View
7
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
1
55
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DALAM
PEMBERLAKUAN UU NO 1 TAHUN 1974
A. Sejarah Perkembangan Islam Di Indonesia
Sejarah Masuknya Islam ke indonesia
Sejarah perkembangan hukum Islam di indonesia tidak dapat dipiisahkan
dari sejarah Islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam samalah artinya dengan
membicarakan Islam sebagai sebua agama. Benarlah apa yang dikatakan Oleh
Joseph Sacht, tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam.
Ini menunjukan bahwa hukum sebagai sebuuah institusi agama memiliki
kedudukan yang sangat signifikan.
Islam masuk ke Indonesia pada abad I H atau abad VII M yang dibawa
oleh pefagang-pedagang Arab.Tidaklah berlebihan jika era di mana hukum Islam
untuk pertama kalinya masuk ke wilayah Indonesia.Namun penting untuk di
catatan Bruinesessen, penekanan pada aspek fikih sebenarnya adalah fenomena
yang berkembang belakangan.Pada masa-masa yang paling awal berkembang
Islam di Indonesia penekanannya tampak pada tasawuf. Kendati demikian hemat
penulis pernyataan ini tidaklah berarti fikih tidak penting mengingat tasawuf yang
berkembang di Indonesia adalah tasawuf Sunni yang menempatkan fikih pada
posisi yang signifikan dalam struktur bangunan tasawuf sunni tersebut.1
1 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi
Kritis perkembangan hukum Islam dari Fikih, UU No 1 tahun 1974 Sampai KHI ), Jakarta: PT
Kharisma Putra Utama, 2001 ) h. 3
56
Beberapa ahli menyebut bahwa hukum Islam yang berkembang di
Indonesia bercorak Syafi‘iyyah. Ini ditunjukan dengna bukti-bukti sejarah di
antaranya, Sultan Malikul Zahir darii samudra Pasai adalah seorang ahli agama
dan hukum Islam terkenal padda pertengahan abad ke XIV M. Menurut Ibnu
Batutah seorang kelana asal Maroko yang berkunjung ke Aceh pada tahun 1345
M menyaksikan kemahiran Malikul Zahir dalam berdiskusi berkenaan dengan
hukum Islam malah menurutnya Malikul Zahir dapat disebut sebagai seorang
Fukaha Syafi‘iyyah. 2
Melalui kerajaan ini, hukum Islam maazhab Syafi‘I disebarkan ke
kerajaan-kerajaan Islam lainya di kepulauan Nusantara.Bahkan para ahli hukum
dari kerajaan Malaka ( 1400-1500 M ) sering datang ke samudra Pasai untuk
mencari kata putus tentang permasalahan-permasalahan hukum yang muncul di
malaka.
Selanjutnya Nuruddin ar Raniri ( w. 1068 H/1658 M ) yang menulis buku
hukum Islam berjudul Shirat al-Mustaqim pada tahun 1628 dapat disebut sebagai
tokoh Islam abad XVII. Kitab Sirat Al Mustaqim, karya-karya fikih ar raniri
lainya dapat dilihat pada Jawahir al- „Ulum fi Kasf al-Ma‟lum, Kaifiyyat as-sallat
dan Tanbih al-awm fi Tahqiq al-kalaam fi‟an Nawafil.
Tokoh yang termasuk angkatan abad XVII selain al Raniri adalah Abd al-
Rauf as-Sinkili ( 1042-1105 H). Ia termasuk mujtahid Nusantara yang menukis
karya fikih yang cukup baik berjudul, Mir‟at al-Tullab fi Tasyi al-ma‟rifah al-
Ahkam al- Syar‟iyyah li al- Malik al-Wahhab. Karya ini ditulis as- Sinkili atas
2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan Hukum Perdata Islam di Indonesia,… hal 69
57
pemerintahan Sultan Aceh, sayyidat al-Din dan diselesaikan pada tahun
1074/1633 M. Seperti yang diutarakan Azyumardi Azra, buku ini tampaknya
ditulis dalam suasana psikologis yang mendua. Penerimaan As-Sinkili terhadap
kepemimpinan wanita di Aceh di pandang bahwa ia telah mengompromikan
integritas intelektualnya, bukan saja untuk menerima perintah seorang perempuan,
tapi juga dengan tidak memecahkan masalah itu secara layak. Namun demikian,
ungkap Azra, kasus ini juga merupakan indikasi toleransi pribadinya.
Pada abad XVIII M, tokoh Islam dalam bidang hukum Islam adalah Syekh
Arsyad al-Banjari ( 1710-1812 M ). Ia menulis kitab dikih yang berjudul Sabilal
Muhtadinn Li tafaqquh fi Amr al-Din yang juga bercorak Syafi‘iyyah, dijadikan
pedoman untuk menyelesaikan sengketa di kesultanan Banjar. Kitab ini
sebenarnya merupakan Syarah terhadap Kita bar-Raniri yang berjudul Shirat al-
Mustaqim.
Berbeda dengan kitab-kitab fikih sebelumnya yang sangat kental corak
tasawufnya di samping berangkat dari realitas dan permasalahan yang langsung
dihadapi oleh masyarakat, Al Banjiri telah memperkanalkan corak baru penulisan
fikih yang dikenal dengan fikih iftiradi( Fikih andaian ). Wajarlah jika steenberink
menilai kitab fikihnya al- Banjari tidak berangkat dari kondisi rill
masyarakat.Seperti yang telah dijelaskan di awal pembahasan ini, Corak
Syafi‘iyah juga sangat kentara dalam kitab Sabil al-Muhtadin.Al Banjir juga
menggunakan referensi kitab-kitab Syafi‘iyyah seperti Syarh Minhaj Karya
Zakariya al- Anshari, TuhfahKarya Ibn Hajar al-Haitami dan Nihayah Jamal
karya ar-Ramli.
