View
230
Download
2
Category
Preview:
Citation preview
22
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pola Asuh Orang Tua
2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Menurut Hurlock (1999) orang tua adalah orang dewasa yang membawa
anak ke dewasa, terutama dalam masa perkembangan. Tugas orang tua
melengkapi dan mempersiapkan anak menuju ke fase kedewasaan dengan
memberikan bimbingan dan pengarahan yang dapat membantu anak dalam
menjalani kehidupan. Dalam memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak
akan berbeda pada masing-masing orang tua kerena setiap keluarga memiliki
kondisi-kondisi tertentu yang berbeda corak dan sifatnya antara keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain.
Menurut Chabib Thoha (1996) pola asuh orang tua adalah suatu cara
terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan
dari rasa tanggung jawab kepada anak. Jika pendidikan keluarga dapat
berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian
anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama,
kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual
yang berkembang secara optimal
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orang tua
adalah cara mengasuh dan metode disiplin orang tua dalam berhubungan dengan
anaknya dengan tujuan membentuk watak serta kepribadian dan memberi nilai-
23
nilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam
memberikan aturan-aturan kepada anak, setiap orang tua akan memberikan bentuk
pola asuh yang berbeda-beda. Berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua
sendiri sehingga akan menghasilkan bermacam-macam pola asuh yang berbeda
dari orang tua yang berbeda pula.
2.1.2 Jenis Pola Asuh Orang Tua
Menurut Baumrind (2010), terdapat 4 macam pola asuh orang tua yaitu :
a. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan
anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua
dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada
rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis
terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang
melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan
kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan
pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
b. Pola asuh Otoriter
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini
cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau
melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini
tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal
kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua
24
tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti
mengenai anaknya.
c. Pola asuh Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan
yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat
sedikit bimbingan yang diberikan oleh orang tua. Namun orang tua tipe ini
biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
d. Pola asuh Penelantar
Orang tua tipe ini pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang
sangat minim pada anak-anaknya. Waktu yang dimiliki orang tua banyak
digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan juga
kadangkala biaya pun dihemat-hemat untuk anak. Termasuk dalam tipe ini
adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi.
Hurlock (1999) membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi 3 macam
pola asuh orang tua yaitu :
a. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan
anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua
dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada
rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis
terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang
25
melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan
kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan
pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
b. Pola asuh Otoriter
Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,
biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini
cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau
melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini
tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal
kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua
tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti
mengenai anaknya.
c. Pola asuh Permisif
Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan
yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat
sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini
biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak.
Dalam penelitian ini, teori yang diajukan sebagai landasan peneliti pada
variabel pola asuh orang tua adalah teori dari Hurlock (1999).
26
Dampak atau pengaruh pola asuh orang tua terhadap anak–anak menurut
Baumrind, (2006) adalah :
a. Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang
mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman,
mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan
koperatif terhadap orang-orang lain.
b. Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut,
pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar
norma, berkepribadian lemah, cemas dan menarik diri.
c. Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang
percaya diri. Beberapa contoh sikap dan perilaku diatas berdampak negatif
terhadap perkembangan jiwa anak sehingga efek negatif yang terjadi
adalah anak memiliki sikap keras hati, manja, keras kepala, pemalas,
pemalu dan lain-lain. Semua perilaku diatas dipengaruhi oleh pola
pendidikan orang tua. Pola asuh orang tua akan mempengaruhi
perkembangan jiwa anak.
2.2. Kematangan Emosi
2.2.1 Pengertian Kematangan Emosi
Kematangan emosi dapat dikatakan sebagai suatu kondisi perasaan atau
reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk
mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan suatu
27
pertimbangan dan tidak mudah berubah–ubah dari satu suasana hati ke dalam
suasana hati yang lain (Hurlock, 2000)
Yusuf (2001) mendefinisikan kematangan emosi adalah kemampuan
individu untuk dapat bersikap toleran, merasa nyaman, mempunyai kontrol diri
sendiri, perasaan mau menerima dirinya sendiri dan orang lain, serta mampu
menyatakan emosinya secara konstruktif dan kreatif. Sedangkan Walgito (2002)
kematangan emosi berkaitan erat dengan usia seseorang dimana seseorang
diharapkan emosinya akan lebih matang dan individu akan lebih menguasai atau
mengendalikan emosinya, namun tidak berarti bahwa bila seseorang bertambah
usianya mereka dapat mengendalikan emosinya secara otomatis.
