View
217
Download
1
Category
Preview:
Citation preview
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1 Kerangka Tektonik dan Struktur Cekungan Sumatera Tengah
Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan busur belakang yang
berkembang di sepanjang tepi barat dan selatan Paparan Sunda di sebelah
baratdaya Asia Tenggara sejak kala Neogen. Cekungan Sumatera Tengah
terbentuk karena adanya penunjaman secara miring (oblique subduction) lempeng
Samudera Hindia ke bawah lempeng Benua Asia. Pada saat ini terbentuk
cekungan muka busur, jalur magmatis (pegunungan Barisan) dan cekungan
belakang busur. Beberapa peneliti (Pulonggono dan Nayoan, 1974; Heidrick dan
Aulia, 1993) mengganggap bahwa sesar besar Sumatera lahir pada periode ini.
Pada awal Tersier (Eosen-Oligosen) daerah ini merupakan seri dari
struktur half graben yang menandai perkembangan dari cekungan rift. Cekungan
ini berbentuk asimetris, dimana pada beberapa bagian half graben di isi oleh
sedimen klastik darat (non marine) dan sedimen danau (Eubank dan Makki, 1981;
dalam Heidrick dan Aulia, 1993).
Gaya tarikan pada batuan dasar ini menghasilkan beberapa blok patahan
yang membentuk graben, half graben, dan horst (Mertosono dan Nayoan, 1981).
Rejim sesar menjadi sesar mendatar dekstral sebagai akibat dari oblique
subduction di bagian barat dan baratdaya pulau Sumatera. Sesar mendatar dekstral
ini menghasilkan negative flower structure, positive flower structure, en echelon
fault dan en echelon fold yang terlihat pada rekaman seismik dan merupakan
bentuk-bentuk perangkap minyak bumi yang teramati di Cekungan Sumatera
Tengah (Yarmanto dan Aulia, 1988).
Kerangka tektonik regional yang terjadi di Cekungan Sumatera Tengah
dapat dilihat pada gambar II.1.
12
Gambar II.1. Kerangka tektonik regional Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan
Aulia, 1993)
Menurut Mertosono dan Nayoan (1974), pola struktur utama di Cekungan
Sumatera Tengah dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu : pola utara-
selatan untuk struktur-struktur yang tua dan pola baratlaut-tenggara untuk
struktur-struktur yang lebih muda. Menurut Eubank dan Makki (1981) terdapat
sesar-sesar berarah utara-selatan dengan umur Paleogen yang teraktifkan kembali
selama fase kompresi pada kala Plio-Pleistosen.
Struktur geologi di Cekungan Sumatera Tengah terbentuk dari beberapa
fase yang berbeda, mulai dari kurun Mesozoikum sampai akhir zaman Tersier.
Pada kurun Mesozoikum Tengah terjadi deformasi yang menyebabkan batuan
Paleozoikum termetamorfosakan, tersesarkan, terlipatkan dan disertai intrusi
granit. Pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal terbentuk struktur akibat gaya tarik
dan menghasilkan graben-graben berarah relatif utara-selatan (De Coster, 1974).
Cekungan Sumatera Selatan
Cekungan Sunda
Cekungan Jawa Utara
Cekungan Sumatera Utara
Cekungan Sumatera Tengah
0 500 Km
Skala
Gunung Api Kuarter
Arah Pergerakan Lempeng
CEKUNGAN SUMATERA TENGAH
Malaysia
13
Gambar II.2 Struktur geologi yang berkembang di Cekungan Sumatera Tengah dan
lapangan Pungut yang terbentuk pada jalur sesar mendatar berarah relatih
utara-selatan NNW-SSE (laporan internal PT. CPI)
Heidrick dan Aulia (1993) membahas secara lebih rinci tentang
perkembangan struktur di Cekungan Sumatera Tengah dengan membagi sesar dan
lipatan yang ada menjadi 4 episode pembentukan yaitu F0, F1, F2, dan F3 seperti
yang terlihat pada Tabel II.1.
UUU
14
Tabel II.1. Perkembangan tektonostratigrafi daerah Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick
dan Aulia, 1993).
Pada kala Eosen-Oligosen terjadi deformasi akibat rifting (episode F1)
dengan arah jurus timurlaut, diikuti oleh pengaktifan kembali struktur-struktur tua
yang terbentuk sebelumnya (F0). Episode F1 terjadi pada waktu 45–25,5 Ma dan
menghasilkan geometri horst dan graben. Pada saat yang sama terjadi
pengendapan Kelompok Pematang ke dalam graben-graben yang terbentuk.