58
Disamping al-Banjar abad XVIII juga diwarnai dengan keberadaan Syaikh
Abd al- Malik Bin Abdullah Trengganu yang hidup di Aceh pada masa Zainal
Abidin bidang fikih adalah, Risalat an-naql yang membicarakan jumlah orang
yang sah mendiirikan shalat Jum‘at. Risalat Kaifiyat an-Niyah yang berbicara
tentang Niat.
Memasuki abad XIX M tokoh yang layak diperhitungkan adalah Syaikh
Nawawi al-Bantani yang lahir di Banten ( Serang) ( 1813-1879 M ). Karya
fikihnya yang sangat terenal adalah Uqud al- Lujain ( mengenai kewajiban istri )
yang merupakan kitab wajib bagi santri-santri di pesantren-pesantren. Disamping
itu An- Nawawi mewarisi tradisi-tradisi ulama-ulama mazhab masa lalu dalam
bentuk penulisan kitab-kitab syarah.Martin van Brunessen menginformasikan
bahwa al-Bantani pernah menulis kitab komentar-komentar tentang karya penting
dari tempat ― Keluarga ‘‘ kitab fikih. Tausiyah Ibn Qasim-nya merupakan sebuah
komentar atas Fath al- Qarib.Sedangkan kitab Nihayah al-Zain-nya didasarkan
atas kitab Qurrah al- Ain Zainudin Al Malibari. Dia juga menulis dua kitab jenis
perukunan; sullam al-Munajat adalah sebuah komentar atas kitab safinah al- Salah
oleh Abdullah bin Umar al-Hadrami, dan kasyifah al- Saja atas safinah al-Najah
Salim bin Abdullah bin Samir.
Tokoh abad XIX lainya adalah Abdul Hamid Hakim seorang ulama
minangkabau yang kitab-kitabnya tidak saja dipelajari di pesantren-pesantren
khususnya di Minangkabau tetapi juga dipelajari di malysia dan Thailand
Selatan.Karyanya dalam bidang fikih adlaah al- Muin al- Mubin yang dicetak
59
dalam empat jilid, sedang dalam bidang ushul al-fikihnhya adalah Mabadi‟
awwaliyah, as-Sulam dan al- Bayan.
Dari gambaran singkat di atas, tampak bahwa hampir setiap masa selalu
saja diisi oleh ulama –ulama fikih yang bercorak Syafi‘iyyah dan tasawuuf sunni.
Buku-buku yang paling banyak digunakan di Indonesia seperti di pesantren dan
madrasah-madrasah adalah buku-buku yang berada dalam rumpun mazhab
syafi‘i.Kitab Muharrar karya Rafi‘i seorang ulama Syafi‘iiyah ( w.623/1226 ),
Manhaj al- Tullab karya Anshari ( w. 926 ), Iqna‟ karya Syarbini ( w. 977 ),
Hasyiyah Fathu al- Qarib karya al-Bajuri ( w. 1277 ), Muhajjab karya al- Syiraji
adalah di antara kitab-kitab fikih mazhab Syafi‘I yang banyak digunakan bahkan
dijadikan kitab rujukan di pesantren di indonesia sampai saat ini. Corak syafi‘i
tidak saja terlihat dari kitab-kitab yang ditulis dan di gunakan, tetapi tampak pada
praktik keagamaan umat Islam sehari-hari masa itu.
Menarik untuk dicermati, perkembangan hukum Islam di Indonesia pada
masa-masa menjelang abad XVII, XVIII, dan XIX, baik pada tataran intelektual
dalam bentuk pemikiran dan kitab-kitab jug dalam praktik-praktik keagamaan
dapat dikatakan cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam
dipraktikan oleh masyarakat dalam bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna,
mencakup masalah muamalah, ahwal al- Syakhsiyyah ( Perkawinan, perceraian
dan warisan ), peradilan dan tentu saja dalam masalah ibadah. Tidak itu saja,
hukum Islam menjadi system hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-
kerajaan Islam nusantara. Tidaklah salah jika dikatakan pada masa itu jauh
60
sebelum Belanda menancapkan kakiny di Indonesia, hukum Islam menjadi hukum
yang ― positif ‗‘ di Nuasantara.
Hukum Islam pada masa penjajahan belanda
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda
dapat dilihat ke dalam dua bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak belanda
melalui VOC yang memberikan ruang yang agak luas bagi perkembangan hukum
Islam. Kedua, adanya upaya Belanda terhadap hukum Islam dengan
menghadapkanya pada hukum adat. Berangkat dari kekuasaan yang dimilikinya
VOC bermaksud menerapkan hukum Belanda di Indonesia, namun tetep saja tidak
berhasil karena umat Islam tetap setia pada karena umat Islam tetap setia
menjalankan syariatnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di Indonesia
( 1602—1800 M ) hukum Islam dapat berkembang dan dipraktekan dapat
berkembang dan dipraktikkan oleh umatnya tanpa ada hambatan apa pundari
VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC ikut membantu untuk menyusun suatu
compedium yang menguatkan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dan
berlaku di kalangan umat Islam.
Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka
seperti yang terlihat nanti sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati
perubahan itu terjadi perlahan-lahan. Setidaknya perubahan sikap Belanda itu
dapat dilihat dari tiga sisi: Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang
memiliki sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh
Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga,
keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum
61
yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah
kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Khusus yang disebut
terakhir, dibawah ini akan diuraikan kebijakan Belanda terhadap hukum Islam.
1. Recceptie in Complexu
Teori ini digagas oleh Salomon Keyzer yang belakangan dikuatkan oleh
Chiristian Van den Berg ( 1845-1927 ). Maksud teori ini, hukum mengikut
agama yang dianut seseorang. Jika orang itu memeluk agama, hukum Islamlah
yang berlaku baginya. Dengan kata lain, teori ini menyebut bagi rakyat pribumi
yang berlaku bagi mereka adalah hukum agamanya. Namun penting untuk
dicatat, hukum Islam yang berlaku tetap saja dalam masalah hukum keluarga,
perkawinan dan warisan.
Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, hukum Islam telah
teraplikasikan dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam
lingkup yang sangat terbatas yaitu hukum keluarga saja. Menarik untuk
dicermati, ternyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius
terhadap perjalanan hukum Islam. Ini terlihat dari Intruksi-intruksi yang
diterbitkanya kepada bupati dan sultan-sultan berkenaan dengan pelaksanaan
hukum Islam tersebut. Sebagai contoh tersebut. Sebagai contoh bebrapa hal
dapat disebut di bawah ini;
a. Melalui Stbl. No 22 pasal 13 diperintahkan kepada Bupat untuk
memperhatikan soal-soal agama Islam dan untuk menjaga supaya pemuka
agama dapat melakukan tugas mereka sesuai dengan adat kebiasaan orang
Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian pusaka dan yang sejenis.
62
Dari penjelasan di atas tampaklah pada dasarnya pemerintah Hindia belanda
memberikan perhatian yang serius terhadap pelaksaan hukum Islam. Hal ini
menunjukan bahwa perhatian pemerintah Hindia Belanda tersebut harus
dimaknakan sebagai pengawasan terhadap perjalanan hukum Islam sendiri.
Terkesan masih ada kecurigaan-kecurigaan terhadap pelaksanaan hukum Islam.
Ini semakin tampak melalui Intruksi-intruksi yang dikeluarkan kepada Bupati,
penghulu dan sultan itu harus dipahami sebagai kontrol pemerintah Hindia
Belanda dengan menggunakan kekuatan dari Rakyat sendiri terhadap
perjalanan hukum Islam.
B. Teori Receptie
Teori ini dikembangkan oleh sarjana terkemuka Belanda yang disebut sebagai
Islamolog Chiristian Snouck Hurgronjr ( 1857-1936 ) yang selanjutnya
dikembangkan dan disistemasikan secara ilmiah oleh C. Van Volenhoven dan
Ter Harr Bzn.
Ada dua alasan yang menyebabkan teori ini muncul. Menurut Daud Ali, teori
ini muncul adalah karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Hurgronje di
Aceh. Menurutnya yang berlaku dan berpengaruh bagi orang Aceh yang nota
bene umat Islam bukanlah hukum Islam dan hukum Islam baru memiliki
kekuaran hukum kalau telah benar benar di terima oleh hukum Adar.
Sedangkan menurut Ichtiyanto, teori ini muncul karena Hurgronje Khawatir
terhadap pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori oleh Sayid Jamaludin al-
Afghani di Indonesia. Baginya Jika uamt Islam mengamalkan ajaran agamanya
63
terutama system hukumnya secara menyuluruh, maka umat Islamakan menjadi
kuat dan sulit dipengaruhi tepatnya dijajah oleh Belanda.
Secara umum Islam yang disarankan oleh Hurgronje di dasarkan masalah
ritual keagamaan, atau aspek ibadah Islam, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas
menjalankanya.Logika dibalik kebijakan ini adalah membiarkan munculnya
keyakinan dalam pikiran banyak orang bahwa pemerintah kolonal belanda tidak
ikut campur tangan dalam masalah keimanan mereka. Ini merupakan wilayah
yang peka bagi kaum muslim karena hal itu menyentuh nilai-nilai keagamaan
mereka yang paling dalam. Dengan berbuat demikian pemerinath akan berhasil
merebut hati kaum muslim, menjinakan mereka dan sejala dengan itu aka
mengurangi jika tidak menghilangkan sama sekali pengaruh perlawanan ― kaum
muslim fanatik ‘‘ terhadap pemerintah kolonial.
Kedua, Bahwa sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam, atau
aspek muamalat dalam Islam, seperti perkawwinan, warisan, wakaf dan hubungan
sosial lain, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan ,menghormati
keberadaanya.Meskipun demikian, pemerintah harus berusaha menarik sebanyak
mungkin perhatian orang-orang Indonesia terhadap berbagai keuntungan yang
dapat diraih dari kebudayaan Barat. Hal itu dilakukan dengan harapan agar
mereka bersedia menggantikan lembaga-lembaga sosial Islam diatas dengan
lembaga-lembaga di Barat.
Ketiga, dan paling penting adalah bahwa dalam masalah-masalah politik,
pemerintah dinasihatkan untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang
dilakukan oleh kaum muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan pan-
64
Islammisme atau menyebabkan perlawanan politik menentang pemerintah colonial
Belanda. Pemerintah harus melakukan control ketat terhadap penyebaran gagasan-
gagasan apa pun yg dapat untuk menentang pemerintah colonial Belanda.
