View
25
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi tidak hanya proses pertukaran pesan dari sumber ke penerima,
melainkan sebuah proses yang memiliki tujuan untuk mengubah pendapat, sikap,
hingga perilaku orang lain. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Hovland yang
dikutip oleh Wiryanto (2004:6) ia mengungkapkan
“ the process by wich an individual (the communicator) transmits stimuli
(usually verbal symbol) to modify, the behavior of other individu.” ( Komunikasi
adalah proses dimana individu menstransmisikan stimulus untuk mengubah
perilaku individu yang lain).
Sedangkan Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss (2012:5) mengungkapkan
bahwa komunikasi adalah proses pembentukan makna di antara dua orang atau
lebih. Dan Liliweri (2013:5) mengatakan bahwa komunikasi merupakan proses
universal. Artinya, komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap, perilaku, dan
tindakan trampil dari manusia. Manusia tidak bisa dikatan berinteraksi sosial kalau
tidak berkomunikasi dengan cara atau melalui pertukaran informasi, ide-ide,
gagasan, maksud serta emosi yang dinyatakan dalam simbol-simbol orang lain.
Dapat disimpulkan dari beberapa pengertian komunikasi menurut para ahli
di atas, bahwa komunikasi tidak dapat dipisahkan dari proses-proses interaksi sosial
yang terjadi antara manusia, yang mana tujuannya melakukan komunikasi untuk
mengubah pandangan individu lainnya terhadap suatu hal dan kejadian yang terjadi.
Dalam komunikasi dilakukan oleh dua orang atau lebuh yang masing-masing
14
individu memiliki perannya masing- masing, ada yang menjadi komunikator dan
komunikan. Komunikator merupakan orang yang membawa pesan, sedangkan
komunikan adalah orang yang menerima pesan. Pesan dari komunikator yang dapat
diterima dengan baik oleh komunikan tergantung pada komunikasi yang terjadi di
antara keduanya, terutama dalam penelitian ini pada saat komunikasi pada penjual
dan pembeli di KEK, yang mana keduanya memiliki latar kebudayaan berbeda.
Dengan adanya komunikasi yang benar akan memudahkan seseorang berpikir
secara sistematik untuk menerima pesan yang diberikan oleh komunikator.
2.2. Konteks-Konteks Komunikasi
Menurut Mulyana (2010:80) dalam buku Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar
ada beberapa konteks komunikasi yaitu komunikasi intrapribadi, komunikasi
antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi publik, komunikasi organisasi dan
komunikasi massa.
a. Komunikasi Intrapribadi
Komunikasi Intrapribadi (interpersonal communication) adalah
komunikasi dengan diri sendiri, misalnya berpikir. Komunikasi ini
merupakan landasan komunikasi antarpribadi dan komunikasi dalam
konteks-konteks lainnya. Dengan kata lain komunikasi intrapribadi
melekat pada komunikasi dua orang atau lebih, karena sebelum
berkomunikasi dengan orang lain terlebih dahulu seseorang
berkomunikasi dengan dirinya sendiri (mempersepsi dan memastikan
makna pesan orang lain) hanya saja caranya sering tidak disadari.
Keberhasilan komunikasi bergantung pada keefektifan komunikasi
dengan diri sendiri.
15
b. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah
komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan
setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik
verbal maupun nonverbal. Keberhasilan komunikasi menjadi tanggung
jawab para peserta komunikasi. Komunikasi ini juga sangat potensial
dalam untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain dan berperan
penting dalam hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai
emosi.
c. Komunikasi Kelompok
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan
bersama, yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan
bersama (adanya saling kebergantungan), mengenal satu sama lain, dan
memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut, meskipun
setiap anggota memiliki perannya masing-masing. Kelompok ini
misalnya keluarga, tetangga, kelompok diskusi, dan kawan-kawan
terdekat. Dengan demikian, komunikasi kelompok biasanya terjadi pada
kelompok kecil, sehingga bersifat tatap muka. Komunikasi kelompok
melibatkan komunikasi antarpribadi, karena itu kebanyakan teori
komunikasi antarpribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok.
d. Komunikasi Publik
Komunikasi publik (public communication) merupakan komunikasi
yang terjadi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar khalayak
yang tidak bisa dikenali satu persatu. Komunikasi ini sering juga disebut
16
pidato, cerah, atau kuliah umum. Komunikasi publik biasanya terjadi
secara formal dan lebih sulit daripada komunikasi antarpribadi ataupun
kelompok, karena komunikasi publik menuntut persiapan pesan yang
cermat, keberanian dan kemampuan menghadi sejumlah besar orang.
e. Komunikasi Organisasi
Komunikasi organisasi (organization communication) terjadi dalam
suatu organisasi yang bersifat formal dan juga informal. Komunikasi ini
berlangsung dalam jaringan yang lebih besar daripada komunikasi
kelompok. Komunikasi formal yang terjadi dalam komunikasi
organisasi adalah komunikasi ke bawah, ke atas, dan komunikasi
horisontal. Sedangkan komunikasi informal tidak bergantung pada
struktur organisasi, seperti komunikasi antarsejawat, juga termasuk
selentingan dan gosip.
f. Komunikasi Massa
Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi yang
menggunakan media massa baik cetak maupun elektronik, berbiaya
relatif mahal, dikelola oleh suatu lembaga atau orang-orang yang
dilembagakan, yang ditujukan kepada sejumlah besar orang yang
tersebar di banyak tempat, anonim, dan heterogen. Pesan-pesan dalam
komunikasi massa bersifat umum, disampaikan secara cepat, serentak
dan selintas (khususnya media elektronik).
