View
13
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
INTEGRASI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL
2.1. Pengantar
Untuk memahami fungsi dan peran budaya bagi integrasi sosial masyarakat, teori
yang digunakan oleh penulis yaitu teori integrasi sosial. Teori integrasi sosial sangat penting
untuk mengkaji aspek-aspek sosial yang dianggap berpengaruh bagi integrasi masyarakat.
Pengkajian seperti ini dimaksudkan untuk memahami kondisi masyarakat lokal yang terus
berkembang dan berubah dari waktu ke waktu.
Perubahan yang dialami oleh masyarakat desa memiliki pengaruh terhadap eksistensi
budaya lokal yang berkembang dalam masyarakat setempat. Oleh sebab itu, di samping
menggunakan perspektif teori integrasi sosial, penulis juga menyoroti aspek-aspek perubahan
sosial masyarakat. Melalui pengkajian yang baik atas realitas sosial masyarakat lokal, dapat
ditemukan gambaran yang jelas tentang aspek kultural masyarakat yang terus berubah.
2.2. Integrasi Sosial
Bagian ini memaparkan tentang definisi integrasi sosial, integrasi dan konflik sebagai
gejala sosial, fase-fase terciptanya integrasi sosial, solidaritas dalam rangka menciptakan
integrasi sosial, dan integrasi sosial menurut Emile Durkheim.
2.2.1. Definisi Integrasi sosial
Kata integrasi berasal dari bahasa Latin integrare yang berarti memberi tempat dalam
suatu keseluruhan. Dari kata kerja integrare dibentuklah kata sifat integritas yang berarti
keutuhan atau kebulatan. Dari kata yang sama terbentuklah kata integrer yang berarti utuh.
13
Berdasarkan pengertian kata integrasi di atas, integrasi diartikan sebagai membuat unsur-
unsur tertentu menjadi satu kesatuan yang bulat atau utuh.1
Menurut Ralph Linton, integrasi adalah proses perkembangan progresif dalam rangka
mewujudkan persesuaian yang sempurna antara unsur-unsur, yang secara bersama
mewujudkan kebudayaan universal (total culture).2 Definisi ini berangkat dari paradigma
bahwa setiap kebudayaan merupakan formasi yang bagian-bagiannya saling menyesuaikan.
Masuknya setiap unsur kebudayaan baru tentu akan mengganggu keseimbangan yang telah
ada. Oleh karena itu, diperlukan penyesuaian-penyesuaian unsur-unsur kebudayaan tersebut
menjadi universal. Sedangkan menurut Soetrisno Kutoyo, integrasi sosial adalah gambaran
tentang terjadinya pembauran warga masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh dan bulat
ke dalam satu kesatuan sosial, atau dengan kata lain integrasi sosial merupakan proses
penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam kehidupan sosial (masyarakat)
sehingga menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi fungsinya bagi masyarakat.3
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh dua sosiolog di atas, terlihat bahwa
integrasi sosial menekankan penyesuaian antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kebudayaan termasuk masyarakat, dalam rangka menciptakan atau mencapai universalitas
dan mencapai suatu pola yang serasi. Secara sederhana, Hendropuspito menyebutkan bahwa
integrasi sosial atau integrasi masyarakat tidak lain adalah membuat masyarakat menjadi satu
kesatuan yang menyatu atau bulat.4
2.2.2. Integrasi dan Konflik Sebagai Gejala Sosial
Konflik atau pertentangan mempunyai hubungan erat dengan proses integrasi.
Hubungan ini disebabkan karena proses integrasi adalah sekaligus suatu proses disorganisasi
1
Hendropuspito, Sosiologi Sistematika (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 256.
2Ralph Linton, Antropologi; Suatu Penyelidikan Tentang Manusia (Bandung: Jemmars, 1984), 266.
3Sutrisno Kutoyo, Sosiologi (Jakarta: Grasindo, 2004), 144. 4Hendropuspito, Sosiologi Sistematika…, 256.
14
dan disintegrasi. Disorganisasi merupakan suatu proses memudarnya norma-norma dan nilai-
nilai dalam masyarakat karena perubahan-perubahan yang terjadi di dalam lembaga
kemasyarakatan. Sedangkan disintegrasi yaitu memudarnya kesatupaduan dalam organisasi
dan solidaritas antara yang kolektif, golongan, dan kelompok dalam suatu masyarakat. Makin
tinggi konflik atau pertentangan intra kelompok, makin besar pertentangan yang berpusat di
dalam, makin kecil derajat integrasi kelompok. Jadi, antara solidaritas antar kelompok (in-
group solidarity) dan pertentangan dengan kelompok luar atau out-group (out-group conflict)
terdapat hubungan yang saling memengaruhi. Di mana makin besar permusuhan terhadap
kelompok luar, makin besar integrasi.5
William Graham Sumner memberikan pembedaan antara kelompok dalam (in-groups)
dan kelompok luar (out-groups). Menurutnya orang selalu mempertentangkan kelompoknya
sendiri terhadap kelompok-kelompok lain. Setiap kelompok membanggakan diri sendiri,
menunjunjung tinggi simbolnya, merasa diri lebih baik berkenan dengan cara hidup kolektif
(folkways), dan cenderung untuk meremehkan orang luar. Setiap kelompok berkeyakinan
bahwa peraturannya, tata tertibnya, dan ajarannya adalah yang paling baik. Sikap itu
menimbulkan intoleransi, oposisi terhadap folkways lain, penghinaan, prasangka, penafsiran
yang sepihak, dan sebagainya. Anggota dari kelompok dalam (in-groups) menjaga
kerukunan, ketertiban, dan hukum di kalangan mereka sendiri, tetapi relasi mereka dengan
orang luar bercorak permusuhan. Situasi inilah yang disebut oleh William Graham Sumner
sebagai etnosentrisme yaitu sikap merasa diri lebih unggul selaku kelompok dalam berbagai
hal yang berkenan dengan cara hidup kolektif.6
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, konflik atau pertentangan mengenal dua
fase yaitu fase disorganisasi dan fase disintegrasi. Karena suatu kelompok sosial selalu
dipengaruhi oleh beberapa faktor maka pertentangan akan berkisar pada penyesuaian diri
5Susanto, Pengantar Sosiologi…, 122. 6William Graham Sumner, Folkways (Boston: Gins,1906), 12.
