View
229
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
A. KETERLIBATAN MASYARAKAT DALAM AKTIFITAS SOSIAL
KEAGAMAAN PONDOK PESANTREN 1. Pengertian Keterlibatan Masyarakat dalam Aktifitas Sosial
Keagamaan Pondok Pesantren
Keterlibatan berasal dari kata libat yang ketambahan awalan ke
dan akhiran an yaitu “ketersangkutan”1 sedangkan "masyarakat" adalah
Pergaulan hidup manusia atau himpunan orang yang hidup bersama dalam
suatu tempat dengan ikut-ikutan yang tentu.2
Keterlibataan adalah sinonim dari partisipasi yang memiliki
makna keperansertaan yang berarti peran dalam proses sesuatu.3
Keterlibatan masyarakat dalam aktifitas sosial keagamaan pondok
pesantren berarti ikut pula dalam melakukan peranan dalam semua aspek
aktifitas sosial keagamaan. Sedangkan, aktifitas sosial keagamaan pondok
pesantren bertujuan masyarakat bertakwa dan akhlakul karimah.
Pesantren merupakan komunitas yang mengandung unsur
perspektif rohaniah sebagai muatan utama. Sehingga mengkaitkannya
dengan perspektif perilaku keagamaan dalam kehidupan masyarakat
merupakan upaya mengenal secara sublimatif multi dimensional yang erat
kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Peranan masyarakat dalam semua aktifitas sosial keagamaan
pondok pesantren karena dalam keberadaannya pesantren bukanlah
sekedar tempat santri bermukim saja. Namun dalam perkembangannya
pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan berusaha melakukan
perubahan-perubahan sehingga eksistensi pesantren tetap terjaga dalam
menjadi laboratorium pendidikan agama Islam yang patut diteladani. Dari
1 Wjs. Purwo Darminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1999),
hlm 594. 2 Ibid. hlm. 696
3 Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, ( Jakarta: Pustaka Cianjur, 1999). Hlm 124
12
gambaran tersebut di atas terlihat dalam diri pesantren terjalinlah
hubungan timbal balik dengan pihak-pihak luar pesantren.4
Hubungan kerjasama ini dapat menjadi alat bagi terselenggaranya
usaha dan kelancaran program pesantren.
Pesantren sebagai lembaga keagamaan tidak lagi bergerak dalam
bidang agama saja. Tetapi pesantren memperluas fungsinya sebagai
lembaga sosial yang bergerak dalam urusan kemasyarakatan yang
menyangkut masalah kehidupan seperti koperasi, kesehatan, dan
pertanian, perdagangan dan sebagainya.
Keterlibatan pesantren dalam hal tersebut sebenarnya tidak
mengurangi arti tugas kegamaannya, karena hal itu merupakan penjabaran
nilai nilai hidup keagamaan bagi kemaslahatan masyarakat luas. Dengan
fungsi sosial ini, pesantren menciptakan jalinan baru dalam menanggapi
persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti: mengatasi kemiskinan,
memelihara tali persaudaraan, memberntas pengangguran, memberantas
kebodohan, menciptakan kehidupan sehat dan sebagainya.
Usaha-usaha yang mempunyai watak sosial tersebut merupakan
kegiatan-kegiatan yang ditujukan kepada masyarakat sehingga masyarakat
terasa terpanggil untuk aktif bekerja sama dalam semua aktivitas sosial
keagamaan yang diadakan di pondok pesantren.
2. Faktor-Faktor yang Mendorong Keterlibatan Masyarakat dalam
Aktivitas Sosial Keagamaan Pondok Pesantren
a. Pesantren Sebagai Institusi Keilmuan
Secara devinitif, pesantren merupakan pendidikan Islam untuk
menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam (tafaqquh fi al-din)
dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman
hidup bermasyarakat setiap hari.5 Pendidikan pesantren yang
4 Dawam Raharjo, M, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun Dari Bawah, ( Jakarta:
P3M, 1985, hlm. 16 5 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan
Islam Indonesia, (Jakarta: PT. Grasindo Gramedia Widiya Sarana Indonesia, 2001), hlm. 103
13
mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengikuti kegiatan
edukatifnya didasarkan pada persepsi masalah akherat yang bertujuan
untuk memperoleh pahala. Contoh riilnya keterlibatannya dalam
mengikuti pengajian selapanan masyarakat Dukuh mendengarkan
ceramah kiyai dengan maksud mencari ilmu mendapat pahala.
b. Pesantren Sebagai Institusi Dakwah
Selain sebagai lembaga tafaqquh fi al-din (pendidikan agama),
pesantren juga berfungsi sebagai lembaga dakwah. Oleh karena itu,
pesantren tidaklah lupa pada tugas yang mulia yaitu berdakwah untuk
mengajak umat manusia ke jalan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dalam mengemban tugasnya, pondok pesantren memiliki khas yang
pada prinsipnya dakwah yang dilakukan oleh pondok pesantren.
Menurut Amal Fathullah hanyalah terfokus pada satu hal, yaitu
mendidik kader umat.6 Sebab dengan mendidik kader-kader ummat
yang berkualitas dalam keimanan dan ketakwaannya berarti pesantren
telah melakukan dakwah Islam yang sesungguhnya.
Realisasi dari keterlibatan masyarakat Dukuh dalam partisipasinya
pesantren sebagai institusi dakwah dibuktikan dengan partisipasinya
dalam memberikan sumbangan materi dan tenaga dalam berbagai
aktifitas sosial keagamaan pondok pesantren seperti pengajian-
pengajian, seminar dan bakti sosial.
c. Pesantren Sebagai Institusi Kemasyarakatan.
Pesantren dalam pertumbuhannya mengalami perubahan-
perubahan yang dinamis sebagai bentuk aktualisasi evolusi pendidikan
dan kebudayaan yang semakin global dan industrial. Di tengah
meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pondok pesantren,
pesantren harus menghadapi kenyataan perubahan yang ada dalam
masyarakat. Seiring dengan perubahan tersebut pesantren tidak lagi
sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Tetapi pesantren
6 Amal Fathullah, Pondok Pesntren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah, dalam: Solusi Islam Atas Problem umat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hlm. 150
14
menempatkan eksistensinya sebagai lembaga kemasyarakatan yang
berfungsi untuk menjembatani perubahan ini. Fungsi lembaga sosial ini
pesantren menanggapi persoalan-persoalan kemasyarakatan seperti
mengatasi kemiskinan, memelihara tali persaudaraan, memberantas
pengangguran, memberantas kebodohan, menciptakan kehidupan yang
sehat.7
Diskripsi di atas, menunjukkan bahwa eksistensi pondok
pesantren dalam menciptakan kebersamaan hidup bersama dalam
komunitas pesantren dan masyarakat memberikan investasi sosial
jangka panjang.
Kegiatan dan partisipasi pesantren dalam perubahan sosial
membawa pengaruh positif pada masyarakat yang hidup maju,
berilmu pengetahuan yang dijiwai dengan keimanan dan ketakwaan
dan berakhlak karimah.
3. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Masyarakat dalam Aktifitas Sosial
Keagamaan Pondok Pesantren
a. Kegiatan Keagamaan
Pesantren sebagai lembaga keilmuan, menyelenggarakan pendidikan
dan pembinaan masyarakat desa melalui transmisi ajaran agama Islam
ortodok yang akomodatif terhadap sistem budaya masyarakat. Bentuk
dari penyelenggaraan tersebut pada pengajian kitab, yang di dalamnya
terhimpun nilai dasar Islam. Serangkaian dari kegiatan ini
mengandung dua visi pendidikan yaitu; pertama, visi moral, yakni
pembinaan sikap mental (watak) dan akhlak karimah. Kedua, visi
intelektual yakni mengembangkan akal pikiran.8
Bentuk partisipasi masyarakat dalam kegiatan ini adalah mengikuti
aktivitas pendidikan pesantren berupa pengajian selapanan, jam’iyah
7 Dawam Raharjo, ,op.cit, hlm.18 8 Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan
Islam Indonesia, op.cit., hlm. 168.
