View
235
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Perhatian Bab 1 ini adalah untuk memberikan gambaran tujuan dan kondisi di lapangan
tentang konflik apartemen. Konflik ini sudah berlangsung kurang lebih dua tahun dan belum
menemukan penyelesaian yang riil. Pada bab ini akan diutarakan latar belakang konflik, kajian
pendahulu yang berkaitan dengan tata ruang kota, kajian teoretis dan metode yang digunakan
dalam penelitian ini.
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan kota suatu daerah selalu menyisakan satu pertanyaan penting. Pertanyaan
itu berupa mampuka kota itu di masa mendatang memberi kehidupan layak pada rakyatnya?
Sudah lebih dari tiga dasawarsa diskusi semacam ini mengusik para pemikir dan perancang tata
ruang kota. Selama itu pula belum ada jawaban maupun tindakan nyata untuk mengubah wajah
ruang kota secara saksama. Akibatnya perkembangan kota yang kian maju pesat yang ditandai
dengan tingginya perkembangan teknologi, transportasi dan kemajuan di bidang ekonomi masih
menyimpan satu ironi besar, yakni kehidupan yang tidak layak bagi rakyat yang ada di
bawahnya.
Tingginya harapan hidup di kota telah memancing laju urbanisasi. Tetapi kenaikan
jumlah penduduk yang terjadi secara simultan tidak dibarengi dengan kebijakan untuk membagi
dan menata ruang secara adil oleh pemegang otoritas kota. Pengalaman berbagai kota tua di
zaman dahulu dan kota modem sekarang ini telah menunjukkan bahwa masalah perumahan
adalah masalah yang tidak pernah selesai (Marbun, 1994, hal. 75).
Dari segi historis perkembangan perumahan di kota-kota Indonesia, terutama bagi
penduduk asli dan pribumi pendatang, tumbuh agak liar dan tanpa rencana. Bahkan dapat disebut
bahwa sekitar 80% dari perumahan penduduk asli atau para migran tidak memiliki 1MB (Izin
Mendirikan Bangunan) dan tidak mengikuti pola tata kota secara konsekuen (Marbun, 1994, hal.
77). Wajah kota dalam konteks itu tentu berbeda dengan konteks sekarang di mana persoalan
sudah sedemikian kompleks dan pelik. Bangunan-bangunan liar yang tumbuh di pinggir sungai
menunjukkan betapa sulitnya mendapat tempat tinggal layak. Marbun melanjutkan bahwa
"masalah perumahan rakyat miskin dan rakyat kecil di kota semakin lebih kompleks lagi apabila
dikaitkan dengan keterbatasan tanah yang tersedia dan harga tanah yang selangit” (Marbun, 1994,
hal. 77).
Di sisi lain, terjadi pula perebutan lahan akibat kesulitan lahan kosong di daerah
perkotaan. Purnawan Basundoro mengatakan bahwa ketika para penghuni kota atau orangorang
yang tertarik untuk tinggal di kota dibiarkan untuk bersaing secara bebas, maka akan terjadi
proses di mana ruang-ruang kota yang masih terbuka diperebutkan secara bebas pula. Bahkan
tidak jarang ruang kosong yang sudah memiliki legalitas klaim, yang mestinya bukan lagi ruang
kosong karena sudah ada otoritas di tempat itu, diabaikan begitu saja oleh individu atau
kelompok yang merasa memiliki kekuatan untuk menduduki ruang tersebut. Realitas tersebut
juga menggambarkan bahwa ruang kota adalah ruang yang senantiasa diperebutkan oleh berbagai
pihak yang menginginkan ruang tersebut (Basundoro, 2012, hal. 119-120).
Tekanan untuk tetap survive di kota terus meningkat seiring sulitnya mendapatkan
tempat tinggal yang layak di sana. Kehendak untuk mendapatkan tempat tinggal lebih besar dari
pada tekanan hukum yang mengatur tentang legalitas tanah. Akibatnya banyak dari mereka yang
mendirikan pemukiman tanpa mengantongi legalitas dari pemerintah. Bukti kepemilikan tanah
seperti sertifikat dianggap tidak penting.
Hasil studi Purnawan Basundoro memperlihatkan terjadinya perebutan tanah secara
eksesif di Yogyakarta. Di Yogyakarta terdapat sebuah kampung yang bernama Blimbingsari.
Kampung tersebut pada awalnya adalah sebuah makam Tionghoa. Akibat proses akuisisi tanah
makam oleh masyarakat dari golongan tidak mampu, lama kelamaan terbentuklah sebuah
kampung yang berdiri di atas makam tionghoa. Terbentuknya Kampung Blimbingsari merupakan
hasil dari sebuah perebutan ruang. Walaupun kawasan Blimbingsari pada awalnya adalah sebuah
makam, bukan berarti perebutan ruang yang terjadi di kawasan tersebut adalah hasil dari sebuah
pertarungan antara yang telah mati dengan yang telah hidup. Blimbingsari adalah hasil dari
sebuah pertarungan antara pewaris dari yang telah dimakamkan, dengan para pendatang yang
membutuhkan tempat tinggal (Basundoro, 2012, hal. 118).
Blimbingsari hanyalah salah satu rangkaian episodik perebutan tanah di Yogyakarta.
Kasus serupa prnah terjadi pula di Karnpung Badran, Komplek Masjid UGM, dan Sagan. Hal ini
rnenunjukkan bahwa perebutan ruang di perkotaan oleh para pendatang yang rnenginginkan
tempat tinggal sudah menggumpal sedemikian keras. Dengan kata lain kenaikan jumlah
penduduk yang tidak terkendali yang berujung pada kebutuhan akan ruang, ruang kota terbatas,
dan kekuatan (power) yang dimiliki oleh sekelompok maupun individu penghuni kota memiliki
keterkaitan yang erat yang berujung pada klaim terhadap ruang kota (Basundoro, 2012, hal. 20).
Dari studinya itu Basundoro mengemukakan asumsi menarik bahwa "sejak jaman
kolonial sampai awal kemerdekaan baik pemerintah kolonial belanda maupun pemerintah
Indonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan jumlah penduduk di perkotaan yang sangat
cepat tersebut, baik yang bersifat preventif dengan cara membatasi jumlah kelahiran dan
mengurangi arus migrasi maupun dengan cara menaikkan daya dukung kota" (Basundoro, 2012,
hal. 125-126).
Fenomena perumahan berpagar (gated communities) yang marak dalam beberapa dekade
belakangan ini menjadi warna dari perkembangan perkotaan. Fenomena ini adalah bukti nyata
yang bisa disaksikan hingga hari ini betapa perumahan masih menjadi perebutan antara warga
lokal yang tetap rnempertahankan tanah dengan para pendatang yang memerlukan tempat tinggal.
Para pengembang akan terus berlomba-lomba mengembangkan perumahan sesuai kebutuhan
yang terus meningkat.
Istilah gated communities sendiri sebenarnya tidak hanya mengacu pada bentuk rumah.
Ia lebih merupakan bangunan hunian eksklusif. Karena itu bisa jadi gated communities berbentuk
komplek perumahan, kost, asrama, maupun apartemen. Tempat-tempat ini memiliki tingkat
eksklusifitasnya sendiri. Eksklusifitas itulah yang menjadi karakter paling menonjol dari
keberadaan gated communities. Perkembangan Yogyakarta dewasa ini juga diwarnai dengan
munculnya bangunan-bangunan ini.
