View
40
Download
0
Category
Preview:
DESCRIPTION
skripsi
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
2.1.1 Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan dengan
alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pada pola tidur dan
nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tidak
berdaya, serta bunuh diri.
Depresi merupakan salah satu dari gangguan mood. Gangguan mood adalah keadaan emosi
yang menetap selama lebih dari seminggu, yang menunjukkan penyimpangan nyata fungsi
habitual seseorang. Kunci dari gejala depresi adalahmood yang depresif serta hilangnya minat
atau kesenangan[21]
2.1.2 Epidemiologi
Menurut statistik di Amerika serikat, gangguan depresi memiliki prevalensi lebih
tinggi pada wanita, yaitu sebesar 20%, sedangkan pada pria sebesar 12%. Klerman dan
Gershon melaporkan bahwa terjadi peningkatan insiden depresi dalam 70 tahun terakhir [4].
Pada tahun 2010, Centers for Disease Control ( CDC ) merilis sebuah laporan yang
memperkirakan prevalensi depresi pada orang dewasa saat ini dari tahun 2006-2008. Dari
235.067 orang dewasa, 9 % memenuhi kriteria untuk depresi saat ini, termasuk 3,4 % yang
memenuhi kriteria untuk depresi[5]. Rata-rata onset usia gangguan depresi berat adalah pada
usia 40 tahun. Dan beberapa data epidemiologis baru-baru ini menyatakan bahwa insiden
gangguan depresi mungkin bisa terjadi pada usia kurang dari 20 tahun[21]
2.1.3 Gejala dan diagnosis
Menurut buku PPDGJ-III, episode depresif (F32) baik ringan, sedang atau berat
memiliki gejala utama berupa
1. Afek depresif
2. Kehilangan minat dan kegembiraan
3. berkurangnya energi yang yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
menurunnya aktivitas
Juga gejala lainnya yang meliputin episode depresif berupa:
1. Konsentrasi dan perhatian kurang
2. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4. Pandangan akan masa depan yang suram dan pesimistik
5. Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri dan bunuh diri
6. Tidur terganggu
7. Menurunnya nafsu makan
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan waktu minimal 2
(dua) minggu untuk penegakkan diagnosis , akan tetapi periode penilaian yang lebih pendek
dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat
Kategori diagnosis episode depesif terbagi menjadi tiga, yaitu episode depresif
ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2)
Tabel 1. Penggolongan depresi menurut PPDGJ-III
Tingkat depresif Gejala utama Gejala lain Fungsi
Ringan 2 2 Hanya sedikit kesulitan dalam
pekerjaan dan kegiatan sosial
Sedang 2 3-4 Terdapat kesulitan yang nyata
dalam pekerjaan, urusan rumah
tangga dan kegiatan sosial
Berat 3 4 Sangat tidak mungkin pasien akan
mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau rumah tangga,
kecuali pada taraf yang terbatas
(Maslim,R, diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkan PPDGJ-III 1st ed, Jakarta, penerbit
ilmu kedokteran jiwa unversitas atmajaya, 2003, p64-5)
Untuk skala penilaian objektif, dapat dipergunakan the Zung self-rating depression
scale. the Zung self-rating depression scale terdiri dari 20-item skala pelaporan. skor normal
adalah ≤ 34; skor depresi adalah ≥ 50. skala tersebut meliputi indeks global intensitas gejala
depresi pasien, termasuk kecenderungan depresi dari ekspresi[22][23]
2.1.4 Etiologi
Faktor penyebab dapat lebih mudah dikenali dengan pembagian secara buatan
menjadi faktor biologis, faktor genetika dan faktor psikososial. Dalam hal ini pembagian
faktor penyebab disebut buatan karena setiap faktor tidak bisa berdiri sendiri tetapi dengan
adanya salah satu faktor yang terjadi menyebabkan terpengaruhnya faktor lain
1. Faktor biologis
a. Hipotesis defisiensi amin biogenik
Amin biogenik antara lain terdiri dari norepinefrin dan serotonin yang merupakan dua
neurotransmitter berada dalam otak dan selalu dikeluarkan ke bagian otak lain untuk
memodulasi area perasaan, pikiran dan perilaku. Oleh karena itu, keduanya memegang
peranan penting dalam patofisiologi gangguan mood.
