View
219
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
45
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Perpajakan
1. Pengertian Pajak.
Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu
masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania
Sugiharti bahwa : “Tanpa ada masyarakat, tidak mungkin ada suatu pajak”.
Pernyataan tersebut didasarkan atas pemikiran bahwa manusia hidup
bermasyarakat masing-masing individu membawa hak dan kewajibannya.
Demikian juga terdapat proses timbale balik antara tiap individu tersebut
dengan masyarakat. Artinya ada hak dan kewajiban individu terhadap
masyarakat dan demikian sebaliknya ada kewajiban masyarakat terhadap
individu.
Bagi manusia yang memiliki falsafah hidup berdasarkan agama, bahwa
semua kehidupan adalah anugrah Tuhan, sehingga patut menyerahkan
sebagian pendapatannya untuk kesejahteraan sesama manusia.
Kewajiban individu – individu terhadap masyarakat tersebut dalam
konteks masyarakat dalam suatu negara dapat berupa pembayaran pajak.
46
Pembayaran pajak oleh individu kepada negara tersebut akan
digunakan oleh masyarakat atau negara untuk melaksanakan kewajibannya
kepada individu-individu warga negara.
Pajak ditinjau dari segi ekonomi merupakan peralihan sumber daya
ekonomi dari sektor rumah tangga dan swasta ke sektor pemerintah.
Kemudian pemerintah membelanjakan penerimaan dari sektor rumah tangga
dan swasta tersebut, baik berupa belanja pegawai maupun barang, ini berarti
penerimaan tersebut didistribusikan kembali oleh pemerintah ke sektor rumah
tangga dan sektor swasta.
Untuk memahami lebih lanjut pengertian pajak, maka perlu
dikemukakan beberapa definisi pajak, sebagai berikut :
Brotodiharjo memberi batasan-batasan dari P.J.A. Adriani bahwa
pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak
mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan
tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.1 Menurut Edi Slamet-
Syarifuddin, pajak dapat diartikan sebagai suatu pungutan yang merupakan
hak prerogatif negara atau iuran yang dibayarkan oleh rakyat didasarkan pada
1 Brotodihardjo, Santoso, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi Keempat, Refika
Aditama, Bandung, 2003, h. 2.
47
undang-undang, yang dapat dipaksakan tanpa balas jasa langsung yang dapat
ditunjuk.2
Definisi pajak menurut Rochmat Soemitro adalah sebagai berikut :
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-
jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari beberapa definisi pajak yang telah dikemukan di atas terdapat
kesesuaian pandangan, hal mana bila ditarik unsur-unsurnya dapat
diintisarikan, yaitu : adanya pungutan yang bersifat wajib, pungutan
dilakukan berdasarkan undang-undang, tidak adanya kontraprestasi secara
langsung. Akan tetapi, bila dicermati akan terjadi kontraprestasi secara tidak
langsung melalui pembiayaan pengeluaran belanja rutin dan pembangunan
yang akan dinikmati kembali oleh masyarakat.
Selain berdasarkan pendapat para ahli hukum sesuai dengan jenis
penelitian normatif yang digunakan dalam penelitian ini dipandang perlu
mengkaji definisi pajak dari segi perundang-undangan. Dalam Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, menyebutkan:
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
2 Irianto, Edi Slamet, - Syarifuddin Jurdi, Politik Perpajakan, Membangun
Demokrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2005, h. 63.
48
berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan
secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat ditarik ciri-ciri yang ada
pada pengertian pajak. Adapun ciri-ciri yang dimaksud adalah sebagai
berikut : Pertama, Pajak merupakan kontribusi yang bersifat wajib dari orang
atau badan kepada negara dan dipungut berdasarkan undang-undang serta
peraturan pelaksanaannya. Kedua, Dalam pembayaran pajak tidak dapat
ditunjukkan adanya kontraprestasi individual secara langsung oleh
pemerintah. Ketiga, Pajak dipungut oleh negara baik yang dipungut oleh
pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah. Keempat, Pajak
diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran dan biaya-biaya pemerintah
dalam menjalankan fungsinya, yang apabila dari pemasukannya masih
terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai pembangunan atau publik
investment. Kelima, Pajak dapat juga membiayai tujuan yang tidak budgeter,
yaitu pengaturan pajak oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi mengatur.