Pemangkasan gagasan seperti ini akan memencilkan pengaruh aspek-aspek Islam
yang bersifat politis, yang menjadi ancaman terhadap pemerintah colonial
Belanda. Lagi-lagi dalam hqal ini Hurgronje menekankan penting kebijakan
asosiasi kaum muslim dengan peradaban Barat. Dan agar asosiasi ini berjalan
dengan baik dan tujuanya tercapai, pendidikan model Barat harus dianut terbuka
bagi rakyat pribumi.sebenarnya Hurgronje terpengaruh dengan kebangkitan Islam
di Timr tengah yang dipelopori oleh Jamaudin al- Afghani dan Abduh.Pengaruh
gagasan dan pemikiran kedua tokoh inilah sebenarnya yang ditakutkanya karena
dapat memengaruhi kesadaran umat Islam Indonesia.
Meenarik untuk dianalisa lebih jauh adalah Implikasi yang di timbulkan
oleh teori tersebut yang mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan hukum
sangat lambat di banding dengan institusi lainya. Jika pembaharuan pemikiran
Islam di Indonesia di mulai sejak tahun 1970 malah jauh sebelum itu, maka
pembahuruan hukum Islam baru mulai tahun 1974 bahkan tepatnya tahun 1980-
an.
Hukum Islam pada Masa Penjajahan Jepang
Setelah berkuasa lebih kurang hampir tiga setengah abad lamanya,
akhirnya Pemerintahan Belanda dapat dikalahkan oleh Jepang hanya dalam tempo
dua bulan yang menandai berakhirnya penjajahan Barat di bumi Indonesia.Namun
65
bagi Indonesia sendiri peralihan penjajah ini tetap saja membawa kesusahan dan
kesengsaraan bagi rakyat.
Dalam konteks administrasi penyelnggaraan Negara dan kebijakan-
kebijakan terhadap pelaksanaan hukum Islam di Indonesia terkesan bahwa Jepang
memilih untuk tidak terlalu mengubah beberapa hukum dan peraturan yang ada.
Sebagaimana Belanda pada masa-masa awal penjajahanya, Rezim jepang
mempertahankanbahwa ― adat istiadat ‘‘ local, praktik-praktik kebiasaan dan
agama tidak boleh dicampurtangani untuk sementara waktu, dan dalam hal-hal
yang berhubungan dengan urusan penduduk sipil, adat dan hukum sosial mereka
harus dihormati, dan pengaturan yang khusus diperlukan adanya dalam rangka
untuk mencegah munculnya segala bentuk perlawanan dan oposisi yang tidak
diinginkan.
Daniel S. lev melukiskan kebijakan Jepang sebagai berikut :
…. Sejumlah kecil perubahan dipikirkan selain hapusnya sama sekali
penguasaan belanda dan penggantinya dengan pengguasaan Jepang. Demi
kemudahan administrasi sebagian besar hukum dan peraturan yang ada
tetap diberlakukan.― Para kepala dan pejabat pribumi yang memerhatikan
keinginan yang tulus untuk bekerja sama dengan Jepang akan tetap
dioekerjakan sebanyak mungkin dan seperti halnya Belanda sebelum
Jepang, ― adat kebiasaan setempat, hal-hal yang lazim dilakukan, dan
agama tidak dicampuri untuk sementara waktu. Selanjutnya berkait dengan
urusan keperdataan pribadi, adat kebiasaan dan adat istiadat mereka harus
dihormati dengan cermat, dan perlakukan khusus diperlakukan sehingga
tidak memanciing permusuhan dan ketidakpahaman yang tidak berguna.
Kendati demikian tetap saja Jepang mengambil kebiakan-kebijakan yang
menjadikan karakter pemerintahanya berbeda dengan belanda.Jepang ingin
menghapus segala symbol pemerintahan Belanda di Indonesia.Di samping itu
Jepang juga menekan segala gerakan-gerakan anti penjajahan.Perubahan tersebut
66
terlihat bagaimana Jepang membagi wilayah Indonesia ke dalam tiga.Zona
administrasi; satu di Jakarta untuk mengatur Jawa dan Madura, satu di singapura
yang mengatur Sumatera dan omando angkatan laut di Makassar yang mengatur
keseluruhan Nusantara di luar pulau tersebut.
Perubahan yang sangat terasa penngaruhnya adalah berkenan dengan
peradilan. Jepang membuat kebijakan untuk melahirkan peradilan-peradilan
sekuler seperti Districtsgerecht ( Gun Hooin ), Regentschapsgerecht ( kein Hooin
), Landgrecht ( Keixi Hooin ) dan Hooggerechtshop ( saikoo Hooin )
diunifikasikan menjadi satu lembaga Peradilan Peradilan yang melayani semua
golongan masyarakat, sementara Residentigerecht yang khusus untuk orang-orang
Eropa dihapuskan.
Damapak dari unifikasi peradilan ini menjadikan peran tetua adat di
Sumetara Utara dan kelompok ulebalang mengalami pergesera.Otoritas mereka
pada peradilan adat dihilangkan walaupun otoritas administrasi tetap
dipertahankan.
Agaknya disebabkan Jepang tidak lama menjajah Indonesia, pengaruh
kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum Islam di
Indonesia tidak begitu tampak.Namun setidaknya perubahan itu terlihat pada
structural kelembagaan peradilan agama Islam.
