View
232
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan hal yang dibutuhkan bagi
manusia dalam bersosialisasi. Sosialisasi manusia menggunakan bahasa
bertujuan untuk menyampaikan informasi berupa pikiran, gagasan, maksud,
perasaan maupun emosi secara langsung. Berbagai tujuan tersebut
menunjukkan bahwa pemahaman dan pengkajian terhadap kegiatan
komunikasi serta bahasa harus terus dilakukan sebagai upaya pengembangan
keilmuan kebahasaan dan sebagai upaya-upaya mengatasi permasalahan yang
berkenaan dengan komunikasi dan hubungan sosial manusia pada umumnya.
Proses komunikasi yang efektif dan interaktif pada dasarnya melibatkan
dua pihak atau lebih, yaitu penutur atau mitra tutur. Penutur berperan sebagai
pemberi pesan atau informasi, adapun mitra tutur berperan sebagai penerima
pesan dari penutur. Proses ini termasuk dalam kajian pragmatik.
Menurut Levinson pragmatik adalah studi mengenai relasi antara tanda
bahasa dengan penggunanya (dalam Subroto, 2011: 1). Pengguna bahasa dapat
disebut dengan penutur atau mitra tutur, sehubungan dengan hal itu Levinson
menyatakan: “Pragmatics is the study of the relations between language and
context that are basic to an account of language understanding” (dalam
Subroto, 2011: 21). Berdasarkan rumusan tersebut jelas bahwa konteks bersifat
dasar untuk memahami maksud tuturan. Dengan demikian pragmatik mengkaji
2
hubungan antara bahasa dan konteks. Hubungan antara keduanya bersifat dasar
(basic) dalam rangka memahami komunikasi dengan bahasa.
Teori tindak tutur merupakan salah satu kajian penting dalam
pragmatik. Menurut Searle dalam bukunya Speech acts: An Essay in The
Philosophy of Language (1987: 23-25) mengemukakan bahwa secara
pragmatis ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur,
yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan
tindak perlokusi (perlocutionary act).
Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan
dengan kalimat performatif dan eksplisit. Sebuah tuturan selain berfungsi untuk
mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan untuk
melakukan sesuatu (Wijana, 1996: 18). Searle (1987) membagi tindak tutur
ilokusi ini menjadi 5 macam, yaitu asertif, ekspresif, komisif, deklaratif, dan
direktif.
Leech (1993: 327-328) dalam buku “Prinsip-Prinsip Pragmatik”
menyatakan, tindak tutur asertif berupa tuturan affirm (menguatkan), allege
(menduga), assert (menegaskan), forecast (meramalkan), predict
(memprediksi), announce (mengumumkan), insist (mendesak). Tindak tutur
ekspresif berupa tuturan apologize (meminta maaf), commiserate (merasa ikut
bersimpati), congratulate (mengucapkan selamat), pardon (memaafkan), thank
(mengucapkan terima kasih). Tindak tutur komisif berupa tuturan offer
(menawarkan), promise (berjanji), swear (bersumpah), vow (berkaul). Tindak
tutur deklaratif berupa tuturan adjourn (menunda), veto (memveto),
3
sentence(menjatuhkan hukuman), baptize (membaptis). Adapun tindak tutur
direktif berupa tuturan ask (meminta) beg (meminta dengan sangat), bid
(memohon dengan sangat), command (memberi perintah), demand (menuntut),
forbid (melarang), recommend (menganjurkan), request (memohon).
Leech (1993: 327) menyatakan bahwa tuturan menegaskan merupakan
salah satu jenis tindak tutur asertif. Tuturan menegaskan bertujuan untuk
menjelaskan kembali suatu kesalahan atau keraguan yang dilakukan oleh
seorang penutur kepada mitra tutur. Tuturan menegaskan dapat kita temui
dalam percakapan sehari-hari, tuturan dalam film, drama, talkshow, novel dan
buku cerita, misalnya seperti penggalan tuturandrama Ahlul Kahfi bagian
pertama:
؟شو ن ر ام اي ن ث ب ل م ك !ن م ل ؤ ىي ر ه ي(آه!ظ ط م ت )ي :اي ن ي ل ش م !ك ت ل ئ س أ ىب ر د ص ج ر ت ك ن !إ ف أ :شو ن ر م
ك ن أ :مشلينيا ك و ن ر م لك!ث م ر د الص ق ي لمض تع و ل ك ل ذ ا ااى ن ث ب ل م ش،(AKbg1/1932/14/65)ا؟ن ى
Misyli>niya: (yatamaththa>) a>h! zhahri> yu’limuni>! Kam labitsna ya> marnusy?
Marnu>sy: uf! Innaka tuchriju shadri> bias’ilatika! Misyli>niya: ana> kadzalika lau ta’lam dhaiqu’sh-shadri mitslak! Marnusy,
kam labitsna> ha huna>?
Mislinia: “(berjalan sempoyongan) “aah! Punggungku sakit! Berapa lama kita
tinggal Marnus?”
Marnus: “uff! Sesungguhnya pertanyaanmu membuat dadaku sesak!”
Mislinia: “aku juga begitu kalau kamu tahu dadaku sesak sepertimu! Marnus,
berapa lama kita tinggal di sini?”
Penggalan tuturan dalam drama Ahlul Kahfi bagian pertama di atas
ditemukan tuturan menegaskan, yaitu pada tuturan “Marnusy, kam labitsna> ha
ha huna>?‛ yang mengulang tuturan sebelumnya yaitu “Kam labitsna
4
ya>marnusy?”. Pada tuturan tersebut juga ditemukan tanda menegaskan selain
pengulangan kata, , yaitu berupacharfu tanbih ha. Charfu tanbih ha digunakan
untuk menegaskan tempat yang dimaksud oleh penutur. Shachrawi (2005: 210)
menyebutkan adanya tiga ciri ta’ki>d (tuturan menegaskan) salah satunya adalah
adalah dengan ada>tu tauki>d.