Pada kala Miosen Awal terjadi fase penurunan atau sag phase (episode F2)
yang diikuti oleh pembentukan sesar geser dekstral secara regional dan
pembentukan transtensional fracture zone. Struktur yang terbentuk berarah relatif
15
baratlaut-tenggara. Pada struktur tua yang berarah timurlaut-baratdaya terjadi
suatu pelepasan, sehingga terbentuk listric normal fault, graben dan half graben.
Episode F2 terjadi bersamaan pengendapan Kelompok Sihapas, yaitu antara 25,5
– 13,8 Ma.
Pada kala Miosen Tengah terjadi gaya kompresi (episode F3) yang
menghasilkan struktur reverse dan thrust fault sepanjang jalur wrench fault yang
terbentuk sebelumnya. Proses kompresi ini bersamaan dengan pembentukan sesar
geser dekstral di sepanjang Bukit Barisan. Struktur yang terbentuk umumnya
berarah baratlaut-tenggara. Pembentukan struktur ini disertai dengan pengendapan
Formasi Petani dan Formasi Minas mulai 13,5 Ma hingga sekarang.
II.2 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah
Secara umum stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah mulai dari
batuan dasar hingga batuan termuda, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar di Sumatera Tengah terdiri dari empat satuan litologi
berumur Paleozoik sampai Mesozoik. Satuan litologi tersebut adalah Kelompok
Mutus terdiri dari ofiolit, metasedimen dan sedimen-sedimen berumur Trias,
Kelompok Malaka terdiri dari kuarsit, filit dan intrusi granodiorit, Kelompok
Mergui terdiri dari graywacke berumur Kapur, kuarsit dan batulempung kerikilan,
dan Kelompok Tapanuli terdiri dari batusabak, metasedimen dan filit yang
diendapkan diatas batugamping shelf berumur Devon-Karbon.
2. Kelompok Pematang
Kelompok Pematang merupakan sedimen tertua yang diendapkan secara
tidak selaras di atas batuan dasar. Batuan ini tersusun oleh Lower Red Beds,
Brown Shale dan Upper Red Beds sebagai material klastik asal darat (non marine)
dan material asal danau yang kaya akan bahan organik, sehingga serpih organik
dari Kelompok Pematang tersebut merupakan batuan induk bagi hidrokarbon yang
ada di Cekungan Sumatera Tengah.
16
3. Kelompok Sihapas
Kelompok Sihapas diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok
Pematang dengan proses sedimen yang bersifat transgresif, terdiri dari batupasir
dengan sisipan serpih, lapisan batugamping setempat-setempat pada bagian bawah
dan serpih pada bagian atas perlapisan. Kelompok Sihapas ini terdiri dari Formasi
Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri. Secara umum,
batuannya memiliki porositas dan permeabilitas tinggi dan merupakan reservoir
yang bagus. Ketebalan maksimum mencapai 3300 kaki yang merupakan angka
ekonomis sebagai suatu batuan reservoir di Cekungan Sumatera Tengah
(Mertosono dan Nayoan, 1974).
3.1 Formasi Menggala
Formasi ini merupakan endapan bagian bawah dari kelompok Sihapas,
diperkirakan berumur Miosen Awal yang memiliki hubungan tidak selaras dengan
Formasi Pematang dan ditutupi secara selaras oleh Formasi Bangko. Litologi
tersusun oleh batupasir konglomeratan berselang-seling dengan batupasir halus
hingga sedang dan diendapkan pada fluvial channel pada Awal Miosen dengan
ketebalan mencapai 800 kaki.
3.2 Formasi Bangko
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Menggala tersusun
oleh serpih abu-abu yang bersifat gampingan dan berselang-seling dengan
batupasir halus sampai sedang. Formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal
(N5) dan diendapkan pada lingkungan Estuarin dengan ketebalan maksimum 300
kaki (Dawson, et al., 1997).