2.3. Pengertian Kebudayaan
Pengertian kebudayaan sendiri telah dijelaskan secara rinci oleh beberapa
ahli, pengertian yang paling tua mengenai kebudayaan diajukan oleh Edward
17
Burnerr Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, bahwa kebudayaan
adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum,
adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia
sebagai anggota suatu masayarkat (Liliweri,2013:107). Taylor ( dalam
Liliweri,2013:109) juga memberikan pendapatnya tentang kebudayaan yang
diartikan sebagai pandangan hidup dari sebuah komunitas atau kelompok. Peranan
kebudayaan menjadi sangat penting dalam ekosistem komunikasi, karena
karakteristik kebudayaan antarkomunitas dapat membedakan kebudayaan lisan dan
tulisan yang merupakan kebiasaan suatu komunitas dalam mengkomunikasikan
adat istiadatnya. Sehingga pesan-pesan, kepercayaan, perilaku sejak awal taktkala
manusia tidak mengenal tulisan dapat dikomunikasikan hanya dengan kontak
antarpribadi langsung oleh pengamatan yang mendalam terhadapat peninggalan
Artifak sehingga informasi yang paling minimpun dapat disebarluaskan. Hal
tersebutlah yang membenarkan bahwa komunikasi adalah kebudayaan dan
kebudayaan adalah komunikasi.
Membahas tentang kebudayaan tidak hanya mengenai tari-tarian, makanan
khas, dan sesuatu yang dapat dilihat dan dipegang. Hebding dan Glick (dalam
Liliweri,2013:107) melihat kebudayaan menjadi dua yaitu kebudayaan material dan
non-material. Kebudayaan material tampil dalam objek material yang dihasilkan,
kemudian digunakan manusia misalnya alat-alat yang paling sederhana seperti
aksesoris yang disematkan di telinga, leher, dan tangan, alat rumah tangga, sistem
komputer, pakaian dan mesin-mesin otomotif yang mempermudah pekerjaan
manusia. Sedangkan budaya non-material merupakan unsur-unsur yang
dimaksudkan dalam konsep norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan serta bahasa.
18
Kebudayaan berkembang dan dimiliki oleh setiap anggota masyarakatnya dan
diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga kebudayaan terus selalu ada di
dalam kehidupan masyarakat.
2.4. Komunikasi Antarbudaya
Terdapat banyak pengertian mengenai komunikasi antarbudaya menurut
para ahli, di antaranya menurut Samavor, Porter dan McDaniel (2010:96), mereka
mengemukakan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi di antara
orang-orang yang persepsi dan sistem simbolnya cukup berbeda untuk mengubah
peristiwa komunikasi. Menurut Deddy Mulyana, komunikasi antarbudaya
(Intercultural Communication) adalah proses pertukar pikiran dan makna antara
orang-orang yang berbeda budayanya. Sedangkan menurut William B. Hart II 1996,
komunikasi antarbudaya yang paling sederhana adalah komunikasi antarpribadi
yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaannya (Liliweri
2013:8).
Beberapa definisi yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang melibatkan komunikator dan
komunikan yang memiliki latar belakang kebudayaan berbeda. Ada beberapa istilah
yang sering disepadankan dengan istilah komunikasi antarbudaya, di antaranya
komunikasi antaretnik, komunikasi antarras, komunikasi Lintas Budaya dan
Komunikasi Internasional.
- Komunikasi antaretnik
Komunikasi antaretnik adalah komunikasi antaranggota etnik yang
berbeda atau dapat saja komunikasi antaretnik terjadi antara anggota etnik
19
yang sama tetapi memiliki latar belakanng berbeda atau subkultur yang
berbeda. Kelompok etnik adalah sekelompok orang yang ditandai dengan
bahasa dan asal usul yang sama. Komunikasi antar etnik juga merupakan
bagian dari komunikasi antarbudaya, namun komunikasi antarbudaya
belum tentu komunikasi antar etnik (Mulyana, 2010:xxi).
- Komunikasi antarras
Komunikasi antarras adalah sekelompok orang yang ditandai
dengan arti-arti biologis yang sama. Dapat saja orang yang berasal dari ras
yang berbeda memiliki kebudayaan yang sama , terutama dalam hal bahasa
dan agama. Komunikasi antar ras dapat juga dimasukkan kedalam
komunikasi antarbudaya, karena secara umum ras yang berbeda memiliki
bahasa dan asal usul yang berbeda juga. Komunikasi antarbudaya dalam
konteks komunikasi antarras sangat berorientasi terhadap konflik, karena
orang yang berbeda ras biasanya memiliki prasangka-prasangka atau
stereotip terhadap ras yang berbeda ras denggannya (Armawati, 2003:186).
- Komunkasi Lintas Budaya
Komunikasi Lintas Budaya lebih menekankan perbandingan pola-
pola komunikasi antarpribadi di antara oeserta komunikasi yang berbeda
kebudayaan. Dari awal studi lintas budaya berasal dari perspektif
antropologi sosial dan budaya sehingga dia lebih bersifat depth description,
yakni penggambaran yang mendalam tentang perilaku komunikasi
berdasarkan kebudayaan tertentu. (Liliweri, 2001:22).
20
- Komunikasi Internasional
Komunikasi internasional dapat diartikan sebagai komunikasi yang
dilakukan antara komunikator yang mewakili suatu negara untuk
menyampaikan pesan-pesan yang berkaitan dengan berbagai kepentingan
negaranya kepada komunikan yang mewakili negara lain dengan tujuan
memperoleh dukungan yang lebih luas (Abbas, 2003:2).
Ada bebarapa hal yang perlu diketahui dalam komunikasi antarbudaya, antara lain:
1. Hakikat Komunikasi Antarbudaya
Menurut Devito (2011:534) ada dua hakikat dalam komunikasi
antarbudaya, yaitu:
a. Enkulturasi
Enkulturasi mengacu pada proses yang mana kultur
ditransmisikan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Bagaimana kultur itu dipelajari bukan mewarisinya. Kultur
ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua,
kelompok teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga
pemerintahan merupakan guru-guru utama dalam bidang kultur.
