View
24
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
70
BAB V
ANALISIS PERAN MILITER DAN DEMOKRASI
Rezim militer yang ada baik di Indonesia dan Thailand cenderung
mengurangi tekanan terhadap politik dan membatasi partisipasi rakyat dalam
proses pengambilan keputusan. Masa Orde Baru dikategorikan sebagai
authoritarian bureaucratic bercirikan pemerintahan militeristik. Indonesia
menganut sistem pemerintahan demokrasi namun sifatnya demokrasi semu
(pseudo democracy). Pasca runtuhnya Orde Baru rakyat Indonesia memasuki
suatu masa transisi menuju demokrasi (Martin, 2007). Perubahan paradigma
militer pada masa reformasi menjadi ciri masa transisi Indonesia menuju
demokrasi. Kondisi politik Thailand hingga saat ini masih menunjukkan besarnya
kekuatan rezim militer. Pemerintahan oleh junta militer bersifat militeristik dan
tak luput dari penyusunan kebijakan represif yang digunakan untuk membungkam
suara rakyat. Dalam penulisan ini akan dilakukan pembahasan mengenai pengaruh
peran militer terhadap perkembangan demokratisasi di Indonesia dan Thailand.
V.1 Analisis Reformasi Peran Militer dan Demokrasi di Indonesia
Krisis ekonomi menjadi salah satu key facor pendorong proses
demokratisasi. Terbukti karena adanya satu masalah bersama yakni keterpurukan
ekonomi mampu mempersatukan masyarakat untuk satu suara menurunkan rezim
otoriter Soeharto. Akibat gesekan konflik ekonomi dan politik maka pecahlah
gerakan revolusioner karena kekecewaan rakyat terhadap tindakan komersialisasi
dan represif pemerintah. Gerakan yang pada awalnya diprakarsai oleh para
mahasiswa tersebut terbukti mampu membangkitkan kelompok-kelompok lain
untuk menyatukan suara rakyat menutut adanya perbaikan ekonomi dan menjadi
penyebab kehancuran legitimasi Presiden Soeharto. Mundurnya militer dari ranah
politik dan tercapainya kemajuan demokrasi menunjukkan bahwa Indonesia
berhasil mengatasi fragmented society yang sekian lama menjadi penyakit
masyarakat dan membuka kesempatan bagi militer untuk masuk dan mendominasi
politik Indonesia.
Secara konstitusi dengan mundurnya Presiden Soeharto maka Wakil
Presiden B.J Habibie menggantikan posisi Soeharto menjadi presiden ke-3
71
Indonesia. Masa pemerintahan Habibie tidak banyak mengeluarkan kebijakan
yang mencerminkan masa transisi demokrasi dan dipenuhi situasi chaos. Kaum
reformis menilai bahwa Habibie adalah warisan dari Orde Baru. Hal ini terbukti
dengan masih adanya praktek kolusi dan nepotisme dalam pengangkatan kabinet
dan MPR yang didominasi oleh orang-orang Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) juga orang-orang yang dianggap Habibie sebagai kawan.
(Yulianto, 2002: 344-345)
Peranan ABRI setelah turunnya Soeharto tidak lagi mendominasi
melainkan mendukung. Perubahan sikap militer ini membuka peluang
pelaksanaan objective civilian control untuk menjadikan militer profesional.
Menurut Salim Said kontrol sipil objektif sangat mungkin untuk dilakukan karena
1) posisi tentara tidak diuntungkan akibat pemberlakuan sikap represifnya sebagai
pelaksana kebijakan keamanan otoriter pemerintah Orba, 2) berakhirnya Perang
Dingin turut merubah sikap internasional terhadap peran politik tentara, 3)
bangkitnya peran kekuatan sipil kritis terhadap peran politik tentara (Said,
2010:108). Salah satu upaya pelaksanaan kontrol sipil objektif dilakukan Habibie
dengan menyerahkan penataan peran militer kepada Panglima ABRI Jenderal TNI
Wiranto.
Pada 5 Oktober 1998, Menhakam/Pangab Jenderal Wiranto mengeluarkan
buku berjudul “ABRI Abad XXI: Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran
ABRI dalam Kehidupan Bangsa.” Buku tersebut berisi penyesuaian implementasi
peran sosial politik ABRI pada masa transisi. Pada dasarnya peran sosial politik
ABRI tidak dihilangkan hanya saja posisi dan metode ABRI telah diubah, ABRI
tidak akan menempati peran sentral namun akan memberikan kesempatan pada
instansi fungsional terkait untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya. ABRI juga
akan memperkecil dan membatasi posisinya yang memiliki nilai strategis dalam
politik praktis. ABRI akan tetap memberikan kontribusi dalam pemerintahan
melalui pemikiran yang bersifat konstruktif, bukan intervensi. Terakhir
pengambilan keputusan kenegaraan dan pemerintahan akan dilakukan dengan
membagi peran ABRI bersama mitra sipil dan menempatkan institusi secara
fungsional. (Yulianto, 2002: 351-354)
72
Dalam masa pemerintahan Habibie tidak banyak kebijakan untuk
mengembangkan kontrol sipil terhadap militer. Walaupun terdapat mutasi dalam
tubuh ABRI namun Habibie tetap mempertahankan kedudukan strategis yang
dipegang oleh para pejabat-pejabat militer semasa pemerintahan Soeharto.
Kontestasi militer menjadi salah satu faktor penghambat demokratisasi pada masa
Habibie. Habibie tidak dapat memaksa militer untuk menjawab tindak lanjut
pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM mengenai penculikan terhadap aktifis
pro-demokrasi, Tanjung Priok, Lampung Berdarah dan Timor Loro Sae.
Ketegangan hubungan sipil-militer pada masa Habibie meningkat akibat
kebijakan Habibie untuk membuka kebebasan pers. Dampak dari kebijakan ini
militer harus menerima kritikan-kritikan dan tuntutan-tuntutan atas konsekuensi
sikap represifnya di masa lalu. Walaupun militer telah berkenan melakukan
reposisi dan redefinisi peran sospol ABRI, tetapi seperti tertulis di atas bahwa
ABRI tidak berkenan sepenuhnya untuk melepaskan pengaruhnya dalam bidang
sosial politik. Puncak momentum perpecahan Habibie dan militer terjadi pada 27
Januari 1999, akibat kebijakan Habibie dalam penyelesaian kasus Timor Timur
yang dinilai militer justru merupakan kesalahan besar dalam sejarah Indonesia.
(Haramin, 2004:118-119)
Selain itu keinginan Habibie untuk menjadikan Wiranto sebagai wapres
menunjukan ketidakkonsistensian terhadap penegakan supremasi sipil. Sikap yang
ditujukkan Habibie dinilai sebagai ketakutannya karena merasa lemah atau tidak
aman jika militer tidak menjadi pendukung utamanya. Sikap para poltisi sipil yang
selalu menganggap militer sebagai kekuatan strategis pendukung legitimasi
kekuasannya menjadi penghambat bagi penegakkan supremasi sipil. Pemilu 1999
menghantarkan Habibie pada akhir karirnya. Faktor lain yang mencederai karir
politik Habibie adalah perpecahan dalam tubuh Golkar. Sebagai akibat dari
keretakan hubungan Habibie dengan Wiranto, menyebabkan Golkar terbagi dalam
dua kubu. Kubu pertama Akbar Tanjung dan Marzuki Darusman lebih optimis
terhadap Wiranto untuk menjadi calon presiden, sedangkan kubu Irmasuka lebih
memilih Habibie. Kenyataan ini menghantarkan Golkar pada kekalahannya karena
terpaku pada permainan politik lawan. (Haramin, 2004: 121)
73
Merujuk pada teori O’Donnell dan Schmitter (1993) maka masa transisi
Indonesia baru nampak jelas terlihat pada setelah hasil pemilu 1999 dicapai. Hal
ini terlihat jelas dari lahirnya liberalisasi dan pelaksanaan pemilu 1999, dianggap
sebagai perlehatan sukses dalam sejarah politik Indonesia. Masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid dianggap sebagai masa titik tolak Reformasi di Indonesia.
Gagasan Gus Dur tentang bagaimana militer berperan di Indonesia telah berhasil
mengubah pandangan sipil bahwa dominasi militer selama ini sangatlah
bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Menurut Gus Dur militer
seharusnya menjadi tiga pilar pendukung negara yakni teritorial, rakyat dan
pemerintah itu sendiri.
Gus Dur menyadari bahwa supremasi sipil di Indonesia tidak bisa
sepenuhnya disamakan dengan negara lain, oleh karena itu perlu dijelaskan bahwa
supremasi sipil yang dimaksud adalah suatu pembagian peran yang seimbang
antara militer dan sipil, tidak perlu ada supremasi sipil yang mensubordinasi
militer. Hal ini dapat kita lihat dalam wujud kabinet Persatuan Nasional yang
masih terisi oleh beberapa perwira militer di dalamnya (Haramin, 2004:188-198).
Penerapan militarizing the military dengan upaya memperbesar profesionalisme
militer, walaupun kekuasan militer diminimalkan namun tidak menghilangkan
sepenuhnya peran militer melainkan menyediakan wadah yang memerlukan
profesionalisme militer. Cara ini menurut Huntington dianggap dapat
menciptakan dan mengelola hubungan sipil-militer yang sehat.
Pada bulan April 2000 dalam rapim TNI Panglima TNI Laksamana
Widodo AS secara tegas menyatakan bahwa TNI akan menginggalkan fungsi
sospol yang menyimpang dari jati diri TNI sebagai bhayangkari (pasukan
pengawal) negara, sehingga TNI akan berkonsentrasi pada pelaksanaan tugas-
tugas pertahanan.1 Pengukuhan legalitas peran TNI yang baru dilakukan melalui
Tap MPR Nomor VII/MPR/2000, berisi penetapan peran TNI sebagai alat negara
dalam pertahanan, bertugas memberikan bantuan dan ikut serta dalam
penyelenggaraan negara.2 Melalui keputusan tersebut disepakati oleh sipil dan
militer bahwasannya peran politik legal militer secara resmi ditinggalkan.