2. Asas - Asas dan Syarat - Syarat Pemungutan Pajak
Asas-asas prinsip adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas,
sebagai dasar, sebagai tumpuan berfikir atau berpendapat untuk menjelaskan
sesuatu permasalahan. Lazimnya suatu pemungutan pajak harus dilandasai
dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya
49
suatu pemungutan pajak. Dalam kaitan ini Mansury menyatakan sebagai
berikut :
“Dari pengalaman ternyata apabila tidak setiap ketentuan
rancangan undang-undang pada saat penyusunannya selalu diuji apakah
sejalan dengan tujuan dan asas atau syarat yang harus dipegang teguh,
ketentuan tersebut mudah sekali mengatur sesuatu yang sebenarnya
tidak sejalan dengan asas atau syarat yang harus dipegang teguh”.
Pajak sebagai suatu kewajiban dari wajib pajak kepada negara yang
walaupun pada proses berikutnya ada suatu pendistribusian berupa hasil-hasil
pajak kepada masyarakat, dalam pemungutannya sudah seharusnya
memperhatikan asas-asas pemungutan pajak. Hal tersebut didasarkan pada
pertimbangan bahwa dalam pemungutan pajak agar tidak terjadi perlawanan
ataupun hal-hal lain yang kontra produktif dengan tujuan dilakukannya
pemungutan pajak.
Untuk mewujudkan tujuan dari pemungutan pajak tanpa menimbulkan
konflik asas-asas pemungutan wajib diperhatikan oleh pembuat undang-
undang pajak yang tampak secara tersirat dalam konsideran menimbang.
Adapun asas pemungutan pajak secara umum dalam ketentuan Undang-
undang perpajakan adalah :
1. Asas Keadilan
a. Menurut Teori yang Mendasari Pengertiannya
1) Asas Equality
50
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu
dikenakan pada orang pribadi yang harus sebanding dengan
kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai
dengan manfaat yang diterima.
2) Asas Certainty
Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi
wajib pajak harus mengetahui kapan membayar dan batas
waktu pembayaran
3) Asas Convenience of Payment
Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya
sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak,
misalnya pada saat memperoleh penghasilan.
4) Asas Economy
Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban
pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin,
demikian pula beban yang dipikul.
b. Teori yang Memisahkan Hak Negara Memungut Pajak
1) Teori Asuransi
Dalam perjanjian asuransi diperlukan pembayaran premi.
Premi tersbut dimaksudkan sebagai pembayaran atas usaha
melindungi orang dari segala kepentingannya, misalnya
51
keselamatan atau keamanan harta bendanya. Teori asuransi ini
menyamakan pembayaran premi dengan pajak. Walaupun
kenyataannya menyatakan hal tersebut dengan premi tidaklah
tepat.
2) Teori Kepentingan
Teori kepentingan ini memperhatikan beban pajak yang harus
dipungut dari masyarakat. Pembebanan ini harus didasarkan
pada kepentingan setiap orang pada tugas pemerintah
termasuk perlindungan jiwa dan raganya. Oleh karena itu,
pengeluaran negara untuk melindunginya dibebankan pada
masyarakat
3) Teori Gaya Pikul
Teori ini mengandung bahwa dasar keadilan pemungutan
pajak terletak dalam jasa-jasa yang diberikan oleh negara
kepada masyarakat berupa perlindungan jiwa dan harta
bendanya. Oleh karena itu, untuk kepentingan perlindungan,
maka masyarakat akan membayar pajak menurut daya pikul
seseorang.
4) Teori Asas Daya Beli
52
Teori ini didasarkan pada pendapat bahwa penyelenggaraan
kepentingan masyarakat dianggap sebagai dasar keadilan
pemungutan pajak yang bukan kepentingan individu atau
negara sehingga lebih menitikberatkan pada fungsi mengatur.
2. Asas Manfaat
Pengenaan pajak hendaknya seimbang dengan keuntungan (manfaat)
yang didapat wajib pajak dari jasa-jasa public yang diberikan oleh
pemerintah. Berdasarkan criteria ini, maka pajak dikatakan adil bila
seseorang yang memperoleh kenikmatan lebih besar dari jasa-jasa publik
yang dihasilkan oleh pemerintah dikenakan proporsi lebih besar. PBB
menggunakan prinsip benefit dalam mengukur aspek keadilan dalam
perpajakan. Fungsi negara adalah memberikan perlindungan terhadap
kekayaan warga, dan karenanya pemiliknya berkewajiban ikut membayar
keperluan-keperluan negara.