Perkembangan ini disebabkan karena gated communities masih dianggap menjadi
tempat ideal bagi para pendatang untuk tinggal di daerah itu. Faktor keamanan, kenyamanan dan
kemudahan akses menjadi salah satu pertimbangan mereka untuk menempati hunian model ini.
Fenomena perumahan berpagar tentu saja menjadi persoalan di tengah kelangkaan tanah kosong
di daerah perkotaan.
Gated communities di Yogyakarta tengah mengalami kemajuan pesat. Kota ini memang
banyak menjadi tujuan bagi para pendatang baik untuk keperluan bersekolah maupun
menghabiskan masa tua atau bersekolah. Gated communities adalah pilihan ideal model hunian
bagi mereka.
Setidaknya ada 383 titik yang didominasi oleh produk gated communities di kawasan
urban Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul. Tidak kurang dari 249 yang
dibangun dan masih banyak yang belum teridentifikasi di seluruh wilayah DIY (Widyharto,
2009, hal. 211). Jumlah ini terus mengalami pertambahan. Para pengembang terus mencari ruang
kosong untuk dibangun permukiman. Menurut studi pola penyebaran ini lebih cenderung ke
daerah peKelurahanan dengan menawarkan konsep keasrian dan eksotisme peKelurahanan.
Beberapa studi terdahulu tentang masyarakat urban memberikan informasi mengenai
dampak perubahan ruang terutama pada aspek pembangunan gated communities. Dampak-
dampak ini mulai dirasakan oleh masyarakat lokal sebagai subjek yang berhubungan langsung
dengan perumahan.
Ajibola (2010) dalam studinya tentang perkembangan gated communities melihat
dampak pembangunan permukiman itu. Ia berpendapat bahwa:
"the rise of gated communities can lead to spatial fragmentation and separation in cities
as a result of its security and financial implications. Gated communities give a sense of
community, safety, security and social exclusion which lead to urban fragmentation and
separation. " (Mahgoub & Khalfani, 2012, hal. 53).
Secara fisik gated communities telah memisahkan diri dengan karakter lingkungan
sekitar yang lebih cair dan hangat. Komunikasi dan relasi sosia1 tidak segera terbangun. Bahkan
tak jarang memunculkan sinisme karena kecemburan masyarakat yang bermotif ekonomis.
Dalam kasus tertentu yang terjadi justeru bukan hanya fragmentasi tetapi sudah masuk dalam
kategori konflik terbuka. Di mana gated communities di bangun di daerah perkotaan atau
pinggiran perkotaan, perebutan tanah dengan penduduk lokal tak dapat dihindari. Keinginan
untuk mendapatkan lahan guna memuluskan usaha berbenturan dengan kebutuhan masyarakat
lokal mempertahankan tanah warisan mereka.
Islahul Amal dalam studinya di Semarang menyebutkan bahwa pembangunan proyek
perumahan pada tahun 1986 menyimpan konflik dengan warga lokal. Selain karena nilai ganti
rugi yang rendah hal lain yang tidak kalah penting adalah penutupan sungai Tawang oleh
pengembang (PT. IPU dan PT. Puri Sakti Co). Sungai menjadi kebutuhan bagi masyarakat.
Praktik demikian sangat lazim di era orde baru. Nilai ganti rugi diukur dari luas tanah semata.
Kesuburan tanah dan hubungan sosial-psikologis antar warga tidak dilihat sebagai element
penting dalam proses pembangunan (Amal, 2004).
Demikian juga pengamatan Kirana Prama Dewi terhadap pembangunan perumahan di
Kelurahan Sariharjo, Sleman, D.I Yogyakarta. Menurutnya konversi lahan menjadi perumahan
mewah menimbulkan kerusakan keseimbangan lingkungan. Tipologi struktur ruang yang
mengantong dapat mengurangi keguyuban yang sudah ada di masyarakat. Meskipun muncul jenis
usaha yang baru di area perumahan yang merangsang kegiatan ekonomi warga, akan tetapi
sempitnya lahan pertanian jelas menjadi persoalan bagi masyarakat (Dewi, 2007).
Jumlah ini hanya dilihat dari pembangunan komplek perumahan dan belum menghitung
gated communities model kost, asrama maupun aparternen. Juga, masih banyak konstruksi beton
yang didirikan untuk membangun apartement. Kenyataan ini membuktikan bahwa keberadaan
pemukiman berpakar memang banyak. Jumlah ini boleh jadi akan terus bertambah seiring waktu.
Meski demikian baik perumahan, hotel, maupun apartemen memiliki dampak yang -
hampir-sarna. Berdirinya bangunan tidak saja berpotensi menyebabkan segregasi melainkan
konflik sosial. Demonstrasi menolak apartemen dan hotel kini tengah marak di Yogyakarta
menyusul banyaknya hotel dan apartemen yang berdiri.
Kemajuan kota dan perubahan ruang yang terjadi di dalamnya serta akibat-akibat yang
ditimbulkan sebenamya sudah menjadi perhatian banyak pihak. Tak terkecuali bagi pemikir kritis
kelahiran Prancis yang berhaluan kiri, Henry Lefebvre. Lefebvre tidak mengkritik secara
langsung perkembangan gated communities seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa
maupun Asia belakangan ini. Ia menganalisis ruang secara fundamental.
Melalui bukunya yang terkenal, The Productions of Space, Lefebvre mengkritisi banyak
hal ihwal ruang yang ada selama ini. Bagi lefebvre ruang bukan saja dibentuk berdasarkan
serangkaian proses alamiah yang ada dengan sendirinya. Pemaknaan ruang semacam itu hanyalah
salah satu saja sebagai natural space. Faktanya ruang tidak terbentuk dengan natural melainkan
melalui serangkaian rekayasa tertentu. Bagi Lefebvre ruang dan masyarakat memiliki hubungan
timbal-balik. Ia mengungkapkan bahwa "space is socially produced". Bersamaan dengan itu juga
"we are spatially produced". Ada hubungan yang terkait antara kita dengan ruang (lefebvre,
1991).
Ruang tercipta menurut cara kehidupan sosial kita tinggal di dalamnya (lived space),
Lebih jauh, lefebvre mengemukakan bahwa ruang dibentuk berdasarkan kepentingan atau corak
produksi (lefebvre, 1991).
Berdasarkan hasil pengamatan Lefebvre ada perbedaan penting antara masyarakat abad
pertengahan yang bercirikan corak produksi feodal dengan masyarakat kapitalis. Pada masyarakat
pertama menghasilkan bentuk material ruang seperti manor, monastery, dan katedral. Sementara
itu, pada masyarakat kapitalis, ruang mewujud menjadi perbankan, pusat-pusat kegiatan bisnis
dan kegiatan produktif.
Perbedaan semacam ini tentu saja sesuai dengan corak produksi yang ada. Kapitalisme
pada dasarnya membentuk ruang abstrak (abstract space). Di dalamnya ruang terbentuk
berdasarkan jejaring bisnis baik berskala nasional maupun intemasional. Pada bentuk seperti
inilah, menurut Lefebvre, ruang tidak lagi dibentuk secara adil. Ruang kapitalis membuka jalan
lebar bagi terciptakan eksploitasi atau diskriminasi terhadap wong cilik. Diskriminasi yang
dimaksud seperti perebutan tanah yang telah diuraikan tadi.