1 Kompas, edisi 20 April 2000. “Tinggalkan Sospol, Konsentrasi pada Pertahanan”
2 Tap MPR RI Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran
Kepolisian Negara Republik Indonesia
74
Kebijakan tersebut mencapai kata mufakat karena adanya kesadaran dari
organisasi militer sendiri, bahwa “dwifungsi” sebenarnya menjadikan badan
militer sebagai alat yang dimanfaatkan Presiden Soeharto untuk berkuasa. Faktor
pendorong profesionalisme militer Indonesia lainya adalah persepsi diri para
perwira militer generasi baru. Jika dahulu militer angkatan 45 melihat diri sebagai
pejuang dan menganggap dirinya memiliki hak berpolitik, generasi perwira baru
justru lebih melihat diri sebagai tentara profesional. (Said, 2015:103-104)
Usaha Gus Dur untuk mengurangi hak prerogratif militer dilakukan dengan
Keputusan Presiden (Keppres) No. 38/2000 tentang Penghapusan Badan
Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas) dan Lembaga
Penelitian Khusus (Litsus). Bakorstanas dan Litsus dinilai tidak sesuai dengan
masa reformasi. Hal ini dikarenakan kedua lembaga ini dianggap sebagai
instrumen otoriter Orba(Haramin, 2004:202-207). Kebijakan Bakorstanas dan
Litsus dimaksudkan untuk menciptakan hubungan sipil-militer yang berorientasi
pada adanya kontrol sipil atas militer. Upaya restrukturisai militer juga dilakukan
presiden melalui Keppres NO. 65/TNI/2000 mengumumkan likuidasi posisi
Wakil Panglima (Wapang). Alasan penghapusan Wapang adalah demi
kepentingan perampingan dan restrukturisasi TNI.
Pada awal masa reformasi terdapat gagasan pemisahan ABRI-Polri
melalui Instruksi Presiden No.2/19993, namun kenyataan dilapangan Polri masih
berada dibawah komando ABRI. Untuk menegaskan ide tersebut dalam masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid dikeluarkan Ketetapan MPR/VI/2000 tentang
Pemisahan TNI dan Polri4 dan Kepres Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan
Kepolisian RI yang menegaskan bahwa Polri berkedudukan langsung dibawah
presiden.5 Maka dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut presiden telah berhasil
melepaskan peran militer dari masalah keamanan dalam negeri dan menegaskan
bahwasannya polisi bertugas untuk menjadi penegak hukum dan keamanan.
Reposisi militer dari tubuh birokrasi pemerintahan sipil utamanya dalam
kementrian pertahanan ditunjukkan dengan memisahkan jabatan Menhakam dan
3 Keputusan Presiden RI: Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-langkah Kebijakan dalam rangka pemisahan
Kepolisian Negara RI dari ABRI 4 Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia 5 Keputusan Presiden RI: Nomor 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia
75
Pangab. Penempatan sipil pertama kali di Dephan dalam masa pemerintahan
Abdurrahman Wahid dilakukan dengan mengangkat Juwono Sudarsono menjadi
Menteri Pertahanan dan menempatkan Laksamana TNI Widodo AS yang
notabene Angkatan Laut (AL) sebagai Panglima TNI yang selama ini dipegang
oleh Jenderal Angakatan Darat(Haramin, 2004: 212-213). Penempatan sipil pada
jabatan Menhan memperlihatkan keseriusan Gus Dur mewujudkan sipilisasi
wajah Departemen Pertahanan yang dahulu didominasi militer. Terjadinya
perubahan dalam struktur kepemimpinan TNI menjadi pendorong pembinaan
karir dan kompetisi yang sehat serta profesional dalam tubuh militer.
Pengangkatan jabatan strategis lainnya adalah Kepala Badan Intelijen Strategis
(KaBais) yang selama ini diduduki perwira AD diganti oleh Marsekal Muda TNI
Ian Perdanakusuma dari TNI Angkatan Udara (AU) dan pengangkatan Kasuspen
TNI oleh Marsekal Muda TNI Graito Usodo (Yulianto, 2002: 393-396).
Kebijakan ini tidak hanya menjadikan fungsi struktur kedua jabatan lebih optimal
tetapi juga membantu peningkatan supremasi sipil di Indonesia.
Sebagai langkah penyelesaian konflik dan separatisme di daerah Gus Dur
memilih jalan damai melalui dialog. Presiden mengeluarkan status otonomi
khusus untuk Aceh dengan UU No.18 tahun 2001 tentang Nangroe Aceh
Darussalam dan membenarkan pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Penyelesaian
konflik Irian Jaya dilakukan dengan menyetujui tuntutan masyarakat Papua untuk
mengganti nama Irian Jaya menjadi Papua dan ijin untuk mengibarkan bendera
Bintang Kejora. Tetapi dalam pernyatannya presiden menginginkan rakyat Papua
untuk tetap mematuhi dan melaksanakan konstitusi NKRI. (Haramin, 2004: 227-
229)
Upaya penegakan supremasi hukum dilakukan Presiden Abdurrahman
Wahid dengan menunjukkan komitmennya untuk mengusut dan menuntaskan
masalah pelanggaran hak asasi manusia justru melahirkan kontestasi militer. Salah
satu penyelesaian kasus penculikan aktivis pro-demokrasi yang dilakukan oleh
Kopassus. Hasilnya Letjen TNI Prabowo Subiyanto diberhentikan secara hormat
dari ABRI, Mayjen TNI Muchdi dan Kol Inf Chairawan dibebas tugaskan dan
jabatan struktrual di ABRI. Kedua, kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok
1984 dan pelanggaran HAM di Timor Timur. Jenderal (Purn) TNI Wiranto
76
dipersalahkan atas kasus Timor Timur dan diminta untuk mengundurkan diri dari
jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam)
(Yulianto, 2002: 381-383). Pengusutan kasus-kasus tersebut dengan pemanggilan
para jenderal telah membuat prajurit sakit hati dan TNI merasa dipojokkan.
Dinamika hubungan-sipil militer dalam masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid paling banyak mendapatkan sorotan dalam kebijaknnya
menyangkut mutasi TNI. Mutasi pada bulan Febuari 2000 melibatkan sebanyak
74 perwira tinggi di lingkungan TNI. Keputusan mutasi dianggap sebagai langkah
dramatis presiden untuk mereformasi TNI, tindakan ini justru dianggap sebagai
upaya intervensi presiden dan mengakibatkan berbagai ketidakpuasan ditubuh
militer yang pada akhirnya terbagi dalam dua kubu. Kubu pertama adalah
kelompok Wiranto, sebanyak 12 jenderal lulusan Akademi Militer Nasional
(AMN) membuat draft pernyataan protes yang berisi bahwa sebanyak 4 jenderal
menolak ditempatkan pada posisi barunya dan 8 jenderal bermaksud
mengundurkan diri.(Cahyono, 2000)
Tabel 5.1
Daftar Sebagian Nama Jabatan, Pejabat Lama, Pejabat Baru
Strategis dalam Mutasi 28 Febuari 2000
Jabatan Pejabat Lama Pejabat Baru
Kasum TNI Letjen TNI Suaidi Marassabessy Letjen TNI Djamari Chaniago
Pangkostrad Letjen TNI Djaja Suparman Mayjen TNI Agus
Wirahadikusumah
Wakil KSAD Letjen TNI Djamari Chaniago Letjen TNI Endriartono S.
Wakil KSAU Marsdya TNI II Gede Sudana Marsda Mudjiono Said
Dan Sekso
TNI
Letjen TNI Endriartono S. Letjen TNI Djaja Suparman
Pangdam
VII/Wirabuana
Mayjen TNI Agus
Wirahadikusumah
Brigjen TNI S.Kirbiantoro
Dan Paspampers Mayjen TNI Suwandi Brigjen TNI Putu Sastra W.
Kasdam Jaya Brigjen TNI Achmad Yahya Kolonel Romulo Robert S.
Irjenal Mayjen TNI (Mar) Sudarsono K Laksda TNI Djaelani
Irjenau Marsda TNI Irawan Saleh Marsda TNI Iskak Karminto
Sumber: Yulianto, Arif. 2002. Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orba Ditengah Pusaran
Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal: 406
77
Kubu lainnya adalah kubu Agus Wirahadikusumah (AWK) yang dinilai
memiliki pandangan sangat demokratis, namun dikalangan TNI AWK tidak
begitu disukai karena pemikirannya yang radikal dan agak revolusioner tidak
sesuai dengan karakter dan watak tentara. Banyak perwira tinggi tidak
mendukung AWK dalam jabatan Pangkostrad sebagai konsekuensi dari
gebrakannya membongkar skandal korupsi di lingkungan Kostrad atas Yayasan
Dharma Putra dan Mandala Air Lines. Hal lain yang mengurangi solidnya TNI
adalah pernyataan-pernyataan AWK yang terlalu lantang untuk membubarkan
komando teritorial, dinilai tidak menghargai senioritas militer karena tidak adanya
koordinasi internal. Bahkan Agus Wirahadikusumah pernah meluncurkan buku
yang mengatakan bahwa Dwi Fugsi ABRI adalah anak haram yang terlanjur
dilahirkan.(Yulianto, 2002: 408-410)
Reformasi tentu saja tidak hanya menyangkut peran sospol militer namun
juga menyetuh bisnis-bisnis militer. Kesadaran akan akar penyebab dari tindakan
korupsi yang sudah melembaga dalam tubuh militer membuat pemerintah
mengeluarkan kebijakan peningkatan anggaran militer. Pemerintah menyadari
bahwa anggaran TNI dan Polri sangat minim dibanding negara-nagara lain dan
pembentukan bisnis militer telah mengganggu asas profesionalitas militer.