3.3 Formasi Bekasap
Formasi Bekasap diendapkan secara selaras di atas Formasi Bangko, yang
tersusun oleh litologi batupasir halus sampai kasar, bersifat masif dan berselang-
seling dengan serpih tipis. Formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal (N6)
dan kadang ditemukan juga lapisan tipis batubara dan batugamping. Formasi ini
diperkirakan diendapkan pada pada daerah intertidal, estuarin, dan inner neritic
17
hingga middle–outer neritic, dengan ketebalan 1300 kaki (Dawson, et al., 1997).
3.4 Formasi Duri
Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Bekasap dan
merupakan bagian teratas dari Kelompok Sihapas, yang di beberapa tempat
mempunyai umur yang sama dengan Formasi Bekasap. Terdiri atas suatu seri
batupasir yang terbentuk pada lingkungan inner neritic deltaic di bagian utara dan
tengah cekungan. Seri tersebut dicirikan oleh batupasir berbutir halus sanpai
menengah yang secara lateral menjadi batupasir laut dalam dari Formasi Telisa.
Formasi ini berumur Miosen Tengah (NN3), dan mencapai ketebalan lebih dari
300 kaki.
4. Formasi Telisa
Formasi Telisa diendapkan secara selaras di atas Formasi Bangko,
memiliki hubungan menjari dengan Formasi Duri dan Formasi Bekasap. Litologi
penyusun Formasi Telisa adalah marine shale dan lanau agak gampingan Pada
Formasi Telisa ini terlihat periode penggenangan maksimum di Sumatera Tengah
yang terjadi pada Miosen Awal sehingga formasi ini dapat menjadi batuan
penutup (sealing) regional yang sangat baik bagi Kelompok Sihapas. Tebal
formasi ini lebih dari 9000 kaki. Formasi Telisa berumur Miosen Awal-Miosen
Tengah (NN4 – NN5).
5. Formasi Petani
Formasi Petani diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Telisa dan
menggambarkan fase regresif dari siklus pengendapan Cekungan Sumatera
Tengah. Formasi ini diendapkan mulai dari lingkungan laut dangkal, pantai, dan
ke atas sampai lingkungan delta yang menunjukkan regresi air laut. Terdiri dari
batupasir, batulempung, batupasir glaukonitan, dan batugamping yang dijumpai
pada bagian bawah, sedangkan batubara banyak dijumpai di bagian atas dan
terjadi pada saat pengaruh laut semakin berkurang. Komposisi dominan batupasir
adalah kuarsa, berbutir halus sampai kasar, umumnya tipis dan mengandung
sedikit lempung yang secara umum mengkasar ke atas. Secara keseluruhan
18
mempunyai ketebalan 6000 kaki yang berumur Miosen Akhir- Pliosen Awal, atau
N9 (NN5) – N21 (NN18). Penentuan umur pada bagian atas Formasi ini agak sulit
karena tidak adanya fosil laut. Hidrokarbon yang terdapat pada Formasi ini tidak
begitu ekonomis.
6. Formasi Minas
Formasi ini merupakan endapan Kuarter yang diendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Petani. Disusun oleh pasir dan kerikil, pasir kuarsa lepas
berukuran halus sampai sedang serta limonit berwarna kuning. Diendapkan pada
lingkungan fluvial sampai darat dan berumur Pleistosen. Pengendapan yang terus
berlanjut sampai sekarang menghasilkan endapan aluvium yang berupa campuran
kerikil, pasir dan lempung.
Tabel II.2 Kolom Stratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia,
1993)
19
II.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur geologi di daerah penelitian dicirikan oleh adanya sesar dan
lipatan. Sesar utama yang berkembang di lapangan Pungut relatif berarah utara-
selatan (NNW-SSE), kemungkinan sesar ini teraktifkan kembali sebagai sesar
mendatar dekstral sejak fase F2. Peristiwa ini mengakibatkan pembentukan lipatan
yang berasosiasi dengan pergerakan sesar mendatar dekstral tersebut. Hal ini
ditunjukan oleh sumbu lipatan yang membentuk pola en-enchelon terhadap sesar
mendatar Pungut-Tandun.
Lipatan antiklin yang terletak paling selatan di daerah penelitian
merupakan antiklin terbesar di lapangan Pungut. Kondisi tersebut sulit untuk
dijelaskan dengan konsep fase F2, dimana lipatan terbesar seharusnya terjadi di
bagian utara daerah penelitian. Di duga lipatan terbesar di bagian paling selatan
ini, awal pembentukannya terjadi pada fase F2 kemudian mengalami peningkatan
deformasi pada fase F3. Fase kompresional (F3) di daerah ini diinterpretasikan
berumur Plio-Plistosen, yang ditunjukan oleh adanya deformasi pada seluruh
Formasi, dan menerus hingga hampir ke permukaan.
