View
269
Download
11
Category
Preview:
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Semen Ionomer Kaca
Material Semen Ionomer Kaca telah dikembangkan sejak awal tahun
1970 oleh Alan Wilson dan Kent di Inggris dengan kombinasi semen silikat dan
semen polycarboxylate (Mc Cabe and Walls, 2009). SIK digunakan sebagai
bahan restorasi karena perlekatan adhesinya yang baik dengan struktur gigi dan
potensinya mencegah karies. SIK juga digunakan untuk luting agent, liners dan
basis core build-up, semen ortodontik, dan fissure sealent (Anusavice, 2003).
2.1.1. Komposisi
Semen Ionomer Kaca membutuhkan pencampuran dari bubuk dan
cairan dalam penggunaannya. SIK pada dasarnya memiliki komponen penting
yakni polycarboxylic acid, fluoroaminosilicate (FAS) glass, air dan asam tartarik.
Bubuk SIK adalah calsium fluoroaminosilicate glass atau semen silikat yang larut
dalam cairan asam. Kandungan bubuk SIK terdiri dari silica (SiO2), alumina
(Al2O3), aluminium fluoride (AlF3), calsium fluoride (CaF2), natrium fluoride (NaF)
dan aluminium phosphate (AlPO4). Ukuran partikel bubuk SIK berkisar 15-50 µm,
untuk bahan tumpat memiliki ukuran partikel maksimal 50 µm dan untuk bahan
perekat atau pelapis dibawah 20 µm. Kandungan cairan SIK adalah larutan
47,5% polyacrilic acid/itaconic acid polymer dalam air. Itaconic acid mengurangi
viskositas cairan dan menghambat pembentukan gel yang disebabkan oleh
ikatan hidrogen antar molekul, asam tartarik dalam cairan berfungsi sebagai
akselerator dengan memfasilitasi ekstraksi ion dari FAS glass. Lanthanum,
7
Strontium, Barium glass atau Zinc Oxide ditambahkan ke bubuk SIK untuk
memberikan radiopasitas (Anusavice, 2003).
2.1.2. Reaksi Pengerasan
Reaksi pengerasan SIK konvensional melalui reaksi asam basa yang
dimulai saat asam poliakrilat bertemu dengan kation yang dilepaskan dari
permukaan alumino silicate glass (Sakaguchi and Powers, 2012).
SIK mengalami 3 fase reaksi pengerasan yang berbeda dan saling
tumpang tindih. Fase pertama adalah Ion-Leaching Phase yang terjadi segera
setelah pencampuran bubuk dan cairan. Pada saat ini, asam perlahan
mendegradasi lapisan terluar dari partikel kaca sehingga ion Ca2+ dan Al3+
terlepas. Ion Ca2+ dilepaskan lebih cepat dan berikatan dengan polyacid dan Al3+
dilepaskan lebih lambat dan dilibatkan dalam proses pengerasan di tahap
selanjutnya. Ca2+ dan Al3+ akan bereaksi dengan ion F membentuk CaF2, AlF3.
Dengan meningkatnya derajat keasaman ikatan CaF2 menjadi tidak stabil dan
terbentuklah ikatan kopolimer akrilik untuk membentuk sebuah senyawa
kompleks yang lebih stabil. Saat memasuki fase awal campuran SIK akan
tampak mengkilap namun pada akhir fase ini kilap akan berkurang (Albers,
2002).
Fase yang kedua merupakan Fase Hydrogel, dimulai 5-10 menit setelah
mixing. Ion Ca2+ dan Al3+ yang terlepas membentuk suatu poliagram yaitu gugus
karboksil. Gugus karboksil yang bermuatan negatif bereaksi dengan asam
poliakrilat yang bermuatan positif sehingga terbentuk ikatan silang. Hal tersebut
menyebabkan mobilitas rantai polimer berkurang sehingga terbentuknya gelasi
awal matriks ionomer. Pada fase ini asam tartarik bekerja menghilangkan ion
Ca2+ dan Al3+ pada glass yaitu polyacrilic copolymer yang menjembatani celah
8
antara ion tidak tereaksi untuk membantu pertukaran ion dan menstabilkan gelasi
matriks. Selama fase ini, bahan tumpatan harus dilindungi dari lingkungan yang
lembab dan kering karena gelasi tersebut akan terus mengalami pengerasan dan
pematangan. Jika tidak dilindungi, maka ikatan silang ionik yang mudah larut
akan melemahkan SIK dan terjadi penurunan tingkat translusensi sehingga
mempengaruhi estetika (Albers, 2002).
