View
11
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cookies
Menurut SNI (2011) biskuit diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu
biskuit keras, cracker, wafer dan cookies. Cookies adalah makanan kering yang
dibuat dari adonan lunak yang mengandung bahan dasar terigu, pengembang,
kadar lemak tinggi, renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya
bertekstur kurang padat. Syarat mutu cookies di Indonesia tentunya mengacu
pada syarat mutu biskuit. Syarat mutu biskuit yang berlaku saat ini adalah
Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2973-1992 seperti tercantum dalam Tabel
2.1. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terbagi menjadi
dua bagian yaitu bahan pengikat dan bahan pelembut tekstur. Bahan-bahan
yang berfungsi sebagai pengikat atau bahan pembentuk adonan adalah tepung,
susu dan putih telur. Sedangkan bahan yang berfungsi sebagai pelembut adalah
gula, kuning telur, shortening dan bahan pengembang (Lukitasari, 2012).
Tabel 2.1 Syarat Mutu Biskuit
Kriteria Uji Syarat
Energi (kkal/100 gram) Min 400
Air (%) Maks 5
Protein(%) Min 9
Lemak(%) Min 9,5
Karbohidrat(%) Min 70
Abu(%) Maks 1,6
Serat Kasar(%) Maks 0,5
Logam Berbahaya Negatif
Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik
Warna Normal
Sumber: SNI (1992)
Cookies tidak memerlukan bahan dasar yang volumenya dapat
berkembang besar sehingga cookies dapat dibuat dengan menggunakan tepung
yang mengandung gluten < 1 % (Midlanda et al., 2014). Karakteristik utama
cookies adalah kandungan air yang rendah, dengan tingkat kekerasan,
6
kerapuhan dan kerenyahan bervariasi. Perbedaan kadar air yang ada di dalam
cookies ditunjukkan dari pengaruh yang nyata pada pengukuran tekstur. Tekstur
cookies akan dikatakan rapuh jika dipatahkan dengan mudah tanpa didahului
oleh adanya perubahan bentuk saat diberi tekanan, sedangkan kerenyahan
cookies ditentukan oleh adanya bunyi yang dikeluarkan saat cookies diberi
tekanan (Mubarokah, 2012).
Arina (2015) meneliti pembuatan cookies dengan menformulasikan
tepung ubi jalar kuning dan tepung tempe, produk cookies dengan penambahan
tepung tempe 15 gram, merupakan produk terbaik dan paling banyak digemari
serta diterima oleh konsumen. Sedangkan menurut Vernanda et al. (2016)
konsentrasi tepung mocaf 50% dan tepung beras pecah kulit 50% memiliki daya
terima paling disukai dengan penambahan sari kurma 25% dengan kandungan
protein 5,12% ; lemak 11,85% ; karbohidrat 79,2%, serat makanan 3,09% dan
kadar abu 1,20%. Dan menurut Tanjung (2013) pada pembuatan biskuit bebas
gluten untuk penderta autis formulasi terbaik dari segi fisik dan kimia diperoleh
pada perlakuan rasio tepung mocaf dan tepung kacang hijau 55% : 45% dengan
penambahan margarine 25%.
2.2 Tepung Mocaf
Mocaf (Modified Cassava Flour) merupakan tepung singkong yang
mengalami modifikasi. Secara definitif, mocaf adalah produk tepung dari
singkong (Manihot esculenta Crantz) yang diproses menggunakan prinsip
memodifikasi sel singkong secara fermentasi, dimana mikroba BAL (Bakteri
Asam Laktat) mendominasi selama fermentasi tepung singkong ini. Mikroba yang
tumbuh menghasilkan enzim pektinolitik dan sellulolitik yang dapat
menghancurkan dinding sel singkong, sehingga terjadi liberasi granula pati
(Subagyo, 2008). Mikroba tersebut juga menghasilkan enzim-enzim yang
menghidrolisis pati menjadi gula dan selanjutnya mengubahnya menjadi asam-
asam organik, terutama asam laktat (Subagyo, 2008). Hal ini akan menyebabkan
perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas,
kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut (Subagyo, 2008).
Demikian pula, cita rasa mocaf menjadi netral dengan menutupi cita rasa
singkong sampai 70% (Subagyo, 2008). Viskositas mocaf lebih tinggi dari pada
tepung ubi kayu, hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi mikrobia
akan mendegradasi dinding sel yang menyebabkan pati dalam sel akan keluar,
7
sehingga akan mengalami gelatinisasi dengan pemanasan. Selanjutnya
dibandingkan dengan pati tapioka, viskositas dari mocaf lebih rendah, hal ini
karena pada tapioka komponen pati mencakup hampir seluruh bahan kering,
sedangkan pada mocaf komponen selain pati masih dalam jumlah yang
signifikan, namun dengan lama fermentasi 72 jam akan didapatkan produk mocaf
yang mempunyai viskositas mendekati tapioka, maka dari itu fermentasi yang
lama akan membuat semakin banyak sel ubi kayu yang pecah, sehingga
liberalisasi granula pati menjadi sangat ekstensif. Liberasi pati juga
menyebabkan mocaf akan lebih mudah membentuk jaringan tiga dimensi antar
komponen, sehingga mendorong timbulnya konsistensi yang baik dari produk,
jika dibandingkan dengan ubi kayu biasa. Liberasi pati menyebabkan
kemampuan mengikat air meningkat, dan mendorong kemudahan terdispersinya
butir-butir tapung pada sistem pangan. Dilain pihak, mocaf bukanlah seperti
tapioka yang granula patinya sempurna terliberasi. Dengan demikian, tidak
terjadi peristiwa gelatinisasi sempurna yang menyebabkan peningkatan
viskositas dan daya gleasii yang tinggi setelah kondisi dingin. Selama proses
fermentasi terjadi pula penghilangan komponen penimbul warna, seperti pigmen
(khususnya pada ketela kuning), dan protein yang dapat menyebabkan warna
coklat ketika pemanasan (Subagyo, 2008).