15
Manaqib, Tahlilan dan kegiatan pengajian-pegajian tahunan yang
dilaksanakan oleh pondok pesantren.
b. Kegiatan Sosial
Pesantren adalah satu lembaga yang penting dalam proses perubahan
(kesadaran) pada tingkat individu dan perubahan sosial yakni
pesantren dapat dimodifikasikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi
dan khususnya untuk memenuhi keinginan dari para perencana
ekonomi dan sosial.9
Pesantren sebagai lembaga sosial memiliki hubungan fungsional
dengan masyarakatnya di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Adapun tujuan program kegiatan sosial ini adalah pertama,
mengembangkan prasarana sosial yang mampu menggerakkan
swadaya dan peran masyarakat untuk melakukan perbaikan
lingkungan hidup dari segi peningkatan eksistensi diri sebagai warga
masyarakat dengan hak-haknya, ekonominya maupun pengembangan
sosial lainnya. Seperti diadakannya seminar-seminar dan penyuluhan
pertanian, pertukangan dan sebagainya. Kedua, membina dan
mengembangkan lembaga pendidikan kedesaan (learning commonity
centre) yang mandiri sebagai wahana transformasi kultural dalam
rangka mentranformasikan pengetahuan, ketrampilan dan sikap
sebagai unsur perubahan.10
B. Pondok Pesantren
1. Pengertian Pondok Pesantren
Untuk memperjelas posisi dan kedudukan pondok pesantren, maka
penulis kemukakan beberapa pendapat para pakar tentang pondok
pesantren di antaranya adalah :
9 M.M. Billah,”Peran Pesantren (Kajian Peran Pesantren dalam Pembentukan Masyarakat
Memasuki Melinium III)”, dalam Makalah Seminar Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat Memasuki Melinium III, (Jakarta: PPIM IAIN Jakarta, 1999), hlm. 1
10 M. Nashihin Hasan, “Karakter dan Fungsi Pesantren”, dalam Muntaha Ashari, Dinamika Pesantren (Kumpulan Makalah Seminar Internasional “The Role Of Pesantren In Education And Community Development In Indonesia”), (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1998), hlm. 119.
16
Sesuai dengan namanya, Pondok berarti tempat menginap (asrama), dan
Pesantren berarti tempat para santri mengaji. Jadi Pondok Pesantren adalah
tempat murid-murid (disebut santri) mengaji agama Islam dan sekaligus
diasramakan di tempat itu.11
Sedangkan Zamakhsyari Dhofier mengemukakan bahwa, “Pondok
Pesantren adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para
siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih)
guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”.12”
Dengan melihat kedua definisi di atas, maka Pondok Pesantren dapat
diartikan sebuah tempat di mana para santri tinggal bersama dalam asrama dan
para santri dididik untuk belajar agama Islam di bawah bimbingan seorang kyai
atau lebih.
Selain kedua versi di atas, ada juga yang mendefinisikan Pondok
Pesantren sebagai suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta
diakui oleh masyarakat sekitar dengan sistem asrama (kampus) di mana santri-
santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhya berada di bawah kedaulatan dari kepemimpinan (leadership) seorang
atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat kharismatis serta
independen dari segala hal.13
Sedangkan Manfred Ziemek menyebutkan bahwa ”pesantren secara etimologi asalnya pe – santri – an, berarti “tempat santri”. Santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (kyai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz). Pelajarannya mencakup berbagai bidang tentang pengetahuan Islam.”14 Adapun Abdurrahman Mas’ud sebagaimana dikutip oleh Ismail SM
memaknai pesantren sebagai berikut:
11 Zuhairini, dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Ed I, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), cet V, hlm. 212
12 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Studi Tentang Pandangan Hidup Seorang Kyai). ,(Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 44
13 Arifin, Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), Ed. II, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet IV, hlm. 240
14 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986), cet I, hlm. 16.
17
The word pesantren stems from “santri” which means one who seeks Islamic knowledge. Usually the word pesantren refers to place where the santri devotes must of his or her time to live in and acquire knowledge. 15 kata pesantren berasal dari kata berasal dari kata “santri” yaitu seorang yang mencari pengetahuan Islam. Biasanya kata pesantren mengacu pada tempat di mana santri menghabiskan sebagian besar waktunya untuk hidup di dalamnya untuk mendapatkan pengetahuan.
Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pondok
pesantren adalah lembaga pengajaran dan pelajaran ke-Islaman, yang
tumbuh dan diakui oleh masyarakat sekitar dengan sistem asrama di mana
santri menuntut ilmu di bawah bimbingan seorang atau beberapa orang
kyai.
2. Latar Belakang Berdirinya Pondok Pesantren
Berbicara masalah pondok pesantren maka tidak lepas dari
masuknya agama Islam di Indonesia. Sebagian dari ahli sejarah
berpendapat bahwa agama Islam masuk di Indonesia yaitu kira-kira pada
abad ke-12 M.16 Ini ditandai dengan kedatangan muballig dari Persi
(Iran).17
Dari hasil seminar di Medan pada tahun 1963 juga dijelaskan
bahwa masuknya agama Islam di Indonesia adalah abad ke 7 M / I H di
bawa oleh muballig dari negeri Arab dan daerah yang pertama dimasuki
adalah pantai barat pulau Sumatera yaitu bernama Hamzah Fansyuri,
adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pase.18
Islam pertama kali masuk di Jawa pada abad 14 M (tahun 1399 M)
dibawa oleh Maulana Malik Ibrahim dengan keponakannya bernama
15 Ismail SM, ”Pengembangan Pesantren Tradisional, (Sebuah Hipotesis Mengantisipasi
Pembaharuan Sosial).” Dalam Ismail SM (eds), Dinamika Pesantren dan Mdrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 50.
16 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995) cet IV, hlm. 10
17 Zuhairini, dkk., op.cit., hlm. 132 18 Ibid., hlm. 133
18
Mahdum Ishaq yang menetap di Gresik.19 Dakwah di Pulau Jawa semakin
semarak dengan adanya walisongo.
Pesantren untuk pertama kali berdiri pada masa walisongo Syaikh
Malik Ibrahim atau lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Mahgribi
dianggap pendiri pesantren yang pertama di tanah Jawa.20 Hal ini karena
Syekh Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada 12 Rabi’ul awal 822 H
bertepatan dengan 8 April 1419 M dan dikenal juga sebagai Sunan Gresik
adalah orang yang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam
penyebaran Islam di Jawa.21
Pada periode berikutnya, setelah periode masa wali, berdirinya
pondok pesantren, tidak lepas dari kehadiran seorang kyai, perkembangan
lembaga pendidikan Islam tersebut banyak dibantu oleh pesantren
kerajaan, seperti kerajaan Islam Pasai. Kerajaan Islam Darussalam dan
lain-lain. 22 akan tetapi lembaga pendidikan pondok pesantren berkembang
pesat pada zaman Mataram.
Dominasi dan signifikansi pondok pesantren semakin kuat ketika
terdapat komunikasi antara Indonesia dan Saudi Arabia, orang-orang kita
yang menimba ilmu di Mekkah setelah kembali ke tanah air, mereka
mengembangkan pendidikan pesantren dan jumlah santrinya semakin
meningkat. Akan tetapi peningkatan itu telah menimbulkan keresahan
pemerintahan kolonial Belanda, karena mereka takut akan menggoyahkan
kekuasaan Belanda di Nusantara, sejak saat itu perkembangan pesantren
mulai dihalangi dan dihambat oleh Belanda.
Meskipun begitu lembaga pendidikan pesantren tidak mati sama
sekali, pesantren masih tetap bertahan walau dalam kondisi yang sangat
19 Ibid., hlm. 137 20 Haidar Putra Dauly, Historisitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), cet I, hlm. 21 21 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Pendidikan Alternatif Masa Depan),
(Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet I, hlm. 71 22 Haidar Putra Daulay, op.cit., hlm. 21
19
tercepit dan tertekan. Bahkan kondisi tersebut menyadarkan orang-orang
pesantren akan jati dirinya.
Pada akhir abad ke-19 lahir kegairahan dan semangat baru dari
kalangan masyarakat muslim terutama kyai dan santri, dalam kehidupan
keagamaan (religious revivalism), pesantren berusaha keluar dari
ketertinggalannya.23
Kebencian dan penentangan kalangan pesantren terhadap Belanda
dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi :
a. Uzlah atau pengasingan diri.
b. Bersikap nonkooperatif dan mengadakan perlawanan secara diam-
diam.
c. Berontak dan mengadakan perlawanan fisik terhadap Belanda.24
Dengan melihat uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pondok
pesantren telah mengalami kejayaan pada masa kerajaan Mataram, setelah
adanya penjajahan Belanda yang menghalangi berkembangnya pondok
pesantren yang dikhawatirkan akan menggoyahkan kekuasaan Belanda,
pondok pesantren tetap bertahan walau dalam keadaan terjepit bahkan
akhirnya pondok pesantren mengalami kemerosotan di bawah
pemerintahan bangsa sendiri, akan tetapi belakangan ini telah mengalami
perubahan, apresiasi terhadap pesantren terus meningkat sesuai dengan
perkembangan zaman.
3. Karakteristik Pondok Pesantren
Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan Islam tradisional
yang akhir-akhir ini makin banyak peminatnya. Hal itu terlihat dari animo
masyarakat khususnya masyarakat pedesaan bahwa pesantren merupakan
tempat yang sangat berhasil dalam membina dan membimbing santri-
santrinya menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur.
23 Wahjoetomo, op.cit., hlm. 76 24 Ibid., hlm. 77-78
20
Unsur-unsur kunci Islam tradisional adalah lembaga pesantrennya
sendiri, kharisma dan kepribadian kyai, sikap hormat, takzim dan
kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang
ditanamkan pada setiap santri.