Drama merupakan suatu petunjukkan yang membawakan sebuah cerita,
media yang digunakan untuk menyampaikan cerita tersebut melalui gerak dan
tuturan-tuturan yang dilakukan oleh para tokohnya. Drama Ahlul Kahfi
initerdiri dari empat bagian cerita. Bagian pertama merupakan awal kisah yang
menceritakan bagaimana dan mengapa dua orang menteri raja Dikyanus dan
seorang penggembala beserta anjingnya bersembunyi di dalam gua ar-Raqim.
Bagian pertama ini diakhiri dengan terbongkarnya tempat persembunyian dua
menteri dan seorang penggembala beserta anjing penggembala tersebut.
Bagian kedua, menceritakan mengenai ketakjuban di istana dan kota
Tharsus mengenai kabar dari kota akan datangnya para pemuda Ahlul Kahfi
dari gua ar-Raqim. Tiga orang dan yang ke-empat adalah anjingnya, Mislinia,
Marnus, Yimlikha dan Qitmir si anjing. Bagian kedua ini diakhiri dengan
tersadarnya Yimlikha bahwa mereka telah tertidur selama 309 tahun lamanya.
Bagian ketiga, menceritakan bagaimana mereka menghadapi kenyataan
yang tidak mereka duga. Kenyataan yang disangkal kedua menteri akan
tertidurnya mereka selama 309 tahun terungkap. Kenyataan yang sulit
dipahami oleh Marnus mengenai keberadaan keluarganya dan Misylinia
mengenai kisah cintanya kepada ratu Priska harus tetap mereka terima. Bagian
5
ketiga ini berakhir pada kembalinya Misylinia menuju gua menyusul kedua
temannya dan meninggalkan ratu Priska di lobi istana. Bagian keempat,
menceritakan akhir kehidupan mereka di dalam gua ar-Raqim
Pemilihan drama Ahlul Kahfi karya Taufiq al-Chaki>m sebagai objek
penelitian ini didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, drama ini
menggunakan bahasa Arab Fushcha> (Modern Standard Arabic). Fushcha>
adalah ragam bahasa Arab yang digunakan dalam al-Qur‟an, situasi resmi,
prosa, saduran puisi, maupun karya-karya ilmiah. Kedua, drama Ahlul Kahfi
dianggap sebagai pelopor drama kontemporer yang pernah dipentaskan di
Mesir (Sirsaeba, 2008: 35). Pemilihan cerita bagian pertama dikarenakan pada
bagian ini mempunyai banyak pesan moral yang disampaikan di antaranya
ketika keimanan dua menteri dan seorang penggembalanya sedang diuji,
Yimlikha (penggembala) menyikapinya dengan berserah diri kepada Allah dan
al-Masih, mengajarkanuntuk selalu mengingat Allah dan al-Masih di manapun
dan kapanpun.
Ditemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan kajian penelitian
skripsi ini, di antaranya:
Wahyudi (2012) dalam jurnalThaqa>fiyya>tdengan judul “Jenis dan Fungsi
Fungsi Tindak Tutur Dosen dalam Interaksi Pembelajaran Bahasa Arab di UIN
Malang”, mendeskripsikan mengenai jenis dan fungsi tindak bahasa dosen
dalam interaksi pembelajaran Bahasa Arab di UIN Malang. Jurnal ini
memaparkan bahwa di dalam pembelajaran bahasa Arab, dosen menggunakan
lima jenis tindak tutur, yaitu tindak direktif, tindak asertif, tindak komisif, tindak
6
ekspresif, dan tindak deklaratif. Jenis tindak tutur direktif menduduki peran
dominan, kemudian asertif, komisif, ekspresif, dan deklaratif.
Rosnilawati, dkk (2013) dalam jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia dengan judul “Tindak Tutur dan Strategi Bertutur dalam Pasambahan
Maantaan Marapulai Pesta Perkawinan di Alahan Panjang Kabupaten Solok”,
membahas tentang gambaran mengenai bentuk tindakan pidato dan strategi
mengatakan Pasambahan Maantaan Marapulai Pesta Perkawinan di Alahan
Panjang Kabupaten Solok. Temuan studi sebagai berikut. Pertama, ada empat
bentuk pidato kisah yang digunakan dalam Pasambahan Maantaan Marapulai,
yaitu (1) representatif, (2) direktif, (3) ekspresif, (4) deklarasi. Kedua, strategi
yang digunakan dalam Pasambahan Maantaan Marapulai, yaitu (1) memberitahu
terus terang tanpa basa-basi, (2) memberitahu terus terang dengan basa-basi
kesopanan positif, (3) mengatakan terus terang dengan negatif kesopanan, dan
(4) samar-samar.
Nafisah (2011) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur Asertif
Dalam Tuturan Tokoh Film Denias, Senandung Di Atas Awan”, membahas
tentang jenis tindak tutur asertif dan pola pasangan berdampingan yang
digunakan dalam tuturan Film Denias, Senandung di Atas Awan. Pada penelitian
ini ditemukan tiga belas jenis tindak tutur asertif di dalam film DSAA, yaitu
tindak tutur memberitahu atau menginformasikan sesuatu; bercerita;
menyatakan; mengakui; menjawab; memprediksi; menjelaskan; membantah;
membenarkan; menunjukkan; membetulkan atau mengoreksi; mengira; dan
mengingatkan. Terdapat dua belas pasangan berdampingan yang merupakan
7
pola percakapan dalam film Denias Senandung Di Atas Awan yang meliputi,
pertanyaan-jawaban; pemberian informasi-tanggapan; keluhan-bantahan;
permintaan maaf-keluhan; permintaan-pemersilaan; permintaan-penolakan;
penawaran-penerimaan; penawaran-penolakan; perintah-pelaksanaan; perintah-
bantahan; panggilan-jawaban; dan sindiran-sindiran.
