View
226
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Kajian Teori
2.1.1 Matematika Sekolah Dasar
Matematika merupakan mata pelajaran yang ada di Sekolah Dasar.
Menurut Wahyudi dan Inawati (2009:5) mengemukakan bahwa “matematika
merupakan suatu ilmu yang mempelajari jumlah-jumlah yang diketahui
melalui proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-
angka atau simbol.” Matematika SD digunakan untuk membekali peserta
didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan efektif.
Antonius Cahya (2006: 18) mengemukakan bahwa “Matematika
berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan
penyelidikan, eksplorasi, dan eksperimen, sebagai alat pemecahan masalah
melalui pola pikir dan model matematika, serta sebagai alat komunikasi
melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan”.
Matematika Sekolah Dasar terdiri dari sistem-sistem yang terstruktur
yang masing-masing terbentuk melalui pola penalaran secara deduktif dengan
logika matematika sebagai alat penalarannya dalam mengkomunikasikan
suatu proses perhitungan dan pengukuran yang dinyatakan dengan angka-
angka.
2.1.2 Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar
Pembelajaran matematika hakikatnya adalah suatu proses yang sengaja
dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan
memungkinkan peserta didik melaksanakan pembelajaran, dan proses tersebut
berpusat pada guru mengajar . Pembelajaran matematika harus memberika
peluang kepada peserta didik untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang
matematika. Menurut Aisyah (Wahyudi dan Kriswandani, 2007:47)
7
menyimpulkan bahwa “Pembelajaran matematika adalah pembelajaran
berpusat pada kegiatan peserta didik belajar dan bukan berpusat pada kegiatan
guru mengajar”. Pembelajaran matematika sebaiknya terdapat pendekatan yang
sesuai dengan pemahaman karakteristik matematika dalam mengembangkan
kemampuan berpikir matematis. Adam dan Hamm (Wijaya, 2012: 15)
berpendapat “Pembelajaran matematika seharusnya mempunyai peranan
pengajaran yang dapat membantu para guru untuk memberikan materi pada
peserta didik secara proporsional sesuai dengan tujuan.” Pemilihan
pembelajaran yang sesuai dengan fungsi yang ada pada pelajaran matematika.
Pemilihan pembelajaran matematika yang tepat dapat membuat peserta
didik membangunan suatu sistem yang bermakna dalam pembelajaran,
pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman interaksi sosial dengan
teman sebaya, berani berargumentasi melalui percakapan dalam kelompok
kerja dengan adanya suatu pembelajaran yang mampu mengembangkan
kemampuan bernalar, bereksplorasi, dan mengkonfirmasikan hasil dari
pembelajaran apabila dalam pembelajaran matematika guru dapat
menyampaikan materi secara proposional sesuai dengan tujuan matematika.
Mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan sekolah dasar
meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) bilangan, (2) geometri, (3)
pengolahan data (Depdiknas, 2006). Cakupan bilangan antara lain bilangan dan
angka, perhitungan dan perkiraan. Cakupan geometri antara lain bangun dua
dimensi, tiga dimensi, tranformasi dan simetri, lokasi dan susunan berkaitan
dengan koordinat. Cakupan pengukuran berkaitan dengan perbandingan
kuantitas suaru obyek, penggunaan satuan ukuran dan pengukuran.
8
2.1.3 Pendekatan Matematika Realistik
2.1.3.1 Hakekat Pendekatan Matematika Realistic
Salah satu pembelajaran matematika yang beroreintasi pada
matematisasi pengalaman sehari – hari dan menerapkan matematika dalam
kehidupan sehari – hari adalah pembelajaran Matematika Realistik (MR).
Realistic Mathematica Education (RME) merupakan teori belajar
mengajar dalam pendidikan matematika. Teori RME pertama kali
diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut
Freudenthal. Teori ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan
bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak yang
relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Matematika sebagai aktivitas
manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa,
Gravencher (Suharta, I;2005). Seperti yang dikatakan Zulkardi (2001:1)
bahwa Realistic Mathematic Education (RME) atau pendekatan matematika
realistic adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal ‘real’.