Kebijakan ini diambil dengan pertimbangan agar militer bersedia mematuhi
hukum dan bersikap profesional dengan tidak mendekati praktik politik. Seluruh
kebutuhan militer dicatat dalam anggaran, diantaranya kegiatan operasi,
pembelian anggaran, pembinaan personil, dan peningkatan kesejahteraan prajurit.
Pada akhirnya pemerintah menyediakan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) untuk anggaran TNI dan Polri sebesar Rp 10,9 triliyun dan
Anggaran Belanja Tambahan (ABT) sebanyak Rp 500 milyar untuk menangani
kerusuhan disejumlah daerah. (Yulianto, 2002: 217-218)
Pada masa akhir pemerintahannya Abdurrahman Wahid disulitkan oleh
lawan-lawannya yang berasal dari DPR, militer dan wakil presiden Megawati.
DPR mengecam berbagai tindakan presiden menyangkut kebijakan terhadap
militer dan hak prerogatif presiden. Permasalahan mengenai hak prerogatif
presiden ditengarai berasal dari kebijakan presiden atas pembubaran Departemen
Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen) serta pencopotan Yusuf
78
Kalla dan Laksamana Sukardi dari jabatan menteri karena dugaan terlibat KKN.
Keretakan hubungan presiden semakin terlihat ketika pada tanggal 20 Juli 2000
DPR menyetujui penggunaan hak interpelasi untuk meminta keterangan presiden
mengenai masalah-masalah tersebut.6 Presiden menolak menjawab secara terbuka
megenai hak interpelasi dengan dasar pertimbangan bahwa dirinya akan
melanggar kontitusi UUD 1945, pemberlakuan sistem presidensil berarti bahwa
parlemen tidak memiliki kuasa untuk menjatuhkan presiden dan menegaskan
tugas DPR sebagai fungsi pengawasan. Puncak ketegangan antara Gus Dur dan
parlemen disebabkan oleh kasus dugaan penyelewengan Dana Yanatera Bulog
dan Bantuan dari Sultan Brunei.7 Kasus ini menghantarkan parlemen untuk
mengeluarkan Memorandum I dan II untuk meminta pertanggungjawaban atas
kinerja presiden (Haramin, 2004: 269-276). Friksi-friksi antara presiden dan
parlemen tidak dapat dihindarkan dari situasi yang semakin kacau kemudian.
Kejatuhan Gus Dur tidak terlepas dari sikap militer yang tidak
memberikan dukungan terhadap pemerintahannya. Selain besarnya intervensi Gus
Dur pada internal tubuh militer, kekecewaan terbesar militer berasal dari
penonaktifan Wiranto dan penyelesaian kasus Aceh yang justru semakin
mengeliminasi peran militer dalam persoalan dalam negeri. Inkonsistensi sikap
militer diperlihatkan sejak Gus Dur terlibat dalam kasus Buloggate dan
Brunaigate. Ketidakpatuhan militer atas perintah presiden diperlihatkan dengan
penolakan TNI-Polri melaksanakan Maklumat Presiden(Lampiran 3).8 Alasan
penolakan tersebut didasari oleh kebijakan presiden yang ingin membekukan DPR
dan MPR tidak sesuai dengan jiwa dan aksara UUD 1945, begitu pula presiden
tidak memiliki wewenang membekukan Partai Golkar karena telah diatur dalam
UU No.2 tahun 1999 yang mana adalah kapasitas Mahkamah Agung. (Yulianto,
2002: 403-441)
Masa pemerintahan setelah Gus Dur dianggap hanya melanjutkan proses-
proses transisi demokrasi di Indonesia. Hubungan sipil-militer di Indonesia sejak
masa Presiden Megawati hingga saat ini tidak terlepas dari isu-isu penting yang
belum dituntaskan oleh pemerintahan sipil. Isu-isu penting tersebut menyangkut
6 Gamma, edisi 19-25 Juli 2000
7 Tempo, edisi 8 April 2001. Hal: 38-42
8 Kompas, edisi 23 Juli 2000. Presiden Belakukan Dekrit.
79
kejelasan UU Pertahanan dan Keamanan, serta struktur antara institusi militer
dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Mahkamah Agung (MA) dan
Kementrian Pertahanan (Kemhan).
Secara de jure, Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 menyatakan bahwa
lembaga militer tidak diperkenankan melibatkan diri dalam kegiatan politik
praktis. Kenyatannya, militer masih berada di DPR sampai tahun 2004 dan MPR
sampai tahun 2009. Ketetapan tersebut juga mengatur bahwa keterlibatan militer
dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama
sampai dengan tahun 2009. Terdapat ambivalensi menyangkut keikutsertaan
militer dalam penyelenggaraan negara, disatu sisi militer masih terlibat di MPR,
sedangkan disisi lain militer sebagai pelaksana kebijakan politik negara.
Walaupun keterlibatan anggota TNI/Polri dalam masa ini tidak mengkondisikan
badannya untuk mengamankan kekuasaan eksekutif semata dan berupaya
meminimalisir kontrol DPR terhadap eksekutif seperti dahulu sebelum reformasi,
kini militer memposisikan dirinya dengan lebih banyak bersikap netral atau
abstain. Hal lain yang menjadi bahan perdebatan adalah belum tuntasnya
pembahasan RUU Pertahanan sebagai pengganti UU Nomor 20/1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Hamkaneg. Pelaksanaan Tap MPR Nomor VII/MPR/2000
terbentur dengan UU Nomor 20/1982 yang saat ini masih belum dicabut. UU
Nomor 20/1982 mengatur TNI/Polri (pada saat itu ABRI) sebagai kekuatan
pertahanan dan keamanan, serta sebagai kekuatan sosial-politik (Yulianto, 2002:
512-515). Menjadi dilematis karena terdapat dua peraturan yang masih berlaku
dengan isi substansi bertolak belakang.
Berdasar data-data tersebut dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya militer masih memiliki peran dalam sistem
politik dan hak-hak istimewa militer masih relatif tinggi. Meskipun tingkat
partsipasinya relatif sangat rendah karena tidak lagi memiliki peran politik praktis.
Dalam bukunya Yulianto Arif (2000:511) mengatakan bahwa “dalam
rezim demokratis, hak-hak istimewa militer dikatakan rendah apabila kepala
eksekutif (Presiden) secara de jure dan de facto merupakan Panglima Tertinggi,
sedangkan jika de facto kontrol militer ada di tangan Panglima Angkatan
Bersenjata dinas aktif maka hak-hak istimewa militer tinggi”. Secara de jure Pasal
10 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa Presiden RI adalah Panglima
80
Tertinggi angkatan bersenjata. Namun kekuasaan presiden sebagai Pangti juga
dibatasi dalam skala tertentu. Sebagai contoh, presiden memiliki wewenang untuk
mengangkat dan memberhentikan Panglima TNI harus sepersetujuan DPR.
Presiden memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Kepala
Staf Angkatan, namun harus dilakukan berdasar usulan dari Panglima TNI
melalui prosedur Wanjakti. Pasal 11 UUD 1945 dikatakan bahwa presiden
memiliki kuasa untuk menyatakan perang dan membuat perdamainan atas
persetujuan DPR. Maka dapat disimpulkan bahwa hak-hak istimewa militer dalam
hubungannya dengan Presiden/Panglima Tertinggi relatif rendah.
Pada negara sistem demokrasi hak-hak istimewa militer rendah jika secara
de jure dan de facto koordinasi pertahanan dilakukan oleh pejabat sipil di kabinet
melalui penunjukkan langsung oleh eksekutif, sedangkan hak-hak istimewa tinggi
jika secara de jure dan de facto koordinasi pertahanan dilakukan oleh Kepala-
Kepala Staf Angakatan secara terpisah serta ditambah kelemahan pengawasan dari
Markas Besar Gabungan serta perencaan yang lemah dari eksekutif (Yulianto,
2002: 525). Pada masa reformasi Gus Dur memulai koordinasi sektor pertahanan
dengan menempatkan sipil pada jabatan menteri pertahanan. UU No.3 tahun 2002
tentang Pertahanan Negara menjelaskan bahwa Kementerian Pertahanan sebagai
otoritas sipil dala urusan pertahanan negara. Mayoritas pada negara demokrasi
menerapkan struktur institusi militer dibawah menteri pertahanan. Namun di
Indonesia menteri pertahanan tidak memiliki fungsi komando atas militer.
Wewenang komando dipegang oleh Presiden dibantu Panglima TNI, kedudukan
Panglima TNI adalah sejajar dengan menteri pertahanan. Fakta ini menunjukan
bahwa masalah pertahanan masih didominasi oleh kalangan militer. Reformasi
struktural antara Kemhan dan TNI masih belum selesai. UU Nomor 34 Pasal 3
(ayat 2) Tahun 2004, secara jelas menyatakan bahwa terdapat mandat UU untuk
meleburkan TNI ke dalam Kementerian Pertahanan (Sukadis. 2015:12-15). Secara
teoritis Kemhan berhak menetapkan kebijakan penataan terhadap TNI sebagai
otoritas politik di bidang pertahanan karena TNI adalah instrumen operasional
negara. Terhambatnya Perpres proses restrukturisasi ini karena mendapat
penolakan dari militer. Dalam sesi wawancara Beni Sukadis menyatakan bahwa
terhambatnya penerapan UU No.34 Pasal 3 th 2004 dapat berkomplikasi pula
81
pada upaya supremasi sipil. Secara de jure hak-hak istimewa militer menjalankan
kontrol efektif di Kemhan memang tidak ada, namun karena pemerintah sipil
belum mampu melaksanakan hak-hak istimewanya dan juga karena militer masih
melakukan penentangan pasif dan aktif dengan tetap menyalurkan anggotanya ke
Kemhan maka hak-hak istimewa militer dikatakan moderat. Hal tersebut
dikarenakan walaupun militer aktif di Kemhan namun pihak militer tetap bersikap
akomodatif terhadap kebijakan sipil (menerima sipil menjadi Menteri Pertahanan)
dengan demikian menunjukan kemajuan kontrol sipil walaupun belum
sepenuhnya.
