View
218
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
36
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Bab ini berisi dua hal sebagaimana judul dalam bab ini. Pertama
dikemukakan hasil penelitian dan yang kedua adalah analisis atas hasil penelitian
tersebut. Dalam bagian Hasil Penelitian, Penulis gambarkan kembali secara
lengkap Putusan 1887, objek analisis Penelitian dan Karya Tulis Kesarjanaan
Penulis ini.52
Kemudian, di bagian kedua dikemukakan analisis itu sendiri.
Analisis dilakukan oleh Penulis dengan cara melakukan pembedahan dengan
menggunakan pisau analisis berupa prinsip-prinsip hukum yang berkaitan dengan
nemo dat rule yang sudah Penulis kemukakan di dalam Bab II terhadap hasil
penelitian. Adapun tujuan dari pemaparan, terutama analisis itu adalah dalam
rangka tindak lanjut, usaha Penulis untuk menjawab perumusan masalah
sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab I.
3.1. Transaksi Perdagangan Internasional di Depan Hukum
Sama halnya dengan transaksi perdagangan lokal maupun nasional, apabila
timbul permasalahan hukum atau sengketa daripadanya, maka penyelesaiannya
bisa dimulai dengan mekanisme penyelesaian (commercial dispute settlement)
oleh para pihak, dan atas dasar persamaan di depan hukum, maka at the last
resort, penyelesaian masalah dapat menempuh jalur litigasi (litigation). Demikian
52
Periksa kembali Catatan Kaki yang dikemukakan oleh Penulis di Bab I skripsi ini, sehubungan
dengan beberapa kali pengulangan pemaparan Putusan yang sama (1887) sebagai Hasil Penelitian,
hlm., 5, Supra.
37
pula dengan kasus yang berdimensi transaksi perdagangan internasional di dalam
Putusan 1887 dan yang menjadi hasil penelitian skripsi ini, penyelesaian sengketa
berujung pada proses litigasi yang diuraikan di bawah ini.
Sengketa pada Putusan 1887 bermula pada akhir tahun 1982 dan awal tahun
1983. Pada waktu itu, PT. Gespamindo dalam hal ini merupakan suatu perusahaan
yang berkedudukan di Indonesia membeli pupuk dari Phosphate Mining Co. di
Australia sebanyak 3000 metric ton. Nilai uang di balik pupuk 3000 metric ton
tersebut adalah seharga US $195.000,-. Pupuk tersebut dipesan oleh tiga subjek
hukum lainnya, yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT. Sinar
Mulia Buana. Adapun pesanan masing-masing pihak tersebut adalah sebanyak
1000 metric ton pupuk.
Merupakan kelaziman di dalam transaksi perdagangan internasional, bahwa
setiap pembayaran yang dilakukan biasanya tidak dilakukan dengan tunai oleh
pemesan barang itu sendiri namun dibeli tunai oleh Bank yang menerbitkan Letter
of Credit (L/C). Pembayaran dengan nilai yang besar seperti yang terjadi dengan
pembayaran harga pupuk dalam cerita di balik Putusan 1887 itu adalah
menggunakan L/C, suatu surat berharga (negotiable instrument). Pembayaran
transkasi perdagangan internasional dengan menggunakan surat-surat berharga
sudah barang tentu harus dilakukan dengan menggunakan jasa pihak perbankan.
Bank yang digunakan jasanya juga bukanlah bank biasa, namun bank yang
memiliki kemampuan membayar dengan valuta asing (hard currency).53
Oleh
53
Menurut pendapat Penulis, penggunaan hard currency sebagaimana yang nampak dalam
transaksi di balik Putusan 1887 itu juga indikator penting bahwa transaksi dalam Putusan 1887
38
sebab itulah PT. Gespamindo kemudian membuka tiga buah L/C di PT. Sejahtera
Bank Umum melalui the Chartered Bank (Confirming Bank) di Jakarta untuk
membayar harga pembelian atas 3000 metric ton pupuk kepada Phosphate Mining
Co. melalui the Chartered Bank (Corresponding Bank) yang berada di Australia.
Nilai uang ketiga buah L/C yang hendak dibayarkan oleh pihak bank kepada
Phosphate Mining Co. tersebut adalah US $195.000,-. Dengan demikian maka
L/C tersebut merupakan bukti adanya perjanjian atau suatu kontrak (a contract)
yang dibuka di antara subyek-subyek hukum (parties to contract) dalam hal ini
yaitu pihak PT. Sejahtera Bank Umum sebagai „the issuing bank’ dengan pihak
PT. Gespamindo.
Pihak berikutnya (the other party to contract) di dalam Putusan 1887 adalah
PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”. Pihak tersebut juga
merupakan suatu badan hukum perdata yakni merupakan suatu perusahaan yang
menyelenggarakan jasa pengangkutan. Dalam kasus di balik Putusan 1887
tersebut, jasa pengangkutan yang dimaksud adalah jasa pengangkutan
internasional, mengingat barang yang diangkut oleh pihak itu datang dari suatu
negara (Australia) dan berpindah ke negara yang lain (Indonesia). PT. Perusahaan
Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” telah mengangkut dan mengirim
pupuk yang dibeli dari Phosphate Mining Co. tersebut. Pengangkutan sesuai
dengan Bill of Lading (B/L), yang sudah barang tentu B/L tersebut diterbitkan
oleh PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”. Tercatat di
dalam B/L sebagaimana terungkap dalam satuan penelitian yang diamati oleh
adalah suatu transaksi perdagangan internasional, selain ukuran-ukuran sifat internasional lainnya
yang telah Penulis kemukakan di Bab I skripsi ini, hlm., 2 - 4.
39
Penulis, dalam hal ini Putusan 1887, 3000 metric ton pupuk tersebut diangkut dari
Australia, tepatnya dari Melbourne tertanggal 24 Maret 1983. Adapun tujuan
pengangkutan 3000 metric ton pupuk hasil produksi Phosphate Mining Co. dari
Australia tersebut adalah Pelabuhan Tanjung Priok yang ada di Jakarta. Biarpun
belum saatnya di sini Penulis melakukan analisis, namun agar jelas pemahaman
tentang nemo dat rule, maka Penulis berpendapat bahwa dengan dimuatnya 3000
metric ton pupuk di Melbourne dan di atas kapal milik PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia”, maka sejatinya pupuk itu sudah menjadi millik
dari pihak yang membeli, dalam hal ini pihak Bank (the Standard Chartered
Bank) di Australia yang membayarkan uang harga pupuk itu kepada Phospate
Mining Co. selaku eksportir.
Pembayaran atas 3000 metric ton pupuk di Australia secara tunai kepada
Phospate Mining Co. oleh the Standard Chartered Bank di Australia itu, sudah
barang tentu atas perintah the Standard Chartered Bank di Jakarta. Mengapa
demikian? Menurut pendapat Penulis, the Standard Chartered Bank Jakarta itu
dapat memerintah the Standard Chartered Bank di Australia, mengingat the
Standard Chartered Bank Jakarta adalah pihak (the party to contract), yakni Bank
yang memberikan pinjaman uang Dolar kepada PT. Sejahtera Bank Umum di
Jakarta. Ada kemungkinan, pinjaman tersebut diberikan kepada PT. Sejahtera
Bank Umum, mengingat the Standard Chartered Bank di Jakarta mempunyai
keyakinan bahwa PT. Sejahtera Bank Umum akan melunasi uang tersebut setelah
pupuk yang diimpor sampai ke Indonesia dan dijual maka hasil penjualan itu
40
(proceeds) akan dipakai untuk melunasi hutang PT. Sejahtera Bank Umum
kepada the Chartered Bank di Jakarta tersebut.
Hal itu berarti bahwa berdasarkan semangat nemo dat rule, maka PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” kemudian menerbitkan
B/L, suatu bukti kepemilikan yang nantinya dipegang oleh pihak Bank di
Australia yang membayar harga 3000 metric ton pupuk kepada Phosphate Mining
Co. Bukti kepemilikan tersebut, yang dalam hal ini diwakili oleh suatu dokumen
yang bernama B/L tersebut akan diteruskan ke Jakarta, lalu kemudian diberikan
kepada PT. Sejahtera Bank Umum sehingga dengan modal B/L tersebut, PT.
Sejahtera Bank Umum dapat mengambil pupuk dari kapal PT. Perusahaan
Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”.