Fase terakhir adalah Fase Polysalt, dimana material SIK mencapai
tahap akhir dan dapat berlanjut sampai beberapa bulan. Proses pengerasan ini
didasari oleh hidrogel kalsium, aluminium, dan fluoroaluminium poliakrilat yang
menyebabkan partikel kaca tidak bereaksi dan dilapisi oleh lapisan ikatan lemah
hidrogel silika. Matriks akan matang saat ion AlF3, yang pelepasannya dari
permukaan lebih lambat, membantu membentuk hidrogel poliagram yang
menyebkan semen menjadi lebih kaku dan menyerupai gigi (Albers, 2002).
Gambar 2.1. Proses Pengerasan Semen Ionomer Kaca (Albers, 2002)
9
2.1.3. Klasifikasi
SIK digunakan untuk restorasi estetika pada gigi anterior, dan
direkomendasikan untuk penggunaan pada restorasi gigi kavitas kelas III dan V
(Klasifikasi Black). Kekuatan tekan SIK terhadap dentin lebih rendah daripada
resin komposit, tetapi studi klinis telah menunjukkan retensi SIK pada area
servikal jauh lebih baik daripada komposit (Sakaguchi and Powers, 2012).
Berdasarkan kegunaanya, SIK dibagi menjadi 9 tipe:
1. Tipe I ― Luting
Digunakan untuk merekatkan mahkota, jembatan, dan veneer. Secara
kimiawi berikatan dengan enamel. dentin, dan restorasi porselen (Craig,
2004).
2. Tipe II ― Restorasi
Digunakan untuk tumpatan estetika. Kebanyakan bersifat radiolusen namun
memiliki reaksi pengerasan yang panjang sehingga dapat mengakibatkan
kontaminasi cairan (water-in, water-out) selama 24 jarn setelah
pengaplikasian. Namun dengan seiring berkembang teknologi, tipe ini diberi
tambahan strontium untuk meningkatkan viskositas sehingga memiliki
kekuatan kompresif yang lebih baik, digunakan pada tumpatan
membutuhkan pengerasan yang cepat dan sifat-sifat yang tinggi; untuk
tambalan posterior atau komponen inti.
3. Tipe III ― Liner dan Basis
SIK jenis ini digunakan sebagai liner pada teknik sandwich. Kemampuannya
dalam berikatan dengan dentin dan enamel serta melepas fluor dapat
meminimalisir terbentuknya karies sekunder dan merangsang pembentukan
dentin sekunder (Anusavice, 2003).
10
4. Tipe IV ― Fissure Sealent
Konsistensi yang cair memungkinkan bahan mengalir ke pit dan fissure gigi
posterior yang sempit (Craig, 2004).
5. Tipe V ― Semen Ortodonti
SIK memiliki ikatan langsung ke jaringan gigi oleh interaksi ion Polyacrylate
dan kristal hidroksiapatit, dengan demikian dapat menghindari etsa asam
sehingga dapat digunakan sebagai semen bracket ortodonti (Craig, 2004).
6. Tipe VI ― Core Build Up
SIK jenis ini mengandung perak sehingga mampu meningkatkan sifat fisik
dan mekanisnya (Craig, 2004).
7. Tipe VII ― Fluoride Release
Kemampuan SIK konvensional dalam menghasilkan fluorida lima kali lebih
banyak daripada kompomer dan 21 kali lebih banyak dari resin komposit
dalam waktu 12 bulan (Craig, 2004).
8. Tipe VIII ― Atraumatic Restorative Treatment
ART adalah metode perawatan karies yang dikembangkan untuk digunakan di negara-
negara dimana tenaga dokter gigi dan fasilitas terbatas namun kebutuhan
untuk perawatan tinggi. Teknik ini menggunakan instrumen terbatas
untuk membuang jaringan karies. Ketika karies dibersihkan, rongga yang
tersisa direstorasi dengan menggunakan SIK (Craig, 2004).
9. Tipe IX ― Restorasi Gigi Sulung
Restorasi gigi susu berbeda dari restorasi di gigi permanen karena kekuatan
kunyah dan usia gigi. Kemampuan SIK untuk melepaskan fluor dan
membutuhkan preparasi yang minimal dapat dijadikan keuntungan dalam
merawat gigi pada anak-anak (Craig, 2004).