Dapat disimpulkan bahwa enskulturasi terjadi melalui mereka.
b. Akulturasi
Akulturasi mengacu pada proses yang mana kultur seseorang
dimodifikasikan melalui kontak atau pemaparan langsung dengan
kultur lainnya seperti media massa. Contohnya, bila sekelompok
imigran tinggal di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur
mereka sendiri akan dipengaruhi oleh kultur tuan rumah. Hal
21
tersebut dapat terjadi secara berangsur-angsur, nilai-nilai, cara
berpakaian, serta kepercayaan dari kultur tuan rumah dapat menjadi
bagian kelompok imigran ini. Pada waktu yang sama kultur tuan
rumah juga mengalami perubahan, namun pada umumnya kultur
imigranlah yang paling banyak berubah. Young Yun Kim (1988)
mengatakan bahwa “ sebab terjadinya perubahan yang praktis satu
arah ini adalah perbedaan jumlah pendatang dengan jumlah
masyarakat tuan rumah.”
Menurut Kim, penerimaan kultur baru terjadi karena
sejumlah faktor. Imigran yang datang dengan kultur yang mirip
dengan kultur tuan rumah akan terakulturasi dengan lebih mudah.
Demikian pula, mereka yang lebih muda dan lebih terdidik lebih
mudah terakulturasi dibandingkan dengan mereka yang lebih tua
dan kurang terdidik.
2. Prinsip-Prinsip Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi antarbudaya dapat dipahami dengan mengetahui prinsip-
prinsip umumnya. Prinsip-prinsip ini sebagian besar diturunkan dari teori-
teori komunikasi yang sekarang diterapkan untuk komunikasi antarbudaya.
Joseph Devito (2011:487) mengemukakan beberapa prinsip di dalam
komunikasi antarbudaya, yaitu:
a. Relativitas bahasa
Gagasan umum bahwa bahasa mempengaruhi pemikiran dan
perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis lingustik.
Pada akhir tahun 1920-an dan di sepanjang tahun 1930-an,
22
dirumuskan bahwa karakteristik bahasa mempengaruhi proses
kognitif. Karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam
hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal
untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang
berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan
berpikir tentang dunia.
Bahasa yang manusia gunakan membantu menstrukturkan
apa yang dilihat dan bagaimana melihatnya. Sebagai akibatnya,
orang yang menggunkan bahasa yang berbeda akan melihat dunia
secara berbeda pula.
b. Bahasa sebagai cermin budaya
Semakin besar perbedaan budaya, semakin besar perbedaan
komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat nonverbal.
Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin sulit komunikasi
dilakukan.
c. Mengurangi ketidakpastian
Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin besarlah
ketidakpastian. Banyak dari komunikasi berusaha mengurangi
ketidakpastian ini sehingga lebih baik menguraikan, memprediksi,
dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena ketidakpastian dan
ambiguitas yang lebih besar ini diperlukan lebih banyak waktu dan
upaya mengurangi ketidakpastian dan untuk berkomunikasi secara
lebih bermakna.
23
d. Kesadaran diri dan perbedaan antarbudaya
Semakin besar perbedaan antarbudaya, semakin besar kesadaran
diri para partisipan selama komunikasi, ini mempunyai konsekuensi
positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali
membuat komunikasi yang dilakukan lebih waspada. Ini mencegah
untuk tidak mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atu
tidak patut. Negatifnya, ini membuat komunikasi yang dilakukan
terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.
Dengan semakin baik komunikator dan komunikan saling
mengenal, perasaan terlalu berhat-hati akan hilang dan menjadi
lebih percaya diri dan spontan. Hal ini akan menambah kepuasan
dalam berkomunikasi.
e. Interaksi awal dan perbedaan antarbudaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi
awal dan secara berangsung berkurang tingkat kepentingannya
ketika hubungan menjadi lebih baik.Walaupun menghadapi
kemungkinan yang salah, persepsi dan salah menilai orang lain
kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi
antarbudaya. Menghindari kecenderungan alamiah untuk menilai
orang lain secara tergesa-gesa dan permanen. Penilaian yang
dilakukan secara dini biasanya didasarkan pada informasi yang
sangat terbatas. Prasangka dan bias bila dipadukan dengan
ketidakpastian yang tinggi pasti akan menghasilkan penilain yang
nantinya perlu diperbaiki.
24
f. Memaksimalkan hasil interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya seperti dalam semua
komunikasi, komunikator berusaha memaksimalkan hasil interaksi
dan berusaha memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan
biaya minimum.
3. Hambatan-Hambatan dalam Komunikasi Antarbudaya
Samavor, Porter dan McDaniel (2010) mengidentifikasi beberapa
hambatan dalam komunikasi antarbudaya. Hambatan-hambatan tersebut
adalah:
a. Pencarian kesamaan
Dalam komunikasi seseorang cenderung memilih orang-
orang yang ia anggap memiliki kesamaan dengan dirinya. Hal ini
akan sangat menghambat komunikasi antarbudaya karena pada
dasarnya orang-orang dari budaya yang berbeda cenderung
memiliki perbedaan yang sangat besar.
b. Uncertainty Reduction
Dalam hal ini kesulitan untuk mendapatkan informasi yang
akurat tentang orang dari budaya lain yang dihadapi dalam
berkomunikasi menjadi penghambat komunikasi antarbudaya. Jika
tidak mempunyai cukup informasi yang dimaksud, uncertainty
reduction akan sulit dilakukan.