Dengan begitu, singkat kata, mengingat PT. Sejahtera Bank Umum sebagai
the issuing bank yang melalui the Standar Chartered Bank di Australia telah
membayar harga 3000 metric ton pupuk tersebut kepada Phosphate Mining Co. di
Australia melalui the Chartered Bank di Jakarta secara otomatis menguasai
Documentary Credit. Isi dari Documentary Credit tersebut antara lain adalah B/L,
disamping dokumen yang lain seperti L/C, Certificate of Origin dan Dokumen
Asuransi Pengangkutan Laut. Dalam semangat larangan nemo dat rule yang
menjadi konsen utama Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Kesarjanaan ini,
maka sudah barang tentu akal sehat mengatakan bahwa hanya PT. Sejahtera Bank
Umum yang telah membayar pupuk itu melalui the Chartered Bank sajalah yang
mempunyai wewenang secara hukum untuk memindahkan pupuk itu kepada
pihak ketiga, dalam hal ini tiga pemesan pupuk, dan bukan malah dilakukan oleh
41
pihak PT. Gespamindo, yang secara hukum masih harus “membeli” B/L dari PT.
Sejahtera Bank Umum.
Ternyata, seluruh pupuk yang diangkut oleh PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia” telah diserahkan kepada PT. Gespamindo.
Sehingga dalam perspektif nemo dat rule, maka terdapat pelanggaran terhadap
asas tersebut. Dalam Putusan 1887 yang menjadi satuan amatan penelitian ini, PT.
Gespamindo „mengaku‟ bahwa ia adalah pihak pembeli dari 3000 metric ton
pupuk itu. Merasa bahwa ia (PT. Gespamindo) adalah pemilik yang sah dari 3000
metric ton pupuk tersebut, kemudian pupuk tersebut diserahkan (dijual) kepada
pihak lain, dalam hal ini yaitu ketiga pihak yang sebelumnya, seperti terungkap
dalam Putusan 1887 memang memesan pupuk masing-masing 1000 metric ton
dari PT. Gespamindo. Seperti sudah dikemukakan di atas ketiga pihak itu adalah
PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT. Sinar Mulia Buana. Seperti
terungkap di dalam Putusan 1887, penyerahan (deliverance) 3000 metric ton
pupuk itu kepada ketiga pihak dimaksud dilakukan pengangkut atas permintaan
PT. Gespamindo. Hal ini merupakan pernyataan yang tertulis dalam Putusan
1887. Menurut pendapat Penulis, penyerahan dari PT. Gespamindo yang tanpa
hak itu sejatinya telah melanggar larangan nemo dat rule, asas hukum yang
menjadi konsen Penelitian ini. Tidak terungkap di dalam Putusan 1887, namun
menurut Penulis, bahwa pengambilan 3000 metric ton pupuk itu dilakukan oleh
PT. Gespamindo, pertama, tanpa B/L. Namun bisa juga, kedua, dengan B/L,
namun B/L yang digunakan oleh PT. Gespamindo tersebut adalah B/L copy-an.
Seperti diketahui, B/L biasanya diterbitkan oleh perusahaan pelayaran dalam
42
rangkap tiga.54
Inilah yang menjadi sebab, mengapa Sukma Masawet di dalam
skripsinya mengatakan bahwa ada conversi lanjutan yang dilakukan oleh PT.
Gespamindo, yang setara dengan perbuatan melawan hukum, seperti yang
dipergunakan oleh para hakim yang mengadili Putusan 1887.
Sementara itu, Documentary Credit yakni satu paket dokumen dalam
pembayaran internasional yang di dalamnya juga terdapat B/L copy-an lainnya
masih dikuasai oleh PT. Sejahtera Bank Umum sebagai the issuing bank. Dengan
kata lain bahwa L/C belum dilunasi oleh PT. Gespamindo. Adapun nilai total sisa
pinjaman yang harus dilunasi PT. Gespamindo seluruhnya adalah sebesar US
$169.000,-. Berhubung PT. Gespamindo dalam pandangan pengacara penggugat
(PT. Sejahtera Bank Umum) dalam Putusan 1887 terbukti tidak melakukan
pembayaran atas sisa kewajibannya, maka menurut para pengacara penggugat
tersebut, PT. Gespamindo telah melakukan perbuatan melawan hukum. Pengacara
PT. Sejahtera Bank Umum juga menyeret pengangkut, dalam hal ini adalah PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”. Tuduhan PT. Sejahtera
Bank Umum adalah bahwa PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera
Indonesia” sebagai pengangkut terikat dalam perikatan tanggung-menanggung
dengan PT. Gespamindo untuk memenuhi pelunasan kewajiban mereka kepada
PT. Sejahtera Bank Umum. Hakim yang berhasil diyakinkan oleh Penggugat,
kemudian menghukum untuk secara renteng. PT. Perusahaan Pelayaran Samudera
“Samudera Indonesia” dan PT. Gespamindo secara tanggung renteng membayar
kepada PT. Sejahtera Bank Umum secara tunai dan sekaligus, masing-masing
54
Perspektif mengenai hal ini dapat diperiksa dalam Bab I, Catatan kaki No. 12, Supra.
43
setengah bagian dari US $ 169.000,- dan bunga sebesar US $ 36.378,72,-.
Menurut para Hakim yang memutuskan perkara itu, adil apabila resiko atas gagal
bayar oleh PT. Gespamindo dan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera
Indonesia” ditanggung secara bersama-sama karena perbuatan melawan hukum.
Kedua pihak itu oleh Hakim, masing-masing dihukum untuk membayar kepada
PT. Sejahtera Bank Umum uang sejumlah US $ 84.500,-. Dalam Putusan 1887
yang dijadikan dasar hukum para Hakim dalam mengadili perkara tersebut adalah
perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana ada dalam Pasal
1365 KUHPerdata. Dalam rangka gambaran suatu Hasil Penelitian yang lebih
berstruktur kontrak, maka uraian Putusan 1887 di bawah ini dimulai dengan para
pihak (the parties to contract).
3.2. Para Pihak dalam Transaksi Perdagangan Internasional
Putusan 1887 pada hakikatnya adalah merupakan suatu Perkara Perdata
(civil case), yang penyelesaiannya dilakukan dengan menggunakan mekanisme
penyelesaian sengketa litigasi Indonesia. Dimulai dari tingkat pengadilan pertama,
yaitu Pengadilan Negeri dan berakhir di tingkat Kasasi di Mahkamah Agung
Republik Indonesia. Sengketa yang terjadi dan masuk ke proses litigasi
sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas tersebut, selain berdimensi litigasi
nasional, namun pada hakikatnya adalah juga merupakan suatu sengketa dengan
dimensi internasional, sebab sengketa itu dimulai dari suatu transaksi yang
memiliki kharakteristik transaksi perdagangan internasional seperti Penulis
singgung di Bab I karya tulis ini. Lebih daripada itu, sejatinya nemo dat rule
44
sebagai kaidah lex mercatoria seharusnya diperhatikan dalam mengatur sengketa
itu.
Para pihak (the parties to contract) dalam kasus yang berdimensi transaksi
perdagangan internasional itu, seperti telah secara ringkas Penulis kemukakan di
Bab I skripsi ini. Lengkapnya para pihak itu adalah PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia”, berkedudukan di Jakarta, Jalan Kalibesar Barat
No.43, yang diwakili oleh dan memilih domilisi di kantor kuasanya Loekman
Wiriadinata, SH., dan kawan-kawan, Advokat dan Pengacara, Jalan Veteran
III/7A Jakarta berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 28 Februari 1986 selaku
Pemohon Kasasi. Pemohon Kasasi dahulu adalah pihak Tergugat I-Pembanding.
Pihak Termohon Kasasi yang dahulu adalah Penggugat-Terbanding yaitu PT.
Sejahtera Bank Umum, berkedudukan di Jakarta, Jalan Tiang Bendera No.15
Jakarta Barat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Herman Widjaja, SH., dan
kawan, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 10 Maret 1986. Pihak Termohon
Kasasi berikutnya adalah PT. Gespamindo, berkedudukan di Jakarta, Jalan
Mangun Sarkoro No.8 Jakarta Pusat, Pihak Turut Termohon kasasi dahulu adalah
pihak Tergugat II-Turut Terbanding.
3.3. Pokok Perselisihan dalam Transaksi Perdagangan
Internasional
Dari surat-surat yang telah dibaca oleh Mahkamah Agung, ternyata bahwa
Termohon kasasi sebagai Penggugat asli telah menggugat pihak Pemohon Kasasi
dalam persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dalil-dalil para pihak
tersebut Penulis kemukakan sebagai berikut di bawah ini.
45
Pada akhir tahun 1982 permulaan tahun 1983, PT. Gespamindo telah
melakukan impor pupuk dari Phosphate Mining Company of Christmas Island
Ltd. Canberra, Australia. Seperti beberapa kali telah dikemukakan di atas, jumlah
pupuk yang diimpor oleh PT. Gespamindo adalah sebanyak 3000 metric ton
seharga seluruhnya US.$ 195.000,-. Import pupuk yang dilakukan oleh PT
Gespamindo tersebut dilakukan atas pesanan PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua
Belas dan PT. Sinar Mulia Buana, masing-masing sebanyak 1000 metric ton.