Mocaf tidak memiliki kandungan gluten seperti yang terdapat pada tepung
terigu. Gluten sendiri digunakan sebagai bahan yang menentukan kekenyalan
makanan. Mocaf mengandung sedikit protein karena berbahan baku singkong,
berbeda dengan tepung terigu yang berbahan baku gandum memiliki kadar
protein yang tinggi (Nusa et al., 2012). Tepung mocaf mengandung karbohidrat
yang tinggi dan gelasi yang lebih rendah dibandingkan tepung terigu (Rifyan et
al., 2015). Mocaf memiliki karakteristik derajat viskositas (daya rekat),
kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan larut yang lebih baik
dibandingkan tepung terigu (Salim, 2011). Mocaf juga mempunyai karakteristik
yang khas, sangat berbeda dengan ubi kayu biasa dan pati tapioka, seperti
beraroma dan bercitarasa khas, warna mocaf lebih putih dibandingkan tepung
gaplek, kandungan serat terlarut pada mocaf lebih tinggi dari tepung gaplek dan
kandungan mineral pada mocaf lebih tinggi dibanding gandum dan padi.
Karakteristik tersebut membawa dampak yang sangat baik bagi pemanfaatan
mcaf, karena mocaf mempunyai daya kembang setara dengan tepung terigu
protein sedang (Subagio, 2008).
8
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Tepung Mocaf setiap 100 g
Kritriteria Uji Jumlah(%)
Kadar air 10,22
Kadar protein 1,29
Kadar abu 0,58
Kadar lemak 0,78
Kadar Karbohidrat 89,9
Sumber: Ridwansyah dan Yusraini (2014)
Tepung mocaf sering dijadikan sebagai alternatif pengganti tepung terigu.
Penggunaan tepung mocaf juga beragam, baik sebagai bahan baku utama suatu
produk, maupun substitusi dari keseluruhan tepung yang digunakan dalam
pembuatan berbagai jenis produk bakery seperti kue kering (cookies, nastar, dan
kastengel dll), kue basah (cake, kue lapis, brownies, spongy), dan roti tawar.
Selain itu tepung mocaf juga dapat digunakan dalam pembuatan bihun, dan
campuran produk lain berbahan baku gandum atau tepung beras. Hasil produk
berbahan mocaf ini tidak jauh berbeda dengan produk yang menggunakan
bahan tepung terigu. Hal ini karena jenis dan karakteristik yang hampir sama
dengan terigu, namun dengan harga yang jauh lebih murah membuat tepung
mocaf menjadi pilihan yang sangat menarik, serta dapat menggantikan berbagai
jenis produk olahan tepung terigu.
Gambar 2.1 Tepung Mocaf (Dok. Pribadi)
9
Tahap – tahap pembuatan tepung mocaf menurut Badan Ketahanan
Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kab. Bantul (2013) :
1. Cara pembuatan tepung mocaf diawali dengan proses pengupasan sampai
pada kulit bagian dalam hingga singkong berwarna putih bersih. Kemudian
singkong dicuci hingga benar-benar bersih, baik kotoran maupun lendir pada
umbi harus dihilangkan.
2. Singkong yang sudah bersih selanjutnya diiris tipis-tipis, dengan ketebalan
chip 1-1,5 mm, ketajaman pisau mempengaruhi hasil chip yang baik (tipis tetapi
tidak hancur).
3. Setelah berbentuk bulatan-bulatan tipis selanjutnya dimasukkan ke dalam sak
yang bersih untuk selanjutnya difermentasi. Fermentasi dilakukan dengan
merendam sak berisi chip dalam bak fermentasi. Pada proses ini seluruh bagian
sak harus terendam air yang telah diformulasikan dengan enzim. Perendaman
dilakukan selama 12-72 jam. Untuk perendaman dari 24 jam, air rendaman harus
diganti setiap 24 jam sekali.
4. Chip yang telah difermentasi selanjutnya ditiriskan lalu direndam dengan air
garam. Jumlah garam yang digunakan adalah 2 sdm/ kubik air. Penggaraman ini
dilakukan selama 10-30 menit.
5. Kemudian chip dikeringkan dengan pengeringan alami menggunakan sinar
matahari selama 1-3 hari sampai kering.