Indriastuti (2007) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur Asertif
Penjual Pakaian di Pasar Klewer Kota Surakarta”. Pada skripsi ini
mendeskripsikan: (1) bentuk-bentuk tindak tutur asertif yang digunakan penjual
pakaian di pasar Klewer kota Surakarta, (2) strategi pengungkapan tindak tutur
asertif penjual pakaian di pasar Klewer kota Surakarta, (3) faktor-faktor yang
mempengaruhi penggunaan tindak tutur asertif penjual pakaian di pasar Klewer
kota Surakarta. Hasil penelitian: (1) pemakaian bahasa oleh penjual pakaian di
pasar Klewer kota Surakarta lebih banyak menggunakan tuturan dalam bahasa
Jawa, terkadang juga menggunakan bahasa Indonesia yang terdapat unsur-unsur
bahasa Jawa, (2) pemakaian tuturan oleh penjual pakaian di pasar Klewer kota
Surakarta lebih banyak ditemukan kategori jenis tindak tutur asertif yang
meliputi subtindak tutur: meyakinkan, menanyakan, membenarkan,
menyangsikan, menegaskan, memamerkan, memberitahu, menyangkal,
menyatakan, dan membanggakan, (3) strategi pengungkapan tindak tutur asertif
penjual pakaian di pasar Klewer kota Surakarta berdasarkan teknik bertutur
ditemukan tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung, serta
berdasarkan interaksi makna ditemukan tuturan-tuturan literal dan tuturan-
tuturan nonliteral, (4) faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan tindak tutur
8
asertif penjual pakaian di pasar Klewer kota Surakarta, yaitu: penutur/mitra
tutur, isi pertuturan, tujuan pertuturan, dan intonasi berbicara.
Fitarini (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur dalam
Naskah Drama Qadiyyatu Ahli ar-Rab’i karya Alī Ahmad Bākasīr: Analisis
Pragmatik‛. Pada skripsi ini meneliti mengenai jenis-jenis tindak tutur yang
digunakan dalam naskah drama Qadiyyatu Ahli ar-Rab‟i dengan memanfaatkan
teori Searle dan Wijana. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tindak tutur
dalam naskah drama Qadiyyatu Ahli ar-Rab‟i menggunakan beberapa bentuk
tindak tutur, yakni tindak lokusi, tindak ilokusi, tindak perlokusi, tindak tutur
langsung, tindak literal, dan tindak tutur tidak literal. Adapun tindak tutur yang
paling banyak digunakan adalah tindak lokusi karena berfungsi untuk
menyampaikan keseluruhan alur cerita.
Maulid (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Tindak Tutur Kalimat
Tanya Dalam Naskah Drama Ahlul-Kahfi Babak I Karya Taufi>q Al-Chaki>m
(Analisis Pragmatik)” mendeskripsikan bentuk kalimat tanya serta maksud yang
terkandung di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk kalimat
tanya dalam naskah drama ini menggunakan berbagai macam kata tanya yaitu:
hamzah, hal, ma>, ma>dza>, lima>dza >, man, kam, kaifa, aina, mata>, ayyu serta
serta ditemukan juga kalimat tanya yang tidak menggunakan perangkat tanya.
Maksud tuturan kalimat interogatif yang terkandung dalam naskah drama
tersebut terbagi menjadi dua, yaitu bermakna chaqi>qi> dan maja>zi. Makna chaqiqi
chaqiqi dalam naskah drama tersebut sebanyak tujuh puluh tujuh kalimat.
Makna maja>zi ditemukan sebanyak lima puluh delapan kalimat, meliputi makna
9
makna al-amru (memerintah), a’n-nahyu (melarang), a’n-nafyu (meniadakan),
al-inka>ru (mengingkari), a’t-tasywi>q (merangsang untuk melakukan sesuatu),
a’t-taqri>r (menetapkan), a’t-ta’zhi>m (mengagungkan), a’t-tachqi>r (menghina),
(menghina), a’t-ta’ajjub (merasa takjub, heran), dan a’t-tahakkum (mengejek).
Sejauh pengamatan penulis, penelitian mengenai tindak tutur asertif
dalam drama Ahlul Kahfi bagian pertama belum pernah dilakukan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam
skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk tindak tutur asertif yang digunakan dalam drama Ahlul
Kahfi bagian pertama?
2. Bagaimana ciri tuturan menegaskan dalam drama Ahlul Kahfi bagian
pertama?
C. Tujuan Pembahasan
Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk tindak tutur asertif yang digunakan di dalam
drama Ahlul Kahfi bagian pertama.
2. Untuk mengetahui ciri tuturan menegaskan dalam drama Ahlul Kahfi
bagian pertama.
D. Pembatasan Masalah
Penelitian ini memiliki pembatasan masalah agar pokok pembahasannya
tetap fokus sesuai dengan tujuan penelitian. Objek dalam penelitian ini terbatas
pada tuturan tokoh-tokoh pada naskah Ahlul Kahfi bagian pertama karya
10
Taufiqal-Chakim. Teori yang digunakan adalah teori pragmatik, khususnya
mengenai tindak tutur asertif dan ciri tuturan menegaskan.
E. Landasan Teori
1. Pengertian Pragmatik
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan penutur
(pengirim pesan) kepada mitra tutur (penerima pesan). Akibatnya studi ini
banyak berhubungan dengan analisis mengenai fungsi dan makna dari suatu
tuturan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pragmatik adalah studi
tentang maksud penutur (Yule, 1996: 3). Batasan pengertian ilmu pragmatik
juga dikemukakan oleh para ahli yang lain. Parker mengartikan pragmatik
sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal,
yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi (dalam
Wijana, 1996: 2).
Yule (1996: 4) juga menjelaskan pengertian pragmatik adalah studi
tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan dari pada yang
dituturkan, karena pragmatik merupakan studi pencarian makna yang tersamar.
Studi ini menggali seberapa banyak sesuatu yang tidak dikatakan menjadi
bagian dari yang disampaikan.
Subroto (2011: 8) menegaskan pendapat Yule di atas mengenai
pragmatik, yaitu ilmu bahasa yang mengkaji arti (maksud tuturan) yang terikat
konteks. Pragmatik mengkaji “arti” tafsiran yang dimaksud oleh seorang
penutur. Tafsiran arti tersebut sangat bergantung pada konteks.
11
Levinson (1983: 7-24) mendefinisikan pragmatik menjadi beberapa
pengertian, yaitu:
“The study of language from a functional perspective, that is, that it
attempts to explain facets of linguistic structure by reference to non-
linguistic pressures and causes”. “Pragmatics is the study of those
relations between language and context that are grammaticalized, or
encoded in the structure of a language”. “Pragmatics is the study of all
those aspects of meaning not captured in a semantic theory”.
