View
223
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Jutaan tahun lalu, manusia hidup tanpa kekhawatiran akan
terjadinya gangguan atau bahaya dari pencemaran udara, pencemaran air,
atau pencemaran lingkungan yang dipermasalahkan pada saat ini. Manusia
mendapatkan semua unsur – unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari
alam. Makin tinggi kebudayaan manusia, makin beraneka ragam
kebutuhan hidupnya. Makin besar jumlah kebutuhan hidupnya yang di
ambil dari alam, maka berarti makin besar perhatian manusia terhadap
lingkungan. Barry Commoner berpendapat bahwa ketergantungan
manusia kepada alam atau lebih tepat dikatakan saling bergantung
manusia dengan lingkungannya untuk memperoleh keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan hidupnya dengan lingkungan ternyata dikuasai
oleh hukum – hukum ekologi. 1
Kata ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli
biologi pada pertengahan dasawarsa tahun 1860, dimana secara harfiah
dapat diartikan sebagai ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup.2
Menurut Otto Soemarwoto, ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal
1 Barry Commoner dalam Daud Silalahi, 2001, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan
Hukum Lingkungan di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, hlm. 7 2 Koesnadi Hardjasoemantri, 1926, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, hlm.2
2
balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya.3 Studi – studi ekologi
meliputi berbagai bidang, seperti:
1. Studi ekologi sosial, studi terhadap relasi sosial yang berada di
tempat tertentu dalam waktu tertentu dan yang terjadinya oleh
tenaga – tenaga lingkungan bersifat selektif dan distributif.
2. Studi ekologi manusia, studi tentang interaksi antara aktivitas
manusia dan kondisi alam.
3. Studi ekologi kebudayaan, studi tentang hubungan timbal balik
antara variabel habitat yang paling relevan dengan inti
kebudayaan. 4
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapat dilihat bersama, ketika
terjadi interaksi antara manusia dan kondisi alam, maka disebut dengan
studi ekologi manusia. Interaksi antara manusia dan lingkungan dapat
terjadi dalam bentuk pengambilan sumber daya alam (SDA) yang ada
untuk pemenuhan kebutuhan hidup. SDA dapat berupa bermacam –
macam yaitu : (1) Faktor Produksi dari alam yang digunakan untuk
menyediakan barang dan jasa; (2) Komponen dari ekosistem yang
menyediakan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kebutuhan manusia;
dan (3) Sumber daya yang disediakan/dibentuk oleh alam. Manusia
memanfaatkan segala sumber daya yang ada disekitarnya untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Perbuatan manusia memanfaatkan SDA secara terus-
menerus pada saat itu akhirnya mengakibatkan alam menjadi rusak.5
Lama-kelamaan, manusia pun mulai menyadari bahwa alam tidak
selamanya bisa memperbaiki dirinya sendiri dari kerusakan. Kesadaran
3 Ibid 4Koesnadi, Loc.Cit 5 Parta Setiawan, “10 Poin Pengertian dan Pengelompokkan Sumber Daya Alam Terlengkap”,
http://www.gurupendidikan.com/10-poin-pengertian-dan-pengelompokan-sumber-daya-alam-
terlengkap/, gurupendidikan.com, Senin, 20 Maret 2016 Pukul 22.00 Wib
3
bahwa alam tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri mulai menjadi
perhatian di dalam masyarakat pada awal masa industrialisasi. Ketika
gumpalan asap mulai mengotori udara, limbah mulai mengotori air
(sungai dan laut) dan sampah mulai dibuang ke atas tanah yang subur.
Manusia pun akhirnya sadar, bahwa dampak dari perilakunya terhadap
alam telah membuat alam menjadi rusak.
Anggapan akan alam yang memiliki kemampuan untuk
menanggulangi pencemaran secara alamiah semakin memudar ketika
berlangsungnya dekade pembangunan PBB I (1960 – 1970). Pada rapat
PBB untuk merumuskan strategi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke 2
(1970 – 1980), terdapat laporan Sekretaris Jenderal PBB yang diajukan
dalam sidang umum PBB, disahkan dengan resolusi PBB No. 2581
(XXIV) tanggal 15 Desember 1969.6 Dalam resolusi tersebut diputuskan
untuk membentuk panitia persiapan yang bernama Sekjen PBB untuk
menarik perhatian dunia dalam masalah – masalah lingkungan. Konferensi
PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on
Human Environment) diselenggarakan di Stockholm Swedia pada tanggal
5 sampai 16 Juni 19727, atau biasa disebut dengan deklarasi Stockholm.
Deklarasi Stockholm sebagai hasil perumusan tersebut adalah:
1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia (preamble dan
26 (dua puluh enam) asas disebut Stockholm Declaration)
didalamnya terdapat hal – hal yang memberikan arahan
6 Koesnadi, Op.Cit, hlm. 7 7 Supriadi, 2006, Hukum Lingkungan Indonesia,Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.56
4
terhadap penanganan masalah lingkungan hidup termasuk di
dalamnya pengaturnya melalui undang – undang.
2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (action plan)
termasuk di dalamnya 18 rekomendasi tentang perencanaan
dan pengelolaan permukiman manusia.
3. Rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan yang
menunjang pelaksanaan antara lain :
a) Dewan Pengurus (UN Environmental Program, UNEP)
b) Sekretariat UNEP berada di Nairobi
c) Dana Lingkungan Hidup
d) Badan Koordinasi Lingkungan Hidup
4. Bangsa – bangsa perlu membangkitkan kesadaran serta
partisipasi masyarakat dengan menyediakan informasi tentang
lingkungan meluas.
5. Bangsa – bangsa perlu memberlakukan undang – undan
tentang lingkungan yang efektif dan menciptakan undang –
undang nasional tentang jaminan bagi para korban pencemaran
dan kerusakan lingkungan lainnnya.
6. Pihak pencemar harus menanggung akibat pencemaran.
7. Bangsa – bangsa perlu kerja sama menegakkan sistem
ekonomi internasional terbuka untuk pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan berkelanjutan. 8
Setelah munculnya Deklarasi Stockholm, kepedulian negara –
negara di dunia dalam hal lingkungan hidup kembali dibuktikan dengan
adanya kesepakatan akan konsep pembangunan dan lingkungan yang
terangkum di dalam Deklarasi Rio de Janerio (1992) dengan jumlah negara
yang hadir sebanyak 192 (seratus sembilan puluh dua) negara.9 Mengenai
isi dari deklarasi Rio de Janerio itu sendiri adalah sebagai berikut:
1. Deklarasi Rio merupakan deklarasi tentang lingkungan hidup
dan pembangunan dengan 27 (dua puluh tujuh) asas yang
menetapkan dan tanggung jawa bangsa – bangsa dalam
memperjuangkan dan mensejahterakan manusia.
2. Agenda 21 rancangan tentang cara mengupayakan
pembangunan yang berkelanjutan dan segi sosial, ekonomi,
dan lingkungan hidup.
8 Ibid 9 Raihan, 2006, Lingkungan dan Hukum Lingkungan, Penerbit Universitas Islam Jakarta, Jakarta,
hlm. 81
5
3. Pernyataan tentang prinsip – prinsip yang menjadi pedoman
bagi pengelolaan, pelestarian, dan pembangunan semua jenis
hutan secara berkelanjutan yang merupakan unsur mutlak bagi
pembangunan ekonomi dan pelestarian segala bentuk
kehidupan. 10
Dalam Deklarasi Rio juga tercantum bahwa manusia sebagai pusat
perhatian untuk pembangunan berkelanjutan, sehingga setiap individu
memiliki hak untuk hidup sehat dan produktif yang selaras dengan alam.
Negara dalam Deklarasi Rio, juga memiliki hak berdaulat untuk
memanfaatkan sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan
lingkungan dan pembangunan mereka, serta tanggung jawab untuk
memastikan bahwa kegiatan yurisdiksi atau kontrol mereka tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas
yurisdiksi nasional.11
SDA di Indonesia sangat kaya terbentang dari Sabang hingga
Merauke, pemerintah pun memprioritaskan kekayaan tersebut sebagai
sumber untuk ikut meningkatkan sebesar – besarnya kemakmuran rakyat,
salah satunya pada sektor minyak bumi dan gas (migas). Migas terpilih
menjadi sumber daya yang dirasa mampu meningkatkan kemakmuran
rakyat karena memiliki peranan sebagai:
1. Sumber energi dalam negeri
2. Sumber penerimaan negara dan devisa
3. Bahan baku industri nasional
4. Wahana alih teknologi
5. Pendukung pengembangan wilayah
6. Menciptakan lapangan pekerjaan, dan
10 Supriadi, Op.cit, hlm. 58 11 Principle 12 Rio Declaration 1992
6
7. Pendorong pertumbuhan sektor nonmigas. 12
Hal yang sangat wajar apabila Indonesia berusaha mengembangkan
kegiatan pengusahaan migas. Ini terbukti dengan telah aktifnya Indonesia
dalam sektor migas selama lebih 125 (seratus dua puluh lima) tahun
setelah penemuan minyak pertama kali di Sumatera Utara yaitu pada tahun
1885 dan dilanjutkan oleh para pengusaha internasional di industri
migas.13
Industri migas memang telah banyak membawa dampak yang
positif bagi Indonesia, namun selain dampak positif terdapat pula dampak
negatif dari industri migas. Industri migas tetap menghasilkan pencemaran
bagi lingkungan, walaupun pencemaran dalam kegiatan usaha migas tidak
sebesar di dalam kegiatan usaha pertambangan. Pencemaran lingkungan
dalam industri migas banyak terjadi dalam kegiatan usaha hulu. Dalam
kegiatan usaha hulu, terjadi proses eksplorasi dan eksploitasi migas yang
tidak hanya ada di daratan, tetapi juga di laut lepas. Hal ini yang seringkali
menjadi sumber dari pencemaran lingkungan. Pencemaran lingkungan
yang dimaksud adalah apa yang dituangkan dalam Pasal 1 butir 14
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampui baku mutu lingkungan
12 Adrian Sutedi, 2012, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 71 13
Pricewaterhouse Coopers, 2012, Oil and Gas in Indonesia Investment and Taxation Guide, PwC
Article, Jakarta, hlm.17
7
hidup yang telah ditetapkan. Baku mutu lingkungan hidup menurut Pasal 1
butir 13 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu
sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Sesuai dengan pengertian Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009, maka unsur-unsur atau syarat mutlak untuk disebut suatu
lingkungan telah tercemar haruslah memenuhi unsur – unsur berikut :
1. Masuk atau dimasukkannya komponen – komponen (baik
makhluk hidup, zat, energi, dan lain-lain;
2. Ke dalam lingkungan atau ekosistem lingkungan;
3. Kegiatan manusia; dan
4. Menimbulkan perubahan pada baku mutu lingkungan yang
telah ditetapkan.