c. Keragaman cara dan tujuan komunikasi
Setiap orang memiliki cara dan tujuan komunikasi yang
berbeda. Terutama apabila orang-orang yang terlibat dalam
25
komunikasi berbeda budaya. Dalam komunikasi antarbudaya, hal ini
sangat erat kaitannya dengan pembahasan High Context Culture
(HCC) dan Low Context Culture (LCC). Kedua budaya ini memiliki
perbedaan cara dan tujuan komunikasi yang sangat besar.
d. Withdrawal
Withdrawal dapat diartikan sebagai penarikan diri dari
masyarakat. Dalam konteks komunikasi antarbudaya, seseorang
yang gagal berkomunikasi antarbudaya, ia akan sangat mungkin
untuk menarik diri dari kelompok budaya lain yang sedang ia
masuki.
e. Etnosentrisme
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk mengevaluasi
nilai kepercayaan, dan perilaku budaya sendiri sebagai yang lebih
baik, lebih logis, dan lebih wajar daripada yang diyakini oleh budaya
lain. Seseorang yang etnosentris tidak dapat menerima perbedaan
budaya dan tidak dapat mengakui bahwa setiap budaya memiliki
keunikan sendiri-sendiri. Hal ini sangat menghambat proses
komunikasi antarbudaya.
f. Stereotip dan prasangka
Stereotip adalah penilain subjektif terhadap suatu kelompok
yang didasarkan pada pengalaman seseorang terhadap kelompok
atau anggota kelompok tersebut, serta berdasarkan informasi-
informasi yang dimiliki tentang kelompok tersebut. Penilaian ini
cenderung bersifat negatif. Prasangka atau prejuidice adalah dugaan
26
subjektif terhadap suatu kelompok berdasarkan informasi yang tidak
lengkap dan sangat mungkin tidak tepat, bahkan tidak berdasarkan
pengalaman nyata. Kedua hal tersebut sangat menghambat
komunikasi antarbudaya.
4. Fungsi Komunikasi Antarbudaya
Secara umum ada 4 fungsi komunikasi yaitu, fungsi informasi,
fungsi instruksi, persuasif, dan fungsi menghibur. Dari ke 4 fungsi
komunikasi tersebut Liliweri (2013:36) memperluasnya dan menemukan
dua fungsi lain yaitu fungsi pribadi dan fungsi sosial.
a. Fungsi pribadi
Fungsi pribadi adalah fungsi komunikasi yang ditunjukkan
melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang
individu. Fungsi pribadi terdiri dari beberapa fungsi lainnya, di
antaranya:
1. Menyatakan Identitas Sosial
Dalam komunikasi antarbudaya, ada perilaku individu
yang digunakan untuk menggambarkan identitas diri
maupun identitas sosial. Perilaku tersebut dapat
diungkapkan melalui komunikasi verbal dan non verbal.
Dari kedua hal tersebut seseorang dapat menunjukkan
identitasnya seperti suku bangsa, agama, dan tingkat
pendidikannya.
2. Menyatakan Intergrasi Sosial
27
Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan
dan persatuan antar pribadi, antar kelompok namun tetap
mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh
setiap unsur. Tujuan komunikasi adalah memberikan
makna yang sama atas pesan yang dibagi antara
komunikator dan komunikan. Dalam komunikasi
antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antara
komunikator dengan komunikan maka integrasi sosial
merupakan tujuan utama komunikasi.
3. Menambah pengetahuan
Seringkali komunikasi antarbudaya memberikan
pengetahuan baru bagi komunikan dan komunikator
yang berasal dari kebuayaan berbeda. Misalnya,
seseorang mengunjungi sebuah daerah yang berbeda
dengan kebudayaannya, secara langsung orang tersebut
mendapatkan pengalaman baru tentang budaya daerah
tersebut dan dijadikan pengetahuan yang belum pernah
diketahui sebelumnya.
4. Melepaskan diri/jalan keluar
Terkadang saat melakukan komunikasi dengan orang
lain untk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas
masalah yang dihadapi. Seseorang ada yang lebih suka
memilih teman karena banyak kecocokannya, sebaliknya
ada yang memilih teman yang dapat menutupi
28
kekurangannya. Pemilihan teman (komunikan) seperti
itu dapat berfungsi menciptakan hubungan yang
komplementer dan hubungan uang simetris.
Hubungan komplementer selalu dilakukan oleh dua
pihak yang mempunyai perilaku yang berbeda. Perilaku
seseorang berfungsi sebagai stimulus perilaku
komplementer dari yang lain. Dalam hubungan
komplementer perbedaan di antara dua pihak
dimaksimumkan. Sebaliknya hubungan yang simetris
dilakukan oleh dua orang yang saling bercermin pada
perilaku lainnya.
b. Fungsi Sosial
Fungsi sosial terdiri dari beberapa fungsi lain di antaranya :
1. Pengawasan
Fungsi sosial yang pertama adalah pengawasan.
Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator
dan komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi
saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi
antarbudaya fungsi ini bermamfaat untuk
menginformasikan “perkembangan” tentang lingkungan.
Fungsi ini lebih banyak dilakukan oleh media massa
yang menyebarluaskan secara rutin perkembangan
peristiwa yang di sekitar kita meskipun peristiwa itu
terjadi dalam sebuah konteks kebudayaan yang berbeda.
29
Akibatnya adalah kita turut mengawasi diri seandainya
peristiwa itu terjadi pula dalam lingkungan kita.
2. Menjembatani
Dalam proses komunikasi antarpribadi, termasuk
komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang
dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu
merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka.
Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-
pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling
menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga
menghasilkan makna yang sama. Fungsi ini dijalankan
pula oleh berbagai konteks komunikasi termasuk
komunikasi massa.
3. Sosialisasi Nilai
Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk
mengajarkan dan memperkenalkan niali-nilai
kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain.
Dalam komunikasi antarbudaya seringkali tampil
perilaku non verbal yang kurang dipahami namun yang
lebih penting daripadanya adalah bagaimana kita
menangkap nilai yang terkandung di dalamnya.