Struktur lipatan yang terkait dengan sesar mendatar ini memiliki tutupan
vertikal sekitar 260 kaki, menjadi perangkap hidrokarbon terutama pada Formasi
Menggala dan Formasi Bekasap (Kelompok Sihapas) sedangkan minyak
diperkirakan sumbernya berasal dari South Aman Trough.
Lebih jelas mengenai struktur geologi yang berkembang di lapangan
Pungut bisa di lihat pada gambar II.3
20
Gambar II.3 Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian (laporan internal PT.
CPI)
II.4 Stratigrafi Daerah Penelitian
Sumur-sumur yang terdapat di lapangan Pungut menembus beberapa
formasi batuan mulai dari yang berumur tua ke muda berturut-turut, yaitu Formasi
Pematang, Menggala, Bangko, Bekasap, Telisa dan Formasi Petani.
Formasi Pematang di daerah penelitian umumnya disusun oleh batupasir
berwarna abu muda, berbutir kasar sampai konglomeratan, terpilah buruk,
kompak, tersementasi dan mengandung kuarsa.
Formasi Menggala diendapkan secara selaras di bagian atas Formasi
Pematang, dimana batuannya didominasi oleh batupasir berwarna abu, berbutir
sedang sampai kerikilan, berselang-seling dengan batupasir halus, kompak dan
tersementasi.
21
Formasi Menggala kemudian ditutupi secara selaras oleh Formasi Bangko
yang tersusun oleh batuan serpih abu-abu yang bersifat gampingan dan berselang-
seling dengan batupasir halus sampai sedang.
Formasi Bekasap juga diendapkan secara selaras di atas Formasi Bangko,
dengan litologi didominasi oleh batupasir halus-kasar dengan kandungan
glaukonit, berselingan antara batulempung dan batulanau yang berulang dengan
ketebalan bervariasi.
Formasi Telisa diendapkan dengan hubungan menjemari terhadap Formasi
Bekasap. Formasi ini umumnya tersusun oleh material halus batulempung dan
batulanau berwarna coklat keabuan dan agak gampingan.
Formasi paling atas yang ditemukan di daerah penelitian adalah Formasi
Petani, yang diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Telisa. Litologi
umumnya terdiri dari batulempung, batupasir dan batupasir glaukonitan. Formasi
ini dikenal sebagai reservoir yang mengandung gas walaupun cadangannya tidak
besar dan tidak ekonomis.
Dari formasi-formasi yang ditemukan di daerah penelitian tersebut, lapisan
batupasir dari Kelompok Sihapas merupakan reservoir yang cukup bagus di
lapangan Pungut, dimana reservoir dari Formasi Bekasap merupakan reservoir
penghasil minyak yang utama. Formasi Bekasap ini terbagi menjadi 4 (empat)
reservoir yang dinamakan batupasir A, B, C dan D dimana batupasir D kemudian
terbagi lagi menjadi D1, D2 dan D3. Berdasarkan potensi dan cadangan minyak
yang masih ada maka objek penelitian difokuskan pada lapisan B dan C yang
merupakan reservoir batupasir serpihan Formasi Bekasap. Model log reservoir
yang lebih lengkap di daerah penelitian bisa dilihat pada gambar II.4.