Ruang abstrak yang digambarkan Lefebvre di atas bisa kita bedah dalam kasus yang
terjadi di lingkungan kita khususnya perkembangan gated communities (Kost, asrama,
apartemen). Wilayah agraris yang asri dan khas yang menjadi corak sejarah Yogyakarta selama
ini perlahan berubah menjadi daerah padat rumah yang tak teratur. Penyebabnya, perencanaan
ekonomi yang lebih luas berusaha mengundang para pendatang untuk datang. Aktivitas ekonomi
lebih memungkinkan untuk membangun "gedung raksasa"di tengah lingkungan rakyat kecil yang
secara prediktif akan merusak lingkungan. Hematnya, seperti yang dikatakan Laksmi Adriani
Savitri, bahwa perencanaan ekonomi cenderung mewujud sebagai perencanaan ruang (Savitri,
2011, hal. 8).
Skripsi ini mengambil tema tentang konflik dalam konteks pembangunan apartemen
Uttara di RT 01/RW 01 Karangwuni, Slernan, D. 1. Yogyakarta. Apartemen adalah salah satu
jenis hunian gated communities. Konflik ini melibatkan pihak Apartemen dengan warga lokal
yaitu RT 01/RW 01 sebagai wilayah ring-I. Meskipun ada keterlibatan warga dari RT lain untuk
menolak pembangunan akan tetapi gerakan perlawanan dan lahirnya paguyuban PWKTAU yang
digagas oleh warga RT 01/RW 01.
Konflik ini sudah berlangsung sejak proses pembangunan yakni di akhir tahun 2013.
Perlawanan yang dilakukan masyarakat lokal dengan beragam ekspresi menjadi menjadi bahasa
penolakan yang dalam titik tertentu mampu menyendat proses pembangunan apartemen.
Resonansi konflik ini sudah cukup luas karena mampu melibatkan banyak kalangan baik LSM,
dosen maupun advokat. Peran pers dalam menyebarkan berita juga turut serta mengeskalasi
konflik.
Menurut laporan Tribun News, pada Selasa (29/4/2014) sore, puluhan warga RT 1/RW 1
Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, berunjuk rasa di depan lokasi apartemen.
Secara bergantian, mereka berorasi menyuarakan penolakan terhadap pembangunan apartemen
sembari membawa berbagai jenis poster (Tribunnews, 2014).
Meskipun muncul banyak penolakan dari masyarakat, pembangunan apartemen masih
tetap berlanjut hingga sekarang. lni yang menjadi faktor lanjut konflik ini terus meruncing. Dari
pihak apartemen sendiri tidak menurunkan tensi. Alih-alih menempuh jalur dialog untuk
meredam ketegangan, mereka justeru melibatkan banyak kelompok seperti menyewa jasa
keamanan. Keberadaan para pengaman di sisi lain, ditanggapi dengan reaksi keras dari
masyarakat.
B. RUMUSAN MASALAH
Uraian singkat di atas telah memaparkan sedikit gambaran tentang konflik Apartemen
Uttara antara warga dengan pihak pengembang, PT. Bukit Alam Permata. Terkait dengan
penelitian ini maka rumusan masalah meliputi, pertama, mengapa konflik pada pembangunan
Apartemen Uttara the Icon terjadi? Kedua, bagaimana perkembangan dan eskalasi konflik yang
terjadi?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui dampak konflik dari pembangunan Apartemen. Ini menjadi penting karena dalam
beberapa dekade belakangan Sleman massif dengan pembangunan Hotel dan Apartemen. Seiring
dengan itu muncul gelombang protes yang keluar dari banyak pihak.
D. MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat penelitian ini antara lain:
a) Mahasiswa
Manfaat bagi mahasiswa adalah untuk menjadi referensi dan bahan diskusi agar
dianalisis secara lebih kritis.
b) Pemerintah Daearah
Bagi pemerintah daerah ini sangat penting agar pembangunan di kota lebih terarah dan
dapat menghindari konflik. Pembangunan semacam ini berpotensi memunculkan segregasi dan
konflik. Kebutuhan seperti air bagi warga lokal akan berkurang karena pembangunan ini
menimbulkan masalah resapan air. Sementara itu kebutuhan air sangat penting bagi warga.
E. KERANGKA TEORI
Sekalipun penelitian ini menganalisis aspek keruangan akan tetapi peneliti lebih
menekankan teori konflik dari pada teori ruang itu sendiri sebagai pisau analisis. Tentu saja
dengan alasan fokus penelitian. Ruang hanya dijadikan sebagai setting sosial dari konflik itu
sendiri.
Dalam memahami teori konflik tentu harus dipahami antara penggagas dan
pewaris/penerus teori itu sendiri. Hal ini untuk mempermudah peta pemikiran dari para tokoh.
Sepintas istilah penggagas mudah dipahami karena mengerucut pada sosiolog seperti Karl Marx,
Max Weber, maupun George Simmel. Mereka adalah rujukan bagi generasi setelahnya yang
mengembangkan teori-teori konflik sesuai konteksnya masing-masing. Sementara Ralf
Dahrendorf, Simon Fisher, maupun Lewis Coser salah astu contoh generasi pewaris yang
meneruskan ide-ide, gagasan penggagas teori konflik. Dengan mengetahui posisi para tokoh ini
runtutan teori konflik menjadi jelas. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan ide-ide, gagasan-
gagasan dari para pewaris teori konflik, seperti yang dijelaskan di atas. Benang merah dari tiga
pewaris teori konflik ini akan dijadikan sebagai pisau analisis. Diharapkan dengan merangkai tiga
ide gagasan -yang relatif sama-dapat mengakomodir, membingkai temuan di lapangan.
Teori konflik, paling tidak sebagian darinya, dapat dilihat sebagai perkembangan yang
terjadi sebagai reaksi atas fungsionalisme struktural (Goodman, 2008, hal. 281). Teori konflik
lahir dari ketidakpuasan fungsionalisme struktural yang memandang masyarakat secara statis.
Menurut teori konflik, masyarakat adalah makhluk dinamis sehingga kemungkinan adanya
konflik sangat besar. Tepat di situ fungsionalisme struktural dianggap tidak mampu menjelaskan
dinamika masyarakat.
Kalau para fungsionalis menitikberatkan pada keteraturan masyarakat, para teoritisi
konflik melihat pertentangan dan konflik pada setiap sistem sosial. Para fungsionalis (atau paling
tidak fungsionalis awal) berpendapat bahwa setiap elemen dalam masyarakat memberikan
kontribusi pada stabilitas; para perintis teori konflik melihat begitu banyak elemen masyarakat
yang justeru berperan dalam lahirnya disintegrasi dan perubahan (Goodman, 2008, hal. 282).
Gugatan teori konflik atas fungsionalisme struktural didasari atas perlunya menjelaskan
kondisi masyarakat yang kompleks dan dinamis. Bayangan-bayangan yang dikonstruksikan para
fungsionalis tentang masyarakat yang selaras dan damai tidak mendapat pijakan yang kuat dalam
situasi tertentu. Meski kohesi yang diciptakan oleh nilai di masyarakat akan menyatukan mereka
akan tetapi pada titik tertentu tekanan akan muncul dari segelintir kelompok untuk merubah
tatanan itu.