15
ataupun penolakan dari faktor-faktor sosial tersebut. Adapun faktor-faktor sosial yang
memengaruhi hidup dan menentukan terarahnya kehidupan sosial menuju ke disintegrasi
ataupun integrasi adalah tujuan dari kelompok sosial, sistem sosialnya, sistem tindakannya,
serta sistem sanksi.7
Disorganisasi sebagai taraf kehidupan sosial yang mendahului disintegrasi mungkin
saja terjadi karena adanya perbedaan faham tentang tujuan kelompok sosial, norma-norma
sosial tindakan dalam masyarakat. Apabila sanksi terhadap perbedan-perbedaan tersebut tidak
ketat atau tidak berwibawa lagi maka akan mengarah pada disintegrasi. Dengan demikian
disorganisasi terjadi apabila perbedaan atau jarak antara tujuan sosial dan pelaksanaan terlalu
besar. Perbedaan tersebut akan mengarah pada gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi
yang oleh Astrid Susanto dikelompokkan sebagai berikut; pertama, adanya ketidaksepahaman
pada anggota kelompok tentang tujuan sosial yang hendak dicapai, yang semula menjadi
pegangan kelompok; kedua, norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat lagi
dalam mencapai tujuan yang telah disepakatinya; ketiga, norma-norma dalam kelompok dan
yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain; keempat, lemahnya pelaksanaan
sanksi; kelima, tindakan anggota masyarakat sudah bertentangan dengan norma-norma
kelompok.8
2.2.3. Fase-fase Terciptanya Integrasi Sosial.
Astrid Susanto mengemukakan bahwa integrasi sebagai proses mempertahankan
kelangsungan hidup kelompok bisa tercipta melalui beberapa fase atau tahapan yaitu fase
akomodasi, fase kerjasama (cooperation), fase koordinasi (coordination), dan fase asimilasi.9
7Susanto, Pengantar Sosiologi…, 122.
8Susanto, Pengantar Sosiologi…, 123. 9Susanto, Pengantar Sosiologi…, 128.
16
Dasar dari proses integrasi itu sendiri adalah konsensus yaitu kesepakatan tentang ide atau
nilai-nilai.
Menurut Marswadi Rauf, konsensus terjadi bila tercipta kesepakatan dalam hubungan
antara dua orang/pihak atau lebih. Bila konsensus tercapai berarti penyelesaian konflik telah
tercapai (conflict resolution).10
Oleh karena itu, konsensus adalah substansi penyelesaian
konflik yang memiliki prinsip dasar yaitu ditemukannya kemungkinan di dalam diri semua
pihak yang berkonflik untuk mengadakan perubahan-perubahan terhadap pendapat-pendapat
yang dianutnya dengan bersedia menerima pendapat dari pihak lain yang menjadi lawannya
dalam konflik. Lebih lanjut Rauf mengemukakan bahwa syarat terpenting bagi terciptanya
konsensus adalah tawar-menawar (bargaining) yang berarti kesediaan semua pihak yang
terlibat dalam konflik untuk mengurangi tuntutannya sendiri dan menerima bagian-bagian
tertentu dari tuntutan pihak lain.11
Fase atau tahapan pertama menuju integrasi sosial yaitu fase akomodasi. Tahapan ini
menurut William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff adalah:
“actual working together of individuals or groups inspite of differences or latent
hostility”12
(Terj: kerjasama aktual dari individu atau kelompok terlepas dari
perbedaan atau permusuhan)
Di dalam fase ini kerjasama mungkin terjadi walaupun ada perbedaan faham.
Kerjasama demikian terwujud sebab adanya kepentingan yang sama, dan terjadi karena
adanya tujuan objektif yang sama. Di dalam tahap ini tercapailah kompromi dan toleransi
yang terwujud dalam keadaan dimana dua lawan atau lebih adalah sama kuat. Ketiadaan
toleransi tentu saja menjadi ladang yang subur bagi terciptanya konflik.
10Marswadi Rauf, Konsensus dan Konflik Politik; Sebuah Penjajagan Teori (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2000), 14.
11Rauf, Konsensus dan Konflik…, 15.
12William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, A Handbook of Sociology (London: Routledge and K.Paul, 1960), 109.
17
Salah satu sebab konflik adalah karena reaksi yang diberikan oleh dua orang/dua
kelompok atau lebih dalam suatu situasi yang sama akan berbeda-beda. Konflik juga akan
terjadi apabila terdapat prasangka yang terlalu lama terhadap sesuatu. Menurut W.A.
Gerungan, prasangka sosial (social prejudice) terjadi karena kekurangan pengetahuan dan
pengertian terhadap hidup pihak yang lain, adanya kepentingan perseorangan dan kelompok,
serta ketidakinsafan akan kerugian yang dialami masing-masing apabila prasangka dipupuk.13
Sebaliknya kalau reaksi terhadap suatu kejadian dalam situasi yang sama mengalami reaksi
sama dari pihak-pihak yang bersangkutan, maka sebagai akibatnya terjadi pembagian
pekerjaan, sehingga terbentuklah solidaritas. Apabila pekerjaan kelompok bersama
berlangsung cukup lama maka tercapailah fase kerjasama (cooperation), sehingga
kemungkinan integrasi meningkat.
Fase kedua menuju integrasi sosial adalah fase kerjasama (cooperation). Seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya, fase kerjasama tidak terlepas dari fase akomodasi. Oleh
karena itu, perlu dimengerti bahwa dalam fase akomodasi tercapailah toleransi yang hanya
dapat tercipta bila tidak ada konsensus yang dibuat oleh kelompok dan tidak ada perubahan
dalam kebijakan dasar namun setiap kelompok harus menanggung satu sama lain. Menurut
Hendropuspito, kerjasama (cooperation) ialah suatu bentuk proses sosial di mana dua atau
lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan bersama guna mencapai tujuan
bersama. Dengan cara ini masyarakat mikro maupun makro, masyarakat lokal, nasional, dan
internasional dapat mempertahankan eksistensinya dan sekaligus juga menambah
kemajuannya. Bentuk kerjasama ada bermacam-macam, begitupula variabelnya seperti
kumpulan, himpunan, yayasan, organisasi, dan sejenisnya.14
Kerjasama ini ditandai dengan beberapa ciri yaitu adanya jumlah anggota yang
semuanya bergantung pada jenis kerjasama yang akan dilakukan. Ada bentuk kerjasama yang
13W.A.Gerungan, Psikologi Sosial (Bandung: PT ERESCO, 1966), 175. 14Hendropuspito, Sosiologi Sistematika…, 236.