22
Gambar II.4 Model log reservoir yang berkembang di daerah penelitian (laporan internal
PT. CPI)
II.5 Dasar Teori
II.5.1 Karakterisasi Reservoir
Dasar teori yang digunakan sebagai landasan kerja penelitian mengatakan
bahwa karakterisasi reservoir didefinisikan sebagai suatu proses yang
menggambarkan variasi karakteristik reservoir dengan menggunakan semua data
yang ada, yang deskripsinya bisa kualitatif atau kuantitatif. Karakteristik reservoir
ini meliputi pori dan penyebaran ukuran butir, porositas dan permeabilitas,
GRNGAPI0 200
SPMV-160 40
2700
2750
2800
2850
2900
2950
3000
3050
3100
3150
3200
3250
3300
3350
3400
3450
3500
3550
3600
2678.0
3639.0
DEPTHFEET
RXOOHMM0.2 2000
LLDOHMM0.2 2000
Top Bekasap Fm
B Sand
C Sand
D-1 Sand
D-2 Sand
D-3 Sand
Top Bangko Fm
3100 Sand
3120 Sand
3150 Sand
3200 Sand
3250 Sand
3400 Sand
3500 Sand
TOP_PMT
Bekasap ABekasap B
Bekasap C
Bekasap D1
Bekasap D2
Bekasap D3
Bangko FM
Menggala 3250
Menggala 3400
Bangko 3150
Menggala 3500
Pematang
GRNGAPI0 200
SPMV-160 40
2700
2750
2800
2850
2900
2950
3000
3050
3100
3150
3200
3250
3300
3350
3400
3450
3500
3550
3600
2678.0
3639.0
DEPTHFEET
RXOOHMM0.2 2000
LLDOHMM0.2 2000
Top Bekasap Fm
B Sand
C Sand
D-1 Sand
D-2 Sand
D-3 Sand
Top Bangko Fm
3100 Sand
3120 Sand
3150 Sand
3200 Sand
3250 Sand
3400 Sand
3500 Sand
TOP_PMT
Bekasap ABekasap B
Bekasap C
Bekasap D1
Bekasap D2
Bekasap D3
Bangko FM
Menggala 3250
Menggala 3400
Bangko 3150
Menggala 3500
Pematang
23
penyebaran fasies, lingkungan pengendapan dan deskripsi cekungan (Kelkar dan
Perez, 2002).
Proses karakterisasi reservoir secara umum terbagi menjadi empat tahapan,
yaitu:
1. Pendefinisian
Merupakan suatu kenyataan bahwa reservoir di bawah permukaan tidak
bisa dilihat secara langsung, oleh karena itu definisi reservoir terutama
berdasarkan ekstrapolasi dan interpolasi antara data pada suatu titik. Ekstrapolasi
dan interpolasi ini biasanya dipandu oleh gambaran imajiner geologi secara umum
berdasarkan pengendapan alami, studi singkapan dan interpretasi seismik.
2. Penyempurnaan dan modifikasi
Data yang diperoleh dari pengeboran sumur pengembangan akan dipakai
sebagai data titik tambahan untuk menyempurnakan bahkan memodifikasi
gambaran reservoir yang ada. Tambahan data bisa juga diperoleh dari serbuk bor
(cutting), inti bor, lubang bor, tes sumur dan pengukuran laboratorium. Tahapan
ini meliputi pendefinisian batasan reservoir, kontak fluida, akuifer, kandungan
minyak di tempat (original oil in place, OOIP) dan sebagainya.
3. Karakteristik dan aliran reservoir alami
Adanya data kemampuan produksi yang diamati seiring dengan
bertambahnya sumur pengembangan yang di bor, maka informasi mengenai tipe
reservoir, mekanisme pendorong alami (natural drive mechanism), aliran alami
fluida, heterogeneitas dan anisotropi bisa lebih dipahami. Tambahan data lainnya
bisa diperoleh dari analisis khusus inti bor (special core analysis) seperti
permeabilitas, tekanan kapiler, tes kebasahan dan lain-lain.
4. Detil unit aliran dan geostatistik
Definisi unit aliran reservoir, heterogeneitas dan pemakaian metode
geostatistik dalam pemodelan reservoir dibutuhkan untuk proses desain,
implementasi dan pengawasan aplikasi pengambilan minyak sekunder (secondary
recovery) dan aplikasi yang lebih tinggi (enhanced oil recovery)
24
Selain mengetahui konsep umum dan dasar teori dari karakterisasi
reservoir, pemahaman mengenai geologi regional di Cekungan Sumatera Tengah
termasuk di dalamnya adalah kerangka tektonik, struktur dan stratigrafi regional
yang mempengaruhi daerah penelitian merupakan landasan teori yang sangat
penting untuk mendukung kajian karakteristik reservoir di lapangan Pungut.
II.5.2 Kualitas Reservoir
Reservoir di definisikan sebagai suatu tubuh batuan yang mempunyai
porositas dan permeabilitas untuk menyimpan dan mengeluarkan fluida.
Umumnya batuan reservoir merupakan batuan sedimen karena mempunyai
porositas lebih banyak dibandingkan batuan beku atau batuan metamorf dan
terjadi pada kondisi suhu tertentu dimana hidrokarbon bisa terbentuk. Reservoir
ini merupakan bagian utama dalam suatu petroleum system.