Meski demikian teori konflik tidak lepas dari kritik. Ritzer dan Goodman menyebutkan
bahwa masalah utama teori konflik adalah ia tidak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar-
akar struktural-fungsional. Teori ini lebih sebagai salah satu jenis fungsionalisme struktural yang
memalingkan mukanya ketimbang sebagai teori masyarakat yang benar-benar kritis (Goodman,
2008, hal. 281).
• Otoritas dan Kepentingan
Adalah Ralf Dahrendorf sebagai pencetus pertama yang mengatakan bahwa masyarakat
seperti dua sisi mata uang (konsensus dan konflik). Dasar asumsi inilah yang mau tak mau
membelah teori sosisologi menjadi dua bagian: teori konsensus dan teori konflik. Teoretisi
konsensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat, sementara teoretisi
konflik harus menelaah konflik kepentingan dan koersi yang menyatukan masyarakat di bawah
tekanan-tekanan tersebut (Goodman, 2008, hal. 282). Bagi Dahrendorf kedua elemen ini saling
berkelindan. Karena itulah masyarakat menjadi eksis. Adanya konflik, menurut Dahrendorf,
disebabkan telah terjadinya konsensus sebelumnya. Begitupun konflik akan mengarah pada
pembentukan konsensus.
Akan tetapi, Dahrendorf tidak memberikan jaminan kemungkinan dikembangkannya
teori sosiologi yang meliputi kedua proses tersebut (Goodman, 2008, hal. 282). Pada titik tertentu
asumsi ini mengalami hambatan.
Dahrendorf banyak dipengaruhi oleh aliran fungsionalisme struktural. Ia meyakini
bahwa masyarakat diikat dengan kekangan yang bersifat memaksa. Beberapa posisi di dalam
masyarakat adalah kekuasaan yang didelegasikan dan otoritas atas pihak lain (Goodman, 2008,
hal. 283). Inilah yang menghantarkan pada kata kunci pertama dari Dahrendorf, yakni otoritas.
Yang menjadi inti tesisnya adalah bahwa berbagai posisi dalam masyarakat memiliki
jumlah otoritas yang berlainan. Otoritas tidak terdapat pada individu, namun pada posisi
(Goodman, 2008, hal. 283). Dalam konteks ini otoritas tidak bersifat konstan (baca; tetap). Siapa
saja yang berada pada suatu posisi ia akan memiliki otoritas. Jadi, seseorang yang memegang
otoritas pada satu setting tidak berarti mendukung posisi sebagai pemegang otoritas pada setting
lain (Goodman, 2008, hal. 283).
Suatu contoh, di tahun 2004 seorang pengusaha memutuskan untuk mencalonkan diri
sebagai presiden. Beberapa waktu kemudian impian itu terwujud. Ia tentu saja memiliki
kekuasaan dan otoritas. Akan tetapi setelah lengser ia tak mampu lagi mengatur berbagai
kebijakan yang sebelumnya ia kendalikan di bawah otoritasnya. Siapapun yang menjadi presiden,
tak hanya pengusaha itu, ia akan mampu memiliki otoritas yang sama.
Pemerintah Kabupaten Sleman memiliki otoritas untuk menerbitkan izin kepada investor
dalam rangka pembangunan. Berdasarkan prosedur tertentu, misalnya, mereka merasa berhak
untuk memberikan perizinan. Akan tetapi pada sisi lain masyarakat juga merasa perlu untuk
melindungi lingkungannya karena mereka memiliki hak atas lingkungan untuk menjaga
kelangsungan hidup mereka.
Dahrendorf menekankan perlunya sosiolog memandang otoritas itu dan bukan
mengarahkan pandangan pada subjek itu sendiri. Ini cukup rasionaI mengingat posisi adalah
setting di mana subjek akan melakukan suatu tindakan.
Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat dikotomis; dua, dan hanya dua kelompok konflik
dapat terjadi dalam asosiasi mana pun. Mereka yang memegang otoritas dan mereka yang berada
pada posisi subordinat memiliki kepentingan yang "substansi dan arahnya berlawanan". Di
sinilah kita menemukan kata kunci lain dari teori konflik Dahrendorf, yakni kepentingan.
Menurutnya kelompok yang berada di puncak dan di bawah ditentukan oleh kepentingan
bersama. "Mereka yang berada pada posisi dominan berusaha mempertahankan status quo
sementara yang berada (Goodman, 2008, hal. 284)pada posisi subordinat berusaha melakukan
perubahan" .
Suatu contoh, argumentasi dan sanggahan yang diajukan aktivis dengan
mempertahankan tanah adat untuk masyarakat berbenturan dengan kepentingan pemerintah yang
ingin membangun tanah itu untuk mega proyek AirPort. Kepentingan pemerintah dibalut dengan
dasar peraturan daerah yang cukup kuat. Sementara di sisi lain para aktivis berusaha menggiring
opini massa demi terciptanya perubahan. Benturan inilah yang sejatinya menjadi cermin dari
harapan-harapan (peran) yang melekat pada posisi tersebut.
Pengembang, PT. Bukit Alam Permata, yang memiliki kepentingan tertentu ingin segera
membangun apartemen. Dengan bermodalkan izin dari pemerintah mereka terus melangsungkan
pembangunan. Sementara itu, masyarakat dengan kepentingan melindungi lingkungan dari krisis
dan bahaya kerusakan ekologis berupaya menolak kehadiran apartemen. Resistensi masyarakat
ini sebenarnya adalah hal yang wajar sebagaimana terjadi pada kasus-kasus konflik sumber daya
alam lainnya.
Dalam konflik, misalnya, perbedaan persepsi menjadi pemicu awal. Posisi yang berbeda
memunculkan otoritas di sekitar mereka. Secara otomatis posisi yang berbeda dan kemunculan
otoritas itu diarahkan untuk mempertahankan kepentingan. Pengkutuban dua arah dengan otoritas
dan kepentingan berbeda menjadi aspek yang menarik dalam membedah konflik. Sekalipun
terdengar sangat simple. Dahrendorf telah memberikan kontribusi besar pada para sosiolog untuk
mengembangkan teori konflik.
• Integrasi
Lewis Coser mengembangkan teori konflik yang cukup kompleks dibanding
Dahrendorf. Jika level teori konflik Dahrendorf menekankan pada individu sementara Coser
justeru pada kelompok.
Pada dasarnya penekanan dan penggambaran atas pendekatan konflik yang diajukan
oleh Coser sebagai fungsionalisme konflik (conflict functionalism) yang tanpa melepaskan
konsep-konsep serta asumsi-asumsi fungsionalisme strukturalnya dengan menambahkan konflik
yang dinamis, perspektif integrasi dan perspektif konflik bukan merupakan skema penjelasan
yang saling bersaing. Melainkan justru dengan adanya konflik, konsensus, integrasi dan
perpecahan merupakan satu kesatuan yang utuh di dalam menjalankan suatu proses yang
fundamental, walaupun porsi setiap bagian memiliki muatan yang berbeda merupakan bagian
kesatuan dari setiap sistem sosial yang berkorelasi (Demartoto, 2010, hal. 4).
Pemahaman akan konflik menurut Coser merupakan suatu kesadaran yang
menceminkan semangat pembaruan di dalam masyarakat yang mana nantinya mungkin akan
dapat dijadikan sebagai suatu alat yang bersifat instrumentalis di dalam pembentukan, penyatuan
dan pemeliharaan atas struktur sosial yang ada. Selain itu konflik juga dapat menetapkan dan
menjaga garis batas antara dua atau beberapa kelompok yang akhirnya dengan adanya konflik
inipun akan membuat kelompok yang lain untuk memperkuat kembali identitas kelompok dan
melindunginya agar tidak lebih ke dalam dunia sosial di sekelilingnya (Demartoto, 2010, hal. 2).
