View
221
Download
3
Category
Preview:
Citation preview
51
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Puskesmas Tirto I
Puskesmas Tirto I merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Pekalongan
yang terletak di dataran rendah Pantai Utara Pulau Jawa, berada diposisi 109-
110 BT dan 6-7 LS, luas wilayah 1.738,777 ha. Puskesmas Tirto I terletak di
Kecamatan Tirto yang membawahi 16 desa binaan. Kepadatan penduduknya
sekitar 3.822 jiwa/km2. Jumlah penduduk pada tahun 2012 adalah 33.352
jiwa.
Ketenagaan di Puskesmas Tirto I sejumlah 44 orang, yang terdiri: Kepala
Puskesmas 1 orang, dokter umum 1 orang, dokter gigi 1 orang, perawat 7
orang, Bidan 19 orang, asisten apoteker 2 orang, petugas hygine Sanitasi 1,
non paramedis 14 orang. Puskesmas Tirto I memiliki 2 unit poli umum,1 unit
poli KIA, poli gigi, loket, klinik sanitasi, laboratorium, dan lainnya. Data
jumlah kunjungan rawat jalan di Puskesmas Tirto I pada tahun 2012 tercatat
51.427 orang
2. Karakteristik Sampel
Jumlah penderita filariasis di Puskesmas Tirto I sebanyak 22 orang. Penelitian
ini melibatkan 44 responden pada bulan Mei 2013. Hasil penelitian diuraikan
sebagai berikut:
52
Tabel 4.1.
Distribusi jumlah penderita filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa
Tengah Mei 2013 (n1=n2=22)
No Desa Jumlah
1 Ngalian 1
2 Wuled 1
3 Pucung 1
4 Dadirejo 2
5 Sidorejo 1
6 Tanjung 3
7 Samborejo 11
8 Pacar 2
JUMLAH 22
Sumber: Dinas Kesehatan Pekalongan
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa penderita terbanyak ditemukan di desa
Samborejo yaitu 11 orang. Jumlah responden yang berhasil di wawancarai
dalam penelitian ini sebanyak 44 orang yang terdiri dari 22 kasus dan 22
kontrol. Sehingga sesuai dengan yang direncanakan sebelumya.
3. Analisis Univariat
Tujuan analisis ini adalah untuk mendiskripsikan karateristik masing-masing
variabel yang diteliti, bentuknya tergantung dari jenis datanya. Analisa
univariat ini dilakukan pada tiap-tiap variabel penelitian. Dalam penelitian ini
menggunakan data numerik dan kategorik
a. Karakteristik Individu
Karakteristik individu merupakan ciri-ciri yang dimiliki oleh seseorang
yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan lingkungannya.
Diskripsi faktor karakteristik individu dapat dilihat pada tabel sebagai
berikut:
53
Tabel 4.2.
Distribusi Faktor Karakteristik Individu berupa umur dan jenis kelamin responden di
Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Mei 2013 (n1=n2=22)
Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)
Kasus Kontrol Kasus Kontrol
Usia
Usia Muda 6 6 13.64 13.64
Usia Dewasa 8 9 18.18 20.45
Usia Tua 8 7 18.18 15.91
Jenis Kelamin
Laki-Laki 10 9 22.73 20.45
Perempuan 12 13 27.27 29.55
Dari tabel diatas, diketahui Jumlah responden yang tergolong dalam usia
muda (15-24 tahun) sebanyak 12 orang (27.3%) yaitu 6 (13.64%) orang
dari kelompok kasus dan 6 (13.64%) orang dari kelompok kontrol,
responden yang tergolong dewasa (25-49 tahun) sebanyak 17 (38.6%)
yaitu 8 orang (18.18%) dari kelompok kasus dan 9 orang (20.45%) dari
kelompok kontrol, serta responden pada tua(>50 tahun) sebanyak 14 orang
(31.8%) yaitu 8 orang (18.18%) dari kelompok kasus dan 7 orang
(15.91%) dari kelompok kontrol , responden dalam penelitian ini paling
banyak berumur 24 dan 20 tahun, masing-masing 3 orang responden.