4. Menghibur
Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses
komunikasi antarbudaya. Misalnya pada acara qosidah
30
yang ditampilkan oleh anak-anak sebuah pesantren
mungkin kurang disukai oleh mereka yang suka musik
klasik, namun kalau menonton dengan mental menikmati
seni maka tampilan qasidah tidak mengganggu ada.
2.5. High Context Cultural (HCC) dan Low Context Cultural (LCC)
Setiap orang secara pribadi memiliki kekhasan dalam berkomunikasi, bukan
hanya sekedar topik yang dibicarakan saja. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya Edwar T. Hall dalam (Liliweri, 156:2013)) mengkonseptualkan dua
orientasi yaitu budaya konteks tinggi atau High Context Cultural (HCC) dan budaya
konteks rendah atau Low Context Cultural (LCC). HCC ditandai dengan
komunikasi tinggi, yang artinya kebanyaka pesannya bersifat implisit, tidak
langsung dan tidak terus terang. Pesan yang sebenarnya mungkin tersembunyi
dalam perilaku nonverbal pembicara seprti intonasi suara, gerakan tangan, postur
tubuh, ekspresi wajah, tatapan mata, atau bahkan kontak fisik. Pernyataan
verbalnya bisa berbeda dengan pernyataan nonverbalnya.
Sebaliknya, LCC ditandai dengan komunikasi konteks rendah, yang artinya
pesannya bersifat ekplisit, gaya bicara langsung, lugas dan berterus terang. Para
penganut budaya konteks rendah ini mengatakan apa yang mereka maksudkan dan
memaksudkan apa yang mereka katakan. Misalnya, jika anggota budaya konteks
rendah mengatakan “yes” maka itu berarti mereka benar-benar menerima atau
setuju. Secara garis besar, urutan sejumlah negara berdasarkan tingkat budayanya
(dari budaya konteks rendah hingga budaya konteks tinggi) menurut Hall dan Kohls
(dalam Mulyana, 328:2010)) adalah sebagai berikut Swiss, Jerman, Skandinavia,
31
Amerika Setrikat, Prancis, Inggris, Italia, Spanyol, Yunani, Arab, Cina, dan Jepang.
Indonesia termasuk budaya konteks tinggi, dan mungkin berada di antara budaya
Arab dan Budaya Cina.
Stella Ting Toomey (dalam Liliweri, 156:2013)) mengkonseptualkan
beberapa aplikasi yang berkaitan dengan HCC dan LCC, sebagai berikut:
High Context Cultural (HCC)
Low Context Cultural (LCC)
Prosedur pengalihan informasi
masih lebih sukar
Prosedur pengalihan informasi
menjadi lebih gampang
Persepsi terhadap isu dan orang yang menyebarkan isu
Tidak memiahkan isu dan
orang yang
mengkomunikasikan isu
Memisahkan isu dan orang
yang mengkomunikasikan isu
Persepsi terhadap tugas dan relasi
Mengutamakan relasi sosial
dalam melaksanakan tugas
Social oriented
Personal relations
Relasi antarmanusia dalam
tugas berdasarkan relasi tugas
Task oriented
Impersonal relations
Persepsi terhadap kelogisan informasi
Tidak menyukai informasi yang
rasional
Mengutamakan emosi
Mengutamakan basa-basi
Menyukasi informasi yang
rasional
Menjauhi sikap emosi
Tidak mengutamakan bas-basi
Persepsi terhadap gaya komunikasi
Memakai gaya komunikasi
tidak langsung
Mengutamakan pertukaran
informasi secara nonverbal
Mengutamakan suasana
komunikasi yang informal
Memakai gaya komunikasi
langsung
Mengutamakan pertukaran
infomasi secara verbal
Mengutamakan suasana
komunikasi formal
Persepsi terhadap pola negosiasi
Mengutamakan perundingan
melalui human relations
Pilihan komunikasi meliputi
perasaan dan intuisi
Mengutamakan hati daripada
otak
Mengutamakan perundingan
melalui bergaining
Pilihan komunikasi meliputi
pertimbangan rasional
Mengutamakan otak daripada
hati
Persepsi terhadap informasi tentang individu
Mengutamakan individu
dengan mempertimbangkan
dukungan faktor sosial
Mengutamakan kapasitas
indivisu tanpa memperhatikan
faktor sosial
32
Mempertimbangkan loyalitas
individu kepada kelompok
Tidak mengutamakan
pertimbangan loyalitas individu
kepada kelompok
Bentuk pesan/informasi
Sebagian besar pesan
tersembunyi dan implisit
Sebagian pesan jelas, tampak
dan eksplisit
Reaksi terhadap sesuatu
Reaksi terhadap sesuatu tidak
selalu nampak
Reaksi terhadap sesuatu selalu
nampak
Memandang in group dan out group
Selalu luwes dalam melihat
perbedaan in group dengan out
group
Selalu memisahkan
kepentingan in group dengan
out group
Sifat pertalian antarpribadi
Pertalian antarpribadi sangat
kuat
Pertalian antarpribadi sangat
lemah
Konsep waktu
Konsep terhadap waktu sangat
terbuka dan luwes
Konsep terhadap waktu yang
sangat terorganisasi
Tabel 1. Perbandingan Persepsi Budaya pada HCC dan LCC
2.6. Komunikasi Verbal dan Nonverbal dalam Komunikasi Antarbudaya
a. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal merupakan komunikasi yang dilakukan dengan
menggunakan kata-kata baik secara lisan maupun tulisan. Dalam
komunikasi verbal bahasa memiliki peranan penting. Bahasa menjadi alat
utama untuk manusia dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari.