Menurut Coser struktur masyarakat yang longgar dapat direkatkan kembali ikatannya
melalui konflik. Relasi sosial yang mengalami masalah atau disintegrasi pada dasarnya dapat
diperbaiki melalui proses integrasi. Manfaat konflik lain adalah bahwa kelompok masyarakat
yang dulu terisolasi bisa aktif kembali peran dan fungsinya.
Penekanan teori konflik ini adalah bahwa tingkat struktur sosial yang berada di
masyarakat, di mana susunan struktur yang tercipta merupakan suatu hasil persetujuan dan
konsensus yang sekaligus mengarah pada proses konflik sosial (Demartoto, 2010, hal. 1-2).
Coser pun menegaskan bahwasanya konflik yang diungkapkan dapat merupakan tanda-
tanda dari hubungan-hubungan yang hidup, sedang tidak adanya konflik ini dapat berarti
penekanan masalah-masalah yang cenderung untuk dilupakan kelak akan menciptakan suasana
yang benar-benar kacau (Demartoto, 2010, hal. 2).
Setiap masyarakat mengandung konflik dalam dirinya atau dengan kata lain konflik
adalah gejala yang melekat dalam masyarakat. Karena masyarakat senantiasa berada di dalam
proses perubahan yang tidak pernah berakhir atau dengan kata lain perubahan sosial merupakan
gejala yang melekat dalam masyarakat.
• In-Group dan Out-Group: Paguyuban Masyarakat dan Paguyuban Apartemen.
Coser meyakini bahwa tingkat soliditas kelompok dalam (in-group) menjadi kuat karena
tingkat permusuhan dengan kelompok luar (out-group) juga tinggi. Johnson menjelaskan bahwa
kekompakan yang semakin tinggi dari suatu kelompok yang terlibat dalam konflik membantu
memperkuat batas antara kelompok yang terlibat dalam konflik membantu memperkuat batas
antara kelompok itu dan kelompok-kelompok lainnya dalam lingkungan itu, khususnya kelompok
yang bermusuhan atau secara potensial dapat menimbulkan permusuhan (Johnson, 1990, hal.
196).
Lebih lanjut, Johnson mengutarakan "di dalam kelompok itu ada kemungkinan
berkurangnya toleransi akan perpecahan atau pengkotakan, dan semakin tingginya tekanan pada
konsensus dan konformitas" (Johnson, 1990, hal. 196). Konflik yang berasal dari luar ini memacu
moral anggota untuk memperkuat kelompoknya. "Ancaman dari luar membantu meningkatkan
atau mempertahankan solidaritas internal" (Johnson, 1990, hal. 197). Konflik yang sedang
berlangsung dengan out-group dapat pula memperkuat identitas para anggota kelompok
(Demartoto, 2010, hal. 2). Sebaliknya, apabila tekanan dari luar kelompok berkurang maka akan
menipis rasa konformitas, kekompakan dan komitmen di dalam kelompok itu.
Identifikasi kelompok luar yang dalam hal ini adalah apartemen sebagai musuh bersama
membuat masyarakat kian kompak dan mengorganisir gerakan. Mereka mengetahui keberadaan
kelompok luar yang berpotensi merusak kehidupan mereka. Karena itulah mereka memperkuat
identitas agar mendapat posisi strategis dalam rangka perlawanan ini. Semakin kuat ancaman
dari kelompok luar maka semakin kuat pula kelompok mereka. Lahirnya paguyuban-paguyuban
yang digagas warga Karangwuni RT 01/RW 01 maupun pihak apartemen sendiri adalah bukti
adanya dorongan dari internal masing-masing untuk melindungi kepentingan mereka, secara
khusus, maupun memenangkan konflik ini, secara umum.
Akan tetapi bagi Coser bukan hanya konflik dengan kelompok luar yang dapat
menguntungkan kelompok itu. Konflik di internal kelompok juga menguntungkan. Karena itu
pertanyaan yang pantas diutarakan di sini bukan apakah ada konflik di internal kelompok
melainkan justeru pada bentuk konflik apa yang muncul.
Seperti Simmel, Coser berpendapat bahwa masyarakat tidak luput dari ketegangan,
konflik, dan perasaan negatif. Pertanyaannya adalah apa yang membuat kelompok itu mendapat
keuntungan dari konflik internal? Jawabnya bahwa perasaan negatif merupakan hasil dari
keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraannya, kekuasaan, prestise, dukungan sosial,
atau penghargaan-penghargaan lainnya (Johnson, 1990, hal. 199).
Konflik jenis ini bisa saja tidak meluap ke permukaan karena berhasil diredam. Akan
tetapi bila mana keinginan, hasrat dan aspirasi dari para anggota itu tidak dicarikan solusi konflik
itu akan dengan mudah menyala kembali. Bahkan konflik yang muncul kemudian akan lebih
besar dari konflik awal. Konflik yang bersifat integratif ini bisa melatih para anggota untuk
mengelola konflik secara dewasa. Tetapi konflik jenis ini juga spekulatif dalam arti "kalau
kerangka konsensus umum mengenai masalah pokok itu hancur, sehingga disintegrasi atau
perpecahan kelompok" (Johnson, 1990, hal. 200).
Bagaimana jika konflik itu akhimya dipendam oleh para anggota kelompok? Hal itu bisa
membuat hubungan para anggota terputus. "kalau keterlibatan para anggota sudah tinggi,
berakhirnya hubungan itu mungkin dipercepat dengan meledaknya konflik secara tiba-tiba dan
parah, di mana ketegangan dan permusuhan yang menggunung sejak masa lampau meledak
dalam bentuk amukan yang keras" (Johnson, 1990, hal. 201).
Konflik di dalam masyarakat sendiri muncul seiring waktu. Mereka yang pada awalnya
menolak apartemen beralih mendukung karena sebab-sebab yang tidak diketahui. Akhirnya
muncul keretakan di masyarakat yang lekas menjadi konflik laten. Konflik ini memuat pelajaran
penting di dalam paguyuban PWKTAU bahwa memperjuangkan kepentingan hidup mereka
dibutuhkan kerja sama dan kekompakan. Keintiman inilah yang menjadi harga mahal bagi
mereka.
Dengan melihat penjelasan singkat di atas dapat diketahui Coser sebenarnya
menekankan asumsi bahwa konflik adalah bagian dari proses perubahan sosial. Di mana konflik
tersebut dikelola menjadi potensi positif oleh para anggota kelompok. Polu integrasi
memungkinkan kekuatan di dalam kelompok kian solid dalam menghadapi konflik dengan
kelompok lain.
• Ketidakseimbangan
Simon Fisher sebenamya tidak menjelaskan secara panjang lebar terhadap kemungkinan
perkembangan teori konflik. Kata kunci yang bisa dikutip dari Fisher adalah tata kelola. Akan
tetapi sebelum ke inti sumbangan Fisher perlu dipaparkan dulu konteksnya agar bisa
mengerangkai gagasan besar Fisher.