“Pragmatics is the study of the relations between language and context
that are basic to an account of language understanding”. “Pragmatics is
the study of the ability of language users to pair sentences with contexts
in which they would be appropriate”. “Pragmatics is the study of deixis
(at least in part), implicature, presupposition, speech acts, and aspects of
discourse structure”.
„Pragmatik adalah kajian bahasa dari perspektif fungsional, maksudnya
pragmatik berusaha menjelaskan aspek-aspek struktur linguistik dengan
mengacu pada pengaruh-pengaruh dan gejala-gejala non-linguistik‟.
Pragmatik merupakan studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa
dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatikalisasi dan
terkodifikasi dalam struktur bahasanya‟. „Pragmatik adalah kajian
tentang aspek-aspek makna yang belum tercakup dalam teori semantik‟.
„Pragmatik adalah studi tentang hubungan antara bahasa dan konteks
berdasarkan pada pemahaman kebahasaan‟. „Pragmatik adalah studi
tentang kemampuan pemakai bahasa untuk menyesuaikan kalimat-
kalimat yang digunakannya dengan konteks yang cocok‟. „Pragmatik
adalah studi tentang deiksis (paling tidak sebagian), implikatur,
presuposisi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana‟.
Horn di dalam bukunya yang berjudul The Handbook of Pragmatics
menjelaskan beberapa pengertian pragmatik (2006: xi-xii), di antaranya:
“pragmatics is the study of those context-dependent aspects of meaning
which are systematically abstracted away from in the construction of
content or logical form”. “Pragmatics is “the study of linguistic acts and
the contexts in which they are performed” (Stalnaker 1972: 383),
Pragmatics has been to “characterize the features of the speech context
which help determine which proposition is expressed by a given
sentence”.
‟Pragmatik adalah studi kasus yang bergangtung pada konteks makna
secara sistematis diambil dari kontenatau logis‟‟. Pragmatik adalah studi
tentang tindakan linguistik dan konteks di manapun mereka lakukan‟.
12
„Pragmatik mencirikan fitur konteks tindak tutur yang membantu
menentukan proposisi yang diungkapkan oleh sebuah kalimat tertentu‟.
Dalam bahasa Arab, pragmatik dikenal denganistilah At-Tada>wuliyah.
Shachrawi (2005: 26) menjelaskan dalam buku At-Tada>wuliyyah ’indal-
’Ulama>il-’Arab bahwa At-Tada>wuliyah adalah:
عنددراسة اللغة تدرس ولكن ذاهتا، اللغوية" "البنية تدرس ال اليت اللغة"، "استعمالطبقاتاملقاميةاملختلفة،أيباعتبارىا"كالماحمددا"صادرامن"متكلماستعماهلايفال
"خماطب إىل وموجها لتحقيقدحمدحمدد" حمدد" تواصلي يف"مقام حمدد" ب"لفظ "."غرضتواصليحمدد"
Dira>satu ‚isti’ma>li ’l-lughah‛, al-lati> la> tadrusu ‚albinyata ’l-lughawiyah‛ dza>tuha, wala>kin tadrusu ‘l-lughata ‘inda isti’ma >liha fith-thabaqa>til-muqa>miyatil-mukhtalifah, ai bi i’tiba>riha ‚kalaman muchaddadan‛ sha>diran min ‚mutakallimin muchaddadin‛ wa muwajjahan ila> ‚mukha>tabin muchaddadin‛ bi ‚lafzhin muchaddadin‛ fi ‚maqa>min tawa>shulin muchaddadin‛ litachqi>qi ‚ghardhin tawa>shuliyyin muchaddadin‛
‘Kajian tentang “penggunaan bahasa”, bukan mempelajari “bentuk-
bentuk kebahasaan” tetapi mengkaji bahasa dalam penggunaanya pada
berbagai kategori dan kedudukan, yaitu dengan mempertimbangkan
“perkataan tertentu”, dari “penutur tertentu”, kepada “mitra tutur
tertentu”, menggunakan “pengucapan tertentu”, pada “situasi tertentu”,
dan dengan “tujuan tertentu”„.
Pragmatik adalah ilmu yang mengandung pemahaman tentang kalimat,
kasus, juga konteks yang digunakan dalam bahasa (Lehwimel, 2011: 163).
Lehwimel(2011: 162) dalam at-Tada>wuliyah wa’l-balaghat’l-’arabiyah
menyatakan, pragmatik merupakan ilmu bahasa di dalamnya terdapat beberapa
teori yang berkaitan, di antaranya: (1) Tindak tutur (af’alul kala>m), (2)
Implikatur (mutadzamina>t al-qaul), (3) Implikatur percakapan (al-istilza>mi al-
khiwa>ri>), dan (4) Dieksis (al-i>sya>riya>t).
13
Dari beberapa batasan mengenai pragmatik tersebut, dapat disimpulkan
bahwa pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mengkaji struktur dan
makna bahasa secara eksternal yang terikat oleh konteks dan situasi yang
melatar belakangi pemakaian suatu bahasa.
2. Tindak Tutur
Seperti yang telah disebutkan bahwa tindak tutur (af’alul kala>m)
merupakan bagian dari pramatik (Lehwimel, 2011: 162). Teori mengenai
tindak tutur dikenalkan pertama kali oleh J. W. Austin (1962) dalam kuliahnya
di Universitas Havard, kemudian dibukukan oleh Urmson (1965) yang berjudul
“How to do Thing with Word?”.
Tharifah (2010: 20) dalam penelitiannya yang berjudul Al-Wadza>If Al-
Tadawuliyah Fi> Al-Masrach Masrachiyah ‘Shachib Al-Jala>Lah Li Taufiq Al-
Chakim menyatakan bahwa tindak tutur (af’alul-kala>m) adalah setiap yang
disuarakan itu terlafazhkan disertai dengan bentuk formalitas, bertujuan untuk
menunjukkan, mencapai dan mempengaruhi.