Penurunan regulasi reseptor beta adrenergik dan respon klinik anti depresan mungkin
merupakan peran langsung sistem non-adrenergik dalam depresi. Beberapa bukti lain juga
melibatkan reseptor β2-presinaptik pada depresi, telah mengaktifkan rseptor yang
mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norephinefrine. reseptor β2-presinaptik juga
terletak pada neuron serotonegik dan mengatur jumlah pelepasan serotonin[22]
Aktivitas dopamine mungkin berkurang pada depresi. Penemuan subtipe baru reseptor
dopamin dan meningkatnya pengertian fungsi regulasipresinaptik dan pascasinaptik
dopaminb memperkaya hubungan antara dopamin dengan gangguan mood. dua teori terbaru
tentang dopamin dan depresi adalah jalur dopamin mesolombik mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan rseptor dopamin D1 mungkin hiperaktif pada depresi[22]
Aktivitas serotonin berkurang pada depresi. serotonin bertanggung jawab untuk kontrol
regulasi afek, agresi, tidur, dan nafsu makan. Pada beberapa penelitian ditemukan jumlah
serotonin yang berkurang pada celah sinaps yang diyakini bertanggung jawab untuk
terjadinya depresi[22]
Mekanisme ini belum dapat dijelaskan sepenuhnya tetapi dapat dibuktikan dengan
keefektifan dalam pengobatan menggunakan antidepresan yang bekerja menghalangi
reuptake dari serotonin dan norepinefrin sehingga meningkatkan kadar serotonin dan
norepinefrin di sinaps. Peningkatan ini menstimulasineuron
postsinaps yang pada akhirnya memodulasi area perasaan, pikiran dan perilaku[24]
Gambar 1.Jalur neurotransmitter amin biogenic[24]
b. Stress dan hipotalamus-pituitari-adrenal axis
Respon terhadap stress yang diterima,korteks serebri akanmentransmisi ke
hipotalamus.Hipotalamus adalah pusat regulasi sumbu neurohormonal yang banyak
menerima masukan melalui neurotransmitter amin biogenik. Transmisi ini memicu
pengeluaran Corticotropin Releasing Hormon (CRH) ke reseptor pituitari. Pituitari
mensekresi kortikotropin masuk ke dalam plasma menstimulasi reseptor kortikotropin di
korteks adrenal, maka terjadi pengeluaran kortisol ke dalam darah. Sebagai respon
homeostasis terdapat reseptor kortisol di hipotalamus merespon penurunan produksi CRH
apabila kadar kortisol berlebihan yang merupakan umpan balik cepat.Terdapat juga umpan
balik lambat, yang sensitif terhadap konsentrasi kortisol mantap, yang bekerja pada reseptor
hipofisis dan adrenal. [24]
Gambar 2. Jalur neurohormonal[24]
Terdapat juga beberapa temuan yangmendukung hipotesis hipotalamus-hipofisis-
kortisol bahwa pada pasien yang depresi terjadi disregulasi neuroendokrin. Hal tersebut
ditandai dengan temuan kadar kortisol meningkat di plasma pada depresi berat, ukuran
hipofisis anterior dan korteks adrenal meningkat, dan tingkat CRH dalam cairan serebrospinal
dan ekspresi CRH di daerah otak limbik juga meningkat.Ukuran hippocampus dan jumlah
neuron dan glia mengalami penurunan, mungkin mencerminkan pengurangan neurogenesis
karena tingkat kortisol tinggi atau karena berkurangnya faktor neurotropik yang diturunkan
dari otak. [24]
c. Inflamasi
Pada proses inflamasi terjadi pengeluaran dari sitokin keperifer. Oleh karena jumlah
yang sangat besar dari sitokin maka terjadi kesulitan dalam melewatiblood brain barrier
(BBB).Sitokin memasuki otak melalui tiga cara yaitu masuk melalui celah di BBB seperti
organ sirkumventricular, mengikat pada molekul transport spesifik sitokin di epitelium otak,
dan aktivasi jalur afferendari vagal dimana terjadi transmisi signal sitokin ke bagian spesifik
nukleus otak, seperti inti dari traktus soliter, dimana berfungsi sebagai relay stationke bagian
nucleus otak lain, seperti nucleus paraventrikular di hipotalamus.