Sebagian besar tradisi pesantren merupakan kerangka sistem
pendidikan Islam tradisional di Jawa dan Madura. Orang-orang Jawa di
pedesaan, mengetahui hanya sebagian kecil saja dari ciri-ciri pesantren,
kebanyakan gambaran mereka tentang kehidupan pesantren hanya
menyentuh aspek kesederhanaan bangunan-bangunan dalam lingkungan
pesantren, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan mutlak para
santri kepada kyainya, dan pelajaran-pelajaran dasar mengenai kitab-kitab
Islam klasik.25
Dalam pendidikan pondok pesantren terdapat lima elemen pokok
yaitu : Pondok, Masjid, Santri, Pengajaran Kitab-kitab Klasik dan Kyai.26
Kelima elemen tersebut merupakan ciri khusus yang dimiliki pesantren,
sekalipun kelima elemen ini saling menunjang eksistensi sebuah
pesantren, tetapi kyai memainkan peranan yang begitu sentral dalam dunia
pesantren.27
Dalam pesantren kiyai memiliki otoritas, wewenang yang
menentukan dan mampu menentukan semua aspek kegiatan pendidikan
dan kehidupan agama atas tanggung jawabnya sendiri.28 Kewibawaan kyai
dan keberadaan ilmunya adalah modal utama bagi berlangsungnya semua
wewenang yang dijalankan.29 Para kyai menghabiskan waktunya untuk
mengajar para santrinya sedangkan proses belajar mengajar dilakukan di
Masjid.
25 Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 16 26 Ibid., hlm. 44 27 Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Kritikan Nurcholis Majid terhadap Pendidikan Islam
Tradisional), (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cet I, hlm. 63 28 Dr. Manfred Ziemek, op.cit., hlm. 138 29 Yasmadi, op.cit., hlm. 64
21
Santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren.
Menurut tradisi pesantren, terdapat 2 kelompok santri :
a. Santri Mukim
Yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan
menetap dalam kelompok pesantren.30
b. Santri Kalong
Yaitu santri-santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar
pesantren dan biasanya mereka menetap dalam pesantren. Mereka
pulang ke rumah masing-masing setiap selesai mengikuti suatu
pelajaran di pesantren.31
Santri mukim dengan kyainya biasanya tinggal dalam satu
lingkungan yang disebut pondok. Dan disinilah para santri
bersemangat mempelajari kitab-kitab klasik.
Pengajaran kitab-kitab klasik, terutama karangan-karangan
ulama yang menganut paham syafi’iyah, merupakan satu-satunya
pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.
Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat
digolongkan ke dalam 8 kelompok : 1. Nahwu dan Shorof, 2. Fiqih, 3.
Ushul Fiqh, 4. Hadits, 5. Tafsir, 6. Tauhid, 7. Tasawuf dan Etika, 8.
Cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghoh.32 Akan tetapi
kedelapan cabang-cabang ini tidak dijadikan sebagai patokan,
kemungkinan juga ada kitab-kitab lain yang diajarkan di pondok
pesantren.
Sedangkan metode yang digunakan dalam proses belajar
mengajar di pesantren adalah metode sorogan, bandongan, halaqoh dan
hafalan. Sorogan artinya belajar secara individual, yaitu seorang guru
terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Bandongan
artinya belajar secara kelompok, yang diikuti oleh seluruh santri.
30 Ibid., hlm. 51 31 Yasmadi., op.cit., hlm. 66 32 Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 50
22
Biasanya kyai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung
menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya.
Halaqoh artinya diskusi untuk memahami isi kitab, bukan untuk
mempertanyakan kemungkinan salahnya apa-apa yang diajarkan oleh
kitab. Santri yakin benar bahwa segala yang diajarkan sang kyai adalah
benar dan kitab yang diajarkanpun dianggap benar.33 Selain itu metode
yang digunakan oleh ustadz/kyai adalah metode ceramah yaitu kyai
atau ustadz menyampaikan materi dengan penuturan secara lisan
terhadap santri-santrinya.
c. Masjid
Masjid atau mushalla merupakan elemen pertama yang menjadi
perhatian utama sebelum kyai mendirikan sebuah pondok pesantren.
Dengan demikian setiap pesantren pasti memiliki masjid atau
mushalla. Walaupun hal itu tidak berdiri sendiri dalam keberadaannya.
Hal tersebut tergantung dari kemampuan kyai dan masyarakat
pendukunngnya.
Besarnya perhatian kyai terhadap pendirian masjid atau mushalla ini
sebenarnya memiliki beberapa alasan :
Motivasi imam, bahwa masjid adalah rumah Allah di muka bumi.
Itba’ Rasul sebagaimana yang dicontohkan beliau ketika pertama kali
hijrah yang dibangun adalah masjid. Masjid sebagai tempat ibadah dan
tempat pendidikan para santri dan umat Islam (masyarakat). 34
d. Madrasah
Jika dikaji dari pengertian bahasa, istilah madrasah merupakan isim
makan (nama tempat), berasal dari kata darasa, yang bermakna
tempat orang belajar35. Dari akar makna tersebut kemudian
33 Ibid, hlm. 28 - 29 34 Anasom, “Patronase di Pondok Pesantren”, Jurnal Ilmu Dakwah Vol.21, No.1 Januari
– Juni 2001, (Semarang: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, 2001), hlm. 86. 35 Nurul Huda, “Madrasah: Sebuah Perjalanan untuk Ehsis.” Dalam Ismail SM (eds),
Dinamika Pesantren dan Mdrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 50.
23
berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat
pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam.
Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren dan pendidikan
sekolah, madrasah menjadi sangat flrksibel diakomodasikan dalam
berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren, madrasah bukanlah
barang yang asing, Karena lahirnya madrasah merupakan inovasi
model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi,
para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat
penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran
modern yang disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok,
dan ekclusive yang selama itu melekat pada pesantren sedikit demi
sedikit terkikis.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam kini ditempatkan sebagai
pendidikan sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Munculnya
SKB tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Kebudayaan dan
Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) menandakan bahwa
eksistensi madrasah sudah cukup kuat beriringan dengan sekolah
umum. Di samping itu, munculnya SKB tiga menteri tersebut juga
dinilai sebagai langkah positif bagi peningkatan mutu madrasah baik
dari status, ijazah maupun kurikulumnya.36
Sebagai lembaga pendidikan yang dilahirkan oleh pesanntren, maka
madrasah memiliki kesamaan visi atau bahkan merupakan continuity
dari pesantren. Sistem madrasah yang diperkenalkan oleh pesantren
menitiktekankan pada keilmuan agama Islam, di samping pengetahuan
umum yang dapat meningkatkan kepekaan terhadap masalah-masalah
sosial dan lingkungan.
36 Raharjo, “Madrasah Sebagai The Centre of Excellence.” Dalam Ismail SM (eds),
Dinamika Pesantren dan Mdrasah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 50.
24
4. Pondok Pesantren dan Perubahan Sosial
Adapun Fungsi pondok pesantren adalah sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan, terutama lebih dititikberatkan pada kegiatan
belajar mengajar ilmu-ilmu keagamaan. Dengan segala dinamikanya
pesantren dipandang sebagai lembaga yang merupakan pusat dari
perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan dakwah Islam, seperti
tercermin dari berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan
pengembangan individu, sampai pada pengaruhnya terhadap politik di
antara para pengasuhnya dan pemerintah.37
KH. Sahal Mahfudz menyebutkan bahwa ada dua potensi besar
yang dimiliki pesantren, yaitu potensi kemasyarakatan dan pendidikan.
Apabila pesantren mampu mengembangkan dua potensi itu, maka bisa
diharapkan melahirkan ulama yang tidak saja dalam ilmu pengetahuan
keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan cakrawala pemikirannya,
tetapi juga mampu memenuhi tuntutan zamannya dalam rangka
pemecahan persoalan kemasyarakatan.38 Sehingga kemampuan pesantren
tidak hanya dalam pembinaan pribadi muslim, melainkan bagi usaha
mengadakan perbaikan dan perubahan sosial dan kemasyarakatan.
Adapun sasaran pendidikan pondok pesantren dalam rangka
mengadakan perubahan sosial adalah sebagai berikut :
a. Bidang Pendidikan
Sejak dulu pesantren dipandang sebagai lembaga eklusif.
Sampai akhirnya mengalami perubahan yang sagat terbuka. Yaitu
degan memasukkan pengetahuan umum kedalam system pengajaran
pesantren. Dari sisni terbukti bahwa atara pedidikan agama dan
pendidikan umum tidak terjadi gap.