Isu-isu kebijakan penting tentang anggaran belanja militer, struktur militer
dan pengadaan persenjataan baru militer pada negara demokrasi biasanya
terpantau oleh badan pembuat undang-undang. Setelah masa Orba, Komisi I DPR
diitunjuk membidangi masalah pertahanan kemananan. Menurut Beni Sukadis,
terdapat duplikasi kewenangan dalam pembuatan UU mengenai bidang
pertahanan. Hingga saat ini Mabes TNI masih memutuskan sendiri soal pembelian
senjata, padahal prosedur seharusnya adalah militer hanya diperkenankan
memberi usulan pengadaan persenjataan baru kepada Kemhan untuk selanjutnya
dievaluasi oleh tim evaluasi, kemudian dibawa ke DPR. Maka terlihat bahwa hak-
hak istimewa militer berada pada tingkat tinggi karena fungsi DPR tidak berjalan
efektif, jika kontrol DPR berjalan dengan optimal maka pemerintah dapat
meminimalisir pelanggaran-pelanggaran pengadaan senjata.
Pada prinsip mayoritas negara demokratis, kedudukan kepolisian berada
dibawah kementerian non-militer atau pejabat lokal daerah. Angkatan senjata dan
kepolisian adalah badan yang berbeda dan memiliki struktur komando berbeda.
Maka pada masa reformasi, organisasi militer dan kepolisian dipisahkan.
Kedudukan Polri berada langsung dibawah presiden, sehingga Kapolri diangkat
dan diberhentikan langsung oleh presiden melalui persetujuan DPR. Perubahan
stuktur ini membuat TNI dan Polri menjadi sejajar. Status anggota Polri berbuah
menjadi pegawai negeri kepolisian Republik Indonesia. Walaupun melalui Tap
MPR Nomor VII/2000 telah mengatur pemisahan peran TNI dan Polri. TNI
bertugas sebagai alat pertahanan negara dengan tugas pokok menegakkan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan melindungi dari ancaman dan gangguan
82
terhadap keutuhan bangsa dan negara, sedangkan Polri berperan memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberi pengayoman
dan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini mendeksripsikan bahwa tugas TNI
lebih bersifat menanggulangi ancaman eksternal, sedangkan Polri berperan
menanggulangi ancaman internal. Namun dalam konteks pendeskripsiannya
terdapat tumpang tindih mengenai penjelasan masalah penanganan keamanan
(national security), sehingga terjadi ambiguitas dalam pelaksanaan lapangan
karena baik TNI maupun Polri merasa merupakan tugasnya ataupun sebaliknya.
Sebagai contoh penanganan Gerakan Aceh Merdeka oleh Polri, dilihat dari
dimensi kedaulatan dan keutuhan wilayah nasional maka jelas permasalahan
tersebut adalah tugas TNI, meskipun ancaman datang dari dalam negeri (Yulianto,
2002: 567-573). Secara fisik tampilan Polri sudah berubah jika dibandingkan pada
masa Orba, namun aspek perilaku dan penampilan masih cenderung militeristik.
Hal ini disoroti dengan melihat cepatnya rotasi pejabat, kentalnya budaya
militeristik, kasus korupsi, cara berfikir doktriner dan pandangan selalu benar
dalam tindakan (superbody). Dugaan bahwa Polri tidak serius melakukan
reformasi ditengarai keinginan pelaksanaan reformasi oleh internal Polri sendiri.
Dalam masa reformasi ini masih tercatat adanya tindakan kekerasan yang
dilakukan aparat kepolisian terhadap penduduk sipil. Sebagai contoh Kontras
mencatat pelanggaran bahwa kepolisian menduduki peringkat pertama pelaku
kekerasan di Indonesia dengan 704 kasus yang dilaporkan (Makaarim, 2015: 86-
99). Analisa hak-hak keistimewaan kepolisian secara de jure relatif rendah,
namun karena ketidaksiapan pemerintah sipil menjadikan institusi polisi lebih
modern, mandiri dan profesional, maka hak-hak keistimewaan lembaga militer
menjadi moderat.
Dalam sistem negara demokratis hak-hak istimewa militer dikatakan
“rendah” jika militer tidak memiliki yuridiksi legal di luar wilayah yang terbatas
mengenai pelanggaran internal atas tindakan indispliner. Serta dikatakan “tinggi”
jika UU keamanan nasional dan sistem pengadilan militer mencakup bidang yang
luas dari politik dan sipil. Hal ini membuat kemungkinan militer diadili menjadi
kecil (Yulianto, 2002: 591-596). Agenda reformasi militer telah dimandatkan
dalam UU Nomor 34 tahun 2004 pasal 65 (ayat 2) menyatakan bahwa prajurit
83
TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum
militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum
pidana umum yang diatur dengan UU (Araf dan Mengko, 2015:33-34). Merujuk
dari penjelasan pasal ini dapat disimpulkan bahwa jelas pelanggaran pidana yang
dilakukan oleh prajurit TNI harus di bawa ke pangadilan umum (sipil). Namun
kenyataanya terdapat beberapa kasus pidana yang justru di adili pada pengadilan
militer. Seperti pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih menggunakan
pengadilan koneksitas dan pengadilan militer. Tersendatnya agenda reformasi
peradilan militer disebabkan oleh sikap pemerintah pada tahun 2009 yang tidak
lagi memberi dukungan. Mundurnya kemauan pemerintah ditengarai karena
adanya resistensi dari sebagian kalangan militer dan dugaan money politic
disebagian anggota parlemen untuk mengagalkan revisi UU No. 31/1977 tentang
peradilan militer (Araf dan Mengko, 2015:33-34). Maka hasil analisa dari data-
data tersebut terlihat bahwa hak-hak istimewa militer dalam sistem hukum masih
relatif “tinggi”. Meskipun secara de jure tata cara persidangan telah diatur, namun
secara de facto masih banyak kasus pidana umum yang diselesaikan di pengadilan
militer. Jika melihat dari kontestasi militer maka kebijakan pemerintah sipil dalam
menegakan supremasi hukum mendapat perlawanan/pertentangan tinggi dari
militer, sehingga menimbulkan konflik yang tinggi pula.
Situasi Indonesia saat ini dapat dikatakan telah memasuki demokrasi
terkonsolidasi, terlebih sejak diadakannya pemilihan umum pada tahun 2004.
Pentingnya pelaksanaan pemilu sebagai pintu masuk membangun pemerintahan
berdemokratis telah diamanatkan pada pembukaan UUD 1945 alinea ketiga. Pasca
runtuhnya Soeharto dan dimulainya agenda reformasi, terlihat kebangkitan besar
dari kesadaran para pemimpin politik dan masyarakat bahwa demokrasi adalah
sistem politik yang mampu menjamin masa depan Indonesia. Hal ini ditandai
dengan adanya empat perubahan mendasar dalam mekanisme pemilu. Pertama,
ditandai dengan kembalinya sistem multi-partai. Kedua, pemilu diadakan dua kali,
pemilu pertama untuk memilih wakil rakyat dan pemilu kedua untuk memilih
presiden secara langsung. Ketiga, dimandatkannya UU No.32 tahun 2004 tentang
pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah sebagai landasan pelaksanaan PILKADA. Keempat,
84
Mahkamah Konstitusi memutuskan perhitungan suara menggunakan suara
terbanyak. Perubahan-perubahan tersebut telah mendasari perubahan pada sistem,
struktur, intensitas persaingan dan perilaku institusi-institusi dalam pelaksanaan
Pemilu (Firmanzah, 2010: 8-9). Perubahan-perubahan ini juga disambut dengan
lahirnya euphoria massa dengan skala besar yang berupaya melegalisasi segala
hal atas nama orde reformasi.
V.2 Analisis Reformasi Peran Militer dan Demokrasi di Thailand
Sejak perubahan bentuk pemerintahan dari monarki absolut ke monarki
konstitusional negara Thailand telah mengalami 24 kudeta. Mayoritas kudeta
dilakukan oleh militer. Perkembangan proses demokratisasi di Thailand
berkembang pesat sejak tahun 1992 setelah Konstitusi 1992 disetujui. Memasuki
tahun 1997 demokrasi terkonsolidasi mulai diterapkan, walaupun mayoritas
pemerintahan masih dipimpin oleh perdana menteri militer. Pemilihan umum pada
tahun 2001 menjadi peristiwa penting bagi perkembangan demokratisasi Thailand
setelah sekian tahun lamanya Thailand memulai kembali usaha demokratisasi.
Sayangnya pada tahun 2006 junta militer dianggap mengalami set back melalui
peristiwa kudeta terhadap pemerintahan Thaksin.
Pemilu pada tahun 2001 membuktikan bahwa Thailand telah bersiap
melakukan upaya demokratisasi sepenuhnya. Hal ini terwujud dengan dibukanya
kran lebar untuk berpartisipasi dalam poltik bagi masyarakat dan aktor-aktor
politik. Pemilu 2001 diikuti oleh 37 partai politik dan sebanyak 42.798.001
pemilih sah (Kusumawardani, 2012). Hasil pemilu 2001 memberi kemenangan
kepada Thaksin yang pada awal masa pemerintahannya dianggap pemerintahan
pro-rakyat. Dalam pelaksanaan sistem pemilu kali ini lahir koalisi-koalisi partai
terdiri dari kubu pro pemerintah (TRT, Chart Thai, New Aspiration, Seritham)
dan oposisi (Demokrat dan Chart Pattana). Hal ini memperlihatkan kemajuan
demokrasi karena koalisi antar partai sangat jarang terjadi di Thailand.