Gambar 3.Interaksi antara depresi, imun dan stress[25]
Di dalam otak terdapat Central Nerve System (CNS) cytokine networkyang tedapat pada
sel, tidak hanya untuk memproduksi sitokin tetapi juga mengespresikan reseptor sitokin dan
juga memperkuat sinyal sitokin, dimana dapat berefek kepada neurotransmitter dan fungsi
CRH. Dengan ini dalam proses depresi, sitokin mempengaruhi perilaku melalui perubahan
pada metabolisme serotonin, norepinefrin dan dopamine di bagian otak yang meregulasi
emosi, termasuk sistem limbik (amygdala, hippocampus dan nucleus accubens) yang
meregulasi fungsi psikomotor dan tindakan balasan, dan juga ganglia basal[25][26].
2. Faktor genetika
Penelitian yang dilakukan terhadap anak kembar yang memiliki gangguan bipolar I
menunjukan faktor genetika monozigo dapat mempengaruhi sebesar 50 persen, dan dizigot
sebesar 10-25 persen. [22] [24]
3. Faktor psikososial
A. Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan
Peristiwa kehidupan dengan stressful sering mendahului episode pertama, jika
dibandingkan dengan episode berikutnya. Ada teori yang mengemukakan adanya stress
sebelum episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang bertahan lama.
Perubahan ini menyebabkan perubahan berbagai neurotransmitterdan sistem intraneuron.
Termasuk hilangnya beberapa neuron dan penurunan kontak antar sinap yang mengakibatkan
seorang individu mengalami episode berulang gangguan mood walau tanpa stressor dari luar. [22] [24]
B. Faktor kepribadian
Orang dengan gangguan kepribadian seperti obsesi-kompulsi, histrionik dan ambang,
beresiko tinggi untuk mengalami depresi dibandingkan dengan gangguan kepribadian
paranoid atau anti-sosisal. Pasien dengan gangguan dismitik dan siklotimik beresiko menjadi
gangguan depresi berat. Peristiwa stressful merupakan prediktor terkuat untuk kejadian
episode depresi. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami stressor
akibat tidak adanya kepercayaan diri lebih sering mengalami depresi[22]
C. Faktor psikodinamik
Menurut Sigmond Freund dan Karl Abraham, psikodinamik sosial depresi yang
dikenal sebagai pandangan klasik dari depresi. teori tersebut tersauk empat hal utama
1. Gangguan ibu-anak selama fase oral (usia 10-18 bulan)
2. Kenyataan atau bayangan kehilangan objek
3. Introjeksi (terbangkitnya mekanisme pertahanan untuk mengatas penderitaan yang
berkaitan dengan kehilangan objek)
4. Akibat kehilangan objek cinta [22] [24]
2.1.5 Tatalaksana
Pada penatalaksanaan gejala depresi beberapa hal perlu diperhatikan, yang pertama,
keselamatan pasien. kedua, kelengkapan evaluasi diagnostik pasien harus dilaksanakan.
ketiga, rencana terapi bukan hanya untuk gejala, namun juga untuk kesehatan jiwa pasien
kedepannya juga harus diperhatikan. Walau pentalaksanaan farmakoterapi dan psikoterapi
harus dipikirkan pada pasien, peristiwa dalam kehidupan yang penuh ketegangan dapat
mengakibatkan kekambuhan pasien engan gangguan mood. selanjutnya melalui terapi harus
dapat menurunkan banyak stressor berat dalam kehidupan pasien. secara keseluruhan,
pentalaksaan gangguan mood perlu dirujuk kepada psikiater. remisi penuh akan dialami
pasien dalam waktu 4 bulan dengan pengobatan yang adekuat[21][22]
Indikasi yang jelas dari rawat inap adalah kebutuhan untuk prosedur diagnostik, risiko
untuk bunuh diri, risiko untuk melakukan pembunuhan, dan berkurangnya kemampuan
pasien secara menyeluruh untuk asupan makanan dan tempat berlindung. Riwayat dengan
gejala berulang dan hilangnya sistem dukungan terhadap pasien juga indikasi dari rawat inap.
