View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat telah memanfaatkan teknologi
sebagai bagian utama dalam menjalankan roda kehidupan mereka baik dalam
melakukan usaha, bekerja, sekolah, bahkan menjadi gaya hidup bagi sebagian elemen
masyarakat. Pemanfaatan Teknologi Informasi juga berperan penting dalam
perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat. Perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi
menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang
secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.1
Untuk menunjang kemajuan teknologi itu maka di buatlah hukum telematika, sebagai
pedoman dan dasar hukum bagi setiap perbuatan hukum masyarakat yang berkaitan
dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Penggunaan teknologi yang marak saat ini menyulitkan pemisahan antara
teknologi informasi dan telekomunikasi. Hal ini disebabkan karena hukum telematika
merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan
hukum informatika. Perubahan lingkungan global dan perkembangan teknologi
telekomunikasi yang berlangsung sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan
1 Konsideran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, huruf C.
2
mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara
pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi.2
Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat informasi dunia. Oleh sebab itu Indonesia yang wajib membentuk
pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat
nasional. Tujuannya agar pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara
optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Hukum yang mengatur
jaringan informasi diperlukan oleh masyarakat untuk mengakses dan
mendistribusikan informasi, baik di dalam negeri maupun global.3
Penyesuaian dalam penyelenggaraan telekomunikasi di tingkat nasional sudah
merupakan kebutuhan nyata, mengingat meningkatnya kemampuan sektor swasta
dalam penyelenggaraan telekomunikasi, penguasaan teknologi telekomunikasi, dan
keunggulan kompetitif dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat.4
Indonesia merupakan negara yang turut aktif dalam perkembangan hukum ITE
di dunia internasional. Oleh karena itu perkembangan hukum teknologi informasi di
Indonesia juga tetap memperhatikan perkembangan hukum ITE di dunia
internasional. Antaralain, Singapura yang proses perkembangan hukum tersebut
menjadi latar belakang disusunnya skripsi ini dengan judul Pembuktian Dalam
Transaksi Elektonik di Indonesia dan Singapura. Adapun masalah (legal issue) yang
akan dikaji dalam proposal ini antaralain kaidah dan asas-asas tentang pembuktian
2 Penjelasan UU Telekomunikasi No. 36 Tahun 1999, Paragraf ke 2. 3 Hinca P, L.H. Pranoto, M. D. A. Siregar. Irfan Fahmi, Membangun Cyber Law Indonesia
yang Demokratis, Jakarta, 2005, hal.,17. 4 Ibid.
3
yang berlaku di UU ITE dan UU Telekomunikasi Indonesia serta beberapa putusan
pengadilan mengenai ITE perlu dibandingkan dengan ETA 2010 Singapura dan
yurisprudensi tentang ITE.
Kehadiran teknologi informasi telah merubah paradigma dalam kehidupan
manusia. Dalam aspek hukum perubahan paradigma ini berkaitan dengan penggunaan
komputer sebagai media untuk melakukan kegiatan di dunia ITE khususnya
kejahatan, memiliki tingkat kesulitan tersendiri dalam pembuktiannya. Meskipun
secara substansi pasal-pasal dalam KUHP dan KUHAP dapat saja diupayakan untuk
mengakomodasikan modus kejahatan ITE.5 Namun dalam hukum pidana terjadi
perdebatan mengenai apakah masih relevan model pembuktian konvensional
dihadapkan pada kejahatan di dunia maya.6
Pembuktian sebagai issue dalam perbandingan ini memegang peranan penting
dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dalam kasus ITE dan Telekomunikasi
pembuktian dalam persidangan menjadi sedikit berbeda, pembuktian yang berkaitan
dengan dunia maya menggunakan sarana internet.
Alat bukti yang dapat diterima di pengadilan adalah alat bukti yang relevan
dengan apa yang akan dibuktikan. Alat bukti yang relevan adalah suatu alat bukti di
mana penggunaan alat bukti tersebut dalam proses pengadilan lebih besar
kemungkinan akan dapat membuat fakta yang akan dibuktikan menjadi lebih jelas
5 Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime), Kencana, Makassar, 2012, hal., 18. 6 Abdul Wahid, Mohammad Labib, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama,
Malang, 2005, hal., 104.