3. Asas Pembuatan Undang-undang
a. Asas Yuridis
Untuk menyatakan suatu keadilan, hukum pajak harus memberikan
jaminan hokum kepada negara atau warganya. Oleh karena itu, pemungutan
pajak harus didasarkan pada undang-undang. Landasan hukum pemungutan
pajak di Indonesia adalah pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
53
b. Asas Ekonomis
Seperti pada uraian sebelumnya, pajak mempunyai fungsi regular dan
budgeter. Asas ekonomi ini lebih menekankan pada pemikiran bahwa negara
menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat. Untuk
itu, pemungutan pajak harus diupayakan tidak menghambat kelancaran
ekonomi sehingga kehidupan ekonomi tidak terganggu.
c. Asas Finansial
Berkaitan dengan hal ini, fungsi pajak yang terpenting adalah fungsi
budgeter nya, yakni untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam
kas negara. Sehubungan dengan itu, agar diperoleh hasil yang besar, maka
biaya pemungutannya harus sekecil-kecilnya.
4. Asas Yuridiksi Pemungutan Pajak
a. Asas Domisili,
Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara dengan tempat
tinggal wajib pajak. Menurut asas ini, wajib pajak yang bertempak tinggal di
Indonesia akan dikenakan pajak atas segala penghasilannya baik penghasilan
yang didapat di Indonesia maupun penghasilan yang didapat di luar negeri.
b. Asas Sumber,
Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara dengan sumber
pendapatan tanpa melihat tempat tinggal. Wajib pajak menurut asas ini
54
adalah bagi siapapun yang memperoleh penghasilan di Indonesia akan
dikenakan pajak sekalipun tempat tinggalnya di luar negeri. Contohnya
adalah tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang
didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
c. Asas Kebangsaan,
Cara pemungutan pajak yang dilakukan oleh Negara berdasarkan
kebangsaan wajib pajak. Contohnya: setiap warga Negara asing yang
bertempat tinggal di Indonesia harus membayar pajak..
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan
daerah. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali dan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang
seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Dasar hukum terkait pajak daerah dan retribusi adalah Undang-undang
No.28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagai
pengganti Undang-undang No.34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
55
Retribusi Daerah. Dalam undang- undang tersebut terdapat pengalihan pajak
dari pajak pusat menjadi pajak daerah. Pajak daerah menurut Undang-undang
No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengalami
beberapa perubahan. Terdapat empat penambahan pajak daerah baru.
Penambahan pajak daerah yang baru tersebut adalah Pajak Air Tanah, Pajak
Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan, dan BPHTB.
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pemerintah pusat dan
digolongkan sebagai pajak langsung serta dipungut setiap tahun. Walaupun
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak pusat tetapi dalam
pengelolaannya dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor
Pelayanan Pajak Pratama dan hasilnya akan dibagi dua yaitu 10% untuk
pemerintah pusat dan 90% pemerintah daerah.
B. Pengertian, Subjek dan Objek BPHTB
1. Pengertian BPHTB
Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
(BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan. Dasar hukum BPHTB adalah Undang-Undang Nomor 21
tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas
56
Tanah dan Bangunan. Kemudian pajak ini masuk dalam Undang-Undang
Nomor. 28 Tahun 2009 tentang PDRD Pasal 85 sampai dengan Pasal 93.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk Hak
Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA), Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun,
dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Hal ini
berarti BPHTB hanya boleh dikenakan atas perolehan hak yang diatur dalam
UUPA, Undang-Undang Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan
hak-hak atas tanah lain yang berkembang di masyarakat adat tetapi tidak
diakui oleh UUPA tidak boleh dikenakan BPHTB.3 Sedang dalam UU No. 28
tahun 2009 tentang PDRD, yang dimaksud dengan BPHTB adalah : “Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan.”
2. Subjek dan Objek BPHTB
Subjek BPHTB seperti halnya dengan subjek PPh adalah orang pribadi
atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, yang
tercantum dalam ketentuan Pasal Pasal 86 UU PDRD yaitu:
3 Marihot P. Siahaan, Bea Perolehan Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan
Praktek, Edisi
Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 41.
57
(1) Yang menjadi Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan.
(2) Subyek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak
menurut Undang-Undang ini.
Sedangkan yang menjadi obyek pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 85
ayat (2) UU PDRD adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan meliputi:
a. pemindahan hak karena :
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) hibah wasiat;
5) waris;
6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) penunjukkan pembeli dan lelang;
9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
10) penggabungan usaha;
11) peleburan usaha;
12) pemekaran usaha;
13) hadiah;
b. pemberian hak baru karena :
1) kelanjutan pelepasan hak;
2) di luar pelepasan hak.