Sistem pendukung pasien harus tidak mencampuri maupun menjauhi pasien. Tiap perubahan
yang kurang baik pada gejala atau tingkah laku atau sikap pasien merupakan indikasi dari
rawat inap. sayangnya pasien dengan gangguan mood memilih untuk tidak dirawat karena
pasien tidak dapat mengambil keputusan karena lambat berpikir, berpikir negatif dan tidak
mempunyai harapan[21][22]
Terapi keluarga diindikasikan untuk gangguan yang membahayan perkawinan pasien
atau fungsi keluarga atau jika gangguan mood dapat diatasi keluarga. Terapi keluarga
menguji peran pasien dengan gangguan mood juga menguji peran dari keluarga untuk
menangani pasien[21][22]
Prinsip pemberian antidepresi adalah episode depresi berat. gejala pertama yang
menjadi acuan adalah sulit tidur dan sulit makan. gejala lain yang dapat timbul adalah
mengamuk, cemas dan rasa putus asa. target gejala lainnya termasuk energi menurun, kurang
konsentrasi, tidak berdaya dan menurunnya libido. Edukasi pasien yang adekuat tentang
kegunaan antidepresan sebagai hal penting dalam keberhasilan terapi termasuk pemilihan
obat dengan dosis yang sesuai[21][22]
2.1.6 Prognosis
Empat puluh persen dari individu dengan gangguan depresi mayor yang tidak diobati
dalam 1 tahun akan memiliki remisi parsial. Remisi parsial atau riwayat episode depresi
utama kronis sebelumnya merupakan faktor risiko untuk episode berulang dan pengobatan
yang gagal. Sebuah studi tentang episode pertama depresi psikotik oleh Tohen et al
menemukan bahwa kebanyakan pasien mencapai remisi syndromal ( 86 % ) dan recovery
( 84 % ); Namun, hanya 35 % pulih fungsional . Pemulihan Sebelumnya syndromal dikaitkan
dengan onset subakut , skor depresi awal yang lebih rendah , dan kurangnya fitur psikotik
suasana hati. Dalam waktu 2 tahun , hampir setengah pasien mengalami episode baru[25]
2.2 Depresi pada mahasiswa kedokteran
Mahasiswa kedokteran diketahui memilki tingkat depresi dan kecemasan lebih tinggi
dibandingkan dengan populasi umum dan untuk rekan-rekan seusia mereka[18]. Perbedaan
antara tingkat depresi dan kecemasan juga telah dicatat antara mahasiswa kedokteran baik
negeri atau . Prevalensi depresi di kalangan mahasiswa kedokteran di perguruan tinggi negeri
telah diperkirakan 10,4% di Yunani, 15,2% di Amerika Serikat, 21,7% di Malaysia, 24% di
Inggris, 29,1% di India, dan 43,8% di Pakistan. Prevalensi depresi di kalangan mahasiswa
kedokteran swasta, bagaimanapun, telah diperkirakan 19% di Amerika Serikat, 49,1% di
India, dan 60% di Pakistan[19]
Berdasarkan pada sebuah studi pada mahasiswa kedokteran Estonia, 21,9% memiliki
gejala anxietas dan 30,6% gejala adalah depresi. Pada studi ini, 20,3% dari mahasiswa
kedokteran berada di atas batas tingkat dari anxietas dan 29,3% untuk depresi. Sementara
beberapa studi melaporkan bahwa perempuan dominan dalam anxietas dan tingkat depresi,
lainnya menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan gender. Beberapa catatan bahwa laki-
laki lebih kesepian tetapi skor perempuan lebih tinggi pada tingkat anxietas secara umum dan
tidak terdapat perbedaan dalam depresi. Yang mencolok pada semua studi ini meskipun tidak
terdapat perbedaan gender untuk anxietas, laki-laki secara signifikan lebih depresi dalam
studi ini. Hal ini dapat merupakan konsekuensi dari faktor-faktor budaya. Anak laki-laki di
turki yang mengambil peran sebagai ayah untuk keseluruhan keluarga memiliki tanggung
jawab lebih dan harus lebih kompeten. Di samping itu, efek negatif dari pendidikan
kedokteran pada kondisi psikologis mahasiswa agak lebih berat diantara mahasiswa
kedokteran turki.
Study saat ini menemukan 7,6% dan 9,3% mahasiswa tahun pertama berada di atas
dari tingkat batas anxietas dan depresi, berturut-turut. Skor anxietas dari mahasiswa tahun
kedua lebih tinggi namun skor depresi telah secara signifikan lebih tinggi daripada
mahasiswa tahun pertama. Perburukan ini dalam kesejahteraan mahasiswa dalam satu tahun
akademik dalam fakultas kedokteran menyerupai studi-studi sebelumnya yang melaporkan
perburukan yang sama dalam kesehatan psikologis dari mahasiswa selama pendidikan
kedokteran. Meskipun tingkat anxietas dari mahasiswa dari daerah-daerah pedesaan tidak
berbeda dibanding yang lainnya, tingkat depresi mereka lebih tinggi secara signifikan. hal ini
bisa jadi berhubungan dengan masalah adaptasi perkotaan dari mahasiswa-mahasiswa ini dan
perbedaan dari kualitas kehidupan.