Realistic dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada
sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa, Slettenhar (Asmin, 2005). Prinsip
penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep
matematisasi. Dua jenis matematisasi diformulasikan oleh Traffers yaitu
matematisasi horizontal dan vertical (Suharta, I:2005). Dalam bermatematika
secara horizontal, siswa mengidentifikasi bahwa soal konstektual harus
ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami. Menurut
Gravemeijer dan Traffers (Suharta, I:2005) melalui penskemaan, perumusan,
dan pemvisualisasian, siswa mencoba menemukan kesamaan dan hubungan
soal dan mentransfernya kedalam bentuk model matematika formal dan tidak
9
formal. Peran guru adalah membentuk siswa menemukan model-model
tersebut dengan memberikan gambaran model-model yang cocok untuk
mempresentasikan soal tersebut, De Lange (Asmin, 2006).
Sedangkan dalam matematika secara vertical, siswa menyelesaikan
bentuk matematika formal atau tidak formal dari soal kontekstual dengan
menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan
dipahami siswa. Dalam hal ini peran guru sangat dominan. Dengan bantuan
guru siswa menunjukkan hubungan dari rumus yang digunakan, membuktikan
aturan matematika yang berlaku, membandingkan model,menggunakan model
yang berbeda, mengkombinasikan dan menerapkan model, serta merumuskan
konsep matematika dan menggeneralisasikannya, De Lange (Asmin:2005).
Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertical, pendekatan dalam
pendekatan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu
mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan
didasarkan pada apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari
yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini manusia
dianggap sebagai mesin. Kedua matematisasi tidak digunakan.
Pendekatan empiristik merupakan pendekatan dimana konsep – konsep
matematika tidak diajarkan. Dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui
matematisasi horisontal.
Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan
sistem formal. Misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului
nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertical.
Pendekatan realistik merupakan pendekatan yang menggunakan
masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas
matematisasi horisontal dan vertical diharapkan siswa dapat menemukan dan
mengkonstruksi konsep – konsep matematika.
10
2.1.3.2 Karakteristik Pendekatan Matematika Realistik
Karakteristik RME adalah menggunakan konteks “dunia nyata”, model –
model, produksi, dan kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan (Treffers,
1991 ; Van den Heuvel-panhuizen, 1998).
a. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”.
Gambar berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus
dimana “Dunia Nyata” tidak hanya sumber matematisasi, tetapi juga
sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. Gambar 1
Konsep Matematisasi (De Lange, 1987) Dalam RME, Pembelajaran
diawali dengan masalah konstektual “Dunia Nyata”, sehingga
memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara
langsung. Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata
dinyatakan oleh De Lange (Suharta, I;2005) sebagai matematisasi
konseptual, melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan
konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan
konsep-konsep matematika ke bidang baru dunia nyata (applied
Mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman anak sehari-hari perlu diperhatikan
matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematization of every day
experience) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (Cinzia Bonotto,
2000).
b. Menggunakan model-model (Matematisasi).
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang
dikembangkan oleh siswa sendiri (self develoved models). Peran self
develoved models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi real ke
situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.
Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia nyata siswa.
11
Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-
of masalah tersebut. Melalui penalaran model-of akan bergeser menjadi
model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya, akan menjadi model
matematika formal.
c. Menggunakan Produksi dan Kontruksi
Steefland (Suharta, I;2005) menekankan bahwa dengan pembuatan
“produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian
yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi
informal siswa yang merupakan prosedur pemecahan masalah konstektual
merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih
lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
d. Menggunakan Interaktif
Interaksi siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME.
Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi,
penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal
siswa.
e. Menggunakan Keterkaitan (Intertwinment)
Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika
dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain,
maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam
mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih
kompleks, dan tidak hanya dalam aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi
juga bidang lain.
2.1.3.3 Implementasi Pendekatan Matematika Realistik
Di Belanda, pengimplementasian dengan pendekatan realistic (RME)
sudah cukup menunjukkan keberhasilan dimana siswa yang menggunakan
pendekatan realistic prestasi matematikanya tinggi. Zulkardi (Yulianto, I
12
2003:20), “Hasil positif yang dicapai Belanda dan beberapa Negara lainnya
bahwa prestasi siswa meningkat baik secara nasional maupun internasional”.
Implementasi pendidikan matematika realistic di Indonesia harus dimulai
dengan mengadaptasi pendidikan matematika realistic (PMR) sesuai dengan
karakteristik dan budaya bangsa Indonesia. Pengimplementasian PMR di
kelas harus didukung oleh sebuah perangkat yang dalam hal ini adalah buku
ajar yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Menurut Suharta, I (2005)
bahwa implementasi PMR di kelas meliputi tiga fase yakni:
a. Fase pengenalan.
Pada fase pengenalan, guru memperkenalkan masalah realistic dalam
matematika realistic kepada seluruh siswa serta membantu untuk memberi
pemahaman (setting) masalah. Pada fase ini sebaiknya ditinjau ulang
semua konsep-konsep yang berlaku sebelumnya dan diusahakan untuk
mengaitkan masalah yang dikaji saat itu ke pengalaman siswa sebelumnya,
b. Fase eksplorasi.
Pada fase eksplorasi, siswa dianjurkan bekerja secara individual,
berpasangan atau dalam kelompok kecil. Pada saat siswa sedang bekerja,
mereka mencoba membuat model situasi masalah, berbagi pengalaman
atau ide, membuat dugaan. Selanjutnya dikembangkan strategi-strategi
pemecahan masalah yang mungkin dilakukan berdasarkan pada
pengetahuan informal atau formal yang dimiliki siswa.
c. Fase meringkas.
Peranan siswa dalam fase ini sangat penting seperti: mengajukan
dugaan, pertanyaan kepada yang lain, bernegosiasi, alternatif-alternatif
pemecahan masalah, memberikan alasan, memperbaiki strategi dan dugaan
mereka, dan membuat keterkaitan. Sebagai hasil diskusi, siswa diharapkan
13
menemukan konsep-konsep awal atau pengetahuan matematika formal
sesuai dengan tujuan materi.
2.1.3.4 Keunggulan dan Kelemahan Matematika Realistik
Mengungkapkan berbagai kekurangan sama artinya mengemukakan
berbagai kelemahan yang muncul di depan mata kita, sebagai suatu kenyataan
apa adanya, hal ini bukan berarti bahwa pembelajaran matematika yang telah
berjalan pada kurun waktu yang lampau secara mutlak dipersalahkan atau
sama sekali tidak memberi manfaat secara nyata kepada peserta didik. Namun,
pemaparan berbagai kelemahan itu lebih diartikan sebagai titik tolak untuk
mengambil tindakan positif sebagai upaya memberikan antisipasi berupa
tindakan kongkrit bertahap yang harus ditempuh selama pelaksanaan
pembelajaran.
Menurut Mustaqimah (2001) dalam artikelnya mengatakan bahwa,
keunggulan dan kelemahan Matematika Realistik sebagai berikut:
a) Keunggulan Matematika Realistik
a) Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya maka siswa
tidak mudah lupa dengan pengetahuannya.
b) Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena
menggunakan realitas kehidupan.
c) Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban
siswa ada nilainya.
d) Memupuk kerjasama dengan kelompok.
e) Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya.
f) Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan
pendapat.
g) Pendidikan budi pekerti, misalnya: kerja sama dan saling
menghormati teman yang sedang berbicara.