Dampak bagi lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan migas
yang telah terjadi di Indonesia adalah perubahan kondisi suhu dan cuaca.
Hal tersebut dirasakan secara langsung oleh masyarakat di sekitar area
pengeboran migas di Blok Cepu, Bojonegoro, Jawa Tengah. Masyarakat
mulai merasakan dampak tersebut semenjak proyek pengeboran migas
Banyu Urip dimulai. Penyebab dari drastisnya kondisi suhu dan cuaca
tersebut karena ketika proyek Banyu Urip dimulai, pohon – pohon yang
ada di desa terdekat dengan proyek Banyu Urip tersebut juga turut
ditebang. Dalam perkembangannya pula, muncul bau tidak sedap yang
menyebabkan warga yang tinggal disekitar lokasi proyek Banyu Urip
8
menderita mual dan pusing.14
Proyek Banyu Urip hanya salah satu contoh
pencemaran yang terjadi akibat kegiatan migas di Indonesia. Pencemaran
akibat kegiatan migas di Indonesia lainnya adalah pencemaran air laut
yang diakibatkan oleh pengeboran migas di Indonesia yang terdapat di
Kepulauan Seribu, di mana termasuk ke dalam Kawasan Taman Nasional
Laut.15
Contoh nyata pencemaran lingkungan yang wilayah cakupan
tercemarnya belum dapat ditanggulangi hingga saat ini adalah kasus
semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur. Kasus semburan lumpur
Sidoarjo telah terjadi sejak 26 Mei 2006. Dari beberapa artikel yang
penulis baca, hal tersebut kemungkinan besar terjadi karena kesalahan
proses pertambangan minyak yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas.16
Dugaan kesalahan proses yang terjadi didasari dengan bukti bahwa pusat
lokasi semburan lumpur tidak berada jauh dari sumur Banjar Panji – 1
milik PT. Lapindo. Rekomendasi untuk penyelesaian telah banyak
diberikan dan banyak metode juga telah dilakukan oleh para pihak, namun
hingga kini masih belum menemukan pemecahan yang solutif untuk
pengembalian kembali lingkungan.17
14 Muhammad Roqib, “Rekanan Exxon Diduga Cemari Lingkungan”, http://www.koran-
sindo.com/read/1001048/151/rekanan-exxon-diduga-cemari-lingkungan-1431570034,
sindonews.com, Kamis, 10 September 2015 pukul 22.00 WIB 15 Saji Fathurrohman, “Kepulauan Seribu Tak Lepas dari Pencemaran Minyak”,
http://www.kompasiana.com/sadji_21/kepulauan-seribu-tak-lepas-dari-pencemaran-
minyak_5509873c8133118e6ab1e1e1, kompasiana.com, Kamis, 10 September 2015 pukul 22.05
WIB 16 Anonim, “Banjir lumpur panas Sidoarjo”,
https://www.wikiwand.com/id/Banjir_lumpur_panas_Sidoarjo, wikiwand.com, Kamis, 10
September 2015 pukul 22.10 WIB 17 Lapindo, Loc.Cit
9
Kasus pencemaran yang menjadi contoh penulis sebagian besar
memang terjadi pada proses kegiatan usaha hulu. Dalam kegiatan usaha
migas, terbagi menjadi dua jenis kegiatan yaitu kegiatan usaha hulu dan
kegiatan usaha hilir. Pengertian mengenai kegiatan usaha hulu dan
kegiatan usaha hilir terdapat di dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Minyak dan Gas Bumi pada Pasal 1 butir 7, Pasal 8, Pasal 9,
dan Pasal 10, yang menyatakan bahwa kegiatan usaha hulu merupakan
kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha
eksplorasi dan eksploitasi. Eksplorasi dan eksploitasi sendiri merupakan
rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas
bumi di wilayah kerja yang telah ditentukan. Pengertian kegiatan usaha
hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan
usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan/atau Niaga.