6. Tahap akhir adalah tahap penepungan dengan menggunakan mesin
penepungan. Selanjutnya untuk mendapatkan tepung yang seragam, tepung
diayak sehingga dapat dipisahkan antara butiran yang halus dan kasar. Untuk
tepung yang masih berbutir kasar dapat digiling kembali hingga menghasilkan
tepung yang halus.
Penelitian mengenai pembuatan cookies mocaf telah dilakukan
sebelumnya oleh Nizar (2010), menunjukkan bahwa rasio tepung mocaf dan
tepung terigu memberikan pengaruh yang nyata terhadap karakteristik cookies
yaitu kadar protein, kadar pati, kadar air, daya kembang, daya patah, tekstur dan
warna. Sedangkan menurut Mulyani et al. (2015) tentang pembuatan cookies
bekatul (kajian proporsi tepung bekatul dan tepung mocaf) dengan penambahan
margarin didapatkan cookies perlakuan terbaik dengan perbandingan tepung
mocaf : tepung bekatul (60% : 40%) dengan penambahan margarine 60%,
cookies tersebut mempunyai karakteristik dengan kadar air 4,60%, kadar protein
10
3,82%, kadar lemak 37,87%, dan hasil organoleptik dengan nilai rata-rata
terhadap rasa 69, warna 71 dan kerenyahan 65.
2.3 Kelapa Parut Kering
Kelapa (Cocos nucifera L.) termasuk dalam genus Cocos dapat tumbuh
dimana saja. Komposisi buah kelapa terdiri dari sabut 33 %, tempurung 12 %,
daging buah 28 % dan air 25 %. Daging dari buah kelapa dapat dijadikan kelapa
parut kering (Desiccated coconut), biasanya dimanfaatkan untuk pembuatan roti,
biskuit, manisa, ataupun dapat diambil santannya. Komposisi kimia kelapa parut
kering dan asam lemak kelapa disajikan pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Kelapa Kering
Komposisi (%) Jumlah
Kadar air 6,99
Lemak 38,24
Protein 5,79
Abu 0,27
Karbohidrat 48,71
Sumber : Raghavendra et al. (2004)
Tabel 2.4 Komposisi Asam Lemak Daging Buah Kelapa
No Rantai C Asam Lemak Kelapa Muda (%) Kelapa Tua (%)
1 C 8:0 Caprilat 0.03 4.34
2 C 10:0 Caprat 0.07 6.22
3 C 12:0 Laurat 2.25 48.6
4 C 14:0 Myristat 3.99 19.2
5 C 16:0 Palmitat 22.5 9.64
6 C 18:0 Stearat 0.04 3.23
7 C 18:1 Oleat 38.3 7.18
8 C 18:2 Linoleat 32.6 1.59
Sumber : Santoso et al. (1996)
Kandungan asam lemak terbesar berdasarkan tabel diatas adalah asam
laurat. Asam laurat termasuk kedalam asam lemak rantai medium, menurut Enig
(1998) bahwa telah terbukti asam laurat mempunyai ciri-ciri yang unik dalam
11
kegunaan makanan. Ciri-ciri unik ini dikaitkan dengan fungsinya sebagai antiviral,
antibakteri dan antiprotozoa. Asam – asam kaprat juga merupakan salah satu
komponen asam lemak kelapa yang mempunyai ciri istimewa ini.
Gambar 2.2 Kelapa Parut Kering (Rahmawati, 2015)
Tahap–tahap pembuatan kelapa parut kering adalah sebagai berikut
(Djatmiko dan Ketaren, 1985):
1. Pengupasan Kulit Daging Buah
Kulit daging buah dikupas dengan pisau khusus. Pengupasan dilakukan
sampai bagian luar daging buah menjadi putih bersih tanpa menyisakan kulit
daging.
2. Pemotongan dan Pencucian
Daging buah dipotong, kemudian dicuci bersih. Setelah itu daging buah
ditiriskan.
3. Blanching
Potongan daging buah dicelupkan ke dalam air panas (80-850C) selama 5-8
menit. Proses ini akan membunuh sebagian mikroba, mematikan enzim
penyebab pencoklatan dan melunakkan jaringan daging buah.
4. Pemarutan
Daging buah diparut dengan menggunakan grater machine untuk
mendapatkan parutan seperti pita halus, atau disintegrator untuk
mendapatkan parutan berupa butiran.
5. Pengeringan
Parutan kelapa dikeringkan untuk menurunkan kadar air menjadi maksimum
3%. Proses pengeringan dilakukan dengan menggunakan alat pengering.
12
Tujuan pengeringan adalah selain menurunkan kadar air, juga untuk
mendapatkan sifat-sifat sensoris tertentu dalam produk pangan, untuk
memperbaiki rasa, aroma dan tekstur.