Kemenangan Thaksin juga memperlihatkan kemajuan pelakanaan Konstitusi 1997
yang menjadi landasan pelaksanaan pemilu. Kesalahan-kesalahan yang telah
dilakukan Thaksin mendorong kondisi poltik Thailand memasuki masa chaos.
Setelah junta militer berhasil melakukan kudeta terhadap Thaksin, kini situasi
85
politik Thailand kembali pada masa sebelum pemilu demokratis yakni dengan
diberlakukannya kembali otoriterianisme militer.
Sebelumnya telah dibahas bahwa raja dan militer adalah kekuatan elit
paling mendominasi di Thailand. Pada kudeta tahun 2006 hubungan raja dan
militer terlihat melalui pernyataan junta militer bahwa Raja telah memberikan
dukungan terhadap tindakan kudeta serta dukungan agenda-agenda politik pasca
kudeta terhadap Thaksin. Raja Bhumibol mengakui telah memberikan dukungan
terhadap kudeta militer pada 2006 dan 2014, namun selama penyusunan konstitusi
baru Raja tidak memperlihatkan campur tangannya secara eksplisit. Dalam sistem
pemerintahan monarki konstutisional Raja Bhumibol hanya memiliki legitimasi
prosedural yakni peran raja terbatas untuk kepentingan seremonial atau sebagai
kepala negara saja, maka dengan adanya status tersebut raja tidak dapat
menjalankan peran politik di pemerintahan. Namun dengan adanya legitimasi
tradisional raja sebagai keturunan bangsawan dan legitimasi kualitas pribadi
dimana tingginya tingkat rasa kepercayaan rakyat Thailand kepada raja karena
telah berhasil menyelesaikan setiap permasalahan politik melalui aksi-aksi sosial
yang pernah beliau lakukan, Raja dapat kembali mengintervensi politik.
Hubungan spesial antara raja dan militer ini kemudian membentuk sebuah
hubungan yakni network monarchy. Sebuah institusi di luar institusi politik hasil
kepemimpinan semi-monarki dimana raja dan sekutunya membentuk hubungan
monarki modern (Duncan Mc Margo). Sejarah perkembangan network monarchy
hadir semenjak masa pemerintahan PM Sarit Thanarat yang memutuskan untuk
melibatkan Raja dalam proses pemerintahan. Keputusan Sarit ini didasari pada
kebutuhan agar kepemimpinan, kekuasaan dan perjuangan anti-komunis yang
dijalankannya mendapatkan legitimasi. Keterlibatan Raja menjadi semakin
meningkat sejak peristiwa demonstrasi pada tahun 1973 dan peristiwa percobaan
kudeta terhadap PM Prem Tinsulanonda pada tahun 1981. Raja selalu mengambil
peran pada masa-masa krisis. Posisi Raja yang merupakan sumber legitimasi
nasional menurut konstitusi, berperan dengan memberi komentar dan didikan
dalam kasus-kasus nasional, membantu dalam proses penyusunan agenda
nasional, serta aktif mengawasi pembangunan politik melalui kerjasama dengan
wakil-wakilnya yakni Dewan Penasihat Kerajaan (Privy Council) dan tokoh
86
militer kepercayaannya. Melalui Dewan Penasihat Kerajaan yang adalah pusat
dari network monarchy, Raja dapat mengawasi jalannya pemerintahan Thailand
dengan seksama. Sementara itu, posisi militer yang bertugas melindungi kerajaan
Thailand menjadi salah satu perpanjangan tangannya. Hal ini dapat dilakukan
dengan mudah karena anggota dari Privy Council sendiri adalah para perwira
kepercayaan Raja yang memiliki koneksi jaringan di militer dan menjadi
pelindung bagi banyak tentara senior. (Kusumawardani, 2012)
Permasalahan proses suksesi yang dapat berkembang menjadi krisis
nasional, akhirnya mendorong junta militer untuk segera mengawal pengamanan
proses suksesi kerajaan. Peran militer dimulai dengan usaha-usaha menyusun
suatu konstitusi yang dapat mempersiapkan Thailand menghadapi masalah suksesi
dan memperkuat kerajaan. Maka lahirlah Konstitusi 2007. Selama penyusunan
Konstitusi 2007 telah dibentuk lembaga khusus yang bertugas untuk menyusun
konstitusi yakni CDA (Constitutional Drafting Assembly) dan CDC
(Constitutional Drafting Cominttee). Walaupun secara prosedural penyusunan
Konstitusi 2007 telah dilakukan dengan demokratis yakni proses penyusunan
dilakukan oleh lembaga independen dan diupayakan referendum untuk
penentuannya. Namun intervensi junta militer tetap ada dengan menunjuk orang-
orang kepercayaannya untuk menduduki lembaga tersebut. Hal ini menyebabkan
isi substansi dari konstitusi menjadi tidak demokratis. Isi Konstitusi 2007 menjadi
semakin tidak demokratis karena tidak melibatkan pemerintahan sebelumnya
(pemerintahan Thaksin). Semenjak membubarkan dewan perwakilan rakyat di
masa Thaksin, pihak junta militer telah menggantikan orang-orangnya melalui
penunjukan langsung yang didukung oleh monarki. Pada perkembangannya
dewan perwakilan ini mengemban tugas untuk menyusun konstitusi baru.
Beberapa pasal yang menunjukkan peran junta dan para elit Thailand dalam upaya
menyetir roda pemerintahan dan kehidupan demokrasi, diantaranya:
Oleh karena permasalahan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan
Thaksin, maka disusunlah beberapa pasal-pasal yang membatasi kekuasaan
perdana menteri. Pasal-pasal ini mengakibatkan kemunduran di tingkat eksekutif
karena kekuasaan tidak lagi berpusat pada perdana menteri atau lembaga
eksekutif. Pada Konstitusi 2007 Bab VI Pasal 3 Ayat 11 menyatakan bahwa
87
pemilihan anggota senat tidak lagi melalui pemilihan umum melainkan sebagian
melalui pemilu di tingkat provinsi dan sebagian lagi melalui penunjukan. Sistem
pemilihan ini dimaksudkan untuk mengurangi kekuasaan perdana menteri karena
dengan demikian kemungkinan perdana menteri mendapat dukungan anggota
senat menjadi sangat kecil. Selain itu terdapat pula peraturan meniadakan peran
perdana menteri untuk menandatangani persetujuan anggota senat.
Penandatanganan persetujuan akan dilakukan langsung oleh Raja. Maka secara de
jure perdana menteri tidak memiliki kuasa untuk mengajukan nama untuk anggota
senat kepada Raja dan berarti pula bahwa tidak ada lagi anggota senat yang akan
mendukung di parlemen.
Peraturan lainnya ada di Bab VI Pasal 9 ayat 158 mengenai mosi tidak
percaya. Didalamnya berisikan peraturan penurunan jumlah kursi untuk
memberikan mosi tidak percaya hanya perlu 20% atau 1/5 dari jumlah total
anggota berhak memberikan mosi tidak percaya. Kontras sekali dengan Konstitusi
1997 yang membutuhkan suara 40% atau 2/5 kursi anggota parlemen untuk
memberikan mosi tidak percaya. Peraturan tersebut semakin dipermudah dengan
adanya Pasal 9 Ayat 160 yang berbunyi, “Dalam kasus dimana jumlah anggota
parlemen yang anggota partai politiknya tidak menjabat di posisi kementerian atau
lebih sedikit dari pada jumlah anggota parlemen yang dibutuhkan untuk
meloloskan mosi untuk debat umum yang disebut dalam ayat 168 atau 159, lebih
dari setengah anggota parlemen yang ada berhak mengajukan mosi untuk debat
umum dengan perdana menteri atau menteri di bawah ayat 158 atau ayat 159
kalau Dewan Menteri sudah berjalan selama lebih dari dua tahun”. Pasal ini
memudahkan oposisi apabila jumlah total anggotanya di parlemen tidak
memenuhi syarat jumlah kursi untuk memberikan mosi tidak percaya.
Pasal-pasal dalam Konsitusi 2007 juga merubah sistem pemilu dari single
member-constituencies menjadi multi member-constituencies dengan jumlah
maksimal kursi tiap pemilih adalah tiga. Padahal melalui sistem pemilu single
member-constituencies yang diterapkan Konstitusi 1997 jusru menghasilkan
sistem koalisi partai yang sebelumnya belum pernah ada pada hasil pemilu 2001.
Perubahan sistem pemilu ini justru melahirkan fragmentasi dalam parlemen.
Perkembangan demokratisasi semakin ditekan dengan upaya mencegah partai
88
yang bersifat nasional. Larangan ini tertulis dalam Bab VI Pasal 2 Ayat 104, yang
berbunyi:
“Masa jabatan Dewan Perwakilan Rakyat adalah empat tahun sejak
pemilu. Sebelum menjabat sebagai anggota dewan, pembentukan koalisi parpol
yang anggotanya berada di dalam DPR tidak diperbolehkan.” Pasal ini
menjelaskan bahwa partai-partai yang memiliki anggota di parlemen dilarang
untuk membuat sebuah koalisi. Peraturan ini dibuat agar partai perdana menteri
tidak dapat mengajak partai lain untuk berkoalisi di parlemen.
Konstitusi 2007 justru melemahkan pemerintahan sipil, terbukti pada
peraturan di Pasal 77 yang menyatakan bahwa tugas dan peran negara atau
pemerintahan sipil terpilih harus melindungi dan menjunjung tinggi intitusi
kerajaan dan keindependenan dan keutuhan hak-haknya serta mengatur
pemiliharaan angkatan bersenjata dan perlengkapan yang diperlukan dan memadai
teknologi terkini untuk perlindungan dan penegakan kemerdekaan, kedaulatan,
kemanan negara, intitusi kerajaan, kepentingan nasional dan rezim pemerintahan
demokratis dengan Raja sebagai Kepala Negara dan untuk pembangunan nasional.