Kemudian dalam Pasal 85 ayat (4) UU PDRD ditentukan obyek pajak
yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal
balik;
b. negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan atau untuk
pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang diterapkan dengan
Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau
58
melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut.
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan
hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Dalam kaidah/norma yang lama (UU BPHTB), pengenaan BPHTB
karena waris dan hibah wasiat dalam pelaksanaannya diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 mengatur Pengenaan Bea Perolehan Hak
atas Tanah Dan Bangunan Karena Waris dan Hibah Wasiat, dijelaskan
bahwa:
a. Perolehan hak karena waris adalah perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan oleh ahli waris dari pewaris, yang berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.
b. Perolehan hak karena hibah wasiat adalah perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan oleh orang pribadi atau badan dari pemberi hibah wasiat,
yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Namun dalam UU PDRB, peralihan karena proses pewarisan atau
hibah wasiat tidak diatur pengenaan BPHTB-nya. Namun demikian terhadap
persoalan ini dapat saja dimasukkan dalam pengkaidahannya dalam peraturan
daerah yang diamanatkan dalam Perda yang dibuat oleh Kebupaten/Kota.
Jadi terhadap penerima hibah atas tanah dan/atau bangunan dari
keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan tidak ada
hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak
59
yang bersangkutan, bukan merupakan obyek Pajak Penghasilan tetapi
merupakan objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas setiap perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan di Indonesia, baik karena pemindahan hak dari
orang pribadi atau badan kepada orang pribadi atau badan lainnya maupun
karena pemberian hak baru oleh pemerintah atau negara kepada orang pribadi
atau badan. Karena perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan
perbuatan atau peristiwa hukum yang diperoleh orang pribadi atau badan.
3. Dasar Perhitungan BPHTB
Sesuai dengan Pasal 87 UU PDRD yang menjadi dasar pengenaan
pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). Karena
pada dasarnya ada lima belas jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan
yang menjadi objek pajak, setiap jenis peralihan hak tersebut harus
ditentukan Nilai Perolehan Objek Pajaknya. Pasal 87 ayat (2) UU PDRD
menentukan yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada
masing-masing jenis perolehan hak, adalah:4
a. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga
transaksi.
b. Pada perolehan hak karena tukar-menukar, yang menjadi NPOP adalah
nilai pasar.
4 Marihot, Op. cit, h. 164-165.
60
c. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adala nilai
pasar.
d. Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah
nilai pasar.
e. Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai
pasar.
f. Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan
hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
g. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan
peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
h. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar
i. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai
kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar
j. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah di luar
pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar.
k. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar.
l. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar.
m. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP
adalah nilai pasar.
n. Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPOP adalah nilai
pasar.
o. Pada perolehan hak karena penunjuk pembeli dalam lelang, yang
menjadi NPOP adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah
lelang.
Walaupun ada lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP
tersendiri, tetapi pada dasarnya hanya ada tiga jenis harga atau nilai yang
menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang
tercantum dalam risalah lelang, sebagaimana dijelaskan berikut ini:5
5 Ibid., h. 165-166.
61
a. Harga transaksi adalah harga yang terjdi dan telah disepakati oleh
pihak-pihak yang bersangkutan (penjual dan pembeli), sebagaimana
dalam penjelesan Pasal 6 ayat (6) huru a UU BPHTB.
Harga transaksi menunjukkan besarnya uang yang diserahkan
oleh pembeli untuk memperoleh tanah dan bangunan yang dibelinya
keapda penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan. Pengertian yang
sangat penting pada hari trsanksi adalah bahwa harga transaksi
merupakan harga riil objek jual beli yang disepakati oleh kedua belah
pihak penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar
objek yang diperjualbelikan. Penjual dan pembeli bebas untuk
melakukan kesepakatan harga yang sesuai bagi kedua belah pihak, bisa
sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari harga pasar objek tersebut.
b. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar
yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan, sebagaimana
dalam penjelesan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU BPHTB
Nilai pasar mencerminkan jumlah uang yang seharusnya diterima
oleh penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan dan yang seharusnya
diserahkan oleh pembeli sebagai pihak yang menerima hak atas tanah
dan bangunan yang diperjualbelikan. Nilai pasar biasanya ditentukan
oleh penilai independen yang terlepas dari berbagai kepentingan atas
objek atau properti yang dinilai. Dengan demikian nilai yang dihasilkan
62
oleh penilai independen akan dapat mencerminkan nilai pasar properti
yang sebenarnya.
c. Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil
yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang
diajukan oleh peserta lelang.6
Harga lelang umumnya berada di bawah nilai pasar dari objek
yang dilelang mengingat pada lelang peserta lelang umumnya akan
memberikan harga penawaran yang menurut perkiraannya berada di
bawah harga pasar objek yang dilelang.