Bahasa dapat di definisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang digunakan dan
dipahami dalam suatu komunitas (Mulyana, 2010:260). Bahasa juga
didefiniskan oleh Samavor, Porter dan McDaniel (2010:269) bahwa bahasa
merupakan hubungan sejumlah simbol atau tanda yang disetujui untuk
digunakan oleh sekelompok orang untuk menghasilkan arti.
33
Menurut Larry L Bakker (dalam Mulyana, 2010:266) bahasa
memiliki tiga fungsi yaitu penamaan (naming atau labeling), intraksi dan
transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha
mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan menyebutkan
namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi. Fungsi interaksi
menurut Barker menekankan berbagi gagasan dan emosi yang dapat
mengundang simpati dab pengertian atau kemarahan dan kebingungan.
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain dan juga
menerima informasi setiap hari sejak bangun tidur hingga tidur kembali.
Baik itu dari orang lain, baik secara langsung atau melalui media. Fungsi
bahasa inilah yang disebut fungsi transmisi.
b. Komunikasi nonverbal
Manusia tidak hanya melakukan komunikasi melalui bahasa
verbalnya, namun juga melalui perilaku nonverbalnya. Samavor, Porter dan
McDaniel (2010:294) menjelaskan bahwa komunikasi nonverbal meliputi
semua stimulus nonverbal dalam sebuah situasi komunikasi yang
dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan
dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau
penerima. Secara serderhana pesan nonverbal adalah semua isyarat yang
bukan kata-kata. Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam
komunikasi. Selain itu, komunikasi nonverbal terjadi secara spontan,
ambigu, sering berlangsung secara cepat, dan diluar kesadaran dan kendali.
Berbeda dengan komunikasi verbal yang bersipat eksplisit dan diproses
secara kognitif (Mulyana, 2010:344).
34
Edwart T. Hall (dalam Mulyana, 2010:344) menamai bahasa
nonverbal sebagai bahasa diam (silent languange) dan dimensi tersembunyi
(hidden dimension) suatu budaya. Disebuk demikian karena pesan-pesan
nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situsional dan
relasional dalam transaksi komunikasi, pesan nonverbal juga memberikan
isyarat konstektual. Bersama isyarat verbal dan isyarat kontekstual, pesan
nonverbal membantu untuk menafsirkan seluruh makna pengalaman
komunikasi.
Mulyana (2010:349) menerangkan beberapa fungsi dari komunikasi
nonverbal di antaranya:
1. Komunikasi nonverbal dapat mengulangi komunikasi verbal.
2. Memperteguh, menekankan, atau melengkapi komunikasi verbal.
3. Komunikasi nonverbal dapat menggantikan komunikasi verba, jadi
berdiri sendiri.
4. Komunikasi nonverbal dapat meregulasi komunikasi verbal
5. Komunikasi nonverbal dapat membantah atau bertentangan dengan
komunikasi verbal.
Komunikasi nonverbal merupakan aktivitas multidimensi. Aspek
multidimensi ini terungkap dalam fakta bahwa komunikasi nonverbal tidak terjadi
sendiri, namun biasanya dengan pesan verbal. Knapp dan Hall menekankan ide ini
ketika mereka menuliskan “ kita perlu memahami bahwa memisahkan perilaku
verbal dan nonverbal ke dalam dua kategori yang berbeda dan terpisah adalah tidak
mungkin.” Hubungan keduanya tercermin dalam berbagai hal dalam pertukaran
35
pesan antara komunikan dan komunikator (Samavor, Porter dan McDaniel,
2010:295).
Salzmann (dalam Samavor, Porter dan McDaniel, 2010:273) menyatakan
bahwa budaya manusia dengan segala kerumitannya tidak akan berkembang dan
tidak dapat dipikirkan tanpa bantuan bahasa. Alasan keterikatan bahasa dan budaya
sederhana, keduanya bekerja sama dalam hubungan yang saling
menguntungkanyang menjamin keberadaan dan kelangsungan keduanya. Untuk
memiliki suatu budaya, bahasa dibutuhkan , sehingga anggota suatu kelompok
dapat berbagi kepercayaan, nilai, dan perilaku yang terlibat dalam usaha komunal.
Sebaliknya, budaya dibutuhkan untuk mengatur pribadi yang berlainan ke dalam
kelompok yang kompak, sehingga kepercayaan, nilai, perilaku dan aktivitas
komunitas dapat terbangun.
Komunikasi nonverbal memainkan peran penting dalam interaksi
komunikasi antara orang-orang yang memilki latar belakang budaya yang berbeda.
Dengan memahami perbedaan budaya dalam komunikasi non verbal, seseorang
tidak hanya akan dapat memahami pesan yang dihasilkan selama interaksi, namun
juga akan mengumpulkan petunjuk mengenai tindakan dan nilai yang
mendasarinya. Komunikasi nonverbal terkadang menunjukkan sifat dasar dari
suatu budaya. Kesamaan antara komunikasi nonverbal dan budaya adalah keduanya
dikerjakan menurut naluri dan dipelajari. Walaupun banyak perilaku yang
merupakan bawaan seperti tersenyum, gerakan, sentuhan, dan kontak mata,
seseorang tidak terlahir dengan pengetahuan mengenai dimensi komunikasi yang
diasosiasikan dengan pesan nonverbal (Samavor, Porter dan McDaniel, 2010:297).
36
2.7. Teori Manajeman Kecemasan dan Ketidakpastian
Dalam komunikasi antarbudaya dikenal istilah stangers (orang asing).
Gudykunst mengansumsikan bahwa setidaknya satu orang dalam pertemuan
(komunikasi ) antarbudaya adalah orang asing (dalam Griffin, 2006:427). Orang
asing merupakan salah satu tipe sosial yang penting menurut Goerg Simmel, ia
mendefinisikan orang asing adalah unsur kelompok sementara yang tidak
sepenuhnya menjadi bagian kelompok tersebut. Pada saat melakukan komunikasi
antarbudaya, orang asing sebagai seseorang yang tidak kita kenal dan berada dalam
lingkungan budaya yang asing.