Shachrawi (2005: 40) menyatakan bahwa:
الكالمي الفعل األعمال: من الكثري يف مركزية نواة الكالمي الفعل مفهوم أصبح.تداوليةال
Al-fi’lu’l-kala>mi>: Ashbacha mafhu>mu’l-fi’li’l-kala>mi>yyi nawa>tun markazi>yah fi’l-katsi>ri min ’l-ama>li‘t-tada>wuliyyah
‘Tindak tutur (af’alul kala>m): merupakan inti terpusat dari beberapa
tindakan konsultatif (kebiasaan)‟.
Searle (1987: 23-25), mengemukakan bahwa ada tiga jenis tindakan
yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yakni tindak lokusi (locutionary
14
act), tindak ilokusi (ilocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary
act).
Shachrawi (2005: 40) menyebutkan istilah dalam bahasa Arab
mengenai tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur
yakni, fi’lul-qauli (actelocutoire), al-fi’il ’l- mutadhaman fi>’l-qauli atau inja>zi
(acte illocutoire), fi’lul na>tija ’ani’l-qauli (acte perlocutoire). Berikut
penjelasan mengenai tiga jenis tindaktutur tersebut.
a. Tindak Lokusi (locutionary act/fi’lu’l-qauli)
Yule menyatakan bahwa tindak lokusi merupakan tindak dasar
tuturan menghasilkan suatu ungkapan linguistik yang bermakna
(1996: 83). Tindak lokusi (locutionary act) adalah tindak tutur yang
semata-mata meyatakan sesuatu, biasanya dianggap kurang penting
dalam kajian tindak tutur (Wijana, 1996: 17). Dalam hal ini kita tidak
mempermasalahkan maksud atau tujuan dari tuturan tersebut.
Austin (dalam Sumarlam, 2003: 320) tindak ilokusi adalah
semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu
dengan kata dan kalimat sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Maksud
dan fungsi ujaran pada tindak tutur ini belum menjadi perhatian.
Menurut Shachrawi (2005: 43) tindak tutur lokusi adalah fi’lul-qauli
(actelocutoire), yaitu:
فعلالقول)قولشئمعي(Fi’lul-qauli (qaulu syai‟in mu‟ayyan)
‘Tindak lokusi (perkataan menyatakan sesuatu)‟
15
Chaer (2010: 53) menyatakan, tindak tutur lokusi adalah
tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak
tutur dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami.
b. Tindak Ilokusi (ilocutionary act/ fi’il mutadhamman fi>l qauli/ inja>zi)
Austin (dalam Sumarlam, 2003: 320) menjelaskan mengenai
tindak tutur ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu, yaitu berbicara
mengenai maksud dan fungsi atau data ujaran yang bersangkutan,
untuk apa ujaran itu dilakukan.
Shachrawi(2005: 43) menyebut tindak tutur ilokusi ke dalam
bahasa Arab menjadi al-fi’l ’l-mutadhaman fi>’l-qauli atau inja>zi (acte
illocutoire), yaitu:
الفعلاملتضمنيفالقول)القيامبفعلماضمنقولشئ(al-fi’il ’l- mutadhammanu fi>’l-qauli (al-qiya>mu bifi’li ma> dhamina qaula syai’in
‘Tindak ilokusi (melakukantindakan sesuai suatu tuturan. )’
Tindak ilokusi (illocutionary act) selain berfungsi untuk
mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga digunakan
untuk melakukan sesuatu (Wijana, 1996: 18).
Adapun menurut Chaer (2010: 53) tindak tutur ilokusi adalah
tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat
performatif yang eksplisit. Tindak ilokusi berkenaan dengan apa yang
ingin dicapai oleh penuturnya pada waktu menuturkan sesuatu dan
dapat merupakan tindakan menyatakan berjanji, meminta maaf,
16
mengancam, meramalkan, memerintah, meminta, dan lain sebagainya
(Nadar, 2009: 14).
Wijana berpendapat sehubungan dengan tindak tutur ilokusi
sebagai berikut:
Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi karena harus
mempertimbangkan terlebih dahulu siapa penutur dan mitra
tutur, kapan dan dimana tindak tutur dilakukan. Pada tindak
tutur ilokusi perlu disertakan konteks tuturan dalam situasi tutur.
Dengan demikian, tindak ilokusi merupakan bagian sentral
untuk memahami tindak tutur (Wijana, 1996: 19).
Adapun Searle (1987), mengklasifikasikan tindak ilokusi
menjadi 5 jenis, yaitu terdiri dari deklaratif, direktif, ekspresif,
komisif, dan representatif.
c. Tindak Perlokusi (perlocutionary act/ fi’lul na>tija ’ani’l-qauli)
Tindak perlokusi (perlocutionary act) adalah tindakan untuk
mempengaruhi mitra tutur seperti memalukan, megintimidasi,
membujuk dan lain-lain (Nadar, 2009: 15). Wijana mengatakan bahwa
tindak tutur perlokusi adalah sebuah tuturan yang diutarakan
seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary
force) (1996: 19), atau efek bagi yang mendengarkannya (mitra tutur).
Austin (dalam Sumarlam, 2003: 302) menyatakan bahwa
tindak perlokusi mengacu kepada efek yang ditimbulkan oleh ujaran
yang dihasilkan oleh penutur. Secara singkat, perlokusi adalah efek
dari tindak tutur bagi mitra tutur.
17
Shachrawi (2005: 43) juga menyatakan bahwa, acte
perlocutoire (Fi’lul na>tija ’ani’l-qauli) adalah:
ا آلثاراملرتتبةعلىالفعلاإلجنازى(الفعلالناتجعنالقول)Al-fi’lun-na>tija ’ani’l-qauli (al-a>tsa>ru’l-mutarattibah ’ala>’l-fi’li’l-inja>zi>)
‘Tindak tutur perlokusi (pengaruh yang diberikan kepada mitra
tutur. )‟
Pendapat lain mengenai tindak tutur perlokusi disampaikan
oleh Chaer (2010: 53), yaitu tindak tutur yang berkenaan dengan
adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non
linguistik dari orang lain itu. Salah satu contoh tindak perlokusi, yaitu
ketika ada penutur berkata.