Untuk melaksanakan impor tersebut, atas permintaan PT. Gespamindo,
pihak PT. Sejahtera Bank Umum melalui the Chartered Bank di Jakarta telah
membuka tiga buah L/C untuk dibayar kepada pihak eksportir di Canberra
Australia. Keseluruhan L/C tersebut berjumlah US.$ 195.000,-. Pupuk impor
tersebut telah dikirim dan diangkut oleh pihak PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia” sesuai B/L dari Melbourne tertanggal 23 Maret
1983.
Setelah ditebus oleh PT. Sejahtera Bank Umum dari the Chartered Bank
Jakarta, semua lembar dari B/L dibuat rangkap tiga ada pada PT. Sejahtera Bank
Umum. Meskipun demikian, sesuai jawaban dari PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia”, ternyata seluruh pupuk impor tersebut oleh PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” telah diserahkan kepada
pemesannya dengan melalui PT. Gespamindo, tanpa penyerahan B/L asli. Di
sinilah mulai terlihat adanya gambaran tentang bagaimana nemo dat rule dalam
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut.
46
3.4. Sisa Pembayaran Ukuran Nemo Dat Rule
Sesuai dengan ketentuan, maka PT. Gespamindo untuk kepentingan
pembukuan L/C tersebut di atas masih mempunyai kewajiban pembayaran kepada
PT. Sejahtera Bank Umum sejumlah yang rinciannya adalah sebagai berikut:
pertama, untuk L/C tanggal 31 Januari 1983 No. 901/0475/83 dan tanggal 31
Januari 1983 No. 901/076/83 sebesar: 2 x US.$ 65.000,- = US.$ 130.000,-, baru
dibayar 10% = US.$ 13.000,-, sisa = US.$ 117.000,-. Kedua, untuk L/C tanggal 14
Februari 1983 No. 901/0691/83, sejumlah :1 x US.$ 65.000,- = US.$ 65.000,-,
baru dibayar 20% = US.$ 13.000,-, sisa = US.$ 52.000,-.
Itu berarti bahwa sisa uang dan berarti hutang yang masih harus dibayarkan
oleh PT. Gespamindo kepada PT. Sejahtera Bank Umum seluruhnya berjumlah
US.$ 117.000,- + US.$ 52.000,- = US.$ 169.000,-. Apabila PT. Gespamindo
belum melunasi hutang sebagaimana dikemukakan di atas itu, maka PT.
Gespamindo tidak dapat mengalihkan pupuk dengan cara memerintahkan kepada
PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” untuk melepas pupuk
itu kepada pihak ketiga, dalam hal ini ketiga perusahaan yang memesan dari PT.
Gespamindo, sebagaimana telah dikemukakan di atas. Apabila PT. Gespamindo
akhirnya memerintahkan kepada PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera
Indonesia” untuk menyerahkan pupuk itu kepada pihak ketiga yaitu tiga
perusahaan pemesan sebagaimana dikemukakan di atas, maka sejatinya,
berdasarkan ukuran nemo dat rule yang telah Penulis kemukakan di Bab II, ia
dapat dikatakan telah melakukan pelanggaran atas nemo dat rule.
47
3.5. Perbuatan Melawan Hukum
PT. Gespamindo tidak melakukan pembayaran atas sisa kewajibannya
kepada PT. Sejahtera Bank Umum, maka dari itu menurut hukum, demikian
menurut keterangan yang tertera di dalam Hasil Penelitian atas Putusan 1887, PT.
Gespamindo telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH).55
Demikian
juga dengan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” atas
tindakannya yang secara tanpa hak menurut para Hakim, menyerahkan pupuk
yang diangkutnya kepada pihak yang tidak dapat menunjukkan B/L dari pupuk
tersebut, adalah merupakan perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan melawan
hukum tersebut adalah pelanggaran terhadap Pasal 507,56
508,57
50958
dan atau
51059
KUHDagang.
55
Seperti telah Penulis kemukakan di atas (Bab I), hal ini oleh penelitian terdahulu dinilai sebagai
suatu kesalahan sebab seharusnya merupakan wanprestasi, sementara menurut penilaian penelitian
yang lain, kurang memiliki dimensi hukum perdagangan internasional karena seharusnya kaedah
yang diberlakukan adalah konversi. Tidak ada yang salah dengan penilaian atau analisis-analisis
sebelumnya itu. Skripsi ini melihat dari perspektif lain, yaitu nemo dat rule.
56 Konosemen dikeluarkan dalam dua lembar yang dapat diperdagangkan, yang di dalamnya
dinyatakan berapa lembar seluruhnya yang dikeluarkan, berlaku semua untuk satu dan satu untuk
semuanya. Lembar-lembar yang tidak dapat diperdagangkan harus dinyatakan sebagai demikian.
Terhadap tiap lembar yang di dalamnya tidak terdapat pernyataan jumlah lembar yang dikeluarkan
dan yang tidak ditandai bahwa tidak dapat diperdagangkan, pengangkut wajib melakukan
penyerahan kepada orang yang memperolehnya dengan itikad baik dan menjaminnya dengan
imbalan.
57 Konosemen atas-tunjuk dipindahtangankan dengan endosemen dan penyerahan naskahnya.
Endosemen itu tidak usah memuat harga yang telah dusahakmati, begitu pula tidak usah
ditentukan atas-tunjuk. Satu tanda tangan pun di halaman belakang konosemen sudah cukup.
58 Bila telah dikeluarkan konosemen, tidak dapat dituntut penyerahan barang sebelum tiba di
tempat tujuan selain dengan penyerahan kembali semua lembar konosemen yang dapat
diperdagangkan atau, bila tidak semua diserahkan kembali, dengan jaminan untuk semua kerugian
yang mungkin diderita karenanya. Bila timbul perselisihan tentang jumlah dan sifat jaminan, maka
hal itu diserahkan kepada putusan hakim.
59 Pemegang yang sah berhak menuntut penyerahan barang di tempat tujuan sesuai dengan isi
konosemennya, kecuali bila ia menjadi pemegang tidak sah menurut hukum. Surat-surat yang oleh
pemegang konosemen dikeluarkan kepada pihak ketiga, dengan maksud agar dengan itu diterima
48
3.6. Ganti Rugi yang Dituntut
Dengan adanya perbuatan melawan hukum dari PT. Gespamindo dan PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” tersebut, PT. Sejahtera
Bank Umum berhak menuntut pembayaran dari PT. Gespamindo dan PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” secara tanggung renteng
sejumlah US.$ 169.000,- ditambah ganti rugi, bunga 13% per tahun terhitung
mulai tanggal 24 Maret 1983 sampai dengan 15 November 1984 = US.$
36.378,72, sehingga jumlah seluruhnya US.% 205.738,72,-. Disamping ganti rugi,
dalam Putusan 1887 juga diajukan suatu sita jaminan. Untuk menjamin
pelaksanaan putusan dalam perkara, PT. Sejahtera Bank Umum mohon kepada
Majelis Hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut agar
terhadap barang-barang bergerak milik PT. Gespamindo dan PT. Perusahaan
Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”, diletakkan sita jaminan (conservatoir
beslag). PT. Sejahtera Bank Umum menuntut kepada Pengadilan Negeri Jakarta
Barat untuk memutus di dalam provisi supaya para hakim dimaksud meletakkan
sita jaminan atas barang-barang bergerak berupa alat perlengkapan kantor. Sita
jaminan juga dimintakan kepada para hakim terhadap tanah berikut bangunan
milik PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” yang terletak di
Jalan Let. Jen. S. Parman No. 35 Jakarta Barat.
PT. Sejahtera Bank Umum juga memohon agar para Majelis Hakim tersebut
menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang telah diletakkan sebelumnya.
bagian dari barang-barang yang disebut dalam konosemennya, tidak memberikan hak tersendiri
kepada para pemegangnya atas penyerahan terhadap pengangkut.
49
Selanjutnya PT. Sejahtera Bank Umum kemudian meminta supaya para hakim
menyatakan bahwa PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”
telah melakukan perbuatan melawan hukum. Adapun perbuatan melawan hukum
yang dimaksud adalah dalam kedudukannya sebagai pengangkut dan/atau sebagai
agen pelayaran telah menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk kepada
pihak ketiga tanpa penyerahan B/L asli,60
sehingga merugikan kepentingan
Penggugat sejumlah US.$ 205.738.72.