Untuk mendefinisikan reservoir secara lebih baik salahsatunya dilihat dari
kualitas reservoir. Parameter kualitas reservoir biasanya memasukkan porositas
dan permeabilitas yang mempengaruhi kapasitas tampungan (storage) dan
deliverability dari fluida dalam batuan berpori tersebut.
Kualitas reservoir dipengaruhi oleh tiga aspek yang sangat penting yaitu :
1. Tekstur
2. Komposisi
3. Diagenesis
Tekstur batuan mencerminkan suatu proses sedimentasi yang dipengaruhi
oleh proses mekanik, kimia dan biologi. Komposisi batuan memperlihatkan suatu
provenance yang berhubungan dengan lempeng benua, lempeng samudera, zona
suture, busur vulkanik maupun sedimen yang terlipatkan. Diagenesis akan
menceritakan sejarah penimbunan (burial history) yang berhubungan erat dengan
tektonik. Ketiga aspek ini digambarkan dalam suatu diagram segitiga kualitas
reservoir, seperti terlihat pada gambar II.5.
25
Gambar II.5 Diagram segitiga dari kualitas reservoir (Noeradi, 2006)
II.5.3 Ketidakseragaman Reservoir (Heterogeneitas Reservoir)
Heterogeneitas reservoir atau ketidakseragaman reservoir diartikan sebagai
variasi sifat batuan dalam suatu reservoir. Heterogeneitas ini digunakan untuk
menggambarkan kompleksitas geologi dari suatu reservoir dan hubungan
kompleksitas itu terhadap aliran fluida yang melaluinya. Reservoir berhubungan
dengan ketidakseragaman dari fasies dan lingkungan pengendapan. Variasi dari
ketidakseragaman reservoir ini dicirikan oleh alterasi setelah pengendapan dari
suatu lapisan, seperti kompaksi, sementasi dan deformasi tektonik.
Terdapat tiga tingkatan skala dalam heterogeneitas reservoir, yaitu:
1. Heterogeneitas pada skala lubang sumur, akan mempengaruhi matrik
permeabilitas, penyebaran minyak residual, alirah berarah dari fluida, potensi
interaksi fluida dan batuan serta kerusakan formasi.
2. Heterogeneitas pada skala antar sumur, akan mempengaruhi pola aliran
fluida, efisiensi pengurasan reservoir, efisiensi penyapuan vertikal maupun
lateral dari proyek pengambilan minyak sekunder atau tersier.
3. Heterogeneitas pada skala lapangan, akan menentukan volume hidrokarbon
setempat, daerah penyebaran dan tren dari produksi hidrokarbon.
Texture
Diagenesis Composition
QUALITY
Texture
Diagenesis Composition
QUALITYQUALITYQUALITY
26
Gambar II.6 Tingkatan dari heterogeneitas reservoir (modifikasi dari Weber, 1986)
Beberapa unsur yang terdapat dalam heterogeneitas pada skala lubang
sumur, antara lain :
• Jaringan pori (pori dan lubang pori)
• Ukuran butir dan kompaksi
• Susunan butiran
• Gaya laminasi dan lapisan
• Struktur sedimen
• Litofasies
• Urutan stratifikasi vertikal
• Terlihat secara kuantitatif dari sampel batuan dan log sumur.
Analisis semua sifat/unsur ini sangat penting untuk menggambarkan
karakter reservoir karena sifat/unsur tersebut merupakan data dan juga dasar untuk
memahami reservoir pada skala yang lebih besar.
27
Pada batuan klastik, biasanya terdapat hubungan langsung antara litofasies
pengendapan utama dan kemampuan reservoir. Contohnya batupasir yang
lapisannya makin tipis dan butiran makin halus ke arah atas, akan mempunyai
permeabilitas yang makin kecil ke arah atas, begitu juga sebaliknya. Selama
injeksi air, baik gravitasi dan permeabilitas yang lebih besar ke arah bawah akan
mendorong air ke bawah, sebaliknya jika gravitasi masih menarik air ke bawah
tetapi permeabilitasnya menarik air ke atas maka akan menghasilkan penyapuan
vertikal yang lebih baik.