Namun studi lainnya melaporkan pada mahasiswa-mahasiwa yang mempersiapkan
kepada perubahan memberikan laporan yang baik dan menganggap perubahan sebagai
keuntungan. Yang mencolok pada laporan sebelumnya, setengah dari mahasiswa dari studi
sekarang berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah dan memiliki tingkat anxietas dan
depresi yang secara signifikan lebih tinggi. Berlawanan dengan studi sebelumnya, mahasiswa
dalam studi ini sebagian besar lulusan dari SMA Negeri daripada sekolah-sekolah swasta[26].
2.3 Ringkasan pustaka
Tabel 2. Ringkasan pustaka
Penelitian 1 Penelitian 2 Penelitian 3
Peneliti Othieno, CJ. Okoth
RO, Peltzer K, Pengpid
S, Malla LO
Wahab, S. Rahman,
FN. Wan Hasan,
WM. Zamani,
IZ. Arbaiei,
NC. Khor, SL. Nawi,
AM
Saravanan, C.
Wilks, R
Lokasi
penelitia
n
Kenya Malaysia Malaysia
Studi
desain
Studi analitik cross-
sectional
Studi analitik cross-
sectional
Studi analitik cross-
sectional
Subjek
penelitia
n
Mahasiswa university of
Nairobi
350 siswa sekolah
asrama
358 mahasiswa
kedokteran
universitas negeri
atau swasta di
Malaysia
Variabel
yang
diteliti
Prevalensi
Depresi pada
mahasiswa
sosiodemografi
pada depresi
Prevalensi
stress,
anxietas dan
depresi
hal yang
mempengarus
tress, anxietas
dan depresi
Prevalensi
depresi dan
kecemasan
hubungan
antara
variabel
demografis
(jenis
kelamin,
tahun studi,
dan tahap
pelatihan
(klinis dan
non klinis)
dan tingkat
depresi dan
kecemasan
Lama
waktu
studi
Tidak diketahui Tidak diketahui 6 bulan
Hasil
studi
Rata-rata prevalensi
gejala depresi moderat
adalah 35,7% (33,5%
laki-laki dan 39,0%
perempuan) dan depresi
berat adalah 5,6% (5,3%
pria dan 5,1%
Prevalensi
depresi
kecemasan
dan stres
adalah 39,7%,
67,1% dan
44,9%
Prevalensi
anxietas
sebesar 44%
dan depresi
sebesar
34.9%
perempuan) Semua stres
(akademik,
interpersonal,
intrapersonal,
guru, belajar
dan kelompok
sosial)
memiliki
hubungan
yang
signifikan
dengan
depresi,
kecemasan
dan stres.
Wanita
cenderung
lebih banyak
menderita
anxietas atau
depresi jika
dibandingka
n dengan
pria
Daftar pustaka
21. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan&Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2nd ed. Jakarta:
EGC;2010.p. 791-4
22. Ismail, RI, Siste, K buku ajar psikiatri,1st ed. penerbit fakultas kedokteran universitas
Indonesia, 2010 p209-16
23. Maslim,R, diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkan PPDGJ-III 1st ed, Jakarta, penerbit
ilmu kedokteran jiwa unversitas atmajaya, 2003, p64-5
24. Belmaker RH, Agam G. Major Depressive Disorder. N England Journal of Medine
2008;358:55-68
25. Raison CL, Capuron L, Miller AH. Cytokines sing the blues: inflammation and the
pathogenesis of depression. Trends in immunology 2005;27:1471-4906
25. Tohen M, Khalsa HM, Salvatore P, et al. Two-year outcomes in first-episode psychotic
depression The McLean-Harvard first-episode project. J Affect Disord. Jan 2012;136(1-2):1-8
26. Dantzer R. Cytokine-induced sickness behaviour: a neuroimmune response to activation
of innate immunity. Eur. J. Pharmacol 2004;500:399–411
27. Hanvindra, A. Khairi, H et al. “Kecemasan dan Depresi pada Mahasiswa Kedokteran
yang Berkaitan dengan Keinginan dan Harapan dari Karier Kedokteran; Bagian ilmu
kedokteran jiwa fakultas kedokteran Universitas Andalas, 2010, p 2-3
Recommended