Pada penelitian Lubis et al. (2014) pada pembuatan cookies formulasi
biskuit kelapa parut kering dengan perlakuan penyangraian dan tanpa
penyangraian didapatkan hasil, semakin tinggi penggunaan tepung terigu pada
pembuatan biskuit kelapa parut kering maka semakin tinggi kadar protein yang
dihasilkan, dan semakin tinggi penambahan kelapa parut kering maka semakin
tinggi pula kadar lemak yang dihasilkan. Formulasi biskuit kelapa parut kering
terbaik dilihat dari sifat organoleptik yang paling disukai oleh panelis diperoleh
dari persentase penambahan kelapa parut kering 75% dan perlakuan kelapa
parut tanpa penyangraian. Sedangkan penelian yang dilakukan oleh Indrayana
(2016) mengatakan perlakuan terbaik parameter fisik kimia yaitu proporsi ampas
tahu sutera 90% dan kelapa parut kering 10% serta penambahan kuning telur
5% dengan kadar air 5,11% kadar protein 7,12%, kadar lemak 9,22%, kadar abu
2,13% dan kadar karbohidrat 76,42%.
2.4 Tepung Tempe
Tempe kedelai merupakan makanan dari hasil fermentasi kedelai dengan
aktifitas kapang Rhizopus sp., sehingga membentuk massa yang padat dan
kompak (Sarwono, 1988). Proses fermentasi yang terjadi pada tempe berfungsi
untuk mengubah senyawa makromolekul kompleks yang terdapat pada kedelai
(seperti protein, lemak, dan karbohidrat) menjadi senyawa yang lebih sederhana
seperti peptide, asam amino, asam lemak dan monosakarida. Jenis kapang yang
terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun (toxin) namun
sebaliknya mampu melindungi tempe terhadap racun aflatoxin dari kapang yang
memproduksinya (Koswara, 1995). Proses fermentasi tempe mampu
meningkatkan aktivitas dan jumlah enzim superoksida dismutase, salah satu
enzim antioksidan yang dipergunakan untuk menjaga tubuh dari serangan radikal
oksigen bebas yang tidak terkendali yaitu penyakit kanker (Syarief, 1998).
Tempe mempunyai daya simpan yang singkat dan akan segera
membusuk selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh proses fermentasi
lanjut, yang menyebabkan degradasi protein menjadi amoniak (Bastian et al.,
2013). Amoniak yang terbentuk menyebabkan munculnya aroma busuk, oleh
karena itu pengolahan lebih lanjut dari tempe diperlukan untuk memperpanjang
13
daya simpannya (Bastian et al., 2013). Salah satu alternative produk turunan
tempe yaitu dibuat adalah tepung tempe yang kemudian dikembangkan menjadi
produk formula tepung tempe.
Tepung tempe merupakan tepung yang diolah dari tempe segar yang
diproses melalui beberapa tahap yaitu pemotongan tempe, blanching dengan
uap, pengeringan, penepungan dan pengayakan (Subagyo, 2001). Menurut
Subagyo (2001) perlakuan blanching menghasilkan warna yang paling disukai.
Hasil uji sensoris menunjukkan bahwa tepung tempe berasa gurih namun agak
pahit, getir, langu dan tengik. Blanching pada suhu 1000C selama 10 menit
bertujuan untuk mematikan kapang pada tempe sehingga fermentasi berhenti
(Subagyo, 2001). Ketebalan irisan dan cara pengeringan akan mempengaruhi
mutu tepung tempe (Subagyo, 2001). Untuk memperoleh tepung tempe yang
baik yaitu dengan irisan 4 mm, reduksi ukuran tempe sebelum proses blanching
dilakukan untuk memperluas permukaan sehingga kapang yang masih hidup
pada tempe lebih mudah dimatikan, dan pengeringan yang sesuai untuk
pembuatan tepung tempe dengan metode oven dilakukan pada suhu 600C
selama 24 jam akan menghasilkan tepung dengan derajat putih yang baik
(Bakara, 1996).
Gambar 2.3 Tepung Tempe (Dok. Pribadi)
Rachmawati dan Sumiyati (2000) menyebutkan bahwa setelah
penggilingan tepung tempe diayak dengan ayakan berukuran 60-80 mesh.
Bennion (1980) menambahakan bahwa tepung tempe dengan ukuran partikel
kecil akan menghasilkan cake berkualitas tinggi.
14
Dalam proses pembuatan tepung tempe tentu saja terjadi perubahan sifat
karena adanya panas pada pengeringan dan penepungan. Perubahan yang
cukup penting adalah berkurangnya kandungan nitrogen setelah tempe menjadi
tepung dibandingkan kandungan tempe segar. Kandungan nitrogen terlarut
(protein rantai panjang) dan hubungannya dengan kualitas protein bahan
makanan, karena dengan kelarutan ini dianggap bahwa protein rantai pendek
hanya tersusun dari beberapa asam amino (Winarno, 1984).