37 Muhtarom HM, “Urgensi Pesantren Dalam Pembentukan Kepribadian Muslim, dalam
dinamika Pesantren dan Madrasah”, dalam Ismail SM, (eds), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), cet I, hlm. 39
38 Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LkiS, 1994), hlm. 356-357
25
Pada dasarnya Islam adalah religion of nature yang segala
bentuk dikotomi antara agama dan sains harus dihindari. Alam penuh
dengan tanda-tanda, pesan-pesan Illahi yang menunjukkan kehadirn
kesatuan sistem global.39
Pendidikan pesantren pada hakekatnya tumbuh dan
berkembang sepenuhnya berdasarkan motivasi agama. Lembaga itu
dikembangkan untuk mengefektifkan usaha penyiaran dan
pengalaman ajaran-ajaran agama. Dalam pelaksanaannya, pendidikan
pesantren melakukan proses pembinaan pengetahuan sikap dan
kecakapan yang menyangkut segi keagamaan. Tujuanya untuk
membentuk manusia yang berbudi luhur (akhlaq al Karimah),
sedangkan pendidikan Nasional sendiri bertujuan antara lain
menciptakan mausia yang bertaqwa. Untuk kepentingan ini,
pendidikan agama dikembangkan secara terpadu, baik melalui sekolah
umum maupun madrasah. Di samping itu, sarana informal seperti
pesantren diperlukan untuk kepentingan pendidikan karena ciri khas
keagamaan yang menonjol.40
b. Bidang Sosial Budaya
Pesantren masa depan adalah merupakan sebuah laboratorium
kebudayaan dan peradapan. Hal ini dikatakan karena kondisi
pesantren sejak kehadirannya di Indonesia tidak pernah surut dari
perubahan dan selau berusaha tampil dan berbenah diri sehingga
pesantren yang dikatakan sebagai pendidikan tradisional tetap berdiri
kokoh tak lapuk dimakan zaman dengan ciri kurikulum klasiknya.
Dalam pertarungan kosmopolitansi kemanusiaan dan nilai-nilai
kebudayaannya, pesantren mendesain rencana pesantren masa depan
yaitu dengan memproyeksikan pendidikan dalam pesantren dibangun
39 Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme
Relegius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam),(Yogyakarta: Gema Media, 2002), hlm. 44 40 Dedi Djubaedi, “Pemaduan Pendidikan Pesantren – sekolah, Telaah Teoritis dalam
Perspektif Pendidikan Nasional,” dalam Marzuki Wahid (eds), Pesantren Masa Depan, (Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren) (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm 187
26
sebuah pendidikan tingkat dasar sampai tingkat tinggi yang sangat
modern dari segi metodologi bahasa dan fasilitas kependidikannya,
tetapi tidak meninggalkan ketradisionalnya yang menjadi ciri khas dan
etikanya. Dengan demikian, pesantren tetap punya ikatan sosial dan
kultural dengan lingkungannya, sekaligus menjadi motor setiap
perubahan kultur tersebut. .
Tata nilai yang berkembang di pesantren, yang paling pokok
ditanamkan pada santrinya adalah bahwa seluruh kehidupan ini
dipandang sebagai ibadah, sebagai misal ketaatan seorang santri
terhadap kiai merupakan manifestasi ketaatan yang dipandang sebagai
ibadah. Para santripun betah berlama-lama mengabdi pada pesantren
kecintaan pada ilmu, begitu kuat sehingga mereka bersedia
mengembangkannya tanpa mempedulikan hambatan yang akan
dihadapi, bahkan mereka bertekad dan bersemangat yang kuat untuk
mengabdi pada masyarakat, sampai mereka berani merombak tatanan
sosial bila dianggap tidak sesuai dengan aturan agama.41
c. Bidang Politik
Politik pada hakekatnya adalah kekuasaan (power) dan
pengambilan keputusan yang lingkupnya sangat luas. Mulai dari
institusi keluarga sampai keinstitusi politik tertinggi. Oleh karena itu,
pengertian politik pada prinsipnya meliputi pada masalah-masalah
pokok dalam kehidupan sehari-hari yang dalam kenyataannya selalu
melibatkan pesantren. Dengan pengertian tersebut politik menjelaskan
masalah-masalah yang berkaitan dengan negara, kekuasaan, proses
pengambiilan keputusan dan proses perumusan kebijakan.
Peran politik yang disinggung di sini terfokos pada keterlibatan
pesantren dalam proses-proses politik, baik dalam tingkat makro
maupun mikro. Peran politik pesantren dapat dilihat dari keterlibatan
ulama dalam mengambil kebijakan publik.
41 Wahjoetomo, op.cit., hlm. 97-98
27
Pergulatan politik para kyai merupakan refleksi dari prilaku
politik para ulama yang mencerminkan pahan keagamaan. Nuansa
politik tersebut dengan sendirinya berdampak pada pendidikan
pesantren. Selama pemerintahan Belanda, Soekarno, maupun
Soeharto, para kiyai lebih cenderung menjadi oposan pemerintah. Hal
ini karena para kyai mendukung partai yang tidak berkuasa.
Perubahan paradigma politik kyai nampaknya selalu terkait
dengan pendidikan pesantren. Ketika NU secara organisatoris
menyatakan kembali ke khitah dan kemudian sangat dekat dengan
pemerintah. Dan pesantren menjadi mitra setia pemeritah dalam
pembangunan dan pengembangan masyarakat pedesaan seperti yang
dilakukan di pondok Pesantren Maslahul Huda, Kajen Pati, Jawa
Tengah.42
Sasaran yang ingin ditempuh pesantren dalam hal ini adalah
terpilihnya seseorang pemimpin yang agamis yang mempunyai akidah
keimanan yang kuat, taat kepada Allah, dan tidak berbuat dholim.
Untuk itu pesantren mengadakan pendekatan dengan mengadakan
pendidikan dan mengajarkan anak-anak / santri berpolitik dalam
mencari pemimpin mereka di dalam salah satu organisasi yang
tentunya di bawah bimbingan kyai dan guru-guru yang menjadi
pengamat sekaligus pembimbing.
d. Bidang Ekonomi
Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan masyarakat
dalam bidang ekonomi, pesantren meiliki andil besar dalam
menjembatani kebutuhan masyarakat dalam usaha meningkatkan
perekonomian. Bukti keikutsertaan pesantren dalam masalah
perekonomian adalah didirikan badan koperasi pesantren dan
masyarakat atau lebih dikenal dengan Lembaga Tenaga
Pengembangan Masyarakat (LTPM). Program ini pertama kali di
42 Abdul Mukti, “Paradigma Pendidikan Pesantren: Ikhtiar Metodologis Menuju Minimalisasi Kekerasan Politik”, dalam Ismail SM. (eds), Dinamika pesantren dan Madrasah, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002) hlm. 126.
28
bentuk pada tahun 1977 di pesantren Pabelan, Muntilan, Magelang
Jawa Tengah. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1979 dengan program
latihan pengenalan jenis-jenis Tehnologi Tepat Guna (TTG) yang
dikembangkan oleh beberapa pesantren.43
Pondok Pesantren Maslahul Huda Kajen Pati Jawa Tengah
adalah salah satu contoh dari pesatren-pesantren yang mengelola
sebuah koperasi yang di dalamnya terbentuk sebuah usaha bersama
dalam perekonomian yang dikelola oleh para santri dan masyarakat
sekitar pesantren tersebut. Bentuk dari usaha tersebut adalah pesantren
berkerja sama dengan para pengusaha (produksi) yaitu pesantren
sebagai penyalur dari hasil pertanian dijual pada sebuah perusahaan.
Selain itu dalam usaha pemberdayaan perekonomian masyarakat
setempat pesantren sering mengadakan berbagai macam seminar
kewirausahaan yang bertujuan membentuk jiwa kreatif para santrinya
Di lingkungan pesantren, para santri dididik menjadi manusia
yang bersikap mandiri dan berjiwa wirausaha, mereka giat berusaha
dan bekerja secara independen tanpa menggantungkan nasib pada
orang lain atau lembaga pemerintah dan swasta. Para santri mau
bekerja apa saja, asal halal.44
Dan para santri agar tidak kebingungan untuk mencari
pekerjaan, karena sudah dibekali dipondok pesantren dan diharapkan
tidak menjadi pengangguran di kemudian hari.
e. Bidang Keagamaan
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang menjadi
pengajaran agama Islam, tujuannya tidak semata-mata memperkaya
pikiran santri dengan teks-teks dan penjelasan-penjelasan yang Islami,
tetapi untuk meninggikan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan.
Mengajarkan sikap tingkah laku yang jujur dan bermoral.45 Karena
43 Wahjoetomo, op.cit., hlm. 93 44 Ibid., hlm. 93-94 45 Muhtarom HM. op.cit., hlm. 44
29
manusia hidup tidak hanya berhubungan dengan Allah saja, tetapi juga
dengan sesama manusia dalam kehidupan di dunia.
Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwasannya
pesantren tidak hanya dalam pembinaan pribadi muslim saja
melainkan berusaha mengadakan perbaikan dan perubahan sosial dan
kemasyarakatan, karena pesantren tidak hanya mempengaruhi
kehidupan para santri dan alumninya, melainkan juga pada kehidupan
masyarakat sekitarnya.
Dengan kata lain pesantren berperan besar dalam
pengembangan keagamaan pada masyarakat sekitarnya. Karena
pendidikan dalam pondok pesantren memberi pengajaran tentang
agama Islam yang bertujuan untuk meninggikan moral, dan
mengajarkan nilai-nilai yang baik, seperti sikap tingkah laku yang
bermoral, dan lain sebagainya.