Jumlah responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 19 orang
(43.18%), dengan rincian 10 orang (22.73%) dari kelompok kasus dan 9
orang (20.45%) dari kelompok kontrol dan responden berjenis kelamin
perempuan sebanyak 25 orang (56.8%) yaitu 12 orang (27.27%) dari
kelompok kasus dan 13 orang (29.55%) dari kelompok kontrol.
b. Faktor Perilaku
Perilaku individu berkaitan dengan kejadian filariasis, perilaku individu
meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan. Diskripsi faktor perilaku dapat
dilihat pada tabel sebagai berikut:
54
Tabel 4.3
Distribusi Faktor perilaku responden berupa pengetahuan, sikap dan tindakan di Puskesmas
Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Mei 2013 (n1=n2=22)
Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)
Kasus Kontrol Kasus Kontrol
Pengetahuan Baik 3 13 6.82 29.55
Kurang 19 9 43.18 20.45
Sikap
Setuju 4 16 9.09 36.36
Tidak Setuju 18 6 40.91 13.64
Tindakan
Tidak Dilakukan 5 16 11.36 36.36
Dilakukan 17 6 38.64 13.64
Dari tabel diatas, dikatahui jumlah responden yang berpengetahuan baik
sebanyak 16 orang (36.4%) yaitu 3 orang (6.82%) dari kelompok kasus
dan 13 orang (29.55%) dari kelompok kontrol, dan responden yang
berpengetahuan kurang sebanyak 28 (63.6%) yaitu 19 orang (43.18%) dari
kelompok kasus dan 9 orang (20.45%) dari kelompok kontrol, 33
responden tidak mengetahui pengertian dari penyakit filariasis dan tidak
mengerti bahwa lingkungan rumah yang kurang bersih dapat menjadikan
seseorang terkena filariasis, 30 responden kurang begitu paham bahwa
semua usia bisa terkena penyakit filariasis.
Jumlah responden yang memiliki sikap setuju dengan upaya pencegahan
filariasis sebanyak 20 orang (45.5%) yaitu 4 orang (9.09%) dari kelompok
kasus dan 16 orang (36.36%) dari kelompok kontrol, dan responden yang
memiliki sikap tidak setuju sebanyak 24 (54.5%) yaitu 18 orang (40.91%)
dari kelompok kasus dan 6 orang (13.64%) dari kelompok kontrol.
Rendahnya pengetahuan masyarakat mengenai penyakit filariasis
menyebabkan sikap mereka pun kurang baik, warga memilih melakukan
penyemprotan dari pada melakukan PSN, selain itu warga juga menjauhi
warga lain yang mederita filariasis. Warga yang memiliki sikap demikian
berjumlah 23 responden.
Jumlah responden yang melakukan upaya pencegahan filariasis sebanyak
21 responden yaitu 5 oresponden dari kelompok kasus dan 16 responden
dari kelompok kontrol, dan responden yang tidak melakukan tindakan
55
pencegahan sebanyak 23 responden yaitu 17 responden dari kelompok
kasus dan 6 responden dari kelompok kontrol. Sebagian besar warga yang
menjadi responden dalam penelitian ini tidak memasang kawat kasa pada
ventilasi yang ada dirumah mereka, jumlahnya sebanyak 30 responden.
c. Faktor Lingkungan
Lingkungan berkaitan dengan kejadian filariasis, Faktor lingkungan dapat
menunjang kelangsungan hidup hospes. Hospes reservoir dan vektor
filariasis yang ada di suatu daerah endemis. Diskripsi faktor lingkungan
dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4.4
Distribusi Faktor lingkungan berupa tempat istirahat vektor dan tempat berkembangbiak
vektor di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah Mei 2013 (n1=n2=22)
Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)
Kasus Kontrol Kasus Kontrol
Tempat Istirahat
vector
Baik 3 14 6.82% 31.82%
Kurang 19 8 43.18% 18.18%
Tempat berkembang
biak vektor
Baik 1 9 2.22% 20.00%
Kurang 21 13 46.67% 28.89%
Dari tabel diatas, diketahui jumlah responden yang dilingkungannya
terdapat tempat istirahat vektor dan masuk dalam kondisi kurang baik
berjumlah 27 (61.4%) responden yaitu 19 orang (43.18%) dari kelompok
kasus dan 8 orang (18.18%) dari kelompok kontrol, sedangkan yang
masuk dalam kategori baik berjumlah 17 (38.6%) responden yaitu 3 orang
(6.82%) dari kelompok kasus dan 14 orang (31.82%) dari kelompok
kontrol. Sebagian besar lingkungan responden terdapat tempat istirahat
vektor berupa gantungan baju, jumlah responden yang dilingkungannya
terdapat tempat istirahat vektor berupa gantungan baju sebanyak 39
responden.
Jumlah responden yang dilingkungannya terdapat tempat berkembang biak
vektor dan masuk dalam kategori kurang baik berjumlah 34 responden
yaitu 21 responden dari kelompok kasus dan 13 responden dari kelompok
kontrol, sedangkan yang masuk dalam kondisi baik berjumlah 10
56
responden yaitu 1 responden dari kelompok kasus dan 9 responden dari
kelompok kontrol. Dilingkungan responden sebagian besar terdapat
tambak/ kolam keruh, dan kotor, genangan air kotor, jumlahnya sebanyak
40 responden.
4. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan dan besarnya nilai
odds ratio antara faktor-faktor risiko (variabel independen) dengan kejadian
filariasis, (variabel dependen), dengan tingkat kemaknaan 95%. Ada atau
tidaknya hubungan antara faktor risiko dengan kejadian filariasis ditunjukkan
dengan nilai p < 0,05, sedangkan faktor risiko dengan nilai OR > 1 =
mempertinggi risiko, OR = 1 maka dinyatakan tidak terdapat asosiasi dan OR
< 1 bersifat protektip atau mengurangi risiko.
a. Hubungan antara umur dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I
Kabupaten Pekalongan
Tabel 4.5
Hubungan antara umur dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten
Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
Variabel umur digolongkan menjadi tiga kategori yaitu muda apabila
responden berumur 15-24 tahun, dewasa apabila responden berumur 25-49
tahun dan tua apabila responden berumur lebih dari 50 tahun. Berdasarkan
tabel silang di atas diketahui bahwa proporsi usia muda pada kelompok
kasus sebanyak 6 (27.3%) responden, usia dewasa pada kelompok kasus
sebanyak 8 (36.4%) responden dan proporsi usia tua pada kelompok kasus
sebanyak 7 (36.4%).
Umur Kasus Kontrol Total value
OR dg 95%CI N % n %
Usia Muda 6 27.3 6 27.3 12 0.939
Usia Dewasa 8 36.4 9 40.9 17
Usia Tua 8 36.4 7 31.8 15 - Total 22 100 22 100 44
57
Proporsi usia muda pada kelompok kontrol yaitu 6 (27.3%) responden,
usia dewasa pada kelompok kontrol sebanyak 9 (40.9%) responden dan
proporsi usia tua pada kelompok kontrol sebanyak 7 (31.8%) responden.
Hasil uji chisquare didapatkan nilai value sebesar 0,939>0,05 yang
artinya tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian filariasis di
Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan. Nilai OR usia tidak dapat
ditampilkan dikarenkan usia digolongkan menjadi 3 golongan sehingga
bentuk tabel 3x2 tidak mendukung nilai OR.
b. Hubungan antara Jenis kelamin dengan kejadian filariasis di Puskesmas
Tirto I Kabupaten Pekalongan
Tabel 4.6
Hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I
Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
Variabel jenis kelamin digolongkan menjadi dua kategori yaitu laki-laki
dan perempuan. Berdasarkan tabel silang di atas diketahui bahwa proporsi
jenis laki-laki kelompok kasus sebanyak 10 (45.5%) responden, dan jenis
kelamin perempuan pada kelompok kasus sebanyak 12 (54.5%)
responden. Proporsi jenis kelamin laki-laki pada kelompok kontrol yaitu 9
(40.9%) responden, dan jenis kelamin perempuan pada kelompok kontrol
sebanyak 13 (59.1%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai
value sebesar 1.000>0,05 , OR= 1,204 dengan 95% Cl= 0,365-3,974 yang
artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian filariasis
di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan, jenis kelamin perempuan
merupakan faktor risiko kejadian filariasis.
c. Hubungan antara Pengetahuan dengan kejadian filariasis di Puskesmas
Tirto I Kabupaten Pekalongan
Jenis Kelamin Kasus Kontrol Total value
OR dg 95%CI N % n %
Laki-laki 10 45.5 9 40.9 19 1.000
Perempuan 12 54.5 13 59.1 25 1,204 (0,365-3,974)
Total 22 100 22 100 44
58
Tabel 4.7
Hubungan antara pengetahuan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I
Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
Variabel pengetahuan digolongkan menjadi dua kategori yaitu baik dan
kurang, kategori baik skor yang diperoleh > median (5,0) dan kategori
kurang skor yang diperoleh < 5,0. Berdasarkan tabel silang diatas
diketahui bahwa proporsi responden yang memiliki pengetahuan baik
kelompok kasus sebanyak 3 (13.6%) responden, dan responden dengan
pengetahuan kurang pada kelompok kasus sebanyak 19 (86.4%) responden
Proporsi responden dengan pengetahuan baik pada kelompok kontrol yaitu
13(50.9%) responden, dan responden dengan pengetahuan kurang pada
kelompok kontrol sebanyak 9 (59.1%) responden. Hasil uji chisquare
didapatkan nilai value sebesar 0.004<0,05 OR=0,109 dengan 95%
Cl=0,25-0,483 yang artinya ada hubungan antara pengetahuan dengan
kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan
pengetahuan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa mengurangi
risiko kejadian filariasis.