PT. Sejahtera Bank Umum juga menuntut kepada Pengadilan untuk
menyatakan bahwa PT. Gespamindo telah melakukan perbuatan melawan hukum,
yaitu dengan telah tidak memenuhi kewajibannya kepada PT. Sejahtera Bank
Umum sehubungan dengan pembukaan tiga buah L/C: yaitu pertama, L/C
No.901/0475/83 sebesar US.$ 65.000,-; kedua, L/C No. 901/0476/83 sebesar US.$
65.000,- + US.$ 130.000,- sudah dibayar 10% US.S 13.000,- US.$ 117.000,- ;
ketiga, L/C No. 901/0691/83 sebesar US.$ 65.000,- , dibayar 20% US.$ 13.000,-
US.$ 52.000,- US.$ 169.000,-. Dengan bunga (24 Maret 1983 sampai dengan 15
November 1984); 602 hari x 13% p.a US.$ 36.738,72. Jadi jumlah berikut bunga
sebesar US.$ 205.738,72.
PT. Sejahtera Bank Umum juga meminta Pengadilan Negeri Jakarta Barat
supaya menghukum Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk
membayar kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus uang sejumlah US.$
205.738,72 atau dengan nilai lawan dengan kurs US.$ 1 = Rp 1.072,- yakni
berjumlah 205.738,72 x Rp 1.072 = Rp 220.551.908,- (dua ratus dua puluh juta
60
Inilah aspek yang juga menurut Penulis adalah pelanggaran terhadap nemo dat rule dalam
Putusan 1887.
50
lima ratus lima puluh satu ribu sembilan ratus delapan rupiah), ditambah dengan
bunga yang berlaku bagi suatu pemberian kredit dan jumlah tersebut. Adapun
bunga yang dituntut adalah sebesar 2,5% per bulan, sejak mulai didaftarkannya
gugatan itu sampai dibayar lunas jumlah tersebut di atas.
PT. Sejahtera Bank Umum memohon Pengadilan supaya menyatakan
putusan dalam perkara itu dapat dijalankan lebih dahulu, meskipun andaikata PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dan PT. Gespamindo naik
banding atau kasasi atau mengadakan verzet. Selain itu, PT. Sejahtera Bank
Umum juga memohon kepada Pengadilan supaya biaya-biaya menurut hukum
atau setidak-tidaknya Pengadilan memberi putusan yang seadil-adilnya
sebagaimana layaknya suatu pengadilan yang baik.
3.7. Dalil Pengangkut dan Putusan Hakim
Terhadap gugatan Penggugat Asli tersebut, oleh Tergugat Asli II, dalam hal
ini yaitu suatu perusahaan pengangkutan laut yang mengangkut barang dari satu
negara ke negara lain (internasional) diajukan eksepsi yang pada pokoknya
dengan dalil-dalil bahwa gugatan Penggugat asli campur aduk antara wanprestasi
dengan perbuatan melawan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 1365
KUHPerdata. Karena itu, gugatan Penggugat Asli yang kabur itu harus ditolak
dan/atau dinyatakan bahwa gugatan itu adalah mengenai wansprestasi saja atau
mengenai perbuatan melawan hukum saja. Terhadap gugatan tersebut, Pengadilan
Negeri Jakarta Barat telah mengambil putusan. Adapun Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat itu dibuat pada tanggal 18 September 1985 dengan No.
009/Pdt/G/1985/PN. Jkt. Bar. Amar putusan dimaksud adalah mengabulkan
51
gugatan Penggugat untuk sebagian. Para hakim menyatakan sah dan berharga sita
jaminan yang diletakkan dalam perkara. Selanjutnya para hakim juga menyatakan
bahwa Tergugat I, PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”
telah melakukan perbuatan melawan hukum, yakni dalam kedudukannya sebagai
pengangkut dan/atau sebagai agen pelayaran telah menyerahkan barang berupa
3000 metric ton pupuk Phosphate kepada pihak ketiga tanpa penyerahan B/L asli,
sehingga merugikan Penggugat sebesar US.$ 169.000,- (seratus enam puluh
sembilan ribu US dollar). Amar putusan hakim juga menyatakan bahwa Tergugat
I dihukum untuk membayar dengan tunai dan sekaligus dengan penerimaan surat
tanda pembayaran yang sah, kepada Penggugat yang sebesar US.$ 169.000,-
(seratus enam puluh sembilan ribu U$ dollar), atau dengan nilai lawan dengan
kurs US.$ 1 = Rp 1.072,- atau kurs yang sedang berlaku pada saat pembayaran
dilakukan. Putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu, tanpa mengindahkan
Tergugat I mengajukan perlawanan, banding, atau kasasi (uitvoerbaar bij
voorraad). Para hakim juga menyatakan bahwa mereka menolak gugatan
Penggugat untuk selebihnya dan menghukum Tergugat I untuk membayar biaya
perkara, yang hingga sekarang ditentukan sebesar Rp 90.750. Di tingkat banding,
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat sebagaimana telah dikemukakan di atas
dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I telah diperbaiki oleh
Pengadilan Tinggi Jakarta dengan putusannya tanggal 8 Januari 1986 No.
544/Pdt/1985/PT. DKI. Adapun amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tersebut
adalah Majelis Hakim menerima permohonan banding dari Pembanding semula
Tergugat I, menguatkan Putusan PN Jakarta Barat tanggal 11 September 1985
No.009/Pdt/G/1985PN. JKT. BAR. yang dimohonkan banding, namun demikian
52
para hakim tersebut melakukan perbaikan atas Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat sehingga berbunyi mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Amar
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Barat adalah menyatakan sah dan berharga sita
jaminan yang diletakkan dalam perkara tersebut; Menyatakan bahwa Tergugat I,
PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dalam kedudukannya
sebagai pengakut dan sebagai agen pelayaran dengan menyerahkan barang berupa
3000 metric ton pupuk Phospate kepada pihak ketiga tanpa penyerahan B/L asli
dan Tergugat II, PT. Gespamindo yang telah meminta agar 3000 metric ton pupuk
itu diserahkan tanpa B/L asli, telah melakukan PMH. Hakim menghukum
Tergugat I dan Tergugat II secara tanggung renteng untuk membayar kepada
Penggugat secara tunai dan sekaligus, uang sejumlah US.$ 169.000,- dengan nilai
tukar rupiah pada saat pembayaran dilakukan, ditambah dengan ganti rugi sebesar
6% setahun dari jumlah tersebut, mulai dari gugatan didaftarkan sampai dibayar
lunas. Disamping itu, hakim juga menyatakan perkara itu dapat dijalankan lebih
dahulu, meskipun Tergugat I dan Tergugat II mengajukan upaya-upaya hukum
seperti perlawanan, banding atau kasasi dan menolak gugatan Penggugat
selebihnya. Hakim juga menghukum Tergugat I sekarang Pembanding membayar
biaya perkara 17.750.
3.8. Perkara Kasasi di Mahkamah Agung
Menyusul putusan Pengadilan Tinggi di atas telah diberitahukan kepada
Tergugat I Pembanding pada tanggal 19 Februari 1986, kemudian terhadapnya
oleh Tergugat I Pembanding (dengan perantaraan kuasanya khusus berdasarkan
surat kuasa khusus tanggal 28 Februari 1986) diajukan permohonan kasasi secara
53
lisan pada tanggal 3 Maret 1986 sebagaimana ternyata dari akta permohonan
kasasi No. 014/Srt. Perdata/1986 yang dibuat oleh Panitera Kepala Pengadilan
Negeri Jakarta Barat. Permohonan Kasasi tersebut kemudian disusul oleh memori
kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kapaniteraan Pengadilan
Negeri tersebut pada tanggal 14 Maret 1986. Setelah itu oleh Penggugat-
Terbanding yang pada tanggal 15 Maret 1986 telah diberitahu tentang memori
kasasi dari Tergugat I-Pembanding, diajukan jawaban memori kasasi, diterima
Kapaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 5 April 1986. Baik
pemberitahuan isi putusan maupun permohonan kasasi dilakukan sesudah
Undang-Undang No.14 tahun 1985 berlaku, maka terhadap perkara kasasi
tersebut diberlakukan tenggang-tenggang waktu kasasi menurut Undang-Undang
No.14 tahun 1985. Permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasan yang telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama diajukan dalam tenggang
waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena
itu permohonan kasasi tersebut secara legal dapat diterima.
Keberatan-keberatan yang diajukan oleh Pemohon kasasi dalam memori
kasasi tersebut pada pokoknya adalah bahwa putusan Pengadilan Tinggi yang
menguatkan Putusan Pengadilan Negeri tentang putusan dapat dijalankan lebih
dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) adalah melanggar Pasal 180 (1) HIR jo.
Instruksi Mahkamah Agung tanggal 13 Februari 1958 No.348/K/5216/M dan
surat Mahkamah Agung tanggal 30 Mei 1975 No. 158/0254/i/um/1975 serta surat-
surat edaran Mahmakah Agung No. 06/1975 tanggal 1 Desember 1975,
No.3/1971 tanggal 17 Mei 1971, No.02/1975 tanggal 28 Agustus 1975, karena
54
dalam perkara tersebut tidak ada hal-hal yang bersifat eksepsional. Lagipula
terhadap barang-barang milik Tergugat Asal 1 telah diletakkan sita jaminan yang
nilainya melebihi nilai gugatan.