Asam amino itu sendiri lebih mudah dicerna daripada protein rantai
panjang. Dari kanyataan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar
kandungan protein terlarut (berasal dari protein) maka semakin baik pula kualitas
bahan makanan tersebut karena mudah dicerna (Winarno et al.,1980)
Kandungan gizi tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5 Komposisi Kimia Tepung Tempe
Komponen kimia Tepung tempe (%)
Protein 21,7
Lemak 13,66
Abu 6,44
Air 3,02
Karbohidrat 55,18
Sumber : Bastian et al. (2013)
Pratiwi et al. (2007) melakukan penelitian mengenai pembuatan cookies
tempe yaitu tentang pembuatan cookies ubi jalar ungu, tempe dan isolat soy
protein, perlakuan terbaik tedapat pada perlakuan perbandingan terigu, ubi ungu,
tempe, dan ISP (14,4% : 10,9% : 10,9% : 5,4%) dimana Kandungan gizi pada
produk cookies ini sudah memenuhi standar SNI cookies, kecuali kadar abu dan
karbohidrat belum memenuhi standart mutu SNI. Cookies F3 mengandung
vitamin A 1307.5 IU per 100 gram. Cookies dengan bahan tepung terigu, ubi
ungu, tempe, dan tepung Isolate Soy Protein per sajian 60 g mengandung 309
kkal, protein 7.44 g, Cookies tersebut sudah memenuhi syarat untuk dijadikan
snack PMT-AS dilihat kandungan energi dan protein.
Sedangkan pada penelitian Hestin Rahmawati (2013) pada pembuatan
cookies substitusi tepung tempe dan ikan teri diperoleh hasil kadar protein
tertinggi pada cookies dengan substitusi tepung tempe 5 % dan tepung ikan teri
15
nasi 10 % yaitu 14,5 % per 100g. Kadar kalisum tertinggi pada cookies dengan
substitusi tepung tempe 25 % dan tepung ikan teri nasi 10 % yaitu 53, 93 mg per
100g.
2.5. Bahan Pembantu
2.5.1 Gula Pasir Halus
Gula pasir berasal dari cairan sari tebu. Setelah dikristalkan, sari tebu
akan mengalami kristalisasi dan berubah menjadi butiran gula berwarna putih
bersih atau putih agak kecoklatan (raw sugar) (Darwin, 2013).
Gula berpengaruh dalam pembentukan granula, terutama hasil akhir dari
cookies. Misalnya, apabila kandungan sukrosa meningkat, sukrosa akan
berperan sebagi agen pengeras, pembentuk sifat crispy dan tekstur yang keras
(Amandasari, 2009). Selama proses mixing, partikel sukrosa diselubungi oleh
partikel lemak. Pada saat cookies dipanggang, lapisan lemak akan berpisah
dengan air. Menurut Amandasari (2009) air tersebut berkaitan dengan gula
sehingga berubah bentuk menjadi cair. Gula berubah bentuk dari bentuk padat
menjadi bentuk cair akan membuat tekstur cookies tersebar (Kobs, 2001).
Menurut Lawson (1995) fungsi dari penambahan gula adalah:
1. Menambah nilai kalori pangan
2. Mendukung aktivitas yeast untuk menghasilkan CO2 dalam pengembangan
3. Memperbaiki kualitas simpan
4. Memperbaiki grain dan tekstur
5. Memperbaiki cita rasa
Menurut Winarno (2002) bahwa apabila gula ditambahkan akan
memungkinkan terjadinya proses karamelisasi, yaitu bila gula yang telah mencair
dipanaskan terus-menerus, dan ketika suhunya melampaui titik leburnya, pada
1600C maka dapat terjadi pembentukan karamel yang diinginkan dan dapat
meningkatkan rasa dan warna pada makanan. Gula yang sering digunakan pada
pembuatan cookies adalah gula bubuk dan gula akstor (gula pasir berbutir
halus). Gula pasir berbutir, agak susah larut pada waktu dikocok, sehingga
membuat pori-pori kue ralatif besar.
2.5.2 Kuning Telur
Telur mengandung beberapa protein dan menghasilkan karakter
fungsional pada cookies dan cracker. Menurut Amandasari (2009) seperti
16
kandungan globulin pada telur, menghasilkan aerasi yang cukup bagus, juga
ovomucin sebagai foaming agent. Lemak pada kuning telur terdiri dari fosfolipid
yang dapat berfungsi sebagai agen pengemulsi dan pengaerasi (Amandasari,
2009). Kuning telur terdiri dari dua lipoprotein yang dibutuhkan untuk
memperbaiki kenampakan (Faridi, 1994).
Penambahan telur berfungsi sebagai pengembang, memberikan warna,
memberikan flavor, sebagai emulsifier, meningkatkan nilai gizi serta dapat
melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terkandung
dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat
dari putih telur (Faridi,1994).
Kuning telur merupakan pengemulsi yang lebih baik daripada putih telur
karena kandungan lesitin pada kuning telur terdapat dalam bentuk kompleks
sebagai lesitin protein (Amandasari, 2009). Lesitin memiliki bagian yang bersifat
polar terhadap air, karena itu lesitin dapat digunakan sebagai emulsifier
(Winarno, 1995).