d. Hubungan antara Sikap dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I
Kabupaten Pekalongan
Tabel 4.8
Hubungan antara sikap dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten
Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
Pengetahuan Kasus Kontrol Total value
OR dg 95%CI N % n %
Baik 3 13.6 13 59.1 16 0.004
Kurang 19 86.4 9 40.9 28 0,109 (0,25-0,483)
Total 22 100 22 100 44
Sikap Kasus Kontrol Total value
OR dg
95%CI
n % n %
Setuju 4 18.2 16 72.7 20 0.001
Tidak Setuju 18 81.8 6 27.3 24 0,083(0,0020-
0,349)
Total 22 100 22 100 44
59
Variabel sikap digolongkan menjadi dua kategori yaitu setuju, skor > 4,00
(median) dan tidak setuju, skor <=4,00 (median). Berdasarkan tabel silang
diatas diketahui bahwa proporsi responden yang sikap setuju pada
kelompok kasus sebanyak 4 (18.2%) responden, dan responden sikap tidak
setuju pada kelompok kasus sebanyak 18 (81.8%) responden
Proporsi responden dengan sikap setuju pada kelompok kontrol yaitu 16
(72.7%) responden, dan responden dengan sikap tidak setuju pada
kelompok kontrol sebanyak 6 (27.3%) responden. Hasil uji chisquare
didapatkan nilai value sebesar 0.001<0,05 OR=0,083 dengan 95%
Cl=0,02-0,349 yang artinya ada hubungan antara sikap dengan kejadian
filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan sikap
merupakan faktor protektif kejadian filariasis.
e. Hubungan tindakan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I
Kabupaten Pekalongan
Tabel 4.9
Hubungan antara tindakan dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten
Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
V
Variabel tindakan dikategorikan menjadi dua yaitu tidak dilakukan apabila
skor 20-49,5%, dan dilakukan apabila skor 49,6-80%. Berdasarkan tabel
silang diatas diketahui bahwa proporsi responden yang melakukan
tindakan pencegahan pada kelompok kasus sebanyak 5 (22.7%)
responden, dan responden sikap tidak melakukan tindakan pencegahan
pada kelompok kasus sebanyak 17 (77.3%) responden
Proporsi responden yang melakukan pencegahan pada kelompok kontrol
yaitu 16 (72.7%) responden, dan responden tidak melakukan pencegahan
Tindakan Kasus Kontrol Total value
OR dg 95%CI n % n %
Dilakukan 5 22.7 16 72.7 20 0.002
Tidak dilakukan 17 77.3 6 27.3 24 0,110 (0,28-0,434)
Total 22 100 22 100 44
60
pada kelompok kontrol sebanyak 6 (27.3%) responden. Hasil uji chisquare
didapatkan nilai value sebesar 0.002<0,05 OR=0,11 dengan 95%
Cl=0,28-0,43 yang artinya ada hubungan antara tindakan dengan kejadian
filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan tindakan
merupakan faktor protektif kejadian filariasis.
f. Hubungan faktor lingkungan berupa keberadaan tempat istirahat vektor
dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan
Tabel 4.10
Hubungan antara tempat istirahat vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas
Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
Variabel lingkungan berupa tempat istirahat vektor dikategorikan menjadi
dua yaitu baik jika skor yang diperoleh 49,6-80%, dan kurang baik jika
skor yang diperoleh 20-49,6%. Berdasarkan tabel silang diatas diketahui
bahwa proporsi responden pada kelompok kasus yang lingkungannya
terdapat tempat istirahat vektor dan masuk dalam kategori buruk
berjumlah 19 (86.4%) responden. Hasil uji chisquare didapatkan nilai
value sebesar 0.002<0,05 OR=0,09 dengan 95% Cl=0,02-0,4 yang artinya
ada hubungan antara faktor lingkungan berupa tempat istirahat vektor
dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan
tempat istirahat vektor merupakan faktor protektif kejadian filariasis.