Pada saat melakukan komunikasi antarbudaya akan timbul anxiety
(kecemasan) dan uncertaity (ketidakpastian) yang menghambat berjalannya
komunikasi yang efektif. Gudykunst (dalam Griffin, 2006:427) mengatakan bahwa
komunikasi itu efektif sejauh orang yang menafsirkan pesan tersebut melampirkan
sebuah makna pada pesan yang relatif mirip dengan apa yang dimaksud oleh orang
yang menstransmisikannya. Artinya, komunikasi dikatakan efektif apabila
penerima pesan mampu mengkonstruksikan pesan sesuai yang disampaikan oleh
sumber pesan. Kecemasan dan ketidakpastian adalah ancaman kembar yang harus
dikelola untuk mencapai komunikasi efektif, keduanya merupakan penyebab utama
kesalahpahaman antarbudaya dan keduanya biasanya berjalan bersamaan. Orang
asing yang berada di wilayah yang berbeda dengan kebudayaannya akan berusaha
keras untuk mengurangi kesalahpahaman dalam komunikasi antarbudaya. Meski
kecemasan dan ketidakpastian berjalan bersamaan, keduanya merupakan hal yang
berbeda. Kecemasan adalah hal yang berhubungan dengan pemikiran dan
ketidakpastian adalah hal yang berhubungan dengan perasaan.
37
a. Kecemasan dan Ketidakpastian
Gudykunst (dalam Griffin, 2006:429) mendefinisikan kecemasan
sebagai perasaan tidak nyaman, tegang, khawatir, atau khawatir tentang apa
yang mungkin terjadi. Kecemasan didasarkan pada antisipasi konsekuensi
negatif dari intraksi yang terjadi saat komunikasi antarbudaya. Kecemasan
dapat menciptakan motivasi untuk berkomunikasi dan apabila dikelola
dengan baik dapat menciptakan komunikasi yang efektif. Dalam
komunikasi antar kelompok, kecemasan cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan komunikasi interpersonal. Namun, kecemasan
bersifat dinamik dan cenderung menurun apabila kita telah merasa nyaman
dengan orang tersebut.
Sedangkan ketidakpastian adalah hal yang berhubungan dengan
pemikiran seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Artinya,
ketidakpastian mencakup keraguan tentang bagaimana kemampuan
seseorang dalam memprediksikan hasil pertemuan (komunikasi
antarbudaya) dengan orang asing. Ketidakpastian yang dijelaskan
melibatkan ketidakmampuan seseorang untuk menjelaskan sikap, perasaan,
kepercayaan, nilai, dan perilaku orang asing.
Kecemasan dan ketidakpastian bukan sesuatu yang selalu buruk,
Gudykunst melalui Griffin (2006:431) mengatakan dengan tegas jika
tingkat minimal dari kedua hal itu diperlukan untuk mendorong seseorang
untuk berkomunikasi dengan baik, jika seseorang merasa sama sekali tidak
memiliki ketegangan pada pertemuan antar kelompok, ia akan merasa bosan
sehingga tidak lagi memperdulikan apa yang sedang dibicarakan orang lain.
38
Batas kecemasan yang paling rendah adalah sejumlah kecil kemampuan
seseorang merasakan adrenalin yang mengalir melalui pembuluh darah
untuk mendorongnya berkomunikasi secara efektif. Dengan demikian,
ambang minimum ketidakpastian adalah “jumlah ketidakpastian terendah
yang dapat dimiliki seseorang dan tidak merasa bosan atau terlalu percaya
diri tentang prediksinya tentang perilaku oranga asing.“ Apabila seseorang
tidak lagi ingin tahu tentang orang asing itu, maka sering kali ia tidak terlalu
memperhatikan pembicaraan dan seringkali salah menafsirkan kata-kata
yang didengarnya.
Jika satu hal yang berbalik terjadi, seperti satu titik dimana
kecemasan dapat menjadi sangat besar sehingga mengakibatkan seseorang
menjadi tidak berdaya karena merasa takut. Pada titik ekstrim ini, perubahan
drastis akan terjadi pada cara orang berkomunikasi. Sejak mereka tidak lagi
berkosentrasi kepada pesan atau pembawa pesan, mereka akan terjebak
pada stereotip negatif atau akan menarik diri dari percakapan yang
berlangsung. Saat ketidakpastian mencapai batas atas, seseorang akan
kehilangan semua kepercayaan diri mereka tentang kemampuan mereka
untuk memprediksi tingkah laku orang lain, dan komunikasi tidak lagi teras
berguna.
b. Anxiety Uncertainty Management Theory
Teori anxiety uncertainty managemant disingkat AUM ini
merupakan karya dari Gudykunts yang dikembangkan dari teori
pengurangan ketidakpastian karya Charles Berger yang melihat bagaimana
ketidakpastian dan kecemasan itu terjadi dalam situasi budaya yang
39
berbeda. Gudykunts menemukan bahwa setiap orang yang menjadi anggota
suatu kebudayaan tertentu akan berupaya mengurangi ketidakpastian pada
tahap awal hubungan mereka, namun mereka melakukannya dengan cara
yang berbeda-beda berdasarkan latar belakang budayanya.Perbedaan ini
dapat dijelaskan dengan cara melihat apakah seseorang berasal atau
merupakan anggota dari “budaya konteks tinggi” atau “budaya konteks
rendah” (Littlejohn dan Foss, 2011:182).
Teori AUM mendalilkan bahwa komunikasi yang efektif terjadi
apabila tingkat kecemasan dan ketidakpatian partisipan berada di antara
ambang batas atas dan bawah. Dalam rentang menengah itu, jika seseorang
secara sadar dan berhati-hati mengurangan kecemasan dan ketidakpastian,
Gudykunst menjamin bahwa seseorang akan menjadi komunikator antar
kelompok yang lebih efektif (Griffin, 2006:431).