Penggunaan kuning telur tanpa putih telur pada pembuatan cookies akan
menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas citarasa yang sempurna
(Hui, 1992). Fungsi dari penambahan telur ke dalam produk sejenis biskuit
(Lawson, 1995):
1. Menambah cita rasa dan rasa lemak
2. Merupakan bahan pengempuk
3. Merupakan bahan pembentuk struktur
4. Menambah nilai nutrisi
5. Menyumbangkan warna
Tabel 2.6 Komposisi Telur Ayam Per 100 Gram Bahan
Bahan penyusun Kulit (%) Kuning (%) Albumin (%)
Bahan Organik 45,1 - -
Protein 3,3 17,0 12,0
Glukosa - 0,2 0,4
Lemak - 32,2 0,3
Garam - 0,3 0,3
Air - 48,5 87,0
Sumber : Buckle et al. (1987)
17
2.5.3 Margarin
Untuk menghasilkan cookies yang kompak dan empuk ditambahkan
lemak, lemak yang ditambahkan dapat berupa margarin. Margarin merupakan
lemak pengganti mentega/butter. Penampakannya menyerupai mentega, tetapi
margarin bahan dasarnya didapat dari bahan nabati. Margarin berfungsi
pelindung terigu sehingga tidak terlalu banyak menyerap air, jadi saat
pemanggangan CO2 lepas dan terjadi gelatinisasi yang menghasilkan pori-pori
yang lebih seragam. Serta dapat menghambat laju penguapan air dan
terlepasnya CO2 sehingga kue dapat tetap mengembang dan lebih terlihat
menarik pada waktu yang cukup lama (Sunaryo, 1985).
Tabel 2.7 Komposisi Kimia Margarin setiap 100g
Komposisi Jumlah
Air 29,52 g
Protein 606 kcal
Lemak 68,29 g
Karbohidrat by Difference 0,59 g
Na 536 mg
Vit A 3571 IU
Vit E 13,00 mg
Asam lemak jenuh 16,688 g
Asam lemak monounsaturated 24,748 g
Asam lemak polyunsaturated 23,794 g
Asam lemak trans 3,265
Sumber : USDA (2016)
Tabel 2.8 Tabel Asam Lemak Margarin
Asam Lemak Jenuh
(%)
Asam Lemak Tak Jenuh (%) Asam Lemak Trans-Tak
Jenuh (%)
Asam Lemak
Rantai Sedang
0.7 Asam Palmitoleat 0.1 Asam
Monoenost
8.6
Asam Laurat 2.7 Asam Oleat 30.0 Asam Dienoat 0.6
Asam Miristat 1.2 Asam
Eikosapentatenoat
0.1 Asam Trienoat 0.5
Asam Palmitat 11.2 Asam Linoleat 27.0 Total asam
lemak trans
9.7
Asam Stearat 10.8 Asam Linoelaidat 2.9
Asam Arakidat 0.6 Total Asam lemak
cis
60.1
Asam Behenat 0.4
Total 27.6
Sumber : Brat dan Pokorny (2000)
18
Menurut Sutomo (2008) fungsi lemak margarine adalah memberikan
aroma harum sehingga meningkatkan citarasa. Lemak juga menjadikan tekstur
kue lebih lembut dan renyah. Terlalu banyak pemakaian lemak akan
menyebabkan kue melebar saat dipanggang, sedangkan jika terlalu sedikit akan
membuat kue seret, keras, dan kasar di mulut.
2.5.4 Susu Skim
Susu skim merupakan susu bebas lemak atau susu tanpa lemak. Hal ini
dikarenakan kandungan lemaknya sangat rendah, maksimum 1% (Susilorini,
2007). Namun kandungan laktosa dan kandungan proteinnya sangat tinggi yaitu
sekitar 49,2 % dan 37,4% dengan kandungan kalori yang rendah (Susilorini,
2007). Oleh sebab itu, susu skim sangat cocok dikonsumsi oleh orang yang
sedang melakukan diet rendah kalori.
Matz (1992) dalam Nizar (2010) mengatakan bahwa susu merupakan
bahan yang penting dalam pembuatan adonan pada beberapa tipe roti dan
biskuit, susu yang digunakan dapat berupa susu segar maupun produk olahan
susu segar tersebut. Susu dapat memberikan rasa yang lebih enak pada kue
kering karena adanya senyawa lemak dan rasa manis yang berasal dari gula
laktosa.
Menurut Webb (1993) susu yang ditambahkan pada produk biskuit dan
sejenisnya mempunyai tugas diantarannya adalah:
1. Kasein berfungsi membantu keliatan adonan biskuit
2. Memberikan rasa yang lebih baik pada biskuit yang dihasilkan
3. Memberikan kenampakan yang lebih baik pada produk akhir biskuit
4. Membantu memberikan tekstur yang baik pada produk yang dihasilkan
Komposisi susu skim dapat dilihat pada Tabel 2.9
Tabel 2.9 Komposisi Kimia Susu Skim (100g Bahan)
Komposisi Presentase (%)
Energi 33 kcal
Protein 5,42 g
Carbohidrate by difference 2,50 g
Sugar 2,50 g
Ca 167 mg
Na 52 mg
Vit A 208 IU
Vit D 42
Sumber: USDA (2017)
19
2.5.5 Pengembang Adonan.
Baking powder adalah campuran dari baking soda (soda kue) dengan
asam. Senyawa asam akan menetralkan basa pada soda kue sehingga
menghasilkan lebih banyak CO2. Baking powder yang sering digunakan adalah
double-acting baking powder. Baking powder ini mengandung fast-acting baking
powder (reaksi cepat) yang bereaksi dengan kelembapan pada adonan pada
suhu ruang dan slow-acting baking powder (reaksi lambat) yang bereaksi ketika
ada panas (pemanggangan) (Bastin, 2010).