3. Tindak Tutur Asertif
Tindak tutur asertif menurut Shachrawi (2005: 82) adalah at-taqri>riya>t,
yaitu:
بوتفظليمسؤوليةاملتكلمعنصحةماإدراجIdra>j mas’u>liyatu’l-mutakallim ‘an shichati ma yaltafizhu bihi.
„Penggabungan pertanggung jawaban penutur mengenai kebenaran
yang dituturkannya‟.
Huang (2005: 106) menyatakan:
Representatives (or assertives; the constantives in the original Austinian
performative/constantive dichotomy) are those kinds of speech act that
commit the speaker the truth of expressed proposition, and thus carry a
truth-value. They express the speaker‟s belief. Paradigmatic cases
include asserting, claiming, concluding, reporting, and stating.
„Representatif (assertif; constantif menurut pembagian Austin) adalah
jenis tindak tutur yang dilakukan penutur untuk menyatakan kebenaran
proposisi, dan dengan demikian menjaga nilai kebenaran. Mereka
18
mengekspresikan kepercayaan penutur. Kasus paradigmatik termasuk
menegaskan, mengklaim, menyimpulkan, pelaporan, dan menyatakan‟.
Seperti halnya Austin, Yule juga menggunakan istilah representatif
sebagai tindak tutur asertif. Representatif menurut Yule adalah jenis tindak
tutur yang menyatakan apa yang diyakini penutur merupakan suatu kasus atau
bukan (1996: 92).
Leech (1993: 27) menyatakan bahwa verba tindak tutur asertif
merupakan ketegori verba ilokusi yang paling banyak digunakan, meskipun
pada kenyataannya tidak mudah dianalisis secara sistematis. Pada umumnya,
secara sintaksis tindak tutur asertif memiliki pola pemakaian S Verb (…) that
X, di mana S adalah subjek (mengacu pada penutur [n] dan that X mengacu
pada preposisi. Adapun, dipandang dari sudut semantik verba, ilokusi asertif
lebih bersifat proporsional artinya pada ilokusi ini penutur terikat pada
kebenaran proposisi yang diungkapkan. Dilihat dari prespektif sopan santun,
verba ini pada umumnya memiliki kecenderungan netral, dengan beberapa
pengecualian bergantung pada konteks yang mengiringi tuturan itu.
Seperti yang dipaparkan sebelumnya Leech (1993: 327) menyatakan,
tindak tutur asertif dapat berupa tuturan affirm (menguatkan), assert
(menegaskan), allege (menduga), forecast (meramalkan), predict
(memprediksi), insist (mendesak), announce (mengumumkan), selain itu dapat
berupa reporting (melaporkan), claiming (mengakui), concluding
(menutup/mengakhiri), dan stating (menyatakan) (Huang, 2005: 106).
19
4. Tuturan Menegaskan(ta’ki>d)
Menegaskan adalah menerangkan, menjelaskan, mengatakan dengan
tegas (pasti, tentu, tidak ragu-ragu), membenarkan, memastikan suatu gagasan
atau pernyataan (KBI, 2008: 1325). Tuturan menegaskan disampaikan oleh
penutur untuk menerangkan, menjelaskan, membenarkan atau memastikan
suatu gagasan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur. Tuturan
menegaskan dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yakni adanya
keraguan mitra tutur dalam menerima gagasan dari penutur, selain itu
adakalanya mitra tutur melakukan pengingkaran atau penolakan terhadap
gagasan atau pernyataan dari penutur, sehingga untuk meyakinkan mitra
tuturnya seorang penutur akan berupaya untuk menjelaskan atau menegaskan
tuturannya.
Tindak tutur menegaskan di dalam bahasa Arab disepadankan dengan
istilah „ta’ki>d’ (Baalbaki, 1990: 59). Ta’ki>d atau tauki>d merupakan
pembahasan dalam ilmu nahwu yang menjelaskan tentang pengukuhan dalam
tingkah atau perkataan seseorang, supaya dapat menjadikan kepercayaan bagi
orang yang mendengarnya. Definisi tauki>d dijelaskan oleh beberapa ahli, di
antaranya definisi dari Anwar (2006: 52) dalam kitabnya yang berjudul “ilmu
nahwu” menjelaskan:
تثبيتأمريفنفسالسامع
Tatsbi>tu amrin fi> nafsi’s-sa>mi’
“suatu penetapan yang dilaksanakan pada orang yang mendengarnya”
20
Definisi lainnya disampaikan oleh Nashif dkk (2011: 63) dalam
kitabnya “Qawa>idu'l-Lughah al-'Arabiyah”, yaitu:
دىوالتابعالرافعلالحتماليالتوك
At-tauki>du huwa’t-ta>bi’u’r-ra>fi’u lil ichtima>li
“at-taukid adalah pengulangan yang berfungsi untuk melenyapkan
anggapan”.
Tauki>d dibagi mepunyai dua bentuk, yaitu berupa tauki>d lafdzi dan
tauki>d ma’nawi. Tauki>d lafdzi adalah pengukuhan dengan lafazh yang terbagi
terbagi menjadi enam bagian sebagai berikut: ism dhahir, ism dhamir, fi’l, harf,
jumlah, dan ism mutaradhif. Adapun tauki>d ma’nawi adalah pengukuhan
dilihat dari artinya saja dengan mengulangi kata-kata مجيع-نفس -كل-عي،كلتا-كال-عامة ‘nafsun – ainun, jami>’un – kullun – ‘a>matun – kullan –kulta>’
(Patah, 2003: 81).
a. Ciri tindak tutur menegaskan
Ghulayaini (1993: 542) dalam kitabnya yang berjudul “Jami>’u Ad-
Duru>s al-‘Arabiyyah” menjelaskan artiat-ta’ki>d sebagai berikut:
.التوكيد))أوالتأكيد((تكريريرادبوتثبيتأمراملكرريفنفسالسامع
At-tauki>d ((au at-ta’ki>d)) takri>ru yura>du bihi tatsbi>tu amr’l-mukarrari fi> nafsi’s-sa>mi’
At-tauki>d atau at-ta’ki>d: pengulangan yang bermaksud untuk
menguatkan pernyataan pada mitra tutur.