Bentuk olahan migas yang kita rasakan saat ini merupakan hasil
dari rangkaian kegiatan usaha hulu dan hilir migas. Beberapa manfaat
migas diantaranya sebagai berikut:
a. Gas
Umumnya gas terdiri cari camuran metana, etana, propane atau
isobutana, campuran gas ini kemudian dicairkan pada tekanan
tinggi dan diperdagangkan dengan nama LPG (Liquified Petroleum
Gas). Gas yang terdapat dalam LPG umumnya campuran propane,
butana, dan isobutana. LPG biasanya dikemas dalam botol – botol
baja yang beratnya 15 kg, dan dipakai sebagai bahan bakar rumah
tangga.
b. Bensin
Bensin banyak digunakan sebagai bahan bakar mobil dan motor
c. Napta
Napta dikenal sebagai bensin berat. Napta digunakan sebagai bahan
dasar untuk pembuatan senyawa - senyawa kimia yang lain
10
misalnya etilena dan senyawa aromatik yang sering digunakan
untuk zat aditif pada bensin. Kerosin diperdagangkan dengan nama
minyak tanah.
d. Minyak Diesel
Minyak diesel digunakan sebagai bahan bakar pada motor – motor
diesel.
e. Fraksi yang menghasilkan minyak pelumas
Fraksi yang menghasilkan minyak pelumas terdapat dua bentuk,
yaitu paraffin cair dan padat. Paraffin dipergunakan sebagai bahan
bakar, dan biasanya banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera.
f. Residu
Residu yaitu zat – zat yang masih tertinggal dalam ketel.
Menghasilkan petroleumasfalt yang dipakai pada konstruksi
jalan.18
Dampak negatif migas paling utama terjadi ketika proses kegiatan
hulu migas, yaitu terdapatnya tumpahan minyak pada area sekitar tempat
kegiatan usaha tersebut. Tumpahan minyak ini biasanya lebih banyak
mencemari tanah yang ada di sekitar tempat kegiatan usaha. Maka,
berbagai metode mulai dilakukan ujicoba dan di teliti secara lebih
mendalam untuk menemukan penyelesaian yang efektif serta inovatif
dalam menanggulangi dampak yang ada, dengan satu tujuan bersama yaitu
pemulihan fungsi lingkungan. Pengertian mengenai pemulihan fungsi
lingkungan hidup di dalam Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah Nomor
101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun disebutkan adalah “Serangkaian kegiatan penanganan lahan
terkontaminasi yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
evaluasi, dan pemantauan untuk memulihkan fungsi lingkungan hidup
18 Chy Anna, ”15 Manfaat Minyak Bumi bagi Manusia Sehari-hari”, http://manfaat.co.id/15-
manfaat-minyak-bumi-bagi-manusia-sehari-hari, manfaat.co.id, Selasa, 6 Januari 2016 pukul
20.00 WIB
11
yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan hidup dan/atau perusakan
lingkungan hidup.”
Area yang sudah terkontaminasi limbah minyak bumi biasanya
tidak dapat digunakan kembali. Minyak yang meresap ke dalam tanah
dapat menyebabkan tertutupnya suplai oksigen dan meracuni
mikroorganisme tanah sehingga mengakibatkan kematian mikroorganisme
tersebut. Tumpahan minyak di lingkungan dapat mencemari tanah dan
perairan hingga ke daerah sub-surface atau dan lapisan aquifer air tanah.
Melihat bahwa dampak pencemaran minyak bumi baik dalam
konsentrasi rendah maupun tinggi cukup serius, maka manusia terus
berusaha untuk mencari teknologi yang paling mudah, murah, dan tidak
menimbulkan dampak lanjutan. Salah satu alternatif pengolahan limbah
minyak bumi adalah dengan memanfaatkan bioteknologi berupa teknik
bioremediasi. Bioremediasi telah umum diterapkan dalam berbagai
kegiatan industri, seperti petrokimia, pelayaran, dan kereta api.19
Contoh
penerapan limbah minyak bumi dengan metode bioremediasi telah
dilakukan oleh PT. Medco EP, PT. Chevron Pacific Indonesia, dan PT.
Kaltim Prima Coal.
Alasan penulis mengambil contoh ketiga perusahaan tersebut, yang
pertama adalah dengan maksud untuk mengetahui sudut pandang
19 Anonim, “Program Bioremediasi di PT. Chevron Pacific Indonesia”,
http://www.chevronindonesia.com/documents/Bioremediation_Project_id.pdf,
chevronindonesia.com, Jumat 11 September 2015 pukul 16.00 WIB
12
pelaksanaan metode bioremediasi yang baik dimana hal tersebut penulis
melihat terdapat dalam pelaksanaan metode bioremediasi yang dilakukan
oleh PT. Medco E&P, yang menjadi ukuran penulis sehingga
mengklasifikasikan PT. Medco E&P telah melaksanakan metode
bioremediasi secara baik adalah ditinjau dari PROPER yang diterima oleh
PT. MEDCO E&P. Alasan yang kedua adalah untuk mengetahui
pelaksanaan metode bioremediasi dari sudut pandang pelaksanaan
bioremediasi yang kurang baik atau sedang mengalami permasalahan
hukum dengan pemerintah, hal ini penulis melihat terdapat dalam
pelaksanaan di PT. Chevron Pacific Indonesia. Alasan yang ketiga yaitu
untuk mengetahui pelaksanaan metode bioremediasi di luar dari
perusahaan industri migas. Sesuai dengan apa yang tercantum dalam Pasal
2 ayat (1) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128
Tahun 2003 tentang Tata Cara Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah
Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara
Biologis, yang berbunyi ”Setiap usaha dan atau kegiatan minyak dan gas
bumi serta kegiatan lain yang menghasilkan limbah minyak bumi wajib
melakukan pengolahan limbahnya.” Kegiatan lain yang dimaksudkan
dalam pasal tersebut adalah kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan limbah minyak bumi baik kegiatan di luar dari usaha
pengelolaan minyak dan gas bumi yang menghasilkan limbah minyak
bumi. Oleh karena hal itulah penulis merasa perlu untuk mencantumkan
contoh pelaksanaan metode bioremediasi dalam proses pengelolaan limbah
13
B3 yang dilakukan oleh kegiatan lain diluar dari usaha pengelolaan
minyak dan gas bumi. Penulis menemukan bahwa PT. Kaltim Prima Coal
merupakan satu-satunya perusahaan diluar perusahaan migas, yang
mengajukan permohonan perizinan pengelolaan limbah B3 hasil dari
kegiatannya sendiri dengan metode bioremediasi.