Menurut dalil Pemohon Kasasi terlihat bahwa dalam gugatan, yang menjadi
pokok perkara bukan karena telah diserahkannya barang yang diangkut oleh
Tergugat Asal I yang in casu atas permintaan Tergugat Asal II, kepada pemesan
sebagaimana terlihat dalam B/L nya. Melainkan karena masih adanya kewajiban
pembayaran oleh Tergugat Asal II kepada Penggugat asal, uang sejumlah US.$
169.000,- sebagai akibat dibukanya L/C untuk mengimpor pupuk dari Australia.
Dengan adanya kenyataan tersebut, maka menurut pemohon kasasi Judex
Facti seharusnya mempertimbangkan, siapa yang dibebani tanggung jawab.
Pengadilan Tinggi menganggap telah terbukti bahwa Tergugat Asal II melakukan
perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat asal,
maka sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, yang wajib
mengganti kerugian adalah Tergugat Asal II.
Di samping itu menurut pemohon kasasi, Judex Facti juga tidak
mempertimbangkan akan hak dan kewajiban masing-masing pihak terhadap
perjanjian yang dibuatnya, yang dalam perkara a quo adalah adanya L/C yang
dibuat oleh dan di antara Penggugat asal dengan Tergugat Asal II dan adanya B/L
yang dibuat oleh dan di antara Tergugat Asal II dengan Tergugat Asal I.
Kedua perjanjian itu menurut Pemohon Kasasi berbeda, yaitu L/C diatur
dalam Undang-Undang Pokok Perbankan, sedangkan B/L diatur dalam KUHD
55
yang menyamakan dengan konosemen atau Surat Berharga dalam mana
pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima barang tertentu untuk
diangkut ke suatu tempat tujuan yang ditunjuk dan disana menyerahkannya
kepada orang yang ditunjuk (Penerima) disertai dengan janji-janji apa penyerahan
akan terjadi dan dalam perkara a quo kedua perjanjian itu merupakan perjanjian
yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri. Sehingga menurut Pasal 1338 (1) dan
Pasal 1340 KUHPerdata, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya juga terpisah satu
sama lain, karena perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya
dan tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga. Mengenai hal ini dapat
dilihat tentang asas kepribadian dalam KUHPerdata, asas Kepribadian adalah asas
yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk
kepentingan perorangan Pasal 1315 dan 1340 KUHPerdata.
Atas dasar itu, menurut Pemohon Kasasi maka kerugian yang ditimbulkan
oleh belum dibayarnya lunas L/C oleh Tergugat asal II tidak dapat dibebankan
kepada Tergugat Asal I dengan alasan barang-barang yang diangkutnya telah
diserahkan tanpa B/L asli, yang notabene penyerahan tersebut telah mendapat
jaminan dari Tergugat Asal II dan sebelumnya telah mendapat pula persetujuan
dari prinsipnya. Putusan Pengadilan Negeri mengenai perkara a quo mengandung
kontradiksi. Di mana dalam pertimbangan hukum menyatakan telah terbukti
bahwa Tergugat Asal II masih mempunyai kekurangan pembayaran kepada
Penggugat asal sebesar US.$ 169.000,- tetapi dalam amarnya menghukum
pembayaran L/C sebesar US.$ 169.000,- Tergugat Asal I secara tanggung renteng
membayar kerugian itu. Putusan Pengadilan Tinggi yang menghukum Tergugat
56
Asal I dan II secara tanggung renteng membayar ganti rugi kepada Penggugat
Asal sebesar US.$ 169.000,- adalah melanggar Pasal 1282 KUHPerdata yang
berbunyi; “tiada perikatan dianggap tanggung-menanggung, melainkan jika hal itu
dinyatakan secara tegas”.
Selama persidangan, menurut pendapat Pemohon Kasasi, Penggugat Asal
tidak dapat membuktikan adanya perjanjian/ hubungan hukum antara Penggugat
asal dengan Tergugat Asal I, dan juga tidak dapat membuktikan adanya suatu
perjanjian tanggung renteng antara Tergugat Asal I dengan Tergugat Asal II, dan
pula tidak ada undang-undang yang menetapan demikian. Selain itu, Penggugat
Asal tidak dapat membuktikan bahwa kerugian yang diderita Penggugat Asal
adalah sebagai akibat perbuatan Tergugat Asal I. Oleh karena Penggugat asal
tidak dapat membuktikan secara terinci kerugian yang dideritanya, maka gugatan
tentang ganti rugi harus ditolak. Menurut Pemohon Kasasi suatu putusan
Pengadilan tidak boleh mengandung kontradiksi antara pertimbangan hukum
dengan amar dalam pelaksanaannya (Putusan Mahkamah Agung tanggal 18
Desember 1971 No. 598 K/Sip/1971 dan Putusan Mahkamah Agung tanggal 25
Maret 1972 No.51 K/Sip/1972). Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, maka
menurut pendapat Pemohon Kasasi tidak ada alasan bagi Judex Facti untuk
menghukum Tergugat Asal I secara tanggung renteng dengan Tergugat Asal II
untuk membayar ganti kerugian kepada Penggugat asal. Putusan Pengadilan
Tinggi yang mengabulkan bunga ganti rugi sebesar 6% setahun juga menurut
pendapat Pemohon Kasasi adalah melanggar hukum yang berlaku tentang bunga
pinjaman di bank. Penggugat Asal tidak dapat membuktikan bahwa antara
57
Tergugat Asal I dengan Penggugat Asal ada suatu hubungan hukum. Dengan
demikian telah tidak terbukti pula bahwa antara Tergugat asal I dengan Penggugat
asal ada perjanjian mengenai bunga. Dari Putusan Mahkamah Agung tanggal 7
Agustus 1975 No. 1114 K/Sip/1972 dapat diketahui dengan jelas bahwa tuntutan
bunga harus diperjanjikan dalam perjanjian, tanpa ada diperjanjikan, tuntutan
bunga harus ditolak. Dalam perkara a quo, bunga yang dituntut sebagai ganti rugi
tersebut tidak diperjanjikan dalam perjanjian L/C dan tuntutan bunga ganti rugi
sebesar 13% per tahun bukan merupakan bunga bank sebagaimana lazimnya.
3.9. Letter of Credit Surat Kredit Bernilai Tunai
Surat Perjanjian yang dikenal dengan L/C dapat dikatakan juga sebagai
suatu perjanjian antara satu orang dengan orang lain yang mungkin berdasarkan
rasa keadilan dapat ditetapkan oleh Pengadilan besarnya bunga sebagai ganti rugi,
melainkan merupakan suatu perjanjian pinjam meminjam antar bank di satu pihak
dengan peminjam di lain pihak. Menurut Pendapat Penulis dalam L/C
"peminjam", bukan suatu hubungan hukum hutang-piutang, tetapi surat tanda
bukti Pembiayaan Internasional oleh suatu Bank (the issuing Bank) berkewajiban
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu. Sehingga, seharusnya tentang
bunga secara tegas dicantumkan dalam perjanjian dan apabila tidak adalah
merupakan resiko bank sendiri. Putusan Pengadilan Tinggi yang menguatkan
dengan perbaikan Putusan Pengadilan Negeri menurut Pemohon Kasasi terdapat
ketidaktertiban dalam beracara dan mengandung kontradiksi dan kabur, serta
melanggar Pasal 181 (1) HIR dan Pasal 184 (1) HIR. Dalam pertimbangan
hukumnya, Pengadilan Negeri menyatakan bahwa telah terbukti berdasarkan
58
hukum bahwa Tergugat asal II mempunyai kekurangan pembayaran kepada
Penggugat Asal sejumlah US.$ 169.000,- hingga dengan demikian tuntutan
Penggugat asal sepanjang Tergugat Asal II tidak memenuhi kewajibannya kepada
Penggugat asal sejumlah US.$ 169.000,- harus dikabulkan. Akan tetapi dalam
amarnya, apa yang telah dipertimbangkan itu sama sekali tidak tercantum.