Baking powder merupakan bahan pengembang (leavening agent) yang
banyak digunakan dalam pembuatan produk bakery. Baking powder dapat
menghasilkan gas CO2 melalui reaksi asam-basa yang dapat menyebabkan
adonan menjadi mengembang. Sodium bikarbonat dapat bekerja pada suhu
tinggi tetapi jika dikombinasi dengan asam akan dapat bekerja lebih cepat
(Sumnu dan Sahin, 2008). Reaksi kimia baking powder ketika terkena panas
adalah sebagai berikut:
NaHCO3 + H+ → Na+ + H2O + CO2
Kelembapan pada adonan roti akan bereaksi dengan asam
menyebabkan pelepasan CO2 dari baking powder sehingga roti mengembang.
Penambahan baking powder harus diperhatikan, terlalu banyak baking powder
menyebabkan gelembung udara terlalu besar sehingga adonan roti pecah dan
roti menyusut. Sedangkan penambahan baking powder yang terlalu sedikit
menyebabkan roti menjadi bantat (Bastin, 2010).
2.6 Tinjauan Pembuatan Cookies
2.6.1 Tahap Persiapan
Tahap persiapan adalah tahapan di mana bahan-bahan dalam
pembuatan cookies dipersiapkan sesuai dengan takaran atau formula. Susunan
dan perbandingan bahan-bahan yang digunakan harus diatur supaya
memudahkan dalam penanganan dan menghasilkan produk olahan yang sesuai
dengan yang diinginkan. Karakteristik dari produk akhir akan ditentukan oleh
susunan bahan dan juga proses yang digunakan (Subarna, 1996).
20
2.6.2 Tahap Pencampuran Bahan
Pencampuran bertujuan untuk meratakan pendistribusian bahan-bahan
yang digunakan dan untuk memperoleh adonan dengan konsistensi yang halus.
Adonan yang diperoleh juga harus bersifat kohesif dan relatif tidak lengket,
sehingga mudah dibentuk (Hui, 1992).
Faridi (1994) menambahkan tahapan pencampuran adonan pada
pembuatan cookies ada 2 macam antara lain :
1. Cara pertama adalah, mencampurkan bahan-bahan seperti air, lemak, gula,
pengemulsi. Kemudian adonan dicampur selama 4-10 menit, tergantung dari
tipe dan kecepatan mixer. Pencampuran adonan dilakukan sampai adonan
benar-benar tercampur merata. Selanjutnya tepung dan baking soda
ditambahkan ke dalam adonan. Adonan dan bahan kembali dicampur, sampai
merata.
2. Cara yang kedua yaitu, shortening, gula atau sejenisnya, cairan (susu atau
air), whey, tepung serta bahan kering lainnya dicampur sampai membentuk
krim yang lembut. Kemudian ditambahkan emulsifier dan air. Garam, bahan
tambahan pangan (flavor dan pewarna) dapat ditambahkan pada tahap
pertama, bersama-sama dengan penambahan air. Hasil campuran akan
menjadi krim yang halus. Jika telur, lesitin dibutuhkan, maka dapat
ditambahlan pada tahap pertama bersama-sama dengan penambahan air.
Tahap selanjutnya adalah penambahan tepung dan dilakukan sampai
pencampuran kedua sampai adonan memiliki konsistensi tertentu.
2.6.3 Tahap Pencetakan Adonan
Menurut Fellows (1990), tahap pencetakan adalah tahapan, yang mana
adonan dicetak dalam bentuk dan ukuran yang bervariasi yang dilakukan setelah
proses pencampuran adonan. Pencetakan tidak berpengaruh langsung pada
nilai nutrisi dan masa simpan bahan pangan. Proses pencetakan itu sendiri
dilakukan untuk memperoleh produk dengan bentuk yang seragam dan
meningkatkan daya tarik atau penampilan. Pencetakan biasanya dilakukan
dengan cara manual seperti pisau kecil atau pisau pemotong, sendok kecil atau
cetakan kue kering. Pencetakan dilakukan dengan cara membuat lempengan
adonan dan menekan cetakan cookies diatasnya dan disusun pada loyang yang
sudah diolesi lemak atau dilapisi kertas kue.
21
2.6.4 Tahap pemanggangan
Pemanggangan adalah proses yang merubah masa adonan yang
palatable menjadi produk yang ringan, porous, dan mudah dicerna. Selama
proses pemanggangan akan terjadi reaksi maillard, yang merupakan reaksi
antara gugus reduksi dengan gugus amina primer, dan menghasilkan produk
yang berwarna coklat (Winarno, 1995).
Menurut Faridi (1994), proses perubahan selama pemanggangan adalah
sebagai berikut :
a. Adanya perubahan struktur pada adonan yang ditandai dengan
pengembangan adonan sampai tingkat tertentu.
b. Adanya penurunan kadar air.
c. Adanya perubahan warna pada produk, dari pucat menjadi kuning keemasan.