4
daripada jika alat bukti tersebut tidak digunakan.7 Dengan demikian relevansi alat
bukti tidak hanya diukur dari ada tidaknya hubungan antara alat bukti dengan fakta,
melainkan berkaitan apakah alat bukti ini dapat mengungkap fakta menjadi lebih
jelas.
Seperti yang sudah diketahui bersama jika menggunakan sarana internet maka
data-data jaringan internet atau komputer relatif sulit dan berbeda caranya untuk
ditemukan oleh aparat penegak hukum. Aparat relatif kesulitan dalam mengumpulkan
bukti-bukti untuk menjerat pelaku tindak pidana. Oleh karena itu UU ITE 2008
mengatur secara khusus mengenai alat bukti dalam Pasal 5. Dalam pasal 5 UU ITE
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya
merupakan alat bukti yang sah. Kemudian dalam UU Telekomunikasi dalam Pasal 42
(2), rekaman informasi yang dikirim dan atau diterima oleh jasa penyelenggara
telekomunikasi dapat diberikan kepada penyidik untuk keperluan proses peradilan
pidana. Berdasarkan aturan dalam Pasal 5 UU ITE 2008 maka alat bukti konvensional
yang telah diatur dalam KUHAP dan KUHPerdata mengalami perubahan
(penambahan). Sedangkan dalam Pasal 6 ETA 2010 Singapura, alat bukti yang sah
dalam kasus transaksi elektonik adalah setiap informasi yang dibuat dalam bentuk
catatan elektronik.
Selain alat bukti, hal yang juga penting diperhatikan adalah beban
pembuktikan. Beban pembuktian (onus) terdapat dalam Pasal 7 UU ITE 2008 dan
Pasal 15 (1) UU Telekomunikasi. Dalam pasal 7 UU ITE 2008, setiap orang yang
7 Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, Citra Adytia Bakti, 2012,
hal., 27.
5
dalam kaitannya dengan informasi/dokumen elektronik menolak hak orang lain, maka
ia wajib membuktikan atau memastikan bahwa informasi/dokumen elektronik yang
dimaksud dapat digunakan sebagai alasan timbulnya hak.8 Untuk beban pembuktian
UU Telekomunikasi dalam 15 (1) dijelaskan bahwa pihak-pihak yang dirugikan
akibat kesalahan atau kelalaian dari penyelenggara telekomunikasi berhak
mengajukan tuntutan ganti rugi. Apabila dibandingkan dengan ETA 2010 Singapura,
pengaturan mengenai beban pembuktian terdapat dalam Pasal 19. Dirumuskan dalam
Pasal 19 ETA 2010, setiap proses yang melibatkan catatan elektronik harus dianggap
ada kecuali dibuktian sebaliknya pada waktu tertentu catatan elektronik tersebut telah
diubah.
Perlu juga diketahui mengenai rumusan tindak pidana dan perbuatan melawan
hukum dalam ketiga peraturan mengenai ITE, sebagai bahan hukum dari penelitian
ini. Dalam UU Telekomunikasi 1999 rumusan tindak pidana dan perbuatan melawan
hukum adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang mengakibatkan kerugian serta
praktek monopoli, persaingan usaha, menimbulkan gangguan fisik dan
elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi, dan kegiatan penyadapan
atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun
kecuali untuk keperluan pembuktian.
Kemudian rumusan tindak pidana dan perbuatan melawan hukum dalam UU
ITE 2008 yaitu tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa hak yang
menimbulkan kerugian dan dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik. Sedangkan tindak pidana dan perbuatan melawan
8 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektonik, Pasal 7.
6
hukum menurut ETA 2010 Singapura adalah mengakses informasi pribadi dan
memberitahukan informasi tersebut tanpa adanya persetujuan dari si pemilik
informasi dan mengintersepsi jaringan dengan tujuan untuk mengakses informasi
pribdi seseorang.
Matrix 1: Perbandingan Hukum ITE Indonesia dan Singapura
No
Pumpunan
Indonesia
Singapura
UU Telekomunikasi
1999
UU ITE 2008
ETA 2010
1 Pembuktian:
Alat Bukti Pasal 42 (2): Rekaman informasi
yang dikirim dan
atau diterima oleh
penyelenggara jasa
telekomunikasi serta
dapat memberikan
informasi yang
diperlukan untuk
proses peradilan
pidana.