Fisher mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak, atau lebih (individu
atau kelompok) yang memiliki, atau merasa memiliki, saran-saran yang tidak sejalan (Fisher,
2001, hal. 4). Sampai di sini ada kemiripan dengan gagasan Dahrendorf tentang dua kutub yang
memiliki perbedaan kepentingan. Akan tetapi perbedaannya ialah bahwa Dahrendorf lebih
terang-terangan dalam menganalisis pihak yang berkonflik. Sementara Fisher tidak demikian. la
menekankan bahwa "konflik timbul karena meratanya kemakmuran dan akses yang tidak
seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran,
kemiskinan, penindasan, kejahatan" (Fisher, 2001, hal. 4-5). Kondisi ketidakseimbangan inilah
yang menurut Fisher menjadi sebab munculnya konflik. Ketidakseimbangan di sini berarti makro.
Suatu masyarakat akan mengalami kondisi ketidakseimbangan. Dalam arti bahwa mereka akan
selalu menemukan konflik dalam hidupnya. Konflik adalah omnipresent. Tidak mungkin
menghindari konflik mengingat pula manusia hidup secara dinamis membangun hubungan
dengan manusia lain untuk menunjang hidupnya.
Dari kondisi ketidakseimbangan itu kemudian memunculkan inisiatif untuk menuju
kondisi yang seimbang. Ini berarti bahwa konflik dikelola sebagai potensi. Di antaranya melalui
pengidentifikasian konflik. Setidaknya ada empat tipe konflik:
1. Tanpa Konflik: Tanpa konflik dalam kesan umum adalah lebih baik. Namun,
setiap kelompok atau masyarakat yang hidup damai, jika mereka ingin agar
keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis,
memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan. Serta mengelola konflik secara
kreatif.
2. Konflik Laten: sifatnya tersembunyi. Perlu diangkat ke permukaan sehingga
dapat ditangani secara efektif.
3. Konflik Terbuka: adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan
memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai
efeknya.
4. Konflik di Permukaan: memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan
muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi
dengan meningkatkan komunikasi sendiri. Mengelola konflik terbuka tentu
berbeda dengan mengelola konflik laten.
Penahapan Konflik
Penahapan konflik menegaskan bahwa konflik tidak muncul serta merta. Ia terjadi
melalui rangkaian proses panjang yang meluputi sebab-sebab tejadinya konflik, setting/latar,
eskalasi, dan penanganannya. Fisher menjelaskan lima tahap konflik.
Pertama, prakonflik. lni merupakan periode di mana terdapat suatu ketidaksesuaian
sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari
pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadinya
konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan atau keinginan
untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini (Fisher, 2001, hal. 19).
Pada fase ini para aktor berusaha mengontruksikan diri mereka yang berbeda dengan
pihak lain. Potensi ini menimbulkan konflik pandangan berbeda di kedua belah pihak. Harus
ditegaskan bahwa konflik diawali perbedaan di antara kedua belah pihak. Karena itu di kedua
belah pihak itulah muncul konstruksi buruk pihak lain. Artinya jika hanya salah satu pihak saja
yang bertikai konflik tidak akan muncul. Persepsi buruk tentang orang lain muncul di dalarn
pikiran kedua belah pihak.
Kedua, konftrontasi. Pada tahap ini konflik menjadi sering terjadi. Jika hanya ada satu
pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi
atau perilaku konfrontatif lainnya. Kadang pertikaian atau kekerasan pada tingkat rendah lainnya
terjadi di antara kedua pihak. Masing-masing pihak mungkin mengumpulkan sumber daya dan
kekuatan dan mungkin mencari sekutu dengan harapan dapat meningkatkan konftrontasi dan
kekerasan. Hubungan di antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi di
antara para pendukung di masing-masing pihak (Fisher, 2001, hal. 19).
Konfrontasi bisa disebut sebagai fase mobilisasi di mana pihak yang berkonflik mulai
membangun kekuatan untuk menghadapi konflik. Kekuatan mereka bangun melalui mobilisasi
sekutu. Mereka membangun kekuatan dengan jaringan yang mereka miliki seluasluasnya untuk
memperkokoh kaki mereka di depan lawan.
Ketiga, krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan
terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-
orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus.
Pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak-pihak lainnya (Fisher,
2001, hal. 19).
Fase ini bisa disebut sebagai fase klimaks di mana para aktor berbenturan, saling
menyerang, mengalahkan guna memenangkan pihaknya. Kedua belah pihak tidak lagi sekadar
berbeda pendapat atau berselisih mengenai persepsi tetapi sudah memasuki fase "saling
menyalahkan".
Keempat, akibat. Suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin
menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan gencatan senjata (jika perang terjadi). Satu
pihak mungkin menyerah atas Kelurahankan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju
bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau
pihak ketiga lainnya yang lebih berkuasa mungkin memaksa kedua pihak menghentikan
pertikaian. Apa pun keadaannya, tingkat ketegangan, konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini
agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian (Fisher, 2001, hal. 19).
Setelah peperangan terjadi tentu saja satu hal yang perlu dicermati adalah akibat. Akibat
konflik adalah residu yang lahir dari himpitan konfrontasi kedua belah pihak. Bagaimana sikap
dari mereka setelah konflik itu mencapai klimaks. Misalnya, satu pihak menyerah baik secara
suka rela maupun Kelurahankan pihak lawan karena merasa kecil. Pada tahapan ini mulai
dipikirkan upaya penyelesaian konflik dan tensi konfrontasi tentu saja sudah menurun.
Kelima, pascakonflik. Akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai
konftrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke arah lebih normal di
antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran
mereka yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi
situasi pra-konflik (Fisher, 2001, hal. 19).
Pascakonflik adalah tahapan normalisasi. Ketegangan yang sempat mengemuka kini
sudah reda dengan, misalnya, dihadirkannya solusi tertentu. Akan tetapi ini bisa saja menjadi
catatan buruk jika pihak-pihak yang bertikai tidak diatasi dengan baik dan benar maka situasi
konflik akan terulang kembali. Ketidakseimbangan atau munculnya konflik tentu saja bisa
menjadi potensi di kemudian hari jika di manajemen dengan baik. Identifikasi masalah dan
penentuan strategi menjadi penting artinya dalam mengelola konflik.
Tahap-tahap konflik apartemen Uttara tidak selalu mengikuti siklus yang digambarkan
Fisher di atas. Sebab dalam fase yang digambarkan Fisher konflik berjalan seperti siklus yang
teratur. Artinya konflik berjalan melalui prasangka-prasangka sebelum akhirnya meletus.
Sementara di ujung cerita terjadi rekonsiliasi guna memperbaiki situasi pasca konflik. Ini tidak
terjadi, setidaknya belum terjadi, pada kasus konflik apartemen. Konflik justeru cenderung
berjalan pada situasi yang tidak normal. Maksudnya, pascakonfrontasi konflik ini cenderung
diendapkan oleh masyarakat. Mereka tetap menganggap ini sebagai konflik yang harus tetap
diadakan untuk mencapai aspirasi meskipun di sisi lain mereka tidak bergejolak lagi. Ini
sebenarnya sangat rawan karena konflik ini tidak benar-benar diselesaikan melalui mekanisme
yang jelas oleh pihak-pihak terkait.