g. Hubungan faktor lingkungan berupa keberadaan tempat berkembang biak
vektor dengan kejadian filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten
Pekalongan
Tempat istirahat
Vektor
Kasus Kontrol Total value
OR dg 95%CI N % n %
Baik 3 13.6 14 63.6 17 0.002
Kurang baik 19 86.4 8 36.4 27 0,09 (0,02-0,403)
Total 22 100 22 100 44
61
Tabel 4.11
Hubungan antara tempat berkembang biak vektor dengan kejadian filariasis di
Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan Mei 2013 (n1=n2=22)
V
V
Variabel Lingkungan berupa tempat berkembang biak vektor
dikategorikan menjadi dua yaitu baik jika skor yang diperoleh 49,6%-
80%, dan kurang baik jika skor yang diperoleh 20-49,5%. Berdasarkan
tabel silang diatas diketahui bahwa proporsi responden pada kelompok
kasus yang lingkungannya terdapat tempat berkembang biak vektor dan
masuk dalam kategori kurang baik berjumlah 21 (95.5%) responden. Hasil
uji chisquare didapatkan nilai value sebesar 0.009<0,05 OR=0,069
dengan 95% Cl= 0,008-0,608 yang artinya ada hubungan antara faktor
lingkungan berupa tempat berkembang biak vektor dengan kejadian
filariasis di Puskesmas Tirto I Kabupaten Pekalongan dan tempat
berkembang biak vektor merupakan faktor protektif kejadian filariasis.
B. Pembahasan
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti dapat diuraikan dalam
pembahasan sebagai berikut:
1. Faktor Karakteristik Individu
a. Umur
Hasil penelitian menunjukkan nilai value 0,939 yang berarti tidak ada
hubungan antara umur dengan kejadian filariasis. Filariasis menyerang
pada semua kelompok umur. Responden penelitian banyak berumur
antara 25-49 tahun (dewasa) yang bekerja buruh batik dan garmen
diluar dan didalam ruangan kurang pencahayaan dan penuh dengan
Tempat istirahat
Vektor
Kasus Kontrol Total value
OR dg 95%CI n % N %
Baik 1 4.5 9 40.5 10 0.09
Kurang baik 21 95.5 13 59.5 34 0,069 (0,008-0,608)
Total 22 100 22 100 44
62
tumpukan kain garmen tidak rapi. Pada dasarnya setiap orang dapat
tertular filariasis apabila mendapat tusukan nyamuk infektif
(mengandung larva stadium 3) ribuan kali (Depkes RI, 2008).
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
sebelumnya oleh Kadarusman (2003) yang menyatakan terdapat
hubungan antara umur dengan kejadian filariasis. Sebab variabel umur
ini tidak berhubungan dengan kejadian filariasis dimungkinkan karena
nyamuk sebagai vektor filariasis ketika mencari makan atau menghisap
darah tidak memilih umur, jadi umur berapapun bisa berisiko terkena
filariasis. Pada kelompok kasus maupun kontrol kebanyakan usia
produktif (15-45 tahun). Penggolongan umur didasarkan pada
kemampuan seseorang bekerja.
b. Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukan nilai value 1.000 OR= 1,24 dengan
95% Cl= 0,365-3,974 yang artinya tidak ada hubungan antara jenis
kelamin dengan kejadian filariasis dan jenis kelamin bukan merupakan
faktor risiko kejadian filariasis. Responden kasus berjenis kelamin
laki-laki 10 orang, perempun 12 orang. Tidak adanya hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian filariasis karena nyamuk tidak pilih-
pilih ketika menghisap darah atau mencari makan, nyamuk tidak kenal
laki-laki maupun perempuan, jadi baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai risiko yang sama untuk terkena filariasis.
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilaria. insiden filariasis
pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan
karena umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena
pekerjaannya (Depkes RI, 2008).
63
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan Kadarusman (2003) yang menyatakan ada hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian filariasis. Pada dasarnya adanya
perbedaan sifat keterpaparan dan tingkat kerentanan perempuan
dengan laki-laki sehingga penderita filariasis pada penelitian ini
hampir sama antara laki-laki dan perempuan. Secara umum untuk
hampir semua penyakit, jenis kelamin perempuan mengalami angka
kesakitan tertinggi (Sub. Dit. Surveilans Depkes RI, 2008).
2. Faktor Perilaku
a. Pengetahuan
Hasil penelitian menujukan nilai value 0,004 OR=0,109 dengan 95%
Cl=0,25-0,483 yang berarti ada hubungan pengetahuan dengan
kejadian filariasis dan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa
mengurangi faktor risiko kejadian filariasis. Hasil penelitian diketahui
bahwa 86.4% responden kelompok kasus berpengetahuan kurang. Tiga
puluh tiga responden berpengetahuan kurang dalam pengertian
penyakit filariasis dan tidak memahami bahwa lingkungan rumah yang
kurang bersih dapat menjadikan seseorang terkena penyakit filariasis.