C. Perilaku keagamaan
1. Pengertian Perilaku Keagamaan
Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan perilaku
keberagamaan, terlebih dahulu penulis kemukakan tentang perilaku.
Perilaku secara etimologi adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap
rangsangan atau lingkungannya.46
Menurut Hasan Langgulung, perilaku adalah gerak motorik yang
termanifestasikan dalam bentuk aktifitas seseorang yang dapat diamati.47
Pengertian perilaku sering dibatasi kepada yang dapat dilihat dari
luar, yang berkenaan dengan kegiatan jasmaniah atau psikomotor. Perilaku
atau kegiatan individu seringkali dikelompokkan menjadi tiga kategori,
yaitu kegiatan kognitif, afektif, dan psikomotor. Kegiatan kognitif
berkenaan dengan menggunakan pikiran atau rasio. Dalam kegiatan afektif
46 Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta,
1994, hlm.755. 47 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: Al-
Ma’arif, 1980), hlm.139.
30
berkenaan dengan penghayatan perasaan, sikap, moral dan nilai-nilai.
Sedang kegiatan psikomotor menyangkut aktivitas-aktivitas yang
mengandung gerakan-gerakan motorik.48
Dari beberapa batasan tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa “perilaku” merupakan reaksi total individu terhadap perangsang
atau situasi dari luar, yang terwujud dalam gerak yang dapat diamati.
Sedangkan keberagamaan asal dari kata beragama yang mendapat
awalan ke- dan akhiran –an, yang berarti menganut atau memeluk
agama.49 sedang Raymond F. Paloutzian mendefinisikan agama adalah:
Religiusness is more or less concious dependency on adeity or God and the transendence. This dependency or comitment is evident in onespersonality-experinences, beliefs, and thingking, and motivates ones devosional practise and moral behavior and other activity.50 (Keberagamaan adalah banyak atau sedikitnya kesadaran akan ketergantungan pada seorang Dewa atau Tuhan yang trasenden. Ketergantungan atau komitmen ini dibuktikan pada diri pribadi seorang, pengalaman-pengalaman, keyakinan-keyakinan dan angan-angan dan mendorong seseorang melaksanakan kebaktian keagamaan dan bertingkah laku yang susila dan aktivitas lainnya.)
Keberagamaan atau religiusitas menurut Islam adalah
melaksanakan ajaran agama atau berislam secara menyeluruh. Karena itu,
setiap muslim, baik dalam berfikir, bersikap maupun bertindak
diperintahkan untuk berislam.51 Dalam penulisan ini keberagamaan yang
dimaksud bagaimana perilaku masyarakat dalam beragama dan
memegang norma dan kaidah yang sesuai dengan ketentuan agama.
48 Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), Cet.I, hlm.40. 49 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm.9. 50 Raymond F. Paloutzian, Invitation To The Psichology Of Religion, (Boston: Allin And
Bacon), Second Adition, p. 12. 51 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),
hlm.293.
31
1. Dasar perilaku keagamaan
a). Dasar perilaku keberagamaan anak dalam keluarga, diantaranya
adalah terdapat dalam firman Allah Q.S. Ali-Imron ayat102.
ياأيها الذين ءامنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada- Nya; dan jangan sekali-kali kamu mati sebelum masuk Islam.52 (Q.S. Ali-Imron ayat102)
Ayat tersebut jika diperhatikan dari redaksi “haqqa tuqaadihi”
berkesan bahwa ketaqwaan yang dituntut itu adalah mentaati Allah
dan tidak sekalipun durhaka, mengingat-Nya dan tidak sesaat pun
lupa, serta mensyukuri nikmat-Nya dan tidak satu pun diingkari. 53
b) Dan Q.S. Al Baqarah ayat 25,
ا وتهحت ري منجات تنج مات أن لهالحملوا الصعوا ونءام ر الذينشبالأنهار كلما رزقوا منها من ثمرة رزقا قالوا هذا الذي رزقنا من قبل
)25:ةرلبقا( مطهرة وهم فيها خالدونجوأتوا به متشابها ولهم فيها أزوا
Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan yang berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai didalamnya. Setiap mereka rezki buah-buahan dalam syurga-syurga itu, mereka mengatakan: “inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka didalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal didalamnya. (Q.S. Al Baqarah ayat 25).54
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
untuk menyampaikan kabar gembira kepada mereka yang benar-benar
beriman secara tulus terhadap semua unsur keimanan dan
52 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang : CV. Toha Putra, 1989), hlm. 92.
53 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 2, (Jakarta: Letera Hati, 2000), hlm. 157.
54 Departemen Agama RI, op.cit. hlm.12.
32
membuktikan kebenaran imannya dengan beramal shaleh. Kata
“wa’amiluu” merupakan segala hasil penggunaan daya manusia, yakni
daya tubuh, daya pikir, daya kalbu, dan daya hidup. Daya-daya itu bila
dipergunakan dalam bentuk yang shaleh akan membawa manfaat dan
bila disertai dengan iman yang benar maka ia akan memperoleh
surga.55
Dari deskripsi normatif di atas, dapat diketahui bahwa betapa
Tuhan telah menjadikan kita dengan sempurna di mana segala
perbuatan dan sikap manusia sudah diatur sedemikian rupa, kita
tinggal menjalankan apa yang diperintah-Nya dan menjahui apa yang
menjadi larangan-Nya.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keagamaan
Perilaku keberagamaan seseorang dapat berubah karena
dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan, oleh karena perlu adanya
usaha untuk membentuk atau mempengaruhi perilaku keberagamaan
tersebut.
Perilaku keberagamaan seseorang secara garis besarnya
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksteral, kedua faktor
inilah yang bisa menciptakan kepribadian dan perilaku keberagamaan
seseorang.
a. Faktor Internal
Faktor yang terdapat dalam diri manusia itu sendiri atau segala
sesuatu yang telah dibawa oleh anak sejak lahir yaitu fitrah suci yang
merupakan bakat bawaan, seperti firman Allah dalam surat ar-Rum
ayat 30 yang berbunyi :
55 Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 1,
(Jakarta: Letera Hati, 2000), hlm. 127.
33
لناس عليها لا فأقم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر ا
تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون
)30: الروم (Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama. (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. Al-Rum : 30)56
Quraish shihab dalam Tafsir Al-Misbah menafsirkan bahwa ayat ini
merupakan perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan dalam
upaya diri untuk menghadap kepada Allah secara sempurna. Yang
mana pada diri manusia telah diberi potensi dasar (fitrah) untuk
mengesakan Allah.57 Dalam kontek ini para ulama’ menguatkan
didasarkan atas hadits Nabi.”semua anak yang lahir dilahirkan atas
dasar fitrah, lalu kedua orang tuanya menjadikannya menganut
agama yahudi, Nasrani atau Majusi.
Senada dengan itu Abdullah Yusuf Ali menafsirkan bahwa pada diri
manusia terdapat fitrah atau sifat seperti domba yang harus lembut dan
sifat kuda yang harus tangkas. Karena manusia terbelenggu oleh adat
istiadat, khurafat, serakah dan ajaran yang saleh sehingga suka
bertengkar dan berbuat dosa. Untuk itu diutusnya para nabi untuk
mengobati dan memperbaiki sifat alam fitrah manusia kepada yang
semestinya sesuai dengan perintah Allah.58
Dalam ayat ini diterangkan bahwa ciptaan Allah, manusia
diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid,
56 Departemen Agama RI, op.cit. hlm. 643 57 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an,
Volume XI, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), hlm. 52. 58 Abdullah Yusuf Ali, Qur’an Terjemahan dan Tafsirnya, Juz Xvi s/d XXIV, (Jakarta :
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 1035.
34
kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal ini tidaklah wajar,
mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh
lingkungan.
Ada juga faktor-faktor yang terdapat di dalam diri pribadi
manusia. Faktor tersebut adalah :
1). Pengalaman Pribadi
Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu berhubugan
dengan dunia luarnya. Sejak itu pula individu menerima stimilus
atau rangsang dari luar dirinya. Dan individu mengenali dunia
luarnya dengan menggunakan alat inderanya.59
Dari kenyataan tersebut maka, pengalaman pribadi merupakan
sesuatu yang sudah barang tentu pernah dialami oleh setiap
manusia, bukan hanya pernah dialami oleh manusia biasa, akan
tetapi anak-anak juga pernah mengalaminya.