Sebagai pajak yang dikenakan pada perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan, BPHTB menghendaki bahwa BPHTB dihitung dari
dasar pengenaan pajak yang riil (yang sebenarnya) sebagai cerminan
nilai dari properti yang dialihkan. Hal ini menghendaki bahwa harga
transaksi jual beli yang dilaporkan adalah mendekati nilai pasar wajar
properti tersebut. hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya
harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang berkaitan dengan
transaksi tersebut, seperti biaya PPAT, Pajak Penghasilan, biaya
pengurusan sertifikat, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu
pihak penjual dan pembeli memiliki kecenderungan untuk tidak
6 Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.06/2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang. Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
150/PMK.06/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
63
mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli
yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi biaya yang harus
ditanggung oleh penjual dan pembeli.7
Nilai Perolehan Objek Kena Pajak (NPOPKP) adalah besaran
tertentu dari NPOP yang boleh dikenakan pajak. Pasal 87 UU PDRD
menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak diperoleh dengan
cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Dalam BPHTB, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
ditetapkan sebagai dasar perhitungan pajak. Dengan demikian
NPOPKP merupakan basis pajak pada BPHTB.
Tarif pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya BPHTB
terutang adalah tarif tunggal. Pasal 88 UU PDRD menetapkan bahwa
tarif pajak ditetapkan sebsar 5 persen. Dengan demikian besarnya tarif
pajak yang digunakan untuk menetapkan BPHTB terutang ditetapkan
sebesar 5 persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP), sebagai berikut:
Pajak terutang = Tarif Pajak x Basis Pajak
BPHTB terutang = Tarif Pajak x NPOPKP
BPHTB terutang = 5% x NPOPKP.
7 Marihot P. Siahaan, Op. Cit., , h. 166-167.
64
Dengan demikian yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah
nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang ditentukan sebesar harga
transaksi. Namun apabila nilai NPOP (nilai transaksi) ternyata lebih
rendah dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB),
maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai pada NJOP
PBB.
Dasar pemikiran untuk menentukan dasar pengertian pajak
dibutuhkan suatu unsur sebagai penyangga manakala atas suatu
transaksi jual beli harga transaksi yang disepakati penjual dan pembeli
serta dituangkan dalam akta jual beli bukan merupakan harga transaksi
yang sebenarnya, dan apabila nilai pasar objek perolehan hak tidak
diketahui berapa besarnya. Untuk itu Undang-undang BPHTB
menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai penyangga dari dua
keadaan yang telah dikemukakan diatas. Hal ini dilakukan dengan cara
membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP tanah
dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak, dengan ketentuan
mana yang nilainya paling tinggi itulah yang ditetapkan sebagai dasar
pengenaan pajak. Pada lelang dipandang tidak diperlukan penyangga
harga riil yang terjadi dari perolehan hak atas properti yang dilelang,
sehingga tidak perlu dilakukan perbandingan harga trsanksi dalam
lelang dengan NJOP.
65
C. Kewajiban Pendaftaran Jual Beli Tanah
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa setelah dilakukan
pembuatan akta jual beli selambat-lambatnya 7 hari PPAT wajib untuk
mendaftarkan jual belinya ke Kantor pertanahan. Hal ini dimaksudkan agar
pembeli segera dapat sertipikatnya sebagai tanda bukti pemilikan tanah.
Karena itu pembeli tak boleh mendaftar sendiri ke Kantor Pertanahan.
Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 jo PP No. 37 Tahun 1998,
kedudukan PPAT secara tegas dicantumkan sebagai Pejabat Umum dan akta-
akta yang dibuatnya merupakan akta otentik. Di sisi lain kehadiran PPAT
harus dipandang sebagai bagian dari keseluruhan sistem pendaftaran tanah,
dimana BPN, PPAT, Panitia adjudikasi dan Pejabat lainnya menjalankan
kegiatan pendaftaran tanah sesuai dengan kewenangannya masing-masing
dimana adanya saling mendukung antar kewenangannya itu.