Dari pendapat para ahli di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kematangan emosi adalah kemampuan seorang individu untuk menggunakan
emosinya secara baik, yang ditandai dengan pengontrolan diri, pemahaman
seberapa jauh baik buruk dan apakah bermanfaat bagi dirinya dalam setiap
tindakan maupun perbuatannya.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Emosi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kematangan emosi seseorang
(Astuti, 2000) antara lain:
a. Pola asuh orang tua, keluarga merupakan lembaga pertama dan utama dalam
kehidupan anak, tempat belajar dan menyatakan dirinya sebagai makhluk
sosial, karena keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama tempat anak
28
dapat berinteraksi. Dari pengalaman berinteraksi dalam keluarga ini akan
menentukan pula pola perilaku anak.
b. Pengalaman traumatis, kejadian-kejadian traumatis masa lalu dapat
mempengaruhi perkembangan emosi seseorang. Kejadian-kejadian traumatis
dapat bersumber dari lingkungan keluarga ataupun lingkungan di luar
keluarga.
c. Temperamen, temperamen dapat didefinisikan sebagai suasana hati yang
mencirikan kehidupan emosional seseorang. Pada tahap tertentu masing-
masing individu memiliki kisaran emosi sendiri-sendiri, dimana temperamen
merupakan bawaan sejak lahir, dan merupakan bagian dari genetik yang
mempunyai kekuatan hebat dalam rentang kehidupan manusia.
d. Jenis kelamin, perbedaan jenis kelamin memiliki pengaruh yang berkaitan
dengan adanya perbedaan hormonal antara laki-laki dan perempuan, peran
jenis maupun tuntutan sosial yang berpengaruh terhadap adanya perbedaan
karakteristik emosi diantara keduanya.
e. Usia, perkembangan kematangan emosi yang dimiliki seseorang sejalan
dengan pertambahan usia, hal ini dikarenakan kematangan emosi dipengaruhi
oleh tingkat pertumbuhan dan kematangan fisiologis seseorang.
29
2.2.3 Karakteristik Kematangan Emosi
Menurut Hurlock (1999), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu:
a. Dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial.
Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang
tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik
dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial.
b. Pemahaman diri individu yang matang.
Belajar memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkannya untuk
memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat.
c. Menggunakan kemampuan kritis mental.
Individu yang matang berusaha menilai situasi secara kritis sebelum
meresponnya, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap
situasi tersebut.
Menurut Walgito (2002), individu yang dikatakan matang emosinya
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Seseorang yang matang emosinya dapat menerima baik keadaan dirinya
maupun orang lain seperti apa adanya, sesuai dengan keadaan objektifnya.
Hal ini disebabkan orang yang matang emosinya dapat berpikir secara baik
dan objektif.
b. Seseorang yang matang emosinya pada umumnya tidak bersifat implusi,
akan merespon stimulus dengan cara mengatur pola berpikir secara baik
untuk memberikan tanggapan kepada stimulus tersebut.
30
c. Seseorang yang matang emosinya, dapat mengontrol emosi dan
ekspresinya dengan baik, walau dalam keadaan marah, orang tersebut
dapat mengatur kapan kemarahan tersebut dimanifestasikan.
d. Seseorang yang matang emosinya, dapat berpikir objektif, sehingga akan
bersifat sabar, penuh pengertian dan pada umumnya cukup mempunyai
toleransi yang baik.
e. Seseorang yang matang emosinya akan mempunyai tanggung jawab yang
baik, dapat berdiri sendiri, tidak mudah mengalami fustasi dan
menghadapi masalah dengan penuh pengertian.
Dalam penelitian ini, teori yang diajukan sebagai landasan peneliti pada
variabel kematangan emosi adalah teori dari Walgito (2002).
2.3 Pengertian Masa Dewasa Awal
Masa dewasa awal adalah suatu masa, dimana individu telah
menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat
bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1999). Masa remaja yang
ditandai dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal, identitas diri ini
didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur kronologis. Berbagai masalah
juga muncul dengan bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Pada masa ini
perubahan-perubahan psikologis terjadi. Hurlock (1990) mengatakan bahwa
dewasa awal dimulai pada umur 17 tahun sampai kira-kira umur 40 tahun.