14
b) Kelemahan Matematika Realistik
a) Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa
masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya.
b) Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi siswa yang lemah.
c) Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti
temannya yang belum selesai.
d) Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran
saat itu.
e) Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan
dalam evaluasi/memberi nilai.
2.1.3.5 Langkah-Langkah Pembelajaran Matematika Realistik
Wahyudi dan Kriswandani (2007: 52) mengemukakan bahwa langkah –
langkah pembelajaran dalam pendekatan pembelajaran matematika realistik
adalah sebagai berikut :
1. Memahami masalah/soal konteks guru memberikan masalah/persoalan
kontekstual dan meminta peserta didik untuk memahami masalah
tersebut.
2. Menjelaskan masalah konstektual, langkah ini dilakukan apabila ada
peserta didik yang belum paham dengan masalah yang diberikan.
3. Menyelesaikan masalah secara kelompok atau individu.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban. Guru memfasilitasi diskusi
dan menyediakan waktu untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban dari soal secara kelompok.
5. Menyimpulkan hasil diskusi
2.1.4 Hasil Belajar
Setiap proses belajar mengajar keberhasilannya diukur dari seberapa jauh
hasil belajar yang dicapai siswa. Hasil belajar berasal dari dua kata dasar yaitu
15
hasil dan belajar, istilah hasil dapat diartikan sebagai sebuah prestasi dari apa
yang telah dilakukan. Sedangkan definisi belajar menurut para ahli sebagai
berikut :
Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap
suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamanya yang berulang-
ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat
dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan. (Hilgard dan Bower
, 1975 : 156)
Belajar juga dapat dikatakan suatu proses perubahan dalam kepribadian
manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan
kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningakatan kecakapan
pengetahuan, sikap, pemahaman, keterampilan, daya fakir dan kemampuan
lainnya. (Thursan Hakim , 2002)
Beberapa penjelasan ahli tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa
belajar pada hakekatnya adalah proses perubahan perilaku siswa dalam bakat
pengalaman dan pelatihan. Artinya tujuan kegiatan belajar mengajar ialah
perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan,
sikap, bahkan meliputi segenap aspek pribadi. Kegiatan belajar mengajar
seperti mengorganisasi pengalaman belajar, menilai proses dan hasil belajar,
termasuk dalam cakupan tanggung jawab guru dalam pencapaian hasil belajar
siswa. Petunjuk bahwa suatu proses belajar mengajar dianggap berhasil
menurut Syiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain ( 2002 : 120 ) ialah :
a) Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi
tinggi, baik secara individual maupun kelompok.
b) Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran instruksional khusus
(TIK) telah dicapai oleh siswa.
Berdasarkan ungkapan pendapat tentang hasil belajar tersebut maka dapat
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hasil belajar dalam penelitian ini
16
adalah kemampuan yang diperoleh individu setelah melakukan kegiatan
belajar yang membawa suatu perubahan dari diri seseorang untuk mencapai
tujuan dan ditegaskan bahwa salah satu fungsi hasil belajar siswa diantaranya
ialah siswa dapat mencapai prestasi yang maksimal seauai dengan kapasitas
yang mereka miliki, serta siswa dapat mengatasi berbagai macam kesulitan
belajar yang mereka alami.
2.1.4.1 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan belajar itu dapat dibagi
menjadi 2 bagian yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor Internal
1. Faktor Biologis (Jasmaniah)
Keadaan jasmani yang perlu diperhatikan, pertama kondisi fisik yang
normal atau tidak memiliki cacat sejak dalam kandungan sampai
sesudah lahir. Kondisi fisik normal ini terutama harus meliputi
keadaan otak, panca indera, anggota tubuh. Kedua, kondisi kesehatan
fisik. Kondisi fisik yang sehat dan segar sangat mempengaruhi
keberhasilan belajar. Di dalam menjaga kesehatan fisik, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan antara lain makan dan minum yang teratur,
olahraga serta cukup tidur.