21
Patah (2003: 75) menyebutkan ciri tindak tutur menegaskan, yaitu:
و وأ ن الزائ د ةالإ ن واحل ر وف الت و ك ي د ن و ن و والق س م ب ة الن س ر ف و أ ح اء ب ت د اإل مواجل م وإ ن ا الش ر ط ي ة وأ ما و ق د الف اعلوالتكر ار وت قد ي الفص ل وض م ري اإل س ي ة ل ة
ع ن وى.امل
inna wa anna wala>mu’l-ibtida>’i wa achrufin-nisbah wa’l-qasam wa nu>ni’t-tauki>di wa’l-churu>fi’z-za>idati wa’t-tikra>ri wa qad wa ama>’sy-syarthiyyah wa innama> wa’l-jumlata’l-ismiyyah wa dhami>ri’l-fashal wataqdi>mi’lfa>’il’l-ma’nawi>
„inna, anna, lam sebagai kata depan, charfu nisbah, qasam
(pernyataan sumpah), nun taukid, huruf-huruf tambahan,
pengulangan kata, qad, charfu syarat (ama>), innama>, merubah pola
kalimat fi’liyah menjadi ismiyyah, dhamir fashl, mendahulukan
fa’il ma’nawi. ‟
Shachrawi (2005: 207) dalamkitabnya yang berjudul at-
Tada>wuliyyah ‟indal-‟Ulama>il-‟Arab menyatakan bahwa ada tiga
bentuk/ciri tindak tutur menegaskan, yaitu:
1. Ada>tu tauki>d
Ada>tu tauki>d, yang sering digunakan dalam tuturan, di
antaranya إ ن dan أ ن Umumnya ada>tu tauki>d dalam bahsa Arab di atas, dalam
bahasa lndonesia diterjemahkan dengan kata sungguh atau tertentu.
Namun ada di antaranya dari ada>tu tauki>d itu yang tidak dapat dan
atau tidak perlu diterjemahkan dengan satu kata pun dalam bahasa
lndonesia (Patah, 2003: 75).
22
2. Qasam
Patah (2003: 81-82) menjelaskan makna qasam, yaitu
pernyataan sumpah yang disebut sebelum kalimat khabar (berita).
Untuk menyatakan sumpah dapat menggunakan partikelwau, ba, dan
ta.
Shachrawi membagi Qasam menjadi dua jenis, yaitu: qasam
as-su’a>l (ath-thalabi>) dan qasam al-ikhba>ri (2005: 208). Qasam
merupakan salah satu ciri tuturan menegaskan yang disebutkan
Sachrawi. Qasam yang dimaksud adalah qasam yang bertujuan untuk
menegaskan yaitu Qasam al-ikhba>ri. Qasam al-ikhba>ri adalah tuturan
qasam yang dimaksudkan untuk menekankan atau menegaskan
jawaban, bertujuan untuk menegaskan khabar (predikat). Contoh:
واهللمافعلتكذاWaalla>hi ma> fa’altu kadza>
‘ Demi Allah aku tidak melakukan yang seperti ini’.
3. Taqdi>m al-musnad ilaih
Musnad ilaih adalah sesuatu kata yang menjadi sandaran dari
kata lain (Jarim, 2007: 161).
b. Tujuan Tuturan Menegaskan
Istirabadi (dalam Shachrawi, 2005: 206) mengidentifikasi tujuan dari
ta’ki>d dalam 3 hal, yaitu:
1. Penutur mencegah kurangnya perhatian pendengar terhadapnya;
23
2. Penutur bertanggung jawab atas kesalahannya dalam bertutur apabila
dirinya tidak sengaja melakukan kesalahan, sehingga penutur harus
mengulangi frase yang diduga kurang diperhatikan oleh pendengar
dapat menyebabkan pemikiran yang salah;
3. Penutur bertanggung jawab atas dirinya sendiri yang menganggap
pendengar kurang memperhatikan.
Patah (2003: 77) dengan memperhatikan sikap orang kedua atau
mitra tutur yang kedua „kata penegas‟ digunakan pada tuturan menegaskan
dalam bahasa Arab bertujuan sebagai:
1. Untuk meyakinkan orang kedua yang sudah sedikit mengetahui
informasi, namun masih ragu dan mempertanyakan kepastian
informasi tersebut;
2. Untuk menolak sikap ingkar mitra tutur kedua yang sudah
mengetahui informasi dan membawanya untuk menyerah, sehingga
tidak lagi ingkar dan mau menerima informasi itu dengan baik.
Untuk menghadapi mitra tutur kedua yang ingkar ini terkadang
dibutuhkan tidak hanya satu tanda penegas dalam satu kalimat;
3. Untuk memberi kemantapan mitra tutur kedua yang belum tahu
informasi, akan tetapi apabila kalimat itu disampaikan kepadanya
dengan begitu saja, ia akan mempertanyakan kepastian informasi
yang disebutkan;
24
4. Untuk menghindarkan orang kedua yang sebenarnya tidak
mempunyai sifat ingkar, kemungkinan ingkar yang muncul akibat
ketidak tahuannya, atau karena adanya tanda-tanda ingkar;
5. Untuk menyatakan bahwa amanat yang disampaikan itu agung dan
mulia, tanpa melihat apakah orang kedua itu ragu/ingkar atau tidak.
F. Data dan Sumber Data
Data merupakan semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam
(dalam arti luas), yang harus dicari atau dikumpulkan dan dipilih oleh penulis
(Subroto, 1992: 34). Data disebut juga dengan bahan penelitian (Sudaryanto,
1993: 9). Data sebagai bahan penelitian bukanlah data mentah atau calon data,
melainkan bahan jadi yang siap dianalisis (Sudaryanto, 1993: 3). Dalam
penelitian ini yang menjadi data adalah tuturan dalam naskah drama Ahlul
Kahfi bagian pertama karya Taufiq al-Chakim.
Adapun yang menjadi objek penelitian ini adalah tuturan yang termasuk
tindak tutur asertif dalam naskah drama Ahlul Kahfi bagian pertama.