18
membatasi anggotanya sampai jumlah tertentu, adapula yang tidak membatasi. Kerjasama
dapat juga beranggotakan kelompok sosial baik kelompok sejenis maupun tidak sejenis. Ciri
kedua yang menandai kerjasama yaitu partisipasi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama.
Partisipasi ini biasanya berdasar pada perbedaan keterampilan pihak-pihak yang ada, untuk
saling bersinergi mencapai keuntungan bersama. Ciri yang terakhir yaitu dalam kerjasama
terdapat solidaritas yang berbeda. Hal ini disebabkan karena tidak semua pihak yang
bekerjasama mengalami rasa solidaritas yang sama. Gradasi suasana persaudaraan atau
kebersamaan tidak sama, tergantung pada dua faktor yakni nilai sosial yang hendak
diwujudkan dalam proses kerjasama dan motivasi yang mendorong anggota masuk ke
dalamnya.15
Terkait dengan dua faktor tersebut, Hendropuspito mengemukakan bahwa umumnya
nilai sosial yang sifatnya makin menyentuh para anggota karena pertalian darah yang sama
menumbuhkan rasa persatuan atau persaudaraan yang makin kuat. Demikian pula makin jauh
nilai sosial dari nilai persaudaraan, makin renggang rasa kesatuannya. Maka bentuk
kerjasama dalam kelompok primer menciptakan solidaritas yang lebih tinggi daripada
kerjasama dalam kelompok sekunder.16
Fase ketiga adalah fase koordinasi (coordination) yang hanya dapat terjadi bila fase
kerjasama telah tercipta. Kebiasaan bekerjasama tersebut lambat laun akan mencapai situasi
di mana individu atau kelompok mengharapkan dan mempunyai kesediaan untuk
bekerjasama, sehingga tercapailah fase koordinasi (coordination). Menurut James A.F
Stoner, koordinasi adalah proses penyatupaduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari
bagian atau bidang fungsional dari suatu kelompok organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi secara efisien.17
Koordinasi berfungsi untuk mengadakan kesatuan, keterpaduan,
15Hendropuspito, Sosiologi Sistematika…, 237.
16Hendropuspito, Sosiologi Sistematika…, 237. 17James A.F. Stoner, Management; Edisi Kedua (New Delhi: Printice Hall of India, 1982), 281.
19
serta keharmonisan di antara pihak-pihak yang saling bekerjasama.18
Bertolak dari
pemaparan tersebut, Daan Sugandha mendefinisikan koordinasi sebagai penyatupaduan gerak
dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi atau organisasi-organisasi yang berbeda-beda
fungsi agar secara benar-benar mengarah pada sasaran yang sama guna memudahkan
pencapaiannya secara efisien.19
Di dalam proses koordinasi indikator-indikator yang harus diperhatikan adalah
kelompok-kelompok kerja yang tentunya mempunyai fungsi yang berbeda-beda, sumber-
sumber atau potensi yang ada pada kelompok-kelompok dimaksud, gerak kegiatan atau
segala daya upaya dan segala tindakan yang dikerjakan oleh setiap unsur kelompok kerja,
adanya kesatupaduan sehingga terwujud suatu integritas atau suatu kesatuan yang kompak,
adanya keserasian serta arah yang sama untuk mencapai sasaran yang sudah ditetapkan.20
Fase keempat ialah fase asimilasi yang oleh Ogburn dan Nimkoff didefinisikan
sebagai sebuah proses di mana individu-individu atau kelompok-kelompok yang dahulunya
tidak sama menjadi dikenal dalam pembangunan dan cara berpikir.21
Menurut
Koentjaraningrat, asimilasi adalah proses masyarakat yang akan timbul bila terdapat unsur-
unsur berikut; 1. kelompok-kelompok manusia yang berasal dari lingkungan kebudayaan
yang berbeda-beda; 2. individu-individu dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda
tersebut saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang cukup lama; dan 3.
pergaulan secara intensif tersebut menyebabkan kebudayaan-kebudayaan dari masing-masing
kelompok berubah dan saling menyesuaikan diri menjadi satu.22
Karena asimilasi adalah
proses maka asimilasi melalui beberapa tahapan yaitu perubahan dari nilai-nilai dan
kebudayaan semula, serta penerimaan cara hidup yang baru, termasuk penggunaan bahasa
kelompok. Singkatnya asimilasi adalah proses mengakhiri kebiasaan lama dan sekaligus
18Daan Sugandha, Koordinasi; Alat Pemersatu Gerak Administrasi (Jakarta: INTERMEDIA, 1988), 11.
19Sugandha, Koordinasi; Alat Pemersatu Gerak…, 12-13.
20Sugandha, Koordinasi; Alat Pemersatu Gerak…, 14.
21Ogburn dan Meyer F. Nimkoff, A Handbook of Sociology…, 101.
22Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Penerbitan Universitas Djakarta. 1964), 146.
20
mempelajari dan menerima kehidupan yang baru. Di dalam proses ini kelompok atau
individu yang mengalami pengintegrasian mengalami proses belajar yaitu belajar peraturan-
peraturan yang formil sekaligus belajar tentang landasan norma-norma masyarakat yang
dimasuki. Tercapailah sudah fase asimilasi dengan intensitas integrasi normatif.
Bila integrasi normatif telah tercapai, maka tercapailah kesamaan dalam selera,
norma, dan kepentingan-kepentingan. Walaupun integrasi oleh individu atau kelompok
“pendatang” telah terwujud, namun ada segi lain yang sering dilupakan yaitu sikap dari
kelompok “penerima”. Dari segi penerima, diperlukan juga pengakuan bahwa individu atau
kelompok pendatang sudah sama dengan dirinya, sehingga pendatang tersebut sudah
dianggap sebagai anggota in-group. Dengan demikian jelaslah bahwa fase asimilasi
merupakan proses dua arah (two-way process), dalam artian jika ditinjau dari segi pendatang
maka proses tersebut adalah penetrasi atau masuknya kebudayaan luar mempengaruhi daerah
itu, sedangkan jika ditinjau dari segi penerima maka itu merupakan proses pengakuan.23
2.2.4. Solidaritas dalam Rangka Menciptakan Integrasi Sosial.
Solidaritas kelompok sangat penting bagi terciptanya integrasi sosial dan mencegah
lahirnya konflik. Menurut Peter Salim, solidaritas merupakan sifat (perasaan) solider, sifat
satu rasa (senasib), perasaan setia kawan antara sesama anggota masyarakat, atau dengan kata
lain solidaritas adalah kekompakan hidup yang didasarkan pada rasa setia kawan.24
Solidaritas
tersebut muncul dari kenyataan hidup masyarakat yang memiliki suatu ikatan hidup bersama
yang mana ikatan utamanya adalah kepercayaan bersama, cita-cita dan komitmen moral.