Pasal 5:
Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau
hasil cetaknya
merupakan alat bukti
hukum yang sah.
Pasal 6:
For the avoidance of
doubt, it is declared
that information
shall not be denied
legal effect, validity
or enforceability
solely on the ground
that it is in the form
of an electronic
record.
2 Pembuktian:
Beban
Pembuktian
Pasal 15 (1):
Atas kesalahan dan
atau kelalaian
penyelenggara
Telekomunikasi
yang
menimbulkan
kerugian, maka
pihak-pihak yang
dirugikan berhak
mengajukan tuntutan
ganti rugi kepada
penyelenggara
telekomunikasi.
Pasal 7:
Setiap Orang yang
menyatakan hak,
memperkuat hak
yang telah ada, atau
menolak hak Orang
lain harus
memastikan bahwa
Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen
Elektronik berasal
dari Sistem
Elektronik dan
memenuhi syarat
Berdasarkan
Peraturan
Perundang-
undangan.
Pasal 19:
In any proceedings
involving a secure
electronic record, it
shall be presumed,
unless evidence to
the contrary is
adduced, that the
secure electronic
record has not been
altered since the
specific point in time
to which the secure
status relates.
Sumber Tabel: diolah dari tiga UndangUndang; (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi,
(3) Electronik Transaction Act 2010 Singapura.
7
Variabel pembanding pertama adalah alat bukti. Alat bukti elektronik secara
jelas telah diatur dalam UU Telekomunikasi 1999, UU ITE 2008, dan ETA 2010.
Dalam ke tiga peraturan ini menyatakan bahwa pengadilan tidak dapat menolak suatu
alat bukti dengan alasan bahwa alat bukti tersebut adalah alat bukti elektronik.
Variabel pembanding kedua adalah beban pembuktian. Pengaturan tentang
beban pembuktian di Indonesia dan di Singapura menyatakan bahwa setiap orang
yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain
harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik berasal
dari Sistem Elektronik dan memenuhi syarat Berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan.
Matrix 2: Perbandingan Hukum ITE Indonesia dan Singapura
No
Pumpunan
Indonesia
Singapura
UU Telekomunikasi
1999
UU ITE 2008
ETA 2010
1 Penyidik Pasal 44 (1): Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik
Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan
Departemen yang
lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di
bidang
telekomunikasi, diberi
wewenang khusus
sebagai penyidik yang
diatur dalam Undang-
Undang Hukum Acara
Pidana untuk
Pasal 43 (1): Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik
Indonesia, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil
tertentu di lingkungan
Pemerintah yang
lingkup tugas dan
tanggung jawabnya di
bidang Teknologi
Informasi dan
Transaksi Elektronik
diberi wewenang
khusus sebagai
penyidik
sebagaimana dimaksud
Pasal 27: The Controller
shall, subject to
any general or
special directions
of the Minister,
perform such
duties as are
imposed and may
exercise such
powers as are
conferred upon
him by this Act or
any other written
law.
8
melakukan penyidikan
tindak pidana di
bidang
telekomunikasi.
dalam Undang-Undang
tentang Hukum Acara
Pidana untuk
melakukan penyidikan
tindak pidana di
bidang ITE. Sumber Tabel: diolah dari tiga UndangUndang; (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi,
(3) Electronik Transaction Act 2010 Singapura.
Variabel pembanding ketiga adalah penyidikan. UU Telekomunikasi 1999 dan
UU ITE 2008 mengatur tentang penyidik kasus ITE adalah penyidik POLRI,
penyidik khusus yaitu Pegawai Negeri Sipil yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang telekomunikasi dan transaksi elektronik. Sedangkan dalam ETA 2010,
penyidik kasus transaksi elektronik adalah seseorang yang di tunjuk Menteri yang
dianggap mampu membantu melaksanakan tujuan ETA 2010.
Matrix 3: Perbandingan Hukum ITE Indonesia dan Singapura
No
Pumpunan
Indonesia
Singapura
UU Telekomunikasi
1999
UU ITE 2008
ETA 2010
1 Waktu
berlakunya
kontrak
PP 82 2012 Pasal 50
(3):
Kesepakatan kontrak
dapat dilakukan
dengan cara
penerimaan yang
menyatakan
persetujuan dan
penerimaan dan/atau
pemakaian objek oleh
Pengguna Sitem
Elektronik.