Data diperoleh dari sumber data, dari sumber data kita dapat
memperoleh data yang kita inginkan. Sumber data dalam penelitian kebahasaan
dibagi menjadi dua, yaitu sumber data lisan dan sumber data tertulis (Subroto,
1992: 33). Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan sehingga sumber data
yang dipakai dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis berupa naskah
drama Ahlul Kahfi bagian pertama karya Taufiq al-Chakim.
25
G. Metode Penelitian
Pemecahan masalah suatu penelitian, hendaknya penulis menelusuri
beberapa tahapan metode. Menurut Sudaryanto (1993: 5), tahapan tersebut
dibagi menjadi tiga urutan, yaitu: penyediaan data, penganalisisan data yang
telah disediakan, dan penyajian hasil analisis data yang bersangkutan. Tahapan-
tahapan tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Metode pengumpulan data
Data dikumpulkan dengan menggunakan metode simak, yaitu dengan
menyimak naskah drama Ahlul Kahfi bagian pertama. Naskah drama yang
akan disimak berupa tuturan-tuturan para tokoh drama Ahlul Kahfi.
Data yang dikumpulkan menggunakan metode simak akan dilanjutkan
dengan teknik catat. Teknik catat digunakan dengan mencatat tuturan-
tuturan drama yang termasuk dalam tindak tutur asertif, kemudian data yang
sudah dicatat akan diklasifikasikan berdasarkan bentuk-bentuk tindak tutur
asertif.
2. Metode analisis
Setelah data dikumpulkan dan diklasifikasi langkah selanjutnya adalah
analisis data. Tahapan ini memerlukan metode dan teknik tertentu sesuai
dengan masalah dalam penelitian. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode padan. Metode padan adalah metode yang alat
penentunya di luar bahasa, terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa
(langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Adapun sub metode
26
padan adalah metode padan pragmatis. Metode padan pragmatis adalah
metode yang alat penentunya mitra wicara (Sudaryanto, 1993: 15).
Teknik yang digunakan adalah teknik daya pilah yaitu teknik memilah
data yang bersangkutan berdasarkan terjadinya tindak tutur antara penutur
dan mitra tuturnya. Teknik dari metode padan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teknik dengan daya pilah sebagai pembeda reaksi dan
kadar keterdengaran. Dalam kaitannya dengan mitra wicara dapat dibedakan
pula adanya reaksi yang bermacam-macam yaitu: bertindak menuruti atau
menentang apa yang diucapkan oleh si pembicara, berkata dengan isi yang
informatif, tergerak emosinya, diam tetapi menyimak dan berusaha mengerti
apa yang diucapkan oleh pembicara (Sudaryanto, 1993: 25). Parameter yang
digunakan penulis untuk mengetahui reaksi mitra tutur dalam suatu naskah
tuturan adalah jawaban dari mitra tutur dan terkadang dapat dilihat pada
keterangan pada tanda kurung.
Adapun dalam hal kadar keterdengaran yaitu: terdengar keras bertekan
atau biasa, terdengar melengking tinggi atau biasa, terdengar cepat atau
biasa (Sudaryanto, 1993: 25). Parameter yang digunakan penulis untuk
mengetahui kadar keterdengaran mitra tutur dapat dilihat dari penggunaan
tanda baca penutur. Berdasarkan teori yang disampaikan Wijana mengenai
tanda baca, yaitu: tanda titik menunjukkan adanya intonasi datar biasanya
digunakan untuk memberitahukan sesuatu atau menyatakan sesuatu, tanda
tanya menunjukkan adanya intonasi sedikit naik digunakan untuk
menanyakan sesuatu, tanda seru menunjukkan adanya intonasi naik
27
digunakan untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan atau permohonan
(1996: 32).
Contoh:
ك ن م ل ؤ ىي ر ه ظ ي(آه!ط م ت )ي :اي ن ي ل ش م ش؟و ن ر ام اي ن ث ب ل م !Misyli>niya : (yatamaththa>) a>h! zhahri> yu’limuni >! Kam labitsna ya>
marnusy?
Mislinia : (berjalan sempoyongan) “aah! Punggungku sakit! Berapa
lama kita tinggal Marnus?
Pada kalimat diatas terdapat tindak tutur asertif karena tindak tutur ini
berfungsi menginformasikan apadan bagaimana keadaan yang dirasakan.
Sub tindak tutur yang terdapat dalam kalimat diatas adalah sub tindak tutur
“memberitahukan”. Penutur memberitahukan kepada mitra tuturnya bahwa
keadaannya tidak baik, penutur berharap agar mitra tutur memperhatikannya
dan bersikap baik kepada penutur.
3. Metode penyajian hasil analisis data
Metode penyajian hasil analisis data menggunakan model penyajian
informal yang merujuk pada metode penyajian hasil analisis oleh
Sudaryanto (1993). Metode penyajian informal adalah perumusan dengan
kata atau kalimat biasa tanpa menggunakan tanda dan lambang dan
lambang-lambang tertentu yang biasanya bersifat matematis (Sudaryanto,
1993: 145). Meskipun penyajian dilakukan dengan kata-kata biasa,
penyajian ini tetap memiliki terminologi yang bersifat teknis. Sehingga
penyajian informal digunakan dalam penelitian ini karena metode tersebut
memungkinkan penjelasan mengenai suatu kaidah secara detil, rinci, dan
28
terurai sehingga dapat memberikan nilai keterbacaan yang tinggi dari hasil
penelitian yang dilakukan. Menggunakan teknik informal dalam penelitian
ini bertujuan untuk mempermudah pembaca dalam memahami penelitian
ini.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian ini dijabarkan untuk mempermudah
penguraian masalah. Adapun sistematika penulisan penelitian ini, yaitu:
Bab I merupakan Pendahuluan, yang mencakup: latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, pembatasan
masalah, landasan teori, sumber data, metode penelitian dan sistematika
penelitian.
Bab II Bentuk Tindak Tutur Asertif dalam Drama Ahlul Kahfi Bagian
Pertama.
Bab III Ciri Tuturan Menegaskan dalam Drama Ahlul Kahfi Bagian
Pertama.
Bab IV Penutup, yang berisi simpulan dan saran yang berhubungan
dengan penelitian ini.
Recommended