Mengenai pelaksanaan proses bioremediasi di PT. Medco E&P
telah dilaksanakan sejak tahun 2010. Implementasi mengenai pengelolaan
limbah B3 dengan metode bioremediasi adalah dengan pembangunan
Pusat Pengelolaan Limbah Terpadu (Waste Treatment Center) yang di
dalamnya terdapat: Tempat Penyimpanan Sementara Terpadu (TPS)
Limbah B3 dengan dilengkapi Surat Keputusan Bupati Musi Banyuasin
No.62 Tahun 2011); Insinerator dengan dilengkapi Surat Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 24 Tahun 2010; Unit Bioremediasi dengan
dilengkapi Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.54 Tahun
2010; dan Fitoremediasi.20
Keberhasilan akan pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup yang dilakukan oleh PT. Medco E&P Rimau Asset
dimana didalamnya turut termasuk pengolahan limbah B3 dengan metode
bioremediasi di PT. Medco E&P Indonesia – Rimu Asset ditandai dengan
berhasil diraihnya PROPER secara berturut –turut yaitu PROPER Hijau
(tahun 2009 dan 2010) dan Emas (Tahun 2011. 2012, 2014, dan 2015) dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Pada
penyelenggaraan PROPER tahun 2011 dan 2012, PT. MEDCO E&P
20 PT. Medco E&P Indonesia – Rimau Asset, 2013, Dokumen Ringkasan Pengelolaan
Lingkungan, PT. Medco E&P Indonesia, Jakarta, hlm.9
14
Rimau Asset menjadi satu-satunya perusahaan minyak dan gas bumi di
Indonesia yang mendapat penghargaan PROPER emas.21
Atensi masyarakat terhadap metode bioremediasi justriu bukan
disebabkan karena prestasi yang diraih oleh PT. Medco E&P Rimau Asset,
namun atensi masyarakat yang besar terhadap metode bioremediasi mulai
terjadi ketika muncul pemberitaan mengenai adanya dugaan korupsi
proyek fiktif bioremediasi atau pemulihan tanah bekas tambang milik PT.
Chevron Pacific Indonesia (CPI) di Provinsi Riau. Kasus bioremediasi ini
telah bergulir cukup lama sejak tahun 2011 hingga pada akhir 2015.
Hingga Desember 2015 tercatat bahwa telah diajukan peninjauan kembali
oleh Bachtiar Abdul Fatah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.22
Salah
satu hal yang dipermasalahkan oleh penuntut umum adalah terkait proses
izin pemrosesan bioremediasi yang sempat habis, yaitu pada dua lokasi
pengolahan bioremediasi di areal kota Batak (pada tahun 2008) dan pada
areal Minas (pada tahun 2008).23
Mengenai permasalahan mengenai izin yang sempat habis, KLH
pun memberikan pernyataan bahwa perpanjangan izin telah dilakukan oleh
PT. Chevron Pacific Indonesia satu bulan sebelum izin berakhir kepada
KLH.24
Hanya saja pengajuan perpanjangan memang tidak langsung
21 Ibid 22 Anonim, 2014, Bioremediation Program: Kronologi, “http://infobioremediasi.com/analisis-
kasus/kronologi/”, diakses pada 29 Februari 2016, Pukul 14.00 Wib 23 Amir Sodikin, 2013, KLH Dicecar Soal Izin Bioremediasi Chevron,
“http://nasional.kompas.com/read/2013/03/27/21390827/KLH.Dicecar.Soal.Izin.Bioremediasi.Ch
evron”, diakses pada 14 Februari 2016, Pukul 13.00 WIB 24 Ibid
15
diberikan KLH karena pihak Chevron diminta untuk melengkapi dokumen
AMDAL.
Perihal mengenai perizinan pengolahan limbah dengan metode
bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Chevron Pacific Indonesia pun
akhirnya membuat salah satu dari terdakwa kasus bioremediasi yaitu
Bachtiar Abdul Fatah mengajukan uji materiil terhadap Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup terutama pada pasal – pasal dibawah ini berikut disertai dengan
revisi pasal hasil dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-
XII/2014 :
1. Sebelum adanya Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014
a. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
yang berbunyi, “Setiap orang yang menghasilkan limbah
B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang
dihasilkannya.”
b. Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
yang berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.”
c. Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
yang berbunyi, “Dalam rangka penegakan hukum terhadap
pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan
penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri
16
sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi
Menteri.”
d. Pasal 103 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang
berbunyi, ”Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan
tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).”