Sewaktu dalam tingkat Banding, terhadap hal tersebut telah diajukan
keberatan oleh Tergugat Asal I dalam memori bandingnya, sehingga Pengadilan
Tinggi hendak memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri tentunya hal tersebut
dipertimbangkan. Akan tetapi, kenyataannya hal tersebut tidak dipertimbangkan
oleh Pengadilan Tinggi. Andaikata Pengadilan Tinggi hendak mengadili sendiri,
menurut Pemohon Kasasi seharusnya Pengadilan Tinggi membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri lebih dahulu dan kemudian dengan pertimbangannya sendiri
memberikan putusannya. Putusan Pengadilan Negeri mengenai ganti rugi dan
tanggung renteng adalah tepat. Sehingga, Tergugat Asal I tidak memperoleh lagi
dalam memori bandingnya, akan tetapi kenyataannya Pengadilan Tinggi telah
meninjau Putusan Pengadilan Negeri yang tidak dibanding itu dan mengubahnya
dengan mengabulkan tuntutan Penggugat Asal akan bunga ganti rugi dan
tanggung renteng. Sehingga menurut Pemohon Kasasi dalam hal ini Pengadilan
Tinggi telah menyimpang dari Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Desember
1975 No.261 K/Sip/1973.
Kecuali itu, menurut Pemohon Kasasi Putusan Pengadilan Tinggi juga
mengandung kontradiksi dan kabur, karena di satu pihak menyatakan bahwa
kerugian yang diderita Penggugat asal adalah sebanyak sisa pelunasan L/C yang
59
masih harus dibayar oleh Tergugat Asal II sebesar US.$ 169.000,-, tetapi dilain
pihak menyatakan bahwa Tergugat I telah melakukan perbuatan melanggar
hukum dan dihukum untuk membayar kerugian yang diderita Penggugat Asal
sebesar US.$ 169.000,- secara tanggung renteng, meskipun Penggugat asal tidak
dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya itu adalah akibat perbuatan
Tergugat Asal I.
Kemudian ternyata pula bahwa Putusan Pengadilan Tinggi telah melanggar
Pasal 181 (1) HIR jo. Pasal 184 (1) HIR tentang biaya perkara, yaitu dalam
putusannya, Pengadilan Tinggi telah memutuskan bahwa Tergugat Asal I dan II
telah melakukan perbuatan melawan hukum dan karenanya menghukum Tergugat
Asal I dan II secara tanggung renteng membayar kepada Penggugat asal uang
sejumlah US.$ 169.000,- sehingga ini berarti bahwa Tergugat Asal I dan II
dinyatakan sebagai pihak yang kalau dan berdasarkan Pasal 181 (1) HIR jo 184
(1) HIR harus dihukum untuk membayar biaya perkara. Akan tetapi kenyataannya
dalam amar, yang dihukum untuk membayar biaya perkara hanya Tergugat Asal I.
Judex Facti baik dalam proses pemeriksaan dan dalam putusannya terdapat
keanehan-keanehan dan ketidaktertiban dalam beracara.
Pertimbangan Pengadilan Negeri menyatakan Tergugat Asal II terbukti
melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu tidak melunasi kekurangan
pembayaran L/C kepada Penggugat Asal, akan tetapi anehnya amar putusannya
tidak mencantumkan hukuman terhadap Tergugat Asal II. Malah, yang
dicantumkan adalah hukuman terhadap Tergugat Asal I, meskipun Penggugat
60
Asal tidak dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat
perbuatan Tergugat Asal I.
Pada waktu putusan diucapkan jelas dinyatakan oleh Majelis Pengadilan
Negeri bahwa biaya perkara dibebankan kepada Tergugat Asal II, demikian pula
sebagaimana tercantum dalam akta banding, tetapi dalam amar putusan, yang
dihukum membayar biaya perkara adalah Tergugat Asal I.
Putusan Pengadilan Tinggi terdapat kontradiksi dan kabur, karena di satu
pihak menyatakan bahwa kerugian yang diderita Penggugat Asal adalah karena
belum dilunasinya sisa pembayaran L/C oleh Tergugat Asal II dan karena itu
tuntutan tersebut dapat dikabulkan. Akan tetapi anehnya Tergugat Asal I juga
turut dihukum secara tanggung renteng, meskipun Penggugat asal tidak dapat
membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya adalah akibat perbuatan Tergugat
Asal I. Lebih aneh lagi, menurut Pemohon Kasasi bahwa berkas perkara dikirim
oleh Pengadilan Negeri tanggal 21 November 1985, tetapi telah diterima oleh
Pengadilan Tinggi pada tanggal 19 November 1985.
3.10. Pertimbangan-pertimbangan Mahkamah Agung
Para hakim dalam majelis Peradilan Kasasi yang terdiri dari R. Poerwoto
Soehadi Gandasoebrata, S.H., Wakil ketua sebagai ketua, Ny. Djoewarini, S.H.,
dan Yahya, S.H, sebagai Hakim-Hakim Anggota mempertimbangkan jika
keberatan yang diajukan Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan, karena hal
tersebut tidak perlu dipertimbangkan, sebab amar dalam putusan kasasi tidak
perlu menyebutkan tentang serta merta. Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah
61
menerapkan hukum demikian menurut para Majelis Hakim, lagi pula keberatan
tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang
suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam tingkat kasasi
karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
dilaksanakan atau ada kesalahan dalam perlaksanaan hukum, sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No.14 Tahun 1985. Tidak ada
perjanjian antara Tergugat Asal I dan Tergugat Asal II yang menyatakan dengan
tegas adanya tanggung jawab renteng sesuai dengan ketentuan Pasal 1282
KUHPerdata. Oleh karena telah terbukti bahwa Penggugat Asal menderita
kerugian sebesar US.$ 169.000,- sebagai akibat dari kesalahan/perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh Tergugat-tergugat Asal, di mana Tergugat
Asal I sebagai pengangkut dan/atau agen pelayaran atas permintaan Tergugat Asal
II telah menyerahkan barang-barang yang diangkutnya kepada pihak ketiga tanpa
penyerahan B/L, maka adalah adil apabila resiko atas kesalahan bersama itu
dipikul oleh Tergugat-Tergugat asal secara bersama-sama pula yakni masing-
masing setengah bagian dari US.$ 169.000,- atau Tergugat Asal I dan II masing-
masing dihukum untuk membayar kepada Penggugat asal, uang sejumlah US.$
84.500,-. Mengenai penilaian hasil pembuktian, seperti telah dipertimbangkan di
atas, keberatan serupa itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat
kasasi, demikian pertimbangan para Majelis Hakim yang memutus perkara itu.
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah menerapkan hukum. Pengadilan Tinggi
Jakarta seharusnya membatalkan lebih dahulu Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Barat, sepanjang mengenai gugatan terhadap Tergugat Asal II dan bunga, dan
mengadilinya sendiri tentang hal-hal tersebut. Pengadilan Tinggi Jakarta tidak
62
salah menerapkan hukum, sebab dalam tingkat banding, perkara diperiksa lagi
secara keseluruhan. Tergugat Asal I dan II telah dinyatakan kalah dalam perkara
ini, maka Tergugat Asal I dan II harus dihukum untuk membayar ongkos perkara.
Pengadilan Tinggi Jakarta tidak salah menerapkan hukum, kecuali mengenai
tanggung renteng. Menurut pendapat Mahmakah Agung, cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon kasasi. PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” tersebut di atas, dan untuk
membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta tanggal 8 Januari 1986. No.
554/PDT/1985/PT. DKI, yang menguatkan dan memperbaiki Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Barat tanggal 11 September 1985 No. 009/Pdt/G/1985/PN. Jkt.
Bar. Sehingga Mahkamah Agung mengadili sendiri dengan amar sepanjang
mengenai tanggung renteng dan ongkos perkara bahwa dalam perkara tersebut
Pemohon kasasi/ Tergugat Asal I dan Turut Termohon Kasasi/ Tergugat Asal II
sebagai pihak yang dikalahkan harus membayar semua biaya perkara, baik yang
jatuh dalam tingkat pertama dan tingkat banding, maupun yang jatuh dalam
tingkat kasasi, masing-masing separo-separo.
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No.14 Tahun 1970 dan
Undang-Undang No.14 Tahun 1985 yang bersangkutan Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia” tersebut dan membatalkan Putusan Pengadilan
Tinggi Jakarta tanggal 8 Januari 1986 No. 544/Pdt/1985/PT. DKI yang
menguatkan dan memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal
11 September 1985 No. 009/Pdt/G/1985/PN. Jkt. Bar, sepanjang mengenai
63
tanggung renteng dan ongkos perkara. Mahkamah Agung RI yang mengadili
sendiri perkara di tingkat Kasasi itu memutuskan bahwa Menolak Eksepsi
Tergugat II. Selanjutnya Mahkamah Agung juga menyatakan sah dan berharga
conservatoir beslag yang dilaksanakan oleh Panitera Pengganti Pengadilan Negeri
Jakarta Barat tanggal 29 Januari 1986 No. 009/Pdt/1985/PN. Jkt. Bar atas
sebidang tanah beserta dua buah bangunan yang berdiri diatasnya yang terletak di
Jalan Let. Jen. S. Parman No.35 (Slipi) Jakarta Barat. Tergugat I dan Tergugat II
telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum Tergugat I dan
Tergugat II membayar kepada Penggugat secara tunai dan sekaligus, masing-
masing setengah bagian dari US.$ 169.000,- atau masing-masing sejumlah US.$
84.500,- ditambah dengan bunga sebesar 6% setahun dari jumlah tersebut mulai
dari gugatan didaftarkan sampai dibayar lunas serta menolak gugatan Penggugat
untuk selebihnya. Mahkamah Agung dalam putusan atas perkara tersebut
menghukum Pemohon Kasasi dan Turut Termohon Kasasi untuk membayar biaya
perkara, baik yang jatuh dalam tingkat pertama dan tingkat banding maupun yang
jatuh dalam tingkat kasasi masing-masing separo-separo dan biaya dalam tingkat
kasasi ini ditetapkan sebanyak Rp 20.000,-.