Kewenangan PPAT dalam konteks pendaftaran tanah yaitu untuk
membuat akta-akta otentik sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan
hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah
susun dan PPAT mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan kepada Kantor
Pertanahan atas akta–akta PPAT yang dibuatnya selambat-lambatnya 7 hari
kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan.
Apakah kedudukan PPAT sebagai Pejabat Umum dan akta yang
dibuatnya merupakan akta otentik sebagaimana dimaksud dalam PP No.24
66
Tahun 1997 jo. PP No. 17 Tahun 1998, sesuai dengan sistem hukum yang
berlaku? Hal ini tidak terlepas dari pilar mengenai adanya akta otentik dan
Pejabat Umum itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 KUHPdt, yang
menghendaki adanya Undang-undang yang mengatur tentang Pejabat Umum
dan bentuk akta otentik. Undang-undang No.10 tahun 2004 tentang jabatan
Notaris merupakan satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang
Notaris selaku Pejabat Umum dan bentuk akta otentik.
Undang-Undang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa Notaris
adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana
kewenangannya itu telah dijabarkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian
tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan
kutipan, semuanya sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada Pejabat lain atau orang lain yang ditentukan oleh
undang-undang.
67
D. Hutang Pajak Sebagai Keuangan Negara
Pajak adalah hak negara maka dari itu setiap warga negara yang
menjadi objek dari pajak atau wajib pajak berkewajiban untuk membayar
pajak. Pajak adalah penerimaan negara dari wajib pajak yang dapat
dipaksakan untuk wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan
umum (undang–undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang
langsung dapat ditunjuk dan gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.
Berdasarkan teori timbulnya hutang pajak, dalam ajaran materiil bahwa
hutang pajak timbul semata-mata karena berlakunya undang-undang, dimana
seseorang dikenakan pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Pemahaman
ini selaras dengan apa yang dikemukakan dalam bukunya Ridwan HR yang
berjudul “Hukum Administrasi Negara” yang mengemukakan adanya
ungkapan “No taxation without representation”, tidak ada pajak tanpa
(persetujuan) parlemen, atau di Amerika ada ungkapan; “Taxation without
representation is robbery”, pajak tanpa (persetujuan) parlemen adalah
perampokan.8 Ungkapan tersebut menekankan bahwa pada dasarnya
penarikan pajak hanya boleh dilakukan setelah adanya undang-undang yang
8 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2013, h. 91.
68
mengaturnya, dengan demikian pajak timbul semata-mata karena undang-
undang, kemudian adalah menjadi konsekuensi logis bahwa pajak sifatnya
adalah memaksa.
Kedudukan pajak dalam keuangan negara juga lebih dipertegas lagi
dalam pengertian keuangan negara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, menyatakan bahwa:
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban tersebut.
Selanjutnya telan diperjelas dalam Pasal 2 huruf a, bahwa
keuangan negara juga meliputi “hak negara untuk memungut pajak,
mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman.” Ketentuan ini
memberikan gambaran secara gamblang bahwa pajak adalah hak negara
yang harus dibayarkan oleh wajib pajak, bahwa kedudukan pajak yang
sudah terhitung walaupun belum dibayarkan sudah masuk dalam
kategori keuangan negara.
Dalam kaitannya dengan BPHTB yaitu pajak yang dikenakan
atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, adalah sudah jelas
kedudukan (uang) BPHTB yang terhutang masuk dan dikategorikan
sebagai uang Negara. Yang menjadi pertanyaannya adalah sejak kapan
waktu pasti BPHTB tersebut menjadi keuangan negara.
69
Untuk mengetahui pasti kapan BPHTB resmi masuk dalam
kategori keuangan negara, maka dari itu perhitungan akuntansinya
harus didekati dengan system pembukuan pendapatan basis akrual
(accrual based system). Sebagaimana telah dipaparkan dalam landasan
teori bahwa basis akrual adalah dasar akuntansi yang mengakui
transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa
tersebut terjadi, bukan hanya pada saat kas atau setara kas diterima atau
dibayar. Oleh karena itu, transaksi-transaksi dan peristiwa-peristiwa
dicatat dalam catatan akuntansi dan diakui dalam laporan keuangan
periode terjadinya.