Zakiah Daradjat, berpendapat tentang pengalaman pribadi anak,
yaitu : “Sebelum anak masuk sekolah, telah banyak pengalaman
yang diterimanya di rumah. Orang tua serta seluruh anggota
keluarga, juga teman sebaya”. Menurut peneliti ahli ilmu jiwa,
terbukti bahwa semua pengalaman yang dilalui orang sejak lahir
merupakan unsur-unsur dalam pribadinya.60
Pengalaman pribadi yang dimaksud yakni pengalaman beragama,
karena perlu ditanamkan sedemikian rupa pada diri manusia, yakni
sejak dalam kandungan.61 Hal ini penting karena sangat
mempengaruhi pada nantinya bagi pembentukan suatu pribadi
yang agamis.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengalaman
merupakan faktor yang mempengaruhi faktor keberagamaan
59 Jalaludin Rachmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rodakarya offset, 1996),
hlm. 43 60 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, (Jakarta, Bulan Bintang, 1980), hlm., 11. 61 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dan Pembinaan Moral, (Jakarta, Bulan Bintang,
1982), hlm. 114.
35
seseorang. Karena sejak kecil mereka telah mengenal benda yang
ada di sekitarnya, yang dalam proses mentalnya menghasilkan
pada bayangan atau peristiwa pada dirinya, sehingga ia
menemukan sebuah objek melalui indra. Proses ini terdapat suatu
ingatan yang dapat disadari baik dan buruknya terhadap dirinya.
2). Pengaruh emosi
Emosi merupakan perasaan gejolak jiwa yakni suatu keadaan
kerohanian atau peristiwa kejiwaan yang dialami seseorang baik itu
perasaan senang atau tidak senang.62 Dalam perilaku
keberagamaan, emosi merupakan faktor internal karena emosi
mempunyai suatu pengaruh yang cukup besar kepada seseorang
semenjak mereka dilahirkan.
Menurut Zakiah Daradjat, bahwa sesungguhnya emosi memegang
peranan yang penting dalam sikap dan tindakan agama. Tidak ada
satu sikap atau tindak agama seseorang yang dapat dipahami tanpa
mengindahkan emosinya.63 Dengan demikian, dalam perilaku
keberagamaan emosi mempunyai suatu pengaruh yang cukup
besar. Hal tersebut dapat kita lihat dari perilaku Rasulullah saw
yang mampu menyentuh hati nurani para sahabat da musuh-
musuhnya sehingga mereka dapat menerima ajarannya dan
menjadikan Islam sebagai agama mereka. Karena mereka tahu dan
percaya bahwa akan kebenaran agama yang dibawanya akan
membawa keselamatan hidup di dunia dan di akherat.
b. Faktor Eksternal
Yaitu faktor-faktor yang berasal bukan dari pribadi manusia
melainkan berasal dari orang lain atau lingkungan. Adapun faktor-
faktor tersebut adalah :
1). Pengaruh Orang Tua
62 Abu Ahamadi, Psikologi Umum, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1982). hlm. 58. 63 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1988), hlm., 77.
36
Mendidik anak adalah tanggung jawab primer orang tua. Peran
orang tua menjadi penting untuk mendidik anak, baik dalam sudut
tinjauan agama, sosial kemasyarakatan, maupun individu.64
Dalam keluarga, haruslah tercipta hubungan timbal balik dalam
pendidikan, sebab mengingat bahwa keluarga dalam hal ini yaitu
orang tua berperan penting dalam menentukan keberhasilan anak-
anaknya dan dapat juga orang tua dijadikan suri tauladan bagi
anak-anaknya, oleh karena itu, orang tua haruslah benar-benar
bersungguh-sungguh dalam mendidik anak, khususnya pendidikan
agama, yang pada akhirnya akan sangat berpengaruh sekali pada
perilaku keberagamaan anak tersebut.
2). Pengaruh Kiyai atau Guru
Kiyai atau guru merupakan orang pertama setelah orang tua yang
dapat mempengaruhi tingkah laku dan kepribadian seseorang. Jadi
faktor yang terpenting bagi seorang kiyai atau guru adalah
kepribadiannya.65
Oleh karenanya sebagai kiyai atau guru hendaknya mempunyai
suatu kepribadian yang mencerminkan ajaran agama, yang akan
diajarkan kepada santri-santrinya. Perilaku dan sikapnya dalam
kebiasaan-kebiasaan baik haruslah sesuai dengan ajaran agama
dan juga hendaknya menyenangkan dan tidak kaku.66
3). Lingkungan Masyarakat
Lingkungan ketiga yang mempengaruhi tingkat keberagamaan
seseorang adalah masyarakat. Kehidupan masyarakat dibatasi oleh
berbagai macam norma dan nilai yang didukung warganya. Oleh
karena itu setiap warga harus bersikap dan bertingkah laku yang
sesuai dengan norma dan nilai yang ada didalam kehidupan warga
64 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hlm., 110. 65 Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, op.cit., hlm., 46. 66 Ibid., hlm., 16.
37
tersebut.
Lingkungan masyarakat yang agamis akan dapat menciptakan jiwa
keberagamaan atau memperkuat keagaman seseorang. Adapun
lingkungan masyarakat mungkin dapat menghilangkan jiwa
keagamaan pada diri seseorang. Untuk itu fungsi dan peran
masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat
tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung
norma-norma itu sendiri.67
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lingkungan masyarakat
memiliki pengaruh terhadap perkembangan keberagamaan
seseorang.
4). Pengaruh Lembaga Pendidikan
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimana pun juga
akan memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan pada
anak. Namun demikian, besar kecilnya pengaruh dimaksud sangat
tergantung berbagai faktor yang dapat memotivasi seseorang
untuk memahami nilai-nilai agama, sebab pendidikan agama pada
hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena itu
pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana
membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.68
2. Aspek atau Dimensi Keagamaan
Untuk melihat seberapa jauh keberagamaan seseorang, maka dapat
diketahui bagaimana seseorang itu melaksanakan dimensi-dimensi pada
komitmen keberagamaan. Adapun dimensi keberagamaan itu terbagi
menjadi lima dimensi, diantaranya adalah :
a. Dimensi keyakinan (Idiological Dimension)
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan di mana orang
religius berpegang teguh pada padangan teologis tertentu dan
67 Jalaluddin, Psikologi Agama, Edisi Revisi, (jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm., 215.
68 Ibid., hlm., 220.
38
mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama
mempertahankan seperangkat kepercayaan di mana taraf penganut
diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup
keyakinan itu bervariasi, tidak hanya di antara agama-agama, akan
tetapi sering kali juga di antara tradisi-tradisi dalam agama yang
sama.69
Dimensi keyakinan ini, juga berkenaan dengan seperangkat
kepercayaan (beliefs) yang memberikan “premis eksistensial” untuk
menjelaskan Tuhan, alam, manusia dan hubungan antara mereka.
Kepercayaan ini dapat berupa makna yang menjelaskan tujuan Tuhan
dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu (purposive beliefs).
Kepercayaan yang terakhir dapat berupa tingkah laku yang baik, yang
dikehendaki oleh agama. Kepercayaan jenis inilah yang didasari
struktur etis agama.70
b. Dimensi Praktik Agama (the Ritualistik Dimension)
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal
yang dilakukan orang untuk menunjukan komitmen terhadap agama
yang dianutnya. Dimensi ini meliputi pedoman-pedoman pokok
pelaksanaan ritus dan pelaksanaan ritus tersebut dalam kehidupan
sehari-hari.71 Dalam Islam, dimensi ini menyangkut pelaksanaan
shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Qur’an, doa, dzikir, ibadah
kurban, dan lain sebagainya.72
c. Dimensi Pengalaman (the Exsperiental Dimension)
Dimensi ini merupakan bagian dari keagamaan yang bersifat
afektif, yaitu adanya keterlibatan emosional dan sentimental pada
pelaksanaan ajaran agama. Inilah perasaan agama (religion feeling)
yang bergerak dalam empat tingkat, yaitu : konfirmatif (merasakan
69 Djamaludin Ancok, Fuad Nasori, Psikologi Islam Solusi Atas Problem-Problem
Psikologi, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1994), hlm.77. 70 Taufik Abdullah (eds), Metodologi Penelitian Agama, (Jakarta: Tiara Wacana Yogya,
1988), hlm. 93. 71 Ibid, hlm. 93. 72 Djamaludin Ancok, Fuad Nasori, Loc. Cit.
39
kehadiran Tuhan), responsif (merasa bahwa Tuhan menjawab
kehendaknya atau keluhannya), eskatik (merasakan hubungan yang
akrab dengan penuh cinta pada Tuhan), dan partisipatif (merasa
manjadi kawan setia kekasih atau wali Tuhan dalam melakukan karya
ilmiah).73
d. Dimensi pengetahuan agama (the Intellectual Dimension)
Dimensi ini mengacu pada pengetahuan agama apa yang tengah
atau harus diketahui orang tentang ajaran-ajaran agamanya. Orang
yang beragama paling tidak memiliki sejumplah minimal pengetahuan
mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-
tradisi.74
e. Dimensi Pengamalan (the Consequetial Dimension)
Dimensi ini mengacu pada akibat-akibat keyakinan keagamaan,
praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari-kehari.