Hukum Islam pada pada masa kemerdekaan
Salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya
dari pengaruh hukum Belanda. Menurut Hazairin, setelah Indonesia merdeka,
walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku
67
selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan
pemerintahan Belanda yang berdasarkan teori receptive tidak berlaku lagi karena
Jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Teori receptie harus exit karena
bertentangan dengan Al Qur‘an dan sunnah Rasul. Hazairin menyebut teori
receptie sebagai teori iblis.
Berdasarkan pendapatnya ini, Hazairin mengembangkan teori yang
disebutnya sebagai teori receptive exit.Pokok-pokok pikiran Hazairin tersebut
adalah :
1. Teori receptie telah patah, tidak berlaku dan exit dari data tata Negara
Indonesia sejak tahun 1945 dengan merdekanya bangsa Indonesia dan
mulai berlakunya UUD 1945.
2. Sesuai dengan UUD 1945 jo pasal 29 ayat 1 maka Negara Republik
Indonesia berkewajiban, membentuk hukum nasional Indonesia yang
bahanya hukum Agama. Negara meempunyai kewajiban kenegaraan untuk
itu.
3. Hukum agama yang masuk dan menjadi hukum nasional Indonesia bukan
hukum Islam saja, melainkan juga hukum agama Islamsaja melainkan juga
hukum agama lain untuk pemeluk agama lain. Hukum agama di bidang
hukum perdata di serap dan hukum pidana diserap menjadi hukum
nasional Indonesia. Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar pancasila.
Disamping Hazairin, seorang tokoh yang juga menentang teori receptive
adalah Sayuti Thalib yang menulis buku reception a Contrario:hubungan
hukum adat dengan hukum Islam. Teori ini megnandung sebuah pemikiran
68
bahwa , hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Melalui teori ini jiwa pembukaan dan UUD 194 telah mengalahkan
pasal 134 ayat 2 indische staatsregling itu.
Menurut Islmail Sunny setelah Indonesia merdeka dan UUD 1945 berlaku
sebagai dasar Negara kendati tanpa memuat ketujuh kata dari piagam Jakarta
maka teori receptie dinyatakan tidak berlaku lagi dan kehilangan dasar hukumnya.
Selanjutnya hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam
sesuai dengan pasal 29 UUD 1945. Era ini disebut sunny sebagai Periode
Penerimaan Hukum Islam sebagai sumber psersuasif ( persuasive source )
Selanjutnya dengan ditempatkannya Piagam Jakarta dalam dekrit Presiden
RI tangal 5 Juli 1959, maka era ini dapat dikatakan era penerimaan hukum Islam
sebagai sumber otoritatif (autoritatif source ). Sehingga sering kali disebut
termasuk Soekarno bahwa Piagam Jakarta menjiwai Undang-undang Dasar 1945
dan merupakan suaturangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut.Kata menjiwai
bisa bermakna negative dalam arti tidak boleh dibuat perundang-undangan dalam
Negara RI yang bertentangan dengan syari‘at Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.Secara positif maknanya adalah pemeluk-pemeluk yang beragama
Islam diwajibkan menjalankan Syari‘at Islam. Untuk itu diperlukan undang-
undang yang akan memberlakukan hukum Islam dalam hukum Nasional. Kendati
demikian sebenarnya dapat dikatakan bahwa pada masa orde lama posisi hukum
Islam tidaklah lebih baik dari masa penjajahan.Pandangan Soekarno terhadap
Islam sepertinya sangat sekularistik. Kendati pada awal terbentuk negate
Indonesia, dalam sidang-sidang BPUPKI Soekarno dapat menerima dan setuju
69
dengan keberadaanya Piagam Jakarta ( ketuhanan dengan kewajiban Menjalankan
Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya ). Namun setelah Soekarno berkuasa
keberpihakan kepada Islam semakin berkurang untuk tidak mengatakan hilang
sama sekali.
Sebenarnya dengan gagalnya Piagam Jakarta menjadi bagian dari UUD
Negara maka posisi hukum Islam sebenarnya berada dalam posisi yang kurang
menguntungkan. Tidak terlalu berlebihan jika di andaikan Piagam Jakarta menjadi
bagian dari Undang-undang Dasar maka proses transformasi hukum Islam
menjadii hukum nasional akan berlangsung sangat cepat dan akan mencapai
kemajuan lebih dari apa yang dapat kita rasakan saat ini. Bagaimanapun juga
piagam Jakarta bukanlah satu keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai
Negara Islam dan gagasan ini telah disadari tidak mungkin. Yang mereka
inginkan sebenarnya adalah bagaimana hukum Islam sebagai hukum yang hidup
dan telah mengalami kristalisasi dalam masyarakat muslim diakui keberadaanya
dalam makna yang sebenarnya.
B. Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Istilah kompilsi hukum Islam berasal dari bahasa latin yatu compilare yang
msuk ke dalam bahasa Belanda dengan sebutan compilatie, yang dalam bahasa
inggrisnya disebut compilation. Secara harfiah berarti kumpulan dari berbagai
karangan kata karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain.