40
SUPERFICIAL CAUSES BASIC CAUSES MODERATING PROSES OUTCOME
Skematik Teori AUM, Sumber :Griffin (2006:428)
Skema teori AUM di atas menjelaskan bagaimana cara mencapai
komunikasi yang efektif melalui pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian. Pada
gambar dari kiri “superficial causes” merupakan faktor-faktor yang biasanya
menyebabkan kecemasan dan ketidakpastian dalam komunikasi antarbudaya.
Superficial causes adalah faktor permukaan yang mempunyai kontribusi terhadap
masalah mendasar dari kecemasan dan ketidakpastian. Efektifitas komunikasi
sebagai tujuan ditempatkan di sisi kanan dari bagan.
Self Concept Social indentities
Personal identities
Collective self-esteem
Motivation to Interact Need for predictability
Need for group inclusion
Need to sustain self concept
to Reactions to Strangers Empathy
Tolerance for ambiguity
Rigid intergroup attitudes
Social Categorization of Strangers Positive expectations
Peceived personal similarities
Understanding group differences
Situation Processes Ingroup power
Cooperate task
Presence of ingroup members
Connection with Strangers Attraction to strangers
Interdependence with strangers
Quality and quantity of contact
Ethical Interactions Maintaning dignity
Moral inclusiveness
Respect for strangers
Uncertainty
Managemant
Anxiety
Managemantt
Mindfullness Communication
Effectiveness
41
Dalam skema di atas juga terlihat bahwa mindfullness (kesadaran)
merupakan bagian dari pengelolaan kecemasan dan ketidakpastian untuk mencapai
komunikasi yang efektif. Menurut teori AUM, kesadaran adalah cara seorang
anggota suatu kelompok dan orang asing (bukan anggota kelompok tersebut) untuk
dapat mengurangi kecemasan dan ketidakpastian hingga ketingkat terbaik.
Melakukan segala interaksi dengan kesadaran atau tingkah laku yang sudah diatur
sebelumnya, bukan tingkah laku yang spontan, akan membantu seseorang dengan
baik jika ‘peran’ terlihat familier dan seluruh ‘pemain’ mengetahui bagiannya
masing-masing. Namun Gudykunst mengingatkan jika pembicaraan yang tidak
dipikirkan lebih dulu dalam situasi antarbudaya dapat meningkatkan ketegangan
dan kebingungan yang sudah ada sebelumnya (Griffin, 2006:431).
Adapun hal-hal yang dapat terjadi dan menyebabkan munculnya kecemasan
dan ketidakpastian dalam diri seseorang juga telah disebutkan oleh Gudykunst
(dalam Griffin, 2006:433) dan ditampilkan dengan sebutan superficial cause dalam
represetasi skematik teori pengelolan kecemasan dan ketidakpastian yang termasuk
dalam superficial cause adalah :
- Konsep diri
- Motivasi untuk berinteraksi
- Reaksi terhadap orang asing
- Kategorisasi sosial terhadap orang asing
- Proses situasional
- Koneksi dengan orang asing
- Interaksi etis
42
2.8. Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
Adapun hasil penelitian yang relevan dan memiliki kesamaan dengan apa
yang ingin diteliti oleh peneliti yaitu penelitian dengan judul “Pengurangan
Ketidakpastian dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif Kualitatif Pada
Mahasiswa Thailand di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta).”
Penelitian ini dilakukan oleh Ahmad Hidayat (2015). Penelitian ini menggunakan
pendekatan penelitian kualitatif dan jenis penelitian deskriptif mengenai kegiatan
atau perilaku subyek yang diteliti, baik mengenai bagaimana subyek berusaha
bersikap pasif, aktif dan interaktif dalam proses pengurangan ketidakpastian dalam
diri mereka sendiri. Dalam menyeleksi subyeknya, penelitian ini menggunakan
purposive sampling .
Hasil penelitian menunjukkan, siswa Thailand di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta tidak dapat memahami komunikasi yang melibatkan budaya. Kasus
tersebut terjadi karena mereka merupakan orang asing, jadi ada beberapa
ketidakpastian yang melingkupi mereka berinteraksi baik dengan mahasiswa
Indonesia. Hubungan budaya, kepribadian, dan situasi lingkungan membuat
mahasiswa Thailand merasa bahwa ketidakpastian yang dapat mempengaruhi
aktivitas belajar mereka.
Adapun perbedaan dan persamaan penelitian ini dengan yang akan diteliti
peniliti yaitu, persamaannya terletak pada kajian yang diangkat sama-sama
mengangkat tentang komunikasi antarbudaya. Selain itu untuk metode penelitian
yang digunakan sama. Letak perbedaannya terdapat pada teori-teori yang
digunakan, subyek yang diangkat dalam penelitian ini subyeknya berasal dari HCC
saja sedangkan yang akan diteliti peneliti adalah orang-orang yang berasal dari
43
negara HCC dan LCC. Selain itu fenomena yang diangkat juga berbeda, penelitian
ini mengangkat tentang komunikasi yang terjadi antara mahasiswa luar negeri
dengan mahasiswa Thailand, sedangkan yang diteliti peneliti adalah komunikasi
antarbudaya antara penjual dan pembeli dengan latar belakang budaya berbeda.
Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian peneliti adalah peneliti dapat
melihat apa saja faktor-faktor penyebab ketidakpastian pada komunikasi
antarbudaya dan upaya apa saja yang berkaitan dengan pengurangan
ketidakpastiannya. Selain itu, penelitian ini juga memberikan gambaran tentang
komunikasi antarbudaya yang melibatkan orang-orang dengan latar belakang
budaya yang berbeda.
Recommended