Pemanggangan dilakukan dengan oven dan waktu pemanggangan
berlangsung antara 25 sampai dengan 30 menit, tergantung suhu, jenis oven dan
jenis kue. Semakin sedikit kandungan gula dan lemak, maka suhu
pemanggangan dapat lebih tinggi (177-2040C). Oven yang digunakan sebaiknya
tidak terlalu panas ketika cookies dimasukkan, sebab bagian luar akan terlalu
matang. Hal ini dapat menghambat pengembangan dan permukaan cookies
menjadi retak-retak. Cookies yang dihasilkan segera didinginkan untuk
menurunkan suhu pengerasan pada cookies sebagai akibat memadatnya gula
dan lemak (Hui, 1992). Suhu umum yang digunakan dalam pembuatan cookies
adalah 28-320C dalam waktu 15-20 menit (Fellows, 1992).
Dampak pada proses pemanggangan pun bisa menyebabkan susut gizi
akibat kerusakan zat gizi tersebut. Kerusakan zat gizi pada bahan makanan yang
dipanggang umumnya terkait dengan suhu yang digunakan dan lamanya
pemanggangan. Pemanggangan berpengaruh juga terhadap asam amino lisin,
yang terdapat terdapat dalam jumlah tertentu pada produk serealia. Lisin akan
berkurang 15% selama pemanggangan.
2.7 Reaksi-Reaksi yang Terjadi Selama Pemanggangan
2.7.1 Gelatinisasi Pati
Gelatinisasi adalah proses pembengkakan pati yang akan disebabkan
oleh penambahan air panas (Pomeranz,1991). Granula pati tidak laut dalam air
dingin, tetapu granula pati mengembang dalam air panas. Apabila suatu
suspense dalam air dipanaskan, maka perubahan selama terjadi gelatinisasi
22
dapat diamati. Mula-mula suspense pati akan keruh seperti susu, kemudian tiba-
tiba menjadi jernih pada suhu tertentu, tergantung jenis pati yang digunakan.
Terjadinya translusi pati tersebut, diikuti dengan pembengkakan granula, jika
energi kinetik antar molekul–molekul air dapat menjadi lebih kuat daripada daya
tarik-menarik antar molekul pati di dalam granula, akibatnya air dapat masuk ke
butir-butir pati di dalam granula. Hal inilah yang akan mengakibatkan
pembengkakan granula tersebut (Winarno, 2002).
Gambar 2.4 Reaksi Gelatinisasi (Remsen dan Clark, 1978)
Menurut Winarno (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi gelatinisasi
adalah:
a. Jenis pati
Jenis pati yang berbeda akan memiliki kekuatan mengontrol yang berbeda
pula.
b. Suhu pati
Suhu dimana pati mulai mengalami perubahan diatas disebut suhu
gelatinisasi. Suhu gelatinisasi tergantung dari konsentrasi pati. Semakin kental
larutan pati, suhu gelatinisasi akan semakin lambat tercapai, namun pada
suhu tertentu kekentalan tidak bertambah dan akan cenderung turun. Secara
umum suhu gelatinisasi pati umbi batang seperti kentang dan tapioka lebih
rendah dibanding kan pati serealia seperti jagung dan gandum. Suhu
gelatinisasi pati cassava sendir berkisar antar 52-65 0C (Estiasih, 2006).
23
c. Kandungan amilosa
Ada dua macam komponen dalam pati yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan rangkaian lurus yang tidak bercabang pada 1,6α-glikosida.
Amilosa merupakan salah satu komponen pati yang berperan pada proses
gelatinisasi di samping ukuran granula itu sendiri.
2.7.2 Reaksi Mailard
Menurut Winarno (2002), reaksi Mailard merupakan reaksi yang terjadi
antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dan gugus amina primer. Hasil
reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna coklat, yang sering dikehendaki
atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu. Gugus asam
amino primer biasanya terdapat pada bahan awal berupa asam amino. Reaksi
mailard berlangsung melalui tahap-tahap sbb:
1) Aldosa (gula pereduksi) bereaksi dengan asam amino atau dengan gugus
amino dari protein sehingga dihasilkan basa Schiff
2) Perubahan terjadi menurut reaksi amadori sehingga menjadi amino ketosa
3) Hasil reaksi amadori mengalami dehidrasi membentuk furfural dehida dari
pentose atau hidroksil metal furfural dar heksosa
4) Proses dihidrasi selanjutnya menghaslkan produk antara berupa metal-
dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor dan –dikarboksil
seperti metilglioksal, asetol dan siasetil
5) Aldehida-aldehida aktif dari 3 dan 4 terpolimerisasi tanpa mengikutsetakan
gugus amino membentuk senyawa berwarna coklat yang disebut melanoidin.
Reaksi mailard berlangsung cepat pada suasana alkalis dan dalam
bentuk larutan. Meskipun demikian, pada kadar air 13% sudah terjadi
pencoklatan.
Gambar 2.5 Reaksi Mailard (Belitz et al., 2009)
Recommended