F. METODE PENELITIAN
Menurut Bambang Rudito dan Melia Famiola, dalam karya tulis, metode penelitian yang
dipakai menggunakan pendekatan kualitatif melalui studi kasus (case study) sebagai pisau
analisis (Famiola, 2008). Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum
yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan sosial (Narbuko,
2003, hal. 164). Sedangkan studi kasus merupakan pendekatan penelitian terhadap satu kasus
yang dilakukan secara intensif dan mendalam pada lingkungan sosial tertentu.
Menurut Yin studi kasus studi kasus memungkinkan peneliti untuk mempertahankan
karakteristik holistik dan bermakna dari peristiwa-peristiwa kehidupan nyata –seperti siklus
kehidupan seseorang, proses-proses organisasional dan manajerial, perubahan lingkungan sosial,
hubungan-hubungan internasional, dan kematangan industri-industri (Yin, 2013, hal. 4). Karena
itu tidak heran jika studi kasus menjadi strategi penelitian bidang-bidang psikologi, sosiologi,
ilmu politik, dan perencanaan.
Ada beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan studi kasus:
• Inti atau hakekat sebuah kasus yang diteliti. Dalam hal ini inti dari kasus
penelitian ini adalah pencarian akar konflik antara masyarakat dengan apartemen.
Serta bagaimana dinamika konflik ini pada akhirnya menimbulkan dampak sosial
di masyarakat.
• Latar belakang terjadinya kasus tersebut. Konflik antara masyarakat dengan
PT. Bukit Alam Permata disebabkan oleh pemerintah yang menerbitkan izin
pembangunan. Padahal Perda untuk mengatur apartemen sendiri belum tersedia di
Kabupaten Sleman. Selain itu daerah yang menjadi cikal bakal apartemen adalah
kawasan dagang. Hal ini yang menimbulkan gelombang protes dari masyarakat
sekitar apartemen.
• Lokasi atau setting kasus yang diteliti. Lokasi penelitian ini adalah Karangwuni
RT 01/RW 01, Kelurahan Caturtunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman,
D.I. Yogyakarta. Daerah ini adalah kawasan strategis untuk sektor perdagangan
sebab menjadi penopang bagi kebutuhan para mahasiswa. Jalan Kaliurang yang
selama ini dikenal sebagai “jalur emas” mampu menghubungkan tempat-tempat
vital seperti kampus, mall, Malioboro maupun tempat hiburan di Kaliurang. Fakta
inilah yang menjadikan Jalan Kaliurang sebagai daerah potensial, termasuk untuk
membangun apartemen sebagai hunian kelas menengah atas. Dengan berdirinya
apartemen ini para konsumen mampu mengakses tempat-tempat penting itu
dengan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh.
• Konteks kasus. Konflik ini bukan konflik kepemilikan tanah. Melainkan konflik
sumber daya atau lingkungan. Ekspansi PT. Bukit Alam Permata di Jalan
Kaliurang itu dengan membangun apartemen setinggi 15 lantai dan 3 lantai
basement dinilai sebagai tindakan destruktif terhadap lingkungan. Betapa tidak,
daerah itu sebenarnya adalah dataran tinggi yang menjadi “penghantar” air kepada
daerah bawah seperti Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Jika aliran air ini
terhambat maka daerah di Sleman, Kota Yogyakarta, serta Kabupaten Bantul
sendiri akan mengalami kekeringan di musim kemarau dan tentu saja akan
mengalami kebanjiran di musim hujan. Akan tetapi menurut PT. Bukit Alam
Permata pembangunan apartemen telah mengantongi izin dari pemerintah. Ini
artinya, menurut mereka, pembangunan apartemen tidak merusak lingkungan.
Benturan pendapat ini terus terjadi dan tensi konflik jelas terus memanas.
• Sumber yang bisa memberikan informasi kasus yang diteliti. Sumber
informasi dalam penelitian ini dibagi menjadi empat. Pertama, warga Karangwuni
RT 01/RW 01. Kedua, pihak PT. Bukit Alam Permata. Ketiga, pihak pemerintah
baik Dukuh, Kelurahan maupun jajaran pemerintah di atasnya. Keempat,
komunitas peduli lingkungan seperti “Jogja Asat”. Akan tetapi dalam praktiknya
tidak semuanya bisa diwawancarai dengan mudah. Warga Karangwuni RT 01/RW
01 masih tertutup untuk memberikan keterangan kepada peneliti. Tak sedikit dari
warga yang sampai saat ini belum bersedia diwawancarai. Padahal penulis sudah
mengirimkan proposal penelitian via e-mail maupun datang langsung ke rumah
warga dan menjelaskan hal ihwal penelitian ini. Tetapi hingga skripsi ini ditulis
belum ada respons dari mereka. Kondisi yang sama juga penulis rasakan ketika
akan mewawancarai pihak apartemen yang berkantor di Jalan Kaliurang Km 4.5.
Menurut receptionist penulis hanya boleh mewawancarai Bapak Dadang. Tapi
setelah penulis meminta untuk ditentukan jadual wawancara, hingga hari ini, tidak
bisa direalisasikan dengan alasan kesibukan. Aparat Kelurahan juga demikian sulit
untuk ditembus.
Pendekatan studi kasus yang dipakai dalam penelitian ini ditujukan untuk mengamati
secara mendalam peristiwa yang muncul di masyarakat. Lebih jauh lagi, konflik terbuka yang ada
sejatinya merupakan rangkaian atau tahap dari proses panjang masyarakat.
Informan
Informan adalah orang yang menjadi sumber data/ informasi bagi peneliti kualitatif. Ada
beberapa cara untuk menentukan informan dalam penelitian. Salah satunya adalah orang yang
bersangkutan memiliki pengalaman dan pengetahuan akan masalah yang diteliti. Selain itu, usia
informan telah dewasa. Hal ini bertujuan supaya validitas data dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk menentukan informan kunci dibutuhkan beberapa strategi (Dirgantara, 2012),
yaitu :
1. Secara insidental artinya peneliti menemui seseorang yang sama sekali belum dikenal.
2. Menggunakan relasi dengan orang yang sudah dikenal sebelumnya pada lokasi penelitian
3. Informan kunci telah dirumuskan siapa orangnya
4. Dilakukan secara berkelanjutan (snowball). Artinya, dari satu orang merekomendasikan
orang lain. Proses ini dilakukan sampai peneliti mendapatkan data awal yang dibutuhkan.
Sebelum menemukan informan, ada dua informan kunci yang dapat membantu menuntun
kepada informan lainnya.
1. Ibu Indri
Ibu Indri adalah salah satu warga Karangwuni RT 01/RW 01 dan anggota PWKTAU yang
menolak pembangunan apartemen. Ia sering memobilisasi massa perempuan untuk turun ke jalan.
Ia mengetahui persis awal mula konflik ini meletus dan dinamika konfliknya hingga hari ini.
Informasi yang bisa didapat dari Ibu Indri adalah:
Asal usul pembangunan apartemen.
Kondisi sosial dan ekonomi dari masyarakat Karangwuni.
Potensi daerah Sleman khususnya Jalan Kaliurang.
Dampak sosial pembangunan apartemen.
Awal kemunculan konflik.
Memberikan rekomendasi calon informan yang kompeten dan memahami secara
mendalam masalah yang ada.
2. Bapak Imam Prasojo
Bapak Imam Prasojo adalah ketua RT 01/RW 01 Karangwuni sekaligus wakil ketua
umum 1 di struktur PWKTAU. Ia juga sebagai suami dari Ibu Indri. Ia termasuk salah satu yang
menolak dengan keras pembangunan apartemen.