Berdasarkan sistem di atas (uang) BPHTB telah menjadi uang
Negara pada saat peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut
terjadi, karena pada saat itulah telah terjadi pemenuhan hak dan
kewajiban, dimana transaksi peralihan hak atas tanah telah terjadi yang
kemudian menimbulkan kewajiban bagi negara untuk mengeluarkan
sertifikat peralihan hak atas tanah tersebut, dikarenakan negara telah
melaksanakan kewajibannya maka dari itu adalah menjadi hak negara
untuk menerima uang BPHTB tersebut. Dengan kata lain BPHTB sudah
masuk dalam kategori keuangan negara ketika taatsbestand sudah ada.
70
E. Tinjauan tentang Tindak Pidana Penggelapan dan Tindak
Pidana Korupsi
1. Pengertian dan Unsur Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda
yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.
Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti
”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid”
sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara
harfiah perkataan ”strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai ”
sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.9 Sedangkan
Moeljatno dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai
suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut.10
J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak
pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat
melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.11 Pandangan ini
9 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997, h. 181. 10 Sudarto, Hukum Pidana 1, Yayasan Soedarto, Semarang, 1990, h. 43. 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, h. 104.
71
berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban
pidana harus dipisahkan.
Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang
tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum
pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit.
straafbaarfeit adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-
undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan
dari Simon dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti
tersebut di atas, karena12 :
1) Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan
undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau
kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat
dihukum;
2) Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan itu harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan
undang-undang;
12 P.A.F. Lamintang , Op. cit, h. 185.
72
3) Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan
atau kewajiban, menurut undang-undang itu, pada hakikatnya
merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu
onrechtmatige handeling.
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (delik) bila
memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut13 :
1) Harus ada perbuatan manusia;
2) Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal
dari undang-undang yang bersangkutan;
3) Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);
4) Dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Satochid Kartanegara (dalam Leden Marpaung)
mengemukakan bahwa14 :
Unsur delik terdiri atas unsur objektif dan unsur subjektif.
Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri manusia,
yaitu berupa:
1) Suatu tindakan;
2) Suatu akibat dan;
3) Keadaan (omstandigheid).
13Lamintang Op. Cit, h. 184. 14 Leden Marpaung, Op. Cit, h. 10.
73
Kesemuanya itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
Undang-Undang. Unsur subjektif adalah unsur-unsur dari perbuatan
yang dapat berupa :
1) Kemampuan (toerekeningsvatbaarheid);
2) Kesalahan (schuld).
Menurut Moeljatno (dalam Leden Marpaung), tiap-tiap perbuatan
pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan
yang mengandung kelakuan dan akibat yang di timbulkan adalah
adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal
atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.15
2. Konsep Tindak Pidana Penggelapan
a. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan
diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan
(penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.
Menurut R. Soesilo (1968.258), penggelapan adalah kejahatan
yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah
pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan
pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan
15 Ibid
74
waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak
dengan jalan kejahatan.
Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah
penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang
yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur
melawan hukum.16
Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV
(buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni
Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam bentuk
pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja
menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau
sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan
karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan
pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah.".17
Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan
sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,
menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada
16 http://blogspot.com/2012/02/pengertian-dan-jenis-jenis-tindak.html. 17 http://blogspot.com//pengertian-yuridis-tindak-pidana-pengelapan-dalam-
bentuk-pokok.html.
75
ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan
dari hasil kejahatan.
b. Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan
Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab
XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.
1) Penggelapan biasa
Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan
yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan
sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich
toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
2) Penggelapan Ringan
Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang
digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25.
Diatur dalam Pasal 373 KUHP.
3) Penggelapan dengan Pemberatan
Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang
dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan
76
dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat
upah (Pasal 374 KUHP).
4) Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga
Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan
yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang
untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau
pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,
terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).18
c. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan
Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan
memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang
lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan
unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan
penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :
1) Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk
milik orang lain.
18 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT. Bumi Aksara, Jakarta,
2011, Cet. 29, h.132.
77
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.
2) Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu bukan ternak.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk
milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.
3) Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk
milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.
78
4) Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain.
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk
milik orang lain.
d. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
e. Terpaksa disuruh menyimpan barang.
f. Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat
wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.
Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.
Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya
benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan
karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya
disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya.
Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang
dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum
dewasa. Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang
dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk
menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi
orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak
79
dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan
karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.
Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);
Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh
hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang
yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang
wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan
sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang
yang ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk
melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta
kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau
yayasan.
5) Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga
a. Dengan sengaja memiliki.
b. Memiliki suatu barang.
c. Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk
milik orang lain.
d. Mengakui memiliki secara melawan hukum.
e. Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.
f. Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah
diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.