Tiga puluh responden tidak memahami bahwa semua usia bisa berisiko
tertular filariasis. Kurangnya pengetahuan responden dikarenakan
sebagian besar responden berpendidikan rendah, seseorang yang
berpendidikan rendah sulit untuk menerima informasi atau pesan-pesan
kesehatan yang disampaikan, mereka tidak perhatian dengan hal-hal
yang sebenarnya penting.
Pemahaman tentang gejala-gejala filariasis sangat penting, kurangnya
pengetahuan mengenai gejala-gejala filariasis menyebabkan
pengobatan penderita sering terlambat. Pada umumnya penderita yang
datang ke pelayanan kesehatan sudah masuk ke stadium lanjut, hingga
dapat menyebabkan cacat yang menetap, dengan demikian tingkat
64
pengetahuan yang baik akan berpengaruh terhadap kejadian filariasis
demikian juga sebaliknya, keadaan ini sesuai dengan teori bahwa
perilaku yang didasari pengetahuan akan lebih langgeng (Long
Lasting) dari pada tidak didasari oleh pengetahuan (Roger , 1974).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nasrin (2008) yang menyatakan adanya hubungan pengetahuan dengan
kejadian Filariasis. Pengetahuan disini dimaksudkan pengetahuan
responden tentang pencegahan filariasis.
b. Sikap
Hasil penelitian menujukkan nilai value 0,001 OR 0,083 dengan
95%CI= 0,020-0,349 yang berarti ada hubungan sikap dengan kejadian
filariasis dan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa
mengurangi faktor risiko. Dari hasil penelitian 23 responden memilih
melakukan penyemprotan dari pada melakukan PSN, selain itu warga
juga menjauhi warga lain yang menderita filariasis. Responden
menganggap PSN tugas dari jajaran pemerintah dan pemasangan kassa
mngeluarkan banyak uang.
Sikap adalah anggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang
diketahui, tidak dapat dilihat secara nyata, tetapi dapat ditafsirkan
sebagai perilaku tertutup. Oleh karena itu sikap masyarakat atau
responden yang kurang mengenai penyakit filariasis dikarenakan
persepsi atau tanggapan yang keliru tentang sesuatu yang dianggap
benar (Notoatmodjo, 2003)
Perilaku sikap responden yang setuju terhadap pencegahan filariasis
dikarenakan pengetahuan yang cukup akan pencegahan suatu penyakit.
Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang menyatakan
bahwa perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana
manusia berespon baik secara aktif maupun pasif yang dilakukan
65
sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut sesuai tingkat
pencegahan penyakit.
Sikap masyarakat yang setuju dengan tindakan pencegahan dan siapa
saja yang bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan filariasis
berhubungan dengan kejadian filariasis, hal ini dapat dilihat dari
jumlah responden pada kelompok kontrol yang memiliki sikap setuju
sebanyak 72.7%. dengan adanya sikap yang baik ini akan
memunculkan tindakan pencegahan terhadap filariasis.
Hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Pulungan (2012)
yang tidak menemukan adanya hubungan antara sikap dengan kejadian
filariasis dikarenakan responden sudah mempunyai kesadaran akan
pentingnya sikap pencegahan penyakit.
c. Tindakan
Hasil penelitian menunjukkan nilai value 0,002 OR 0,11 dengan
95%CI= 0,28-0,434 yang artinya ada hubungan tindakan dengan
kejadian filariasis dan merupakan faktor protektif atau faktor yang bisa
mengurangi faktor risiko. Dari hasil penelitian didapatkan responden
yang tidak melakukan tindakan pencegahan pada kelompok kasus
sebanyak 77,3% dikarenakan kurang setuju akan sikap pencegahan
dengan PSN sehingga tidak melakukan tindakan PSN juga.
Tindakan pemberantasan sarang nyamuk merupakan salah satu cara
metode pengelolaan lingkungan. Cara pemberantasan sarang nyamuk
yang dapat dilakukan adalah dengan membersihkan tanaman air,
menimbun genangan air, membersihkan selokan, mengalirkan air yang
menggenang.
Selain itu kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Pola kebiasaan
waktu menggigit nyamuk dewasa yang membentuk dua kali puncak
66
pada malam hari yaitu sesaat setelah matahari terbenam dan menjelang
matahari terbit dapat dijelaskan bahwa kondisi tersebut dipengaruhi
oleh suhu dan kelembaban udara yang dapat menambah atau
mengurangi aktivitas menggigit nyamuk dewasa. Oleh sebab itu,
responden yang memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari
lebih berisiko dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki
kebiasaan tersebut
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Juriastuti (2010), yang
menyatakan adanya hubungan antara tindakan mencegah penularan
filariasis melalui perantara gigitan nyamuk dengan kejadian filariasis
3. Faktor Lingkungan
a. Keberadaan tempat istirahat vektor
Hasil penelitian menunjukan nilai value 0,002 OR 0,09 dengan
95%CI= 0,02-0,403 yang artinya ada hubungan keberadaan tempat
istirahat vektor dengan kejadian filariasis dan merupakan faktor
protektif atau merupakan faktor yang bisa mengurangi faktor risiko.