Singkatnya solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau
kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang
23Susanto, Pengantar Sosiologi…, 127. 24Peter Salim, The Commentary English-Indonesian Dictionary (Jakarta: Sixth Editions, 1991), 325.
21
diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.25
Solidaritas juga sangat penting dalam
pembentukan kelompok sosial, sebab solidaritas menciptakan perasaan kekitaan (we feeling
group), perasaan yang membawa seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok khusus.
Secara keseluruhan pengertian kelompok sosial yang mencakup tiga elemen dasarnya
(pluralitas subjek, interaksi antara subjek, dan solidaritas sosial mereka) mengarah pada
pemahaman mengenai karaktersitik ikatan sosial masyarakat desa. Pola diferensiasi sosial
masyarakat desa dapat pula dipahami lewat dimensi lokalitasnya. Rahardjo membedakan tiga
kelompok sosial dilihat dari dimensi lokalitasnya yaitu keluarga, ketetanggaan, dan
komunitas.26
Satuan pemukiman yang mempersatukan orang menjadi satuan sosial yang terkecil
adalah keluarga. Satuan keluarga ini dapat dibedakan ke dalam keluarga konjugal (conjugal
family) dan keluarga meluas (extended family). Keluarga konjugal adalah satuan keluarga
yang mandiri/otonom yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak yang belum berumah
tangga. Keluarga meluas adalah satuan keluarga yang besar yang diatur berdasar sistem
kekerabatan tertentu. Keluarga dalam masyarakat desa memiliki peran yang besar terhadap
hubungan atau ikatan sosial masyarakat desa. Di desa, hampir tidak ada pengelompokan yang
bebas (independen) terhadap pengaruh keluarga. Berbagai dimensi hubungan baik itu
ekonomis, sosial, pendidikan, politis, dan lain-lain tidak terlepas dari pengendalian dan warna
keluarga. Sehingga istilah “kekeluargaan” merupakan warna khas organisasi sosial
masyarakat desa. Ketetanggaan (neighbourhood) sebagai kelompok sosial ke dua yang sangat
penting dalam kehidupan sosial masyarakat desa adalah lokalitas kecil yang orang-orangnya
(dalam satuan keluarga) sering berhubungan secara akrab satu sama lain. Luas wilayah atau
lokalitasnya ditentukan berdasar cakupan keakraban dan saling menolong satu sama lain,
25Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern Jilid I (Jakarta: PT Gramedia, 1986), 181.
26Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
1999), 122.
22
bukan oleh ketentuan peraturan atau penguasa. Untuk desa-desa yang dilandasi oleh ikatan
darah, peranan ketetanggaan memiliki relevansi untuk dasar pemahaman, terlebih lagi karena
dalam kenyataannya gotong-royong yang diakui sebagai kebudayaan Indonesia, dalam
pelbagai bentuknya yang khas terdapat di seluruh wilayah yang terdapat di negara ini.27
Komunitas secara umum lebih besar dari ketetanggan, dan lebih mandiri (self-sufficient).
Komunitas adalah setiap lingkungan orang-orang yang hidup bersama dan menyadari adanya
kebersamaan itu, sehingga mereka bersama-sama berbagi kepentingan yang lebih luas dari
sekedar kepentingan mereka masing-masing, yang mencakup kehidupan mereka bersama.
Karakteristik dari komunitas antara lain; pertama, adanya pertanda phisik (physical
expression) tertentu yang dikenal bersama yang menunjukan batas tempat komunitas
tersebut; kedua, suatu kelompok sosial yang dilandasi interaksi sosial antara anggota-
anggotanya; dan ketiga, sekalipun sama-sama memiliki basis teritorial namun komunitas
berbeda dengan penduduk kota kecil atau kota-kota besar.28
Dalam kelompok-kelompok sosial seperti yang disebutkan di atas, solidaritas sangat
diperlukan guna mencegah konflik baik yang berasal dari dalam kelompok sosial maupun
dari luar kelompok sosial dimaksud. Dengan kata lain, solidaritas sangat penting dalam
rangka menciptakan integrasi sosial masyarakat, sebab integrasi sosial itu sendiri bertujuan
untuk menyatukan unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat menjadi satu kesatuan yang
utuh dan saling bersinergi. Lawan dari integrasi sosial adalah diferensiasi sosial atau
perbedaan sosial yaitu pembedaan penduduk atau warga masyarakat ke dalam golongan-
golongan atau kelompok secara horizontal (tidak bertingkat), perwujudannya adalah
penggolongan penduduk atas dasar perbedaan dalam hal-hal yang tidak menunjukan
tingkatan misalnya ras, agama, jenis kelamin, profesi, klan, suku bangsa, dan sebagainya.29
27Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 124.
28Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 124.
29Kutoyo, Sosiologi…, 3.
23
Pengertian ini turut didukung oleh Rahardjo yang mengatakan bahwa diferensiasi sosial atau
struktur sosial horizontal suatu masyarakat berkaitan dengan banyaknya pengelompokan-
pengelompokan sosial yang ada dalam masyarakat itu tanpa menempatkannya dalam jenjang
hierarkis.30
Jadi, dengan melihat diferensiasi sosial yang tidak menekankan pembedaan hierarkis
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa struktur sosial
horizontal suatu masyarakat adalah gambaran dari heterogenitas sosial masyarakatnya.
Sehubungan dengan konsep ini, secara teoritik dirumuskan bahwa semakin maju atau modern
suatu masyarakat, semakin tinggi diferensiasinya. Sebaliknya, semakin bersahaja
masyarakatnya semakin rendah pula tingkat diferensiasinya.31
Masyarakat desa adalah masyarakat yang relatif bersahaja dibanding dengan masyarakat
kota pada umumnya. Diferensiasi sosial masyarakat desa pada hakekatnya merujuk pada
masyarakat dengan tingkat diferensiasi yang tidak tinggi. Pola pengelompokkan masyarakat
desa pada dasarnya dapat dideskripsikan sebagai berikut; pertama, termasuk masyarakat
dengan pluralitas yang rendah sehingga tidak cenderung menciptakan diferensiasi atau
heterogenitas yang tinggi; kedua, cenderung termasuk tipe kelompok primer dengan
karakteristik yang melekat padanya; dan ketiga, cenderung tipe kelompok sosial yang
berlandaskan tipe solidaritas mekanis. Sorokin, Zimerman, dan Galpin telah mengadakan
inventarisasi terhadap empatbelas variabel kesamaan yang membentuk solidaritas mekanis
yaitu; 1. kekerabatan dan hubungan darah; 2. perkawinan; 3. kesamaan dalam agama atau
kepercayaan; 4. kesamaan dalam bahasa dan adat setempat; 5. pemilikan dan penguasaan
tanah bersama; 6. proksimitas atau kedekatan dalam suatu daerah; 7. adanya tanggung jawab
bersama; 8. kebersamaan dalam kepentingan okupasi; 9. kebersamaan dalam kepentingan
ekonomi; 10. sama-sama menjadi bawahan dari seorang tuan; 11. kesamaan dalam akses
30Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 119.
31Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…,119.
24
terhadap suatu lembaga atau keagenan (agency); 12. pertahanan atau keamanan bersama; 13.
saling tolong-menolong; 14. hidup dan pengalaman bersama.32
2.2.5. Integrasi Sosial Menurut Emile Durkheim.
Menurut Durkheim, integrasi sosial tidak dapat dipisahkan dari konsep hubungan
individu dan masyarakat seperti yang tertuang dalam prinsip totemik yang berkaitan dengan
kesadaran kolektif (collective conscience). Mengacu pada gambaran kehidupan masyarakat
primitif di Australia, diketahui bahwa suatu kelompok yang mempunyai kedudukan istimewa
dalam kehidupan kolektif adalah marga. Marga dicirikan sebagai individu-individu yang
menjadi anggotanya, mereka terikat oleh hubungan kekeluargaan yang sangat khas yang
terbentuk bukan berdasarkan ikatan darah, melainkan secara kolektif mereka ditandai dengan
nama atau kata yang sama. Mereka memandang satu sama lain sebagai bagian dari keluarga
karena memegang tanggung jawab timbal-balik yang identik, yang ditanamkan kepada setiap
anggota marga. Setiap marga memiliki totem yang hanya dikhususkan untuk marga itu.Istilah
“totemik” digunakan oleh Durkheim dalam bentuk ajektif untuk menunjuk kepada sistem,
kelompok, kepercayaan, tanda, representasi, penandaan arti dan lain-lain. Istilah ini merujuk
pada segala sesuatu selain binatang atau tumbuhan yang berkedudukan sebagai totem dari
sebuah kelompok.33
Totem bukan hanya sebuah nama, tetapi juga merupakan lambang, dengan kata lain
totem pertama-tama merupakan tanda pengenal sebuah kelompok (marga). Lambang-
lambang marga atau tanda-tanda totemik yang dilekatkan pada seorang anggota kelompok
atau individu merupakan ikatan yang mengikat dirinya dengan totemnya.34
Dengan kata lain,
marga merupakan tempat terikatnya orang-orang tradisional dalam kelompok sosial, yang
32Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 121.
33
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, terj.Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukuri (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), 155. 34Durkheim, The Elementary Forms…, 170-177.
25
mana ikatan tersebut menghadirkan adanya tindakan kolektif yang khas yang dapat
melahirkan arti yang sakral. Marga hanya bisa hidup oleh karena kesadaran-kesadaran
individu yang membentuknya.35
Konsep dasar tentang totemisme adalah konsep prinsip quasi-tuhan yang imanen
dalam beberapa kategori manusia atau segala sesuatu selain manusia dan dianggap
mengambil bentuk dalam wujud binatang atau tumbuhan. Totem mengekspresikan dua hal
yang berbeda yakni di satu sisi totem merupakan bentuk luar dan kasat mata dari apa yang
diistilahkan dengan prinsip totemik atau tuhan, sementara di sisi lain totem juga merupakan
simbol dari sebuah masyarakat.36
Bagi setiap anggotanya, masyarakat sama dengan Tuhan bagi para hamba-Nya. Tuhan
pada awalnya adalah sesuatu yang dipandang superior oleh manusia dan merupakan tempat
menggantungkan kepercayaan, oleh karena itu, masyarakat menimbulkan semacam rasa
ketergantungan pada diri individu. Karena masyarakat memiliki hakikat yang berbeda dari
individu, maka masyarakat mempunyai tujuan yang berbeda dengan individu. Namun karena
masyarakat hanya dapat mencapai tujuan tersebut melalui diri individu, maka masyarakat
membutuhkan kerjasama individu. Masyarakat mengikat individu dengan segala macam
bentuk kekangan, privasi, dan pengorbanan, yang apabila semua itu tidak ada, mustahil ada
kehidupan sosial .Oleh karenanya individu harus patuh kepada aturan-aturan tingkah laku
yang sebenarnya tidak dibuat dan dibutuhkan, dan bahkan bertentangan dengan keinginan
dasariah individu. Masyarakat memaksakan konsesi dan pengorbanan-pengorbanan tersebut
dengan tekanan, sehingga tidak ada pilihan lain bagi individu selain menerimanya. Individu
mematuhi perintah masyarakat, karena masyarakat menjadi objek rasa hormat yang paling
utama. Dengan kata lain masyarakat menawarkan ide untuk individu patuh kepadanya;
35Durkheim, The Elementary Forms…, 216. 36Durkheim, The Elementary Forms…, 303-305.
26
masyarakat memberikan pengaruh moral atas individu.37
Daya moral tersebut memiliki
semacam kesadaran kolektif yang mampu mempengaruhi kesadaran individu. Otoritas daya
moral inilah merupakan salah satu aspek dari pengaruh moral yang ditanamkan masyarakat
kepada setiap anggotanya.38
Terkait dengan integrasi masyarakat yang tidak terlepas dari adanya pembagian kerja,
Durkheim mengetengahkan dua tipe kohesi sosial yakni kohesi yang didasarkan atas
kesamaan-kesamaan di antara para anggota kelompok, dan kohesi yang didasarkan atas
hubungan saling tergantung dalam divisi kerja (division of labor).39
Menurutnya masyarakat
terbagi atas masyarakat sederhana dan kompleks.40
Di dalam masyarakat yang sederhana populasinya kecil dan tersebar di dalam wilayah
yang terbatas. Anggota-anggota masyarakat memiliki ciri-ciri dan kegiatan-kegiatan yang
sama dan termasuk di dalam kelompok-kelompok kecil yang sebagian terisolasi dan memiliki
sedikit interaksi. Sebuah masyarakat sederhana adalah sebuah sistem segmen-segmen yang
homogen dan sama satu dengan yang lain, sehingga setiap segmen itu bisa ditambahkan atau
diambil dari sebuah masyarakat tanpa mempengaruhi yang lain. Secara institusional
masyarakat-masyarakat sederhana terintegrasi secara ketat, dalam artian bahwa tidak ada
perbedaan yang tajam antara aturan-aturan dan tuntutan-tuntutan kehidupan keluarga,
keagamaan, politis, moral, dan legal. Semuanya sangat tradisional sehingga individu lahir ke
dalam situasi-situasi sosial yang dirumuskan dengan jelas yang di dalamnya kewajiban-
kewajiban persis, jelas, dan tidak dapat dielakan. Jadi terdapat sedikit ruang untuk prestasi
individu, atau hak milik pribadi, serta dalam pembagian kerja ekonomis dan pembagian kerja
lainnya.41
37Durkheim, The Elementary Forms…, 305-306.