Pasal ini menunjukkan bahwa militer akan mendapatkan kekuasaan dan porsi
anggaran belanja lebih besar dibandingkan sebelumnya. Pada Konstitusi 1997,
negara haya diwajibkan untuk memelihara militer saja. Selain itu kekuatan militer
semakin bertambah setelah dikabulkannya pasal 309, yang berbunyi:
“Setiap tindakan yang kelegalan dan konstitusionalitasnya telah diakui
oleh Konstitusi Kerajaan Thailand (Interim), BE 2549, termasuk semua tindakan
yang terkait dengannya, baik yang dilakukan sebelum atau sesudah tanggal
berlakunya Konstitusi ini, akan dianggap konstitusional menurut Konstitusi ini”.
Pasal ini berkaitan dengan pengampunan tindakan kudeta 2006 yang dilakukan
oleh pihak militer. Melalui pasal ini pula didapatkan pengesahan secara legal
terhadap aksi dan pemerintahan interim junta militer di tahun 2006. Pasal ini
seolah-olah telah membenarkan aksi kudeta sebagai upaya menangani krisis
nasional akibat pemerintahan yang bermasalah. Pasal ini juga seakan membangun
budaya kebal hukum di Thailand dan melemahkan peraturan hukum yang berlaku.
Pada tahun-tahun berikutnya dominasi junta militer di kehidupan politik
Thailand masih menunjukan skala yang tinggi. Terlihat dari aksi kudeta yang
89
kembali terjadi pada masa pemerintahan Yingluck serta pengawasan militer
terhadap proses perancangan konstitusi baru. Pada 22 Juli 2014 Jenderal Prayuth
Chan-ocha, sebagai kepala National Council for Peace and Order (NCPO)
mengumumkan rancangan konstitusi sementara 2014 (Interim Constitution 2014)
tanpa melalui perundingan publik. Rancangan Konstitusi 2014 dianggap sebagian
besar pengamat sebagai upaya memberikan pembenaran hukum bagi junta militer,
rancangan ini tidak memiliki pondasi yang kuat mengenai penegakan hak asasi
manusia. Hal ini diperlihatkan dalam Pasal 44 yang memberikan kewenangan
NCPO untuk mengeluarkan kebijakan dan melakukan tindakan dibawah otoritas
militer yang dianggap tepat, tanpa memperhatikan implikasi dampaknya terhadap
hak asasi manusia. Secara spesifik dikatakan bahwa kepala NCPO diberi
kewenangan untuk mengeluarkan perintah, penangguhan ataupun tindakan yang
dianggap perlu untuk menjaga perdamaian dan ketertiban serta keamanan
nasional. Sedangkan pada pasal 48 terdapat penjelasan pengampunan terhadap
para pelaku tindakan kudeta 22 Mei 2014. Pasal 8 dan 33 Interim Constitution
2014 menghalangi orang-orang yang telah memiliki posisi dalam partai politik
lebih dari tiga tahun untuk menjadi anggota Majelis Legislatif dan Komite
Penyusunan Konstitusi. Namun ketentuan tersebut tidak berlaku bagi anggota
NCPO, militer dan polisi atau pejabat pemerintah lainnya. 9
Pada abad ke-21 dapat dilihat jika partisipasi masyarakat dalam
pemerintahan Thailand semakin menurun semenjak adanya kudeta 2006. Menurut
Penny Heraswati, “penyebabnya adalah law enforcement yang kuat”. Law
enforcement terlihat dari bagaimana cara junta militer mengeluarkan kebijakan-
kebijakan represif untuk mengurangi partisipasi politik. Sejumlah media
elektronik baik televisi, radio maupun internet dilarang untuk menyiarkan acara
dan diberlakukan kebijakan sensor terkait isi berita. Memberi kewajiban bagi
seluruh stasiun untuk menyiarkan pidato junta militer yang menyatakan bahwa
krisis politik yang terjadi akan segera berakhir. Mengeluarkan kebijakan
pelarangan pertemuan yang dihadiri lebih dari lima orang, jika melanggar maka
akan dikenakan sanksi penjara selama enam bulan. Selain dari pada pembuatan
9 Thailand: Interim Constitution Provides Sweeping Powers. Diperoleh dari:
https://www.hrw.org/news/2014/07/24/thailand-interim-constitution-provides-sweeping-powers. Diakses
pada 13 November 2017, pukul 14.02
90
kebijakan represif untuk memberi rasa takut pada rakyat, pihak junta militer juga
mengumandangkan siaran lagu-lagu yang diciptakan oleh Raja Bhumimbol sesaat
setelah kudeta. Langkah ini dilakukan selain untuk menunjukkan legitimasi bahwa
tindakan kudeta militer telah mendapat persetujuan dan sepengetahuan Raja, hal
ini juga dijadikan sebagai momentum menguatnya rasa nasionalisme rakyat
Thailand terhadap Raja. Prinsip politik rakyat Thailand bukanlah give and take
melainkan dalam pemahaman Karma (perbuatan baik dalam ajaran Budhiisme).
Ajaran Budhiisme yang dianut masyarakat Thailand melihat Raja sebagai Buddha
hidup. Oleh karena itu terdapat hukum lèse majesté yang merupakan hukum
pidana untuk mecegah segala tindakan yang dianggap menghina dan melecehkan
Raja (Yulianto, 2002:58). Oleh sebab itulah sebagian besar rakyat Thailand
cenderung apatis dan tidak memberikan tuntutan rakyat terhadap lembaga-
lembaga dan proses demokrasi. Kekuatan politik Thailand tidak pernah
didasarkan pada basis kekuatan masa.
Krisis ekonomi juga dapat dijadikan salah satu faktor pendorong proses
demokratisasi Thailand. Menurut Rafendi Djamin, “penyebab rakyat Thailand
cenderung diam karena belum adanya momentum, seperti disaat krisis ekonomi
pada 1930-an atau pada 1970-an”. Proses kehidupan politik Thailand dan
Indonesia memiliki kesamaan pada lahirnya aksi-aksi revolusi akibat krisis
ekonomi. Sebelumnya Thailand telah mengalami dua kali masa revolusi namun
sayangnya kegagalan konsolidasi demokrasi mengantarkan Thailand pada
kembalinya peran politik militer dalam pemerintahan. Jika dilihat dari sejarah
Thailand perlawanan dan tuntutan penegakan sistem demokrasi dipelopori oleh
masyarakat berpendidikan kelas menengah. Namun jika melihat kondisi Thailand
saat ini masyarakat kelas menegah di kota Bangkok justru cenderung apatis dan
perlawanan justru dilakukan oleh masyarakat kelas bawah para pendukung
Thaksin. Terpecah-belahnya masyarakat di Thailand juga disebabkan oleh kondisi
ekonomi. Masyarakat kelas menengah ke atas tidak merasa terancam dengan
pemerintah karena memiliki penghasilan lumayan tinggi. Sedangkan untuk
masyarakat pinggiran dan pedalaman masalah ekonomi menjadi faktor pendorong
mereka menuntut perbaikan sistem. Tumpang tindih sistem juga memicu konflik
antara elit Bangkok dan penduduk pedalaman. Dalam sistem politik Thailand
91
hanya warga Bangkok yang memiliki hak suara untuk memilih gurbenur mereka
(Said, 2015:116). Pada akhirnya konflik antar kelas terjadi di Thailand.
Menurut para pengamat politik di Bangkok junta militer telah sejak lama
menginginkan model Demokrasi Terpimpin dibandingkan Demokrasi Partisipatif.
Begitu pula kelompok kaus kuning yang memandang bahwa model demokrasi
partisipatif tidak membawa keuntungan bagi Thailand (Said, 2015:116). Untuk itu
perwujudan kehidupan demokrasi masih memerlukan jalan yang panjang di
Thailand. Lambannya perwujudan demokrasi di Thailand dikarenakan
keengganan penegakan supremasi sipil yang sejatinya secara konseptual harus
dipenuhi dalam struktur politik negara demokratis. Jika melihat pada konsep
tersebut maka institusi militer hanyalah pelaksana operasional lapangan yang
diikuti dengan mekanisme pertanggungjawaban kepada publik secara transparan.
Sedangan kondisi Thailand saat ini masih diwarnai oleh supremasi militer dan
tidak adanya upaya penyatuan suara masyarakat untuk meminta
pertanggungjawaban pemerintah.
V.3 Refleksi
Rezim militer yang disipilkan di Indonesia dan Thailand ditandai oleh
suatu pembaharuan pimpinan militer-sipil. Pemimpin yang tampil pada dasarnya
adalah teknokrat yang berorientasi pada pembangunan. Stabilitas nasional yang
dicapai oleh rezim militer diperoleh dari hasil penguasaan dan pengendalian para
pembangkang politik dan oposisi serta kebijakan-kebijakan pembatasan
partisipasi politik. Persamaan rezim politik militer di Indonesia dan Thailand
dapat dilihat dari kecenderungan pemerintah yang berkuasa untuk membatasi
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan, tetapi baik ABRI maupun
junta militer tidak mampu menghapuskan partai politik dan pemilihan umum.
Untuk itu agar tetap dapat mengurangi tekanan terhadap rezimnya maka partai
politik dikontrol sedemikian rupa sesuai keinginan penguasa. Pemilihan periodik
tetap dilaksanakan, akan tetapi tanpa hadirnya partai oposisi yang mampu
menurunkan pemerintahan yang berkuasa. Peralihan kekuasaan secara damai
merupakan hal yang sangat jarang terjadi. Semua sistem didominasi eksekutif.
92
Kepala eksekutif yang merupakan bekas pimpinan militer dengan bentuk sistem
pemerintahan sentralistis.
Merujuk pada teori realisme kehidupan politik di negara Indonesia dan
Thailand memperlihatkan sebuah perjuangan memperoleh kekuasaan antara sipil
dan militer. Kodrat manusia yang tidak pernah puas diperlihatkan oleh sikap
militer yang menjadikan politik sebagai alat untuk memperoleh interest mereka
dengan upaya memperbesar power militer. Power militer Indonesia tercermin
dalam upaya-upaya ABRI mengontrol jalannya politik di Indonesia, diantaranya
dengan menduduki seluruh jabatan krusial sipil di pemerintahan sehingga militer
mampu melakukan kontrol efektif terhadap kebijakan publik. Penampilan
angkatan bersenjata Indonesia telah dimulai sejak masa revolusi kemerdekaan.