2. Faktor Psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi keberhasilan belajar ini
meliputi segala hal yang berkaitan dengan kondisi mental seseorang.
Kondisi mental yang dapat menunjang keberhasilan belajar adalah
kondisi mental yang mantap dan stabil. Faktor psikologis ini meliputi
hal-hal berikut. Pertama, intelegensi. Intelegensi atau tingkat
kecerdasan dasar seseorang memang berpengaruh besar terhadap
keberhasilan belajar seseorang. Kedua, kemauan. Kemauan dapat
dikatakan faktor utama penentu keberhasilan belajar seseorang. Ketiga,
17
bakat. Bakat ini bukan menentukan mampu atau tidaknya seseorang
dalam suatu bidang, melainkan lebih banyak menentukan tinggi
rendahnya kemampuan seseorang dalam suatu bidang.
b. Faktor Eksternal
1. Faktor lingkungan keluarga
Faktor lingkungan rumah atau keluarga ini merupakan lingkungan
pertama dan utama pula dalam menentukan keberhasilan belajar
seseorang. Suasana lingkungan rumah yang cukup tenang, adanya
perhatian orangtua terhadap perkembangan proses belajar dan
pendidikan anak-anaknya maka akan mempengaruhi keberhasilan
belajarnya.
2. Faktor lingkungan sekolah
Lingkungan sekolah sangat diperlukan untuk menentukan
keberhasilan belajar siswa. Hal yang paling mempengaruhi
keberhasilan belajar para siswa disekolah mencakup metode
mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan
siswa, pelajaran, waktu sekolah, tata tertib atau disiplin yang
ditegakkan secara konsekuen dan konsisten.
3. Faktor lingkungan masyarakat
Seorang siswa hendaknya dapat memilih lingkungan masyarakat yang
dapat menunjang keberhasilan belajar. Masyarakat merupakan faktor
ekstern yang juga berpengaruh terhadap belajar siswa karena
keberadaanya dalam masyarakat. Lingkungan yang dapat menunjang
keberhasilan belajar diantaranya adalah, lembaga-lembaga
pendidikan nonformal, seperti kursus bahasa asing, bimbingan tes,
pengajian remaja dan lain-lain.
18
Dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut diharapkan dapat
meningkatkan hasil belajar seseorang dan dapat mencegah siswa dari
penyebab-penyebab terhambatnya pembelajaran.
2.1.5 Metode Kerja Kelompok
Kerja kelompok diartikan sebagai suatu kegiatan belajar mengajar dimana
siswa satu kelas dibagi atas beberapa kelompok – kelompok kecil, untuk
mencapai tujuan tertentu. Metode kerja kelompok dapat dipakai untuk
bermacam – macam tujuan pengajaran. Pelaksanaannya tergantung pada
beberapa factor, misalnya tujuan yang akan dicapai, kemampuan siswa, serta
fasilitas pengajaran di kelas yang terbatas sehingga harus di buat beberapa
kelompok.
Metode kerja kelompok mengajak siswa agar mampu berkomunikasi dan
berkerja sama dengan siswa yang lainnya pada saat mereka berdiskusi dengan
temannya pada saat mengerjakan tugas dari guru. Siswa juga diharapkan agar
bisa menjawab pertanyaan dari guru dan berani mengemukakan pendapatnya.
Metode belajar secara kerja kelompok digunakan untuk mengembangkan
sikap social anak didik, hal ini didasari pengakuan bahwa anak didik termasuk
makhluk social yang memiliki kecenderungan untuk hidup bersama.