Pasal 20:
Transaksi elektronik
pada saat penawaran
yang dikirim oleh
pengirim telah di
terima dan di setujui
oleh penerima dengan
cara memberikan
pernyataan penerimaan
secara elektronik.
Pasal 13 (2):
The time of receipt
of an electronic
communication is
the time when the
electronic
communication
becomes capable
of being retrieved
by the addressee at
an electronic
address designated
by the addressee. Sumber Tabel: diolah dari tiga UndangUndang; (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi,
(3) Electronik Transaction Act 2010 Singapura.
9
Variabel pembanding keempat adalah waktu berlakunya kontrak elektronik.
Dalam ETA 2010 suatu kontrak elektronik dinyatakan mulai berlaku sejak kontrak
tersebut telah dikirim dan dapat di unduh oleh penerima melalui alamat elektronik
penerima. Sedangkan waktu berlakunya kontrak menurut UU Telekomunikasi 1999
dan UU ITE 2008 adalah ketika kontrak telah diterima dan penerima harus
memberikan pernyataan penerimaan kepada pengirim kontrak.
Alasan dipilihnya keempat variable tersebut sebagai variabel dalam penelitian
ini karena variabel yang telah diuraikan adalah elemen-elemen penting, setiap kali
orang hendak membicarakan mengenai hukum pembuktian. Demikian pula dengan
yang dilakukan dalam skripsi ini. Keempat variabel tersebut dibandingkan dalam dua
hukum pembuktian dari dua sistem hukum yang berbeda.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi
Elektronik di Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi
Elektronik di Singapura?
3. Bagaimana perbandingan aspek-aspek hukum Pembuktian yang mengatur
Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura?
10
1.3. Tujuan Penelitian
1. Ingin mengetahui dan menganalisis tentang pengaturan hukum Pembuktian
Informasi dan Transaksi Elektronik di Indonesia
2. Ingin mengetahui dan menganalisis tentang pengaturan hukum Pembuktian
Informasi dan Transaksi Elektronik di Singapura
3. Ingin membandingkan hukum Pembuktian Informasi dan Transaksi Elektonik
di Indonesia dan Singapura.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis dan Manfaat Praktis:
Dengan penelitian ini dapat digambarkan aspek-aspek dari konsep pengatutan
transaksi elektonik dan telekomunikasi dan diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi pembelajaran ITE di Indonesia.
Ingin menemukan hal-hal baru dalam pengaturan ITE dan Telekomunikasi
sehingga dapat dipergunakan dalam pembaruan hukum yang mengatur ITE dan
Telekomunikasi di Indonesia.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian ini adalah suatu penelitian orisinil. Belum pernah ada penelitian
sejenis yang dilakukan sebelumnya. Sebagai gambaran mengenai hal itu, dibawah ini
disajikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya:
11
Matrix 5: Perbandingan Skripsi-Skripsi yang Pernah Ditulis Sebelumnya
No Nama
Penulis
Judul Skripsi Rumusan Masalah Kesimpulan
1 Henry
Nugraha
Pembuktian
Tindak Pidana
Siber Dalam
Perspektif
Undang-Undang
No. 11 Tahun
2008 Tentang
Informasi dan
Transaksi
Elektronik.
1. Bagaimana sistem
pembuktian tindak
pidana siber (Cyber
Crime) ?
2. Siapakah yang
berwenang (yang
memiliki kapasitas
dan kekuasaan)
untuk melakukan
penyidikan
terhadap dugaan
adanya tindak
pidana siber?
Dalam
perspektif UU ITE ada
penambahan alat bukti
yaitu perluasan dari
alat bukti yang diatur
dalam Pasal 184
KUHP,ditambah
dengan Pasal 5 UU
ITE.
Pihak yang
berwenang melakukan
penyidikan tindak
pidana siber dalam
perspektif UU ITE:
yang berwenang
melakukan penyidikan
dalam perspektif UU
ITE terdiri dari dua
peyidik, pertama
penyidik POLRI
kedua penyidik PPNS.
Sumber: Diolah dari skripsi-skripsi yang pernah ditulis
Skripsi yang pertama ditulis oleh Henry Nugraha dengan judul “Pembuktian
Tindak Pidan Siber Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Rumusan masalah yang dibahas
dalam skripsi ini adalah pembuktian tindak pidana siber (CyberCrime) dan pihak
yang berwenang menangani tindak pidana siber.
