga dihayati dan tercermin dalam sikap hidup umat-Nya. Misalnya
pemahaman tertentu tentang kebesaran kekuasaan Allah, seperti Mahakuasa dan Maha
Mengetahui, tentu berdampak terhadap pemberdayaan umat-Nya. Demikian pula pemahaman
tentang Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, Mahaadil, serta Maha Pemberi Damai
tentu berdampak terhadap sikap etis dan gerak kehidupan umat-Nya diwarnai kasih,
perdamaian, dan pembelaan bagi kemanusiaan.
©UKDW
15
2. Rumusan Masalah
a. Sejauh mana masing-masing umat (Kristen dan Islam) memahami kebesaran Allah sesuai
kitab suci dan tradisi masing-masing?
b. Sejauh mana praksis penghayatan kebesaran Allah itu menurut Kristen maupun Islam?
c. Bagaimana yang sudah secara praksis dihayati dapat dimengerti dan disampaikan secara
komunikatif oleh umat lain?
d. Bagaimana relevansi ajaran tentang kebesaran Allah tersebut bagi kehidupan umat
beragama Kristen dan Islam di Indonesia menanggapi panggilan hidup bersama sehingga
dapat mewujudkan dialog?16
3. Tujuan Penulisan
a. Menemukan kesejajaran17
penjelasan tentang kebesaran Allah menurut ajaran Kristen
maupun Islam, yang berguna bagi fondasi bersama dalam praksis kehidupan bersama
umat Kristen dan umat Islam.
b. Mengurangi prasangka antar umat Kristen dan umat Islam, melalui penjelasan yang
menolong meredakan ketegangan dan mendukung terjadinya hubungan yang tulus antar
umat beragama.
c. Umat Kristen maupun Islam semakin terdorong mendalami imannya sendiri, terutama
dalam menghayati kebesaran nama Allah melalui sikap dan tindakan praktis, yang
menjadikan keduanya lebih saling memahami.
16 Pewujudan dialog di sini bukan dalam arti sekedar saling berbicara, namun dapat menolong dialog
karya menjadi semakin hidup, karena didasarkan kesepakatan dalam menjalankan suatu misi bersama yang
didasarkan keselarasan pemahaman akan kebesaran Allah (yang merupakan sumber keyakinan dasar Kristen
dan Islam).
17 “Kesejajaran’ ini tidak harus diartikan ‘identik’, namun setidaknya bermakna memiliki arah yang
sama sehingga secara tulus dapat bekerjasama untuk mencapai misi bersama tersebut.
©UKDW
16
4. Hipotesis
Allah dapat dipahami dengan baik oleh umat Kristen maupun Islam, dengan menghayati
kebesaran-Nya dalam “kuasa-Nya” dan “kasih-Nya”. Melalui penghayatan tentang kebesaran
Allah maka umat Kristen dan umat Islam yang beriman kepada-Nya mestinya terpanggil
untuk menyatakan kebesaran-Nya kepada semua orang, dengan secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama mewujudkan rahmat, kasih, keadilan, dan kepedulian itu di
tengah bumi ini, dan terutama dengan menolong dan memberdayakan orang
miskin/tertindas. Ketika orang mempelajari pemahaman akan kebesaran Allah dengan
mendalam, maka dia akan masuk ke dalam sebuah kesadaran kemisterian yang tidak
terjangkau secara sempurna oleh manusia,18
sehingga manusia akan sampai pada kesadaran
akan kepasrahan. Kepasrahan itu menyadarkan bahwa bahasa tidak bisa mewakili secara
absolut kemisterian itu, sehingga menjadi relevan untuk terus belajar, termasuk melalui
pengalaman dan perspektif yang berbeda. Pengalaman untuk belajar dari perspektif berbeda
itu justru dapat membantu memperdalam pemahamannya agamanya sendiri, dalam hal ini
khususnya tentang kebesaran Allah.