Bustanul Arifn menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai ― Fiqh dalam
bahasa rumpun Melayu disebut peng-Qanun-an hukum syara‖. Wahyu Widhiana
menyatakan bahwa
70
― Kompilasi hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis
pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dari 3 kelompok materi hukum,
yaitu hukum perkawinan ( 170 pasal ) hukum kewarisan termasuk wasiat dan
Hibah yang terdiridari 44 pasal, dan hukum Perwakafan yang terdiri dari 14
pasal, ditambah satu pasal ketentuan penutup yang berlaku untuk ketiga
kelompok hukum tersebut ‗‘.
Secara materi, komilasi hukum Islam itu adalah ketentuan hukum yang
ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan
untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh instansi Departemen Agama dalam
menyelesakan masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi hukum
Islam.Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan
sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang
diaukan kepada- Nya.
C. Tujuan Kompilasi Hukum Islam
Tujuan penyusunan Kompilasi Hukum Islam.
Upaya mempositifkan hukum isla meaului Hukum isla ini mempunyaii
bebrapa ssaran pokok yang hendak dicapai :
1) Melengkapi pilar peradilan Agama
2) Menyamakan persesi penerapan hukum.
3) Mempercepat proses Taqribi baiinna al-Madzahib.
D. Sejarah terbentuknya Kompilasi hukum Islam
Setelah indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab Fikih sebagai refereni
hukum materil di pengadilan agama melalui surat edaran kepala biro pegadilan
71
Agama Ri. No. B/1/735 tanggal 18 february 1985. Hal iini dilakukan karena
hukum Islam yang berlaku d tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan
berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil
menjamin kepastian dan kesatuab hukum d pengadilan agama. Muncul persoalan
krusial yag berkenaan dengan tidak adanya keseragaan para hakim dalam
menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukanya
kompilasi terhadap hukum Islam d indonesia untuk menjamin kepastian dan
kesatuan penerapan hukum isla d indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum isla yang sama.
Secara materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah dtetapkan
13 kitab yang djadikan rujukan dalan memutuskan perkara yang kesemuanya
bermazhab syafi‘i.akan tetapi tetap saja yang menimbulkan persoalan yaitu tidak
adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan
perlunya membuat kompiasi hukum indonesia. Gagasan-gagasan ini didasar pada
pertimbangan berikut:
1. Untuk berlakunya hukum Islam di indonesia, harus ada anara lain
hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
maupun oleh masyarakat.
2. Persepsi yang tidak seragam tentang syariah menyebabkan hal-hal;
72
1. Ketidak seragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dalam hukum
Islam( maa anjallahu ).
2. Tidak mendaat kejelasan bagaiamana menjalankan syariat atau dsebut
dalam hukum Islam ( Tanfiziyah ) dan
3. Akibat kepanjangan adalah tidak mamu menggunakan jalan-jalan dan alat-
alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundang-
undangan lainya
4. Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam
diberlakuan.
a. Sebaga perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfri,
b. Di kerajaan Turki ustmani yang terkenaal dengan nama Majallah al-
Ahkam Al- Adliyah dan
c. Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasi di subang.
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelasana Proyek
dengan Surat Keputusan Bersama ( SKB ) ketua Mahkamah Agung RI dan
Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya
menjadi pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliuti para pejabat
Mahkamah Agung dan departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan
Ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang
dtindak;anjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 tahun 1991 kepada
menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi hukum islaam yang terdiri
dari:
Buku I : Tentang perkawinanBuku II : Tentang kewarisan, Buku III :
tentang Perwakafan
73
Inpres tersebut ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 tahun
1991 tangga 22 juli 1991.
Memang Kompilasi hukum Islam tidak diundangkan lewat undang-undang
sebagaimana yang terjadi pada UU No.1 Tahun 1974 Tentang Hukum perkawinan
di Indonesia.Hal ini menurut Nur Ahamad Fadil Lubis merupakan persoalan yang
sangat sensitive untuk dilakukan di Negara yang sangat plural dar sisi agama dan
idiologi.
Dengan keluarnya Inpres dan SK tersebut menurut Abdul Gani Abdullah
sekurang-kurangnya ada tiga hal perlu dicatat :
1. Perintah menyebarluaskan KHI tidak lain adalah kewajiban masyarakat Islam
untuk memfungsikan eksplanasi ajaran Islam sepanjang mengenai normatif
sebagai hukum yang harus hidup dalam masyarakat.
2. Rumusan hukum Islam dalam KHI berupaya mengakhiri persepsi ganda dari
keberlakuan hukum Islam yang ditunjuk oleh pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974
tentan gperkawinan dan UU No.7 Tahun 1989 tentang segi-segi hukum
formalnya.
3. Menunjuk secara tegas wilayah keberlakuan KHI dengan sebutan Instansi
Pemerintah dan masyarakat yang memerlukanya, dalam kedudukan sebagai
pedoman penyelesaian masalah di tiga bidang hukum dalam KHI.
Kendati demikian telah diputuskan untuk digunakan dalam lingkup Peradilan
Agama, tetap saja menimbulkan polemik. Apakah KHI itu termasuk hukum
tertulis seperti kitab hukum lanya atau hukum yang tidak tertulis. Adalah
Attamimi yang mencoba mengkritik sebagian orang yang berpandangan bahwa
KHI itu sebagai hukum tertulis. Bagi Attamimi Kompilasi adalah suatu produk
berbentuk tulisan hasil karya orang lain yagn disusun secara teratur. Dengan
demikian KHI adalah himpunan ketentuan hukum Islam yang dituliskan dan
disusun secara teratur. KHI bukanlah peraturan perundang-undangan, bukan
74
hukum tertulis meskipun ia dituliskan, bukan undang-undang, bukan peraturan
pemerintah, bukan keputusan Presiden dan seterusnya. KHI menunjukan hukum
tidak tertulis yang hidup secara nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar
rakyat Indonesia yang beragama Islam untuk menelusuri norma-norma hukum
bersangkutan apabila diperlukanya, baik di dalam maupun pengadilan.