Dari hasil observasi lingkungan 70,4% responden kasus didapatkan
banyak gantungan baju dan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan disekitar rumah.
Keberadaan barang-barang bergantung yang diketahui berhubungan
dengan kejadian filariasis ini terkait dengan resting place atau tempat
beristirahat nyamuk sebagai vektor dari filariasis. Karena pada
umumnya daerah ini bersifat lembab. Kandang ternak merupakan
tempat peristirahatan vektor nyamuk sebelum dan sesudah kontak
dengan manusia, karena sifatnya terlindung dari cahaya matahari dan
lembab. Selain itu beberapa jenis nyamuk yang bersifat zoofilik dan
antropofilik atau menyukai darah binatang dan darah manusia.
67
Sehingga keberadaan kandang ternak berisiko untuk terjadinya kasus
filariasis.
Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian terdahulu yang
dilakukan Kadarusman (2003)) yang menemukan tidak ada hubungan
antara keberadaan tempat istirahat vektor dengan kejadian filariasis.
b. Keberadaan tempat berkembangbiak vektor dengan kejadian filariasis
Hasil penelitian menunjukan nilai value 0,009 OR 0,069 dengan
95%CI= 0,008-0,608 yang artinya ada hubungan keberadaan tempat
berkembangbiak vektor dengan kejadian filariasis dan merupakan
faktor protektif atau faktor yang bisa mengurangi faktor risiko. Dari
hasil observasi yang dilakukan di wilayah Puskesmas Tirto I
Kabupaten Pekalongan diperoleh hasil bahwa sebagian besar
responden memiliki selokan air di sekitar rumah. Kondisi selokan
rumah pada saat dilakukan observasi dalam keadaan tergenang air,
kotor, banyak terdapat sampah sehingga sangat cocok untuk tempat
perkembangbiakan Cx. quinquefasciatus. Rata-rata selokan air pada
rumah responden berbentuk terbuka dengan jarak kurang lebih 3 meter
dari rumah. Semakin dekat selokan air dengan rumah responden
semakin sering responden kontak dengan Cx. Quinquefasciatus.
Berdasarkan teori kondisi parit/selokan yang merupakan tempat
perkembangbiakan nyamuk (breeding place) adalah parit yang airnya
menggenang/tidak mengalir.
Saluran air (parit) merupakan tempat
bersembunyi bagi larva dan nyamuk Cx. quinquefasciatus. Selain itu
genangan air limbah rumah tangga yang mengalir melalui parit
menjadi tempat perindukan yang baik sekali bagi Cx. quinquefasciatus
karena masih banyak mengandung nutrisi dan bahan organik yang di
butuhkan nyamuk Cx. Quinquefasciatus ( Prince PW, 2003 )
68
Cx. quinquefasciatus suka berkembang biak di air keruh dan kotor
dekat seperti genangan air, got terbuka, kolam, empang ikan dan
selokan yang kotor. Pada penelitian terbukti bahwa selokan yang
tersumbat merupakan tempat yang paling ideal untuk
perkembangbiakan nyamuk Cx. Quinquefasciatus (Muslim, 2005).
Genangan air yang kotor seperti air limbah rumah tangga merupakan
tempat yang baik sekali bagi perkembangbiakan nyamuk Cx.
quinquefasciatus karena pada tempat-tempat tersebut nyamuk Cx.
quinquefasciatus mudah mendapatkan nutrisi dan bahan organik untuk
perkembangan larva nyamuk.
Rawa-rawa merupakan ekosistem dengan habitat yang sering
digenangi air tawar yang kaya mineral dengan ph sekitar 6 (asam)
kondisi permukaan air tidak selalu tetap dan terdapat tumbuhan air
tertentu seperti eceng gondok yang merupakan inang bagi vektor
filariasis. Selain itu rawa merupakan tempat yang disenangi oleh
nyamuk untuk berkembang biak, serta mempunyai ukuran yang lebih
luas dibandingkan dengan tempat berkembang biak yang lain. Kondisi
rawa yang banyak tumbuhan air sangat cocok untuk perkembang
biakan nyamuk terutama nyamuk culex. Sebagaimana diketahui bahwa
nyamuk culex salah satu spesies nyamuk vektor filariasis. Dengan
demikian semakin dekat jarak rawa dengan rumah maka semakin
sering pula terjadi seseorang kontak dengan nyamuk.