3.11. Analisis Nemo Dat Rule dalam Putusan 1887
Fakta yang dapat dilihat dalam gugatan, yakni kerugian yang dialami oleh
PT. Sejahtera Bank Umum sebagai the issuing bank yang telah menerbitkan tiga
buah L/C melalui the Chartered Bank di Jakarta senilai US $195.000,- guna
membayar secara tunai terlebih dahulu 3000 metric ton pupuk yang dibeli oleh
PT. Gespamindo (importir) kepada perusahaan pupuk di Australia yakni Phosphat
64
Mining Co. (eksportir), merupakan akibat dari perbuatan PT. Perusahaan
Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” sebagai pengangkut yang telah
menyerahkan 3000 metric ton pupuk tersebut kepada PT. Gespamindo tanpa B/L.
Kemudian, 3000 metric ton pupuk tersebut dijual kembali kepada tiga subjek
hukum pemesan pupuk yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT.
Sinar Mulia Buana oleh PT. Gespamindo. Disisi lain, PT. Gespamindo terbukti
belum melunasi kewajibannya kepada PT. Sejahtera Bank Umum. Adapun nilai
total harga pupuk yang harus dilunasi PT. Gespamindo seluruhnya adalah sebesar
US $169.000,-. Sehingga hakim mengadili dan memutus perkara dengan
menggunakan hukum positif Indonesia yaitu KUHPerdata Pasal 1365 yakni
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daat), dan menghukum PT.
Gespamindo dan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”
bertanggungjawab secara renteng, masing-masing untuk membayar kepada PT.
Sejahtera Bank Umum secara tunai dan sekaligus uang sejumlah US $ 84.500,.
Meskipun pada dasarnya Hakim hanya memutuskan sesuai dengan apa yang
menjadi gugatan oleh Penggugat, namun putusan akan menjadi lebih bermanfaat
dan adil apabila Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara dalam Putusan
1887 tersebut seharusnya berusaha menemukan kaidah ataupun asas yang sejalan
dengan hakikat dari suatu hubungan hukum dan hakikat atau inti dari suatu
hubungan hukum yang terletak pada faktor-faktor yang menyebabkan hubungan
hukum itu menjadi khas karakteristiknya.
Hal demikian sekaligus memperdalam kualitas putusan hakim yang
memutus perkara pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Putusan
65
Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 009/PDT/1985/PN.JKT.BAR., yaitu putusan
tanggal 18 September 1985, menyatakan bahwa PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia” telah melakukan perbuatan melawan hukum,
yakni dalam kedudukannya sebagai pengangkut dan/atau sebagai agen pelayaran
telah menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk kepada pihak ketiga
tanpa penyerahan B/L. Sehingga penyerahan pupuk tersebut merugikan
Penggugat (PT. Sejahtera Bank Umum) sebesar US.$ 169.000,-. Pengadilan juga
menghukum PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” untuk
membayar dengan tunai dan sekaligus dengan penerimaan surat tanda pembayaran
yang sah kepada PT. Sejahtera Bank Umum sebesar US.$ 169.000,-, atau dengan
nilai lawan dengan kurs US.$ 1 = Rp. 1.072,- atau kurs yang sedang berlaku pada
saat pembayaran dilakukan. Putusan PN Jakarta Barat No. 009/PDT/G/1985/PN.
JKT. BAR., di atas memang telah diperbaiki oleh Pengadilan Tinggi Jakarta
dengan putusannya tanggal 8 Januari 1986 No. 544/PDT/1985/PT. DKI. Adapun
amar Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta itu adalah menguatkan Putusan PN
Jakarta Barat tanggal 11 September 1985 No. 009/PDT/G/1985/PN. JKT. BAR.,
yang dimohonkan Banding ini. Akan tetapi, dengan perbaikan bahwa PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dalam kedudukannya
sebagai pengangkut dan sebagai agen pelayaran dengan menyerahkan barang
berupa 3000 metric ton pupuk Phospate kepada pihak ketiga tanpa penyerahan
B/L dan Tergugat II, PT. Gespamindo yang telah meminta agar 3000 metric ton
itu diserahkan tanpa B/L, telah melakukan perbuatan melawan hukum. Oleh
karena itu, para hakim Pengadilan Tinggi itu menghukum PT. Perusahaan
Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dan PT. Gespamindo secara tanggung
66
renteng untuk membayar kepada PT. Sejahtera Bank Umum secara tunai dan
sekaligus uang sejumlah US.$ 169.000,- dengan nilai tukar rupiah pada saat
pembayaran dilakukan, ditambah dengan ganti rugi sebesar 6% setahun dari
jumlah tersebut mulai dari gugatan didaftarkan sampai dibayar lunas.
Putusan pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang telah
dikemukakan diatas menunjukkan bahwa yang menjadi pokok perkara adalah
kerugian yang dialami oleh PT. Sejahtera Bank Umum yang disebabkan oleh
perbuatan PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” dalam
kedudukannya sebagai pengangkut dan/atau sebagai agen pelayaran telah
menyerahkan barang berupa 3000 metric ton pupuk kepada pihak PT.
Gespamindo tanpa penyerahan B/L. Kemudian oleh PT. Gespamindo 3000 metric
ton pupuk tersebut diserahkan kepada PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas
dan PT. Sinar Mulia Buana. Disisi lain bahwa PT. Gespamindo belum melunasi
kewajibannya kepada PT. Sejahtera Bank Umum. Menurut penulis, apabila
diperhatikan perkara tersebut mengandung perbuatan pelanggaran atas asas dan
kaidah dalam hukum perdagangan internasional yaitu nemo dat rule. Maka dalam
penerapan hukum yang lebih berlaku dalam transaksi, seharusnya akan lebih
bermanfaat dan adil apabila Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara
tersebut menerapkan asas dan kaidah hukum perdagangan internasional yaitu
nemo dat rule.
Adapun analisis bahwa seharusnya Hakim dalam memutuskan perkara
dalam Putusan 1887 dapat menerapkan asas dan kaidah hukum perdagangan
internasional, karena seperti yang telah dikemukakan pada Bab I Skripsi ini, yakni
67
transaksi yang ada dalam Putusan 1887 telah memenuhi karakteristik/ciri-ciri
transaksi perdagangan internasional. Adapun karakteristik/ciri-ciri transaksi
perdagangan internasional yang dimaksud adalah (1) adanya pergerakan barang
ataupun jasa yang berpindah dari suatu negara ke negara lain; (2) kedudukan
tempat berusaha para pihak dalam transaksi berada di negara yang berbeda; dan
(3) hibrida.
Pertama, dengan melihat apakah dalam transaksi tersebut melibatkan
pergerakan barang atau jasa yang berpindah dari satu negara ke negara lain.
Transaksi dalam Putusan 1887, yakni pembelian pupuk sejumlah 3000 metric ton
oleh PT. Gespamindo yang berkedudukan di Indonesia dari Phosphate Mining
Company of Christmas Island Limited. Perusahaan asing yang Penulis sebutkan
belakangan itu adalah suatu badan hukum berkewarganegaraan Australia dan
berkedudukan di Canberra, Australia. Disini telah terjadi pergerakan barang
berupa pupuk yang berpindah dari negara Australia pindah ke negara Indonesia
yang diangkut oleh perusahaan pengangkutan PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia”. Kedua, dengan melihat apakah kedudukan
tempat berusaha dari masing-masing pihak dalam transaksi ada di negara yang
berbeda. Transaksi dalam Putusan 1887 yakni pihak Pengekspor adalah
Phosphate Mining Co. yang berkedudukan di negara Australia dan Pengimpor
adalah PT. Gespamindo yang berkedudukan di negara Indonesia. Disini terlihat
jelas, bahwa kedudukan para pihak yang bertransaksi ini berada di negara yang
berbeda. Ketiga, dengan cara hibrida, yakni cara yang umum digunakan oleh
banyak pihak dalam menentukan karakteristik perdagangan internasional yaitu
68
dengan memperhatikan jual-beli ekspor (export sales). Transaksi dalam Putusan
1887 jelas memperlihatkan bahwa transaksi yang diadakan merupakan transaksi
perdagangan berkarakteristik internasional, sebab jual beli tersebut melibatkan
pihak Phosphate Mining Co. yang bertindak sebagai eksportir yang berkedudukan
di negara Australia dan PT. Gespamindo yang bertindak sebagai importir yang
berkedudukan di negara Indonesia dan melibatkan pergerakan barang berupa
pupuk dari negara Australia berpindah ke negara Indonesia.