Dimensi pengamalan disebut juga degan dimensi sosial, yang meliputi
segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama.75
3. Perilaku Keagamaan dalam Perspektif Islam
Adapun bentuk-bentuk perilaku keberagamaan pada masyarakat
pada dasarnya meliputi keseluruhan perilaku yang dituntut agama (dalam
konteks Islam). Sedang macam dan bentuk perilaku manusia di dunia ini
banyak dan berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini yang penulis
kemukakan adalah ibadah mahdah dan ghairu mahdah.76
1). Perilaku ibadah mahdah
Ibadah adalah “memperhambakan diri kepada Allah dengan
mentaati dan melaksankan anjuran-Nya serta menjahui segala
73 Taufik Abdullah, Loc. Cit. 74 Djamaludin Ancok, Fuad Nasori, Op. Cit., hlm.78. 75 Ibid. 76 A. Qodri Azizy, Pendidikan Agama Untuk Membangun Etika, (Jakarta : Aneka Ilmu,
2002),..hlm.142.
40
larangan-Nya, karena Allah semata, baik dalam bentuk kepercayaan
dan, perkataan maupun perbuatan.77
Sedangkkan ibadah mahdah adalah ibadah yang menitik
beratkan kepada hubungan vertikal (Allah), dalam aspek ibadah
mahdah ini diantaranya melaksanakan shalat dan puasa.
a). Shalat
Shalat menurut bahasa berarti do’a.78 Sedangkan menurut istilah
berarti suatu sistem ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan
dan laku perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun-rukun
tertentu.
Dalam sholat mengandung suatu maksud yang besar, diantaranya
yaitu melatih dan membiasakan hidup teratur serta berdisiplin,
sehingga dalam mengarungi kehidupan itu akan terarah. Nilai lain
yang terkandung adalah mendidik untuk bermasyarakat,
memperteguh persatuan dan kebersamaan dengan sholat juga
dapat menjadi benteng pertahanan yang kuat, yaitu dapat
mencegah perbuatan yang keji dan mungkar. Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut : ayat 45:
من الكتاب وأقم الصلاة إن الصلاة تنهى عن تل ما أوحي إليك ا: لعنكبـوت ا(ه يعلم ما تصنعون الفحشاء والمنكر ولذكر الله أكبر والل
45(
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu alkitab (al qur’an) dan tegakkanlah sholat, sesungguhnya sholat itu mencegah diri dari perbuatan yang keji dan mungkar dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain.79 (Al-Ankabut : 45).
77 Sadiq, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1991), hlm.125. 78Ibid., hlm., 178. 79 Departemen Agama RI, op.cit. hlm.
41
Thaba Thaba’i menfsirkan ayat ini menggaris bawahi bahwa
perintah melaksanakan shalat pada ayat ini dinyatakan yaitu
“shalat melarang atau mencegah kemungkaran dan kekejian” ini
brarti shalat adalah amal ibadah dan pelaksanaannya membuahka
sifat keruhanian dalam diri manusia yang menjadikan tercegah
dari perbuatan keji dan mungkar, dengan demikian hati menjadi
suci dari kekejian dan kemungkaran serta menjadi bersih dari
kotoran dosa dan pelanggaran. Dengan begitu shalat adalah cara
untuk memperoleh potensi keterhindaran dari keburukan.80
Berdirinya manusia dihadapan Allah dengan khusyu’ dan tunduk
akan membekalinya dengan suatu tenaga rohani yang
menimbulkan dalam diri perasaan tenang, damai dan tentram.
Sebab dalam shalat yang dikerjakan dengan semestinya, jiwa dan
raganya hanya menghadap Allah dan berpaling dari urusan
dunia.81
Ibadah shalat ditinjau dari kesehatan mental, maka shalat
mempunyai fungsi dalam langkah pengobatan, pencegahan dan
pembinaan. Dengan shalat orang akan memperoleh pula kelegaan
batin, karena ia merasa Allah mendengar, memperhatikan dan
menerima munajadnya, sehingga ia dapat menjadikan shalat
sebagai pengobatan jiwa.82
Kalau dengan shalat dapat diperoleh hikmah ketenangan jiwa,
setiap kali orang menunaikan shalat, setiap kali itu pula ia
memperoleh ketenangan jiwa. Bila sedikitnya lima kali sehari
semalam, maka tidak ada lagi perasan yang menentukan dan tidak
ada lagi permasalahan yang menumpuk. Sedangkan bila ditinjau
dari segi pembinaan, setiap kali orang mengerjakan shalat berarti
80 Sayid Muhammad Husain At Thoba-Thoba’i, Al-Mizan fi tafsiri Al-Qur’an, Juz 16
(Libanon : Al-a’lamy lilmat buat, 1991M/1411H), hlm. 139. 81 Muhammad Utsman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa, (Bandung, Pustaka, 1997), cet.,
II, hlm., 308. 82 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam, (Jakarta, Ruhama, 1994), hlm., 95.
42
setiap kali itu pula ia membina jiwa, sehingga akan tertanam
perasaan jiwa yang tenang dan lega, serta rasa disiplin (taat) dan
gairah dalam hidup. Semakin banyak dan khusu’ orang melakukan
shalat, semakin suci dan bersihlah hatinya dari dosa-dosa dan
semakin tenang jiwanya. Serta semakin cinta dan dekatlah dirinya
dirinya kepada Allah SWT, karena sholat adalah permata hati
orang Islam.83
b). Puasa
Puasa merupakan bentuk suatu ibadah penyucian diri, sebab selain
menaham diri dari makan minum, juga menjauhkan diri dari
perbuatan maksiat. Puasa menurut bahasa ialah menahan diri dari
sesuatu dan meninggalkan sesuatu.84
Adapun pengertian puasa adalah menahan makan dan minum dari
segala sesuatu yang membatalkan puasa dari terbit fajar sidiq
hingga terbenam matahari yang diawali dengan niat.85 Allah
berfirman :
ي لى الذينع ا كتبكم اميالص كمليع وا كتبنءام ا الذينهاأي )183: لبقرةا(من قبلكم لعلكم تتقون
Hai sekalian orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang dahulu (sebelum kamu) supaya kamu bertaqwa. (Al-Baqarah : 183).86
Pada yat ini Allah mewajibkan puasa kepada semua mausia yang
beriman, sebagaimaa diwajibkan umat-umat sebelum mereka
supaya mereka menjadi orang yang bertaqwa. Jadi puasa ini
sungguh penting bagi kehidupan orang-orang yang beriman. Para
ulama’ banyak memberikan uraian tentang hikmah puasa,
83 Yahya Jaya, Spiritualisasi Islam, Ibid. 84 Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, (Semarang, Duta Grafika, 1991), hlm., 108. 85 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 1984), cet. I, hlm., 91. 86 Sunarjo, op.cit., hlm., 44.
43
misalnya: untuk mempertinggi budi pekerti, menimbulkan
kesadaran dan kasih sayang terhadap orang-orang miskin, orang-
orang lemah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya,
melatih jiwa dan jasmani, menambah kesehatan dan sebagainya. 87
Puasa ada dua macam, yakni puasa fardhu dan puasa sunnah.
Puasa fardhu yaitu puasa pada bulan Ramadhan, yakni puasa yang
diwajibkan bagi orang-orang dewasa/baligh seperti yang telah
dijelaskan oleh ayat di atas. Sedangkan puasa sunnah diantaranya
adalah : puasa enam hari dalam bulan Syawal, puasa hari Senin-
Kamis, puasa pada bulan Sya’ban, puasa pada bulan Arofah
kecuali bagi orang-orang yang sedang melakukan ibadah haji dan
puasa tengah bulan (13, 14, dan 15) dari tiap-tiap bulan Qamariyah
(Hijriyah).88
Puasa mempunyai banyak manfaat kejiwaan. Sebab puasa
merupakan pendidikan dan pelurusan jiwa dan penyembuhan
berbagai penyakit dalam tubuh. Puasa juga berarti mendidik hati
sanubari manusia menjadi selalu konsisten dengan perilaku tanpa
membutuhkan pengawasan.89
Ibadah puasa ditinjau dari kesehatan mental dapat berfungsi dalam
pengobatan, pencegahan dan pembinaan. Dengan puasa, orang
akan memperoleh ketenangan jiwa. Bila orang senang
melaksanakan puasa, maka akan jauhlah ia dari sifat jahat dan
semakin terkendali, serta kuatlah benteng pertahanan dirinya.
Sedangkan ditinjau dari segi pembinaan berarti setiap kali ia
berpuasa maka saat itu pula ia membina jiwa dengan sifat yang
baik dan meningkatkan pengendalian diri.90
87 Zahini Dahlan, et.al, Qur’an dan Tafsirnya, Jilid I (Yogyakarta:PT Dana Bhakti Wakaf
(Badan Wakaf Universisitas Islam), 1990), hlm 306 88 Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, Op.Cit., hlm., 94. 89 Muhammad Utsman Najati, Op.Cit., hlm., 316-317. 90 Yahya Jaya, op.cit., hlm., 97-98.