80
Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada
pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.
Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga
delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk
melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu
disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini
diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak
pidana pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam
pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada
ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur
dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar
peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak
sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana
penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka.
Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai
delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah
atau telah bercerai harta kekayaan.
Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang
dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka,
yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang
didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta
81
gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta
suami atau harta istri. Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah
yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai
delik aduan.19 Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan keluarga
dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang
bersengketa.
3. Konsep Tindak Pidana Korupsi
a. Definisi Korupsi
Menurut Bagir Manan, peraturan Perundang-Undangan adalah
keputusan tertulis yang dibuat oleh suatu jabatan atau pejabat yang
berwenang yang berisikan tingkah laku yang bersifat atau yang
mengikat secara umum.20
Peraturan ialah ketentuan umum yang ditujukan
kepada hal- hal yang masih abstrak atau suatu peraturan itu
dibuat untuk menyelesaikan hal-hal yang belum dapat
diketahui lebih dahulu tetapi mungkin akan terjadi. Artinya
suatu putusan dari jabatan pemerintah itu keluar berupa
peraturan manakala putusan itu dimaksudkan untuk
mengatur hal-hal yang bersifat umum dan tindakan yang
demikian disebut tindakan pengaturan21.
19 Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html.
diakses hari Kamis tanggal 01 Januari 2009 20 Bagir Manan, Sistem Perundang-undangan Indonesia, BPHn Departemen
Kehakiman, Jakarta, 1993, h. 14. 21 Soenobo Wirjosoegito, “Proses dan Perencanaan Peraturan Perundangan”,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, h. 13.
82
Dari segi semantik korupsi berasal dari bahasa Inggris yaitu
corrupt, yang berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu
com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau
jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak
jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu
pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima
uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan
administrasinya.
Arti korupsi menurut Poerwadarminta disimpulkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1976): “Korupsi ialah perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya”.22
Menurut Pasal 2 Undang-undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001 “korupsi
adalah perbuatan secara melawan hukum dengan maksud memperkaya
diri/orang lain (perseorangan atau korporasi) yang dapat merugikan
keuangan Negara”.
Secara hukum pengertian Korupsi adalah tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
22 Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Strategi Pemberantasan
Korupsi Nasional. Pusat Pendidikan dan Latihan Pengawas BPKP, Jakarta, 1999, h. 267-268.
83
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Adapun tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari
hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang
berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan
dalam hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Maka
tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung
dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan
penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.
Tindak Pidana Korupsi memiliki pengertian yang hampir sama
dengan korupsi. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-undang No.
31 Tahun 1999 jo Undang-undang No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai
berikut:
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara (Pasal 2 Undang-undang No.
31 Tahun 1999).
2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara (Pasal 3 Undang-undang No. 31 Tahun 1999).
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
84
Korupsi, dapat diuraikan mengenai jenis-jenis tindakan yang tergolong
suatu tindak pidana korupsi, sebagai berikut:
1) Korupsi yang terkait dengan kerugian Negara
a) Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat
merugikan Negara adala korupsi;
b) Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri
sendiri dan dapat merugikan keuangan negara adalah
korupsi.
2) Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
a) Menyuap pegawai negeri adalah korupsi;
b) Menyuap pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi;
c) Pegawai negeri menerima suap adalah korupsi;
d) Pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan
jabatannya adalah korupsi;
e) Menyuap hakim adalah korupsi;
f) Menyuap advokat adalah korupsi;
g) Hakim dan advokat menerima suap adalah korupsi;
h) Hakim menerima suap adalah korupsi;
i) Advokat menerima suap adala korupsi.
3) Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan
a) Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan
penggelapan adalah korupsi;
b) Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan
asministrasi adalah korupsi;
c) Pegawai negeri merusakkan bukti adalah korupsi;
d) Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti
adalah korupsi.
4) Korupsi yang terkait degan perbuatan pemerasan
a) Pegawai negeri memeras adalah korupsi;
b) Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain adalah
korupsi.
85
5) Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
a) Pemborong berbuat curang adalah korupsi;
b) Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah
korupsi;
c) Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi;
d) Pengawas rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah
korupsi;
e) Penerima barabg TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
adalah korupsi;
f) Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga
merugikan orang lain adalah korupsi.
6) Korupsi yang terkait dengan bentukan kepentingan dalam
pengadaan;
7) Korupsi yang terkait dengan gratifikasi.
Recommended