Erickson (dalam Monks dkk, 2001) mengatakan bahwa seseorang yang
digolongkan dalam usia dewasa awal berada dalam tahap hubungan hangat, dekat
dan komunikatif dengan atau tidak melibatkan kontak seksual. Bila gagal dalam
31
bentuk keintiman maka anak akan mengalami apa yang disebut terisolasi (merasa
tersisihkan dari orang lain, kesepian, menyalahkan diri karena berbeda dengan
orang lain).
2.4 Temuan Penelitian Yang Relevan
Berdasarkan data Dinas Sosial Kabupaten Pemalang tahun 2000,
menyatakan kurang lebih 90% korban penyalahgunaan narkotika adalah
kelompok remaja akhir atau dewasa awal. Kenakalan remaja juga dibuktikan
berdasarkan survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
berupa 57% kasus HIV AIDS terjadi pada masa dewasa awal pada saat anak
dituntut untuk lebih luas dalam pergaulan dan mencari lebih banyak teman
(Prawidya, 2010). Hal ini menunjukkan perilaku kenakalan pada masa usia
dewasa awal dalam kurun waktu kurang dari dasawarsa terakhir semakin
memprihatinkan.
Penelitian Aditya Kusuma (2009) tentang hubungan pola asuh orang tua
dengan kematangan emosi siswa XI SMA Negeri 1 Bergas, menemukan pola asuh
orang tua siswa kelas XI SMA Negeri 1 Bergas adalah dalam kriteria sedang
dengan persentase 67,34% sedangkan kematangan emosi siswa termasuk kriteria
sedang yaitu dengan persentase 67,96%. Diketemukan bahwa nilai r
hitung=0,459. Taraf kesalahan ditetapkan 5%, r tabel = 0,220. Karena 0,459 >
0,220 artinya r hitung lebih besar dari r tabel, sehingga Ho ditolak dan Ha
diterima. Berarti ada hubungan positif dan dan signifikansi antara pola asuh orang
tua dengan kematangan emosi dengan koefisien sebesar 0,459.
32
Hasil penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hanum Rohmatul (2009), tentang hubungan pola asuh dengan
kematangan emosi siswa SMP MAN Tempursari Ngawi. Berdasarkan analisis
data pola asuh orang tua dengan kematangan emosi, diperoleh nilai koefisien
korelasi 0,198 dan nilai r tabel adalah 0,063. Dari hasil korelasi diatas memiliki
nilai 0,198 < r tabel adalah 0,163, berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Artinya pola
asuh orang tua tidak memiliki hubungan (tidak berkorelasi) dengan kematangan
emosi.
Mengkaji dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, maka dapat
dilihat dengan pola asuh yang berbeda-beda pada anak dapat menghasilkan
kematangan emosi yang berbeda-beda pula pada setiap anak. Hal itu ditunjukan
oleh cara sikap dan pikiran dalam berinteraksi dalam lingkungan.
2.5 Kerangka Berpikir
Pola asuh orang tua merupakan cara mengasuh anak dengan tujuan
membentuk watak serta kepribadian , dan memberi nilai-nilai bagi anak untuk
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-
aturan kepada anak, setiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang
berbeda-beda. Berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri sehingga
akan menghasilkan bermacam-macam pola asuh yang berbeda dari orang tua yang
berbeda pula sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang dewasa baik dari segi
fisik maupun emosi.
Pada masa dewasa terutama pada masa dewasa awal merupakan fase
dimana individu yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima
33
kedudukan dalam masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya serta mampu
menempatkan diri dalam bersosialisasi dengan lingkungan secara baik dan matang
secara emosi. Masa dewasa awal merupakan masa kematangan, termasuk
kematangan emosi. Kematangan emosi adalah seorang individu dapat melihat
situasi secara kritis sebelum berespon secara emosional sehingga tidak bereaksi
seperti anak–anak dan orang yang tidak matang, serta emosinya stabil
Pembentukan suatu kematangan dalam segi emosi tidak lepas dari peranan
pola asuh orang tua, karena orang tua adalah unsur pertama pihak yang memiliki
peranan dalam mengatur dan mendidik anak untuk memperoleh kematangan
emosi yang baik. Penalarannya adalah ada hubungan yang signifikan antara pola
asuh dengan kematangan emosi.
2.6 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah “ada hubungan yang
signifikan antara pola asuh orang tua dengan kematangan emosi pada siswa SMA
Theresiana Salatiga”.
Recommended