ABRI merupakan salah satu kekuatan politik Indonesia yang terbesar dan menjadi
salah satu dari tiga pilar politik pada masa awal kemerdekaan. Selama masa
pemerintahan Soekarno masih efektif, kekuatan militer berhasil dibendung.
Hingga pecahnya peristiwa kudeta Untung menjadi penyebab utama pengambil
alihan kekuasaan pemerintah oleh militer. Sebagai kekuatan politik satu-satunya
peran militer pada saat itu dengan sangat mudah diterima rakyat sebagai pewaris
tunggal revolusi kemerdekaan. Pada masa Soeharto, ABRI memiliki peran sentral
dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Otoriterianisme militer di Indonesia
juga ditunjukkan dalam segala upaya militer untuk membungkam opini publik,
langkah militer dalam prakteknya diperlihatkan baik melalui kebijakan-kebijakan
represif dalam upaya penanggulangan pemberontakan dan demonstrasi juga pada
penerapan upaya militer dalam mengatur pemenangan pemilu. Oleh Soeharto,
Indonesia diorganisir ke dalam kelompok-kelompok pendukung fungsional.
Pertama, berada di bawah Kementrian Dalam Negeri terdapat Sekber Golkar yang
menjadi kendaraan partai bagi militer dalam upaya pemenangan pemilu. Otonomi
lokal dimonitor oleh pemerintah pusat melalui unit-unit militer di daerah seperti
Kodam, Kodim, Korem dan Koramil serta badan-badan operasi khusus. Lewat
kontrol dalam kebijakan pembangunan ekonomi militer telah berhasil
mengarahkan keuntungan yang diperoleh oleh badan-badan usaha milik negara
menjadi keuntungan penuh bagi pemenuhan kebutuhan badan militer dan
memperkaya oknum-oknum militer. Kontrol politik dan ekonomi yang dilakukan
93
oleh ABRI telah berhasil menghantarkan militer untuk tetap survive selama
kurang lebih tiga puluh tahun hingga runtuhnya Orde Baru. Sebelum era
reformasi, Soeharto bersama dengan para perwira kepercayannya telah berhasil
menjadi hegemon di Indonesia melalui dominasi mereka. Dominasi militer
diperkuat dengan adanya UU Nomor 20/1982 yang mengatur ABRI sebagai
kekuatan pertahanan dan keamanan serta sebagai kekuatan sosial-politik. Dalam
langkah reformasi Gus Dur lebih memperhatikan pada pengertian BoP dengan
tidak serta merta memencilkan peranan militer, namun memberikan militer
kesempatan untuk menjadi lebih profesional dengan memberi pembatasan pada
tugas-tugas militer.
Politik Thailand jauh lebih kompleks karena aktor yang berperan bukan
hanya sipil dan militer, melainkan melibatkan elit politik Thailand yang disebut
dengan deep state. Dominasi pengaruh menjadi satu-satunya kepentingan yang
ingin diraih oleh deep state. Awalnya militer bersama sipil berhasil membuat
sebuah kolaborasi untuk menghentikan sistem pemerintahan monarki absolut
kerajaan, namun pada perkembangannya kini militer justru bersekutu dengan
pihak kerajaan dalam upaya mengamankan dominasi militer dalam pemerintahan.
Militer paham bahwa power Raja terhadap masyarakat merupakan hal krusial.
Oleh karena itu militer tidak berusaha lagi untuk mengungguli dominasi raja
seperti pada peristiwa kudeta 1932, namun justru melakukan persekutuan dengan
kerajaan. Hal ini dapat ditelaah dalam konteks “bandwagoning”. Setelah tahun
1980-an kerjasama militer dengan kerajaan Thailand berhasil menjadikan
badannya sebagai hegemon dalam poltik Thailand dengan mengalahkan
supremasi sipil. Walaupun telah beberapa kali mencoba menegakkan suatu
pemerintahan konstitusional, namun setiap konstitusi baru segera dihapuskan oleh
kudeta berikutnya. Pergantian konstitusi dimaksudkan untuk mengabsahkan suatu
barisan baru, akan tetapi konstitusi tersebut ternyata runtuh karena menjiplak
struktur dasar pemerintahan yang diidealisir oleh pelaksana kudeta, yakni suatu
sistem dominasi eksekutif dengan perangkat-perangkat lembaga parlementer.
Sepanjang perkembangan konstitusionalnya, Thailand selalu mempertahankan
konsep penguasaan tradisional dan kebutuhan terbatas akan partisipasi politik
94
massa. Dalam sistem pemerintahan Thailand sifat dominasi dan politik sentralisasi
juga terjadi.
Kecenderungan militer untuk melakukan intervensi terhadap kehidupan
politik baik di Indonesia dan Thailand disebabkan oleh faktor yang sama. Kondisi
sosial yakni kondisi fragmented society menyebabkan tidak adanya penyatuan
aspirasi rakyat untuk melakukan kontrol efektif terhadap militer dan politik.
Perpecahan masyarakat Indonesia diperlihatkan dengan banyaknya aksi-aksi
pemeberontakan di berbagai daerah, seperti DI/TII, Permesta, GAM dan Papua
Merdeka serta susunan kabinet parlementer yang tidak dapat bertahan lama.
Sedangkan di Thailand perpecahan masyarakat dapat ditelaah dari adanya konflik
antara kaus merah dan kaus kuning, selain itu terdapat pula konflik antar kelas di
Thailand. Konflik antar kelas masyarakat di Thailand ini sejatinya telah terjadi
sejak lama karena besarnya gap ekonomi antara kelompok masyarakat kelas
menengah ke atas di pusat kota Bangkok dengan masyarakat kelas bawah di
pinggiran Bangkok dan pedalaman. Selain itu pemerintah Thailand justru
memarginalisasi para penduduk kelas bawah. Hal ini terlihat dalam struktur
pemerintahan daerah dimana baik gurbenur ataupun administrator distrik diangkat
oleh Menteri Dalam Negeri dan didominasi anggota militer. Pemilihan kepala
daerah secara langsung hanya dapat dirasakan penduduk yang tinggal di Bangkok.
Selain itu intervensi militer sejalan dengan teori Amos Perlmutter
disebabkan pula oleh kondisi politik. Kelamahan sipil menjadi sebuah undangan
bagi militer untuk turut campur dalam politik. Kelemahan para politikus yang
selalu mencari dukungan dari militer untuk dapat memperoleh legitimasi
kekuasaan justru membuka celah kesempatan bagi militer untuk masuk dalam
susunan ketatanegaraan. Pada awal masa Demokrasi Parlementer institusi militer
dibuat untuk mengakui supremasi sipil dengan pemberlakuan UUDS 1950.
Mengkaji dari teori Joseph S. Nye Jr hubungan sipil-militer pada masa demokrasi
parlementer hancur disebabkan oleh intervensi pemerintah terhadap persoalan
intern ABRI dan sejak digunakannya persoalan pertahanan untuk tujuan-tujuan
politik pada 1952 serta ketidaksediaan pemerintah untuk mengakui dan
menghormati tingkat otonomi fungsional AD pada 1955, menyebabkan AD
semakin bertindak vokal. Selain itu seperti kata Amos Permultter, tumbuhnya
95
fragmentasi masyarakat yang semakin besar akibat dari konflik kepentingan antar
partai-partai politik dan ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi persoalan
konflik pemberontakan di berbagai wilayah di luar Jawa, semakin mendasari
militer untuk memberikan penilaian bahwa sipil telah melepaskan tanggungjawab
politiknya. Keabsahan peran militer semakin tak terelakan ketika Soekarno
menjadikan ABRI sebagai kekuatan politik legal dalam Golongan Karya.
Prakteknya keputusan inilah yang dijadikan dasar Dwifungsi. Kebijakan
sentralisasi dan sikap anti partai Soekarno dan militer melemahkan kekuatan-
kekuatan sipil dan menjadikannya tidak berdaya. Intervensi militer dalam politik
negara semakin menguat pada saat Demokrasi Terpimpin ambruk akibat
inkonsistensi dan kelemahan sistemnya sendiri.
Sedangkan kelemahan politik sipil di Thailand dapat dipelajari dari masa
pemerintahan Thaksin dan Yingluck. Pada masa pemerintahan keluarga
Shinawatra ini tercatat sejumlah kasus pelanggaran yang dilakukan pemerintah
sipil dengan menggunakan hak kekuasaan eksekutif. Hal ini dianggap oleh pihak
junta militer sebagai tindakan ketidakbecusan pemerintah sipil dalam mengelola
negara. Menurut peneliti, pemerintah sipil Thailand pada dasarnya memiliki sifat
yang sama dengan militer. Dari sekian banyak pemerintah sipil yang pernah
berkuasa pada dasarnya memiliki ambisi besar untuk memperkuat dominasi
mereka di Thailand, namun sayangnya basis kekuatan massa sipil dapat
dikalahkan oleh junta militer. Selain itu jika pemerintahan sipil memiliki usia
panjang sifat pemerintahan justru akan berubah menjadi otoriter, seperti pada
pemerintahan Thaksin yang notabene memiliki dua kali masa jabatan. Seperti
pada masa Orla, Presiden Soekarno menggunakan kekuasaan eksekutifnya untuk
menerapkan pengangkatan presiden seumur hidup. Namun langkah konsolidasi
yang dilakukan pemerintah sipil Thailand terbatas pada diberlakukannya tindakan
represif pemerintah kepada sipil. Hal ini didasarkan pada peraturan utama pada
seluruh konstitusi Thailand yang mencantumkan raja sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi. Oleh karena itu perebutan kekuasaan politik di Thailand
kemudian menjadi hal yang wajar.