11
2.1.4. Karakteristik
SIK memiliki kekuatan tekan yang lebih rendah dibandingkan bahan
restorasi lainnya, namun SIK tergolong memiliki kekuatan yang cukup untuk
menjadi bahan restorasi. SIK memerlukan waktu 6−8 menit dari awal proses
pencampuran untuk mencapai setting, namun untuk mencapai setting yang
tuntas, SIK memerlukan waktu 24 jam. Kekuatan tekan SIK adalah 160 - 180
MPa dan kekuatan tensile nya mencapai 12−15 MPa (1,700−2,100 psi)
(Sakaguchi and Powers, 2012).
SIK memiliki beragam karakteristik, baik yang menguntungkan maupun
merugikan. Kelebihan SIK dibandingkan dari bahan tumpatan lainnya adalah
memiliki kemampuan pelepasan fluorida baik (bakteriostatik, mencegah karies),
tidak mengalami shrinkage, biokompabilitas terhadap dentin baik, tidak
mengiritasi pulpa, dan melekat pada enamel dan dentin dengan baik (Albers,
2002). Sedangkan kekurangan yang dimiliki oleh SIK adalah memiliki kelarutan
yang tinggi (rapuh), sensitif terhadap air dan lingkungan yang lembab, dan
memiliki resistensi yang buruk terhadap asam (Albers, 2002).
Karakteristik SIK yang rentan terhadap erosi asam terjadi karena
terbentuknya garam anorganik dan inti kaca tidak tereaksi saat reaksi asam
basa. SIK yang terpajan lingkungan asam dapat mengalami perubahan bentuk
anatomis, permukaan menjadi kasar, melunak dan mudah pecah (Mc Cabe and
Walls, 2009). Bubuk SIK yang mengenai cairan SIK menyebabkan permukaan
kaca bereaksi dengan melepaskan kation (Ca2+ dan Al3+) dan ion F. Pertukaran
kation antar molekul polyacid menghasilkan matriks garam dan inti kaca yang
tidak tereaksi. Kondisi ini dapat diperburuk jika SIK yang baru mengeras,
direndam dalam larutan asam yang tinggi seperti minuman isotonik dan minuman
12
teh. Proses erosi asam ini mengakibatkan kerusakan pada restorasi SIK (Mc
Cabe and Walls, 2009).
Menurut penelitian Fukazawa dalam Zaki (2012) disebutkan bahwa
selama perendaman dalam larutan yang asam, ion H+ pada larutan asam
berdifusi kedalam semen dan terjadi pelepasan ikatan ion-ion pada semen
tersebut kedalam larutan. Proses ini menyebabkan mobilitas rantai polimer
meningkat yang menyebabkan proses gelasi matriks ionomer menurun. Oleh
karena itu, proses terpaparnya permukaan semen oleh ion H+ dapat melemahkan
dan melunakkan SIK sehingga SIK mudah pecah.
Menurut penelitian oleh Gao dalam Yuliarti (2008) bahwa perendaman
material SIK konvensional dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
terjadinya kelarutan partikel filler kaca yang dibuktikan dengan adanya endapan
gel silika pada larutan asam yang merupakan sisa dari material semen yang
direndam. Pernyataan tersebut dilengkapi oleh penelitian yang dilakukan oleh
Ghanim (2008) bahwa kelarutan material semen berpengaruh terhadap
perubahan dimensi semen, kehilangan retensi, perubahan warna, serta
berpengaruh terhadap sifat mekanik seperti kekuatan tekan dan kekerasan.
Gambar 2.2. Bubuk dan Cairan Semen Ionomer Kaca (Anusavice, 2003)
13
Tahun 1990, bahan restorasi SIK konvensional dikembangkan menjadi
high viscous convetional glass ionomer cement atau SIK viskositas tinggi yang
didukung oleh WHO. Bahan ini berpolimerisasi dengan reaksi kimia konvensional
tetapi memiliki sifat yang sama bahkan melebihi resin modified GIC. Viskositas
tinggi diperoleh dari hasil penambahan asam poliakrilat, strontium dan lanthanum
pada bubuk dan distribusi partikelnya lebih halus. Viskositas tinggi berarti
mempunyai kekentalan yang tinggi dengan flow yang rendah sehingga SIK
memiliki kekuatan terhadap keausan yang lebih baik dan kekuatan kompresif
yang lebih tinggi. Dengan peningkatan kekuatan kompresif, maka SIK yang
awalnya kontraindikasi dengan restorasi posterior kelas I dan II dan restorasi
anterior kelas IV, dengan SIK viskositas tinggi jenis restorasi tersebut dapat
menjadi indikasi (Frankerberger et al., 2009).