5. Metodologi
Penelitian dalam tesis ini menggunakan metodologi kualitatif. Metode yang dipakai
utamanya menggunakan penelitian literer (dengan memaparkan penghayatan tentang
kebesaran Allah dalam ajaran Kristen dan Islam, bersumber dari tulisan tentang ajaran
Kristen dan Islam serta hasil dialog yang telah dibukukan), serta didukung masukan dari
Focus Group Discussion (FGD), serta masukan dari beberapa data kuesioner. FGD ini
dilakukan dengan kalangan aktivis agama, akademisi, dan awam Kristen dan Islam, dengan
Penulis menyampaikan pemaparan tentang permasalahan terkait kebesaran Allah dan para
peserta lain memperkayanya dalam diskusi terbuka. Sedangkan data kuesioner diperoleh dari
isian angket yang disebarkan kepada sejumlah kecil orang Kristen (lingkungan karyawan
Andi Offset Yogyakarta) maupun Islam (masyarakat sekitar Ponpes Pancasila Sakti/Al-
Mutaqien Klaten), tentang pandangan mereka tentang kebesaran Allah. Proses itu ditutup
18 Bdk. Hananto Kusumo, “Misteri Ketidakterbatasan Allah – Jalan Alternatif bagi Teologi Agama-
agama”, dalam Mendesain Ulang Pendidikan Teologi, ed. oleh Josef M.N. Hehanussa & Budyanto,
(Yogyakarta: Duta Wacana University Press, 2012).
©UKDW
17
dengan refleksi (terutama terkait dengan praksis kehidupan umat beragama dan antarumat
beragama), agar dapat dibandingkan dengan sejumlah kenyataan di Indonesia tentang
bagaimana menerapkan penghayatan tentang kebesaran Allah ini.
7. Sistematika Penulisan
BAB I Bab ini merupakan pendahuluan, dengan dipaparkan latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penulisan, hipotesis, metodologi penelitian, serta
sistematika penulisan.
BAB II Bab ini mulai menjelaskan pemahaman tentang Allah dalam Kristen dan Islam.
Bab ini diawali dengan pemahaman tentang Kebesaran Allah dalam Ajaran
Kristen dengan berdasarkan literatur tentang ajaran Kristen yang sesuai dengan
Alkitab, serta tradisi Kristen. Ini akan dimulai dengan pemahaman tentang nama
“Allah” bagi orang Kristen, mencakup tanggapan terhadap kritik tentang
penggunaan nama “Allah” bagi orang Kristen, serta penjelasan perbedaan “Allah”
dengan “Tuhan”. Selanjutnya juga dijelaskan tentang kebesaran Allah dalam
Kristen, khususnya tentang kebesaran kuasa-Nya dan limpahan kasih setia-Nya
Selanjutnya diuraikan pula pemahaman tentang Kebesaran Allah dalam Islam
diambil dari literatur tentang ajaran agama Islam yang sesuai Al-Qur’an dan
kalau perlu Hadits, dimulai dengan pemahaman tentang nama “Allah bagi orang
Muslim”, khususnya tentang Al-Asma Al-Husna, dihahului dengan tanggapan
terhadap pandangan negatif tentang “siapakah Allah-nya orang Islam”.
Selanjunya juga dijelaskan tentang kebesaran Allah dalam Islam, yakni dilihat
dari kuasa-Nya dan dari limpahan kasih sayang-Nya
BAB III Bab ini berisi persamaan dan perbedaan di tengah kesalahpahaman. Dalam bagian
ini dijelaskan kesalahpahaman umum orang Kristen dalam memahami
pemahaman tentang Allah yang dipahami orang Islam, kesalahpahaman umum
orang Islam dalam memahami pemahaman tentang Allah yang dipahami orang
Kristen, serta persamaan dan perbedaan pemahaman Kristen dan Islam tentang
Allah.
©UKDW
18
BAB IV Dalam Bab ini dilihat implikasi ajaran Kristen dan Islam tentang Kemahabesaran
Allah, serta dijelasan tinjauan dan refleksi kritis, meliputi keselarasan kebesaran
Allah dalam pandangan Kristen dan Islam, dari pemahaman dan praktik, dan pada
akhirnya juga dijabarkan perbedaan-perbedaan yang tidak perlu dipertentangkan.
Bab ini ditutup dengan refleksi theologis sebagai pendalaman iman
BAB V Bab ini berisi relevansi pemahaman tentang kebesaran Allah bagi upaya
mengatasi permasalahan umat Kristen dan Islam di Indonesia. Di sini dipaparkan
relevansi pemahaman tentang kebesaran Allah untuk menghadapi kesenjangan,
yakni mencakup kesenjangan internal dan kesenjangan eksternal. Selanjutnya
dijabarkan pula relevansi pemahaman tentang kebesaran nama Allah bagi umat
Kristen dan umat Islam dalam upaya memecahkan persoalan kemiskinan,
ketidakadilan, dan penindasan. Selanjutnya bab ini ditutup dengan kesimpulan
dan saran.
©UKDW
Recommended