Sejalan dengan Huntington bahwa kontrol sipil objektif adalah upaya
paling efektif dalam meminimalisasi intervensi militer dalam politik. Hal ini dapat
96
dipelajari dari perjalanan sejarah politik Indonesia pada masa transisi demokrasi
yang diterapkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Militer mulai diberikan
pembatasan dan penegasan terhadap hak dan wewenang institusi TNI/Polri.
Melalui serangkaian peraturan perundang-undangan pada masa transisi telah
berhasil menghantarkan militer memiliki kesadaran untuk menjadi lebih
profesional. Untuk menghentikan intervensi militer diperlukan keunggulan
otoritas sipil terpilih yang ditunjukkan dengan upaya-upaya reformasi oleh kepala
eksekutif. Sepaham pula dengan teori Haramin Malik bahwa dibutuhkan
kesepakatan bersama antara sipil dan militer mengenai reposisi peran militer agar
dapat mengurangi kontestasi militer terhadap kebijakan sipil. Hal ini ditunjukkan
dengan perubahan paradigma TNI dibawah komando Pangab Jenderal TNI
Wiranto yang menegaskan keinginan militer untuk melakukan upaya redefinisi,
reposisi dan reaktualisasi. Perubahan paradigma militer didasari oleh kesadaran
pimpinan TNI bahwa “dwifungsi” sebenarnya hanyalah alat Soeharto untuk dapat
memanfaatkan power militer. Faktor yang mendorong perubahan peran militer
juga didasari oleh perspektif militer generasi baru yang melihat diri sebagai
tentara profesional. (Said, 2015:103-104)
Menelisik pada perkembangan peran militer di Indonesia dan Thailand
keduanya memiliki kesamaan yakni pada faktor-faktor yang mendasari peran
militer untuk masuk dalam percaturan kehidupan politik di kedua negara. Namun
dalam perkembangannya peran militer di Indonesia dan Thailand memiliki
perbedaan yakni peran militer dalam politik di Indonesia telah berakhir sejak
runtuhnya Orde Baru sedangkan di Thailand peran politik militer masih
memperlihatkan skala yang tinggi. Terlihat jelas pada dominasi pemerintahan
militer di Thailand hingga saat ini. Semenjak kudeta pada tahun 2014 dan
terpilihnya Pangeran Vajiralongkorn menjadi Raja baru Thailand, Jenderal
Prayuth Chan-o-Cha masih menjabat sebagai perdana menteri hingga kini. Dalam
studi lapangan peneliti menemukan bahwa tingkat campur tangan militer dalam
politik Thailand sangat tinggi, utamanya pada proses pengawalan penyusunan
konstitusi. Meneliti dari sejarah penyusunan Konstitusi 2017, peran militer hadir
dengan menempatkan orang-orang kepercayaan militer pada badan pembuat
konstitusi yakni CDA dan CDC, sehingga menyebabkan isi substansi Konstitusi
97
2007 tidak sepenuhnya demokratis. Pada saat proses penyusunan Konstitusi
Sementara 2014, militer kembali berperan dengan menyusun dan merangkai
pasal-pasal konstitusi baru tersebut tanpa melalui debat publik, institusi militer
yang melakukan penyusunan draft interim ini adalah NCPO. Sedangkan pada
proses penyusunan Konstitusi 2016 peran militer dapat dilihat dari kehadiran
orang-orang kepercayaan militer kembali dalam badan perumusan konstitusi.
Masa transisi demokrasi di Indonesia dan Thailand memiliki kesamaan
yakni pada lahirnya gerakan revolusioner semenjak terjadinya krisis ekonomi.
Namun yang membedakan adalah sejak peristiwa revolusi 1998 rakyat Indonesia
semakin menyadari dan mendukung prinsip-prinsip liberalisasi yang terkandung
dalam paham demokrasi. Kesadaran masyarakat tersebut berbanding terbalik
dengan rakyat Thailand yang justru semakin lesu menghadapi pemerintahan
otoriter militer.
Liberalisasi politik di Indonesia turut membantu pengawasan proses
pengefektifan hak-hak politik baik individu maupun kelompok-kelompok sosial,
perwujudan liberalisasi tampak pada: 1) mulai dibukanya kebebasan partisipasi
politik baik dalam tataran masyarakat maupun kepartaian, 2) dimulainya kran
kebebasan pers, dan 3) upaya-upaya demiliterisasi sistem pemerintahan yang
mewujudkan penegakan dan pengakuan terhadap supremasi sipil. Upaya
demiliterasasi pemerintahan diwujudkan dalam lahirnya jaminan hukum
mengenai posisi, peran dan fungsi militer di Indonesia.
Selain dari keinginan internal militer, perubahan peranan militer di
Indonesia sendiri didasari karena adanya desakan dari dalam dan luar negeri.
Dinamika gerakan masyarakat sipil yang berada di jalanan maupun di luar jalan
pada akhirnya mampu mengembalikan militer ke barak dan menjadi salah satu
faktor pendorong dalam proses reformasi militer. Pada masa ini krisis moneter
telah membantu mesyarakat Indonesia untuk mengatasi fragmented society.
Sedangkan desakan dari luar negeri terlihat dari kecaman dunia internasional
terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia dan penuntasan kasus
pelanggaran hak asasi manusia yang notabene sangat tinggi pada masa Orba.
Selain itu perubahan peta politik akibat berakhirnya Perang Dingin telah
98
mengubah pula sikap masyarakat internasional terhadap keterlibatan militer dalam
politik. (Said, 2015:103)
Jika melihat pada masa transisi politik di Indonesia reformasi besar-
besaran dilakukan pada sektor keamanan dengan menghapus doktrin dwifungsi
ABRI. Periode 1998-2004, ditandai dengan pemisahan TNI dan Polri melalui Tap
MPR tahun 2000 dan penerapan upaya-upaya untuk membuat militer menjadi
institusi profesional. Langkah yang diambil dengan melakukan restrukturisasi
institusi, pengawasan internal dan perubahan doktrin militer. Supremasi sipil
menjadi kata kunci dalam pengelolaan dan pengawasan aktor-aktor keamanan,
melalui keputusan pemerintah termasuk dalam sektor keamanan. Paska jatuhnya
Gus Dur, relasi hubungan sipil militer menjadi pragmatis, penuh negosiasi dan
tidak memiliki ketegasan dalam melakukan kontrol terhadap militer. Secara
formal militer di Indonesia tidak lagi terlibat dalam politik praktis, namun masih
dijadikan sebagai slah satu kekuatan politik oleh para politisi. Padahal dalam
sistem demokrasi, militer seharusnya hanya dipahami sebagai alat pertahanan
negara yang harus tunduk kepada pimpinan sipil. Kondisi ini menyebabkan
keadaan dimana tidak jarang pimpinan sipil memilih mundur jika konstestasi
terlalu tinggi. Sebagai contoh, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional dan Program Legislasi Nasional 2015-2019 masa pemeritahan Jokowi-
JK, didalamnya menjelaskan tentang rencana pemerintah dalam pembangunan
bidang pertahanan dan kemanan selama lima tahun kedepan, termasuk
membentuk UU di dektor pertahanan dan kemanan. Rencana ini justru tidak
memasukkan agend aperubahan tentang Peradilan Militer. Sehingga tindak
pindana yang dilakukan oleh prajurit TNI masih diadili di peradilan militer.
Dalam penulisan peneliti mendapatkan hasil bahwa kudeta yang terjadi di
Thailand sepenuhnya didorong oleh faktor perebutan kekuasaan oleh para aktor
politik. Beberapa faktor telah menjadikan masyarakat Thailand menjadi apatis
terhadap perkembangan politik, diantaranya: 1) besarnya tekanan dari law
enforcement, baik dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah militer
maupun dari hukum lèse majesté; 2) prinsip agama dan kebudayaan masyarakat
Thailand yang meyakini Raja sebagai Buddha hidup dan kepercayaan sakdina; 3)
belum terciptanya momentum untuk kebangkitan revolusi rakyat, seperti yang
99
terjadi pada tahun 1970-an. Diketemukan bahwa dominasi kekuatan militer
Thailand perlahan menyusut sejak peristiwa Student Revolt akibat berkembangnya
paham liberalisasi. Paham liberalisasi mendorong masyarakat utamanya para
mahasiswa untuk menuntut penyusunan konstitusi baru dan pelaksanaan
pemilihan umum di Thailand. Peristiwa Mei 1992 dijadikan sebuah titik revolusi
yang menghantarkan militer kembali ke barak. Namun ketenangan politik
Thailand tidak berlangsung lama setelah Thaksin dengan serangkaian kegagalan
sistem pemerintahannya mengundang militer untuk kembali mengambil alih
kekuasaan.
Pada penelitian kali ini ditemukan pula bahwa terdapat kemungkinan
untuk militer kembali mengintervensi politik setelah berhasil kembali ke barak.
Fakta tersebut dapat dilihat dari sejarah militer Thailand yang kembali memasuki
kehidupan politik setelah lima tahun berdiam diri. Hal ini menjadi perenungan
bersama karena militer Indonesia sendiri saat ini belum sepenuhnya menunjukkan
sikap-sikap profesionalitas tentara. Beberapa faktor yang dapat menjadi bahan
perenungan bagi perkembangan peran militer Indonesia diantaranya belum
tuntasnya masalah restrukturisasi militer, reformasi UU mengenai peran
TNI/Polri, UU mengenai peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial
militer, konflik antara TNI-Polri, persoalan kesejahteraan prajurit, persoalan
operasi militer selain perang, dan mekanisme procurement (pembelian) dan
transparasi alutsista. Selain itu hal yang cukup rancu pada perkembangan peran
militer di Indonesia adalah keleluasaan militer untuk mengadakan MoU dengan
instansi sipil lainnya.
Recommended