Informasi yang dapat dihimpun oleh peneliti dari hasil wawancara dengan Bapak Imam
Prasojo adalah:
Asal usul dan sosialisasi pembangunan apartemen.
Kondisi masyarakat Karangwuni RT 01/RW 01.
Potensi Jalan Kaliurang.
Agenda PWKTAU dalam menolak apartemen.
Awal mula konflik.
Tekanan dari pihak apartemen.
Selain dua informan kunci itu, ada informan lain yang juga dijadikan sebagai rujukan
utama dalam pengambilan data. Informasi yang didapatkan dari informan sebagai data primer
dalam sebuah penelitian. Terdapat langkah untuk menentukan orang yang tepat dianggap sebagai
informan, (Spradley, 1997). Misalnya, informan harus terlibat langsung dalam permasalahan.
Atau, harus memahami nilai-nilai masyarakat setempat (enkulturasi penuh) karena mungkin
hidup di dalam budaya masyarakat itu.
1. Ibu Teti
Ibu Teti adalah salah satu warga Karangwuni RT 01/RW 01 sekaligus menjadi anggota
aktif di PWKTAU. Ia mengetahui dengan persis konflik apartemen dengan warga dan turut serta
dalam berbagai aksi penolakan.
2. Bapak Suratman
Bapak Suratman adalah salah satu anggota PWKTAU yang hingga kini masih aktif di
berbagai kegiatan menolak apartemen. Ia juga mengikuti dan mengawal kasus kriminalisasi Aji
Kusumo. Menurutnya ini adalah wujud kriminalisasi terhadap warga yang menolak apartemen.
3. Bapak Sarwiyono.
Adalah kepala Dukuh Karangwuni yang, konon, menjembatani warga dengan apartemen.
Ia memiliki pandangan yang berbeda dengan warganya bahwa apartemen Uttara the Icon telah
mengantongi izin dari pemerintah karena itu penolakan warga sama sekali tidak beralasan.
Menurutnya, sikap keras warga hanya akan memecahbelah masyarakat secara luas.
4. Mas Dodok
Sebagai salah satu aktivis “Jogja Asat” yang peduli terhadap lingkungan di Yogyakarta.
Sebenarnya pada awalnya ia hanya menangani kasus di Fave Hotel. Tetapi ia peduli dengan
berbagai kasus di daerah Sleman seperti yang dihadapi warga pada kasus konflik apartemen
Uttara the Icon. Ia ikut mengadvokasi kasus ini dan mengamati dinamika konfliknya.
Metode purposive (bertujuan) digunakan dalam memilih informan penelitian ini. Empat
informan di atas diperoleh berdasar rekomendasi yang diberikan Bapak Imam Prasojo dan Ibu
Indri. Nama-nama di atas merupakan orang-orang yang dianggap memahami benar
permasalahan sedari awal hingga kini.
Jenis dan Sumber data
Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan
sekunder. Data pertama diambil dari data yang langsung diambil melalui kegiatan lapangan
penelitian seperti wawancara mendalam (indept interview) dan observasi lapangan.
a. Wawancara mendalam ( Indept Interview).
Metode wawancara ini digunakan untuk wawancara langsung ke subjek studi kasus
dalam penelitian ini, yakni pihak yang berkonflik, pengembang Apartemen, masyarakat lokal
(RT 01/RW 01), dan aparat Kelurahan setempat. Wawancara dilakukan dengan menggunakan
prinsip triangulasi, di mana data yang diperoleh dari informan akan dicrossceck kepada informan
lain untuk memperoleh data yang valid. Misalnya data tentang kesalahan penulisan undangan
yang dilakukan PT. Bukit Alam Permata yang dikatakan oleh Ibu Indri dicrossceck kepada Bapak
Imam Prasodjo. Hal ini digunakan untuk memperkuat atau menemukan data yang valid.
b. Dokumentasi lapangan
Keadaan dan setting dari lokasi ini didokumentasikan agar didapatkan data sekunder
sebagai penguat data primer. Dokumentasi dilakukan pada saat observasi dan proses
pengumpulan data dengan cara mendokumentasikan kerja atau gambar yang dapat digunakan
sebagai instrument atau suplemen untuk memperkuat analisis data informan. Selama di lapangan
penulis berusaha mengikuti perkembangan kasus. Sering kali warga memberikan bukti berupa
gambar aktivitas pembangunan apartemen atau hasil kajian mereka. Kajian Renacana Detail Tata
Ruang (RDTR), kronologi perjuangan warga, atau catatan indikasi pelanggaran perizinan yang
didokumentasikan oleh warga juga diberikan kepada penulis sebagai bukti.
c. Observasi
Observasi sebenarnya hanyalah langkah awal saja untuk mendalami kondisi lapangan
dari penelitian ini. Sifat observasi dalam konteks ini sebagai penguat data primer. Pada saat
observasi dilakukan penulis merasakan kesulitan untuk masuk ke dalam persoalan. Tetapi setelah
beberapa kali melakukan pendekatan dengan warga disertai dengan perizinan yang resmi
perlahan-lahan penulis mampu memasuki area persoalan.
d. Studi Pustaka
Jurnal, buku, surat kabar, e-book juga dilibatkan sebagai penguat data primer yang telah
didapat di lapangan. Referensi yang disertakan berkaitan dengan isu tata ruang seperti karya
Henry Lefebvre yang berjudul “The Production of Space”. Selain itu sejarah kota yang ditulis
oleh Purnawan Basundoro, Djoko Suryo, maupun Sartono Kartodirjo dkk, turut membantu untuk
melacak berbagai konflik yang ada pada masa itu. Berbagai rujukan dari sumber lainpun menjadi
penting untuk membantu dalam proses penelitian ini.
2.1 Pengumpulan data
Penelitian ini dimulai dengan menentukan objek penelitian. Dalam menentukan focus of
interest penelitian, dilaksanakan kajian pendahuluan guna memperoleh signifikansi penelitan.
Selanjutnya, dilakukan prasurvey yakni observasi secara mendalam untuk memperoleh gambaran
awal permasalahan yang telah ditentukan di bagian awal. Pengumpulan data dalam penelitian ini
ditentukan melalui beberapa pengumpulan teknik data. Dalam pengumpulan data menggunakan
partisipatoris yang secara langsung terjun lapangan. Selain itu, dalam observasi partisipatoris juga
dilakukan pengamatan atas realitas yang ditemukan, kemudian dilakukan pencatatan lapangan
sebagai proses dokumentasi kegiatan. Dari berbagai proses pengumpulan data, selanjutnya
dilakukan pengolahan dan analisis data, yang kemudian diteruskan dengan proses evaluasi dan
penyusunan laporan penelitian.
Dalam menentukan objek penelitian penulis diberikan masukan dan saran oleh sejumlah
pihak untuk menentukan titik sasaran yang belum banyak dikaji peneliti pendahulu. Kajian-
kajian pendahuluan terkait apartemen juga menjadi sarana bagi penulis untuk mengetahui lebih
jelas terkait ampak dari pembangunan apartemen. Setelah itu peneliti melakukan prasurvey untuk
mengetahui kondisi lapangan. Selanjutnya peneliti terjun ke lapangan untuk mengamati secara
mendalam konflik apartemen dan mendokumentasikan kegiatan.
Recommended