Analisis demikian memperlihatkan bahwa transaksi ini adalah suatu
transaksi perdagangan internasional. Sehingga, seperti yang telah dikemukakan di
atas, idealnya apabila transaksi yang ada adalah transaksi perdagangan
internasional, maka akan lebih bermanfaat dan adil, hukum yang diterapkan untuk
menyelesaikan perkara dalam Putusan 1887 adalah hukum yang mengatur
perdagangan internasional. Seperti yang telah beberapa kali dikemukakan oleh
Penulis bahwa asas dan kaidah yang dimaksud adalah nemo dat rule.
Nemo dat rule pada hakikatnya suatu kontrak tersebut, apabila dipergunakan
oleh para Hakim yang memeriksa perkara dalam Putusan 1887 itu maka Putusan
1887 itu akan menjadi suatu penemuan hukum yang lebih berkualitas. Hal itu
akan terlihat seperti analisis berikut di bawah ini:
Pertama, mengingat nemo dat rule itu, seperti telah dikemukakan di atas
pada hakikatnya adalah suatu kontrak, maka apabila analisis itu dimulai dari para
pihak (the party to contract) yang dapat dilihat di dalam Putusan 1887, maka
mulai dari tahap penyerahan Pupuk di Australia, sejatinya perbuatan hukum itu
telah memenuhi ketentuan larangan nemo dat rule. Mengapa demikian? Sebab
69
pemuatan pupuk di Australia yang bisa dibaca dalam Putusan 1887 dilakukan
dengan cara memuat barang-barang (subject-matter of the contract) atau obyek
perjanjian berupa pupuk di atas premis atau kapal milik dari pihak PT. Perusahaan
Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” sesungguhnya adalah penyerahan dari
orang atau pihak (the party to contract) berhak atas barang yang dijual. Tidak
dapat disangkal lagi, bahwa 3000 metric ton pupuk yang dimuat di atas Kapal PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” itu adalah Pupuk milik
Phosphate Mining Co. di Australia, suatu subyek hukum berkebangsaan Australia.
Sehingga dapat dikatakan bahwa di sini, nemo dat rule juga berdimensi
internasional mengingat asas atau kaedah hukum itu dalam Putusan 1887
mengatur suatu transaksi yang berdimensi internasional.
Hanya saja, penguasaan (possesion) pihak PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia” atas 3000 metric ton pupuk, mengingat pupuk
itu tidak terelakan berada di atas Kapal milik atau dalam penguasaan PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia”, dalam perspektif nemo
dat rule, tidak dapat dikatakan sebagai suatu penguasaan barang yang memenuhi
syarat sebagai seorang pemilik, namun seperti telah dikemukakan dalam Bab II
hal tersebut adalah agency yang bersifat apparent. Itu berarti bahwa penerbitan
B/L oleh PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” itu, apabila
B/L berfungsi sebagai tanda terima penyerahan barang dari Phospate Minging Co.
kepada Bank yang membayar, dilakukan oleh PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia” atas nama (on behalf of) pihak yang membayar
3000 metric ton pupuk itu dari tangan Phospate Mining Co. Pihak tersebut, dapat
70
dipastikan seharusnya adalah the Chartered Bank di Jakarta, dan bukan PT.
Sejahtera Bank Umum. Hanya saja, Penulis perlu kemukakan di sini bahwa sangat
disayangkan, bahwa the Chartered Bank di Jakarta itu tidak menjadi pihak dalam
Putusan 1887 sama sekali. Bisa jadi, PT. Sejahtera Bank Umum telah melunasi
docummentary credit dari tangan the Chartered Bank di Jakarta. Sehingga dari
perspektif nemo dat rule, sudah cukuplah untuk dapat dikatakan bahwa
sesungguhnya PT. Sejahtera Bank Umum sudah dapat menjadi pemilik dari 3000
metric ton pupuk tersebut, meskipun dalam kenyataanya bank tidak berurusan
dengan barang namun hanya berurusan dengan dokumen dalam suatu transaksi
seperti pembayaran internasional yang terjadi dalam Putusan 1887 itu.
Kedua, dari perspektif nemo dat rule, merujuk kepada analisis pertama yang
baru saja Penulis kemukakan di atas, maka dapat dibenarkan apabila para hakim
menganggap bahwa barang, dalam hal ini 3000 metric ton pupuk itu sebetulnya
sudah menjadi milik dari PT. Sejahtera Bank Umum. Dengan demikian bahwa
hanya PT. Sejahtera Bank Umum yang bebas berbuat apapun terhadap 3000
metric ton pupuk tersebut termasuk mengalihkan kepemilikan pupuk tersebut.
Sehingga penguasaan atas barang-barang itu oleh PT. Perusahaan Pelayaran
Samudera “Samudera Indonesia” sejatinya adalah penguasaan berdasarkan
hubungan keagenan (agency) yang bersifat (apparent). Dengan demikian, maka
tidak ada mandat sebetulnya yang diberikan oleh PT. Sejahtera Bank Umum
kepada PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” untuk
menyerahkan kepemilikan pupuk itu kepada tiga pemesan pupuk dari PT.
Gespamindo. Penyerahan pupuk oleh PT. Perusahaan Pelayaran Samudera
71
“Samudera Indonesia” kepada ketiga pemesan itu, hanya berdasarkan perintah
dari PT. Gespamindo adalah pelanggaran terhadap nemo dat rule, dalam
pengertian seseorang tidak dapat memberikan sesuatu yang bukan miliknya. PT.
Gespamindo seharusnya di mata para Hakim Agung yang mengadili dalam
Putusan 1887 haruslah dilihat telah melakukan pelanggaran terhadap asas yang
berdimensi hukum perdagangan internasional (lex mercatoria), tidak semata-mata
hanya menerapkan Pasal 1365 KUHPerdata yaitu perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad) yang sudah dinyatakan oleh para Hakim itu dalam Putusan
1887.
Ketiga, analisis juga perlu diarahkan kepada perpindahan barang dari PT.
Perusahaan Pelayaran Samudera “Samudera Indonesia” yang pada galibnya
menguasai pupuk tersebut atas nama dan untuk PT. Sejahtera Bank Umum kepada
ketiga pemesan pupuk dari PT. Gespamindo yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas
Dua Belas dan PT. Sinar Mulia Buana. Analisis demikian itu perlu dilakukan
mengingat orang akan bertanya, mengapa ketiga pemesan pupuk tersebut tidak
masuk dalam Putusan 1887 dan dalam kenyataanya mereka justru menguasai
pupuk tersebut tanpa suatu gangguan apapun. Menurut Penulis, hal itu terjadi,
mengingat seperti telah Penulis kemukakan di Bab II tentang Tinjauan
Kepustakaan skripsi ini, ada pengecualian (exemption) terhadap nemo dat rule.
Pengecualian terhadap nemo dat rule yang berlaku dalam hukum perdagangan
internasional atau lex mercatoria terjadi tidak semata-mata untuk melindungi
transaksi perdagangan internasional dalam hal ini perpindahan barang secara
bebas. Namun, peralihan itu dibenarkan mengingat ketiga pemesan pupuk tersebut
72
menurut Penulis, telah menguasai pupuk itu secara bonafit (bona fide) atau
beriktikad baik (in good faith).
Apabila hal ini diperhatikan dan kemudian diterapkan oleh para Hakim
dalam memeriksa perkara dalam Putusan 1887, maka akan memberi dimensi
penemuan hukum yang lebih jelas. Ketiga pihak pemesan 3000 metric ton pupuk
yakni PT. Putra Buana, PT. Kapuas Dua Belas dan PT. Sinar Mulia Buana telah
menguasai 3000 metric ton pupuk secara beritikad baik. Dengan kata lain bahwa
ketiga pihak tersebut merupakan pembeli yang beritikad baik. Hal ini dapat dilihat
dari perolehan pupuk oleh ketiga pihak tersebut yaitu dengan cara dibayarnya
pupuk tersebut dengan nilai yang sesuai atau pantas dengan 3000 metric ton
pupuk tersebut, meskipun ketiga pihak tersebut tidak terlebih dahulu mengetahui
secara pasti mengenai siapa sesungguhnya pemilik pupuk tersebut. Sehingga
pembeli beritikat baik ini diberikan perlindungan dengan menghargai bahwa hak
atau titel yang ia peroleh adalah titel yang baik.
Recommended