Gambar II.7 Tipe perlapisan vertikal dan profil permeabilitas menghalus atau menipis ke
atas (a) dan mengkasar atau menebal (b).Pola menghalus dan mengkasar ini mengacu
pada ukuran butir rata-rata dari setiap lapisan, sedangkan pola menipis dan menebal
mengacu pada ketebalan relatif dari setiap lapisan.
Beberapa unsur yang terdapat dalam heterogeneitas pada skala antar
sumur, antara lain :
• Geometri lateral lapisan, gaya dan kontinuitasnya
• Pola tekstur vertikal dan sistematika lateral
• Variasi hasil dalam kualitas reservoir
Selain unsur diatas, pada skala ini terdapat beberapa masalah yang
mungkin timbul, yaitu:
28
• Data lubang sumur yang telah di deskripsi harus di ekstrapolasi terhadap
region antar sumur.
• Korelasi antar sumur lebih sulit karena litofasies kemungkinan tidak
menerus pada jarak antar sumur.
• Interpretasi harus dipandu oleh pemahaman mengenai fasies dan
lingkungan pengendapan, analisis core yang telah diinterpretasi
dibandingkan dengan lingkungan modern atau analogi singkapan.
Gambar II.8 Lapisan vertikal, lateral dan heterogeneitas permeabilitas dari sikuen
fluviodeltaik (dari van de Graaff dan Ealey, 1989).
Dalam keterbatasan informasi kuantitatif pada sistem pengendapan yang
berbeda maka metode statistik digunakan untuk menduga variasi antar sumur.
Selain itu metode statistik digunakan untuk menilai variasi lateral dalam sifat
reservoir batupasir. Contohnya dalam menentukan panjang batulempung sebagai
fungsi dari lingkungan pengendapan, variasi lateral dalam mengukur
permeabilitas pada singkapan dari batupasir laut dangkal dan fluvial dimana
distribusi permeabilitas ini harus digambarkan secara stokastik daripada secara
deterministik (Stalkup, 1986).
29
Beberapa unsur yang terdapat dalam heterogeneitas pada skala lapangan
antara lain :
• ketebalan reservoir
• geometri dan kontinuitas fasies
• properti bulk reservoir
Masalah yang biasa terjadi pada skala ini adalah :
• informasi yang didapat dari skala yang lebih kecil harus dibesarkan (scaled
up) dan digeneralisasi.
• Model pengendapan ditentukan oleh deskripsi geologi skala yang lebih kecil,
yang disediakan sebagai dasar utama untuk interpretasi arsitektur reservoir
suatu lapangan.
Sangat penting untuk menggambarkan reservoir pada skala ini karena
reservoir adalah sistem pengendapan yang komplek yang kadang terkompartemen
dimana kompartemen ini mungkin tidak berhubungan. Kompartementasisasi
mencerminkan variasi dalam penyebaran fasies maupun unit aliran (flow unit)
geologi. Metode yang dipakai untuk men-delineasi arsitektur reservoir antara lain:
• Analisis data seismik 2 dimensi (2D)
• Seismik inversi 2 dimensi (2D)
• VSP (vertical seismic profiling).
Gambar II.9 Unsur arsitektur dari tubuh pasir barrier island (dari Galloway dan Cheng,
1985).
30
II.5.4 Estuarin
Estuarin didefinisikan sebagai bagian ke arah laut dari tenggelamnya suatu
sistem lembah yang menerima sedimen dari sungai dan laut dimana fasiesnya
dipengaruhi oleh proses pasang-surut, gelombang dan sungai (Pritchard, 1976;
modifikasi setelah Zaitlin dan Shultz, 1990). Estuarin ini dipertimbangkan sebagai
perpanjangan batas ke arah darat dari fasies tidal di hulu menuju batas ke arah laut
dari fasies coastal di hilirnya. (lihat gambar II.10). Berdasarkan definisi di atas,
Estuarin hanya bisa terjadi jika ada kenaikan relatif muka air laut (misalnya
trangresi).
Gambar II.10 Skema yang menggambarkan definisi estuarin berdasarkan Pritchard
(1976) dan pola umum tansportasi sedimennya (A). Skema penyebaran proses fisik yang
berjalan di estuarin dan menghasilkan tiga zona fasies (B).