2.2 Teh Hijau
Tanaman teh (Camelia sinensis) termasuk tanaman tropis yang tumbuh
baik pada daerah pegunungan. Kualitas teh dipengaruhi oleh teknik saat
pemrosesannya (Ho CT et al., 2009). Prinsipnya teh berasal dari satu jenis
tanaman, yang membuat teh menjadi beragam adalah cara pengolahannya.
Hasil pengolahan dari daun teh adalah teh hijau (tanpa fermentasi), teh oolong
(semi-fermentasi), dan teh hitam (dengan fermentasi). Ketiga jenis teh tersebut
memiliki karakteristik masing-masing, termasuk warna, aroma, rasa dan
penampilan (Astawan dan Andreas, 2008).
Teh hijau adalah jenis teh yang dalam pengolahannya tidak melalui
proses fermentasi. Daun teh hijau segar dipetik lalu dilakukan proses pelayuan
dengan metode penguapan secara cepat untuk menonaktifkan enzim polifenol
oksidase. Enzim polifenol oksidase merupakan sumber enzim didalam daun teh
14
yang berperan untuk menjaga kestabilan kandungan kimia pada teh sehingga
kadar polifenol paling tinggi didapatkan pada teh hijau (Hayat et al., 2013).
Gambar 2.3. Teh Hijau Daun Kering dan Teh Hijau Celup (Mitscher, 1996)
2.2.1. Kandungan Kimia Teh Hijau
Kandungan kimia utama pada teh yaitu senyawa polifenol (katekin,
flavanol, tanin, antocyanin), dan sejumlah mineral seperti (fluor, fosfor dan
kalsium) dan terdapat enzim polifenol oksidase yang berperan penting dalam
proses pengolahan teh hijau (Towaha, 2013). Fenol (C6H5OH) adalah
senyawa organik yang mengandung gugus hidroksil (−OH) yang merupakan
gugus asam dengan derajat keasaman rendah yang terikat pada atom karbon
pada cincin benzena dan memiliki tetapan ionisasi asam yang besar. Fenol
bersifat asam karena adanya pengaruh cincin aromatik dan kemampuannya
melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya sehingga kepolarannya cukup tinggi
(Isyuniarto, 2005; Oxtoby, 2003).
Nilai derajat keasaman pada teh dipengaruhi oleh kandungan katekin
dalam senyawa polifenol. Katekin merupakan senyawa metabolit alami yang
memiliki aktivitas antioksidan berkat gugus fenol yang dimilikinya (Towaha,
2013). Kandungan katekin dalam senyawa polifenol pada teh tersusun dari
senyawa katekin (C), epikatekin (EC), epikatekin galat (ECG), epigalokatekin
galat (EGCG), dan galokatekin (GC). EGCG berperan penting dalam
menentukan kadar katekin pada daun teh. Kandungan total katekin pada daun
teh segar berkisar 13,5-31% dari seluruh berat kering daun teh, dimana
15
kandungan katekin akan mengalami penurunan akibat proses pelayuan, oksidasi
enzimatis, penggilingan dan pengeringan. Namun proses pengolahan teh hijau
tidak banyak mendegradasi kandungan katekin (Towaha, 2013; Kaur et al.,
2004). Terdapat dua cara yang dikenal masyarakat untuk menyeduh teh hijau,
antara lain bentuk seduhan daun teh kering dan bentuk seduhan teh celup
(Sundari, 2009).
US Departement of Agriculture (2007) menyatakan bahwa total katekin
pada 100 ml pada teh hijau yang diseduh dengan daun kering terkandung 127
mg katekin dan pada 100 ml teh hijau seduhan celup terkandung 56 mg katekin
didalamnya (Kaur et al., 2004; Yang et al., 2003). Hal-hal yang dapat
mempengaruhi kualitas kandungan kimia pada teh hijau yaitu proses pengolahan
dan penyimpanannya. Waktu penyeduhan dan suhu air juga sangat
mempengaruhi konsentrasi flavonoids (Kaur et al., 2004).