2. Setelah adanya Putusan MK Nomor 18/PUU-XII/2014
a. Pasal 59 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
menjadi berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat
izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya dan bagi pengelolaan limbah B3
yang permohonan perpanjangan izinnya masih dalam
proses harus dianggap telah memperoleh izin.”
b. Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
menjadi berbunyi, “Dalam rangka penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, termasuk
tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran
undang-undang ini, dilakukan penegakan hukum terpadu
17
antara penyidik pegawai negeri sipil, kepollisian, dan
kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.”
Selain kedua perusahaan diatas, berbeda dengan PT. Medco E&P
Rimau Asset dan PT. Chevron Pacific Indonesia, penulis akan meninjau
pelaksanaan metode bioremediasi yang dilakukan oleh PT. Kaltim Prima
Coal (PT. KPC). PT. KPC adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pertambangan dan pemasaran batubara untuk pelanggan industri baik pasar
ekspor domestik. Terletak di Sanggata, Kabupaten Kutai Timur, Propinsi
Kalimantan Timur.25
Dampak yang seringkali timbul dalam proses
kegiatan pertambangan batubara dalah tumpahan bahan bakar baik oli
maupun minyak yang pada akhirnya menyebabkan tanah diarea
penambangan terkontaminasi. Tanah terkontaminasi tersebut diolah secara
bioremediasi oleh PT. KPC dengan menggunakan bakteri petrophylic yang
dilakukan di area Biological Treatment Unit (BTU) yang terletak di
Sanggata North Dump sesuai dengan izin yang diperoleh yaitu Surat
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 184 tanggal 11
Agustus 2010.26
Melihat dari uraian singkat penjelasan mengenai pelaksanaan
bioremediasi di masing-masing perusahaan dan juga mengenai kasus yang
menimpa PT. Chevron Pacific Indonesia terkait dengan pelaksanaan
metode bioremediasi diatas, apabila kita menelaah dari sudut pandang
25 PT. Kaltim Prima Coal, 2015, Sekilas Tentang Kami,
http://www.kpc.co.id/about/overview?locale=id, diakses pada 20 Maret 2016 Pukul 10.00 WIB 26 Ibid
18
hukum lingkungan maka yang dapat kita soroti yaitu mengenai proses
perizinan pelaksanaan metode bioremediasi tersebut baik izin lingkungan
maupun izin pengelolaan limbah minyak bumi dan juga mengenai proses
pelaksanaan bioremediasi dalam kaitannya apakah nantinya akan sejalan
dengan prisip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menghubungkan permasalahan bioremediasi dengan upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menurut pendapat penulis
adalah dua hal yang cukup relevan. Ditinjau dari tujuan metode
bioremediasi, dimana tujuan utamanya adalah mengembalikan lahan yang
terkontaminasi limbah B3 agar dapat digunakan kembali, maka hal
tersebut selaras dengan tujuan dan fungsi hukum lingkungan, yaitu
mengatur manusia untuk merawat lingkungan demi generasi anak cucu di
masa yang akan datang.27
Dengan adanya satu tujuan yang sama yaitu
melestarikan lingkungan hidup, maka menurut hipotesa penulis metode
bioremediasi yang diikuti perizinan secara taat tentu akan mengacu kepada
implementasi konsep hukum lingkungan yang baik dan begitu pun
sebaliknya. Dengan melihat pengertian dari perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup itu sendiri, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berbunyi sebagai berikut,
“Upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi
lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
27 Admin, 2014, Fungsi dan Tujuan Hukum Lingkungan,
http://www.ilmuhukum.net/2014/01/fungsi-dan-tujuan-hukum-lingkungan.html, ilmuhukum.net,
diakses pada 30 Maret 2016 pukul 16.39
19
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum”. Maka
dapat penulis asumsikan bahwa metode bioremediasi adalah pelaksanaan
dari makna upaya sistematis terpadu yang dilakukan dalam upaya
melestarikan lingkungan, dimana idealnya tidak hanya pihak penghasil
limbah B3 saja yang mengusahakan upaya sistematis tersebut, namun
perlu juga dukungan dari pemerintah sebagai pihak yang memberikan izin
dan mengawasi jalannya kegiatan.
Menuliskan berbagai uraian diatas, banyak menimbulkan
pertanyaan pada benak penulis, sebenarnya bagaimana mekanisme
pengelolaan limbah dengan menggunakan metode bioremediasi yang
dilakukan oleh perusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia, selain itu
juga mengenai apakah benar dengan pengolahan limbah B3 secara
bioremediasi nantinya telah sesuai dengan upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, kemudian bagaimana metode bioremediasi
ini dapat dikaitkan dengan upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, lalu berkaitan bagaimana proses perizinan pengolahan
limbah B3 yang menggunakan metode bioremediasi, dan yang terakhir
mengenai hal-hal apa saja yang menjadi persyaratan perizinan pengolahan
limbah B3 dengan metode bioremediasi.
Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah hal yang melatar belakangi
penulis untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai upaya
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan metode
20
bioremediasi yang ditinjau dari segi perizinannya. Mengingat selama ini
belum ada penulisan hukum yang membahas mengenai perizinan
pengelolaan limbah B3. Berawal dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka
penulis melakukan penulisan hukum dengan judul “TINJAUAN
HUKUM TENTANG PERIZINAN PENGOLAHAN LIMBAH
MINYAK BUMI DENGAN METODE BIOREMEDIASI DALAM
UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP.”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah tata pelaksanaan perizinan pengolahan limbah
minyak bumi dengan metode bioremediasi menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?
2. Bagaimanakah pengolahan limbah minyak bumi dengan metode
bioremediasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian “TINJAUAN
HUKUM TENTANG PERIZINAN PENGOLAHAN LIMBAH
MINYAK BUMI DENGAN METODE BIOREMEDIASI DALAM
UPAYA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP”, dapat dikelompokkan sebagai tujuan subjektif dan tujuan
objektif sebagai berikut:
1. Tujuan Subjektif
21
Penelitian ini dilakukan dalam rangka menyusun mata kuliah
Penulisan Hukum guna melengkapi persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada.
2. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui, mengkaji serta memahami bagaimana
proses perizinan pengolahan limbah minyak bumi dengan
metode bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan
Indonesia.
b. Untuk mengetahui, mengkaji serta memahami bagaimana
proses perizinan pengolahan limbah minyak bumi dengan
metode bioremediasi menurut peraturan perundang-undangan
Indonesia.
c. Untuk mengetahui proses pengolahan limbah minyak bumi
dengan metode bioremediasi sebagai upaya perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penulisan hukum ini dapat
penulis bagi menjadi 4 (empat) kategori, yaitu:
a. Bagi Peneliti
22
Peneliti dapat memiliki pengetahuan lebih mengenai perizinan
pengolahan limbah dengan metode bioremediasi di Indonesia
selama ini dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup dan mengetahui pengolahan limbah minyak
bumi dengan metode bioremediasi.
b. Bagi Perguruan Tinggi
Adanya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa, merupakan
salah satu bentuk perwujudan Tri Dharma Perguruan Tinggi,
yakni Dharma Penelitian.
c. Bagi Ilmu Pengetahuan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi
pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang Hukum Lingkungan mengenai penerapan
pengolahan limbah minyak bumi dengan metode bioremediasi
dalam rangka upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, dan dapat menambah pengetahuan mengenai tata
pelaksanaan perizinan pengolahan limbah minyak bumi dengan
metode bioremediasi.
d. Bagi Pemerintah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna untuk
memberikan masukan kepada instansi yang terkait, baik
instansi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup maupun di
bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam
23
menentukan kebijakan di bidang pertambangan khususnya
migas, dan juga dapat memberikan pertimbangan kepada
pemerintah agar lebih bijaksana dalam pembuatan kebijakan.
E. Keaslian Penelitian
Dalam penyusunan penelitian dan penulisan hukum ini, penulis
telah melakukan riset dan penelusuran pada berbagai referensi dan hasil
penelitian, baik dari perpustakaan, media cetak, maupun media elektronik.
Dari penelusuran tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian
hukum sejenis dan/atau berhubungan dengan judul, dan rumusan
permasalahan tersebut adalah baru. Dalam penelusuran lanjutan yang
dilakukan penulis terdapat 6 penulisan hukum dengan judul sebagai
berikut :
1. Skripsi yang ditulis oleh Pramudita Hardianto K, pada tahun
2014, “KAJIAN YURIDIS PELAKSANAAN
PENGELOLAAN LIMBAH DI KEBUN BINATANG
GEMBIRALOKA YOGYAKARTA”, Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, disusun oleh Pramudita Hardianto K
pada tanggal 24 Desember 2014 di Universitas Gadjah Mada28
.
Dalam pembahasan yang dilakukan oleh Pramudita, lebih
banyak membahas mengenai bagaimana pelaksanaan
28 Pramudita Hardianto K, 2014, Kajian Yuridis Pelaksanaan Pengelolaan Limbah di Kebun
Binatang Gembiraloka Yogyakarta, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
24
pengelolaan limbah yang diatur oleh kebun binatang
Gembiraloka, dampak positif dan negatif dari pengelolaan
limbah di sekitar kebun binatang Gembiraloka tersebut, dan
pembahasan mengenai hal – hal yang menjadi hambatan dari
pengelolaan limbah itu sendiri. Penulis dalam penulisan hukum
ini akan banyak membahas mengenai mekanisme pengolahan
limbah minyak bumi menggunakan metode bioremediasi dan
juga mengenai perizinan pengolahan limbah minyak bumi
yang menggunakan metode bioremediasi menurut peraturan
perundang-undangan di Indonesia.