Dalam kesipulanya ia menyatakan,
― KHI meskipun ditulis belum merupakan hukum tertulis. Karena sistem hukum
Nasional Indonesia mengakui hukum tertulis dan hukum tidak tertulis, maka KHI
dapat mengisi hukum umum, khususnya mengisi kekosongan hukum bagi warga
negara Indonesia yang beragama Islam.‖
Berkaitan dengan Intruksi presiden, Attamimi mengatakan:
― Adalah sesuatu yang menguntungkan bahwa penyebarluasan KHI dilakukan
dengan Instruksi Presiden, bukan dengan Keputusan Presiden, dan lebih-lebih
bukan dengan Undang-undang. Dengan demikian salah paham beberapa pihak
yang menyangka bahwa KHI seolah-oleh usaha kembali ke piagam Jakarta dapat
disanggah‖.
Pendapat Attamimi ini ditolak oleh Abdul Gani Abdullah dengan menyatakan.
― pertama, sebagai hukum tidak tertulis seperti yang ditunjukan oleh penggunaan
instrumen hukum berupa Inpres yang tidak termasuk dalam rangkaian tata urutan
peraturan perundangan yang menjadi sumber hukum tertulis. Kelemahan
pandangan ini terletak pada pengabdian terhadap beberapa sumber pengambilan
bagi penyusunan buku I, dan Buku III yang terdiri dari UU No. 22 Tahun 1946 Jo
UU No.32 Tahun 1954, UU No.1 Tahun 1974 Jo PP No. 9 Tahun 1975, PP No. 28
Tahun 1977. Sumber-sumber tersebutlah yang mengakrabkan KHI menjadi
sumber hukum tertulis. Kedua, KHI dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.
Sumber yang ditunjukan di atas menunjukan KHI berisi law dan rul yang pada
giliranya terangkat menjadi law dengan potensi political power. Inpres No.1
Tahun 1991 dipandang sebagai salah satu produk political power yang
mengalirkan KHI dalam jajaran law.
Terlepas dari polemik yang sebenarnya sangat teoritis, kemunculan KHI di
indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicatai umat Islam.
Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini indonesia tidak akan ditemukan
lag pluralisme keputusan peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan
75
hakim Peradilkan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak
ppositif, telah ditranformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat
seluruh umat Islamindonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih
mudah diterima oleh masyarakat Islam indonesia. Jadi tidak akan muncul
hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang melaksanakan Hukum Islam.
E. Sejarah pemberlakuan UU No. 1 tahun 1974
Dalam kaitanya dengan perkembangan hukum Islam pada masa antagonistik ini
penting untuk dicatat tentang keberadaan UU perkawinan. Pada tanggal 16
agustus 1973 pemerintah mengajukan RUU Perkawinan. Sebulan sebelum
diajukanya RUU tersebut timbul reaksi keras dari kalangan umat Islam. RUU
tersebut sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam dan ada anggapan yang
lebih keras lagi, RUU tersebut ingin mengkristenkan Indonesia. Di lembaga
legislatif, FPP adalah fraksi yang paling keras menentang RUU tersebut karena
bertentangan dengan fikih Islam. Kamal Hasan menggambarkan bahwa semua
ulama baik dari kalangan tradisional maupun modernis, dari aceh sampai Jawa
Timur, menola RUU tersebut.
Menurut Kamal Hasan, setidaknya ada 11 pasal yang dipandang bertentangan
dengan ajaran Islam ( fiqh mnakahat ), yaitu pasal 2 ayat 1, pasal 3 ayat 2, pasal 7
ayat 1, pasal 8 ayat c, pasal 10 ayat 2, pasal 11 ayat 2, pasal 12, pasal 13 ayat 1
dan 2, pasal 37, pasal 46 ayat c dan d, pasal 62 ayat 2 dan ayat 9.
Melalui lobbying- lobbying antara tokoh-tokoh Islam dengan pemerintah
akhirnya RUU tersebut diterima oleh kalangan Islam dengan mencoret pasal-pasal
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sampai di sini tidak berlebihan apabila
76
menyebut bagaimana upaya PPP untuk mempertahankan eksistensi hukum Islam.
Agar pembahasanya berjalan lancer maka dicapai suatu kesepaktan antara fraksi
PPP dan fraksi ABRI yang isinya:
1. Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah.
2. Sebagai konsekuensi daripada point 1, maka alat-alat pelaksanaanya tdak
akan dikurangi atau di rubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan undang-
undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsunganya.
3. Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin
disesuaikan dengan undang-undang ini, dihilangkan ( didrop ).
4. Pasal 2 ayat ( 1 ) dari rancangan undang-undang ini disetujui untuk
dirumuskan sebagai berikut:
a. Ayat ( 1 ): Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaan itu;
b. Ayat ( 2 ): Tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku
5. Mengenai perceraian dan poligami diusahaan perlu ketentuan-ketentuan
guna mencegah terjadiinya kesewenang-wenangan. Jelaslah di dalam
kesepakatan tersebut menunjukan betapa kuatnya posisi FPP sebagai wakil
umat Islam dalam Syariat Islam. Adapun pasal-pasal yang dicoret tersebut
adalah pasal 11 mengenai system parental dan perkawinan antar agama,
pasal 13 mengenai pertunangan, pasal 14 mengenai tata cara gugatan
perkawinan dan pasal 62 mengenai pengangkatan anak.