Teh hijau yang diseduh dengan daun kering memiliki perbedaan kadar
katekin dengan penyeduhan celup dikarenakan adanya kandungan fenol yang
terdegradasi lebih besar saat pengolahan teh celup (Yang et al., 2003).
Kandungan katekin berperan penting dalam menentukan derajat keasaman (pH)
pada teh. Menurut penelitian Udall (2001), Teh hijau seduhan daun kering
memiliki pH rendah 4,0 dan pada teh hijau seduhan celup memiliki pH rendah
4,2. Perbedaan kandungan katekin dari kedua penyeduhan teh hijau terjadi
karena saat proses pengemasan teh hijau celup, seluruh daun teh hijau yang
telah diolah, dipotong-potong menjadi partikel kecil, hal ini menyebabkan teh
hijau seduhan celup kehilangan kandungan penting didalamnya lebih cepat
dibandingkan teh hijau seduhan daun kering (Henning et al., 2003).
16
Gambar 2.4. Struktur molekul katekin (Towaha, 2013)
2.2.2. Proses Penyeduhan Teh Hijau
Proses penyeduhan dapat mempengaruhi kualitas suatu teh hijau yang
akan dikonsumsi. Dengan penyeduhan yang benar, kandungan pada teh hijau
akan dapat tetap terjaga. Proses penyeduhan teh hijau yang benar yaitu
menggunakan air hangat (80o C), karena suhu air yang terlalu tinggi (100o C)
menyebabkan kandungan pada teh hijau, khususnya polifenol akan larut. Waktu
penyeduhan juga memiliki peran pada kualitas teh hijau, dimana waktu ideal
penyeduhan teh hijau adalah 4-5 menit. Jika terlalu lama diseduh, kandungan
yang tidak diinginkan juga akan ikut terlarut sehingga dapat mengurangi kadar
polifenol pada teh hijau (Suryaningrum dkk., 2007).
2.3. Kekuatan Tekan
Kekuatan tekan adalah sifat mekanis bahan restorasi yang menunjukkan
atau memperlihatkan tegangan maksimum yang dapat diterima suatu bahan
dengan pemberian kekuatan tekan secara sentris pada material (Chotimah,
2012; Roberson et al., 2006). Tegangan tekan dapat menyebabkan terjadinya
mikrofraktur pada bahan restorasi bahkan pada struktur gigi (Roberson et al.,
2006). Kekuatan tekan menjadi persyaratan utama bahan restorasi untuk
memiliki kekuatan yang cukup untuk melawan fraktur bahkan di area yang kecil.
Kekuatan tekan dianggap sebagai indikator yang penting dalam proses
17
pengunyahan karena kekuatan tekan yang besar dibutuhkan untuk tekanan
pengunyahan (Bresciani et al., 2004).
2.3.1. Cara Pengukuran Kekuatan Tekan
Kekuatan tekan dapat diuji dengan menggunakan uji tekan. Uji tekan ini
dilakukan untuk megetahui batas kekuatan material menerima tekanan sebelum
pecah (Illnois Tool Works Inc, 2013). Universal Testing Machine merupakan alat
yang dapat digunakan untuk melakukan uji tekan pada material (Hedge, 2011).
Sebelum dilakukan uji tekan, mesin harus dipersiapkan dengan mengganti
komponen penekanan menggunakan compression platens untuk menekan
material hingga pecah. Compression platens ini berbentuk cakram dengan
permukaan rata. Spesimen diatur dan diletakkan di tengah sehingga dapat
menyentuh permukaan compression platens (Bresciani et al., 2004)
Gambar 2.5. Alat Universal Testing Machine
Bentuk dan ukuran spesimen yang ideal untuk uji kekuatan tekan adalah
berbentuk silinder dan memiliki diameter dua kali dari ukuran panjang (Sakaguchi
and Powers, 2012).
18
Gambar 2.6. Skema ilustrasi kekuatan tekan (Darvell, 2000)
Kuat tekan merupakan kemampuan material dalam menahan beban
atau gaya mekanis sampai terjadinya kegagalan (failure). Persamaan untuk
menguji kekuatan tekan dengan menggunakan Universal Testing Machine
adalah sebagai berikut: (Anusavice, 2003)
𝐶𝑠 = 𝐹
𝐴
Cs = Kekuatan tekan spesimen (Mpa)
F = Beban maksimum yang diterima SIK (N)
A = Luas permukaan spesimen (𝜋𝑟2)
𝜋 = phi = 3,14
Recommended