2. Skripsi yang ditulis oleh Akhmad Jarot Mahardika, pada tahun
2013, “PENANGANAN DAN PENGELOLAAN LIMBAH
PASAR BERINGHARJO KOTA YOGYAKARTA DIY
DALAM RANGKA PENCEGAHAN PENCEMARAN
LINGKUNGAN, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,29
disusun oleh Akhmad pada tanggal 4 Juli 2013 di Universitas
Gadjah Mada. Dalam pembahasan penelitian yang dilakukan
oleh Akhmad Jarot, membahas mengenai peranan dari
Pemerintah Kota Yogyakarta terkait penanganan limbah Pasar
Beringharjo. Berbeda halnya dengan apa yang ada dalam
penulisan hukum penulis. Penulis membahas mengenai
bagaimana pengolahan limbah minyak bumi dengan metode
29 Akmad Jarot Mahardika, 2013, Penanganan dan Pengelolaan Limbah Pasar Beringharjo Kota
Yogyakarta DIY dalam Rangka Pencegahan Pencemaran Lingkungan, Skripsi Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
25
bioremediasi, dan juga membahas mengenai mekanisme
perizinan pengolahan limbah minyak bumi yang menggunakan
metode bioremediasi tersebut. Hal lain yang cukup berbeda
yaitu, limbah yang penulis soroti pun bukan limbah
pasar/rumah tangga, melainkan limbah minyak bumi.
3. Skripsi yang ditulis oleh Gilang Wirananda, pada tahun 2014,
“KAJIAN IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH
PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2004
TENTANG BAKU MUTU AIR LIMBAH TERHADAP
SISTEM PENGELOLAAN LIMBAH RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH KABUPATEN SRAGEN”, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada,30
disusun oleh Gilang
Wirananda pada tanggal 13 Oktober 2014 di Universitas
Gadjah Mada. Dalam pembahasan penelitian yang dilakukan
oleh Gilang, membahas mengenai sistem pengelolaan limbah
Rumah Sakit Umum di Kabupaten Sragen, telah sesuai dengan
peraturan yang ada atau belum, hambatan apa saja yang
dihadapi oleh pihak RSU Sragen, dan dampak apa yang terjadi
bagi pengelolaan limbah terhadap lingkungan sekitar. Berbeda
halnya dengan apa yang ada dalam penulisan hukum penulis.
30 Gilang Wirananda, 2014, Kajian Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Tengah Nomor 10 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah Terhadap Sistem
Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sragen, Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
26
Penulis banyak membahas mengengenai pengolahan limbah
minyak bumi dengan metode bioremediasi dan juga
mekanisme perizinan dari metode bioremediasi itu sendiri
dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
4. Tesis yang ditulis oleh Ai Siti Fatimah, pada tahun 2011
“BIOREMEDIASI SEBAGAI USAHA KONSERVASI
LINGKUNGAN PADA PENCEMARAN LIMBAH
PEMBORAN MINYAK DI JOB PERTAMINA –
PETROCHINA EAST JAVA TUBAN, JAWA TIMUR”,
Magister Pengelolaan Lingkungan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.31
Penelitian yang dilakukan oleh Ai Siti, secara
umum pembahasannya sama dengan penulis, mengenai
bioremediasi. Perbedaannya adalah saudara Siti lebih berfokus
pada pelaksanaan bioremediasi ditinjau dari segi ilmu biologi
dalam pelaksanaan metode bioremediasi sedangkan penulis
membahas mengenai bioremediasi spesifik dari segi ilmu
hukum serta mengenai mekanisme perizinan pengolahan
limbah minyak bumi yang menggunakan metode bioremediasi.
5. Penelitian hukum yang ditulis oleh Irsan pada tahun 2013,
KRIMINALISASI APARAT PENEGAK HUKUM PADA
KEGIATAN BIOREMEDIASI PERUSAHAAN HULU
MIGAS (STUDI KASUS PT. CHEVRON PACIFIC
31 Ai Siti Fatimah, 2011, Bioremediasi sebagai Usaha Konservasi Lingkungan Pada Pencemaran
Limbah Pemboran Minyak di JOB Pertamina – Petrochina East Java Tuban, Jawa Timur, Thesis
Magister Pengelolaan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
27
INDONESIA), Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya,
Palembang.32
Penelitian yang dilakukan oleh Irsan lebih
menitikberatkan kepada proses beracara dan evaluasi terhadap
kinerja aparat penegak hukum yang mengadili kasus
bioremediasi PT. Chevron Pacific Indonesia. Berbeda halnya
dengan penulisan hukum penulis. Penulis lebih
menitikberatkan bagaimana pengolahan limbah menggunakan
bioremediasi secara umum dan juga mengenai tata mekanisme
perizinan pengolahan limbah minyak bumi yang menggunakan
metode bioremediasi.
6. Skripsi yang ditulis oleh Ayyida Sabila, pada tahun 2014,
MEKANISME TATA PELAKSANAAN BIOREMEDIASI
DALAM KEGIATAN HULU MINYAK BUMI DI
INDONESIA, Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Jakarta.33
Skripsi yang dilakukan oleh Ayyida lebih
menitikberatkan pada pelaksanaan bioremediasi di dalam
kegiatan hulu minyak bumi di Indonesia dan bioremediasi
secara umum. Sedangkan penulis, selain membahas mengenai
metode bioremediasi secara umum juga membahas mengenai
tata mekanisme perizinan dari metode bioremediasi itu sendiri
32 Irsan, 2013, Kriminalisasi Aparat Penegak Hukum Pada Kegiatan Bioremediasi Perusahaan
Hulu Migas (Studi Kasus PT. Chevron Pacific Indonesia), Penelitian Hukum Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya, Palembang. 33 Ayyida Sabila, 2014, Mekanisme Tata Pelaksanaan Bioremediasi dalam Kegiatan Hulu
Minyak Bumi di Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Recommended