77
Akhirnya pasal-pasal yang menimbulkan keberatan di kalangan Islam itu
dihapuskan. Setelah melakukan rapat yang berulang-ulang, akhirnya pada
tanggal 22 desember 1973 melalui fraksi-fraksi DPR, RUU tersebut
disetujui untuk disahkan. Pada tanggal 2 januari 1974 RUU tentang
perkawinan disahkan DPR menjadi UU No. 1 tahun 1974 tentang Undang-
Undang Perkawinan yang selanjutnya berlaku efektif sejak tanggal 1
Oktober 1975.
Dasar Hukum Harta Gono Gini
UU NO.1 TAHUN 1974
Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35
1. Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Penjelasannya; Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur
menurut hukumnya masing-masing Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan
dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya ;
pemberian, warisan. Dan harta bersama (pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung. Terhadap harta bawaan, Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974
mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya
sendiri-sendiri. Karena itu harta bawaan tidak dimasukan kedalam harta bersama
dalam perkawinan. Sedangkan tentang siapakah yang berhak untuk mengatur harta bersama,
undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, mengatur lebih jelas dalam
ketentuan Pasal 36
1. Mengenai harta bersama suami dan istri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak. 2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dari bunyi aturan tersebut dapat diketahui, bahwa yang berhak mengatur harta
bersama dalam perkawinan adalah suami dan istri. Dengan demikian salah satu
pihak tidak dapat meninggalkan lainnya untuk melakukan perbuatan hukum atas
78
harta bersama dalam perkawinan, karena kedudukan mereka seimbang yaitu
sebagai pemilik bersama atas harta bersama itu. Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Penjelasannya; yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah
hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Dalam kenyataannya jika terjadi pembagian harta bersama karena perceraian,
masing-masing pihak akan mendapatkan separoh dari harta bersama. Tetapi
ketentuan tersebut bukanlah sesuatu yang baku dan keharusan, sebab masing-
masing pihak dapat pula dengan kesepakatan membagi harta bersama tersebut
menurut kehendaknya sendiri. Dengan kesepakatan itulah mereka terikat dan
boleh mengesampingkan peraturan yang ada. Kemudian bagaimanakah dengan persoalan tentang hutang yang timbul selama
perkawinan berlangsung? Karena prinsip harta perkawinan adalah harta bersama
yang dimiliki oleh suami dan istri, maka hutang pun adalah merupakan kewajiban
mereka bersama untuk melunasinya.
KHI mengaturnya dalam Bab tersendiri dan menguraikannya dalam Pasal 45
sampai dengan Pasal 52. KHI
( KOMPILASI HUKUM ISLAM )
BAB VII
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 45
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 46
(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(2) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi
kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh.
Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan
persoalannya ke Pengadilan Agama.
(3) Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada
setiap perkawinan, akan tetap sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak
dapat dicabut kembali.
Pasal 47
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon
mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan. (2) Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi percamuran harta pribadi
dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
79
(3) Disamping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan
ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48
(1) Apabila dibuat perjanjian perwakilan mengenai pemisahan harta bersama
atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan
kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut
pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta
syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah
tangga.
Pasal 49
(1) Perjanjian pencampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik
yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh
masing-masing selama perkawinan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga
diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya terbatas pada harta
pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga
percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50
(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan
pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan dihapan
Pegawai Penctat Nikah.
(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta, dapat dicabut atas persetujuan
bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya dikantor Pegawai
Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan.
(3) Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri
tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal
pendaftaran itu diumumkan oleh suami-isteri dalam suatu surat kabar
setempat.
(4) Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang
bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak
mengikat kepada pihak ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian pekawinan mengenai harta tidak boleh merugikan
perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51
(1) Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk
meminta pembatalan nikah atau mengajukanya sebagai alas an gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52
(1) Pada saaat dilangsungkannya perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran
dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.
BAB XIII
80
HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 85
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya
harta milik masing-masing suami atau isteri.
Pasal 86
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri
karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh olehnya, demkian
juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Pasal 87
(1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sedekah atau
lainnya.
Pasal 88
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya
sedniri.
Pasal 90
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya
yang ada padanya.
Pasal 91
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa
benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda
bergerak dan surat-surat berharta.
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu
pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 92
Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
memindahkan harta bersama.
Pasal 93
(1) Pertanggung jawaban terhadap uang suami atau isteri dibebankan pada
hartanya masing-masing.
81
(2) Pertanggungjawaban terhadap utang yang dilakukan untuk kepentingan
keluarga, dibebankan kepada harta bersama.
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta
isteri.
Pasal 94
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2) Pemilik harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat
berlangsungnya akad pernikahan yang kedua, ketiga atau keempat.
Pasal 95
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 139 ayat (2), suami atau isteri
dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas
harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu
melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama
seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya.
(2) Selama sita dapat dilakukan perjualan atas harta bersama untuk
kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak
pasanganan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau
suaminya hilang harus ditanggungkan sampai adanya kepastian matinya
yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan
Agama.
Pasal 97
(1) Janda atau duda cerai hidup, masing-masing berhak seperdua dari harta
harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
nya dengan tegas.
Recommended