Penggunaan metode kerja kelompok menuntut adanya keterlibatan yang
aktif baik dari pihak guru maupun siswa, yang didasari perasaan yang
menyenangkan, keterbukaan, tidak menegangkan, dan diberi kebebasan
berkomunikasi dengan kelompoknya dalam menyelesaikan masalahnya tanpa
menghilangkan keserasian, keharmonisan, antara guru dengan murid sehingga
melalui metode kerja kelompok ini bisa menumbungkan dan mengembangkan
intelektual peserta didik. Mudjiono (1991:61) mengemukakan “Metode kerja
kelompok dapat diartikan sebagai format belajar mengajar yang menitik
beratkan kepada interaksi anggota yang satu dengan anggota yang lain dalam
19
satu kelompok guna menyelesaikan tugas – tugas belajar secara bersama –
sama”.
Adapun kelebihan dari metode kerja kelompok yaitu :
a) Dapat memupuk rasa kerjasama dengan teman – temannya.
b) Melatih keberanian untuk berkomunikasi dengan teman sekelas maupun
diluar lingkungan sekolah.
c) Suatu tugas yang banyak dapat terselesaikan dengan cepat.
d) Adanya persaingan yang sehat.
e) Melatih dan menanamkan rasa tenggang rasa dan tanggung jawab.
Sedangkan kelemahan dari metode kerja kelompok yaitu :
a) Adanya sifat-sifat pribadi yang ingin ditonjolkan /egois.
b) Bagi yang keberaniannya kurang akan merasa rendah dan tergantung
pada orang lain.
c) Bila tidak ada kerja sama antar anggota maka akan ada hambatan dalam
mengerjakan tugas.
d) Adanya dominasi oleh orang lain.
Melalui metode kerja kelompok diharapkan dapat menumbuh
kembangkan rasa dan jiwa social yang tinggi pada diri setiap anak didik.
Mereka dibina untuk mengendalikan rasa egois, menjalin rasa
kesetiakawanan di lingkungan sekelasnya/ sekolah. Anak didik dibiasakan
untuk hidup bersama, berkerja sama dalam kelompok akan menyadari bahwa
dalam dirinya masing – masing memiliki kekurangan dan kelebihan,
persaingan positifpun otomatis akan terjadi dalam rangka mendapatkan hasil
belajar yang optimal.
20
2.1.6 Bangun Ruang
Bangun ruang adalah bagian ruang yang dibatasi oleh himpunan titik-
titik yang terdapat pada seluruh permukaan bangun tersebut. Permukaan
bangun itu disebut sisi. Dalam memilih model untuk permukaan atau sisi,
sebaiknya guru menggunakan model berongga yang tidak transparan. Model
untuk bola lebih baik digunakan sebuah bola sepak dan bukan bola bekel yang
pejal, sedangkan model bagi sisi balok lebih baik digunakan kotak kosong dan
bukan balok kayu. Hal ini mempunyai maksud untuk menunjukkan bahwa
yang dimaksud sisi bangun ruang adalah himpunan titik-titik yang terdapat
pada permukaan atau yang membatasi suatu bangun ruang tersebut.
Sedangkan model benda masif dipergunakan untuk mengenalkan siswa pada
bangun ruang yang meliputi keruangannya secara keseluruhan. Sedangkan
untuk model berongga yang transparan, biasanya dibuat dengan mika bening
atau plastik yang tebal dimaksudkan agar siswa memahami bahwa rusuk
dihasilkan oleh perpotongan dua buah sisi dan titiksudut dihasilkan oleh
adanya perpotongan tiga buah rusuk atau lebih. Selain itu bangun ruang
dengan model berongga yang transparan ini juga dapat untuk melatih siswa
dalam menggambar bangun ruang, karena kedudukan semua unsur bangun
ruang dapat diamati untuk dialihkan dalam gambar.
2.1.7 Penggunaan Pendekatan Matematika Realistik pada Pembelajaran
Matematika di Sekolah Dasar
Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran
matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran
pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa
sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi
bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami
pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan
21
sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa
memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah
pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan
matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan
dan beberapa jenis pecahan.
Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar
dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan
bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep
matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam
bidang lain.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan matematika
realistic merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan hasil belajar siswa
dalam pembelajaran bangun ruang. “Usaha ini dilakukan sehubungan dengan
adanya kesenjangan antara materi yang dicita – citakan oleh kurikulum tertulis
(intended curriculum), serta perbedaan materi yang diajarkan dengan materi
yang dipelajari siswa (relized curriculum)”. (Hasanah, 2010: 12).
Pendekatan Matematika Realistik dalam pembelajaran matematika topic
bangun ruang dapat membantu siswa yang pemahaman daya tilik ruangnya
kurang dan lebih memahami pembelajaran dengan menggunakan alat peraga
dan benda – benda nyata. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika topic bangun ruang dengan menerapkan pendekatan
matematika realistic dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Penelitian yang dilakukan Suhartini (2004) tentang tinjauan aktivitas
belajar siswa dalam pembelajaran sub topik pengukuran waktu di kelas II A SD
Percobaan 2 Yogyakarta, hasilnya antara lain ditemukan bahwa siswa
menggunakan konteks nyata yang biasa dilakukan siswa, siswa mengkontruksi
22
dan menyelesaikan masalah dengan cara mereka. Siswa berdiskusi dan bertanya
atau mengemukakan kepada guru ataupun temannya atas masalah yang
dihadapinya.
Hasil penelitian Ratini (2005) tentang pembelajaran pecahan dengan
pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di kelas III
MIN Yogyakarta II menemukan bahwa terasa sekali siswa dapat menghayati
pelajaran tentang pecahan dan dapat memberikan penjelasan, dapat menemukan
pecahan lain serta faham mencari dan menemukan cara menjawab suatu
masalah serta berkarya dengan kertas-kertas yang yang sudah dipotong-potong
menjadi hiasan menarik. Siswa dapat memahami matematika, jiwa seni dan
kreatifitas berkembang. Budaya diskusi dan kerja sama mewarnai setiap
kegiatan pembelajaran.
Penelitian Armanto (2003) tentang pengembangan alur pembelajaran
lokal topik perkalian dan pembagian di dua kota yang berbeda yaitu Yogyakarta
dan Medan dengan pendekatan Matematika Realistik menunjukkan bahwa
siswa belajar dengan aktif, membangun pemahaman mereka sendiri dengan
menggunakan strategi penemuan kembali dan mendapatkan hasil
(menyelesaikan soal) baik secara individu maupun kelompok.
23
2.3 Kerangka Berpikir
Pendekatan matematika realistik dapat membantu mengkonkretkan konsep –
konsep matematika yang abstrak, dan salah satu pembelajaran matematika yang
beroreintasi pada matematisasi pengalaman sehari – hari serta menerapkan
matematika dalam kehidupan sehari – hari adalah pembelajaran Matematika
Realistik (MR). Diharapkan, siswa dapat lebih mudah menangkap dan
memahami konsep-konsep tersebut. Dengan demikian dapat dipahami apabila
penerapan pendekatan matematika realistik pada pembelajaran matematika topik
bangun ruang untuk meningkatkan hasil belajar matematika bagi siswa kelas IV.
Gambar 2.1
Skema Kerangka Berpikir
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir diatas, hipotesis tindakan penelitian
adalah : Penerapan pendekatan matematika realistik pada pembelajaran
matematika topik bangun ruang dapat meningkatkan hasil belajar matematika
bagi siswa kelas IV.
Guru/Peneliti Sebelum
Tindakan
Metode yang digunakan
bersifat konvensional
Proses Belajar
Mengajar (PBM) Guru/Peneliti
Dengan Tindakan
Siklus 1
Siklus II
Hasil Belajar Matematika
belum semuanya meningkat (nilai
KKM ≥66)
Pelaksanaan tindakan dengan menerapkan
pendekatan matematika realistik
Hasil Belajar Matematika
meningkat sesuai dengan KKM
Hasil Belajar Matematika rendah (nilai
KKM 65)
Perbaikan dari siklus I
Recommended