31
II.5.4.1 Tide-Dominated Estuarin
Dengan adanya proses interakasi antara sungai dan laut pada lingkungan
Estuarin maka Estuarin ini bisa dibedakan menjadi wave-dominated Estuarin dan
tide-dominated Estuarin. Model fasies dan dinamika pada tide-dominated Estuarin
akan dibahas lebih mendalam pada penelitian ini.
II.5.4.1.1 Penyebaran Energi
Tide-dominated Estuarin bisa terjadi pada daerah yang mempunyai kisaran
pasang-surut yang lebih kecil jika pengaruh gelombangnya terbatas atau prisma
pasang-surutnya lebih besar.
Jika energi arus pasang-surut melewati energi gelombang pada mulut tide-
dominated Estuarin maka akan terbentuk elongate sand bars. Adanya banjir pada
saat pasang-surut akan membentuk daerah penampang melintang yang lebih kecil
karena geometri funnel-shaped menjadi ciri khas estuarin ini. Selain itu, kecepatan
arus banjir pasang-surut akan semakin tinggi (gambar II.11A).
II.5.4.1.2 Morfologi dan Penyebaran Fasies
Pada tide-dominated estuarin arus pasang surut menerobos lebih jauh
dibandingkan wave-dominated estuarin. Sehingga penyebaran tripartit fasies tidak
begitu jelas dan batupasir pada Tidal channel terjadi sejauh panjang dari Estuarin
tersebut (Woodroffe 1989; Dalrymple, 1990) sedangkan energi minimum terjadi
di daerah Channel sand yang lebih halus. Sedimen yang sangat halus terutama
akan berkumpul di Tidal flat dan Marsh sepanjang pinggiran Estuarin.
Elongate tidal sand bar dicirikan oleh batupasir berbutir sedang sampai
kasar dengan struktur sedimen cross-bedded. Sand bar ini terendapkan ke arah
laut dengan energi pasang-surut maksimum. Fasies lain yang terjadi adalah upper-
flow regime (UFR) Sand flat yang memperlihatkan pola braided channel yang
kemudian beubah menjadi single channel ke arah laut.endapan fasies dengan
butiran pasir halus dan struktur laminasi paralel akan terjadi pada kisaran pasag
surut yang lebih besar (gambar II.11B).
32
Gambar II.11 Penyebaran tipe energi (A), unsur morfologi tampak atas (B) dan
fasies sedimen pada penampang longitudinal dalam model ideal Tide-dominated
Estuary (Dalrymple, 1990).
II.5.4.1.3 Model Fasies
Selama terjadinya transgresi, tubuh batupasir laut akan tererosi sebagian
atau seluruhnya oleh migrasi Tidal channel ke arah darat yang memisahkan Sand
bar (gambar II.12-C1). Hal ini akan menghasilkan permukaan ravinement yang
seimbang. Erosi channel selama transresi juga menyebabkan struktur sedimen
cross-bedded pada Sand bar, laminasi paralel pada endapan UFR Sand flat
(gambar II.12-C2) atau mengerosi sedimen Mud flat dan Salt marsh sepanjang
tepian dari Estuarin.
ESTUARY
Marine-Dominated Mixed-Energy River-Dominated
ESTUARY
Marine-Dominated Mixed-Energy River-Dominated
33
Jika urutan pengendapan selama transgresif terdiri dari kedua fasies
batupasir tersebut maka akan menghasilkan pola pengkasaran butiran ke atas
(coarsening upward) dengan kontak erosi atau gradual. Pada kondisi progradasi,
tubuh batupasir laut akan lebih tebal dan mempunyai pola umum penghalusan
butiran ke atas atau fining upward (gambar II.12-C2).
Di bagian tengah, energi yang tercampur (meandering) dan inner, porsi
river-dominated dari Estuarin ini dicirikan oleh endapan Tidal channel yang
secara vertikal terdiri dari endapan salt, brackish dan fresh water marsh. Dalam
kondisi transgresi dan regresi, endapan point bar dari zona meandering akan habis
dan ditutupi oleh endapan Channel yang lebih lurus dengan arah arus purba yang
berbeda (gambar II.12).
Gambar II.12 Skema penampang tide-dominated estuarin memperlihatkan
penyebaran litofasies yang dihasilkan dari transgresi, diikuti oleh pengisian
estuarin dan progradasi sand bar dan tidal flat. Jumlah dari urutan transgresif
tergantung dari laju relatif kenaikan muka air laut dan translasi ke arah darat dari
tidal channel.
Recommended