12
Matrix 6: Perbandingan Skripsi-Skripsi yang Pernah Ditulis Sebelumnya
No Nama
Penulis
Judul Skripsi Rumusan Masalah Kesimpulan
1 Aryo
Hendrawan
Pengaturan Alat
Bukti Elektronik
Dalam Pembuktian
Kejahatan Dunia
Maya (Cyber
Crime)
1. Bagaimana
pengaturan
alat bukti
elektronik
dalam
pembuktian
kejahatan
dunia maya
(cyber crime)?
2. Kesulitan-
kesuliatan di
dalam
penggunaan
alat bukti
elektronik.
Pengaturan alat bukti
elektronik yang sah
diatur dalam UU ITE
Tahun 2008 Pasal 5.
Alat bukti elektronik
khususnya yang
berkaitan dengan
rekaman/salinan data
yang dapat diperoleh
dari sebuah sistem
jaringan komputer
yang aman dan dapat
di percaya serta dapat
diterima untuk
membuktikan
kejahatan di dunia
maya dan di jadikan
Real Evidence Sumber: Diolah dari skripsi-skripsi yang pernah ditulis
Skripsi yang pertama ditulis oleh Henry Nugraha dengan judul “Pembuktian
Tindak Pidan Siber Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. Rumusan masalah yang dibahas
dalam skripsi ini adalah pembuktian tindak pidana siber (CyberCrime) dan pihak
yang berwenang menangani tindak pidana siber.
Matrix 7: Perbandingan Skripsi-Skripsi yang Pernah Ditulis Sebelumnya
No Nama
Penulis
Judul Skripsi Rumusan Masalah Kesimpulan
1 Joko
Kusuma
Pengaturan KUHP
dalam
Menanggulangi
1. Apakah KUHP
dapat di
gunakan
KUHP bisa di
gunakan dalam
menanggulangi cyber
13
Cyber Crime sebagai
perangkat
hukum dalam
menanggulangi
cyber crime?
crime. Pasal-pasal
yang dapat diterapkan
dalam kasus cyber
crime yaitu Pasal 263
KUHP, Pasal 362
KUHP, Pasal 378
KUHP, dan Pasal 407
KUHP. Sumber: Diolah dari skripsi-skripsi yang pernah ditulis.
Skripsi yang ketiga ditulis oleh Joko Kusuma dengan judul “Pengaturan
KUHP dalam menanggulangi Cyber Crime”. Skripsi ini menganalisi tentang
apakah KUHP dapat di gunakan sebagai dasar hukum jika terjadi cyber crime. Dari
hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa KUHP dapat digunakan untuk
menanggulangi cyber crime.
Jika di bandingkan dengan skripsi-skripsi yang sudah pernah di tulis
sebelumnya, penelitian ini menjadi berbeda karena selain akan membahas pengaturan
hukum ITE di Indonesia, juga akan menganalisis pengaturan hukum ITE di
Singapura. Walaupun Indonesia dan Singapura telah memberlakukan undang-undang
tentang transaksi elektronik, namun pada kenyataannya Singapura berada jauh di atas
Indonesia dalam hal penggunaan kecanggihan teknologi serta peraturan yang
menunjang kegiatan-kegiatan di bidang transaksi elektronik. Oleh karena itu,
penelitian ini juga akan membandingakan aspek-aspek hukum yang mengatur hukum
ITE di Singapura dan Indonesia.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum. Untuk membandingkan pengaturan tentang pembuktian Informasi dan
14
Transaksi Elektronik di Indonesia dan Singapura serta perbandingannya. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hukum Komparatif (Comparative Law).
Pendekatan Hukum Komparatif bertujuan memaparkan persamaan dan perbedaan
sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya. Kemudian dengan
Pendekatan Undang-undang (Statute Approach).9 Pendekatan peraturan perundang-
undangan adalah pendekatan dengan menggunakan legislasi dan regulasi. Dan
dengan Pendekatan Analitis (Analitycal Approach), yaitu menganalisis pengertian
hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep yuridis.10
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2007, hal., 96. 10 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia
Publishing, 2006, hal., 45.
Recommended