38Durkheim, The Elementary Forms…, 328.
39
Durkheim, The Division of Labor…, 158-182. 40Durkheim, The Division of Labor…, 158-182. 41Durkheim, The Division of Labor…, 158-182.
27
Sebaliknya masyarakat yang kompleks dicirikan dengan wilayah-wilayah yang luas
yang rapat penduduk dengan berbagai macam kelompok yang tersusun secara beraneka
ragam. Masyarakat kompleks sejak awal terintegrasi dalam arti bahwa bagian-bagian mereka
tergantung satu sama lain pada hubungan timbal balik. Di dalam masyarakat kompleks
rancangan-rancangan institusional dispesialisasikan sehingga jenis institusi (misalnya:
keluarga, religius, pendidikan, politis, dan ekonomis) menjadi lebih tampak jelas. Individu-
individu tidak lagi berada di bawah kontrol ketat dari kolektivitas institusi-institusi yang
terjalin erat. Di dalam dirinya setiap institusi juga berperan menghasilkan spesialisasi-
spesialisasi kegiatan yang saling tergantung di berbagai segi hidup. Baik masyarakat
sederhana maupun masyarakat kompleks ditandai dengan adanya solidaritas mereka masing-
masing, yang disebut oleh Durkheim dengan solidaritas organis yang dipegang oleh
masyarakat kompleks dan solidaritas mekanis yang dipegang oleh masyarakat sederhana.42
Solidaritas organis yang berkembang dalam masyarakat-masyarakat kompleks timbul
karena adanya kesalingtergantungan, dan bukan pada kesamaan bagian-bagiannya. Sehingga
solidaritas organis adalah sebuah kesatuan dari sebuah keseluruhan yang bagian-bagiannya
berbeda-beda namun berhubung-hubungan dengan cara sedemikian rupa sehingga masing-
masing membantu mencapai tujuan-tujuan keseluruhan. Fungsi pembagian kerja tidaklah
menjurus pada peningkatan produktivitas melainkan untuk memungkinkan sebuah kehidupan
sosial yang integral yang tidak tergantung pada sebuah keseragaman melulu dalam bagian-
bagian sistem itu. Dalam masyarakat dengan solidaritas organis dicirikan dengan hukum
restitutif atau hukum bersifat memulihkan yang menghendaki para pelanggarnya memberikan
ganti rugi atas kejahatan mereka. Sebuah pelanggaran hanya dilihat sebagai perbuatan
melawan individu tertentu daripada melawan sistem moral.43
Sedangkan solidaritas mekanis
yang berkembang di dalam masyarakat sederhana didasarkan pada suatu kesadaran kolektif
42Durkheim, The Division of Labor…, 158-182.
43Durkheim, The Division of Labor…, 158-182.
28
bersama yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang
rata-rata ada pada masyarakat yang sama itu. Solidaritas jenis ini tergantung pada individu-
individu yang memiliki sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang
sama pula. Dengan kata lain, solidaritas mekanis hanya dapat terjadi pada suatu tingkat
homogenitas. Masyarakat-masyarakat primitif berpegang pada solidaritas mekanis yang mana
mereka memiliki nurani kolektif yang kuat yakni pengertian-pengertian, norma-norma, dan
kepercayaan-kepercayaan yang lebih banyak dianut bersama. Dalam masyarakat dengan
solidaritas mekanis dicirikan oleh hukum yang represif atau menindas. Oleh karenanya,
setiap individu mempunyai kepercayaan yang mendalam terhadap moralitas bersama.
Ancaman terbesar bagi solidaritas mekanis adalah heterogenitas dan individualitas. Sebab
dengan heterogenitas yang tinggi, ikatan bersama yang mempersatukan menjadi kendor.44
2.3. Perubahan Sosial
Bagian ini memaparkan teori perubahan sosial; pengertian dan bentuk, perubahan sosial
masyarakat desa, dan pengaruh perubahan sosial terhadap integrasi sosial.
2.3.1. Perubahan Sosial; Pengertian dan Bentuk.
Setiap masyarakat senantiasa mengalami perubahan baik secara cepat dan berpengaruh luas,
maupun lambat dan pengaruhnya terbatas. Perubahan-perubahan tersebut hanya akan dapat
ditemukan jika menelusuri susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan
membandingkannya dengan susunan dan kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang
lampau. Menurut Robert H. Lauer, perubahan sosial merupakan suatu konsep inklusif yang
menunjuk kepada perubahan gejala sosial berbagai tingkat kehidupan manusia mulai dari
44Durkheim, The Division of Labor…, 158-182.
29
individual sampai global.45
Sedangkan Gillin John dan John Philip Gillin seperti dikutip oleh
Jacobus Ranjabar mengartikan perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup
yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-
penemuan baru dalam masyarakat.46
Merujuk pada pengertian-pengertian di atas, perspektif perubahan sosial dapat
dipahami sebagai suatu situasi di mana terjadi perbedaan keadaan yang signifikan pada
unsur-unsur dalam masyarakat sekarang ini dibandingkan dengan keadaan masyarakat
sebelumnya. Perubahan sosial juga menunjuk pada proses perkembangan unsur-unsur sosio-
budaya dari waktu ke waktu yang membawa perubahan berarti dalam struktur sosial
masyarakat. Dalam pengertian ini perubahan sosial dapat dilihat sebagai suatu hal yang
positif dan aktif. Artinya ada pergeseran dinamis yang menunjuk pada perubahan-perubahan
dalam masyarakat yang diakibatkan oleh berbagai aspek atau bidang. Susanto menyebutkan
bahwa penyebab perubahan masyarakat yaitu karena adanya pengetahuan, kemajuan
teknologi serta penggunaannya oleh masyarakat; komunikasi dan transportasi; urbanisasi,
serta peningkatan harapan dan tuntutan masyarakat.47
Perubahan sosial selain memiliki arti sebagai sebuah kemajuan (progress), juga dapat
diartikan sebagai sebuah kemunduran (regress). Situasi kemunduran ini terkait dengan
kemajuan dalam bidang IPTEK yang merupakan dampak dari globalisasi. Pada umumnya
pengaruh atas perubahan harapan dan kebutuhan-kebutuhan mental dan materi disebabkan
oleh perubahan teknik (technical change) yang turut berdampak pada mental manusia berupa
perubahan pendapat atau penilaian terhadap suatu bentuk penemuan baru yang dianggap
45Lauer, Perspektif Tentang Perubahan…, 5. 46Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial Dalam Teori Makro; Pendekatan Realitas Sosial, (Bandung:
Alfabeta, 2008), 15-16 .