44
c). Zakat
Zakat berasal dari kata “zakkah (t)”, dan zakat merupakan isim
masdar, yang artinya perkembangan dan ada pula yang
mengartikan pemberian, secara istilah zakat berarti memberikan
sebagian harta tertentu kepada yang berhak menerimanya.91
Adapun khikmah zakat diantaranya adalah : zakat menjaga dan
memelihara harta dari incaran mata dan tangan para pencuri, zakat
merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orang-orang
yang sangat memerlukan bantuan zakat dapat menyucikan jiwa
dari penyakit kikir dan bakhil. Allah berfirman:
ك خزتو مهرطهقة تدص الهموأم ذ من كلاتإن ص همليل عصا وبه يهمليمع ميعس اللهو مله كن103: لتوبةا(س(
Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuj mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka dan Allah maha mendengar lagi mengetahui.92(At-Taubah : 103).
Ayat ini Nabi Muhammad SAW diperintahkan : Ambilah atas
nama Allah sedekah yang hendaknya mereka serahkan dengan
penuh kesungguhan dan ketulusan dan ketulusan hati, dari
sebagian harta mereka, bukan seluruhnya bukan pula sebagia
besar. Dengan zakat tersebut engku telah membersihkan harta dan
jiwa.93
Quraish shihab dalam Al-Misbah memahami ayat ini sebagai
perintah wajib atas penguasa untuk memungut zakat tetapi
mayoritas ulama’ memahami sebagai perintah sunah. Zakat atau
91 Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1994), hlm. 29. 92 Departemen Agama RI, op.cit., hlm., 298
93 Thoba-Thoba’i, op.cit. Juz. 9 hlm. 377
45
shodaqoh mengisyaratkan bahwa kehidupan atau hubungan timbal
balik hendaknya didasarkan oleh take and give.94
Zakat sebagai salah satu rukun Islam, yang mempunyai kedudukan
yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dari segi tujuan dan
fungsi zakat dalam meningkatkan martabat hidup manusia dan
masyarakat.
Dari sini terlihat bahwa zakat merupakan salah satu ciri perilaku
keagamaan karena dengan zakat dapat membantu orang-orang
yang sangat membutuhkan dan zakat juga dapat menghindarkan
perbuatan-perbuatan keji.
2). Ibadah ghairu mahdah
Ibadah ghairu mahdah adalah ibadah yang menitik beratkan
kepada hubungan horisontal (sesama manusia), atau ibadah yang
berada diluar syari’at Islam tetapi dianjurkan dan dijinkan oleh Allah
dalam aspek ibadah ghairu mahdah, dalam penelitian ini penulis
menitik beratkan pada menghormati Kiyai yaitu bagaimana santri
memuliakan, menghoramati dan mematuhi kiyainya, yang diantaranya
berakhlak baik dan perilaku sosial (muamalah).
a). Berakhlak baik
Menurut Etimologi, kata akhlak berasal dari bahasa arab
)اخالق( bentuk jamak dari mufrodnya khuluk )خلق( yang berarti
“budi pekerti”. Sedangkan Ahmad Amin merumuskan pengertian
akhlak sebagai berikut :
“Akhlak adalah suatu ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
94 Quraisshihab, op.cit. volume 5, hlm 666.
46
manusia dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang harus diperbuat”.95
Senada dengan itu, Al Ghazali mendefinisikan bahwa akhlak
adalah:
فاخللق عبارة عن هيئة ىف النفس راسخة عنها تصدر األفعال كانت اهليئة ورؤية فإن من غريحاجة اىل فكر بسهولة ويسر
املمحمودة عقال وشرعا مسيت اجلميلها حبيث تصدرعنها األفعالتلك اهليئة خلقا حسنا وإن كان الصادر عنها افعال القبيحة
96 ..مسيت اهليئة الىت هي للصدر خلقا سيئا
Akhlak adalah: sesuatu yang melekat pada jiwa manusia yang dari padaya lahir perbuatan-perbuatan tanpa melalui proses pemikiran dan pertimbangan. Jika keadaan atau (hal) tersebut melahirkan perbuatan-perbuatan yang baik dan terpuji menurut padangan akal dan syara’ disebut akhlak yang baik dan jika perbuatan itu tidak baik disebut akhlak yang buruk.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa akhlak
adalah suatu perbuatan manusia yang dimanifestasikan dalam baik
dan buruk, dan dilakukan secara berulang-ulang atas kesadaran
jiwanya tanpa memerlukan berbagai pertimbangan dan tanpa
adanya unsur pemaksaan.97
Sebagai umat manusia yang hidup di tengah-tengah
masyarakat yang serba komplek dituntut untuk mempunyai budi
pekerti yang baik, karena akhlak merupakan pegangan hidup yang
nantinya akan membentuk perilaku kita sehari-hari. Baik itu
perilaku terhadap sesama manusia dan lingkungan.
95 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Pembinaan Akhlaqul Karimah (Suatu Pengantar),
(Bandung: CV. Diponegoro, 1988) cet IV, hlm. 12 96 Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Juz III,(Singapura: Sulaiman Mar’i, t.th), hlm.52
97 M. Nipan Abdul Halim, Menghias Diri dengan Akhlak Terpuji, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), Cet. I, hlm. 12
47
Karena pentingnya kedudukan akhlak dalam kehidupan
manusia ini, maka misi (risalah) Rasulullah saw. itu sendiri
keseluruhannya adalah unntuk memperbaiki akhlak yang mulia
sebagaimana sabdanya :
حدثنا : حدثنا عبداهللا حدثىن أىب حدثنا سعيدبن منصورقال عبد العزيز بن حممد عن حممد بن عجال عن القعقاع بن حكيم عن اىب صاحل عن اىب هريرة قال رسول اهللا صلى اهللا
98صاحل االخالقامنا بعثت آل متم : عليه وسلم
Said bin Mansur telah menyampaikan kepada kami (katanya) Abdul Aziz bin Muhammad telah menyampaikan kepada kami (berita itu) dari Muhammad bin Ijlan, dari al-Qo’qo bin Hakim dari Abi Sholeh, dari Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya aku diutus (oleh Allah) semata-mata untuk menyempurnakan akhlak yang sholeh. (H.R. Ahmad)
Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pentingnya akhlak dalam hidup bermasyarakat. Dengan berakhlak
yang mulia maka akan tercapailah tatanan kehidupan masyarakat
yang dinamis, penuh dengan tenggang rasa dan tercipta sebuah
kehidupan yang tentram, damai serta sejahtera.
b). Perilaku sosial
Aspek ini dalam perilaku keberagamaan tidak dapat diabaikan,
karena masyarakat merupakan lingkungan dimana ia hidup dan
tinggal. Untuk itu, dalam hidup hendaknya perlu dimiliki watak
dan prilaku kepedulian terhadap sesama. Dalan hal ini agama
memberikan pedoman kepada kita bagiamana agar kehidupan
bermastarakat yang baik dan harnonis perlu dibagun sifat gotong
royong dan saling tolong- menolong. Rasulullah SAW bersabda:
98 Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Jilid II, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1978), hlm. 281
48
قال ,حدثنا حيي ابن حيي التميمى وابو بكر عن اىب هريرة قالرسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم واهللا ىفعون العبد ماكان العبد
99)روه مسلم(عون اخيه ىف
Diceritakan dari Yahya ibn Yahya al-Tamim dari Abu Hurairah berkata bahwasannya Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu mau menolong sesamanya.” (HR Muslim)
Hadits tersebut di atas, menggambarkan bahwa orang yang suka
menolong sesamanya akan dimudahkan urusanya oleh Allah.
Dengan demikian sikap sosial terhadap sesama perlu ditanamkan
dalam jiwa. Karena dengan memiliki kepedulian sosial akan
menciptakan kehidupan yang harmonis dalam kehidupan
bermasyarakat.
D. HIPOTESIS
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap
permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul.100
Setelah penulis mengadakan penelaahan yang mendalam terhadap
berbagai sumber tentang keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial
keagamaan pondok pesantren Al-Amin dan tingkah laku atau perilaku
individu, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: “Ada hubungan
positif antara keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial keagamaan
pondok pesantren Al-Amin terhadap perilaku keberagamaan masyarakat
Dukuh desa Gintungan kecamatan Gebang kabupatan Purworejo”.
Artinya, semakin positif keterlibatan masyarakat dalam aktivitas sosial
keagamaan pondok pesantren Al-Amin, maka akan semakin positif (baik)
perilaku keberagamaan masyarakat Dukuh desa Gintungan kecamatan Gebang
99 Lihat., Shohih Muslim, Bab Kitab al-Bir wa as-shilah, hadits ke 4385. 100 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitiam Suatu Pendekatam Praktek, (Jakarta:
Reineka Cipta, 1998), hlm. 67
49
kabupatan Purworejo. Dan sebaliknya, semakin negatif keterlibatan
masyarakat dalam aktivitas sosial keagamaan pondok pesantren Al-Amin,
maka semakin negatif (buruk) perilaku keberagamaan masyarakat Dukuh desa
Gintungan kecamatan Gebang kabupatan Purworejo.
Recommended