Keberadaan genangan air berhubungan dengan kejadian filariasis, pada
genangan air kotor biasanya kita jumpai keberadaan tumbuhan air.
Keberadaan tumbuhan air merupakan syarat utama nyamuk vektor
filariasis berkembang biak. Culex merupakan salah satu vektor
filariasis, telur culex ditemukan melekat pada permukaan bawah daun
tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 10-16 butir.
Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing.
Lalu larva dan pupanya melekat pada akar atau batang tumbuhan air
69
dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut, kalau pada larva
terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada
terompet. Sehingga, dengan alat kait itu, baik siphon maupun terompet
dapat berhubungan langsung dengan udara (oksigen) yang ada di
jaringan udara tumbuhan air.
Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk
culex, dan kita tahu bersama kalau spesies nyamuk ini merupakan
salah satu vektor penularan dari penyakit kaki gajah. Adapun
tumbuhan air yang dijadikan sebagai inang culex sp., antara lain eceng
gondok, kayambang, dan lainnya. Akhirnya, untuk memberantas dan
memutuskan penularan penyakit filariasis ini, selain melakukan
pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor
penyakitnya. Caranya, bisa dengan menggunakan herbisida yang
mematikan tumbuhan inangnya. Atau bisa juga secara mekanis
melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan
inang oleh nyamuk culex sp
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan
Nasrin (2008) yang menemukan adanya hubungan antara keberadaan
tempat berkembang biak vektor dengan kejadian filariasis. Hal ini
dapat dijelaskan bahwa dirawa kepadatan nyamuk lebih tinggi, karena
rawa merupakan tempat yang disenangi oleh nyamuk untuk
berkembang biak, serta mempunyai ukuran yang lebih luas
dibandingkan dengan tempat berkembang biak yang lain. Kondisi rawa
yang banyak tumbuhan air sangat cocok untuk perkembang biakan
nyamuk terutama nyamuk mansonia. Sebagaimana diketahui bahwa
nyamuk Mansonia salah satu spesies nyamuk vektor filariasis. Dengan
demikian semakin dekat jarak rawa dengan rumah maka semakin
sering pula terjadi seseorang kontak dengan nyamuk.
70
C. Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini mencakup proses penelitian dan metode penelitian,
dalam kaitannya dengan proses penelitian, penguasaan ilmu dan pengetahuan
yang belum cukup yang menjadikan peneliti berusaha untuk memperkaya
bacaan melalui kunjungan ke perpustakaan, browsing internet sebelum
penelitian ini dimulai dan saat penelitian berlangsung.
Sedangkan kaitannya dengan metode penelitian, rancangan studi epidemiologi
yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus kontrol yaitu suatu
rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan antara paparan
(faktor penelitian) dengan penyakit dengan cara membandingkan status
paparan pada kontrol. Alur metodologi penelitian ini adalah dengan
melihatnya dulu, baru kemudian menyelidiki apa penyebabnya. Oleh karena
pemilihan subyek berdasarkan status penyakitnya ketika paparan telah
berlangsung, maka studi kasus kontrol ini rawan terhadap berbagai bias
diantaranya kontrol adalah orang sehat, biasanya tidak peduli akan status
kesehatanya yang memang pada saat wawancara dalam kondisi sehat sehingga
kadang-kadang hanya menjawab sekenanya ketika diajukan pertanyaan oleh
peneliti.
D. Implikasi Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada petugas kesehatan
untuk melakukan pendekatan interpersonal pada penduduk dalam memberikan
informasi tentang pentingnya kesehatan lingkungan dalam upaya mencegah
terjadinya filariasis.
Petugas kesehatan diharapkan membuat suatu media informasi yang menarik
seperti leaflet atau poster yang dipasang ditempat-tempat umum di desa dan
tempat strategis lainnya, seperti papan informasi, pos siskamling dan balai
desa.
71
Pihak Puskesmas Tirto I kabupaten Pekalongan perlu melakukan penyuluhan
secara teratur tentang filariasis guna meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang faktor yang dapat berisiko tertular filariasis
Masyarakat disarankan menggunakan kelambu atau anti nyamuk sewaktu
tidur, memakai pelindung diri (baju dan celana panjang, refelent) waktu keluar
rumah pada malam hari.
Masyarakat diharapkan dapat meminimalkan adanya tanaman air, guna
mengurangi breeding place dan resting place dengan menggalakkan kegiatan
kerja bakti.
Recommended