47Susanto, Pengantar Sosiologi…, 157.
30
sebagai sesuatu yang mutlak. Dalam perubahan yang kompleks ini dengan sendirinya
memunculkan dua kemungkinan yaitu bahwa manusia menemukan sistem penilaian dan
filsafat hidup yang baru, serta manusia tenggelam di dalam persoalan-persoalan yang
dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap atau keputusan terhadap suatu keadaan baru.
Di sinilah letak kemunduran masyarakat akibat hadirnya perubahan sosial.48
Secara umum, faktor penyebab terjadinya perubahan sosial dapat berasal dari dalam
masyarakat itu sendiri, maupun dari luar masyarakat yakni adanya pengaruh dari masyarakat
lain atau dari alam sekitar. Terdapat empat faktor penyebab perubahan sosial yang berasal
dari dalam masyarakat. Pertama, bertambah atau berkurangnya penduduk. Pertambahan
penduduk yang sangat cepat menyebabkan terjadinya perubahan dalam struktur masyarakat,
terutama yang menyangkut lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sedangkan berkurangnya
penduduk mungkin disebabkan karena berpindah-pindahnya penduduk dari desa ke kota atau
dari suatu daerah ke daerah lainnya (transmigrasi) yang mungkin dapat saja mengakibatkan
kekosongan, misalnya dalam pembagian kerja maupun stratifikasi sosial yang mempengaruhi
lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Kedua, penemuan-penemuan baru. Penemuan-penemuan baru sebagai sebab terjadinya
perubahan sosial dapat dibedakan dalam pengertian-pengertian discovery dan Invention.
Discovery yaitu penemuan dari suatu unsur kebudayaan yang baru, baik yang berupa suatu
alat baru, ide baru, yang diciptakan oleh seseorang atau suatu rangkaian dari individu-
individu dalam masyarakat. Sedangkan invention merupakan penemuan baru yang
disempurnakan dari ide-ide sebelumnya.49
Ketiga, perubahan terjadi dalam sistem sosial sebagai akibat pengadopsian atau
penolakan inovasi. Menurut Koentjaraningrat inovasi adalah suatu proses perubahan
kebudayaan yang besar, tetapi yang terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlampau lama.
48Susanto, Pengantar Sosiologi…, 179. 49Soekanto, Sosiologi; Suatu Pengantar…, 227-228.
31
Proses inovasi meliputi suatu penemuan baru. Jalannya unsur kebudayaan baru tadi
disebarkan ke berbagai bagian dari masyarakat, dan cara-cara unsur kebudayaan tadi
diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam kehidupan masyarakat.50
Keempat,
pertentangan (konflik) yang dapat menimbulkan kekecewaan dan kekerasan sosial, maka saat
itulah individu mudah terpengaruh dengan hal-hal yang baru.
Sebaliknya, faktor pendorong perubahan sosial yang berasal dari luar masyarakat yaitu;
pertama, perubahan lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia. Perubahan itu dapat
terjadi karena gempa bumi, taufan, banjir besar, dan lain-lain, yang menyebabkan masyarakat
yang mendiami daerah-daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya.
Apabila masyarakat tersebut mendiami tempat yang baru maka mereka harus menyesuaikan
diri dengan keadaan alam yang baru, yang dapat berpengaruh pada perubahan lembaga-
lembaga kemasyarakatannya.
Kedua, pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Perubahan terjadi karena hubungan yang
dilakukan secara fisik antara dua masyarakat menimbulkan pengaruh timbal-balik, artinya
masing-masing masyarakat mempengaruhi masyarakat lainnya, tetapi juga menerima
pengaruh dari masyarakat yang lain itu.
2.3.2. Perubahan Sosial Masyarakat Desa.
Masyarakat desa merupakan salah satu wilayah yang senantiasa mengalami perubahan
meskipun dengan intensitas yang relatif. Perubahan sosial umum masyarakat desa merujuk
pada perubahan-perubahan yang terjadi di luar perencanaan maupun karena kesengajaan.
Fenomena perubahan sosial semacam ini umumnya disimak lewat perspektif evolusioner.51
Dalam perspektif evolusioner, proses perubahan dilihat sebagai perkembangan yang jelas
sekuensi dan tahap-tahapannya. Untuk menggambarkan arah perkembangan beserta tahapan-
50Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi…, 135. 51Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 188.
32
tahapannya, para ilmuwan penganut perspektif evolusioner mengemukakan beberapa era
yang menunjukan arah terjadinya perubahan dan perkembangan masyarakat yaitu era
tradisional dan era modern, era pra-industri dan era industri, era prakapitalistik dan era
kapitalistik, serta era sebelum globalisasi dan era globalisasi. Secara umum, pengklasifikasian
ini dapat dikelompokkan ke dalam dua era saja yakni era pertama yang terdiri dari era
tradisional, era praindustri, era pra kapitalistik dan era pra globalisasi. Sedangkan era kedua
terdiri dari era modern, era industri, era kapitalsitik, dan era globalisasi.52
Menurut perspektif evolusioner masyarakat era pertama akan berubah dan berkembang
ke arah era kedua. Dalam kerangka dikotomik ini masyarakat desa umumnya ditempatkan
pada kelompok masyarakat era pertama. Pengelompokan ini tentu saja tidak sepenuhnya
dapat diterima sebab dalam kenyataannya ada banyak desa yang telah maju, telah banyak
terpengaruh globalisasi, telah dirasuki sistem kapitalisme modern secara cukup intensif, dan
telah memiliki ciri-ciri masyarakat modern. Sebaliknya, terdapat sejumlah kota yang
memiliki pelbagai ciri konservatif yang terlekat pada era pertama.53
Melalui berbagai
pertimbangan di atas, Rahardjo merumuskan sebuah rumusan baru yang lebih tepat untuk
menggambarkan perubahan umum masyarakat desa yaitu bahwa masyarakat desa yang
banyak diwarnai oleh ciri-ciri era pertama berubah dan berkembang menjadi masyarakat
yang banyak diwarnai oleh ciri-ciri era kedua.54
2.3.3. Pengaruh Perubahan Sosial Terhadap Integrasi Sosial.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, perubahan sosial yang dialami masyarakat desa
dewasa ini selain memberikan dampak positif berupa kemajuan (progress), sekaligus
memberikan dampak negatif berupa kemunduran (regress), khususnya terhadap eksistensi
52Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 188.
53Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 189.
54Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 189.
33
budaya lokal yang berperan sebagai perekat kehidupan masyarakat setempat. Menurut
Susanto, perubahan sosial yang dialami suatu masyarakat dapat menyebabkan terganggunya
keseimbangan antar kesatuan di dalam suatu masyarakat, dan dapat mengubah pola
masyarakat itu.55
Akibat yang timbul dari keadaan tersebut ialah terganggunya kesatuan hidup
masyarakat setempat yang ditandai dengan timbulnya pertentangan dan konflik.
Dalam kaitan dengan pengaruh perubahan sosial terhadap integrasi sosial, dapat
dijelaskan bahwa perubahan sangat penting yang sedang terjadi saat ini adalah semakin
menipisnya perbedaan antara desa dan kota. Hal ini terutama disebabkan oleh semakin
menyebar dan meluasnya transportasi dan komunikasi modern atau sains-teknologi lainnya.
Isolasi fisik dan sosio-kultural yang dulu menciptakan kondisi bagi kuatnya akar
tradisionalisme dalam kehidupan masyarakat desa, kini semakin berkurang atau bahkan
hilang. Desa semakin terbuka terhadap pengaruh-pengaruh luar baik dari lingkup regional,
nasional, maupun internasional. Pengaruh-pengaruh itu mencakup berbagai aspek khususnya
aspek sosial-kebudayaan dan ekonomis.56
Jadi, dapat dikatakan bahwa pengaruh perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat
desa selain secara aktif dan positif mempengaruhi kemajuan masyarakatnya menjadi lebih
modern dan berkembang dalam berbagai sendi hidup, juga serta-merta mengancam eksistensi
budaya-budaya lokal. Anthony Giddens menganalogikan perubahan akibat modernisasi
tersebut seperti truk besar yang meluncur tanpa kendali dan tidak ada seorangpun yang
mampu mengendalikannya. Itulah perubahan sosial yang mau tidak mau berdampak langsung
dalam pranata masyarakat global itu sendiri.57
55Susanto, Pengantar Sosiologi…, 178.
56Rahardjo, Pengantar Sosiologi Pedesaan…, 189. 57Anthony Giddens, Jalan Ketiga; Pembauran Demokrasi (Jakarta: Gramedia, 2001), 54.
34
Senada dengan Giddens, Kenichi Ohmae mengemukakan bahwa dengan adanya
globalisasi dan teknologi informasi, batas-batas antarwilayah terputus.58
Sedangkan menurut
Aholiab Watloly penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, kimia, dan elektronika
memungkinkan adanya perubahan komunikasi antar manusia. Perubahan itu telah
membangkitkan suatu kekuatan sosial yang baru dengan dampak kultural yang sangat
mendasar.59
Pandangan ketiga sosiolog di atas sebenarnya mengarah pada satu keterangan
bahwa perubahan-perubahan yang terjadi telah menggoncangkan tatanan nilai-nilai lama,
sekaligus memberikan rangsangan bagi nilai-nilai budaya setempat untuk tetap dipertahankan
atau malah terpuruk.
Tradisionalisme masyarakat desa yang lebih memperlihatkan adanya keseimbangan
hidup sebagaimana tercermin di dalam budaya menjadi terkontaminasi oleh modernisasi,
sehingga budaya-budaya yang ada dengan sendirinya mulai luntur atau ditinggalkan. Akibat
dari lunturnya budaya lokal karena sentuhan modernitas, khususnya budaya-budaya yang
lebih menekankan integrasi, persekutuan dan harmoni sosial adalah disintegrasi, ketiadaan
harmoni sosial, dan konflik.
2.4. Kesimpulan
Integrasi sosial sebagai proses penyatupaduan unsur-unsur yang berbeda dalam masyarakat
guna mencapai satu kesatuan, memiliki hubungan erat dengan konflik. Hal ini dikarenakan
integrasi sosial adalah sekaligus merupakan disorganisasi yaitu memudarnya nilai dan norma
dalam masyarakat, serta disintegrasi yaitu memudarnya solidaritas kolektif. Integrasi dan
konflik juga dipengaruhi oleh solidaritas intra kelompok (in-group solidarity) dan relasinya
dengan kelompok luar (out-group/they-groups).
58Kenichi Ohmae, The End of Nation State dan Bangkitnya Negara Kawasan (Yogyakarta: Qalam,
2002), 54. 59Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan; Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 41.
35
Dalam masyarakat heterogen, integrasi sosial dapat berlangsung melalui empat fase
yang dikemukakan oleh Astrid Susanto yaitu fase akomodasi, fase kerjasama (cooperation),
fase kordinasi (coordination), dan fase asimilasi. Dasar dari proses integrasi adalah
konsensus yakni kesepakatan tentang nilai dan norma yang dipegang bersama. Integrasi
sosial masyarakat mengarah kepada kesamaan tujuan objektif yang berkaitan dengan
pembagian kerja, karena itulah merujuk pada perspektif Durkheim masyarakat sederhana
yang dicirikan oleh tingkat homogenitas yang tinggi menganut solidaritas mekanis.
Sedangkan masyarakat modern yang dicirikan oleh pembagian kerja menganut solidaritas
organis.
Tantangan bagi integrasi sosial masyarakat lokal ialah perubahan sosial, yang mana
perubahan sosial itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kemajuan (progress) sekaligus
suatu kemunduran (regress). Sebagai suatu kemajuan, perubahan sosial dapat meningkatkan
kualitas hidup masyarakat lokal. Sedangkan sebagai suatu kemunduran, perubahan sosial
dapat menyebabkan terkikisnya nilai budaya lokal.
Recommended